JENIS-JENIS EUPHORBIACEAE (JARAK

advertisement
JENIS-JENIS EUPHORBIACEAE (JARAK-JARAKAN) YANG
BERPOTENSI SEBAGAI OBAT TRADISIONAL
SPECIES OF EUPHORBIACEAE (JARAK-JARAKAN) ARE POTENTIAL AS
TRADITIONAL MEDICINE
Tutie Djarwaningsih
"Herbarium Bogoriense" Bidang Botani, Puslit Biologi – LIPI, Cibinong Science Centre
ABSTRAK
151 jenis dari suku Euphorbiaceae yang tercakup dalam 44 marga yang telah selesai diteliti revisinya
di kawasan Malesia, ternyata ada yang jenis-jenisnya mempunyai potensi sebagai obat tradisional.
Lima jenis di antaranya merupakan catatan baru sebagai tumbuhan obat. Potensi obat tersebut antara
lain sebagai obat sakit asma, demam, sakit perut, kencing nanah, sakit gigi, sakit kepala, sebagai racun
ikan dan obat kuat (tonik). Bagian-bagian tumbuhan yang biasa digunakan adalah akar, daun, buah
atau bagian tumbuhan yang mengandung getah beracun. Selanjutnya akan diuraikan informasi yang
lengkap mengenai lima jenis catatan baru tersebut (pertelaan, persebaran, habitat dan ekologi, potensi).
Kata kunci: Euphorbiaceae, potensi, obat.
ABSTRACT
One hundred fifty eight species of Euphorbiaceae belong to 44 genera have been revised in the
Malesian region and they have been used as traditional medicinal plants. Five species of them are new
record as a medicinal plants and they have not mentioned in any publications yet. Those potential
plants can be used to cure asthma, fever, stomach, gonorrhoea, toothache, headache, as a fish poison
and tonic. Parts of plant which can be used as a medicine are root, leaf, fruit, or whole parts of plant
contain toxic latex. The complete information (description, distribution, habitat and ecology, potential)
concerning five new record species will be presented in this paper.
Key words: Euphorbiaceae, potential, medicine.
1
PENDAHULUAN
Euphorbiaceae merupakan suku terbesar
keempat dari lima suku tumbuhan berpembuluh di
kawasan Malesia yang mewadahi 1354 jenis dari
91 marga (Whitmore,1995). Penelitian taksonomi
marga-marga Euphorbiaceae antara lain dilakukan
oleh Backer & Bakhuizen (1963), Whitmore
(1972), Airy Shaw (1975,1980,1981,1982) dan
lain-lain.
Banyak penelitian yang menggeluti bidang obat-obatan tradisional. Penelitian tersebut
antara lain: Heyne (1950) yang telah mulai merintis
pembuatan buku mengenai De Nuttige Planten van
Indonesie I & II (terjemahan dalam bahasa
Indonesia oleh Departemen Kehutanan: Tumbuhan
Berguna Indonesia I – IV) memuat 49 jenis
Euphorbiaceae yang diman-faatkan sebagai bahan
obat-obatan tradisional, kemudian SteenisKruseman (1953) menerbitkan sebuah buku yang
berjudul: Select Indonesian Medicinal Plants yang
memuat 18 jenis, selanjutnya berturut-turut terbit
buku mengenai obat-obatan tradisional yang
berjudul: Materia Medika Indonesia I – III: 2 jenis
(Anonim, 1977, 1979), Vademekum Bahan Obat
Alam: 5 jenis (Anonim,1989), buku karangan
Syamsuhidayat & Hutapea (1991): 12 jenis,
Hutapea (1993,1994):17jenis, buku-buku yang
dikeluarkan
dari
Departemen
Kesehatan
(1997,1999): 3 jenis dan Wijayakusuma et al.
(1992): 18 jenis, Medicinal Herb Index in
Indonesia (1995): 127 jenis serta Prosea (1999,
2001, 2003): 80 jenis. Berdasarkan data-data yang
pernah muncul tersebut terkumpul 148 jenis
tumbuhan yang berpotensi sebagai obat tradisional
dari suku Euphorbiaceae.
