memahami dan memikirkan corak ekonomi indonesia

advertisement
MEMAHAMI DAN MEMIKIRKAN CORAK EKONOMI INDONESIA Sugeng Bahagijo Associate Director, Perkumpulan Prakarsa Guna memahami corak ekonomi Indonesia, dan menjawab apakah ekonomi Indonesia lebih pasar bebas ataukah ekonomi kerakyatan/ekonomi Pancasila, yang menjadi tugas dari makalah ini. Makalah singkat ini mula pertama akan berupaya membuat tafsiran normatif tentang ekonomi kerakyatan/ekonomi Pancasila, terutama untuk memandu kita memilih pranata dan kelembagaan semacam apa yang saya anggap “lebih dekat” dengan ekonomi Pancasila. Kata kuncinya di sini adalah “lebih dekat”. Lebih dekat di sini diartikan sebagai “secara normatif lebih koheren dan secara pranata/kelembagaan lebih konsisten dengan upaya memajukan nilai‐nilai Pancasila”. 1 Secara bersahaja, di sini diajukan proposisi normative: kebijakan ekonomi yang lebih koheren dengan nilai dan semangat Pancasila dan UUD 45 (keadilan sosial dan demokrasi) adalah kebijakan dan pranata ekonomi yang mengutamakan efisiensi dan keadilan sosial, dan tidak boleh mengorbankan salah satunya. Menurut bapak bangsa kita Muh Hatta, hak milik dan usaha swasta (pasar) harus dihormati dan dilindungi, akan tetapi, keadilan sosial juga harus diupayakan sebaik‐baiknya. Dalam kosa kata klasik Indonesia, bagaimana Daulat Pasar dan Daulat Rakyat diwujudkan sama tinggi tanpa menenggelamkan salah satunya; Instrumen kebijakan dan pranatanya bisa bermacam‐macam, mulai dari koperasi, BUMN, kebijakan sosial/jaminan sosial hingga peranan dan kapasitas pemerintah daerah yang kuat. Ketimpangan sosial hanya boleh terjadi jika dan hanya jika, sistem itu memberikan keuntungan bagi kelompok lemah, sebagaimana dirumuskan oleh John Rawls. Untuk memudahkan pemeriksaan kita, maka akan diajukan empat parameter untuk memperlihatkan sejauh mana sebuah kebijakan atau pranata/kelembagaan dapat dinilai lebih mendekatkankan kita kepada ideal ekonomi Pancasila. Keempat Paramater itu adalah (a) hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan atau distribusi; (b) prioritas antara sektor keuangan dan sektor riil; (c) hubungan antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal; (d) hubungan antara internasionalisasi ekonomi dan otonomi kebijakan ekonomi nasional. Secara ringkas, keempat parameter masalah dikemukakan pada bagian berikut. Setiap bangsa memiliki nilai-nilai yang senantisa dijunjung tinggi dan menjadi
perekat politik dan perekat kebijakan di semua bidang termasuk dalam hal kebijakan
ekonomi. AS menjunjung tinggi kebebasan individu dan kesetaraan kesempatan (equality of
opportunity) bagi semua warga. Perancis selalu berupaya mencari cara dan pranata terbaik
meraih liberty, equality dan fraternity. Uni Eropa dalam berbagai dokumen selalu
menyatakan perlunya “social cohesion”,
1
1 I Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dan distribusi. Di satu pihak, data dan statistik memperlihatkan bahwa ekonomi Indonesia terus tumbuh dan positif. Bahkan diukur dari besaran PDB, Indonesia kini masuk dalam kelompok 20 perekonomian terbesar di dunia. Meski secara per kapita PDB masih rendah, tetapi secara agregat, kue ekonomi Indonesia telah melampaui negara tetangga Malaysia, dan Thailand, dan menyamai ekonomi negara maju seperti Swedia dan Belgia. Tetapi kita melihat kenyataan bahwa pengangguran dan kemiskinan masih merupakan masalah yang berat. Kue ekonomi sudah cukup