1 Bab I Pendahuluan A. Dasar Pemikiran

advertisement
Bab I
Pendahuluan
A. Dasar Pemikiran
Pembangunan jemaat adalah upaya teologi praktika untuk melihat apa yang terjadi
dalam dunia ini, dan memberikan masukan-masukan pelayanan secara utuh dan benar. Karena
itu, pembangunan jemaat harus peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, baik dalam
gereja maupun di masyarakat. Dalam memahami perubahan-perubahan yang terjadi, gereja
tentunya juga harus menyadari orientasi panggilannya dalam konteks konkret. Rob van Kessel
menegaskan, dalam rangka gereja menempatkan diri, dan ditempatkan dalam dunia,
pembangunan jemaat hadir di tengah-tengah tata ruang (fakta yang ada dalam dunia: struktur,
relasi antar individu-kelompok-etnis yang berbeda, hukum dan sebagainya) dan waktu (siklus
dan proses waktu yang selalu berubah) yang ada.1 Pembangunan jemaat dituntut mampu
membawa perubahan positif bagi umat manusia dalam tata ruang dan waktu yang terus
berubah. Dalam konteks itu, maka pembangunan jemaat bukan hanya sekadar memahami
perubahan-perubahan yang terjadi dalam konteksnya, tetapi juga menyadari bahwa perubahanperubahan juga bisa dikendalikan sesuai dengan apa yang dikehendaki.2
Berdasarkan hal ini, pembangunan jemaat mengarahkan gereja secara teologis menjadi
gereja yang vital, yaitu gereja yang menghayati keberadaan Allah dan imannya dalam konteks
konkret. Untuk itu gereja yang vital, bukan hanya mengupayakan partisipasi warga jemaat
dalam bergereja,3 tetapi juga partisipasi dengan segala totalitas hidup dalam relasinya dengan
1
Rob Van Kessel, 6 Tempayan Air: Pokok-pokok Pembangunan Jemaat, (Yogyakarta, Kanisius, 1997), 12 - 14.
Haselaar, Paroki 2000: Bahan Studi Pembangunan Jemaat, (Yogyakarta, Kanisius, 2000), 17.
3
Jan Hendriks, Jemaat Yang Vital dan Menarik, (Yogyakarta, Kanisius, 2002), 28.
2
1
masyarakat sekitarnya.4 Rob van Kessel,5 menghubungkan vitalitas gereja dalam pembangunan
jemaat, terkait dengan sejauh mana Injil relevan, bermakna, dalam penampilan serta
penghayatan anggota jemaat di ranah praksis, berupa relasi antar sesama warga jemaat maupun
relasi dengan masyarakat sekitarnya.
Hooijdonk,6 mengatakan fungsi dasar setiap warga jemaat yang hidup di tempat
tinggalnya (tata ruang dan waktu tertentu) adalah menampak relasi yang dikehendaki Allah
yaitu hubungan pergaulan yang ditandai dengan nilai-nilai perdamaian (saling memaafkan,
mengasihi). Relasi yang dikehendaki Allah tersebut, berlaku bagi semua manusia, tidak hanya
antar sesama anggota jemaat saja.7 Dengan menekankan relasi positif dengan semua manusia,
diharapkan nilai-nilai perdamaian, dapat dinampakkan dalam relasi antar sesama manusia
secara benar.8 Itu berarti kehadiran pembangunan jemaat bukan hanya bagi dirinya sendiri
(eksklusif-ritual-rutinitas), melainkan juga memberi manfaat bagi hubungan pergaulan umat di
masyarakat.9 Dengan demikian nilai-nilai perdamaian dalam jemaat, terpancar melalui sikap
dan tindakan umat dalam relasi sosialnya di masyarakat.10
Berangkat dari hal di atas, mengupayakan relasi yang positif menjadi unsur penting
dalam pembangunan jemaat, sebab umat tidak terpisahkan dari pergaulannya dengan
masyarakat.11 Itu berarti pembangunan jemaat berhadapan langsung dengan kenyataan konkret
dalam masyarakat, seperti relasi antar masyarakat yang majemuk baik suku, agama dan
4
Bdk., Gilarso, Kamulah Garam Dunia: Tugas Umat Allah Dalam Masyarakat, Bagian Pertama (Yogyakarta,
Kanisius, 2003), 9.
5
Bdk., Rob van Kessel , 6 Tempayan Air, 7.
6
Hooijdonk, Batu-Batu yang Hidup, Pengantar ke dalam Pembangunan Jemaat, (Yogyakarta, Kanisius, 1996),
143. bdk., Rob van Kessel, 6 Tempayan Air, 7.
7
Gilarso, Kamulah Garam Dunia: Tugas Umat Allah dalam Masyarakat, Bagian Kedua, (Yogyakarta, Kanisius,
2003), 33.
8
Hooijdonk, Batu-batu yang Hidup, 13, 141-142.
9
Gerben Heitink, Teologi Praktis, Pastoral dalam Era Modernitas-Postmodernitas, (Yogyakarta, Kanisius,
1999), 25.
10
Bdk., Gerrit Singgih, Berteologi Dalam Konteks, (Jakarta, BPK Gunung Mulia & Kanisus, 2000), 225.
11
Bdk., Gilarso, Kamulah Garam Dunia, Bagian kedua, 35.
2
budaya. Bahkan Jan Hendriks menilai,12 sebagai pintu masuk mewujudkan partisipasi warga
jemaat sangat terkait dengan perkembangan-perkembangan yang ada dalam masyarakat,
termasuk pluralisme suku dan kultural.
Menurut Hendriks,13 proses-proses konflik negatif akan terjadi apabila jemaat tidak bisa
memahami pluralitas secara positif. Dampaknya, berkurangnya relasi positif baik antar sesama
anggota jemaat, maupun dengan masyarakat sekitarnya. Itu berarti membangun relasi positif
sebagai bagian dari teologi praktika untuk merefleksikan dimensi relasi warga jemaat baik
dalam gereja maupun di masyarakat menjadi penting.14 Dengan demikian membangun relasi
positif antar sesama manusia, sekaligus membantu pengharapan pada masyarakat tidak
terpisahkan dari setiap upaya pembangunan jemaat. Konsep ini akan menjadi acuan dalam
pembangunan jemaat yang kontekstual.
Berkaitan dengan konteks pembangunan jemaat yang dihadapi GKE Sampit yaitu
rusaknya relasi antara etnis Dayak dan etnis Madura yang menjadi masalah tesis ini, maka
keterbukaan pembangunan jemaat terhadap teori sosial lainnya menjadi penting.
B. Latar Belakang Masalah dan Topik
Relasi antara etnis Dayak dan Madura, baik di Kalimantan Barat (Kalbar) maupun di
Kalimantan Tengah (Kalteng) tak dapat dipungkiri telah menjadi masalah kemanusiaan yang
fenomenal. Hal tersebut tidak terlepas dari adanya pengalaman konflik antar kedua etnis yang
sering muncul tenggelam. Dalam catatan sejarah konflik kedua etnis misalnya di Kalbar
tercatat ada 12 kali konflik antara etnis Dayak dan Madura, tahun 1952, 1967, 1968, 1976,
12
Jan Hendriks, Jemaat Vital dan Menarik, 21.
Jan Hendriks, Jemaat Vital dan Menarik, 22.
14
Bdk., Heitink, Teologi Praktis, 37.
13
3
1977, 1979, 1983, 1994, 1996, 1997, 1999.15 Pengalaman yang sama juga terjadi di Kalteng,
lebih dari 18 kali konflik; tahun 1972, 1982, 1983, 1996: 2 kali, 1997:2 kali, 1998, 1999: 4
kali, 2000: 3 kali, 2001 terbesar dan meluas di seluruh Kalteng.16
Telah banyak pendapat yang membicarakan tentang sebab-musabab fenomena konflik
antara etnis Dayak dan etnis Madura. Syarif Alqadrie,17 menyimpulkan telah terjadi
marjinalisasi dalam konteks peranan sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Dalam konteks ini,
orang Dayak diasumsikan tidak mendapatkan keadilan dari sistem yang ada, sehingga
melampiaskan kejengkelan terhadap orang Madura. Namun persoalannya adalah, sulit
memahami hubungan langsung perlawanan etnis Dayak akibat marjinalisasi dan hubungannya
terhadap etnis Madura. Dengan kata lain, mengapa etnis Madura yang menjadi kambing-hitam
sebagai sasaran pelampiasan kemarahan etnis Dayak? Pendapat lain, seperti diungkapkan
Djuweng dan Soelaiman,18 lebih menekankan adanya perbedaan latar belakang budaya antara
etnis Dayak dan etnis Madura. Baik Dayak maupun Madura, sama-sama memelihara dan
mempertahankan identitas kultural etnis mereka. Artinya, baik Dayak maupun Madura
menempatkan kelompok etnis mereka sebagai “wadah” sosial untuk membentuk identitas
kulturalnya yang saling berbeda sehingga muncul pemicu konflik di antaranya.
Dalam tulisan ini, penulis akan menelusuri dan memahami akar penyebab konflik
antara orang Dayak dan orang Madura dalam perspektif relasi kultural. Ada banyak dimensi
dalam sebuah budaya, salah satu dimensi tersebut adalah bagaimana seseorang, kelompok
15
Edi Petebang, Sejarah Perang Suku di Kalimantan Barat; dalam Majalah Kalimantan Review, (Pontianak,
IDRD, 1999), Edisi Oktober, No. 50, 10.
16
Usop dan Bahing Jimat, “Kronologis Sejarah Konflik Etnis Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah”, dalam :
Tim Investigasi (peny) Konflik Etnis Sampit: Kronologis, Kesepakatan Aspirasi Masyarakat, Analisis, Saran
(Palangkaraya, LMMDDKT, 2001), 26.
17
Giring, Citra Madura di Mata Dayak, Dari Konflik Ke Rekonsiliasi, ( Yogjakarta, Galang, 2004 ), h, 1 – 3.
18
Situmorang (ed), Sisi Gelap Kalimantan Barat: Perseteruan Etnis Dayak-Madura, (Pontianak, ISAI & IDRD,
1999) 163, 172.
