BAB II ISU CORAL TRIANGLE DAN ANCAMAN TERHADAP SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR Terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang sangat terancam didunia. Sebanding dengan hutan hujan dalam keanekaragaman hayatinya dan merupakan sumber keuntungan ekonomi yang besar dari sektor perikanan dan pariwisata, ekosistem terumbu karang adalah salah satu kepentingan dunia. Selain itu, karang memegang fungsi penting di negara-negara berkembang, khususnya di negara-negara kepulauan berkembang. Hingga kini, tekanan yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti pencemaran dari daratan dan praktek perikanan yang merusak telah dianggap sebagai bahaya utama untuk terumbu karang. Sementara masalah-masalah ini belum hilang, selama dua dekade terakhir telah muncul ancaman lain yang lebih potensial. Kawasan Segitiga Terumbu Karang Dunia atau Coral Triangle tidak dapat menghindari dampak dari perubahan global yang berakibat pada rusaknya lingkungan dan habitat laut maupun pesisir. Kombinasi tekanan lokal dan global menempatkan tekanan besar pada ekosistem pesisir di seluruh Segitiga Karang. Terumbu karang di Asia Tenggara 36 merupakan kawasan yang terancam paling serius dengan 40% terumbu karang telah kehilangan manfaatnya, 45% di bawah ancaman, dan 15% dalam ancaman rendah. Sebaliknya, terumbu karang di Kepulauan Pasifik dan sekitar Australia, termasuk Melanesia, berada dalam kondisi yang lebih baik dengan 2-8% terumbu karang mati, 2-35% di bawah ancaman, dan 44-90% pada ancaman rendah. Presentase tersebut juga termasuk proporsi untuk mangrove dan padang lamun di CT sebagai habitat utama untuk ribuan spesies laut. Hal yang paling penting, perubahan ini telah mengakibatkan pengurangan kemampuan ekosistem pesisir untuk menyediakan makanan dan manfaat untuk masyarakat pesisir. A. Ancaman Terhadap Sumber Daya Laut Coral Triangle Ekosistem terumbu karang merupakan habitat bagi biota laut. Global warming telah membawa dampak penurunan kondisi dan kerusakan terumbu karang sehingga memiliki efek domino terhadap ekosistem biota laut. Salah satu kerusakan terumbu karang yang banyak terjadi akibat efek global warming adalah pemutihan karang (coral bleaching). Terumbu karang telah terpengaruh dengan naiknya tingkat kemunculan dan kerusakan karena pemutihan karang (Coral Bleaching), yaitu suatu fenomena pigmen karang yang semakin memudar akibat kurangnya asupan makanan 37 karena tidak adanya prses ftosinyesis. Hal ini berhubungan dengan adanya buangan gas rumah kaca di atmosfer sehingga meningkatkan suhu bumi, khususnya kenaikan suhu air laut. Pemutihan yang parah dan lama dapat memperluasan kematian karang dan peristiwa kematian dan pemutihan terumbu di tahun 1998 telah mempengaruhi sebagian besar daerah terumbu karang di kawasan Indo-Pasifik (Westmacott, Teleki, Wells, & West, 2000). Tahun 1998 merupakan terjadinya kasus coral bleaching terparah akibat kombinasi badai El Nino dengan perubahan iklim yang dibarengi dengan kenaikan suhu air laut, setidaknya 15% terumbu karang di dunia mati (Novina, 2014). Penelitian menunjukkan coral bleaching secara keseluruhan ditandai kematian massal terumbu karang pada skala global, hal ini terjadi karena sebagai respon perlindungan karang dari penurunan suhu, salinitas air laut, peningkatan sedimentasi atau turdibitas, infeksi bakteri, infeksi protozoa dan paparan sinar UV dan pencemaran logam logam berat (Riegl, 2002). Bleaching yang terjadi