04610236 41KB Mar 29 2010 04:41:31 AM

advertisement
INDRA SETIAWAN
04610236
KELAS E
PT PERTAMINA
Sebagai perusahaan kelas dunia, Pertamina harus memiliki daya saing, competitiveness!
Posisi Pertamina saat ini dalam suasana persaingan (competitive situation). Salah satu
pilar yang harus diperkuat adalah infrastruktur, khususnya sarana dan fasilitas (sarfas).
Urusan sarfas tidak bisa ditawar-tawar lagi, malah dikatakan sebagai bagian dari strategi
bisnis dalam memenangkan persaingan. Sehingga urusan sarfas tidak boleh dikalahkan,
termasuk atas nama efisiensi sekalipun. Efisiensi memang perlu, dan tak berarti harus
mengabaikan keandalan sarfas.
Banyak hal yang harus dibenahi Pertamina dalam rangka hajatan besar menuju pentas
dunia. Desember 2006 lalu, Pertamina baru saja sukses menorehkan Breakthrough
Projects (BTP) I (100 hari). Sebanyak 19 proyek BTP I terbukti selesai sesuai target dan
jadual. Sedangkan 4 - 9 proyek lain tinggal finishing.
Pertamina tidak akan berhenti melakukan terobosan, karena ya itu tadi, begitu banyak hal
yang harus dibenahi agar sesuai dengan platform perusahaan migas kelas dunia. BTP II
pun siap digelar selama sembilan bulan ke depan (akhir Januari - Oktober 2007).
PETA YANG BERUBAH
Ada logika yang harus dimainkan oleh segenap elemen Pertamina. Bahwa kalau
Pertamina ingin menjadi perusahaan migas kelas dunia, maka segala pilar dan sokoguru - baik core maupun penunjang -- yang selama ini menjadi urat nadi perusahaan semua
harus berkelas dunia.
Level kelas dunia hanya akan menjadi utopia kalau Pertamina tidak membangun secara
konkret pilar-pilarnya. Salah satu pilar itu adalah sarana dan fasilitas (sarfas).
Sudah begitu lama Pertamina tidak membangun infrastrukturnya dengan optimal. Kalau
boleh dibilang sangat terbengkalai.
Selama periode 1971 - 2001 Pertamina berada dalam payung UU No. 8 Tahun 1971.
Fakta selama tiga dekade, Pertamina mati-matian menjalankan misi penugasan
Pemerintah, security of supply BBM dan gas bumi ke seluruh negeri.
Tak kurang dari 70 persen dana Pertamina dialokasikan untuk pengamanan bagi
pengadaan dan pendistribusian BBM dan gas bumi. Akhirnya, Pertamina nyaris tidak
memiliki kesempatan untuk berinvestasi. Juga tak punya kesempatan luas membangun
infrastuktur.
Ketika Pertamina masih memegang monopoli dalam pengusahaan migas di Indonesia,
kelemahan infrastruktur itu tidak terasa sebagai kendala serius. Toh, semua orang akan
tetap menatap Pertamina betapapun lemahnya pelayanan perusahaan ini.
Pada 23 November 2001 terbit UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas, menggantikan UU
lama, baik UU No. 44 Prp Tahun 1960 dan UU No. 8 Tahun 1971. Peta pengusahaan
migas di Indonesia berubah total.
Posisi Pertamina tidak lagi menjadi penggenggam monopoli. Pertamina tidak lagi
menjadi regulator yang merangkap pemain. Sekarang, dalam sistem perundang-undangan
baru Pertamina sama dan setara dengan perusahaan lain, yaitu sebagai pemain!
Tak ada lagi privilege yang bisa melindungi Pertamina di arena persaingan, kecuali
Pertamina sendiri membangun kekuatan sendiri.
Dalam bahasa yang konkret Dirut Ari H. Soemarno meneriakkan semangat 4C -confident, clean, customer focus, competitiveness.
