ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007 SUSUNAN PENGURUS BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Pelindung Dewan Gubernur Bank Indonesia Dewan Editor Prof. Dr. Anwar Nasution Prof. Dr. Miranda S. Goeltom Prof. Dr. Insukindro Prof. Dr. Iwan Jaya Azis Prof. Iftekhar Hasan Dr. M. Syamsuddin Dr. Perry Warjiyo Dr. Halim Alamsyah Dr. Iskandar Simorangkir Dr. Solikin M. Juhro Dr. Haris Munandar Dr. Andi M. Alfian Parewangi Pimpinan Editorial Dr. Perry Warjiyo Dr. Iskandar Simorangkir Direktur Eksekutif Dr. Andi M. Alfian Parewangi Sekretariat Toto Zurianto, MBA MS. Artiningsih, MBA Buletin ini diterbitkan oleh Bank Indonesia, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dibuletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Kami mengundang semua pihak untuk menulis pada buletin ini paper dikirimkan dalam bentuk file ke Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 20; Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, email : [email protected] Buletin ini diterbitkan secara triwulan pada bulan April, Juli, Oktober dan Januari, bagi yang ingin memperoleh terbitan ini dapat menghubungi Seksi Publikasi - Bagian Administrasi, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 2; Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, telp. (021) 381-8206. Untuk permohonan berlangganan: telp. (021) 3818202, fax. (021) 3802283, email: [email protected]. 1 BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Volume 14, Nomor 1, Juli 2011 Analisis Triwulanan: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan II - 2011 Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia 1 Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah Trinil Arimurti, Budi Trisnanto 5 Analisa Sovereign Risk Negara Berkembang: Temuan dari Perilaku Premi Credit Default Swap Moch. Doddy Ariefianto, Soenartomo Soepomo 31 Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental ? Iskandar Simorangkir 51 Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia Arintoko 79 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2011 1 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2011 Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada tanggal 12 Juli 2011 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 6,75%. Tingkat BI Rate tersebut dipandang masih sesuai dengan upaya untuk menjaga peningkatan kegiatan perekonomian yang disertai dengan stabilitas yang tetap terjaga, di tengah tingginya ekses likuiditas domestik dan masih derasnya aliran masuk modal asing. Ke depan, Bank Indonesia tetap mewaspadai potensi risiko tekanan terhadap stabilitas makroekonomi, khususnya yang berasal dari berlanjutnya aliran masuk modal asing dan tingginya harga komoditas global. Sementara itu, inflasi diperkirakan akan tetap terkendali dan dapat lebih rendah dari perkiraan sebelumnya apabila tidak ada perubahan kebijakan Pemerintah di bidang harga energi serta tetap terjaganya pasokan dan distribusi bahan pangan. Bank Indonesia akan terus menerapkan bauran kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial, dengan penekanan pada pengendalian likuiditas domestik, aliran masuk modal asing, dan apresiasi Rupiah yang sejalan dengan tren apresiasi nilai tukar di kawasan Asia. Bank Indonesia meyakini bahwa penerapan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial tersebut mampu untuk menjaga stabilitas makro dan membawa inflasi kepada sasaran yang ditetapkan, yaitu 5%±1% pada tahun 2011 dan 4,5%±1% pada tahun 2012. Dewan Gubernur memandang bahwa pemulihan ekonomi global terus berlanjut, sebagaimana tercermin pada volume perdagangan dunia yang meningkat. Namun, prospek ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the Fed dan melambatnya ekonomi China. Risiko tersebut berpotensi menahan pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2011, meskipun pemulihan ekonomi akan tetap meningkat pada tahun 2012. Sementara itu, harga komoditas global masih berada pada level yang tinggi meskipun terjadi koreksi pada harga minyak. Inflasi dunia juga secara umum meningkat, meskipun tekanan inflasi di emerging markets mereda. Respon kebijakan moneter di negara-negara emerging markets masih cenderung ketat, sementara di negara-negara maju masih cenderung akomodatif. Di sisi domestik, Dewan Gubernur memprakirakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai kisaran 6,3%-6,8% pada tahun 2011 dan 6,4%-6,9% pada tahun 2 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 2012. Pertumbuhan ekonomi tersebut ditopang oleh sumber pertumbuhan yang semakin berimbang seiring dengan kinerja investasi yang terus meningkat dan kinerja ekspor yang masih tetap solid. Sementara itu, kinerja konsumsi rumah tangga juga tetap kuat. Pada triwulan III-2011, pertumbuhan ekonomi diprakirakan cukup tinggi, yaitu sebesar 6,6%, ditopang oleh konsumsi dan investasi. Di sisi sektoral, seluruh sektor ekonomi diprakirakan akan tumbuh dengan baik. Sektor-sektor yang diprakirakan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi ke depan, antara lain sektor transportasi dan komunikasi; sektor perdagangan, hotel dan restoran; dan sektor industri. Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) untuk keseluruhan tahun 2011 diprakirakan masih mengalami surplus yang relatif besar. Hal ini seiring dengan masih kuatnya aliran masuk modal asing, termasuk dalam bentuk PMA, dan transaksi berjalan yang diperkirakan masih surplus meskipun mengalami penurunan. Penurunan surplus transaksi berjalan seiring dengan peningkatan impor terkait kenaikan permintaan domestik dan harga impor terutama migas. Di sisi transaksi modal dan finansial, aliran masuk modal asing diprakirakan masih berlanjut seiring dengan peningkatan kegiatan ekonomi domestik dan persepsi investor yang positif terhadap fundamental perekonomian Indonesia. Sejalan dengan itu, cadangan devisa pada akhir Juni 2011 tercatat sebesar 119,7 miliar dolar AS, atau setara dengan 6,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah. Pergerakan nilai tukar Rupiah diprakirakan tetap stabil dengan kecenderungan menguat, meskipun pada tingkat yang lebih terbatas, sejalan dengan berlanjutnya aliran masuk modal asing. Pada triwulan II-2011, nilai tukar Rupiah menguat 1,53% (ptp) ke level Rp 8.577 per dolar AS dengan volatilitas yang tetap terjaga. Tren apresiasi nilai tukar Rupiah tersebut sejalan dengan upaya Bank Indonesia untuk meredam tekanan inflasi, khususnya dari imported inflation, dengan tetap mempertimbangkan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Penguatan Rupiah yang terjadi masih sejalan dengan tren apresiasi mata uang di kawasan Asia sehingga sejauh ini tidak memberikan tekanan pada kinerja ekspor. Tekanan inflasi sampai dengan triwulan II-2011 masih terkendali. Inflasi IHK pada triwulan II-2011 tercatat sebesar 0,36% (qtq) sehingga secara tahunan turun menjadi 5,54% (yoy), terutama didorong oleh deflasi di kelompok bahan pangan sementara inflasi inti meningkat secara terbatas. Inflasi inti tercatat 0,85%(qtq) atau 4,63%(yoy), didorong oleh kecenderungan tingginya harga komoditas global dan meningkatnya permintaan seiring kegiatan ekonomi yang meningkat. Inflasi kelompok administered prices relatif terbatas, yaitu sebesar 0,69%(qtq), seiring dengan tidak adanya kebijakan pemerintah terkait harga energi. Sementara itu, kelompok bahan pangan mencatat deflasi -1,35%(qtq), terutama disebabkan koreksi harga sejumlah komoditas pangan khususnya di bulan April dan Mei. Ke depan, inflasi diperkirakan akan tetap ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2011 3 terkendali dan diperkirakan dapat lebih rendah dari perkiraan semula terutama apabila tidak ada kebijakan Pemerintah di bidang harga energi serta tetap terjaganya pasokan dan distribusi bahan pangan. Stabilitas sistem perbankan tetap terjaga yang disertai terus membaiknya fungsi intermediasi perbankan dalam mendukung pembiayaan perekonomian. Stabilitas industri perbankan tercermin pada tingginya rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) yang berada jauh di atas minimum 8% dan terjaganya rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah 5%. Sementara itu, penyaluran kredit untuk pembiayaan kegiatan perekonomian terus berlanjut, tercermin pada pertumbuhan kredit yang pada Juni 2011 mencapai 23,4%(yoy). Pertumbuhan kredit tertinggi terjadi pada kredit investasi yang sampai dengan bulan Mei 2011 tercatat sebesar 29,0% (yoy). Bank Indonesia terus mendorong peningkatan efisiensi perbankan agar fungsi intermediasi dapat terus dioptimalkan dengan tetap menjaga stabilitas sistem perbankan secara keseluruhan Di bidang sistem pembayaran, Bank Indonesia terus berupaya melakukan penyempurnaan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi transaksi ekonomi. Saat ini Bank Indonesia mengembangkan BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II serta meningkatkan efisiensi pengelolaan rekening Pemerintah untuk meningkatkan kinerja infrastuktur sistem pembayaran. Bank Indonesia juga melanjutkan pembentukan National Payment Gateway (NPG) guna mencapai efisiensi nasional, serta melanjutkan implementasi standarisasi chip pada kartu ATM/Debit dan standarisasi uang elektronik guna meningkatkan keamanan instrumen pembayaran. Selain itu, Bank Indonesia melakukan penyesuaian kebijakan mengenai Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, terutama mengenai kerjasama penyelenggara APMK dengan pihak lain, khususnya dalam pelaksanaan penagihan kartu kredit, serta mengetatkan persyaratan untuk memperoleh kartu kredit. Melalui penyempurnaan kebijakan ini, keamanan sistem pembayaran diharapkan dapat terus ditingkatkan. Sementara kebijakan pengedaran uang tetap ditujukan untuk mendukung ketersediaan uang rupiah dalam nominal yang cukup serta layak edar, serta meningkatkan layanan kas sehingga dapat menjangkau wilayah perbatasan dan daerah terpencil. Selain itu, Bank Indonesia juga menyempurnakan sistem dan prosedur layanan kas BI kepada perbankan. Melalui penyempurnaan tersebut, efektivitas dan efisiensi manajemen kas perbankan diharapkan dapat lebih ditingkatkan. 4 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 halaman ini sengaja dikosongkan Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah 5 PERSISTENSI INFLASI DI JAKARTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEBIJAKAN PENGENDALIAN INFLASI DAERAH Trinil Arimurti, Budi Trisnanto 1 Abstract The main objective of this study is to measure the persistence of inflation level in Jakarta. In addition, this study intends to find out the source of inflation persistence and its implication to regional inflation control. The analysis of the regional inflation behavior developed in this paper is explored to commodities level. The empirical result indicates that the level of inflation persistence in Jakarta is relatively high, stemmed from high level of inflation persistance for most of commodities that construct inflation. Using the estimation results of the hybrid NKPC model, it shows that high inflation persistence in Jakarta mainly caused by inflation expectation, which is a combination of forward and backward looking. In this regards, it requires efforts gradually transform the behavior of inflation expectation to be more forward looking. Keywords: inflation peristence, expectation, NKPC. JEL Classification:E31, R10 1 Penulis adalah peneliti ekonomi muda senior dan peneliti ekonomi madya di Biro Riset Ekonomi, Bank Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Yoni Depari, Sugiharso Safuan serta rekan-rekan di Biro Riset Ekonomi dan Biro Kebijakan Moneter, atas masukan, saran dan diskusi yang sangat konstruktif. e-mail: [email protected], [email protected] 6 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 I. PENDAHULUAN Sesuai Undang-undang (UU) No. 13 tahun 1968 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 4 tahun 2003, tugas Bank Indonesia adalah mencapai dan menjaga kestabilan nilai Rupiah, yang salah satunya adalah dalam bentuk kestabilan nilai Rupiah terhadap barang dan jasa atau kestabilan inflasi. Dengan demikian, kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai dan menjaga inflasi pada tingkat yang rendah dan stabil. Dalam kaitan tersebut, respon kebijakan moneter tidak hanya ditentukan oleh tingkat inflasi yang ingin dicapai tetapi ditentukan pula oleh perilaku inflasi itu sendiri. Hal tersebut akan menentukan besaran dan waktu (timing) respon kebijakan moneter yang perlu diterapkan dalam rangka mencapai inflasi yang ingin dicapai tersebut. Dari sisi tingkat inflasi yang ingin dicapai, kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan menurun secara gradual menuju tingkat yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Sesuai UU dimaksud, sasaran inflasi ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia yang dimaksudkan untuk meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter. Sementara itu, asesmen mengenai perilaku inflasi yang diperlukan antara lain terkait dengan persistensi inflasi atau kecepatan tingkat inflasi untuk kembali ketingkat ekuilibriumnya setelah timbulnya suatu shock. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat persistensi inflasi di Indonesia. Hasil studi Yanuarti (2007) dan Alamsyah (2008) misalnya menyimpulkan bahwa derajat persistensi inflasi di Indonesia secara umum sangat tinggi namun cenderung menurun pada periode setelah krisis. Sementara itu, Harmanta (2009) menyatakan bahwa persistensi inflasi yang bersifat backward looking pada era ITF mengalami penurunan, sementara yang bersifat forward looking mengalami peningkatan. Namun demikian, kajian tersebut perlu didukung oleh kajian yang bersifat regional, dalam arti melihat lebih dalam persistensi inflasi di tingkat regional. Hal ini juga juga dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa inflasi nasional dibentuk dari inflasi daerah. Secara lebih spesifik, kajian persistensi inflasi di daerah dengan mempertimbangkan bahwa masing-masing daerah memiliki karakteristik inflasi yang berimplikasi pada kebijakan pengendalian inflasi yang spesifik meski secara umum tekanan inflasi di daerah banyak terkait dengan kejutan di sisi pasokan. Implementasi Inflation Targeting Framework (ITF) pada tahun 2005 menjadi tonggak sejarah perubahan kerangka kebijakan moneter yang dilakukan pasca krisis ekonomi di Indonesia. Pada prinsipnya kerangka kebijakan moneter tersebut adalah dalam rangka mengadopsi kerangka kebijakan yang lebih kredibel, yang mengacu pada penggunaan suku bunga sebagai operational target dan kebijakan yang bersifat antisipatif. ITF diharapkan dapat mengubah backward looking expectation, yang menjadi sumber masih tingginya inflasi, menjadi forward Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah 7 looking expectation. Dengan demikian, diharapkan ITF dapat mendorong penurunan persistensi inflasi. Selanjutnya, kajian persistensi inflasi perlu didukung dengan analisis mengenai penyebab persistensi inflasi. Sebagaimana dimaklumi dalam komponen inflasi IHK terdapat komponen yang harganya dipengaruhi oleh kebijakan Pemerintah di bidang harga dan pendapatan (administered prices). Harga pada kelompok komoditi ini cenderung flat dan berubah bila ada kebijakan Pemerintah. Selain itu, terdapat komponen yang harganya banyak terpengaruh supply shocks atau yang bersifat musiman. Untuk itu, diperlukan asesmen untuk melihat secara lebih rinci faktor-faktor yang bersifat fundamental. Hal ini dimaksudkan agar respon kebijakan moneter dapat dilakukan secara lebih tepat mengingat kebijakan moneter ditujukan untuk demand management. Dengan kata lain, respon kebijakan moneter tidak perlu dilakukan secara berlebih bila sumber tekanan inflasi berasal dari faktor yang bersifat non-fundamental. Kajian mengenai fenomena persistensi menjadi sangat penting untuk dilakukan dalam rangka mendukung perumusan kebijakan moneter yang efektif. Hal ini dikarenakan agar efektifitas kebijakan moneter dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Inflasi yang tinggi akan memberikan dampak negatif terhadap perekonomian. Daya beli masyarakat menurun dan pelaku dunia usaha akan diliputi ketidakpastian yang tinggi. Implikasi dari persistensi inflasi tersebut juga akan dirasakan di tingkat daerah sehingga perlu mendapat perhatian pemerintah daerah setempat untuk dapat berperan aktif dalam mengendalikan inflasi. Kajian tersebut pada akhirnya diperlukan untuk merumuskan strategi pengendalian inflasi. Sumber tekanan inflasi yang menyebabkan persistensi inflasi perlu dianalisa secara lebih tajam sehingga dapat dibedakan sumber tekanan inflasi yang bersifat fundamental dan yang hanya bersifat sementara atau temporer. Kebijakan moneter tidak dapat digunakan sepenuhnya untuk merespon tekanan inflasi dari kejutan di sisi pasokan. Diperlukan kebijakan sektoral dan regional untuk mengurangi tekanan inflasi dari faktor-faktor non-fundamental. Beberapa studi persistensi inflasi yang telah dilakukan sebelumnya di Indonesia lebih difokuskan pada skala nasional. Inflasi nasional merupakan rata-rata tertimbang dari inflasi daerah di Indonesia, maka dirasa perlu untuk mempelajari perilaku inflasi di tingkat daerah, termasuk mengukur dan mencari penyebabnya, serta mengetahui implikasinya terhadap pengendalian inflasi daerah dengan fokus kota Jakarta. Pemilihan wilayah Jakarta didasarkan pada dominasinya terhadap bobot inflasi nasional dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. Meskipun terdapat kecenderungan yang menurun, bobot inflasi kota Jakarta masih merupakan yang terbesar diantara 66 kota yang diukur melalui Survei Biaya Hidup (SBH). Data tahun 2007 menunjukkan bahwa bobot Jakarta 8 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 mencapai 22,49% dari bobot nasional (Grafik 1), menurun dari 27,66% berdasarkan SBH tahun 2002. Alasan lainnya adalah pergerakan volume distribusi barang kebutuhan pokok yang sangat tinggi di Jakarta. Selanjutnya perilaku inflasi Jakarta tersebut akan dibandingkan dengan Nasional dan panel 10 daerah dengan kontribusi inflasi tertinggi di Indonesia. Untuk menjawab tujuan penelitian, cakupan rentang waktu studi meliputi periode Januari 2000 s.d Mei 2008 (Jakarta) dan Januari 2000 s.d Desember 2009 (nasional). Hal ini terkait dengan ketersediaan data dari BPS hingga di level komoditinya. Jakarta 22,49 Gabungan 56 kota lainnya 47,23 Surabaya 6,47 Semarang 3,48 Bandung 5,38 Makasar 2,56 Medan 4,67 Banjarmasin 1,54 Denpasar Padang 1,69 1,53 Palembang 2,96 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Grafik 1. Bobot Inflasi Kota Menurut SBH 2007 II. TEORI Persistensi inflasi menurut Marques (2005) diartikan sebagai kecepatan tingkat inflasi untuk kembali ke tingkat ekuilibriumnya setelah timbulnya suatu shock. Tingkat kecepatan yang tinggi menunjukkan bahwa tingkat persistensi inflasi rendah dan sebaliknya tingkat persistensi inflasi yang tinggi ditunjukkan oleh lamanya tingkat inflasi kembali ke level ekuilibriumnya. Definisi yang hampir serupa juga dikemukakan Willis (2003) yang mengartikan persistensi inflasi sebagai waktu yang dibutuhkan oleh inflasi untuk kembali ke baseline setelah adanya shock. Sementara itu, alternatif definisi yang lebih beragam dikemukakan oleh Batini Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah 9 (2002) yang membahas tiga tipe persistensi inflasi, yaitu(i) ≈positive serial correlation in inflation∆; (ii) ≈lags between systematic monetary policy actions and their (peak) effect on inflation∆; (iii) ≈lagged responses of inflation to non-systematic policy actions∆. Studi mengenai persistensi inflasi penting untuk meningkatkan kemampuan peramalan inflasi, memperoleh kejelasan efek dinamis dari exogenous price shocks, memberikan informasi/ petunjuk dan memperbaiki kebijakan moneter, dan untuk menilai apakah rezim kebijakan moneter yang berbeda akan menghasilkan persistensi yang berbeda, Stock (2004). 2.1 Pengukuran Persistensi Inflasi Untuk mengukur tingkat persistensi inflasi, terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan, yaitu pendekatan univariat dan multivariat model. Pendekatan univariat lebih menekankan hanya pada aspek data time series, sedangkan pendekatan multivariat mencakup juga tambahan informasi seperti output riil dan tingkat suku bunga bank sentral (Dossche and Everaert, 2005). Dari beberapa studi yang telah dilakukan, pendekatan univariat dengan menggunakan model autoregressive (AR) time series merupakan yang pendekatan yang paling lazim dalam riset empiris. Beberapa metode pengukuran skalar ( univariat) yang dapat digunakan untuk menghitung persistensi inflasi, antara lain (i) the sum of the autoregressive(AR) coefficients; (iii) the largest autoregressive root; (iv) the half-life (Marques, 2005). Dengan model AR, tingkat persistensi inflasi diukur dari hasil penjumlahan koefisien lag variable dependennya. Sementara itu, metode LAR (thelargest autoregressive root) secara garis besar dijelaskan oleh Levin dan Piger (2004). Dalam metode ini, persistensi inflasi diperoleh dengan mencari akar terbesar dari K K K- j = 0 . Sedangkan metode thehalf-life diadopsi terutama untuk persamaan l - å a j l j =1 mengevaluasi persistensi deviasi dari purchasing power parity equilibrium (Marques 2004). Sebagaimana diuraikan oleh Andrews dan Chen (1994), formula thehalf-life adalah g = 1 - n , T dimana n adalah jumlah berapa kali inflasi berada di atas nilai 0,5 ketika terjadi gangguan sebesar 1 unit dan T adalah jumlah periode observasi. Meskipun terdapat beberapa berbagai konsep pengukuran tingkat persistensi inflasi yang berbeda, hasil estimasi yang diperoleh ternyata secara umum tidak jauh berbeda (Clark, 2003). Fokus penelitian pada proses inflasi memungkinkan penggunaan model univariat dalam paper ini. Namun demikian, model univariat tidak terlepas dari beberapa keterbatasan, salah satunya adalah bahwa model ini tidak dapat mengidentifikasi sumber penyebab dari the observed 10 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 persistence inflasi sehingga terdapat kemungkinan pemicu potensial proses inflasi menjadi terabaikan. Marques (2004) menyatakan bahwa model AR merupakan pengukur persistensi inflasi yang cukup baik, serta berkaitan langsung dengan koefisien mean reversion sebagai alternatif pengukuran tingkat persistensi inflasi. Formula AR dengan order p dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) pt m : tingkat inflasi bulanan pada waktu t : konstanta dari hasil proses estimasi, sebagai kontrol terhadap rata-rata inflasi K åa j =1 et j : jumlah koefisien AR : random error term atau residual dari regresi persamaan di atas Dari hasil estimasi persamaan tersebut, tingkat persistensi inflasi dihitung dengan K æ ö r a j ÷. Cara penjumlahan koefisien tersebut merupakan º menjumlahkan koefisien AR, ç å j =1 è ø cara pengukuran skalar persistensi terbaik menurut Andrews dan Chen (1994). Persistensi inflasi dikatakan tinggi apabila tingkat inflasi saat ini sangat dipengaruhi oleh nilai lag-nya, sehingga koefisiennya mendekati 1. Dalam hal ini, inflasi dikatakan mendekati unit root process. Untuk memperoleh hasil estimasi, disetiap series inflasi perlu ditentukan jumlah lag variable dependen yang sesuai. Dalam penentuannya, dapat digunakan Akaike Information Criterion (AIC) ataupun Schwarz» Bayesian Information Criterion (SBIC). Sebagaimana dikemukakan Levin dan Piger (2004), dalam mengukur persistensi dengan AR model, persamaan ekuivalen berikut perlu dipertimbangkan pula: (2) Dimana parameter dinamik φj merupakan transformasi sederhana dari koefisien AR dari persamaan (1). Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah 11 Secara lebih spesifik, konsep persistensi sangat berhubungan dengan Impulse Response Function (IRF) dari proses AR (p). Marques (2004) menguraikan kelemahan dan keunggulan masing-masing metode pengukuran persistensi. Konsep Cumulative Impulse Response Function (CIRF) yang diformulakan sebagai CIRF = 1 1- r menggambarkan adanya hubungan monotonic antara CIRF dengan koefisien AR (ρ), sehingga perhitungannya sangat tergantung kepada koefisien AR. Kelemahan lain dari CIRF dan r dalam mengukur persistensi inflasi adalah apabila terdapat 2 series data, kedua metode tersebut tidak bisa membedakan antara series yang awalnya meningkat sangat tinggi yang kemudian diikuti dengan penurunan secara perlahan dengan series yang awalnya peningkatannya rendah dan kemudian diikuti dengan penurunan yang tinggi di IRF-nya. Terlepas dari adanya keterbatasan yang menjadi kelemahan dari metode univariat, metode skalar pengukuran persistensi ini harus dilihat sebagai metode untuk mengestimasi kecepatan rata-rata inflasi untuk kembali ke nilai equilibriumnya setelah timbulnya suatu shock. Metode pengukuran skalar ini dinilai semakin handal apabila kecepatan konvergensi series inflasi semakin seragam. Beberapa kritik terhadap metode the half life dalam perhitungan tingkat persistensi inflasi juga telah dilontarkan dalam penelitian sebelumnya. Apabila IRF bersifat oscillating, metode ini dapat menghasilkan persistensi proses inflasi yang terlalu rendah. Di samping itu, bila proses inflasi bersifat sangat persisten, output dari the half-life sangat besar sehingga sulit untuk bisa membedakan perubahan persistensi seiring berjalannya waktu. Namun seringkali metode ini lebih disukai karena lebih mudah dipahami karena pengukurannya dalam unit waktu.Karena keterbatasan tersebut, beberapa penulis melakukan perhitungan the half life secara langsung dari IRF.Sementara itu, kritik terhadap metode the largest autoregressive rootpernah diungkapkan Marques (2004). Pengukuran persistensi dengan metode ini dinilai tidak cukup baik karena fungsinya juga tergantung pada root lainnya, bukan hanya pada root terbesarnya. Namun, keunggulan dari metode ini adalah kemudahannya dalam menghitung asymptotically valid convidence intervals untuk hasil estimasinya. Hasil pengukuran derajat persistensi inflasi dengan model AR yang diestimasi dengan menggunakan OLS dapat dibandingkan dengan hasil estimasi bootstrap. Hal ini juga berguna untuk mengantispasi kemungkinan pengukuran yang kurang valid apabila derajat persistensi mendekati angka 1, sehingga robustness check penting untuk dilakukan. Prosedur ini telah digunakan dibeberapa penelitian sebelumnya, antara lain O»Reilly dan Whelan (2004) dan Alamsyah (2008). Melengkapi pengamatan terhadap perubahan perilaku inflasi, metode rolling regression dapat digunakan untuk melihat apakah proses inflasi mengalami perubahan seiring dengan 12 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 waktu, dengan cara melihat evolusi dari koefisien AR. Metode ini telah dilakukan pula dibeberapa penelitian terdahulu antara lain Pivetta & Reis (2006), Debelle and Wilkinson (2002), O»Reilly dan Whelan (2004) dan Alamsyah (2008). Secara umum disimpulkan bahwa hasil estimasi derajat persistensi inflasi dengan metode tersebut menunjukkan telah terjadi perubahan proses inflasi di negara-negara yang menjadi obyek sampel. Namun demikian, metode ini juga memiliki kelemahan karena tidak terlalu akurat menunjukkan saat terjadinya perubahan tingkat persistensi inflasi, sehingga pengaruh faktor-faktor seperti perubahan kebijakan moneter tidak dapat ditangkap secara jelas. Dalam melakukan analisis terhadap derajat persistensi inflasi, perlu juga dipertimbangkan keberadaan structural breaks. Beberapa literatur menyebutkan bahwa estimasi tingkat persistensi inflasi akan berlebihan (exaggerated) apabila keberadaan structural break nilai rata-rata inflasi tidak diperhitungkan. Beberapa teknik seperti Andrew and Quandt test ataupunChow testdapat dilakukan untuk melakukan tes terhadap keberadaan structural break. Untuk mengukur berapa lama waktu yang diperlukan inflasi dalam menyerap 50% shock yang terjadi sebelum kembali ke nilai rata-ratanya, dapat digunakan formula (Gujarati, r 2003) dengan formula sederhana h = . Adapun h merupakan waktu yang diperlukan 1- r inflasi dalam menyerap 50% shock yang terjadi sebelum kembali ke nilai rata-ratanya dan ρ adalah hasil estimasi derajat persistensi inflasi. Beberapa studi terkait dengan persistensi inflasi telah dilakukan di Indonesia, antara lain oleh Alamsyah (2008), Yanuarti (2007), Tim Inflasi Bank Indonesia (2006). Seluruh penelitian tersebut lebih ditekankan pada persistensi inflasi nasional dan terbatas pada persistensi inflasi umum dan kelompok komoditas.Secara umum ditemukan bahwa derajat peristensi inflasi di Indonesia relatif tinggi pada periode pengamatan, meskipun terdapat kecenderungan menurun pada periode paska krisis tahun 1997/1998. Namun demikian, belum ada studi mengenai peristensi inflasi yang dilakukan ditingkat daerah dan mencakup hingga ke level komoditi pembentuk inflasi daerah dan nasional. Studi yang dilakukan Alamsyah (2008) ditujukan untuk melihat perubahan perilaku inflasi di Indonesia pada masa sebelum dan sesudah krisis, serta melihat sumber penyebab persistensi inflasi, terutama yang berasal dari perilaku mikro pengusaha yang didekati dengan model hybrid NKPC. Dengan menggunakan pendekatan univariate, yaitu the sum of autoregressive coefficient (AR (1)) ditemukan bahwa derajat persistensi di Indonesia relatif tinggi pada periode pengamatan 1985-2007. Namun demikian, derajat persistensi tersebut cenderung menurun pada masa setelah krisis ekonomi. Ditemukan pula bahwa inflasi di Indonesia berperilaku campuran yang merupakan kombinasi dari perilaku backward dan forward looking. Oleh karena itu, upaya penjangkaran Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah 13 ekspektasi inflasi menuju ke target yang ditetapkan bank sentral diperlukan untuk mengendalikan inflasi dan meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter di Indonesia. Sementara itu, studi sebelumnya oleh Yanuarti (2007) bertujuan untuk mengukur derajat persistensi inflasi di Indonesia serta meneliti apakah terjadi perubahan derajat persistensi inflasi pada kurun waktu 1990-2006. Dengan menggunakan full sample, ditemukan bahwa derajat persistensi inflasi di Indonesia sangat tinggi, namun cenderung menurun pada periode setelah krisis. Temuan ini sejalan dengan temuan Alamsyah (2008). 2.2 Penyebab Persistensi Inflasi Sumber tekanan inflasi dapat dilihat melalui persamaan New Keynesian Philips Curve (NKPC), dimana penyebab persistensi inflasi dapat dilihat berdasarkan perilaku inflasi yang melihat ke depan (forward looking) dan ke belakang (backward looking). Pendekatan ini merupakan pengembangan dari model awal inflasi yang menggambarkan dinamika inflasi sebagaimana tertuang dalam NKPC: p t = kyt + b Etp t +1 Selanjutnya, menurut Gali dan Gertler (1999), selain berorientasi forward looking, inflasi juga memiliki perilaku yang backward looking. Kedua perilaku tersebut tergambar dari model Hybrid NKPC yang menangkap karakteristik persistensi inflasi. Persamaan struktural inflasi yang seringkali disebut sebagai hybrid New Keynesian Phillips Curve, tercakup dalam persamaan di bawah ini (Angeloni et. al, 2004) : dimana adalah inflasi pada waktu t; E t (πt +1) adalah ekspektasi inflasi pada waktu t+1 dengan kondisi informasi pada waktu t, µt adalah output gap dan ξt adalah unsur shock eksogen. Dengan melihat sisi kanan dari persamaan tersebut, dapat diperkirakan empat sumber inflasi: (i) extrinsic persistence yang terkait dengan persistensi pada biaya marjinal ataupun output gap; (ii) intrinsic persistence yang terkait dengan dependensi inflasi terhadap inflasi periode sebelumnya (backward looking expectation); (iii) expectations-based persistence yang terkait dengan pembentukan ekspektasi inflasi yang didasarkan pada kondisi ke depan (forward looking); dan (iv) error term persistence akibat pengaruh kejutan sisi pasokan atau inflation shock yang terjadi. 