ABSTRAK Deni wahyudin “Homonimi terjemahan kata kufr terhadap terjemhan versi H.B. Jassin dan Mahmud Yunus”. Di bawah bimbingan Dr. Sukron Kamil, MA. Penerjemahan merupakan sebuah kegiatan pemindahan makna dari bahasa sumber (Bsa) ke dalam bahasa sasaran (Bsa). Terjemahan dapat dikatakan baik bila benar-benar dapat dipahami dan dinikmati oleh penerimanya. Makna dan gaya atau nada yang diungkapkan dalam bahasa sasaran (bahasa penerima) tidak boleh menyimpang dari makna dan gaya/nada yang diungkapkan dalam bahasa sumber. Penulis melihat bahwa dalam bahasa Arab terdapat homonimi. Homonimi menjelaskan bahwa banyak terdapat kata secara pelafalannya sama tetapi mempunyai makna yang berbeda. Dalam dunia penerjemahan seseorang harus mempunya wawasan yang luas untuk dapat menerjemahkan kat-kata yang mengandung Homonim. Skripsi ini mencoba melihat penerjemahan mengenai terjemahan kata kufr. Dengan memakai analisis homonimi. Sebagaimana terjemahan kata kufr tidak sematamata diterjemahkan dengan kata ingkar. Seringkali terjadi perdebatan dan bahkan berujung pada pembunuhan lantaran salah menempatkan makna kufr. Penulis melakukan analisis perbandingan/ komparatif antara terjemahan Al-Qur’an versi H.B. Jassin dan Mahmud Yunus. Penulis menarik kesimpulan bahwa hasil terjemahan antara H.B. Jassin dan Mahmud yunus secara makna sama. Sehingga menimbulkan pemahan yang sama ketika membacanya. Hal yang membedakannya adalah hanya dalam gaya bahasa dan pemilihan diksi saja. PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 22 juni 2010 Deni Wahyudin NIM: 105024000865 PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Analisis Homonimi Terhadap Kata Kufr dalam Al-Qur’an (Studi Komparatif : Terjemahan H.B. Jassin dan Mahmud Yunus), telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Jum’at, 18 juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) pada Program Studi Tarjamah. Jakarta, 18 juni 2010 Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota, Dr. Ahmad Saekhuddin, M.Ag. NIP: 197005052000031001 Drs. Ikhwan Azizi, MA. NIP: 195708161994031001 Anggota . Dr. Sukron Kamil, MA. NIP: 150 282 400 PRAKATA Puji Syukur senantiasa Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan begitu banyak nikmat serta pertolongan kepada Penulis, sehingga karya ini bisa selesai dan hadir ke hadapan para pembaca. Salawat serta Salam Cinta senantiasa dilimpahkan kepada teladan alam semesta, Kanjeng Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat. Semoga kita mendapatkan “curahan syafa’atnya” di hari akhir nanti. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada civitas academica UIN Syarif HIdayatullah Jakarta, terutama kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Dr. Abdul Chaer, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Drs. Ikhwan Azizi, MA., Ketua Jurusan Tarjamah serta Sekretaris Jurusan Tarjamah, Ahmad Saekhuddin, M.Ag. Terima Kasih yang tak terhingga pula kepada Dr. Sukron Kamil, MA yang telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi, memberikan referensi serta memotivasi Penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan Bapak. Kepada Jajaran Dosen Tarjamah: Ibu Karlina Helmanita, M.Ag, Bpk. Syarif Hidayatullah, M.Hum, Bpk.Syukron Kamil, MA, Bpk. Irfan Abubakar, MA, Bpk. Drs. A. Syatibi, M.Ag, dan lainnya. Terima kasih yang tak terhingga. Semoga ilmu yang Penulis dapatkan menjadi manfaat di kemudian hari. Penghormatan serta salam cinta Penulis haturkan kepada Kedua Orang Tua Penulis, Ayahanda Nazimuddin dan Ibunda Ida Rohani. Kepada sanak saudara Penulis yang ada di Lampung maupun di Jakarta yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada Penulis, sehingga Penulis bisa menyelesaikan studi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada kawan seperjuangan di Tarjamah Angkatan 2005, terimakasih juga kepada teman-teman yang berada di basecamp ’sri makmur’ yang telah memberikan hiburan dan berbagai candaan, telah mengingatkan kekurangan dan kekhilafan Penulis dalam meyelesaikan skripsi ini, telah berbagi informasi dan pengalaman mereka sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini Dan juga tak lupa kepada teman basecamp ’charlie angels’ yang juga telah memberikan dukungan kepada Penulis. serta teman-teman BEM-J Tarjamah dan juga kepada seluruh Kakak kelas dan adik kelas. Penulis menghaturkan beribu terima kasih kepada seluruh teman-teman atas pinjaman referensinya yang begitu berharga. yang telah mencerahkan dan memberikan paradigma baru kepada Penulis. Semoga skripsi yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Saran serta kritik konstruktif sangat Penulis butuhkan untuk interpretasi yang lebih baik lagi. Jakarta, 22 Juni 2010 Penulis ANALISIS HOMONIMI TERHADAP KATA KUFR ( ) آﻔﺮDALAM AL-QUR’AN ( Studi Komparatif: Terjemahan H.B. Jassin dan Mahmud Yunus) Skripsi Diajukan kepada fakultas adab dan humaniora Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana (S.S) Deni Wahyudin 105024000865 JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 i PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 22 juni 2010 Deni Wahyudin NIM: 105024000865 ii iii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Analisis Homonimi Terhadap Kata Kufr dalam Al-Qur’an (Studi Komparatif : Terjemahan H.B. Jassin dan Mahmud Yunus), telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Jum’at, 18 juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) pada Program Studi Tarjamah. Jakarta, 18 juni 2010 Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota, Dr. Ahmad Saekhuddin, M.Ag. NIP: 197005052000031001 Drs. Ikhwan Azizi, MA. NIP: 195708161994031001 Anggota Dr. Sukron Kamil, MA. NIP: 150 282 400 iv PRAKATA Puji Syukur senantiasa Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan begitu banyak nikmat serta pertolongan kepada Penulis, sehingga karya ini bisa selesai dan hadir ke hadapan para pembaca. Salawat serta Salam Cinta senantiasa dilimpahkan kepada teladan alam semesta, Kanjeng Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat. Semoga kita mendapatkan “curahan syafa’atnya” di hari akhir nanti. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada civitas academica UIN Syarif HIdayatullah Jakarta, terutama kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Dr. Abdul Chaer, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Drs. Ikhwan Azizi, MA., Ketua Jurusan Tarjamah serta Sekretaris Jurusan Tarjamah, Ahmad Saekhuddin, M.Ag. Terima Kasih yang tak terhingga pula kepada Dr. Sukron Kamil, MA yang telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi, memberikan referensi serta memotivasi Penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan Bapak. Kepada Jajaran Dosen Tarjamah: Ibu Karlina Helmanita, M.Ag, Bpk. Syarif Hidayatullah, M.Hum, Bpk.Syukron Kamil, MA, Bpk. Irfan Abubakar, MA, Bpk. Drs. A. Syatibi, M.Ag, dan lainnya. Terima kasih yang tak terhingga. Semoga ilmu yang Penulis dapatkan menjadi manfaat di kemudian hari. Penghormatan serta salam cinta Penulis haturkan kepada Kedua Orang Tua Penulis, Ayahanda Nazimuddin dan Ibunda Ida Rohani. Kepada sanak saudara Penulis yang ada di Lampung maupun di Jakarta yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada Penulis, sehingga Penulis bisa menyelesaikan studi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada kawan seperjuangan di Tarjamah Angkatan 2005, terimakasih juga kepada teman-teman yang berada di basecamp ’sri makmur’ yang telah memberikan hiburan dan berbagai candaan, telah mengingatkan kekurangan dan kekhilafan Penulis dalam meyelesaikan skripsi ini, telah berbagi informasi dan pengalaman mereka sehingga Penulis v dapat menyelesaikan skripsi ini Dan juga tak lupa kepada teman basecamp ’charlie angels’ yang juga telah memberikan dukungan kepada Penulis. serta teman-teman BEM-J Tarjamah dan juga kepada seluruh Kakak kelas dan adik kelas. Penulis menghaturkan beribu terima kasih kepada seluruh teman-teman atas pinjaman referensinya yang begitu berharga. yang telah mencerahkan dan memberikan paradigma baru kepada Penulis. Semoga skripsi yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Saran serta kritik konstruktif sangat Penulis butuhkan untuk interpretasi yang lebih baik lagi. Jakarta, 22 Juni 2010 Penulis vi DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................................ i PERNYATAAN .............................................................................................. ii PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................... iii PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................................. iv PRAKATA .................................................................................................. v DAFTAR ISI .................................................................................................... vii PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN............................................. ix ABSTRAK ....................................................................................................... xii BAB I BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah........................................................... 1 B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ....................... 8 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 9 D. Metodologi Penelitian .............................................................. 9 E. Sistematika Penulisan .............................................................. 10 KERANGKA TEORI A. Gambaran Umum Tentang Penerjemahan ............................... 11 1. Definisi penerjemahan ....................................................... 11 2. Jenis penerjemahan ............................................................ 15 3. Tahap-tahap penerjemahan ................................................ 19 4. Penerjemahan Al-Qur’an ................................................... 22 B. Homonimi ................................................................................. 31 1. Pengertian Homonimi ........................................................ 31 2. Homonimi dalam bahasa Arab ........................................... 34 3. Homonimi dalam bahasa Indonesia ................................... 36 C. Pengertian Kufur ...................................................................... 37 vii BAB III BIOGRAFI H.B. JASSIN A. Riwayat H.B. Jassin ................................................................. 41 B. Karya-karya H.B. Jassin........................................................... 45 1. Karangan Asli H.B. Jassin ................................................. 45 2. Buku-Buku yang dieditori H.B. Jassin............................... 47 3. Terjemahan H.B. Jassin ..................................................... 49 4. Kontroversi Penyusunan H.B. Jassin ................................. 50 5. Latar belakang H.B. Jassin dalam menyusun Terjemah AlQur’an ................................................................................ 52 C. Biografi Mahmud Yunus ........................................................ 55 1. Riwayat Hidup dan Aktivitas Keilmuan ...................... 55 2. Karya-karya Mahmud Yunus ....................................... 59 3. Metode Penerjemahan Mahmud Yunus ....................... 63 BAB IV ANALISIS HASIL TERJEMAHAN KATA KUFUR ............. 65 Bab V PENUTUP A. Kesimpulan dan........................................................................ 81 B. Saran ........................................................................................ 82 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 83 viii PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Dalam skripsi ini, sebagian data berbahasa Arab ditransliterasikan ke dalam huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin dalam Buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1. Padanan Aksara Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab ا Huruf Latin ط T ب b ظ Z ت t ع ‘ ث ts غ Gh ج j ف F ح h ق Q خ kh ك K د d ل L ذ dz م M ر r ن N ز z و W س s ة H ش sy ء ` ص s ي Y ض d 2. Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. A. Vokal tunggal Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ---َ a Fathah ----ِ i Kasrah -----ُ u Dammah ix B. Vokal rangkap Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ي---َ ai a dan i و---َ au a dan u C. Vokal Panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu : Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ي/ا----َ â a dengan topi di atas ِي---- î i dengan topi di atas ُو--- û u dengan topi di atas 3. Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh : al-rijâl bukan arrijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân. 4. Syaddah (Tasydîd) Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda---ّ dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata اﻟﻀّﺮورةtidak ditulis ad-darûrah melainkan al- darûrah, demikian seterusnya. 5. Ta Marbûtah Jika huruf Ta Marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (contoh no.1). hal yang sama juga berlaku, jika Ta Marbûtah tersebut diikuti oleh (na’t) atau kata x No. Kata Arab Alih Aksara 1 ﻃﺮﻳﻘﺔ Tarîqah 2 اﻟﺠﺎﻣﻌﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ al-jâmi’ah al-islâmiyah 3 وﺣﺪة اﻟﻮﺟﻮد wihdat al-wujûd 6. Huruf kapital Mengikuti EYD bahasa Indonesia. Untuk proper name (nama diri, nama tempat, dan sebagainya), seperti al-Kindi bukan Al-Kindi (untuk huruf “al” a tidak boleh kapital. xi ABSTRAK Deni wahyudin “Homonimi terjemahan kata kufr terhadap terjemhan versi H.B. Jassin dan Mahmud Yunus”. Di bawah bimbingan Dr. Sukron Kamil, MA. Penerjemahan merupakan sebuah kegiatan pemindahan makna dari bahasa sumber (Bsa) ke dalam bahasa sasaran (Bsa). Terjemahan dapat dikatakan baik bila benarbenar dapat dipahami dan dinikmati oleh penerimanya. Makna dan gaya atau nada yang diungkapkan dalam bahasa sasaran (bahasa penerima) tidak boleh menyimpang dari makna dan gaya/nada yang diungkapkan dalam bahasa sumber. Penulis melihat bahwa dalam bahasa Arab terdapat homonimi. Homonimi menjelaskan bahwa banyak terdapat kata secara pelafalannya sama tetapi mempunyai makna yang berbeda. Dalam dunia penerjemahan seseorang harus mempunya wawasan yang luas untuk dapat menerjemahkan kat-kata yang mengandung Homonim. Skripsi ini mencoba melihat penerjemahan mengenai terjemahan kata kufr. Dengan memakai analisis homonimi. Sebagaimana terjemahan kata kufr tidak semata-mata diterjemahkan dengan kata ingkar. Seringkali terjadi perdebatan dan bahkan berujung pada pembunuhan lantaran salah menempatkan makna kufr. Penulis melakukan analisis perbandingan/ komparatif antara terjemahan AlQur’an versi H.B. Jassin dan Mahmud Yunus. Penulis menarik kesimpulan bahwa hasil terjemahan antara H.B. Jassin dan Mahmud yunus secara makna sama. Sehingga menimbulkan pemahan yang sama ketika membacanya. Hal yang membedakannya adalah hanya dalam gaya bahasa dan pemilihan diksi saja. xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu makna (semantik) sebagai ilmu baru yang berkembang pada tahun 1970-an di dunia linguistik dan semantik di Indonesia baru berkembang pada tahun 1980-an. Kemampuan mengolah dan memahami pemerian kebahasaan ada pada aspek makna dalam linguistik. Kemampuan suatu bahasa menjadi bahasa ilmu dapat dipertimbangkan melalui kecendekiaan bahasa antara lain yang dikemukakan oleh pemuka aliran praha (Prague school), kecendekiaan bahasa ditandai oleh (1) kemampuannya dalam membentuk dan menyampaikan pernyataan yang tepat, saksama dan kaya, (2) bentuk kalimatnya mencerminkan penelitian penalaran yang objektif sehingga relasi strukturnya sama dengan proposisi logika, dan (3) mampu menunjukkan antarkalimat yang selaras, logis, dan memiliki keutuhan. Dari ketiga syarat tersebut dapat mempertimbangkan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa Indonesia nusantara dalam memenuhu syarat sebagai ilmu. Semantik berhubungan erat dengan syarat ketiganya, bila dipahami melalui proposisi logis tepat, selaras dan memiliki keutuhan (terutama dibidang acuan baik yang objektif (kongkret) maupun abstrak). Dalam kajian semantik terdapat pembahasan mengenai homonimi, homonimi dapat diartikan sebagai nama sama untuk benda atau hal lain, secara semantik, Verhaar (1978) member definisi homonimi sebagai ungkapan 1 2 (berupa kata, frase atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga brupa kata, frase atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. 