Klasifikasi Penyakit Auto Imunitas Patogenesis autoimunitas

advertisement
Klasifikasi Penyakit Auto Imunitas
Patogenesis autoimunitas
Beberapa mekanisme dianggap operatif dalam patogenesis penyakit
autoimun, dengan latar belakang kecenderungan genetik dan modulasi
lingkungan. Hal ini di luar cakupan artikel ini membahas masing-masing dari
mekanisme ini secara mendalam, tapi ringkasan dari beberapa mekanisme
penting telah dijelaskan:

T-Cell Bypass – Sistem kekebalan tubuh yang normal memerlukan
aktivasi sel-B dengan T-sel sebelum mantan dapat menghasilkan antibodi
dalam jumlah besar. Kebutuhan sel-T ini bisa di bypass dengan kasus
yang jarang terjadi, seperti infeksi oleh organisme memproduksi super
antigen , yang mampu memulai aktivasi poliklonal sel-B, atau bahkan Tsel, dengan langsung mengikat β- subunit T-sel reseptor dalam mode
non-spesifik.

T-Cell-B-Cell discordance – Sebuah respon imun normal diasumsikan
melibatkan B dan respon sel T terhadap antigen yang sama, bahkan jika
kita tahu bahwa sel B dan sel T mengenali hal yang sangat berbeda:
konformasi pada permukaan molekul untuk sel B dan pra-olahan
fragmen peptida protein untuk sel T. Namun, tidak ada sejauh kita tahu
bahwa membutuhkan ini. Semua yang diperlukan adalah bahwa sel B
mengenali antigen X endocytoses dan proses protein Y (biasanya = X)
dan menyajikan itu ke sel T. Roosnek dan Lanzavecchia menunjukkan
bahwa sel B mengenali IgGFc bisa mendapatkan bantuan dari setiap sel
T menanggapi antigen co-endocytosed dengan IgG oleh sel B sebagai
bagian dari kompleks imun. Pada penyakit celiac nampaknya sel B
mengenali transglutamine jaringan dibantu oleh sel T mengenali gliadin.

Aberrant B cell receptor-mediated feedback – Sebuah fitur
penyakit autoimun manusia adalah bahwa hal itu sebagian besar
terbatas pada sekelompok kecil antigen, beberapa di antaranya telah
dikenal peran sinyal dalam respon imun (DNA, C1q, IgGFc, Ro, Con A.
reseptor, Kacang Tanah agglutinin reseptor (PNAR)). Fakta ini
memunculkan gagasan bahwa autoimun spontan dapat terjadi bila
pengikatan antibodi terhadap antigen tertentu dapat sinyal menyimpang
yang makan kembali ke induk sel B melalui ligan terikat membran.
Ligan termasuk reseptor sel B (untuk antigen), Fc IgG reseptor, CD21,
yang mengikat komplemen C3d, Pulsa seperti reseptor 9 dan 7 (yang
dapat mengikat DNA dan nucleoproteins) dan PNAR. Aktivasi
menyimpang tidak langsung sel B juga bisa dipertimbangkan dengan
autoantibodies untuk reseptor asetil kolin (pada sel myoid thymus) dan
hormon dan protein hormon mengikat. Bersama dengan konsep T-sel-sel
B kejanggalan ide ini membentuk dasar hipotesis mengabadikan diri sel
B autoreaktif. Autoreaktif B sel-sel di autoimunitas spontan dilihat
sebagai surviving karena subversi kedua sel T membantu dan jalur dari
sinyal umpan balik melalui reseptor sel B, dengan demikian mengatasi
sinyal negatif yang bertanggung jawab untuk sel B toleransi diri tanpa
harus memerlukan hilangnya sel T diri-toleransi.

Molecular Mimicry – Sebuah eksogen antigen dapat berbagi
kesamaan struktural dengan antigen host tertentu, dengan demikian,
antibodi apapun dihasilkan terhadap antigen ini (yang meniru antigen
diri) juga bisa, secara teori, mengikat antigen host, dan memperkuat
respon imun. Ide mimikri molekuler muncul dalam konteks Demam
rematik , yang mengikuti infeksi dengan Grup A beta-hemolitik
streptokokus . Meskipun demam rematik telah dikaitkan dengan mimikri
molekuler selama setengah abad antigen belum ada secara resmi
diidentifikasi (jika ada terlalu banyak telah diusulkan). Selain itu, jaringan
distribusi yang kompleks penyakit (jantung, sendi, kulit, basal ganglia)
berpendapat melawan antigen tertentu jantung. Masih mungkin bahwa
penyakit ini disebabkan misalnya interaksi yang tidak biasa antara
kompleks imun, komponen komplemen dan endotelium.

Idiotype Cross-Reaction – Idiotypes adalah antigenik epitop
ditemukan di bagian antigen-mengikat (Fab) dari molekul imunoglobulin.
Plotz dan Oldstone disajikan bukti bahwa autoimunitas dapat timbul
sebagai akibat dari reaksi silang antara idiotype pada antivirus antibodi
dan sel reseptor inang untuk virus tersebut. Dalam hal ini, reseptor sel
inang dibayangkan sebagai sebuah gambar internal dari virus, dan antiidiotype antibodi dapat bereaksi dengan sel inang.

Cytokine Dysregulation – sitokin telah baru-baru dibagi menjadi dua
kelompok sesuai dengan populasi sel yang fungsi mereka
mempromosikan: Helper T-sel tipe 1 atau tipe 2. Kategori kedua sitokin,
termasuk IL-4, IL-10 dan TGF-β (untuk beberapa nama), tampaknya
memiliki peran dalam pencegahan berlebihan pro-inflamasi respon imun.

Dendritic cell apoptosis – sel sistem kekebalan yang disebut sel
dendritik menyajikan antigen untuk aktif limfosit . Sel dendritik yang
cacat dalam apoptosis dapat menyebabkan tidak tepat sistemik limfosit
aktivasi dan penurunan konsekuen dalam diri toleransi.

Epitope spreading or epitope drift – ketika reaksi kekebalan
perubahan dari menargetkan utama epitop untuk juga menargetkan
epitop lainnya. Berbeda dengan mimikri molekuler, epitop lainnya tidak
perlu secara struktural mirip dengan yang utama.

