PROSIDING KONFERENSI NASIONAL HUKUM TATA NEGARA Ke-3 “DEMOKRATISASI PARTAI POLITIK DI INDONESIA” Padang-Bukittinggi, 5-8 September 2016 EDITOR: Feri Amsari, S.H., M.H., L.LM. Charles Simabura, S.H., M.H. Khairul Fahmi, S.H., M.H. TIM PENYUSUN: M Nurul Fajri, S.H., M.H. Mochtar Hafiz., S.H. DITERBITKAN OLEH: Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Gedung Bersama, Lt. 2 Fakultas Hukum Universitas Andalas Kampus Limau Manis, Padang Email: [email protected] Telp/Fax: (0751) 775692 www.pusako.or.id KATA PENGANTAR Berangkat dari pengalaman Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-1 dan ke-2, Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-3 memang direncanakan dan diupayakan untuk dapat secara langsung melibatkan pihak-pihak yang notabene merupakan para pengambil keputusan atau yang mempengaruhi dalam setiap-setiap pengambilan keputusan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Agar hasil dari kegiatan Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-3 ini mendapatkan muara yang tepat dan sesuai dengan apa yang dharapankan. Dengan mengangkat tema “Demokratisasi Partai Politik di Indonesia”, sedari awal agenda Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-3 telah menargetkan untuk memberikan ruang seluas-luasnya namun berimbang kepada semua pihak untuk menentukan arah demokratisasi di tubuh partai politik. Sehingga tujuan dari penyelenggaran konferensi ini sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan terciptanya demokratisasi di tubuh partai politik di Indonesia bergulir dari pelbagai arah. Mulai dari Wakil Presiden, HM. Jusuf Kalla, Menteri Dalam Negari, Tjahjo Kumolo, Menteri Hukum dan HAM, Yossona H. Laoly, perwakilan Partai Politik atau Politisi, Akademisi dari berbagai latar belakang keilmuan, Praktisi, Tokoh Masyarakat serta perwakilan Non Goverment Organization serta kalangan terdidik lainnya yang tidak hanya berasal dari Indonesia dengan berbagai latar belakang yang relevan terlibat dalam menyampaikan pokok-pokok pikirannya tentang bagaimana mewujudkan demokratisasi partai politik di Indonesia. Prosiding ini menyajikan hampir seluruh catatan proses Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-3, mulai dari makalah hingga seluruh gagasan-gagasan dan perdebatan yang muncul dari setiap sesi selama kegiatan berlangsung (memorie van toelichting). Termasuk juga pernyataan sikap dalam bentuk kesimpulan dan saran Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-3 yang lahir dan dirumuskan oleh para peserta yang hadir dan dibacakan pada sesi menjelang penutupan koferensi. Dengan begitu, prosiding Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-3 ini diharapkan mendapatkan tempatnya sebagai rujukan sejarah dalam mencari, mendalami serta memahami suasana kebatinan atau dinamika yang terjadi (original intent) melalui pihak-pihak yang telah memberikan sumbangsih pemikirannya selama Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-3 ini diselenggarakan. Khususnya menyangkut segala upaya dan perjalanan untuk mewujudkan demokratisasi partai politik di Indonesia. Prosiding Konferensi Nasional Hukum Tata Negara ke-3 ini tentulah memiliki berbagai kekurangan, kesalahan atau kekeliruan. Untuk itu, saran dan masukan dari semua pihak sangatlah dibutuhkan untuk kebaikan dikemudian waktu. Akhir kata, sebagai tujuan dan cita-cita yang paling luhur, semoga prosiding ini dapat memberikan sumbangan yang signifikan untuk memperkaya khazanah keilmuan di bidang Hukum Tata Negara. Padang, November 2016 Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas DAFTAR ISI Pembukaan Konferensi Nasional Hukum Tata Negara 3 Notulensi ....................................................................................................................................................... 1 Keynote Speech Dr. Yassona H. Laoli................................................................................................................................... 36 Seminar Tantangan Demokrasi Internal Partai Politik Notulensi ....................................................................................................................................................... 42 Notulensi Parallel Group Discussion Panel 1 Memetakan Permasalahan Demokrasi Partai ................................................................................ 58 Notulensi Parallel Group Discussion Panel 2 Demokrasi Partai Dalam Penyelesaian Sengketa Internal dan Hubungan Pusat Dan Daerah Partai...................................................................................................................................... 106 Notulensi Parallel Group Discussion Panel 3 Sumber, Pengelohan dan Pengawasan Dana Partai ..................................................................... 147 Penyampaian Kesimpulan Notulensi ....................................................................................................................................................... 232 Penutupan Konferensi Nasional Hukum Tata Negara 3 Notulensi ....................................................................................................................................................... 247 Makalah Parallel Group Discussion Panel 1 Sulardi Membangun Demokratisasi Melalui Mekanisme Pemilihan Ketua Partai Politik ............ 248 Muhammad Fauzan Azim Memperbaiki Hulu Demokrasi Melalui Penataan Sistem Pemilihan ketua Partai Politik ................................................................................................................................................ 264 Muhammad Husen Db Proses Pemilihan Ketua Partai yang Demokratis .......................................................................... 286 Rafli Fadilah Achmad Gagasan Penyempurna Musyawarah Nasional Partai Politik Sebagai Upaya Meningkatkan Taraf Demokrasi Berbangsa .................................................................................... 298 Syafrida Rachmawaty Rasahan Demokrasi Ala Partai Politik Di Indonesia ; Membandingkan Proses Pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat Rentang Tahun 2010-2015 (Mencari Pola Regenarasi Pimpinan Partai Politik Yang Ideal) ................................................................................................... 314 Ridho Imawan Hanafi Demokrasi Internal Partai: Ketika Partai Memilih Pemimpinnya .......................................... 328 Awaludin Marwan Pemilihan Ketua Partai Dari Sudut Hak Politik Minoritas: Studi Perbandingan Indonesia dan Belanda.................................................................................................................................................. 348 Beni Kharisma Arrasuli Demokrasi Internal Partai Proses Pemilihan Ketua Partai Yang Demokratis ................... 360 Cakra Arbas Demokratisasi Dalam Menjaring Pemimpin Partai Politik ........................................................ 374 Fajlurrahman Jurdi Hegemoni Aliansi Oligarki Dalam Pemilihan Ketua Umum Partai Politik ........................... 390 Kurniawan S Proses Pemilihan Ketua Umum Partai............................................................................................... 407 M. Adnan Yazar Zulfikar Partai Politik Sebagai Inkubator Demokrasi ................................................................................... 425 Siti Marwiyah Dampak Pemilihan Tidak Demokratis Di Internal Partai Terkait Penentuan Kandidat Pemimpin ...................................................................................................................................................... 445 Abd. Wachid Habibullah Mekanisme Penentuan Calon Presiden Dan Calon Wakil Presiden Di Internal Partai Politik Dalam Pemilihan Umum Serentak ........................................................................................ 458 Adventus Toding Menggagas Jembatan Emas Partai Politik ........................................................................................ 475 Andrian Habibi Pemilihan Demokratis Berbasis Strata Perkaderan Partai Dalam Mengusung Calon Legislatif dan Eksekutif Daerah............................................................................................................ 489 Asrinaldi Masihkah Partai Politik Demokratis? Memahami Proses Pencalonan Kepala Daerah Dalam Pilkada Serentak .......................................................................................................................... 504 Catur Wido Haruni Menentukan Kandidat Pilpres, Pileg, dan Pilkada Oleh Parpol secara Demokratis........ 523 Dian Agung Wicaksono Eksistensi Politik Dinasti Dalam Demokratisasi Partai Politik ................................................ 542 Dian Bakti Setiawan Rekrutmen Pengisian Jabatan Politik Dalam Mekanisme Internal Partai Politik ............. 557 Dri Utari Christina Rachmawati Primordialisme Dalam Rekruitmen Calon Presiden (Analisis Kritis Partai Politik Sebagai Mesin Pemilu) ............................................................................................................................................. 571 Fatkhul Muin Budaya Demokrasi Dan Political Recruitment Partai Politik Terhadap Calon Anggota Legislatif ........................................................................................................................................................ 600 Fritz Edward Siregar Kaderisasi, Jabatan Dan Pemimpin ..................................................................................................... 616 Gunawan Muhamad Pelaksanaan Demokrasi Substantif Di Internal Partai Dalam Menata Pengusungan Kandidat Yang Representatif Pada Pemilihan Legislatif ............................................................ 636 Hasyim Asy’ari Mendemokratiskan Partai Politik: Desentralisasi Pencalonan Dalam Pilkada .................. 649 Ilham Aldelano Azre Dilema Oligarki Dan Otonomi Parpol Daerah Terkait Penetuan Kandidat Dalam Pemilihan Umum........................................................................................................................................ 666 Inna Junaenah Tanggung Jawab Partai Politik Untuk Menetapkan Standar Kualifikasi Kandidat Anggota Legislatif ........................................................................................................................................................ 681 Muhammad Fauzan Peran Partai Politik Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih (Alternatif Model Rekruitmen Calon Anggota Dpr/Dprd Oleh Partai Politik Pada Masa Yang Akan Datang)........................................................................................................................................................... 704 Mahesa Rannie Pembatasan Praktek Nepotisme Partai Politik Pada Saat Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia ....................................................................................................................................................... 721 Masduri Penguatan Kaderisasi Sebagai Upaya Membangun Demokratisasi Pencalonan Anggota Partai Politik Pada Pemilihan Legislatif Dan Eksekutif............................................................... 748 Sunny Ummul Firdaus Konstruksi Hukum Penentuan Kandidat Pilkada Oleh Partai Politik Secara ................... 765 Wegik Prasetyo Mencari Kerangka Ideal Seleksi Kandidat Partai Politik ............................................................ 773 Heroik Pratama Muttaqin Merancang Model Rekrutmen Politik yang Demokratis ............................................................. 790 Zulkifli Aspan Mengagas Sanksi Bagi Parpol Terhadap Keterlibatan Kader Dalam Korupsi Dan Politik Uang ................................................................................................................................................................ 807 Khoirunnisa Nur Agustyati Tantangan Dalam Meningkatkan Keterwakilan Perempuan Di DPR .................................... 823 Rizki Jayuska Tanggung Jawab Partai Politik Terhadap Rekrutmen Kandidat Kepala ........................... 843 Makalah Parallel Group Discussion Panel 2 Dodi Nur Andryan Solusi Yang Konstitusional Dan Demokratis Untuk Menyelesaikan Sengketa Internal Partai Politik Di Indonesia...................................................................................................................... 859 Zulva Asma Vikra Hubungan Kepengurusan Partai Politik Dalam Konteks Reformasi Sistem Kepartaian Di Indonesia ....................................................................................................................................................... 878 Imam Ropii Musyawarah Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa Internal Partai Yang Demokratis ................................................................................................................................................... 891 Achmad Fachrudin Penyelesaian Sengketa Internal Partai yang Demokratis ....................................................... 909 Ardilafiza Penyelesaian Sengketa Internal Partai Politik Melalui Mahkamah Partai Politik ............ 928 Bactiar Penguatan Peran Mahkamah Partai Dalam Penyelesaian Konflik Internal Partai Politik ............................................................................................................................................................. 938 Bambang Ariyanto Desentralisasi Pengelolaan Partai Politik (Upaya Penataan Kelembagaan Partai Politik Menuju Partai .............................................................................................................................................. 950 Emy Hajar Abra Efektifitas Mahkamah Partai Dalam Negara Demokrasi ............................................................ 967 Fadli Ramadhanil Demokratisasi Penyelesaian Sengketa Kepengurusan Partai Politik ................................. .. 985 Fauzin Penguatan Mahkamah Partai Sebagai Alternatif Penyelesaian Perselisihan Partai Politik Yang Demokratis ..................................................................................................................................... 998 Ibrahim (De)Sentralisasi Partai Politik : Dari Problem Ke Opsi Penguatan Otonomi ................... 1011 Ikaputri Reffaldi Penyelesaian Perselisihan Kepengurusan Partai Politik Di Era Reformasi ..................... 1024 Ilhamdi Taufik Kepengurusan Partai Politik Pusat dan Daerah .......................................................................... 1040 Luthfi Widagdo Eddyono Desentralisasi Partai Politik: Sebuah Kajian Original Intent Dan Pemaknaan Sistematik UUD 1945 ................................................................................................................................................... 1051 Maria Madalina Manajemen Konflik Internal Partai Guna Mewujudkan Partai Politik Yang Demokratis ................................................................................................................................................ 1070 Nuruddinhady Penyelesaian Sengketa Internal Partai Yang Demokratis Dalam Membangun Sistem Kepartaian Yang Modern ..................................................................................................................... 1086 Putra Perdana Politik Hukum Pembentukan Mahkamah Partai Politik Untuk Menyelesaikan Sengketa Internal Partai Politik yang Demokratis di Indonesia .............................................................. 1099 Rosita Indrayati Penyelesaian Sengketa Internal Partai Politik Yang Demokratis Dalam Sistim Ketatanegaraan Indonesia................................................................................................................... 1115 Sirajuddin Desain Penyelesaian Sengketa Internal Parpol Berbasis Keadilan Substantif Dalam Bingkai Hukum Progresif..................................................................................................................... 1137 Tamrin Relasi Politik Nasional Dan Daerah Susunan Pengurus Partai Politik ............................... 1155 Yuliani Iriana Sitompul Penyelesaian Sengketa Internal Partai Politik Di Indonesia: Problem Dan Tantangannya ................................................................................................................................. 1173 Esty Ekawati Soliditas Partai Kebangkitan Ban Gsa Pasca Konflik Internal Tahun 2008 ..................... 1193 Makalah Parallel Group Discussion Panel 3 Almas Ghaliya Putri Sjafrina Urgensi Pembenahan Keuangan Partai Politik Melalui Subsidi Negara Dan Dorongan Demokratisasi Internal ......................................................................................................................... 1209 Purnomo S. Pringgodigdo Bantuan Keuangan untuk Pendidikan Politik di Kota Surabaya .......................................... 1226 Epri Wahyudi Menggagas Keuangan Partai Politik Dan Tata Kelelonya (Menegakkan Prinsip Transparansi Dan Akuntabilitas) ..................................................................................................... 1243 Ida Budhiati Memperkuat Kelembagaan Parpol : Laporan Hasil Audit Keuangan Sebagai Syarat Pendaftaran Partai Politik Calon Peserta Pemilu ....................................................................... 1261 Raden Mas Jerry Indrawan Pendanaan Partai Politik Oleh Negara:Mekanisme Pemberian Dana Publik Kepada Partai Politik .......................................................................................................................................................... 1271 Ali Asrawi Ramadhan Menakar Demokrasi Tanpa Transparansi Keuangan Partai Politik .................................... 1285 Mei Susanto Model Pendanaan Partai Politik Menuju Partai Politik Yang Terbuka Dan Modern .... 1295 Muhtar Said Menjaga “Marwah” Partai Politik Melalui Transparansi Keuangan .................................... 1313 Oly Viana Agustine Redesain Sumber Pendanaan Partai Dalam Menciptakan Laporan Keuangan Yang Akuntabel Dan Transparan ................................................................................................................. 1325 Purnomo S. Pringgodigdo Bantuan Keuangan untuk Pendidikan Politik di Kota Surabaya .......................................... 1339 Ramlan Surbakti Reformasi Keuangan Partai Politik .................................................................................................. 1356 Reza Syawawi Keterbukaan Keuangan Partai Politik............................................................................................. 1365 Septi Nur Wijayanti Corporate Political Responsibility (CPR) Sebagai Upaya Mewujudkan Demokratisasi Keuangan Partai Politik ........................................................................................................................ 1376 Veri Junaidi ANOMALI PENDANAAN DAN REKRUTMEN POLITIK DI INDONESIA: Profile Pendanaan dan Rekrutmen oleh Partai Politik di Indonesia......................................................................... 1397 Wirahospita Indeterminasi Peran Parpol (Studi Kasus Fenomena Penguatan Munculnya Jalur Independen).............................................................................................................................................. 1417 M.Iwan Satriawan Demokrasi Dua Wajah Partai Politik di Indonesia: Upaya Mewujudkan Transparansi Dana Partai ................................................................................................................................................ 1438 Abdul Wahid Transparansi Keuangan Partai Politik Demi Mewujudkan Demokrasi Internal Partai Politik .......................................................................................................................................................... 1453 Edita Elda Pencegahan Korupsi Politik Melalui Transparansi Pendanaan Partai ............................... 1467 NOTULENSI PEMBUKAAN KONFERENSI NASIONAL HUKUM TATA NEGARA KE-3 DEMOKRATISASI PARTAI POLITIK CONVENTION HALL UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 5 SEPTEMBER 2016 MC Notulen : Masni Fansuri : Dzikra Atiqa Menyanyikan lagu indonesia raya (Pukul: 13.15) KATA SAMBUTAN Prof. Dr. Saldi Isra,S.H. Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Assalamualaikum wr.wb,salam sejahtera bagi kita semua, yang sama-sama kita hormati bapak wakil presiden, bapak Dr. Jusuf Kalla yang sama-sama kita hormati bapak menteri dalam negeri, menteri aparatur negara reformasi dan birokrasi,menteri pekerjaan umum dan perkembangan rakyat, bapak ketua DPD RI, bapak gubernur,bapak rektor,bapak dekan yang sama-sama kami hormati, khusus kepada Prof. Bagir Manan yang nantinya akan memberikan keynote speach setelah dibukanyanya acara oleh bapak wakil presiden. Hadirin sekalian yang saya hormati, izin kan saya melaporkan kegiatan Konferensi Nasional Hukum Tata Negara yang hari ini secara resmi akan dibuka oleh wakil presiden jusuf kalla. Ini merupakan konferensi hukum tata negara ke-3 yang secara reguler dialaksanakan oleh pusat studi konstitusi universitas andalas, ini adalah konferensi hukum tata negara ketiga, yang pertama dilaksanakan di Sawahlunto tiga tahun yang lalu dengan topik pemilihan umum serentak,dan beberapa rekomendasi 1 telah disampaikan kepada lembaga yang memiliki otoritas untukmembuat UU, tahun lalu dilaksanakan juga dengan topik seleksi pejabat publik, jadi kita membuat design baru bagaimana seleksi pejabat publik seperti KPK komisi yudisial dan segala macam. Hari ini bapak ibu yang berbahagia dan kami hormati, sengaja kami memilih topik tentang demokratisasi partai politik karena dasar substantifnya ada, kita tau kalau dibaca UUD hasil perubahan, parpol memiliki tempat yang sangat strategis untuk semua posisi-posisi penting di negara ini, ditengah substansi konstitusi yang seperti itu, muncul kritik bagi parpol, banyak pandangan negatf kepada parpol, sementara disisi lain infrastruktur negara ini tidak bisa kita abaikan didalam konstitusi, oleh karena itu, kita kalangan perguruan tinggi khususnya kami dari pusat studi konstitusu fakultas hukum universitas andalasmerasa berkewajiban untuk melakukan penelitian mendalam tentang apa yang terjadisaat ini, kira-kira bagaimana perbaikan dan reformasi parpol yang dapat kita tawari, dan nanti akan kita sampaikan kepada pemegang otoritas. Didalam konferensi yang ketiga ini, sengaja kita memberikan fokus kepada empat hal: 1. Bagaimana mendisigned reformasi internal partai politik? 2. Bagaimana cara desentralisasi partai poltik? 3. Bagaimana cara menyelesaikan sengketa internal partai politik? 4. Bagaimana cara pengelolaan keuangan didalam partai politik? Empat hal ini bapak wakil presiden akan dibahas didalam koferensi hukum tata negara nanti, dan kami berterimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kami melaksanakan kegiatan ini,ada kementrian hukum dan HAM,ada yayasan tahir foundation yang memberikan perhatian kepada hal-hal yang seperti ini, yang dipimpin oleh bang todung mulya lubis, yang sudah menfasilitasi semua kegiatan ini, kami sedang melakukan penelitian dengan cara mengunjungi hampir 15 provinsi di Indonesia dan kami yang menanyai parpol di 15 provinsi tersebut dan menanyai bagaimana pendapat mereka tentang parpol di masa yang akan datang. Penelitian nanti akan kami sampaikan sebagian didalam konferensi ini, dan kami juga berterimakasih kepada IFES Indonesia, thanks to David yang sudah menyediakan semuanya. Kami berharap kepada bapak wakil presiden, hasil dari kegiatan ini nantinya akan di formulasikan untuk naskah akademik untuk merevisi UU parpol, 2 dan kita akan serahkan kepada bapak menteri dalam negeri, kepada bapak menteri hukum dan HAM dan kami akan memberikannya juga kepada parpol-parpol yang menduduki bangku parlemen untuk menjadikan acuan dalam mengambil keputusan, itu merupakan tujuan konferensi nasional tahun ini. Tahun ini, berbarengan dengan pelaksanaan konstitusi juga berbarengan dengan pemberian anugerah konstitusi Moh. Yamin, jadi kami mencari orang-orang yang meiliki jasa dan pemikiran yang jelas tentang pandangan dan perkembangan konstutisi di negara ini. Tahun ini ada empat kriteria yang kita pilih; 1. Life time achivement, orang yang tidak pernah mengabdi kepada perkembangan hukum tata negara. 2. Karya monumental hukum tata negara. 3. Ada journalist yang memberikan fokus kepada perkembangan hukum tata negara. 4. Ada pemikir muda hukum tata negara. Besok malam pak wakil presiden, acara itu akan dilaksanakan di Bukittinggi dalam acara gala dinner yang akan diikuti oleh semua peserta konferensi, yang insyaallah besok akan dihadiri oleh bapak gubernur, dan bapak ketua DPD RI. Itulah kira-kira yang bisa kita sampaikan, saya berterimakasih kepada semua pihakpihak yang telah membantu semuanya terjadi, ada kementerian Hukum dan HAM, ada Tahir foundation, ada walikota Sawahlunto,ada Bank BNI 46, dan kita berharap ini akan menjadi agenda tahunan untuk mendiskusikan isu-isu ketatanegaraan, setelah ini saya berharap bapak menteri dalam negeri akan membukakan pintunya juga untuk PUSAKO untuk mengkaji isu-isu konstitusi ini. Demikian yang dapat kami sampaikan, wassalamualaikum wr.wb.. 3 KATA SAMBUTAN Prof. Tafdil Husni, SE. MBA.Phd REKTOR UNIVERSITAS ANDALAS Pukul: 13.25 Assalamualaikum wr.wb.. Yang sama-sama kita hormati, bapak wakil presiden beserta rombongan, yang kami hormati bapak pimpinan lembaga tinggi negara ketua DPD, kemudian bapak menteri, kemudian yang kami hormati bapakibuk pejabat pusat, yang jugakita hormati bapak gubernur sumatera barat, yang kami hormati tamu undangan, dan juga keynote speech kepada bapak prof. Bagir Manan, dan seterusnya kepada semua hadirin yang berbahagia. Pertama kita tidak henti-hentinya memanjatkan rasa puji dan syukur kita kepada Allah SWT, yang telah memberikan kesehatan kepada kita sehingga kita telah dpat berkumpul dalam acara pembukaan konferensi nasional hukum tata negara ini. Bapak ibuk yang sama-sama saya hormati,dalam rangka lustrum UNAND ke-12, dan juga Fakultas Hukum yang ke-13, cukup banyak kegiatan akademik maupun non akademik yang dilakukan pada siang ini , dalam rangka berkontribusi terhadap perkembangan hukum nasional. Pusat Studi Konstitusi fakultas Hukum yang diketuai oleh Prof. Saldi Isra mengambil bagian dalam konferensi hukum tata negara ke-3, kami sebagai pimpinan berkomitmen untuk terus menjalin hubungan atas penyelenggaraan kegiatan ini. Tidak hanya saat ini saja tapi juga saat diadakan konferensi yang pertama dan kedua yang sebelumnya. Kami berharap agar konferensi hukum tata negara ini memberikan kontribusi yang beharga bai pembangunan demokrasi dan sistem ketatanegaraan indonesia, khusus terhadap demokratisasi parpol. Bapak ibuk yang terhormat, kami Universitas Andalas sangat berbangga kepada Fakultas Hukum Universitas Andalas yang telah mampu menyelenggarakan kegiatan ini yang menyediakan dan menghadirkan ahli-ahli srta pakar-pakar hukum tata negara, dan ilmu politik dari seluruh Indonesia, tidak hanya 4 itu, kegiatan ini juga dihadiri oleh perwakilan negara sahabat, bahkan ahli konstitusi dari politik dan ketatanegaraan lainnya, di Belanda, Australia, Canada, dan Jerman. Peserta yang hadir bukan hanya dari kalangan kampus, tetapi juga dihadiri oleh praktisi pemerintahan maupun non pemerintahan, terutama yang konsen pada pembangunan partai politik. Konferensi multi pihak dalam kegiatanini sangat dibutuhkan, karena beban ini tidak hanya menjadi beban pemerintah, tetapi juga menjadi beban bagi semua piihak,termasuk akademisi, praktisi politik, aktivis, dan masyarakat sipil. Bapak wapres, bapak menteri dalam negeri, para undangan yang kami hormati, konferensi ini selain merupakan diskusi ilmiah juga merupakan ajang silaturahmi diantara para pihak yang berkepentingan terutama para pejabat pembuat kebijakan, terutama lembaga negara yang mengambil kebijakan dalam sesi-sesi di konferensi nantinya. Sehingga apa yang dapat dihasilkan dapat langsung terkomunikasikan kepada para pihak pembuat kebijakan. Dalam koferensi ini diharapkanbukan hanya menjadi naskah akademik, tetapi dapat menjawab permasalahan sekitar parpol di negeri ini. Bapak ibuk yang kamihormati, dimasa yang akan datang kegiatan serupa ini dapat dilaksanakan setiap yahunnya bukan hanya dalam skop nasional tetapi juga dalam skop internasional. Kegiatan ini guna mendukung visi Universitas Andalas untuk menjadi universitas yang terkemuka dimasa yang akan dtang, kemudian kamii juga akan berterimakasih kepada pihak-piihak terutama bapak wakil presiden yang telah meluangkan waktu untuk membuka kegiatan ini, terimakasih kepada bapak menteri, ketua lembaga pimpinan negara, serta semua utusan yang sama-sama kami hormati. Kami ucapkan maaf yang sebesar-besarnya atas semua kesalahan dan kekurangan atas penyelenggaraan acara ini. Saya akhiri dengan wabillahi taufik walhidayah assalamualaikum wr.wb.. 5 KATA SAMBUTAN Dr.(H.C) H.M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pukul:13.33 Assalamualaikum wr.wb Yang saya hormati saudara ketua DPD, keluarga hukum tata negara, bapak rektor, bang todung mulya lubis, pusat kajian konstitusi pusako. Marilah kita selalu bersyukur kepada Allah SWT, yang telah mengizinkan kita menghadiri acara ini. Berbicara tentang ketatanegaraan tentu banyak ahli yang berada disini. System ketatanegaraan ini bersifat dinamis. Maka dari itu karena system ketatanegaraannya yang dinamis maka sistem hukumnya pun dinamis. Indonesia telah mencoba berbagai system yang berat, 45 UU kita, kita memakai sistem presidensial, kita tidak terlalu puas, kita beralih ke federal dengan RIS walau lamanya 10 bulan, kita menjadi negara federal. Indonesia timur itu presidennya ada di maldi sedangkan perdana menterinya ada di Makassar katanya. Tidak puas kita membikin UU sementara yang kita tiru adalah negara-negara barat yang menganut sistem parlementer, lahirnya kabinet bisa jatuh dalam 1 tahun, 6 bulan kebijakannya. Pokoknya kalau parlementer bukan mencari bagaimana berlangsungnya tapi dari fikirannya. Kemudian tahun 49 balik lagi ke yang pertama, kemudian orde baru tetap dengan sistem yang sama,nulai dengan jegiatan demokratis, ada 10 partai,12 partai tapi akhirnya juga otoriter. Kembalilagi kepa UUD 45. Jadiitulah perjalanan ketatanegaraan negara Indonesia ini. Yang hampir semua sistem sudah kita coba. Demokrasi bukanlah system yang sempurna dalam ketatanegaraannya tetapi paling kurang kekurangannya diantara banyak sistem. Dan juga kita kalu berbicara tentang kepartaian sejak maklumat november pak Hatta dan yang lain merumuskan, partai tumbuh 10, kemudian naik lagi sampai puncaknya pada pemilu. Dari 12 partai kemudian diplih menjadi 3 supaya lebih mudah. Ini terbukti adanya dinamika sistem ketatanegaraan kita pernah kita coba. Bahwa dari semua pengalaman itu apa yang paling efektif maka itu yang kita pakai. Memang tidak mudah karena inti dari parpol adalah mencapai tujuan, 6 sedangkan inti dari akademisi adalah mencari kebenaran, tapi saya kira itu adalah ciri bagaimana mendapatkan kebenaran demi mencapai tujuan bersama. Pertanyaan yang tadi telah disampaikan, kita emua menyadari bahwa dalam demokrasi tentu parpol merupakan inti dari permasalahan demokrasi. Ada juga demokrasi tanpa partai dalam pemilihan kepala desa ini hanya perumpamaan yang kecil saja, karena tidak mungkin semua orang memilih seseorang ataupun pemilihan senat tidak memerlukan partai. Tapi artinya adalah, partai adalah suatu fondasi dalam ppelaksanaan demokrasi itu sendiri. Pertanyaannya sekarang ialah, partai sebagai fondasi demokrasi, tentu demokrasi partai harus lebih dulu berdemokrasi. Inilah yang menjadi masalah pada saat sekarang ini, bahwa partai itu lebih demokratis agar demokratis. Memang tidak mudah apabila kita sangat permanen, apabila biaya politik di Indonesia tidak ada yang menanggung. Saya ini berbicara sebagai mantan ketua umum partai. Kenapa banyak kritikan kepada keuaumum partai, tentu salah satu yang menjadi perdebatan adalah karena biaya politik di indonesia. Semua partai memilki biaya yang besar untuk mempertahankan sistem ketatanegaraan bangsa ini. Itulah kegiatan dan masalahyang ada dibidang parpol. Namun, partai juga dapat demokratis, karena dalam pengambilan keputusan dalam parpol sangat demokratis. Tetapi disaat pengambilan suara dianggap demokrasi didalam parpol tersebut. Demokrasi dilihat dari pengambilan keputusan. Harus adanya system yang jelas dan harus disetujui bersama. Yang pertama apabila itu menyangkut kegiatan nasional, maka itu harus di putuskan dalam munas, kalau etnis didalam etnis, kalau subjektif maka kita putuskan didalam pengurus. Kalau bersifat orang kita putuskan secara bersama. Dengan adanya pengambilan keputusan itu maka dapat dikatakan hampir demokratis. Dan akibat demokratis biayanya sedikit, akibat biayanya yang sedikit maka dapat lebih demokratis lagi. Itulah perputaran partai dalam demokratis. Dan saya secara pengalaman selama lima tahun kepemimpinan saya berjalan dengan baik. Karena itu, demokrasi adalah dalam hal pengambilan keputusan untuk memilih orang, itu intinya sebenarnya. 7 Dewasa ini kalau ingin mencalonkan diri sebagai gubernur atau bupati, partai menjadi rebutan untuk mendapatkan fondasi. Jadi akibatnya adlah bukan lagi mendorong kader tapi melihat partai untuk mencalonkan seseorang.Semua link harus mempunyai hak yang terbatas untuk merekomendasikanseseorang atau kader untuk menjadi gubernur dan harus memiliki tim pengurus pusat,pengurus tingkat satu. Pengurus tingkat pusat hanya memiliki 20%,pengurus tngkat satu 40%, dan pengurus tingkat dua 20%. Sebaliknya kalau ingin mencalonkan calon tingkat 2 seperti bupati, maka 40% ada ditingkat dua itu, 20% tingkat satu, dan pusat 20%. Artinya tidak ada satu pun pihak yang otoriter. Itulah cara pengambilan keputusan di dalam parpol yang demokratis. Apabila sudah berjalan seperti ini maka anda tidak akan dipilih berdasarkan uang hak terkorup yang ada. Salah satu hal yang menyebabkan banyak partai sulit untuk berdemokratisasi adalah karena uang. Solusinya sebenarnya sederhana dengan adanya biaya partai. Sebenarnya saya juga kurang percya dengan biaya besar. Sehingga tidak perlu adanya biaya besar. Yang kedua, soal pemerataan pihak. Semua anggota DPR tidak boleh menyumbang untuk mendanai partai. Apa akibatnya? Akibatnya ialah, ia tidak boleh mengatasnamakan partai untuk mencari proyek. Karena menurut surat menteri tidak ada satu pun anggota DPR berbicara proyek pada siapa pun. Tapi kemudian muncul pertanyaan darimana partai mendapatkan dana? Ia dari anggota yang mampu, yang bisa meyumbang. Maka dari itu tidak ada satupun anggota DPR GOLKAR yang mampu ditangkap KPK pada jaman 2004-2005. Yang terjadi adalah didalam segelumit kasta bukan parpol. Termasuk tidak ada satupun menteri di dalam kabnet waktu saya ada tidak melakukan itu. Semua UU yang di sahkan dari tahun 1999-2003 semua satu pikiran bahwa pemerintah atau birokrat menjadikan itu caea awal berfikir. Semua lembaga ataupun pemerintahan yang diatur dalam UU tersebut harus diawasi oleh publik. 8 Semua lembaga/institusi yang dibuat UU harus diawasi oleh public dan public harus menjadi peka dalam semua isu-isu tentang semua keadaan dalam bernegara. Sehingga bukan kepentingan politik yang dikemukakan tetapi kesejahteraan rakyatlah yang menjadi nomor satu. Mudah-mudahan konferensi ini akan memperbaiki pemikiran dan menyadarkan kita serta memberikan pemahaman bahwa parpol itu harus demokratis disaat ajang pemilihan. Jadikan parpol itu sebagai ajang demokratis dan dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Suatu kehidupan Negara tidak akan sehat tanpa adanya perasaan nasionalisme/bersatu. Demokrasi akan tumbuh dalam kehidupan yang progresif. Demikianlah yang dapat saya sampaikan termakasih. Pembukaan sekaligus pemukulan gong oleh wakil presiden jussuf kalla. 9 KATA SAMBUTAN Tjahjo kumolo, S.H. Menteri Dalam Negeri Pukul:13.55 Assalamualakum wr.wb Yang saya hormati seluruh hadirin yang hadir. Izinkan saya menyampaikan beberapapoin kesimpulannya saja dulu Poin kesimpulan: 1. Pemerintah membuka forum komunikasi dengan harapan bahwa urgensi penguatan peranan parpol. 2. Perlunya entitas nasionalisasi parpol yang lebih matang sebagai pilar tentang demokrasi yang harus semakin modern. 3. Dibutuhkan sebuah postur parpol yang lebih matang, dan harus mampu mengambil sebuah peran disebuah lini yang telah kita dengar bersama. 4. Parpol diharapkan dapat menjadi acuan dan diterima didalam masyarakat yang makin modern. 5. Parpol sebagai pilar demokrasi untuk menjaga demokrasi untuk menjaga pilkada serentak pada tahun 2019. Ini adalah kelima pengantar yang sudah kami susun dalam kesimpulan yang telah dibicarakan oleh pembicara sebelumnya. Kurung waktu semasa saya menjadi anggota DPR yaitu 30tahun memang banyak proses penjungkirbalikan sistem ketatanegaraan kita ini. Timbul pertanyaan dari saya, Kita membutuhkan atau harus melahirkan sebuah system yang bisa menyesuaikan dengan system ketatanegraan pada saat sekarang ini. Dari proses orba-reformasi dianggap tidak konsisten dalam menentukan system pemerintahan di Indonesia terjadi penjungkirbalikkan system ketatanegaraan ini, apakah sistem parlementer atau sistem yang lain. Memang benar penguatan lembaga negara ini tergantung dengan penguatan parpol. PDIP system komando yang didemokrasikan. Kalau tidak ada rakyat bung karno mhon maaf maka tidak bisa menjadi ketua umum, 10 mentok jadi sekjen. Pernah PDIP pecah menjadi lima, toh partai itu tidak bisa mendapatkan apa-apa. Beda dengan GOLKAR, HANURA muncul, gerindra bisa berdiri sendiri. Memang PDIP lahir dari partai nasionalis itu benar. Penentuan ketua DPR atau pimpinan DPR memang itu hak preogratif dari ketum. Maka dari itu dari issueissue ini yag akan dibhas dalam forum ini ini sangat menarik sekali. Bagaimana membangun demokratisasi didalam tubuh parpol. Mempersiapkan revisi UU pemilu, Ada 13 revisi UU yang akan disiapkan. Perdebatan pun masih ada antara adanya sistem tertutp dan terbuka atau kombinasi keduanya. Proses ini yang nantinya akan membawa kepada pemilu serentak ini nanti dimohonkan kepada prof bagir mana, dan prof mahfud yang berpengalaman di MK. Belum lagi masalah ketum parpol, kami bekerjasama dengan KPKuntuk bisa melaksanakn proses ini. Recuitment ini yang saya kira harus memiliki sistem yang jelas. Periapan pemilu serentak yang akan dilaksanakan pada tahun 2019 didahului dengan proses pemilihan KPU dan BAWASLU, saya sudang mengambil sikap, tidak ada satupun menteri yang ngkra. Kalau untuk pemilu, otomatis ketua panselnya adalah mendagri. Mungkin banyak yang protes kenapa mendagri menjadi ketua pansel. Kalau tidak salah ketua pansel yang ditunjuk presiden adalah Prof. Saldi. (audiens bertepuk tangan) Mungkin Prof mahfud juga harus menjelaskan, dengan putusan MK dengan sistem yang demokratis tadi, menjungkirbalikan parpol tapi ya jalan sistem yang ditentukan tadi. Apakah ini fair, bisa ia bisa tidak. Anggota partai saya hanya untuk menjadi anggota DPR RI terbesar saya cek dia habis 49 milyar rupiah, terkecil memang habisnya ada yang 80 juta rupiah. Kemarin kami door to door semua parpol, yang memiliki sistem terbuka itu adalah PAN, tapi pak zulkifli mengatakan ada yang terbuka ada yang tertutup. Semua rekomendasi dari forum ini nanti apa yang akan kita pakai. Memperkuat hak kedaulatan parpol. Dapat menjamin produk dari sebuah sistem ini dengan produk yang berkualitas. Kelima kesimpulan tadi dari pemerintah dikira dapat menjawab pertanyaan politik yang ada di Indonesia. Bagaimana hakekat demokrasi, esensi demokrasi, dan fisikfisik dari demokrasi itu sendiri. Kemudian perkembangan politik yang tadi pak wapres sampaikan dari sebuah era reformasi disini, saya kira perlu ditelaah dengan baik, kemudian ada tambahan parpol kedepannya seperti perindo, partai idaman, PSI. 11 Saya kira sebagai institusi demokrasi, yang memegang peranan penting dalam proses demokrasi, wajar parpol harus menempatkan posisinya secara aktif, dan kreatif dalam menjalankan tugasnya. Sayakira ini kuncinya, kalau tidak regradasiini akan lenyap. Banyak juga kepala daerah yang sters maslah anggaran, bagianproyek, sampai muncul masalah BANSOS, dan hibah, pajak, dan anggaran daerah. Nah yang rawan iniharus kita awasi selalu. Saya ingin membangun adanya hubungan yang efektif antara pusat dan daerah. Agar efisien dan mempercepat era reformasi dan birokrasi di Indonesia. Dan dalam konteks ini memperkuat parpol juga menjadi slah satu hal yang penting untukkita laksanakan. Intinya adalah pemerintah terbuka, ini harus selesai. Dari kita merdeka, kita belum mempunyai sistem yang konsisten dan dilaksanakan dengan baik. Dan harapannya sistem ini diperkuat untuk menghasilkan insan yang amanah dan kuat dalam menjalankan tugas negara ini. Saya kira ini yang dapat saya sampaikan, saya harap hasil rekomendasi ini dapat menjadi acuan bagi kita bersama untuk menjalankan tugas yang baik bagi negara ini. Agar dari masa reformasi sampai sekarang tidak ada catatan yang tidak enak dalam bernegara sehingga dapat dijalankan dengan baik. Sebagai contohnya saja, masalah antara SBY dengan Megawati yang ada, artinya masyarakat berfikir ah karena ibukmega masih belum ikhlas, padahal bukan itu permasalahan secara prinsip, masalahnya apa/ tunggutanggal mainnya..(audiense tertawa). Ya karena saya sedang menyusun buku karena saya saksi hidup. Tanya saja Prof mahfud dalam hal pemilihan ketua MPR, pada saat bertemu mendadak muncullah pak guntur, ini sebenarnya bukan masalah megawati dan SBY, ini adalah masalah besar bung karno. Prinsip bagi keluarga kami. Kenapa pada saat itu soeharto yang menjadi presiden didit untuk bertemu susahnya setengah mati. Pak harto sakit, sampai meninggal disaat pak habibie ingin melayat susahnya minta ampun untuk dapat melihat. Sebenarnya tidak ada masalah prinsip disini, ini hanya masalah karakter dan budaya. Pak harto orang jawa, habibie sulawesi, mungkin tersinggung tapi tidak ada niat apa-apa. Saya menulis buku juga beretika, saya tanya kepada pak habibi,”pak boleh gak saya tulis”?,dan pak habibie pun menjawab tidak ada masalah. Sama juga pada saat pak harto meminta kepala staf angkata darat sebagai wapres, sebagai presiden pak habibi mengatakan siapsaya laksanakan perintah pak harto. Tapi pak hartoada embel-embelnya. Ditolak pasti ada asas-asas yang tidak terpenuhi. Zaman buk megawati jadi presiden saya ditugaskan, 12 “tjahjo tolong kamu ke nusa kambangan, karena anak cucunya pakharto di nusa kambanga tolong dirikan helypad” supaya pak harto dapat melihat anaknya dan cucunya sigit pada saat itu. Kok tidak ada dendam, dendamitu adalah urusan bapak ku dan dia. Samajuga pada saat jokowi saat adanya diajukan panglima TNI dan mantan ajudan kesayangannya buk mega jadi wapres, tau-tau gajadi masalahnya sepele. Sekarang mari kita bangun indonesia, ini pesan moralnya. Mudah-mudhan kedepan akan lebih baik lagi. Yang terakhir setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin itu akan dimintai pertanggungjawaban, sedikit apapun parpol pada masy daerah dan indonesia, asslamualaikum wr. wb sekian terimakasih wabillahi taufik walhidayah 13 KEYNOTE SPEECH Merancang Demokrasi Internal Partai Politik Prof. Dr. Bagir Manan, S.H, MCL Ketua Mahkamah Agung Periode 2001-2008 Pukul:14.30 Assalamualaikum wr.wb,yang terhormat, prof saldi, prof mahfud, bapak rektor, prof todung, dan bapak mendagri. Ketika – melalui Dr. Susi – disampaikan pesan Prof. Saldi meminta saya berdiri di hadapan Bapak-bapak dan Ibu-ibu berbicara tentang “Demokratisasi Partai Politik”, saya menyampaikan reaksi spontan. Pertama; apakah Prof Saldi tidak salah tema? Barangkali tema yang sedang bergejolak di hati rakyat banyak adalah: “Apakah ada konsep atau gagasan dalam Negara RI yang besar dan dihuni orang banyak ini, kita bangun RI yang demokratis tanpa partai politik? Pertanyaan rakyat banyak ini bukan tanpa kearifan. Sampai hari ini mereka merasakan, baik negara apalagi rakyat banyak, belum memperoleh apapun dari partai politik. Yang ada, rakyatlah yang selalu “diminta” mengantarkan partai politik cq orang-orang partai politik atau orang yang didukung partai politik duduk dan menikmati privelege kekuasaan. Kedua; baik dalam perjalanan praktis maupun teoritis, saya (yang sedang berdiri di hadapan anda) selalu berada di luar pagar soal-soal politik dan partai politik. Tetapi, barangkali Prof. Saldi sedang rindu pada konsep: “Hubungan antara keawaman dan orisinalitas”. Dalam dunia ilmu pengetahuan ada pandangan: “Makin awam seseorang, makin orisinal pendapatnya dan mencerminkan hati nuraninya”. Hukum besi “hati nurani” adalah senantiasa sebagai cermin kebenaran, ketulusan dan anti kebohongan”. Hati nurani adalah kejujuran. Barangkali Prof. Saldi berpendapat, salah satu persoalan penting yang kita hadapi adalah: “Makin langkanya sikap, tingkah laku yang dituntun hati nurani, melainkan oleh kepentingan, baik atas nama merasa berjasa untuk melanjutkan kekuasaan, sebagai anggota trah, ataupun sebagai cara memperbaiki kualitas hidup, dan martabat dengan segala privilege yang harus melekat atau dilekatkan”. 1. Partai Politik dan Demokrasi 14 Sejak tumbuh paham dan praktik demokrasi perwakilan (representative democracy) atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy) dalam penyelenggaraan negara (representative government), kehadiran partai politik merupakan suatu kemestian: “The life of democratic state is built upon the party system”.1 Harus diakui, dalam perkembangan lebih jauh, penyelenggaraan negara dengan sistem perwakilan tidak hanya “diwakili” melalui partai politik, tetapi dikenal juga “perwakilan golongan” (organisasi) non partai politik, seperti perwakilan kaum pekerja, kaum petani, daerah (model MPR RI sebelum perubahan UUD 1945). 2 Bahkan, dikenal juga perwakilan etnis tertentu (etnis minoritas), seperti pernah diatur dalam UUDS 1950.3 Demokrasi, bukan saja bermakna partisipasi publik, tetapi merupakan tatanan yang timbul dari dan untuk menjamin keberagaman atau kebhinekaan, seperti keragaman ideologi, keragaman budaya, keragaman sosial, ekonomi atau agama. Sistem partai tunggal tidak memberi tempat pada keragaman. Sistem partai tunggal bertentangan dengan demokrasi. Beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ada gagasan untuk mendirikan partai tunggal. Namun, gagasan itu ditentang. Bahkan kemudian keluar Maklumat Pemerintah bulan November 1945 yang menganjurkan pendirian partai-partai politik. Dalam kenyataan, tidak selalu partai politik merupakan cerminan demokrasi, seperti sistem partai tunggal atau partai dominan, dalam sistem otoriter yang menjalankan sistem politik monolitik. Sigmund Neumann mengatakan: “Such an initial description, to be sure, indicates that the very definition of party supposes a democratic climate and hence makes it a misnomer in every dictatorship. A one party system (le parti unique) is a contradiction in itself. Only the co-existence of at least one other competitive group makes a political party real. Still the fact remains that the term has been widely used by modern autocrats and for a very obvious reason: to keep the semblance of a “people rule” in their post-dictatorship. 1 Harold J. Laski, Grammar of Politics, Yale University Press, 1925, hlm 295. Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan berbunyi: “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan oleh Undang-Undang”. 3 Pasal 58 ayat (1) UUDS 1950 berbunyi: “Golongan-golongan kecil Tionghoa, Eropa, dan Arab akan mempunyai perwakilan dalam Dewan Perwakilan Rakyat dengan berturut-turut sekurangkurangnya 9, 6, dan 3 anggota”. 2 15 But it is also true that even the totalitarian party depends upon a functioning opposition. If one does not exist, it must still be assumed by the dictators, since under monolithic rule the dictatorial must constantly justify the existence in view of the ever present threat of counter revolution, hidden or imaginary through its organization may be. The opposition party is the raison d’etre of dictatorial movement and its all pervasive controls through institutions, propaganda, and terror”.4 Meminjam istilah “faction” dari Madison, dapatlah dikatakan, kehadiran partai-partai politik dalam sistem demokrasi merupakan konsekuensi, bahkan bawaan (nature) pengakuan dan jaminan partisipasi golongan-golongan (faction) yang hidup dalam masyarakat. Walaupun sebagai konsekuensi dari pengakuan dan jaminan golongan-golongan masyarakat, dihadapi pula persoalan apabila terlalu banyak partai atau lebih dari dua partai (multy party system). Mengapa? Salah satu ajaran yang telah diketahui umum menyatakan: “sistem multi partai (partai banyak) memang lebih mencerminkan demokrasi atau sekurang-kurangnya lebih demokratik”. Sistem ini memberikan peluang pada setiap kelompok atau golongan, bahkan perorangan mengaktualisasikan partisipasi dalam politik dan penyelenggaraan pemerintahan. Benarkah itu? Belum tentu. Hal ini didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut. Paling tidak terdapat tiga aspek yang akan menjadikan sistem partai banyak tidak benar-benar efektif sebagai sarana atau proses demokrasi. Pertama; dari sudut rakyat. Sistem partai banyak dapat menimbulkan kesulitan bagi rakyat untuk menentukan pilihan. Kesulitan makin bertambah karena partai yang 4 Harry Eckstein and David E. Apter (ed), Comparative Politics: A Reader, New York, Free Press, 1968, hlm 351. “Deskripsi (gambaran) di atas sesungguhnya menunjukkan pengertian (definisi) partai politik dalam suasana demokrasi, dan karena itu (definisi tersebut) tidak cocok (tidak dapat) dipergunakan dalam sistem kediktatoran. Sistem partai tunggal menyiratkan suatu kontradiksi dalam dirinya sendiri (kontradiksi dengan makna atau pengertian partai politik). Hanya apabila ada koeksistensi dengan sekurang-kurangnya satu kelompok kompetitif lain yang akan menunjukkan partai politik itu benar-benar ada. Meskipun demikian, sebutan partai politik tetap dipergunakan secara luas oleh penguasa otokrasi, dengan suatu alasan dasar: untuk menunjukkan keterkaitan dengan “pemerintahan rakyat” pada masa setelah pemerintahan kediktatoran. Tetapi juga benar, bahwa sistem kepartaian totaliter tergantung pada berfungsinya oposisi. Jika tidak ada, para diktator akan mengasumsikan oposisi itu ada, karena dalam pemerintahan monolitik, partai-partai yang bersifat kediktatoran harus senantiasa menemukan pembenaran bahwa kontra-revolusi selalu ada, baik yang tersembunyi maupun sekedar khayalan belaka. Partai oposisi menjadi “raison d’etre” gerakan kediktatoran dan sistem pengawasan tanpa batas melalui berbagai badan, propaganda, dan teror”. 16 banyak itu tidak memiliki garis politik yang jelas, baik ideologi maupun program yang akan dijalankan, kecuali sekedar berusaha duduk dalam badan perwakilan atau pemerintahan. Orientasi partai hanya terbatas melihat politik sebagai suatu bentuk dan proses kekuasaan, dalam arti memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Kedua; dari sudut partai. Sistem partai banyak menimbulkan persaingan yang semakin “kencang” antar partai. Dalam demokrasi – sepanjang persaingan dilakukan atas dasar etika berdemokrasi yang mewadahi “exchange of ideas” – memang merupakan suatu kemestian. Tetapi ketika persaingan sekedar mengumpulkan suara, akan muncul pasar jual beli suara (the money can buy), sekedar memunculkan penampilan tanpa isi seperti “kegarangan mengkritik atau berargumentasi”, memunculkan orang-orang semata-mata karena dikenal publik seperti di panggungpanggung infotainment atau entertainment. Di pihak lain, bagi mereka yang diajak, merupakan panggung publikasi dan peluang. Tentu saja, ada diantara mereka yang datang karena “panggilan hati” dan oleh karenanya mengisi diri untuk memenuhi segala syarat dan bertanggung jawab kepada publik. Ketiga; dari aspek negara. Dalam hubungan dengan negara, sistem partai banyak bertalian dengan pengambilan keputusan di badan perwakilan rakyat, seperti parlemen, dan sistem pemerintahan, yaitu sistem parlementer, presidensil atau sistem campuran (dual system atau hybrid system). Sistem partai banyak umumnya menyebabkan pembahasan memakan waktu lama (tidak efisien), keputusan adalah hasil kompromi, bahkan hasil dagang sapi (koehandel). Badan perwakilan menjadi badan yang tidak efektif mewakili kepentingan rakyat banyak. Dari segi sistem pemerintahan, sistem partai banyak lazim dipertalikan dengan sistem pemerintahan parlementer dimana eksistensi dan keberlangsungan pemerintah atau kabinet tergantung pada kepercayaan dan dukungan mayoritas anggota parlemen. Pengalaman Perancis antara tahun 1946-1958 (sebelum UUD 1958 yang berlaku hingga sekarang dengan segala perubahannya) dan Indonesia antara tahun 1950-1959 (sebelum kembali ke UUD 1945), sistem partai banyak menimbulkan instabilitas pemerintahan. Pembentukan kabinet penyelenggaraan program dilakukan dalam suasana serba “dagang sapi”. maupun Perlu dicatat, suasana yang agak unik pengalaman parlementer Indonesia (1950-1959). Pertama; kejatuhan kabinet (kabinet mengembalikan mandat) tidak 17 semata-mata karena mosi tidak percaya dari Parlemen. Dalam beberapa peristiwa, Kabinet mengembalikan mandat karena ada perbedaan pandangan yang tajam dengan Kepala Negara. Menurut tatanan konstitusional yang berlaku, Presiden yang hanya sebagai Kepala Negara semestinya tidak mencampuri jalannya pemerintahan. Tidak demikian yang terjadi. Mengapa? Presiden yang secara konstitusional hanya sebagai Kepala Negara adalah juga pemimpin bangsa yang bertanggung jawab atas seluruh peri kehidupan bangsa, sehingga merasa berkewajiban turut serta dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan. Campur tangan Presiden tidak hanya terbatas pada jalannya pemerintahan, melainkan termasuk pembentukan kabinet yang mendapat dukungan mayoritas partai di DPR. Salah satu pengalaman campur tangan tersebut adalah yang popular dikenal dengan gagasan “Kabinet Kaki Empat”. Kedua; acapkali juga terjadi, Kabinet mengundurkan diri karena tekanan ekstra parlementer daripada mosi tidak percaya dari DPR. Namun perlu dicatat, sekalipun dalam sistem parlementer, sistem partai banyak tidak serta merta identik dengan instabilitas pemerintahan. Di beberapa negara, seperti Kerajaan Belanda, sistem parlementer yang disertai sistem partai banyak dan kabinet senantiasa dibentuk atas dasar koalisi partai-partai, namun pemerintahan senantiasa stabil. Mengapa? Pertama; tidak ada perbedaan yang tajam antar partai politik, antara lain, karena biasanya tidak ada perbedaan yang bersifat ideologi antar anggota koalisi. Perbedaan hanya terbatas pada kebijakan, program, dan cara-cara mewujudkan program. Kedua; kearifan berdemokrasi cq berpolitik, baik di lembaga-lembaga politik (seperti partai politik), kematangan masyarakat, dan kematangan pelaku politik. Perbedaan dimaksudkan untuk menemukan yang lebih baik, bukan untuk hegemoni kekuasaan. Ketiga; rakyat secara umum telah sejahtera, sehingga tidak mudah dipergunakan sebagai alat politik, seperti mobilisasi politik. Kesejateraan merupakan faktor penting mewujudkan homogenitas sosial yang akan saling menjaga dan harmoni. Keempat; partai-partai politik senantiasa meyakini krisis yang terjadi akan dibayar mahal, baik secara politik, sosial dan ekonomi. MacIver menyatakan: “Without the spirit of nationalism, or at least without the recognition of the unity of people, it is hard to lay a sure foundation of democracy. 18 Democracy did develop in areas where progressive culture and economic advantage went together”.5 Secara doktriner, dalam sistem pemerintahan presidensil, kehadiran sistem partai banyak tidak berpengaruh pada stabilitas pemerintahan karena tidak mengenal hubungan pertanggungjawaban antara pemerintah dan parlemen yang diduduki anggota dari partai politik. Persoalan tidak pada stabilitas, melainkan pada efektifitas pemerintahan. Beberapa waktu yang lalu, media memuat keterangan: “Dalam praktik Presiden tidak mudah mendapat dukungan DPR dan hal ini yang berpengaruh pada efektifitas pemerintahan”. Ada dua sumber hambatan dalam hal ini. Pertama; penyakit bawaan sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers). Harold J. Laski melukiskan hal ini dengan menyatakan: “… American President is at odds with Congress and that even happen when his own party is in power”.6 Pernyataan ini disandingkan dengan sistem yang tidak menjalankan pemisahan kekuasaan, melainkan pembagian kekuasaan (division of powers), bahkan diffusion of powers (seperti Inggris) cq sistem pemerintahan parlementer: “It measures an essential coordination of effective government”.7 Kedua; praktik yang sedang berjalan di Indonesia yang meliputi: (1) Sistem partai banyak yang tidak memiliki “coherent policy”, bahkan tidak memiliki program yang definitif, selain sekedar mempunyai wakil yang duduk dalam pemerintahan. (2) Sistem pemilihan proporsional – sekalipun dengan modifikasi – menyebabkan beberapa hal, antara lain: a. Sebaran suara pemilih yang mengakibatkan tidak ada mayoritas mutlak. b. Tidak ada hubungan antara pemilih dan wakil. c. Meskipun dalam sistem presidensil, tetapi Presiden akan selalu menghadapi aneka ragam sikap di DPR (tidak mayoritas). 5 MacIver, The Web of Government, MacMillan Company, 1947, hlm 176, 189. Tanpa semangat nasionalisme atau sekurang-kurangnya tanpa pengakuan terhadap persatuan rakyat, sangatlah sulit meletakkan dasar demokrasi yang benar. Demokrasi berkembang dalam wilayah-wilayah dimana budaya progresif dan kemajuan ekonomi berjalan secara bersama-sama. 6 Harold J. Laski, op., cit, hlm 299. 7 Ibid. 19 Mengapa negara modern membutuhkan partai politik? Partai politik sebagai instrumen atau alat mewujudkan demokrasi – seperti ditulis Laski – seharusnya menjalankan peran: Pertama; “… parties arrange the issues…selection the problems as more urgent… and to present solutions of them which may be acceptable to the citizen body”.8 Peran ini menurut Laski, sebagaimana disampaikan oleh Lowell sebagai “the broker of ideas”. Kedua; “… organizes persons to advocate its own view of their meaning”.9 Dapat pula ditambahkan peran sebagai urutan selanjutnya yang diutarakan oleh David E. Apter:10 Ketiga; “offer political choices… provide a peaceful selection of alternative government …offer differences in view any policy priorities”.11 Selain tiga peran di atas, terdapat fungsi lain partai politk: Keempat; memilih calon-calon yang akan dipilih atau didudukkan sebagai penyelenggara negara dan pemerintahan (calon anggota DPR, DPRD, Presiden, Wakil Presiden, Gubernur, Bupati Walikota). Kelima; “trachtenn het overheidsbeleid te beinvloeden door kandidaten voor formeel vertegenwoordigende lichamen te stellen”.12 Peran partai politik dalam penyelenggaraan negara seperti disebutkan di atas, tidak berjalan sepihak. Di sisi lain, peran itu ditentukan oleh sistem politik (“… whose rise and fall is depended in large measure upon the nature of the political system”).13 Partai dalam sistem politik demokrasi akan berbeda dengan partai dalam sistem otoriter. Pertanyaannya, mungkinkah partai politik menjadi instrumen demokrasi dan menjalankan peran di atas, apabila partai politik itu sendiri tidak demokratis? Dalam kasus Indonesia, ukuran ini ditentukan oleh kenyataan partai politik dan sistem politik yang sedang berjalan atau dijalankan. 8 Partai-partai menata isu-isu, memilih persoalan-persoalan yang lebih mendasar dan menyampaikan pemecahan yang dapat diterima oleh warga. Bahkan dalam ungkapan Lowell disebut sebagai perantara atau agen berbagai ide. 9 Mengajak orang-orang untuk mendukung pandangan sesuai dengan kehendak partai yang bersangkutan. 10 Harry Eckstein dan David E. Apter, op., cit , hlm 327. 11 Menawarkan alternatif-alternatif politik, menyediakan seleksi alternatif pemerintahan secara damai, menawarkan pandangan-pandangan dan prioritas kebijakan yang berbeda. 12 Berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah melalui calon wakil di badan perwakilan rakyat. Rosenthal, et., al, Openbaar Bestuur, Tjeen Willink, Alphen, Netherlands, 1977, hlm 212. 13 Harry Eckstein dan David E. Apter, loc., cit. 20 2. Partai Politik Indonesia Sebagai Kenyataan Uraian di bawah ini akan didahului dengan beberapa catatan yang bersifat kesejarahan partai politik di Inggris dan di Indonesia. Catatan kesejarahan ini perlu berdasarkan beberapa alasan. Pertama; suatu ketika kita mendapat seruan “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Keputusan Presiden RI No. 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila adalah sebuah contoh betapa pentingnya sejarah dan mengetahui sejarah. Di Bandung, sampai hari ini, di banyak sudut jalan utama, berdiri gambar Alm Bung Karno yang disertai tulisan: “1 Juni, hari lahir Pancasila”. Kedua; untuk mengetahui sejauhmana partai politik kita yang ada sekarang ini masih serupa benar dengan partai politik di masa lalu. Tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan. Pertama; David E. Apter melukiskan partai politik Inggris abad 18 sampai awal abad ke 19 sebagai: “Corruption, the buying and selling of political office and rampant patronage was the by-product of party politics. Nor did the parties have consistent political ideologies”.14 Tetapi kemudian ada perubahan, yang dilukiskan oleh David E. Apter sebagai: “Disciplined parties, effective parliamentary organization, a high standard of ethics, all these now characterize the British political party system in spite of occasional lapses from political virtue and internal cohesion”.15 Kedua; Herbert Feith mendeskripsikan partai politik Indonesia tahun 1950-an: 1. Tentang sistem partai banyak.16 14 Ibid, hlm 328. Korupsi, jual beli jabatan politik dan merajalelanya patronage (partai menjadi tempat berlindung) merupakan produk sampingan partai politik. Termasuk pula (pada waktu itu) tidak ada partai politik yang konsisten terhadap ideologi politik. 15 Ibid. Disiplin partai, pengorganisasian parlemen yang efektif, standar etik yang tinggi, merupakan karakteristik sistem partai politik Inggris saat ini, meskipun sekali-kali masih tergelincir dari kebajikan berpolitik dan keterpaduan internal. 16 Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Equinox Publishing 2006, hlm 122. 21 “The multy party pattern of the pre-war nationalist movement had re-emerged in November 1945, when the Republic’s government had formally called for the establishment of parties. Influenced by the model of the Netherlands and other continental countries with multy party system, the leaders of the Republic did not expect or hope for a system of only two parties”.17 2. Tentang peran partai tahun 1950-an.18 2.1. “… to break down the political and psychological barriers with divided “non’s” from “co’s” those who had not cooperated with the Dutch in the revolutionary period from those who had. And they provided the “co’s” with a means of clearing their names”.19 2.2. “Even more important, parties now had important patronage function… In effect the parties obliged the government to distribute its stone of material and status rewards largely through them… government posts, business opportunities, overseas trips, houses, and cars tended to go chiefly to those with party connections… Parties were principal channel of access to the bureaucracy”.20 3. Tentang keanggotaan partai21 “To be a party members was to be modern, politically conscious – an alert citizen aware of the important of nationality. And to be an office bearer of a party was to be a man of prestige, for political distinction had become probably the most important source of status in society as a whole. It was furthermore, a step toward greater 17 Pola sistem partai banyak yang ada pada masa sebelum perang kemerdekaan muncul kembali pada November 1945 saat Pemerintah Republik Indonesia menganjurkan secara resmi pembentukan partai-partai politik. Terpengaruh oleh sistem di Belanda, dan beberapa negara Eropa daratan yang menerapkan sistem partai banyak, para pemimpin Republik ini tidak menghendaki sistem dua partai. 18 Ibid. 19 Untuk memutus hambatan-hambatan politik dan psikologis yang terbagi antara pro dan kontra – [yaitu] antara mereka yang tidak bekerjasama dengan Belanda saat revolusi kemerdekaan dan mereka yang bekerjasama – Pemerintah menyediakan cara untuk membersihkan nama mereka. 20 Bahkan yang lebih penting, partai-partai politik mempunyai fungsi penting sebagai pelindung…efeknya, partai politik mewajibkan Pemerintah membagi anggaran dan penghargaan status kepada mereka [partai politik]…jabatan-jabatan pemerintahan, kesempatan-kesempatan di lapangan bisnis, perjalanan luar negeri, rumah-rumah serta mobil-mobil terutama diperuntukkan bagi mereka yang mempunyai koneksi atau hubungan dengan partai politik…partai menjadi penghubung penting terhadap akses ke birokrasi. 21 Ibid, hlm 124. 22 prestige, both the prestige of being a higher echelon party leader and that of holding a high office of state to which one had come through nomination by one’s party … party were a principal means by which one’s status ambitious could be realized”. 22 4. Tentang kepemimpinan partai23 “At first sight it would seem that parties were dominated by their top leaders, by the small group of men having close personal acquaintance with one another and influenced at the highest levels of the government”.24 Bagaimana deskripsi-deskripsi di atas (masih) tercermin dalam kepartaian di Indonesia? Ada yang lebih suram atau lebih baik? 1. Tentang korupsi Ditinjau dari pelaku, korupsi dapat dibedakan: korupsi di lingkungan birokrasi, korupsi di lingkungan penegakan hukum, korupsi di lingkungan lembaga politik, dan korupsi yang melibatkan pranata di luar tiga lingkungan tugas yang telah disebutkan, seperti korupsi oleh lembaga bisnis atau luar bisnis. Walaupun tidak pasti sebagai “produk sampingan”, ada korupsi yang dapat dipertalikan dengan partai politik, seperti: a. Korupsi yang melibatkan sejumlah gubernur, bupati, walikota. Meskipun mereka pejabat di lingkungan birokrasi, tetapi sebagian mereka adalah anggota partai politik dan proses pencalonan serta pemilihan tidak terlepas dari partai politik (political appointee). b. Korupsi yang melibatkan pimpinan partai atau anggota DPR, tidak mungkin terlepas dari partai politik. 2. Tentang jabatan politik dan jabatan lain. 22 Menjadi anggota partai haruslah bersikap modern dan mempunyai kesadaran politik – seorang warga negara yang selalu sadar atas pentingnya kebangsaan. Dan menjadi pengurus sebuah partai haruslah orang yang berwibawa, dengan mana kemampuan politik tersebut menjadi salah satu sumber penting bagi status [seseorang] dalam sebuah masyarakat secara keseluruhan. Lebih-lebih, menuju pada tahap selanjutnya mendapatkan kewibawaan yang lebih tinggi, baik kewibawaan sebagai pimpinan tertinggi partai dan pemegang jabatan pemerintahan melalui nominasi partainya…partai menjadi cara utama untuk merealisaskan ambisi seseorang. 23 Ibid. 24 Pada mulanya tampak partai-partai sangat didominasi oleh pimpinan-pimpinan tertinggi, oleh sekelompok kecil anggota yang mempunyai hubungan personal yang sangat dekat dan saling mengenal satu sama lain, dan berpengaruh pada jajaran tertinggi pemerintahan 23 Dalam praktik, umum diketahui adanya jual beli jabatan politik. Keterlibatan partai politik dapat terjadi: a. Kepada publik hampir selalu diperdengarkan ungkapan “money politics”, atau uang perahu yang harus disetorkan calon kepada partai, atau ungkapanungkapan lainnya. b. Pengangkatan pejabat negara melalui DPR (mekanisme “fit and proper test”), akan bernuansa “politicking”, dan dapat mendorong para calon tidak hanya mencari dukungan dari anggota DPR, tetapi juga fraksi-fraksi di DPR, bahkan partai politik. Ada pula sebagian orang yang menggunakan partai politik dan duduk di lembaga politik atau pemerintahan melalui partai politik sematamata sebagai peluang untuk, misalnya, memiliki akses dengan birokrasi, pusat-pusat kegiatan ekonomi negara, dan lain sebagainya. Mungkin dapat ditambah dengan hal-hal lain. Tetapi mengapa hal-hal semacam itu terjadi? Pertama; faktor internal. Ada berbagai faktor internal yang menjadi kenyataan atau wajah partai politik kita sekarang ini. 1. Banyak partai Reformasi membuka kembali sistem partai banyak (multi partai yang tidak terbatas seperti yang terjadi di masa Revolusi sampai tahun 1960-an). Di masa Orde Lama ada penyederhanaan kepartaian (partai) menjadi 10 partai melalui Perpres No. 7 Tahun 1960 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian dan Perpres No. 2 tahun 1962 tentang Larangan Organisasi Yang Tidak Sesuai Dengan Kepribadian Indonesia. PSI dan Masyumi termasuk partai yang terlarang. Demikian pula, Murba yang dibekukan. Di masa Orde Baru, Pemerintah mewajibkan partai-partai yang ada dari masa Orde Lama, bergabung sehingga hanya ada 3 partai, yakni PPP, PDI dan SEKBER GOLKAR. SEKBER GOLKAR sangat kukuh menyatakan diri bukan partai politik. Suatu bentuk “manipulasi”, karena organisasi ini melakukan kegiatan yang lazim sebagai partai politik, seperti ikut dalam pemilihan umum serta mendudukkan anggota dalam organisasi negara (legislatif dan eksekutif). Di masa Reformasi, selain yang berdiri sejak masa awal Reformasi, setiap menjelang pemilihan umum ada pendaftaran partai politik baru. Partai yang 24 dalam pemilihan umum tidak memenuhi “electoral threshold” tinggal mengubah nama dan mendaftar sebagai partai baru. 2. Tidak ada konsistensi antara idelogi dengan aktifitas politik. Reformasi menghidupkan kembali partai atas dasar ideologi atau keyakinan tertentu. Di masa Orde Baru, hanya Pancasila yang boleh menjadi dasar ideologi partai dan organisasi sosial. Lagi-lagi hal ini hanya sekedar supaya mempunyai “hak hidup”. Semua partai atau organisasi memang menyebut “berdasarkan Pancasila”, tetapi biasanya ada embel-embel seperti “semangat ke-Islaman”, “nasionalisme”, dan lain-lain. Peluang ini memang tidak “disalahkan”. Selain itu, Pancasila sebagai ideologi belum berisi ajaran (doktrin), melainkan sekedar sebagai “filosofische grondslag”. Itulah yang terjadi hingga hari ini, sehingga baik partai maupun dalam penyelenggaraan negara, tidak tampak adanya comprehensiveness dan kebijakan yang koheren (coherent policy) dalam melaksanakan Pancasila. Suatu ketika, sistem ekonomi etatisme disebut berdasarkan Pancasila. Begitu pula sistem ekonomi yang menempatkan kapital dan pasar sebagai jalan menuju kesejahteraan dianggap sebagai bagian dari sistem Pancasila. 3. Pendorong kelahiran partai (motif mendirikan partai). Ada sejumlah pendorong atau motif mendirikan partai, antara lain: a. Sebagai upaya “pemurnian kembali ideologi” yang selama ini terabaikan atau sebagai sesuatu yang harus (diwajibakan) untuk dijauhi. b. Akibat ketidakpuasan atau perpecahan didalam partai yang ada. Hal ini umumnya terjadi akibat perebutan hegemoni dan kepemimpinan didalam partai, atau ada unsur idealistik sebagai “koreksi” terhadap partai atau semata-mata karena peluang internal yang tidak memadai. c. Dorongan untuk tetap mempunyai peran dan memperoleh dukungan dalam upaya memantapkan atau memperoleh bagian kue kekuasaan. d. Hampir selalu menghadapkan “figur pribadi” seperti “tokoh perlawanan”, penampilan yang mempesona publik, berasal dari keturunan tokoh tertentu, dan lain-lain “personal performance”. Karena itu – seperti disebutkan di atas – tidaklah mengejutkan, suatu partai didirikan tanpa suatu tuntunan “comprehensive policy”, apalagi program yang akan 25 diperjuangkan dan dijalankan. Tidak pula mengherankan, partai-partai tumbuh menjelang pemilihan umum dan pemilihan Presiden, karena orientasi utama adalah sekedar mendudukkan anggota atau pendukung dalam susunan organisasi negara atau pemerintahan. 4. Kepemimpinan oligarkis. Merupakan suatu kenyataan, setiap organisasi, baik negara maupun swasta, dijalankan atau dikelola oleh sedikit orang (the minority). Ada dua corak kepemimpinan oleh yang sedikit, yaitu atas dasar “oligarkisme” atau “elitisme”. Apa bedanya? Oligarkisme bertolak dari ukuran “ingroup” dan “outgroup” yang bertolak dari “spoil system”, seperti “berjuang bersama”, ikatan kepentingan, keturunan, atau loyalitas. Dalam tatanan “elitisme”, ukuran “ingroup” dan “outgroup” dapat bergeser didasarkan pada prinsip “meritisme”, terutama yang berkaitan dengan expertise, responsibility, dan accountability. Walaupun telah cukup banyak pengelola partai kita yang dapat digolongkan sebagai elit, tetapi kepemimpinan tetap didasarkan pada tatanan oligarkisme. Bukan expertise, responsibility, dan accountability yang berada di depan, melainkan tunduk pada pimpinan. Tidak heran, kalau kepada kita diperdengarkan ungkapan “menunggu keputusan Bapak/Ibu pimpinan”. 5. Rekruitmen keanggotaan dan representasi partai pada jabatan publik. Orientasi utama partai-partai politik adalah “mempunyai orang” dalam lembaga-lembaga publik (badan perwakilan dan pemerintahan). Hal ini sangat mempengaruhi rekruitmen, yaitu sekedar “menemukan orang” yang dapat menarik publik tanpa perlu dipertalikan dengan sistem rekruitmen sebagai kader partai. Pola ini “bertemu buku” dengan orang-orang yang mencari peluang untuk ikut dalam kekuasaan karena merasa mempunyai nama, memiliki modal, atau sebagai peluang melapangkan kepentingannya. Karena itu – seperti telah dicatat di atas – orang-orang partai di badan perwakilan (DPR, DPRD), gubernur, bupati dan walikota, selain tidak paham benar mengenai pekerjaannya, juga diadili karena pelanggaran hukum. Hal ini 26 berbeda dengan deskripsi Feith tentang anggota dan pemimpin partai tahun 1950-an: “To be a party member was to be modern, politically conscious – an alert citizen aware of the important of nationality. And to be an office bearer of a party was to be a man of prestige, for political distinction had become probably the most important source of status in society as a whole.25 (Menjadi anggota partai haruslah bersikap modern dan mempunyai kesadaran politik – seorang warga negara yang selalu sadar atas pentingnya kebangsaan. Dan menjadi pengurus sebuah partai haruslah orang yang berwibawa dengan mana kemampuan politik tersebut menjadi salah satu sumber penting bagi status [seseorang] dalam sebuah masyarakat secara keseluruhan. Kedua; faktor eksternal. Seperti halnya faktor internal, dijumpai beberapa faktor yang mempengaruhi performance partai politik di Indonesia. 1. Faktor tatanan dan sistem politik a. Praktik sistem pemerintahan Secara konstitusional, sistem pemerintahan presidensil semestinya tidak banyak pengaruh partai terhadap susunan dan kebijaksanaan Pemerintah. Tetapi karena ada praktik “wakil resmi” partai dalam Kabinet, partai menjadi sangat berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bahkan, partai – meskipun dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden – tidak mencalonkan atau mendukung orang yang kemudian menjadi Presiden dan Wakil Presiden, tetapi berlomba untuk duduk dalam Kabinet. Akibatnya, Kabinet menjadi multi wajah yang menyulitkan adanya satu “coherent policy” pemerintahan. yang Efektifitas akhirnya menjadi berpengaruh makin sulit pada karena efektifitas pimpinan pemerintahan sendiri tidak membekali diri dengan comprehensive policy dan program yang harus dijalankan oleh semua anggota Kabinet. 25 Akibatnya, menteri bekerja menurut “gagasan dan kemauan sendiri”. Ibid. 27 b. Praktik sistem pemilihan umum Walaupun telah diadakan modifikasi, seperti proporsional tertutup dan electoral threshold, sistem ini – apalagi di Indonesia dengan wilayah luas dan penduduk banyak – akan tetap menimbulkan hal-hal sebagai berikut: (1) Menjadi pendorong tumbuhnya sistem partai banyak. (2) Rakyat (pemilih) tidak mengenal calon yang mereka pilih. Atau dengan kata lain, ada jarak antara pemilih dan yang dipilih. (3) Calon tidak memikul kewajiban mengetahui daerah pemilihannya. Akibatnya, calon lebih berorientasi pada persoalan nasional. (4) Kekuatan politik di badan perwakilan akan terpecah. Walaupun tidak mempunyai konsekuensi terhadap stabilitas pemerintahan, tetapi mendorong terjadinya koehandel yang sangat berpengaruh pada efektifitas pemerintahan. (5) Sistem partai banyak yang disertai sistem pemilihan proporsional mendorong persaingan tidak sehat antar partai politik yang menimbulkan “money politics”. (6) Didorong keinginan memperoleh suara sebanyak-banyaknya untuk menduduki kursi badan perwakilan dan jabatan-jabatan yang dipilih langsung (terutama di tingkat daerah), selain money politics, para calon yang diutamakan yaitu para “vote getter”, bukan kader-kader partai yang berkualitas. Politik oligarki atas dasar spoil system tidak hanya di lingkungan internal partai, tetapi juga dalam mengisi jabatan-jabatan publik yang dipilih. Isteri dan anak gubernur, bupati ataupun walikota, diusahakan untuk menduduki jabatan-jabatan tersebut. Begitu pula, keanggotaan pada badan-badan perwakilan menunjukkan praktik yang mirip. c. Kekuasaan DPR yang hampir tanpa batas. Kekuasaan DPR yang hampir tiada batas merupakan alat efektif kepentingan partai. Salah satu sasaran perubahan UUD 1945 yaitu menggeser “executive heavy” yang dipandang sebagai sumber kekuasaan otoritarian. Di pihak lain, untuk menjamin demokrasi, DPR diperkuat sehingga menjadi “legislative heavy”, baik di bidang legislatif, anggaran, 28 maupun pengawasan. Sayangnya, dalam praktik penguatan ini hanya mengenai hak anggaran dan pengawasan. Sedangkan pelaksanaan kekuasaan legislatif sangat tidak memuaskan, baik jumlah maupun kualitas. Penguatan DPR tidak lagi sekedar lebih menegaskan checks and balances. Bukan saja antara Presiden dan DPR, tetapi juga dengan lembagalembaga negara lain, seperti prosedur pencalonan pimpinan dan anggota lembaga negara dan lembaga pemerintahan yang harus melalui persetujuan dan konfirmasi (consent and confirmation) DPR. Meskipun disebut “perwakilan rakyat” (DPR, DPRD), tetapi secara nyata DPR (termasuk DPRD) adalah representasi partai politik. Penguatan DPR adalah penguatan partai politik. Meskipun melalui Mahkamah Konstitusi memungkinkan calon “independen”, dalam kenyataan, calon Presiden dan Wakil Presiden sangat ditentukan partai politik. Partai politik menjadi lebih kuat karena dalam Kabinet diberi tempat menteri sebagai wakil resmi partai (supra). Tidak berlebihan, meminjam ungkapan Lord Bryce mengenai Parlemen Inggris: “Parlemen itu kekuasaannya tidak terbatas, kecuali mengubah kelamin perempuan menjadi laki-laki atau kelamin laki-laki menjadi perempuan”. Dengan demikian kita dapat melihat “bersatunya” kekuasaan DPR yang sekaligus kekuasaan partai politik. Pertanyaannya, “apakah menyatunya DPR dan partai politik berjalan paralel dengan penguatan demokrasi dalam makna pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat”? 2. Faktor sosial Dalam makna sosial, demokrasi adalah “partisipasi rakyat” yang dilaksanakan secara bebas dalam penyelenggaraan negara. Kebebasan itulah yang sebenarnya menjadi galih (inti dasar) demokrasi. Kalau tidak ada kebebasan, partisipasi tidak lain dari mobilisasi. Pertanyaannya, “apakah keikutsertaan rakyat – seperti dalam pemilihan umum dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden – adalah suatu bentuk partisipasi atau mobilisasi? Paling tidak, sejak Orde Lama sampai hari ini, rakyat belum berkesempatan secara bebas menjalankan partisipasi sebagai wujud “equality among the equals”, 29 yang ada adalah mobilisasi. Di masa Orde Lama, mobilisasi dilakukan atas nama “revolusi belum selesai”, “melawan imperialisme dan neo-kolonialisme”, “melawan tujuh setan desa”, dan lain-lain jargon. Di masa Orde Baru, mobilisasi dilakukan atas nama “demi pembangunan”, “stabilitas politik”, “asas tunggal”, dan lain-lain. Bagaimana di masa Reformasi? Mobilisasi dijalankan dengan money politics. Kalau di Inggris pada abad 17 dan awal abad 18 dikenal ungkapan “buying and selling political office”. Sejak Reformasi, selain jual beli jabatan melalui hal-hal seperti “uang perahu”, juga terjadi jual beli suara pemilih (buying and selling electoral vote). Rakyat juga membangun diri menjadi “political economist”, kemana suara diberikan tergantung pada bayarannya. 3. Demokrasi Partai Politik Indonesia Perlukah demokratisasi partai politik? Jika perlu, “mengapa dan apa bentuk demokratisasi itu”? Demokratisasi diperlukan karena – seperti ditulis Laski – “the life of democratic State is built upon the party system”.26 Agar dapat melaksanakan fungsi dalam negara demokrasi, partai politik harus menjalankan demokrasi dalam dirinya sendiri. Persoalannya, demokrasi itu memiliki masalah bawaan sendiri. Semua kita sangat familiar dengan ungkapan MacIver yang menyatakan “democracy without end” atau “democracy has never been completely achieved”. Ungkapan yang lebih baru menyatakan: “Democracy is everywhere praised, yet nowhere achieved. As an ideal, it has become the dominant political aspiration in the world today. As a practice it remains flawed, subject to new and serious challenges. Paradoxically it seems that democracy at the beginning of a new millennium is at one and the same time triumphant and in crisis”.27 26 Harold J. Laski, op., cit, hlm 295. Ricardo Blaug and John Schwarzmantel (eds), Democracy: A Reader, Edinburg University Press Ltd, 2001, hlm 1. Demokrasi dijunjung dimana-mana, meskipun tidak tercapai dimanapun. Sebagai sebuah idealisme, demokrasi menjadi aspirasi politik yang dominan di dunia saat ini. Sebagai sebuah praktik, demokrasi masih mengandung berbegai kekurangan. Adalah berlawanan, pada awal milenium demokrasi menjadi pemenang namun saat yang bersamaan mengalami krisis. 27 30 Secara institusional, banyak faktor yang ikut ambil bagian dalam menentukan keberhasilan, kegagalan atau krisis demokrasi. Selain faktor-faktor dalam organisasi negara itu sendiri (institusi politik dan institusi non politik), tidak kalah penting adalah peran institusi – terutama institusi politik – di luar organisasi negara (partai politik, civil society, pers, dan lain-lain). Dimana peran partai politik? Seperti dikutip di atas, partai politik merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam penyelenggaraan negara. Partai politik yang menyeleksi calon-calon yang akan duduk di badan perwakilan, calon presiden dan wakil presiden, calon gubernur, bupati, dan walikota. Secara tidak langsung partai politik berperan mengisi jabatan-jabatan yang diisi melalui “fit and proper test” oleh DPR. Diharapkan juga, partai politik melakukan seleksi persoalan yang perlu mendapat prioritas dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Dalam kaitan dengan demokrasi agar partai politik berperan membangun, memelihara, mengembangkan dan menjauhkan negara dari krisis demokrasi, diperlukan partai politik yang demokratis. Demokratis disini diartikan, baik institusional, mekanisme, maupun demokrasi sebagai nilai. Bagaimana semestinya wujud partai yang demokratis? Lagi-lagi, memelihara dan menjaga partai demokratis atau usaha demokratisasi partai menghadirkan institusi, mekanisme, dan demokrasi sebagai nilai, tidak semata-mata urusan dan tanggung jawab internal partai. Tidak kalah penting adalah sistem dan kenyataan politik, sosial, ekonomi, maupun budaya. Seandainya keadaan dan kenyataan partai politik seperti yang dicatat di atas itu benar atau setidak-tidaknya ada “nuansa” semacam itu (seluruh atau sebagian), memang dihadapi tuntutan mewujudkan partai yang demokratis. Untuk itu perlu upaya demokratisasi partai. Dalam demokrasi tidak semestinya ada “ketergantungan yang mempribadi”. Institusi dan mekanisme harus “impersonal dan zakelijk”, jauh dari oligarkisme. Untuk mewujudkan hal tersebut, partai harus memiliki platform perjuangan yang terbuka dan jelas yang meliputi garis-garis ideologis (sesuatu yang menjadi cita-cita dan tujuan), mempunyai “coherent policy” dan comprehensive program yang akan diperjuangkan dan dilaksanakan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan negara. 31 Garis-garis yang bersifat ideologis tidak selalu dalam makna doktrin, tetapi landasanlandasan ideal yang akan menjadi bintang pemandu partai. Pertama; meskipun dalam suasana demokrasi ada keterbukaan membentuk partai, tetapi sesuai dengan sebutannya sebagai partai politik, memang tidak mungkin terlepas dari peran ikut serta atau berusaha mempengaruhi pengelolaan negara. Tetapi kehadiran partai yang demokratis tidak semata-mata mendudukkan orang partai dalam pengelolaan negara (partai sekedar alat berkuasa), tetapi bertanggung jawab mewujudkan asas, kaidah, cita-cita dan tujuan bernegara. Selain ada tuntunan yang bersifat ideologis atau doktrin yang bukan sekedar filosofischegrondslag, coherent policy dan comprehensive program, setiap partai harus menjalankan. Kedua; partai politik – baik sebagai pranata demokrasi maupun sebagai pengelola demokrasi – harus menjunjung tinggi demokrasi sebagai nilai yang berisi, antara lain, keterbukaan (openness), kepemimpinan demokratis (baik dalam rekuitmen maupun dalam menjalankan kepemimpinan), ada mekanisme kontrol publik, dan bertanggung jawab, menjauhi spoil system dan mengutamakan merit system. Ketiga; rekruitmen pendukung partai. Partai tidak sekedar sebagai wadah melahirkan dan membentuk politisi, melainkan harus melahirkan negarawan, sekurangkurangnya politisi yang memiliki kenegarawanan, yaitu pemimpin yang bertanggung jawab dan senantiasa berpihak kepada publik. Pendukung partai atau rekruitmen mendukung partai tidak sekedar secara nominal sebagai “orang partai”, secara materil hanya mengejar kekuasaan. Akibatnya, tidak ada disiplin partai, lompat pagar sesuai dengan peluang. Negarawan, disiplin, dan bertanggung jawab kepada publik harus ditempatkan sebagai kewajiban setiap orang partai. Kewajiban hanya akan terlaksana sebagaimana mestinya apabila ada kesadaran menjunjung etika. Pada tingkat terakhir, ketaatan pada tuntunan etikalah yang akan menentukan kualitas demokrasi. Selama tuntunan etika dijunjung tinggi, selama itu pula pranata, mekanisme, dan nilai demokrasi akan tetap tegak dan berfungsi. Itulah beberapa faktor internal yang akan menopang upaya demokratisasi partai politik. Keempat; peran partai politik sebagai “the broker of ideas” dapat meningkatkan mutu bangsa menjadi bangsa yang maju dan sejahtera. Kita mengenal banyak konsep, banyak teori membangun bangsa yang berkualitas, maju dan sejahtera, tidak terkecuali dalam demokrasi. Untuk memungkinkan menentukan pilihan, selain 32 partisipasi publik, partai politik harus dapat menjadi perantara, bahkan sumber ide membangun bangsa yang bermutu, maju dan sejahtera secara demokratis. Hal ini hanya mungkin terjadi apabila partai politik dalam suasana demokratis, seperti keterbukaan, responsif dan senantiasa berorientasi pada kepentingan publik. Dalam peri kehidupan yang demokratis, harus tumbuh keinsyafan bahwa kekuasaan bukanlah tugas, tetapi alat untuk mewujudkan cita-cita publik cq cita-cita bernegara, yaitu masyarakat “gemah ripah loh jinawi, tata tenterem kerto raharjo”, masyarakat sejahtera, adil dan makmur. Bagaimana faktor eksternal? Sejauhmana faktor eksternal mempengaruhi demokratisasi partai politik? Pertama; faktor politik cq sistem politik. Dapat terjadi, penggunaan suatu instrumen demokrasi justru menghambat perkembangan demokrasi. Pada kesempatan ini akan disinggung “sistem kepartaian” dan “sistem pemilihan umum”. 1. Sistem kepartaian Sejak masa kolonial, Indonesia menjalankan sistem sistem partai banyak atau multi partai. Begitu pula di masa merdeka (sejak Maklumat Pemerintah bulan November 1945). Herbert Feith menyatakan, para Founding Fathers demikian pula selanjutnya, memang menghendaki sistem partai banyak. Mengapa? Secara universal, ada anggapan partai banyak lebih demokratis, memungkinkan partisipasi rakyat secara lebih luas. Bagi rakyat Indonesia yang baru mengenal tanggung jawab politik, ditengah-tengah keterbelakangan dan kemiskinan, kehadiran partai banyak malah membingungkan dan menimbulkan ketidakpastian memilih partai-partai yang benar-benar (akan) memperjuangkan nasib rakyat. Rakyat bukan subyek, melainkan sekedar obyek legistimasi kekuasaan. 2. Sistem pemilihan umum. Sejak 1955, Indonesia menerapkan sistem pemilihan umum proporsional, mulai dari yang “murni” sampai ke berbagai bentuk modifikasi. Telah dikemukakan sistem pemilihan proporsional tidak mendorong penyederhanaan kepartaian, melainkan makin banyak partai. Sejak Reformasi, setiap kali pemilihan umum selalu hadir partai baru. Ada pendapat ekstrim, 33 mereka yang terpilih melalui sistem proporsional tidak benar-benar mewakili pemilih. Pemilih tidak mengenal mereka. Karena itu, kecuali mereka yang benar-benar sebagai “the budding politician” atau “the budding statemen”, tidak akan mempunyai atau membawa gagasan untuk diperjuangkan. Keadaan ini makin dipersulit jika tidak ada demokrasi dalam partai politik. Calon yang kemudian terpilih menjadi wakil, semata-mata atas kehendak dalam lingkungan oligarki partai, baik atas dasar spoil system atau orang-orang yang dapat mengumpulkan sebanyak-banyaknya suara (karena memiliki panggung publik). Di sejumlah negara, misalnya Belanda, sistem proporsional menghasilkan wakil-wakil berkualitas. Selain karena calon berkualitas, juga sangat ditentukan oleh tatanan partai yang demokratis. Baik ditinjau dari tatanan kepartaian, kualitas publik, dan kualitas calon, semestinya bukan sistem proporsional yang dijalankan. Tetapi hampir dapat dipastikan, perubahan sistem pemilihan umum sulit diterima karena berkaitan dengan eksistensi partai. Kedua; faktor sosial-budaya. Dalam makna politik, faktor budaya dan sosial kita sekaligus mewarisi tatanan demokrasi (kehidupan desa) dan feodalisme. Ditengah-tengah kemiskinan dan keterbelakangan, disertai orientasi kekuasaan yang makin menguat, unsur-unsur demokrasi makin surut. Feodalisme yang disertai kecenderungan otoritarianisme makin nyata. Rakyat bukan participant, tetapi sekedar obyek mobilisasi. Ketiga; faktor ekonomi. Ekonomi disini bertalian dengan kesejahteraan umum (public welfare). MacIver dalam bukunya The Web of Government mengatakan demokrasi tidak akan berkembang pada masyarakat yang terbelakang dan miskin. Sedangkan Engels pada saat pemakaman Marx menyampaikan: “…that human being must first of all eat, drink, shelter and cloth themselves before they can turn their attention to politics, science, art and religion”. Adam Smith sebagai penggagas kapitalisme liberal menyatakan: “No society can surely flourishing and happy, of which by far the greater part of the number are poor and miserable”. Demokrasi, termasuk demokrasi partai politik tidak mungkin berkembang dalam masyarakat yang miskin, terbelakang, dan papa. Kalau kita berharap 34 demokrasi, termasuk demokrasi dalam partai politik berkembang, program membangun kesejahteraan umum merupakan suatu kemestian. Terima kasih Penutupan : oleh MC 35 SEMINAR KONFERENSI NASIONAL HUKUM TATA NEGARA KE-3 TANTANGAN DEMOKRASI INTERNAL PARTAI POLITIK Hotel Novotel Bukittinggi. 6 September 2016 Pembukaan oleh MC KEYNOTE SPEECH Dr. Yassona H. Laoli. Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Yang kami hormati menteri hukum dan ham sumbar, para senior dan peserta konferensi yang kami banggakan, bapak ibuk hadirat yang kami muliakan. Puji dan syukur kepada Allah SWT Tuhan YME keberkahan dan kesehatanyang menghadiri KHTN. Sebelum dimulai mari kitadengarkan perancangan demokrasi internasional partai politik bersama mentri hukum dan ham RI Bapak Simon Laoli, kepada bapak kami persilahkan dengan segala hormat. Assalamualaikum Wr Wb Salam sejahtera untuk kita semua. Yang saya hormati direktur pusako Prof. Saldi Isra dan segenap panitia penyelenggara, dari Fahmi Idris, dan hadir disini, ketua IFES Belanda Prof. Hans Kummeling thank you for coming sir, pembicara yang hadir pembicara yang hadir Mr……… thank you for coming. Pak dekan FH, pak Tadung Mulya Lubis yang hadir dan seluruh hadirin yang saya muliakan dan terkhusus para peserta KHTN ke-3 pada hari ini kita ucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas ksrunianya kita dapat bertemu disini untuk menghadiri acara KNHTN ke3. Kmi menyambut baik atas kegiatan hari ini, mandate konstitusi UUD RI 1945 telah menegaskan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD sesuai bab 7B pasal 2E ayat 3…………adalah parpol pemilihan umum terhadap kepala negara dan kepala daerah adalah parpol bukti dari penegakan embrio demokrasi, parpol juga merupakan orang yang bersifat nasional dan dibentuk oleh 36 sekelompok WNI secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita” perjuangan kepemimpinan maupun anggotanya, masyarakat bangsa dan negara serta maupun anggotanya, serta memelihara kesatuan RI, berdasarkan pancasila danUUD 1945. Dan partai politik baik secara konstitusi, baik pada tingkat kab/kota provinsi, nasional, program rakyatnya adalah medium untuk reqruitment parpol. Pada umumnya parpol di Indonesia, itu difungsikan sebagai mesin politik untuk merebut kekuasaan sedemikian rupa. Namun saat ini perpolitikan Indonesia menganut asas prinsip modern, sebagai sebuah partai yang mengapresiasikan kepentingan masyarakat mengenyapingkan kepentingan berpolitik dalam bentuk demokrasi kebijakan menjadi senuah agenda yang bisa mendapat dukungan rakyat disaat pemilu. Bapak ibuk sekalian yang saya hormati, pembaharuan partai politik di Indonesia merupakan cita-cita yag ideal, dan akan lebih baik ketika parpol menjadi lebih baik suksesi kepemimpinan dan proses kaderisasi parpol saat banyak bergantung pada figure tertentu dan juga pola demokrasi yang seharusnya sudah mulai bergeser menuju kea rah yang lebih terbuka lebih demokratis, lebih kompetitif, dan berdasarkan demokrasi. Disisi lain pola demokrasi yang terpusat saat mengambil keputusan akan bergantung pada figure yang berada dipucuk pemimpin pusat, hal ini akan sangat berpengaruh pada moralisasi kader, atau calon wakil rakyat yang menjadi salah satu factor kunci dari pembangunan parpol. Kita melihat pembaharuan ini dari tingkat kab/kota/daerah, provinsi maupun tingkat nasional, kualitasnya yang sebetuknya diperlukan. Saya melihat terjadi kecendrungan penurunan kualitas dari pada parpol ini berbelit-belit. Saya kira perlu sumbangan pikiran dadi bapak ibu sekalian bagaimana membuat demokrasi yang dilahirkan dari partai” politik bangsa baik dari segi kualitas SDM dan jugasoal integritas dan idealism dalam memimpin bangsa dan negara, selanjutnya dalam kajian nasionalism public yang terdapat dalam hal ini sudah diatur dalam UUD 1945, AD dan ART masing” dari parpol yang berada ditangan dan juga dimungkinkan dalam aturan dasar rumah tangga parpol yang diatur oleh pusat baik secara symbolis 37 maupuntidak. Artinya, ada perlu penegasan pengaturan dalam AD ART parpol termasuk saya kira didalamnya, melihat perkembangan parpol melalui UU parpol perlu kita pikirkan bersama. Kedewasaan parpol dalam menyelesaikan konflik internanya barangkali juga kami punya pengalaman seharusnya parpol yang sudah dipilih harus mampu menyelesaikan persoalan internalnya. Hari ini juga adasatu parpol yang hamper sama persoalannya melahirkandua produk. Tapi saya ras perlu pengaturan kembali secara terbaik, saya terlibat melahirkan UU parpol, terimakasih pak senior melahirkan UU parpol yang membentuk mahkamah partai yang mengatasi persoalan dasar konflik internal. Parpol sebelumnya dengan tidak mempengaruhi ekonomi, saya mengambil referensi itu lahir dari pemikiran kita sehingga kita membentuk mahkamah parpol, dalam kasus baik p3 maupun golkar, penyelesaian melalui mahkamah partai politik juga menimbulkan persoalan oleh karenanya barangkali dalam proses ini perlu kita tekankan bersama tidak hanya dalam UU. Dalam proses pengambilan keputusan dalam parpol baik DPR maupun presiden dan wakil presiden, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah masih terdapat perbedaan pendapat yang tajam, antara pengurus 1 dengan yang lainnya, juga antara pusat dan daerah. Hal ini mengajukan pada kita bersama bahwa mechanism pengambilan keputusan dalam parpol dalam kepengurusan mengatakan adayang dimaksud dan fair. Bapak ibu sekalian perlu juga saya sampaikan mengenai sengketa parpol, saya kira bisa dalam perbedaan pendapat pengurus, penyelesaianya melalui internal partai ataupun melalui jalur internal partai yang berlarut-larut diharapkan diselesaikan dengan adil dan demokrasi. Tetapi pengalaman seperti itu selalu penyelesaian internal itu menyangkut kadanngkadang tidak hanya hubungan pusat daerah disatu politik mempunyai dua tingkatan pada tingkatan nasional dan pada tingkatan provinsi pada tingkat kab/kota. Seharusnya parpol yang aktif dan modern. Pengalaman saya juga hanya system terbuka yang menimbulkan persaingan yang lebih hebat dari kerjasama. Persaingan internal partai lebih tajam daripada persoalan 38 antar internal partai politik. Sehingga apa yang terjadi, banyak pertarungan” yang ada dibeberapa daerah. Kalo kita lihat parpol yang baru yang berbicara tentang idiologi partai yang sedang gencar mengambil reqruitment anggota” baru dan saat ini masih ya partai” baru misalnya dan dipertimbangkan sebenarnya masuk parpol karna idiologi parpol atau apa. Jadi sebenarnya masuk parpol karena idiologi parpol atau apa jadi sebenarnya banyak pertanyaan” yang membuat kita bertanya. Memperjuangkan kekuasaan politik yang hendak diraih ini soal” yangsaya kira, filosofinya harus kita jawab. Dalam hal ini saya kira bapak ibu apa yang saya sampaikan beberapa hal tentang penegasan pembaruan parpol dan pembahasan UU parpol, harus dirumuskan terbentuknya UU yang sesuai dengan konteks penegakan parpol. Jadi dasar suatu pembentukan system politik juga memiliki moralitas, relevan ddengan system parpol. 1. Pengambilan keputusan yang demokratis, transparan dan adil. Saat ini parpol, saat ini seharusnya parpol benar” menjadi wadah bagi pengurus parpol, demokrasi khususnya yang tergabung dalam parpol. 2. Penyelesaian sengketa parpol untuk menyelesaikan perselisihan parpol. 3. Dalam konteks pemikiran rakyat, parpol yang punya visi platform yang jelas bagi masyarakat. Ada beberapa yang memiliki sekolah parpol perlu untuk pengkaderan parpol. Dan ada juga pertarungan antar popularitas, lebih mementingkan popularitas dari kumpulan parpol menjadi magnet saat pemilihan kita perlu memikirkan secara baik. Orang” yang baik akan tersingkir jika tidak punya moralitas, kalau kita lihat baik pemilihan pemimpin maupun presiden yang punya pemahaman yang cukup. 4. Mempertimbangkan keputusan MK dalam pemilihan calon-calon pemimpin rakyat harus diusulkan oleh parpol, sehingga dapat terlaksana dengan baik. Barangkali konferensi ini perlu juga nelahirkan bagaimana melaksanakan pemilihan umum. Pelaksanaan pemilu yang dilakukan didaerah yang utamanya pemilihan” legisllatif pada tingkat partai, dibanyak daerah, barangkali semua 39 daerah pertarungan parpol benang” hal yang panas dalam merebut kuasa pada tangan kecamatan. Saya kira ini banyak persoalan yang saya hadapi dipastikan tidak jarang anggota DPRD tidak memperoleh kursi parpol. Jadi kalau sudah ada koalisi, kita semua perlu menyaksikan persoalan” seperti ini, itu jamak terjadi dari beberapa teman” parpol. Bapak ibu sekalian kiranya pada kesempatan ini saya ucapkan terimakasih kepada ketua pelaksana KNHTN dan pemberian Anugerah Konstitusi M. Yamin serta memberikan kesempatan kepada saya untuk memberikan keynote speech kepada saya. Semua dari kita mendapatkan pengakuan yang bermanfaat juga bagi bangsa dan negara. Terimakasih atas perhatiannya. Assalamualaikum Wr Wb 40 SEMINAR TANTANGAN DEMOKRASI INTERNAL PARTAI POLITIK Moderator : Prof. Dr. Yuliandri,S.H.,M.H Narasumber : - Prof Dr. Saldi Isra,S.H (Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum - Prof. Dr. Syamsuddin Haris (Kepala Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI) - Dr. Fahmi Idris (Politikus Senior Partai Golkar) - Universitas Andalas) Laode M. Syarif. PhD (Pimpinan KPK) Moderator : Penyerahan cendera mata kepada Bapak Mentri Hukum dan HAM, oleh Bapak Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas. Bapak Mentri yang kami hormati, dan hadirin yang kami muliakan. Marilah kita melangkah ke acara utama, seminar Konferensi Nasional Hukum Tata Negara. Mari kita perkenalkan narasumber pada hari ini, 1. Bapak Dr. Fahmi Idris 2. Bapak Dr. Syamshudin Haris 3. Bapak Prof. Dr. Saldi Isra 4. Sementara yang memancing diskusi adalah Bapak Prof. Dr. Yuliandri SH, MH Kepada para pembicara dan pemancing diskusi dipersilahkan. Dan selanjutnya acara akan saya serahkan kepada saudara moderator, Bapak Prof. Dr. Yuliandri SH MH, silahkan Prof.. Prof. Yuliandri: Terimakasih, Assalamualaikum Wr, Wb. Hadirin peserta seminar KNHTN pada pagi ini, langsung saja kita serahkan kepada narasumber untuk memberikan 10 hingga 15 menit untuk pemaparan pemikirannya. Tapi sebelum itu kita undang terlebih dahulu saudara Fery Amsari untuk menyampaikan secara ringkas hasil penelitian dari Pusako Unand yang berkaitan dengan konferensi ini. Silahkan kepada saudara Fery… 41 Fery Amsari: (Penyampain Laporan Hasil Penelitian PUSaKO) Bismillah hirahmanirrahim Assalamualaikum Warahmatullahi Wabara khatuh Ibu / Bapak sekalian yang saya hormati, saya mewakili team yang terdiri dari Bapak Kairul Fahmi, Bapak Charles Simabura, itu dia dua paling belakang yang jelek. Kemudian saya mewakili Prof. Saldi Isra. Dua hal yang membedakan saya dengan prof Saldi adalah beliau adalah seorang professor tetap sedangkan saya adalah seorang profokator tetap. Untuk itu izinkanlah saya menyampaikan hasil pemikiran kami bersama dan penelitian dari Pusat Study Konstitusi. Kita melakukan study dibeberapa daerah di Indonesia. Di NTB, di Jogja, di Pontianak, dan beberapa wilayah lain di Indonesia yang bisa bapak ibu lihat dalam hasil penelitian yang akan kita share didalam flash disk. Penelitian ini harapannya adalah ada 5 point yang harus kita penuhi sesuai dengan tingkatannya ; 1. Memacu perspektif bahwa parpol sangatlah penting bagi kita. Nasib kita ditentukan oleh Partai Politik. 2. Melalui penelitian ini kita harapkan adanya dukungan moral pemerintah terhadap parpol melalui negara maupun badan hukum partai itu sendiri. 3. Adanya transparansi parpol. Jika sebuah parpol ingin memiliki banyak dukungan dari public, tentu parpol harus memiliki transparansi. 4. Timbulnya demokrasi internal partai. Jika suatu negara ikut terlibat, tapi parpol tidak demokratis, maka akan banyak kerugian yang menimpa partai politik terseut. 5. Partai politik diharapkan benar-benar hadir ditengah-tengah masyarakat dan menjadi wadah demokrasi penyampaian aspirasi public dimasyarakat, dan lembaga perwakilan. Hasil penelitian dibeberapa daerah itu intinya terdiri dari partai politik, anggota partai politik, masyarakat, dosen, dll, lengkaplah disana, yang paling banyak adalah LSM 64 persen, partai politk dan anggota [partai politik mencapai 36 persen.. ada ebberapa hal yang akan kita singgung, dan itu berkaitan dengan tema kita padahari ini dan diharapkan mampu memacu demokrasi internal partai politik., dimana 42 1. Yang pertama, partai diharapkan melakukan demokrasi atau membuat system demokrasi dalam pemilihan ketua. 2. Kedua, melakukan demokrasi dan pembentukan karakterr calon pemimpin, kepala daerah, bisa kita terapkan diparpol. Bukan dengan kandidat yang memiliki uang terbanyak kemudia mereka dapat maju sebagai kepala daerah. Kita juga melihat bagaimana partai menentukan kandidat legislative. Pemilihan prresiden, bagaimana kedepannya partai dapat menentukan kandidat calon-calon mentrisecara demokratis. 3. Kemudian bagaimana partai betul-betul mampu menyelesaikan segala persoalan sengketa internal partai, sehingga demokrasi benar-benar hidup didalam partai. Apa yang terjadi saat ini, ibu bapak kita ketahui bahwa ada UU yang begitu meresahkan kita semua bagi parpol, hukum tata negara, dan orang politik, bahwasannya sengketa partai dilakukan oleh mahkamah partai, kecuali yang tidak puas boleh melakukan banding keluar. Final dan binding tapi kok pakai kecuali. Ini satu-satunya yang terjadi. Ada yang mengahrapkan, mencalonkan diri, harapan banyak orang adalah adanya pemilihan pengurus partai yang tidak ditangan satu orang yaitu orang yang mencalonkan melalui pemilu pilkada, pilpres, harus menjadi anggota partai politik tertentu. Orang-orang tertentu, yang tidak mengecewakan partai politik, baru bisa mencalonkan diri. Itu syarat-syaratnya, sudah disalin ke flashdisk, nanti silahkan diperdebatkan. Next. Ini tentang mekanisme mencalonkan diri. Dengan berbagai konsep, konsep pak JK atau konsep pak JOKOWI. Pemilihan calon presidennya, mau konferensi tapi malah tidak seperti konferensi. Berikutnya ini yang kita tanyakan kepada peserta kita untuk diperdebatkan, prelukan prinsip hukbungan pusat dengan daerah? Sebaiknya dijawab Ya. Sebagian besar dijawab Ya. Apa prinsipnya? Apakah hubungan partai politik itu tersentralistii atau otonom? Itu yang menjadi pertanyaan kiota adalah hasil dari mayoritas partai adalah otonom, ini sola debat, 43 siapakah yang berhak menyelesaikan masalah internal parpol? Ada kemudian yang menyerahkan kemahkamah partai, sehingga dilakukan penyelesaian secara internal. Berikutnya, Soal keuangan partai. Sebagian menjawab melalui APBN Anggaran negara. Sebagian lagi mengatakan berasal dari iuran anggota. Ini bisa mix antara APBN dengan iuran anggota. Berikut, kalau dari hasil penelitian Prof. Ramlan, Fahmi idris, Parpol diharapkan dibiayai oleh negara. Apa konsekuensinya? Partai politik harus terbuka. Melaporkan untuk apa dana partai politikm di gunakan? Apakah wajib dilaporkan/ dan sebagian besar mengatakan Ya. Dan ini merupakan partai poltik sendiri yang menjawabnya. Saya kira itu dulu, terimakasih, assalamualaikum Wr. Wb. Prof. Yuliandri: Saya persilahkan kepada pembicara pertama: Demokrasi parpol Indonesia, saya kira bisa kita mulai dari permasalhan dokumen Hak Asasi Manusia, demokrasi saat ini, pemilihan umum merupakan salah satu tindakan kita dalam berdemokrasi. Ada permasalhan serius. Persepakatan mengenai ideology negara pada saat itu, melakukan manufer. Kalau diberi perpanjangan waktu, maka perlukan perundinganperundingan demokrasi dan pimpinan partai. Pembukaan itu berdasarkan aturan yang ada melalui dokrin presiden era ini disebut era pemerintahan sementara, dimana digunakan UUD 1950 saat itu, ideology system pemerintahan. Jadi apa yang saya ketahui, hanya ada satu dua partai politik yang mendeklarasikan ideologinya secara kongkrit, mereka membagi ideology dasar dan ideology yang dilakukan dalam proses perjuangan, selebihnya menepatkan pancasila sebagai ideology parpol Saudara sekalian, berbagai dinamika yang pernah terjadi dalam partai politik seperti transsaksionalisme dan sebagainya. Padahal era 1945-1955 yang berkembang bukan parpolnya. Tapi ideology yang dianut oleh mereka meniadakan hal itu, ada nilai-nilai yang lebih utama, lebih tinggi menjadi dasar perjuangan. 44 Untuk mencapai impian, perlu dilakukan pemusnahan sifat-sifat yang merubah kehidupan partai, kalau kita mau maju partai politik dan uang itu berat. Dan kemudian pada tahap pemilihan anggota dewan juga begitu, tanpa uang tidak aka nada keputusan-keputusan yang memungkinkan seseorang menjadi calon gubernur, walikota, calon anggota DPR, dan sebagainya, perkembangan ini, negarea modern dan kaya. Ada istilah, membeli anggota dewan. Dalam satu partai terdiri dari fraksi-fraksi, emmebli dengan harga cukup tinggi, terlibat korupsi. Konflik parpol memang sangat signifikan, tapiitu tidak terbuka dan internal, tapi penyelesaian internal tidak memuaskan sama sekali. Kita punya bayak cara utnuk menyelesaikannyapersoalan parpol ini. Kita bisa menyelesaiakn persoalan ini bersama –sama. Dengan melimpahkan berbagai gagasan-gagasan utama dalam penyelesaian senggeta parpol yang semua itu sebenarnya bisa di dikte. Cirri-ciri bagaimana presiden bisa didikte dengan baik, apakah itu tidak menjadi permasalahn internal? Terimakasih. Prof. Yuliandri: untuk yang kedua saya persilahkan kepada Prof. Dr. Syamsudin Haris. Seorang peneliti dari LIPI. kepada beliau dipersilahkan dengan segala hormat. Prof Syamsudin Haris: Terimakaish prof. Yuliandri. Assalamualaikum Wr. Wb. Saya diminta untuk berbicara mengenai demokrasi internal partai politik beserta tantangannya. Dalam diskusi kami masalah partai politik, ada dua pendekatan yang bisa digunakan. 1. Melihat partai politik sebagai pilar utama dalam demokrasi kita 2. Melihat partai politik dalam system kepartaian yang berlaku. Nah, kalau kita melihat partai politik sebagai pilar, apakah parpol bisa menjadi solusi bagi kita? Bukan lagi sebagai persoalan yang kita hadapi. 45 Kader-kader partai politik kita yang menajdi pasien semakin mudah bermain didalam. Itu dalam konteks kita melihat parpol sebagai pondasi, dimana kita melihat partai politkk dalam system kepartaian. Dalam system partai yang kita anut. Memfasilitasi terbentuknya system kepartaian pemerintahan yang berlandaskan konstitusi presidensil, jadi apakah system multi partai sungguh-sungguh memang efisien? Ini pertanyaan classic sesungguhnya. Kita melihat partai politik sebagai patria system, sejauh mana kita melihat kompetisi antar parpol, didalam sebuah system kepartaian. Sungguh-sungguh menghasilakn orang-orang yang ebnar-benar bekerja utnuk rakyat, untuk kepentingan umum. Nah, saya piker itu titik tolak kita dan saya dalam meyampaikan makalah ini, nah coba kita liaht yang oertama. Kita melihat permasalahn parpol itu komplek sekali. Serta apa yang sydah dimuatkan oleh pemberitaan yang ada selama ini. Yang pertama adalah masalah ideology. Masalah flatfom. Semua parpol punya ideology. Tapi ideology itu berhenti hanya menjadi sebuah ideology yang tertulis, yang disimpan dengan rapi dikantor parpol. parpol punya ideology, tapi hanya untuk memenuhi persyaratan undang-undang bahwa harus punay AD/ ART dan seterusnya. Kadang sulit untuk membedakan ideology anatra satu parpol dengan yang lainnya.PAN yang tidak mau diakui sebagai partai Islamdan PKB sebagai partai Islam. Parpol kita tidak memeiliki komitment dan moralitas. Betapa parpol itu kini dikelola secara kaki lima, padahal mau jadi pemimpin bintang lima. Nah, kemudian yang tidak kalah penting adalah potret kepemimpinnan yang personal. Sebagai pemimpin partai, khususnya yang berposisi di ketua umum, adalah pemilik atau pemegang saham terbanyak.yah kita bisa menyebut bahwa banyak partai yang demikian. Sehingga jika mendiskusikan tantangan demokrasi masa depan, tantangan utama adalah bagaimana mengalih kepemimpinan partai dari individu pemilik modal, menjadi sungguh-sungguh demokratis. Karena bagaimana pun, seperti yang diamanatkan oleh umdang-undang, parpol adalah badan hukum public yang tidak dimiliki oleh individu. Yang sedang menjabat sebagai ketua umum. Nah, tantangan yang bisa kiat fikirkan konteksnya demokrasi, mengambil alih parpol dari individu-individu pemilik modal kepada anggota sesuai undang-undang. 46 Saya setuju dengan gagasan mengenai pembiayaan negara terhadap partai politik, negara memberikan subsidi ini juga menyangkut konsteks pengambil alihan kepentingan. parpol tidak memiliki komitment atau moralitas yang jelas, pada umumnya parpol tidur panjangn selama masa dua pemilu. Ketika pada saatnya pemilu terkaget-kaget. Kadang dalam pencalonan bersifat instan. Padahal dalam politik membangun masyarakat tidak mungkin dilakukan secara instan. Problem internalisasi dan perwakilan. Suara vocal parpol membentuk kepentingan politik dan kaderisasi. Parpol hanya punya link untuk menangani kaderisasi tapi tidak dilakukan. Sehingga lagi-lagi parpol panic menjelang pilkada. Contoh, fenomena PDIP dalam pencarian pemimpin DKI Jakarta 2017. Contoh yang sangat jelas bagaimana parpol panic menjelang pemilu atau pilkada. Ada seleksi internal, test bahkan wawancara, dan lain sebagainya. Tapi ini tidak dipakai. PDIP mengundang maju yang berminat. Kemudian juga ada indikasi sinyal bahwa PDIP juga mendukung pak Ahok untuk maju. ini menunjukkan bahwa parpol dikelola secara kaki lima, padahal hendak menajdi pemimpin bintang lima. Problem yang tidak kalah penting adalah bagaimana kita mendesentralisasikan otoritas parpol, ini harus disentralisasikan kepengurus wilayah tertentu. Bagaimana pilkada calon yang berduit dengan yang dicari oleh masyarakat? Mana yang dipilih? Tantangan lain adalah bagaimana supaya pemilihan kandidat pasangan calon itu melalui tahap-tahap demokrasi, melalui konvensi atau pemilihan pendahuluan. Saat ini LIPI bekerja sama dengan KPK menyusum peraturan kode etik bagi parpol dan politisi.. apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Nah, mudah-mudahan kode etik parpol itu bisa membantu. Dalam konteks system kepartaian yang berlaku, sungguh-sungguh memfasilitasi hasil pemilu yang demokratis. salahs atu upaya tentu saja bagaimana kita menata ulang system pemilu kita. Contoh, pemilu serentak 2019. Namun, sayangnya, skema 2019 sama dengan skema 2014 yang kini harusnya tidak demikian, dengan membedakan PJ nasional dengan daerah. 47 Amanat UU no 10 tahun 2016 tentang pilkada, seolah sudah memfinalkan sebab pilkada serentak nasional dianggarkan tahun 2024. Ini tantangan bagi kita dalam mengingatkan pemerintah agar mengasuh kebijakan yang benar-benar sesuai kebutuhan kita. Demokratisasi partai poltiik itu hanya akan menjadi deretan keinginan. Jadi kita harus mendesak pemerintah untuk melakukan pemabharuan dan perubahan. Didukung televise, media, Pusat studi konstitusi, dan lain sebagainya. Sekian, terimakasih. Prof. Yuliandri: Terimakasih Prof. Syamsuddin Haris. Terakhir kita minta pemaparan dari Prof. Dr. Saldi Isra. beliau lahir di solok, sekarang sebagai guru besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas. Baik, kami eprsilahkan dengan segala hormat, Prof. Saldi Isra: Baik, terimakasih Prof. Yuliandri, Bang Fahmi Idris, Prof. Samsudin Haris. Dan hadirin sekalian yang saya hormati. Saya akan melanjutkan presentasi yang tadi disampaikan oleh Ferry Amsari. Soal hasil penelitian. Karena kegiatan ini bermuara pada desain undang-undang parpol. Partai politik sesungguhnya, pekerjaan yang terkait masyarakat banyak. Oleh karena itu bapak ibu sekalian, kita mendeteksi salah satu kelemahan mendasar dari UU parpol yang ada saat ini dan sebelumnya UU parpol terlalu sulir mengatur soal-soal yang memiliki implikasi luas terhadap public. Terlalu banyak aturan dalam parpol yang pada akhirnya mendelagasikan urusan – urusan parpol yang mengatur pengelolaan urusan public kedalam anggaran dasar dan ART parpol. Yang kita tahu kalau kongres parpol mereka hamper tidak serius mengatur substansi AD/ ART nya. Biasanya beitu kongres selesai, terpilih ketua umum atau sekretaris umum, kongres dianggap selesai. Tidak ada diskusi bagaimana partai bisa menggali ketentuan parpol agar bisa mencapai tujuan partai poltiik dan oleh karena itu kita melakukan 48 pendesainan baru yang nanti kami pikirkan. Di rencana UU parpol adalah memberikan wilayah yang jauh lebih detail kepada pengaturan soal-soal parpol, ajdi memang ada wilayah yang kita serahkan ke parpol, tapi ada wilayah yang detail diatur dalam UU. Misalnya kalau bkita bicara soal point yang disampaikan oleh Ferry Amsari, hasil penelitian sementara itu, soal bagaimana mendesentralisasikan parpol. Yang disebut oleh semua pembicara. Pembicara mentri hukum dan HAM, bapak Fahmi Idris, dan Prof. Syamsudin Haris, desentralisasi menajdi kebutuhan yang tidak dioatur. Kita bicara desentralisasi. Tapi partai politik yang menjadi penggerak negara tidak mau mendesentralisaskan kewenakan kepartaiannya ke yang lebih rendah. Contoh, bukti ketika mencalonkan, itu tidak selesai urusannya hanay di kabupaten dan kota saja. Dan tidak selesai dipengurus tngkat provinsi saja. Namun hingga pengurus tingkat pusat. Itu prinsip yang ahrus dibuat lebih detail dan pernak-pernik nya diatur dalam anggaran dasar dan ART parpol. Jebakan yang ada hari ini adalah, pemimpin yang dihasilkan bukan orang yang bisa menjawab kebutuhan politik pada hari itu. Disitu peran UU bagaimana membuat desain bagaimana tidak hanya mencerminkan keinginan partai tapi juga keinginan public, serta pengurus partai. Contoh lain, yang menurut penelitian pusako sangat penting, yaitu soal keuangan parpol. Kami berfikir soal keuangan harus didesain tingkat UU parpol. Jadi untuk mengatur keuangannya harus diatur sedemikian rupa. Untuk mencegah penanam modal menguasai parpol, jadi dana APBN itu harus jadi lebih besar kepartai poltiik. Sekarang dana yang ebrasal dari partai politk kan luarbiasa kecil, dan jika dana itu saja yang diharapkan parpol, parpol bisa apa? Kami merencakan ada dua system keuangan partai politik yang dating dari APBN, 1. Alokasi pertama adalah kalau partai politik yang lolos menjadi peserta pemilihan umum, maka semua partai itu akan mendapatkan jumlagh dana yang sama untuk semua partai. Dan kita coba menghitung, paling tidak dana itu dapat memenuhi paling tidak 50 – 60 persen dari kebutuhan parpol untuk pelaksanaan keseharian partai poltik. Angkatnya masih kita diskusikan. Itu 49 yang pertama, jadi kalau ada 10 partai politik menjadi peserta pemilu, jadi itu dianggarkan sama juga untuk semua parpol. 