BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perempuan selama ini disebut sebagai kelas kedua di beberapa negara. Kebijakan, peraturan serta sistem sosial yang ada diyakini mengukuhkan pendapat tentang marjinalisasi perempuan. Perempuan dinilai tidak benar-benar mendapatkan haknya untuk memperkaya dirinya sendiri. Diantaranya dalam bidang pendidikan dan ekonomi. Perempuan dinilai bukan sebagai warga negara yang tidak perlu mendapatkan pendidikan mengingat ranah perempuan yang bersifat privat atau domestik. Laki-laki kemudian mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk akses terhadap pendidikan karena ranah laki-laki untuk menjadi pekerja produktif di sektor publik. Tidak berbeda jauh dengan pendidikan, di sektor ekonomi yang menjadikan perempuan sebagai warga negara yang bergantung pada laki-laki secara finansial. Ditambah dengan ketidakacuhan terhadap pekerjaan domestik perempuan yang dinilai bukan merupakan suatu pekerjaan produktif melainkan kodrat perempuan menjadikan eksploitasi perempuan semakin terasa. Kondisi sosial ini merupakan salah satu pembentuk wacana fmeinisme yang terjadi Indonesia. Untuk dapat merubah hal tersebut, diperlukan keterwakilan perempuan dalam kursi perumus kebijakan, termasuk dalam politik. Semenjak tahun 2004, Indonesia juga mewajibkan partai politik untuk memenuhi kuota pencalonan perempuan sebesar 30% bila parpol tersebut berkeinginan untuk mengikuti Pemilihan Umum (Pemilu). Apabila kuota parpol untuk perempuan kurang dari 30%, maka tidak dapat mengikuti Pemilu karena parpol dianggap gugur. Namun budaya patriarki yang kental di Indonesia, ditambah dengan dunia politik yang selama ini didominasi oleh laki-laki, membuat tidak banyak perempuan yang kemudian terjuan berpolitik. Padahal untuk dapat berpartisipasi secara aktif dalam praktik politik, salah satu langkah 1 yang dapat ditempuh perempuan adalah dengan menjadi salah satu kader partai politik (Abdul Karim, 2002:79). Perempuan yang aktif di politik, serta loyal terhadap partainya memiliki posisi tawar dalam politik. Di Indonesia, Megawati Soekarno Putri selain sebagai putri Presiden pertama juga dikenal sebagai figur politik dari PDI-P. Namun partai politik memang bukan hanya akses tunggal. Pengalaman di organisasi -terutama non profit dan birokrat, menjadikan poin penting bagi kandidat perempuan untuk melaju kedalam dunia politik Pada saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2015, partisipasi perempuan sebagai calon kepala daerah masih belum mampu mengungguli calon kepala daerah laki-laki. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat calon perempuan hanya ada 124 orang. Perbedaan yang jauh dengan calon laki-laki yang berada pada angka 1530 orang. Porsi perempuan dalam politik sebagai calon saat ini berada pada angka 15% saja (VivaNews, 2015). Salah satuny politisi perempuan yang mendapatkan perhatian adalah petahana Surabaya, Tri Rismaharini yang kembali maju sebagai calon walikota Surabaya periode kedua tahun 2015 (CNN Indonesia, 2015; TribunNews, 2015). Kepemimpinan Risma mampu menjadi fenomena serta inspirasi bagi siapa saja, terutama perempuan Indonesia. Pengamat politik dari Universitas Airlangga, Ucu Martanto menyatakan bahwa Risma telah berhasil memimpin Surabaya dan memengaruhi partai lain untuk mempertimbangkan penempatan kader perempuan dalam pemilihan kepala daerah di Surabaya. Risma tidak hanya menjadi inspirasi bagi perempuan saja tetapi juga dinilai sebagai simbol perjuangan perempuan masa kini (Metro TV News, 2015). masyarakat memberikan apresiasi Lima tahun menjabat posisi walikota, untuk permasalahan penataan kota, penghijauan, kesehatan serta pendidikan (Tempo, 2015). Kebijakan-kebijakan yang diambil Risma selama menjabat, ditambah dengan kepopuleran Risma membuat Risma menjadi seorang walikota yang dicintai oleh masyarakat Surabaya. Risma yang mampu bertahan di politik membuat istilah „Singa betina‟ diberikan kepada perempuan lulusan arsitektur ini (Merdeka, 2014). Kendati mendapatkan julukan sebagai seorang yang, ditambah 2 dengan watak keras Risma, kebijakan yang diambil Risma sebenarnya justru lebih berada pada jalur feminin. Penataan tata kota termasuk penambahan jumlah taman di Surabaya merupakan segi aestetik yang diharapkan melekat pada diri seorang perempuan. Tidak hanya itu, Risma merupakan seorang walikota yang menaruh perhatian lebih terhadap perempuan dan masalah sosial lain seperti pemberdayaan anak jalanan, dibanding terbelit dalam panasnya politik kota Surabaya (Tempo, 2015). Kebijakan paling kontroversial yang pernah diambil oleh Risma adalah penutupan lokalisasi Dolly. Puluhan tahun berada di Surabaya, red district tersebut akhirnya ditutup di masa pemerintahan Risma. Risma mengatakan, tujuan dari penutupan lokalisasi adalah guna menyelamatkan generasi muda supaya tidak terjerumus ke lembah yang kelam. Tidak hanya berhenti di dalam menutup lokalisasi, Risma kemudian memberdayakan dan membina para penghuni lokalisasi (Kompasiana, 2014) Pilkada 2015 lalu Risma berhasil menang telak dari kandidat pesaingnya, Rasiyo-Lucy. Kemenangan Risma di seluruh kecamatan di Surabaya ini menunjukkan basis massa Risma yang merata di Surabaya. Tidak hanya bagi pendukung laki-laki, tetapi juga perempuan. Bagi PDI-P sendiri perempuan memiliki arti penting dalam pemilu yang terlaksana kemarin karena menurut tim pemenangan Risma-Wisnu, salah satu tulang punggung pemenangan Risma- Whisnu adalah kekuatan pemilih perempuan (women voters) yang begitu solid mewujudkan demokrasi yang berkualitas tanpa politik uang (Metro TV News, 2015). Pemilih perempuan di Surabaya sendiri lebih banyak jika dibandingkan dengan pemilih laki-laki. Jumlah pemilih perempuan adalah 1.040.281 sedangkan pemilih laki-laki berjumlah 994.026 (Sindonews, 2015). Bahkan Organda wanita juga banyak yang berdiri dibarisan pendukung paslon nomor dua ini. Gabungan Organisasi Wanita atau GOW Kota Surabaya menyatakan dukungannya terhadap petahana yang diusung PDI-P tersebut. Risma bahkan dinyatakan sebagai figur perempuan dalam politik, yang saat ini sudah mulai langka. Risma dianggap sebagai sosok yang tegas tetapi juga lembut didalam meimimpin Surabaya. Tidak hanya perkara sosok, Risma juga dinilai 3 sebagai pemimpin yang telah terbukti memiliki jejak rekam yang baik dan juga peduli terhadap perempuan (Suara Surabaya, 2015) . Kemenangan Risma ini tidak terlepas dari pesan-pesan politik tersendiri baik ketika dalam sorotan media maupun pada masa kampanye politiknya tahun kemarin termasuk diantaranya Debat pilkada Surabaya juga menjadi debat yang paling ditunggu dimana Risma berhasil mengalahkan Rasiyo. Selama kampanye Pilkada tahun 2015 kemarin, Risma memiliki kesempatan selama tiga bulan untuk mengkampanyekan dirinya. Agenda kampanye yang telah ditetapkan bersamasama dengan KPU pun tidak hanya sosialisasi atau kampanye akbar, tetapi juga Debat Pasangan Calon yang disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi. Debat merupakan salah satu kampanye yang dapat menjangkau ragam lapisan masyarakat sekaligus. Ditambah dengan durasi debat yang lebih banyak dari iklan politik, dalam debat pilkada Surabaya yang juga disiarkan oleh stasiun TV Nasional, kesempatan Risma untuk menyampaikan pesan dan kesan mengenai kebijakan dirinya terbuka lebar. Melalui debat pilkada Surabaya pula, penelitian ini ingin mendalami lebih lanjut kebijakan yang diutarakan Risma melalui perspektif feminisme. Berdasarkan fakta yang disajikan dalam latar belakang, peneliti kemudian tertarik untuk mengkaji wacana debat Risma kala bertarung di arena politik yang sarat akan maskulinitas di tengah kemampuan Risma untuk menginsipirasi para pengagum feminisme. Di satu sisi Risma merupakan sosok yang dianggap keras namun mampu bertahan. Bahkan Huffington Post (2013) menulis bahwa Risma telah terbukti mampu untuk bertahan ditengah politik yang kaya akan intrik dan keras, menunjukkan dedikasi seorang pemimpin daerah. Namun disisi lain kepekaan terhadap feminisme menjadi penting guna mendulang suara guna kembali menjadi Walikota Surabaya. 1. 