Epitope modification or Cryptic epitope exposure – mekanisme
penyakit autoimun adalah unik karena bukan hasil dari cacat dalam
sistem hematopoietik. Sebaliknya, penyakit hasil dari pemaparan samar
N-glycan (polisakarida) hubungan umum untuk eukariota dan prokariota
lebih rendah pada glikoprotein dari mamalia non-sel dan organ
hematopoietik. Paparan glycans phylogenically primitif mengaktifkan
satu atau lebih sel kekebalan tubuh mamalia bawaan reseptor untuk
menginduksi kondisi inflamasi kronis steril. Dengan adanya kerusakan sel
dan inflamasi kronis, sistem kekebalan tubuh adaptif yang direkrut dan
self-toleransi hilang dengan produksi autoantibody meningkat. Dalam
bentuk penyakit, tidak adanya limfosit dapat mempercepat kerusakan
organ, dan intravena IgG administrasi dapat terapi. Meskipun rute ini
untuk penyakit autoimun mungkin mendasari berbagai negara penyakit
degeneratif, tidak ada diagnostik untuk mekanisme penyakit ada saat
ini, sehingga perannya dalam autoimunitas manusia saat ini tidak
diketahui. Peran khusus immunoregulatory jenis sel, seperti sel T
peraturan , sel NKT , γδ T-sel dalam patogenesis penyakit autoimun yang
sedang diselidiki.
SPEKTRUM PENYAKIT AUTOIMUN
Penyakit autoimun mempunyai spektrum yang sangat luas, dari yang
bersifat organ spesifik sampai bentuk sistemik atau non-organ spesifik. Pada
penyakit autoimun organ spesifik, umumnya mempengaruhi organ tunggal
dan respons autoimun ditujukan langsung pada antigen di dalam organ
tersebut. Sebagian besar kelainan spesifik organ melibatkan satu atau
beberapa kelenjar endokrin. Target antigen dapat berupa molekul yang
diekspresikan pada permukaan sel hidup (terutama reseptor hormon) atau
molekul intraseluler (terutama enzim intraseluler). Sedangkan penyakit
autoimun non-organ spesifik mempengaruhi organ multipel dan biasanya
berkaitan dengan respons autoimun terhadap molekul yang tersebar di
seluruh tubuh, terutama molekul intraseluler yang berperan dalam
transkripsi dan translasi kode genetik (DNA dan unsur inti sel lainnya) .
Spektrum penyakit autoimun
Beberapa contoh antigen diri dan penyakit terkait
Antigen diri
Penyakit
Reseptor hormonReseptor TSHReseptor
Hiper atau hipotiroidismeHiper atau
insulin
hipoglikemia
Reseptor neurotransmiterReseptor
asetilkolin
Miastenia gravis
Molekul sel adesiMolekul sel adesi epidermal
Penyakit kulit yang melepuh
Protein plasmaFaktor VIIIβ2 glikoprotein I
dan protein antikoagulan lain
Hemofili didapatSindrom antifosfolipid
Antigen permukaan selSel darah merah
(antigen multipel)Platelet
Anemia hemolitikPurpura trombositope
Tiroiditis, kemungkinan
Enzim intraselulerPeroksidase tiroidSteroid
hipotiroidismeKegagalan adrenokortika
21-hidroksilase (korteks adrenal)
(penyakit Addison)
Glutamat dekarboksilase (sel β di pulau
pankreas)Enzim lisosom (sel fagositik)Enzim
mitokondria (terutama piruvat
Diabetes autoimun Vaskulitis sistemikS
dehidrogenase)
biliar primer
Molekul intraseluler yang melibatkan
transkripsi dan translasiRantai dua
DNAHistonTopoisomerase IAmino-acyl t-RNA
sintaseProtein sentromer
SLESLESkleroderma
difusPolimiositisSkleroderma lokal
TOLERANSI DIRI
Autoimunitas dan toleransi diri
Untuk menghindari penyakit autoimun, pembentukan molekul sel T dan B
yang bersifat autoreaktif harus dicegah melalui eliminasi atau downregulation. Sel T (terutama CD4+) mempunyai peran sentral dalam
mengatur hampir semua respons imun, sehingga proses toleransi sel T lebih
penting dalam penghindaran autoimunitas dibandingkan toleransi sel B.
Selain itu, sebagian sel B yang autoreaktif juga tidak dapat memproduksi
autoantibodi apabila tidak menerima rangsangan yang tepat dari sel Th.
Toleransi timus
Perkembangan sel T di timus mempunyai peranan penting dalam eliminasi
sel T yang dapat mengenali peptida pada protein diri. Dengan
proses positive selection, sel akan bertahan melalui ikatan dengan molekul
MHC. Ikatan ini akan menginduksi sinyal yang mencegah sel mati. Reseptor
sel T yang gagal berikatan dengan molekul MHC di timus akan mati melalui
apoptosis. Sel T yang bertahan dari proses ini akan berikatan dengan
molekul MHC dan kompleks peptida diri yang ada di timus dengan afinitas
yang berbeda-beda. Sel T yang mempunyai afinitas yang rendah akan
bertahan dan berpotensial untuk mengikat MHC dan peptida asing dengan
afinitas tinggi serta dapat menginisiasi respons imun protektif nantinya.
Namun sel T yang berikatan dengan MHC dan peptida diri di timus dengan
afinitas tinggi mempunyai potensial untuk pengenalan dengan antigen diri di
tubuh, dengan konsekuensi induksi autoimunitas. Sel-sel dengan afinitas
tinggi tersebut dieliminasi melalui proses negative selection
Proses-proses diatas disebut edukasi timus. Alasan gagalnya toleransi timus
adalah banyaknya peptida diri yang tidak diekspresikan dengan kadar yang
cukup di timus untuk menginduksi negative selection. Sebagian besar
peptida yang berikatan dengan MHC di timus berasal baik dari protein
intraseluler atau terikat membran yang ada dimana-mana, ataupun protein
yang ada di cairan ekstraseluler, sehingga toleransi timus tidak diinduksi
terhadap protein spesifik jaringan.
Toleransi perifer
Terdapat beberapa mekanisme terjadinya toleransi perifer yang merupakan
kontrol lini kedua dalam mengatur sel autoreaktif
Ignorance
Proses immunological ignorance terjadi karena keberadaan antigen terasing
di organ avaskular, seperti humor viterus pada mata. Antigen tersebut
