249 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013 POTENSI EKSTRAK TANAMAN SEBAGAI MOULTING STIMULAN PADA INDUKAN UDANG WINDU (Penaeus monodon Fab.) Emma Suryati dan Andi Tenriulo Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail: [email protected] ABSTRAK Permasalahan yang sering dijumpai pada usaha perbenihan udang windu di hatcheri antara lain kematangan gonad yang tidak seimbang antara induk jantan dan betina sehingga proses reproduksi tidak dapat dilakukan dengan baik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan antara lain melalui induksi dengan 20-hydroksi ecdysteron (20 E) pada hemolim sehingga fase premoulting dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Ecdysteron selain dijumpai pada krustase baik di darat maupun yang hidup di dalam air juga ditemukan pada beberapa tanaman antara lain tanaman gelang laut (Sesuvium pertulacastrum) dan tanaman murbaei (Morus alba) yang dapat dimanfaatkan sebagai sebagai moulting stimulan pada induk udang windu. Ecdyateron dari tanaman tersebut dapat diisolasi melalui ekstraksi, serta pemurnian menggunakan kolom kromatografi dengan pelarut organik yang berbeda kepolarannya. Aplikasi pemanfaatan ekstrak tanaman sebagai moulting stimulan dilakukan melalui penyuntikan ekstrak kasar tanaman pada induk udang dengan konsentrasi 25, 50, 75, dan 100 mg/L masing-masing tiga kali ulangan untuk menentukan dosis optimal memacu terjadinya moulting. Hasil analisis memperlihatkan kandungan Ecdysteron pada murbei berkisar antara 114-1.096 ng/mL, sedangkan pada gelang laut berkisar 385-720 mg/L. Sedangkan dosis aplikasi pada induk udang yang paling baik pada tanaman murbei yaitu pada konsentrasi ECD 25 ng/mL, sedangkan pada tanaman gelang laut adalah pada 50 ng/mL. KATA KUNCI: ekstrak tanaman, moulting stimulan, induk udang windu PENDAHULUAN Permasalahan yang sering dijumpai pada pengelolaan induk udang windu (Penaeus monodon Fab) di hatcheri, antara lain proses pergantian kulit pada induk betina tidak bersamaan sehingga tidak dapat melakukan perkawinan dan menyebabkan kegagalan dalam proses reproduksi. Teknik ablasi atau pemotongan tangkai mata sering digunakan di hatcheri untuk memacu pematangan gonad dan pergantian kulit, dengan asumsi bahwa udang windu (P. monodon) memiliki organ X yang terletak pada tangkai mata, organ ini dapat menghasilkan Gonad Inhibiting Hormone (GIH) yang berfungsi menghambat perkembangan ovarium dan menghambat aktivitas organ Y, dan melalui pemotongan tangkai mata, maka organ X sebagai penghasil GIH akan hilang dan menyebabkan kandungan GIH pada hemolimp menurun, sehingga organ Y dapat menghasilkan Gonad Stimulating Hormone (GSH) dan merangsang terjadinya proses vitelogenesis. Namun demikian masih banyak masalah seperti pembusukan telur yang disebabkan karena adanya mikroorganisme yang menempel, serta infeksi pada luka bekas sayatan, serta kualitas dan kuantitas larva dari waktu ke waktu mengalami penurunan (Aktas & Kumlu, 1999). Dan kenyataannya sering ditemukan induk yang telah kehilangan satu mata tetap tidak dapat bertelur, bahkan mengalami penurunan daya kekebalan tubuh, sehingga mudah terserang penyakit. Akibatnya induk-induk ini hanya sekali bertelur sepanjang hidupnya (Anggoro, 2001). Selain ablasi, proses moulting pada udang dapat dilakukan melalui induksi dengan penambahan 20-hydroksi ecdysteron (20 E) pada hemolim sehingga fase premoulting dapat diatur sesuai dengan kebutuhan, serta diperoleh informasi mengenai pergantian kulit induk udang sepanjang tahun agar dapat melakukan