besar, mengapa distribusi kue ekonomi tersebut belum terjadi? Kebijakan dan kelembagaan macam apa untuk memastikan terjadinya pemerataan dan distribusi (wilayah dan kelompok sosial)? Dapatkan kebijakan sosial hanya dianggap sekunder terhadap kebijakan pertumbuhan ekonomi? Dapatkan Jaminan Kesehatan universal untuk semua warganegara, sebagaimana diamanatkan oleh UU SJSN tahun 2004, segera direalisasikan? Singkat kata, pada aspek ini kita melihat ada niat politik dan rencana pemerintah untuk membuat keseimbangan, antara pertumbuhan dan pemerataan, atau antara kebijakan ekonomi dan kebijakan sosial, melalui berbagaiu transmisi dan jalur kebijakan, salah satunya melalui kebijakan sosial dan perlindungan sosial seperti UU SJSN 2004. Namun, 5 tahun setelah UU SJSN dilansir, kita masih menunggu realisasinya. Sector keuangan dan sektor riil. Di satu pihak, Indonesia sedang memasuki banjir dana jangka pendek dan investasi keuangan. Transaksi saham dan pasar uang di BEJ senantias bergairah dan lancar. Namun, Indonesia kini dianggap oleh para ahli sedang memasuki tahap de‐industrialisasi. Yakni merosotnya industri skala dan kapasitas industri manufaktur yang menyedot banyak tenaga kerja. Hal ini juga diakui oleh pemerintah dan bahkan menteri perindustrian sendiri. Pertanyaannya adalah, bagaimana kemajuan sektor keuangan tidak menelantarkan kemajuan di sektor riil? Dengan singkat dapat dikatakan bahwa sektor keuangan masih menjadi anak emas, sementara sektor riel masih tertinggal. Pengucuran kredit yang lamban, suku bunga perbankan yang masih tinggi dan berbagai keterlambatan realisasi di bidang infrastruktur misalnya, adalah beberapa contoh saja. Moneter dan fiskal. Untuk memecahkan masalah ekonomi, pemerintah memiliki dua sarana dalam kebijakan ekonomi, yakni kebijakan moneter (suku bunga, tingkat inflasi) dan kebijakan fiskal (APBN, pajak dan alokasinya). Di satu sisi kita memahami bahwa kebijakan moneter (suku bunga, pengendalian inflasi) adalah penting bagi kemajuan ekonomi. Tetapi, kebijakan fiskal juga sama pentingnya. Kebijakan fiskal memastikan terjadinya aliran dana yang memadai untuk memacu dan menaikkan daya hidup sektor riil dan derajat pendapatan warga negara secara umum. Menolong bank yang sakit karena beresiko terjadi kebakaran pada lebih banyak bank mungkin saja dapat dibenarkan. Tetapi mengambil begitu besar dana pemerintah (APBN) untuk menolong bank yang sakit dan korup, akan menimbulkan pertanyaan, tidak saja soal biaya kepada APBN tetapi menyangkut legitimasi 2
kebijakan tersebut di tengah urgensi belanja sosial (jaminan kesehatan, pendidikan) dan infrastruktur lainnya (listrik, transportasi). Dengan sederhana dapat dikatakan bahwa perhatian penuh Bank Indonesia untuk mengendalikan angka inflasi, tidak dilakukan sejalan dan seirama dengan perhatian penuh pada kebijakan moneter untuk mendukung dan mempercepat penyediaan dana dan kredit untuk memacu pergerakan ekonomi melalui dorongan kebijakan fiskal. Sekadar contoh, Bank‐bank dan pemerintah daerah lebih suka menyimpan dana dalam SBI, dan memperoleh laba tanpa kerja keras menyalurkan kredit kepada berbagai kalangan masyarakat yang memerlukannya. Sehingga wajar apabila muncul persoalan mana yang lebih penting antara kebijakan moneter dan fiskal. Atau setidaknya, bagaimana kebijakan moneter dan fiskal dapat secara bersama dan koheren diarahkan untuk tujuan pembangunan: mengatasi pengangguran dan