2 Rumusan Masalah Sorotan media terhadap Risma yang merupakan sesosok Ibu Walikota yang begitu dekat dan dicintai oleh rakyatnya, menjadikan sosok Risma sebagai seseorang yang kendati terkesan keras nyatanya mampu menjadi aspirasi bagi 4 kaum perempuan di Surabaya. Sehubungan dengan melekatnya ikon feminis pada diri Risma, sejauh mana Risma mampu merepresentasikan aspirasi perempuan melalui muatan feminisme yang terkandung dalam wacana yang diutarakan dalam debat Pilkada 2015? Lebih lanjut lagi, penelitian ini mempertanyakan bagaimana posisi Risma mengenai wacana feminisme terkait pendidikdan dan ekonomi, mengingat feminisme memiliki lebih dari satu aliran? 1. 3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui feminisme yang dimaknai oleh seorang pemimpin perempuan di Indonesia. Kultur Indonesia meyakini perempuan akan lebih mampu memperjuangkan nasib perempuan sebagai sesamanya. Mengingat kultur di Indonesia, faktor pengetahuan serta ragam aliran feminisme, tentu pemaknaan feminisme bagi seorang pemimpin perempuan dapat berbeda-beda. Untuk mengetahui makna feminisme tersebut, penelitian ini meneliti pesan politik dari pemimpin perempuan yang diproduksi selama debat Pilkada dan dikonsumsi oleh masyarakat. 1. 4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menyajikan sudut pandang feminisme dalam komunikasi dan kampanye politik. Penelitian ini juga diharapkan mampu membuka penelitian mengenai debat politik lebih dari sekedar telaah mengenai gerak-gerik kandidat tetapi juga kebijakan yang dicanangkan oleh kandidat ketika terpilih nanti. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat menjadi jembatan bagi penelitian lanjutan dalam topik serupa. 1. 5 Kerangka Pemikiran Kerangka pemikian dalam penelitian ini akan diawali debat pilkada yang merupakan salah satu bentuk kampanye politik. Dalam debat pilkada, salah satu hal yang dilihat adalah kebijakan kandidat. Dalam menyatakan kebijakan, tidak jarang politisi dipengaruhi oleh latar belakangnya. Dalam penelitian ini, pemimpin dengan jenis kelamin perempuan dilatar belakangi oleh kedudukan perempuan dalam politik yang dianggap marjinal. Pemarjinalan perempuan 5 membuat kemunculan gerakan feminisme dari dan untuk perempuan. Ditambah lagi bahwa politisi perempuan diyakini lebih memperjuangkan perempuan karena dipengaruhi oleh fakta bahwa perempuan adalah sesamanya sehingga kebijakan yang dikemukakan kandidat tidak terlepas dari koridor feminisme 1.5.1Debat dalam Kampanye Pilkada Luasnya studi mengenai komunikasi politik menyebabkan komponen yang terkandung dalam komunikasi politik beragam, dimulai dari komunikator politik, pesan, saluran penyampaian hingga komunikan. Salah satu pembuat pesan dalam komunikasi politik adalah seorang politisi (Subiakto dan Ida, 2012:24). Para politisi memiliki kemampuan untuk memengaruhi pendapat terhadap isu tertentu baik dengan cara menciptakan posisi tawar maupun mempertahankan tujuan mereka. Sedangkan pesan merupakan inti komunikasi politik (Subiakto dan Ida, 2012:49). Pesan-pesan ini disampaikan kepada khalayak politik yang aktif (Nimmo, 2000:19). Dalam melihat interaksi antara politisi dan masyarakat, dapat melalui saluran kampanye politik. Kampanye politik merupakan salah satu ajang manuver komunikasi politik seorang kandidat di dalam memperoleh suara sebanyak-banyaknya hingga mampu keluar menjadi pemenang dalam pemilihan umum (Firmanzah, 2012). Menurut Lilleker dan Negrine (2000) dalam Firmanzah (2012), kampanye politik merupakan periode yang diberikan oleh pihak penyelanggara pemilu kepada semua calon baik partai politik maupun calon perseorangan untuk mengkomunikasikan program kerja serta memberikan pengaruh terhadap publik agar memberikan suara kepada para calon. Di dalam kampanye politik, kontestan berupaya untuk menjaga komunikasi melalui interaksi dengan masyarakat yang didalamnya terdapat pesan yang ingin disampaikan seperti visi dan misi kandidat. Kampanye politik tidak semata-mata dimaknai dengan bentuk orasi di lapangan terbuka oleh kandidat. Pertemuan antara kandidat dengan kelompok-kelompok tertentu juga merupakan salah satu bentuk kampanye. Kampanye jenis ini dapat berlangsung dalam bentuk formal mapun informal seperti bincang bersama warga diselingi dengan acara 6 makan atau „coffee break‟ yang diyakini mampu meningkatkan interaksi yang terjalin antara kandidat dan pemilih. (Trent dan Friedenberg, 2008: 327). Diantara ragam kampanye, kampanye yang dimediasi oleh media memiliki keunggulan sendiri. Dengan juga melihat media sebagai salah satu alat untuk mencapai suara, kampanye yang berbasiskan media mampu menarik jumlah audiens yang lebih banyak dibandingkan jika harus melakukan retorik. Di Indonesia sendiri, selama masa Pilkada –baik level pemilihan Presiden atau jabatan eksekutif lain dibawah Presiden, yang menarik untuk diamati adalah adanya debat kandidat. Tidak hanya TV Lokal yang menyiarkan debat ini, TV Nasional bahkan turut menyiarkan secara langsung acara debat pilkada. Melalui debat-lah pesan-pesan politik yang ingin disampaikan ke khalayak ramai menjadi lebih efisien karena adanya medium yakni media. Pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh kandidat selama debat kampanye merupakan pernyataan yang memiliki fungsi untuk mencapai tujuan yakni memenangkan pemilihan (Benoit, 2014:9). Dalam debat, selain seni berbicara langsung kepada khalayak, terdapat unsur-unsur komunikasi lain yang patut ditelaah yakni interpretasi makna. Berbicara langsung kepada khalayak, terutama terkait dengan audiens dengan latar belakang tertentu. Setiap pilihan kata tentu memiliki makna. Namun makna yang kita hadirkan tersebut bukan secara acak atau sembarangan. Individu memiliki kecenderungan untuk menghadirkan makna berdasarkan budaya atau kondisi sosial yang diterima di masyarakat dimana kita berada (West dan Turner, 2008:96). Unsur komunikasi yang kuat dalam debat adalah seni berbicara langsung atau retorika yang diartikan Aristoteles sebagai alat-alat persuasi yang tersedia. Terdapat tiga ragam jenis retorika forensik yang berkaitan dengan keadaan dimana pembicara mendorong timbulnya rasa bersalah atau tidak bersalah pada khalayak, retorika epideiktik yaitu jenis retorika yang berkaitan dengan memuji atau menyalahkan dan terakhir adalah dan retorika deliberatif. Retorika yang terjadi dalam debat pilkada adalah retorika deliberatif. Retorika deliberatif didefinisikan sebagai bentuk retorika yang menentukan tindakan yang diambil 7 khalayak (West dan Turner, 2008:16). Retorika ini kendati tidak banyak dibicarakan dinilai mampu memberikan pengaruh ke masa depan karena mampu merubah tindakan khalayak. Pesan-pesan yang terkandung dalam retorika ini bersifat persuasif sehingga tindakan yang diambil oleh khalayak di kemudian hari merupakan hasil dari usaha-usaha pembicara (West dan Turner, 2008:18). Asumsi pertama dari teori ini adalah bahwa komunikasi merupakan proses transaksional.Dalam berbicara di depan publik, hubungan antara pembawa pesan dengan khalayak harus dipertimbangkan melalui proses analisis khalayak seperti evaluasi latar belakang khalayak. Proses analisis khalayak ini menjadi penting karena dengan mengetahui latar belakang khalayak maka isi pesan akan dibuat untuk mampu menyentuh khalayak tersebut. Menurut Aristoteles, bentuk persuasi dapat dikategorikan menjadi dua. Yang pertama adalah inartistic atau eksternal dimana bentuk persuasi jenis ini tidak diciptakan oleh pembicara. Sebagai contoh adalah testimoni serta dokumen yang mampu meyakini audiens tanpa pembicara harus melakukan apa-apa. Sedangkan bentuk persuasi yang kedua adalah persuasi yang dilakukan oleh pihak pembicara. Aristoteles menyatakan bentuk persuasi kedua ini sebagai asumsi kedua dari retorika. Asumsi kedua yang mendasari Aristoteles adalah ethos, pathos dan logos. Ketiga istilah ini merujuk pada apa yang dilakukan oleh pembicara di dalam pembuatan pesan. Ethos merujuk pada karakter, intelegensi dan niat baik yang dipersepsikan seorang pembicara. Kredibilitas, yang datang dari intelegensi serta karakter pembicara dapat dilihat audiens atau khalayak melalui pesan-pesan yang disampaikan Pembicara dengan rekam jejak terpercaya memiliki kecenderungan untuk lebih dipercayai oleh khalayak. Rekam jejak atau pengalaman kandidat menjadi penting untuk menentukan seberapa mampu pembicara memengaruhi khalayak. Tentu hanya pengalaman yang teruji dan terbukti oleh waktu yang