Edisi XXXII/2017 laporan utama wawancara ragam kinerja Saya Sadar Risiko Optimalisasi ERM melalui 3LD Penilaian Kesehatan Organisasi: mengejar skor atau feedback untuk perbaikan Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017 1 editorial laporan utama Bertahan Menepis Hambatan TEKS: Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017 TEKS: Misnilawaty Sidabutar, Suci Putri Ayu Susmianti PMK Nomor 171/PMK.01/2016 dan KMK Nomor 845/ KMK.01/2016, merupakan paradigma baru penerapan manajemen risiko organisasi pada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang dilakukan secara holistik (Enterprice Risk Management (ERM)). Dalam ketentuan ini, diatur secara khusus bagaimana mengembangkan budaya risiko di Kemenkeu, mewujudkan komitmen seluruh pimpinan unit di Kemenkeu dalam mengelola risiko serta melaksanakan proses pengelolaan risiko sesuai standar yang ditetapkan Kemenkeu. Mengelola risiko organisasi layaknya menghadapi lawan dalam pertandingan sepak bola, formasi lini pertahanan tim dibagi menjadi tiga, yaitu barisan depan sebagai penyerang, barisan tengah sebagai penghubung, dan barisan belakang sebagai pemain bertahan. Masingmasing pemain akan melakukan tugas sesuai posisinya dan bekerja sama dengan pemain lain untuk memenangkan pertandingan. Dalam penerapan ERM juga dilakukan mekanisme pertahanan berlapis seperti halnya tim sepakbola, yang ditujukan untuk menepis berbagai peristiwa yang mungkin terjadi dan menghambat pencapaian sasaran organisasi, yang dikenal dengan istilah Three Lines of Defence, atau sering disingkat sebagai model 3LD. Lapisan pertahanan pertama (first line of defence) terletak pada manajemen atau unit yang melaksanakan proses bisnis. Di Kemenkeu fungsi ini dijalankan oleh setiap unit pemilik peta strategi yang merupakan risk owner, yang wajib mengelola seluruh risiko yang berpotensi menghambat pencapaian strategi unit. Lapisan pertahanan kedua (second line of defence) menjalankan fungsi controlling dan monitoring penerapan ERM yang dilakukan baik oleh pengelola risiko dan juga Unit Kepatuhan Internal (UKI) di setiap unit pemilik peta strategi. Sedangkan lapisan pertahanan ketiga (third line of defence) dilakukan melalui fungsi audit internal. Fungsi ini dijalankan oleh Inspektorat Jenderal sebagai auditor internal Kemenkeu. Dengan dilaksanakannya fungsi ini, diharapkan quality assurance pengelolaan risiko di Kemenkeu terus meningkat dan memberikan manfaat yang optimal bagi Kemenkeu dalam mencapai sasaran dalam mewujudkan visi dan misinya. Diperlukan kerjasama yang baik antar unit yang menjalankan fungsi pada masing-masing lini pertahanan. Penerapan 3LD yang matang diharapkan dapat meningkatkan daya tahan organisasi dalam menghadapi risiko-risiko yang akan muncul dalam mencapai sasaran organisasi. Untuk meningkatkan budaya sadar risiko di lingkungan Kemenkeu, telah dilakukan internalisasi pengelolaan risiko melalui edukasi kepada para pengelola risiko dan pegawai Kemenkeu yang dilakukan secara berkelanjutan, baik melalui workshop ataupun diklat, yang diselenggarakan bekerjasama dengan BPPK. Monitoring juga harus rutin dilakukan secara berkala agar penerapan sistem ini dapat berjalan optimal dalam mengamankan pencapaian sasaran organisasi. 2 Saya Sadar Risiko redaksi Diterbitkan Oleh: Biro Perencanaan dan Keuangan Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan Pelindung Menteri Keuangan Pengarah Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Penanggung Jawab Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Redaktur Herry Hernawan, Rizwan Pribhakti, Dianita Suliastuti, Suci Putri Ayu, Susmianti, Rachmad Arijanto, Moch. Asep Kurniawan Penyunting/Editor R. Aji Setiantoko, Agus Dwiatmoko, Hening Indreswari, Azharuddin, Misnilawaty Sidabutar, Abdul Muta’alii, Mei Chrissye Darliyanti, Rizki Pramita Sari Kontributor Tetap Manajer Kinerja Organisasi, Manajer Kinerja Pegawai Desain Grafis & Fotografer Venggi Obdi Ovisa, Resha Aditya Pratama, Langgeng Wahyu Pamungkas Pencetakan dan Distribusi Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Alamat Redaksi: Gedung Djuanda I Lt. 9 Jl Dr. Wahidin Raya No. 1 Jakarta 10710 Kotak Pos 21 Telp. 021 3449230 pst 6252 Fax. 021 3852146 Website: www.kemenkeu.go.id/emagazine Email: [email protected]; [email protected] Redaksi menerima tulisan/artikel untuk dimuat dalam buletin ini. Artikel ditulis dalam huruf Arial 11 spasi 1,5 maksimal 3 halaman. Tulisan artikel dapat dikirim ke email redaksi. Setiap tulisan yang masuk menjadi milik redaksi. Redaksi berhak mengubah/mengedit setiap tulisan yang dimuat. Bagi tulisan/artikel yang dimuat, akan diberikan souvenir menarik. Anda sedang bergegas pergi keluar untuk suatu janji dengan teman dan berharap tidak terlambat sampai di sana. Ketika hendak menutup pintu rumah, Anda teringat sesuatu, Anda membuka tas dan mengecek beberapa perlengkapan. Anda memastikan ada uang kecil untuk ongkos angkutan agar tidak perlu menunggu uang kembalian. Anda kemudian memastikan bahwa tiket kereta dalam kota sudah di dalam saku tas agar tidak perlu mengantri. Terakhir, Anda juga bernafas lega karena payung sudah tersedia sehingga tetap bisa berjalan walaupun nanti hujan. Apakah gambaran itu mirip dengan situasi yang pernah Anda alami? Itu hanyalah salah satu contoh bahwa, dalam kehidupan kita sehari-hari, kita berusaha untuk mencegah terjadinya sesuatu hal yang dapat merusak rencana atau tujuan kita. Ada berbagai contoh lainnya seperti kita mendaftarkan diri dan keluarga ke asuransi untuk memastikan kesehatan kita terjamin. Para