1 Homonimi adalah relasi makna antar kata yang ditulis sama, tetapi maknanya berbeda. Di dalam kamus kata-kata yang termasuk homonim muncul sebagai lema (entri) yang terpisah. Misalnya saja, kata tahu dalam kamus besar bahasa Indonesia muncul sebagai dua lema: Ta.hu v mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami) Ta.hu n makanan dari kedelai putih yang digiling halus-halus, direbus dan dicetak. Konsep kehomoniman sebagai pertalian makna antara dua atau lebih leksem yang sama bentuk merupakan gejala semesta bahasa (language universal). Konsekuensi logis munculnya gejala kehomoniman adalah ketaksaan ujaran atau kalimat yang disampaikan oleh pembicara kepada pendengar/lawan bicara. Akibat lebih jauh yang disebabkan oleh munculnya gejala kehomoniman adalah, di samping ketaksaan ujaran atau kalimat, terjadinya distorsi pesan yang ingin disampaikan. Pemahaman yang baik terhadap kehomoniman suatu bahasa, khususnya bahasa Arab, dapat menghindari ketaksaan dan distorsi pesan yang terkandung dalam ujaran atau kalimat. Kajian kehomoniman dalam bahasa Arab masuk pada pokok bahasan Al-mustarak Al-lafzi (relasi makna), di samping kajian kepoliseman. 1 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1994) h. 93 3 Dengan memakai pendekatan teori Lyons (1996) penelitian ini memperoleh formulasi klasifikasi homonimi bahasa Arab yang terdiri atas: (i) homonimi mutlak (absolute homonymy), dan (ii) homonimi sebagian (partial homonymy). Dalam menganalisis data, penelitian ini memanfaatkan juga pendekatan analisis komponen atau medan semantik. Homonimi mutlak ditemukan pada semua kelas kata, baik nomina (alism), verba (fi'il), maupun partikel (alharf). Homonimi sebagian diperoleh berdasarkan perbedaan lingkungan gramatikal dari leksem-leksem yang homonimis dan subklasifikasi homonimi sebagian ini terdiri atas (I) perbedaan infleksi aspektual (perfektif imperfektif), (ii) perbedaan derivasi, (iii) perbedaan kategori gender (maskulin - feminin), dan (iv) perbedaan kategori jumlah (tunggal - jamak). 2 Objek utama dari homonimi adalah teks. Ketika berhadapan dengan teks, maka kita akan menemukan dua unsur pembangun, yaitu penulis dan pembaca. Ketika kita menerjemahkan suatu teks, maka pada tataran ini kita juga melakukan kegiatan menfsirkan makna. Homonim merupakan salah satu objek kajian dalam Al-Qur’an. 3 Al-Qur’an sebagai kitab suci tidak hanya berisi mengenai kumpulan ayat-ayat yang tertulis dengan bahasa Arab, tetapi juga telah menjadi pedoman hidup umat Islam. Agar menjadi pegangan hidup, umat perlu menafsirkan Al-Qur’an 2 http://google.com (selasa 15 juni 2010) Beberapa tahun terakhir Al-Qur’an telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa atas bantuan rabithah al alam al Islami dan dar al ifta wa al irsyad yang bermarkas di Saudi Arabia. Mujamma’ khadim al haramain al syarifain al malik fahd untuk pencetakkan mushaf, telah mencetak terjemahan Al-Qur’an dalam berbagai bahasa seperti Inggris, Perancis, Turki, Urdu, China, Hausa, dan Indonesia. Departemen agama, Al-Qur’an dan terjemahannya (semarang: PT. Karya Toha Putra, 1990) h. 30 3 4 agar senantiasa dapat mengaplikasikan dirinya di dalam kehidupan. Hal ini tanpa terkecuali dalam ayat teologis yang berkaitan dengan kata kufr. Permasalahan mengenai kufr memang selalu menjadi salah satu titik poin yang sangat sensitif di kalangan umat muslim, khususnya masalah akidah. Seringkali terjadi perdebatan dan bahkan berujung pada pembunuhan lantaran salah menempatkan makna kufr. Kata kufr atau yang identik dengan ‘kafir’ seringkali diartikan sebagai keluar dari Islam (murtad). Memang benar kufr merupakan lawan dari iman. Hanya saja apakah setiap kata kufr selalu bermakna keluar dari Islam (murtad) itulah yang menjadi persoalan. Secara harfiah kufr berarti tertutup, terhalang, dan terhapus. Namun, kata ini menjadi istilah khusus dalam perbincangan masalah akidah, yang menjadi lawan dari iman. Sebagai contoh dalam Q.S. Al-Maidah ayat 44: ⌦ ☺ ☺ ⌧ ⌧ ☺ ☺ 5 44. Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Q.S. Al-Maidah ayat 44) Contoh lain dalam surat Ibrahim ayat 7 ⌧ ⌧ ⌧ 7. Dan (ingatlah juga), ⌧ tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Q.S. Al-maidah ayat 7) Dari dua contoh ayat di atas terdapat perbedaan makna, mengenai surat Al-Maidah ayat 44 kata ‘kafir’ apakah ditujukan kepada kaum muslimin atau kepada orang-orang ‘kafir’. Dalam tafsir Adhwa’ul Bayan diriwayatkan dari Asy-Sya’bi, ayat tersebut ditujukan kepada kaum muslimin, maksud kekufuran didalamnya adalah kekufuran yang bukan berarti kekafiran, dan 6 bukan yang berarti keluar dari agama, diriwayatkan pula dari ibnu abbas, mengenai ayat ini, dia berkata: bukan kekufuran seperti yang kalian katakana/kira. Abi Hatim dan Al Hakim meriwayatkan dirinya. Al Hakim mengatakan, shahih sesuai dengan kriteria Imam Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak menukilnya. Demikian kutipan dari Ibnu Katsir. Sama halnya dengan tafsir Al-Misbah karangan Quraish Shihab, dalam ayat tersebut dapat dipahami dalam arti kecaman yang amat keras tarhadap mereka yang menetapkan hukum bertentangan dengan hukum-hukum Allah, tetapi ini oleh mayoritas ulama, seperti tulis Muhammad Sayyid Tanthawi – Mufti Mesir dan pemimpin tertinggi al-Azhar Mesir, dalam tafsirnya adalah bagi yang melecehkan hukum allah dan yang mengingkarinya. Demikian juga pendapat sahabat nabi Ibn Abbas. Memang satu kekufuran dapat berbeda dengan kekufuran yang lain. Kufurnya seorang muslim, kezaliman, dan kefasikannya tidak sama dengan kekufuran, kezaliman dan kefasikan non muslim. Kekufuran seorang muslim bisa diartikan pengingkaran nikmat. Demikian pendapat Atha’ salah seorang ulama yang hidup pada masa sahabat Nabi Muhammad saw. Syekh Hasanain Makhluf, yang juga pernah menjabat mufti mesir, menulis tentang penggalan ayat ayat ini dan menyatakan bahwa, pakar-pakar tafsir berbeda pendapat tentang ayat ini dan kedua ayat serupa sesudah ayat ini. Ayat pertama (ayat 44) ditujukan kepada orang-orang muslim, yang kedua (ayat 45) ditujukan kepada orang-orang Yahudi, dan ayat ketiga (ayat 47) kepada prang-orang Nasrani. Selanjutnya ia menulis: sifat ‘kafir’ bila 7 disandangkan kepada orang yang beriman, maka ia dipahami dalam arti kecaman yang amat keras, bukan dalam arti kekufuran yang menjadikan seseorang keluar dari agama. Di sisi lain jika non muslim dinilai fasiq atau zalim, maka maksudnya adalah pelampauan batas dalam kekufuran. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang Yahudi, karena Allah SWT telah menyebutkan sebelumnya kepada mereka “merubah perkataan-perkataan dari tempattempatnya”, dan mereka mengatakan “jika kamu diberikan yang ini”, yakni hukum yang telah dirubah yang selain hukum Allah, “maka terimalah dan jika kamu tidak diberikan yang ini”, yakni yang telah dirubah, tapi kamu diberikan hukum Allah yang sebenarnya “maka hati-hatilah”. Mereka memerintahkan agar berhati-hati terhadap hukum Allah yang mereka tahu itu adalah kebenaran. Maka ini menunjukkan bahwa perkataan tersebut ditujukan kepada mereka. Diantara mereka yang mengatakan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada ahli kitab, sebagaimana yang ditunjukkan ayat tersebut adalah Al Barra’bin’Azib, Hudzaifah bin Al Yaman, Ibnu Abbas, Abu Mijlaz, Abu Raja’Al Utharidi, Ikrimah Ubaidillah bin Abdullah, Al Hasan Al Basri dan yang lainnya. Menarik sekali untuk dilihat bahwa masing-masing penerjemah mempunyai pemahaman tersendiri terhadap teks. Perbedaan itu bisa saja dapat terjadi, karena lingkungan, latar belakang, pendidikan, dan sebagainya. 8 Kesemuanya itu turut memberikan corak tersendiri dalam pemahaman akan suatu entitas. Di dalam Al-Qur’an kata kufr dengan berbagai bentuk perubahannya, diungkapkan sebanyak 525 kali. Dari sekian banyak bentuk kata kufr, penulis hanya mengelompokkan menjadi enam bentuk. Masing-masing bentuk kata memiliki makna yang berbeda. Berikut adalah beberapa kelompok bentuk kufr dalam Al-Qur’an: ﺗﻜﻔﻴﺮ- ﻳﻜﻔﺮ-( آﻔﺮkaffara – yukaffiru – takfir) ( آﻔﺎ رةkaffaarah) ( آﺎﻓﻮرkaafuur) آﻔﺮ- ﻳﻜﻔﺮ-( آﻔﺮkafara – yakfuru – kufr) آﺎﻓﺮون- آﻔﺎر-( اﻟﻜﻔﺮةal kafarah – kuffar – kaafiruun) آﻔﻮر-( آﻔﺎرkaffaar – kafuur) Atas dasar tersebut, penulis menulis skripsi yang berjudul ANALISIS HOMONIMI TERHADAP KATA KUFUR DALAM AL-QUR’AN (STUDI KOMPARATIF TERJEMAHAN H.B. JASSIN DAN MAHMUD YUNUS) B. Perumusan dan Pembatasan Masalah Penjelasan makna ini, maka penulis membatasi permaslahan ini hanya berkisar pada homonimi. Sample dari objek penelitian ini adalah ayat-ayat yang berisi tentang kufr. 9 Setelah memaparkan latar belakang, maka merasa perlu untuk memberikan pembatasan dan perumusan masalah, yaitu terjemahan Al-Quran H.B. Jassin dan Mahmud Yunus. Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut : 1. Apakah terjemahan kata kufur dalam Al-Qur’an terjemahan H.B. Jassin dan Mahmud Yunus diterjemahkan secara berbeda? 2. Apa pengaruh terjemahan tersebut terhadap teologi umat Islam? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Mengetahui apakah ada perbedaan makna antara dua versi terjemahan terhadap dua ayat tersebut. 2. Mengetahui pengaruh terjemahan tersebut terhadap teologi umat Islam Adapun manfaatnya adalah : Memberikan pengetahuan baru bagi yang mempelajari Bahasa Arab terutama penerjemahan, yaitu pengetahuan tentang perubahan makna terhadap penerjemahan. D. Metode Penilitian Sumber data yang diperoleh adalah kajian pustaka melalui sumber literer (library reaserch) yaitu dari kepustakaan, sedangkan metode penilitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitis yaitu dengan cara mengumpulkan data-data dari Al Qur’an yang diterjemahkan oleh H.B. Jassin dan Mahmud Yunus sebagai bahan primer. Sedangkan untuk bahan sekunder adalah dengan mengumpulkan dari berbagai literatur yang relevan dengan 10 pokok permasalahan baik dari artikel, majalah, internet, maupun dari bukubuku lain yang berkaitan. Adapun pedoman penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi, tesis, dan disertasi yang disusun oleh tim UIN Syarif Hidayatullah dan diterbitkan oleh UIN Jakarta press 2002. E. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini terdiri dari IV bab, yaitu : Bab I Penulis akan menulis pendahuluan yang terdiri dari : latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metode penilitian dan sistematika penulisan. Bab II Berupa kerangka teori yang terdiri dari : gambaran umum tentang penerjemahan yang di dalamnya terdapat definisi penerjemahan, jenis penerjemahan, tahap penerjemahan : tahap analisis, tahap pengalihan, tahap penyerasian, penerjemahan Al-Qur’an. Pengertian hominimi, homonimi dalam bahasa Arab, dan hominimi dalam bahasa Indonesia. Bab III berisi biografi H.B. Jassin dan Mahmud yunus penerjemahan : sekilas tentang biografi H.B. Jassin dan Mahmud yunus, dan karya-karyanya. Bab IV merupakan hasil analisis dari “hasil terjemahan kata kufur” dengan melakukan analisis komparatif antara hasil terjemahan H.B. Jassin dan Mahmud Yunus. Bab V Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran 11 BAB II KERANGKA TEORI A. Gambaran Umum Tentang Penerjemahan 1. Definisi Terjemahan Seperti halnya ilmu-ilmu lain, di dalam bidang penerjemahan ditemukan banyak definisi. Berbagai macam definisi itu mencerminkan pandangan ahli yang membuat definisi tentang hakikat terjemahan. Berikut akan disajikan beberapa definisi yang sering dikutip dalam buku tentang penerjemahan. Penerjemahan atau translation selama ini didefinisikan melalui berbagai cara dengan latar belakang teori serta pendekatan yang berbedabeda dari berbagai segi, baik segi semantik (kemaknaan) maupun linguistik (kebahasaan) dan sebagainya. Meskipun tidak mewakili keseluruhan definisi yang ada dalam dunia penerjemahan dewasa ini. Definisi terjemahan dalam arti luas adalah “semua kegiatan manusia dalam mengalihkan makna atau pesan, baik verbal maupun non verbal dari informasi asal atau informasi sumber (source information) ke dalam informasi sasaran (target information).” 1 Sedangkan definisi terjemahan dalam arti sempit adalah “suatu proses pengalihan pesan yang terdapat di dalam teks bahasa sumber (source linguistik) dengan kesepadanan di dalam bahasa ke dua atau bahasa sasaran (target language). 2 1 Suhendra Yusuf, Teori Terjemah (Pengantar kearah Pendekatan Linguistik dan Sosiolinguistik). (Bandung. PT.Mandar Maju, 1994). Cet ke-1. h: 8 2 Ibid. h. 8 11 12 Eugene a. Nida 3 dan Charles R. Taber, dalam buku mereka The Theory and Practice of Translation, memberikan definisi terjemahan sebagai berikut : “Translating consist in reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of the source language message, first in the terms of meaning secondly in terms of style.” 4 (menerjemahkan berarti menciptakan padanan yang dekat dalam bahasa penerima terhadap pesan bahasa sumber, pertama dalam hal makna dan kedua pada gaya bahasa). Secara lebih sederhana, menerjemahkan dapat didefinisikan sebagai memindahkan suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa penerima (sasaran) dengan pertama-tama mengungkapkan maknanya dan kedua mengungkapkan gaya bahasanya. 3 Eugene A. Nida Lahir pada 11 November 1914, di Oklahoma City, Oklahoma, Eugene Nida dan keluarganya pindah ke Long Beach, California ketika ia berumur lima tahun. Ia mulai mempelajari bahasa Latin di bangku SMA dan tidak sabar untuk mampu menjadi misionaris yang tugasnya menerjemahkan Alkitab. Keinginannya itu semakin dekat untuk menjadi kenyataan saat ia meraih gelar kesarjanaan dalam bidang bahasa Yunani pada tahun 1963 dari University of California di Los Angeles dengan menyandang predikat “summa cum laude”. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke Summer Institute of Linguistics (SIL) dan menemukan karya-karya ahli bahasa seperti Edward Sapir dan Leonard Bloomfield. Nida kemudian meraih gelar doktoral dalam bidang Perjanjian Baru berbahasa Yunani di University of Southern California. Pada tahun 1941, ia mulai mencoba merengkuh gelar Ph.D. dalam bidang ilmu bahasa di University of Michigan. Ia menyelesaikan studinya itu dua tahun kemudian. Disertasinya, “A Synopsis of English Syntax”, pada saat itu adalah sebuah analisa pertama yang menganalisa bahasa Inggris secara menyeluruh menurut teori “konstituen langsung” (immediate constituent). Tahun 1943 adalah masa-masa sibuk bagi Eugene Nida. Ia ditasbihkan di Northern Baptist Convention untuk dapat benar-benar menyandang gelar Ph.D.. Ia menikahi Althea Sprague dan bekerja di American Bible Society (ABS) sebagai ahli bahasa. Meskipun pada awalnya, perekrutannya sebagai staf ABS hanyalah sebagai suatu percobaan, Nida akhirnya menjadi wakil sekretaris untuk divisi Versi Alkitab (Versions), dan kemudian menjadi sekretaris eksekutif untuk divisi Penerjemahan Alkitab (Translations) sampai ia pensiun pada awal tahun 1980-an. (http//www. Google. Com) 20 juni 2010. 4 Nida F.A. dan Charles R. Teber, The Theory and Patrice of Translation. (Leiden. E.J. Brill. 1996) h.24 13 Di sini Nida dan Teber tidak mempermasalahkan bahasa yang terlibat dalam penerjemahan, tetapi lebih tertarik pada cara kerja penerjemahan. Seperti yang dikutip oleh Maurust Simatupang yakni mencari padanan alami yang semirip mungkin sehingga pesan dalam bahasa sumber bisa disampaikan dalam bahasa sasaran. 5 Sehingga orang yang membaca atau yang mendengar pesan itu dalam bahasa sasaran pesannya sama dengan pesan orang yang membaca atau mendengar pesan itu dalam bahasa sumber. Menurut resensi Willie Koen, nida dalam bukunya mengajarkan bahwa cara baru mnerjemahkan haruslah fokus pada respon penerima pesan. (cara lama berfokus pada bentuk pesan). Itu berarti terjemahan dapat dikatakan baik bila benar-benar dapat dipahami dan dinikmati oleh penerimanya. Makna dan gaya atau nada yang diungkapkan dalam bahasa sasaran (bahasa penerima) tidak boleh menyimpang dari makna dan gaya/nada yang diungkapkan dalam bahasa sumber, itulah sebabnya nida mengatakan bahwa di dalam bahasa penerima harus terdapat “ The closest natural equivalent of the source language message, first in the terms of meaning secondly in terms of style.” Akan tetapi, ekuivalen itu haruslah natural (wajar, sesuai dengan langgam atau idiom bahasa kita sendiri). Catford (1965) menggunakan pendekatan kebahasaan dalam melihat kegiatan penerjemahan dan ia mendefinisikannya sebagai “The replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual 5 Maurust Simatupang. Enam Makalah Tentang Penerjemahan. (Jakarta: PT.UKI.1993). h. 3 14 material in another language (TL)”. 