Perilaku Berisiko dalam Penularan Infeksi Menular Seksual Pada

advertisement
 Perilaku Berisiko dalam Penularan Infeksi Menular Seksual Pada Waria
Binaan Puskesmas Kedung Badak Kota Bogor Tahun 2013
Alvina Rahmawati, Bambang Sutrisna
Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran keluhan sesuai Infeksi Menular
Seksual (IMS), gambaran perilaku berisiko waria dalam penularan IMS dan hubungan antara
keduanya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan desain studi
potonglintang. Partisipan penelitian sebanyak 48 waria binaan Puskesmas Kedung Badak
Kota Bogor. Sebagian besar waria berada pada usia lebih dari 29 tahun, pendidikan
terakhirnya SMA, belum menikah, dan homoseksual. Sebanyak 14,6% waria mengalami
keluhan sesuai IMS. Berdasarkan hubungan keduanya, diketahui bahwa status pernikahan dan
pemakaian NAPZA suntik memiliki hubungan yang signifikan dengan timbulnya keluhan
sesuai IMS.
Kata kunci : keluhan sesuai IMS, perilaku berisiko, waria
Abstract
The purpose of this research is to overview symptoms in sexually transmitted infestions (STIs),
risk behaviours in STI among Kedung Badak Health Cares patronage transvestities, and
indicate the correlation between risk behaviour and the symptoms. This research uses
quantitative method with crossectional design. The participants of this research consist of 48
Kedung Badak Health Cares patronage transvertism. The majority of transgender is more
than 29 years old, the last education is SHS, unmarried, and homosexual. This research
indicate that 14,6% transgender show the symptoms of STIs. The correlation has significant
in marriage status and drug injections use.
Key words : STI’s symptoms, Risk Behavior, transvestities
Pendahuluan
Infeksi menular seksual (IMS) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan di negara
berkembang. Pada beberapa negara, insidens IMS mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Di negara berkembang, IMS dan berbagai komplikasinya merupakan lima alasan terbesar
orang dewasa mencari pengobatan (WHO, 2013). Infeksi menular seksual merupakan infeksi
yang ditularkan terutama melalui hubungan seksual. Biasanya penularan terjadi jika seseorang
berhubungan seksual dengan orang yang telah terinfeksi atau dengan orang yang di dalam
tubuhnya terdapat mikroorganisme penyebab IMS. Berdasarkan data yang dihimpun World
Health Organization (WHO), terdapat lebih dari 30 bakteri, virus, dan parasit yang
menyebabkan
infeksi
menular
seksual
1
Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013
(WHO,
2013).
2
Waria merupakan satu dari tujuh populasi yang dinyatakan oleh populasi berisiko tinggi
IMS berdasarkan survey terpadu biologis dan perilaku (STBP) tahun 2011. Hasil dari STBP
2011 mengenai angka kejadian IMS menunjukkan IMS terbanyak di Indonesia berupa sifilis
yang kemudian diikuti oleh gonore dan infeksi klamidia. Prevalensi sifilis dari seluruh
populasi kunci dalam penyebaran HIV dan IMS tertinggi berada pada kelompok waria,
sedangkan dalam infeksi gonore dan klamidia, prevalensi tertinggi adalah pada wanita penjaja
seks (WPS) yang diikuti oleh waria.
Pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) Kedung Badak, merupakan satu dari 5
puskesmas inti dalam pencegahan dan pemberantasan IMS di Kota Bogor. Sedangkan dalam
upaya menyentuh kepada populasi kunci IMS dan HIV/AIDS setiap puskesmas yang berada
di Kota Bogor sudah memiliki layanan berupa klinik IMS dan VCT. Komunitas Waria di
Kota Bogor diestimasikan sebanyak 314 orang pada tahun 2012. Pembinaan pada komunitas
waria di Kota Bogor dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bersinergis
dengan Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial di Kota Bogor. Dinas Kesehatan dalam hal ini
melalui puskesmas menjadi pusat kontrol pendampingan bagi waria yang mengalami IMS,
HIV ataupun melakukan pembinaan terkait kesehatan seksual waria. Pembinaan tersebut
dilakukan sebagai upaya kontrol dalam penularan IMS.
Pembinaan waria dilakukan sejak tahun 2006. Setelah berjalan selama 6 tahun
pembinaan, diperlukan adanya studi untuk melihat gambaran perilaku berisiko yang
dilakukan waria dimana perilaku tersebut berhubungan dengan kejadinya IMS.
Studi ini bertujuan melihan gambaran keluhan sesuai IMS, perilaku berisiko yang
dilakukan waria, dan hubungan antara perilaku berisiko tersebut dengan keluhan sesuai IMS.
Dimana dalam penelitian ini juga akan dilihat mengenai karakteristik waria binaan puskesmas
Kedung Badak, gambaran perilaku berisiko yang terdiri dari perilaku seksual, akses layanan
kesehatan, pengetahuan waria tentang HIV, dan perilaku berisiko lainnya dalam penularan
IMS pada waria.
Tinjauan Teorities
Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan penyakit yang memiliki jalur penularan
utama melalui hubungan seksual. Beberapa gejala penyakit IMS tidak menunjukkan gejala
atau sulit ditandai pada awal masa infeksi. Durasi sejak pertama kali infeksi sampai timbul
gejala membutuhkan waktu yang lama, diantara dapat mencapai bertahun-tahun baru
mengalami gejala spesifik (Marr, 1998). Namun menurut WHO pada tahun 2013 saat ini
sebanyak 433 juta kasus baru IMS disembuhkan (WHO, 2013).
Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013
3
Penyebaran IMS dapat terjadi melalui faktor-faktor sebagai berikut : Tidak berperilaku
seks aman, terlambat dalam melakukan pengobatan, pemakaian antibiotik yang tidak rasional,
serta kegagalan dalam mengajak mitra seks berobat. Hal-hal tersebut terkait erat dengan
budaya ataupun lingkungan sosial dimana seseorang berada. Seringkali IMS masih dianggap
sebagai penyakit yang diakibatkan oleh perilaku yang tidak baik. Sehingga banyak yang
terkena IMS cenderung untuk menyembunyikannya dari orang lain. Dalam berbagai situasi di
masyarakat, seringkali masyarakat menganggap orang yang terkena IMS merupakan orang
yang berdosa dan telah melanggar norma yang ada di masyarakat, sehingga dalam hal ini
banyak orang yang
tidak mengakses layanan kesehatan, sehingga terlambat menerima
pertolongan, dan banyak pula yang menutup diri dari mencari pengetahuan mengenai IMS.
IMS memiliki banyak agen penularan. Menurut WHO (2013), IMS dapat ditularkan
melalui lebih dari 30 jenis bakteri, jamur, dan parasit. Marr (1998) mengklasifikasikan
beberapa jenis IMS yang biasa ditemukan beserta penyebabnya. Pertama adalah IMS yang
disebabkan oleh
bakteri, yaitu: klamidia disebabkan oleh (Chlamydia trachomatis),
granuloma inguinale (Klebsiella granulomatis), gonore (Neisseria gonorrhoeae), sifilis
(Treponema pallidum). Kedua merupakan IMS yang disebabkan oleh jamur, yaitu kandidiasis,
vulvovaginalis. Ketiga IMS yang diakibatkan oleh virus. Terdiri dari hepatitis B, herpes
simplex (Virus herpes Simplek tipe 1 dan virus herpes simplek tipe 2), HIV, dan kutil kelamin
(Human Papilloma Virus). Serta IMS yang disebabkan oleh protozoa, yaitu trikomoniasis
(Trichomonas vaginalis).
Berdasarkan Daili (1997), IMS juga memiliki sindroma spesifik, yaitu duh tubuh uretra
(gonore dan klamidia), ulkus (sifilis, chancroid, donovanosis, herpes), duh vagina (trikomoniasis,
Bacterial vaginosis, kandidiasis, gonore, klamidia), dan nyeri perut dalam (gonore, klamidia, infeksi bakteri
anaerob lainnya).
Diagnosis IMS secara umum dilakukan melalui 2 metode, yaitu : diagnosis etiologi untuk
menentukan penyebab. Diagnosis ini dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
laboratorium untuk menentukan agen penyebab penyakit. Serta diagnosis berdasarkan
sindroma untuk menentukan kemungkinan terjadi IMS. Diagnosis ini dilakukan dengan
menanyakan gejala klinis yang muncul dan keluhan spesifik untuk IMS.
Waria dalam istilah Indonesia merupakan kependekan kata ‘wanita-pria’, atau dalam
istilah internasional dikenal sebagai transgender, yaitu seseorang yang memiliki identitas
gender berbeda dari jenis kelamin biologisnya pada saat dilahirkan..
Menurut Atmojo (Atmojo, 1986), waria memiliki kondisi fisik antara lain: Memiliki
bentuk tubuh seperti pria, yaitu memiliki rahang kuat, lengan berotot, bentuk paha, dan lain-
Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013
4
lain. Waria tidak memancarkan feromon dari dalam tubuh seperti wanita. Waria memiliki
kecenderungan memakai pakaian yang sama dengan wanita untuk menarik sesama jenisnya,
dan waria tidak memiliki organ tubuh wanita, yaitu rahim dan payudara.
Dalam hubungan seksual, meskipun waria pada dasarnya adalah laki-laki, mereka
mempunyai perilaku seksual yang menyerupai wanita, yaitu berhubungan sesual dengan lakilaki. Berbeda dengan MSM (male who have Sex with male), waria cenderung melakukan
hubungan seks dengan bertindak sebagai wanita, sedangkan MSM peranan wanita atau pria
dilakukan berdasarkan kesepakatan antara penyedia jasa seks dan pelanggan.
Pelanggan seks waria pada umumnya adalah laki-laki heteroseksual. Hubungan
seksual biasanya dilakukan dengan melakukan seks orogenital dan anogenital yang biasanya
dilakukan tanpa pelindung (Joesoef, 2003). Menurut T. Nemoto, Luke D, Marno L, Ching A,
dan Patria J. waria sering melakukan seks tanpa proteksi sebab adanya penolakan pelanggan
dalam menggunakan kondom atau bayaran yang lebih mahal apabila bersedia melakukan
hubungan seks tanpa menggunakan kondom (Nemoto, Luke, Marno Ching, Patria, 1999)
Berdasarkan hal diatas, waria merupakan satu kelompok yang rentan dengan
terjadinya IMS. Selain berisiko dalam perilaku seksualnya yang terdiri dari tidak
menggunakan proteksi,
lama menjajakan seks komersial, jumlah pasangan seks, cara
melakukan hubungan seksual, waria juga melakukan perilaku berisiko IMS lainnya, yaitu
tidak mengakses pelayanan kesehatan, mengkonsumsi alkohol, menggunakan napza suntik,
menggunakan silikon suntik, dimana dalam praktiknya seringkali jarum yang digunakan
dalam menyuntik napza dan silikon digunakan bersama-sama.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan observasional kuantitatif dengan desain studi
kroseksional. Desain studi yang digunakan adalah desain studi potong lintang deskriptif.
Desain studi potong lintang digunakan untuk memotret karakteristik demografi responden,
perilaku berisiko dalam penularan IMS oleh responden, dan pemanfaatan layanan kesehatan
terhadap kejadian IMS. Variabel tersebut diatas diobservasi dalam waktu bersamaan, tanpa
dilihat yang lebih dulu terjadi apakah faktor-faktor tersebut atau kejadian IMS. Penelitian
dilakukan selama bulan Januari – Juli Tahun 2013 dengan waktu pengambilan data pada akhir
April – awal Mei 2013. Tempat pengambilan data dilakukan pada base-camp waria binaan
Puskesmas Kedung Badak dan titik-titik hotspot.