kaum lelaki secara rutin pergi ke bengkel untuk memastikan kondisi kendaraan selalu baik sehingga mengurangi potensi kecelakaan. Ibu yang akan melahirkan akan menyiapkan tas khusus untuk dibawa ke rumah sakit ketika tanda-tanda untuk melahirkan sudah muncul. Contoh-contoh yang disebutkan di atas adalah tanda bahwa ada kesadaran akan risiko dalam diri kita. Inilah yang disebut dengan budaya sadar risiko. Ketika kita mengambil keputusan untuk mencapai tujuan kita, maka masingmasing pribadi secara sadar mempersiapkan rencana untuk menanggulangi risiko yang mungkin muncul. Pertanyaan selanjutnya bagi kita pegawai di Kementerian Keuangan, apakah budaya sadar risiko ini juga sudah ada saat kita bekerja? Apakah ketika sedang menyusun kebijakan atau mengambil keputusan kita sadar akan konsekuensi yang mungkin muncul, kemudian apakah kita berusaha mencegah atau meminimalkan dampaknya? Mengapa kita harus sadar risiko? Paling tidak ada dua alasan utama. Alasan pertama adalah karena organisasi kita memiliki tujuan yang ingin dicapai, dimana setiap komponen organisasi tentunya berharap tujuan ini dapat tercapai. Oleh karena itu, kita berusaha meminimalisir kemungkinan terjadinya risiko atau mengurangi dampak terjadinya risiko. Kementerian Keuangan sebagai pengelola keuangan negara, bertugas menjaga kredibilitas APBN dalam rangka menciptakan masyarakat adil dan makmur. Dalam proses mencapai tujuan ini, ada banyak kebijakan yang diterbitkan untuk memastikan kondisi fiskal negara aman dan berkelanjutan. Ketika suatu kebijakan diterbitkan, ada kemungkinan bahwa terdapat hal-hal yang dapat mengganggu tercapainya sasaran organisasi ini. Organisasi harus secara terorganisir mengidentifikasi risiko tersebut dan memitigasinya agar tujuan organisasi dapat tetap tercapai. Alasan kedua adalah untuk menjaga dan meningkatkan reputasi organisasi. Risiko yang benar-benar terjadi di dalam organisasi tentu dapat memberikan dampak negatif bagi organisasi. Terjadinya suatu risiko berpengaruh terhadap pencapaian sasaran organisasi, dimana tidak tercapainya sasaran dapat menurunkan kredibilitas organisasi. Salah satu risiko yang harus diidentifikasi oleh suatu organisasi, khususnya organisasi yang bergerak dibidang pemerintahan adalah risiko fraud. Tindakan fraud yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi akan menjadikan citra seluruh pegawai dan organisasi menjadi buruk, dimana persepsi negatif ini cenderung terus melekat. Budaya sadar risiko harus dibangun secara massive di dalam organisasi, hal ini dilakukan agar budaya sadar risiko tidak hanya dimiliki oleh sebagian pegawai, namun secara bersama-sama dihayati dan dipraktekkan oleh seluruh pegawai. Ada tiga konsep pengembangan budaya sadar risiko yang akan dibahas di sini. Pertama, tidak bisa dipungkiri bahwa gerakan budaya sadar risiko harus dibangun dan digerakkan mulai dari level pimpinan. Komitmen pimpinan yang kuat untuk mempertimbangkan risiko dalam setiap pengambilan keputusan dapat ditularkan ke level di bawahnya. Upaya menumbuhkan budaya ini akan dapat berjalan dengan efektif jika dimulai dari pimpinan. Semangat pimpinan adalah seumpama titik air yang jatuh ke dalam kolam lalu menggerakkan air di sekitarnya dan menghasilkan ombak-ombak kecil. Pengaruhnya akan lebih terasa dan berdampak. Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017 3 laporan utama klinik kinerja FAQ Manajemen Risiko Kedua, pihak lainnya yang sangat perlu hidup dalam budaya ini adalah pegawai. Proses edukasi merupakan tahapan yang perlu ditempuh untuk menularkan budaya ini. Pegawai memiliki peran dalam lingkupnya masing-masing yang secara kumulatif akan mempengaruhi organisasi. Jika kesadaran ini dimiliki oleh pegawai mulai dari pekerjaanpekerjaan sederhana seperti proses administrasi surat, penyusunan konsep nota dinas sampai dengan penyusunan kebijakan maka diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi organisasi. Ketiga, upaya menumbuhkan budaya sadar risiko ini harus dijalankan secara konsisten dan dituangkan dalam suatu sistem yang dapat dipahami oleh seluruh pegawai. Sistem manajemen risiko perlu dibangun dan distandarisasi sehingga dapat menjadi rujukan seluruh komponen organisasi. Untuk memastikan keberlangsungannya, pimpinan dapat menunjuk unit untuk mengelola sistem ini. Beberapa upaya telah dilakukan oleh Kementerian Keuangan dalam membangun budaya sadar risiko ini. Pertama, dalam upaya membangun komitmen pimpinan, sejak tahun 2016 penerapan manajemen risiko dimulai dari level Kementerian, dimana sebelumnya hanya dilaksanakan pada level Unit Eselon II. Perkembangan ini diharapkan menjadikan pengelolaan risiko menjadi salah satu prioritas pimpinan. Menteri Keuangan juga menyambut positif diberlakukannya sistem ini. Dalam salah satu rapat pimpinan, Menteri Keuangan berpesan agar sistem ini tidak dijadikan sebagai formalitas saja dan hanya agar dinilai baik oleh pihak eksternal. Namun, lebih jauh lagi, beliau mengharapkan agar penerapan sistem ini dapat memberikan manfaat kepada organisasi. 