14 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 III. METODOLOGI 3.1 Teknik Estimasi Estimasi persistensi inflasi dilakukan dengan melihat proses univariate autoregressive (AR) time series model sebagaimana Marques (2004) karena model AR tersebut merupakan pengukur persistensi inflasi yang cukup baik serta berkaitan langsung dengan koefisien mean reversion sebagai alternatif pengukuran tingkat persistensi inflasi. Formula AR dengan order p dapat dijabarkan sebagai berikut: (3) pt m : tingkat inflasi bulanan pada waktu t : konstanta dari hasil proses estimasi, sebagai kontrol terhadap rata-rata inflasi K åa j =1 et j : jumlah koefisien AR : random error term atau residual dari regresi persamaan di atas Tingkat persistensi inflasi dihitung dengan menjumlahkan koefisien AR . Persistensi inflasi dikatakan tinggi apabila tingkat inflasi saat ini sangat dipengaruhi oleh nilai lag-nya, sehingga koefisiennya mendekati 1. Dalam hal ini, inflasi dikatakan mendekati unit root process. Untuk estimasi ρ, penentuan jumlah lag variable dependen yang sesuai menggunakan Akaike Information Criterion (AIC) dan atau Schwarz» Bayesian Information Criterion (SBIC). Untuk melihat robustness hasil yang diperoleh dilakukan pula prosedur bootstrap dan rolling regression. Tes structural breakdilakukan dengan menerapkan teknik seperti Quandt (1960) dan Chow testuntuk melakukan tes terhadap known dan unknown break. Untuk mengukur berapa lama waktu yang diperlukan inflasi dalam menyerap 50% shock yang terjadi sebelum kembali ke nilai rata-ratanya, digunakan formula: Dalam paper ini penyebab persistensi inflasi dapat dilihat berdasarkan perilaku inflasi yang melihat ke depan (forward looking) dan ke belakang (backward looking) sebagai berikut: Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah 15 dimana πt adalah inflasi pada waktu t; E t (πt +1) adalah ekspektasi inflasi pada waktu t+1 dengan kondisi informasi pada waktu t, µt adalah output gap dan ξt adalah unsur shock eksogen. Variabel yang signifikan dan memiliki koefisien yang besar adalah variabel yang menjadi sumber utama tekanan inflasi. Berangkat dari analisis mengenai sumber tekanan inflasi tersebut, dilakukan analisis lebih lanjut untuk melihat sumber persistensi inflasi. Dalam analisis sumber persistensi inflasi difokuskan hanya pada 5 komoditi yang memiliki derajat persistensi inflasi tertinggi. Lima komoditi tersebut merupakan komoditi yang sangat penting dalam pengendalian inflasi. Untuk menganalisis sumber persistensi inflasi digunakan anecdotal information dan analisis serta kajian yang pernah dilakukan terkait dengan komoditi tersebut. Informasi yang dikumpulkan antara lain mengenai struktur pasar dan karakteristik inflasi komoditi dimaksud. 3.2 Data Data yang akan digunakan dalam analisis persistensi inflasi ini meliputi: 1. Inflasi bulanan (year-on-year), diukur dengan menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK)total seluruh kota di Indonesia (inflasi Nasional) dan IHK Kota Jakarta, serta IHK 9 daerah lainnya yang memiliki bobot terbesar terhadap inflasi nasional. Adapun data tersebut menggunakan tahun dasar 2002. IHK tersebut dapat dirinci ke dalam 7 (tujuh) kelompok komoditi yang meliputi: (i) Bahan makanan, (ii) Makanan jadi, minuman, rokok & tembakau, (iii) Perumahan, (iv) Sandang, (v) Kesehatan, (vi) Pendidikan, rekreasi & olah raga, dan (vii) Transportasi dan komunikasi. Rentang sampel yang digunakan dimulai sejak Januari 2000 Mei 2008 (Desember 2009 untuk nasional). Sumber data IHK diperoleh dari Biro Pusat Statistik dan International Financial Statistics (IFS). 2. Target inflasi tahunan (sumber: Bank Indonesia) Penggunaan data inflasi year-on-year terutama dilatarbelakangi beberapa alasan sebagaimana yang pernah dikemukakan Babecky (2008) sebagai berikut: 1. Penggunaan data inflasi month-to-month (m-t-m) ataupun quarter-to-quarter (q-t-q) sangat terkait dengan faktor seasonal sehingga dikhawatirkan kurang dapat menggambarkan tingkat persistensi inflasi yang sebenarnya 2. Kedua ukuran inflasi tersebut m-t-m dan q-t-q bukan merupakan ukuran yang dimonitor oleh agen ekonomi tertentu 16 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 3. Bank sentral dalam menentukan target inflasi lebih didasarkan pada perubahan inflasi tahunan (y-o-y). IV. HASIL DAN ANALISIS 4.1 Perkembangan Inflasi Jakarta Inflasi Jakarta memiliki pola yang hampir serupa dengan inflasi nasional.Dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, rata-rata tingkat inflasi Jakarta tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. Baik pada periode sebelum dan setelah krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997/1998, rata-rata inflasi cenderung bertahan pada kisaran angka 8% (di luar periode krisis). Sementara itu, dibandingkan dengan negara-negara di kawasan seperti Malaysia, Thailand dan Filipina pada kurun waktu tersebut, inflasi Indonesia masih relatif lebih tinggi (Alamsyah, 2008). Kecenderungan bertahannya tingkat inflasi pada tingkat yang cukup tinggi tersebut perlu dicermati lebih jauh untuk dapat menentukan langkah-langkah yang tepat dalam pengendaliannya. 90 Jakarta Rata-rata Inflasi Jakarta Nasional Rata-rata Inflasi Nasional 80 70 60 50 40 30 20 10 0 -10 Jan 1986 Jan 1988 Jan 1990 Jan 1992 Jan 1994 Jan 1996 Jan 1998 Jan 2000 Jan 2002 Jan 2004 Jan 2006 Jan 2008 Grafik 2. Perkembangan Inflasi Nasional dan Jakarta dan Nasional Cenderung tingginya tingkat inflasi Jakarta masih terlihat setelah penerapan ITF di Indonesia.Secara formal, ITF mulai diterapkan pada Juli 2005 dengan penetapan target inflasi secara berkala secara transparan. Grafik 3 menggambarkan bahwa realisasi inflasi baik Jakarta maupun Nasional masih seringkali tidak dapat mencapai target yang ditetapkan. Hal ini menggambarkan lambatnya proses penurunan inflasi di Indonesia. Level terendah inflasi tahunan Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah 17 hingga tahun 2008 yang dapat dicapai masih berada di atas 5%. Jika dibandingkan dengan rata-rata inflasi negara yang telah mengadopsi ITF, tingkat inflasi di Indonesia tergolong masih relatif tinggi. 18 Target Inflasi Terendah Inflansi Aktual Nasional Target Inflasi Tertinggi Inflansi Aktual Jakarta 16 14 12 10 8 6 4 2 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Grafik 3. Target dan Realisasi Inflasi Perkembangan inflasi Jakarta juga menunjukkan pola yang hampir serupa dengan inflasi daerah lainnya di Indonesia. Perkembangan inflasi beberapa kota besar di Indonesia secara visual digambarkan pada Grafik 4. 30 25 20 Banjarmasin Surabaya Palembang Padang Bandung Semarang Jakarta Medan Makassar Denpasar Nasional 15 10 5 0 -5 Jan MarMei Jul Sep NovJan Mar Mei Jul SepNov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei 2003 2004 2005 2006 2007 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Grafik 4. Inflasi Beberapa Kota Besar di Indonesia 2008 18 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 Secara statistik deskriptif, perbandingan perilaku inflasi Jakarta berdasarkan central tendency measurement seperti mean, trimmed mean dan median serta dispersi data berupa standar deviasi inflasi diperlihatkan pada Tabel 1. Dari ukuran-ukuran tersebut, perilaku inflasi Jakarta terlihat tidak jauh berbeda dengan inflasi nasional yang ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 1. Statistik Deskriptif Inflasi Kelompok Komoditi Jakarta Periode Data: Januari 2000 - Mei 2008 Full Sampel No Kelompok Komoditi Mean Umum 8,48 Trimmed Median mean 8,44 7,13 Pra - ITF SD 3,75 Mean Trimmed Median mean 7,89 7,98 7,05 Paska - ITF Trimmed Median mean SD Mean 3,29 9,59 9,51 7,65 4,32 SD 3,06 Kelompok Komoditi 1 Bahan makanan 8,66 8,61 9,75 5,16 6,19 6,08 5,79 4,27 13,31 13,36 12,83 2 Makanan jadi, minuman, rokok & tembakau 8,69 8,54 8,53 4,32 8,92 8,83 8,21 4,50 8,25 8,20 8,88 3,96 3 4 Perumahan Sandang 8,80 6,58 8,79 6,51 8,84 6,63 2,38 2,86 9,13 5,96 9,12 5,89 9,30 6,18 1,77 2,80 8,19 7,74 8,15 7,71 7,89 7,81 3,18 2,63 5 Kesehatan 6,07 5,69 4,46 3,64 6,32 5,97 4,37 4,28 5,59 5,57 5,43 1,91 6 Pendidikan, rekreasi & olah raga 9,17 8,63 7,96 6,41 10,41 10,04 8,38 7,51 6,84 6,82 6,47 2,07 7 Transport dan komunikasi 11,23 10,26 9,44 10,22 10,38 10,17 10,28 5,58 12,83 12,38 1,41 15,60 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Pada periode pengamatan full sample, rata-rata inflasi baik Jakarta maupun nasional berada pada level 8%. Demikian pula jika diuraikan ditingkat kelompok komoditi, terlihat bahwa rata-ratanya masih mendekati level tersebut. Sementara itu, rata-rata inflasi baik secara umum maupun kelompok komoditi pada periode pra- dan paska-ITF tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa inflasi di Indonesia masih menunjukkan perilaku Tabel 2. Statistik Deskriptif Inflasi Kelompok Komoditi Nasional Periode data: Januari 2000-Desember 2009 Full Sampel No Kelompok Komoditi Pra - ITF Paska - ITF Trimmed Median Mean mean 9,04 8,94 7,45 Umum Trimmed Median mean 8,36 8,31 7,40 Mean Trimmed Median mean 4,06 7,80 7,91 7,36 3,49 1 Kelompok Komoditi Bahan makanan 8,34 8,64 8,61 6,58 4,80 5,02 6,25 5,78 12,67 12,71 12,38 4,65 2 Makanan jadi, minuman, rokok & tembakau 8,98 8,94 8,79 3,29 8,76 8,68 8,79 3,86 9,25 9,19 8,78 2,44 3 4 Perumahan Sandang 8,94 7,06 8,98 6,98 8,66 6,16 5,12 2,62 9,89 6,74 9,91 6,63 9,83 5,61 2,96 2,87 7,78 7,46 7,72 7,43 6,61 7,16 6,76 2,24 5 6 Kesehatan Pendidikan, rekreasi & olah raga 6,10 8,88 5,94 8,91 5,76 8,71 2,01 6,57 2,74 10,33 6,44 10,41 6,21 10,27 2,40 2,32 5,52 7,11 5,51 7,12 5,35 7,99 1,19 2,09 7 Transport dan komunikasi 9,85 8,97 6,18 9,73 9,39 5,67 9,71 8,98 1,42 15,42 Mean Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah SD 11,11 9,96 SD SD 4,61 Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah 19 yang cenderung persisten paska-ITF. Di samping itu, volatilitas inflasi di kedua periode tersebut juga tidak banyak mengalami perubahan. Adanya shock pada kelompok transportasi dan komunikasi yang dipicu oleh kenaikan harga BBM pada tahun 2005 menjadi salah satu penyebab tingginya standar deviasi inflasi di kelompok tersebut. 4.2 Pengukuran Derajat Persistensi Inflasi Jakarta2 Pemilihan komoditi ditentukan berdasarkan rata-rata sumbangan inflasi terbesar terhadap pembentukan inflasi IHK Jakarta dalam 5 tahun terakhir. Dari sekitar 774 komoditi (termasuk kelompok/sub kelompok komoditi) pembentuk keranjang IHK Jakarta, dipilih 28 jenis komoditi yang mewakili 66,35% dari rata-rata inflasi Jakarta pada periode tersebut. Beras, bensin, angkutan dalam kota, kontrak rumah, sewa rumah, tarif PAM dan minyak tanah merupakan komoditi yang sumbangan inflasinya terbesar dibandingkan dengan komoditi lainnya. Besarnya sumbangan inflasi masing-masing komoditi tersebut dicantumkan pada Tabel 3. Tabel 3. Kontribusi Komoditi Terpilih Pembentuk Inflasi Jakarta No Komoditi Jakarta Umum/total Kontribusi No Komoditi Jakarta Kontribusi 8,12 1 Beras 0,65 15 Gas elpiji 0,09 2 Daging ayam ras 0,07 16 Minyak tanah 0,31 3 Daging sapi 0,04 17 Tarif PAM 0,33 4 Tempe 0,05 18 Tarif listrik 0,21 5 Cabe 0,03 19 Upah pembantu 0,11 6 Minyak goreng 0,07 20 Emas 0,16 7 Ayam goreng 0,08 21 Tarif RS 0,03 8 Mie 0,09 22 SD 0,09 9 Gula pasir 0,07 23 SLTP 0,08 10 Rokok kretek 0,06 24 SLTA 0,08 11 Rokok kretek filter 0,09 25 PT 0,12 12 Kontrak rumah 0,83 26 Angkutan antar kota 0,07 13 Sewa rumah 0,23 27 Angkutan dalam kota 0,72 14 Tukan bukan mandor 0,16 28 Bensin 0,48 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah 2 Waktu penerapan ITF secara formal di Indonesia dimulai sejak Juli 2005 (website Bank Indonesia: www.bi.go.id). Di penelitian lain oleh Harmanta (2009), periode sampai dengan Juni 2005 disebut sebagai Lite-ITF dan sejak Juli 2005 sebagai Full-ITF. 20 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 Tabel 4. Derajat Persistensi Inflasi Kelompok Komoditi dan Komoditi Terpilih √ Jakarta (Sebelum mengakomodir structural break) Periode Pengamatan: Januari 2000 √ Mei 2008 Jumlah Observasi: 101 No Komoditi Umum Derajat Persistensi Inflasi Jakarta* OLS 0,94 Bootstrap 0,79 Rolling Regression 0,90 Kelompok Komoditi 1 Bahan makanan 0,98 0,84 0,86 2 Makanan jadi, minuman, rokok & tembakau 0,92 0,83 0,92 3 Perumahan 0,84 0,61 0,80 4 5 Sandang Kesehatan 0,88 0,93 0,73 0,87 0,87 0,89 6 Pendidikan, rekreasi & olah raga 0,90 0,73 0,77 7 Transport dan komunikasi 0,90 0,74 0,86 Komoditi 1 Beras 0,94 0,88 0,93 2 Daging ayam ras 0,68 0,35 0,49 3 Daging sapi 0,93 0,82 0,91 4 Tempe 0,61 0,86 0,81 5 Cabe 0,72 0,37 0,68 6 Minyak goreng 0,94 0,78 0,85 7 8 Ayam goreng Mie 0,80 0,69 0,67 0,65 0,64 0,40 9 Gula pasir 0,90 Rokok kretek 0,78 0,78 0,87 0,88 10 11 Rokok kretek filter 0,61 0,72 0,84 12 Kontrak rumah 0,90 0,73 0,86 13 Sewa rumah 0,92 0,80 0,85 14 Tukan bukan mandor 0,84 0,51 0,70 15 Gas elpiji 0,78 0,50 0,93 16 17 Minyak tanah Tarif PAM 0,76 0,87 0,78 0,51 0,89 0,73 18 Tarif listrik 0,82 19 Upah pembantu 0,97 n/a 0,77 n/a 0,80 20 Emas 0,90 0,61 0,82 21 Tarif RS 0,80 0,69 0,73 22 SD 0,73 0,59 0,80 23 SLTP 0,80 0,61 0,82 24 SLTA 0,90 0,74 0,70 25 26 PT Angkutan antar kota 0,88 0,84 0,90 0,89 0,86 27 Angkutan dalam kota 0,88 28 Bensin 0,74 0,55 0,78 * Penentuan lag optimum berdasarkan kriteria SBIC, AIC, HQIC Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah 0,63 0,83 0,67 0,86 Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah 21 Disamping pengukuran derajat persistensi inflasi hingga ke level komoditi dominan pembentuk inflasi di Jakarta, dilakukan pula pengukuran tingkat persistensi inflasi IHK berdasarkan disagregasinya, yang terbagi menjadi inflasi inti, inflasi volatile food dan inflasi administered price. Hasil estimasi derajat persistensi inflasi di wilayah Jakarta berdasarkan kelompok komoditi dan komoditi pembentuk IHK Jakarta disajikan pada Tabel 4. Derajat persistensi inflasi tersebut diperoleh dengan menjumlahkan seluruh koefisien AR sesuai dengan lag optimum inflasi masingmasing komoditi/kelompok komoditi. Penentuan lag optimum dilakukan dengan menggunakan kriteria AIC/HQIC/SBIC. Pengukuran derajat persistensi inflasi Jakarta dengan menggunakan 3 teknik yang berbeda menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda, meskipun teknik OLS dan rolling regression memperlihatkan hasil estimasi yang lebih dekat dibandingkan dengan OLS dan bootstrap. Dengan menggunakan full sample, hasil estimasi derajat persistensi Jakarta secara umum menunjukkan bahwa inflasi IHK Jakarta masih sangat persisten. Hal ini sejalan dengan persistensi inflasi nasional yang pada periode pengamatan yang sama juga menunjukkan angka persistensi yang tinggi3. Dari 7 kelompok komoditi pembentuk IHK, hampir seluruhnya menunjukkan derajat persistensi inflasi yang tinggi. Hanya kelompok perumahan yang tingkat persistensi inflasinya tidak setinggi kelompok komoditi lainnya. Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa derajat persistensi inflasi kelompok bahan makanan yang karakteristiknya inflasinya banyak dipengaruhi oleh shock gangguan pasokan dan distribusi terlihat masih cukup tinggi. Sementara itu, kelompok komoditi yang persistensi inflasinya tertinggi yang secara konsisten ditunjukkan oleh hasil estimasi ketiga pendekatan pada Tabel 4 adalah kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau dan kelompok kesehatan. Di tingkat komoditas, beras, daging sapi, minyak goreng, gula pasir, kontrak rumah, dan sewa rumah merupakan beberapa komoditi yang tertinggi tingkat persistensi inflasinya dibandingkan dengan komoditi terpilih lainnya. Tingginya derajat persistensi inflasi tersebut diperkirakan terkait dengan shocks yang banyak memengaruhi perkembangan inflasi di Indonesia pada umumnya. Untuk itu, perlu dilakukan uji untuk melihat apakah terdapat structural break pada data inflasi.Quandt-Andrews test terhadap series inflasi dilakukan untuk melihat apakah terdapat structural break selama periode pengamatan. Berdasarkan hasil tes tersebut, terdapat structural break di series data inflasi umum dan beberapa kelompok komoditi (kelompok perumahan, kelompok pendidikan, 3 Sebagaimana hasil pengukuran derajat persistensi inflasi nasional yang disajikan pada Tabel 4. 22 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 rekreasi & olah raga, dan kelompok transportasi dan komunikasi) serta komoditi (tempe, rokok kretek, rokok kretek filter, gas elpiji, minyak tanah dan SLTA), disajikan pada Tabel 5. Setelah mengakomodir structural break pada series data inflasi Jakarta, derajat persistensi inflasi menunjukkan sedikit perbedaan. Beberapa komoditi memperlihatkan penurunan derajat persistensi inflasi, namun beberapa komoditi lainnya menunjukkan peningkatan. Dengan demikian, untuk Jakarta, keberadaan structural break tidak selalu menyebabkan pengukuran derajat persistensi inflasi yang berlebihan. Tabel 5. Derajat Persistensi Inflasi Kelompok Komoditi dan Komoditi Terpilih √ Dengan dan Tanpa Structural Break √ Jakarta No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Komoditi Umum Perumahan Pendidikan, rekreasi & olah raga Transport dan komunikasi Tempe Rokok kretek Rokok kretek filter Gas elpiji Minyak tanah SLTA Derajat Persisitensi Inflasi Jakarta Tanpa SB Dengan SB 0,94 0,84 0,90 0,90 0,61 0,78 0,61 0,78 0,76 0,90 0,93 0,83 0,87 0,92 0,92 0,86 0,60 0,86 0,96 0,86 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Tingginya derajat persistensi inflasi Jakarta tercermin pula dari lamanya waktu yang dibutuhkan oleh inflasi untuk menyerap 50% shock yang terjadi sebelum kembali ke nilai rataratanya. Dengan melihat hasil estimasi OLS, waktu yang dibutuhkan oleh kelompok komoditi mencapai 5 sampai 13 bulan. Kelompok komoditi dengan derajat persistensi inflasi tertinggi adalah kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau dan kelompok transport dan komunikasi yang memerlukan waktu kurang lebih 12 bulan sebelum kembali ke nilai rataratanya. Sementara kelompok kesehatan memerlukan waktu sekitar 13 bulan. Ketiga kelompok tersebut merupakan kelompok komoditi dengan derajat persistensi inflasi tertinggi yang secara konsisten ditunjukkan oleh 3 teknik pengukuran yang digunakan. Meskipun estimasi OLS yang digambarkan pada Grafik 4 menghasilkan derajat persistensi inflasi yang sangat tinggi untuk kelompok bahan makanan, hasil tersebut tidak didukung oleh 2 teknik lainnya. Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah Bahan Makanan 40,04 Makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 11,94 Perumahan 4,88 Sandang 7,04 Kesehatan 12,81 Pendidikan, rekreasi dan olahraga 6,69 Transport dan komunikasi 11,50 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Grafik 5. Waktu yang Dibutuhkan Inflasi Kelompok Komoditi Kembali ke Nilai Rata-rata (Bulan) √ Jakarta (Setelah mengakomodir structural break) Bensin Angkutan dalam kota Angkutan antar kota PT SLTA SLTP SD Tarif RS Emas Upah pembantu Tarif listrik Tarif PAM Minyak tanah Gas elpiji Tukang bukan mandor Sewa rumah Kontrak rumah Rokok kretek filter Rokok kretek Gula pasir Mie Ayam goreng Minyak goreng Cabe Tempe Daging sapi Daging ayam ras Beras 2,85 7,57 5,12 7,50 6,14 4,09 2,77 3,99 8,90 37,78 4,52 6,90 24,00 6,14 5,16 11,93 4,49 1,50 6,14 8,55 2,21 3,96 16,16 2,56 11,50 13,16 2,09 15,74 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Grafik 6. Waktu yang Dibutuhkan Inflasi Komoditi Kembali ke Nilai Rata-rata (Bulan) √ Jakarta (Setelah mengakomodir structural break) 23 24 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 Dilihat dari komoditi pembentuk keranjang IHK, komoditi yang menunjukkan persistensi tertinggi adalah beras, daging sapi, minyak goreng, gula pasir, kontrak rumah dan sewa rumah. Sementara itu, komoditi yang memperlihatkan derajat persistensi terendah sebagian besar berasal dari kelompok bahan makanan, seperti daging ayam ras dan cabe. Disamping itu, mie yang termasuk dalam kelompok makanan jadi juga memperlihatkan tingkat persistensi yang relatif paling rendah dibandingkan dengan komoditi terpilih lainnya. Waktu yang dibutuhkan inflasi komoditi kembali ke rata-ratanya juga mendukung hasil pengukuran derajat persistensi tersebut (Grafik 6). Tabel 6. Derajat Persistensi Inflasi Berdasarkan Disagregasi Inflasi √ Jakarta Inflasi bulanan (y-o-y) pada periode Jan 2003 - Mar 2008 No Komoditi Derajat Persistensi Inflasi Jakarta* OLS Bootstrap Rolling Regression 1 Inflasi IHK 0,89 0,74 0,91 2 Inflasi Inti 0,88 0,69 0,89 3 Inflasi Administered Price 0,89 0,72 0,89 4 Inflasi Volatile Food 0,92 0,81 0,86 * Penentuan lag optimum berdasarkan kriteria SBIC, AIC, HQIC Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Dilihat berdasarkan disagregasinya, inflasi Jakarta terbagi menurut inflasi inti, inflasi administered price, dan inflasi volatile food. Tabel 6 mencantumkan hasil estimasi derajat persistensi inflasi Jakarta dengan menggunakan 3 teknik yaitu OLS, bootstrap dan rolling regression. Ketiga jenis inflasi tersebut masih sangat persisten pada periode pengamatan, terlihat Inflasi IHK Inflasi Inti Inflasi Administered Price Inflasi Volatile Food 8,28 7,13 7,74 11,98 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Grafik 7. Waktu Kembali ke Rata-rata (Bulan) - Inflasi Jakarta Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah 25 dari derajat persistensi inflasi yang tergolong masih tinggi (0.88 - 0.92), sehingga untuk kembali ke rata-ratanya membutuhkan waktu antara 7-12 bulan (Grafik 7). Gambaran pemetaan hasil estimasi derajat persistensi inflasi yang telah dilakukan dengan menggunakan full sample dan tingkat inflasi masing-masing komoditi ditampilkan pada Gambar 1. Persistensi Inflasi Kuadran Kuadran 2 Upah pembantu Daging sapi Sewa rumah Kontrak rumah Tarif RS Ayam goreng Mie Beras Tempe Gula pasir Minyak goreng Emas SLTA SLTP PT Tarif PAM 1 Tarif listrik Rokok kretek Gas elpiji Minyak tanah Angkutan dalam kota Angkutan antar kota Tukang bukan mandor Inflasi Cabe Daging ayam ras SD SLTP Rokok kretek filter Bensin Kuadran Kuadran 3 4 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Gambar 1. Mapping Inflasi Jakarta Di kuadran 1 adalah komoditi dengan tingkat persistensi inflasi tinggi dan inflasi tinggi, di kuadran 2 adalah komoditi dengan dengan tingkat persistensi inflasi tinggi dan inflasi rendah, di kuadran 3 adalah komoditi dengan dengan tingkat persistensi inflasi rendah dan inflasi rendah, dan di kuadran 4 adalah komoditi dengan dengan tingkat persistensi inflasi rendah dan inflasi tinggi. Penggolongan ke dalam tiap kuadran didasarkan pada kategori inflasi tinggi apabila tingkat inflasi > 10% dan persistensi inflasi tinggi apabila > 0,80. Berdasarkan pemetaan tersebut, perhatian lebih perlu diarahkan kepada komoditi-komoditi yang terletak di kuadran 1. Namun demikian, komoditi-komoditi tersebut sebagian merupakan komoditi administered price yang harganya dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, seperti tarif listrik, tarif PAM, rokok kretek, gas elpiji, minyak tanah, angkutan dalam kota, angkutan antar kota. Hal ini mengimplikasikan perlunya koordinasi yang lebih baik antara pemerintah dengan bank sentral dalam upaya pengendalian inflasi di daerah. 26 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 4.3 Penyebab Persistensi Inflasi Jakarta Pendekatan lain untuk melihat penyebab peristensi inflasi adalah dengan menggunakan model Hybrid New Keynesian Philips Curve, mengikuti beberapa penelitian terdahulu, antara lain oleh Alamsyah (2008) dan Mehrotra et al (2007). Dengan metode ini, penyebab persistensi inflasi dilihat berdasarkan perilaku inflasi yang melihat ke depan (forward looking) dan ke belakang (backward looking). Kedua perilaku tersebut tergambar dari model Hybrid NKPC yang menangkap karakteristik persistensi inflasi sebagai berikut: Tabel 7. Hasil Estimasi Hybrid NKPC NKPC 2SLS Regression Sampel Jumlah Observasi Variabel dependen Independen variabel : 2000Q1 - 2009Q4 : 37 : Inflasi Koefisien Parameter L1.Inflasi 0,46*** (0,08) 0,54*** (0,08) 0,18 0,22 0,07 (0,25) F.Inflasi Outputgap Konstanta R-squared 0,79 Instrument Variables : L2.Inflasi Pertumbuhan harga minyak Estimasi model hybrid NKPC dilakukan dengan menggunakan teknik 2SLS (Two Stages Least Squares), dengan menambahkan restriksi parameter inflasi sehingga menjadi sama dengan 1. Hasil estimasi yang disajikan pada Tabel 7 menunjukkan bahwa inflasi Jakarta pada periode pengamatan berperilaku campuran, dipengaruhi oleh ekspektasi inflasi ke depan (forward looking) dan ke belakang (backward looking). Hal ini ditunjukkan oleh magnitude kedua parameter yang hampir seimbang menandakan bahwa pengaruh ekspektasi forwad dan backward looking tidak jauh berbeda. Disamping itu, pengujian dengan menggunakan Wald test juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara koefisien Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah 27 forward dan backward looking inflasi Jakarta. Kondisi tersebut memperlihatkan perlunya upaya yang lebih intensif untuk mengubah perilaku ekspektasi inflasi ke arah forward looking. Sementara itu, data output gap diperoleh dengan menggunakan teknik HP filter. Untuk Jakarta, terlihat bahwa parameter output gap tidak cukup signifikan memengaruhi inflasi Jakarta. Dengan demikian, pengaruh output gap terhadap inflasi belum dapat disimpulkan. Inflasi yang tinggi menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian. Inflasi yang tinggi akan memberikan ketidakpastian bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan selain akan memengaruhi daya beli masyarakat terutama yang berpendapatan tetap. Pengelolaan ekonomi akan menjadi lebih sulit bila tingkat inflasi yang terbentuk menjadi persisten. Sesuai dengan salah satu definisi mengenai persistensi inflasi, laju inflasi akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk kembali kepada tingkat sebelum terjadi kejutan (shock). Demikian pula dengan proses konvergensi inflasi yang memerlukan waktu lebih lama. Hal tersebut dapat berimplikasi terhadap besarnya upaya yang diperlukan untuk menurunkan tingkat inflasi. Persistensi inflasi yang tinggi di Jakarta memberikan implikasi bahwa upaya penurunan inflasi nasional akan menjadi tantangan yang lebih besar mengingat kota Jakarta memiliki bobot yang terbesar dalam pembentukan inflasi nasional. Berdasarkan hasil asesmen, tingginya derajat persistensi inflasi di Jakarta antara lain diakibatkan oleh tingginya derajat persistensi inflasi yang terjadi pada kelompok volatile food dan kelompok administered price. Hal ini berimplikasi pada diperlukannya koordinasi yang lebih kuat antara Pemerintah dengan Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi. Sementara untuk kelompok administered price sangat bergantung pada upaya Pemerintah untuk mengatur timing dan magnitude kebijakan di bidang harga (dan pendapatan) sehingga memberikan dampak yang minimal terhadap inflasi. Inflasi volatile food dan administered price yang tinggi akan mempengaruhi ekspektasi inflasi sehingga dapat mempersulit upaya pengendalian inflasi daerah. Koordinasi yang baik melalui forum-forum koordinasi yang telah ada seperti rapat koordinasi Dewan Gubernur BI dengan Pemerintah, forum penetapan sasaran inflasi, serta Tim Pengendalian Inflasi ke depan perlu lebih dioptimalkan lagi. Terkait dengan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID), target pembentukannya diseluruh daerah di Indonesia (mencakup 66 kota) perlu dipantau agar dapat terealisasi, mengingat pentingnya peranan pengendalian inflasi daerah untuk mencapai inflasi nasional yang rendah dan stabil. Di samping itu, peran TPID dapat dioptimalkan perannya apabila dilakukan pula dengan koordinasi lintas wilayah (antar daerah), terutama dengan daerah yang memiliki keterikatan ekonomi yang besar. Disamping itu, perannya dalam pengembangan sistem informasi (data 28 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 base) yang baik untuk kepentingan pemantauan komoditas penyumbang inflasi terbesar perlu direalisasikan sehingga dapat dimanfaatkan lebih jauh untuk penentuan kebijakan harga di tingkat daerah. Upaya pengendalian inflasi di daerah selanjutnya diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap proses konvergensi inflasi antar daerah yang lebih cepat, sehingga pengendalian inflasi daerah dapat lebih mudah dilakukan. Kebijakan pengendalian inflasi melalui kebijakan moneter di tingkat nasional pada gilirannya diharapkan mampu menjadi semakin efektif. Isu konvergensi dan koordinasi pengendalian inflasi lintas daerah ini, khususnya kota Jakarta dengan daerah lain, akan menjadi topik yang menarik untuk diangkat dalam paper selanjutnya 4. Sementara itu, sumber tekanan inflasi dari ekspektasi inflasi yang masih dipengaruhi secara signifikan oleh ekspektasi backward looking memberikan implikasi perlunya diseminasi informasi dan kebijakan yang lebih intensif untuk mengarahkan ekspektasi inflasi menjadi lebih ke arah forward looking, agar tingkat inflasi dapat diturunkan ke tingkat yang rendah dan stabil. Upaya tersebut tidak terlepas dari kredibilitas otoritas penentu kebijakan yang senantiasa perlu dipelihara dan ditingkatkan. V. KESIMPULAN Penelitian ini memberikan beberapa kesimpulan penting, pertama, pengujian empiris menunjukkan bahwa inflasi IHK Jakarta memiliki derajat persistensi yang tinggi. Demikian pula jika dilihat berdasarkan disagregasinya, inflasi administered price, dan inflasi volatile fooddi Jakarta tergolong masih sangat persisten pada periode pengamatan. Kelompok komoditi yang tertinggi derajat persistensinya adalah kelompok makanan jadi, minuman, rokok & tembakau dan kelompok kesehatan. Sedangkan ditingkat komoditas adalah beras, daging sapi, minyak goreng, gula pasir, kontrak rumah, dan sewa rumah. Tingginya derajat persistensi inflasi Jakarta tercermin pula dari lamanya waktu yang dibutuhkan oleh inflasi untuk menyerap 50% shock yang terjadi sebelum kembali ke nilai rata-ratanya. Di Jakarta, kelompok komoditi sebagian besar membutuhkan waktu antara 5-12 bulan untuk kembali ke rata-ratanya sebelum terjadinya shock, sementara untuk komoditi sebagian besar membutuhkan waktu antara 3-12 bulan. Kesimpulan kedua, dengan mengacu pada hasil estimasi model hybrid NKPC, ditemukan bahwa inflasi Jakarta berperilaku campuran, yang merupakan kombinasi antara perilaku forward dan backward looking. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian perilaku inflasi nasional oleh Alamsyah (2008). 4 Arimurti dan Trisnanto, ≈Konvergensi inflasi antar daerah di Indonesia∆, forthcoming paper. Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah 29 Kesimpulan ketiga, penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab tingginya derajat persistensi inflasi di Jakarta antara lain diakibatkan oleh tingginya derajat persistensi inflasi kelompok volatile food dan kelompok administered price. Inflasi volatile food dan administered price yang tinggi memengaruhi ekspektasi inflasi sehingga hal tersebut dapat mempersulit upaya pengendalian inflasi daerah. Temuan di atas memiliki implikasi kebijakan yakni perlunya diseminasi informasi dan kebijakan yang lebih intensif untuk mengarahkan ekspektasi inflasi menjadi lebih ke arah forward looking, agar tingkat inflasi dapat diturunkan ke tingkat yang rendah dan stabil. Selain itu, temuan ini juga berimplikasi terhadap perlunya pengoptimalan koordinasi melalui forum-forum koordinasi yang telah ada seperti rapat koordinasi Dewan Gubernur BI dengan Pemerintah, forum penetapan sasaran inflasi, serta Tim Pengendalian Inflasi. 