2. Dana yang didapat di APBN tergantung hasil pemilihan suara dipemilu itu nanti yang membedakan dana yang diperoleh oleh sartu partai dengan partai lainnya. Karna hitungan nya adalah jumlah suara yang diperoleh dalam penghitungan suara di pemilu legislative. Dengan dua system ini Bapak / Ibu sekalian, kita menganggap sekitar 75 – 80 persen kebutuhan partai politik bisa terpenuhi. Sisanya baru dicari oleh partai politik. Dan mana sumber yang halal itu pun ditentukan secara tegas didalam UU partai Politik. Tapi kami tidak berhentiu disitu, bang Mahfud, kalau dana yang masuk dari APBN dengan jumlah yang banyak dalam partai politik, mengelolaan keuangannya pun harus jauh lebih baik, bagaimana caranya? Kita merencanakan misalnya, ini masih dalam tahap perdebatan, disetiap kepengurusan DPD itu ada orang dari badan pemeriksa keuangan. BPKP yang dimiliki oleh pemerintah yang kemudian dipekerjakan di DPD partai politik untuk pengontrol semua dana yang berasal dari apbn. Jadi bukan per partai lagi. Ini merupakan kecendrungan semua negara agar proses keuangan partai poltik menjadi lebih baik. Orang BPKP didistribusikan ke lembaga-lembaga negara. ita berfikir partai politk melakukan apa yang harus dilaklukan oleh lembaga negara. Kemudian pengeluarannya itu dikontrol oleh orang yang ditugaskan oleh negara dipartai politik itu. Karena apa? Proses pengawasan negara itu juga akan bermuara pada penilaian terhadap partai politik, apakah dia bisa memenuhi wajar tanpa pengecualian atau Wajar dengan pengecualian, apakah didiskualifikasi lain? Kalau uang negara yang banyak itu sudah digelontorkan kepada partai politik, harus ada transparanitas dan implikasi hukum. Apa misalnya? Partai secara berturut-turut, dua atau tiga tahun, dalam periode lima tahun, laporan keuangannya disliner, dia kehilangan hak untuk menjadi peserta pemilu berikutnya. Nah, uang yang banyak itu diikuti dengan hukum yang baru, agar partai bisa mengelola dengan baik, karena prinsip – prinsip pengelolaan keuangan negara itu 50 akan di ikuti oleh partai politik. Nah, inibisa menjadi isu yang mungkin bisa segera di cermati oleh partai politik, tapi soal penegakan hukumnya, kita pastikan terlebih dahulu. Kita menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari gagasan ini. Kita tidak mau kehilangan uang dengan jumlah yang banyak jika kemudian tidak ada sanksi yang diterapkan terhadap partai poltik. Nah, kira-kira inilah rancanangan baru refisi undang-undang yang nanti akan kita siapkan. jadi setelah pertemuan ini, kami akan mempersiapkan apa, naskah akademis itu, lalu sebagian kita nanti akan dilibatkan lagi dalam mendiskusikan lebih lanjut sebelum nanti diserahkan kepada mentri Hukum dan Ham, Mentri dalam negeri, dan kita juga akan melibatkan partai-partai politik untuk mendiskusikan gagasan ini, sembari mendeskripminasi hasil penelitian ini kepada partai poltik. Kalau ini bisa di dilakukan, kita berharap partai politk bisa tumbuh menjadi jauh lebih sehat. Jadi annti ada dana APBN yang kalau di salurkan ke DPP itu nanti akan didistribusikan kepada pengurus ditingkat provinsi dan kabupaten dan kota juga. Tapi ada juga beban dari APBD provinsi kabupaten kota terhadap kepengurusan partai yang eksis di daerah tersebut, jadi Bapak / Ibu sekalian, kami percaya kalau ini buisa dilakukan kita punya mesin pemotong yang tajam untuk mengurangi pengaruh para pemodal masuk ke prtai poltik, sepanjang desain baru ini bisa di kelola dengan baik dari A-Z, artinya uang diluncurkan banyak tapi juga ada sanksi yang dibebankan kepartai politik. Nah, itu saya sengaja mendetail pengaturan ditingkat UU. Soal keuangan partai politik itu kita atur hamper selesai ditingkat UU. Jadi diranah AD/ART akan kita batasi sedemikian rupa. Kira-kira itu yang akan kami lakukan kedepan. Terima kasih, Assalamualaikum Wr, Wb. Prof. Yuliandri : Terimakasih Prof. Saldi atas penjelasan lanjut mengenai hasil penelitian yang dilakukan oleh pusat studi konstitusi. 51 Baik untuk selanjutnya kita masih punya waktu sekitar lima belas menit, kita beri kesemoatan untuk dua pertanyaan. Disebelah kiri ada sau, kemudian di tengah, mohon singkat aja, silahkan, sebut nama dan asalnya dari mana Penanya 1: Nama : Inna Junainah Asal : Fakultas hukum Universitas Pajadjaran Terimakasih pak yuliandri. assalamualaikum Wr. Wb. Nama saya Inna Junainah dari Fakultas hukum Universitas Padjajajaran. Saya menagkap tadi memberikan sejumlah anggaran yah, yang jadi pertanyaan saya, barangkali untuk form yang sementara, sepertinya ini solusi yang baik yang dibentuk oleh Prof. Saldi. tapi apakah apa yang dianggarrkan negara itu ada resikonya ? sampai disini saya melihat kalau semua diberkan anggaran yang cukup besar, apakah ini tidak akan menjadikan partai politik sebagai infrastruktur baru ? kemudian yang kedua apakah perlu cleanitasi waktu dan substansi? Saya agak kawatir dengan komitment partai politik yang masih kurang, saya kawatir juga kalau dengan skema yang tadi, uang APBN berkurang, mainan politik didalam pun ada. Rrancangan UU nya pun pada akhirnya supremasinya dari partai politik. itu konsekuensi ditingkat parlemen. saya perlu penegasan skema yang dikeluarkan prof saldi. Terimakasih prof. Penanya 2: Nama : Siryajudin Asal : Fakultas Hukum Setiadarma Malang Terimakasih. saya kira menarik sekali apa yang disampaikan oleh para pembicara. Saya melihat soal partai politik dari pengurusan, sengketa dan sebagainya adalah ranah oligarkis kepartaian hari ini. Yang menjadi pertanyan besar adalah apakah bagaimana disisi lain kemudian kita ingin membangun akuntalibitas transparansi mobilitas partai politik, sementara rakyat sudah cukup apatis dengan keeberadaan partai poltik. Jadi ketika rakyat ditanya pendapatnya tentang hal begini, sementara rakyat sudah apatis dengan partai. Nah sementara kita ingin membawa partai itu 52 kepada pemilik partai dan pemilih itu snediri. Nah, terkait dengan itu tadi disampaikan oleh prof. saldi bahwa ada bantuan negara dan sebagainya. saya kira paham betul bagaimana internal partai. Pertanyaan saya adalah bagaimana partai yang lolos pemilihan legislative itu menolak pemberian dana dari APBN itu. nah, jika menolak, tidak ada kewajiban untuk melaporkan keuangan partai politik itu. Nah kalau keputusan, ada salah satu partai yang menjawab menolak, karena mereka gak mau ribet dalam masalah assalamualaikum Wr. Wb. keuangan. Saya piker itu saja, terimakasih. Penanya 3 Nama :... Asal :... Kalau saya melihat dibanyak negara besar di Asia, partai politik memang agak dihindari oleh masyarakat. Dan saya melihat penelitian yang dilakukan oleh Pusako, dan ini memang tentang kewenangan partai politik. Ini permasalahan yang ada diseluruh dunia. Bukan hanya Indonesia. Memang ada usaha yang disebut dalam UU yang mengatur refoemasi pendanaan. memang upaya ini dilakukan untuk mencegah begitu banyak uang yang tidak transparan atau akuntable yang masuk ke partai politik. Tetapi upaya ini saya pikir berhubungan dengan putusan mahkamah agung diamerika yang tidak memberikan batasan apapun kepada penyumbang- penyumbang untuk memberikan sumbangan kepada partai politik. Nah, ini yang terjadi. sehingga banyak orang jor-joran. Pertanyaan saya adalah, kalau memang kita memberikan kewajiban untuk mendanai partai politik, semua mendapat equal yang sama, dan ada tambahan untuk kursi yang didapat di legislative, bagus, saya setuju. Tapi apakah itu berarti sumbangan corporate asing itu di stop, kalau itu tidak dihentikan, artinya, koalisi partai politik tidak akan pernah berhenti. Apalagi sumbanagn itu belum tentu bisa dibatasi jumlahnya. Nah, kedua kita mesti menyadari fenomena lain dari UU partai politik. Yang demikian sekarang ini ada disebut supertax yang dilakukan oleh pihak ketiga. Ini juga merupakan suatu persoalan. Ini kan sumbangan itu bentuk lain dari ideologisme. Nah pertanyaan saya bagaimana kita mengantisipasi supertax tidak melalui kader, tapi melalui orang ketiga yang digunakan untuk kampanye? Membantu partai tersebut, 53 membantu kandidat tersebut. Nah ini yang belum kita bahas sejauh itu. Tapi saya mohon kita mengantisipasi potensi-potensi yang terjadi seperti ini. Prof Yuliandri: Terimakasih. Cukup 3 yaa. nanti pertanyaan selanjutnya bisa ditanaykan disesi grup parallel. Baik, kita masih punya waktu sekitar lima menit untuk menjawab pertanyaanpertanyaan tadi. Silahkan prof. saldi Respon: Fahmi idris: Saya sangat yakin bahwa dana partai yang dipakai dari pemerintah itu akan dengan senang hati diterima oleh partai politk. Kalau ada yang menolak, seperti yang dicontohkan tadi, tentu yang berangkutan mempermasalahkan perannya. Tentu form laporan itu disiapkan oleh perintah sesuai dengan peringkatnya. Yang penting adalah dana itu harus dipertanggungjawabkan, diaudit dengan baik oleh parpol maupun pihak independent pihak ketiga. Kemudian Keuangan parpol ini memang mengandung pro kontra. Prokontra dalam pengertian pemanfaatannya. Contoh nya dana parpol untuk pemilu. Bangaimana dana parpol untuk pipres dan pilkada. Apakah dana untuk pemilu, pilpres, atau pilkada, dapat diselenggarakan oleh parpol itu sendiri? Kalau itu, tidak menyelesaikan masalah secara mendasar Parpol memang diberi kebebeasan menggunakan dana tersebut. Tetapi saya setuju didalam pengelolahannya ada pelaporan oleh orang yang masuk dalam parpol tadi. Dalam penggunaannya memang harus ada pihak ketiga. Bukan soal percaya atau tidak percaya. Uang negara adalah uang rakyat sehingga pertanggung jawabannya lebih besar. Sehinngga harus transparan. Dana dari pemerintah dan dana dari pihak lain juga harus diaudit dengan transparan, ketat dan sanksi yang tegaas. Seberapa besar dana tersebut. Ini memang suatu proses kultur yang terjadi dimasyarakat kita, khususnya masyarakat partai politik. Jika terima duit diam diam saja kecuali jika terjadi ott. Harus diubah, bahwa uang memang harus dipertanggung jawabkan. Terimakasih. 54 Syamsudin: Mungkin ini sekaligus masukan untuk Pusako. Saya pikir, Saya setuju dengan pendekatan sangat signifikan subsidi dana negara, ini negara, bukan pemerintah, negara terhadap partai politik. Untuk memenuhi kebutuhan partai politick itu sendiri. Tapi saya pikir kalau untuk kebutuhan, angkanya itu tidak melebihi 30-40 persen. Bukan diatas 50 persen. Sebab bagaimanapun, Parpol juga butuh otonomi dalam memperoleh dana. dana lain bukan hanya dari pemerintah. Hal lain yang saya pertimbangkan adalah yang namanya subsidi negara tidak selalu dalam bentuk uang case. Subsi bisa dalam bentuk fasilitas negaraterhadap parpol seperti untuk kampanye pemilu pilkada, pilpres, dan seterusnya. Penggunaan media pemerintah untuk kampanye. Kemudian juga, Hal yang tidak kalah penting bagaimana pemenuhan kebutuhan partai melalui subsidi negara dilakukan secara bertahap. Artinya angka yang saya sebut 30-40 persen itu untuk babak pertama. Ketika pemilu besok. Mhungkin pemilu pertama sekitar 10 persen. Ini sebagai pemebelajaran bagipartai politik. Apakah parpol bisa akuntabel atau tidak. Mungkin 10 tahun kedepan bisa menajdi 20 persen, sehingga tidak bersifat sekaligus. Yang lain tentu saja terkait yang disampaikan oleh Bung Sirajudin, saya pikir ya, Parpol tidak bisa menolak subsidi negara jika itu menjadi kebijakan negara dalam UU. Terimakasih, Prof. saldi: Terimakasih. Setiap masukan tadi akan kami catat di team juga masih ada perdebatan soal besar dan segalanya. Tapi soal skema itu sudah bulat kami di pusat studi konstitusi. Yang masih diperdebatkan itu adalah berapa dan segala macamnya. Kami masih mencari angka dengan merujuk kebeberapa penelitian. Salah satu nya adalah penelitian yang dilakukan di 4 daerah oleh fery junaidi dan kawan-kawan mengenai keuangan partai politik. Bagi kami, jika ini dikelola didorong menjadi refisi, kami harus memiliki mensiapkan kerja extra. Apa kerja ekstra yang kami siapkan? Rancangan soal keuangan partai itu, itu diikuti linear A-Z, jadi jangan hanya mau mengambil keuangan, tapi sanksi tidak mau. Sehingga dalam proses legislasi kita, ini Akan dikomunikasikan dengan pemerintah. Karena pemerintah sebagai pihak, khususnya kepada president, bahwa ini akan menjadi paket. Jadi kalau mau uangnya 55 saja, tidak mau sanksinya, konsep ini harus ditolak. Solusi dan sanksi, tidak dapat dipisahkan. Lalu pertanyaannya? sumber dana lain tidak boleh? Sumber dana lain boleh. Apa jenisnya dan berapa besarnya, kemana dimasukkan itu diatur dalam UU partai Politik. Makanya tadi kita berfikir, ada orang yang paham betul soal keuangan. Semua dana akan amsuk disistu. Dan akan didistribusikan kepada badan pembangunan pemeriksaan keuangan BPKP. Akan diawasi oleh badan pengawas dan penerimaan dana partai. Itu yang harus dilakukan dalam soal-soal seperti ini. Nah, problem kita adalah system hukum kita diranah politik membedakan antara uang partai dengan uang kampanye. Kalau partai itu diatur dalam UU partai politi, kalau kampanye di UU pemilu. Ini akan didiskusikan lebih lanjut. Menurut kami Penelitiaan pusako beranggapan bahwa dana harus beriringan baik itu untuk partai dengan untuk pemilu. Dan sekarang ICW sedang mempelajari bagaimana mengatur soal dana partai politik. Jadi penelitian Pusako akan beriringan dengan penelitian ICW. Dan kita berharap, sebelum itu dilaunching ke public, sebagian kita yang ada disini, pasti akan terlibat membahas lebih rinci konsep-konsep yang ditawarkan itu, sekaligus apa implikasinya jika itu dijadikan produk hukum. Tentu itu harus didiskusikan hingga hal yang sedemikian. Saya memang sengaja, tadi yang diamanatkan oleh pak Charles, bang fahmi, dan Ferry Amsari, tolong yang dikedepankan adalah soal dana. Bagaimana respon peserta konferensi soal dana itu. Dan nantik akan dibagi dalam form yang lebih kecil. Terimakasih, wabilahi taufik walhidayah, Assalamualaikum Wr. Wb. Prof. Yuliandri: Alhamdulillah seminar konferensi ini dapat diselesaikan. Akhirnya kami sebagai moderator mengucapkan terimakasih atas pemaparan yang disampaikan oleh beliau. Dr. Fahmi Idris, Dr. syamsudin Haris, dan Prof. Dr. Saldi Isra Akhirnya, wabilahi taufik walhidayah, Assalamualaikum Wr. Wb. 56 Penyerahan cendera mata kepada narasumber. Plakat dari fakultas hukum. Dan cendra mata dalam tas putih adalah cendra mata dari komisi pemberantasan korupsi. 57 NOTULENSI PARALLEL GROUP DISCUSSION RUANGAN 1 Tema: Memetakan Permasalahan Demokrasi Partai 1. SESI 1 (Pukul 10.00-12.30) Moderator : Ferri Amsari Dengan narasumber : - Notulen: Dzikra Atiqa Prof. Todung Mulya Lubis Henk Kumeling Moderator: Ferri amsari Assalamualaikum wr wb, Marilah sama-sama kita panjatkan rasa puji dan syukur kita kepada tuhan semesta alam yakninya allah swt. Selamat siang kepada seluruh rekan-rekan yang telah menghadiri fokus groupdiscusion pada siang hari ini. Ini adalah sesi pertama yang akan disampaikan olehduanarasumber kita yaitu pro. Henk kumeling dan prof. Tdodung mulya lubis. Baiklah untuk pemaparan pertama akan disampaikan oleh bang todung mulya lubis, beliau merupakan salah satu pengurus penting di yayasan tahir foundation. Kawankawan bercanda tajir foundation. Silahkan yang maubertanya untuk kegiatan keilmuannya dapat didukung oleh yayasan tahir foundation setelah pertemuan ini. Silahkan bang mulya untuk menyampaikan materinya sekitar 15-20 menit. Nantijuga prof. Kummeling akan menyampaikan pandangannyadalam forum ini. Lalu kita lanjutkan dengan sesi diskusi. Ingat, forum PGD pertama ini adalah forum diskusi. Silahkan bang mulya. Prof. Dr. Todung Mulya Lubis Terimakasih pak ferri, karena saya bagian dar yayasan tajir foundation,,(audiense tertawa) Kedua, dia agak lupa tadi menyebutkan saya hanya dua gelar LLM ,sebenarnya ada tiga. Satu dari Harvard Law school, dua california, yang ketiga adalah laki-laki malam. 58 Saya hanya akan menghilight saja sebenarnya. Sebetulnya kita semua tau dalam diskusi dan kemaren pada saat saudara tjahjo purnomo dan pak jussuf kalla, kita sudah mendapatkan gambaran sebenarnya di indonesia. Bagaimana demokrasi internal partai itu di Indonesia. Yang penting dalam konteks Indonesia dengan sistem multi partai yang begitu beragam ini, pertanyaan utamanya adalah apabila kita menginginkan demokras internal partai adalah, bagamana kita merebut kekuasaan partai itu menjadi milik publik. Bukan menjad milik oligarki, bukan menjadi milik keluarga, bukan menjadi milk PT swasta,karena seolah-olah ini menjadi pemilik saham. Nah bagaimana anda dapat bicara tentang demokrasi partai kalau yang mengatur itu sudah ada dari atas. Saya kemaren hampir meninggalkan ruangan ketika tjahjo purnomo mengatakan parpolnya batasnya hanya sekjen, sebetulnya itu kontrahnya soekarno, nah itu sih bukan demokrasi lagi itu. Tapi kan dia ga sendirian, ada partai lain yang sama-sama kuat. Jadi saudara-saudara semua, Partai politik adalah tempat warga negara berkumpul menyatukan presepsi, untuk berebut jabatam-jabatan kepemimpinan/publik dan menjadi ajang atau wadah utntuk bertukar pikiran tetapi secara demokratis. Itu merupakan kebutuhan yang mutlak untuk mendemokratisasi parpol kalau dia ingin mendapatkan calon-calon yang demokratis. Nah, saya tidak mengatakan bahwa calon-calon itu adalah yang paling baik atau sangat ideal. Banyak calon-calon yang dipilih dari bawah secara demokratis sehingga tidak capable,tidak qualifite untuk menjadi pemimpin. Tapi that is the cost that you have to pay to society. Dalam negara demokrasi,mungkin saja you came out with the stupid leaders, yang terjadi pada Amerika saat ini, kita melihat donald trump. Begitu terkenal dengan public sentiments, tapi banyak yang bilang kalau dia gangerti apa-apa kok, dia ga ngerti segala macem-macem tentang perkembangan, dia tidak pesoma. Tapi apakah itu sebagai orientasinya? Tidak, jadi jabatan-jabatan publik apakah itu eksekutif,legislatif, saya memasukkan yudikatif itu karena dalam beberapa negara, hakim juga ada yang dipilh. Tidak semua negara yang hakimnya tidak dipilih,memang ada dibeberapa negara bagian, dan jabatan-jabatan lainnya memang membutuhkan internal demokrasi leaving the particulars. Nah apakah demokrasi internal dalam parpol di Indonesia, sudah ada atau tidak? 59 Saya open minded kepada kita semua, kita tidak bisa hanya membicarakan tentang demokrasi nternal tanpa memikirkan tentang demokrasi eksternal. Pasti ada kaitannya dengan yang lain, karena ini satu sama lain saling kait berkait. Tadi Prof. Saldi juga mengatakan tentang kauangan partai, gamungkin juga kita mebicarakan tentang demokrasi internal kalau demokrasi internal itu decanded terhadap donaturdonatur yang bisa mendikte partai tersebut. Jadi at the end of the day, why we are able to internal demokrasi of party, karena parpol harus mempunyai kesiapan logistik atau nggak? Kalau tidak ada kesiapan logistik sangat sulit untuk membangun demokrasi internal partai politik tersebut. Kalau kita berasumsi, bahwa kita dapat membawa demokrasi kedalam tubuh demokrasi parpol, saya sudah mulai memancing diskusi, anda ingin memilih jalan yang seperti apa? Karena kalau buat saya, saya adalah seorang universalist. Saya tidak percaya dengan demokrasi lokal. Demokrasi yang adjektif bukanlah demokrasi, seperti demokrasi pancasila, itu bukanlah suatu demokrasi. Demokrasi pembangunan, itu bukanlah suatu demokrasi. Demokrasi terpimpin bukan demokrasi. Buat saya demokrasi is the demokrasi universal judulnya/rulenya. Nah, kalau kita membicarakan tentang partisipasi seperti yang telah dipaparkan dengan bagus oleh bapak ferri tadi,demokrasi itu harus partisipatoris, kita berbicara mengenai buttom up interest come from the buttom local society. Anggota-anggota itu tidak keberatan untuk menentukan siapa yang akan jadi ketua partai, siapa yang akan menjadi calon bupat atau walikota atau calon gubernur. Tetapi persoalan kita adalah, ketepatan publik di Indonesia sepertiyang kita ketahui tadi, penentuan calon-calon tersebut tidak di tingkat kabupaten/kota,tidak ditingkat provinsi. Penentuan itu ada di Jakarta, nah saya kebetulan mempunyai banyak teman dari pemimpin partai dan dapat dlihat bahwa partai ini adalah merupakan kendaraan bisnis bagi pemimpin-pemimpin partai. Semua orang harus bayar untuk dapat pencalonan itu,untuk dapat rekomendasi. Nah kemaren ya pak jussuf kalla bicara, keberhasilan dia dalam membangun demokratisasi didalam tubuh parpol. Saya juga melihat bahwa yang dikatakannya kemaren itu tidak 100% benar. Kita dapat melihat ketika JK dicalonkan sebagai calon presiden, saya membayangkan akan ada suara-suara yang datang dari bawah, yang partisipatoris, tapi ternyata itu menjadi monopoli dari ketua umum partai. Dan itu 60 yang kita lihat pada Prabowo Subianto, dan tidak ada bedanya dengan apa yang terjadi pada zaman soeharto dulu. Nah jadi saudara-saudara, political culture kita dari dahulu memang masih belum berubah. Kalau saya melihat bahwa mungkin, sebelum kita berbicara tentang demokrasi parpol bertingkat pada tingkat kabupaten/kota,provinsi, dan nasional, kita dapat melihat they are the challenge gitu yang akan kita hadapi. Tantangan kita apa? Pertama dan utama sekali kalau saya lihat, sebetulnya kalau dualisme partai politik itu sangat luar biasa nampaknya, partai keluarga yang kuat. Nah, ketidak inginan saya saat saya dimintauntuk menjadi anggota dewan pembina partai politik pada zaman presiden Susilo bambang yudhoyono, walaupun saya sudah mengikuti rapat satu kali pada saat itu, karena saya tidak kuat melihat adanya federalisme pada partai tersebut. Coba bayangkan PDIP, mau nggak anda masuk kedalam partai tersebut, walaupun PDIP lah yang berkuasa pada saat ini rupanya itu yang pertama, dan yang kedua meretifikasi partai politik. Nah kita berbicaratentang yang kedua, sangat populer, politik uang. Politik uang masuk dalam prosespartai politik, betulbetul mensabotir nilai-nilai demokrasi dalam parpol itu sendiri. Dan di Amerka juga kejadian sih, di TV menceritakan tentang macam-macam kejadian. Saya membaca buku sebenarnyayang berjudul the lawyer crazy, buku ini merupakan buku yang sangat bagus dimana disi menceritakan dimana adanya high class politics di Amerika itu luar biasa terjadi. Kita juga mungkin high class politics yang terjadi di Indonesia. Disana luar biasa jumlahnya gitu loh, jadi ni yang terjadi sebenarnya saudarasaudara, saya juga tidak dapat menduga dan mengantisipasi, digitalization of democracy dalam 10 tahun yang akan datang. What will happen of digitalization of democracy. Nah apakah kita akan kehilangan suara kita, i don’t know, and i don’t have the answer. Satu fenomena lagi yag mungkin dapat kita simak di Indonesia, adalah kepercayaan,atau agama terutama islam dalam politik. Islam politik kalau menurut saya it all the respect bagi teman-teman yang percaya dengan itu, itu sebenarnya bertentangan dengan demokrasi, secara diametal. Jad saudara-saudara, ini merupakan hal yang ingin saya kemukakan kalau kita berbicara tentang demokrasi internal pada tubuh parpol, baik dalam penentuan ketua, DPC,ketua DPP, ketua umum partai, ini semua menjadi problema yang kita hadapi. Yang menjadi kendala 61 dalam demokrasi parpol tersebut. Nah mudah-mudahan PUSako yang merupakan kiblat hukum tata negara, ferri pasti senang (audiens tertawa). Dia tadi sudah komplain, bang UI itu kok diam-diam aja sih katanya, ia karena UI itu sudah membley karena semuanya itu sudah berpindah kepada UNAND, dan tidak ada salah dengan itu.(audiense tertawa). Jadi UI mesti complement ya pada PUSaKO untuk keberhasilan mereka ini. Mungkin saya berhenti sampai disini terimakasih. (audiense bertepuk tangan). Moderator: Feri Amssari Memperkenalkan background Prof hank kumelling Prof. Henk kumelling: Okay, Thankyou very much. Mr. moderator … It was hihihi lengthy of introduction. What I am going to do is simply talking things .. constitutional Law … and therefore this is thetitle of my presentation and I present it without a little paper the issue that had handed out to you in the coming days of the flashdisk. And what we’ll do this afternoon is this, briefly points out the headlights so to say in my presentation. And thankyou for coming all its very crowded room and we had a little joke before we started whether not because of Professor Todung was here or Feri Amsari or myself and I concluded that it was professor Todung was the most important person in our … well let start. I was already introduced my presentation as a very simple structure I will introduce to you the key questions, I deliver some comparative observation and I will share with you some ya well of experience from the Netherlands. And I think all the concluding remark. Well … all of the expression of the party is over … the news of several decade especially by social sciences people thought that of that because the lost of membership a lot of political parties in the western part of the world also with instrument of direct democracy the use of ICT internet etc. Perhaps the entire structure of the party become obsolete not necessary anymore. But we all know that the party is still there and it will stay there is my prediction. We also need and will ever need an intermediary structure between the citizens and the government make sure that all the wishes of the people are articulated that the use of democracy toward 62 governmental structure articulated as we said that way citizens can also participated in process lets not forget political parties is also very permanent and very dominant role the recruitment of national decision makers to members of parliament, governors, mayors and etc. so when the parties is so important and still so important because its contribute to the decisions of the decision makers it makes their decisions acceptable and if those a problem of the political parties and there is a problem with political parties that … of the political parties, I decide that nothing beats the law of membership. Though they are articulated demands of the ordinary system of the society. Its not the case that they are more busy with ya well self appointments, cooperation etc. and the party elites … the decisions all by them self. Not taking care of the wishes and demand of society. And if the parties are so important isn’t there a need to regulate them to also from a constitutional law perspective to regulate them. Well I’ll go to my comparative observation when you come to the issue of regulating political parties. Ya well that the key issue is, is there a constitutional law for political parties to autonomy. And there is no universal … that. We heard already there something about that this morning. All over the world constitution and courts very greatly and … are not but party should … abroad general constitution right to autonomy. And there are indeed two sides of the spectrum. The one extremes is Germany has a very strong party regulation also a very detail provision in the constitution and the constitutional court in Germany explicitely said something which already mention by professor Todung Mulya, he said they said we’ll take this seriously I say the party will be structured from the bottom up. That is that the members must excluded from the decision making process and the basic quality of its member as well as the freedom to join or to leave the political parties must be guaranteed. So that’s a very strong regulation very detailed in the constitutional court … upholding that position. And of course it is have to do with the bad experiences Germany had that Nazi regime. On the other hand of the spectrum, we have states where there is no constitutional provision and practically no legislation and the example of that is united states of America. And there are general two reason for such a position first of all there is this general hostility, historical hostility one can say toward political parties. Because political parties were considered to be sectarian, partisan the size of elements in political parties and there is also this argument of 63 political liberality. In order to fulfill their function as political party in articulating the of population. And they also are responsible for taking an accountable over decision making. And … and therefore they should be completely freed from ... and … that’s the idea behind their political liberality. And therefore there should be enormous freedom with regard for starting the political party toward content, toward activities and also toward internal organization subject. And there’s also the case in the Netherlands at least to enlargic standard to an elaborated autonomy. But there is also another reason behind this all, which is one of them I think for every constitution of reform constitutional changing regulation. That is that constitutional change and change its legislation only occurs when there is explicit force explicit drive explicit need for subject change. And if there is no specific need for change then there is no regulation. … you can see in general that what they well established democracy in general have hardly any regulation on political parties. Because they think at least up until now that they need to have such regulation and on the other hand we have the younger democracy and we see this also in the northern America in the sub-Sahara Africa, you see this in the eastern part of the Europe they have a very strong regulation on intra-party organization . and it’s always do when it comes to eastern Europe that they had this experience of this one party, communist party, or in some cases two party system. And they want to abolish that idea, and they also very strict in regulating political parties are doing what they are about. And there is some … as you can say that is established in younger democracy but on the other hand what we can see history takes its own course. And democracy as been told by many is never finished or never complete. You never stop thinking about the quality of your democracy. And what you see in many western countries as well is that there is a big debate on the quality of democracy. And like the politics in the united states of America as already mentioned this morning and there is a big debate whether or not such a country with no regulation on political party whatsoever. And there should not be a change in that. Because when you look at the procedures now at the nomination procedures for the presidential candidates introduces candidates that don’t have a large support amongst its ordinary population. In fact there is a lot of evidence, that ordinary citizens are completely … to politics. So therefore they have to rethink there’s democracy of their party as well and come up with some ideas for the 64 nomination process. So I’ve never stop thinking that is also the case in the Netherlands to that case. As I already mentioned, we take a liberality approach when it comes to political party, there’s hardly any regulations. There is some regulation when it comes to party registration and the electoral council, which I am responsible for that. But there is very minimal approach to that because ya well you have to be in association with members and you have to go to a notary and came up with all this internal regulation and you have to because you have to be in association, you have to have at least 2 members. Because its already create in the Netherlands association with only 2 members and that’s it. And that’s all regulated as association that has typed and regulated in the civil code. So very ya very organized according to civil code but if you want to have state subsidies for your activities, then you have to at least have 1000 members. And as long as more members come in, you get extra subsidy and there is also extra subsidy for youth organization and political parties, there’s extra subsidies for research institute for political party and there’s also extra … when you have international cooperation as in political party. So it could mean that subsidies that in need some regulation and many political parties want indeed to have such a … . There’s only one party that don’t want to have subsidy which the party of this popular person and perhaps know the guy because he’s all over the place and travel in more places and that’s a very blond guy, this Mr. Wilders and it’s a party which consist only 2 members, which is the natural person and mr. Wilder himself has created a foundation Mr. Wilders and in the Netherlands when it comes to membership of association you can have natural person as a member and also legal person as a member. So he by himself has created a let’s just say one party a one person party. And he doesn’t want to have state subsidies because he don’t want to have members. So therefore he’s the odd one out but then again this types of parties populates parties with strong leaders, fit in a historical traditions in many countries. But every now and then popular party are strong leaders and no members. And even this parties are presented themselves in as being very democratic even more democratic than the other party. See that ya well we are in direct contact with the citizens but there is no intermediate structures no party members that want to have influence etc. no we say in direct contact with the citizens and therefore we are more democratic than the other ones. And it all comes down of course this kind of parties 65 with the quality of party leader to find the correct candidates, any cases that we see in at least large part of the world and especially in the Netherlands this parties fall apart because there is no mechanism in the party to solve internal conflicts so problems between the candidates and the party leader ya there’s no mechanism there’s only the party leaders decides and the only way out in this kind of conflict literally is to lead the party. And what we see in the Netherlands over decades they come up this popular party and then they crumble down and they lost the seat because they lost popular vote or these internal conflicts and then they go. And in general we can see in large part of the world and also in the Netherlands the tendency towards more internal democracy in these parties. And in the Netherlands ironically they started after the rise of not as popular party. It was in 2002 that the famous now famous but deceased Mr. Pim Fortuyn and perhaps you heard about him, because he was murdered during election time. And it was the first political murdered we have in the Netherlands since the 16th century. We never had it before. And although he was dead police was still out there in general elections and the party of Mr. Pim Fortuyn in a lot of seats. And the other party was like, “what’s happening here?” they didn’t understand what’s going on. And in order they were completely taken by surprise by the rise of this populates party and then ya well the southern chief of … they couldn’t understand and in the end many parties come to the conclusion that they had lost contact with the demand and the wishes of the citizens and the important way of solving this problems this contact problem was to improve the contact with the ordinary members of the political parties. And all this party started with experimenting and with new internal decision making … all the nomination candidates and party leaders. I will give you some examples indeed in the Netherlands it quite accustomed now as many other countries as well that there is a strict decision that the political and the chair of the party so not the power in one hand. The party nominee at the top position as president and prime minister in our case cannot be the same person as the chair of the party. What we also see that there’s lot of extra influences created by … the members the party leaders in may parties are voted or elected by member. And we’re using all kind of modern methods and in most cases international internet voting … is quite common. And in some political parties even non members are allowed to participate in party election and in 66 that way by ways to some extent, you can also test whether or not this political parties leaders and also have largest support among the rest of the population. Whether or not they can be successful in the general election. And then the same goes for the nominations of candidates, you must know that we have also proportional legislation in Netherlands but on a national level and no specifics regions there are no district as I must say and in many cases members are the ones that finally decides on the nominations of candidates there is in some parties we have ... we have also have a say in that in the nominations of candidates but in general the membership… and other way of doing it is that … in many cases political parties allow parties to decide on the manifesto and what I agree to say what is going on in the content of the party. And we see that on the level of the union Moderator: Feri Amssari .... Donal Faris: Terimakasih prof todung dan henk kumeling, memang banyak beberapa kajian yang berkaitan langsung dengan politikal party ini. Dari beberapa kajian ini oia mohon maaf saya merasa sudah terkenal hahaha (audiense tertawa) perkenalkan saya donal faris koordinator devisi korupsi politik di indonesia coruption corps. Dari diskusi yang dari awal tadi saya semakin yakin bahwa problem demokrasi di internal parpol itu adalah reaksi dari problem pendanaan dari partai itu sendiri, bahkan ini termasuk adalah lanjutan dan turunan dari permasalahan pendanaan tersebut. Dari banyak aspek yang telah di sampaikan seharian ini, ada kongres, ada kaderisasi, dimana melaksanakan kongres kalau tidak ada dana yang memadai, bagaimana kalau melakukan kaderisasi kalau tidak ada dana,tidak mungkin uangnya datang dari langit. Dan pola itu sebenarnya sudah menguat dan membentuk belakangan ini yang hadir pada saat 98. Harapan publik yaitu munculnya partai-partai baru dengan wajah baru adalah alternatif dalam parpol untuk memunculkan ideologi ini maka muncullah slogan ekspeksi dan lainnya. Tapi problemnya munculnya adanya sitem yang semakin buruk karena munculnya partai baru kita ambil contoh, ada cuman di forum ini aja, mudah-mudahan tidak ada quotes kalau ada temen-temen media juga, kita ambil contoh saja ada beberapa partai baru seperti nasdem, perindo itu kan lahir dari kelompok-kelompok yang secara ekonomi sudah kuat dan sangat matang sekali, 67 mereka bergeser masuk politikkemaren secara informal saya juga sudah berbicara kepada prof henk menceritakan di Belanda itu justru para pebisnis itu enggan untuk masuk kedalam dunia politik. Di Indonesia justru yang terjadi adalah adanya kontradiksi, orang kalau sudah mapan ekonomi, kemaren saya juga sudah berbicara di Asian Electoral Forum fenomena ini, orang yang sudah mapan di bdang ekonomi dulu dimasa soekarno khususnya itu berada dibelakang layar partai politik mereka justru hadir dengan wajah pengusaha masuk politik, dan mereka berusaha menguasai entitas di partai politik dan menjadi agregasi kepada yang bersangkutan sehingga seluruh teori parpol itu sudah terkonsentarlisasi dan kuat secara ekonomi. Kita masuk kedalam aspek yang lain sebenarnya penting untuk memetakan persoalan demokratisasi di internal partai ini. Menurut saya kita harus berbicara dua aspek kalau berbicara tentang demokratisasi di internal 1 demokratisasi partai, satu demokratisasi yang memang levelnya di internal parpol dan kemudian dia yang berlaku, dan yang kedua, demokratisasi yang berlangsung dan berlaku di eksternal partai politik itu sendiri. Kalau di internal partai politik kita bisa memetakan seperti pemilihan ketum,pemilihan dari cabang-cabang parpol itu adalah berbicara tentang problem yang ada di internal parpol, dan pembicara sudah banyak menjelaskann itu,. Yang kedua, yang sudah disampaikan oleh prof saldi tadi pagi ini, adalah problem yang di pengisian jabatan-jabatan publik. Itu terjadi di rezim pemilu,dan rezim non pemilu yang terjadi di rezim pemilu seringkali kami karena pak henk bekerja di suantik anti korupsi, kita mendengar isu-isu dan slogan anti korupsi berapa kandidasi nyaitu dilakukan oleh parpol. Problem di Indonesia adalah kita tidak punya tools yang kuat baik secara turent dan organisasi kelembagaan untuk bisa mentrecking informasi, dan menindaklanjuti hal-hal tersebut. Kalau itu dilakukan oleh pejabat publik dan penyelenggara negara, maka UU tindak pidana korupsi di Indonesia bisa menjadi alternatif juga untuk menyelesaikan persoalan itu. Tapi malangnya pengurus parpol itu adalah orang yang bukanlah pejabat publik dan penyelenggara negara, baik diatur dalam UU penyelenggara negara maupun yang diatur secara pacta di dalam UU parpol juga tidak menjadikan dia penyelenggara publik dan negara. Terakhir dari saya, untuk problem demokratisasi ini memerlukan pendekatan yang berbeda baik yang terjadi di rezim pemilu dan juga di rezim pemilu itu sendiri. Usulan pak henk sangat menarik sekali kalau kita bicara dan tadi juga saya sampaikan bahwa 68 memastikan kewenangan-kwenangan itu ada dan melekat pada cabang-cabang di Indonesia,kab/kota, dan provinsi di Indonesia. Dan di problem rezim pemilu ini merupakan problem yang besar sekali karena putaran uang justru banyak sekali terjadi disini. Di rezim pemilu tentu bukan hanya berbicara di UU parpol, tapi juga bagaimana mereborn pemilu itu secara lebih utuh tentunya. Di Indonesia juga kita tidak punya federal election comision, di beberapa negara lain sebagai comperatif taiwan dia punya UU pendanaan politik, yang hadir semenjak tahun 2004 dan mereka memiliki sistem yang lebih baik, dan memonitor dana-dana yang terjadi di parpol itu sendiri. Bahkan satu tahun pasca pemilu dana kampanye masih bisa di audit kalau menemukan sumber dan dana yang ilegal tapi. Tetapi di Indonesia kita tidak mempunyai itu. BAWASLU hari in di revisi UU pilkada. Mereka juga kelabakan mengatur UU yang baru tersebutdan menggerakkan aturan yang baru terseut. Nah ini adalah tantangan sebenarnya tentang kelembagaan dan realisasi di Indonesia, sekali lag perbaikannya di komprehensif di isu yang kedua ini pada rezim pemilu. Itu kirakira moderator, assalamualaikum wr.wb. Moderator: Feri Amssari Terimakasih dan kita lanjut kepada mak pipit. Bifitri susanti: Baik terimakasih moderator, ada beberapa isu yang saya angkat disini. Suatu perdebatan yang saya kira pertanyaan besarnya adalah to regulate or not to regulate, dan terimakasih kepada prof todung mulya lubis dan prof henk yang telah menyapaikan beberapa hal di perdebatannya terutama di persoalan where establish democracy dengan new atau brand establish demokratis. Tapi saya kira kalau memang mau didorong terus pada forum ini sampai juga nanti mendorong sampai nanti adanya rekomendasi dari forum yang kongkrit, saya juga ingin ikut mendorong bahwa kita juga memiliki satu UU parpol yang memang dikomprehensif dan lebih kuat begitu. Dan salah satu argumen yang saya kira akan sangat kuat adalah, kalau konteksnya adalah kebebasan berserikat, semuanya kita bandingkan saja UU yang ormas organisasi yang pantas atau bukan ya,tapi pertanyaannya UU emas yang kita tahu, tapi sebgai perbandingan saja, dia mengatur dengan sangat rinci begitu. Ormas 69 harus seperti apa, mekanisme internalnya harus bagaimana dan seterusnya. Memang dia mendapatkan tantangan juga dan termasuk yang mendorong supaya tidak terlalu lebih mengatur, tapi kita bisa pakai sebagai perbandingan begitu. Kita bisa lihat kalau konteksnya adalah orang-orang yang tidak setuju dengan rincian yang terlaludalam dengan UU partai adalah kebebasan berserikat. Karena ormas tidak bekerja dengan pejabat atau jabatan publik,ini akan dapat menjadi dampak langsung,salah satunya adalah ini tentang jabatan-jabatan publik. Untuk menyasar misalnya anggota DPR, DPD dan seterusnya ampai presiden, bahkan jugadalamkonteks pemilihan pejabat publik. Tadi prof kumelling menguraikan soal contoh-contoh yang bisa diatur, transparansi,keanggotaan,..internal. dansaya kira yang menarik juga adalah contohnya untuk melakukan pendidikan politik, ini yang saya kira yang belum masuk, dan kalau saya sedikit lebih mengingat-ingat yang yang menarik misalnya yang ada di jerman, dalam suatu kunjungan keluarga di Jerman beberapa waktu lalu, saya juga sangat terkesan dengan adanya partai bajak laut ya. Saya terkesan karena dia di mall begitu dan anak saya sangat senang sekali, karena anak saya pakai baju bajak laut dan mereka memakai atribut bajak laut dan sebagainya. Dan ini untuk menandakan bahwa adanya kebebasan berserikat, dan mereka ada mengatur terkait pendanaan parpol, kemudia terkait dapat atau tidak kursi di parlemen. Mereka di pemilu jerman 2009 sudah dapat kursi, ganyampe kursinya, apa namanya untuk tresh out, dan untuk pemilihan di parlemen .. juga tidak dapet ininya.tapi dia dibiarkan untuk tumbuh sampai mereka bekerja dihari berikutnya untuk bisa dapat kursi tadi gitu. Nah saya juga berpkir, barangkali kita tidak menghalangi untuk orang membuat partai, tapi apakah mereka bisa mendudukan orang-orang dalam jabatan publik itu yang saya kira menjadi pertanyaan. Dan saya kira apa yang diatur di jerman cukup enarik, sebenarnya hampir 10 tahun yang lalu pernah ada upaya untuk menerjemahkan UU parpol yang ada di jerman. Waktu itu saya ikut mengeditnya, mungkin nanti kalau ada yang bisa saya kirim kepusako kalau memang ingin mendalami praktik ini. Kemudian yang kedua,mungkin sudah di snggung juga oleh donal yaitu jadi dua ya, untuk struktur internal partai dan kemudian untuk jabatan-jabatan publik yang akan ditempati, sebenarnyaintinya disitu, yaitu dua dua topik yang harus kita sasar begitu, nah yang dua ini tidak banyak dibicarakan padahal pentingnya sangat luar biasa. Ini misalnya pemilihan hakim agung pilihan KPK sebentar lagi KPU lagi ya, jadi 70 pentingnya sangat luar biasa, jadi saya kira apakah ini masuk kedalam UU parpol, tapi ini pertanyaan besar, tapisaya kira initerlalu rinci utntuk masuk kedalam situ. Tapi paling tidak akan sulit untuk mengajukan mekanisme partai yanterlalu rumit,terlalu exshausted kalau ini adalah istilah yang sangat sering untuk terjadi. Tapi kita harus endorong supaya adanya transperansi dan partisipasi paling tidak yang instan dalam tanda kutip seperti itu. Misalnya donal,saya,dan teman-teman dalam pemilihan KPK seperti itu,lebih melihat kepada parpol,sebenarnya itu sah-sah saja tapi kami tau juga ada yang pake uang, tapi kami tau juga kami ga pake uang ada yang barter jabatan,bahkan ada yang barter kasus ya kalau di KPK barang kali. Ini yang mesti dibuka,dbuat pengaturan yang transparan,lobi boleh untuk jabatan-jabatan publik, tapi harus transparan dan partisipasi nah ini yang perlu didorong. Terakhir tapiini penting juga, begini saya dari tadi berusaha mencari-cari soal-soal perempuan dan tentang disabilitas. Karena nanti merekalah yang akan memperjuangkan hak dari kaumnya. Dan regulasi pemilihan ini harus ada yang legalnya dan harus mempuniatau menghasilkan orang-orang yang berkualitas. Bukan hanya orang-orang yang memiliki mobilitas yang mudah seperti istri pejabat,anak,atau kerabatnya pimpinan partai. Maka kita harus merubah nepotisasi yang ada di negara kita. Iwan satriawan: ï‚· ï‚· Saya setuju dengan prof todung bahwa parpol itu kebanyakan adalah milik oligarki, pemegang modal dan kapital. ï‚· Saya kurang setuju apabila demokrasi itu secara demokrasi universal ï‚· liberal. ï‚· Saya tidak setuju dengan universal demokratis,karena bisa di jabarkan ke Karena tidak masuk dalam unites of the society. Demokrasi itu bukan hanya datang dari parpol tapi sekarang NU dan Muhammadiyah sudah mengambil andil bagi keberkanjutan atau dalam ï‚· pengambilan keputusan di legislative. ï‚· religius masyarakat. Hukum itu datang dari kombinasi dari aspirasi sosial masyarakat dengan Prof santoso mengatakan bahwa kita harus mengkoreksi demokrasi kita sekarang, karena kita tidak memakai politik amerika tapi seharusnya kita 71 memakai politik indonesia. Karena rohnya didalam konstitusi itu adalah ï‚· ï‚· pancasila. Apa yang seharusya kalau memang bukan hanya demokrasi saja? Seperti apa demokrasi yang diinginkan? Moderator: Feri Amssari Oke sudah saya pikir ini yang terakhir karena nanti kita akan lebih banyak berdiskusi pada sesi kedua nanti. Dan nanti akan di sampaikan juga tanggapan dari parpol. Innah junaenah: Saya kira saya akan memberikan suatu informasi,mungkin bapak ibuk sudah mendengarnya, ada suatu indeks demokrasi yang telah diteliti oleh BAPEMNAS yaitu penyusunan di jawa barat. Nah diantara dari sekian parpol di jawa barat hanya dua parpol yang memiliki program pengkaderan, tapi itu terlepas darijenjangnya seperti apa, kualitasnya seperti apa,terlepas dari itu. Nah contohnya saja di jawa barat dengan populasi seperti itu, lalu bagaiman di provinsi yang lain. Kemudian saya ingin mengkonfirmasi kepada prof henk, rasanya dalam publikasi di parlemen di netherland ada yang dari jalur independent saya kira ya, saya berekspektasi dengan kehadiran independen ini di parlemennya tentu mendorong parpol untuk meningkatkan kualitasnya dari pada jalur yang satu ini. Pertanyaan saya apakah itu menjadi motivasi parpol ini di sana atau tidak, supaya indonesia bisa melihat dan mempelajari juga tentang itu. Nah kalau ia apakah regulasi parpol itu. Terimakasi pak feri.. Indra nurben: ï‚· ï‚· Demokratisasi parpol ini kepentingan siapa? ï‚· Parpol ini dibiayai oleh negara sama rata menurut prof.saldi isra ï‚· jabatan. Tidak semua orang di parpol itu brengsek dan seperti memperjual belikan Usul kepada PUSaKO, bagaimana menjadikan parpol ini seperti membangun perguruan tinggi. Yang didanai oleh negara,sehingga nanti akan menghasilkan insan yang berkualitas. Sehingga nanti akan bermitra dengan pemerintah. 72 Maka dariitu pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk memberikan ï‚· pembelajaran kepada parpol. ï‚· proposional menjadi calon kandidat yang akan maju. ï‚· pengabdiannya dapat dibayarkan ke pemerintah. ï‚· atau minimal harus S 1, atau sudah ada di parpol selama 3-4 tahun. ï‚· Sehingga pemerintah jangan mengajukan orang yang tidak qualifite dan Bagaimana pemerintah memberi pinjaman seperti KUR, sehingga 5 tahun Adanya regulasi yang jelas bagi calon yang akan maju. Seperti melihat dari Jangan terlalu menyalahkan parpol. Saya memohon kepada prof todung untuk memberikan pelajaran kepada masyarakat republik, untuk menjadi kemitraan pemerintah menjadi anggota legislative. Jawaban atau tanggapan: Prof. Todung Mulya Lubis: Saya menggarisbawahi tentang donal tadi bahwa tidak adanya kemerdekaan logisitk parpol, tidak adanya sumber dana yang cukup pada parpol. Ini akan menjadi dependent karena dikuasai oleh pemegang kekuasaan dan pengusaha yang memiliki modal yang cukup. Maka dua aspek inilah yang akan mengrogoti values of democracy leaving the party system. Ketika partai harus memilih ketua umum, calon bupati, walikotamdan gubernur toh mereka harus berkompromi dengan pemilik modal. Jadi apabila kita tidak bisa menyelesaikan logistikal politicak party system, selama itu kita tidak akan dapat bermimpi untuk mewujudkan internal democracy leaving the party system. Persoalannya di indonesia adalah, indonesia adalah negara yang besar. Harus ada pengaturan yang jelas mengenai donasi-donasi dari phak swasta,kecuali memang tidak diatur. Parpol di indonesia ini sangat oligarki, tapi mungkin ada beberapa yang tidak, karena penentuannya tidak berdasarkan hak feto, tetapi pemilik sahamnya adalah yang prioritas. Bagaimana soal internal demokrasi di parpol itu kita buat, itu sih pertanyaan yang dapat kita jawab sangat jeli kalau kita mau. Nah sekarang iniyang menjadi concernnya adalah adanya campur tangan dari pengusaha. Parpol ini sudah di rancang oleh pengusaha karena pengusaha itu memiliki kebutuhan bisnis yang banyak. Nah pertanyaannya kenapa harry tanoe itu membuat parpol, padahal beliau 73 sudah sangat mapan secara financial. Itu sih sudah dapat kita jawab dan lihat bersama alasannya. Partisipasi itu masih jauh dari itu. Negara kita ini masihnegara nepotism. Dulu pendidikan parpol itu jalan,ada juga kaderisasinya. Bagaimana pengkaderisasian ini berfungsi kalau kita diikat oleh kepentingan uang. Akhirnya yang masuk adalah yang tidal berkualitas. Kita menginginkan lebih banyak regulasi atau, tidakada regulasinya, itu juga akan mmenjadi sesuatu pertimbangan anggaran juga. Prof. Henk kumelling .... 2. SESI 2 (13.30-16.00) Moderator : Fritz Siregar Dengan narasumber - Patrick ziegenhein - Peserta dengan makalah terpilih Notulen : Niko harjanto : Dzikra atiqa Di indonesia ini banyak posisi publik, kemudian partai itu mempunyai kuasa untuk menempatkannya. Dan yang kita kenal ado capres, menterii, caleg,gubernur, bupati dan walikota masih banyak lagi sebenarnya beberapa posisi yanng ada di kalangan pejabat publik. Kemudian, komisaris BUMN,itu memiliki posisi yang praktis danstruktural. Nah, meskipun secara hukum itukita ini adalah equality before the law, kita berbicara tentang kandidasi pejabat publik. Sering kali equality before the law, itu sekarang biasanya hanya sebuah slogan saja. Dan dari tadi kitajuga mendengar bagaimana pengaruh capital pengaruh uang kedekakatan secara pemikiran dan seterusnya itu bisa membuat perubahan itu tdak ada. Nah ini yang saya kira menjadi hal penting dalam kajian-kajian, jadi bagaiman demokrasi itu sendiri bisa menyabotase equality before the law. Sekali lagi kita harus menyadari bahwa we are not equal, memang kalaukita berbicara tentang politik, kita akan menumakan materi seperti kenapa perempuan itu lebih sedikit jumlahnya, atau peluang kmenangannya itu lebih sedikit. Soalnya orang-orang dengan latar belakang tertentu lebih tinggi 74 keterpilihannya dari yang lain misalkan di dalam populasi dan seterusnya itu. Kita harus ingat bahwa topik yang menjadi ingkra tentang pembicaraan kita pada siang ini adalah tentang partai politik, kalau kita melihat defenisi dari parpol itu sendiri bisa satu buku kita menyimpulkannya. Tapi saya mengambl yang beberapa saja, yang saya kira baik itu perspektif ekonomi,kelembagaan, in the end parpol itu membicarakan tentang keinginannya untuk menang. Menang untuk memenangkan jabatan-jabatan publik. Jadi kalau parpol itu didirikan hanya untuk memberikan kritik atau segala macem, ada 3 literatur tentang parpol ada sicking party,politisy sicking ini biasanya mereka tetap mempunyai aspirasi untuk memenangkan kompetisi. Yang berfokusnya kepada menang saya kira adalah menjadi ambigu karena menang itu tidak bisa dilakukan secara total karena itu fairplay kok . Tapi pada saat menjelang kompetisi itu akan banyak hal-hal yang akan hal yang berperang seperti adanya media, modal,kemudian kualitas-kualitas tentang kandidatnya,yang selalu berperan. Ini yang saya kira bahwasannya membuat parpol ini terkadang kurang demokrasi. Saya pernah ada penelitian di ukraina sekitar 3 bulan kebetulan mewawancari beberapa pengurus partai yang ada di ukraina dan menjadi perbandingan bagi negara kita. Jadi itu juga sama mereka mencoba untuk berada pada rulenya itu juga tidak bisa, kemudian mereka harus melakukan impovisasi dan bersikap survive , karena kalu nngak partainya akan habis. Apalagi kalau istilahnya itu prosesuor dari pemilihan party in the past. Demokrasi atau pemilihan partai itu memang berbicara mengenai sepuluh tahun terakhir, kalau saya melihat literatur di beberapa negara pernah mengalami peningkatan, peningkatan atensi dan political rule dibeberapa negara. Misalnya di Porugis, Spain, UK, partai-partai politik disana setelah banyak mengalami kekalahan dari segi membership,kinerja politik dan segala macem, mereka mencoba untuk melakukan modifikasi internal,dengan membuka proses seleksi ketua pimpinan parpol. Kemudian mereka menukar tata kelola organisasi dan mereka juga lebih meresponshipbaik itu dari dukungan internal-internal. Kemudian mereka juga mengadakan perubahan-perubahan dalam hal sirkulasi elitnya. Biasanya mereka berkutat pada hal yang aman atau potensi kemenangannya tinggi dan segala macam, dan sekarang sudah mulai muncul pertimbangan-pertimbangan, lebih baik tidak menang sekarang tapi untuk long time akan lebih baik. Jadi itu yang memang adanya tarikan-tarikan antara pragmantisme dengan political long tirm itu memang susah 75 diubah. Kemudian pengalihan hal yang strategis banyak dibuka. Kalau dulu misalnya diputuskan oleh political party atau selection comite,sekarang banyak juga di produksi atau model-model yang seperti relaction dan seterusnya. Nah, mengapa demokratis itu dapat berjalan, memang itu kembali pada hal yang memenangkan survivor dari partai itu. Kemudian salah satu yang dapat dijual oleh partai itu adalah simbol-simbol partai dan pimpinan partai. Jadi pimnpinan partai itu harus menjadi aset dari intern partai. Dan proses pengisiannya pun harus banyak melibatkan masyarakat itu yang pertama, sehingga disaat mereka sudah menduduki posisi minimal sudah ada traditional suporter dan yang konsikuen yang sudah siap untuk membantu pimpinan parpol tersebut. Kemudian kalau parta yang sudah kalah strategi dan seterusnya, pergantian pimpinan partai itu nerupakan sebuah kebutuhan dari generasi dan seterusnya. Kemudian juga, ini juga yang menjadi alasan salah satunya kenapa pemilihan pimpinan partai itu cenderung pemilihan bertukar itu karena memang dulu partai misalnya GOLKAR sangat kuat dengan representasi dengan dana dan seterusnya,dn yang lain kurang. Nah ini yang saya kira menjadi oleh karena itu pembukaan dari proses seleksi adalah untuk agar partai ini lebih representatif. Selain itu, demokratisasi didalam partai itu juga sudah meningkat akuntabilitas didalam partai tersebut. Jadi legitimasi parpol itu tidak menurun. Makanya banyak yang berbicara bahwa parpol itu hanya menjadi EO,bahkan hanya menjadi cheerleader,salah satunya banyak yang menjadi team maker, karena banyak visi dari partai itu sudah banyak yang dapat disubtitusidengan lembaga-lembaga yang lain. Saya kira pendidikan parpol itu banyak diberikan oleh icw dan lainnya. Daripada dari parpol itu sendiri. Salah satunya saya berharap adanya keingnan dari parpol untuk melakukan edukasi politik yabg anti korupsi, dan saya kira lebih banyak CSO,PUSaKO dan lainnya. Saya kira CSO ini lebih bagus-bagus, lebh banyak yang baru- baru dan segar dan berkualitas juga. Ada partai sosmed,partai relawan dan partaipartai yang memiliki legal formal yang secara kinerja lebih terasa seperti itu, dan seterusnya. Mengapa demokrasi internal di parpol itu sangat sulit, karena kita melihat parpol ini hanya suatu institusi demokrasi, istilahnya selalu terkait dengan sistem politiknya sendiri dan penyusunan kepartaiannya. Kalau kita tidak menempatkan analisa kita kepada tiga level ini minimal, maka biasanya kita akan mendapatkan apa namanya 76 legitimasi permasalahan atau permasalahan sebenarnya. Jadi kalau yang kita pahami partai hanya sebagai politik tidak menjadi bagian dari sub sistem partai,atau subsistem dari papol, maka kita mungkin akan cenderung dengan partai yang harus menjadi partai berdemokratik. Tapi ketika kita akan menerapkan, gaada yang mau terlibat dan terlalu serius ia kan? Untuk kita ini, kebanyakan menamakan politikal party jadi ada unsur kegembiraannya dan segala macem. Hal-hal yang harus kita pahami mulai dari sekarang adalah arah tentang politiknya, ini yang disinggung oleh kemenkumham,dan dari segi kepartaiannya baru kita memakai politkal sederhana.dan sistem kepartaiannya yang sangat berkapasitas,atau kita mau menggunakan sistem kepartaian yang sangat restriktif atau bahkan mereka memakai hal-hal yang lebih bagus atau setrusnya ataupun sistem berorientasi. Saat ini di indonesia saya kira berbicara tentang politikal parti yang sangat membuat parpol ini akan sangat terbebani dan seterusnya, atau karena parpol ini menjadi kepentingan nasional,kecuali ada aja. Itu overeight costnya sangat tinggi. Itu ada perwakilannya diseluruh provnsiada 50% kuota di banyak kegiatan oleh karena itu, kalau ciri dari partai yang harus melaksanakan tugasnya itu adalah berkaitan misalnya dengan subsidi negara,dibaca juga oleh oligarki dan kapital. Sebenarnya banyak pendekatan juga. Kalau kita melihat bagaimana internal dipartai ini bisa kita dorong dengan krisis, nah ini sebenarnya membuka peluang misalnya adanya perbaikan-perbaikan di AD/ART dalam tata kelompok tersebut supaya kolektif insentif itu dapat dikelola dengan baik. Jangan sampai tata kelolapartai tersebut yang bertanggungjawab lepas tangan begitu saja. Ada beberapa negara lain yang merasa tidak ada gunanya maka dilepas. Kemudian saya juga melihat bahwa sebenranya partai itu presensial,ketika presensial parpol itu terjadi sehingga memang mengharapkan parpol itu sangat ideologi kok. Sehingga memang cenderung menjadi partai yang cooperative. Apabila dia tidak cooperative sebenarnya juga tidak dapat dikataka cooperative juga,sama seperti zaman pak sby itu semua partai berada didalam tapi Ppdip itu berada diluar, misalkan pada saat adanya pak taufik yang menginginkan konsolidasi agak bertengkar dengan ibuk dansegala macem. Dan menjadi bagian dari pemerintah itu, bagi pemerintah yang berhasil itu merupakan suatu advantge sehingga itu yang terjadi dinegara, presidennya tidak mau menerimanya saja gitu,saya kira udahlah jangan macem-macem lagi seperti itu. Krisis dipartai itu ketika rapat dipartai sulit 77 terlepas dari adanya pola-pola komunikasi dan ini yang akan terjadi nanti sehingga menjadikan partai itu ada kegamangan dan kegagapan atau adanya invest pada metode baru atau tetap pata network yang lama. Daripada main di medsos atau segala macemnya udahlah kita organized aja preman-preman ini dan segala macemnya,sehingga ketika mereka ada kampanye mereka bisa melaksanakan mobilisasi. Terkait dengan kandidasidan nominasi, untuk tambahan saja untuk dibeberapa negara. Dan misalnya nominasi ini kan banyak posisi. Nominasi di Amerika itu bisa macem-macem, bisa dewan sekolah, dll dan badan pengawasan keuangan wilayah dan segala mecemnya juga dipilih, bahkan dipilih dari pemilu. Maka banyak sekali menjadi pilihan bagi pemilih disana. Memang kalu kita berbicara mengenai proses yaitu ada beberapavariasi, jadi event di amerika punya 50negara bagian,ada suatu negara bagian yang AD/ARTnya dipilih. Memnag california merupakan negara yang paling kompetitif, selalu dimenangkan oleh demokrat, tapi mereka memang mengorganized bagaimana memperbaiki proses nominasi atau kandidasi. Mereka mempunyai 3 regulasi dalam kandidasi. Endorsement dilakukan sebelumadanya konfrensi, kalau...ini biasanya dilakukan dicabang-cabang partai tersebut lebih administratif disini. Jadi konfensi partai dinegara bagian itu biasanya sifatnya kornation, sepertikemarinhillary menang, dans seterusnya,sebenarnya sudah menang dri awalnya. Nah kalau dilihat di indonesia memang banyak partai yang menawarkan proses seleksi partai di masyarakat, biasanya proses kandidasi ini sangat tertutup. Kandidasi yang demokratis itu bagaimana? saya pernah mengikuti konferensi yang melahirkan 3 tahapan kadidasi yang demokrasi itu. Yang demokratis itu pertama melalui screning dulu dari pansel,kemudian partai mebuat comite untuk menyaring lagi,lalu partai yang memilih secara konsituent mana yang harus didukung seperti jabatan presiden, senator, dansegala macem, tapi tentu sangat panjang prosesnya. Maunya kerjanya pendek kan sendiri-sendiri dan cepat selesai. Memang sekarang ada gimik-gimik keperluan dari sebuah partai, fit on propertise itu untuk kualitaslah terutama untuk partisipasi dari anggota partai dan pemilih tersebut. Kalau di Indonesia, saya kira kita sudahpaham bagaimana prisesnya, partai itu memang sangat elitis. Kalau tidak kuat secara financial maka tidak bisa untuk menjalankannya. Kadang partai misalnya PDIP itu semasa SD kan sangat oposisi 78 berada sangat legal diluar pemerinthan. Tapi didaerah mereka bekerjasama untuk mendapatkan suaranya. Jadi saya tidak ada ideologi, jadi saya sekali lagi paling tidak adalah untuk meenangkan kursi-kursi publik. Dan saya kira sudah banyak sekali hal yang harus kita benahi dalam sesi pengisian ini terutama dalam hal menghindari politik dinasti, memperkuat perwakilan perempuan, kemudian representasi dari sosioligis masyarakat indonesia,dan yang paliing penting adalah meningkatkan kualitas itu sendiri. Terimakasih pak fritz.. Moderator Sepertinya 20 menit tidak cukup untuk menangkap apa yang sudah diterangkan olrg saudara niko. Karena beliau melihat proses pencalonan itu bukan hanya indonesia, tapi juga di amerika,dan ada dibeberapa negara bagian juga. Banyak hal yang bisa kita eksplore. Tapi saya yakin kita dapat berdiskusi lagi nantinya. Pak niko dari amerika maka kita akan terbang ke eropa, pak patrick. Orang yang sebenarnya basicnya jerman tapi banyak melakukan penelitian di Indonesia. Memperkenalkan patrick.. Patrick ziegenhein Intra-Party Democracy and the Selection of Candidates - Experiences from Europe introduction • • • • Representative Democracy: People elect representatives/ leaders who act on their behalf for a certain time How this process of representation can be organized? In most countries: Political parties as representation organizations of major societal groups propose candidates In modern democracies, political parties are • • • responsible for interest aggregation fulfill a representative function which links voters to the state intermediary institutions, which help to organize parliamentary majorities the main source and mechanism of candidate recruitment Candidate selection • Selection of candidates (who want to contest an election for political office) as a fundamental function of political parties 79 • Important criteria for a Candidate Selection: – Who is eligible to become a candidate? – Who shall be nominated? – Who are the selectors? – What kind of system used is used by the selectors? Who are the selectors? • • • Party leader decides Small (informal) nominating committee from the top party level plays the central role Selection by delegates, for instance at a party convention, where the delegates • have been selected specially to pick nominees for the election. • candidates, i.e. party primaries Party members (registered for a certain time, paid fees) directly select the More or less all voters can take part in the selection process: Open or closed (registered supporters) primaries Intra-Party Democracy No universal definition, but some basic principles • • Electivity, accountability, representation transparency, inclusivity, participation, and Organization of free, fair and regular elections of internal positions as well as candidates for representative bodies Challenges • Dominance of elites, the "iron law of oligarchy" has long suggested that political parties, despite being formally democratic organizations, are in fact • • • controlled by their leaderships and bureaucracies Non-competitive leadership elections Discriminatory selection of candidates Clientelism and patronage Europe: Differences to Indonesia • In most European countries: Parliamentary system of government with proportional election system 80 • • Head of government (in Europe: Prime Minister/ Chancellor) is elected from parliament and not from the people Therefore, individuals can only become Prime Minister if they are supported • by a party (or in most cases a coalition of parties) • meaning: people vote for parties Proportional election system (similar with Indonesia, but mostly no open list), People vote party lists, meaning the party determines who is on which position of the list (-> Party Discipline) Challenges for political Parties in Europe In Europe: Three strong trends that resulted in structural changes of relationships to supporters • • • Declining voter loyalty Declining party membership Declining importance of traditional voters’ camps in society, less importance of ideologies Reactions • • • • Professionalisation/Medialisation Personalisation/Populism Expansion of intra-party democracy Introduction of (closed) primaries in many parties Independent Candidates in Europe • • Only in direct elections for an executive position (mayor, governor, in some cases for ceremonial president) For a legislature only in countries with weak party organizations and with a • first-past-the post election system • more political parties There are many independent mayors but usually they are supported by one or In most European legislative elections independents usually have a minimal realistic chance of electoral success at national level without – the official endorsement of parties, – the financial assistance of parties – the organizational resources that parties provide 81 Experiences from France • • Semi-presidentialism, direct elections for President In 2011: Socialist Party opted for an Open Primary (also non-members) for its • presidential candidate • Martine Aubry First Round six candidates, Run-off Election between Francois Hollande and The Republicans will hold presidential primaries to select a presidential candidate on 20 November 2016 Experiences from Germany • The German Basic Law requires political parties to be organized democratically in order to enjoy privileges, including public funding (ban of • non-democratic parties) Party law from 1967: Binding rules for the democratic election of party leadership bodies, the adoption of party programs and the nomination of • parliamentary candidates Candidates for the chancellorship are usually first determined by the leadership behind closed doors and then unanimously “elected” by a national • • party convention Primaries did take recently in several of the states Candidates for parliament or mayor/ city council are usually elected by local members’ convention Experiences from the UK • British Conservative Party: 8 distinct stages of nomination – formal application to the party's central office – interview with party officials – Meeting with a ‘weekend’ selection board – Entry into the national list of approved candidates – application to particular constituencies – interview by local constituency parties – final nomination meeting among party members 82 • Some steps may prove to be mere rubber-stamp formalities. Others may involve competition among hundreds of applicants, uncertain outcomes, and heated internal battles, especially for ‘safe’ party seats where the incumbent is retiring Conclusion • • • • • • Intra-party democracy is usually fixed in European constitutions or party laws However, significant differences between the de jure and de facto situation European political parties are usually not run by one influential/rich person, but also not free from oligarchic tendencies Not many cases of dynasties but quite some patronage Candidate nomination is generally an internal party matter Evidence suggests a slight democratization of the nomination process with more primaries Moderator: Fritz Siregar Ini sangat menarik sekali ya, maka langsung saja kita masuk pada sesi pemakalah terpilih kepada saudara awaludin untuk dapat menjabarkan makalahnya. Awaludin Marwan: Terimakasih moderator, sebelumnya saya meminta maaf kepada paper ini adalah paper hiburan, karena saya iseng saja menulis paper ini. Disuruh sama mas ferri amsari untuk mempresentasikannya. Ini sebetulnya tiket untuk kepadang ini.. Baik saya akan menyampaikan beberapa inti dari paper saya. Paper saya berjudul tentang “perbandingan sistem di pemilihan kandidat di partai perbandingan Indonesia dan Belanda”. Saya ingin menyampaikan rangking atau top skor lamanya ketua partai menjabat,jadi cristiano ronaldo itu adalah bunda ratu kita buk mega. Beliau sudah hampir 19 tahun menjabat,diikuti oleh messinya oleh wiranto dari 2006. Danternyata menjabat sebagai ketua parpol ini tudak terjadi di Indonesia saja. Barangkali Prof kumeling dapat mengkoreksi data saya yang ada ini. Yaitu makrub dari perdana menteri, beliau adalah yang sekarang ada di partai pemerintah, sudah tiga kali menjabat. Sebelumnya ada godwol itu dari tahun1966-1986 itu menjabat sebagai ketua partai PPTA, jadi 83 partai orang-orang turki,surinam,dan beberapa orang indonesia ada disan. Lalu ada partai demokrat 66 yaitu hanskamreinlo menjabat dari tahun 1966-1986, kemudian beliau menjadi ketua, anggota politik amner,lalu kemudian beliau menjabat lagi tahun 1986-1998, jadi kalau sebenarnya ronaldokita ini masih menjabat selama 19 tahun,di belanda itu ada yang melampaui. Prabowo juga lama dari tahun 2008 lalu kemudian yang baru surya paloh, walaupun kita belum melihat dari tahun 2011 sampai sekarang mungkin lagi akan menjadi ketua. Kemudian demokrat, saya menyebutnya the real bapak, walaupun ketua umumnyasudah ganti, tapi beliau merupakan sisingamaharaja jiwanyalah. Saya ingin menkontekskan dengan teori kuantism yang banyak dipakai oleh sosiolog sekarang terutama meken, paling tidak hal paling utama.yang paling utama adalah, sistem feodal dan kita tahu bahwa komando ditangan ketua partai yang lama ini,adalah yang sangat disanjung. Sehingga tradisi cium tangan ini sangat melekat dalam aprpol ini. Lalu tidak efisien dantidak berkeadilan. Saya memilih 2 kandidat kepala daerah misalnya, harus menunggu ibuk bangun dari tidurnya dulu misalnya,atau baru selesai melaksanakan kegiatannya. Yang ketiga adalah slogan siapa dapat apa,gitu kan. Siapa yang berkuasa,lalumenterimenterinya terpilih. Kalau seandainya di Belanda, aksen-aksen itu sedang mengkampanyekan etnik compairing, ada profil etnis. Jad disitu ada orang maroko bahkan yang menjadi ketuanya adalah abu thalib yaitu WN maroko itu sendiri. Disinilah kita melihat minoritas itu jangankan diperbincangkan,bahkan haramkan. Jadi kita mendambakan seseorang yang religius jadi ketum,seseorang keturuna arab jadi ketum, indiajadi ketum. Yang di belanda pun masih jarang, jadi kalaupun belanda perbandingannya dengan canada, kalau canada itu ada pra kabinet, nah kalau di inggris,ini kritik dari para intelektual-intelektual yaitu kabinet multikultural. Sementara di belanda itu ada kabinet putih. Disini juga demikian, disini jangan-jangan ada kabinet pribumi. Nah diakhir saya presentasi, walaupn sebenarnya sudah meratifikasi penghabisan diskriminasi, tapi kita terus melakukan diskriminasi dalam arti. Saya terakhir ingin membuat kesimpulan bahwa saya tergugah dengan pandangannya henk kumeling tentang spirit bahwa hukum perdata belanda dua orang saja sudah diakui sebagai asosiasi. Yaitu untuk mengakui kebebasan berasosiasi. Ataukah politik dari kelompok, pertanyaan saya adalah, kenapa PKI sekarang dilarang? Jauh ya dari kandidat parpol, tapi saya selama forum tadi itu 84 menanya. Dan barang kali itu menjadi pertanyaan bersama. Yang jelas melanggar sistem of asosiate, dan hak politik apakah forum ini dapat menjadi rekomendasi utnuk melegalkan kembali PKI. Anggapan saya, saya meyakini bahwa PKI itu tidak berslah, jadi UPT yang sudah memutuskan 3 macem dan sebagainya, kami sudah meyakini suatu saat dijaman saya menunggu ..mati itu,akan hidup lagi. Terimakasih Moderator: Fritz Siregar Siapa yang akan memberikan pendapat Asrinaldi: Ada hal yang menarik yang disampaika oleh pemakalah, kalu erbicara demokrasi sebenarnya bicara sistenmnya. Bukan hanya partainya saja, tapi juga pemilihnya. Dan itu dari tadi tidak disebut walaupun temanya tentang parpol. Kalau kita ingin membangunsistem demokrasi yang baik. Bagaimana mungkin masyarakat menilai parpol kalau mereka tidak tahu seperti apa yang baiknya gtu. Dan kita juga tau konstitusi yang ada dan terjadi di politik di sosialisasipolitik, komunikasi politik itu memang tidak dijalankan. Sudah ada tadi rekan kita menyinggung tentang CSO. Tapi itu diberikan hanya kepada partai. Persoalannya adalah, kenapa masih megawati, wiranto, dan lainnya ya karena masyarakatnya tidak mempunyai edukasi politik itu. Kalau ini juga tidak disinggung didalam UU saya yakin walaupunsudah dibiayai oleh pemerintah, tapi tetap saja. Palingan hanya kelas menengah, tetapi hanya beberapa persen kelas menengah yang dapat memberikan kontribusinya. Kalau bisa didalam forum ini harusdisinggung mengenai politikal demokrasi ini. Kalaupun ini tidak dilakukan walaupun pak wahyu idris dapat optimis,tapi saya masih pesimis. Yang kedua perlulah dipikirkan kalau partai itu setelah adanya pendidikan atau gelar pendidikan harus dan edukasi,karena nasyarakat kita banyak yang ditipu oleh wakilwakilnya. Yang ketiga, kita masih mengutamakan figur bukan ideologi partai, sayakadang bertanya juga, tadi bung awaludin mengatakan juga ini bukmegawati dengan oligarkinya dengan sosok seorang politisi. Coba kawan-kawan membuat partai sendiri, sudah dilakukan oleh beberapa partai, masyarakat juga tidak memilih mereka. Masaalahnya adalah, figur mereka itu masih diinginkan oleh masyarakat. Terimakasih moderator. 85 Dian Bakti setiawan: Terimakasih moderator, saya sangat tertarik dengan makalah dari awaludin tadi, karena presentasinya sangat bagus ya. Tapi ada yang agak mengganjal bagi saya, jadi tadi bung marwan termasuk yang berbicara bahwa dalam kerangka demokrasi dalam hari ini, begitu ya. Bahwa komunis ini diharapkan dapat hidup kembali gitu ya. Tetapi yang ada didalam bayangan saya, siapapun yang belajar marksisme, komunisme, tentu akan tau andaikan dibayangkan oleh..pemerintah itu akan masuk dalam fase ajaran marksisme itu.yaitu adanya diktator yang bertugas mengambil alih atau milk orangkaya, pemerintah untuk dijadikan menjadi milik bersama. Jadi yang ingin saya tanyakan adalah, bagaimana bung awaludin dapat menjelaskan demokrasi diktator prograriat seperti marks itu nanti dapat kita pahami sebagai bagian dalam topikutama pada diskusi kita siang ini. Saya ingin dengar penjelasannya terimakasih. Niko Haryanto: Baik terimakasih tadi banyak yang memberikan tanggapan dan bertanya tapi tdak ada yang merujuk kepada saya,mungkin karena kurang jelaskali. Jadi begini ada krisis dalam berdemokrasi, demokrasi tidak dapat dipakai istilahnya untuk membunuh demokrasi ini. Tahun 90 an awal, di aljazair itu pernah ada kekuatan islam yang kuat, salah satu janji kampanyenya itu adalah menegakkan negara islam. Mereka yakin akan menang, yang terjadi adalah adanya peralihan kekuasaan. Sekali lagi demokrasiitu tidak dapat dipakai untuk membunuh demokrasi itu sendiri. Tidak bisa kebersamaan demokrasi kemudia di regulate kan yang membuat kerusakan dari segi demokrasi itu sendiri. Baiklah mungkin ini sebagai prinsip universal mungkin pak patrik dapatmenjelaskan lebih banyak lagi. Kemudian usulandari pakasrinaldi tdi masalak adanya etik di parpol, sehingga ini akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Memang variabelnya sangat banyak. Saya beberapakali mambuat suvei nasional, saya meneliti berapa tingkat ketertarikan masyarakat terhadap demokrasi itu saya kira diatas 80%. Tapi kalau kita berbicara tentang pemerintahan, apakah ini sudah sesuai dengan yang kita mau atau seterusnya. Kalau kita berbicara tentang kinerja, itu belum lagi apalagi berbicara DPR dan parpol itu paling bawah. Percaya 86 pada satu parpol 40%. Kita tidak bisa mengharapkan kesadarabn politik itu tumbuh secara pesat. Jadi demokrasi itu kalautidak ngefans dengan pak SBY tidak akan maju demokrat. Kalu tidak ngefans sama buk mega, tidak mungkin akan betah banget di situ. Kalau di negara maju, sangat beda sekali antara pengurus partai dengan politisi. Memang kita tidak memiliki sistem pemilu yang sangat ekuent, kita sangat pasif karena kita hanya melaksanakn pemilu itu sekali lima tahun tapi kalu waktu saya di amerika, pemilu itu ada sekali dua tahun.banyak anggota DPR diamerka itu hanya 2 tahun. Karena 2 tahun, jadi masyarakat itu bisa selalu mengevaluasi. Karen 2 tahun anggota DPR pasti akan balik modal. Tapi gapapa kampanye cerdas. Itu sih ga masalh, apalagi Anggota DPR di Amerika, kalu senator kekuatan badgetrynya itu luar biasa. Kalau senator itu tidak keluar, tapi kalu DPR itu langsung keluar. Karena 2 tahun rutin, hak recall dimasyarakat itu tidak terlalu diperukan. Tapi di negara bagian ada yang membuat mekanisme adanya langsung hak recall darimasyarakat. Sayangnya di indonesia semuanya itu harus sama dan seragam. Mungkin kedepannya yang menjadikajianbagi teman-teman yang dibidang HTN akan mengkaji adanya variasi antar daerah. Antara daerah itu ada punya perubahan atau memiliki hak recall. Patrick: Semua orang bertanya tentang indonesia ya, tpi saya kira juga penting untuk akademisi saya juga melihat keluar kenegara lain. Mungkin eropa tidak terlalu beda, tapi mungkin indonesia sedikit mirip dengan fillipin.banyak kita belajar dengan negara tetangga,indonesia unik ya,ya walaupun banyak perbedaan sejarah dan budaya. Tapi saya kira penting melihat kenegara lain. Baik terimakasih. Awaludin: Mas asrinaldi,munkin itu adalah pemiikiran pemikiran saya, tentang federasi, janganjangan sentimen saya itu salah. Masih ada yang percaya bahwa PKI itu salah mohon maaf oleh tau umurnya berapa mas,oh berarti masih ada benarnya. Barangkali tadiada temen-temen yang sma dengan saya atau dibawah saya percaya bahwa komunis itu tidak benar, barangkali kesinpulan saya yang salah. Mungkin seperti itu. Novrizal: 87 Mungkin menyambung ya. Yang saya tangkap bukan menghidupkan lagi PKI nya sebetulnya itu yang saya tangkap, bahwa di belanda itu dua orang saja sudah bisa berasosiasi. Kemudian untuk berukar pendapat kemudian berserikat atau berkumpul kan di konstitusi kita tidak menyebutkan kalu parpol itu harus bersifat nasional tidak. UU lah yang mengatur sebenarnya dan membuat sulit untuk orang melaksanakan berserikat. Oke mungkin aceh pernah seperti itu dengan kearifan lokalnya, tapi kansekarang juga tidak ada lagi. Provinsi yang lain pada saat itu sudah aman. Kalau menurut saya, sekarang itu tidak peru lagi harus bersifat nasional dalam arti 34 proviinsi dan harus ada wakilnya, 75%di tiap-tiap daerah. Itu salah satunya mendirikan parpol itu sangat susah sekali. Berilah kebebasan orang mau membuat parpol apapun jangan di garis bawahi. Namun apabila PKI, kita mempunyai PANCASILA, nah apakah PKI ini sesuai dengan pancasila. Intinya adalah menurut saya, untuk demokratisasi parpol silahkan saja, tapi lebih dari pada itu, jangalah lagi kita mengedepankan kalau parpol itu harus bersifat nasional. Dan nanti temen-temen akan bertanya ada nanti akan ada ratusan partai. Nah sistemnya bisa kita kontrol nah nanti itu bagaimana mendudukan orang-orang untuk bisa mendudukan di parlemen. Mungkin sebagai perbandingan saja. Di eropa itu mereka memiliki parlemen uni eropa, parpolnya siapa,parpolnya adalah bukan dari negara-negara disitu, tapi setiap negara anggota diberi jumlah kursi. Papol itu akan bersaing untukmebdapatkan kursi. Itu saja mungkin itu hanya masukan mungkin. Safrida: Ini tema yang lagi hot. Tadi pak patrick tidak menceritakan detail bagaimana sistem pemilihan ketum hanya mekanismenya saja, sedangkan di indonesia ini kita lihat pemilihan ketua partai rata-rata sama. Kecuali demokrat pada saat masanya annas urbaningrum. Aura yang sangat demokrasi yang luar biasa. Saya cukup tertarikbagaimana pandangan narasumber terkait dengan pemilihan ketua partai karena erat dengankepentingan hukum. Seperti yang terjadi pada golkar yang menimbulkan dualisme partai. Itu mengakibatkan pilkadayang dilakukan secara serentak itu cukup menimbulkan persoalan ukum yang baru seperti adanya penyelesaian sengketa banyak terjadi. Banyak keputusandi daerah SUMUT ditentukan oleh beberapa lembaga, karena memnag banyak ketentuan hukum atau 88 UU yang tidak mengatur itu. Terlalu banyak lembaga yang mempunyai otoritas untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Terimakasih mas fritz. Taufiqurrahman: Disatu sisi kita mempercayi parpol, disatu sisi tidak. Kenapa terbuka menurut saya karena adanya ketidak percayaan itu, indendent juga karena tidak percaya, nah kiita, memelihara sesuatu kemudian selalu diperbarui tetapi kita tidak percaya dengan itu, betapa ironinya kita. Dan kita membicarakannya disini. Seolah-olah disaat kita memberi dana dia akan membaik, nah kemudian apa yang hendak kita ketahui tentang parpol itu adalah menjadi pemimpin partai, karena setelah reformasi, banyak orang yang mau jadi pempimpin. Kemudian beberapa tokoh memegang teguh parpol yang dibuatnya. Kemudiam faktor atau kualitas pemilih juga dapat dilihat dalam pemilu. Saya kira PKI sampai sekarang itu secara prinsipmasih sebuah parpol, Cuma tidak diakui negara. Karena masyarakat indonesia tidak menginginkan, saya kira demokratis aja itu. Salah benar saya kira itu subjektif.saya kira bung marwan dibangkitkan lagi keinginannya melalui teori marksisme ini. Patrick: Kalau otoriter tidak ada kemungkinan adanya demokratisasi internal partai. Beda indonesia dengan eropa ini ada banyak persingan parpol di eropa. Tidak ada legitimasi antara leader satu dengan yang lainnya. Adanya kompetisi internal partai. Dan ada check and balances, bukan beda secara kebudayaan ya, kalau seorang yang lebih pakar dapat melihat bahwa butuh orang yang mendukungnya. Kami melihat di golkar, kalau akan maju menjadi ketum maka akan menggalang suara. Kalau ingin merevisi UU parpol tidak masalah, tapi itu tidak mengubah terlalu signifikan. Demikian termakasih.. Moderator: Fritz Siregar Terimakasih rekan-rekan hasil diskusi kita ini akan dibacakan pada besok hari. Terimakasih atas semuanya.salam sejahtera... 89 3. Sesi Ketiga (16.30-18.00) Moderator : Iwan Setiawan Narasumber : Mada Surbakti Mada Surbakti : salah satu masukan untuk forum kita karena itu terkait dengan keuangan, baik rekan dan kolega sekalian dari tadi pagi kita sudah dengarkan bahwa semua proses politik awalnya adalah dari partai politik itulah menjadi penting untuk membahas demokrasi internal partai politik atau disebut dalam buku politik itu adalah intra party democrcy, ada tiga dimensi besar dalam internal demokrasi itu sendiri yang pertama adalah seleksi kandidat sebagai bentuk jabatan legislatif, yang kedua seleksi pimpinan partai dan ketiga seleksi anggota partai terbagi-bagi dalam keputusan partai-partai... tadi sudah didiskusikan dalam beberapa sesi kita tadi. dalam rangkaian kita ada dimensi seleksi kader, ini jangan-jangan asal muasal carut marut politik indonesia itu dari sendiri dari soal kandidat baik kandidat Presiden DPR, DPRD Prov/kota. saya mencoba untuk melakukan assesment terkait proses seleksi kandidat dalam pilpres, pileg dan pilkada yang ada didalam tulisan saya. nanti dari makalah teman-teman juga ada yang dibicarakan nanti bisa kita bicarakan. nah dalam pengelolaan assesment itu saya memakai kerangka analisis ilmuan politik terhadap validasi. saya kelompokan menjadi 5 kategori untuk menilai proses seleksi yang terjadi di Indonesia yang pertama dilihat dari sisi kandidatnya, yang kedua dari sisi selektoralnya siapa yang menetapkan calon kandidat, yang ketiga mekanismenya yang keempat tingkatannya pusat atau daerahnya, yang kelima ada tipo kandidat dari validasi calon, ini kemudian yang saya pakai untuk melakukan assesmen di pileh atau pilkada. soal kandidat biasanya ketua partai yang menjadi kandidat calon presiden. hanya kedua dari ketiga pilpres dari kandidat bukan dari ketua partai, Wiranto ketika konvensi golkar dan kedua Jokowi selebihnya adalah ketua partai ini termasuk dengan sesi sebelumnya. karena ini berkaitan dengan orientasi pembentukan partai adalah presiden. maka seperti yang disampaikan oleh mas Niko ketua demokrat dan Republik menyapres. tapi di Indonesia malah lain ketika ketua justru mau menjadi Presiden. nah ini kandidat untuk seleksi presiden dan selektoral sangat elitis. kecuali 90 2 konvensi konvensi golkar dan demokrat menjelang pemilu 2014. dengan mengedapankan survey dari tiga lembaga ini cara baru profesionalisasi dalam pencalonan kandidat. itu adalah fenonema-fenomena yang muncul dalan proses penyeleksian calon kandidat partai di Indonesia. mekanisme seperti itu tempatya di jakarta semua dan mana mungkin di daerah. tipe kandidat yang dihasilakan orang dalam partai atau orang yang patuh partai. nah kira-kira assesment untuk pilpres seperti itu. sama dalam kandidasi pileg kandidatnya biasanya pengurus. jarang sekali masyrakat umum dilibatkan, masyarakat umum hanya untuk pemenuhan syarat administrasi. mekanismenya sudah mulai terbuka di beberapa partai walaupun dibeberpa partai masih tertutup. dibeberapa partai terutama partai besar melihat mekanismenya semakikn terbuka dan tempat nya sudah juga mulai terdisentralisasi. terutama golkar yang bagaimana mengupas bahwa golkar pasca seoharto sangat disentralisasi sudah tidak umum lagi seperti golkar diperiode sebelumnya. tipe kandidatnya semakin kecil partainya justru kandidat yang dihasilkan ugal-ugalan yang seenaknya sendiri. tapi untuk partai besar justru mempunyai karakter orang dalam. ini juga terkait soal berhasil fungsi rekruitmen dan kaderasisi. soal kandidasi terkait fungsi partai sendiri. yang lain itu PAN jadi pelesatan partai abis nasional karena caranya instan dan tidak punya finansial sehingga yang terjadi ada cara instan untuk mencemot beberapa orang artis. nah ini kira-kira karakter umum kandidasi untuk pileg di kalangan partai kita. untuk pilkada kandidaatnya di beberapa partai adalah anggota partai dan beberapa partai bukan anggota partai. menariknya semikin besar partai semakin orang dalam sendiri. selektoralnya di beberapa partai masih ada dimensi sentralisasinya. di Kota Jogja misalnya, itu semua kandidat harus presentasi di DPP jadi mereka harus presentasi dan sekaligus negosiasi dan kemudian baru diputuskan siapa menjadi walikota kota Jogja, saya kira beberapa partai mekanismenya sama, ini dalam rangka disentralisasi. kita perlu disentralisasi parpol terutama soal kandidasi. pusat itu juga masih punya veto, apa proses yang sudah dilakukan di daerah bisa mentah. terutama untuk daerah-daerah starategis yaitu jakarta dan lainnnya. Jadi problema kita adalah di situ di ruang yang penuh misterius itu. behind the scene itu adalah orang dalam bahkan orang dalam pun tidak tau termasuk pengurus-pengurus partainya. jadi kalau tahapan ada tahapan penjaringan, sosialiasasi dan penetapan. di proses penetapan ini ada ruang gelap.kalau di tahap 91 pendaftaran penjaringan di situ semua orang tau tapi di proses itu yang penuh misteri, nah distu politik uang itu bisa terjadi. kami di UGM pernah melakukan riset soal politik uang tapi yang kami jangkau di kampanyanye padahal kami sadar betul bahwa proses politik uang itu sudah terjadi saat proses kandidasi itu. jadi esensi semua itu adalah disitu, membuka ruang yang selama ini gelap dan tertutup dan gak tau ini ada apa di runagn ini. yang tau hanya orang-orang itu. itu adalah masalah inti yangn harus di bongkar. gmna cara membongkarnya setidak ada 2 tawaran yang bisa jadi pertimbangan. pertama, ini saya kutip dari ..... dia mengusulkan three step kandidation yaitu menggabungkan kebutuhan internal partai dengan kebutuhan masyrakat diluar partai. jadi begini kita harus paham bahwa orang partai itu kesulitan jadi berarti tidak kesulitan dalam melakukan kandidasi banyak sekali dilema yang dipahami. ketika kandidasi sudah dilakukan dengan sangat demokratis apakah ada jaminan untuk menang? itu pertanyaan pertama yang ditanya prakitis parpol. dan itu kita tidak menjawab secara instan. selama ini kita sering di forum seharian kita mendorong partai politik demokratis, tapi disisi praktisnya aapakah ada jaminannnya. nah itu dilema yang dihadapi parpol. yang kedua dilemanya partisapasi dan kepemimpinan yang kuat. partisipasi yang tinggi pemimpin itu akhrinya akan melahirkan konflik internal itu yang terjadi di golkar. tapi sebaliknya ketika pimpinannya kuat seperti PDIP, gerindra dan sebagianya itu ya partisapasi lemah tapi partai itu tertib organisasi terkelola, jadi setiap ada konflik bisa di reduksi. ini dilema juga yang dialami oleh parpol, kita mau partisipasi mau sejauh mana, kita pemimpin yang kuat sejauh apa. tawarannnay itu untuk mengkomprimi dilema dilema itu. yang pertama, masih eksklusif lah, tahap pertama adalah ini ada secreening komite yang diserahkan kepada orang-orang partai tahapan selanjutnya dibentuk selected agecy party dan ini bukan anggota pengurus partai tapi sudah mempresnetasikan kelompok-kelompok didalam partai. tugasnya hanya mencek apakah sudah mempenuhi syarat, misalnya di incumbent apakah sudah layak atau tidak. di tahap ketiga diserahkan ke anggota partai, bagian yang sudah disrotir dan di filter akan diserahkan kembali ke partai untuk nanti keputusannya sudah dibuat oleh semua anggota, sehingga siapa dapat ranking berapa. dan prosesnya saat inkulisif kedepanya. ini tawaran yang ideal dan tawaran yang kedua hampir sama sebanarnya tapi masih perlu kita matangin lagi, pemilu pendahuluan, kayak mas Hasyim yang 92 baru dilantik di KPU RI masih mau hadir disini. di kemitraan kami mengusulkan adanya pemilu pendahuluan sistemnya pemilu yang disebutkan agak menyelenek tapi sistem tertutup itu harus di awali dengan pra election seperti apa formatnya, nah kita perlu main di level teknis dan kita perlu rekomendasi rekomendasi. yang kita bayangkan untuk pilkada Bupati atau Walikota misalnya disetiap desa sebuah partai menyelenggarakan Konvensi memutuskan nama-nama. dan nama-nama itu dibawa ketingkat Jakarta dan akan di putuskan di tingkat pengurus Bupati dan Kota. dengan cara seperti ini kemudian partisipasi ini dapat lebih ditingkatkan. pemilu pendahuluan bukan lah ide baru mekanisme ini sudah dilakukan. kita harapa ada pemilu pendahuluan dan negara dapat mendorong nanti kalau partai memberikan calon nama peserta sementara dan disitu harus ada catatan bahwa calon itu sudah di pilih melalui konvensi yang partisipastif dan seterusnya dan ini beberapa saja penewaran dari saya dan saya yakin dari anda semua ada tawaran lain dalam proses kandidasi yang lebih demokratis dan saya akhiri, assalamualaikum, wr, wb Moderator: Iwan Setriawan nah tadi kita sudah dengarkan provokasi dari pak Mada untuk pengantar kita untuk diskusi dan selanjutnya akan saya serahkan kepada. saya akan dahulukan kepada pembicara ya jadi biar singkat langsung memberikan tanggapan Mada Surbakti: Jadi Fokusnya bukan ke saya .... Moderator: Iwan Setriawan Jadi tawaran tadi bagaimana cara seleksi calon administratif dan kepala daerah. silahkan mas Rasyid Rasyid: terimkasih, bapak ibu sekalian ada empat catatan saya disini yaitu pengamatanpengamatan singkat yang saya lakukan yang pertama adalah pilpres tahun 2014 kemaren ada dua partai yang fenomenal menurut saya adalah demokrat yang 93 berpotensi bgtu hasilnya ada tapi di kombinasikan jadi bagi saya aneh. dan yang kedua adalah golkar dia padahal pada rangking 2 tapi tidak punya calon, padahal kalau punya dia berpotensi untuk adanya pertarungan yang ketat dan itu kalau bisa dan kedua-keduanya tidak mencalonkan. pertanyaannya adalah mereka mau ngapaian dan yang kedua dalam kontes pemilu legislatif disinilah kurang lebih dari sekian banyak pemilih yang kemudian relatif acid dalam arti orang-orang yang dicalonkan adalah orang dalam partai kalaupun ada orang bukan partai berarti itu adalah pecahan partainya. sehingga ada orang yang diutus dalam artian pindah partai kemana pun dia menjadi sehingga yang masalah itu bukan partai tapi orang ini memang sakti. kemudian yang ketiga .... ada kecendrungan padahal partai nya mampu mencalonkan tapi tidak mencalonkan bersangkutan tapi malah mencalonkan dari partai lainnya contoh pak Yusril Irza Mahendra mencalon di pilgub tidak berasal dari partainya bagi saya itu aneh. dan yang keempat ini tentang sentralisasi pencalonan. jadi gagasan untuk mendisentralisasi pencalonan sudah hampir tidak bisa lagi. kalau kita baca menurut UU 32 tahun 2004, 12 tahun 2008 kemudian UU 1 Tahun 2015, UU No 8 tahun 2015 dan terakhir UU 10 tahun 2016 kecendurangan bukan disentralisasi tetapi sentralisasi. ketika masih ada UU 32 dan 12 tahun 2008 itu masih ada frasa pencalonan secara demokratis diserahkan sepenuhnya kepada AD/RT partai dari salah satu dokumen yang diserahkan adalah berita acara prosesi seleksi dan ketika UU NO 1 tahun 2015 tidak ada lagi pencalonan seperti itu, celaka UU No 8 Tahun 2015 mulai ada rumusan dimana ketika mendaftar langsung diserahkan dokumen SK atau surat keputusan DPP tentang persetujuan terhadap calon tertentu. kalau sebelumnya tidak ada, artinya urusan ini sebagai urusan sentral partai. dan lebih lagi di UU 10 tahun 2016 selain diwajibkan membawa surat rekomendasi itu ada kewajiban pengurus partai di tingkat daerah, karena kalau tidak maka proses pencalonan akan diambil oleh DPP. jadi pengurus cabang yang tidak taat pada DPP dapat dipidana jadi ketika ada kadernya ngeyel bandel itu dapat ada ancaman pidana oleh kepengurusan partai itu, artinya apa dalam konteks pidana ini mengerucut kepada sentralisasi dan yang saya khawatirkan terhadap pemilu atau pilkada serentak kedepan. yang saya khawtirkan itu ketika antara pilgub dan DPRD provinsi, walikota dengan DPRD kota dan untuk pemilu legislatif kitakan proposional sehingga bayanagan disentralisasi pencalonan semakin suram karena apa diikuti suasana 94 proposional nah itu sedikit catatan saya terhadap sistem pemilu. itu beberapa catatan saya.. Moderator: Iwan Setriawan iya, ada lagi Bapak ibu yang membuat paper yang mau bicara? mas patrick bisa kita berikan kesempatan. ibu suni? ... baik bung suni, sedikit informasi kepada pak Hasyim. yang disebut dan ini apakah ini merekomendasikan beberapa hal yang pertama, mendorong partai mempersiapkan dan mencalonkan akder internal sendiri, yang kedua mas Hasyim setuju disentralisasi kepala daerah yang ketiga model konvensi demokrat dan golkar kenapa tidak di tuntaskan.. dan itu saja terimkasih Sunny: terimkasih pak saya moderator. assaslamualaikum wr, wb nama saya suni peserta call paper dari sebelas maret semarang. pertanyaan diksusi ini karena kita bebas, ada beberapa hal dalam mekalah saya yang menujukan demokratisasi partai politik, dan di antara kita semua juga ada dari anggota partai politik juga namun jumlahnya tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota partai, tadikan kita membuat sebuah regulasi, sebuah formulasi terkait demokratisasi partai politik artinya kita akan mengatur bagiaman partai politik itu akan tumbuh dan berkembang.. beberapa perbandingan yang dikeluarkan oleh teman-teman di beberapa negara saya sangat salut dan menjadi menambah wacana pemilu dan sistem ketata negaraan. namun terkait dengan konstruksi hukum yang ada indonesia saya kembali kepada catatan yang ada tadi yang pertama terkait political regulation, political culture dan political .... jadi kita tidak bisa serta merta mengambil konsep-konsep pemilu di beberapa negara dan saya akan beralih kepada sistem hukum yang lain ada suatu teori yang saya pakai yaitu teori ....suatu aturan hukum yang baik itu sebisa mungkin mengadopsi dari common law. common law yang dibungkus dengan .... akan sangat implementatif dan efektif artinya kita akan meracanang produku hukum untuk parpol. ini suatu hal yang menueut saya perlu kita fikirkan juga kecuali sebagai besar mungkin juga 95 anggota parpol. parpol indonesia kondisinya memang seperti itu, dan kalau kita diskusi dengan parpol kita akan sampai pada suatu kondisi untuk melegalkan money politic dan itu sangat ironis sekali. kalau money politic itu sudah sangat menderah daging dan itu dimana-dimana itu akan terjadi secra terbuka atau tertutup itu akan terjadi. dan sekarang produk hukum yang ingin kita bikin ini adalah satu, kita akan membuat konsep sosial engenering tapi seberapa jauh kita akan merekayasa masyarakat kita dengan kondisi kultur seperti ini. tetapi kalau kemudian kita mohon maaf kalau kita bicara berapa uang yang akan dikeluarkan agar orang bisa duduk di DPR, kalau di DPRD kota saja saya tidak bisa bayangkan. saya tidak pernah membayang penting bagi beliau adalah 2 miliar, ini tidak bisa dinafikan kita masih melihat ini rentetan yang terjadi di masyrakat. mungkin hanya beberapa persen yang tidak mengeluarkan cost politic dan ini yang bisa kita jadikan diskusi juga. apapun yang kita lakukan pada saat ini kita tidak akan bisa berada dimenera gading yang tidak ada penghuni. saya kira itu saya ucapakan terimkasih Moderator: Iwan Setriawan Ibu Sunni bisa membuat sebuah rekomendasi? Sunny: jadi rekomendasi terkait dengan persoalan pembiayan aprtai politik terbagi dua jalur saya sangat sepakat, Cuma rekomendasi yang saya lakukan terkait perosalan kandidat kite kembalikan ke local wisdom dan disentralisasi. sekian terimkasih Moderator: Iwan Setriawan Baik silahkan lanjut, mohon disebutkan nama dan dari mana .. saya ... dari pusat kajian LIPI, ada satu hal yang menarik bahwa mencermati asas pemilihan partai yang akhir-akhir ini adalah fenomena politik uang dalam pemilihan ketua partai. itu problem dari masing-masing ketua umum yang dipilih berdasarkan delgasi yang dari daerah. untuk dapat dukungan-dukungan delegasi daerah dia harus mengganti agar mendapat dukungan dari daerah. besar dukungan dari daerah itu yang sangat penting dengan membayar sejumlah uang dengan konteks bagaiamana 96 dia membelinya. dalam konteks ini adalah rekomendasi yang penting bahwa proses seleksi daerah adalah ketua umum suara itu harus dari DPD karena dalam progres saura muktamar pun bisa berbeda. nah kemudian pendahuluan dari konteks disentralisasi itulah yang penting. yang kedua adalah bahwa perkembangan parpol pasca reformasi didahului dengan paratai politik presidensiasi artinya apa bahwa parpol menjadi kenderaan utama untuk menjdai calon presiden. parpol kemudian di ikut figur tertentu ini kemudian apa mereka tidak mengdemokrasikan internal karena fraksi-fraksinya sudah dikuasai. karena dalam pengusaan parpol tidak dimungkinkan melahirkan faksi faksi kecil dan inilah demokrasi itu harus dimulai dengan mendomkratisasikan ini. dalam konteks ini rekomendasi saya adalah bagiamana parpol mengangkat isu demokratisasi parpol, salah satunya partai tidak menjadi super... dari pemimipinya, nah itu saja terimkasih.. Moderator: Iwan Setriawan Singkat saja ya pak, biar yang lain yang belum ngomong.. jadi yang kita butuhkan adalah rekomendasi saja pak ... Assalamualaikum wr, wb. baik terimakasih, rekomendasi saya yang pertama adalah kegiatan ini harus diperpanjang ini, bapak/ibu yang saya hormati kalau pengalaman saya waktu yang segini tidak cukup. waktu kita untuk menyampaikan hanya sekitar 2 menit. catatan kedua, saya berkeyakinin teman-teman disini memiliki potensi untuk mengubah itu semua. sekrang bagiaman menara yang sudah ada ini mengikuti desain pertanggungjawaban nanti .......rekomendasi saya yang kedua kalau saya melihat apa yang disampaikan Prof. Saldi Isra soal parpol yang akan dibaiayi negara saya tidak sepakat untuk negara membiayai parpol alasan saya sangat sederhana karena kita itu membutuhkan biaya yang sangat besar untuk kemudian desentralisasi pembangunan belum lagi masryakat yang susah dan miskin, sehinggga ironis menurut saya. dan saya tidak sepakat dengan negara untuk membiayai partai politik. solusi saya adalah kita melihat seakan partai politik adalah swasta dengan berbagai macam bentuk usaha. tetapi saya merekomendasikan apa persoalan negara tidak satu informasi yang di berikan oleh partai politik yang menjelaskan permasalahan yang dihadapi 97 parpol, sehingga kita menjadi subjektif mendengarkan partai politik. padahal parpol telah melahirkan tokoh-tokoh nasional. maka kalau saya mau menarik kebelekang menarik sejarah, catatan sederhana adalah memang saat dulu pada fase pertama sejak pemilu sejak merdeka, fase kedua mempertahankan kemerdekaan dan sekrrang kita tidak tau fase dimana untuk mencari kejutan disemua level. sehingga rekomendasi saya adalah pertama, perlu dihadirkan parpol untuk menjelaskan semua itu dan menjadi balances bagi kita semua. yang kedua, soal fungsianaris parpol untuk mem PAWkan anggota dewan dengan berbagai alasan, padahal anggota dewan tersebut telah mewakili apresiasi dari daerahnya ini menjadi persaoalnya sebenarnya, sehingga parpol tidak boleh semena-mena untuk PAW. lalu kalau kita liat parpol dalam memperisiapkan kadernya maka kaderasasi harus dilakukan ...... dan terakhir yang ingin saya sampaikan adalah bahwa di DKI itu sekarang sedang fokus, meskipun itu isu DKI namun menjadi isu nasional saya mengatakan hal positif yang perlu kita perkuat adalah kandidasi. sebagai calon independen kekuatan civil society itu sangat berguna, saya kira bagiaman parpol harus membenahi diri agar mendapatkan dukungan civil society tersebut. saya kira itu saja.. terimkasih Moderator: iwan Setriawan Silahkan bapak yang baju biru Halimsyah: saya halimsyah dari medan USU, persoalan mendasar dari parpol adalah kaderasisi yang saya rasa. kaderisasi yang lemah itulah yang memunculkan permasalahanpermasalahan partai politik. rancangan UU kepala daerah ada rancangan yang membenarkan anggota DPRD mencalonkan menjadi kepala Daerah, jadi hal itu membuktikan kaderasisi itu tidak jalan. walaupun itu sudah jalan mungkin sudah di tentukan itu, misalnya ini untuk calon kepala daerah dan ini untuk anggota DPR. jadi semuanya sudah ditentukan. kemudian kalau kita liat pendidikan parpol juga tidak jalan, kemudian kita lihat juga persoalan kandidasi dari parpol itu adalah feodal bahwa sangat keluarga pengurus partai politik. memang mungkin ketentuan UU tidak bisa mengatur secara rinci tetapi bisa mengatur hal-hal tertentu, bahwa misalnya ketua umum parpol jangan anakanya yang menjadi pengurus janganlah sanak 98 keluarga yang ikut sebagai DPP parpol yang bersangkutan. jadi kelemahankelemahan itu yang bisa kita atasi. kemudian terkait dengan konvensi kenapa partai politik tidak meneruskan pencalonan presiden atau kepala daerah hal ini menunjukan bahwa syarat pencalonan presiden maupun calon kepala daerah harus memperoleh suara tertentu dan kursi, jadi parpol tidak memperoleh kursi yang di haruskan atau dikenal parlemnetary trashold atau presidensial trashold jadi mereka tidak bisa mencalon pasangannnya di daerah. kalau kita ingin mempersoalkan bagaiamna pemilihan ketua partai, seya kira UU tidak bisa masuk kesana, itu tergantung partai itu sendiri.kemudian kalau kita lihat juga ketua partai bisa jadi calon presiden karena kalau saya lihat sistem presidensil berbeda dengan sistem kepartaian itu aturan yang berbeda. jadi kalau kita katakan ketua partai menjadi presiden kalau di amerika serikat sendiri sangat jarang tapi kalau inggris pemenang pemilu adalah menjadi perdana menteri. mm persoalan dari saya sudah cukup terimkasih assalamualaikum wr, wb Moderator: Iwan Setriawan ini karena masih banyak lagi, waktu kita masih ada setengah jam lagi, jadi mohon kita dahulukan yang belum bicara .. Oce Madril: baik terimakasih bapak/ibu semua, saya oce... kita semua serba bingung pak, dikatakan parpol tidak demokrasi memang iya, tapi sebagai partai itu semua menjelang hari pemilihan eh menjelang pendaftaran .... dikantor DPP masing partai sudah kayak pasar, seluruh Bupati, Gubernur sibuk mengedarkan surat. contoh kasus sumatera barat, partai nasional demokrat hari sabtu memasukan surat rekomendasi calon dan hari minggu berubah lagi surat rekomendasinya, partai gerindra mengirimkan nama calon dari DPP rekomendasi calon DPP bukan nama calon tersebut, sampai jam 11 siang masih ada yang menelpon kami untuk menegosiasikan calon yang akan dimasukan. saya mengatakan bahwa moral hazard biaya operasioanl itu ditanggung oleh KPU, jadi apalagi yang membutuhkan biaya? transaksi saksi seperti ini walaupun sudah dilarang masih banyak juga yang terjadi seperti ini. jadi saya katakan bahwa disentralisasi parpol ada ketidak percayaan dari pusat ke daerah. lalu ketika pusat tampil daerah tidak mendapatkan kesempatan. ...... itu dalam 99 pengawasn kami berpolitik secara langsung inilah serta marta yang kita hadapi permsalahan parpol di daerah. tidak akan uang parpol yang banyak menjamin parpol akan berkembang. kalau kita semua mengikuti sistem ini semua, kalau melihat partai oligarki memang pemilik partainya yang seperti tersebut, mungkin sekian dari saya.. assalamualaikum wr, wb Moderator: Iwan Setriawan pak indra yaa. silahkan satu dua menit ... terimkasih perkenal nama saya .... karena dikasih 2 menit saya beranjak dari anlogi kalau kita membeli air agua itu ada tanggungjawab dari perusahaan air itu baik dan sehat itu namanya prinsip tanggungjawab. prinsip tanggungjawab itu ada berdasarkan moral dan ada yang berdasarkan kesalahan. dari situ saya beranjak bagaimana parpol mencalonkan baik itu presiden, kepala daerah itu mencalonkan orang-orang yang berintegirtas dan memounyai kapasitas. kalau kita analogikan seperti tadi ketika parpol mencalon calon yang tidak berintegritas dapat diberikan sanksi. saya langsung saja pada rekomendasi harus ada sanksi kepada aprpol akrena data menujukan dari data pilkada serentak kemaren 2015 ada enam calon parpol yaitu mantan narapidana dan 2 terpilih dan ini sangat miris sekali, orang yang bermasalah dengan integritas dan hukum dapat dipilih. jika meilihat data kompas ada 300 calon yang bermasalah dengan hukum. tetepi kita malah abai untuk memberikan sanksi kepada partai politik itu. jadi pointnya itu tadi saya rasa moderator gampang memahami.. terimkasih Moderator: Iwan Setriawan ini suasana sudah mirip di DPR ...... terus pak ...... Adnan: saya adnan dari UNPAD, saya mempunyai 2 rekomendasi, pertama usulan saya harus ada UU yang memperkuat pengaturan parpol alasannya adalah kita ada 2 model 100 pengaturan negara terhadap parpol yaitu liberal dan yang mengatur secara strong. kebanyakan negara yang tidak mengatur parpol adalah negara-negara yang liberal misalnya amerika, kalau di Australia berbeda dengan metode intra party democracy dan mulai masuk kepada pengaturan internal partai. nah justru negara-negara seperti jerman mempunyai sejarah buruk dan dia memastikan bahwa partainya harus demokratis dan juga konstiusional liberia biasanya pengaturan negara terhadap partai sangat kuat dan ini sangat kontekstual dengan Indonesia yang kita bahwa parpol dapat menjadi untuk melanggengkan kekuasaan pada masa soerharto. nah oleh karena itu rekomendasi saya memperkuat pengaturan negar terhadap parpol dan rekomendasi saya kedua adalah dari kita berbicara demokratisasi parpol dalam pemilihan ketua partai nah satu prinsip pemilihan dalam demokratis adalah prinsip inklusif. tadi ada yang bilang cara pemilihan itu berbeda, mulai dari forum kecil hingga melibatkan electored dan itu mungkin konteksnya di negara parlementer.... nah rekomendasi saya di UU parpol yang mengatur tatacara parpol kita bisa menuju pasal 22 yang mengatakan pemilihan ketua parpol disetiap lapisan itu di pilih secara demokratis melalui AD/RT karena ketentuan langsung mendikte tiga hal, bahwa pemilihan dilakukan secara demokratis, kedua demokratis langsung didefinisikan. ketiga sesuai AD/RT harus mengatur secara demikian dalam proses demokrasi dan musyawarah, ketentuan ini akan membatasi ketua partai politik yang tidak dipilih secara demokratis. jadi pemilihan ketua partai politik paling demokratis melalui konference dan itu pun masih terbatas. jadi itu saya rekomendasi saya yang kedua bahwa dipasal 15 setiap anggota mempunya hak pilih. tapi tidak jelas orientasi. jadi rekomendasi saya kedua membuat UU pasal 22 tentang mekanisme pemilihan kepengurusan partai Moderator: Iwan Setriawan terutama terkait Adnan: terutama mekanisme kepengurusan partai harus dibuka dan langsung musyawarah berarti secara demokratis berarti ada pemilihan langsung.. Moderator: Iwan Setriawan 101 tingga dua lagi silahakan..... Muhammad Idris: saya Muhamad idris, mungkin saya akan berangkat dari permasalahan kampung saya sendiri ya pak. ketika saya berbicara nasional ...... ini permasalaha partai yang ada di kampung saya sendiri dan bisa terjadi di daerah lain. kalau didaerah saya riau itu preman saja bisa jadi Bupati kan dan adapula anggota DPR tidak pernah masuk rapat. jadi ini suatu permasalahan kualitas seorang calon politik itu sendiri. jadi ada suatu pembahasan ketika kawan naik bagaimana mencari kawan naik. dan untuk mencari itu harus berusaha mem PAW kawan yang lain ini seperti homo lupus manusia menjadi serigala bagi kawan yang lain jadi saya mengkombinasi satu solusi perlu adanya pengaturan UU setiap orang mencalon kenapa dia layak untuk menjadi calon dan dikiriman ke kementarian dan lembaga bersangkutan dan perlu ada barometer yang jelas dan track record yang baik. baik sekian terimakasih Moderator: Iwan Setriawan silahkan bapak... Andrian Habibie baik pak, singkat saja kalau dalam pasal 29 UU pemilu itu dalam pengusulan itu menggunakan seleksi kaderisasi sedangkan dalam pilkada untuk pemilihan demokratis. saya kira itu tidak adil pertama yang harus dilakukan judicial review dia harus seleksi caleg atau pilkada setelah itu kita minta tidak ada penjelesan seleksi kaderisasi dan penjelasan demokratis jadi saran saya yang dinamakan kaderisasi melakukan proses-proses pengkaderan...... jadi aturan KPU ada penegasan calon bukan hanya pengaturan anggota. jadi harus melalukan pengkaderan harus melakukan kegiatan sebagai follow upnya... rekomendasi saya satu amandemen UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dengan menambahkan pasal kewajiban parpol melakukan pendidikan parpol hbungannnya UU no 2 tahun 2011 dengan menambahkan ketentuan parpol harus melakukan pendidikan pengkaderan...... jadi jelas semua pak terimakasih untuk rekruitmen dan 102 Moderator: Iwan Setriawan waktu sepuluh menit saya minta 1 menit .... langsung saja rekomendasi saya suksesi parpol yang tertuju pada munas atau muktamar dan saya membagi menjadi tiga bagian yang awal persiapan yang kedua tengah penyelenggaran da ketiga adalah bagian akhir. yang pertama adalah bagian awal mengedepan sistem dalam parpol jadi kita mengutamakan prestasi nah konkritnya mengedapkan visi misi dan track record musyawraah nasional dan ketiga yang mencerdaskan pemilih. yang kedua terkait proses penyelenggaran memasukan intitusi negara dalam pencalonan ketua partai ini PPATK terkait audit keuangan calon dan kedua KPK untuk masuk terhadap indikasi korupsi dan ketiga polisi dan MA apakah seeseorang melakukan tindakan kejahatan dan keempat komnas ham dan yang terakhir pasal terakhir komitmen ketua partai politik kalau ingin menjabat menjadi jabatan negara...... Moderator: Iwan Setriawan baik silahkan lanjutkan singkat ...... Agus Rianto: saya langsung saja pertama saya ingin kita sistem itu demokratis.... karena pencalonoan demokrtasi itu tidak bisa dilepaskan dari sistem sistem lainnya. kalau kita modal kampanye murah kita harus strict dan proporsional dan kalau kita ingin presidensial efektif kita harus melalui partai. rekomendasi saya perlu ada konsistensi antar sistem pencalonan sistem pemilu dan itu perlu sekali. dan kedua saya ingin menunjukan mekanisme kompromi elit partai maka saya usulkan demokrasi pancasila Soepomo pernah bilang kita harus memiliki sistem yang berbeda maka saya mengusulkan ada 6 jenis perwakilan....... Moderator: Iwan Setriawan baik lanjut saja yang dibelakang 103 Bivitri: saya fokus apa yang dibilang pak mada, menurut saya apakah partai harus diatur sedemikian rupa dan ketatnya karena pada dasarnya itu semua tergantung pada masyarakat dan parpolnya dan menurut saya demokrat atau golkar apa yang dilakukan hanya untuk menaikan namanya karena banyak kasus yang melibatkan mereka....... kalau menurut saya namanya munas atau apapun intinya harus demokratis Moderator: Iwan Setriawan tadi saya bilang waktu sangat singkat, jadi mohon ini yang terakhir Hendra: terimkasih pak iwan. assalamualuikum wr, wb perkenalan nama saya hendra advokat dan ketua pembina partai golkar sumatera barat. pak iwan yang saya hormati saya akan memaparkan tiga persoalan yang pertama status yang kedua materi dan yang ketiga usulan. pertama dari status dari kita tadi ngomong tentang demokratis dan sudah berbusa-busa walaupun sebenarnya peserta dari partai adalah non call paper... partai politik punya anggaran dasar kita punya intelektual nah kemaren kita waktu Konferensi kedua, bahwa kalau partai politik ini milik pemerintah biarkan mereka kan tregantung anggaran masing-masing. jadi jangan terlalu mengkebiri partai politik lah ........ kita mempunyai kewajiban masing-masing dan jangan menjustifikasi orang ....... kalau materi kita bicara tentang demokrasi partai politik kalau kita bicara demokrasi ...... makanya bapak/ibu kita tidak bisa memaki anggota DPR karena mereka berangkat dari uang meraka mau mereka bajingan ... coba direnungkan kalau negara yang membayar kita bisa menuntut.. tetapi mereka punya aturan sendiri meraka punya anggaran dasar jadi mereka memiliki aturan sendiri tentang pemilihan ketua partai, tidak ada satu UU pun mengatur anggaran dasar itu. dan yang ketiga rekomendasi saya minta pak iwan sampaikan kepada pusako dan bilang hey partai politik kamu mau apa, silahkan kami bikin tulisan dan nantik kita uji ditengah orang pintar-pintar ini. kedua coba bicara dengan pemerintah liat APBD dan APBN apakah benar seperti yang dikatakan prof saldi isra tadi partai dibayarkan oleh negara dalam 104 rangka kita meminta output dari negara...... baik terimakasih.. assalamualaikum wr, wb Moderator: Iwan Setriawan Mohon maaf, kita sudah mendengarkan pendapat para pakar dan ahli.. kita beri tepuk tangan dahulu.. Forum: tepuk tangan Moderator: Iwan Setriawan jadi besok masih ada waku dalam rekomendasi, jadi jangan khawatir bapak/ibu. terimkasih atas partisipasi dalam diskusi yang luar biasa ini dan saya minta maaf apabila ada kesalahan wabilahitaufik walidayah assalamulaikum wr, wb. 105 PARALLEL GROUP RUANGAN 2 Tema: Demokrasi Partai Dalam Penyelesaian Sengketa Internal dan hubungan Pusat dan Daerah Partai 1. SESI PERTAMA (10.00-12.30) Moderator : Khairul Fahmi Pembicara : - Simon butt - M. Romahurmuziy (PPP) - Prof. Mahruarar Siahaan Notulensi : Sarisas Anggaraini Moderator: Khairul Fahmi jadi nanti ada dua tema. Saya tidak akan membatasi Bapak/Ibu apakah akan berbicara mengenai penyelesaian sengketa partai politik dengan hubungan partai politik dipusat dengan di daerah, tapi yang pasti dua-duanya akan kita bahas bersama dipenghujung. Ini ada beliau pemancing diskusi didepan kita bersama (menunjuk para narasumber). Dan ada 22 orang, 23 orang yang masuk dalam daftar peserta ke panitia, yang ada didepan saya ini yang tergabung dalam PGD II, mari kita perkenalkan satu persatu. Yang pertama ada pak dodi, Ada pak zulfa, Ada bapak imam ropi’i, Ada pak Ahmad Fahrudin, Ada pak adi, kemudian ada pak Bacthiar, Ada pak Bambang Ariyanto, Ada Ibu Emy Hajar Abra, Lalu ada Ibu Hesty, Ada bapak fadli ramadanil, ada bapak Fauzin, ini wajahnya akrab sekali ini, ada wajah orang kampungnya bapak Mahfud kayaknya, Ada Bapak Ibrahim, ada Ibu Eka Putri, Ada bapak Ilhamdi taufik, Ada bapak lutfi, Ada Ibu Maria, Ada bapak Nurdin Hady, Ada Bapak Putra Perdana, Ibu rosyita Ada Bapak Ardilafiza, Ada Bapak Nuruddin Hady, bapak Sirajudin, Ada bapak Thamrin, dan juga disini tertulis Ahmad Satria Erawan, tapi mungkin beliau sedang berhalangan hadir ya. Bapak ibu yang saya hormati, kita sudah dihadiri pemancing diskusi, tentu kita harapkan beliau menyampaikan materi yang sesuai dengan tema kita. Dengan waktu yang memang agak terbatas. kita serahkan kepada para pemateri untuk me Selajutnya, kita sudah telat 30 menit memulai, semoga nanti kita bisa selesai nanti dijam 12.30 atau setelat-telat nya dijam 12.45. tapi setelah itu kitapunya waktu rehat dan mulai ke sesi selanjutnya di PGD. Sebelum masuk ke sesi pertama, saya ingin jelaskan sedikit. Kita mulai dari beliau bertiga. Nanti siang ada sesi yang sudah dijelaskan disitu. sartu pemancing diskusi, dan satu lagi dari bapak/ ibu peserta. yang pimpin diskusinya nanti juga dari bapak/ ibu peserta dengan catata bahwa besok kita sudah punya rekomendasi terkait dengan tema yang kita bahas di focus diskusi pgd II ini. kita beri kesempatan pertama kepada Prof. Dr. Simon Butt, beliau adalah assisten direktur…………..grup. Saya berikan kesempatan pertama kurang lebih 10 sampai 15 menit lah ya untuk menyampaikan pemaparan makalah beliau. Kepada beliau prof. simon saya persilahkan. 106 Simon butt: Hantaran professor hukum di Sidney law school. Hukum Indonesia lebih baik dari hukum di Australia. The theme is bout the intern conflict of the politic party. Australian political system Terimakasih banyak. Saya gak tau mau pakai bahasa Indonesia atau bahasa inggris, boleh campur sedikit? Forum: boleeeeeh. Saya wong jowo. Saya sebenarnya professor hukum di Sidney University Australia, dengan keahliannya hukum Indonesia. Tapi saya malah diminta untuk memaparkan bagaimana hukum di Australia. jadi saya agak bingung mulainya dimana. Dan ini saya promosikan dulu, ini adalah buku saya, merupakan buku tentang hukum di Indonesia. Hukum Indonesia memang lebih baik dari hukum Australia. Ini buku terakhir saya, the legal constitution of the government in Indonesia, Itu kena charges besar sekali, jadi saya siap memberi setiap copy elektrolik kepada setiap orang yang ada disini. Forum: tepuk tangan Yang hardcopynya 150 euro, okeeey, saya sedikit homesick ya. dan saya juga merupakan professor hukum di UGM. Mengajar di UGM Lanjut, hari ini akan saya bahas sedikit mengenai partai politik di Australia, lebih spesifik lagi bagaimana cara menyelesaikan konflik ditingkat internal partai atau intra partai. Saya ingin mulai dengan Konflik didalam partai sangat sering terjadi, amat sering terjadi. Jadi ada perdebatan yang keras. Mengenai posisi partai, Terkait kebijakan-kebiojakan yang ingin dikeluarkan sebagainya. Tapi hampir semua konflik itu dilakukan dengan rumah/kamar tertutup. Setelah ada perdebatan dalam yang damanya kamar partai, Posisi partai menjadi bulat. Kalau ada yang berani melawan posisi partai yang bulat, mungkin selesai, itu akan diusir dari partai, atau di sanksi dengan sanksi yang lain diancam didalam partai. Hamper tidak ada kasus yang diajukan dipengadilan. Yang mau bawa kepengadilan, kesempatannya sedikit sekali. Mungkin pakai suara besar saja ya. Nah supaya apa yang saya sampaikan tadi masuk akal, lebih rasional dan dapat diterima, lebih baik saya sampaikan dulu system politik di Australia. Bahas mengenai politik Australia, diaustralia ada parlemet nasional dan ada dua kamar, seperti dpr dan dpd. Perbedaannya openhouse bisa memblok. bisa menolak. Halau dpd hanya bisa mengusulkan. Kira-kira 150 member. Di Australia Ada dua partai yang besar. Ini perbedaan mendasar dengan Indonesia dengan Australia yang menonjol, ada ALP (Australian Labor Party) dan LIBERAL Party. Ada partai yang kecil, tapi pengaruhnya besar. Jika hasil pemilu ada yang beda sedikit, partai kecil bisa menentukan posisi yang pasti dan siapa pemenangnya. Dari 150 kursi 107 diparlement Australia, perbedaannya memang tipis seakli untuk partai yang besar sangat besar. Dia memperoleh 76. Sedangkan partai labor 69. Jika partai kecil berkoalisi dengan labor, labor bisa menag. Tapi dia memang, tapi kok labor party bisa memenangkan Posisi labor party itu sangat dangeours, apa bahasa indonesianya, sangat beresiko tinggi. Sebenarnya sering sekali say abaca di surat kabar, perbedaan partai. Mereka seing sekali pertabrakan. Contohnya, Kalau dia, saya kenal sangat konsertif sekali. Tapi dia seluruh pers agak dikontroli oleh fraksi konserfatif dipartainya, jadi dia tidak bisa melakukan perubahan yang mendasar. kok bisa seperti itu. Perbedaan fraksi-fraksi didalam partai yang besar. 1. Ada fraksi konserfatif dalam partainya. 2. Perdana mentri Sering sekali ada perdebatan yang ganas didalam fraksi-fraksi partai di parlement, tapi tidak dibuka untuk umum. Memang ada beberapa proses yang memastikan bahwa member-member akan tetap pada party line atau posisi partai. Ada 2 proses untuk melawan partai. 1. crossing the floor Mereka bisa berpindah tempat kepartai lawan untuk melakukan vote. itu bisa dilakukan secara fisik. Ini jarang sekali terjadi. Kalau cross the floor itu berpindah tempoat. Pasti ada sanksi dari partai. 2. Conscience vote Pemimpin partai memberikan kebebasan kepada anggota partai untuk menentukan vote sesuai pilihannya. Seperti kawin sesame jenis, pasti ada sakit. Hal-hal mengenai, jadi itu merupakan hal yang sangat pribadi. Jadi partai memberikan kebebasan kepada membernya untuk vote secara bebas. Jadi waktu itu ada dikoran mengenai con. Tapi sering sekali ada perdebatan didalam partai, apakah mereka akan mengijinkan member partainya, untuk vote Oke, nah, Bagaimana partai yang sudah mendapatkan posisi bulat, bisa memastikan bahwa anggotanya tidak akan menyimpang dari posisi partai, caranya: 1. Party discipline Sifatnya adalah kal. Ini. it’s the fight of the party room. Not on the floor of house. That means Segala sesuatu terjadi didalam partai, dikamar partai, jadi wajah partai itu bulat. Kenapa itu dianggap strategis sekali? jika dia satu pendapat dia akan dianggap kuat. Jika terlalu banyak perdebatan, kapal akan tenggelam. Jika sudah ada kesepakatan akan lebih mudah untuk mengambil keputusan. Semua anggota dipilih oleh orang setempat, yang dipilih bisa menolak permintaan, mempermudah proses demokrasi Diaustrallia sebenarnya jauh lebih banyak bulu domba daripada manusia. Itu akan menjadi gampang bagi anggota partai jika dia ikut saja. Dia hanya perlu melihat posisi partai. Yang menaik bagi saya adalah proses pemilihan di 108 Australia sama dengan di Indonesia. Dimana masyarakat memilih pemimpin didaerahnya seperti pemilu. Tapi orang yang dipilih itu dia bisa mengatakan bahwa dia tidak bisa mengikuti keinginan orang yang memilih saya, tapi saya harus mengikuti posisi partai. Oleh karena itu mempermudah proses negosiasi anggota parlement. Jadi itu filsafatnya. Jadi partai belum kuat untuk itu. 2. Sanctions Seringkali anggota partai dipecat oleh yang disebut……... Dicambuk atau sanksi yang paling berat diusir dari partai. Jadi setiap orang memiliki orang kepercayaan yang ditujukan untuk menjaga kedisiplinan partai. Namun sistem yang paling berat di Australi adalah dimana untuk dijadikan kandidat, itu perlu persetujuan pimpinan-pimpinan partai. Jadi bukan saja orang yang mau masuk, orang yang mau dipilih kembali dia harus mendapat support dari partainya. 3. Lack of justiciability Itu tidak memungkinkan orang yang tidak senang dengan partainya membawa ke pengadilan. Beberapa decade yang lalu. Dulu partai politik disamakan dengan organisasi lainnya, seperti sama dengan social club. Maksud saya posisinya diperlakukan sama, contohnya organisasi golf, atau golf club. Parpol tidak dikhususkan pada posisi yang kusus dalam partai politik. Oleh karena itu ketika terjadi konflik dan diajukan kepengadilan, pengadilan akan menganggap itu bukan kewenangannya, karena organisasi politik sama dengan organisasi olahraga. Lama kelamaan parpol sudah diakui oleh UU sehingga pengaturannya juga harus dibenahi, lama-lama pengadilan siap mempersiapkan anggaran dasar partai politik. Jadi jika mengajukan konflik, bebarti sudah bisa diterima pengadilan. Kalau bisa saya simpulkan, apakah memang partai itu untuk prosesnya harus demokratik? Jawabannya adalah tidak. Sistem nya memang otoriter. Tapi apakah sistem di Australia demokrasi? Apakah sistem demokrasi bisa berfungsi jka partainya tidak bisa disamakan? Jika partai disiplin tidak bisa mencapai itu. Jadi itu kontribusi dari Australia. Moderator: Khairul Fahmi Terimakasih pak Simon. Ada beberapa hal ya yang kita tangkap. Pertama berkaitan dengan mekanisme internal partai, ada yang bisa di bawa ke pengadilan. Saya perkenalkan pembicara ketiga kita beliau sekarang sebagai pemimpin umum partai P3. Jadi nanti silahkan bapak itu, kalau mau mempersolakan langkah politik P3 silahkan Ir. H. Romahurmuziy: Ketua Umum PPP dan anggota Komisi III DPR RI 109 Assalamualaikum wrwb. Terimakasih saya ucapkan Bapak Moderator, para pembicara, Pak Simon dan Pak syamsudin Haris Saya merasa mendapatkan kehormat bisa menjelaskan secara langsung, berbicara didalam forum akademik yang sangat kecil konflik, sangat berbeda dengan partai politik. Perbedaan pendapat itu biasa, tapi tidak perlu disingkapi dengan konflik. Itu nikmatnya dunia akademik. Partai politik memang berisi dengan actor yang bentrok dengan kepentingannya yang berbeda-beda. Inilah partai politik. Yang kedua saya berterimakasih kepada Pusako, dan KN-HTN yang telah mengundang, kalau prof. Saldi Mengatakan kemaren itu maksud dari mengundang itu adalah meminta langsung dari tangan pertama mengenai informasi terkait praktek langsung dipartai politik. Dan menurut saya penting untuk memastikan sistem lingkup kita mengenai penyelesaian sengketa. Kemudian ini mengenai mekanisme penyelesaian sengketa saya kira saya tdak akan mengutak – atik hal didalam UU no 2 tahun 2011. Ini undang-undang ini muncul antara lain waktu itu muncul karena konflik PKB yang secara senonoh waktu itu kita katakana ini Partai Konflik Berkelanjutan. Jadi lahir UU 2 no 11 itu karena cerita PKB. Sejak lahir UU, bukannya menyelesaian permasalahan satu partai, malahan dua partai yang berkonflik. Tapi saya kita perlu pemberbaikian itu, karena setelah diskusi memang banyak yang bertikai. Saya ingin langsung pelajaran yang dialami P3. Saya sudah membuat sedikit coretan-coretan. Tapi saya ingin menegaskan bahwa konflik disetiap partai politik itu sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan politik. Tergantung apakah parpol itu mampu mengelola atyau tidak, jika tidak tentu ada konsekuensi. Jangan sampai partai baru masuk dengan mudah mendeklarasikan keberadaannya. Yang kedua bisa saja dia mengalami reproduksi semakin kecil karena actor-aktor yang ada didalam itu melompat secara personal ke partai-partai yang lain. Yang ketiga partai ini terus berjalan dengan konflik membara. Ini sejak republic ini ada bahkan sebelum republic ini ada, pertikaian itu sudah mewarnai kehidupan dinamika negara kita. Pada waktu itu, jika kita lihat PNI yang didirikan Bung Karno sudah ada konflik sehingga lahir partai lainnya. PSI juga pecah menjadi merah dan putih. Yang jelas ini adalah cerita pada masa pergerakan nasional. Masa kemerdekaan kita tahu persis masyarakat Islam yang waktu itu tergabung dalam MASYUMI, Partai Serikat Islam, dan Nahdatul Ulama. Inilah yang menjadi peserta pemilu tahun 1955. Partai Indonesia Raya pada waktu itu juga ada dua. Diera orde baru yang mengalami konflik adalah P3 dan PDI. Karena tidak ada figure sentral yang dominan. Semua pada waktu itu takut pada pak Harto. Sengketa dipelihara dengan baik dan Manage the Conflict oleh Pak Harto. Di P3 waktu itu masalahnya klasik yaitu sengketa antar fraksi. Di PDI juga sama. Pada masa reformasi ynag menarik adalah bahwa sengketa itu lebih sering frekuensinya dan permasalahan yang lebih tinggi. Partai politik pada masa orde baru melahirkan banyak partai politik baru baik karna konflik maupun lahirnya ideology baru. Hamper semua parpol mengalami euphoria Lebih tinggi frequensi dan lebih tinggi intensitasnya. Semua parpol mengalami euphoria. Kalau kita liaht arah 110 konsolidasi, arah demokrasi kita sudah betul. Tapi yang perlu dipertanyakan kualitas demokrasi. Menurut survey jumlah partai politik saat ini sampai 50 sampai 57 partai. Kalau mau dibagi nasionalis kanan kiri islamis dan idiologi pancasila kira-kira begitu. Partai politik biasanya didirikan berdasarkan visi misi parpol tersebut. Problemnya adalah partai politik hasil pemilu dibagi berdasarkan jumlah suara dan kursi yang di dapatnya. Bahwa PAN, P3 adalah parpol yang relative didahulukan karna suaranya tidak terlalu banyak disbanding kursinya sehingga itu menimbulkan semangat idealitas bersatu, tapi aka nada kesulitan hari ini. Dari sisi insentif atau apa saja berujung pada kursi. Pada dasarnya sengketa terjadi karna penyatuan ideology yang tidak tuntas dalam sebuah partai politik dan perbedaan berkenaan dengan hasi pemilu. doktrin dan idologi prtai harus menjadi satu kesatuan dua sisi mata uang sehingaa konsep amau ma’ruf nahi munkar bisa di aplikasikan dalam kekuasaan Inilah gambaran sengketa yang berlangsung. Parpol didirikan dengan visi misi tersendiri. Jadi dari sisi intensif partai, intensif intercolar itu sangat dibutuhkan. Perbedaan ideology yang sering berkembang. Menurut saya masalah penyelesaian sengketa dalam UU no 2 tahun 2011 melakukan penyelesaian sengketa internal kemudian melangkah langsung ke pengadilan dengan sura edaran MA diharuskan untuk mengembalikan permasalahan dimulai dari mahkamah paratai. Jangan sampai pemimpin merasa malu karna diingatkan sehingga malu untuk menjalankan fungsinya. Agama dan kekuasaan itu ibarat saudara kembar. Menjadi kesatuan dari dua sisi mata uang. amal ma’ruf nahi mungkar. Tangan yang kuat dari kekuasaan. Jika penyelesaian konflik lebih dari dua tahun, maka partai akan pecah Uu no 2 tahun 2011. Siapa pun yang melangkah langsung kepengadilan, maka hakim mengembalikan, karna memang harus dimulai dari mahkamah partai. 3 jenis sengketa: 1. Sengketa pembentukan partai politik dalam pasal 8 2. Sengketa forum tertinggi contohnya adalah minas dan muncab dalam pasal 24 3. Sengketa dibawah forum tertinggi pasal 32 dan 33 uu no 2 tahun 2011 Kalau kita mneyoal mahkamah partai ini menyelesaikan pertikaian antar 2 partai itu tidak akan bisa terjadi sehingga permasalahan ini harus diserahkan kepada kemenkumham, menurut saya UU ini harus di revisi kembali semoga forum ini mampu memberikan rekomendasi Pelajaran dari PPP 1. Ada majelis-majelis partai: majelis syariah, majelis pertimbangan dan majelis pakar. Sering terjadi perpecahan didalam prtai dan didalam majelis karena perbedaan pendpat. Majelisih syariahnya juga pecah, majelis pertimbangannya juga pecah. Ini sengketa yang terjadi peling besar setelah 43 tahun terakhir. 2. Apakah sengketa harus dimulai dari mahkamah partai dan dilanjutkan ke mahkamah partai pengadilan hanya meneruskan 111 3. Apakah posita dan petitum itu berasal dari mahkamah partai? padahal tidak, itu berasal dari actor dalam sengketa partai. 4. Apakah hakim wajib menyelesaikan sengketa dan memutuskan atau diserahkan kepada DPP 5. Bagaimana jika keputusan pengadilan bersifat tidak bisa di eksekusi. Tidak ada kondennasi dengan kepenkumham karna dia bukan para pihak. Sehingga tidak disebutkan didalam uu. Ada perbedaan nama dalam akta keperngurusan dengan kenyataan dapat dieksekusi oleh mentri hukum dan ham? Saya mengibaratkan benar atau tidak? Saya insinyur, tidak memeiliki ilmu politik dan hukum. Saya lihat pola nya sama dengan sengketa pertanahan, dia tidak langsung memutuskan apakah sengketa hak milik dimenangkan oleh siapa. Ada pula anggota parpol yangtidak pernah menajdi pengurus, namun langsung diangkat menjadi ketua umum. Tidak melalui proses yang panjang. Dan yang terjadi adalah persoalan khusus yang mungkin akan mengasilkan kesadaran sendiri. Golkar setiap permasalahnnya cepat selesai. Karena disitu ada pemimpin yang meniti politik dari tingkat bawah, kader. Sehingga setiap persolaan berada diatas pribadi. Saat mengatasi konflik bisa bersatu. Saya kita itu, kemudian terakhir rekomedasi: 1. Saya kira politik dan hukum harus ditepatkan satu sama lain diatas segalanya 2. Dalam UU no 2 tahun 2011 ini barang kali bisa difikirkan apakah internal itu benar-benar mampu menyelesaikan setiap dinamika. Tidak hanya kepengurusan tapi seluruhnya. 3. Kalau bicara UU hari ini sengketa partai memang diselesaikan oleh mahkamah partai tapi ada solusi terhadap pemasalahn yang lebih tinggi 4. Penyempurnaan terhadap UU menjadi penting dilakukan. Kami di DPR tengah melakukan penyempurnaan UU parpol. Masukan-masukan dari akademik sangat penting. Syarat dengan nilai. Ini yang kemudian menjadi posisi akademik dan parpol penting disinkronkan satu sama lain. Terimakasih Assalamualaikum Wrr Wb. Moderator: Khairul Fahmi Terimakasih Pak Romi atas share pengalaman beliau yang telah merekayasa konflik hingga menyelesaikan konflik itu sendiri. Tapi mengenai mekanisme yang penting bahwa adalah diatur mengenai Arbitrase untuk local. Ini bisa menjadi alternative. 112 Tapi kalau konfliknya diforum tertinggi partai, mau tidak mau kita harus bawa ke ranah peradilan. Kemudian yang disampaikan pak romi tadi juga tentang hukum acara. Sengketa nya hanya deklatoril, tidak mengikat. Saya kira ini ada ahlinya disini………………. Mahruarrar Siahaan: Terimakasih, tapi sebelum saya mulai, Ini beban berat ini sudah saya bilang kepanitia, jangan sebut prof. kalau di perguruan tinggi ini berat ini. tapi kalau saya ambil model prancis, semua guru dipanggil prof, dan saya guru sebenarnya. Kalau bicara tentang mahkamah partai ini. Saya berpengalaman ikut soal golkar. tetapi intinya kalau saya perhatikan bahwa UU partai politik itu berawal dari, itu memang accident, kalau saya ikuti pak arif berbicara tentang itu di komisi dua, demokrasi itu harus di kawal oleh hukukm tidak terbayangkan bahwa ada demokrasi tapi tidak dikawal oleh hukum. mencoba menawarkan cek and balance didalam partai itu, tapi yang menjadi konsep dibadan peradilan juga ini sejalan dengan konsep precinencent of innouncent, bagaimana semua persoalan bermuara di peradilan, karna disamping banjir sekali urusannya itu, apakah akan selesai dipengadilan. Kalau pengalaman saya mebgikuti masalah ini, saya percayta bahwa partai itu diberikan kewenangan. tapi celakanya disatu sisi tentang kepengurusan, rapi jika kewenangannya menyangkut dengan masalah yang lain. tidak boleh ada undang-undang baru. Dalam putusan menurut saya tidak tercapai masalah penulisannya. Kalau ketemu senior tidak pernah kita biacarakan ini, tapi kalau bisik-bisik dengan kawan ini seperti tidak dikontrol penulisan. Muncul pemikiran bahwa mahkamah partai belum mencapai putusan. Konflik internal kepengurusan partai. yang menurut saya sama sekali tidak takut dengan apa yang dihasilkannya. undang-undang yang memberikan kompetisi ambsolut kepada mahkamah partai, itu yang harus dipertahankan. Bahwa suatu keputusan sudah dicapai. Tidak ada forum yang lain. Artinya selesai. final and binding. Tetapi celakanya, memutus sengketa mengenai ARB 4 mahkamah partai dari golkar juga sebenarnya. Menurut saya tidak terlalku penbting. salah satunya adalah hakim konstitusi, Dulu diputusan konstitusi dijelaskna, tidak boleh ada norma baru, tapi banyak itu tentang sengketa, kecuali tentang kepenfurusan, itu banyak tejadi, tapi Control penulisan keputusan. Kalau sudah dapat putusan, sudah selesai putusan. Tapi jika ada multitafsir, maka ada hukuman tata hukum oleh forum solving. Masalah selesai, tapi belum puas. Senior tidak dikontrol hasil putusannya, tetapi intinya sudah dibicarajb disitu, tetapi yang. Hukuman tata hukum, 113 Putusan = pendapat tertulis Menjadi persoalan, apa yang jadi ukuran suatu putusan, Ada 3: 1. Terbukti, tolak 2. Tidak terbukti, kabulkan 3. Lo Suatu putusan yang sudah deklaratis menjadi kewajiban mentri hukum dan ham untuk menafsirkannya. Halaman 136 menyebutan tidak akan mengurus tapi memberikan kepengadilan negri untuk diselesaikan. Putusan Menkumham adalah putusan mengikat. Tidak bsa dipermasalahkan dari sudut mana dia di daftarkan. Saya memberikan pendapat, anda memutuskan. Bukan memperdebatkan. Tunjukkan kenetralan. Fakta dipengadilan belum tentu menjadi bukti. Golkar tetap solid. Partai diberi mandate untuk menyelesaikan secara indenpredensi. Tapi jika dia adalah org yang memiliki interfensi, Penulisan keputusan sering aneh. Undang-undang partai politik ini harus diubah untuk menghilangkan multitafsir absolut. Moderator: Khairul Fahmi Simpulan nya adalah untuk menyelesaikan diluar pengadilan. ... Terimakasih, Menarik sekali, tapi mungkin Saya tidak ingin terjebak semata-mata pada sengketa. Menurut saya partai kita sangat tidak …. Bagaimana posisi pengkaderan didalam partai. Partai itu harusnya rumah tangga yang tidak dimasuki oleh pihak ketiga. Apakah ada permasalahn lain di PPP? Terkait mekanisme, menurut saya tidak perlu melibatkan pengadilan. Karena pengadilan kadang tidk netral. Masalah internal diselesaikan sendiri. pihak eksternal yang dilibatkan adalah negarawan yang menjadi tokoh netral. .... Bicara undang-undangn, demokratisasi politik, ada bagian-bagian tertentu yang diatur undang-undang, tapi adajuga bagian yang diatur partai politik. Konflik harus diatur ketat didalam undang-undang. apakah mau court atau non-court atau duaduanya. Apakah mau dengan cara uu lama yang sebelum perubahan dimana ada 3 metode penyelesaian sengketa. Apakah menginginkan pengadilan yang bertingkat seperti ini? bagaimana jika membentuk badan arbitrase politik? 114 Simon butt: Bagaimana jika Indonesia mengikuti model inggris, bagaimana segala sesuatu di serahkan kedalam partai saja. Bagaimana dia mau ngerus negara jika masalah dalam partai sendiri saja tidak bisa diselesaikan? .... Dalam uu no 2 tahun 2011, semua orang berpendapat bahwa setiap sengketa diselesaikan di dalam partai. Anti sekali dengan eksternal partai. Pak jokowi melawan diPTUN, akhirnya menang. Kenapa setiap munas ditandatangani oleh Apakah partai politik ini wajib diperkuat. Harus ada uu parpol. Revolusi adrt parpol. Membuat posisi parpol sejajar dengan dewan Pembina. Sehinga tidak ada lagi yang dipecat. Anggota mahkamah parpol tidak harus dari anggoa parpol. Berdasrkan yang dipilih oleh peserta kongres utama. Emi Hajar: Saya tidak terlalu setuju dengan pak refli. Undang –undang selalu multitafsir. Indonesia pancasila, Australia Orang kita tidak mau terlalu dewasa dalam berpolitik. Indonesia sudah belajar dengan berbagai negara. Kita lebih mengenal ideology kita. Hrus berasaskan pancasila yang demokratis kebablasan atau seperti Australia. Pasal 32 memberikan bebrapa hal yang layak dilitigasi dengan yang tidak layak dilitigasikan. Ketika itu ditangan mahkamah partai, yang mana ada eksternal dan internal. Masalah netralitas. Selalu fipertanyakan. Diperkecil porsinya. Bachtiar: Jawaban saya adalah perkuat mahkamah partai. Mekanisme dikembalikan kepada marwah partainya. UU sudah merekomendasikan itu. Ada 4 hal krusial dalam uu kita. 1. Persoalan yang berkaitan dengan putusannya bersifat final. Kompetisi absolut hanya 5, sehingga yang lainnya tidak mengikat. 2. Bagaimana menyelesaikan permasalahkan permasalahan komflik tanpa mampu menyelesaikan permasalahan internal 3. Adrt tidak memberikan penjelasan secara rinci. Selesaikan secara internal. Filosofinya adalah, kunci penyelesaian konflik itu ada pada diri partai. Maruarar siahaan: 115 Kita mencari hukum acara yang standar, sehingga kesalahan itu tidak akan terjadi yang bisa merugikan sendiri. Romi: Sikap pasca mengalami kekalahan. Menguatan melalui hukum acara. Anggota mahkamah partai ada 9, keputusan harus diambil sekurang-kurangnya disetujui oleh 7 orang. Penambahan dari partai, system didalam diatur dalam anggaran dasar dan rumah tangga. Partai politik adalah soal perbedaan sosiologis. Moderator: Khairul Fahmi menutup sesi 1 PGD 1 116 2. SESI 2 (13.30-16.00 WIB) Dr. Paul Rowland: Maaf kalau saya harus berbicara di bahasa inggris and so you need to use the translator devices for, today I just afraid if it is not clear if I say in Bahasa Indonesia. Masih, masih jelek, maaf. I don’t think that the power point that I had made it, the shortcut, so I write with some note here. So first of all about I’d like to say that, I am not here as an academic, I am here as lifelong political party member. So, I am coming here I say something from political party member’s perspective. How we make political party better, how to make them more responsive, how we make them more accountable, something I spent 20 year working in my political party in Canada, I work overseas, and now I work as political party, allready learn the political party in around the world, including 13 years in Indonesia, my perspective is personal of comparative Canada. I also spent time in my political party so far, spent the time and raising money for that party and spent my campaign running the political party operation. So, there is a paper that I write that is cirrculaited in a draft sometime ago, I don’t know exactly, but I think there is few thing that be my discussion point and like I guess that you can make the legal party is the one who share the something different. Legal party is a group of people who get together and who have some value. Looking to pursuite the political power that, so its simple description Indonesia can put description of another questional together, but that what suppost to be, I point the in my magaint to regulate, something that organization, they have and it not. We can turn the political party in to the are not. They are a organization that have nature of them. Political party have different opinion each others. And they are not generally run by …... Even the political speakers say that they have passion began to protect their rights……. Autoristic some political note. I think if we look the recents people who get to political party is not because of they want to counting the operation. So my answer is …… Legal party finance are also a area that very difficult to take the political party to a regulation. Make that legal party internally democratic. Its very difficult thing to do the regulations. But I will say that this is possible to insign by legal parties, and I thing that try to do legal party reform, and try to make them truly democratic, and changing the founding system. Just to be understand I mean. State funding for the political party and I think that change for that it means to be much much cability. And in another hand I also think that legal party should not get the state funding without Much much strongger show the grebility. So as you know political party are required from the state to fill the report. Many of them do not. And when they do fail they only cover the among money that is from statefunding. So that many party is talking about argue about 400 sounds. So ranging from somewhere un…… and several billion rupiah. Its expensive which a ……… legal finance state funding about. The case 117 of other party. so if there only to have submit their report that doesn’t really help us as a public. which the funding control to.. have them. And as you know there is a number of type of parties in Indonesia….. and if you watch the way PKS, Their founding today, they get ….. they are also the party that drive the most finding from half of the political party chair, its able to … that money. and they are also the legal aprty that ….. but its really difficult to know about Their funding come from, very fight more nations, or they get money It was describe this morning from great sources or from another department. the finance sentences. For politic or not desain to eruption and they and we end with the crisis confidents. And that particularly significant Indonesia because as I thankyou for the number …. This morning the legal party ….. fungtionning among pursuit. But in Indonesia that … imply by the fact that political party are interest. So you can keep out about in mosco without public ability political aprty member How we also get the political party that financing and political inceasing I think regulate. Ownership to the party by the members about. That means I think the ceasing of power funding because all of political parties fill the application to send the presentative of their members…………money from that ….. it funded by the member. If that sovereight by statefund but … capability. Looks at the couple of the number of …. Political party in Indonesia. 51 persen of Indonesian survey and more information about … of the survey, the higest …. Is 51 persen of political party. The higest … ridding its about 30 persen, so most Indonesian dispute recoment of political party. Out of ten institution …. Looking at political party finance all about that. That was under the please. And that the top of the military exactly. so the political party is very ….. there also created the among most the couropting institutions in Indonesia by citus, so about 72 persen Indonesian believe that political parties, some corruption of. That just follow 70 persen believe that the …. 74 indonesian believe that there courropt some one ……. And inclose dare from there senior government is agree about particularry someone corrupt and in the please I think 70 persen. so all the state institution party range are very …. Perception ……….. is the different Idea. So again how can we trust this. one of the reason people pursite it been curropt and unresponble. There is nothing that. political party has to realize People consist political party had been corrupt and unresponsible because they … there is nothing that they … have to release their ….. or statement and they are found get addicted. so people really have no way judging accept by the public behavior fact them by in hand to be eruption maybe. That’s is partycullary significant in Indonesia. As I think you knowthe number of the recent this morning as the legal aprty to fungtioning the ………… but in Indonesia that respounse is most of fly. political aprty are interest. You can keep … about. without ability of political party or maybe Now that means that political party have that I think the additional responsible To be more transparatic and to be more countable. Because they have that really good 118 constitutional recognize rule argument as guardian of balance and that’s particularly important thing. Now look at the regulation globally for political parties. I came from Canada we don’t have the political party law. There is no law in Canada regulate political parties. Political parties are regulate in additional law. So If I wanna have a political party. So I should made together in act and form the political party. There is no regulation on that. We can speak anything about that. If we want to. No body can say anything about that. If we want to be one of election, we should fill the letter of election. This is a acsess to state in high level to get the capability to be mark on the bold …. In jermany there is a long, there is a very very detail 22 law on political parties. That also include their funding pursuities for political party. So you can have very to regulate the political party. That very detail. Generally international practice consider U.S regulation. in the reason for that is because there is couple reason of that: 1. Political parties are different kind organitation. we cant make them something different. and they are different from each other. Political aprty has different organization, internal culture, some of them require more reprisentive. As smaller group make decision. that’s ok. 2. Political parties are not state institution. And also not really private institution. It’s a semi public organization and they perform public rule but they are not government. That should be confuse with government. and so the government from political parties to be minimize in order to prevent the ……. And we have to … because in Indonesia almost all political party regulated by the ministry of law. The minister is. so you have the minister. member of one party regulated from the another party. That is about the minister handle some conflict in the past capably regulate internal in the parties. its also provide the perspection of. even the minister also act the …… over regulation is a opportunity for government to … that should to be. and that legal party I think also perform law independent norm We have to very carefull note that power to shoot down as you agre with them. And the political party have to be free, have to be fulfill their rule whichis to inounciate, to provide, overgate the few systems. I think for that two forum. So some contries regulate political party by law, some other regulate their political party by the intern constitution, some from the combinations, and some do very little regulation on their political party. There is a lot of example I thinks but I am not going to many of them today. One of the topic that we have to discuss today is the relationship between the party center and the breach operations. And again I thinks that is something very very difficult to regulate. That try to against the relation but to legislations. How the center decentralize the system mechanism making. I think that is the good Idea this morning and their doing that its very difficult to regulation the finace and sentences. 119 And in other term of political party play to report is in managing conflict. conflict in the given society is not enganable of society have conflict. We have the regulation in political party. we elect people to represent us, represent the differencess in a democratic fashion. And political party play the important … the a whichis descripe on the paper. But Indonesia actually has uniqe system which.. and their national. So that you don’t get original etnic base advatecatting for represent system or for very near differences. That also come from the case having to hear in the around country. And what is done is to provided it very terrible system. This political party does not necesery present Indonesia in all. that something to be corrected. Some laws in germany law to the fact that party have to be organize to the breach level. In regulate how you learn. It regulate how you should have. The difficulty doing is that I think german party is …. The party system to be very detail what they want to this law. Its not something to ….. and so if that is the detail kind of law is require the intensif discussion among political party, civil social, and another state holder. Finally I just say that we often watch deal two things regulate, that can be very good. But I give give a cup of example political aprty are them self as made some decision in term of leadership …. That mean very difficult to political party to and don’t necessary to represent the democratic institution. One example is primary system. U.S election is here. you will understate that you have there were two democratic side and republic side insurgent campaign. So, in a people who unrespected. Everybody here has been following the Donald trumand his campaign this is a gay who ever be a member of democratic party, this is a guy 20 years ago put himself to … hes not somebody who represent the public… the U.S promarry system, this is a system of presellecting candidate so all the periode of the last there is no more relation to determine who become each political party normally complect system. And it not determine by the goverment, and not determine by national party, it determine by the state. Each state have the different election law, even for the president and the… so it’s a very difficult system. What is the resoluted is a candidate is who somebody selected by the party of themselves. And give one hundred. this dissystem for some note In U.K the political party had … for leadership. And on the last view years party leaders in U.K about elected by the party leader. The party leader election by become prime minister… this time after the legal party devided as …they have a rude behavior, one member one sound. Somebody major who was pursuit by parties…this is very far love. Actually what happen is …. By the members of the party, people in parlement cant support him. So this the short things that not to say that its wrong elect by one person. I does how you… to your party. And I don’t think the germany system is somebody of people support the elected official. and by changing that rule, change the politic, All of things here have to be taken to … look that very carefully before put it into the law. Moderator: 120 Demikian, sebenarnya yang disampaikan tadi banyak, tapi yang ingin saya simpulkan adalah apa yang disampaikan oleh paul roland tadi berbicara tentang pendanaan partai politik, bahwasannya memang kalau di Indonesia itu kenapa sering terjadi korupsi, karena memang dari beberapa mentrinya itu berasal dari partai politik. Yang memang untuk pendanaannya itu biasanya juga untuk pendanaan partai politik. Paul roland juga menyampaikan bahwa itu juga terlalu banyak regulasi mengenai prtai politik, dan juga dikanada itu sendiri yang berbicara mengenai partai politik itu tidak memiliki hukum. hukuknya satu, yaitu mengenai pemilu, jadi memang banyak permasalahn di Indonesia yang berakitan dengan partai politik itu sendiri. kebanyakan konflik dari paprpol itu sendiri disebabkan karena bisa kita liat sendiri memang seperti, mentri hukum dan ham kita saja berasal dari salah satu partai politik, jadi bisa diperhatikan bahwasannya keputusan-keputusan apa yang disampaikan mentri tidak ada objektifitasnya. dicontohkan di amerika serikat memang ada dua partai politik, tetapi Donald trums yang memang bukan berada didua partai politik itu, juga memiliki kesempatan utnuk memang juga memiliki kesempatan dalam selanjutnya disampaikan oleh bapak ahmad farudin untuk menyampaikan pandangannya, aduh jadi bagaimana ini Philip J. Vermonte: assalamualaikum wr wb. Saya senang sekali di undang oleh pusako, unand. Saya orang bukit tinggi, tapi namanya agak agak itali gitu. Saya diminta untuk sharing terkait demokrasi internal partai politik dalam perspective saya. Sebelum mulai saya ingin menyampaikan beberapa pandangan, yang pertama saya sudah lama berhenti mengidelialisasikan partai pilitik dan anggota partai politik itu sendiri. Banyak dari kita yang dari tadi pagi mendiskusikan mengenai hal itu, pandangan yang diedal mengenai partai politik, harus begini dan harus begitu dibebankan autorizm, jadi politisi itu begini begitu, banyak perdebatan. Saya melihat parpol itu sebagai natural behavior saja. Sifat dasar manusia itu seperti apa. Saya tidak mengidelialisasikan demokrasi, tidak mengidealisasikan partai politik, tapi sebagai uni politik saja yang perilakunya bisa dan tidak bisa dibatasi. yang kedua saya kira juga ada beberapa pandangan yang mungkin karena kita adalah negara demokrasi baru tentang system apa yang kita gunakan dan brandmark nya itu adalah apabila iya naturalisme. Misalnya, saya ini sudah lama mendukung system proporsional tertutup. Saya juga merupakan kedua divisi koalisi pemilu, ajdi kita perdebatkan sikap rutin kualifikasi adalah sifat proporsional terbuka. Dalam sistem demokrasi saya tunduk pada sistem kualifikasi sistem proposional terbuka. Walaupun hati kecil saya bilang, bahwa lebih baik system proporsional tertutup yang diperbaiki. tapi saya melihatnya dalam aspek yang tidak ideal juga, bukan mengidealisasikan sistem. Misalnya beberapa argument teman-teman mengatakan sistem proporsional terbuka, itu nanti konsep penghitungan kursi, suara hangus, dan lain sebagainya banyak aspeknya. 121 System distrik banyak suara hangus. Karna biasanya calonnya Cuma dua. Karna partainya dalam ilmu politik kepartaian, bagaimana system disktrik akan mengarah pada system dua partai. Suara terbanyak yang menang Jika calon a dan calon b, Jika ada dua calon, yang menang satu calon, walaupun Cuma selisih satu suara. kalau dalam konteks demokrasi ilmu politik, itu gak adil. Kenapa? Karna itu ada 99900 orang yang milih calon A. tapi kenapa di Amerka, selisih satu suara ya hangus, jadi saya berkesimpulan bahwa demokrasi adalah keputusan bersama yang disetujui oleh sesame dan kemudian tunduk pada aturan bersama tersebut. Jadi walaupun selisih Cuma 1 suara ya harus disepakati. di Indonesia itu tidak adil, karena ada beberapa orang yang tidak memberikan suara. demokrasi lebih kepada apakah orang orang mau menyepakati kebersamaan tersebut. Yang ketiga saya melihatnya, jadi mohon maaf ini ahli hukum semua, saya bukan ahli hukum, jadi lebih banyak perspektif politik bukan hukum. Lingkup demokrasi tempat kita bekerja, jadi tidak ada demokrasi internal didalam partai. Mengenai demokrasi internal partai, memang pada tahun 1998 kita mengalami reformasi disegala bidang, ini itu menjamur, LSM menjamur, Bisnis pemainnya makin banyak, lapangan demokratis semakin baik, kita mengadakan pemilihan langsung, partai politik semakin banyak.. akibatnya adalah lingkup tempat kita tinggal ini demokrasinya semakin demokratis, tapi pangkal dasar permasalahannya, partainya tidak demokratis. Lingkup demokratis, tapi sumber tidak demokratis. ada dua hal menurut saya kenapa saya setuju system tertutup? itu akan memperkuat partai. Menurut saya partai itu adalah lumbung demokrasi, bagi saya parpol harus diperkuat, bukan di perlemah. tentu dengan konteks konteks yang demokratis. Kemudian kenapa partai politik harus diperkuat adalah, karena dia adalah actor utama dalam demokrasi perwakilan yang membawa keberhasilan bagi suatu negara yang sedang menjalankan demokrasi., jadi partai politik harus kuat. Dan ini semua ditentukan oleh demokrasi internal partai. Masalahnya begini ada beberapa perspektif tentang demokrasi internal partai politik. Ini sesuai dengan study di seluruh dunia. Sebetulnya ada dua perspektif terkait ini: 1. Model demokrasi kompetitif Meragukan perlunya demokrasi internal partai. Jadi ada banyak partai politik dinegara-negara demokratis, yang tidak punya demokrasi internal. Bahwa parpol perlu efisiensi dalam pengambilan keputusan. Demokratisasi seluasluasnya, sehingga urusan partai itu harus dieksternalisasi. Keputusan partai harus di internalisasi, karena demokrasi justru mengdiskorsi efisiensi partai. 2. Model demokrasi deliberative Mengdirtosi referensi. Belum tentu yang terbaik yang ditentukan dalam internal partai politik. Jadi ini mungkin nanti perlu diskusi kita nanti selesai saya presentasi. Jadi harus ada demokrasi internal karena itu kompatible dengan demokrasi yang sedang berjalan. Didalamnya demokratis sehingga menyediakan hubungan antara masyarakat dengan parpol kemudian 122 menyediakan, untuk isu yang berbeda. Masukan dan lain-lain, partai ini menjadi flatform sehingga penting untuk menjadi internal partai. Masalah lain begini, menurut saya demokrasi internal partai bukan beban atau penyakit bagi partai politik karena memang ada prosedur-prosedur partai yang tidak harus diambil secara demokratis. Saya memang bukan anggota partai tapi saya bisa baca seperti penentuan koalisi saya kira pendapat ellit antar partai. Kebutuhannya adalah menjaga ideology ketika partainya tidak ideologis dalam menentukan koalisi tidak akan demokratis. Keputusan yang tidak liberal itu perlu dalam partai politik. Kemudian kita juga bisa paham Indonesia juga member ruang bagi partai politik seluas-luasnya dalam pengambilan keputusan. Kemudian menurut saya, partai politik memiliki hak derajat khusus dalam menentukan kekuasaaan. Jika kita menerima prinsip demokrasi internal partai ada dua hal yang menjadi point penting: 1. Efisienitas bagaimana DPD-DPD bisa mengambil keputusan secara otonom. Bagaiamana pencalonan dilakukan dengan persetujuan DPP. Itu kan sebelumnya tidak ada pasal itu. Sepertinya ada pendekatan parpol sehingga memasukan pasal itu ysng melakukannya pasti cerdas sekali. Karena yang memimpin saat itu adalah koalisi permanen maka harus dapat persetujuan dari DPP. Dalam konteks politik memang harusnya demikian. Harus sama dari pusat hingga daerah. Keuntungannya adalah untuk pemilih sehingga lebih mudah menghakimi parpol. Dia bisa menentukan perbedaan ideology koalisi. Ini akan menyehatkan sistem politi kita dan line ideology yang jelas. Tidak ada yang musuhan. Jika pemilu serentak partai tidak bisa menilai koalisi partai. Sehingga pemilu tidak menunjukan prevensi masyarakat secara menyeluruh. 2. Proses bottom up ADRT partai-partai kita ada, susah jika hanya melihat di dokumen tertulis partai. Paling hanya ada beberapa dasar tentang itu, ada banyak hal disitu dibilang, kita melakukan riset terhadap peraturan-peraturan partai terkait penyelesaian konflik internal. misalnya terkait, misalnya terkait, memang harus diserahkan dalam mahkamah partai.saya curiga partai tidak punya peraturan mengenai penyelesaian konflik. Contohnya dalam mahkamah partai. Ada unsur yang harus dipertimbangkan. Saya setuju bahwa konflik partai tidak bisa dibawa keluar. Partai punya culture masing-masing dalam penyelesaian sengketa. Tergantung cara mereka mengadopsi mekanisme sistem internal sehingga tidak bisa diseragamkan Kemudian dalam penyelesaian konflik partai ada dua hal sebetulnya, karena masyarakat kita plural jadi kita perlu banyak partai, ini saya rasa mitos juga. Yang membuat isu ditengah masyarakat justru elite partai karena masyarakatnya mungkin memiliki perspektif berbeda, sehingga kita tolak system tentang hanya dua partai, tiga, atau lima. 123 Waktu itu merasa bahwa ini ada kebijakan nasional itu harus dikirim secara transparansi. Untuk mengetahui apa benar bahwa suara-suara ini ditransparansikan ke nasional. Itu melihat kenapa, secara demokratis. Yang telah menyelenggarakan pemilihan, tetapi partai tidak siap dan tidak menerima. Saya mau kasih tau aja, untuk itu satu hal yang luar biasa hampir setelah parpol itu ada perpecahan. Tetapi partai yang lain itu biasanya saling menilai kekurangan, ini saya kira menarik bahwa apa yang dibilang bahwa nasional partai. jadi kalau kita lihat perbedaan mendasarnya, ini beberapa partai itu menerapkan demokrasi internal partai. Jadikan waktu itu di teliti, merasa bahwa narasi ditingkat nasionalnya itu ini semua dinilai secara aklamasi. Kemudian kami ingin tau, kami ingin tanyakan apakah benar suara partai didaerah ini disampaikan secara nasional. Jadi menarik melihat kenapa ada partai yang seperti PAN dibentuk secara demokratis, dia adalah satu-satunya partai yang telah melaksanakan pemilihan 4 kali pakai sistem menerima atau tidak menerima. Saya mau ngasih tau aja, tapi itu satu hal yang luarbiasa, hamper seytelah kongres itu tidak ada perpecahan. Paling laporan dikantor, nah itu kesalahan partai sendiri. Partai yang lain itu biasanya setiap pemilihan pecah. Ini menarik bahwa ada 406 pemimpin partai democrat dari tingkat provinsi samapi dengan tingkat kota. Salah satu pertanyaannya adalah mereka adalah figure yang dapat membesarkan partai democrat. Itu 80 persen mengatakan SBY. Jadi kita lihat bahwa kegoncangan didemokrat, tapi karena di democrat ada figure yang begitu kuatnya, democrat nya tidak goyah. Bisa dengan mudah diatasi. Kemudian kita Tanya kalau ada kongres besok siapa yang akan anda pilih, hamper 90 persen memilih SBY, jadi memang sudah teraklamasi democrat terhadap SBY. Kemudian kalau kita lihat gerindra. Dari 847 pemimpin diseluruh daerah, siapa yang bisa membesarkan? Hatta? Tapi yang menarik adalah PAN anggota DPC nya punya suara dan hak yang hamper seimbang dengan DPP tapi artinya apa, dari kasus PAN, kalau lima tahun yang lalu mungkin hasilnya tidak kayak gini juga. PAN itu kompetisi internalnya jarang. Justru karna ada demokrasi internal partainya kuat. Figure yang ada didalam PAN lebih variative. Contohnya adalah ada Hatta dan Amien Rais. PDIP. Ini langsung ditargetkan, Hmm Megawati tentu yang paling bisa membesarkan partai, tetapi juga lebih variativ disbanding partai yang lain. Ini lebih demokratis. Kalau ada kompetisi internal yang dijamin didalam partai, partai-partai tersebut akan lebih tahan terhadap perpecahan yang terjadi dalam partai tersebut. mungkin saya stop sampai disini. Terimakasih. Assalamualaikum Wr. Wb. Moderator: Demikian dari Pak Filiph. Jadi tadi banyak sekali contoh presentasi angka demokrasi dipartai politik itu sendiri dimana politik juga harus bersebelahan dengan hukum. Jadi tadi banyak yang disampaikan. Parpol yang sebenarnya mereka yang mengajarkan demokrasi, tapi dalam tubuhnya tidak demokratis, ditubuh internal tidak selamanya membuat keputuan secara demokratis. Selanjutnya silahkan bapak Syamsudin Haris 124 Prof. Syamsudin Haris Assalamualaikum Wr. Wb. Selamat siang menjelang sore. Tadi pak philiph mengatakan bahwa ada ahli hukum atau orang hukum, kalau disini ada pak mahfud yang pakar hukum. Dan yang pakar politik ada juga disini. Saya jadi bingung harus berbicara atas nama apa, karena saya bukan dari pakar keduanya. Tapi saya mungkin berbicara sebagai ini saja, bagian dari orang Indonesia yang mengikuti proses politik Indonesia, dan kebetulan saya sekarang ini komisioner bawah …… di Jakarta. Bapak Ibu sekalian, say singkat saja. Dari hari pertama saya kira kita sudah diberikan banyak penjelasan mengenai partai politik ini, dari perspektif hukum, telah ditelaah aktor-aktor yang berperan baik dari segi politik, budaya, hukum, sejarah, dan sebagainya. Saya mau memulai dengan apa namanya. Satu hipotesis saja. Saya mulai dengan sebuah pertanyaan. Walaupun ini merupakan pengulangan diskusi yang sudah kita lakukan pertanyaannya adalah mengapa konflik partai ini termasuk dalam ranah permasalahan internal parpol? Khususnya kalau sekarang yang lagi actual kan democrat dengan p3. Saya kira secara potensial terjadi dalam partai it uterus berkepanjangan. Dan sulit diselesaikan, bahkan ada kecendrungan memelihara konflik dengan berbagai kepentingan. Dengan diskusi tadi saya ingin mengakhiri dengan sebuah solusi: 1. Dalam konteks sekarang ini itu tidak terlepas dari imbas pertarungan politik. Dalam pemilu presiden tahun 2014 kemaren, yang kedua ini ada hubungannya dengan persoalan institusi kepartaian kita yang mengalami pengeroposan. 2. Kemudian unit yang seharusnya berperan sebagai penyelesaian konflik, seperti mahkamah partai tidak bekerja sebagaimana diharapkan. Mengapa? Yang saya baca penyebabnya kecendrungannya dipilih secara tidak demokratis oleh ketua umum partai yang tidak akan bisa bersifat netral. Keputusannya kalau tidak mengikuti secara langsung permohonan ketua umum partai kalau tidak dipengaruhi oleh negosiasi kedekatan dengan ketua umum partai. 3. Ini ada hubungannya dengan proses krisis regenerasi dan litigimasi secara khusus dilingkungan partai. Nah kita misalkan lihat contoh dalam kasus golkar, kekuatan Mahkamah Konstitusi ada diluar partai. Karna krisis kekokohan, wibawa, dan lain sebagainya. Seperti golkar, yang berkuasa itu justru elit politik yang bekerja diluar golkar seperti Pak Jusuf Kalla atau Pak Luhud. Kita bisa membaca itu. Dalam munas golkar terbaca sekali dominan pengaruhnya 4. Walaupun tidak semua kita sepakat, intervensi pemerintah baik munas, kemenkumham, susah dielakkan. Walaupun dalam UU kemenkumham diberikan kekuasaan yang kuat dalam mengesahkan partai politik, dalam prakteknya sangat sulit, karena bagaimanapun kan kemenkumham ini adalah 125 rezim partai politik. Bagaimana kemenkumham bisa independent menyelesaian permasalahn sengketa antar partai sedangkan ia sendiri adalah milik republic yang berkuasa. Yang lain dua hal yang ingin saya sampaikan, kira-kira apa dampak dari problem yang ada sekarang ini: 1. Akibat sengketa parpol internal maupun preoses penanganan hukum yang tidak jelas, parpol menjadi tidak mandiri. Kita lihat golkar maupun P3. Setelah munas bertambah rekonsiliatif itu. Maka yang dibangun adalah dekler pendukung penguasa. Nah kalau dekler kepada penguasa, maka holkar yang sudah mencalonkan Pak Jokowi sebagai President 2019. Dan kit abaca dalam mundes itu tidak independent atau mandiri. 2. Secara politik baik tingkat struktur partai, elit, maupun gesture, kita lihat sebenarnya golkar itu berantakan. Sampai kebawah. Ketika Setyaa Novanto langsung mencalonkan soal gubernur DKI mencalonkan lagi, itu ditingkat bawah mengalami konflik. Saya kira masa-masa tradisional, golkar itu dijakarta mengalami politik balas budi. Misalkan dalam kasus P3, Meskipun Romi saat ini secala legalitasmendapatkan alih dari pemerintah, tapi secara politik kekuatannya melemah. Saya kita itu memberikan contoh, kantor DPC P3 itu masih dikuasai oleh elit partai. Harusnya Romi bisa mengambil alih. Nah jika kantor saja tidak bisa dia kuasai, bagaimana dengan soal proses kaderisasi, mobilisasi masa, dan sebagainya. Kemudian, dari sisi penyelenggara pemilu khususnya KPU menjadi sulit. Karena dia harus membuat diskresi salah satu aturannya itu adalah memperbolehkan tandatangan kandidat itu oleh dua kubu yang bersebrangan. Saya kira dampaknya bagi penyelenggara juga besar. Masyarakat juga tidak mendapatkan apa-apa dari konflik partai ini. Jadi apa yang disampaikan oleh Prof. Syamsudin Haris tadi pagi soal bahwa Partai politik menjadi beban bukan solusi dimasyarakat, saya kira ini memang sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindarikan. Jadi apa pilihan-pilihan yang bisa kita ambil dalam persoalan penyelesaian sengketa parpol. Misalnya membagun kehidupan parpol yang demokratis kedepannya. Setidaknya ada 3 pilihan politik: 1. Menyelesaikan konflik dengan Mahkamah Internal Partai. Tapi kadang tidak bisa diselesaikan, sehingga muncul dualism kepartaian. 2. Diserahkan kepada Kemenkumham, itu secaralegalitas mungkin bisa selesai, tapi kan juga tidak menyelesaikan masalah. Karena kemenkumham adalah bagian dari rezim yang tidak mandiri keputusannya 3. Melalui proses pengadilan mahkamah agung dan arbitrase. Tapi jika kita lihat, mahkamah agung juga banyak persoalan seperti mafia pengadilan, hasil tidak murni. 4. Melalui intervensi pemerintah. 126 Saya setuju denagn point satu hingga tiga, hanya saja proporsinya tidak seperti sekarang ini. Misalnya mahkamah partai tidak bisa menyelesaikan masalah dualism kepengurusan partai. Kemudian kalau kita beri ke kemenkumham, saya rasa dia tidak perlu mengatur persoalan keabsahan parpol, hanya permasalahan administrasi saja yang boleh dia selesaikan. Saya lebih cendrung penguatan itu kepada pengadilan atau mahkamah agung. Karena konstitusi kita sudah mengatakan bahwa mahkamah agung merupakan lembaga independent, bahkan presiden pun harus tunduk kepadamahkamah agung. Jadi menurut saya ini yang harus dikuatkan. Yang lain mengikuti. Tanpa itu kita tidak akan bisa melakukan demokratisasi partai. Tapi saya kira pilihan-pilihan yang ada itu tetap dipakai, tapi penguatan itu harus dilembaga peradilan. Saya kira itu saja. Terimakasih Assalamualaikum Wr. Wb. Moderator: Demikian dari pak Fahrufin tadi. Ada beberapa solusi yang berkaitan dengan konflik internal partai, salah satunya adalah bahwasannya ada mekanisme, itu berarti memang harus tetap ada yang namanya mahkamah partai politik. Kemudian yang kedua bisa diserahkan ke kemnkumham, terakhir kepengadilan. Selanjutnya kita buka sharing dan diskusi. Silahkan….. Refly Harun: Menarik sekali apa yang disampaikan Philiph menurut saya antara pendekatan idealis dengan realis. Jadi saya tidak tahu apakah Philiph lagi putus asa begitu, jadi ya sudahlah, jadi kalau kita bicara PKP, tidak mungkinlah demokratisasi pasti ada khiayi langitannya juag. Kalau di PDIP pasti ada peran Bung Karno. Apakah kita secara evelutif tidak bisa mengubah itu, secara revolutif pun saya kira agak susah 5-10 tahun kedepan. Ini sebenarnya challenges bagi kita untuk menyingkapi partai politik. Kadang cara pandang kita orang akademik berfikir eksklusif. Dia tidak mau merubah, kecuali ada intensif. Konflik partai mengapa mau berubah? Karna itu ada mekanisme internal yang solid. Tapi jika tidak ada intensif, mereka tidak akan mau, menolak. Demokrasi internal parpol itu memang tidak bisa kita atur fully dalam UU parpol. Seperti yang dikatakan Paul Rowland tadi, bahkan dikanada tidak ada political regulation seperti di Indonesia. Hal seperti itu saya sepakat bahwa harus diatur secara detail dalam UU. Pilih salah satu mekanisme, hukum acara yang nanti diatur dalam UU secara detail. Ini perlakuan di Indonesia. AD/ART tidak dipegang, bahkan UU tidak dipegang. Kadang Mhkamah partai disalahgunakan, untuk menyelesaikan orang yang akan dipecat. Mekanisme bandingnya harus diganti. Masalah internal, ada beberapa wilayah yang bisa diatur, ada yang tidak bisa diatur. Contoh, kadang yang bersifat administrative bisa mnedongkrak partai politik. Ini kan terbalik. misalnya, kenapa seolah-olah gampang, bahwa yang hendak menjadi kepala daerah harus mendapatkan rekomendasi dari DPP. Itu saya kira adalah usul dari KMB, tapi KIH 127 juga suka. Jadi padahal itu kecil sekali. Tapi orang yang jeli. Ini memelihara relasi dan hegeboni DPP. Karna kalau tidak ada ujung peran DPP maka tidak aka nada orang yang akan di endorse menjadi kepala daerah. Karna itu saya justru challenges untuk pak Paul untuk memandang fenomena Indonesia, ini kan full translate ya, jadi tidak perlu ditranslate lagi. Untuk melihat perspektif pak Philiph ini apakah memang Indonesia has no choice? Something realistic, tanpa ada idealistic. Itu yang kemudian pak Roland sudah lama di Indonesia sehingga sama putus asanya melihat partai politik ini. Itu saja, terimakasih. Assalamualaikum Wr. Wb. Mas ulfa: Assalamualaikum Wr, Wb. Perkenalkan nama saya Ulfa azra Fikra ya. Saya dari pulau Kalimantan. Saya ini ada dua, akademisi dan politisi. Dari democrat. Saya kesini mengikuti jejak idola saya, Bapak Mahfud MD. Mungkin ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan, mungkin discuss aja. Sangat menarik ini dilihat dari tema yaitu demokrasi partai dan hubungan pengurus pusat dan daerah. Ini kalau boleh saya bagi mungkin ada sengketa internal partai, dengan hubungannya pengurus pusat dan daerah. Sengketa itu dalam UU no 22 Tahun 2008 itu ada 3 ya tadi, pemnbentukan parpol, sengketa kongres dan sejenisnya, sengekta di forum tertinggi. Mungkin kalau disini musda atau muscad ya. Kedua sengketa di internal partai juga hasil pemilu juga menarik untuk dibahas. Jadi kami membagi dua. Kalau memang itu sengketa dualism pemilihan yang satu menag atau alah di munas muncap atau daerah, mahkamah partai kalau bisa putusan final sengketa internal partai, tapi mekanismenya diperbaiki, dengan professional didalamnya, tidak melibatkan pengrus partai. Agar netralitasnya tidak diragukan. Negara tidak perlu terlibat terlalu jauh dalam konflik partai. Karna disitulah demokrasi internal partai dinamikanya, rok partai itu dikatakan berkurang. Kedua masalah internal partai waktu pemilu, jadi saya sedih sekali karna yang boleh melakukan pengajuan itu adalah peserta pemilu, tidak boleh caleg karena tidak demokratis. Itu menjadi permasalahn menurut saya, dalam UU boleh mengajukan gugatan adalah 3x24 jam itu sangat besar sekali, tidak rasional. Apalagi kalau misalnya kita bukan orang pusat yang dicalonkan. Kalau kita dekat dengan pimpinan partai ya tidak masalah, tapi kita tidak dekat namun memiliki kualitas kemudian dirugikan, maka ini tidak masuk akal. Harus parpol yang mengajukan gugata, itu banyak terjadi didaerah saya. Jadi kalau kita tidak dekat dengan DPP itu sulit menjadi calon legislative, itu real dilapangan. Mudah-mudahan ada solusinya bagaimana caranya. Orang yang kompetitional, bekerja sesuai prosedur politisi, mendapatkan hak-haknya. Kemudian saya mendengar, bahwa proses demokrasi parpol internal antara pusat dan daerah, disni ada dua hal yang menjadi substansi. Pemilihan partai ditingkat provinsi di kabupaten kota, yang kedua pemiliha kepala daerah. Jika memang susah membuat regulasi di wilayah. Itu diberikan insentif. Nah itu menarik. Apa bisa 128 menjadi contoh kita di kanada. Itu menarik. Permasalahan ketua partai menjadi permasalahan utama. Kita sudah melakukan pemilihan di kabupaten. Mungkin pilkada, ditingkat DPC itu mencalonkan si A. dipusat mencalonkan si B. otomatis yang ditingkat dua SK dibatalkan. Diganti dengam pengurus PLT dan calon walikotanya juga pusat. Ini perlu kita atur juga. Peran pusat sangat luar biasa. Demokrasi local sangat salah. Sanagt susah didaerah untuk menjadi pemimpin ideal. Ini harus kita pikirkan bersama bagaimana regulasinya. terimakasih. Imam rofi’i: Terimakasih. Mendengar paparan dari bang Philiph tadi saya mendapatkan hal baru bahwa persoalan parpol itu membuka sudut baru yang membuka pikiran. Parpol harus diperkuat. instrument untuk memperkuat itu banyak cara sehingga forum ini juga menyepakati bahwa apa yang kita lakukan ini adalah dalam rangka memperkuat parpol. Karena tema perkaitan dengan konflik, mau tidak mau berbicara tentang mengapa konflik ini terjadi. Kita juga ahrus membahas bangaimana model dan kelembagaaan pembahasannya. Itu sudah mengerucut. Modelnya dikembalikan kepada internal, mereka yang merencakan, berproses, dan menghakimi. Tentang kelembagaannya juga demikian, kalau diserahkan kepada mereka, mereka sendiri yang menentukan. Sehingga akan lebih paham persolan yang diputus. Kemudian, stockholder kita dalam mengatasi permasalahan, dimana sejarah memberikan pembelajaran bagaimana menyelesaikan konflik, terlepas dari sistem yang sangat otorian. Kita harus demokratis. Ini forum kesempatan akademisi untuk menawarkan kerangka yang sangat ideal untuk membangun parpol yang kuat dan demokratis. Saya sarankan kembali untuk penyelesaian konflik kembalikan lagi ke internal partai, entah itu model tahapan musyawarah partai, itu yang akan kita pilih. Karena waktu tidak cukup banyak, saya sampai disini saja. Terimakasih. Nurudin haddy Assalamualaikum Wr. Wb. Berhubung waktu tidak banyak, saya langsung saja masuk ke topic, terkait penyelesaian konflik saya kurang sependapat. Memang kita harus mengatur secara detail didalam UU itu. Di Indonesia ini semakin aturan terbatas, semakin pintar parpol mengatur sebisanya saja. Sulit menyelesaikan secara demokratis konflik dalam partai. Menyelesaikan ditingkat mahkamah partai internal dan eksternal melalui proses forum tertinggi. Proses hukum diselesaikan dengan mahkamah konstitusi. Aroma penyelesaian yang tidak money politik. Jika D/ART tidak ada secara tegas mengatur mengenai mahkamah partai, ini belum lengkap. Moderator: selanjutnya langsung saya serahkan kepada ketiga narasumber untuk memberikan responnya. 129 Achmad Fachruddin: Saya kira itu tadi tidak ada pertanyaan, lebih cendrung kepada pendapat-pendapat. Saya kita persoalannya bahwa yang membedakan kita dengan kanada minimal adalah regulasinya sangat minimal. Partai politik kita itu sebenarnya juga menyalahi peran national building, dll. Proses pendidikan. Sedangkan untuk Kanada yang seperti itu sudah selesai. Itu adalah yang tertinggi. Kemudian Uu kita menjadi rumit adalah karena kita melakukan demokratisasi konteksnya macam-macam. Sehingga partai itu harus partai nasional. Kemudian yang kedua menurut sdaya terkait mekanisme saya setuju dikembalikan kepartai, rtapi harus memaksa sehingga dijelaskan secara detail di AD/ART partai. Aturan dibuat jelas, bisa dibaca semua orang dan dibuat di AD/ART. Agar impaksiasitasnya tidak hilang. Dia tidak kehilangan otonomi tapi itu adalah jaminan sebelum konflik itu terjadi. Kemudian yang ketiga Cangkupan perkara yang isi didalam perkara partai itu harus lebih lebar dan spesifik. Berdasarkan pengalaman empiric yang lalu dia dilindungi oleh undang, undang. Philiph: Terimakasih, saya menambahkan sedikit saja yah, terkait mekanisme internal partai saya sudah tulis di paper berbagai usulan. Sistemnya ahrus demokratis dan transparan oleh ketua umum terpilih. Yang kedua saya kira memang perlu ada pedoman dalam beracara dalam partai itu supaya mengurangi ketidakpastian secara hukum. Memang harus diluruskan mengenai kriterika yang jelas mengenai siapa saja yang boleh menjadi anggota mahkamah partai tersebut. Berdasarkan pengalaman, otoritas, profesionalitas, dan lain sebagainya. Karena pengalaman, banyak sekali Mahkamah partai mucul dari luar partai yang bermasalah mengatur internal partai. Kemudian cangkupan perkara tidak terlalu melepar, seperti kode etik. Kalau masalah dualism saya lebih cendrung diselesaikan di mahkamah agung karna independent melalui UU/. Dr. Paul Rowland: Thankyou Assalamualaikum Wr. Wb. Don’t forget to put your translator. Oke, well I will brief, I think use the different perspective. Use the Canadian political linear, where there is no regulation, norm, and ext. We can alone find the regulation in Canada but we also have four labour parties. we don’t have to deal with ten or more political party that very old. there is a sentences for internal side. There is no rule. If we want to elect the candidat of political party. The insentive come from the inside of political party. If the founder say that he want, we can do that way. So I had the deal with I was elected my the member of local sociation. But I was only internally party have some situation regulation that set up by the party. Intern regulation can be the general which have very, very high qualifiate. There is a law in internet if you look at 130 it. It seems to work for them. The question is before put in a law. You can ask your self what are you trying to achieve with that, and the second part of it is what the konsequentive. You can ask the political party to do something. And also remember the purpose of legal party whichis to articulate and to get the public interest. By the government they are not really doing their job. Moderator: Tepuk tanagn untuk ketiga narasumber. Baik saya tidak akan menyimpulkan karena memang ada tim kusus yang melakukannya dan annti ada sesi untuk kesimpulan. Nanti tolong disiapkan pemancing dari satu orang yang membuat makalah tentang hubungan pusat dengan daerah. bapak bambang haryanto. Tapi jelas yang hadir saja dulu pak. selain bapak bambang, ada 6 orang yang membuat tentang hubungan pusat dengan daerah, bapak Thamrin, moderatornya mungkin dipilih oleh bapak Thamrin. Dengan pemancing bapak bambang haryanto, dengan buk fitri. terimakasih, assalamualaikum wr wb. 3. SESI TIGA (16.00-18.00 WIB) Moderator: Ada 22 makalah dalam pgd ini, saya yakin dari makalah Ibu/Bapak sekalian, bisa berdiskusi saja mengemukakan berbagai pendapat. Sesuai kesepakatan kita tadi, bapak thamrin sudah ada didepan dan beliau ini mungkin sebagian besar kita sudah kenal. Beliau dari Fisip Universitas Andalas, ilmu politik khususnya. Saya sempat menguntip tadi di USB, Makalah bapak tamrin berkaitan dengan Hubungan parpol pusat dengan daerah, susunan pengurus Partai Politik. Makalah ini menjelaskan tentang hubungan parpol ditingkat pusat dan daerah, serta upaya demokratisasi parpol. Ini menarik sekali bahwa pak Thamrin dari wilayah ilmu politik, dan diruangan ini banyak yang dari ilmu hukum, jadi kita bisa bertukaran pikiran secara baik saya kira. Tadi ada pesan sedikit, kita diharapkan selesai 5.30. Kemudian kita lanjutkan dengan fasilitator utnuk merumuskan lebih hangat kesimpulan dari pgd kita ini, usulan kongkritnya dari grup ini apa. Untuk mempersingkat waktu saya silahkan kepada bapak tamrin, kurang lebih 20 menit lah ya pak, silahkan pak. Tamrin: Terimakasih bapak ibu atas kehadirannya. Saya kira, tapi ya Kita sharing saja semacam membagi saja, tulsian saya ini semacam refleksi yang kemudian menjadi sesuatu yang menentukan. saya berangkat dari diskusi tadi. Ada beberapa hal. yang pertama adalah sering kali ada kebijakan kebijakan yang berbeda, apa yang diputuskan di partai daerah atau DPD dengan yang membedakan keputusan di pengurusan partai pusat. sering sekali kebijakan yang diambil oleh pengurus daerah ditentukan oleh kebijakan yang diambil pengurus pusat baik tentang kepengurusan 131 maupun tentang penetapan calon-calon pemimpin yang diwakilkan oleh masyarakat, sehingga persoalan-persoalan ini, sering sekali bentrok kepentingan antara keputusan yang diambil pengurus partai daerah dengan apa yang disuarakan dalam masyarakat. Ada beberapa point penting yang diungkapkan. Nah disini bagaimana caranya memutus hubungan rantai itu, terlihat bahwasannya semakin otonom pengurus partai di daerah itu dalam proses pengambilan keputusan, semakin demokratis lah partai politik itu. Tapi itu tidak mudah dilakukan, karna ada persoalan system yang harus kita benahi ya, yang ada kaitan nya dengan parpol, system pemilu, pemilih, dan dengan pemerintah itu sendiri. Jadi kita lihat, bahwasannya demokrasi yang masuk di Indonesia ada dua pola. Pola designer dan pola strukturalisme. Jadi kita lihat bahwasannya, demokrasi yang masuk di Indonesia itu ada dua pola: 1.pola designer Memasukkan demokrasi yang bersifat mengemukaan demokrasi yang berdasarkan procedural, adanya pemilihan pemilihan bebas secara kopetitif 2. strukturalisme Ada proses liberalisasi dan kompetisi. Setiap calon memiliki peluang untuk dipilih dan memilih dalam kondisi ini. Nyatanya dalam perjalanan reformasi kita banyak implikasi implikasi yang lahir dari persoalan demokrasi liberal yang dikemukaan dalam system itu. Salah satunya adalah lahirnya peran local elit atau epranan-peranan elit lokal yang menjadi manta rantai penghubung yang kuat antara pengurus pusat dengan pengurus didaerah itu. Pengurus kuat didaerah, the local strongman, yang kemudian menjadi orang kepercayaan dipusat atau di DPP. Apakah itu berkaitan dengan Hubungan-hubungan ekonomi, hubungan social, dan hubungan lain, kemudian kepercayaan itu muncul dikalangan local elit didaerah itu. Sehingga kekuasaan yang tadinya bersifat terbuka didalam proses pemilihan demokrasi liberal tadi, jadinya tertutup, ada jenis kekuasaan yang dikemukakan oleh Jonda Prenter, ada kekuasaan yang terbuka, yang bisa terlihat dalam proses liberalisasi transpalansi pada waktu ketika melakukan pemilihan umum. ada kekuasaan yang bersifat tertutup, yang justru berkaitan dengan keputusan yang diambil yang beraada dalam wilayah loby atau wilayah tertutup. Yang hanya dapat dilihat pada saat rapat internal partai. tertentu yang Nampak ketika loby dan dalam pengambilan keputusan partai. Ada wilayah kekuasaan yng sifatnya tidak Nampak yang sifatnya hidengemonik, ada sesuatu dalam lingkungan kita yang tidak Nampak, ada saatnya kita takut ada sesuatu dalam lingkungan kita yang kemudian kita tidak tahu sehingga kita ikut arus, dan itu merupakan wilayah pada yang sifatnya invisible. Pada saat ada dalam dimensi ideologis dan dimensi budaya itu, kita tidak bisa keluar dari itu. Kita tidak bisa melawan meansteam Itu tapi itu adalah kekausaan yang tersembunyi itu, ketika kekuasaan itu tidak terlihat, ini saya curigai ini yang berhubungan relasi antara pengurus pusat dengan pengurus didaerah itu adalah kekuasaan yang tersembunyi itu. Yang kemudian membentuk kepentingan ekonomi, dalam bentuk relasi-relasi pusat dan daerah, Menerbitkan kontribusi kepada 132 kekuatan ekonomi dpp pusat. Tidak mungkin orang menggerakkan partai politik di pusat pada saat basic ekonominya tidak kuat. Basic ekonomi itu akan ditundang oleh ekonomi yang ada didaerah sehingga muncullh kekuatan ekonomi itu dibalik pada kekuasaan politik yang nampa, jadi bisa saja yang terpilih secara demokratis itu adalah orang yang bisa diterima, tetapi orang yang mengambil keputusan adalah yang bermain di belakang itu. Dan itulah yang bermain dalam hubungan pusat dan didaerah. Inilah yang disebut dengan pendekatan structural, karna itu sejak reformasi sesungguhnya kita itu tidak demokratis, karena yang bermain itu adalah kekuasaan yang tidak terbuka tadi. Yaitu hasil pengembangan budaya dan struktur politik pada masa lalu. Yang kemudian banyak kita lihat yang bermain di partai politik di DPP itu adalah mantan-mantan mereka yang sukses pada masa lalu. Yang mana mereka punya jaringan di daerah yang kemudian menjadi penggerak di tingkat pusat dan kekuatan politik yang ada didaerah. Sehingga struktur itulah yang kemudian dibentuk. Makanya kekuasaan itu tidak menjadi terbuka. Hanya terbuka pada saat pemilihan umum, lalu tertutup kembali. Inilah kekuasaan yang tidak Nampak. Muncullah kekuatan ekonomi dibalik kekuasan yang Nampak. Yang menentukan keputusan adalah orang yanga da dibelakang itu. Ini lah pendekatan structural, Karna yang bermain adalah kekuatan struktur ekonomi. Jadi model demokrasi Indonesia ada yang bersifat designer melalui proses demokrasi prosedural, tapi ada juga yang menolak. Kadang tidak perlu kita punya partai politik, karena situasi tidak menunjang demokrasi. Itu tidak bisa diubah lagi. Jadi ada kekuatan yang didalam yang justru lebih menentukan keputusan yang diambil. Dan ini lah yang disebut oleh William Reno, di Indonesia ini ada negara yang ideal dan negara sebagai suatu system. Pada negara yang ideal kita lihat siapa yang meentukan keputusan dalam legislative, sedangkan negara sebagai suatu system adalah actor-aktor yang menentukan keputusan itu yang tidak terlihat. Jadi jika pada negara ideal yang dikemukakan adalah statement atau pernyataan, tapi pada negara system adalah tindakan-tindakan yang menentukan system itu. Itulah kekuasan yang tidak Nampak atau the hidenpowers itu, sesuatu yang tidak Nampak. Sesuatu yang sudah diputuskan bersama itu berbeda. Nah, itu yang kita lihat venomena. Kecendurungan ini diperparah oleh, jadi kita ada namanya demokrasi politik Indonesia kita harus menggabungkan pendekatan designer dengan struktual tadi. Kita harus menggabungkan, kita harus melihat bagaimana lembaga politiknya, atau pengurus partai politiknya, yang kedua adalah bagaimana kinerjanya, yang ketiga bagaimana aktornya, nah ternyata yang banyak bermasalah pada pengolahan parpol adalah pada aktornya, lembaganya oke dan secara document AD/ART nya oke, yaitu sesuai prosedur demokrasi prosedural. Tapi pada kinerjanya sudah mulai tidak bagus, karena laporan-laporan yang masuk itu kan sesaui peraturan. Lembaganya keropos, artinya aktornya itu sudah dibajak, sehingga tidak ada lagi aktor yang 133 mampu, istilahnya kapasitas actor untuk membangun demokratis itu sudah tidak ada lagi. karena yang mempengaruhi keputusan adalah bukan yang membuat keputusan tapi yang bermain dibelakangnya, ada struktur social ekonomi masyarakat diluar pada system politik ideal tadi, dan kapasitas aktor yang menjadi berkurang di Indonesia ini, ada dua penyebab: yang pertama masuknya senioliberalisme sehingga masyarakat lebih senang ke mol dari pada membina organisasi sosial. yang kedua hilangnya fungsi organisasi social yang menjadi penengah masyarakat dengan partai politik. Sehingga kalau kita lihat, kinerja daripada muhammadyah itu, justru lebih bagus sebelum orde baru ketimbang setelah orde baru. Itu yang kita lihat. Kenapa? karna pada waktu orde baru ada musuh bersama. Tapi setelah musush bersama itu hilang, masuklah pengaruh global yang masuk dalam bentuk gagasan-gagasan liberalisme. Sehingga lemahnya lembaga-lembaga organisasi sosial, sebagai penghubung masyarakat dengan partai politik, proses konsolidasi parpol dengan demokrasi sehingga menjadi terpengaruh. jadi kalau kita lihat orang yang alktif di organisasi social juga aktif di organisasi politik, namun komitmen di organisasi social semakin berkurang. Sehingga actor dalam lembaga politik menjadi melemah kapasitasnya. Saya kira itu sajalah, jadi sharing saja kita kalau begitu. Terimakasih, assalamualaikum wr wb. Moderator: sebagai pemancing saya kira saya mengundang bapak dan ibuk semua memberikan pendapat sesuai makalah masing-masing. Intinya yang pak tamrin sampaikan, kenapa saya bilang menarik, Kaerna beliau ini adalah orng yang dating dari ilmu politik, saya mengundang prof ……… beliau mengungkapkan beberapa catatan penting, pertama diungkapjan dulu mulai dari dua pola, yang sebenarnya belaiu ingin sampaikan adalah kekausaan itu sebenarnya ada dua system di Indonesia ada yang tertutup dan terbuka. Ini jadi rumit. Kita milih orang si A, si B, si C, Tapi kenyataannya yang membuat keputusan adalah si Z. adanya relasi ekonomi yang terbangun, karna ada kekausaan yang terttutup disni. Saran beliau adalah kita harus menggabungkan dalam memetakan permasalaahn. Tapi yang sangat bermasalah adalah aktornya, ini benar-benar pancingan, ungkapam awal, saya yakin bapak ibu punya pandangan yang lebih jauh yang kemudian dalam kondisi seperti ini yang mungkin disepakati, tapi karena dalam kondisi seperti ini kemana akan kita bawa permasalahn ini. Dan juga soal-soal keuangan partai politik, barang kali baik untuk memicu saya mengundang bapakSyamsudin Haris dulu, ooh biasanya belakangan yaboleh. Yang lainnya barang kali, baik sudah ada tiga. Silahkan. Untuk kepentingan pencatatatn mohon sebutkan nama dan lembaga asalnya. ... Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Menarik diskusinya dengan apa yang beliau sampaikan, topic ini masih sangat jarang sekali, dari segi pembahasan maupun dari segi referensi juga sangat minim sekali, dan kita juga belum punya pengalaman dengan pengelolaan keuangan partai politik. Apakah itu dijadikan 134 sebagai desentralisasi seperti konsep yang diusulkan. Mengenai hubungan pusat dan daerah, memang ada upaya-upaya yang mendesentralisasikan kewenangan dari DPP partai ke kewanangan DPD daerah. Apa saja kewenangan itu, ada tidak upaya untuk mendesentralisasikannya. Jika kita melihat dalam UU hampir semuanya tidak ada. Jadi upaya kita untuk mensikronisasi, hampir tidak ada, karena semuanya dikunci dalam AD/ART, bahwa semua sudah diatur dalam AD/ART. Nah AD/ART menjadi bukti bahwa apakah partai itu bersifat desentralisasi atau tersentralisasi. Itu yang membuat akhirnya terpecah belah, tadi pernyataan pak thamrin yang saya amati, bahwa kita sebagai orang awam melihat apakah bahwa apakah partai PAN itu demokratis atau tidak, saya kira partai itu tidak demokratis karna dalam mengambil keputusan. Hasil survey pak thamrin boleh juga bahwa ada demokratisasi dalam DPD DPD tersebut itu mengubah persepsi saya bahwa Proses demokratisasi tidak juga harus melalui pendekatan structural, mengenai keputusan-keputusan yang diambil oleh ketua umum partai, tapi ada juga aspek-aspek lain. Dalam hubungan pusat dan daerah, itu kan ada dua unsure, unsure korporasi sama kompetitif. Dan didalam tulisan saya, saya lebih mengarah pada proses yang lebih liberatif. Mungkin nanti kita bisa mendorong dengan semakin hangatnya diskusi, lagi bagaimana upaya pengantar, apakah kita harus mengatur partai-politik itu dengan seperti itu, apakah parpol harus didiseain sedemikian rupa dengan konsep otonomi daerah, yang ditakutkan adalah ketika pengawasannya berubah, itu bisa otoriter sekali, atau akan disalah gunakan untuk menaikkan popularitas. Ini juga akan menajdi bahan diskusi juga bagi kita bahwa, apa yang harus kita lakukan ketika kita ingin mendesentralisasikan partai politik. Kalau untuk pemilihan-pemilihan kepalakepala daerah tidak memerlukan persetujuan pusat. kecuali Kalau koalisinya permanent, itu sepakat, kalau bicara dari awal atau kita menerapkan perilaku dengan konsep yang real dan jelas. Situasi didaerah kadang keadaannya berbeda, sehingga, saya pikir partai sudah memahami fakta-fakta ini, sampai sekarang mereka memperbaiki, kaderisasi dulu, agar jelas, Pola kaderisasi, Kalau hubungan pusat dan daerah itu kita harus memiliki konsep yang sedemikian rupa sehingga hubungan masyarakat dan parpol tetap terjaga dengan baik. Atau kita harus menerapkan prilaku-prilaku seperti yang mekanismenya diterapkan oleh partai itu sendiri, saya rasa partai-partai itu telah memahami fakta seperti ini bahwa masyarakat semakin jauh dari parpol itu sendiri, tapi sampai skrg mereka berupaya mengembalikan kepercayaan itu. Sehingga saya berpikir bahwa partai harus membenahi kaderisasinya terlebih dahulu, bagaimana memiliki jabatan didalam partai tersebut harus melalui tindakan-tindakan yang sesuai dengan prosedur, jika kita ingin mendisain baik secara politik maupun demokratis saya kira, demokrasi itu harus diterapkan. 135 Moderator: baik, terimakasih. Saya kira ini semakin menarik dari pagi sampai sore ini sudah mulai goyah yam as, tapi pertanyaan besarnya begini apa yanmg mau disentralisasikan dan apa yang mau diatur jangan karana kita orang hukum kita jadi gila ngatur. Dimata partai politik apakah perlu kita mengatur sejauh ini atau dinbatasi hingga titik mana kemudian muncul juga pertanyaan bagaimana cara memaksa sistem desentralisasi diterapkan didalam parpol. Disitu kata orang hukum digunakan untuk memaksa perubahan prilaku tertentu, lanjut…. bagaimana pandangannya Lutfi: Ada yang tau tidak, ada berapa yang mengatur tentang partai politik setelah saya menghitung ternyata ada banyak sekali kurang lebih ada enam norma yang memang banyak sekali. tapi tidak ada yang sama sekali berbicara tentang demokrasi partai politik. Saya sebenarnya sudah membuat sebuah paper, Dari sekian banyak norma, pertama terkait pasal 6a, pasal 24c, pasal 22e ayat 3 tentang peserta pemilihan umum DPD dan DPRD. Dan saya ingin coba lebih tahu lagi, saya melakukan research tentang partai politik itu, tapi tidak ada sama sekali yang berbicara tentang desentralisasi parpol. Saya temukan banyak sekali isu. Ada beberapa pandangan terkait penguatan kursi di kursi pemerintahan, tapi tidak ada sama sekali yang berbicara tentang upaya desentralisasi politik pusat daerah dan lain lain. Tapi ada dalam pasal 22e ayat 3 penafsiran konstitusi itu ada dua 1. Origenalirme, terkait hasil keputusan 2. .... Kemudian melalui dua penafsiran ini, hubungan desentralisasi itu sebenarnya sudah ada. Seperti kewenangan untuk menyediakan kandidat. Dan pemahaman saya sebenarnya terkait pemahaman kontitusi yang saya tulis dalam makalah saya dan saya ingin mengucapkan satu hal yang menjadi alas an konstitusional bagi kita terkait bagaimana kita menjalankan budaya partai politik. Moderator: Baik terimakasih. Tidak apa apa tidak ada solusi. Kita disini tidak diminta untuk mencari solusi, tapi kita diminta berdiskusi biasa terkait keilmuan yang kita punya. Ini merupakan diskusi yang sangat menarik mungkin karena dilatarbelakangi oleh mas lutfi bekerja di MK, jadi kerjanya ngeliatin undang undang, penafsiran konstitusi dan risalah jadi menemukan ada enam kali partai politik disebutkan dalam undang undang dasar. Apakah ada masukan lagi dari para pesrta lainnya? Dodi nur andryan: Kalau berbicara mengenai hubungan politik pusat dan daerah, bisa kita kembalikan lagi dalam satu ilmu hukum ada satu ilmu hukum yang keluar dari HTN, yaitu Hukum administrasi negara. Yang bisa menjadi jembatan disitu. Sebenarnya ini terkait 136 dengan sengketa partai politik tapi saya coba menjawab pancingan dari Mas Harun yang bisa terkait dengan masalah itu. Dari tadi saya gatel banget menunggu pancingan dari bang refi. jadi di dalam hukum tata negara mengkaji negara dalam keadaan bergerak lain lagi dalam hubungan pusat dan daerah, banyak teori teori yang mengatur tentang delegasi dan desentralisasi dan retribusi. Kalau kita kaji lagi kaitan pusat dengan daerah, ketika terjadi sengketa antara partai politik baik itu internal maupun eksternal kaitannya kalo di galakkkan, jika terjadi sengketa atau perselisihan, hukum administrasi bekerja disini,.. standar operasional turunan dari sop, keuangan yang utama surat- surta keputusan, dan segala surat menyurat dari partai tersebut. Tapi ini menjadi kelemahan bagi pengurus di daerah oleh manusianya terutama di daerah daerah terpencil minim administrasi. Mungkin mereka tidak pernah membaca AD/ART, SK SK kepengurusan. Inilah jembatan yang sebenanarnya mejadi penghubung ketika ada sengketa antara pusat dan daerah hukum administrasi negara bekerja disini Basic by document, kaitannya lagi pancinngan dari pak Refi tadi kaitannya dengan keuangan partai politik. Saya pikir ketika terjadi sengketa tidak bisa diselesaikan secara internal yaitu ketika telah masuk dalam ranah penggelapan penyelundupan jadi harus diselesaikan secara eksternal atau pidana. Kemudian kaitannya lagi dengan konsep ADR. Undang undang yang mengatur tentang ADR undang undang nomor 39 tahun 2019 diperuntukkan untuk lembaga seperti bank, perdagangan saham, badan hukum perdata. Cirri khas dari ADR ini bahwa bisnis itu harus menyelesaikan sengketa secara diam diam. Kemudian ini diadopsi oleh undang undang partai politik nomor 1 tahun 2008. Yang menjadi pertanyaan kita adalah apakah parpol ini masuk dalam ranah ADR yang seharusnya berdiri sendiri. Ini harus dikembalikan lagi konsepnya seperti apa. Menurut saya itu saja dari saya mengenai desentralisasi partai politi dan sengketa partai politik. Emy hajar abra: Terimakasih, saya mungkin agak berbeda persepsi mengenai hubungan pusat dan daerah bahwa saya sangat tidak setuju dengan desentralisasi. Hubungan pusat dan daerah saya sangat tidak sepakat dengan penggunaan desentralisasi, kecuali perspektif nya kita dudukkan dengan tepat. jadi kalau menggunakan perspektif desentralisasi, kalau yang digunakan adalah desentralisasi dengan konsep yang lain acuannya adalah pemerintahan daerah justru akan terjadi multi konflik dimana kerja pusat dilimpahkan ke daerah maka saya akan melihat dengan Dua solusi: 1. Manusianya, 2. Masalah Pusat Jika dilihat dari hubungan pusat dan dearah maka yang dilihat adalah kewenangan pusat, kekuatan pusat disalurkan ke daerah. tidak mungkin pusat dan daerah 137 memiliki perbedaan. Walaupun ada konflik itu hanya masalah internal partai. Yang jadi pertanyaan kita adlah apakah pengaturan ini sampai di tingkat undang undang atau sekedar di AD/ART. Muncul perdebatan saya melihat bahwa cukup menimbulkan konflik. terimakasih Ibrahim: Baik saya kira begini yang jadi masalah adalah masalah sistem tertutup dalam pencalonan kepala daerah dari partai politik. Dan yang jadi permasalahan adalah yang dari pusat selalu diutamakan dengan cara negosiasi dan sebagainya. Ini salah satu contoh permasalahn daerah yang tidak mengakomodir partainya di daerah akibatnya yang terjadi tarik ulur pengurus harus siap diganti dengan seseorang yang bisa melobi di tingkat nasional. Beberapa partai sudah mendekarasikan menyediakan fasilitas di tingkat DPD. Yang jadi permasalahan adalah apakah undang undang harus mengatur sampai kesana atau tidak? Disatu sisi ada ketidaksiapan partai politik menerima pengaturan ini karena lemahnya komitmen di tingkat daerah. Hampir semua politisi itu adalah pengusaha yang dibiayai oleh jaringan jaringan nasional dan ada persoalan persoalan yang memang tidak bisa dilimpahkan ke daerah contohnya keputusan yang diambil di tingkat local dan ada keputusan yang diambil bersama. kemudian kita berbicara mengenai ideologi seperti ada masyarakat miskin di suatu daerah yang menjadi persoalan sensitif partai politik. Jadi misalnya diatur… dan ada partai yang tidak bisa diatur demi demokratisasi partai. ..... Kita ingin juga menyadarkan bahwa negara kita itu negara hukum dan partai politik merupakan instrument yang baik dalam mencapai negar demokrasi. Kita sudah sering melahirkan uu parpol, sejak zaman reformasi sudah banyak. Tapi kita lupa menoleh apakah undang undang tersebut sudah terealisasi dengan bagus. Dari deretan undang undang itu kelihatanlah bahwa tujuan parpol itu jelas sehingga sesuai dengan pancasila tujuan negara. Kalau ini memang aset negara, perlakukan dengan kasih sayang. Dalam rangka itu juga termasuk penyelesaian konflik secara intern. Kalau kewenangan itu diberikan secara full diserahkan kepada mahkamah partai, tidak ada kekuasaan lain lagi seperti dilempar ke mahkamah agung. Kita harus memberikan deskripsi yang jelas tentang mahkamah partai, komposisi anggota mahkamah partai yang berjumlah tujuh. Enam dari anggota partai politik dan satu orang dari hakim luar. ..... Terimakasih, saya kira ini membutuhkan perhatian kita khususnyaperhatian kita terkait mahkamah partai. Saya berasl dari ilmu politik sehingga saya berbicara tentang intervensi parpol itu dibagi menjadi dua. Ada private speaking dan ada public speaking. Ada parpol pemerintah dan ada parpol komposisi. Tapi yang terjadi di 138 Indonesia adalah parpol yang terbentuk merupakan kolaborasi dari teori yang ada. Partai poltik aakan melakukan penjagaan terhadap maruahnya dari consensus politik. Komplikasinya adalah pada pembiayaan parpol sangat susah untuk mengatur mengenai kolaborasi antara pusat dan daerah. Betapa banyak partai yang membuat sendiri polanya seperti pola pembiayaan. Saya kira asumsi tadi harus dipatahkan berangkat dari konstitusi kita pasal 1 ayat 1,2dan 3. Mau tidak mau kiat berbicara pada implikasi partai politik yang rendah sehingga hukum harus hadir memberikan pembatasan mengatur pola hubungan tadi. Positifisasi partai politik menjadi penting untuk dibahas jangan sampai dari dulu sampai sekarang hanya itu persoalan kita. Walaupun kita tidak membatasi paling tidak desentralisasi itu mengatur batasan batasan sehingga bisa memberikan pembelajaran poltik yang bagus bagi pengurus selanjutnya Esti ekawati: Karena perspektif saya adalah politik jadi saya ingin membahas tentang konstitusinal parpol. Apakah itu membahas mengenai kaderisasi dimana kesulitan untuk mencari calon pemimpin itu sebenarnya ada institusional sendiri dari partai politik itu. Cara mewujudkan intitusinal partai poltik itu menjadi lebih baik busa ditandai dengan kepatuhan anggota parpol terhadap AD/ART secara keseluruhan. Kemudian keinginan partai yang dikendalikan oelh sistim. Untuk menjadi pemimpin harus mematuhi sistem yang ada di dalam AD/ART kemudian partai itu bisa disebt sebagai sebuah lembaga adalah setelah memahami mekanisme penyelesaian konflik yang diselesaikan oleh internal partai itu sendiri. Disini pentingnya manajeman konflik untuk mereduksi segala sentral yang ada di dalam partai. Kemudian harus ada nilai nilai yang harus disepakati oleh kader kader yang memiliki ideology sebagai solidaritas dan adanya kaderisasi yang mampu memahami dan mereduksi orang orang baru pemilik modal yang berkeinginan memimpin partai itu. Ini memacu konfli dalam partai itu sendiri. Benahi dulu partainya, benahi dulu lembaganya, baru dibuat perturan yang mampu dipatuhi oleh parpol itu sendiri. Kalau tentang hubungan pusat dan daerah, saya sangat setuju dengan sistem desentralisasi. Terimakasih. ..... Terkait dengan persoalan itu merupakan masalah internal partai. Parpol berbeda dengan yayasan lembaga perguruan dan lainnya. Orientasinya itu berada di DPP. Dalam struktur organisasi partai itu ada perangkat perangkat yang memang ada di tingkat DPP tapi tidak ada di tingkat DPC. Ini yang menjadi konflik yang mana badan legislative itu hanya di tingkat DPP. Ini membuat terjadinya sistem kepemimpinan bertingkat. Permasalahan antara pusat dan daerah menghambat kinerja partai, mekanisme penyelesaian konflik diperlukan sejauh ini. Selanjutnya mengenai komposisi mahkamah partai tidak diatur sampai sejauh undang undang. Hanya dalam AD/ART. Kita tidak melihat proses dari atas sampai kebawah ini dalam manajemen 139 konflik ya, seperti yang di daerah membantu atasan saja. Sebaiknya yang diatur dalam undang undang adalah komposisi kepengurusan di daerah. Bagaimana susunan partai agar bisa bekerja sebagaimana fungsinya. Moderator: Terimakasih ini penutup yang sangat relevan. Ada beberapa catatan yang saya buat Catatan: 1. Menarik karena kita mulai dengan landasan teoritik. yang saya kira semuanya sepakat bahwasanya ada System kekuasaan terbuka dan system tertutup. Dan bagaimana meminimalkan pengambilan keputusan yang tertutup itu karena da relasi ekonomi yang terbangun yang bisa memicu terjadinya korupsi dan sebagainya. 2. Kita mau disentralisasi, namun sejauh mana mau atur, karena diingatkan juga tadi soal negara hukum kita perlu pembatasan tersendiri. Kita perlu kesepakatan tentang apa yang perlu diatur pola hubungan antara DPP dengan DPD desentralisasi itu apa harus diclearkan dulu. Barangkali SDMnya perlu dibenahi dan difasilitasi. 3. Yang perlu diatur yaitu pola pembiayaan, multi finance yang rentan dengan korupsi dan lain sebagainya sehingga diperlukan mekanisme penyelesaian konflik. Tapi sebelimnya kita belum pernah melakukan evaluasi terhadap UU parpol barangkali bisa kita bicarakan disini untuk masukan besok. Fasilitator: Khairul Fahmi Bapak ibu yang saya hormati, ini supaya ada sesuatu yang bisa kita bawa, dan tidak mungkin juga kita mengambil kesepakatan setuju atau tidak, tapi jika pointnya kita meemang searah, kita ambil, kalau tidak kita cukup memeberikan catatan-catatan terhadap point yang tadi kita perbincangkan mulai dari pagi. Khususnya terkait dengan tema penyelesaian sengketa partai politik dan juga mengenai hubungan parpol pusat dan daerah. Kesimpulan: 1. Penyelesaian sengketa parpol, yang pertama terkait penyelesaian sengketa parpol. Kita punya tiga garis besar. 2. Mengenai bentuk hubungan aprpol pusat dan daerah dalam penyelesaian sengketa. Pilihannya adalah apakah ingin diatur dalam UU atau cukup diimplementasikan dalam AD/ART. Ditarok diawal, karena ini adalah pembahasan yang utama dan lebih jauh kita membahas substansinya. Mau 140 dua-duanya juga bisa, tapi focus kita adalah apakah kita mau mengatur lebih jauh dan detail dalam undang-undang mengenai mekanismenya. Atau kita mengatur didalam UU, sedangkan lebih lanjut diatur dalam AD/ART mengenai mekanismenya. Jadi yang mana yang kita pilih? Memang didalam Uu diatur, namun didalam AD/ARTnya lebih jelas diatur. Artinya diatur didua-duanya. Ilhamdi taufik: tentu kita lebih cendrung para bentuk UU. Sehingga intervensi pemerintah untuk mengatur AD/ART tidak ada lagi. AD/ART itukan sangat banyal, sedangkan UU hanya satu. Dalam undang-undang akan lebih mengikat. Dan timbul keseragaman dalam penyelesaian konflik. Ardilaf: Baik, itu dari Bapak Ilhamdil. Tapi saya berfikir kalau dia di atur dalam UU, tapi itu akan mengurangi nilai demokratis partai itu sendiri. Seleksi alamiah itu pasti akan ada. Parpol yang tidak mamopu menyelesaiakn sengketa internal sehingga perlu kita berikan solusi, partai itu bisa menggugat di mahkamah. kalau semua partai memiliki mahkamah partai, itu bukan lagi penyelesaian secara internal, karena setiap partai politik itu punya kewenangan menyelesaian persoalan nya sendiri. Tidak bisa diselesaikan oleh orang luar. Diatur lembaganya, kemudian jaminannya adalah demokrasi yang ada didalam partai poltiik itu sendiri. Tapi secara teknis operasionalnya. Ilhamdi taufik: saya kurang sependapat dengan Ardila Fiza, bahwa kalau kita menginterfensi penyelesaikan konflik melalui mahkamah partai, berarti kita tidak desentralisasi, misalnya komposisi mahkamah partai itu kan ada juga orang luar. Sehingga dalam penyelesaian masalah partai dapat terselesaikan dengan baik. Masalah internal partai ini sangat mempengaruhi dalam 5 tahun terakhir ini. Itu tidak berarti kita menghilangkan kebebasan partai, kita hanya menapik sebagian kecil, ada ruang supaya tidak terlalu memberikan kebebasan dalam partai itu sendiri. Karena buda masing-masing partai itu berbeda-beda. Fasilitator: Khairul Fahmi jadi ini ada dua ya, mekanisme diatur didalam UU, tapi juga disebutkan didalam AD/ART. Sepakat? Forum: sepakat. 141 Ardilaf: Apakah kekuatan mahkamah partai itu ada internal atau harus ada eksternal? Refli harun: Sebenarnya kalau mau ada diatur didalam UU itu kan, ada materi yang interfentif dan ada materi yang non-interfentif. Kalau kita hanya mengatur mahkamah partai. Terdiri dari orang independen dan lain sebagainya. Tapi intinya kita kan tidak mengacakngacak partainya. Nah yang menjadi masalah Cuma apakah akan disebutkan dalam UU atau sekedar AD/ART. Kalau dalam UU ada kepastian. Hukum acaranya diatur di dalam UU. Fasilitator: Khairul Fahmi jika ini pandangan kita bersama, kita bungkus, bagaimana isinya ya partai yang isinya. pelaksanaannya ya partai yang ngatur, mekanisme dan hukum acara diatur dalam uu. 1. Yang ebrikutnya adalah soal institusi. Institusi yang akan menyelesaikan sengketa parpol a. Internal parpol: mahkamah partai b. Ekternal : arbitrase atau pengadilan c. Gabungan Kalau kita bicara internal dan eksternal, itu ada pengadilan dan non pengadilan. Lalu kita memilih lembaganya. Esty ekawati: sebentar, saya ingin mengclearkan saja, bahwa tadi dalam sengketa parpol itu tanpa memisahkan sengketanya, jika itu sistem kita, itu sudah menyalahi sistem diluar pengadilan. Bahwa jiak kita mau konsistenkan, harus ditentukan mana yang mau diselesaikan diluar pengadilan, mana itulah finalnya, mana yang diselesaikan didalam, maka itulah finalnya. Maka kalau kita gabungka. Jika sudah berbicara mengenai AD/ART jangan bicara lahgi soal penagdilan. itu harus ada pembedanya. Jika kita gabungkan itu, maka kita tidak tunduk dengan sistem pengelesaian sengketa diluar pengadilan atau arbitrase. Emy hajar abra: jika digabungkan, jika berbicara mengenai ad/art maka tidak boleh diinterfensi dengan pengadilan. Refli harun: kita samakan perspektif dahulu, apakah mau internal, eksternal, atau gabungan. Kalau saya lihat, semangat inikan maunya internal. Diselesaikan oleh partai politik. Nah yang eksternal berarti diluar pengadilan. Nah, kita dapat kombinasinya. 142 permasalahan diselesaikan oleh parpol sendiri. sekarang baru beranjak ke lembaganya. Apakah mahkamah parpol ataukan badan arbitase dan sebagainya. Jadi gabungan internal eksternal, tapi out of the court. Jadi pilih dulu perspektifnya. Fasilitator: Khairul Fahmi kita setuju eks atau int. untuk dibawa keluar arbitrase atau kepengadilan? Arbitrase bisa dibentuk satu institusi pengelolaan partai. Refli harun: boleh tidak saya usul begini. jadi setiap masalah partai diselesaikan internal, tapi jika tidak selesai baru boleh dialihkan kebadan arbitrase politik. Karena jika langsung ke arbitrase, tidak menghargai perspektif internal tadi. Yang bekerja ketika ada kasus, kalau tidak ada kasus ya tidak bekerja. Fasilitator: Khairul Fahmi artinya dia tidak memiliki institusi tersendiri ya? Dia masih dalam partai, tapi ada organ lain. melibatkan lembaga lain yang diluar pengadilan. Ardilan: tadi saya katakan bahwa saya sangat setuju parpol punya pertanggungjawaban dan mempunyai jiwa masing-masing. Jiak ada sengketa internal, ada penyelesaian internal. menyangkut moral partai. Tidak boleh dibawa keluar. Arbitrase bukan internal, ada dua pihak, kalau dia sekedar dikatakan internal partai politik. Kalau parpol tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri, maka tidak layak disebut partai politik. bisa diajukan ke makamah pemerintah sebagai pihak yang bisa mengajukan partai politik kepada mahkamah konstitusi. Apabila parpol tidak mampu menyelesaikan sekian tahun, kita serahkan ke MK untuk mengajukan pembubarannya, tapi kalau kita serahkan ke pihak konsolidasi dan mediasi, itu adalah pihak eksternal, dalam format keprdataan, personal dengan personal, kelompok dengan kelompk, bukan internal, karna kita harus menyelesaikan point di dalam diri kita, bukan diluar dirikita. Fasilitator: Khairul Fahmi kasus yang atdi disampaikan oleh pak ardilan, artinya kalau konflik dari luar forum tertinggi maka diselesaikan internal. Tapi jika konflik muncul dari forum tertinggi, artinya muncul dua kekuatan besar antar partai yang berkonflik tentu tidak bisa diselesaikan oleh mahkamah partai. Itu salah satu contoh pak. Mungkin ini yang dibawa ke arbitrase. Ardilan: Mahkamah partai itu sifatnya tetap kalau ini bisa diselesaikan. Sulitkah mencari orang yang benar-benar cinta terhadap partainya, terutama untuk negarawan. Kalau 143 dia adalah orang P3, dia tidak akan mau menghancurkan P3 demi pribadi yang ada. Partai politik yangs eperti itu saya rasa merupakan partai yang tidak bertanggung jawab terhadap anggotanya. Prof Syamsudin Haris: Saya sedikit aja yah, saya setuju dengan argument pak ardilafiza, bahwa konflik sengketa itu dituntaskan ditingkat internal. Kalau kita coba menerjemah argumentnya adalah bahwa kalau konflik sengketa itu terkait partai, ya selesai dipartai. Makanya menjadi penting disini komposisi mahmakah itu sendiri sehingga memiliki cukup kewibawaan, bagaimana membentuk mahkamah yang credible, sehingga dapat menyelesaikan sengketa atau konflik tanpa pengecualian. Rosyita: Maaf bapak apabila tadi kita sudah membungkus apakah ini gabungan, artinya ini kita balik lagi kebelakang. Jadi saya pikir tidak akan selesai jika kita membahas dari sesi pertama sampai sesi terakhir jika harus kembali lagi ke awal. Kalau tadi sudah sepakat, internal dan eksternal, jadi ya sudah gabungkan saja. Jadi mas Fahmi jangan kembalikan lagi, seperti itu. Nah, kita tadi membicarakan lembaganya, bahwasannya seperti itu nantinya adalah menuju mahkamah kosntitusi. Akan ada amandement. Yang berdampak pada pembubaran partai politk. Itu bukan lagi permasalahn internal. Kita berbicara tentang ideology. Sehingga kita tidak berdebat panjang lagi. Jadi bang Fahmi ketika didepan, kalau membungkus, bungkus yang rapi dan rapat. karna jam nya juga sudah jam 6. Fasilitator: Saya setuju dengan bungkus membungkus tadi. Tapi ini ada satu lagi. Emy: terakhir ya pak, terkait penyelesaian sengketa. Kalau sesuai pemahaman saya, internal itu tidak ada lagi konsiliasi, mediasi, arbitrase, karena sudah ada mahkamah partai. mahkamah partai adalah internalnya, jadi harus final and binding. Maka dalam internal itu masukkan orang externalnya, bukannya ada eksternal lagi. Kemudian yang terakhir itu masalah pengadilan. Itu internal parpol itu ada mahkamah partai, yang terdiri dari internal dan eksternal. Kemudian ada eksternal ketika konfliknya tidak mungkin diselesaikan di internal. Fasilitator: Point permasalahan parpol diselesaikan. Sengketa parpol diselesaikan oleh mahkamah partai. Mekanisme diperkuat oleh AD/ART Refli harun: 144 jadi hanya mengingatkan saja, dalam konteks yang saya pikir bahwa tidak melihat realitas. Jadi yang dilakukan oleh democrat adalah, dia merecall lima orang, yang akan diganti oleh orang lain. Rekomendasi saya adalah internal boleh, recall ditiadakan. tidak ada lagi mekanisme eksternal yang bisa mengatur secara suka hati. Fasilitator: kewenangan recall dihilangkan. Stuju? baik, yang terakhir, ini juga sudah kita sepakati bahwa hukum acaranya diatur dalam UU. Berikut nya adalah soal hubungan pusat dan daerah, butuh pengaturan dalam UU dan AD/ART. Tapi ada penekanan bahwa tidak semuanya kita tarik dalam ranah pengaturan. Untuk itu kita membatasi dengan memuat prinsip-prinsip umum dalam keuangan daerah, penyelesaian konflik tidak kita bahas lagi. Jadi apa batasan kita menagtur dalam UU? Jadi tadi kan kata bang Bambang tadi kepastian itu kan perlu. Ini gimana kira-kira? Prof syamsudin Haris: jadi saya pikir desentralisasi sebagian. Kewenangan partai itu memang memiliki pembagian pusat dan daerah. Batasannya ada 3 wilayah, yang kedua adalah pendekatan oleh calon legislative. Desentralisasi itu selevel. Jadi begini, untuk penetapan caleg, tapi kalau hanya dilakukan oleh pengurusan satu level dibawahnya, dan persetujuan itu dilakukan oleh satu level diatasnya.. Contoh, untuk caleg kabupaten DPD kabupaten kota, itu pengusulannya, pengajuannya dihasilkan oleh DPD, tapi di tetapkan kewenangannya satu level diatas DPC. Nah begitu juga untuk caleg lainnya, satu level diatasnya. Caleg kota menjadi otoritas DPD kabupaten/kota. Berarti berjenjang. Ilhamdi taufik: kalau demikian yang disampaikan prof. itu kan ada dua pintu. Pengusulan dibawah, dan penetapan dipintu atas. Itu kan biasanya masalah dipenetapan. Ini yang kita ragukan. Ini menjadi persolan. Misalnya, dpc telah berkali kali mendemo dpp. Kenapa usulan dibawah ini tidak diterima, sampai membakar kantor. Ini persoalannya. Saya menangkap tadi apa yang dikatakan prof. pertama usul dari yang dibawah, ketetapannya diatas. Ini materilnya oke disini, nah inilah orangnya. Layak menjadi calon. tapi dia bisa mental oleh satu tanda tangan. Karna kertas kop dipegang oleh DPD. Bagaimana mengisolasi persoalan ini? Prof syamsudin: otoritas yang dimiliki oleh DPD sebutlah wilayah Kota/ Kabupaten atau Provinsi, kalau 1100 persen, bisa jual beli peluang menjadi peluang menjadi caleg. mengenai presentase kewenangan itu, tapi secara substansi. Sebab bagaimanapun, pengurus daerah tidak punya modal. Baik dalam hal uang maupun yang lain-lain. Pada umumnya parpol kita bersifat yang bawah kan ngikut. 145 Fasilitator: kita cukup 10 menit lagi. Zulya asma vikra: udah jelas tadi sama prof. syamsudin hadis. Ada 3 point yang disampaikan beliau itu, masalah penetapan ketua partai, kedua masalah penetapan ketua DPD, yang ketiga masalah penetapan peserta calon pilkada. Yang kemudian di atur didalam UU. Apakah selevel atau satu tingkat diatasnya. yang selama ini berjalan adalah satu tingkat diatasnya, mungkin mekanisme berbeda setiap partai, diatur dalam AD/ART. Fasilitator: kita tarik kesimpulan ya. Refli harun: kita mengatur apa yang bisa diatur dalam UU. Dan jangan lupa nanti mengatur kalau ada konflik, kita sudah sepakat diserahkan ke mahkamah partai. Jadi pengusulan itu harus dari bawah. Anggota DPR, DPD plus kepala daerah. Pertanyaannya adalah bagaimana mereka mengatur sistem dipartainya. Yang penting adalah ketika mereka mendaftar di KPU harus ada dokumennya. Hasil musyawarah. Saya mengusulkan kalau dia adalah anggota DPRD tingkat Kab/Kota itu dihasilkan dari hasil musyawarah Kab/ Kota. Provinsi juga begitu. Tapi intinya adalah harus buttom up dari bawah itu. Fasilitator: Baik, terimakasih. Bisa kita bungkus ya, ada 3 point 1. Pengusulan caleg dan kepala daerah harus buttom uptapi mekanisme diserahkan kepada partai, 2. Penetapan caleg dan kepala daerah kita atur dalam UU 3. Proses seleksi dan penetapan calon dilakukan secara berjenjang. Itu saja pointnya, silahkan pilih siapa yang akan menyampaikan pointnya di penyampaian hasil PGD II besok pukul 08.30. Terimakasih dan mohon maaf kalau ada yang salah. Assalamualaikum Wr. Wb. 146 PARALEL GROUP DISCUSSION RUANGAN 3 Tema: Sumber, Pengelolaan, dan Pengawasan Dana Partai 1. SESI I (10.30-12.30 WIB) Hari/Tanggal : Selasa, 6 september 2016 Moderator : Charles Simabura, S.H,M.H Narasumber : - Magnus Ohman - Pipin Sopian (DPP PKS) - Prof. Dr. Ramlan Surbakti Moderator: Charles Simabura,S.H,M.H Bapak ibu yang saya hormati kita akan mulai sesi ketiga dari pelaksanaan konferensi yaitu PGD pada grup ini kita akan mendiskusikan tentang pengelolaan transparansi dana di partai politik atau uang partai. Sudah hadir para peserta call paper, para peninjau yang saya hormati perwakilan dari beberapa Negara sahabat dan juga narasumber pemancing dalam perspektif teori maupun perbandingan di beberapa Negara. Di hadapan kita saya perkenalkan pertama adalah Profesor Ramlan Soebakti, semua yang dari Indonesia pasti tahu beliau, jadi kalau saya perkenalkan ini justru merendahkan kepopuleran beliau, jadi tidak saya perkenalkan lagi siapa beliau inilah dia pakar politik, pakar pemilu, mantan komisioner KPU. Beri applause yang meriah kepada Berikutnya ada bapak Magnus Ohman beliau salah satu peneliti senior di IFES terutama dalam bidang pendanaan partai, manajemen partai dan transparansi partai politik kita berharap pak Magnus bisa berbagi pengalaman bagaimana kemudian pengalaman IFES di beberapa negara tidak hanya di Indonesia. Yang disebelah ujung sebelah kanan, the right side, beliau dari DPP Partai Keadilan Sejahtera(PKS), bapak Pipin Sopian, sekarang adalah ketua departemen politik DPT Partai Keadilan Sejahtera, kita akan minta pandangan beliau, mudah-mudahan mewakili partai karena jangan sampai beliau disini hadir sebagai pribadi saja sehingga aspirasi kita nanti tidak bisa sampai nanti ke partai. Saya yakin karena beliau ditunjuk secara resmi ya kita minta nanti apa apa yang betul-betul disampaikan itu betul-betul aspirasinya partai, jadi Pak Pipin nantinya jangan menilai 147 ini pendapat pribadi saya, jangan, karena itu jadi … juga nanti, harus kita berharap ini sikap dari PKS. Beri applause kepada pak Pipin dan juga Pak Magnus Ohman Waktu kita adalah sampai pukul 12.30 jadi kita punya waktu hampir satu setengah jam, saya mohon kepada para pemancing diskusi untuk disiplin menggunakan waktu. Mohon maaf prof, nanti jangan bilang saya kurang ajar ya prof kalau nanti di cut. Masing-masing saya kasih sepuluh menit, dengan nanti berharap 30 menit selesai, satu jam kita bisa diskusi. Kesempatan pertama saya persilakan dulu Prof. Ramlan. Silakan prof. Prof. Ramlan Soebakti: Disiplin waktu ini terutama membahas bidang seperti ini susah dipenuhi, apalagi ini materinya satu semester disuruh bicara sepuluh menit. Ibu bapak sekalian saya ingin berbicara 3 poin, poin pertama biar kita punya titik tolak yang sama, pertama mengenai partai politik, itu saya menyebut sekurang-kurangnya ada 3 unsur yang harus dipenuhi supaya bisa menjadi partai politik. Saya tidak bicara dari segi yuridis ya. 1. Ada sekelompok warga yang secara sukarela membentuk partai politik dan 2. Sudah punya ideology atau cita-cita politik. Apa yang dimaksud cita-cita 3. menjadi anggota. politik Negara dan bangsa macam apa yang mau dia bangun. Terus yang ketiga dari organisasi, organisasi itu system perang ada tujuan ideology partai tadi atau tujuan itu maka timbul berbagai tugas untuk itu ada pembagian kerja. Saya mengikuti pandangan dalam ilmu politik yang memandang kalau dalam bahasa Inggris bisa disebut political party is necessary but not sufficient for functioning democratic political system. Jadi partai politik itu necessary (mutlak) tapi tidak cukup hanya partai politik saja untuk berfungsinya suatu system politik demokrasi. Jadi mudah saja, kenapa partai politik saya sebut necessary karena ada juga yang tidak sependapat. Kalau tidak salah di satu jurnal saya baca, partai politik tidak perlu untuk berdemokrasi. Nyatanya katanya ada beberapa Negara pulau di Pasifik Selatan yang tidak ada partai politik. Partai politik dijalankan oleh kepala suku, tapi saya kira saya lihat secara universal, partai politik necessary but not sufficient for functioning of 148 democratic political system. Mengapa necessary, mengapa partai itu mutlak? Karena dia menjalankan empat fungsi, mungkin agak beda dengan yang disampaikan pak Saldi tadi, satu partai politik itu jembatan antara warga Negara dengan Negara. Maka partai merekrut warga Negara baik laki-laki maupun perempuan menjadi anggota partai dan partai politik menjadi wadah partisipasi. Yang kedua, partai menyiapkan calon pemimpin, kaderisasi begitu. Setelah menyiapkan, dia menyeleksi dan kemudian menawarkan calon pemimpin itu dalam pemilu. Jadi calon anggota DPR/DPRD, calon Presiden, atau calon kepala daerah. Yang ketiga, merumuskan rencana kebijakan public kalau di Indonesia disebut visi misi program, merumuskan rencana kebijakan public berdasarkan aspirasi rakyat fungsi representasi partai politik itu dituntun oleh ideology partai tadi. Tadi dalam forum di Indonesia katanya symbol pajak, kalau saya menyebut ideology partai di Indonesia lebih banyak digunakan sebagai tontonan. Dan hamper tidak digunakan sebagai tuntunan. Fungsi yang ke-empat, partai mengkoordinasi bagaimana mengendalikan para kadernya yang duduk di lembaga legislative maupun eksekutif supaya untuk mereka berperan menurut garis kebijakan partai. Nanti itu bayangkan bagaimana ada suatu Negara demokrasi menerapkan demokrasi perwakilan tidak ada partai politik yang menjalankan empat fungsi itu. Bayangkan kalau setiap orang itu bisa menjadi calon anggota DPR/DPRD, Presiden, kepala daerah itu akan membingungkan sekali bagi kita pemilih, bukan hanya, kedua kemudian setiap calon itu merumuskan kebijakan public sendiri, pasti akan membingungkan. Nah partai disini tidak hanya menyiapkan calon pemimpin tapi menyeleksi sehingga yang dipilih kemudian orang yang terbaik diantara yang baik. Demikian juga dengan rencana kebijakan public yang disiapkan itu juga sudah dimatangkan. Sehingga rakyat yang memilih itu tinggal hanya memilih mana yang dianggap paling bagus. Itulah mengapa partai disebut necessary dengan menjalankan empat fungsi. Tetapi ibu bapak sekalian untuk menjalankan empat fungsi ini, saya ingin kemukakan karena kita di Indonesia menjalankan demokrasi perwakilan bukan demokrasi langsung. Demokrasi langsung (direct democracy) mungkin tidak perlu partai politik. Tentu sekarang ini banyak Negara yang juga mulai menerapkan direct democracy tapi tidak pernah menghilangkan demokrasi perwakilan. Nah untuk menjalankan empat fungsi tadi perlu uang perlu dana, maka 149 dalam ilmu politik ilmuwan politik juga membuat perumusan. Money is necessary but not sufficient for functioning of democratic political party, uang itu penting, bayangkan apalagi sekarang di zaman teknologi informasi ini dana diperlukan sangat besar. Tapi uang saja tidak cukup, tetapi juga begini uang tidak pernah tidak menimbulkan masalah dalam politik, karena uang bisa digunakan untuk membeli kekuasaan, uang bisa digunakan untuk membeli kebijakan. Nah sekarang pertanyaannya saya masuk ke poin kedua situasi keuangan partai politik di Indonesia nah ibu bapak sekalian, untuk mempersingkat kata ini, ternyata partai politik kita di Indonesia memilih/mengambil keputusan untuk mencari uang sendiri untuk partai. Mungkin dengan beberapa exception seperti PKS misalnya, dia mengumpulkan saya tidak tahu teratur apa tidak iuran, cuma di PKS sukar dibedakan ini iuran partai atau sedekah atau amal. Ya tentu konsekuensi masing-masing, kalau iuran anggota tentu dipertanggungjawabkan kepada public kalau amal gitu malah gak boleh diketahui oleh orang lain. Ya itu dua hal yang berbeda kan, misalnya PDI Perjuangan juga. Tapi sekali lagi baik PKS maupun PDIPerjuangan itu ada apa namanya tidak menerapkan itu secara rutin itu menurut pengamatan saya nanti bisa dikoreksi mungkin belum sistematis, belum kontinu begitu. Oke. Nah kalau begitu darimana partai politik kita mencari uang untuk mendanai. Itu katanya partai politik di Negara dimana free ride society penumpang yang gratis saja. Nah tapi memang partai politik tidak berupaya keras mencari untuk dana misalnya dari iuran anggota dan anggota partai juga mengatakan ngapain dia bayar iuran ke partai kok gak ada insentifnya, kok gak diatasi oleh Negara oleh partai. Ada empat strategi yang biasa digunakan nanti kita lihat yang mana yang diterapkan di Indonesia. Satu, yang ini saya kutip ini rupanya sudah pernah saya tulis di… pengendalian keuangan partai politik yang diterbitkan oleh kemitraan. Yang pertama itu apa yang disebut client mass political party, partai politik pertama yang kadernya duduk di lembaga legislatif itu menggunakan kekuasaannya dalam pemerintahan untuk mencari dana dari pemerintahan kemudian dia bagikan kepada para anggota dan pekerjanya tentu diharapkan kesetiaan dan dukungannya bukan clientalistic tetapi ini hanya mungkin terjadi kalau birokrasi itu masih bisa diintervensi oleh partai. Di Indonesia apakah ada praktek seperti itu? Saya kira terutama partai yang terpilih jadi presiden. Ada yang mengatakan mengapa partai democrat bisa menang? 