secara efektif tidak “terlihat” oleh sistem imun. Apabila antigen tersebut
lolos dari organ tersebut, maka toleransi perifer aktif akan berkembang.
Proses ini terjadi karena sel T CD4+ hanya mengenali angtigen yang
dipresentasikan melalui molekul MHC II. Dengan distribusi yang terbatas dari
molekul tersebut, maka sebagian besar molekul spesifik organ tidak akan
dipresentasikan dengan kadar yang cukup untuk menginduksi aktivasi sel T
Pemisahan sel T autoreaktif dengan autoantigen
Antigen diri dan limfosit juga terpisah oleh sirkulasi limfosit yang terbatas.
Sirkulasi ini membatasi limfosit naive ke jaringan limfoid sekunder dan darah.
Untuk mencegah antigen diri mempunyai akses ke antigen-presenting cells,
debris dari jaringan diri yang rusak perlu dibersihkan secara cepat dan
dihancurkan, melalui apoptosis dan mekanisme pembersihan debris lainnya,
termasuk sistem komplemen dan fagositosis. Defek komplemen dan fagosit
berkaitan dengan perkembangan autoimunitas terhadap molekul intraseluler.
Anergi dan kostimulasi
Mekanisme toleransi perifer yang aktif meliputi delesi sel autoreakitf melalui
apoptosis atau induksi keadaan anergi (tidak respons). Sel T CD4+ naive
memerlukan dua sinyal untuk menjadi aktif dan memulai respons imun.
Sinyal pertama berupa sinyal spesifik antigen melalui reseptor antigen di sel
T. Sinyal kedua berupa sinyal non-spesifik ko-stimulasi, biasanya sinyal oleh
CD28 (pada sel T) yang terikat ke salah satu lingkup B7 (CD80 atau CD86)
pada stimulator. Oleh karena itu, meskipun terdapat pengenalan sel T
terhadap molekul peptida spesifik jaringan atau kompleks MHC, namun bila
tidak terdapat ikatan dengan molekul ko-stimulator, maka stimulasi melalui
reseptor sel T akan berujung pada anergi atau kematian sel T melalui
apoptosis (Gambar 15-2). Ekspresi molekul ko-stimulator ini sangat terbatas.
Sinyal stimulator juga terbatas pada antigen-presenting cells seperti sel
dendritik. Dengan adanya distribusi yang terbatas dan pola resirkulasi,
interaksi sel CD4+ dengan sel dendritik hanya terjadi di jaringan limfoid
sekunder seperti nodus limfe. Ekspresi molekul ko-stimulator dapat diinduksi
melalui beberapa cara, biasanya melalui inflamasi atau kerusakan sel.
Namun, dengan adanya restriksi pola resirkulasi limfosit, maka hanya sel
yang telah teraktivasi sebelumnya yang mempunyai akses ke lokasi perifer.
Sel T teraktivasi juga dapat mengekspresikan molekul permukaan yang
mempunyai struktur serupa dengan molekul ko-stimulator, namun
mempunyai efek negatif terhadap aktivasi sel T, yaitu CTLA-4 yang
mempunyai struktur serupa dengan CD28 dan mengikat ligand yang sama.
Ikatan antara CD80 atau CD86 dengan CTLA4 menginduksi anergi atau
kematian melalui apoptosis (Gambar 15-2). Adanya defek genetik pada
mekanisme apoptosis dapat berakibat pada berkembangnya autoimunitas.
Supresi
Mekanisme toleransi perifer termasuk supresi aktif dari sel T autoreaktif
melalui penghambatan populasi sel T yang dapat mengenali antigen yang
sama (sel T supresor)
Toleransi sel B
Toleransi sel B bekerja pada sistem perifer. Produksi antibodi autoreaktif
dibatasi terutama oleh kurangnya sel T yang membantu dalam antigen diri.
Sel B baru akan terus dibentuk secara kontinu dari prekursor sumsum tulang
dan banyak diantaranya bersifat autoreaktif. Adanya proses hipermutasi
somatik gen imunoglobulin pada sel B matur di pusat germinal nodus limfe
juga dapat menghasilkan autoantibodi. Apabila sel B baru atau hipermutasi
sel B berikatan dengan antigen yang sesuai, namun tidak terdapat bantuan
sel T, maka sel B akan mengalami apoptosis atau anergi.
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Etiologi
Interaksi antara genetik dan faktor lingkungan penting dalam penyebab
penyakit autoimun.
Faktor genetik
Penyakit autoimun multipel dapat berada dalam satu keluarga dan autoimun
yang bersifat subklinis lebih umum terdapat dalam anggota keluarga
dibandingkan penyakit yang nyata. Peran genetik dalam penyakit autoimun
hampir selalu melibatkan gen multipel, meskipun dapat pula hanya
melibatkan gen tunggal. Beberapa defek gen tunggal ini melibatkan defek
pada apoptosis atau kerusakan anergi dan sesuai dengan mekanisme
toleransi perifer dan kerusakannya. Hubungan antara gen dengan
autoimunitas juga melibatkan varian atau alel dari MHC.
Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang diidentifikasi sebagai kemungkinan penyebab antara
lain hormon, infeksi, obat dan agen lain seperti radiasi ultraviolet.
Hormon
Observasi epidemilogi menunjukkan penyakit autoimun lebih sering terjadi
pada perempuan dibandingkan laki-laki. Sebagian besar penyakit autoimun
mempunyai puncak usia onset dalam masa reproduktif, dengan beberapa
bukti klinis dan eksperimental menyebutkan estrogen sebagai faktor
pencetus. Mekanisme yang mendasarinya belum jelas, namun bukti
menunjukkan estrogen dapat menstimulasi beberapa respons imun.
Contohnya insidens penyakit LES pada wanita pasca pubertas 9 kali lebih
tinggi daripada pria. Belum ada penjelasan tentang hal ini tetapi studi klinis
dan eksperimental pada manusia dan hewan percobaan memperlihatkan
bahwa kecenderungan tersebut lebih ditentukan oleh hormon sel wanita
daripada gen kromosom X. Hewan betina, atau jantan yang dikastrasi,
memperlihatkan kadar imunoglobulin dan respons imun spesifik yang lebih
tinggi daripada jantan normal. Stimulasi estrogen kronik mempunyai peran
