STIGMA MASYARAKAT TERHADAP ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA DI KECAMATAN KUTA MALAKA KABUPATEN ACEH BESAR STIGMA OF THE SOCIETY TOWARDS PEOPLE WITH MENTAL DISORDERS IN KUTA MALAKA SUB-DISTRICT GREAT ACEH REGENCY Desi Putriyani1*, Hasmila Sari2 1 2 Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Staf Pengajar Bagian Keilmuan Keperawatan Jiwa, Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh e-mail: [email protected]; [email protected] ABSTRAK Di dunia dan di Indonesia banyak orang yang mengalami gangguan jiwa termasuk di Aceh. Sering kali, orang dengan gangguan jiwa mendapatkan stigma dan diskriminasi dari kalangan publik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui stigma masyarakat Di Kecamatan Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar berdasarkan stereotip, prasangka dan diskriminasi. Jenis penelitian ini deskriptif dengan desain cross sectional study. Populasi penelitian adalah seluruh masyarakat di Desa Tumbo Baro, Desa Lam Ara Tunong dan Desa Reuleng Geulumpang Kecamatan Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar berjumlah 68 responden. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode proporsional sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan dengan teknik wawancara terpimpin dan alat ukur berupa kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 69,1% responden memberikan stereotip terhadap orang dengan gangguan jiwa, 52,9% responden memberikan prasangka terhadap orang dengan gangguan jiwa dan 52,9% responden tidak melakukan diskriminasi terhadap orang dengan gangguan jiwa, sehingga dapat disimpulkan bahwa 51,5% responden tidak memberikan stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa. Berdasarkan hasil penelitian diharapkan kepada peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat gambaran dampak stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa dan diharapkan kepada pemerintah Kecamatan Kuta Malaka dapat bekerja sama dengan petugas kesehatan menyelenggarakan seminar/penyuluhan kepada masyarakat tentang stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa agar masyarakat mengerti dan paham mengenai stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa. Kata kunci : Stigma, masyarakat, gangguan jiwa, stereotip, prasangka dan diskriminasi. ABSTRACT Based on the phenomenon that occurs today whether in Indonesia and the other parts of the world, there are many people with mental disorders experience stigma and discrimination in public. This research aims at finding out stigma of people in Kuta Malaka sub-district Great Aceh Regency towards stereotype, prejudice and discrimination. This is a descriptive narrative study with cross sectional design. The population of the study was all people in Tumbo Baro, Lam Ara Tunong, and Reuleng Geulumpang, villages located in Kuta Malaka Great Aceh. There were 68 respondents which were chosen using proportional sampling technique and the instrument used was questionnaire. Technique of data collection used in this study was questionnaire and interview. The results show that 61.1% of the respondents give stereotype towards those who suffer mental illness, 52.9% of them also give prejudice to people whom are sick mentally and 52.9% of respondents do not discriminate those who suffer mental illness. Thus, it is safe to conclude that 51.5% of the respondents do not give stigma for the mental illness’ sufferers. Based on these results, it is suggested that the next researcher do a further study to examine the impact of stigma towards people who are mentally sick and it is also expected that the local government of Kuta Malaka can collaborate with medical advisors to hold seminar about stigma to mental disorder in order to make people fully understand about the issue. Keywords : Stigma, society, mental illness, stereotype, prejudice, and discrimination. 