Populasi penelitian ini adalah waria yang berprofesi sebagai penjaja seks di Kota
Bogor. Populasi studi dalam penelitian ini adalah waria yang dibina atau setidaknya pernah
Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013
5
mengikuti pembinaan yang dilakukan oleh puskesmas Kedung Badak. Sampel dalam
penelitian ini dihitung dengan menggunakan besar sampel satu proporsi, yaitu :
n
= Jumlah sampel
P
= Proporsi IMS pada kelompok waria , dalam studi ini menggunakan proporsi sifilis 25%,
gonore 29%, dan klamidia 28%. Hal tersebut berdasarkan proporsi IMS berdasrkan
STBP 2011.
d
= Derajat akurasi (Presisi) yang diinginkan (90%) à 0,1
Z1-α = Nilai Z pada derajat kepercayaan kemaknaan α yang digunakan 1% sehingga nilai z :
1,96
Setelah dilakukan penghitungan sampel didapatkan jumlah sampel minimal 37, 41, dan 40
sampel. Sehingga jumlah sampel yang diperlukan adalah 41 waria. Dalam proses
pengambilan data, jumlah waria yang bersedia menjadi responden penelitian adalah 48 waria.
Data dikumpulkan dari kuesioner dan data penunjang. Data penunjang berupa data
besaran kasus IMS yang didapatkan dari hasil laboratorium pada pelayanan kesehatan
penyedia layanan IMS di Kota Bogor yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Pengambilan
data penunjang merupakan seluruh data di Kota Bogor sebab akses layanan kesehatan waria
suka berpindah-pindah dari satu layanan kesehatan kepada layanan kesehatan lainnya.
Pengambilan kuesioner melalui data kuesioner dilakukan di base-camp Waria Binaan
Puskesmas Kedung Badak, kantor LSM yang melakukan penjangkauan terhadap komunitas
waria, dan di titik-titik hotspot tempat waria menjaajakan diri. Pengambilan data dilakukan
dengan bantuan petugas puskesmas dan
Project Officer (PO) waria. Teknik pengisian
kuesioner menggunakan metode self administered kuessioner. Dalam teknik ini, pengisian
kuesioner dilakukan sendiri oleh waria yang menjadi responden penelitian tetapi tetap
didampingi oleh peneliti atau PO waria untuk memastikan kelengkapan data ataupun
pertanyaan yang tidak dimengerti oleh waria. Kuesioner merupakan kuesioner dengan
pertanyaan tertutup, yang dimodifikasi dari kuesioner STBP-Waria 2011.
Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat
dengan menggunakan uji chi square.
Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013
6
Hasil Penelitian
Karakteristik waria binaan Puskesmas Kedung Badak
Penelitian ini diikuti oleh 48 waria, dimana usia waria yang paling muda adalah 20
tahun dan usia yang paling tua adalah 43 tahun dengan rerata usia 29,3 5,0 tahun. Dari data
tersebut dilakukan pengelompokan data usia berdasarkan angka rata-rata usia yaitu 29 tahun,
dimana hasilnya rentang usia paling banyak adalah waria yang berusia antara 29 tahun – 43
tahun, yaitu sebanyak 54,2%.
Sebagian besar waria (45,8%) merupakan warga asli Kota Bogor dan sebanyak 35,4%
waria merupakan warga luar Kota Bogor dan sudah lebih dari 1 tahun tinggal di Kota Bogor.
Sebagian besar responden berasal dari Propinsi Jawa Barat, yaitu sebanyak 95,8%, selebihnya
merupakan waria dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kebiasaan mengakses internet dilakukan
oleh 95,8% waria.
Sebanyak 91,7% waria belum menikah, tetapi ditemukan 8,3% waria menikah dengan
seorang wanita. Penghasilan utama waria didapatkan dari bekerja di salon (43,8%) dan diikuti
20,8% dari hasil menjajakan seks, selebihnya waria ada yang berprofesi sebagai pekerja bebas,
dan karyawan. Berdasarkan tingkat pendidikannya, sebagian besar waria pernah menempuh
tingkat pendidikan sampai tingkat pendidikan SMA/Sederajat (60,4%), Dengan tingkat
pendidikan paling rendah adalah SD/Sederajat dan paling tinggi Perguruan Tinggi. Rerata
lama belajar waria di sekolah adalah 12 tahun, dengan lama belajar minimal 6 tahun dan
maksimal 16 tahun.
Berkaitan dengan orientasi seksualnya sebagian besar waria merupakan homoseksual
(87,5%). Sedangkan sisanya (12,5%) mengaku memiliki orientasi seksual biseksual, dimana
waria tersebut dapat melakukan hubungan seksual baik dengan laki-laki ataupun dengan
perempuan serta pernah melakukan hubungan seks dengan perempuan.
Kasus HIV dan IMS lainnya selama bulan Januari – Maret 2013
Berdasarkan data tercatat pada Dinas Kesehatan Kota Bogor, Selama bulan Januari –
Maret 2013, terdapat 17 waria yang melakukan periksa IMS, dan 21 waria yang melakukan
periksa
HIV. Dari pemeriksaan tersebut ditemukan bahwa sebanyak 28,6% waria yang
melakukan periksa HIV merupakan penderita HIV positif, dan sebanyak 17,7% merupakan
waria yang terkena IMS. Jenis IMS yang ditemukan selama bulan Januari – Maret pada waria
di Kota Bogor antara lain 1 kasus gonore, 1 kasus suspect gonore, dan 1 kasus uretritis non
gonore.
Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013
7
Sedangkan berdasarkan pengakuan waria yang menjadi responden penelitian, selama
setahun terakhir, ditemukan 14,6% waria dengan keluahan sesuai IMS. Keluhan sesuai IMS
yang dirasakan oleh waria antara lain 3 kasus nyeri kencing dan 4 kasus terdapat benjolan
disekitar anus.