penting terhadap prevalensi LES pada wanita. Walaupun jumlah estrogen
pada penderita tersebut normal, aktivitas estradiol dapat meningkat akibat
kelainan pola metabolisme hormon wanita. Pada wanita penderita LES
terdapat peninggian komponen 16α-hidroksil dari 16α-hidroksiestron dan
estriol serum dibandingkan dengan orang normal. Hormon hipofisis prolaktin
juga mempunyai aksi imunostimulan terutama terhadap sel T.
Infeksi
Hubungan infeksi dengan autoimun tidak hanya berdasar pada
mekanisme molecular mimicry, namun juga terdapat kemungkinan lain.
Infeksi pada target organ mempunyai peran penting dalam upregulationmolekul ko-stimulan yang bersifat lokal dan juga induksi
perubahan pola pemecahan antigen dan presentasi, sehingga terjadi
autoimunitas tanpa adanya molecular mimicry. Namun, sebaliknya,
autoimun lebih jarang terjadi pada area dengan angka kejadian infeksi yang
tinggi. Mekanisme proteksi autoimun oleh infeksi ini masih belum jelas.
Virus sering dihubungkan dengan penyakit autoimun. Infeksi yang terjadi
secara horizontal atau vertikal akan meningkatkan reaksi autoimun dengan
berbagai jalan, antara lain karena aktivasi poliklonal limfosit, pelepasan
organel subselular setelah destruksi sel, fenomena asosiasi pengenalan
akibat insersi antigen virus pada membran sel yang meningkatkan reaksi
terhadap komponen antigen diri, serta gangguan fungsi sel Ts akibat infeksi
virus. Virus yang paling sering dikaitkan sebagai pencetus autoimunitas
adalah EBV, selain miksovirus, virus hepatitis, CMV , virus coxsackie,
retrovirus, dan lain-lain.
Obat
Banyak obat dikaitkan dengan timbulnya efek samping idiosinkrasi yang
dapat mempunyai komponen autoimun di dalam patogenesisnya. Sangat
penting untuk membedakan respons imunologi dari obat (hipersensitivitas
obat), baik berasal dari bentuk asli maupun kompleks dengan molekul
pejamu, dengan proses autoimun asli yang diinduksi oleh obat. Reaksi
hipersensitivitas biasanya reversibel setelah penghentian obat sedangkan
proses autoimun dapat berkembang progresif dan memerlukan pengobatan
imunosupresif.
Mekanisme autoimun yang diinduksi obat kemungkinan mengikuti
mekanisme molecular mimicry, yaitu molekul obat mempunyai struktur yang
serupa dengan molekul diri, sehingga dapat melewati toleransi perifer.
Beberapa obat (seperti penisiliamin) dapat terikat langsung dengan peptida
yang mengandung molekul MHC dan mempunyai kapasitas langsung untuk
menginduksi respons abnormal sel T. Kerentanan yang berbeda tersebut
terutama ditentukan oleh genetik. Variasi genetik pada metabolisme obat
juga berperan, adanya defek pada metabolisme mengakibatkan formasi
konjugat imunologi antara obat dengan molekul diri. (Pada SLE yang
diinduksi obat, asetilator kerja lambat lebih rawan menyebabkan SLE). Obat
juga mempunyai ajuvan intrinsik atau efek imunomodulator yang
mengganggu mekanisme toleransi normal.
Agen fisik lain
Pajanan terhadap radiasi ultraviolet (biasanya dalam bentuk sinar matahari)
merupakan pemicu yang jelas terhadap inflamasi kulit dan kadang
keterlibatan sistemik pada SLE, namun radiasi ini lebih bersifat
menyebabkan flare dalam respons autoimun yang sudah ada dibandingkan
sebagai penyebab. Radiasi ultraviolet memperberat SLE melalui beberapa
mekanisme. Radiasi dapat menyebabkan modifikasi struktur pada antigen
diri sehingga mengubah imunogenitasnya. Radiasi tersebut juga dapat
menyebabkan apoptosis sel dalam kulit melalui ekspresi autoantigen lupus
pada permukaan sel, yang berkaitan dengan fotosensitivitas (dikenal dengan
Ro dan La). Permukaan Ro dan La kemudian dapat berikatan dengan
autoantibodi dan memicu kerusakan jaringan. Variasi genetik yang
mengkode gen glutation-S-transferase juga dikaitkan dengan peningkatan
antibodi anti-Ro pada SLE. Pemicu lain yang diduga berkaitan dengan
penyakit autoimun antara lain stres psikologis dan faktor diet.
Patogenesis
Berbagai teori telah diajukan oleh para peneliti tentang patogenesis
autoimunitas tetapi tampaknya masing-masing mempunyai kebenaran dan
kelemahan sendiri.
Berbagai teori patogenesis autoimunitas
Pelepasan antigen sekuesterPenurunan fungsi sel T supresorPeningkatan aktivitas sel Th
pintas sel TDefek timusKlon abnormal, defek induksi toleransiSel B refrakter terhadap si
supresorDefek makrofagDefek sel stemDefek jaringan idotip-antiidiotipGen abnormal: g
respons imun, gen imunoglobulinFaktor virusFaktor hormon
Berdasarkan karakteristik penyakit autoimun organ spesifik maka timbul
dugaan adanya antigen sekuester dalam suatu organ, yang karena tidak
pernah berkontak dengan sistem limforetikular maka apabila suatu saat
terbebas akan dianggap asing dan menimbulkan pembentukan autoantibodi.
Contohnya adalah autoantibodi terhadap sperma setelah vasektomi, lensa
mata setelah trauma mata, otot jantung setelah infark miokard, atau
jaringan lain yang bila terbebas akan menimbulkan pembentukan
autoantibodi.
Seperti telah kita ketahui maka aktivasi sistem imun akan diikuti oleh
mekanisme pengatur yang meningkatkan atau menekan dan menghentikan
respons imun. Gangguan pada mekanisme supresi, baik jumlah maupun
fungsi sel Ts, akan meningkatkan pembentukan autoantibodi bila respons
imun tersebut sel ditujukan terhadap autoantigen.
Respons imun hampir selalu membutuhkan kerjasama sel T dan sel B, dan
telah diketahui bahwa mekanisme toleransi ditentukan oleh sel T. Bila sel T
toleran tersebut teraktivasi oleh faktor nonspesifik atau antigen silang yang