1 PENDAHULUAN World Health Organization (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai “keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan sematamata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan”. Definisi ini menekankan kesehatan sebagai suatu keadaan sejahtera yang positif, bukan sekedar tanpa penyakit. Orang yang memiliki kesejahteraan emosional, fisik dan sosial dapat memenuhi tanggung jawab kehidupan, berfungsi dengan efektif dalam kehidupan sehari-hari, puas dengan hubungan interpersonal dan diri mereka sendiri. Tidak ada satupun definisi universal kesehatan jiwa, tetapi dapat menyimpulkan kesehatan jiwa seseorang dari perilakunya. Karena perilaku seseorang dapat dilihat atau ditafsirkan berbeda oleh orang lain, yang bergantung kepada nilai dan keyakinan, maka penentuan definisi kesehatan menjadi sulit (Videbeck, 2008, p.3). Menurut WHO masalah gangguan jiwa di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang sangat serius. WHO memperkirakan sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa. Prevalensi gangguan jiwa menurut WHO tahun 2015 menunjukkan bahwa secara global diperkirakan 350 juta orang mengalami depresi, 60 juta orang menderita gangguan afektif bipolar, 21 juta orang menderita gangguan skizofrenia dan 47,5 juta orang di dunia mengalami demensia. Berdasarkan data dari Riskesdas 2013 jumlah seluruh Rumah Tangga (RT) yang dianalisis adalah 294.959 terdiri dari 1.027.763 Anggota Rumah Tangga (ART) yang berasal dari semua umur. Rumah tangga yang menjawab memiliki ART dengan gangguan jiwa berat sebanyak 1.655, terdiri dari 1.588 RT dengan 1 orang ART, 62 RT memiliki 2 orang ART, 4 RT memiliki 3 ART, dan 1 RT dengan 4 orang ART yang mengalami gangguan jiwa berat. Jumlah seluruh responden dengan gangguan jiwa berat adalah sebanyak 1.728 orang. Prevalensi psikosis tertinggi di DI Yogyakarta dan Aceh (masingmasing 2,7%), sedangkan yang terendah di Kalimantan Barat (0,7%). Prevalensi gangguan jiwa berat nasional sebesar 1,7 per mil (Riskesdas, 2013, p.127). Berdasarkan data dari profil kesehatan provinsi Aceh tahun 2012 jumlah kasus gangguan jiwa menurut kabupaten/kota sampai dengan tahun 2012 sebanyak 24.942 kasus dan diperkirakan baru teridentifikasi 37% dari perkiraan kasus yang ada di masyarakat. Kasus terbanyak dilaporkan dari Kabupaten Aceh Barat, Bireun, Pidie, Aceh Selatan, Aceh Utara dan Aceh Besar. Tingginya kasus yang terjadi di 6 kabupaten tersebut berkaitan dengan banyak SDM terlatih kesehatan jiwa yang tersebar di fasilitas pelayanan kesehatan dasar dan kader kesehatan jiwa di masyarakat. Dari total kasus sebanyak 24.942 kasus yang mendapat perawatan oleh tenaga kesehatan terlatih sebanyak 13.381 kasus dengan rincian; Penderita mandiri sudah pulih sebanyak 6.953 orang (58.1%), dengan bantuan pasien parsial 4.472 orang (16.4 %) dan 1.956 orang (16.4%) penderita yang masih tergantung (total care) (Depkes, 2012, p.45-46). Penderita gangguan jiwa sering mendapatkan stigma dan diskriminasi yang lebih besar dari masyarakat disekitarnya dibandingkan individu yang menderita penyakit medis diantaranya: dikeluarkan dari sekolah, diberhentikan dari pekerjaan, diceraikan oleh pasangan, hingga ditelantarkan oleh keluarga, bahkan dipasung serta dirampas harta bendanya. Penderita gangguan jiwa mempunyai resiko tinggi terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Mereka sering sekali disebut sebagai orang gila (insanity atau madness). Perlakuan ini disebabkan karena ketidaktahuan atau pengertian yang salah dari keluarga atau anggota masyarakat mengenai gangguan jiwa (Kemenkes RI, 2014). Banyak orang dalam masyarakat akan memunculkan reaksi yang tidak menyenangkan ketika bertemu dengan orang yang memiliki gangguan jiwa tanpa menyadari buruknya dampak yang dimunculkan dari respon negatif mereka. Reaksi-reaksi tersebut merupakan respon yang umum dan dapat menjadi dasar dari munculnya diskriminasi dan stigma yang dialami oleh banyak orang dengan 1 gangguan jiwa yang parah. Stigma adalah label yang menyebabkan orang-orang tertentu mendapat sebutan berbeda, terganggu dan terpisah dari anggota kelompok yang lain. Fenomena stigma ini pertama kali dimunculkan ke hadapan publik dalam tulisan seorang sosiolog ternama Erving Goffman pada tahun 1960 dan beberapa dekadeberikutnya, stigma menjadi fokus utama dari publikasi dan diskusi mengenai hak-hak dan treatmen bagi individu dengan gangguan jiwa (Richard, & Susan, 