ADVOKASI HAK-HAK SEKSUAL KELOMPOK LGBT UNTUK MENGHILANGKAN STIGMA NEGATIF DI DALAM MASYARAKAT DISUSUN OLEH: Drs. Argyo Demartoto M.Si GERAKAN SOSIAL ADVOKASI DAN HAK ASASI MANUSIA UNTUK GAY DI SURAKARTA ADVOKASI HAK-HAK SEKSUAL KELOMPOK LGBT UNTUK MENGHILANGKAN STIGMA NEGATIF DI DALAM MASYARAKAT BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Fenomena keberadaan lesbian, gay, biseksual, transgender, dan transeksual (LGBT) sebenarnya sudah lama ada. Namun tak banyak yang bisa mengungkapkan secara pasti lantaran mereka enggan menunjukkan keberadaan secara terang-terangan. Komunitas mereka biasanya tertutup dan enggan menonjolkan diri di masyarakat. Itu tak mengherankan karena sampai sekarang keberadaan mereka masih menimbulkan sinisme di tengah-tengah masyarakat. Kendati demikian, kini para pelaku LGBT sudah mulai mencari jenisnya dan membentuk komunitas tertentu yang mulai memperlihatkan jati diri. Mereka sudah terang-terangan berkumpul di suatu tempat. Rasa malu sudah tidak lagi menjadi penghalang, bahkan kaum mereka lebih bangga mempertahankan status bias gendernya kepada publik. Sebetulnya perkataan homosexual diterjemahkan secara harfiah adalah “sama gender" yang merupakan gabungan prefix Yunani, homo berarti "sama" dan asas Latin sex berarti "seks." Istilah homosexual pertama kali diterbitkan secara bercetak dalam pamflet Jerman yang diterbitkan pada 1869 secara tanpa nama yang ditulis oleh novelis Karl-Maria Kertbeny, kelahiran Austria. Cukup beragam faktor-faktor penyebab dari munculnya sekelompok orang yang mengaku dan menunjukkan status mereka sebagai seorang homo atau lesbian. Terdapat beberapa faktor yang memungkinkan seseorang itu menjadi homoseksual atau lesbian. Faktor yang paling utama adalah faktor keluarga, pengalaman atau trauma yang dialami pada masa kanak-kanak dapat mempengaruhi proses tumbuh kembang anak tersebut. Misalnya pada saat anak tersebut dikasari oleh ibu atau bapaknya dan kurangnya sentuhan kasih sayang yang diberikan orang tua pada anaknya sehingga si anak beranggapan bahwa semua lelaki atau perempuan itu dapat bersikap kasar dan mudah bertindak brutal yang memungkinkan anak tersebut benci pada golongan itu. ` Bagi kelompok LGBT, perilaku tersebut bukanlah hal yang menyeramkan atau bahkan bukan sesuatu hal yang dapat merugikan orang lain. Sebagian dari mereka beranggapan bahwa keberadaannya sama sekali bukan untuk mengganggu kehidupan orang lain yang normal tapi hanya untuk memuaskan hasrat seksualnya dengan sesama jenis. Namun perspektif masyarakat yang memandang kaum mereka cukup beragam, perbedaan pandangan itulah yang kini banyak muncul dipermukaan. Sebagai kaum minoritas yang dianggap “salah“ bagi umumnya masyarakat, kaum LGBT telah banyak menjalani kehidupan penuh liku dan terjangan disana-sini. Di Indonesia masyarakat masih belum bisa menerima adanya eksistensi LGBT. Penolakan yang bersifat persuatif maupun repretif telah didapatkan kaum LGBT. Pada dasarnya, seluruh pelanggaran hak-hak manusia harus senantiasa diingat dan menjadi pelajaran untuk memperbaiki supaya hak-hak manusia lebih dihormati, dapat dilindungi , dan dipenuhi sebagai pelaksanaan kewajiban Negara. Sebaliknya, mereka yang menjadi korban dan prihatin atas berbagai peristiwa pelanggaran itu untuk ambil bagian dalam menggugat tanggung jawab Negara (state responsibility). Tidak terkecuali dengan pelanggaran hak orang-orang dengan orientasi seksual berbeda, seperti lesbian, gay, biseksual, transgender, interseksual (LGBTI). Pelanggaran hak-hak kelompok LGBTI ini seringkali dibiarkan saja terjadi. Bentuk pelanggaran haknya bermacam-macam. Dalam hal ini, penulis hanya akan membatasi pada tindakan stigmasi, diskriminasi, dan kekerasan. Banyak data yang menggambarkan tentang adanya kekerasan yang didapatkan oleh kelompok LGBTI. Hal ini bisa disebut juga dengan “ Hate Crime” , seperti data yang telah dikumpulkan KONTRAS dibawah ini : a. . Penyerangan terhadap komunitas gay. Sepanjang tahun 2000-2002, komunitas gay yang suka berkumpul di sekitar stadion Sriwedari Solo, Surakarta, sering mendapatkan teror dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh individu maupun kelompok masyarakat yang homophobia. b. Penyerangan terhadap komunitas waria. Disepanjang bulan Ramadhan setiap tahunnya, komunitas waria di berbagai kota, seperti Jakarta, Semarang, Solo, Yogyakarta, dan berbagai kota lainnya, sering mendapatkan teror dan serangan fisik dari kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama tertentu. c. Pembunuhan tiga waria di Jakarta. Pada tahun 2003, terjadi pembunuhan tiga waria di daerah Kemanggisan, Jakarta barat. Tiga waria tersebut mati ditembak oleh aparat kepolisian. Namun sampai dengan