perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan tentang Perjanjian dan Perjanjian Kredit 1. Pengertian Perjanjian Menurut Prof. Sri Soedewi Masychoen Sofwan memberikan batasan perjanjian adalah sebagai suatu perbuatan hukum dimana seorang atau lebih mengikatkan diri seorang lain atau lebih lainnya. Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro memberikan batasan pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dimana satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji tersebut. Selain itu, menurut KRMT. Tirtidiningrat, S.H., perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang diperkenankan oleh Undang-undang.1 Perjanjian dirumuskan dalam Pasal 1313 KUHPerdata, yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Ketentuan pasal ini kurang tepat, karena ada beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah sebagai berikut:2 1) Hanya menyangkut sepihak saja; 2) Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus; 3) Pengertian perjanjian terlalu luas; dan 4) Tanpa menyebut tujuan. Berdasarkan alasan-alasan di atas ini maka perjanjian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1 2 hlm. 224 Evi Ariyani, Hukum Perjanjian, ctk Pertama, Ombak, Yogyakarta, 2013, hlm. 1-2 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. CitraAditya Bakti, Bandung, 2000, commit to user 14 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15 “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.”3 Apabila diperinci, maka perjanjian itu mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1) Ada pihak-pihak, sedikit-dikitnya dua orang (subjek); 2) Ada persetujuan antara pihak-pihak itu (konsensus); 3) Ada objek yang berupa benda; 4) Ada tujuan bersifat kebendaan (mengenai harta kekayaan); 5) Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan. 2. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat hukum (legally concluded contract). Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian adalah sah, apabila memenuhi empat syarat sebagai berikut:4 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Dengan sepakat dimaksudkan bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki pihak lain. 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Menurut Pasal 1329 KUHPerdata: “tiap orang berwenang untuk membuatperikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu”. Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, yang tidak cakap untuk membuat perjanjian ada tiga golongan, yaitu : a) anak yang belum dewasa; 3 Ibid., hlm. 225 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan, ctk Pertama, Nuansa Aulia, Bandung, hlm. 91-95 4 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16 b) orang yang berada di bawah pengampuan; dan c) perempuan bersuami. Sekarang ini, setelah dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 dan setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, tinggal dua golongan yang tidak cakap membuat perikatan, yaitu anak yang belum dewasa dan orang yang berada di bawah pengampuan (curatele). 3) Suatu hal tertentu. Mengenai suatu hal tertentu maksudnya ialah bahwa objek perjanjian harus tertentu, setidak-tidaknya harus dapat ditentukan (Pasal 1333 KUHPerdata). Dan, barang-barang yang baru akan dikemudian hari pun dapat menjadi objek suatu perjanjian (Pasal 1334 KUHPerdata). 4) Suatu sebab yang halal. Maksudnya ialah bukan hal yang menyebabkan perjanjian, tetapi isi perjanjian itu sendiri. Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undangundang, kesusilaan, maupun ketertiban umum (Pasal 1337 KUHPerdata). Syarat yang pertama dan kedua di atas disebut syarat subjektif, karena menyangkut pihak-pihak yang membuat perjanjian dan apabila syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian atau kontrak tersebut dapat dibatalkan. Syarat ketuga dan keempat adalah syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian dan apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka perjanjian atau kontrak batal demi hukum.5 Suatu perbuatan hukum batal, berarti bahwa karena adanya cacat hukum mengakibatkan tujuan perbuatan hukum tersebut menjadi tidak berlaku. Pada perbuatan hukum dapat mengandung cacat yang sifat cacat tersebut dapat berbeda-beda. Dengan adanya cacat yang berbeda menimbulkan sanksi yang berbeda pula. Perbedaan utama mengenai kebatalan adalah batal demi hukum 5 Evi Ariyani, op.cit., hlm. 10 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 17 (van rechtswege nietig) dan dapat dibatalkan (vernietigbaar). Pada keadaan tertentu dengan adanya cacat tertentu diberikan sanksi batal demi hukum. Perbuatan hukum tersebut oleh undang-undang tidak mempunyai akibat hukum sejak terjadinya perbuatan hukum tersebut. Perbuatan hukum yang mengandung cacat, tetapi penentuan apakah perbuatan hukum tersebut menjadi sah atau batal bergantung pada keinginan orang tertentu menyebabkan perbuatan hukum tersebut dapat dibatalkan.6 Dengan batalnya suatu perbuatan hukum, maka perbuatan hukum tersebut tidak mempunyai akibat hukum. Akibat batal dapat berakibat terhadap siapa pun, dapat pula hanya berlaku terhadap orang tertentu, serta dapat pula hanya batal sebagian.7 3. Pengertian Perjanjian Kredit Kata “kredit” berasal dari bahasa latin yaitu Credere yang berarti kepercayaan. Oleh karena itu, dasar dari kredit adalah kepercayaan yang diberikan seseorang (kreditor) kepada orang lain dan percaya bahwa si penerima kredit tersebut (debitor) akan melunasi segala sesuatu yang telah disepakati bersama.8 Pasal 1 angka (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentangPerbankan memberikan definisi tentang kredit :“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Perjanjian kredit adalah perjanjian yang dibuat bersama antara kreditor dan debitor atas sejumlah kredit, dimana kreditor berkewajiban untuk memberikan uang atau kredit kepada debitor, dan debitor berkewajiban untuk membayar pokok dan bunga, serta biaya-biaya yang lainnya sesuai dengan 6 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, ctk Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm. 364-365 7 Ibid, hlm 366 8 Jamal Wiwoho, op.cit., hlm. 87 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18 jangka waktu yang telah disepakati antara keduanya.9 Unsur-unsur perjanjian kredit adalah:10 a. Adanya subjek hukum; b. Adanya objek hukum; c. Adanya prestasi; d. Adanya jangka waktu. Perjanjian kredit menurut hukum perdata Indonesia merupakan salah satu dari bentuk perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1754-1769 KUHPerdata. Akan tetapi, dalam praktik perbankan yang modern, hubungan hukum dalam kredit bukan lagi semata-mata berbentuk perjanjian pinjam-meminjam, melainkan adanya campuran dengan bentuk perjanjian yang lainnya, seperti perjanjian pemberian kuasa dan perjanjian lainnya.11 4. Subjek dan Objek Perjanjian Kredit Para pihak dalam perjanjian kredit adalah debitor dan kreditor. Kreditor dalam Pasal 1 angka 4 dan 5 Rancangan Undang-Undang Perkreditan Perbankan adalah bank yang menyediakan kredit kepada debitor berdasarkan perjanjian kredit. Debitor adalah badan hukum atau badan lainnya yang menerima kredit dari kreditor berdasarkan perjanjian kredit. Objek dalam perjanjian kredit adalah sejumlah uang tertentu yang sistem pembayarannya dilakukan secara mengangsur dalam jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan.12 5. Fungsi Perjanjian Kredit 9 Evi Ariyani,op.cit., hlm. 59 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 78 11 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, ctk Keenam, edisi revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm. 441 12 Evi Ariyani, op.cit., hlm. 60-61 10 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 19 Menurut Sutarno perjanjian kredit memiliki fungsi sebagai berikut :13 1) Perjanjian kredit sebagai alat bukti bagi kreditor dan debitor yang membuktikan adanya hak dan kewajiban timbal balik antara bank sebagai kreditor dan debitor. 2) Perjanjian kredit dapat digunakan sebagai alat atau sarana pemantauan atau pengawasan kredit yang sudah diberikan, karena perjanjian kredit berisi syarat dan ketentuan dalam pemberian kredit dan pengembalian kredit. Untuk mencairkan kredit dan penggunaan kredit dapat dipantau dari ketentuan perjanjian kredit. 3) Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok yang menjadi dasar dari perjanjian ikutannya yaitu pengikatan jaminan. 4) Perjanjian kredit hanya sebagai alat bukti biasa yang membuktikan adanya hutang debitor. 6. Pengertian Kredit Perbankan Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang paling penting dan besar perannya dalam kehidupan masyarakat. Dalam menjalankan perannya, maka bank bertindak sebagai salah satu bentuk lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit dan jasa-jasa keuangan lainnya. Pada hakekatnya pengertian kredit yang diartikan oleh Perbankan sebagai pemberi kredit (kreditor) dalam menjalankan perannya wajib mendasarkan pada sesuatu kebijakan untuk selalu tetap memelihara keseimbangan yang tepat antara keinginan untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk tingkat bunga pada satu sisi dengan tujuan likuiditas dan solvabilitas bank.14 Analisis kredit harus cermat memperhitungkan nilai jaminan dengan nilai kredit yang akan diberikan bank kepada debitornya karena sebagaimana 13 Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2004, hlm. 12 Muhamad Djumhana, op.cit., hlm 418 14 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 20 dinyatakan oleh Shleifer and Vishny :15 “theories predict that the distressed liquidation of assets by hedge funds results in a large drop in asset prices.” (Kesalahan memprediksi jaminan maka dapat menimbulkan kesusahan dalam eksekusi kredit macet). Kredit macet adalah kredit yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor-faktor atau unsur kesengajaan atau karena kondisi di luar kemampuan debitor.16 Hal ini diperlukan karena kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Pentingnya diperhatikan segi likuiditas dan solvabilitas oleh pihak bank dalam kegiatan perkreditan, karena segi likuiditas tersebut merupakan hal yang penting dari bank dalam hal menyangkut kemampuan bank tersebut dalam meminjam terbayarnya utang-utang jangka pendeknya. Sedangkan pentingnya solvabilitas dalam hal bank tersebut diharapkan mempunyai kemampuan untuk melunasi semua utangnya (baik jangka pendek maupun jangka panjang). Solvabilitas bank juga bergantung pada masingmasing nasabahnya, sehingga untuk menjaga solvabilitas bank maka bank harus berhati-hati dan harus menyelidiki dulu apakah si calon peminjam (debitor) itu sungguh-sungguh dapat dipercaya dan juga dapat diandalkan. Cara menyelidikinya dengan melalui analisa kredit yang ditujukan kepada si calon debitor dengan mengemukakan persyaratan-persyaratan tertentu dan acuan yang telah baku pada dunia perbankan.17 7. Berakhirnya Perjanjian Pasal 1381 KUHPerdata disebutkan beberapa cara untuk berakhirnya suatu perjanjian :18 15 Shleifer and Vishny yang ditulis oleh Xavier Gabaix, Arvind Krishnamurthy, and Olivier Vigneron, “Limits of Arbitrage : Theory and Evidence from The Mortgage-Backed Securities Market”, The Journal of Finance, Vol. LXII, No. 2, April 2007 16 Siamat Dahlan, Manajemen Bank Umum, Intermedia, Jakarta, 1993, hlm. 303 17 Ibid. 18 Evi Ariyani, op.cit., hlm. 23 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 21 a. Pembayaran b. Penawaran pembayaran tunai disertai dengan penitipan c. Pembaharuan utang d. Perjumpaan utang e. Percampuran utang f. Pembebasan utang g. Musnahnya benda yang terutang h. Pembatalan i. Berlakunya syarat batal j. Kadaluarsa Berakhirnya perjanjian tidak diatur secara tersendiri dalam UndangUndang, tetapi hal itu dapat disimpulkan dari beberapa ketentuan yang ada dalam Undang-Undang tersebut. Berakhirnya suatu perjanjian tersebut disebabkan oleh :19 a. Ditentukan terlebih dahulu oleh para pihak, misalnya dengan menetapkan batas waktu tertentu, maka jika sampai pada batas yang telah ditentukan tersebut, mengakibatkan perjanjian hapus; b. Undang-Undang yang menetapkan batas waktunya suatu perjanjian; c. Karena terjadinya peristiwa tertentu selama perjanjian dilaksanakan; d. Salah satu pihak meninggal dunia; e. Adanya pernyataan untuk mengakhiri perjanjian yang diadakan oleh salah satu pihak atau pernyataan tersebut sama-sama adanya kesepakatan untuk mengakhiri perjanjian yang diadakan; f. Putusan hakim yang mengakhiri suatu perjanjian yang diadakan; g. Telah tercapainya tujuan dari perjanjian yang diadakan oleh para pihak. 