mampu memengaruhi pilihan khalayak (Mulyana,2013:67). Berbeda dengan ethos, definisi logos merujuk pada bukti-bukti logis yang digunakan oleh pembicara. Sedangkan pathos merupakan bukti emosional dimana pembicara memunculkan atau menggugah emosi para khalayak. Dengan menggugah sisi emosional 8 audiens, diharapkan persuasi dapat terlaksana sehingga audiens dapat melakukan tindakan yang diharapkan oleh pembicara. Dalam debat politik, tentu selain berbicara mengenai isu yang telah ditetapkan, harapan yang dimiliki oleh politisi adalah agar audiens memilik mereka sebagai pemenang. Dalam setiap pemilihan, tentu yang menjadi penentu adalah suara dari pemilih. Pilihan-pilhan dari masyarakat ini biasanya didasarkan pada komparasi antara dua calon atau lebih. Pemilih akan lebih memberikan suara pada calon yang lebih mereka inginkan, baik dari segi karakter calon atau kebijakan yang akan dilaksanakan oleh calon (Benoit, 2014:10). Karena jumlah calon yang lebih dari satu pasangan,kandidat tentu diharapkan berbeda dengan kandidat lainnya (Benoit, 2014:11). Apabila antar kandidat tidak memiliki perbedaan antara satu dengan yang lain maka akan membuat pemilih semakin bingung di dalam memberikan suaranya. Berbeda disini bukan berarti asal beda namun tidak memiliki nilai. Tentu saja visi misi kandidat akan sama dalam beberapa hal seperti menyejahterakan rakyat miskin, menurunkan disparitas antar wilayah atau memperbaiki pendidikan di wilayah mereka. Meski demikian, kandidat baiknya memiliki cara-cara tersendiri didalam mencapai visi dan misi mereka. Ketika kandidat sudah yakin bahwa mereka memang berbeda dari kandidat pesaing, keyakinan tersebutlah yang harus disampaikan kepada khlayak. Meyakinkan kepada khalayak bahwa seorang kandidat itu berbeda –dan layak pilih bukan lah perkara yang mudah. Melalui debat kandidat, pesan tersebut biasanya disampaikan. Dalam sebuah kegiatan komunikasi, pesan membawa informasi dari seorang komunikator terhadap penerima pesan. Tidak hanya sekedar pesan, pesan tentu memiliki makna-makna tersendiri. Dalam komunikasi politik, peran dari pesan cukup signifikan. Sebuah pesan yang persuasif dinilai mampu memengaruhi khalayak. Akan menghasilkan efek yang lebih powerful apabila disampaikan oleh orang tertentu yang memiliki kesempatan untuk menjadi agen perubahan sosial. Penyampaian pidato atau dialog yang di tengah publik juga memberikan pengaruh terhadap perubahan sosial yang ingin dicapai, terutama apabila pesan 9 tersebut disampaikan oleh aktor yang menjadi kunci untuk sebuah perubahan sosial Pidato-pidato yang disampaikan oleh aktor kunci perubahan sosial mengartikulasi isu-isu utama yang penting di dalam merubah keadaan sosial. Selain itu, pidato mampu membingkai isu dan mempersuasi audiens untuk terlibat dalam proses perubahan sosial (Dutta, 2011:202). Tidak hanya itu, melalui pesan yang disampaikan dalam pidato atau pembicaraan di area publik, dapat mewujudkan perubahan agenda serta implementasi kebijakan. Sehingga, dengan adanya debat politik, kita akan melihat aktor kunci di dalam perubahan sosial. Terkait dengan penelitian ini, debat politik yang dilakoni Risma menempatkan Risma sebagai aktor kunci di dalam merubah wacanan feminisme di Indonesia, yang akan dijelaskan pada sub bab selanjutnya. Lalleter (2015) dalam Subiakto dan Ida (2014) menyatakan ada tiga elemen dasar dalam komunikasi. Elemen yang pertama adalah ideologi yang komunikatif dimana komunikator menyampaikan nilai-nilai atau ideologi. Elemen yang kedua adalah kualitas emosional yakni perasaan yang ada pada khalayak saat komunikasi terjadi. Elemen yang terakhir adalah inti argumentasi tindakan komunikasi tersebut. Berdasarkan tiga elemen yang telah disebutkan, pesan merupakan inti dari komunikasi yang mmeiliki kekuatan untuk menyampaikan nilai atau ideologi sang pembawa pesan. Tidak berhenti sampai disitu, pesan juga diharapkan mampu memberikan efek terhadap khalayak melalui banyak hal seperti cara membungkus pesan. Pettersib dan McClure (1976) dalam Benoit (2014 menyatakan bahwa Debat kandidat sendiri merupakan salah satu saluran penyampaian pesan politik yang penting karena biasanya debat ini juga disiarkan oleh stasiun televisi, atau radio sehingga mampu menjangkau khalayak yang lebih luas (Benoit, 2014:12). Tujuan utama dari debat memang untuk mendulang suara semaksimal mungkin agar kandidat mampu meraih kursi yang diinginkan. Namun dalam debat, ada tujuan-tujuan tersendiri untuk membantu tujuan utama kandidat dalam kampanye politik. Tujuan kandidat dalam debat adalah untuk membuat dirinya lebih diminati sekaligus menjatuhkan kandidat pesaing. Pesan-pesan yang tersampaikan dalam kampanye ini membantu kandidat untuk membentuk kesan yang berbeda dengan 10 kandidat-kandidat lainnya. Perbedaan yang ada mampu membuat kandidat menjadi lebih „preferable‟ bagi pemilih Dalam debat kampanye politik, ada tiga fase dimana kandidat dapat mengukuhkan diri mereka sebagai kandidat yang lebih disukai yakni klaim diri, menyerang dan bertahan (Benoit, 2014:13). Fase yang pertama adalah melalui klaim diri yang menitikberatkan pada keunggulan kandidat. Kandidat boleh saja menyanjung diri mereka sendiri baik berdasarkan karakter atau berdasarkan kebijakan yang akan mereka canangkan. Cara lain untuk membuat kandidat pesaing „jatuh‟ adalah dengan menyerang atau mengkritik kandidat pesaing. Namun demikian, Merrit (1984) dan Stewart (1975) dalam Benoit menyatakan bahwa pemilih tidak menyukai tipikal penyerangan terhadap kandidat lawan. Atas dasar hal tersebut, beberapa kandidat memilih untuk tidak menyerang lawan secara berlebihan karena tidak mendatangkan simpati dari pemilih. Fungsi terakhir debat adalah untuk membela diri. Ketika seorang kandidat diserang maka kesempatan untuk membela diri merupakan kesempatan terbaik untuk mempertahankan proyeksi kandidat di mata publik. Pembelaan diri yang baik akan mencegah serangan selanjutnya terhadap seorang kandidat (Benoit, 2014:15). Selain itu, melalui pembelaan diri-lah tingkat preferabilitias kandidat lebih mungkin untuk dikukuhkan. Secara umum, Benoit (2014) menyatakan bahwa Wacana mengenai kampanye politik pada umumnya akan terpusat pada dua kategori yakni mengenai karakter dan kebijakan dari kandidat (Benoit, 2014:19). Penelitian ini akan lebih menekankan pada poin pertama yakni Kebijakan Kandidat. Kebijakan menyangkut apa yang akan kandidat laksanakan sedangkan karakter menitikberatkan pada siapa sesungguhnya kandidat tersebut. Menurut Benoit (2014) kandidat yang lebih banyak berbicara mengenai kebijakan lebih memiliki kesempatan untuk memenangkan pemilihan dibandingkan kandidat pesaing. Kebijakan pada kandidat dipengaruhi oleh posisi kandidat di dalam Dalam penelitian ini, kebijakan kandidat yang berjenis kelamin perempuan akan sedikit banyak dipengaruhi oleh posisi perempuan dalam politik. Pemaparan mengenai 11 perempuan dan politik akan di bagi menjadi dua sub judul yakni Perempuan dan Politik serta Perspektif Feminisme dalam Politik dan Kebijakan. 1.5.2 Perempuan dan Politik Dalam kampanye politik, penyampaian pesan bukan hanya pesan untuk memilih kandidat tetapi juga penyampaian isu-isu yang menjadi prioritas kandidat. Isu yang disampaikan oleh kandidat ini dapat dipengaruhi oleh latar belakang kandidat ketika mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Perempuan seringkali dianggap sebagai lapisan masyarakat yang sebaiknya berada diluar isuisu kepublikan. Ranah perempuan seringkali hanya sebatas di dapur, atau lebih luas lagi, di rumah saja. Di Indonesia sendiri muncul istilah bahwa perempuan merupakan „kanca wingking‟ atau seseorang yang menempati posisi „dibelakang‟. Hal ini menandakan adanya pengkotak-kotakan terhadap tempat dimana seharusnya bernaung. Fenomena pengkotak-kotakan perempuan ini tidak hanya terjadi di satu atau dua negara saja melainkan sebuah fenomena yang telah mendunia. Perempuan telah diperlakukan tidak adil dalam beragam aspek seperti hukum, ekonomi dan politik (Riemer et al, 2001:96). Menurut Gruberg (1999) dalam Vogel (2011) perempuan seringkali absen dalam riset terutama riset-riset yang berkaitan dengan ranah publik, terutama politik. Seringkali perempuan tidak menjadi subyek kajian riset. Absennya perempuan dalam kajian politik karena masih adanya anggapan bahwa perempuan merupakan kaum marjinal. Sehingga peran perempuan dalam kajian politik menjadi tidak penting untuk dikaji. Politik selama ini seringkali dikaitkan dengan dunia laki-laki (Subiakto dan Ida, 2012:182). Politik yang keras dan sarat akan intrik menjadi dunia yang seakan tidak diminati oleh perempuan. Politik berada di luar wilayah kekuasaan perempuan kaerna politik adalah wilayah yang korup dan sarat akan kekotoran (Burrel, 2001:14). Ditambah dengan adanya kultur bahwa perempuan baiknya mengurusi ranah domestik, bukan politik, semakin membuat perempuan terkesan enggan untuk turut berpartisipasi. Berbeda dengan laki-laki yang ditakdirkan untuk menjadi aktor dominan dalam dunia politik (Burrel, 2001:14; Sabonmatsu, 2003:576). 