BERBENAH DI SISI PELAYANAN
Ketika pada BTP I Direktorat Pemasaran dan Niaga menggelindingkan proyek
transportation loss melalui target zero losses dalam sistem pengangkutan BBM dari
Depot ke SPBU, di situ semakin menguat perlunya dukungan sisi sarfas.
Losses yang terjadi selama ini berkaitan dengan faktor alat dan sarana, selain faktor
sistem dan aturan.
Ketika komitmen Direksi mencuat ke permukaan untuk meningkatkan pelayanan sesuai
semangat customer focus, lalu proyek transportation loss digelar, dalam waktu hampir
bersamaan, fungsi Jastek ikut berkiprah.
Divisi Jastek seperti terilhami untuk sekalian saja membenahi sistem pengadaan barang
dan jasa pemeliharaan turbin gas.
Lho, kok, turbin gas?
Di Pemasaran dan Niaga sebagai ujung tombak Pertamina di mata publik, tanggung
jawab Pertamina adalah sampai Depot.
Ceritanya memang agak panjang juga, sih. Ketika Pertamina hanya menjaga pintu hingga
depot, faktanya banyak terjadi ketidakberesan di luar pagar depot. Berbagai pelanggaran
sepanjang pengangkutan BBM dari depot ke SPBU berdampak pada kualitas pelayanan
yang sungguh buruk.
Walaupun pelaku itu bukan orang Pertamina dan tidak berada dalam tanggung jawab
Pertamina, tetapi justru Pertamina yang mendapatkan tamparan hebat dari masyarakat.
Pertamina dituding tidak becus dalam pelayanan di SPBU. Dituding tidak tanggung
jawab menekan losses yang merugikan pemilik SPBU.
Terjadi lingkaran setan. Oknum sopir pengangkutan BBM melakukan berbagai
pelanggaran yang menjadi penyebab losses, seperti “kencing” (istilah untuk
mengeluarkan sebagian BBM dari tangki ke tempat lain untuk keuntungan pribadi sopir
tersebut). Pemilik SPBU sering memainkan takaran BBM yang dijual kepada masyarakat.
Bahkan satu-dua oknum Pertamina ikut bermain di air keruh. Runyam!
Keluhan konsumen di end user seperti menerpa tembok, mental dan tak ditindaklanjuti
oleh solusi. Pihak SPBU menutup kuping rapat-rapat dan “kura-kura dalam perahu”
terhadap berbagai pelanggaran di SPBU-nya.
Persoalannya rumit. Ketika Pertamina tidak lagi menggenggam monopoli -- bahkan
perusahaan asing sudah “PD” membangun SPBU-nya sendiri di beberapa titik -Pertamina seperti dihadapkan pada situasi yang crowded.
Pertamina tidak bisa lagi bersandar pada aturan bahwa hanya bertanggung jawab sampai
di pintu keluar depot. Seluruh rangkaian eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, hingga
pemasaran dan distribusi BBM dan gas bumi merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan.
Mindset Pertamina adalah bagaimana memberikan pelayanan kepada customer. Sebab
jika tidak, maka Pertamina akan ditinggalkan para konsumen dan publik luas.
Itulah yang melatarbelakangi lahirnya proyek transportation loss dan pengurangan jumlah
depot kritis.
Depot dibenahi! Dimulai dari Depot Cikampek yang serba canggih dan otomatis. Dan
berbarengan dengan itu, pola pengangkutan BBM dari depot ke SPBU juga
disempurnakan, sehingga pemilik SPBU tidak dirugikan, para sopir tangki meningkat
kesejahteraannya, dan Pertamina bisa menghemat cukup signifikan dengan pola baru
tersebut.
Yang terpenting peluang melakukan KKN di dalam pengangkutan BBM dari depot ke
SPBU telah ditutup pintunya. Laksana pepatah “sekali mendayung dua-tiga pulau
terlampaui” Pertamina pantas berbangga.