19 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Tanggungan, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 43 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 22 8. Hapusnya Perjanjian Kredit Pasal 1381 KUHPerdata mengatur cara hapusnya perikatan, dapat diberlakukan pada perjanjian kredit bank. Umumnya, perjanjian kredit bank berakhir karena :20 a. Pembayaran Pembayaran (lunas) ini merupakan pemenuhan prestasi dari debitor, baik pembayaran utang pokok, bunga, denda, maupun biaya-biaya lainnya yang wajib dibayar lunas oleh debitor. Pembayaran lunas ini baik karena jatuh tempo kreditnya atau karena diharuskannya debitor melunasi kreditnya secara seketika dan sekaligus. Pasal 1382 KUH Perdata menyebutkan kemungkinan pembayaran utang (pelunasan) dilakukan oleh pihak ketiga kepada pihak berpiutang (kreditor), sehingga terjadi penggantian kedudukan atau hak-hak kreditor oleh pihak ketiga. Berdasarkan pasal 1400 KUH Perdata, terjadinya subrogasi bisa karena perjanjian atau subrogasi demi undang-undang yang diatur lebih lanjut dalam pasal 1401-1402 KUH Perdata. Pembaruan utang terjadi dengan jalan mengganti utang lama dengan utang baru, debitor lama dengan debitor baru, dan kreditor lama dengan kreditor baru. Bila utang lama diganti dengan utang baru terjadilah penggantian objek perjanjian yang disebut dengan novasi objektif, utang lama lenyap. b. Subrogasi (Subrogatie) Pasal 1382 KUH Perdata menyebutkan kemungkinan pembayaran utang (pelunasan) dilakukan oleh pihak ketiga kepada pihak berpiutang (kreditor), sehingga terjadi penggantian kedudukan atau hak-hak kreditor oleh pihak ketiga. Berdasarkan pasal 1400 20 Mariam Darus Badrulzaman, Sutan Remy Sjahdeini, Heru Soepraptomo, Faturrahman Djamil, Taryana Soenandar, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 279 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 23 KUH Perdata, terjadinya subrogasi bisa karena perjanjian atau subrogasi demi undang-undang yang diatur lebih lanjut dalam pasal 1401-1402 KUH Perdata. Pembaruan utang terjadi dengan jalan mengganti utang lama dengan utang baru, debitor lama dengan debitor baru, dan kreditor lama dengan kreditor baru. Bila utang lama diganti dengan utang baru terjadilah penggantian objek perjanjian yang disebut dengan novasi objektif, utang lama lenyap. c. Pembaruan Hutang (Novasi) Dalam hal ini terjadi pergantian subjeknya, maka jika diganti debitornya disebut novasi subjekti pasif, jika diganti krediturnya disebut novasi subjektif aktif. Pada umumnya pembaruan utang yang terjadi dalam dunia perbankan adalah dengan mengganti atau meperbarui perjanjian kredit bank yang ada dengan perjanjian kredit yang baru. Otomatis perjanjian kredit yang lama berakhir dan tidak berlaku lagi. Pasal 1413 KUH Perdata menyebutkan 3 cara untuk melakukan novasi, yaitu: Kompensasi adalah perjumpaan dua utang, yang berupa benda-benda yang ditentukan menurut jenis (generieke ziken), yang dipunyai oleh dua orang atau pihak secara timbale balik, dimana masing-masing pihak berkedudukan baik sebagai kreditor maupun debitor terhadap orang lain, sampai jumlah terkecil yang ada diantara kedua utang tersebut. Dasarnya disebutkan dalam pasal 1425 KUH Perdata. Dikatakan jika dua orang saling berhutang satu pada yang lain maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan utang-piutang, dengan mana utang-hutang antara kedua orang tersebut dihapuskan. Kondisi ini dijalankan bank dengan cara mengkonpensasi barang jaminan 1) dengan membuat suatu perikatan utang baru yang menggantikan perikatan utang lama yang dihapuskan karenanya, 2) dengan cara expromissie, yakni mengganti debitur lama dengan debitur baru, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 24 3) mengganti debitur lama dengan debitur baru sebagai akibat perjanjian baru yang diadakan d. Perjumpaan Utang (Kompensasi) Kompensasi adalah perjumpaan dua utang, yang berupa benda-benda yang ditentukan menurut jenis (generieke ziken), yang dipunyai oleh dua orang atau pihak secara timbale balik, dimana masing-masing pihak berkedudukan baik sebagai kreditor maupun debitor terhadap orang lain, sampai jumlah terkecil yang ada diantara kedua utang tersebut. Dasarnya disebutkan dalam pasal 1425 KUH Perdata. Dikatakan jika dua orang saling berhutang satu pada yang lain maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan utang-piutang, dengan mana utang-hutang antara kedua orang tersebut dihapuskan. Kondisi ini dijalankan bank dengan cara mengkonpensasi barang jaminan debitur dengan utangnya kepada bank, sebesar jumlah jaminan tersebut yang diambil alih tersebut. B. Tinjauan tentang Jaminan 1. Pengertian Jaminan dan Fungsi Jaminan Pengertian jaminan menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitor dan atau pihak ketiga kepada kreditor untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan. Adapun Suyanto, ahli hukum perbankan mendefinisikan jaminan adalah penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu utang. Di sisi lain, Hartono Hadisaputro berpendapat bahwa jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa kreditor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.21 21 Adrian Sutedi, op.cit., hlm. 20 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 25 Kashadi memberikan pengertian jaminan adalah adalah suatu yang diberikan kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.22 Menurut Sri Soedewi Masjhoen Sofwan hukum jaminan adalah mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya sebagai jaminan. Peraturan demikian harus cukup menyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembaga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya lembaga jaminan dan lembaga demikian, kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah, besar, dengan jangka waktu yang lama dan bunga yang relatif rendah. Menurut J. Satrio mengartikan hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap debitur. Menurut Salim HS jaminan yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.23 Menurut Pasal 1131 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan jaminan, ialah : meliputi seluruh kekayaan debitor yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, sehingga tanpa harus diperjanjikan secara khusus, benda-benda tersebut sudah menjadi jaminan bagi seluruh utang-utang debitor.24 Secara umum, Pasal 1131 KUHPerdata memberikan jaminan kepada kreditor, yaitu atas segala kebendaan debitor menjadi tanggungan untuk segala perikatannya. Berdasar pada ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata, para kreditor mempunyai hak tuntut dengan urutan yang sama atas harta kebendaan debitor yang berarti bahwa, baik tagihan lama maupun baru, besar maupun kecil jumlah 22 Kashadi, Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia, Badan Penerbit Undip, Semarang, 2000, hlm. 1 23 Noor Saptanti, Hukum Jaminan Bahan Ajar Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2013 24 Djaja S. Meliala, op.cit., hlm. 42 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 26 tagihannya akan disamakan urutan penagihannya (paritas creditorum), kecuali terdapat alasan yang sah untuk didahulukan.25 Fungsi dari jaminan adalah untuk menjaga kelancaran pengembalian dana yang diikat dengan hak jaminan. Pada prinsipnya jaminan yang baik dapat dilihat dari kemudahan untuk memperoleh kredit dari bank, tidak melemahkan potensi ekonomi penerima kredit untuk meneruskan usaha dan memudahkan kreditor untuk memperoleh pelunasan atas utang debitor.26 2. Unsur-unsur Jaminan Unsur-unsur yang terdapat dalam hukum jaminan antara lain:27 a. Adanya kaidah hukum Kaidah hukum dalam bidang jaminan, dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu : 1) kaidah hukum jaminan tertulis Kaidah hukum jaminan tertulis adalah kaidah-kaidah yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. 2) kaidah hukum jaminan tidak tertulis Kaidah hukum jaminan tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum jaminan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat. Hal ini terlihat pada gadai tanah dalam masyarakat yang dilakukan secara lisan; b. Adanya pemberi dan penerima jaminan Pemberi jaminan adalah orang-orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada penerima jaminan. Yang bertindak sebagai pemberi jaminan ini adalah orang atau badan hukum yang membutuhkan fasilitas kredit. Orang ini lazim disebut dengan debitur. 25 Herlien Budiono, op.cit, hlm. 102 Subekti, Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 19 27 Noor Saptanti, Hukum Jaminan Bahan Ajar Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2013 26 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 27 Penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yangmenerima barang jaminan dari pemberi jaminan. Yang bertindak sebagai penerima jaminan ini adalah orang atau badan hukum. Badan hukum adalah lembaga yang memberikan fasilitas kredit, dapat berupa lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan nonbank. c. Adanya jaminan Pada dasarnya, jaminan yang diserahkan kepada kreditur adalah jaminan materiil dan imateriil. Jaminan materiil merupakan jaminan yang berupa hak-hak kebendaan seperti jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan imateriil merupakan jaminan nonkebendaan. d. Adanya fasilitas kredit Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas dari bank atau lembaga keuangan nonbank. Pemberian kredit merupakan pemberian uang berdasarkan kepercayaan, dalam arti bank atau lembaga keuangan nonbank percaya bahwa debitur sanggup untuk mengembalikan pokok pinjaman dan bunganya. Begitu juga debitur percaya bahwa bank atau lembaga keuangan nonbank dapat memberikan kredit kepadanya. 3. Pengikatan Jaminan Untuk memberikan kedudukan yang kuat dan aman kepada kreditor (bank), didahulukan pembayaran piutangnya dari kreditor-kreditor konkuren, diperlukan pengikatan agunan secara khusus. Hak untuk didahulukan diantara kreditor yang timbul antaralain pembebanan Hak Tanggungan, Jaminan Fidusia, gadai, hipotek (kapal laut dan kapal terbang).Jaminan benda tidak bergerak yang berupa hak atas tanah yaitu Hak Tanggungan (Undang-undang Nomor4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Bendabenda Yang Berkaitan Dengan Tanah), Jaminan benda bergerak yaitu lembaga commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 28 Fidusia ( Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dan Jaminan benda tak bertubuh yaitu Cessi atau Gadai.28 4. Penggolongan Jaminan Jaminan dapat digolongkan menjadi beberapa yaitu:29 a. Jaminan berdasarkan Undang-undang dan berdasarkan Perjanjian Jaminan berdasarkan Undang-Undang ada dalam Pasal 1131 KUHPerdata, jaminan berdasar perjanjian yaitu terjadinya karena adanya perjanjian jaminan dalam bentuk gadai, Jaminan Fidusia, Hak Tanggungan dan jaminan perorangan serta garansi bank. b. Jaminan Umum dan Jaminan Khusus Jaminan umum meliputi pengertian untuk semua kreditor (kreditor konkuren) dan untuk seluruh harta kekayaan artinya tidak ditunjuk secara khusus yaitu yang ditentukan dalam Pasal 1131 KUHPerdata. Jaminan khusus yaitu hanya untuk kreditor tertentu (kreditor preferen) dan benda jaminannya ditunjuk secara khusus (tertentu) yaitu Gadai, Fidusia, Hak Tanggungan apabila orang/Badan Hukum yaitu penanggungan atau misal garansi bank. c. Jaminan Kebendaan dan Jaminan Perorangan Jaminan yang bersifat kebendaan yaitu jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yaitu hak milik.Maka sifat jaminan kebendaan juga termasuk kedalam sifat-sifat dari hak kebendaan yang meliputi:30 1) Bersifat absolute, dapat dipertahankan kepada siapa saja. 28 Noor Saptanti, Hukum Jaminan Bahan Ajar Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2013 29 Noor Saptanti, Hukum Jaminan Bahan Ajar Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2013 30 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 62 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 29 2) Droit de Suit, selalu mengikuti bendanya, dimana hak tersebut terus mengikuti bendanya dimanapun juga barang tersebut berada, hak itu terus mengikuti orang yang mempunyainya. 3) Asas prioriteit bahwa yang terjadi lebih dulu didahulukan dalam pemenuhannya, maka yang terjadi dulu tingkatannya lebih tinggi daripada yang terjadi kemudian. 4) Asas Publisitas, bahwa pendaftaran benda merupakan bukti dari kepemilikan. 5) Dapat dipindahtangankan atau dialihkan secara penuh. Jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu (Pasal 1820 KUHPerdata: Penanggungan). Jaminan perorangan (dalam arti yang luas) dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu : 1) Jaminan Pribadi (Personal Guarantee) 2) Jaminan Perusahaan (Corporate Guarantee) 3) Garansi Bank (Bank Guarantee) d. Jaminan atas Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak Jaminan berupa benda bergerak lembaga jaminannya Gadai dan Fidusia. Jaminan berupa benda tidak bergerak dahulu Hipotek, Credietverband dan sekarang Hak Tanggungan. e. Jaminan dengan Menguasai Bendanya dan Tanpa Menguasai Bendanya Gadai tidak pesat pertumbuhannya karena terbentur syarat inbezit stellingyang dirasakan berat oleh debitor yang justru memerlukan benda yang dijaminkan untuk menjalankan pekerjaan atau usahanya.Pada Fidusia dan Hak Tanggungan, jaminan tanpa menguasai bendanya menguntungkan debitor sebagai pemilik jaminan karena tetap dapat menggunakan benda jaminan dalam kegiatan pekerjaannya atau usahanya. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 30 C. Tinjauan tentang Hak Tanggungan 1. Pengertian Hak Tanggungan Pada hakekatnya pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hakjaminan yang kuat dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Undang-Undang Hak Tanggungan yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 telah diundangkan pada tanggal 9 April 1996 dan berlaku sejak diundangkan. Undang-undang ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. UndangUndang Hak Tanggungan tidak mencabut undang-undang tentang hipotek dalam Buku Kedua KUHPerdata Indonesia, namun menyatakan bahwa ketentuan mengenai hipotek yang tertulis dalam KUHPerdata tidak berlaku lagi sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada Hak atas Tanah (Pasal 29 UUHT).31 Pengertian Hak Tanggungan menurut Undang-undang Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 1 butir 1 yang menyatakan bahwa :32 “Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.” 