150 Jumlah kursinya sampai sejumlah 300% pada pemilu 2009. Karena menggunakan semua anggaran populis itu untuk itu. Jadi konon sudah ada… markus leiser… Yang kedua, itu yang disebut partai dibiayai oleh elit partai, oleh ketua umumnya. Ketua umum itu dari para pengusaha dan tentu dari usahanya sendiri, kalau dia pejabat itu juga dari pengusaha tapi karena dia memberi keamanan kepada pengusaha itu… Di Indonesia itu diterapkan tapi tidak hanya dari ketua umum juga semua anggota kader partai duduk di lembaga legislative maupun eksekutif dipotong gajinya, kecuali Nasdem. Nasdem saya dengar, itu tidak memotong gaji anggota DPR/DPRD tentu harus ada yang menanggung yang menanggung pak Surya Paloh. Tentu juga punya konsekuensi kan jadi putusan akhir juga semua pada pimpinan …Nah itu elit partai yang pegang, konsekuensinya apa? Kalau pertama tadi konsekuensinya korupsi kan. Menggunakan dana public untuk kepentingan partai tertentu. Yang kedua juga tidak demokratis karena dibiayai oleh elit partai kemudian mengatakan ngapain saya dia gak peduli dengan anggota, gak ada dalam demokrasi yang seperti itu, terjadi juga sekarang di Indonesia. Yang ketiga, partai dibiayai oleh elit eksternal, ini seperti partai yang di Italia itu, saya lupa namanya siapa ya, dia punya klub sepakbola, dia punya televisi punya radio… partai. Tapi itu … sekarang dia karena sexual harassment atau dia womanizing gitu akhirnya dia masuk penjara, dia tidak lagi. Tapi itu adalah partai yang didirikan dan dibiayai sendiri oleh sori ini internal ya yang eksternal maksud saya adalah dibiayai oleh tokoh mungkin pengusaha tertentu atau orang tertentu mungkin bukan pengusaha. Tentu ini juga tidak bagus partai didikte orang tertentu diluar satu dua orang tertentu. Apakah partai kita ada yang seperti itu? Ada juga, walaupun mungkin kontribusinya berapa ini terutama kita lihat waktu di pilkada itu ada namanya Bandar pilkada. Semua calon kepala daerah itu dia dikasih duit, yang dikasih paling banyak yaitu pasangan calon yang tingkat elektabilitasnya paling tinggi. Ini juga pasti tidak demokratis karena partai didikte oleh orang tertentu yang punya duit. Yang keempat disebut partai kartel, ini ada koalisi partai, bersama-sama bersepakat untuk mencari uang dari Negara. Dan yang kedua juga tujuannya menghambat munculnya partai-partai baru yang menyaingi mereka. Nah di Negara-negara eropa barat semua partai yang… punya kursi di DPR dapat uang dari Negara, kalau tadi ada usul pak Saldi tadi apa 151 konsekuensinya? Jika kemudian partai dibiayai sepenuhnya oleh Negara akhirnya… partai … daripada anggota tergantung pada Negara tergantung pada dirinya sendiri. Jadi kartel itupun kalau seluruhnya makanya tadi pak… haris… ada semacam konvensi itu dikatakan maksimal 30% dari pengeluaran partai itu berasal dari APBN bukan dari pemerintah tapi istilah ini perlu dipahami pemerintah itu adalah di Indonesia, Presiden wakil presiden dan cabinet yang berarti peserta pemilu jadi bantuan itu bukan dari pemerintah melainkan dari Negara jadi… mendapat subsidi dari Negara, itu artinya kita semua, artinya partai kita … disini bisa menyampaikan hasil penelitian dia mengenai keuangan partai. Ternyata pengeluaran disini lebih banyak daripada penerimaan resmi, jadi pengeluaran partai lebih banyak dari penerimaan resmi. Karena penerimaan resmi itu tentu hanya itu apa namanya potongan gaji anggota DPR terus 180 rupiah per suara yang dipilih Negara itu, itu yang resmi. Yang tidak resmi itu kemana darimana? Kalau dulu, mungkin tiga tahun yang lalu itu dianggap sumber daya gaib itu karena gak tau misterius sekarang makin jelas kalau semua hasil korupsi. Pengeluaran yang utama partai kita ada dua yaitu satu, kongres, muktamar, munas yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 orang dari tiap-tiap kabupaten kota, wah ini memang mahal sekali ini tidak hanya transportasi dan sewa hotel tapi juga segala pernak-perniknya segala macamnya termasuk dengan oleh-olehnya gitu ya. Ingat kongres partai democrat oleh-olehnya itu adalah HP yang dibagikan oleh pak Anas itu. Oke. Kemudian pengeluaran kedua itu pemilu. Dan pemilu pun yang dilaporkan bapak ibu sekalian tidak semua yang dilaporkan dan dilaporkan juga tidak benar misalnya pemilu DPR/DPD terakhir itu misalnya penerimaan dan pengeluaran calon anggota DPR itu malah diperintahkan maksimal laporannya 400 juta jangan boleh lebih dari situ, jadi ada yang sudah dipermak laporannya. Saya tanya kenapa begitu, supaya nanti nyusun laporannya lebih mudah bahkan ada pemilu presiden kita tau semua itu kampanye di televise itu tidak dilaporkan ke KPU. Situasi keuangan poin saya adalah dari segi penerimaan resmi kecil nyatanya dari elit partai yang tidak transparan kemudian juga hasil korupsi… banyak orang orang partai sudah masuk penjara karena menggunakan pendanaan Negara. Itu komisi V di DPR itu, nanti kita lihat bagaimana pembuktian di pengadilan, itu salah satu wujudnya saudara sekalian begini, ada APBN perubahan misalnya ada tambahan anggaran 50 trilyun itu dibagi dua, 25 trilyun pemerintah yang 152 menentukan penggunaannya 25 trilyun DPR yang menentukan penggunaannya. DPR ini siapa, 10 fraksi itu umumnya untuk infrastruktur nanti tinggal fraksi yang menentukan nanti anggarannya ke arah mana. Dia nanti mendapatkan fee-nya atau apa kontraktor nanti dalam infrastruktur ini sekali lagi tidak transparan dan tidak dipertanggung jawabkan. Nah poin saya yang ketiga adalah perlu reformasi keuangan partai politik. Reformasi tentu dalam tiga hal, satu tentu dari segi penerimaan saya usulkan, ini sebenarnya bukan usul lagi ini sudah masuk rancangan draft RUU yang disusun oleh kemitraan pemerintah dan DPR. Sumber keuangan partai itu ada tiga, satu dari Negara, dua dari internal partai dan ketiga dari masyarakat. Dari Negara, kalau tadi pak Saldi menyebut dua scheme begitu, saya mengusulkan tiga hal dari Negara, satu yaitu subsidi dari Negara untuk membiayai fungsi pertama dan kedua partai politik itu tadi, menjadi jembatan antara warga Negara dengan Negara dalam bidang politik. Kemudian yang kedua, menyiapkan calon pemimpin(kaderisasi) itu perlu dana yang besar. Nah ini yang diperoleh dari subsidi Negara, kini terbentuknya bagaimana. Partai politik peserta pemilu yang lolos ambang batas saya bagi dua, dua kategori partai pemilu. Satu yang lolos ambang batas dan suara yang dia peroleh itu sampai 10% jadi 3,5% itu jumlah partai yang mendapat suara yang sama atau menerima jumlah yang sama dari subsidi Negara. Yang kedua, itu lebih 10% itu akan menerima subsidi yang sama dengan untuk mempunyai suara lebih dari 10% dan jumlahnya lebih besar dari kategori pertama. Ini sekali lagi berdasarkan jumlah pemilih. Yang dihormati dan dihargai itu bukan partai dan kursinya melainkan perolehan suara yang dia peroleh. Jadi itu artinya dia mandat dari pemilih. Untuk yang kedua itu menciptakan persaingan yang bebas dan adil antara peserta pemilu. Ini ada tiga bentuk subsidi Negara dalam kampanye pemilu, satu kalau ada debat di televise itu dibiayai oleh subsidi Negara. Kedua iklan kampanye melalui media cetak dan elektronik itu jenis iklan untuk semua partai ditanggung oleh Negara. Tetapi partai dimungkinkan … kalau punya uang sendiri boleh menambah dua jenis iklan baru. Sekali lagi, maksimal dua dan dengan biaya sendiri. Yang ketiga, program partai bukan visi misi program tapi program yang terukur begitu yang betul-betul operasional itu digandakan dalam jumlah yang sama untuk semua partai untuk dibagikan dalam pemilu, itu wujud. Kemudian yang ketiga saudara sekalian … jadi 153 begini mendorong partai itu sebagai lembaga demokrasi, jadi tujuan reformasi keuangan partai politik itu satu, mendorong partai politik berkembang sebagai lembaga demokrasi kemudian ada transparansi, akuntabilitas dan seterusnya. Untuk matching fund yang saya maksudkan adalah begini, partai politik yang mampu mengumpulkan iuran anggota selama setahun seratus juta Negara memberi seratus juta tapi betul-betul iuran anggota, bukan ada satu orang anggota menyumbang 100 milyar gitu kan. Betul-betul iuran anggota, nah ini maksudnya bagaimana membuat partai supaya anggota partai itu tetap berniat untuk membayar iuran. Itu berarti partai politik memang harus demokratis. Pengambilan keputusan yang sifatnya substansial dalam partai harus inklusif, ini tadi baru koma saya titik dahulu. Kalau partai demokratis artiny aanggota ikut dalam pengambilan keputusan, siapa calon dan sebagainya, dia bayar iuran itu dihitung sebagai insentif. Nah kemudian harus ada dari partai sendiri kemudian ada dari masyarakat. Untuk pengeluaran saya ingin menyampaikan dua hal, satu pengelolaan pengambilan keputusan mengenai utang … kongres dan sebagainya itu perlu diubah bukan lagi seperti yang selama ini terjadi yang mahal dan tidak demokratis melainkan pengambilan keputusan itu melalui pemilihan pendahuluan pimpinan pusat menyiapkan calon … yang kompetitif begitu nanti biar anggota partai di tingkat desa/kelurahan yang memilih. Nah konvensi partai tinggal merekapitulasi dan menetapkan apa yang terpilih, sedangkan rencana kebijakan nasional oleh suatu partai draftnya disiapkan oleh partai nanti juga disetujui oleh anggota partai yang dibawah, ini murah ini lebih murah tapi lebih demokratis. Ingat, seorang politikus Jerman Robert Mitchell itu mengatakan, partai politik itu makin komplek suatu organisasi termasuk partai politik tidak akan dikelola secara demokratis melainkan oligarki. Itu terjadi dari … itu kalau dibilang system seperti sekarang sampai kapanpun sampai dunia kiamatpun partai politik kita tidak akan pernah demokratis dengan struktur seperti itu. Yang mana mengurangi kebutuhan pemilih kita untuk ikut dalam transaksi jual beli suara. Jual beli suara itu ada yang memang, ada sebagian yang memang kami membuka atau mengundang ‘serangan fajar’ itu berbeda. Ini orang-orang yang membutuhkan. Bagaimana lagi saya tidak yakin untuk menghilangkan sama sekali tapi mengurangi kebutuhan sebagian pemilih itu dalam transaksi jual beli itu. Bagaimana menguranginya? Dengan peningkatan pelayanan 154 public, pemberantasan kemiskinan absolute, peningkatan pelayanan pendidikan, kesehatan dan transportasi publik yang lebih murah dan lain sebagainya, itu akan mengurangi kebutuhan, keinginan untuk menjual suaranya dan pada dasarnya menjual dirinya. Itulah reformasi dari segi pengeluaran dengan tiga bentuk subsidi pemerintah seperti yang saya sebutkan ini sebenarnya sekaligus reformasi dari segi pengeluaran. Dan subsidi dari Negara itu jelas penggunaannya. Nah tentu semua in harus ada ketentuan mengenai dana kampanye, lebih besar lagi keuangan partai politik. Tadi sudah diusulkan menjadi undang-undang oleh Pusako, tentu harus ada konstitusi yang menegakkannya. Sekarang ini praktis tidak ada, KPU itu cuma punya dua kewenangan membuatkan peraturan pelaksanaan kedua menetapkan kantor akuntan public yang mengaudit, kemudian mengumumkan hasil, itu saja. Tidak punya kewenangan untuk mencari informasi, menyidik dan sebagainya. Apa institusinya? Penutupnya ada tiga pilihan, model amerika, model Inggris atau mau kita model kita sendiri. Model Amerika itu yang kita tahu, di tingkat federal tidak ada itu yang namanya KPU, Federal Election Comission yang kerjanya memang hanya menegakkan ketentuan dana kampanye tidak ada yang lain. Karena Amerika tidak punya KPU tingkat federal, KPUnya tingkat Negara bagian. Atau model Inggris, The British Election Comission, itu hanya tugasnya sederhana sekali menyelenggarakan pemilihan anggota parlemen saja, mungkin empat tahun sekali karena itu diberikan kewenangan untuk menegakkan ketentuan undang-undang kampanye. Nah tugasnya ada tiga. Ini penutup betulan penutup. Satu, memang sosialisasi mengenai ketentuan ini tapi yang kedua melatih. Jadi tadi kalau pak Saldi mengatakan BPKP, BPK dan sebagainya. Saya menyebut institusi ini yang saya usulkan sebenarnya…itu Komisi Penegak Hukum Pemilu atau transformasi dari Bawaslu. Apalagi sosialisasi dan melatih itu setiap partai… orang yang mampu menjalankan ketentuan ini. Tentu badan ini bisa bekerja sama dengan kantor akuntan publik atau BPK dan lain sebagainya. Yang ketiga mempunyai kewenangan untuk menyidik, menyelidiki dan menyidik. Orang yang dianggap tahu informasi itu wajib menyebarkan informasi dan yang ketiga tentu menegakkan sanksi administratif dan sebagainya. Moderator: Charles Simabura, S.H., M.H. 155 baik terimakasih Prof. Ramlan. Beliau… penyampaian beliau itu banyak sekali dan kita bisa terlarut-larut. Tapi memang asik prof, apalagi mengenai hokum tata Negara. Tapi kan saya di wa terus sama… itu yang membuat saya mohon maaf prof, agak membatasi. Saya sebelum ke pak Magnus, karena beliau dari perspektifnya perbandingan kita ke PKS dulu lah. Ke PKS, Mr. Pipin dipersilakan. We need you to comparation perspective. Betul gak sih? Hihi. Silakan pak Pipin. Sepuluh menit pak ya. Kalau pak Pipin agak berani saya nyetopnya. Pipin Sopian: Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat siang buat semua, kepada yang terhormat para narasumber Saya ingin mulai dari studi kasus, bahwa saat ini dimana bertebaran whatsapp grup para alumni temen-temen, bapak ibuk mungkin ada grup alumni dari SD, SMP, SMA. Saya pengalaman mengamati satu grup SMA satu angkatan, tiba-tiba saya memposting berita tentang politik, apa yang terjadi setelah memposting mengenai partai politik, maka teman-teman saya mayoritas mengatakan tolong jangan bahas partai politik di grup ini, saya melihat bahwa ini salah satu pelajaran berharga ketika mereka mengatakan jangan membahas politik di grup whatsapp ini. Terus saya kan bertanya-tanya karena selama ini saya memang dari kuliah S1, S2 juga belajar ilmu politik. Rupa-rupanya memang ada semacam sikap apolitis yang disebabkan oleh masalah-masalah yang di hadapi oleh partai politik. Maka solusi nya waktu itu saya upload saja tentang, ada yang mengupload tentang tax amnesty. Jadi bahaya tentang tax amnesty. Mereka mulai bereaksi, oh iya nih tax amnesty ini ternyata tidak hanya masyarakat yang diluar atau koruptor yang diluar, tapi kita juga kena. Lalu saya … itulah produk politik. Ketika kita tidak peduli dengan partai politik, maka akan diberikan kepada pihak yang lain. Oke. Untuk memulai diskusi ini saya ingin memulai dengan apa masalah utama partai politik. Saya melihat, kami di PKS, saya di departemen politik. Nama saya Pipin Sopian, jadi katanya marketable. Terutama saya dari Sunda, mudah untuk dijual nama Pipin Sopian. Kami melakukan penelitian, empat hal ini yang paling penting. Masalah yang dihadapi oleh partai politik pertama politik itu berbiaya mahal, yang kedua kasus hokum elit politik, yang ketiga minimnya kehadiran partai politik ditengah-tengah 156 masyarakat, yang keempat adalah rendahnya kepercayaan public, disebabkan oleh tiga hal yang tadi. Mulai yang pertama: Pengelolaan partai politik itu butuh dana yang besar, tadi prof apa mengatakan bahwa dana dari pemerintah memang sangat kecil nanti saya akan jelaskan berapat totalnya. Ditambah system proporsional terbuka. Kami mengalami, saya mohon maaf waktu itu PDIP, Golkar, PKB juga tidak setuju dengan system, karena memang menganggap partai politik ini oligarki. Nah ini yang menyebabkan terjadi pertarungan yang dahsyat tidak hanya antar partai tapi juga didalam internal partai sehingga partai politik, anggota partai politik disini kemudian mencari dana yang mengakibatkan terjadi … Yang kedua adalah Kasus hukum elit partai politik. Penelitian KPK ada sekitar 3600, tahun ini ada sekitar 315 itu adalah elit partai politik. PKS kami punya yang fenomenal adalah presiden PKS, satu kasus itu membuat kami tercoreng-moreng. Para kader-kader PKS menjadi ciut yang awalnya kami bangga karena kami partai satu-satunya yang tidak ada politisi yang terkena kasus korupsi pas kena langsung presiden. Itu tamparan besar buat kami. Alhamdulillah kami punya perspektif yang lain kenapa terlalu dipolitisasi dan sebagainya. Setiap hari PKS mendapat kerugian Yang ketiga minimnya kehadiran partai politik Tidak banyak diantara kita partai politik yang memang hadir dia hanya hadir ketika pemilu, tapi tidak hadir ditengah-tengah masyarakat saat ini makanya dalam partai politik ada dua teori, satu kampanye politik dan dua pemilu. Kampanye politik itu yang seharusnya dilakukan oleh partai politik, karena partai politik selama ini mayoritas partai pemilu kampanye hanya disaat dekat dengan pemilu. Lebih relasional, mereka lebih emosional, pragmatis pendekatannya, mobilisasi partai… politik seharusnya ada solusi-solusi internal yang dilakukan dan disinilah yang PKS lakukan. Yang keempat adalah rendahnya kepercayaan public Hampir 90% public percaya bahwa TNI itu adalah lembaga demokrasi, lembaga Negara yang terpercaya. Sedangkan partai politik 52% apa ini artinya, terjadi public distrust terhadap partai politik. Dan ini disadari oleh partai politik termasuk PKS. Ini 157 penelitian dari Saiful Mujani, tapi bapak ibu yang sauya hormati perlu dipahami bahwa konstitusi kita memberikan posisi yang sangat strategis kepada partai politik, yang kedua yang menentukan siapa calon presiden/wakil presiden adalah partai politik. Yang kedua, peserta pemilu adalah partai politik, untuk memilih anggota DPRRI dan DPRD. Fungsi partai politik menurut undang-undang diantaranya tadi kita lihat ada … ideology advokasi dan rekrutmen kader kepemimpinan dan pendidikan politik masyarakat dari situ kami dari PKS yang baru DR… Budiman merencanakan satu pelembagaan misi PKS, membuat… political party government, jadi kita ingin membangun pemerintahan pengelolaan partai politik yang baik itu seperti apa. Mulai prinsip pertama itu partisipasi, mohon maaf tadi materi-materi banyak yang mengkritik partai politik memang betul tapi untuk PKS memang agak berbeda dengan partai lain, kami memilih para anggota DPR/DPRD kabupaten kota sampai RI dari basic dari bawah. Anggota partai dilibatkan untuk memberikan masukan, transparansi keuangan nanti akan saya jelaskan, prinsip merit koperasi jadi anggota partai saya umur 32 tapi saya sejak SMA sudah jadi anggota PKS. Saya ikut demonstrasi jadi bukan hal yang baru saya mulai dari tingkat depera, DPC, DPD sampai sekarang saya ada di DPT. jadi memang dari bawah kita melakukan pembinaan, prinsip keadilan kami perlakukan makanya yang bersalah siapapun tidak ada kontribusi besarnya, saya mohon maaf saya sebutkan kasus PKS yang… adalah kasus Fahri Hamzah, bang Fahri, meskipun dia merasa sudah berjasa dan sebagainya tapi bagi PKS ketika dia bersalah tidak taat maka selesai. Karena tidak ada kepemilikan tunggal di PKS, itu salah satu contoh. Mulai dari prinsip efektif dan efisien… ini salah satu contoh kebijakan good governance kita kebijakan public PKS yang terlibat kasus korupsi sebelum divonis oleh KPK, pilihannya hanya dua, kalau dia bersalah ya. Tim investigasi masuk dia mengundurkan diri atau diberhentikan. Itu kebijakan. Oke sekarang terkait dengan good governance dalam pengeluaran dana partai politik. ini sebetulnya agak semacam tabu di partai politik menyampaikan karena apa? Karena … kita masalah-masalah yang kita hadapi membuat kita kadang malu untuk menyampaikan, hey kita ini butuh uang, begitu. Mengelola partai politik sehingga tidak ada korupsi dikemudian hari. Dan itu terjadi ketika pemberi.. presiden SBY luar biasa. Nanti saya perlihatkan. 158 Apa tujuan dari pengelolaan keuangan partai politik. Yang pertama kita ingin kembali membangun … partai politik karena semua partai politik masalahnya sama. Salah satunya adalah uang, mereka bergantung kepada para pemilik modal. Maka perlu PKS punya salah satu kelebihan dibanding partai lain, punya nanti yang disebut sebagai iuran dan lain sebagainya. Jadi tidak mau ada kepemilikan modal satu atau dua orang. Yang kedua adalah meminimalisir tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh anggot atau elit partai, terpaksa melakukan korupsi karena dibutuhkan oleh partai politik untuk membiayai operasional partai politik. Yang ketiga adalah mengoptimalkan peran dan fungsi partai politik, jadi tiga hal itu. Ini contoh sumber pendanaan PKS saya kasih gambaran disini di undang-undang Nomor 2 tahun 2013 tentang partai politik ada tiga sumber, sumber yang pertama dari iuran anggota, yang kedua adalah dari APBN yang ketiga adalah sumbangan dari pihak ketiga. Yang pertama yaitu sumbangan dari anggota kami setiap anggota. Saya misalnya dipotong 4-5% setiap bulan ya, berbeda dengan yang lain ya. Kalau anggota DPR-RI mereka iuran sekitar 20 juta, kenapa? Karena mereka berada disitu bukan karena mereka. Tapi karena ada kader-kader anggota partai yang terlibat pada proses kampanye pada masa itu. Kemudian juga ada Galibu, gerakan limapuluh ribu. Ketika ada rakernas, tadi dibutuhkan sekitar sekian milyar, maka kami bisa sampai 2,4 milyar untuk mendapatkan apa pengumpulan atau funding dari. Sedangkan APBN sekitar 1,8 nanti saya lihat, ini salah satunya program dari … kemaren 2,4 milyar … gerakan program langsung presiden. Ayok. Ini program bareng-bareng. Karena sudah tidak boleh lagi misalnya ada dana yang tidak jelas dari anggota partai maka yang harus dilakukan adalah sense of belonging para anggota partai itu harus ditingkatkan salah satunya adalah dengan program galibu. Jadi sekilas untuk informasi bahwa PKS setiap tahun dari 2009 telah mengumpulkan sekitar 915 juta. Jadi suara yang didapat dari pemilih sebelumnya dikali dengan Rp. 108. Jadi total Negara membantu partai politik adalah 13 milyar. Kalau secara keseluruhan, kemendagri dan ICW melakukan penelitian, totalnya kalau DPP 13 milyar, DPD atau DPW tingkat provinsi dari APBD 60 milyar di DPC seluruh kabupaten/kota 300 milyar. Totalnya 386 milyar dari APBN dan APBD, usulan kami sebetulnya ini. Tetapi saya tertegun tadi ketika tadi prof Saldi usulannya 70 sampai 80 persen dari APBN. Kami sih tepuk tangan, asik gitu ya. Tapi bapak ibu public akan melihat oh enak juga tiba-tiba dapat uang besar. Makanya kami 159 mengusulkan sumbangan anggota itu lebih banyak. Yang kedua sumbangan alokasi APBN yang ketiga baru sumbangan pihak ketiga. Tujuannya apa? Agar partai politik merasa dimiliki oleh anggota partai politik, bukan oleh Negara dan juga bukan oleh penyumbang/ pemodal. Pengelolaan dana partai politik kami bagi jadi empat disini. Satu biaya pendidikan program internal partai, ada kepedulian partai, sekolah konstitusi, training orientasi partai. Kami melakukan setiap bulan training orientasi partai untuk merekrut masyarakat menjadi anggota partai. Jadi di daerah ini kami sedang melakukan restrukturisasi dan meningkatkan apa namanya keanggotaan partai di tingkat … kami ingin para politisi dari kita itu mereka sadar hokum. Mereka tahu apa larangannya yang boleh dan apa yang tidak boleh, kami ada pendidikan, pembinaan dan pelayanan. Kami ada dari fraksi PKS rumah keluarga Indonesia, rumah konstitusi, bank daerah PKS, aplikasi main PKS yang di android, kami punya pelatihan kewirausahaan sedangkan biaya operasional ini yang biasa dilakukan biaya kampanye, untuk itu ini salah satu program pusat kehidupan PKS ada rumah sehat, rumah cerdas, rumah aspirasi, semua DPC PKS harus menjadi pusat kehidupan PKS. Jadi mereka berdiri bukan hanya sebagai partai tapi juga betul-betul bisa masuk kedalam masyarakat dan dibutuhkan oleh masyarakat, nah ini aplikasi my PKS di android nanti bapak ibu nanti bisa buka. Salah satu yang fenomenal yang di awal kita buka yaitu posko mudik, informasi tentang mudik melalui aplikasi ini. Ini ada usulan dari fraksi, kami tadi saya kira sudah bagus ya. Kami mengusulkan rapid allocation, kalau dari APBN nanti ada bantuan yang syukur-syukur Alhamdulillah ya. Big allocation ini semua partai menerima alokasi yang sama, kami menyarankan ada biaya operasional partai disitu tambahannya, terutama TV. Minimal nanti TVRI nanti alokasinya partai politik mendapatkan fee dari Negara. Kalau misalnya dari TV swasta ya saya rasa karena frekuensi itu milik public makanya kita juga mendapatkan. Jadi nanti biasanya setiap hari kita mendengarkan kampanye Perindo, Golkar dan sebagainya. Yang lain, kami yang tidak punya TV tidak bisa melakukan hal yang sama. Itu tidak adil ya. Terus biaya pendidikan partai, untuk variable allocation nanti disesuaikan dengan suara partai masing-masing. Kami menyiapkan biaya pendidikan, pembinaan dan pelayanan public. Bagaimana pertanggungjawabannya? Pertama PKS salah satu yang sudah memiliki namanya anggaran pendapatan belanja partai politik. Jadi kami punya APBP, setiap tahun itu kami punya APBP. Jadi 160 ditentukan misalnya tahun ini sekian milyar, setiap bidang mendapatkan porsinya massing-masing, darimana datangnya kita sudah buatkan. Semua partai politik wajib menyampaikan laporan secara berkala kepada public melalui website media. Tapi tahun ini baru kepada internal anggota partai, karena mereka yang nyumbang maka kami sampaikan. Ya itu bagian dari good party governance yang kami lakukan, penggunaan keuangan yang disusun tadi akan diaudit oleh BPK, saya setuju silakan. Yang ketiga penggunaaan keuangan yang bersumber dari iuran anggota dan sumbangan yang sah diaudit oleh KAP yang yang di tunjuk. Sanksi dan penghargaan itu setuju. Kalau tadi prof Ramlan mengatakan mendapatkan … mendapatkan penghargaan dan mendapatkan uang dari anggota maka kami sangat berterimakasih dan kami kemungkinan akan mendapatkan yang… banyak. Ini menguntungkan pak, tolong ini diperjuangkan. Sedangkan partai politik yang tidak membuat laporan akan diberikan sanksi tegas. Minimal nanti anggaran belanjanya tidak dibantu pak, kalau tadi prof Saldi memang … saya laporkan ke pimpinan…. Kalau yang tidak wtp bakal tidak ikut pemilu wah bakal ditolak. Wah gapapa tapi itu high pole tinggi supaya bawahnya nanti tidak terlalu rendah. Catatannya memang alokasi APBN yang harus memperhatikan kemampuan Negara dan kondisi perekonomian nasional. Terimakasih. Assalamualaikum warhmatullahi wabarakatuh. Moderator: Charles Simabura, S.H., M.H. Baik terimakasih. Cukup menarik apa yang disampaikan pak Pipin. PKS sudah maju duluan, makanya kita undang PKS. Untuk urusan konflik kita undang PPP disana. Baik saya persilakan pak Magnus Ohman. Mister Magnus Ohman please send your research dari IFES. Magnus ohman: Thank you for … We do have a presentation … for you are unable to translate it. We will do so. And if one interested in … share it afterward. What would’ve I do given the time available and the discussion on going in Indonesia today is to give an overview in how … have addres the issue on political finance in legislation … and also implementation and I’m drawing on an overview on political finance in legislation in … countries and on 161 practical. Law and … going on international standart basically on behalf of the …on the screen now is one subclose in the united nation convention against corruption … in terms of in charge of international guidelines for finding documents on political finance calling for transparency in party and campaign party. So transparency is established as the key how can we achieve this? We’ll review it through 4 different types of regulation. I think what’s the most important is financial report. We don’t have a reporting system that works thus reasonably well and we can’t forget abaout how this people not know international limits for standing bans if we don’t know about the system an effective if all countries have legislation Have address the issues in Transparaency is .... 3 digffe type of regulatuion: 1. Financial report …. Or being compied with we don’t know… all reporting requirement .... and in no country … the next step is … most countries have legal , I would say given the amount of time…. Online obligation… to nalyze the… information available the public cannot monitor …. And in canbodia …. 2. Banning public institution to give money to political party… ……. Another approach is not abn something completely,…. To limit people … and the opposite is limit some spending .... in our ... today ... one country … in philiphines that address in this paper .. only idonesia … all Is very very significant… and I wanna ake a pointer… membership funded pol party … some mute poli party and radical… give them I would love to spend a couple of day…. Tming of the funding .... I should menton ….. but thisis an interesting way of impacting… in southeast … public funding doesn’t not solve money politic. it need to solve… Indonesia should not Problem in regulatory system: What we seem to see are less than we expect… impartiality and balance between the rules and… very legalistic rules…. We also need to be aware that aparties doent always they ned system, key goal is to increase compliance … before we startd to use sanction… In term .. parties have less capacity… no country … I hardly they rely on getting information… we need too money politic…media and othr politici s Moderator: Charles Simabura, S.H., M.H. 162 Terima kasih.Baik pak magnus bagian yang terakhir tadi itu mengerti saya.Kita akan lanjutkan diskusi.Hey girls kalau dilihat dari jadwal sekarang jam 12:45 kita akan berhenti di 12:30 tidak ada persoalan di internal kita juga pak? harus kita subsidi juga bagian tengahnya pak …. sebagai peserta sudah mulai mengalami gejolak di dalam dirinya saya tidak berlama lama. Bapak /ibu yang saya hormati peserta sekalian terutama professor ini kita coba …. Dulu mohon komentarnya bapak yang sudah di sampaikan oleh beliau –beliau di depan khusus untuk persentasi makalah kita setelah ini kan ada sesi kemudian seluruh peserta akan di berikan kesempatan untuk menyampaikan paper yang sudah di buat. Saya silahkan yang pertama untuk mas pur, pak feri, almas, reza. Ini yang tidak pakai ini semua ni …silahkan mas pur. Purnomo: Assalamualaikum wr. Wb. Yang pertama Saya seorang yang cenderung percaya bahwa … maksud saya bahwa dan ketika kita menyerahkan tambahan kewenangan kepada lembaga Negara maka sebenarnya di sisi yang lain kita juga menyerahkan hak kita kepada Negara sehingga hak kita sebagai masyarakat juga semakin melemah jangan-jangan permasalahannya bukan dari ketidakadaan lembaga yang mengawasi dana untuk keuangan ini. Dari hasil kajian saya misalkan saya melihat bahkan BPK pun tidak punya perspektif proses melakukan audit. Karena salah satu item audit BPK di kota Surabaya, tidak melihat bahwa komposisi pendidikan politik itu harus 60%. Mereka hanya melihat oh ini kwitansinya kurang, materainya kurang oh ini nominalnya terlalu berlebihan padahal yang lebih prinsipil mereka tidak ikuti. Nah saya kok mencoba untuk melihat bahwa untuk memanfaatkan lembaga Negara yang memang sudah ada. Ketika bicara pendidikan dan penyidikan mereka serahkan saja pada polisi gitu kan. Ketika bicarakemudian audit keuangan serahkan saja pada BPK, bahwa lembaga-lembaga ini perlu diperkuat pengetahuannya bukan kewenangannya itu mungkin satu catatan pak Ramlan. Karena saya sendiri termasuk yang khawatir bahwa lebih mudah memang lembaga baru dan juga sanksi pidana di dalam undangundang sekarang. Semakin kuat Negara maka semakin lemah civil societynya perspektif pejabat Negara yang salah tapi itu realitanya, itu yang pertama. Yang kedua adalah bapak-bapak yang ada di depan ketika bicara tentang keuangan politik salah satunya adalah dana kampanye teknis yang kita lupakan adalahtransaksi 163 online kalau saya belajar dari pengalaman saya pilkada di Surabaya tahun 2015 kemaren semua transaksinya maksudnya offline adalah semua bisa bikin kwitansi dimana saja. Dan yang namanya rekening khusus dana kampanye itu dari awal dia mendaftar sampai akhir isinya cuma 100000 yang merupakan saldo minimal dari pembukaan rekening. Dan ini artinya tidak ada dana masuk keluar dari sana yang tercatat kalau itu bisa dibuat secara online maka akuntabilitasnya akan lebih reliable dan lebih terjamin. Yang ketiga pertanyaan agak bodoh. Mr. Magnus mungkin bisa dijelaskan mengapa kita harus membatasi pengeluaran, saya influence comes from the income not from the extended. Kalau menurut saya ini mungkin pak Charles. Terimakasih. Moderator: Charles Simabura, S.H., M.H. Baik terimakasih pak pur. Pak pur lembaganya apa sekarang pak? lembaganya sekarang? oh KPU. Sudah di kpu sekarang .Silahkan pak feri tolong perkenalkan namanya dan lembaganya. Veri Junaidi: Perkenalkan saya Veri dari KODE Inisiatif konstitusi dan demokrasi. Pak pipin Jadi kalau melihat dari kondisi hari ini memang hampir semua kita yang di sini apatis dengan partai saya juga termasuk katagori kondisi hari ini tapi, menurut saya harus bicara terkait keuangan partai haris realistis bahwa hari ini dengan pelepas kita tidak suka degan partai politik kita mau memilih anggota kpu harus dengan partai kita mau membuat kebijakan harus dengan partai politik. Apapun kebijakan negara ini yang sangat strategis dan Bahkan menentukan apa yang kemudian punya kewenangan begitu oleh karena itu saya harus berbicara secara realistis dengan kondisi hari ini, bahwa siapa yang kemudian dengan kondisi partai politik kita kemudian menguasai modal maka dialah yang menguasai partai politik itu yang terjadi partai poiltik kita dan semua partai politik itu yang terjadi .Oleh karena itu dalam kesempatan ini saya menyampaikan 2 hal: pertama, Evaluasi terkait dengan perjalanan partai politik secara singkat dan juga soal rekomendasi. Soal evaluasi memang hampir seluruh pendapat pendanaan partai politik yang secara resmi dari hasil riset kami 2011-2012 menununjukan bahwa satu-satunya yang berkontribusi besar sigfikan tapi tidak jelas 164 dari mana sumbernya adalah dari…iuran anggota partai politik hampir seluruh partai politik memiliki iuran anggota partai kecuali PKS dan kami yang mengklem memang memiliki tapi tidak dapat mengetahui berapa besaran dan berapa kontribursi misalnya trus terkait sebagian tiga ada batasan tapi kita tidak pernah mengetahui berapa kemudian sumbangan pihak ketiga yang sah menurut hukum yang diterima oleh …hampir seluruh partai politik tidak memiliki catatan soal itu. Trus yang ketiga sumbangan anggota, sumbangan anggota partai politik memang di beberapa partai politik yang ingin di sampaikan 4%......dan sebagainya ada sayangnya sumbangan dari anggota ini sama sekali tidak ada batasnya yang kemudian menjadi cela misalnya pengurus partai oleh partai untuk menyumbang berapapun yang meraka miliki untuk partai politik dan itu merupakan dana paling besar di ..partai politik.Yang terakhir subsudi negara misalnya subsidi negara kita bisa katakan sangat minim,kami mencoba menghitung misalnya …politik rata –rata kapten menengah kebawah itu memerlukan uang sekitar 51-60 milyar itu partai kecil menengah kalau partai besar 150 milyar misalnya dan itu bukan partai politik .Sumber pedanaan resmi yang bisa kita hitung dari subsidi negara itu pun 108 rupiah per suara yang di keluarkan oleh partai politik dari PDIP mungkin dapat dua koma sekian milyar .Pertanyaannya 50 M dari mana ?yang kemudian memecah ….nah dari skema ini.. ternyata dari dana sumber subsidi kendaraan paling besar adalah dari anggota internal yang tanpa batasdan .. oleh karena itu kedepan saya merekomendasikan ….Kalau menurut kami komposisi dana harus berimbang antara konstituen, public kendaraan partai dan negara itu harus berimbang kalau salah satu yang kemudian sangat menonjol kondisinya seperti sekarang oleh karena itu 30,35% dari komposisi itu menurut saya nominal yang cukup ideal dari mana itu kemudian itu di peroleh ?Yang pertama kami merekomendasikan misalnya pertama harus ada pembatasan terhadap sumbangan partai politik jadi nggak boleh kemudian pemilik partai … dia sebagai satu satunya pengimbang dominan misalnya ..berikut atau yang lebih jarang perindo misalnya …elit elit yang bisa kiata ketahui pendana yang cukup besar .Yang kedua harus ada peningkatan terhadap iuran anggota dan sumbangan public yang tadi prof ramlan sebutkan tapi ini rekomendasinya di tingkatkan dengan yang namanya … Jadi kalau misalnya bagaimana dorongan kuat untuk anggota terlibat dalam pendanaan itu di perlukan.Saya memaklumi seperti pak magnus dan ahli-ahli keuangan partai 165 internasional pak magnus menyebut …beliau beliau memang tidak setuju dengan iuran anggota karna hampir dikatakan mustahil dan tidak bisa berjalan tapi kita tidak bisa kemudian meninggalkan yang namanya anggota untuk terlibat dalam undangan ini karna kalau kita tinggalkan anggota maka kita tidak akan bicara soal demokratisasi partai politik itu tudak akan pernah berjalan. oleh karena itu mekanisme matching fund yang disampaikan prof ramlan tadi dalam artian ketika anggota membayar iuran partai mampu mengumpulkan iuran dari anggota maka ada kontribusi dari negara itu saya fikir satu hal yang perlu di lakukan supaya berjalan. Yang ketiga, subsidi negara, subsidi negara itu skema hari ini kan hanya yang proporsional saja yang di hitung per suara. Satu suara yang diperoleh partai politik dikalikan dengan Rp 108 kita gak tahu Rp 108 itu darimana hitung-hitungannya. Nah mungkin perlu peningkatan terkait dengan nilai Rp 108. Almas dari ICW punya itungitungan terkait dengan itu. Saya pikir perlu ada peningkatan tapi kita tujuannya begini bapak ibuk sekalian Rp 108 rupiah kalaupun mau ditingkatkan 1000 saya setuju itu digunakan 100% bukan 60% seperti sekarang untuk kegiatan pendidikan politik dan kaderisasi. Kenapa pendidikan politik dan kaderisasi? Menurut saya itu yang sekarang ditinggalkan oleh partai politik ketika berjalan. Oleh karena itu sekalipun mau kita kasih 1 trilyun pun besaran itu tidak akan dikembalikan kepada pemilih, kepada masyarakat, jadi tidak menunggu partai politik. Skema yang kedua flat, dana flat ini juga yang mau ditanyakan kajian prof Saldi dengan teman-teman Pusako bagaimana kemudian skema flatnya, saya membantu teman-teman ICW dengan Almas dan mas Reza Syawawi akan mencoba merumuskan soal besaran atau rumus yang dalam flat itu akan diberikan. Flat yang dibayangkan adalah PDIP akan dapat sama dengan Hanura itu jelas tidak mungkin mustahil. PDIP punya anggap saja 34 propinsi kesemuanya sanggup dan kepengurusannya berjalan dan di 34 propinsi misalnya punya kursi di DPR sedangkan partai parati yang lain misalkan Hanura itu ndak sampai 34. Yang harus dikelola kan berbeda oleh karena itu harus berbeda pula. Nah oleh karena itu biaya flat ini sebenarnya digunakan untuk operasional dan konsolidasi di internal partai politik dan syarat penghitungannya flatnya adalah misalnya di pusat begitu dpp anggap saja mendapatkan 10 milyar misalnya atau 1 milyar di tingkat provinsi dia mendapatkan 500 juta di tingkat kabupaten kota mendapatkan 100 juta nilai…adalah itu…arti partai politik masing-masing 166 mendapatkan itu mestinya di hitung secara profosional …provinsi maka a adalah di buat 1,3 jadi nilai besarnya klemnya adalah tapi yang di peroleh adalah di mendapatkan syarat profosional berapa partai itu …. yang terakhir pak magnus saya setuju bahwa yang paling penting …dan yang paling adalah mekanisme saksi bahkan kalau perlu …terjadi …. terimakasih.. Moderator: Charles Simabura, S.H., M.H. Baik terima kasih pak feri …pak reza yang mau di sampaikan sama atau beda, ya harus beda kalau sama saya cut langsung supaya tidak pengulangan.. jadi persentase mereka bertiga .. silahkan pak reza. Reza Syawawi: Terima kasih yang pertama soal pembatasan semua hal pembatasan itu harus ada tapi kita perlu cari titik keseimbangan tadi sudah ada yang di usulkan 50%,30%,20% akan di cari posisi keseimbangan antara posisi negara ..dan ketiga posisi public masyarakat dan apakah itu sudah mecapai posisi saya kira peruntungan akan sangat komit menurut saya.soal audit selama ini parpol itu hanya di audit secara keuangan yang termasuk bersumber dari negara nah sebetulnya kita mau mengusulkan apakah parpol ini bisa di audit kinerjanya karena 1 dia memperoleh dana dari negara kalau menggunakan instrumen akuntabilitas keuangan negara maka sebetulnya partai bisa di audit kerjanya secara normatif saya tidak tau apakah ini secara implementatif bisa di gunakan atau tidak .yang ketiga yang terakhir adalah soal sanksi terutama yang terkait dengan transparansi keuangan partai kalau kit abaca undang-undangnya secara normatif hampir tidak ada sanksi yang clear soal bagaimana ketika partai tidak terbuka, maka saya sebetulnya mengusulkan yang pertama sanksi itu tidak hanya di tunjukan kepada personal pengurus partai tapi juga kepada organisasinya sebab ketika partai malah korban terhadap aturan terkait dengan keuangan maka institusi bukan personal pengurusnya jadi yang diterima sumbangan partai yang dilarang oleh undang- undang dan di gunakan oleh kegiatan partai maka sebetulnya itu adalah perbuatan organisasinya bukan perbuatan personal maka kedepan harus ada sanksi untuk mengurus. Misalnya menyangsi mulai dari penundaan, pemotongan, bahkan penghapusan bantuan keuangan partai misalnya sampai kepada pembubaran 167 nah tapi itu ka nada problem norma didalam undang-undang parpol. Saya kira itu ya yang terkait dengan sanksi. Terakhir saya kira, satu hal yang perlu kita perbuat adalah persepri soal kedudukan badan hokum partai politik. Saya kira hanya satu undang-undang yang memberikan definisi bahwa parpol itu adalah badan public. Yaitu di undang-undang keterbukaan informasi public. Nah di birokrasi kita di kekuasaan Negara kita sebetulnnya persepsi soal itu masih sangat minim apalagi institusi parpol nah saya kira ini perlu di didik supaya paham bahwa bagian dari itu. Kalau tidak kita akan hanya berputar-putar di undang-undang parpol saja. Tidak dalam konteks yang lebih luas. Pertama yang terkait dengan keterbukaan informasi public saya kira itu terimakasih. Moderator: Charles Simabura, S.H., M.H. Baik terimakasih. Silakan Almas. Almas ini di Padang itu pak salah satu nama angkutan bis itu. Padang-Pariaman. Hahaha Almas: Terimakasih mas Charles. Tadi saya sepakat sekali bahwa pengeluaran partai lebih banyak, jauhlebih banyak sekali jauh lebih banyak dari penerimaan partai yang. Saya dari ICW. Dan jumlah bantuan yang diberikan oleh Negara saat ini sangat kecil yaitu Rp. 108 per suara yang kalau ditotal kepada 10 partai saat ini hanya sebesar 13,1 M tapi mungkin kita jangan lupa bahwa Negara memberikan bantuan kepada partai tidak hanya melalui APBN tidak hanya melalui dan tidak hanya kepada partai di tingkat pusat saja. tapi Negara juga mensubsidi partai melalui ke semua partai di tingkatan-tingkatan masing-masing. DPW. DPD dan DPC itu mendapat sudsidi dana Negara. Perudem pada tahun 2011 atau 2012 bersama mas Feri pernah melakukan penelitian dan menyebut bahwa bantuan Negara kepada partai di tingkat pusat itu menutup 1,32% dari kebutuhan partai secara keseluruhan setiap tahunnya. Tapi berapa kemudian bantuan yang di cover oleh APBN dan APBD kepada kebutuhan partai selama satu tahun. Disini saya mencoba menghitung dari laporan keuangan PKS karena PKS adalah satu-satunya partai politik yang memberikan laporan keuangan secara terkonsolidasi kepada ICW pada tahun 2014 dan kami sangat mengapresiasi itu dan kami banyak mengutip soal itu. kalau dihitung dari 168 penerimaan PKS dari tingkat pusat sampai tingkat daerah PKS menerima 179 milyar dan PKS mendapat total bantuan dari Negara di tingkat DPP sampai DPC adalah 18 milyar. Yang artiny adalah PKS 10 % keuangan PKS itu disubsidi oleh Negara di tingkat pusat di tingkat daerah propinsi dan kabupaten kota jadi hanya menutup 10%. Darimana 90%nya? PKS mencatat ee sori 33 % dari 179 milyar itu berasal dari iuran dan infak anggota. Yang artinya adalah 57% sisanya itu disupport dari pihak ketiga yang say ajug atidak tahu pasti apakah itu kemudian adalah anggota partai yang sumbangan diluar iuran anggota atau kemudian dari badan usaha atau sumbangan eksternal yang ketiga yang lain. Sebenarnya negara sudah banyak membantu kepada partai politik awalaupun memang kalau kita bandingkan dengan total pengeluaran maka itu masih sangat kecil yang kalau lagi-lagi saya mengutip data dari PKS karena di salah satu dakwaan LHI itu juga disebutkan di Presiden PKS itu disebutkan. Ternyata dana bantuan Negara kepada DPP PKS sebesar 880 juta itu hanya 40 juta lebih banyak daripada tunjangan yang diberikan PKS kepada LHI selaku Presiden PKS. LHI sebulan mendapat support tunjangan dna transport dan sebagainya 70 juta dari PKS yang kalau kita kalikan selama 12 bulan dia mendapat 840 juta dari PKS. Jadi kalau kita hirung-hitung lucu jug akalu bantuan Negara hanya 40 juta lebih besar dari tunjangan yang diberikan presiden partai kepada Presiden partai. Belum lagi kepada ketua divisi atau kemudian pengurus-pengurus partai yang lain. Nah dari data-data itu tadi ICW kemudian mengusulkan bahwa sumbangan partai sebaiknya di sepakat dnegan pak Ramlan tadi dibagi menjadi 3. Ada internal, kenapa internal saya menyebutnya di awal karena sumber dana internal adalah sumber dana yang dapat menjaga kemandirian partai dari intervensi Negara. Karena Negara juga tidak baik memberikan support dana yang telalu besar kemudian juga menjaga kemandirian partai dari sumbangan-sumbangan pihak ketiga diluar partai. Nah di internal ini ada iuran dan sumbangan anggota yang harus dipisahkan dan harus dibatasi kemudian dari eksternal ada perorangan dan badan usaha dan bantuan politik dan bantuan dari Negara. Kalau tadi prof. Saldi menyebuat ada dua ada skema dua yaitu flat dan kemudian proporsional berdasarkan perolehan suara. Kami di ICW bersama teman-teman TI dan KODE kami mengusulkan ada 3 yang pertama adalah fix cost atau flat yang hitung-hitungannya nanti disesuaikan dengan perolehan dengan jumlah parati di DPP, DPW, dan DPC. Kemudian yang kedua 169 proporsional berdasarkan perolehan suara dan yang ketiga adalah indirect funding atau inkind yang berupa fasilitas gratis kepada partai yang mau mengadakan misalnya ini pendidikan politik baik itu di tingkat pusat maupun itu di tingkat daerah menggunakan gedung-gedung pemerintah dan itu gratis. Karena ketika kami wawancara dengan teman-teman partai mereka selalu menyebutkan bagaimana mereka akan melakukan pendidikan politik kalau dananya kecil dan sewa gedung dan sewa hotel itu sangat mahal. Dan ini adalah usul kami ada indirect donation kepada Negara kepada partai politik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah dan singkatnya berdasarkan hitung-hitungan kami partai di tingkat setingkat Hanura mempunyai satu DPP jelas satu DPP kemudian 34 DPW dan 503 PDC itu di seluruh Indonesia dia akan mendapat bantuan sebesar 67 milyar yang kalau sekarang Hanura hanya mendapat 700 juta nah nanti dengan adanya flat yang diberikan kepada DPP DPW dan DPC Hanur akan mendapat 67 milyar. Memang angkanya sangat melonjak tinggi dari pada saat awal tapi ini kami juga belum menghitung yang di tingkat daerah yang berdasarkan …. Tapi saya rasa itu sangat penting untuk dilakukan kepada partai sekarang karena disbanding nanti partai mengambil dana Negara melalui cara-cara yang illegal. Kita tahu seperti kasus korupsi dan segala macam dari itu tadi. Sehubungan dengan itu saya juga ada pertanyaan. Dengan tingginya angka tadi itu kami selalu mendapatkan pertanyaan bagaimana kemudian ICW atau teman-teman yang pro terhadap kenaikan ini menjamin akan terjadi pembenahan di internal dalam partai politik nah saya ingin bertanya kepada pak Magnus dan pak Ramlan adakah desain atau mungkin pengalaman di Negara lain atau konsep yang baru mengenai bagaimana sih membuat usulan kenaikan ini beriringan dnegan pembenahan partai politik itu sendiri ini untuk membahasakan atau menyampaikan kepada public mengenai grand desain mengenai pembenahan keuangan partai politik ini terimakasih. Moderator: Charles Simabura, S.H., M.H. Baik terimakasih. Saya tidak buka lagi karena waktu. Saya mau ke pak Magnus. Maknyus kalau bahasa Indonesia. Pak Magnus ada tadi yang agak berbeda karena sepertinya aspirasinya pendanaan dari member itu penting dari anggota. Sementara tadi pak Magnus agak pesimis ya. Kurang lebih pada Negara apa public fund atau 170 mungkin juga tokoh private yang di perusahaan atau ketiga. Itu mau di bahas khusus. Lalu berikut juga bagaimana kemudian penaikan itu berindikasi langsung kepada perbaikan demokratisasi internal di partai itu. Mohon perspektif dari pengalaman beberapa Negara saya pikir itu. Tapi pak Ramlan sudah mengerti pak ya juga tadi Pak Pipin. Magnus Ohman: So it all clear, I think that membership funding party is a great idea. From a democratic perspective and that’s the most the best way of funding parties its just that it doesn’t work and I’m saying that from a perspective of looking at issue from they’re always … this is part of the discussion that shoul we have membership of funding or not. How do we … are to encourage membership funding I think … small donation. And draw through funding does happen if you look at the united states Obama in 2008 not 2012 raise funding from large donation completely different side of the political spectrum Donald Trump is raising quite a lot of money from smalls donations like now. So the issues have do we achieve it? The number of think that have tried in giving small donations can encourage people to make donations and report it so that they can get a tax credit can work really well. Assume people pay tax if they don’t pay tax it wont work. New York state is using matching fund and … Germany has been using matching fund where full donation have certain level of matches that with public funding and now we are encouranging small donations also there are other thing complicated requirement regarding thing we have to have a receipt you have to have everything online, you have an tiny donations that will discourage small donations will make it more difficult for parties to get a raiser funding. Even practicing law recently they said you have to have receipt you have to have everything apart from apart from basically inaffect part is going at them regarding small-small donations in cash. Classic … from the rules. Considering that limiting spending for parties can increase the relative income from small donations because parties doesn’t have to spend a lot of money they can get more benefit from small donations. And the most effective way of limiting spending is limiting … basic … and I’m also mention some countries eh some cases is difficult to do the risk of technical candidate to parties that 171 actually campaigning with someone else its also possible you see this In Phillipines where you have limited number of minute that you are allowed to campaign at TV so they create a fake party that comes out we campaign are set … but there are different ways of doing but its noisy. Pipin Sopian: Baik terimakasih pertanyaannya saya melihat ada optimism ya jadi dalam teori politik itu ada namanya spiral of silence dimana partai politik itu sebenarnya tabu untuk membicarakan tentang bantuan pendanaan terkait partai politik. Tapi ketika ada dar CSIS dari KODE ada dari TI ada dari CSIS dan ada dari KPK juga disini ya sehingga sebetulnya spiral of silence itu sebetulnya kita terbuka tapi dengan melalui speaker bapak ibuk yang ada disini. Dari Pak Feri saya melihat mungkin untuk secara keseluruhan satu dua tahun ini mungkin akan diproses ya. Mungkin kit akan mulai dari awal untuk internal partai politik. Jadi PKS memang dari awal ingin terdepan mengimplementasikan sebagai good party governance itu. Jadi konsep ini kita sudah mulai sosialisasikan. Mulai darimana mulai dari diri sendiri dalam agama disebut li ibda binafsik kami ingin selesai dulu dengan diri kami semua pimpinan partai semua kepala daerah dari partai PKS disosialisasikan apa itu good party governance disitu. Jadi materi yang bapak ibu terima itu kurang lebih hampir sama bedanya nanti ada diselipkan ini ni agamalah di PKS karena kami partao dakwah kami harus memberikan contoh yang baik. Ketika kami salah maka akan berimplikasi kepada agama yang kami bawa begitu. Itu yang pertama, trus yang kedua saya setuju ada audit tapi memang audit kinerja itu memang hanya untuk lembaga Negara dan partai selama ini merasa tidak penting tidak perlu di audit oleh Negara karena memang UU nya hanya oleh KAP ya akuntan public hanya dari apbn saja…. Tidak ada pembedaan strategi penghematan anggaran partai Ramlan : 1parpol punya persepsi yang salah terhadap …. Transparansi hanya dari dana apbn.. yang lain 2. Sumbangan kecil… Jumlah donasi begitu besar karena penyumbangnya banyak tapi donasinya kecil….. Anggota bpk berasal partai politik. Tentu nanti institusi itu … salahsatu yang harus dibuat jangan berharap partai …………………. Itu sudah menjdi budaya untuk mencatat pengeluaran dan pemasukan, banyak yang bersal dari hmi gmhi dlll parpol di satu sisi 172 iya ya public distrust pada partai.. jangan … diusulkan 100 yang kita dapat 100.. pengambilan keputusan pembagian kursi. Pks salah satu yang palng pertama menyetujui Sumber penerimaan partai … amerika meolak embatasn anggaran … yang terakhir ini pertanyaan ada sumbangan pihak ketiga yang …. Pilpres 2009 penerimaan dari pihak ketiga ini jauh lebih… yang dilaorkakn pasangan calon SBY ke KPU. Pon pak todung mulya lubis yang di amerika.. Iklan kampanye disetujui oleh pasangan pasangan lainyya untuk pemilihan Perlu diatur mengatur sumbangan pihak ketiga Magnus Ohman: You cant force political party to be …. Is necessary Moderator: Charles Simabura, S.H., M.H. Kesimpulan Dana partai untuk menyeimbangkan partai dan … Perimbangan dari Negara masyrakat dan anggota parpol… Membuat sanksi.. Pembenahan personalia dalam partai 2. SESI 2 (13.30-15.30) Moderator : Veri Junaidi Narasumber : - David Ennis (Kanada) - Giri Suprapdiono (Direktur Gratifikasi KPK) Moderator: Veri Junaidi Bapak Ibuk sekalian, yang berikutnya akan ada tiga orang narasumber kita punya waktu diskusi sampai jam 16.00 atau jam 4. Di sebelah kiri saya, saya perkenalkan ada pak Giri dari KPK, tapi kesini khusus untuk diskusi dengan kita. Beliau punya banyak kajian sebenarnya terkait dengan penguatan partai politik khususnya sola keuangan partai. Karena hari ini KPK sangat concern dengan hal ini. Yang kedua ada pak David, pak David dari IFES. Beliau juga dari Kanada, seorang advokat dan juga 173 ahli untuk isu-isu keuangan partai politik, sebelumnya beliau ada dari Ukraina jadi ada pengalaman yang cukup banyak terkait dengan isu-isu ini. Dan terakhir ada pak Riawan Chandra, beliau ahli hukum administrasi Negara dari Universitas Atmajaya Yogyakarta. Tiga orang narasumber ini nanti kita kasih kesempatan masing-masing 15 menit untuk paparan singkat dan kita bisa eksplor untuk diskusi lebih lanjut. Kesempatan pertama pak David untuk menyampaikan beberapa catatannya terkait peraturan keuangan partai politik di Kanada. David: Thankyou. Colleagues. Are everyone here? This morning we had a procured conversation about political finance regulation and some of its challenges involve in developing … finance regulation sistems. What I wanna do now for the next 5 or 10 minutes is to look a case study. It’s a case of Canada and explored how another country has tackled. As a starting point I wanna talk about the objectives of campaign finance regulation. Why do we do it? Why do we care? Um, I think this can be different from country to country. I think the fact that its pretty much for them all. First we’ll concern with quality. We want people here to participate and for politic not to be dominated by a handful of rich man. Second, freedom. We want people to be able to say what they want and act for the … causes and spend their money how they want. Popular participation, we want people to be engaged and should not be an activity for professional more ordinary people are involve. I think the richer are democracy is. Transparency obviously, its important for people to understand what’s happening in political party in particular where money is coming from. And finally the autonomy of political actives, we want to regulate political parties so that they act in public interest, but we don’t want to make them … of the state. We want them to continue as the autonomous entities serving as the opposition of the government and this is an important value that people sometimes forget in their zeal to regulate political party. So this is the list of objectives state, I know on the mind of policy makers in Canada is not an exhausted list, so I don’t put it there because I don’t wanna show all the reasons, I put it there because I want to share. Thinking about 174 political finance there are many different objectives, there are some are not consistent there are some conflict and so for the policy makers siding among these values is important balancing finding a balance between equality, transparency and autonomy is essentials. You’re going to have to effectively. So lets look at how Canada address that problems. In Canada there are 5 elements to the sistem. Limits on spending, limits on contribution, public funding of parties, a comprehensive sistem of recording and mechanism of oversight and enforcement. For spending limit there is a separate limit for candidates and parties and they’re very depending on how many electors living in particular district but in general these are the … 25 million for a nationwide party running in a federal of action in a vicinity of a $100000 running in single member district. Canada also … limit on so called third party and this is an extremely important issue in many countries, a difficult issue. Third party is anybody who is not a candidate for a party but once influence the outcome of the election. In the most recent Canadian election, you know, labor unions, business groups, environmentalists, all kind of … wants to influence the outcome of the election. There’s a limit for them too. So there are also limits on sources of funding. Only citizen or permanent residents may, no corporations, no labor unions, only individuals and individuals can give $1500 Canadian dollars I should say for each party and $1500 to the candidates of each party. So these are pretty low limits, with these limits, the ability of you know a small number of a very rich people put huge amount of money into a single party if we raise our limits. I’m sure as Magnus would tell you there are ways to work around these limits, like put small donations under different names. In general Canada have a sistem of limits, they’re low and from what I understand they’re more less working. There is no limit on what a person can contribute to a third party. Third party were those groups who were trying to influence the election, I remember there’s a limit in what third party can spend, you know you can donate as much as you like but the third party can only spend $150000 on the election. And finally candidates can give to their own campaign but there a subject to same limit as everybody else. Which Is $1500. The effect of these rule is a rich person cannot bank all their own campaign. In many places, um in united states in particular but in other places a very rich individual doesn’t have to worry about 175 raising money, and they just spend all of their own money to make the campaign. This, under the rules in Canada they cannot happen. Okay, reporting. There’s an extensive sistem of according for parties and for candidates and also for third parties. … group decides to influence and you spend more than $500 dollars doing so, you have to file a report. … report online and they are published online. Including the identity of the donor. And this is extremely important as a enforcement mechanism, oversight mechanism. As I am going to say in a few minutes, the one area where the Canadian sistem is weak is in oversight and enforcement. For many of you the most interesting feature Canadian sistem of public funding the majority of money that is spend on the election in Canada comes from public sources, one way or another. In fact there are three sources. First, every individual gives to a party or a campaign get some of that money back, as a tax credit, and in fact they get quite a bit of it back 75% of the first $400 dollars means if you give $400 to a candidate you get $300 of that back. So it only cost you $100. The sistem is designed to sent by small donations. Lots of small donations. And the theory there is candidate that … and network to raise money is healthy as democratic and involve the people. But by keeping the size of the donation small it also … value of its quality. The sistem prevent wealthy donor from dominating the party of a campaign. Canada is a much smaller country than Indonesia but in comparison the total cost of the treasury about $25 million. So this is the first form of public funding. The second form of public funding is reimbursement of campaign… after each election candidate and parties submit a report showing what their expenses were. And if the reports are all in order, the states will reimburse them for all of their cost. Provide if they need … so as a party you need to get 2% of the vote nationwide, as a candidate you need to get 10% of the vote. If you do those things you are going to get half of the money you spend and finally a small but significant expense is for external audits. All political parties are required to get external audit so the government doesn’t audit their report necessarily but all get audited by external auditor the government helps to pay for that auditing process. If you take this rule altogether they completely change politics the electoral politics work in Canada prior to 1974, most Canadian parties, well the big ones relied on the exclusively donation from big businesses, very wealthy individuals and labor unions. Starting in 1974, there are several ways of the form and 176 now we’re in a situation where, none of the source of money are really relevant than the public funding available to parties and candidates they sufficiently did, that the vast majority of expense in action directly or indirectly covered by the state. So how can we assess the sistem? One of most the striking feature about it is that emphasis on fund raising. It requires parties to go out to people and get them to give them money, money in small amount, but still, if you’re not fund raising, then you’re going to be seriously eh and you’re not going to be. The only ways to raise money is to fund raise from small donors and this for a tax right is not going come into a fact if you’re not an effective fund raiser. An arguably that’s a good thing. Politicians connected to their, two availability of public funding comply if you don’t file your reports and you don’t spend your money in an appropriate way if you violate the law and otherwise you cannot raise a public funding and that is an extremely horrible incentive for people to play by the rule. Third is limit opportunities to undo influence like I said, the influence of a big companies and labor union in political life in Canada are reduced and I think that’s for the good. For create … of transparency is helpful for voters now more than never before you know who you’re voting for. And I’ve said the last one, to give you an incentive to continue fund raiser. So this is how the Canadian have struck the balance between public and privates between regulation and autonomy and it’s an interesting model and its wondered working well in Canada. As I’ve said I wouldn’t necessarily recommend it for Indonesia because it depends on the very minimum of highly tax sistem and the population where everybody file a tax return. Before I put down the microphone I wanna mention some of the difficulties with this sistem. First, its complicated. As you can see there’s a lot of things going on, a lot of contributing part of form for parties to files and candidates, chief electoral officer makes training and information available but many candidates and parties struggle complying for these rules. Secondly the rules don’t apply to the expenses outside of the election period, and initially that wasn’t the problem, but overtime political parties figure out that they could use that loophole to get around the spending lays on campaign. They would guess when the campaign gonna be, and then they would start spending. Because the election was called, none of their spending was caught be the limit, so they would put all kind of tv ads related on the election before the election was called. and this problem has gotten even worse now that 177 Canada has fixed election. And they would know when the election will be. So all that kind of interest, labor unions are running all kind of advertising so they spending large amount of money and the sistem are dealing with that. Right now it’s a major flaw and theres something that gonna happen. The sistem doenst have strong enforcement mechanism, there are offences in the criminal court knowingly break the law for minor offences like failure of file on time or errors comissions there aren’t really much commissions can do, threaten to hold the public funding or write them a strongly words of letter. The sistem does work pretty well because mostly candidates and parties want their money. But I do think if there is one weakness that there were no sanction available for the sistem other than holing the public funding, recommending the matter to the prosecutor. So have the Canadian sistem. I hope if you have any question you’ll let me know. Moderator: Veri Junaidi Terimakasih pak David. Saya punya beberapa pertanyaan sebenarnya tapi kasih kesempatan dulu kepada teman-teman, setelah 3 narasumber nanti menyampaikan kami akan berikan kesempatan kepada temen-temen yang call paper untuk menyampaikan makalahnya paling tidak lima orang, dalam waktu yang sangat singkat, memberikan statement berdasarkan hasil kajiannya masing-masing, juga nanti kalau ada catatan atau pertanyaan nanti diperbolehkan. Nah yang kedua ada pak Giri, pak giri nanti waktunya sama pak giri, pak david tadi lebih satu menit semoga nanti lebih cepat satu menit. silakan Giri Suprapdiono: Terimakasih sebenarnya ini teknis. Selamat siang ibu bapak, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Good afternoon, saya will use bahasa. Bapak ibuk sekalian mungkin orang bertanya-tanya ini apa hubungannya antara direktur gratifikasi dengan pendanaan politik dan kenapa KPK tiba-tiba harus bicara tentang politik. Saya pernah suatu panel seminar tentang pendanaan politik dan salah satunya anggota DPR menyindir dengan keras. Ngapain KPK ngurusin urusan politik, kamu ngurusin tentang anti korupsi saja. Sehingga memandang bahwa urusan politik jauh dari urusan tentang anti korupsi itu sendiri. Namun sama tapi ada … yang kita 178 tahu yang ditangani KPK selama ini adalah orang-orang politik. Dan ketika kita mulai melakukan kajian mengenai pendanaan politik ini, orang pada skeptic, ngapain KPK akan memberikan dana kepada partai orang partai yang sudah biasa korup gitu kan. Sudah biasa dapat uang banyak. sementara disisi lain tahun Negara bisa kekurangan anggaran, pajak tidak tercapai dan lainnya. Banyak paradox sebenarnya, bagaimana kita harus melihat sekali lagi bahwa orang-orang parpol itu korupsi karena apa sebenarnya. Tapi saya senang awal tahun ini kita melakukan kajian mengenai pendanaan partai politik, kita berkumpul dengan CSO, civil society dan ahli kita mempunyai hamper kesimpulan yang sama. Bahwa karena Negara tidak hadir artinya tidak memberikan pendanaan yang cukup kepada parpol maka parpol mencari uang sendiri-sendiri. Seperti logika yang dipakai ketika jaman orde baru ketika jaman Presiden Soeharto sudah kamu tak gaji kecil pegawai negeri, kamu cari uang sendirisendiri. Disanalah praktik korupsi, gratifikasi dan lain-lain berkembang pesat. Apa yang terjadi di politik juga sama kurang lebih. Mereka harus mencari sendiri-sendiri dana tadi agar survive, karena mereka tahu politiklah yang bisa menuntut orang pada menjalankan ideologinya. Ketika politikus sedang memperjuangkan dirinya, misalnya mendapatkan pendanaan yang lebih besar dari Negara maka banyakmasyarakat yang masih skeptic jadi misalnya model skeptisnya itu seperti kartun yang I am politician and I am honest. Seberapa jujur politikus itu nanti bisa mempertanggungjawabkan anggaran yang diberikan olehnegara tadi. Dari banyak diskusi, dari banyak belahan, saya ikut dibeberapa tempat kebetulan saya mewakili KPK di beberapa kesempatan. Memang political corruption ini akrab untuk dibicarakan, bahkan ketika kita mengaddress isu ini. Sulit menemukan tuan rumah mana yang mau melakukan ini. Karena political corruption itu sensitive everywhere. Jadi kita sebenarnya bicara dalam konteks korupsi … di Indonesia kita punya cukup freedom yang luarbiasa. Tapi di Negara lain membicarakan hal ini pun kadang-kadang relatif menakutkan. Ketika itu ketika … membuat kajian tentang political corruption maka win-win solutionnya yang menjadi tuan rumah adalah ATB, yang … di Manila, bukan Negara manapun arena Negara tidak hadir, todak memberikan. Mengapa ini menjadi penting bagi Negara. Ini kasus yang ditangani KPK sampai 30 Juni 2016 KPK sudah menangani anggota DPR/DPRD sebanyak 119 orang, kemudian level menteri atau kepala lembaga sebanyak 24, gubernur 17, bupati/walikota dan 179 wakilnya 50, duta besar dan lain-lain dan kebanyakan adalah pejabat politik. Kalau boleh kita pilah-pilah sedikit, artinya eselon satu kita keluarkan, eselon II kita keluarkan, birokrat kita keluarkan, swasta kita keluarkan maka 31 % dariyang ditangani KPK adalah kader partai politik, very significant. One third of the KPK suspect is politician. Mungkin orang-orangnya banyak dikenal disana. Cuma selama ini kita hanya bermain di berita dan tidak pernah bertanya kenapa orang-orang ini korupsi. Dan mereka selalu bilang karena sistem, sistem yang mana yang sebenarnya membuat mereka korupsi. Dan modusnya memang suap menyuap. Mengapa suap menyuap? Karena suap menyuap itu modus yang sebelum KPK terbentuk sulit ditangani. Karena suap menyuap itu paling efektif prosesnya adalah tangkap tangan. Jadi menggunakan transaksi cash, kemudian tidak menggunakan alat komunikasi dan lain-lain. Suap menyuap sangat dominan disana. Dan yang kedua adalah pengadaan barang dan jasa. Dalam kontek pengadaan barang dan jasa, kita sering kali terjebak bahwa apa yang disebut korupsi itu begitu, ketika APBN diketok dan proyek dijalankan disitulah korupsi dimulai, kita berbicara dengan penyidik, jaksa kita. Korupsi itu ternyata berjalan jauh jauh hari sebelum, ada politik istilahnya… anggaran. Ada korupsi dip roses penganggaran. Contohnya seperti yang terjadi ketika pasti kenal ini ya, tokoh kampanye katakan tidak pada korupsi. Dalam kesaksiannnya yang dikutip oleh merdeka.com kelompok pak Nassar itu, pak Nassar bendahara partai perpartai diberikan jatah sesuai kursi di DPR tahun 2009, Demokrat kursinya 20 % jadi 20% adalah jatah yang 5% adalah fee. Katakanlah jatah partai 100% dan lainlain. intinya memang, memang tidak semua tersangka/terdakwa KPK menyampaikan bahwa dia nyari duit untuk partai, biasanya dicut disana. Tapi ini kebetulan kita dapat. Bagaimana Angie waktu itu memang mencari uang untuk partai, kita kebetulan melakukan wawancara denggan nasarudin di sela-sela dia mau siding pencucian uang, kenapa sih korupsi, sebenarnya dalam konteks penganggaran seperti apa? Akhirnya ketemu ini untuk membenahi sistem yang berada di lingkaran terluar, birokrasi, parpol dan pengusaha. Padahal kalo kita bicara pada penyidik, mas yang perlu dibicarakan titik gelap di tengahnya, karena biasanya orang DPR punya makelarnya punya orang kepercayaan untuk deal dengan pemerintah, orang pemerintah yang dealer. Contohnya dalam konteks kasus hambalang, Angie mewakili dari DPR kemudian Taufik Moh. Harun mewakili dari menpora kemudian ada Suroso 180 disana mewakili dari swasta. Mereka bertemu di ruang gelap dimana sistem itu sulit untuk bisa mengontrol mereka ini. Mereka bukan mengurus parpol, Negara dan lainlain. Ada di titik mereka berada di titik gelap tadi di titik area yang tengah ini yang yang satu-satunya strategi adalah harus penindakan tapi kalau kita di titik yang luar tadi tiga antara birokrasi, parpol dan pengusaha harus perbaikan sistem. Salah satunya adalah melalui pendanaan. Kita lihat ini, saya ambil data dari Peludem partai yang kalo kita lihat kemaren ketika kampanye kita lihat iklannnya di televise rasarasanya gak mungkin antara pengeluaran dan pertimbangan cuma dari bantuan Negara. Bantuan APBN kepada parpol hasil pemilu tahun 2009 total hanya 9,1 milyar, di tahun 2014 hanya meningkat sedikit 13,6 milyar, padahal pengeluaran dari salah satu partai saja lebih dari 50 milyar, 500 milyar bahkan dalam angka trilyunan rupiah. Maka ada ketimpangan yang luar biasa antara sumbangan resmi, bantuan pemerintah dan pengeluaran yang dikeluarkan untuk proses konstetasi atau biaya operasional. Menarik tadi dari Kanada, ada satu wacana baru yang gak kepikiran sebelumnya di Kanada ada pembatasan biaya pengeluaran, dimana di Indonesia belum ada pembatasan biaya pengeluaran. Wacana di kita hanya memberikan fasilitas kampanye, reimbursement, APBN/APBBD, tetapi kita tidak pernah membatasi pengeluaran parpol itu sendiri. Ini tantangan bagi kita. Kemudian saya akan lebih fokus mengapa KPK sebenarnya melakukan kajian tentang pendanaan parpol. Yang pertama kebutuhan dana yang besar untuk menggerakkan roda partai, dan dana dari pemerintah sangat terbatas. Yang kedua partai telah dikuasai oleh elit yang mengandalkan moda atau pebisnis-pebisnis yang menduduki kekuasaan. Jadi oligarki dan lain-lain ada disini. Kemudian yang ketiga adalah kondisi tersebut mengakibatkan proses pendanaan partai politik di Indonesia relatif rentan terhadap potensi korupsi. Utamanya sumber-sumber pendanaan dari posisi eksekutif, parlemen dan kepala daerah. Nanti tahapannya kita ini. Sebenarnya saya ketika akan bicara disini agak sedikit ragu karena sebenarnya beleum selesai kajian kita, jadi temen-temen lagi tersebar diseluruh Indonesia untuk mencari data di DPW/DPC di perwakilan kabupaten/kota dan propinsi itu sebenarnya biaya operasional berapa karena yang sudah selesai baru workshop dan FGD di pusat kemarin dan beberapa orang sudah hadir disini juga. kemudian kita melakukan indepth interview dengan DPP, DPT, DPC parpol kita juga interview 181 dengan mantan-mantan korban KPK terpidana apa tersangka KPK kita bicara dengan penyidik jaksa. Kemudian kita akan masuk di dua yang terakhir, rekomendasi pemerintah dan DPR. Jadi harapannya di akhir September ini akan keluar nanti rekomendasi dari pemerintah dan DPR. Kemudian yang terakhir kita evaluasi dalam agar rekomendasi kita dijalankan oleh pemerintah atau oleh sektor terkait. Dan menarik sebenarnya hampir semua parpol kita wawancarai. Nah ini tidak terlepas dari kajian-kajian KPK sebelumnya, pada tahun 2012 KPK melakukan kajian sistem politik dimana rekomendasinya adalah perbaikan rekrutmen, kaderisasi dan pendanaan parpol. Tahun 2013 kita mengutamakan kajian parlemen, fungsi DPR. 2015 bikin buku putih DPR, Presiden dan Pilkada. Tahun 2015 memberikan rekomendasi Negara memberikan subsidi pada parpol. Tahun 2016 kita lebih … sedikit ya intervensi regulasinya apa? Biayanya berapa? Idealnya mekanismenya seperti apa, termasuk pertanggungjawabannya seperti apa. Cuma untuk pertanggungjawaban ini lagi mikir ini. Ini ranahnya undang-undang, sementara kalau biaya parpol … bisa diintervensi. Jadi gak perlu persetujuan DPR, ini yang mengatur tentang sumbangan 108 rupiah per suara tadi lebih mudah untuk diintervensi. Selebihnya adalah undang-undang. Nah ini saya tidak ingin mengulang, kenapa … kita intervensi jadi focus karena korupsi bermula dari sana. Ya saya lewat saja… saya lewat. Sekarang parpol, nomor 34 pertanggungjawaban sumber lain tidak akuntabel, yang 1,2 … saya ulas. Yang keempat BPK hanya mengawasi bantuan politik saja. Nah ini empat hal yang akan kita bahas dalam kajian kita, yang pertama adalah berapa kebutuhan dana untuk sebuah parpol di kegiatannya. Jadi dana itu kalau kita bagi ada yang membagi tiga, biaya operasional, ke sekjenan dari DPP sampai ke bawah, satu lagi yang namanya biaya konsevasi, biaya mau menjelang pilkada, kampanye dan lain-lain. Ini agak sulit dirumuskan karena biayanya besar sekali dan sangat bervariasi antara partai politik dan lain-lain. Yang kedua yang ingin kita jawab adalah berapa nilai bantuan Negara yang ideal. Yang ketiga adalah bagaimana skema bantuan Negara. Yang keempat adalah apakah parpol mampu melaksanakan mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban. Nah kita setuju dengan yang disampaikan … bahwa tiga hal ini menjadi penting. Bagaimana parpol harus transparan dan akuntabel, yang kedua membatasi besaran sumbangan, sekarang itu sumbangan dari anggota parpol tidak dibatasi jadi bahaya. Makanya anggota parpol 182 pengurus parpol akan menjadi alat untuk mencari dana itu rawan kalau dia menjabat sebagai anggota DPR/kepala daerah. Batasan anggota parpol, batasan sumbangan tidak dibatasi ini berbahaya sekali. Kemudian yang terakhir adalah memberikan bantuan keuangan dari anggaran Negara. Hasil identifikasi, parpol memiliki sumber pendanaan yang terbatas. Dimana jumlah pendanaan resmi sangat kecil sementara pengeluaran cukup besar. Kemampuan partai untuk mencari pendanaan yang legal sangat rendah apalagi tidak ada semacam badan usaha untuk partai. Yang ketiga adalah pola pengeluaran yang tidak mencerminkan fungsi dari parpol. Kemudian yang berikutnya adalah, undang-undang parpol mewajibkan parpol untuk mengelola keuangan secara transparan dan akuntabel, namun tidak ada alat paksa yang diberikan undang-undang agar agar kewajiban tersebut dipenuhi. Yang mana tidak ada sanksi parpol yang sesuai audit BPK, misalkan opini tidak wajar atau … dan lain- lain. Yang kedua tidak ada sanksi jika berdasarkan hasil audit akuntan publik, laporan pertanggungjawaban keuangan parpol disclaimer. Yang ketiga tidak ada paksaan bagi parpol untuk melaporkan keuangannya secara jujur. Saya piker kita harus banyak memasukkan poin-poin ini kepada undang-undang parpol yang sedang disusun oleh Pusako. Berikutnya adalah pembukuan dan pertanggungjawaban parpol dan pengeluaran anggaran belum transaparan dan akuntabel dan ketentuan tentang keuangan parpol sangat lemah karena lemahnya regulasi, persaingan yang tidak berimbang karena lemahnya regulasi, partai belum memberi concern besar terhadap perbaikan pelembagaan tata keuangan, besaran subsidi parpol dari Negara sangat minim. Kemudian parpol diduga mengandalkan sumber-sumber pendanaan illegal seperti hasil korupsi, adanya konglomerasi partai politik untuk memenuhi kebutuhan pendanaan. Audit keuangan partai oleh BPK belum mampu mendorong partai menjadi lebih baik. Undang-undang tidak menjelaskan mekanisme. Nah mas yang berikutnya adalah sumbangan sah yang diterima parpol tidak tercatat dan terpublikasi, keuangan yang tercatat hanyalah yang bersumber dari APBN/APBD. Berdasarkan hasil penelitian Kemitraan dan Perudem silakan dibaca disana, bahwa parpol sangat potensial menggunakan dana-dana illegal disana. Nah tujuan awal kita sudah interview dengan DPP. Waktu sudah habis ya, saya minta dua menit lagi ya boleh ya. Tujuan awal dari hasil interview dengan DPP parpol yang pertama adalah iuran anggota tidak signifikan, trend sebagian partai dilahirkan oleh aktivis, 183 dibesarkan oleh televise, namun kemudian dimantain oleh pebisnis. Jadi dibangun, yang mendirikan adalah aktivis, dibesarkan oleh politisi tapi yang memaintain itu tadi adalah pengusaha. Kemudian yang kedua, pendanaan partai relatif tergantung pada kelompok bisnis, yang kedua, pendanaan tidak transparan dan tidak tercatat kepentingan pengurus, dana … jadi pokoknya harus, gitu kan? Begitu ada kongres, harus ada itu, jadi semacam pola-pola lama yang terus berjalan, penyumbang enggan dibuka identitasnya karena pola pengusaha itu menaruh uang dimana-mana. Dia naruh di partai A dia takut ketauan partai B kalau dia naruh di partai A. jadi kalau akses sumbang tapi jangan ditulis, jadi dia sumbang dimana-mana. Kemudian pencatatan penerimaan dan pengeluaran tidak dilakukan dengan baik. Yang ketiga penyimpangan individu, dana partai yang terkumpul sebagian dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Yang kedua tugas pengumpulan dana menjadi legitimasi permintaan uang kepada berbagai pihak. Yang keempat adalah ragam budaya dan kebutuhan parpol. Jadi ada parpol yang merasa cukup rapat di asrama haji saja, namun parpol memenuhi standar yang jauh lebih tinggi, muncul usulan pendanaan parpol menggunakan mekanisme keuangan Negara, seberapa ketat perlu kita pikirkan, kalau kita buat pertanggungjawabannya seperti birokrasi yang melakukan perjalanan dinas, orang politik mungkin akan keberatan disana. Jadi kita nanti akan tarik ulur disini. Kita berikan pendanaan, diberikan pertanggungjawaban, tapi kalau terlalu ketat mereka akan nolak, jadi nanti ada seninya disana. Di titik mana kita akan minta pertanggungjawaban dan akuntabel dari mereka. Di titik mana sebaiknya kamu terima ini begitu. Karena kalau mereka tidak mau menerima, maka pertanggungjawabannya akan seperti sekarang. Ada partai tahun 2011 tidak mau pakai duit dari APBN karena malas memberikan pertanggungjawaban. Kemudian nomor enam tingginya kebutuhan pendanaan dalam konsevasi politik. Tujuh belum ada aturan terhadap penggunaan frekuensi politik di media massa. Kemudian tidak ada batasan sumbangan bagi anggota parpol. Ada lapan temuan ya. Yang terakhir baru kita masuk yang terakhir. Ini ada munas parpol daerah. Saya terusin nanti saja ya, karena waktunya terbatas. Kami kembalikan ke moderator. 14:37 Moderator : terimakasih pak Giri. Tepuk tangan untuk narrasumber. Cukup menarik ya bapak ibu sekalian jadi ada alasan yang kuat sebenarnya, intervensi yang 184 kemudian akan dilakukan dengan cara perbaikan sistem di partai politik. Karena kalau penindakan terus capek juga ya pak Giri ya? Jadi sistemnya diperbaiki dan satu yang paling penting adalah partai politik menurut beliau. Karena 31% yang korupsi itu adalah orang partai politik kader baik itu sebagai anggota DPRD, DPR/DPRD maupun kepala daerah. Berikutnya pak Riawan Tjandra. Beliau ini ahli hukum administrasi Negara. Keuangan Negara masuk disitu, masuk di sisi hukum terkait peraturan soal keuangan partai. Pak Riawan, beliau tadi Pak David lebih satu menit, beliau lebih dua menit, pak Riawan jangan lebih lagi gitu ya. Oke pak riawan silakan. Riawan Tjandra Terimakasih. Pak David, Pak GIri yang saya hormati, peserta yang saya hormati. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua. Saya akan masuk pada dua hal yang menurut saya menjadi kata kunci untuk melanjutkan pembahasan ini. Yang pertama tadi David menyebutkan, pentingnya ada keseimbangan antara pendanaan publik dan privat. Balancing public funding and private. Dan kemudian tadi pak Giri juga menyampaikan bahwa perlu ada pemikiran bagaimana menggunakan skema keuangan Negara untuk melakukan pendanaan pada parpol. Nah terkait hal ini dalam batas apa yang saya mampu dalam bidang keuangan Negara, saya ingin menyampaikan dulu. Yang pertama dalam konsep keuangan Negara di Indonesia, kita menggunakan konsep yang mungkin berbeda dari apa yang dipahami oleh David dan juga di Amerika Serikat yang menggunakan konsep keuangan public finance. Kita ndak bicara itu, konsep didalam Undang – Undang Nomor 17 tahun 2003, Undang - Undang Nomor 1 tahun 2004, juga Undang - Undang Nomor 15 tahun 2004, termasuk juga yang 15 tahun 2006 yang mengatakan BPK. Tadi yang pertama ngatur keuangan Negara, yang kedua mengenai pembendaharaan Negara, yang ketiga bicara mengenai pemeriksaan keuangan dan pertanggungjawaban keuangan Negara, nah semuanya itu merupakan … dari pasal 33 Undang - Undang Dasar 1945 yang kemudian menggunakan konsep, keuangan Negara (state budget). Nah dua istilah ini sangat penting untuk kita sungguh-sungguh bedakan. Karena memang ada perbedaan diantara keduanya. Mungkin kita semua pernah mendengar, bagaimana di Amerika Serikat penyalahgunaan wewenang yang kemudian berujung pada korupsi lembaga sepakbola terbesar di dunia itu FIFA itu 185 dengan mudah dilacak kemudian ditangkap oleh investigator/penyidik di FBI ya saya rasa. Karena konsep yang mereka gunakan adalah keuangan publik. Kalau kita bicara keuangan Negara, yang pertama kali menjadi acuan adalah teori sumbernya dulu. Jadi teori sumber, sumbernya ini adalah dari APBN maupun APBD. Dilema mengenai penggunaan konsep keuangan Negara ini sebenarnya sudah muncul tapi saya pertama kali dulu diminta oleh Pak Adi Raharja jaman Pak Antasari dulu ya untuk tampil sebagai ahli dalam suatu kasus yang waktu itu belum jelas petanya yaitu korupsi di lingkungan BUMN, PT. PLN. Yang menyangkut salah satu direktur pak Edi Widiono. Nah perdebatan yang muncul disitu adalah apakah uang yang dikelola di BUMN masih merupakan uang Negara? Atau sudah berpindah menjadi uang privat? Karena karakter BUMN ini adalah persero, sudah persero sudah leasing terbuka lagi. Pada akhirnya terjawab, di dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 48 dan 62 yang menyelesaikan polemic mengenai status uang di BUMN itu dan perlawanan dari pihak BUMN … itu sangat keras dan juga logis. Karena mestinya, ada apa namanya, konsep keuangan public ini diperkenalkan juga. Kalau ada konsep itu maka seharusnya tidak ada persoalan disitu. Namun memang hanya tidak sesederhana itu ya. Dalam kasus PT. PLN itu ada gratifikasi juga tidak sesederhana itu. Perdebatan mengenai konsep keuangan Negara atau keuangan public ini mulai muncul disitu. Nah Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 48 itu dengan tegas mengatakan memang problem mengenai keuangan Negara itu tidak memberikan suatu kepastian hukum. Untuk manajemen BUMN yang harus menggunakan model privat. Maka konsep mereka adalah Good Corporate Governance bukan Good Governance nah inilah kemudian pada akhirnya oleh MK melalui keputusannya itu, akan tidak memberikan kepastian hukum. Kalau MK tidak menetapkan status keuangan di BUMN termasuk … sebenarnya itu adalah karakter keuangan Negara. Pada ujungnya, salah satu wakil rektor di UI ini juga kemudian dijerat KPK juga dalam satu kasus korupsi lingkungan UI yang ada isu mengenai hal itu. oke ini yang harus kita pahami dulu, sekaranag yang kedua. Konsep kita adalah konsep mengenai state budget/uang Negara bukan public finance membawa implikasi, kalo kemudian parpol akan mendapatkan sumber pendanaan dari keuangan Negara. Harus kita sadari bahwa perangkat dan sistem dan tata kelola yang menyertai penggunaan keuangan Negara itu harus diterapkan disitu. Pak Giri tadi mendiskusikan mungkin ndak ada satu pengecualian ya, pengecualian 186 mengenai hal itu, nah itu bisa kita diskusikan. Namun, kalau kita berbicara mengenai pendanaan parpol saya tidak pada posisi untuk menolak atau menyetujui, tetapi dalam batas pemahaman saya mengenai tata kelola keuangan Negara yang baik, saya berkeyakinan kalau misalnya itu secara konsisten dipatuhi, konsep konsep mengenai akses-akses pengelolaan keuangan Negara yang baik, di dalam paper saya, saya sampaikan disitu ada lima saja, yang pertama yang disebut dengan Good Finance of Governance (pengelolaan keuangan Negara yang baik), jadi konsep akuntabilitas berorientasi pada hasil. Melalui cara ini sebenarnya bisa digunakan sebagai instrumen untuk mendorong cara-cara pencapaian secara efektif sistem perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan parpol. Tadi kita lihat ada catatan, meskipun baru sedikit dari APBN/APBD tadi yang hanya kurang lebih 108 per suara atau kurang lebih 1,3% ya, kita bisa melihat disitu bahwa ada pertanggungjawaban, sehingga nanti kalo besaran alokasi anggaran Negara ini diberikan saya rasa kita juga bisa memikirkan memakai konsep yang pertama ini. Tetapi penting dicatat juga bahwa parpol ini adalah suatu institusi intermediary antara ranah privat ke ranah publik, dia menjadi kanal, saluran untuk melakukan seleksi pejabat-pejabat public, sehingga kita harus menempatkan posisi parpol ini dalam konteks yang terjamin kebebasan berserikat dan indepensinya. Maka istilah yang digunakan mestinya bukan subsidi keuangan parpol tapi alokasi dana parpol atau dana parpol. Ini saja yang perlu digunakan. Tidak muncul satu political sense yang berbeda, meskipun sama esensinya. Nah kemudian dengan adanya posisi parpol yang demikian ini kita harus mengingat juga tadi ada satu pembicara yang mengatakan bahwa parpol itu badan publik. Kalo badan publik ya berarti bukan badan hukum publik dia adalah badan hukum privat tetapi Karena ada sampiran kepentingan publik yang … maka dapat dikatakan dia memiliki tujuan-tujuan publik. Dia bukan badan hukum publik seperti kita maknai dalam konteks lembaga-lembaga pemerintah. Nah asas yang kedua asas profesionalitas saya ambil contoh beberapa saja. Dengan asas ini bagi pihak-pihak yang menggunakan keuangan Negara pola ini akan merekonstruksi keterkaitan potensi personalia, dalam hal ini adalah actor-aktor politik dengan bidang tugas dalam struktur organisasi. Betul tadi dikatakan mas Giri tadi ketika dipake KPK dan juga kejaksaan di daerah hampir seluruh kasus korupsi yang ada itu selalu melibatkan pejabat-pejabat publik yang mereka berasal dari partai politik. Nah ini 187 tentu menjadi sebuah pemikiran kalo kita nanti akan mengarah kepada cara mereformasi partai politik melalui sistem penggunaan keuangan Negara. Ini bisa kita pikirkan sebagai suatu langkah yang penting tapi bukan cara radikal saya rasa. Yang ketiga, proporsionalitas. Dengan konsep ini bisa memastikan pola rekrutmen politik berbasis karakter ideologis dalam organisasi, visi serta misi parpol. Nah ini saya rasa penting kita bangun ukuran-ukurannya dan tentu BPK bisa dilibatkan dalam pembahasan ini. Yang keempat, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan Negara. Di dalam paper itu saya mencoba mengembangkan bahwa dengan asas ini akan bisa mengembangkan parameter penilaian kualitas program atau parpol menjadi lebih terukur. Dan yang terakhir, pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri. Maka ini juga akan mengintegrasikan sistem pengawasan BPK. Namun soalnya adalah kalau nanti memang ada pendanaan dari Negara, apakah BPKP masih boleh untuk melakukan pengawasan untuk penggunaan dana ini. Kita tahu bahwa BPK itu adalah badan pengawasan fungsional dan dia berbeda kedudukan konstitusinya dengan BPK. Dalam berbagai siding-sidang di pengadilan Tipikor sering yang diundang adalah BPKP dan juga BPK meskipun ini juga tidak ada soal itu ya. Nah yang terakhir saya rasa, sebenarnya keprihatinan mengenai upaya untuk mereformasi partai politik melalui penggunaan sistem keuangan Negara, sudah lama menjadi kajian di OECB saya rasa. Jadi kita bisa melihat OECB juga ada konsep mengenai menyeimbangkan antara hal yang bersifat publik melalui kontribusi secara langsung, dari publik kepada sistem kepartaian. Oleh karena itu kita juga penting memikirkan konsep apa yang kita gunakan? Keuangan Negara atau publik? Kalau keuangan Negara aturannya adalah restrictive limitative. Ada ukuran-ukuran masukan, ada ukuran-ukuran keluaran, ada ukuran-ukuran performance, ada ukuran efektifitas dan efisiensi. Mampu ndak kita kemudian mencoba mengajak aktor-aktor partai politik untuk kemudian mengarahkan program-program yang semakin professional menggunakan konsep-konsep parameter ini. Kemudian OECB juga mengatakan bahwa pola ini akan bisa melakukan framing terhadap pendanaan privat, akan menjadi jelas. Sehingga kekhawatiran bahwa kemudian kepentingan donasi itu menjadi lebih besar dari kepentingan partai politik semestinya bisa diatasi. Kemudian saya sepakat juga karena … juga mengatakan akan menerapkan batasbatas pembelanjaan, itu bisa dilakukan dengan pola-pola pengukuran seperti tadi 188 yang saya kemukakan tadi masih ada beberapa yang lain, tapi karena saya ingin memberi kesempatan kepada apa namanya, peserta makalah yang terpilih juga untuk berpendapat, penting untuk mengakhiri ini disini. Hanya catatan pentingnya adalah kita harus memperjelas konsep keuangan yang akan digunakan tadi adalah masih keuangan negara, lalu ada introduksi apa mungkin akan digunakan keuangan public yang disampaikan pak Giri tadi itu adalah keuangan public dengan memberikan beberapa pengecualian. Kalau keuangan Negara, konsepnya adalah restrictive limitative, kemudian yang kedua, dengan menggunakan sistem pendanaan melalui keuangan Negara itu akan mengintroduksi pola-pola manajemen yang lebih operasional sebagaimana yang diterapkan oleh lembaga-lembaga yang me-assess keuangan Negara. Dan yang ketiga tergantung pada kita semua pada sore hari ini untuk mendiskusikan itu, bagaimana konsep mengenai sistem pendanaan tadi dengan beberapa parameter yang saya tawarkan. Terimakasih, saya kembalikan kepada moderator. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Moderator: Veri Junaidi waalaikumsalam wr.wb. beri tepuk tangan. Lebih cepat dua menit pak, impaslah kirakira. Jadi teman-teman yang sudah membuat paper, dalam diskusi ini pun … saya kasih kesempatan dulu tiga orang teman yang call paper untuk menyampaikan hasil kajiannya secara singkat. Ada? Kecuali tadi yang sudah, mas Reza sama Almas sudah. Satu, ada lagi? Dua, satu lagi? Ada lagi? Udah dulu, udah dulu, udah dulu. Silakan, sebutkan nama dan darimana. Mei Susanto: perkenalkan nama saya Mei Susanto dari Fakultas Hukum UNPAD. Beberapa hal yang mungkin saya belum masuk ke teknis dalam tulisan saya, tapi beberapa mungkin sudah masuk. Ya saya harus akui dan jujur gitu, maksudnya pembicara-pembicara disini apalagi partai … yang disini sudah melakukan penelitian yang lebih dalam terkait dengan pendanaan partai politik. Jadi menurut saya teman-teman disinilah yang lebih tahu gitu detilnya. Bahkan dalam tulisan saya itu banyak mengutip dari temen-temen disini. Ya saya harus akui itu begitu. Tapi kemudian ada beberapa hal yang saya lihat, yang tadi dibilang belum ada pembatasan pendanaan maupun 189 pengeluaran. Dalam paper saya kemudian saya menawarkan itu, dua itu harus di adakan. Tapi kemudian jadi catatan gitu apakah kemudian apakah partai politik semakin, apa mau gitu dia semakin dikekang, pendanaannya dibatasi pengeluarannya pun dibatasi. Tapi lagi-lagi ini bagian dari upaya memperbaiki/mereformasi keuangan partai politik. Kalau saya tertarik dengan salah satunya adalah masalah pendanaan ternyata apa yang dibilang aturan dari professor Todung Mulya Lubis pihak-pihak ketiga itu sudah diantisipasi praktik di Kanada. Di dalam konteks Indonesia praktik-praktik kampanye oleh pihak ketiga itu sebenarnya sudah biasa terjadi begitu. Kita bisa melihatnya secara jelas siapa-siapa saja yang kemudian bukan atas nama … partai politik itu sendiri. Tapi kemudian pihak ketiga ini kalau dilihat hanya sebatas itu, masyarakat di tempat umum biasa. Tapi bahkan Negara pun bisa jadi pihak ketiga. Kenapa saya sebut sebagai pihak ketiga. Kemaren beberapa waktu lalu kita melihat ada anggota DPR-RI yang marah-marah dengan Sri Mulyani dia berharap ada anggaran, post anggaran yang mengatasnamakan dirinya. Itu bagian dari kampanye dia kan? Dia anggota partai politik. Termasuk juga kita bisa melihat adanya anggaran-anggaran yang itu bisa bergabung ya apakah fungsinya kemudian sebagai pejabat Negara bahkan dia manfaatkan sebagai partai politik misalnya apa? … kemudian anggaran-anggaran masing-masing … itu kemudian mengincar dan kemudian bisa diatasnamakan dirinya. Kemudian komisi IV bagian pertanian maka untuk bantuan parpol itu dan sebagainya itu. Atas nama anggota DPR itu. Ditulis atas nama partai politik. Kita belum membayangkan bahwa pendanaan partai politik begitu banyak ya, bahkan Negara bisa ditunggangi. Itu yang kemudian menjad pertanyaan bagi saya buat pada, pak David apakah … praktik di Kanada itu ada pembatasan-pembatasan seterusnya, pendanaan-pendanaan yang berasal dari Negara bukan secara langsung tapi seolah-olah menjadi pihak ketiga. Kalau tidak secara langsung berarti memang secara bentuk resmi bentuk partai politik dengan sumber pendanaan dari Negara. Tapi kalo ini atas nama jabatan misalnya. Itu yang berikutnya adalah berkaitan dengan pak Riawan ya? Apakah dasar-dasar atau prinsip keuangan Negara seperti asas tentang, asas unitas, asas yang lain-lain di dalam hukum keuangan Negara. Itu bisa dipergunakan sebagai salah satu cara ketika kita memberikan pendanaan kepada partai politik. Asas ini kan cukup baik ya. Spesialitas memaksa partai politik untuk harus detil dia merencanakan anggarannya. Kalau tidak 190 detil, kalau bahasanya 1 lawan 3 atau 1 lawan 5 seperti dalam APBN kemudian partai politik tersebut tidak layak mendapatkan bantuan dari Negara. Termasuk juga asas tahunan partai politik harus dipaksa setiap tahun membuat rencana tersebut. Jadi memaksa partai politik seolah-olah menjadi Negara. Ini jadi kritikan apakah kemudian dia bisa jadi badan perpanjangan Negara atau intermediasi tadi. Mungkin itu, terimakasih pak. Moderator: Veri Junaidi terimakasih mas. Yang kedua, silakan sambil kita menunggu masih ada tiga kesempatan bagi yang ingin presentasi paper. Mungkin sesi berikutnya malah gak ada nanti ya? Silakan Epri Wahyudi: Terimakasih kepada moderator. Perkenalkan nama saya Epri Wahyudi dari LBH Yogyakarta. Nah kebetulan untuk lembaga saya adalah isu-isu demokrasi dan hak asasi manusia. Sehingga kemudian saya ingin sedikit menyampaikan pertama sebagai pendahuluan bahwa pendanaan saya sangat setuju dengan gagasan apa yang disampaikan oleh Prof. Saldi Isra bahwa kemudian Negara harus turut andil sehingga selanjutnya saya mengkonsepkan bahwa dana partai politik dari Negara ini adalah konstitusional. Sebagaimana kita melihat pasal 6A dan 22E undang-undang dasar 1945 dan mengamalkan bahwa pada … itu turut hadir dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, dan pemilihan legislative. Artinya bahwa disitu Negara sudah memiliki, sudah meminta haknya partai politik bahwasanya partai politik harus hadir. Oleh karena itu kalau kita berbicara masalah hak, hak itu tidak bisa berdiri sendiri. Artinya hak itu harus beriringan dengan kewajiban, sehingga kemudian disini kewajiban Negara adalah turut serta melakukan pendampingan terhadap partai politik dalam upaya pemilu dan legislatif yaitu dengan pendanaan partai politik. Tetapi secara konteks keseluruhan pendanaan partai politik saya ada tiga, sebagaimana yang di katakan dalam undang-undang partai politik. Walaupun dalam kenyataannya pada konteks pelaksanaannya itu tidak telaksana dan efektif bagaimana mungkin kemudian kita pesimis terhadap hal tersebut, kita harus tetap optimis terhadap apa yang menjadi gagasan apa yang cita-cita kita bersama di dalam 191 menegakkan sistem demokrasi di Indonesia ini. Tentu saja melibatkan anggota partai politik di dalam pendanaan tapi dengan ketentuan dan syarat bahwasanya harus, harus ada batasan entah itu di tingkat daerah atau tingkat pusat itu harus ada batasannya. Kemudian tidak akan menimbulkan upaya-upaya kepemimpinan oligarki. Sekarang yang kita tahu di lapangan bahwa ya semua pimpinan partai kita lihat itu bagian daripada yang melakukan pendanaan terhadap partai politik yang ada di Indonesia itu sendiri. Artinya, secara ini sudah menjadi rahasia umum bersama bahwasanya yang menjadi pimpinan-pimpinan partai politik kita ini orang-orang yang mempunyai akses pendanaan terhadap partai politik sehingga kemudian mekanisme iuran anggota harus ada batasan tapi harus diwajibkan setiap anggota untuk … yang kedua adalah, bagaimana kemudian kita melakukan kontrol terhadap pihak ketiga, swasta. Pihak ketiga ini kalo kita bicara masalah pendanaan tentu saja tidak serta merta dengan tulus seikhlas hati kemudian ada kepentingan-kepentingan terselubung apabila kemudian di dalam sektor-sektor kebijakan pasti disitu akan ada sponsor bagaimana kemudian yang mampu mengakomodir kepentingan pihak ketiga. Dan apabila kalo pihak ketiga ini masuk kedalam sistem internal partai politik tentu saja kemudian secara tidak langsung dia ingin pada posisi yang atas. Dan yang ketiga adalah pendanaan bagaimana Negara hadir dalam … saya banyak apa juga beberapa mengacu pada pekerjaan bang Feri bahwa hadirnya Negara kita tidak bisa melupakan Negara walaupun kemarin kita pesimis terhadap pendanaan Negara ini tetapi hadir dari dulu. Cuma hadirnya Negara belum teroptimalkan terhadap upaya kegiatan pembaharuan, demokratisasi dan akhirnya partai politik itu sendiri. Kalau mengacu pada … bahwa Negara itu memfasilitasi kurang lebih tidak sampai pada 10% pendanaan partai politik setiap tahunnya. Artinya kan bagaimana partai politik bergerak nantinya dan padahal juga penelitian dari Perludem, internal atau anggota tidak berjalan dengan baik, pihak ketigalah yang kemudian pandangan tertuju kepada pihak ketiga itu pasti sehingga itupun kalo dlihat dari produk hukum yang dilahirkan sehingga banyak sekali produk-produk hukum ditahun ’98 sampai sebelum masamasa 2009 banyak sekali kemudian mungkin ada … undang-undang ya di apa bisa dikatakan seperti itu seperti undang-undang koperasi yang baru. Undang-undang koperasi yang baru bagaimana kita kemudian melihat koperasi jelas itu ada susupansusupan dari pihak-pihak ketiga yang menginginkan bahwa sistem ekonomi di 192 Indonesia adalah sistem ekonomi yang bergerak pada sektor kerakyatan bukan pada sektor liberal. Dan yang terakhir saya ingin menyampaikan bahwasanya demokrasi internal dlam partai politik tidak jauh beda dengan konsep kita berbisnis bahwa semakin di depan persaingan antar partai politik itu bukan lantaran lagi bukan mencari massa tetapi partai politik dalam pengelolaannya internal. Kalau partai politik tidak mampu untuk menjaga anggotanya maka setiap anggota partai politik ya tidak terideologisasi terhadap partai politiknya, maka dia akan kabur terhadap milih partai politik yang lain yang suaranya banyak dibanding partai politik yang ia miliki saat ini. Seperti itu, terimakasih Moderator: Veri Junaidi Baik terimakasih. Pak … terimakasih tiga lagi mas Said, mbaknya yang satu lagi. Baik tiga . Pak Giri ini sedang riset, tapi belum selesai. Karena itu menunggu juga masukan dari temen-temen di konferensi ini. Pokoknya silakan di eksplor aja papernya diberikan waktu yang terbatas. Saya kasih yang perempuan dulu ya mas Said ya. Kepada ibuk disebelah sana nanti mas Said yang sesudahnya. Septinur wijayanti: Bismillahirahmanirrahiim. Assalamualaikum wr.wb. perkenalkan nama saya Septinur Wijayanti dari Universitas Muhammadiyah Jogjakarta. Mungkin saya agak berbeda dengan temen-temen yang sebelumnya. Karena dari tadi teman-teman membicarakan bagaimana Negara itu memberikan subsidi untuk partai politik. Saya menekankan pada demokratisasi partai politik. Intinya di dalam demokratisasi itu adalah bagaimana partisipasi publik untuk terlibat di dalam partai politik. Maka di dalam makalah saya, saya mencoba gagasan diluar dari terlepas dari pro dan kontra apakah subsidi partai politik dari Negara itu dibenarkan atau tidak. Lepas dari itu, saya mencoba keluar dari Negara, supaya bagaimana Negara tidak terbebani oleh kepentingan partai politik. Tadi disampaikan oleh bapak yang dari KPK, bagaimana sistem yang menyebabkan koruptor itu dari partai politik itu ada segitiga ya, birokrasi kemudian ada pengusaha dan partai politik. Kalau dalam perkembangan sekarang ini, inipun juga kemaren ini beberapa waktu yang lalu mendengar ceramah dari Prof Jimmly dimana di Negara kita itu sekarang sudah dikuasai oleh pemilik 193 modal, itu yang pertama. Yang kedua politik, elit politik yang memiliki modal kemudian beliau-beliau itu menjadi petinggi-petinggi partai politik. Nah dari sinilah kemudian muncul gagasan bagaimana supaya rakyat terutama pelaku pemilik modal itu berkontribusi terhadap kepentingan partai politik. Maka saya akan mencoba gagasan yang namanya Corporate Political Responsibility ini saya bandingkan dengan CSR(Corporate Social Responsibility) tapi disini saya menekankan yang nanti akan apa berkontribusi untuk menyandang modal dari para partai politik itu pelaku modal. Pemilik-pemilik perusahaan dimana mereka secara tidak langsung mereka juga mempunyai keuntungan dengan adanya penyelenggaraan demokrasi di Negara kita. Contohnya ya misalkan pada saat partai politik itu mau kampanye mereka pasti mereka bikin kaos, bikin poster, bikin spanduk dan sebagainya. Ya itu kan yang akan mendapat keuntungan pasti para pengusaha itu yang bergerak mungkin di media massa mungkin bergerak di perusahaan-perusahaan yang terkait pada saat kampanye. Ini mencoba bagaimana para pemilik modal itu berkontribusi, berpartisipasi sehingga disini terlepas akan meringankan beban partai politik terutama untuk kepentingan biaya kampanye. Karena memang dari sekian kegiatan partai politik itu, kegiatan kampanye itu merupakan biaya yang sangat tinggi ya? High cost. Sehingga akan memunculkan partisipasi rakyat terutama pemilik modal. Hanya saja saya masalahnya memang, saya amati CSR yang ada dinegara kita ini sudah sekian tahun ini memang belum semua melakukan itu, karena memang di dalam undang-undang penanaman modal pun itu juga ada kelemahan. Karena tidak ada sanksi yang tegas untuk pelaku pemilik modal itu untuk memberikan CSR, ini kelemahannya. Kemudian kelemahan yang kedua, nanti seandainya memang ada CPR seperti ini, ini kelemahannya lagi dikhawatirkan pemilik modal itu justru nanti yang akan menyetir kepentingan partai politik. seperti sekarang pun sudah ada pemilik modal kapitalisme itu sudah menyetir kepentingan partai politik. Di media massa, kita tahu pemilu tahun 2014 kemaren perang media ya. Kalo misalkan Metro TV sama TVOne pelaku pemilik modalnya kan semua ada dalam kepentingan partai politik, itu gagasan saya. Mencoba terlepas bagaimana supaya tidak membebankan Negara untuk memberikan subsidi kepada partai politik. Terimakasih. Moderator: Veri Junaidi 194 Terimakasih. Berikutnya Mas Said. Mungkin bisa dilihat dari perspektif Yamin dan Hatta soal partai politik. Nah beliau ini paling suka menulis biografi tokoh-tokoh hukum. Nah mungkin punya gagasan tentang itu. Silakan mas. Said: Assalamualaikum wr.wb. Nama saya Said dari Pusat Studi dan Penelitian Hukum(Puskokum). Nama plesetannya Pusat Studi Komunis Indonesia. Saya ingin mengawali cerita yang mungkin agak berbeda tetapi itu tetap menjadi dasar menjadi pengelolaan keuangan. Pada tahun 1971an itu Menteri Agama ingin melihat pesantren-pesantren modern. Tapi gagasan Menteri Agama itu ditolak oleh para kyai-kyai karena modernisasi itu akan merubah kurikulum-kurikulum dan kitab-kitab dan lain sebagainya. Padahal keinginan Menteri agama itu tidak seperti itu. Nah kemudian tetap dipaksakan menteri agama untuk memodernisasi pesantren itu melalui hewan, kambing. Kambing itu dimasukkan ke salah satu pesantren dengan disitu nanti para santri itu belajar untuk merawat dan selain merawat para santri itu belajar untuk menjual, para santri itu akan menghitung keuntungan dan memutarkan uang itu kembali. Nah disitulah para santri belajar mengenai ekonomi, mengenai market mengenai …nya. Nah ini kemudian disebut sebagai deseminasi hewani. Nah kemudian apa pengaruhnya dengan partai politik? Artinya di dalam undang-undang kita yaitu di Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik itu sudah itu sudah ada yang namanya PPID (Pejabat Pengelola Informasi Dan Dokumentasi) itu petugas pengelola informasi segala informasi. Termasuk informasi berkala yang ada mengenai kebijakan-kebijakan, mengenai laporan keuangan itu adalah informasi berkala yang wajib disediakan minimal itu 6 bulan sekali jadi laporan keuangan partai pun ada kalau tercantum bahwa partai politik adalah badan publik. Nah hasilnya sudah ada tetapi itu tidak termaksimalkan atau partai politik itu tidak menginginkan. Hei nah caranya gimana? Agar bisa mereka melaksanakan itu, maka kalau kita merunut secara jalan pemikiran Hatta yang gedung-gedungnya ini kita pakai dan Mohammad Yamin yang kemudian kita gelontorkan. Hatta selalu menggelorakan koperasi. Mohammad Yamin di partainya Parpindo itu juga menggelorakan mengenai koperasi. Sistem yang seharusnya itu sistem partai politik sudah mandiri dan menggunakan asas asas tadi ya. Asasnya adalah koperasi. Karena 195 dalam koperasi itu setiap anggota yang masuk koperasi punya satu ideologi. Sama dengan partai politik satu ideologi. Kemudian dalam pengelolaan uang maka kalau dalam koperasi itu semuanya ke owner nah disitu partai politik juga harus menggunakan itu karena semuanya anggota adalah owner(pemilik). Tinggal permainan AD/ART bahwa siapa yang menjadi direktur dalam koperasi siapa yang jadi ketua umumnya kalo di partai politik. Nah ini yang kemudian belum kita cermati. Saya ngomong seperti ini bukan sembarangan kok, saya penelitian kok… saya tidak punya partai politik maka saya menerapkan sistem modernisasi ini di tingkat buruh kita yang kita buat. Jadi kita membuat serikat buruh itu berasaskan koperasi. Ini juga kegelisahan kita terkait juga melihat partai politik di Indonesia sistem keuangannya tidak runtut gitu loh. Makanya ketika tadi Prof. Saldi mengatakan bahwa Negara harus hadir melalui keuangan saya tidak sepakat. Partai politik sudah seharusnya mandiri, Negara sudah hadir melalui rule melalui kebijakan dan tidak uang. Partai politik sudah bisa mandiri. Nah ini untuk memodernisasi, ketika mereka berasaskan koperasi. Ingat ya, koperasi itu bukan yang simpan pinjam ya. Ada yang … koperasi itu Cuma simpan pinjam. Itu pem… karena kita tadi ngomong pemodal-pemodalpemodal maka dengan koperasi kita melawan pemodal Assalamualaikum wr.wb Moderator: Veri Junaidi Terimakasih mas Said sudah mengingatkan kita dengan sejarah gedung ini ya. Silakan mas Ali Asrawi: Assalamualaikum wr.wb. Saya Ai, Ali, Ali Asrawi dari Makassar. Saya asli saya Sulawesi. Iya saya mau bercerita juga sedikit bahwa setelah reformasi kan itu ada beberapa lembaga Negara. Kita melihat militer kemudian sudah mereformasi diri, kita melihat Kepolisian sudah mereformasi diri kita tidak melihat partai politik kemudian mereformasi dirinya, kemudian bisa kita lihat beberapa contohnya. Kemudian kalau kita mau berbicara tentang masalah transparansi pendanaan tentang partai politik kita juga betul ada kalau mau diperhitungkan bahwa kita lebih melihat bahwa 196 pesimistik ketimbang optimistic dalam hal ini. Karena kenapa betul tadi yang katanya prof siapa tadi yang sebelumnya di PGD ya. Yang itu bahwa secara budaya kita kemudian menerapkan itu. Dari yang hal-hal terkecil kemudian kita belum menerapkan hal itu apalagi kalau kita lihat di partai politik. Ingat partai politik pun sebenarnya dia tidak memanfaatkan beberapa dia tidak memanfaatkan beberapa potensi-potensi yang saat ini kemudian kita lihat. Katakanlah begini, kita misalnya di beberapa partai politik itu kemudian menggunakan websitenya masing-masing. Dan website masing-masing tersebut merupakan kampanye yang paling murah menurut saya. Beberapa gagasan tokoh-tokoh partai politik ada disitu itupun bisa menjai bahan kampanye kan sebelum pemilu. Tapi jangankan untuk mengakampanyekan gagasan ataupun mendokumentasikan kegiatan-kegiatan yang pro terhadap masyarakat. Kemudian kita mengharapkan dia membuka beberapa anggaran, anggaran-anggaran yang dia pakai dari APBN tersebut. Nah kemudian untuk masalah, kalau kemudian menurut saya bahwa betul partai politik dia mendapatkan dana dari pihak ketiga. Walaupun menurut saya ada beberapa lembaga Negara yang bisa mengawasi ini termasuk BPK BPAP, kalau misal ada transaksi-transaksi yang mencurigakan. Kemudian kita tidak pernah melihat bahwa ada blacklist terhadap beberapa para pendonor partai politik apakah partai ini kemudian mendapatkan donor ini terus-terus mendonor meskipun mereka sudah beberapa kali melakukan pelanggaran. Kita tidak pernah melihat hal tersebut dan pemerintah juga tidak pernah kemudian mem-publish hal-hal tersebut sebagai bentuk pengawasan masyarakat dalam pendanaan partai politik. Nah kemudian di akhir kesimpulan saya misalnya begini kalaupun, kalau mau menjadi apa saja itu masuklah partai politik. Begitu karena lewat partai politik bisa jadi apa saja. Jadi pencuri jadi segala macam apa saja bisa. Terimakasih. Assalamualaikum wr.wb. Moderator: Veri Junaidi Waalaikumsalam warahmatullah. Baik diluar teman-teman peserta Call Paper yang akan presentasi, apakah ada pertanyaan untuk satu orang saja. Oh ya satu orang, baik. Oh masih peserta call paper ya? Agus Supriyanto: 197 Baik. Bismillahirrahmanirrahiim. Assalamualaikum wr.wb. salam sejahtera untuk kita semua. Nama saya Agus Supriyanto, saya dari KPU kota Semarang. Jadi berdasarkan pengalaman saya pribadi menyampaikan pemilu, baik pileg, pilpres maupun pilkada, memang dana kampanye pendanaan parpol itu menjadi hal yang menurut kami masih berada pada tataran formalitas belaka. Formalitas belaka. Yang perlu kita pisahkan disini adalah sumber keuangan partai politik yang nanti digunakan untuk kegiatan partai politik, pendidikan politik, kemudian membiayai kesekretariatan partai politik itu cost-nya juga cukup besar. Kemudian sisi yang lain adalah pembiayaan dana kampanye baik pileg pilpres maupun pemilihan kepala daerah. Ada dua sumbu yang sangat besar yang membutuhkan uang yang cukup besar juga. Tadi disampaikan bahwa perlunya ada pembatasan pengeluaran dana kampanye, kemudian pembatasan penerimaan dana kampanye. Dalam pilkada serentak 2015 hal itu sebenarnya sudah dilakukan. Adanya pembatasan pengeluaran dana kampanye, dimana KPU bersama pasangan calon menghitung secara rinci prinsip kebutuhan pasangan calon dalam melaksanakan kampanye. Sehingga muncul angka batasan pengeluaran dana kampanye. … di kota Semarang pembatasan dana kampanye 16 milyar. 