saat ini, tidak ada tindakan apapun yang ditujukan terhadap aparat kepolisian yang telah menembak mati ketiga waria tersebut d. Penyerangan terhadap acara pemilihan Ratu Waria. Padaa tanggal 26 juni 2005, Sekelompok orang yang mengatasnamakan Front Pembela Islam (FPI) menyerang para peserta acara pemilihan Ratu Waria yang diadakan di Gedung Sarinah. Jl. MH. Thamrin, Jakarta Pusat. Selain menyerang acara tersebut, mereka juga memaksa pihak penyelenggara untuk membubarkan acara tersebut. Tindakan yang dilakukan oleh FPI tersebut jelas melanggar hukum, karena kegiatan yang dilakukan oleh komunitas waria adalah kegiatan legal dan telah memenuhi semua ketentuan dalam peraturan perundangundangan. Namun yang anehnya, tidak ada satupun anggota FPI yang ditangkap dan ditahan oleh aparat kepolisian. e. Pembunuhan Waria di Purwokerto. Pada bulan Oktober 2005, seorang waria (Vera) yang sedang berada di Jl. S. Parman, Purwokerto, dianiaya oleh seorang pemuda tak dikenal hingga mengakibatkan waria tersebut meninggal dunia. Sampai dengan saat ini aparat kepolisian belum menetapkan tersangka pembunuhan Vera. f. Intimidasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap komunitas waria di Aceh Setidaknya di sepanjang Maret 2006, sudah ada beberapa waria di Langsa, Aceh Timur, yang mengalami pemukulan dan intimidasi dari oknum aparat kepolisian setempat. g. Ancaman terhadap Gessang Solo . Pada tanggal 15 Oktober 2006, sekelompok orang yang mengatasnamakan kelompok Hisbullah melakukan intimidasi terhadap lembaga Gessang Solo yang mengadakan kegiatan sosialisasi HIV/AIDS. Mereka melakukan orasi yang mendiskreditkan kelompok LGBT dan diakhir acara mereka juga meminta uang kepada panitia. Beberapa fakta tentang pembunuhan maupun kekerasan yang dialami oleh kaum LGBT pada umumnya, maupun waria pada khususnya, menunjukan bahwa Negara dalam hal ini pemerintah, belum serius menangani permasalahan-permasalahan kekerasan yang dialami oleh kaum LGBT sebagai kelompok minoritas yang terus termarginalkan. Korban pembunuhan dan kekerasan atas dasar kebencian dan prasangka buruk kini masih dilakukan masyarakat dan aparat keamanan setempat. Pelanggaran itu seolah dibenarkan ketika tidak ada tindakan secara hukum. Kini hukum masih bias terhadap kaum LGBT, padahal jaminan hukum merupakan hak setiap warga negara. Diskriminasi yang masih melekat bagi kaum lesbian, gay, biseksual, transeksual (LGBT) seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk melakukan sosialisasi keberadaan mereka, bukan sebagai hal yang menyimpang. Negara juga harus memastikan pemenuhan kebutuhan perlindungan terhadap mereka sebagai warga negara yang memiliki hak yang sama seperti tertuang dalam Deklarasi Umum HAM.. Menilik dengan jelas Pasal 5 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM menyatakan bahwa : 1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum. 2) Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dan pengadilan yang objektjf dan tidak berpihak. 3) Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Kemudian Pasal 30 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM menyatakan bahwa : “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu“. Selain itu Pasal 33 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM menyatakan bahwa : 1) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. 2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa. Terakhir, berdasarkan Pasal 71 dan 72 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM, Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan. dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia. Kewajiban dan tanggung jawab tersebut meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain. Sehingga tidak ada satupun alasan bagi Pemerintah untuk mengabaikan kasus-kasus “hate- crimes” yang menimpa LGBT dan tidak mengambil langkah-langkah preventif untuk mencegah tindak kekerasan serupa terjadi di masa yang akan datang. Pemerintah sepertinya kurang bersemangat mengeluarkan kelompok LGBTI ini dari penderitaan mereka. Kubangan diskriminasi dan intoleransi masih terus menjadi konstruksi sosial dan pandangan dominan masyarakat terhadap kelompok LGBTI. Pemerintah mungkin akan khawatir akan berhadapan dengan konstruksi sosial pandangan heteroseksual yang mendominasi pola pikir masyarakat. Biasanya, masyarakat melakukan stigmatisasi terhadap mereka dengan menggunakan justifikasi doktrin dan teks-teks suci keagamaan. Oleh tafsir agama konservatif, kelompok LGBTI dianggap sampah masyarakat, menyebarkan penyakit menular, tidak normal, tidak alamiah, sumber datangnya malapetaka, dan penyandang cacat mental. Dalam hal ini, pemerintah turut melegitimasi hal itu dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yang diskriminatif terhadap kelompok marginal tersebut. Di Indonesia kelompok LGBTI menjadi salah satu kelompok masyarakat yang terus mendapatkan diskriminasi multidimensional. Diskriminasi dapat diartikan sebagai pelayanan atau perlakuan tidak adil terhadap individu tertentu, di mana pelayanan atau perlakuan berbeda ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Kelompok LGBT merupakan bagian dari masyarakat tersisih yang dilupakan kehadirannya, baik oleh masyarakat maupaun Negara. Mereka mengalami diskrminasi berlapis, mulai dari pengucilan oleh lingkungan keluarga, dihina di sekolah, dikelurakan dari tempat kerja mereka, hingga perbedaan perlakuan oleh aparat pemerintahan. Kelompok LGBT adalah salah satu fakta sosial yang ada dimanapun di dunia. Bagaimanapun kelompok LGBT ingin agar jati dirinya diakui, butuh pekerjaan untuk menopang hidupnya, butuh berinteraksi dengan sesamanya dalam suatu aktivitas sosial maupun budaya, dan kebutuhan-kebutuhan pada umumnya. Konstruksi sosial dan pandangan domiman dalam melihat eksistensi kelompok LGBT sadar atau tidak selalu menempatkan mereka dalam posisi yang lemah, dan karena terus-menerus berlangsung posisi mereka terus pula dilemahkan. Kesempatan untuk mendapatkan pengakuan atas eksistensi mereka tampaknya tak pernah terpenuhi dari Negara atau aparat Negara. Seperti yang kita tahu, kelompok LGBT ada yang menghadapi beberapa kesulitan baik secara ekonomi maupun sosial. Persoalan itu ibarat lingkaran setan (vicious circle) karena pandangan dominan dalam masyarakat yang telah lama tumbuh dan tetap dipertahankan saat ini adalah mendiskriminasi dan mengingkari keberadaan kelompok LGBT. Mereka tidak diberikan kesempatan yang sama, bahkan seharusnya dibantu karena mengalami diskriminasi dan intoleransi yang terus-menerus. Untuk meningkatkan kesadaran baik di kalangan masyarakat maupun kelompok LGBT diperlukan lembaga perantara (baik dari kalangan pemerintah maupun nonpemerinath) yang bergerak dalam aktivitas pendampingan atau advokasi hak-hak kelompok LGBT untuk mendapatkan pelayanan publik dasar dari Negara maupun masyarakat. B. TUJUAN KEGIATAN 1. Untuk mengadvokasikan Hak-hak seksual kelompok LGBT ( Lesbian, Gay, Biseksual, Dan Transgender) ke Pemerintah dan Masyarakat. 2. Menghapus stigma negatif pada kelompok LGBT yang ada dalam masyarakat C. LUARAN YANG DIHARAPKAN 1. Menyadarkan masyarakat tentang pengakuan keberadaan dan eksistensi Kelompok LGBT sebagai bagian dari HAM (Hak Asasi Manusia). 2. Menghapus stigma negatif pada kelompok LGBT yang ada dalam masyarat BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT SASARAN Yang menjadi masyarakat sasaran dalam penulisan ini adalah kelompok LGBT yaitu : 1. Komunitas Gay dan Lesbian di kota Surakarta,yang bernaung dibawah Yayasan Gessang ( Gerakan Sosial Advokasi Dan Hak Asasi Manusia Untuk Gay di Surakarta ). Berdasarkan akta notaris yang di tanda tangani oleh Sunarto SH, pada tanggal 3 Desember 2005 No.8 Gessang mencatatkan diri menjadi Yayasan yang bernama Yayasan Gessang yang pengurusnya terdiri dari : Pembina : Drs. Argyo Demartoto M.Si Pengawas : Sapto Nugroho Ketua : Muhammad Slamet Sekretari : Aris Wijanarko Bendahara : Danang Batak Susanto Gessang mempunyai beberapa kegiatan untuk mengubah stigma atau penilaian negatif masyarakat terhadap kaum homoseksual dengan memberikan pendidikan, penyuluhan, dan pembinaan dalam rangka komunitas homoseksual di Surakarta. Selain itu Yayasan Gessang juga aktif untuk malakukan kegiatan pencegahan dan penanggulangan IMS/HIV/AIDS. 2. Komunitas Waria Surakarta, yang bernaung dibawah HIWASO (Himpunan Waria Solo) dan Waria yang belum bergabung dengan HIWASO. Waria di Surakarta, selama ini telah membentuk sebuah oraganisasi yang telah diberi nama HIWASO walaupun belum semuanya bergabung disana. HIWASO sendiri masih belum dilegalkan secara hukum karena belum ada pengesahan dari Notaris, itulah yang membuat kekuatan waria menjadi lemah. Selama ini mereka berkumpul di Kampung Talang, Laweyan, Solo sebagai tempat berkegiatan non formal, sedangkan untuk rapat dan membahas masalah-masalah yang mereka hadapi biasanya mereka menggunakan rumah Chintya di Kandangsapi Kandang Sapi RT 01/ RW34 Jebres, Surakarta. Kedua daerah tersebut merupakan lingkungan yang heterogen dengan berbagai kelompok masyarakat dan jenis pekerjaan yang berbeda-beda. Namun disana masyarakatnya cenderung menerima keberadaan waria, hal ini terbukti dengan diperbolehkan waria untuk tinggal dan berkegiatan disana. 