Konstruksi Hukum Prinsip Good Governance dalam Mewujudkan

advertisement
Konstruksi Hukum Prinsip Good Governance dalam Mewujudkan Tata Kelola
Perusahaan yang Baik
Oleh:
Henry Aspan
Abstract
Some weakness in corporate governance in 1980 in America and England, make it urgent to
reform corporate governance in order to guarantee stakeholders for good business
competition. Good governance is a guideline for companies to actualizes goals and
governance. Application of good governance still not fully done by many company because
this principle was not binding as a legal rules. This principle applied only as non-explicitly
guideline by companies. This situation discourage good governance in practice. Legal
construction is important to legitimate good corporate governance as a rule that should be
obeyed by companies organs. Companies obligated to manifest principle of good corporate
governance as legitimate rules.
Keyword: Legal construction, legal system, Good Corporate Governance
PENDAHULUAN
Perkembangan negara dari masa abad
pertengahan ke abad modern telah
membawa perubahan yang besar dalam
sejarah. Negara yang dahulunya hanya
merupakan perkumpulan kerajaan-kerajaan
yang dipimpin seorang raja dan seluruh
aktifitas baik pembangunan, militer hingga
perekonomian diatur oleh raja.1
Pasca berkembangnya demokrasi yang
dianut beberapa negara di Eropa, bahkan
banyak negara Asia juga meninggalkan
konsep monarki,2 lahirlah sebuah kebijakan
1
Kerajaan Belanda tidak mencampuri kegiatan
ekonomi VOC di Indonesia dahulunya, sebelum ada
ancaman dari kerajaan Inggris, kerajaan Belanda
akhirnya ikut campur atas kepentingan ekonomi di
Indonesia, Lihat M. Nasruddin Anshoriy, Bangsa
Gagal: Mencari Identitas Kebangsaan. Yogyakarta:
LkiS, 2008, hlm 69.
2
Perubahan dari monarki ke republik di beberapa
negara Asia memang tidak terprediksi, namun karena
kuatnya kekuasaan monarki yang cenderung otoriter
yang diterapkan di negara-negara demokrasi
tersebut. Kebijakan yang ekonomi yang
dahulunya dipegang oleh kerajaan, berubah
dikuasai oleh masyarakat baik secara
individu maupun secara berkelompok yang
kemudian disebut serikat. Konsep ini adalah
dampak dari demokrasi yang memang
menjamin setiap masyarakat untuk dapat
berkontribusi bagi negara dan sesama
masyarakat.
Seiring berkembangnya negara-negara
modern, maka perusahaan juga lahir sebagai
jawaban atas kebutuhan prinsip ekonomi
yang juga menjadi bagian tidak terpisahkan
dari pembangunan sebuah negara.3 Dengan
demikian
pelaku
ekonomi
mulai
membawa perubahan pada pergerakan masyarakat,
terutama kalangan cendikiawan. Lihat Antony Black,
Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi ke Masa
Kini, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001, hlm. 605.
3
Mohammad Samsul, Pasar Modal dan Manajemen
Portopolio, Jakarta: Erlangga, 2006, hlm 43.
57
berkembang dan negara hanya menjadi
fasilitator kebijakan, walaupun tetap di
beberapa negara ikut menjadi pelaku
ekonomi di bawah payung perusahaan
negara.
Negara hadir dalam bentuk kebijakan
yang harus dijalankan dan dipatuhi oleh
perusahaan-perusahaan yang mendirikan
usahanya di sebuah negara. Indonesia
sendiri merupakan negara yang menjadi
regulator kebijakan dan pelaku usaha
melalui perusahaan negara (Badan Usaha
Milik Negara), dengan demikian sektorsektor yang menguasai hajat hidup orang
banyak, dapat dikuasai oleh negara
pengelolaannya
dan
dapat
diatur
4
penyalurannya pada masyarakat.