dalam waktu pendek umumnya tidak menyebabkan kematian pada binatang karang. Namun paling tidak hal ini sudah menyebabkan lambatnya kemampuan pembentukan kerangka kapur. Sedangkan jika bleaching 38 terjadi secara berkepanjangan akan menyebabkan kematian pada binatang karang dan lingkungan terumbu karang akan hancur. Kerusakan terumbu karang, seperti telah dijelaskan sebelumnya akan mempengaruhi kehidupan dan penyediaan sumberdaya bagi masyarakat pesisir Tahun 1998, Konferensi CBD ke-4 menyatakan keprihatinan yang mendalam terhadap peristiwa pemutihan karang yang meningkat tajam dan ekstensif dengan hubungannya kepada perubahan iklim dunia. Sebagai jawabannya, Sekretaris Eksekutif CBD menyelenggarakan Konsultasi Ahli untuk Pemutihan Terumbu Karang bulan Oktober 1999. Mereka menghasilkan suatu laporan dan seperangkat usulan bagi daerah-daerah prioritas untuk ditindak. Laporan ini disajikan pada Badan Tambahan CBD untuk Usulan Ilmiah, Tehnik dan Teknologi/ CBD’s Subsidiary Body on Scientific, Technical and Technological Advice (SBSTTA-5) yang selanjutnya berkembang menjadi rancangan tindakan. SBSTTA kemudian menyampaikan usulan mereka kepada Konferensi Kelima Pihak-Pihak dalam CBD (COP-5) (Westmacott, Teleki, Wells, & West, 2000) Pemutihan akibat perubahan iklim bukanlah satu-satunya ancaman bagi terumbu karang. Meningkatnya kegiatan manusia juga memberikan dampak besar 39 sehingga menurunkan kondisi terumbu karang dunia. Kegiatan manusia tersebut sebagian besar merupakan kegiatan penggunaan sumber daya laut dan pesisir yang berlebihan serta ditunjang oleh perencanaan dan pengelolaan yang kurang tepat. Di negara kepulauan berkembang seperti Komoro, Fiji, Grenada, Haiti, Indonesia, Kiribati, Filipina, Tanzania, dan Vanuatu paling rentan terhadap pengaruh kerusakan terumbu karang. Di negara tersebut, terumbu karang menghadapi ancaman tingkat tinggi, penduduk sangat tergantung pada terumbu karang tetapi kemampuan penduduknya terbatas dalam beradaptasi terhadap kematian terumbu karang. Pembangunan di wilayah pesisir biasanya terkait dengan proyek reklamasi, permukiman penduduk, industri, budidaya perikanan, prasarana pariwisata dan penambangan karang dapat memberikan pengaruh sangat besar terhadap ekosistem di sekitar pantai. Penambangan karang seperti di Nusa Tenggara Timur, Wakatobi dan sebagian wilayah Papua masih melakukan pengambilan terumbu karang untuk tujuan yang beragam. Penambangan karang yang resmi tersebut secara terbatas dengan ijin pemerintah untuk beberapa perusahaan yang melakukan pengambilan terumbu karang. Jumlah pengambilan ditentukan berdasarkan kuota per wilayah. Meskipun ada pembatasan kuota tetapi pada kenyataannnya penambangan karang dilakukan 40 secara besar-besaran dan eksploitatif. Dampak dari pembangunan pesisir ini telah mengancam lebih dari 30% terumbu karang. Pencemaran laut baik dari aktivitas di laut maupun darat menyumbang kerusakan 25% terumbu karang. Pencemaran yang berasal dari DAS biasanya bersumber dari kegiatan pertanian yang menggunakan bahan-bahan kimia sebagai pupuk atau anti hama yang larut dalam air sehingga terbawa aliran air. Penggunaan tata guna lahan darat dan sistem pertanian yang tidak berkelanjutan di wilayah DAS berdampak pada pencemaran dan proses sedimentasi hingga ke muara sungai dan pantai. Pencemaran ini terjadi terutama di banyak daerah di Filipina, Indonesia bagian tengah, Timor-Leste, dan sebagian Kepulauan Solomon (Burke, Reytar, Spalding, & Perry, 