6 (mengganti bahan teks dalam bahasa sumber dengan bahan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran). Newmark (1988) juga memberikan definisi serupa, namun lebih jelas lagi : “Rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text” (menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai yang dimaksudkan pengarang). Pada definisi di atas tidak ditemukan tentang makna. Sementara itu secara garis besar terjemahan tidak bisa dipisahkan dari persoalan makna atau informasi. Sebagai ganti dari konsep makna adalah materi tekstual yang sepadan. Kesepadanan yang dimaksud materi tekstual oleh catford tidak harus naskah tulis. Sedangkan Zuhrudin mengatakah bahwa. “penerjemahan bisa berasal dari bahasa lisan atau tulisan.” 7 Ungkapan lain tentang hakikat penerjemahan yang dikemukakan oleh Juliana House dalam disertasinya mengatakan bahwa penerjemahan adalah “penggantian kembali naskah bahasa sasaran yang secara semantik dan pragmatik sepadan.” 8 Pada hakikatnya “esensi terjemahan itu terletak pada makna dari dua bahasa yang berbeda.” 9 Oleh karena itu, house pun menjelaskan bahwa makna ber-aspek semantik erat kaitannya dengan makna denotative, yaitu makna yang terdapat dalam kamus (makna leksikal) dan 6 Rochayah Machali. Pedoman bagi Penerjemah. (Jakarta: PT. Grasindo. Anggota IKAPI. 2000).h. 5 7 Zuhrudin Suryawinata.et. al. Translation (Bahasa Teori dan Penentu Menerjemahkan). Yogyakarta: Knisius. 2003). Cet. Ke-1.h. 11 8 Nurrahman Hanafi. Teori dan Sastra Menerjemahkan.(NTT: Nusa Indah. 1986). Cet. Ke-1.h. 26 9 Ibid. h. 27 15 makna beraspek pragmatik bertautan dengan makna konotatif, yaitu makna yang berarti kiasan. Dengan melihat definisi di atas, baik definisi penerjemahan dalam arti luas atau sempit, baik tinjauan semantik atau linguistik, sekilas masing-masing definisi tersebut berbeda-beda, yang sebenarnya mempunyai muatan yang sama, yaitu adanya persamaan dan penyusuaian pesan yang disampaikan oleh penulis naskah dengan pesan yang diterima pembaca. 2. Jenis Penerjemahan Menerjemahkan pada dasarnya adalah mengubah suatu bentuk menjadi bentuk lain. Bentuk lain yang dimaksud bisa berupa bentuk bahasa sumber atau bahasa sasaran. Secara sederhana, menerjemahkan dapat didefinisikan yaitu, “memindahkan amanat dari bahasa sumber kebahasa sasaran, dengan pertama-tama memindahkan dan yang kedua mengungkapkan gaya bahasanya.” 10 Dalam praktek menerjemahkan, diterapkan beberapa jenis penerjemahan. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: a. Adanya perbedaan bahasa sumber dan sistem bahasa sasaran b. Adanya perbedaan jenis materi teks yang diterjemahkan c. Adanya anggapan bahwa terjemahan adalah alat komunikasi d. Adanya perbedaan tujuan dalam menerjemahkan suatu teks Dalam kegiatan menerjemahkan sesungguhnya, keempat faktor tersebut tidak selalu berdiri sendiri dalam arti bahwa “ada kemungkinan 10 Widya Martaya. Seni Terjemahan. (Yogyakarta: Knisius. 1991). Cet. Ke-1. h. 11 16 kita menerapkan dua atau tiga jenis penerjemahan sekaligus dalam menerjemahkan sebuah teks”. 11 Ada beberapa jenis terjemahan yang dapat kita terapkan dalam kegiatan menerjemahkan. Diantaranya yaitu: a. Penerjemahan Kata Demi Kata Penerjemahan ini disebut juga dengan interlinear translation, yaitu susunan kata bahasa sumber (Bsu) dipertahankan dan kata-kata diterjemahkan satu per satu dengan makna yang paling umum. Metode ini bertujuan untuk memahami mekanisme dalam bahasa sumber (Bsu) maupun untuk menganalasis teks yang sulit sebagai proses penerjemahan. b. Penerjemahan Harfiah Penerjemahan harfiah ini menggunakan metode konversi, yaitu konstruksi gramatikal bahasa sumber (Bsu) dikonversikan ke padanan bahasa sasaran (Bsa) yang paling dekat tetapi kata-kata leksikal masih diterjemahkan kata per kata. Penerjemahan ini memang akan membingungkan pembaca, oleh karena itu, penerjemah harus memberikan keterangan tambahan berupa catata kaki (Foot note). Biasanya metode penerjemahan ini di gunakan dalam menerjemahkan Al Qur’an. c. Penerjemahan Setia Penerjemahan ini merupakan proses menghasilkan kembali makna kontekstual bahasa sumber (Bsu) yang tepat, dengan mentransfer kata 11 M. Rudolf Nababan. Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1991). Cet. Ke-1 17 kata cultural dan tetap mempertahankan tingkat ketidakwajaran gramatikal dan leksikal dalam proses penerjemahan. Dalam metode penerjemahan ini, masih mempertahankan kata-kata yang bermuatan budaya, dan diterjemahkan secara harfiah. d. Penerjemahan Semantik Penerjemahan ini sudah lebih luwes, artinya sudah tidak mempertahankan lagi tingkat ketidakwajaran gramatikal dan leksikal dalam proses penerjemahan. Penerjemahan ini masih mempertimbangkan unsur estetika teks Bsu dengan memadukan makna selama masih dalam batas kewajaran. Dibandingkan dengan penerjemahan lain.12 Penerjemahan semantik lebih fleksibel. e. Penerjemahan Saduran Penerjemahan ini merupakan bentuk terjemahan bebas yang biasa dipakai dalam penerjemahan drama atau puisi. Biasanya antara tema, karakter, dan plot masih dipertahankan, dan peralihan budaya bahasa sumber (Bsu) ke dalam budaya bahasa sasaran (Bsa) ditulis kembali serta diadaptasi ke dalam bahasa sasaran (Bsa). f. Penerjemahan Bebas Penerjemahan ini merupakan metode yang mengutamakan isi dan bahkan mengorbankan bentuk teks bahasa sumber (Bsu). Umumnya penerjemahan ini berbentuk parafrase yang dapat lebih pendek atau 12 Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 52. 18 lebih panjang dari teks aslinya dan biasa dipakai di kalangan media masa. g. Penerjemahan Idiomatik Penerjemahan ini dipakai dalam menerjemahkan teks idom atau istilahistilah idiomatis. Penerjemahan ini brtujuan memproduksi pesan dalam teks bahasa sumber (Bsu) dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatic yang tidak didapati pada naskah aslinya, sehingga terjadi distorasi nuansa makna. h. Penerjemahan Komunikasi Penerjemahan ini merupakan upaya memberikan makna kontekstual bahasa sumber (Bsu) yang tepat, sehingga isi dan bahasanya dapat diterima dan dimengerti oleh pembaca. Metode ini tetap memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi seperti khalayak pembaca dan tujuan penerjemahan, sehingga teks sumber dapat diterjemahkan menjadi beberapa versi. Menurut Manna Al-Qaththan, 13 terjemahan dapat digunakan pada dua arti: 1) Terjemahan Harfiah, yaitu mengalihkan lafal-lafal yang serupa dari suatu bahasa ke dalam lafal-lafal yang serupa dari bahasa lain sedimikian rupa. Sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama. 2) Terjemahan Tafsiriyah atau terjemahan maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat 13 Manna Khalil al Qattan, Studi Ilmu-ilmu al Qur’an (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1993), h. 443. 19 dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya. 3. Tahap-Tahap Penerjemahan a. Tahap Analisis Ketika seseornag ingin menuliskan sesuatu hendaknya ia ingin menyampaikan sesuatu kepada pembacanya. Hal ini juga berlaku bagi teks ekspresif (perwujudan persamaan) seperti puisi. Mustahil seseorang penulis puisi menulis sesuatu tanpa ingin perasaannya diwujudkan dalam puisi tersebut juga dirasakan orang lain. Dengan demikian, setiap teks tentunya bukanlah hal yang sacral. Justru karena tidak sacral itulah maka suatu teks bahasa sumber perlu dianalisis terlebih dahulu sebelum diterjemahkan. Analisis itu bisa berupa pertanayaan seputar teks seperti: apa maksud pengarang menuliskan teks itu? Apakah untuk menjelaskan sesuatu (eksposisi), ataukah untuk bercerita (narasi), atau untuk mempengaruhi pendapat umum (persuasi), ataukah suatu ajakan sendiri? Bagaimana pengarang atau penulis menyampaikan maksud tersebut? Bagaimana pengarang mewujudkan gaya tersebut dalam pemilihan kata, frase, dan kalimat? Sesudah mempunyai gambaran yang jelas, barulah ia dapat memulai proses selanjutnya. b. Tahap Pengalihan Seorang penerjemah dalam tahap ini berupaya untuk menggantikan unsur teks bahasa sumber dengan unsur teks bahasa sasaran yang sepadan. “sepadan pada segala unsur dalam teks, baik 20 yang bentuk maupun isinya disepadankan tapi kesepadanan bukanlah kesamaan.” 14 Pada tahapan pengalihan, seorang penerjemah mengajukan beberapa pertanyaan sebagai upaya pertimbangan dalam melakukan kegiatan pengalihan. Dianatara pertanyaan tersebut adalah: apakah maksud yang dipertahankan ingin dalam disampaikan teks pengarang terjemahan? tersebut Dapatkah harus penerjemah mengubah maksud dalam teks? Jawaban dasar terhadap pertanyaan ini adalah: penerjemahan harus memeprtahankan maksud yang ingin disampaikan pengarang. Pertanyaan selanjutnya yang mungkin timbul dalam tahap pengalihan ini adalah: bagaimana penerjemah menyampaikan maksud yang sepadan tersebut ke dalam bahasa sasaran? Apakah masih dapat digunakan kalimat-kalimat yang serupa? Misalnya, bagaimana kalimat-kalimat informasi dalalm bahasa sumber dapat tetap terasa membrikan informasi dalam bahasa sasaran? Alat bahasa apakah yang dipergunakan dalam hal ini? Namun, apabila teks sumber yang diterjemahkan sangat sukar dan melibatkan kata-kata yang bermakna ganda. Kata-kata yang mengandung emosi dan sebagainya. Penerjemah dapat saja bolak-balik dari tahap analisis ke pengalihan dan sebaliknya sampai ia yakin yang harus dijalani adalah tahap penyerasian. 14 Rochayah Machali. Pedoman bagi penerjemahan. (Jakarta: PT. Grasindo. 2000).h. 50 21 c. Tahap Penyerasian Pada saat ini penerjemah dapat menyelesaikan bahasanya yang masih terasa kaku untuk disesuaikan dengan kaidah bahasa sasaran. Disamping itu, mungkin juga terjadi penyerasian dalam hal peristilahan, misalnya apakah menggunakan istilah yang umum digunakan ataukah yang baku. Pada tahap penyerasian ini, penerjemah dapat melakukannya sendiri, atau membiarkan orng lain melakukannya. Akan lebih baik apabila penyerasian itu dilakukan oleh orang lain. Ada dua alasan untuk hal ini, pertama, penerjemah biasanya sulit mengoreksi pekerjaannya sendiri, karena secara psikologis ia akan beranggapan bahwa terjemahannya sudah bagus, peristilahannya sudah tepat, bahasanya sudah cukup alamiyah dan wajar, dan sebagainya. Kedua, penerjemahan sebaiknya merupakan pekerjaan suatu team. 15 Dalam hal ini, penerjemah terus menerjemahkan, sedangkan kegiatan penyerasian dilakukan oleh orang lain. Namun tidak ada salahnya apabila penerjemah sendiri yang melakukan penyerasian mereka masing-masing. Kebanyakan masyarakat barat mengerti mengenai ajaran agama islam dan Al-Qur’an berdasarkan apa yang telah diterjemahkan oleh kelompok orientalis ke dalam bahasa mereka. Baik mereka pada akhirnya mencaci Al-Qur’an atau justru masuk kedalam islam karena terjemahan Al-Qur’an tersebut. Dengan adanya penerjemahan yang dilakukan itu, seseorang dapat mempelajari 15 Rochayah Machali. Pedoman bagi penerjemahan. (Jakarta: PT. Grasindo. 2000).h. 50 22 kandungan Al-Qur’an terutama bagi mereka yang tidak menguasai bahasa Arab (Al-Qur’an) dengan baik. Dengan begitu, penerjemahan Al-Qur’an sangatlah penting dan berperan sekali dalam mengkaji lebih dalam segala sesuatu yang terkandung dalam Al-Qur’an. 4. Penerjemahan Al-Qur’an a. Sejarah Penerjemahan Al-Qur’an Al-Qur’anul karim telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, misalnya latin, Inggris, Perancis, Belanda dan sebagainya. Untuk pertama kalinya Al-Qur’an diterjemahkan pada tahun 1143 M, ke dalam bahasa latin, sebagai bahasa ilmu di eropa waktu itu. AlQur’an masuk ke eropa melalui andalus. Dari terjemahan bahasa latin inilah kemudian Al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Itali, Jerman dan Belanda oleh para orientalis barat. Pada umumnya penterjemahan Al-Qur’an oleh para orientalis itu mempunyai kecenderungan atau tendensi negatif, yaitu menjelek-jelekkan islam, karena motif mereka bukan untuk menggali dan memahami petunjukpetunjuk Al-Qur’an, melainkan demi kepentingan misi mereka menyudutkan islam. Maracci misalnya, ditahun 1689 mengeluarkan terjemahan AlQur’an ke dalam bahasa latin, dengan teks Arab dan berbagai nukilan dari berbagai tafsir dalam bahasa Arab yang dipilih demikian rupa, ditujukan untuk memberi kesan buruk tentang islam di eropa. Maracci sendiri adalah orang yang pandai, dan dalam menterjemahkan Al- 23 Qur’an itu jelas bertujuan menjelek-jelekkan islam dikalangan orangorang Eropa dengan mengambil pendapat ulama-ulama islam sendiri, yang menurutnya menujukkan kerendahan islam. Maracci adalah seorang roma Katolik dan terjemahannya itu ia persembahkan kepada emperor Romawi. Terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa inggris, yang itu pun sesungguhnya sebagai hasil terjemahan dari bahasa perancis, yang dilakukan oleh Du Ryer tahun 1647, untuk pertama kalinya dilakukan oleh A. Ross dan baru diterbitkan beberapa tahun setelah karya Du Ryer itu. Mengingat luasnya tujuan-tujuan terselubung dari para orientalis yang non islam dan anti islam, dalam penterjemahan AlQur’an, menyebabkan penulis-penulis muslim berusaha menterjemhkan Al-Qur’an ke dalam bahasa inggris. sarjana muslim pertama-pertama melakukan penterjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa inggris ialah Dr. Muhammad Abdul Hakim Khan, dari Patiala, pada tahun 1905 M. Mirza Hairat dari Delhi juga menterjemahkan AlQur’an dan diterbitkan di Delhi tahun 1919. Nawab Imadul Mulk Sayid Husein Bilgrami dari Hyderabad Dacca juga menterjemahkan sebagian Al-Qur’an. Ia meniggal sebelum menyelesaikannya. Ahmadiyah Qadiani juga menterjemahkan bagian pertama Al-Qur’an, pada tahun 1915, Ahmadiyah Lahore juga menerbitkan terjemahan Maulvi Muhammad Ali yang pertama terbit tahun 1917. Terjemahan 24 itu merupakan terjemahan ilmiah yang diberi catatan-catatan yang luas dan pendahuluan serta indek yang cukup. Terjemahan Al-Qur’an lain yang perlu disebutkan ialah terjemahan oleh Hafidz Ghulam Sarwar yang diterbitkan tahun 1930. Dalam terjemahannya ia memberikan ringkasan, surat demi surat, bagian demi bagian, tetapi tidak diberinya footnote pada terjemahan itu. Catatan-catatan yang dimaksud kiranya sangat perlu untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Bahasa Al-Qur’an dengan ungkapanungkapan yang kaya akan arti memerlukan catatan-catatan yang memadai. Marmaduke Pichthall juga menterjemahkan Al-Qur’an, di terbitkan pada tahun 1930. Ia adalah seorang muslim berkebangsaan inggris yang pandai dan ahli dalam bahasa Arab. Terjemahan ke dalam bahasa non eropa dilakukan ke dalam bahasa-bahasa : Persia, Turki, Urdu, Benggali, Indonesia dan berbagai bahasa timur serta beberapa bahasa Afrika. Terjemahan Al-Qur’an pertama dalam bahasa urdu dilakukan ole Syah Abdul Qadir dari Delhi (wafat 1826). Setelah itu banyak juga yang lain menterjemahkan AlQur’an ke dalam bahasa urdu tersebut, yang pada umumnya terjemahan-terjemahan itu tidak sampai selesai. Di antara terjemahan yang lengkap yang dipergunakan sampai sekarang ialah terjemahan Syah Rafiuddin dari Delhi, Syah Asyraf Ali Thanawi dan Maulvi Nazir Ahmad (wafat 1912). Al-Qur’anul karim diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia telah dilakukan oleh Abdul Ra’uf Al-Fansuri, seorang ulama dari 25 Singkel, pada pertengahan abad ke-17 M, jelasnya kedalam bahasa melayu. Terjemahan tersebut bila dilihat dari segi ilmu bahasa/tata bahasa Indonesia modern belum sempurna, namun pekerjaan itu sungguh besar artinya, terutama sebagai parintis jalan. Di antara terjemahan yang lain ialah terjemahan yang dilakukan oleh kemajuan islam Yogyakarta, Qur’an kejawen dan Qur’an sundawiyah, terbitan percetakan A.B. Siti Syamsiah Solo, tafsir Hidayaturrahman oleh K.H. Munawir Khalil, tafsir Al-Qur’an Indonesia oleh Prof. Mahmud Yunus (1935), Al Furqan dan tafsir Qur’an oleh A. Hasan dari Bandung (1928), tafsir Al-Qur’an oleh H. Zainuddin Hamidi Cs (1959), Al Ibris disusun oleh K.H. Bisyri Musthafa dari Rembang (1960), tafsir Qur’anul Hakim oleh H.M. Kasyim Bakry Cs (1960) dan lain-lain. Dari terjemahan-terjemahan Al-Qur’an tersebut ada yang lengkap dan ada yang tidak selesai. Terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia yang kemunculannya menimbulkan pro dan kontra ialah bacaan mulia oleh kritikus sastra H.B. Jassin, yang dalam penterjemahan itu menggunakan pendekatan puitis. Pemerintah RI menaruh perhatian besar terhadap upaya terjemahan Al-Qur’an ini. Hal tersebut terlihat semenjak pola I pembangunan semesta berencana, sampai pada masa pemerintahan sekarang ini. Al-Qur’an dan terjemahannya yang telah beredar di masyarakat dan yang telah berulang kali dicetak ulang dengan 26 penyempurnaan-penyempurnaan, adalah bukti nyata dari besarnya perhatian pemerintah terhadap penerjemahan Al-Qur’an itu. 16 Dalam penerjemahan Al-Qur’an terdapat 2 jenis terjemahan, yaitu : 1) Terjemahan Al-Quran Harfiah Terjemahan Al-Quran secara harfiah adalah terjemahan yang dilakukan dengan apa adanya, sesuai dengan susunan dan struktur dari bahasa sumber. Terjemahan harfiah dilakukan dengan cara memahami arti kata demi kata yang terdapat dalam teks terlebih dahulu, setelah benar-benar dipahami kemudian dicari padanannya yang tepat ke dalam Bsa. Muhammad Husain Al-Dzahabi membagi terjemahan harfiah ini dalam dua bagian, yaitu : a) Terjemah harfiah bi Al-Mitsl, yaitu terjemahan yang dilakukan apa adanya, terikat dengan susunan dan struktur bahasa sumber yang diterjemahkan. b) Terjemah Al-Qur’an Bighairi Al-Mitsl, pada dasarnya sama dengan terjemahan sebelumnya, hanya saja sedikit lebih longgar keterikatannya dengan susunan dan struktur bahasa sumber yang akan diterjemahkan. 