12 Di Indonesia, kita tumbuh dengan kultur yang nyaris sejalan dengan unsur keagamaan. Negara Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk memeluk agama islam, sehingga dari segi kultural kita selalu ditanamkan dengan porsi perempuan yang lekat dengan feminitas dan laki-laki yang maskulin. Tempat para perempuan hanyalah di rumah, melayani suami. Tanpa kita sadari, masih banyak masyarakat yang terjebak dalam pemikiran tersebut. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Wood (1993) dalam Griffin bahwa pengetahuan terbentuk dari apa yang kita tahu tentang diri kita, sekitar kita dan masyarakat bergantung pada di masyarakat mana kita tinggal. Terlanjur memahami bahwa politik yang maskulin hanya layak dihuni oleh laki-laki, tidak banyak perempuan yang kemudian terjun menjadi politisi. Pembagian ranah ini didasarkan oleh adanya karakteristik yang melekat baik pada laki-laki maupun perempuan berdasarkan harapan masyarakat terhadap mereka. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki ekspektasi sosial dan kultural dalam masyarakat. Dengan memposisikan diri mereka memiliki sifat yang kelakikelakian maka dapat dinyatakan bahwa gaya mereka adalah maskulin (Coe et al, 2007:32). Sedangkan perempuan adalah sebaliknya. Perempuan dinilai memiliki karakter atau gaya feminin. Tidak mengkotak-kotakan bahwa antara pembicara dan audiens memiliki level yang berbeda merupakan karakter yang feminin. Selain itu, gaya yang feminin lebih banyak melibatkan partisipasi audiens yang diharapkan mampu membuat audiens merasa sebagai bagian dari sang pembawa pesan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan menginginkan adanya hubungan dengan sesamanya (Tannen dalam Griffin, 443). Gaya yang feminin ini berbeda dengan gaya maskulin dimana kandidat dengan gaya maskulin lebih menonjolkan kontrol serta status (Banwart dan McKinney,2005:354). Karakter feminin menyukai peran mereka untuk memberdayakan komunitas atau keterikatan mereka dengan komunitas tertentu. Perempuan menyukai berbicara tidak hanya kepiawaian dirinya tetap juga piawainya orang lain (Tannen dalam Griffin, :439). Selama ini, laki-laki telah lama melekat dengan sifat maskulinitas-nya sehingga diasosiasikan dengan karakteristik tertentu dengan rasional, teredukasi, agresif, berpengalaman, ahli, ambisius, kompetitif dan menyukai kekuasaan (Manning dan Short-Thompson, 2009:254). Selain itu, maskulinitas berkonotasi 13 dengan kekuatan, kontrol dan penguasaan, karakteristik yang dekat dengan kepemimpinan (Achter,2009:109 ). Hal ini merupakan isyarat bahwa politik adalah dunia yang kotor dan hanya berfokus pada kekuasaan semata. Politik yang keras dan sarat akan intrik menjadi dunia yang seakan tidak diminati oleh perempuan. Politik berada di luar wilayah kekuasaan perempuan kaerna politik adalah wilayah yang korup dan sarat akan kekotoran (Burrel, 2001:14). Berkebalikan dengan laki-laki dengan karakter maskulin, perempuan diasosiasikan dengan feminitas yang diidentifikasikan dengan penampilan, kasih sayang, compassion, fokus terhadap keluarga serta ketiadaan „assertiveness‟. Dow dan Tonn dalam Reiser (2009) menyatakan bahwa kendati jaman telah berubah, ekspektasi peran sosial yang ditujukan terhadap perempuan tidak berubah. Hingga saat ini, baik dalam kehidupan masyarakat maupun kehidupan politik, tidak sedikit perempuan yang berupaya untuk keluar dari stigma yang terlanjur melekat, terutama di negara yang secara kultural menempatkan posisi perempuan untuk berada di ranah domestik (Riemer et al, 2011:96). Adanya dikotomi ini menyebabkan kemunculan aktivitas politik yang yang concern terhadap perempuan menimbulkan munculnya ideologi yang disebut feminisme. Upaya untuk memperjuangkan perempuan ini dilakukan oleh pihak yang juga merasakan pahitnya menjadi seorang perempuan di tengah kehidupan yang maskulin, yaitu perempuan itu sendiri. Perempuan, bertindak sebagai representasi perempuan dan aspirasi perempuan dengan adanya harapan perubahan sosial mengenai feminisme. Ada banyak cara untuk merubah keadaan sosial yang ada dan salah satunya melalui „tangan‟ politisi perempuan sebagai agen. Politisi perempuan tak ubahnya sebagai agen perubahan di dalam wacana feminisme di Indonesia. Pesan-pesan politik yang vital seringkali disampaikan oleh politisi perempuan untuk memulai proses perubahan terutama di sektor kebijakan (Dutta, 2011:202). Politisi perempuan yang lekat dengan proses pengambilan keputusan kebijakan diharapkan mampu merubah agenda kebijakan agar bermuatan feminisme. 14 1.5.3 Perskpektif Feminisme dalam Kebijakan Dalam beberapa kebijakan, feminisme memiliki pandangan tersendiri. Namun pada dasarnya, Feminisme adalah tentang perempuan. Apabila demokrasi dari dan untuk rakyat maka feminisime adalah dari dan untuk perempuan (Hekman, 2000:13). Kendati berakar dari ide yang sama mengenai ketimpangan antara perempuan dan laki-laki, terminologi feminisme sendiri masih mengalami perdebatan karena terdiri dari ragam perspektif seperti Liberal, Radikal, Sosialis, Postmodernisme hingga Ecofeminisme. Namun tiga aliran utama dalam feminisme ini adalah Feminisme liberal, sosialis-marxis serta radikal. Perbedaan paham feminisme ini tidak hanya mengenai prioritas politik tetapi juga tujuantujuan paham feminisme tersebut. Feminisme Liberal Gelombang pertama feminisme lekat dengan kemunculan feminisme liberal. Feminisme gelombang pertama merupakan inspirasi dari gelombang kedua dan ketiga feminisme. Fokus dari gelombang pertama adalah kesempatan serta akses yang merata tidak hanya untuk laki-laki tetapi juga perempuan (Krolokke dan Sorensen, 2006:4) Tidak berhenti sampai akses semata, gelombang pertama juga meminta perempuan untuk dilihat sebagai makhluk yang memiliki kompetensi yang setara dengan laki-laki (Krolokke dan Sorensen, 2006:6) Sehingga diskriminasi yang mentasnamakan perbedaan jenis kelamin atau perbedaan bilogis semata, tidak dapat diterima oleh pemikiran gelombang pertama feminisme. Feminisme liberal dipelopori oleh Wollstonecraft dalam bukunya yang berjudul The Vindication of the Women’s Right. Wollstonecraft melihat bahwa setiap manusia memiliki keunikan yakni adanya rasionalitas dalam diri mereka, baik pada laki-laki maupun perempuan (Tong, 2014). Wollstonecraft mengemukakan pemikirannya didasari ketidaksetujuan terhadap Rosseau yang melihat bahwa rasionalitas merupakan tujuan pendidikan yang diperuntukkan untuk laki-laki, bukan perempuan. Subordinasi yang terjadi pada perempuan karena ada suatu sekumpulan budaya dan hukum yang membatasi akses dan sukses perempuan di sektor publik. Praktik budaya yang meyakini bahwa 15 perempuan tidak lebih baik daripada laki-laki dalam hal rasionalitas dan kekuatan merupakan salah satu praktik budaya yang melanggengkan budaya patriarki. Wollstonecraft juga melihat bahwa perempuan merupakan aktor pembuat keputusan bagi diri mereka sendiri. Karakteristik rasionalitas ini dibutuhkan bagi inndividu didalam memimpin dan mengambil keputusan. Pengambilan keputusan dapat dikategorikan sebagai tindakan yang efektif apabila memenuhi empat indikator yakni rasionalitas, logis, realistis sert pragmatis (Siagian dalam Murniati, 2004: 57). Rasionalitas dan logis merupakan ciri maskulin, pragmatsi dan realistis merupakan ciri yang feminin. Dengan melihat bahwa rasionalitas hanya milik laki-laki maka perempuan dianggap tidak layak menjadi pimpinan. Padahal Penelitian menunjukkan bahwa pemimpin yang efektif adalah mereka yang mmpu