mirip dengan antigen diri, maka sel B yang bersifat tidak toleran akan
membentuk autoantibodi. Timus dan sel mikronya sangat penting untuk
diferensiasi sel T. Bila terjadi gangguan maka akan terjadi defek sistem imun
yang akan mempercepat proses autoimun. Produksi autoantibodi dilakukan
oleh sel B, dan gangguan imunitas selular, baik peningkatan sel Th atau
penekanan sel Ts, akan meningkatkan aktivitas sel B.
Selain itu dapat juga terjadi kelainan pada sel B yang bersifat intrinsik,
misalnya terdapat klon sel B autoreaktif yang hiperresponsif terhadap
berbagai stimuli, atau kelainan ekstrinsik berupa aktivasi sel B oleh mitogen
endogen atau eksogen yang disebut aktivator poliklonal. Sel B dapat
bereaksi dengan autoantigen melalui berbagai reseptornya yang mempunyai
aviditas rendah sampai tinggi, sementara sel T tetap toleran. Aktivator
poliklonal yang terdiri dari produk bakteri, virus, atau komponen virus,
parasit, atau substansi lainnya dapat langsung merangsang sel B tersebut
untuk memproduksi autoantibodi (lihat Gambar 15-3). Hal ini dapat terlihat
dengan terdeteksinya faktor rheumatoid dan antinuklear, antilimfosit,
antieritrosit, serta anti-otot polos setelah infeksi parasit, bakteri, atau virus.
Selain itu terbukti pula bahwa lipopolisakarida bakteri dapat menginduksi
limfosit tikus untuk memproduksi berbagai autoantibodi seperti anti DNA,
antiglobulin γ ,antitimosit, dan antieritrosit.
Makrofag mempunyai fungsi penting untuk memproses dan
mempresentasikan antigen pada limfosit, serta memproduksi berbagai
sitokin untuk aktivasi limfosit. Fungsi penting lainnya adalah sebagai fagosit
untuk mengeliminasi berbagai substansi imunologik yang tidak diinginkan,
misalnya kompleks imun. Pada penderita penyakit autoimun diduga bahwa
eliminasi kompleks imun tidak berfungsi dengan baik karena jumlah reseptor
Fc dan CR1 (C3b, imun adherens) pada makrofag berkurang, tetapi hasil
penelitian tentang fungsi makrofag pada penyakit autoimun masih belum
konsisten.
Autoimunitas dapat juga terjadi karena defek pembentukan toleransi yang
telah dibuktikan pada hewan percobaan, akibat gangguan sel T atau sel B,
atau keduanya. Gangguan toleransi ini hanya terjadi untuk antigen tertentu
saja. Sampai sejauh ini masih belum dapat diambil kesimpulan komprehensif
dari penelitian tentang peran defek toleransi tersebut.
Cara terbaik untuk membuktikan peran humoral, selular, lingkungan mikro
atau virus terhadap autoimunitas adalah uji transfer autoimunitas dengan
jaringan atau ekstrak jaringan hewan percobaan yang mempunyai
predisposisi genetik autoimun ke resipien tanpa defek tersebut. Dengan cara
ini maka terlihat bahwa defek sel stem, terutama prekursor sel B, lebih
berperan untuk timbulnya autoimunitas daripada sel B matang.
Aktivasi sel B ditentukan oleh sejumlah sinyal dan faktor yang datang dari
sel T. Pada penyakit autoimun sistemik terdapat peningkatan jumlah sel B
aktif dan yang memproduksi antibodi poliklonal. Hiperreaktivitas sel B ini
disebabkan oleh defek sel B terhadap kebutuhan sinyal, produksi faktor
proliferasi, diferensiasi, dan maturasi oleh sel T yang berlebih, atau respons
sel B yang tidak normal terhadap faktor-faktor tersebut. Akibatnya akan
terjadi hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, alih imunoglobulin
menjadi autoantibodi subkelas patologik, dan akhirnya penyakit autoimun
sistemik.
Para penulis sepakat bahwa peran faktor genetik terhadap angka kejadian,
awitan, dan perjalanan penyakit autoimun sangat besar. Gen yang
bertanggung jawab terhadap predisposisi autoimun ini bukanlah lokus
tunggal, dan dihubungkan dengan gen yang menentukan respons imun
terhadap antigen, yaitu gen MHC dan gen imunoglobulin. Hal ini terlihat dari
adanya hubungan antara suatu antigen HLA dengan penyakit tertentu yang
dinyatakan dengan risiko relatif.
Sel B dan sel T serta produknya dapat mengekspresikan determinan idiotip
atau anti-idiotip yang ikut berfungsi sebagai regulator sistem imun. Antibodi
anti-idiotipik dapat menekan atau merangsang respons imun. Pada
umumnya autoantibodi anti-idiotipik akan menekan respons imun terhadap
idiotip. Seperti halnya antibodi biasa, autoantibodi merupakan produk
respons imun terhadap antigen/autoantigen, atau terhadap Ab2 (anti-idiotip)
yang menyerupai antigen. Oleh karena itu dapat diduga bahwa autoimunitas
dapat terjadi akibat defek regulasi sistem imun yang menyebabkan
penekanan atau rangsangan produksi antibodi anti-idiopatik (lihat Gambar
15-4). Defek tersebut dapat menyebabkan produksi autoantibodi atau
stimulasi Ab1 (idiotip) yang tidak terkontrol walaupun tidak ada antigen lagi.
Diduga bahwa defek ini berhubungan erat dengan sirkuit sel B-Th-Ts dan
idiotip serta anti-idiotipnya.
Tidak satu pun dari teori tersebut dapat memberikan penjelasan tunggal
yang memuaskan, sehingga disimpulkan bahwa semua faktor tersebut
berperan pada patogenesis autoimunitas.
Mekanisme rusaknya toleransi
Mengatasi toleransi perifer
Keadaan yang mengakibatkan rusaknya toleransi biasanya berkaitan dengan
infeksi dan kerusakan jaringan yang non-spesifik. Pembalikan anergi dapat
terjadi oleh paparan sitokin tertentu, terutama IL-2. Penyakit autoimun yang
bertambah berat terlihat pada terapi dengan IL-2 pada keganasan.
Pembalikan supresi oleh sel T baru dapat dilihat pada hewan yang
kehilangan sitokin imunosupresif.
Toleransi perifer yang rusak dapat terjadi akibat akses antigen diri yang tidak