2) Terjemahan Al-Qur’an Tafsiriah Terjemahan Al-Qur’an secara tafsiriah atau yang lebih dikenal dengan penerjemahan maknawiyah yaitu menjelaskan makna atau arti kata dengan bahasa lain, tanpa terikat dengan tertib kata-kata 16 M. Ali Hasan dan Rif’at Syauqi Nawawi. Pengantar Ilmu Tafsir. (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988).h. 177-180 27 bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya. Terjemahan ini lebih mengedepankan maksud atau isi kandungan yang terdapat dalam bahasa sumber yang diterjemahkan. Terjemahan ini tidak terikat dengan susunan dan struktur gaya bahasa yang diterjemahkan. Dengan kata lain dapat pula disebut dengan terjemahan bebas. b. Pebedaan Penerjemahan dengan Tafsir Sebelum penulis menjelaskan perbedaan penerjemahan dengan penafsiran, penulis ingin memaparkan tentang penafsiran terlebih dahulu. Tafsir atau at-tafsir menurut bahasa mengandung arti antara lain : 1) Menjelaskan, menerangkan, ( ) اﻹﻳﻀﺎح واﻟﺘﺒﻴﻴﻦ, yakni ada sesuatu yang semula belum atau tidak jelas memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga jelas dan terang. 2) Keterangan sesuatu ( )اﻟﺸﺮح, yakni perluasan dan pengembangan dari ungkapan-ungkapan yang masih sangat umum dan global, sehingga menjadi lebih terperinci mudah dipahami serta dihayati. 3) ( ) اﻟﺘﻔﺴﻴﺮة,yakni (alat-alat kedokteran yang khusus dipergunakan untuk dapat mendeteksi/mengetahui segala penyakit yang diderita seorang pasien). Kalau tafsirah adalah alat kedokteran yang mengungkapkan penyakit dari seorang pasien, makna tafsir dapat mengeluarkan makna yang tersimpan dalam kandungan ayat-ayat Al-Quran. 28 Tafsir menurut istilah (terminoligis), para ulama memberikan rumusan yang berbeda-beda, karena perbedaan dalam titik pusat perhatiannya, nama dalam segi arah dan tujuannya sama. Adapun definisi tafsir adalah sebagai berikut : 1) Menurut Syaikh Thahir Al-Jazairy, dalam At-Taujih : اﻟﺘﻔﺴﻴﺮﻓﻰ اﻟﺤﻘﻴﻘﺔ إﻧﻤﺎهﻮ ﺷﺮح اﻟﻠﻔﻆ اﻟﻤﺴﺘﻐﻠﻖ ﻋﻨﺪ اﻟﺴﺎﻣﻊ ﺑﻤﺎ هﻮ اﻓﺼﺢ ﻋﻨﺪﻩ ﺑﻤﺎ ﻳﺮادﻓﻪ او ﻳﻘﺎ رﺑﻪ اوﻟﻪ دﻻﻟﺔ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﺈﺣﺪى ﻃﺮق اﻟﺪﻻﻻت “Tafsir pada hakikatnya ialah menerangkan (maksud) lafazh yang sukar dipahami oleh pendengar dengan uraian yang lebih memperjelas pada maksud baginya, baik dengan mengemukakan sinonimnya atau kata yang mendekati sinonim itu, atau dengan mengemukakan uraian yang mempunyai petunjuk kepadanya melalui suatu jalan dalalah.” 2) Menurut Syaikh Al-Jurjani dalam At-Ta’rifat : ﺷﺄ ﻧﻬﺎ وﻗﺼﺘﻬﺎ: اﻟﺘﻔﺴﻴﺮﻓﻰ اﻷﺻﻞ اﻟﻜﺴﻒ واﻹﻇﻬﺎ ر وﻓﻰ اﻟﺸﺮع ﺗﻮﺿﻴﺢ ﻣﻌﻨﻰ اﻻﻳﺔ واﻟﺴﺒﺐ اﻟﺬى ﻧﺬ ﻟﺖ ﻓﻴﻪ ﺑﻠﻔﻆ ﻳﺪ ل ﻋﻠﻴﻪ دﻻﻟﺔ ﻇﺎهﺮة “Pada asalnya tafsir berartu membuka atau melahirkan, dalam pengertian syara’, (tafsir) ialah menjelaskan makna ayat : dari segi segala persoalannya, kisahnya, asbabun nuzulnya, dengan menggunakan lafazh yang menunjukkan kepadanya secara terang.” 17 Terjemah, baik harfiyah maupun tafsiriyah bukanlah tafsir, terjemah tidak identik dengan tafsir. Banyak orang mengira bahwa 17 M. Ali Hasan dan Rif’at Syauqi Nawawi. Pengantar Ilmu Tafsir. (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988).h. 139-141 29 terjemah tafsiriyah itu pada hakikatnya adalah tafsir yang memakai bahasa non-Arab, atau terjemah tafsiriyah itu adalah terjemahan dari tafsir yang berbahasa Arab. Persoalan ini memang sejak dulu diperdebatkan dan dipersilisihkan. Antara keduanya jelas ada unsur kesamaan, yaitu bahwa baik tafsir maupun terjemah bertujuan untuk menjelaskan, tafsir menjelaskan Sesuatu maksud yang semula sulit dipahami, sedangkan terjemah juga menjelaskan makna dari suatu bahasa yang tidak dikuasai melalui bahasa lain yang dikuasai. Ada unsur persamaan antara keduanya buakn berarti keduanya sama secara mutlak. Perbedaan-perbedaan keduanya antara lain : 1) Pada terjemah terjadi peralihan bahasa, dari bahasa sumber kebahasa sasaran, tidak ada lagi lafazh atau kosa kata pada bahasa sumber itu melekat pada bahasa sasaran. Bentuk terjemah telah lepas sama sekali dari bahasa yang diterjemahkan. Tidak demikian halnya dengan tafsir. Tafsir selalu ada keterikatan dengan bahasa sumbernya, dan dalam tafsir tidak terjadi peralihan bahasa, sebagaimana lazimnya dalam terjemah. Yang terpenting dan menonjol dalam tafsir ialah ada penjelasan, baik penjelasan katakata mufrad (kosa kata) maupun penjelasan susunan kalimat. 2) Pada terjemahan sekali-kali tidak boleh melakukan “ “إﺳﺘﻄﺮاد yakni penguraian luas melebihi dari sekedar mencari padanan kata, sedangkan dalam tafsir, pada kondisi tertentu, tidak hanya boleh melakukan penguraian meluas itu, tetapi justru penguraian luas itu 30 3) Terjemah pada lazimnya mengandung tuntutan dipenuhi semua makna yang dikehendaki oleh bahasa sumber, tidak demiian halnya dengan tafsir. Yang menjadi pokok perhatiannya ialah tercapai penjelasan yang sebaik-baiknya, baik secara global maupun secara terperinci, baik mencakup keseluruhan makna saja, tergantung pada apa yang diperhatikan mufassir dan orang yang menerima tafsir itu. 4) Terjemah lazimnya mengandung tuntutan ada pengakuan, bahwa semua makna yang dimaksud, yang telah dialihbahasakan oleh 31 penterjemah adalah makna yang ditunjuk oleh pembicaraan bahasa sumber dan memang itulah yang dikehendaki oleh penutur bahasa. Tidak demikian halnya dengan tafsir. Dalam dunia tafsir soal pengakuan sangat relative, tergantung pada factor kredibilitas mufassirnya. Mufassir akan mendapatkan pengakuan jika dalam menafsir itu ia didukung oleh banyak dalil yang dikemukakannya, sebaliknya ia tidak akan mendapatkan pengakuan ketika hasil tafsirnya itu tidak didukung oleh dalil-dalil. Demikian pula jika yang melakukan penafsira itu orang yang sehaluan dengan yang membaca atau mendengar hasil tafsiran, maka akan mendapat pengakuan, akan tetapi jika tidak sehaluan, mungkin pengakuan itu tidak ada, atau jika ilmunya lebih rendah dari yang membaca atau yang mendengar hasil tafsiran itu, maka pengakuanpun tidak ada, demikian pula sebaliknya. 18 B. Homonimi 1. Pengertian Hominimi Homonimi berasal dari bahasa yunani kuno onoma yang artinya ‘nama’ dan homo yang artinya ‘sama’. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagai “nama sama untuk benda atau hal lain’. Secara seamntik, verhaar (1978) member definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frase atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata frase atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. 18 Ibid,. h. 175-177 32 Umpamanya kata pacar yang berarti ‘inai’ dengan pacar yang berarti ‘kekasih’, antara kata bisa yang bererti racun ular dan kata bisa yang berarti sanggup, dapat. Contoh lain, antara kata baku yang berari standar dengan baku yang berarti saling, atau antara kata Bandar yang berarti pelabuhan dengan Bandar yang berarti parit dan Bandar yang berarti pemegang uang dalam perjudian. Hubungan antara kata pacar dengan arti ini dan kata pacar dengan arti kekasih inilah yang disebut Homonim. Jadi kata pacar yang pertama berhomonim dengan kata pacar yang kedua. Begitu juga sebaliknya karena hubungan homonimi ini bersifat dua arah. Dalam kasus Bandar yang menjadi contoh di atas, homonimi ini terjadi pada tiga buah kata. Dalam bahasa Indonesia banyaj juga homonimi yang terdiri dari tiga buah kata. Hubungan antara dua buah kata yang homonym bersifat dua arah. Artinya, kalau kata bisa yang berarti racun ular homonym dengan kata bisa yang berarti sanggup, maka kata bisa yang berarti sanggup juga homonim dengan kata bisa yang berarti racun ular. Kalau ditanyakan, bagaimana bisa terjadi bentuk-bentuk yang homonimi ini? Ada dua kemungkinan sebab terjadinya homonimi. Pertama, bentuk-bentuk homonimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya kata bisa yang berarti racun ular berasal dari bahasa melayu, sedangkan bisa yang berarti sanggup berasal dari bahasa jawa. Contoh lain kata bang yang berarti adzan berasal dari bahasa jawaq, sedangkan kata bang (kependekan dari abang) yang berarti kakak laki-laki berasal dari bahasa melayu/dialek Jakarta. Kata asal yang berarti pangkal 33 permulaan berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata asal yang berarti kalau berasal dari dialek Jakarta. Kedua, bentuk-bentuk yang bersinonimi itu terjadi sebagai hasil proses morfologis. Umpamanya kata mengukur dalam kalimat ibu sedang mengukur kelapa di dapur adalah berhomonimi dengan kata mengukur dalam kalimat petugas agraria itu mengukur luasnya kebun kami. Jelas, kata mengukur yang pertama terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata kukur (me + kukur = mengukur), sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me + ukur = mengukur). Sama halnya dengan sinonimi dan antonimi, homonimi ini pun dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat. Homonimi antar morfem, tentunya antara sebuah morfem terikat dengan morfem terikat lainnya. Misalnya, antara morfem- nya pada kalimat: ini buku saya, itu bukumu, dan yang di sana bukunya’ berhomonimi dengan –nya pada kalimat “mau belajar tetapi bukunya belum ada.” Morfem –nya adalah kata ganti orang ketiga, sedangkan morfem –nya yang kedua menyatakan sebuah buku tertentu. Homonimi antar kata, misalnya antara kata bisa yang berarti racun ular dan kata bisa yang berarti snaggup atau dapat sperti sudah disebutkan di muka. Homonimi antar frase, misalnya antara frase cinta anak yang berarti perasaan cinta dari seorang anak kepada ibunya dan frase cinta anak yang berarti cinta kepada anak dari seornag ibu. Contoh lain, ornag tua yang 34 berarti ayah ibu dan frase orang tua yang berarti orang yang sudah tua. Juga antara frase lukisan yusuf yang berarti lukisan milik yusuf dan lukisan yusuf yang berarti lukisan hasil karya yusuf, serta lukisan yusuf yang berarti lukisan wajah yusuf. Homonimi antar kalimat, misalnya antara istri lurah yang baru itu cantik yang berarti lurah yang baru diangkat itu mempunyai istri yang cantik, dan kalimat istri lurah yang baru itu cantik yang berarti lurah itu baru menikah lagi dengan seorang wanita yang cantik. 19 2. Homonim dalam Bahasa Arab Homonim (Al-Musytarak Al-Lafdzi) Homonimi adalah beberapa kata yang sama, baik pelapalannya maupun bentuk tulisannya, tetapi maknanya berlainan. Menurut Moeliono, homo sedikitnya mempunyai dua makna. Pertama, homo yang berasal dari bahasa latin yang bermakna ‘manusia’. Kedua, homo yang berasal dari bahasa Yunani yang bermakna ‘sama’. Dalam kasus ini, homo yang terdapat dalam homonim berasal dari bahasa Yunani. Setidaknya inilah yang dikemukakan oleh Matthews. Nim (-nym) sendiri merupakan combining form yang mempunyai makna ‘nama’ atau ‘kata’. Jadi, homonim adalah beberapa kata yang mempunyai kesamaan bentuk dan pelafalan tetapi maknanya berbeda. Oleh Fromkin dan Rodman (1998:163), homonim diperkenalkan dengan nama lain homofon. Untuk 19 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta,1994) h. 93-96 35 lebih sederhananya, Verhaar (1999:394) memperlambangkan homonim dengan X dan Y yang bermakna lain tetapi berbentuk sama. 20 Pengaruh bahsa (kata) asing ked lam bahasa Indonesia ternyata mengakibatkan munculnya banyak homonimi. Homonin dalam bahasa Arab banyak sekali dapat ditemukan. Berikut contoh homonim dalam bahasa Arab: a. Kata dharaba ( ) ﺿﺮبmempunyai artî (1) berdenyut; (2) mengepung; (3) memikat; (4) menembak; (5) memukul; (6) menyengat; (7) cenderung; (8) menentukan; (9) mengetuk. Semua kata dharaba yang mempunyai sedikitnya 9 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama. b. Kata tawallâ ﺗﻮﻟﻰmempunyai artî (1) berkuasa; (2) menaruh perhatian; (3) mengendalikan diri; (4) mengerjakan; (5) mengemudikan; (6) memimpin. Semua kata tawallâ yang mempunyai sedikitnya 6 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama. c. Kata rusyd رﺷﺪmempunyai artî (1) dewasa; (2) sadar; (3) petunjuk; (4) rasio. Semua kata rusyd yang mempunyai sedikitnya 4 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama. d. Kata qabadha ﻗﺒﺾmempunyai artî (1) menekan; (2) mengembalikan; (3) mengerutkan: (4) menyempitkan; (5) melepaskan; (6) meninggalkan; (7) bersegera. Semua kata qabadha yang mempunyai sedikitnya 7 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama. 20 http//google.com diakses selasa15 juni 2010 36 e. Tahlil n Puji-pujian kepada tuhan dengan menyebut la ila ha illallah. Tahlil n Pengesahan perkawinan antara suami istri yang telah bercerai tiga kali dengan perantaraan muhalil. f. Sirat n Mata jala (jarring, rajut), Sirat n Celah, sela (antara gigi dan gigi), Sirat n Jembatan. 3. Homonimi dalam Bahasa Indonesia Saeed (2000:63) menyebutkan bahwa homonimi adalah relasi antara kata fonologis yang sama namun maknanya tidak berhubungan. Definisi ini agak berbeda dengan definisi dari Matthews (1997:164) yang menyebut homonimi sebagai relasi antara kata-kata yang bentuknya sama namun maknanya berbeda dan tidak bisa dihubungkan. Menurut pendapat saya, definisi homonimi menurut Saeed rancu dengan definisi homofon, sedangkan definisi hominimi menurut Matthews rancu dengan definisi homograf. Homonimi seharusnya mencakup relasi antara kata yang pengucapannya dan bentuknya sama, namun maknanya tidak berhubungan. 21 Berikut contoh homonim dalam bahasa Indonesia • Rapat (berdempet-dempetan) dengan kata Rapat (meeting) • Beruang (hewan) dengan kata Beruang (punya uang) • Bisa (dapat) dengan kata Bisa (racun ular) • Pacar (inai) dengan kata Pacar (kekasih) • Bandar (pelabuhan), Bandar (parit), Bandar (pemegang uang dalam perjudian) 21 http//google.com diakses selasa15 juni 2010 37 C. Pengertian kufr Pada dasarnya, kufr merupakan sebuah perbuatan yang bertolak belakang dengan ketaatan sehingga sering kali diartikan sebagai sebuah pengingkaran. Kufr adalah bentuk ketidaktaatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh tuhan. Berkenaan dengan itu, lafadz kufr memilki arti yang kompleks dalam pemaknan lafaznya. Cawidu dalam penelitiannya telah menemukan sejumlah padanan kata yang berhubungan dengannya seperti term yang memilki hubungan secara eksplisit ataupun implicit. Term-term yang memilki sinonim dengan kufr itu sendiri secara eksplisit (mengandung makna kufr dalam dirinya) ialah juhud, ilhad, inkar, dan syirik. Sedangkan term-term lain yang hanya mengandung makna secara implisit (mengandung makna kekafiran) ialah fisq (keluar dari pkok agama), zulm (menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya), fujur (menyingkap penutup agama, berbuat dosa besar), jurm (berbuat hal yang tidak disenangi [perbuatan makruh]), dalal (menyimpang dari jalan yang lurus dengan mengingat tujuan), ghayy (menyimpang dari jalan yang lurus dengan melupakan tujuan), fasad (melakukan perbuatan yang merusak baik itu terhadap tatanan alam maupun manusia), I’tida (melampui batas atau menyimpang dalam kejahatan terhadap hak-hak orang lain), israf (melampui batas atau menyimpang dalam kejahatan), ‘isyan (berbuat dosa besar dan kecil), kibr (menunjukkan sikap angkuh dan membangkang dari rasul dan ajarannya serta ayat-ayat tuhan), kidzb (mendustakan hal-hal 38 mengenai kebenaran) dan ghaflat (kealpaan memparhatikan ayat-ayat tuhan). 