1 Optimalisasi ERM melalui 3LD mengejar skor atau feedback untuk

advertisement
Edisi XXXII/2017
laporan utama
wawancara
ragam kinerja
Saya
Sadar Risiko
Optimalisasi ERM
melalui 3LD
Penilaian Kesehatan Organisasi:
mengejar skor atau
feedback untuk
perbaikan
Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017
1
editorial
laporan utama
Bertahan Menepis
Hambatan
TEKS:
Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017
TEKS:
Misnilawaty Sidabutar, Suci Putri Ayu
Susmianti
PMK Nomor 171/PMK.01/2016 dan KMK Nomor 845/
KMK.01/2016, merupakan paradigma baru penerapan manajemen risiko
organisasi pada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang dilakukan secara
holistik (Enterprice Risk Management (ERM)). Dalam ketentuan ini, diatur
secara khusus bagaimana mengembangkan budaya risiko di Kemenkeu,
mewujudkan komitmen seluruh pimpinan unit di Kemenkeu dalam
mengelola risiko serta melaksanakan proses pengelolaan risiko sesuai
standar yang ditetapkan Kemenkeu.
Mengelola risiko organisasi layaknya menghadapi lawan dalam
pertandingan sepak bola, formasi lini pertahanan tim dibagi menjadi
tiga, yaitu barisan depan sebagai penyerang, barisan tengah sebagai
penghubung, dan barisan belakang sebagai pemain bertahan. Masingmasing pemain akan melakukan tugas sesuai posisinya dan bekerja sama
dengan pemain lain untuk memenangkan pertandingan.
Dalam penerapan ERM juga dilakukan mekanisme pertahanan
berlapis seperti halnya tim sepakbola, yang ditujukan untuk menepis
berbagai peristiwa yang mungkin terjadi dan menghambat pencapaian
sasaran organisasi, yang dikenal dengan istilah Three Lines of Defence, atau
sering disingkat sebagai model 3LD.
Lapisan pertahanan pertama (first line of defence) terletak pada
manajemen atau unit yang melaksanakan proses bisnis. Di Kemenkeu
fungsi ini dijalankan oleh setiap unit pemilik peta strategi yang merupakan
risk owner, yang wajib mengelola seluruh risiko yang berpotensi
menghambat pencapaian strategi unit. Lapisan pertahanan kedua (second
line of defence) menjalankan fungsi controlling dan monitoring penerapan
ERM yang dilakukan baik oleh pengelola risiko dan juga Unit Kepatuhan
Internal (UKI) di setiap unit pemilik peta strategi.
Sedangkan lapisan pertahanan ketiga (third line of defence) dilakukan
melalui fungsi audit internal. Fungsi ini dijalankan oleh Inspektorat
Jenderal sebagai auditor internal Kemenkeu. Dengan dilaksanakannya
fungsi ini, diharapkan quality assurance pengelolaan risiko di Kemenkeu
terus meningkat dan memberikan manfaat yang optimal bagi Kemenkeu
dalam mencapai sasaran dalam mewujudkan visi dan misinya.
Diperlukan kerjasama yang baik antar unit yang menjalankan
fungsi pada masing-masing lini pertahanan. Penerapan 3LD yang matang
diharapkan dapat meningkatkan daya tahan organisasi dalam menghadapi
risiko-risiko yang akan muncul dalam mencapai sasaran organisasi.
Untuk meningkatkan budaya sadar risiko di lingkungan Kemenkeu,
telah dilakukan internalisasi pengelolaan risiko melalui edukasi kepada
para pengelola risiko dan pegawai Kemenkeu yang dilakukan secara
berkelanjutan, baik melalui workshop ataupun diklat, yang diselenggarakan
bekerjasama dengan BPPK. Monitoring juga harus rutin dilakukan
secara berkala agar penerapan sistem ini dapat berjalan optimal dalam
mengamankan pencapaian sasaran organisasi.
2
Saya Sadar Risiko
redaksi
Diterbitkan Oleh:
Biro Perencanaan dan Keuangan
Sekretariat Jenderal
Kementerian Keuangan
Pelindung
Menteri Keuangan
Pengarah
Sekretaris Jenderal
Kementerian Keuangan
Penanggung Jawab
Kepala Biro Perencanaan
dan Keuangan
Redaktur
Herry Hernawan, Rizwan Pribhakti, Dianita
Suliastuti, Suci Putri Ayu, Susmianti,
Rachmad Arijanto, Moch. Asep Kurniawan
Penyunting/Editor
R. Aji Setiantoko, Agus Dwiatmoko,
Hening Indreswari, Azharuddin,
Misnilawaty Sidabutar, Abdul Muta’alii,
Mei Chrissye Darliyanti, Rizki Pramita Sari
Kontributor Tetap
Manajer Kinerja Organisasi,
Manajer Kinerja Pegawai
Desain Grafis & Fotografer
Venggi Obdi Ovisa, Resha Aditya Pratama,
Langgeng Wahyu Pamungkas
Pencetakan dan Distribusi
Biro Komunikasi dan Layanan Informasi
Alamat Redaksi:
Gedung Djuanda I Lt. 9
Jl Dr. Wahidin Raya No. 1
Jakarta 10710 Kotak Pos 21
Telp. 021 3449230 pst 6252
Fax. 021 3852146
Website: www.kemenkeu.go.id/emagazine
Email: [email protected];
[email protected]
Redaksi menerima tulisan/artikel
untuk dimuat dalam buletin ini.
Artikel ditulis dalam huruf Arial
11 spasi 1,5 maksimal 3 halaman.
Tulisan artikel dapat dikirim ke email
redaksi. Setiap tulisan yang masuk
menjadi milik redaksi. Redaksi berhak
mengubah/mengedit setiap tulisan
yang dimuat. Bagi tulisan/artikel
yang dimuat, akan diberikan souvenir
menarik.
Anda sedang bergegas pergi keluar untuk suatu janji
dengan teman dan berharap tidak terlambat sampai di sana.
Ketika hendak menutup pintu rumah, Anda teringat sesuatu,
Anda membuka tas dan mengecek beberapa perlengkapan. Anda
memastikan ada uang kecil untuk ongkos angkutan agar tidak
perlu menunggu uang kembalian. Anda kemudian memastikan
bahwa tiket kereta dalam kota sudah di dalam saku tas agar tidak
perlu mengantri. Terakhir, Anda juga bernafas lega karena payung
sudah tersedia sehingga tetap bisa berjalan walaupun nanti hujan.
Apakah gambaran itu mirip dengan situasi yang pernah Anda
alami?