4 Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017 “Keberhasilan penerapan pengelolaan risiko sangat dipengaruhi oleh peran seluruh pegawai Kementerian Keuangan” Kedua, proses edukasi telah mulai dan akan terus dilaksanakan. Sejak penetapan Peraturan Menteri Keuangan nomor 171/KMK.01/2016 tentang Manajemen Risiko di Lingkungan Kementerian Keuangan, telah dilakukan sosialisasi kepada pegawai yang mengelola manajemen risiko. Hal ini bertujuan untuk membangun kesamaan standar dalam pengelolaan risiko. Selain itu, peraturan tersebut mengarahkan struktur pengelolaan risiko pada setiap Unit Pemilik Risiko tidak hanya dilakukan oleh pengelola risikonya saja, namun pada pimpinanpimpinan di unit tersebut. Ketiga, penerapan manajemen risiko telah dirinci secara lebih detail melalui Keputusan Menteri Keuangan nomor 845/ KMK.01/2016. Hal ini menjadi acuan pelaksanaan proses manajemen risiko di lingkungan Kementerian Keuangan. Proses manajemen risiko bukanlah proses yang berjalan sendiri, namun juga terintegrasi dengan sistem manajemen risiko. Kolaborasi ini diharapkan dapat mendorong organisasi ke arah yang lebih baik. Untuk mengelola sistem ini, Menteri Keuangan telah menunjuk Biro Perencanaan dan Keuangan untuk mengoordinasikan sistem ini di seluruh Kementerian Keuangan. Biro Perencanaan dan Keuangan juga tidak berjalan sendiri, ada pengelola risiko pada seluruh Unit Eselon I, Unit Eselon II dan beberapa Unit Eselon III yang akan bekerja sama menggawangi sistem ini. Tim pengelola risiko di seluruh Kementerian Keuangan ini diharapkan dapat semakin kompak dan berjalan beriringan. “The man behind the gun”. Ungkapan ini berarti bahwa baik atau tidaknya suatu sistem sangat ditentukan oleh orang yang menjalankannya. Pada hakikatnya, proses manajemen risiko dilakukan oleh seluruh komponen organisasi. Maka, berhasil atau tidaknya sistem ini sangat dipengaruhi oleh kita semua, pegawai Kementerian Keuangan. Everyone is risk manager. Sekecil apapun peran kita dalam organisasi, tentu ada dampaknya bagi organisasi. Selain itu, merupakan suatu kebanggaan apabila kita dapat memberikan sumbangsih positif bagi organisasi. Bertolak belakang dengan hal ini, seharusnya kita akan sangat merasa bersalah apabila melakukan hal negatif bagi organisasi kita. Oleh karenanya, budaya sadar risiko menjadi sangat penting bagi kita semua. Anda, ya anda, baik yang sedang membaca maupun akan membaca tulisan ini, kita semua adalah risk manager. Mari membangun budaya risiko dalam pekerjaan kita sehari-hari. TEKS: A pakah semua sasaran strategis dalam peta strategi dimasukkan dalam penetapan konteks? Sasaran strategis yang dicantumkan dalam lembar penetapan konteks adalah sasaran strategis yang dijadikan sasaran organisasi, yang selanjutnya akan dilakukan identifikasi risiko. Sasaran organisasi tidak hanya terbatas pada sasaran strategis. A pabila satu risiko mempunyai beberapa penyebab, bagaimana cara menentukan kategori risiko? Penentuan kategori didasarkan pada penyebab risiko, sehingga apabila terdapat beberapa penyebab maka kategori risiko ditetapkan untuk setiap penyebab. A pabila pada kantor pelayanan terdapat risiko yang berdampak nasional, apakah risiko tersebut dapat dimasukkan profil risiko pada Unit Pemilik Risiko (UPR) level di atasnya? Proses identifikasi risiko terdapat tiga tahapan yaitu: a. Identifikasi risiko dan rencana penanganan risiko dari UPR di atasnya yang relevan dengan tugas dan fungsi UPR yang bersangkutan (topdown); b. Identifikasi risiko berdasarkan sasaran UPR yang bersangkutan; dan c. Identifikasi risiko berdasarkan input dari konsep profil risiko UPR level di bawahnya (bottomup). Risiko pada kantor pelayanan dapat dimasukkan pada profil risiko UPR level diatasnya, dengan syarat: a. Risiko tersebut memerlukan koordinasi antar UPR selevel; dan/atau b. Risiko tersebut tidak dapat ditangani oleh UPR tersebut. B agaimana cara menentukan level kemungkinan, apabila terdiri dari beberapa penyebab risiko dan bagaimana cara penentuan level risikonya? • Mei Chrisye Darliyanti, Susmianti Apabila level kemungkinan suatu risiko tidak dapat ditentukan dari kejadian risiko maka level kemungkinan ditentukan dari penyebabnya. Apabila dalam satu risiko terdapat beberapa penyebab maka level kemungkinan diidentifikasi untuk setiap penyebab. Besaran risiko untuk masing-masing kombinasi penyebab (level kemungkinan) dan dampak (level dampak). Penetapan level risiko adalah berdasarkan kombinasi penyebab dominan (level kemungkingan tertinggi) dan dampaknya (level dampak). • • • A pabila satu UPR mendapatkan risiko dari UPR di atasnya, apakah level kemungkinan dan dampaknya sama? Risiko yang merupakan hasil cascading dari UPR diatasnya, perlu dilakukan analisis risiko kembali. Hal ini dikarenakan level kemungkinan dan dampak untuk masing-masing level UPR dapat berbeda sesuai dengan ruang lingkup dan kriteria pada masing-masing level. A pakah penetapan level kemungkinan dapat menggunakan judgement pribadi? Penentuan level kemungkinan sedapat mungkin menggunakan data yang handal, hal ini sejalan dengan prinsip manajemen risiko yaitu didasarkan pada informasi terbaik yang tersedia. Namun jika terpaksa menggunakan judgement, sebaiknya menggunakan pendapat ahli atau proxy data yang mendekati sebagai dasar penentuan level. A pa definisi area dampak penurunan kinerja? Dampak penurunan kinerja merupakan dampak risiko berupa tidak tercapainya target kinerja yang ditetapkan dalam kontrak kinerja ataupun kinerja lainnya. Nilai kinerja tersebut merupakan perbandingan antara realisasi terhadap target kinerjanya. Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017 5 profil profil MANAJER KINERJA DAN RISIKO DJPPR: Belajar dan Bekerja dengan Hati TEKS: Rizki Pramita Sari, Susmianti saat ini memastikan setiap risiko dari pekerjaan untuk teridentifikasi, sehingga pegawai dapat bekerja secara nyaman dan dapat lebih fokus untuk meningkatkan kinerja. Kesan hangat dan ramah langsung terasa, saat Tim Buletin Kinerja bertemu dengan sosok pria yang berwibawa dan berkacamata ini. Pengalamannya sebagai manajer kinerja sudah dijalaninya sejak pertama kali BSC diterapkan di Kemenkeu. Dia adalah I Gede Awan Sastra Winaya, yang biasa disapa Awan. Pria yang bergabung dengan Kemenkeu sejak tahun 1985 ini memiliki latar belakang pendidikan Teknologi Informasi. Dedikasi dan kompetensi yang tinggi serta kaya akan pengalaman mengantar pria berdarah Bali ini dipercaya menjadi Kepala Bagian Kepatuhan Intenal sekaligus sebagai Manajer Kinerja Organisasi dan Manajer Risiko Pusat DJPPR sejak tahun 2016. Edisi Buletin Kinerja kali ini akan menguak pengalaman Awan selama mengelola kinerja dan risiko di DJPPR. Reformasi birokrasi melalui manajemen kinerja di Kemenkeu pertama kali dilaksanakan pada tahun 2007 silam. Awan kemudian menuturkan perbedaan signifikan antara era sebelum dan sesudah reformasi yang diibaratkan seperti “jurang yang tajam”. Sebelum reformasi, terasa sekali birokrasi di Kemenkeu sangat kental. Namun sejak mulai mengimplementasikan reformasi, situasi ini berubah seperti “uang koin yang dibalik”, terutama perubahan mindset dan model manajemen yang mirip seperti perusahaan swasta. Hal ini terutama dirasakan pada semakin meningkatnya komitmen pimpinan saat itu, karena tanpa komitmen pimpinan, reformasi birokrasi Kemenkeu tidak akan berjalan. Implementasi manajemen kinerja di Kemenkeu terus berlanjut, meskipun puncak pimpinan mengalami pergantian. Ketika Kemenkeu dipimpin kembali oleh Sri Mulyani Indrawati, ia memandang langkah-langkah lanjutan seperti evaluasi atas reformasi yang sudah dilakukan dan hal apa saja yang 6 Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017 Bersama-sama dengan tim pengelola kinerja organisasi dan risiko di lingkungan DJPPR, pria kelahiran Buleleng ini telah melakukan berbagai upaya agar implementasi pengelolaan kinerja dan risiko di DJPPR dapat berjalan optimal. Upaya yang telah dilakukan antara lain menyelenggarakan edukasi dan komunikasi manajemen kinerja dan risiko, refinement kontrak kinerja, profil risiko, monitoring dan evaluasi, serta kegiatan rutin lainnya. Selain itu juga telah dilakukan kegiatan non rutin untuk meningkatkan kualitas pengelolaan kinerja dan risiko, antara lain “dalam melakukan pekerjaan, kita merasa tenang dan aman karena setiap pekerjaan dilihat risikonya.” - I Gede Awan Sastra Winaya I Gede Awan Sastra Winaya FOTO: Andi Abdurrochim perlu ditambahkan. Salah satu elemen penting dalam penambahan kebijakan reformasi di Kemenkeu saat ini adalah manajemen risiko yang dikaitkan dengan kinerja. penyusunan standar IKU, manual, dan formulanya yang khas atau sesuai dengan karakteristik di DJPPR, namun tetap tidak bertentangan dengan ketentuan mengenai pengelolaan kinerja, penyusunan kajian, dan rekomendasi terkait kinerja. Lebih lanjut, pria yang lahir tanggal 27 Desember ini memaparkan bahwa pengelolaan kinerja dan risiko memang harus dikawinkan layaknya “suami-istri”. Dalam berumah tangga, suami dan istri harus saling melengkapi, dan saling mendukung untuk menciptakan hubungan yang tenang dan aman. Begitu halnya dengan kinerja dan risiko, “dalam melakukan pekerjaan, kita merasa tenang dan aman karena setiap pekerjaan dilihat risikonya.”, tambah Awan. Sistem pengelolaan risiko di Kemenkeu Di samping itu, tingkat disiplin yang tinggi dan komitmen para pimpinan juga menjadi salah satu elemen positif untuk meningkatkan kinerja di Kemenkeu. Dukungan pimpinan terlihat terutama dengan adanya evaluasi dan pemantauan atas perkembangan pengelolaan kinerja dan risiko yang terus menerus serta kehadiran pimpinan pada hampir setiap pertemuan rapat ataupun FGD terkait pengelolaan kinerja dan risiko. Secara jujur, pria yang suka membaca ini mengungkapkan masih ada beberapa pegawai yang masih resisten terhadap sistem pengelolaan kinerja. Hal ini terutama karena masih adanya anggapan bahwa sistem tersebut hanya sebagai penambah beban pekerjaan saja, ditambah lagi dengan keharusan setiap pegawai untuk mencapai target. Dalam mengatasi kondisi seperti ini, Awan dan tim berusaha melakukan pendekatan dengan memberikan pengertian kepada pegawai dan pimpinannya atas pentingnya pengelolaan kinerja. Pengelolaan risiko di Kemenkeu telah mengalami perkembangan dan perbaikan terus menerus. Pria lulusan Magister Manajemen STIE Budi Luhur ini menuturkan bahwa hal pertama yang harus dibangun sekaligus landasan penting yang menentukan keberhasilan penerapan manajemen risiko adalah komitmen pimpinan dan awareness seluruh pegawai dalam membangun budaya sadar risiko. Di tengah-tengah kesibukannya, Ayah dari dua putri ini berusaha menyempatkan diri untuk berolahraga. Salah satunya dengan rajin mengikuti car free day yang rutin diadakan setiap hari minggu di Jakarta. Selain bermanfaat bagi kesehatan, kegiatan ini juga merupakan kesempatan yang baik untuk menghabiskan waktu dengan keluarga. “Belajar, Belajar, Belajar” adalah moto hidupnya sebagai cambuk dalam memberikan kontribusi kepada organisasi. Lebih lanjut, ia juga menambahkan bahwa “jangan bosan belajar, sekalipun sudah umur. Belajar bisa dari siapa saja, kadang kita bisa belajar dari OB atau sopir. Tetapi yang paling banyak adalah dari pimpinan”. Di akhir wawancara, pria yang juga hobi main sepeda ini, berbagi tips untuk meningkatkan kinerja, yaitu bekerja dari hati, mencintai pekerjaan, dan ikhlas. Selain itu, Ia kembali mengingatkan bahwa kita tidak boleh lupa untuk menyiapkan kompetensi dan terus belajar dalam menghadapi tantangan di masa yang akan datang. Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017 7 wawancara wawancara Optimalisasi ERM melalui 3LD TEKS: Tahun 2017 merupakan awal dari paradigma baru implementasi manajemen risiko di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui penerapan Enterprise Risk Management (ERM). Infrastruktur telah disiapkan, baik pedoman maupun petunjuk pelaksanaannya serta telah diinternalisasikan kepada pegawai terutama para pengelola risiko. “Everybody is a risk manager”, oleh karenanya keberhasilan implementasi manajemen risiko tidak terlepas dari peran seluruh individu dalam organisasi, mulai dari jajaran pimpinan hingga level pelaksana. Optimalisasi ERM juga perlu didukung oleh implementasi sistem pertahanan berlapis baik dari sisi manajerial maupun pengendalian internal yang dikenal dengan istilah three lines of defence (3LD). Untuk menggali lebih dalam penerapan konsep three lines of defence di Kemenkeu, Tim Buletin Kinerja berkesempatan mewawancarai Ibu Sumiyati, yang saat ini menjabat sebagai Inspektur Jenderal Kemenkeu. Dengan penuh semangat dan suara yang lantang, wanita berdarah Jawa ini menjelaskan secara sistematis pertanyaan yang diajukan. Berikut petikan wawancara Tim Buletin dengan Ibu Sumiyati: Bagaimana konsep three lines of defence di Kemenkeu? Apa yang melatarbelakangi perlunya konsep dimaksud? Konsep three lines of defence mulai diterapkan di Kemenkeu sejak tahun 2011 dengan terbitnya Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 152/KMK.09/2011 tentang Peningkatan Penerapan Pengendalian Intern di Lingkungan Kemenkeu. Konsep three lines of defence diterapkan dengan membagi dua lini manajemen menjadi lini pertama dan lini kedua dan memposisikan Inspektorat Jenderal (Itjen) sebagai lini ketiga. 8 Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017 Azharuddin, Rachmad Arijanto Lini pertama yaitu lini manajemen yang secara teknis mengoperasikan proses bisnis. Sedangkan lini kedua merupakan unit yang memastikan bahwa sistem pengendalian internal yang melekat dalam bisnis proses organisasi berjalan secara efektif. Unit ini yang selanjutnya dikenal dengan nama Unit Kepatuhan Internal (UKI). Selanjutnya, lini ketiga berperan menjaga dan mengawal sekaligus sebagai benteng terakhir dari pertahanan yang dibangun sehingga risikorisiko yang melekat dalam proses bisnis organisasi baik operasioal maupun fraud dapat diminimalkan. Di Kemenkeu, peran ini dijalankan oleh Itjen. “Penerapan three lines of defence dapat berhasil apabila setiap lini menjalankan perannya secara optimal.” Hal yang melatarbelakangi perlunya penerapan konsep three lines of defence adalah adanya kewajiban bagi instansi pemerintah untuk melaksanakan seluruh unsur pengendalian dalam Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2008. Dalam PP tersebut ditetapkan bahwa unsur-unsur pengendalian meliputi: (1) lingkungan pengendalian, (2) penilaian risiko, (3) kegiatan pengendalian, (4) informasi dan komunikasi, serta (5) pemantauan. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap pelaksanaan kelima unsur tersebut, hal yang perlu mendapat perhatian serius yaitu terkait proses pemantauan. Harapannya, proses pemantauan ini dapat dilaksanakan secara efektif oleh lini kedua yaitu UKI. Apa tujuan dari penerapan sistem ini bagi organisasi? Bagaimana peran dan fungsi Itjen? Penerapan three lines of defence diharapkan dapat mengoptimalkan penerapan SPIP secara lebih komprehensif. Kemenkeu dapat melakukan perbaikan secara terus menerus dengan selalu mengantisipasi risiko dan menyiapkan langkahlangkah penanganan risiko yang efektif. Melalui Sumiyati, Inspektur Jenderal FOTO: R. Aji Setiantoko Apa saja kunci sukses penerapan three lines of defence? perbaikan tersebut, diharapkan pencapaian kinerja dan tujuan organisasi dapat dengan mudah dicapai. Peran dan fungsi Itjen adalah sebagai benteng terakhir pertahanan dalam pemantauan risiko, selain itu Itjen juga menyusun kerangka kerja serta perbaikan metodologi pemantauan sesuai kebutuhan Kemenkeu dalam mengantisipasi perkembangan yang terjadi. Penerapan three lines of defence dapat berhasil apabila setiap lini menjalankan perannya secara optimal. Lini manajemen sebagai lini pertama merupakan pihak yang paling memahami manajemen risiko karena secara langsung berhubungan dengan proses bisnis sehari-hari. Lini pertama ini merancang target untuk periode mendatang, menyiapkan langkah kegiatan yang harus dijalankan, dan memahami titik krusial yang berhubungan risiko organisasi. Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017 9 wawancara wawancara “Namun demikian, hal yang yang paling penting adalah komitmen jajaran manajemen pada saat merancang manajemen risiko dan dalam proses implementasinya” -Sumiyati Namun demikian, hal yang yang paling penting adalah komitmen jajaran manajemen pada saat merancang manajemen risiko dan dalam proses implementasinya, khususnya dalam proses pemantauan risiko. Pemahaman selama ini yang menyebutkan bahwa manajemen risiko merupakan tanggung jawab UKI harus segera ditinggalkan. Keberhasilan manajemen risiko tentunya tidak terlepas dari peran manajemen yang telah merancang proses bisnis dari awal. Pada saat merancang proses bisnis, manajemen juga harus memetakan titik krusial terjadinya risiko dalam setiap implementasi proses bisnis. Proses ini selanjutnya dapat dituangkan dalam suatu matriks, yang dikenal dengan nama Risk Control Matrix. Dengan adanya proses ini, harapannya unit dapat mengantisipasi risiko secara lebih dini sehingga tidak terjadi surprise di akhir tahun. Apa saja tantangan yang dihadapi dalam penerapan sistem ini? Bagaimana strategi Itjen sebagai upaya untuk