2012, p.41). Seorang peneliti ternama dalam topik stigma, Patrick Corrigan (2004) menyebutkan bahwa stigma pada dasarnya adalah problematik karena menghalangi seseorang yang memerlukan treatmen untuk mencari treatmen yang sebenarnya diperlukan(Richard, & Susan, 2012, p.42). METODE Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif sesuai dengan tujuan penelitian untuk mengetahui stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa di Kecamatan Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study yaitu cara pengumpulan data yang dilakukan sekaligus dalam suatu saat (point time approach) (Notoatmodjo, 2010, p.37). Populasi dalam penelitian ini adalah warga yang bermukim di Desa Tumbo Baro, Desa Lam Ara Tunong dan Desa Reuleng Geulumpang Kecamatan Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar yang berjumlah 2.291 jiwa. Populasi di Kecamatan Kuta Malaka berjumlah 15 desa. Namun, karena cakupan wilayahnya yang terlalu luas. Sehingga, peneliti hanya mengambil 3 desa untuk tempat penelitian dengan jumlah sampel 68 orang. Adapun kriteria sampel yang digunakan adalah:Bersedia menjadi responden, warga Kecamatan Kuta Malaka yang berdomisili di Desa Tumbo Baro, Desa Lam Ara Tunong dan Desa Reuleng Geulumpang, umur lebih dari 18 tahun dan anggota keluarga responden tidak mengalami gangguan jiwa. HASIL Data demografi dalam penelitian ini meliputi: usia, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan terakhir dan pekerjaan. Gambaran data demografi tersebut dapat dilihat pada tabel 1 dibawah, didapatkan data bahwa sebagian besar responden berada pada usia dewasa awal (26-35 tahun) dengan jumlah 27 responden (39,7%), sebagian besar berjenis kelamin perempuan dengan jumlah 58 responden (91,9%), status perkawinan sebagian besar sudah menikah sebanyak 55 responden (80,9%), sebagian besar pendidikan terakhir SMA/MA/sederajat dengan jumlah 27 responden (39,7%) dan sebagian besar pekerjaan ibu rumah tangga (IRT) dengan jumlah 36 responden (52,9%). Dapat dilihat pada tabel 1 berikut: Tabel 1. Data Demografi Masyarakat No. Kategori f (%) 1 Usia (Depkes, 2009) Remaja Akhir 14 20,6 Dewasa Awal (26-35 27 39,7 tahun) Dewasa Akhir (36-45 14 20,6 tahun) Lansia Awal (46-55 6 8,8 tahun) Lansia Akhir (56-64 6 8,8 tahun) Lansia Manula(> 65 1 1,5 tahun) 2 Jenis Kelamin Laki-laki 10 14,7 Perempuan 58 85,3 3 Status Perkawinan Menikah 55 80,9 Belum Menikah 8 11,8 Janda 5 7,4 4 Pendidikan Terakhir Tidak Sekolah 3 4,4 SD/MI/Sederajat 14 20,6 SMP/MTs/Sederajat 7 10,3 SMA/MA/Sederajat 27 39,7 Akademi/Perguruan 17 25,0 Tinggi 5 Pekerjaan PNS 2 2,9 IRT 36 52,9 Petani 12 17,6 Wiraswasta 3 4,4 2 No. Kategori Kontrak, Honor, Mahasiswi dan Sopir f (%) 15 22,1 Stigma Masyarakat Terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa Berdasarkan Stereotip Berikut ini adalah tabel distribusi frekuensi stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa Berdasarkan Stereotip di Kecamatan Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar. Hasil penelitian diperoleh nilai total 829 dengan nilai ̅ = 12, sehingga dikategorikan tinggi bila ̅ ≥ 12 dan rendah apabila ̅ <12. Dapat dilihat pada tabel 2 berikut: Tabel 2. Frekuensi Stigma Masyarakat Berdasarkan Stereotip (n=68) No. Kategori f (%) 1 Tinggi 47 69,1 2 Rendah 21 30,9 Total 68 100,0% Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa sebagian besar stereotip masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa di Kecamatan Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar berada pada kategori tinggi yaitu 47 orang dengan persentase (69,1%). Stigma Masyarakat Terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa Berdasarkan Prasangka Berikut ini adalah tabel distribusi frekuensi stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa berdasarkan prasangka di Kecamatan Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar. Hasil penelitian diperoleh nilai total 803 dengan nilai ̅ = 11,8, sehingga dikategorikan tinggi bila ̅ ≥ 11,8 dan rendah apabila ̅ <11,8. Dapat dilihat pada tabel 3 berikut: Tabel 3. Frekuensi Stigma Masyarakat Berdasarkan Prasangka (n=68) No. Kategori f (%) 1 Tinggi 36 52,9 2 Rendah 32 47,1 Total 