Itu hanyalah salah satu contoh bahwa, dalam kehidupan
kita sehari-hari, kita berusaha untuk mencegah terjadinya sesuatu
hal yang dapat merusak rencana atau tujuan kita. Ada berbagai
contoh lainnya seperti kita mendaftarkan diri dan keluarga ke
asuransi untuk memastikan kesehatan kita terjamin. Para kaum
lelaki secara rutin pergi ke bengkel untuk memastikan kondisi
kendaraan selalu baik sehingga mengurangi potensi kecelakaan.
Ibu yang akan melahirkan akan menyiapkan tas khusus untuk
dibawa ke rumah sakit ketika tanda-tanda untuk melahirkan
sudah muncul.
Contoh-contoh yang disebutkan di atas adalah tanda
bahwa ada kesadaran akan risiko dalam diri kita. Inilah yang
disebut dengan budaya sadar risiko. Ketika kita mengambil
keputusan untuk mencapai tujuan kita, maka masingmasing pribadi secara sadar mempersiapkan rencana untuk
menanggulangi risiko yang mungkin muncul.
Pertanyaan selanjutnya bagi kita pegawai di Kementerian
Keuangan, apakah budaya sadar risiko ini juga sudah ada
saat kita bekerja? Apakah ketika sedang menyusun kebijakan
atau mengambil keputusan kita sadar akan konsekuensi yang
mungkin muncul, kemudian apakah kita berusaha mencegah atau
meminimalkan dampaknya?
Mengapa kita harus sadar risiko? Paling tidak ada dua
alasan utama. Alasan pertama adalah karena organisasi kita
memiliki tujuan yang ingin dicapai, dimana setiap komponen
organisasi tentunya berharap tujuan ini dapat tercapai. Oleh
karena itu, kita berusaha meminimalisir kemungkinan terjadinya
risiko atau mengurangi dampak terjadinya risiko. Kementerian
Keuangan sebagai pengelola keuangan negara, bertugas menjaga
kredibilitas APBN dalam rangka menciptakan masyarakat adil dan
makmur. Dalam proses mencapai tujuan ini, ada banyak kebijakan
yang diterbitkan untuk memastikan kondisi fiskal negara aman
dan berkelanjutan. Ketika suatu kebijakan diterbitkan, ada
kemungkinan bahwa terdapat hal-hal yang dapat mengganggu
tercapainya sasaran organisasi ini. Organisasi harus secara
terorganisir mengidentifikasi risiko
tersebut dan memitigasinya agar tujuan
organisasi dapat tetap tercapai.
Alasan kedua adalah untuk
menjaga dan meningkatkan reputasi
organisasi. Risiko yang benar-benar
terjadi di dalam organisasi tentu dapat
memberikan dampak negatif bagi
organisasi. Terjadinya suatu risiko
berpengaruh terhadap pencapaian
sasaran organisasi, dimana tidak
tercapainya sasaran dapat menurunkan
kredibilitas organisasi. Salah satu
risiko yang harus diidentifikasi oleh
suatu organisasi, khususnya organisasi
yang bergerak dibidang pemerintahan
adalah risiko fraud. Tindakan fraud
yang dilakukan oleh segelintir oknum
dalam organisasi akan menjadikan
citra seluruh pegawai dan organisasi
menjadi buruk, dimana persepsi
negatif ini cenderung terus melekat.
Budaya sadar risiko harus
dibangun secara massive di dalam
organisasi, hal ini dilakukan agar
budaya sadar risiko tidak hanya
dimiliki oleh sebagian pegawai, namun
secara bersama-sama dihayati dan
dipraktekkan oleh seluruh pegawai.
Ada tiga konsep pengembangan budaya
sadar risiko yang akan dibahas di sini.
Pertama, tidak bisa dipungkiri bahwa
gerakan budaya sadar risiko harus
dibangun dan digerakkan mulai dari
level pimpinan. Komitmen pimpinan
yang kuat untuk mempertimbangkan
risiko dalam setiap pengambilan
keputusan dapat ditularkan ke level
di bawahnya. Upaya menumbuhkan
budaya ini akan dapat berjalan dengan
efektif jika dimulai dari pimpinan.
Semangat pimpinan adalah seumpama
titik air yang jatuh ke dalam kolam lalu
menggerakkan air di sekitarnya dan
menghasilkan ombak-ombak kecil.
Pengaruhnya akan lebih terasa dan
berdampak.
Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017
3
laporan utama
klinik kinerja
FAQ Manajemen Risiko
Kedua, pihak lainnya yang
sangat perlu hidup dalam budaya
ini adalah pegawai. Proses edukasi
merupakan tahapan yang perlu
ditempuh untuk menularkan budaya
ini. Pegawai memiliki peran dalam
lingkupnya masing-masing yang
secara kumulatif akan mempengaruhi
organisasi. Jika kesadaran ini dimiliki
oleh pegawai mulai dari pekerjaanpekerjaan sederhana seperti proses
administrasi surat, penyusunan konsep
nota dinas sampai dengan penyusunan
kebijakan maka diharapkan dapat
memberikan dampak positif bagi
organisasi.
Ketiga, upaya menumbuhkan
budaya sadar risiko ini harus
dijalankan secara konsisten dan
dituangkan dalam suatu sistem
yang dapat dipahami oleh seluruh
pegawai. Sistem manajemen risiko
perlu dibangun dan distandarisasi
sehingga dapat menjadi rujukan
seluruh komponen organisasi. Untuk
memastikan keberlangsungannya,
pimpinan dapat menunjuk unit untuk
mengelola sistem ini.
Beberapa upaya telah
dilakukan oleh Kementerian Keuangan
dalam membangun budaya sadar risiko
ini. Pertama, dalam upaya membangun
komitmen pimpinan, sejak tahun
2016 penerapan manajemen risiko
dimulai dari level Kementerian,
dimana sebelumnya hanya
dilaksanakan pada level Unit Eselon
II. Perkembangan ini diharapkan
menjadikan pengelolaan risiko
menjadi salah satu prioritas pimpinan.
Menteri Keuangan juga menyambut
positif diberlakukannya sistem ini.
Dalam salah satu rapat pimpinan,
Menteri Keuangan berpesan agar
sistem ini tidak dijadikan sebagai
formalitas saja dan hanya agar
dinilai baik oleh pihak eksternal.
Namun, lebih jauh lagi, beliau
mengharapkan agar penerapan sistem
ini dapat memberikan manfaat kepada
organisasi.