menggabungkan pendekatan rasional dan logis dengan pendekatan intuitif. Sifat intuitif hampir dimiliki oleh semua perempuan (Murniati, 2004:59). Kesetaraan dan „sameness‟ inilah yang diperjuangkan oleh pemikir feminis di gelombang pertama. Tujuan jangka panjang bagi feminis di bawah naungan ideologi liberalisme adalah untuk memberdayakan perempuan untuk mengambil posisi dalam masyarakat di era terbuka ini melalui autonomi perempuan. Sedangkan dalam jangka pendeknya, adalah untuk de-gender atau memfeminisasi ranah publik tetapi tetap menjaga ranah privat. Pemikir femnis liberal percaya bahwa kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang sama merupakan tonggak bagi perempuan untuk mencapai kesetaraan politis serta agar dapat masuk ke ranah lain seperti ekonomi (Arnott dan Dillabough, 2006). Seperti yang dipaparkan sebelumnya, dalam tiap ideologi feminisme tidak hanya terdiri dari satu tokoh atau pemikir saja, termasuk feminisme liberal. Wollstonecraft bukanlah satu-satunya penyumbang pemikiran feminisme gelombang awal ini. Tokoh lain yang menyerukan gagasannya adalah Betty Friedan. Betty Friedan mennyerukan gagasannya yang tertuang dalam buku The Feminine Mystique dan kemudian buku The Second Stage. Namun ada perbedaan pandangan yang cukup signifikan yang diberikan oleh Friedan. Pada buku The Second Stage, Betty Friedan menggeser feminisme dari sekedar isu perempuan menjadi isu yang lebih humanis. 16 Berbeda dengan Wollstonecraft yang melihat bahwa perempuan berada pada kedudukan yang sama dengan laki-laki sehingga perempuan jika ingin tampil di publik sebaiknya merangkul karakter maskulin, Frieden melihat bahwa tidak ada salahnya perempuan merangkul feminitas mereka. Politik tidak hanya dapat dijalankan oleh mereka yang maskulin, feminitas juga dibutuhkan dalam politik (Tong, 2014:31). Apabila aliran feminisme liberal di tahun 1960an melihat bahwa perempuan memiliki „kesamaan‟ dengan laki-laki sehingga karakteristik yang melekat juga seyogyanya sama, maka Frieden melihat bahwa perempuan memang berbeda dengan laki-laki. Ada karakteristik-karakteristik perempuan yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Begitu pun sebaliknya. Atau sebagaimana yang disebut Frieden sebagai beta syle (sifat-sifat yang melekat pada diri seorang perempuan) serta alpha style (sifat-sifat yang melekat pada diri seorang laki-laki). Tidak hanya itu, kecenderungan isu yang diangkat oleh perempuan ketika berada dalam pusaran politik. Thomas (1994) dalam Orborn (2010) mengemukakan bahwa perempuan dalam kursi legislatif lebih memprioritasikan isu-isu perempuan atau kebijakan yang berkenaan dengan perempuan, anak-anak, keluarga. Hal ini sesuai dengan ekspekstasi kultural dan sosial mereka dalam masyarakat. Sedangkan laki-laki dipandang lebih layak untuk menangani isu-isu yang lebih maskulin seperti ekonomi, luar negeri dan politik. Isu-isu yang cenderung ditangani oleh laki-laki ini merupakan isu-isu yang berada pada ranah „isu maskulin‟ seperti militer, politik, ketahanan, serta ekonomi. Hal ini berkebalikan dengan isu yang biasanya ditangani oleh politisi perempuan. Isu feminin adalah isu yang berkenaan dengan ekspektasi kultural mereka untuk bertingkah feminin. Ekspektasi bagi perempuan adalah bertingkah feminin diantaranya perempuan diharapkan penuh kasih sayang, suka merawat sekitarnya, mengagumi keindahan. Atas dasar ekspektasi tersebut, isu-isu yang feminin berkisar pada isu-isu yang lekat dengan perempuan serta isu tradisional seperti keluarga, atau isu-isu yang melibatkan rasa „compassion‟ seperti pendidikan, pemberdayaan kaum miskin, kesehatan, masyarakat lanjut usia. Selain itu perempuan dinilai lebih feminist dan liberal dalam orientasi kebijakan mereka (Clark, Staehli dan Brunell, 1995: 212). 17 Dalam hal memperjuangkan perempuan, feminis liberal dikenal lebih banyak memberikan sumbangsih dibandingkan jenis feminisme lain melalui program-program pengentasan kemiskinan, pusat kajian perempuan, perubahan perundang-undangan serta program lain yang diyakini mampu memberdayakan perempuan (Nugroho, 2008:66). Meski demikian, Feminisme liberal juga tidak terlepas dari kritik mengingat feminisme yang muncul pada abad pencerahan ini digagas oleh perempuan yang terlahir sebagai kulit putih dengan tingkat kemapanan yang memadai sehingga seringkali melupakan perempuan kulit berwarna yang terkukung dalam kemiskinan. Feminisme Sosialis-Marxis Feminisme sosialis ini sering disamakan dengan feminisme marxis. Baik feminisme marxis maupun sosialis memang berakar dari pemikiran Kar Marx yang menganggap bahwa kekerasan atau penindasan terhadap perempuan berasal dari sistem patriarki yang merupakan produk bentukan kapitalis. Dalam menilai permasalahan sosial, feminisme sosialis dan marxis berakar dari adanya sistem kelas dalam masyarakat sebagai faktor pendorong. Apabila feminis liberal menganggap bahwa menjadi pekerja dalam sektor informal adalah sebuah kebebasan yang diambil tiap individu, maka feminis sosialis-marxis menganggap bahwa pilihan untuk menjadi pekerja sektor informal adalah sebuah paksaan (Tong, 2010). Dalam pandangan feminis sosialis-marxis, perempuan selama ini terasingkan dari konteks sosial ekonomi. Sebagai akibatnya, segala upaya untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan menjadi sulit diupayakan tanpa adanya perubahan konteks sosial ekonomi dari perempuan itu sendiri (Bryson, 1992:232). Berakar pada permasalahan kelas tidak cukup didalam memahami ketimpangan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan. Selain kapitalisme, feminis sosialis meyakini ideologi patriarki memiliki keterkaitan dengan kapitalisme (Tong, 2014:114). Namun hubungan kapitalisme dengan ideologi patriarki ini tidak selalu berjalan harmoni. Menurut salah satu pemikir feminis sosialis, Heidi Hartmann, kepentingan yang dibawa oleh kapitalisme berbeda dengan kepentingan yang dibawa oleh ideologi patriarki. Hartmann (dalam Tong) memberikan contoh 18 bagaimana kaum proletar laki-laki menginginkan istri/perempuan [proletar] mereka untuk tidak bekerja karena hakikat perempuan adalah melayani suami. Sedangkan kaum borjuis laki-laki, berdasarkan kepentingan kapitalisnya, justru menginginkan perempuan proletar untuk bekerja demi keuntungan. Perbedaan ini yang menambah kompleksitas hubungan ideologi patriarki dan kapitalisme. Feminis sosialis berpendapat bahwa baik kapitalisme dan ideologi patriarki masing-masing memiliki peran untuk menindas perempuan. Apabila kapitalisme menindas perempuan sebagai pekerja, maka ideologi patriarki menindas perempuan sebagai perempuan itu sendiri (Tong, 2014:110). Ketika feminis marxis merasa bahwa perempuan menjadi terasing dari dunia karena posisi mereka sebagai kelas pekerja, feminis sosialis merasa tanpa harus menjadi seorang dari kelas pekerja, perempuan telah terasing terutama dalam hal intelektualitas, seksualitas serta motherhood. (Tong, 2014:110) Persamaan antara feminisme sosialis/marxis dengan liberalisme adalah menginginkan adanya hak serta kesempatan yang setara yang berhak didapatkan oleh tiap individu tanpa perbedaan jenis kelamin (Bryson, 1999: 17) Namunbaik sosialis maupun marxis menitikberatkan pada hak ekonomi dan sosial serta kebebasan dari belenggu eksploitasi dengan memprioritasskan kelas pekerja (18) Feminisme marxis menyadari bahwa independensi ekonomi perempuan saja tidak cukup untuk membawa perempuan terbebas dari penindasan. Justru dengan menekankan pada independensi ekonomi saja, perempuan akan mengalami peran ganda. Perempuan yang tadinya 'hanya' bertugas sebagai pengurus rumah tangga, maka perempuan juga bekerja. Pekerjaan yang diambil perempuan diharapkan tidak mengganggu peran perempuan sebagai pengurus rumah tangga. Adanya peran ganda ini disebabkan oleh minimnya sosialisasi bahwa urusan rumah tangga bukan hanya tugas perempuan saja (Tong, 2010:105) Tidak hanya peran ganda di masyarakat, dalam politik pun perempuan juga dihadapkan dengan standar ganda yang mengukung mereka. Di satu sisi perempuan diminta untuk mampu menjadi penopang disegala aspek namun di sisi lain diharapkan untuk tidak melupakan kodratnya sebagai perempuan. Curnalia 19 dan Mermer (2014) menyebutkan bahkan perempuan sejatinya mengalami lima jenis double bind di