Selain perusahaan negara, perusahaan
yang dimiliki oleh masyarakat juga dapat
melakukan kegiatan usaha di Indonesia,
dengan demikian persaingan pengelolaan
sistem perekonomian bisa dilakukan dengan
prinsip-prinsip perusahaan yang baik.
Pengaturan
terkait
perusahaanperusahaan yang menjalankan usaha di
Indonesia diatur oleh negara. Untuk Badan
Usaha Milik Negara diatur dalam UndangUndang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara, perlunya
pengaturan tersendiri untuk BUMN karena
BUMN merupakan perusahaan negara yang
sebagian modalnya berasal dari keuangan
negara, sehingga prinsip pengelolaannya
juga harus tunduk pada ketentuan dan
kebijakan negara.
Berbeda dengan BUMN, Perseroan
Terbatas (Perseroan) swasta juga diatur
tersendiri, karena berbeda fungsinya dan
4
Hadi Soesastro dkk (Peny), Pemikiran dan
Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah
Abad Terakhir (1956-1966). Yogyakarta: Kanisius,
2005, hlm. 267
58
juga sumber modalnya. Perusahaan yang
dimiliki oleh swasta diatur dalam UndangUndang No 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (UU PT). Selain dari
kedua Undang-Undang tersebut, peraturan
lain juga mengikat baik BUMN maupun
perusahaan swasta seperti, Kitab UndangUndang Hukum Dagang (KUHD), Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata
(KUHPerdata) serta peraturan lain di bidang
pasar modal.
Setiap usaha yang dijalankan di
Indonesia haruslah memiliki atau berbentuk
badan hukum sebagai konsekuensi negara
hukum. Pasal 7 Ayat 4 UU PT menjelaskan
kewajiban berbadan hukum bagi perusahaan
(perseroan)
adalah
agar
dapat
bertanggungjawab secara hukum dalam
setiap perbuatan hukum yang dilakukan
perusahaan.5 Dengan demikian, pemilik
saham juga dijamin secara hukum dan
apabila dikemudian hari ada masalah
hukum, maka pemilik saham memiliki dasar
hukum untuk melakukan tindakan terhadap
perseroan.
Para pemegang saham tersebut hanya
bertanggung jawab atas penyetoran penuh
dari nilai saham yang diambil bagian
olehnya. Meskipun tanggung jawab dari
pemegang saham perseroan sudah bersifat
terbatas, namun berdasarkan ketentuan
Pasal 14 ayat (1) UUPT, bahwa perbuatan
hukum atas nama perseroan yang belum
memperoleh status badan hukum, hanya
boleh dilakukan oleh semua
anggota
Direksi bersama-sama semua pendiri serta
5
I.G.Ray Widjaya, Berbagai Peraturan dan
Pelaksanaan Undang-undang di Bidang Hukum
Perusahaan, Pemakaian Nama PT, Tata Cara
Mendirikan PT, Tata Cara Pendaftaran Perusahaan,
TDUP & SIUP, cet. 3, Jakarta : Kesaint Blanc, 2003,
hlm. 140.
semua
anggota
Dewan
Komisaris
Perseroan dan mereka semua bertanggung
jawab secara tanggung renteng atas
perbuatan hukum tersebut.
PT merupakan badan hukum atau
artificial person yang mampu bertindak
melakukan perbuatan
hukum
melalui
wakilnya, oleh karena itu perseroan juga
merupakan subjek hukum mandiri yang
mempunyai hak dan kewajiban dalam
hubungan hukum. Untuk melaksanakan
segala hak dan kewajiban dalam hubungan
hukum Perseroan Terbatas terdapat organ
perusahaan yang terdiri atas Rapat Umum
Pemegang Saham, Direksi dan Komisaris.6
Keberadaan PT sebagai suatu subjek
hukum yang mandiri tidak bergantung
dari keberadaan para pemegang sahamnya,
para anggota Direksi dan Dewan
Komisaris. Pergantian pemegang saham,
Direksi atau
Komisaris
tidak
mempengaruhi keberadaan PT selaku
“persona standi in judicio”.7
Oleh karena sifat dan ciri tersebut,
maka suatu PT memiliki karakteristik
sebagai
asosiasi
modal, dalam hal
pertanggungjawaban
pemegang saham
bertanggung jawab hanya pada apa yang
disetorkan atau tanggung jawab terbatas,
oleh karena itu tidak bertanggung jawab
atas kerugian perseroan melebihi saham
yang telah diambilnya, maka ada pemisahan
fungsi antara Pemegang Saham dan
Pengurus.