16 milyar ini apabila pasangan calon atau tim kampanye melebihi 16 milyar, maka dia di diskualifikasi dari proses pilkada. Itu batasan pengeluaran dana kampanye. Kemudian penerimaan jelas diatur, berapa sumbangan perseorangan, berapa dari badan hukum swasta gitu kan. Kemudian itu juga diatur berapa nominalnya. Tapi kuncian itu ditanggapi oleh partai politik pengusung, dengan mereka merumuskan kuncian yang baru, jadi sangat lihai, sangat lihai dalam artian mereka mencoba mengakali aturan itu ya. Jadi banyaknya dana yang tidak bisa di pertanggungjawabkan. Itu dibuktikan dari temuan panwas bahwa penemuan bahan kampanye yang begitu besar di kota Semarang dan tidak dilaporkan penerimaan pengeluaran dana kampanye dan ini pertanyaan saya untuk mister David. Di Kanada kandidat apabila ketahuan menerima dari apa ya, pihak yang tidak bisa dipertanggungjawabkan apa sanksinya? Di kota Semarang terbukti, setelah proses pilkada dihelat, selesai ternyata muncul kasus Damayanti dimana walikota yang sekarang terpilih terbukti di proses persidangan menerima dana 300 juta untuk keperluan kampanye tapi proses pilkada sudah selesai. Tapi dalam proses ini ternyata yang bersangkutan menerima dana gelap dari proyek gelap. Ini menjadi 198 sebuah PR apa ya kita bersama, ini kondisi riil terjadi. Di Jawa Tengah ada dua, di kabupaten/kota Semarang dan kabupaten Kendal menerima dana dari kasus Damayanti. Kemudian audit oleh kantor akuntan publik sifatnya masih formalitas, hanya menguji tingkat kepatuhan saja, kepatuhan secara administrasi. Form-formnya terpenuhi kemudian apa di sampaikan ke KPU tepat waktu dan lain sebagainya. Mengenai isi dan audit investigasi ini mohon penjelasan juga, konkritnya di Kanada apakah proses audit itu seperti apa di Kanada? Proses audit proses kepada calon kepala daerah ataupun presiden/wakil presiden yang akan nantinya menggunakan dana kampanye itu di audit. Karena kita memang audit oleh audit yang ditunjuk KPU namun lebih pada administrasi, kepatuhan. Apakah disana juga ada audit investigasi atau audit forensic terkait rekening tadi temen KPU Surabaya di awal sesi yang pertama, harusnya dana kampanye yang berbentuk uang masuk ke rekening khusus dana kampanye. Ini terjadi di kota Semarang juga kalau laporan rekening khusus itu hanya satu juta katakanlah. Akhir proses pilkada ya tetap saja saldo dalam rekening itu hanya satu juta. Uang itu berputar-putar dengan hanya kwitansi ya kwitansi si A nyumbang ini sekian, si B nyumbang ini sekian. Nah ini kondisi real. Jadi kuncian tadi dibalas dengan kuncian yang oleh partai politik yang tricky ya. Saya bilang ini curang ya, curang jadi mereka mengakali sendiri. Kita yang di internal ya juga sebenarnya ini hal yang harus kita pertanyakan kita harus bangun sistem yang lebih bagus. Terimakasih mas Feri. Moderator: Veri Junaidi Terimakasih mas Agus. Tadi saya mau ngingetin sebenernya tapi sudah merasa. Baik saya pikir presentasi dari pemakalah cukup ada 6 orang. Ini sharing dari hasil kajian dan riset temen-temen masing-masing. Saya kasih kesempatan, kita masih ada waktu 30 menit 3 narasumber penanggap di depan untuk memberikan tanggapan. Tapi ada juga beberapa pertanyaan yang disampaikan oleh pemakalah. Misalnya pak David sepertinya menjadi idola dalam proses ini. Misalnya pertanyaannya, apakah ada praktek pembatasan belanja dan pengeluaran di Kanada. Terus soal mas Agus tadi, ada pertanyaan terkait jika kandidat menerima dana dari pihak yang dilarang begitu, atau sumber-sumber yang tidak jelas dan pemilunya sudah selesai apakah itu masih bisa diproses kalau di Kanada? Tempat kita tidak bisa ya, gitu ya mas Agus ya? Nah ini 199 pertanyaan titipan dari saya ini pak David. Apakah di Kanada pengaturan tentang dana kampanye dan dana partai politik itu menjadi sebuah aturan yang tidak terpisahkan atau dia satu aturan saja sehingga kalau kita disini kan undang-undang partai politik mengatur tentang keuangan partai, tapi berbeda dengan undangundang tentang terkait dengan dana kampanye. Aturannya … pemilu dan sebagainya. Ada juga pertanyaan untuk pak Riawan Tjandra. Kira-kira pak Riawan, asas-asas dalam hukum administrasi Negara itu bisa digunakan gak? Untuk menata soal keuangan partai politik. Mana yang kira-kira memungkinkan kita bisa gunakan pak? Dalam penguatan ini. Dan pak Giri, tadi pak Giri tadi menyebut satu soal badan usaha partai politik kirakira kalau partai politik itu diberikan kesempatan untuk berbisnis dengan badan usaha mereka, apakah itu tidak cukup riskan? Karena mengingat kasus korupsi hari ini sebenarnya itu terkait dengan penyalahgunaan wewenang dan terkait dengan keuangan Negara kira-kira begitu. Nah itu pertanyaan dan silakan yang mau menanggapi terlebih dahulu. Pak David? Ya silakan pak. 200 David Ennis: Alright, there are a lot of questions and I’m afraid I cannot answer them all in the greatest detail but I will do my best. In no particular order, you ask whether the rules regarding political parties and election put in the same law? The answer is yes. For the most part, both issues were … election expense act. But remember one of the flaws in the Canadian sistem is it does not regulate political parties outside of the election period very well and this lack of regulation has opened up certain loophole and lack of transparency and I think eventually the legislate will have to deal with. And someone else ask for punishment for acceptace of improper contribution and I think that’s a very good illustration for illustrating the lack of measures available for the legislator. If it can be proven that a candidate has committed a fraud or has intimidated voters after the election they can be striped to their seat and kicked out but does accepting and … contribution rise to that level? I’m not sure that it does. To be honest I’m not sure what would happen in that phase but I would like to see the Canadian regulate and they have more tools if they have to deal with that kind of situation. What I think could probably happen you know warrant that … paid with that money. But that would all that happen. Under the current you have a little bit of the audit process, all reports are subject to audit but in the practice the regulated audits very few of them. They have reason to believe there’s a problem, they’re generally accept them. The real source of audit and oversight for financial … respond in Canada, first every party has had an external auditor so it’s the accounting company that has nothing to do who will sign the official external audits and second all the financial report are going to the internet. Which means that journalist and students and civil society can look at those report and see if they’re true. And don’t underrate that, that’s an important source of discipline for parties and candidates for fact that their report are going to the public. There was a question about spending limits and by much … what it was. So the law establish spending caps for the election period which means before time times the election called until the election day. And the limits are reasonably low as I showed before. It’s $100000 for individual candidates and about $25 million for parties that want to run a campaign all across the country. And I think this is a reasonable limits. 201 There are no limits and there are also limits on third parties. Problem is there are no limits in the period before the election called and now everybody has figure this out they started to run political ads just before the elections called. For parties especially but also political parties as well. i hope that answers your questions. Giri: Disana kan ada tax credit ya? Itu maksudnya itu warga Negara yang menyumbang parpol dia langsung … dari pajak yang dia bayarkan ke Negara langsung atau dimasukkan dulu ke treasurer itu pemberian keuangan baru diberikan. Atau langsung ke partai secara simple sebenarnya mekanismenya seperti apa sih? Ennis: So when you gave money to a political party they gave you a special receipt. It’s an official receipt. You then, when you filing you taxes include that in your tax account. And lets say you give $400, you get 30% of that back I’m sorry 75% of that back so you get $300 back. And $300 into your taxes. To your personal account. You give a party $400, the tax authority give you $300 back. A single political party will have a single banking account and you have to give the money there. Or you just give the money to the party official. Moderator: Veri Junaidi sekarang ini pada Pak Riawan ada beberapa pertanyaan juga untuk merespon seluruh paper dari teman-teman tadi. Riawan: Baik terimakasih atas masukan dan saran teman-teman untuk forum ini. Yang pertama, saya rasa riset yang dilakukan pusako ini tidak merupakan suatu variable tunggal bicara mengenai besaran pendanaan partai politik. Tetapi ada sejumlah requirement atau persyaratan untuk menuju kesitu. Yang pertama saya rasa variable yang juga sangat penting dipertimbangkan adalah menata sistem pemilunya. Saya rasa juga menjadi bagian dari riset yang dilakukan Pusako. Kemudian yang kedua, dengan menggunakan sara keuangan Negara instrument keuangan Negara yang 202 dimaksudkan disini adalah menginjeksikan tata kelola keuangan Negara yang yang baik ke dalam sistem pengelolaan partai politik. Maka disini kita berbicara mengenai upaya untuk menerapkan profesionalitas pengelolaan partai politik. Bisa dalam konteks perencanaannya, bisa dalam konteks sistem pengelolaan administrasi kesekretariatannya kemudian sistem kampanyenya dan akuntabilitasnya. Dengan hal ini maka kita harus berkeyakinan bahwa upaya untuk mendorong peningkatan besaran kuantitas anggaran Negara yang disertakan atau yang di berikan kepada partai politik itu juga akan berjalan seiring dengan upaya untuk menata profesionalitas partai politik. Namun persoalannya adalah bagaimana konsep untuk mengukur baik akuntabilitas penggunaan keuangan Negaranya, kemudian prioritas penggunaan keuangan negaranya, proporsionalitas penggunaannya dan berbagai hal yang menjadi prinsip-prinsip dalam penggunaan keuangan Negara termasuk asas spesialitas tadi. Kalau dalam konteks penggunaan keuangan Negara di BUMN itu sudah selesai. Jadi disitu ada konsep yang namanya business judgement rules. Kalau ada kerugian Negara di BUMN dan BUMD sepanjang mereka sudah menggunakan alur proses standar operasional prosedur dalam mengelola manajemen privat di BUMN itu secara professional maka ini tidak masuk ke dalam kategori kerugian Negara yang layak dikriminalisasikan. Itu dalam konteks BUMN, bagaimana dengan tata kelola partai politik? Ini yang perlu dikembangkan. Saya rasa nanti penelitian Pusako bisa sampai pada persoalan itu. Dan sebenarnya yang penting dalam konteks penggunaan uang Negara di dalam partai politik itu ada empat hal yang bisa dikatakan menjadi prinsip dari transparansi pengelolaan keuangan politik. Yang pertama adalah disclosure. Ada kemampuan untuk menyingkapkan wilayah/arena gelap dalam penggunaan dana partai politik itu. Yang kedua reporting-nya. PP tahun 2012 sudah bicara ini. Kemudian yang ketiga monitoringnya. Nanti ini harus ada supervisi dari pihak yang memiliki otoritas dalam pengelolaan keuangan Negara. Pada konteks preventif KPK bisa disitu. Pada konteks preventif dan represif KPK bisa ada di situ. Ini juga menimbulkan perdebatan mengenai istilah supervise itu ya, karena KPK juga ada kewenangan supervise itu ya. Kemudian yang keempat enforcement, legal sistem of sanction. Jadi penegakan sistem hukum mengenai sanksi-sanksinya. Ini bisa menggunakan perangkat hukum keuangan Negara dalam rangka melakukan peningkatan profesionalitas pengelolaan 203 partai politik. Saya juga ingin menanggapi apakah kemudian ketika partai politik menggunakan akses keuangan Negara mereka menjadi badan publik. Tanpa sebenarnya menggunakan uang Negara pun ketika kita berbicara mengenai posisi partai politik sebagai intermediary antara ranah privat menjadi ranah public, dia kenal seleksi jabatan-jabatan publik yang akan ditempatkan sebagai pemimpinpemimpin kita itu sebenarnya sudah masuk ke arena badan publik. Dengan tambahan lagi adanya penggunaan keuangan Negara di dalam proses manajemen partai politik dalam konsep pengelolaan Negara ini sudah bisa dikatakan dia harus bertanggungjawab dalam penggunaan keuangan Negara itu. Saya ambil contoh misalnya suatu perguruan tinggi swasta dia mengakses dana dari Dikti, kemenristekdikti, dana publik dari situ ketika dia menjadi penyelenggara Negara ya harus mempertanggungjawaban penggunaan keuangan Negara itu yang dalam posisi maka ini mendorong partai politik untuk lebih berhati-hati dalam mengelola manajemen partai politiknya. Tetapi dengan catatan ada sisi lain yang jangan dilupakan untuk pembenahan di ranah pemilunya. Bagaimana peran Bawaslu dalam mengawasi misalnya dana-dana money politik. Ini juga harus terawasi ini. Kemudian bagaimana sistem pemilunya, black campaign ini juga bagian dari arena di variable lain yang saya rasa menjadi hal yang tidak terpisahkan dari riset yang dilakukan oleh Pusako. Kemudian saya ingin menanggapi sedikit misalnya penggunaan uang Negara itu bagaimana, bolehkah uang itu langsung masuk ke partai politik dari privat. Ada mekanisme itu, meskipun ada batasannya, untuk dari badan hukum ada batasannya, dari perseorangan ada batasannya. Mungkin dari perspektif ini kita harus berhatihati dengan istilah tadi yang dikatakan … ini maksudnya mungkin akses privat maupun badan hukum privat mengenai partai politik tapi mekanisme keuangan Negara kita tidak seperti itu. Uang Negara itu harus langsung diserahkan ke bendahara Negara pada saat itu juga. Dan nanti penggunaannya tidak langsung. Kalau memang ini sumbernya dari pajak. Demikian juga dengan keuangan Negara yang lain, kita harus berhati-hati. Demikian saya katakan bedakan keuangan Negara dengan keuangan publik. Kita tidak menggunakan konsep keuangan publik dan KPK sendiri juga pada posisi keuangan Negara sejak putusan Tipikor dalam perkara Edi Widiono. Putusan MK 4862 saya juga sebenarnya sempat bingung, ini uang publik atau uang 204 Negara yang di BUMN. Ada argumentasi yang sangat bagus yang disusun oleh forum BUMN, yang juga menjadi pihak dalam pengujian materi itu. Tapi MK (Mahkamah Konstitusi) mengatakan akan menimbulkan ketidakpastian hukum tidak menetapkan uang di BUMN itu uang Negara. Tetapi dengan catatan ada juga dalam putusan itu memperhatikan prinsip-prinsip mengenai sistem business judgement rules. Ini mungkin dari komitmen dari NGO KPK, ini juga konsultan itu belum desain bagaimana konsep ang hampir serupa dengan business judgement rules tadi ditetapkan dalam pendanaan partai politik. Itu tidak mudah karena kita tahu belum tertata dengan baik. Banyak kepentingan yang menggunakan partai politik sebagai saluran interest pribadinya ya ini yang juga harus dibenahi juga. Disinilah arti penting akademik narasi yang disusun oleh temen-temen di Pusako yang mengiringi penyusunan undang-undang partai politik itu. Bagaimana mungkin dilakukan demokratisasi partai politik dengan menggunakan pendanaan Negara. Saya rasa bukan hanya demokratisasi tapi juga penguatan profesionalitas itu akan menjadi cara yang baik dalam rangka demokratisasi parpol. Seluruh program dan kegiatan itu akan sungguh-sungguh melibatkan elemen-elemen di parpol itu. Dengan catatan mereka memahami tata cara pengelolaan keuangan Negara itu. Bagaimana dengan Corporate Political Responsibility? Ini dengan prasyarat ada indicator yang tepat untuk mengukur penyaluran Corporate Political Responsibility saya rasa ini juga perlu menjadi suatu kajian juga ini, karena ini menjadi area abu-abu juga ini untuk adanya penyalahgunaan wewenang dalam penggunaan keuangan Negara. Ingat di dalam hukum administrasi Negara, ada konsep mengenai penyalahgunaan wewenang (abuse of power) salah menggunakan wewenang (misuse of power) undang-undang administrasi Negara kita hanya memperkenalkan abuse of power (penyalahgunaan wewenang) dan tidak berbicara mengenai salah menggunakan wewenang. Ini penting sekali. Batas antara tindak pidana korupsi itu adalah penyalahgunaan wewenang itu. Ketika partai politik yang sebenarnya ini merupakan hukum privat ini menggunakan uang Negara. Maka konsep-konsep mengenai penyalahgunaan wewenang menjadi bagian dalam mengukur mereka. Ini yang kemudian menjadi catatan kritis di akhir yang saya sampaikan ini. Saya kembalikan kepada moderator. Moderator: Veri Junaidi 205 Baik terimakasih pak Riawan. Terakhir pak Giri tadi ada banyak catatan dari temanteman yang juga pertanyaannya mungkin bisa direspon. Giri: Terimakasih. Yang pertama dari ibu tadi dari UMY yang punya ide tentang Corporate Political Responsibility(CPR), bukan CSR. Idenya bagus buk, tapi agak rawan juga. Karena oligarki yang sekarang itu para pengusaha itu menguasai partai-partai, nanti kalau kita membangun relasi melegalkan hubungan antara pengusaha dengan parpol agak rawan juga. Tapi yang menjadi beban nanti ya pihak ketiga yaitu birokrasi dan pemerintah. Kanada memberikan pelajaran bahwa yang responsisbility itu individual. Dia membayar pajak ke Negara tapi karena saya suka partai itu saya … ke partai itu sebagai semacam restitusi pajak ya. Jadi partai juga berusaha mencari nama baik, mencari hati para konstituennya agar dia dapat uang banyak. Saya pikir ini salah satu yang belum kepikiran di Indonesia. Bagaimana individu bisa menyumbangkan melalui pajak. Saya teringat salah satu kasus gratifikasi di sector kesehatan. Bagaimana dokter menerima sponsor yang luarbiasa dari perusahaan obat. Aturannya bahwa dokter wajib sekolah, mencari kredit agar bisa diperpanjang izin kedokterannya, dia harus izin mengumpulkan beberapa poin. Sementara Negara membuat aturan wajib tapi tidak pernah menyediakan yang terjadi adalah perusahaan swasta mengambil alih itu. Saya pikir ini terjadi sekarang dan kalau kita biarkan hubungan relasi pengusaha dan politikus itu sedemikian kuat itu akan berbahaya, nanti kayak kasus gratifikasi dokter tadi, karena Negara tidak memberikan apa-apa yaudah aku langsung saja. Ini saya melihat jangan mengulang kesalahan yang sama. Negara tidak hadir. Sama kasus di beberapa Negara itu seperti ini, istilahnya kita gak bener menggaji orang, intinya seperti itu. Menteri gaji 16 juta, kemudian walikota gaji 6,5 juta, gubernur gaji 8,5 juta gitu kan. Ya sudah kaya pak ngapain kita kasih lagi? Logika semacam itu harus dibalik. Kaitannya dengan badan usaha partai, partai jangan mempunyai relasi langsung dengan pengusaha, tapi biaya sendiri supaya bisa survive apalah nanti bentuknya bikin badan usaha sendiri untuk membiayai partainya. Ketentuan tentang ini tentu juga harus lebih detil lagi untuk menjaga tidak adanya konflik kepentingan antara usaha partai dengan kewenangan yang dipegang oleh orang-orang partai tersebut. 206 Karena conflict of interest itu dimanapun ada. Kalau aturannya gak detil bakal sulit. Kemudian yang kedua dari mas Said tadi, mas Said tadi ada gak? Yang dari puskokum. Saya jawab nanti aja itu. Saya jawab yang dari Makassar tadi itu kurang sepakat Negara membiayai parpol. Jadi gini, sebenarnya yang dibiayai itu tidak semuanya. Jadi kalau orang terjebak yang dikirain itu semuanya itu akan jadi pilihan, nanti saya kasih lihat. Jadi yang biaya operasional itu gak gede. Sewa pengadaan kantor, biaya komunikasi listrik, honor staff, alat tulis kantor, tanda pengenal dan konsumsi. Ini kalau dari survey kita ada dikisaran antara puluhan sampai paling banter 200 milyar per partai itu dari pusat sampai daerah. Jadi ketika saya konfirmasi ke pak Cahyo Kumolo Mendagri pak waktu bapak bilang sumbangan 1 trilyun untuk partai itu maksudnya apa? Itu untuk 10 partai mas, cocok sebenernya. Jadi 1 trilyun dibagi 10 partai jadilah 100 milyar masih make sense untuk biaya tengah ini. Tapi begitu kita mulai membiayai yang kiri, biaya pendidikan politik, kaderisasi, pendidikan untuk kader konstituen program eksternal untuk tokoh masyarakat dan lain-lain, ini biaya sendiri. Biasanya ditaroh di kespampol di Mendagri. Kemudian yang paling kanan ini yang biayanya luar biasa besar, ada biaya saksi ahli, iklan talkshow, rapat umum, alat peraga, atribut, survei pendanaan politik, biaya narasumber, transportasi, biaya pengacara. Ini sebenarnya yang biayanya yang sangat besar. Untuk memutuskan yang kanan ini saya piker mekanisme sumbangan yang individual tadi cocok atau mekanisme badan usaha partai politik cocok sebenarnya. Tapi kalau Negara paling banter masuk dikasih fasilitas saja. TVRI wajib memberikan ruang kepada semua parpol caleg, membikin undang-undang kewajiban untuk TV swasta mengalokasikan sekian menit jam-jamnya untuk semua partai misalkan. Karena kita pernah bicara dengan televise swasta mereka oke-oke saja sepanjang ada aturan regulasinya. Sekarang bentuk kontribusi tadi tetapi diatur dalam undang-undang. Kita masih belum membawa televisi swasta ini kepada yang tadi yang … tadi tapi masih TVRI. Ada satu lagi aturan yang memungkinkan caleg itu reimburse sebenarnya kan yang anggarannya sudah ada tapi jarang ada yang mau pake ribet nanti pertanggungjawaban dan lain-lain. Karena memang sesuatu yang gelap-gelap itu disukai politikus untuk pembiayaan yang disampaikan temen saya yang dari KPPU tadi. 207 Kemudian belum balik ya mas Saidnya? Pak Agus tadi banyak bercerita mengenai kondisi praktis. Kasus Damayanti ini unik juga itu ada modus baru. Modus barunya anggota DPR dia menggunakan dana aspiratifnya tapi korupsinya di tempat lain dia tarik silang. Karena pengaruh DPR kamu dapat dari A kamu dapat dari B jadi dalam menghilangkan gak ada hubungannya dengan kewenangan saya. Padahal itu silang sebenarnya. Ini menarik ada satu angka yang belum saya sampaikan di depan tadi dari diskusi dengan penyidik dan jaksa kita. Ketika kita mem-BAP orang itu keluar angkanya. Biasanya DPR minta jatah itu dengan proses penganggaran sebelum itu diketok itu sekitar 6-8%. Bagi teman-teman disini yang memandang bahwa biaya Negara itu gak penting, lihatlah angka ini 6-8% dikalikan dengan APBN untuk belanja. Kalikan itu berapa ratus trilyun, uang yang kemungkinan bocor dari proses penganggaran saja. Kita keluar 10 trilyun atau 20 trilyun untuk pendanaan parpol itu kecil dibandingkan dengan resiko 6-8% dari proses pendanaan tadi. Cuma kita butuh angka yang persis tapi itu dari statement penyidik dari kasus hambalang dari kasus waode dari kasus banyak hal. 6-8%. Begitu jadi anggaran nanti mark down, mark up dan lain-lain lebih besar lagi dananya. Itu beda lagi urusannya. Yang terakhir adalah saya akan menyampaikan dua slide yang tadi belum saya sampaikan, ketika kita daerah keluhan mereka ya gaji kecil. Biaya operasional itu memungkinkan kita bisa menggaji seorang professional sebagai manajer partai. Jadi di daerah itu ada manajer EO, di daerah itu bakal ada seorang pegawai yang secara professional yang mengurusi pembukuan, itu digaji. Kan bagus itu. Parpol selama ini mengeluh aku gak mau sistem akuntansinya dan lain-lain itu gak ngerti mereka. Kebanyakan berpikir praktis kegiatan. Kalau nanti ada professional khusus, manajer EO, manajer negosiasi, advokasi dan lain-lain itu bagus. Itu lapangan kerja baru dan membuat partai menjadi lebih professional. Dan dibiayai oleh Negara. Kemudian keluhan yang kedua mereka itu yang di daerah itu adalah jadi biasanya ada bansos, dana aspiratif, off barrel dan lain-lainnya itu mereka tujukan, jadi korupsi dari APBD memberikan sumbangan-sumbangan tadi. Karena keluhan mereka itu di daerah adalah itu jadi pemimpin, jadi anggota DPRD, jadi kepala daerah komposal itu sulit untuk dia tolak. Karena dulu merasa menjanjikan sesuatu proposal masuk dan tidak 208 ada biaya bagi anggota DPRD untuk memberikan itu tadi maka mereka menggunakan itu. Yang ketiga adalah mereka bilang tidak efektif kalau pemerintah Cuma pada pendanaan parpol tadi yang operasional tanpa kita menyentuh individunya. Gaji anggota DPRD itu sudah pas atau belum, anggota kepala daerah itu sudah pas apa belum? Karena kalau gak nanti akan mencari kompensasi dari tempat lain lagi. Pendanaan ada individual gak dapat apa-apa, maka terjadi kayak Indonesia. Yang terakhir, selama ini partai tidak memberikan bantuan dana sama sekali kepada caleg, justru sebaliknya caleg menyumbang untuk partai, nah ini dari daerah. Dan kesimpulan kita sederhana berhubung kajian ini belum selesai jadi kita diselesaikan sampai Oktober. Kemudian secara umum diperlukan pengaturan yang komprehensif tentang tata kelola pendanaan parpol agar mendukung parpol untuk bisa survive, yang kedua meminimalisir dominasi partai dalam oligarki partai dan yang ketiga mendemontrasikan transparansi dana akuntabilitas. Challenge-nya ada dua tantangannya, yang pertama apakah rezim penguasa sekarang akan terbuka dan legowo memberikan kekuatan lebih kepada calon lawan politiknya. Karena memberikan pendanaan politik pada parpol lain artinya menguatkan parpol lain. Dan kenapa ini isu ini sering tidak bisa di address isu ini. Ngapain saya ngasih partai lain kalau mereka kuat? Yang kedua adalah pertanggungjawaban saya mengutip apa yang disebutkan oleh pembicara yang sebelumnya dengan memberikan pendanaan ini otomatis parpol akan dituntut lebih tanggungjawabnya. Yurisdiksi kelemahan undang-undang kita itu ada dua. Dan itu membuat kita tidak bisa memberantas korupsi secara baik yang pertama adalah parpol pengurus parpol itu tidak ada yurisdiksinya. Kalau korupsi hanya parpol yang sedang menjabat yang ditangani KPK, tapi begitu pengurus parpol korupsi di dalam mereka tidak ada yang bisa menjangkau. Sehingga parpol menjadi banker kita ke status quo saja biar kita korupsi rame-rame kenapa KPK tidak bisa menjangkau pengurus parpol karena kita bukan pejabat incumbent penganggaran Negara dan pegawai negeri nah sekarang anggaran yang kedua adalah sector swasta. Swasta kongkalikong berkoalisi itu bangger yang kedua tapi ini pendekatannya dengan undang-undang korupsi sector swasta. Dua hal ini saya piker kalau gak diselesaikan dalam waktu dekat Indonesia gak akan kemana mana. Anchor-nya ada disana terimakasih. 209 Moderator: Veri Junaidi Baik, terimakasih. Tepuk tangan untuk narasumber dan kita semua. Bapak ibuk tentu masing masing kita punya kesimpulan. Tapi satu hal yang cukup menarik tadi hasil riset temen-temen KPK juga beberapa rston sebelumnya bahwa kalau kita melihat aktor yang paling besar didalam kasus korupsi itu 30% berasal dari parpol. Kalau mas Giri dan teman-teman KPK punya satu rekomendasi terkait dengan perbaikan sistem yaitu menyentuh pada lini-lini misalnya partai politiknya dan juga pengambil kebijakan yang lain. Tentu kita berharap perbaikan-perbaikan dari semua yang kita diskusikan dari apatisme kita terhadap partai politik dan perbaikan itu menyentuh terkait dengan keuangan partai. Tapi satu hal yang cukup menarik, nilai-nilai pendanaan partai pengaturan partai karena yang mau kita dorong kan perbaikan regulasi perbaikan kebijakan terkait dengan pendanaan partai cukup menarik pengalaman dari Kanada nanti harus dieksplor lebih lanjut itu adalah terkait dengan menyeimbangkan sumber dari public dan privat jadi harus ada keseimbangan. Jomplang terlalu tinggi yang pendapatan dari internal partai juga tidak cukup baik seperti yang kita alami hari ini. Dan yang paling penting kalaupun hari ini kita menginginkan pendanaan lebih dari Negara untuk memecah konsentrasi pendanaan oleh elit partai politik yang terjadi hari ini yang paling penting adalah ketersediaaan dana Negara yang mau diberikan kepada partai itu tapi bergantung kepada ketaatan partai untuk mereka melakukan, melaporkan, untuk mereka transparan akuntabel terhadap pendanaan partai politik. Saya kira itu bapak ibu sekalian penutup diskusi kita bagi yang belum ada kesempatan tentu nanti kita silakan kepada panitia ada ketua panitia yang diujung sana. Kita tutup tepuk tangan sekian. Assalamualaikum wr.wb. 3. SESI 3 (16.30-18.00) Moderator : Iwan Kurniawan Narasumber : Donal Fariz 210 Moderator: Iwan Kurniawan Bapak-bapak dan ibuk-ibuk yang saya hormati, saya yakin bapak ibu semua sudah lelah begitu juga saya. Jadi saya mau dua hal. Yang pertama, gambaran umum data kuantitatif yang coba kami pelajari dari tim peneliti yang dari ICW dan beberapa tim juga yang dari luar. Dan kami masuk ke rekomendasi, sesimpel itu untuk kita diskusikan hari ini. Pertama, saya tadi pagi sengaja masuk ke forum yang berbeda dari ruangan ini. sorry untuk Pak Magnus, I cannot join with your session. Karena saya mendengar sesi demokratisasi di internal partai bahwa semakin benar bahwa problem pendanaan partai politik adalah kunci. Problem demokratisasi internal adalah problem turunan. Kita tidak mungkin akan bicara mengenai demokratisasi di internal partai sepanjang keuangan partai belum selesai. Kira-kira seperti itu. Jangan ngomong soal kaderisasi kalau uang belum selesai. Gimana mau mengkader orang kalau gak punya uang. Darimana mau melakukan pendidikan politik kalau gak punya uang. Darimana kemudian akan melakukan kegiatan politik yang berkaitan dengan membangun demokratisasi di internal partai kalau masalah uang belum selesai. Jadi saya semakin yakin karena terlibat di forum diskusi yang disebelah tadi, di parallel I. Problem keuangan partai adalah problem yang pertama salah satu yang paling penting kita benahi dulu. Dan forum ini menjadi sangat terhormat untuk bisa merekomendasikan gagasan untuk besok dan untuk di kemudian hari besoknya. itu yang pertama kalau kita bicara soal keuangan partai politik di ee.. problem pendanaan ini. bapak dan ibu yang saya hormati, kalau kita bicara soal keuangan partai politik, maka kita harus mengkanal pada dua rezim setidaknya. satu rezim diluar pemilu dan satu rezim pemilu itu sendiri. Kita bicara sedikit satu persatu soal rezim tersebut. Kalau kita bicara tentang partai politik di rezim pemilu, kita bicara dengan beberapa aspek, satu soal yang paling banyak dan tidak pernah tersentuh adalah mahar pencalonan seorang pejabat publik atau yang disebut dengan candidacy buying. Kami, bapak dan ibuk tadi dengan temen-temen tadi ikut juga di sesi sempat berbisik ternyata salah satu pejabat public yang diusung dari Sumbar menyetor 5 milyar untuk satu partai politik. Gak usah kita sebut namanya, ini forum tertutup dan itu mereka tahu ketika butuh rekomendasi DPP itu adalah sola uang disitu. Tingkat pertama DPD atau DPP itu adalah uang. Kedua layer ini yang dibentuk untuk jaring- 211 jaring uang bagi partai politik baik pada level daerah maupun level pusat. Yang kedua kemudian kita bicara soal cost politik dan ini tentu kalau kita bicara tentang partai politik minta uang kepada kandidat dalam pencalonan itu rasanya adalah cost politik. Maka ini kita bicara tentang pendanaan partai politik rezim pemilu. Yang kedua adalah pendanaan partai politik diluar pemilu. Soal kegiatan rutin partai politik. Kita bicara kongres, munas, musda dan seterusnya-seterusnya pada level yang lebih bawah. Kami beberapa waktu ini kami juga melakukan diskusi dengan tementemen di beberapa daerah. Kami ternayta menang mostly memanga orang yang membaiayai kongers daerah, munas daerah itu memang adalah orang yang potensial menang di ketua wilayah dan ketua daerah. Itu fenomena yang sering terjadi karena memang menyangkut soal pendanaan partai politik itu sendiri. Bapak dan ibu yang saya hormati sedikit saja selama 30 tahun terakhir, ini problem yangtidak hanya terjadi di Indonesia kita menghadapi akan cost electoral biaya politik sangat tinggi. Yang menang pun kemudian hanya segelintir orang dan terjadinya shifting pergeseran dari arti yang mass party yang sudah mati bergeser kepada media menjadi salah satu tools kampanye yang digunakan oleh partai politik. Ini kemudian yang menjadi ledakan cost electoral yang sangat tinggi. Electoral campaign yang dikeluarkan oleh para kandidat dan juga termasuk oleh partai politik. Kalau kita lihat fenomena yang terjadi hari ini bapak dan ibuk semua, ’98 kesini kan bukannya justru semakin baik. ’98 kesini kalau kita jujur, ini karena untuk diruangan biasanya, ini kan kondisinya semakin buruk. Kalau dulu pengusaha tidak mau masuk ke dalam partai politik dan mereka diluar partai politik itu tapi dibelakangnya mereka menyokong partai politik. Hari ini yang muncul kalau kita lihat dari kelahiran beberapa partai politik yang baru, adalah pengusaha yang sudah mapan secara ekonomi dan kemudian memiliki fondasi yang kuat, media sebagai salah satu jarring mereka untuk memperluas partai politik mereka. Akhirnya mereka mendirikan partai politik baru. Kondisi ini kan lahir memang dari karena Negara tidak pernah begitu dalam untuk mengurus partai politik. Kami akan menyajikan data-data kuantitatif untuk soal itu, subsidi Negara juga menghadirkan dua perdebatan, tadi saya menyimak. Ada yang setuju dengan bantuan atau alokasi Negara, ada yang tidak setuju. Itu adalah common dalam banyak perdebatan tidak hanya di Indonesia tapi di banyak Negara. Yang sederhana adalah, kalau kita bantu partai politik, apakah akan 212 ada jaminan partai politik tidak akan korup? Ini selalu menjadi debatable di banyak kalangan. Tidak hanya di masyarakat di civil society di kelompok akademik ini juga menjadi salah satu hal yang paling serin diperdebatkan. Bagi kami bapak dan ibuk, singkat saja, kalau kami yang bekerja di isu anti korupsi. Korupsi itu di bagi pada dua aspek. Pertama, Corruption by need dan kedua Corruption by greed Kalau kita melihat tipologi kasus yang melibatkan elit-elit partai hari ini. ada yang melakukan korupsi by greed korupsi karena tamak punya asset ratusan milyar rupiah bukan korupsi by greed. Ketika Negara memberikan bantuan dana yang lebih banyak akan mengurangi korupsi dengan kelompok ini jawabannya tentu tidak. Kelompok mana yang akan diselamatkan dari korupsi jika Negara membantu lebih banyak partai politik. Jawabannya yang kedua tadi, orang korupsi karena kebutuhan by need. Saya tidak dengar tadi pak Giri karena saya keluar tadi. Rata-rata dari kajiannya itu 5% uang yang dikorupsi itu masuk ke partai politik. Minggu yang lalu saya di forum CSIS bahkan angkanya lebih gede sekali karena forumnya tertutup di forum CSIS, ada beberapa partai yang datang bilang 8% itu masuk ke partai. Dan mostly kan mereka ngambil antara 15-20% uang-uang project pemerintahan itu dah masuk dulu ke kelompok-kelompok mereka. Ada orang main proyek, 15-20% itu adalah uang menguap dulu, uang menguap itu bisa apa? Ada yang menuju ke partai ada yang 5-8% tadi, ada yang untuk cost politik dia pribadi yang didistribusikan. Kasus Semarang yang dicontohkan tadi uang yang didistribusikan kembali. Uang jin dimakan setan kemudian juga untuk kegiatan pilkada. Lingkaran setan yang memang terjadi. Cepat saja jadi ini kalau keuangan partai tadi juga sudah di presentasikan. Subsidi Negara, sumber partai, peruntukkan, pelaporannya juga sudah. Saya mau masuk ke aspek ini bapak dan ibuk, ini yang menarik tadi kalau contoh pak David Ennis dan segala macam itu memang kadang menarik, tapi apakah mungkin itu diadopsi di Indonesia. Itu yang menjadi pertanyaan bagi kita. Survey CSIS, 1,3% orang Indonesia yang pernah menyumbang kepada partai sementara di Kanada angkanya sampai 20,6%. Nah itu tantangan di kita. Orang marah dan benci kepada jadi orang susah nyumbang kepada partai. Di ICW kami punya public fundraising untuk mengajak public berdonasi di hal-hal yang berkaitan dengan korupsi. Itu setengah mati juga susah mengajak public berdonasi. Pemilik di Indonesia itu lebih suka berdonasi untuk menginvestasikan janjinya adalah akhirat. Jadi kalau anda 213 nyumbang, kemudian dapat kendaraan di akhirat orang Indonesia suka dengan yang seperti itu. Jadi kalau punya sumbangan berkaitan dengan partai politik mereka apalagi kepada partai politik, mereka akan jawab ... coba kalau kita Tanya didalam ruangan ini sudah pernah nyumbang buat partai politik belum? Nanti mostly hampir sebagian besar gak pernah. Itu adalah problem yang dihadapi di Indonesia pastinya. Donor juga tidak menerima insentif seperti tax deductable yang diceritakan tadi pak David. Karena di Indonesia hanya 30 juta wajib pajak 10 juta menyampaikan SPT itupun hanya kepatuhan formal saja. Jadi hanya kepatuhan formal dan sistem perpajakan di Indonesia tentu akan bermasalahan untuk bisa mencapai sistem yang diceritakan oleh pak David tadi. Jangankan sistem perpajakan, sistem kependudukan di Indonesia sendiri pun belum selesai. DPT dan seterusnya-seterusnya di pemilu kan sebelumnya selalu banyak. Jadi menurut saya kita masih jauh untuk sampai pada level yang disebutkan oleh pak David tadi. Eeh, saya skip saja. Ini data kuantitatif apakah kami mengajak, sebenarnya kami di ICW termasuk setuju, peningkatan bantuan keuangan kepada partai politik. Bapak dan ibuk yang saya hormati, berapa sih sumbangan Negara untuk partai politik. Kalau kita lihat angka kuantitatifnya dari 2015 hanya 13 milyar uang kepada partai politik untuk tingkat DPP. Berapa yang kemudian untuk wilayah dan kabupaten kota? 13 milyar untuk DPP 60 milyar untuk 34 provinsi dan 313 milyar untuk kabupaten kota di seluruh Indonesia. Total uang APBN dan APBD untuk partai politik di Indonesia itu adalah sekitar 800 milyar rupiah. Kalu kita bagi bapak dan ibuk, uang 2039 trilyun maka alokasi terhadap partai hanya 0,052% dari uang Negara. Maka jangan salah kemudian Surya Paloh bikin partai dan enak dapat kekuasaan. Ini kontrol dia kontrol itu sendiri. Haritanu Sudibyo bikin partai juga kenapa? dia seneng. Negara gak bantu partai gak ngurus partai mereka punya kekuatan yang besar punya kendali seorang diri karena dia yang membuat partai politik. Disinilah kemudian, urgensi Negara harus hadir. Karena kita sudah harus menghadapi fase soal ini kami juga sering di debat di banyak aspek. Partai ini harus berbendah diri dulu dong, baru Negara bantu. Kan sudah selesai menghadapi fase seperti itu. Partai gak berbenah juga, bahkan kondisinya makin jelek. Kenapa juga Negara makin lama juga tidak masuk. Momentum itu Negara menurut saya harus hadir. Nah ini usulan eh gak tau mudah-mudahan ini mempermudah ini untuk 214 direkomendasikan besok, bisa setuju bisa tidak setuju. Tapi kita akan minta pada mas Aji dari Pusako, uda Aji dari Pusako yang akan memnbantu kita untuk meresume beberapa hal. Bapak ibuk Satu, alokasi Negara itu kita dorong dalam bentuk model flat apapun itu flat subsidi dan proporsional berdasarkan perolehan suara hasil pemilu. Nah ini lah yang berlaku hari ini yang proporsional. Flat itu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan partai dan skema alokasi flat itu seperti ini bapak dan ibuk. Kami menghitung yang A itu sebenarnya adalah 30 % dari total kebutuhan partai politik. DPW B itu adalah 30% dari kebutuhan partai politik pada tingkat provinsi. C adalah 30% kebutuhan partai politik pada tingkat kabupaten dan kota. Kenapa kami pake angka 30 % menurut kami adalah angka yang moderat. Banyak riset sudah menunjukan itu. Riset seperti yang dilakukan oleh Marcus Misner juga 30% itu adalah angka moderat. Menurut kami juga iya, sederhana saja bapak dan ibuk, ada sumber partai politik, satu ada iuran anggota jadi kita harapkan 30% persen lagi dari iuran anggota, 30% nanti kita harapkan dari sumbangan pihak ketiga yang tidak mengikat secara hukum. Orang partai dan badan usaha, dan 30% lagi bantuan alokasi Negara. Disitu kami mau cari keseimbangan maka angkanya kami harapkan adalah 30%, Negara juga tidak boleh terlalu banyak, kit atidak mau partai telalu banyak didikt oleh Negara. Syukur kalo negaranya demokratis, gimana kalo kita berada di rezim Suharto? Partainya dimatikan oleh penguasa. Kita tidak mau juga problem masa lalu itu kembali lagi ke reformasi sampai sekarang ini. kami hitung jumlah … itu rata-rata mohon maaf saya tidak bisa tampilkan disini, kami ngambil rentang kebutuhan mereka, pak Giri tadi sudah sampaikan, angka estimasinya, tapi data dokumen ICW yang kami kumpulkan dari uji akses. Permintaan keuangan partai politik jadikami minta laporan keuangan partai politik dan diskusi dengan beberapa pengurus partai politik terdapat data dari sekretaris jenderal partai politik. Berapa sih kira-kira expenditure yang anda gunakan setiap tahunnya? Kalau diakumulasikan di seluruh tingkat kabupaten dan kota provinsi sampai dengan tingkat nasional, rentangnya sampai 1 50 milyar sampai dengan 250 milyar rupiah untuk satu partai politik, ini tegantung lagi partai politiknya boros atau tudak? Yanya kira kira jumlahnya seperti itu di Indonesia, saya mengambil angka 30% dari kebutuhan itu. Flat itu sebenarnya memenuhi 30% 215 kebutuhan mereka akumulasi partai mana yang memperoleh kursi di tingkat pusat. Partai yang juga memiliki kursi tingkat propinsi dan tingkat kabupaten kota. 30% dari situ kemudian dikali apakah mereka memiliki kursi di level itu masing –masinng. Itulah yang kemudian menjadi pengalinya. Itu skemanya, lebih mudah memang melihat datanya. Yang kedua adu lokasi berdasarkan perolehan suara. Bapak dan ibuk, kalau di tingkat pusat itu kita partai politik meperoleh alokasi Rp 108 untuk satu suara, maka berbed untuk tingkat propinsi dan kabupaten kota jumlahnya beragam. Ada yang punya jumlahnya Rp. 4000 persuara, ada yang Rp 5000 tapi anehnya ada yang masih mempertanyakan metodenya berdasarkan kursi. Di Jayapura misalkan saja, 2 bulan yang lalu kami bersama tim Pusako ke Jayapura ternyata jayapura itu masih mempertahankan harga satu kursi itu 15 juta untuk satu kursi. Maka kami berpikir, bagaimana kita mendesain, sudah tingkat propinsi itu kita samakan saja harga satu suaranya. Tingkat kabupaten kota itu kita samakan saja harga suaranya. Itu yang kemudian menjadi pengali berapa suara yang mereka punya di propinsi itu. Contoh satu partai tingkat propinsi itu harga satu suaranya adalah 2500 suara. Berapa partai X itu punya suara maka itulah yang menjadi pengalinya. Begitu sama juga untuk tingkat provinsi-provinsi yang lain sehingga tidak merumitkan lagi pernghitungannya. Dua, kita bicara soal satu kami usulkan yang tidak ada hari ini adalah, kalau kit abaca undang-undang partai politik dan turunannya PP 83. 60% alokasi Negara itu adalah pendidikan politik. Ya kalau kit abaca laporan keuangan partai politik 60% itu tidak pernah dipakai untuk pendidikan politik habis semuanya untuk biaya operasional. Tapi apakah bisa dilakukan penegakan hukum? Tidak. Kenapa karena memang kita tidak punya pembanding apa yang dianggarkan partai di awal dan kemudian belanja mereka di akhir. Nah usulan kami adalah bagaimana mendorong partai untuk punya anggaran dan belanja partai, disitu partai di akhir tahun akan mempertanggungjawabkan apa yang mereka keluarkan. Apakah sama dengan yang pemasukan dengan pengeluaran atau tidak. Saya dapat laporan kemaren dari teman Semarang mas, sebelum hari raya idul fitri, mereka bertanya disana. Ada salah satu partai yang menggunakan bantuan APBD di Semarang partainya untuk tunjangan hari raya. Itu boleh atau tidak, itu kita tentu kita sehingga partai suka-suka menggunakannya karena memang tidak ada guideline dari awal dan cerita itu kami 216 terima dari Semarang pada waktu itu. Yang kita mau juga adalah partai pada tingkat DPP diwajibkan melakukan konsolidasi terkait laporan keuangan dan ini tidak ada. Yang hanya melakukan ini yang kami temukan hanya Partai Keadilan Sejahtera. Yang selanjutnya kami berharap, tadi kita sudah bicara soal alokasi, besaran kemudian juga e.. ee ee usulan pengaturan pengajuannya juga. Selanjutnya kami merekomendasikan audit. Satu kalau kit abagi dipartai auditnya ka nada dua bapak dan ibuk. Satu audit yang sumber keuangannya adalah uang Negara oleh BPK yang diluar sumber keuangan Negara itu diaudit oleh kantor akuntan public yang ditunjuk oleh partai itu sendiri. Tapi problemnya, partai tidak pernah membuka. Jangankan pada public, kepada anggotanya sendiri audit yang dilakukan oleh akuntan public itu tidak dibuka secara luas. Akibatnya aapa partai di tingkat pusat sering mengklaim bahwa mereka tidak pernah menerima mahar dalam pencalonan sebagai kepala daerah. Dibawah ini sudah nyetor ini dari pencalonan. Ngakunya itu dikasih untuk DPP, di akhir tahun kan mereka kan tidak tahu apakah uang itu benar-benar masuk ke DPP sebagai mahar pencalonan itu atau tidak. Karena mereka sendiri tidak walaupun orang partai tidak tahu untuk diapakan uang katakanlah uang 2 milyar 3 milyar yang mereka setor untuk pencalonan itu. Ketika audit ini dibuka ini juga menguntungkan untuk internal partai politik sendiri. Mereka kemudian bisa melacak apakah uang itu dibukukan atau tidak. Atau jangan-jangan hanya untuk segelintir orang saja yang mengaku uang itu diterima oleh pengurus DPP partai politik. Usulan kami adalah kemudian kami berharap audit dua sumber yang diluar keuangan Negara itu dilakukan oleh kantor akuntan public yang ditunjuk oleh BPK ini tidak lagi dilepas seluruhnya kepada partai politik. Selanjutnya yang ketiga partai wajib membuka dan mempublikasikan melalui website masing masing laporan keuangan mereka sehingga bisa diakses oleh masyarakat. Ini standar sebenarnya di undangundang partai politik ada. Tapi masalahnya tidak ada sanksi kepada partai jika itu tidak dilakukan. Apa.. norma perintah tapi tidak ada sanksi jika perintah itu tidak dilakukan. Ini kekosongan yang memang timbull di dalam undang-undang partai politik kita. Sanksi kemudian, penundaan pemberian bantuan ini sudah di praktekan. Kemudian pidana berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Dan ini usulan kami, larangan ikut pemilu selama satu periode pemilu jika sampai laporan keuangannya bermasalah. Jadi punishment secara kolektif ang diberikan kepada partai politik 217 manakala merekatidak bisa secara baik memeberikan/mendeliver keuangannya baik kepada Negara maupun kepada anggota mereka sendiri. laporan Bapak dan ibu yang saya hormati, sebenarnya memang problem saya bicara problem diawal, saya sudah menyampaikan bahwa problem ada pada dua ranah. Satu pada rezim pemilu dan satu diluar rezim pelimu itu sendiri. Diluar rezim pemili itu kita bisa jawab undang-undang partai politiktapi yang di rezim pemilu agak susah kita menjawab kalau digunakan pendekatan undang-undang partai politik. Pak David di Kanada mencontohkan mereka kemudian undang-undang partai politik memang punya kaitan dengan undang-undang rezim pemilu. Nah kita berharap ke depannya ada paket undang-undang pendanaan pemilu di republic ini. banyak Negara sudah memiliki itu contoh kalau ada bapak ibu yang ikut di forum Asian Electoral Forum di Bali mereka beberapa Negara pengalaman mereka. Kesimpulannya adalah problem dana partai dana pemilu itu mayoritas adalah problem Negara. Tapi ada yang menjawab dnegan pendekatan yang lebih baik. Contohnya ada Taiwan yang punya undang-undang dana politik sudah punya sejak tahun 2004. Bagi mereka itu cukup baik untuk menjawab beberapa persoalan yang dicontohkan di Semarang tadi mas. Di post election misalkan ada orang yang menerima dana-dana yang bermasalah, di Taiwan itu satu tahun post election itu dana-dana itu masih bisa di audit kemudian ada sanksi itu jika ada penyalahgunaan masuknya dana-dana yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Di Indonesia itu hanya 30 hari audit dan itu hanya administrasi saja. Itu kira kira bapak dan ibuk masalah dan rekomendasi seperti yang disampaikan tadi oleh pak Charles dari Pusako sesi kita sebenarnya lebih kepada mendiskusikan apa rekomendasi kita ke forum yang aka nada di besok. Beberapa rekomendasi tadi mari kita diskusikan menurut saya, kalau cocok mari kita pertahankan, kalau tidak cocok masri kita carikan solusi untuk rekomendasi besok. Saya kembalikan ke moderator untuk memandunya. Moderator: Baik terimakasih mas Donal Fariz, mohon maaf saya tadi agak terlambat karena ada urusan penting. Saya persilakan kepada bapak ibu sekalian untuk melakukan Tanya jawab diskusi mengenai apa yang akan kita rekomendasikan besok dari forum ini mengenai pengelolaan keuangan partai politik. Apa sudah pada capek? Ya silakan dari ICW 218 Almas : terimakasih. Mau nambahin sedikit mungkin tadi agak kelupaan, tadi di awal kan prof Syamsudin Haris kan bilang mungkin subsidi Negara kepada partai hanya bisa diberikan dalam jumlah cash atau dalam bentuk uang. Mungkin kita juga bisa memberikan indirect subsidi atau subsidi secara tidak langsung. Apakah itu bentuknya fasilitas seperti gedung sewa gedung gratis dan kalau di kampanye subsidi iklan dan sebagainya. Nah mungkin di forum ini juga perlu dipertimbangkan apakah kita akan merekomendasikan Negara memberikan subsidi secara tidak langsung kepada partai politik, baik itu partai politik di tingkat pusat ataupun partai politik di tingkat daerah. Kalau misalnya itu disetujui bentuknya apa? Apakah kemudian pendidikan politik, atau kemudian seperti fasilitas gratis atau bagaimana? Terimakasih. Moderator: Iwan Kurniawan sebetulnya saya beri informasi sebentarm bahwasanya apa namanya subsidi indirect pada saat kampanye iya kan? Pilkada iya. Jadi memang untuk hal-hal yang lain khususnya pada pileg dan lain sebagainya memang belum. Saya persilakan yang lain. Silakan, apa saya tunjuk aja? Saya tunjuk apa saya tonjok? Ya? Magnus ohman: I just wanted to highlight what was just said, there good advantages to indirect public funding, because why indirect public funding has many advantages? Indirect funding is great and this is a compliment. Cheaper to the state and better to control to provision and easier to control if its of misuse. When you give money to party you can always give the party air time or place to put up billboard, you can make sure that its only used for whatever you wanted to. Though instead of direct funding but it can be very good com… Moderator: Iwan Kurniawan silakan yang lain. Jadi memang pengelolaan keuangan partai politik ini unik. Bisa jadi apa yang dikatakan mas apa tadi. Sehingga Surya Paloh mendirikan partai politik dan sebagainya tadi pagi kita sempat berdiskusi ini sudah menjadi anak perusahaan. Anak perusahaan konglomerat-konglomerat tertentu. Misal Media Group karena 219 kekurangan perusahaan dia membuka yang namanya Nasional Demokrasi (Nasdem) kemudian yang baru-baru ini. MNC TV mau membuka yang namanya Perindo jadi akan menjadi yang namanya anak-anak perusahaan itu akan menguntungkan pemilik dari partai politik tersebut. Dan kemudian pengelolaan keuangan partai politik Negara perlu ikut didalamnya. Maka tidak hanya, apa, menekan partai politik untuk membuka keuangannya tapi juga penormaannya. Saya persilakan apa sudah capek apa bagaimana. Mungkin pak Wahid masih merumuskan pak Wahid? Veri Junaidi: Saya kembali ini saja, sedikit mengulas apa yang tadi pagi saya usulkan. Jadi dari beberapa identifikasi ini untuk melengkapi saja apa yang disampaikan mas Donal, karena secara keseluruhan saya setuju dengan yang disampaikan mas Donal. Kita harus mulai membatasi sebenarnya, ee apa, sumbangan dari anggota partai politik yang selama ini kan memang tidak ada pembatasan itu. Dan itu menjadi ruang gelap sebenarnya cek kosong yang diberikan undang-undang kepada anggota partai khususnya elit-elit partai. Dalam mendanai partai politiknya. Tadi yang disebutkan teman-teman itu memanfaatkan kekosongan di dalam undang-undang. UU kita harus sudah mendiskusikan kembali kalau tidak meneguhkan bagaimana kedudukan partai politik itu seperti apa. Karena hari ini cara pandang partai dan cara pandang kita mungkin saya agak berbeda bahwa saya menganggap itu adalah badan public begitu dilihat dari beberapa alasan misalnya kewenangan yang dimiliki partai politik. Yang kedua dari pendanaan yang diberikan Negara kepada partai politik. Mengidentifikasi bahwa partai adalah badan public begitu. Oleh karena itu hal yang demikian mesti kemudian sudah di clear di dalam undang-undang partai politik itu sendiri. Ketiga kita harus sudah mulai memikirkan sumber pendanaan dari anggota itu sudah mulai didorong, iuran anggota dan lainsebagainya. Mekanisme itu bisa berjalan. Bagaimana kita mendorong partai bisa menjalankan itu. Dan yang terakhir kita harus sudah mulai mendesain ulang terkait sumber pendanaan dari Negara. Kalau di undang-undang kita yang sekarang kita tau subsidi yang diberikan secara proporsional berdasarkan suara. Satu suara dinilai Rp 108 misalnya PDIP dapat 2 milyar dan penggunaannya pun juga sangat terbatas. 60% hanya digunakan untuk pendidikan politik dan sebagainya ya itu desainnya mestinya dirubah dan sebagainya. 220 Sumbangan yang proporsional secara proposional itu mestinya dia nanti saya usul 100% untuk diberikan untuk pendidikan partai saya kira begitu. Dan yang flat saya kira itu saja yang mesti di itu lagi. Jadi hitung-hitungannya harus clear. ICW menghitung anggaran saya kira begitu mas terimakasih. Moderator: Iwan Kurniawan Baik sepertinya udah pada capek ini. apalagi pesertanya. Jadi untuk mengerucutkan diskusi kita, saya tawarkan beberapa rekomendasi-rekomendasi. Nanti kalau ada dari peserta tambahan-tambahan ini akan kita masukkan dan kita diskusikan. Apakah dibungkus untuk direkomendasikan untuk besok harinya atau masih perlu kita cermati bersama. Mungkin bisa dari notulen untuk kita masukkan ke slide untuk kita cermati bersama kepada peserta mengenai rekomendasi-rekomendasi yang kita tawarkan. Oke yang pertama adanya subsidi secara tidak langsung seperti fasilitas mungkin untuk kampanye partai politik tidak perlu sewa gedung. Kemudian APK-nya (Alat Peraga Kampanye)nya dibiayai oleh Negara. Jadi partai politk tidak lagi membiayai ketika kampanye jadi ada subsidi yang diberikan secara langsung ada subsidi yang tidak diberikan secara langsung. Bagaimana yang poin pertama ini? ya Ada masukan tidak hanya di ranah kampanye tapi juga kegiatan pendidikan politik. Almas : tapi gak di ranah kampanye ini kan pak. karena kampanyenya sendiri sudah ada di undang-undang. Moderator: Iwan Kurniawan masalahnya kegiatan partai politik kalau ndak waktu kampanye mereka ndak ada kegiatan. Apakah kemudian Negara juga ikut dibebankan memberikan pendidikan politik dalam artian tidak hanya kemudian dibebankan kepada partai politik ansi sehingga subsidi tadi itu juga ditanggung oleh Negara untuk memberikan pendidikan politik. Bahwa selama ini sudah juga seperti itu. Cuma itu tidak pernah disebutkan saja. Ada masukan mengenai nomenclaturenya atau mengenai tata bahasanya. Atau bagaimanan atau ini kita tawarkan dulu gelontongan nanti akan ada revisi revisi. Jadi yang pertama subsidi secara tidak langsung. Nah ini masalahnya ini akan diberlakukan di kegiatan rutin partai politik atau hanya di kegiatan hanya masa kampanye saja. Sambil menunggu masukan yang pertama. Yang kedua public funding 221 bisa saling melengkapi antara bantuan langsung dengan bantuan yang bersifat tidak langsung. Jadi mungkin apa ya namanya tadi itu mahar-mahar politik dan lain sebagainya tadi harus terbuka dan saling melengkapi. Selama ini yang terjadi yang bawah gak pernah tahu yang tahu hanya elit-elit politik saja. Kemudian yang ketiga adalah membatasi sumbangan anggota kepada partai politik. Terus yang terakhir sumbangan partai untuk pendidikan partai jadi memang disebutkan hanya untuk pendidikan politik dan kaderisasi. Silakan untuk dikritisi untuk kemudian di beri masukan mengenai unit tata bahasanya dan kemudian ada hal-hal yang baru yang kemudian penting untuk dijadikan rekomendasi untuk forum ini ini ya. Charles Simabura: dari segi bahasa, public funding itu apa yang dimaksud apa dana public atau? Dari masyarakat atau dari Negara. Moderator: Iwan Kurniawan Bantuan, bantuan dari masyarakat. Ya. Bantuan masyarakat. Bantuan masyarakat, Negara dan anggota. Anggota. Bagaimana bapak ibuk? Ada masukan? Atau kita sepakati yang poin yang kedua ini. rekomendasi kita undang-undang. Charles Simabura: dari segi normatif ini mau diatur dimana ini. pertama itu perlu revisi undang-undang. Moderator: Iwan Kurniawan iya undang undang. Charles Simbura: Nanti kalau pengaturan lagi balik lagi kita. Revisi undang-undang partai politik, khusus mengenai pendanaan partai. Moderator: Iwan Kurniawan nomer satu, revisi undang-undang partai politik. Khususnya mengenai pendanaan partai politik. Apa dibentuk undang-undang khusus tentang pendanaan partai politik 222 ya jadi menjadi undang-undang pendanaan partai politik. Atau terpisah. Silakan bapak ibuk, apakah yang direvisi itu uu partai politik atau kita usulkan dibentuk undang-undang baru tentang pendanaan partai politik. Undang undang tentang pendanaan partai politik? Veri Junaidi : Bisa jadi dalam undang-undang partai politik itu, dibuat bab tentang pendanaan. Moderator: Iwan Kurniawan Jadi dari PP dinaikkan menjadi undang-undang? Gimana pak wahid, setuju? Kalau istilah orang kulonan itu joghut alamaturidho, diam berarti iya. Wahid: saya rekomendasikan pengaturan tentang dana partai itu levelnya dinaikkan mejadi undang-undang. Moderator: Iwan Kurniawan Otomatis apakah merevisi undang-undang tentang partai politik pada poin tentang pendanaan partai politik kalau tidak salah pasal 34 atau pasal 34 itu d menjadi undang-undang pendanaan partai politik jadi lebih lex specialis. Itu ya rekomendasi yang pertama. Rekomendasi yang kedua gimana? Sudah satu suara belum? Kan udah saya tadi udah saya katakana jughut alamaturridho. Veri Junaidi : kalau untuk ini saya setuju sama pak Charles ya itu dinaikkan derajatnya, dari DPP menjadi undang-undang. Pertanyaan pak Charles sebenarny apak Charles gak mau ya sekarang ini. Kalau saya mengusulkan sekalian aja dana penalangan parpol ini. Sebenarnya bukan hanya mengatur subsidinya mana sebaiknya… bukan. Tapi jug ada banyak hal yang harus di… misalnya soal kedudukan partai soal yang kedua 223 pengelolaan dan sebagainya. Jadi banyak hal. Oleh karena itu jika dia menjadi lex specialis maka diberikan hak undang undang saja. Kalau saya sih begitu. Moderator: Iwan Kurniawan satu undang-undang. Tetap undang-undangnya partai politik? Charles Simabura: bunyinya begitu biar saja nanti DPR yang … yang penting statusnya diatur didalam undang-undang. Moderator: Iwan Kurniawan saya ini moderator bukan pemutus, pemutus apa diskusi. Saya hanya memfloorkan alau bapak/ibuk semua diam itu berarti setuju. Iya kan? Berarti poin yang pertama otomatis ya? Oke? …. Moderator: Iwan Kurniawan jadi ada dua satu ada undang –undang mengenai partai politik satunya lagi tentang pengelolaan keuangan partai politik. Begitu? Satu aja gabung? Jadi yang dirubah hanya pasal 34 gitu ya? Oke ya begitu? Ada lagi? Silakan. Udah diam semua saya bukan pemutus lho. Zainal Arifin Mochtar: Baik saya menghalalkan kedatangan soalnya. Baik bismillahirrahmanirrahiiim. Assalamualaikum wr.wb. saya sih piker mending kita pikirkan dulu sifat dana partai politik ini. Apakah kita mau taruh dia sebagai dana public ataukah memang dana spesifik untuk partai politik. Kalau kit ataruh sebagai dana publik menurut saya lebih baik dia tunduk kepada undang-undang keuangan Negara, biarkan dia masuk di rezim itu. Jadi rezim yang sama dengan keuangan Negara. Di undang-undang partai politik hanya mengatur bagaimna dia memperolehnya. Tetapi pengelolaannya dan 224 lain sebagainya mending tunduk sana. Ini menurut saya tergantung pada paradigma kita ya. Kalau paradigm kita mengatakan itu tetap masuk ke dalam ranah ruang publik ya sudah mending kita lepas dia di undang-undang keuangan Negara. Tapi kalau kita mau berpikir dia adalah ranah tersendiri, yang itu adalah ingkaran dari undang-undang keuangan Negara, maka penting kitabuat undang-undang spesifik. Dana partai politik. Nah disitu bayangan saya dia akan mengingkari atau kemudian menegasikan beberapa aturan dalam undang-undang keuangan Negara. Nah terserah kita, bayangan kita. Di awal kita berpikir saya mengatakan bahwa dia masuk kepada ranah yang tetap dan ranah public. Supaya diujungnya bias tetap kena proses BPK, supaya kena proses transparansi yang diwajibkan dalam undang-undang keuangan Negara. Cuma tinggal perolehannya kita cari logika-logika baru barangkali atau caracara baru. Saya gak tau bagaimana yang tadi sudah dibahas di ruangan ini. Tapi bayangan saya misalnya ada ide yang sempat didorong untuk memasukkan bagian dari dana pajak. Saya pernah baca ide lama, saya harus cari lagi, tapi dia bicara soal bagaimana setiap wajib pajak ketika membayar pajak itu mendeclare. Misalnya yang dibolehkan dalam peraturan misalnya 0,1% dari pajak untuk siapa maka dia declare di SPTnya. 0,1% dari pajak ini saya serahkan kepada partai X misalnya. Dan dnegancara itu menurut saya basis dukungan partai politik akan jauh lebih terlihat. Dana kemudian bisa kelihatan. Partai yang didukung oleh pembayar pajak adalah parati yang seharusnya memiliki suara terbanyak atau paling sehat. Nah mengenai caranya bisa kita pikirkan mau diambil model Australia yang model bisnis boleh mau ambil model yanglain terserah. Tapi sifat uang ininya dulu yang kita tentukan, apakah dia spesifik masuk dalam ranah public ataukah dia dojadikan ingkaran dari dana publik. Saya pikir itu, oke. Moderator: Iwan Kurniawan ya ini itu masukan bahwasanya bagaimana kalau kemudian dana diambilkan 0,1% dari pajak yang dibayarkan rakyat kepada Negara itu termasuk kedalam public funding tadi Charles Simbura: 225 dengan cara berapa besaran nanti bisa dicanangkan pengaturannya itu pemerintah apa? Kalau kemaren kan PP sekarang naik kepada undang-undang. Moderator: Iwan Kurniawan naik kepada undang-undang. Charles Simabura: kemudian yang kedua itu uu parpol saja atau undang-undang sendiri? Veri Junaidi: itu aja, kalau menurut saya sih jumlah. Moderator: Iwan Kurniawan Hahaha yang paling penting kan itu saja kan? Apakah kita kan mengusulkan revisi di pasal 34. Reza syawawi: termasuk dengan sanksinya lengkap Moderator: Iwan Kurniawan Termasuk substansi yang lebih lengkap atau dikeluarkan menjadi lex specialis. Tergantung enaknya itu lho jadi saya pikir, rekomendasi ini dua ini saja itu kita rekomendasikan biar kemudian DPR itu membuat keputusan sendiri, yang penting atau kita merekomendasikan perubahan pasal 34 atau ditarik menjadi lex specialis. Ya oke ya ketok ya. Moderator: Iwan Kurniawan Kemudian yang kedua, subsidi secara tidak langsung yang tidak pada ranah kampanye seperti fasilitas penyewaan gedung, kemudian apa, apa lagi, mengenai iklan dan lain sebagainya. 226 Veri Junaidi: itu langsung istilahnya mungkin meningkatkan pendanaan oleh Negara dalam bentuk baru nanti kan yang bentuk tunai atau non tunai. Yang tunai itu bisa dirumuskan proporsional melalui suara dengan penghitungan suara dan yang kedua … Moderator: Iwan Kurniawan Oke ya. Subsidi secara tidak langsung meningkatkan subsidi pendanaan partai politik oleh Negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung yang kemudian dihitung itu melalui perolehan jumlah suara, secara tidak langsung Negara ikut mengkampanyekan partai-partai politik. Atau kemudian Negara ikut andil tapi ini saya pikir ini terlalu riskan kalau misalnya seperti sekarang, negaranya dikuasai oleh PDIP jadi nanti iklannya PDIP yang paling banyak. Veri Junaidi: nanti ada slotnya. Mungkin bukan langsung/ tidak langsung ya. Tunai/non tunai. Charles Simabura: tunai/ non tunai, kalau langsung tidak langsung itu BLT Moderator: Iwan Kurniawan BLT Veri Junaidi: Mas Aji coba diketik dudlu mas aji. Meningkatkan bantuan atau subsidi Negara, bentuknya tunai/non tunai. Yang tunai itu melaui dua skema, proporsional berdasarkan suara dan kedua… yang tunai itu bentuknya apa saja. Charles Simbura: Non tunai itu fasilitas itu lho Moderator: Iwan Kurniawan 227 Ya itu masalahnya tadi yang saya tanyakan tadi. Kalau kemudian Negara seperti sekarang ini dikuasai oleh PDIP bagaimna kemudian rakyat bisa apa. Charles Simabura: itu diatur nanti diatur itu. Moderator: Iwan Kurniawan Dibuat undang-undang lagi. Hehehe, tekniknya diatur. Oke. Bagaimana bapak/ibuk yang kedua ini adalah meningkatkan bantuan subsidi Negara secara tunai dan non tunai. Yang tunai dan model flat itu sesuai dengan proporsional jumlah suara. Ya kan? Dan yang non tunai itu akan diatur dengan peraturan lebih lanjut. Entah itu terserah nanti DPRnya mau membuat peraturannya bagaimana. Silakan apa ada masukan atau ada bahasa yang lain yang lebih ringkas ya. Almas: Bantuan keuangan, alokasi dana untuk partai politik ada 3 jenis yang pertama flat, yang kedua proporsional berdasarkan perolehan suara yang ketiga yang tidak langsung. Jadi dibuat langsung tiga jenis. Langsung saja. Tidak langsung itu hanya fasilitas. Jadi langsung tiga. Moderator: Iwan Kurniawan Flat, langsung, dan tidak langsung. Veri Junaidi: meningkatkan bantuan subsidi Negara melalui tiga skema pertama, Bantuan langsung tunai, kedua, Bantuan proporsional berdasarkan suara. ketiga, Fasilitas Moderator: Iwan Kurniawan Bagaimana bapak/ibuk? Ada usulan lagi yang lain atau lebih fleksibel atau kemudian dari bahasanya ada yang kurang pas? Sudah? Cukup? Oke? Klau gitu saya ketok ya. (ketukan 3 kali) dah yang kemudian adalah bantuan masyarakat, bantuan negara dan 228 bantuan anggota bisa saling melengkapi antara bantuan langsung dengan bantuan yang bersifat tidak langsung. Itu kayaknya sudah masuk yang kedua ini. Ya, yang ketiga ini udah masuk yang kedua. Dah langsung aja yang berikutnya. Sumbangan partai untuk pendidikan partai dan kaderisasi. Jadi ini akan semakin dipertegas, bahwasanya sumbangan partai hanya untuk pendidikan partai dan kaderisasi. Veri Junaidi: Belanja subsidi Negara dari subsidi proporsional digunakan untuk pendidikan politik dan kaderisasi. Moderator: Iwan Kurniawan Belanja subsidi Negara kepada partai politik digunakan untuk pendidikan partai dan kaderisasi. Veri Junaidi: Bukan, suara proporsional. Sumbangan subsidi proporsional. Moderator: ooh melanjutkan yang dari dua tadi kan? Veri Junaidi: Jadi tidak hanya soal belanja Negara, hanya digunakan untuk pendidikan politik dan kaderisasi. Moderator: Iwan Kurniawan Gimana bapak ibuk yang ketiga adalah subsidi proporsional hanya digunakan untuk pendidikan politik dan kaderisasi. Oke? Oke ya? (ketukan 3 kali). Next, berikutnya adalah membatasi sumbangan anggota kepada partai, membatasi sumbangan anggota kepada partai ini masih sumir ini. Membatasi dalam artian nominalnya harus berapa atau kemudian ee.. bentuk sumbangannya. Kan biasanya ada yang gak bisa ngasih duit tapi bisa untuk sumbangan rumah dan lain sebagainya. Kendaraan. 229 Veri Junaidi : Pembatasan sumbangan dari anggota partai politik, sumbangan itu bisa bentuknya uang, bisa bentuknya barang atau jasa yang di konversi dengan nilai uang. Moderator: Iwan Kurniawan Pembatasan sumbangan anggota partai kepada partai politik. Yang bisa dikonversi dalam bentuk uang. Jadi missal dia menyumbang rumah untuk kantor kemudian dibatasi harga rumah gak boleh lebih dari 100 juta. Kan itu, atau kemudian ketika dia menyumbang mobil gak boleh lebih, mobilnya itu gak boleh harganya itu lebih dari 100 juta. Jadi cari yang second-second aja mobilnya. Silakan ada masukan ada sanggahan? pembatasan sumbangan anggota partai kepada partai politik. Yang bisa dikonversi dalam bentuk uang, sepakat? Moderator: Iwan Kurniawan (ketukan 3 kali) ya selanjutnya. Kalau pendanaan partai adalah dana publik ini tunduk kepada undang-undang keuangan Negara, kalau dana partai tunduk kepada undang-undang partai politik atau keuangan partai. Ini bukan rekomendasi, pandangan. Silakan bapak ibuk mau tetep kepada pandangan yang sepakat ke undang-undang keuangan Negara sehingga ada transparansi. Karena itu dari APBN. Oleh karena itu kita hapuskan. Dana wajib partai dideklarasikan yang diumumkan. Dana wajib pajak untuk partai yang dideklarasikan langsung untuk pendanaan partai politik. Bagaimana bapak ibuk? Skema pendanaannya, dana wajib pajak untuk partai yang di deklarasikan langsung untuk pendanaan partai politik. Ini bahasanya kurang pas ya? Ya makanya itu sengaja kita gak paskan biar ada masukan. Ya satu-satu. Silakan. Reza Syawawi: tadi kan sudah dijawab bahwa … dari Moderator: Iwan Kurniawan Jadi sepakat untuk dihilangkan? 230 Audien: sepakat! Hilangkan! Moderator: Iwan Kurniawan Hilangkan. Jadi ini gak perlu. Sama dengan yang poin kedua ya? Kita hanya merekomendasikan satu dua tiga. Almas: gimana soal transaparansi bisa gak soal sumber ya jadi tadi ada soal bahwa partai politik wajib mempublikasikan keuangan partai melaui website masing-masing. Kalau misalnya soal mekanisme sanksi. Moderator: Iwan Kurniawan Mekanisme sanksi? Donal Fariz: Jadi mekanisme sanksi yang akuntabel pada partai Moderator: Iwan Kurniawan Masukan, dibentuknya mekanisme sanksi. Memperkuat mekanisme sanksi bagi partai politik yang tidak transparan dalam pengelolaan dana partai politik. Terserah DPR apa sanksinya. Apakah kemudian partai politik itu tidak boleh ikut pada pemilu iya kan. Atau kemudian partai politik ini harus dibubarkan. Itu biar itu. Jadi yang terakhir memperkuat mekanisme sanksi bagi partai politik yang tidaka transaparan dalam pengelolaan pelaporan dana partai politik. Oke cukup ya bapak ibuk. Kalau begitu karena saya lihat bapak ibuk sudah tidak fokus semua iya kan. Ini adalah berapa empat ya? Lima rekomendasi yang akan kita berikan nanti di forum yang pada rapat paripurna yang mengenai demokrasi partai politik. Kalau begitu saya sebagai moderator mengucapkan terimakasih atas patisipasi bapak ibuk sekalian mohon maaf apabila ada kekurangan. Wallahu muafiq illa muthariq. Assalamualaikum wr.wb. Audien : (tepuk tangan) 231 PENUTUPAN DAN PENYAMPAIAN KESIMPULAN KONFERENSI NASIONAL HUKUM TATA NEGARA KETIGA PENYAMPAIAN KESIMPULAN PARALLEL GROUP DISCUSSION HARI/TANGGAL : Rabu/7 September 2016 MODERATOR PEMBACA KESIMPULAN : Khairul Fahmi : - AGUS (PARALLEL GROUP DISCUSSION 1) - DONAL FARIZ (PARALLEL GROUP DISCUSSION 3) - BACHTIAR (PARALLEL GROUP DISCUSSION 2) .... Agus Rianto: Kesempatan ini bisa disempurnakan kalau kata mas khairul kalau urus urus yang manis saja itu bisa di persingkat dan kita bisa langsung jalan-jalan. Kalau tahun depan ada lagi jadi saya mohon menggunakan bahasa singkat dan sederahana, kita mulai saja yang pertama, soal pencalonan legislatif dan eksekutif. Pertama di wiliayah ini kita semua bicara bagaimana mendorong parpol mempersiapkan calon kader internal ini pada wilayah bagaiamana menyiapkan kapasitas partai politik mampu menyiapkan kadernya. Yang kedua, disentralisasi penentuan calon legislatif dan eksekutif yang ini pada wiliayah tidak selalu desentralisasi berdasarkan keinginan pusat atau pimpinan pusat untuk memuatkan kapasitas lokal internal partai, kemudian mendorong ketertiban masyrakat dalam pencalonan kepala daerah misalnya melalui jalur independen sabagai koreksi masyrakat atas aprpol untuk mempertahankan calon independen. Berikutnya parpol harus mencalonkan calon yang mempunyai kapasitas dan integritas dan berikutnya harus ada sanksi bagi parpol yang tidak mengajukan calon yang mempunyai kapastitas dan intergirtas. Ini termasuk bagian dari kemampuan parpol untuk menyediakan calon yang berkapasitas dan integritas ini supaya tidak ada calon tunggal yang sempat menjadi perdebatan nasional dan itu justru malah menganggu proses pilkada serentak dan harusnya bersama malah tidak jadi bersama. Kemudian yang kedua menyangkut model pemilihan dimana kami kelompok 1 merekomendasikan bisa digunakan dua 232 model seleksi yang pertama, model konvensi calon presedin, guburner, walikota dan bupati dan kalau biasanya disebut dengan pre election, jadi sistem konvensi ini perlu dibuat sistem mekanisme yang baku, karena setiap parpol mempunyai AD/RT yang berbeda sehingga ada aturan yang sama sehingga publik bisa mengatur dengan mudah. Berikutnya yang kedua model ... misalnya ada panitia khusus di level partai politik lalu ada selected party agency disitu melibatkan seleksi oleh sebagian kecil pimpinan partai, kemudian party members ini dari screening kemudian added partai msauk keseluruh anggota partai politik untuk terlibat dalam proses pentuan calon dan ini leboh demokratis karena melibatkan seluruh anggota partai. Yang ketiga soal instutusionalisasi partai politik soal pelembagaan partai politik, permasalahan ini menjadi urgent karena berkaitan dengan bagaiman parpol itu selalu acek dalam proses dan acek dalam berorganisasi sehingg setiap keputusan partai terukur karena selama ini tidak pernah terukur karena tidak pernah terlembaga. Di wilayah ini kami merekomendasikan bahwa, pertama ketua partai dipilih melalui pemilihan pendahuluan atau mendorong hasil calon ini, pemilihan calon didorong agar supaya semua agar tidak ada gangguan karena selama ini pimpinan parpol selalu diisi segelongan elit, model ini akan lebih memberikan kesempatan kepada calon baru. Yang berikutnya mekanisme PAW, pergantian antar waktu atau recalling yang transaparan dan akuntabel, ini penting karena selama ini proses pergantiannya tidak pernah jelas. Berikutnya parpol harus membuat mekanisme pengkaderan berjenjang ini ditujukan untuk melihat kapasitas calon kader berdasarkan kemampuang masingmasing. Kemudian parpol harus mereduksi efek dinasti dalam parpol, ini memang mungkin sulit untuk dihilangkan karena menyangkut beberapa hal namun minimalnya dapat mereduksi. Kemudian parpol harus memperhatikan aspek moral didalam tubuh partai politik ya dimulai money politic kong ka ling kong dan ini harus di kelola agar dapat menjadi lebih baik. Berikutnya parpol perlu meningkatkan kualitas parpol di wilayah ini karena parpol tidak bisa dianggap organisasi senada karena menyangkut bukan organisasi privat atau organisasi publik. Kalau organisasi publik dia harus menggunakan ukuran akuntabilitas publik tidak boleh akuntabilitas sekelompok orang. Kemudian perlu penegasan pemilihan ketua parpol harus secara demokratis karena ini bagian bagaimana publik dapat meninali institusional parpol. Yang keempat rekomendasi di wilayah ini kami merekomendasikan 2 hal pertama 233 perlu pembicaraan dengan parpol dan pemerintah, lalu mendorong kode etik lembaga survei misalnya lembaga survei dilarang mengkampanyekan calon calon yang bermasalah. itu kira-kira yang bisa di rekomendasikan oleh kelompok satu, apabila bapak ibu memiliki pikiran yang berbeda boleh saran boleh kritik terkait apa yang sudah disampaikan ini, saya persilahkan.. bgtu atas perhatiannya saya ucapkan terimakasih dan saya kembalikan ke mas Khairul.. assalamualaikum wr, wb. Khairul Fahmi: Terimakasih mas Agus, saya buka kesempatan bapak ibu yang memberikan komentar tetapi saya harapkan agak spesifik dan berbeda kalau udah sama saya anggap sudah selesai jadi bisa kita lanjutkan ke PGD lain, silahkan kalau ada.. Fritz: Nama saya Fritz pak, mohon maaf mas agus saya kemaren ada usulan sedikit mengenai pentingnya peningkatan partai lokal salah satu masalahnya adalah mengenai pemberian kesempatan selalu partai nasional, kita tidak pernah memberikan kesempatan partai lokal. Apabila konsep itu pernah dan sudah berlangsung di Aceh misalnya kemudian menjadi pertanyaan kenapa tidak bisa di wujudkan di tempat lain dan itu menurut saya memperlihatkan kecirian daerah kita, perlunya kita duduk dan dengarkan kembali adanya pembuatan partai lokal disetiapsetiap provinsi jadi tidak perlu selalu ada pusat dan daerah karena fokusnya bukan hanya pada pusat karena di daerah juga ada. Sekian, Terimakasih. Khairul Fahmi: Baik, terimkasih mas Fritz, selanjutnya satu aja yaa, baik yang dibelakang.. Didi indriyaningrat: Assalamualaikum wr, wb perkenalkan nama saya didi indriyaningrat peserta non call paper, menarik sekali dan rekomendesikan dalam rumusan ini, saya kemaren juga sempat mengikuit grup ini, dari desain yang dicoba diangkat salah satu penguatan demokratisasi partai politik kalau saya membayangkan partai politik akan mengalami penguatan dari regulasi-regulasi baik dari sisi eksternal maupun internal 234 mereka, jadi menurut saya penting dari rekomendasi penting tadi perlu adanya ide bahwa partai politik ini menjadi profesi, profesi yang mempunyai tolak ukur yang jelas kalau misalnya pengacara memiliki kode etik tentunya juga profesi ini memiliki kode etik. Selain kode etik terhadap lembaga survey perlu jua diatur kode etik bagi partai politik sehingga dapat menjadi kontrol dan mengontrol perilaku-perilaku partai politik. Khairul Fahmi: Masih ada satu lagi, silahkan.. Ninis Terimakasih pak moderator, sebenarnya ada satu lagi ada yang direkomendasikan pada diskusi kemaren, karena kemaren ada satu hal yang telah bahas dan tidak tersinggung pada hari ini yaitu persoalan perempuan di internal partai politik itu penting sekali. Kalau melihat hasil pemilhan kemaren menempatkan perempuan itu hanya sebatas untuk memenihi syarat aja agar parpol bisa berkontestasi di pemilihan itu. Permasalah parpol yaitu tidak mampu menemukan calon perempuan yang berkualitas sebenarnya alasannya ini kan lucu karena perjuangan calon perempauan itu sejak tahun 1999 kalau tahun 2014 masih mempunyai alasan kita susah loh cari kader perempuan aneh kan karena perjuanagn sudah sejak lama, tetapi alasannya masih saja itu-itu aja. Dalam rekemondasi kemaren perlunya penempatan kuata 30% itu tidak hanya di pusat tetapi juga di daerah. Namun parpol juga harus memanfaatkan mereka mempunyai organisasi sayap partai khusunya perempuan itu harusnya menjadi wadah bagi parpol untuk menjaring kader perempuan yang berualitas karena tidak bisa dipungkiri organisasi sayap khususnya perempuan gerakannya mengakar dibawah. Mungkin itu saja terimkasih Khairul Fahmi: Oke.. jadi point rekomenasi juga saol peranan perempuan dan keterlibatan perempuan dalam pengelolaan partai politik. Baik itu kira-kira tambahannya, mungkin kita tidak bahas lagi, kita ingin bapak ibu fokus rekomendasinya, ini ada rekomendasi umum tetapi juga ada penekanan seperti yang disampaikan tadi seperti 235 mas Fritz soal partai lokal, mbak ninis soal penekanan perempuan.. yaa silahkan mbak, bagi bapak ibu PGD 1 yang kira-kira belum tertampung dalam kesimpulan ini silahkan disampaikan .... Ada dua rekomendasi utama bagi saya, yang pertama, tidak langsung ke partai politik tapi lebih agak general kalau ada revisi di UU Pemilu yaitu kemungkinan kemunculan calon independen. Kalau dilihat dari beberapa negara, akan sulit menemukan negara mana yang tidak memiliki calon independennya dari pada ada yang parlemennya. Jadi kebanyakan negara memiliki satu calon independen, jadi menurut saya untuk representasi fungsional ini perlu di buka calon independen politik. Itu satu Khairul Fahmi Itu maksudnya untuk parlemen saja? DPR? ... Sebetulnya untuk DPR dan DPRD itu memungkinkan Khairul Fahmi Tapi peserta pemilu kita partai politik loh buk .. Betul, sebab pemilu kita partai politik Cuma kalau kita ada semnagat merevisi UU Pemilu mungkin ini perlu membuka kemungkinan membuka calon non partai politik disana walaupun nanti ada satu ada dua itu tidak masalah yang penting calon independen dibuka, kalau di ambil contoh Iran saja itu ada selalu kursi Yahudi, padahal itu dia kelompok miniroitas. Rekomendasi kedua perlu adanya muatan dalam parpol perlu menetapkan standar kualifikasi calon yang akan di majukan kandidat yang akan dimajukan, karena nanti keitika dia akan duduk di parlamen atau kursi kursi pemerintahan kalau saya ambil dari paper Prof. Bagir Manan mereka harus menjaga hormat parpol, nah menjadi tanggungjawab bahwa calon kader yang 236 di usulkan nya itu punya kulaifikasi yang baik. Jadi itu dua rekomendasi dari saya. Terimakasih Khairul Fahmi: Baik, terimalkasih bu dan itu sudah tercatat dalam point-point yang sudah ada di PGD 1. Baik silahkan terakhir, pak Phillip Phillip Vermonte: Makasih, saya mau komentar sedikit lembaga survey, menurut saya lembaga survey tidak perlu diatur oleh UU tetapi dia diatur oleh assosiasi masing-masing karena dia lembaga profesi kecuali dia di danai APBN/APBD, jadi kalau menggunakan dana publik dia boleh diatur. Yang kedua kita harus mendorong agar dia menjadi profesional dan itu menjadi tanggungjawab assosiasi yang terkait dengan lembaga riset atau survey yang praktek yang dilakukan sekaranga adalah sudah mendaftarkan di KPU dan KPUD dan yang penting bagi saya pada pemilu kemarenpada tahun 2014 lembaga survey karena ada persilisihan itu di audit secara terbuka oleh assosiasi yang bersangkutan jadi menurut saya itu sudah sangat cukup diserahkan kepada mereka yang menaungi dan kalau boleh mau diatur dalam UU agak berlebihan tetapi lembaga survey akan menghakimi adalah publik sendiri. Jadi apakah dia kredibel atau tidak adalah publik. Kalaupun mau mengatur atau memakasakan sesuatu yang paling mudah untuk transparansi atau kebutuhan akademis mewajibkan lembaga survey yang merilis hasilnya ke publik sekaligus merilis data mentahnya sehingga bisa di cross check oleh orang yang tidak melalukan survey. Itu menurut saya jauh lebih berguna untuk kajian-kajian politik. Sehingga mereka mempunyai akses untuk mendapatkan data dan kajian dari lembaga survey dan hasil-hasil survey tersebut. Khairul Fahmi: Terimkasih pak Phillip, ini untuk melengkapi rekomendasi yang telah dirumuskan oleh PGD 1 tetapi beliau menekan tidak perlu ada pengaturan secara tegas dalam UU cukup diatur oleh institusi yang mereka bikin sendiri oleh lembaga-lembag survey. Cukup kaan.. saya berikan catatan ada tambahan soal peranan perempuan dan partai politik lokal diatur dalam UU Parpol cukup kaan, terimkasih. Berikutnya kita 237 lanjutkan PGD 2 dengan tema penyelesaian sengketa dan hubungan pusat dan daerah partai politik, pada pak Bachtiar saya persilahkan Bachtiar: Assalamualaikum, wr, wb. Izinkan saya mewakili PGD 2 untuk menyampaikan hasil diskusi dalam bentuk rekomendasi yang sifatnya tentatif dan masih diskusikan lanjut tetapi pada pointnya ada 2 isu yaitu akan dibawa dalam sebuah rekomendasi yaitu pertama, penyelesaian sengketa internal parpol, dan kedua isu hukum berkaitan dengan hubungan parpol pusat dan daerah atau disentralisasi parpol. Nah kita coba bahas yang pertama dari sisi penyelesaian konflik internal parpol yang pertama, perdebatan tentang penyelesaian parpol ini mengerucut pada dua hal dalam perdebatan itu ada sifatnya internal itu dikembalikan ke partainya atau ada campur tangan eksetenal ini yaitu pengadilan atau arbitrase atau gabunag dari kedua-duanya. Kesimooulan dari teman-teman meninginkan bahwa penyelesaian sengketa parpol harus secara detail diatur dalam UU. Walaupun perdebatannya itu dikembalikan juga pada AD/RT tapi ada penekanan tertentu sengketa parpol diselesaikan secara internal melalui mahkamah parpol karena rohnya disitu pada saat pembentukan UU parpol. Kemudian parpol baik komposisi dan syarat pengisiannya diatur oleh UU sedangkan mekanisme teknis di kembalikan pada AD/RT parpol dengan syarat mahkamah parpol tidak diberikan kewenangan untuk memberhentikan anggota parpol. Selanjutnya mekanisme penyelesaian sengketa itu diatur secara rigid dalam UU, itu yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa parpol. Kemudia isu yang kedua, beriakitan hubugan pusat dan daerah, teman-teman berkesmipulan bahwa isu tentang disentralisasi ini menjadi penting bagi parpol dan prinsip hubungan desentralisasi pusat dan daerah harus diatur dalam UU yang mengatur tentang hubungan itu. Ada tiga penekanan yaitu pertama, berkaitan dengan penetapan ketua atau pimpinan parpol yang kedua penetapan caleg dan calon pilkada dalam proses seleksi dalam penetapan calon pilkada nah ini perdebatan ini suasana batinnya laur biasa karena ini berkaitan dengan minta restu berjenjang sehingga ini harus dipatahkan dan harus diatur dalam UU sesuai dengan rekomendasi yang pertama tadi, kemudian yang berikutnya proses seleksi calon dilakukan secara 238 berjenjang. Saya kira itu 2 hal penting kami simpulkan dan kami rekomendasikan dan mungkin ada penambahan atau sebagainya dikembalikan kepada pimpinan sidang, silahkan Khairul Fahmi: Terimkasih pak Bachtiar, nah itu tadi apa point-point rekomendasi, namun pak bachtiar tidak menyampaikan lagi apa yang kita sampaikan karena akan menjadi panjang dan hanya rekomendasi saja. Kalau ada hal baru dari bapak ibu atau ada catataan yang hendak disampaikan terhadap rekomendasi ini kita berikan 2 sampai 3 orang memberikan pandangan. Kalau tidak kita akan selesaikan. Silahkan lengkap yaa.. kalau sudah selesai kita akhiri berarti ini sudah menjadi pandangan umum dalam PGD 2. Masih ada pak, silhakan pak Tamrin: Sebagai penjelasan proses perekrutan dan pencalonan berjenjang itu masih multi tafsir, yang artinya kayak apa yaa. Kemaren dalam forum itu di putuskan oleh Kab oleh provinsi.. jadi perlu tambahan penjelasan dan penetapan dan pengusulan, pengusulan dari bawah penetapan dari bawah, sehingga tidak perbedaan penafsiran dalam proses itu saja. Saya kira itu saja tambahan untuk memperjelas. Khairul Fahmi: Terimkasih pak tamrin tambahan penjelasannya dan sudah kita catat. Kalau tidak kita tutup dan kita lanjut ke PGD 3, penyampaian rekomendasi oleh saudara Donal, silahkan Donal Fariz: Makasih moderator selamat pagi.. assalamuailakum wr, wb. Salam sejahtera untuk kita semua. Sebelumnya saya minta izin menambahkan beberapa point dari hasil kesimpulan dari PGD 3, selanjutnya kami menilai kemaren bahwa tanpa menganggap apa hal-hal pokok dan tidak pokok tapi kami meyakini pada PGD 3 masalah keuangan parpol adalah sumber dari banyak hal. Kalau kita bicara masalah rekruitmen, demokrasi dalam internal parpol sumbunya adalah di keuangan parpol tidak akan 239 melakukan demokrasi internal, rekruitmen dan kaderisasi internal kalau tidak dari duit atau sumber keuangan kira-kira seperti itu. Jadi kita berbangga pada PGD 3 karena kita membahas isu yang sangat penting sekali. Yang kedua yang sangat niscaya memperbaiki keungan partai politik, kita menghadapi kondisi dimana hari ini muncul konglmerisi partai politik. Orang menjadi konglomerat kemudian membangun parpol, model-model seperti ini tentunya tidak sehat karena pengusaha itu adalah basisnya orinetasinya bisnis dan kapitalis dan negara harus hadir memperbaiki kondisi yang demikian. Dan rekomendasi ini akan memperbaiki beberapa aspek dalam keunagan partai politik itu sendiri. Yang kedua kalau kami meyakini juga tujuan peningkatan bantuan keunagan partai politik, ini adalah mendorong parpol lebih profesional dan meningkatkan akuntabilitas dan tanggungjawab keungan parpol dan point kedua ini paling penting. Dan mungkin kita kalau sekarang parpol dikasih 100 rupiah untuk satu suara, kita minta akuntabilitas yang lebih tinggi jangankan kepada partai itu sendiri kepada kita sendiri, istri kalau hanya dikasih minta seribu atau dua ribu sehari tidak mungkin dimintakan akuntabilitas seperti ini kalau di analogikan demikian apalagi kalau parpol sebagai entitas penguasa tidak mungkin dikasih kecil tapi minta banyak. Perlu paradigma ini kita perbaiki untuk menjadi ballance. Yang ketiga mnegurangi ketergantungan terhadap donor besar dan meningkatkan persaingan karena menimbulkan persaiangan tidak sehat dalam internal karena kapasitas bukan tas yang disebutkan, mengurang tekanan terhadap kader karena ada setoran. Karena di DPR RI ada yang minta 10 juta, 15 juta per bulan dari potongan gajinya dan masuk langsung ke rekening partai. Selanjutnya nah ini rekomendasi, secara umum perlu di lakukan revisi pada tingkatan UU pendanaan partai, kemaren karena kita waktu dibatasi sebenarnya kita mau berdebat panjang tapi waktunya. Opsinya kita hanya menghadirkan dua opsi, satu merivisi UU parpol dengan menambahkan normanorma lebih detail soal tata kelola keungan partai atau kedua membentuk UU pendanaan parpol sebagai aturan yang lex spesialis dibandingakan dengan UU parpol itu sendiri jadi 2 opsi ini yang kita hadirkan kemaren. Sekali lagi karena waktu yang terbatas dan padahal kami ingin menyelesaikan pak fahmi. Selanjutnya yang khusus mengusulkan tiga desain modal bantuan keuangan pada partai, satu mode bantuan proposional sesuai dengan yang kita terapkan pada hari ini dan perlu ada 240 penyesuaian dan pembahasan lebih teknis dan kedua bantuan fred atau bantuan yang sama rata untuk masing-masing parpol. Dan yang ketiga inkind nah ini beda-beda. Proposional ini kita dorong untuk pendidikan politik dan lain sebagainya dan bantuan fred ini kita dorong memenuhi operasional kebutuhan parpol dan bantuan inkind bagaimana partai diberikan akses yang sama misalkan dia dikasih slot untuk iklan di media massa, iklan media massa itu pemilik kalau kita di media massa sebenarnya itu adalah pemilik publik jadi bagaimana itu di dorong kepada publik. Nah selanjutnya diwajibkan menyusun anggaran pendapatan partai, hari ini kita tidak pernah tau parpol menggunakan uang untuk apa, tidak pernah bisa ditertibkan karena tidak ada desain sejak awal untuk apa uang itu untuk dipakai jadi APBP ini mendorng partai lebih tertib kalau ada mengusulkan lebih awal dengan misalnya 100 juta untuk kegiatan A maka konsekuensi audit adalah apa benar 100 juta digunakan untuk kegiatan A. Kemudian pada level DPP parpol diwajibkan melakukan konsilidasi laporan keuangan dan ketiga sudah disampaikan tadi. Selanjutnya ni audit bapak ibu saya yang hormati, hari ini kan ada tiga jenis bantuan keuangan parpol dari ketiga sumber keungan tersebut ada 2 jenis audit keuanagan yang bersumber dari APBn dan APBD diaudit dari BPK dan keuangan yang dari sumber lain dari anggota atau seumber yang tidak mengikat atau perorangan itu diaudit oleh KAP atau akuntan publik yang ditunjuk oleh parpol. Problemnya kita tidak bisa memperoleh laporan keunagan yang terkonsilidasi bahkan anggota parpol itu sendiri tidak tau berapa keuangan yang diterima dan dibelanjakan oleh parpol karena mereka tidak pernah hasil audit dari KAP itu sendir. Nah kami ingin merekomendasikan bagaimana ini, karena ini bukan uang negara BPK tidak bisa mengaudit berdasarkan UU 17 tahun 2003 tentang keuanagn negara. Tetapi kita KAP ini di tunjuk oleh BPK sehingga akuntan yang ditnujuk bukan akuntan yang abal-abal. Kemudian partai membuka dan mempublikasikan melalui website masing-masing terhadap laporan keunagan partai ini problem yang ketiga ini sudah ada pada UU parpol tapi malangnya tidak ada sanksi, kita mengatur pada kolom sanksi ketika tidak dilakukan parpol. Dan selanjutnya bicara sanksi kita ada penundaan dan pemberhentian dan kita ada sanksi pidana dan lan larangan mengikut pemilu selama satu kali masa pemilu pada daerah yang laporan keuangan nya yang bermasalah dan ini beberapa hal yang kita 241 tambahkan dalam PGD 3. Itu saja yang ingin kita sampaikan. Terimkasih Assalamualaikum, wr, wb Khairul Fahmi: Terimkasih bung donal, silahkan bapak ibu dari PGD 3 kalau ada yang kurang rasanya atau kalau udah lengkap selesai, silahkan mas Husen: Assalamualaikum wr, wb. Saya husen, jadi terkait dengan rekomendasi ini kan saya sempat menyampaikan point besar saya menurut saya terkait keberatan saya soal isu yang disampaikan oleh pak saldi isra negara memberikan dana kepada parpol dan di slide tidak ada satu pun yang mengakomodir apa yang saya sampaikan kemaren. Hampir kita semua yang hadir disini menjadi terdorong menyepakati bahwa negara harus memberikan dana terhadap parpol saya ingin membahasakan bahwa bagaiamana mungkin negara kita di daerah-daerah yang masih perlu banyak bantuan keuangan tapi uang yang bayak itu di kasih ke parpol. Sekarang dia yang tidak diberikan uang saja sudah luar biasa apalagi kalau didorong diberikan uang. Nah ini saya kira perlu menjadi rekomendasi khusus kemudian dipertimbangakn dalam konteks ini. Yang kedua yang saya sampaikan kemaren bagaiamana dihadirkan juga oleh parpol sehingga ada ballance informasi hari ini kita parpol menjadi sesat kita hajar habis tapi tidak ada satu parpol yang menyampaikan masalah internal partai. Kemudian terkait keberatan saya negara memberikan uang kepada parpol, bisa saja didesaian untuk memberikan kesempatan pada parpol untuk memiliki amal usaha, sehingga mereka mempunyai kemampuan untuk membesarkan parpol tanpa uang negara. Saya kira itu saja menjadi point untuk dipertimbangkan. Terimakasih Khairul Fahmi: Baik, terimkasih mas Husein. Baik terkait apakah negara akan memberikan uang lebih banyak itu masih ada yang setuju dan tidak dengan argumentasi masing-masing. Silahkan jika masih ada komentar atau tambahan catatan rekomendasi. Silahkan pak Veri 242 Veri Junaidi: Terimkasih saya veri junaidi dari KODE INISIATIF sebenarnya saya ingin menambahkan apa yang disampaikan mas donal dan mas husen terkait besaran. Di PGD 3 kita memang ada kesepakatan dari awal sampai akhir terkait bantuan keuangan parpol namun memang ada kecendurangan seluruh narasumber menyepakati ada peningkatan bantuan. Tetepi di forum juga tidak sepakat dengan prof saldi dengan bantuan yang bgtu besar sampai 70-80%. Dan oleh karena itu kita ada 3 skema yaitu proposional yang ada yang dihitung berdasar perolehan suara yaitu 108 rupiah yang itu digunakan secara keseluruhan untuk pendidikan politik yang disampaikan mas donal, yang kedua bantuan flat, untuk operasional parpol dan juga konsilidasi parpol dan itu rekomendasi tapi saya sepakat yang belum disebutkan sebenarnya karena itu sudah dalam proses diskusi dan tidak masuk dalam rekomendasi karena hal-hal besar. Kita menyepakati ada proposioanl bantuan keuangan atau sumber keuangan parpol, misalnya kan ada 3 item besar terkait sumber keuangan partai yaitu pertama berasal dari negara, berasal dari pemilih dan publik dan ketiga dari internal. Nah ketiga-tiga ini harus berimbang antara negara, partai dan juga internal dengan publik dan oleh karena itu menurut saya soal rekomendasi saya pribadi dan mengingatkan dalam forum pgd 3 kita tetap perlu adanya peningkatan bantuan dengan alasan selama ini bantuan negara sangat minim dan didominisi dari elit parpol dan menyebabkan persoalan seperti saat ini. Dan jika mau ditambah cukup ditambahkan soal proposioanal saja sehingga tidak ada perdebatan lagi, sekian saya kembalikan ke moderator Khairul Fahmi Terimakasih pak veri, baik tadi mas Husen ya. Kalau apanamanya prinsipnya adalah bahwa mesti tetap ada sumber keuangan penerimaan partai dari uang negara. Itu oke karena sampai hari inipun tetap ada. Yang kedua soal proposionalitas artinya tetap ada alokasi dana untuk partai dan kemudian penekanannya terkait proposioanalitas seperti yang disampaikan pak Veri tadi. Bisa kita satu gelombangkan dengan yang tadi soal keuangan dari negara. Dan kedua soal proposional keuangan yang disampaikan prof saldi besar namun teman-teman tidak setuju dan inginnya proposional dan itu yaa. Okee yaa. Dan itu menjadi rekomendasi kita. 243 Baik itu point-pointnya sudah semua mulai soal kandidasi, soal pemilihan ketua, kemudian penyelesaian sengketa termasuk soal hubungan pusat dan daerah dan terakhir soal keunagan. Kami sudah catat semuanya dan terakhir adalah hari ini adalah kita sudah diposisi akhir tahun dan ada satu agenda politik nasional yang penting menjadi perhatian kita terkait pembahasan RUU Pemilu yang kita tidak tau perkembangan saya sampai mana, tetapi jadwal pemilu sudah semakin dekat. Sehingga kita bisa bicarakan bersama dan jika ada teman-teman yang ada silahkan, artinya forum ini juga bicara soal itu dan kita nyatakan bersama-sama kalau ini perlu kita sampaikan bersama, silahakan jika ada.. Fadli Ramadhanil: Terima kasih pak moderator, karena kebetulan kita pemerhati dan pencinta tata negara berkumpul disini di hari bulan baik, dan diluar rekomendasi yang sudah disimpulkan dan melihat keadaan situasi saat ini, saya mengusulkan ada tambahan rekomendasi yang kita sampaikan dari konferensi ini. Konferensi yang sudah terlakasana selama 3 hari ini yaitu dorongan percepatan pembahasan RUU pemilu serentak 2015, karena sampai saat ini pemerintah sebagai inisiator sama sekali bekum menyelesaikan RUU yang akan di bahas di DPR sementara pembahasan yang akan semakin singkat, kita sudah berada di september 2016 dan belajar dari pemilu sebelumnya tahapan pemilu sudah berjalan 20 bulan sebelum hari H. Kalau pemilu akan dilaksanakan april maka tahapan harus dijalan pada bulan juni pada tahun 2017. Waktu semakin singkat sedangkan pemerintah masih juga belum memberikan. Posisi terakhir yang kami dapatkan pemerintah baru punya beberapa pilihan-pilihan isu beberapa point krusial sistem pemilu, kelembagaan dan lain-lain tetapi belum punya rancangan draft yang utuh dan kami mengusulkan beberapa teman-teman kodifikasi pemilu ada mas donal, mas veri junadaidi dan teman pusako dan pak phillips juga dan beberapa teman hadir disini, kalau kita di konferense ini setuju adalah pecepatan pembahasan RUU pemilu dan kedua mendorong pembahasan partisipatif sehingga penyelenggaran pemilu 2019 ini bisa tersimulasikan dengan baik dan akan menjadi ruang konsiliadasi demokrasi yang lebih mapan kedepannya, terimkasih pak moderator itu tambahannya. 244 Khairul Fahmi Terimkasih yaa. Itu tadi penjelasan dari saudara Fadli. Kita setuju ya forum ini juga merekomendasikan pemerintah segera membahas dengan DPR RUU pemilu yang akan dilaksanakan sebagai dasar pelaksanaan pemilu serentak 2019 akan datang kita setuju kan.. itu point terakhir rekomendasi kita.. Baik bapak ibu terimkasih ya atas perhatian dan partisipasinya dalam konferensi dan kita seluruh hasil rekomendasi ini akan serehkan kepada bapak ibu dan kita akan publikasi kan menjadi bincang ilmiah kita selama 2 hari ini. Dan kita tutup ya sesi penyamapaian hasil dan rekomendasi ini sampai saat ini dan terimkasih kepada Mas Agus, Pak donal dan Pak Bachtiar. Silahkan kembali ke tempat. Saya undang ke depan ini ada beberapa yang ingin disampaikan oleh teman-teman KPK, silahkan saya sampaikan jubir KPK mbak yayuk yuyuk andriyati (KPK): Assalamualaikum wr, wb. Selamat siang bapak ibu semua pertama perkenalkan saya yuyuk andriyati saya sekarang kepala bagian Humas KPK, saya ingin mengucapkan terimkasih kepada teman PUSaKO prof saldi dan mas Feri yang telah memberikan kesempatan kepada saya dan tim seperti yang dilihat di depan ada beberapa meja dan games. Meja untuk pengenalan mengenai jurnal integritas yang dikelola oleh Biro Humas KPK. Dalam kesempatan ini saya ingin memanfaatkan terkait informasi jurnal intergritas singkat saja pak, ibu. Kami memiliki jurnal integritas, dua kali terbit dan mungkin edisi kedua sudah ada ditangan bapak ibu. Dan ini masih sangat bayi dan ini dulu sebebanarnya kami ingin mengumulkan tulisan-tulisan mengenai antikorupsi yang selama ini tercecer jadi kami ingin mengumpulkan agar ini bisa terdokumentasi dan bisa dilakukan untuk agar lebih banyak dapat memberikan referensi tentang antikorupsi. Karena kita bicara tentang antikorupsi sudah sangat jago sekali dan banyak sekali, terakhir bapak ibu sudah melihat lagi-lagi kepala daerah kena OTT nah hal-hal seperti itu sudah menjadi santapan sehari-hari tapi referensinya masih kurang. Untuk itu kami ingin mewedahi ide-ide dan penelitian tentang antikorupsi yang dihasilkan oleh akademisi dalam kampus atau luar kampus untuk ditampung dalam jurnal ini. Jadi karena satu tahun jadi belum terakreditasi jadi kami akan bertahan dan survive dengan bantuan bapak ibu semua dan teman-teman akademisi 245 yang membantu KPK mohon doanya untuk pertasipasinya agar jurnal tetep bertahan dan eksis. Ini sekedar informasi bahwa pimpinan KPK pak Laode sangat incar untuk edisi-edisi dalam jurnal ini beliau banyak sekali memberikan masukan dan kami sangat banyak terbantu. Saya menyadari dan saya dan tim saya dengan beberapa gelintir tidak mempunyai kompetensi penuh untuk menjalankan penerbitan jurnal ini, jadi kami menggandeng beberapa akademisi dari beberapa Universitas menjadi redaktur dan mitra bestari kemudian kebetulan Prof. Saldi menjadi mitra bestari dalam Jurnal Integritas. Kemaren mulai membahas mengenai korupsi Sumber daya alam pada edisi pertama. Dan untuk ketiga kami masih menerima naskah sampai 30 september nanti terkait tema korupsi koorporasi namun tidak juga terlepas dari teman-tema tentang korupsi yang akan kami terima. Ini beberapa contoh artikelnya, jurnal ini diterbitkan dalam 2 kali satu tahun jadi terbitan ketiga adalah bulan Desember 2016 mungkin akan sedikit maju di akhir November kemudian apa yang didalamnya standar jurnal dan kajian ilmu luas karena korupsi bisa dikaji dari ilmu apa saja. Bapak ibu pasti sudah paham dari ekonomi sosial, psikologi juga bisa dan juga selain artikel ilmiah kita juga bisa menerima artikel lain seperti eksemenasi persidangan, tentang hukum tata negara juga bisa masuk dalam jurnal ini. Apa yang menjadi unsur utama adalah sikap keberpihakan kepada pemberantasan korupsi dan beberapa objek akan di evaluasi yang masuk dalam jurnal salah satunya keasilan naskah pasti tidak plagiat, kemudian analisis kemudian ada relevansi dan kemutakiran referensi. Ini edisi dua dan tiga yang sudah saya sebutkan. Ini yang bahwa kita juga menerima tulisan naskah ilmiah akademis kalau ada artikel lain kami bisa juga terima, karena kami juga punya rubrik-rubrik dalam jurnal itu. Saya juga ingin mengenalkan satu portal anti korupsi keliling house yang sekerang di kelola KPK ini sebenarnya portal pengenalan anti korupsi dan kami menjadikan satu dan berbeda dengan website KPK. Kalau website KPK terkait informasi kelembagaan, kalau portal ini tentang portal antikorupsi dan pemahaman anti korupsi dan bagi bapak ibu bisa mengakses portal ini di http: acch.go.id. karena cukup lengkap isinya kami beberapa menu ini tentu yang sangat KPK, LHKPN, laporan harta penyelenggara ini bisa di akses asalkan spellingnya beanr bisa melihat resume dari LHKPN nya. Jadi bagi teman-teman KPU ini juga berguna sekali. Dan terkait grativikasi contoh-contoh dan modulnya lengkap di acch. Khusus modul edukasi ini beberapa modul edukasi 246 dari semua tingkatan dari tingkat paud hingga universitas, silahkan di akses dan semuanya bisa di download gratis karena ini semua untuk kepentingan sosialisasi. Kami juga mengelola media anti korupsi lain yang dapat bapak ibu akses kanal kpk dan tv radio dan semuanya bisa di akses lewat streaming lewat Kanal.kpk.go.id dan semua kontennya bisa di download. Dan kami juga memiliki makalah integrito dan semua sudah dibagikan namun kami tidak banyak membawa. Kemudian kami punya e-news letter yang terbit satu kali sebulan. Saya kira informasi ini sangat penting bagi bapak/ibu oleh karena itu kami akan mengupdate kegaitan-kegaiatan KPK apa aja. Kami juga menjalin kerjasaman dengan beberapa perguruan tinggi di Indonesi terutama terkaiat litariasi antikorupsi dan kami linkan dengan beberapa perguruan tinggi yang telah bekerjasama terkait literasi dan artikel antikorupsi dan semua itu akan di linkan dengan perpustakaan KPK. Selain itu kami bekerjasama dengan pusat kajian di Universitas termasuk PUSaKO juga perpustakaan lain, selain juga kami juga ingin menginisiasikan pusat kajian yang belum ada di univeristas yang memang belum ada. Itu saja pengantar dari saya ini sekedar memperkenalkan, mohon dukungan dan partisipasinya terkait jurnal integritas dan saya masih mau menerima naskah-naskah dari bapak-ibu karena bapak-ibu mempunyai hasil penelitian yang dapat di publish. Sekali lagi terimakasih selamat siang mohon maaf jika ada kekurangan. Assalmualaikum, wr, wb Khairul Fahmi Terimkasih mbak yuyuk, terutama bagi bapak ibu yang dosen tentu menulis jurnal penting ya. Kita sudah mempunyai salah satu media yang dapat digunakan untuk mempublikasikan hasil-hasil penelitian kita terutama terkait dengan pemberantasan korupsi. Baik bapak ibu semua peserta konferensi yang saya hormati, sekian sesi ini, semoga apa yang kita hasilkan selama 2 hari ini bermanfaat dan bisa kita gunakan menjadi bahan untuk memperbaiki regulasi di bidang perpolitikan kita dan mudahmudahan apa yang kita hasilkan ini bisa diterima oleh pemangku kebijakan. Saya tutup sesi ini terimkasih. Assalamualaikum wr, wb 247 PENUTUPAN KONFERENSI NASIONAL HUKUM TATA NEGARA 3 Kata Sambutan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Prof. Dr. Saldi Isra,S.H Terimkasih, kita masih punya satu agenda lagi yaitu city tour dan akan berkunjung kedua tempat yang wisata Sumatera Barat, satu lembah harau di Payakambuah dan kedua Istana raja Istano Pagarayuang di Batusangkar, jadi kita memiliki waktu untuk berkunjung kedua tempat bagi orang Sumatera Barat merupakan lokasi diantara lokasi wisata menarik di Sumatera Barat. Jadi ini tidak akan panjang-panjang penutupan kita, saya dan kami dari PUSaKO berterimkasih kepada kita semua yang sudah dengan intens berpartisipasi sejak pembukaan sampai acara yang sangat padat kemaren dan hari ini. Konferensi HTN akan tetap dilakukan setiap tahun dan akan ada sedikit variasi dan itu masih dalam pemikiran. Kita sedang memikirkan dan berbicara serius dengan asosisasi Pengajar Hukum Tata Negara, sekali 2 tahun akan di gilir dan satu tahun sekali akan di PUSaKO dan itu pemikiran sementara yang kami bahas. Dan kalau itu terjadi Konferensi akan dilakukan oleh Asosiasi dan pengajar HTN dan HAN dan itu tempatnya akan ditentukan oleh DPP dan tahun depannya lagi akan kembali lagi ke PUSaKO dan akan berberangan dengan Anugerah Konstitusi Muhammad Yamin, sehingga acara ini benar-benar menjadi luas dan kita tidak hanya dilaksanakan di Padang, tetapi itu tetap kerjasama PUSaKO dengan tempat yang kita sepakati. Karena ini tetap dilanjutkan dan biayanya akan kita cari bersama terhadap tahun-tahun kedepannya. Itu sementara pembicaraan, jadi boleh lah ini menjadi kabar bagi kita dan dalam waktu dekat kita akan beritahu perkembangan ini. Dan yang ketiga hasil-hasil dari konferensi ini itu tetap akan kita bukukan dan kepada peserta akan kita bagikan seperti biasa dalam bentuk buku yang sudah kita lakukan di dua konferensi sebelumnya. Dan itu memerlukan waktu karena ini perkerjaan kami akan menjadi sedikit bertambah hasil ini akan dikembang menjadi naskah akademik perubahan UU partai politik yang keempat saya kami dan semuanya berterimkasih kepada kita semua baik peserta dalam status Call Paper dan Non call Paper dan undangan khusus dan saya juga berterimakasih kepada pembicara asing. I would like say thanks to Prof henk, patrick, david,.. to participating in conference and 248 i hope we can meet in next conference dan saya harap pak david akan selalu mesupport kita dalam kegiatan-kegaiatan seterusnya. Dan tadi malam Tahir Foundation tetap berkomitmen untuk melanjutkan agenda konferensi hukum tata negara. Jadi kita berharap masih bisa mengundang pembicara yang hadir dalam acara ini. An to Prof. Henk We hope can invited you again in this conference next time and prof paul.. diluar ini semua izinkan berterimkasih kepada adik-adik panitia yang sudah bekerja keras .... ini semua berkat Feri, Charles, Khairul, dan senior saya. itu semua mereka adalah mahasiswa dari tahun pertama hinga tahun ketiga dan mereka diberikan tugas terutama berat ini kalau mereka tidak terlibat mungkin acara ini tidak terselesaikan dengan baik. Dan yang tidak kalah penting adanya tidak ada gading yang tidak retak tidak kesempurnaan dibawah sinar matahari, kami tiap tahun berusaha memperbaiki kegiatan ini. Tapi karena ini merupakan perhelatan yang besar pasti ada kelemahan-kelemahan oleh karena itu mohon kami diberikan masukan dan yang paling penting diberikan maaf untuk semua ini. Terakhir sebelum ditutup pak dekan kami ingin berterimkasih tahir Foundation, Kepada Ifes Indonesia, Kepada Kemenkuham, kepada KPK dan kepada semua pihak yang tidak mungkin kami sebutkan satu persatu yang sudah mensupport acara ini dan kepada kawankawan media yang kita perhatikan tahun ini jauh lebih luas pemberitaan dibandingkan 2 tahun sebelumnya karena isu ini sangat aktual dan menjadi soal kita semua yang harus diselesaikan. Kita berikan tepuk tangan juga kepada kawan-kawan media yang hadir dalam ruangan ini. Terakhir terimakasih wabilahtaufik waladiyah mungkin pak dekan tidak usah terlalu panjang.. terimkasih assalamualaikum wr, wb 249 Sambutan penutup dari Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas Prof. Dr. Zainul Daulay,S.H.,M.H. Terimkasih, Assalamualaikum wr, wb selamat pagi salam sejahtera untuk kita semua. Atas nama pimpinan Fakultas Hukum Universitas Andalas, pertama-tama kami sangat gembira atas kehadiran bapak/ibu yang telah berpartispasi didalam konferensi dalam Hukum Tata Negara Ketiga ini. Dari yang pertama dan kedua kami melihat bahwa yang ketiga jauh lebih banyak lagi baik pesertanya maupun pembicaranya dari dalam negeri sendiri dan juga dari luar negeri untuk itu izinkan kami menyampaikan aspresiasi yang sangat tinggi kepada rekan-rekan, dosen, komunitas Hukum Tata Negara yang telah menunjukan sumbangsih pemikiran dalam perkembangan hukum ketatanegaraan dan akan menjawab isu-isu nasional yang selalu yang menjadi sesuatu yang memberikan sumbangsih kalau pada tahun lalu, konferensi ini membicarakan tentang bagaiamana menyeleksi pimpinan lembaga negara kemudian juga bagaimana dilakukan pemilihan ... dan itu sudah menjadi kenyataan. Atas nama pimpinan tentu saja kami ingin mengucapak terimakasih kepada Prof. Saldi isra dan kawan kawan dari PUSaKO ada feri Amsari, Khairul Fahmi, Prof Yuliandri dan tentu juga Prof Charles Simabura dan sudah kepadang dia sudah tugasi juga menjadi Wadek 3 Fakultas Hukum dan semua adek panitia melaksanakan acara ini dengan baik untuk itu ini ada merupakan suatu modal bagi kita semua untuk tetap melaksanakan pertemuan sebagaimana disampaikan prof saldi tadi, Fakultas Hukum selalu mendukung acara menyangkut Konferensi ini apakah tetap di fakultas Hukum atau tempat yang lain yang ada. Secara khusus saya juga mengucapakan terimakasih Prof. Henk, Pattrcik, David, Paul Rowland yang sudah berpartisipasi dalam kegiatan ini dan tentu saja kami berharap juga untuk tahun tahun yang akan datang untuk datang lagi dan lebih luas lagi kita kembangkan bersama-sama. Saya minta maaf juga apabila ada kekurangan yang tidak pada tempatnya.. dan oleh karena itu untuk mensuskekan acara ini marilah kita mengucapkan hamdalah dan tepuk tangan kepada kawankawan PUSaKO. Assalamualaikum Wr, Wb. 250 251 Membangun Demokratisasi Melalui Mekanisme Pemilihan Ketua Partai Politik Oleh Sulardi Abstrak Partai politik merupakan aset demokrasi yang sangat penting. Partai politik memiliki fungsi dan peran yang sangat strategis dalam membangun demokrasi di suatu negara .Oleh sebab itu keberadaan partai politik merupakan suatu keniscayaan dalam berdemokrasdi dalam suatu negara demokrasi. Agar tercipta demokrasi dan demokratisasi, maka yang pertama melakukan demokratisasi mestinya partai politik itu sendiri. Sampai saat ini Indonesia masih berproses dan mencari bentuk ideal menuju kehidupan demokrastis (demokratisasi) sebagaimana dicitata-citakan konstitusi. Tentunya “proses menuju” tersebut harus dilakukan dalam segala sisi, termasuk dalam demokrasi internal partai paolitik. Demokarisasi dalam partai politik belum terbangun secara baik, masih ditemukan partai politik yang dalam pemilihan ketua partai politiknya dipengaruhi oleh pendiri partai politik, kekeluargaan , bahkan perpecahan pasca pemilihan ketua partai politik. Membangun demokrasi bisa diawali dari demokratisasi pada partai politik, dalam hal ini melalui mekanisme pemilihan ketua partai politiknya. Pemilihan ketua partai politik dapat dilakukan secara demokratis bila : ada regulasi yang sejak awal dipersiapan sebagai jamainan terjadinya proses pergantian ketua partai politik yang demokratis. Tidak adanya sifat sifat “ kekeluargaan” dalam partai politik yang justru akan terbangun dinasty partai politik. Pembatasan masa jabatan ketua partai politik yang pasti, dan dibangun pertanggungjawanan atas keberhasilan atau kegagagalan program partai politik secara terbuka. Kata kunci, demokratisas, ketau, partai politik A. Pengantar Partai politik di negara demokrasi merupakan suatu keniscayaan. Pada masa demokrasi belum dikenal (lagi)1, tidak ada ruang bagi kehidupan partai politik. Seiring perkembangan kepolitikan dunia, dan tuntutan hak hak warga negara dalam berdemokrasi, partai politik pun mulai muncul. Status dan peranan partai politik yang sangat penting dalam setiap sistem 1 Pada abad ke V SM, di negara Yunani telahdikenal dan diselenggarakan demokrasi secara langsung, semua warga negara kecuali anak anak, budak dan perempuan mempunyai hak untuk menyampaikan pendapat. Namun Demokrasi seolah lenyap setelah Romawi berkuasi, dan memasuki abad peretengahan ( X-XV), bahkan negara negara pada masa itu diselenggarakan secara otoriter dan absulut. Kebangkitan demokrasi ditandai dengan runtuhnya rezim otoriter melalaui Revolusi Perancis 14 Juli 1789, yang melahirkan negara negara demokrasi. Hingga saat ini demokrasi terus menuju pada kesempurnaan dan mengalami pembaruan –pembaruan dalam menjalankannya. 248 demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti dikatakan oleh Schattscheider (1942), “Political parties created democracy”. Karena itu, partai merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan, oleh Schattscheider dikatakan pula, “Modern democracy is unthinkable save in terms of the parties”. Terdapat beberapa fungsi dari partai politik, Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa setidaknya ada empat fungsi partai politik yang terkait satu dengan yang lainnya, yaitu2: Pertama, sebagai sarana komunikasi politik, dalam hal ini peran partai politik adalah sebagai “penggabungan kepentingan“ (interest aggregation) dan “perumusan kepentinngan” (interests articulation). Sebagai penggabung kepentingan berarti menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang. Kemudian pendapat , ide-ide dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diolah dan dirumuskan sehingga dapat diharapkan mempengaruhi atau bahkan menjadi materi kebijakan kenegaraan yang resmi. Pada intinya kedua pengertian tersebut menyatakan bahwa komunikasi politik merupakan proses penyaluran aspirasi. “Komunikasi politik ialah proses penyaluran aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang” (Budiardjo, 2000: 163). Kedua, sebagai sosialisasi politik (political socialization), Ide, visi dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapatkan ‘feedback’ berupa dukungan dari masyarakat luas. Terkait dengan sosialisasi politik ini, partai juga berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partai lah yang menjadi 2Miriam Budiardjo, 2000, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, hal. 163-164. 