4
tertentu berhubungan (membangun relasi) dengan orang, kelompok lain. Bentuk relasi yang
dibangun seseorang dengan orang lain bukanlah tanpa dasar yang sama sekali kosong.
Ada dua aspek yang mendasari bagaimana seseorang membangun relasi dengan orang
lain. Pertama, aspek eksternal yaitu pengaruh pengetahuan yang diperoleh seseorang,
kelompok tertentu sebagai reaksi atas gambaran sikap dan tindakan orang, kelompok lain
selama bergaul. Kedua, aspek internal yaitu pengaruh pengetahuan seseorang, kelompok
tertentu atas sistem nilai budaya yang bersangkutan. Intinya, relasi sosial antar seseorang,
kelompok tertentu dengan orang, kelompok lain akan sangat dipengaruhi oleh; baik,
pengetahuan sebagai reaksi atas sikap dan tindakan yang dilakoni oleh pihak lain terhadap
dirinya, maupun pengaruh pengetahuan atas nilai-nilai budaya masyarakat yang bersangkutan.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka hubungan pergaulan antar seseorang, kelompok
tertentu dengan orang, kelompok lain dalam masyarakat majemuk, relasi sosial sebagai titik
temu dan titik tengkar antar orang, kelompok yang berbeda. Menurut Tridayakisni melalui
relasi sosial, bukan hanya terjadinya pertemuan antar orang, kelompok yang berbeda, tetapi
juga pertemuan antar nilai, tradisi yang dianut masing-masing pihak tersebut.19 Dalam
pertemuan tersebut, terjadinya proses menilai dan dinilai, sehingga kategori baik atau buruk
seseorang, kelompok tertentu, serta nilai-nilai yang dianutnya segera diketahui oleh orang,
kelompok lainnya.
Dalam konteks di atas, maka relasi sosial berkaitan dengan pengetahuan, sikap, dan
tindakan. Pengetahuan berkaitan dengan “tahu”, “mengerti” setelah melihat, mengalami, dan
menyaksikan.20 Artinya pengetahuan akan segala sesuatu diperoleh melalui apa yang dilihat,
dialami dan disaksikan. Melihat menggambarkan adanya perhatian atau memberikan perhatian
19
20
Bdk., Tridayakisni, dkk, Psikologi Lintas Budaya: Realitas Pertemuan Budaya, (Malang, UMM-Press 2002), 2.
Peter dan Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta, Modern English Press, 1991), 1507.
5
kepada sesuatu.21 Dengan melihat akan menyadarkan kita tentang sesuatu. Kesadaran kita akan
sesuatu akan semakin mendalam ketika kita juga mengalami, atau ketika kita menyaksikan
sesuatu tersebut terjadi pada orang lain. Sikap berkaitan dengan “pendapat” atau “pendirian”
tertentu22 yang mendahului tindakan. Pendapat adalah buah pikiran, anggapan, atau prakiraan,
yang kita simpulkan atas sesuatu. Itu berarti, sikap adalah keyakinan yang diasosiasikan secara
afektif (bagaimana perasaan seseorang tentang sikapnya), dan meliputi unsur kognitif, artinya
keyakinan-keyakinan apa yang ada pada seseorang tentang sikapnya23. Tindakan, berkaitan
dengan perbuatan, aksi, atau sesuatu yang kita kerjakan.24 Dengan demikian, tindakan
merupakan tanggapan spontan didasarkan pada pengetahuan dan sikap yang telah terbentuk.25
Dalam konteks di atas, relasi sosial dapat dipahami sebagai, hubungan pergaulan antar
individu, kelompok tertentu didasari atas: pengetahuan, sikap, dan tindakan terhadap orang,
kelompok lain, yang diperoleh melalui; apa yang mereka lihat, alami, dan saksikan, selama
dalam pergaulan yang terjadi di tempat umum. Tempat umum adalah sebuah ruang fisik (pasar,
jalan, tempat kerja, tempat hiburan, dan sebagainya) yang dipergunakan bagi kegiatan bersama,
baik secara pribadi, kolektif, dan bersama, untuk pemenuhan ekonomi, politik, sosial, dan
budaya.26 Pengetahuan, sikap dan tindakan tertentu, terhadap orang, kelompok tertentu, oleh
orang atau kelompok dari etnis lain, akan mempengaruhi pola-pola sikap dan tindakan tertentu
ketika relasi terjadi. Berkaitan dengan fokus perhatian tulisan ini yakni rusaknya relasi antara
etnis Dayak dan etnis Madura, maka akan dipahami lebih mendalam tentang, pengetahuan,
sikap dan tindakan apa saja yang mewarnai relasi antar keduanya selama ini?
21
Bdk., John Paul Lederach, Transformasi Konflik, Sebagaimana diterjemahkan oleh Daniel K. Listijabudi,
(Yogyakarta, PSPP-UKDW, Duta Wacana University Press, 2005), 17.
22
Peter dan Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, 1991, 1442.
23
Suwarsih, Stereotipe Etnis Dalam Masyarakat Multietnis, ( Yogyakarta, Mata Bangsa, 2002), 62-63.
24
Peter Salim , Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, 1617.
25
Bdk., Suwarsih, Stereotipe Etnis Dalam Masyarakat Multietnis, 79.
26
Parsudi Suparlan “Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antar Suku Bangsa”, dalam Wibowo (ed), Reintropeksi
dan Rekontekstualisasi Masalah Cina, ( Jakarta, Gramedia, 1997), 49.
6
Dalam relasi antar orang, kelompok, dan etnis tertentu, juga dipengaruhi oleh
pengetahuan yang dianut atas nilai-nilai kulturalnya. Artinya relasi antar etnis yang berbeda,
dipengaruhi oleh sistem nilai budaya (sistem suku) masing-masing pihak yang bersangkutan.27
Hal itu disebabkan, setiap orang, kelompok dari masing-masing suku memiliki sistem sebagai
acuan dan pedoman baik nilai maupun tradisi yang dianut. Menurut Albert Rufinus, nilai-nilai
budaya yang dianut tersebut mencerminkan pada totalitas hidup, misalnya cara berpikir,
berperasaan, bertingkah-laku, hubungan sosial, baik dengan sesama, alam maupun ilahi.28
Dalam nilai-nilai tersebut terkandung kaidah sosial yang berfungsi sebagai kontrol sosial.
Kaidah sosial (nilai adat-budaya) dalam
masyarakat merupakan ketentuan-ketentuan dan
peraturan umum tentang sikap hidup manusia yang menurut penilaian baik atau buruk dalam
masyarakat.
Dalam konteks itu, budaya dipahami sebagai pengetahuan yang diperoleh, yang
digunakan untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial.29
Artinya, nilai budaya yang dianut oleh etnis tertentu, akan mempengaruhi pengetahuan, sikap,
dan tindakan etnis tersebut dalam membangun hubungan dengan warga dari etnis lain.
Berkaitan dengan relasi kultural antara etnis Dayak dan Madura, kajian ini tidak membahas
budaya secara luas, melainkan hanya mencermati sub budaya tertentu yang mewarnai relasi
antar keduanya, dan terkait dengan akar konflik. Untuk itu, kultur kekerasan tersebut dan
unsur-unsurnya akan dipahami maknanya sesuai dengan lingkungan sosial budaya masyarakat
yang bersangkutan.30 Pertanyaannya adalah tradisi dan nilai apa yang dianut oleh baik etnis
27
Parsudi Suparlan, Masyarakat Majemuk dan Hubungan Antar Suku Bangsa, 50.
Albert Rufinus, “Budaya Dayak” dalam Nicoandasputra (ed), Mencermati Dayak Kanyatn, (Pontianak, IDRD,
1997), 55.
29
Bdk., Spradley, “Foundations of Cultural Knowledge”, dalam Culture, and Cognitions Rules, Maps and Plan,
(San Fransico, Chandler Publishing Company, 1972), 9.
30
Latif Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, (Yogyakarta, LkiS, 2002), 9.
28
7
Dayak maupun etnis Madura dalam relasinya selama ini, sehingga menyebabkan terjadinya
konflik berulang kali?
Menurut Usop,31 dalam rangka menjalin relasi dengan orang, kelompok lain, warga dari
etnis Dayak selain sangat menjunjung tinggi nilai adat-budaya, juga menganut nilai
keterbukaan, ramah-tamah, cinta damai, dan suka mengalah. Artinya, etnis Dayak dalam
relasinya sangat terbuka kepada siapapun. Keterbukaan dalam bergaul, juga diiringi sifat
polos, ramah, dan suka memendam perasaan terhadap orang lain. Keterbukaan dalam relasi
bisa terjadi dengan siapapun, termasuk dengan etnis Madura. Bahkan menurut Simal Penyang,
nilai keterbukaan, keramah-tamahan, cinta damai dan suka mengalah dalam berelasi dengan
siapapun sudah berlaku sejak tradisi rumah panjang.32
Nilai-nilai tersebut bukan hanya dianut, melainkan juga membentuk pengetahuannya
tentang bagaimana seharusnya membangun relasi dengan pihak lain. Namun, walaupun orang
Dayak bersikap terbuka, ramah-tamah, cinta damai dan suka mengalah kepada siapapun, jika
nilai-nilai kultural yang dijunjung tingginya itu kemudian dilanggar oleh pihak lain (salah satu
warganya dilukai sampai mengeluarkan darah, tewas, dan pelakunya tidak taat terhadap adat
yang berlaku) maka semua komponen suku Dayak akan melawan siapapun yang melecehkan.
Catatan sejarah peradaban masyarakat Dayak telah menujukkan, dalam rangka
membela dan melawan pihak-pihak yang melecehkan nilai-nilai dan harga diri dalam relasi,
masyarakat Dayak pernah menganut tradisi kekerasan kayau-mengayau.33 Mengayau adalah
tindakan kekerasan dengan membunuh orang yang dianggap sebagai musuh yaitu memenggal
kepala dan mengambil tengkoraknya. Tindakan pengayauan akan dilakukan dalam masyarakat
31
Amu Linu (ed), Majelis Adat Dayak Kalteng Menjawab Tantangan Terjadinya Kerusuhan di Kalimantan
Tengah, Edisi kedua, (Palangka Raya, PPKD-LP Unpar, 2002), 55 – 69.