kemiskinan (suku bunga rendah, inflasi yang terkendali, kredit perbankan yang tersedia, pendapatan dan lapangan kerja, dll). Dapatkah kebijakan moneter ketat (inflasi rendah) dan kebijakan fiskal ekspansif dijalankan bersama‐sama guna mendongkrak ekonomi dan melawan deindustrialisasi? Mungkinkah perolehan pajak dinaikkan dan mengapa tidak ada rencana kenaikan pajak sementara potensi pajak masih demikian besar? Internasionalisasi ekonomi dan otonomi kebijakan ekonomi nasional. Di satu sisi, demokrasi sudah berhasil dipulihkan sejak 10 tahun lalu, dengan parpol, pers yang bebas dan pergantian pemerintahan berlangung secara damai dan teratur (pemilu tiga kali sejak 1999). Di sisi lain, kita melihat internasionalisasi ekonomi yang telah berjalan makin intensif sejak 1980an telah makin tampak berakibat mengurangi kendali kebijakan ekonomi di tingkat nasional. Soalnya adalah, bagaimana politik nasional dapat lebih mengendalikan internasionalisasi ekonomi? Apabila kita bersikap selektif terhadap globalisasi, maka seleksi macam apa yang harus dilakukan? Bisakah perjanjian internasional menjadi pelindung kebijakan ekonomi nasional? Satu niatan adalah mengangkat agar “diplomasi ekonomi” Indonesia semakin sejajar dan setara dengan “diplomasi politik” dan “diplomasi keamanan”. Dan tidak hanya dilakukan oleh pihak eksekutif, tetapi juga oleh swasta dan masyarakat sipil. Supaya diplomasi ekonomi Indonesia semakin pandai dan cerdas untuk menjawab internasionalisasi ekonomi. Dengan kata lain, bagaimana memastikan dan menyambungkan kembali antara proses demokrasi di dalam negeri dengan ruang politik dan ruang kebijakan di tingkat internasional. Untuk menghindari keterputusan dan gap. Antara lain dengan memanfaatkan berbagai perjanjian dan forum internasional. Namun demikian, sejauh ini dapat dikatakan bahwa diplomasi ekonomi dapat dinilai belum bertenaga dan belum efektif. Karena software dan hardware untuk tujuan itu belum disiapkan secara sungguh‐sungguh dan sistematik (tim perunding, policy paper, ahli hukum bisnis, dan proses konsultasi dengan berbagai stakeholders). Sebagai ringkasan, kiranya dapatlah kita simpulkan bahwa berdasarkan empat parameter tersebut, ciri‐ciri ekonomi Indonesia yang sedang berjalan sekarang ini dapat dicirikan sebagai berikut: 3
Parameter 1. Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan/distribusi 2. Sektor keuangan dan sektor riil. Kebijakan dan Kelembagaan Belum ada keseimbangan antara kebijakan ekonomi dan kebijakan sosial. Kebijakan sosial masih dipandang pelengkap dan residual. Sektor keuangan cenderung menjadi tujuan, ketimbang sebagai sarana untuk tujuan pembangunan yang lebih besar 3. Moneter dan fiskal Kebijakan moneter dominan, ketimbang supportif dan koordinatif dengan kebijakan fiskal 4. Internasionalisasi Peranan Lembaga ekonomi internasional dominan, ekonomi dan otonomi kebijakan ekonomi nasional belum selektif. kebijakan ekonomi Kelemahaan kapasitas politik dalam negeri. Belum adanya investasi pengetahuan, research kebijakan nasional (software) dan leadership yang memadai II Washington Consensus. Kiranya tidak banyak perdebatan apabila dikatakan bahwa setidaknya sejak 1980an, kebijakan ekonomi kita bergerak dan semakin intensif mengadopsi kebijakan neoliberal. Apabila kita memakai patokan 10 langkah kebijakan ekonomi ala Washington Consensus, seluruh 10 langkah itu telah ditempuh Indonesia, dengan intensitas tindakan dan