30 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 DAFTAR PUSTAKA Alamsyah, H. (2008). Persistensi Inflasi dan Dampaknya terhadap Pilihan dan Respons Kebijakan Moneter di Indonesia. Dissertation . Angeloni, I., Aucremanne, L., Ehrmann, M., Gali, J., Levin, A., & Smets, F. (2004). Inflation Persistence in the Euro Area : Preliminary Summary of Findings. Babecky, J., Corricelly, F., & Horvath, R. (2008, June). Assessing Inflation Peristence: Micro Evidence on an Inflation Targeting Economy. CERGE-EI . Batini, N. (2002, December). Euro Area Inflation Persistence. European Central Bank Working Paper Series . Debelle, G., & Wilkinson, J. (2002). Inflation Targeting and the Inflation Process: Some Lessons from an Open Economy. Research Bank of Australia - Research Discussion Paper 2002-01 . Dossche, M., & Everaert, G. (2005, June). Measuring Inflation Persistence: A Structural Time Series Approach. National Bank of Belgium Working Paper . Federal Reserve Bank of San Fransisco. (2006, October 13). Inflation Persistence in an Era of Well-Anchored Inflation Expectations. FRBSF Economic Letter . Harmanta. (2009). Kredibilitas Kebijakan Moneter dan Dampaknya terhadap Persistensi Inflasi dan Strategi Disinflasi di Indonesia: dengan Model Dynamic Stochastic General Equilibrium (DSGE). Jakarta: Fakultas Ekonomi Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia. Levin, A. T., & Piger, J. M. (2004, April). Is Inflation Persistence Intrinsic in Industrial Economies? European Central Bank Working Paper Series . Marques, C. R. (2005). Inflation Peristence: Facts or Artefacts? Economic Bulletin . Marques, C. R. (2004, June). Inflation Persistence: Facts or Artefacts? European Central Bank Working Paper Series . O»Reilly, G., & Whelan, K. (2004, April). Has Euro-Area Inflation Persistence Change Over Time? European Central Bank Working Paper Series . Pivetta, F., & Reis, R. (2006). The Persistence of Inflation in the United States. Journal of Economic Dynamics and Control , April. Stock, J. H. (2004, December). Inflation Persistence in the Euro Area: Evidence from Aggregate and Sectoral Data. Tim Inflasi. (2007). Persistensi Inflasi Inti. Isu Strategis. Bahan Rapat Dewan Gubernur 4 Januari. Jakarta: Bank Indonesia. Willis, J. L. (2003). Implications of Structural Changes in the U.S. Economy for Pricing Behavior and Inflation Dynamics. Federal Reserve Bank of Kansas City Economic Review . Yanuarti, T. (2007). Has Inflation Persistence in Indonesia Changed? Analisa Sovereign Risk Negara Berkembang: Temuan dari Perilaku Premi Credit Default Swap 31 ANALISA SOVEREIGN RISK NEGARA BERKEMBANG: TEMUAN DARI PERILAKU PREMI CREDIT DEFAULT SWAP Moch. Doddy Ariefianto dan Soenartomo Soepomo 1 Abstract Persepsi pelaku pasar asing terhadap perekonomian domestik dapat diukur melalui sovereign risk. Risiko ini merupakan hasil evaluasi/assestment lembaga rating mengenai probabilitas suatu entitas berdaulat (negara) akan melakukan wanprestasi terhadap kewajiban komersialnya (Beers dan Cavanaugh, 2006). Wanprestasi ini terjadi baik karena ketiadaan kapasitas maupun kesengajaan. Pengukuran persepsi risiko ini telah cukup lama dilakukan melalui rating oleh suatu lembaga pemeringkat. Menjelang akhir abad ke 20, suatu instrumen baru yakni Credit Default Swap (CDS) muncul sebagai suatu alat pengukuran sovereign risk. Sebagai suatu instrumen yang melakukan lindung nilai terhadap kemungkinan default hutang, maka secara alamiah premi dari CDS akan merefleksikan kemampuan membayar. Terkait dengan konteks sovereign, maka kemampuan membayar ini dapat dihubungkan dengan berbagai variabel ekonomi makro domestik dan global (aspek fundamental). Studi ini melakukan analisa ekonometris hubungan premi CDS terhadap variabel-variabel yang biasa digunakan sebagai penjelas sovereign rating. Berdasarkan literatur empiris yang ada diantaranya Beers dan Cavanaugh (2006), Weigel dan Gemmil (2006) serta Ismailescu dan Kazemi (2010), 9 variabel ekonomi makro yakni pertumbuhan PDB, inflasi, depresiasi, yield spread (terhadap US Treasury), rasio hutang pemerintah, cadangan devisa, rasio defisit fiskal, neraca berjalan dan global risk appetite digunakan untuk menjelaskan pergerakan CDS tenor 5 tahun. Suatu dataset panel yang terdiri atas 10 negara berkembang pada periode 2004-2009 (frekuensi tahunan) digunakan untuk memverifikasi pola hubungan yang ada. Estimasi dengan ekonometrika panel data menemukan risk appetite global sebagai variabel pengaruh terpenting disusul dengan cadangan devisa dan yield spread. Hal ini konsisten dengan literatur empiris yang ada serta menunjukkan keterkaitan yang tinggi perekonomian negara berkembang dengan siklus ekonomi dunia. Keywords : Sovereign Risk, Credit Default Swap, Fundamental Ekonomi Makro, Panel Data JEL Classification : F34 F32 G13 G15 C23 1 Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Ma Chung Malang, Penulis dapat dihubungi pada [email protected] dan [email protected]. 32 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 I. PENDAHULUAN Hutang luar negeri sudah menjadi bagian penting dalam pendanaan pembangunan suatu negara berkembang. Pembiayaan eskternal ini diperlukan dalam rangka menutupi saving- investment gap yang biasanya adalah negatif. Hutang luar negeri ini dapat timbul dalam berbagai bentuk seperti hutang pemerintah, surat hutang negara, obligasi korporasi, pinjaman bilateral-multilateral, dsb. Harga pinjaman tersebut sangat tergantung dengan skema, kondisi ekonomi (fiskal dan moneter) dan reputasi. Beberapa dekade belakangan ini, terdapat suatu trend institusi yang melakukan spesialisasi dalam melakukan valuasi hutang. Institusi ini, sering disebut sebagai lembaga pemeringkat, mengukur secara kuantitatif dan kualitatif kemampuan membayar (risiko kredit) suatu entitas dan memberikan suatu peringkat sebagai ukuran. Khususnya untuk entitas berdaulat (sovereign), pemeringkatan telah dilakukan sejak 1975 oleh Standard & Poors (Beers dan Cavanaugh, 2006). Pengukuran risiko kredit sebenarnya bukan suatu hal yang baru. Suatu model risiko kredit dalam bentuk probabilitas default telah disusun oleh Altman dengan statistik Z nya yang terkenal ditahun 1968. Perkembangan pemodelan risiko kredit sudah sangat maju dan mencakup baik dari kemutakhiran teknik statistik maupun kalibrasi variabel-variabel yang digunakan. Cantor (2004) memberikan suatu review mengenai kondisi terkini pemodelan risiko kredit. Risiko kredit suatu negara (sovereign risk) menjadi perhatian yang sangat besar dikalangan investor. Berbeda dengan risiko kredit swasta, investor tidak dapat melakukan sita agunan atau penghasilan ketika terjadi event default. Dengan demikian arti valuasi kredit bagi pinjaman oleh negara menjadi lebih penting lagi. Seperti juga halnya risiko kredit korporasi, sovereign risk juga sangat dipengaruhi oleh kondisi dalam negeri dan luar negeri (Beers dan Cavanaugh, 2006). Kondisi yang berpengaruh dari dalam negeri meliputi baik ekonomi maupun politik. Tekanan fiskal, misalnya akibat hutang dan defisit yang terlalu besar dapat memaksa pemerintah untuk melakukan penundaan pembayaran cicilan dan bunga hutang. Demikian juga halnya dengan perubahan rezim yang terjadi melalui pergolakan politik. Rezim berkuasa dapat menolak mengakui hutang yang dibuat oleh pemerintahan terdahulu. Pola interaksi perekonomian modern saat ini memiliki karakter keterkaitan yang sangat tinggi. Secara praktis sudah tidak ada negara yang dapat mengisolasikan dirinya dari berbagai gejolak yang ada diperekonomian global. Krisis sub prime mortgage di US tahun 2007 dan kontraksi perekonomian dunia ditahun 2008-2009 adalah bukti nyata dari tingginya keterkaitan suatu negara dengan negara lainnya. Dengan demikian dapat terjadi suatu negara mengalami Analisa Sovereign Risk Negara Berkembang: Temuan dari Perilaku Premi Credit Default Swap 33 kejatuhan kondisi ekonomi akibat imbas dari luar. Hal ini selanjutnya dapat mendorong pemerintahan yang ada untuk merestrukturisasi kembali skedul pembayaran hutang yang ada. Trend lanjutan dalam pengelolaan risiko kredit yang terjadi diawal abad ke 21 adalah kemunculan Credit Default Swap (CDS). Instrumen derivatif ini memiliki fungsi seperti suatu asuransi surat hutang/pinjaman suatu entitas. Pembeli CDS (disebut sebagai protection buyer) dapat menukar surat hutang yang dimilikinya dengan cash sebesar nilai nominal hutang (face value) kepada penjual CDS (protection seller) ketika terjadi event default (Taylor, 2007). Untuk memperoleh proteksi ini, pembeli CDS harus membayar suatu premi tertentu (biasanya suatu persentase dari nilai hutang). (USD trilions, December 2001 - December 2008) 700 (USD 41,9 trilion in, December 2008) 600 Credit Default Swaps Commodity Contracts Equity-Linked Contracts 500 Credit Default Swaps Foreign Exchange Contracts 700 600 500 400 400 300 300 200 200 100 100 0 Des Juni 2005 Des Juni 2006 Des Juni 2007 Des Juni 2008 0 Des Grafik 1. Perkembangan CDS Data Bank for International Settlement (BIS) menunjukkan, sejak diperkenalkan diawal tahun 2005, nilai kontrak CDS telah mencapai USD 41.9 Triliun per Desember 2008 (lihat Grafik 1). Meskipun mengalami perkembangan cukup pesat, namun posisi CDS terhitung kecil diantara berbagai instrumen derivatif lainnya. Interest derivative misalnya memiliki nilai USD 403 Triliun pada periode yang sama. Meskipun reputasinya terkena dampak negatif akibat krisis sub prime, Hull (2011) memperkirakan instrumen ini masih memiliki prospek yang sangat cerah di masa depan. Perkembangan CDS sovereign bagi negara-negara berkembang juga dimulai pada periode yang sama. Terdapat korelasi yang sangat tinggi antara pergerakan CDS dengan perubahan 34 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 rating suatu negara (Ismailescu dan Kazemi, 2010). Dengan demikian dapat diduga bahwa variabel-variabel yang melandasi perubahan rating juga dapat menjelaskan pergerakan CDS. Lebih lanjut dengan karakter instrumen pasar finansial, bahkan dapat diduga bahwa CDS memiliki potensi sebagai leading indicator. Penelitian ini dilakukan untuk mengungkapkan hubungan antara variabel CDS dengan variabel penjelas sovereign rating. Hasil studi diharapkan dapat memberikan manfaat tidak hanya bagi kalangan akademisi: sebagai sumbangan literatur empiris yang masih jarang namun juga bagi pengambil kebijakan. Temuan empiris yang diperoleh diyakini dapat menjadi masukan bagi otoritas khususnya terkait dengan pengelolaan persepsi risiko kredit negara. Artikel ini terdiri atas lima bagian. Bagian pertama merupakan pendahuluan yang akan menjelaskan latar belakang dan motivasi penelitian. Selanjutnya akan dibahas mengenai teori dan literatur empiris mengenai CDS yang ada saat ini. Bagian ketiga akan menguraikan metodologi penelitian serta skema empiris yang digunakan. Bagian keempat akan membahas temuan empiris yang diperoleh serta catatan teknis yang ada. Tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan yang memuat rangkuman serta implikasi kebijakan. II. TEORI 2.1. Overview Valuasi CDS Duffie (1999) menyarankan cara pandang CDS sebagai swap defaultable floating rate notes terhadap default free floating rate note. Sebagai suatu swap, pemilik CDS memiliki hak untuk menukar cash flow dari instrumen yang defaultable (yang ia miliki) dengan cash flow dari instrumen default free yang dimiliki penjual swap. Adapun hal yang dapat digunakan untuk memicu pertukaran ini adalah terjadinya credit event. Credit event ini dapat berbentuk berbagai hal mulai dari outright default dari penerbit underlying securities, restrukturisasi, reskeduling, atau bahkan hanya sekedar penundaan pembayaran bunga/ cicilan (Hull, 2011). Skinner dan Townend (2002) disisi yang lain menggunakan pendekatan put option dalam menilai CDS. Sebagai suatu put option, pembeli CDS memiliki hak untuk menjual surat berharga yang dimilikinya pada par value ketika terjadi credit event. Lebih lanjut mereka juga berargumen bahwa premi dari CDS memenuhi put and call parity sbb: (1) Analisa Sovereign Risk Negara Berkembang: Temuan dari Perilaku Premi Credit Default Swap 35 Dimana X adalah strike price dari option (par value), B adalah nilai dari surat berharga yang memiliki risiko kredit, p adalah premi CDS, D nilai coupon dari surat berharga dan r adalah suku bunga bebas risiko. Mereka menunjukkan pertidak samaan ini akan terpenuhi, sehingga premi CDS adalah analog dengan premi suatu opsi. Whetten et al (2004), disisi yang lain menggunakan pendekatan asuransi. Seorang pembeli CDS memperoleh asuransi atas minimal harga underlying securities. Apabila terjadi event credit maka pembeli CDS dapat menukarkan surat berharga yang dimilikinya dengan cash pada par value. Pada skema lain, pembeli CDS dapat menjual sendiri surat berharga yang dimilikinya dan penjual CDS akan mengkompensasi kekurangan dari par value. Dengan perkataan lain, penjual CDS hanya membayar (1-α), dimana α adalah nilai pasar surat berharga pasca credit event (recovery rate), lihat Grafik 2. CDS Spreads (bps) Protection Buyer Protection Seller 1 - Recovery rate (%) Trigger Event Reference Entity Sumber : Whetten et al (2004) Grafik 2. Skema CDS Dengan menggunakan pendekatan dari Whatten et al (2004), premi dari CDS dapat diukur dengan cara sbb: 1. Terdapat 2 tipe arus kas dari transaksi CDS, yakni arus tetap yang merupakan pembayaran premi dari pembeli CDS dan arus kontijen (contingency cash flow), yakni arus kas yang dibayar oleh penjual CDS hanya jika credit event terjadi. 2. Nilai CDS (bagi si pembeli) adalah nilai sekarang dari seluruh arus kontijen dikurangi dengan arus tetap. 36 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 3. Nilai arus tetap tergantung atas nominal premi setiap periode dan survivalability 2. Jika premi dinotasikan dengan S, di adalah periode pembayaran (sebagai suatu fraksi tahunan), q(ti) adalah survival rate dan D(ti) adalah discount factor yang sesuai, maka nilai saat ini dari arus tetap dapat dihitung dengan formula sbb3: (2) 4. Sedangkan jumlah arus kontijen dapat dihitung sebagai selisih kurang dari recovery rate (R) terhadap par value, atau (3) 5. Dalam kondisi ekuilibrium, nilai premi akan menyeimbangkan pembayaran dari arus tetap dengan kontijen, dengan perkataan lain (4) 6. Dengan sedikit operasi matematis, maka dapat diperoleh valuasi premi CDS sbb (5) 2.2. Pendekatan Sovereign Rating Terhadap Premi CDS4 Sovereign rating adalah suatu evaluasi terhadap risiko kredit yang ada pada suatu entitas pemerintahan nasional, tetapi tidak secara spesifik terhadap issuer tertentu. Rating ini mencerminkan evaluasi risiko kredit kepada seluruh entitas lain yang ada pada suatu negara. Rating kredit entitas lain tersebut biasanya akan lebih kecil atau sama dengan sovereign rating. Dengan demikian arti sovereign rating menjadi sangat penting, mengingat biaya kredit berbagai entitas didalam negeri akan terpengaruh apabila sovereign rating mengalami degradasi. 2 Apabila credit event terjadi maka pembeli CDS tidak lagi perlu membayar. Dengan demikian terdapat probabilitas bahwa pada suatu periode, pembeli CDS tidak perlu membayar premi karena terjadi credit event. Satu minus probability ini disebut dengan survivalability. 3 Bagian kedua dari formula 2 adalah nilai akrual pembayaran premi jika default terjadi diantara waktu pembayaran ti-1 dan ti. 4 Sebagian besar materi pada bagian ini dirangkum dari Beers dan Cavanaugh (2006). Analisa Sovereign Risk Negara Berkembang: Temuan dari Perilaku Premi Credit Default Swap 37 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 1820 1830 1840 1850 1860 1870 1880 1890 1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000* Sumber : Beers dan Cavanugh (2006) Grafik 3. Sovereign Default 1800-2000. Kejadian sovereign default sudah menurun dekade 1970-1980-an namun kembali meningkat meskipun masih jauh dibawah rata-rata periode 1900-1950 (lihat grafik 3). Hal ini terjadi karena faktor-faktor tradisional (seperti peperangan, revolusi serta kebijakan yang tidak prudent) yang melatari jatuhnya kondisi fiskal juga jauh berkurang. Pada era modern saat ini, lemahnya tata kelola hutang, produktivitas perekonomian yang rendah, serta kewajiban kontijen (dari kejatuhan sistem perbankan) adalah faktor utama pemicu sovereign default. Perhitungan rating kredit dilakukan melalui suatu proprietary model yang melibatkan aspek kuantitatif sekaligus kualitatif (Cantor, 2004). Meskipun teknik perhitungan maupun variabel dapat berbeda dari suatu institusi ke institusi yang lain, namun suatu benang merah analisa dapat dikemukakan. Pertama, terdapat dua komponen dari evaluasi kredit, yakni rating dan outlook. Rating memberikan tingkat/nilai valuasi agency terhadap posisi (standing) risiko kredit suatu institusi saat ini. Gradasi rating dapat bervariasi, namun umumnya terdiri dari sangat tinggi hingga default. Sedangkan outlook (atau juga disebut watchlist) memberikan arah dugaan/prospek risiko kredit tersebut dalam suatu periode kedepan (biasanya 6 bulan hingga 2 tahun). Outlook ini terdiri dari : a. Stabil: jika rating tidak diharapkan berubah, b. Positif: jika rating diperkirakan meningkat dan, c. Negatif jika rating diperkirakan menurun5. 5 Bannier dan Hirsch (2010) melakukan suatu studi empiris yang sangat menarik mengenai penggunaan rating outlook serta bagaimana ia mempengaruhi persepsi investor. 38 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 Kedua, variabel-variabel ekonomi makro dan politik digunakan untuk mengukur rating serta prospek risiko kredit. Sebagai contoh Standard & Poor menggunakan kelas/kategori variabel sebagai berikut : a. Risiko Politik b. Struktur ekonomi agregat c. Prospek pertumbuhan ekonomi d. Kondisi dan kebijakan fiskal e. Posisi kontijen (dalam dan luar negeri) f. Kondisi dan kebijakan moneter g. Kondisi dan kebijakan eksternal Bagaimana kombinasi dari variabel-variabel ini digunakan banyak dilakukan melalui judgement dan tidak tetap. Kondisi ekonomi dan politik yang dinamis menyebabkan bobot pengaruh suatu variabel berubah dari waktu ke waktu. Namun demikian suatu konsistensi dalam hierarki analisis tetap digunakan. Sebagai contoh semakin besar defisit fiskal suatu negara maka semakin besar kemungkinan rating kreditnya semakin rendah (lihat Grafik 4.a). Tidak ada suatu faktor yang dominan, suatu variabel tetap dilihat secara relatif. Grafik 4b, menunjukkan bahwa median tingkat rasio hutang pemerintah terhadap PDB pada rating AA justru lebih tinggi dari pada A. (%) 0,5 45 0,0 40 35 (0,5) 30 (1,0) 25 (1,5) 20 (2,0) 15 (2,5) 10 (3,0) 5 0 (3,5) AAA Median AA Median A Median BBB Median BB Median B Median AAA Median AA Median A Median BBB Median BB Median B Median Sumber : Beers dan Cavanugh (2006) Sumber : Beers dan Cavanugh (2006) (a) Rasio Defisit Fiskal Thd PDB (b) Rasio Hutang Pemerintah Thd PDB Grafik 4. Evaluasi Dalam Credit Rating S&P. Analisa Sovereign Risk Negara Berkembang: Temuan dari Perilaku Premi Credit Default Swap 39 Terdapat hubungan yang negatif antara premi CDS dengan sovereign rating. Negaranegara dengan rating sovereign yang lebih rendah rata-rata membayar premi CDS yang lebih tinggi (lihat Grafik 5). Dengan demikian dapat disimpulkan meskipun CDS adalah suatu instrumen derivatif yang tradeable, para pelaku pasar (trader) tetap mendasarkan keputusan pembelianpenjualan didasarkan pola yang kurang lebih sejalan dengan rating kredit. 1000 Venezuela 800 600 Latvia 400 Philippines Vietnam Egypt Romania 200 Turkey Indonesia Panama Morocco 0 BB- BB BB+ Hungary Colombia India Brazil Peru Kazakhstan BBB- Thailand BBB+ Malaysia A- Grafik 5. Hubungan Premi CDS dengan Sovereign Rating S&P. 2.3. Review Studi Empiris Mengingat CDS adalah suatu instrumen yang baru aktif diperdagangkan, studi empiris yang mengeskplorasi produk ini belum banyak dilakukan. Skinner dan Townend (2002) adalah suatu studi empiris pertama yang menggunakan pendekatan regresi linier terhadap premi CDS. Dengan mengasumsikan CDS sebagai suatu put option, mereka mengestimasi suatu model linier yang menghubungkan premi dengan variabel standar penjelas harga opsi seperti: suku bunga bebas risiko, yield serta volatilitas underlying instrument, jangka waktu serta strike price (artificial). Data yang digunakan adalah 29 titik realisasi perdagangan CDS sovereign US pada periode September 1997 dan 1999. Setelah memperhitungkan dampak krisis Asia mereka menemukan bahwa 4 dari 5 koefisien variabel yang digunakan menghasilkan tanda aljabar yang sesuai hipotesis dan signifikan. Weigel dan Gemmil (2006) membangun suatu instrumen khusus (disebut dengan distance to default) dari proses statistik yield 4 negara berkembang: Argentina, Brazil, Mexico dan 40 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 Venezuela. Sebagai variabel penjelas digunakan berbagai indikator ekonomi makro dan pasar, yang dikategorikan sebagai global, regional dan country specific. Mereka menemukan bahwa variabel country specific hanya menjelaskan 8% dari explained variance. Bagian terbesar (45%) dijelaskan oleh faktor regional terutama melalui keterkaitan pasar keuangan. Sebesar 20% dipengaruhi oleh faktor global (yang diproksikan oleh return pasar modal US). 20% variance tidak dapat dijelaskan oleh faktor yang digunakan oleh model. Salah satu indikator leading adanya masalah ekonomi yang dihadapi suatu negara adalah nilai tukar. Dengan demikian secara alamiah dapat diduga hubungan yang positif diantara tekanan nilai tukar dengan CDS. Hipotesis ini telah diverifikasi oleh Carr dan Wu (2007). Dengan menggunakan data mingguan Brazil dan Mexico (pada periode Januari 2002 s/d Maret 2005), mereka mengestimasi hubungan antara varians risiko nilai tukar dengan premi CDS melalui suatu model joint-diffusion. Hasil studi mereka menunjukkan bahwa intensitas pergerakan CDS lebih tinggi dari varians return nilai tukar. Hal ini mengindikasikan bahwa CDS over estimate terhadap probabilitas default yang sebenarnya. Suatu studi yang mengukur reaksi CDS sovereign negara berkembang (emerging market) terhadap perubahan rating kredit (Standard & Poor) dilakukan oleh Ismailescu dan Kazemi (2010). Mereka menggunakan dataset yang terdiri dari 22 negara pada frekuensi harian pada periode 2 Januari 2001 sampai dengan 22 April 2009. Sebagai variabel tergantung adalah perubahan CDS terkait dengan suatu dummy credit event dan sekelompok variabel kontrol. Terdapat 2 tipe dummy credit event yang digunakan, yakni credit event bagi negara yang mengalami (country credit event) dan credit event bagi negara yang satu blok (regional credit event). Mereka menemukan bahwa credit rating event memiliki sifat yang tidak simetris. Pengumuman perubahan rating yang positif memberikan dampak langsung, sedangkan yang negatif tidak membawa dampak. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa pengumuman positif menyampaikan informasi yang lebih banyak dibandingkan yang negatif. Premi CDS juga memiliki kemampuan untuk memprediksi event rating kredit yang negatif (downgrade) namun tidak untuk yang positif. Terakhir, event rating kredit memiliki dampak spill over yang lebih kuat jika ia positif daripada negatif. Matsumura dan Vicente (2010), melakukan studi terhadap probabilitas default (latent variable) Brazil dengan menggunakan lima variabel penjelas makro ekonomi (suku bunga The Fed, VIX: implied volatility indeks S&P 500, nilai tukar real, indeks bursa saham (Ibovespa) dan interest rate swap. Data harian pada periode 17 Februari 1999 s/d 15 September 2004 (1320 hari) digunakan untuk mengestimasi model empiris (dengan teknik maximum likelihood). Mereka Analisa Sovereign Risk Negara Berkembang: Temuan dari Perilaku Premi Credit Default Swap 41 menemukan bahwa suku bunga The Fed dan VIX adalah faktor terpenting dalam menjelaskan perubahan probabilitas default surat hutang Brazil. Bannier dan Hirsch (2010) membuat suatu studi empiris yang menarik mengenai fungsi ekonomi dari pengumuman credit outlook. Mereka menggunakan data seluruh senior unsecured debt yang diterbitkan oleh entitas US dan dirating oleh Moodys. Secara keseluruhan sample memiliki 4043 observasi, yang terdiri atas 2531 upgrades dan 1512 donwgrades. Model ekonometrika yang digunakan adalah linier panel dengan Cumulative Absolute Return (CAR) sebagi variabel tergantung dan 7 variabel penjelas diantaranya besaran upgrade/downgrade (dalam notchs) dan dummy kategori masuk/keluar investment grade. Mereka menemukan bahwa rating downgrade memberikan respon pasar yang lebih tinggi dibandingkan saat issuer memasuki watchlist. Temuan empiris juga memberikan dukungan atas hipotesa implicit contract (Boot et al, 2006). Dalam hipotesa ini, watch list memiliki fungsi ekonomi sebagai alat untuk mengkoordinasi persepsi investor dan mengarahkan issuer kepada persepsi tersebut. Studi kami memiliki beberapa perbedaan dengan kajian empiris yang telah dilakukan sebelumnya. Pertama, model empiris yang dilakukan lebih sederhana. Mengingat hubungan yang telah established antara premi CDS dengan variabel ekonomi makro melalui variabel penentu harga (jatuh tempo, volatilitas, suku bunga bebas risiko, dsb) maka estimasi dilakukan secara langsung melalui suatu bentuk reduced form. Model empiris yang bersifat parsimonous ini diharapkan akan memberikan insight yang lebih intuitif. Kedua, cakupan negara berkembang yang digunakan lebih banyak dengan data bersifat panel. Konstruksi empiris yang lebih komprehensif ini diharapkan dapat memberikan temuan empiris yang lebih kaya. III. METODOLOGI Verifikasi empiris keterkaitan antara CDS dengan variabel-variabel penjelas dilakukan melalui suatu model ekonometrika panel data linier. Secara matematis model ekonometrika ini dapat diberikan sbb Dimana Sit adalah premi CDS 5 tahun suatu negara i pada periode t, α adalah intersep model, X adalah vektor variabel penjelas dan εit adalah komponen residual. Disini kami hanya 42 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 mengasumsikan komponen residual yang bersifat one way, yang berasal dari heterogenitas cross section. Dengan demikian εit dapat diklasifikasikan menjadi dua komponen yakni: cross section type error component (vi) dan idiosyncratic error (uit). Heterogenitas residual dapat berbentuk fixed constant (Fixed Effect, FE) atau random (Random Effect, RE). Pengujian redundant fixed effect likelihood ratio digunakan untuk memilih model heterogenitas yang paling tepat. Tabel 1. Variabel Yang Digunakan Dalam Studi No. Variabel Deskripsi, Proxy dan Notation Expected Sign 1 Credit Default Swap Premi CDS dengan tenor 5 tahun Variabel Tergantung 2 Pertumbuhan Ekonomi Persentase perubahan tahunan (year on year) GROW Produk Domestik Bruto (PDB) Riil. (GROW GROW) Negatif 3 Inflasi Persentase perubahan tingkat harga tahunan INFLASI INFLASI) (year on year) konsumen (INFLASI Positif 4 Depresiasi Persentase perubahan nilai tukar (terhadap USD) DEPR DEPR) tahunan (year on year) (DEPR Positif 5 Yield Spread Selisih antara suku bunga surat hutang pemerintah degan US Treasury dengan tenor 5 Y_SPREAD tahun (Y_SPREAD Y_SPREAD) Negatif 6 Hutang Pemerintah Rasio antara hutang pemerintah terhadap PDB DEBT nominal (DEBT DEBT) Positif 7 Cadangan Devisa Nilai cadangan devisa negara i pada akhir tahun t (dalam milyar USD, DEVISA DEVISA) Negatif 8 Defisit Fiskal Rasio antara defisit fiskal pemerintah terhadap FIS_DEF PDB nominal (FIS_DEF FIS_DEF) Positif 9 Defisit Neraca Berjalan Rasio antara defisit neraca berjalan terhadap CA_DEF PDB nominal (CA_DEF CA_DEF) Positif 10 Risk Appetite Global Nilai indeks VIX, implied volatility dari put option VIX indeks Standard & Poors 500 (VIX VIX). Positif Terdapat 9 variabel penjelas yang digunakan dalam studi ini6. Definisi, proksi operasional serta ekspektasi tanda hubungan (hipotesis) diberikan pada tabel 1. 10 negara berkembang digunakan sebagai obyek cross section dengan periode pengamatan 2004 s.d 2009 pada frekuensi tahunan. Negara-negara tersebut adalah Indonesia, Columbia, Hongaria, Malaysia, Peru, Philipina, Thailand, Turki, Venezuela dan Vietnam. Dengan demikian terdapat 60 observasi dalam studi. Analisa Sovereign Risk Negara Berkembang: Temuan dari Perilaku Premi Credit Default Swap 43 IV. HASIL DAN ANALISIS Dalam bagian ini akan diuraikan hasil estimasi terhadap model empiris serta analisa ekonomi terhadap temuan yang diperoleh. Pertama akan diuraikan terlebih dahulu statistik deskriptif dari variabel yang digunakan untuk suatu gambaran awal mengenai studi. Kemudian akan diuraikan hasil estimasi yang diperoleh serta intrepretasi analitis. Bagian ini akan ditutup dengan catatan teknik mengenai metodologi yang digunakan. 4.1. Gambaran Deskriptif Variabel Tabel 2 menunjukkan statistik deskriptif (seluruh sampel) dari variabel-variabel yang digunakan dalam model. Seperti yang diduga premi CDS, cadangan devisa dan depresiasi nilai tukar adalah variabel yang memiliki rentang paling besar. Sedangkan defisit fiskal dan defisit neraca berjalan adalah variabel yang relatif stabil. Tabel 2. Statistik Deskriptif Variabel yang Digunakan Variabel Mean Median Maksimum Minimum Std Deviasi CDS 5 GROW INFLASI DEPR Y_SPREAD DEBT DEVISA 256.6918 4.826263 8.839252 -0.329263 167.0000 5.040000 6.514625 -0.544737 3218.044 18.28700 31.90000 30.98265 16.23000 -6.730000 -11.34632 -17.71857 433.0109 4.143712 8.549880 9.601061 5.188258 44.94912 41.37088 4.288700 43.40000 33.13500 21.63010 81.90000 137.8000 -0.909300 13.90000 12.63100 4.296805 14.97648 28.12098 FIS_DEF CA_DEF VIX -1.992982 1.272193 20.56754 -1.900000 0.100000 21.68000 9.500000 17.88700 40.00000 -9.300000 -11.91800 11.56000 2.955555 7.430450 10.09849 Sumber: Bloomberg, IMF dan Bank Dunia Selanjutnya dapat juga dilihat statistik deskriptif berdasarkan negara sampel: rata-rata setiap variabel (Tabel 3). Premi CDS rata-rata tertinggi dalam periode 2004-2009 dimiliki oleh Venezuela (sebesar 865 bps) sedangkan terendah dimiliki oleh Malaysia (71 bps). Pola pengelolaan ekonomi makro negara-negara ini terlihat cukup variatif. Sebagai contoh Hungaria dan Philipina terlihat longgar dalam pengelolaan fiskal yang ditunjukkan oleh rasio defisit fiskal dan hutang yang masing-masing mencapai -6.25% dan 68% serta -2.17% dan 64.8% 6 Beberapa variabel dalam studi ini seperti CDS, cadangan devisa dan VIX dikonversi dalam bentuk log natural. Hal ini dimaksudkan agar koefisien-koefisien yang diperoleh dari estimasi dapat diintrepretasikan sebagai suatu elastisitas. 44 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 Tabel 3. Statistik Deskriptif Berdasarkan Negara Negara CDS5Y Debt Kolumbia Hungaria Malaysia Peru Philipina Thailand Turki Venezuela Vietnam Indonesia 201,12 122,63 70,94 176,42 264,57 86,24 215,30 865,31 184,21 289,02 46,90 67,92 44,82 32,60 64,82 42,67 46,48 23,83 34,18 42,42 Fis_def Y_spread -2,12 -6,25 -3,12 1,03 -2,17 -0,43 -2,62 1,08 -5,63 -0,92 Grow CA_def Depr Devisa Inflasi 4,53 1,30 4,19 6,62 4,76 3,37 3,95 8,36 7,28 5,31 -4,68 -1,00 -1,71 -2,85 -2,61 -2,67 2,11 5,33 2,87 2,37 18,67 26,38 84,85 22,67 25,40 80,76 58,08 25,88 16,03 48,05 6,50 4,35 0,24 2,71 4,56 0,67 10,66 7,41 5,13 7,14 -2,08 -6,89 14,97 0,05 3,18 1,49 -4,60 11,52 -6,04 1,75 21,97 5,30 2,83 -1,52 5,89 3,23 8,62 21,97 11,40 8,56 Sumber: Bloomberg, IMF dan Bank Dunia Gambaran serupa terlihat dari sisi stabilitas eskternal. Venezuela adalah negara yang paling rentan dengan posisi cadangan devisa (rata-rata) sebesar 25,88 milyar dan depresiasi rata-rata tahunan mencapai 5,33%. Malaysia dapat dikatakan negara yang relatif stabil dengan cadangan devisa yang mencapai (rata-rata) USD 84,85 milyar dan mata uang yang cenderung terapresiasi pada tingkat (rata-rata) 1,71% pertahun. 4.2. Hasil Estimasi dan Analisis Estimasi dilakukan dengan menggunakan tiga jenis teknik estimasi: estimated generalized least squares (EGLS), fixed effect (FE) dan random effect (RE). Masing-masing disesuaikan dengan karakter dan heterogenitas dari komponen error. Hasil estimasi yang diberikan oleh Tabel 4 menunjukkan 6-7 koefisien variabel penjelas memiliki tanda aljabar sesuai dengan hipotesis dan signifikan. Variabel seperti inflasi, depresiasi dan rasio hutang luar negeri pemerintah memiliki tingkat signifikansi yang lebih rendah dari pada yang lain. Tingkat goodness of fit model empiris, cukup baik. Secara bersama variasi variabel-variabel independen mampu menjelaskan 76% s/d 94% variasi yang ada pada premi CDS. Nilai statistik uji F seluruhnya melebihi nilai kritis yang mengindikasikan penggunaan variabel pada model memberikan nilai tambah informasi dibandingkan rata-rata. Variabel VIX memiliki koefisien terbesar, yakni antara 0.861 (EGLS) s/d 1.457 (FE). Mengingat koefisien ini memiliki arti elastisitas, maka 1% kenaikan persepsi risiko global Analisa Sovereign Risk Negara Berkembang: Temuan dari Perilaku Premi Credit Default Swap 45 Tabel 4. Hasil Estimasi No. Dep Var: CDS Variables/Proxies 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101 C GROW INFLASI DEPR Y_SPREAD DEBT DEVISA VIX FIS_DEF CA_DEF Estimators EGLS FE RE 4.050 (0.00) -0.027 (0.29) -0.015 (0.01) 0.011 (0.21) 0.169 (0.00) 0.006 (0.24) -0.650 (0.00) 0.861 (0.00) 0.075 (0.00) 0.038 (0.00) 0.623 (0.56) -0.044 (0.00) -0.039 (0.00) 0.00006 (0.99) 0.104 (0.00) 0.042 (0.00) -0.511 (0.00) 1.457 (0.00) -0.020 (0.08) -0.002 (0.86) 3.851 (0.00) -0.023 (0.09) -0.008 (0.24) 0.011 (0.03) 0.154 (0.00) 0.003 (0.46) -0.605 (0.00) 0.913 (0.00) 0.082 (0.00) 0.041 (0.00) 0.786 0.745 19.24 1.36 0.945 0.919 36.28 2.03 0.764 0.719 16.92 1.24 Goodness of Fit R2 Adjusted R2 F Stat DW mendorong peningkatan CDS sebesar 0.861% s/d 1.457%. Temuan empiris ini mengkonfirmasi hasil studi Matsumura dan Vicente (2010) yang telah diuraikan diatas. CDS sebagai suatu kelas aset berisiko akan mengalami penurunan permintaan ketika sentimen pelaku pasar dunia mengalami pemburukan. Hal ini juga sekaligus menunjukkan tingkat integrasi yang ada dipasar derivatif terhadap siklus perekonomian dunia. Cadangan devisa merupakan faktor berpengaruh pada urutan berikutnya. Estimasi koefisien yang diperoleh menunjukkan bahwa setiap 1% kenaikan cadangan devisa akan diikuti dengan penurunan CDS antara 0.511% (EGLS) s/d 0.651% (FE). Peran cadangan devisa terhadap stabilitas suatu perekonomian sangat penting. Teori krisis generasi pertama yang dikemukakan oleh Krugman (1979) serta Flood dan Garber (1984) menunjukkan bagaimana suatu serangan terhadap nilai tukar terjadi dipicu oleh rendahnya cadangan devisa. Temuan empiris ini memberikan dukungan bagi teori krisis generasi pertama. Variabel selisih yield dengan US Treasury (yang comparable) menjadi variabel pengaruh terbesar ketiga. Setiap 1% kenaikan selisih yield akan memberikan dampak kenaikan CDS sebesar 0.104% s/d 0.169%. Selisih yield ini sebenarnya juga merupakan suatu ukuran risiko sovereign, karena yield merupakan penjumlahan dari suku bunga riil (opportunity cost of money) ditambah dengan premi risiko. Namun demikian mengingat yield curve juga merupakan piranti kebijakan moneter maka sebagai ukuran risiko ia tidak terlalu sempurna. 