6
Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggung
Jawab Pendiri PT, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002,
hlm. 57
7
Chatamarrasjid
Ais, Penerobosan
Cadar
Perseroan
dan
Soal-Soal
Aktual
Hukum
Perusahaan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004,
hlm. 56.
Melihat beberapa masalah baik internal
maupun
eksternal
perseroan,
maka
selayaknya prinsip Good Corporate
Governance harus dilaksanakan dan ada
ketentuan kuat untuk menerapkannya.
Secara legal formal, ketentuan mengenai
prinsip GCG telah diatur dalam UU PT,
bahkan untuk BUMN prinsip tersebut diatur
pelaksanaannya melalui peraturan menteri
BUMN. Permasalahannya adalah efektifitas
dan kekuatan penerapannya yang masih
lemah.
PEMBAHASAN
Good Corporate Governance merupakan
sebuah prinsip yang lahir karena tuntutan
untuk menciptakan tata kelola perusahaan
yang baik, sejalan dengan tujuan
perusahaan.
Bermula dari usulan
penyempurnaan peraturan pencatatan pada
Bursa Efek Jakarta (sekarang Bursa Efek
Indonesia) yang mengatur mengenai
peraturan bagi emiten yang tercatat di BEJ
yang mewajibkan untuk mengangkat
komisaris independent dan membentuk
komite audit pada tahun 1998, Corporate
Governance (CG) mulai di kenalkan pada
seluruh perusahaan public di Indonesia.8
Setelah itu pemerintah Indonesia
menandatangani Nota Kesepakatan (Letter
of Intent) dengan International Monetary
Fund (IMF) yang mendorong terciptanya
iklim yang lebih kondusif bagi penerapan
CG. Pemerintah Indonesia mendirikan satu
lembaga khusus yang bernama Komite
Nasional mengenai Kebijakan Corporate
Governance (KNKCG) melalui Keputusan
Menteri Negara Koordinator Bidang
Ekonomi, Keuangan dan Industri Nomor:
8
Mas Ahmad Daniri, Good Corporate Governance:
Konsep dan Penerapannya dalam Konteks Indonesia,
Jakarta: Rai Indonesia, 2005, hlm 203.
59
KEP-31/M.EKUIN/06/2000.9 Tugas pokok
KNKCG merumuskan dan menyusun
rekomendasi kebijakan nasional mengenai
GCG, serta memprakarsai dan memantau
perbaikan di bidang corporate governance di
Indonesia. Melalui KNKCG muncul
pertama kali pedoman Umum GCG di tahun
2001, pedoman CG bidang Perbankan tahun
2004 dan Pedoman Komisaris Independen
dan Pedoman Pembentukan Komite Audit
yang Efektif.
Pada tahun 2004 Pemerintah Indonesia
memperluas tugas KNKCG melalui surat
keputusan
Menteri
Koordinator
Perekonomian
RI
No.
KEP49/M.EKON/II/TAHUN
2004
tentang
pemebentukan Komite Nasional Kebijakan
Governance (KNKG) yang memperluas
cakupan tugas sosialisasi Governance bukan
hanya di sector korporasi tapi juga di sector
pelayanan publik.10
KNKG
pada
tahun
2006
menyempurnakan pedoman CG yang telah
di terbitkan pada tahun 2001 agar sesuai
dengan perkembangan. Pada Pedoman GCG
tahun 2001 hal-hal yang dikedepankan
adalah mengenai pengungkapan dan
transparansi, sedangkan hal-hal yang
disempurnakan pada Pedoman Umum GCG
tahun 2006 adalah :
1. Memperjelas peran tiga pilar
pendukung (negara, dunia usaha, dan
masyarakat)
dalam
rangka
penciptaan situasi kondusif untuk
melaksanakan GCG.