tepat pada antigen-presenting cells, ekspresi lokal molekul ko-stimulator
yang tidak tepat atau perubahan cara molekul diri dipresentasikan ke sistem
imun. Hal-hal tersebut terjadi saat inflamasi atau kerusakan jaringan,
diinduksi oleh infeksi lokal atau faktor fisik. Inflamasi lokal akan
meningkatkan aliran antigen diri ke nodus limfe (dan juga ke antigenpresenting cells) dan juga menginduksi ekspresi molekul MHC dan molekul
ko-stimulator. Adanya peningkatan enzim proteolitik pada lokasi inflamasi
juga dapat menyebabkan kerusakan protein intraseluler dan ekstraseluler,
menyebabkan sejumlah peptida dengan konsentrasi tinggi dipresentasikan
ke sel T yang responsif, peptida tersebut dinamakan cryptic epitopes.
Peptida diri juga dapat diubah oleh virus, radikal bebas dan radiasi ion, dan
akhirnya melewati toleransi yang telah ada sebelumnya.
Kemiripan molekul
Kesamaan struktur antara protein diri dengan protein dari mikroorganisme
juga dapat memicu respons autoimun. Peptida diri dengan konsentrasi
rendah dan tanpa akses ke antigen-presenting cells dapat bereaksi silang
dengan peptida mikrobial yang memiliki struktur serupa. Hal ini
mengakibatkan ekspansi populasi sel T yang responsif yang dapat mengenali
peptida diri, apabila kondisi lokal (seperti kerusakan jaringan) menyebabkan
presentasi peptida tersebut dan akses sel T ke jaringan tersebut .
Molecular mimicry, antigen mikrobial dan antigen diri yang terlibat
Penyakit yang didu
akibatmolecular
Antigen mikrobial
Antigen diri
mimicry
Protein grup A streptokokus M
Antigen di otot jantung
Demam reumatik
Terkait dengan penyak
autoimun berat namu
Bacterial heat shock proteins
Self heat shock proteins
belum terbukti
Glutamat dekarboksilase
Diabetes melitus depe
Protein inti Coxsackie B4
sel pulau pankreas
insulin
Glikoprotein Campylobacter
Gangliosida dan glikolipid
jejuni
terkait mielin
Sindrom Guillain-Barre
Subtipe rantai HLA-DR β
mengandung “epitop
Heat shock
bersama” artritis
protein dariEschericia coli
reumatoid
Artritis reumatoid
Sekali toleransi rusak terhadap peptida tertentu, maka inflamasi berlanjut
pada presentasi peptida lainnya dan respons imun akan meluas dan
menghasilkan percepatan kerusakan jaringan lokal. Proses domino ini
disebut epitope spreading.
Sel T yang belum pernah terpajan dengan antigen (sel T naive) memerlukan
ko-stimulasi melalui CD28 unutk dapat berperan dalam respons imun.
Namun, sel T yang sebelumnya sudah teraktivasi dapat diinduksi untuk
proliferasi dan produksi sitokin melalui variasi sinyal ko-stimulasi yang lebih
luas, dicetuskan oleh molekul adesi yang diekspresikan di sel tersebut. Oleh
karena itu, sel autoreaktif yang telah teraktivasi sebelumnya tidak hanya
resirkulasi secara bebas di jaringan yang terinflamasi (karena adanya
peningkatan ekspresi molekul adesi) namun juga lebih mudah mengaktivasi
setelah sampai di jaringan yang mengandung peptida diri/kompleks MHC
yang sesuai. Hal ini menandakan sekali barier toleransi rusak, respons
autoimun akan lebih mudah bertahan dan menyebabkan proses patogenik
autoreaktif yang lama pula.
Mekanisme kerusakan jaringan
Kerusakan jaringan pada penyakit autoimun diperantarai oleh antibodi
(hipersensitivitas tipe II dan III) atau aktivasi makrofag oleh sel T CD4+ atau
sel T sitotoksik (hipersensitivitas tipe IV). Mekanisme kerusakan dapat
tumpang tindih antara kerusakan yang diperantarai antibodi dengan sel T.
Selain kerusakan jaringan yang diperantarai oleh mekanisme
hipersensitivitas, autoantibodi juga dapat menyebabkan kerusakan dengan
terikat pada lokasi fungsional dari antigen diri, seperti pada reseptor hormon,
reseptor neurotransmiter dan protein plasma. Autoantibodi tersebut dapat
menyerupai atau menghambat aksi ligand endogen dari antigen diri,
sehingga menyebabkan abnormalitas fungsi tanpa adanya inflamasi atau
kerusakan jaringan. Kerusakan yang diperantarai antibodi pada autoimunitas
terjadi bila autoantibodi mengenali antigen yang bebas di cairan
ekstraseluler atau diekspresikan pada permukaan sel.
DIAGNOSIS
Beberapa pemeriksaan autoantibodi seringkali dapat membantu diagnosis
penyakit autoimun Pemeriksaan tersebut juga bermanfaat sebagai
pemeriksaan penyaring pada kelompok risiko seperti misalnya keluarga
penderita penyakit autoimun, atau mencari penyakit autoimun lain yang
sering menyertai suatu penyakit autoimun tertentu seperti kemungkinan
tiroiditis pada gastritis autoimun atau sebaliknya.
Diagnosis gangguan autoimun sebagian besar bertumpu pada sejarah yang
akurat dan pemeriksaan fisik pasien, dan indeks kecurigaan yang tinggi
dengan latar belakang kelainan tertentu pada tes laboratorium rutin
(misalnya, tinggi protein C-reaktif ). Pada gangguan sistemik beberapa tes
serologi yang dapat mendeteksi spesifik autoantibodi dapat digunakan.
Gangguan Local paling mudah didiagnosa oleh biopsi spesimen
imunofluoresensi . Autoantibodi digunakan untuk mendiagnosa beberapa
penyakit autoimun . Tingkat autoantibodi diukur untuk menentukan
kemajuan penyakit.
Pemeriksaan autoantibodi untuk diagnosis penyakit autoimun
Penyakit
Antibodi
Tiroditis Hashimoto
Tiroid
Miksedema primer
Tiroid
Tirotoksikosis
Tiroid
Anemia pernisiosa
Lambung
Atrofi adrenal idiopatik
Adrenal
Miastenia gravis
Otot, reseptor asetilkolin
Pemvigus vulgaris dan pemfigoid
Kulit
Anemia hemolitik autoimun
Eritrosit (uji Coombs)
Sindrom Sjogren
Sel duktus salivarius
Sirosis biliar orimer
Mitokondria
Hepatitis kronik aktif