32
Amu Linu, (ed), Majelis Adat Dayak, 41.
33
Edi Petebang, Dayak Sakti: Mengayau, Tariu, dan Mangkok Merah, ( Pontianak, IDRD, 1998), 1-2.
8
Dayak, apabila ada warga suku Dayak yang luka, terbunuh (tewas) secara sia-sia oleh pihak
luar. Dalam konteks itu,
pelaku bukan hanya melukai atau membunuh, melainkan juga
dianggap telah melanggar nilai-nilai luhur yang berlaku. Dengan demikian, pelaku
pembunuhan bukan hanya dianggap sebagai ancaman atau musuh, tetapi juga diyakini telah
melecehkan dan melanggar nilai adat suku Dayak yang terbuka, ramah-tamah, cinta damai dan
suka mengalah.
Untuk menegakkan kembali nilai-nilai luhur yang dianut dan kehormatan suku yang
telah dilecehkan oleh pihak luar, maka tindakan mengayau dapat dilakukan. Artinya, salah satu
motif dari tradisi kayau erat kaitannya dengan balas dendam, terutama apabila ada warganya
yang terluka atau tewas secara sia-sia oleh pihak luar.34 Namun, tindakan mengayau bukan
semata-mata untuk membalas dendam tetapi juga sebagai bentuk penegakkan kembali nilainilai luhur yang telah dijadikan standar ukuran dalam relasi sosial. Intinya anggapan telah
terjadinya pelecehan terhadap nilai yang dianut bisa menjadi alat pembenar untuk melakukan
tindakan pengayauan.
Sasaran pengayauan biasanya adalah orang, kelompok, suku tertentu yang dianggap
sebagai musuh. Kata musuh menunjukkan pada orang, kelompok, yang telah menodai dan
melecehkan nilai-nilai hidup bersama yang dianut oleh orang Dayak, misalnya melakukan
pembunuhan terhadap salah satu warga Dayak, kemudian tidak patuh terhadap hukum adat
yang berlaku. Pertanyaannya adalah, apakah etnis Dayak menilai bahwa etnis Madura dalam
relasinya selama ini dominan nyata telah melecehkan nilai-nilai yang dianutnya, sehingga
memaksa orang Dayak yang sebelumnya bersikap terbuka dan ramah-tamah tiba-tiba berubah
menjadi ganas dan beringas yang disertai aksi-aksi kekerasan seperti dalam relasi sosial
selama ini?
34
Edi Petebang, Dayak Sakti, 16
9
Menurut Edi Petebang, tradisi kekerasan kayau-mengayau dalam masyarakat Dayak
sebenarnya sudah secara resmi dihentikan melalui “Perjanjian Tumbang Anoi” di Kalimantan
Tengah pada tahun 1894.35 Sejak perjanjian tersebut, tidak dibenarkan lagi adanya tradisi
memburu kepala, perbudakan (kayau) dalam masyarakat Dayak. Unsur-unsur yang mendorong
terjadinya pengayauan, misalnya balas dendam, tidak seharus dibayar dengan nyawa atau
darah, cukup dengan mematuhi penegakan adat yang berlaku. Namun Usop juga mengakui,
jika kelangsungan hidup suku Dayak terancam oleh kekuatan luar karena nilai-nilai yang
dijunjung tinggi dilecehkan, dan penegakan adat tidak dipatuhi, maka semangat mengayau
akan muncul.36
Sejak masuknya agama resmi, misalnya Kristen, Islam dan faktor pendidikan terhadap
orang Dayak, budaya kayau sudah ditinggalkan. Bahkan Ukur mengatakan, masuknya agama
Kristen sangat besar pengaruhnya dalam mempengaruhi suku Dayak untuk tidak lagi
meneruskan tradisi kayau, dan perbudakan.37 Itu berarti pada saat ini, masyarakat Dayak yang
berpendidikan dan menganut agama resmi tidak menganut budaya kayau. Pertanyaannya,
mengapa semangat kekerasan kayau muncul kembali dalam konteks relasi antara etnis Dayak
dan etnis Madura?
Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk menelusuri pula perspektif orang Madura
dalam membangun relasi sosialnya dengan pihak lain. Latief Wiyata38 menegaskan, dalam
tradisi masyarakat Madura, relasi sosial antar sesama dikenal dalam dua istilah penting, yaitu
“bala” atau pertemanan dan “moso” atau musuh. Moso adalah seseorang, atau kelompok yang
35
Amu Linu (ed), Majelis Adat Dayak, 3.
Amu Linu (ed), Majelis Adat Dayak, 25 – 27.
37
Lihat F, Ukur, Tantang Djawab Suku Dajak, ( Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1971), 81; bdk., Ukur, Tuaiannya
Sungguh Banyak: Sejarah Gereja Kalimantan Evangelis Sejak Tahun 1835, ( Jakarta, BPK Gunung Mulia,
2000), 145.
38
Latief Wiyata, Carok, 61- 62.
36
10
dianggap musuh dan harus dibunuh. Kalimat harus menunjukkan kepastian, kapanpun (cepat
atau lambat) pembunuhan terhadap orang yang dianggap musuh pasti dilakukan. Menurut
Latief, moso terbagi dua: moso dalem yaitu musuh dari lingkungan keluarga sendiri dan moso
lowar adalah musuh yang tidak mempunyai ikatan apapun. Baik moso dalem ataupun moso
lowar, masih dibedakan lagi menjadi moso mata dan moso ate. Moso mata adalah seseorang
atau kelompok tertentu yang dianggap sebagai musuh diakui secara terang-terangan sehingga
pembunuhan dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja. Moso ate adalah seseorang,
kelompok yang dalam pergaulan sehari-hari tidak secara terang-terangan dianggap musuh,
bahkan sebaliknya diperlakukan seolah-olah sebagai teman (kanca rapet). Dalam suasana ini,
orang yang dianggap sebagai musuh dibuat agar tidak menyadari, bahwa jiwanya terancam.
Dalam situasi lengah (korban tidak siap senjata, tanpa menyadari), maka pembunuhan dapat
dilakukan.39 Pembunuhan terhadap seseorang yang dianggap sebagai musuh dalam masyarakat
Madura dikenal dengan istilah carok.
Carok dimulai
dengan cara “nyekep” yaitu kemana saja selalu membawa senjata
tajam.40 Pelaksanaan carok bisa dengan “nyelep” yaitu dengan cara sembunyi, main
belakangan, atau cara curang; calon korban tidak menyadari bahwa, yang bersangkutan akan
diserang atau dibunuh.41 Carok juga bisa dengan cara “ngonggai” yaitu terbuka atau sportif;
artinya kedua belah pihak yang akan terlibat carok, sama-sama mempersiapkan diri, baik
dalam hal senjata, maupun bantuan teman atau apagar.42 Pertanyaannya, apakah etnis Madura
yang ada di Kalimantan, khususnya di Sampit, menganggap etnis Dayak sebagai moso mata
39
Latief Wiyata, Carok, 61.
Latief Wiyata, Carok, 169.
41
Latief Wiyata, Carok, 170.
42
Latief Wiyata, Carok, 169-175.
40
11
atau moso ate, sehingga tradisi carok cenderung dikedepankan ketika terjadi persoalan dalam
berelasi?
Menurut Nagian Himawan,43 tidak semua warga Madura menerima budaya carok,
terutama golongan terdidik dan agamawan. Ada tiga golongan dalam masyarakat Madura.
Pertama, santri adalah golongan terdidik, dan agamawan. Golongan ini menentang adanya
budaya kekerasan carok. Kedua, golongan bleter, adalah kelas menengah (pendidikan: SMP /
SMA) golongan ini masih mudah diatur dan masih bisa membedakan mana yang baik dan
jahat. Ketiga, adalah beijing / bajingan, adalah golongan kebanyakan dalam masyarakat
Madura. Golongan beijing rata-rata tidak terdidik (buta huruf, tidak tamat SD) dan tidak taat
dengan ajaran agama. Kecenderungan sebagian dari golongan beijing suka ulah kriminal
seperti judi, mabuk, mencuri, temperamental, dan mudah naik pitam. Perilaku yang keras,
kasar, temperamental itulah yang mengakibatkan kerusakan relasi dengan orang lain.
Persoalannya adalah, ketika terjadinya gesekan sosial (perkelahian, rebutan bisnis, perempuan)
dalam relasi sosial dengan warga dari etnis lain (Dayak) penyelesaiannya selalu
mengedepankan cara-cara kekerasan seperti tradisi carok. Tradisi carok digunakan dalam
rangka mempertahankan harga dan kehormatan diri, karena mungkin saja pada saat terjadinya
gesekan sosial itu, oknum (Madura) yang bersangkutan merasa dipermalukan, dilukai hatinya
misalnya ditegur di depan umum.44
Menurut Nagian, kebanyakan warga Madura yang berada di Kalimantan adalah dari
golongan beijing.45 Dalam bekerja golongan ini tidak mengutamakan pekerjaan yang bersyarat
43
Hasil wawancara penulis dengan Nagian Himawan (Tokoh Mahasiswa Madura) di Pontianak, tanggal, 6 April
1999, dapat dilihat dalam: Paulus Ajong, “Konflik Dayak – Madura di Kalimantan Barat: Suatu Kenyataan dan
Tantangan bagi Rekonsiliasi”: dalam Nancy Souisa (ed) Geliat berpikir Mahasiswa Teologi dari Barat hingga
Timur, (Jakarta, PERSETIA, 2002), 34; bdk., Nagian Himawan, “Orang Madura di Mata Madura”: dalam, Edi
Petebang, Sutrisno, Konflik Etnik di Sambas, ( Jakarta, ISAI, 2000), 33 – 35.
44
Latif Wiyata, Carok, 232.
45
Nagian Himawan, Kalimantan Review, (Pontianak, Edisi, April 1999), 34.
12
akademis tertentu, melainkan pekerjaan yang mengandalkan otot atau tenaga. Hasilnya adalah
kebanyakan para perantau Madura di Kalimantan terutama dari golongan beijing ini menguasai
pekerjaan menengah ke bawah. Pada saat bersamaan, warga Madura tersebut akan bersentuhan
langsung dengan penduduk setempat yang juga menekuni tingkatan pekerjaan yang sejajar.