68 100,0% Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa sebagian besar prasangka masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa di Kecamatan Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar berada pada kategori tinggi yaitu 36 orang dengan persentase (52,9%). Stigma Masyarakat Terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa Berdasarkan Diskriminasi Berikut ini adalah tabel distribusi frekuensi Kecamatan Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar. Hasil penelitian diperoleh nilai total 784 dengan nilai ̅ = 12, sehingga dikategorikan tinggi bila ̅ ≥ 12 dan rendah apabila ̅ <12. Dapat dilihat pada tabel 4 berikut: Tabel 4. Frekuensi Stigma Masyarakat Berdasarkan Diskriminasi (n=68) No. Kategori f (%) 1 Tinggi 32 47,1 2 Rendah 36 52,9 Total 68 100,0% Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa sebagian besar diskriminasi masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa di di Kecamatan Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar kategori rendah yaitu 36 orang dengan persentase (52,9%). Stigma Masyarakat Terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa Di Kecamatan Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya, dalam penelitian ini stigma masyarakat diukur melalui 3 aspek yaitu stereotip, prasangka dan diskriminasi. Hasil penelitian menunjukkan stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa Di Kecamatan Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar diperoleh nilai total 2.415 dengan nilai ̅ = 35,5, sehingga dikategorikan tinggiapabila ̅ ≥35,5 dan rendah apabila ̅ <35,5. Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa berada pada kategori rendah dengan frekuensi 35 orang yaitu (51,5%). Hasil pengkategorian dapat dilihat pada tabel 5 berikut: Tabel 5. Frekuensi Stigma Masyarakat (n=68) No. Kategori f (%) 1 Tinggi 33 48,5 2 Rendah 35 51,5 Total 68 100,0% 3 PEMBAHASAN Stigma Masyarakat Terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa Berdasarkan Stereotip Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa stereotip yang dilakukan oleh masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa di Kecamatan Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar berada pada kategori tinggi sebanyak 47 orang (69,1%). Penulis berpendapat bahwa stereotip masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa berada pada kategori tinggi dipengaruhi oleh keyakinan yang dimiliki oleh masyarakat dimana masyarakat beranggapan orang dengan gangguan jiwa sama dengan orang gila yang berjumlah 39 orang (57,4%), berbahaya yang berjumlah 50 orang (73,5%), cenderung melakukan kekerasan yang berjumlah 51 orang (75,0%) serta mengganggu orang lain yang berjumlah 48 orang (70,6%). Yang didukung oleh tampilan di media-media popular terlalu sering mengekspos mitos yang berkembang di masyarakat mengenai orang dengan gangguan jiwa dilengkapi dengan penggambaran individu dengan gangguan jiwa Salter & Byrne (2000) dikutip dalam Richard & Susan (2012, p.41). Hal ini juga didukung oleh Link dkk (1999) dikutip dalam Richard & Susan (2012, p.41) bahwa seorang penderita skizofrenia menyerang orang lain, masyarakat didorong untuk percaya bahwa sebagian orang dengan skizofrenia cenderung melakukan kekerasan. Sebagai hasilnya, tidak mengejutkan apabila sebagian besar penduduk Amerika Seriat takut terhadap individu dengan gangguan jiwa dan tidak ingin berhubungan dengannya. Stigma Masyarakat Terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa Berdasarkan Prasangka Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa prasangka yang dilakukan oleh masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa di Kecamatan Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar berada pada kategori tinggi sebanyak 36 orang (52,9%). Penulis berpendapat bahwa prasangka masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa berada pada kategori tinggi dipengaruhi oleh anggapan masyarakat bahwa orang dengan gangguan jiwa itu menakutkan sehingga harus dijauhi dengan jumlah 44 orang (64,1%), orang dengan gangguan jiwa dianggap tidak sama dengan orang yang menderita penyakit lainnya (penyakit