dalam ranah politik. Yang pertama adalah perempuan lebih banyak disinggung mengenai tubuh dibandingkan dengan isi kepalanya; Perempuan dapat berbicara di depan publik lantas dipermalukan atau diam saja dan tidak dianggap keberadaannya; Perempuan merupakan subordinat; Feminitas dipandang sebagai sifat yang tidak kompeten dan menjadi kompeten berarti melepas feminitasnya; Perempuan yang telah berusia dianggap kurang bernilai sementara laki-laki sebaliknya Feminisme sosialis-marxis juga tidak lepas dari kritik yang ditujukan terhadapnya. Meyakini bahwa budaya patriarki adalah produk kapitalisme, tidak ada perubahan status perempuan yang cukup signifikan dibawah paham sosialisme atau marxisme. Kendati tidak menerapkan prinsip ekonomi yang liberal, ketimpangan terhada perempuan masih dapat ditemukan di negara yang komunis. Dalam revolusi komunis yang berlangsung pada thaun 1917, perempuan mendapatkan kebebasan untuk turut berpartisipasi dalam lingkungan kerja dengan harapan independensi ekonomi akan membawa perempuan ke tahap liberasi seutuhnya sebagai manusia (Tong, 2014:104) Namun pada kenyataannya, tidak sedikit perempuan pekerja di jaman tersebut yang mengalami ketimpangan seperti perihal segrerasi jenis pekerjaan, upah buruh yang tidak imbang serta perlakuan terhadap pekerja perempuan. (Tong, 2010:105). Selain itu, kritik yang ditujukan terhadap feminisme sosialis-marxist tidak jauh berbeda dengan liberal. Kendati telah memperhatikan penderitaan perempuan miskin, feminis sosialis marxis gagal untuk memperhatikan nasib perempuan berkulit berwarna (Bryson, 1992:254). Feminisme Radikal Feminisme radikal lebih menitikberatkan pada isu reproduksi atau biologis laki-laki dan perempuan. Feminisme radikal terbagi atas dua yaitu Radikal Libertarian serta Radikal Kultural. Kendati berakar dari aliran feminisme yang sama, keduanya menunjukkan preferensi yang berbeda mengenai isu tertentu. Perbedaan pertama mengenai traits yang melekat pada perempuan. Apabila Radikal Libertarian percaya bahwa perempuan sebaiknya memiliki sifat maskulin 20 dan feminin, maka Radikal Kultural berpendapat bahwa perempuan sebaiknya hanya memiliki sifat yang feminin. Perempuan, menurut Radikal Kultural, tidak seharusnya mencoba untuk menjadi seorang laki-laki. DIberikan sifat yang feminin, perempuan harusnya mengukuhkan sifat tersebut (Tong, 2014:52). Sifat feminin dinilai sebagai sifat yang sudah sepatutnya diapresiasi sehingga Radikal Kultural tidak memahami mengapa perempuan juga ingin bersifat maskulin. Bahkan bagi beberapa aliran Radikal Kultural, perempuan memiliki kedudukan diatas laki-laki. Pandangan ini berbeda dari feminisme liberal yang menginginkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam pandangannnya mengenai gender, Radikal Kultural percaya bahwa stratifikasi yang menempatkan laki-laki diatas perempuan menyebabkan stratifikasi dalam kelas. Sistem yang patriarki ini menempatkan perempuan dikuasai oleh laki-laki karena keinginan laki-laki (Tong, 2014:58). Radikal Libertarian, menilai bahwa perempuan juga diperbolehkan memiliki sifat maskulin, bukan sifat feminin saja. Menurut aliran ini, musuh utama perempuan bukanlah laki-laki tetapi sistem patriarki yang dihasilkan dari keistimewaan laki-laki selama bertahun-tahun (Tong, 2015:72). Menurut Radikal Libertarian, yang menjadi pokok permasalahan adalah kontrol laki-laki di dalam ranah publik dan privat. Sehingga agar perempuan dapat sepenuhnya 'bebas', kontrol laki-laki harus dielimnasi. Akan tetapi, menghilangkan kontrol laki-laki dalam sistem bukan perkara yang mudah karena bagi Radikal Libertarian, bahkan status sosial, peran laki-laki dan perempuan, adalah contoh kontrol laki-laki yang dikonstruksikan dibawah sistem patriarki (Tong, 2014:54). Sistem patriarki merupakan sebuah sistem yang menitikberatkan pada perbedaan bilogis laki-laki dan perempuan. Perbedaan yang ditekankan berisi bahwa laki-laki lebih kuat daripada perempuan sehingga peran laki-laki selalu dominan sedangkan perempuan bersifat feminin dan subordinate. Ideologi ini bahkan sampai sekarang masih dapat kita rasakan karena ideologi patriarki begitu kuat dan perpanjangan ideologi patriarki dilaksanakan melalui institusi-institusi seperti rumah ibadah, sekolah serta keluarga. 21 Dalam permasalahan ekonomi, Feminisme radikal melihat perempuan sebagai makhluk yang dieksploitasi sebagai perempuan. Dieskploitasi tidak hanya dimaknai secara fisik seperti pekerja seks komersial. Sifat-sifat yang mengandung keperempuanan juga turut dieksploitasi dilihat dari kacamata ekonomi. Sebagai contoh adalah pengurus rumah tangga yang identik dengan perempuan. Pandangan radikal feminisme ini berbanding terbalik dengan feminisme liberal yang dikritik karena tidak mempedulikan nasib perempuan pekerja domestik atau PRT. Sifat-sifat feminin yang selama ini melekat pada perempuan dengan sengaja disalahgunakan untuk membuat perempuan tetap bergantung pada laki-laki. Dengan meletakkan perempuan tetap pada ranah privat memaksa perempuan menjadi pelayan bagi laki-laki untuk memenuhi kebutuhan domestik bahkan seksual. Untuk mengatasu ketergantungan tersebut, pemikir feminisme menyarankan perempuan untuk dapat memiliki otonomi dalam hal ekonomi. Meski demikian, feminis radikal merasa bahwa partisipasi dalam bidang ekonomi tidak semata-mata menjadikan perempuan merdeka dari terkuncinya mereka di ranah privat. Partisipasi ekonomi memang membuat perempuan menjadi berpenghasilan tetapi patriarki tidak akan berakhir hanya karena hal tersebut. (Bryson, 1992:197) 1. 6 Kerangka Konsep Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis kemudian membuat kerangka konsep yang terangkum dalam debat pilkada sebagai berikut; 22 Debat Pilkada Surabaya 2015 Wacana Feminisme Perempuan dan Pendidikan Politisi perempuan sebagai agen perubahan sosial Perempuan dan Ekonomi Gambar 1. Kerangka Konsep Berdasarkan Kerangka pemikiran yang ada pada poin sebelumnya, konsep-konsep yang akan dijelaskan dalam penelitian ini adalah 1. Debat Pilkada Debat Pilkada merupakan salah satu bentuk kampanye pilkada yang disahkan oleh KPU. Debat Pilkada diselenggarakan oleh KPU serta bekerjasama dengan media guna menyiarkan debat kepada publik. Selama masa kampanye, debat diselenggarakan paling banyak 3 (tiga) kali oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, dalam hal ini waktu pelaksanaan dikoordinasikan bersama tim kampanye masing-masing pasangan calon. Dalam proses penetapan tema serta Moderator KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota berkoordinasi dan mendapat persetujuan dari setiap tim kampanye pasangan calon (KPU, 2015). 2. Wacana Feminisme Perempuan merupakan individu yang tidak memiliki tempat dalam politik. Pandangan ini dikarenakan oleh beberapa hal diantaranya politik yang dinilai maskulin sehingga tidak cocok bagi perempuan dan perempuan yang dianggap memiliki kedudukan lebih rendah dari laki-laki sehingga tidak berhak mengambil keputusan atau bahkan pemimpin. 23 Kedudukan perempuan yang menjadi kelas kedua menjadikan kemunculan wacana feminisme dimanaperempuan berupaya untuk menghapus stigma tersebut dan memperjuangkan hak-hak perempuan di dalam negara. Wacana yang memuat konseptual feminisme dalam debat pilkada dapat dilihat dari pesan kandidat ketika berbicara mengenai kebijakan. Kebijakan dapat dibagi menjadi tiga yakni past deeds yang menitikberatkan pada jejak rekam kandidat pada masa sebelum pencalonan termasuk kegagalan serta keberhasilan yang telah dirah; future plans, yang berisis rancangan spesifik mengenai kebijakan yang akan dilaksanakan ketika terpilih nanti serta; general goals atau kebijakan secara umum yang akan dilakukan. Kebijakan untuk menurunkan pengangguran, mengurangi disparitas wilayah, tanpa menyebutkan rencana spesifik bagaimana mencapai tujuan tersebut adalah general goals, bukan future plans. Kebijakan yang menjadi wacana dalam debat adalah kebijakan mengenai Kesejahteraan, NKRI serta wacana Pembangunan. Kendati berada pada tiga area yang berbeda, argumen dasar untuk menjawab permasalahan yang ada dalam Kesejahteraan, NKRI serta Pembangunan berpusat pada masalah Pendidikan dan Ekonomi, sebagaimana yang diungkapkan Risma dalam Debat Pilkada. Kendati terdapat beragam aliran feminisme serta tujuannya yang turut beragam, feminisme berangkat dari kesadaran bahwa posisi perempuan mengalami penindasan di dalam negara. Penindasan tidak hanya secara fisik tetapi juga tindakan meremehkan peran dan kemampuan perempuan. Serta pembatasan terhadap gerak-gerik dan wilayah perempuan. Ada banyak hal yang diupayakan untuk disetarakan diantaranya wilayah Pendidikan dan Ekonomi. Walaupun satu tujuan untuk menyetarakan perempuan dalam pendidikan dan ekonomi, masingmasing aliran feminisme memiliki perspektif yang berbeda di dalam memandang persoalan tersebut. 