menghadapi tantangan dimaksud? Tantangan yang dihadapi dalam penerapan three lines of defence di Kemenkeu adalah masih rendahnya kesadaran manajemen tentang pentingnya three lines of defence. Selain itu, pola mutasi pegawai pelaksana pemantauan, masih berpotensi mengganggu proses pemantauan, mengingat pegawai tersebut membutuhkan waktu dalam memenuhi dan meningkatkan kompetensinya. Strategi yang diterapkan dalam rangka meningkatkan kesadaran manajemen misalnya melalui pelaksanaan lokakarya manajerial tentang unit kepatuhan internal, bekerja sama dengan BPPK. Kegiatan ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran manajemen terhadap penerapan three lines of defence. Sedangkan strategi yang akan dilakukan terkait mutasi pelaksana pemantauan adalah melalui penyempurnaan metodologi pemantauan yang lebih sederhana. Semakin sederhana 10 Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017 metodologi pemantauan, maka para pelaksana pemantauan yang baru akan dapat mempelajari tugasnya dengan cepat. Selain itu, proses pemantauan juga dapat dioptimalkan melalui pemanfaatan teknologi informasi. Bagaimana harapan Ibu terkait peran dan fungsi Itjen ke depan agar penerapan three lines of defence dapat berjalan lebih optimal? Penerapan three lines of defence di Kemenkeu saat ini telah mendapatkan pengakuan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hal ini terbukti dengan hasil penilaian maturitas SPIP, dimana Kemenkeu mendapatkan nilai tertinggi di antara seluruh Kementerian/ Lembaga (K/L) dengan nilai sebesar 4,2748 untuk tahun 2016. Nilai ini melebihi target yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yaitu 3,0000 pada tahun 2019. Dengan demikian, Kemenkeu telah menyukseskan RPJMN lebih awal 3 tahun dengan nilai yang layak diteladani oleh K/L lain. Harapan saya, penerapan three lines of defence di Kemenkeu tidak hanya sebatas pada hasil penilaian maturitas SPIP, tetapi lebih optimal dan subtansial khususnya dalam pelaksanaan pemantauan atas risiko-risiko operasional yang melekat pada proses bisnis utama organisasi. Pada akhirnya, sistem ini diharapkan dapat berkontribusi dalam perbaikan kinerja Kemenkeu. Untuk itu, saya berharap Itjen dapat memperbaiki metodologi pemantauan yang ada saat ini sehingga menjangkau pemantauan proses bisnis yang dilakukan melalui pemanfaatan teknologi informasi. Berdasarkan rencana kerja, Itjen saat ini sedang melakukan upaya revisi KMK 32/KMK.09/2013 tentang Kerangka Kerja Penerapan Pengendalian Intern dan Pedoman Teknis Pemantauan Pengendalian Intern di Lingkungan Kemenkeu, yang di antaranya meliputi metodologi pemantauan proses bisnis yang dilakukan dengan teknologi informasi tersebut. Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017 11 ragam kinerja ragam kinerja PENILAIAN KESEHATAN ORGANISASI: “mengejar skor atau feedback untuk perbaikan” TEKS: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merupakan tempat banyak sumber daya berkolaborasi, bekerja, berkontribusi sesuai peran masing-masing untuk mencapai tujuan pembentukan Kemenkeu. Sebagai organisasi yang selalu berusaha melakukan perbaikan dan peningkatan kinerja, Kemenkeu memiliki berbagai tools untuk memastikan dan memantau pelaksanaan tugas dan fungsi berjalan optimal. Kita dapat menyebut beberapa tools tersebut. Balanced Scorecard, tools manajemen untuk memastikan tercapainya visi, misi, strategi organisasi dengan menjaga pencapaian optimal sasaran-sasaran strategis baik dari perspektif learning & growth, internal process, maupun custormer dan stakeholder. Berikutnya manajemen risiko, untuk mengidentifikasi, menganalisa, mengevaluasi dan melakukan mitigasi risiko terkait pekerjaan/proses bisnis. Tools manajemen selanjutnya adalah penilaian kesehatan organisasi atau lebih dikenal MOFIN (Ministry of Finance Organizational Fitness Index). Penilaian Kesehatan Organisasi di lingkungan Kemenkeu diawali pada tahun 2013. Saat itu, survei dilakukan untuk mengukur indeks kesehatan organisasi (Organizational Health Index atau disingkat OHI) terhadap lebih dari 24.000 pegawai untuk mengukur skor persepsi dan praktik kesehatan organisasi yang dilakukan Kemenkeu pada tahun 2013. Hasil survei ini menjadi bahan masukan untuk penyusunan cetak biru Transformasi Kelembagaan Kemenkeu hingga tahun 2025. Selanjutnya, untuk mendorong perbaikan pada elemen yang perlu ditingkatkan, dikembangkan survei MOFIN dengan metodologi yang disesuaikan dengan kondisi Kemenkeu sebagai institusi sektor publik. 12 Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017 Tim MOFIN, Biro Organisasi dan Ketatalaksanaan Pengukuran tingkat kesehatan organisasi Kemenkeu didasarkan pada teori kesehatan organisasi Keller dan Price (2011). Kesehatan organisasi merupakan kemampuan organisasi untuk menyelaraskan kondisi internal, mengeksekusi strategi, dan memperbaharui dirinya lebih cepat dari organisasi lain di bidangnya sehingga dapat mempertahankan kinerja yang tinggi dalam jangka panjang. Penelitian Keller dan Price (2011) menunjukkan bahwa untuk mencapai kinerja yang tinggi secara berkesinambungan, organisasi tidak cukup hanya memfokuskan pada kinerja, namun harus aktif mengelola kinerja maupun kondisi kesehatannya. Kesehatan organisasi dibagi dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu sakit (ailing), mampu (able), dan sehat (elite). Untuk dapat memberikan kinerja yang optimal kepada stakeholders, organisasi harus keluar dari kondisi sakit (ailing) dan berada minimal pada tingkat mampu (able) untuk kesembilan dimensi kesehatan organisasi. Penelitian