249 struktur-antara atau ‘intermediate structure’ yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara. Ketiga, sebagai sarana rekruitmen politik (political recruitment), fungsi ini merupakan fungsi yang penting, baik bagi kontinuitas dan kelestarian partai politik itu sendiri maupun untuk mencetak pemimpin bangsa dan wakil rakyat yang berkualitas. Pada dasarnya partai dibentuk dalam rangka menjadi “kendaraan” yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin negara dalam posisi tertentu. Dalam hal ini Umar mengemukakan bahwa proses seleksi pada dasarnya merupakan usaha yang sistematis yang dilakukan guna lebih menjamin bahwa mereka yang diterima adalah yang dianggap paling tepat, baik dengan kriteria yang telah ditetapkan ataupun jumlah yang dibutuhkan.3 Keempat, sebagai pengatur konflik (conflict management), nilai-nilai (values) dan kepentingan-kepentingan (interests) yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling bersaing dan bertabrakan satu sama lain. Jika partai politiknya banyak, berbagai kepentingan yang beraneka ragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi partai-partai politik yang menawarkan ideologi, program, dan altrernatif kebijakan yang berbeda-beda satu sama lain. Artinya, sebagai pengatur atau pengelola konflik (conflict management) partai berperan sebagai sarana agregasi kepentingan (aggregation of interests) yang menyalurkan ragam kepentingan yang berbeda-beda itu melalui saluran kelembagaan politik partai. Keempat fungsi partai politik diatas menunjukkan bahwa partai politik adalah elemen yang penting untuk membangun kehidupan yang demokratis. sampai saat ini Indonesia masih berproses dan mencari bentuk ideal menuju kehidupan demokrastis (demokratisasi) idela sebagaimana dicitata-citakan konstitusi. Tentunya “proses menuju” tersebut harus 3 Umar, Husein. 2005. Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi Edisi Revisi dan Perluasan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal. 8-9 250 dilakukan dalam segala sisi, termasuk dalam demokrasi internal partai paolitik. B. Dinamika Partai Politik di Indonesia Pada umumnya perkembangan partai politik sejalan dengan perkembangan demokrasi, yakni dalam hal perluasan hak pilih dari rakyat dan perluasan hak-hak parlemen.4 Partai politik pada pertama kali lahir di negara – negara Eropa barat. Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politik telah lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain.5 Partai politik di Indonesia memiliki sejarah perjalanan panjang. Keberadaan partai politik di Indonesia dapat dilacak sejak masa penjajahan Belanda. Pada masa itu sudah mulai berkembang kekuatan-kekuatan politik dalam tahap pengelompokan yang diikuti dengan polarisasi, ekspansi, dan pelembagaan. Partai politik di Indonesia lahir bersamaan dengan tumbuhnya gerakan kebangsaan yang menandai era kebangkitan nasional. Berbagai organisasi modern muncul sebagai wadah pergerakan nasional untuk mencapai kemerdekaan. Walaupun pada awalnya berbagai organisasi tidak secara tegas menamakan diri sebagai partai politik, namun memiliki program-program dan aktivitas politik.6 Budi Utomo (berdiri pada 20 Mei 1908) dan Sarekat Islam (berdiri pada 1911) adalah contoh organisasi yang tidak secara tegas menyatakan diri sebagai organisasi politik. Namun dalam perkembangan kedua organisasi tersebut, program dan aktivitasnya telah merambah ke wilayah politik.7 Ichsanul Amal, 2012, Teori – Teori Mutakhir Partai Politik,Tiara Wacana: Yogyakarta, hal. 19. Ibid 6 Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik Di Indonesia (Analisis Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959 – 2004), Disertasi, Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia, hal. 119 7 Hal itu dapat dilihat dari keterlibatan kedua organisasi tersebut dalam Volksraad. Bahkan, pada 23 Juli 1916 BU dan SI telah melakukan aktivitas politik menuntut ketahanan Hindia Belanda guna menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia saat itu telah berpikir mandiri. Aksi itu dikenal dengan Weerbaar Actie. Wakil-wakil BU dan SI juga menjadi anggota koalisi radical concentratie di 4 5 251 Keberadaan kedua organisasi politik tersebut diikuti dengan munculnya berbagai organisasi partai politik, seperti Indische Partij (IP), Insulinde, Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia Raya (Parindra), Partai Indonesia (Partindo), Indische Sociaal Democratische Partij (ISDP), Indische Katholijke Partij, Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), dan Partai Rakyat Indonesia (PRI). Kehidupan partai politik Indonesia sebelum kemerdekaan mulai menurun setelah 1930. Hal itu terjadi karena kebijakan represif yang dijalankan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda. Gubernur Jenderal B.C. de Jonge (1931) dan A.W.L. Tjarda van Starkenborg Stachouwer (1936) menolak memberi pengakuan pada organisasi pergerakan nasionalis. Pada masa-masa ini banyak partai politik yang dibubarkan karena dianggap membahayakan keamanan, ketertiban, dan stabilitas pemerintahan. Di antara partai-partai yang ada pada masa pemerintahan kolonial Belanda tersebut, yang pernah dibubarkan adalah IP, PKI, dan PNI.8 Menurunnya aktivitas politik pada masa pemerintahan kolonial Belanda terus berlanjut pada masa pendudukan Jepang. Pemerintahan pendudukan Jepang melarang keras semua kegiatan politik, termasuk rapat-rapat yang membicarakan organisasi dan struktur pemerintahan. Namun walaupun demikian, tokoh-tokoh partai politik tetap berperan besar dalam usaha-usaha mencapai kemerdekaan. Bahkan pada saat dibentuk BPUPK dan PPKI oleh pemerintahan Jepang, yang keanggotaannya diisi oleh tokoh-tokoh nasional yang sebelumnya merupakan pimpinan partai politik. Pasca Indonesia merdeka, awalnya Presiden Soekarno menginginkan adanya partai tunggal guna melaksanakan pembangunan yang disebutnya sebagai “motor perjuangan rakyat”. Dalam pidatonya seperti yang dimuat di Merdeka, pada 25 Agustus 1945, Presiden Soekarno menginginkan partai dalam Volksraad yang menuntut adanya Majelis Nasional sebagai parlemen pendahuluan untuk menetapkan hukum dasar sementara bagi Hindia Belanda. 8 Adnan Buyung Nasution, 1995, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi SosioLegal atas Konstituante 1956 – 1959, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, hal. 6 – 8. 252 itu adalah Partai Nasional Indonesia. Namun, seiring masifnya proses pembentukan KNIP di daerah-daerah, maka pembentukan PNI untuk sementara ditunda.9 Hingga pada akhirnya para tokoh nasional menyadari pentingnya partai politik dalam kehidupan bernegara. Kemudian atas usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), dikeluarkan Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945 yang berisi pernyataan bahwa pemerintah menyukai adanya partai-partai politik. Disebutkan pula bahwa partai-partai politik diharapkan sudah terbentuk sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota badanbadan perwakilan yang direncanakan pada Januari 1946. Setelah adanya Maklumat itu, terbentuklah sekitar 40 partai politik. 10 Sejumlah partai politik yang telah ada sejak era Pergerakan Nasional, tumbuh dengan kemasan yang baru. Partai-partai tersebut telah memiliki massa dan basis pendukungnya sendiri-sendiri. Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, Partai-partai yang diakui adalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII, dan IPKI. Selain itu juga dikeluarkan Keppres Nomor 129 Tahun 1961 tentang Penolakan Pengakuan Partai-partai yang memenuhi Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Partai-partai yang ditolak pengakuannya adalah PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa Daeng Lalo, dan Partai Rakyat Nasional Djodi Gondokusumo. Di samping itu, melalui Keppres 440 Tahun 1961 diakui pula Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islam 9 Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 425. 10 Jimly Asshiddiqie, 2005, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press, hal. 174. 253 (Perti).11 Sementara Masjumi dan PSI dibubarkan setahun sebelumnya, yakni melalui Keppres Nomor 200/1960 yang diterbitkan Pada 17 Agustus 1960. Dinamika partai politik pada masa Orde Baru ditandai dengan dibubarkannya PKI pada tanggal 12 Maret 1966. Kemudian pada tanggal 20 Pebruari 1968 sebagai langkah peleburan dan penggabungan ormasormas Islam yang sudah ada tetapi belum tersalurkan aspirasinya maka didirikannyalah Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI). Selanjutnya pada tanggal 9 Maret 1970, terjadi pengelompokan partai dengan terbentuknya Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari PNI, Partai Katholik, Parkindo, IPKI dan Murba. Kemudian tanggal 13 Maret 1970 terbentuk kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri atas NU, PARMUSI, PSII, dan Perti. Serta ada suatu kelompok fungsional yang dimasukkan dalam salah satu kelompok tersendiri yang kemudian disebut Golongan Karya. Adanya pembinaan terhadap parpol-parpol tersebut kemudian oleh Presiden Soeharto diadakan perampingan parpol sebagai wadah aspirasi warga masyarakat waktu itu, sehingga pada akhirnya dalam Pemilihan Umum 1977 terdapat 3 kontestan, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya. Hingga Pemilihan Umum 1977, pada masa ini peserta pemilu hanya terdiri sebagaimana disebutkan diatas, yakni 2 parpol dan 1 Golkar. Selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memenangkan Pemilu. Berakhirnya Orde baru menjadi sebuah uforia partai politik. Pembentukan partai politik yang sebelumnya dikungkung. Era Reformasi yang melahirkan sistem multi-partai ini sebagai titik awal pertumbuhanpartai yang didasari kepentingan dan orientasi politik yang sama di antara anggotanya. Jumlah partai yang berpartisipasi pada pemilu 1999 adalah 48 partai, 24 partai yang mengikuti Pemilu 2004, dan 40 partai politik yang mengikuti Pemilu 2009. Hal inimengindikasikan suburnya 11 M. Rusli Karim, 1993, Perjalanan Partai Politik di Indonesia; Sebuah Potret Pasang-Surut, Jakarta: Rajawali Press, hal. 149. 254 demokrasi yang terjadi di Indonesia, terlepas dari tercapainya fungsi partai politik tersebut. C. Demokratisasi Kepolitikan Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani yaitu demokratia (kekuasaan rakyat), yang dibentuk dari kata demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan), merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke 5 dan ke 4 SM di kota Yunani Kuno khususnya Athena.12 Diantara beberapa pengertian tentang demokrasi, barangkali pengertian yang dikemukakan oleh Abraham Lincoln dapat merangkum makna demokrasi dalam sebuah kalimat sederhana. Menurut Abraham Lincoln demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi mementingkan kehendak, pendapat serta pandangan rakyat, corak pemerintahan demokrasi dipilih melalui persetujuan dengan cara mufakat. Sehingga demokrasi yang kuat adalah demokrasi yang bersumber dari hati nurani rakyat untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan rakyat.13 Layaknya sebuah sistem, demokrasi juga mempunyai konsep, ciri-ciri, model dan mekanisme sendiri. Yang mana semuanya itu merupakan satu kesatuan yang dapat menjelaskan arti, maksud dan praktek sistem demokrasi. Sebagai sebuah kondisi ideal, demokrasi tentu dicita-citakan oleh banyak kalangan. Tetapi upaya menuju demokrasi yang ideal merupakan sebuah proses yang tidak mudah. Proses menuju demokrasi inilah yang disebut sebagai demokratisasi. Demokratisasi kepolitiakan dapat diartikan sebagai transisi; sebuah proses menuju ke “rezim politik” yang lebih demokratis. 12 Azumardi Azra, 2005, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media, hal. 125. 13 Zakaria Bangun, 2008, Demokrasi dan Kehidupan Demokrasi di Indonesia, Medan: Bina Media Perintis, hal. 2. 255 Demokratisasi kepolitikan di Indonesia tahap demi tahap mulai berbenah. Sebagai perbandingan, sebagaimana disinggung sebelumnya pada masa orde baru kondisi kebebasan dalam berpolitik sangat terbatas dan penuh intervensi. Partai yang boleh “berlaga” di ajang pemilu dibatasi dibatasi hanya 3 partai, yaitu 1. PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang berdasarkan ideology Islam, merupakan fusi dari partai-partai NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam. 2. Golkar (Golongan Karya) yang berdasarkan asas kekaryaan dan keadilan social. 3. PDI (Partai Demokrasi Indonesia) yang berdasarkan demokrasi, nasionalisme, dan keadilan, merupakan fusi dari Parkindo, Partai Katolik, PNI, dan Murba. Meskipun demikian, Secara faktual hanya ada 1 partai yang memegang kendali yaitu partai Golkar dibawah pimpinan Presiden Soeharto. Selama bertahun-tahun partai Golkar kokoh sebagai kendaraan Presiden Soeharto untuk menduduki tampuk kekuasaan. Selama itu pula kebebasan setiap orang –khususnya untuk berpolitik– dibelenggu, sehingga tidak diperkenankan munculnya partai-partai baru sebagai peserta pemilu, karena soeharto berpandangan bahwa partai politik sebagai sumber kekacauan dari sistem politik yang dibangun. Belum lagi keharuasan monoloyalitas PNS terhadap partai Golkar. Hemat penulis, pada masa Orde Baru tidak menerapkan partisipasi efektif dari masyarakat luas, kekuasaan berada penuh dibawah pemerintahan presiden. Oleh karena itu pemerintahan dimasa Orde Baru itu belum dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang demokratis yang seutunya. Namun, keadaan tersebut berbanding terbalik dengan masa reformasi. Pada awal reformasi desakan-desakan dari berbagai elemen masyarakat muncul agar kehidupan politik Indonesia lebih demokratis. Pun kemudian kran demokrasi dibuka selebar-lebarnya oleh BJ Habibie dengan mengeluarkan Undang-undang nomor 2 tahun 1999, sehingga oleh karenanya partai-partai politik baru mulai muncul dan tercatat pemilihan 256 umum tahun 1999 diikuti oleh 48 Partai dari 141 Partai Politik yang mendaftarkan diri di Departemen Kehakiman. Kemudian pada tahun 2004 ada 24 partai yang mengikuti Pemilu, 40 partai politik yang mengikuti Pemilu 2009, dan 10 Partai yang mengikuti pemilu 2014. Adanya kebebasan bagi setiap orang/sekelompok untuk mendirikan partai politik adalah sebagai bukti bahwa demokratisasi kepolitikan di Indonesia semakin berhasil. Pembentukan partai-partai politik adalah implementasi nyata dari kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. Kemudian, sebagai hasil berkembangnya kebebasan berserikat yang sehat adalah terbentuknya organisasi kemasyarakatan dan partai politik yang menjadikan masyarakat sipil lebih matang dan dewasa. Dalam konteks Indonesia maka yang diharapkan adalah adanya partai politik yang didukung oleh kebebasan berserikat dan berkumpul yang mengacu pada nilai-nilai Pancasila. D. Memilih Ketua Partai Politik yang Demokratis Demokrasi merupakan konsep ideal yang dicitakan oleh negara. Upaya menuju demokrasi yang ideal tersebut bukan sebuah proses yang mudah. Untuk membangun kehidupan politik yang demokratis hendaknya dimulai dari akar, yaitu dari internal partai politik. Demokrasi internal partai adalah proses pemilihan seorang calon pimpinan Partai melalui penyerapan aspirasi seluruh kader-kader di tingkat akar rumput/grassroots sehingga Ketua Umum yang terpilih merupakan aspirasi kader- kadernya.14 Dengan demikian proses demokrasi internal partai adalah suatu cara untuk mendapatkan seorang pimpinan partai dengan menerapkan mekanisme pengambilan suara dukungan dari setiap kader di dalam partai sehingga pimpinan partai yang terpilih mendapatkan legitimasi yang kuat untuk menjalankan fungsi sebagai seorang pimpinan tertinggi di dalam partainya. Selanjutnya, Arbi Sanit dalam bukunya “Pembaharuan Mendasar Partai Politik”, menjeleskan bahwa seleksi kepemimpinan dalam sebuah partai 14 Alan Warre, 1996, Political Parties and Party Systems, New York: Oxford University Press, hal. 258. 257 politik memiliki dua strategis:15 Pertama, proses ini merupakan revisi sistem pengkaderan partai politik. Dengan menitikberatkan pada partai kader, pelatihan kader yang sistematis dan terarah guna membentuk pemimpin yang demokratis dan sekaligus efektif. Selain itu, ukuran dan indikator kemajuan kader juga seringkali dikaitkan dengan posisi kader di dalam struktur partai dan kenegaraan. Kedua, proses ini juga memiliki arti penting pada perubahan sistem rekrutmen pemimpin partai, dengan cara kompetisi yang lebih terbuka, kualifikasi pemimpin yang lebih berkualitas, dan partisipasi seluas mungkin warga partai dan rakyat luas. Manifestasinya dalam hal ini bisa menggunakan sistem konvensi lokal dan nasional, sistem pemilu distrik atau langsung, kualifikasi pribadi dan kepemimpinan calon pemimpin dan partisipasi masyarakat. Uraian diatas menunjukkan bahwa Posisi Ketua Umun partai politik merupakan posisi yang strategis yang dapat mempengaruhi proses demokratisasi di Indonesia. Hal ini karena Ketua Umum Partai dapat menentukan “platform” kebijakan Partai politik, menentukan arah kebijakan politik Partai terhadap Pemerintah, serta mengontrol kaderkader partai yang duduk di Pemerintahan baik di lembaga legislatif maupun eksekutif. Oleh karena itu Ketua Umum yang berkualitas mutlak diperlukan. Peluang untuk mendapatkan ketua umum yang berkualitas tersebut sangat ditentukan oleh proses demokrasi internal partai. Namun, melihat kondisi yang ada proses demokrasi internal partai politik tidak benar-benar berlangsung secara demokratis. Kemenangan seorang Ketua Umum sangat ditentukan oleh kekuatan yang dimilikinya seperti latar belakang profesinya (militer, pengusaha, atau birokrat), kekuatan finansial, maupun trah dan dinasti. Kekuatan-kekuatan tersebut seringkali dimanfaatkan oleh para calon Ketua umum untuk memuluskan jalannya memegang “tampuk kekuasaan” partai. Ditambah lagi para kader dalam memilih mengutamakan pragmatisme politik, seperti tawaran uang, 15 Arbi Sanit, Pembaharuan Mendasar Partai Politik, dalam Mahrus Irsyam, Lili Romli (Ed), 2003, Menggugat Partai Politik, Jakarta: Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI, hlm. 13-14. 258 jabatan, dan insentif lainnya dengan menghilangkan pertimbangan kualitas, moral dan lain sebagainya. Sebagai “pisau analisis” untuk melihat kondisi tersebut adalah pendapat Gun Gun Heryanto yang membagi tiga tradisi partai politik di Indonesia, yaitu: Pertama, tradisi feodal. Tradisi feodal partai politik di Indonesia ditandai dengan ketergantungan partai politik dengan seorang figur. Referensi utama untuk menggambarkan fenomena ini adalah terpilihnya kembali elit-elit lama dalam kepemimpinan partai politik beberapa waktu terakhir. Salah satu contoh pemilihan Ketua Umum PDIP. Pemilihan Ketua Umum partai berlambang banteng tersebut dilakukan melalui Kongres. Dari tahun 1999 sampai sekarang kongres PDIP sudah dilakukan sebanyak 4 kali, selama itu pula Megawati menjadi ketua umum Partai berlambang banteng tersebut. Bahkan untuk periode sekarang Megawati sudah terpilih saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDIP di Semarang, hal ini karena tidak adanya calon lain dalam bursa pemilihan ketua umum partai selain Megawati. Sehingga dalam acara Kongres IV PDIP tidak ada proses pemilihan Ketua Umum, tapi langsung mengukuhkan Megawati sebagai Ketua Umum sampai 2020 mendatang. Meskipun proses Pemilihan Ketua Umum dilakukan melalui kongres, tapi secara faktual kendali Megawati dalam proses tersebut sangat kuat –“terpilih” sebelum dipilih–. Padahal banyak kader-kader PDIP lainnya yang berkualitas sebagai regenerasi untuk menjabat sebagai Ketua Umum, seperti Pramono Anung, Marwuar Sirait, dan Tjahyo Kumolo. Salah satu faktor kuatnya Megawati adalah stigma kader bahwa sebagai sebagai pendiri, PDIP adalah “milik” Megawati, Megawati dianggap sebagai sosok yang dapat mempersatukan partai. Selain itu, trah Soekarno yang melekat dalam dirinya menjadi kekuatan tersendiri. Bahkan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Tjahjo Kumolo mengatakan, selama partai masih hidup, selama itu pula PDIP tidak boleh dilepaskan dari trah Presiden Indonesia pertama Sukarno. 259 Menurutnya PDIP jangan dilepaskan dari trah Bung Karno.16 Tentunya pernyataan tersebut sangat “mengancam” proses demokrasi dalam internal partai. Kedua, tradisi oligarkis. Dalam tradisi oligarkis, kader-kader yang akan ditempatkan di jabatan publik harus meminta restu terlebih dahulu dari pemimpin partai. Ketiga, tradisi transaksional. Jika dihubungkan dengan pemilihan ketua umum partai, tradisi ini menggambarkan bahwa kekuatan finansial dapat menentukan jabatan ketua umum. Bukan rahasia lagi kekuatan finansial adalah cara ampuh untuk memuluskan jalan menuju kursi Ketua Umum (Perilaku oligarki). Contoh dari fenomena ini adalah Munas Partai Golkar pada tahun 2004. Hasil Munas 2004 menunjuk Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Partai Golkar menggantikan Akbar Tandjung. Padahal, prestasi Akbar sangat luar biasa dalam mempertahankan Golkar di era tekanan pembubaran Golkar hingga membawa Golkar menjadi pemenang Pemilihan Umum Legislatif 2004. Akbar Tandjung dikalahkan oleh Jusuf Kalla yang –waktu itu– memiliki akses terhadap jabatan Pemerintahan selaku Wapres dan kekuatan uang sebagai seorang pengusaha kaya. Kemudian hasil Munas 2009, yaitu terpilihnya Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum merupakan keberlanjutan dari pragmatisme politik pada Munas 2004. Sebagaimana diketahui, pada waktu itu Aburizal Bakrie menjabat sebagai Menteri Ekonomi dan Kesejahteraan Rakyat pada Kabinet SBY jilid I dan II menjadi salah satu kekuatan untuk menjadi posisi tawar para kader untuk memilihnya karena akan memiliki akses terhadap jabatan strategis di Kabinet Pemerintahan. Disamping itu kekuatan finalsial Aburizal Bakrie yang dikenal sebagai orang terkaya di Asia Tenggara versi majalah Globe. E. Memilih Ketua Parpol yang Demokratis Jika tradisi ini tetap berjalan, maka demokrasi ideal akan sulit untuk dicapai. Sebagaimana diungkapkan diawal bahwa partai politik merupakan 16 Diakses dari https://m.tempo.co/read/news/2014/09/21/078608499/ketua-umum-pdiphanya-untuk-trah-soekarno, pada tanggal 3 Agustus 2016. 260 instrumen penting demokrasi, tapi secara faktual berbanding terbalik, partai politiklah yang seringkali gagal mendemokratisasikan dirinya, maka dari itu harus ada demokaratisasi di internal partai politik. Yaitu dengan memilih ketua umum partai yang demokratis. Untuk hal perlu dibangun dan dimulai mekanisme pemilihan ketua parpol yang demokratis dengan car acara sebagai berikut: 1. Regulasi internal partai politik yang biasanya termuat dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai politik mengenai persyaratan ketua parpol dan tata cara pemilihan ketua parpol. Ketentuan ini memberikan jaminan hukum terhadap proses pergantian partai politik. 2. Termuatnya pembatasan masa ketua parati politk, melalui masa jabatan tertentu. Lazimnya seseorang menjabat ketua partai politik selama dua kali masa jabatan. 3. Tidak ada hubungan darah antara yang diganti dengan yang mengganti, untuk menghindarkan dari problem dinasti partai politik yang justru akan menghambat demokratisasi dalam partai politik; 4. Diselenggarakan secara terbuka, baik melalui konvensi maupun secara pemilihan berdasar pada persyaratan yang ada. 5. Adanya pertanggungjawaban ketua partai politik yang dilakukan secara terbuka dan terukur, sehingga dapat terbaca keberhasilan dan kegagalan program partai politik. F. Penutup Sebagai salah satu instrumen penting dalam demokrasi, kehidupan yang yang demokratis harus dilakukan sejak dalam internal partai politik, yaitu dengan mendemokratiskan partai politik dan perbaikan kaderisasi. Partai politik harus berani merekonstruksi ulang kebijakan pemilihan ketua umum partai. Pemilihan ketua umum harus benar-benar demokratis dan aspiratif. Beberapa hal yang harus dibenahi adalah menghilangkan tradisi feodal, oligarki, dan transaksional. Dan dibangun mekanisme pemilihan 261 ketua partai politik yang demokratis, terbuka dan bertanggungjawab. Dengan begitu kehidupan yang demokratis akan tercermin sejak dari akar dan pemimpin-peminmpin berkualitas di masa depan akan lahir. DAFTAR PUSTAKA Asshiddiqie, Jimly. 2005. Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi,.Jakarta: Konstitusi Press. Amal, Ichsanul, 2012. Teori – Teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta: Tiara Wacana. Azra, Azumardi. 2005. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media. Bangun, Zakaria. 2008. Demokrasi dan Kehidupan Demokrasi di Indonesia. Medan: Bina Media Perintis. Budiardjo, Miriam. 2000. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. Irsyam, Mahrus, Lili Romli (Ed). 2003. Menggugat Partai Politik. Jakarta: Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI. _______________. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Karim, M. Rusli. 1993. Perjalanan Partai Politik di Indonesia; Sebuah Potret PasangSurut. Jakarta: Rajawali Press. 262 Nasution, Adnan Buyung. 1995. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956 – 1959. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Safa’at, Muchamad Ali. Pembubaran Partai Politik Di Indonesia (Analisis Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959 – 2004). Disertasi. Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Umar, Husein. 2005. Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi Edisi Revisi dan Perluasan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Warre, Alan. 1996. Political Parties and Party Systems. New York: Oxford University Press. https://m.tempo.co/read/news/2014/09/21/078608499/ketua-umum-pdiphanya-untuk-trah-soekarno, pada tanggal 3 Agustus 2016. 263 MUHAMMAD FAUZAN AZIM MEMPERBAIKI HULU DEMOKRASI MELALUI PENATAAN SISTEM PEMILIHAN KETUA PARTAI POLITIK ABSTRAK Partai politik merupakan salah satu pilar penting dalam negara yang menamakan dirinya sebagai negara demokrasi. Tanpa keberadannya, sulit mengatakan suatu negara sudah menjadi negara demokrasi dalam makna seutuhnya. Melalui peran partai politik, hak konstitusional rakyat untuk berserikat dan berkumpul dapat teraktualisasikan dalam menjembatani keterlibatan rakyat untuk menentukan siapa yang berhak mengurus kehidupan negara. Mendemokratiskan pemilihan ketua partai politik merupakan hal yang sangat fundamental dalam rangka mewujudkan kehidupan demokrasi yang lebih baik, karena proses demokratisasi pemilihan pimpinan dalam tubuh partai politik merupakan cerminan paras suatu partai politik sebagai alat untuk mencapai tujuan bernegara. MUHAMMAD FAUZAN AZIM Hp: 0811-6600-381 e-mail: [email protected] Kata kunci : Demokratisasi, Partai Politik PENDAHULUAN Dalam negara demokrasi, terdapat jaminan terhadap kebebasan berkumpul dan berserikat yang merupakan hak konstitusional warga negara. Hal ini merupakan mekanisme demokratis dalam mengimplementasikan hak-hak dasar warga negara untuk mengekspresikan aspirasinya baik aspirasi kepentingan kelompok maupun aspirasi mengenai faham tertentu yang dinilai dan diyakini baik untuk negara.17 Keberagaman aspirasi dalam bernegara ini biasanya disalurkan melalui organisasi politik, organisasi kemasyarakatan dan sebagainya. Pengakuan terhadap kebebasan berkumpul dan berpendapat ini merupakan salah satu abstraksi dari konstitusionalisme yang terdapat dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pascamandaemen. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) yang berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”; “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Kedua 17Bandingkan dengan Hendarmin Randireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, (Bandung: Fokus Media, 2007), hlm. 181. 264 ketentuan ini memperlihatkan manifestasi demokrasi sebagai sistem pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat yang memposisikan terjaminnya hakhak warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan segala bentuk dan dimensinya. Mengutip pendapat Moh. Mahfud MD, kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul merupakan hak politik dan sipil yang paling dasar. Bermodalkan adanya jaminan hak politik dan sipil ini, upaya untuk memperoleh penyelenggara negara diwujudkan melalui pencalonan dan pemilihan anggota lembaga-lembaga perwakilan politik yang fair, kemudian lembagalembaga itu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk membahas persoalan-persoalan, mengkritik dan mengkristalisasikan pendapat umum.18 Diantara alat atau media untuk mengekspresikan dan menampung hak atas kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul tersebut adalah partai politik. Dalam sistem demokrasi modern, partai politik merupakan bagian dianggap sebagai bagian dari demokrasi. Sehingga sering dikatakan, partai politik bersama parlemen di satu sisi dan lembaga eksekutif serta kebebasan pers pada 2 (dua) merupakan 3 (tiga) pilar sistem demokrasi modern. Melalui partai politik, keberagaman ideologi dan aspirasi dimungkinkan untuk diakomodai yang pada gilirinnya akan menentukan ideologi atau aspirasi mana yang, untuk kurun waktu tertentu, berhak tampil memimpin pemerintahan. Sebagai organisasi politik, orientasi partai adalah cita-cita memperjuangkan visi dan ideologi tertentu dalam skala negara yang diyakini mampu mensejahterakan masyarakat. Cita-cita partai hanya bisa terwujud bila berhasil meraih kekuasaan yang diperoleh melalui pemilihan umum (pemilu). Karenanya, kekuasaan merupakan sasaran partai politik untuk dapat mewujudkan cita-citanya. Cita-cita partai politik tanpa kekuasaan tidak lebih hanya sekedar wacana.19 Melihat peran penting partai politik sebagaimana yang telah disinggung di atas, perhatian negara (Indonesia) terhadap regulasi yang mengatur keberadaan partai politik hingga kini terus mengalami perbaikan. Terakhir, melalui Undangundang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, negara memandang bahwa pengaturan partai politik adalah dalam rangka untuk menguatkan pelaksanaan demokrasi dan sistem kepartaian yang efektif sesuai dengan amanat UUD 1945, diperlukan penguatan kelembagaan serta peningkatan fungsi dan peran Partai Politik.20 Dikaitkan dengan arti penting keberadaan partai politik dalam kehidupan demokrasi sebagaimana yang telah dipaparkan, maka artikulasi penerapan prinsip-prinsip demokratis dalam suksesi pimpinan partai merupakan hal yang sangat fundamental diperhatikan dalam membangun demokrasi yang dicitacitakan. Sebab, sebagai organisasi yang sejatinya dibentuk untuk mengaktualisasikan hak politik warga negara dalam bebas berpendapat, berserikat dan berkumpul, fungsi partai politik bukan sekedara sarana rekruitmen politik. 18Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 17. Randireksa, op.cit., hlm. 182. 20Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, konsideran menimbang huruf a. 19Hendarmin 265 Namun lebih dari itu, partai politik merupakan struktur-antara atau intemediate structure yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif warga negara.21 Dengan kata lain, selain memainkan peran sebagai sarana rekruitmen politik dan sarana untuk merebut kekuasaan, partai politik merupakan instrumen demokrasi yang berperan dalam mewujudkan pendidikan politik bernegara. Sebaliknya, jika prinsip-prinsip demokratis pemilihan pimpinan partai politik belum teraplikasi dengan baik, sulit mengharapkan partai politik dapat memainkan peran esensialnya, yaitu sebagai wahana bagi warga negara untuk berpartipasi dalam pengelolaan kehidupan bernegara dan memperjuangkan kepentingannya di hadapan penguasa.22 Paper sederhana ini akan mencoba memaparkan dan mengulas secara singkat serta sederhana urgensi penataan mekanisme demokratis dalam pemilihan pimpinan partai politik, serta bagaimana implikasinya masa depan demokrasi konstitusional di Indonesia. Sebab, sebagai instrumen penting demokrasi—salah satu pilar demokrasi, pembenahan terhadap sistem demokrasi sedari hulu tentu saja berhubungan erat dengan persoalan pembenahan implementasi prinsipprinsip demokratis dalam tubuh partai politik. PEMBAHASAN 1. Partai Politik dan Demokrasi Frasa “partai politik” merupakan gabungan dari kata “partai” dan “politik”. Bila dirunut secara singkat, kata “partai berasal dari bahasa Latin, yaitu: “partire” yang bermakna membagi.23 Sementara kata “politik” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dipahami dalam berbagai hal, yaitu:24 pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan); segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain; dan cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah)—kebijaksanaan. Sementara dalam eksiklopedi bebas wikipedia, kata “politik” dipahami sebagai seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Dalam sudut pandang yang berbeda, menurut Aristoteles kata “politik” dimaknai sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.25 Bila digabungkan kedua kata ini, yaitu kata “partai” dan kata “politik” menjadi frasa “partai politik”, secara sederhana menurut Miriam Budiardjo 21Jimly hlm. 407. Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 22Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2014), hlm. 405. 23Hendarmin 24Kamus Randireksa, op.cit., hlm. 181. Besar Bahasa Indonesia (KBBI), http://kbbi.web.id/politik, diakses pada 18 Juli 2016. 25Wikipedia bahasa Indonesia, “Politik”, https://id.wikipedia.org/wiki/Politik, diakses pada 18 Juli 2016. 266 dipahami sebagai suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini (partai politik) adalah memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik—(biasanya) dengan cara konstitusional—untuk melaksanakan programnya.26 Carl J. Friedrich mendefenisikan partai politik sebagai sekelompok manusia yang yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpipan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil. Sementara Sigmund Neumann dalam karyanya, Modern Political Parties mengemukakan defenisi politik sebagai organisasi dari aktivis- aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan lain yang mempunyai pandangan berbeda. Bagi Neumann partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembagalembaga pemerintahan resmi.27 Senada dan mempertegas dua defenisi partai politik yang dirumuskan kedua ahli di atas, Giovanni Sartori memberikan pengertian partai politik sebagai suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan, melalui pemilihan umum itu mampu partai politik menempatkan calon-calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan publik.28 Berangkat dari uraian di atas, keberadaan partai politik dalam kehidupan negara demokrasi merupakan salah pra syarat penting dalam rangka menjamin terlaksananya hak politik warga untuk berserikat, berkumpul dan mengemukakan pendapat. Melalui peran partai politik tersebut, pada gilirannya warga negara dapat memposisikan diri mereka untuk berpartisipasi menentukan arah kehidupan bernegara. Sebab, demokrasi sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat harus membuka ruang prinsipprinsip demokratis dalam mewujudkan terjaminnya semua hak-hak kewarganegaraan yang diakui oleh konstitusi. Aktualiasi dari itu semua adalah melalui pelaksanaan pemilu yang bebas dan mandiri. Di negara demokrasi, pemilu yang bebas dan mandiri merupakan pra syarat awal dalam menata kehidupan bernegara. Pilihan terhadap sistem politik pemerintahan demokrasi membawa konsekuensi terhadap pentingnya dalam mengoptimalisasikan peran rakyat untuk berperan aktif dalam pengambilan setiap kebijakan negara. Prosedurnya, terwujud dalam proses pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui pemilu yang bebas. Sebab, dalam negara demokrasi rakyat tidak mungkin untuk mengambil keputusan bernegara secara lansung, melainkan melalui wakilnya yang duduk di parlemen, rakyat sejatinya telah memiliki pengemban kehendak mereka dalam 26Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 405. hlm. 404. 28G. Sartori, “Parties and Party System”, terpetik dalam Ibid., hlm. 404-405. 27Ibid., 267 pemerintahan negara,29 melalui sistem perwakilan (indirect democracy atau representative democracy). Suatu ajaran demokrasi yang menghendaki kedaulatan rakyat dijalankan oleh para wakilnya yang duduk di lembaga parlemen, wakil-wakil rakyat itu harus ditentukan sendiri oleh rakyat.30 Beranjak dari pengertian sistem perwakilan di atas, demokrasi sebagai sistem politik memposisikan rakyatlah sejatinya sebagai pengambil keputusan hidup bernegara. Sebab, kekuasaan negara—kekuasaan tertinggi dalam sistem politik demokrasi bermakna sebagai kedaulatan rakyat, suatu kekuasaan tertinggi dalam negara yang menjadi atribusi bagi negara sebagai organisasi masyarakat paling besar, di mana rakyatlah tempat yang melahirkan kekuasaan tertinggi tersebut.31 Dalam pelaksanaannya, pengambilan keputusan dalam bernegara adalah untuk menentukan kebijaksanaan umum. Menurut Hendry B. Mayo, Hal itu ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakilwakil mereka yang diawasi secara efektif oleh rakyat.32 Sebab, bagi Mayo, demokrasi tak obahnya sebagai:33 “Democratic political system is one which public policies are made on a majority basis, by representatives subject to effective populer control at periodic elections which are conducted on the principle of political equality and under conditions of political freedom”. Senada dengan pendapat Mayo di atas, Samuel P. Huntington mengatakan, suatu sistem politik sudah dapat dikatakan demokratis bila “para pembuat” keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilu yang adil, jujur, dan berkala, dan di dalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara.34 Sedangkan menurut C.F. Strong, demokrasi dalam makna representative democracy adalah:35 “A system of government in which the majority of the grown members of political community participate through a method of representation which secures that government is ultimately responsible for its actionsto that majority. In other words, the contemporary constitutional state must be based on a system of democratic representation which guaranties the souvereignity of the people”. 29Bagir Manan, “Mewujudkan Kedaulatan Rakyat”, terpetik dalam Eddy Purnama, Negara Kedaulatan Rakyat; Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-negara Lain, (Malang: Nusa Media, 2007), hlm. 51. 30Jimly Asshiddiqie, op.cit., hal. 414. 31Eddy Purnama, op.cit., hlm. 28. 32Henry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, (New York: Oxford Univercity Press, 1960), hlm. 70. 33Sistem politik demokratis adalah sistem yang menunjukkan kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihanpemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Terjemahan bebas oleh Penulis. Moh. Mahfud M.D., Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 19-20. 34Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, (Jakarta: Grafiti, 1997), hlm. 5-6. 35Eddy Purnama, loc.cit. 268 Dalam aras ini dapat dipahami bahwa pengertian negara demokrasi hingga dewasa ini didasari oleh sistem perwakilan yang menjamin kedaulatan rakyat.36 Artinya, demokrasi dalam makna sistem pemerintahan yang diartikan sebagai “government from the people, by the people and for the people”, mutlak membutuhkan sarana dalam menjamin terwujudnya kedaulatan rakyat secara bebas. Kedaulatan rakyat itu harus terselenggara dengan membuka diri dengan melibatkan seluas-luasnya peran serta rakyat dalam penyelenggaraan negara37 melalui pemilu yang bebas sesuai kehendak konstitusi. Secara formal prosedural, sarana tersebut memang pemilu yang bebas dan mandiri. Namun secara substansial, demokrasi membutuhkan infrastruktur yang lebih memadai dalam pengimplementasiannya. Dalam hal ini, partai politik adalah jawaban atas semua kebutuhan perwujudan hak politik warga negara yang melalui pemilu sebagai sarana atau saluran demokratisasi tersebut untuk menjaga entintas dan jati diri demokrasi agar rakyat benarbenar berdaulat atas dirinya. 2. Dinamika Partai Politik di Indonesia Pascareformasi a. Sekedar Kendaraan Politik An Sich Sebagai negara yang berada di tengah era transisi demokrasi, kehidupan partai politik di Indonesia senantiasa menjadi bahan perbincangan bagi insan pemerhati politik ketatanegaraan. Hal itu karena realitasnya, sejauh ini dinamika kehidupan partai politik masih cenderung sebagai sarana dalam perebutan kekuasaan belaka. Realitas fungsi partail politik ini tentu saja jauh dari apa yang diharapkan oleh rakyat. Sebab, sejatinya partai politik tidak hanya memainkan peran sebagai kendaraan politik an sich, namun lebih dari itu partai politik memiliki fungsi khusus yang menjadikan ia lokomotif sistem politik demokrasi. Apalagi bagi negara demokrasi berkembang seperti Indonesia, maka beranjak dari pemahaman bahwa demokrasi sebagai sistem pemerintahan dengan mengikutsertakan rakyat, di mana setiap warga negara memiliki suara dalam pelaksanaan kekuasaan dan ikut ambil bagian secara nyata,38 tentu saja fungsi dan peran partai politik melebihi dari sekedar alat perebutan kekuasaan. Secara sudut pandang perspektif sosiologi-politik, di era transisi demokrasi, dominanasi peran institusi partai politik sebagai mesin demokrasi, dalam praktiknya ditengarai telah menimbulkan berbagai distorsi yang berimplikasi terhadap proses demokratisasi dan terhadap 36C.F. Strong, Konstitusi-konstitusi Politik Modern; Kajian tentang Sejarah & Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia, alih bahasa: SPA Teamwork, (Bandung: Nuansa & Nusamedia, 2004), hlm. 66. 37Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi; Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 241-242. 38John Stuart Mill, On Liberty (Perihal Kebebasan), Alih Bahasa: Alex Lanur, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. Xx. 269 pembangunan sistem demokrasi.39 Situasi ini boleh dikatakan residu dari sistem politik demokrasi sebagaimana dikatakan oleh Joseph Schumpeter. Di mana metode demokratis sesungguhnya menggariskan bahwa ia sebagai prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik dimana individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan politik melalui kompetisi merebut suara rakyat dalam pemilu.40 Implikasi sistem politik demokrasi di atas, merupakan fenomena aktual dalam proses transisi demokrasi di Indonesia menuju terwujudnya negara demokrasi substansial. Lebih dari itu, distorsi demokrasi ini menurut Soebagio disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:41 Pertama, fenomena distorsi lazim dijumpai dalam suatu negara yang sedang melaksanakan demokratisasi tatanan kehidupan bernegara yang bernuansa demokrasi liberal, yang mengedepankan prinsip liberty, equality, dan fraternity, dalam fase awal memasuki transisi demokrasi; Kedua, distorsi demokrasi tersebut, jika tidak bisa dikendalikan atau diatasi berpotensi mengganggu proses melewati transisi demokrasi, sebagai fase strategis yang sangat menentukan arah apakah bangsa Indonesia mampu mewujudkan konsolidasi demokrasi; dan Ketiga, kemantapan konsolidasi demokrasi merupakan pondasi yang memberikan jaminan, bahwa bangsa Indonesia layak dan mampu mewujudkan demokrasi substansial dalam tatanan kehidupan bernegara. Secara implisit, fungsi partai politik hanya sebagai alat perebutan kekuasaan dapat dilihat dari penurunan partisipasi masyarakat dalam pemilu. Dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014, berdasarkan data yang dilansir oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), partisipasi masyarakat hanya sebesar 70%. Angka ini mengalami penurunan sebesar 2% dibandingkan Pilpres sebelumnya (Pilres 2009), yaitu sebesar 72%. Sedangkan dalam Pilpres 2004, partisipasi masyarakat adalah sebesar 75%. Sementara dalam pemilu Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Pemilu Legislatif) 2014, partisipasi 75,11%, angka ini mengalami peningkatan dibanding Pemilu Legislatif sebelumnya yaitu sebesar 71% dan pada Pemilu Legislatif 2004, partisipasi pemilih berada pada angka 84%. 42 Rendahnya pastisipasi masyarakat politik rakyat dalam setiap momentum pemilu ini menurut Urbanus Hurek disebabkan oleh 3 (tiga) faktor, yaitu:43 Pertama, figur pemimpin yang diajukan dalam suatu pesta demokrasi kurang berkenan di hati pemilih; Kedua, pemilih mulai jenuh 39Soebagio, Distorsi Dalam Transisi Demokrasi Di Indonesian, Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 13, No. 2, Desember, hlm. 111. 40Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, (Jakarta: PT. Intermasa, 1991), hlm. 5. 41Soebagio, op.cit., hlm. 115-116. 42Sigit Pamungkas, “Ternyata Tingkat Partisipasi dalam Pilpres Menurun Dibandingkan Pileg”, http://nasional.kompas.com/, diakses tanggal 16 Juli 2016. 43Heri Ruslan, “Inilah 3 Penyebab Rendahnya Partisipasi Politik”, http://nasional.republika.co.id/, diakses tanggal 16 Juli 2016. 270 dengan proses demokrasi lima tahunan yang tidak membawa perubahan bagi kehidupan rakyat; dan Ketiga, ajang kontestasi politik (Pilpres, PemilihanKepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah/Pilkada dan Pemilu Legislatif) tidak lagi dipandang rakyat sebagai sesuatu yang prioritas atau sangat diperlukan dalam membangun kehidupannya sehari-hari. Selain itu, menurut Ahmad Atang faktor penyebab rendahnya partisipasi politik dalam setiap momentum pemilu antara lain:44 (1) Adanya pemahaman bahwa memilih adalah sebuah hak dan bukan kewajiban. Sehingga, karena memilih sebuah hak maka bisa digunakan dan bisa juga tidak digunakan karena tidak ada konsekuensi hukum dan moral politik bagi mereka yang tidak memilih. (2) Masyarakat terjebak dalam rutinitas ekonomi membuat pilihan politik bukan menjadi prioritas sehingga mempengaruhui cara pandang mereka terhadap politik. (3) Politik adalah persepsi seseorang terhadap obyek yakni figur, program dan kepentingan. Jika obyek tersebut dipersepsikan secara negatif maka secara otomatis masyarakat pemilih tidak akan menggunakan hak politiknya. Sehingga jika persepsi seorang figur dan juga program itu positif, pasti orang pasti akan memilih. Tren penurunan partisipasi masyarakat terhadap pemilu secara kuantitas dengan berkaca dari angka penurunan partispasi pemilih ini setidaknya mengindikasikan adanya penurunan trust masyarakat terhadap partai politik dalam menentukan figur yang tepat untuk duduk dalam menjalankan roda pemerintahan. Meskipun demikian, secara kualitas keterlibatan masyarakat dalam pemilu mengalami peningkatan setiap kali pemilu dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat dari partisipasi mengawal pemutahiran daftar pemilih, tingginya pelaporan pelanggaran, dan mengawal hasil pemilu melalui sosial media atau data digital KPU. Kesukarelaan warga negara untuk terlibat dalam proses juga mengalami peningkatan dengan adanya relawan demokrasi yang sifatnya tidak berafiliasi dengan kekuatan politik manapun, maupun yang berafiliasi. Hal ini dapat dijadikan sebagai indikator pematangan demokrasi di Indonesia karena mutu demokrasi itu akan semakin teguh ketika mutu partisipasi makin baik.45 Fenomena di atas setidaknya bisa menggambarkan bahwa fungsi partai politik dewasa ini masih sekedar alat untuk meraih kekuasaan belaka. Sebab, penurunan angka partisipasi pemilih menunjukkan lemahnya peran partai politik dalam mengkosolidasikan demokrasi dan menyadarkan pemilih dalam memaknai arti penting pemilu. Sebagai pihak yang sangat berkepentingan dengan hasil pemilu, partai politik memegang peran utama untuk memobilisasi pendukung melalui visi partai dan kandidat yang diusung. Sementara, penyelenggara hanyalah pihak berikutnya (sekunder) dalam menentukan naik atau turunnya partisipasi pemilih. 44Ibid. 45Sigit Pamungkas, op.cit. 271 b. Budaya Oligarkis yang Mengakar Sulit dibantah bahwa demokratisasi dalam tubuh partai politik terbebas dari budaya oligarki kekuasaan yang cukup kental. Betapa tidak, distorsi peran partai politik menurut Soebagio juga didorong oleh dampak negatif ajang konstestasi demokrasi prosedural atau electoral yang melegitimasi kompetisi untuk memperoleh kekuasaan sebagai kepentingan politik abadi. Sehingga realitas inilah yang mendorong menguatnya sikap politik (budaya politik) pragmatis partai-partai politik dalam perjuangannya mengakumulasi kekuasaan secara instan.46 Beberapa penyebab distorsi partai politik disebabkan oleh budaya politik sebagai sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara dalam suatu sistem. Menguatnya sikap pragmatisme politik yang fenomenal itulah yang menimbulkan berbagai distorsi yang mengganggu proses demokrasi47 sehingga melahirkan budaya oligarkis dalam tubuh partai politik. Budaya oligarkis dalam tubuh partai politik sesungguhnya merupakan manifestasi dari distorsi partai politik itu sendiri dalam sistem demokrasi. Dalam hal ini, menurut Soebagio48 menguat dalam bentuk budaya kapitalisasi demokrasi, lemahnya kaderisasi politik, menurunya kinerja legislatif serta menurunnya partisipasi politik. Hal ini bertentangan dengan fungsi partai politik dalam negara demokrasi. Menurut Budiardjo terdapat beberapa fungsi partai politik, yaitu:49 Pertama, sebagai sarana komunikasi politik. Fungsi ini tercipta karena dalam masyarakat modern dan kompleks, ragam pendapat seseorang atau sekelompok masyarakat akan hilang tak berbekas bila tidak ditampung dan digabung dengan pendapat aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan dengan penggabungan kepentingan (interest agregation), kemudian pendapat dan aspirasi ini diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang lebih teratur—perumusan kepentingan. Setelah itu partai politik merumuskannya dalam bentuk kebijakan. Kedua, sebagai sarana sosialisasi politik. Hal ini diartikulasikan menjadi proses dimana seseorang memperoleh sikap atau orientasi terhadap fenomena politik yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada—bagian dari proses menentukan sikap politik seseorang. Misalnya, mengenai nasionalisme, kelas sosial, suku bangsa, ideologi, hak dan kewajiban. Begitu juga dengan proses menyampaikan budaya politik, yaitu norma nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Termasuk dalam pengertian ini adalah upaya menciptakan citra (image) memperjuangkan kepentingan umum. 46Soebagio, op.cit., hlm. 111-112. Almond dan S. Verba, Budaya Politik,Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, alih bahasa: Sahat Simamora, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 13. 48Soebagio, op.cit., hlm. 112-114. 49Miriam Budiardjo, hlm. 405-409. 47G.A. 272 Ketiga, sebagai sarana rekruitmen politik. Fungsi ini berkaitan dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas. Secara internal, partai-partai politik butuh kader yang berkualitas agar ia dapat menjadi partai yang mempunyai partai yang mempunyai kesempatan yang lebih besar dalam mengembangkan diri. Karena hanya dengan kader yang lebih baik dan berkualitas, akan memudahkan partai untuk memiliki pemimpinnya sendiri, kemudian partai memiliki peluang yang bagus untuk masuk ke dalam bursa kepemimpinan nasional. Rekruitmen politik ini biasanya dilakukan dengan melalui kontrak pribadi, persuasi dan cara-cara yang lain. Keempat, sebagai sarana pengatur konflik (conflict management), yaitu berkaitan dengan mekanisme dan tata cara mengatur konsekuensi masyarakat politik yang memiliki perbedaan dan keanekaragaman yang ada dalam suatu negara. Perbedaan dan keanekaragaman tersebut menyimpan potensi konflik. Hal ini biasanya terjadi dalam masyarakat negara yang bersifat heterogen, baik dari etnis (suku), sosial-ekonomi, ataupun agama. Partai politik diperlukan dalam mengatasi konflik yang muncul yang timbul dalam masyarakat, atau sekurang-kurangnya konflik tersebut dapat diatur sehingga akibat negatifnya dapat ditekan seminimal mungkin. Pengaruh yang dimiliki oleh elit partai dapat menumbuhkan pengertian diantara mereka untuk meyakinkan pendukungnya. Ringkasnya, partai politik menjadi penghubung psikologis organisasi—antara warga negara dengan pemerintah. Keempat fungsi partai politik sebagaimana dikatakan oleh Budiardjo ini belum berjalan sebagaimana mestinya di Indonesia. Tidak berlebihan jika muncul anggapan fungsi partai politik dewasa ini di Indonesia masih berkutat dalam makna yang negatif sebagaimamana didengungkan pada zaman klasik dan pertengahan. Semisal dikatakan oleh Robespierre, partai politik hanyalah organisasi yang hanya mementingkan kepentingan. Senada dengan itu, George Washington meyakini bahwa partai politik adalah penyebar bibit-bibit permusuhan dan ketidakpuasan terhadap masyarakat umum. Bahkan pendapat yang paling radikal menyebut partai tidak lebih dari organisasi kriminal yang merongrong kewibawaan negara. Dimana terdapat pandangan bahwa masyarakat tanpa partai akan lebih efektif dalam menyelesaikan masalah daripada masyarakat berpartai.50 Jika ditilik ke belakang, munculnya ketua partai politik beberapa tahun terakhir yang memodali partainya dengan dana cukup besar tanpa disertai kemampuan memimpin organisasi yang benar-benar mumpuni ditengarai menjadi preseden buruk bagi dunia perpolitikan Indonesia. Ignas Kleden menilai bahwa kondisi tersebut berarti gejala oligarki politik mulai merasuk di Indonesia. Oligarki politik merupakan bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elite tertentu. Gejala oligarki politik dalam tubuh partai politik tersebut tercermin melalui budaya memimpin partai politik bagi mereka yang 50Hendarmin Randireksa, op.cit., hlm. 181. 273 mampu membiayai partai seperti Prabowo Subianto (Partai Gerindra), Surya Paloh (Partai Nasdem), Aburizal Bakrie (Partai Golkar), dan yang teranyar adalah Hary Tanoesoedibjo (Partai Perindo). Mereka semua memimpin partai karena memiliki kekuatan untuk membiayai partai.51 Oligarki politik dalam tubuh partai politik ini tidak terelakkan karena beberapa hal:52 Pertama, eksistensi dapat bertahan dan mampu membiayai kompetisi politiknya dalam proses demokrasi sangat memerlukan pendanaan yang besar. Kedua, realitasnya dana yang bersumber dari iuran internal partai kurang memadai, sehingga perlu dukungan dana yang besar dari eksternal partai, seperti dari para donatur, para pemodal, dan para simpatisan lainnya. Kondisi ini mendorong penguatan institusi partai yang dikelola secara korporasi guna memperoleh keuntungan finansial sebagai kapital untuk mempertahankan eksistensi organisasi dan kompetisi meraih kekuasaan sebagai intisari perjuangan politik dalam rangka mewujudkan cita-cita atau ideologi politiknya. Implementasi demokrasi tersebut mengindikasikan adanya fenomena kapitalisme demokrasi, dimana perjuangan partai politik sebagai infrastruktur basis demokrasi lebih berfokus pada konsolidasi kekuatan finansial sebagai kapital utama meraih kekuasaan politik, dan mengabaikan fungsi utamanya untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Ketiga, dalam demokrasi kontemporer realitas tersebut memberikan pencitraan munculnya model “demokrasi kapitalistik”. Menguatnya sikap pragmatisme mengejar kekuasaan politik dengan mengandalkan kekuatan kapital/finansial tersebut berimplikasi ke sikap mental rakyat, yaitu merefleksi tumbuhnya budaya politik transaksional (jual beli) suara rakyat sebagai pemilik mandat demokrasi melalui kompetisi pemilu secara reguler. Kondisi fenomenal inilah yang dimaknai pula sebagai “demokrasi transaksional”. Jika dicermati lebih jauh, manajemen partai politik yang berbasis kekuatan kapital dan berorientasi kekuasaan tersebut telah mendorong proses demokrasi dikelola secara “kartel politik”. Hal ini oleh Slater dideskripsikan sebagai “relasi antar elite politik yang dicirikan dengan tingginya kekompakan elite, minimnya kekuatan oposisi, dan terlindungnya para elite dari realitas mekanisme akuntabilitas politik.53 Sementara di sisi lain, elit (politik) melihat menyadari bahwa setiap organisme politik bergantung pada tingkat moralitas, kecerdasan dan kegiatan yang telah dicapai oleh lapisan kedua, yang menurut TB Bottomore adalah unsur penting dalam pemerintahan masyarakat yang terdiri dari kelas menengah baru. Mereka adalah Pegawai Negeri Sipil, Manager, Pekerja kerah Putih, Ilmuan, Insinyur dan para Intelektual. Dalam teori Mosca, kelompok ini senantiasa di bawah pengaruh hegemoni elit (partai) yang tidak semata51Yandhi Deslatama, “Ini Gejala Oligarki Politik yang Merasuk Indonesia”, http://news.liputan6.com/, diakses tanggal 17 Juli 2016. 52Soebagio, op.cit., hlm. 111-112. 53R.H. Chilcote, Teori Perbandingan Politik: Penulusuran Paradigma, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003). 274 mata menggunakan kekuatan penipuan, tetapi dalam satu segi, mewakili kepentingan dan tujuan kelompok-kelompok yang berpengaruh dan penting dalam masyarakat,54 yaitu kelompok menengah baru tersebut. Merekalah yang memasok anggota-anggota baru kepada elit partai— kelompok penguasa politik. Beranjak dari pemaparan di atas, dapat diperoleh gambaran adanya perkelindanan antara kepentingan elit politik—kelas pertama dengan kelas menengah baru bersama kekuatan pemodal—kapital. Hal ini menyebabkan dinamika kehidupan politik terjebak ke dalam pragmatisme kekuasaan yang cenderung mengarah kepada politik transaksional. Sehingga kehidupan demokrasi akhirnya terjerembab dalam lumpur kepalsuan makna demokrasi yang dicita-citakan bersama, yaitu mewujudkan cita-cita kemerdekaan sebagaimana termaktub dalam Pancasila dan pembukaan UUD 1945. Makna demokrasi sebagai kekuasaan tertinggi dalam negara yang dipegang atau terletak di tangan rakyat, kedaulatan rakyat 55 yang merupakan gabungan keseluruhan kemauan masing-masing pribadi, yang ditentukan oleh suara terbanyak dalam pemilu, hanyalah angan belaka. Sebab, arah kehidupan demokrasi lebih ditentukan oleh perkelindanan— dalam bahasa yang lebih vulgar karena perselingkuhan segitiga antara elit politik dengan kapital dan kelas menengah baru yang menjadi mesin-mesin perebut pengaruh masyarakat, akan tetapi mereka berada di bawah kendali elit politik. c. Pilar Demokrasi yang Mulai Goyah Menguatnya orientasi kekuasaan dan politik transaksional di kalangan partai politik dalam tampilan nuansa demokrasi kapitalistik ini menurut Soebagio telah menjadikan fungsi kaderisasi politik terabaikan atau bahkan tidak berjalan sama sekali. Sehingga tidak salah bila munculnya kebijakan instan yang memberikan akses masuknya para pemodal, kerabat elit politik, dan kerabat birokrat (pejabat birokrasi) tanpa melalui seleksi yang terprogram.56 Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap eksistensi partai politik sebagai lokomotif regenerasi kepemimpinan bangsa. Secara kasat mata, parlemen sebagai leading sector penghubung kepentingan rakyat melalui mekanisme perumusan kebijakan negara yang termanifestasi dalam kebijaksanaan umum memang ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat, namun perumusan kebijakan tersebut justru dikhawatirkan lebih berorientasi kepada kepentingan partai, bukan kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Sebagai contoh, pada 30 September 2014 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang didominasi oleh Fraksi Partai Gerindra bersama koalisinya yang 54TB Bottomore, Elite dan Masyarakat, alih bahasa Abdul Harris dan Sayid Umar, (Jakarta: Akbar Tanjung Institute, 2006), hlm. 7. 55Muhammad Koesnoe, “Musyawarah” dalam Miriam Budiardjo, ed., Masalah Kenegaraan (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 57. 56Soebagio, op.cit., hlm. 112. 275 tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) telah berupaya menganulir model pemilihan lansung Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang telah diterapkan sebelumnya dengan mengesahkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota. Dalam undang-undang tersebut, penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dianggap masih diliputi dengan berbagai permasalahan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Dua hari kemudian, pada 2 Oktober 2014, Presiden menganulir produk DPR RI ini dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota. Setelah melalui perdebatan yang alot di parlemen dan munculnya reaksi yang keras dari masyarakat, kemudian pada 2 Februari 2015, PERPPU ini akhirnya ditetapkan menjadi undangundang oleh DPR RI, yaitu melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaima telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.57 Fenomena yang dipaparkan di atas mengindikasikan kuatnya pengaruh elit partai dalam perumusan kebijakan negara meskipun harus bertentangan dengan konstitusi dan berseberangan dengan arus kuat keinginan konstituen (rakyat) terkait mekanisme pelaksanaan kedaulatan rakyat di daerah secara lansung. Asumsi ini sudah menjadi rahasia umum. Sebab, konstelasi parlemen yang didominasi oleh Partai Gerindra bersama sebagian besar koalisinya yang tergabung dalam KMP pada waktu itu merupakan partai-partai yang ditopang oleh kekuatan modal dana yang lumayan besar dari pimpinanannya seperti Partai Gerindra dan Partai Golkar. Bahkan Partai Gerindra yang berdiri sejak 6 Februari 2008 silam, belum pernah melakukan Kongres untuk memilih Ketuanya secara demokratis hingga tahun 2014 yang lalu.58 57Manuver politik parlemen dalam menerbitkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota yang mengembalikan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakilnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selain ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota oleh Presiden, situasi tersebut juga memaksa Presiden harus merevisi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang sebagaima telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang. 58Hingga meninggal Ketua Umumnya (Suhardi) pada 20 Agustus 2014, Partai yang sekarang dipimpin oleh Prabowo Subianto ini belum pernah mengadakan Kongres untuk 276 Meskipun beberapa partai politik sudah melaksanakan demokrasi internal untuk memilih tampuk kepemimpinannya melalui Kongres/Munas, semisal Partai Golkar dan Partai PDI Perjuangan, namun dalam proses yang terjadi dinilai oleh banyak kalangan belum berjalan secara demokratis. Partai Golkar sejak Munas 2004 hingga Munas 2009, 59 diyakini sebagai kemenangaan pragmatisme politik bila dibanding hasil Munas 1998 yang dianggap sebagai kemenangan paradima baru partai berlambang beringin tersebut. Di pihak lain, Partai PDI Perjuangan yang berdiri sejak 27 Juli 1996 hingga kini seakan tidak mampu memperoleh figur yang tepat selain Megawati Soekarno Putri sebagai ketua umumnya. Potret demokrasi internal kedua partai besar ini adalah cerminan realitas partai politik—legislatif sebagai salah satu pilar demokrasi telah gagal dalam menularkan budaya demokratis dalam kehidupan berbangsa. Sebagai salah satu instrumen—pilar-pilar demokrasi, J.H. Marryman memperingatkan bahwa sifat demokratis suatu negara diidentifikasikan melalui sistem kepartaian dan peranan badan perwakilan, peranan lembaga eksekutif dan kekebasan pers,60 tentu saja demokrasi internal partai politik memainkan peran strategis proses demokratisasi di Indonesia. Hal ini diperlukan agar antara partai politik, lembaga perwakilan (legislatif) di satu sisi; serta pemerintah (eksekutif) di sisi yang lain, memiliki peran yan jelas dalam perwujudan demokrasi. Dalam konteks ini, pelaksanaan pemilu sebagai perwujudan demokrasi memberikan peran/tugas penting kepada partai politik untuk:61 mempersiapkan kandidat-kanditat terbaiknya di legislatif; mempromosikan program politik dan platform pemilunya, serta bersaing untuk mendapatkan mandat publik dan suara¬suaranya. Tak kalah penting, peran partai politik memiliki fungsi jangka panjang partai harus bisa menjadi perantara masyarakat dengan institusi pemerintahan. Oleh sebab itu, partai politik harus terorganisir secara demokratis, memiliki akar yang kuat dalam masyarakat sehingga mampu menularkan demokrasi kepada masyarakat. Hal ini sebenarnya juga terjadi di negara-negara lain yang sedang dalam proses transisi dan pemerintahan otoriter ke negara demokratis, kerap kali kita melihat adanya budaya nondemokratis di dalam parpol Indonesia. Pengalaman selama masa pemilu dan sesudahnya menunjukkan bahwa masih ada kebutuhan untuk mempromosikan demokrasi dengan menjelaskan peran dan fungsi parpol, bagaimana mereka mengatur dirinya sendiri. melaksanakan demokratisasi dalam memilih pimpinanannya. Baca, “Tiba di Lokasi Kongres Gerindra, Prabowo: Kok Sepi”, https://m.tempo.co/, diakses tanggal 17 Juli 2016. 59Muhammad Imam Akbar, Demokrasi Internal Partai: Studi Proses Pemilihan Ketua Umum Partai Golkar pada Musyawarah Nasional Golkar Tahun (1998, 2004 dan 2009), Tesis pada Universitas Indonesia, Jakarta, 2012, hlm. 115-120. 60Moh. Mahfud M.D., Membangun Politik Menegakakkan Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 67. 61Thomas Meyer, Peran Partai Politik dalam Sebuah Sistem Demokrasi: Sembilan Tesis, (Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Kantor Perwakilan Indonesia, 2012), hlm. 7. 277 Dinamika demokrasi internal politik ini sesungguhnya menunjukkan bahwa, pilar-pilar demokrasi Indonesia, khususnya dalam tubuh partai politik—parlemen diambang kegoyahan. Sebaik apapun sistem pemilu yang dibentuk dan digunakan, jika lembaga parlemen yang terbentuk dari andil partai politik belum terbenahi, mereka yang duduk di lembaga parlemen akan belum mampu membangun budaya dan tatanan demokrasi yang diharapkan. Salah satu penyebabnya adalah demokrasi internal partai politik tersandera oleh demokrasi kapitalistik yang berdampak terhadap lemahnya kaderisasi politik lalu berujung pada menurunnya kinerja legislatif (parlemen). Hal ini misalnya bisa dilihat pada kinerja lembaga legislatif (parlemen) yang keanggotaannya direkrut dari kader-kader partai politik kontestan pemilu secara reguler, yang secara ekologis berada dalam suasana kapitalisme demokrasi dan budaya politik transaksional tersebut, secara kuantitatif faktual, kinerja parlemen dalam mengemban fungsi legislasi, fungsi pengawasan dan fungsi anggaran belum membanggakan bahkan cederung mengalami penurunan. Deskripsi tersebut dapat dilihat dari implementasi kinerja DPR RI pada masing-masing periode sebagaimana tabel berikut:62 No. Periode Target Realisasi 1 1999 2004 – 300 169 2 2004 2009 – 284 179 3 2009 2014 – 147 247 3. Menata Demokratisasi Internal Partai Politik; Menjaga Kedaulatan Rakyat Banyak kalangan menilai oligarki politik di tubuh partai ini bisa saja mengancam demokrasi Indonesia. Bagi Kleden,63 partai yang seharusnya mampu mengakomodir suara rakyat, malah digunakan oleh kepentingan individu atau kelompok tertentu. Dalam dataran ini, negara diharapkan dapat merumuskan pengaturan ulang aturan tentang sumber dana partai, sehingga kemakmuran rakyat yang diinginkan oleh konstitusi dapat tercapai. Negara juga harus memikirkan pihak yang tepat untuk membiayai partai. Kleden mengajukan solusi, misalnya pemerintah mengikuti aturan main seperti di 62Arry Anggadha dan Anggi Kusumadewi, “Kinerja DPR 2004-2009 Belum Memuaskan Kinerja DPR di bidang legislasi, secara kuantitas dan substansial sudah lebih baik”, http://politik.news.viva.co.id/news/, dan “Kinerja Legislasi DPR Periode 2009-2014 Dinilai Buruk”, http://sp.beritasatu.com/, diakses tanggal 18 Juli 2016. 63Yandhi Deslatama, op.cit. 278 negeri Eropa yang menggunakan dana publik untuk membiayai partai secara seimbang. Di Eropa, partai politik diberikan bantuan oleh negara berdasarkan dengan jumlah anggota dan iuran anggotanya juga berjalan dengan baik. Sehingga negara mampu memperhitungkan berapa besaran yang diberikan untuk partai politik. Mengingat arti penting partai politik bagi masa depan pembangunan demokrasi Indonesia, Undang-undang Partai Politik mesti diperkuat dengan adanya pengaturan mekanisme demokrasi internal partai politik dalam Anggaran Dasar (AD) partai politik. Hal ini belum terlihat dalam Undangundang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik maupun dalam Undangundang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (4) Undangundang Nomor 2 Tahun 2011, AD hanya mengatur tentang: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. asas dan ciri Partai Politik; visi dan misi Partai Politik; nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik; tujuan dan fungsi Partai Politik; organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan; kepengurusan Partai Politik; mekanisme rekrutmen keanggotaan Partai Politik dan jabatan politik; sistem kaderisasi; mekanisme pemberhentian anggota Partai Politik; peraturan dan keputusan Partai Politik; pendidikan politik; keuangan Partai Politik; dan mekanisme penyelesaian perselisihan internal Partai Politik. Ketiadaan pengaturan ini menjadi titik lemah dalam menata demokrasi internal partai politik. Sebab, mekanisme apapun dalam pemilihan ketua partai didelegasikan kepada AD partai politik yang bersangkutan. Hal ini tentu bergantung kepada common will suatu partai saja, bukan kepada kehendak publik yang termanifestasi dalam regulasi yang dilahirkan oleh negara. Dengan tidak adanya pengaturan demokrasi internal partai politik tersebut, terdapat celah hukum yang dapat disusupi oleh kepentingan hegemoni elit partai dan kepentingan pemodal yang sangat berkepentingan dengan pengaruh partai dalam melahirkan produk hukum di DPR RI. Ke depan, pengaturan terhadap mekanisme demokrasi internal partai politik tersebut sejalan dengan prinsip negara hukum—suatu konsep baku yang selalu saja mengalami makna menjadi dalam suatu negara berlaku hukum. Sebab, selain partai politik sebagai instrumen demokrasi sebagian pendanaannya berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), negara berhak menata partai politik agar ia benar-benar dianggap sebagai bagian penting dalam mempertahankan demokrasi. Pengertian negara hukum memberikan legitimasi bagi negara untuk turut campur menata demokrasi internal partai politik. Karena itu, dalam negara hukum ketika negara melaksanakan kekuasaannya, maka negara tunduk 279 terhadap pengawasan hukum. Sehingga ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan negara menjadi terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis (konvensi).64 Konsep negara hukum atau lebih dikenal dengan negara hukum konstitusional ini menurut Juan Linz sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syahrizal, mengenal self-binding procedure yang menempatkan sistem pemerintahan negara sangat terikat oleh tata cara penggunaan kekuasaan yang diatur dalam konstitusi. Hal ini membawa kepada pengertian bahwa pergantian kekuasaan hanya dapat dilakukan oleh mayoritas eksepsional (mayoritas absolut). Di samping itu, ciri utama pemerintah konstitusional menghendaki hierarkhi peraturan perundang-undangan yang jelas dan hanya dapat ditafsirkan oleh kewenangan yudisial65 yang dimiliki oleh peradilan konstitusi. Dalam batas penalaran yang diuraikan di atas, ajaran negara hukum dan ajaran kedaulatan rakyat –demokrasi konstitusional (constitutional democracy) yang menempatkan konstitusi sebagai penentu batas-batas kekuasaan pemerintah dan jaminan atas hak-hak politik rakyat, sehingga kekuasaan pemerintah (eksekutif) harus dimbangangi oleh kekuasaan parlemen (legislatif) dan lembaga hukum (yudikatif),66 kiranya tidak ada alasan bagi negara untuk mengelak pengaturan demokrasi internal partai politik. Berkaca pada pengertian paham demokrasi konstitusional ini yang merupakan abstraksi dari ajaran konsitutisionalisme, yaitu seperti dituturkan Friedrich sebagai suatu pemerintah yang kumpulan kegiatannya diselenggarakan atas nama rakyat, namun tunduk kepada beberapa pembatasan untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang dibutuhkan untuk memerintah agar tidak disalahgunakan oleh mereka yang memperoleh tugas tersebut,67 maka menunda pengaturan demokrasi internal partai politik tentu hanya akan membiarkan negara semakin digerogoti oleh aristokrasi kekuasaan. Berangkat dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa untuk memperkuat sistem demokrasi, memperbaiki hulu demokrasi melalui penataan sistem demokrasi internal partai politik merupakan salah satu keharusan disamping menata sistem pemilu. Tentu saja langkah tersebut diiringi dengan perbaikan mekanisme kontrol publik terhadap partai dalam Undang-undang Partai Politik yang baru. Dengan adanya pengaturan terhadap mekanisme demokrasi internal partai politik dalam Undang-undang Partai Politik yang baru diharapkan terlaksananya beberapa agenda penting pembangungan demokrasi yang menititikberatkan pada democratic autonomy (otonomi demokrasi). Istilah 64Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi; Suatu Studi tentang Ajudikasi Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, (Jakarta: P.T. Pradnya Paramita, 2006), hlm. 55. 65Ibid. 66Bondan Gunawan S., Apa itu Demokrasi, (Jakarta: Sinar Harapan, 2007), hlm. 7. 67Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 57. 280 democratic autonomy ini menurut David Held68 membutuhkan akuntabilitas state (negara) dalam derajat yang tinggi dan penataan kembali civil society (masyarakat madani) serta memberi kesempatan yang sama berpartisipasi dan menemukan prefensi pribadi dan pengawasan akhir oleh warga negara terhadap agenda politik, termasuk hak-hak sosial ekonomi untuk memastikan bahwa tersedianya sumber daya yang cukup bagi otonomi demokrasi. Karena sebagaimana dikatakan Robert Alan Dahl, demokrasi lebih dititikberatkan pada aspek kebebasan politik, di mana setidaknya terdapat 5 (lima) kriteria atau standar sehingga proses pemerintahan dapat dikatakan demokratis. Kelima kriteria tersebut meliputi:69 Pertama, partisipasi yang efektif—sebelum sebuah kebijakan digunakan negara, seluruh rakyat harus mempunyai kesempatan yang efektif untuk memberikan pandangan-pandangan mereka. Kedua, persamaan suara—setiap rakyat harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk memberikan suara dan seluruh suara harus dihitung sama. Ketiga, pemahaman yang cerah—setiap rakyat harus diberikan kesempatan untuk mempelajari kebijakan-kebijakan alternatif yang relevan. Keempat, pengawasan agenda—berbagai kebijakan negara selalu terbuka untuk diubah jika rakyat menginginkannya. Kelima, pencakupan orang dewasa—semua atau paling tidak sebagian besar orang dewasa yang menjadi penduduk tetap seharusnya memiliki hak kewarganegaraan. Kriteria demokrasi menurut Dahl ini bila ditelisik lebih dalam, maka kriteria ketiga dan keempat memiliki relevansi dengan penataan demokrasi di tubuh partai politik. Oleh karena kedaulatan rakyat menghendaki rakyatlah yang memberikan kekuasaan kepada pihak-pihak yang dipercaya untuk menyelenggarakan negara, baik itu legislatif maupun eksekutif, maka kekuasaan diberikan oleh rakyat iitu, oleh negara harus pula membenahi institusi yang menjadi kendaraan untuk menjaring wakil rakyat. Meskipun ada keraguan terhadap common will parlemen menyahuti hal ini, maka publik diharapkan dapat berperan aktif dalam mengawal terlaksananya wacana pentingnya pengaturan demokrasi internal partai politik. Dorongan kuat publik akan memberi arti penting agar negara segera membenahi ketiadaan sistem demokrasi di internal partai. Inilah perwujudan prinsip akuntabilitas (pertanggungjawaban) dalam sistem demokrasi yang dikenal dengan akuntabiltas vertikal.70 Prinsip ini (terutama prinsip akuntabilitas 68Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi; Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah, alih bahasa: I Made Krisna, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). Hlm. 14-15. 69Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi; Menjelajahi Teori dan Praktik Demokrasi Secara Singkat, alih bahasa: A. Rahman Zainuddin, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hlm. 52-53. 70Terdapat 2 (dua) model prinsip akuntabilitas dalam sistem demokrasi. Keduanya adalah, akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal. Jika akuntabilitas vertikal menyangkut pertanggungjawaban dalam hubungan antara pemegang kekuasaan dengan rakyatnya atau antara pemerintah dengan warganya, maka akuntabilitas secara horizontal merupakan pertanggungjawaban pemegang jabatan publik pada lembaga yang setara, seperti pejabat eksekutif dengan pejabat lembaga legislatif. Juanda Nawawi, “Demokrasi dan Clean Governance”, http://www.resepkita.comforum/ diakses tanggal 16 Juli 2016. 281 vertikal), merupakan ruang bagi rakyat secara langsung maupun melalui partai politik, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi masyarakat dan institusi-institusi lainnya berhak meminta pertanggungjawaban kepada pemegang kekuasaan negara. PENUTUP Demokratisasi sebagai sistem pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat memberikan makna bahwa rakyat memainkan peran penting dalam setiap pengambilan kebijakan negara. Hal ini merupakan perwujudan hak politik warga negara yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi. Sebagai salah satu sarana pemenuhan hak politik warga negara, partai politik adalah struktur antara atau intemediate structure yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif warga negara, maka partai politik merupakan instrumen demokrasi yang berperan dalam mewujudkan pendidikan politik bernegara. Agar partai politik berfungsi sejalan dengan kehendak sistem demokrasi, maka prinsip-prinsip demokratis dalam mekanisme internal partai menjadi perhatian bagi negara untuk diatur melalui undang-undang yang mengatur tentang partai politik. Adanya pengaturan yang memungkinan sistem pemilihan ketua/pimpinan partai dalam demokrasi internal partai politik harus berjalan secara demokratis, diharapkan partai mampu menjalankan fungsinya dengan baik sehingga dapat menularkan budaya demokratis dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat dan menjalankan roda pemerintahan. Pengaturan prinsip-prinsip demokratis dalam demokrasi internal partai melalui undang-undang partai politik ini, setidaknya diharapkan rakyat lebih memiliki antusianisme untuk berpartipasi dalam pengelolaan kehidupan bernegara dan memperjuangkan kepentingannya di hadapan penguasa. Di tengah merosotnya animo masyarakat untuk memberikan hak politiknya dalam pemilu, dimana salah satu penyebabnya karena realitas dominasi elit partai ternyata lebih mengedepankan kepentingan politik partai dibanding mendengarkan suara konstituen, maka negara sudah seharusnya memperbaiki hulu demokrasi melalui undang-undang yang mengatur adanya kewajiban bagi partai untuk melahirkan mekanisme demokrasi internal partai politik dalam AD partainya. Sehingga terdapat jaminan bahwa pemilihan ketua partai berlansung secara demokratis serta terbebas dari demokrasi kapitalistik. Untuk itu, wacana agar negara sudah seharusnya melihat ketidakseragaman prinsip-prinsip demokratis mekanisme pemilihan ketua partai politik yang selama ini tidak diatur dan ditata dalam regulasi yang dilahirkan oleh negara adalah merupakan salah satu hulu persoalan memperbaiki sistem demokrasi di tanah air. -----00000----- 282 DAFTAR PUSTAKA “Kinerja Legislasi DPR Periode 2009-2014 Dinilai http://sp.beritasatu.com/, diakses tanggal 18 Juli 2016. Buruk”, “Tiba di Lokasi Kongres Gerindra, Prabowo: Kok Sepi”, https://m.tempo.co/, diakses tanggal 17 Juli 2016. Akbar, Muhammad Imam, 2012. Demokrasi Internal Partai: Studi Proses Pemilihan Ketua Umum Partai Golkar pada Musyawarah Nasional Golkar Tahun (1998, 2004 dan 2009), Jakarta, Universitas Indonesia. Almond, G.A. dan Verba, S., 1990. Budaya Politik,Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, alih bahasa: Sahat Simamora, Jakarta, Bumi Aksara. Anggadha, Arry dan Kusumadewi, Anggi “Kinerja DPR 2004-2009 Belum Memuaskan Kinerja DPR di bidang legislasi, secara kuantitas dan substansial sudah lebih baik”, http://politik.news.viva.co.id/news/, Asshiddiqie, Jimly, 2005. Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi; Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Jakarta, Konstitusi Press. ------------------------, 2011. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta, Rajawali Pers. Bottomore, T.B., 2006. Elite dan Masyarakat, alih bahasa Abdul Harris dan Sayid Umar, Jakarta, Akbar Tanjung Institute. Budiardjo, Miriam, 2014. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama. -------------------------, ed., 1982. Masalah Kenegaraan, Jakarta, Gramedia Chilcote, R.H., 2003. Teori Perbandingan Politik: Penulusuran Paradigma, Jakarta, Rajawali Pers.. Dahl, Robert A., 2001. Perihal Demokrasi; Menjelajahi Teori dan Praktik Demokrasi Secara Singkat, alih bahasa: A. Rahman Zainuddin, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia 283 Deslatama, Yandhi, “Ini Gejala Oligarki Politik yang Merasuk Indonesia”, http://news.liputan6.com/, diakses tanggal 17 Juli 2016. Huntington, Samuel P., 1991. Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta, PT. Intermasa. ------------------------------, 1997. Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta, Grafiti. Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)”, http://kbbi.web.id/politik, diakses pada 18 Juli 2016. M.D., Moh. Mahfud, 2003. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta, Rineka Cipta. ----------------------------, 2011. Membangun Politik Menegakakkan Konstitusi, Jakarta, Rajawali Pers. ----------------------------, 1998. Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, LP3ES. Mayo, Henry B., 1960. An Introduction to Democratic Theory, New York, Oxford Univercity Press. Meyer, Thomas, 2012. Peran Partai Politik dalam Sebuah Sistem Demokrasi: Sembilan Tesis, Jakarta, Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Kantor Perwakilan Indonesia. Mill, John Stuart, 2005. On Liberty (Perihal Kebebasan), Alih Bahasa: Alex Lanur, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. Nawawi, Juanda, “Demokrasi dan Clean Governance”, http://www.resepkita.comforum/ diakses tanggal 16 Juli 2016. Pamungkas, Sigit, “Ternyata Tingkat Partisipasi dalam Pilpres Menurun Dibandingkan Pileg”, http://nasional.kompas.com/, diakses tanggal 16 Juli 2016. Purnama, Eddy, 2007. Negara Kedaulatan Rakyat; Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-negara Lain, Malang, Nusa Media. Randireksa, Hendarmin, 2007. Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung, Fokus Media. Ruslan, Heri, “Inilah 3 Penyebab Rendahnya Partisipasi http://nasional.republika.co.id/, diakses tanggal 16 Juli 2016. Politik”, S., Bondan Gunawan, 2007. Apa itu Demokrasi, Jakarta, Sinar Harapan. Soebagio, 2009. “Distorsi Dalam Transisi Demokrasi Di Indonesia”, Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 13, No. 2 Desember 2009, Tanggerang: Universitas Islam Syekh Yusuf. Sorensen, Georg, 2003. Demokrasi dan Demokratisasi; Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah, alih bahasa: I Made Krisna, Yogyakarta, Pustaka Pelajar 284 Strong, C.F., 2004. Konstitusi-konstitusi Politik Modern; Kajian tentang Sejarah & Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia, alih bahasa: SPA Teamwork, Bandung, Nuansa & Nusamedia. Syahrizal, Ahmad, 2006. Peradilan Konstitusi; Suatu Studi tentang Ajudikasi Konstitusional Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, Jakarta, P.T. Pradnya Paramita. Wikipedia bahasa Indonesia, “Politik”, https://id.wikipedia.org/wiki/Politik, diakses pada 18 Juli 2016. BIODATA PENULIS Muhammad Fauzan Azim, S.HI. M.H., lahir di Lasi Mudo Nagari Lasi Kecamatan Canduang Kabupten Agam pada 13 Maret 1981, dari pasangan keluarga petani H. Damanhuri Labai Nan Basa dan Hj. Djusmar. Bungsu dari delapan bersaudara ini mengawali pendidikan formal di Sekolah Dasar Negeri Nomor 18 Lasi Mudo pada 1989-1995, Madrasah Tsanawiyah Swasta-Madrasah Tarbiyah Islamiyah Canduang pada tahun 1995-1999 serta di sekolah yang sama untuk tingkat Aliyah pada 1999-2002. Memulai pendidikan tinggi di Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol Padang pada 2002-2007 dengan konsentrasi kajian Jurusan Hukum Pidana dan Tata Negara Islam, pada 2008. Berkesempatan untuk melanjutkan studi Ilmu Hukum di Program Pascasarjana Universitas Andalas dan menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas pada 2012. Sejak 2014, kembali melanjutkan studi pada Doktor Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas. Semasa menjadi Mahasiswa pernah menjabat sebagai Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol Padang periode 2005-2006. Selain itu pernah juga terlibat dalam organisasi Forum Mahasiswa Syari’ah se-Indonesia (FORMASI). Hingga saat ini, sehari-hari menekuni profesi sebagai Advokat yang konsen di bidang hak asasi manusia pada Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Wilayah Sumatera Barat. Selain itu, aktivitas sehari-hari yang digeluti sebagai Dosen Tidak Tetap pada Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Imam Bonjol Padang dalam mata Kuliah Politik Hukum dan Bantuhan Hukum & Kebijakan Publik. 285 PROSES PEMILIHAN KETUA PARTAI YANG DEMOKRATIS ABSTRAK: Pemilihan ketua umum partai politik yang demokratis adalah mimpi segenap masyarakat bangsa. Ketua umum partai laksana nahkoda yang kemana saja arah yang ia tujukan selalu menjadi rujukan utama. Maka proses pemilihan ketua umum partai yang demokratis menjadi sebuah keniscayaan yang menjadi obat bagi kegundahan masyarakat. Di dalam Wikipedia kata demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang dimana semua warga Negara memiliki hak dalam mengambil keputusan. Maka, jika proses pemilihan ketua umum partai yang terbuka dan transparan untuk kepentingan publik menjadi hal yang sangat dirindukan. Semua berhak dipilih dan memilih. Hanya dalam perjalanannya partai politik memiliki banyak cara yang tidak menjunjung tinggi nilai demokratis itu. Partai politik selalu punya cara menterjemahkan pola demokratisasi tetapi dalam prakteknya jauh panggang dari api. Partai politik dengan mudah membahasakan demokratis tetapi pada faktanya demokratisasi yang digaungkan hanya menjadi ilusi saja. Mengapa demikian, partai politik di Indonesia didirikan banyak yang hanya demi kepentingan pendiri saja dan pada akhirnya menjurus kepada sebuah perusahaan pribadi, kepentingan pribadi, dan mobil penggerak pribadi. Akhirnya partai politik tidak lagi menjadi wadah bagi penggiat politik yang ingin mendedikasikan diri dalam kepentingan politik. Maka untuk sampai pada titik demokratis, partai politik harus membuka diri untuk publik. Saat yang bersamaan partai politik membuka diri, segenap komponen masyarakat juga berjuang keras terlibat sebagai pengawas baik formal maupun informal untuk menjadi penyeimbang dalam konteks pengawasan. Ketika dua kutub partai politik dan masyarakat saling terbuka maka lahirlah proses demokratisasi yang diharapkan. Hal ini tinggal menunggu kemauan partai politik saja. Masyarakat tentu dengan senang hati dalam melakukan pengawasan demi terciptanya demokratisasi proses pemilihan ketua umum partai politik. Ketua umum partai, saat yang bersamaan menjadi penggerak partai dan saat yang bersamaan pula menjadi tokoh yang berdiri di depan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat bangsa. Muhammad Husen Db, Panwas Jakarta Pusat. HP. 0812 5356187 email. [email protected] 286 PROSES PEMILIHAN KETUA PARTAI YANG DEMOKRATIS Oleh: Muhammad Husen Db. (Anggota Panwas Jakarta Pusat) Kata Kunci: Partai Politik, Ketua Umum, Demokratis. Pendahuluan. Dalam membuat sebuah keputusan selalu memiliki tujuan umum dan tujuan khusus. Sebagai contoh penetapan peraturan, selalu ada konsiderans menimbang, mengingat dan memutuskan. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam menentukan sesuatu harus berlandaskan tujuan. Tujuan yang dimaksud agar dapat dijadikan landasan dasar dalam melakukan kegiatan itu. Indonesia adalah Negara maju yang telah mengadopsi sistem demokratisasi. Sebagai sebuah Negara yang mempunyai pilihan lain, yaitu pilihan soal kebebasan pers. Dalam konteks ini, maka tema besar soal proses pemilihan ketua umum partai yang demokratis memberikan catatan penting untuk dibedah dan dipetakan secara mendalam agar terbuka dan bisa diakses publik. Peta konsep terhadap tema ini akan di rumuskan dalam beberapa bagian. Bagian pertama, Proses pemilihan ketua partai. Kedua, Demokratis. Dan yang ke tiga, rekomendasi peran pengawasan terhadap pemilihan yang demokratis. Bagian Pertama, Proses pemilihan ketua umum partai. Partai politik sebagaimana banyak disebutkan sebagai wadah paling banyak mencetak generasi menjadi pemimpin di Negeri yang kita cintai ini, Indonesia. Partai politik memiliki gerakan kekuatan tersendiri dalam pengaruhnya terhadap kebijakan pemerintah. Partai politik memiliki peran kuat dalam sistem ketatanegaraan kita. Partai politik juga disiapkan untuk mewadahi masyarakat dalam melakukan peran representatif. Sebagaimana peran partai politik yang memiliki wadah di lembaga Legislatif sebagai representasi suara rakat. Sederhananya, partai politik adalah wadah yang sangat penting. Peran, tugas dan fungsinya memberikan dampak yang sangat strategis untuk kepentingan bangsa ini. Sebagaimana amanat UU No. 2 Tahun 2011 tentang perubahan UU No. 2 Tahun 2008 tentang partai politik, menegaskan bahwa perlu ada penguatan pelaksanaan demokrasi dan sistem kepartaian yang efektif, maka diperlukan penguatan kelembagaan serta peningkatan fungsi dan peran partai politik. Maka kebaikan partai menjadi kebaikan bangsa, begitu pula sebaliknya. Dengan gambaran partai politik ini maka secara internal partai harus memiliki visi dan misi yang juga sama sebagaimana misi besar bangsa ini. Pada bagian ini setidaknya ada beberapa poin yang menjadi fokus pembahasan: a. Partai Politik Di dalam diri partai politik terpola nilai kompetisi. Pola ini yang diterjemahkan menjadi sarana untuk menunjukkan sekaligus cara tepat untuk meraih posisi yang paling strategis, termasuk posisi ketua umum. 287 Proses kompetisi yang terjadi memiliki dinamika tersendiri yang banyak kalangan cenderung kesulitan melakukan pembacaan terhadap pelaksanaan yang terjadi dalam proses pemilihan. Desain ini yang secara faktual terjadi pada segenap partai politik. Maka terlihat dengan jelas bahwa proses kepemimpinan yang terjadi di partai politik telah terlatih dengan baik. Partai politik memiliki kompetensi dalam menyikapi sebuah masalah menjadi kekuatan sekaligus melahirkan teori teori baru cara penyelesaian masalah. Hal ini yang tidak banyak di lakukan oleh lembaga lain. Oleh karena itu partai politik sering menggaungkan kalimat seni kemungkinan. Tidak ada yang pasti, yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri. Menurut Mariam Budiardjo dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik 2008, bahwa teori politik adalah bahasan dan generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Maka konsep teori politik mencakup, masyarakat, kelas sosial, Negara, kekuasaan dan lainnya. Teori politik inilah yang memberikan banyak catatan penting untuk masuk kedalam sistem pemilihan ketua umum partai yang harus demokratis. Sutradara Gintings juga menjelaskan bahwa menurut UU No. 31 tahun 2002, terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa partai-partai harus menyesuaikan diri sembilan bulan setelah undang-undang partai politik yang baru di berlakukan mulai tanggal 27 Desember 2002. Jika tidak maka partai politik tidak akan diakui eksistensinya. Hal ini yang menjadi catatan penting untuk di pahami dan dijalani oleh semua partai politik. b. Proses Pemilihan Dalam proses pemilihan ketua partai politik cenderung berbeda beda dari setiap masing-masing partai politik. Pemilihan langsung, keterwakilan, formatur, bahkan ada yang memilihi cara yang lain. Semua pola ini adalah cara partai politik melakukan proses seleksi pemilihan ketua partai politik. Apapun namanya proses ini yang akan menghantarkan seseorang menjadi ketua partai politik. Jika partai politik yang telah memiliki banyak pengalaman yang melakukan proses ini, maka tentu juga memiliki banyak cara juga dalam proses ini. Tidak jarang masyarakat tercengang melihat proses pemilihan ketua partai sebagaimana pemilihan ketua kelas, bentuknya hanya penunjukkan. Tetapi, banyak saja partai yang bentuk pemilihannya penuh dengan luapan energi yang sangat besar. Pikiran, tenaga, bahkan uang menjadi taruhan dalam proses pemilihan ini. Oleh karena itu, untuk menjadi ketua partai yang prosesnya memiliki sistim kompetisi yang ketat maka tentu akan melahirkan pemimpin kuat dan berwibawa. Sebaliknya, ketika proses yang dilalui tidak sebagaimana proses yang ideal, maka juga akan lahir pemimpin yang juga tidak ideal. c. Fungsi Ketua Sejatinya, ketua memiliki peran strategis yang dapat menunjuk jalan yang harus dilalui semua anggotanya. Dalam konteks ini maka, ketua memiliki visi misi besar yang dapat menggawangi semua kebutuhan partai itu. Ketua menjadi nahkoda sekaligus leader yang punya titik pandang yang sangat 288 jauh kedepan. Dengan segenap kemampuan dan menejerial yang baik. Karena partai politik butuh pemimpin yang sangat tangguh dan teruji. Menahkodai partai politik tidak semudah yang dibayangkan banyak orang. Saat yang bersamaan menjadi raja bertahta, tetapi saat yang bersamaan menjadi alas dan objek pelampiasan kemarahan bagi anggotanya. Maka, dalam konteks ini, ketua partai tentu wajib menjadi aktor komprehensif dalam menahkodai partai. Lain halnya jika ketua hanya sebagai boneka pajangan yang mengurusi hal teknis atau bahkan hanya menjadi topeng bagi aktor lain. Ini dua hal yang berbeda. Jika ketua yang kita sebut dengan ketua ideal yang saat pemilihan ketua partai memiliki proses yang ideal dan ketua partai yang hanya ditunjuk oleh pemilik partai. Dua hal ini akan berpengaruh kepada bagaimana cara memimpin. Ketua yang ideal dengan segudang visi dan misinya dan ketua yang ditunjuk hanya berjalan jika ada suruhan. Maka akan berdampak juga pada proses demokratisasi terhadap cara dan strategi memimpin. Semakin demokratis proses pemilihannya, semakin baik pula cara partai melakukan proses kaderisasi. Kaderisasi yang mengarah kepada bagaimana partai politik mewadahi generasi dalam melakukan proses demokratisasi untuk membangun Indonesia yang semakin baik. Ketua partai yang demokratis sejatinya menjadi dokter yang meramu semua kepentingan menjadi sebuah kekuatan bagi partai sekaligus bagi bangsa. Bagian Kedua, Demokratis. Menurut Sutradara Gintings dalam bukunya Jalan Terjal Menuju Demokrasi 2006, bahwa gairah politik terasa begitu meningkat ketika pemilihan umum tahun 1999. Ini terjadi karena pemilihan sebelumnya tidak terasa ada proses bebas, jujur dan adil. Hal ini mengajarkan kita bahwa proses bebas adalah proses demokratisasi. Maka gairah politik ini harus diterjemahkan sebagai bagian penting sejarah yang harus dijunjung tinggi. Kata Demokratis adalah bebas dan terbuka. Jika dimaksudkan untuk partai, maka partai harus membuka diri dan memberikan kebebasan kepada kader dalam melakukan ekspansi baik pikiran, gagasan dan gerak. Ini mengarah kepada partai sebagai wadah ekspresi dan ruang didik bagi kader untuk berikhtiar dalam melakukan terobosan dalam dunia politik. Sejarah berdirinya partai politik di Indonesia memiliki dinamika sendiri sendiri. Diantara dinamikanya adalah soal sistem pemilihan ketua Partai. Ada partai yang sejak awal didirikan dan langsung menjadi ketua partai dari sang pendiri. Sementara banyak juga partai yang sudah berganti ganti ketua partainya. Sebelum jauh membahas soal partai ini, Penulis ingin juga menyebutkan beberapa tokoh ketua partai yang sudah selesai menjadi ketua partai maupun saat ini masih sedang menjabat sebagai ketua partai politik. Partai Golkar, Akbar Tanjung, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, Setya Novanto. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Mega Wati. Partai Persatuan Pembangunan, Surya Darma Ali, Jan Farid dan Romahurmuzi (Masih Sengketa). Partai Amanat Nasional, Amin Rais, Sutrisno Bachir, Hatta Rajasa, Zulkifli Hasan. Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, Anas Urbaningrum, Susilo Bambang Yudhoyono. Partai Gerindra, Suhardi, Prabowo Subianto. Partai Hati Nurani Rakyat, Wiranto. 289 Partai NasDem, Patrice Rio Capella, Surya Paloh. Partai Keadilan Sejahtera, Tifatul Sembiring, Lutfi Hasan Ishaq, Anis Matta, Muhamad Sohibul Iman. Partai Kebangkitan Bangsa, Gusdur, Muhaimin Iskandar. Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra, MS. Ka’ban, Yusril Ihza Mahendra. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Sutiyoso. a. Golkar (Golongan Karya) Sejak dari kepemimpinan Akbar Tanjung sampai kepada Setya Novanto saat ini, Golkar membuktikan sekaligus mengajarkan public soal cara berpolitik dan cara meraih tampuk pimpinan di partai yang sangat senior ini. Tidak ada yang memungkiri bahwa Golkar telah banyak menorehkan pola dan gaya berpolitik sebagaimana cara melakukan terobosan dan taktik yang banyak orang terperanga melihat cara Golkar melakukan seleksi memilih ketua partai. Berkompetisi penuh high strategy yang tidak banyak orang paham. Hanya orang lihai yang mampu bertarung mendapatkan tampuk ketua partai di partai beringin ini. Rasanya banyak partai lain yang didirikan oleh kader yang sebelumnya berada di partai Golkar. Dari prosesnya, Golkar terlihat dan terkesan sangat tinggi performance-nya dalam melakukan proses pemilihan ketua umum. Hingga tidak salah jika Golkar mendapatkan julukan partai paling senior dalam sejarah kepartaian di Indonesia. Maka bicara soal demokratis, partai Golkar sangat demokratis dan sangat terbuka. Golkar telah mengajarkan banyak tokoh di negeri ini untuk bagaimana cara melakukan seleksi proses demokratisasi dan keterbukaan. b. PDIP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai ini dari awal memiliki icon Soekarno menjadi tokoh sentral. Hingga pada akhirnya Megawati sebagai tokoh sekaligus darah Soekarno yang menjadi ketua pada partai ini. Meski dalam perjalanannya memiliki riak riak perubahan kepemimpinan, tetapi pada akhirnya sampai saat ini masih dalam kendali Megawati sebagai tokoh sentral dalam partai ini. Bicara soal demokratisasi, PDIP memiliki terjemahan soal demokratis. Apakah Megawati menjadi ketua partai selama dua hingga tiga periode ini adalah demokratis atau bahkan sebaliknya. Jika iya, maka partai ini perlu melakukan kaderisasi yang jauh lebih kokoh untuk mempersiapkan kader dalam melakukan penguatan partai dalam soal kepemimpinan. Kepemimpinan yang dimaksud adalah mempersiapkan kader untuk menggantikan Megawati yang akan mungkin bukan dari darah Soekarno. Jika pola kepemimpinan masih berada di jalur darah Soekarno, maka tentu demokratisasi yang menjadi poin penting dalam menerjemahkan demokratisasi masih dalam ilusi. c. PPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sedari awal mengambil komunitas muslim sebagai basis massa. Konsep ini menguat dengan ka’bah sebagai lambang dan jalur serta misi perjuangan partai. Dinamika partai ini dalam 290 perjalanannya terkesan stabil dan berjalan baik. Hingga beberapa tahun belakangan sejak kepemimpinan Surya Darma Ali mendapat beberapa gejolak dan hingga saat ini partai masih dalam sengketa dan masih berproses hukum antara Romahurmuzi dan Djan Farid. Lepas dari itu semua bahwa dalam konteks demokratisasi dan keterbukaan, partai ini juga telah banyak menunjukkan titik keterbukaan dan demokratis. Demokratis yang dimaksud adalah dalam sistim pemilihan ketua partai, masih mengedepankan pola selektif dan kompetitif. Semua kader punya kesempatan untuk menjadi ketua umum dan siap memilih siap dipilih. Tokoh senior seperti Mbah Maimun memposisikan dirinya sebagai tokoh pengayom yang terus memberikan isyarat agar partai ini untuk berislah dan terus memperjuangkan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan egoisme kelompok. Maka bicara soal demokratisasi pemilihan ketua umum, partai ini masih punya naluri itu. d. PAN Partai Amanat Nasional (PAN), memiliki slogan partai reformis. Tokoh Amin Rais menjadi penggerak sekaligus inisiator pendirian partai ini. Berbasis masa Muhammadiyah, partai ini berkibar dan bergerak. Dalam sejarahnya, Amien Rais sebagai pendiri sekaligus sebagai Ketua Umum pertama partai ini. Dinamika ini yang sejak awal menjadi cerita yang berbeda dalam menerjemahkan bagaimana partai dalam melakukan pola demokratisasi. Amin Rais dalam ketokohannya dipartai ini banyak mengambil peran dalam pengawasan partai. Soal pemilihan ketua umum partai, Amin Rais sangat mengambil peran. Maka tidak jarang ketua umum partai ini harus mendapat restu dari Amin Rais. Maka jika ditarik kesimpulan dalam konteks demokratisasi pemilihan ketua umum partai, memiliki quozi sistem pemilihannya. Saat yang bersamaan mendedikasikan diri sebagai partai reformis yang mengedepankan demokratisasi, saat yang bersamaan mengedepankan Restu Amin Rais dalam konteks subjektifitas. e. Partai Demokrat Partai Demokrat berlambang mercy memiliki pesona tersendiri. Tokoh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sebagai pendiri sekaligus menjadi pengikat bagi karier partai ini. Sejak berdirinya mendapat banyak respon positif dari masyarakat, tidak hanya sosok SBY tetapi juga soal gagasan perubahan. Berdirinya partai ini menjadi antitesa terhadap keterpurukan partai sebelumnya yang telah banyak mendapatkan resistensi masyarakat soal korupsi yang sangat menggurita. SBY hadir sebagai tokoh muda, gagah dan menawan, good looking, dengan gagasan barunya menjadi obat baik bagi masyarakat yang haus akan perubahan dan perbaikan. Dalam perjalanan banyak mengakomodir tokoh tokoh muda, aktifis yang gandrung akan perubahan. Dengan itu, partai ini akhirnya menjadi pemenang pemilu tahun 2009. Dengan banyak perubahan yang ada partai ini kemudian banyak memberikan kesempatan kepada tokoh muda dalam konteks kepemimpinan. Terbukti, tokoh muda Anas Urbaningrum didaulat menjadi ketua umum dalam pemilihan umum partai mercy ini. Entah bagaimana 291 cerita, tidak terlalu lama, sang ketua mendapat banyak guncangan gerakan politik. Dalam pembacaan media, justru Anas Urbaningrum berseteru kencang dengan pendiri sekaligus gurunya yaitu SBY. Dalam menterjemahkan demokratisasi, tentu partai ini punya pola sendiri, hanya saat ini SBY kembali menjadi ketua umum partai ini menunjukkan bahwa partai ini masih dalam awas sang pendiri. Semoga proses demokratsisasi yang menjadi pijakan proses politik negeri ini dapat di ejawantahkan secara baik dan terbuka. f. Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) Tokoh partai ini adalah Prabowo Subianto. Sang Komandan Pasukan Khusus era Soeharto. Berkarisma dan penuh percaya diri dalam melakukan pemetaan terhadap pembangunan bangsa. Punya banyak pengalaman dalam kemiliteran menjadikan ia teguh dalam menyampaikan gagasan keindonesiaan. Gagasan yang menguat pada persoalan pangan dan keamanan. Gerakan yang memiliki karakteristik lambang burung elang yang menjadi lambang partai ini. Raungan burung elang ini menitikberatkan pada eksistensi bangsa ini sebagaimana sejarah lama yang di bangun oleh Soeharto. Kekuatan Indonesia dalam soal jati diri bangsa cukup diperhitungkan bangsa lain. Hal lain yang tidak kalah penting adalah sosok Soeharto juga punya catatan kelam yang masih menjadi resistensi masyarakat yang juga menjadi buah pahit bagi Prabowo. Meski demikian, Prabowo dapat menghantarkan partai ini diperhitungkan oleh partai lain. Catatan penting yang menjadi sorotan partai ini soal demokratisasi pemilihan ketua umum, sebagaimana konsep militer, partai ini masih dalam genggaman Prabowo sebagai tokoh utama. Akhirnya meskipun Prabowo tidak menjadi ketua umum partai, tetapi dalam konteks keputusan dan penokohan masih dalam genggaman Prabowo. g. PKS Partai Keadilan Sejahtera, Partai yang mengusung penguatan kaderisasi internal. Partai ini sejak awal berdirinya ber-fatsun Islam dan gerakan (Harakah Islamiyah). Melakukan pembinaan internal sampai pada tingkat anak anak sekolah. Tidak jarang kaderisasi dimulai dari anak-anak SMA dan sederajat. Banyak kajian islam yang juga dititikfokuskan kepada Mahasiswa dan bergerak dikampus kampus. Hingga banyak anggota yang terlibat dari militansi kampus yang tergolong muda dan energik. Partai ini terus melakukan pembinaan dan pengkaderan yang tidak henti, bahkan dalam banyak kesempatan dalam memilih pemimpin di internalnya dengan pola musyawarah ala islam. Ini persoalan internal yang banyak orang melihat dan memandang dari luar. Karena proses kaderisasinya berjalan baik, maka sampai pada pemilihan ketua umum partaipun selalu berjalan baik. Dengan pola itu, maka dalam menerjemahkan proses pemilihan ketua umum yang demokratis tentu bisa dijadikan contoh. Dewan syuro sebagai lembaga yang memberikan arahan dan saran pun melakukan tupoksinya dengan baik. Dengan menerjemahkan proses pemilihan yang demokratis, tentu partai ini 292 punya cara yang dapat memberikan gambaran bahwa cara musyawarah-lah yang dapat menghantarkan proses pemilihan ketua yang memimpin partai untuk bersaing dengan partai lain dalam kontestasi pergumulan peran partai di Indonesia. Pola baik ini terjadi di internal partai ini, namun bicara soal demokratisasi tentu punya pola lain yang tentu harus menjadi konsumsi public sebagai lembaga terbuka yang memberi garansi terhadap pola itu. Semakin demokratis jika semakin terbuka dan transparan untuk diketahui dan di baca publik. Maka partai ini dalam melakukan proses demokratisasi dalam pemilihan ketua partai tidak hanya konsumsi internal tapi juga harus disuguhkan kepada public untuk mendapatkan respon terhadap proses demokratisasi. Publik tentu ingin terlibat secara aktif melihat dan memantau proses demokratisasi pemilihan ketua partai, karna ketua partai adalah pejabat publik yang kepentingannya tidak hanya untuk internal partai itu. h. Hanura Hati Nurani Rakyat. Wiranto adalah pendiri sekaligus ketua umum partai. Berbekal pengalaman sebagai panglima TNI di era Presiden Soeharto, ia ingin melakukan terobosan untuk terlibat secara aktif pada partai politik. Meski banyak pengalaman dalam memimpin pasukan namun Wiranto harus banyak bekerja keras. Partai tentu berbeda dengan pasukan, sistem instruktif dan sistem demokrasi yang penuh dengan dialogis harus seimbang. Dengan kepiawaiannya partai ini masih bertahan dalam pemilu 2014 dan dapat mengusung dua menterinya yang duduk di kabinet Joko Widodo. Ketika bicara soal demokratisasi pemilihan ketua umum, partai ini belum banyak melakukan perubahan. Sejak berdiri sampai dengan saat ini, Wiranto masih memegang dan duduk sebagai ketua umum partai. Ini membuktikan bahwa partai ini masih dalam proses menuju demokratisasi. Jika demokratis yang dimaksud adalah terbuka untuk umum, maka partai ini masih butuh banyak langkah menuju ke arah itu. Proses demokratisasi harus menjadi target untuk memberikan kesempatan kepada kader penerus. Stagnasi proses demokratisasi banyak tidak berjalan baik hanya karena kemauan dari tokoh tokoh pendiri. Tokoh pendiri harus segera berbenah untuk menghantarkan anak bangsa menjadi aktor yang menahkodai partai sebagai bagian penting dalam proses dinamisasi partai politik di Negeri ini. Semakin cepat partai berbenah diri menuju demokratisasi khususnya soal pemilihan ketua umum, maka semakin cepat pula partai bersaing dengan partai lain dalam kontestasi pemilu. Pemilu akan menjadi bukti nyata bagi partai dalam proses seleksi terhadap eksistensi partai. Saat itulah pembuktian partai terhadap masyarakat bangsa. i. NasDem Nasional Demokrat adalah partai berslogan Gerakan Perubahan – Restorasi Indonesia. Restorasi memiliki makna melakukan perubahan atas sesuatu. Perubahan yang dimaksud adalah merubah tatananan kebangsaan yang belum baik menjadi baik. Gerakan ini yang terus menjadi isu sentral dalam 293 semua pola dan strategi dalam proses demokratisasi partai. Fokus pada persoalan kepemimpinan pada tingkat puncak atau kita sebut dengan ketua partai ini, maka kita tentu menbaca dengan berbagai kacamata yang mendeskripsikan pola gerak partai ini. Partai ini sejak berdirinya menyuguhkan banyak gebrakan dalam banyak hal. Media politik Indonesia banyak memberikan wadah untuk partai ini dalam melakukan gerakan penguatan informasi publik, hingga publik dengan cepat melihat dan menerima partai ini. Partai ini dengan cepat menjadi satu satunya–satunya partai baru yang terlibat menjadi peserta pemilu pada tahun 2014 yang lalu. Diawal berdirinya sebagai partai, ia memiliki peran dan nilai baik dalam proses pemilihan ketua umum partai. Di awal pendiriannya, Rio Capella di daulat menjadi ketua umum partai. Ini menandakan keterbukaan dan transparansi, hal ini terjadi karena sang pendiri Surya Paloh tidak langsung bertindak sebagai ketua partai. Proses ini tidak berjalan mulus, terbukti pada akhirnya Surya Paloh sebagai pendiri partai ini didaulat oleh pengurus pusat dan wilayah sebagai ketua umum partai. Hal ini memberikan isyarat bahwa partai ini dalam soal pemilihan ketua yang demokratis masih dalam tahap proses. j. PKB Partai Kebangkitan Bangsa. Partai ini sejak awal Gusdur sebagai tokoh sentral. Dalam perjalanan, Muhaimin Iskandar sebagai tokoh muda melakukan perubahan dan sekaligus menjadi tokoh pengganti Gusdur dalam tampuk kepemimpinan partai ini. Warga Nahdatul Ulama (NU) sebagai basis dari partai ini, diawal terjadi pemindahan kepemimpinan mendapatkan guncangan yang cukup besar. Gusdur dengan karismatik keUlamaannya, sementara Muhaimin tampil sebagai tokoh muda yang ingin membawa partai ini bergerak laju. Dengan kepiawaian Muhaimin, ia dapat menghantarkan partai ini bisa mendapatkan banyak kursi di legislatif yang pada akhirnya banyak mendudukkan kadernya menjadi menteri pada era Presiden Joko Widodo. Bicara Soal demokratisasi pemilihan ketua umum yang demokratis, partai ini belum melakukan itu. Sebagaimana sejarah kepemimpinan Muhaimin dengan proses pengambilalihan. Setelah periode pertama usai menuju ke periode kedua, partai ini masih mengusung Muhaimin sebagai ketua umumnya. Ini mengisyaratkan bahwa partai ini masih dalam awas Muhaimin. Maka jika bicara soal demokratisasi pemilihan ketua umum, partai ini mungkin sedang mencari pola. Semoga tetap segera mendedikasikan dirinya menjadi partai yang mengususng proses demokratisasi pemilihan ketua umum partainya. k. PBB Partai Bulan Bintang. Partai ini mengusung Yusril Ihza Mahendra sebagai tokohnya. Sepak terjang sang tokoh banyak memberikan efek positif dalam kemandirian partai ini. Pada kepemimpinan Yusril, partai ini mendapat banyak perhatian masyarakat. Yusril sebagai tokoh muda yang cerdas, pakar hukum yang banyak melakukan terobosan soal hukum ketatanegaraan Indonesia. Dengan itu partai ini bisa bersaing baik bersama 294 partai lain. Berakhir kepemimpinan Yusril, partai ini banyak mengalami perubahan. Hal lain yang juga menjadi catatan partai ini, karena banyak bergantung kepada sang tokoh, partai ini terkesan terseok seok dalam melakukan gerakan mengambil hati masyarakat. terbukti tahun 2014 tidak mengantarkan kadernya untuk duduk di DPR RI. Ini memberi isyarat bahwa partai ini sedang dalam masalah. Ketidaksiapan kader dalam mengambil peran untuk melanjutkan kepemimpinan Yusril menjadikan partai ini terjadi krisis dan pada akhirnya Yusril juga yang harus kembali memegang tampuk pimpinan partai ini untuk kedua kalinya. Apalah daya partai ini sudah banyak di tinggal pergi, energinya sedang mengalami dehidrasi. Bicara soal pemilihan ketua umum yang demokratis, partai ini seperti sedang malakukan penguatan kader untuk sampai pada mendapatkan cara untuk memilih sosok pemimpin setidaknya seperti Yusril atau bahkan lebih progresif dari itu. Untuk sampai pada memilih, mungkin belum karena harus mencari kandidat yang berkekuatan lebih dahsyat untuk menahkodai partai ini. Semoga sampai pada sistem demokratisasi yang diidamkan banyak kalangan. l. PKPI Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, adalah sosok Sutiyoso yang menjadi aktor pendiri dan sekaligus penggeraknya. Berbekal militer dan berpengalaman menjadi Gubernur DKI, ia melakukan ekspansi untuk juga berperan menjadi pendiri partai ini. Partai ini terlihat sedang berusaha keras untuk juga bersaing dengan partai lain. Hanya untuk melakukan gerakan dalam meraih hati masyarakat tidak semudah yang dibayangkan. Oleh karenanya, partai ini sedang berupaya keras untuk membesarkan partai. Bicara soal pemilihan ketua umum yang demokratis, partai ini tentu juga sama masih dalam tahap mencari kandidat yang harus lebih tangguh untuk menahkodai partai ini. Publik tentu menanti gerakan yang sedang disusun partai ini untuk menjadi gerakan besar yang dapat memberikan kesan sekaligus kerja nyata untuk kepentingan masyarakat. partai tentu punya cara dan strategi yang sangat baik yang telah disusun, untuk menjadi konsumsi publik harus juga di tunjukkan kepada public untuk diketahui dan dimengerti. Semoga partai ini segera beriringan melakukan proses demokratisasi pemilihan ketua umum partai. Bagian Ketiga, Rekomendasi peran pengawasan terhadap pemilihan yang demokratis. Titik magnet yang menyelaraskan proses pemilihan ketua partai di internal partai dan titik lain yaitu pengawas pemilihan baik internal dan eksternal harus menjadi pendorong dan penguat. Partai politik bukanlah kerajaan yang hanya berurusan dengan dirinya sendiri. Partai politik adalah wadah penggiat politik dalam melakukan gerakan untuk kepentingan bangsa. Dua titik itu yang harus diselaraskan. Partai politik dan kepentingan bangsa. Saat yang bersamaan partai politik melakukan perannya melahirkan kadernya, saat yang bersamaan kadernya diharapkan mampu menjadi obat dalam lara publik. Maka tidak dapat dipisahkan 295 partai politik dan publik. Dalam kepentingan itu, maka peran pengawas menjadi sangat penting. Pengawas bisa siapa saja. Semua komponan masyarakat dapat menjadi pengawas untuk mengawasi semua proses ini hingga menemukan titik fokus kepentingan bangsa. Semua harus punya fokus yang sama untuk dapat menjadi pengawas dalam proses ini. Semua diharapkan melakukan cara masingmasing untuk kepentingan pengawasan ini baik yang berlembaga formal maupun informal. Jika semua ini berjalan serasi maka akan lahir demokratisasi. Demokratisasi inilah yang diharapkan untuk kepentingan pemilihan ketua partai sebagai wujud pertanggungjawaban partai terhadap kepentingan bangsa. Kepentingan bangsa yang didalamnya adalah kepentingan masyarakat bangsa. Pertanyaannya mengapa harus ada rekomendasi? Rekomendasi diperlukan agar prosesnya fokus dan terukur. Untuk melakukan proses demokratisasi harus terbuka sehingga semua bisa akses dan respon. Respon masyarakat luas menjadi garansi terhadap proses demokratisasi pelaksanaan pemilihan ketua partai. Tinggal partai politik secara internal mampu dan mau melakukan ini atau tidak. Partai politik telah bekerja keras untuk mengambil hati rakyat, rakyat telah berharap lama untuk didengar dan dimengerti. Tinggal partai saja yang menerjemahkan ini, karena partai jugalah yang akan mendapatkan efeknya. Semoga partai terus berbenah dalam rangka mewujudkan menuju pemilihan ketua umum partai yang demokratis. Dalam buku Hajriyanto Y. Tohari berjudul Muhammadiyah dan pergulatan politik islam modernis, menjelaskan bahwa Dr. Delier Noer menyatakan Negeri baru seperti Indonesia hanya sejumlah kecil pemimpin yang sering kali justru memainkan peranan penting dalam membentuk gagasan-gagasan rakyat. Penutup. Pada akhir makalah ini, penulis ingin menyimpulkan beberapa hal: Pertama. Pemilihan ketua yang demokratis adalah tergantung pada partai politik itu, apakah ber-fatsun demokratis atau bukan. Hariyanto Y. Tohari juga menjelaskan bahwa politik itu eksklusif dan berkecenderungan saling menolak atau mengeluarkan (mutual exclusion). Maka jika dilihat titik temunya, partai politik harus berjuang keras dalam menetaskan persoalan internal dan saat yang bersamaan berjuang untuk kepentingan rakyat bangsa. Kedua. Partai politik memiliki beberapa pola untuk menjadi ketua umum partai. Tidak semua partai melakukan pemilihan kandidat sebagaimana proses yang ideal, maka harapannya periode selanjutnya harus bisa di gagas untuk dapat demokratis. Ketiga, Partai politik tidak berdiri sendiri, semua yang terjadi untuk ketua umum partai tentu berdampak pada kepentingan masyarakat, maka partai harus menyadari itu sebagai satu kesatuan. Keempat. Partai politik adalah wadah publik yang diperuntukkan penggiat politik dalam melakukan gerakan untuk kepentingan bangsa, maka demokratisasi pemilihan ketua umum menjadi keniscayaan. Kelima. Rekomendasi kepada semua pihak untuk menggunakan perannya dalam melakukan pengawasan terhadap proses pemilihan ketua umum partai agar bisa tercapai proses demokratisasi sebagaimana yang diharapkan. Masyarakat punya kekuatan besar dalam melakukan gerakan massif apakah menerima atau menolak keberadaan partai politik itu. Saat masyarakat menolak maka partai akan hanya 296 menjadi wadah kosong tanpa daya. Hal ini yang paling menjadi mimpi buruk bagi partai politik. Selamat menuju demokratisasi pemilihan ketua umum partai. Daftar Pustaka Budiardjo Miriam, Dasar-dasar ilmu politik. Gramedia Pustaka Utama 2008 Gintings Sutradara, Jalan terjal menuju demokrasi. IPCOS 2006 Tohari Y. Hajriyanto, Muhammadiyah dan pergulatan politik islam modernis. PSAP 2005 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 www.wikipedia.org 297 Rafli Fadilah Achmad ABSTRAK “GAGASAN PENYEMPURNA MUSYAWARAH NASIONAL PARTAI POLITIK SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN TARAF DEMOKRASI BERBANGSA” Negara yang demokratis jika diibaratkan sebagai sebuah gedung yang agung, maka memiliki tiga tiang yang kokoh guna menyangga keagungan gedung tersebut. Partai politik merupakan bagian penting dalam tatanan negara demokrasi sebagai tiang agung yang menjaga marwah kedemokrasian suatu negara bersama dengan tiang perwakilan dan tiang pemilihan umum. Suatu negara tidak dapat dikatakan sebagai negara yang demokratis apabila tidak terdapat partai politik didalamnya. Mengingat Partai Politik adalah tiang demokrasi yang sangat penting, secara internal tentunya Partai Politik haruslah demokratis pula yang salah satunya dibuktikan melalui pemilihan ketua yang menjadi benchmark bagi partai lain, bagi negara Indonesia, atau bahkan untuk negara lain. Permasalahannya Pemilihan Ketua Partai Politik yang didominasi dengan cara Musyawarah Nasional dinilai kurang demokratis karena menuai banyak permasalahan mulai dalam tataran sistem hingga tataran praktik. Makalah ini membahas sekaligus mengkritisi proses pemilihan ketua partai politik dan menyajikan formulasi baru dengan memodifikasi proses Musyawarah nasional dengan menambahkan unsur memprioritaskan merit system, penyelenggaraan oleh KPU, melibatkan institusi negara yang relevan dalam proses seleksi, serta membuat komitmen kepada calon terpilih untuk fokus membina partai bukan untuk menjadi "batu" loncatan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang disempurnakan dengan pendekatan sejarah, dan pendekatan kasus. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa musyawarah adalah suksesi yang paling tepat dalam memilih ketua umum partai politik, akan tetapi masih butuh banyak penyempurnaan agar lebih demokratis. Kata Kunci : Partai Politik, Pemilihan, Ketua Partai, Musyawarah Nasional. Rafli Fadilah Achmad Center For Legislacy, Empowerment, Advocacy, and Research 087887782278 [email protected] 298 “GAGASAN PENYEMPURNA MUSYAWARAH NASIONAL PARTAI POLITIK SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN TARAF DEMOKRASI BERBANGSA” Rafli Fadilah Achmad Kata Kunci : Partai Politik, Pemilihan, Ketua Partai, Musyawaran Nasional BAB I PENDAHULUAN Sistem penyelenggaran kekuasaan negara yang dipandang paling sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern dewasa ini adalah sistem demokrasi. 71 Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “demos” dan “kratos”, Demos memiliki arti meaning the people sedangkan kratos yaitu meaning to rule.72 Ada pula demos diartikan common people73 dan kratos yaitu indicates government or rule.74 Demokrasi secara sederhana diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (democracy is government from people, by people and for people).75 Demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat yang mengandung pengertian bahwa semua manusia pada dasarnya memiliki kebebasan dan hak serta kewajiban yang sama.76 Terlebih lagi memang konsep demokrasi didirikan atas dasar logika persamaan dan gagasan bahwa pemerintahan memerlukan persetujuan dari yang diperintah, dalam hal ini adalah rakyat.77 Itu artinya baik dari segi teoritis maupun praktis demokrasi erat kaitannya dengan prinsip kedaulatan rakyat, dimana sistem penyelenggaraan negara yang demokratis itu menjamin bahwa rakyat terlibat secara penuh dalam Jimly Asshiddiqie (1), Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, edisi revisi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hlm.114. 72 Leon P. Baradat, Political Ideologies, (New Jersey: Prentice Hall Inc., 1984), p. 60. 73 15Grolier, The Grolier International Dictionary, (Dunbury: Grolier Incorporated, 1988), Vol.1, hlm. 351. 74 Ibid., hlm. 351. 75 U.S Department of State’s Bureau of International Information Programs, “Defining Democracy”, http://www.ait.org.tw/infousa/zhtw/docs/whatsdem/whatdm2.htm, diunduh pada 10 Juli 2016. 76 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ensiklopedi Nasional, Jilid 4, (Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1989), hlm. 293. 77 Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi: Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat, diterjemahkan oleh A.Rahman Zainuddin, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 2. 71 299 merencanakan, mengatur, dan mengawasi serta menilai pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan.78 Indonesia sebagai negara yang merdeka dengan tegas menganut paham kedaulatan rakyat dengan menuangkannya dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Sebagai salah satu bentuk tindak lanjut dalam mengakomodir kedaulatan dan keterlibatan rakyat tersebut, maka dari itu dituangkanlah dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur mengenai jaminan kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat di Indonesia. Ketentuan senada pun sejatinya terlihat dalam dokumen internasional yang tertuang dalam konferensi International Commision of Jurirsts di Bangkok pada tahun 1965 yang menjadikan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat sebagai ciri utama negara yang memiliki pemerintahan demokratis di bawah Rule of Law.79 Dengan diaturnya kebebasan berserikat dalam kedua ketentuan diatas, dapat diketahui bahwasannya kebebasan berserikat telah diakui dan disepakati sebagai bagian yang penting di negara Indonesia secara khusus dan masyarakat global secara umum sehingga perlu diatur secara tegas dan spesifik. Pada dasarnya kebebasan berserikat lahir dari kecenderungan dasar manusia untuk hidup bermasyarakat dan berorganisasi baik secara formal maupun informal.80 Hal ini sejalan dengan pendapat Aristoteles yang mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang kodratnya untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain karena masing-masing manusia tidak mampu hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain.81 Menurut Prof. Jimly kecenderungan tersebut merupakan suatu keniscayaan, dimana kehidupan berorganisasi timbul untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang sama dari individu-individu serta untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan persamaan pikiran dan hati.82 Namun, dalam faktanya selalu saja terdapat jarak antara rakyat yang berdaulat tersebut dengan penyelenggara negara itu sendiri. Maka dari itu, konsep abstrak kebebasan berserikat perlu dikonkretifikasi sehingga diperlukan suatu institusi dan mekanisme khusus yang menjamin kebebasan berserikat tersebut. Institusi dan mekanisme itu termanifetasi dan terinternalisasi kepada tiga hal yakni lembaga perwakilan, partai politik dan pelaksanaan pemilihan umum secara berkala.83 Lembaga perwakilan, partai politik, dan pemilihan umum merupakan Jimly Asshidiqie (1) , loc.cit. South-East Asian and Pacific Conference of Jurists, Bangkok, February 15-19, 1965, The Dynamics Aspect of The Rule of Law in The Modern Age, (Bangkok: International Commission of Jurists, 1965), hlm.39-50. 80 Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai Politik dalam Pergulatan Republik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm.14. 81 Herbert Gintis and Carel van Schail, “Zoon Politicon: The Evolutionary Roots of Human Sociopolitical Systems”, http://tuvalu.santafe.edu/~bowles/Gintis.pdf, diunduh pada 10 Juli 2016. 82Jimly Asshiddiqie (2), Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005), hlm. 44. 83 Jimly Asshiddiqie (3), Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: UI-Press, 1996), hlm.25-26. 78 79 300 satu kesatuan sistem yang integral dan sulit dipisahkan, dimana aktivitas partai politik dalam memperjuangkan program dan menyampaikan aspirasi dari rakyat diadvokasikan melalui lembaga perwakilan. Kemudian, anggota lembaga perwakilan tersebut pada umumnya adalah orang-orang dari partai politik yang diperoleh melalui mekanisme pemilihan umum.84 Pemilu tanpa disertai partai politik hanya akan mempertahankan status quo dan itu artinya hanya sekadar perangkat konservatif yang memberikan keabsahan umum pada struktur dan kepemimpinan lama.85 Dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi dan kedaulatan rakyat, keberadaan partai politik memegang fungsi yang sangat strategis. Hal itu karena negara demokrasi memang dibangun di atas sistem kepartaian.86 Bahkan menurut R.M. Maciver, demokrasi tidak dapat berjalan tanpa adanya partai politik itu sendiri, karena partai politik berfungsi sebagai struktur perantara (intermediate structure) antara rakyat (civil society) dengan negara (state).87 Lebih lanjut menurut Miriam Budiardjo pentingnya partai politik tertuang dalam 4 fungsi yakni komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik dan pengatur konflik politik.88 Fungsi komunikasi politik artinya partai politik berkomunikasi dengan rakyat dalam bentuk menerima aspirasi dan menyampaikan programprogram politik yang kemudian ditindaklanjuti dalam bentuk program serta diperjuangkan menjadi keputusan pemerintah. Itu artinya partai politik adalah jembatan antara mereka yang memerintah (the rulers) dengan mereka yang diperintah (the ruled). Lalu fungsi sosialisasi politik berarti partai melakukan penanaman nilai-nilai ideologi dan loyalitas kepada negara dan partainya. Kemudian, fungsi rekrutmen politik berarti partai politik melakukan kaderisasi dan seleksi terhadap calon-calon anggota lembaga perwakilan yang berbakat dan nantinya calon-calon tersebut akan dipilih oleh rakyat. Terakhir fungsi pengatur konflik politik diartikan partai politik mengelola aturan main dan pelembagaan kelompok-kelompok sosial sehingga dapat meminimalisir potensi gerakan massal yang merusak dengan cara revolusi atau kudeta. Berdasarkan jabaran argumentasi diatas, dapat diketahui bahwasannya kebebasan berserikat dan eksistensi dari partai politik merupakan syarat mutlak dari ciri negara yang demokratis. Salah satu konsekuensinya dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah diatur dalam Pasal 22E ayat (3) bahwa partai politik diakui sebagai bagian dari tata kehidupan bernegara dengan menjadikannya sebagai peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bahkan berdasarkan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 juga menyatakan bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai 84Bintan R. Saragih dan Moh. Kusnadi, Ilmu Negara, edisi revisi, cetakan keempat, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 266. 85 Safaat, op.cit ., hlm.16. 86Sulastomo, “Membangun Sistem Politik Bangsa” dalam Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Menyambut 70 Tahun Jakob Oetama, (Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 62. 87 RM Maciver, The Modern State, first edition, (London: Oxford University Press, 1955), hlm. 194. 88 Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1982), hlm. 14-16. 301 politik atau gabungan partai politik. Maka dari itu keberadaan partai politik yang penting tersebut juga harus diakui kedudukannya dalam lalu lintas hukum sebagai suatu subjek hukum tersendiri, itu artinya partai politik harus memiliki status sebagai badan hukum atau rechtpersoon yang beranggotakan perorangan warga negara sebagai natuurlijke persoons. Apalagi partai politik masuk dalam kualifikasi empat unsur suatu badan hukum yakni: 1. Harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan subjek hukum yang lain; 2. Mempunyai tujuan ideal tertentu yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 3. Mempunyai kepentingan sendiri dalam lalu lintas hukum; 4. Memiliki organisasi kepengurusan yang teratur menurut peraturan perundang-undangan dan peraturan internalnya; dan 5. Didaftarkan dan memperolah status sebagai badan hukum.89 Jabaran dalil konstitutif, yuridis, dan teoritis di atas juga ditunjang oleh fakta praktis keberhasilan Indonesia sebagai negara yang demokratis. Indonesia pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dinilai telah mampu menciptakan iklim demokrasi yang relatif berjalan dengan baik. Pihak asing menilai bahwa Indonesia pantas dijadikan role model atau panutan yang baik atas sistem demokrasi modern di Asia. Terbukti dengan International Association of Political Consultants atau IAPC memutuskan memberikan The Democracy Medal Award kepada Bangsa Indonesia atas prestasinya menerapkan nilai demokrasi dalam beberapa tahun terakhir. Presiden SBY mewakili bangsa Indonesia menerima penghargaan tersebut, dimana prestasi tersebut dianggap merupakan pencapaian besar bangsa Indonesia yakni berhasil menyelenggarakan pemilu tahun 2004 secara demokratis, aman, damai, dan tanpa konflik. Penghargaan tersebut diberikan ketika Konferensi Internasional IAPC yang berlangsung di Bali pada 12-14 November tahun 2007. Penghargaan serupa juga pernah didapatkan sejumlah tokoh dunia, seperti mantan Presiden AS Jimmy Carter, mantan Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev, dan tokoh demokrasi Burma Aung San Suu Kyi.90 Relasi antara negara dengan partai politik sangat berkesinambungan dalam konteks iklim demokrasi di suatu bangsa. Hal ini dikarenakan partai politik adalah salah satu unsur penting agar suatu negara dapat dikatakan demokratis disamping unsur perwakilan dan unsur pemilihan umum secara berkala. Itu artinya partai politik sebenarnya adalah lapangan miniatur dan embrio awal dari demokrasi suatu bangsa sehingga apabila suatu negara ingin memiliki iklim demokrasi yang baik maka tentunya harus dimulai dari internal partai politik itu sendiri. Tidak mungkin suatu negara dapat dikatakan demokratis, apabila manajemen partainya tidak demokratis pula. Hal ini disebabkan karena nantinya orang-orang partai politik adalah orang yang menempati posisi penting dalam jabatan struktural suatu negara dan semua itu berawal dari kawah candradimuka yang dinamakan partai politik. Sehingga Penulis berkesimpulan bahwa demokrasi internal partai politik bukanlah permasalahan segmentatif partai saja, akan tetapi hal ini merupakan isu suatu bangsa karena apabila demokrasi internal partai politiknya Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm.74-75. http://news.detik.com/berita/840787/ri-raih-democracy-medal-award, (diakses tanggal 18 Juli 2016 Pukul 15.40 WIB). 89 90 302 saja sudah demokratis maka konsekuensinya negara tersebut dapat menjadi demokratis. Mengingat pentingnya demokrasi internal partai politik yang urgent untuk ditata, maka berbicara mengenai demokrasi salah satu fokusnya tertuju kepada proses pemilihan pemimpin yang didalam partai politik dinamakan sebagai ketua partai. Dalam sejarah kepartaian pemilihan ketua umum partai politik memiliki dua metode, pertama melalui mekanisme penunjukan secara langsung yang salah satu contohnya adalah dalam Munas Golkar ke-V pada tahun 1993 di Jakarta, terpilih Harmoko sebagai Ketua Umum Golkar periode 1993-1998 yang ditunjuk oleh Ketua Dewan Pembina Golkar yaitu Soeharto. Proses pemilihan ketua umum tidak berdasarkan mekanisme partisipatif di dalam organisasi, akan tetapi terletak pada wewenang penunjukkan langsung oleh Ketua Dewan Pembina. Metode kedua adalah musyawarah yang melibatkan beberapa stakeholder terkait di dalam partai dalam proses pemilihan Ketua Umum Partai, sehingga terdapat unsur partisipatif antara pemilih dengan orang yang dipilih. Salah satu contohnya terjadi pada Munaslub Golkar tahun 1998 dimana terjadi beberapa perubahan penting dalam tubuh partai antara lain perpindahan jabatan Ketua Umum dari Harmoko kepada Akbar Tandjung. Dalam proses pemilihan Akbar Tandjung menjadi ketua umum partai Golkar telah terjadi perubahan syarat dan mekanisme pemilihan ketua umum dari pemilihan periode sebelumnya dimana tidak lagi ditentukan oleh Ketua Dewan Pembina melainkan melalui proses pemilihan dari para kader melalui Musyawaran Nasional. Musyawarah Nasional yang dilaksanakan oleh partai politik dewasa ini, bukanlah tidak menuai masalah. Penulis mencatat terdapat kekurangan baik yang sifatnya sistemik dan praktis. Beberapa diantaranya adalah adanya konflik kepentingan di dalam internal partai pada saat pemilihan berlangsung. Kekurangan pertama secara kronologis dalam contoh Munas partai golkar terdapat dualisme golongan yang menginginkan Musyawarah dilakukan secara berbeda. Munas Golkar pada tahun 2009 telah menyepakati bahwa Munas selanjutnya akan diadakan pada bulan April tahun 2015, namun terdapat kubu lain di dalam partai golkar yang menginginkan ajang tersebut diadakan pada bulan Oktober tahun 2014. Publik dapat menilai bahwa adanya perbedaan tersebut ditengarai oleh adanya kepentingan beberapa pihak yang mengincar kursi kementrian dengan kata lain ada beberapa kelompok kepentingan berburu jabatan. Apabila Munas diadakan pada tahun 2015 maka otomatis kubu yang berkepentingan tersebut akan kehilangan kesempatannya berburu jabatan. Selanjutnya kekurangan kedua adalah total biaya untuk menyelenggarakan Munas sangat besar hingga mencapai angka puluhan miliar rupiah, ditambah lagi dalam prakteknya Munas jumlah peserta munas mampu melebihi jumlah undangan yang telah ditetapkan sebagai peserta Munas. Antitesis terhadap prestasi tumbuhnya iklim demokrasi di Indonesia pada zaman kepemimpinan SBY, baru-baru ini publik digemparkan dengan terpilihnya Setya Novanto menjadi ketua umum partai Golkar. Setya Novanto dipandang memiliki rekam jejak yang negatif di mata publik karena yang bersangkutan turun dari jabatannya sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena terseret kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo terkait dugaan permintaan saham 303 Freeport Indonesia, dimana terkait kasus tersebut akhirnya Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan dalam sidang etik DPR bahwa Setya Novanto melakukan pelanggaran etik berat. Publik banyak menyayangkan jika tokoh kontroversial tersebut menjabat jabatan krusial dalam partai politik, dimana seharusnya pemilihan ketua partai politik harus dapat diukur melalui moralitas dan integritas individu calon. Terkait dengan pemilihan ketua umum Golkar dengan semua kontroversi yang telah terjadi, publik dapat menilai bahwa telah terdapat perubahan meritsystem menjadi oligarch system dalam proses pemilihan calon ketua umum Golkar. Upaya Golkar untuk melakukan demokratisasi di dalam internal organisasi dengan semangat paradigma baru ternyata cenderung mengarah kepada sistem oligarki. Secara konsepsi merit-system adalah proses perekrutan kader untuk menempati posisi jabatan strategis di dalam tubuh partai ataupun jabatan di dalam Parlemen atau Pemerintahan berdasarkan penilaian loyalitas, pengalaman berorganisasi, prestasi yang dicapai selama menjadi kader.91 Sedangkan oligarch system adalah sistem dimana orang-orang yang memiliki kelebihan sumber daya (resources) menggunakannya untuk menduduki jabatan politis kekuasaan.92 Sehingga oligarch system merupakan orang-orang yang mampu mengendalikan sistem atau memanfaatkan sistem merupakan sistem karena kelebihan dan kekayaan yang dimiliki.93 Perbedaan merit-system dan oligarch-sistem terletak kepada pertarungan yang terjadi di dalam menentukan kemenangan seorang kader. Meritsystem akan memihak ke kader yang memiliki kemampuan yang ia peroleh dari hasil pengabdian dan prestasinya dalam jenjang karirnya, sedangkan oligarch system sangat bergantung kepada keunggulan materi dan kedudukan seorang kader baik itu kekayaan, kedudukan di dalam pemerintahan dan lain sebagainya. 91 Alan Warre, Political Parties and Party Systems, New York: Oxford University Press, 1996. Hlm 16. 92 Jeffrey A. Winters, Oligarki, Jakarta: PT. Gramedia Pustakan Utama, 2011. Hlm 9. 93 Ibid. 304 BAB II PEMBAHASAN Mengimplementasikan Jiwa Demokratis dalam Proses Pemilihan Ketua Partai Politik Menurut Robert A. Dahl, terdapat 5 (lima) kriteria untuk mengenali proses pemilihan agar dapat memenuhi suatu persyaratan sebagai proses demokrasi yaitu agar semua anggota memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam berbagai keputusan kebijakan asosiasi antara lain sebagai berikut:94 a. partisipasi efektif, yaitu sebelum sebuah kebijakan digunakan oleh asosiasi, seluruh anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk membuat pandangan mereka diketahui oleh anggota-anggota lainnya sebagimana seharusnya kebijakan itu dibuat; b. persamaan suara, yaitu ketika akhirnya tiba saat dibuatnya keputusan tentang kebijaksanaan itu, setiap anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk memberikan suara dan seluruh suara harus dihitung semua; c. pemahaman yang cerah, yaitu dalam batas waktu yang rasional, setiap anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif untuk mempelajari kebijakan-kebijakan alternatif yang relevan dan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin; d. pengawasan agenda, yaitu setiap anggota harus mempunyai kesempatan eksklusif untuk memutuskan bagaimana dan apa permasalahan yang dibahas dalam agenda; dan e. pencakupan orang dewasa, yaitu semua atau paling tidak sebagian besar orang dewasa yang menjadi penduduk tetap seharusnya memiliki hak kewarganegaraan penuh. Menurut Austin Ranney ada 8 (delapan) kriteria pokok bagi pemilu yang demokratis yaitu: a. hak pilih umum, yaitu pemilu disebut demokratis apabila semua warga negara dewasa dapat menikmati hak pilih pasif ataupun aktif, dan meskipun diadakan pembatasan, hal tersebut harus ditentukan secara demokratis, yaitu melalui undang-undang; b. kesetaraan bobot suara, yaitu ada jaminan bahwa suara tiap-tiap pemilih diberi bobot yang sama. Artinya, tidak boleh ada sekelompok warga negara, apa pun kedudukannya, sejarah kehidupan, dan jasa-jasanya, yang memperoleh lebih banyak wakil dari warga lainnya. Kuota bagi sebuah kursi parlemen harus berlaku umum; c. tersedianya pemilihan yang signifikan, yaitu hakikat memilih diasumsikan sebagai adanya lebih dari satu pilihan; d. kebebasan nominasi, yaitu pilihan-pilihan memang harus datang dari rakyat sendiri sehingga menyiratkan pentingnya kebebasan berorganisasi. Kebebasan 94 Robert A. Dahl, Loc cit., hlm. 52. 305 berorganisasi secara implisit merupakan prinsip kebebasan untuk menominasikan calon wakil rakyat. Dengan cara itulah pilihan-pilihan yang signifikan dapat dijamin dalam proses pemilihan umum; e. persamaan hak kampanye, yaitu program kerja dan calon-calon unggulan tidak akan bermakna apa-apa jika tidak diketahui oleh pemilih. Oleh karena itu, kampanye menjadi penting dalam proses pemilu. Melalui proses tersebut massa pemilih diperkenalkan dengan para calon dan program kerja para kontestan pemilu; f. kebebasan dalam memberikan suara, yaitu pemberi suara harus terbebas dari berbagai hambatan fisik dan mental dalam menentukan pilihannya. Harus ada jaminan bahwa pilihan seseorang dilindungi kerahasiaannya dari pihak mana pun, terutama dari penguasa; g. kejujuran dalam penghitungan suara, yaitu kecurangan dalam penghitungan suara dapat menggagalkan upaya penjelmaan rakyat ke dalam badan perwakilan rakyat. Keberadaan lembaga pemantau independen pemilu dapat menopang perwujudan prinsip kejujuran dalam penghitungan suara. h. penyelenggaraan secara periodik, yaitu pemilu tidak diajukan atau diundurkan sekehendak hati penguasa. Pemilu dimaksudkan sebagai sarana menyelenggarakan pergantian penguasa secara damai dan terlembaga. Kriteria tersebut adalah kriteria yang berlaku dalam ruang lingkup pemerintahan suatu negara. Dalam ruang lingkup partai politik, demokrasi dapat dilakukan dalam proses pengambilan keputusan dan pemilihan kader untuk menempati posisi-posisi tertentu dalam partai politik yang bersangkutan dan untuk mewakili partai politik dalam pemilihan umum, baik sebagai calon anggota legislatif, calon kepala daerah, atau bahkan calon presiden. Hukum positif yang mengatur tentang partai politik di Indonesia adalah UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang kemudian diubah dengan UU No. 2 Tahun 2011. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa tujuan dari partai politik salah satunya adalah mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.95 Dalam kepengurusannya, pengurus partai politik di setiap tingkatan, yaitu tingkat pusat, tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai dengan AD dan ART dari masingmasing partai politik.96 Kemudian, dalam pengambilan keputusan juga dilakukan secara demokratis. Dalam hal ini, partai politik diberi kebebasan untuk menentukan bagaimana bentuk demokratisasi dalam memilih pengurusnya dan mengambil keputusan untuk kepentingan dari partai politik itu sendiri sepanjang tidak bertentangan dengan dengan peraturan perundang-undangan. Karena itulah, dapat dikatakan bahwa partai politik merupakan salah satu sarana untuk mengembangkan jiwa demokratis untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Perlu dipahami kembali bahwa bentuk dari demokrasi sendiri ada bermacam-macam dan dapat diketahui bersama bahwa terdapat 2 (dua) bentuk besar dari demokrasi yaitu demokrasi langsung dan tidak langsung dan dari masing-masing bentuk memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Menurut teori demokrasi internal, partai politik adalah “miniatur” dari sebuah 95 96 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Pasal 10 ayat (1) huruf c. UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Pasal 22. 306 negara yang berarti benar atau salahnya partai politik dalam penerapan demokrasi di internalnya sendiri adalah manifestasi dari benar atau tidaknya penerapan demokrasi di negara tersebut, walaupun sebenarnya dapat dibilang bahwa penerapan demokrasi dalam masing-masing partai politik tidak dapat dikatakan seluruhnya benar atau seluruhnya salah karena bentuk dari penerapan demokrasi dalam masing-masing partai politik pasti berbeda-beda. Dalam praktiknya, partai politik tidak mengikutsertakan seluruh kader di dalamya, sebagai contohnya adalah Partai Golongan Karya yang dalam proses pemilihan ketua partainya melalui musyawarah nasional (Munas) hanya dihadiri oleh peserta yang terdiri atas peserta (Dewan Pimpinan Pusat, unsur Dewan Pimpinan Daerah Provinsi, unsur Dewan Pimpinan Daerah Kabupaten/Kota, unsur Pimpinan Pusat Organisasi Sayap, unsur Pimpinan Pusat Ormas Pendiri, dan unsur Pimpinan Pusat Ormas Yang Didirikan), peninjau (Dewan Penasehat Pusat, unsur Pimpinan Pusat Ormas yang menyalurkan aspirasi politiknya kepada Partai Golkar, dan unsur Badan, Lembaga dan Pokja Dewan Pimpinan Pusat), dan undangan (perwakilan institusi dan perorangan) untuk mengikuti proses pemilihan ketua dari partai politik mereka, yang artinya bentuk dari demokrasi yang digunakan adalah bentuk demokrasi tidak langsung. Menurut Penulis, hal ini dirasa sudah tepat mengingat jumlah anggaran dari pelaksanaan pemilihan ketua partai politik yang tidak sedikit dan jumlah dari kader yang mengikuti proses pelaksanaan pemilihan ketua partai politik juga menentukan besar kecilnya anggaran dalam itu sendiri sehingga proses pemilihan ketua partai politik merupakan suatu proses yang tidak murah. Namun, hal ini dianggap bukan merupakan manifestasi yang sempurna dari implementasi demokrasi dalam internal dari partai politik itu sendiri, karena adanya perwakilan tidak serta merta dianggap mewakili seluruh gagasan dan aspirasi dari seluruh kader yang terlibat dalam tumbuh kembang partai politik tersebut. Karena itulah, perlu suatu sistem yang jelas dan terintegrasi bagi para pemegang suara untuk melaksanakan semacam “pemilu” untuk menentukan satu suara yang akan mereka bawa dalam pemilihan ketua partai politik di tingkat pusat. Dengan demikian, anggaran dalam pelaksanaan pemlih pelaksanaan pemilihan ketua partai politik dapat ditekan tanpa mengurangi jumlah kader yang terlibat. Pada dasarnya, semua peserta dari proses pemilihan ketua partai politik adalah sama dan suatu pengambilan keputusan bersama yang ideal adalah apabila suatu ide atau gagasan yang muncul dalam proses pengambilan keputusan dinilai memiliki bobot yang sama, yang dalam konteks demokrasi lebih dikenal dengan sistem one man one vote. Adanya diversifikasi jumlah suara yang didasarkan pada status atau jabatan tertentu pada internal partai politik justru akan menghilangkan arti dari demokrasi dalam pelaksanaan ketua partai politik tersebut bila mengingat kembali bahwa partai politik adalah “miniatur” dari sebuah negara yang berarti benar atau salahnya partai politik dalam penerapan demokrasi di internalnya sendiri adalah manifestasi dari benar atau tidaknya penerapan demokrasi di negara tersebut. Mengedepankan Merit System dalam Proses Pemilihan Ketua Partai Merit system adalah proses perekrutan kader untuk menempati posisi jabatan strategis di dalam tubuh partai ataupun jabatan di dalam pemerintahan 307 berdasarkan penilaian loyalitas, pengalaman berorganisasi, dan prestasi yang dicapai selama menjadi kader.97 Sedangkan, oligarch system adalah sistem dimana orang-orang yang memiliki kelebihan sumber daya menggunakannya untuk menduduki jabatan politis dan kekuasaan.98 Dalam pelaksanaannya, pemilihan ketua partai politik adalah suatu “ajang” bagi para petinggi dari partai politik untuk menunjukkan pergerakan politiknya walaupun tidak maju menjadi calon dalam pemilihan tersebut. Mereka bisa saja bergerak sebagai tim sukses dari calon ketua partai tersebut dan sesuai namanya, tugas dari tim sukses adalah melakukan apa-apa yang perlu dilakukan untuk menyukseskan tujuan dari calon di pihaknya, yaitu untuk memenangkan pemilihan. Dalam melaksanakan tugas sebagai tim sukses tersebut, dalam praktiknya kadang, atau justru banyak, ditemukan kecurangan seperti politik uang atau kampanye gelap. Hal ini tentu bukanlah preseden baik bagi proses pemilihan ketua partai politik tersebut, mengingat bahwa posisi ketua dari partai politik sangat menentukan kehidupan dari partai politik tersebut ke depannya sehingga posisi ini harus diduduki oleh orang yang tepat dan kompeten. Adalah penting bagi panitia pelaksana dari pemilihan ketua partai politik ini untuk memberikan pemahaman kepada kader yang terlibat tentang kompetensi dari para calon ketua partai politik sehingga hasilnya lebih objektif. Kurangnya pemahaman dari pemegang suara tentang calon-calon yang maju dalam pemilihan akan menciptakan hasil yang subjektif karena pilihan tidak didasarkan pada sesuatu yang bersifat objektif seperti rekam jejak karir atau catatan prestasi, namun pada sesuatu yang bersifat objektif seperti adanya suap atau alasan klise seperti kesamaan unsur sakral dan primordial. Namun, tanggung jawab ini tidak serta merta hanya dibebankan kepada panitia pelaksana saja, namun juga tim sukses dari calon ketua dan calon ketua itu sendiri harus memberikan pemahaman objektif ini kepada pemegang suara demi kelangsungan hidup partai politik tersebut juga. Salah satu contoh yang terjadi dalam warna-warni iklim demokrasi kita yakni ketika kemenangan Jusuf Kalla pada Munas 2004 yang menjadi bukti yang dapat dinilai publik merupakan salah satu fenomena pergeseran ideologi paradigma baru menjadi paradigma pragmatisme politik. Di dalam pragmatisme politik maka yang bekerja adalah sistem oligarki bukan merit system. Dimana hal ini berlanjut kembali dalam Munas tahun 2009 dimana sosok Yudy Krisnandi sebagai politisi muda yang potensial namun tidak masuk dalam percaturan politik ketua umum karena kekuatan materi. Terkait hal ini pun Yudy Krisnandi mengemukakan pendapatnya bahwa visi dan idealisme di dalam Golkar telah mati.99 Pelaksanaan Musyawarah Nasional Setiap Partai yang Dilaksanakan Oleh Pihak KPU 97 Alan Warre, Political Parties and Party Systems, (New York: Oxford University Press, 1996), hlm. 16. 98 Jeffrey Winters, Oligarki, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hlm. 9. 99 “Yuddy: Idealisme Sudah Mati di Partai Golkar”, http://tekno.kompas.com/read/2009/10/09/08414835/yuddy.idealisme.sudah.mati.di.partai.gol kar, diakses tanggal 12 Juli 2016. 308 Penyelenggaraan Musyawarah Nasional pada umumnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan organisasi masing-masing partai, dimana dalam penyelenggaraanya biasanya dibentuk suatu kepanitiaan Ad-Hoc khusus yang disepakati oleh Dewan Pimpinan Pusat. Salah satu contohnya adalah Partai Golkar yang yang dalam menyelenggaran Musyawarah Nasional dibentuk suatu kepanitiaan khusus yang disetujui oleh tingkat DPP. Tidak dapat dipungkiri bahwa partai sangat erat dengan lobi dan permainan politik yang sulit untuk diduga-duga. Bahkan dalam konteks siapa yang menyelenggarakan Musyawarah Nasional saja telah membuat potensi adanya konflik internal bagi partai politik itu sendiri dengan memperebutkan pihak yang menjadi panitia, sehingga produktivitas partai yang sejatinya berfokus untuk menyejahterakan rakyat justru terbengkalai karena adanya konflik internal. Menurut Penulis permasalahan ini harus segera ditanggulangi dengan melibatkan pihak ke-tiga yang netral dan kredibel dalam melaksanakan Musyawarah Nasional suatu partai politik, dimana pihak tersebut adalah perwakilan negara yang notabenenya negara berhak mengintervensi atas nama kebaikan bangsa dan negara. Pihak tersebut terkristalisasi kepada lembaga Komisi Pemilihan Umum yang sejatinya sudah berpengalaman dalam melaksanakan pemilihan baik ditingkat pusat dan lokal secara masif dan berkala. Komisi Pemilihan Umum nantinya memfasilitasi dan menyelenggarakan Musyawarah Nasional partai politik sesuai dengan prinsip umum pemilihan yang baik dengan tetap mengindahkan koridor dan kebiasaan yang hidup pada partai politik. Dengan penyelenggaran yang dilakukan oleh pihak KPU diharapkan konflik internal politik yang terjadi karena perselisihan siapa yang menyelenggarakan tidak perlu terjadi lagi. Lebih dari itu KPU adalah lembaga yang profesional dan berpengalaman dalam melaksanakan prosesi pemilihan sehingga keluaran dari Musyawarah Nasional adalah orang yang tepat dalam memimpin partai. Kemudian money politics setidaknya dapat diminimalisir karena KPU adalah pihak luar yang tidak memiliki hubungan politik dengan kader-kader yang berjuang sebagai calon. Maka dari itu perlu direvisi mengenai tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum yang tidak hanya melaksanakan pemilihan umum saja, tetapi juga menyeleng-garakan Musyawarah Nasional tiap partai. Melibatkan Institusi Negara dalam Proses Penyaringan Calon Sebagai upaya preventif menghindari kegagalan dalam pemilihan ketua partai politik yang bermasalah, pemerintah dapat memanfaatkan peranan lembaga negara yang mampu mengungkap aliran dana gelap, seperti Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), dimana PPATK dilibatkan dalam hal uji kepatutan dan kelayakan ketua partai politik untuk melakukan audit investigatif demi transparansi. Keberadaan PPATK merupakan langkah konkret dari pelaksanaan UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan fungsi pencegahan yang dimiliki, normatifnya PPATK diberikan ruang untuk bisa mencegah lembaga partai politik yang dipimpin oleh oknum yang diduga memiliki transaksi keuangan yang mencurigakan. Namun, PPATK masih memiliki keterbatasan yaitu PPATK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan. Sehingga KPK menjadi lembaga yang komplemen untuk melengkapi peranan PPATK. Kemudian berkaitan dengan hasil Fit and 309 Proper Test (FPT), publik akan lebih menghendaki agar PPATK dan KPK diundang secara langsung untuk dimintakan pendapatnya oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), serta Laporan Hasil Analisa dari PPATK terhadap bakal calon ketua umum partai politik wajib dirilis ke muka publik. Dengan dirilisnya Laporan Hasil Analisa oleh PPATK terhadap calon ketua umum partai politik, selain KPK bisa langsung melakukan penyidikan ketika terdapat transaksi yang mencurigakan, harapannya publik pun bisa merespon dan melaporkan pada KPK. Keterlibatan publik diharapkan meningkat seiring adanya mekanisme seperti ini sehingga menjadi manifestasi untuk perbaikan demokrasi di Indonesia menuju demokrasi deliberatif dan partisipatif. Kemudian berkaitan dengan rekam jejak yang dimiliki oleh bakal calon ketua partai politik seyogyanya KPU juga melibatkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam proses pemilihan ketua partai. Komnas HAM akan menelusuri apakah nama bakal calon ketua partai politik tersebut sedang atau pernah masuk dalam pengaduan yang disampaikan masyarakat ke Komnas HAM. Selain itu, Komnas HAM juga menganalisis bagaimana perspektif HAM para calon tersebut. Pelibatan Komnas HAM ini diharapkan jabatan publik dapat diisi dengan orang-orang yang bersih dari kasus-kasus HAM. Menambah Persyaratan Ketua Partai Terpilih untuk Fokus Membina Partai Fenomena yang terjadi saat ini banyak pihak yang menginginkan posisi strategis sebagai Ketua Partai Politik karena nantinya memiliki peluang yang besar untuk menjadi kandidat Presiden atau Wakil Presiden. Hal ini tentunya membuat sumir tugas dan wewenang Ketua Partai Politik yang seharusnya fokus untuk membina partai, memelihara ideologi partai dan memenangkan partainya di saat pemilihan umum tetapi justru menjadi agenda terselubung untuk mempromosikan Ketua Partai Politiknya menjadi kandidat Presiden, Wakil Presiden, atau Jabatan Struktural lain. Hal ini tentunya tidak sehat dalam iklim demokrasi internal partai politik itu sendiri, fungsi partai menjadi terdegradasi yang semula sebagai rekrutmen, sosialisasi, komunikasi, dan pengatur konflik justru menjadi "batu loncatan" karier politik seseorang. Lagipula formasi rangkap Ketua Partai Politik dan Presiden sejatinya sangat tidak efektif dalam pembagian antara tugas kepartaian dan tugas kenegaraan. Dalam sistem presidensil seorang Presiden sudah merangkap sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, itu artinya Presiden mengurusi masalah baik yang bersifat eksternal maupun internal negara yang sangat kompleks. Tidak dapat dibayangkan apabila kompleksitas tersebut ditambah lagi dengan unsur baru berupa sebagai Ketua Partai Politik hal ini sangat dikhawatirkan dapat menganggu jalannya tugas kenegaraan karena terbaur dengan tugas kepartaian dengan banyaknya conflict of interest yang terjadi. 310 BAB III PENUTUP Berdasarkan analisis dan pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Pertama, partai politik adalah tiang demokrasi suatu negara bersama dengan konsep perwakilan dan pemilihan umum secara berkala. Suatu negara tidak dapat dikatakan demokratis apabila tidak terdapat partai politik di negara tersebut. Partai politik merupakan lapangan miniatur dan embrio awal suatu proses demokrasi suatu bangsa, sehingga apabila proses internal partai politiknya saja tidak demokratis konsekuensinya negara tersebut berpeluang besar menjadi tidak demokratis pula. Proses internal demokrasi partai politik salah satunya dapat dilihat dari proses pemilihan Ketua Umum Partai Politik. Kedua, proses pemilihan Ketua Partai setidaknya memiliki dua metode yakni penunjukan secara langsung dan melalui musyawarah. Penulis berkeyakinan bahwa metode Musyawarah secara Nasional merupakan proses yang paling demokratis hanya saja membutuhkan beberapa proses penyempurnaan dalam tataran sistem dan praktis. Ketiga, Musyawarah Nasional yang dilakukan oleh partai politik harus sesuai dengan prinsip dan kaidah keilmuan yang ada, seperti menurut Robert A. Dahl dan Austin Ranney. Maka dari itu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mendepankan merit system atau kompetensi dari calon, bukan mengekspos modal ataupun popularitas calon. Kemudian, pelaksanaan Musyawarah Nasional dilakukan oleh pihak ke-tiga yang netral dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum selaku institusi negara yang telah berpengalaman dalam menyelenggarakan sukses baik ditingkat nasional maupun tingkat lokal. Selanjutnya melibatkan tiga institusi negara yang relevan dalam proses awal penyeleksian calon ketua umum partai politik, sehingga dengan memformulasikan prosedur ini keluaran dari pemilihan ini menjadi lebih berkualitas baik dari segi keuangan, track record Hak Asasi Manusia, dan korupsi. Terakhir dengan menambah komitmen kepada Calon Ketua Umum Partai Politik apabila terpilih nantinya akan fokus untuk membina partai politik ketimbang menjadikannya sebagai “batu loncatan” karier politik semata. 311 DAFTAR PUSTAKA 15Grolier. The Grolier International Dictionary. Dunbury: Grolier Incorporated, 1988, Vol.1. A. Dahl, Robert. Perihal Demokrasi: Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat, diterjemahkan oleh A.Rahman Zainuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999. A. Winters, Jeffrey. Oligarki. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011. Ali Safa’at, Muchamad. Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai Politik dalam Pergulatan Republik. Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Asshiddiqie, Jimly. Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005. Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, edisi revisi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006. Asshiddiqie, Jimly. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. Jakarta: UI-Press, 1996. Baradat, Leon P. Political Ideologies. New Jersey: Prentice Hall Inc., 1984. Budiardjo, Miriam. Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1982. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ensiklopedi Nasional, Jilid 4. Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1989. Gintis, Herbert dan Carel van Schail, “Zoon Politicon: The Evolutionary Roots of Human Sociopolitical Systems”, http://tuvalu.santafe.edu/~bowles/Gintis.pdf, diunduh pada 10 Juli 2016. Maciver, RM. The Modern State, first edition, (London: Oxford University Press, 1955), hlm. 194. R. Saragih, Bintan dan Moh. Kusnadi. Ilmu Negara, edisi revisi, cetakan keempat. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000. South-East Asian and Pacific Conference of Jurists, Bangkok, February 15-19, 1965. The Dynamics Aspect of The Rule of Law in The Modern Age. Bangkok: International Commission of Jurists, 1965. Sulastomo. “Membangun Sistem Politik Bangsa” dalam Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Menyambut 70 Tahun Jakob Oetama. Jakarta: Kompas, 2001. U.S Department of State’s Bureau of International Information Programs, “Defining Democracy”, http://www.ait.org.tw/infousa/zhtw/docs/whatsdem/whatdm2.htm, diunduh pada 10 Juli 2016. Warre, Alan. Political Parties and Party Systems. New York: Oxford University Press, 1996. “RI Raih Democracy Medal Award”, http://news.detik.com/berita/840787/ri-raihdemocracy-medal-award, diakses tanggal 18 Juli 2016 Pukul 15.40 WIB. 312 “Yuddy: Idealisme Sudah Mati di Partai Golkar”, http://tekno.kompas.com/read/2009/10/09/08414835/yuddy.idealisme.s udah.mati.di.partai.golkar, diakses tanggal 12 Juli 2016. BIOGRAFI SINGKAT Rafli Fadilah Achmad, S.H adalah seorang pemerhati muda konstitusi yang saat ini berkarier pada sebuah organisasi non-profit yang digawangi oleh Gandjar Laksmana Bonaprapta bernama Center for Legislacy, Empowerment, Advocacy and Research (CLEAR) sejak Januari tahun 2015. Lulus di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan rentang waktu 3.5 tahun pada 2012, kemudian melanjutkan studinya di Magister Hukum Kenegaraan pada fakultas yang sama sejak tahun 2016. Selama di Universitas Indonesia, Rafli tergolong sebagai salah satu mahasiswa yang sangat aktif dibidang kemahasiswaan. Tercatat dia memulai kariernya di BEM UI sebagai staff aksi dan propaganda, kemudian menjadi Vice Project Officer dari Simposium Hukum Nasional tahun 2013, dan puncaknya menjadi Hakim Konstitusi Mahkamah Mahasiswa Universitas Indonesia tahun 2014 dan Ketua Komisioner Pengawas Pemira Universitas Indonesia tahun 2015. Selain itu Rafli juga tercatat memperoleh beberapa penghargaan dan prestasi seperti Juara 1 Constitutional Drafting Padjajaran Law Fair dan Quarter Finalist Lomba Debat Mahkamah Konstitusi tingkat nasional. Terakhir Rafli tercatat sebagai orang yang berperan besar dalam menghadirkan Ketua KPU Belanda Prof. Henk Kummeling ke Indonesia dalam rangkaian visitting scholar pada bulan Maret silam. Suatu hari nanti Rafli bercita-cita dapat berkontribusi secara langsung terhadap perbaikan hukum di Indonesia dengan terlibat masuk ke dalam sistem dengan menjadi Hakim PTUN. 313 “DEMOKRASI ALA PARTAI POLITIK DI INDONESIA ; MEMBANDINGKAN PROSES PEMILIHAN KETUA UMUM PARTAI DEMOKRAT RENTANG Tahun 2010-2015” (mencari pola regenarasi Pimpinan Partai Politik yang Ideal) Syafrida Rachmawaty Rasahan Pendahuluan Dalam Negara yang demokratis, peran dan fungsi partai politik tidak dapat diabaikan. Partai politik merupakan organisasi yang diciptakan untuk dapat mengartikulasikan dan mengaktualisasikan kepentingan dan aspirasi masyarakat secara terus menerus. Fungsi partai politik memiliki peran strategis sebagai penyambung lidah kepentingan masyrakat terhadap sejumlah isu strategis berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Sebelum membicarakan tentang regenerasi dalam partai politik, perlu untuk ditelaah dulu apa itu partai politik. Banyak variasi dari pengertian partai politik. Para ahli mendefenisikannya dengan cara yang berbeda-beda.100 Menurut Mark N.Hagopian mendefenisikan partai politik sebagai suatu kelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan politik untuk dipilih oleh rakyat sehingga dapat mengontrol dan mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah.101 Sedangkan menurut Lawason partai adalah sebuah agensi, yang menghubungkan antara masyarakat dengan pengambil kebijakan. Defenisi lain mengartikan bahwa partai politik adalah penerjemahan dari structural system atau mengubahh struktur kepentingan social dan ekonomi menjadi kekuasaan politik. 102 Sementara itu dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008jo UndangUndang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, menegaskan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga Negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan citacita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan Negara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik berdasarkan Pancasila, dan Undang-Undang Dasar tahun 1945. Kaderisasi dalam Partai Politik di Indonesia Peran partai politik dalam merekrut kader partai adalah sangat penting, ini sesuai dengan salah satu fungsi dari politik itu sendiri yakni rekrutmen politik. Yang dimaksud dengan rekrutmen politik adalah partai politik berfungsi dan mencari orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik dan proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi. Hal ini berarti partai menjadi wadah rekrutmen politik (kader) dan sekaligus menyiapkan calon-calon pemimpin baik di level lokal maupun nasional. Rekrutmen politik tidak saja 100Moshe Maor, Political Parties & Party Systems : Comparative Approaches & the British Experience, (London and New York : Routledge, 1997), hlm.1-5 101Ichsanul Amal, ed., Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, (Yogyakarta, TWC, 1996), hlm.1 102Maor, “Political Parties…,” hlm.5 314 menjamin kontinuitas dan kelestarian partai. Sekaligus merupakan salah satu cara untuk menyeleksi calon-calon pemimpin. Kaderisasi di organisasi manapun merupakan urat nadi bagi sebuah organisasi. Kaderisasi adalah proses penyimpanan Sumber Daya Manusia (SDM) agar kelak mereka menjadi para pemimpin yang mampu membangun peran dan fungsi organisasi secara lebih baik. Dalam pengkaderan, ada dua persoalan yang penting. Pertama, bagaimana usaha-usaha yang dilakukan oleh organisasi untuk peningkatan kemampuan baik keterampilan maupun pengetahuan. Kedua, adalah kemampuan untuk menyediakan stok kader atau SDM organisasi, dan terutama dikhususkan pada kaum muda. Setiap partai politik memiliki pola rekrutmen yang berbeda, dimana pola perekrutan anggota partai disesuaikan dengan sistem politik yang dianutnya.103 Partai politik tanpa kaderisasi tidak berarti apa-apa, hukum alamnya setiap manusia akan mengalami tua dan penurunan daya kemampuan, begitu juga dengan partai politik, ia membutuhkan regenerasi. Regenerasi pasti dilakukan tetapi untuk memperoleh hasil regenerasi yang baik, maka dibutuhkan proses kaderisasi yang sistematis dan penanganan yang khusus. Sistem kaderisasi akan berjalan baik jika semua pihak yang saling terkait saling bantu membantu dan bekerja sama dalam membentuk pola pengkaderan. Dibutuhkan kerja sama antara pihak yang melakukan pengkaderan terhadap anggota baru partai, yaitu pihak yang diajak untuk menjadi kader maupun unsur pendukung lainnya yang dibutuhkan, misalnya seperti materi yang mampu membentuk pola berpikir dan bekerja seorang kader sesuai dengan tujuan partai politik yang bersangkutan. Bila partai politik mampu menghasilkan kader partai yang berkualitas, berarti partai politik mampu menyediakan pemimpin nasional masa depan yang berkualitas pula. Apabila proses kaderisasi ini macet, maka transfer kepemimpinan dari generasi tua kepada generasi yang lebih muda juga akan macet. Kemandegan proses kaderisasi di dalam partai politik ini telah menimbulkan kekecewaan yang dalam di banyak kalangan. Kekecewaan ini diwujudkan dengan pembentukan partai-partai politik baru dan munculnya wacana calon perseorangan ditengah keinginan kolektif untuk membangun sebuah sistem demokrasi perwakilan yang memposisikan partai politik sebagai satu-satunya agen perubahan. Mahkamah Konstitusi pun mengamininya dengan mengeluarkan keputusan yang mendukung munculnya calon perseorangan di dalam proses politik di Indonesia. Dikatakan sebuah kaderisasi berhasil ketika dari proses kaderisasi tersebut mampu menciptakan pribadi yang tangguh dan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap partai, sehingga antara dirinya dan partai merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dan mampu menjadi solusi dari masalah-masalah yang mucul bagi partai dikemudian hari. Keberhasilan partai politik dalam melakukan proses rekrutmen politik yang bisa menghasilkan kader-kader muda yang handal akan dengan sendirinya menghapuskan kekecewaan publik. Dalam sejarah bangsa ini, kaderisasi adalah fungsi yang terabaikan semenjak awal kehidupan partai politik sampai masa pasca Orde Baru sekarang ini. Pada 103 Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.7 315 masa lalu, kaderisasi dilakukan bukan oleh partai politik, tapi oleh ormas-ormas yang menjadi underbow partai. Pimpinan partai tinggal menerima kader-kader yang telah dihasilkan oleh ormas-ormas tersebut. Pada masa Orde Baru, dengan pemberlakuan undang-undang yang mengharuskan proses fusi partai-partai politik yaitu PDI, PPP, dan Golkar, maka tangan kekuasaan untuk mengontrol dan mengendalikan proses kepemimpinan dalam partai politik yang ada semakin lebih mudah dilakukan. Argumennya ketika dilakukan fusi, maka pemerintah Orde Baru semata-mata bergerak hanya demi stabilitas politik untuk pembangunan ekonomi. Pemerintah memandang bahwa kehidupan partai politik perlu dikendalikan dan diatur agar tidak mengundang hadirnya kebebasan liberal seperti di era multi partai sebelumnya, yang terbukti gagal menghadirkan demokrasi dan pembangunan ekonomi yang baik. Pada masa demokratisasi sekarang ini, pimpinan partai politik seharusnya melakukan pendidikan kader secara berjenjang dan berkesinambungan untuk menghasilkan kader-kader partai politik yang akan menjadi pimpinan nasional dimasa mendatang. Kaderisasi para pemimpin partai politik sangat tergantung pada sistem kepolitikan yang dibangun. Demokrasi Internal Partai Proses demokrasi internal partai adalah proses pemilihan seorang calon pimpinan Partai melalui penyerapan aspirasi seluruh kader-kader di tingkat akar rumput/grassroots sehingga Ketua Umum yang terpilih merupakan aspirasi kaderkadernya.104 Dengan demikian proses demokrasi internal partai adalah suatu cara untuk mendapatkan seorang pimpinan partai dengan menerapkan mekanisme pengambilan suara dukungan dari setiap kader di dalam partai sehingga pimpinan partai yang terpilih mendapatkan legitimasi yang kuat untuk menjalankan fungsi sebagai seorang pimpinan tertinggi di dalam partainya. Akan tetapi yang menjadi persoalan di dalam penerapan demokrasi internal bagi Partai politik yang memiliki jumlah kader yang besar adalah cara untuk menjaga dan mengarahkan jumlah kader yang besar tersebut dapat menjalankan demokrasi yang baik. Alan Warre memiliki 2 cara untuk dapat menerapkan mekanisme demokrasi di dalam pemilihan seorang Ketua Umum Partai yaitu mengatakan bahwa: “to have democatic control of candidate selection to overcome the problem posed by the size of the membership, the first is to have local meeting and so on until the final meeting into which the views expressed at the original local meeting are fed in or to have all all members vote directly in choosing candidates”.105 “untuk memperoleh kontrol/mekanisme demokratis di dalam pemilihan kandidat (pada partai) yang memiliki jumlah anggota yang besar yaitu pertama dengan melakukan pertemuan tingkat lokal hingga ke pertemuan tingkat akhir (pusat) dimana setiap pandangan dari para anggota dari tingkat lokal masuk di dalam pertimbangan atau melalui mekanisme semua anggota hadir dan memilih secara langsung terhadap kandidat yang dicalonkan ” 104 Alan Warre, Political Parties and Party Systems, (New York: Oxford University Press, 1996), hlm. 258 105 Ibid 316 Namun sebuah proses demokrasi internal tidak benar-benar menjamin bahwa proses yang berlangsung benar-benar demokratis. Kemenangan seorang Ketua Umum sangat ditentukan oleh kekuatan yang dimilikinya, latar belakang profesinya seperti militer, pengusaha, atau birokrat, memiliki dukungan massa, kemampuan finansial, kemampuan persuasif dan lain sebagainya. Masing- masing kekuatan tersebut dapat dimanfaatkan oleh para calon Ketua umum untuk dapat memenangkan suara para kadernya. Namun seringkali para kader mengutamakan pragmatisme politik seperti tawaran uang, jabatan, dan insentif lainnya dengan menghilangkan pertimbangan penting seperti masa pengabdian seorang calon Ketua Umum di dalam partai, loyalitas, pertimbangan moral dan lain sebagainya. Oleh sebab itu pula menjadi sebuah isu yang krusial mengenai bagaimana cara terbaik untuk merekrut seseorang untuk menjadi Ketua Umum Partai atau dengan kata lain nilai-nilai apa saja yang harus menjadi landasan dan modal yang harus dimiliki seseorang untuk bisa menjadi Pimpinan sebuah partai politik. Allan Ware berpendapat bahwa : “Hal yang paling utama yang harus dimiliki di dalam rekrutmen politik menyangkut pimpinan partai pada saat sekarang yaitu harus telah memiliki pengalaman yang lama sebagai seorang legislator, bekerja sebagai legislator partainya yang berada di parlemen menjadi jalan untuk tangga karir bagi seseorang untuk bisa naik menjadi seorang pimpinan partai.”106 Posisi Ketua Umun partai politik merupakan posisi yang strategis yang dapat mempengaruhi proses demokratisasi di Indonesia. Hal ini disebabkan posisi Ketua Umum Partai dapat menentukan arah preferensi politik Partai politik sekaligus menentukan arah kebijakan politik Partai terhadap Pemerintah. Kecakapan seorang pimpinan partai sangat diperlukan karena memiliki wewenang untuk mengontrol kader-kader partai yang duduk di Pemerintahan baik di lembaga legislatif maupun di birokrasi Pemerintahan. Terpilihnya seorang Ketua Umum Partai yang memiliki kemampuan untuk menjalankan visi dan misi partai sangat ditentukan oleh proses demokrasi internal partai. Menurut Arbi Sanit, seleksi kepemimpinan dalam sebuah partai politik memiliki dua strategis : 107 Pertama, proses ini merupakan revisi sistem pengkaderan partai politik. Dengan menitikberatkan pada partai kader, pelatihan kader yang sistematis dan terarah guna membentuk pemimpin yang demokratis. dan sekaligus efektif. Selain itu, ukuran dan indikator kemajuan kader juga seringkali dikaitkan dengan posisi kader di dalam struktur partai dan kenegaraan. Kedua, proses ini juga memiliki arti penting pada perubahan sistem rekrutmen pemimpin partai, dengan cara kompetisi yang lebih terbuka, kualifikasi pemimpin yang lebih berkualitas, dan partisipasi seluas mungkin warga partai dan rakyat luas. Manifestasinya dalam hal ini bisa menggunakan sistem konvensi lokal dan nasional, sistem pemilu distrik atau langsung, kualifikasi pribadi dan kepemimpinan calon pemimpin dan partisipasi masyarakat. Op.Cit hlm.274 Arbi Sanit, Pembaharuan Mendasar Partai Politik, (dalam Mahrus Irsyam, Lili Romli (Ed)). hlm. 13-14. 106 107 317 Menurut Gerald M. Pomper, Guru Besar Rutger University Amerika Serikat berpendapat bahwa selain berfungsi sebagai alat untuk menyaring kandidat calon Ketua umum, kongres partai politik memiliki tiga fungsi yaitu 108 : Pertama, melahirkan aturan-aturan seleksi bagi rekrutmen dan keanggotaan partai. Kedua, wadah untuk memenuhi elektoral suara dan memenangkan pemilu, dan Ketiga, kongres partai dilakukan untuk menetapkan platform partai yang biasanya didasarkan pada aksi-aksi pemerintah yang sedang berkuasa. Sejarah Singkat Pembentukan dan Berdirinya partai Demokrat Partai Demokrat didirikan atas inisiatif saudara Susilo Bambang Yudhoyono yang terilhami oleh kekalahan terhormat saudara Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilihan Calon wakil Presiden dalam Sidang MPR tahun 2001. Dari perolehan suara dalam pemilihan cawapres dan hasil pooling public yang menunjukkan popularitas yang ada pada diri Susilo Bambang Yudhoyono (selanjutnya disebut SBY), beberapa orang terpanggil nuraninya untuk memikirkan bagaimana sosok SBY bisa dibawa menjadi Pemimpin Bangsa dan bukan direncanakan untuk menjadi Wakil Presiden RI tetapi menjadi Presiden RI untuk masa mendatang. Hasilnya adalah beberapa orang diantaranya saudara Vence Rumangkang menyatakan dukungannya untuk mengusung SBY ke kursi Presiden, dan bahwa agar cita-cita tersebut bisa terlaksana, jalan satu-satunya adalah mendirikan partai politik. Perumusan konsep dasar dan platform partai sebagaimana yang diinginkan SBY dilakukan oleh Tim Krisna Bambu Apus dan selanjutnya tehnis administrasi dirampungkan oleh Tim yang dipimpin oleh saudara Vence Rumangkang. Juga terdapat diskusi-diskusi tentang perlunya berdiri sebuah partai untuk mempromosikan SBY menjadi Presiden, antara lain : Pada tanggal 12 Agustus 2001 pukul 17.00 diadakan rapat yang dipimpin langsung oleh SBY di apartemen Hilton. Rapat tersebut membentuk tim pelaksana yang mengadakan pertemuan secara marathon setiap hari. Tim itu terdiri dari : (1). Vence Rumangkang, (2). Drs. A. Yani Wahid (Alm), (3). Achmad Kurnia, (4). Adhiyaksa Dault, SH, (5).Baharuddin Tonti, (6). Shirato Syafei. Di lingkungan kantor Menkopolkampun diadakan diskusi-diskusi untuk pendirian sebuah partai bagi kendaraan politik SBY dipimpin oleh Drs. A. Yani Wachid (Almarhum). Pada tanggal 19 Agustus 2001, SBY memimpin langsung pertemuan yang merupakan cikal bakal pendirian dari Partai Demokrat. Dalam pertemuan tersebut, saudara Vence Rumangkang menyatakan bahwa rencana pendirian partai akan tetap dilaksanakan dan hasilnya akan dilaporkan kepada SBY. Selanjutnya pada tanggal 20 Agustus 2001, saudara Vence Rumangkang yang dibantu oleh saudara Drs. Sutan Bhatoegana berupaya mengumpulkan orang-orang untuk merealisasikan pembentukan sebuah partai politik. Pada akhimya, terbentuklah Tim 9 yang beranggotakan 10 (sepuluh) orang yang bertugas untuk mematangkan konsep-konsep pendirian sebuah partai politik yakni: (1) Vence Rumangkang; (2) Dr. Ahmad Mubarok, MA.; (3) Drs. A. Yani Wachid (almarhum); 108 Mengutip tulisan Thesis oleh SufardiNurzain, “Representasi Elit olitik di Surat Kabar, Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Kompetisi Akbar Tandjung dan H.M. Jusuf Kalla Dalam Perebutan Ketua Umum Pada Munas Golkar VII di Harian Kompas, Harian Media Indonesia, dan Suara Karya”, Program Pasca Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia, 2006, hlm. 20 318 (4) Prof. Dr. Subur Budhisantoso; (5) Prof. Dr. Irzan Tanjung; (6) RMH. Heroe Syswanto Ns.; (7) Prof. Dr. RF. Saragjh, SH., MH.; (8) Prof. Dardji Darmodihardjo; (9) Prof. Dr. Ir. Rizald Max Rompas; dan (10) Prof. Dr. T Rusli Ramli, MS. Disamping nama-nama tersebut, ada juga beberapa orang yang sekali atau dua kali ikut berdiskusi. Diskusi Finalisasi konsep partai dipimpin oleh SBY. Untuk menjadi sebuah Partai yang disahkan oleh Undang- Undang Kepartaian dibutuhkan minimal 50 (limapuluh) orang sebagai pendirinya, tetapi muncul pemikiran agar jangan hanya 50 orang saja, tetapi dilengkapi saja menjadi 99 (sembilanpuluh sembilan) orang. Pengesahan Partai Demokrat Pada tanggal 10 September 2001 Partai Demokrat didaftarkan ke Departemen Kehakiman dan HAM RI, kemudian pada tanggal 25 September 2001 terbitlah Surat Keputusan Menkeh & HAM Nomor M.MU.06.08.-138 tentang pendaftaran dan pengesahan Partai Demokrat. Dengan Surat Keputusan tersebut Partai Demokrat telah resmi menjadi salah satu partai politik di Indonesia dan pada tanggal 9 Oktober 2001 Departemen Kehakiman dan HAM RI mengeluarkan Lembaran Berita Negara Nomor : 81 Tahun 2001 Tentang Pengesahan Partai Demokrat dan Lambang Partai Demokrat. Kemudian pada tahun 2001 diterbitkan AD/ART yang pertama sebagai peraturan sementara organisasi. Pada tahun. 2003 diadakan koreksi dan revisi sekaligus didaftarkan ke Departemen Kehakiman dan HAM RI sebagai Persyaratan berdirinya Partai Demokrat. Sejak pendaftaran tersebut, AD/ART Partai Demokrat sudah bersifat tetap dan mengikat hingga ada perubahan oleh forum Kongres ini Lahirnya partai Demokrat dilator belakangi beberapa faktor. Pertama, memberikan perahu kepada Susilo Bambang Yudhoyono sebagai tokoh masa depan yang mampu memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia sebagaimana yang diinginkan oleh elit pendiri partai Demokrat. Kedua, para elit pendiri partai menginginkan pemimpin yang demokratis yang mampu memberikan ruang bagi proses pembangunan nasional sehingga gagasan Negara yang demokratis yang sejahtera dapat terwujud. Regenerasi dalam Partai Demokrat Partai Demokrat sebagai sebuah partai politik yang lahir pasca lengsernya kekuasaan Orde Baru tentunya juga menghadapi tantangan sedemikian rupa sebagaimana gambaran per- soalan di atas. Tantangan yang dihadapi oleh Partai Demokrat adalah bagaimana menjalin konsolidasi partai sampai pada tingkat yang paling bawah sehingga terbangun suatu tatanan internal partai yang kuat dan terarah. Persoalannya adalah sebagaimana partai politik lainnya, Partai Demokrat juga tidak urung dari persoalan konflik yang melanda internal partai. Partai yang didirikan tanggal 9 September 2001 itu kemudian menjelma menjadi sebuah kekuatan politik besar di Indonesia. Setelah menduduki peringkat ketujuh pada Pemilihan Umum tahun 2004, Partai Demokrat mampu menjadi pemenang pada Pemilihan Umum tahun 2009 dengan mengantongi lebih dari 20% perolehan suara. Tingginya angka elektabilitas terhadap Partai Demokrat memunculkan beragam spekulasi di tengah-tengah masyarakat, utamanya adalah pada tingkat konsolidasi dan pelembagaan partai. Sebab sebagian kalangan menilai 319 bahwa Partai Demokrat merupakan partai yang lahir premature dan menderita gigantisme dan rawan terhadap penyakit sebagaimana yang melanda partai-partai lain di Indonesia. Pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat Berdasarkan AD/ART Partai Demokrat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21ayat (1) dan (2) tentang Tingkatan Kongres, Musyawarah dan Rapat : “(1) Kongres, Musyawarah dan Rapat Partai Demokrat terdiri atas : a. Kongres. b. Kongres Luar Biasa. c. … (2) Kongres merupakan pemegang kekuasaan tertinggi Partai, …”109 Kemudian dalam 38 dijelaskan bahwa “Kongres yang merupakan kekuasaan tertinggi Partai diadakan 5 (lima) tahun sekali, diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Pusat untuk memusyawarahkan dan mengambil keputusan-keputusan tentang : 1. Laporan pertanggung jawaban Dewan Pimpinan Pusat. 2. Program Umum Partai untuk masa 5 (lima) tahun mendatang. 3. Menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai. 4. Masalah yang bertalian dengan kepentingan Bangsa dan Negara, khususnya yang menyangkut kepentingan rakyat. 5. Memilih dan menetapkan Dewan Pimpinan Pusat.” Pergantian pucuk pimpinan ( baca : Ketua Umum) Partai Demokrat pasca dideklarasikan pada anggal 17 Oktober 2002 di Jakarta Hilton Convention Center (JHCC)110 telah berlangsung sebanyak 4 (empat) kali dengan tiga masa periodesiasi Pimpinan tertinggi pertama partai demokrat terpilih melalui mekanisme Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pertama yang dilaksanakan pada tanggal 18-19 Oktober 2002 di Hotel Indonesia yang dihadiri Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) seluruh Indonesia. Meskipun dalam AD/ART Partai Demokrat Penentuan kursi Ketua Umum Partai melalui mekanisme kongres setiap 5 tahun sekali. Kongres I di Bali Partai Demokrat melaksanakan Kongres I di Bali Beach Hotel, Denpasar, tanggal 20–23 Mei 2005. Kongres I Partai Demokrat di Bali dipimpin oleh sementara oleh Prof. Dr. S Budhiasantoso (Ketua), Vence Rumangkang (Wakil Ketua), E.E. Mangindaan, SIP (Sekretaris), dan anggota masing-masing Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA, Prof. Dr. Rizal Max Rompas, MSc, dan Soekarnotomo. Setelah menyepakati Jadwal Kongres, peserta membahas tata tertib. Pada Kongres I tersebut Peraturan Tatib Kongres dikukuhkan lewat Keputusan Kongres Ke-1 Partai Demokrat Nomor : 02/Kongres Ke-1/Partai Demokrat/2005. Namun menjelang pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat Periode 2005- 2010,dan syarat untuk menjadi Ketua Umum salah satu nya adalah berpendidikan minimal S1. Syarat tersebut Keputusan Kongres I Partai Demokrat 109 110 Lihat AD/ART Partai Demokrat www.demokrat.or.id//sejarah 320 Nomor : 14/Kongres Ke-1/Partai Demokrat/2005 yang berisi tiga pasal. Pasal 1 Keputusan tersebut berbunyi: “Penambahan dictum Perturan Tata Tertib Kongres Ke-1 Partai Demokrat pada Pasal 27 ayat 10 yang berbunyi sebagai berikut; Pendidikan minimal Sarjana (S1).” Pada kongres tesebut berdasarkan hasil pemilihan putaran kedua, Hadi meraih 302 suara menyisihkan dua kandidat lainnya, yakni Subur Budhisantoso 108 suara dan Surato Siswodihardjo 39 suara, dan memilih Susilo bambang Yudhoyono sebagai Ketua Dewan Pembina PD. Dewan Pembina ini mempunyai kuasa pembinaan tertinggi dalam tubuh partai itu. Dan dengan adanya mekanisme Kongres memberikan pengaruh yang besar baik secara internal partai maupun eksternal. Secara internal, dengan adanya kongres maka akan memberikan hak dan kesempatan yang sama bagi setiap kader untuk bisa mencalonkan diri menjadi Ketua Umum partai. Hal ini juga penting untuk pendidikan kematangan berdemokrasi di dalam internal Partai. Para kader akan dapat memberikan sumbangsih pikiran dan pendapatnya untuk diakomodasi pada saat kongres dengan memilih sosok calon Ketua yang dianggap memiliki kesesuaian dengan ide dan kepentingannya. Secara eksternal kongres partai Demokrat berdampak pada peniliain masyarakat umum terhadap pembanguan demokrasi di Partai Demokrat. Perrtarungan Ketua Umum Partai Demokrat yang diberitakan secara terbuka di media cetak dan televisi menjadi pembelajaran politik yang penting bagi masyarakat. Kongres II di Bandung Terdapat perbedaan mencolok dari penyelenggaraan Kongres II Partai Demokrat dibanding kongres, musyawarah nasional, atau muktamar partai lain bahkan dengan perhelatan Kongres I Partai Demokrat lima tahun lalu. Pada Kongres II Partai Demokrat di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, 21-23 Mei 2010, peserta memutuskan memilih terlebih dahulu ketua umum lalu membahas penetapan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, struktur organisasi baru, program kerja dan rencana aksi yang dilakukan dalam sidangsidang komisi Pada hari kedua penyelenggaraan Kongres II Partai Demokrat, terjadi pemungutan suara langsung setelah hampir seharian membahas soal agenda kongres yang berakhir buntu dua kali sebelum akhirnya diputuskan melalui pemungutan suara saat pembahasan agenda kongres. Awalnya peserta kongres "terbelah" dalam menetapkan agenda antara sidang-sidang komisi dan pemilihan ketua umum: mana yang harus didahulukan. Lalu dibuatlah opsi A yakni menggelar sidang-sidang komisi terlebih dahulu kemudian melakukan pemilihan ketua umum dan sebaliknya, opsi B yakni memilih ketua umum terlebih dahulu kemudian mengadakan sidang-sidang komisi. Opsi A sejalan dengan kelaziman dalam berbagai kongres, musyawarah nasional, atau muktamar partai lain bahkan sama dengan Kongres I Partai Demokrat di Bali, 21-23 Mei 2005. Ternyata dalam Kongres II Partai Demokrat, peserta memilih opsi B melalui pemungutan suara langsung secara tertutup. Dan hasilnya sebanyak 375 suara peserta memilih opsi B sedangkan 130 suara memilih opsi A sedangkan empat suara lain dinyatakan rusak. Selain berbeda dengan kelaziman di partai-partai lain, penetapan agenda yang diputuskan dalam Kongres II ini pun berbeda dengan Kongres I di Bali lima tahun lalu. Lima tahun lalu, Hadi Utomo terpilih di penghujung acara kongres 321 setelah sidang-sidang komisi yang membahas soal keorganisasian, pengesahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, serta program kerja dan rencana aksi selesai disepakati bersama oleh peserta kongres. Pada saat pemilihan ketua umum pada kongres partai Demokrat kali ini ada 3 (tiga) calon yang telah menyatakan diri maju sebagai calon ketua umum Partai Demokrat, yaitu : Andi Malarangeng, Anas Urbaningrum, dan Marzukie Ali. Di putaran pertama pemilihan ketua umum, Andi hanya mengantongi 82 suara sedangkan Marzuki 209 suara dan Anas tak terkejar setelah mendominasi 236 suara. Karena tidak ada kandidat yang meraih 50 persen plus satu maka pemilihan berlanjut ke putaran kedua. Pada putaran kedua, meskipun kubu pendukung Andi berkolaborasi dengan pendukung Marzuki, perolehan suara untuk Anas tak terkejar setelah memenangi 280 suara sedangkan Marzuki hanya 248 suara dan tiga suara lain dinyatakan tidak sah. Kongres Luar Biasa Tahun 2013 Puncuk Pimpinan Partai Demokrat fasca berhentinya Anas Urbaningrum dari jabatan Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Kepemimpinan ditubuh Partai Demokrat langsung diambil alih oleh Ketua Dewan Pembina dan juga Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Para Petinggi Partai Demokrat, sebenarnya sudah menyadari akan hal ini. Begitu Anas Urbaningrum menyatakan diri berhenti dari jabatan Ketua Umum DPP Partai Demokrat, seiiring dengan ditetapkannya Anas Urbaningrum sebagai tersangkan dalam kasus dugaan Korupsi pembangunan fasilitas gedung olah raga Hambalang Bogor oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk menyelamatkan Partai Demokrat dari ancaman tidak ikut Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2014, jalan satu-satunya adalah menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) guna untuk mencari Ketua Umum. Karena tanpa melalui KLB Partai Demokrat tidak akan memiliki Ketua Umum yang baru. Sesuai dengan Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat tidak mengenal adanya Pelaksana Tugas (PLT) Ketua Umum. Dan peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga tidak membenarkan atau tidak membolehkan Daftar Calon Sementara (DCS) Anggota Legeslatif ditandatangani oleh Plt Ketua Umum Partai. Majelis Tinggi Partai Demokrat (PD) tengah mempersiapkan Kongres Luar Biasa (KLB) untuk menunjuk ketua umum yang baru. Aturan mengenai KLB diatur di Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) PD. Di Bab IX pasal 100 Anggaran Dasar PD, diatur mengenai tata cara Kongres dan Kongres Luar Biasa. Pasal 100 ayat 1 menegaskan bahwa kongres adalah pemegang kekuasaan tertinggi di partai yang diselenggarakan sekurang-kurangnya 5 tahun. Kongres memiliki 6 kewenangan yakni menetapkan ketua dewan pembina, mengesahkan AD/ART, menetapkan program umum partai, meminta pertanggungjawaban DPP, memilih ketua umum dan formatur, dan menetapkan keputusan lainnya. 322 Pasal 100 ayat 2 mengatur Kongres Luar Biasa (disingkat KLB) mempunyai wewenang dan kekuasaan yang sama dengan kongres. Namun KLB hanya bisa dilakukan dalam kondisi tertentu. Ayat 3 mengatur KLB bisa digelar atas permintaan Majelis Tinggi partai atau sekurang-kurangnya 2/3 jumlah DPD dan 1/2 jumlah DPC. Ayat 4 mengatur KLB harus diusulkan dengan alasan yang jelas. KLB diselenggarakan oleh DPP Partai. Sementara di Anggaran Rumah Tangga Partai mengatur mengenai pemilik suara di KLB Partai Demokrat. Hal itu diatur di Bab VII Anggaran Rumah Tangga tentang peserta kongres. Pasal 37 Anggaran Rumah Tangga mengatur peserta kongres dan kongres luar biasa adalah Majelis Tinggi partai, Dewan Pembina, Dewan Kehormatan, Komisi Pengawas, Dewan Pimpinan Pusat, Dewan Pimpinan Daerah, Dewan Kehormatan Daerah, Komisi Pengawas Daerah, Dewan Pimpinan Cabang, Dewan Perwakilan Luar Negeri, Organisasi Sayap yang telah ditetapkan DPP Partai Demokrat. Hak suara dalam KLB diatur di pasal 43 Anggaran Rumah Tangga, berikut hak suaranya: Dewan Pembina: 5 (lima ) Hak Suara Dewan Pimpinan Pusat: 3 (tiga) Hak Suara Dewan Pimpinan Daerah: 2 (dua) Hak Suara Dewan Pimpinan Cabang: 1 (satu) Hak Suara Dewan Perwakilan Luar Negeri: 1 (satu) Hak Suara111 Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat dilaksanakan pada tanggal 30 maret 2013 di Hotel Inna Grand Bali Beach di Bali. Dalam kongres tersebut penetapan ketua umum dilaksanakan secara aklamasi yaitu penentuan Susilo Bambang Yudhono sebagai ketua umum partai Demokrat menggantikan Anas Urbaningrum tanpa melalui proses voting pemilihan kandidat. Kongres ke-IV di Surabaya Kongres ke IV partai Demokrat dilaksanakan di Surabaya tanggal 13-15 Mei 2015. dan kongres telah menetapkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dalam Kongres IV Demokrat. Sebagai calon tunggal Ketua Umum Partai Demokrat SBY dipercaya untuk memimpin kembali partai yang dibidaninya itu untuk periode 2015-2020. Surat Keputusan penetapan SBY sebagai Ketum PD 2015-2020 dibacakan dalam acara penutupan itu. Seorang Pimpinan Sidang Kongres IV PD,Muhammad Zainul Majdi, membacakan SK no 10 /Kongres IV/PD/V/2015 yang menetapkan Prof Dr Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Umum terpilih Partai Demokrat periode 2015-2020. Penutup 111 Ibid 323 Seperti sebagian besar partai-partai di Indonesia, Partai Demokrat juga dihadapkan pada satu tantangan serius berupa ketergantungan terhadap figur tertentu. Ketergantungan terhadap figur tertentu merupakan konsekuensi dari pembentukan partai yang bersifat top down. Partai didirikan dengan maksud sebagai kendaraan politik bagi figur tersebut untuk meraih kekuasaan. Secara historis pendirian Partai Demokrat lebih ditujukan sebagai kendaraan politik SBY untuk maju dalam Pemilihan Presiden 2004, ketimbang sebagai ikhtiar politik untuk menciptakan sebuah partai modern. Bila saja regulasi undang-undang pemilihan presiden saat itu tidak mewajibkan calon presiden dicalonkan oleh partai, atau dengan kata lain dapat berasal dari jalur independen, boleh jadi Partai Demokrat tidak akan pernah ada. Tingkat popularitas SBY saat itu menunjukkan tren positif jauh melampaui kandidat-kandidat presiden dari partai lain, sehingga meskipun maju melalui jalur independen, bukan hal sulit bagi SBY untuk memenangi pertarungan Pemilihan Presiden 2004. Ketergantungan terhadap seorang figur kemudian membuat partai bersangkutan seolah-olah membiarkan diri berada di bawah dominasi personal figur tersebut. Padahal, menurut Mainwaring112 , salah satu aspek penting untuk melihat apakah partai telah terinstitusionalisasi dengan baik atau tidak ialah ketiadaan dominasi personal dari seorang figur tertentu. Perspektif Randall dan Svasand tentang aspek internal-eksternal dan aspek struktural-attitudinal juga dapat digunakan untuk melihat kualitas institusionalisasi sebuah partai. ï‚· Aspek internal berkaitan dengan hubungan antarbagian di dalam partai ï‚· Aspek eksternal berkaitan dengan hubungan antara partai dan publik serta lembaga lain. ï‚· Aspek struktural berkaitan dengan struktur di dalam partai. ï‚· Aspek attitudinal berkaitan dengan sikap publik terhadap partai. Bila berbagai aspek itu dipersilangkan akan menghasilkan model berikut: (1) Derajat kesisteman suatu partai sebagai hasil persilangan aspek internal dengan struktural; (2) Derajat identitas nilai suatu partai sebagai hasil persilangan aspek internal dengan attitudinal; (3) Derajat otonomi suatu partai dalam pembuatan keputusan sebagai hasil persilangan aspek eksternal dengan struktural, dan (4) Derajat pengetahuan atau citra publik terhadap suatu partai sebagai persilangan aspek eksternal dengan attitudinal.113 Dari empat hasil persilangan di atas, derajat kesisteman paling dirujuk untuk melihat apakah sebuah partai telah terinstitusionalisasi dengan baik. Derajat kesisteman adalah proses pelaksanaan fungsi-fungsi partai, seperti sejauh mana fungsi-fungsi partai berjalan dan penuntasan konflik internal sesuai dengan anggaran dasar/anggaran rumah tangga. 112 Scott Mainwaring, Party System in The Third Wave, (Jurnal of Democracy Vol.9 ; 1998), hlm. 67-81 113 Vicky Randall dan Lars Svasand, Party Instituzional in New Democracies, (dalam Party Politics, Vol.8 No.1 ,2002), hlm.13 324 Di masa-masa awal Partai Demokrat berdiri, relasi terjalin antara partai berlambang mercy tersebut dan SBY, ialah relasi saling menguntungkan. Partai Demokrat membutuhkan figur dengan popularitas sangat tinggi seperti SBY, agar kehadiran mereka sebagai partai baru dikenal publik sekaligus mendulang suara signifikan. SBY memerlukan Partai Demokrat sebagai kendaraan politik untuk maju dalam pertarungan Pemilihan Presiden 2004. Pemilu 2009 menjadi puncak dari relasi saling menguntungkan antara Partai Demokrat dan SBY. Suara Partai Demokrat naik hampir tiga kali lipat menjadi 20,85% dalam Pemilu Legislatif 2009. SBY terpilih kembali untuk kali kedua sebagai presiden dengan perolehan suara 60,80%. Namun, relasi saling menguntungkan tersebut perlahan-lahan mulai bergeser menjadi menguntungkan salah satu pihak Partai Demokrat saja. Bermula saat Partai Demokrat diterpa prahara pascapenetapan tersangka korupsi terhadap ketua umum saat itu Anas Urbaningrum, Partai Demokrat kemudian mendaulat SBY untuk turun gelanggang dari ketua dewan pembina menjadi ketua umum. Keberadaan SBY sebagai ketua umum terbukti cukup efektif untuk menghindarkan Partai Demokrat dari keterpurukan dalam Pemilu Legislatif 2014. Partai Demokrat meraih 10,19% suara sekaligus mematahkan analisis sejumlah pihak sebelum pelaksanaan pemilu legislatif, yakni Partai Demokrat diprediksi cuma mampu meraih suara sebesar 5% dalam Pemilu Legislatif 2014. Kondisi tersebut menunjukkan betapa Partai Demokrat kembali diuntungkan oleh keberadaan figur SBY. Tanpa perlu kerja ekstra dan cucuran keringat deras dari para kader partai, dapat terselamatkan dari keterpurukan lebih dalam, hanya dengan menempatkan SBY di garis terdepan sebagai ketua umum. Akan tetapi, kondisi terbalik justru dirasakan oleh SBY selaku pendiri partai tersebut. Dengan bersedia turun gelanggang menjabat sebagai ketua umum sekaligus ketua dewan pembina, SBY dinilai publik sebagai figur kemaruk jabatan politik apalagi, saat itu SBY juga ialah Presiden Republik Indonesia. Praktis ketika itu tidak ada tokoh politik lain di Indonesia yang mampu menandingi kekuasaan politik yang dimiliki oleh SBY. Lemahnya Kepemimpinan Lemahnya kepemimpinan partai ini tidak hanya berdampak kepada partai itu sendiri, tetapi juga berdampak kepada kepemimpinan nasional. Jamak diketahui, partai politik memiliki fungsi rekrutmen politik yang salah satu muaranya adalah lahirnya pemimpin-pemimpin yang unggu. Aspek ini mesti menjadi perhatian partai politik sehingga dalam suksesi yang mereka lakukan tidak hanya mengandalkan figure-figur lama sehingga memperlambat proses regenerasi untuk kepemimpinan bangsa. Mengapa partai politik sulit melahirkan pemimpin baru dari kalangan mereka sendiri? Sulit dinafikan bahwa pertimbangan pragmatis justru menjadi dominan dalam menetukan pemimpin partai politik. Karena itu mendudukkan kembali figur partai dalam kepengurusan menjadi pilihan yang mudah. Bahkan 325 tidak jarang kelompok yang mendukung status quo di kepengurusan tetap ingin memperjuangkan ketua lama karena pertimbangan keuntungan yang mereka dapatkan. Keadaan ini jelas mengancam masa depan partai politik, terutama dari bangunan system ideology yang ditawarkan kepada pendukungnya. Jika ditanyakan kepada kader partai baik yang ada ditingkat wilayah maupun daerah apakah mereka paham dengan manifesto partai poltik yang mereka ikuti, maka akan didapati kegagapan mereka menjawabnya. Fakta ini merupakan implikasi dari kuatnya loyalisats mereka kepada figur ketimbang loyalitas kepada partai. Semua ini berhulu dari system ideology partai yang masih lemah sehingga dukungan mereka kepada partai juga rendah. Untuk masa yang akan datang, perlu kiranya disamping adanya regulasi yang baku untuk sistem kepartaian di Indonesia, juga perlu untuk membuat aturan internal yang mengatur tentang syarat untuk seorang dapat menjadi ketua umum partai politik misalnya kader yang telah menjadi anggota minimal 5 (lima( tahun) sehingga memahami misi dan visi serta platform partai yang menaunginya, kemudian memiliki pengalaman sebagai pengurus partai politik minimal di tingkat wilayah. Dan tak kalah pentingnya seorang calon ketua umum partai politik paling tidak dalam proses pencalonannya perlu melakukan semacam konvensi ditingkat daerah untuk memaparkan visi misinya sehingga kader didaerah juga bisa melakukan penilaian terhadap calon ketua umum nya tersebut. Hal ini merupakan salah satu cara untuk mulai menghilangkan factor figure dan patron dalam pemilihan ketua umum partai politik dan akan membuat seluruh kader serta pengurus di akar rumput mengenal dan mengetahui dengan benar sosok ketua umum yang akan dipilihnya. 326 DAFTAR PUSTAKA Amal, Ichsanul (ed), 1996, ed., Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta, Tiara Wacana Akbar, Faisal, 2005, Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono; Mencari Jawab Sebuah Masa Depan, Jakarta, Gramedia Boroma, suhendro, 2010, Sejarah dan Kemenangan Partai Demokrat, Jakarta, Jala Permata, edisi revisi Bambang Cipto, 1996. Prospek dan Tantangan Partai Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bobby Triadi, 2010. Kilas Balik 9 Tahun Partai Demokrat. Jakarta: Majalah Demokrat-Dian Rakyat. Firmansyah, 2011. Mengelola Partai Politik, Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Giovanni Sartori, 1976. Parties and Party System:AFrameworkforAnalysis. Cambridge: Cambridge University Press Kelly, Norm & Sefakor Ashiagbor, Partai Politik Dan Demokrasi Dalam Perspektif Teoritis Dan Praktis, Kelompok Parlemen, National Democratic Institute Mainwaring, Scott, 1998, Party System in The Third Wave, Jurnal of Democracy Vol.9 Miriam Budiardjo, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Miriam Budiardjo, 1998. Partisipasi dan Partai Politik; Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia Maor, Moshe, 1997, Political Parties & Party Systems : Comparative Approaches & the British Experience, London and New York, Routledge Pahmy Sy, 2010. Politik Pencitraan. Jakarta: Gaung Persada Press. Randall,Vicky & Svasand, 2002, Party Instituzional in New Democracies, dalam Party Politics, Vol.8 No.1 Sanit, Arbi, Pembaharuan Mendasar Partai Politik, (dalam Mahrus Irsyam, Lili Romli (Ed)) Surbakti,Ramlan, 1992, Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Warre, Alan, 1996, Political Parties and Party Systems, New York, Oxford University Press SITUS INTERNET: http://id.wikipedia.org/wiki/sistem http://www.demokrat.or.id 327 DEMOKRASI INTERNAL PARTAI: KETIKA PARTAI MEMILIH PEMIMPINNYA ABSTRAK Tulisan ini mengkaji mengenai demokrasi internal partai politik dalam hal seleksi kepemimpinan partai. Pemimpin partai politik menempati peran sangat penting dalam organisasi partai. Keberadaan partai tidak bisa dilepaskan dari kehadiran pemimpinnya. Pemimpin partai politik biasanya dipilih atau diseleksi melalui mekanisme internal partai, sekaligus menandai apakah demokrasi internal partai berjalan. Hal itu terkait dengan bagaimana proses seleksi apakah mencerminkan aspek-aspek seperti transparansi, akuntabilitas, maupun partisipatif. Namun, dalam praktiknya proses seleksi kepemimpinan partai kerap belum memenuhi hal tersebut. Menggunakan metode deskriptif dan studi literatur kajian ini memperlihatkan proses seleksi kepemimpinan partai sebagian masih belum cukup membuka kesempatan akan ruang kompetisi. Di antaranya, aturan seleksi yang mengarah pada upaya melanggengkan dominasi figur atau kelompok tertentu, sehingga tidak cukup memberikan kesempatan terbuka bagi munculnya figur lain. Kondisi ini membuat partai cukup sulit untuk melepaskan ketergantungan dari figur utama. Selain itu, proses seleksi juga sebagian diwarnai dengan praktik politik uang, yang menjadikannya sebagai salah satu faktor keterpilihan seorang pemimpin partai. Kata Kunci: Demokrasi Internal Partai, Seleksi Kepemimpinan, Pemimpin Partai, Aturan Pemilihan, Politik Uang Penulis: Ridho Imawan Hanafi Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Widya Graha, Lantai 11 Jl. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta Selatan, 12710 Telepon: 081283262251 Email: [email protected] 328 DEMOKRASI INTERNAL PARTAI: KETIKA PARTAI MEMILIH PEMIMPINNYA Ridho Imawan Hanafi Kata Kunci: Demokrasi Internal Partai, Seleksi Kepemimpinan, Pemimpin Partai, Aturan Pemilihan, Politik Uang Pendahuluan Seleksi pemimpin partai merupakan salah satu keputusan penting yang dibuat partai politik. Karena pemimpin partai diasumsikan memiliki kekuasaan yang besar dalam pembuatan berbagai keputusan-keputusan internal partai.114 Pemimpin partai adalah mereka yang berada di posisi strategis yang bisa mendefinisikan kebijakan partai dan mempromosikan isu-isu baru yang bisa menjadi agenda partai. Pemimpin partai adalah koordinator kegiatan partai, ia bisa mengawasi tindakan para menteri dan anggota parlemen yang berasal dari partainya, dan memastikan semua anggotanya mematuhi garis partai. Pendeknya, pemimpin partai menjadi focal point dari partai politik.115 Karena posisi yang penting seperti itu, partai politik sulit untuk tidak memberi perhatian lebih setiap kali akan melakukan pemilihan pemimpinnya. Pemilihan pemimpin partai merupakan salah satu bentuk dari demokrasi internal partai. Umumnya, partai di Indonesia melewatkan proses pemilihan pemimpinnya dengan cara menggelar kongres, musyawarah nasional, atau muktamar, yang dilaksanakan pada periode tertentu sesuai dengan kebutuhan internal partai. Mengingat partai bukan sebagai entitas monolitik yang di dalamnya meniscayakan adanya silang pendapat, maka untuk mendapatkan figur yang dipercaya memimpin partai tidaklah mudah. Sebagian partai melewatkannya dengan sebuah kompetisi internal yang tidak jarang melahirkan kegaduhan dan menyisakan pertentangan yang rumit.116 Sebagai ajang perebutan kekuasaan di internal partai, proses pemilihan pemimpin partai kerap dibarengi dengan praktik yang tidak sehat bagi perkembangan partai itu sendiri. Meskipun dalam hal ini partai juga selalu memiliki mekanisme yang mengatur segala prosedur pemilihan pemimpin, namun bukan tidak mungkin terbuka celah untuk melakukan upaya manipulatif. Hal ini dilakukan dengan maksud ingin memenangkan pertarungan, melanggengkan dominasi kelompok, atau meminggirkan kelompok lainnya. Proses pemilihan yang diharapkan melahirkan pemimpin yang sesuai dengan mekanisme internal partai bukan lagi William P. Cross dan Andrea Blais, Politics at the Centre: The Selection and Removal of Party Leaders in the Anglo Parliamentary Democracies, (Oxford, United Kingdom: Oxford University Press, 2012), hlm. 1-3. 115 William Cross dan Jean-Benoit Pilet, The Politics of Party Leadership: A Cross-National Perspective, (Oxford, United Kingdom: Oxford University Press, 2015), hlm. 1-2. 116 Ridho Imawan Hanafi, “Memilih Pemimpin Partai”, Harian Kompas, 16 Mei 2016. 114 329 menjadi ajang pembelajaran demokrasi internal karena di dalamnya justru dilaksanakan dengan proses yang mengingkari nilai-nilai demokrasi. Kondisi seperti itu jelas mengingkari posisi dan peran partai politik. Partai politik merupakan lembaga kunci dalam sebuah sistem demokrasi. Ia bisa mengerahkan dukungan pemilih untuk para calon yang diajukan, dengan maksud merebut jabatan pemerintahan. Partai juga memadukan berbagai kepentingan untuk menawarkan berbagai kebijakan dan pilihan alternatif untuk pemilih. Karena posisi dan perannya itu, maka partai politik dituntut berfungsi baik salah satunya menjalankan demokrasi internalnya dalam hal seleksi kepemimpinan partai. Nilainilai dan praktik demokrasi menjadi penting bagi partai politik, karena tidak masuk akal jika suatu partai politik menuntut kehidupan politik yang demokratis, namun tidak mempraktikkan demokrasi dalam tubuhnya sendiri.117 Dalam konteks tersebut, tulisan ini menjelaskan mengenai bagaimana proses pemilihan kepemimpinan partai di Indonesia setelah era reformasi dalam kerangka demokrasi internal partai. Terkait itu, hal apa yang bisa mempengaruhi proses pemilihan partai dan mengapa dalam prosesnya kerap memperlihatkan gejolak yang mengarah pada gesekan yang bisa mengancam soliditas partai. Selain itu juga menelaah tantangan partai politik terhadap kuatnya figur utama partai yang membuat partai cukup sulit untuk melepaskan ketergantungan pada figur tersebut, sehingga menganggu proses regenerasi dan kaderisasi. Demokrasi Internal Partai: Kerangka Konseptual Demokrasi internal partai diartikan bahwa partai memiliki aturan dan prosedur yang bersifat impersonal atau tidak tergantung pada orang atau figur untuk menghindari terjadinya kontrol sewenang-wenang dalam pemilihan internal dan berfungsinya partai di bawah kendali pimpinan partai atau klik tertentu. Aturan seperti itu wajib dijalankan partai, karena jika diabaikan partai tersebut tidak akan melembaga dan tidak demokratis. Demokrasi internal partai berarti seluruh komponen dan fungsionaris partai mengikuti proses yang benar dan akuntabel terhadap segenap anggota serta organ-organ yang sah tercantum dalam Anggaran Dasar.118 Seleksi pemimpin partai sendiri merupakan salah satu fungsi utama partai yang bisa memberikan ruang partisipasi bagi anggotanya sehingga menghindari cara yang sangat eksklusif melalui smoked-fill rooms.119 Pentingnya partai politik menerapkan demokrasi secara internal dijelaskan Robert Michels melalui Iron Law of Oligarchy (Hukum Besi Oligarki) yang menengarahi bagaimana sebuah organisasi politik yang memiliki lingkup yang tidak kecil seperti partai politik cenderung dikelola secara oligarkis, hanya dikuasai oleh segelintir Netherlands Institute for Multiparty Democracy (NIMD), Institutional Development Handbook: A Framework for Democratic Party-Building, (The Hague: NIMD, 2004), hlm. 11. 118 Ibid. 119 Ofer Kenig, The Democratization of Party Leaders’ Selection Methods: Canada in Comparative Perspective, Prepared for delivery at the Canadian Political Science Association Annual Conference, May 2009, University of Carleton, Ottawa, hlm. 1-16. 117 330 elitenya.120 Menurut Michels, organisasi sendiri pada awalnya idealistik dan demokratis kemudian didominasi oleh sekelompok kecil pemimpin yang menggunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri. Di sini, partai politik cenderung dikelola secara oligarkis karena kegiatan sehari-hari tidak mungkin dikelola oleh keanggotaan massal. Maka, tidak mungkin memanggil massa anggota bersidang setiap kali partai politik hendak membuat keputusan. Hanya mereka kalangan kecil yang memiliki kecukupan waktu memimpin dan mengarahkan organisasi.121 Menurut William P. Cross dalam Party Leadership Selection and Intra-Party Democracy (2013), menelaah demokrasi internal partai berarti berfokus pada bagaimana distribusi internal kekuasaan dalam sebuah partai politik. Fokus akan distribusi internal ini dikarenakan munculnya sejumlah kritik yang ditujukan kepada partai politik akan pengelolaannya yang hirarkis. Pengelolaan partai menyempit ke seorang pemimpin tunggal dan distribusi pengaruhnya hanya bisa dinikmati oleh beberapa kalangan, dan hanya sedikit wewenang yang bisa dibagi di antara aktivis partai.122 Hal yang kemudian mendorong agar partai politik melakukan upaya reformasi struktur dan praktik internal partai untuk membuka keterlibatan anggota dalam pilihan calon untuk jabatan publik, menyeleksi pemimpin partai, serta merumuskan atau mendefinisikan kebijakan partai.123 Susan Scarrow mencatat tiga variabel yang bisa digunakan untuk mengimplementasikan demokrasi internal. Pertama, seleksi kandidat. Merekrut dan memilih kandidat merupakan tugas penting bagi partai, karena profil partai selama pemilu akan banyak ditentukan oleh kandidat yang dipilih. Seleksi kandidat terkait antara lain dengan siapa yang menentukan kelayakan kandidat, apa prosedur yang digunakan, apakah pemimpin partai harus menominasikan dan memilih kandidat? Kedua, seleksi pemimpin partai. Variabel ini antara lain mencakup siapa yang bisa berpartisipasi sebagai pemilih, bagaimana batasan atau aturan yang ditetapkan sebagai kandidat dalam pemilihan internal, siapa yang mengawasi prosesnya? Ketiga, mengatur kebijakan partai. Siapa yang menentukan substansi atau konten janji partai di pemilu. Selain itu juga bagaimana peran anggota dalam partisipasinya di forum partai, pertemuan konsultasi, atau merumuskan platform partai.124 Ramlan Surbakti dan Didik Supriyanto, Mendorong Demokratisasi Internal Partai Politik, (Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2013), hlm. 5. 121 Ibid. 122 William P. Cross, “Party Leadership Selection and Intra-Party Democracy”, dalam William, P. Cross dan Richard S. Katz (eds), The Challenges of Intra-Party Democracy, (Oxford, United Kingdom: Oxford University Press, 2013), hlm. 100. 123 William P. Cross dan Rizchard S Kartz, “The Challenges of Intra-Party Democracy”, dalam William, P. Cross dan Richard S. Katz (eds), The Challenges of Intra-Party Democracy, (Oxford, United Kingdom: Oxford University Press, 2013), hlm. 2. 124 Susan Scarrow, Political Parties and Democracy in Theoretical and Practical Perspective: Implementing Intra-Party Democracy, (Washington DC: The National Democratic Institute for International Affairs, 2005), hlm. 7-10. 120 331 Sementara Netherlands Institute for Multiparty Democracy (NIMD) menjelaskan setidaknya ada beberapa hal yang perlu dilakukan partai politik dalam melaksanakan demokrasi internal di antaranya, menyatakan secara eksplisit dalam anggaran dasar partai mengenai nilai-nilai demokratis yang mendasar, seperti pluralisme, toleransi, mengikutsertakan semua pihak (inklusivisme), kesetaraan gender, dan akuntabilitas. Juga adanya keberadaan mekanisme internal untuk menyelesaikan konflik secara demokratis dan potensi konflik. Di sini menjadi sangat penting penerapan secara tepat anggaran dasar serta keputusankeputusan partai yang secara demokratis diterima. Juga partai menyelenggarakan pemilihan internal partai secara berkala dan cermat, serta adanya prosedur seleksi terbuka bagi para pejabat partai dan calon bagi jabatan publik yang dipilih.125 Dalam hal seleksi kandidat, studi Hazan dan Rahat menjelaskan bahwa terdapat beberapa metode: selektorat (Selectorat), pencalonan (Candidacy), desentralisasi (Decentralization), dan voting versus penunjukan (Voting vs Appointment). Selektorat merupakan badan yang menyeleksi kandidat atau penyeleksi mereka yang akan maju sebagai kandidat. Pencalonan, terkait dengan siapa yang dapat menampilkan dirinya sebagai kandidat. Desentralisasi, berarti kontrol atas seleksi kandidat beralih dari nasional ke lokal. Desentralisasi memastikan representasi dari daerah atau lokal. Sementara voting versus penunjukkan, terkait dengan prosedur pemungutan suara dalam memilih kandidat. Ketika selektorat adalah pemimpin partai tunggal maka merujuk sistem penunjukan, sementara jika lebih dari satu orang bisa sistem penunjukan atau voting.126 Yang bisa dicatat di sini adalah demokrasi internal partai menggambarkan berbagai metode musyawarah dan mekanisme pengambilan keputusan internal. Terdapat keragaman dan tidak ada satu rangkaian praktik yang dianggap paling tepat dan cocok bisa diterapkan partai. Apakah penekanannya terkait partisipasi, inklusivitas, sentralisasi, akuntabilitas atau hanya pada hasil.127 Beberapa prosedur yang dianggap baik bisa cocok untuk beberapa keadaan tetapi tidak untuk keadaan lainnya.128 Antara metode seleksi kandidat pemimpin dan tipe partai politik juga bisa berpengaruh. Seperti dijelaskan dalam studi Marco Lisi, Andre’ Freire, dan Oscar Barbera, yang memperlihatkan kaitan antara perbedaan ideologi, organisasi, dan metode seleksi kepemimpinan partai. Selain juga perbedaan tersebut ikut disebabkan atau dibentuk oleh sistem politik negara bersangkutan dan waktu.129 Netherlands Institute for Multiparty Democracy, op. cit., hlm. 12. Reuven Y. Hazan dan Gideon Rahat, “Candidate Selection: Methods and Consequences”, dalam Richard S Katz. dan William Crotty (Eds.), Handbook of Party Politics, (London: Sage Publications, 2006), hlm. 110-113. Lihat juga Reuven Y. Hazan dan Gideon Rahat, Democracy within Parties: Candidate Selection Methods and Their Political Consequences, (Oxford, United Kingdom: Oxford University Press, 2010), hlm. 19-72. 127 William P. Cross dan Rizchard S Kartz, op. cit., hlm. 2. 128 Susan Scarrow, op. cit., hlm. 3. 129 Marco Lisi (et al), “Leadership Selection Methods and Party Types”, dalam William Cross dan Jean-Benoit Pilet, The Politics of Party Leadership: A Cross-National Perspective, (Oxford, United Kingdom: Oxford Scholarship Online: January 2016), hlm. 1-28. 125 126 332 Meskipun demokrasi internal sangat penting bagi partai, namun demokrasi partai internal juga dianggap memiliki sejumlah risiko. Terlalu banyak demokratisasi partai secara internal akan berakibat “overly dilute the power of a party’s inner leadership and make it difficult for that party to keeps its electoral promise”. Prosedur seleksi kandidat yang terlalu terbuka atau terlalu cepat dibuka akan menciptakan konflik antar faksi dalam partai sehingga pada gilirannya akan membuat partai menjadi organisasi yang tidak efektif, sekaligus juga akan memperlemah kapasitas partai dalam pemilihan umum.130 Metode seleksi kandidat yang terbuka dalam beberapa kasus justru meningkatkan kekuasaan sekelompok kecil elite. Maurice Duverger, misalnya, melihat kontradiksi antara demokratisasi partai politik dan efisiensi. Suatu partai mungkin saja secara internal dikelola secara demokratis, tetapi partai “is not well armed for the struggles of politics”.131 Sebaliknya, makin efisien pengelolaan organisasi partai, yang berarti partai secara internal dikelola kurang demokratis, semakin efektif partai dalam mewujudkan misinya. Namun, pandangan ini lebih dilihat dari sisi efektivitas organisasi daripada kesesuaian apa yang dikerjakan oleh partai secara efektif dengan aspirasi dan kehendak para anggota partai politik. Tidak dalam segala hal demokrasi bersifat kontradiktif dengan efisiensi.132 Meskipun demokrasi internal partai bisa saja akan dinilai tidak selalu menjadi obat mujarab (panacea), namun yang perlu ditegaskan adalah dengan demokrasi internal partai dapat memperkuat budaya demokrasi baik dalam internal partai maupun masyarakat.133 Bagi partai, dengan menerapkan demokrasi internal cenderung akan memilih mereka yang memiliki kecakapan atau kompetensi yang dikehendaki publik, bisa merumuskan kebijakan-kebijakan yang responsif, partai bisa merekrut dan menseleksi kandidat yang baik, yang ujungnya nanti partai bisa memetik keuntungan berupa keberhasilan mereka di pemilu. Tidak hanya itu, demokrasi internal juga memberikan kontribusi untuk stabilitas dan legitimasi sistem demokrasi di mana partai-partai ini bersaing dalam perebutan kekuasaan secara positif.134 Kongres, Munas, Muktamar: Arena Pemilihan Setiap partai politik memiliki agenda periodik dalam hal memilih atau melakukan pergantian pemimpin. Proses yang biasa mereka namakan kongres, muktamar, atau musyawarah nasional (munas) tersebut digelar dengan prosesi yang biasanya mengundang publikasi besar di media massa. Karena pada momentum ini partai melaksanakan kerja politik rutinan yang di dalamnya terdiri atas sejumlah agenda di antaranya, memilih pemimpin partai, menilai laporan pertanggungjawaban dewan pimpinan pusat partai, pembaruan atau revisi peraturan internal partai (AD/ART), penetapan keputusan-keputusan penting partai, perumusan program Ramlan Surbakti dan Didik Supriyanto, op. cit., hlm. 9. Ibid. 132 Ibid., hlm. 10. 133 Susan Scarrow, op. cit., hlm. 3. 134 Ibid. 130 131 333 dan platform partai, dan lainnya.135 Namun, di antara sederet agenda tersebut yang sering mendapat perhatian lebih baik dari internal maupun eksternal adalah mengenai suksesi kepemimpinan partai. Agenda lainnya bukan berarti tidak penting atau sekadar sebagai pelengkap seremoni. Hanya saja, agenda memilih pemimpin memang dilihat lebih karena posisi politik sosok yang memegang kendali kuasa tertinggi partai. Karena jika diihat sejauh ini, apa yang berlangsung dalam kehidupan partai politik khususnya setelah konsolidasi partai dilakukan melalui berbagai ajang rutinan tersebut lebih banyak menunjukkan betapa menonjolnya kekuatan sosok kepemimpinan dalam tubuh partai.136 Dalam rangka itu, ajang politik yang dianggap sebagai forum tertinggi partai tersebut tidak saja sebagai kesempatan bagi partai politik untuk mendapatkan pemimpin yang diinginkan, melainkan juga sebagai momentum pertaruhan bagi partai ke depan. Karena dengan hadirnya pemimpin akan menentukan masa depan partai, terutama dalam pemilihan umum, setidaknya untuk periode yang ditentukan. Di luar itu, forum tertinggi merupakan kesempatan yang bisa digunakan partai untuk memberi peluang bagi kader-kader terbaik partai untuk maju berkompetisi memperebutkan kursi pemimpin partai. Meskipun dalam perjalanannya pada sebagian partai proses seperti itu tidak mudah, namun partai menjadikannya sebagai upaya memperlihatkan bahwa partai bukan menjadi milik kelompok tertentu. Forum juga bisa digunakan sebagai ajang partai melakukan konsolidasi dengan melibatkan sebagian besar kader yang duduk di pengurusan partai untuk membahas sejumlah agenda politik partai. Dengan demikian, forum tersebut sebenarnya juga menjadi ajang menunjukkan bagaimana proses berjalannya demokrasi internal di partai, apakah sudah sesuai dengan mekanisme yang disepakati bersama atau sebaliknya, terutama pada agenda seleksi kepemimpinan partai. Sebagai sarana untuk menentukan keputusan penting, forum di atas biasanya diikuti oleh banyak orang partai yang disebut sebagai peserta. Mereka terdiri atas pengurus atau perwakilan partai mulai dari tingkat pusat sampai daerah. Konsekuensi dari itu mereka biasanya juga memiliki hak bicara dan hak suara dalam forum. Mengenai hak suara peserta dibatasi hanya untuk para perwakilan pengurus partai yang telah mendapat mandat. Dalam hal seleksi pemilihan partai reguler, setidaknya terdapat dua model proses yang bisa dilihat. Pertama, model pemilihan yang melibatkan peserta forum tertinggi dan model pemilihan yang hanya ditentukan oleh sejumlah elite partai. Pada model pertama, dilakukan sebagian partai seperti PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, PKB, PAN, Partai Nasdem, PPP, dan Partai Hanura. Sementara pemilihan model kedua dilakukan oleh PKS. Umumnya, partai politik di Indonesia menyebut bahwa kongres, muktamar, atau musyawarah nasional sebagai forum yang memiliki kekuasaan tertinggi di partai. Forum reguler partai tersebut disebutkan dalam peraturan internal partai dengan sejumlah wewenangnya. 136 Bastian Nainggolan dan Yohan Wahyu (Ed), Partai Politik Indonesia 1999-2019: Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2016), hlm. 2. 135 334 Pada model pertama, seleksi kepemimpinan partai dilaksanakan dengan melibatkan seluruh peserta yang memiliki hak suara di forum. Pemilik hak suara adalah delegasi partai yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam peraturan internal partai.137 Forum seringnya juga memiliki kepanitiaan khusus yang menangani agenda ini. Apakah nanti proses pemilihan dilaksanakan dengan jalan pemungutan suara (voting) atau aklamasi akan terlihat dari kebutuhan dan proses dinamika politik internal partai. Sementara pada model kedua seperti yang dilakukan PKS, pemilihan dan penetapan pemimpin partai tidak melibatkan sejumlah peserta dalam forum partai karena wewenang untuk hal itu berada di tangan Ketua Majelis Syura. Majelis Syura merupakan majelis tertinggi partai yang berfungsi sebagai lembaga Majelis Permusyawaratan Partai dan dipimpin oleh seorang ketua.138 Ketika partai memilih untuk melakukan model pemilihan pemimpinnya dengan melibatkan partisipasi banyak peserta di forum tertingginya, salah satu keuntungannya proses seleksi bisa dilakukan terbuka. Tidak hanya kader partai, publik juga bisa mengakses dinamika pemilihan, sehingga apa yang terjadi dalam prosesnya bisa disorot. Namun, pada proses seperti ini tidak jarang dilalui dengan persaingan yang keras, bahkan jika tidak bisa mengelolanya bisa memunculkan keretakan internal. Sementara pilihan model kedua, proses seleksi pemimpin tidak bisa melibatkan partisipasi yang luas dari anggota partai mengingat hal ini hanya akan ditentukan oleh sebagian elite partai. Akibatnya, pilihan ini tidak bisa diakses oleh kader partai yang luas apalagi publik. Namun, dalam pilihan ini salah satu keuntungannya adalah bisa menghindarkan partai dari gesekan terbuka yang mengganggu soliditas internalnya. Aturan Pemilihan: Pintu Persaingan Kandidat Dalam demokrasi internal partai politik terutama pada seleksi kepemimpinan partai, aturan dan norma seleksi kepemimpinan akan memiliki pengaruh terhadap proses nominasi dan capaiannya.139 Dalam hal ini partai politik itu sendiri yang memiliki kewenangan untuk mengatur proses seleksi pemimpin mereka sebagai praktik dari demokrasi internal. Aturan di luar konstitusi partai tidak memberi seperangkat tata operasional akan bagaimana seleksi kepemimpinan partai. Undang-undang mengenai partai politik sendiri, UU Nomor 2 Tahun 2011, tidak menjelaskan detail tentang mekanisme bagaimana partai harus melaksanakan seleksi kepengurusan. Undang-undang kepartaian cukup menyatakan bahwa pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik itu sendiri.140 Sejumlah partai politik di Indonesia mencantumkan aturan tentang kepemilikan hak suara dari delegasi partai dalam peraturan internal mereka. Misalnya, pada Partai Demokrat. Lihat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrat. 138 Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PKS, Bab VII, Pasal 14. 139 William P. Cross dan Andre Blais, op. cit., hlm. 60. 140 Lihat UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, pada Ketentuan Pasal 23 Ayat 1, misalnya disebutkan bahwa pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART. 137 335 Dengan kata lain, partai politik memiliki kewenangan sendiri untuk mengatur seleksi pemimpinnya, sehingga masing-masing partai prosesnya tidak seragam. Aturan seleksi ini akan terkait dengan isu krusial seperti siapa yang membuat aturan untuk melakukan seleksi, selain itu dari mana otoritas akan hal itu didapat. Bagi sebagian partai politik, aturan bagaimana mereka menseleksi pemimpin tertuang dalam konstitusi partai.141 Hanya saja, dalam konstitusi partai untuk aturan yang lebih spesifik seringnya tidak dituangkan. Umumnya hanya menjelaskan periodesasi kepemimpinan dan forum yang memilihnya. Kalaupun tertuang sedikit rinci, hal itu terkait dengan penjelasan mengenai persyaratan umum siapa yang diperbolehkan maju sebagai nominasi ketua umum. 142 Selebihnya, mekanisme pemilihan pemimpin diatur di dalam pelaksanaan forum kekuasaan tertinggi, yakni berupa tata tertib (tatib) pemilihan. Tata tertib pemilihan merupakan aturan krusial dalam forum tertinggi partai yang bisa menentukan jalannya proses pemilihan pimpinan partai. Ruang pembahasan untuk ini seringkali memuncukan kegaduhan karena pihak-pihak internal bisa menggunakannya untuk memperebutkan pengaruh atau kepentingan mereka terhadap rumusan aturan yang dinilai menguntungkan pihak tertentu. Apa yang terlihat dalam Kongres PAN 2015, misalnya, rapat pembahasan tata tertib kongres berlangsung ricuh. Kericuhan terkait munculnya pertanyaan status kepesertaan. Status ini dinilai penting karena akan menentukan apakah mereka dapat ikut memilih calon ketua umum atau tidak. 143 Pembahasan tata tertib juga terlihat ricuh pada Munasub Partai Golkar 2016, tatkala menyangkut pembahasan unsurunsur yang akan menjadi pimpinan munaslub.144 Tatib pada forum partai ini sebenarnya bisa digunakan partai untuk memperlihatkan bagaimana kualitas proses demokrasi internal partai dijalankan. Pada tatib, aspek-aspek seperti transparansi, akuntabilitas, serta partisipasi anggota partai dalam proses pemilihan dapat dinilai. Namun pada tatib pula juga bisa dianggap sebagai aturan permainan untuk menyempitkan kompetisi. Meskipun telah menghasilkan pimpinan partai dengan aklamasi, namun proses menuju aklamasi sebenarnya tidak mulus. Hal demikian terjadi seperti pada Kongres IV 2015 Partai Demokrat. Sebelum muncul nama SBY sebagai calon tunggal, terdapat dua nama yang juga muncul untuk mencoba bersaing yaitu Marzuki Alie dan Gede Pasek Suardika. Akan tetapi, keduanya gagal untuk sekadar mendaftarkan sebagai calon ketua umum. Hal ini antara lain karena draf tatib Kongres IV PD dinilai tidak membuka cukup ruang bagi mereka untuk bertarung.145 William P. Cross dan Andre Blais, op. cit., hlm. 61. Lihat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Golkar. 143 KOMPAS.COM, “RICUH, RAPAT PEMBAHASAN TATIB KONGRES PAN DISKORS”, 1 MARET 2015, HTTP://NASIONAL.KOMPAS.COM/READ/2015/03/01/12422151/RICUH.RAPAT.PEMBAHASAN.TATIB.KO NGRES.PAN.DISKORS, DIAKSES TANGGAL 26 JUNI 2016. 144 KOMPAS.COM, “BAHAS TATIB, MUNASLUB GOLKAR RICUH”, 15 MEI 2016, HTTP://NASIONAL.KOMPAS.COM/READ/2016/05/15/15105521/BAHAS.TATIB.MUNASLUB.GOLKAR.RIC UH, DIAKSES TANGGAL 26 JUNI 2016. 145 “Memastikan Demokratisasi Parpol”, Harian Kompas, 15 Mei 2015. 141 142 336 Meskipun draf tatib saat itu belum dibahas dan disetujui, substansi dari draf itu menjadi acuan tidak resmi dari syarat pendaftaran. Menurut Pasek, seperti dicatat Kompas, beberapa tatib memperlihatkan peserta yang punya hak suara (untuk dapat memilih dan dipilih) sangat terbatas. Kader dengan hak suara hanyalah Ketua Dewan Pembina, Ketua Umum DPP, Ketua DPD (tingkat provinsi), Ketua DPC (tingkat kota/kabupaten), Ketua Daerah Pemilihan Luar Negeri, dan organisasi sayap yang telah disahkan. Sekilas draf tatib ini membuka kesempatan bagi ketua DPD atau DPC, utamanya kader yang berprestasi, untuk dapat dipilih menjadi ketua umum. Persoalannya, ada pasal-pasal lain yang mensyaratkan calon ketua umum harus aktif di tingkat pusat dalam lima tahun terakhir.146 Selain itu, menurut Marzuki juga terdapat pasal yang mengatur jumlah dukungan minimal 30 persen dari total pemilik hak suara yang dibuktikan dengan surat dukungan tertulis yang distempel.147 Namun, bagi Ketua Harian demisioner saat itu, Syarif Hasan, kongres dinilai sudah demokratis, karena arus deras desakan peserta sebagai pemilik hak suara tidak terbendung untuk kembali memilih SBY. Apalagi, menurut dia, ruang terbuka untuk calon lain sebenarnya sudah dibuka lebar. Hanya saja, soal tatib, menurut Syarif forum tidak sempat membahas draf tatib sama sekali. Hal ini yang disayangkan oleh salah seorang pendiri PD Sys NS, mengapa tatib tidak dibahas dan ditetapkannya terlebih dahulu tatib pemilihan ketua umum. Padahal, itulah cerminan demokrasi yang sesungguhnya. 148 Fenomena yang tidak jauh berbeda juga bisa dilihat dalam Muktamar PPP 2016. Dalam muktamar yang disebut ajang islah untuk menyelesaikan konflik internal PPP itu, pembahasan tatib yang mencantumkan mekanisme pemilihan ketua umum sempat memunculkan pertentangan pendapat di antara muktamirin. Pihak yang mempertentangkan terkait rancangan tatib yang menyebut pemilihan ketua umum akan dilakukan aklamasi atau musyawarah mufakat. Pemilihan secara aklamasi dilihat sebagian muktamirin adalah upaya mendorong seorang calon menjadi ketua umum. Sementara lainnya melihat proses musyawarah lebih sesuai dengan semangat islah yang saat ini dilakukan PPP. Proses ini berujung dengan penetapan Romahurmuziy sebagai ketua umum PPP secara aklamasi.149 Meskipun tatib di sini bisa dilihat sebagai jalan memuluskan seorang calon, namun dalam kasus PPP, tampaknya juga upaya meminimalkan potensi keretakan kembali setelah partai ini mengalami konflik internal yang panjang. Dari Figur sampai Politik Uang Proses pemilihan pemimpin partai mencatatkan bahwa figur menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi dinamika pemilihan. Sebagian partai yang Ibid. TEMPO .CO, “HANYA SBY YANG LOLOS TATA TERTIB JADI KETUA UMUM DEMOKRAT ”, 13 MEI 2015 HTTPS:// M .TEMPO .CO / READ/ NEWS/2015/05/13/078665987/ HANYA - SBY - YANG- LOLOS - TATA TERTIB - JADI- KETUA - UMUM - DEMOKRAT , DIAKSES TANGGAL 26 JUNI 2016. 148 Harian Kompas, 15 Mei 2015, op, cit. 149 “I SLAH UNTUK M EMBESARKAN PPP: R OMAHURMUZIY T ERPILIH SECARA A KLAMASI DI M UKTAMAR VIII”, HARIAN KOMPAS, 10 A PRIL 2016. 146 147 337 melaksanakan pemilihan pemimpinnya dengan cara aklamasi ditengarahi karena pengaruh sentralnya figur tertentu dalam partai. Figur tersebut bisa merupakan tokoh yang dalam perkembangan partai kemudian bertransformasi menjadi sosok kuat, juga bisa figur yang bermula sebagai pendiri dan pemimpin dari partai yang bersangkutan. Karena kuatnya figur tersebut, partai kemudian akan cenderung sulit melepaskan ketergantungan pada dirinya. Dalam perkembangannya, figur kuat dalam partai seolah mewujud menjadi “simbol” partai itu sendiri. Bahkan ketika figur tersebut tidak berada dalam kepemimpinan eksekutif partai pengaruhnya dalam hal pemilihan pemimpin partai masih belum sepenuhnya sirna. Di luar itu, peranan figur juga akan berpengaruh pada keterpilihannya ketika dinilai mampu membawa partai pada masa depan yang lebih baik. Sosok sentral partai itu terlihat pada Megawati yang untuk kesekian kalinya masih menjabat sebagai ketua umum PDIP (1999-2020). Prabowo yang terpilih sebagai ketua umum Gerindra (sejak September 2014), namun partai ini semenjak pendiriannya identik dengan Prabowo. Hal yang tidak berbeda juga terlihat pada Hanura dengan sosok ketua umum Wiranto yang tiga periode (sejak 2006 hingga 2020) menjabat. Demikian halnya pada Partai Demokrat dengan SBY yang terpilih untuk menjadi ketua umum Demokrat (2015-2020), partai yang sejak berdiri ini diidentikkan dengan diri dan kepentingan politiknya. Serta Partai Nasdem yang identik dengan ketua umumnya Surya Paloh (2013-2018).150 Karena dianggap sebagai figur sentral, terpilihnya mereka sebagai pemimpin partai dalam setiap kali periode pemilihan di forum tertingginya dilakukan melalui aklamasi. Pada PDIP, Megawati adalah figur yang masih dipercaya sebagai “Ibu” dan tokoh pemersatu atau perekat partai.151 Pada Kongres IV PDIP 2015, Megawati kembali sebagai calon tunggal. Pencalonan ini menurut PDIP sudah dibahas dan disepakati dalam konferensi daerah dan konferensi cabang PDI-P yang diadakan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Menurut kader PDIP Maruarar Sirait, kader di daerah dan pusat sepakat membutuhkan sosok Megawati sebagai pemersatu partai.152 Dengan kuatnya figur Megawati itulah setiap kali PDIP melaksanakan kongres dinilai sejumlah analis hanya sebagai forum seremoni pengukuhan kembali dirinya sebagai ketua umum. Karena jika berbicara suksesi di kongres PDIP, kongres sesungguhnya telah usai sebelum dimulai.153 Dalam kongres nyaris tidak ada suasana kompetitif yang memperlihatkan adanya persaingan memperebutkan posisi ketua umum. Tabel 1. Sejumlah Partai dan Figur Utamanya Partai PDIP Ketua Umum Megawati Soekarnoputri (1998-2020) Pemilihan Aklamasi Bastian Nainggolan dan Yohan Wahyu (Ed), op, cit., hlm. 2. Ibid, hlm, 104. 