2. Asas-asas Hak Tanggungan Ada beberapa asas dari hak tanggungan yang perlu dipahami betulyang membedakan Hak Tanggungan ini dari jenis dan bentuk jaminan-jaminan utang yang lain. Bahkan yang membedakannya dari hipotik yang digantikannya. 31 Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba serbi Praktek Notaris, ctk. Pertama, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2007, hlm. 213-214 32 Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 31 Asas-asas tersebut tersebar dan diatur dalam berbagai Pasal dari Undangundang Hak Tanggungan. Asas-asas Hak Tanggungan tersebut adalah :33 a. Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan); b. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 Undang-Undang Hak Tanggungan); c. Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada (Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan); d. Hak Tanggungan dapat dibedakan selain atas tanahnya juga berikut bendabenda yang berkaitan dengan tanah tersebut (Pasal 4 ayat (4) UndangUndang Hak Tanggungan); e. Hak Tanggungan dapat dibedakan juga atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari (Pasal 4 ayat (4) UndangUndang Hak Tanggungan); f. Perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian accesoir (Butir 8 Penjelasan Umum Undang-Undang Hak Tanggungan); g. Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru akan ada (Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan); h. Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari satu utang (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan); i. Hak Tanggungan mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek Hak Tanggungan itu berada (Pasal 7 Undang-Undang Hak Tanggungan); j. Di atas Hak Tanggungan tidak dapat dilakukan sita oleh pengadilan; k. Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang tertentu (Pasal 8 dan Pasal 11 ayat (1) huruf e Undang-Undang Hak Tanggungan); 33 St. Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok, dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-undang Hak Tanggungan), ctk. Pertama, Alumni, Bandung, 1999, hlm. 15-46 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 32 l. Hak Tanggungan wajib didaftarkan (Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan); m. Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai janji-janji tertentu (Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan); n. Objek Hak Tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh pemegang Hak Tanggungan bila debitor cidera janji (Pasal 12 UndangUndang Hak Tanggungan); o. Pelaksanaan eksekusi Hak tanggungan mudah dan pasti (Pasal 6 UndangUndang Hak Tanggungan). 3. Subjek Hak Tanggungan Berdasarkan Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Hak Tanggungan, bahwa Pemberi Hak Tanggungan (debitor) adalah orang-perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. Pemberi Hak Tanggungan adalah sebagai pihak yang menjaminkan objek Hak Tanggungan. Pemegang Hak Tanggungan (kreditor) adalah orang-perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Pemegang Hak Tanggungan adalah sebagai pihak yang menerima Hak Tanggungan sebagai jaminan dari piutang yang diberikannya. Kredior diberikan hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri sesuai dengan yang telah diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan untuk dijual melalui pelelangan umum. Disamping itu, kreditor juga mempunyai hak memohonkan kepada pengadilan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 33 untuk mengeksekusi Hak Tanggungan berdasarkan Sertifikat Hak Tanggungan.34 4. Objek Hak Tanggungan Sehubungan dengan adanya persyaratan tersebut, yang merupakan objek Hak Tanggungan adalah sebagai yang disebut dalam Pasal 4 dihubungkan dengan Pasal 27, yaitu: a. Yang ditunjuk oleh UUPA (Pasal 4 ayat (1)): 1) Hak Milik; 2) Hak Guna Usaha; 3) Hak Guna Bangunan (Pasal 25, 33 dan 39 UUPA). b. Yang ditunjuk oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (Pasal 27) : 1) Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara, dan 2) Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang bangunannya berdiri di atas tanah hak-hak yang disebut di atas. c. Yang ditunjuk oleh UUHT (Pasal 4 ayat (2)) : Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. 35 Di samping itu, objek Hak Tanggungan tidak hanya tanahnya saja tetapi juga dapat berikut dengan benda-benda yang berkaitan dengan tanah seperti yang ditentukan dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-undang Hak Tanggungan, yang menyatakan bahwa objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau yang akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, yang merupakan milik Andhyka Muchtar, “Eksistensi dan Kedudukan Kreditur Hak Tanggungan dalam Kepailitan”, Jurnal Repertorium, Edisi 2, Juli-Desember 2014, hlm. 25-26 35 Kelompok Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, op.cit., hlm. 10-11 34 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 34 pemegang hak atas tanah, yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Objek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu utang (Pasal 5 Butir 1 Undang-undang Hak Tanggungan). Apabila objek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan, peringkat masing-masing Hak Tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada kantor pertanahan. 36 5. Tata Cara Pemberian Hak Tanggungan dan Pendaftaran Hak Tanggungan a. Tata Cara Pemberian Hak Tanggungan Menurut Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan, setelah dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pokok berupa perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang piutang, maka dilanjutkan dengan pemberian Hak Tanggungan yang dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang dibuat oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Prosedur pemberian Hak Tanggungan :37 1) Didahului janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang merupakan tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang. 2) Dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku. 3) Apabila objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat didaftarkan, akan tetapi 36 Djaja S. Meliala,op.cit., hlm. 54-56 Noor Saptanti, Hukum Jaminan Bahan Ajar Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2013 37 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 35 belum dilaksanakan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. b. Tata Cara Pendaftaran Hak Tanggungan Kewajiban pendaftaran pemberian Hak Tanggungan dinyatakan dalam angka 7 Penjelasan Umum atas UUHT, bahwa pemberian Hak Tanggungan yang dituangkan dalam APHT harus diikuti dengan kewajiban pendaftaran dengan cara dibukukan dalam buku tanah di Kantor Pertanahan, yang sekaligus menentukan saat lahirnya Hak Tanggungan. Selanjutnya, kewajiban pendaftaran pemberian Hak Tanggungan ditegaskan dalam Pasal 13 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa pendaftaran Hak Tanggungan dalam buku tanah di Kantor Pertanahan tersebut, dilakukan dalam rangka memenuhi asas publisitas.Karena pada saat penandatanganan APHT, Hak Tanggungan masih belum lahir, yang baru lahir yaitu “janji” untuk memberikan Hak Tanggungan.Hak Tanggungan baru lahir pada saat APHT nya didaftarkan dalam buku tanah di Kantor Pertanahan. Untuk itu pemberian Hak Tanggungan harus atau wajib diikuti dengan tindakan pendaftaran dalam buku tanah di Kantor Pertanahan, yang merupakan prasyarat mutlak bagi lahirnya Hak Tanggungan dan sekaligus mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga.38 6. Pembebanan Hak Tanggungan a. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Penjelasan Umum angka 7 dan penjelasan Pasal 15 ayat (1) UUHT dinyatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh Pemberi Hak Tanggungan dengan cara hadir dihadapan PPAT. Apabila karena suatu sebab tidak dapat hadir sendiri dihadapan PPAT, 38 Noor Saptanti, Hukum Jaminan Bahan Ajar Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2013 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 36 maka wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang berbentuk akta autentik. Pembuatan SKMHT selain oleh Notaris juga ditugaskan kepada PPAT, karena PPAT ini yang keberadaannya sampai pada wilayah kecamatan dalam rangka pemerataan pelayanan di bidang pertanahan. Notaris berwenang membuat SKMHT untuk tanah-tanah di seluruh wilayah Indonesia, maka PPAT hanya boleh membuat SKMHT untuk tanah-tanah yang berada di dalam wilayah jabatannya terutama di tempattempat dimana tidak ada Notaris yang bertugas. Surat Kuasa tersebut harus diberikan langsung oleh pemberi Hak Tanggungan dan wajib memenuhi persyaratan mengenai muatannya sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 15 ayat (1) UUHT. Jika SKMHT tidak dibuat sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan atau tidak memenuhi persyaratan tersebut pada Pasal 15 ayat (1) UUHT, maka Surat Kuasa yang bersangkutan batal demi hukum, artinya Surat Kuasa itu tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan. 39 b. Akta Pemberian Hak Tanggungan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) mengatur persyaratan dan ketentuan mengenai pemberian Hak Tanggungan dari debitor kepada kreditor sehubungan dengan utang yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan. Pemberian Hak ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor yang bersangkutan (kreditor preferen) daripada kreditor-kreditor lain (kreditor konkuren). Pemberian Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang debitor kepada kreditor sehubungan dengan perjanjian pinjaman atau kredit yang bersangkutan. Tata cara pembebanan Hak Tanggungan dimulai dengan tahap pemberian Hak Tanggungan di hadapan PPAT yang berwenang yang 39 Adrian Sutedi, op.cit.,hlm. 60-61 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 37 diatur dalam Pasal 13 ayat (2) UUHT. Selanjutnya dibuktikan dengan APHT dan diakhiri dengan tahap pendaftaran Hak Tanggungan di kantor pertanahan setempat.Dari ketentuan Pasal 13 ayat (2) UUHT, bahwa kewajiban pendaftaran Hak Tanggungan ada di tangan PPAT dan didaftarkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan APHT tersebut ke Kantor Pertanahan setempat. Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) UUHT disebutkan bahwa sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di dalam APHT disebutkan syarat-syarat spesialitas, jumlah pinjaman, penunjukan Objek Hak Tanggungan, dan hal-hal yang diperjanjikan (Pasal 11 ayat (2) UUHT) oleh kreditor dan debitor, termasuk janji roya parsial (Pasal 2 ayat (2) UUHT) dan janji penjualan objek Hak Tanggungan di bawah tangan (Pasal 20 UUHT).40 Penjelasan Pasal 11 UUHT tersebut mengemukakan bahwa ketentuan ini menetapkan isi yang sifatnya wajib untuk sahnya Akta Pemberian Hak Tanggungan. Tidak dicantumkan secara lengkap hal-hal yang disebut pada Pasal ini dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan mengakibatkan akta yang bersangkutan batal demi hukum. 7. Hapusnya Hak Tanggungan Hak Tanggungan yang membebani tanah dan/atau bangunan dapat hapus sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUHT, apabila terjadi hal-hal sebagai berikut :41 a. Utang yang dijamin sudah lunas; b. Hak Tanggungan tersebut dilepaskan pemegangnya; 40 Ibid, hlm. 72-73 Irma Devita, op.cit.,hlm. 70 41 commit to user secara sukarela oleh perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 38 c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penghapusan penetapan peringkat yang telah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri; d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan. Dalam Pasal 22 UUHT ditegaskan bahwa setelah Hak Tanggungan hapus, kantor pertanahan harus mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan sertifikatnya. Pencoretan ini disebut dengan roya Hak Tanggungan. Akibatnya pencoretan ini Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi. Permohonan pencoretan ini diajukan oleh pihak debitor atau yang berkepentingan dengan melampirkan sertifikat Hak Tanggungan yang telah diberi catatan dari kreditor bahwa utangnya sudah lunas atau telah dilepaskan oleh kreditor. Apabila kreditor tidak memberi pernyataan lunas, pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan perintah pencoretan dari Ketua Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat Hak Tanggungan didaftar. Permohonan pencoretan diajukan pada Kepala Kantor Pertanahan dengan melampirkan surat penetapan dari pengadilan.42 8. Eksekusi Hak Tanggungan Salah satu ciri dari Hak Tanggungan adalah mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.Hak eksekusi atas objek Hak Tanggungan berada pada tangan pihak kreditor (pemegang Hak Tanggungan). Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT menyatakan bahwa apabila debitor cidera janji, maka : a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek Hak Tanggungan Imma Indra Dewi Windajani, “Hambatan Eksekusi Hak Tanggungan di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Yogyakarta”, Mimbar Hukum, Edisi Khusus, November 2011, hlm. 125 42 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 39 yang dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulukan daripadaa kreditor-kreditor lainnya. Dari ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUHT dapat diketahui, bahwa terdapat 2 (dua) cara atau dasar eksekusi objek Hak Tanggungan, yaitu:43 a. Berdasarkan parate eksekusi (parate executie) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT. b. Berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) UUHT. Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan menyatakan bahwa apabila debitor cidera janji, Pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri, melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Pemegang Hak Tanggungan pertama tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari pemberi Hak Tanggungan dan tidak perlu pula meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan eksekusi tersebut. Cukuplah apabila pemegang Hak Tanggungan pertama itu mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Lelang Negara setempat untuk pelaksanaan pelelangan umum dalam rangka eksekusi objek Hak Tanggungan tersebut, karena kewenangan pemegang Hak Tanggungan pertama itu merupakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang (kewenangan tersebut dipunyai demi hukum), Kepala Kantor Lelang Negara harus menghormati dan mematuhi kewenangan tersebut.44 43 Noor Saptanti, Hukum Jaminan Bahan Ajar Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2013 44 Sutan Remy Sjahdeni, Hak Tanggungan (Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang dihadapi oleh Perbankan), Alumni, Bandung, 1999, hlm 164-165 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 40 Melalui Pasal 6 UUHT, pembuat undang-undang bermaksud untuk memberikan suatu kedudukan yang kuat kepada pemegang Hak Tanggungan, yaitu dengan memberikan suatu hak yang sangat ampuh, yang disebut parate eksekusi. Parate eksekusi itu dilaksanakan tanpa meminta fiat dari Ketua Pengadilan Negeri. Karenanya pelaksanaan parate eksekusi tidak mendasarkan kepada ketentuan dalam Pasal 224 HIR dan 258 RBg sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum angka 9 dan Penjelasan atas Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) UUHT.45 Selanjutnya dalam Pasal 14 ayat (2) UUHT disebutkan bahwa sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana tanda bukti hak tersebut memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", dan dalam Pasal 14 ayat (3) UUHT menyebutkan bahwa sertifikat Hak Tanggungan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah. Pelaksanaan eksekusi objek Hak Tanggungan juga dapat didasarkan kepada titel eksekutorial sebagaimana tercantum dalam sertifikat Hak Tanggungan. Sertifikat Hak Tanggungan dapat menjadi dasar pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan. Dengan menunjukkan bukti, bahwa debitor ingkar janji dalam memenuhi kewajibannya, diajukan permohonan eksekusi oleh kreditor (pemegang Hak Tanggungan) kepada Ketua Pengadilan Negeri, dengan menyerahkan sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan sebagai dasarnya. Eksekusi akan dilaksanakan atas perintah dan dengan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri tersebut, melalui pelelangan umum yang dilakukan oleh Kantor Lelang Negara.46 45 Noor Saptanti, Hukum Jaminan Bahan Ajar Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2013 46 Boedi Harsono, Hukum Agraria di Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1997, hlm. 412 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 41 Penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilakukan di bawah tangan atas kesepakatan para pihak, jika dengan demikian akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak (Pasal 20 ayat (2) UUHT). Pelaksanaan penjualan jaminan di bawah tangan ini harus didahului dengan pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait dan diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar yang terbit di daerah tempat lokasi tanah dan bangunan berada. Hal ini dilakukan minimal 1 (satu) bulan sebelum penjualan dilakukan, serta tidak ada sanggahan dari pihak manapun. Apabila tidak dilakukan, penjualan dapat dikatakan batal demi hukum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 20 UUHT. 47 Pembentukan UUHT melarang pelaksanaan eksekusi objek Hak Tanggungan tidak mengikuti cara atau prosedur yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUHT, maka cara demikian dinyatakan batal demi hukum. Ketentuan larangan mengadakan cara eksekusi objek Hak Tanggungan yang bertentangan dengan cara yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUHT secara tegas dinyatakan dalam Pasal 20 ayat (4) UUHT. 9. Sifat Perjanjian Pembebanan Hak Tanggungan Sifat perjanjian jaminan lazimnya dikonstruksikan sebagai perjanjian yang bersifat accessoir yaitu senantiasa merupakan perjanjian yang dikaitkan dengan perjanjian pokok. Dalam praktek perbankan, perjanjian pokoknya itu berupa perjanjian pemberian kredit dengan kesanggupan memberikan jaminan. Kemudian diikuti perjanjian penjaminan tersendiri yang merupakan tambahan (accessoir) yang dikaitkan dengan perjanjian pokok tersebut.48 47 Irma Devita, op.cit.,hlm. 62 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, ctk Kelima, Liberty, Yogyakarta, 2011, hlm. 37 48 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 42 Kedudukan perjanjian penjaminan yang dikonstruksikan sebagai perjanjian accessoir itu menjamin kuatnya lembaga jaminan tersebut bagi keamanan pemberian kredit oleh kreditor. Dana sebagai perjanjian yang bersifat accessoir memperoleh akibat-akibat hukum seperti halnya perjanjian accessoir yang lain, yaitu :49 a. Adanya tergantung pada perjanjian pokok; b. Hapusnya tergantung pada perjanjian pokok; c. Jika perjanjian pokok batal – ikut batal; d. Ikut beralih dengan beralihnya perjanjian pokok; e. Jika perutangan pokok beralih karena cessie, subrogasi maka ikut beralih juga tanpa adanya penyerahan khusus. Berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang Hak Tanggungan Butir 8 menyatakan bahwa Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran atau keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Dalam hal piutang yang bersangkutan beralih kepada kreditor lain, Hak Tanggungan yang menjaminnya,karena hukum beralih pula kepada kreditor tersebut. Demikian juga, Hak Tanggungan menjadi hapus karena hukum, apabila karena pelunasan atau sebab-sebab lain, piutang yang dijaminnya menjadi hapus. D. Tinjauan tentang Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi 49 Ibid commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 43 Wanprestasi berarti ketiadaan suatu prestasi, dan prestasi berati suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perikatan. Wanprestasi dapat terwujud 4 (empat) macam, yaitu :50 a. Pihak debitor sama sekali tidak melakukan prestasi; b. Pihak debitor terlambat melakukan prestasi; c. Pihak debitor salah/keliru dalam melakukan prestasi; d. Pihak debitor melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Wanprestasi merupakan lembaga hukum yang memegang peranan penting dalam hukum perdata, karena mempunyai akibat hukum yang sangat penting, yang biasanya dikaitkan dengan masalah pembatalan perjanjian dan atau ganti rugi (Pasal 1243 jo. Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata).51 Salah satu cara untuk menetapkan debitor wanprestasi adalah dengan melancarkan pernyataan lalai yang diwujudkan dalam bentuk suatu somasi/surat peringatan. 2. Penggantian Kerugian Debitor yang melakukan wanprestasi berkewajiban untuk memberikan penggantian kerugian yang ditimbulkan wanprestasi tersebut. Tentang ganti rugi ini dalam BW diatur dalam Buku III Bab I, Bagian IV Pasal 1243 s/d 1252 BW. Istilah resmi yang dipakai dalam BW untuk penggantian kerugian itu ada tiga (3), yaitu: konstan, schaden, interessen (pengganti beaya, kerugian dan bungabunga).52 Penggantian kerugian yang diatur dalam BW adalah penggantian kerugian yang timbul dari tidak dipenuhinya perikatan yang berdasarkan perjanjian, bukan perikatan yang berdasarkan undang-undang. Dengan kata lain yang diatur dalam BW adalah penggantian kerugian karena wanprestasi, sehingga dengan demikian kerugian yang ditimbulkan karena onrechtmatige 50 Setiono, Hukum Perikatan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), ctk Pertama, UNS Press, Surakarta, 2012, hlm. 13 51 J. Satrio, Wanprestasi menurut KUHPerdata,Doktrin,dan Yurisprudensi, ctk Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, hlm. 21 52 Setiono, op.cit., hlm. 21 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 44 daad tidak diatur. Penyelesaian dalam hal kerugian yang ditimbulkan karena onrechtmatige daad adalah dengan mengadakan penafsiran terhadap peraturanperaturan tentang kerugian yang timbul dari wanprestasi.53 E. Tinjauan tentang Overmacht (Keadaan Memaksa / Force Mayeur) 1. Pengertian Overmacht Keadaan memaksa atau force majeur, menurut Subekti adalah seorang debitur yang dituduh lalai dan dimintakan supaya kepada-nya diberikan hukuman atas kelalaiannya, ia dapat membela diri dengan mengajukan beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman-hukuman itu. Pembelaan tersebut, yaitu mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur). Sementara, Riduan Syahrani menjelaskan overmacht sering juga disebut force majeur yang lazimnya diterjemahkan dengan keadaan memaksa danada pula yang menyebut dengan “sebab kahar”.54 Overmacht ialah peristiwa yang terjadi di luar kesalahan debitor setelah dibuat perikatan yang debitor tidak dapat memperhitungkannya lebih dahulu pada saat dibuatnya perikatan atau sepatutnya tidak dapat memperhitungkannya dan yang merintangi pelaksanaan perikatan. Debitor harus mengemukakan tangkisan (eksepsi) keadaan memaksa. Hakim dalam jabatannya tidak boleh menolak tuntutan karena dikemukakan tangkisan itu oleh debitor. Jadi, dengan adanya overmacht perikatannya masih tetap tidak lenyap hanya berhenti. Hal ini penting adanya overmacht yang bersifat sementara, sebab dalam overmacht yang sementara apabila overmacht nya telah berhenti, perikatannya berlaku kembali.55Overmacht diatur dalam Pasal 1245 BW. Akibat overmacht:56 53 Ibid Hermawan Lumba dan Sumiyati, “Pertanggungjawaban Perusahaan Ekspeditur Kepada Konsumen Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”, Mimbar Keadilan, Edisi : Januari-Juni 2014, hlm 76. 55 Ibid, hlm. 31 56 Ibid, hlm. 31-32 54 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 45 a) Kreditor tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi; b) Debitor tidak lagi dapat dinyatakan lalai dan karenanya tidak wajib memberikan ganti rugi; c) Resiko tidak beralih pada debitor; d) Kreditor tidak dapat menuntut pembatalan perjanjian timbal balik. 2. Teori-teori Overmacht Terdapat dua golongan teori tentang overmacht, yaitu :57 a) Teori Objektif Menurut teori ini, debitor dapat menggunakan keadaan memaksa sebagai alasan tidak berprestasi jika pemenuhan prestasi bagi setiap orang tidak mungkin secara mutlak. Contoh : debitor dalam suatu perjanjian diharuskan menyerahkan seekor kuda, tetapi sebelum saat penyerahan di tengah perjalanan disambar petir sehingga kuda tersebut mati. b) Teori Subjektif Dalam teori subjektif ini, ketidakmungkinan subjektif dibagi dalam dua golongan, yaitu : 1) Debitor yang bersangkurtan tidak mungkin memenuhi prestasi. Misalnya : debitor tiba-tiba sakit atau jatuh miskin; 2) Pemenuhan prestasi secara teoritis masih dimungkinkan, tetapi secara praktis apabila dipenuhi akan sangat memberatkan debitor. Jadi, teori subjektif memperhatikan keadaan pribadi daripada debitor pada waktu terjadinya overmacht, misalnya kesehatan dan kemampuan keuangannya. F. Tinjauan tentang Eksekusi 1. Pengertian Eksekusi 57 Setiono, op.cit., hlm. 33 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 46 Bertitik tolak dari ketentuan Bab Kesepuluh Bagian Kelima HIR atau Titel Keempat Bagian Keempat RBG, pengertian eksekusi sama dengan tindakan “menjalankan putusan”. Menjalankan putusan pengadilan, tiada lain daripada melaksanakan isi putusan pengadilan, yakni melaksanakan “secara paksa” putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah (tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankannya secara sukarela.58 Putusan Pengadilan yang dieksekusi adalah putusan Pengadilan yang mengandung perintah kepada salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang, atau juga pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap. Putusan Pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Ada pun yang memberikan kekuatan eksekutorial padaputusan Pengadilan terletak pada kepada putusan yang berbuyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Di samping itu putusan Pengadilan yang mempunyai titel eksekutorial adalah putusan yang bersifat atau yang mengandung amar “condemnatoir”, sedangkan putusan Pengadilan yang bersifat deklaratoir dan constitutif tidak dilaksanakan eksekusi karena tidak memerlukan eksekusi dalam menjalankannya. Menurut Sudikno Mertokusumo, eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan Pengadilan tersebut. Pihak yang menang dapat memohon eksekusi pada Pengadilan yang memutus perkara tersebut untuk melaksanakan putusan tersebut secara paksa (execution force).59 2. Macam-macam Eksekusi 58 M. Yahya Harahap,Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,ctk Keempat,Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm 6 59 Tazkiatun Nafs Az Zahra, Eksekusi dalam Hukum Acara Perdata, http://itskiyanafs.blogspot.com/2013/11/eksekusi-dalam-hukum-acara-perdata.html, diakses pada hari Jum’at, tanggal 6 maret 2015, pukul 23.40 wib commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 47 Pada dasarnya ada 2 (dua) bentuk eksekusi ditinjau dari segi sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan yaitu : 60 a. Eksekusi riil. Hubungan hukum yang hendak dipenuhi sesuai dengan amar atau diktum putusan, yaitu melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan riil. Contoh eksekusi riil antaralain : penyerahan barang, pengosongan, pembongkaran, melakukan suatu perbuatan. Mengenai eksekusi riil atas objek Hak Tanggungan yang telah dijual, baik dalam hal melalui Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 224 HIR ataupun melalui kekuasaan sendiri berdasarkan Pasal 6, karena tidak diatur didalam UUHT. Pelaksanaan eksekusi riilnya tunduk kepada ketentuan umum dalam Pasal 200 ayat (11) HIR yaitu jika pemberi Hak Tanggungan tidak mau atau enggan mengosongkan /meninggalkan objek Hak Tanggungan yang telah dijual lelang kepada Pembeli Lelang, pemegang Hak Tanggungan semula atau Pembeli Lelang, dapat meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mengosongkannya. Dan berdasarkan permintaan itu, Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan atau menerbitkan surat penetapan yang berisi perintah kepada juru sita supaya melakukan eksekusi riil berupa pengosongan objek tersebut. Jika perlu dengan bantuan polisi. Dengan demikian maka berdasarkan ketentuan Pasal 200 ayat (11) HIR, eksekusi riil untuk mengosongkan objek Hak Tanggungan yang dijual lelang cukup dalam bentuk permintaan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan tidak perlu dalam bentuk gugatan perdata. b. Eksekusi pembayaran uang. Hubungan hukum yang mesti dipenuhi sesuai dengan amar putusan, melakukan pembayaran sejumlah uang. Eksekusi pembayaran sejumlah 60 M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 23 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 48 uang tidak hanya didasar atas putusan pengadilan, tetapi dapat juga didasarkan atas bentuk akta tertentu yang oleh undang-undang disamakan nilainya dengan putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yaitu : grosse akta pengakuan hutang, sertifikat hak tanggungan dan jaminan fidusia. Pada umumnya eksekusi pembayaran sejumlah uang bersumber dari perjanjian utang atau penghukuman membayar ganti kerugian yang timbul dari “wanprestasi” berdasarkan Pasal 1243 juncto Pasal 1246 KUHPerdata atau yang timbul dari “perbuatan melawan hukum” berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal 1243 KUHPerdata menyebutkan : “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinyha suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.” Pasal 1246 KUHPerdata menyebutkan : “Biaya, rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan tak mengurangi pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang disebutkan Pasal berikutnya” Pasal 1365 KUHPerdata menyebutkan : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut” Jika debitor tidak bersedia untuk melunasi pembayaran sejumlah uang yang dihukumkan kepadanya secara sukarela, terbuka kewenangan pengadilan menjalankan putusan secara paksa melalui eksekusi, dengan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 49 jalan penjualan lelang harta kekayaan debitor yang kemudian hasilnya akan dipergunakan untuk memenuhi kewajiban debitor. Dengan kata lain eksekusi pembayaran sejumlah uang dapat juga diartikan sebagai pelaksanaan hak-hak kreditor dalam perutangan yang tertuju terhadap harta kekayaan debitor, manakala perutangan itu tidak dapat dipenuhi secara suka rela oleh debitor.61 Pelaksanaan akan pemenuhan haknya terhadap benda-benda tersebut diperlukan berbagai tata cara dan penahapan yang dibarengi dengan berbagai persyaratan antara lain dimulai dari peringatan atau teguran, sita eksekusi (executorial beslag) dan baru dilakukan penjualan lelang serta penyerahan uang penjualan lelang kepada kreditor. Dengan kata lain penjualan lelang dan penyerahan uang hasil penjualan merupakan tahapan akhir dari proses ekesekusi pembayaran sejumlah uang. Syarat adanya titel eksekutorial ini diadakan demi perlindungan bagi debitor terhadap perbuatan yang melampaui batas dari kreditor. Pelaksanaan beslag eksekutorial dapat timbul karena berdasarkan keputusan hakim yang dibuat dalam bentuk eksekutorial (Pasal 430 Reglement of de Rechtsvordering) yang memutuskan bahwa debitor harus membayar sejumlah pembayaran tertentu atau prestasi tertentu. Sebagai pengecualian, dapat juga eksekusi dilakukan tanpa mempunyai titel eksekutorial ialah dengan melalui parate executie atau eksekusi langsung.62 Dalam hal pengecualian tersebut, termasuk didalamnya adalah eksekusi terhadap grosse akta hipotik dan grosse akta pengakuan utang sebagaimana Djoko Achmad Pitoyo, “Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan dengan Cara Penjualan Tidak Melalui Lelang Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 300/KMK.01/2002 di PT. Bank BPD Jateng Cabang Karanganyar”, Tesis Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS, 2006, hlm. 47-48 62 Djoko Achmad Pitoyo, “Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan dengan Cara Penjualan Tidak Melalui Lelang Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 300/KMK.01/2002 di PT. Bank BPD Jateng Cabang Karanganyar”, Tesis Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS, 2006, hlm. 48 61 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 50 diatur didalam Pasal 224 HIR dan Pasal 258 Rbg. yaitu eksekusi yang dijalankan pengadilan bukan berupa putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap tetapi eksekusi untuk melaksanakan isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak dihadapan Notaris yang menggunakan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, jadi merupakan penyimpangan dan pengecualian eksekusi terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. “Yahya Harahap mengidentifikasikan ada 3 (tiga) perbedaan yang mendasar antara Eksekusi Riil dan Eksekusi Pembayaran Uang, yaitu :63 a. Eksekusi Riil Mudah dan Sederhana, sedang Eksekusi Pembayaran Uang Memerlukan Tahap Sita Eksekusi dan Penjualan Eksekusi. Secara teoritis dalam eksekusi riil tidak diperlukan prosedur dan formalitas yang rumit, dalam arti cara eksekusinya sangat sederhana dan tinggal menjalankan keputusan pengadilan, sehingga eksekusinya tidak diatur secara terinci dalam undang-undang. Berbeda dengan eksekusi pembayaran uang yang harus melalui berbagai tahap untuk melaksanakannya dan diperlukan syarat serta tata cara yang tertib dan terperinci, agar jangan sampai terjadi penyalahgunaan yang merugikan para pihak. Secara garis besar pelaksanaan eksekusi pembayaran uang melalui tahap proses executoriale beslag dan dilanjutkan dengan penjualan lelang yang melibatkan kantor lelang. b. Eksekusi Riil Terbatas Putusan Pengadilan, sedang Eksekusi Pembayaran Uang meliputi Akta Yang Disamakan Dengan Putusan Pengadilan. Jika dilihat dari bentuk timbulnya eksekusi, maka eksekusi riil hanya mungkin terjadi dan diterapkan berdasarkan putusan pengadilan, sedangkan dalam eksekusi pembayaran uang tidak hanya terbatas pada putusan 63 M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 25-27 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 51 pengadilan saja, tetapi dapat juga didasarkan pada bentuk akta tertentu yang oleh undang-undang “disamakan” nilainya dengan putusan pengadilan. c. Sumber Hubungan Hukum Yang Dipersengketakan. Dilihat dari sumber hubungan hukum yang disengketakan, pada umumnya eksekusi riil adalah upaya hukum yang mengikuti persengketaan “hak milik” atau persengketaan hubungan hukum yang didasarkan atas perjanjian jual beli, sewa menyewa atau perjanjian melaksanakan suatu perbuatan. Adapun eksekusi pembayaran sejumlah uang, dasar hubungan hukumnya sangat terbatas sekali, semata-mata hanya didasarkan atas persengketaan “perjanjian utang-piutang” dan ganti rugi berdasarkan wanprestasi, dan hanya dapat diperluas berdasarkan ketentuan Pasal 225 HIR dengan nilai sejumlah uang apabila tergugat enggan menjalankan perbuatan yang dihukumkan dalam waktu tertentu”. Menurut Sudikno Mertokusumo membagi jenis eksekusi dalam tiga kelompok :64 a. Membayar sejumlah uang, diatur pada Pasal 196 HIR dan Pasal 208 RBG; b. Melaksanakan suatu perbuatan, berdasarkan Pasal 225 HIR, Pasal 259 RBG; c. Eksekusi Riil, berdasarkan Pasal 1033 RV. 3. Tata Cara Eksekusi Beberapa tata cara pelaksanaan eksekusi, antaralain :65 a. Eksekusi riil terhadap putusan yang telahberkekuatan hukum tetap: 1) Adanya permohonan dari Pemohon (pihak yang menang) dalam hal putusan telah berkekuatan hukum tetap baik putusan tingkat Pengadilan Negeri yang diterima oleh kedua belah pihak yang 64 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998, hlm. 200 65 www.pa-tasikmalaya.go.id/arsip/unduh-arsip/54, diakses pada hari Sabtu, tanggal 30 Januari 2016, pukul : 22.11 WIB commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 52 berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding, putusan Pengadilan Tinggi yang diterima oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi dan putusan Mahkamah Agung dalam hal Kasasi. 2) Selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan Penetapan aanmaning/teguran terhadap pihak yang kalah untuk melaksanakan isi putusan yang berkekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 8 (delapan) hari setelah pihak yang kalah dipanggil untuk ditegur (8 hari adalah batas maksimum (Pasal 196 HIR atau Pasal 207 RBG) yang dibuat dengan berita acara aanmaning. 3) Apabila pihak yang kalah setelah ditegur tidak mau menjalankan putusan, Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan perintah eksekusi sesuai amardalam putusan, perintah menjalankan eksekusi ditujukan kepada Panitera atau Jurusita dan dalam pelaksanaannya apabila diperlukan dapat meminta bantuan kekuatan umum yang dibuat dengan berita acara pelaksanaan isi putusan. b. Eksekusi pembayaran sejumlah uang terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap : 1) Proses pelaksanaan isi putusan pembayaran sejumlah uang mengikuti sebagaimana eksekusi riil. 2) Selanjutnya setelah pihak yang kalah diaanmaning dan tidak juga melaksanakan isi putusan, maka Ketua Pengadilan mengeluarkan penetapan perintah untuk lelang eksekusi, perintah ditujukan kepada Panitera atau Jurusita dan dalam pelaksanaannya dibantu oleh KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang). 3) Sebelum mengeluarkan penetapan Perintah Lelang eksekusi, Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan permohonan Pemohon terlebih dahulu menyita eksekusi objek yang akan dilelang(Pasal 197 ayat (1) HIR), commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 53 apabila dalam putusan telah ada sita atau Conservatoir Beslag, maka Conservatoir Beslag secara otomatis menjadi Sita eksekusi. 4) Selanjutnya dalam prosesdan tata caralelang mengikuti aturan yang diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 106/PMK.06/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. c. Eksekusi terhadap Hak Tanggungan : 1) Eksekusi Hak Tanggungan dilaksanakan seperti eksekusi pembayaran sejumlah uang terhadap putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap. 2) Eksekusi dimulai dengan teguran dan berakhir dengan pelelangan yang dibebani Hak Tanggungan. 3) Setelah dilakukan pelelangan terhadap objek yang dibebani Hak Tanggungan dan uang hasil lelang diserahkan kepada Kreditor, maka Hak Tanggungan yang membebani objek tersebut akan diroya dan diserahkan kepada pembeli lelang secara bersih dan bebas dari semua beban. 4) Apabila Debitor/Terlelang tidak mau menyerahkan objek yang telah dilelang, maka berlaku ketentuan yang terdapat dalam Pasal 200 ayat (1) HIR. 5) Selanjutnya berdasarkan Pasal 200 ayat (1) HIR, pembeli lelang dapat memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk melaksanakan eksekusi pengosongan terhadap objek lelang yang telah dibelinya dari penghunian debitor/Termohon Eksekusi atau siapapun yang mendapat hak dari padanya serta barang-barang yang ada didalamnya. 6) Sebagai tindak lanjut dari permohonan tersebut, selanjutnya diproses eksekusi sebagaimana eksekusi riil terhadap Putusan berkekuatan hukum tetap. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 54 G. Tinjauan tentangLelang 1. Pengertian Lelang Vendu Reglement (Stbl. Tahun 1908 Nomor 189 diubah dengan Stbl. 1940 Nomor 56) yang masih berlaku saat ini sebagai dasar hukum lelang menyebutkan pengertian lelang yang diterjemahkan dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia menyebutkan : “Penjualan Umum adalah pelelangan atau penjualan benda-benda yang dilakukan kepada umum dengan harga penawaran yang meningkat atau menurun atau dengan pemasukan harga dalam sampul tertutup, atau kepada orang-orang yang diundang atau sebelumnya diberitahu mengenai pelelangan atau penjualan itu atau diizinkan untuk ikut serta, dan diberi kesempatan untuk menawar harga, menyetujui harga yang ditawarkan atau memasukkan harga dalam sampul tertutup.” Peraturan teknis yang utama mengenai pelaksanaan lelang yang saat ini berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 106/PMK.06/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang yang dimaksud Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang. Pengertian lelang menurut pendapat Polderman (sebagaimana dikutip oleh Rochmat Soemitro) dalam disertasinya tahun 1913 berjudul “Het Openbare aanbod” menyebutkan bahwa : “Penjualan Umum adalah alat untuk mengadakan perjanjian atau persekutuan yang paling menguntungkan untuk si penjual dengan cara menghimpun peminat dengan syarat : a. Penjualan harus selengkap mungkin b. Ada kehendak untuk mengikat diri c. Pihak lainnya (pembeli) yang akan mengadakan/melakukan perjanjian tidak dapat ditunjuk sebelumnya.” commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 55 Sedangkan menurut Roell (Kepala Inspeksi Lelang Jakarta Tahun 1932), bahwa “penjualan umum adalah suatu rangkaian kejadian yang terjadi antara saat mana seseorang hendak menjual sesuatu atau lebih dari satu barang, baik secara pribadi maupun dengan perantaraan kuasanya, memberikan kesempatan kepada orang-orang yang hadir melakukan penawaran untuk membeli barang-barang yang ditawarkan sampai kepada saat dimana kesempatan lenyap.” Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa lelang adalah penjualan barang di muka umum yang didahului dengan upaya pengumpulan peminat melalui pengumuman yang dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat lelang dengan pencapaian harga yang optimal melalui cara penawaran lisan naik-naik atau turun-turun dan atau tertulis. Pengertian lelang harus memenuhi unsur-unsur berikut :66 a. Penjualan di muka umum ; b. Didahului dengan upaya pengumpulan peminat melalui pengumuman ; c. Dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat lelang ; d. Harga terbentuk dengan cara penawaran lisan naik-naik atau turun-turun dan atau tertulis. 2. Jenis Lelang Jenis lelang dibedakan berdasarkan sebab barang dijual dan penjual dalam hubungannya dengan barang yang akan dilelang.67 Sifat lelang ditinjau dari sudut sebab barang dilelang dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu : a. Lelang Eksekusi, adalah lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan pengadilan atau dokumen yang dipersamakan dengan itu sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. 66 Purnama Tioria Sianturi, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak Melalui Lelang, ctk Kedua, Edisi Revisi, Mandar Maju, Bandung, 2013, hlm. 51-54 67 Ibid., hlm. 56 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 56 b. Lelang Non Eksekusi, adalah lelang selain lelang eksekusi yang meliputi lelang non eksekusi wajib dan lelang non eksekusi sukarela. 1) Lelang Non Eksekusi Wajib adalah lelang untuk melaksanakan penjualan barang milik Negara/daerah dan kekayaan Negara yang dipisahkan sesuai peraturan yang berlaku. 2) Lelang Non Eksekusi Sukarela adalah lelang untuk melaksanakan kehendak perorangan atau badan untuk menjual barang miliknya. 3) Sifat lelang ditinjau dari sudut penjual dalam hubungannya dengan barang yang akan dilelang dapat dibedakan, yaitu : 4) Lelang yang sifatnya wajib, yang menurut peraturan perundangundangan wajib melalui Kantor Lelang. 5) Lelang yang sifatnya sukarela, atas permintaan masyarakat. 3. Asas-asas Lelang Asas hukum sebagai pikiran dasar peraturan konkrit pada umumnya bukan tersurat melainkan tersirat dalam kaedah atau peraturan hukum konkrit. Asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut.68 Asas-asas lelang antara lain :69 a. Transparansi (Transparency/Publicity) Keterbukaan dalam pelelangan. Hal ini tampak antara lain dari adanya keharusan bahwa setiap pelelangan didahului dengan pengumuman lelang. Di samping untuk menarik peserta lelang sebanyak mungkin, 68 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, ctk Kelima, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010, hlm. 7 69 Murtadho, Peraturan Lelang, Surakarta, Bahan Ajar Program Studi Kenotariatan UNS, 2014 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 57 pengumuman lelang juga dimaksudkan sebagai kontrol sosial dan perlindungan publik. b. Persaingan (Competition) Para peserta lelang bersaing dan peserta dengan penawaran tertinggi yang sudah mencapai atau di atas harga limit yang akan dinyatakan sebagai pemenang. c. Kepastian(Certainty) Independensi Pejabat Lelang seharusnya mampu membuat kepastian bahwa penawar tertinggi dinyatakan sebagai pemenang dan bahwa pemenang lelang yang telah melunasi kewajibannya akan memperoleh barang beserta dokumennya. d. Pertanggungjawaban(Accountability) Pelaksanaan lelang dapat dipertanggungjawabkan karena Pemerintah melalui Pejabat lelang berperan untuk mengawasi jalannya lelang dan membuat akta autentik yang disebut Risalah Lelang. e. Efisiensi (Efficiency) Lelang dilakukan pada suatu saat dan tempat yang ditentukan dan transaksi terjadi pada saat itu juga maka diperoleh efisiensi biaya dan waktu, karena dengan demikian barang secara cepat dapat dikonversi menjadi uang. 4. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) a. Sejarah KPKNL Pada tahun 1971 struktur organisasi dan sumber daya manusia Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) tidak mampu menangani penyerahan piutang negara yang berasal dari kredit investasi. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 dibentuk Badan Urusan Piutang Negara (BUPN) dengan tugas mengurus penyelesaian piutang negara sebagaimana Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, sedangkan PUPN yang merupakan panitia interdepartemental hanya menetapkan produk hukum commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 58 dalam pengurusan piutang negara. Untuk mempercepat proses pelunasan piutang negara macet, diterbitkanlah Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1991 yang menggabungkan fungsi lelang dan seluruh aparatnya dari lingkungan Direktorat Jenderal Pajak ke dalam struktur organisasi BUPN, sehingga terbentuklah organisasi baru yang bernama Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN). Menteri Keuangan memutuskan bahwa tugas operasional pengurusan piutang Negara dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pengurusan Piutang Negara (KP3N), sedangkan tugas operasional lelang dilakukan oleh Kantor Lelang Negara (KLN). Selanjutnya, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 2/KMK.01/2001 tanggal 3 Januari 2001, BUPLN ditingkatkan menjadi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN) yang fungsi operasionalnya dilaksanakan oleh Kantor Pengurusan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN). Reformasi Birokrasi di lingkungan Departemen Keuangan pada tahun 2006 menjadikan fungsi pengurusan piutang negara dan pelayanan lelang digabungkan dengan fungsi pengelolaan kekayaan negara pada Direktorat Pengelolaan Barang Milik/Kekayaan Negara (PBM/KN) Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), sehingga berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Republik Indonesia, DJPLN berubah menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), dan KP2LN berganti nama menjadi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 59 (KPKNL) dengan tambahan fungsi pelayanan di bidang kekayaan negara dan penilaian.70 b. Kedudukan, Tugas dan Fungsi KPKNL Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135/PMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Pasal 29 ayat (1) bahwa Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah. Selanjutnya, dalam Pasal 30 menyatakan bahwa KPKNL mempunyai tugas melaksanakan pelayanan di bidang kekayaan negara, penilaian, piutang negara, dan lelang. Dalam melaksanakan tugas, KPKNL menyelenggarakan fungsi yang diatur dalam Pasal 31, antaralain: 1) inventarisasi, pengadministrasian, pendayagunaan, pengamanan kekayaan negara; 2) registrasi, verifikasi dan analisa pertimbangan permohonan pengalihan serta penghapusan kekayaan negara; 3) registrasi penerimaan berkas, penetapan, penagihan, pengelolaan barang jaminan, eksekusi, pemeriksaan harta kekayaan milik penanggung hutang/penjamin hutang; 4) penyiapan bahan pertimbangan atas permohonan keringanan jangka waktu, dan/atau jumlah hutang, usul pencegahan dan penyanderaan penanggung hutang dan/atau penjamin hutang, serta penyiapan data usul penghapusan piutang negara; 5) pelaksanaan pelayanan penilaian; 6) pelaksanaan pelayanan lelang; 70 https://www.djkn.kemenkeu.go.id/page/sejarah, diakses pada tanggal 19 Maret 2015, hari Kamis, pukul : 23 59 WIB commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 60 7) penyajian informasi di bidang kekayaan negara, penilaian, piutang negara dan lelang; 8) pelaksanaan penetapan dan penagihan piutang negara serta pemeriksaan kemampuan penanggung hutang atau penjamin hutang dan eksekusi barang jaminan; 9) pelaksanaan pemeriksaan barang jaminan milik penanggung hutang atau penjamin hutang serta harta kekayaan lain; 10) pelaksanaan bimbingan kepada Pejabat Lelang; 11) inventarisasi, pengamanan, dan pendayagunaan barang jaminan; 12) pelaksanaan pemberian pertimbangan dan bantuan hukum pengurusan piutang negara dan lelang; 13) verifikasi dan pembukuan penerimaan pembayaran piutang negara dan hasil lelang; 14) pelaksanaan administrasi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang. 5. Pejabat Lelang Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 106/PMK.06/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, pasal 1 angka 14, Pejabat Lelang adalah orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberi wewenang khusus untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang. Pejabat Lelang yang melaksanakan lelang wajib membuat berita acara lelang yang disebut Risalah Lelang.71 Pejabat lelang terdiri dari : a. Pejabat Lelang Kelas I 71 Pasal 77 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 106/PMK.06/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 61 Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 174/PMK.06/2010 tentang Pejabat Lelang Kelas I, Pasal 1 angka 2, Pejabat lelang kelas I adalah Pejabat Lelang pegawai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang berwenang melaksanakan Lelang Eksekusi, Lelang Non Eksekusi Wajib, dan Lelang Non Eksekusi Sukarela atas permohonan Penjual/Pemilik Barang. Pejabat Lelang Kelas I merupakan pegawai negeri sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara di Kementerian Keuangan Repulik Indonesia, yang diangkat dan diberhentikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri sebagai Pejabat Lelang. Pejabat Lelang Kelas I dapat melaksanakan lelang atas permohonan Balai Lelang, meskipun di wilayah kerjanya terdapat Pejabat Lelang Kelas II. b. Pejabat Lelang Kelas II Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 175/PMK.06/2010 tentang Pejabat Lelang Kelas II, Pasal 1 angka 2, Pejabat lelang kelas II adalah Pejabat Lelang swasta yang berwenang melaksanakan Lelang Noneksekusi Sukarela atas permohonan Balai Lelang atau Penjual/Pemilik Barang. Pejabat Lelang Kelas II diangkat dan diberhentikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang kembali. Pejabat Lelang Kelas II berkantor di Balai Lelang swasta. 6. Penjual dan Pembeli Lelang a. Penjual Lelang Pemohon lelang (penjual) adalah perorangan atau badan hukum/usahayang berdasarkan peraturan perundang-undangan atau perjanjian berwenang menjual barang secara lelang. Penjual dapat berstatus pemilik barang, kuasa pemilik barang atau orang/badan yang oleh Undang-undang atau peraturan yang berlaku diberi wewenang untuk commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 62 menjual barang yang bersangkutan. Definisi pemilik barang adalah perorangan atau badan hukum/usaha yang memiliki hak kepemilikan atas suatu barang yang dilelang. b. Peserta dan/atau Pembeli Lelang Pembeli Lelang dapat diartikan orang atau badan hukum/usaha yang mengajukan penawaran tertinggi yang mencapai atau melampaui nilai limit yang disahkan sebagai pemenang lelang oleh Pejabat Lelang.72 Pembeli ditetapkan oleh Pejabat Lelang. Pembeli wajib membayar harga lelang, Bea Lelang dan Uang Miskin serta pungutan lainnya. Apabila Pembeli tidak memenuhi kewajibannya tersebut, Pejabat Lelang membatalkan penetapannya sebagai Pembeli. Pembeli yang tidak memenuhi kewajibannya tersebut tidak boleh mengikuti lelang di seluruh Indonesia dalam waktu 6 (enam) bulan. Perpindahan hak kepada Pembeli Lelang merujuk pada administrasi pembayaran uang hasil lelang. Pembeli memenuhi syaratsyarat pembayaran yang diwajibkan kepadanya. Berdasarkan pembayaran itu, kepadanya diberi bukti atau surat keterangan oleh Kantor Lelang, yang menyatakan Pembeli telah memenuhi semua kewajiban pembayaran. Peralihan hak kepada Pembeli Lelang, tidak dengan sendirinya terjadi pada saat Pembeli dinyatakan dan disahkan Pejabat Lelang sebagai pemenang. Pernyataan dan pengesahan itu, belum mengakibatkan peralihan hak secara efektif karena hal itu baru merupakan proses ke arah perolehan hak secara yuridis. Perolehan hak baru terjadi menurut hukum :73 Setelah Pembeli Lelang memenuhi syarat lelang, terutama pelunasan pembayaran uang hasil lelang, yang 72 73 Murtadho, Peraturan Lelang, Surakarta, Bahan Ajar Program Studi Kenotariatan UNS, 2014 M. Yahya Harahap,op.cit., hlm 161 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 63 dibuktikan dengan surat keterangan pelunasan dari Kantor Lelang. Surat keterangan itu diberikan kepada Pembeli, maka saat itu, barulah secara formil dan materiil terjadi peralihan hak ke tangan Pembeli. Sesuai dalam Pasal 526 Rv (Reglement of de Rechtsvordering) yang berbunyi : Hak milik barang yang dilelang berpindah ke tangan Pembeli berdasarkan pengumuman kutipan daftar pelelangan yang tidak dapat dibuktikan selain dengan menunjukkan bukti tertulis yang dikeluarkan oleh Kantor Lelang yang menyatakan bahwa telah dipenuhi semua syarat pembelian. Pembeli Lelang yang beritikad baik dalam konteks putusan pengadilan, mengenai pandangan hakim dalam berbagai putusan mengenai Pembeli Lelang yang beritikad baik diartikan sebagai berikut:74 1) Pembeli yang beritikad baik karena Pembeli melaksanakan semua ketentuan sehubungan dengan pelaksanaan lelang; 2) Pembeli yang beritikad baik, karena Pembeli membeli melalui lelang umum; 3) Pembeli yang beritikad baik, karena Pembeli yang bertindak dengan prinsip kehati-hatian, melakukan penelitian secara seksama atas syarat-syarat penjual lelang. 