2012). Pembuangan limbah baik dari limbah rumah tangga maupun industri juga turut menyumbang pencemaran laut. Di Kepulauan Seribu misalnya, hasil kajian dari Walhi tahun 2014 menjelaskan bahwa kerusakan terumbu karang sudah mencapai tahap yang mengkhawatirkan sebagai akibat pembuangan berton-ton limbah dan sampah yang mengalir ke Teluk Jakarta, 80% lingkungan di perairan Teluk Jakarta tercemar berat karena karena limbah industry dan rumah tangga (Nasrul, 2014). Pencemaran dari aktivitas laut biasanya dari aktivitas 41 transportasi dan industri yang berada di laut seperti lambung kapal yang tercemar, kebocoran bahan bakar, limbah cair yang tidak diolah terlebih dahulu, limbah padat, dan tumpahan minyak. Overfishing dan destructivefishing adalah kegiatan penangkapan ikan berlebihan dan penangkapan tidak ramah lingkungan yang merupakan ancaman yang paling besar dan merusak yang mempengaruhi hampir 85% terumbu karang. Penangkapan yang merusak, penggunaan bahan peledak dan racun untuk membunuh atau menangkap ikan merupakan lazim di banyak bagian dari kawasan CT, khususnya di Malaysia Timur, Filipina, dan Indonesia sehingga mengancam hampir 60% terumbu karang di kawasan CT (Burke, Reytar, Spalding, & Perry, 2012). Pertambahan penduduk dan permintaan konsumen atas produk hasil laut mendorong nelayan untuk menggunakan jalan pintas agar memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak dan dalam waktu yang relative cepat. Hampir semua terumbu karang di Filipina, Malaysia, dan Timor Leste dinilai terancam oleh penangkapan yang tidak lestari. Hanya Papua Nugini dan Kepulauan Solomon memiliki terumbu karang luas dengan ancaman tingkat rendah dari penangkapan yang tidak lestari karena letak 42 terumbu karang yang jauh dari pusat permukiman berpenduduk banyak (Burke, Reytar, Spalding, & Perry, 2012). Coral Triangle yang mencakup sebagian Asia Tenggara dan Pasifik Barat merupakan pusat keanekaragaman hayati laut dunia. kawasan ini mempunyai kekayaan spesies karang dan ikan karang yang lebih besar dibandingkan dengan tempat lain mana pun di muka bumi ini. Alasan kekayaan yang luar biasa dari Segitiga Karang mencakup keadaan geologi, lingkungan fisik dan berbagai proses ekologi. Temuan ini didukung oleh penyebaran paralel ikan karang dan biota laut lainnya, hal memberikan pembenaran ilmiah yang jelas untuk Coral Triangle Initiative yang dapat dikatakan salah satu usaha konservasi terumbu karang yang paling signifikan di dunia (Veron, et al., 2009). B. Kerusakan Kawasan Hutan Magrove dan Padang Lamun Coral Triangle Di sepanjang pesisir dan lautan Indonesia terdapat kawasan yang sangat “unik” dimana terdapat 5 (lima) macam ekosistem yang sangat produktif seperti ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, ekosistem muara, ekosistem rumput laut dan 43 ekosistem padang lamun yang dapat memberikan kontribusi sebagai areal penghasil sumber protein dan dapat meningkatkan pendapatan nelayan serta pendapatan daerah (Damanhuri, 2003). Pada umumnya, daerah dataran rendah di kawasan CT sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, khususnya terhadap peningkatan intensitas badai dan banjir akibat kenaikan permukaan air laut. Para ilmuwan memprediksi bahwa pada akhir abad ini sebagian besar kawasan CT tidak dapat dihuni lagi, bila pelepasan emisi gas rumah kaca tidak dapat diperlambat. Perubahan iklim telah membawa dampak yang nyata dan mahal terhadap ekosistem pesisir di kawasan