3. Masyarakat Surakarta, akademisi, dan para pemilik otoritas. Di Indonesia kelompok LGBTI menjadi salah satu kelompok masyarakat yang terus mendapatkan diskriminasi multidimensional. Diskriminasi dapat diartikan sebagai pelayanan atau perlakuan tidak adil terhadap individu tertentu, di mana pelayanan atau perlakuan berbeda ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Kelompok LGBT merupakan bagian dari masyarakat tersisih yang dilupakan kehadirannya, baik oleh masyarakat maupun Negara. Mereka mengalami diskriminasi berlapis, mulai dari pengucilan oleh lingkungan keluarga, dihina di sekolah, dikeluarkan dari tempat kerja mereka, hingga perbedaan perlakuan oleh aparat pemerintahan. Kelompok LGBT adalah salah satu fakta sosial yang ada dimanapun di dunia. Bagaimanapun kelompok LGBT ingin agar jati dirinya diakui, butuh pekerjaan untuk menopang hidupnya, butuh berinteraksi dengan sesamanya dalam suatu aktivitas sosial maupun budaya dan kebutuhan-kebutuhan pada umumnya. Selain kelompok LGBT lainnya, kami juga ingin mengajak masyarakat agar tidak memberi stigma negatif dan melakukan dikriminasi terhadap kelompok LGBT BAB III METODE PENDEKATAN Metode yang digunakan dalam melaksanakan kegiatan ini adalah : 1. Melakukan pendekatan secara personal dan formal kepada tokoh dalam kelompok LGBT di Surakarta. 2. Menyelenggarakan komunikasi personal dan formal dengan kelompok LGBT setempat untuk mencari kesepakatan tentang rencana pelaksanaan program, yang meliputi : waktu pelaksanaan; tempat pelaksanaan, peserta sosialisasi, dan hal-hal lain yang memungkinkan untuk dilakukan di lapangan. 3. Menyelenggarakan sarasehan, advokasi, dan sosialisasi dengan materi yang berhubungan hak-hak seksual kelompok LGBT untuk menghilangkan stigma negatif di dalam masyarakat. 4. Menyebarkan selebaran dengan materi yang berhubungan hak-hak seksual kelompok LGBT untuk menghilangkan stigma negatif di dalam masyarakat. 5. Membuat situs jejaring sosial dengan media internet untuk mengubah persepsi publik terhadap LGBT. BAB IV PEMBAHASAN Dunia LGBT bagi kebanyakan orang merupakan kehidupan anak manusia yang cukup aneh.secara fisik mereka adalah laki-laki normal, memiliki kelamin yang normal, perilaku mereka sehari-hari sering tampak kaku.Hal inipun berkaitan pula dengan dorongan seksual komunitas LGBT, dorongan psikis yang bertentangan dengan fisiknya. Komunitas LGBT menyukai dan timbul rasa cinta terhadap laki-laki, inilah yang banyak menimbulkan kontroversi di masyarakat. Perilaku yang tidak wajar tersebut tidak sepenuhnya di terima oleh masyarakat. Akibatnya terjadi proses alienasi terhadap lominitas LGBT di masyarakat. Komunitas LGBT khususnya komunitas Waria tidak memiliki ruang gerak yang cukup banyak untuk mencari pekerjaan yang normal dengan jati diri mereka seperti itu. Akibatnya lagi mereka akan lebih banyak turun ke jalan pada malam hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara terjun dalam dunia prostitusi. Didalam dunia prostitusi itupun mereka harus memperjelas relasi seksual mereka, otomatis yang menjadi sasaran mereka adalah laki-laki. Ketika berbicara tentang waria, kebanyakan orang langsung dapat menangkap pekerjaan waria adalah pelacur. Maka dari itu mengubah persepsi masyarakat terhadap waria tentang kehidupan lain dan seksualitasnya merupakan sebuah beban yang tidak mudah. Diperlukan banyak kekuatan untuk mengadvokasi masyarakat dalam rangka merubah persepsi negativ masyarakat. Karena pada dasarnya wariapun juga manusia, yang memiliki hak-hak asasinya sebagai manusia, dan mempunyai skill (ketrampilan dan kemampuan) masing-masing. Ada beberapa tahap yang telah dilakukan untuk melakukan Advokasi Hak-hak Seksual kelompok LGBT ini. A. OBSERVASI Observasi merupakan metode pembedahan masalah yang dilakukan secara sistematis dan sengaja melalui pengamatan dan pencatatan terhadap gejala yang diamati. Kami melakukan observasi dengan tujuan lebih mengenal sasaran dan pola perilaku sasaran. Mencari spot-spot kelompok LGBT berkumpul adalah salah satu cara kami untuk melakukan pengamatan terhadap mereka. Ada beberapa spot yang menjadi lokasi pengamatan kami yaitu salah satunya adalah sekitar GOR Sriwedari Surakarta, beberapa tempat Wedangan ( seperti Wedangan Marsi Sraten, Wedangan Mbak Sri dll ), lapangan voli kampung Talang, Kecamatan Laweyan, kota Surakarta tempat berkumpulnya komunitas waria. Tempat tersebut merupakan pemukiman warga yang berdekatan dengan pabrik tekstil Batik Keris. Di tempat tersebut para waria melakukan aktivitas berolahraga, seperti voli serta menjadikan tempat itu spot area waria. Dimana tempat tersebut menjadi ruang untuk berdiskusi dan berolahraga diantara mereka. Kami melihat sepertinya tidak ada penolakan dari masyarakat disana terhadap aktivitas waria-waria tersebut. Selanjutnya mencoba mencari tempat tinggal para komunitas LGBT baik yang terbuka maupun yang