menunjukkan bahwa sangat sulit bagi organisasi untuk mencapai dan mempertahankan kondisi sehat (elite) untuk kesembilan dimensi tersebut. Oleh karena itu, organisasi yang sehat secara Tiga Kelompok Utama dan Sembilan Dimensi Kesehatan Organisasi Sumber: Keller dan Price (2011) keseluruhan adalah organisasi yang dapat mempertahankan kesehatannya pada sekurang-kurangnya kondisi mampu (able) untuk kesembilan dimensi tersebut, serta mencapai dan mempertahankan beberapa dimensi yang menjadi prioritas sesuai visi organisasi untuk berada pada kondisi tertingginya, yaitu sehat (elite). Penilaian kesehatan organisasi dilakukan dengan metode survei kepada para pegawai, mulai dari pimpinan tertinggi sampai dengan para pelaksana. Item pertanyaan dibuat untuk mendapat persepsi atas praktik manajemen di Kemenkeu terkait dimensi kesehatan organisasi, yang menghasilkan skor kesehatan organisasi unit pegawai tersebut. Skor kesehatan organisasi Kemenkeu mulai dari tahun 2013, ketika diukur dengan OHI, sampai dengan tahun 2015, ketika diukur dengan MOFIN, mengalami naik turun. Tahun 2013, skornya adalah 68 dan tahun 2014 skornya mencapai 81. Kedua tahun tersebut menggunakan metode yang berbeda, sehingga skor tahun 2013 tidak dapat langsung menjadi perbandingan. Namun demikian, nilai 81 pada tahun 2014 menunjukkan bahwa 81 persen pegawai mempersepsikan bahwa Kemenkeu telah melaksanakan praktik manajemen yang mendukung kesehatan organisasinya. Selanjutnya tahun 2015, skor MOFIN Kemenkeu adalah 75. Apakah berarti kesehatan organisasi Kemenkeu menurun? Apakah bukan berarti terdapat peluangpeluang perbaikan yang bisa dilakukan sehingga praktek manajemen yang ada di Kemenkeu memiliki peluang semakin advance? Sejak tahun 2014, skor MOFIN menjadi salah satu Indikator Kinerja Utama di Kemenkeu. Betapa membanggakan melihat berbagai pihak memiliki komitmen atas pelaksanaan pengukuran kesehatan organisasi. Sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran pegawai dalam mengisi survei, in house training untuk memahami survei kesehatan organisasi, atau membandingkan capaian jumlah responden yang mengisi survei menjadi kegiatan beberapa unit eselon I sebagai upaya positif mendukung pengukuran kesehatan organisasi. Namun, sayang apabila terdapat upaya yang kurang elegan agar bisa mendapatkan skor MOFIN tinggi, seperti satu orang mengisi survei untuk beberapa orang atau upaya memandu dan mengarahkan pengisian survei. Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017 13 ragam kinerja selingan Arti sebuah skor Kenapa perlu diukur kesehatan organisasi? Seorang anak sekolah yang memperoleh nilai ujian tinggi atau rendah, tentu mengandung makna. Nilai rendah menunjukkan tingkat penguasaan yang kurang dibanding anak yang memperoleh nilai tinggi. Sedangkan skor MOFIN, tinggi atau rendah, tidak dapat menjadi perbandingan begitu saja. Mengapa? Bila skor MOFIN tinggi dan rendah memiliki sisi positif dan negatif, apakah masih perlu penilaian kesehatan organisasi? Jawabnya “Ya,” seperti tubuh manusia yang harus rutin melakukan general check up sehingga dapat segera diketahui tanda adanya gangguan kesehatan. Demikian pula dalam organisasi, perlu rutin diukur kesehatannya sehingga segera diketahui praktek manajemen yang kurang berfungsi secara optimal dan segera diketahui bagaimana memperbaikinya. Sebagaimana manusia, ukuran sehat dan karakteristik fisik seorang karyawan dengan seorang atlet berbeda. Atlet senam dengan atlet sepakbola pun berbeda. Atlet senam memerlukan tangan dan kaki yang mampu bergerak dengan harmonis serta kelenturan badan yang tinggi, sedangkan atlet sepakbola lebih memerlukan kaki yang gesit dan kuat. Hal ini berlaku pula untuk kesehatan organisasi, ketika diperoleh skor MOFIN yang sama untuk memaknakan perlu dilihat karekteristik organisasi. Kita paham bahwa Kemenkeu berusaha meningkatkan kinerjanya dan semua pihak berharap kinerja tinggi tersebut dapat berkesinambungan dalam jangka panjang. Inginkah kita melihat Kemenkeu lebih sehat? Yuk sukseskan pelaksanaan survei MOFIN 2017. Tebak 3 pertanyaan di bawah ini, kirimkan jawaban beserta identitas (nama, jabatan, unit kerja, alamat) Anda ke [email protected] dengan subject/perihal email “Jawaban Quiz Buletin Kinerja XXXII” atau dikirim ke Bagian Pengelolaan Kinerja dan Risiko, Biro Perencanaan dan Keuangan, Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan d/a: Gedung Djuanda I Lantai 9, Jl. Dr. Wahidin Raya No. 1 Jakarta 10710. Jawaban dapat kami terima paling lambat pada tanggal 5 Juli 2017. Daftar Pemenang Kuis Buletin Kinerja Edisi XXXI 1. 2. 3. Annisa Fitria, Pelaksana Pushaka; Anasarudin Absori, Pelaksana Biro Organta; Edi Juliana, Central Transformation Office (CTO); 4. Raditya Kurnia Shaleh, Pelaksana KPTIK BMN Semarang; 5. Krishna Pandu Pradana, Pelaksana Biro KLI. “Ketika skor MOFIN rendah atau tinggi apakah itu bermakna? Jawabnya tentu “Ya”, tapi yang lebih penting adalah tindaklanjutnya. “ Skor MOFIN Kemenkeu tinggi berarti pegawai memersepsikan bahwa Kemenkeu telah melaksanakan praktik manajemen yang mendukung kesehatan organisasi. Kita berharap skor MOFIN Kemenkeu tinggi, yang berarti organisasi dapat berkinerja tinggi secara berkelanjutan, bukan organisasi yang berkinerja tinggi di satu momen setelah itu mati suri. Namun bila skor MOFIN rendah, ini menunjukkan bahwa terdapat peluang perbaikan untuk Kemenkeu sehingga dapat meningkatkan pengelolaan organisasinya. 