proses reproduksi. Dengan diketahui titer ecdystron pada proses moulting pada udang, maka proses ini dapat diatur melalui induksi ecdysteron pada hemolin udang (Gunamalai et al., 2006). Ecdysteron pada umumnya ditemukan pada krustase baik yang ada di darat maupun yang Potensi ekstrak tanaman sebagai moulting stimulan ... (Emma Suryati) 250 berada di dalam air seperti kepiting, udang, dan krustase lainnya yang ditemukan secara alami dan berfungsi sebagai pengatur proses penggantian kulit dan mengontrol pembentukan exoskeleton baru untuk menggantikan exoskeleton yang lama. Namun selain terdapat pada krustase, ecdysteron dapat dijumpai pada tanaman yang berpotensi sebagai moulting stimulan antara lain murbei (Morus alba), gelang laut, paku-pakuan, serta beberapa tanaman lain termasuk golongan Amaranthus sp., asparagus, serta jenis paku-pakuan yang banyak tumbuh di daerah tropis. Suryati et al. (2013) melaporkan pemanfaatan ekstrak paku raja (Cycas revoluta Tumb). Sebagai moulting stimulan pada induk udang windu dengan dosis optimal pada 25 uL dari ekstrak yang mengandung 1 mL setara dengan 100 g bahan segar. Maka berdasarkan informasi tersebut dapat dijadikan acuan sebagai bahan eksplorasi untuk memdapatkan ecdysteron yang terdapat pada tumbuhan sebagai moulting stimulan pada induk udang windu di hatcheri. Ecdysteron pada tanaman dapat diisolasi dan diidentifikasi melalui proses ekstraksi, fraksinasi, pemurnian senyawa, serta elusidasi struktur (Harborn, 1973). Dan diharapkan dapat menggantikan atau substitusi ecdysteron yang berasal dari krustase yang relatif mahal dengan isolat ecdysteron dari tumbuhan yang mudah diperoleh dan relatif lebih murah untuk membantu proses reproduksi dan pergantian kulit pada induk udang di hatcheri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat potensi ecdysteron yang berasal dari tanaman murbei (Moris alba), dan gelang laut (Sesuvium pertulacastrum Stem) sebagai moulting stimulan pada indukan udang windu di hatcheri. BAHAN DAN METODE Penelitian ini terdiri atas dua tahapan pekerjaan yaitu isolasi dan identifikasi kandungan ecdysteron pada tumbuhan gelang laut dan murbei, kemudian penentuan dosis ekstrak gelang laut dan murbei yang dapat memacu terjadinya pergantian kulit pada induk udang windu di hatcheri. Tanaman gelang laut murbei (Morus alba L) dan (Sesuvium pertulacastrum Stem) dikumpulkan, kemudian dipisahkan bagian daunnya. Dikoleksi dalam keadaan segar lalu dikering anginkan pada suhu 30°C. Isolasi dan Pemurnian Ekstrak Tanaman Isolasi dan pemurnian ecdysteroid dari tanaman gelang laut dan murbei dilakukan dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut metanol 80% untuk mendapatkan ekstrak kasar, selanjutnya pemurnian ecdysteron diperoleh dari ekstrak metanol ditambah dengan acetone ½ bagian, 1 bagian, dan 2 bagian. Ekstrak yang diperoleh kemudian dikisatkan hingga volume 10-20 mL, fraksioanasi menggunakan campuran pelarut n-hexan dan metanol 50% dengan perbandingan 1:2, diulangi 3 kali. ekstrak metanol yang diperoleh, dikisatkan kemudian ditambahkan alumina hingga kering, kemudian dielusi menggunakan campuran diklormetan dan etanol dengan bergradien yaitu; 95:5, 90:10, 80:20, dan 50:50. hingga diperoleh empat fraksi. Uji kemurnian dan penentuan jumlah ecdysteron dilakukan menggunakan HPLC menggunakan fasa cair campuran metanol dan air dengan perbandingan 85:15, dan fasa diam C18 RP (Manson, 1984). Analisis kandungan ecdysteroid pada tanaman gelang laut dan murbei dilakukan dengan elusidasi struktur dan identifikasi ecdysterol