22 Kufr ditinjau dari segi etimologi ialah berarti satira (menutupi), ‘asa (durhaka atau tidak taat), imtina (menghindar), jahada (mendustakan), ghata (menutupi). 23 Adapun penggunaan secara bahasa yang sering digunakan oleh ulama ialah satira yang memilki arti menutupi. Pemilihan tersebut didasarkan pada sikap orang-orang kafir yang selalu enggan menerima kebenaran sehingga mereka selalu menutup-nutupinya. Sedangkan lawan dari kufr itu sendirir adalah iman atau keimanan yang berpihak pada kebenaran.24 Maka orang-orang ‘kafir’ enggan menyatakan keimanannya dan selalu melawan kebenaran. Dalam ensiklopedi Indonesia, orang-orang yang mengingkari keimanan yakni orang yang menyangkal keesaan Allah dan kerasulan nabi Muhammad SAW, disebut sebagai orang yang ‘kafir’. 25 Oleh karena itu, orang ‘kafir’ cenderung menyangkal kebenaran wahyu Allah yang telah dibawa oleh nabi Muhammad saw, kemudian dijelaskan melalui kitab AlQur’an dan ajaran-ajarannya (hadits). Pengingkaran atau kekufuran terhadap akidah yang tertera pada kedua sumber tersebut walaupun dalam bentuk masalah-masalah yang kecil seperti mengingkari salah satu rasul atau malaikat 22 Harifuddin Cawidu. Konsep Kufr dalam Al-Quran, h. 54-87 Ibnu Mandzur, Lisan al’arab, jilid V (Beirut: dar el fikr, 1994),h.144-145 24 Ibnu mandzur, lisan al’arab, h.144. kafara: al-kafru: naqid al-iman (‘lawan dari iman’) 25 Hassan Shadiliy, Ensiklopedi Indonesia, Penyunting Susilastuti Suyoko (Jakarta: Ichtiar baru-Van Hoeve bekerjasam dengan Elsevier Publishing Project,tt), h.1394 23 39 tetap saja dinyatakan sebagai kelompok orang-orang yang tidak beriman atau ‘kafir’. 26 Harifuddin cawidu menganggap bahwa orang-orang ‘kafir’ itu adalah mereka yang menutup-nutupi kebenaran (kebenaran tuhan secara mutlak dan segala sumber kebenaran yang mengarah kepada-Nya). Kemudian ia juga membagi pengertian kufr menjadi dua bagian yakni kekafiran yang menyebabkan pelakunya tidak lagi behak disebut muslim (termasuk di dalamnya kufr syirik, kufr ingkar, kufr nifaq, dan kufr riddah) dan kekafiran yang mencakup semua perbuatan maksiat, dalam arti menyalahi perintah Allah dan melakukan larangan-larangannya, yang secara umum bisa disebut kufr nikmat. Pelaku dari jenis kufr kedua menurutnya tidaklah keluar dari islam meskipun dia akan menjalani hukuman tuhan. 27 Pengingkaran terhadap masalah-masalh kecil atau pelanggaran terhadap perintah dan larangan tuhan yang berskala kecil, barang tentu akan mengantarkan pada pengingkaran hal-hal yang besar, begitupun juga dengan kekufuran, yang semula hanya bermakna tidak mensyukuri nikmat tiba-tiba bergeser secara alami menjadi makna tidak beriman. 28 Dalam ensiklopedi islam karya Cyrill Glasse, orang ‘kafir’ diartikan sebagai orang yang mengingkari bukti kebenaran wahyu tuhan yang terdapat dalam ajaran nabi Muhammad, atau yang diajarkan pada nabi-nabi sebelumnya, termasuk mereka yang tidak bersyukur atas nikmat Allah dan juga kalangan atheis. 29 26 Umar Sulaiman Al-Asyqar, Belajar Tentang Allah SWT, Penerjemah Yusuf Syahrudin (Jakarta: Sahara Pulisher. 2008). h. 36 27 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Quran (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 160-161 28 Faruq Sheriff, Al-Quran menurut Al-Quran, Penerjemah M.h. Assegaf dan Nur Hidayah (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001), cet. I, h. 169 29 Cyrill Glasse, Ensiklopedi Islam (ringkas), Penerjemah Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), cet,kedua, h. 201 40 Kata Al-kufr atau yang identik dengan ‘kafir’ sering diartikan sebagai keluar dari islam (murtad). Memang benar kufr merupakan lawan dari iman. Hanya saja, apakah setiap kata kufr selalu bermakna demikian, itulah yang menjadi persoalan. Kesalahan dalam menangkap makna kufr dapat berakibat fatal. Banyak orang yang salah memahami kufr, khususnya yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an. Secara harfiah, kufr berarti tertutup, terhalang, dan terhapus. Namun, kata ini menjadi istilah khusus dalam perbincangan masalah akidah, yang menjadi lawan dari iman. Karenanya, ketika seseorang tidak lagi beriman, maka secara otomatis menjadi ‘kafir’. Pada dasarnya, kata ini memiliki banyak arti yang di antaranya adalah ingkar, yaitu inkar terhadap wujud Allah. Masuk dalam kategori ini adalah orang-orang ateis. Makna kedua yaitu mengakui tetapi menolak karena gengsi atau dengki pada pembawa kebanaran (juhud), atau sebaliknya yaitu mengakui secara lisan namun hatinya menolak (nifaq). Orang seperti ini akan selalu menolak kebenaran meskipun pada dasarnya ia tahu bahwa hal itu adalah benar. Makna berikutnya adalah kufr nikmat, 30 yaitu tidak mensyukuri nikmat Allah. Selain itu, kufr juga dapat berarti enggan melaksanakan perintah agama, tidak merestui atau berlepas diri, dan yang terakhir adalah syirik atau murtad. Pemaknaan sebuah kata atau bahasa sangat erat kaitannya dengan budaya yang melatarbelakanginya. Karena suatu bahasa merupakan alat konunikasi, 30 Ada beberapa faktor yang menjadikan seseorang terjerumus dalam kekufuran. Faktorfaktor tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu: 1. Faktor internal : kepicikan, kebodohan, kesombongan dan keangkuhan, keputusasaan, kesuksesan dan kesenangan dunia. 2. Faktor eksternal : lingkungan, yaitu terlalu kuat dalam berpegang teguh pada tradisi nenek moyang, sebagaimana dalam Q.S. Al-Baqarah : 170, yang memberikan isyarat bahwa lingkungan yang sarat dengan nilai-nilai kekufuran kemudian ditambah dengan watak taklid dapat menyebabkan kekufuran dan penolakan terhadap kebenaran. Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Quran (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h 91-102 41 maka manusia sebagai pemakai bahasa selalui berusaha untuk memaknai bahasa itu sesuai dengan perkembangan manusia tersebut agar komunikasi yang dibangun selalu relevan dengan kondisi masayarakat tersebut. Demikian juga halnya dengan apa yang penulis bahas pada skripsi ini, yaitu kufr. BAB III BIOGRAFI H.B. JASSIN A. Riwayat Hidup H. B. Jassin Hans Bague Jassin atau sering disebut H.B. Jassin dilahirkan tanggal 31 juli 1917 di Gorontalo, Sulawesi Utara, dari keluarga Islam. 1 Ayahnya bernama Bague mantu Jassin seorang kerani Bataafsche Petroleum Maatsschappij (BPM), dan ibunya bernama Habiba jau. Setelah menamatkan Gouverments HIS Gorontalo pada tahun 1932, Jassin melanjutkan pelajaran ke HBS-B 5 tahundi Medan, dan tamat akhir 1938. Bulan Januari 1939, Jassin kembali ke Gorontalo. Antara bulan Agustus dan Desember 1939, Jassin bekerja sebagai volontair di kantor Asisten Residen Gorontalo. Akhir Januari 1940, Jassin menuju Jakarta dan mulai Februari 1940 hinnga 21 Juli 1947 bekerja di Balai Pustaka. Mula-mula dalam sidang pengarang redaksi buku (1940-1942), kemudian menjadi redaktur Panji Pustaka (1942-1945), dan wakil pemimpin redaksi Panca Raya (1945-21 juli 1947). Setelah Panca Raya tidak terbit lagi, secara berturut-turut Jassin menjadi redaktur majalah Mimbar Indonesia (1947-1966), Zenith (19511954), Bahasa dan Budaya (1952-1963), Kisah (1953-1956), Seni (1955), Sastra (1961-1964 dan 1967-1969), Horrison (1966 sampai sekarang), dan Bahasa dan Sastra (1975). 1 Pamusuk eneste, H.B. Jassin; Paus Sastra Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1987), h. 76 41 42 Mulai Agustus 1953, Jassin menjadi dosen luar biasa untuk mata kuliah Kesusastraan Indonesia Modern pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Disamping mengajar, Jassin juga mengikuti kuliah di fakultas yang sama. Tanggal 15 Agustus 1957, Jassin meraih gelar kesarjanaannya di Fakultas Sastra UI, dan kemudian memperdalam pengetahuan mengenai ilmu perbandingan sastra di Universitas Yale, Amerika Serikat (1958-1959). Sebelum berangkat ke Amerika Serikat, untuk menulis disertasi mengenai Jassin pernah berencana Pujangga Baru, timbulnya, pertumbuhannya, bubarnya, lengkap dan latar belakangnya. Promotornya pun sudah ada yakni. Prof. Dr. Priyono. 2 Akan tetapi, sepulang dari amerika serikat, Jassin tidak pernah lagi berbicara mengenai rencana itu. Bukan hanya itu, bahkan Jassin tidak mau lagi mengajar karena ia lebih tertarik dalam dunia penulisan daripada berdiri di depan kelas.3 Sejak Januari 1961, Jassin kembali menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Sastra UI. Akan tetapi, tidak lagi berdiri di depan kelas, melainkan hanya membimbing para mahasiswa yang membuat skripsi. Antara lain, Jassin membimbing penulisan skripsi boen s. oemarjati, m. saleh saad, m. s. hutagalung, j.u. nasution, bahrum rangkuti, dan lain-lain. Jassin adalah salah seorang tokoh manifes kebudayaan, sebuah manifest yang dibuat 17 Agustus 1963 guna menentang pihak lembaga kebudayaan rakyat (lekra). Akibatnya sejak dilarang manifest kebudayaan oleh Bung Karno (3 Mei 1964), Jassin pun dipecat dari Fakultas Sastra UI. 2 3 H.B. Jassin, surat-surat 1943-1983, (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 136-138 dan 140 Ibid, h. 155 43 Dan pemecatan ini berlangsung hingga G-30-S/PKI meletus setelah itu, Jassin kembali lagi ke Fakultas Sastra UI. Dan sejak april 1973 menjadi lector tetap di Fakultas tersebut untuk mata kuliah sejarah kesusastraan Indonesia modern dan ilmu perbandingan kesusastraan. Di samping mengajar dan mengikuti kuliah, sejak Juli 1954 hingga Maret 1973, Jassin adalah pegawai lembaga bahasa dan budaya, yang sekarang kita kenal dengan nama pusat pembinaan dan pengembangan bahasa departemen pendidikan dan kebudayaan. Untuk jasa-jasanya di bidang kebudayaan pada umumnya, Jassin menerima satyalencana kebudayaan dari pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 20 Mei 1969. Tanggal 24 Agustus 1970, Gubernur DKI (saat itu Ali Sadikin) mengangkat Jassin sebagai anggota Akademi Jakarta (yang diketuai S. Takdir Ali Sjahbana). Keanggotaan ini berlaku untuk seumur hidup. Karena pemuatan cerpen kipanjikusmin “Langit Makin Mendung” di majalah sastra (Agustus 1968) yang dipimpinnya, Jassin diajukan ke pengadilan. Tanggal 28 Oktober 1970, ia dijatuhi hukuman bersyarat satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Dan hingga sekarang, hanya Jassin lah yang tahu, siapa yang bersembunyi di belakang nama kipanjikusmin itu. Bulan April-Juni 1972, Jassin mendapat cultural visit award dari pemerintah Australia. Selama delapan minggu, Jassin mengunjungi pusatpusat pengajaran bahasa dan sastra Indonesia/Malaysia di Australia. Tanggal 26 Januari 1973, Jassin menerima hadiah martinus nijhoff dari prin berhard 44 fonds di Den Haag, Belanda. Hadiah ini diberikan untuk jasa Jassin menerjemahkan karya multatuli, Max Havelaar (Jakarta: djambatan, 1972). Untuk menghormati jasanya dibidang sastra Indonesia, tanggal 14 Juni 1975 Universitas Indonesia memberikan gelar doctor honoris causa kepada Jassin. “dalam kenyataan”, kata Prof.Dr. Harsja W. Bachtiar, dekan Fakultas Sastra UI pada tahun 1975, “Pengetahuan orang tentang sastra indonesia didasrkan pada pengetahuan yang dikembangkan oleh H.B. Jassin.4 Sejak 28 Juni 1976, Jassin menjadi ketua yayasan dokumentasi sastra H.B. Jassin. Yayasan ini mengelola pusat dokumentasi sastra H.B. Jassin yang terletak di Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat. Dokumen sastra itu adalah yang paling lengkap terdapat di Indonesia maupun di luar negeri. Kemudian ia juga pernah menjadi anggota pengurus himpunan penerjemah Indonesia pada bulan November 1973 dan kemudian menjadi penasehat yayasan Idayu pada tahun 1974. Kemudian menjadi penasehat yayasan Mas Agung pada tahun 1988 sampai akhir hayatnya, dan masih banyak lagi pengabdiannya pada masyarakat dan negara yang belum disebutkan. 5 Untuk jasa-jasanya dibidang kesenian dan kesusastraan, Jassin menerima hadiah seni dari pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1983. Pada bulan Agustus-September 1984, Jassin menunaikan ibadah haji. Selain kegiatan yang disebutkan di atas, masih ada kegiatan Jassin yang lain. Sejak tahun 1949 hingga sekarang, Jassin adalah penasihat berbagai 4 5 Alfons Taryadi, seandainya tak ada H.B. Jassin (kompas, 10 juni 1975), h.4 H.B. Jassin, Majalah Harmoni, (Jakarta, 1994) 45 penerbit di Indonesia, diantaranya adalah Balai Pustaka (1949-1952), Gapura (1949-1951), Gunung Agung (1953-1970), Nusantara (1963-1967), Pembangunan (1964-1967), Pustaka Jaya (1971-1972), dan lain-lain. Jassin juga pernah diangkat menjadi pemeriksa luar beberapa universitas di luar negeri, diantaranya, Universitas Malaya (Malaysia), Universitas Monash (Australia), Universitas Sydney (Australia), dan lain sebagainya. B. Karya-karya H.B. Jassin Berikut ini disajikan daftar karya H.B. Jassin hingga saat ini. Akan tetapi, hanya terbatas pada karya yang sudah berbentuk buku, yang terbagi atas tiga kelompok : (1) karangan asli H.B. Jassin, (2) buku-buku yang dieditori H.B. Jassin, (3) terjemahan H.B. Jassin. 1. Karangan Asli H.B. Jassin a. Angkatan 45, Jakarta : yayasan dharma, 1951. Seperti tercermin pada judulnya, buku ini berisi pembicaraan mengenai “angkatan 45” dalam sastra Indonesia. Buku ini hanya dicetak satu kali karena selanjutnya isi buku dimasukkan ke dalam kesusastraan Indonesia dalam kritik dan esei (Jakarta: Gunung agung, 1954, hal. 189-202) dan kesusastraan Indonesia modern dalam kritik dan esei II (Jakarta: gunung agung, 1967, hal. 9-23). b. Tifa penyair dan daerahnya, (Jakarta: gunung agung, 1952), berisi teori kesusastraan. Tahun 1985 buku ini mengalami cetakan ke-7. 46 c. Kesusastraan Indonesia modern dalam kritik dan esei. (Jakarta: gunung agung, 1954). Mula-mula terbit satu jilid (1954), kemudian terpecah menjadi dua jilid (1962), dan terakhir membengkak menjadi empat jilid (1967). Sejak tahun 1985, keempat jilid buku ini diterbitkan olen penerbit PT. Gramedia, Jakarta. Serial buku ini berisi esei dan kritik mengenai karya sastrawan Indonesia tahun 20-an hingga tahun 60-an, serta sejumlah karangan berkenaan dengan sastra. d. Kesusastraan dunia dalam terjemahan Indonesia, (Jakarta: yayasan kerjasama kebudayaan, 1966). Seperti Nampak pada judulnya, buku ini berisi paparan mengenai terjemahan sastra dunia dalam bahasa Indonesia. Buku ini hanya dicetak satu kali karena selanjutnya isi buku dimasukkan ke dalam kesusastraan Indonesia modern dalam kritik dan esei IV (Jakarta: Gunung Agung, 1967, hal. 162-170). e. Heboh sastra, suatu pertanggungan jawab, (Jakarta: Gunung Agung, 1970). Seperti terlihat pada judulnya, buku ini berisi pertanggungjawaban pengarang atas cerpen kipanjikusmin “Langit Makin Mendung”, yang menimbulkan heboh tahun 1968 dan menyebabkan Jassin diajukan ke pengadilan.dengan kata lain, buku ini adalah pembelaan terhadap cerpen tadi di pengadilan. Secara lengkap, pembelaan Jassin ini kemudian dimuat dalam sastra Indonesia sebagai warga sastra dunia. f. Sastra Indonesia sebagai warga sastra dunia, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1981). Buku ini berisi pidato Jassin pada gelar penerimaan doctor 47 honoris causa dari universitas Indonesia, 14 juni 1975. Karangan ini juga dimuat dalam buku nomor 7 di bawah. g. Sastra Indonesia sebagai warga sastra dunia, (Jakarta: Gramedia, 1983). Berisi karangan Jassin antara tahun 1966 dan 1977, termasuk di dalamnya isi buku nomor 5 dan 6 di atas. h. Pengarang Indonesia dan dunianya, (Jakarta: Gramedia, 1983) berisi tulisan-tulisan Jassin mengenai karya sejumlah pengarang Indonesia yang belum dibicarakan dalam buku nomor tiga di atas. Oleh Jassin, mulanya tulisan-tulisan ini direncanakan untuk menjadi “kesusastraan Indonesia modern dalam kritik dan esei V dan VI”. i. Surat-surat 1943-1983, (Jakarta: Gramedia, 1984). Seperti bunyi judulnya, buku ini berisi surat-surat yang ditulis Jassin pada tahun 1943-1983, yang ditujukan kepada berbagai pihak, baik di dalam atapun di luar negeri. 