Jurnal Kedokteran Yarsi 12 (3) : 07-16 (2004) Komparasi respons tumor terhadap radiasi antara radioterapi dengan radioterapi plus vaksinasi BCG pada karsinoma nasofaring Widodo A Kentjono Departement of Otolaryngology, Airlangga University School of Medicine, Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya KEYWORDS : nasopharyngeal carcinoma, radiotherapy, BCG vaccination, tumor irradiation response ABSTRACT The presence of nasopharyngeal tumor, which is resistant to irradiation (radiotherapy), is unexpected, as it generally may develop to become recurrent tumor. Results of radiation therapy, presenting as lower irradiation tumor response, may possibly result from radiotherapy effect on immune system. Radiotherapy, which is primarily directed to eradicate nasopharyngeal carcinoma (NPC) cells, often results in the reduction of cellular immunity. Reduced quality of cancer immune surveillance, undertaken particularly by CD8 T cells (CTL), NK cells, activated macrophage and LAK cells, will be very disadvantageous since tumor growth may persist, and even becomes more progressive. BCG vaccine is known to increase immunological effector cells, whose activity is influenced by the cytokine of Th1 lymphocyte (Th1 response). BCG vaccination (as immunogenic stressor) given simultaneously with NPC radiotherapy is expected to increase cancer cells eradication in the nasopharynx. This study was aimed to 1 prove that there was higher tumor irradiation response in nasopharyngeal carcinoma patients receiving radiotherapy plus BCG vaccination than that in patients receiving radiotherapy only. An experimental study (clinical trial) was carried out towards 77 patients, consisting of 38 patients in the control group and 39 patients in the treatment group. Radiotherapy was given in standard (conventional) dose and method, while BCG vaccination was administered by means of modified multiple scarification technique. Results revealed that significant difference was found between post-radiotherapy volume of nasopharyngeal tumor in the control group and that in the treatment group (p<0.05). Tumor irradiation response in those groups was also significantly different (p<0.05). In conclusion, BCG vaccination administered simultaneously with NPC radiotherapy might increase nasopharyngeal tumor response. Sampai saat ini hasil terapi radiasi (radioterapi) pada karsinoma nasofaring (KNF) masih belum memuaskan. Ini ditunjukkan dari angka kegagalan radioterapi dalam memberantas (eradikasi) sel kanker di nasofaring yang cukup tinggi yaitu sebesar 35%-57% (Sham, 1990; Affandi,1992; Bailete et al., 1992; Neel, 1993; Lin, 1999). Adanya jaringan tumor nasofaring yang tidak dapat dimatikan oleh radiasi sebenarnya sangat tidak diharapkan, karena biasanya berkembang menjadi tumor kambuh (rekuren) yang mempunyai prognosis buruk. Hasil radioterapi berupa respons tumor terhadap radiasi yang rendah ditunjukkan dari hasil radioterapi yang berupa respons sebagian (RS), tak ada respons (TR) atau tumor yang tumbuh makin progresif (P). Pada penderita KNF dengan respons rendah seringkali dijumpai gejala defisiensi imun sekunder seperti kondisi tubuh yang kurus dan lemah (kakheksia), pucat disertai infeksi bakteri (otitis media, rino-sinusitis) dan kandidiasis rongga mulut. Mengingat angka 2 kejadian KNF menempati urutan tertinggi di antara keganasan di daerah kepala dan leher di Indonesia maupun negara di Asia Tenggara, maka perlu ditemukan cara yang efektif meningkatkan respons tumor nasofaring terhadap radiasi ("tumor irradiation response"). Radioterapi yang diberikan pada penderita KNF ternyata sering mengakibatkan kerusakan sel imunologis yang berakibat penurunan imunitas (Gross et al, 1973; Bosworth et al, 1975; Ghossein, 1975; Fu, 1991). Padahal, aktivitas sel imunologis baik yang berperan dalam respons imun seluler maupun humoral sangat dibutuhkan dalam upaya perlawanan (pembunuhan) terhadap kanker. Menurunnya kualitas immune surveillance kanker yang terutama dilaksanakan oleh sel T CD8 (CTL), sel NK, makrofag aktif dan sel LAK (lymphokine activated killer) akan sangat merugikan karena pertumbuhan tumor dapat terus berlangsung, atau makin progresif (Schantz et al, 1990; Brittenden et al., 1996). Radioterapi yang diberikan pada penderita KNF meliputi daerah yang cukup luas sehingga dapat mengenai sel efektor imunologis, baik yang beredar di sirkulasi (sistemik) maupun yang berada di jaringan limfoid mukosa hidung-naso-faring dan daerah tenggorok (ring of Waldeyer’s). Beberapa peneliti melaporkan menemukan penurunan cell mediated immunity pasca radioterapi KNF (Gray et al, 1986; Wolf et al, 1990). Sekitar 75% penderita KNF mengalami penurunan imunitas seluler (Syahrum et al, 1984; Gray et al, 1986; Schantz et al, 1990; Wolf et al, 1990; Tsukuda et al, 1993; Wa’id, 1994). Respons tumor nasofaring