4
Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017
“Keberhasilan penerapan pengelolaan
risiko sangat dipengaruhi oleh peran
seluruh pegawai Kementerian
Keuangan”
Kedua, proses edukasi telah mulai dan akan terus
dilaksanakan. Sejak penetapan Peraturan Menteri Keuangan
nomor 171/KMK.01/2016 tentang Manajemen Risiko di
Lingkungan Kementerian Keuangan, telah dilakukan sosialisasi
kepada pegawai yang mengelola manajemen risiko. Hal ini
bertujuan untuk membangun kesamaan standar dalam pengelolaan
risiko. Selain itu, peraturan tersebut mengarahkan struktur
pengelolaan risiko pada setiap Unit Pemilik Risiko tidak hanya
dilakukan oleh pengelola risikonya saja, namun pada pimpinanpimpinan di unit tersebut.
Ketiga, penerapan manajemen risiko telah dirinci secara
lebih detail melalui Keputusan Menteri Keuangan nomor 845/
KMK.01/2016. Hal ini menjadi acuan pelaksanaan proses
manajemen risiko di lingkungan Kementerian Keuangan. Proses
manajemen risiko bukanlah proses yang berjalan sendiri, namun
juga terintegrasi dengan sistem manajemen risiko. Kolaborasi ini
diharapkan dapat mendorong organisasi ke arah yang lebih baik.
Untuk mengelola sistem ini, Menteri Keuangan telah menunjuk
Biro Perencanaan dan Keuangan untuk mengoordinasikan sistem
ini di seluruh Kementerian Keuangan. Biro Perencanaan dan
Keuangan juga tidak berjalan sendiri, ada pengelola risiko pada
seluruh Unit Eselon I, Unit Eselon II dan beberapa Unit Eselon III
yang akan bekerja sama menggawangi sistem ini. Tim pengelola
risiko di seluruh Kementerian Keuangan ini diharapkan dapat
semakin kompak dan berjalan beriringan.
“The man behind the gun”. Ungkapan ini berarti bahwa
baik atau tidaknya suatu sistem sangat ditentukan oleh orang
yang menjalankannya. Pada hakikatnya, proses manajemen risiko
dilakukan oleh seluruh komponen organisasi. Maka, berhasil atau
tidaknya sistem ini sangat dipengaruhi oleh kita semua, pegawai
Kementerian Keuangan. Everyone is risk manager. Sekecil apapun
peran kita dalam organisasi, tentu ada dampaknya bagi organisasi.
Selain itu, merupakan suatu kebanggaan apabila kita dapat
memberikan sumbangsih positif bagi organisasi. Bertolak belakang
dengan hal ini, seharusnya kita akan sangat merasa bersalah
apabila melakukan hal negatif bagi organisasi kita. Oleh karenanya,
budaya sadar risiko menjadi sangat penting bagi kita semua. Anda,
ya anda, baik yang sedang membaca maupun akan membaca tulisan
ini, kita semua adalah risk manager. Mari membangun budaya
risiko dalam pekerjaan kita sehari-hari.
TEKS:
A
pakah semua sasaran strategis dalam peta strategi
dimasukkan dalam penetapan konteks?
Sasaran strategis yang dicantumkan dalam
lembar penetapan konteks adalah sasaran strategis
yang dijadikan sasaran organisasi, yang selanjutnya
akan dilakukan identifikasi risiko. Sasaran organisasi
tidak hanya terbatas pada sasaran strategis.
A
pabila satu risiko mempunyai beberapa
penyebab, bagaimana cara menentukan kategori
risiko?
Penentuan kategori didasarkan pada
penyebab risiko, sehingga apabila terdapat beberapa
penyebab maka kategori risiko ditetapkan untuk setiap
penyebab.
A
pabila pada kantor pelayanan terdapat risiko yang
berdampak nasional, apakah risiko tersebut dapat
dimasukkan profil risiko pada Unit Pemilik Risiko
(UPR) level di atasnya?
Proses identifikasi risiko terdapat tiga tahapan
yaitu:
a. Identifikasi risiko dan rencana penanganan
risiko dari UPR di atasnya yang relevan dengan
tugas dan fungsi UPR yang bersangkutan (topdown);
b. Identifikasi risiko berdasarkan sasaran UPR yang
bersangkutan; dan
c. Identifikasi risiko berdasarkan input dari konsep
profil risiko UPR level di bawahnya (bottomup).
Risiko pada kantor pelayanan dapat
dimasukkan pada profil risiko UPR level diatasnya,
dengan syarat:
a. Risiko tersebut memerlukan koordinasi antar
UPR selevel; dan/atau
b. Risiko tersebut tidak dapat ditangani oleh UPR
tersebut.
B
agaimana cara menentukan level kemungkinan,
apabila terdiri dari beberapa penyebab risiko dan
bagaimana cara penentuan level risikonya?
•
Mei Chrisye Darliyanti, Susmianti
Apabila level kemungkinan suatu risiko
tidak dapat ditentukan dari kejadian risiko
maka level kemungkinan ditentukan dari
penyebabnya.
Apabila dalam satu risiko terdapat beberapa
penyebab maka level kemungkinan diidentifikasi
untuk setiap penyebab.
Besaran risiko untuk masing-masing kombinasi
penyebab (level kemungkinan) dan dampak (level
dampak).
Penetapan level risiko adalah berdasarkan
kombinasi penyebab dominan (level
kemungkingan tertinggi) dan dampaknya (level
dampak).
•
•
•
A
pabila satu UPR mendapatkan risiko dari UPR
di atasnya, apakah level kemungkinan dan
dampaknya sama?
Risiko yang merupakan hasil cascading
dari UPR diatasnya, perlu dilakukan analisis risiko
kembali. Hal ini dikarenakan level kemungkinan
dan dampak untuk masing-masing level UPR dapat
berbeda sesuai dengan ruang lingkup dan kriteria pada
masing-masing level.
A
pakah penetapan level kemungkinan dapat
menggunakan judgement pribadi?
Penentuan level kemungkinan sedapat
mungkin menggunakan data yang handal, hal ini
sejalan dengan prinsip manajemen risiko yaitu
didasarkan pada informasi terbaik yang tersedia.
Namun jika terpaksa menggunakan judgement,
sebaiknya menggunakan pendapat ahli atau proxy data
yang mendekati sebagai dasar penentuan level.
A
pa definisi area dampak penurunan
kinerja?
Dampak penurunan kinerja merupakan
dampak risiko berupa tidak tercapainya target kinerja
yang ditetapkan dalam kontrak kinerja ataupun
kinerja lainnya. Nilai kinerja tersebut merupakan
perbandingan antara realisasi terhadap target
kinerjanya.
Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017
5
profil
profil
MANAJER KINERJA DAN RISIKO DJPPR:
Belajar dan Bekerja
dengan Hati
TEKS:
Rizki Pramita Sari, Susmianti
saat ini memastikan setiap risiko dari pekerjaan untuk
teridentifikasi, sehingga pegawai dapat bekerja secara
nyaman dan dapat lebih fokus untuk meningkatkan
kinerja.