Perilaku Berisiko Waria dalam Penularan IMS
Gambaran mengenai perilaku berisiko dalam penularan IMS pada waria dikemukakan
dalam tabel 1 dan tabel 2 berikut:
Tabel 1
Distribusi Perilaku Berisiko dalam Penularan IMS pada Waria Binaan Puskesmas
Kedung Badak Kota Bogor April – Mei 2103
Faktor Risiko IMS
Pemakaian Napza Suntik
Jumlah
Persentase
Ya
1
2,1
Tidak
47
97,9
Ya
6
12,5
suntik
Tidak
42
87,5
Konsumsi Alkohol
Ya
20
41,7
Tidak
28
58,3
≤ 2 tahun
16
33,3
> 2 tahun
32
66,7
Usia Pertama Melakukan
≤ 17 tahun
24
50,0
Hubungan Seksual
> 17 tahun
24
50,0
Pemakaian Kondom
Tidak pernah
1
2,1
Tidak Konsisten
25
52,1
Konsisten
22
45,8
Pernah
19
40,4
Tidak Pernah
28
59,6
Orogenital/Anogenital
4
8,3
seksual
Keduanya
44
91,7
Kunjungan Klinik IMS 3 Bulan
Tidak
8
16,7
Terakhir
Ya
40
83,3
Penggunaan
Silikon/hormon
Lama Menjajakan Seks
Kondom Bocor
Cara
Kategori
melakukan
hubungan
Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013
8
Tabel 2
Informasi Pendukung Perilaku Berisiko dalam Penularan IMS pada Waria Binaan
Puskesmas Kedung Badak Kota Bogor April – Mei 2013 .
Informasi Pendukung
Kategori
Jumlah
Presentase
Penggunaan Kondom dan Aktivitas Seksual
Banyaknya kondom yang
≤ 10
27
56,3
dimiliki
> 10
21
43,8
Terakhir kali mendapatkan
Fasilitas kesehatan
43
89,6
kondom
Membeli Sendiri
5
10,4
Pemakaian Pelicin
Konsisten
30
62,5
Tidak konsisten
18
37,5
Berbahan air
30
62,5
Krim
12
25,0
Air ludah
3
6,3
Minyak
2
4,2
Tidak Menggunakan
1
2,1
Pasangan Pertama kali
Laki-laki
42
87,5
melakukan hubungan seksual
Waria
4
8,3
Perempuan
0
0
Tidak Ingat
2
4,2
Laki-Laki
31
64,6
Perempuan
4
8,3
Tidak
13
27,1
Jumlah Kunjungan Klinik IMS 3
Tidak Pernah
8
16,7
bulan terakhir
1 kali
30
62,5
˃ 1 kali
10
20,8
Tidak mengalami keluhan
41
85,4
Pengobatan Sendiri
2
4,2
Pelayanan Kesehatan
5
10,4
Tidak Pernah ditawarkan
3
6,3
Ditawarkan
45
93,8
Tidak Pernah dirujuk
5
10,4
Pernah dirujuk
43
89,6
Tidak pernah
7
14,6
≤ 1 tahun
37
77,1
> 1 tahun
4
8,3
Jenis pelicin yang digunakan
Pasangan Tetap
Pelayanan Kesehatan
Pengobatan IMS
Ditawarkan Tes HIV
Rujukan ke klinik VCT
Melakukan Tes HIV Terakhir
Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013
9
Analisis bivariat dikembangkan untuk melihat adanya hubungan antara karakteristik
waria dan perilaku berisiko yang dilakukan oleh waria dengan keluhan sesuai IMS. Untuk
melihat ada atau tidak adanya hubungan antara kedua variabel diatas dilihat melalui rentang
95% Confident Interval (CI) dan besar risikonya dilihat dengan menggunakan Prevalent Ratio
(PR). Mengenai hasil analisis bivariat, dilihat melalui tabel 3 dibawah ini.
Tabel 3
Hubungan antara Karakteristik dan Perilaku Waria dengan Keluhan Sesuai IMS Pada Waria
Binaan Puskesmas Kedung Badak Kota Bogor April - Mei 2013
Variabel
Usia
Pendidikan
Orientasi Seksual
Status Pernikahan
Ya
Tidak
≤ 29 tahun
4 (18,2)
18 (81,8)
> 29 tahun
3 (11,5)
23 (88,5)
Rendah
2 (11,8)
15 (88,2)
Tinggi
5 (16,1)
26 (83,9)
Biseksual
2 (33,3)
4 (66,7)
Homoseksual
5 (11,9)
37 (88,1)
Ya
2 (50,0)
2 (50,0)
Belum/Tidak
5 (11,4)
39 (88,6)
PR*
95% CI**
1,6
0,4 – 6,3
0,7
0,2 – 3,4
2,8
0,7 – 11,3
4,4
1,2 – 15,8
7,8
3,7 – 16,5
Pemakaian NAPZA
Ya
1 (100,0)
0 (0,0)
suntik
Tidak
6 (12,8)
41 (87,2)
Hormon/Silikon
Ya
0 (0,0)
6 (100,0)
Suntik
Tidak
7 (16,7)
35 (83,3)
1,2
1,0 – 1,4
Konsumsi Alkohol
Ya
2 (10,0)
18 (90,0)
0,6
0,1 – 2,6
Tidak
5 (17,9)
23 (82,1)
Lama Menjajakan
≤ 2 tahun
2 (12,5)
14 (87,5)
0,8
0,2 – 3,7
Seks
˃ 2 tahun
5 (15,6)
27 (84,4)
Usia Pertama Aktif
≤ 17 tahun
6 (25,0)
18 (75,0)
6,0
0,8 – 6,4
Berhubungan Seksual
˃ 17 tahun
1 (4,2)
23 (95,8)
Pemakaian Kondom
Kadang/Jarang
6 (23,1)
20 (76,9)
5,1
0,6 – 5,7
Selalu
1 (4,5)
21 (95,5)
Pernah
3 (15,8)
16 (84,2)
1,1
0,3 – 4,4
Tidak
4 (14,3)
24 (85,7)
Cara melakukan
Orogenital/Anogenital
0 (0,0)
4 (100,0)
hubungan seksual
Keduanya
7 (15,9)
37 (84,1)
1,2
1,0 – 1,4
Kunjungan Klinik
Tidak
2 (25,0)
6 (75,0)
2,0
0,4 – 8,6
IMS 3 bulan terakhir
Ya
5 (12,5)
35 (87,5)
Kondom Bocor
Keluhan IMS
*PR
: Prevalent Ratio
** 95% CI
: 95% Confident Interval
Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013
10
Pembahasan
Keterbatasan penelitian dalam penelitian ini meliputi keterbatasan dalam hal diagnosis
IMS, serta terdapatnya bias informasi. Diagnosis IMS yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah diagnosis berdasarkan sindroma dimana terdapat keterbatasan dengan tidak dilakukan
uji laboraturium. Bias informasi dalam penelitian ini berupa recall bias dimana responden
mengingat dalam waktu yang cukup lama, yaitu 3 bulan sampai 1 tahun terakhir. Selain itu
terdapatnya informasi yang sifatnya sensitif dalam menjadikan responden tidak melakukan
pengakuan terhadap yang sebenarnya terjadi, tetapi mengaku sesuai dengan kebiasaan atau
norma yang berkembang di masyarakat.