hasil yang berbeda‐beda. Salah satu yang kita semua tahu swastanisasi BUMN. Penjualan saham BUMN memang langsung menohok jantung nasionalisme Indonesia. Namun, langkah kebijakan lebih canggih dan sekaligus lebih fatal bagi Indonesia, sebagaimana terbukti dalam krisis 1997/1998 dan krisis ekonomi global 2008, adalah (a) liberalisasi sector keuangan (perbankan dan lalu lintas modal jangka pendek/hotmoney) dan (b) liberalisasi perdagangan. Dampak dari liberalisasi keuangan adalah krisis ekonomi th 1997/1998 dan BLBI yang menelan ongkos yang luarbiasa besar. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia 60 tahun, Indonesia kini memiliki utang dalam negeri yang besar. Sekitar 40‐6‐ milar dollar AS, sebagai akibat krisis 1997/1998 dan kebijakan re‐kapitalisasi perbankan (BLBI). Tabel: 10 Langkah Kebijakan Washington Consensus 1. Disiplin fiskal, anggaran surplus/deficit rendah 2. alokasi belanja/APBN untuk berbagai program 3. reformasi pajak, perluasan basis pajak 4. Sektor finansial diliberalisasikan 5 Kurs mata uang mempertimbangkan daya saing 6 Liberalisasi perdagangan 7. tidak ada diskriminasi antara investor asing dan dalam negeri 8. swastanisasi BUMN 9 deregulasi atas berbagai hambatan bagi investasi baru 10. Penghormatan dan perlindungan atas hak milik intelektual 4
API. Paska krisis ekonomi 1997/1998, BI melansir kebijakan API (arsitektur perbankan Indonesia). Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi jumlah perbankan dan sekaligus memperkuat kesehatan dan daya saing. Salah cara adalah merger diantara berbagai perbankan. Contohnya adalah merger berbagai Bank yang antara lain melahirkan Bank Mandiri. Namun demikian, disengaja atau tidak, yang terjadi justru kini terjadi ialah, perbankan Indonesia terutama bank‐bank BUMN, lebih sibuk menyalurkan dana kepada korporasi besar ketimbang kepada konsumen kecil dan pengusaha menengah kecil seperti kasus BRI, Mandiri dan sebagainya. Ini tidak lain karena mekanisme pasar uang menuntut perbankan untuk mencetak laba dan regulasi pemerintah tentang afirmative action kepada pengusaha kecil dan kalangan menengah‐bawah dapat dikatakan tidak ada. Sementara pada liberalisasi perdagangan, berbagai tariff perdagangan dari luar negeri (ekspor dan impor) dikurangi atau dihapus sama sekali dan berbagai kemudahan perdagangan termasuk usaha eceran (dari dalam dan luar negeri) bisa beroperasi di segala tingkatan di Indonesia. Intinya adalah mengurangi peran pemerintah dalam meregulasi perdagangan dan mekanisme pasar beroperasi pada skala dan kecepatan penuh. Sebagai ganti peran pemerintah, pemerintah membentuk KPPU sebagai badan independen untuk mengawasi praktik perdagangan guna mencegah monopoli, oligopoli, dan praktek perdagangan yang tidak sehat lainnya. Pada sisi lainnya, selama 10 tahun terakhir, kebijakan sosial yang lebih luas (meski belum dapat dikatakan universal untuk semua) mulai diperkenalkan. Baik karena tekanan krisis ekonomi, difusi pengetahuan internasional dan persyaratan oleh lembaga‐lembaga keuangan internasional. Sejak tahun 1998 pemerintah melansir JPS. Pada periode 2004, pemerintah juga menambah menu kebijakan sosial baik sebagai kebijakan antikemiskinan maupun perlindungan sosial secara komprehensif. Seperti Askeskin/Jamkesmas, BLT dan juga PNPM. Meski kebijakan sosial itu masih tampak underfunded dan bersifat targeted/selective dan belum universal. Pada tahun 2004 juga