46 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 Pertumbuhan ekonomi, inflasi, depresiasi, rasio hutang, rasio defisit fiskal dan neraca berjalan memiliki dampak yang jauh lebih kecil namun beberapa diantaranya tetap signifikan. Variabel-variabel ini adalah bersifat spesifik perekonomian. Dengan demikian terlihat bahwa memang kontribusi penjelas variabel internal adalah terbatas, sejalan dengan temuan Weigel dan Gemmil (2006). Secara umum tanda aljabar estimasi empiris serta signifikansinya telah mendukung hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini. CDS sebagai suatu instrumen pasar memiliki keterkaitan dengan variabel fundamental ekonomi (global dan domestik). Dengan demikian pergerakan CDS juga mencerminkan persepsi para pelaku pasar terhadap prospek perekonomian (sovereign risk). Lebih lanjut mengingat instrumen ini adalah diperdagangkan secara harian, maka sangat mungkin ia dapat digunakan sebagai leading indicator dari prospek risiko sovereign. Dalam studi ini dilakukan estimasi dengan menggunakan 3 teknik ekonometrika panel data didasarkan pada asumsi mengenai karakter dari komponen residual. Dalam bagian ini akan dilakukan pengujian terhadap penggunaan asumsi yang paling tepat: pooled error, fixed effect dan random effect component. Tabel 5. Pengujian Fixed Effect dan Random Effect No. Nama Test 1 Redundant Fixed Effect 2 Correlated Random Effect: Hausman Test Statistik Df Prob F: 11.433 (9, 38) 0.00 χ2: 92.716 9 0.00 Kelayakan asumsi fixed effect diuji dengan menggunakan prosedur redundant fixed effect. Teknik menguji hipotesis null apakah secara bersama seluruh cross section dummy adalah sama dengan nol. Statistik uji (lihat Tabel 4), berupa nilai F menunjukkan angka 11.433 dengan menggunakan degree of freedom sebesar 9 dan 38 diperoleh p value sebesar 0.00. Dengan demikian hipotesis null redundant fixed effect tidak dapat diterima atau model fixed effect telah cukup tepat digunakan. Pengujian asumsi random effect dilakukan dengan menggunakan prosedur Hausman Test. Hipotesis null dalam pengujian ini adalah bahwa random effect tidak memiliki hubungan dengan variabel independen. Statistik uji (χ2) memiliki nilai sangat besar, 92.716, dengan Analisa Sovereign Risk Negara Berkembang: Temuan dari Perilaku Premi Credit Default Swap 47 demikian hipotesis null tidak dapat diterima. Dengan perkataan lain terdapat korelasi antara random effect dengan variabel independen, sehingga spesifikasi RE adalah bias. Kedua hasil pengujian diatas menunjukkan bahwa teknik FE adalah yang terbaik dalam memodelkan hubungan antara CDS dengan berbagai variabel independen. Disamping melakukan pengujian spesifikasi, mengingat studi ini melibatkan cukup banyak variabel independen maka dilakukan juga deteksi multikolinearitas. Keberadaan multikolinearitas meskipun tidak menimbulkan bias pada parameter, namun bias pada varians dapat menyulitkan pengambilan kesimpulan terkait dengan hipotesa. Dalam studi ini digunakan prosedur sederhana, melalui nilai korelasi bivariate. Tabel 6. Koefisien Korelasi Bivariat Diantara Variabel Bebas. GROW INFLASI DEPR Y_SPREAD DEBT DEVISA FIS_DEF CA_DEF VIX GROW Ω1.000000 Ω0.081179 Ω0.103939 -0.059887 -0.285217 -0.368460 Ω0.252166 Ω0.203625 -0.242872 INFLASI Ω0.081179 Ω1.000000 Ω0.141508 Ω0.549710 -0.267108 -0.317948 Ω0.012775 -0.003054 Ω0.187736 DEPR Ω0.103939 Ω0.141508 Ω1.000000 Ω0.263004 -0.068855 -0.022814 Ω0.064825 -0.003557 Ω0.377171 Y_SPREAD -0.059887 Ω0.549710 Ω0.263004 Ω1.000000 -0.132355 -0.215354 -0.121660 -0.345598 Ω0.372907 DEBT -0.285217 -0.267108 -0.068855 -0.132355 Ω1.000000 -0.106676 -0.430229 -0.252147 -0.248663 DEVISA -0.368460 -0.317948 -0.022814 -0.215354 -0.106676 Ω1.000000 Ω0.068382 Ω0.342828 Ω0.250980 FIS_DEF Ω0.252166 Ω0.012775 Ω0.064825 -0.121660 -0.430229 Ω0.068382 Ω1.000000 Ω0.469138 -0.004423 CA_DEF Ω0.203625 -0.003054 -0.003557 -0.345598 -0.252147 Ω0.342828 Ω0.469138 Ω1.000000 -0.098183 VIX -0.242872 Ω0.187736 Ω0.377171 Ω0.372907 -0.248663 Ω0.250980 -0.004423 -0.098183 Ω1.000000 Dari Tabel 6 terlihat bahwa nilai koefisien korelasi bivariat diantara variabel bebas seluruhnya berada dibawah 0.5. Deteksi awal multikolinearitas diberikan jika nilai koefisien korelasi bivariat berada diatas 0.8. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa multikolinearitas bukan menjadi suatu isu dalam skema empiris ini. V. KESIMPULAN DAN SARAN Studi ini telah melakukan review terhadap literatur yang ada mengenai hubungan antara CDS dengan variabel fundamental (khususnya ekonomi makro). Mengingat CDS adalah suatu instrumen derivatif (analog sebagai option) maka secara teoritis penilaian tergantung kepada variabel suku bunga bebas risiko, jatuh tempo, strike price, volatilitas dan harga spot dari underlying asset. 48 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 Beberapa studi empiris telah menunjukkan korelasi yang erat dari perilaku CDS terhadap fundamental ekonomi. Studi yang dilakukan oleh Ismailescu dan Kazemi (2010) menunjukkan adanya hubungan antara CDS dengan perubahan sovereign rating. Mengikuti metoda Standard & Poor (Beers dan Cavanaugh, 2006), variabel fundamental ekonomi yang berpengaruh terhadap rating dapat dibagi menjadi 7 klasifikasi yakni Risiko Politik, Struktur ekonomi agregat, Prospek pertumbuhan ekonomi, Kondisi dan kebijakan fiskal, moneter serta eksternal dan posisi kontijen (dalam dan luar negeri). Perubahan terhadap variabel fundamental ini dapat diduga akan mempengaruhi premi CDS melalui variabel pricing. Suatu dataset berfrekuensi tahunan yang terdiri atas 10 negara berkembang pada periode 2004-2009 digunakan untuk memverifikasi hipotesis ini. Hasil empiris menunjukkan bahwa sentimen risiko global (diproksikan oleh indeks VIX), cadangan devisa serta yield spread merupakan variabel fundamental paling berpengaruh terhadap premi CDS. Temuan ini memberikan beberapa implikasi kebijakan yakni a. Perlunya memonitor sentimen global dan mengurangi dampak dari pengaruh pemburukan melalui kerjasama internasional yang lebih baik. b. Pemupukan cadangan devisa secara mencukup sebagai buffer apabila terjadi shock negatif yang mendadak. Cadangan devisa yang tinggi juga dapat menjadi sinyal kredibilitas kestabilan sektor eksternal. c. Memperhatikan pergerakan dipasar surat berharga/obligasi. Selisih yield adalah sinyal/ indikator terhadap perubahan persepsi risiko sovereign. Analisa Sovereign Risk Negara Berkembang: Temuan dari Perilaku Premi Credit Default Swap 49 DAFTAR PUSTAKA Bank For International Settlement, Triennial Quarterly Survey, Derivative Market, September 2010. Bannier, C.E., dan Hirsch, C.W., 2010, ≈The economic function of credit rating agencies √ What does the watchlist tell us?∆, Journal of Banking and Finance, Vol. 34, hal. 3037-3049. Beers, D.T dan M. Cavanaugh, 2006, Sovereign Credit Ratings: A Primer, 2006, Standard & Poors Research. Cameroon, A.C., and Triverdi., P. K., 2005, Microeconometrics: Methods and Applications, Cambridge, New York. Cantor, R., 2004, ≈An Introduction to recent research on credit ratings∆, Journal of Banking and Finance, Vol 28, hal. 2565-2573. Carr, P., dan Wu, L., 2007,∆Theory and evidence on the dynamic interactions between sovereign credit swaps and currency option∆, Vol. 31, hal 2383-2403. Hull, J.C., 2011, Fundamentals Of Futures and Options Market., 7th Edition, Pearson. Ismailescu, I dan Kazemi, H., 2010, ≈The reaction of emerging market credit default swap spreads to sovereign credit rating changes∆, Journal of International Banking & Finance, Vol. 34, page 2861-2873. Matsumura, M.S. and Vicente, J.V.M, 2010, ≈The role of macroeconomic variables in sovereign risk∆, Emerging Markets Review, 11, hal 229-249. Nomura, Fixed Income Research Team, Credit Default Swap Primer, May 2004. Skinner, F.S dan Townend, T.G., 2002,∆An empirical analysis of credit default swaps∆, International Review of Financial Analysis, Vol. 11, hal. 297-309. Weigel, D.D. dan Gemmill, G., 2006, ≈What drives credit risk in emerging markets? The roles of country fundamentals and market co-movements ≈, Journal of≈International Money and Finance, 25, hal 476-502. Whetten, M., Adelson M., dan Van Bemmelen, 2004, ≈Credit Default Swap: A Primer∆, Nomura Fixed Income Research. 50 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 Halaman ini sengaja dikosongkan Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental? 51 PENYEBAB BANK RUNS DI INDONESIA: BAD LUCK ATAU FUNDAMENTAL? Iskandar Simorangkir 1 Abstract Bank runs and banking crisis has been a global cycling phenomenon both in developed and developing countries. This paper provide comprehensive analysis of the bank run determinant in Indonesia, including the economic fundamental, bank performance and self fulfilling prophecy during the period of 1990-2005, using the dynamic panel estimation of Arrelano-Bond. The Result shows that the self-fulfilling prophecy, bank performance (rentability, non performing loan) and macroeconomic condition (output growth, inflation and real interest rate), determine the bank runs in Indonesia. This conclusion is robust both for the sample period of 1997-1998 and 1990-2005. Klasifikasi JEL: C29, C33, G21 Keywords: Bank runs, banking crisis, dynamic panel estimation, Arrelano-Bond, Indonesia 1 Kepala Biro Riset Ekonomi, Bank Indonesia dan Dosen Program MM Pasca Sarjana Universitas Pelita Harapan Jakarta. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Rustam Didong, Dr. Muliaman D. Hadad dan Dr. Sugiharso Safuan atas masukannya. Segala tulisan dalam paper ini merupakan pendapat pribadi penulis. 52 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 I. PENDAHULUAN Bank runs merupakan suatu peristiwa dimana banyak nasabah secara bersamaan menarik dana secara besar-besaran dan sesegera mungkin pada suatu bank karena nasabah tidak percaya bahwa bank mampu membayar dananya dalam jumlah penuh dan tepat waktu2. Bank runs yang terjadi pada suatu bank akan menjadi krisis perbankan jika bank runs pada suatu bank menjalar ke bank lainnya (contagious effect). Bank runs dan krisis perbankan telah menjadi fenomena global dan terjadi berulang kali baik di negara maju maupun negara berkembang dalam beberapa dekade terakhir. Fenomena krisis perbankan semakin sering terjadi sejak era liberalisasi keuangan tahun 1980-an dan 1990-an (Davis dan Karim, 2007). Bahkan sejak pertengahan 2007 hingga saat ini, pasar keuangan dunia menghadapi krisis keuangan global yang berasal dari permasalahan subprime mortgage di Amerika Serikat (AS). Dalam sejarah perbankan modern, krisis perbankan telah terjadi jauh sebelum perang dunia pertama, seperti bank runs (bank panics) dan krisis perbankan yang terjadi di Amerika Serikat (AS) pada 1837, 1873, 1884, 1890, 1907 dan 1933 (Calomiris, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh IMF di 181 negara anggotanya menunjukkan bahwa sejak tahun 1980 hingga pertengahan tahun 1996, terjadi 133 bank runs dan krisis perbankan yang serius (Lindgren, Garcia dan Saal, 1996). Peristiwa krisis perbankan besar selanjutnya terjadi pada tahun 1997/ 1998 di negara-negara Asia timur, yang meliputi Indonesia, Thailand, Malaysia, Philipina dan Korea Selatan. Krisis tersebut diawali dari krisis nilai tukar di Thailand dan menular (contagious) ke Indonesia dan negara Asia timur lainnya dan selanjutnya berkembang menjadi krisis perbankan dan krisis ekonomi (Bank Indonesia, 1998). Krisis keuangan kembali terjadi di AS pada tahun 2007/2008 dan telah berkembang menjadi krisis keuangan global dan dampaknya saat ini masih dirasakan. Dalam kasus Indonesia, bank runs juga terjadi berulang-ulang. Pada tahun 1992, terjadi bank runs pada beberapa bank nasional sehingga mengakibatkan dilikuidasinya Bank Summa. Selanjutnya pada tahun 1997/1998 terjadi bank runs yang berkembang menjadi krisis perbankan terparah dalam sejarah perbankan Indonesia. Penutupan 16 bank yang dilakukan Pemerintah pada tanggal 1 November 1997 telah mengakibatkan menurunnya kepercayaan nasabah terhadap banknya, khususnya bank swasta yang diyakini masyarakat mempunyai kinerja keuangan yang rendah. Penurunan kepercayaan terhadap bank tersebut mendorong nasabah secara besar-besaran menarik dananya (bank runs). Selanjutnya, penarikan pada satu bank 2 Definisi bank runs tersebut dikemukakan oleh George G. Kaufman pada The Concise Encyclopedia of Economics di website http:/ /www.econlib.org/library/Enc/BankRuns.html atau di George G. Kaufman pada ≈Bank runs: Causes, Benefits and Costs∆. Cato Journal 2, No. 3 (Winter 1988): 559-88. Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental? 53 menjalar secara sistemik3 (contagion) ke bank lain sehingga berkembang menjadi krisis perbankan. Berulangnya peristiwa bank runs dan krisis perbankan disebabkan bank merupakan lembaga kepercayaan yang rentan terhadap penarikan dana oleh nasabah secara besarbesaran. Kerentanan tersebut merupakan akibat dari kegiatan usaha bank yang mentransformasikan kewajiban jangka pendek, seperti giro, tabungan dan deposito ke dalam aktiva yang berjangka waktu lebih panjang, seperti kredit. Dengan kondisi tersebut, bank selalu menghadapi permasalahan maturity mismatch sehingga sangat rentan terhadap penarikan dana besar-besaran (bank runs) oleh nasabah karena terbatasnya aktiva likuid yang dimiliki bank. Selanjutnya bank runs pada satu bank tersebut dapat menimbulkan resiko sistemik, yaitu menjalar ke bank lainnya. Resiko sistemik tersebut dapat terjadi karena nasabah di bank lain tidak mengetahui informasi mengenai kondisi banknya (asymmetric information) sehingga nasabah berpikir bahwa banknya juga menghadapi masalah sehingga nasabah juga berbondongbondong menarik dananya di bank. Proses bank runs yang sama juga terjadi pada bank-bank lainnya sehingga akan banyak bank mengalami bank runs dan pada akhirnya mengakibatkan krisis perbankan. Faktor penyebab bank runs yang berasal dari kekhawatiran (belief) nasabah akibat tidak terdapatnya informasi mengenai kinerja bank tersebut sering disebut dengan self- fulfilling prophecy. Bank runs yang disebabkan oleh faktor self-fulfilling prophecy merupakan kejadian acak (random event) dari berita yang tidak simetris (asymmetric information) yang diterima nasabah (agent). Model teori yang berpengaruh luas tersebut dikembangkan oleh Diamond dan Dybvig (1983). Selain faktor self-fulfilling prophecy , faktor penyebab bank runs adalah faktor fundamental, baik yang berasal dari fundamental makroekonomi dan fundamental bank (Kindleberger (1978), Gup dan Bartholomew (1999)). Goncangan (shock) yang terjadi pada fundamental ekonomi, seperti kontraksi ekonomi, peningkatan suku bunga, volatilitas nilai tukar, penurunan nilai aset dan peningkatan ketidakpastian di sektor keuangan, dapat menimbulkan efek negatif terhadap kegiatan usaha bank. Kontraksi/pelemahan ekonomi dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan kredit macet bank dan selanjutnya dapat mengakibatkan ketidakmampuan bank membayar penarikan simpanan nasabah karena sebagian besar dana nasabah tertanam dalam kredit macet. 3 Resiko sistemik adalah resiko dimana suatu bank runs pada salah satu bank dapat mengakibatkan bank runs pada bank lain atau dalam literature akademik sering disebut resiko yang memberikan dampak contagion. Proses terjadinya resiko sistemik atau contagion tersebut melalui proses self-fulfilling prophecy (lihat pada Bab II). 54 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa krisis perbankan yang terjadi di suatu negara telah mengakibatkan kerugian bagi perekonomian dan masyarakat (Hoelscher dan Quintyn, 2003 dan Hanson, 2005). Terhambatnya akses pembiayaan untuk dunia usaha dapat mengakibatkan kontraksi ataupun perlambatan ekonomi sehingga dapat mendorong peningkatan pengangguran. Selain itu, penyehatan perbankan akibat krisis juga memerlukan biaya fiskal yang besar dan pada akhirnya akan dibebankan kepada pembayar pajak (tax payer). Output loss yang dialami negara-negara yang mengalami krisis perbankan bervariasi tergantung kedalaman dan lamanya krisis. Hanson (2005) melakukan study mengenai output loss akibat krisis perbankan. Dalam hasil study tersebut antara lain dikemukakan bahwa Indonesia mengalami kerugian output (output loss) sebesar 35% hingga 39% dari PDB, Thailand sebesar 26,7% hingga 40% dari PDB, Korea sebesar 10% hingga 17% dari PDB pada periode krisis 1997-2002. Jepang sebesar 4,5% hingga 48% dari PDB pada periode krisis 1991-2005, Meksiko sebesar 10% hingga 14,5% dari PDB pada periode krisis 1994-2000 dan Hongaria sebesar 14% hingga 36,4% dari PDB pada periode krisis 1991-1995. Sehubungan dengan besarnya biaya yang ditimbulkan bank runs dan krisis perbankan, maka paper ini akan membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi bank runs, fundamental factors or bad luck?. Selanjutnya, pada sesi 2 akan dibahas konsep theory yang mempengaruhi bank runs. Sesi 3 akan membahas perkembangan bank runs di Indonesia dan section 4 akan menguraikan empirical model dan data. Hasil empiris dari kajian akan diuraikan dalam sesi 5, sementara sesi 6 merupakan bagian akhir dari paper yang akan menyimpulkan hasil kajian dan implikasi kebijakan. II. TEORI Dilihat dari dari faktor-faktor penyebabnya, terdapat dua teori utama yang menjelaskan faktor penyebab bank runs. Teori pertama mengemukakan bahwa bank runs terjadi disebabkan faktor fundamental, baik fundamental makroekonomi maupun fundamental bank (Kindleberger, 1978). Sementara teori kedua mengemukakan bahwa bank runs merupakan kejadian acak (random) karena kepanikan (self-fulfilling prophecy) nasabah akibat informasi yang tidak sempurna (asymmetric information) mengenai permasalahan kinerja bank (Diamond dan Dybvig, 1983). Dalam teori fundamentalist, memburuknya fundamental bank dan makroekonomi dapat mengakibatkan terjadinya bank runs. Memburuknya fundamental bank antara lain penurunan penerimaan hasil investasi (return on investment) dan permasalahan insolvency, sementara memburuknya fundamental ekonomi, antara lain resesi ekonomi dan inflasi yang tinggi. Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental? 55 Kindleberger (1978) dan Canova4 (1994) berpandangan bahwa bank runs adalah endogenous terhadap proses ekonomi dan cenderung muncul pada saat puncak dari fase ekspansi dalam siklus ekonomi. Menurut teori ini, kondisi finansial menjadi rentan pada periode akhir ekspansi ekonomi karena perusahaan-perusahaan yang merupakan debitur bank mengalami kesulitan dalam melakukan pembayaran hutangnya karena penurunan keuntungan perusahaan. Dalam model ini, bank runs adalah bagian dari siklus yang dapat mempengaruhi baik perbankan maupun sektor riil dalam ekonomi. Teori ini mengemukakan bahwa dalam kondisi siklus ekonomi yang membaik (upturn), bank akan meningkatkan pemberian kredit ke sektor riil dengan dasar ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik pada masa yang akan datang. Selanjutnya, bank akan mempunyai kredit yang besar (highly leveraged) dan jika siklus ekonomi menurun, maka peminjam tidak dapat mengembalikan kredit. Kondisi ini mengakibatkan bank mengalami kesulitan likuiditas dan tidak mempunyai cadangan yang cukup untuk menutupi kerugiannya. Penyebab bank runs juga dapat berasal dari faktor fundamental bank (Gorton, 1988). Bank akan mengalami kesulitan menyediakan likuiditas untuk memenuhi penarikan nasabahnya jika bank mempunyai kinerja keuangan yang buruk. Terjadinya kerugian, solvabilitas yang buruk dan kualitas aktiva produktif yang buruk mengakibatkan tertahannya dana nasabah pada aktiva yang buruk, seperti kredit macet. Selanjutnya, kondisi tersebut mengakibatkan minimnya likuiditas yang tersedia di bank, sehingga bank selalu rentan terhadap bank runs. Sementara itu, teori kedua menyebutkan bahwa bank runs terjadi karena kejadian acak (random event) karena kepanikan nasabah bank (agent) dan tidak selalu terkait dengan fundamental ekonomi. Model teori dari grup kedua yang berpengaruh luas dikembangkan oleh Diamond dan Dybvig (1983). Model ini mengemukakan bahwa bank runs yang terjadi merupakan respon rasional dari keyakinan (belief) dari agent akibat informasi yang tidak simetris mengenai kinerja banknya. Jika nasabah (agent) berpikir bahwa bank tidak mempunyai dana yang cukup untuk memenuhi penarikan nasabah maka bank runs akan terjadi. Suatu bank akan menghadapi penarikan besar-besaran jika cukup banyak individual yang percaya bahwa nasabah lainnya juga akan menarik dananya atau sering disebut dengan self-fullfilling prophecy. Dalam kelompok ini juga termasuk Calomiris dan Gorton (1991) yang mengemukakan kombinasi faktor self-fulfilling prophecy dan shock aset perbankan merupakan penyebab bank runs. Selain itu, Chen (1999) mengemukakan selain self-fulfilling prophecy dan faktor likuiditas, moral hazard juga memberikan kontribusi terhadap terjadinya bank runs. Sementara itu, Aharony 4 Canova (1994) menyimpulkan pendapat Mitchell (1913), Fischer (1933) dan Minsky (1977). Lihat Fabio Canova. ≈Were Financial Crises Predictable?∆. Journal of Money, Credit and Banking. Volume 26, Issue 1 (Feb. 1994), 102-124. 56 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 dan Swary (1983) dan Allen dan Gale (2000) mengemukakan bahwa bank runs akibat pengaruh contagion. Contagion dalam pembahasan bank runs sering diartikan sama dengan dengan faktor self-fulfilling prophecy karena contagion berarti bank runs pada suatu bank akan mempengaruhi bank runs pada bank lain. Proses mempengaruhi dari satu bank ke bank lain melalui mekanisme transmisi penarikan nasabah (self-fulfilling prophecy). Dengan demikian menurut theory ini, bank runs lebih disebabkan karena bad luck dan bukan fundamental factors. Dari sisi empiris, penelitian bank runs dan determinan krisis perbankan telah banyak dilakukan. Misalnya, Canova (1994) melakukan penelitian mengenai determinan krisis perbankan pada periode tahun 1864-1914 di AS dengan model probit. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa krisis perbankan di AS pada periode tersebut disebabkan pengaruh faktor kondisi ekonomi. Selanjutnya penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa dapat terjadi krisis perbankan yang bersifat musiman dan dipengaruhi siklus ekonomi. Penelitian mengenai determinan krisis perbankan secara menyeluruh dengan menggunakan data panel negara-negara berkembang dan maju dilakukan oleh DemirgüçKunt dan Detragiache (1998). Model yang digunakan adalah multivariate logit dengan hasil kesimpulan yang menunjukkan bahwa krisis perbankan dapat terjadi jika kondisi ekonomi makro lemah (pertumbuhan ekonomi rendah dan inflasi yang tinggi), suku bunga tinggi, tingginya arus modal keluar mendadak (sudden capital outflow) dan tingginya pemberian kredit. Eichengreen dan Rose (1998) melakukan penelitian kejutan eksternal (international shock) terhadap krisis perbankan di negara-negara OECD dan hasilnya menunjukkan bahwa suku bunga mempunyai pengaruh besar, sementara pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh kecil terhadap kerentanan krisis perbankan. Penelitian determinan krisis perbankan tersebut di atas dilakukan dengan menggunakan data agregat dari masing-masing negara (cross-country) sehingga terdapat kemungkinan permasalahan agregasi, seperti faktor saling meniadakan diantara bank-bank yang diagregasi. Sejalan dengan kelemahan tersebut, McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003) menggunakan data individual bank dan model panel data dinamis untuk mengetahui determinan bank runs dan krisis perbankan di Argentina yang terjadi pada tahun 2001. Hasil temuan penelitian tersebut menunjukkan bahwa determinan bank runs yang terjadi di Argentina adalah faktor self-fulfilling prophecy, kejutan (shock) makroekonomi dan memburuknya kondisi fundamental bank. III. PERKEMBANGAN KRISIS PERBANKAN DI INDONESIA Pada awalnya krisis yang melanda perekonomian Indonesia sejak tahun 1997 terutama dipicu oleh krisis nilai tukar rupiah. Tekanan depresiasi nilai tukar rupiah yang besar ini terutama Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental? 57 berasal dari faktor contagion dari krisis nilai tukar Baht Thailand pada bulan Juli 1997. Pengaruh contagion tersebut tidak hanya melanda Indonesia tetapi juga dengan cepat meluas ke negaranegara Asia lainnya, seperti Filipina, Malaysia dan Korea Selatan. Semakin beratnya tekanan depresiasi terhadap nilai tukar rupiah tersebut memaksa Indonesia melepas rezim nilai tukar mengambang terkendali (managed floating) menjadi sistem nilai tukar mengambang bebas ( Free Floating Exchange Rate) pada 14 Agustus 1997. Dalam rangka menghindarkan perekonomian nasional dari krisis yang lebih dalam sebagai akibat dari tekanan depresiasi nilai tukar dan capital outflow maka Pemerintah mengeluarkan paket kebijaksanaan ekonomi pada September 1997. Selanjutnya, program ini diperluas menjadi program stabilisasi dan reformasi ekonomi yang didukung oleh IMF, World Bank dan ADB secara formal pada November 1997. Sebagai wujud dari pelaksanaan program reformasi di sektor keuangan guna menyehatkan sistem perbankan, maka pada 1 November 1997 sebanyak 16 bank swasta nasional ditutup. Penutupan 16 bank tersebut mengakibatkan terjadinya bank runs pada bank-bank yang menurut persepsi masyarakat tergolong tidak sehat. Kebijakan penutupan bank yang seharusnya dimaksudkan untuk menyehatkan perbankan nasional justru sebaliknya mengakibatkan terjadinya penarikan dana besar-besaran pada bank-bank bukan pemerintah. Penarikan dana besar-besaran ini terjadi karena runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan akibat penutupan bank tersebut. Semakin meluasnya bank runs tersebut juga disebabkan kinerja keuangan bank yang lemah, seperti peningkatan kredit macet dan menurunnya rentabitas bank, akibat pengelolaan usaha yang tidak sepenuhnya mengikuti hakikat tata kelola yang sehat (Warjiyo,2001 dan Bank Indonesia, 19985). Selain itu, pesatnya depresiasi nilai tukar rupiah mengakibatkan membengkaknya hutang luar negeri bank dalam denominasi rupiah. Kondisi tersebut diperparah lagi tidak terdapatnya program penjaminan. Di tengah belum terdapatnya program penjaminan dan tidak terdapatnya informasi mengenai kondisi bank (asymmetric information), nasabah bank, khususnya nasabah bank swasta, menarik dana secara besar-besaran dan mengalihkan ke bank yang diperkirakan lebih sehat dan ke aset yang lebih aman (uang kartal). Satu bulan sejak penutupan 16 bank tersebut di atas (Desember 1997), jumlah dana pihak ketiga yang terdapat di bank umum swasta nasional (BUSN) menurun sebesar Rp 22,9 triliun (11,94%). Penarikan dana pada umumnya dimulai sejak penutupan bank dan mencapai puncak penarikan tertinggi pada Desember 1997 dan Januari 1998. Penarikan tersebut menurun sejak Pemerintah memberikan jaminan (blanket guarantee) pada Januari 1998. Namun, pada saat terjadi kerusuhan sosial pada Mei 1998, jumlah bank yang mengalami bank runs meningkat kembali. 5 Laporan tahunan Bank Indonesia tahun 1997/1998. 58 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 Pada periode krisis perbankan pada tahun 1997/1998, penarikan dana besar-besaran (bank runs) banyak terjadi pada BUSN non devisa6, bank beku kegiatan usaha7 dan bank beku operasi8. Puncak penarikan besar-besaran pada BUSN nondevisa terjadi pada Desember 1997, Januari 1998, dan Mei 1998. Sebagai gambaran, pada Desember 1997, dari 45 BUSN nondevisa, 25 bank mengalami penurunan dana pihak ketiga hingga 10%, 17 bank mengalami penurunan dana hingga 20%, 13 bank mengalami penurunan dana hingga 40%, 11 bank mengalami penurunan dana hingga 60%, dan 6 bank mengalami penurunan dana hingga 80% dari total dana bulan sebelumnya. Sebagaimana di BUSN nondevisa, bank runs juga terjadi di bank beku kegiatan usaha (BBKU) dan bank beku operasi (BBO). Penarikan terbesar terjadi pada November 1997 sampai dengan Januari 1998, dan Maret sampai dengan Mei 1998. Misalnya, pada November 1998, dari 40 BBKU sebanyak 26 bank mengalami penurunan dana pihak ketiga hingga 10% dari total dana pihak ketiga bulan sebelumnya, 14 bank mengalami penurunan dana hingga 20% dibandingkan total dana bulan sebelumnya, dan 2 bank mengalami penurunan dana hingga 40% dibandingkan bulan sebelumnya. Bank runs pada BBO juga tidak jauh berbeda dengan BBKU. Pada Januari 1998, dari 10 BBO, 6 bank mengalami penurunan dana pihak ketiga hingga 20% dan 4 bank menurun hingga 40%. Pada periode November 1997 hingga Januari 1998, sebaliknya, dana pihak ketiga pada bank pemerintah mengalami peningkatan sebesar 9,6% pada November 1997. Penarikan dana dari bank asing juga tidak jauh berbeda dengan bank Pemerintah. Pada November 1997, hanya satu bank yang mengalami penurunan dana pihak ketiga. Sementara itu, pada Desember 1997 sampai dengan Januari 1998 menunjukkan peningkatan sebesar 6,8% pada November 1997. Dengan perkembangan tersebut, pangsa dana pihak ketiga bank persero dan bank asing meningkat dari masing-masing sebesar 42,8% dan 7,2% pada Desember 1997 menjadi masingmasing sebesar 47,7% dan 9,3% pada akhir Januari 1998. Sebaliknya, pangsa dana pihak ketiga BUSN Devisa dan BUSN nondevisa menurun dari masing-masing sebesar 43,2% dan 2,2% pada Desember 1997 menjadi sebesar 36,9% dan 1,5% pada Januari 1998 (Tabel 1). Perkembangan tersebut menunjukkan terdapatnya pengalihan dana dari bank swasta ke bankbank pemerintah dan bank asing. 6 BUSN non devisa adalah bank swasta nasional yang tidak diperkenankan melakukan kegiatan devisa dalam kegiatan usahanya. 7 Bank beku kegiatan usaha (BBKU) adalah bank yang kegiatan usahanya dibekukan atau tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan usaha sementara waktu atau jangka waktu tertentu. 8 Bank beku operasi (BBO) adalah bank yang kegiatan operasinya dibekukan sementara waktu. Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental? 