tertutup. Komunitas LGBT di kota Surakarta biasanya tinggal secara berkelompok atau sendiri-sendiri dengan keluarga. Biasanya mereka akan menyewa suatu tempat dengan masyarakat yang bisa menerima keberadaan mereka. Dalam melakukan suatu observasi ini kita hanya mengamati dan melihat keadaan sekitar obyek dari lokasi kegiatan pengabdian tesebut, karena dalam metode observasi dilakukan apabila kita masih ragu mengenai permasalahan yang akan kita ambil. Setelah kita melakukan observasi, maka kita dapat mendapatkan gambaran mengenai tempat dan situasi permasalahan yang ada di lokasi tersebut. B. INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MASALAH Dalam pandangan masyarakat esensialisme meyakini bahwa jenis kelamin, orientasi seksual dan identitas seksual yang bersifat terberi dan natural sehingga tidak dapat mengalami perubahan. Masyarakat ini berpandangan bahwa jenis kelamin hanya terdiri dari dua jenis yaitu laki-laki dan perempuan; orientasi seksual hanya heteroseksual; dan identitas gender harus selaras dengan jenis kelamin (perempuan feminisme dan laki-laki maskulin) sehingga kelompok lain yang berada di luar mainstream tersebut dianggap sebagai abnormal. Hal inipun berlaku pada kelompok LGBT khususnya kaum waria. Pada dasarnya komunitas LGBT hidup dengan banyak masalah-masalah yang mengiringinya termasuk masalah sosialnya. Menjadi sosok yang bebeda dari kelaziman masyarakat adalah sesuatu yang berat, ada beban yang langsung menempel pada dirinya yaitu antara diterima atau ditolak masyarakat. Apalagi di Indonesia banyak masyarakat yang konservatif terhadap budaya, nilai, dan norma yang telah mereka pahami terdahulu. Masalah-masalah yang telah kami dapatkan dari komunitas waria di Solo setelah kami melakukan beberapa kali diskusi dan sharing dengan komunitas waria adalah sebagai berikut, antara lain : 1. Kekerasan a. Kekerasan seksual : kebanyakan kaum LGBT khususnya waria sering mengalami kekerasan seksual baik berupa pemerkosaan maupun pemaksaan aktivitas seksual yang lain. Pelaku kekerasan mulai dari keluarga, aparat penegak hukum maupun masyarakat umum. b. Kekerasan fisik : kekerasan yang dialami berupa pemukulan, tamparan, meludahi. Pelaku adalah keluarga, pasangan dan keluarga pasangan, aparat penegak hukum maupun masyarakat umum serta organisasi masyarakat berbasis agama. c. Kekerasan emosional : biasanya LGBT mengalami penolakan dari keluarga dan masyarakat lalu dipaksa untuk “sembuh”, membatasi pergaulannya atau kalau tidak akan diusir dari keluarga dan masyarakat. kekerasan lain juga dilakukan oleh media dengan membuat pemberitaan yang mendiskreditkan kalangan LGBT. 2. Diskriminasi a. Diskriminasi dalam mendapat pekerjaan Kebanyakan kelompok LGBT mengalami penolakan untuk bekerja sesuai bidangnya, pada akhirnya mereka bekerja pada bidang yang mau menerima mereka misalnya salon dan tempat prostitusi. b. Diskriminasi dalam hal akses terhadap keadilan. Kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT seringkali diselesaikan diluar pengadilan karena dianggap aib dan memalukan. Hal tersebut menyebabkan korban enggan melapor. c. Diskriminasi dalam pemilihan pasangan Kelompok LGBT tidak mendapatkan haknya untuk memilih pasangan. Misalnya banyak yang dipaksa untuk menikah dengan lawan jenisnya sehingga sepanjang masa pernikahannya korban merasa diperkosa. d. Diskriminasi dalam bidang pelayanan administrasi publik. Masalah ini adalah masalah yang sering dihadapi oleh kaum LGBT, misalnya saja dalam pengurusan KTP,SIM, dan bidang kesehatan yaitu kartu ASKES para kaum LGBT khususnya waria diperlakukan berbeda dan seakan-akan dipersulit. e. Diskriminasi dalam memperoleh tempat tinggal yang layak. Untuk mendapatkan tempat tinggal para kaum LGBT khususnya waria harus bersusah payah karena harus mengalami penolakan dari banyak pihak. Misalnya, untuk mencari kos-kosan harus memperoleh persetujuan dari banyak pihak, namun yang menjadi masalah adalah tidak semua masyarakat bisa menerima keberadaan dan aktivitas kaum waria. 