Karakteristik responden berdasarkan usia, dalam hal ini sebagian besar responden
berusia diatas 29 tahun. Hal ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Pradipta (2012).
Status pernikahan sebagian seluruh waria di kota bogor adalah tidak atau belum menikah.
Sebagian besar pendapatan utama dari waria di Kota Bogor adalah sebagai pekerja salon
dengan hampir keseluruhan merupakan penjaja seks. Karakteristik ini mirip dengan
karakteristik waria yang menjadi responden dari studi yang dilakukan oleh Seprida pada tahun
2006, yaitu sebagian besar waria merupakan penjaja seks.
Berdasarkan tingkat pendidikannya, didapatkan hasil bahwa sebagaian besar waria
yang ada di Kota Bogor mempunyai pendidikan menengah (SMA/Sederajat), dan terdapat
sebagian kecil yang berpendidikan tinggi (PT/Sederajat), serta tidak ada waria yang tidak
pernah menempuh pendidikan formal. Karakteristik ini berbeda dengan studi yang dilakukan
oleh Seprida (2006) bahwa sebagaian besar waria memiliki pendidikan kurang dari
SMA/Sederajat. Namun karakteristik responden memiliki karakteristik yang sama dengan
karakteristik responden survei terpadu biologis dan perilaku di 5 kota besar di Indonesia
dimana sebagian besar respondennya (52,19%) memeiliki pendidikan tinggi (SMA/PT).
Meskipun di Kota Bogor proporsi waria yang memiliki jenjang pendidikan kurang dari SMA
juga masih banyak, sebab proporsi keduanya tidak terlalu berbeda.
Berdasarkan karakteristik orientasi seksual dari responden penelitian, Di Kota Bogor
sebagian besar warianya merupakan homoseksual, yaitu hanya berhubungan seksual dengan
laki-laki. Hal ini sesuai dengan teori dimana akan memiliki orientasi seksual dengan jenis
kelaminnya ketika dilahirkan (Atmojo, 1987).
Jumlah kasus yang ditemukan jauh lebih kecil dibandingkan dengan hasil riset yang
ditemukan pada survei terpadu biologis dan perilaku (STBP) yang dilakukan oleh sub-dit
HIV/AIDS Kementrian Kesehatan pada tahun 2011. Pada hasil survei STBP tahun 2011
diketahui bahwa prevalensi sifilis mencapai 28% sedangkan pada laporan pemeriksaan IMS
Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013
11
selama bulan Januari sampai Maret tidak ditemukan kasus sifilis. Pada pemeriksaan gonore
ditemukan 1 kasus dari 17 waria yang diperiksa (5,8%), kasus yang dilaporkan jauh lebih
kecil daripada hasil riset STBP tahun 2011 dimana angka kasus gonore mencapai 29%.
Sedangkan dari hasil pelaporan kasus IMS pada pemeriksaan klamidia tidak ditemukan.
Klamidia jarang ditemukan pada pemeriksaan IMS yang dilakukan pada laboratorium. Hal ini
disebabkan jauhnya klinik IMS dengan letak laboratorium untuk melakukan pemeriksaan.
Klamidia tidak dapat bertahan lama pada jaringan tidak hidup dan hanya bisa dideteksi
maksimal 5 menit setelah apusan dilakukan. Berdasarkan keluhan sesuai IMS angka yang
ditemukan pada penelitian ini juga lebih kecil dibandingkan survey nasional, dimana dalam
studi ini ditemukan waria mengalami gejala IMS dengan gejala nyeri kencing dan benjolan
disekitar kelamin, tetapi dalam riset STBP tahun 2011 diketahui bahwa selain nyeri kencing
dan benjolan disekitar anus, waria juga mengalami luka disekitar kelamin dan keluarnya
cairan tidak normal dari kemaluan/anus (STBP 2011). Hal tersebut menunjukkan status
kesehatan waria di Kota Bogor lebih baik dibandingkan angka gejala infeksi menular seksual
waria secara nasional.
Berdasarkan faktor risiko kejadian IMS, terdapat beberapa perilaku waria yang sudah
baik, diantaranya berkaitan dengan pemakaian napza suntik, konsumsi alkohol, penggunaan
hormon/silikon suntik, serta kunjungan klinik IMS selama 3 bulan terakhir. Dalam hal ini
sebagian besar waria sudah memiliki sikap yang positif terhadap hal-hal diatas. Namun, sikap
waria terhadap penggunaan kondom secara konsisten masih belum baik. Dalam studi yang
dilakukan oleh Hartanti (2012), sebagian besar waria tidak pernah mengunjungi layanan
klinik IMS. Berdasarkan perilaku seksualnya hampir keseluruhan waria melakukan seks
penetrasi dan seks oral. Dimana seks penetrasi dan oral memiliki risiko ganda untuk terkena
Gonore, yaitu gonore faring dan gonore pada alat kelamin.