2. Buku-buku yang Disunting Jassin a. Pancaran citra; kumpulan cerita pendek dan lukisan, (Jakarta: Balai Pustaka 1946). Berisi cerpen Asmara Bangun, Usmar Ismail, Rosihan Anwar, Karim Halim, H.B. Jassin, dan lain-lain. b. Kesusastraan di Indonesia di masa Jepang, (Jakarta: Balai Pustaka, 1948). Bunga Rampai ini memuat hasil karya para pengarang Indonesia pada zaman pendudukan Jepang. Tahun 1985, buku ini mengalami cetakan ke-5. 48 c. Gema tanah air; prosa dan puisi, (Jakarta: Balai Pustaka, 1948). Mulamula terbit satu jilid (1948), tetapi sejak cetakan ke-5 (1969) pecah menjadi dua jilid. Tahun 1982, buku ini mengalami cetakan ke-7. Bunga rampai ini memuat hasil karya para pengarang Indonesia antara tahun 1942 dan 1948. d. Kisah 13 cerita pendek, (Jakarta Kolff, 1955). Seperti terlihat pada judulnya, bunga rampai ini berisi tiga belas buah cerita pendek yang pernah dimuat dimajalah kisah. e. Chairil Anwar pelopor Angkatan 45, (Jakarta: Gunung Agung, 1956). Berisi sejumlah prosa dan puisi Chiril Anwar yang belum masuk dalam kumpulan sajak Chairil Anwar deru campur debu dan kerikil tajam dan yang terampas dan yang putus, didahului dengan sebuah studi Jassin berkenaan dengan jiplakan Chairil Anwar. Tahun 1985, buku ini mengalami cetakan ke-7. f. Analisa; sorotan atas cerita pendek, (Jakarta: Gunung Agung, 1961). Berisi sejumlah cerpen pengarang Indonesia, disertai sorotan Jassin terhadap setiap cerpen. g. Amir Hamzah raja penyair pujangga baru, (Jakarta: Gunung Agung, 1962). Berisi prosa dan puisi amir hamzah yang belum masuk ke dalam buah rinah dan nyanyi sunyi. h. Pujangga Baru; prosa dan puisi, (Jakarta: Gunung Agung, 1963). Memuat hasil karya para pengarang Indonesia yang tergolong pada angkatan pujangga baru. 49 i. Tenggelamnya kapal van der wijck dalam polemic (editor bersama junus amir hamzah), (Jakarta: mega bookstore, 1963). Menurut sejumlah karangan seputar novel hamka, tenggelamnya kapal van der wijck, yang pernah di hebohkan sebagai jiplakan. j. Angkatan 66; prosa dan puisi, (Jakarta: Gunung Agung, 1968). Mulamula terbit satu jilid, kemudian pecah menjadi dua jilid. Tahun 1985, buku ini mengalami cetakan ke-6. Bunga rampai ini ini memuat hasil karya para pengarang Indonesia yang tergolong pada angkatan 66. 3. Terjemahan H.B. Jassin a. Sepoeloeh Tahoen Koperasi, oleh R.M. Margono Djojohadikoesoemo, Bp 1941, judul asli: Tien Jaren Cooperatie. b. Chushingura, oleh Sakae Shioya, Bp 1945, diterjemahkan bersama karim halim dari bahasa inggris. c. Renungan Indonesia, oleh Sjahrazad, pustaka rakyat, 1947, judul asli: indonesische over peinzingen. d. Terbang Malam, oleh A. De St. exupery, Bp 1949, judul asli: vol de nuit. e. Kisah-kisah dari Rumania, bersama tslim ali dan Carla rampen, Bp 1964, judul asli: nouvelles roumanics. f. Api Islam, oleh Syed Amir Ali, pembangunan, 1966, 2 jilid, judul asli: The Spirit Of Islam. g. Tjerita Pandji dalam perbandingan, oleh Prof.Dr.R.M.Ng. Poerbatjaraka, diterjemahkan bersama Zuber Usman, judul asli: Panjdi Verhalen Onderling Vergelakan. 50 h. Max Havelaar, oleh Miltatuli, Djambatan, 1972. i. Kian Kemari Indonesia dan Belanda dalam Sastra, Djambatan 1973. j. The Complete Poems Of Chairil Anwar, University Education Press Singapore 1974, terjemahan bersama Liaw Yock Fang. k. Al-Quranul karim bacaan mulia, mulai diterjemahkan 7 oktober 1972, selesai 18 desember 1974. l. Saijah dan Adinda Max Havelaar, cerita Multatuli Scenario film PT. Mondial Motion Pictures & Fons Rademakers Productie, ditulis oleh G. soetaman dan hiswara Darmaputra, 1975. Demikianlah karya-karya H.B. Jassin yang dapat penulis ketahui, mungkin masih banyak karya-karyanya yang belum tertulis seperti tulisan H.B. Jassin dalam artikel-artikel, dan bahan makalah-makalah seminar atau diskusi yang dihadirinya, dan lain sebagainya yang belum penulis ketahui. 4. Kontroversi Penyusunan Terjemah Al-Qur’an H.B. Jassin Ketika H.B. Jassin mengumumkan penerbitan Al-Qur’an karim bacaan mulia, umat Islam Indonesia geger. Konon pada tahun 1987, ada yang membakar karya puitisasi dari terjemahan Al-Qur’an H.B. Jassin ini. Pasalnya bagaimana orang yang tidak bisa bahasa Arab menerjemahkan Al-Qur’an. H.B. Jassin sendiri memang mengakui tak pernah mendapatkan pelajaran khusus membaca Al-Qur’an. Baru sesaat menjadi mahasiswa di 51 Fakultas Sastra Universitas Indonesia, ia sempat mempelajari bahasa Arab. Di sana Jassin juga mempelajari terjemahan-terjemahan Al-Qur’an, naskah-naskah lama dari ar-raniri dan hamzah fansuri, yang beripa tulisan arab melayu beserta kutipan-kutipan bahasa arabnya dan mempelajari cara menerjemahkan lewat kamus. Persoalan yang dihadapi jassin, harus diakui bahwa umat islam sepenuhnya belum mempercayai kredibilitas dan komitmen keislamannya. Umat masih sangsi, bagaimana orang tidak bisa bahasa arab, tidak kenal dengan dunia pesantren, dan mengaku pernah merasa sebal mendengar khotbah-khotbah (istilah jassin waktu ia “teriak-teriak”) di masjid bisa menerjemahkan Al-Qur’an, sedangkan tradisi islam (hadits) mengajarkan “jika suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, kehancuranlah akibatnya”. H. Oemar Bakry yang dikenal sebagai sahabat dekat H.B. Jassin dengan gencar menyampaikan kritiknya dengan mengemukakan apa yang disebutnya sebagai “syarat-syarat mutlak” dalam menerjemahkan AlQur’an, seperti penerjemhan harus menguasai bahasa arab sedalamdalamnya nahwu. Sharaf, ma’ani, balaghah dan sebagainya. Ia harus berpengatahuan luas dalam soal-soal keislaman, bahkan disebutnya pula seolah-olah seseorang yang ingin menerjemahkan Al-Qur’an harus berprestasi dalam buku-buku keagamaan. Artinya seseorang harus memilki latar belakang kedudukan sebagai ulama bila ia mau memasuki dunia penerjemahan Al-Qur’an. Islam tidak pernah melimpahkan hak 52 monopoli kepada golongan ulama sebagai satu-satunya kata dalam mengupas isi kitab suci Al-Qur’an atau sumber-sumber ilmu keislaman lainmnya. Tradisi pelimpahan hak-hak istimewa (privilege) kepada golongan ulama itu bila ditelusuri tidak akan tersua jejaknya pada sumbersumber tradisi Islam. Maka dari itu tidak mesti harus seorang ulama untuk sekedar menerjemahkan Al-Qur’an. Lemparan kritikan yang lebih berat lagi disampaikan oleh dewan da’wah islamiyah indonesia (DDII) dan ikatan masjin Indonesia (IKMI) mengusulkan penyetopan terjemah Al-Qur’an ini, dengan alas an seorang penerjemah harus menguasai bahasa arab (Tabahhur) yang menjadi bahasa Al-Qur’an dan haruslah mendalami ilmu-ilmu agama (Ta’ammuq) supaya dalam penerjemahan itu terhindar dari hal-hal yang bertentangan dengan salah satu hukum islam. 5. Latar Belakang H.B. Jassin dalam Menyusun Terjemah Al-Quran Seorang H.B. Jassin dikenal sebagai ahli sastra, walupun kapasitasnya sebgai orang sastrawan, namun ia berusaha ingin membuat sebuah terjemah Al-Qur’an. Penulisan terjemah Al-Qur’an ini dilatarbelakangi oleh semangat istrinya yang ingin mempelajari Al-Qur’an dan ia mengalami kesulitan ketika mempelajari Al-Qur’an yang berbahasa arab sehingga sang istri mendorong suaminya (H.B. Jassin) untuk menerjemahkan Al-Qur’an. Pada saat istrinya meninggal dunia, H.B. Jassin menemukan tradisi di sekitar rumahnya melakukan tahlilan, berdo’a 53 membaca Al-Qur’an untuk yang meninggal, hal ini menambah motivasi H.B. Jassin untuk meneruskan penerjemahan Al-Qur’an yang pernah dilakukannya pada sebagian ayat Al-Qur’an (Juz ‘amma) semasa istrinya masih hidup. Setelah itu, ia tidak pernah melewatkan membaca Al-Qur’an. Walau tak sehalaman paling tidak sebaris dua baris ayat ia baca AlQur’an. “itu ada kenikmatannya, sebab saya membaca dengan pikiran, saya berkomunikasi dengan tuhan”. 6 Ia merasakan akan pentingnya sebuah terjemah ketika ia memanjatkan do’a kepada Allah SWT untuk almarhumah istrinya dan H.B. Jassin tidak merasa puas dengan membaca saja, akhirnya ia pun mulai mempelajari secara mendalam dan meresapi akan isi kandungan Al-Qur’an. Ia juga menyadari akan keagungan Allah SWT yang telah memberikan mukjizat kepada nabi Muhammad SAW yang berupa Al-Qur’an. 7 Dengan demikian ia dapat merasakan nikmatnya isi kandungan firman-firman Allah. Selain sisi sakralitas Al-Qur’an, H.B. Jassin juga mengakui bahwa Al-Qu’ran adalah maha sastra. Pengakuannya ini terangkum dalam pernyataannya, “alangkah luas, alangkah tinggi, alangkah luhur dan murninya Al-Qur’an”. Obsesi untuk menerjemahkan Al-Qur’an juga dilatarbelakangi ketika ia membaca terjemahan Abdullah jusuf ali yang berjudul “The Holy 6 H.B. Jassin, kontroversi Al-Quran berwajah puisi, (Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, 1995),h.58 7 H.B. Jassin, Al-Quran Karim Bacaan Mulia, (Jakarta: Yayasan 23 Januari 1982), h. XVIII 54 Qur’an”, yang ia peroleh dari H. Kasim Mansur pada tahun 1969 yang dianggapnya bahwa, terjemah itu sangat indah Karena disertai dengan keterangan-keterangan yang luas dan universal sehingga dapat memudahkan mereka untuk mengetahui dan memahami ayat-ayat AlQur’an. 8 Selain itu juga merasakan akan kadar kemampuan umat Islam Indonesia yang masih terbatas sekali pengetahuannya tentang bahasa Arab. Dengan demikian timbullah dalam benak H.B. Jassin untuk membuat terjemah, terjemah Al-Qur’an yang ia tulis dalam bentuk puisi karena ia anggap dapat memudahkan bagi mereka yang akan mengkaji dan memahami makna kandungan Al-Qur’an. H.B. Jassin adalah seorang kritikus sastra dengan reputasi nasional dalam beberapa dekade, yang pertama kali menulis Al-Qur’an pada akhir 1970-an. Sebelumnya H.B. Jassin pernah menulis buku yang berjudul “juz ‘amma”. 9 Kemudian Jassin sebagai seorang sastrawan yang mempunyai minat melebihi batas teritorialnya, member kejutan dengan tujuan membuat terjemah Al-Qur’an yang ditulis dengan susunan puisi. Namun ketika baru menyatakan judul dan maksud buku tersebut, terjadilah polemic dikalangan para ulama yang telah menganggap bahwa, terjemah yang dilakukan H.B. Jassin tersebut tidak sesuai dengan Al-Qur’an yang sebenarnya sehingga dapat menyesatkan orang yang membaca dan yang mempelajarinya. Namun berbagai rintangan, ia tidak pernah patah 8 H.B. Jassin, Majalah Tempo, (Jakarta: 1975), cet.73, h.50 Howard M. Federspiel, Kajian Al-Quran di Indonesia; dari Mahmud Yunus hingga M. Quraish Shihab, (Bandung, Mizan, 1996),h.24 9 55 semangat, akan tetapi ia terus bersemangat dan akhirnya ia dapat menyelesaikan terjemah Al-Qur’an dengan bentuk puisi. C. Biografi Prof. Dr. Mahmud Yunus. 1. Riwayat Hidup dan Aktivitas Keilmuan Mahmud Yunus lahir pada tanggal 30 Ramadhan 1316 H atau bertepatan dengan 10 Februari 1899 di Batu Sangkar Barat. Belum genap berumur tujuh tahun beliau sudah memulai mengaji pada kakeknya, M . Tahir bin M. Ali. Mahmud Yunus masuk ke sekolah dasar namun hanya sampai kelas tiga. Selepas itu, beliau memasuki madrasah yang dipimpin oleh Syekh H. M. Thalib Umar sampai tahun 1916. Pada tahun 1917 Mahmud Yunus sudah dipercaya untuk mengajar menggantikan gurunya yang berhalangan karena sakit. Ketika berusia 25 tahun beliau melanjutkan studinya ke Universitas Kairo dan berhasil memperoleh Syahadah Alamiyah. Kemudian pada tahun 1926-1930 belajar di Madrasah Darul Ulum Ulya. Sebagai orang Indonesia yang pertama kali memasuki Madrasah ini beliau harus bersusah payah untuk dapat bersekolah di Madrasah ini. Beliau mengambil takhashsush (spesialis) tadris sampai memperoleh Ijasah Tadris. 10 Profesinya sebagai guru sudah dimulai sejak masih belajar di Batu Sangkar, yaitu sebagai guru bantu di pesantren. Selanjutnya pada tahun 1931 sebagai direktur/guru al-Jamiah di Batu Sangkar dilanjutkan dengan sebagai guru Normal Islam (Madrasah Mu’alimin Islamiyah), kemudian 10 Diploma guru atau pada masa sekarang dikenal dengan istilah akta 4 56 menjadi dosen agama pada Akademi Pamong Praja di Bukit Tinggi, menjadi dekan pada Akademi Dinas Ilmu Agama (AIDA) di Jakarta, pada tahun 1960-1963 beliau dipercaya sebagai dekan sekaligus guru besar pada Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan pada tahun 19661971 beliau menjabat sebagai rektor IAIN Imam Bonjol Padang. Beliau juga dikenal sebagai pendiri perkumpulan Sumatra Thawalib dan penerbit Islam al-Basyir. Pada tahun 1920 turut mendirikan persatuan anggota Cu Sang Kai. Pada tahun 1945-1946 dimana beliau berhasil memasukkan pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah pemerintah. Beliau turut serta dalam mendirikan Majlis Tinggi Minangkabau yang kemudian menjadi MIT Sumatra. Beliau mulai terlibat gerakan pembaruan setelah mewakili gurunya untuk hadir dalam rapat besar ulama Minangkabau tahun 1919 di Padang Panjang, Sumatra Barat. Abad ke-20 ditandai dengan kemajuan di berbagai bidang, terutama ilmu pengetahuan dan teknologi. Negara-negara yang bisa menguasai kedua hal tersebut akan bisa mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Tentu bangsa Indonesia yang mayoritas muslim mau tak mau harus mengikuti perkembangan itu. Selama ini ada anggapan bahwa pendidikan Islam hanya terpusat untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Tapi beberapa kalangan telah melakukan penyesuaian dengan memasukkan ilmu umum dalam kurikulum pendidikan Islam. Salah satu tokoh pembaru itu adalah Prof. Mahmud Yunus. Disebutkan dalam buku Tokoh dan Pemimpin Agama: 57 Biografi Sosial-Intelektual, Mahmud Yunus lahir lahir di desa Sungayang, Batusangkar, Sumatra Barat, hari Sabtu 10 Februari 1899. Keluarganya adalah tokoh agama yang cukup terkemuka. Ayahnya yang bernama Yunus bin Incek menjadi pengajar surau yang dikelolanya sendiri. Ibundanya yang bernama Hafsah binti Imam Samiun merupakan anak Engku Gadang M. Tahur bin Ali, pendiri serta pengasuh surau di wilayah itu. Sejak kecil, Mahmud Yunus dididik dalam lingkungan agama. Dia tidak pernah masuk sekolah umum. Ketika menginjak usia tujuh tahun, Mahmud mulai belajar al-Qur’an serta ibadah lainnya. Gurunya adalah kakeknya sendiri. Mahmud sempat menimba ilmu di sekolah desa, tahun 1908. Namun, saat duduk di kelas empat, dia merasa tidak betah lantaran seringnya pelajaran kelas sebelumnya diulangi. Mahmud kecilpun memutuskan pindah ke madrasah yang berada di surau Tanjung Pauh bernama Madras School, asuhan H. M. Umar Thaib, seorang tokoh pembaru Islam di Minangkabau. Sejarah mencatat, H.M. Umar Thaib amat berpengaruh terhadap pembentukan keilmuan Mahmud Yunus. Melalui karya-karya gurunya itu, Mahmud dapat menyerap semangat pembaruan yang dibawanya. Misalnya dalam karya al-Munir ditekankan penguasaan pengetahuan umum serta bahasa Eropa. Karenanya para santri di surau/pesantren H. M. Umar Thaib diwajibkan mempelajari ilmu agama, bahasa Eropa, maupun ilmu pengetahuan umum. Maksudnya agar para santri dapat juga memanfaatkan 58 ilmu-ilmu tersebut bagi peningkatan kesejahteraan umat dan perkembangan Islam. Saat Mahmud belajar di Madras School antara tahun 1917-1923, di Minangkabau tengah tumbuh gerakan pembaruan Islam yang dibawa oleh para alumni Timur Tengah. Umumnya pembaruan Islam terwujud dalam dua bentuk: purfikasi 11 dan modernisasi. Yang dilakukan oleh para alumni itu adalah gerakan purifikasi untuk mengembalikan Islam ke zaman awal Islam dan menyingkirkan segala tambahan yang datang dari zaman setelahnya. Mahmud Yunus mulai terlibat digerakan pembaruan saat berlangsung rapat besar ulama Minangkabau tahun 1919 di Padang Panjang. Dia diminta untuk mewakili gurunya. Pertemuan itu secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pola pemikiran pembaruan Mahmud Yunus, terutama berkat pandangan-pandangan yang dikemukakan sejumlah tokoh pembaruan seperti Abdullah Ahmad serta Abdul Karim Amrullah. Bersama staf pengajar lainnya yang bergiat digerakan pembaruan, tahun 1920 Mahmud membentuk perkumpulan pelajar Islam di Sungayang bernama Sumatera Thawalib. Salah satu kegiatan kelompok ini adalah menerbitkan majalah al-Basyir dengan Mahmud Yunus sebagai pemimpin redaksinya. Interaksi yang kian intens dengan gerakan pembaru mendorongnya untuk menimba ilmu pengetahuan lebih jauh di Mesir. 