fisik) dengan jumlah 61 (89,7%) dan masyarakat tidak mau memberikan tanggung jawab terhadap orang dengan gangguan jiwa yang berjumlah 47 orang (60,3%). Prasangka itu sendiri berkembang karena individu mempelajarinya. Muncul dan berkembangnya prasangka ini persis sama seperti muncul dan berkembang sikap lainnya. Sesuai dengan pandangan teori belajar sosial, dimana seorang anak mempelajari prasangka dari berbagai kelompok. Anak-anak dapat mengalami proses belajar langsung karena ia mengamati bagaimana ekpresi orang tuanya, gurunya atau kelompok lainnya terhadap target prasangka. Proses belajar lain adalah melalui pengalaman yang bersifat vicarious (Sarwono & Meinarno, 2012, p.227). Stigma Masyarakat Terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa Berdasarkan Diskriminasi Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa di Kecamatan Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar berada pada kategori rendah sebanyak 36 orang (52,9%). Penulis berpendapat bahwa diskriminasi masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa berada pada kategori rendah dipengaruhi oleh ketidak setujuan masyarakat untuk memasung orang dengan gangguan jiwa yang berjumlah 50 orang (73,5%) dan masyarakat tidak mau memukul orang dengan gangguan jiwa apabila kambuh ataupun mengamuk yang berjumlah 51 orang (75,0%) dengan alasan bahwa orang dengan gangguan jiwa juga merupakan manusia yang berhak untuk hidup tanpa dipasung dan dipukul. Ada cara lain yang bisa dilakukan selain memukul dan memasung orang dengan gangguan jiwa. Misalnya dengan merestrain dan merujuk ke Rumah Sakit Jiwa ataupun ke Puskesmas terdekat apabila orang dengan 4 gangguan jiwa mengamuk. Selain itu, masyarakat juga memperbolehkan orang dengan gangguan jiwa untuk bersosialisasi dengan orang lain yang berjumlah 52 orang (76,5%) dan masyarakat sendiri mau berkomunikasi dengan orang dengan gangguan jiwa yang berjumlah 40 orang (58,8%). Dengan berkomunikasi ataupun bersosialisasi, masyarakat berharap orang dengan gangguan jiwa bisa terbuka pikiran dan bertambah wawasannya yang nantinya membuat situasi dan kondisi orang dengan gangguan jiwa menjadi lebih baik. Walaupun stereotip menjadi dasar dari prasangka dan diskriminasi, namun tidak berarti bahwa seseorang yang memiliki stereotip negatif mengenai sebuah kelompok tertentu pasti akan menampilkan prasangka dan diskriminasi (Sarwono & Meinarno, 2012, p.236). Diskriminasi adalah perilaku yang dihasilkan oleh stereotip atau prasangka lalu ditunjukkan dalam tindakan yang terbuka atau rencana tertutup untuk menyingkirkan, menjauhi atau membuka jarak baik bersifat fisik maupun social dengan kelompok tertentu. Diskriminasi didasarkan pada variasi bentuk identitas yang mungkin bersifat institusional (melalui aturan atau organisasi tertentu) dan melalui hubungan antar pribad iLiliweri (2002) dikutip dalam (Romadhon, 2011, p.4). Stigma Masyarakat Terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa Di Kecamatan Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar Berdasarkan hasil penelitian, bahwa stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa di Kecamatan Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar yang berada pada kategori rendah dengan frekuensi 35 orang (51,5%). Hal ini dikarenakan rendahnya stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa dipengaruhi oleh tingkat pendidikan masyarakat yang pada umumnya berada pada kategeri menengah, yaitu 27 orang (39,7%). Sehingga, akses untuk mendapatkan dan menyerap informasi lebih tinggi atau lebih cepat dibandingkan yang dasar. Faktor lain yang peneliti temukan ada perawat CMHN yang berpartisipasi secara aktif dalam merawat/merehabilitasi orang dengan gangguan jiwa yang berada di Kecamatan Kuta Malaka. Masyarakat sendiri menganggap bahwa orang dengan jiwa sangat memerlukan akses kesehatan ke pelayanan kesehatan demi kesembuhan gangguan jiwa yang dialami oleh orang dengan gangguan jiwa. Ketika kondisi psikisnya membaik, orang dengan gangguan jiwa boleh kembali berbaur dengan masyarakat. Selain itu, rasa empati masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa kemungkinan disebabkan oleh karena