3. Kekuatan yang lemah dari kaum LGBT sendiri. Komunitas LGBT ( Lesbian Gay Biseksual dan Transgender ) sampai saat ini masih sulit untuk bersatu, walaupun sudah dibentuk Yayasan Gessang dan organisasi waria di Solo dengan nama HIWASO (Himpunan Waria Solo). namun kesolidan diantara mereka sendiri masih lemah. Mereka masih ragu-ragu untuk melangkah ke depan secara bersama-sama walaupun tidak menutup kemungkinan komunitas LGBT sendiri sudah banyak yang telah berusaha memperjuangkan hak-hak mereka. Kekuatan komunitas LGBT sendiri masih lemah dalam melakukan bargaining-bargaining terhadap masyarakat dan pemerintah untuk memberikan persepsi positif dan ruang gerak berekspresi di komunitas yang normal. Ruang berekspresi antara lain adalah, ruang untuk bisa bekerja sesuai kapabilitasnya, berkreasi sesuai kreativitasnya, dan lain-lain. hal tersebut terjadi karena belum adanya badan hukum yang melegalkan, memberi kekuatan hukum, dan sebagai payung komunitas LGBT . C. ADVOKASI Ada dua bentuk advokasi yang dilakukan yaitu: 1. Advokasi Internal Kelompok LGBT Pertimbangan Yayasan Gessang melakukan advokasi intern pada komunitas LGBT termasuk Waria, dikarenakan mereka sendiri masih lemah dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Misalnya kegiatan advokasi dilaksanakan dirumah salah satu waria di daerah Kandang Sapi, Jebres Solo, mbak Chintya. Pada acara tersebut dihadiri oleh pengurus HIWASO dan beberapa anggotanya yang berjumlah 26 orang, juga kita turut mengundang masyarakat sekitarnya. Untuk menjelaskan tentang hak-hak seksual LGBT kami mengajak akademisi yang berkapasitas dibidang itu dan merupakan pengurus GESSANG sebuah LSM yang bergerak dibidang penyetaraan hak-hak kaum LGBT di kota Surakarta. Pertemuan tersebut membahas tentang bagaimana memperjuangkan hak-hak asasi waria juga bagaimana menjadi waria yang baik agar dapat diterima oleh masyarakat luas. Diskriminasi dan ketidakadilan yang didapat waria di masyarakat dan dilingkungannya sendiri menjadi pembahasan dalam pertemuan kami ini. Drs. Argyo Demartoto, MSi sebagai akademisi dan juga pengurus Gessang, memberi masukan dan impuls positif terhadap waria yang harus bisa berdikari dalam memperjuangkan hak-haknya. Waria seharusnya tidak boleh lemah jika ingin merteka dihargai dan diakui di masyarakat juga jangan sampai terjadi krisis identitas sehingga mereka harus minder berada di masyarakat. Hak-hak kaum LGBT termasuk waria sebenarnya sudah diberi kekuatan yang tertuang dalam Prinsip-prinsip Yogyakarta. Prinsip-prinsip Yogyakarta yang dilaksanakan pada bulan November 2006 berisi sebagai berikut : Prinsip 1 : Hak untuk Penikmatan HAM secara universal Prinsip 2 : Hak atas Kesetaraan dan Non Diskriminasi Prinsip 3 : Hak Pengakuan di mata Hukum Prinsip 4 : Hak untuk Hidup Prinsip 5 : Hak atas Rasa Aman Prinsip 6 : Hak Atas Ruang Privat (Privasi) Prinsip 7 : Hak Atas Kemerdekaan Dari Pencabutan Kebebasan Secara Sewenang-Wenang Prinsip 8 : Hak Atas Pemeriksaan Pengadilan Secara Adil Prinsip 9 : Hak Atas Perlakuan Manusiawi Selama Dalam Tahanan Prinsip 10 : Hak Atas Kebebasan dari Penyiksaan dan Perlakuan Atau Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi Atau Merendahkan Martabat Prinsip 11 : Hak Atas Perlindungan Dari Semua Bentuk Eksploitasi, Jual-Beli Dan Perdagangan Manusia Prinsip 12 : Hak Atas Pekerjaan Prinsip 13 : Hak Atas Jaminan Sosial Dan Tindakan Perlindungan Sosial Lainnya Prinsip 14 : Hak Atas Standard Hidup Yang Layak Prinsip 15 : Hak Atas Pemukiman Yang Layak Prinsip 16 : Hak Atas Pendidikan Prinsip 17 : Hak Atas Standard Kesehatan Tertinggi Yang Dapat Dicapai Prinsip 18 : Perlindungan Dari Penyalahgunaan Medis Prinsip 19 : Hak Atas Kemerdekaan Berpendapat Dan Berekspresi Prinsip 20 : Hak Atas Kemerdekaan Berkumpul Dan Berorganisasi Dengan Damai Prinsip 21 : Hak Atas Kemerdekaan Pikiran, Hati Nurani Dan Agama Prinsip 22 : Hak Atas Kemerdekaan Berpindah Tempat Prinsip 23 : Hak Untuk Mencari Tempat Perlindungan (Suaka) Prinsip 24 : Hak Untuk Membangun Prinsip 25 : Hak Untuk Berperan-Serta Dalam Kehidupan Bermasyarakat Prinsip 26 : Hak Untuk Berperan-Serta Dalam Berkebudayaan Prinsip 27 : Hak Untuk Memperjuangkan Hak Asasi Manusia Prinsip 28 : Hak Untuk Memperoleh Pengobatan Dan Penggantian Kerugian Yang Efektif Prinsip 29 : Akuntabilitas Pada dasarnya banyak komunitas LGBT yang belum paham dan mengerti tentang adanya Yogyakarta Principles yang merupakan tatanan dari prinsip-prinsip dalam penerapan UU HAM yang terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender. Dalam pertemuan tersebut ditekankan bahwa waria sebagai aktor utama dalam memperjuangkan hak-haknya harus memiliki kekuatan (power) untuk melakukan tekanan dan advokasi kepada pemilik otoritas atau pemerintah juga masyarakat. Tidak menutup kemungkinan juga ada lembaga-lembaga lain yang membantu dan berpihak kepada komunitas mereka seperti dengan mengadakan kerjasama dengan LSM. Seharusnya komunitas LGBT termasuk waria memiliki keahlian-keahlian yang berguna di masyarakat bukan hanya bekerja malam (menjual tubuh mereka) untuk mendapatkan uang. Karena selama ini image waria dalam masyarakat selalu dikaitkan dengan prostitusi dan selalu dipersepsikan negatif, misalnya dengan membuka salon atau membuka pekerjaan lain yang halal dan bisa diterima oleh masyarakat. 