disahkan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang memandatkan antara lain Jaminan Kesehatan untuk semua warganegara. Terhadap masa lalunya, Indonesia kian mengarah dan mementingkan kebijakan sosial, akan tetapi, dibandingkan dengan Negara sebayanya (Malaysia, Brazil, Thailand, dan Afrika Selatan), kebijakan sosial Indonesia masih bersifat residual dan productivist (pertumbuhan ekonomi dulu, baru kebijakan sosial). Dari ciri‐ciri empiris itu, dapatlah kita tarik dua simpulan catatan (a) peranan negara dalam perekonomian semakin hari semakin berkurang seiring dengan pemulihan peran pasar bebas sejak tahun 1980an. Hal ini utamanya ditandai oleh de‐
regulasi sektor keuangan dan perbankan, peranan penting pasar modal dan kebebasan untuk entry dan exit bagi modal‐modal jangka pendek; (b) dominasi kebijakan moneter dengan target inflasi rendah mengakibatkan kebijakan fiskal ekspansif tidak dikehendaki. Akibatnya ialah, pemulihan untuk sektor riil tertunda untuk jangka waktu yang cukup lama, setidaknya selama 10 tahun terakhir ini. Akibat 5
lanjutannya, deindustrialisasi dan investasi infrastruktur dan kebijakan sosial serta pelayanan publik kini masih berjalan di tempat. III Bagaimana kita memandang trend ekonomi dan politik semacam itu? Bagaimana kita bisa secara sederhana memahami arah dan perjalanan ekonomi Indoneia? Ada baiknya kita belajar dari tiga macam wawasan yang diajukan oleh 4 macam kajian/literatur: ekonomi politik, sosiologi ekonomi dan ekonomi, kebijakan sosial. Dari literatur Ekonomi Politik, misalnya Varieties of Capitalism (Hall and Soskice, 2004) kita mengenal dua varian ekonomi pasar, yaitu ekonomi pasar liberal (LME) dan ekonomi pasar terkoordinasi (CME). Secara makro, LME diwakili oleh dua ciri kelembagaan: (i) peranan pasar modal yang kuat sebagai mekanisme dan sumber permodalan dan sinyal investasi, disamping peranan perbankan dan lembaga keuangan dan (ii) perlindungan tenaga kerja yang lemah/fleksibel. Contoh negaranya ialah Australia, Inggris dan AS. Sementara CME lebih memiliki ciri‐ciri yang sebaliknya (i) tidak terlalu mengandalkan pasar modal akan tetapi lebih mengandalkna diri kepada perbankan dan koordinasi antara sektor untuk sumber permodalan dan sinyal investasi, dan (ii) memiliki sistem perlindungan tenaga kerja yang kuat, contoh tipe CME adalah Belgia, Denmark, Jepang, Jerman dan Belanda. Kinerja kedua corak ekonomi, dilihat dari pertumbuhan PDB, PDB per kapita dan tingkat pengangguran, selama 38 tahun, secara rata‐rata adalah: (a) pertumbuhan ekonomi di kelompok CME lebih tinggi daripada LME dan (b) tingkat pengangguran lebih rendah di CME ketimbang di LME. Data Hall dan Soskice (2004, 20) berikut ini: Liberal Market Economy (LME) PDB per kapita PDB Tingkat Th: 61‐73, 74‐84, 85‐ Th 74‐84, 85‐97 Pengangguran 95 Th: 60‐73, 74‐84, 85‐95 Australia 5.2; 2.8; 3.3 7932, 16701 1.9; 6.2; 8.5 Inggris 3.1;1.3;2.4 7359, 15942 2.0;6.7;8.7 AS 4.3;2.5;3.2 7939, 16890 3.2;6.7; 8;9 Coordinated Market Economy (CME) PDB per kapita Tingkat PDB Pengangguran Th: 61‐73, 74‐84, Th 74‐84, 85‐97 Th: 60‐73, 74‐84, 85‐95 85‐95 Belgia 4.9;2.0; 2.2 8007, 17576 2.2;8.2;11.3 Jerman 4.3;1.8;2.2 7542, 16933 0.8;4.6;2.5 Jepang 9.7;3.3;2.6 7437, 18475 1.3;2.1;2.8 6