Persoalannya akan muncul ketika warga Madura yang bersentuhan langsung dengan penduduk
lokal adalah kebanyakan golongan beijing yang masih kental tradisi carok. Kebiasaan budaya
carok inilah yang diyakini salah satu penyebab utama konflik antar kedua belah pihak terjadi
terus-menerus, termasuk konflik dasyat antara etnis Dayak dan etnis Madura pada tahun 2001
di Sampit.
Konflik Sampit tahun 2001 tetap meninggalkan dampak. Dampak konflik antara etnis
Dayak dan etnis Madura selain jatuhnya korban jiwa-raga, musnahnya harta benda di kedua
belah pihak yang jumlah korban sulit dipastikan, pengungsi besar-besaran, juga berdampak
pada relasi sosial antar kedua etnis di masa mendatang.46 Dalam tulisan ini hanya
memfokuskan pada dampak konflik bagi relasi sosial antar kedua etnis tersebut di masa depan,
secara khusus pasca pengembalian pengungsi Madura ke tempat semula yaitu di Kalimantan.
Ada beberapa dampak negatif bagi relasi sosial antar kedua belah pihak di masa
mendatang. Pertama, adanya perasaan kebencian yang mendalam antara Dayak dan Madura
pada tingkat arus bawah. Kedua, adanya perasaan saling ketidakpercayaan baik pihak Dayak
terhadap pihak Madura, maupun ketidakpercayaan pihak Madura terhadap pihak Dayak.
Ketiga, munculnya rasa kesukuan yang tinggi baik di pihak Madura maupun di pihak Dayak.47
46
Jumlah Madura di Kalteng sebelum konflik hingga th 1999: 117.000 orang dari total 1. 7 juta populasi
keseluruhan di Kalteng hingga th 2000. Pengungsi Madura akibat konflik Sampit mencapai 56.000, sebagian
besar sudah dikembalikan ke Sampit bulan September 2004. Sisa yang masih berada di Madura hanya 13.000
pengungsi, dalam, Koran Tempo “Menyunat Dompet Pengungsi Sambas”, 2 Februari 2005, 16.
47
Human Rights Watch Asia, Konflik Etnis Di Kalimantan Barat, (Jakarta, Institut Studi Arus Informasi, 1998),
4.
13
Dampak tersebut semakin mewarnai rusaknya relasi sosial antara warga Dayak dengan warga
Madura selanjutnya. Sejalan dengan rusaknya relasi, maka semakin menimbulkan kebencian
dan dendam antar keduanya, yang turut mengentalkan sentimen dan solidaritas atas nama suku.
Mengentalnya segregasi (pemisahan) atas dasar suku,
akan merenggangkan ikatan-ikatan
persaudaraan sebagai sesama manusia. Kondisi demikian menjadi bom waktu yang siap
meledak kapanpun, apabila dalam relasi kembali antar kedua belah pihak terjadinya gesekan
sosial atau pemicu misalnya terjadinya perkelahian, perebutan lahan usaha, masalah
perempuan, pencurian, dan sebagainya yang melibatkan warga dari kedua belah pihak.
Selain adanya fakta-fakta konflik dan dampak negatifnya bagi hubungan kedua etnis
di atas, saat ini juga ada fakta bahwa, baik pemerintah pusat maupun daerah (Pemda Sampit)
menginginkan agar para pengungsi segera dikembalikan ke tempat semula yakni daerah tempat
terjadinya konflik. Begitu juga para pengungsi etnis Madura yang berada di pengungsian,
berkeinginan keras untuk segera kembali ke tempat asalnya yakni di Kalimantan Tengah,
khususnya Sampit. Pada saat ini, keinginan tersebut sudah dilaksanakan, dengan pengembalian
pengungsi etnis Madura yang ada di pengungsian (Jawa Timur) ke Kalimantan Tengah.
Bahkan sejak September 2004 sebagian besar pengungsi Madura sudah kembali ke daerah asal
seperti di Sampit (pengungsi yang belum kembali tersisa 13.000 dari 56.000 jiwa).48 Dengan
kembalinya para pengungsi Madura ke Sampit berarti relasi sosial antara warga Dayak dan
warga Madura selanjutnya pun akan terjadi. Pertanyaannya adalah, akankah konflik yang
ditandai aksi-aksi kekerasan kembali terjadi di masa depan?
Dalam konteks persentuhan kembali, tidak menutup kemungkinan masing-masing
pihak, baik Dayak maupun para pengungsi Madura dalam membangun relasi sosial selanjutnya
masih dipengaruhi pengetahuan, sikap dan tindakan seperti pada saat pra konflik. Kondisi
48
Koran Tempo, Menyunat Dompet Pengungsi Sambas, 2 Februari 2005, 16.
14
relasi sosial selanjutnya masih ibarat bara dalam sekam. Artinya relasi sosial selanjutnya
masih mengandung kerawanan terjadinya pengulangan konflik dan aksi kekerasan, terutama
apabila adanya pemicu atau gesekan sosial dalam masyarakat. Padahal sulit dijamin apabila
gesekan sosial dalam relasi selanjutnya tidak akan terjadi. Gambaran tersebut, menunjukkan
adanya massa mengambang akan kepastian masa depan yang rawan provokasi dan isu,
sehingga memungkinkan aksi-aksi kekerasan tetap terjadi.49 Berdasarkan gambaran di atas,
pertanyaannya adalah, darimana dan bagaimana seharusnya memulai relasi sosial antar kedua
etnis tersebut di masa mendatang agar lebih positif?
Dalam konteks itu, relasi sosial antar keduanya pasca konflik tetap menjadi tantangan
yang masih berpotensi terjadinya pengulangan konflik apabila ada pemicu. Namun pada saat
yang bersamaan, terjadinya relasi kembali antar kedua etnis tersebut juga sebuah kesempatan
besar.50 Kesempatan dimaksud karena terbukanya kemungkinan untuk membangun relasi baru
yang lebih positif di masa depan. Relasi baru yang positif itu sangat tergantung pada masingmasing pihak; apakah mau belajar dari kesalahan masa lalu, kemudian terbuka mengoreksi dan
membaharui kesalahan tersebut dalam relasi sosial selanjutnya?
Berdasarkan harapan di atas, membangun relasi sosial yang lebih positif antar kedua
belah pihak pasca konflik merupakan tantangan bagi semua pihak, termasuk Gereja
Kalimantan Evangelis (GKE). Hal itu mengingat, GKE ditempatkan dan menempatkan diri di
tengah-tengah fakta adanya kecenderungan aksi-aksi kekerasan yang mewarnai persentuhan
antara warga Madura dengan warga Dayak, termasuk di antaranya adalah anggota jemaat
49
Menurut pengalaman konflik etnis Dayak dan etnis Madura di Kalimantan Barat, pernah diadakan perdamaian
bahkan ada tugu perdamaian di Samalantan, sebagai simbol tidak ada lagi permusuhan antar ke dua suku tersebut,
namun simbol perdamaian tersebut juga menjadi saksi kehancuran hubungan kedua suku, dengan pecahnya
konflik dasyat tahun 1996-1997. Hal tersebut, akibat kurangnya persiapan, pemulihan dampak psikologis:
dendam, emosi, benci, tidak percaya di antara kedua suku terkait. Bdk., Edi Petebang, Konflik Etnik, (Pontianak,
ISAI, 2000), 94.
50
Bdk., Psykologi Sosial Lintas Budaya Tri Dayakisni, 2.
15
GKE.51 Pertanyaan adalah, apa yang harus GKE lakukan dalam rangka memberi sumbangan
untuk membangun relasi sosial yang lebih positif di masa depan?
Dalam konteks itu, GKE sebagai gereja yang mengemban misi Allah dalam Yesus
Kristus dan berhadapan langsung dengan kenyataan kerusakan relasi sosial antar sesama,
diharapkan turut memberikan sumbangan pemikiran atau wacana teologis berdasarkan
kehendak Allah. Pemikiran teologis yang diharapkan dalam konteks kerusakan relasi sosial
antar sesama di atas, berkaitan dengan wacana tentang bagaimana “seharusnya membangun
relasional etis dengan orang lain” berdasarkan intisari pengajaran Yesus.
Menemukan dan menawarkan pemikiran teologis di atas adalah tantangan bagi semua
warga GKE, termasuk para pendetanya. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, penulis bukan hanya
berusaha menelusuri akar penyebab kekerusakan relasi sosial antar warga Dayak dan warga
Madura, melainkan juga hendak menawarkan pemikiran teologis, sebagai masukan atau
landasan orientasi relasional etis warga GKE dengan orang lain selanjutnya. Berdasarkan
kepentingan itu, penulis tidak membiarkan wacana teologis tersebut terlepas dari teks-teks
Alkitab. Adapun teks-teks Alkitab yang dijadikan dasar wacana tersebut adalah teks Lukas
10:25-37 sebagai titik konsentrasi dan teks Lukas 6:12-42 sebagai bahan penunjang.
Pertanyaannya adalah, sumbangan makna apa dari intisari pengajaran Yesus tersebut yang bisa
dijadikan masukan bagi warga Dayak GKE dalam membangun relasi sosial selanjutnya?
51
Gerrit Singgih pernah memberikan kritik, terhadap agama Kristen, termasuk GKE karena, di tengah-tengah
konflik etnis yang terjadi, gereja (GKE) tidak memberikan reaksi terhadap konflik, malah ada kesan merujuk
pada tradisi nenek moyang yang diwarisi. Dalam, Gerit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, Berteologi Dalam
Konteks di Awal Milinium, ( Jakarta, BPK, Gunung Mulia, 2004), 140.
16
C. Batasan Masalah
Dalam perumusan permasalahan tesis ini, penulis akan membatasi kajian terhadap etnis
Dayak. Pembatasan ini perlu, mengingat etnis Dayak beraneka-ragam sub-sub suku Dayak
misalnya Dayak Ngaju, Maanyan, Ot Danum, dan sebagainya. Batasan masalah dalam tesis ini
tidak didasari atas nama sub-sub suku tersebut, melainkan dalam hal keyakinan masyarakat
Dayak seperti, Kristen, Katolik, Hindu Kaharingan, Islam. Sasaran kajian sebagai lingkup studi
ini adalah pihak Dayak yang beragama Kristen dan menjadi warga jemaat GKE (Dayak GKE).