yang rendah mungkin disebabkan oleh efek radioterapi terhadap sistem imun. Hal ini disebabkan radiasi memicu terbentuknya radikal bebas terutama ion hidroksil yang mengakibatkan kerusakan sel imunologis. Adanya efek radioterapi KNF terhadap sistem imun yang sering dijumpai harus segera dipecahkan. Bila upaya pencegahan penurunan respons imun akibat radiasi ini tidak segera dilakukan, maka kegagalan pengobatan KNF dengan radiasi eksterna akan tetap tinggi. Dan berbagai laporan penelitian tentang penyakit Tuberkulosis diketahui vaksin BCG (Bacillus Calmette Guerin) dapat memperbaiki respons imun yang protektif 3 dan sampai sekarang masih tetap dikerjakan (Plotkin, 1994; Cooper, 1995; MMWR, 1996; Sigantang, 1996). Sel efektor imunologis yang berperan dalam melawan kuman Tuberkulosis dan sel kanker ternyata sama, yaitu limfosit Tc (CD8), sel NK dan makrofag aktif. Aktivitas sel-sel ini dipengaruhi oleh sitokin yang diproduksi oleh sel Thelper 1 (Th1). Keberhasilan imunoprofilaktik vaksin BCG dalam mencegah penyakit Tuberkulosis dikarenakan vaksin ini mengandung protein, terutama muramyl dipeptida (Young, 1988; Starke, 1994; Sigantang, 1996) dan protein BM 30 kDa (Sinha, 1997) yang mampu memicu pergeseran ke arah polarisasi sel Th1 (Th1 switching) melalui aktivasi makrofag (Ravn, 1997; Lindblad, 1997). Peningkatan sitokin (IL-2, EFN-ϒ) yang dihasilkan sel Th1 selanjutnya akan memicu peningkatan aktivitas sel efektor (sT CD8, sel NK, makrofag aktif) dalam membunuh kuman Tuberkulosis. Kemampuan vaksin BCG yang kuat memicu peningkatan respons Th1 sangat dimungkinkan digunakan untuk memperbaiki kerusakan respons imun akibat radioterapi KNF. Atas dasar kemampuan vaksin BCG (stresor imunogenik) dalam menimbulkan kondisi stres pada sistem imun yang lebih menguntungkan (adaptation stage), maka pemberian vaksin BCG sebagai ajuvan (imunoterapi) secara bersamaan dengan radioterapi KNF akan makin meningkatkan eradikasi sel kanker di nasofaring. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan respons tumor terhadap radiasi pada penderita karsinoma nasofaring yang mendapat radioterapi plus vaksinasi BCG, lebih tinggi dibandingkan radioterapi saja. Manfaat penelitian ini yaitu didapatkan alternatif cara meningkatkan respons tumor terhadap radiasi pada penderita KNF. Temuan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dan landasan ilmiah dalam memperbaiki tatalaksana terapi KNF dengan radioterapi. Hipotesis kerja yang diajukan adalah vaksinasi BCG yang diberikan bersamaan dengan radioterapi KNF dapat meningkatkan respons tumor nasofaring terhadap radiasi. BAHAN DAN CARA KERJA 4 Subjek penelitian ini adalah penderita KNF yang datang berobat di Poliklinik (URJ) THT RSU Dr. Soetomo Surabaya. Penderita akan diikutkan sebagai subjek penelitian bila memenuhi kriteria penerimaan (inklusi) yaitu besar tumor nasofaring T3 atau T4 tanpa adanya metastasis jauh (KNF stadium lanjut lokoregional), jenis histopatologi suatu karsinoma tanpa pembentukan bahan keratin (WHO tipe 2) atau karsinoma undifferentiated (WHO tipe 3), umur 30–60 tahun, kadar albumin serum dalam batas normal, dan bersedia ikut dalam penelitian dengan menandatangani informed consent. Kriteria penolakan (eksklusi) yaitu keadaan umum jelek (skala Karnofsky < 60), alergi terhadap bahan yang ada dalam vaksin BCG yang ditentukan dari tes PPD, kondisi imunitas seluler yang sudah sangat buruk atau anergi yang ditentukan berdasarkan hasil tes Mantoux (PPD), pernah mendapat terapi radiasi atau sedang mendapat perawatan dengan menggunakan obat yang dapat mempengaruhi fungsi sistem imunitas tubuh (misalnya hormon, sitostatika, kortikosteroid), dan menderita penyakit atau kelainan sistemik berat yang dapat mempengaruhi respons ketahanan tubuh imunologik (misalnya infark jantung dan otak, TBC paru, DM, sepsis dan infeksi atau kelainan berat lainnya). Penghitungan besar sampel menurut rumus Higgins dan Klinbaum (1985), diperoleh angka 36. Dengan demikian penelitian ini membutuhkan sampel minimal sebanyak (2 x 36 ) = 72 sampel. Teknik pengambilan sampel menggunakan consecutive sampling. Sampel dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok yang mendapat radioterapi + plasebo (kelompok kontrol), dan kelompok yang mendapat radioterapi + vaksinasi BCG (kelompok perlakuan). Alokasi pengelompokan sampel dilakukan secara acak dengan menggunakan blok permutasi. Vanabel bebas: vaksinasi BCG. Variabel kendali: umur, kadar albumin, kadar Hb dan jenis PA. Variabel tergantung : respons tumor terhadap radiasi. Unit analisis adalah tumor primer di nasofaring yang tampak dan hasil foto CT scan (pra dan 4 minggu pasca radioterapi). Radioterapi diberikan di Instalasi Radioterapi RSU Dr. Soetomo 5 Surabaya dengan menggunakan pesawat Cobalt 60 Teletherapy unit merek Alcyon II, buatan General Electric (Amerika). Dosis radiasi