14 Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017 Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017 15 lensa peristiwa lensa peristiwa Workshop Implementasi Dialog Kinerja Individu dan Stress Management Jakarta, 8 Februari 2017. FOTO: Dok. Biro KLI Workshop dan Internalisasi Penilaian Kesehatan Organisasi Kemenkeu Jakarta, 4-6 April 2017. FOTO: Dok. Biro Organta Diklat Manajemen Risiko Kelas Manajerial BDK Makassar, 16-17 Maret 2017. FOTO: Azharuddin Rapat Koordinasi Nasional Pengelolaan Kinerja DJPB Jakarta, 28 - 31 Maret 2017. FOTO: Dok. DJPB Rapat Koordinasi Pengelolaan Keuangan dan Kinerja Kemenkeu Tahun 2017 Surabaya, 6 April 2017. FOTO: Rendy Hermawan 16 Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017 Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017 17 kata mereka kata mereka Peran UKI dalam Penerapan SPI Kemenkeu Sita Nur Laili Pelaksana Subbagian Pemantaun Pengendalian Intern, Sekretariat Itjen “Peran UKI dalam mengawal penerapan Sistem Pengendalian Intern (SPI) di Kemenkeu (termasuk itjen) diawali dengan terbitnya KMK 152/KMK.09/2011. UKI sebagai second line of defence bertugas untuk memastikan bahwa kegiatan utama organisasi dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku. Terbitnya KMK 32/KMK.09/2013 memberikan ruang dan tanggung jawab bagi UKI untuk tidak hanya mengevaluasi penerapan SPI pada level kegiatan, namun juga pada level entitas. Lima tahun berlalu sejak pertama berdiri, keberadaan UKI banyak membawa dampak positif bagi organisasi. Meskipun awal pembentukannya menimbulkan resistensi bagi sebagian unit, saat ini secara umum anggota organisasi (Itjen) telah lebih aware terhadap pengendalian yang menjadi tanggung jawabnya dalam pelaksanaan proses bisnis. Pemantauan pengendalian intern secara berkala melalui kegiatan Pemantauan Pengendalian Utama “memaksa” setiap orang untuk lebih tertib. Selain itu, ditetapkannya tingkat penerapan pengendalian intern “efektif dengan pengecualian” sebagai IKU unit eselon I menunjukkan adanya komitmen bahwa penerapan pengendalian intern bukan hanya tanggung jawab UKI, namun juga seluruh bagian organisasi. Adanya evaluasi mengenai kecukupan pengendalian intern serta kesesuaian SOP dengan praktik yang berlaku oleh UKI merupakan sarana bagi organisasi untuk terus berbenah. Tantangan baru yang dihadapi oleh 18 Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017 UKI ialah mengawal penerapan SPI terhadap laporan keuangan melalui kegiatan penilaian Pengendalian Intern atas Pelaporan Keuangan (PIPK). Hal ini penting untuk dilaksanakan mengingat laporan keuangan merupakan ujung dari pencatatan seluruh transaksi keuangan organisasi. Untuk itu, dibutuhkan kesiapan dari UKI terutama terkait kompetensi di bidang pelaporan keuangan sehingga nantinya diharapkan UKI mampu mengungkap kelemahan pengendalian yang ada dan kemudian memberikan saran perbaikan kepada manajemen.” FOTO: Abdul Muta’ali Taufiq Istianto Kepala Subbagian Kepatuhan Internal dan Evaluasi Hasil Pemeriksaan, Sekretariat DJKN “UKI membantu organisasi mencapai visi dan misinya. UKI melakukan pemantauan pengendalian intern agar pimpinan memiliki keyakinan yang memadai bahwa pelaksanaan tusi telah dilaksanakan sesuai Standard Operating Procedure (SOP). Mengingat peran UKI yang sangat penting dan adanya tugas tambahan yang diberikan maka perlu dilakukan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan kapasitas organisasi UKI. Dengan demikian, UKI lebih mampu melaksanakan tugas pemantauan pengendalian intern secara optimal yang berpengaruh pada kualitas penerapan SPI. Pelaksanaan tugas UKI secara optimal tersebut juga diarahkan agar senantiasa selaras dengan ketentuan disiplin dan kode etik PNS, sehingga SDM UKI dapat menjadi suri tauladan bagi pihak lain.“ Saiful Hidayat Kepala Seksi Kepatuhan Internal, KPPBC TMP B Bandar Lampung “Peran UKI sebagai second line of defence akan berjalan optimal apabila tercipta interaksi yang baik antara UKI dengan manajemen dalam proses pemantauan dan organisasi yang bersangkutan sadar atas risiko yang dimilikinya. Interaksi yang baik akan terbentuk apabila masing-masing pihak mengetahui peran pokok masing-masing pihak. Manajemen wajib memberikan dukungan terhadap pelaksanaan Pemantauan Pengendalian Intern (PPI), sedangkan UKI berperan untuk melaksanakan Pemantauan Pengendalian Utama (PPU) dan Pemantauan Efektifitas Implementasi dan Kecukupan Rancangan (PEIKR). Tantangan yang dihadapi saat ini, interaksi UKI dan manajemen masih belum optimal karena belum lancarnya komunikasi dan informasi kedua belah pihak. Hal tersebut mengakibatkan sulitnya pelaksanaan pemantauan baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan pemantauan. Untuk itu pimpinan perlu menciptakan sinergi informasi dan komunikasi sehingga tercipta trust. Perubahan paradigma organisasi dari yang bersifat pasif-reaktif menjadi organisasi yang proaktif-preventif akan mempermudah UKI sebagai second line of defence. Organisasi yang bersifat proaktif-preventif sadar atas risiko yang dimilikinya, sehingga risiko dapat dikelola pada tingkat yang diterima. Peraturan Menteri Keuangan nomor 171/PMK.01/2016 tentang Manajemen Risiko di Lingkungan Kemenkeu telah mengakomodir keinginan terwujudnya budaya sadar risiko di Kemenkeu dimana Unit Pemilik Risiko sudah sampai pada level tingkat unit eselon III. Adanya komitmen yang kuat dari pimpinan, komunikasi yang berkelanjutan, dan pengintegrasian manajemen risiko dalam proses organisasi akan mampu memberikan keyakinan yang memadai dalam pencapaian tujuan organisasi.” Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017 19 20 Buletin Kinerja Edisi XXXII/2017