2. Advokasi ke Masyarakat Untuk mengubah persepsi negatif komunitas LGBT di masyarakat Gessang melakukan sosialisasi dan advokasi antara lain : a. Menyebar selebaran tentang hak-hak asasi manusia Dalam konteks ini adalah komunitas LGBT, dimana dalam selebaran itu terdapat hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak LGBT sebagai manusia yang perlu dihargai keberadaannya. Pada hakikatnya komunitas LGBT sebagai manusia merupakan makhluk sosial yang perlu bersosialisasi dan berinteraksi di dalam lingkungan masyarakat karena mereka merupakan bagian dari masyarakat dan komunitas LGBT sendiri juga tidak bisa hidup tanpa bantuan dari masyarakat. Jadi intinya dibutuhkan kepedulian dan saling menghargai diantara sesama manusia. Selebaran tersebut juga berisi tentang asumsi positif kehidupan komunitas LGBT dalam masyarakat. Sehingga komunitas LGBT tidak lagi dianggap sebagai aib dan “penyakit” dalam masyarakat. Selebaran ini disebar kepada masyarakat disekitar spot-spot komunitas LGBT berkumpul, dan tempattempat lain di Surakarta. b. Advokasi melalui media maya jejaring sosial Hal ini dibuat karena masyarakat sudah semakin maju dan berkembang serta sudah peka terhadap adanya teknologi. Menggunakan internet sebagai media advokasi bagi kami dapat menjadi salah satu sarana untuk mengubah persepsi publik terhadap komunitas LGBT. Kami membuat beberapa layanan jejaring sosial antara lain : 1. Facebook Facebook saat ini menjadi layanan jejaring sosial yang banyak diminati oleh masyarakat khususnya di Indonesia. Dengan membuat facebook masyarakat diharapkan semakin mengenal kehidupan waria itu seperti apa juga dapat berkomunikasi secara langsung via on line dengan komunitas komunitas LGBT ini. Facebook ini diberi nama [email protected] 2. Website Dengan adanya website yang berkaitan dengan komunitas LGBT, komunitas LGBT diharapkan dapat membuat tulisan-tulisan tentang kehidupan komunitas LGBT sebenarnya serta menunjukkan pada masyarakat bahwa komunitas LGBT tidak sekedar manusia yang terhina tetapi memiliki kemampuan menjadi manusia yang unggul juga. Melalui aspirasi-aspirasi yang dituangkan www.gessang.org dalam website tersebut. Website ini bernama BAB V PENUTUP Hidup “sebagai LGBT” belum sepenuhnya dapat diterima sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat, meski sebenarnya “menjadi LGBT” adalah suatu proses historis yang dimulai dari masa kanak-kanak, remaja hingga seseorang benar-benar dapat mempresentasikan secara total perilakunya sebagai LGBT. Hal itu disebabkan dunia kehidupan LGBT khususnya kaum waria yang lebih banyak diidentikkan dengan dunia pelacuran. Bagian terbesar kaum waria yang bekerja di sektor pelacuran, setidaknya merupakan jawaban mengapa dunia waria dipandang negatif. Sementara melacur dalam dunia waria tidak sesederhana pandangan itu. Waria kebanyakan melacur karena mereka memang jarang yang memiliki skiil tinggi, dan banyak sektor pekerjaan yang tidak mau menerima mereka dengan identitas yang semacam itu. Maka dari itu diperlukan sebuah wadah yang bisa menampung mereka untuk membentuk dan mengasah skill (ketrampilan) terpendam mereka agar siap terjun di masyarakat nantinya, misalnya dengan membuat LPK (lembaga Pendidikan Kerja). Yayasan Gessang dan organisasi Waria di Surakarta (HIWASO) masih belum solid dalam mengkoordinasi komunitas LGBT yang tersebar di seluruh Solo mengakibatkan lemahnya kekuatan komunitas LGBT untuk membuat advokasi hak-haknya sendiri kepada masyarakat umum. Kecenderungan untuk takut dan kadang muncul sikap untuk acuh terhadap hak-hak mereka inilah yang menyebabkan keberadaan mereka belum bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. Mereka merasa lebih nyaman bila terus bersama kelompok atau komunitas mereka, padahal dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan sosialisasi seluas-luasnya untuk menunjukkan eksistensi mereka. Kita sebagai masyarakat umum, seharusnya juga bisa berpikir bijak dalam melihat fenomena LGBT itu. Kita melihat bahwa keberadaan LGBT adalah fakta sosial yang ada di sekeliling kita, menghargai dan tidak merendahkan mereka adalah satu cara mengharmonisasi kehidupan yang berdampingan itu. Melihat kecenderungan-kecenderungan tersebut, sebenarnya komunitas LGBT untuk membantu komunitas LGBT itu tidak memiliki suatu power atau kekuatan untuk melakukan tekanan/advokasi kepada pemilik otoritasnya, baik itu pemerintah, organisasi atau LSM yang ada, maupun kelompok lain yang ada di masyarakat. Mereka pada umumnya masih belum paham betul terhadap hak-hak dari komunitasnya tersebut. Harus ada pendampingan dari suatu lembaga-lembaga lain (LSM) untuk membantu kaum waria memperjelas hak-hak mereka. Untuk membantu komunitas LGBT memperjelas hak-haknya, maka diharapkan peran serta dari pemerintah, LSM, atau