Dari kajian sosiologi ekonomi, misalnya kita mengetahui bahwa corak dan ragam ekonomi tidak bisa dipisahkan dari prinsip‐prinsip yang mengatur regulasi ekonomi. Salvati (1982) misalnya membedakan tiga ragam ekonomi, yaitu (a) regulasi berbasiskan pasar (Market), yang secara dominan terjadi di Negara‐negara Anglo‐saxon (AS, Inggris); pada tipe ini pasar tidak saja mempengaruhi tatanan ekonomi tetapi juga tatanan politik; (b) regulasi berbasiskan dekrit (Decree), sebagaimana kita pada kasus MITI di Jepang dan Badan Perencanaan di Perancis yang lebih berfokus pada kebijakan ekonomi dan industrialisasi nasional; Kebijakan perencanan secara sadar menyediakan sokongan untuk kredit, fiskal, regulasi dan dukungan ekspor; (c) regulasi berbasiskan kesepakatan (agreement), sebagaimana banyak terjadi di Negara‐negara Eropa yang bertumpu pada mekanisme neokorporatisme. Pada tipe ini, perundingan puncak diantara tiga pihak, pemerintah, organisasi sosial‐politik dan organisasi pengusaha, menjadi titik tumpu regulasi dan pengambilan kebijakan. Perbedaan pokok dengan regulasi melalui dekrit adalah bahwa regulasi berbasiskan kesepakatan tidak hanya menyangkut kebijakan pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi seperti yang menjadi ciri utama regulasi by decree, tetapi juga menyangkut kebijakan sosial (upah, jaminan sosial, kebijakan tenaga kerja, pelatihan dan Pendidikan dan sebagainya). Pasar Dekrit Kesepakatan Organisasi pekerja Lemah Lemah Kuat Institusi Politik Politik pluralistik Politik yang Politik Yang terpecah‐pecah Teroganisasi Hegemoni Civil society Negara Negara Ideologi Kesejahteraan Sumber: Salavati, 1982, dalam Carlo Trigilia, 2002, Economic Sociology: State, Market and Society in Modern Capitalism, Oxford: Blackwell Publisher. hal 193. Dari literatur Ekonomi, misalnya Economic for Social Workers: The Application of Economic Theory to Social Policy and the Human Services (Lewis and Widerquist 2001), dikatakan bahwa pasar sebagai tipe ideal merupakan mekanisme yang kompetitif yang efisien apabila memenuhi beberapa syarat tertentu yaitu dilandasi oleh relasi dan jumlah antara penjual dan pembeli yang setara, jenis produk (berbeda atau tidak berbeda), berbasiskan informasi yang sempurna, serta tidak ada hambatan masuk dan keluar baik bagi pembeli dan penjual (free exit and entry for buyers sellers). Namun demikian, dalam kenyataan akan ada berbagai distorsi dalam sistem pasar atau struktur pasar. Setidaknya sebagaimana diidentifikasi oleh Lewis dan Widerquist (2001) ada 5 macam struktur pasar yang nyata terjadi. Mereka adalah (i) Kompetisi Sempurna; (ii) Monopoli; (iii) Monopsoni; ( iv) Monopoli Kompetitif dan Oligopoli. Dengan mengenal, 5 macam struktur pasar ini, maka peranan pemerintah diperlukan akan tetapi intervensi pemerintah harus berbeda untuk 5 macam situasi pasar tersebut. Misalnya saja, untuk mencegah monopoli, pemerintah melansir kebijakan antitrust/antimonopoli dengan cara (a) memecah monopoli yang ada agar terjadi persaiangan, atau mencegah terbentuknya monopoli (kasus American 7
Telephone and Telegraph dan gugatan hukum Dep Kehakiman AS kepada Microsoft); (b) pemerintah mengatur batas atas dari harga barang tersebut, misalnya pada industri air minum yang monopolis; (c) pemerintah mengambil alih monopoli tersebut dan menyalurkan laba yang diperoleh untuk belanja sosial atau belanja barang publik lainnya (Eropa). Lima Macam Struktur Pasar Kompetisi Monopoly Monopsoni Monopoli Oligopoli Sempurna Kompetitif ‐Pembeli dan ‐Sedikit asumsi ‐Pembeli dan ‐Satu Penjual ‐Pembeli Penjual Penjual dan Banyak banyak dan penjual banyak Penjual dan banyak Pembeli ‐Produk Banyak ‐Produk ‐Produk unik, hanya Satu berbeda Pembeli tidak tdak ada yg ‐Produk berbeda dan ‐Informasi ‐Produk berbeda menyamai tidak berbeda ‐Informasi ‐Informasi sempurna berbeda sempurna sempurna dan tidak atau tidak ‐Informasi berbeda ‐Free exit ‐Hambatan semurna and entry bagi pemain sempurna ‐Free exit and ‐informasi ‐Hambatan (tidak ada baru entry (tidak tidak masuk bagi ada sempurna hambatan Pembeli.Ha