Anti Sm, mitokondria
Artritis reumatoid
Antiglobulin
LES
Antinuklear, DNA, sel LE
Skleroderma
Nukleolus
Penyakit jaringan ikat lain
Nukleolus
PENGOBATAN
Pengobatan untuk penyakit autoimun secara tradisional seperti
imunosupresif , anti-inflamasi (steroid), atau paliatif . Non-imunologi terapi,
seperti penggantian hormon pada tiroiditis Hashimoto atau tipe 1 diabetes
mellitus mengobati hasil dari respon autoaggressive, sehingga ini adalah
paliatif perawatan. Intervensi diet dan manipulasi diet membatasi keparahan
penyakit celiac, srtritis dan penyakit lainnya.Pengobatan steroid atau NSAID
membatasi gejala inflamasi dari banyak penyakit. Terapi spesifik
imunomodulator , seperti antagonis TNFa (misalnya etanercept ), sel B
depleting agen rituximab , reseptor anti-IL-6 tocilizumab dan pemblokir
costimulation abatacept telah terbukti berguna dalam mengobati RA.
Beberapa immunotherapies mungkin berhubungan dengan peningkatan
risiko efek samping, seperti kerentanan terhadap infeksi.
Terapi obat cacing adalah pendekatan eksperimental yang melibatkan
inokulasi pasien dengan spesifik usus parasit nematoda (cacing). Saat ini
ada dua perlakuan yang terkait erat tersedia, inokulasi dengan baik Necator
americanus, umumnya dikenal sebagai cacing tambang , Trichuris atau Ova
Suis, umumnya dikenal sebagai Telur cacing cambuk babi. T vaksinasi sel
juga sedang dieksplorasi sebagai terapi masa depan untuk auto-imun
gangguan.
Dua prinsip strategi pengobatan autoimun antara lain supresi respons imun
atau mengganti fungsi organ yang rusak. Penggantian fungsi merupakan
metode pengobatan yang sering digunakan pada autoimun endokrinologi
pada gagal organ yang ireversibel, contohnya pada hipotirodisme. Namun
apabila kebutuhan hormon yang defisit tidak dapat diatasi melalui terapi
pengganti, maka dapat timbul masalah metabolik. Supresi autoimun
sebelum kerusakan organ ireversibel menjadi pilihan yang lebih menarik,
namun sangat sulit dalam deteksi dini. Pada kasus autoimun seperti SLE,
artritis reumatoid dan penyakit ginjal autoimun, terapi imunosupresi menjadi
sarana yang dapat mencegah disabilitas berat dan kematian. Pengobatan
penyakit autoimun meliputi kontrol metabolik, obat anti-inflamasi,
imunosupresan, dan kontrol imunologis.
Kontrol metabolik
Sebagian besar pendekatan pengobatan penyakit autoimun adalah dengan
manipulasi respons imun. Tetapi pada penyakit organ spesifik kontrol
metabolik biasanya sudah memadai, misalnya pemberian tiroksin untuk
miksedema primer, insulin untuk diabetes juvenil, vitamin B12 untuk anemia
pernisiosa, obat antitiroid untuk penyakit Grave, dan lain-lain.
Obat antikolinesterase untuk miastenia gravis biasanya diberikan dalam
jangka panjang. Timektomi seringkali bermanfaat sehingga disimpulkan
bahwa kelenjar tersebut mengandung reseptor asetilkolin dalam bentuk
antigen.
Obat anti-inflamasi
Obat yang bekerja sebagai anti-inflamasi, misalnya kortikosteroid,
menunjukkan manfaat terhadap berbagai penyakit autoimun serius seperti
miastenia gravis, LES, dan nefritis kompleks imun. Obat AINS seperti salisilat,
indometasin, fenoprofen atau ibuprofen dipakai pula untuk artritis
rheumatoid.
Imunosupresan
Siklosporin A yang menghambat sekresi IL-2 bekerja sebagai anti-inflamasi
dan antimitotik, serta telah dicoba pemakaiannya untuk diabetes juvenil,
LES, dan artritis reumatoid walaupun masih belum dapat diambil kesimpulan
akhir tentang manfaatnya.
Imunosupresan yang dipakai saat ini umumnya obat konvensional yang
bersifat nonspesifik, misalnya azatioprin, siklofosfamid, dan metotreksat
yang biasanya diberikan bersama kortikosteroid. Pengobatan tersebut telah
sering dilakukan dengan hasil cukup baik, misalnya untuk LES, hepatitis
kronik aktif, dan anemia hemolitik autoimun.
Kontrol imunologis
Pada saat ini kontrol imunologis terhadap penyakit autoimun masih sangat
terbatas pemakaiannya untuk riset terutama pada hewan percobaan.
Tindakan yang cukup sering dilakukan adalah transfusi tukar plasma untuk
mengurangi kompleks imun, yang dilaporkan bermanfaat sementara untuk
LES tetapi cukup baik untuk sindrom Goodpasture. Iradiasi kelenjar limfe
total masih terus dieksplorasi dan diamati hasilnya. Pada saatnya kelak
diharapkan akan dapat dilakukan koreksi terhadap defek sel stem atau timus
dengan transplantasi sumsum tulang, sel stem atau timus, atau dengan
hormon timus. Selain itu pemberian faktor timus diharapkan akan dapat
menjaga kontrol sel Ts terhadap autoimunitas.
Percobaan pada hewan telah berhasil untuk melakukan switching-of sel B
yang terlihat dengan menurunnya anti-DNA. Demikian pula pemberian
beberapa antibodi monoklonal seperti anti-kelas II dan antiT4
memperlihatkan perbaikan klinis LES dan artritis reumatoid pada hewan
percobaan.
Aksi imunosupresif kuat oleh antibodi anti-idiotipik telah dicoba untuk
dimanfaatkan. Bayi yang lahir dari ibu penderita miastenia gravis dapat
bertahan terhadap efek patogen anti-reseptor asetilkolin maternal dengan
membentuk anti-idiotipik terhadap antibodi maternal tersebut. Diharapkan
aplikasi pemahaman terhadap jaringan anti-idiotip akan dapat mengatasi
berbagai kesulitan pada pengobatan penyakit autoimun.
Beberapa subjek penelitian lain misalnya terhadap aktivitas kontrasupresor
atau ekspresi HLA yang tidak adekuat, antagonis limfokin, atau mengolah
berbagai matra sitotoksik baik dengan pemanfaatan toksin bakteri ataupun
bahan radioaktif.
REFERENCES RECOMMENDED