Dalam perilaku dalam melakukan hubungan seksual, hampir 90% waria pertama kali
berhubungan seksual dengan laki-laki. Sebagian besar mengaku memiliki pasangan seks tetap,
yaitu seorang laki-laki. Hal ini sesuai teori yang menyatakan bahwa kelompok waria secara
psikologisnya menyerupai wanita dimana dia akan memiliki ketertarikan seksual kepada lakilaki. (Koeswinarno, 1996)
Berdasarkan hasil analsis bivariat ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara
status pernikahan dan penggunaan napza suntik dengan keluhan sesuai IMS. Besarnya risiko
yang disebabkan oleh status pernikahan adalah 4,4 kali dan besarnya risiko waria yang
melakukan penyuntikan IMS adalah sebesar 7,8 kali.
Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013
12
Terdapat perbedaan hasil studi dengan studi yang dilakukan oleh Hartanti (2012),
dimana berdasarkan studi yang dilakukan oleh Hartanti terdapat hubungan yang signifikan
secara statistik antara usia dengan kejadian sifilis pada populasi waria di 5 kota besar di
Indonesia. perbedaan tersebut dapat terjadi dikarenakan jumlah sampel yang sangat berbeda
antara penelitian ini dengan studi yang dilakukan oleh Hartanti pada tahun 2012.
Hasil studi yang dilakukan Clements-Nolle (2001) terhadap kelompok
diketahui
hasilnya bahwa sebagian besar waria memiliki orientasi seksual homoseksual. Hasil ini
selaras dengan orientasi seksual kelompok waria di Indonesia dimana dari hasilnya sebagian
besar kelompok waria di Indonesia merupakan kelompok homoseksual
Hubungan antara status pernikahan dengan keluhan sesuai IMS tersebut sesuai dengan
hasil studi yang dilakukan oleh Clements-Nolle (2001) dimana yang berisiko lebih tinggi
adalah yang memiliki orientasi biseksual (berhubungan seks dengan wanita dan laki-laki).
Hasil studi Clements-Nolle (2011) dimana kelompok transgender yang mengguankan
obat-obatan dengan cara disuntikkan memiliki kecenderungan risiko lebih besar dibandingkan
dengan kelompok waria yang tidak menggunakan obat-obatan dengan cara tidak disuntikkan.
Dalam STBP tahun 2007, diketahui bahwa proporsi menyuntik atau penggunaan narkoba
suntik dikalangan waria rendah. Secara umum kebiasaan menyuntik dikalangan transgender
rendah sebab kebanyakan dari mereka berada pada lingkungan sosek yang menengah
kebawah, sehingga keinginan untuk menggunakan narkoba suntik tidak terakomodir (Hartanti,
2012).
Studi yang dilakukan oleh Xavier di Boston pada tahun 2008 menunjukkan bahwa
sebanyak 82% waria melakukan suntik hormon/silikon. Tingginya penggunaan hormon
dikalangan
masyarakat
transgender
disebabkan
penggunaan
hormon
suntik/silikon
menunjukkan hasil yang lebih cepat dibandingkan dengan konsumsi hormon/silikon dengan
metode lainnya. Studi yang dilakukan oleh Xafier mengemukakan sebanyak 36%
menggunakan jarum suntik secara bersama-sama. (Xavier, 2008).
Studi yang dilakukan oleh WHO di India menyebutkan bahwa sebanyak 29%
kelompok melakukan hubungan seks dibawah pengaruh alkohol. Dalam studi ini diketahui
sebanyak 40% kelompok waria mengaku berada dalam pengaruh alkohol ketika melakukan
hubungan seks. Sebanyak 72% dari kelompok yang melakukan hubungan seksual dibawah
pengaruh alkohol mengalami satu jenis infeksi menular seksual (Saravanamurthy, 2010)
Secara umum konsumsi alkohol sebelum melakukan hubungan seksual atau perilaku
seks dibawah pengaruh alkohol memiliki kecenderungan yang besar untuk melakukan
kekerasan seksual yang bisa mengakibatkan gonore faring ataupun gonore rektum.
Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013
13
Hasil studi yang dilakukan oleh Hartanti pada masyarakat trasngender di 5 kota besar
di Indonesia menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik antara
lamanya menjajakan seks dengan IMS sifilis. Selain itu studi yang dilakukan oleh Operraio
(2008) yang dijelaskan dalam Hartanti (2012) menyebutkan bahwa sebanyak 76% waria di
Kolumbia adalah penjaja seks. (Operrario dalam Hartanti, 2012)
Semakin muda usia aktif dalam melakukan hubungan seksual setara dengan semakin
banyak partner seks dalam usia kerjanya. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ClementsNolle (2001) diketahui bahwa kejadian IMS ataupun HIV semakin tinggi pada odds kelompok
dengan jumlah partner seks lebih dari 200 orang dibandingkan dengan pada odds kelompok
dengan partner seks kurang dari 200 orang dengan angka Odd Ratio (OR) sebesar 2,64
(Clements-Nolle, 2001).
Berdasarkan teori, penggunaan kondom dapat mencegah berbagai IMS (Grella, Hook,
Dallabeta, dalam Seprida, 2006), sehingga penggunaan kondom secara konsisten dapat
mencegah terjadianya IMS. Dalam studi ini besarnya angka Prevalent Ratio (PR) adalah
sebesar 5,1 artinya kelompok waria yang tidak menggunakan kondom secara konsisten
memiliki kecenderungan mengalami gejala IMS 5,1 kali dibandingkan kelompok yang tidak
konsisten dalam menggunakan kondom.
Pada kenyataannya terdapat berbagai kemungkinan dimana seseorang tidak
menggunakan kondom secara konsisten, diantaranya adalah pemakaian yang tidak pas,
kondom dalam masa kadaluarsa, ataupun kondom yang digunakan mudah robek (Seprida,
2006). Selain itu dalam studi yang dilakukan oleh Pradipta (2012) pada kelompok waria di
Kota Bogor mengenai faktor yang berkaitan dengan konsistensi pemakaian kondom
menyebutkan pemakaian kondom masih buruk dikarenakan banyak kondom yang difasilitasi
memiliki ukuran yang tidak pas dengan organ kelamin waria sehingga kondom tersebut tidak
dipakai (Pradipta, 2013). Selain itu angka kebocoran kondom juga tinggi, yaitu mencapai
40% dari waria yang pernah pemakai kondom dalam melakukan hubungan seksual.
