Perilaku Berisiko dalam Penularan Infeksi Menular Seksual Pada Waria Binaan Puskesmas Kedung Badak Kota Bogor Tahun 2013 Alvina Rahmawati, Bambang Sutrisna Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran keluhan sesuai Infeksi Menular Seksual (IMS), gambaran perilaku berisiko waria dalam penularan IMS dan hubungan antara keduanya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan desain studi potonglintang. Partisipan penelitian sebanyak 48 waria binaan Puskesmas Kedung Badak Kota Bogor. Sebagian besar waria berada pada usia lebih dari 29 tahun, pendidikan terakhirnya SMA, belum menikah, dan homoseksual. Sebanyak 14,6% waria mengalami keluhan sesuai IMS. Berdasarkan hubungan keduanya, diketahui bahwa status pernikahan dan pemakaian NAPZA suntik memiliki hubungan yang signifikan dengan timbulnya keluhan sesuai IMS. Kata kunci : keluhan sesuai IMS, perilaku berisiko, waria Abstract The purpose of this research is to overview symptoms in sexually transmitted infestions (STIs), risk behaviours in STI among Kedung Badak Health Cares patronage transvestities, and indicate the correlation between risk behaviour and the symptoms. This research uses quantitative method with crossectional design. The participants of this research consist of 48 Kedung Badak Health Cares patronage transvertism. The majority of transgender is more than 29 years old, the last education is SHS, unmarried, and homosexual. This research indicate that 14,6% transgender show the symptoms of STIs. The correlation has significant in marriage status and drug injections use. Key words : STI’s symptoms, Risk Behavior, transvestities Pendahuluan Infeksi menular seksual (IMS) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan di negara berkembang. Pada beberapa negara, insidens IMS mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di negara berkembang, IMS dan berbagai komplikasinya merupakan lima alasan terbesar orang dewasa mencari pengobatan (WHO, 2013). Infeksi menular seksual merupakan infeksi yang ditularkan terutama melalui hubungan seksual. Biasanya penularan terjadi jika seseorang berhubungan seksual dengan orang yang telah terinfeksi atau dengan orang yang di dalam tubuhnya terdapat mikroorganisme penyebab IMS. Berdasarkan data yang dihimpun World Health Organization (WHO), terdapat lebih dari 30 bakteri, virus, dan parasit yang menyebabkan infeksi menular seksual 1 Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013 (WHO, 2013). 2 Waria merupakan satu dari tujuh populasi yang dinyatakan oleh populasi berisiko tinggi IMS berdasarkan survey terpadu biologis dan perilaku (STBP) tahun 2011. Hasil dari STBP 2011 mengenai angka kejadian IMS menunjukkan IMS terbanyak di Indonesia berupa sifilis yang kemudian diikuti oleh gonore dan infeksi klamidia. Prevalensi sifilis dari seluruh populasi kunci dalam penyebaran HIV dan IMS tertinggi berada pada kelompok waria, sedangkan dalam infeksi gonore dan klamidia, prevalensi tertinggi adalah pada wanita penjaja seks (WPS) yang diikuti oleh waria. Pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) Kedung Badak, merupakan satu dari 5 puskesmas inti dalam pencegahan dan pemberantasan IMS di Kota Bogor. Sedangkan dalam upaya menyentuh kepada populasi kunci IMS dan HIV/AIDS setiap puskesmas yang berada di Kota Bogor sudah memiliki layanan berupa klinik IMS dan VCT. Komunitas Waria di Kota Bogor diestimasikan sebanyak 314 orang pada tahun 2012. Pembinaan pada komunitas waria di Kota Bogor dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bersinergis dengan Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial di Kota Bogor. Dinas Kesehatan dalam hal ini melalui puskesmas menjadi pusat kontrol pendampingan bagi waria yang mengalami IMS, HIV ataupun melakukan pembinaan terkait kesehatan seksual waria. Pembinaan tersebut dilakukan sebagai upaya kontrol dalam penularan IMS. Pembinaan waria dilakukan sejak tahun 2006. Setelah berjalan selama 6 tahun pembinaan, diperlukan adanya studi untuk melihat gambaran perilaku berisiko yang dilakukan waria dimana perilaku tersebut berhubungan dengan kejadinya IMS. Studi ini bertujuan melihan gambaran keluhan sesuai IMS, perilaku berisiko yang dilakukan waria, dan hubungan antara perilaku berisiko tersebut dengan keluhan sesuai IMS. Dimana dalam penelitian ini juga akan dilihat mengenai karakteristik waria binaan puskesmas Kedung Badak, gambaran perilaku berisiko yang terdiri dari perilaku seksual, akses layanan kesehatan, pengetahuan waria tentang HIV, dan perilaku berisiko lainnya dalam penularan IMS pada waria. Tinjauan Teorities Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan penyakit yang memiliki jalur penularan utama melalui hubungan seksual. Beberapa gejala penyakit IMS tidak menunjukkan gejala atau sulit ditandai pada awal masa infeksi. Durasi sejak pertama kali infeksi sampai timbul gejala membutuhkan waktu yang lama, diantara dapat mencapai bertahun-tahun baru mengalami gejala spesifik (Marr, 1998). Namun menurut WHO pada tahun 2013 saat ini sebanyak 433 juta kasus baru IMS disembuhkan (WHO, 2013). Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013 3 Penyebaran IMS dapat terjadi melalui faktor-faktor sebagai berikut : Tidak berperilaku seks aman, terlambat dalam melakukan pengobatan, pemakaian antibiotik yang tidak rasional, serta kegagalan dalam mengajak mitra seks berobat. Hal-hal tersebut terkait erat dengan budaya ataupun lingkungan sosial dimana seseorang berada. Seringkali IMS masih dianggap sebagai penyakit yang diakibatkan oleh perilaku yang tidak baik. Sehingga banyak yang terkena IMS cenderung untuk menyembunyikannya dari orang lain. Dalam berbagai situasi di masyarakat, seringkali masyarakat menganggap orang yang terkena IMS merupakan orang yang berdosa dan telah melanggar norma yang ada di masyarakat, sehingga dalam hal ini banyak orang yang tidak mengakses layanan kesehatan, sehingga terlambat menerima pertolongan, dan banyak pula yang menutup diri dari mencari pengetahuan mengenai IMS. IMS memiliki banyak agen penularan. Menurut WHO (2013), IMS dapat ditularkan melalui lebih dari 30 jenis bakteri, jamur, dan parasit. Marr (1998) mengklasifikasikan beberapa jenis IMS yang biasa ditemukan beserta penyebabnya. Pertama adalah IMS yang disebabkan oleh bakteri, yaitu: klamidia disebabkan oleh (Chlamydia trachomatis), granuloma inguinale (Klebsiella granulomatis), gonore (Neisseria gonorrhoeae), sifilis (Treponema pallidum). Kedua merupakan IMS yang disebabkan oleh jamur, yaitu kandidiasis, vulvovaginalis. Ketiga IMS yang diakibatkan oleh virus. Terdiri dari hepatitis B, herpes simplex (Virus herpes Simplek tipe 1 dan virus herpes simplek tipe 2), HIV, dan kutil kelamin (Human Papilloma Virus). Serta IMS yang disebabkan oleh protozoa, yaitu trikomoniasis (Trichomonas vaginalis). Berdasarkan Daili (1997), IMS juga memiliki sindroma spesifik, yaitu duh tubuh uretra (gonore dan klamidia), ulkus (sifilis, chancroid, donovanosis, herpes), duh vagina (trikomoniasis, Bacterial vaginosis, kandidiasis, gonore, klamidia), dan nyeri perut dalam (gonore, klamidia, infeksi bakteri anaerob lainnya). Diagnosis IMS secara umum dilakukan melalui 2 metode, yaitu : diagnosis etiologi untuk menentukan penyebab. Diagnosis ini dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan agen penyebab penyakit. Serta diagnosis berdasarkan sindroma untuk menentukan kemungkinan terjadi IMS. Diagnosis ini dilakukan dengan menanyakan gejala klinis yang muncul dan keluhan spesifik untuk IMS. Waria dalam istilah Indonesia merupakan kependekan kata ‘wanita-pria’, atau dalam istilah internasional dikenal sebagai transgender, yaitu seseorang yang memiliki identitas gender berbeda dari jenis kelamin biologisnya pada saat dilahirkan.. Menurut Atmojo (Atmojo, 1986), waria memiliki kondisi fisik antara lain: Memiliki bentuk tubuh seperti pria, yaitu memiliki rahang kuat, lengan berotot, bentuk paha, dan lain- Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013 4 lain. Waria tidak memancarkan feromon dari dalam tubuh seperti wanita. Waria memiliki kecenderungan memakai pakaian yang sama dengan wanita untuk menarik sesama jenisnya, dan waria tidak memiliki organ tubuh wanita, yaitu rahim dan payudara. Dalam hubungan seksual, meskipun waria pada dasarnya adalah laki-laki, mereka mempunyai perilaku seksual yang menyerupai wanita, yaitu berhubungan sesual dengan lakilaki. Berbeda dengan MSM (male who have Sex with male), waria cenderung melakukan hubungan seks dengan bertindak sebagai wanita, sedangkan MSM peranan wanita atau pria dilakukan berdasarkan kesepakatan antara penyedia jasa seks dan pelanggan. Pelanggan seks waria pada umumnya adalah laki-laki heteroseksual. Hubungan seksual biasanya dilakukan dengan melakukan seks orogenital dan anogenital yang biasanya dilakukan tanpa pelindung (Joesoef, 2003). Menurut T. Nemoto, Luke D, Marno L, Ching A, dan Patria J. waria sering melakukan seks tanpa proteksi sebab adanya penolakan pelanggan dalam menggunakan kondom atau bayaran yang lebih mahal apabila bersedia melakukan hubungan seks tanpa menggunakan kondom (Nemoto, Luke, Marno Ching, Patria, 1999) Berdasarkan hal diatas, waria merupakan satu kelompok yang rentan dengan terjadinya IMS. Selain berisiko dalam perilaku seksualnya yang terdiri dari tidak menggunakan proteksi, lama menjajakan seks komersial, jumlah pasangan seks, cara melakukan hubungan seksual, waria juga melakukan perilaku berisiko IMS lainnya, yaitu tidak mengakses pelayanan kesehatan, mengkonsumsi alkohol, menggunakan napza suntik, menggunakan silikon suntik, dimana dalam praktiknya seringkali jarum yang digunakan dalam menyuntik napza dan silikon digunakan bersama-sama. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan observasional kuantitatif dengan desain studi kroseksional. Desain studi yang digunakan adalah desain studi potong lintang deskriptif. Desain studi potong lintang digunakan untuk memotret karakteristik demografi responden, perilaku berisiko dalam penularan IMS oleh responden, dan pemanfaatan layanan kesehatan terhadap kejadian IMS. Variabel tersebut diatas diobservasi dalam waktu bersamaan, tanpa dilihat yang lebih dulu terjadi apakah faktor-faktor tersebut atau kejadian IMS. Penelitian dilakukan selama bulan Januari – Juli Tahun 2013 dengan waktu pengambilan data pada akhir April – awal Mei 2013. Tempat pengambilan data dilakukan pada base-camp waria binaan Puskesmas Kedung Badak dan titik-titik hotspot. Populasi penelitian ini adalah waria yang berprofesi sebagai penjaja seks di Kota Bogor. Populasi studi dalam penelitian ini adalah waria yang dibina atau setidaknya pernah Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013 5 mengikuti pembinaan yang dilakukan oleh puskesmas Kedung Badak. Sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan besar sampel satu proporsi, yaitu : n = Jumlah sampel P = Proporsi IMS pada kelompok waria , dalam studi ini menggunakan proporsi sifilis 25%, gonore 29%, dan klamidia 28%. Hal tersebut berdasarkan proporsi IMS berdasrkan STBP 2011. d = Derajat akurasi (Presisi) yang diinginkan (90%) à 0,1 Z1-α = Nilai Z pada derajat kepercayaan kemaknaan α yang digunakan 1% sehingga nilai z : 1,96 Setelah dilakukan penghitungan sampel didapatkan jumlah sampel minimal 37, 41, dan 40 sampel. Sehingga jumlah sampel yang diperlukan adalah 41 waria. Dalam proses pengambilan data, jumlah waria yang bersedia menjadi responden penelitian adalah 48 waria. Data dikumpulkan dari kuesioner dan data penunjang. Data penunjang berupa data besaran kasus IMS yang didapatkan dari hasil laboratorium pada pelayanan kesehatan penyedia layanan IMS di Kota Bogor yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Pengambilan data penunjang merupakan seluruh data di Kota Bogor sebab akses layanan kesehatan waria suka berpindah-pindah dari satu layanan kesehatan kepada layanan kesehatan lainnya. Pengambilan kuesioner melalui data kuesioner dilakukan di base-camp Waria Binaan Puskesmas Kedung Badak, kantor LSM yang melakukan penjangkauan terhadap komunitas waria, dan di titik-titik hotspot tempat waria menjaajakan diri. Pengambilan data dilakukan dengan bantuan petugas puskesmas dan Project Officer (PO) waria. Teknik pengisian kuesioner menggunakan metode self administered kuessioner. Dalam teknik ini, pengisian kuesioner dilakukan sendiri oleh waria yang menjadi responden penelitian tetapi tetap didampingi oleh peneliti atau PO waria untuk memastikan kelengkapan data ataupun pertanyaan yang tidak dimengerti oleh waria. Kuesioner merupakan kuesioner dengan pertanyaan tertutup, yang dimodifikasi dari kuesioner STBP-Waria 2011. Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square. Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013 6 Hasil Penelitian Karakteristik waria binaan Puskesmas Kedung Badak Penelitian ini diikuti oleh 48 waria, dimana usia waria yang paling muda adalah 20 tahun dan usia yang paling tua adalah 43 tahun dengan rerata usia 29,3 5,0 tahun. Dari data tersebut dilakukan pengelompokan data usia berdasarkan angka rata-rata usia yaitu 29 tahun, dimana hasilnya rentang usia paling banyak adalah waria yang berusia antara 29 tahun – 43 tahun, yaitu sebanyak 54,2%. Sebagian besar waria (45,8%) merupakan warga asli Kota Bogor dan sebanyak 35,4% waria merupakan warga luar Kota Bogor dan sudah lebih dari 1 tahun tinggal di Kota Bogor. Sebagian besar responden berasal dari Propinsi Jawa Barat, yaitu sebanyak 95,8%, selebihnya merupakan waria dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kebiasaan mengakses internet dilakukan oleh 95,8% waria. Sebanyak 91,7% waria belum menikah, tetapi ditemukan 8,3% waria menikah dengan seorang wanita. Penghasilan utama waria didapatkan dari bekerja di salon (43,8%) dan diikuti 20,8% dari hasil menjajakan seks, selebihnya waria ada yang berprofesi sebagai pekerja bebas, dan karyawan. Berdasarkan tingkat pendidikannya, sebagian besar waria pernah menempuh tingkat pendidikan sampai tingkat pendidikan SMA/Sederajat (60,4%), Dengan tingkat pendidikan paling rendah adalah SD/Sederajat dan paling tinggi Perguruan Tinggi. Rerata lama belajar waria di sekolah adalah 12 tahun, dengan lama belajar minimal 6 tahun dan maksimal 16 tahun. Berkaitan dengan orientasi seksualnya sebagian besar waria merupakan homoseksual (87,5%). Sedangkan sisanya (12,5%) mengaku memiliki orientasi seksual biseksual, dimana waria tersebut dapat melakukan hubungan seksual baik dengan laki-laki ataupun dengan perempuan serta pernah melakukan hubungan seks dengan perempuan. Kasus HIV dan IMS lainnya selama bulan Januari – Maret 2013 Berdasarkan data tercatat pada Dinas Kesehatan Kota Bogor, Selama bulan Januari – Maret 2013, terdapat 17 waria yang melakukan periksa IMS, dan 21 waria yang melakukan periksa HIV. Dari pemeriksaan tersebut ditemukan bahwa sebanyak 28,6% waria yang melakukan periksa HIV merupakan penderita HIV positif, dan sebanyak 17,7% merupakan waria yang terkena IMS. Jenis IMS yang ditemukan selama bulan Januari – Maret pada waria di Kota Bogor antara lain 1 kasus gonore, 1 kasus suspect gonore, dan 1 kasus uretritis non gonore. Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013 7 Sedangkan berdasarkan pengakuan waria yang menjadi responden penelitian, selama setahun terakhir, ditemukan 14,6% waria dengan keluahan sesuai IMS. Keluhan sesuai IMS yang dirasakan oleh waria antara lain 3 kasus nyeri kencing dan 4 kasus terdapat benjolan disekitar anus. Perilaku Berisiko Waria dalam Penularan IMS Gambaran mengenai perilaku berisiko dalam penularan IMS pada waria dikemukakan dalam tabel 1 dan tabel 2 berikut: Tabel 1 Distribusi Perilaku Berisiko dalam Penularan IMS pada Waria Binaan Puskesmas Kedung Badak Kota Bogor April – Mei 2103 Faktor Risiko IMS Pemakaian Napza Suntik Jumlah Persentase Ya 1 2,1 Tidak 47 97,9 Ya 6 12,5 suntik Tidak 42 87,5 Konsumsi Alkohol Ya 20 41,7 Tidak 28 58,3 ≤ 2 tahun 16 33,3 > 2 tahun 32 66,7 Usia Pertama Melakukan ≤ 17 tahun 24 50,0 Hubungan Seksual > 17 tahun 24 50,0 Pemakaian Kondom Tidak pernah 1 2,1 Tidak Konsisten 25 52,1 Konsisten 22 45,8 Pernah 19 40,4 Tidak Pernah 28 59,6 Orogenital/Anogenital 4 8,3 seksual Keduanya 44 91,7 Kunjungan Klinik IMS 3 Bulan Tidak 8 16,7 Terakhir Ya 40 83,3 Penggunaan Silikon/hormon Lama Menjajakan Seks Kondom Bocor Cara Kategori melakukan hubungan Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013 8 Tabel 2 Informasi Pendukung Perilaku Berisiko dalam Penularan IMS pada Waria Binaan Puskesmas Kedung Badak Kota Bogor April – Mei 2013 . Informasi Pendukung Kategori Jumlah Presentase Penggunaan Kondom dan Aktivitas Seksual Banyaknya kondom yang ≤ 10 27 56,3 dimiliki > 10 21 43,8 Terakhir kali mendapatkan Fasilitas kesehatan 43 89,6 kondom Membeli Sendiri 5 10,4 Pemakaian Pelicin Konsisten 30 62,5 Tidak konsisten 18 37,5 Berbahan air 30 62,5 Krim 12 25,0 Air ludah 3 6,3 Minyak 2 4,2 Tidak Menggunakan 1 2,1 Pasangan Pertama kali Laki-laki 42 87,5 melakukan hubungan seksual Waria 4 8,3 Perempuan 0 0 Tidak Ingat 2 4,2 Laki-Laki 31 64,6 Perempuan 4 8,3 Tidak 13 27,1 Jumlah Kunjungan Klinik IMS 3 Tidak Pernah 8 16,7 bulan terakhir 1 kali 30 62,5 ˃ 1 kali 10 20,8 Tidak mengalami keluhan 41 85,4 Pengobatan Sendiri 2 4,2 Pelayanan Kesehatan 5 10,4 Tidak Pernah ditawarkan 3 6,3 Ditawarkan 45 93,8 Tidak Pernah dirujuk 5 10,4 Pernah dirujuk 43 89,6 Tidak pernah 7 14,6 ≤ 1 tahun 37 77,1 > 1 tahun 4 8,3 Jenis pelicin yang digunakan Pasangan Tetap Pelayanan Kesehatan Pengobatan IMS Ditawarkan Tes HIV Rujukan ke klinik VCT Melakukan Tes HIV Terakhir Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013 9 Analisis bivariat dikembangkan untuk melihat adanya hubungan antara karakteristik waria dan perilaku berisiko yang dilakukan oleh waria dengan keluhan sesuai IMS. Untuk melihat ada atau tidak adanya hubungan antara kedua variabel diatas dilihat melalui rentang 95% Confident Interval (CI) dan besar risikonya dilihat dengan menggunakan Prevalent Ratio (PR). Mengenai hasil analisis bivariat, dilihat melalui tabel 3 dibawah ini. Tabel 3 Hubungan antara Karakteristik dan Perilaku Waria dengan Keluhan Sesuai IMS Pada Waria Binaan Puskesmas Kedung Badak Kota Bogor April - Mei 2013 Variabel Usia Pendidikan Orientasi Seksual Status Pernikahan Ya Tidak ≤ 29 tahun 4 (18,2) 18 (81,8) > 29 tahun 3 (11,5) 23 (88,5) Rendah 2 (11,8) 15 (88,2) Tinggi 5 (16,1) 26 (83,9) Biseksual 2 (33,3) 4 (66,7) Homoseksual 5 (11,9) 37 (88,1) Ya 2 (50,0) 2 (50,0) Belum/Tidak 5 (11,4) 39 (88,6) PR* 95% CI** 1,6 0,4 – 6,3 0,7 0,2 – 3,4 2,8 0,7 – 11,3 4,4 1,2 – 15,8 7,8 3,7 – 16,5 Pemakaian NAPZA Ya 1 (100,0) 0 (0,0) suntik Tidak 6 (12,8) 41 (87,2) Hormon/Silikon Ya 0 (0,0) 6 (100,0) Suntik Tidak 7 (16,7) 35 (83,3) 1,2 1,0 – 1,4 Konsumsi Alkohol Ya 2 (10,0) 18 (90,0) 0,6 0,1 – 2,6 Tidak 5 (17,9) 23 (82,1) Lama Menjajakan ≤ 2 tahun 2 (12,5) 14 (87,5) 0,8 0,2 – 3,7 Seks ˃ 2 tahun 5 (15,6) 27 (84,4) Usia Pertama Aktif ≤ 17 tahun 6 (25,0) 18 (75,0) 6,0 0,8 – 6,4 Berhubungan Seksual ˃ 17 tahun 1 (4,2) 23 (95,8) Pemakaian Kondom Kadang/Jarang 6 (23,1) 20 (76,9) 5,1 0,6 – 5,7 Selalu 1 (4,5) 21 (95,5) Pernah 3 (15,8) 16 (84,2) 1,1 0,3 – 4,4 Tidak 4 (14,3) 24 (85,7) Cara melakukan Orogenital/Anogenital 0 (0,0) 4 (100,0) hubungan seksual Keduanya 7 (15,9) 37 (84,1) 1,2 1,0 – 1,4 Kunjungan Klinik Tidak 2 (25,0) 6 (75,0) 2,0 0,4 – 8,6 IMS 3 bulan terakhir Ya 5 (12,5) 35 (87,5) Kondom Bocor Keluhan IMS *PR : Prevalent Ratio ** 95% CI : 95% Confident Interval Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013 10 Pembahasan Keterbatasan penelitian dalam penelitian ini meliputi keterbatasan dalam hal diagnosis IMS, serta terdapatnya bias informasi. Diagnosis IMS yang dilakukan dalam penelitian ini adalah diagnosis berdasarkan sindroma dimana terdapat keterbatasan dengan tidak dilakukan uji laboraturium. Bias informasi dalam penelitian ini berupa recall bias dimana responden mengingat dalam waktu yang cukup lama, yaitu 3 bulan sampai 1 tahun terakhir. Selain itu terdapatnya informasi yang sifatnya sensitif dalam menjadikan responden tidak melakukan pengakuan terhadap yang sebenarnya terjadi, tetapi mengaku sesuai dengan kebiasaan atau norma yang berkembang di masyarakat. Karakteristik responden