dan teknik pemberian terapi radiasi sesuai dengan standar radioterapi KNF yang berlaku saat ini. Radiasi tumor primer di nasofaring (T3, T4) dengan dosis total 6000–6600 cGy. Radiasi diberikan dengan dosis 200 cGy per fraksi, diberikan 5 kali dalam seminggu tanpa selang waktu (continuous technique irradiation, teknik konvensional). Dengan teknik radioterapi seperti ini, dosis total radiasi akan selesai diberikan dalam 6–7 minggu. Bila didapatkan tumor metastasis di leher diberikan radioterapi dengan dosis yang sama seperti pada tumor primernya di nasofaring, sedangkan bila tidak didapatkan tumor leher (NO) diberikan radioterapi dengan dosis 4000–5000 cGy yang dibagi dalam beberapa fraksi pemberian. Vaksinasi BCG dilakukan di Poliklinik Onkologi THT-KL RSU Dr. Soetomo Surabaya dengan cara menyuntikkan vaksin BCG. Vaksin BCG yang digunakan adalah vaksin BCG kering (lyophilized) buatan Perum. Biofarma (Bandung–Indonesia). Vaksin dalam bentuk kristal kering di dalam ampul gelas mengandung kuman hidup yang telah dilemahkan (attenuated) dari biakan Mycobacterium tuberkulosa tipe bovinum (bacillus Calmette–Guerin), strain Institute Pasteur Paris No. 1173-P2. Vaksin ini telah memenuhi persyaratan WHO Requirements for Biological Substances No. 11 tahun 1966 dan Revised Requiremennts for dried BCG vaccine tahun 1978. Vaksin BCG harus disimpan pada suhu kurang dari 5 °C. Setelah diberi pelarutnya (4 ml NaCl) setiap ml vaksin BCG mengandung 1) basil BCG hidup 0,375 mg, 2) natrium glutamat 1,25 mg, dan 3) Natrium Chlorida 9 mg. Sesudah dilarutkan, vaksin harus segera dipakai dalam waktu 3 jam dan sisanya dibuang. Teknik vaksinasi BCG pada penelitian ini dilakukan dengan cara menyuntikkan 1 ml vaksin BCG kering yang telah dilarutkan dengan bahan pelarutnya pada kulit punggung bagian atas secara intrakutan di 25 titik lokasi. Satu mililiter (ml) vaksin BCG 8 mengandung 6 x 10 kuman. Penyuntikan vaksin BCG (seperti di atas) dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pertama pada 3–14 hari sebelum terapi radiasi dimulai, kedua pada 3–14 hari setelah radiasi pertama dimulai, 6 dan ketiga pada saat 3–14 hari setelah selesai menjalani radiasi dosis total. Penyuntikan vaksin BCG dengan cara (intrakutan), dosis (3 kali, a' 1 ml) dan lokasi penyuntikan seperti diatas (3 kali, a' 25 titik penyuntikan) disebut vaksinasi BCG dengan cara modifikasi teknik skarifikasi multipel (MTSM). Plasebo yang digunakan adalah larutan normal salin (PZ 0,9%). Untuk memenuhi persyaratan buta ganda (double blind), baik vaksin BCG maupun plasebo dimasukkan dalam spuit Mantoux (1 ml) tanpa label yang kemudian diserahkan ke peneliti. Pengisian vaksin BCG dan plasebo masing-masing 1 ml ke dalam spuit Mantoux serta pemberian kode (nomor urut) yang sesuai dengan randomisasi blok permutasi yang telah disusun sebelumnya berdasarkan tabel random, dilakukan oleh Apoteker atau Asisten Apoteker yang ditunjuk di Instalasi Farmasi RSU Dr. Soetomo. Respons tumor terhadap radiasi adalah tanggapan jaringan tumor nasofaring (KNF) terhadap terapi radiasi yang diberikan. Tingkat respons tumor terhadap radiasi ditentukan berdasarkan atas hasil pengukuran volume tumor nasofaring (VTN) pra dan pasca-radioterapi dari foto CT scan oleh Dokter Spesialis Radiologi, hasil pemeriksaan nasofaring (rinoskopi posterior) oleh Dokter Spesialis THT, dan hasil pemeriksaan jaringan nasofaring oleh Dokter Spesialis Patologi Anatomi. Pengukuran volume tumor nasofaring (dalam mm3) menggunakan rumus yang dianjurkan Feldmann (1999) yaitu : VTN = 0,5 x axbxc a : ukuran tumor yang paling panjang (dalam mm) dari foto CT scan irisan aksial b : ukuran tumor yang paling lebar dari foto CT scan irisan aksial c : ukuran tumor yang tinggi dari foto CT scan irisan koronal. Pengukuran VTN dilakukan oleh seorang Dokter Ahli Radiologi (senior). Penilaian respons tumor terhadap radiasi menggunakan kritena WHO (WHO Offset Publication No. 48, 1979. Dikutip Affandi, 1992) yaitu respons lengkap (RL), respons sebagian (RS), tak ada respons (TR) dan tumor progresif (P). Penilaian respons tumor berdasarkan kriteria respons tinggi dan respons rendah sebagai berikut: KNF respons tinggi meliputi RL; 7 dan KNF respons rendah meliputi RS, TR dan P. Penderita dikeluarkan dari penelitian (drop out) apabila keadaan umum makin memburuk (skala Karnofsky < 60), timbul komplikasi berat akibat radioterapi atau vaksinasi BCG, tidak datang untuk menjalani radiasi sesuai jadwal yang telah ditentukan (5 kali berturut turut, 7 kali secara tidak berurutan atau dosis radiasi total kurang dari 6000 cGy), tidak datang kontrol setelah mendapat radioterapi dosis total dan mengundurkan diri dari penelitian. Data hasil penelitian dilakukan pengujian dengan bantuan komputer dan program SPSS/PC+. Taraf kemaknaan ( α ) yang diambil untuk uji hipotesis adalah 0,05. HASIL