Di balik kebanggaan itu, dukungan dari sisi sarfas tak bisa disepelekan.
SARFAS YANG BERDAYA SAING
Depot sebagai titik sentral pembenahan tahap awal ini akhirnya menjadi garapan bersama
lintas fungsi di Pertamina.
Depot adalah salah satu sarfas Pertami¬na di sisi pemasaran dan niaga Pertamina.
Di depot itu ada penerimaan, penimbunan, dan penyaluran. Dan di penimbunan terdapat
peralatan seperti turbin, pompa, meter arus.
Di penyaluran ada tangki, dan pada penyalurannya digunakan pipa atau mobil tangki.
Nah, dari sekian peralatan yang paling dominan dalam sisi pembiayaan adalah turbin gas.
Jasa Teknik mendukung BTP transportation loss dari segi sarfasnya. Itu berkaitan dengan
supply chain yang memang harus dipetakan.
Masalah pelayanan menjadi sorotan dalam diskusi Tim WePe dengan teman-teman dari
Jastek Direktorat Pemasaran dan Niaga, dari mulai Kadiv Jastek Gutopo H.S. hingga
Manajer Pemeliharaan dan Inspeksi Kemas Danial beserta ketiga asisten manajer, Nepos
MT Pakpahan, FM Anggoro Wijonarko, serta Ali Budiman.
Di pemasaran itu menurut mereka salah satu hal yang penting ditangani adalah masalah
transportation loss. Alasannya, pemasaran tidak sebagai pembuat produk tetapi hanya
mendistribusikan. Oleh karenanya, gain yang bisa diperoleh fungsi pemasaran dan niaga
adalah bagaimana mengelola losses.
Di pemasaran, produk yang dipasarkan bisa losses, menguap, maka itu yang harus kita
tekan. Belum lagi menyangkut citra. Jadi, hal-hal itulah yang harus dibenahi Pertamina.
Keandalan sarfas adalah sisi yang paling gampang diserang oleh pesaing kita. Mereka
akan mengklaim, “Kami yang paling unggul.”
Citra buruk itu siapapun pelakunya, di mana mereka mengakali ukuran dan lain
sebagainya, itulah urusan Pertamina untuk membenahinya.
Untuk membangun daya saing ini mereka sepakat dalam menunjang pelayanan kepada
konsumen, sarfas Pertamina harus andal. Keandalan sarfas, menurut mereka merupakan
key factor dimilikinya daya saing di sisi infrastruktur.
Disepakati, pemeliharaan itu merupakan bagian dari bisnis. Mengutip sebuah buku,
mereka sepakat menyatakan, bahwa keandalan sarfas itu bagian terpenting dari strategi
bisnis. Keandalan itu penting, karena kesiapan kita seperti apa terletak di situ.
Kalau Pertamina masih lemah dalam sisi sarfas, untuk pemasaran misalnya, maka orang
bisa lari ke pesaing ketika pesaing ternyata lebih siap dan lebih andal.
Pertamina memiliki 100 turbin gas eksisting, yang dipakai di kegiatan hulu, pengolahan,
dan pemasaran dan niaga. Keandalan sarfas untuk turbin gas tidak bisa diremehkan
karena menentukan keandalan (TimīˇPertamina dalam pengadaan dan pendistribusian
BBM dan gas bumi. WePe)
BUKTI BAHWA PERTAMINA DOMINAN
Selama periode 1971 - 2001 Pertamina berada dalam payung UU No. 8 Tahun 1971.
Fakta selama tiga dekade, Pertamina mati-matian menjalankan misi penugasan
Pemerintah, security of supply BBM dan gas bumi ke seluruh negeri.
Tak kurang dari 70 persen dana Pertamina dialokasikan untuk pengamanan bagi
pengadaan dan pendistribusian BBM dan gas bumi. Akhirnya, Pertamina nyaris tidak
memiliki kesempatan untuk berinvestasi. Juga tak punya kesempatan luas membangun
infrastuktur.
Download