11 Gerakan Pembersihan atau Penyucian Kembali atas apa yang dianggap bid’ah. 59 Tidak mudah untuk mewujudkan hasratnya itu. Berbagai kendala dihadapi. Namun pada akhirnya kegigihan Mahmud Yunus dapat mengantarkannya ke al-Azhar, Kairo, tahun 1924. Di sana ia mempelajari ilmu ushul fiqh, tafsir, fikih Hanafi dan sebagainya. Mahmud Yunus seorang murid yang cerdas. Hanya dalam tempo setahun dia berhasil mendapatkan Syahadah Alimiyah dari al-Azhar dan menjadi orang Indonesia kedua yang memperoleh predikat tersebut. Tetapi dia merasa belum cukup dengan apa yang telah diperoleh lantaran peningkatan pengetahuan umumnya belum terpenuhi. Dia pun berkeinginan melanjutkan studinya ke Madrasah Dar al-Ulum yang memang mengajarkan pengetahuan umum. Mahmud Yunus kemudian meneguhkan diri untuk mengikuti seluruh persyaratan yang diminta dan terbukti mampu memenuhi. Dia dimasukkan sebagai mahasiswa di kelas bagian malam (qiyam lail). Semua mahasiswanya berkebangsaan Mesir, kecuali Mahmud Yunus. Tercatat dia menjadi orang Indonesia pertama yang masuk Dar al-Ulum. Kuliah Mahmud Yunus berakhir dengan lancar. Tahun 1929, dia mendapat ijazah diploma guru dengan spesialisasi bidang ilmu kependidikan. Setelah itu, dia kembali ke kampung halamannya di Sungayang, Batu Sangkar. Gerakan pembaruan di Minangkabau saat itu makin berkembang. Ini amat mengembirakan Mahmud Yunus yang lantas mendirikan dua lembaga pendidikan Islam, yakni pada tahun 1931 alJamiah di Sungayang dan Normal Islam di Padang. Di kedua lembaga 60 inilah dia menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang didapatkannya di Dar al-Ulum, Kairo. Karena kekurangan tenaga pengajar, al-Jamiah Islamiyah terpaksa ditutup tahun 1933. Sedangkan Normal Islam hanya menerima tamatan madrasah 7 tahun dan dimaksudkan untuk mendidik calon guru. Ilmu yang diajarkan berupa ilmu agama, bahasa Arab, pengetahuan umum, ilmu mengajar, ilmu jiwa dan ilmu kesehatan. Dua penekanan dalam pembaruan Mahmud Yunus di lembaga pendidikannya yakni pengenalan pengetahuan umum dan pengajaran bahasa Arab. Pengajaran pengetahuan umum di sekolahnya sebenarnya tidaklah baru. Tahun 1909, Abdullah Ahmad sudah mengajarkan berhitung dan bahasa Eropa di Adabiyah School. Sementara Mahmud Yunus menambahkan beberapa pelajaran umum semisal, ilmu alam, hitung dagang dan tata buku. Awal tahun 1970 kesehatan Mahmud Yunus menurun dan bolakbalik masuk rumah sakit. Tahun 1982, memperoleh gelar doctor honoris causa di bidang ilmu tarbiyah dari IAIN Jakarta atas karya-karyanya dan jasanya dalam pengembangan ilmu pendidikan Islam di Indonesia. Sepanjang hidupnya, Mahmud menulis tak kurang dari 43 buku. Pada tahun 1982, Mahmud Yunus meninggal dunia. 12 12 Siti Kurrotulaini, Analisis Semantik Terhadap Terjemahan al-Qur’an Juz 30 (Surat alQadr, al-Alaq dan al-Ikhlash) Studi Komparatif antara Terjemahan Hamka dengan Terjemahan Mahmud Yunus, (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Jakarta, 2008), h. 41 61 2. Karya-karya Prof. Dr. Mahmud Yunus Selain sebagai mufasir, Mahmud Yunus juga banyak menulis buku, terutama buku pelajaran agama Islam untuk anak-anak, temasuk pula tafsir dan terjemahan al-Qur’an, di antaranya: a. Tafsir al-Qur’an tamat 30 Juz, tahun 1938. b. Terjemahan al-Qur’an tanpa tafsir, untuk memudahkan membaca alQur’an. c. Marilah Sembahyang, pelajaran shalat, untuk anak-anak SD, 4 jilid d. Puasa dan Zakat, untuk anak-anak SD. e. Haji ke Mekkah ,cara mengerjakan haji, untuk anak SD. f. Keimanan dan Akhlak, untuk anak-anak SD, 4 jilid. g. Beberapa Kisah Pendek, untuk anak-anak SD. h. Riwayat Rasul Dua Puluh Lima, bersama Rasyidin dan Zubair Utsman. i. Lagu/lagu baru/not angka-angka, bersama Kasim St. M. Syah. j. Bermain dan Berbudi Pekerti, untuk anak SD. k. Hukum Warisan dalam Islam, untuk tingkat Aliyah. l. Pemimpin Pelajaran Agama, 3 jilid, untuk murid–murid SMP. m. Perbandingan Agama, untuk tingkat Aliyah. n. Kumpulan Do’a, untuk tingkat Aliyah. o. Do’a-do’a Rasulullah, untuk tingkat Aliyah. p. Marilah ke Al-Qur’an, untuk tingkat Tsanawiyah/PGA, bersama H. Ilyas M. Ali. 62 q. Moral Pembaruan dalam Islam, untuk tingkat Aliyah. r. Akhlak (bahasa Indonesia), untuk tingkat Aliyah. s. Pelajaran Sembahyang (shalat), untuk Aliyah, t. Hukum Perkawinan dalam Islam, 4 Mazhab. u. Soal Jawab dalam Hukum Islam, 4 Mazhab. v. Ilmu Musthalah Hadits, bersama H. Mahmud Aziz. w. Sejarah Islam di Minangkabau. x. Kesimpulan Isi Al-Qur’an, untuk mubaligh dan umum y. Allah dan MakhlukNya, Ilmu tauhid, menurut al-Qur’an. z. Pengetahuan Umum Ilmu Medidik, bersama St. M. Said. aa. Pokok-pokok Pendidikan/Pengajaran, Fakultas Tarbiyah/PGAA. bb. Metodik Khusus Pendidikan Agama, Fakultas Tarbiyah/PGAA. cc. Metodik Khusus Bahasa Arab (bahasa al-Qur’an), Fakultas Tarbiyah/PGAA. dd. Sejarah Pendidikan Islam Indonesia. ee. Sejarah Pendidikan Islam (umum). ff. Pendidikan Modern di Negara-negara Islam/Pendidikan Barat. gg. Ilmu Jiwa Kanak-kanak , kuliah untuk kursus-kursus. hh. Pedoman Dakwah Islamiyah, kuliah untuk dakwah. ii. Dasar-dasar Negara Islam. jj. Juz ‘Amma dan Terjemahannya. kk. Pokok-pokok Pemikiran dan Pengajaran. ll. Pelajaran Bahasa Arab (Durus al-Lughatil ‘Arabiyah) 63 mm. Tafsir ayati al-Akhlaq. nn. Metodik Khusus Pendidikan Metode Pengajaran Pendidikan Agama SD. oo. Kitab Pemimpin. pp. Perbandingan Pendidikan Modern di Negara Islam dan Intisari Pendidikan Barat. Dan 27 judul buku lainnya dalam bahasa Arab di antaranya; a. Kitabu al-Tarbiyah wa Ta’lim. b. Fiqhu al-Wadih dan lain sebagainya. 13 3. Metode Penerjemahan Prof. Dr. Mahmud Yunus Tafsir al-Qur’an Karim karya Mahmud Yunus adalah buku yang dapat memudahkan orang untuk menangkap makna dari teks bahasa Arab dalam al-Qur’an. Problem transmisi makna dari teks al-Qur’an ke dalam bahasa lainnya menjadi starting point buku ini. Teks Arab al-Qur’an diyakini mempunyai karakteristik unik, susunan kata, akar kata, sinonim, kelamin kata, kosa kata dan sinonimnya. Seseorang yang melakukan transmisi makna dihadapkan pada pilihan yang beragam. Menurut pandangan para ahli, Mahmud Yunus dalam terjemahannya tidak mengulas tentang seni-seni bahasa dan nahwu kecuali sedikit sekali. Beliau menjelaskan ayat-ayat dengan gaya bahasanya yang apa adanya, menyingkap beberapa makna dengan ungkapan yang mudah 13 1-8 Mahmud Yunus, Tafsir al-Qur’an Karim, (Jakarta: Hidakarya Agung, Cet. Ke 72), h. 64 dan dapat diterima oleh kalangan awam, disertai penjelasan mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang dirasa rumit. Mahmud Yunus berpendapat bahwa al-Qur’an dengan keagungan serta kemuliaan bentuknya begitu padat, sehingga tidak ada terjemahan dalam satu bahasa apapun yang bisa menggantikannya. Metode penafsiran Tafsir Qur’an Karim karya Mahmud Yunus dibuat sebagaimana umumnya kitab-kitab tafsir: menyebutkan nama surat, mengaitkan dengan konteks turunnya ayat tersebut (asbabun nuzul), baru menafsirkan ayat demi ayat. Penafsiran yang dilakukan Mahmud Yunus dalam hal gramatika bahasa, ma’ani dan bayan merujuk pada kitab-kitab tafsir lainnya, terutama dari karya para penafsir Timur Tengah. Selain itu juga merujuk pada kitab at-Tafsir al- Kabir karya ar-Razi dalam kaitannya dengan hikmah dan kalam, serta Jami’ at-Tafsir karya ar-Raghib al-Ashfahani dalam kaitannya dengan pembentukan kata dan makna intristik. 14 14 Siti Kurrotulaini, Analisis Semantik Terhadap Terjemahan al-Qur’an Juz 30 (Surat alQadr, al-Alaq dan al-Ikhlash) Studi Komparatif antara Terjemahan Hamka dengan Terjemahan Mahmud Yunus, h. 45. BAB IV ANALISIS HASIL TERJEMAHAN KATA KUFUR A. Analisis Homonimi Terhadap Kata Kufur Konsentrasi pada pembahasan ini adalah “kata kunci” kufr yang tercantum di dalam Al-Qur’an. Kata kufr termasuk ke dalam homonimi, yang memiliki bentuk yang sama dengan ungkapan lain tetapi maknanya berbedabeda. Di bawah ini merupakan mekna homonimi dari kata kufr: 1. Kufr inkar Kufr al-inkar merupakan hominimi dari kufr. Kufr di sini mempunyai makna adalah kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan, rasul-rasulnya, dan seluruh ajaran yang mereka bawa. Jadi ditinjau dari sudut akidah, orang ‘kafir’ jenis ini tidak percaya sama sekali akan adanya Tuhan sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur Alam ini. Ia juga mendustakan rasul-rasul, mendustakan ayat-ayat Tuhan, menolak hal yang bersifat ghaib, sperti malaikat, kiamat, kebangkitan, surga, neraka, dan sebagainya. Karena mengingkari pokok-pokok akidah di atas, khususnya Tuhan dan hal-hal ghaib, maka orang ‘kafir’ jenis ini dapat dikategorikan sebagai penganut ateisme, materialisme, dan naturalisme. 1 1 Ateisme adalah suatu kepercayaan atau paham yang mengingkari sama sekali keberadaan tuhan. Dalam literatur arab, ateisme disebut ilhad (penganutnya disebut mulhid) dan zandaqat (penganutnya disebut zindiq). Kata ilhad terjemahan dari ateisme, tampaknya kurang tepat. Ketika menjelaskan makna ilhad, terlihat bahwa ilhad, secara ikhlas ditujukan pada mereka yang mempercayai tuhan yang esa tetapi menolak paham kenabian dan ajaran-ajaran yang mereka bawa. Sedangkan term ilhad yang muncul dalam al-qur’an, tampaknya secara umum meliputi semua bentuk distorsi dalam bidang akidah, inklusif ateisme. Materialism adalah suatu teori atau kepercayaan bahwa segala kenyataan hanya dapat dimengerti dan dijelaskan berdasarkan materi. Tidak ada sesuatu yang eksis di dunia ini kecuali yang bersifat materi. Naturalisme adalah paham yang mengatakan bahwa ala mini tidak memerlukan sesuatu yang berwujud supernatural sebagai penyebab keberadaan (pencipta)-Nya, pemelihara, dan pengaturnya. Akan tetapi alam ini berwujud dengan sendirinya, jelas dengan sendirinya, mengatur dan menjalankan dirinya sendiri. Kehidupan manusia yang bersifat fisik, kejiwaan, mental, moral, dan spiritual adalah peristiwa alam biasa dan tidak perlu dikaitkan dengan sesuatu yang berwujud supernatural. Oleh karena itu, metode ilmiah adalah satu-satunya cara untuk mengetahui dan menentukan kebenaran. Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al‐Quran (Jakarta: Bulan Bintang, 1991) h. 106 65 66 ⌧ ⌧ ☺ Terjemahan versi H.B. Jassin “Kehidupan di dunia dijadikan indah dalam bayangan orang yang kafir. Mereka mengejek orang beriman, tapi orang yang takwa (kepada tuhan), berada di atas mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki tiada berhingga kepada siapa yang ia berkenan”. Terjemahan versi Mahmud Yunus “Dihiasi kehidupan dunia bagi orang-orang yang kafir dan mereka menghinakan orang-orang yang beriman dan orang-orang bertaqwa di atas mereka itu (derajatnya) pada hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendakiNya tanpa terhisab”. Di sini penulis melihat bahwa tidak ada perbedaan makna antara dua versi terjemahan tersbut. Ayat tersebut bermakna bahwa orang-orang kafir diberikan kesenangan dan keindahan di dunia saja. Kedua penerjemah tersebut mempunyai pemahaman yang sama dalam menerjemahkan ayat tersebut. Tetapi yang berbeda hanya dalam pemilihan diksi saja. ⌧ ⌧ Terjemahan versi H.B. Jassin 67 “Adapun orang yang ingkar, dan mendustakan ayat-ayat kami, merekelah penghuni nereka jahim”. Terjemahan versi Mahmud Yunus “Orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat kami, mereka itulah penghuni neraka”. (jika orang yang ingkar dan mendustakan ayat-ayat kami, maka tempatnya adalah neraka). Penulis melihat tidak ada perbedaan makna antara dua versi terjemahan ini. Secara umum, terjemahan ini bermakna bahwa “jika orang yang ingkar dan mendustakan ayat-ayat Allah, maka tempat yang tepat baginya adalah neraka”. Ayat di atas menunjukkan ganjaran bagi orang yang mendustakan ayat-ayat Allah. 2. Kufr bermakna non Islam Dalam surat Al-Maidah ayat 44 ☺ …… Terjemahan versi H.B. Jassin “Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, merekalah orang yang kafir”. Terjemahan Mahmud Yunus “Barang siapa yang tiada menghukum menurut yang diturunkan Allah, maka mereka itu orang-orang kafir”. 68 Penulis melihat tidak ada perbedaan makna antara dua versi terjemahan ini. Terjemahan ini bermakna “jika tidak ada yang memutuskan perkara menurut ketentuan Allah, maka termasuk orang yang kafir”. Dalam ayat ini terjadi perdebatan antara para ulama dalm menfsirkan kata kufr di sini. Ulama berbeda pendapat mengenai ayat ini, apakah ayat ini ditujukan kepada kaum muslimin atau kepada orang-orang kafir. Dalam tafsir Al-Misbah mengenai ayat ini karya Quraish Shihab, dipahami dalam arti kecaman yang amat keras terhadap mereka yang menetapkan hukum bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Tetapi ini oleh mayoritas ulama seperti tulis Muhammad Sayyid Tanthawi-Mufti Mesir dan pemimpin tertinggi Al-Azhar Mesir, dalm tafsirnya adalah bagi yang melecehkan hukum Allah dan yang mengingkarinya. Demikian juga pendapat sahabat Nabi Ibn Abbas. Memang satu kekufuran dapat berbeda dengan kekufuran yang lain. Kufurnya seorang muslim, kezaliman, dan kefasikan non muslim. Kekufuran seorang muslim bisa diartikan pengingkaran nikamat. Demikian pendapat Atha’ salah seorang ulama yang hidup pada masa sahabat Nabi Muhammad saw. Syekh Hasanain Makhluf, yang juga pernah menjabat Mufti Mesir, menulis tentang penggalan ayat ini dan menyatakan bahwa, pakar-pakar tafsir berbeda pendapat menyangkut ayat ini dan kedua ayat serupa sesudah ayat ini. Ayat pertama (ayat 44) ditujukan kepada orang-orang 69 muslim, yang kedua (ayat 45) ditujukan kepada orang –orang Yahudi, dan ayat ketiga (ayat 47) ditujukan kepada orang-orang Nasrani. 2 Demikian juga halnya dalam tafsir Adhwa’ul Bayan, diriwayatkan dari asy-sya’bi, ayat tersebut ditujukan kepada kaum muslimin, maksud kekufuran di dalamnya adalah kekufuran yang bukan berarti kekafiran, dan bukan berarti keluar dari agama. Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, mengenai ayat ini ia berkata: bukan kekufuran seperti kalian katakana/kira. Abi Hatim dan Al Hakim meriwayatkan darinya. Al Hakim mengatakan, shahih sesuai dengan kriteria Imam Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak menukilnya. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang Yahudi, karena Allah SWT telah menyebutkan sebelumnya bahwa mereka “merubah perkataan-perkataan dari tempattempatnya”, dan mereka mengatakan “jika kamu diberikan yang ini”, yakni hukum yang telah dirubah yang selain hukum Allah, “maka terimalah dan jika kamu tidak diberikan yang ini”, yakni yang telah dirubah, tapi kamu diberikan hukum Allah yang sebenarnya “maka hatihatilah”. Mereka memerintahkan agar berhati-hati terhadap hukum Allah yang mereka tahu itu adalah kebenaran. Maka ini menunjukkan bahwa perkataan tersebut ditujukan kepada mereka. Di antara mereka yang mengatakn bahwa ayat tersebut ditujukan kepada ahli kitab, sebagaimana yang ditujukan ayat tersebut adalah Al Barra’ bin ‘azib, Hudzaifah bin Al 2 M. Quraish Shihab, Tafsir Al‐Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2001) h. 99 70 Yaman, Ibnu Abbas, Abu Mijlaz, Abu Raja’ Al Utaharidi, Ikrimah Ubaidillah bin Abdullah, Al Hasan Al Basri dan yang lainnya. Maka berdasarkan pendapat ini, ayat tersebut menjadi berisifat umum. Ibnu mas’ud dan Al Hasan mengatakan, ayat ini bersifat umum, yaitu bagi setiap orang yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah dari kalangan kaun muslimin, Yahudi dan orang-orang kafir, yakni barang siapa meyakini dan yang menghalalkannya. Adapun yang melakukan hal itu, tapi ia ber’itikad telah berbuat haram, maka ia termasuk golongan orang-orang fasik dari kelompok kaum muslimin, dan urusannya diserahkan kepada Allah, jika berkehendak dia akan mengadzabnya, dan jika berkehendak dia akan mengampuninya. 3 Betapapun, pada akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa ayat ini menegaskan, bahwa siapapun tanpa kecuali, jika melecehkan hukumhukum Allah atau enggan menerapkannya, maka dia adalah kafir. Yakni telah keluar dari agama Islam. 3. Kufr juhd Kufr juhd ini juga merupakan homonimi dari kata kufr yang mempunyai makna tidak berbeda jauh dengan kufr inkar, istilah juhud diambil dari term juhud yang terdapat dalam Al-Qur’an. Kufr juhud menurut Al-Ansari adalah mengakui dengan hati (kebenaran rasul dan ajaran-ajaran yang dibawanya) tetapi mengingkari dengan lidah. Sedangkan menurut At-Tabataba’i, kufr Al-Juhud berarti pengingkaran terhadap ajaran-ajaran tuhan dalam keadaan tahu bahwa apa yang 3 Syaikh Asy‐Syanqithi, tafsir adhwa’ul bayan (Jakarta: Pustaka azzam, 2007),h. 143‐145 71 diingkari itu adalah kebenaran. Jadi dapat disimpulkan makna dari kufr juhd yaitu meyakini dengan hati tetapi ingkar dengan lidah. Terdapat dalam surat An Naml ayat 13-14 ⌦ ⌧ ☺ ⌧ ⌧ ☺ Terjemahan versi H.B. Jassin “Tapi tatkala datang kepada mereka mukjizat-mukjizat kami yang terang, mereka berkata, “ini adalah sihir yang nyata.”