Indonesia yang umumnya mempunyai
adat istiadat dan budaya yang sangat beragam
karena kekayaan keanekaragaman etniknya,
menyebabkan beberapa masyarakatnya masih
menggunakan obat tradisional dengan memanfaatkan alam sekitarnya, terutama yang hidup di
pedalaman dan terasing. Penggunaan obat
tradisional tersebut, pada prinsipnya bertujuan
untuk: memelihara kesehatan dan menjaga
kebugaran, pencegahan penyakit, obat pengganti
atau pendamping obat medik dan memulihkan
kesehatan (Supandiman et al., 2000).
Walaupun obat-obatan tradisional menempati tingkatan rendah di bidang kedokteran dan
biasanya penggunaannya secara eksternal sebagai
obat merupakan pertolongan awal dalam mengatasi penyakit bagi masyarakat secara lokal, namun
demikian itu semua harus dipertimbangkan sebagai
petunjuk atau data dasar untuk penelitian
terapannya. Sehingga untuk mencapai hasil optimal
bagi kepentingan umat manusia di masa depan,
dibutuhkan kerja sama dari ahli-ahli botani,
farmasi, kimia dan pertanian. Jenis-jenis
Euphorbiaceae yang berpotensi sebagai bahan
obat-obatan telah sering diungkapkan, akan
tetapi dengan makin bertambahnya penelitian di
bidang taksonomi yang mengungkapkan data
dasar dari setiap jenis tumbuhan, maka makin
bertambah pula informasi jenis-jenis yang belum
pernah dilaporkan sebelumnya.
Penelitian ini berdasarkan penelaahan
dan pengamatan material herbarium serta
bermacam sumber informasi, terutama untuk
marga-marga Euphorbiaceae yang telah direvisi
secara taksonomi. Adapun tujuan penelitian ini
adalah untuk mengungkapkan jenis-jenis yang
belum pernah dilaporkan sebelumnya, sehingga
nantinya akan dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan kita di bidang ilmu dasar khususnya
yang berkaitan dengan ketersediaan bahan baku
obat-obatan di alam.
METODOLOGI PENELITIAN
Bahan
Bahan penelitian ini berupa material
herbarium marga-marga Euphorbiaceae yang
ada di Herbarium Bogoriense–LIPI, Bogor serta
data informasi yang terkumpul dari hasil kajian
taksonomi tentang marga-marga Euphorbiaceae
yang telah selesai direvisi.
Jalannya Penelitian
Dilakukan pencatatan mengenai datadata persebaran, ekologi, tempat tumbuh, nama
daerah dan kegunaannya dari material herbarium maupun berbagai informasi tersebut dan
kemudian dibandingkan dengan data-data yang
sudah tersedia sebelumnya. Penyajian hasil
analisis data-data tersebut merupakan data dasar
yang masih membutuhkan penelitian lanjutan
dengan bidang ilmu-ilmu lain yang terkait antara
lain fitokimia, farmasi, fisiologi, pertanian,
kedokteran ataupun masih diperlukannya
pengujian klinis lebih dulu sebelum disosialisasikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan material
herbarium, data-data pustaka yang telah
terkumpul sampai tahun 2007, serta hasil revisi
taksonomi 45 marga Euphorbiaceae atau
diperkirakan baru mencakup ± 50 % dari jumlah
keseluruhan marga (Welzen, 2001), ternyata
telah tercatat sebanyak 151 jenis dari 44 marga
Euphorbiaceae yang berpotensi sebagai obat
tradisional, lima jenis dari empat marga di
antaranya baru terdaftar pemanfaatannya sebagai
2
obat tradisional dan beberapa di antaranya telah
diteliti secara farmakologi (Tabel 1).
Baik persebaran maupun masa pembungaan dan pembuahan dari ke lima jenis tersebut
sangat bervariasi. Cleistanthus myrianthus dan
Mallotus paniculatus var. paniculatus tersebar di
seluruh Indonesia, masa pembungaan dan
pembuahannya terjadi di sepanjang tahun, sehingga
kebutuhan untuk bahan obat-obatan dapat
terpenuhi secara terus menerus baik di alam
maupun di kawasan Indonesia sendiri. Sedangkan
jenis-jenis Baccaurea lanceolata dan Shirakiopsis
indica merupakan jenis-jenis yang masa pembungaan dan pembuahannya ditemukan sepanjang
tahun, namun persebarannya tidak menyeluruh di
Indonesia. Sehingga kebutuhan akan bagian-bagian
tumbuhan tersebut juga dapat tersedia sepanjang
tahun di alam akan tetapi harus diperhitungkan pemakaiannya karena persebaran yang terbatas
tersebut, terutama untuk jenis S. indica yang
memanfaatkan buahnya sebagai obat sakit gigi dan
racun ikan. Untuk jenis Mallotus paniculatus var.