Jemaat GKE yang menjadi sampel penelitian juga dibatasi lagi, yakni jemaat GKE Sampit.52
Pengalaman tersebut juga dihubungkan dengan pengalaman kekerasan antara Dayak dengan
etnis Madura tahun 2001 yang terjadi di kota Sampit.
Ada beberapa pertanyaan yang muncul dan harus diteliti berkaitan “relasi” warga
Dayak GKE dengan Madura selama ini. Pengetahuan, sikap dan tindakan apa saja yang dianut
warga jemaat Dayak GKE dalam relasi dengan etnis Madura setelah melihat, mengalami, dan
menyaksikan selama bergaul dengan warga Madura di Sampit?.
Saat ini, pengungsi Madura sudah kembali lagi ke Sampit. Itu berarti terbuka kembali
hubungan pergaulan antara jemaat Dayak GKE dengan etnis Madura. Dalam konteks itu, GKE
Sampit sangat penting dalam memberikan masukan-masukan pengetahuan, sikap, dan tindakan
warga jemaat dalam berelasi. Artinya relasi yang diwujudkan oleh anggota jemaat, bukan
hanya atas dasar nilai dan tradisi masyarakat Dayak yang dianut selama ini, tetapi juga nilainilai keyakinan yang ditanamkan GKE melalui pembangunan jemaatnya.
52
Mengingat luasnya sub-sub suku Dayak, maka tulisan ini hanya mempokuskan pada etnis Dayak yang telah
menjadi warga jemaat GKE. Suku Dayak adalah sebutan umum untuk suku-suku asli yang mendiami pulau
Kalimantan, yang terdiri dari sub-sub suku Dayak, misalnya saja di Kalimantan Barat ada 450 sub-sub suku,
belum lagi sub-suku di Kalimantan Tengah, Selatan dan Timur. Walaupun adanya perbedaan bahasa, namun
kebudayaan secara umum adanya kesamaan: mandau, sumpit, tembikar, dan kedudukan wanita. Dapat dilihat: F.
Ukur, Kebudayaan Dayak: Paulus florus (ed), Budaya Dayak, Pontianak, IDRD, 1992, 126.
17
Sebagai tesis di bidang teologi praktika, penulis akan memusatkan perhatian pada
teologi yang berorientasi pada relasi positif antar sesama sebagai dasar acuan bagi
pembangunan jemaat. Terutama dalam konteks terjadinya relasi kembali warga jemaat Dayak
GKE dengan pengungsi warga Madura yang ada di Sampit. Latar belakang budaya etnis
Dayak, sekaligus pendeta GKE yang dimiliki penulis akan sangat mewarnai cara berpikir
penulis dalam mengangkat permasalahan tesis ini.
Masalah akan dibatasi sebagai berikut:
5. Unsur-unsur apa saja yang dapat dipahami melalui relasi kultural warga Dayak yang
menjadi anggota jemaat GKE Sampit dengan warga Madura, yang mendorong
terjadinya konflik ?
6. Bagaimana hubungan pengetahuan yang dimiliki oleh warga Dayak baik atas nilai-nilai
yang dianutnya, maupun reaksi terhadap sikap dan tindakan warga Madura bisa
dipahami mempengaruhi aksi-aksi kekerasan?
7. Teologi relasi yang bagaimana perlu ditanamkan dalam pembangunan jemaat sebagai
dasar pengetahuan, sikap dan tindakan warga Dayak GKE dalam relasinya dengan
masyarakat sekitarnya termasuk dengan warga Madura selanjutnya?
D. Judul Tesis:
Menguak Bara dalam Sekam:
Suatu Tantangan bagi Pembangunan Jemaat GKE dalam Membangun Relasi Positif
Pasca Konflik Etnis Dayak-Madura di Sampit
18
E. Hipotesis
5.1.Adanya kesamaan kultur kekerasan antara kedua etnis dalam relasinya selama ini,
seperti: tradisi carok dalam masyarakat Madura, dan semangat mengayau dalam
masyarakat Dayak. Konflik destruktif akan terjadi, ketika dalam pemenuhan ekonomi,
sosial, budaya, yang terjadi di tempat umum, masing-masing pihak dalam tawarmenawarnya, menonjolkan simbol-simbol, atribut budayanya untuk menilai dan dinilai.
Mengangkat atribut, simbol khas masing-masing suku akan meraih sentimen kesukuan,
apalagi dikaitkan dengan harga dan kehormatan diri yang seolah-olah telah dinodai dan
dirusak oleh pihak lawan.
7.0. Adanya kecenderungan warga Dayak menjadikan pengetahuannya atas nilai-nilai yang
dianut sebagai tolok ukur dalam menilai sikap dan tindakan warga Madura yang
berdampak pada pembenaran diri.
7.0. Pemahaman subjektif dan saling curiga akibat buruknya komunikasi antar kelompok
Dayak dan kelompok Madura mempengaruhi buruknya relasi sosial antar kedua
kelompok.
F. Tujuan Penulisan
Tesis ini ditulis dengan tujuan agar GKE secara umum, dan GKE Sampit secara khusus
menjadi lebih sadar dan peka terhadap konteks kegelisahan atas rusaknya relasi sosial antar
etnis akibat konflik yang kerapkali terjadi di Kalimantan. Kesadaran GKE selama ini untuk
menciptakan suasana dan relasi damai, dengan dilaksanakan berbagai kegiatan seperti seminar,
lokakarya, dan pelatihan tentang perdamaian merupakan langkah positif. Namun kesadaran
tersebut jangan hanya berhenti dalam taraf kegiatan formal (seminar, lokakarya) saja,
19
melainkan harus diwujudnyatakan dalam bentuk pemberdayaan ke dalam pula yang diarahkan
kepada anggota jemaatnya secara konkret. Pemberdayaan dimaksud seperti mencari,
menemukan dan menjemaatkan pemikiran atau wacana teologis yang bisa menguatkan iman
umat pasca konflik, sekaligus bisa dijadikan pegangan mantap dan masukan bagi pengetahuan,
sikap dan tindakannya dalam membangun relasi sosial yang positif selanjutnya.
Wacana teologis tentang relasi positif tersebut diharapkan bisa menjadi “roh” gereja
dalam membangun jemaatnya. Hasil yang diharapkan adalah anggota jemaat GKE menemukan
dan terhisap dalam ruang kesadaran tentang pentingnya menjalin relasi dengan semua orang,
tanpa pandang bulu secara positif berdasarkan kesadaran imannya. Untuk itu kesadaran
pembangunan jemaat yang menekankan relasi positif dan berlaku bagi semua manusia menjadi
penting. Kesadaran tersebut atas dasar bahwa setiap persoalan yang terkait pada anggota
jemaat dan masyarakat, tidak bisa dipisahkan dari pembangunan jemaat sekaligus merupakan
tanggung-jawab gereja untuk memberikan masukan pelayanan secara benar. Dalam konteks
itu, barulah peran gereja bukan hanya menjadi fasilitator atau subyek perdamaian, melainkan
telah memberdayakan warganya, sehingga umat atas kesadarannya kemudian menjadi pelaku
yang menghadirkan nilai perdamaian pula di tengah-tengah kerusakan relasi sosial antar
sesama.53
Harapan penulis melalui tesis ini adalah, pikiran dan wacana yang belum muncul di
kalangan anggota jemaat GKE dari etnis Dayak mengenai konsep relasi positif menjadi lebih
terbuka. Jika hal ini dibangun, maka GKE dapat memberikan masukan; kritik dan perbaikan
yang sangat berharga terhadap semua komponen terkait seperti; warga Dayak, warga Madura,
lembaga adat, lembaga agama, lembaga pendidikan, dan aparat pemerintah.
53
Rob van Kessel, 6 Tempayan Air, 7.
20
G. Kerangka Teoritis
Setiap orang, kelompok, memiliki kompleksitas motivasi.54 Motivasi tersebut distimuli
oleh dua sistem hasrat (appetitive system) mendasar yang ada dalam setiap manusia.55 Stimuli
dari salah satu hasrat ini menghasilkan perasaan gembira, kepuasan, dan cinta. Stimuli hasrat
lainnya menghasilkan sensasi kecemasan, teror dan kemarahan. Dengan demikian, motivasi
setiap orang, kelompok mengarah pada bagaimana mencapai kegembiraan, kesenangan, dan
kepuasan, dan di sisi lain, bagaimana menghindari diri dari perasaan sebaliknya.56
Dua kehendak mendasar di atas, akan selalu mempengaruhi seseorang, kelompok,
untuk mengetahui, bersikap dan bertindak terhadap dunia: baik dalam konteks hubungannya
dengan alam, maupun hubungannya dengan sesama. Artinya, seseorang, kelompok, selalu
didorong untuk mengetahui segala sesuatu, bersikap dan melakukan (bertindak) sesuatu; baik
untuk mencapai sesuatu yang membawa kegembiraan, kepuasan maupun didorong untuk
menghindari sesuatu yang bisa membawa pengaruh buruk bagi dirinya.
Dengan demikian mengetahui, bersikap dan bertindak merupakan suatu proses yang
berada pada tataran kognisi. Pengetahuan disimpan dan diproses dalam pikiran.57 Proses-proses
kognisi (pengetahuan, persepsi, dan bentukan konsep) seseorang mempengaruhinya
beradaptasi dengan lingkungan.58 Sama halnya pengetahuan, bersikap juga berada dalam
tataran kognisi. Sikap-sikap seseorang, sekelompok orang, dikonstruksikan oleh berbagai
54
Ted Robert Gurr, “Deprivasi Relatif dan Kekerasan” dalam Thomas Santoso (ed), Teori-teori Kekerasan,
(Surabaya, Gahlia Indonesia & Universitas Kristen Petra, 2002), 64.
55
Ted Robert Gurr, Deprivasi Relatif dan Kekerasan, 64.
56
Ted Robert Gurr, Deprivasi Relatif dan Kekerasan, 64.
57
Spradley, “Foundations of Cultural Knowledge”, dalam Culture, and Cognitions Rules, Maps and Plan, (San
Fransico, Chandler Publishing Company, 1972), 9.