CT melalui pemanasan global, pengasaman dan naiknya permukaan laut. Naiknya suhu mengakibatkan pemutihan dan kematian karang secara massal. Hal ini akan mempercepat rusaknya ekosistem terumbu karang apabila hal tersebut terus berlangsung dengan disertai peningkatan intensitas dan frekuensinya (Lawrence, 2012) Ekosistem pesisir dalam kawasan CT sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan sekitar, perubahan iklim memiliki dampak besar pada ekosistem pesisir. Pemanasan global dalam seabad terakhir ini mengakibatkan ekosistem laut seperti terumbu karang mendekati ambang batas penyesuiaan diri terhadap lingkungan 44 dengan efek variabilitas alam (misalnya air laut lebih hangat dari rata-rata tahunan). Ketika dikombinasikan dengan tekanan lingkungan seperti kualitas air yang buruk, polusi atau over fishing, perubahan ini akan menghilangkan fungsional terumbu karang dan ekosistem lainnya seperti mangrove di garis pantai dari CT. Dampak dari perubahan ini akan membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat pesisir yang sangat serius terutama dalam aspek perekonomian. Kerusakan di CT tidak hanya berkaitan dengan terumbu karang dan biota laut tetapi juga meliputi ekosistem pesisir seperti hutan mangrove dan padang lamun. Mangrove memiliki manfaat sebagai tanggul pencegah abrasi atau pengikisan pantai oleh gelombang air laut. Mangrove juga mampu menyimpan karbon dalam kuantitas tinggi, bahkan lebih tinggi dibanding hutan di daratan. Luasan satu hektar hutan mangrove mampu menyimpan 1,5 metrik ton karbon per tahun serta tempat tinggal, tempat mencari makan, dan tempat berpijah bagi banyak spesies (Agnika, 2015). Lamun adalah tumbuhan berbunga yang hidup terbenam di dalam laut dangkal. Lamun berbeda dengan rumput laut. Lamun mempunyai akar dan rimpang yang mencengkeram dasar laut sehingga dapat membantu pertahanan pantai dari gerusan ombak dan gelombang. Padang lamun merupakan tempat berbagai jenis ikan 45 berlindung, mencari makan, bertelur, dan membesarkan anaknya. Ikan baronang, misalnya, adalah salah satu jenis ikan yang hidup di padang lamun (Nontji, 2010). Padang lamun biasanya tumbuh tumpah tindih dengan ekosistem hutan mangrove di sekitar wilayah pesisir. Fungsi padang lamun yang tidak banyak diketahui masyarakat menyebabkan pengrusakan terhadap ekosistem tersebut beresiko kehilangan habitatnya yang juga akan mempengaruhi ekosistem biota laut lainnya yang menggantugkan hidup pada ekosistem padang lamun. Hutan mangrove dan padang lamun merupakan komponen penting dan sering kurang dihargai dari wilayah konservasi ekosistem pesisir dalam CT padahal ekosistem tersebut menempati besar bagian dari wilayah pesisir dalam CT, dua ekosistem ini juga menyediakan habitat penting dan memiliki jasa ekologi di seluruh wilayah. Mangrove dan padang lamun memberikan perlindungan untuk banyaknya spesies, dan sumber daya yang sangat penting untuk perikanan, dan penghalang proses abrasi pantai. Banyak spesies ikan penting menghabiskan siklus hidup mereka dalam padang lamun dan mangrove. Fauna seperti duyung dan penyu sepenuhnya tergantung pada keberadaan padang lamun yang sehat untuk kelangsungan hidup mereka. 