paniculatus yang memanfaatkan akarnya sebagai
bahan obat tradisional diperlukan peraturanperaturan tertentu yang melarang penebangan habis
tumbuhan tersebut di habitat aslinya untuk
mencegah kepunahan serta pembudidayaan yang
cukup memadai agar kelestarian jenis tersebut
dapat dipertahankan. Sedangkan untuk jenis
Mallotus
penangensis,
walaupun
masa
pembungaan dan pembuahannya belum diketahui
dengan pasti, akan tetapi tidak begitu
mengkhawatirkan statusnya di alam, karena di
samping persebarannya cukup luas di Indonesia
juga yang paling dibutuhkan adalah bagian
daunnya yang dimanfaatkan sebagai obat sakit
kepala.
Beberapa jenis (Blumeodendron tokbrai,
Drypetes longifolia dan Glochidion arborescens)
belum pernah dilaporkan pemanfaatannya sebagai
obat tradisional, akan tetapi telah dilaporkan
berpotensi sebagai anti virus HIV (Agusta &
Chairul, 1995). Beberapa jenis yang telah
dilakukan penelitian secara farmakologi dan
hasilnya cukup signifikan dengan pemanfaatannya
secara empirik adalah: Acalypha indica, Aleurites
moluccana, Euphorbia antiquorum, E. heterophylla, Phyllanthus niruri dan Sauropus
androgynus. Akar Acalypha indica dapat menurunkan kadar asam urat darah pada tikus putih
jantan setara dengan alopurinol dosis 36 mg/200 g
bb atau 200 mg untuk manusia (Azizahwati et al,
2005). Hal ini sesuai dengan pemanfaatannya
secara tradisional sebagai obat rematik. Pemberian
pil penumbuh rambut dengan komposisi yang
mengandung biji Aleurites moluccana pada tikus
jantan,
menghasilkan
efek
percepatan
pertumbuhan bulu tikus paling baik setelah
pemberian pil jamu uji dosis 405 mg/kg bb
selama 4 minggu (Soemardji et al, 2004).
Penelitian ini mendukung salah satu pemanfaatan
tumbuhan tersebut secara tradisional sebagai
obat penyubur rambut. Penelitian tentang daya
anti bakteri dan anti jamur dengan getah segar
Euphorbia antiquorum menghasilkan kadar
hambat minimal tertinggi sebesar 31. 25 mg/cc
terhadap Tricophyton rubrum (Saptaningsih,
1991). Pemanfaatan tumbuhan ini secara empirik
di antaranya sebagai obat disentri dan bengkakbengkak, sehingga penelitian ini cukup mendukung pemanfaatan tersebut. Sedangkan
penelitian tentang ekstrak polar daun Euphorbia
prunifolia secara in vitro dapat menyebabkan
kontraksi ileum pada mencit putih jantan
(Masrul, 1991). Bobot ekstrak etanol simplisia
herba Phyllanthus niruri dengan takaran 15,05
mg/kg bb yang berkhasiat diuretik dan peluruh
batu kandung kemih pada tikus putih jantan
setara dengan 168,56 mg/70 kg bb atau 2,41
mg/kg bb orang dewasa atau 1,5 g serbuk
herba/70 kg bb orang dewasa (Dhianawaty et al,
2002). Indikasi tersebut sesuai dengan pemanfaatannya secara tradisional sebagai obat kencing
batu dan pelancar air seni. Uji kemampuan
ekstrak daun katu (Sauropus androgynus) yang
diberikan selama 14 hari sama dengan moloco
B12 yang diberikan selama 7 hari berdasarkan
tebal lapisan epithelium tunika mukosa glandula
ingluvica merpati betina (p<0,05) (Sari, 2003).