59 Tabel 1. Pangsa Dana Pihak III Perbankan Des-96 Kelompok Bank Bank Umum 1. Bank Persero 2. Bank Devisa 3. BUSN Non Devisa 4. BPD 5. Bank Campuran 6. Bank Asing BPR*) Des-97 36,0 49,7 5,5 2,8 1,7 4,1 0,5 Jan-98 Pangsa (%) 42,8 43,2 2,2 2,2 2,4 7,2 0,4 Feb-98 47,7 36,9 1,5 1,6 3,0 9,3 0,3 Mar-98 47,0 37,1 1,9 1,7 3,0 9,3 0,3 46,6 37,6 2,3 1,6 2,8 9,2 0,3 * Pangsa terhadap bank Umum Sumber : Bank Indonesia Selain pengalihan dana pihak ketiga ke bank-bank tergolong sehat (flight to quality), juga terdapat pengalihan dana ke uang kartal (currency), seperti tercermin dari peningkatan uang kartal pada bulan Januari 1998 sebesar 31,8% (Rp 9,045 triliun) dibandingkan bulan sebelumnya. Peningkatan tersebut di luar pola normal permintaan uang kartal, yang berdasarkan 100,00 16000 Uang kartal di masyarakat Nilai Tukar 14000 80,00 12000 60,00 10000 40,00 8000 6000 20,00 4000 0,00 2000 -20,00 0 1 6 10 1996 1997 2 7 1998 2 7 1999 2 7 2000 2 7 2001 2 7 2002 2 7 2003 2 7 2004 2 7 2005 2 7 2006 Sumber : Bank Indonesia, telah diolah kembali Grafik 1. Perkembangan Uang Kartal dan Nilai Tukar 2 7 26 9 2007 2008 60 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 data dua tahun terakhir sebelum krisis, rata-rata pertumbuhan uang kartal hanya sebesar 9,5% dalam per tahun. Krisis perbankan tersebut diperberat lagi dengan depresiasi nilai tukar rupiah yang sangat besar. Pada bulan Januari 1997, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berada pada posisi Rp 2.396. Posisi nilai tukar tersebut terus menurun. Bulan Juli 1997 nilai tukar tercatat berada pada posisi Rp 2.599 per dolar AS, dan pada Desember 1997 menjadi sebesar Rp 4.650 per dolar AS. Pada tahun 1998 posisi nilai tukar mengalami penurunan yang sangat drastis, mencapai posisi Rp 10.525 per dolar AS pada bulan Mei 1998 dan terus melemah hingga puncaknya pada bulan Juni 1998 pada posisi Rp 14.900 per dolar AS. Dari posisi tersebut rupiah mulai mengalami penguatan hingga pada bulan Desember 1998 berada pada posisi Rp 8.025 per dolar AS. Sementara itu pada tahun 1999 posisi nilai tukar cenderung berfluktuasi dan pada akhirnya menguat pada bulan Desember 1999 mencapai Rp 7.100 per dolar AS. Depresiasi yang terjadi dari Januari 1997 hingga Desember 1998 tersebut mengakibatkan pembengkakan kewajiban hutang luar negeri bank dalam mata uang rupiah. Sementara itu, di sisi lain sebagian besar pinjaman luar negeri tersebut ditanamkan dalam bentuk kredit yang menghasilkan rupiah (non ekspor), sehingga terjadi mismatch currency yang memberatkan neraca (balance sheet) bank. Penarikan dana bank secara besar-besaran oleh nasabah dan depresiasi nilai tukar rupiah yang besar memberi tekanan terhadap neraca bank (balance sheet ). Kondisi tersebut mengakibatkan kinerja perbankan nasional secara keseluruhan semakin memburuk. Penurunan kinerja perbankan terjadi pada semua aspek keuangan bank, yaitu mencakup permodalan, kualitas aktiva produktif, rentabilitas, dan likuiditas. Kinerja permodalan (CAR) menurun tajam sejak terjadinya krisis, seperti tercermin dari penurunan CAR semua bank dari sebesar 9,19% pada akhir Desember 1997 menjadi sebesar √15,68% pada akhir Desember 1998. Demikian halnya kinerja kualitas aktiva produktif (KAP), yang diukur dari perbandingan antara aktiva produktif yang diklasifikasikan tidak lancar dengan total aktiva produktif, meningkat pesat dari sebesar 4,80% pada akhir tahun 1997 menjadi sebesar 42,39% pada akhir tahun 1998, sebelum menurun menjadi sebesar 12,74% pada akhir tahun 1999 sebagai akibat pengalihan kredit bank bermasalah ke BPPN. Sejalan dengan memburuknya KAP, maka kinerja rentabilitas, yang diukur dengan perbandingan laba dengan aktiva rata-rata (ROA), menurun dari 1,37% pada tahun 1997 menjadi √18,76% pada tahun 1998 dan √6,14% pada tahun 1999. Kerugian yang dialami hampir semua bank tersebut disebabkan tingginya biaya dana yang ditanggung bank, dengan suku bunga deposito satu bulan mencapai 70% pada September 1998. Sementara di sisi lain KAP meningkat dan jumlah kredit yang diberikan menurun sejalan dengan kontraksi ekonomi Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental? 61 (13,1% pada tahun 1998) dan meningkatnya resiko usaha akibat ketidakstabilan sosial, politik, dan keamanan. Sejalan dengan penurunan kredit, maka loan to deposit ratio (LDR) bank juga menurun tajam dari sebesar 86,42% pada akhir tahun 1997 menjadi sebesar 72,37% pada akhir tahun 1998 dan hanya sebesar 26,16% pada akhir tahun 1999. IV. METODOLOGI Study ini akan menggunakan model panel dinamis. Penggunaan model panel dinamis dimaksudkan untuk menangkap perilaku nasabah suatu bank terhadap perilaku nasabah pada bank lain melalui perubahan yang terjadi pada dana pihak ketiga pada suatu bank. Terbatasnya informasi nasabah mengenai banknya (imperfect information) menyebabkan penurunan dana pihak ketiga suatu bank yang signifikan ditafsirkan oleh nasabah bahwa banknya menghadapi masalah sehingga akan mendorong nasabah menarik dana secara besar-besaran dari banknya (self-fulfilling prophecy). Faktor self-fulfilling prophecy ini, secara kelembagaan juga dapat mempengaruhi bank runs pada bank lain (resiko sistemik) atau sering disebut dengan contagion9. Dengan demikian model panel dinamis yang akan digunakan dalam disertasi ini dapat mengetahui secara bersamaan determinan bank runs yang berasal dari self-fulfilling prophecy, faktor fundamental makroekonomi dan kinerja keuangan bank. Model panel dinamis yang digunakan dalam study ini adalah panel dinamis ArrelanoBond. Model Arrelano-Bond digunakan untuk mengatasi permasalahan model dinamis pada model efek tetap (MET) dan model efek random (MER). Korelasi antara lagged dependent variable dan pengaruh individual efek dapat mengakibatkan penggunaan OLS estimator MET dan MER menjadi bias dan tidak konsisten, sehingga model tersebut tidak robust digunakan untuk mengestimasi determinan bank runs dalam paper ini. Model formal data panel dinamis yang digunakan untuk menganalisis determinan bank runs pada paper ini sebagai berikut : (1) dimana ∆Depit merupakan variabel tidak bebas (dependent variable) yang berupa persentase perubahan bulanan dana pihak ketiga masing-masing individual bank yang digunakan sebagai proxy bank runs. Persentase perubahan dana pihak ketiga yang positif berarti tidak terjadi bank runs, sebaliknya persentase perubahan dana pihak ketiga yang negatif berarti terjadi 9 Beberapa penulis, seperti D »Amato, Grubisic dan Powell (1997) dan Allen dan Gale (2000) menggunakan istilah contagion untuk self-fulfilling prophecy. 62 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 bank runs yang besar kecilnya tergantung besarnya dana pihak ketiga. Penggunaan ∆Depit sebagai proxy bank runs sejalan dengan penelitian D»Amato, Grubisic dan Powell (1997) dan McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003), yang menunjukkan variabel persentase perubahan dana pihak ketiga merupakan yang robust sebagai proxy bank runs merupakan regressor dari lag satu variabel tidak bebas, yang berupa persentase perubahan dana pihak ketiga dari bank, yang berfungsi untuk menangkap pengaruh self-fulfilling dari terjadinya bank runs. Dengan keterbatasan nasabah mengenai informasi banknya (asymmetric information), maka penurunan dana pihak ketiga pada suatu bank atau bank runs di bank lain pada periode sebelumnya (t-1) akan mendorong nasabah melakukan penarikan besar-besaran pada banknya atau bank runs pada periode sekarang (t). Lag perubahan dana pihak ketiga bank tersebut digunakan D»Amato, Grubisic dan Powell (1995) dan McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003) sebagai proxy self- fulfilling prophecy pada penelitiannya dan menunjukkan hasil yang robust. Bk merupakan k variabel bebas dari kinerja keuangan bank. Kinerja keuangan yang digunakan merupakan kombinasi dari penilaian tingkat kesehatan yang dilakukan BI yang berupa CAMELS10. Fh merupakan h variabel bebas dari kondisi fundamental makroekonomi dengan variabel makroekonomi. Selanjutnya, dalam proses estimasi model Arrelano dan Bond (1991) tersebut di atas digunakan intrumental variable (IV) untuk mendapatkan hasil estimasi yang robust. Dalam model panel dinamis ini digunakan first difference dari semua variabel dengan menggunakan k lags variabel sebagai independent variable. Dengan mengunakan first difference maka efek spesifik dari bank dapat dihilangkan, tetapi dengan first difference maka akan terjadi serial korelasi antara lag variable dengan difference residual. Untuk mengatasi permasalahan ini maka Arrelano dan Bond mengusulkan untuk menggunakan lag explanatory variable dalam level, termasuk lag dependent variable sebagai instrumen. Estimasi GMM akan konsisten jika lag dari explanatory variable dalam level adalah instumen yang valid untuk explanatory variable dalam bentuk difference. Hal tersebut bisa terjadi jika residual tidak berkolerasi (serial correlation) dan masing-masing independent variable bersifat exogenous. Kedua karakteristik ini akan dievaluasi melalui second order serial correlation test dan Sargan test untuk mengidentifikasi restriksi yang berlebihan. Dengan Sargan test dapat dievaluasi spesifikasi model bersama dan validitas dari instrumen. 10 BI menetapkan CAMELS sebagai kriteria penilaian tingkat kesehatan, yaitu C adalah capital atau permodalan, A adalah asset quality atau kualitas aset, seperti non-performing loan (NPL), M adalah management, E adalah earning atau rentabilitas, L adalah liquidity atau likuiditas, dan S adalah systemic risk atau resiko sistemik. Sehubungan dengan penelitian terkait dengan kinerja keuangan bank, maka komponen kinerja keuangan yang digunakan adalah Capital, Asset quality, Earning dan Liquidity , sementara Management dan Systemic risk tidak digunakan. Hal ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya sebagaimana disebutkan di atas. Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental? 63 Tabel 2. Variabel Kinerja Keuangan Bank Nama Variabel Metode Pengukuran Dasar Pertimbangan Teori Rasio kecukupan modal (CA) Rasio antara total modal (modal disetor + laba ditahan + laba bersih tahun berjalan) dengan total aktiva Ukuran solvabilitas bank. Semakin baik solvabiltas bank, maka semakin tinggi ketahanan terhadap bank runs (tanda koefisien positif). Rasio laba terhadap total aktiva (ROA) Rasio antara laba tahun berjalan setelah pajak dengan total aktiva Ukuran rentabilitas bank. Semakin besar rentabilitas, maka semakin baik kinerja keuangan bank dan pada lanjutannya semakin tinggi daya tahan bank terhadap bank runs (tanda koefisien positif). Rasio laba terhadap modal sendiri (ROE) Rasio antara laba tahun berjalan setelah pajak dengan modal sendiri (Modal sendiri = Modal disetor + Laba ditahan + Laba bersih tahun berjalan) Ukuran rentabilitas bank. Semakin besar rentabilitas, maka semakin baik kinerja keuangan bank dan pada lanjutannya semakin tinggi daya tahan bank terhadap bank runs (tanda koefisien positif). Rasio Alat likuid terhadap Total Aset (LIQ) Rasio antara likuiditas (Kas dan SBI) dengan total aktiva Ukuran likuiditas bank. Semakin besar likuiditas maka semakin besar alat likuid yang dimiliki bank dan selanjutnya meningkatkan kemampuan bank dalam mengatasi masalah bank runs (tanda koefisien positif). Rasio Kredit terhadap Dana Pihak ketiga (LDR) Rasio antara total kredit dengan total dana pihak ketiga Ukuran likuiditas. Semakin besar LDR berarti semakin besar peningkatan kredit dibandingkan dana masyarakat yang dihimpun bank sehingga likuiditas yang tersedia semakin kecil dan selanjutnya meningkatkan kerentanan terhadap bank runs (tanda koefisien -). Pertumbuhan Kredit bulanan (GKREDIT) Pertumbuhan total kredit bulan saat ini (t) dibandingkan total kredit bulan sebelumnya (t-1) Sama seperti LDR, semakin tinggi pertumbuhan kredit, maka semakin sedikit likuiditas yang dimiliki bank sehingga meningkatkan kerentanan terhadap bank runs (tanda koefisien negatif). Non Performing Loan (NPL) Rasio antara total kredit non lancar (kurang lancar, diragukan dan macet) dengan total kredit Ukuran kualitas aktiva produktif (KAP). Semakin buruk KAP, maka semakin banyak dana pihak ketiga yang tertahan di kredit non lancar sehingga alat likuid yang dimiliki semakin kecil dan selanjutnya meningkatkan kerentanan bank terhadap bank runs (tanda koefisien negatif). 64 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 Tabel 3. Variabel Kondisi Makro Ekonomi Nama Variabel Metode Pengukuran Dasar Pertimbangan Teori INFLASI Laju inflasi tahunan dalam bulan yang bersangkutan. Semakin tinggi inflasi, maka semakin ketidakpastian ekonomi sehingga cenderung meningkatkan terjadi bank runs (tanda koefisien negatif). LGDP Pertumbuhan ekonomi yang dihitung dari logaritma dari Produk Domestik Bruto bulanan. Data bulanan diinterpolasi dari data triwulanan dengan menggunakan metode quadratic dalam program eviews. Menurunnya pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan gagal bayar kredit sehingga cenderung meningkatkan bank runs (tanda koefisien positif). SBI Suku bunga SBI 1 bulan. Semakin tinggi suku bunga, maka semakin berkurang kemampuan nasabah dalam mengangsur/melunasi kredit (kredit macet meningkat) sehingga cenderung meningkatkan bank runs (tanda koefisien negatif). LNT Persentase perubahan bulanan nilai tukar rupiah/USD yang dihitung dari logaritma nilai tukar Rp/USD. Semakin tinggi volatilitas nilai tukar, maka semakin tinggi ketidakpastian sehingga akan dapat meningkatkan terjadinya bank runs (tanda koefisien negatif) GM2 Pertumbuhan bulanan uang beredar (M2) Semakin besar uang beredar berarti semakin longgar kebijakan moneter sehingga likuiditas di sistem perbankan semakin besar sehingga akan menurunkan kerentanan terhadap bank runs (tanda koefisien positif). GNFA Pertumbuhan bulanan net foreign aset (NFA) NFA merupakan faktor yang mempengaruhi M2. Semakin besar NFA berarti semakin besar pertumbuhan M2 sehingga akan meningkatkan likuiditas di pasar uang/perbankan dan pada lanjutannya dapat menurunkan kerentanan terhadap bank runs (tanda koefisien positif). IHSG Persentase perubahan Indeks Harga Saham Gabungan Semakin rendah indeks harga saham, maka semakin rendah harga aset sehingga dapat menimbulkan kerentanan terhadap bank runs (tanda koefisien negatif). RSBUNGA Suku bunga riil yang dihitung dengan mengurangkan suku bunga nominal SBI 1 bulan dengan inflasi tahunan Semakin tinggi suku bunga, maka semakin tinggi biaya dana debitur sehingga mendorong peningkatan kredit macet dan selanjutnya meningkatkan kerentanan terhadap bank runs (tanda koefisien negatif). Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental? 65 Data yang digunakan adalah data panel dari 94 bank dengan periode bulanan dari Januari 1990 sampai dengan Desember 2005. 94 bank yang dianalisis terdiri dari 7 bank pemerintah, 42 bank swasta devisa, 35 bank swasta non devisa dan 10 bank asing. Seluruh data panel bank tersebut diperoleh dari laporan bulanan bank umum (LBU) individual bank dari Bank Indonesia. Secara lengkap penjelasan data dapat dilihat pada Table 2 dan Tabel 3. Sementara itu, indikator makroekonomi ( FHit ) yang digunakan meliputi inflasi, pertumbuhan ekonomi (LPDB), suku bunga SBI 1 bulan (SBI), nilai tukar (LNT), pertumbuhan uang beredar (GM2), pertumbuhan net foreign assets (GNFA), indeks harga saham gabungan (IHSG) suku bunga riil (RSBUNGA) sebagaimana diuraikan pada Tabel 3. Data triwulanan PDB diinterpolasi menjadi bulanan. V. HASIL DAN ANALISIS 5. 1. Determinan Bank Runs Secara Agregat (1990-2005) Untuk mengestimasi determinan bank runs, maka digunakan persamaan.1 dengan menambah dummy bank runs (dcrisis) pada krisis perbankan tahun 1997/1998. (2) Penambahan variabel dummy diperlukan untuk menangkap terjadinya structural break dalam data persentase perubahan dana pihak ketiga sebagai proxy variable dari bank runs. Terjadinya structural break dalam data pada saat terjadinya krisis perbankan 1997/1998 dapat mengakibatkan hasil estimasi menjadi tidak efisien. Sesuai dengan penelitian D»Amato, Grubisic dan Powell (1995) dan McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003) sebagaimana diuraikan pada section 4, persentase perubahan dana pihak ketiga yang positif berarti tidak terjadi bank runs, sebaliknya persentase perubahan dana pihak ketiga yang negatif berarti terjadi bank runs, yang tingkat keparahannya tergantung jumlah penarikan dana pihak ketiga. Sehubungan dengan model yang digunakan adalah model GMM, maka keakuratan (robustness) model dianalisis dengan melihat moment condition. Untuk melihat keakuratan model tersebut, Arrelano dan Bond (1991) menyarankan untuk menggunakan tes serial korelasi dari Arrelano dan Bond dan tes Sargan mengenai tidak terjadi permasalahan over identification dalam model dinamis sebagaimana diuraikan dalam sesi 4. Berdasarkan hasil Arrelano-Bond panel dinamis dengan pendekatan one-step menunjukkan bahwa terjadi permasalahan di dalam model panel dinamis (model 1), yaitu 66 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 terjadi masalah auto korelasi dan over-identification dalam variabel yang digunakan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka indikator kinerja keuangan dan indikator makroekonomi yang mempunyai hubungan (multicolinearity) tidak akan digunakan untuk menghindarkan permasalahan ketidakakuratan spesifikasi dan serial korelasi dalam model. Pada indikator kinerja keuangan bank, ROE tidak digunakan mengingat telah terdapat ROA. Selain itu, kedua variabel tersebut mempunyai hubungan erat sehingga dapat menimbulkan permasalahan multikolinieritas. Demikian pula halnya dengan variabel pertumbuhan kredit (gkredit) dihilangkan karena masih terkait dengan loan to deposit ratio (LDR). Untuk variabel indikator makroekonomi, pertumbuhan bulanan net foreign assets (GNFA) tidak digunakan karena GNFA merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan uang beredar (GM2). Selain itu, variabel inflasi, suku bunga SBI nominal 1 bulan (SBI) dan suku bunga riil (RSBUNGA) akan dipisahkan dengan model tersendiri. Pemisahan tersebut dimaksudkan untuk menghindarkan hubungan antara suku bunga dengan inflasi yang saling terkait. Dengan mempertimbangkan permasalahan multikolinieritas, maka model 1 tidak digunakan untuk menganalisis determinan bank runs melainkan model 2 (model 1 dengan SBI dikurangi ROE, GKREDIT, GNFA, Inflasi dan rsbunga), model 3 (model 1 dengan INFLASI dikurangi ROE, GKREDIT, GNFA, SBI dan rsbunga) dan model 4 (model 1 dengan RSBUNGA dikurangi ROE, GKREDIT, GNFA, SBI dan Inflasi). Hasil one-step model 2, 3 dan 4 juga menunjukkan tidak robust karena berdasarkan hasil tes serial korelasi Arrelano-Bond, model menunjukkan serial korelasi dan tes Sargan menunjukkan terdapat permasalahan dalam over-identifying restriction. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, selanjutnya dilakukan regresi two-step dari model Arrelano-Bond panel dinamis. Hasil two-step tersebut menunjukkan bahwa model telah robust (akurat), sebagaimana tercermin dari hasil tes Arrelano-Bond menunjukkan tidak terjadi serial korelasi dan tes Sargan menunjukkan hasil tidak terdapat permasalahan dalam over-identifying restriction. Selain itu, F statistik dari ketiga model secara statistik signifikan pada pada α = 1%, yang berarti model dapat menolak Ho: seluruh koefisien independent variable sama dengan nol. Dengan demikian, seluruh independent variable secara bersama-sama signifikan mempengaruhi dependent variable (persentase perubahan bulanan dana pihak ketiga), yang merupakan proxy dari bank runs. Hasil two-step Arrelano-Bond model panel dinamis yang akurat (robust) tersebut disajikan pada Tabel 4. Arah Koefisien tenggat waktu (lag) dana pihak ketiga (GDPK(-1)) yang digunakan sebagai proxy self-fulfilling prophecy menunjukkan positif sehingga telah sejalan ekspektasi yang diharapkan, yaitu penurunan dana pihak ketiga pada periode sebelumnya akan mengakibatkan penurunan dana pihak ketiga pada periode sekarang. Dilihat dari signifikansinya, Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental? 67 koefisien parameter (GDPK(-1)) pada model 2, 3 dan 4 menunjukkan angka signifikan, seperti tercermin dari nilai p-value sebesar 0,000, yang berarti kurang dari α=1%. Dengan demikian, hasil uji statistik menolak Ho: β1 = 0, yang berarti β1 secara statistik signifikan. Signifikannya koefisien variabel ini menunjukkan bahwa informasi penurunan dana atau bank runs di suatu bank dapat mendorong nasabah bank menarik dananya dan selanjutnya dapat mengakibatkan terjadinya bank runs pada bank lain. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian D»Amato, Grubisic dan Powell (1995) dan McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003) yang menunjukkan faktor self-fulfilling prophecy merupakan salah satu penyebab bank runs di Argentina pada tahun 1995 dan 2001. Hasil determinan bank runs yang berasal dari kinerja keuangan bank yang berupa ROA, LDR, LIQ, NPL, dan CA dapat diuraikan sebagai berikut. Koefisien ROA mempunyai arah positif sehingga sesuai dengan pertimbangan teori sebagaimana dijelaskan pada Tabel 2 dan Tabel 3, yaitu semakin tinggi rentabilitas bank, maka semakin baik kinerja keuangan bank sehingga dapat mengurangi kerentanan terhadap bank terhadap bank runs. Dilihat dari signifikansinya, nilai p-value koefisien ROA sebesar 0,000, yang berarti pada ±=1% ROA signifikan mempengaruhi bank runs dalam hal ini digunakan proxy variabel bank runs yang digunakan adalah perubahan dana pihak ketiga bank (GDPK). Indikator kinerja keuangan LDR menunjukkan tanda positif sehingga tidak sesuai dengan yang diharapkan. Seharusnya tanda koefisien LDR adalah negatif karena semakin tinggi nisbah LDR semakin rendah likuiditas yang tersedia di bank sehingga bank rentan terhadap penarikan dana besar-besaran (bank runs). Namun, koefisien LDR tersebut signifikan secara statistik mempengaruhi bank runs dengan nilai p-value 0.0000. Koefisien LIQ juga mempunyai arah negatif sehingga tidak sesuai dengan tanda yang diharapkan, namun secara statistik signifikan mempengaruhi bank runs. Penjelasan dari berlawanannya arah koefisien kedua variabel tersebut terutama disebabkan permasalahan terbatasnya informasi dari nasabah mengenai kinerja bank (asymmetric information). Dengan keterbatasan informasi tersebut, maka nasabah bank lebih memperhatikan tingkat rentabilitas dari publikasi laporan keuangan bank dalam keputusan penarikan dananya di bank sebagaimana tercermin dari sesuainya arah koefisien ROA. Sementara variabel LDR dan LIQ tidak sensitif terhadap penarikan dana pihak ketiga. Indikator kinerja keuangan lainnya, NPL menunjukkan tanda negatif sehingga sesuai dengan tanda yang diharapkan. Dilihat dari signifikansinya, secara statistik koefisien tersebut signifikan mempengaruhi bank runs dengan p-value sebesar 0,000. Koefisien CA (rasio kecukupan modal) mempunyai arah negatif sehingga tidak sesuai dengan tanda yang diharapkan, namun secara statistik siginifikan. Sebagaimana dijelaskan pada LDR dan LIQ, 68 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 berlawanannya tanda koefisien tersebut disebabkan terbatasnya informasi nasabah atas laporan keuangan bank melalui publikasi sehingga perubahan dana pihak ketiga tidak sensitif terhadap rasio kecukupan modal (CA). Signifikannya variabel kinerja keuangan tersebut menunjukkan bahwa semakin sehat keuangan suatu bank, maka kecenderungan terjadinya bank runs semakin kecil. Hasil determinan variabel kondisi makroekonomi yang meliputi LGDP, LNT, GM2, IHSG, SBI, INFLASI dan RSBUNGA akan diuraikan selanjutnya. Pada semua model, pertumbuhan ekonomi (LGDP) mempunyai arah positif sehingga sesuai dengan yang diharapkan dan secara statistik signifikan mempengaruhi bank runs pada α = 1%. Nilai tukar tidak signifikan mempengaruhi bank runs pada semua model. Pada model 2, perubahan indeks saham gabungan (IHSG) signifikan mempengaruhi bank runs pada α = 5%, tetapi tidak signifikan pada model 3 dan 4. Selanjutnya, variabel bebas IHSG dan LNT dipisahkan dengan memasukkan masing-masing variabel pada model 2, 3 dan 4. Pemisahan tersebut dilakukan untuk mendeteksi terjadinya multikolinearitas antara IHSG dan LNT. Hasil panel dinamis dengan pemisahan kedua variabel bebas tersebut menunjukkan hasil yang sama, yaitu IHSG tetap signifikan mempengaruhi bank runs pada model 2 dan mempunyai tanda negatif serta tidak signifikan mempengaruhi bank runs pada model 3 dan 4. Tanda koefisien IHSG tersebut negatif sehingga berlawanan dengan yang diharapkan. Negatifnya tanda IHSG tersebut mengindikasikan bahwa penempatan dana nasabah di bank merupakan substitusi dengan penempatan dana di pasar saham. Indikator makroekonomi lainnya yang signifikan mempengaruhi bank runs adalah pertumbuhan uang beredar M2 (GM2) dengan p-value pada ketiga model sebesar 0,000. Variabel SBI, INFLASI dan RSBUNGA diestimasi dengan model tersendiri untuk menghindarkan permasalahan multikolinearitas. SBI menggunakan model 2, INFLASI dengan model 3 dan RSBUNGA dengan model 4. Koefisien SBI pada model 2 adalah negatif sehingga sesuai dengan yang diharapkan dan signifikan mempengaruhi bank runs pada ± = 1%. Negatifnya koefisien tersebut menunjukkan semakin tinggi suku bunga, maka semakin besar biaya dana debitur sehingga mendorong peningkatan kredit macet dan selanjutnya meningkatkan kerentanan terhadap bank runs. Koefisien INFLASI pada model 3, tidak signifikan mempengaruhi bank runs. Sementara itu, koefisien suku bunga riil (RSBUNGA) signifikan mempengaruhi bank runs pada α = 1% dan mempunyai koefisien negatif sehingga telah sesuai dengan harapan. Signifikannya koefisien tersebut menunjukkan semakin besar suku bunga riil, maka semakin besar biaya dana debitur dan selanjutnya meningkatkan kredit macet dan kerentanan terhadap bank runs. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian D»Amato, Grubisic dan Powell (1995) dan McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003) yang mengemukakan bahwa Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental? 69 suku bunga dan inflasi yang tinggi merupakan salah satu penyebab»bank runs di Argentina pada tahun 1995 dan 2001. Hasil tersebut juga sejalan teori yang dikemukakan Mishkin (1994), semakin tinggi inflasi dan suku bunga, maka semakin tinggi ketidakpastian dalam perekonomian dan selanjutnya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya»bank runs. Sementara itu, dummy krisis perbankan 1997-1998 (dcrisis) menunjukkan koefisien tidak signifikan mempengaruhi variabel tidak bebas (bank runs) pada semua model. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada permasalahan structural break pada data persentase perubahan dana pihak ketiga sehingga tanpa menggunakan dummy krisis, estimasi model determinan bank runs dalam disertasi ini telah tergolong robust. Tabel 4. Hasil Panel Dinamis Two-Steps Arrelano-Bond Semua Bank (1990-2005) Variabel Bebas Gdpk(-1) roa roe ldr liq gkredit npl ca inflasi lgdp lnt gm2 gnfa sbi rsbunga ihsg dcrisis _cons F-statistik Tes Serial Korelasi - Order 1 - Order 2 Tes Sargan Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 .0499097 (0.000) .0003161 (0.000) 8.69e-07 (0.000) 1.51e-07 (0.000) -.0045987 (0.010) 2.91e-07 (0.124) -.0000752 (0.000) -8.32e-09 (0.000) .010806 (0.523) 55.58811 (0.000) -1.721723 (0.794) .6664031 (0.000) .0346286 (0.022) -.1413058 (0.000) .0558145 (0.000) .0003511 (0.000) .0546436 (0.000) .0003656 (0.000) .0568486 (0.000) .0003308 (0.000) 1.51e-07 (0.000) -.0039085 (0.000) 1.51e-07 (0.000) -.0037416 (0.029) 1.50e-07 (0.000) -.004143 (0.017) -.000075 (0.000) 1.07e-08 (0.000) -.01272767 (0.582) 57.0019 (0.000) 67.051549 (0.000) -2.942458 (0.525) -5.001888 (0.447) .815951 (0.000) .8681422 (0.000) -.0000741(0.000) -9.85e-0 (0.000) -.0000744 (0.000) -9.43e-09 (0.000) 59.29535 (0.000) -8.2788 (0.092) .9139102 (0.000) -.1250546 (0.000) -.0192167 -.0060853 -10.05823 -.3563791 (0.388) (0.080) (0.642) (0.135) -.0146106 (0.000) 9.268824 (0.607) -.2951076 (0.299) -.0090919 (0.041) -27.51757 (0.367) -.4164169 (0.088) -.003091 (0.369) -22.13916 (0.341) -.4883353 (0.026) 6105.26 27447.17 15344.52 11575.41 0.0183 (p-value) 0.3223 (p-value) 1.0000 (p-value) 0.2939 (p-value) 0.2415 (p-value) 1.0000 (p-value) 0.2919 (p-value) 0.2423 (p-value) 1.0000 (p-value) 0.2922 (p-value) Catatan: Tanda ( ) pada koefisien adalah p-value *) Dasar pertimbangan teori tanda koefisien yang diharapkan lihat Tabel 5.1 dan Tabel 5.2 0.2421 (p-value) 1.0000 (p-value) Tanda Koefisien yang diharapkan*) + + + + + + + + + 70 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 5.2. Determinan Bank Runs Periode Krisis Perbankan 1997-1998 Determinan bank runs yang diperoleh dari hasil regresi panel data di atas dengan menggunakan data bulanan dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2005. Namun, sebagaimana diketahui pada tahun 1997 hingga tahun 1998 terjadi bank runs di Indonesia sehingga telah memicu terjadinya krisis perbankan secara nasional. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini juga ingin melihat determinan bank runs dari bulan Januari 1997 sampai dengan bulan Desember 199811. Selain itu, analisis determinan bank runs pada periode 1997-1998 merupakan sebagai control variable terhadap penggunaan perubahan dana pihak ketiga sebagai proxy dari bank runs. Sebagaimana dijelaskan pada section 4, control variable diperlukan mengingat perubahan dana pihak ketiga tidak selalu diikuti dengan terjadinya bank runs. Sehubungan dengan terdapat multikolinearitas antar variabel bebas, maka untuk menganalisis determinan bank runs pada periode krisis perbankan 1997-1998 digunakan model 2, 3 dan 4. Hasil model panel data dinamis Arrelano-Bond dengan pendekatan one-step menunjukkan bias karena hasil regresi menunjukkan serial korelasi dan terjadi permasalahan over-identifying dalam restriksi persamaan. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, dicari model yang tidak bias (robust), dengan menggunakan model two-step panel dinamis ArrelanoBond, dengan hasil dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil regresi GMM tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara variable tidak bebas (dependent variable) dengan variabel bebas (independent variable) secara statistik signifikan, sebagaimana tercermin dari nilai F statistik signifikan pada α = 1%. Berdasarkan hasil regresi GMM tersebut, ketiga model menunjukkan lag satu DPK yang digunakan sebagai proxy dari self-fulfilling prophecy mempunyai arah positif dan signifikan secara statistik dengan p-value sebesar 0,000 atau α kurang dari 1%. Signifikannya koefisien ini menunjukkan bahwa berita penurunan dana suatu bank atau bank runs di bank lain dapat mengakibatkan nasabah lainnya berbondong-bondong menarik dananya di bank (bank runs). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian bank runs di Argentina yang dilakukan oleh D»Amato, Grubisic dan Powell (1995) dan McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003) yang menunjukkan faktor self-fulfilling prophecy merupakan salah satu penyebab bank runs di Argentina. Variabel kinerja keuangan ROA mempunyai tanda positif sesuai dengan yang diharapkan dan siginifikan mempengaruhi bank runs pada α = 1%, dengan p-value sebesar 0,003. LDR 11 Penarikan dana besar-besaran telah mulai terasa sejak Pemerintah melepas bank nilai tukar mengambang terkendali menjadi sistem mengambang penuh pada tanggal 14 Agustus 1997 dan gelombang bank runs semakin besar sejak ditutupnya 16 bank pada bulan November 1997 hingga mereda pada bulan Agustus 1998. Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental? 71 mempunyai tanda negatif sesuai dengan harapan dan signifikan mempengaruhi bank runs pada α = 1%. Sebaliknya LIQ, NPL dan CA mempunyai tanda berlawanan dengan harapan, dengan LIQ bertanda negatif, NPL bertanda positif dan rasio kecukupan modal bertanda negatif. Berbedanya tanda koefisien tersebut kemungkinan disebabkan terbatasnya informasi nasabah terhadap laporan keuangan sehingga ketiga variabel tersebut tidak sensitif terhadap penarikan dana dari nasabah. Signifikannya beberapa variabel kinerja keuangan bank tersebut menunjukkan bahwa semakin baik kondisi keuangan bank, maka semakin kecil kemungkinan terjadi bank runs. Variabel indikator makroekonomi, yang berupa pertumbuhan ekonomi (LGDP), nilai tukar (LNT) dan pertumbuhan uang beredar (M2) pada ketiga model mempunyai tanda sesuai harapan dan signifikan mempengaruhi bank runs pada α = 1%. Signifikannya koefisien LGDP menunjukkan bahwa semakin baik pertumbuhan ekonomi, maka semakin kecil kemungkinan terjadinya bank runs. Sementara koefisien LNT yang signifikan menunjukkan semakin tinggi depresiasi nilai tukar, maka semakin tinggi kewajiban luar negeri bank dalam denominasi rupiah dan selanjutnya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya bank runs. Koefisien GM2 yang signifikan menunjukkan semakin meningkat jumlah uang beredar, maka semakin besar likuiditas yang tersedia di perbankan dan selanjutnya akan mengurangi kemungkinan terjadinya bank runs. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Demirguc-Kunt dan Detragiache (1998), Hardy dan Pazarbasiouglu (1999) dan Ho (2004) yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi dan nilai tukar mempengaruhi bank runs dan krisis perbankan. Variabel makroekonomi lainnya yang signifikan mempengaruhi bank runs pada α = 1% dan mempunyai arah sesuai dengan teori bank runs adalah SBI 1 bulan pada model 2, INFLASI pada model 3 dan suku bunga riil (RSBUNGA) pada model 4. Signifikannya koefisien inflasi, suku bunga SBI dan suku bunga riil sejalan dengan teori yang dikemukakan Mishkin (1994) dan penelitian D»Amato, Grubisic dan Powell (1995) dan McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003) yang mengemukakan bahwa suku bunga dan inflasi yang tinggi merupakan salah satu penyebab»bank runs. Sementara itu, variabel IHSG pada ketiga model signifikan mempengaruhi bank runs pada α = 1%, tetapi arah koefisien tersebut negatif sehingga tidak sejalan dengan teori sebagaimana dijelaskan pada Tabel 2 dan Tabel 3. Negatifnya koefisien IHSG tersebut menunjukkan bahwa dana pihak ketiga di perbankan merupakan substitusi terhadap produk saham. 