berdasarkan usia, dalam hal ini sebagian besar responden berusia diatas 29 tahun. Hal ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Pradipta (2012). Status pernikahan sebagian seluruh waria di kota bogor adalah tidak atau belum menikah. Sebagian besar pendapatan utama dari waria di Kota Bogor adalah sebagai pekerja salon dengan hampir keseluruhan merupakan penjaja seks. Karakteristik ini mirip dengan karakteristik waria yang menjadi responden dari studi yang dilakukan oleh Seprida pada tahun 2006, yaitu sebagian besar waria merupakan penjaja seks. Berdasarkan tingkat pendidikannya, didapatkan hasil bahwa sebagaian besar waria yang ada di Kota Bogor mempunyai pendidikan menengah (SMA/Sederajat), dan terdapat sebagian kecil yang berpendidikan tinggi (PT/Sederajat), serta tidak ada waria yang tidak pernah menempuh pendidikan formal. Karakteristik ini berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Seprida (2006) bahwa sebagaian besar waria memiliki pendidikan kurang dari SMA/Sederajat. Namun karakteristik responden memiliki karakteristik yang sama dengan karakteristik responden survei terpadu biologis dan perilaku di 5 kota besar di Indonesia dimana sebagian besar respondennya (52,19%) memeiliki pendidikan tinggi (SMA/PT). Meskipun di Kota Bogor proporsi waria yang memiliki jenjang pendidikan kurang dari SMA juga masih banyak, sebab proporsi keduanya tidak terlalu berbeda. Berdasarkan karakteristik orientasi seksual dari responden penelitian, Di Kota Bogor sebagian besar warianya merupakan homoseksual, yaitu hanya berhubungan seksual dengan laki-laki. Hal ini sesuai dengan teori dimana akan memiliki orientasi seksual dengan jenis kelaminnya ketika dilahirkan (Atmojo, 1987). Jumlah kasus yang ditemukan jauh lebih kecil dibandingkan dengan hasil riset yang ditemukan pada survei terpadu biologis dan perilaku (STBP) yang dilakukan oleh sub-dit HIV/AIDS Kementrian Kesehatan pada tahun 2011. Pada hasil survei STBP tahun 2011 diketahui bahwa prevalensi sifilis mencapai 28% sedangkan pada laporan pemeriksaan IMS Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013 11 selama bulan Januari sampai Maret tidak ditemukan kasus sifilis. Pada pemeriksaan gonore ditemukan 1 kasus dari 17 waria yang diperiksa (5,8%), kasus yang dilaporkan jauh lebih kecil daripada hasil riset STBP tahun 2011 dimana angka kasus gonore mencapai 29%. Sedangkan dari hasil pelaporan kasus IMS pada pemeriksaan klamidia tidak ditemukan. Klamidia jarang ditemukan pada pemeriksaan IMS yang dilakukan pada laboratorium. Hal ini disebabkan jauhnya klinik IMS dengan letak laboratorium untuk melakukan pemeriksaan. Klamidia tidak dapat bertahan lama pada jaringan tidak hidup dan hanya bisa dideteksi maksimal 5 menit setelah apusan dilakukan. Berdasarkan keluhan sesuai IMS angka yang ditemukan pada penelitian ini juga lebih kecil dibandingkan survey nasional, dimana dalam studi ini ditemukan waria mengalami gejala IMS dengan gejala nyeri kencing dan benjolan disekitar kelamin, tetapi dalam riset STBP tahun 2011 diketahui bahwa selain nyeri kencing dan benjolan disekitar anus, waria juga mengalami luka disekitar kelamin dan keluarnya cairan tidak normal dari kemaluan/anus (STBP 2011). Hal tersebut menunjukkan status kesehatan waria di Kota Bogor lebih baik dibandingkan angka gejala infeksi menular seksual waria secara nasional. Berdasarkan faktor risiko kejadian IMS, terdapat beberapa perilaku waria yang sudah baik, diantaranya berkaitan dengan pemakaian napza suntik, konsumsi alkohol, penggunaan hormon/silikon suntik, serta kunjungan klinik IMS selama 3 bulan terakhir. Dalam hal ini sebagian besar waria sudah memiliki sikap yang positif terhadap hal-hal diatas. Namun, sikap waria terhadap penggunaan kondom secara konsisten masih belum baik. Dalam studi yang dilakukan oleh Hartanti (2012), sebagian besar waria tidak pernah mengunjungi layanan klinik IMS. Berdasarkan perilaku seksualnya hampir keseluruhan waria melakukan seks penetrasi dan seks oral. Dimana seks penetrasi dan oral memiliki risiko ganda untuk terkena Gonore, yaitu gonore faring dan gonore pada alat kelamin. Dalam perilaku dalam melakukan hubungan seksual, hampir 90% waria pertama kali berhubungan seksual dengan laki-laki. Sebagian besar mengaku memiliki pasangan seks tetap, yaitu seorang laki-laki. Hal ini sesuai teori yang menyatakan bahwa kelompok waria secara psikologisnya menyerupai wanita dimana dia akan memiliki ketertarikan seksual kepada lakilaki. (Koeswinarno, 1996) Berdasarkan hasil analsis bivariat ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara status pernikahan dan penggunaan napza suntik dengan keluhan sesuai IMS. Besarnya risiko yang disebabkan oleh status pernikahan adalah 4,4 kali dan besarnya risiko waria yang melakukan penyuntikan IMS adalah sebesar 7,8 kali. Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013 12 Terdapat perbedaan hasil studi dengan studi yang dilakukan oleh Hartanti (2012), dimana berdasarkan studi yang dilakukan oleh Hartanti terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara usia dengan kejadian sifilis pada populasi waria di 5 kota besar di Indonesia. perbedaan tersebut dapat terjadi dikarenakan jumlah sampel yang sangat berbeda antara penelitian ini dengan studi yang dilakukan oleh Hartanti pada tahun 2012. Hasil studi yang dilakukan Clements-Nolle (2001) terhadap kelompok diketahui hasilnya bahwa sebagian besar waria memiliki orientasi seksual homoseksual. Hasil ini selaras dengan orientasi seksual kelompok waria di Indonesia dimana dari hasilnya sebagian besar kelompok waria di Indonesia merupakan kelompok homoseksual Hubungan antara status pernikahan dengan keluhan sesuai IMS tersebut sesuai dengan hasil studi yang dilakukan oleh Clements-Nolle (2001) dimana yang berisiko lebih tinggi adalah yang memiliki orientasi biseksual (berhubungan seks dengan wanita dan laki-laki). Hasil studi Clements-Nolle (2011) dimana kelompok transgender yang mengguankan obat-obatan dengan cara disuntikkan memiliki kecenderungan risiko lebih besar dibandingkan dengan kelompok waria yang tidak menggunakan obat-obatan dengan cara tidak disuntikkan. Dalam STBP tahun 2007, diketahui bahwa proporsi menyuntik atau penggunaan narkoba suntik dikalangan waria rendah. Secara umum kebiasaan menyuntik dikalangan transgender rendah sebab kebanyakan dari mereka berada pada lingkungan sosek yang menengah kebawah, sehingga keinginan untuk menggunakan narkoba suntik tidak terakomodir (Hartanti, 2012). Studi yang dilakukan oleh Xavier di Boston pada tahun 2008 menunjukkan bahwa sebanyak 82% waria melakukan suntik hormon/silikon. Tingginya penggunaan hormon dikalangan masyarakat transgender disebabkan penggunaan hormon suntik/silikon menunjukkan hasil yang lebih cepat dibandingkan dengan konsumsi hormon/silikon dengan metode lainnya. Studi yang dilakukan oleh Xafier mengemukakan sebanyak 36% menggunakan jarum suntik secara bersama-sama. (Xavier, 2008). Studi yang dilakukan oleh WHO di India menyebutkan bahwa sebanyak 29% kelompok melakukan hubungan seks dibawah pengaruh alkohol. Dalam studi ini diketahui sebanyak 40% kelompok waria mengaku berada dalam pengaruh alkohol ketika melakukan hubungan seks. Sebanyak 72% dari kelompok yang melakukan hubungan seksual dibawah pengaruh alkohol mengalami satu jenis infeksi menular seksual (Saravanamurthy, 2010) Secara umum konsumsi alkohol sebelum melakukan hubungan seksual atau perilaku seks dibawah pengaruh alkohol memiliki kecenderungan yang besar untuk melakukan kekerasan seksual yang bisa mengakibatkan gonore faring ataupun gonore rektum. Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013 13 Hasil studi yang dilakukan oleh Hartanti pada masyarakat trasngender di 5 kota besar di Indonesia menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik antara lamanya menjajakan seks dengan IMS sifilis. Selain itu studi yang dilakukan oleh Operraio (2008) yang dijelaskan dalam Hartanti (2012) menyebutkan bahwa sebanyak 76% waria di Kolumbia adalah penjaja seks. (Operrario dalam Hartanti, 2012) Semakin muda usia aktif dalam melakukan hubungan seksual setara dengan semakin banyak partner seks dalam usia kerjanya. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ClementsNolle (2001) diketahui bahwa kejadian IMS ataupun HIV semakin tinggi pada odds kelompok dengan jumlah partner seks lebih dari 200 orang dibandingkan dengan pada odds kelompok dengan partner seks kurang dari 200 orang dengan angka Odd Ratio (OR) sebesar 2,64 (Clements-Nolle, 2001). Berdasarkan teori, penggunaan kondom dapat mencegah berbagai IMS (Grella, Hook, Dallabeta, dalam Seprida, 2006), sehingga penggunaan kondom secara konsisten dapat mencegah terjadianya IMS. Dalam studi ini besarnya angka Prevalent Ratio (PR) adalah sebesar 5,1 artinya kelompok waria yang tidak menggunakan kondom secara konsisten memiliki kecenderungan mengalami gejala IMS 5,1 kali dibandingkan kelompok yang tidak konsisten dalam menggunakan kondom. Pada kenyataannya terdapat berbagai kemungkinan dimana seseorang tidak menggunakan kondom secara konsisten, diantaranya adalah pemakaian yang tidak pas, kondom dalam masa kadaluarsa, ataupun kondom yang digunakan mudah robek (Seprida, 2006). Selain itu dalam studi yang dilakukan oleh Pradipta (2012) pada kelompok waria di Kota Bogor mengenai faktor yang berkaitan dengan konsistensi pemakaian kondom menyebutkan pemakaian kondom masih buruk dikarenakan banyak kondom yang difasilitasi memiliki ukuran yang tidak pas dengan organ kelamin waria sehingga kondom tersebut tidak dipakai (Pradipta, 2013). Selain itu angka kebocoran kondom juga tinggi, yaitu mencapai 40% dari waria yang pernah pemakai kondom dalam melakukan hubungan seksual. ` Studi yang dilakukan oleh Crosby (2007) dalam Hartanti (2012) mengemukakan bahwa pada studi mengenai kondom laki-laki ditemukan beberapa eror yang terjadi pada praktek penggunaan kondom meskipun angka penggunaan kondomnya tinggi. Diantaranya sebanyak 60% tidak mendiskusikan pemakaian kondom ketika melakukan transaksi seksual, 43% melakukan pemakaian kondom setelah selesai melakukan hubungan