Penelitian tersebut menunjukkan ekstrak daun
katu dapat memperlancar produksi air susu. Ini
sesuai dengan pemanfaatannya secara tradisional
sebagai perangsang produksi air susu. Jenis-jenis
Codiaeum variegatum dan Macaranga triloba
baru dilaporkan potensinya sebagai anti virus
HIV (Agusta & Chairul, 1995).
Tabel 1.
Pertelaan jenis dan persebarannya.
1. Baccaurea lanceolata (Miq.) Mull. Arg.
Tumbuhan berupa pohon dengan tinggi
3 - 30 m, berumah dua. Daun tunggal, berseling,
tersusun secara spiral; pangkal tangkai daun
biasanya dengan kelenjar yang menonjol; helaian
daun membundar telur sampai membundar telur
sungsang. Perbungaan jantan menempel pada
batang (cauline), beberapa menggerombol
bersama-sama, terdiri dari banyak bunga; bungabunga tersusun di sepanjang perbungaan, berwarna kuning sampai kemerah-merahan, atau
3
coklat muda-keputihan; kelopak bunga 3 – 5,
membundar telur sungsang sampai menyudip;
mahkota bunga 3 – 5, rudimenter; staminodium 3 –
5; benangsari 3 – 5. Perbungaan betina menempel
pada batang (cauline), sedikit meng-gerombol;
bunga 20 – 25, berwarna sawo matang kekuningan
sampai kemerahan; kelopak bunga 4 atau 5,
membundar telur sampai membundar telur
sungsang, mudah luruh; mahkota bunga 2 – 8,
mereduksi; bakal buah membulat, beruang 3 atau
4; kepala putik kemerahan sampai kuning. Buah
membulat sampai menjorong, berbiji 1 – 4, pada
waktu masih muda keunguan atau hijau, bila sudah
masak hijau, kekuningan, keputihan, keabu-abuan,
sawo matang. Biji menjorong (Haegens, 2000).
Nama daerah. Semenanjung Malaya: asam
pahung. Sumatra: tegeiluk. Jawa: langsat hutan.
Borneo: asam pauh.
Potensi. Daun yang ditumbuk dalam
bambu dan dicampur dengan air dimanfaatkan
sebagai obat sakit perut.
Persebaran. Jenis ini tersebar di Thailand.
Malesia: Semenanjung Malaya, Indonesia (Sumatra, Jawa Timur bagian utara, Borneo) dan
Palawan.
Habitat dan ekologi. Ditemukan di hutan
hujan primer dan sekunder, di lereng-lereng; pada
ketinggian mulai dari permukaan laut sampai 1300
m, umumnya di dataran rendah. Masa pembungaan Maret sampai Desember; masa pembuahan sepanjang tahun.
2. Cleistanthus myrianthus (Hassk.) Kurz
Tumbuhan berupa pohon, tingginya dapat
mencapai 30 m, berumah satu. Daun tunggal,
berseling; tangkai daun berbentuk seperti galah;
helaian daun menjorong sampai melonjong kadang-kadang membundar telur atau membundar
telur sungsang. Perbungaan: glomerulus di ketiak
atau pada percabangan normal daun, menyerupai
bulir. Bunga-bunga tidak bertangkai (setengah
duduk). Kelopak bunga menyegitiga. Mahkota
bunga menyudip, mengetupat atau menyegitiga
terbalik. Buah membulat telur pipih, setengah
duduk atau kadang-kadang bertangkai, kadangkadang dengan rambut-rambut keputihan dan pada
waktu kering berwarna kehitaman. Biji agak membulat telur (Dressler, 1999).
Potensi. Daun dimanfaatkan untuk obat
asma.
Persebaran. Jenis ini tersebar mulai dari
Burma, Thailand, Andaman. Malesia: Semenanjung Malaysia, Indonesia (Sumatra, Borneo,
Jawa, Celebes, Kepulauan Talaud, Flores, Ambon,
Morotai, Maluku), New Guinea, Filipina,
Kepulauan Solomon, Australia Utara (Queensland).
Habitat dan ekologi. Ditemukan di
hutan primer, hutan basah; dengan ketinggian
dapat mencapai 800 m.