72 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 Tabel 5. Hasil Panel Dinamis Two-Step Arrelano-Bond Semua Bank (1997-1998) Variabel Bebas Gdpk(-1) roa ldr liq npl ca inflasi lgdp lnt gm2 rsbunga sbi ihsg _cons F-statistik Tes Serial Korelasi - Order 1 - Order 2 Tes Sargan Model 2 .2974066 3.765414 -.0238338 -7.481348 .1041378 -.0627725 (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) (0.010) Model 3 Model 4 (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) (0.952) (0.000) (0.000) (0.000) (0.000) .298317 (0.000) 3.705551 (0.000) -.239372 (0.000) -7.53001 (0.000) .107883 (0.000) -.0647577 (0.013) -.1088567 (0.000) -.04066 (0.000) -.4034315 (0.000) -.032471 (0.000) -.482142 (0.000) -.0430248 (0.000) -.4471285 (0.000) 1.10e+09 1.35e+09 1.11e+09 0.3382 (p-value) 0.3547 (p-value) 0.0538 (p-value) 0.3357 (p-value) 0.3533 (p-value) 0.0545 (p-value) 0.3389 (p-value) 0.3350 (p-value) 1.0000 (p-value) 6.666501 (0.000) -8.495236 (0.000) .6948838 (0.000) .3010486 3.520904 -.0244307 -7.839653 .0986703 .001975 .5976495 3.044591 -14.44655 .7581463 11.35838 (0.000) -8.50948 (0.000) .682149 (0.000) -.1117645 (0.000) Tanda Koefisien yang diharapkan*) + + + + + + + Catatan: Tanda ( ) pada koefisien adalah p-value *) Dasar pertimbangan teori tanda koefisien yang diharapkan lihat Tabel 5.1 dan Tabel 5.2 6. KESIMPULAN Berdasarkan hasil study dari sections sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Berdasarkan data keseluruhan bank dengan menggunakan data bulanan dari tahun 1990 sampai dengan 2005, hasil Arrelano-Bond panel dinamis menunjukkan bahwa faktor self- fulfilling prophecy signifikan mempengaruhi bank runs. Hasil ini menunjukkan bahwa berita penurunan dana pihak ketiga atau bank runs yang terjadi pada satu bank sangat signifikan mempengaruhi bank runs pada bank lain. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian D»Amato, Grubisic dan Powell (1995) dan McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003) yang menunjukkan faktor self-fulfilling prophecy merupakan salah satu penyebab bank runs di Argentina pada tahun 1995 dan 2001. 2. Seluruh variabel kinerja keuangan bank yang berupa rentabilitas aset (ROA), likuiditas (LIQ), dan rasio kredit non lancar (NPL), secara statistik signifikan mempengaruhi bank runs. Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental? 73 Koefisien ROA bertanda positif berarti semakin baik rentabilitas bank, maka semakin meningkat kecenderungan nasabah menempatkan dananya di bank sehingga cenderung mengurangi terjadinya bank runs. Sebaliknya, koefisien rasio kredit non lancar (NPL) yang negatif menunjukkan bahwa semakin besar NPL, maka semakin besar dana nasabah yang tertahan dalam kredit macet sehingga meningkatkan kerentanan terhadap bank runs. Hasil tersebut juga sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, seperti yang dilakukan D»Amato, Grubisic dan Powell (1995), McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003) dan Ho (2004). 3. Variabel kinerja makroekonomi yang signifikan mempengaruhi bank runs meliputi pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan uang beredar M2, inflasi dan suku bunga. Koefisien pertumbuhan ekonomi yang positif menunjukkan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, maka semakin tinggi minat menempatkan dana di bank dan semakin lancar pembayaran kredit, sehingga akan cenderung mengurangi kemungkinan terjadinya bank runs. Koefisien pertumbuhan uang beredar yang positif berarti semakin tinggi uang beredar, maka semakin tinggi likuiditas perbankan sehingga selanjutnya dapat mengurangi terjadinya bank runs. 4. Variabel inflasi dan suku bunga riil yang signifikan dan bertanda negatif, berarti semakin tinggi suku bunga, maka semakin besar biaya dana debitur sehingga mendorong peningkatan kredit macet dan menurunnya likuiditas yang tersedia di bank, selanjutnya hal tersebut dapat meningkatkan kerentanan terhadap bank runs. Signifikannya variabel makroekonomi tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Demirguc-Kunt dan Detragiache (1998), Hardy dan Pazarbasiouglu (1999), McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003) dan Ho (2004) yang menunjukkan inflasi, suku bunga nominal dan riil mempunyai hubungan negatif dan signifikan mempengaruhi bank runs dan krisis perbankan. 5. Determinan bank runs pada periode krisis perbankan tahun 1997-1998 juga menunjukkan bahwa faktor self-fulfilling prophecy juga mempengaruhi bank runs. Hasil ini menunjukkan lagi bahwa berita penurunan dana pihak ketiga atau bank runs yang terjadi pada suatu bank dapat mempengaruhi ekspektasi nasabah untuk menarik dana besar-besaran di banknya (bank runs). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian bank runs di Argentina yang dilakukan oleh D»Amato, Grubisic dan Powell (1995) dan McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003) yang menunjukkan faktor self-fulfilling prophecy merupakan salah satu penyebab bank runs di Argentina. 6. Seluruh variabel kinerja keuangan bank siginifikan mempengaruhi bank runs pada krisis perbankan 1997-1998. Tanda rentabilitas aset (ROA) dan loan to deposit ratio (LDR) sesuai dengan teori, dengan tanda positif pada ROA dan tanda negatif pada LDR. Tanda positif pada ROA berarti semakin tinggi rentabilitas, maka semakin besar kecenderungan nasabah 74 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 menempatkan dananya di bank karena meningkatnya kepercayaan atas rentabilitas yang semakin baik dan selanjutnya hal tersebut mengurangi kerentanan terjadinya bank runs. Koefisien LDR yang negatif menunjukkan semakin besar nisbah LDR, maka semakin rendah likuiditas yang tersedia untuk pembayaran penarikan dana nasabah sehingga dapat meningkatkan kecenderungan terjadinya bank runs. Signifikannya ROA dan LDR dalam mempengaruhi bank runs sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh D»Amato, Grubisic dan Powell (1995) dan McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003) yang mengemukakan bahwa kinerja keuangan tersebut merupakan salah satu penyebab bank runs di Argentina pada tahun 1995 dan 2001. 7. Dari sisi kondisi makroekonomi, pertumbuhan ekonomi (LGDP), nilai tukar (LNT) dan pertumbuhan uang beredar (M2) mempunyai tanda positif sehingga sesuai dengan teori dan signifikan mempengaruhi bank runs pada masa krisis perbankan tahun 1997-1998. Demikian pula dengan suku bunga SBI 1 bulan, inflasi, suku bunga riil mempunyai tanda negatif dan signifikan mempengaruhi bank runs. Signifikannya variabel makroekonomi tersebut sebagai determinan bank runs sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Demirguc-Kunt dan Detragiache (1998), Hardy dan Pazarbasiouglu (1999), McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003) dan Ho (2004) yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, inflasi dan suku bunga mempengaruhi bank runs dan krisis perbankan. Hasil panel dinamis menunjukkan bahwa bahwa variabel self-fulfilling prophecy signifikan mempengaruhi bank runs di Indonesia. Policy implication dari hasil ini menunjukkan bahwa informasi kejadian bank runs atau penarikan dana pihak ketiga yang signifikan pada suatu bank dapat mempengaruhi ekspektasi nasabah untuk melakukan penarikan dana besar-besaran pada bank lain. Sehubungan dengan hasil temuan tersebut, dalam kerangka pengawasan bank yang berbasis resiko (risk-based supervision), otoritas pengawas perlu memetakan bankbank yang peka (sensitive) terhadap faktor self-fulfilling prophecy. Pemetaan sensivitas bank tersebut dimasukkan pada siklus pengawasan bank dalam kerangka penilaian resiko terhadap individual bank sehingga secara dini dapat dicegah dampak contagious bank runs pada suatu bank ke bank lain. Selain itu, perlu dibangun manajemen komunikasi yang handal untuk mengembalikan ekspektasi masyarakat yang memburuk terhadap suatu bank. Membangun kepercayaan nasabah terhadap perbankan nasional tersebut juga perlu didukung oleh Pemerintah sebagai sumber pembiayaan darurat dalam hal terjadi bank runs yang mempunyai resiko sistemik. Bentuk dukungan tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan fungsi koordinasi pengawasan bank antara Bank Indonesia dengan Pemerintah dalam forum stabilitas sistem keuangan yang sudah ada. Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental? 75 Penelitian ini menggunakan lag variabel bebas (persentase perubahan dana pihak ketiga) sebagai proxy bank runs. Penggunaan variable ini robust untuk menangkap faktor self-fulfilling prophecy, tetapi tidak tertutup kemungkinan lain menemukan proxy yang lebih robust untuk menangkap faktor self-fulfilling prophecy. 76 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 DAFTAR PUSTAKA Aharony, Joseph, and Itzhak Swary, 1983, ≈Contagion Effects of Bank Failures: Evidence from Capital Markets.∆ The Journal of Business, July 1983, 56(3), pp. 305-322. Allen, Franklin, and Douglas Gale, 1998, ≈Optimal Financial Crises∆ The Journal of Finance, Vol. 53, No.4, Papers and Proceedings of the Fifty-Eighth Annual Meeting of the American Finance Association, Chicago, Illinois, January 3-5, Aug., 1998, pp. 1245-1284. ______. ≈Bubbles and Crises∆, 2000, The Economic Journal, Vol. 110, No. 460 (Jan., 2000), hal. 236-255. ______,2000, ≈Financial Contagion.∆ The Journal of Political Economy, February 2000, 108(1), pp. 1-33. Bank Indonesia, Laporan tahunan Bank Indonesia dari 1997/1998 sampai dengan tahun 2007. Bryant, John, 1981, ≈Bank Collapse and Depression∆ Journal of Money, Credit and Banking, Vol. 13, No. 4 (Nov., 1981), pp. 454-464. Calomiris, Charles W.,2007, ≈Bank Failures in Theory and History: The Great Depression and Other «Contagious» Events.∆ NBER Working Paper Series, No. WP 13597, November 2007. ______,1991, dan Gary Gorton.∆≈The Origins of Banking Panics: Models, Facts, and Bank Regulation∆. Dalam R. G. Hubbard, Financial markets and Financial Crisis. Chicago: University of Chicago Press, hal. 109-173. Canova, Fabio.,1994, ≈Were Financial Crises Predictable?∆ Journal of Money, Credit, and Banking, Vol. 26, 1 (Februari 1994), hal. 102-124. D»Amato, Laura, Elena Grubisic dan Andrew Powell, 1997, ≈Contagion, Bank Fundamentals or Macroeconomic Shock? An Empirical Analysis of the Argentine 1995 Banking Problems∆, Banco Central de la República Argentina Working Paper Number 2, July 1997. Davis, E. Philip dan Dilruba Karim.,2007, ≈Comparing Early Warning Systems for Banking Crises.∆ Working Paper Brunel University dan NIESR West London. Demirguc-Kunt, Asli dan Detragiache, Enrica.,1997, ≈The Determinants of Banking Crises: Evidence from Developing and Developed Countries.∆ IMF Working Paper, No. WP/97/106, September 1997. Diamond, Douglas W., 1991, ≈Debt Maturity Structure and Liquidity Risk.∆ The Quaterly Journal of Economics, August 1991, 106(3), pp. 709-737. Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental? 77 ______, dan Philip H. Dybvig, 1983, ≈Bank Runs, Deposit Insurance, and Liquidity.∆ Journal of Political Economy, June 1983, 91(3), hal. 401-419. Kaufman, George G.,1988, ≈Bank Runs: Causes, Benefits and Costs.∆∆Cato Journal 2, no. 3 (Winter): 559-88. ______. ≈The Concise Encyclopedia of Economics di website≈http://www.econlib.org/library/ Enc/BankRuns.html∆ mimeo. Kindleberger, 1978, C. P. Manias, Panics and Crashes. Basic Books, New York. Lindgren, Carl-Johan; Garcia, Gillian, Garcia; dan Saal, Matthew I.,1996, ∆Bank Soundness and Macroeconomic Policy.∆ IMF. McCandless, George, Maria F. Gabrielli, Maria J. Rouillet, 2003, ≈Determining the Causes of Bank Runs in Argentina During the Crisis of 2001∆, Revista De Analisis Economico, Vol. 18, No. 1, Banco Central de la República Argentina. Minsky, Hyman.,1977, ≈A Theory of System Fragility∆, dalam Edward Altman dan Arnold Sametz (ed.), Financial Crises: Institutions and Markets in a Fragile Financial Environment, New York: Wiley-Interscience. Mishkin, Frederic S.,1996, ≈Understanding Financial Crises: A Developing Country Perspective.∆ NBER Working Paper Series, No. WP 5600, Mei 1996. Safuan, Sugiharso.,2003, ≈Contagion and Interdependence in the Asian Crisis∆. Proceedings Seminar Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia. Jakarta, 27 Agustus 2003. Warjiyo, Perry.,2001, ≈Bank Failure Management: The Case of Indonesia∆ APEC Policy Dialogue on Bank Failure Management Paper, Mexico, June 7-8. 78 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 halaman ini sengaja dikosongkan Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia 79 PENGUJIAN NETRALITAS UANG DAN INFLASI JANGKA PANJANG DI INDONESIA Arintoko 1 Abstract This paper investigates long-run neutrality of money and inflation in Indonesia, with due consideration to the order of integration, exogeneity, and cointegration of the money stock-real output and the money stock-price, using annual time-series data. The Fisher-Seater methodology is used to do the task in this research. The empirical results indicate that evidence rejected the long-run neutrality of money (both defined as M1 and M2) with respect to real GDP, showing that it is inconsistent with the classical and neoclassical economics. However, the positive link between the money and price in long run holds for money defined as M1 rather than M2, which consistent with these theories. In particular, besides the positive effect to long-run inflation, monetary expansions have long-run positive effect on real output in the Indonesian economy. JEL: C32, E31, E51 Keywords: long-run neutrality of money, inflation, unit root, exogeneity, cointegration 1 Staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman, sedang menempuh pendidikan S3 pada Program Doktor Ilmu Ekonomi UGM. e-mail: [email protected]. 80 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 I. PENDAHULUAN Keberadaan netralitas uang dan hubungan positif antara uang dan harga telah diakui dan dipahami dengan baik dalam literatur ekonomi. Dalam teori moneter klasik dinyatakan bahwa perubahan dalam penawaran uang akan mempengaruhi variabel-variabel nominal, namun tidak mempengaruhi variabel-variabel riil, karena menurut dikotomi klasik (classical dichotomy) kekuatan yang mempengaruhi variabel riil dan nominal berbeda. Namun demikian hal ini memunculkan sebuah pertanyaan yang masih menjadi isu yang menarik bagi para ahli ekonomi bahwa ≈apakah perubahan uang beredar yang permanen hanya akan mempengaruhi variabel nominal tanpa memberikan efek pada variabel riil?∆. Atau dengan kata lain ≈apakah uang adalah netral?∆. Pertanyaan tersebut menjadi sebuah pemikiran bagi para ahli ekonomi moneter yang menyita waktu cukup panjang bahwa injeksi uang atau ekspansi moneter oleh pemerintah ke dalam perekonomian makro memiliki efek netral yang pasti dan hanya menyebabkan kenaikan harga. Selama ini netralitas jangka panjang diangggap sebagai sesuatu yang given, yang kebanyakan merupakan asumsi yang digunakan dalam teori ekonomi maupun pertimbangan dalam pengambilan kebijakan bahkan sebagai asumsi yang radikal sekalipun. Oleh karena itu bagi kalangan ahli ekonomi khususnya ahli ekonomi moneter, netralitas uang ini kemudian menjadi perdebatan yang panjang. Menurut Lucas (1995) netralitas uang digambarkan sebagai situasi di mana perubahan dalam jumlah uang beredar hanya akan menyebabkan perubahan variabel-variabel nominal, seperti harga, kurs nominal, dan upah nominal tanpa menyebabkan perubahan pada variabelvariabel riil seperti output, konsumsi, investasi dan kesempatan kerja. Ide ini disampaikan oleh ahli ekonomi klasik yaitu Hume (1752) yang menyatakan bahwa kenaikan dalam jumlah uang beredar tidak memiliki pengaruh pada kesempatan kerja maupun investasi serta tingkat atau pertumbuhan output. Lebih dari itu, konsep supernetralitas uang juga digunakan, yang menyatakan bahwa perubahan dalam pertumbuhan jumlah uang beredar dalam perekonomian tidak akan menyebabkan perubahan variabel-variabel riil ekonomi kecuali perubahan tingkat inflasi. Hipotesis netralitas uang jangka panjang yang masih menjadi isu yang diteliti dan diuji keberadaannya ini kebanyakan didasarkan pada teori moneter klasik, model neoklasik ataupun model siklus bisnis riil (real business cycle). Teori-teori tersebut memproposisikan bahwa uang adalah netral dalam perekonomian yang tidak berpengaruh pada variabel riil, karena uang hanya berdampak pada tingkat harga yang gagasannya sejalan dengan Hume dan Lucas. Isu netralitas uang dan inflasi jangka panjang kembali mendapatkan perhatian dan semakin intensif diteliti baik dari kalangan peneliti maupun akademisi dengan semakin bertambahnya literatur tentang pengujian netralitas uang dan inflasi jangka panjang dalam beberapa dekade Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia 81 terakhir. Para peneliti yang memiliki perhatian pada netralitas uang mengumpulkan bukti-bukti empirik yang berkenaan dengan proposisi netralitas uang, sementara sebagian peneliti memusatkan pada pengujian keberadaan hubungan uang dan harga pada jangka panjang. Sejumlah studi mengenai netralitas uang dilakukan setelah dilakukan penelitian yang pada awalnya dilakukan oleh King dan Watson (1992, 1997) serta Fisher dan Seater (1993) di Amerika Serikat. Penelitian semacam itu kemudian dilakukan oleh para peneliti di sejumlah negara di wilayah Amerika Selatan dan Utara, Australia, Asia termasuk Asia Selatan dan Tenggara di samping juga di Eropa dan Afrika. Sejumlah penelitian tersebut dilakukan oleh antara lain Boschen dan Otrok (1994), Olekalns (1996), Haug dan Lucas (1997), Serletis dan Koustas (1998, 2001), Bae dan Ratti (2000), Shelley dan Wallace (2003), Noriega (2004), Coe dan Nason (2004), Oi et al. (2004), Bae et al. (2005), Noriega dan Soria (2005), Noriega et al. (2005), Wallace dan Cabrera-Castellanos (2006), Chen (2007), dan Puah et al. (2008). Kebanyakan dari penelitianpenelitian ini mengadopsi metodologi Fisher dan Seater (1993) serta King dan Watson (1992, 1997) yang di antaranya ada yang melakukan perluasannya. Khususnya untuk kasus di negaranegara Asia sejumlah penelitian dilakukan oleh antara lain Oi et al. (2004) pada kasus di Jepang, Ran (2005) di Hong Kong, Chen (2007) di Korea Selatan dan Taiwan, serta Puah et al. untuk kasus 10 negara anggota South East Asian Central Banks (SEACEN) Resesarch and Training Centre. Sementara itu isu mengenai keberadaan hubungan positif antara uang dan harga dikumpulkan dalam studi terbaru oleh antara lain Saatcioglu dan Korap (2009), Roffia dan Zaghini (2007), serta Browne dan Cronin (2007). Hasil-hasilnya sejalan dengan kesimpulan dari sejumlah peneliti terdahulu antara lain Lucas (1980), Dwyer dan Hafer (1988), Friedman (1992), Barro (1993), McCandless dan Weber (1995), Rolnick dan Weber (1997), Dewald (1998), Dwyer (1998), Dwyer dan Hafer (1999). Hasil dari studi mengenai netralitas moneter jangka panjang dalam beberapa kasus menemukan bukti yang mendukung adanya netralitas uang, namun tidak menemukan bukti adanya supernetralitas uang. Sementara itu pada studi-studi lain tidak menemukan bukti substansi baik yang mendukung adanya netralitas maupun supernetralitas uang pada negaranegara tertentu. Berkaitan dengan studi mengenai hubungan antara uang dan harga dalam jangka panjang secara umum hasil empirik memberikan kesimpulan yang sama mengenai keberadaan hubungan positif antara uang dan harga, meskipun terdapat perbedaan mengenai sifat-sifat time-series dari data di beberapa negara. Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empirik proposisi netralitas uang dan inflasi jangka panjang untuk uang baik yang didefinisikan sebagai M1 maupun M2 masing-masing terhadap output riil dan harga di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data runtut waktu tahunan. Studi ini termotivasi oleh masih sedikitnya penelitian mengenai pengujian netralitas 82 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 moneter dan inflasi jangka panjang di negara-negara berkembang Asia Tenggara termasuk Indonesia. Kedua proposisi diteliti sekaligus karena keduanya merupakan proposisi yang melekat pada satu teori tertentu, khsususnya teori kuantitas uang dan model Lucas. Di Indonesia sendiri penelitian semacam ini sangat jarang, bahkan untuk penelitian terkini yang hasilnya dipublikasikan nampaknya belum ada. Adanya penelitian terhadap isu ini diharapkan memperkaya literatur ekonomi dan kajian serta bahan pertimbangan dalam kebijakan moneter. Tulisan ini diawali dengan pendahuluan yang menyampaikan alasan mengapa penelitian yang berkenaan dengan pengujian netralitas uang dan inflasi jangka panjang ini penting dan perlu dilakukan untuk kasus Indonesia. Bagian kedua adalah kajian teori dan review penelitian terdahulu. Bagian ketiga adalah metode penelitian, yang menjelaskan metodologi Fisher-Seater beserta uji-uji prasyaratnya, yang meliputi integrasi, eksogenitas, dan kointegrasi. Bagian keempat menyajikan hasil penelitian dan pembahasan yang kemudian diakhiri dengan bagian kelima sebagai penutup berupa kesimpulan dan saran. II. TEORI 2.1. Pandangan Hume dan Teori Kuantitas Klasik Dalam sebuah essay David Hume (1752) berjudul of Money and of Interest, menyimpulkan tentang pengaruh perubahan dalam jumlah uang yang kelihatannya tergantung pada jalan di mana perubahan itu dipengaruhi. Berdasarkan teori kuantitas uang, Hume menekankan aspek perubahan unit dari perubahan jumlah persediaan uang, serta tidak relevannya perubahanperubahan itu terhadap perilaku masyarakat rasional. Ia menyatakan bahwa uang itu tidak berarti, namun uang merepresentasikan tenaga kerja dan komoditi. Terdapat dua penyataan Hume yang membentuk suatu doktrin bahwa perubahan dalam jumlah unit dari uang beredar akan memiliki pengaruh pada perubahan proporsional terhadap seluruh harga yang dinyatakan dalam satuan uang dan tidak memiliki pengaruh pada variabel riil seperti berapa masyarakat yang bekerja dan berapa barang yang diproduksi atau dikonsumsi. Prediksi dari teori kuantitas bahwa dalam jangka panjang pertumbuhan jumlah uang beredar bersifat netral terhadap tingkat pertumbuhan produksi dan berpengaruh terhadap inflasi secara proporsional. Jadi menurut Hume, variabel-variabel ekonomi riil tidak berubah dengan adanya perubahan penawaran uang (perubahan variabel nominal). Menurut dikotomi klasik, kekuatan yang mempengaruhi variabel riil dan nominal berbeda. Oleh karena itu perubahan dalam penawaran uang akan mempengaruhi variabel-variabel nominal, namun tidak mempengaruhi variabel-variabel riil. Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia 83 Dalam persamaan kuantitas (quantity equation) dari teori kuantitas klasik, dinyatakan suatu persamaan kuantitas: (1) di mana persamaan tersebut menghubungkan kuantitas uang (M) kepada nilai nominal dari output (P x Y), sementara V menunjukkan tingkat perputaran uang (velocity of money). Persamaan kuantitas menunjukkan bahwa kenaikan dalam jumlah (kuantitas) uang dalam perekonomian mencerminkan salah satu dari tiga variabel lain yaitu tingkat harga naik, jumlah output naik, atau tingkat perputaran uang turun. Tingkat perputaran uang relatif stabil sepanjang waktu. Ketika Bank Sentral mengubah jumlah uang beredar, akan menyebabkan perubahan secara proporsional nilai nominal output (P x Y). Karena uang netral menurut teori klasik, maka uang tidak mempengaruhi output. Dalam kebijakan moneter jika uang netral, maka perubahan jumlah uang beredar tidak berpengaruh terhadap output, yang artinya kebijakan moneter mengendalikan jumlah uang beredar tidak efektif mempengaruhi output. 2.2. Model Neoklasik Penjelasan teoritik dalam model neoklasik berikut kebanyakan diambil dari Barro (1997). Model ini diawali dengan model perekonomian terbuka kecil neoklasik dengan empat persamaan yang mengasumsikan adanya mobilitas modal sempurna dalam obligasi. (2) (3) (4) (5) Terdapat empat parameter yang tidak diketahui (unknown) dalam model ouput riil y, tingkat bunga riil r, kurs riil ε, dan tingkat harga P. Persamaan (2) menunjukkan ekuilibrium untuk pasar barang yang permintaannya, E merupakan fungsi dari pendapatan riil, tingkat bunga riil, dan kurs riil. Kurs riil dalam pengertian ini didefinisikan sebagai: (6) 84 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 di mana e adalah kurs nominal, P dan Pf masing-masing merupakan tingkat harga domestik dan luar negeri. Kenaikan dalam ε merepresentasikan apresiasi dari mata uang domestik, yang menurunkan ekspor neto riil dan mengurangi permintaan barang riil. Persamaan (3) menunjukkan ekuilibrium dalam pasar uang. Permintaan uang riil L, diasumsikan merupakan fungsi dari pendapatan riil y, dan tingkat bunga riil r. Variabel b merupakan variabel exogenous shock. Penawaran uang merupakan model Brunner-Meltzer, yang terdiri dari pengganda uang m dan monetary base B. Penawaran uang diasumsikan sama dengan jumlah currency dalam sirkulasi C, ditambah bank deposits D. Dengan membagi penawaran uang dengan harga P, maka mengubah penawaran uang ke dalam arti riil. Diasumsikan bahwa pengganda uang adalah: (7) di mana c adalah rasio currency terhadap deposit (C/D), r adalah rasio cadangan wajib minimum (required reserve ratio), dan e adalah rasio kelebihan cadangan yang diinginkan (desired excess reserve ratio). Diasumsikan pula bahwa ketiga variabel yang menentukan pengganda uang tersebut adalah eksogen. r Y s r* Y D Y Y* Y Y P M M» MD Y S, LR P Y f (Kt-1, L) L L* w/P LS LR (P*) w/P* P* M»V=PY LD MV=PY Y* Y Grafik 1. Efek Kebijakan Moneter Jangka Panjang L* L Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia 85 Dari persamaan (3) bahwa ketiadaan perubahan eksogen dalam y*, dan r*, atau permintaan uang, maka penawaran uang riil adalah tetap. Kondisi ini menghasilkan netralitas uang klasik, yaitu perubahan dalam penawaran uang menyebabkan perubahan dalam tingkat harga dengan tetap menjaga penawaran uang riil dan variabel riil yang lain dalam model tidak berubah. Berdasarkan model neoklasik, maka Grafik 1 menunjukkan bahwa kenaikan jumlah uang beredar M tidak akan menyebabkan variabel riil seperti output Y dan kesempatan kerja L berubah, yang menggambarkan netralitas uang jangka panjang. Grafik 1 menunjukkan bahwa kenaikan jumlah uang dari M ke M’ hanya meningkatkan harga P, sementara output Y dan kesempatan kerja L tidak berubah di mana keduanya merupakan variabel riil. Keadaan yang digambarkan tersebut menunjukkan adanya netralitas uang jangka panjang. 2.3. Model Lucas Menurut model ini perekonomian digambarkan dengan menggunakan penawaran agregat menurut Lucas dan fungsi permintaan agregat monetarist. Persediaan uang mengikuti proses autoregressive yang dinyatakan pada persamaan (8). (8) di mana y, m, dan p masing-masing merupakan output riil, uang beredar dan tingkat harga dalam logaritma. Uang beredar mengikuti proses stasioner, ( ρ = 1) dan εm adalah shock terhadap uang beredar. Persamaan (8) adalah persamaan struktural sehingga hanya perubahan yang tidak diharapkan dalam uang beredar saja yang mempengaruhi output. Jadi, perubahan permanen dalam jumlah uang beredar tidak mempengaruhi output dan keadaan ini menggambarkan netralitas uang jangka panjang. Jika persamaan (8) diselesaikan untuk output, maka dapat diderivasikan model distributional lag untuk uang beredar sebagaimana dituliskan dalam persamaan (9) berikut. (9) 86 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 Walaupun persamaan (8) menunjukkan netralitas uang jangka panjang, model reduced- form yang disajikan pada persamaan (9) menunjukkan bahwa suatu kenaikan permanen single unit dalam stok penawaran akan menghasilkan kenaikan output θ(1-ρ)/(1+θδ) unit. 2.4. Penelitian Terdahulu Beberapa bukti empirik dari hasil studi mengenai netralitas uang di antaranya adalah studi oleh McCandless dan Weber (1995), yang menemukan korelasi yang tinggi (lebih dari 0,9) antara inflasi dan pertumbuhan jumlah uang beredar baik dengan indikator M0, M1 maupun M2 selama 30 tahun pada 110 negara. Sebaliknya McCandless dan Weber menemukan bukti tidak adanya korelasi antara pertumbuhan jumlah uang beredar dan pertumbuhan output riil pada periode yang sama. Sementara itu Shelley dan Wallace (2003) dalam studi empirik yang menguji netralitas uang jangka panjang menemukan adanya netralitas uang pada periode 1932 -1981 di Meksiko. Namun dalam periode 1932 √ 2001 Shelley dan Wallace dalam pengujian model yang dikembangkan Fisher dan Seater menemukan tidak adanya netralitas uang tanpa memperhatikan ukuran jumlah uang beredar yang digunakan. Wallace dan Cabrera-Castellanos (2006) yang juga mendasarkan pada model Fisher-Seater menemukan adanya netralitas uang jangka panjang di Guatemala untuk data 1950-2002. Studi ini menemukan adanya netralitas M1 dengan GDP, pengeluaran dan konsumsi. Dengan metodologi Fisher dan Seater, Bae dan Ratti (2000) menguji keberadaan netralitas dan supernetralitas jangka panjang di Argentina dan Brazil. Dengan menggunakan data berfrekuensi rendah untuk jumlah uang dan output, studi ini menemukan bukti yang mendukung adanya hipotesis netralitas uang di Argentina dan Brazil. Namun penelitian ini tidak menemukan adanya supernetralitas uang di kedua negara. Beberapa peneliti yaitu Oi et al. (2004), Chen (2007) dan Puah et al. (2008) menemukan sejumlah bukti berlakunya netralitas moneter jangka panjang di negara-negara Asia. Oi et al. (2004 ) dengan menggunakan metodologi King dan Watson (1997) menemukan bukti netralitas moneter jangka panjang di Jepang untuk variabel M2 pada periode 1890 √ 2003. Dengan metodologi yang sama namun dengan data kuartalan Chen (2007) menemukan bukti sepenuhnya bahwa netralitas moneter jangka panjang M2 juga berlaku di Korea Selatan pada periode 1970.1 √ 2004.4. Sementara Puah et al. (2008) dengan metodologi Fisher-Seater menemukan bukti netralitas moneter jangka panjang terhadap M1 di sejumlah negara Asia seperti Malaysia, Myanmar, Nepal, Philipina, Korea Selatan. Sejumlah penelian lain menemukan adanya bukti yang berbeda yaitu non-netralitas uang. Temuan tersebut antara lain Fisher dan Seater (1993) yang menunjukkan M2 tidak netral di Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia 87 Amerika Serikat selama 1968 √ 1975, Shelley dan Wallace (2003) untuk periode 1932√√ 2001 di Meksiko, Ran (2005) yang menguji netralitas uang jangka panjang pada dua rejim nilai tukar yang berbeda di Hong Kong. Ran menguji netralitas uang dengan didasarkan pada perluasan model Fisher dan Seater (1993) yang menemukan bahwa M1 tidak netral di bawah rejim kurs mengambang, serta M2 tidak netral baik pada rejim sebelum maupun gabungan dengan rejim kurs mengambang. Dengan metodologi yang sama, bukti empirik ini juga ditemukan oleh Puah et al. (2008) bahwa M1 tidak netral pada jangka panjang di Indonesia untuk periode 1965 √ 2002. Bukti empirik adanya non-netralitas jangka panjang untuk M1 oleh Puah juga ditemukan di Taiwan dan Thailand masing-masing pada periode 1951 √ 2002 dan 1953 √ 2002. Bukti non-netralitas moneter jangka panjang di Taiwan juga diperkuat oleh hasil studi Chen (2007) terhadap M2 dengan menggunakan metode yang berbeda yaitu King dan Watson (1997) dan dengan data yang berbeda yaitu data kuartalan. Sementara itu isu mengenai keberadaan hubungan positif antara uang dan harga dikumpulkan oleh di antaranya studi terbaru oleh Saatcioglu dan Korap (2009), yang menguji validitas hubungan uang dan harga menurut teori kuantitas uang di Turki. Hasilnya menunjukkan bahwa bukti empirik mendukung keberadaan hubungan antara uang dan harga secara proporsional dalam perekonomian Turki. Hasil penelitian lainnya adalah Roffia dan Zaghini (2007) yang menganalisis pertumbuhan uang terhadap dinamik inflasi pada 15 negara industri. Hasilnya menemukan bahwa pada horizon waktu 3 tahun hubungan positif antara agregat moneter dan harga terjadi dalam kurang lebih 50 persen dari kasus. Studi lainnya adalah Browne dan Cronin (2007) yang menemukan bukti empirik yang mendukung keberadaan hubungan harga (baik harga komoditi maupun konsumen) dan jumlah uang beredar dalam jangka panjang di Amerika Serikat. Hasil empirik dari penelitian-penelitian terbaru tersebut sejalan dengan kesimpulan dari sejumlah peneliti terdahulu di antaranya Lucas (1980), Dwyer dan Hafer (1988), Friedman (1992), Barro (1993), McCandless dan Weber (1995), Rolnick dan Weber (1997), Dewald (1998), Dwyer (1998), Dwyer dan Hafer (1999) yang menemukan bahwa perubahan jumlah uang beredar dan tingkat harga adalah berhubungan erat. III. METODOLOGI 3.1. Variabel dan Data Data yang dianalisis secara ekonometrik dalam penelitian ini adalah data tahunan dengan periode waktu 1970 √ 2008. Variabel uang yang digunakan terdiri dari M1 dan M2. Perilaku kedua variabel uang (m) tersebut penting untuk diteliti pengaruhnya terhadap variabel ekonomi makro riil seperti output (y), selain pengaruhnya terhadap variabel nominal yaitu harga (p). 