24 3. Perempuan dan Pendidikan Kemunculan awal wacana mengenai feminisme mengungkap fakta bahwa banyak yang meyakini perempuan tidak memiliki kapabilitas yang sama dengan laki-laki. Rasionalitas perempuan dianggap tidak lebih tinggi daripada laki-laki sehingga jarang perempuan yang mampu menunjukkan kemampuan dirinya di hadapan publik. Ditambah dengan adanya konstruksi bahwa ranah perempuan adalah domestik, semakin menambah kemantapan untuk tidak memberdayakan perempuan. Salah satunya di sektor pendidikan. Perempuan, dengan harapan kelak akan menjadi seorang istri yang pekerjaannya hanya di dapur dan mengurus rumah tangga saja, dianggap tidak membutuhkan pendidikan yang tinggi. Berbeda dengan laki-laki yang memiliki pekerjaan di sektor produksi dan mendapatkan upah. Sehingga prioritas pendidikan ditujukan kepada lakilaki. 4. Perempuan dan Ekonomi Perlakuan yang didasari oleh asumsi bahwa ranah privat adalah milik perempuan tidak hanya berhenti di pendidikan saja. Ketika berbicara mengenai ekonomi, perempuan masih menjadi makhluk yang bergantung pada orang lain. Perempuan mendapatkan ekspektasi untuk mengurus rumah tangga sehingga yang menjadi pencari nafkah di dalam sebuah keluarga adalah sang suami atau laki-laki. Memberdayakan perempuan untuk turut berpartisipasi dalam sektor ekonomi tentu diyakini sebagai salah satu jalan untuk memacu perempuan tidak hanya berperan di sektor privat. Menjadi perempuan yang mandiri secara ekonomi, tidak bergantung pada pihak laki-laki atau suami menjadi salah satu hasil yang diharapkan dari pemberdayaan perempuan. Dengan memiliki penghasilan sendiri, diharapkan perempuan memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. Dan salah satu cara untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam ekonomi adalah melalui pemberian pendidikan. Hal ini membuat pendidikan dan ekonomi memiliki keterkaitan. Namun sayangnya, kesungguhan untuk memacu perempuan bekerja di sektor publik tidak diiringin dengan adanya pemikiran yang 25 sama mengenai peran laki-laki di sektor privat. Yang kemudian terjadi adalah perempuan menjalani peran ganda baik di sektor privat maupun publik. 5. Politisi Perempuan Sebagai Agen Perubahan Sosial Perempuan, dengan jumlah yang tidak sedikit, merupakan kaum kelas kedua di banyak negara termasuk Indonesia. Untuk dapat merubah hal tersebut dibutuhkan sebuah transformasi sosial. Hukum yang melindungi dan ramah terhadap perempuan saja tidak cukup untuk dapat memastikan pengaruutamaan gender dapat terlaksana dengan baik. Dibutuhkan jembatan bagi perempuan untuk menyuarakan aspirasi mereka. Salah satu agen tersebut adalah politisi perempuan. Politisi perempuan adalah sosok perempuan yang dinilai mampu mewakili perempuan. Dengan tingkat kuasa yang lebih tinggi daripada perempuan lainnya karena kedekatannya dengan pembuat kebijakan, politisi perempuan diharapkan mampu berkontribusi di dalam menegakkan transformasi sosial. 1. 7 Metodologi Penelitian Paradigma di dalam penelitian ini adalah paradigma kritis. Secara ontologis, dalam paradigma kritis, realitas yang ada dibentuk melalui nilai-nilai tertentu (Guba dan Lincoln,1994: 193) Sehingga realitas yang saat ini kita alami adalah realitas tertentu. Nilai-nilai yang membentuk realitas diantaranya adalah nilai sosial, ekonomi, budaya serta ekonomi politik yang terbentuk dari proses sejarah. Secara epistimologis, hubungan antara peneliti dan kajian penelitian dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai tersebut juga turut menjembatani realitas yang menjadi temuan. Secara aksiologis, penelitian ini berupaya untuk menjadi salahs atu alat tranformasi realitas semu yang ada di masyarakat. 1.7.1 Metode Penelitian Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis wacana kritis (CDA). CDA tidak hanya fokus terhadap teks semata tetapi juga praktik wacana produksi teks dan juga konsumsi serta keterkaitan wacana 26 terhadap praktik sosial yang lebih makro. Pada level mikro, CDA berkenaan dengan phonology, grammar, kosa kata, struktur, makna. Pada level meso CDA menyangkut format media, bentuk tertentu dari produksi dan konsumsi teks, sedangkan pada level makro menyangkut wacana yang lebih luas dan praktik sosial kelompok atau institusi (Krolokke dan Sorensen, 2006:53). Analisis wacana yang akan digunakan adalah analisis wacana Van Dijk. Menurut Van Dijk (2008) dalam memahami sebuah wacana perlu memahami konteks dan kognisi sosial. Secara sederhana, Lull (1998) dalam Sobur menyatakan bahwa. Wacana diartikan sebagai cara obyek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada publk sehingga menimbulkan pemahaman tertentu yang tersebar secara luas. Mills (1994) juga menyatakan bahwa wacana diartikan sebagai domain umum dari semua pernyataan, yaitu semua ujaran atau teks yang mempunyai makna dan mempunyai efek dalam dunia nyata. Wacana juga berarti sekumpulan pernyataan yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori konseptual tertentu.Wacana bukan hanya sekedar pesan yang disampaikan. Analisis wacana Van Dijk sendiri terbagi atas tiga yakni Makro, Superstruktur dan Mikro. Struktur makro merupakan makna umum dari suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana bukan hanya isi tetapi juga sisi tertentu sebuah peristiwa. Superstruktur adalah kerangka suatu teks; bagaimana struktur dan elemen wacana disusun dalam sebuah teks secara utuh. Sedangkan mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisis kata, kalimat, proposisi yang digunakan oleh pembicara. Van Dijk (2014) mendefinisikan wacana sebagai bentuk interaksi sosial di dalam masyarakat sekaligus sebagai ekspresi dan reproduksi kognisi sosial. Wacana tidak hanya hadir dalam bentuk oral dan verbal tetapi juga teks tertulis, musik serta tanda dan simbol lain seperti gesture. Wacana lebih dari sekedar sumber pengetahuan yang krusial, wacana memberikan tawaran mengenai kodrat sosial dan pengetahuan yang diyakini dalam suatu masyarakat. Pengetahuan yang spesifik dibutuhkan untuk memproduksi dan memahami wacana yang tercipta. Pemahaman mengenai feminisme di Indonesia dapat dipelajari guna mengetahui bentuk wacana feminisme di Indonesia. Karena setiap masyarakat memiliki 27 pengetahuan, kondisi, pengalaman serta persepsi yang berbeda, menjadikan wacana diproduksi dan dimengerti dalam situasi yang tertentu. Wacana mengenai feminisme di Indonesia mungkin sama atau tidak sama dengan wacana feminisme di Timur Tengah kendati sama-sama berada di wilayah Asia. Dalam penelitian ini, wacana yang diteliti adalah mengenai perempuan dan kaitannya dengan dunia pendidikan dan ekonomi. Selama ini, perempuan seringkali dinyatakan sebagai kelas kedua. Marjinalisasi perempuan sebagai warga negara yang tidak memiliki hak setara dengan laki-laki membuat perempuan kesulitan mengakses beberapa hak yang seharusnya didapatkan, diantaranya yang paling menonjol adalah mengenai pendidikan dan ekonomi. Wacana yang muncul tidak terjadi begitu saja melainkan ada konteks yang melatarbelakangi (Van Dijk, 2008:4). Van Dijk meyakini bahwa selain teks, terdapat dua hal lain yang membentuk wacana yakni konteks sosial dan kognisi sosial. Kita tidak akan mampu memahami kemunculan sebuah fenomena tanpa memahami konteks yang memproduksi fenomena tersebut (Van Dijk, 2008:5). Kognisi yang memengaruhi wacana debat pilkada adalah pemilihan kepala daerah itu sendiri sehingga tanpa kehadiran pilkada serentak yang semakin dekat, wacana mungkin saja berbeda. Terlebih karena tujuan umum dari pilkada adalah untuk memenangkan suara sehingga wacana yang ada dimunculkan guna memenuhi tujuan tersebut. Selain itu, faktor pengetahuan atau konteks sosial seseorang juga berpengaruh dalam pembentukan sebuah wacana (Van Dijk, 2008:219). Pengetahuan mengenai feminisme serta wacana yang berkembang di masyarakat dimana teks terjadi menjadikan produsen memahami bagaimana mampu memunculkan teks debat yang memenangkan hati perempuan, sebagai golongan marjinal dalam politik. Analisis wacana Van Dijk terbagi atas tiga tingkatan yaitu; Tabel 1: Analisis Van Dijk No 1 Fokus Analisis Makro Keterangan Jabaran Tema secara 1. Bagaimana posisi teks keseluruhan terhadap sebuah wacana yang diutaran ke publik? 