ciri-ciri masyarakat pada umumnya adalah masyarakat pedesaan. Dimana rasa tenggang rasa dan kepedulian masih tinggi sehingga membuat masyarakat lebih peduli terhadap orang dengan gangguan jiwa. Suryani dalam Hendriyana (2013) mengatakan, stigma terhadap penderita gangguan jiwa di Indonesia masih sangat kuat. Dengan adanya stigma ini, orang yang mengalami gangguan jiwa terkucilkan dan dapat memperparah gangguan jiwa yang diderita. Pada umumnya penderita gangguan jiwa berat dirawat dan diberi pengobatan di rumah sakit. Setelah membaik dan dipulangkan dari rumah sakit, tidak ada penanganan khusus yang berkelanjutan bagi penderita. Pengobatan penderita gangguan jiwa merupakan sebuahjourney of challenge atauperjalanan yang penuhtantangan yang harus berkelanjutan. Penderita gangguan jiwa sulit untuk langsung sembuh dalamsatu kali perawatan, namun membutuhkan proses yang panjang dalam penyembuhan. KESIMPULAN Berdasarkan pemaparan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, secara umum dapat disimpulkan bahwa stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa di Kecamatan Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar berada pada kategori rendah dengan frekuensi 35 dan persentase 51,5%. Secara khusus dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Sterotip masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa di Kecamatan 5 Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar berada pada kategori tinggi dengan frekuensi 47 orang dan persentase 69,1%. Prasangka masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa di Kecamatan Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar berada pada kategori tinggi dengan frekuensi 36 orang dan persentase 52,9%. Diskriminasi masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa di Kecamatan Kuta Malaka Kabupaten Aceh Besar berada pada kategori rendah dengan frekuensi 36 dan persentase 52,9%. Secara khusus, rekomendasi penulis terhadap hasil penelitian kepada berbagai pihak adalah sebagai berikut: Untuk institusi pendidikan, diharapkan khususnya bagi Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh agar dapat meningkatkan konstribusi bagi ilmu keperawatan khususnya dalam ilmu keperawatan jiwa mengenai stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat melakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat gambaran dampak stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa. Diharapkan kepada pemerintah Kecamatan Kuta Malaka agar dapat bekerja sama dengan petugas kesehatan menyelenggarakan seminar/ penyuluhan kepada masyarakat tentang stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa agar masyarakat mengerti dan paham mengenai stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa. Hendriyana, Artanti. (2013). Setiap tahun, penderita gangguan jiwa di Indonesia terus meningkat. http://www.unpad.ac.id/profil/drsuryani-skp-mhsc-setiap-tahunpenderita-gangguan-jiwa-di-indonesiaterus-meningkat/. Diakses pada tanggal 30 Juli 2016 REFERENSI Depkes. (2012). Profil kesehatan profinsi Aceh tahun 2012. Aceh. Videbeck. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta: EGC. Depkes. (2013). Laporan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) nasional 2013,badan penelitian danpengembangan Depkes RI.Jakarta. WHO. (2015). Mental disorders. www.who.int/mediacentre/factsheets/fs3 96/en/. Diakses pada tanggal 30 Desember 2015. Kemenkes RI. (2014). Stop stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). http://www.depkes.go.id/article/view/20 1410270011/stop-stigma-dandiskriminasi-terhadap-orang-dengangangguan-jiwa-odgj.html. Diakses pada tanggal 30 Desember 2015. Notoatmodjo. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Romadhon, Alfiana Suci. (2011). Persepsi masyarakat terhadap individu yang mengalami gangguan jiwa di Kelurahan Poris Plawad Kecamatan Cipondoh Kota Tangerang. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sarwono, Sarlito W. & Meinarno, Eko A. (2012). Psikologi sosial. Jakarta: Salemba Humanika. Halgin, Richard P. & Whitburne, Susan Krauss. (2012). Psikologi abnormal: Perspektif klinis pada gangguan psikologis. Jakarta: Salemba Humanika. 6