46 Seluruh negara di kawasan CT mengalami kehilangan ekosistem pesisir secara nyata. Misalnya Indonesia yang memiliki hampir seperempat luas hutan bakau dunia, telah kehilangan lebih dari seperempat luas hutan bakau dalam tiga dekade terakhir dari 4,20 juta hektar pada tahun 1982 menjadi 3,11 juta hektar pada tahun 2011 . Sama halnya dengan Filipina yang memiliki 450.000 hektar bakau pada tahun 1918 , dan diperkirakan saat ini tersisa 263.137 hektar. Pada kedua kasus tersebut, hamparan hutan bakau telah diubah menjadi tambak ikan dan udang (Filipina 232.000 ha dan Indonesia 211.000 ha) Ekosistem pesisir sangat penting untuk kelangsungan hidup penduduk di wilayah CT. Secara global, nilai ekonomi ekosistem pesisir diperkirakan sebesar US$25.783 milyar. Selain menyediakan sumber makanan dan pendapatan kepada jutaan penduduk yang mencari makan di sepanjang garis pantai untuk mendukung kehidupan mereka, ekosistem pesisir menyediakan berbagai besar layanan lainnya. Perikanan komersial memberikan penghasilan penting bagi individu dan untuk pemerintah daerah. Peran ekosistem pesisir jauh melampaui manfaat ekonomi langsung. Terumbu karang memberikan hambatan pesisir yang melindungi manusia, infrastruktur dan kota terhadap gelombang dan kerusakan akibat badai. Mangrove dan 47 padang lamun menstabilkan sedimen, dan perikanan dukungan dengan menyediakan habitat bagi bermacam benih ikan dan invertebrata. ekosistem ini sangat penting sebagai filter pesisir, menjebak sedimen dan nutrisi, serta menyerap polutan yang mengalir dari tanah ke laut. Bersama dengan terumbu karang, ekosistem ini sangat penting untuk stabilitas dan kesehatan lingkungan pesisir. C. Upaya Konservasi Laut dan Pesisir Sebagian besar wilayah Indonesia terletak pada wilayah CT yang merupakan pusat dari keanekaragaman sumberdaya hayati laut tertinggi di dunia. Perairan laut Indonesia menjadi wilayah yang sangat kaya dan subur serta mampu menciptakan dan menumbuhkan sektor ekonomi baru dari pariwisata pesisir dan laut. Sumberdaya pesisir dan laut Indonesia telah mengalami degradasi karena dua faktor utama, yaitu pengambilan secara tidak ramah lingkungan (destructive fishing) dan pengambilan secara berlebihan (over fishing) (Muhammad, Wiadnya, & Sutjipto, 2009). Ancaman dari perubahan iklim secara bersama akan membuat kondisi pesisir dan laut Indonesia semakin parah. Mengingat pentingnya pesisir dan laut sebagai sumber mata pencaharian masyarakat, maka harus segera melakukan adaptasi dalam pembangunan pesisir dan lautan. 48 Sejarah kerjasama multilateral dalam kawasan sebagian besar biasanya merupakan kerjasama multilateral yang diciptakan untuk tujuan ekonomi, seperti ASEAN, APEC, BIMP-EAGA, dan (MSG). Beberapa kerjasama multilateral yang ada hanya secara eksplisit berfokus pada aspek-aspek tertentu dari sumber daya kelautan dan pesisir seperti South Pacific Regional Environment Program (SPREP), Forum Fisheries Agency (FFA), dan Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs). Dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran akan masalah kemaritian tersebut telah meningkat, pemerintah kawasan tersebut menetapkan seperangkat mekanisme kerjasama multilateral baru yang lebih fokus pada sumber daya laut dan pesisir, seperti Tri-national agreements on the Sulu-Sulawesi Seas Marine Ecoregion and the Bismarck Solomon Seas Marine Ecoregion, dan Arafura and Timor Seas Experts Forum (ATSEF). Namun dengan lahirnya berbagai forum, organisasi dan banyak perjanjian, belum cukup untuk mengembalikan kelestarian lingkungan laut dan pesisir dalam kawasan. Pengelolaan isu terumbu karang selama ini hanya fokus pada ekologi saja tanpa memikirkan kelangsunga hidup masyarakat yang bergantung pada sumber daya laut tersebut. 49