88 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 Output riil direpresentasikan dengan produk domestik bruto (PDB) riil dengan harga konstan tahun 2000, sementara harga direpresentasikan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) dengan tahun dasar yang sama. Data awal diperoleh dari Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI), Laporan Tahunan Bank Indonesia dan Statistik Indonesia Badan Pusat Statistik berbagai terbitan. Variabel M1 merupakan definisi/arti sempit bagi penawaran uang atau jumlah uang beredar. M1 meliputi uang kartal dan uang giral seperti cek dan rekening cek. Variabel M2 merupakan definisi luas dari penawaran uang yang meliputi M1 ditambah near monies, seperti tabungan di bank komersial (savings deposits) dan deposito berjangka. Jadi uang kartal ditambah uang giral adalah M1, dan M1 ditambah uang kuasi adalah M2. 3.2. Integrated Series dan Eksogenitas Integrated series dari variabel-variabel yang digunakan dalam metodologi Fisher-Seater (FS) akan menentukan bentuk uji yang tepat. Dalam hal ini seri data dari uang, output dan harga menentukan bentuk uji FS yang tepat untuk menguji netralitas uang dan inflasi jangka panjang. Model FS mensyaratkan bahwa dalam pengujian netralitas jangka panjang variabel-variabel yang digunakan memiliki integrated of order sama, dalam hal ini diasumsikan I(1). Dalam aplikasi FS untuk pengujian ini maka diasumsikan bahwa variabel uang, output dan harga adalah I(1). Untuk menguji integrated of order dari seri data variabel-variabel yang digunakan maka dalam penelitian ini dilakukan uji akar-akar unit melalui uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) dan Phillips- Perron (PP). Uji ADF didasarkan pada proses autoregressive atau AR(1) berikut: (10) di mana µ dan ρ adalah parameter, dan εt diasumsikan white noise. y adalah seri yang stasioner jika -1 < r < 1. Uji Dickey-Fuller (DF) dan PP menggunakan akar unit sebagai hipotesis nol, H0: ρ = 1 dan H1: ρ < 1. Pengujian dilakukan dengan mengestimasi persamaan (10) dan mengurangkan dengan yt-1 di kedua sisi persamaan sehingga menjadi: (11) di mana γ = 1 − ρ , dan hipotesis nol dan hipotesis alternatifnya adalah H0: γ = 0; H1: γ < 1 Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia 89 Sementara itu Phillips dan Perron (1988) mengajukan metode nonparametrik untuk mengontrol serial korelasi order tinggi dalam sebuah seri. Regresi untuk uji PP adalah regresi dengan proses AR(1): (12) Ketika uji ADF mengoreksi serial korelasi order tinggi dengan penambahan lagged differenced terms pada sisi kanan persamaan, uji PP melakukan koreksi t-statistik koefisien γ dari regresi AR(1) untuk menghitung serial korelasi dalam ε. Selanjutnya untuk menguji bahwa metodologi FS dapat dilakukan maka harus memenuhi asumsi bahwa variabel uang dalam hal ini M1 maupun M2 adalah eksogen. Variabel M1 dan M2 sebagai variabel m dikatakan eksogen jika variabel tersebut tidak dipengaruhi atau disebabkan oleh variabel y dalam uji kausalitas Granger terhadap bentuk regresi bivariat berikut: (13) (14) di mana diasumsikan bahwa disturbances u1 dan u2 tidak berkorelasi. Berdasarkan persamaan (14) dari model bivariat tersebut uang (m) dikatakan eksogen jika hasil estimasi menerima H0:δj = 0. Hipotesis tersebut mengartikan bahwa variabel output maupun harga (sebagai variabel y dalam model) tidak menyebabkan (mempengaruhi) variabel uang (m) atau sebaliknya variabel uang (m) tidak disebabkan (dipengaruhi) oleh variabel output maupun harga (y). Hasil uji menolak H0 jika F(m,n – z) statistik > F(m,n – z) kritis pada α = 5%, dengan derajat kebebasan m dan n-z, di mana m = jumlah lag, n = jumlah observasi dan z = jumlah parameter yang diestimasi. Uji kausalitas berdasarkan persamaan (13) dan (14) untuk pengujian eksogenitas ini mengacu pada Hafer (1982) sebagaimana disampaikan dalam Gujarati dan . . Porter (2009)2 yang menggunakan pertumbuhan uang m dan pertumbuhan output y dalam pengujian juga dapat dinotasikan sebagai ∆m dan ∆y. 2 Lihat Gujarati dan Porter (2009) halaman 699. 90 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 3.3. Uji Kointegrasi Uji kointegrasi dilakukan untuk menguji keberadaan hubungan jangka panjang di antara variabel-variabel yang diestimasi. Argumentasi Fisher dan Seater (1993) menyatakan bahwa netralitas moneter melibatkan adanya perubahan permanen dalam uang beredar. Dalam pengertian ini menurut Engle dan Granger (1987) maka variabel nominal dan riil memerlukan I(1), namun keduanya tidak berkointegrasi. Uji kointegrasi pada sistem multivariat ini digunakan pendekatan Johansen (1995) yang didasarkan pada formulasi model berikut: (15) di mana k = jumlah lag Dalam pengujian hipotesis dengan pendekatan ini digunakan nilai statistik yang dinamakan Likelihood Ratio (LR) test statistic. (16) untuk r = 0, ,…., k-1 di mana λi merupakan nilai eigenvalue. T adalah jumlah sampel. Qr juga disebut trace statistic. Uji ini menolak H0 yang menyatakan tidak ada kointegrasi jika LR statistic > nilai kritisnya pada α yang dipilih. 3.4. Metodologi Fisher-Seater Metodologi FS diperkenalkan oleh Fisher dan Seater (1993) yang menggunakan sistem bivariat untuk menguji netralitas uang jangka panjang dengan ukuran uang sebagai salah satu variabel. Sistem bivariat yang digunakan adalah bentuk dua persamaan berikut: (17) (18) di mana a (L) , b(L), c(L) dan d(L) adalah lag polynomial, dan dan b0 dan c0 adalah unrestricted. Error vector (ut,wt) ~ iid (0,Σ). Pada metodologi ini dimisalkan bahwa x t = ∆imt dan z t = ∆ jmt dengan i,j = 0 atau 1. Variabel pertama adalah m yaitu jumlah uang beredar nominal M dalam logaritma natural. Variabel kedua adalah variabel y yang menyatakan variabel riil maupun nominal dalam logaritma natural juga, seperti output riil maupun harga. Jika variabel m dan y tidak berintegrasi pada level atau I(0) maka kedua variabel harus memiliki integrated of order yang Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia 91 sama misalnya berintegrasi pada tingkat pertama atau I(1), yang artinya kedua variabel berintegrasi pada perbedaan pertama (first difference). Jika variabel m adalah I(1), maka pengujian yang tepat adalah pengujian netralitas uang dan inflasi jangka panjang, sedang jika variabel m adalah I(2), maka pengujian yang sesuai adalah pengujian supernetralitas jangka panjang. Fisher dan Seater mendefinisikan derivatif jangka panjang (long-run derivative, LRD) sebagai perubahan dalam z terhadap perubahan permanen dalam x, yang dituliskan sebagai berikut: (19) di mana Persamaan (19) menunjukkan bahwa derivatif jangka panjang adalah limit dari elastisitas output terhadap uang. Jika limit dari denominator pada persamaan tersebut adalah nol artinya tidak ada perubahan permanen variabel moneter, jadi (m) = 0 sehingga tidak bisa dilakukan uji netralitas. Untuk (m) > 1, metodologi FS menunjukkan bahwa persamaan (19) dapat ditulis menjadi: (20) di mana α(L) dan γ(L) merupakan fungsi dari koefisien dari persamaan (17) dan (18) yaitu α(L)=d(L)/[a(L)c(L)-b(L)c(L)] dan γ(L)=c(L)/[a(L)c(L)-b(L)c(L)] 3. Mengacu pada Fisher dan Seater, uang netral pada jangka panjang (long-run neutrality, LRN) jika LRDy,m = λ, di mana λ = 1 jika y adalah variabel nominal, dan λ = 0 jika y adalah variabel riil. Sementara itu uang supernetral pada jangka panjang ( long-run superneutrality, LRSN ) jika LRDy, ∆m = µ, di mana µ = 1 jika y adalah variabel nominal, dan µ = 0 jika y adalah variabel riil. Dengan mengasumsikan bahwa variabel uang beredar adalah eksogen dan error terms ut dan wt merupakan serial yang tidak berkorelasi dalam model ARIMA, maka c(1)/d(1) merupakan estimator Bartlett4 dari koefisien frekuensi nol dalam regresi ∆(y)yt terhadap ∆(m)mt. Estimasi c(1)/ d(1) adalah given dengan , di mana adalah βk koefisien slope dari regresi ordinary least squares (OLS) berikut: 3 Lihat Fisher and Seater (1993) hal. 404. 4 Estimator Bartlett merupakan infinite limit dari koefisien slope. 92 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 (21) Ketika (m) = (y) = 1, netralitas uang dan inflasi jangka panjang (long-run neutrality, LRN) dapat diuji dan persamaan (21) menjadi: (22) Dalam pengujian hipotesis nol untuk netralitas uang dan inflasi jangka panjang adalah masingmasing untuk y sebagai variabel output dan harga. Jika hasil estimasi tidak menolak hipotesis nol maka proposisi netralitas uang dan inflasi jangka panjang didukung secara empirik. Dalam pembahasan hasil, nilai estimasi dari βk disajikan bersama dengan 95% confidence interval, yang ditentukan berdasarkan standard error 5 dan t-distribution dengan derajat kebebasan n/k, dimana n = jumlah observasi dan k menunjukkan rentang perbedaan waktu dari data untuk variabel y dan m. Dalam penelitian ini karena menggunakan data tahunan maka jika k = 1 artinya data y dan m dalam perbedaan dua tahun, demikian pula jika k = 2, 3, dan seterusnya. IV. HASIL DAN ANALISIS 4.1. Analisis Variabel dan Data Bagian ini diawali dengan analisis perkembangan variabel utama yang diteliti yaitu variabel M1, M2, output dan harga. Variabel M1 dan M2 digunakan untuk menguji netralitas uang terhadap variabel riil yaitu output yang direpresentasikan dengan tingkat Produk Domestik Bruto riil dengan harga konstan 2000 dan hubungannya dengan variabel nominal dalam hal ini adalah harga konsumen yang perubahannya mencerminkan inflasi dalam jangka panjang. 4.1.1. Uang Beredar Variabel M1 merupakan variabel yang menggambarkan likuiditas perekonomian. Perkembangan jumlah uang di Indonesia yang diukur dengan uang dalam arti sempit (M1) pada Grafik 2 secara historis menunjukkan perkembangan dari tahun ke tahun yang meningkat. Sejak tahun 1970 jumlah M1 meningkat setiap tahun secara terus menerus. 5 Standard error yang digunakan adalah standard error dari koefisien yang diperoleh dari estimasi OLS dengan pertimbangan bahwa jumlah observasinya tidak besar, daripada standard error dari estimasi Newey-West (1987). Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia 93 700000 Jumlah M1 (Miliar Rp) 600000 500000 400000 300000 200000 100000 0 1970 1974 1978 1982 1986 1990 1994 1998 2002 2006 2010 1972 1976 1980 1984 1988 1992 1996 2000 2004 2008 Sumber : Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Bank Indonesia Grafik 2. Perkembangan Jumlah M1 di Indonesia, 1970 √ 2010 Grafik 2 menunjukkan likuiditas perekonomian yang tercermin pada jumlah M1 mengalami peningkatan selama periode 1970 - 2010. Kecenderungan perkembangan jumlah M1 yang meningkat terus ditunjukkan oleh peningkatan pesat untuk M1 yang terjadi sejak memasuki awal 1990-an. Peningkatan pesat jumlah M1 tersebut merupakan dampak dari adanya serangkaian deregulasi keuangan oleh pemerintah yang diawali oleh munculnya Paket Juni 1983. 60,00 Tingkat Pertumbuhan M1 (%) 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 1971 1975 1979 1983 1987 1991 1995 1999 2003 2007 1973 1977 1981 1985 1989 1993 1997 2001 2005 2009 Sumber : Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Bank Indonesia (data diolah) Grafik 3. Tingkat Pertumbuhan M1 di Indonesia, 1971 - 2010 94 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 Jika diamati dari pertumbuhannya, M1 tumbuh dengan tingkat pertumbuhan yang berfluktuasi. Grafik 3 menunjukkan adanya tingkat pertumbuhan M1 yang relatif tinggi dibandingkan pertumbuhan variabel makro ekonomi lain seperti output dan harga, yang disajikan pada bagian selanjutnya. Selama periode 1971 √ 2010 setiap tahun jumlah M1 selalu meningkat dengan tingkat pertumbuhan positif. Rata-rata tingkat pertumbuhan M1 adalah 22,04%. Tingkat pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 1972 sebesar 48,44% dan pertumbuhan terendah sebesar 1,50% pada tahun 2008. Tingkat pertumbuhan terendah kedua adalah pada tahun 1983 sebesar 6,29%. Setelah tahun 1983 pertumbuhan M1 meningkat dengan kisaran yang lebih tinggi kecuali pada tahun 2008. Nampaknya serangkaian deregulasi perbankan yang dimulai dengan Paket Juni 1983 juga memberikan dampak pada peningkatan pertumbuhan M1 ini. Ekspansi kredit yang dilakukan oleh perbankan memberikan kontribusi yang berarti terhadap peningkatan M1 tersebut Memasuki tahun 2009, likuiditas perekonomian yang diukur dengan M1 tumbuh 12,92% dan mencapai level Rp 515,824 triliun. Tahun 2010 M1 tumbuh menjadi 17,36% yang lebih tinggi dari tahun sebelumnya dan mencapai level Rp 605,375 triliun. Menurut Bank Indonesia, pertumbuhan likuiditas perekonomian dengan ukuran M1 tersebut dapat dikategorikan tinggi jika dibandingkan dengan kondisi historisnya yang berupa semakin meningkatnya preferensi likuiditas masyarakat dengan indikasi yang tampak pada percepatan pertumbuhan tabungan relatif terhadap deposito. 3000000 Jumlah M2 (Miliar Rp) 2500000 2000000 1500000 1000000 500000 0 1970 1974 1978 1982 1986 1990 1994 1998 2002 2006 2010 1972 1976 1980 1984 1988 1992 1996 2000 2004 2008 Sumber : Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Bank Indonesia Grafik 4. Perkembangan Jumlah M2 di Indonesia, 1970 - 2010 Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia 95 Terkait dengan kebijakan Bank Indonesia, meningkatnya likuiditas perekonomian pada tahun 2009 juga tidak terlepas dari penurunan giro wajib minimum (GWM) pada kuartal akhir tahun 2008 dari efektif 9,1% menjadi 7,5%. Pelonggaran moneter tersebut juga diikuti oleh penurunan BI rate secara agresif mulai November 2008 hingga Maret 2009. Likuiditas mengalami peningkatan pada tahun 2010 meskipun M1 belum kembali pada tingkat pertumbuhan sebelum tahun 2008. Selain M1, variabel M2 juga merupakan variabel yang menggambarkan likuiditas perekonomian. Grafik 4 menunjukkan likuiditas perekonomian yang tercermin pada M2 yang mana juga mengalami peningkatan dengan pola dinamik yang hampir sama dengan perkembangan M1 selama periode yang sama. Namun demikian kecenderungan perkembangan M2 yang meningkat terus cenderung relatif tinggi dibandingkan dengan M1. Perkembangannya menunjukkan bahwa peningkatan pesat untuk M2 terjadi tahun-tahun memasuki krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997. Sebagaimana pertumbuhan M1, tingkat pertumbuhan M2 juga berfluktuasi. Grafik 5 menunjukkan adanya tingkat pertumbuhan M2 yang berfluktuasi relatif ekstrim dibandingkan M1. Namun demikian rata-rata pertumbuhan M2 selama periode 1971 √ 2010 sebesar 21,90% yang sedikit lebih rendah dibandingkan rata-rata pertumbuhan M1 yaitu 22,04%. Pertumbuhan M2 tertinggi terjadi pada tahun 1998 sebesar 62,35% dan pertumbuhan terendah sebesar 4,72% pada tahun 2002. Setelah tahun 2002 pertumbuhan M2 terus terjadi 70,00 Tingkat Pertumbuhan M2 (%) 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 1971 1975 1979 1983 1987 1991 1995 1999 2003 2007 1973 1977 1981 1985 1989 1993 1997 2001 2005 2009 Sumber : Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Bank Indonesia (data diolah) Grafik 5. Tingkat Pertumbuhan M2 di Indonesia, 1971 - 2010 96 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 dan pada tahun 2005 tingkat pertumbuhannya kembali mencapai dua digit sampai pada akhir periode. Pada tahun 2009, likuiditas perekonomian yang diukur dengan M2 tumbuh 12,95% meskipun masih di bawah rata-ratanya. Jumlah M2 pada tahun itu mencapai level Rp 2.141,384 triliun. Meskipun mencapai pertumbuhan dua digit, tingkat pertumbuhan M2 tersebut relatif rendah dibandingkan dengan kondisi historisnya khususnya empat tahun sebelumnya. Selanjutnya pada tahun 2010 M2 tumbuh dengan tingkat yang lebih tinggi dari tahun sebelumnya yaitu menjadi 15,32% dan mencapai level Rp 2.469,399 triliun. Pada akhir periode analisis meningkatnya M2 terutama dipengaruhi oleh bertambahnya uang kuasi seiring dengan derasnya uang masuk dari luar negeri. Menurut laporan Bank Indonesia, berdasarkan faktornya pertumbuhan M2 pada tahun 2010 didukung oleh tingginya kenaikan Aktiva Luar Negeri Bersih yang sebagian besar ditempatkan sebagai uang kuasi di perbankan. Di samping itu perkembangan Aktiva Dalam Negeri Bersih pada tahun 2010 juga meningkat yang bersumber pada pertumbuhan kredit yang akseleratif dan turut memberikan kontribusi pada pertumbuhan M2. Secara umum faktor domestik dominan mempengaruhi perkembangan likuiditas perekonomian. Faktor domestik dalam bentuk kredit kepada sektor bisnis mendominasi kinerja likuiditas perekonomian. Selain faktor internal, peningkatan likuiditas perekonomian juga dipengaruhi oleh faktor eksternal. Faktor eksternal tersebut tercermin pada perkembangan aktiva luar negeri bersih (Net Foreign Assets - NFA) secara keseluruhan meningkat. Penambahan tersebut terjadi pada NFA Bank Indonesia sejalan dengan meningkatnya cadangan devisa yang bersumber dari penerimaan hasil migas akibat tingginya harga minyak dunia, khususnya beberapa waktu terakhir. 4.1.2. Output Selain perkembangan jumlah uang beredar, bagian ini juga menyajikan perkembangan variabel riil yaitu PDB dengan harga konstan 2000. Selama kurun waktu 1970 √ 2010 perkembangan jumlah dan pertumbuhannya disajikan masing-masing pada Grafik 6 dan Grafik 7. Grafik 6 menunjukkan bahwa perkembangan tingkat output yang direpresentasikan dengan PDB riil berdasarkan tahun dasar 2000 menunjukkan kecenderungan yang meningkat selama periode 1970 √ 2010. Namun demikian terjadi penurunan dalam periode tersebut tepatnya pada tahun 1998 sebagai akibat dari dampak krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997. Pada tahun 1999 PDB riil kembali naik meskipun dengan kenaikan kecil. Tingkat Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia 97 2500000 Perkembangan PDB Atas Harga Konstan 2000 (Miliar Rp) 2000000 1500000 1000000 500000 0 1970 1974 1978 1982 1986 1990 1994 1998 2002 2006 2010 1972 1976 1980 1984 1988 1992 1996 2000 2004 2008 Sumber : Statistik Indonesia, Badan Pusat Statistik (data diolah) Grafik 6. Perkembangan Produk Domestik Bruto Indonesia dengan Harga Konstan 2000, 1970 √ 2010 15,00 10,00 5,00 0,00 -5,00 -10,00 Pertumbuhan PDB Indonesia (%) -15,00 1971 1975 1979 1983 1987 1991 1995 1999 2003 2007 1973 1977 1981 1985 1989 1993 1997 2001 2005 2009 Sumber : Statistik Indonesia, Badan Pusat Statistik (data diolah) Grafik 7. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia dengan Harga Konstan 2000, 1971 √ 2010 PDB riil baru pulih kembali pada tahun 2004 dan setelah tahun tersebut PDB riil meningkat terus sampai tahun 2010 sebagai akhir periode analisis. Kenaikan output selama periode ini menunjukkan bahwa sektor riil tumbuh dengan indikator meningkatnya nilai PDB riil dari tahun ke tahun kecuali pada saat krisis ekonomi terjadi. Secara keseluruhan dalam kondisi ekonomi normal maka Grafik 6 menunjukkan adanya 98 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 pertumbuhan sektor riil di Indonesia dengan indikasi kenaikan tingkat PDB riil tersebut. Kenaikan PDB riil ini sebagai indikator yang lebih tepat untuk menggambarkan pertumbuhan ekonomi daripada indikator PDB nominal, karena PDB riil sudah menghilangkan pengaruh inflasi. Jika pertumbuhan ekonomi diukur dengan PDB nominal maka pada saat krisis ekonomi terjadi PDB nominal terutama tahun 1998 tetap meningkat karena dinilai dengan harga yang sangat tinggi akibat inflasi pada waktu itu. Oleh karena itu indikator ini tidak dapat digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan ekonomi makro atau perkembangan variabel riil. Selanjutnya Grafik 7 menunjukkan bahwa dengan perhitungan PDB riil maka output Indonesia mengalami pertumbuhan positif kecuali pada tahun 1998 yang secara ekstrim pertumbuhannya mengalami negatif sebesar -13,13%. Grafik pertumbuhan output tersebut menunjukkan bahwa selama kurun waktu 1971 - 2010 pertumbuhan output tertinggi terjadi pada tahun 1980 akibat dampak positif dari masa oil boom dengan tingkat pertumbuhan 9,88%. Sementara itu rata-rata pertumbuhan output selama 1971 √ 2010 sebesar 5,56%. Output yang diukur dengan PDB riil pada periode setelah krisis mengalami pertumbuhan positif kembali meskipun masih pada kisaran angka pertumbuhan yang rendah. Tahun 1999 output hanya tumbuh sebesar 0,79% jauh di bawah rata-ratanya, namun pada tahun 2000 output sudah tumbuh 4,92% yang menunjukkan adanya indikasi awal proses pemulihan krisis ekonomi. Pertumbuhan output kemudian relatif stabil sampai tahun 2003. Baru mulai tahun 2004 pertumbuhan output mencapai level 5,03% dan pertumbuhan pada kisaran lebih dari 5% terjadi sampai tahun 2006 sebelum meningkat sampai level 6,35% pada tahun 2007 dan turun sedikit menjadi 6,01% pada tahun 2008. Pada tahun 2009 pertumbuhan PDB turun di bawah 5% menjadi 4,58% namun pada tahun 2010 naik menjadi 6,10%. Rata-rata pertumbuhan PDB sejak tahun 2000 adalah 5,19 persen. Meskipun masih di bawah rata-rata pertumbuhan selama kurun waktu 1971 √ 2010 yang sebesar 5,56% namun pertumbuhan PDB sejak tahun 2000 sudah relatif stabil dengan kecenderungan meningkat secara perlahan setidaknya sampai dengan 2007. Penurunan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008 dari tahun sebelumnya dan penurunan cukup signifikan pada tahun 2009 dengan tingkat pertumbuhan di bawah 5% tidak terlepas dari dampak krisis perekonomian global. Dampak tersebut dirasakan melalui tekanan berat pada stabilitas moneter dan sistem keuangan, serta menurunanya pertumbuhan ekonomi akibat kontraksi ekspor barang dan jasa yang cukup besar. Menurut laporan Bank Indonesia meskipun tingkat pertumbuhan ekonomi turun di bawah 5% pada tahun 2009, namun pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tertinggi ketiga setelah China dan India. Hal ini terjadi karena struktur ekonomi banyak didukung oleh permintaan domestik baik konsumsi rumah tangga maupun pemerintah. Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia 99 Seiring dengan pemulihan perekonomian global, perekonomian Indonesia pada tahun 2010 tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan PDB tahun 2010 yang sebesar 6,10% lebih tinggi dari 4,58% pada tahun 2009. Di sisi permintaan ekspor dan investasi yang tumbuh tinggi dengan disertai konsumsi rumah tangga yang kuat mendorong pertumbuhan ekonomi tahun 2010. Kenaikan harga komoditas internasional turut menunjang tingginya pertumbuhan ekspor Indonesia. 4.1.3. Keterkaitan antara Uang Beredar dan Output Secara runtut-waktu jika dikaitkan dengan perkembangan jumlah uang beredar maka perkembangan jumlah PDB seiring dengan jumlah uang beredar. Kecenderungan dari jumlah uang beredar baik diukur dengan M1 maupun M2 yang meningkat dan pertumbuhannya yang positif setiap tahun sama halnya dengan perkembangan jumlah dan pertumbuhan PDB. Kedua variabel memiliki relasi satu-satu masing-masing untuk kenaikan jumlah maupun pertumbuhan untuk setiap tahunnya selama kurun waktu 1970 √ 2010 kecuali pada tahun 1998, karena jumlah PDB turun dan pertumbuhannya negatif. Sementara itu secara regional (cross-sectional) potret tahun 2009 menunjukkan distribusi PDRB setiap wilayah yang berkaitan erat dengan persentase disribusi jumlah uang beredar6 di daerah. Grafik 8 menunjukkan distribusi PDRB yang berkaitan dengan persentase distribusi 40,00 Distribusi Uang Beredar dari Pinjaman Perbankan (%) Distribusi PDB (%) 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 0,00 Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kepulauan Babel Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DIY Yogyakarta Jawa Timur Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat 5,00 Sumber : Statistik Indonesia, Badan Pusat Statistik (data diolah) Grafik 8. Distribusi Uang Beredar dari Pinjaman Perbankan dan Produk Domestik Regional Bruto per Propinsi di Indonesia Tahun 2009 6 Karena sulit menemukan data uang beredar dengan ukuran M1 dan M2 untuk setiap propinsi, maka digunakan uang beredar dari pinjaman perbankan yang diberikan ke sektor perkonomian di setiap propinsi. 100 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 uang beredar yang berasal dari pinjaman perbankan ke sektor ekonomi dan usaha di setiap wilayah propinsi. Wilayah DKI Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat sebagai tiga propinsi yang memiliki PDRB terbesar masing-masing dengan kontribusi 17,89%, 15,42% dan 14,57% menerima bagian terbesar dalam jumlah uang beredar yang berasal dari pinjaman perbankan di ketiga wilayah tersebut masing-masing dengan 35,97%, 10,07% dan 12,54%. Sebaliknya tiga propinsi dalam perolehan PDRB terendah yaitu Maluku, Maluku Utara dan Gorontalo memperoleh uang beredar dari pinjaman perbankan hanya sebesar masingmasing 0,22%, 0,13% dan 0,22%. Secara runtut-waktu dan antar-wilayah terdapat korelasi yang cukup jelas antara jumlah uang beredar dan output yang diukur dengan PDB di Indonesia. Sebelum pada kesimpulan secara statistik dan ekonometrik dari analisis data, maka hasil dari gambaran data aktual menunjukkan bahwa kedua variabel berkorelasi yang memberikan indikasi awal bahwa netralitas uang mungkin tidak terjadi di Indonesia. Pengertian netralitas uang sebagaimana proposisi dalam teori klasik maupun neoklasik adalah bahwa jika jumlah uang bertambah dan berarti likuiditas perekonomian meningkat maka dalam jangka panjang output tidak berubah, dan hanya menimbulkan kenaikan harga. Misalnya jika uang beredar naik karena bertambahnya pinjaman perbankan kepada sektor-sektor usaha maka dalam jangka panjang misalnya dengan adanya perubahan jumlah uang beredar dalam rentang waktu tertentu lebih dari 1 tahun maka hasilnya hanya berupa kenaikan harga dan tingkat output tidak berubah atau sama seperti pada level awal. Namun dari indikasi awal sebelumnya nampaknya proposisi ini mungkin tidak berlaku. Data aktual menggambarkan bahwa output meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah uang beredar baik secara runtut-waktu maupun antar-wilayah. Bukti lebih lanjut dari análisis ini akan diperkuat oleh hasil pengujian secara statistik dan ekonometrik di bagian berikutnya. 4.1.4. Harga Akhir dari bagian ini juga dibahas mengenai perkembangan variabel harga. Kecenderungan dari kenaikan harga-harga secara umum dan terus menerus mencerminkan inflasi yang terjadi. Indeks Harga Konsumen merupakan indikator yang umum digunakan untuk menggambarkan pergerakan harga tersebut. Inflasi menjadi variabel yang penting dalam implememntasi kebijakan moneter yang menerapkan inflation targeting. Secara keseluruhan selama periode penelitian, perkembangan tingkat harga yang diukur dengan IHK cenderung meningkat terus. Grafik 9 menunjukkan bahwa sampai tahun 1996 harga meningkat dengan pertumbuhan yang relatif stabil, namun pada saat krisis ekonomi Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia 101 250 Perkembangan IHK Tahun Dasar 2000 200 150 100 50 0 1970 1974 1978 1982 1986 1990 1994 1998 2002 2006 2010 1972 1976 1980 1984 1988 1992 1996 2000 2004 2008 Sumber : Statistik Indonesia, Badan Pusat Statistik (data diolah) Grafik 9. Perkembangan Indeks Harga Konsumen di Indonesia dengan Tahun Dasar 2000, 1970 √ 2010 harga melonjak secara ekstrim. Setelah tahun 1998 tingkat harga bergerak relatif cepat dibandingkan periode sebelum krisis, hal ini bisa dilihat dari lereng grafik yang lebih curam. Jika dilihat dari perubahannya Grafik 10 menunjukkan bahwa sejak tahun 1970 inflasi yang dicerminkan dari tingkat perubahan IHK cederung berfluktuasi sampai dengan adanya gejolak inflasi yang terjadi tahun 1997/1998 sebagai indikator terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Fluktuasi perubahan harga selama sebelum krisis relatif kecil dibandingkan fluktuasi 90,00 80,00 Tingkat Pertumbuhan IHK (%) 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 1971 1975 1979 1983 1987 1991 1995 1999 2003 2007 1973 1977 1981 1985 1989 1993 1997 2001 2005 2009 Sumber : Statistik Indonesia, Badan Pusat Statistik (data diolah) Grafik 10. Perubahan Indeks Harga Konsumen di Indonesia dengan Tahun Dasar 2000, 1971 √ 2010 102 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 perubahan harga pada saat krisis terjadi dan sesudahnya. Perkembangan tingkat inflasi IHK secara umum tidak terlepas dari perkembangan variabel-variabel seperti nilai tukar, ketersediaan pasokan bahan makanan, dan harga-harga barang yang dikendalikan oleh pemerintah (administered price). Dari aspek moneter perkembangan tersebut juga tidak terlepas dari dinamika dari tingkat dan perubahan jumlah uang beredar di Indonesia seperti ditunjukkan pada Grafik 2 sampai dengan Grafik 5 pada bagian sebelumnya. Selama periode 1971 √ 2010, rata-rata inflasi IHK sebesar 12,40%. Pada masa sebelum krisis rata-rata inflasi adalah 11,96%, sedangkan pada masa krisis dan sesudahnya rata-rata inflasinya adalah 13,23%. Nampak jelas bahwa rata-rata inflasi IHK pada masa krisis dan sesudahnya lebih tinggi dibandingkan pada masa sebelumnya. Inflasi pada masa pertengahan 1980-an sampai dengan masa sebelum krisis relatif stabil. Pada kurun waktu 1985 √ 1996 inflasi yang terjadi di bawah 10%. Inflasi tertinggi pada masa sebelum krisis terjadi pada tahun 1974 dengan tingkat inflasi 40,32%. Sementara itu inflasi terendah pada masa sebelum krisis adalah 3,11% yang terjadi pada tahun 1971. Pada masa setelah krisis terjadi inflasi tertinggi dicapai pada tahun 1998 dengan tingkat inflasi 77,60%, yang merupakan inflasi tertinggi selama kurun 1971 √ 2010. Sementara itu inflasi terendah setelah krisis adalah 2,01% yang terjadi pada tahun 1999. Setelah krisis ekonomi inflasi berfluktuasi dengan tingkat yang relatif tinggi dibandingkan masa tahun 1980-an dan 1990-an sebelum krisis. Inflasi IHK pada tahun 2007 tercatat sebesar 6,59 % dan berada pada kisaran inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu sebesar 6,0 % ± 1,0 %. Tingkat inflasi pada tahun 2007 yang relatif stabil dibandingkan dua tahun sebelumnya yaitu tahun 2005 dan 2006 yang tercatat masing-masing sebesar 17,11% dan 6,60% tidak terlepas dari perkembangan nilai tukar yang stabil, ketersediaan pasokan bahan makanan yang cukup, serta kenaikan harga-harga barang yang dikendalikan oleh pemerintah secara minimal. Namun demikian tahun 2008 inflasi melonjak sampai dua digit yaitu 11,06% dan turun kembali secara drastis menjadi 2,78% pada tahun 2009. Tingkat inflasi naik kembali pada tahun 2010 menjadi 6,96%, yang melebihi tingkat sasaran yang ditetapkan oleh pemerintah. Tingkat inflasi tahun 2009 yang rendah merupakan inflasi yang lebih rendah dari inflasi sasaran yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar 4,5%±1%. Menurut laporan Bank Indonesia lebih rendahnya inflasi aktual dibandingkan sasaran inflasi tersebut tidak terlepas dari kebijakan Bank Indonesia dan pemerintah serta berubahnya kondisi makroekonomi dibandingkan dengan asumsi yang mendasari proyeksi inflasi tersebut. Secara fundamental, rendahnya inflasi IHK 2009 didukung oleh penguatan nilai tukar rupiah sejak awal kuartal II 2009, permintaan domestik yang melambat dan ekspektasi inflasi yang membaik. Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia 103 Sementara itu inflasi IHK pada tahun 2010 melebihi target yang ditetapkan yaitu sebesar 5%±1%. Tingginya inflasi ini disebabkan karena intensitas gangguan dari sisi penawaran khusunya bahan makan, yang meningkat tajam akibat anomali cuaca memasuki kuartal III 2010. Kondisi ini memicu lonjakan harga komoditas pangan di pasar global maupun domestik. Dalam waktu yang bersamaan kenaikan harga-harga komoditas juga terjadi di pasar domestik. Dinamika inflasi tersebut dari aspek moneter juga tidak terlepas dari perkembangan jumlah dan tingkat pertumbuhan uang beredar yang diukur baik dengan M1 maupun M2. Sebagai contoh pada tahun 1998 inflasi IHK tertinggi terjadi bertepatan dengan melonjaknya uang beredar dengan pertumbuhan M1 dan M2 yang tinggi pada waktu itu, masing-masing 29,17% dan 62,35%. Demikian pula lonjakan inflasi yang mencapai dua digit pada tahun 2005 sebesar 17,11% bersamaan dengan meningkatnya pertumbuhan M2 pada tahun tersebut sebesar 16,37% dari tingkat sebelumnya yang hanya 8,14% serta pertumbuhan M1 yang tinggi pada dua tahun sebelumnya yaitu 16,59% dan 13,42% pada tahun 2003 dan 2004. Naiknya inflasi kembali ke dua digit tahun 2008 dari tahun sebelumnya juga berkenaan dengan tingkat pertumbuhan uang beredar baik M1 maupun M2 yang tinggi pada tahun 2007 dan sebelumnya. 