Stefanova I., Dorfman J. R. and Germain R. N. (2002). “Self-recognition
promotes the foreign antigen sensitivity of naive T lymphocytes”. Nature
420 (6914): 429–434. doi:10.1038/nature01146. PMID 12459785.

Ainsworth, Claire (Nov. 15, 2003). The Stranger Within. New Scientist

Theory: High autoimmunity in females due to imbalanced X
chromosome inactivation:

Uz E, Loubiere LS, Gadi VK, et al. (June 2008). “Skewed X-chromosome
Inactivation in Scleroderma”. Clin Rev Allergy Immunol 34 (3): 352–5.
doi:10.1007/s12016-007-8044-z. PMC 2716291. PMID 18157513.

Saunders K, Raine T, Cooke A, Lawrence C (2007). “Inhibition of
Autoimmune Type 1 Diabetes by Gastrointestinal Helminth Infection”.
Infect Immun 75 (1): 397–407.

Parasite Infection May Benefit Multiple Sclerosis Patients

Wållberg M, Harris R (2005). “Co-infection with Trypanosoma brucei
brucei prevents experimental autoimmune encephalomyelitis in DBA/1
mice through induction of suppressor APCs”. Int Immunol 17 (6): 721–8.

Edwards JC, Cambridge G (2006). “B-cell targeting in rheumatoid
arthritis and other autoimmune diseases”. Nature Reviews Immunology 6
(5): 394–403.

Kubach J, Becker C, Schmitt E, Steinbrink K, Huter E, Tuettenberg A,
Jonuleit H (2005). “Dendritic cells: sentinels of immunity and tolerance”.
Int J Hematol 81 (3): 197–203.

Induction of autoantibodies against tyrosinase-related proteins
following DNA vaccination: Unexpected reactivity to a protein paralogue
Roopa Srinivasan, Alan N. Houghton, and Jedd D. Wolchok

Green, R.S., Stone, E.L., Tenno, M., Lehtonen, E., Farquhar, M.G., and
Marth, J.D. (2007) “Mammalian N-glycan branching protects against
innate immune self-recognition and inflammation in autoimmune disease
pathogenesis” Immunity 27: 308-320.

Zaccone P, Fehervari Z, Phillips JM, Dunne DW, Cooke A (2006).
“Parasitic worms and inflammatory diseases”. Parasite Immunol. 28 (10):
515–23. doi:10.1111/j.1365-3024.2006.00879.x. PMC 1618732. PMID
16965287.

Dunne DW, Cooke A (2005). “A worm’s eye view of the immune
system: consequences for evolution of human autoimmune disease”.
Nat. Rev. Immunol. 5 (5): 420–6.

Dittrich AM, Erbacher A, Specht S, et al. (2008). “Helminth Infection
with Litomosoides sigmodontis Induces Regulatory T Cells and Inhibits
Allergic Sensitization, Airway Inflammation, and Hyperreactivity in a
Murine Asthma Model”. J. Immunol. 180 (3): 1792–9.

Wohlleben G, Trujillo C, Müller J, et al. (2004). “Helminth infection
modulates the development of allergen-induced airway inflammation”.
Int. Immunol. 16 (4): 585–96. doi:10.1093/intimm/dxh062. PMID
15039389.

Quinnell RJ, Bethony J, Pritchard DI (2004). “The immunoepidemiology
of human hookworm infection”. Parasite Immunol. 26 (11–12): 443–54.
doi:10.1111/j.0141-9838.2004.00727.x. PMID 15771680.

Pike B, Boyd A, Nossal G (1982). “Clonal anergy: the universally anergic
B lymphocyte”. Proc Natl Acad Sci USA 79 (6): 2013–7.
doi:10.1073/pnas.79.6.2013. PMC 346112. PMID 6804951.

Jerne N (1974). “Towards a network theory of the immune system”.
Ann Immunol (Paris) 125C (1–2): 373–89. PMID 4142565.

Edwards JC, Cambridge G, Abrahams VM (1999). “Do self perpetuating
B lymphocytes drive human autoimmune disease?”. Immology 97: 1868–
1876.

Klein J, Sato A (September 2000). “The HLA system. Second of two
parts”. N. Engl. J. Med. 343 (11): 782–6.
doi:10.1056/NEJM200009143431106. PMID 10984567.

Women and Autoimmune Disorders By Krisha McCoy. Medically
reviewed by Lindsey Marcellin, MD, MPH. Last Updated: 12/02/2009
Download