3. Mallotus paniculatus (Lam.) Mull. Arg. var.
paniculatus
Tumbuhan berupa perdu sampai pohon
kecil dengan tinggi dapat mencapai 15 m,
berumah dua. Helaian daun agak memerisai,
membundar telur melebar sampai membundar
telur, tepi mengutuh sampai bergigi, pangkalnya
kadang-kadang dilengkapi dengan kelenjar
madu. Perbungaan di ketiak atau di ujung
ranting, uniseksual. Perbungaan jantan panjangnya dapat mencapai 45 cm, dengan 3 – 7
bunga tiap-tiap buku, buku-buku berambut; daun
kelopak 3 atau 4, menjorong, terkeluk balik,
berwarna kuning pucat; benangsari 40 – 65,
tangkai sari putih, kepala sari jingga – kuning.
Perbungaan betina malai, kadang-kadang tandan,
panjangnya mencapai 30 cm; kelopak 3 – 5
cuping, berpautan pada pangkalnya, coklat
muda, cuping membundar telur; bakal buah 3
rongga, coklat muda; tangkai putik kuning;
kepala putik kuning. Buah berduri. Biji
membulat, halus, hitam, berkilauan (Sierra,
2007).
Nama daerah. Semenanjung Malaya:
buera kae puteh. Kalimantan: butaq, bayur,
keminting boeroeng, waring kangin laki.
Sumatra: balik angin, saringkut, bali-bali angina,
balik angina, balik-balik angina silai, boedi,
kajoe lappisi, kajoe si balik angina, kajoe si
djoekkat, kajoe si tarak balanggingngan, lilouw.
Jawa: tjalik angin, ki tjoelih angin perak, kimanggong, ki-talikangin, walung. Sulawesi:
kajukuo, kapilah. Irian Jaya: kanibor, lengle,
gayanbangemba, bangiam, kolamalama.
Potensi. Air dari akar yang direbus lebih
dulu dapat diminumkan untuk ibu-ibu sesudah
proses melahirkan. Daunnya dapat sebagai obat
demam; sedangkan indumentum daun mudanya
dapat sebagai obat oles penis sesudah disunat.
Persebaran. Jenis ini tersebar mulai dari
India sampai Taiwan, di seluruh Asia Tenggara
dan Malesia: Indonesia (Sumatra, Borneo, Jawa,
Celebes), Filipina, New Guinea, Semenanjung
Malaysia, Australia Timur.
Habitat dan ekologi. Secara umum
ditemukan secara local di hutan meranggas dan
hutan yang selalu hijau, sebagian besar di
tempat-tempat terbuka, seringkali di tempattempat yang sangat terganggu atau bekas
terbakar, di jurang-jurang dan tempat-tempat
kering seperti tanah datar yang tinggi, tepi dan
lereng, di belukar-belukar, sepanjang sungai dan
tepi jalan; dengan ketinggian mulai dari pantai
4
sampai 1800 m dpl. Masa pembungaan dan
pembuahan terjadi sepanjang tahun.
4. Mallotus penangensis Mull. Arg.
Tumbuhan berupa pohon kecil, tingginya
dapat mencapai 27 m, berumah dua. Daun tunggal,
berhadapan, kadang-kadang berhadapan tidak simetris; helaian daun membundar telur sampai
membundar telur sungsang, menjangat; tangkai
daun berambut jarang. Perbungaan di ketiak daun.
Perbungaan jantan panjangnya dapat mencapai 7.5
cm, tidak bercabang, berambut. Bunga jantan putih
kehijauan sampai putih kemerahan atau merah;
tangkai bunga berambut; kelopak bunga 3 atau 4,
bebas sampai pangkalnya berpautan, membulat
telur lebar sampai menjorong; benangsari
jumlahnya dapat mencapai 98. Perbungaan betina
panjangnya dapat mencapai 12 cm, tidak
bercabang, berambut. Bunga betina dengan tangkai
bunga berambut; kelopak bunga 4 atau 5, biasanya
bebas
sampai
kadang-kadang
pangkalnya
berpautan, hampir menyegitiga; bakal buah beruang 3, berambut seperti wool rapat. Buah
mendabus, kapsul yang bercuping, berwarna hijau
sampai merah jambu atau merah. Biji membulat,
bertekstur kasar dan mengkilap (Slik & Welzen,
2001).
Potensi. Di Sumatra daun digunakan
sebagai obat sakit kepala.