28 Makro yang fokus terhadap tema wacana secara keseluruhan melalui analisa topik yang terkandung dalam teks. Analisis topik juga akan menyingkap bagaimana posisi teks tersebut terhadap wacana yang diutarakan di publik. 2 Superstruktur Pendahuluan Isi Penutup Isi Pesan 2. Bagaimana posisi teks tersebut disampaikan kepada publik? Secara umum, hal ini meliputi bagaimana pesan politik disampaikan kepada khalayak, serta bagaimana kandidat mempertahankan pesan politik tersebut ketika diserang. Superstruktur merupakan kerangka dasar bagaimana sebuah pendapat disusun sehingga membentuk suatu kesatuan yang koheren 3 Mikro Bagaimana pesan disampaikan 3. Bagaimana posisi pesan politik tersebut disampaikan kepada publik? Baik pemilihan kata, penonjolan kebijakan, kesan atau diksi serta ungkapan berulang diyakini mampu membuat pesan politik yang disampaikan menjadi lebih kuat 1.7.2 Obyek dan Subyek Penelitian Obyek penelitian dari penelitian ini adalah debat kampanye politik Tri Rismaharini jelang Pilkada Surabaya Serentak 2015 yang akan dilaksakan pada tanggal 9 Desember mendatang. Risma merupakan walikota petahana perempuan 29 yang kembali memenangkan pemilu 2015 dan menjadi Walikota. Pertarungan perempuan di arena politik menjadi obyek yang menarik karena selama ini politik lekat akan dominasi laki-laki. Sehingga anggapan bahwa politik adalah hal yang maskulin masih melekat, terutama di Indonesia yang terbiasa dengan kultur tersebut. Komunikasi politik tidak hanya terbatas pada komunkasi verbal saja tetapi juga meliputi bentuk-bentuk komunukasi non-verbal seperti gesture. Di dalam melihat komunikasi politik, media yang digunakan adalah Debat Kampanye Politik Risma jelang Pilkada serentak 2015 yang akan diadakan pada tanggal 30 Oktober, 6 November dan 27 November 2015 di Surabaya. Sebagaimana akan dijelaskan dalam tabel berikut; Tabel 2: Masa Kampanye Pilkada Serentak 2015 Kegiatan Kampanye Iklan Kampanye Debat Masa Tenang 1.7.3 September Oktober November Desember 27 September - 5 Desember 22 November – 5 Desember 30 Oktober; 6&27 November 6-8 Desember Teknik Pengumpulan Data 1. Debat Pilkada Surabaya 2015 Debat pilkada Surabaya merupakan data utama yang akan menjadi bahan kajian dalam penelitian ini. Debat Pilkada Surabaya sendiri terjadi sebanyak tiga kali dalam jarak waktu satu hingga dua minggu di setiap debat. Debat Pilkada Surabaya ini diselenggarakan secara resmi oleh KPU Kota Surabaya namun juga bekerja sama dengan pihak stasiun televisi, baik berskala lokal maupun nasional. Data yang didapatkan berasal dari Debat Pilkada Surabaya baik melalui pencatatan langsung saat debat berlangsung atau melalui tayangan yang diunggah di akun media sosial. Debat pilkada Surabaya 2015 sendiri terdiri dari: Tabel 3: Jadwal Debat Kampanye Pilkada No Tanggal Venue 1 30 Oktober Dyandra 2015 Convention Center Tema Kesejahteraan Masyarakat Stasiun TV Kompas TV 30 2 3 6 Novemver Ballroom Shangri- Memperkokoh JTV 2015 La Hotel Surabaya NKRI dan Kebangsaan 27 November DBL Arena Pembangunan dan JTV 2015 Penyelesaian Persoalan Daerah 1.7.4 Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam menelaah debat pilkada ini adalah analisis Benoit yang mengedepankan dua dimensi yakni „policy‟ dan „character‟ dari kandidat didalam melaksanakan debat pilkada. Sedangkan guna membawa telah ini menjadi peka gender (maskulin vs feminin), peneliti kemudian menggunakan dimensi analisis Campbell, Blankenship dan Robson yang berfokus pada pemilihan bahasa serta prioritas kebijakan. Sehingga tabel analisis data didapatkan sebagai berikut; Tabel 4: Analisis Wacana Feminisme dalam Debat 1 Makro Bagaimana debat pilkada yang dilaksanakan oleh Risma memandang kesejahteraan, adakah unsur feminisme didalamnya Debat I: Kesejahteraan Superstruktur Kerangka pesan yang disampaikan kepada khalayak mengenai konsep kesejahteraan dalam koridor feminisme Mikro Pemilihan kata yang menekankan makna yang ingin disampaikan kepad khalayak, apakah terdapat unsur feminisme didalamnya Tabel 5: Analisis Wacana Feminisme dalam Debat 2 Makro Bagaimana debat pilkada yang dilaksanakan oleh Risma memandang isu NKRI, peneliti ingin menelaah apakah terdapat unsur feminisme didalamnya Debat II: NKRI Superstruktur Kerangka pesan yang disampaikan kepada khalayak mengenai konsep NKRI dalam koridor feminisme Mikro Pemilihan kata yang menekankan makna yang ingin disampaikan kepad khalayak, apakah terdapat unsur feminisme didalamnya Tabel 6: Analisis Wacana Feminisme dalam Debat 3 31 Makro Bagaimana debat pilkada yang dilaksanakan oleh Risma memandang Pembangunan, terutama menggunakan perspektif feminisme didalamnya Debat III: Pembangunan Superstruktur Kerangka pesan yang disampaikan kepada khalayak mengenai konsep pembangunan dalam koridor feminisme Mikro Pemilihan kata yang menekankan makna yang ingin disampaikan kepad khalayak, apakah terdapat unsur feminisme didalamnya Tabel analisis data ini nantinya akan digunakan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan pada rumusan masalah. Setiap tingkatan baik Makro, Superstruktur hingga Mikro akan membantu pertanyaan penelitian melalui analisis di setiap tingkatan. Sehingga diharapkan pada penyajian data akan terdapat jawaban di tiap tingkatan. Pada level Makro akan didapatkan analisa gaya kandidat darisegi kebijakan yang akan dicanangkan ketika terpilih nanti. Kendati ruang lingkup sempit di kala debat, dengan menekankan pada prioritas visi dan misi, maka akan terlihat orientasi kebijakan kandidat apakah berada pada sudut pandang feminisme. Cara kandidat menyampaikan pesan politik termasuk penggunaan kata/istilah tertentu hingga cara penyampaian akan menjadi sajian data pada level superstruktur dan mikro. 1.7.5 Limitasi Penelitian Penelitian ini hanya terbatas pada kampanye politik yang menggunakan sarana media untuk menyebarluaskan pesan politik guna mencapai massa. Sehingga hal-hal yang terkait dengan bagaimana komunikasi politik Risma dengan PDIP, atau bagaimana Risma „blusukan‟ ke kampung-kampung selama masa kampanye berlangsung di Kota Surabaya hingga komunikasi politik yang terjalin antara Risma dengan pemerintah pusat tidak akan menjadi fokus kajian kendati akan ada paparan mengenai hal tersebut walau hanya sedikit. Dari ranah gender sendiri, penelitian ini mungkin dapat menampilkan hasil yang berbeda di negara yang berbeda, semisal di negara yang memiliki tingkat kepekaan gender yang sudah tergolong tinggi. Sedangkan di Indonesia masih ada pemahaman bahwa ranah publik milik laki-laki dan sebaliknya. Pada akhirnya, penelitian ini 32 diharapkan mampu menjembatani penelitian-penelitian selanjutnya terkait komunikasi politik dan gender. 1.7.6 Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini akan terbagi pada beberapa bab yang menyesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Bab pertama, berisi proposal penelitian yang memuat latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka pemikiran, kerangka konsep hingga metodologi penelitian. Bab kedua, berisi tinjauan pustaka mengenai pokok permasalahan yang ingin dibahas yakni budaya patriarki di Indonesia, posisi perempuan dalam masyarakat, perjuangan politik dan politisi perempuan, makna keterwakilan perempuan di politik bagi perempuan sebagai kaum serta kebijakan yang menaruh kepedulian terhadap perkembangan dan pemberdayaan perempuan. Bab ketiga, akan memberikan gambaran umum mengenai Tri Rismaharini diantaranya profil singkat Risma, kebijakan yang diambil Risma semasa menjabat sebagai walikota Surabaya masa jabatan 20010-2015 hingga gambaran mengenai Pilkada Surabaya termasuk drama dan intrik didalamnya.Pada Bab keempat, akan berisi temuan serta analisis data penelitian. Sedangkan Bab kelima berisi kesimpulan dan saran. 33