4.2. Integrated Series dan Eksogenitas Tabel 1 berikut menunjukkan bahwa melalui uji akar-akar unit, variabel uang (m1 dan m2), output riil (y) dan harga (p) tidak stasioner pada level. Data runtut waktu dikatakan stasioner jika mean dan variance-nya tidak bervariasi secara sistematik selama periode observasi. Jika tidak stasioner pada level dengan kata lain bahwa variabel-variabel tersebut tidak berintegrasi pada level atau tidak I(0). Tabel 1. Hasil Uji Akar-Akar Unit Variabel-Variabel dalam Model Variabel ADF PP Variabel ADF m1 m2 y p -2,5441 -1,4874 -1,4866 -1,4833 -3,2990 -1,2319 -1,8175 -1,2133 ∆m 1 ∆m 2 ∆y ∆p -3,7175 -3,2671 -3,7744 -4,3353 Semua variabel dinyatakan dalam log natural (ln) Pengujian ADF : persamaan dengan konstanta; 1 lagged difference PP -2,9335 -4,4581 -4,2914 -5,5686 Pengujian PP : persamaan dengan konstanta; 3 truncation lag Melalui uji ADF, nilai-nilai ADF hitung tersebut masih lebih besar dari nilai-nilai kritisnya (nilai-nilai kritis MacKinnon7) dengan α = 5%. Hasil pengujian ini mengartikan bahwa keempat 7 Nilai kritis ADF untuk data level = -2,9422; ADF data first difference = -2,9446; PP untuk data level = -2,9399; PP untuk data first difference = -2,9422. 104 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 variabel tersebut tidak stasioner pada level atau tidak I(0). Ketika variabel-variabel tersebut tidak I(0) maka dari pengujian ini menunjukkan bahwa keempat variabel pada perbedaan pertamanya (∆) menjadi stasioner atau berintegrasi sama yaitu I(1). Secara keseluruhan hasil ini juga didukung oleh uji PP. Hasil pengujian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai ADF dan PP hitung menurun signifikan dari level ke perbedaan pertama sehingga nilai keduanya lebih kecil dari nilai-nilai kritisnya, yang berarti variabel uang (baik M1 maupun M2), output (PDB) riil dan harga dalam model yang diestimasi berintegrasi sama atau I(1). Untuk menguji netralitas uang dan inflasi jangka panjang baik dengan menggunakan variabel M1 maupun M2 masing-masing terhadap variabel output (y) dan harga (p), maka penerapan metodologi FS dapat dilakukan ketika variabel uang (M1 dan M2), variabel y dan (p) berintegrasi sama atau I(1). Karena variabel M1 dan M2 adalah I(1) maka dalam penelitian ini hanya relevan untuk melakukan pengujian netralitas uang dan inflasi jangka panjang, sementara itu supernetralitas jangka panjang baik terhadap output maupun harga tidak tepat untuk diuji. Dalam penerapan metodologi FS tersebut diasumsikan pula bahwa variabel M1 dan M2 adalah eksogen. Oleh karena itu asumsi ini harus dipenuhi sebelum menggunakan metodologi FS untuk menguji netralitas uang dan inflasi jangka panjang. Hasil pengujian eksogenitas M1 dan M2 melalui uji kausalitas Granger didasarkan pada estimasi persamaan (14) seperti dilaporkan pada Tabel 2. Tabel tersebut menunjukkan bahwa variabel M1 memberikan bukti kuat adanya eksogenitas. Variabel M1 adalah eksogen karena tidak disebabkan atau dipengaruhi oleh variabel output (y) atau harga (p) itu sendiri. Tabel 2. Hasil Pengujian Eksogenitas Variabel M1 dan M2 dengan Kausalitas Granger H0: δ j = 0 F(m,n – z) H0: δj = 0 F(m,n – z) ∆ y → ∆ m1 F(1,34) = 0,0863 (0,7707) F(2,31) = 0,0540 (0,9476) F(3,28) = 1,6002 (0,2116) F(4,25) = 1,1034 (0,3768) F(5,22) = 0,9874 (0,4478) F(6,19) = 0,7134 (0,6433) ∆ p → ∆ m1 F(1,34) = 0,0964 (0,7581) F(2,31) = 1,6492 (0,2086) F(3,28) = 2,1951 (0,1108) F(4,25) = 1,5768 (0,2114) F(5,22) = 1,2073 (0,3384) F(6,19) = 0,7550 (0,6134) ∆ y → ∆ m2 F(1,34) = 5,2081 (0,0289) F(2,31) = 2,4132 (0,1062) F(3,28) = 2,6953 (0,0650) F(4,25) = 1,8704 (0,1471) F(5,22) = 1,7562 (0,1638) F(6,19) = 1,3301 (0,2921) ∆ p → ∆ m2 F(1,34) = 3,1158 (0,0865) F(2,31) = 1,4944 (0,2401) F(3,28) = 1,2021 (0,3271) F(4,25) = 1,2884 (0,3013) F(5,22) = 1,0044 (0,4384) F(6,19) = 1,1403 (0,3775) Keterangan : Variabel-variabel dalam ln m = jumlah lag; n = jumlah observasi; z = jumlah parameter yang diestimasi Angka dalam tanda kurung adalah p-value Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia 105 Melalui pengujian dengan satu sampai empat lag, variabel pertumbuhan M1 atau ∆m1 tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan output atau harga (∆y) karena F hitungnya tidak signifikan pada α = 5% yang berarti hasil uji menerima H0: δj = 0. Sementara itu variabel M2 pada tingkat keyakinan yang sama menunjukkan sebagai variabel eksogen ketika pengujian menggunakan dua lag sampai dengan empat lag sehingga kesimpulannya juga sama bahwa H0: δj = 0 diterima. Pengujian dengan satu lag dengan α = 5% yang menunjukkan bahwa H0 ditolak atau menunjukkan adanya eksogenitas merupakan indikasi awal bahwa M2 tidak netral sebelum diuji dengan metodologi FS. 4.3. Kointegrasi Hasil uji kointegrasi pada Tabel 3 menunjukkan bahwa variabel nominal yaitu uang (yang masing-masing sebagai M1 dan M2) dan variabel riil (output riil) tidak berkointegrasi. Demikian pula bahwa variabel uang (M1 dan M2) dan variabel nominal (harga) tidak berkointegrasi. Bagian kiri tabel menyajikan nilai LR statistic sebagai hasil uji kointegrasi antara variabel uang (M1 dan M2) dan output riil, sedangkan bagian kanan menyajikan nilai LR statistic sebagai hasil uji kointegrasi variabel uang (M1 dan M2) dan harga, masing-masing dengan empat lag. Tabel 3. Hasil Uji Kointegrasi Seri Variabel Lag Likelihood Ratio r=0 r<1 m1 y 1 2 3 4 14,0439 15,408 29,4527 10,5406 m2 y 1 2 3 4 15,1043 21,5420* 14,0283 16,0130* Seri Variabel Lag Likelihood Ratio r=0 r<1 4,6685** 4,8426** 4,4848** 4,1990** m1 p 1 2 3 4 14,3488 11,8313 9,1893 8,1147 5,0122** 3,5002 2,7646 1,3889 3,4735 4,3677** 3,8209** 3,6350 m2 p 1 2 3 4 9,6757 13,1000 14,6110 15,9431* 1,6400 1,4894 3,7128 5,7769** Asumsi : H1(r): nilai kritis 5% (r = 0) = 15,41; nilai kritis 5% (r < 1) = 3,76 *: menolak H0(r): no cointegration; **: menolak H0(r): at most one cointegration Menurut Johansen (1995) dengan asumsi bahwa seri data memiliki trend linier namun persamaan kointegrasi hanya memiliki intersep, yang dinyatakan : 106 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 maka Tabel 3 bagian atas kiri menunjukkan bahwa variabel M1 dan output tidak berkointegrasi, sehingga pengujian netralitas jangka panjang dapat menggunakan metodologi FS. Pada tabel bagian atas kanan ditunjukkan pula bahwa variabel M1 dan harga tidak berkointegrasi, sehingga pengujian hubungan positif jangka panjang antara kedua variabel dapat dilakukan. Kesimpulan ini ditentukan dari nilai Likelihood Ratio dengan r = 0 yang lebih rendah dari nilai kritisnya, yang berarti menerima H0 yang menyatakan tidak ada kointegrasi antara variabel M1-output maupun variabel M1-harga. Berdasarkan Tabel 3 hasil uji kointegrasi akan valid menolak H0 pada LR stastistik untuk r < 1 yang menolak H0 jika LR statistik untuk r = 0 juga menolak H0. Demikian pula untuk uji kointegrasi antara variabel M2-output dan M2-harga dapat ditarik kesimpulan bahwa keduanya secara umum tidak berkointegrasi sehingga metodologi ini juga dapat diaplikasikan dalam pengujian netralitas dan inflasi jangka panjang. Namun demikian pada pengujian dengan dua lag dan empat lag untuk r = 0 nampaknya bahwa hasil uji menolak tidak adanya kointegrasi antara M2 dan output. Demikian pula pengujian dengan empat lag untuk r = 0 dan r < 1 nampaknya juga menolak hasil uji tidak adanya kointergasi antara M2 dan harga. Hal ini sebenarnya merupakan indikasi awal bahwa M2 tidak netral pada jangka panjang baik terhadap output maupun harga. 4.4. Pengujian Netralitas Uang Jangka Panjang Hasil pengujian netralitas uang variabel M1 dengan metodologi FS berdasarkan persamaan (22) ditunjukkan pada Tabel 4. Dengan pengujian untuk perbedaan waktu yang digunakan dari 2 sampai dengan 16 tahun dari data output dan M1 maka nilai dari βk mengalami kenaikan terus menerus sampai dengan perbedaan waktu 11 tahun meskipun sedikit turun pada perbedaan 10 tahun, namun tidak berarti. Pada perbedaan 12 tahun nilai βk mengalami penurunan namun setelah itu nilai βk meningkat lagi sampai dengan pengujian pada perbedaan 16 tahun. Nilai dari βk merepresentasikan respon yang diestimasi dari perubahan output yang diukur dengan perubahan PDB riil (dalam ln) terhadap perubahan M1 (dalam ln) pada periode k+1. Kenaikan nilai βk diikuti pula dengan penurunan standard error-nya (SEk). Penurunan standard error menyebabkan t hitungnya meningkat atau p-value-nya menurun. Indikasi pada Tabel 4 tersebut menunjukkan bahwa dengan a = 5% uang (dengan ukuran M1) menjadi tidak netral dalam jangka panjang ketika digunakan perbedaan waktu lebih dari 6 tahun, bahkan jika dengan α = 10%, M1 tidak netral sejak digunakan perbedaan waktu lebih dari 4 tahun. Hasil ini memberikan bukti bahwa netralitas uang jangka panjang (long-run Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia 107 Tabel 4. Hasil Regresi Jangka Panjang Output Riil terhadap M1 di Indonesia k βk SEk tk p-value 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 0,0698 0,0761 0,0920 0,1064 0,1195 0,1364 0,1531 0,1644 0,1641 0,1656 0,1556 0,1577 0,1619 0,1656 0,2021 0,0618 0,0615 0,0615 0,0616 0,0622 0,0625 0,0624 0,0625 0,0631 0,0663 0,0691 0,0714 0,0734 0,0753 0,0780 1,1293 1,2373 1,4959 1,7272 1,1921 2,1810 2,4541 2,6317 2,5982 2,4994 2,2515 2,2085 2,2069 2,1994 2,5910 0,2665 0,2244 0,1442 0,0938 0,0640 0,0372 0,0204 0,0137 0,0150 0,0191 0,0334 0,0370 0,0376 0,0387 0,0170 neutrality) tidak berlaku di Indonesia dengan indikator M1. Artinya bahwa variabel nominal seperti M1 dapat mempengaruhi variabel riil dalam hal ini variabel output (y) dalam jangka panjang. Grafik 11 menunjukkan koefisien dari β pada perbedaan-perbedaan waktu (nilai-nilai k) yang sesuai dengan 95% confidence interval untuk estimasi dengan menggunakan M1. Grafik tersebut menunjukkan dengan jelas adanya indikasi bahwa M1 tidak netral dengan meningkatnya βk dan standard error yang semakin kecil. Secara keseluruhan dari perbedaan waktu 2 tahun sampai dengan perbedaan 16 tahun koefisien dari βk mengalami kenaikan dengan diikuti oleh signifikannya βk sejak digunakan perbedaan waktu lebih dari 4 tahun (dengan α = 10%) dan sejak digunakan perbedaan waktu lebih dari 6 tahun (dengan α = 5%) hasil ini memberikan bukti bahwa M1 tidak netral pada jangka panjang. Dengan menggunakan metodologi FS, pengujian ini menemukan bukti bahwa uang (dengan indikator M1) tidak netral dalam mempengaruhi variabel riil seperti output, yang berarti menolak netralitas uang jangka panjang untuk periode penelitian ini di Indonesia. Bukti empirik ini menunjukkan bahwa kenaikan jumlah uang beredar M1 di Indonesia memberikan pengaruh pada kenaikan tingkat output dalam jangka panjang. Kenaikan output bisa terjadi melalui kenaikan investasi dan permintaan akibat adanya pertambahan jumlah uang beredar. Dengan metodologi yang sama, bukti empirik ini konsisten dengan temuan Puah et al. (2008) bahwa M1 tidak netral pada jangka panjang di Indonesia untuk periode 1965 √ 2002. Temuan non- 108 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 0,6 βk with 95% confidence interval 0,4 0,2 0,0 -0,2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Grafik 11. Koefisien βk dalam Pengujian Netralitas Uang di Indonesia dengan Variabel M1. netralitas uang ini sama dengan hasil pengujian yang dilakukan oleh Fisher dan Seater (1993) yang menemukan bahwa netralitas uang jangka panjang ditolak untuk data tahunan di Amerika Serikat. Bukti bahwa netralitas uang jangka panjang tidak berlaku di Indonesia juga dibuktikan dengan variabel M2. Tabel 5 menunjukkan bahwa dengan perbedaan waktu 2 sampai dengan 16 tahun koefisien dari βk berubah tanda dari negatif ke positif. Pada perbedaan waktu 5 tahun koefisien berubah tanda dari negatif ke positif yang kemudian meningkat sebelum turun lagi mulai perbedaan waktu 12 tahun. Namun demikian sejak perbedaan waktu lebih dari 8 tahun koefisien βk signifikan pada α = 5% yang menunjukkan bahwa M2 tidak netral pada jangka panjang. Grafik 12 menunjukkan koefisien dari b pada perbedaan-perbedaan waktu (nilai-nilai k) yang sesuai dengan 95% confidence interval untuk estimasi dengan menggunakan M2. Grafik tersebut menunjukkan adanya indikasi bahwa M2 tidak netral dengan meningkatnya βk dan standard error yang semakin kecil, dan pada perbedaan waktu lebih dari 8 tahun koefisien tersebut signifikan pada α = 5%. Meskipun mengalami penurunan pada perbedaan waktu 11 tahun, koefisien βk tetap signifikan pada α = 5% sampai dengan perbedaan waktu yang digunakan adalah 16 tahun. Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia 109 Tabel 5. Hasil Regresi Jangka Panjang Output Riil terhadap M2 di Indonesia k βk SEk tk p-value 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 -0,0646 -0,0352 -0,0101 0,0250 0,0604 0,1018 0,1576 0,2143 0,2688 0,3280 0,2843 0,2633 0,2379 0,2254 0,2111 0,0732 0,0730 0,0736 0,0744 0,0751 0,0762 0,0782 0,0799 0,0798 0,0798 0,0772 0,0756 0,0772 0,0783 0,0840 -0,8827 -0,4816 -0,1371 0,3358 0,8053 1,3360 2,0157 2,6808 3,3689 4,1102 3,6814 3,4826 3,0831 2,8769 2,5117 0,3834 0,6332 0,8918 0,7392 0,4268 0,1916 0,0532 0,0122 0,0023 0,0004 0,0011 0,0019 0,0053 0,0088 0,0203 Non-netralitas M2 seperti ditunjukkan pada Grafik 12 untuk perbedaan waktu 8 tahun menunjukkan bahwa bukti ini memperkuat adanya non-netralitas uang dengan ukuran M1 sebelumnya. Dengan demikian baik dengan M1 maupun M2, investigasi untuk periode penelitian ini menemukan bukti empirik bahwa netralitas uang jangka panjang tidak berlaku di Indonesia. 0,8 βk with 95% confidence interval 0,6 0,4 0,2 0,0 -0,2 -0,4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Grafik 12. Koefisien βk dalam Pengujian Netralitas Uang di Indonesia dengan Variabel M2. 110 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 Bagaimanapun juga kenaikan jumlah uang beredar di Indonesia berdampak pada kenaikan output dalam jangka panjang. Kenaikan investasi dan permintaan akibat pertambahan jumlah uang mendorong kenaikan tingkat output pada level yang lebih tinggi. Dengan kata lain pertumbuhan jumlah uang beredar berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Bukti empirik bahwa jumlah uang beredar baik M1 maupun M2 tidak netral terhadap tingkat output melalui uji FS ini didukung oleh perilaku kedua variabel tersebut yang nampak dari data aktual yang disajikan dalam grafik pada Grafik-Grafik di bagian sebelumnya. Tidak terjadinya netralitas uang jangka panjang di Indonesia baik untuk variabel M1 maupun M2 menunjukkan bahwa bukti ini tidak konsisten dengan proposisi netralitas uang menurut model neoklasik dan model siklus bisnis riil (real business cycle theory) serta model moneter dari Lucas. Teori-teori tersebut memproposisikan bahwa uang adalah netral dalam perekonomian yang tidak berpengaruh pada variabel riil, namun hanya berdampak pada tingkat harga. 4.5. Pengujian Inflasi Jangka Panjang Hasil pengujian hubungan positif antara variabel M1 dan harga pada jangka panjang dengan metodologi FS juga didasarkan pada persamaan (22) dengan harga sebagai variabel y. Hasil pengujiannya ditunjukkan pada Tabel 6. Dengan pengujian untuk perbedaan waktu yang digunakan dari 2 sampai dengan 16 tahun, nilai dari βk positif dan signifikan pada α = 5% Tabel 6. Hasil Regresi Jangka Panjang Harga terhadap M1 di Indonesia k βk SEk tk p-value 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 0,4068 0,5550 0,5932 0,5785 0,5853 0,5750 0,5561 0,5505 0,5502 0,5309 0,5535 0,5808 0,5669 0,5216 0,4785 0,1347 0,1062 0,0956 0,0946 0,0881 0,0829 0,0868 0,0890 0,0857 0,0922 0,0983 0,0999 0,0993 0,1028 0,1086 3,0213 5,2279 6,2056 6,1145 6,6403 6,9359 6,4029 6,1865 6,4209 5,7604 5,6322 5,8143 5,7109 5,0763 4,4066 0,0047 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0002 Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia 111 dengan rata-rata nilai βk sebesar 0,5455. Nilai dari βk merepresentasikan respon yang diestimasi dari perubahan harga (dalam ln) terhadap perubahan M1 (dalam ln) pada periode k+1. Sejak menggunakan perbedaan waktu 2 tahun terlihat bahwa βk sudah positif yang diikuti dengan standard error (SEk) yang relatif kecil sehingga t hitungnya cukup besar yang mendukung sangat kuat keberadaan hubungan positif antara uang M1 dan harga. Indikasi pada Tabel 6 tersebut menunjukkan bahwa dengan α = 5% uang (dengan ukuran M1) menyebabkan kenaikan harga atau inflasi secara proporsional dalam jangka panjang. Hasil ini memberikan bukti bahwa hubungan positif yang kuat antara M1 dan harga jangka panjang didukung hasil empirik di Indonesia. Artinya bahwa variabel nominal seperti M1 berpengaruh terhadap variabel nominal lainnya yaitu harga, yang konsisten dengan proposisi dari teori kuantitas klasik, model Lucas maupun neoklasik. Grafik 13 menunjukkan koefisien dari b pada perbedaan-perbedaan waktu (nilai-nilai k) yang sesuai dengan 95% confidence interval untuk estimasi inflasi jangka panjang dengan menggunakan M1. Adanya indikasi bahwa M1 berpengaruh positif pada jangka panjang terhadap harga yakni dengan signifikannya koefisien bk secara konsisten dari perbedaan waktu yang digunakan dari 2 sampai dengan 16 tahun. 1,2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Grafik 13. Koefisien βk dalam Pengujian Inflasi jangka Panjang di Indonesia dengan Variabel M1. 112 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 Dengan menggunakan metodologi FS, pengujian ini menemukan bukti bahwa uang (dengan indikator M1) cukup kuat dan konsisten dalam mempengaruhi variabel nominal dalam hal ini adalah harga, yang berarti mendukung keberadaan hubungan positif antara uang (yang didefinisikan sebagai M1) dan harga pada jangka panjang untuk periode yang penelitian yang sama di Indonesia. Bukti empirik ini konsisten dengan kebanyakan hasil penelitian sebelumnya di negara-negara maju seperti oleh studi Saatcioglu dan Korap (2009) di Turki, Roffia dan Zaghini (2007) pada 15 negara industri, dan Browne dan Cronin (2007) di Amerika Serikat. Namun demikian, bukti bahwa keberadaan hubungan positif jangka panjang antara uang dan harga tidak didukung oleh hasil empirik dengan menggunakan M2. Tabel 7 menunjukkan bahwa dengan perbedaan waktu yang digunakan dari 2 sampai dengan 16 tahun koefisien dari βk berubah tanda dari positif ke negatif. Pada perbedaan waktu 8 tahun koefisien berubah tanda dari positif ke negatif yang kemudian konsisten pada nilai βk yang negatif sampai dengan perbedaan waktu yang digunakan 16 tahun. Sejak perbedaan waktu 11 tahun koefisien βk bernilai negatif dan signifikan pada α = 5% sampai dengan perbedaan waktu 15 tahun, dan pada α = 5% sampai dengan perbedaan waktu yang digunakan 16 tahun. Grafik 14 menunjukkan koefisien dari β pada nilai-nilai k yang sesuai dengan 95% confidence interval untuk estimasi inflasi jangka panjang dengan menggunakan M2. Grafik tersebut menunjukkan adanya indikasi bahwa M2 tidak mendukung keberadaan hubungan positif jangka panjang antara uang dan harga. Tabel 7. Hasil Regresi Jangka Panjang Harga terhadap M2 di Indonesia k βk SEk tk p-value 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 0,4488 0,3398 0,2650 0,1923 0,1166 0,0351 -0,0404 -0,1111 -0,2018 -0,3990 -0,3711 -0,3535 -0,3376 -0,3184 -0,2792 0,1609 0,1557 0,1563 0,1576 0,1567 0,1557 0,1642 0,1745 0,1793 0,1766 0,1720 0,1688 0,1605 0,1529 0,1492 2,7896 2,1820 1,6948 1,2205 0,7439 0,2251 -0,2462 -0,6368 -1,1251 -2,2598 -2,1584 -2,0937 -2,1028 -2,0821 -1,8708 0,0085 0,0361 0,0995 0,2312 0,4625 0,8234 0,8072 0,5294 0,2705 0,0324 0,0407 0,0470 0,0466 0,0492 0,0754 Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia 113 1,0 0,5 0,0 -0,5 -1,0 -1,5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Grafik 14. Koefisien βk dalam Pengujian Inflasi jangka Panjang di Indonesia dengan Variabel M2. Tidak berpengaruhnya secara positif dan signifikan M2 terhadap harga pada jangka panjang, seperti ditunjukkan pada Grafik 14 untuk perbedaan waktu yang digunakan 4 tahun, menunjukkan bahwa bukti ini tidak sejalan dengan bukti mengenai hubungan positif uang M1 dan harga. Artinya bahwa keberadaan hubungan positif antara uang dan harga dapat direpresentasikan oleh M1 daripada M2. Dengan demikian bahwa M1 bisa mendukung secara empirik keberadaan hubungan positif antara uang dan harga pada jangka panjang di Indonesia daripada M2. V. KESIMPULAN Estimasi dengan metodologi FS yang didahului dengan serangkaian seperti uji akarakar unit, eksogenitas, dan kointegrasi menarik kesimpulan bahwa pengujian netralitas uang dan inflasi jangka panjang di Indonesia dapat dilakukan untuk data Indonesia periode penelitian ini. Hasil estimasi dengan metodologi FS memberikan kesimpulan bahwa netralitas uang jangka panjang tidak berlaku untuk kasus di Indonesia dengan data tahunan. Sementara itu keberadaan hubungan positif antara uang dan harga dapat dibuktikan oleh 114 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 hasil penelitian ini, yang menunjukkan adanya inflasi jangka panjang karena perubahan jumlah uang beredar. Variabel M1 dapat mendukung keberadaan hubungan positif tersebut daripada variabel M2. Bukti dari hasil uji netralitas uang jangka panjang ini tidak konsisten dengan proposisi netralitas uang dari model neoklasik dan model siklus bisnis riil serta model moneter dari Lucas bahwa uang adalah netral dalam perekonomian yang tidak berpengaruh pada variabel riil, karena uang hanya berdampak pada tingkat harga. Namun demikian proposisi bahwa uang berdampak pada tingkat harga terbukti dalam penelitian ini. Hubungan positif antara jumlah uang beredar dan inflasi memang didukung oleh bukti-bukti empirik yang mendukung hubungan dua variabel tersebut sehingga menjadi hubungan yang kokoh. Non-netralitas uang jangka panjang di Indonesia yang ditemukan dalam penelitian ini konsisten dengan temuan dari Puah et al. (2008) bahwa M1 tidak netral pada jangka panjang di Indonesia untuk periode 1965 √ 2002. Lebih dari itu, dengan menggunakan M2, netralitas uang jangka panjang juga tidak berlaku di Indonesia. Sementara itu untuk pengujian keberadaan hubungan positif antara uang dan harga, penelitian ini menemukan bukti yang mendukung proposisi tersebut. Hasil ini konsisten dengan teori dan kebanyakan penelitian terdahulu di negara-negara lain. Dari hasil pengujian terhadap kedua proposisi ini secara umum menunjukkan bahwa kecenderungan uang tidak netral merupakan karakteristik perekonomian makro ekonomi jangka panjang di Indonesia, di samping keberadaan inflasi jangka panjang karena perubahan jumlah uang beredar. Dengan demikian dalam jangka panjang uang adalah berarti (matter) bagi perekonomian Indonesia meskipun pertumbuhannya berdampak pada inflasi. Hasil penelitian ini mengimplikasikan bahwa bagaimanapun juga kebijakan moneter yang dilakukan oleh otoritas moneter untuk menstabilkan fluktuasi dalam perekonomian makro sangat berarti mengingat jumlah uang beredar pada jangka panjang mempengaruhi tingkat output. Injeksi moneter dalam jangka panjang dapat mendorong kenaikan output. Namun demikian injeksi moneter ini selain berpotensi meningkatkan output juga dapat menimbulkan inflasi sebagaimana hasil penelitian ini membuktikannya. Oleh karena itu, di satu sisi ekspansi moneter tetap penting untuk mendorong kenaikan output jangka panjang, namun di sisi lain juga perlu diiringi dengan pengendalian jumlah uang beredar yang lebih cermat, khususnya pada besaran M1, untuk mengantisipasi inflasi. Meskipun tidak mudah karena perilaku permintaan berasal dari masyarakat, pengelolaan moneter harus lebih terukur dalam mempertimbangkan kedua sisi tersebut. Jadi dalam kerangka inflation targeting, otoritas moneter tetap bisa fokus pada inflasi tanpa mengabaikan pentingnya peran uang beredar terhadap kenaikan output jangka panjang. Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia 115 Untuk kepentingan kebijakan dan akademik, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan dorongan bagi kegiatan penelitian lebih lanjut mengenai netralitas uang dan isuisu yang terkait untuk memperkaya literatur ekonomi khususnya yang berkaitan dengan isu-isu tersebut. Hal ini penting untuk dapat memperoleh kesimpulan yang kuat dan menguji kekuatan (robustness) bukti empirik non-netralitas uang jangka panjang di Indonesia dengan melakukan pengujian dengan periode yang berbeda, pengujian dengan perubahan struktur, serta pengujian dengan metode dan pengembangan yang berbeda, serta data yang berbeda, misalnya data kuartalan. 116 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 DAFTAR PUSTAKA Bae, S. and R. Ratti (2000), ≈Long-Run Neutrality, High Inflation, and Bank Insolvencies in Argentina and Brazil,∆∆Journal of Monetary Economics, 46: 581-604. Barro, R (1997), Macroeconomics, 5th edition, Canbridge, MA: MIT Press. Boschen, J.F. and C.M. Otrok (1994), ≈Long-Run Neutrality and Superneutrality in an ARIMA Framework: Comment,∆∆American Economic Review, 84: 1470-1473. Browne, F. and D. Cronin (2007), ≈Commodity Prices, Money and Inflation,∆ ECB Working Paper Series, 738 (March): 1-33. Chen, S.W. (2007), ≈Evidence of the Long-Run Neutrality of Money: the Case of South Korea and Taiwan,∆∆Economics Bulletin, 64(3): 1-18. Coe, P.J. and J.M. Nason (2004), ≈Long-Run Monetary Neutrality and Long-Horizon Regressions,∆∆Journal of Applied Econometrics, 19 (3): 355-373 Dickey, D. and W.A. Fuller (1979), ≈Distribution of the Estimates for Autoregressive Time Series with a Unit Root,∆∆Journal of the American Statistical Society, 74: 427-431. Dewald, W.G. (1998), ≈Historical U.S. Money Growth, Inflation, and Inflation Credibility,∆∆Federal Reserve Bank of St. Louis Review, 80:13√24. Dwyer, G.P. and R. W. Hafer (1999), ≈Are Money Growth and Inflation Still Related?,∆∆Federal Reserve Bank of Atlanta Economic Review, Second Quarter: 32-43. Engle, R.F. and C.W.J. Granger (1987), ≈Cointegration and Error Correction: Representation, Estimation and Testing,∆∆In Engle R.F. and C.W.J. Granger (1991),∆Long-Run Economic Relationships: Readings in Cointegration, 81-111. New York: Oxford University Press. Fisher, M.E and J.J. Seater (1993), ≈Long-Run Neutrality and Superneutrality in an ARIMA Framework,∆∆American Economic Review, 83(3): 402-415. Gujarati, D.N. and D.C. Porter (2009), Basic Econometrics, 5th Edition, New York: McGraw-Hill. Hume, D. (1752), ≈Of Money, Of Interest, and Of the Balance of Trade,∆ In Essays, Moral, Political, and Literary, Reprinted in Hume, 1955, Writings on Economics, Eugene Rotwein ed. Diakses dari http://www.econlib.org/library/LFBooks/Hume/hmMPL.html Johansen, S. (1995), Likelihood-based Inference in Cointegrated Vector Autoregressive Models, New York: Oxford University Press. King, R.G. and M.W. Watson (1997), ≈Testing Long-Run Neutrality,∆∆Federal Reserve Bank of Richmond Economic Quarterly, 83(3): 69-101. Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia 117 Lucas, R.E. (1972), ≈Expectations and the Neutrality of Money,∆∆Journal of Economic Theory, 4(2): 103√124. __________ (1980), ≈Two Illustrations of the Quantity Theory of Money,∆∆American Economic Review, 70: 1005√1014. ___________(1995), ≈Monetary Neutrality. Prize Lecture,∆ December 7, 1995. Diakses dari http:/ /nobelprize.org/economics/laureates/1995/lucas-lecture.pdf. McCandless, G.T., Jr. and W.E. Weber (1995), ≈Some Monetary Facts,∆∆Federal Reserve Bank of Minneapolis Quarterly Review, 19(3): 1-11. Noriega, A.E (2004), ≈Long-Run Monetary Neutrality and the Unit-Root Hypothesis: Further International Evidence,∆∆North American Journal of Economics and Finance, 15(2): 179197. Noriega, A.E., L.M. Soria and R. Velazquez (2005), ≈International Evidence on Monetary Neutrality under Broken Trend Stationary Models,∆ Mimeo. Diakses dari http://repec.org/esLATM04/ up.7482.1080751251.pdf Oi, H., S. Shiratsuka, and T. Shirota (2004), ≈On Long-Run Monetary Neutrality in Japan,∆ Monetary and Economic Studies, 22(3): 79 √ 113 Olekalns, N. (1996), ≈Some Further Evidence on the Long-Run Neutrality of Money,∆∆Economics Letters, 50(3): 393-98. Phillips, P.C.B., and P. Perron (1988), ≈Testing for a Unit Root in Time Series Regression,∆∆Biometrika, 75(2): 335-346. Puah, C.H., M.S. Habibullah and S.A. Mansor (2008), ≈On the Long-Run Monetary Neutrality: Evidence from the SEACEN Countries,∆∆Journal of Money, Investment and Banking, Issue 2: 50-62. Ran, J. (2005), ≈Is There Long-Run Money Neutrality under Different Exchange Rate Regimes?,∆∆Pacific Economic Review, 10(3): 361-370. Roffia, B. and A. Zaghini (2007), ≈ Excess Money Growth and Inflation Dynamics,∆ ECB Working Paper Series, 749: 1-40. Romer, D. (2001), Advanced Macroeconomics, Second Edition, New York: McGraw-Hill. Rolnick, A.J. and W.E. Weber (1997), ≈Inflation, Money, and Output under Alternative Monetary Standards,∆ Federal Reserve Bank of Minneapolis Research Department, Staff Report 175. Saatcioglu, C. and L. Korap (2009), ≈The Search for Co-IntegratÊon Between Money, PrÊces and Income: Low Frequency EvÊdence from the TurkÊsh Economy,∆∆Panoeconomicus, 1: 55-72. Serletis, A. and Z. Koustas (1998), ≈International Evidence on the Neutrality of Money,∆∆Journal of Money, Credit and Banking, 30 (1): 1√25. ƒƒƒ, and ƒƒƒ (2001),ƒ≈Monetary Aggregation and the Neutrality of Money,∆∆Economic Inquiry, 39 (1): 124√138. Diakses dari http://econpapers.repec.org/article/oupecinqu/ 118 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011 Shelley, G.L. and F.H. Wallace (2003), ≈Testing for Long Run Neutrality of Money in Mexico,∆ Diakses dari http://129.3.20.41/eps/mac/papers/0402/0402003.pdf Wallace, F.H. and L.F. Cabrera-Castellanos (2006), ≈Long Run Money Neutrality in Guatemala,∆∆MPRA Paper 4025, University Library of Munich, Germany, revised 2006. Diakses dari http://129.3.20.41/eps/mac/papers/ PETUNJUK PENULISAN 1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima, TETAP menjadi hak penulis. 2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial sebesar Rp 2.500.000,-. 3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Sangat disarankan untuk mengirimkan softcopy anda ke: [email protected] (Cc. to: [email protected].) Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan dikirimkan melalui pos ke alamat redaksi berikut: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung B, Lt. 20, JI. M. H. Thamrin No.2 Jakarta Pusat, INDONESIA Telpon: 62-21-3818202, Fax: 62-21-3800394 4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman dengan ukuran font 12. 5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation. 6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan sebaliknya. 7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http:// www.aeaweb.org/journal/ jel_class_system.html. 8. Naskah ditulis dengan penyusunan BAB secara konsisten sebagai berikut, 120 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Juli 2011 I. JUDUL BAB I.1. Sub Bab I.1.1. Sub Sub Bab 9. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote. 10.Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut, a. Publikasi buku: John E. Hanke dan Arthur G. Reitsch Reitsch, (1940), Business Forecasting, PrenticeHall, New Jersey. b. Artikel dalam jurnal: Rangazas, Peter. ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with Human Capital∆, Journal of Monetary Economics, Oktober 2000,46(2), hal. 397-416. c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan Rose, Andrew K. ≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth Rogoff, eds., Handbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, 1995, hal. 397-416. d. Kertas kerja (working papers): Kremer, Michael dan Chen, Daniel Daniel. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous Fertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper No.7530, 2000. John. ≈Can Parental Decision Explain e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, John U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999. f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan Heston Heston, Alan W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆ http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997. g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. ≈Killed by Kindness∆, Newsweek, April 12, 1993, hal. 50-56. 11.Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening Bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk CV (curriculum vitae) lengkap.