Persebaran. Jenis ini tersebar di Thailand
Selatan, Kepulauan Andaman. Malesia: Indonesia
(Sumatra, Borneo, Celebes, Maluku), New Guinea,
Filipina.
Habitat dan ekologi. Ditemukan terutama
di bawah naungan hutan primer atau hutan
sekunder lama, kadang-kadang juga ditemukan di
hutan sekunder muda atau belukar, sepanjang
teluk, pinggir sungai, pinggir jalan, daerah-daerah
berpayau; dengan ketinggian dapat mencapai 1666
m.
5. Shirakiopsis indica (Willd.) Esser
Tumbuhan berupa pohon, tingginya dapat
mencapai 30 m, berumah satu. Daun berseling
teratur; tangkai daun berbulu roma jarang sampai
gundul; helaian daun melonjong,
menjorong
sampai sedikit membundar telur, permukaan bawah
dengan 2 – 4 kelenjar pada masing-masing sisi.
Perbungaan di ujung, sumbunya berbulu roma,
daun gagang dilengkapi dengan kelenjar, berbulu
roma sampai berambut getar. Bunga jantan berbulu
roma jarang; kelopak berambut getar; benangsari
dengan panjang tangkai sari tertentu pada waktu
pembungaan, hampir tidak ada pada waktu masih
kuncup. Bunga betina: 1 tiap perbungaan atau
tidak ada; daun kelopak berbulu roma. Buah
hampir membulat, hijau dan bila masak menjadi
hitam, seringkali luruh tidak terbuka, kadang-
kadang pecah tidak beraturan atau terbuka
mengikuti bagian-bagian sekat atau ruangan. Biji
tanpa sumbat lembaga (karunkula), sawo matang
pucat, tidak berbintik-bintik, seringkali berjumlah kurang dari 3 tetapi selalu merupakan
kelipatan 3 (Esser, 1999).
Nama daerah. Thailand: kula. Semenanjung Malaysia: gurah. Borneo: apid-apid,
gurah. New Guinea: fa, farid, sakottoebo. Papua
New Guinea: dordi.
Potensi. Daunnya dimanfaatkan sebagai
obat demam dan kencing nanah. Suku Kinomeri
memanfaatkan sari buahnya sebagai obat sakit
gigi; sedangkan di Borneo, buah muda dan
bagian tumbuhan yang mengandung getah
beracun dimanfaatkan sebagai racun ikan.
Persebaran. Jenis ini tersebar secara
luas dari Sri Lanka, India, Thailand, Kepulauan
Carolina, Kepulauan Solomon. Malesia: Semenanjung Malaysia, Indonesia (Sumatra Timur,
Borneo, Celebes, Maluku), New Guinea
(termasuk Kepulauan Bismarck).
Habitat dan ekologi. Ditemukan di
sepanjang sungai dan pantai, hutan mangrove,
hutan primer, hutan rawa sekunder muda; pada
ketinggian mulai dari atas permukaan laut
sampai 75 m. Masa pembungaan di dalam
kawasan Malesia pada bulan Desember –
Januari, Juni – Juli; sedangkan di luar kawasan
Malesia pembungaan dan pembuahannya sepanjang tahun.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan material
herbarium di Herbarium Bogoriense – LIPI dan
pengkajian beberapa pustaka mengenai revisi
taksonomi, ternyata diketahui sebanyak 148
jenis-jenis Euphorbiaceae yang dimanfaatkan
sebagai obat-obatan tradisional. Di antaranya ada
lima jenis dari empat marga yang baru
dilaporkan potensinya sebagai bahan obat-obatan
tradisional, yaitu: Baccaurea lanceolata,
Cleistanthus myrianthus, Mallotus paniculatus
var. paniculatus, M. penangensis dan
Shirakiopsis indica. Potensi-potensi tersebut
adalah sebagai obat sakit asma, demam, sakit
perut, kencing nanah, sakit gigi, sakit kepala,
obat oles sesudah dikhitan, sebagai racun ikan
dan obat kuat (tonik). Adapun bagian-bagian
tumbuhan yang dimanfaatkan adalah akar, daun,
indumentum daun muda, buah/buah muda
maupun bagian tumbuhan yang mengandung
getah beracun.