Selama periode penelitian didapatkan 92 penderita KNF yang memenuhi kriteria (inklusi dan eksklusi), terdiri dari kelompok– kelompok kontrol (radioterapi + plasebo) 46 penderita dan kelompok perlakuan (radioterapi + vaksinasi BCG) 46 penderita. Di antara 92 penderita KNF yang telah memenuhi kriteria penelitian tersebut sebanyak 15 penderita (16,30 %) dikeluarkan dari penelitian. Kelompok kontrol yang dinyatakan drop out sebanyak 8 penderita (17,39 %), sedangkan kelompok perlakuan sebanyak 7 penderita (15,22 %). Dengan demikian penderita KNF yang dapat mengikuti penelitian sampai selesai sebanyak 77 penderita dengan perincian kelompok kontrol 38 penderita (82,61 %) dan kelompok perlakuan 39 penderita (84,78%). Hasil uji homogenitas dengan Anova terhadap variabel umur, kadar Hb dan albumin antara kedua kelompok ternyata tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0,05). Hasil uji Chi-Square terhadap jenis kelamin dan jenis PA tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05). Dengan demikian kedua kelompok mempunyai karakteristik yang sama (homogen). 8 Tabel 1. Komparasi volume tumor nasofaring (VTN) pra dan pasca radioterapi antara kelompok control dan perlakuan Hasil pengujian dengan menggunakan Anova satu arah terhadap data VTN pra-terapi pada kedua kelompok didapatkan koefisien F (F Prob.): 0.6964. Berarti, VTN pra-radioterapi antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan tidak berbeda secara bermakna. Sedangkan uji Anova satu arah yang dilakukan terhadap data VTN pasca-radioterapi pada kedua kelompok didapatkan koefisien F : 0.016. Ini berarti, VTN pasca-radioterapi antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan berbeda secara bermakna. Tabel 2. Komparasi respons tumor nasofaring terhadap radiasi berdasarkan kriteria RL, RS, TR dan P antara kelompok kontrol dan perlakuan 2 Hasil pengujian dengan menggunakan uji Chi Square didapatkan X : 9.41582 dengan significance 0.0242. Null hipotesis ditolak, berarti ada perbedaan yang bermakna. Tabel 3. Komparasi respons tumor nasofaring terhadap radiasi berdasarkan kriteria respons tinggi (RL) dan respons rendah (RS, TR, P) antara kelompok kontrol dan perlakuan 9 2 Hasil pengujian menggunakan uji Chi-Square didapatkan X = 7.26383 dengan significance : 0.0070. Null Hipotesis (Ho) ditolak, berarti ada perbedaan yang bermakna. PEMBAHASAN Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan randomized pre test - post test control group design. Adanya intervensi dengan objek manusia yang dilakukan di klinik digolongkan sebagai uji klinik. Meskipun tingkat kesulitannya lebih tinggi, desain penelitian seperti ini sangat baik untuk melihat efek perlakuan. Untuk memenuhi persyaratan agar diperoleh hasil penelitian yang akurat dengan validitas tinggi, maka terhadap beberapa data yang dapat mempengaruhi hasil penelitian dilakukan beberapa uji awal (homogenitas). Langkah ini diperlukan untuk meningkatkan validitas eksterna, sehingga perubahan yang terjadi dapat diasumsikan memang akibat perlakuan (vaksinasi BCG) yang diberikan. Dari uji homogenitas yang dilakukan terhadap data umur, kadar hemoglobin, albumin, jenis kelamin dan jenis PA didapatkan hasil tidak berbeda bermakna (p>0,05). Dengan demikian beberapa faktor yang diduga dapat mempengaruhi hasil penelitian (bias) telah dapat di minimalkan atau dihilangkan. Hasil uji Anova satu arah yang dilakukan terhadap data volume tumor nasofaring (VTN) pra-radioterapi antara kedua kelompok ternyata tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0,05). Sedangkan uji 10 Anova satu arah terhadap data VTN pasca-radioterapi menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05). Dari tabel 1 dapat dilihat rerata (mean) VTN pasca-radioterapi pada kelompok perlakuan, lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol. Ini berarti, kombinasi radioterapi dan vaksinasi BCG menyebabkan penurunan VTN pasca-radioterapi yang lebih banyak dibandingkan radioterapi saja. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah vaksinasi BCG yang diberikan bersamaan dengan radioterapi meningkatkan penghancuran sel kanker di nasofaring. Penilaian tingkat respons tumor nasofaring (KNF) terhadap radiasi pada penelitian ini berdasarkan atas hasil pengukuran VTN pra dan pascaradioterapi dari foto CT scan oleh Dokter Spesialis Radiologi, hasil pemeriksaan nasofaring (rinoskopi posterior) oleh Dokter Spesialis THT, dan hasil pemeriksaan jaringan nasofaring oleh Dokter Spesialis Patologi Anatomi. Berbagai upaya ini dilakukan agar penilaian tingkat respons tumor (KNF) terhadap radiasi dapat se-objektif mungkin (menghindari bias). Pengukuran yang dilakukan menggunakan alat yang telah diakui keakuratannya dan dilakukan dengan cara yang benar akan menunjukkan tingkat kesahihan penelitian (Pratiknja, 1986; Zainuddin, 1989). Hasil uji Chi-Square