4) Pembeli yang beritikad baik, karena Pembeli sebagai penangkap lelang umum. 5) Pembeli yang beritikad baik, karena membeli barang dalam proses lelang tersebut benar telah terjadi secara wajar. 6) Pembeli yang beritikad baik, karena membeli lelang secara hukum. 74 Murtadho, Peraturan Lelang, Surakarta, Bahan Ajar Program Studi Kenotariatan UNS, 2014 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 64 H. Tinjauan tentang Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah 1. Pengertian Pendaftaran Tanah Pendaftaran tanah merupakan proses administrasi yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan dalam pengumpulan dan pengolahan data fisik dan data yuridis serta penyajian bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun dengan menerbitkan tanda bukti hak yang berfungsi sebagai alat bukti yang kuat.75 Guna meningkatkan pembangunan nasional yang berkelanjutan, maka perlu adanya dukungan kepastian hukum di bidang pertanahan, yaitu adanya penyelenggaran pendaftaran tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomo 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang merupakan penjabaran dari ketentuan yang lebih tinggi (UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria). Sebelumnya pendaftaran tanah sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, tetapi tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung tercapainya hasil yang lebih nyata dari sebelumnya, sehingga perlu penyempurnaan.76 Pengertian pendaftaran tanah berdasarkan dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah yaitu: rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian dan pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak Ana Silviana, “Kajian Tentang Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Melaksanakan Pendaftaran Tanah”, Pandecta Research Law Journal, Edisi No.1, Vol.7, Januari 2012, hlm.112 76 Konsideran pada pembukaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah 75 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 65 tertentu yang membebaninya. Sedangkan dalam Pasal 3, pendaftaran tanah bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar dan dengan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Kemudian dalam Pasal 4 untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum tersebut kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah. 2. Prosedur Pendaftaran Pemindahan Hak melalui Lelang Peralihan hak melalui pemindahan hak dengan lelang diatur dalam Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Syarat sahnya lelang hak atas tanah untuk kepentingan pendaftaran pemindahan haknya ada dua, yaitu :77 a. Syarat Materiil Pemegang hak atas tanah berhak dan berwenang lelang hak atas tanah, dan pembeli lelang harus memenuhi syarat sebagai pemegang (subjek) hak dari hak atas tanah yang menjadi objek lelang. b. Syarat Formil Dalam rangka pendaftaran pemindahan hak, maka lelang hak atas tanah harus dibuktikan dengan berita acara atau risalah lelang yang dibuat oleh pejabat dari Kantor Lelang. Dibuatnya Berita Acara Lelang atau Risalah Lelang oleh Pejabat dari Kantor lelang, maka pada saat itu telah terjadi pemindahan hak atas tanah dari pemegang haknya semula sebagai penjual lelang kepada pihak lain sebagai pembeli lelang. Pemindahan hak tersebut hanyalah diketahui oleh kedua belah pihak. Pihak ketiga tidak mengetahui adanya lelang tersebut, agar pihak ketiga 77 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, ctk Keempat, Kencana, Jakarta, 2014, hlm 388. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 66 mengetahuinya, maka lelang tersebut harus didaftarkan ke Kantor Pertanahan setempat karena pendaftaran tanah mempunyai sifat terbuka. Prosedur Pendaftaran pemindahan hak atas tanah melalui lelang ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut :78 a. Permintaan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah; b. Pelaksanaan Lelang Hak atas Tanah; c. Permohonan Pendaftaran Pemindahan Hak melalui Lelang; d. Pencatatan Pemindahan Hak melalui Lelang; e. Penyerahan Sertifikat Hak atas Tanah. Berdasarkan Pasal 53 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah disebutkan bahwa Pendaftaran peralihan hak tanggungan dilakukan dengan mencatatnya pada buku tanah serta sertifikat hak tanggungan yang bersangkutan dan pada buku tanah serta sertifikat hak yang dibebani berdasarkan surat tanda bukti beralihnya piutang yang dijamin karena cessie, subrogasi, pewarisan atau penggabungan serta peleburan perseroan. I. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum 1. Pengertian Perlindungan Hukum Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subjek hukum ke dalam bentuk perangkat baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang lisan maupun yang tertulis. Perlindungan hukum sebagai suatu gambaran tersendiri dari fungsi hukum itu sendiri, yang memiliki konsep bahwa hukum memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.79 78 Ibid., hlm 388 http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/ diakses pada hari Kamis tanggal 19 Februari 2015, pukul 17:30 WIB 79 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 67 Menurut Satjipto Raharjo mendefinisikan perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hakyang diberikan oleh hukum. Sedangkan menurut Theresia Geme mengartikan perlindungan hukum adalah berkaitan dengan tindakan negara untuk melakukan sesuatu dengan (memberlakukan hukum negara secara eksklusif) dengan tujuan untuk memberikan jaminan kepastian hak-hak seseorang atau kelompok orang.80 Menurut Philipus M. Hadjon, dalam merumuskan prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia, landasan berpijaknya adalah Pancasila sebagai dasar ideologi dan dasar falsafah negara. Pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dikatakan bersumber pada Pancasila, karena pengakuan dan perlindungan terhadapnya secara intrinsik melekat pada Pancasila. Selain bersumber pada Pancasila prinsip perlindungan hukum juga bersumber pada prinsip negara hukum.81 2. Bentuk Perlindungan Hukum Secara teoritis, bentuk perlindungan hukum dibagi menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu : a. Perlindungan yang bersifat preventif. Perlindungan hukum yang preventif merupakan perlindungan hukum yang sifatnya pencegahan. Perlindungan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan atas pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintahan mendapat bentuk yang definitif. Sehingga perlindungan 80 Salim H.S & Erlies Septiana Nurbaini, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, ctk Pertama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 262 81 http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/ diakses pada hari Kamis tanggal 19 Februari 2015, pukul 17:30 WIB commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 68 hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan sangat besar artinya bagi tindak pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak. Dan dengan adanya perlindungan hukum yang preventif ini mendorong pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan asas freies ermessen, dan rakyat dapat mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut. b. Perlindungan yang bersifat represif. Perlindungan hukum yang represif berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi sengketa. Indonesia dewasa ini terdapat berbagai badan yang secara parsial menangani perlindungan hukum bagi rakyat, yang dikelompokkan menjadi 2 (dua) badan, yaitu : 1) Pengadilan dalam lingkup peradilan umum ; 2) Instansi pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi. Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat melalui instansi pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi adalah permintaan banding terhadap suatu tindak pemerintah oleh pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah tersebut. Instansi pemerintah yang berwenang untuk mengubah bahkan dapat membatalkan tindakan pemerintah tersebut.82 J. Teori Hukum Teori Hukum dalam Bahasa Inggris disebut dengan Theory of Law yang mempunyai kedudukan yang sangat penting di dalam proses pembelajaran maupun di dalam penerapan hukum karena dengan adanya teori hukum, dapat membantu dalam kerangka pemecahan berbagai persoalan.83 Teori Hukum adalah cabang ilmu hukum yang membahas atau menganalisis tidak sekedar menjelaskan atau menjawab pertanyaan atau permasalahan secara kritis ilmu hukum maupun hukum positif dengan menggunakan metode interdisipliner. Teori hukum dapat lebih 82 Salim H.S & Erlies Septiana Nurbaini, op.cit., hlm. 264-265 Salim H.S & Erlies Septiana Nurbaini, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi Buku Kedua, ctk PertamaRaja Grafindo Persada, Jakarta, 2014,hlm. 5 83 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 69 mudah digambarkan sebagai teori-teori dengan pelbagai sifat mengenai objek, abstraksi, tingkatan refleksi dan fungsinya. 84 1. Teori Perlindungan Hukum Kepentingan manusia, adalah suatu tuntutan yang dilindungi dan dipenuhi manusia dalam bidang hukum. Hukum sebagai perlindungan kepentingan manusia berbeda-beda dengan norma-norma yang lain. Karena hukum itu berisi perintah dan/atau larangan, serta membagi hak dan kewajiban. Sudikno Mertokusumo mengemukakan tidak hanya tentang tujuan hukum, tetapi juga tentang fungsi hukum dan perlindungan hukum. Ia berpendapat bahwa:85 Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia hukum mempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan, dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Tercapainya tujuan itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan didalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum. Teori perlindungan hukum merupakan teori yang mengkaji dan menganalisis tentang wujud atau bentuk atau tujuan perlindungan, subjek hukum yang dilindungi secara objek perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada subjeknya.86 Unsur-unsur yang tercantum dalam definisi teori perlindungan hukum itu meliputi : a. Adanya wujud atau bentuk perlindungan atau tujuan perlindungan; b. Subjek hukum; c. Objek perlindungan hukum. 84 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, ctk Keenam, edisi revisi, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2012, hlm. 86 85 Salim H.S & Erlies Septiana Nurbaini, op.cit., hlm 269 86 Ibid., hlm 263 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 70 Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintahan bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban pada masyarakat dan pemerintah.87 Dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat (di Indonesia), landasannya adalah Pancasila sebagai dasar ideologi dan dasar falsafah negara. Konsepsi perlindungan hukum bagi rakyat bersumber pada konsep-konsep pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan konsep-konseprechstaat dan rule of law. Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat (di Indonesia) adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan Pancasila.88Sejalan dengan ini, teori perlindungan hukum menurut Philipus M.Hadjon bahwa Perlindungan Hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subjek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.89 Sarana perlindungan hukum bagi rakyat dibedakan dua macam, yaitu : perlindungan hukum yang preventif dan perlindungan hukum yang represif. Pada perlindungan hukum yang preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Dengan demikian, perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum yang preventif sangat 87 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Edisi Khusus, Peradaban, Surabaya, 2007, hlm. 33 88 Ibid., hlm. 19 89 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 3 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 71 besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan kepada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Dengan pengertian yang demikian, penanganan perlindungan hukum bagi rakyat oleh Peradilan Umum di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum yang represif.90 2. Teori Kepastian Hukum Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi.91Kata ”kepastian” berkaitan erat dengan asas kebenaran, yaitu sesuatu yang secara ketat dapat disilogismekan secara legal-formal. Melalui logika deduktif, aturan-aturan hukum positif ditempatkan sebagai premis mayor, sedangkan peristiwa konkret menjadi premis minor. Melalui sistem logika tertutup akan serta merta dapat diperoleh konklusinya. Konklusi itu harus sesuatu yang dapat diprediksi, sehingga semua orang wajib berpegang kepadanya. Dengan pegangan inilah masyarakat menjadi tertib. Oleh sebab itu, kepastian akan mengarahkan masyarakat kepada ketertiban.92 Kepastian hukum akan menjamin seseorang melakukan perilaku sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sebaliknya tanpa ada kepastian hukum maka seseorang tidak memiliki ketentuan baku dalam menjalankan perilaku. 