Blumeodendron
tokbrai,
Drypetes
longifolia dan Glochidion arborescens belum
pernah dilaporkan pemanfaatannya sebagai obat
5
tradisional, akan tetapi telah dilaporkan berpotensi
sebagai anti virus HIV. Sedangkan Codiaeum
variegatum dan Macaranga triloba baru dilaporkan
potensinya sebagai anti virus HIV. Jenis-jenis yang
telah dilakukan penelitian secara farmakologi dan
hasilnya cukup signifikan dengan pemanfaatannya
secara empirik adalah: Acalypha indica, Aleurites
moluccana,
Euphorbia
antiquorum,
E.
heterophylla, Phyllanthus niruri dan Sauropus
androgynus. Pendataan ini merupakan data dasar
yang nantinya diharapkan dapat dipakai sebagai
dasar pemahaman dalam penelitian terapan yang
dapat dimanfaatkan secara luas dan medis bagi
masyarakat. Selain itu masih perlu dilakukan uji
klinis sebelum disosialisasikan ke masyarakat.
Sehingga diperlukan kerja sama penelitian lebih
lanjut mengenai fitokimia, farmasi, fisiologi,
kedokteran dan cabang ilmu lain yang berkaitan
dengan pembudidayaan dan pelestarian dari jenisjenis tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Agusta, A. & Chairul, 1995, Tumbuhan dan
Senyawa Bioaktif yang Memiliki Potensi
Sebagai Anti Virus HIV. Majalah Farmasi
Indonesia (Indonesian Journal of Pharmacy) 6
(1): 20 – 30
Airy Shaw, H.K.,1975, The Euphorbiaceae of
Borneo. Kew Bulletin Additional Serie 4.
Airy Shaw, H.K.,1980, The Euphorbiaceae of New
Guinea. Kew Bulletin Additional Serie 8.
Airy Shaw, H.K.,1981, The Euphorbiaceae of
Sumatra. Kew Bulletin 36: 239 – 374.
Airy Shaw, H.K.,1982, The Euphorbiaceae of
Central Malesia (Celebes, Moluccas,
Lesser Sunda Islands). Kew Bulletin 37: 1
– 40.
Anonim, 1977 – 1979, Materia Medika Indonesia I
– III. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Anonim, 1989, Vademekum Bahan Obat Alam.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Anonim, 1995, Medicinal Herb Index In Indonesia.
(Second Edition). PT. Eisai Indonesia.
Anonim, 1997, 1999, Inventaris Tanaman Obat
Indonesia IV – V. Departemen Kesehatan.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan.
Azizahwati, Wiryowidagdo, S. dan Prihandini, K.,
2005, Efek Penurunan Kadar Asam Urat
dalam Darah pada Tikus Putih Jantan dari
Rebusan Akar Tanaman Akar Kucing
(Acalypha indica Linn). Jurnal Bahan
Alam Indonesia (The Indonesian Journal
of Natural Products) 4 (1): 213 - 218
Backer, C.A. and Bakhuizen van den Brink Jr,
R.C., 1963, Flora of Java I. Noordhoff,
Groningen.
Dhianawaty, D., Padmawinata, K., Soediro, I.
dan Soemardji, A.A., 2002, Efek
Antikalkuli Ekstrak Etanol Phyllanthus
niruri L. pada Tikus dengan Batu
Kandung Kemih Buatan. Jurnal Bahan
Alam Indonesia (The Indonesian
Journal of Natural Products) 1 (1): 10 14
Dressler, S., 1999, Revision of the Genus
Cleistanthus (Euphorbiaceae) in the
Philippines. Blumea 44: 109 – 148.
Esser, Hans-Joachim, 1999, A Partial Revision
of the Hippomaneae (Euphorbiaceae) in
Malesia. Blumea 44: 149 – 215.
Haegens, R.M.A.P., 2000, Taxonomy, Phylogeny, and Biogeography of Ba-ccaurea,
Distichirhops, and Notho-baccaurea
(Euphorbiaceae). Blumea Supplement
12.
Heyne, K, 1950, De Nuttige Planten van
Indonesie. N.V. Uitgeverijw van Hoeve's-Gravenhage/Bandung.
Hutapea, J.R., 1993, 1994, Inventaris Tanaman
Obat Indonesia II – III. Departemen
Kesehatan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.