2. Pedoman pokok pelaksanaan etika
bisnis dan pedoman perilaku.
9
Ibid, hlm 53.
KNKG, Pedoman Umum Good Corporate
Governance Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 1.
10
60
3.
4.
5.
6.
7.
Kelengkapan Organ Perusahaan
seperti komite penunjang dewan
komisaris (komite audit, komite
kebijakan risiko, komite nominasi
dan remunerasi, komite kebijakan
corporate governance);
Fungsi pengelolaan perusahaan oleh
Direksi yang mencakup lima hal
dalam kerangka penerapan GCG
yaitu kepengurusan, manajemen
risiko,
pengendalian
internal,
komunikasi, dan tanggung jawab
sosial;
Kewajiban perusahaan terhadap
pemangku kepentingan lain selain
pemegang saham seperti karyawan,
mitra bisnis, dan masyarakat serta
pengguna produk dan jasa.
Pernyataan tentang penerapan GCG;
Pedoman
praktis
penerapan
Pedoman GCG;
Bagi BUMN, penerapan GCG adalah
kewajiban dalam upaya meweujudkan tata
kelola perusahaan yang baik, atas dasar
itulah Menteri BUMN mengeluarkan
Peraturan Mentri Negara BUMN Nomor
Per-01/MBU/2011 tentang penerapan GCG
pada BUMN. Adapun kelima prinsip
tersebut adalah; Pertama, tranparency
(transparansi), merupakan keterbukaan yang
harus dimiliki semua perusahaan, guna
memberikan pelayanan yang baik bagi
konsumen. Meskipun demikian prinsip
kerahasiaan perusahaan juga dijamin.
Kedua,
accountability
(akuntabilitas)
merupakan pertanggungjawaban kinerja
secara transparan dan wajar serta harus
meyakini bahwa setiap organ perusahaan
dan semua karyawan memiliki kemampuan
sesuai dengan tugas, tanggungjawab dan
perannya.
Ketiga,
responsibility
(tanggungjawab),
Perusahaan
harus
mematuhi peraturan perundang-undangan
serta
melaksanakan tanggung jawab
terhadap masyarakat dan lingkungan
sehingga dapat terpelihara kesinambungan
usaha dalam jangka panjang dan
mendapat
pengakuan
sebagai good
corporate citizen. Keempat, independensi.
Untuk melancarkan
pelaksanaan
asas
GCG, perusahaan harus dikelola secara
independen sehingga masing-masing organ
perusahaan tidak saling mendominasi dan
tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
Kelima,
Kewajaran
dan
Kesetaraan
(fairness),
Dalam
melaksanakan
kegiatannya, perusahaan harus senantiasa
memperhatikan kepentingan
pemegang
saham
dan
pemangku
kepentingan
lainnya berdasarkan asas kewajaran dan
kesetaraan.11
Kelima prinsip ini harus menjadi
panduan dalam menciptakan tata kelola
perusahaan yang baik, sehingga organ
perseroan dapat menjalankan kewenangan
dengan taat terhadap peraturan yang telah
ditetapkan negara.