diperoleh dari isolat murni pada tahapan isolasi dan pemurnian, pengukuran panjang gelombang pada sinar ultra lembayung, dan spektrum infra merah untuk menentukan gugus fungsi, selanjutnya pengukuran berat molekul dan struktur menggunakan GCMS (Munson, 1984). Pengambilan Sampel Udang Windu dan Penentuan Analisis Hewan uji yang digunakan untuk percobaan adalah induk udang windu yang berasal dari tambak dari Kabupaten Selayar dengan ukuran kurang lebih 100 g/ekor. Pengukuran kandungan ecdysteron pada setiap fase moulting pada udang diukur melalui pengambilan hemolim udang kurang lebih 1 mL, kemudian diekstraksi menggunakan pelarut organik dan diukur menggunakan HPLC dengan kolom C18 dengan fasa terbalik, dan fasa gerak campuran metanol dengan air dengan perbandingan 85:15. 251 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013 Pemberian ekstrak gelang laut dan murbei disesuaikan dengan kandungan ecdysteron yang terukur dari setiap fase moulting, dilakukan melalui penyuntikan pada segmen kedua pada udang windu. Pemeliharaan dilakukan pada bak induk yang dilengkapi dengan aerasi dan pemberian pakan cumi dan ikan kerang. Pengamatan dilakukan terhadap perubahan dan pergantian kulit, serta ciri-ciri morfologi udang, kondisi lingkungan antara lain kualitas air media pemeliharaan, serta nutrisi dan pakan yang diberikan pada udang. Persentase moulting dihitung berdasarkan jumlah udang yang moulting dibagi dengan jumlah udang yang diberi perlakuan kali 100%. Masa laten moulting adalah waktu yang dibutuhkan sejak perlakuan ekstrak pakis hingga terjadi moulting pada udang windu yang diuji. Mortalitas dihitung dengan membandingkan jumlah udang yang mati dibagi dengan jumlah udang yang diberi perlakuan kali 100%. Penelitian akan dilakukan dengan pendekatan secara deskriptif dan pendekatan secara eksperimental menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 kali ulangan, pendekatan secara deskriptif digunakan pada awal dari rangkaian percobaan antara lain penentuan kisaran dosis ecdysteron selama fase-fase moulting hingga berakhirnya moulting, hingga diketahui kisaran dosis yang dibutuhkan untuk memacu terjadinya moulting pada induk udang menggunakan ekstrak tanaman gelang laut dan murbei. HASIL DAN BAHASAN Beberapa tumbuhan yang diketahui mengandung ecdysteron antara lain; tanaman bayam yang mengandung ECD pada semua bagian tanamannya, demikian juga dengan pakis raja, asparagus, murbei, gelang laut, paku-pakuan yang banyak terdapat di dataran tinggi, serta tanaman yang banyak dijumpai di pesisir pantai (Gambar 1). Gambar 1. Tanaman murbei (Morus alba L.) (kiri) dan gelang laut (Sesuvium portulacastrum) (kanan) Tanaman murbei sering dijumpai pada budidaya ulat sutra sebagai pakan yang dapat memacu terjadinya penggantian kulit pada ulat dan menghasilkan kepompong dengan kualitas yang baik, dalam hal ini peranan ecdysteron sangat berperan di dalam siklus hidup dari ulat sutra yang dibudidayakan. Demikian juga dengan tanaman gelang laut merupakan tanaman yang sangat disukai oleh jengkrik dan serangga lainnya yang umumnya dapat mengalami moulting. Isolasi dan Identifikasi Kandugan Ecdysteron pada Tanaman Murbei dan Gelang Laut Hasil isolasi edcysteron (ECD) pada tanaman murbei memperlihatkan kandungan ecdysteron terdapat pada ketiga fraksi, yatu fraksi 1, 2, dan 3 walaupun dengan konsentrasi yang berbeda. Pada tanaman murbei memperlihatkan kandungan ECD yang paling tinggi terdapat pada fraksi ke-2 hingga mencapai 1.096 mg/L dan yang terendah pada fraksi 1 yaitu hanya mengandung 