Lemmens, R.H.M.J. and Bunyapraphatsara, N.,
2003, Medicinal and Poisonous Plants
3. Prosea 12(3).Backhuys Publishers,
Le-iden.
Masrul, 1991. Uji Efek Polar Daun Euphorbia
prunifolia (Jacq.) terhadap Kontraksi
Ileum dari Mencit Putih Jantan Secara
In Vitro. Skripsi. Jurusan Farmasi
FMIPA – UNAND.
Padua, L.S. de, Bunyapraphatsara, N. and
Lemmens, R.H.M.J., 1999, Medicinal
and Poisonous Plants 1. Prosea 12 (1).
Bogor Indonesia.
Saptaningsih, A.B.,1991.Pemeriksaan Pendahuluan Daya Anti Bakteri dan Anti Jamur
Getah Euphorbia antiquorum L.
Skripsi. Jurusan Farmasi FMIPA – UI.
Sari, I.P., 2003, Daya Laktagogum Jamu Uyupuyup dan Ekstrak Daun Katu (Sauropus
androgynus Merr.) pada Glandula
Ingluvica Merpati. Majalah Farmasi
Indonesia (Indonesian Journal of
Pharmacy) 14 (1): 265 – 269
Sierra, S.E.C., 2007, Re-shaping spurge
pioneers. Circumscription, taxonomy
and phylogeny of Mallotus (Euphor-
6
biaceae s.s.). Nationaal Herbarium
Nederland. Leiden University branch.
Slik, J.W.F. and van Welzen, P.C., 2001, A
Taxonomix Revision of Mallotus sections
Hancea and Stylanthus (Euphorbiaceae).
Blumea 46: 3 – 66.
Soemardji, A.A., Sigit, J.I.dan Christi, A.Y., 2004,
Pengaruh Pemberian Jamu Penumbuh
Rambut
Secara
Oral
Terhadap
Pertumbuhan Bulu Tikus Wistar Jantan.
Acta Pharmaceutica Indonesia. XXIX (4):
139 – 142
Steenis-Kruseman, M.J. van., 1953, Select
Indonesian Medicinal Plants. Medan
Merdeka Selatan 11, Pav. Djakarta
Supandiman, I., Muchtan dan Sidik., 2000, Keamanan Pemakaian Obat Tradisional dalam
Pelayanan Klinik. Prosiding Kongres
Nasional Obat Tradisioanl Indo-nesia
(Simposium Penelitian Bahan Obat Alami
X). Menuju Pemanfaatan Obat Tradisional
dalam Pelayanan Kesehatan. Surabaya, 20
– 22 November. pp.1 – 11.
Syamsuhidayat, S.S. dan. Hutapea, J.R., 1991,
Inventaris Tanaman Obat Indonesia I.
Departemen Kesehatan. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan.
Whitmore,T.C.,1972,
Euphorbiaceae.
In:
Whitmore, T.C.(ed.).
Tree Flora of
Malaya 2. Longman, Kuala Lumpur &
London.
Whitmore,T.C.,1995,The
Phytogeography
of
Malesian
Euphorbiaceae.
In:
J.
Dransfield, M.J.E. Coode & D.A.
Simpson (eds.). Plant Diversity in Malesia
III. Proceedings of the Third International
Flora Malesiana Symposium 1995.Published by the Royal Botanic Gardens,
Kew.
Wijayakusuma, H., Dalimartha, S. dan Wirian,
A.S., 1992, Tanaman Berkhasiat Obat di
Indonesia I – IV. Pustaka Kartini.
Van Valkenburg, J.L.C.H. and Bunyapraphatsara,
N., 2001, Medicinal and Poisonous Plants
2. Prosea 12 (2). Backhuys Publishers,
Leiden.
Van Welzen, P.C., Tyas, K.N.,
Eviyarni and
Gaerlan, F.J.M., 1999, The Malesian
Species of Melanolepis (Euphorbiaceae).
Blumea 44: 437 – 446.
Van Welzen, P.C., 2001, Malesian Euphorbiaceae
Newsletter. No. 11, December. Rijksherbarium/Hortus
Botanicus,
Leiden
University P.O.Box 9514, 2300 RA
Leiden, The Netherlands.
7
Download