Prinsip GCG telah menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dalam tata kelola
perusahaan yang baik, kemudian mekanisme
kontrol juga telah diterapkan dengan
memberikan kekuasaan pada dewan
komisaris selaku pengawas dan pemberi
masukan atas kebijakan yang diambil
direksi. Sanksi dalam peraturan bagi organ
perseroan yang tidak beritikad baik juga
telah dilakukan, namun dibeberapa kondisi,
masih saja ada direksi yang tetap
11
Komite Nasional Kebijakan Governance, Pedoman
Umum Good Corporate Governance, Jakarta:
KNKG, 2006, hlm. 5-6.
menggunakan kekuasaan untuk tidak
beritikad baik dalam menjalankan fungsinya
sebagai pengelola perseroan. Konstruksi
hukum saat ini telah memberikan batasanbatasan yang ketat. UU PT dan UU
Kepailitan juga telah mengatur mekanisme
yang berkaitan dengan kebijakan perseroan.
Namun belum sempurna, karena masih
terdapat celah yaitu bagaimana menafsirkan
kelalaian yang dilakukan direksi.
Direksi hanya bertanggung jawab jika
dianggap lalai, kerugian yang dilakukan
juga karena lalai, maka direksi diwajibkan
bertanggung jawab. Walaupun dalam
ketentuan UU PT dinyatakan jika direksi
tidak bertanggungjawab atas kerugian jika
memang telah berusaha menyelamatkan
perusahaan.
Ada dualisme kepemimpinan yang ada
dalam upaya menyelamatkan perseroan dari
kepailitan,
kewenangan
direksi
dan
kewenangan dewan komisaris. Padahal yang
menjalankan fungsi pengelolaan adalah
direksi, dan jika direksi hanya mengikuti
kata komisaris, maka direksi hanya
menjalankan perintah dari dewan komisaris.
Pasal 97 (3) UU PT menyatakan jika
direksi
bertanggungjawab
jika
lalai
menyebabkan kerugian perseroan dan tidak
beritikad baik serta bertanggungjawab, dan
ayat 5 menyatakan jika direksi tidak
bertanggungjawab jika:
“ kerugian tersebut bukan karena
kesalahan atau kelalaiannya; telah
melakukan pengurusan dengan itikad
baik dan kehati - hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan; tidak
mempunyai benturan kepentingan
baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan
yang mengakibatkan kerugian; dan
telah mengambil tindakan untuk
61
mencegah timbul atau berlanjutnya
kerugian tersebut.”
Dengan ketentuan dalam UU PT, direksi
sulit untuk menjalankan fungsinya sebagai
pengelola perseroan, karena kekhawatiran
akan
kerugian
perseroan
dan
tanggungjawabnya
terhadap
kerugian
tersebut. Meskipun pertanggungjawaban
baru dapat dituntut jika direksi lalai, namun
kelalaian tersebut tidak dapat didefinisikan
secara jelas, sehingga resiko bisnis juga
dianggap kelalain dari direksi yang sudah
beritikad baik.
Prinsip CGC belum sepenuhnya
sempurna bila melihat masih terdapat
beberapa
kekurangan.12
Kekurangan
pertama pada prinsip resposibility, dimana
perseroan harus taat hukum. Perseroan harus
taan hukum selama hukum tersebut
mengatur
hubungan
hukum
dengan
perseroan, namun untuk masalah konflik
antar komisaris dan direksi mekanisme
hukumnya belum sepenuhnya mengatur
sehingga sulit untuk melaksanakan prinsip
tanggungjawab tersebut. Kemudian prinsip
kewajaran, dimana harus ada keberpihakan
pada yang wajar pada pemilik modal. tidak
jarang permasalahan lahir karena peran yang
dominan pemilik modal dalam memilih
dewan komisaris dan direksi, sehingga ada
keberpihakan yang berbeda terhadap
pemilik modal. padahal ketentuan ini
harusnya membuat pemilik modal yang
tergabung dalam RUPS memilih komisaris
dan direksi sesuai kemampuan bukan
sekedar membagi jabatan pada orang yang
memiliki kekuatan politik namun tidak
memiliki kemampuan leadership yang baik.
12
Wijayanto dan Ridwan Zachrie, Korupsi
Mengorupsi Indonesia, Jakarta, Gramedia, 2009,
hlm. 321.