Kesan hangat dan ramah langsung
terasa, saat Tim Buletin Kinerja bertemu
dengan sosok pria yang berwibawa dan
berkacamata ini. Pengalamannya sebagai
manajer kinerja sudah dijalaninya sejak
pertama kali BSC diterapkan di Kemenkeu.
Dia adalah I Gede Awan Sastra Winaya, yang
biasa disapa Awan. Pria yang bergabung
dengan Kemenkeu sejak tahun 1985 ini
memiliki latar belakang pendidikan Teknologi
Informasi. Dedikasi dan kompetensi yang
tinggi serta kaya akan pengalaman mengantar
pria berdarah Bali ini dipercaya menjadi
Kepala Bagian Kepatuhan Intenal sekaligus
sebagai Manajer Kinerja Organisasi dan
Manajer Risiko Pusat DJPPR sejak tahun 2016.
Edisi Buletin Kinerja kali ini akan menguak
pengalaman Awan selama mengelola kinerja
dan risiko di DJPPR.
Reformasi birokrasi melalui
manajemen kinerja di Kemenkeu pertama kali
dilaksanakan pada tahun 2007 silam. Awan
kemudian menuturkan perbedaan signifikan
antara era sebelum dan sesudah reformasi
yang diibaratkan seperti “jurang yang tajam”.
Sebelum reformasi, terasa sekali birokrasi di
Kemenkeu sangat kental. Namun sejak mulai
mengimplementasikan reformasi, situasi ini
berubah seperti “uang koin yang dibalik”,
terutama perubahan mindset dan model
manajemen yang mirip seperti perusahaan
swasta. Hal ini terutama dirasakan pada
semakin meningkatnya komitmen pimpinan
saat itu, karena tanpa komitmen pimpinan,
reformasi birokrasi Kemenkeu tidak akan
berjalan.
Implementasi manajemen kinerja di
Kemenkeu terus berlanjut, meskipun puncak
pimpinan mengalami pergantian. Ketika
Kemenkeu dipimpin kembali oleh Sri Mulyani
Indrawati, ia memandang langkah-langkah
lanjutan seperti evaluasi atas reformasi
yang sudah dilakukan dan hal apa saja yang
6
Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017
Bersama-sama dengan tim pengelola kinerja
organisasi dan risiko di lingkungan DJPPR, pria
kelahiran Buleleng ini telah melakukan berbagai upaya
agar implementasi pengelolaan kinerja dan risiko
di DJPPR dapat berjalan optimal. Upaya yang telah
dilakukan antara lain menyelenggarakan edukasi dan
komunikasi manajemen kinerja dan risiko, refinement
kontrak kinerja, profil risiko, monitoring dan evaluasi,
serta kegiatan rutin lainnya. Selain itu juga telah
dilakukan kegiatan non rutin untuk meningkatkan
kualitas pengelolaan kinerja dan risiko, antara lain
“dalam melakukan pekerjaan,
kita merasa tenang dan aman
karena setiap pekerjaan dilihat
risikonya.”
- I Gede Awan Sastra Winaya
I Gede Awan Sastra Winaya
FOTO: Andi Abdurrochim
perlu ditambahkan. Salah satu elemen penting dalam
penambahan kebijakan reformasi di Kemenkeu saat ini
adalah manajemen risiko yang dikaitkan dengan kinerja.
penyusunan standar IKU, manual, dan formulanya
yang khas atau sesuai dengan karakteristik di DJPPR,
namun tetap tidak bertentangan dengan ketentuan
mengenai pengelolaan kinerja, penyusunan kajian, dan
rekomendasi terkait kinerja.
Lebih lanjut, pria yang lahir tanggal 27 Desember
ini memaparkan bahwa pengelolaan kinerja dan risiko
memang harus dikawinkan layaknya “suami-istri”. Dalam
berumah tangga, suami dan istri harus saling melengkapi,
dan saling mendukung untuk menciptakan hubungan
yang tenang dan aman. Begitu halnya dengan kinerja dan
risiko, “dalam melakukan pekerjaan, kita merasa tenang
dan aman karena setiap pekerjaan dilihat risikonya.”,
tambah Awan. Sistem pengelolaan risiko di Kemenkeu
Di samping itu, tingkat disiplin yang
tinggi dan komitmen para pimpinan juga menjadi
salah satu elemen positif untuk meningkatkan
kinerja di Kemenkeu. Dukungan pimpinan terlihat
terutama dengan adanya evaluasi dan pemantauan
atas perkembangan pengelolaan kinerja dan risiko
yang terus menerus serta kehadiran pimpinan pada
hampir setiap pertemuan rapat ataupun FGD terkait
pengelolaan kinerja dan risiko.
Secara jujur, pria yang suka membaca ini
mengungkapkan masih ada beberapa pegawai
yang masih resisten terhadap sistem pengelolaan
kinerja. Hal ini terutama karena masih adanya
anggapan bahwa sistem tersebut hanya sebagai
penambah beban pekerjaan saja, ditambah lagi
dengan keharusan setiap pegawai untuk mencapai
target. Dalam mengatasi kondisi seperti ini, Awan
dan tim berusaha melakukan pendekatan dengan
memberikan pengertian kepada pegawai dan
pimpinannya atas pentingnya pengelolaan kinerja.
Pengelolaan risiko di Kemenkeu telah
mengalami perkembangan dan perbaikan terus
menerus. Pria lulusan Magister Manajemen STIE
Budi Luhur ini menuturkan bahwa hal pertama
yang harus dibangun sekaligus landasan penting
yang menentukan keberhasilan penerapan
manajemen risiko adalah komitmen pimpinan
dan awareness seluruh pegawai dalam membangun
budaya sadar risiko.
Di tengah-tengah kesibukannya, Ayah dari
dua putri ini berusaha menyempatkan diri untuk
berolahraga. Salah satunya dengan rajin mengikuti
car free day yang rutin diadakan setiap hari minggu
di Jakarta. Selain bermanfaat bagi kesehatan,
kegiatan ini juga merupakan kesempatan yang baik
untuk menghabiskan waktu dengan keluarga.
“Belajar, Belajar, Belajar” adalah moto
hidupnya sebagai cambuk dalam memberikan
kontribusi kepada organisasi. Lebih lanjut, ia
juga menambahkan bahwa “jangan bosan belajar,
sekalipun sudah umur. Belajar bisa dari siapa saja,
kadang kita bisa belajar dari OB atau sopir. Tetapi
yang paling banyak adalah dari pimpinan”.