114 mg/L. Sedangkan pada tanaman gelang laut memperlihatkan konsentrasi yang paling tinggi pada fraksi 3 yang mencapai 720 mg/L, dan yang terendah pada fraksi 2 hanya mengandung 385 mg/L. Hasil uji statistik pada tanaman murbei memperlihatkan tidak berbeda nyata antara fraksi 2 dan fraksi 3, tetapi berbeda Potensi ekstrak tanaman sebagai moulting stimulan ... (Emma Suryati) 252 antara fraksi 2 dan fraksi 1. Sedangkan pada tanaman gelang laut fraksi 3 tidak berbeda dengan fraksi 1, tapi berbeda nyata dengan fraksi 2 (Gambar 2). 1200 Konsentrasi (mg/L) 1000 Murbei Gelang laut 800 600 400 200 0 F-1 F-2 F-3 Hasil fraksinasi ekstrak tanaman Gambar 2. Perbandingan jumlah ECD pada tanaman murbei dan gelang laut Angka yang ditandai huruf yang sama berbeda tidak nyata berdasarkan uji LSD (T) pada tingkat kepercayaan 0,05 Uji kemurnian menggunakan HPLC dengan fasa diam C18, dengan fasa gerak campuran metanol air dengan perbandingan 85:15. Pada kromatogram terlihat satu puncak yang dominan, hal ini menunjukkan bahwa senyawa yang terisolasi adalah senyawa yang tunggal dan hampir murni. Gambar kromatogram dari isolat Ecdysteron pada tanaman pakis raja dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Kromatogram isolat ecdysteron pada tanaman murbei Selanjutnya pengukuran ECD pada tanaman murbei dan gelang laut dilakukan berdasarkan pengukuran luas area pada kromatogram menggunakan standar 20-hydroxyecdysone, gambar kurva kalibrasi dapat dilihat pada Gambar 4. Hasil pengukuran panjang gelombang UV-Vis isolat ecdysteron pada tanaman murbei dan gelang laut, memperlihatkan ada dua puncak yang dominan, hal ini memberikan gambaran bahwa senyawa tersebut memiliki dua ikatan rangkap yang terkonyugasi. 253 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013 Kurva kalibrasi Ecdysteron Absorbans . 80 111 5 9 5 . 50 926 5 9 4 . 20 741 6 9 3 . 90 555 297 . 60 370 198 30 85. 991 0 0.0 0.0 11.0 22.0 33.0 44.0 55.0 66.0 Consentration (ppm) Gambar 4. Kurva kalibrasi pengukuran ecdysteron pada tanaman murbei Aplikasi Pemberian Ecdysteron pada l Udang Windu (Penaeus monodon Fab.) Ukuran dan bobot udang yang diguanakan pada aplikasi pemberian ECD yaitu bobot udang berkisar pada 65-140 g dengan rataan 78,6 g; sedangkan panjang udang berkisar 18-24 cm dengan rataan 19,42 cm. Titer ecdysteron pada hemolim udang berkisar 27,8-66,13 ng/mL dengan rataan 45,32 ng/mL. Perlakuan pemberian ecdyteron pada udang dilakukan berdasarkan titer hemolim pada udang tersebut yaitu 0, 25, 50, 75, dan 100 ng/mL melalui penyuntikan. Hasil aplikasi penyuntikan ECD yang diisolasi dari tanaman murbei dan gelang laut memperlihatkan konsentrasi yang agak berbeda terhadap induk udang windu. Ekstrak tanaman murbein efektif pada konsentrasi 25 ng/mL dapat mempercepat terjadinya moulting pada jam ke-12 sebanyak 75%, yang terendah pada 75 mg/L sekitar 20%, sedangkan pada tanaman gelang laut efektif pada konsentrasi 50 mg/L sebanyak 64%, dan yang terendah pada 100 mg/L sebanyak 15% pada jam ke-48. Kondisi induk udang setelah moulting menjadi lebih sehat dan gesit (Gambar 5). 