58
Spradley, Foundations of Cultural Knowledge, 10.
21
pengetahuan kultural yang dimilikinya,59 baik untuk pencapaian segala sesuatu yang bisa
membawa kegembiraan dan kepuasan maupun untuk menghindari diri dari pengaruh buruk.
Pengalaman dari proses mengetahui, bersikap dan bertindak, baik; siginifikasinya untuk
mencapai apa yang diharapkan, maupun signifikasinya menghindari apa yang tidak
diharapkan, biasanya dijadikan nilai-nilai standar bagi seseorang, kelompok selanjutnya.
Menurut Gurr, nilai adalah acuan, obyek, kondisi yang diinginkan serta dipertahankan sebagai
penuntun normatif bagi seseorang, kelompok tertentu, baik untuk mencapai apa yang
diharapkan maupun untuk menghindari apa yang tidak diinginkan selanjutnya.60
Namun persoalannya adalah, lingkungan tempat seseorang, kelompok berada selalu
berubah-ubah, misalnya dalam hubungan dengan alam: semula alam luas dan berlimpah
berubah menipis dan musnah; dalam hubungan dengan sesama: semula populasinya masih
jarang berubah menjadi padat dan majemuk.61 Dalam konteks perubahan tersebut, apa yang
seseorang, kelompok tertentu pelajari dan cocok untuk situasi dan konteks tertentu, belum
tentu selalu cocok untuk situasi dan konteks yang selalu berubah.
Dalam konteks perubahan pada masyarakat majemuk (suku, budaya); relasi tersebut
bukan hanya pertemuan antar orang, kelompok, tetapi juga pertemuan antar sistem nilai-nilai
yang dianut masing-masing suku.62 Artinya, masing-masing etnis akan mengacu pada sistem
nilai suku yang bersangkutan, baik; untuk mencapai apa yang diharapkan (kegembiraan,
kepuasan) maupun untuk menghindari kondisi yang sebaliknya bagi suku yang bersangkutan.
59
Bdk., Warnen, Stereotipe Dalam Masyarakat Multietnik, 79.
Ted Robert Gurr, Deprivasi Relatif dan Kekerasan, 66.
61
Ted Robert Gurr, Deprivasi Relatif dan Kekerasan, 64.
62
Sistem nilai suku adalah tatanan nilai, norma kehidupan yang digunakan oleh warga suku tersebut baik sebagai
pribadi maupun kolektif yang berfungsi sebagai pedoman untuk mencapai apa yang diharapkan (kegembiraan,
kepuasan) maupun untuk menghindari, melindungi diri dari kondisi sebaliknya (kecemasa, teror dan kemarahan).
Nilai tersebut berisikan patokan-patokan etika dan moral yang ideal, aktual dan dioperasikan melalui pribadi,
keluarga, wilayah suku, pemangku adat, oleh warga suku yang bersangkutan.
60
22
Menurut Gurr,63 seseorang, kelompok bisa mengalami kekecewaan atau ketegangan
(frustrasi), apabila pengetahuan, sikap dan tindakan tertentu yang signifikan membawa
seseorang, kelompok tertentu mencapai apa yang diharapkan; dan signifikan membawa mereka
menghindari pengaruh buruk dalam situasi dan konteks tertentu, namun tiba-tiba dengan
pengetahuan, sikap dan tindakan yang sama, ternyata tidak cocok untuk konteks dan situasi
yang berubah.
Kekecewaan atau ketegangan akan muncul, apabila apa yang hendak diharapkan dapat
dicapai, misalnya kegembiraan, kepuasan ternyata tidak terwujud; namun sebaliknya hal-hal
yang tidak diharapkan seperti teror, kecemasan dan ketidakpuasan justru itu yang terjadi.
Intinya, perasaan kecewa dan ketegangan (frustrasi) muncul disebabkan oleh apa yang
diharapkan terjadi (das Solen) tidak terwujud, namun yang terjadi (das Sein) justru yang tidak
diharapkan. Menurut Gurr, seseorang, kelompok tertentu yang berada dalam ketegangan,
biasanya merasakan dirinya berada dalam kondisi sangat tidak menyenangkan. Kondisi
tersebut merupakan sumber fundamental yang memaksa seseorang untuk mengatasi atau
menghindarinya.64 Oleh karena itu, seseorang, kelompok tertentu tersebut, sebisa mungkin
akan menghindari atau mengatasi; bahkan bila perlu dengan cara-cara yang tidak realitas yaitu
agresi-destruktif (penyerangan dengan kekerasan).65 Mengapa demikian?
Alasan cukup jelas, karena proses sosialisasi mengajarkan bahwa, manusia didorong
untuk mencapai stimuli yang membawa kesenangan, kegembiraan dan berusaha menghindari
stimuli yang membawa pengaruh buruk bagi dirinya.66 Tindakan agresi-destruktif merupakan
salah satu cara seseorang untuk menghindari atau melepaskan ketegangan yang dialaminya;
63
Ted Robert Gurr, Deprivasi Relatif dan Kekerasan, 66.
Ted Robert Gurr, Deprivasi Relatif dan Kekerasan, 71.
65
Ted Robert Gurr, Deprivasi Relatif dan Kekerasan, 70.
66
Ted Robert Gurr, Deprivasi Relatif dan Kekerasan, 65.
64
23
terutama ketika ia dipengaruhi oleh stimuli berbahaya secara terus-menerus dalam waktu yang
lama dan tidak dapat dihindarinya dengan cara lain.67
Menurut Gurr dalam konteks relasi antar orang, kelompok tertentu dan orang,
kelompok lain, kondisi ketegangan di atas, bisa dialami oleh salah satu pihak atau semua pihak
di berbagai arena sosial, termasuk di tempat umum. Tempat umum yaitu ruang fisik seperti
pasar, jalan raya, tempat kerja, tempat hiburan dan sebagainya yang digunakan untuk
pemenuhan kebutuhan secara bersama dalam aspek ekonomi, politik, sosial, dan budaya.68
Sistem di tempat umum terbuka bagi para pelaku untuk bertindak dan menempati
posisi-posisi sosial sesuai dengan peranan dan fungsinya. Ciri sistem di tempat umum yang
diutamakan adalah egaliter, kesetaraan-sederajat, dan kemampuan tawar menawar. Dalam
tawar-menawar para pelaku bebas menggunakan kekuatan seperti uang, jasa, fisik, dan sosial.
Pada saat tersebut masing-masing pelaku bebas bersikap dan bertindak berdasarkan sistem
nilai kesukuan masing-masing.69
Dalam konteks di atas, masing-masing pihak yang berbeda, akan bersikap dan
bertindak berdasarkan pengetahuan masing-masing. Pengetahuan tersebut selain bersumber
dari sistem nilai-nilai ideal yang telah dianut oleh masing-masing suku, juga dipengaruhi
rangsangan eksternal yaitu reaksi atas sikap dan tindakan yang diperankan oleh pihak lain.
Bentukan pengetahuan sebagai reaksi dari eksternal tersebut diperoleh melalui apa saja yang
dilihat, dialami, dan disaksi melalui alat indera terhadap pola sikap dan tindakan yang
ditampilkan pihak lain.
67
Ted Robert Gurr, Deprivasi Relatif dan Kekerasan, 70.
Ted Robert Gurr, Deprivasi Relatif dan Kekerasan, 71.
69
Parsudi Suparlan, Reintrospeksi, 53.
68
24
Namun, apa yang dilihat, dialami, dan disaksikan mengalami proses seleksi dan
reduksi.70 Artinya hanya perilaku-perilaku yang sensasional atau mencolok saja yang disimpan
dalam otak atau pikiran. Ketika dalam relasi antar sesama adanya perilaku mencolok seseorang
atau kelompok tertentu (suka menghalalkan segala cara, suka kekerasan) terhadap seseorang
atau kelompok lain, maka perilaku tersebutlah yang direkam dan membentuk gambaran
tentang orang lain. Ketika perilaku orang, kelompok tersebut dominan dilihat, dialami dan
disaksikan oleh orang, kelompok lain, maka perilaku tersebut diidentifikasi sebagai nilai yang
dianut kelompok lain.71 Identifikasi ini muncul atas kesadaran bahwa, masing-masing orang
bersikap dan bertindak tidak terlepas dari pengetahuan yaitu sistem nilai-nilai yang dianutnya.
Ketegangan relasi sosial dalam masyarakat majemuk disadari, apabila salah satu pihak
atau kedua belah pihak menyadari apa yang dikehendaki seperti rasa aman, tenang, damai tidak
tercapai; sebaliknya, kenyataan yang ada justru sebaliknya rasa cemas, teror dan kemarahan.72
Ketegangan semakin meningkat ketika salah satu pihak, bukan hanya berharap bisa mencapai
apa yang dikehendakinya, melainkan juga telah mampu bersikap dan bertindak sesuai dengan
apa yang diharapkannya.73 Intinya, kekecewaan, ketidakpuasan muncul karena; kondisi
tertentu (gembira, senang, puas) yang diharapkan terjadi dan telah mampu ditampilkan ternyata
gagal dicapai (das Solen), dan sebaliknya kenyataan yang terjadi (das Sein) justru kondisi yang
tidak diharapkan seperti perasaan cemas, teror dan ketidakpuasan.74
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kondisi ketegangan yang dialami merupakan
energi penggerak yang bisa mendorong seseorang untuk mengatasi atau mengeluarkan diri dari
70
Tridayakisni, Psykologi Sosial Lintas Budaya, 174 – 175.
Bart, Kelompok Etnik dan Batasannya, 19.
72
Pertemuan antar warga etnis yang berbeda juga pertemuan antar nilai yang dimiliki masing-masing, Bdk,
Tridayakisni, Psykologi Sosial Lintas Budaya, 2.
73
Ted Robert Gurr, Deprivasi Relative dan Kekerasan, 70-75.
74
Ted Robert Gurr, Deprivasi Relative dan Kekerasan, 66.