Di akhir wawancara, pria yang juga hobi
main sepeda ini, berbagi tips untuk meningkatkan
kinerja, yaitu bekerja dari hati, mencintai
pekerjaan, dan ikhlas. Selain itu, Ia kembali
mengingatkan bahwa kita tidak boleh lupa untuk
menyiapkan kompetensi dan terus belajar dalam
menghadapi tantangan di masa yang akan datang.
Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017
7
wawancara
wawancara
Optimalisasi ERM melalui 3LD
TEKS:
Tahun 2017 merupakan awal dari
paradigma baru implementasi manajemen risiko
di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui
penerapan Enterprise Risk Management (ERM).
Infrastruktur telah disiapkan, baik pedoman
maupun petunjuk pelaksanaannya serta telah
diinternalisasikan kepada pegawai terutama para
pengelola risiko. “Everybody is a risk manager”, oleh
karenanya keberhasilan implementasi manajemen
risiko tidak terlepas dari peran seluruh individu
dalam organisasi, mulai dari jajaran pimpinan
hingga level pelaksana. Optimalisasi ERM
juga perlu didukung oleh implementasi sistem
pertahanan berlapis baik dari sisi manajerial
maupun pengendalian internal yang dikenal
dengan istilah three lines of defence (3LD).
Untuk menggali lebih dalam penerapan
konsep three lines of defence di Kemenkeu, Tim
Buletin Kinerja berkesempatan mewawancarai Ibu
Sumiyati, yang saat ini menjabat sebagai Inspektur
Jenderal Kemenkeu. Dengan penuh semangat dan
suara yang lantang, wanita berdarah Jawa ini
menjelaskan secara sistematis pertanyaan yang
diajukan. Berikut petikan wawancara Tim Buletin
dengan Ibu Sumiyati:
Bagaimana konsep three lines of defence di
Kemenkeu? Apa yang melatarbelakangi
perlunya konsep dimaksud?
Konsep three lines of defence mulai
diterapkan di Kemenkeu sejak tahun 2011 dengan
terbitnya Keputusan Menteri Keuangan (KMK)
Nomor 152/KMK.09/2011 tentang Peningkatan
Penerapan Pengendalian Intern di Lingkungan
Kemenkeu. Konsep three lines of defence diterapkan
dengan membagi dua lini manajemen menjadi
lini pertama dan lini kedua dan memposisikan
Inspektorat Jenderal (Itjen) sebagai lini ketiga.
8
Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017
Azharuddin, Rachmad Arijanto
Lini pertama yaitu lini manajemen yang
secara teknis mengoperasikan proses bisnis.
Sedangkan lini kedua merupakan unit yang
memastikan bahwa sistem pengendalian internal
yang melekat dalam bisnis proses organisasi
berjalan secara efektif. Unit ini yang selanjutnya
dikenal dengan nama Unit Kepatuhan Internal
(UKI). Selanjutnya, lini ketiga berperan menjaga
dan mengawal sekaligus sebagai benteng terakhir
dari pertahanan yang dibangun sehingga risikorisiko yang melekat dalam proses bisnis organisasi
baik operasioal maupun fraud dapat diminimalkan.
Di Kemenkeu, peran ini dijalankan oleh Itjen.
“Penerapan three lines of
defence dapat berhasil apabila setiap lini menjalankan
perannya secara optimal.”
Hal yang melatarbelakangi perlunya
penerapan konsep three lines of defence adalah
adanya kewajiban bagi instansi pemerintah untuk
melaksanakan seluruh unsur pengendalian dalam
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 60 Tahun 2008. Dalam PP tersebut
ditetapkan bahwa unsur-unsur pengendalian
meliputi: (1) lingkungan pengendalian, (2)
penilaian risiko, (3) kegiatan pengendalian, (4)
informasi dan komunikasi, serta (5) pemantauan.
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap pelaksanaan
kelima unsur tersebut, hal yang perlu mendapat
perhatian serius yaitu terkait proses pemantauan.
Harapannya, proses pemantauan ini dapat
dilaksanakan secara efektif oleh lini kedua yaitu
UKI.
Apa tujuan dari penerapan sistem ini bagi
organisasi? Bagaimana peran dan fungsi Itjen?
Penerapan three lines of defence diharapkan
dapat mengoptimalkan penerapan SPIP secara
lebih komprehensif. Kemenkeu dapat melakukan
perbaikan secara terus menerus dengan selalu
mengantisipasi risiko dan menyiapkan langkahlangkah penanganan risiko yang efektif. Melalui
Sumiyati,
Inspektur Jenderal
FOTO: R. Aji Setiantoko
Apa saja kunci sukses penerapan three lines
of defence?
perbaikan tersebut, diharapkan pencapaian kinerja dan
tujuan organisasi dapat dengan mudah dicapai. Peran dan
fungsi Itjen adalah sebagai benteng terakhir pertahanan
dalam pemantauan risiko, selain itu Itjen juga menyusun
kerangka kerja serta perbaikan metodologi pemantauan
sesuai kebutuhan Kemenkeu dalam mengantisipasi
perkembangan yang terjadi.
Penerapan three lines of defence dapat
berhasil apabila setiap lini menjalankan
perannya secara optimal. Lini manajemen
sebagai lini pertama merupakan pihak yang
paling memahami manajemen risiko karena
secara langsung berhubungan dengan proses
bisnis sehari-hari. Lini pertama ini merancang
target untuk periode mendatang, menyiapkan
langkah kegiatan yang harus dijalankan, dan
memahami titik krusial yang berhubungan
risiko organisasi.
Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017
9
wawancara
wawancara
“Namun demikian, hal yang yang
paling penting adalah komitmen
jajaran manajemen pada saat
merancang manajemen risiko dan
dalam proses implementasinya”
-Sumiyati
Namun demikian, hal yang yang paling
penting adalah komitmen jajaran manajemen
pada saat merancang manajemen risiko dan
dalam proses implementasinya, khususnya dalam
proses pemantauan risiko. Pemahaman selama
ini yang menyebutkan bahwa manajemen risiko
merupakan tanggung jawab UKI harus segera
ditinggalkan. Keberhasilan manajemen risiko
tentunya tidak terlepas dari peran manajemen
yang telah merancang proses bisnis dari awal. Pada
saat merancang proses bisnis, manajemen juga
harus memetakan titik krusial terjadinya risiko
dalam setiap implementasi proses bisnis. Proses ini
selanjutnya dapat dituangkan dalam suatu matriks,
yang dikenal dengan nama Risk Control Matrix.
Dengan adanya proses ini, harapannya unit dapat
mengantisipasi risiko secara lebih dini sehingga
tidak terjadi surprise di akhir tahun.
Apa saja tantangan yang dihadapi dalam
penerapan sistem ini? Bagaimana strategi Itjen
sebagai upaya untuk menghadapi tantangan
dimaksud?