`
Studi yang dilakukan oleh Crosby (2007) dalam Hartanti (2012) mengemukakan
bahwa pada studi mengenai kondom laki-laki ditemukan beberapa eror yang terjadi pada
praktek penggunaan kondom meskipun angka penggunaan kondomnya tinggi. Diantaranya
sebanyak 60% tidak mendiskusikan pemakaian kondom ketika melakukan transaksi seksual,
43% melakukan pemakaian kondom setelah selesai melakukan hubungan seksual, 15%
mengeluarkan kondom ditengah-tengah aktivitas seksual, 40% tidak menyisakan ruang
kosong pada ujung kondom yang dapat mengakibatkan terjadinya luber atau robek, dan
Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013
14
sebanyak 30% memakai kondom kondom terbalik dan membalikkan kondom tersebut saat
berhubungan seksual sehingga penggunaan kondom menjadi tidak steril.
Studi secara khsusus mengenai efek kondom bocor dengan kejadian IMS masih sangat
jarang. Beberapa peneliti masih berasumsi bahwa kebocoran kondom menjadi faktor yang
menjadi sebab tidak ada hubungan secara statistik antara penggunaan kondom yang tinggi
dengan kejaidan IMS yang tinggi. Sedangkan secara teori harusnya penggunaan kondom yang
tinggi dapat menjadi faktor protektif dari kejadian IMS (Seprida, 2006)
Perilaku seksual atau perilaku yang dilakukan kelompok transgender saat melakukan
hubungan seksual dapat berhubungan dengan beberapa jenis kejadian IMS tertentu.
Berdasarkan studi yang dilakukan Seprida (2006) menyebutkan bahwa perilaku seksual
dengan style atau gaya seks oral memungkinkan tingginya risiko terkena gonore faring.
Sedangkan perilaku seks anal mensingkatkan risiko terkena gonore rektum. Sedangkan
perilaku seks keduanya (Oral dan Anal) berisiko baik terkena gonore rektum atau gonore
faring).
Berdasarkan penjelasan dari Project Officer
Waria di Kota Bogor, akses terhadap
layanan kesehatan bagi waria setempat sangat dipengaruhi petugas setempat. Petugas yang
ramah dan bersahabat, serta tidak melakukan diskriminasi secara sikap ataupun perkataan
merupakan faktor terpenting seorang
waria mau dan tergerak untuk melakukan kunjungan
klinik IMS sendiri tanpa dilakukan pendampingan (pemeriksaan mandiri). Selain itu masih
banyak waria yang merasa malu untuk mengunjungi klinik IMS secara terang-terangan
meskipun ada dari kelompok tersebut yang meminta dengan keinginan dan kesadaran sendiri
untuk melakukan konsultasi ataupun pemeriksaan IMS atau HIV secara mandiri.
Oleh sebab diatas jika dilihat data dalam studi ini mengenai jumlah waria yang melakukan
pemeriksaan IMS selama bulan Januari – Maret 2013 sangat rendah, yaitu hanya sebesar
5,4%. Dan jumlah
yang melakukan pemeriksaan HIV selama satu tahun terakhir hanyalah
sebesar 11,7%. Seharusnya berdasarkan peraturan yang dimiliki oleh komunitas atau
kelompok waria di Kota Bogor bahwa setiap 3 bulan sekali melakukan tes IMS dan setiap 6
bulan sekali melakukan tes HIV melalui VCT pada pelayanan kesehatan yang telah
disediakan
Kesimpulan
Karakteristik responden dalam penelitian ini merupakan waria dengan sebagian besar
berusia diatas 29 tahun, dengan usia paling muda 20 tahun dan paling tua 43 tahun dan rerata
Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013
15
usianya 29,3
5,0 tahun. Status pernikahan belum/tidak menikah, pekerjaan utamanya adalah
pekerja salon, pendidikan terbanyak adalah SMA/Sederajat, dan orientasi seksual adalah
homoseksual. Selama bulan Januari sampai Maret Tahun 2013 diketahui bahwa kasus Infeksi
Menular Seksual waria di Kota Bogor tercatat 1 kasus Gonore, 1 kasus Suspect Gonore, dan 1
kasus urethritis non gonore. Dan selama 3 bulan terakhir jumlah waria yang melakukan
periksa IMS sebanyak 17 waria. Dalam tiga bulan terakhir, terdapat 21 waria yang melakukan
periksa HIV dan sebesar 28,6% diantaranya merupakan waria dengan HIV positif. Besaran
kasus infeksi menular seksual berdasarkan gejala, terdapat 14,58% waria yang menderita
Infeksi Menular seksual. Gejala tersebut terdistribusi dalam dua macam gejala IMS yaitu
benjolan dan bengkak di sekitar anus dan nyeri kencing. Berdasarkan perilakunya, waria
binaan Puskesmas Kedung Badak memiliki perilaku positif hampir semua varioabel yang
dilakukan penelitian, kecuali konsistensi penggunaan kondom dan cara melakukan hubungan
seksual. Berdasarkan hasil uji bivariat, ditemukan hasil yang signifikan antara status
pernikahan dan penggunaan napza suntik dengan keluhan sesuai IMS.
Saran
Bagi penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan tes IMS untuk benar-benar dapat
melihat faktor risiko dari kejadian IMS. Meskipun IMS memiliki gejala yang khas, tetapi
gejala ditunjukkan pada sebagian kecil infeksi menular seksual yang terjadi. Selain itu perlu
dilakukan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih banyak supaya lebih dapat
merepresentasikan waria di Kota Bogor.