data tingkat respons tumor nasofaring terhadap radiasi antara kedua kelompok (tabel 2) menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0.05). Dari tabel 2 dapat dilihat tingkat respons tumor nasofaring terhadap radiasi yang berupa RL pada kelompok kombmasi perlakuan (22 penderita / 56,41%), lebih banyak dibandingkan kelompok kontrol (9 penderita / 23,68%). Demikian juga, hasil uji Chi-Square data tingkat respons tumor nasofaring terhadap radiasi antara kedua kelompok (tabel 3) menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05). Dari tabel 3 dapat dilihat respons tinggi (RL) pada kelompok perlakuan 22 penderita / 56,41%), lebih banyak dibandingkan kelompok kontrol (9 penderita / 23,68%), sedangkan respons rendah (RS, TR, P) pada kelompok perlakuan lebih kecil atau sedikit (17 penderita / 43,58%), dibandingkan kelompok kontrol (29 penderita / 76,31%). Kesimpulan yang dapat ditarik adalah vaksinasi BCG yang 11 diberikan bersamaan dengan radioterapi meningkatkan respons tumor nasofaring terhadap radiasi. Dengan demikian hipotesis penelitian ini telah terbukti. Angka respons tinggi (RL) pada kelompok kontrol penelitian ini lebih kecil dibandingkan hasil laporan penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti, baik dalam maupun luar negeri. Affandi (1992) di RS Hasan Sadikin Bandung mendapatkan angka RL sebesar 65,9%. Diran (1992) di RSU Dr. Soetomo mendapatkan 43%. Sedangkan Sugiarto di RS Adi Husada Surabaya mendapatkan angka 61%. Beberapa peneliti luar negeri melaporkan angka respons tinggi (RL) berkisar antara 43% - 65%, sedangkan respons rendah berkisar 35% - 57% (Sham, 1990; Affandi, 1992; Bailet, 1992; Neel, 1993; Lin, 1999). Angka respons tinggi (RL) pada kelompok perlakuan penelitian ini hampir sama dengan laporan beberapa peneliti luar negeri di atas, sedangkan respons rendah pada kelompok kontrol penelitian ini (76,31%) lebih tinggi dibandingkan laporan peneliti luar negeri. Berdasarkan konsep yang digunakan (stress cell) dapat dijelaskan mekanisme radioterapi, vaksinasi BCG dan kombinasi radioterapi plus vaksinasi BCG dalam menimbulkan perubahan pada sel imunologi maupun sel kanker di nasofaring sebagai berikut. Radioterapi yang diberikan pada pendenta KNF berupa radiasi sinar pengion dengan tujuan mematikan (eradikasi) seluruh sel kanker, baik yang ada di nasofaring maupun metastasisnya di KGB leher. Tumbukan radiasi sinar pengion pada DNA sel kanker di nasofaring dapat mengakibatkan kematian sel kanker secara langsung. Selain efek langsung, radiasi dapat mengakibatkan kematian sel kanker dan kerusakan sel normal d sekitarnya sebagai dampak dari ionisasi molekul air. Kebanyakan kematian sel kanker disebabkan oleh karena efek radikal bebas yang sangat reaktif. Ion radikal dan radikal bebas terutama radikal hidroksil yang terbentuk dari proses ionisasi air dapat merusak struktur vital sel kanker yaitu DNA, protein dan membran sel (Halliwel, 1991; Hussey, 1993; Suhartati, 1999). Selain kematian / kerusakan sel kanker, radiasi 12 menyebabkan berbagai gangguan pada sel imunologis oleh karena efek radikal bebas, terutama radikal hidroksil (Halliwell, 1987; Coleman, 1993; Suryohudoyo, 2000). Radiasi (stresor non imunogenik) menyebabkan sel imunokompeten mengalami stres (stress immunocompetent cell). Kerusakan struktur vital dan pengaruh radikal bebas menyebabkan sel imunologis mengalami stres metabolik (Cotran et al., 1999) dan stres oksidatif (Coleman, 1993; Maity et al, 1994). Makrofag yang stres akibat terkena radiasi akan menurun aktivitasnya dan kemampuan dalam memproduksi sitokin (IL-1, IL-12, TNF-α). Makrofag yang stres berat akan menghasilkan prostaglandin E 2 (PGE 2 ) dan IL-10 homoloque. PGE 2 berefek penurunan imunitas seluler (Beverley, 1986; Raez, 1989; Milanovich et al, 1995). Menurunnya imunitas seluler (CMI) akibat pengaruh PGE 2 disebabkan karena terganggunya aktivitas sel NK dan limfosit T (Raez, 1989; Nakashima et al., 1991; Abbas et al, 1994; Snyderman, 1995), sedangkan IL-10 mempunyai efek menghambat aktivitas sel Th1, sehingga produksi sitokin IL-2 dan IFN-ϒ yang dibutuhkan untuk memicu aktivitas sel NK dan sT CD8 (efek parakrin) menurun (Clemens, 1991; Hamblin, 1993; Borden, 1995; Fuchs, 1996). Dengan demikian stres yang dialami makrofag (stress cell) akan berdampak penurunan aktivitas (exhaustion stage) dan sT CD8 (CTL), sel NK dan sel LAK yang mempunyai peranan penting dalam melawan (membunuh) sel kanker. Menurunnya kuantitas dan kualitas sel imunokompeten yang aktivitasnya dipengaruhi oleh sitokin limfosit Th1 (respons Th1) menyebabkan daya perlawanan (pembunuhan) terhadap kanker makin melemah (tumor terus tumbuh seakan tanpa hambatan). Vaksin BCG mengandung beberapa antigen (protein), terutama muramyl dipeptida (Young, 1988; Starke, 1994; Siguntang, 1996) dan protein BM 30 kDa (Sinha, 1997) yang