Tantangan yang dihadapi dalam penerapan
three lines of defence di Kemenkeu adalah masih
rendahnya kesadaran manajemen tentang
pentingnya three lines of defence. Selain itu, pola
mutasi pegawai pelaksana pemantauan, masih
berpotensi mengganggu proses pemantauan,
mengingat pegawai tersebut membutuhkan
waktu dalam memenuhi dan meningkatkan
kompetensinya.
Strategi yang diterapkan dalam rangka
meningkatkan kesadaran manajemen misalnya
melalui pelaksanaan lokakarya manajerial
tentang unit kepatuhan internal, bekerja sama
dengan BPPK. Kegiatan ini diharapkan dapat
menumbuhkan kesadaran manajemen terhadap
penerapan three lines of defence.
Sedangkan strategi yang akan dilakukan
terkait mutasi pelaksana pemantauan adalah
melalui penyempurnaan metodologi pemantauan
yang lebih sederhana. Semakin sederhana
10
Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017
metodologi pemantauan, maka para pelaksana
pemantauan yang baru akan dapat mempelajari
tugasnya dengan cepat. Selain itu, proses
pemantauan juga dapat dioptimalkan melalui
pemanfaatan teknologi informasi.
Bagaimana harapan Ibu terkait peran dan
fungsi Itjen ke depan agar penerapan three lines
of defence dapat berjalan lebih optimal?
Penerapan three lines of defence di Kemenkeu
saat ini telah mendapatkan pengakuan dari
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP). Hal ini terbukti dengan hasil penilaian
maturitas SPIP, dimana Kemenkeu mendapatkan
nilai tertinggi di antara seluruh Kementerian/
Lembaga (K/L) dengan nilai sebesar 4,2748 untuk
tahun 2016. Nilai ini melebihi target yang tertuang
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) yaitu 3,0000 pada tahun 2019.
Dengan demikian, Kemenkeu telah menyukseskan
RPJMN lebih awal 3 tahun dengan nilai yang layak
diteladani oleh K/L lain.
Harapan saya, penerapan three lines of
defence di Kemenkeu tidak hanya sebatas pada
hasil penilaian maturitas SPIP, tetapi lebih optimal
dan subtansial khususnya dalam pelaksanaan
pemantauan atas risiko-risiko operasional yang
melekat pada proses bisnis utama organisasi.
Pada akhirnya, sistem ini diharapkan dapat
berkontribusi dalam perbaikan kinerja Kemenkeu.
Untuk itu, saya berharap Itjen dapat
memperbaiki metodologi pemantauan yang ada
saat ini sehingga menjangkau pemantauan proses
bisnis yang dilakukan melalui pemanfaatan
teknologi informasi. Berdasarkan rencana kerja,
Itjen saat ini sedang melakukan upaya revisi
KMK 32/KMK.09/2013 tentang Kerangka Kerja
Penerapan Pengendalian Intern dan Pedoman
Teknis Pemantauan Pengendalian Intern di
Lingkungan Kemenkeu, yang di antaranya meliputi
metodologi pemantauan proses bisnis yang
dilakukan dengan teknologi informasi tersebut.
Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017
11
ragam kinerja
ragam kinerja
PENILAIAN KESEHATAN ORGANISASI:
“mengejar skor atau
feedback untuk perbaikan”
TEKS:
Kementerian Keuangan
(Kemenkeu) merupakan tempat banyak
sumber daya berkolaborasi, bekerja,
berkontribusi sesuai peran masing-masing
untuk mencapai tujuan pembentukan
Kemenkeu. Sebagai organisasi yang
selalu berusaha melakukan perbaikan
dan peningkatan kinerja, Kemenkeu
memiliki berbagai tools untuk memastikan
dan memantau pelaksanaan tugas dan
fungsi berjalan optimal. Kita dapat
menyebut beberapa tools tersebut.
Balanced Scorecard, tools manajemen untuk
memastikan tercapainya visi, misi, strategi
organisasi dengan menjaga pencapaian
optimal sasaran-sasaran strategis
baik dari perspektif learning & growth,
internal process, maupun custormer dan
stakeholder. Berikutnya manajemen risiko,
untuk mengidentifikasi, menganalisa,
mengevaluasi dan melakukan mitigasi
risiko terkait pekerjaan/proses bisnis. Tools
manajemen selanjutnya adalah penilaian
kesehatan organisasi atau lebih dikenal
MOFIN (Ministry of Finance Organizational
Fitness Index).
Penilaian Kesehatan Organisasi
di lingkungan Kemenkeu diawali pada
tahun 2013. Saat itu, survei dilakukan
untuk mengukur indeks kesehatan
organisasi (Organizational Health Index
atau disingkat OHI) terhadap lebih dari
24.000 pegawai untuk mengukur skor
persepsi dan praktik kesehatan organisasi
yang dilakukan Kemenkeu pada tahun
2013. Hasil survei ini menjadi bahan
masukan untuk penyusunan cetak biru
Transformasi Kelembagaan Kemenkeu
hingga tahun 2025. Selanjutnya, untuk
mendorong perbaikan pada elemen
yang perlu ditingkatkan, dikembangkan
survei MOFIN dengan metodologi yang
disesuaikan dengan kondisi Kemenkeu
sebagai institusi sektor publik.
12
Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017
Tim MOFIN, Biro Organisasi dan Ketatalaksanaan
Pengukuran tingkat kesehatan organisasi Kemenkeu
didasarkan pada teori kesehatan organisasi Keller dan
Price (2011). Kesehatan organisasi merupakan kemampuan
organisasi untuk menyelaraskan kondisi internal,
mengeksekusi strategi, dan memperbaharui dirinya lebih
cepat dari organisasi lain di bidangnya sehingga dapat
mempertahankan kinerja yang tinggi dalam jangka panjang.
Penelitian Keller dan Price (2011) menunjukkan bahwa untuk
mencapai kinerja yang tinggi secara berkesinambungan,
organisasi tidak cukup hanya memfokuskan pada kinerja,
namun harus aktif mengelola kinerja maupun kondisi
kesehatannya.
Kesehatan organisasi dibagi dalam 3
(tiga) tingkatan, yaitu sakit (ailing),
mampu (able), dan sehat (elite). Untuk
dapat memberikan kinerja yang optimal
kepada stakeholders, organisasi harus
keluar dari kondisi sakit (ailing) dan berada
minimal pada tingkat mampu (able) untuk
kesembilan dimensi kesehatan organisasi.