lembaga-lembaga lain yang saling berkaitan dan memiliki kepentingan serius terhadap komunitas LGBT. Selama komunitas LGBT masih menjadi komunitas yang tersisih, tanpa perhatian dari kita karena dianggap masih belum begitu penting, maka selama itu pula akan sulit membawa perubahan bagi komunitas LGBT. MENGHARGAI HAK-HAK KAUM MINORITAS. (Memberi Tempat Pada Kelompok LGBT) Drs. Argyo Demartoto M.Si LGBT ( Lesbian Gay Biseks dan Transgender), Mereka adalah fakta sosial yang ada dalam kehidupan ini. dari lahir mereka juga tidak ingin terlahir seperti itu. Waria misalnya, mereka secara fisik adalah laki-laki namun secara psikologis dan perasaan mereka menganggap diri mereka perempuan dan berdandan seperti layaknya perempuan juga. Keberadaan mereka sering menjadi kontroversi di masyarakat bahkan sering terjadi tindakan represif yang dilakukan oleh sebagian masyarakat. Maka dari itu mengubah persepsi masyarakat terhadap waria atau kelompok LGBT lainnya tentang kehidupan dan seksualitasnya merupakan sebuah beban yang tidak mudah. Diperlukan banyak kekuatan untuk mengadvokasi masyarakat dalam rangka merubah persepsi negativ masyarakat. Karena pada dasarnya wariapun juga manusia, yang memiliki hak-hak asasinya sebagai manusia, dan mempunyai skill (kemampuan) masing-masing Sebagai negara yang telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948 dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) melalui Undang-undang no.7 tahun 1984, Indonesia seharusnya melindungi hak asasi setiap warga negaranya tanpa memandang jenis kelamin, ras, suku, agama, dan orientasi seksualnya. Namun faktanya, banyak terjadi kekerasan dan diskriminasi yang dialami kelompok LGBT karena orientasi seksualnya yang dianggap menyimpang dari mainstream yang berada dalam masyarakat. Sebagaimana yang dialami perempuan, kelompok LGBT rentan mengalami kekerasan dan diskriminasi karena dianggap sebagai orang yang berdosa, sakit/abnormal. Kekerasan seksual adalah bentuk kekerasan yang jamak dialami oleh kelompok LGBT. Penelitian yang dilakukan oleh Ardhanary Institute dengan metode wawancara menemukan 9 dari 10 orang LBT yang diwawancarai mengalami kekerasan seksual baik berupa perkosaan maupun pemaksaan aktivitas seksual yang lain. Pelaku kekerasan mulai dari keluarga, aparat penegak hukum, maupun masyarakat umum. Kekerasan lain adalah kekerasan fisik berupa pemukulan, tamparan, diludahi. Kelompok LGBT juga mengalami kekerasan emosional, seperti penolakan dari keluarga yang diekspresikan dengan mengancam untuk menyembunyikan orientasi seksualnya, membatasi pergaulan, memaksa untuk "berobat" , bahkan sampai pada pengusiran. Dahulu media juga turut mendiskreditkan kalangan LGBT dengan membuat pemberitaan yang memojokkan LGBT dalam kasus pembunuhan berantai yang dilakukan Ryan. Lebih lanjut adanya diskriminasi yang dialami oleh kelompok LGBT, misalnya diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian, akses terhadap keadilan dan pengadilan, dan akses terhadap pendidikan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh kelompok LGBT agar mendapatkan pengakuan atas eksistensinya dan memperoleh hak asasinya sebagai manusia, sebagai warga negara Indonesia. Sebagaimana yang dilakukan Ardhanary Institute yang melakukan pengkajian isu seksualitas, melakukan advokasi terhadap LGBT yang mengalami kekerasan, dan berusaha untuk mensosialisasikan tentang wacana seksualitas yang cair sehingga dapat menerima kenyataan adanya perbedaan dalam hal seksualitas manusia. Tafsir agama yang rigid memang menjadi kendala utama dalam upaya kelompok LGBT untuk mendapatkan pengakuan atas keberadaan dirinya. Mengacu pada DUHAM dan CEDAW, hasil diskusi menyimpulkan bahwa terlepas dari pemahaman tentang dosa dan tidak berdosa, sebagai manusia, kelompok LGBT berhak untuk diakui keberadaannya. Pengakuan terhadap keberadaan LGBT membawa konsekuensi pada keharusan untuk memenuhi hak-hak LGBT sebagai manusia dan penghapusan terhadap segala bentuk diskriminasi dan kekerasan yang selama ini kerap dialami oleh kelompok ini. Kita sebagai masyarakat umum, seharusnya juga bisa berpikir bijak dalam melihat fenomena waria atau LGBT itu. Kita melihat bahwa keberadaan Waria dan LGBT adalah fakta sosial yang ada di sekeliling kita, menghargai dan tidak merendahkan mereka adalah satu cara mengharmonisasi kehidupan yang berdampingan itu. Menghargai dan memahami keberadaan mereka di masyarakat tidaklah suatu hal yang buruk. Banyak masyarakat yang berpikiran jika berdampingan dan sering berinteraksi mereka akan “tertular” menjadi LGBT, namun itu tergantung pada diri kita sendiri dalam menjaga diri kita. Karena tidak ada salahnya berteman dengan mereka, toh mereka juga manusia. #########