(13) Mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongannya, padahla ahtinya meyakininya. Maka lihatlah bagaimana kesudahannya orang yang melakukan kesusahan (14). Terjemahan versi Mahmud Yunus “Tatkala sampai kepada mereka mu’jizat-mu’jizat kami yang terang, mereka berkata: ini sihir yang terang (13). Mereka mengingkarinya padahal hati mereka meyakininya, karena aniaya dan sombong. Maka perhatikanlah bagaimana akibatnya orang-orang yang berbuat bencana (14). Surat Al-Baqarah ayat 89 ☺ 72 Terjemahan versi H.B. Jassin “Dan ketika datang kepada mereka sebuah kitab dari Allah, menguatkan apa yang ada pada mereka padahal sebelum itu mereka mendo’akan kemenangan terhadap orang kafir-setelah datang kepada mereka apa yang seharusnya mereka ketahui. Mereka mengingkarinya. Maka laknat Allah atas orang yang ingkar”. Terjemahan versi Mahmud Yunus “Tatkala datang kitab (Al-Qur’an) kepada mereka dari sisi Allah, yang membenarkan kitab yang ada pada mereka (taurat) dan adalah pada mereka pada masa dahulu meminta pertolongan dengan dia buat melawan orang-orang ‘kafir’, tetapi tatkala datang kepada mereka ketahui (Muhammad), mereka mengingkarinya, maka kutuk Allah atas orangorang ‘kafir’ itu. Dari ayat ini penulis melihat tidak ada perbedaan makna antara dua versi terjemahan ini. Terjemahan ini bermakna “orang yang mengingkari sesuatu dengan lidah padahal hatinya meyakininya terhadap kebenaran”. Dalam ayat ini tidak terjadi perdebatan oleh para ulama atau Ahli Kitab dalam memaknai kata kufr ini. 4. Kufr Nifaq 73 Kufr Al-Nifaq 4 dapat dianggap sebagai kebalikan dari Kufr Al-Juhud. Kalau Kufr Al-Juhud berarti mengetahui atau meyakini dengan hati tetapi ingkar dengan lidah, maka Kufr Al-Nifaq mengandung arti pengakuan dengan lidah tetapi pengingkaran dengan hati. …… Terjemahan versi H.B. Jassin “Hai rasul! Janganlah kau disedihkan oleh orang yang berlomba-lomba dalam keingkaran, (yaitu) mereka yang berkata, “kami beriman” dengan mulutnya, tapi hatinya tiad beriman”. Terjemahan versi Mahmud Yunus “Hai Rasul, janganlah engkau berduka cita, Karena orang-orang yang bersegera masuk kekafiran diantara orang-ornag yang berkata: kami telah beriman dengan mulut mereka, sedang hati mereka tiada beriman. Dalam ayat tersebut penulis melihat tidak ada perbedaan makna antara dua versi terjemahan tersebut. Terjemahan ini bermakna bahwa “orang yang mengaku beriman tetapi hatinya tidak beriman”. 4 Term lain yang berasal dari kata dasar n-f-q tetapi tidak mengandung makna kemunafikan, antara lain, adalah yang berarti “nafkah” atau “memberi nafkah”. Sehubungan dengan pengertian terakhir ini ada pendapat yang mengatakan bahwa nifaq dalam arti kemunafikan terambil dari kata al-nafiqa yang berarti lobang tikus. Antara lobang tikus dengan kemunafikan memnag ada kesejajaran sifat. Bagian atas luar dari liang tikus tertutup denagn tanah, sedangkan bagian bawahnya berlobang. Demikian pula dengan kemunafikan yang bagian luarnya adalah Islam tetapi bagian dalamnya merupakan keingkaran serta penipuan. Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al‐Quran (Jakarta: Bulan Bintang, 1991) h. 124 74 Terkait dalam ayat di atas dan banyak ayat lain, dalam memanggil Nabi Muhammad saw. Bukan nama beliau, “hai Muhammad”, tetapi dengan jabatan beliau yakni hai Rasul! Ini merupakan penghormatan tersenidiri kepada Nabi termulia dan terakhir itu. Semua nabi yang datang sebelum beliau diseur oleh Allah dengan menyebut namanya. Ya Ibrahim, ya Musa, ya ‘Isa. Pada terjemahan ayat di atas terdapat kata bersegera masuk kekafiran yaitu mempunyai makna terjerumus dalam melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai iman, dan bahwa mereka melakukannya dengan penuh antusias. Pada kata Kufr Nifaq penulis juga melihat adanya homonimi, pada kata kufr ini diterjemahkan orang yang mengakui kekuasaan allah dengan lidah tetapi pengingkaran di hati. 5. Kufr Syirik Penulis melihat Syirik di sini juga merupakan homonim dari kata kufr, terjemahan pada kata kufr di sini ialah mempersekutukan tuhan dengan menjadikan sesuatu, selain diri-Nya, sebagai sembahan, obyek pemujaan, dan atau tempat menggantungkan harapan dan dambaan, termasuk dalam kategori kufr, digolongkan sebagai kekafiran sebab perbuatan itu mengingkari kekuasaan dan kesempurnaan-Nya. Penulis melihat Dalam Al-Qur’an, orang-orang musyrik (pelaku syirik) memang terkadnag ditunjuk dengan term ‘kafir’ (al ladzina kafaru, al kafiruun, al kuffar) disamping term musyrik sendiri. Surat Al-Anbiya ayat 25 75 Terjemahan versi H.B. Jassin “Dan tiada kami utus sebelummu seornag pun rasul, yang tiad kami wahyukan kepadanya, bahwa tiada tuhan selain aku, Karena itu sembahlah aku”. Terjemahan versi Mahmud Yunus “Tiada kami utus seorang rasul sebelum engkau, melainkan kami wahyukan kepadanya, bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan, kecuali aku, sebab itu, sembahlah aku”. Surat An Nahl ayat 36 ….. Terjemahan versi H.B. Jassin “ Sungguh telah kami utus di antara setiap umat seorang rasul (dengan perintah), “sembahlah Allah dan jauhilah thagut”. Terjemahan versi Mahmud Yunus “Sesungguhnya telah kami utus seorang rasul kepad tiap-tiap umat: Hendaklah kamu sembah Allah dan jauhilah thagut (berhala)”. Di sini penulis melihat bahwa tidak ada perbedaan makna antara dua versi terjemahan tersebut. Ayat tersebut bermakna bahwa “jika seseorang menyembah selain Allah atau mempersekutukan Allah maka ia merupakan ornag yang syirik”. 6. Kufr Nikmat 76 Segala yang maujud di dunia ini, pada hakikatnya adalah suatu nikmat yang diberikan tuhan, sebab semuanya mempunyai kegunaan dan dapt mendatangkan kebaikan bagi manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Surat Ibrahim ayat 7 ⌧ ⌧ ⌧ ⌧ Terjemahan versi H.B. Jassin “Dan ingatlah ketika tuhanmu memaklumkan, “jika kamu bersyukur, pasti akan kuberi kamu (karunia) lebih banyak lagi. Tapi jika kamu tiada bersyukur, sungguh, azab-Ku amatlah dahsyat”. Terjemahan versi Mahmud Yunus “Ketika Tuhanmu memberi tahukan: demi, jika kamu berterima kasih, niscaya kutambah nikmat yang ada padamu, tetapi jika kamu kafir (tiada berterima kasih), sesungguhnya siksaan Ku amat keras”. Surat Al-Baqarah ayat 152 Terjemahan versi H.B. Jassin “Maka ingatlah akan daku, aku ‘kan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada Ku”. Terjemahan versi Mahmud Yunus 77 “Maka ingatlah kamu kepadaKu, niscaya aku ingat kepadamu dan berterima kasihlah kepadaKu dan janagnlah kamu menyangkal (nikmatKu)”. Penulis melihat bahwa dalam contoh ayat di atas tidak ada perbedaan makna antara dua versi terjemahan tersebut. Ayat tersebut bermakna bahwa “apabila seseorang bersyukur atas nikmat Allah maka ia akan ditambah nikmatnya, sebaliknya jika seseorang tidak bersyukur maka azab Allah sangat pedih”. Dari ke dua contoh ayat Al-Qur’an di atas penulis melihat kufr di sini di artikan orang yang tidak bersyukur kepada nikmat allah. Karena syukur adalah lawan dari kufr (dalam salah satu pengertiannya), maka pengertian kufr nikmat dapat di formulasikan sebagai penyalahgunaan nikmat yang diperoleh, penempatannya bukan pada tempatnya, dari penggunaannya bukan pada hal-hal yang dikehendaki dan di ridhai oleh pemberi nikmat. 7. Kufr Irtidad Istilah irtidad atau riddat yang berakar dari kata radd, secara etimologi berarti berbalik kembali, atau menurut Al-Raghib, kembali ke jalan dari mana kita datang. Dari segi etimologi agama, irtidad atau riddat berarti kembali kepada kekafiran lain (sebelumnya) atau pun tidak. Surat Al-Baqarah ayat 217 ☺ …. ⌦ ☺ 78 Terjemahan versi H.B. Jassin “Dan barangsiapa diantara kamu murtad dari agamanya, lalu mati dalam kekafiran, merekalah orang yang amalnya sia-sia di dunia dan akhirat. Mereka penghuni-penghuni api (neraka), mereka tinggal di dalamnya selama-lamanya. Terjemahan versi Mahmud Yunus “Barangsiapa yang murtad (kembali) diantara mu dari agamanya, lalu ia mati, sednagkan ia kafir, maka amalan mereka itumenjadi hapus di dunia dan di akhirat, dan mereka itu penghuni neraka, sedang mereka kekal di dalamnya”. Surat An Nisa ayat 137 ⌧ ⌧ ⌧ ⌧ ⌧ Terjemahan versi H.B. Jassin “Sungguh orang yang beriman, kemudian menjdi ingkar, kemudian beriman dan kemudian menjadi ingkar (lagi), kemudian bertambah-tambah ingkarnya, tiadalah Allah mengampuninya, dan tiada ia menunjukinya jalan (yang benar)”. 79 Terjemahan versi Mahmud Yunus “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, kemudian menjadi kafir, kemudian beriman lagi, kemudian kafir pula, kemudian makin tambah kekafirannya, tiadalah Allah mengampuni mereka itu dan tiada pula menunjuki mereka ke jalan (kebenaran)”. Penulis melihat bahwa tidak ada perbedaan makna antara dua versi terjemahan tersebut. Di sini penulis juga melihat terdapat homonim pada contoh ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 217 dan An-Nisa. kufr irtidad merupakan homonim dari kata kufr, kufr irtidad di sini mempunyai makna kembali kepada kekafiran.menjelaskan bahwa orang yang sudah beriman kembali menjadi ‘kafir’. Dari dua ayat di atas mempunyai makna penegasan bahwa orang yang Islam yang murtad dari agamanya lalu mati dalam keadaan ‘kafir’. Dari segi historis, setidaknya pernah terjadi tiga kali peristiwa riddat dai masa rasulullah saw. Yang pertama, murtadnya Banu Mudlaj pimpinan Al-Aswad, yang ke dua murtadnya Banu Hanifah pimpinan Musailamah Al-Kadzab, yang ketiga, adalah murtadnya Banu Asad pimpinan Tulayhat bin Khuwailid. Al-Aswad dibunuh di Yaman oleh Fayruz Al-Daylami, Musailamah dibunuh pada zaman Abu Bakar As-Siddiq oleh Washi, sedangkan Tulayhat bersama kaumnya masuk Islam kembali setelah di taklukan oleh pasukan abu bakar di bawah panglima Khalid bin Al-Walid. Dalam Al-Qur’an tidak disebutkan secara jelas faktor-faktor apa yang menyebabkan seorang muslim keluar dari agamanya dan menjadi ‘kafir’ (murtad). Al-Qur’an hanya member peringatan bahwa orang-orang 80 ‘kafir’, khususnya di masa rasulullah, senantiasa berupaya keras agar orang-orang mukmin kembali menjadi ‘kafir’. Ini berarti orang-orang yang mengaku mukmin harus siap menghadapi berbagai godaan dan tantangan yang dapat menjerumuskan kepada kekafiran. Terlihat jelas sekali penulis melihat bahwa homonimi dalam kata kufr memang banyak dan masing-masing mempunyai makna yang berbeda-beda dan juga mempunyai pemahaman yang berbeda. Melihat dari terjemahan versi H.B. Jassin dan terjemahan versi Mahmud Yunus tidak ada perbedaan dari segi makna, tetepi berbeda dalam pemilihan diksi, dalam penerjemahan Mahmud yunus lebih menekankan pada bahasa sumber. Terjemahannya tidak mengulas tentang seni-seni bahasa dan nahwu kecuali sedikit sekali, beliau menjelaskan ayat-ayat dengan gaya bahasanya yang apa adanya, menyingkap beberapa makna dengan ungkapan yang mudah dan dapat diterima oleh kalangan awam, disertai penjelasan mengenai ayat-ayat Al-Qur’an yang dirasa rumit. Berbeda dengan H.B. Jassin pada terjemahnnya ia mengandung nilai-nilai seni, beliau menjelaskan ayat-ayat dengan gaya bahasa yang berisfat puitis. Menurut penulis terjemahan versi H.B. Jassin cukup akurat dalam pemilihan diksinya masih bisa dipahami, sedangkan terjemahan versi Mahmud Yunus masih kurang akurat terkadang masih ada yang sulit dipahami oleh pembaca, karena pada terjemahan beliau terkadang masih menekankan pada bahasa sumber. Menurut penulis, pemilihan diksi yang digunakan oleh Mahmud Yunus sudah baik. Karena mungkin latar belakang penerjemahnya seorang yang terjun pada bidang pendidikan. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, diantara dua versi terjemahan (H.B. Jassin dan Mahmud Yunus) tidak ada perbedaan secara makna, tetapi berbeda dalam pemilihan diksi. Di sini Mahmud yunus masih menekankan pada bahasa sumber sedangkan terjemahan versi H.B. Jassin terjemhannya mengandung nilai-nilai seni. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh latar belakang penerjemah. Perbincangan mengenai hakikat kufr memang menjadi salah satu titik poin yang sangat sensitif dikalangan muslim, khususnya masalah teologi umat muslim. Sering kali terjadi perdebatan dan bahkan berujung pada pembunuhan lantaran salah menempatkan kata kufr. Kesalahan dalam menangkap kata kufr dapat berakibat fatal. Banyak orang yang salah memahami kufr, khususnya yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an. Iman merupakan gambaran akidah manusia yang sebenarnya. Kita bisa mengatakan yang sebaliknya, yaitu kufr merupakan potret kebalikan dari iman. Ucapan atau amalan dapat menjadi sarana merefleksikan segi akidah dalm potret yang batil, yaitu potret kufr. Masalah keyakinan bersangkutan dengan hati, sedangkan kemampuan kita untuk mengetahuinya sangat terbatas, yaitu hanya melalui ucapan atau perilaku. Dengan demikian, kita harus menjadikan ucapan dan perilaku sebagai bukti keyakinan yang tersimpan di dalam hati seseorang. 81 82 B. Saran Melihat dari hasil kesimpulan di atas, agaknya akan menjadi tantangan besar bagi penerjemah Indonesia untuk dapat menciptakan sebuah terjemahan al-Qur’an dengan menyelaraskan budaya bangsa kita yang majemuk dan problematika kekinian. Hal ini diperlukan karena konteks budaya kita yang berbeda jauh dengan konteks budaya Timur Tengah di mana al-Qur’an diturunkan dan dimensi waktu pada saat al-Qur’an diwahyukan. Sedangkan ayat-ayat al-Qur’an berlaku secara universal, di semua tempat di seluruh dunia dan sepanjang zaman. Dengan demikian, hal-hal yang bersifat teknis dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi zaman, selama tak menyimpang dari garis norma dan kaidah ketatabahasaan yang berlaku. 83 DAFTAR PUSTAKA Cawidu, harifuddin. 1991. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang. Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Cet ke dua. Jakarta: Rineka Cipta.2003. ___________. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Edisi revisi. Cet ke dua. Jakarta: Rineka Cipta.1994. Djajasudarma, Fatimah. Semantik I: Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: Refika. 1999. Eneste, Pamusuk. H.B. Jassin: Paus Sastra Indonesia. Jakarta: Djambatan. 1987. Federspiel, Howard M. Kajian Al-Qur’an di Indonesia; dari Mahmud Yunus hingga M. Quraish Shihab. Bandung: Mizan. 1996. Glasse, Cyrill. Ensiklopedi Islam (ringkas). Penerjemah Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1999. Habanakah, Abdurrahman. Pokok-Pokok Aqidah Islam. Jakarta: Gema Insane. 1998. Jassin, H.B. Al-Qur’an Karim Bacaan Mulia. Jakarta: Yayasan 23 Januari 1982. ________. Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi. Jakarta: Pustaka Utama Graffiti. 1995. _________. Surat-Surat 1943-1983. Jakarta: Gramedia. 1984. _________. Majalah Tempo. Jakarta. 1975. _________. Majalah Harmoni. Jakarta. 1994. Keraf, Gorys. Komposisi. Jakarta: Penerbit Nusa Indah. 1979. Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka. Utama. 1993. ___________. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Edisi kedua. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1996. Kurrotulaini, siti. Analisis Semantik Terhadap Terjemahan Al-Qur’an Juz 30 (Surat al-Qadr, al-Alaq dan al-Ikhlash) Studi Komparatif antara 84 Terjemahan Hamka dengan Terjemahan Mahmud Yunus, (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Jakarta, 2008). Kushartanti. Pesona Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2005. M. Ali Hasan dan Rif’at Syauqi Nawawi. Pengantar ilmu tafsir. Jakarta: PT. Bulan Bintang. 1988. Machali, Rochayah. Pedoman Bagi Penerjemahan. Jakarta: PT. Grasindo. 2000. Mandzur, ibnu. Lisan al’Arab. jilid V. Beirut: dar el fikr. 1994. Parera, J.D. Teori Semantik: Penerbit Erlangga.2004. Rahman, abdur. Garis Pemisah Antara Muslim dan Kafir. Jakarta: Penerbit Firdaus. 1992. Setiawan, M. Nur Kholis. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: El SAQ Press. 2005 Sheriff, Faruq. Al-Qur’an menurut Al-Qur’an. Penerjemah M.h. Assegaf dan Nur Hidayah. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. 2001. Sulaiman, umar Al-Asyqar. Belajar Tentang Allah SWT. Penerjemah Yusuf Syahrudin. Jakarta: Sahara Pulisher. 2008. Taryadi, Alfons. Seandainya Tak Ada H.B. Jassin. Kompas, 10 Juni 1975 Yunus, Mahmud. Tafsir Al-Qur’an Karim. Jakarta: Hidakarya Agung, Cet. Ke 73. 2004.