Penelitian menunjukkan bahwa sangat
sulit bagi organisasi untuk mencapai dan
mempertahankan kondisi sehat (elite)
untuk kesembilan dimensi tersebut. Oleh
karena itu, organisasi yang sehat secara
Tiga Kelompok Utama dan Sembilan Dimensi Kesehatan Organisasi
Sumber: Keller dan Price (2011)
keseluruhan adalah organisasi yang dapat mempertahankan
kesehatannya pada sekurang-kurangnya kondisi mampu
(able) untuk kesembilan dimensi tersebut, serta mencapai dan
mempertahankan beberapa dimensi yang menjadi prioritas
sesuai visi organisasi untuk berada pada kondisi tertingginya,
yaitu sehat (elite).
Penilaian kesehatan organisasi dilakukan dengan
metode survei kepada para pegawai, mulai dari pimpinan
tertinggi sampai dengan para pelaksana. Item pertanyaan
dibuat untuk mendapat persepsi atas praktik manajemen
di Kemenkeu terkait dimensi kesehatan organisasi, yang
menghasilkan skor kesehatan organisasi unit pegawai tersebut.
Skor kesehatan organisasi Kemenkeu mulai dari tahun 2013,
ketika diukur dengan OHI, sampai dengan tahun 2015, ketika
diukur dengan MOFIN, mengalami naik turun. Tahun 2013,
skornya adalah 68 dan tahun 2014 skornya mencapai 81. Kedua
tahun tersebut menggunakan metode yang berbeda, sehingga
skor tahun 2013 tidak dapat langsung menjadi perbandingan.
Namun demikian, nilai 81 pada tahun 2014 menunjukkan
bahwa 81 persen pegawai mempersepsikan bahwa Kemenkeu
telah melaksanakan praktik manajemen yang mendukung
kesehatan organisasinya. Selanjutnya tahun 2015, skor MOFIN
Kemenkeu adalah 75. Apakah berarti kesehatan organisasi
Kemenkeu menurun? Apakah bukan berarti terdapat peluangpeluang perbaikan yang bisa dilakukan sehingga praktek
manajemen yang ada di Kemenkeu memiliki peluang semakin
advance?
Sejak tahun 2014, skor MOFIN menjadi salah satu
Indikator Kinerja Utama di Kemenkeu. Betapa membanggakan
melihat berbagai pihak memiliki komitmen atas pelaksanaan
pengukuran kesehatan organisasi. Sosialisasi untuk
meningkatkan kesadaran pegawai dalam mengisi survei, in
house training untuk memahami survei kesehatan organisasi,
atau membandingkan capaian jumlah responden yang mengisi
survei menjadi kegiatan beberapa unit eselon I sebagai upaya
positif mendukung pengukuran kesehatan organisasi. Namun,
sayang apabila terdapat upaya yang kurang elegan agar bisa
mendapatkan skor MOFIN tinggi, seperti satu orang mengisi
survei untuk beberapa orang atau upaya memandu dan
mengarahkan pengisian survei.
Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017
13
ragam kinerja
selingan
Arti sebuah skor
Kenapa perlu diukur kesehatan organisasi?
Seorang anak sekolah yang
memperoleh nilai ujian tinggi atau rendah,
tentu mengandung makna. Nilai rendah
menunjukkan tingkat penguasaan yang kurang
dibanding anak yang memperoleh nilai tinggi.
Sedangkan skor MOFIN, tinggi atau rendah,
tidak dapat menjadi perbandingan begitu saja.
Mengapa?
Bila skor MOFIN tinggi dan rendah memiliki
sisi positif dan negatif, apakah masih perlu penilaian
kesehatan organisasi? Jawabnya “Ya,” seperti tubuh
manusia yang harus rutin melakukan general check
up sehingga dapat segera diketahui tanda adanya
gangguan kesehatan. Demikian pula dalam organisasi,
perlu rutin diukur kesehatannya sehingga segera
diketahui praktek manajemen yang kurang berfungsi
secara optimal dan segera diketahui bagaimana
memperbaikinya.
Sebagaimana manusia, ukuran sehat
dan karakteristik fisik seorang karyawan
dengan seorang atlet berbeda. Atlet senam
dengan atlet sepakbola pun berbeda. Atlet
senam memerlukan tangan dan kaki yang
mampu bergerak dengan harmonis serta
kelenturan badan yang tinggi, sedangkan atlet
sepakbola lebih memerlukan kaki yang gesit
dan kuat. Hal ini berlaku pula untuk kesehatan
organisasi, ketika diperoleh skor MOFIN
yang sama untuk memaknakan perlu dilihat
karekteristik organisasi.
Kita paham bahwa Kemenkeu berusaha
meningkatkan kinerjanya dan semua pihak berharap
kinerja tinggi tersebut dapat berkesinambungan dalam
jangka panjang. Inginkah kita melihat Kemenkeu lebih
sehat? Yuk sukseskan pelaksanaan survei MOFIN 2017.
Tebak 3 pertanyaan di bawah ini,
kirimkan jawaban beserta identitas
(nama, jabatan, unit kerja, alamat) Anda
ke [email protected] dengan
subject/perihal email “Jawaban Quiz
Buletin Kinerja XXXII” atau dikirim
ke Bagian Pengelolaan Kinerja dan
Risiko, Biro Perencanaan dan Keuangan,
Sekretariat Jenderal Kementerian
Keuangan d/a: Gedung Djuanda I Lantai 9,
Jl. Dr. Wahidin Raya No. 1 Jakarta 10710.
Jawaban dapat kami terima paling lambat
pada tanggal 5 Juli 2017.
Daftar Pemenang Kuis Buletin
Kinerja Edisi XXXI
1.
2.
3.
Annisa Fitria,
Pelaksana Pushaka;
Anasarudin Absori,
Pelaksana Biro Organta;
Edi Juliana,
Central Transformation Office
(CTO);
4. Raditya Kurnia Shaleh,
Pelaksana KPTIK BMN
Semarang;
5. Krishna Pandu Pradana,
Pelaksana Biro KLI.
“Ketika skor MOFIN rendah
atau tinggi apakah itu
bermakna? Jawabnya tentu “Ya”,
tapi yang lebih penting adalah
tindaklanjutnya. “
Skor MOFIN Kemenkeu tinggi
berarti pegawai memersepsikan bahwa
Kemenkeu telah melaksanakan praktik
manajemen yang mendukung kesehatan
organisasi. Kita berharap skor MOFIN
Kemenkeu tinggi, yang berarti organisasi
dapat berkinerja tinggi secara berkelanjutan,
bukan organisasi yang berkinerja tinggi di
satu momen setelah itu mati suri. Namun
bila skor MOFIN rendah, ini menunjukkan
bahwa terdapat peluang perbaikan untuk
Kemenkeu sehingga dapat meningkatkan
pengelolaan organisasinya.