bersifat imunogenik kuat. Paparan vaksin BCG menyebabkan sel lmunokompeten, terutama makrofag mengalami stres yang berefek peningkatan akti-vitas dan kemampuan memproduksi sitokin (adaptation stage). Makrofag yang terpapar vaksin BCG akan meningkat, baik aktivitas dan produksi sitokin (IL-1, EL-12). Vaksin BCG mampu memicu proliferasi dan diferensiasi limfosit T helper 13 (sT CD4) bergeser ke arah polarisasi sel Th1 atau Th1 switching (Ravn 1997; Lindblad, 1997). Selanjutnya sitokin (DL-2, DFN-ϒ) yang dihasilkan sel Th1 akan memicu peningkatan aktivitas sitotosik dari sel NK, sT CD8 (CTL) dan makrofag yang mempunyai peran sangat penting dalam perlawanan terhadap kanker (Rabinowich et al., 1992; Hebberman, 1993; Kurasawa et al, 1995; Whiteside et al, 1995; Harada et al, 1995; Beverley, 1996; Aliprantis et al, 1996; Rasleigh et al, 1996; Turner, 1996; Jalal, 1997; Baratawidjaja, 2000). Oleh karena penyuntikan vaksin BCG menyebabkan sel imunokompeten mengalami perubahan perilaku yang akan memodulasi sistem imun, vaksin BCG pada hakekatnya merupakan stresor. Meskipun sel imunokompeten terutama makrofag pada awalnya mengalami stres akibat terkena radiasi, namun vaksin BCG (stresor imunogenik) yang disuntikkan mampu memicu peningkatan aktivitas (alarm or adaptation stage) makrofag dan sel NK. Peningkatan aktivitas dan produksi sitokin oleh makrofag dan sel Th1 akan memicu peningkatan respons imun seluler terutama sT CD8 / CTL, sel NK, se LAK dan makrofag aktif (respons Th1) dengan sangat kuat. Meningkatnya aktivitas sel efektor lmunologis ini akan makin memperkuat kemampuan dalam membunuh sel kanker di nasofaring. Hal ini disebabkan karena sel efektor imunologis semakin aktif dalam mengenal sel atau benda asing (non self) memasuki atau berada dalam tubuh. Pengenalan sel efektor mi dengan antigen tumor di permukaan (epitop) sel kanker akan dengan cepat segera dihancurkan (Bellanti, 1985; Greenberg, 1991; Orita et al, 1994; Maes. 1996; Turner, 1996). Kombinasi radioterapi dan vaksinasi BCG merupakan kombinasi yang cukup baik (rasional) karena keduanya mempunyai efek yang saling menunjang. Radioterapi KNF dapat mematikan sel kanker yang ada di nasofaring, tetapi mengakibatkan kerusakan (penurunan) respons imun seluler terutama respons Th1, sedangkan vaksinasi BCG memicu peningkatan respons Th1 dengan kuat. Selain mencegah penurunan respons Th1 akibat radioterapi KNF, vaksinasi BCG dapat meningkatkan kualitas immune surveillance sehingga jumlah sel kanker di nasofaring yang 14 mati makin banyak (VTN menurun). Dengan demikian sel kanker di nasofaring dapat dimatikan secara simultan melalui 2 jalur yaitu jalur eksogen oleh radiasi (radioterapi), dan jalur endogen oleh sel efektor imunologis. Semakin efektifnya radiasi dan sel efektor imunilogis dalam membunuh (mematikan) sel kanker di nasofaring, akan meningkatkan respons tumor nasofaring terhadap radiasi. KESIMPULAN Vaksinasi BCG yang diberikan bersamaan dengan radioterapi KNF dapat meningkatkan respons tumor nasofaring terhadap radiasi. Mekanisme pembunuhan (eradikasi) sel kanker di nasofaring melalui 2 jalur yaitu jalur eksogen oleh radiasi (radioterapi), dan jalur endogen oleh sel efektor imunologis. Dengan selesainya penelitian ini diajukan saran sebagai berikut: 1. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengungkap perubahan ultra struktur yang terjadi padamakrofag dan limfosit setelah mendapat rangsangan vaksin BCG. 2. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pola HLA {human leucocyte antigen) pada penderita KNF respons tinggi dan respons rendah. 3. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh kombinasi radioterapi dan vaksinasi BCG terhadap angka residif tumor (reccurrence rate) dan angka harapan hidup (survival rate). KEPIJSTAKAAN 1. 2. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS 1994. Immunity to tumors. In: (Abbas et al., eds). Cellular and molecular immunology, 2nd edition. Philadelphia: W.B. Saunders Co, 356-92 Aliprantis AO, Roux GD, Mulder LCF, Zychlinsky, Lang RA 1996. Do macropahges kill through apoptosis? Immunology today 17 : 573 15 -6 Affandi Y 1992. Evaluasi hasil radioterapi pada karsinoma nasofaring di Lab/UPF THT FK UNPAD/ RS.Dr.Hasan Sadikin Bandung (periode 1 Jan. 1986 sampai dengan 31 Des. 1989). ORLI, vol. 23, No.3, 113-24 4. Bailet JW, Mark Rj, Abemayor E, Lee SP, Tran LM, Juillard G, Ward PH 1992. Nasopharyngeal carcinoma: Treatment result with primary radiation therapy Laryngoscope 102 : 965-72 5. Beverley P 1986. Immunology of cancer. In (Franks LM, Teich NM., eds). Introduction to the cellular and molecular biology of cancer. Oxford-New York-Tokyo : Oxford University Press, 325-49 6. Beverley P 1996. Tumour immunology. In (Roitt I, Brostoff J, Male D, eds). Immunology, fourth edition. London: Mosby, 20.1-20.8 Borden EC, Sondel PM 1990. Lymphokines