90 Philipus M. Hadjon, op.cit., hlm. 2-3 Moh. Mahfud MD, Penegakan Hukum DanTata Kelola Pemerintahan Yang Baik, Bahan pada Acara Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang diselenggarakan oleh DPP Partai HANURA. Mahkamah Konstitusi Jakarta, 8 Januari 2009. 92 Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, PT Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm 8 91 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 72 Menurut Gustav Radbruch sebagaimana di kutip Sudikno Mertokusumo, terdapat dua macam pengertian kepastian hukum, yaitu kepastian hukum oleh hukum dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna, dan kepastian hukum dalam hukum tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya dalam undang-undang.93 Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu : a. Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah perundang-undangan. b. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada kenyataan. c. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan. d. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah diubah. Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan. Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka menurut Gustav Radbruch, hukum positif yang mengatur kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati meskipun hukum positif itu kurang adil.94 93 Jarot Widya Muliawan, Tinjauan Kritis Regulasi dan Implementasi P3MB, Pustaka Ifada, Malang, 2014, hlm. 22 94 Memahami Kepastian (Dalam) Hukum https://ngobrolinhukum.wordpress.com/2013/02/05/memahami-kepastian-dalam-hukum/ diakses pada tanggal 15 November 2015, Hari Senin, pukul 20.35 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 73 Kepastian hukum seperti yang dikemukaan oleh Jan M. Otto sebagimana dikutip oleh Sidhartabahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan sebagai berikut:95 1. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh yang diterbitkan oleh kekuasaan negara. 2. Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturanaturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya. 3. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut. 4. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum. 5. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan. Kelima syarat yang dikemukaan Jan M. Otto tersebut menunjukan bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah hukum yang lahir dari mencerminkan budaya masyarakat. kepastian hukum yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang sebenernya. Menurut Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa untuk menciptakan ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat. Tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum.96 Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh 95 Sidharta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, Refika Aditama, Bandung, 2006. hlm 85 96 Carl Joachim, Filsafat Hukum Persfektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004, hlm 239 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 74 haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat subjektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan.97 Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya aturan, sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Dalam memahami nilai kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum yang positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya pada hukum positif. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundangundangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.98 3. Teori Bekerjanya Hukum dan Penerapannya Pada umumnya norma-norma yang beroperasi dalam sebuah sistem hukum. Bekerjanya hukum adalah masyarakat yang akan mempengaruhi faktor-faktor atau kekuatan sosial mulai dari tahap pembuatan sampai pemberlakuan. Pengaruh sosial atau perilaku sosial akan masuk dalam proses legislasi seperti peraturan. Peraturan dikeluarkan diharapkan sesuai dengan keinginan secara efektif dari peraturan tersebut tergantung dari kekuatan sosial seperti budaya hukum yang baik, maka hukum akan bekerja dengan baik.99 Sebaliknya apabila kekuatan sosial kurang, maka hukum tidak akan bisa bekerja, karena masyarakat sebagai elemen bekerjanya hukum. Dalam 97 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2007, hlm 160 98 Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Kompas, Jakarta, 2007, hlm 95 99 M. Khozim, Sistem Hukum Prespektif Ilmu Sosial, ctk Kelima, Nusa Media, Bandung, 2013, hlm. 52 “Terjemahan dari : Lawrence M. Friedman, The Legal System a Social Science Prespective, Russel Sage Foundation, New York, 1975” commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 75 penerapanya Penulis menggunakan teori hukum yang dikembangkan Lawrence M. Friedman untuk menjawab permasalahan dalam rumusan yang terdiri 3 (tiga) unsur yaitu :100 a. Struktur adalah keseluruhan institusi hukum beserta aparaturnya, jadi lembaga lelang dan Badan Pertanahan Nasional bagaimana cara bekerjanya, bagaimana kompetensinya, bagaimana pembagian tugas dan wewenangnya, sehingga dalam rangka struktural masing-masing lembaga tidak boleh bertentangan. b. Substansi adalah keseluruhan aturan (peraturan perundang-undangan) yang menyangkut Undang-undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, serta Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia yang berkaitan dengan Lelang. c. Budaya adalah sikap dan sistem hukum yang di dalamnya terdapat kepercayaan, nilai, pikiran serta harapan. Sikap orang terhadap hukum yang mencakup kepercayaan akan nilai, pikiran atau ide harapan orang tersebut. Pengertian budaya hukum dapat dikatakan adalah berupa sikap, nilai-nilai, dalil-dalil, kepercayaan dan pendapat yang dipercayai oleh masyarakat dalam suatu sistem hukum dan menjadi bagian penting yang mendorong faktor penghambat pembentukan hukum maupun penegakan hukum. Pendapat Penulis juga dikuatkan dengan Jo Carillo yang sependapat dengan teori Lawrence M. Friedman, dinyatakan bahwa : “according to Friedman, law has its own culture a legal culture that can interact with media 100 Ibid.,hlm 15-16 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 76 to transform popular images into legal dress and shape”.101 (Sistem yang dibangun oleh hukum tidak boleh bertentangan antara satu dengan yang lainnya agar tujuan terciptanyasistem tersebut terwujud. Menurut Jo Corillo jangan hanya hukum bertransformasi dan dipengaruhi oleh budaya yang kemudian menjadi kebiasaan, lebih dari itu meski hukum tidak dapat dilepaskan dari budaya, namun struktur dan substansi hukum yang ada hendaknya berjalan seimbang). K. Penelitian yang Relevan Penelitian hukum yang sejenis juga telah dilakukan oleh beberapa penulis. Perbedaan antara penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dengan penelitian ini digambarkan dalam bentuk tabel seperti berikut: No 1 PENELITIAN RELEVAN Penelitian Tesis, Tahun 2006, dengan judul PERBEDAAN HASIL PENELITIAN DJOKO ACHMAD AYU SORAYA PITOYO Jo Cariilo, “links and choices : popular legal culture in the work of Lawrence M. Friedman”, Southern California Interdisciplinary Law Journal, Vol. 17 : 1, 2007, hlm. 4 101 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 77 Pelaksanaan Parate Membahas alasan Membahas Eksekusi Hak Tanggungan debitor dan kreditor mengenai jaminan dengan Cara Penjualan memilih parate perlindungan Tidak Melalui Lelang eksekusi hak hukum terhadap Berdasarkan Surat tanggungan dengan pembeli lelang Keputusan Menteri cara penjualan dalam pelaksanaan Keuangan Republik dibawah tangan atas eksekusi hak Indonesia Nomor kredit macet yang tanggungan, karena 300/KMK.01/2002 di PT. diserahkan kepada dalam prakteknya Bank BPD Jateng Cabang Panitia Urusan pembeli lelang Karanganyar Piutang Negara belum mendapat (PUPN) berdasarkan jaminan SK. Menteri perlindungan Keuangan No. hukum, ketika 300/KMK.01/2002 di pembeli lelang PT. Bank BPD. sudah Jateng Cabang memenangkan Karanganyar, karena objek lelang, memberikan perlindungan hukum bagi para pihak. Kendala lebih pada perbedaan persepsi atas kewenangan yang dimiliki oleh PUPN. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 78 No 2. PENELITIANRELEVAN PERBEDAAN HASIL PENELITIAN Penelitian Tesis, Tahun AGNES WIDYA 2010, dengan judul YUDYASTANTI Penjualan Objek Hak Tanggungan Melalui Lelang dan Pelaksanaan Pendaftaran Hak Atas Tanah yang Berasal dari Lelang di Kabupaten Banjarnegara AYU SORAYA Membahas Membahas mengenaiLelang mengenai Eksekusi Obyek jaminan Hak Tanggungan perlindungan yang dilakukan hukum terhadap KPKNL bersifat pembeli lelang Paratee Eksekusi dalam berdasarkan pelaksanaan Pasal 6 UUHT. eksekusi hak Proses tanggungan, pendaftaran karena dalam tanah yang prakteknya berasal dari pembeli lelang penjualan lelang belum mendapat hanya dapat jaminan dibuktikan perlindungan dengan adanya hukum, ketika Risalah Lelang pembeli lelang yang dibuat oleh sudah Pejabat memenangkan Lelang.Hambata objek lelang, n yang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 79 NO 3. PENELITIANRELEVAN PERBEDAAN HASIL PENELITIAN Penelitian Tesis, Tahun DODY SAFITRA AYU SORAYA keabsahan dokumen Membahas persyaratan lelang, mengenai jaminan penyerahan barang perlindungan hukum bergerak dan/atau terhadap pembeli barang tidak lelang dalam bergerak. Risalah pelaksanaan lelang merupakan eksekusi hak akta otentik dimana tanggungan, karena akta otentik dalam prakteknya memberikan pembeli lelang perlindungan belum mendapat kepada pemenang jaminan lelang. perlindungan 2012, dengan judul Perlindungan Hukum terhadap Pemenang Lelang Sukarela di Balai Lelang Swasta PT. Triagung Lumintu Semarang hukum, ketika pembeli lelang sudah memenangkan objek lelang, kemudian terdapat hambatan yaitu ketika melaksanakan proses peralihan hak atas tanah terjadipemblokiran. Solusi atas hambatan tersebut agar commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 80 tercapai adanya kepastian hukum. NO 4. PENELITIANRELEVAN Jurnal Nasional Kertha PERBEDAAN HASIL PENELITIAN NI KADEK AYU Negara Volume. 02 PURNAMA DEWI Nomor. 05 Oktober 2014, & NI MADE ARI dengan judul Perlindungan YULIARTINI AYU SORAYA Hukum Terhadap Pemenang Lelang Terkait Kepemilikan Tanah Secara Absentee Akibat Pemindahan Hak Atas Tanah Karena Lelang Objek Hak Tanggungan. Membahas Membahas mengenai mengenai jaminan perlindungan kepemilikan tanah hukum terhadap secara absentee pembeli lelang dalam akibat pemindahan pelaksanaan eksekusi hak atas tanah hak tanggungan, karena lelang yang karena dalam dimenangkan oleh prakteknya pembeli subjek hukum lelang belum diluar kecamatan mendapat jaminan dan perlindungan perlindungan hukum, hukum terhadap ketika pembeli lelang pemenang lelang sudah memenangkan terkait kepemilikan objek lelang, tanah secara kemudian terdapat absentee akibat hambatan yaitu ketika menindahan hak melaksanakan proses commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 81 atas tanah karena peralihan hak atas lelang objek hak tanah terjadi tanggungan adalah pemblokiran. Solusi terdapat dalam atas hambatan tersebut Pasal 3 PP 224 agar tercapai adanya Tahun 1961 kepastian hukum. tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi. Tabel 1.Perbedaan Penelitian Penulis commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 82 L. Kerangka Berpikir Perbankan (Kreditor) Nasabah (Debitor) Perjanjian Kredit Hak Tanggungan (Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996) Kredit Macet EKSEKUSI Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Pembeli Lelang Perlindungan Hukum Pembeli Lelang preventif Risalah Lelang Pendaftaran Kantor Pertanahan Pemblokiran Perlindungan Hukum Pembeli Lelang Bagan 1. Kerangka Pemikiran commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 83 Keterangan : Debitor dan kreditor dalam mengajukan pinjaman pemberian kredit membuat perjanjian kredit. Selain dibuat perjanjian kredit juga diperlukan adanya jaminan. Jaminan yang berupa benda tidak bergerak (hak atas tanah) diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah. Kredit yang diberikan dengan jaminan berupa hak atas tanah dituangkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). APHT didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat sehingga keluar sertifikat Hak Tanggungan sebagai bukti pemilikan hak yang asli. Ada kalanya debitor melakukan wanprestasi sehingga menimbulkan kredit macet. Pemegang Hak Tanggungan dapat menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum berdasarkan titel eksekutorial yang dimilikinya. Proses pelaksanaan Lelang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 106/PMK.06/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.Pelaksanaan lelang yang akan dibahas adalah lelang yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang. Setelah pelaksanaan lelangselesai, maka PembeliLelang memperoleh risalah lelang sebagai bukti otentik untuk melakukan proses peralihan hak di Kantor Pertanahan setempat. Hambatan yang sering muncul dalam praktik ketika sedang melaksanakan proses peralihan hak atas tanah adalah terjadi bentuk perlawanan dari pihak yang merasa dirugikan atas eksekusi Hak Tanggungan. Berupa pemblokiran sertifikat hak atas tanah yang kepemilikan haknya sudah beralih ke Pembeli Lelang,denganmengajukan permohonan gugatan di Pengadilan yang dilakukan oleh pihak yang terlibat langsung maupun oleh pihak ketiga. Oleh karena itu, pengkajian penulisan tesis adalah mengenai bentuk perlindungan hukum terhadap PembeliLelang Hak Tanggungan dan solusi untuk menyelesaikan hambatan yang terjadi tersebut. commit to user