80 Murbei 70 Gelang laut Mortalitas (%) 60 50 40 30 20 10 0 25 30 75 100 Konsentrasi Gambar 5. Persentase induk udang yang moulting setelah pemberian ECD dari tanaman murbei dan gelang laut (angka yang ditandai huruf yang sama berbeda tidak nyata berdasarkan uji LSD (T) pada tingkat kepercayaan 0,05) Potensi ekstrak tanaman sebagai moulting stimulan ... (Emma Suryati) 254 Molt-Inhibiting Hormone (MIH), hormon yang berperan dalam menghambat proses moulting dengan cara menghambat sintesis ekdisteroid oleh organ Y. Pelepasan MIH dari sinus gland dimediasi oleh serotonin (5HT, 5OH-tryptamine). Pei-Li Gu (2001), menjelaskan bahwa moulting pada udang dikontrol oleh molt-inhibiting hormone (MIH) dan ecdyson. MIH menghambat sintesis ecdysone pada organ Y, dihasilkan dalam molt suppression. MIH merupakan neuropeptida dari CHH/MIH/GIH family pada tangkai mata (Pei-Li Gu et al., 2001). Untuk menguji aktifitas molt-inhibiting dari rMIH, udang pada fase intermolt diinjeksi dengan rMIH dan durasi dari siklus moulting udang tersebut dimonitor. Demikian juga dengan penambahan titer ecdysteron pada hemolim udang dapat mengakibatkan terjadinya moulting pada udang. KESIMPULAN 1. Ecdysteron pada murbei dan gelang laut dapat diisolasi melalui ekstraksi fraksinasi dan pemurnian dengan kromatografi kolom. 2. Pemurnian dan identifikasi isolat ecdysteron dapat dilakukan dengan HPLC, dilanjutkan dengan pengukuran spektrum UV dan pengukuran menggunakan LC-MS. 3. Kandungan ecdysteron pada murbei berkisar antara 114-1.096 ng/mL, sedangkan pada gelang laut berkisar 385-720 mg/L. 4. Konsentrasi yang paling baik pada tanaman murbei yaitu pada konsentrasi ECD 25 ng/mL, sedangkan pada tanaman gelang laut adalah pada 50 ng/mL. DAFTAR ACUAN Anggoro, S. 2001. Udang ablasi mata indonesia ditolak konsumen Amerika. Publish 5 April 2001. Sumber http://www.kompas.com Aktas, M. & Kumlu, M. 2004. Gonadal maturation and spawning in Penaeus semisulcatus de Hann, 1844 by Hormone Injection. Mustafa Kemal University, Faculty of Fisheries, Hatay – Turkey. Chang, E.S., Hertz, W.A., & Prestwich, G.D. 1992. Reproductive endocrinology of the shrimp Sicyonia ingentis: steroid, peptide, and terpenoid hormones. NOAA Tech. Rep. N MFS, 106: 1–6. Dall, W. 2004. Studies on the physiology of a shrimp, Metapenaeus sp. (Crustacea: Decapoda: Penaeidae). II. Endocrines and control of moulting. Australian Journal of marine and freshwater Research, 16(1): 112. Gunamalai, V., Kirubagaran, R., & Subramonian, T. 2003. Sequestration of ecdysteroid hormone into the ovary of the mole crab, Emerita asiatica (Milne edward). Current science, 85(4): 493-496. Gunamalai, R., Kirubagaran, & Subramoniam, T. 2006. Vertebrate steroids and the control of female reproduction in two decapod crustaceans, Emerita asiatica and Macrobrachium rosenbergii. Current Science, 90(1). Harborn, J.D. 1973. Phytochemical methods. Chapman and Hill. London, 354 pp. Munson, J.W. 1984. Pharmaceutical analysis modern methode. Part B. Marcel Dekker. Inc. The Upjohn Company. Kalamazoo. Michigan, 417 pp. Okumura & Sakiyama. 2005. Hemolymph levels of vertebrate-type steroid hormones in female kuruma prawn Arsupenaeus japonicus (Crustacea: Decapoda: Penaeidae) during natural reproductive cycle and induced ovarian development by eyestalk ablation Fisheries Science, 70(3): 372-380. Pei-Li Gu, Chu, K.H., & Chan S.M. 2004. Bacterial expression of the shrimp molt-inhibiting hormone (MIH) (Abstract). Journal Cell and Tissue Reserch. Steenis. 1981. Flora untuk Sekolah di Indonesia. Pradnya Paramita Jakarta p 495 Suryati, E, Tenriulo, A., & Tonnek, S. 2013. Pengaruh pemberian ekstrak pakis sebagai moulting stimulan pada induk udang windu (Penaeus monodon. Fab.) di hatchery. J. Ris. Akuakultur, 8(2): 221-228. 255 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2013 DISKUSI Nama Penanya: Pertanyaan: Sutia Budi Ekstrak yang digunakan tidak larut di media ? Tanggapan: Tergantung media dan tujuan yang ingin dicapai sebagai dipastikan tidak ada masalah