seksual, 15% mengeluarkan kondom ditengah-tengah aktivitas seksual, 40% tidak menyisakan ruang kosong pada ujung kondom yang dapat mengakibatkan terjadinya luber atau robek, dan Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013 14 sebanyak 30% memakai kondom kondom terbalik dan membalikkan kondom tersebut saat berhubungan seksual sehingga penggunaan kondom menjadi tidak steril. Studi secara khsusus mengenai efek kondom bocor dengan kejadian IMS masih sangat jarang. Beberapa peneliti masih berasumsi bahwa kebocoran kondom menjadi faktor yang menjadi sebab tidak ada hubungan secara statistik antara penggunaan kondom yang tinggi dengan kejaidan IMS yang tinggi. Sedangkan secara teori harusnya penggunaan kondom yang tinggi dapat menjadi faktor protektif dari kejadian IMS (Seprida, 2006) Perilaku seksual atau perilaku yang dilakukan kelompok transgender saat melakukan hubungan seksual dapat berhubungan dengan beberapa jenis kejadian IMS tertentu. Berdasarkan studi yang dilakukan Seprida (2006) menyebutkan bahwa perilaku seksual dengan style atau gaya seks oral memungkinkan tingginya risiko terkena gonore faring. Sedangkan perilaku seks anal mensingkatkan risiko terkena gonore rektum. Sedangkan perilaku seks keduanya (Oral dan Anal) berisiko baik terkena gonore rektum atau gonore faring). Berdasarkan penjelasan dari Project Officer Waria di Kota Bogor, akses terhadap layanan kesehatan bagi waria setempat sangat dipengaruhi petugas setempat. Petugas yang ramah dan bersahabat, serta tidak melakukan diskriminasi secara sikap ataupun perkataan merupakan faktor terpenting seorang waria mau dan tergerak untuk melakukan kunjungan klinik IMS sendiri tanpa dilakukan pendampingan (pemeriksaan mandiri). Selain itu masih banyak waria yang merasa malu untuk mengunjungi klinik IMS secara terang-terangan meskipun ada dari kelompok tersebut yang meminta dengan keinginan dan kesadaran sendiri untuk melakukan konsultasi ataupun pemeriksaan IMS atau HIV secara mandiri. Oleh sebab diatas jika dilihat data dalam studi ini mengenai jumlah waria yang melakukan pemeriksaan IMS selama bulan Januari – Maret 2013 sangat rendah, yaitu hanya sebesar 5,4%. Dan jumlah yang melakukan pemeriksaan HIV selama satu tahun terakhir hanyalah sebesar 11,7%. Seharusnya berdasarkan peraturan yang dimiliki oleh komunitas atau kelompok waria di Kota Bogor bahwa setiap 3 bulan sekali melakukan tes IMS dan setiap 6 bulan sekali melakukan tes HIV melalui VCT pada pelayanan kesehatan yang telah disediakan Kesimpulan Karakteristik responden dalam penelitian ini merupakan waria dengan sebagian besar berusia diatas 29 tahun, dengan usia paling muda 20 tahun dan paling tua 43 tahun dan rerata Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013 15 usianya 29,3 5,0 tahun. Status pernikahan belum/tidak menikah, pekerjaan utamanya adalah pekerja salon, pendidikan terbanyak adalah SMA/Sederajat, dan orientasi seksual adalah homoseksual. Selama bulan Januari sampai Maret Tahun 2013 diketahui bahwa kasus Infeksi Menular Seksual waria di Kota Bogor tercatat 1 kasus Gonore, 1 kasus Suspect Gonore, dan 1 kasus urethritis non gonore. Dan selama 3 bulan terakhir jumlah waria yang melakukan periksa IMS sebanyak 17 waria. Dalam tiga bulan terakhir, terdapat 21 waria yang melakukan periksa HIV dan sebesar 28,6% diantaranya merupakan waria dengan HIV positif. Besaran kasus infeksi menular seksual berdasarkan gejala, terdapat 14,58% waria yang menderita Infeksi Menular seksual. Gejala tersebut terdistribusi dalam dua macam gejala IMS yaitu benjolan dan bengkak di sekitar anus dan nyeri kencing. Berdasarkan perilakunya, waria binaan Puskesmas Kedung Badak memiliki perilaku positif hampir semua varioabel yang dilakukan penelitian, kecuali konsistensi penggunaan kondom dan cara melakukan hubungan seksual. Berdasarkan hasil uji bivariat, ditemukan hasil yang signifikan antara status pernikahan dan penggunaan napza suntik dengan keluhan sesuai IMS. Saran Bagi penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan tes IMS untuk benar-benar dapat melihat faktor risiko dari kejadian IMS. Meskipun IMS memiliki gejala yang khas, tetapi gejala ditunjukkan pada sebagian kecil infeksi menular seksual yang terjadi. Selain itu perlu dilakukan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih banyak supaya lebih dapat merepresentasikan waria di Kota Bogor. Untuk form IMS yang telah ada, untuk istilahsuspect sebaiknya tidak dipergunakan lagi. Penyebutan untuk yang belum dikonfirmasi dengan pemeriksaan lab cukup dengan pendekatan sindroma. Bagi layanan kesehatan sebaiknya melakukan skrining IMS dan HIV setahun sekali pada populasi waria. Untuk pelaksanaannya dapat dibagi berdasarkan hotspot wilayah kerja puskesmas setempat. Bagi pelaksana pembinaan waria, diperlukan upaya pemberdayaan waria dari sisi sosial-ekonomi. Pelatihan terkait desain ataupun pemberdayaan dalam bentuk lainnya yang dapat memanfaatkan jejaring sosial atau internet ketika pelaksanaannya, sebab hampir seluruh waria telah terpapar dan terbiasa dalam mengakses internet. Bagi pelaksana pembinaan waria, diperlukan upaya pencerdasan mengenai akibat atau dampak dari risiko penggunaan NAPZA suntik dan risiko dari melakukan penyuntikan secara bersama-sama, terlebih untuk silikon atau hormon suntik lainnya yang sangat familiar pada kelompok waria. Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013 16 Kepustakaan Atmojo K. 1987. Kami Bukan Laki-laki : Sebuah Sketsa kaum waria. Jakarta: PT Temprint. Center for Disease Control and Prevention (CDC). 2010. Sexually Transmitted Disease Treathment Guidlines. Vol 59. Center For Disease Control and Prevention. Atlanta: US Departement Health and Human Services. Champenois K, Cousein A, Ndiaye B, Soukona Y, Baclet V, Alcaraz I, dkk., 2013. Risk Factor for Syphilis infection in MSM : Result of Case Control Study in,Lille France. Sex Transm Inf 89(2) : 128 - 32. Clements-Nolle K., Mars R, Guzman R, dan Katz M. 2001. HIV Prevalence, Risk Behaviour, Health Care Use, and Mental Health Status of Transgender Person : Implication For Public Health Intervension. AJ Publ Health 91(6): 915-21 Daili SF. 2007. Pemeriksaan Klinis pada Infeksi Menular Seksual. Dalam: Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Judanarso J. Infeksi Menular Seksual. Ed 3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 19-24 Hartanti A. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Infeksi Sifilis Pada Populasi Transgender Waria di 5 Kota Besar di Indonesia. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat UI. Depok. Joesoef MR, Gultom M, Irana ID, Lewis JS, Muhaimin T, Ryan CA. 2003. High Rate Sexually Transmitted Disease Among Transvestites in Jakarta, Indonesia. Int J STD&AIDS 14(9) : 609 -13. Joint United Nation Programme on HIV/AIDS. 2012. Global Reports : UNAIDS Reports On The Global AIDS Epidemics 2012. www.unaids.org, 27 Februari 2012. Josodiwondo S. 2005. Pemeriksaan Bakteriologik dan Serologik IMS. Dalam : Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Judanarso J. Infeksi Menular Seksual. Edisi 3. Jakarta : Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hal 25-47 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Situasi Epidemiologi HIV-AIDS di Indonesia. Kementrian Kesehatan RI. depkes.go.id. 1 April 2013 Kementrian Kesehatan RI. 2012. Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2011. litbangkes.depkes.go.id., diakses 1 April 2013 Kenagy GP. 2002. HIV Among Transgendered People. AIDS Care, 14 (1) : 127-34. Kenagy GP. 2005. Transgender Health : Finding From Two Needs Assessment Studies in Philadelphia. http://questia.com/. 5 Maret 2013. Koesnawinarno. 2004. Hidup Sebagai Waria. Jogjakarta : LKIS Pelangi Aksara. Lombardy, E. 2001. Enhancing Transgender Health Care. Am J Publ Health 91(6) : 869 – 72. Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013 17 Marr L. 1998. Sexually Transmitted Diseases. Baltimore : The John Hopkins University Press. Naibaho MK. 2006. Prevalensi HIV dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya di Kalangan Waria di Kotamadya Jakarta Pusat Tahun 2006. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok.. Pradipta MN. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Konsistensi Pemakaian Kondom pada Waria Binaan Puskesmas Bogor Timur dalam Upaya Pencegahan HIV/AIDS Tahun 2012. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok. Purwarini Y. 2010. Hubungan Pencarian Pengobatan Infeksi Menular Seksual dengan Penggunaan Kondom Pada Pekerja Seks Komersial Waria di Beberapa Kota di Pulau Jawa : Analisis data STBP 2007. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok. Riono P dan Praptoraharjo I. 2008. Sexual Behaviour Among Male to Female Transgender (Warias) in 5 Indonesian Cities. Oral Abstract Session: AIDS 2008 – VII International AIDS Conferences : Abstract no TUAC0403. www.iasociety.org. 5 April 2013 Saravanamurthy PS, Rajendran P, Miranda PM, Ashok G, Raghavan SS, Arnsten JH, dkk. 2010. A Crossectional Study of Sexual Transmitted Infection and Human Immunodeficiency Virus Among Male to Female Transgender People. Am Med J 1(2): 87-93. Sarwono S. 1993. Sosiologi Kesehatan Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Yogyakarta : GMU Press. Seprida QD. 2006. Proporsi Gonore Faring dan Rektum Pada Waria Dengan Teknik Polimerase Chain Reaction Serta Perilaku Seksual yang Berhubungan. Tesis. Program Spesialis Fakultas Kedokteran UI. Jakarta. Thomas S. 2011. Syphilis Co-Infection in Maricopa Country. Disertasi. University of Arizona College of Medicine Phoenix’s Journal. Arizona. Todd J, Munguti K, Grosskurth H, Mangara J, Changalucha J, Mayaud P, dkk., 2001. Risk Factor For Active Syphilis and TPHA Seroconversion in a Rural African Population. Sex Transm Infect 77 (1) : 37 – 45. World Health Organization. 2011. Prevention and Treathment of HIV and Other STI Among Men Who Have Sex With Men and Transgender People. Geneva : WHO 2011. Xavier J. 2005. HIV/AIDS Risk Factor Among Transgender People in the U.S. xa.yming.com. 5 April 2013 Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013