71
25
kondisi yang tidak diharapkan dengan sekuat mungkin, bahkan dengan agresi-destruktif.75
Agresi-destruktif atau aksi-aksi penyerangan dengan kekerasan fisik akan diarahkan pada
sumber-sumber penyebab; obyek, pihak lain, yang dianggap sebagai sumber penyebab
munculnya kondisi ketegangan. Intinya, penyerangan secara fisik adalah salah satu cara yang
dilakukan oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak untuk melampiaskan energi
ketegangan, kekecewaan dan kemarahan terhadap sumber penyebab.76
Namun, setelah penyerangan secara fisik dilakukan terhadap obyek, pihak lain yang
dianggap penyebab munculnya kondisi yang tidak diinginkan, apa yang diharapkan (gembira,
senang, puas) ternyata tidak juga terjadi; bahkan apa yang dihindari (cemas, teror, marah)
semakin kompleks. Dalam konteks ini, melakukan kekerasan fisik sebagai upaya untuk
menghilangkan atau memusnahkan sumber-sumber penyebab kegagalan untuk meraih apa
yang diharapkan; sekaligus untuk menghindari sesuatu yang tidak diharapkan, ternyata gagal.
Oleh karena itu, pasca aksi kekerasan, jika salah satu atau kedua belah pihak tetap
didorong oleh motivasi untuk mewujudkan kembali harapan untuk mengalami, melihat dan
menyaksikan adanya rasa aman, tenang, gembira di satu sisi; dan harapan untuk bisa keluar
dari kondisi tidak menyenangkan di sisi lain, maka perubahan harus dilakukan oleh semua
pihak. Perubahan harus berpusat pada hakikat mendasar yaitu semua orang, kelompok selalu
berharap agar sesuatu yang menyenangkan, menggembirakan terjadi dan sesuatu yang tidak
menyenangkan dan tidak menggembirakan bisa dihindari.
Dalam konteks di atas, arah perubahan menjadi jelas yaitu seseorang, kelompok
tertentu seharusnya tidak hanya menyadari bahwa dirinya sendiri, kelompok tertentu saja yang
menghendaki rasa aman, tenang, damai, sebab harapan yang sama juga dikehendaki oleh
75
76
Ted Robert Gurr, Deprivasi Relative dan Kekerasan, 65.
Ted Robert Gurr, Deprivasi Relatif dan Kekerasan, 72.
26
orang, kelompok lain juga. Sebaliknya, jika seseorang, kelompok tertentu tidak menghendaki
kondisi buruk terjadi pada dirinya, maka hal serupa juga tidak dikehendaki oleh orang, pihak
lain pula.
Nampak arah perubahan terletak pada bukan hanya menyadari harapan dan kehendak
diri sendiri semata, melainkan juga menyadari bahwa harapan dan kehendak yang sama juga
didambakan oleh orang, pihak lain pula. Dalam konteks inilah masing-masing pihak baru bisa
menemukan “titik temu” yaitu semua orang pada hakikatnya memiliki harapan dan kehendak
yang sama. Pada satu sisi sama-sama menghendaki adanya kegembiraan, kesenangan, dan
kepuasan dan pada sisi lain berusaha menghindari situasi yang tidak dikehendaki (cemas,
teror).
Dalam konteks di atas, jelas harapan dan kehendak bersama tidak mungkin tercapai
tanpa adanya partisipasi semua pihak yang terkait. Partisipasi tersebut paling tidak menyangkut
beberapa hal, pertama: masing-masing pihak harus mengubah paradigmanya, dari semula
hanya menyadari diri sendiri, kelompok tertentu saja, diubah menjadi menyadari orang dan
kelompok lain pula. Artinya, jika pra konflik masing-masing pihak hanya mementingkan dan
menyadari diri sendiri, kelompoknya semata, diubah terbuka dan mau menyadari orang,
kelompok lain pula. Kedua, masing-masing pihak bukan hanya melemparkan kesalahan hanya
pada pihak lain, tetapi juga terbuka dan mau untuk mengoreksi dan memperbaiki diri sendiri
pula. Misalnya, mengoreksi standar nilai yang cocok dalam situasi dan kondisi tertentu, belum
tentu selalu cocok dengan kondisi yang berbeda dan berubah.77 Ketiga, harapan dan kehendak
yang semula hanya diarahkan untuk kepentingan diri sendiri, kelompok tertentu saja, diubah
diarahkan untuk mewujudkan kepentingan bersama. Dengan demikian, harapan dan kehendak
77
Ted Robert Gurr, Deprivasi Relatif dan Kekerasan, 64.
27
mendasar yang didambakan semua orang, akan terwujud apabila melibatkan semua pihak,
dilakukan oleh semua pihak, demi dan untuk semua pihak secara bersama-sama.
H. Metodologi
Untuk menjawab pertanyaan tesis dan hipotesis di atas, secara umum penulis akan
melakukan langkah-langkah sebagai berikut: Langkah pertama studi literatur: buku-buku,
artikel, jurnal, website yang berkaitan dengan topik. Hal tersebut mengingat adanya jarak
waktu dari peristiwa konflik hingga penulisan. Langkah kedua, adalah penelitian lapangan
yaitu turun langsung ke Sampit sebagai data pembanding. Adapun proses penulisan dan
penelitian secara keseluruhan menggunakan metode lingkaran pastoral. Setiap metode ada
kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan lingkaran pastoral berusaha melihat masalah secara
sistematis, namun kelemahannya ada kesan melihat permasalahan secara fragmatis (terpisahpisah). Untuk itu, dalam tahap demi tahap penulis berupaya untuk tidak terjebak dalam
mekanisme kaku antara tahap satu dengan tahap lainnya. Untuk itu antara tahap satu dengan
tahap lain bersifat terbuka dan fleksibel sehingga terjadinya korelasi yang dinamis dan kritis.
Tujuannya adalah agar masalah yang diangkat tidak terjebak dalam mekanisme kaku seolah
terpisah tahap satu dengan tahap lainnya, melainkan antara tahap-tahap dalam lingkaran
pastoral ada hubungan yang sistematis, sinergis dan dinamis antara satu dengan lainnya.
28
(2) Analisis Sosial
(3) Refleksi Teologis
Pengalaman
(1) Pemetaan Masalah
(4) Perencanaan Pastoral
1. Pemetaan Masalah : Profil Daerah Sampit
Dalam pemetaan masalah penulis akan memberikan gambaran singkat tentang kondisi
daerah Sampit, tempat kekerasan tahun 2001 berlangsung. Penggambaran mengenai keadan
geografis, penduduk, diharapkan dapat memberi konteks secara fisik dalam hubungan dengan
peristiwa kekerasan tahun 2001.
Sampit adalah ibu kota dari kabupaten Kota waringin Timur yang luas wilayahnya
50.700 km2. Luas wilayah tersebut dihuni oleh kurang lebih 120.749 jiwa.78 Sebagaimana
daerah lainnya, penduduk Sampit juga terdiri dari masyarakat yang majemuk suku dan budaya
seperti suku Dayak, Madura, Banjar, Jawa, Cina dan lain sebagainya. Menurut Muchran
Karno,79 dari populasi di atas, etnis Madura mencapai lebih dari 60% atau kurang lebih 56.000
jiwa atau jauh lebih besar dari warga etnis lain, termasuk Dayak.
Dengan demikian, relasi antar warga yang berbeda suku dan budaya tidak bisa dihindari
pula. Relasi sosial antar warga Dayak dengan warga Madura sudah terjadi sejak lama di
78
Edi Petebang, Amuk Sampit, (Pontianak, IDRD, 2001), 22.
Muchran Karno, Kasi IPDS, Badan Pusat Statistik Kabupaten Kotawaringin Timur, wawancara, tanggal, 17
Mei 2005.
79
29
Sampit. Bahkan sebelum Indonesia merdeka, sudah ada warga Madura di Sampit. Menurut
pengakuan tokoh Dayak, warga Madura pertama kali datang ke Sampit dimulai sejak dikirim
oleh Belanda untuk bekerja pada pabrik Sawmil-kayu-Moulding milik swasta Belanda
bernama N.V. Bruiynzeel Dajak Houtbedryven.80 Setelah Indonesia merdeka, pekerja Madura
tetap menetap di Sampit. Selanjutnya kedatangan etnis Madura semakin bertambah sejak tahun
1950-1960 melalui transmigrasi spontan.81 Pertambahan pesat jumlah warga Madura juga
terkait dengan kebiasaan mudik pada lebaran haji ke pulau Madura dan sekembalinya ke
Sampit selalu membawa sanak saudara.82 Hasilnya adalah, beberapa kecamatan selain di
ibukota Sampit, seperti Kota Besi, Samuda, Bajarum, mayoritas penduduknya adalah warga
Madura.
Selain warga Madura, juga ada warga Dayak dan warga lainya di Sampit. Walaupun
suku Dayak merupakan suku asli di Sampit, tetapi sebagian besar warga etnis Dayak lebih
memilih tinggal di hulu-hulu sungai, pedalaman, pegunungan. Warga Dayak yang tinggal di
kota Sampit adalah warga Dayak yang tidak lagi menggantungkan hidup pada hutan, alam,
seperti pegawai negeri, swasta. Warga Dayak yang berada di kota Sampit hanya sebagian kecil
saja, misalnya warga Dayak yang menjadi anggota jemaat GKE tercatat 5. 677.83 Jumlah
inilah yang bersentuhan dengan warga Madura pada saat konflik, termasuk dalam relasinya
kembali dengan pengungsi Madura selanjutnya.
Selama penelitian berlangsung,84 penulis menggali dan menelusuri akar kekerasan dan
dampak kekerasan yang dirasakan oleh warga jemaat GKE yang berasal dari suku Dayak dan
80
Amu Linu (ed), Majelis Adat Dayak, 31.
J. Patianom, dkk, Sejarah Sosial Palangka Raya, (Departemen P & K, Direkt Sejarah dan Nilai Tradisional
proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Jakarta, 1992), 4-5.
82
J. Patianom, dkk, Sejarah Sosial Palangka Raya, 5.
83
Data statistik Gereja Kalimantan Evangelis, Almanak Nast GKE tahun 2003, (Banjarmasin, MS-GKE, 2003)
lampiran.
84
Penelitian berlangsung dari pertengahan Mei sampai pertengahan Juni 2005 di Sampit dan sekitarnya.