and cytokines as cancer treatment. Immunotherapy realized. Cancer 65:800-14 7. Bosworth JL, Ghossein NA, Brooks TL 1975. Delayed hypersensitivity in patients treated by curative radiotherapy. Cancer 36: 353 8. Brittenden J, Heys SD, Ross J, Eremin O, 1996. Natural killer cells and cancer. Cancer, Apr 1, Vol 77 No 7, 1226-43 9. Clemens MJ 1991. Biological roles of cytokines. In : (Read AP, Brown T, eds). Cytokines, first edition. Oxford, U.K.: (3ios Scientific Publishers, 57-72 10. Coleman CN 1993. Beneficial liaisons : radiobiology meets cellular and molecular biology. Radiotherapy and oncology 28 : 1-15 11. Cooper AM, Flynn JL 1995. The protective immune response to Mycobacterium tuberculosis. Review article. Current opinion in immunology 7: 512-6 12. Cotran RS, Kumar V, Collin T 1999. Neoplasia. In : Robbins pathologic basis of disease. Sixth edition. Philadelphia-London-Toronto-MontrealSydney-Tokyo: WB Saunders Company, 260-327 3. 13. Diran S 1992. Hasil terapi radiasi karsinoma nasofaring di RSUD Dr. Soetomo (1988-1989). Seminar di Lab. Radiologi FK Unair / RSUD Dr. 16 Soetomo 14. Feldmann HJ, Jund R, Wollenberg BW, Stadler P, Molls M 1999. Changes in head and neck tumor hypoxic fraction during split course radiochemotherapy. Ann Otol Rhinol Laryngol 108:73-8 15. Fu KK 1991. Treatment of tumors of the nasopharynx. Radiation therapy. In: (Stites DP, Terr AI, Parslow TG, eds). Basic and clinical immunology. New Jersey: A Lange Medical Book, 649-61 Fuchs AC 1996. Clinical, hematologic, and immunologic effects of interleukin-10 in humans. Journ. Of Clinical Immunology, 16 : 291 -303 16. Ghossein NA, Bosworth JL, Bases RE 1975. The effect of radical radiotherapy on delayed hypersensitivity and the inflammatory response. Cancer 35: 1616-20 17. Gray WC, Hasslinger BJ, Suter CM, Blanchard CL, GolstcinAL, Chretien PB 1986. Supression of cellular immunity by head and neck irradiation. Arch otolaryngol head and neck surg, Vol. 112, 1185-90 18. Greenberg PD 1991. Mechanisms of tumor immunology. In : (Stites DP, Terr AI, Parslow TG., Eds). Basic & clinical immunology, eighth edition. New Jersey: a Langc medical book, 569-78 19. Gross L, Manfredi O, Protos AA 1973. Effect of Cobalt 60 irradiation upon cell mediated immunity. Radiology 105:653-5 20. Halliwell B, Gutteridge JMC 1987. Free radicals in biology and medicine, 3rd edition. Oxford: Clarendon Press, 20-64 21. Hamblin AS 1993. Cytokines one by one. In (Rickwood D, Male D, eds). Cytokines and cytokine receptors. London: Oxford University Press, 21-40 22. Harada SK.M, Matsuzaki G, Shinomiya Y, Terao H, Kobayashi N, Nomoto K 1995. Early-appearing tumour-infiltrating natural killer cells play a crucial role in the generation of anti-tumour T lymphocytes. Immunology. Blackwell Science Ltd, 85 : 338-46 23. Harvey HA 1977. Immunosupression and human cancer: role of prostaglandins. Cancer 39:2362-4 17 24. Herberman RB, Bellanti JA 1993. Mekanisme pertahanan imun pada imunitas tumor. Dalam : (Bellanti JA, eds, Penerjemah : Wahab AS.)Imunologi III. UGM: Gajah Mada University Press, cetakan pertama, 356-73 25. Hussey DH 1993. Principles of Radiation Oncology. In: (Bailey BJ., Eds.). Head and neck surgery-otolaryngo-logy. Philadelphia: JB Lippincott Co, 1040-60 26. Jacobsen PB, Holland JC 1991. The stress of cancer: Psychological responses to diagnosis and treatment. In : (Cooper CL, Watson M, eds). Cancer and stress. England : John Wiley & Sons, 147-69 27. Jalal, EA, 1997. NK cells: the natural killer cells. Jurnal Kedokteran YARSI, Sept vol 5 No.3, 90-6 28. Kort WJ 1994. Effect of chronic stress on the immune response. Advanced in Neuroimmunology Vol 4, 1-11 29. Levine PH 1983. Cellular immunity and genetics in nasopharyngeal carcinoma : an overview. In : (Prasad U, Ablashi DV, Levine PH, Pearson GR, eds.). Nasopharyngeal carcinoma. Kuala Lumpur: University Malaya press, 285-92 30. Lindblad EB, Elhay MJ, Silva R, Appelberg R, Andersen P 1997. Infect Immun, Feb ; 65(2): 623-9 31. Lin JC, Jan JS 1999. Locally advanced nasopharyngeal cancer: longterm outcomes of radiation therapy. Radiology, May ; 211(2): 513-8 32. Maes H 1996. In vitro analysis of cancer prevention by a mycobacterial antigen complex and cancer promoted inhibition of immune reactions. Cancer Res Clin Oncol 122:727-34 33. Maity A, McKenna G, Muschel RJ 1994. The molecular basis for cell cycle delays following ionizing radiation: a review. Radiotherapy and Oncology 31: 1-13 34. MMWR (Morbidity and Mortality Weekly Report) 1996. The role of BCG vaccine in the prevention and control of tuberculosis in the United States. U.S. Department of Health and Human Services. Public Health Service. Atlanta: Vol 45, No.RR-4, 1-17 18 35. NakashimaT, Tanaka M, Okamura S 1991. Survey of immunosuppressive acidic protein and other immunological parameters in head and neck cancer patients. J Laryngol andOtol. 