62
Dengan berbagai kekurangan yang
masih ada dalam hal menetapkan suatu
standart tata kelola perusahaan yang baik,
maka diangap penting untuk membangun
kembali (rekonstruksi) prinsip tata kelola
perusahaan yang berbasis pada prinsip
keadilan dalam hukum progresif yang
mengedepankan sistem hukum sebagai
bagian dari penguatan prinsip GCG.
KESIMPULAN
Penerapan
prinsip-prinsip
Good
Corporate Governance merupakan bentuk
tata kelola perusahaan yang baik, namun
masih terdapat beberapa masalah dalam
penerapan
CGC
dalam
pengelolaan
perusahaan yang baik. Menggunakan sistem
hukum yang dibangun Friedman, prinsip
pengelolaan perusahaan yang baik harus
terikat dalam bentuk sistem hukum, yang
terbagi antara struktur hukum, substansi
hukum dan budaya hukum, sehingga
penerapan CGC tidak hanya sebatas syarat
atau ketentuan umum yang hanya menjadi
pedoman tanpa ada penanaman nilai secara
legal formal dalam ketentuan mengenai tata
kelola perusahaan yang baik berbasih
prinsip GCG.
Prinsip GCG akan dibangun dalam
bentuk ketentuan legal formal guna memberi
kekuatan yuridis yang mampu mengikat
setiap perseroan terbatas yang terdiri dari
organ-organ perseroan baik itu dewan
direksi, dewan komisaris dan pemilik modal
agar mengedepankan prinsip GCG dalam
melakukan kegiatan pengelolaan perseroan
terbatas.
Prinsip GCG yang menjadi pedoman
direkonstruksi menjadi prinsip-prinsip yang
berbasis keadilan dan hukum progresif
sesuai dengan sistem hukum Friedman,
yaitu Struktur hukum, merupakan lembaga
hukum yang merupakan organ penegak
hukum, dalam hal ini sikap penegak hukum
terkait penekanan prinsip GCG harus
diperkuat melalui kontrol yang dibangun
oleh organ perseroan agar memberikan sikap
pengawasan
yang
berkeadilan
dan
bertanggungjawab.
Pengawasan
harus
dilakukan dengan mekanisme internal dan
eksternal guna mencapai tujuan yang
maksimal dan kontrol yang kuat dari
penegak hukum.
Penegakan hukum terhadap GCG harus
dilakukan segenap pihak termasuk negara
sebagai fasilitator, hal ini terkait izin
mendirikan perusahaan yang harus benarbenar menjadi perhatian negara. Banyaknya
perusahaan yang berdiri namun belum
mampu berkontribusi maksimal dalam
proses pembangunan ekonomi nasional
dikarenakan lemahnya controling negara
melihat kebutuhan akan pentingnya sebuah
perusahaan didirikan. Sebagai contoh,
ketentuan mengenai pengadaan barang dan
jasa oleh lembaga negara dan daerah yang
memberikan kualifikasi pihak ketiga wajib
berbentuk badan hukum. Ketentuan ini
bertujuan untuk memberikan jaminan secara
hukum bagi pihak yang menggunakan uang
negara. Namun konsekuensi dari peraturan
tersebut menimbulkan banyak perusahaanperusahaan yang didaftarkan secara masif
agar dapat bermain uang negara dalam hal
pegadaan barang dan jasa. Sehingga tujuan
perusahaan
untuk
meningkatkan
pembangunan ekonomi negara berujung
pada menggerogoti uang negara. Penegakan
hukum dalam kasus tersebut masih dalam
tahap represif yaitu jika terjadi pelanggaran
yang dilakukan perusahaan baru ada
penindakan yang terjadi, sementara tindakan
preventif guna mencegah perusahaanperusahaan sejenis masih belum maksimal.