81
30
warga Madura yang baru saja kembali dari pengungsian yang saat ini telah berada di kota
Sampit. Tahap ini, penulis mengajak warga jemaat untuk mengingat pengalaman relasinya
dengan warga Madura; aspek apa saja yang mereka lihat, alami, dan saksikan tentang sikap,
tindak-tanduk warga Madura dan sebaliknya. Kesulitan yang dialami penulis adalah mencari
informasi dari warga Madura, sebab sebagian besar dari mereka masih tertutup dan tidak
berani banyak bicara. Masih terlihat ekspresi ketakutan yang menyelimuti hampir semua
pengungsi Madura, sehingga mereka sangat hati-hati untuk menerima tamu dan bicara.
Metode yang digunakan adalah observasi partisipasi dengan pendekatan kualitatif.85.
Adapun teknik penelitian yang dipakai adalah, pengamatan, dan wawancara. Dalam
pengamatan, penulis melihat dan mengamati fakta dan data fisik seperti pengungsi Madura,
kelompok warga Dayak, hiruk-pikuk kesibukan kedua belah pihak sehari-hari. Dalam
pengamatan peneliti mengamati pergaulan antara Dayak dan Madura di pasar, terminal, tempat
hiburan, dan sebagainya. Pengamatan terhadap warga Dayak, dilakukan dengan berkunjung
dan memperhatikan pola pergaulan.
Wawancara dilakukan untuk mendengar pengakuan langsung dari berbagai pihak yang
terkait tentang apa yang mereka lihat, alami dan saksikan. Warga jemaat GKE Dayak yang
menjadi informan adalah para pendeta GKE, Majelis jemaat, anggota jemaat tertentu terutama
yang terlibat konflik atau yang menjadi korban, para tokoh Dewan Adat Dayak, tokoh pemuda
gereja. Wawancara terhadap warga Madura diarahkan bagi para tokoh dan ulama Madura,
misalnya H. Misland, beberapa warga Madura yang baru saja kembali dari pengungsian,
seperti keluarga besar Ibu Gima, Suminah, dan Seruni. Kesulitan menemui warga Madura
lainnya karena ada yang tidak berani mengakui secara terus-terang bahwa mereka adalah
Madura.
85
Lexi Moeleong, Penelitian Kualitatif, (Bandung, Rosdakarya,1997), 5-10.
31
2. Kerangka analisis: Pengetahuan, Sikap dan Tindakan
Dalam relasi sosial antar kelompok yang berbeda-beda, bukan hanya pertemuan antar
orang, tetapi juga pertemuan antar nilai yang dianut.86 Positif (nir kekerasan) atau negatif
(kekerasan) relasi yang dibangun sangat tergantung dari pesan pengetahuan yang dimiliki oleh
kelompok tertentu terhadap kelompok lain.87 Oleh karena itu, apapun bentuk sikap dan
tindakan yang ditampilkan seseorang, kelompok lain terhadap orang, kelompok tertentu, akan
mempengaruhi pengetahuannya terhadap orang, kelompok lain tersebut.
Dalam memahami sikap dan tindakan kelompok lain, juga dipengaruhi oleh
pengetahuan tentang nilai-nilai yang dianutnya. Artinya, penilaian terhadap sikap dan tindakan
pihak lain akan dipahami berdasarkan nilai-nilai yang dianutnya. Sikap dan tindakan kelompok
lain tersebut tidak akan dinilai sebagai kategori salah atau benar, apabila tidak adanya standar
nilai yang dianutnya. Standar nilai tersebut bukan hanya membentuk pengetahuannya tetapi
juga menjadi pedoman untuk menilai salah atau benarnya sikap dan tindakan pihak lain.88
Dalam konteks itu, apabila dalam relasi sosial, salah satu pihak menampilkan sikap dan
tindakan tertentu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh pihak lain, maka akan
memunculkan kesadaran telah terjadinya pertentangan. Pertentangan akan terjadi, apabila salah
satu pihak menyadari bahwa, perilaku pihak lain tidak sesuai atau bertentangan dengan nilai
normatif yang dianutnya. Dengan kata lain, pertentangan disadari oleh salah satu pihak ketika
apa yang seyogyanya atau seharusnya terjadi (das Solen) berbeda dengan kenyataan yang
terjadi (das Sein).
Dalam konteks itu, pertentangan atau kontras akan terjadi apabila: pertama, sikap dan
tindakan kelompok tertentu memang nyata telah melanggar nilai-nilai yang dianut kelompok
86
Tridayakisni, dkk, Psikologi Lintas Budaya: Realitas Pertemuan Budaya, 2.
Suwarsih, Warnaen, Stereotipe Etnis Dalam Masyarakat Multietnis, 79.
88
Bdk., Barth, Kelompok Etnik dan Batasannya, ( Jakarta, UI-Press, 1988), 19.
87
32
lain. Kedua, pertentangan atau kontras disadari, akibat terjadinya pendangkalan pemahaman
atas nilai-nilai yang dianut oleh pihak tertentu. Pendangkalan pemahaman bisa saja terjadi,
apabila nilai-nilai yang dianut dipahami secara sempit hanya untuk mengokohkan kepentingan
penganutnya saja.89 Pertentangan terjadi bisa juga disebabkan kombinasi yang pertama dan
yang kedua di atas.
Kesadaran adanya kontras antara apa yang seharusnya terjadi (das Solen) namun dalam
kenyataan justru tidak terjadi (das Sein) akan melahirkan kekecewaan dan kemarahan bagi
salah satu pihak yang merasa memiliki kemampuan untuk mewujudkan harapannya90.
Kekecewaan adalah ekspresi ketidakpuasan91 karena harapan tentang nilai-nilai normatif yang
seharusnya dihargai, namun dalam kenyataan justru seolah-olah telah dilanggar. Kekecewaan
tersebut akan meningkat menjadi kemarahan, ketika pihak tertentu menyadari penyebab
kegagalan untuk mewujudkan harapan, diyakini akibat ulah dari pihak lain. Kekecewaan dan
kemarahan merupakan “amunisi” yang siap meledak menjadi aksi-aksi perlawanan fisik secara
destruktif92 terhadap pihak yang dianggap telah melanggar nilai-nilai normatif. Aksi-aksi
perlawan fisik akan terjadi apabila adanya pemicu atau penyulut93 yang semakin memperjelas
bahwa harapan pihak tertentu misalnya rasa aman, tenang, dan rukun tidak terwujud akibat
ulah pihak lain.
89
Bdk., Hardjana, Konflik di Tempat Kerja, (Yogyakarta, Kanisius, 1994), 9.
Bdk., Ted Robert Gurr, Deprivasi Relative dan Kekerasan, 62 –65.
91
Bdk., Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya, Kartika, 1997), 295.
92
Bdk., Erich Fromm, Akar Kekerasan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), 82, Judul asli: The Anatomy of
Human Destructiveness.
93
Riza Sihbudi, (ed), Kerusuhan Sosial di Indonesia, (Jakarta, Grasindo, 2001), 188.
90
33
3. Refleksi Teologis
Dalam refleksi teologis, penulis akan menawarkan wacana tentang relasi positif antar
sesama sebagai acuan relasi sosial pasca konflik. Refleksi teologis ini akan merujuk pada teks
Lukas 10:25-37 sebagai dasar pijakan dan teks Lukas 6:12-42 sebagai pendukung. Adapun
pendekatan yang akan ditempuh dalam refleksi teologis ini adalah pendekatan narasi. Setiap
pendekatan ada kelemahan, begitu juga dalam tafsir narasi, dimana penafsir harus tunduk di
bawah otoritas pengisah, padahal penafsir menghendaki makna narasi juga hidup bagi konteks
penafsir pula. Oleh karena itu, pendekatan narasi hanya sebagai sarana untuk menemukan
makna “relasi positif antar sesama’, kemudian penafsir merespon atau menghidupkan makna
itu lebih dinamis sesuai dengan konteks penafsir pula. Tujuan yang diharapkan adalah, makna
itu bukan hanya bermanfaat bagi pengisah, tetapi juga bermanfaat bagi pendengar atau
penafsir, sesuai dengan konteks pergumulan yang dihadapinya.
4. Perencanaan Pastoral
Wacana teologis menjadi pedoman bagi perubahan selanjutnya. Dalam rangka
perubahan diperlukan media atau sarana untuk menjemaatkan pemikiran teologis. Salah satu
sarana yang dapat dipakai dalam perubahan adalah pembangunan jemaat. Peran pembangunan
jemaat adalah mengkongkretkan dari pemikiran teologis ke praksis. Peralihan dari teori ke
praksis tidak akan terwujud tanpa adanya pemberdayaan. Oleh karena itu, peran pembangunan
jemaat adalah peran pemberdayaan menuju perubahan yang transformatif.
I. Sistematika Penulisan
34
Bab I : Pendahuluan, latar belakang masalah, batasan masalah, tujuan penulisan, hipotesis,
metode penulisan, kerangka teoritis, sistematika penulisan.
Bab II : Pemetaan masalah. Pemetaan masalah diarahkan pada fakta kerusakan relasi sosial
baik secara umum di maupun secara khusus kekerasan tahun 2001 di Sampit.
Bab III : Analisis Sosial: Analisis sosial akan mengacu pada kerangka teori-teori sosial yang
dibangun. Analisis sosial diarahkan pada relasi sosial. Tiga aspek penting dalam berelasi yaitu:
pengetahuan, sikap dan tindakan akan menjadi sasaran pengkajian.
Bab IV : Refleksi Teologis. Refleksi teologis ini bersumber dari teks Alkitab (Lukas 10: 2537; Lukas 6:12-42) tentang relasi positif antar sesama. Refleksi teologis merupakan dasar bagi
wacana perubahan dalam relasi sosial selanjutnya. Perubahan tanpa dasar dan patokan yang
jelas akan menghasilkan perubahan ekstrim dan konfrontatif. Dengan demikian, pemikiran
teologis menjadi kunci utama dalam menentukan arah perubahan yang hendak diwujudkan.
Perubahan yang hendak diwujudkan adalah perubahan yang transformatif.
Bab V : Perencanaan Pastoral: Dalam perencanaan pastoral akan dipaparkan bagaimana proses
perubahan bisa diwujudkan. Dalam bab ini berisi sejumlah rekomendasi, usulan, dan saran bagi
pembangunan jemaat.
35
Download