105 : 939-45 36. Neel III HB, Slavit DH 1993. Nasopharyngeal cancer. In (Bailey BJ, ed). Head and Neck Surgery-Otolaryngo-logy. Philadelphia : Lippincott Co., 1257-73 37. Orita K, Miwa H, Ogawa K, Suzuki K, Sakagami K? Konaga E, Kokumai Y, Tanaka S 1974. Reduction of immuno-logical surveillance level in cancer patients. I: (Kitagawa M, Yamamura Y, eds). Cancer immunology. Immune surveillance and specific recognation of tumor antigen. Baltimore-London-Tokyo : University Park Press, 53-62 38. Pocock SJ 1986. Clinical Trial. A Practical Approach, 3th edition. New York-Brisbane-Toronto-Singapore: John Wiley & Sons, 90-97, 123-38 39. Pudjirahardjo WJ, Poernomo H, Machfoed MH 1993. Studi Eksperimental. Dalam: Metode Penelitian dan Statistik Terapan. Cetakan kedua. Surabaya, Airlangga University Press, 37-48 40. Putra ST 1999. Development of psychoneuroimmunology concept. Folia Medica Indonesiana. Airlangga University School of Medicine, Jan-March, 23-6 41. Rabinowich H, Vitolo D, Altarac S, Herberman, Whiteside TL 1992. Role of cyokines in the adoptive immuno-therapy of an experimental model of human head and neck cancer by human IL-2 activated natural killer cells. J of Immunology, 149 : 340-9 42. Raez T 1989. Natural killer cell lysis of head and neck cancer. Arch Otolaryngol Head - Neck Surg. 115: 1322-8 43. Rasleigh SP, Kusher DI, Endicott JN, Rossi AR, Djeu JY 1996. Interleukins 2 and 12 activate natural killer cytolytic responses of peripheral blood mononuclear cells from patients with head and neck squamous cell carcinoma. Arch Otolaryngol Head & Neck Surg, May, 122:541 -7 44. Ravn P, Boesen H, Pedersen BK, Andersen P 1997. Human T cell responses induced by vaccination with Mycobac-terium bovis bacillus 19 Calmette-Guerin. J. Immunol. Feb 15; 158(4): 1949-55 45. Schantz SP, Clayman G, Raez T, Grimm EA, Liu FJ, Lavedan P, Taylor D, Pellegrino, C, Savage H., 1990. The in vivo biologic effect of interleukin 2 and interferon alfa on natural immunity in patients with head and neck cancer. Arch Otolaryngol. Head and Neck Surg., Vol. 116,1302-8 46. Schantz SP, Savage HE, Liu FJ 1990. Natural immunity and clinical outcome in patients with head and neck cancer: The risk of distant metastases. In : (Fee WE, Goefert H, Johns ME, Strong EW, Ward PH, eds). Vol. 2, Toronto-Philadelphia : BC Decker, 85-8 47. Sham JST 1989. Fiberoptic endoscopic examination and biopsy in determinimg the extent of nasopharyngeal carcinoma. Cancer 64 : 1838-42 48. Sham JST 1990. Nasopharyngeal carcinoma: Pattern of tumor regression after radiotherapy. Cancer 65: 216-20 49. Sigantang 1996. Perkembangan uji serologis dalam menentukan diagnosa TB paru. Pharos Buletin No.l, 16-8 50. Sinha RK, Verma I, Khuller GK 1997. Immunobiological properties of a 30 kDa secretory protein of Mycobac-terium tuberculosis H37Ra. Vaccine. Apr : 15 (6-7); 689-99 51. Snyderman CH, Milanovich M, Wagner RL, Johnson JT, 1995. Prognostic significance of prostaglandin E2 production in fresh tissue of head and neck cancer patients. Head Neck, mar-Apr 17 : 2 108-13 52. Suhartati G 1999. Terapi radiasi dalam penanganan penyakit keganasan. Kursus penyegaran ke-V & lokakarya Pencegahan dan deteksi dini penyakit keganasan. FKUI Jakarta, 19-29 53. Starke JR, Connelly KK 1994. Bacille Calmette Guerin Vaccine. In : (Plotkin SA, Mortimer EA, eds). Vaccines, second edition. Philadelphia, WB Saunders Co, 439-73. 54. Suryohudoyo 2000. Oksidan, antioksidan dan radikal bebas. Dalam : Kapita selekta. Ilmu Kedokteran Molekuler. Jakarta: CV Infomedika, 31-47 55. Syahrum MH, Suhana N, Sudarmo S, Tjokronegoro A, Hendrikus H 20 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 1984. Pengaruh radiasi terhadap system pertahanan tubuh seluler pada penderita kanker nasopharynx. MKI, vol 34 No.5, 219-24 Turner J, Dockrell HM 1996. Stimulation of human peripheral blood mononuclear cells with life Mycobacterium bovis BCG activates cytolytic CD8+ T cells in vitro. Immunology, March : 87(3) : 339-42 Tsukuda M, Sawaki S, Yanoma S 1993. Supressed cellular immunity in patients with nasopharyngeal carcinoma. J Cancer Res Clin Oncol, 120: 115-8 Wa'id A 1994. Efek radiasi pada sistem hemopoetik. Medika, No. 10, Okt, 55-9 Whiteside TL, Herberman RB 1995. The role of natural killer cells in immune surveillance of cancer. Current opinion in immunology 7: 70410 Wolf GT, Schmaltz S, Hudson J, Robson H, Stackhose T, Peterson KA, Poore YA, McClatchey KD 1987. Alterations in T-Lymphocyte subpopulations in patients with Head and Neck Cancer. Arch otolaryngol. head and neck surg., vol 113, 1200-6 Young DB 1988. Structure of mycobacterial antigens. In: Tuberculosis and Leprosy. British Medical Bulletin, Vol 44, Churchill Livingstone : 562 - 83 Zainuddin M 1989. Metodologi Penelitian. Surabaya: Unair, 72-107 21