Bukti dari masih lemahnya penegakan
hukum terhadap perusahaan-perusahaan
yang tidak memiliki kontribusi tersebut
dapat ditemukan pada kasus korupsi, dimana
direktur perusahaan tidak memenuhi
ketentuan, seperti dalam kasus PT Imagi
Media Jakarta dalam kasus korupsi
pengadaan Videotron senilai Rp. 23,4
Miliar. Semula dengan adanya perusahaan
didirikan bertujuan untuk membangun
sistem
ekonomi
berakhir
dengan
pragmatisme.
Kemudian substansi hukum, merupakan
penjelmaan prinsip GCG dalam bentuk
peraturan agar mengikat setiap organ
perseroan dan ada unsur sanksi, sehingga
prinsip GCG memiliki daya paksa bagi
organ perseroan untuk ikut dan menjalankan
prinsip tersebut. Jika GCG tidak memiliki
kekuatan memaksa, maka GCG hanya
menjadi petunjuk yang tidak memiliki
kekuatan hukum memaksa organ perseroan
untuk tunduk. Konteks negara sebagai
fasilitator adalah dengan membentuk
peraturan perundangan yang memberikan
ketentuan terhadap tujuan dari perusahaan
tersebut didirikan. Pengaturan terhadap
perusahaan
agar
juga
memberikan
kontribusi
terhadap
pembangunan
perekonomian negara. Pengaturan harus
mampu menjadi pedoman dalam menjamin
tiap pihak yang terlibat dalam perusahaan
agar dapat memberikan dasar dari setiap
kebijakan yang diambil.
Terakhir, budaya hukum, merupakan
efek yang dihasilkan jika prinsip tersebut
sudah dijalankan oleh organ perseroan dan
menjadi budaya dalam setiap tindakan
dalam
pengelolaan
perseroan
agar
63
terwujudnya tata kelola perusahaan yang
baik. Tata kelola perusahaan yang baik
harus bermula dari kebiasaan baik dalam
menjalankan tugas, kebiasaan baik tersebut
merupakan budaya yang telah tertanam,
sehingga praktis setiap tindakan mengikuti
budaya. Budaya hukum dalam penerapan
GCG menjadi manivestasi dari kuatnya
penegakan hukum dan peraturan yang
diterapkan pada setiap tindakan perusahaan
maupun organ perusahaan itu sendiri.
Dengan demikian jika kondisi perusahaan
telah baik, maka budaya mengelola
perusahaan secara sehat juga telah tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan
Tanggung Jawab Pendiri PT,
Jakarta:Ghalia Indonesia, 2002.
Antony Black, Pemikiran Politik Islam dari
Masa Nabi ke Masa Kini, Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2001.
Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar
Perseroan dan Soal-Soal Aktual
Hukum
Perusahaan,
Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2004.
64
Hadi Soesastro dkk (Peny), Pemikiran dan
Permasalahan Ekonomi di Indonesia
dalam Setengah Abad Terakhir
(1956-1966). Yogyakarta: Kanisius,
2005.
I.G.Ray Widjaya, Berbagai Peraturan dan
Pelaksanaan Undang-undang di
Bidang
Hukum
Perusahaan,
Pemakaian Nama PT, Tata Cara
Mendirikan
PT,
Tata
Cara
Pendaftaran Perusahaan, TDUP &
SIUP, cet. 3, Jakarta : Kesaint Blanc,
2003.
Komite Nasional Kebijakan Governance,
Pedoman Umum Good Corporate
Governance, Jakarta: KNKG, 2006.
M. Nasruddin Anshoriy, Bangsa Gagal:
Mencari Identitas Kebangsaan.
Yogyakarta: LkiS, 2008.
Mas Ahmad Daniri, Good Corporate
Governance:
Konsep
dan
Penerapannya
dalam
Konteks
Indonesia, Jakarta: Rai Indonesia,
2005.
Mohammad Samsul, Pasar Modal dan
Manajemen Portopolio, Jakarta:
Erlangga, 2006.
Wijayanto dan Ridwan Zachrie, Korupsi
Mengorupsi Indonesia, Jakarta:
Gramedia,2009.
Download