14
Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017
Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017
15
lensa peristiwa
lensa peristiwa
Workshop Implementasi
Dialog Kinerja Individu dan
Stress Management
Jakarta, 8 Februari 2017.
FOTO: Dok. Biro KLI
Workshop dan Internalisasi Penilaian
Kesehatan Organisasi Kemenkeu
Jakarta, 4-6 April 2017.
FOTO: Dok. Biro Organta
Diklat Manajemen Risiko
Kelas Manajerial
BDK Makassar, 16-17 Maret 2017.
FOTO: Azharuddin
Rapat Koordinasi Nasional
Pengelolaan Kinerja DJPB
Jakarta, 28 - 31 Maret 2017.
FOTO: Dok. DJPB
Rapat Koordinasi Pengelolaan
Keuangan dan Kinerja
Kemenkeu Tahun 2017
Surabaya, 6 April 2017.
FOTO: Rendy Hermawan
16
Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017
Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017
17
kata mereka
kata mereka
Peran UKI dalam Penerapan
SPI Kemenkeu
Sita Nur Laili
Pelaksana Subbagian
Pemantaun Pengendalian
Intern, Sekretariat Itjen
“Peran UKI dalam mengawal
penerapan Sistem Pengendalian Intern (SPI)
di Kemenkeu (termasuk itjen) diawali dengan
terbitnya KMK 152/KMK.09/2011. UKI
sebagai second line of defence bertugas untuk
memastikan bahwa kegiatan utama organisasi
dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan
ketentuan yang berlaku. Terbitnya KMK
32/KMK.09/2013 memberikan ruang dan
tanggung jawab bagi UKI untuk tidak hanya
mengevaluasi penerapan SPI pada level
kegiatan, namun juga pada level entitas.
Lima tahun berlalu sejak pertama
berdiri, keberadaan UKI banyak membawa
dampak positif bagi organisasi. Meskipun
awal pembentukannya menimbulkan
resistensi bagi sebagian unit, saat ini secara
umum anggota organisasi (Itjen) telah lebih
aware terhadap pengendalian yang menjadi
tanggung jawabnya dalam pelaksanaan proses
bisnis. Pemantauan pengendalian intern
secara berkala melalui kegiatan Pemantauan
Pengendalian Utama “memaksa” setiap orang
untuk lebih tertib. Selain itu, ditetapkannya
tingkat penerapan pengendalian intern
“efektif dengan pengecualian” sebagai IKU
unit eselon I menunjukkan adanya komitmen
bahwa penerapan pengendalian intern bukan
hanya tanggung jawab UKI, namun juga
seluruh bagian organisasi. Adanya evaluasi
mengenai kecukupan pengendalian intern
serta kesesuaian SOP dengan praktik yang
berlaku oleh UKI merupakan sarana bagi
organisasi untuk terus berbenah.
Tantangan baru yang dihadapi oleh
18
Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017
UKI ialah mengawal penerapan SPI terhadap laporan
keuangan melalui kegiatan penilaian Pengendalian
Intern atas Pelaporan Keuangan (PIPK). Hal ini penting
untuk dilaksanakan mengingat laporan keuangan
merupakan ujung dari pencatatan seluruh transaksi
keuangan organisasi. Untuk itu, dibutuhkan kesiapan
dari UKI terutama terkait kompetensi di bidang
pelaporan keuangan sehingga nantinya diharapkan
UKI mampu mengungkap kelemahan pengendalian
yang ada dan kemudian memberikan saran perbaikan
kepada manajemen.”
FOTO:
Abdul Muta’ali
Taufiq Istianto
Kepala Subbagian Kepatuhan
Internal dan Evaluasi Hasil
Pemeriksaan, Sekretariat
DJKN
“UKI membantu organisasi mencapai visi dan
misinya. UKI melakukan pemantauan pengendalian
intern agar pimpinan memiliki keyakinan yang
memadai bahwa pelaksanaan tusi telah dilaksanakan
sesuai Standard Operating Procedure (SOP). Mengingat
peran UKI yang sangat penting dan adanya tugas
tambahan yang diberikan maka perlu dilakukan
peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan
kapasitas organisasi UKI. Dengan demikian, UKI lebih
mampu melaksanakan tugas pemantauan pengendalian
intern secara optimal yang berpengaruh pada kualitas
penerapan SPI. Pelaksanaan tugas UKI secara optimal
tersebut juga diarahkan agar senantiasa selaras dengan
ketentuan disiplin dan kode etik PNS, sehingga SDM
UKI dapat menjadi suri tauladan bagi pihak lain.“
Saiful Hidayat
Kepala Seksi Kepatuhan
Internal, KPPBC TMP B
Bandar Lampung
“Peran UKI sebagai second
line of defence akan berjalan optimal
apabila tercipta interaksi yang baik
antara UKI dengan manajemen dalam
proses pemantauan dan organisasi yang
bersangkutan sadar atas risiko yang
dimilikinya. Interaksi yang baik akan
terbentuk apabila masing-masing pihak
mengetahui peran pokok masing-masing
pihak. Manajemen wajib memberikan
dukungan terhadap pelaksanaan
Pemantauan Pengendalian Intern
(PPI), sedangkan UKI berperan untuk
melaksanakan Pemantauan Pengendalian
Utama (PPU) dan Pemantauan Efektifitas
Implementasi dan Kecukupan Rancangan
(PEIKR). Tantangan yang dihadapi saat
ini, interaksi UKI dan manajemen masih
belum optimal karena belum lancarnya
komunikasi dan informasi kedua belah
pihak. Hal tersebut mengakibatkan
sulitnya pelaksanaan pemantauan baik
pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan
pelaporan pemantauan. Untuk itu pimpinan
perlu menciptakan sinergi informasi
dan komunikasi sehingga tercipta trust.
Perubahan paradigma organisasi dari yang
bersifat pasif-reaktif menjadi organisasi
yang proaktif-preventif akan mempermudah
UKI sebagai second line of defence. Organisasi
yang bersifat proaktif-preventif sadar atas
risiko yang dimilikinya, sehingga risiko
dapat dikelola pada tingkat yang diterima.
Peraturan Menteri Keuangan nomor
171/PMK.01/2016 tentang Manajemen
Risiko di Lingkungan Kemenkeu telah
mengakomodir keinginan terwujudnya
budaya sadar risiko di Kemenkeu dimana
Unit Pemilik Risiko sudah sampai pada level
tingkat unit eselon III. Adanya komitmen
yang kuat dari pimpinan, komunikasi
yang berkelanjutan, dan pengintegrasian
manajemen risiko dalam proses organisasi
akan mampu memberikan keyakinan
yang memadai dalam pencapaian tujuan
organisasi.”
Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017
19
20
Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017
Download