Untuk form IMS yang telah ada, untuk istilahsuspect sebaiknya tidak dipergunakan
lagi. Penyebutan untuk yang belum dikonfirmasi dengan pemeriksaan lab cukup dengan
pendekatan sindroma. Bagi layanan kesehatan sebaiknya melakukan skrining IMS dan HIV
setahun sekali pada populasi waria. Untuk pelaksanaannya dapat dibagi berdasarkan hotspot
wilayah kerja puskesmas setempat. Bagi pelaksana pembinaan waria, diperlukan upaya
pemberdayaan waria dari sisi sosial-ekonomi. Pelatihan terkait desain ataupun pemberdayaan
dalam bentuk lainnya yang dapat memanfaatkan jejaring sosial atau internet ketika
pelaksanaannya, sebab hampir seluruh waria telah terpapar dan terbiasa dalam mengakses
internet. Bagi pelaksana pembinaan waria, diperlukan upaya pencerdasan mengenai akibat
atau dampak dari risiko penggunaan NAPZA suntik dan risiko dari melakukan penyuntikan
secara bersama-sama, terlebih untuk silikon atau hormon suntik lainnya yang sangat familiar
pada kelompok waria.
Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013
16
Kepustakaan
Atmojo K. 1987. Kami Bukan Laki-laki : Sebuah Sketsa kaum waria. Jakarta: PT Temprint.
Center for Disease Control and Prevention (CDC). 2010. Sexually Transmitted Disease
Treathment Guidlines. Vol 59. Center For Disease Control and Prevention. Atlanta: US
Departement Health and Human Services.
Champenois K, Cousein A, Ndiaye B, Soukona Y, Baclet V, Alcaraz I, dkk., 2013. Risk
Factor for Syphilis infection in MSM : Result of Case Control Study in,Lille France. Sex
Transm Inf 89(2) : 128 - 32.
Clements-Nolle K., Mars R, Guzman R, dan Katz M. 2001. HIV Prevalence, Risk Behaviour,
Health Care Use, and Mental Health Status of Transgender Person : Implication For
Public Health Intervension. AJ Publ Health 91(6): 915-21
Daili SF. 2007. Pemeriksaan Klinis pada Infeksi Menular Seksual. Dalam: Daili SF, Makes
WIB, Zubier F, Judanarso J. Infeksi Menular Seksual. Ed 3. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 19-24
Hartanti A. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Infeksi Sifilis Pada Populasi
Transgender Waria di 5 Kota Besar di Indonesia. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat
UI. Depok.
Joesoef MR, Gultom M, Irana ID, Lewis JS, Muhaimin T, Ryan CA. 2003. High Rate
Sexually Transmitted Disease Among Transvestites in Jakarta, Indonesia. Int J
STD&AIDS 14(9) : 609 -13.
Joint United Nation Programme on HIV/AIDS. 2012. Global Reports : UNAIDS Reports On
The Global AIDS Epidemics 2012. www.unaids.org, 27 Februari 2012.
Josodiwondo S. 2005. Pemeriksaan Bakteriologik dan Serologik IMS. Dalam : Daili SF,
Makes WIB, Zubier F, Judanarso J. Infeksi Menular Seksual. Edisi 3. Jakarta : Balai
penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hal 25-47
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Situasi Epidemiologi HIV-AIDS di
Indonesia. Kementrian Kesehatan RI. depkes.go.id. 1 April 2013
Kementrian Kesehatan RI. 2012. Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) 2011.
litbangkes.depkes.go.id., diakses 1 April 2013
Kenagy GP. 2002. HIV Among Transgendered People. AIDS Care, 14 (1) : 127-34.
Kenagy GP. 2005. Transgender Health : Finding From Two Needs Assessment Studies in
Philadelphia. http://questia.com/. 5 Maret 2013.
Koesnawinarno. 2004. Hidup Sebagai Waria. Jogjakarta : LKIS Pelangi Aksara.
Lombardy, E. 2001. Enhancing Transgender Health Care. Am J Publ Health 91(6) : 869 – 72.
Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013
17
Marr L. 1998. Sexually Transmitted Diseases. Baltimore : The John Hopkins University Press.
Naibaho MK. 2006. Prevalensi HIV dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya di Kalangan
Waria di Kotamadya Jakarta Pusat Tahun 2006. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia. Depok..
Pradipta MN. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Konsistensi Pemakaian
Kondom pada Waria Binaan Puskesmas Bogor Timur dalam Upaya Pencegahan
HIV/AIDS Tahun 2012. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Depok.
Purwarini Y. 2010. Hubungan Pencarian Pengobatan Infeksi Menular Seksual dengan
Penggunaan Kondom Pada Pekerja Seks Komersial Waria di Beberapa Kota di Pulau
Jawa : Analisis data STBP 2007. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia. Depok.
Riono P dan Praptoraharjo I. 2008. Sexual Behaviour Among Male to Female Transgender
(Warias) in 5 Indonesian Cities. Oral Abstract Session: AIDS 2008 – VII International
AIDS Conferences : Abstract no TUAC0403. www.iasociety.org. 5 April 2013
Saravanamurthy PS, Rajendran P, Miranda PM, Ashok G, Raghavan SS, Arnsten JH, dkk.
2010. A Crossectional Study of Sexual Transmitted Infection and Human
Immunodeficiency Virus Among Male to Female Transgender People. Am Med J 1(2):
87-93.
Sarwono S. 1993. Sosiologi Kesehatan Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Yogyakarta :
GMU Press.
Seprida QD. 2006. Proporsi Gonore Faring dan Rektum Pada Waria Dengan Teknik
Polimerase Chain Reaction Serta Perilaku Seksual yang Berhubungan. Tesis. Program
Spesialis Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.
Thomas S. 2011. Syphilis Co-Infection in Maricopa Country. Disertasi. University of Arizona
College of Medicine Phoenix’s Journal. Arizona.
Todd J, Munguti K, Grosskurth H, Mangara J, Changalucha J, Mayaud P, dkk., 2001. Risk
Factor For Active Syphilis and TPHA Seroconversion in a Rural African Population. Sex
Transm Infect 77 (1) : 37 – 45.
World Health Organization. 2011. Prevention and Treathment of HIV and Other STI Among
Men Who Have Sex With Men and Transgender People. Geneva : WHO 2011.
Xavier J. 2005. HIV/AIDS Risk Factor Among Transgender People in the U.S. xa.yming.com.
5 April 2013
Perilaku berisiko..., Alvina Rakmawati, FKM-UI, 2013
Download