‐Hambatan masuk dan hambatan mbatan keluar bagi bagi pemain masuk bagi keluar untuk baru) pemain pemain baru) Penjual baru) Harga Perusahaan Pembeli Dampa Hukum satu Penjual tidak dapat menentukan menetukan k/Hasil harga menentu mematok harga harga berlaku. Laba tidak harga Laba dpt Laba Efisien Tidak ada menentu ekonomi Tidak ada diraih laba ekonomi Efisiensi laba dlm Tidak efisien diperoleh Tidak efisien Efisiensi tidak tidak jangka menentu menentu panjang Kota Kecil Restorant/ret Coke dan Contoh McDonald vs Monopoli ail Pepsi Burger King. buku teks. sebagai Biaya 25$ pemberi dijual seharga kerja terbesar 85$ _upah rendah Akhirnya, perlu kiranya kita simak kajian/literature pembaruan ekonomi/ kebijakan sosial yang secara khusus memperlihatkan pergulatan intelektual di Negara maju seperti Uni Eropa dan AS, yang cepat atau lambat, ditolak atau diterima, telah ikut andil dalam mebentuk corak dan ragam perekonomian. Contoh pertama 8
adalah bagaimana memecahkan masalah ketimpangan sosial ekonomi di antara anggota Uni Eropa. Beberapa akademisi dan peneliti untuk menganjurkan dijalankan Jaminan Pendapatan (Basic Income) di Uni Eropa. Buku Basic Income on the Agenda (Robert van der Veen dan Loek Groot, eds. 2000) misalnya memaparkan perdebatan dan pergulatan pemikiran semacam itu. Ini sejalan dengan usulan Prof Bruce Ackerman di AS yang menganjurkan hal mirip yang disebutnya sebagai Stakeholding (1999). Contoh kedua, adalah adalah usulan dari Edmud Phelps, pemenang hadiah Nobel Ekonomi 2006. Dalam bukunya Rewarding Work (1997, Ackerman dan Alstott, 1999) bertolak belakang dengan kelompok libertarian yang menolak redistribusi, Phelps percaya bahwa kebijakan redistributif mesti dilakukan di AS sesuai dengan semangat liberal ala Rawls dan prinsip Kesetaraan Kesempatan. Secara empiris hal ini antara lain didorong oleh gejala luasnya warganegara dan keluarga AS yang terjebak sebagai working poor di AS (harus bekerja 2 kali untuk bisa hidup layak). Intinya, Phelps menganjurkan subsidi upah kepada kelompok working poor, Caranya begini, bila perusahaan bersedia merekrut pekerja dengan upah 4 dolar per jam, maka pemerintah akan menambhkan 3 dolar. Bila pekerja sudah menerima 5 dolar per jam. Pemerintah akan menambah 2,5 dolar per jam. Dengan cara ini, penyerapan tenaga kerja akan optimum dan pendapatan layak bagi pekerja. Seorang pekerja akan membawa pulang sekitar 7 dolar per jam. Per tahunnya, kepada pekerja fulltime akan ada subsidi sebesar 6 ribu dollar per tahun. Biaya total APBN akan sebesar 125 per tahun. Yang dapat ditanggung pemerintah dari efisiensi berbagai program. Contoh ketiga dalam kajian sistem kesejehteraan/kebijakan sosial yang berfokus pada wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara sebagamana dilakukan oleh Roger Goodman, Gordon White dan Huck‐ju Kwon, The East Asian Welfare Model (1998). Kajian diatas mempelajari sistem kesejehteraan yang berlangsung di Jepang, Hongkong, Korea, Singapura dan Cina. Tidak saja untuk melihat kesamaan dan perbedaan sistem di sana dengan sistem welfare state, tetapi juga untuk menguji tesis “Confucian welfare”. Beberapa temuanya mengenai sistem pola dan sistem kesejehteraan dapat dilukiskan sebagain berikut; (i) lebih mementingkan ideologi dan praktik yang menundukkan kesejahteraan, khususnya skema redistribusi progresif dan sistem jaminan sosial yang generous, di bawah tujuan efisiensi ekonomi dan pertumbuhan ekonomi; (ii) sistem dan pranatnya menyedot biaya (APBN) yang relative murah dan tidak melibatkan personalia yang besar, sehingga memungkinkan dana yang ada disalurkan untuk investasi yang dipandang produktif (pertumbuhan ekonomi); (iii) lebih menciptakan “lingkungan kesejahteraan” (jaminan sosial tidak ada atau lemah) dengan berbagai dampak negatif dan positifnya; (iv) menghindari ketergantungan kepada negara, dan lebih mendorong sumberdaya sosial seperti keluarga, kerabat, perusahaan dan kelompok sosial; (v) dana iuran jaminan sosial yang ada (seperti Jamsostek) menjadi sumber keuangan yang dapat digunakan untuk tujuan pembangunan dibwah arahan Negara untuk investasi dan infrastruktur fisik. 9
IV Dari tinjauan serba ringkas terhadap 4 macam kajian/literatur itu, dapat kiranya dimana Indonesia dan seperti apa Indonesia lebih dimengerti dan dipahami. Tiga observasi kiranya dapat diajukan: (i) Ekonomi Indonesia kiranya semakin hari semakin bergerak ke arah tipe ideal LME, dengan berbagai proses, tekanan‐tekanan dalam negeri dan luar negeri dan latar belakang sejarahnya. Peranan pasar modal yang semakin menonjol, dan liberalisasi keuangan kiranya menjadi pertanda yang kuat; (ii) regulasi ekonomi di jaman Orde Baru (30 tahun) lebih dekat dengan tipe government by decree, dengan peranan dominan dari Bappenas pada th 1970an dan 1980an dan insulasi kebijakan ekonomi dari campur tangan sistem politik. Namun demikian, ciri‐ciri tersebut hari ini kiranya sudah berubah. Corak ekonomi Indonesia dewasa ini lebih banyak bertumpu pada regulasi yang berbasiskan pasar, disertai dengan politik yang pluralis. Namun tidak semuanya demikian, misalnya saja, paska 1998, BI kini menjadi mandiri dan terpisah dari pemerintah, sehingga kendali kebijakan moneter kiranya masih diinsulasi dari politik, setidaknya tidak sepenuhnya di tangan politik. Hal ini tidak berbeda dan mengikuti trend di berbagai Negara‐
negara OECD; (iii) Peranan pemerintah kiranya tetap penting baik dalam memastikan agar pasar bekerja dengan lebih efisien (nonmonopoli dan nonoligopoli) maupun untuk memastikan agar keadilan sosial/kebijakan sosial tidak terabaikan. Seiring dengan penguatan kapasitas dirjen pajak, maka potensi pajak yang masih besar dapat targetkan untuk dinaikan dari 13 persen menjadi 18 atau 20 persen PDB selama 5 tahun ke depan. Peolehan pajak itu dapat dikembalikan kepada ekonomi dan warga Negara untuk tujuan dan agenda urgen Indonesia: (a) kemandirian ekonomi (mengurangi utang), penguatan sistem pertahanan Indonesia dan belanja sektor riel seperti infrastruktur(b) memperkuat sistem jaminan sosial khususnya jaminan kesehatan dan jaminan pendapatan untuk semua warga; (c) reformasi birokrasi, antikorupsi dan penguatan kapasitas pemerintah daerah. * Bahan Diskusi Workshop “Konstitusionalisme dan Republikanisme” Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK‐Indonesia) Gedung Pusdiklat Kopertais, Ciputat, 11‐12 Desember 2009 10
Download