152 Megawati Kembali Dikukuhkan”, Harian Kompas, 9 April 2015. 153 Hanta Yuda, Kongres Pengukuhan Politik Dinasti, Koran Tempo, 10 April 2010, dalam http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=11811&coid=3&caid=31&gid=2, diakses tanggal 27 Juni 2016. 150 151 338 Partai Gerindra Partai Demokrat Prabowo Subianto (2014-2019) Aklamasi Susilo Bambang Yudhoyono (2015- Aklamasi 2020) Partai Hanura Wiranto (2006-2020) Aklamasi Partai Nasdem Surya Paloh (2013-2018) Aklamasi Sumber: diolah dari Bastian Nainggolan dan Yohan Wahyu (Ed), Partai Politik Indonesia 1999-2019: Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2016), dan berbagai sumber. Partai Gerindra dengan figur Prabowo Subianto memperlihatkan hal yang tidak jauh berbeda. Partai ini sulit dipisahkan dari Prabowo. Dalam perkembangannya, Gerindra adalah Prabowo dan suara Prabowo adalah sikap Gerindra. Sosok Prabowo yang identik dengan Gerindra tercermin dalam pengambilan keputusan partai yang tidak dapat diepaskan dari sikap Prabowo selaku individu. 154 Prabowo sebelumnya menjabat sebagai ketua dewan pembina partai. Setelah ketua umum Suhardi meninggal, Prabowo terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum pada 2014. Demikian halnya juga terjadi pada Partai Hanura dengan figur utamanya Wiranto. Sosoknya belum tergantikan di partai. Ia terpilih aklamasi dalam munas 2015. Menurut kader Hanura Syaridudin Sudding, Wiranto adalah sosok yang bisa menjadi pemersatu kader. Ketika terjadi perbedaan pandangan di internal partai, Wiranto adalah figur sentral.155 Corak yang mirip juga ditunjukkan Partai Demokrat. Sebagai partai yang salah satu tujuan pendiriannya untuk memuluskan dan menjaga langkah politik SBY dengan sendirinya corak kepemimpinan partai tidak dapat dilepaskan dari sosok kepemimpinan SBY. Meskipun dalam awal pendiriannya SBY tidak secara formal menduduki jabatan partai, namun bukan berarti pengaruh langsungnya tidak terasa. Bahkan pada tahun 2015, SBY sendiri yang memimpin langsung partai setelah terpilih aklamasi, sekaligus menguasai berbagai jabatan kunci partai.156 Demikian halnya dengan keberadaan sosok Surya Paloh di Partai Nasdem. Ia merupakan penggagas awal dan pendiri ormas dan Partai Nasdem. Tumbuh dan kembangnya partai sangat bergantung pada sosoknya. Maka tidak heran jika kemudian pada Kongres I Partai Nasdem 2013 mengukuhkannya sebagai ketua umum.157 Meskipun bukan sosok sentral partai seperti pada partai-partai yang disebut sebelumnya, aklamasi juga terjadi pada keterpilihan Muhaimin Iskandar sebagai ketua umum PKB (2014-2019).158 Demikian halnya penetapan Romahurmuziy sebagai ketua umum PPP untuk periode 2016-2021.159 Muhaimin dan Bastian Nainggolan dan Yohan Wahyu (Ed), op, cit., hlm. 137. Viva.co.id, “Hanura Masih Sangat Tergantung Wiranto: Belum ada sosok lain di tubuh partai itu siap menjadi suksesornya”, 11 Februari 2015, http://politik.news.viva.co.id/news/read/588608hanura-masih-sangat-tergantung-wiranto, diakses tanggal 8 Mei 2015. 156 Bastian Nainggolan dan Yohan Wahyu (Ed), op, cit., hlm. 153. 157 Ibid, hlm. 42-43. 158 “M UHAIMIN T ERPILIH A KLAMASI P IMPIN PKB”, H ARIAN K OMPAS , 2 S EPTEMBER 2014. 159 H ARIAN KOMPAS , 10 A PRIL 2016, OP , CIT . 154 155 339 Romahurmuziy sebagaimana diketahui bukanlah sebagai figur sentral di mana partai teridentik dengan sosoknya. Namun, pada Muhaimin misalnya, dianggap oleh sebagian besar kader PKB sebagai figur yang bisa membawa partai yang saat ini cukup solid dan diperhitungkan.160 Di luar aklamasi, pengaruh figur juga bisa terjadi dalam proses pemilihan pemimpin yang terbuka dengan melalui proses yang lebih kompetitif dan diikuti jalan pemungutan suara. Pengaruh seperti itu tergambar di antaranya pada sosok Amien Rais dalam PAN. Sejak dideklarasikan nama Amien Rais masih tampak dominan dan mampu memberikan warna tersendiri di partai.161 Sebagai salah satu deklarator dan ketua umum pertama PAN, selama ini Amien menjadi simbol tokoh yang relatif kuat dan mengakar di partai. Ketokohan Amien di PAN juga bisa dilihat pada kebijakan dan arah haluan partai. Dari hasil dua kongres PAN terakhir, ketua umum terpilih hampir tidak lepas dari peran dan pengaruh Amien. Dalam Kongres PAN II, 2005, Amien berperan besar atas terpilihnya Soetrisno Bachir sebagai ketua umum periode 2005-2010. Hal yang sama terjadi pada terpilihnya Hatta Rajasa sebagai ketua umum dalam Kongres III PAN 2010. Sementara Kongres IV PAN 2015, Amien juga terlihat ikut andil dalam terpilihnya Zulkifli Hasan. Amien beberapa kali menghadiri deklarasi dukungan untuk Zulkifli Hasan sebagai calon ketua umum PAN.162 Zulkifli Hasan pada akhirnya berhasil memenangi pemilihan posisi ketua umum PAN periode 20152020 setelah melalui persaingan yang ketat dengan Hatta Rajasa.163 Selain figur, faktor lain yang bisa berpengaruh dalam memainkan dinamika terpilihnya seorang menjadi ketua umum partai adalah isu politik uang. Salah satunya hal ini didorong karena dalam proses pemilihan sebagaimana diatur dalam konstitusi sebagian besar partai politik bahwa yang memiliki suara untuk memilih ketua umum adalah peserta forum. Dalam hal ini delegasi partai yang terdiri atas pengurus partai dari pusat sampai cabang. Jumlah delegasi tersebut sesuai dengan jumlah propinsi, serta kabupaten dan kota. Dengan jumlah yang besar maka memerlukan upaya kandidat untuk merebut simpati mereka, terutama pengurus pada level cabang. Oleh karena itu, siapa yang hendak terpilih menjadi ketua umum harus ‘menggarap’ suara dari delegasi partai di tingkat itu. Penggunaan uang untuk mempengaruhi pengurus partai dalam hal ini bisa ketua cabang di daerah menjadi sangat rentan baik untuk biaya transportasi dan akomodasi maupun hadiah dan fasilitas lainnya.164 Fenomena isu politik uang terlihat dalam sejumlah pemilihan pimpinan partai, seperti yang terjadi dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar 2016. Dalam gelaran tersebut bahkan panitia secara terang mematok persyaratan jumlah nominal tertentu bagi kader yang ingin mengadu peruntungan HARIAN KOMPAS, 2 SEPTEMBER 2014, OP, CIT. Bastian Nainggolan dan Yohan Wahyu (Ed), op, cit., hlm. 169. 162 “Menjaga Sinar Politik Sang Matahari”, Harian Kompas, 2 Maret 2015. 163 “Zulkifli: Semua Harus Bersatu Kembali”, Harian Kompas, 2 Maret 2015. 164 Ramlan Surbakti dan Didik Supriyanto, op. cit., hlm. 26. 160 161 340 sebagai calon ketua umum Partai Golkar.165 Sejumlah bakal calon ketua umum mencari dukungan kepada sejumlah pengurus Golkar di daerah. Pada saat itulah dugaan praktik politik uang dan jual beli dukungan suara terjadi. Golkar memiliki 533 dewan pimpinan daerah (DPD) yang terdiri dari DPD I (provinsi) dan DPD II (kota/kabupaten). Untuk maju sebagai calon ketua umum, seorang kandidat harus didukung oleh 30 persen pengurus daerah atau setidaknya 160 dukungan dari daerah. Maka, menurut kader Golkar Agun Gunandjar, selama model dukungan dari DPD terhadap kandidat selalu menggunakan surat pernyataan dukungan, bisa dikatakan tidak ada yang gratis. Untuk itu, potensi politik uang menjadi rawan terjadi.166 Kekuatan finansial calon menjadi hal yang diperhitungkan dalam perebutan ketua umum Golkar. Hal ini diakui Fadel Muhammad bahwa kekuatan finansial masih menjadi pertimbangan dalam menentukan calon ketua umum, karena seorang ketua umum harus mampu membiayai diri dan organisasinya.167 Politik uang, menurut Ikrar Nusa Bhakti, memang sudah menjadi the name of the game dalam setiap pemilihan ketua umum Partai Golkar di era reformasi, khususnya sejak head-to-head antara Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla pada Munas Bali 2004, dan antara Aburizal Bakrie vs Surya Paloh pada Munas Riau 2009.168 Jeffrey A. Winters juga mencatat betapa praktik politik uang telah terjadi pada Munas Golkar di Bali 2004.169 Sementara dalam Munas Golkar 2009, politik uang juga diduga kuat terjadi. Saat itu, harga untuk satu suara ditengarai dapat mencapai ratusan juta rupiah. Kandidat ketua umum saat itu juga mengeluarkan banyak uang untuk memfasilitasi pendukung dari DPD tingkat I dan II selama munas.170 Praktik politik uang juga mewarnai gelaran Kongres II Partai Demokrat 2010. Kongres sebelumnya sempat mendapat banyak pujian dari publik mengingat pelaksanaannya berlangsung cukup demokratis. Kongres memunculkan Anas Urbaningrum sebagai ketua umum partai setelah memenangkan persaingan dengan Marzuki Alie dan Andi Mallarangeng. Namun, setelah itu kongres ditengarahi telah terjadi praktik politik uang.171 Politik uang dalam kongres terungkap setelah Muhammad Nazaruddin yang ketika itu sebagai bendahara umum yang menjadi tersangka kasus korupsi mengungkapkan dalam fakta persidangan bahwa ia menggelontorkan uang untuk pemenangan tiga kandidat ketua umum Partai Demokrat saat itu, yakni Anas, Andi, dan Marzuki. Uang yang Kompas.com, “Munaslub Golkar, Kongres Demokrat, dan "Hujan" Duit...”, 29 April 2016, http://nasional.kompas.com/read/2016/04/29/11174471/Munaslub.Golkar.Kongres.Demokrat.d an.Hujan.Duit.?page=all, diakses 27 Juni 2016. 166 “M UNAS L UAR B IASA G OLKAR : DUGAAN P OLITIK U ANG M ULAI M ENCUAT ,” H ARIAN K OMPAS , 10 FEBRUARI 2016. 167 “F INANSIAL I KUT M ENENTUKAN , A NTISIPASI P OTENSI P OLITIK U ANG DALAM M UNAS L UAR B IASA GOLKAR”, HARIAN KOMPAS, 9 FEBRUARI 2016. 168 I KRAR N USA B HAKTI , “P OLITIK U ANG M UNASLUB G OLKAR ”, H ARIAN K OMPAS , 27 A PRIL 2016. 169 Jeffrey A. Winters, Oligarki, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 279-280. 170 H ARIAN KOMPAS , 10 F EBRUARI 2016, OP , CIT . 171 Kompas.com, “Setelah Kongres Demokrat 2010, 21 Maret 2013, http://nasional.kompas.com/read/2013/03/21/12205299/Setelah.Kongres.Demokrat.2010, diakses tanggal 27 Juni 2016. 165 341 dipakai Nazaruddin tersebut diakui hasil korupsi dari proyek pemerintah.172 Kasus ini yang kemudian membawa Anas untuk berhenti menjadi ketua umum partai. Politik uang dalam pemilihan sejumlah pemimpin partai memuat kecenderungan bahwa hanya kandidat yang memiliki kekuatan modal besar yang akan diuntungkan. Karena mereka ini yang bisa dengan leluasa menggunakan modalnya untuk meraih simpati para pemilik suara. Dengan besarnya pengaruh politik uang membuat kemampuan kandidat di luar modal finansial bisa menjadi tidak signifikan. Dalam arti lain, partai memilih pemimpinnya tidak berdasarkan pertimbangan seperti halnya meritokrasi. Dengan kondisi ini kehadiran ideologi, visi, dan program dari kandidat yang akan bersaing tidak akan terlalu dikedepankan. Pendeknya, pertimbangan transaksional telah membuat partai sebagian menjadi pragmatis dalam hal pemilihan terhadap kandidat pemimpinnya. Memperluas Ruang Kompetisi: Tantangan Partai Ketika partai melaksanakan proses seleksi kepemimpinan di internal partai dengan demikian mengkondisikan partai sedang berada dalam tantangan dan ujian apakah demokrasi internal dapat berjalan. Derajat inklusifitas pemilihan setidaknya digambarkan secara kontinum bahwa pada satu titik ditempati oleh sekelompok kecil elite atau penguasa partai, sementara di titik lain adalah para pendukung partai yang akan membuat pilihan dalam pemilihan umum.173 Bisa diartikan bahwa sekelompok elite atau penguasa partai tersebut yang bisa membuat keputusan atau menentukan kebijakan partai. Sementara para anggota partai tidak cukup memiliki peran dalam proses pengambilan keputusan, melainkan hanya berperan sebagai pemilih dalam pemilihan umum.174 Peran anggota partai di sini dapat dikatakan terbatas, padahal dalam keanggotaan memegang peran kunci untuk melakukan pengawasan dan keseimbangan di partai.175 Sekelompok kecil penguasa partai itulah yang seringnya menentukan proses seleksi kepemimpinan partai. Sehingga sering terlihat bahwa hanya kandidat tertentu yang terlibat dalam kompetisi internal di sejumlah partai. Selain aspek itu, ketergantungan pada figur juga masih mewarnai banyak partai. Memilih figur yang sama dalam beberapa periode kepemimpinan memperlihatkan betapa partai kemudian menjadi identik dengan figur yang bersangkutan. Akibatnya, partai akan berhadapan dengan tantangan apakah tetap meletakkan figur kuat sebagai faktor penentu dalam masa depan berikutnya atau mengarahkan partai pada proses institusionalisasi, di mana figur bukan menjadi satu-satunya poros sentralnya. Semestinya, partai yang terlembagakan dengan baik meminjam Mainwaring dan Kompas.com, 29 April 2016, op, cit. William Cross dan Andre´ Blais, “Who selects the party leader?”, Party Politics, Vol.18 (2), 2012, hlm. 127–150. 174 Ramlan Surbakti dan Didik Supriyanto, op. cit., hlm. 37. 175 Netherlands Institute for Multiparty Democracy, op. cit., hlm. 11. 172 173 342 Scully, salah satunya adalah organisasi kepartaian tidak menjadi subordinasi dari kepentingan pemimpinnya.176 Ketika partai masih terus bergantung pada figur tertentu tantangan lainnya adalah pada proses regenerasi dan kaderisasi kepemimpinan. Karena dalam batas-batas tertentu pengaruh figur tidak akan bisa bertahan lama. Partai yang tetap menginginkan eksistensinya bisa bersaing dengan lainnya perlu melihat regenerasi dan kaderisasi sebagai hal yang mendesak dilakukan. Dalam hal ini, yang dilakukan partai adalah lebih memperluas kesempatan bagi para kadernya untuk tampil dalam ajang kompetisi internal mereka. Bukan sebaliknya, partai menutup kesempatan mereka untuk bersaing. Kader yang dinilai potensial bisa mendapat ruang lebih dalam beraktualisasi. Jika ruang ini tidak dibuka, apa yang terjadi adalah kaderisasi di pucuk utama pimpinan partai politik berjalan lamban, sehingga membuat sejumlah partai dipimpin tokoh senior dan sebagian dari ketua umum partai itu telah berkali-kali memimpin partainya.177 Perluasan partisipasi akan demokrasi internal partai tersebut juga sebagai upaya untuk meminimalisir adanya potensi konflik yang bisa mengganggu soliditas partai. Bukan tidak mungkin ketidakcukupan ruang kompetisi maupun prosesnya yang dinilai tidak demokratis akan menimbulkan benih konflik di antara kader partai. Konflik bisa berujung pada keluarnya mereka dari keanggotaan partai atau bisa mendirikan partai baru yang bisa menampung aspirasi politiknya.178 Saat ini terjadi, partai akan bisa mengalami kerugian karena mereka tidak saja akan kehilangan sejumlah kader, namun lebih jauh partai akan mengurangi potensi perolehan suara dalam pemilihan umum. Di sinilah tantangan partai tidak saja dalam proses seleksi pemimpinnya namun juga bagaimana mengelola persaingan pasca pemilihan, sehingga tidak merugikan internal partai. Penutup Pemimpin partai politik menempati posisi dan peran yang sangat strategis dalam kehidupan partai politik. Masa depan partai politik banyak ditentukan oleh siapa pemimpin mereka. Oleh karena itu, setiap kali partai politik memilih pemimpinnya menjadi momentum yang krusial bagi dinamika internal partai. Memilih pemimpin partai merupakan salah satu pelaksanaan dari demokrasi internal partai. Yang memiliki artian bahwa proses itu mengandung prinsip bahwa partai dikelola bukan berdasarkan kontrol atau kendali kelompok tertentu, melainkan dengan aturan dan prosedur yang memungkinkan adanya keterlibatan seluruh komponen dan fungionaris partai untuk mengikuti proses yang menjadi pegangan partai. Dengan kata lain, demokrasi internal merupakan mekanisme pengambilan Scott Mainwaring dan Timothy R Scully, Building Democratic Institutions: Party Systems in Latin America, (Stanford, California: Stanford University Press, 1995), hlm. 5. 177 “Parpol Jadi Alat Tokoh Tertentu”, Harian Kompas, 18 Mei 2015. 176 Sebagian proses seleksi kepemimpinan partai diikuti konflik persaingan yang tajam, yang eksesnya bisa menimbulkan perpecahan. Salah satu ujungnya ditandai dengan keluarnya para kader partai yang lalu kemudian mereka ini juga bisa mendirikan partai politik baru yang dinilai lebih bisa menjadi wadah aspirasi politik mereka. 178 343 keputusan internal dengan menekankan aspek seperti partisipasi, transparansi, maupun inklusivitas. Pada pelaksanaan demokrasi internal dalam hal ini seleksi kepemimpinan partai, yang terjadi sejauh ini bahwa keputusan-keputusan penting partai lebih banyak ditentukan oleh kelompok kecil partai, sementara peran anggota tidak terlalu menonjol. Sebagian partai yang melakukannya melalui ajang yang biasa mereka sebut sebagai forum kekuasaan tertinggi partai juga masih memperlihatkan adanya ketergantungan pada figur tertentu. Dengan sentralnya figur seperti itu kerapkali proses seleksi kepemimpinan kemudian menjadi tidak cukup memberi kesempatan adanya kompetisi internal dalam memperebutkan posisi tertinggi partai. Selain itu, proses pemilihan pemimpin partai sebagian juga ditandai oleh praktik politik uang. Praktik ini mengartikan bahwa keterpilihan seseorang lebih dipengaruhi oleh kekuatan finansial dari para kandidat. 344 Daftar Pustaka Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrat. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Golkar. Bhakti, Ikrar Nusa, 2016. “Politik Uang Munaslub Golkar”, Harian Kompas, 27 April. Cross, William P. dan Andrea Blais, 2012. Politics at the Centre: The Selection and Removal of Party Leaders in the Anglo Parliamentary Democracies, Oxford, United Kingdom: Oxford University Press. CROSS, WILLIAM DAN ANDRE´ BLAIS, 2012. “WHO SELECTS THE PARTY L EADER ?”, PARTY POLITICS, VOL.18 (2). CROSS, WILLIAM P., 2013. “PARTY LEADERSHIP SELECTION AND INTRA-P ARTY DEMOCRACY”, DALAM WILLIAM, P. CROSS DAN RICHARD S. KATZ (EDS), THE CHALLENGES OF INTRA-PARTY DEMOCRACY, OXFORD, UNITED KINGDOM: OXFORD UNIVERSITY PRESS. Cross, William P. dan Rizchard S Kartz, 2013. “The Challenges of Intra-Party Democracy”, dalam William, P. Cross dan Richard S. Katz (eds), The Challenges of Intra-Party Democracy, Oxford, United Kingdom: Oxford University Press. Cross, William dan Jean-Benoit Pilet, 2015. The Politics of Party Leadership: A CrossNational Perspective, Oxford, United Kingdom: Oxford University Press. Hanafi, Ridho Imawan, 2016. “Memilih Pemimpin Partai”, Harian Kompas, 16 Mei. HARIAN KOMPAS, “FINANSIAL IKUT MENENTUKAN , ANTISIPASI POTENSI P OLITIK UANG DALAM MUNAS LUAR BIASA GOLKAR”, 9 FEBRUARI 2016. HARIAN KOMPAS, “ISLAH UNTUK MEMBESARKAN PPP: ROMAHURMUZIY TERPILIH SECARA AKLAMASI DI MUKTAMAR VIII”, 10 APRIL 2016. Harian Kompas, “Megawati Kembali Dikukuhkan”, 9 April 2015. Harian Kompas, “Memastikan Demokratisasi Parpol”, 15 Mei 2015. Harian Kompas, “Menjaga Sinar Politik Sang Matahari”, 2 Maret 2015. HARIAN KOMPAS, “MUHAIMIN TERPILIH AKLAMASI PIMPIN PKB”, 2 S EPTEMBER 2014. HARIAN KOMPAS, “MUNAS LUAR BIASA GOLKAR: DUGAAN POLITIK UANG MULAI MENCUAT,” 10 F EBRUARI 2016. Harian Kompas, “Parpol Jadi Alat Tokoh Tertentu”, 18 Mei 2015. Harian Kompas, “Zulkifli: Semua Harus Bersatu Kembali”, 2 Maret 2015. Hazan, Reuven Y. dan Gideon Rahat, 2006. “Candidate Selection: Methods and Consequences”, dalam Richard S Katz. dan William Crotty (Eds.), Handbook of Party Politics, London: Sage Publications. Hazan, Reuven Y. dan Gideon Rahat, 2010. Democracy within Parties: Candidate Selection Methods and Their Political Consequences, Oxford, United Kingdom: Oxford University Press. Kenig, Ofer. 2009. The Democratization of Party Leaders’ Selection Methods: Canada in Comparative Perspective, Prepared for delivery at the Canadian Political Science Association Annual Conference, May 2009, University of Carleton, Ottawa. Kompas.com, 2013. “Setelah Kongres Demokrat 2010, http://nasional.kompas.com/read/2013/03/21/12205299/Setelah.Kongres. Demokrat.2010, diakses tanggal 27 Juni 2016. 345 Kompas.com, 2015. “Ricuh, Rapat Pembahasan Tatib Kongres PAN Diskors”, http://nasional.kompas.com/read/2015/03/01/12422151/Ricuh.Rapat.Pe mbahasan.Tatib.Kongres.PAN.Diskors, diakses tanggal 26 Juni 2016. Kompas.com, 2016. “Bahas Tatib, Munaslub Golkar Ricuh”, http://nasional.kompas.com/read/2016/05/15/15105521/Bahas.Tatib.Mu naslub.Golkar.Ricuh, diakses tanggal 26 Juni 2016. Kompas.com, 2016. “Munaslub Golkar, Kongres Demokrat, dan "Hujan" Duit...”, http://nasional.kompas.com/read/2016/04/29/11174471/Munaslub.Golka r.Kongres.Demokrat.dan.Hujan.Duit.?page=all, diakses 27 Juni 2016. Lisi, Marco (et al), 2016. “Leadership Selection Methods and Party Types”, dalam William Cross dan Jean-Benoit Pilet, The Politics of Party Leadership: A CrossNational Perspective, Oxford, United Kingdom: Oxford Scholarship Online. MAINWARING, SCOTT DAN TIMOTHY R S CULLY, 1995. BUILDING DEMOCRATIC INSTITUTIONS: PARTY SYSTEMS IN LATIN AMERICA, STANFORD, CALIFORNIA: STANFORD UNIVERSITY P RESS. Nainggolan, Bastian dan Yohan Wahyu (Ed), 2016. Partai Politik Indonesia 19992019: Konsentrasi dan Dekonsentrasi Kuasa, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Netherlands Institute for Multiparty Democracy (NIMD), 2004. Institutional Development Handbook: A Framework for Democratic Party-Building, The Hague: NIMD. Scarrow, Susan, 2005. Political Parties and Democracy in Theoretical and Practical Perspective: Implementing Intra-Party Democracy, Washington DC: The National Democratic Institute for International Affairs. Surbakti, Ramlan dan Didik Supriyanto, 2013. Mendorong Demokratisasi Internal Partai Politik, Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan. Tempo.co, 2015. “Hanya SBY yang Lolos Tata Tertib Jadi Ketua Umum Demokrat”, https://m.tempo.co/read/news/2015/05/13/078665987/hanya-sby-yanglolos-tata-tertib-jadi-ketua-umum-demokrat, diakses tanggal 26 Juni 2016. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Viva.co.id, 2015. “Hanura Masih Sangat Tergantung Wiranto: Belum ada sosok lain di tubuh partai itu siap menjadi suksesornya”, http://politik.news.viva.co.id/news/read/588608-hanura-masih-sangattergantung-wiranto, diakses tanggal 8 Mei 2015. Winters, Jeffrey A., 2011. Oligarki, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Yuda, Hanta, 2010. “Kongres Pengukuhan Politik Dinasti”, Koran Tempo, 10 April, http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=11811&coid=3&caid=31 &gid=2, diakses tanggal 27 Juni 2016. 346 Biodata Singkat Penulis: Ridho Imawan Hanafi, S.Sos, M.I.P. Menyelesaikan pendidikan S1 Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Dr. Soetomo, Surabaya (2005). Melanjutkan S2 Ilmu Politik di Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia (2013). Pada 2008-2014 penulis sebagai peneliti di Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), Jakarta. Pada 2015- sekarang, sebagai peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bidang kajian yang diminati adalah partai politik dan demokrasi. Selain melaksanakan kegiatan penelitian di bidangnya, juga aktif menulis di media massa seperti Harian Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, dan lainnya. Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected]. 347 Pemilihan Ketua Partai Dari Sudut Hak Politik Minoritas: Studi Perbandingan Indonesia dan Belanda Awaludin Marwan Peneliti pada Satjipto Rahardjo Institute Abstrak Klientelisme dalam pertumbuhan organisasi modern, seperti partai politik, memang sangat merugikan (Indridason, 2005; Robinson&Verdier, 2013; Brinkerhoff&Goldsmith; Hopkin, 2006; Roniger, 2004). Saat sanak keluarga diajak berbondong-bondong masuk struktural Partai, membuat kolega layaknya kroni eksklusif, jabatan ketua partai dipeluk erat seperti harta warisan dan tubuhnya itu sendiri. Jelas, klientelisme itu juga adalah patologi dari demokrasi yang sulit raib. Paper ini akan menceritakan bagaimana klientelisme juga menyumbat rotasi pimpinan partai politik di Indonesia dan Belanda. Banyak anggota partai yang pada akhirnya dikebiri hak politiknya. Anggota partai hanyalah pion-pion yang dimainkan dalam papan catur politik saja. Karir politiknya dipenggal, hanya diperbolehkan juru ketik dan pembawa tas sang ketua. Posisi kelompok minoritas semakin terpojok, seperti ditakdirkan untuk terus menunggu. Belanda sudah cukup progresif membuka warna kulit untuk pos penting Partai. Politisi keturunan Maroko, Suriname, Turki, dst bahkan Ketua Parlemen (Twedee Kamer)-nya yang berasal dari Partai Buruh (PvdA) Khadija Arib adalah warga keturunan Maroko yang bersahaja. Namun mereka juga masih sulit menembus bursa kandidat puncak dalam kontes pilihan ketua Partai. Sementara di Indonesia, minoritas perlu diangkat posisinya, membayangkan suatu hari akan muncul pemimpin dari warga Indonesia keturunan Tionghoa, Arab, India, dst. Politik asli yang kabur itu, masih mendominasi di tubuh partai besar, seperti Golkar, PDI-P, Partai Demokrat, dst. Bahkan Partai yang berhaluan Islam lebih kolot. Mengimpikan jabatan ketua Partai adalah hak semua warga tanpa melihat latar belakang keturunan, warna kulit, dst. Kata kunci : Ketua Partai, Klientelisme, Minoritas Pendahuluan Indonesia dan Belanda punya kemiripan soal sistem politik hukum tentang kepartaian, multipartai. Sejak pemilu pertama di Indonesia, multipartai sudah dikembangkan oleh kelompok kerja komite nasional pusat pada tahun 1951, 179 era Adnan Buyung Nasution. The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia. A Sociolegal study of the Indonesian Konstituante 1956-1959. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992). Bang Buyung, panggilan akrab Adnan Buyung Nasution menceritakan dalam disertasinya tentang Kelompok Kerja Komiter Nasional Pusat pada tanggal 3 Novermbe 1945, yang ditanda-tangani oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta yang akan membangun sistem multipartai, yang menolak sistem satu partai dalam sebuah negara, bahwa 1) negara akan mendorong tumbuh kembangnya partai politik yang mencerminkan banyaknya haluan dalam tubuh masyarakat; 2) pemerintah akan memfasilitasi sebuah pemilihan yang demokratis untuk membentuk sebuah parlemen pada Januari 1946., p. 21 179 348 politik pluralistik dengan variasi aliran ideologis tumbuh. 180 Sementara Belanda juga sudah memiliki tradisi lama soal politik multipartai sejak tahun 1879,181 itupun terus menjamur partai baru dalam pentas perpolitikan.182 Setelah berkembangnya tradisi multipartai yang konon dianggap sistem yang demokratis, apakah dalam tubuh masing-masing partai ini berlangsung demokratisasi soal pergantian elite? Bagaimana posisi minoritas dalam percaturan subtitusi Ketua Partai? Dalam paper ini akan menyoal masalah rotasi kepemimpinan partai politik di dua negara ini, Belanda dan Indonesia. Ketua Partai merupakan jabatan yang strategis. Sebab dari sanalah kekuasaan bersumber. Kompromi dan kerja ketua partai inilah yang menentukan perolehan kursi parlemen dan postur kabinet eksekutif. Namun, sungguh kurang beruntung, kita banyak berhadapan dengan kemungkinan yang pesimis, tentang perputaran elite yang kurang sehat dan tertutupnya peluang minoritas. Di Belanda dan Indonesia ketua Partai punya kebiasaan memegang erat jabatan ketua partai terlalu lama. Politisi yang memegang jabatan ketua, hingga tak hendak melepaskan dari pangkuannya. Hal yang kita lihat dalam Vokspartij voor vrijheid en democratie (VVD), Partij van de Arbeid (PvdA), Christen-Democratisch Appel (CDA), dan Politieke Partij Democraten 66 (D66) juga kita lihat dalam tubuh Partai Demokrasi Perjuangan (PDI-P), Partai Demokrat, Gerindra, dan Hanura. Kondisi ini membingkai rangkaian klientelisme makin menjadi. Klientelisme adalah praktek penyumbatan pada aliran demokrasi.183 Dan, memegang jabatan terlalu lama duduk di kursi ketua membuat demokratisasi di tubuh partai mampat. Padahal konvenan anti-diskriminasi ras (Pasal 5 (c)) dan sipil politik (Pasal 24) memandatkan supaya hak pilih dan dipilih soal urusan publik (termasuk kepartaian) harus dijamin. Belanda dan Indonesia sama-sama telah meratifikasi konvenan anti diskriminasi ras (International convention on the Elimination of all forms of racial discrimination) pada akhir tahun 1960-an dan konvenan sipil dan politik (International covenant on civil and political rights). Kalau seandainya George M Kahin, Herberth Feith et al, Government and Politics of South Asia. (Ithaca, Cornell University Press, 1969)., p. 218-219. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, dan menyisakan soal Irian Barat, para pemimpin negara yang kebanyakan lulusan perguruan tinggi yang terdiri dari lawyer, dokter, sarjana teknik, guru, dan jurnalis mulai membicarakan soal pemilihan umum, yang pada akhirnya tahun 1955 menerbitkan empat partai besar, yakni PNI, Masjumi, Nahdlatul Ulama dan Komunis, yang mencerminkan persimpangan aliran ideologis satu dengan yang lain. 181 Jozefina Maria Ridder. Schakels of obstakels? Nederlandse politieken partij en de eensgezindheid, verdeeldheid en representativitiet van partijleden (Leiden, Leidern University Reposity, 2014).,p 37. Masa perkembangan partai politik modern Belanda bermula dari berdirinya Anti-Revolutionaire Partij (ARP) pada tahun 1879, menyusul de Sociaal Democratische Bond (SDB) tahun 1882 dan de Liberale Unie (LU) pada tahun 1885. Setelah itu, banyak bermunculan partai politik sepanjang 1917 dan 1919. 182 Simon Pieter Otjes. Imitating the new comer. How, when, and why established political parties imitate the policy positions and issue attention of new political parties in the electoral and parliamentary arena: the case of the Netherlands., p. 112. 183 Luis Roniger. Political Clientelism, Democracy, and Market Economy. Comparative Politics, Vol. 36, No. 3 (Apr., 2004), pp. 353-375 180 349 kedua negara ini konsekuen terhadap dalih dua konvenan ini, maka pemerintah harus meniup peliut dan kartu kuning pada partai-partai yang bermasalah. Pemasungan Hak Politik Partai politik menjelma menjadi neo-liberal mayoritas Leviathan (binatang buas dalam filsafat Hobesian) yang siap menerkam dan menggilas minoritas.184 Tak ada tempat tersisa bagi minoritas untuk posisi empuk, Ketua Partai. Padahal amanat undang-undang jelas menyebutkan dalam konvenan anti-diskriminasi ras (Pasal 5 (c)) dan sipil politik (Pasal 24) memandatkan supaya hak pilih dan dipilih soal urusan publik (termasuk kepartaian). Tapi undang-undang itu hanya menjadi macan kertas. Saya menyebutnya ini sebagai pemasungan hak politik. Di Belanda, perdana menteri Mark Rutte yang juga mempimpin VVD bahkan sudah yang ketiga kalinya menahkodai partai ini sejak 2006. Melihat negara-negara maju, masih saja posisi minoritas sungguh memprihatinkan. Masyarakat Turki, Maroko, Suriname, dan Afrika menjadi target pengejaran kepolisian saat terjadi kejahatan.185 Mereka dicap warga yang menyeramkan, sekaligus jadi bulanbulanan, layim menerima kekerasan baik dari aparat maupun simpatisan partai haluan kanan konservatif.186 Dibalik sosok Rutte yang humanis, bermain piano di kereta Den Haag Centraal, berkumpul dengan rakyat biasa.187 Namun partainya berada dalam zona merah soal profil ramah etnis (ethnic profiling). Pos-pos penting dalam sistem kehidupan di Belanda, tetap punya hegemoni besar oleh kulit putih warga Belanda asli (autochtonous).188 Di Indonesia, meskipun sekarang yang berkuasa adalah Partai Demokrasi Indoensia Perjuangan (PDI-P) dan ‘penjabat partainya’ yang melanggengkan tradisi politik asli di nusantara ini. Sebuah partai produk reformasi 1999, yang sampai detik ini jabatan ketua umum partainya tiada pernah berubah. Jika Soekarno dinobatkan sebagai presiden seumur hidup, maka Megawati Soekarnoputri juga sudah dinisbatkan sebagai ketua umum seumur hidup. Indonesia menghadapi dilema di dunia kepartaian, partai politik kebanyakan merangsek menjadi klientelis partai yang berlawanan dengan programatik LoÑ—c Wacquant. Marginality, Ethicity and Penality in the Neo-liberal City: An Analitic Cartography. Ethnic and Racial Studies 2014. Vol. 37, No., p. 1687-1711. 185 Francois Bonnet and Clotilde Caillault. The Invander, the Enemy Within and They-who-mustnot-be-named: how police talk about minorities in Italy, the Netherlands and France. Ethnic and Racial Studies 2015. Vol. 38, No. 7, p. 1185-1201 186 Jo Goodey. Racist Violence in Europe: Challenges for Official Data Collection. Ethnic and Racial Studies. 2007. Vol. 3. No. 4., p. 570-589 187 Rutte speelt piano op Den Haag Centraal, http://www.telegraaf.nl/tv/nieuws/binnenland/26022286/__Rutte_speelt_piano_op_Den_Haag_CS __.html, diakses pada tanggal 17 Juli 2016 188 Philomena Essed & Sandra Trienekens. Who Wants to Feel White? Race Ducth Culture and Contested Identities. Ethnic and Racial Studies. Vol. 31 No. 1 January 2008. P. 52-72 184 350 partai.189 Begitu juga dengan kondisi partai penguasa sebelumnya, memang Susilo Bambang Yudhoyono secara de facto menjabat sebagai Ketua Partai pada 30 Maret 2012. Namun, ia memakai modus Golkar era Soeharto yang menduduki Ketua Dewan Pembina, dengan ketua harian yang hilir mudik bergantian, namun stabilitas berada ditangannya. Sama saja sebenarnya Ketuanya itu adalah Soeharto dan SBY. Bahkan Golkar, sejak Ali Murtopo menjabat sebagai ketua hingga masa Aburizal Bakrie dan Setya Novanto relatif rotasinya berjalan dengan sehat di era reformasi. Namun sebagai Partai Orde Baru, sulit diharapkan Partai Gorlkar ini membaca aneka ide pembaharuan. Lamanya para ketua partai ini menggenggam jabatannya menunjukan sindrom mikrofasis bernegara.190 Saat dalam sekup komunitasnya, harus menunduk sembah pada sang punya kuasa. Jelas membuat konvenan anti-diskriminasi ras (Pasal 5 (c)) dan sipil politik (Pasal 24), tidak bekerja. Alih-alih mempunyai hak dipilih dan memilih, anggota partai hanya disuguhi opsi hak memilih saja. Mereka tak diijinkan mempunyai hak dipilih meskipun dalam mimpi sekalipun. Pemasungan hak politik adalah praktek fasisme kontemporer.191 Kepada orang ‘asli’ saja saluran politik disumbat, apalagi pada kelompok minoritas. Modernisasi partai politik Indonesia yang multikultural 192 masih jauh panggang dari api. Padahal di Indonesia, UU Partai Politik juga menyebutkan bahwa Pasal 15 ayat (2) berbunyi anggota Partai Politik mempunyai hak dalam menentukan kebijakan serta hak memilih dan dipilih. Jelas sudah kalau Pasal ini hanya ornamen penghias UU itu, tanpa eksekusi. Meskipun kita mempunyai sedikit penghiburan, ternyata di negeri daratan rendah Belanda dengan indeks demokrasinya tinggi,193 praktek penyumbatan politik ini juga masih berlangsung. Kekosongan Hukum Rotasi ketua partai adalah buah simalakama dari tradisi politik partai hari ini. Partai bukanlah institusi negara, tapi urusan yang ia tangani adalah kepentingan Ward Berenschot. Political Parties and Clietelism in Southeast Asia. Dalam Tomsa. D & Ufen. A (eds), Party politics in Southeast Asia. Clientelism and electoral competition in Indonesia, Thailand, and the Philippines. (Milton Park: Routledge, 2012)., p. 561 190 Hizkia Yosie Polimpung. Asal-Usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis terhadap Hasrat Mikrofasisme Bernegara. (Jakarta: 2014. Penerbit Kepik) Dalam pandangan psikoanalisis, hasrat dan personalitas setiap orang, utamanya pimpinan politik selalu punya dimensi kanibalnya. Tak selamanya pemimpin demokratis sekalipun simptom tirani dan otoritarian itu tak muncul. Bahkan sebaliknya, kekejaman pemimpin demokratis itu lebih sistematis karena ditutup kabut hukum dan nilai moral liberal yang memabukan. 191 Hizkia Yosie Polimpung. Logika Kedaulatan dan Asal-Usul (Apa yang Kita Sebut) Negara. Makalah Pemantik diskusi bedah buku Asal-Usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis terhadap Hasrat Mikrofasisme Bernegara (Penerbit Kepik, 2014). Di Cak Tarno Institute, Depok, 5 Juli 2014. 192 Filsafat multikulturalisme adalah gagasan yang menghimpun idealisme dari pemikiran sosialisme-Marxisme dan libertarian klasik, meskipun pada prakteknya lebih terlihat sebagai gagasan politik liberal. Lihat., Will Kymlicka. Contemporary Political Philosophy An Introduction. (Oxford: Oxford University Press: 2002)., p. 332 193 Indeks demokrasiBelanda berada di urutan nomor 10 dengan skor 8.99. Democracy Index. The Economist of 2013. 189 351 publik. Memperbaiki negara sebenarnya harus dimulai dari perbaikan partainya. Sementara belum dirumuskan dengan detail, berikut dengan konsekuensinya, soal obligasi rotasi ketua partai ini. Di Belanda undang-undang-nya hanya mengatur tentang pendaftaran kandidat (Pasal R 1 dan Pasal R 2 Election Decree of 1989). Sementara di Indonesia, meskipun UU Partai diterbitkan, rotasi ketua partai tidak diatur dalam UU No 2 Tahun 2008 maupun regulasi revisinya UU No. 2 Tahun 2011. Alhasil, partai-partai menyuburkan praktek klientelisme ditubuhnya baik di Belanda maupun di Indonesia. Partai berkuasa hari ini VVD. Telah memulai klientelismenya. Sejak Pieter Jacobus Oud nahkoda VVD mulai dari tahun 1948 sampai 1963, kiprahnya memimpin partai yang banyak duduk di oposisi maupun kabinet itu sungguh tak tergantikan. Karir politiknya bersemai dengan segudang pengalaman sebagai anggota parlemen (Twedee Kamer), Menteri Keuangan dan Walikota Rotterdam. Jabatan tertinggi yang ia geluti adalah deputi perdana menteri, ia diangkat juga oleh Ratu Juliana, yang diumumkan secara resmi di Radio Rotterdam. Saat dilantik itulah kursi pimpinannya ia serahkan pada K.v.d Pols.194 Setelah 15 tahun ia mendirikan partai dan menggenggam erat kursi ketua. Dalam perpolitikan Indonesia, rotasi ketua partai yang tidak diatur dalam UU No 2 Tahun 2008 maupun regulasi revisinya UU No. 2 Tahun 2011 bisa membuat Megawati menjadi Partai Ketua PDI-P seumur hidup. Begitu hal yang sama akan berlaku pada Prabowo Subianto Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), SBY pada Partai Demokrat, Wiranto pada Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan bisa jadi menyusul Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dengan Surya Paloh. Sayangnya, di Indonesia hanya Golkar yang Partai mempunyai usia panjang, tak seperti Partai-Partai di Belanda berkiprah cukup lama dari sisi usia organisasi. Sementara kasus lain, Partai Buruh (PvdA) Joop den Uyl memegang tampuk kepemimpinan partai selama dua puluhan tahun dari 1966 sampai 1986. Ia pernah menjabat sebagai perdana menteri pada tahun 1973 sampai 1977. Partai Buruh memang dikenal luas sebagai partainya para imigran, mulai dari Maroko, Turki, Suriname, dst. Setelah lepas dari jabatan perdana menteri, Joop den Uyl pernah terlibat debat yang krusial tentang sosialis dan liberal dengan Frits Bolkestein, yang dimuat besar-besaran oleh koran Het Vrije Volk.195 Ia juga betah berlamalaman di kursi ketua PvdA. Sedangkan, Hans van Mierlo pemimpin Partai D66 pendiri Partai yang sekaligus memimpinnya dari tahun 1966 sampai 1973, berjeda beberapa tahun, ia kembali memegang kemudi partai mulai dari tahun 1986 sampai 1998. Ia pernah menempati sejumlah pos jabatan, mulai dari Deputi Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan. D66 adalah partai yang banyak mengusung tentang integrasi Uni-Eropa ini mempunyai kiprah kuat dalam perdebatan di 194 195 Prof P.J. Oud benoemd tot minister van Staat, Nieuwsblad van het Noorden, 11 Novermber 1963 Socialisten en liberalen: een debat. Het Vrije Volk, 2 Maret 1984 352 parlemen. Meskipun tidak pernah mencapai partai terbesar, namun ia senantiasa diperhitungkan di Belanda. Hans van Mierlo merupakan salah satu tokoh yang memimpin Partai dalam kurung waktu yang cukup lama. Bermula dari seorang jurnalis, dalam usia 41 tahun ia terjun di dunia politik dan berperan kuat dalam perdebatan di parlemen, meskipun acapkali dihadapkan dengan pertarungan yang kalah (van het vechten tegen de bierkaai).196 Van Mierlo dalam posisi partainya yang perolehan kursinya standar, namanya memang selalu dilirik dalam formasi kabinet, namun lebih diperhitungkan sebagai rem dan kontrol pada kekuasaan mayoritas kabinet.197 Di Indonesia, Megawati adalah ketua Partai terlama dan pemegang rekor sejak reformasi bergulir. Dari tahun 1999, ia telah berkuasa selama 17 tahun. Simpatisan PDI-P lebih menyukai semboyan teh botol sosro, ‘apapun rejimnya, ketum tetap ibu mega.’ Transparansi, akuntabilitas, profesionalisme, dan program kerja partai ini sayup-sayup dalam keremangan. Bersandar pada emosional abangan dan loyalitas pada darah Soekarno, partai ini pun bertahan. Sementara partai-partai lain pun menyusul. Dimulai didirikan pada tahun 2001, SBY de facto berkuasa selisih dua tahun saja dengan Megawati rekornya. Ia cukup lihai menyisakan kursi ketua umum pada Subur Budhisantoso, Hadi Utomo, Anad Urbaningrum, dan Syarief Hasan. Tapi penguasa sesungguhnya, dalam tradisi politik klientelisme Indonesia, yakni politik kebapakan, ‘the real bapak’ Partai Demokrat adalah SBY. Disusul oleh Wiranto yang berkuasa di Hanura sejak tahun 2006, Prabowo sejak tahun 2008, dan baru mulai debutnya Surya Paloh pada tahun 2011. Lamanya para ketua Partai ini berkuasa jelas menghambat pertumbuhan demokratisasi ditubuh partai. Partai terbonsai dengan perkembangan yang kurang normal dinamikanya. Lupakah Kita pada Diskriminasi? Di tubuh partai politik rawan terjadi diskriminasi. Ganasnya gelombang politik, rentan sekali pada kelompok minoritas. Di Belanda, penyusunan aksi nasional hak asasi manusia (national actieplan mensenrechten),198 telah menyinggung upaya penghapusan soal profil etnis (ethnic profiling) yang dilakukan oleh polisi Belanda untuk melacak kejahatan. Namun profil etnis (ethnic profiling) belum berkembang di ranah regulasi di tingkat partai politik. Pembahasan soal profil etnis (ethnic profiling) hanya berlangsung di tingkat aktivis pro-demokrasi di Belanda, yang mengamati hanya D66 dan PvdA yang berada di lingkup hijau atau baik representasi minoritasnya. Di Indonesia, pun menghadapi dilema yang sama, saat Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia RANHAM 2015-2019, juga tidak membahas soal ditubuh profil etnis (ethnic profiling). Namun, sekali lagi, lamanya ketua Partai berkuasa, sebenarnya membangun sebuah diskriminasi simbolik yang tidak langsung pada entitas minoritas. Van Mierlo (D66) staat liever naast het schaduwkabinet. Limburgs Dagblad, 22 November 1977 Politiek bedrog maakt niet gelukkig. De telegraaf, 12 Mei 1973 198 Nationaal Actieplan Mensenrechten Bescherming en bevordering van mensenrechten op nationaal niveau. 2010. Ministerie van Binnenlandse Zaken en Koninkrijkselaties 196 197 353 Penyumbatan elektabilitas kaum minoritas di tubuh partai sudah berlangsung. Di Belanda, jarang sekali ketua Partai yang punya darah murni migran, memang peluang itu hanya terbuka bagi darah campuran. Hari ini sedang diramaikan soal pengajuan kandidat yang kuat Ahmad Abu Tholib walikota Rotterdam yang juga adalah seorang muslim keturunan Maroko adalah anggota partai buruh PvdA yang akan diajukan dalam bursa pencalonan ketua partai itu. Ia merupakan calon yang kuat setelah keberhasilan dan popularitasnya menata Rotterdam. Sebagai salah satu kota terbesar dan paling multikulturalis diantara kota-kota yang lain setelah Amsterdam. Partai buruh memang di kawasan lokal mempunyai banyak pendukung. Hingga partai ini pun melahirkan banyak walikota kadernya, seperti: Paul Depla dari Breda, Peter Noordanus dari Tilburg, Jan Boelhouwer dari GilzeRijen, Dominic Schrijer dari zwijndrecht.199 Kalau Abu Tholib jadi ketua partai, terpecahkan sudah rekor kepemipinan warga asli Belanda di tubuh partai besar Belanda. Di Indonesia, wacana penobatan minoritas dalam bursa kandidat ketua partai jarang terdengar. Meskipun beberapa minoritas, misalnya saudara kita kaum Tionghoa sudah banyak duduk di kelompok elite partai besar. Mulai dari Daniel Budi Setiawan, Rudianto Tjen, Murdaya Po, Tjandra Wijaya, dan Kwik Kian Gie di PDI-P, Alvin Lie di PAN, Albert Yaputra dan Ernawati Sugondo (Partai Demokrat, LT Susanto di PPP dan Enggartiasto Lukita di Golkar.200 Kembali ke Belanda, beberapa catatan lagi tentang dominasi kulit putih asli dan lamanya ia berkuasa terlihat pada sejumlah partai. Ruud Lubbers dari Partai Kristen Demokratis (CDA), seorang pemegang pelana Partai dari tahun 1982 sampai 1994, pada saat yang sama ia juga menjabat sebagai perdana menteri. Dalam masa jabatannya, meskipun ia berasal dari partai berhaluan kristenisasi, tapi sejumlah draft regulasi kesetaraan dirumuskan. Mulai dari tahun 1988, CDA sudah mulai mengusulkan draft regulasi kesetaraan (wet gelijke behandeling) pada parlemen).201 Perdebatan yang paling panjang adalah soal formulasi tentang legalisasi dan perlindungan homoseksual.202 Padahal hukum kesetaraan antara laki-laki dan perempuan (gelijke behandeling van mannen en vrouwen) sudah disahkan pada tahun diusulkanya draft ini, 1998. Namun CDA tetap berjuang sendirian, meskipun pada tahun 1990, PvdA ikut bergabung, koalisi itu pun tak langgeng. Sementara, dari Roma, Gereja Katolik menyuarakan ke publik Belanda, memperingatkan untuk tidak mengesahkan draft itu, akan datang sebuah bencana Aboetaleb zwijgt over oproep PvdA burgermeesters partijleider te worden, 9 Juli 2016. http://www.volkskrant.nl/politiek/aboutaleb-zwijgt-over-oproep-pvda-burgemeesterspartijleider-te-worden~a4336493/, diakses pada tanggal 17 Juli 2016 200 Awaludin Marwan. Radical Subject of Zizekian Study: Racist Fantasy Termination! Protection Chinese Ethnic Minorities in the Era of Gus Dur.(Berlin: Lambert Academic Publishing, 2013)., p. 35 201 Kamernotities, Nederlands Dagblad on June, 31, 1988. 202 Kamer eist duidelijkheid over voorhereiding wet Gelijke Behandeling. De Telegraaf. June, 27, 1990 199 354 yang besar jika draft itu diterbitkan sebagai kutukan. Namun, satu sisi, gerakan masyarakat sipil menguat. Para advokat yang bergerak di bidang hak asasi manusia pun tekun menghimpun kampanye. Aksi massa terbesar sepanjang sejarah Belanda melibatkan 213.000 tanda tangan di Utrecht menyulut tekanan pada parlemen untuk menyegerakan melegalkan draft.203 Meskipun partai berhaluan kristenisasi, namun partai ini pada zamannya cukup reformis, Ruud dan para politisi CDA yang lain juga mengusulkan sebuah lembaga khusus menangani persoalan diskriminasi.204 Lamanya para ketua partai ini berkuasa, sebenarnya juga tidak begitu disukai di Belanda. Seperti yang pernah terjadi di Hans Weigel pada VVD. Hans Weigel juga memimpin VVD dalam kurung waktu 1971 sampai 1982. Pernah ia digoyang dari kursi kepemimpinan. Dalam sebuah wawancara, ia menjelaskan bahwa dalam politik VVD hujan kritik dan pujian datang silih berganti, dan perseteruan antara kelompok tua versus muda berlangsung, namun ia yakin dengan integritas yang selama ini ia bangun.205 Weigel pernah menjabat sebagai Deputi Perdana Menteri, Menteri Dalam Negeri dan Anggota Parlemen, jumlah perolehan kursi di Parlemen tidak begitu banyak, kurang dari sepuluh kursi, namun stabil dalam formasi kekuasaan. Saat menjadi oposisi pun, Weigel bersuara keras soal Apartheid di Afrika Selatan.206 Ia mengemudikan Partai VVD dengan keyakinan dan ide liberalisme konservatif selama 11 tahun kokoh. Memberikan porsi kepemimpinan pada minoritas sebenarnya akan membawa banyak kesegaran dan keseimbangan bermasyarakat. Bagaimana kita dulu pernah merasakan bagaimana hebatnya, kiprah para politisi dan aktivis Tionghoa seperti Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe Tat, Go Gien Tjwan, dan nama yang selalu harum yakni Yap Thiam Hien.207 Mereka adalah para nasionalis-nasionalis sejati dengan pemujaan dan militansinya pada akal sehat dalam berpolitik. Dari mereka jualah, kita mendengar ide negara hukum, demokrasi, kewarganegaraan, dan hak asasi manusia. Di Belanda, kiprah Khadija Arib yang perempuan Maroko yang sejak belasan tahun keluarganya bermigrasi ke Amsterdam pada banyak kesempatan memperlihatkan betapa sensitifnya hati seorang keturunan. Ia bisa melihat dan bersikap peka terhadap sebuah peristiwa. Ia berada paling depan saat memperjuangkan subsidi Leeuwarder courant. Gelijke Behandeling. February, 19, 1994. Tweede Kamer, vergaderjaar 1990-1991, 22 014, nr. 3. Memorie van Toelichting Algemene regels ter bescherming tegen discriminatie op grond van godsdienst, levensovertuiging, politieke gezindheid, ras, geslacht, hetero-of homoseksuele gerichtheid of burgelijke staat (Algemene wet gelijke behandeling). Pada saat itu, lembaga yang dibentuk adalah Komisi Keseteraan Perlakuan (De Commissie gelijke behandeling (CGB)), namun pada akhir tahun 2011, komisi ini dilebur jadi satu dengan Institute Belanda untuk Hak Asasi Manusia (College voor de rechten van de mens). 205 Al dat idealistische gepraat dat stuit mij tegen de borst, NRC Handelsblaad, 12 Agustus 1972 206 Van onze parlementaire redactie. De Telegraaf, 31 Mei 1976 207 Daniel S Lev. No Concessions. The Life of Yap Thiam Hien, Indonesian Human Rights Lawyers. (Washington: The University of Washington Press. 2011)., p. 308-309 203 204 355 kesehatan, khususnya langsia dan perawat rumah.208 Pada bom Istanbul terjadi, ia yang juga ketua parlemen, sebelum rapat meminta seluruh anggota untuk mengheningkan cipta sejenak sebagai simbol belasungkawa terdalam pada korban sipil.209 Pada saat diskusi mengarah pada apa yang akan dilakukan oleh Belanda pada Istanbul, Khadija Arib berseru supaya pemerintah lebih hati-hati untuk tidak mengambil langkah militer. Sebab banyak warga Belanda yang bermukim di Turki, begitu juga sebaliknya.210 Demokrasi yang dipalut politik asli, pada akhirnya akan berujung pada diskriminasi. Menutup kemungkinan kaum minoritas berpartisipasi. Padahal diktum masyarakat migran adalah integritas, profesionalisme dan kerja keras. Seharusnya, peluang-peluang, utamanya Ketua Partai dibuka bagi seluas mungkin kalangan minoritas untuk maju dalam bursa. Refleksi Filsafat Politik Hukum Dalam paper ini, berikut uraian diatas, saya merumuskan sebuah tesis, seperti ini: bahwa lamanya seorang menjabat erat kedudukan ketua partai, klientelisme yang merugikan demokrasi akan tumbuh subur. Lamanya ketua partai menjabat, akan menyumbat kesempatan bagi kelompok minoritas dan kader berkualitas untuk tampil. Modus lamanya ketua partai menjabat ini bisa dikategorikan sebagai klientelisme politik partai. Klientisime sederhananya adalah hubungan patron yang tidak seimbang, hirarkis, dan feudal.211 Dengan struktur oligarkis, perdebatan politik ditubuh partai pun redam, diganti dengan agenda cium tangan, membawakan tas pimpinan, mengamini pidato pimpinan yang membikin kantuk, dan selalu bergembira disaat sedih dihadapan majikan sang ketua partai. Pesimisme ditubuh partai ternyata bukanlah semata-mata berlangsung di Indonesia. Di Belanda, banyak partai kehilangan anggotanya, semakin pesimis dan apolitislah kedua warga negara itu. Praktek klientelisme memang banyak mengundang kekecewaan padanya. Klientelisme juga mengakibatkan distribusi kesejahteraan secara tidak efisien dan tidak berkeadilan.212 Praktek di Indonesia, efek dari klientelisme bisa dilihat dengan nyata. Tidak ada ketua partai di Indonesia yang kere. Hampir semuanya mempunyai kekayaan yang berlimpahnya Coalitie heeft boter op hoofd. 4 Juli 2016. http://www.telegraaf.nl/binnenland/26142933/___Coalitie_heeft_boter_op_hoofd___.html, diakses pada tanggal 18 Juli 2016. 209 Kamer herdenkt slachtoffers aanslag Istanbul. 29 Juni 2016. http://www.telegraaf.nl/binnenland/26110645/__Kamer_herdenkt_slachtoffers_aanslag_Istanbul_ _.html, diakses pada tanggal 18 Juli 2016 210 Kamer staat stil bij aanslag Istanbul, 30 Juni 2016, http://www.telegraaf.nl/binnenland/26119042/__Kamer_staat_stil_bij_Istanbul__.html diakses pada tanggal 18 Juli 2016. 211 Jonathan Hopkin. Conzeptualizing Political Clientelism: Political Exchange and Democratic Theory. APSA Annual Meeting, Phipadelphia, 31 August-3 September 2006. 212 James A Robinson&Thierry Verdier. The Political Economi of Clientelism. Scand J. Of Economic 115 (2), 260-291, 2013 208 356 minta ampun. Di Belanda, karena sistem pajak yang besar para politisi Den haag itu pun sama saja gaya hidupnya seperti masyarakat pada umumnya. Klientelisme dalam kehidupan partai politik, akan melanggengkan tradisi lamanya jabatan ketua partai. Dalam literatur, klientelisme diartikan penyaluran faedah secara sempit yang mencampakan urusan publik.213 Refleksi ini menunjukan bahwa partai pada kenyataan lebih banyak mengurusi urusan kelompok dan majikannya, ketimbang urusan kepublikan. Di Belanda, pemilu semakin dekat, semua urusan yang berkenaan dengan partai seolah-olah selalu dihubungkan dengan Maret 2017 untuk kepentingan pemenangan. Lebih lanjut, sebenarnya dalam literatur juga disebutkan bahwa klientelisme adalah pragmatisme politik, dengan slogan ‘siapa dapat apa.’214 Yang diperdebatkan dalam tradisi politik klientelisme bukanlah program, indikator pembaharuan, pemberdayaan kader, dst, melainkan pembagian jatah kue kekuasaan. Dan, ketua partai adalah tukang stempelnya. PDI-P dalam kabinet Jokowi diantaranya adalah Menko PMK Puan Maharani, Menkumham Yasonna Laoly, Mendagri Tjahjo Kumolo, dan Menkop UKM Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga. Begitu juga dengan VVD di Belanda, sebut saja Mark Rutte yang juga Perdana Menterinya, kemudian berturut-turut Ard van der Steur Menteri Kehakiman, Henk Kamp Menteri Perekomian, Jeanine Hennis-Plasschaert Menteri Pertahanan, Edith Schippers Menteri Kesehatan dan Melanie Schultz Menteri Lingkungan dan Infrastuktur. Klientelisme juga lebih mudah dijelaskan dengan idiom, salah satu ekspresi yang acapkali digunakan ialah ‘ambil dari sana, kasihkan kesini.’215 Literatur menceritakan bahwa klientelisme berorientasi eksplotasi besar-besaran demi kepentingan kenikmatan diri dan kelompok. Eksplotasi bisa saja dengan cara penodongan pada perusahaan swasta model ‘Papa minta saham.’ Dan, berebutan subsidi pemerintah. Di Belanda, soal subsidi ini memang sedang ramai. Pasalnya, banyak Partai kehilangan anggotanya, membuat iuran anggota yang selama ini menopang program partai, utamanya riset center, jadi terbengkalai. Maka banyak partai yang mengharapkan subsidi partai. Mereka berkilah, yang dapat banyak adalah PVV partai sayap kanan, karena anggotanya sang pembuat sensasi Geert Wilders saja! Saya merenungkan pokok dari topik klientelisme partai politik. Saya menemukan bahwa lepaskan politik dari perbincangan tentang keadilan adalah masalah yang serius hari ini. Badiou menempatkan wacana keadilan dan kebenaran dalam Idridi H. Indridason. A theory of coalitions and clientelism: coalition politics in Iceland, 19452000. Europan Journal of Political Research, 44: 439-464, 2005. 214 Derick W. Brinkerhoff & Arthur A Goldsmith. Democratic Governance: An Overview and Framework for Assessment and Programming. (Washinton: US Agency for Internatioal Development Office of Democracy and Governance, 2002) 215 Luis Roniger. Political Clientelism, Democracy, and Market Economy. Comparative Politics, Vol. 36, No. 3 (Apr., 2004), pp. 353-375 213 357 politik. Politik bukanlah soal siapa mayoritas, kekuasaan, lobi dan pemilu, melainkan sebuah orientasi perjuangan tentang kebenaran.216 Tidak adil jika politik tidak memberikan kesempatan pada sesama anggota partai untuk masuk dalam bursa ketua partai. Tidak benar juga apalagi dominasi politik asli benarbenar sudah menghegemoni. Terakhir, karena saya adalah murid Pak Tjip (panggilan akrab Prof Satjipto Rahardjo), maka dengan ini saya juga membawa kerangka hukum progresif dalam memberikan usulan-usulan pada pembaharuan demokratisasi partai. Pada dasarnya hukum progresif seringkali berpegangan pada moralitas hukum. Dan, semoga saya tidak keliru saat menyebutkan moralitas hukum Pak Tjip itu adalah moralitas negara hukum yang modern, seperti: integritas, akuntabilitas, negara hukum, hak asasi manusia, dst. Maka partai pun hendaknya berangsur-angsur menggapai pembaharuan moralitas hukum itu.217 Negara bisa mengintervensi Alain Badiou. Metapolitics. 2006. Verso., p. 69-72 Dalam tradisi berhukum, maka gaya pemikiran ini cara membaca teks peraturan perundangundangan bukanlah secara harafiah, melainkan memahami makna-makna guna menangkap kandungan kaidah-kaidah yang tersari darinya. Kadang dalam mekanisme ini, sering juga sejalan dengan konsep pembacaan moral (moral reading), saat nilai-nilai yang bermukim dalam sebuah pasal, yang harus digali secara mendalam oleh pembaca resminya, yakni penegak hukum. Pak Tjip sepertinya ingin mengatakan bahwa cara berhukum hendaknya tidak hanya berkutat pada kaidah hukum saja. Saya membagi kaidah itu ke dalam beberapa kategori, disinilah saya menemukan ada titik kesamaan apa yang diungkapkan oleh WLG Lemaire dalam Het Recht in Indonesie (1955) dengan bukunya Pak Tjip yang berjudul Hukum dalam Jagad Ketertiban (2006). Lemaire mengungkapkan kategori kategori berdasarkan pada : kaidah budi nurani, kaidah moral positif, kaidah kesopanan, kaidah agama dan kaidah hukum. Kaidah budi nurani adalah kaidah yang muncul begitu saja dari budi nurani manusia seperti nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar menentukan apa yang baik dan apa yang buruk. Kaidah ini mengantarkan manusia untuk tidak menjadi jahat, pencuri, pembunuh, penipu, dst. Hukumannya adalah perasaan menyesal dari dalam diri nurani sendiri saat melanggar kaidah tersebut. Dari titik inilah, Satjipto ingin mengatakan bahwa hukum itu, bukanlah kumpulan saja dari kaidah hukum. Kaidah hukum adalah seperangkat kaidah yang mengatur tingkah laku para warga masyarakat oleh sebuah peraturan perundangundangan. Konsep yang mengatur perilaku warganya (HLA Hart menyebutkannya sebagai primary rules) dalam sebuah peraturan perundang-undangan, yang berupa perintah, larangan, izin, dan dispensasi. Sementara konsep lain berupa wilayah kewenangan (HLA Hart menyebutnya sebagai : secondary rules). Dari titik inilah kaidah hukum menetapkan norma dan prosedurnya dari lembaga yang berwenang. Namun karena terlalu berkutatnya pada teks dan prosedur, maka mereka yang hanya memandang kaidah hukum sebagai satu-satunya cara berhukum akan mendapatkan kebuntuan untuk menciptakan keadilan. Sedangkan kaidah yang lain juga patut kita bahas sekilas dalam paper ini. Kaidah moral positif misalnya adalah konsep hukum yang pada suatu waktu tertentu dalam sebuah masyarakat atau kounitas dihayati dan dipatuhi sebagai aturan kesusilaan atau tuntunan moral. Pada konteks ini kaidah moral positif bisa muncul dalam keseharian dunia hukum pada mekanisme pelaksanaan kode etik. Kode etik dibentuk, ditegakan dan dipatuhi oleh komunitasnya sendiri. Sedangkan, kaidah kesopanan adalah konsep yang mengatur pegaulan hidup anta-individu yang timbul dari kebutuhan manusia, demi keramah-tamahan dan keluwesan dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Kaidah ini bertujuan untuk menghindarkan adanya perasaan yang tersinggung. Pendapat umumlah yang merekonstruksinya, dengan sanksi berupa celaan bagi yang melanggar kaidah tersebut. Sementara kaidah kebiasaan adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu yang sudah memiliki pola sosial, biasa disebut perulangan perilaku yang sama, saya menyebutnya sebagai proses desuetudo). Terakhir, kalau kita membicarakan kaidah budi nurani, kaidah moral positif, kaidah kesopanan, kaidah kebiasaan, kaidah hukum, dst itu bersumber dan dibentuk oleh akal manusia, sementara kaidah agama ini berasal dari wahyu Tuhan, pada titik inilah kualitas 216 217 358 melalui UU Partai Politik. Namun kesadaran partai yang memperbaiki AD/ART dan membangun budaya hukum yang emansipatoris akan jauh lebih indah. Penutup Indonesia dan Belanda penganut sistem multipartai terjebak dalam kubangan yang sama, soal lamanya ketua partai menjabat. Sementara posisi minoritas di kedua negara itu pun masih terjepit. Dominasi politik asli nampaknya masih berlangsung dalam tradisi kepartaian dua negara tersebut. Meskipun kedua negara telah meratifikasi konvenan anti-diskriminasi dan konvenan sipil politik, namun pada prakteknya konvenan anti-diskriminasi ras (Pasal 5 (c)) dan sipil politik (Pasal 24) ini tidak berjalan sebagaimana mestinya di tubuh partai. akhlak dibentuk oleh para pemuka agama yang bertugas membina para umatnya. Satjipto dengan dengan istilah progresifnya sebagai penolakan terhadap cara berpikir yang tekstual. Sehingga hukum progresif itu adalah sebuah ide yang memerlukan ketajaman untuk membaca undangundang secara benar, secara tepat, dengan itu menemukan makna dari aturan yang dibacanya itu. Satjipto adalah sosok yang cukup gigih dalam menampilkan dan mengekspresikan penalaran hukum dari berbagai masalah hukum itu harus memahami aturan perundang-undangan secara multidisipliner, komprehensif dan holistik 359 DEMOKRASI INTERNAL PARTAI PROSES PEMILIHAN KETUA PARTAI YANG DEMOKRATIS Abstrak Beni Kharisma Arrasuli Tulisan ini memaparkan tentang demokrasi internal partai serta kaitannya dengan proses pemilihan ketua partai yang demokratis, bertujuan untuk mengulas dan menghadirkan perspektif tentang proses demokrasi khususnya di dalam tubuh partai politik. Penulisan makalah ini menyentuh berbagai aspek mulai dari aspek sosiologis, politik dan hukum yang menggunakan pendekatan konseptual, komparatif, deskriptif dan historis, yang penerapannya disesuaikan dengan kebutuhan. Dengan menggunakan beragam teori yang digagas oleh beberapa pemikir klasik maupun kontemporer tentang tema demokrasi internal partai serta kaitannya dengan proses pemilihan ketua partai yang demokratis, sebagaimana diterapkan dalam praktek berdemokrasi di Indonesia dan juga menghadirkan beberapa negara sebagai komparasi seperti Inggris, Kanada dan Malawi selanjutnya direvisi secara teoritik dalam wacana akademik, tulisan ini menunjukkan bahwa praktek demokrasi internal partai belum berjalan secara utuh seperti yang diharapkan di Indonesia, masih banyaknya ditemukan fakta bahwa pemilihan pimpinan partai politik masih menggunakan pola patronase dan oligarki seperti pemilihan tertutup dan pemilihan secara aklamasi, ditambah dengan cara-cara perbuatan melawan hukum seperti politik uang. Realitas yang seharusnya adalah partai politik sebagai representasi masyarakat dan jembatan keterwakilan warga negara pada posisi kursi kekuasaan baik legislatif maupun eksekutif, seharusnya mampu menjadi contoh demokrasi terapan sebagai sebuah cerminan dari negara modern. Akhir dari tulisan ini memberikan beberapa solusi yang dapat diterapkan oleh partai politik dalam proses pemilihan pimpinan partai, baik sebelum berlangsungnya munas/kongres maupun setelahnya. Dengan tujuan kedepannya partai politik benar-benar menjadi partai kader yang memiliki prinsip-prinsip demokrasi dari level tertinggi hingga akar rumput. Kata Kunci: Demokratis Demokrasi Internal Partai, Pimpinan Partai politik, Proses, 360 A. PENDAHULUAN Keberadaan serta proses pelembagaan seorang pemimpin dengan cara yang demokratis di dalam tubuh partai politik menjadi topik yang sangat menarik untuk diteliti, karena untuk mewujudkan suatu upaya demokratisasi dalam suatu negara membutuhkan sarana atau saluran politik yang koheren dengan kebutuhan masyarakat melalui sebuah partai politik, selain itu dengan menguatnya suatu pelembagaan seorang pemimpin dengan cara yang demokratis dalam partai politik secara tidak langsung akan berdampak pada terciptanya suatu rezim demokrasi yang bekerja atas dasar konstitusi yang demokratis pula. Samuel Huntington dan Larry Diamond, misalnya, berpandangan bahwa salah satu indikator utama menuju demokrasi terkonsolidasi diperlukan kelembagaan partai politik dan pemilu sebagai esensi demokrasi. Pandangan ini sejalan dengan Katz yang berpendapat tentang posisi partai politik sebagai institusi paling esensial dan inti dari pemerintahan demokrasi modern.218 Penulis mengartikan pelembagaan adalah bagaimana sebuah partai politik mampu menjalankan demokrasi dalam internal partai, di awali dengan proses pemilihan seorang kader menjadi pimpinan partai. Kualitas demokrasi sesungguhnya bergantung pada kualitas partai dalam berdemokrasi, keberlangsungan fungsi-fungsi partai akan menentukan wajah demokrasi. Buruk wajah partai dalam berdemokrasi, buruk pula kualitas demokrasi dalam sebuah negara; sebaliknya baik wajah partai baik pula kinerja demokrasi sebuah negara.219 Dalam suatu negara yang demokratis, setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk di dalamnya adalah hak untuk berpendapat (Freedom of Expression), hak untuk berkumpul dan berserikat (Freedom of Assembly).220 Artinya masyarakat yang mewakili suaranya kepada partai politik berharap hak dasar yang mereka miliki tentunya terimplementasi dalam berjalannya roda organisasi partai, seperti dalam pengambilan sebuah keputusan dengan melibatkan seluruh kader partai tanpa terkecuali baik secara struktur keorganisasian partai, yang tidak hanya terpusat pada elit level tertinggi, hal tersebut sebagai bukti berlakunya hak bebas untuk berpendapat. Menjadi tanda sebuah partai telah memulai demokrasi dari dalam tubuh partai tersebut. At the level of the nation-state, political parties are indispensable to the practical workings of government. Indeed, without parties, modern representative democracy is simply unworkable.221 Tak dapat dipungkiri dalam sebuah Negara Hanta Yuda AR. “Partai Politik, Pemilu, Koalisi Pemerintahan dan Prospek Demokrasi”. (Indonesia: Journal the Indonesian Institute center for public policy research.2009). hlm. 79. 219 Sigit Pamungkas. “Partai Politik Teori Dan Praktik Diindonesia”. (Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism (IDW), 2011). hlm. 62. 220 Afan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) hlm. 9. 221 E.E. Schatterschneider, Party Government (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1942). Dag Anckar and Carsten Anckar note, however, that a half-dozen small, independent island states are democracies without having political parties—namely, Belau (Palau), the Federated States of Micronesia, Kiribati, the Marshall Islands, Nauru, and Tuvalu. Their size, extremely archipelagic geography, and intense cultural resistance all contribute to an absence of political parties in these 218 361 demokrasi peran partai politik sangatlah dominan, sebab institusi Negara akan terisi dan dijalankan oleh kebanyakan kader dari partai politik, dan berbicara demokrasi modern tanpa sebuah partai niscaya demokrasi tidak akan berjalan semestinya. Proses demokratisasi internal partai dapat dilihat bagaimana proses pemilihan seorang calon pimpinan partai melalui penyerapan aspirasi seluruh kader di tingkat akar rumput (grassroots) sehingga ketua umum yang terpilih benar-benar merupakan hasil dari aspirasi kader partai politik tersebut. Dengan demikian proses demokrasi internal partai adalah suatu cara untuk mendapatkan seorang pimpinan partai dengan menerapkan mekanisme pengambilan suara dukungan dari setiap kader di dalam partai. Faktanya beberapa tahun belakangan ini muncul fenomena aklamasi di dalam partai politik (parpol) ketika menetapkan pimpinan tertinggi partai. Tidak hanya terjadi pada partai yang dinotasikan sebagai partai keluarga, namun juga sudah merebak ke sendi-sendi partai modern. Begitu pula partai muda partai yang tergolong baru, beberapa diantaranya hadir dengan mengurung visi misi demokrasi terbuka dengan berkaca anti pada praktek-praktek kelembagaan partai pada era orde baru yang berpola patronase, partai-partai baru ini pun meniru proses aklamasi dalam estafet kepemimpinan parpol. Misalnya yang terjadi di Partai Gerindra. Prabowo Subianto yang notabene berposisi sebagai ketua dewan pembina partai di daulat kembali menjadi ketua umum setelah kongres luar biasa partai. Begitupun halnya dengan Partai Demokrat yang menunjuk secara aklamasi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai ketua umum pasca ditetapkannya Anas Urbaningrum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka korupsi. Padahal, SBY merupakan ketua dewan pembina dan secara ex-officio ketua dewan kehormatan dan ketua majelis tinggi. Partai Golongan Karya (Golkar) yang menghelat munas di Bali juga menetapkan Aburizal Bakrie secara aklamasi sebagai ketua umum untuk yang kedua kali. Lalu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menunjuk kembali Megawati Soekarno Putri sebagai ketua umum. Penunjukan Megawati mempertegas bahwa PDIP sangat lekat dengan partai keluarga. Padahal, kader potensial di PDIP terhitung cukup banyak. Begitu juga halnya dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang mengadakan muktamar di Surabaya pada 16 Oktober 2014 dengan tiba-tiba mendapuk Romahurmuziy sebagai ketua umum melanjutkan kepemimpinan Surya Dharma Ali yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK. Selanjutnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sekalipun memang dipimpin oleh seorang ketua yang masih tergolong muda dibanding dengan partai lainnya akan tetapi tetap saja Muhaimin Iskandar terpilih kembali dengan proses aklamasi. Seluruh fakta diatas dilakukan dengan dalih penyelamatan partai. Akibat yang ditimbulkan adalah banyaknya munas tandingan dengan munculnya nama democracies. See Dag Anckar and Carsten Anckar, “Democracies Without Parties,” Comparative Political Studies 33 (March 2000): 225–47. Dikutip kembali oleh penulis dari Pippa Noris, Developments in Party Communications, POLITICAL PARTIES AND DEMOCRACY IN THEORETICAL AND PRACTICAL PERSPECTIVES, (USA: National Democratic Institute for International Affairs (NDI). Printed by United States, 2005), hlm. 3. 362 kader lain sebagai ketua partai tandingan. Sebut saja di Golkar muncul Agung Laksono dan di PPP ada nama Djan Fariz, serta banyaknya kader muda potensial dari PDI-P yang jarang lagi muncul di hadapan publik. Persoalan semakin kompleks dengan terpecahnya partai serta konflik yang tidak selesai dalam waktu sesaat, bahkan penyelesaian harus dibawa sampai ke ranah hukum. Gejala ini disebut juaga dengan “personalisasi” juga terlihat tatkala suatu organisasi mengalami kesulitan dalam melakukan suksesi atau pergantian kepemimpinan. Dikatakan oleh Monica dan Jean Charlot,222 “Until a party (or any association) has surmounted the crisis of finding a successor to its founder, until it has drawn up rules of succession that are legitimate in the eyes of its members, its ‘institutionalization’ will remain precarious”. Selama suatu organisasi belum dapat mengatasi krisis dalam pergantian kepemimpinannya, dan belum berhasil meletakkan dasar pengaturan yang dapat diakui dan dipercaya oleh anggotanya, maka selama itu pula pelembagaan organisasi tersebut masih bermasalah dan belum dapat dikatakan kuat. Apalagi jika pergantian itu berkenaan dengan pemimpin yang merupakan pendiri yang berjasa bagi organisasi bersangkutan, seringkali timbul kesulitan untuk melakukan pergantian yang tertib dan damai. Namun, derajat pelembagaan organisasi yang bersangkutan tergantung kepada bagaimana persoalan pergantian itu dapat dilakukan secara “impersonal” dan “depersonalized”.223 Huntington memaparkan empat dimensi suatu partai politik yang telah menunjukkan institusionalisasi di dalamnya dengan artian partai mampu berdemokrasi yang utuh dan terinstitusi dalam tubuh partai yaitu, Pertama, dimensi penyesuaian diri dan kekakuan, kedua, dimensi kompleksitas dan kesederhanaan, ketiga, dimensi otonomi dan sub-ordinasi dan yang keempat, dimensi kesatuan dan perpecahan.224 Pada persoalan ramai-ramai partai menggunakan pola aklamasi dalam memilih pimpinan partai sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis menganalisa menggunakan teori pada dimensi pertama dan keempat, artinya sebuah partai politik masih terkungkung pada sosok figur atau patronase yang kaku, sehingga merasa kader partai lainnya tidak dianggap layak dan mampu memimpin sebuah organisasi partai. Selanjutnya partai luput memprediksi akibat yang ditimbulkan dari pola-pola patronase yang dilakukannya akan berakibat konflik internal yang memecah belah partai itu sendiri. 1. Demokrasi Internal Partai, sebuah perspektif Monica and Jean Charlot, ‘Les Groupes Politiques dans leur Environement’ in J. Leca and M. Grawitz (eds.), Traite de Science Politique, iii (Paris: PUF, 1985), 437; dalam Ibid, hlm. 89. Lihat dalam Jimly Asshiddiqie, Dinamika Partai Politik dan Demokrasi. Makalah. hlm. 3. 223 Jimly Asshiddiqie, Dinamika Partai Politik dan Demokrasi, www.jimly.com/makalah/.../DINAMIKA_PARTAI_POLITIK.doc. Diakses tanggal 12 Juli 2016 224 Samuel P.Huntington, Tertib Politik pada Masyarakat yang Sedang Berubah, (Jakarta: Rajawali Pers, cet ke-2 2004), hlm. 484. 222 363 “The primary democratic function of political parties is to link the citizenry with the government”225 kalimat tersebut diungkapkan oleh Sartori, fungsi demokrasi utama partai politik adalah untuk menghubungkan warga dengan pemerintah. Dalam rangka untuk memainkan peran ini secara efektif, partai politik harus memberikan kesempatan bagi partisipasi efektif oleh anggota, aktivis dan kandidat pemimpin di partai dimulai dari pengambilan keputusan dari tingkat terendah hingga kesempatan terbuka bagi setiap kader untuk memilih dan dipilih sebagai pimpinan partai (party leader). Hal ini sejalan dengan perdebatan para sarjanawan tentang kelayakan demokrasi internal partai sebagai cerminan demokrasi negara modern secara umum. Terkait partai dan demokrasi sebuah kutipan menarik dari pernyataan Susan Scarrow226 “Political parties are crucial actors in representative democracies. Parties can help to articulate group aims, nurture political leadership, develop and promote policy alternatives, and present voters with coherent electoral alternatives.” partai politik adalah aktor penting dalam perwakilan demokrasi. Partai politik dapat membantu untuk mengartikulasikan tujuan sebuah kelompok (masyarakat), memupuk kepemimpinan politik, mengembangkan dan mendukung kebijakan alternatif, serta mewakili pemilih dalam sebuah pemilu alternatif. Sebagai organisasi modern, partai-partai sudah tentu dituntut untuk mengembangkan etika berpartai secara modern pula. Termasuk di dalamnya etika kepemimpinan yang demokratis dan kolegial, etika berorganisasi atas dasar distribusi kekuasaan yang terdiferensiasi, dan etika pertanggungjawaban secara public, yang semuanya dilembagakan melalui mekanisme internal partai yang disepakati bersama. Melalui pelembagaan etika berpartai semacam itu, partaipartai tidak hanya diharapkan menjadi wadah pendidikan politik dan pembentukan kepemimpinan, tetapi juga bisa menjadi basis sekaligus fondasi bagi pelembagaan demokrasi kearah yang lebih substansial.227 Sarjanawan Jerman Robert Michels (1962) dalam tesisnya "iron law of oligarchy" yang berpendapat bahwa partai politik secara inheren tidak bersikap demokratis dan memiliki kecenderungan oligarki di mana elit partai mengambil kendali partai dengan mengorbankan keanggotaan partai. Menurut argumen ini, demokrasi internal partai tidaklah konsisten dengan preferensi elit yang sangat terorganisir, sistem partai terstruktur dan terlembaga yang hanya dikontrol oleh segelintir elit. partai politik oligarki cenderung memiliki pola sentralistik dalam pengambilan proses keputusan yang tidak demokratis. Pandangan ini menekankan Josh Maiyo, Political Parties and Intra-Party Democracy in East Africa - From Representative to Participatory Democracy, Thesis, (Netherland: Leiden University, 2008), hlm. 19. 226 Susan Scarrow, Developments in Party Communications, IMPLEMENTING INTRA-PARTY DEMOCRACY, National Democratic Institute for International Affairs (NDI, (USA: National Democratic Institute for International Affairs (NDI). Printed by United States, 2005), hlm. 3. 225 Naskah Akademik RUU Tentang Perubahan Atas UU NO.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, Badan Legislasi DPR RI, 2010, hlm. 14. 227 364 bahwa demokrasi internal partai merupakan prasyarat bagi sebuah negara yang demokratis. Dilain hal tesis ini telah disangkal oleh mereka yang berpendapat sebaliknya, bahwa demokrasi internal partai melemahkan partai politik dan karena alasan tersebut tidak diinginkan oleh beberapa partai politik terlebih partai dengan jumlah kader yang besar. Para pendukung pandangan ini berpendapat bahwa dalam rangka untuk melayani tujuan-tujuan demokrasi, partai politik sendiri harus dikuasai oleh prinsip-prinsip oligarki "in order to serve democratic ends, political parties themselves must be ruled by oligarchic principles‟ Teorell (1999).228 Menjadi dalih keutuhan partai. Konsep demokrasi internal partai memang membuka ruang perdebatan pro dan kontra, sebab dalam beberapa kasus di berbagai partai yang ada pada negaranegara demokrasi modern penerapannya berbeda-beda. Dengan demikian konsep demokrasi internal partai sangat ditentang di Negara-negara yang sejarah feodalisme masih kuat atau belum mampu melepaskan diri dari skema politik patronase. Meskipun demikian, dalih oligarki partai didasarkan pada kenyataan bahwa demokrasi yang dimaksud adalah bagaimana pemimpin partai terpilih secara aklamasi dengan asumsi dasar adalah hasil dari musyawarah mufakat. Serta menyatakan demokrasi adalah sebuah proses yang bertentangan dengan voting, agregasi kepentingan individu-individu serta hak-hak konstitusional. Benar rasanya ungkapan J.J Rousseau bahwa: sangatlah mudah bagi seorang raja yang mempertahankan dan memperluas kekusaannya dengan dalih untuk menjaga keamanan dan keteraturan padahal raja mengambil keuntungan tunggal dari hal tersebut dengan mengabaikan suara rakyat.229 Seharusnya demokrasi internal partai didefinisikan sebagai sejauh mana partai politik dalam proses pengambilan keputusan memberikan kesempatan bagi warga negara yang tergabung dalam partai politik mempengaruhi pilihan terhadap pimpinan partai. Scarrow (2005) dan Mimpen (2009)230 berpandangan bahwa demokrasi internal partai memerlukan instrumen yang mendorong partisipasi yang sama dan terbuka dari anggota partai politik sedemikian rupa bahwa kepentingan yang kurang lebih sama diwakili dan terwakili “instruments that promote equal and open participation of political party members in such a way that interests are more or less equally represented“ Ini merupakan dasar bagi berfungsinya demokrasi secara luas dalam bernegara yang dapat terlihat pada kompetensi keseluruhan warga negara dan partai politik dalam praktek memilih pimpinan partai politik. Unsur yang masih berkaitan dengan demokrasi internal partai adalah adanya aturan dan struktur partai politik yang stabil.231 Untuk melihat itu, bisa Josh Maiyo, Op.Cit, hlm. 19. J. J Rousseau, Perjanjian Sosial, Terjemahan dari Du Contract Social, Alih Bahasa: Vincent Bero, (Jakarta: Trans Media Pustaka, 2007), hlm. 172. 230 Blessings Chinsinga and Gerald Chigona, The State of Intra-party Democracy in Malawi: A Comparative Audit of Selected Party Constitutions, A Report Prepared for the Centre for Multiparty Democracy Malawi (CMD-M), (Malawi: (CMD-M) 2010), hlm. 10. 231 M. Rifqinizamy Karsayuda, Partai Politik Lokal Untuk Indonesia, Kajian Yuridis Ketatanegaraan Pembentukan Partai Politik Lokal di Indonesia Sebagai Negara Kesatuan, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2015), hlm. 115. 228 229 365 didekati melalui tiga (3) formula, yaitu pertama, independensi organisasi, kedua, disiplin imternal, dan ketiga, rutinitas yang dijalankan oleh partai politik. Pada formula yang pertama diukur bagaimana independensi partai terkait dengan patron dan klien yang amat mungkin muncul di dalam partai, bagaimana independensi partai dengan sumber pendanaan organisasi, termasuk independensi dalam pengambilan kebijakan partai. Dalam formula yang kedua, diukur soal loyalitas terhadap organisasi partainya, tingkat keterpecahan partai politik oleh faksi-faksi yang ada, termasuk melihat bagaimana kontrol partai atas seleksi kandidat pimpinan partai yang berkompetisi dalam jabatan partai politik, formula terakhir melihat rutinitas organisasi mulai dari rutinitas perencanaan dan pelaksanaan sistem organisasi dapat dilaksanakan mulai dari struktur tertinggi hingga terbawah di berbagai lintasan territorial.232 2. Demokrasi Internal Partai, transformasi kepemimpinan partai politik Proses demokrasi internal partai salah satu kaitannya adalah bagaimana proses pemilihan seorang kandidat pimpinan partai melalui penyerapan seluruh aspirasi kader sehingga pimpinan partai yang terpilih mendapat legitimasi yang kuat untuk menjalankan fungsi sebagai seorang pimpinan tertinggi di dalam partainya. Akan tetapi yang menjadi persoalan di dalam penerapan demokrasi internal bagi partai politik yang memiliki jumlah kader yang besar, maka dalam pandangan Alan Warre ada dua cara untuk melalui hal tersebut, sebagaimana pernyataannya: “To have democratic control of candidate selection to overcome the problem posed by the size of the membership, the first is to have local meeting and so on until the final meeting into which the view expressed at the original local meeting are fed in or to have all members vote directly in choosing candidates”.233 Untuk memperoleh control/mekanisme demokratis di dalam pemilihan kandidat pimpinan partai (pada partai) yang memiliki jumlah anggota yang besar yaitu: Pertama, dengan melakukan pertemuan tingkat lokal hingga ke pertemuan tingkat akhir (pusat) dimana setiap pandangan dari para anggota dari tingkat lokal masuk di dalam pertimbangan atau melalui mekanisme semua anggota hadir tanpa terkecuali dan memilih secara langsung terhadap kandidat yang dicalonkan. Permasalahan lain dalam sebuah partai ketika menerapkan demokrasi internal partai selain persoalaan jumlah kader yang besar, memungkinkan dinamika partai bermuara kepada konflik faksi atau kepentingan kelompok, maka persoalan yang lebih berat terhadap partai adalah sifat-sifat oligarki, yang identik dengan kekuasaan diukur dari besar kecilnya jumlah uang yang dimiliki oleh seorang kandidat calon pemimpin partai. Jeffrey Winters, menjelaskan makna kata oligarki berasal dari kata oligarch yang berarti seseorang yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik: Edisi Revisi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Mandiri, 2010), hlm. 415. 233 Alan Ware, Political Parties andParty Systems, (New York: Oxford University Press, 1996), hlm 258. 232 366 untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial ekslusifnya. Lebih jauh menurut Winters: kenyataannya, kekayaan yang sangat besar di tangan minoritas kecil menciptakan kelebihan kekuasaan yang signifikan di ranah politik termasuk dalam demokrasi … penekanan terhadap dampak politik kesenjangan material terhadap “ketidak setaraan kondisi”… membuat bentukbentuk kekuasaan dan ekslusi minoritas oligarkis berbeda dengan yang lain, seorang kandidat politik yang memiliki uang yang banyak untuk berkampanye umumnya sukar untuk dikalahkan.234 Mengambil sebuah contoh pernyataan Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bakti memprediksi politik uang dalam pemilihan ketua umum di Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar akan tetap terjadi. Potensi itu semakin besar setelah panitia Munaslub memutuskan tidak akan ada uang saku bagi pengurus daerah yang akan menjadi pemilih dalam Munas Golkar. "Money politic pasti tetap terjadi. Hampir tidak mungkin itu bisa dihilangkan,"235 lalu pada kasus partai demokrat misalnya, Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin mengatakan, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono mengetahui adanya politik uang dalam Kongres Partai Demokrat II yang salah satu agendanya adalah memilih ketua umum baru. Hal ini disampaikan Nazaruddin dalam wawancara dengan Metro TV, Selasa (19/7/2011). "(Pak SBY) mengetahui permainan uang ini," kata Nazaruddin, yang juga mantan anggota Komisi III DPR. Hal ini diketahui setelah salah satu calon yang kalah menemukan bukti-bukti adanya politik uang dalam pemilihan ketua umum Partai Demokrat.236 3. Demokrasi Internal Partai, Proses pemilihan ketua partai yang demokratis Karena proses pemilihan pemimpin partai sangat penting untuk menunjukkan citra partai, beberapa hal yang penting bagi sebuah partai ketika akan melakukan proses pemilihan ketua partai adalah, Pertama, mempersiapkan mekanisme pra-seleksi, sebab hal ini akan berperan penting pada saat pemilihan ketua partai saat munas atau kongres partai berlangsung. Diluar syarat-syarat administratif misalnya, calon akan diminta untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki dukungan dari sejumlah pihak regional (pengurus daerah) atau persentase tertentu dari delegasi pimpinan partai serta dewan pembina. Atau, adanya papan nominasi yang terdiri dari perwakilan dari faksi internal partai yang terbentuk akan memberikan suara berdasarkan jumlah calon yang diusung, tahapan selanjutnya seluruh calon "disetujui” oleh sebuah komite independen internal partai. Kedua, memprediksi sejak awal kemungkinan konflik yang Jeffrey A. Wintes, Oligarki, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 2011), hlm. 8. Politik Uang di Munaslub Golkar Diprediksi Tetap Terjadi , Jakarta, Kompas.com http://nasional.kompas.com/read/2016/04/29/08422611/Politik.Uang.di.Munaslub.Golkar. diakses pada tanggal 16 Juli 2016 236 SBY Tahu Politik Uang di Partai Demokrat, Jakarta, Kompas.com http://nasional.kompas.com/read/2011/07/19/19452827/sby.tahu.politik.uang.di.partai.demokr at. diakses pada tanggal 16 Juli 2016 234 235 367 mungkin terjadi, maka hal tersebut sekalipun mungkin akan tetap ada, tetapi telah diusahakan untuk diminimalisir sejak jauh hari, sebab praktek yang banyak kita temukan di Indonesia adalah proses seleksi kandidat dilakukan secara tertutup dan baru di sosialisasikan pada saat munas atau kongres akan berlangsung. Hal ini menyebabkan resistensi internal terbentuk secara cepat ketika proses pemilihan berlangsung. Beberapa Kendala, diantaranya partai akan kesulitan menemukan pihak yang netral sebagai komite independen yang akan melakukan verifikasi terhadap kandidat, maka menghadirkan orang-orang yang berasal dari luar partai itupun dapat dilakukan. Langkah selanjutnya memperjelas dan memperketat regulasi partai tentang pencalonan seseorang menjadi kandidat ketua partai, apabila pada akhirnya konflik tetap tak bisa dihindari maka penyelesaian dapat dilakukan melalui mahkamah partai atau dimungkinkan melalui pengadilan apabila sistem dalam sebuah negara terhadap penyelesaian sengketa internal partai telah terintegrasi di dalam undang-undang. Untuk mengatasi berbagai potensi buruk partai politik seperti dikemukakan di atas, diperlukan beberapa mekanisme penunjang, mekanisme internal yang menjamin demokratisasi melalui partisipasi anggota partai politik itu sendiri dalam proses pengambilan keputusan. Pengaturan mengenai hal ini sangat penting dirumuskan secara tertulis dalam anggaran dasar (constitution of the party) dan anggaran rumah tangga partai politik bersangkutan yang ditradisikan dalam rangka “rule of law”. Semisal partai ingin menerapkan seleksi secara alami bagaimana agar partai dengan jumlah kader yang besar sehingga setiap individu kadernya berkeinginan untuk menjadi pimpinan partai, mengambil pemikiran Alan Ware, syarat ideal pimpinan partai politik haruslah telah lama menjadi legislator partainya di parlemen, dengan demikian dia tidak hanya memahami perpolitikan tetapi juga telah berpengalaman memperjuangkan aspirasi partainya sehingga mampu untuk meneruskan visi misi partainya.237 Ide ini hanyalah sebuah contoh yang dapat diterapkan dalam cara yang berbeda. Setiap partai tentunya memiliki acuan masing-masingnya seperti AD/ART partai atau aturan tertulis lainnya, Jimly238 menambahkan disamping anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, sesuai tuntutan perkembangan, perlu diperkenalkan pula sistem kode etika positif yang dituangkan sebagai “Code of Ethics” yang dijamin tegaknya melalui dewan kehormatan yang efektif. Dengan begitu, di dalam dinamika internal organisasi partai, berlaku tiga dokumen sekaligus, yaitu “Code of Law” yang tertuang dalam anggaran dasar (constitution of the political party), “Code of Conduct” (code of organizational good conducts) yang tertuang dalam anggaran rumah tangga, dan “Code of Ethics” dalam dokumen yang tersendiri. Dengan demikian, norma hukum, norma moral, dan norma etika M. Imam Akbar Hariri, “Demokrasi Internal Partai: Studi Proses Pemilihan Ketua Umum Partai Golakar Pada Munas Golkar Tahun 1998, 2004 dan 2009”, Tesis, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2012) hlm. 137. 238 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit. hlm. 6. 237 368 diharapkan dapat berfungsi efektif membangun kultur internal setiap partai politik. Aturan-aturan yang dituangkan di atas kertas, juga ditegakkan secara nyata dalam praktek, sehingga prinsip ‘rule of law’, dan ‘rule of ethics’ dapat sungguhsungguh diwujudkan, mulai dari kalangan internal partai-partai politik sebagai sumber kader kepemimpinan negara. Bila kita melakukan studi perbandingan misalnya, masalah utama bagi partai-partai politik di Malawi239 “The major problem for political parties in Malawi is that procedures embodied in party constitutions for identifying leadership are hardly adhered to in practice...” bahwa aturan hukum dan aturan moral yang terkandung dalam konstitusi partai sebagai acuan kepemimpinan hampir tidak ditaati dalam praktek. Ada kecenderungan pimpinan partai incumbent mengabaikan kerangka kelembagaan yang ada untuk menjaga status quo sebagai ketua partai. Pemimpin partai dengan sengaja mengabaikan aturan hukum dan aturan moral bahkan membuatnya menjadi tabu untuk untuk dibahas. Hal ini untuk menjelaskan mengapa semua partai politik besar di negara tersebut selalu berkutat dengan persoalan suksesi yang berakhir perpecahan di internal partai karena kebanyakan pemimpin partai ingin mempertahankan posisi kekuasaan mereka di partai meskipun mereka telah menjalani masa jabatan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Selama aturan tidak dibuat dengan jelas dan tidak dijalankan maka akibatnya, individu-individu (kader) yang berbakat tidak akan mendapat kesempatan untuk berkembang, dan hanya menjadi mesin partai semata. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa beberapa aturan partai di Malawi bahkan tidak menyediakan batas waktu berkuasa untuk presiden partai. Apakah persoalan yang sama hari ini juga berlaku pada partai-partai politik yang ada di Indonesia?. Selanjutnya kita dapat mencontah Kanada, Pada tahun 1965 kebanyakan partai di kanada masih menggunakan konsep pemilihan terpusat, dan hanya melibatkan segelintir oarang pada kepengurusan partai, pola ini kemudian berubah pada akhirnya hampir semua partai di Kanada memilih pemimpin partai mereka secara langsung pada konferensi partai dan lalu melakukannya untuk beberapa waktu pada masa-masa berikutnya, dengan melibatkan seluruh kader mulai dari proses seleksi melalui konvensi kepemimpinan yang didelegasikan, Partai Liberal adalah partai pertama yang mendukung pilihan melalui pemungutan suara langsung dari anggota serta melakukan pencalonan kandidat terbuka bagi setiap kader partai. Partai ini dipengaruhi oleh pola pemilihan pimpinan partai yang telah dilakukan pada tingkat daerah (Provinsi). Begitu pula halnya dengan Inggris, Partai Liberal adalah partai Inggris pertama yang secara resmi melibatkan seluruh anggotanya dalam pemilihan pimpinan partai. Telah dimulai sejak 1976 Partai Liberal Inggris mengadopsi ketentuan untuk pemimpin harus dipilih melalui pemungutan suara dari seluruh keanggotaan partai. Hal tersebut diungkapakan oleh Punnet (1992) dan Stark (1996): The Liberal Party was the first British party to formally include its members in the leadership choice. A special party assembly 239 Blessings Chinsinga and Gerald Chigona, Op.Cit, hlm. 21. 369 held in June 1976 adopted provisions for future leaders to be chosen through a vote of the entire party membership.240 Oleh sebab itu suatu sistem demokrasi mengharuskan semua partai politik untuk selalu menerapkan demokrasi internal. Hal ini harus diundangkan sehingga berjalannya suatu demokrasi internal tidak bergantung pada kemauan baik (‘goodwill’) dari pemimpin partai tersebut. Karena bila tidak, demokrasi akan terancam. Demokratisasi internal menjamin adanya dialog terbuka dalam proses pembentukan kehendak politik. Dalam suatu partai politik harus ada sistem pemilu bebas yang memungkinkan pergantian anggota secara adil dan bisa dipertanggungjawabkan kepada pengadilan publik.241 Para pemimpin dan fungsionaris partai memiliki kecenderungan untuk menghimpun kekuasaan di dalam parpol mereka dan selanjutnya berebut kekuasaan di luar partai. Demokrasi internal yang berjalan dengan baik akan mengimbangi kecenderungan ini dan menjaga struktur organisasi agar tetap terbuka terhadap kontrol demokratis dan partisipasi anggotanya serta memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan pengaruhnya. B. PENUTUP Seleksi pimpinan partai politik adalah salah satu kegiatan yang paling penting dalam sebuah partai politik. Sebab dari sana akan tercermin apakah partai tersebut merupakan partai kader yang demokratis atau partai sentral yang tertutup. Dalam semua hal pemimpin partai adalah tokoh-tokoh kunci dalam kegiatan organisasi partai yang seharusnya berasal dari akar rumput. Selain itu mereka juga perwakilan suara dalam ranah legislatif dan eksekutif. Para pemimpin partai haruslah berpengaruh dalam partai mereka, dan lebih luas lagi pada pengambilan keputusan publik, membuat pernyataan tentang siapa yang memilih mereka relevan dengan pertanyaan tentang siapa yang memiliki pengaruh demokratis dalam pemerintahan, dari sini dapat diukur marwah seorang pimpinan partai yang benar-benar berasal dari pekerja partai dan terpilih melalu mekanisme yang demokratis pula, sudah sangat jelas didukung oleng banyak pemilih. Mengingat perubahan norma-norma demokrasi didalam tubuh partai dan pengaruh pertumbuhan kader-kader potensial sebagai pemimpin partai, tidak mengherankan bahwa kita menemukan perubahan signifikan dalam metode seleksi dalam beberapa tahun terakhir. Kecenderungan umumnya adalah pola-pola tersebut jauh dari yang seharusnya karena seleksi yang dilakukan hanya oleh sekelompok kecil elit partai. William Cross and André Blais, “Who selects the party leader?,” Law Written, (Canada: Carleton University Ottawa Canada and University of Montreal Canada. 2007), hlm. 6. 240 Thomas Meyer, Peran Partai Politik dalam Sebuah Sistem Demokrasi: Sembilan Tesis, (Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Kantor Perwakilan Indonesia, 2013), hlm. 34. 241 370 Penulis mengidentifikasi faktor-faktor umum yang mempengaruhi partai untuk dapat menjadi representasi demokrasi dalam sebuah negara adalah partai yang menjalankan proses pergantian pimpinan partai dengan cara-cara yang demokratis pula, apakah dengan bentuk memberikan hak kepada seluruh kader pada pemilihan langsung yang diadakan di munas atau kongres partai, ataupun dengan mekanisme delegasi dari perwakilan daerah yang telah terpilih dengan cara-cara yang fair. Pada intinya partai atau elit partai tidak melakukan pelanggengan kekuasaan dengan menggunakan cara-cara seperti membuat regulasi yang menguntungkan status quo, atau praktek-praktek money politic pada saat maju menjadi kandidat pimpinan partai. Selanjutnya demokrasi dalam sebuah partai modern sudah seharusnya meninggalkan bentuk-bentuk politik patronase dan oligarki, serta yang terakhir mengintegrasikan resolusi konflik/sengketa paska suksesi partai kedalam sebuah undang-undang agar supaya mengantisipasi disintegrasi partai yang akut dan juga untuk segera memberi kepastian hukum. Karena sudah pasti diterima atau tidak hal tersebut akan berpengaruh pada stabilitas negara. Daftar Pustaka Afan Gaffar, 2002, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 371 Samuel P.Huntington, 2004, Tertib Politik pada Masyarakat yang Sedang Berubah, Cet-2 Jakarta: Rajawali Pers. J. J Rousseau, 2007. Perjanjian Sosial, Terjemahan dari Du Contract Social, Alih Bahasa: Vincent Bero, Jakarta: Trans Media Pustaka. Miriam Budiarjo, 2010. Dasar-dasar Ilmu Politik: Edisi Revisi, Jakarta: Gramedia Pustaka Mandiri. Jeffrey A. Wintes, 2011. Oligarki, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum. Thomas Meyer, 2013. Peran Partai Politik dalam Sebuah Sistem Demokrasi: Sembilan Tesis, Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Kantor Perwakilan Indonesia. M. Rifqinizamy Karsayuda, 2015. Partai Politik Lokal Untuk Indonesia, Kajian Yuridis Ketatanegaraan Pembentukan Partai Politik Lokal di Indonesia Sebagai Negara Kesatuan, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Pippa Noris, 2005. Developments in Party Communications, POLITICAL PARTIES AND DEMOCRACY IN THEORETICAL AND PRACTICAL PERSPECTIVES, National Democratic Institute for International Affairs (NDI, (USA: National Democratic Institute for International Affairs (NDI). US: Printed by United States. Susan Scarrow, 2005. Developments in Party Communications, IMPLEMENTING INTRA-PARTY DEMOCRACY, National Democratic Institute for International Affairs (NDI, (USA: National Democratic Institute for International Affairs (NDI). US: Printed by United States. Alan Ware, 1996. Political Parties andParty Systems, New York: Oxford University Press. William Cross and André Blais, 2007. “Who selects the party leader?,” Law Written, Canada: Carleton University Ottawa Canada and University of Montreal Canada. Josh Maiyo, 2008. POLITICAL PARTIES AND INTRA-PARTY DEMOCRACY IN EAST AFRICA - From Representative to Participatory Democracy, Thesis, Netherland: Leiden University. Blessings Chinsinga and Gerald Chigona, 2010. The State of Intra-party Democracy in Malawi: A Comparative Audit of Selected Party Constitutions, A Report Prepared for the Centre for Multiparty Democracy Malawi (CMD-M), Malawi: (CMD-M). 372 Hanta Yuda AR. 2009. “Partai Politik, Pemilu, Koalisi Pemerintahan dan Prospek Demokrasi”. Indonesia: Journal the Indonesian Institute center for public policy research. Sigit Pamungkas, 2011. “Partai Politik Teori Dan Praktik Diindonesia”. Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism (IDW). M. Imam Akbar Hariri, 2012. “Demokrasi Internal Partai: Studi Proses Pemilihan Ketua Umum Partai Golakar Pada Munas Golkar Tahun 1998, 2004 dan 2009”, Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia. Naskah Akademik, 2010. RUU Tentang Perubahan Atas UU NO.2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, Badan Legislasi DPR RI. Internet Jimly Asshiddiqie, Dinamika Partai Politik dan Demokrasi, www.jimly.com/makalah/.../DINAMIKA_PARTAI_POLITIK.doc. Diakses tanggal 12 Juli 2016. Politik Uang di Munaslub Golkar Diprediksi Tetap Terjadi, Jakarta, Kompas.com http://nasional.kompas.com/read/2016/04/29/08422611/Politik.Uang.di. Munaslub.Golkar. diakses pada tanggal 16 Juli 2016. SBY Tahu Politik Uang di Partai Demokrat, Jakarta, Kompas.com http://nasional.kompas.com/read/2011/07/19/19452827/sby.tahu.politi k.uang.di.partai.demokrat. diakses pada tanggal 16 Juli 2016. 373 DEMOKRATISASI DALAM MENJARING PEMIMPIN PARTAI POLITIK Abstrak Konsensus bangsa Indonesia, yang diformulasikan melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menegaskan bahwa segenap masyarakat berwenang untuk kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, dalam rangka mengawal jalannya pemerintahan yang berlandaskan prinsip demokrasi. Untuk memberi wadah bagi masyarakat dalam menyuarakan aspirasi dan gagasan dengan penuh tanggung jawab, salah satunya melalui sarana partai politik. Partai politik dapat dianalogikan sebagai cermin dari penyelenggaraan pemerintahan, baik buruknya pemerintahan berpengaruh dari partai politik, karena hanya kader terbaik yang diberi kewenangan untuk mengemban amanah dipusaran kekuasaan. Empuknya kursi pemimpin partai politik, tidak jarang menimbulkan banyak pihak yang berhasrat, bahkan terdapat “oknum” yang sengaja memanipulasi mekanisme demi mendapatkan maksud dan tujuannya. Perlu dipahami bahwa amanat peraturan perundang-undangan, untuk menjadi pemimpin diserahkan sepenuhnya dalam mekanisme internal partai politik, dengan menerapkan asas demokrasi dan mengedepankan musyawarah dalam mencapai mufakat. Kata Kunci: Partai Politik, Demokrasi, Pemimpin Nama Instansi Nomor HP Email : Cakra Arbas : Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, Universitas Medan Area : (+62) 822 6735 0087 : [email protected] 374 DEMOKRATISASI DALAM MENJARING PEMIMPIN PARTAI POLITIK Cakra Arbas, Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Medan Area A. Pendahuluan Pasca reformasi, sudah menjadi rahasia umum bahwa berimplikasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satunya adalah begitu masifnya keikutsertaan masyarakat dalam menyelenggarakan pemerintahan, dengan kata lain masyarakat diberi saluran dalam mewujudkan pemerintahan, sehingga diharapkan akan tercipta nuansa demokratis. Salah satunya dengan mencermati perkembangan partai politik, yang bagaikan cendawan di musim penghujan, tumbuh subur dengan berbagai warna yang melatarbelakanginya. Pada momentum yang sama, semestinya juga patut dipertanyakan, apakah nuansa demokrasi yang telah dijalani adalah benar sesuai dengan kearifan lokal masyarakat Indonesia ? atau dengan kata lain, mengapa tidak menerapkan demokrasi yang sejalan dengan nilai yang hidup dan berkembang di Indonesia ? setidak-tidaknya ketika tetap menerapkan demokrasi, sebagai suatu pilihan dalam berbangsa dan bernegara, akan tetap mengabstraksikan nilai yang terkandung oleh bangsa Indonesia. Menariknya bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dari berbagai fase amandemennya, semakin menyempurnakan kedudukan partai politik sebagai salah satu pilar dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini dapat dicermati dengan adanya amanat dari Pasal-Pasal yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang secara nyata dan tegas menyinggung terkait eksistensi partai politik. Perihal ini faktanya telah mendorong berbagai elemen masyarakat, untuk berlomba-lomba menjadi yang nomor satu dalam pengelolaan struktur partai politik, bahkan tidak jarang banyak “oknum” menghalalkan segala cara, demi kursi ketua partai politik, sehingga salah satunya berdampak dengan adanya gejolak diinternal partai politik. Carut marut pengelolaan partai politik, sebagaimana yang dipertontonkan secara masif oleh berbagai media, turut dilatarbelakangi oleh bobroknya sistem partai politik, dalam menentukan figur pemimpin. Atas berbagai realita dan insiden yang menimpa beberapa partai politik pada hari-hari belakangan ini, baik pada skala nasional maupun ditataran daerah otonom, seyogyanya para kader terhindar dari berbagai tipu daya para “oknum” pemimpin yang hanya mampu meniupkan angin surga, akan tetapi nyata-nyata tidak mampu mewujudkan berbagai hakikat. Semestinya melalui wadah partai politik akan muncul para calon pemimpin bangsa, yang mampu berpikir rasional serta memiliki mental dan nyali, untuk bertindak demi kepentingan partai dan masyarakat umum. B. Paradigma Bernegara dan Partai Politik Paradigma disini menunjuk pada titik tolak cara pandang atau kerangka berpikir yang didasarkan atas fakta atau kerangka umum yang mempedomani 375 kegiatan ilmiah dalam suatu disiplin keilmuan. Paradigma oleh Bernard Arief Sidharta242 diposisikan sebagai: “research guidance” lewat “model problems and solutions” yang menujukkan bagaimana ilmuwan harus menjalankan penelitian dan telaah ilmiah, dan dengan itu berfungsi normatif. Dengan demikian, paradigma itu berfungsi sebagai “the central cognitive resource” untuk kegiatan ilmiah yang menentukan rasionalitas ilmiah dalam disiplin yang bersangkutan. Dapat dianalogikan bahwa dengan memahami tentang paradigma, seyogyanya stakeholder yang berkedudukan pada infrastruktur politik (partai politik), semestinya mampu menghindarkan dirinya dari berbagai bentuk perbuatan yang bertentangan dengan nilai, asas, dan norma yang diberlakukan. Dalam konteks bernegara, khususnya dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan, seyogyanya sebagaimana yang dinyatakan oleh M. Solly Lubis243, bahwa ada 3 (tiga) bentuk paradigma, yaitu: - Pertama, paradigma filosofis (philosophical paradigma), yakni berupa nilai-nilai filosofis yang terdapat mengakar sebagai satu sistem nilai dalam masyarakat bangsa, yang secara bernegara, semula diabstraksikan oleh founding fathers dari sistem budaya bangsa. Selanjutnya diulangkan menjadi ideologi atau dasar negara, seterusnya diderivasi dan dijabarkan ke dalam sistem kehidupan nasional, hingga tercermin dalam sistem kehidupan termasuk semua subsistem kehidupan nasional tersebut. Dalam konteks bangsa Indonesia, Pancasila merupakan himpunan dari nilai-nilai dan kaidah serta etikal kehidupan sehari-hari yang dianut dan dipelihara dalam masyarakat sejak jauh-jauh hari sebelum kemerdekaan. - Kedua, paradigma yuridis (juridical paradigma), yakni segala sesuatunya berdasarkan konstitusi244. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan acuan hukum tertinggi dan membawahi aturan hukum lainnya, baik peraturan berupa produk Pusat maupun Daerah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga memiliki political messages yakni amanat-amanat kebijakan dalam pasal-pasalnya. - Ketiga, paradigma politis (political paradigma) yakni berupa derivat dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, berupa rumusan kebijakan mengenai pengelolaan Pemerintah dan pembangunan nasional. Bernard Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 70 – 75. Pada kesempatan yang sama, M. Solly Lubis, menerangkan bahwa paradigma adalah suatu parameter, rujukan, acuan yang dipergunakan sebagai dasar untuk berpikir (thinking) dan bertindak (action) lebih lanjut. M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 13 – 17. 243 M. Solly Lubis, Serba-Serbi Politik dan Hukum, (Medan: PT. Softmedia, 2011), hlm. 80 – 84. 244 Konstitusi negara, yang biasanya disebut sebagai “hukum fundamental” negara, merupakan dasar dari tatanan hukum nasional. Konstitusi menurut pengertian hukum adalah apa yang sebelumnya disebut konstitusi dalam pengertian materialnya, yang meliputi norma-norma yang mengatur proses pembentukan Undang-Undang. Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, (Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 363 - 367. 242 376 Pada prinispnya ketiga paradigma tersebut tidak dapat berjalan masingmasing, melainkan ketiga paradigma hendaknya beriringan jalan, serta senantiasa menjadi entitas antara satu dan lainnya. Sehingga tujuan bernegara dan cita perjuangan bangsa Indonesia, kiranya dapat terwujud sesuai dengan hakikatnya. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah menegaskan bahwa Indonesia sebagai negara hukum, khususnya sebagaimana bunyi amanat dari Pasal 1 (3) yang menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Sejalan dengan uraian tentang konsep negara hukum tersebut, ada dua substansi dasar yang tentunya sangat erat kaitannya, yaitu: Pertama, Adanya paham konstitusi (konstitusionalisme)245. Kedua, Sistem Pemerintahan demokrasi. Memerhatikan rumusan mengenai konsep negara hukum Indonesia, sudah tentu dapat dianalisa bahwa hukum dan demokrasi merupakan dwi tunggal, demokrasi harus diayomi oleh hukum agar tidak mengarah ke anarki, sedangkan pada sisi lainnya, hukum harus didasari oleh demokrasi, agar tidak mengarah ke otoritarisme, atau absolutisme, atau totalitarisme.246 1. Konstitusionalisme Partai Politik Hakikatnya partai politik di Negara Kesatuan Republik Indonesia, merupakan wujud nyata dari amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengingat berbagai teknis penyelenggaraan pemerintahan memerlukan sinergitas dari keberadaan partai politik. Terlebih lagi, secara gamblang konstitusi menegaskan bahwa pada posisi kekuasaan tertentu, wajib diisi dari unsur partai politik. Perihal ini pada prinsipnya dapat dicermati dari rumusan Pasal yang tertuang pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diantaranya: - Pertama, rumusan Pasal 6A (2) yang berbunyi “Pasangan Calon presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. 245 Konstitusionalisme merupakan suatu paham yang berdasarkan pada konstitusi suatu negara. Konstitusionalisme dilatar belakangi oleh cita kenegaraan dan perjuangan yang bibitbibitnya sejak lama telah tumbuh secara evolusif, didorong oleh amanat penderitaan akibat terperkosanya hak-hak asasi, baik hak selaku individu maupun hak sebagai bangsa pada masa rezim yang menindasnya, misal oleh rezim kolonial. M. Solly Lubis, Manajemen Strategis Pembangunan Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2011), hlm. 1 -3. Aristoteles mendefinisikan konstitusionalisme sebagai warisan politik yang bermuara dari doktrin hukum yang berdaulat, dan bahwa pemerintah merupakan pelayan hukum, sekaligus bahwa ada suatu hak yang melekat pada rakyat, berdasarkan kemampuan kolektifnya membuat pertimbangan, memilih para penguasa dan meminta pertanggungjawabannya. Arsitoteles, Politik, (Yogyakarta: Pustaka Promethea, 2016), hlm. xxxiii – xxxvii. 246 Soehino, Hukum Tata Negara Perkembangan Sistem Demokrasi di Indonesia, (Yogyakarta: BPFE, 2010), hlm. 60 – 65. Bandingkan juga, bahwa negara hukum jika tidak bersifat negara hukum yang demokratis, tidak selalu baik, karena hukum itu sendiri dapat dibuat dan diterapkan secara semena-mena oleh penguasa. Dalam hal ini, Jerman di bawah pimpinan Hitler juga menganut negara hukum (rechtstaat), tetapi hukum yang diakui berdaulat itu ditetapkan secara sewenangwenang oleh Hitler sebagai diktator dan “demagog”, oleh karenanya selanjutnya berkembang democratische rechtstaat yakni negara hukum yang demokratis. Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2008), hlm. 297 – 303. 377 - - - Kedua, rumusan Pasal 8 (3) yang berbunyi “Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, … Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik …”. Ketiga, rumusan Pasal 22E (3) yang berbunyi “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”. Keempat, rumusan Pasal 24C (1) yang berbunyi “Mahkamah Konstitusi berwenang pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk … memutus pembubaran partai politik …”. Berdasarkan keempat rumusan Pasal tersebut, setidak-tidaknya hal ini telah mengindikasikan bahwa konsensus bangsa Indonesia menyepakati bahwa partai politik yang diwakili oleh para kader terbaiknya, akan bertindak sebagai salah satu entitas dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pada kesempatan yang sama, hal ini telah membuktikan bahwa eksistensi partai politik memiliki urgensitas sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan demokrasi. Oleh karena itu, salah satu upaya dalam rangka memperkuat dan mengefektifkan sistem pemerintahan yang bernafaskan asas demokrasi, maka pemerintah perlu kiranya untuk mendorong dan memberi ruang gerak yang fleksibel, dalam mengkondisikan terbentuknya kepemimpinan partai politik, yang dilakukan secara demokratis dan akuntabel. Disamping itu, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, turut melegitimasi landasan filosofis dibentuknya suatu partai politik, antara lain hal ini dapat dicermati dari rumusan Pasal-Pasal sebagai berikut: - Pertama, rumusan Pasal 28 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang”. - Kedua, rumusan Pasal 28C (2) yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”. - Ketiga, rumusan Pasal 28J (1) yang berbunyi “setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Berbagai rumusan Pasal tersebut, faktanya telah berposisi sebagai paradigma dalam mengamanatkan pembentukan partai politik (khususnya pasca reformasi), serta memberi ruang kepada segenap warga masyarakat yang hendak berserikat dan berkumpul, tentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketika telah dipahami bahwa dalam bernegara dan bermasyarakat, dituntut para penyelenggara pemerintahan untuk mampu bersikap paradigmatik, dengan mendasarkan perbuatannya atas paradigma filosofis, yuridis, dan politis. Sudah sepantasnya dewasa ini publik menilai, apakah berbagai bentuk perbuatan pengelolaan partai politik, baik di Pusat maupun di Daerah telah selaras dengan berbagai paradigma tersebut ? 378 Perihal selanjutnya, dengan bersikap dan bertindak paradigmatik, diharapkan stakeholder yang berkecimpung ditataran infrastruktur politik, hendaknya bertindak sebagai panglima dalam menjalankan berbagai bentuk paradigma, baik paradigma filosofis (philosophical paradigma), paradigma yuridis (yuridical paradigma), maupun paradigma politis (political paradigma). Khususnya paradigma yuridis, dengan bersikap paradigmatik semoga setiap keputusan yang dibuat senantiasa memiliki legitimasi konstitusional, untuk menghindari hal-hal yang bersifat semu dan bias. 2. Partai Politik di Indonesia Dewasa ini, perkembangan partai politik di Negara Kesatuan Republik Indonesia, sepenuhnya didasari atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Maka partai politik didefinisikan sebagai: “organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan citacita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara. Serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.247 Adapun tujuan dibentuknya partai politik di Indonesia, setidak-tidaknya dapat diklasifikasi dalam 2 (dua) kategori tujuan, yaitu:248 - Pertama, tujuan umum diantaranya: Mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. - Kedua, tujuan khusus diantaranya: Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan, Memperjuangkan cita-cita partai politik, Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Secara umum partai politik di Indonesia, memiliki beberapa fungsi dalam menjalankan kompetensinya, yang diantaranya:249 - Pertama, pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 247 Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, amanat Pasal 1 (1). 248 Ibid., amanat Pasal 10 (1 dan 2). 249 Ibid., amanat Pasal 11 (1). 379 - Kedua, penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat. Ketiga, penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. Keempat, partisipasi politik warga negara Indonesia. Kelima, rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Menurut Schattschneider250, bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi, oleh karenanya partai politik mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dalam setiap demokrasi. Menelaah pandangan Miriam Budiarjo251 mengenai fungsi partai politik, dalam hal ini diantaranya: - Pertama, komunikasi politik yang berperan untuk penyampaian ide, visi, dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapatkan feedback berupa dukungan dari masyarakat luas. - Kedua, sosialisasi politik yang berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik, sehingga partailah yang menjadi struktur antara atau intermediate structure yang harus memainkan peran dalam membumikan cita-cita kenegaraan dalam kesadaran kolektif masyarakat warga negara. - Ketiga, rekruitmen politik, partai politik memang dimaksudkan menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu. - Keempat, pengatur konflik yang berperan sebagai sarana agregasi kepentingan (agregation of interests) yang menyalurkan ragam kepentingan yang berbeda-beda itu melalui saluran kelembagaan politik partai. Lahirnya partai-partai politik, selain membawa dampak positif bagi masyarakat, khususnya menjadi wadah bagi masyarakat dalam berpartisipasi di bidang politik. Namun demikian, disisi lain partai politik juga mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya partai politik cenderung bersifat oligarkis. Hal ini dapat dianalisa terkadang partai politik bertindak dengan lantang untuk dan atas nama kepentingan masyarakat, tetapi dalam kenyataannya partai politik justru hanya berjuang untuk kepentingan pengurusnya sendiri.252 Namun demikian, untuk mengatasi adanya beberapa kelemahan partai politik, maka ada beberapa mekanisme penangkal, diantaranya:253 - Pertama, mekanisme internal yang menjamin demokratisasi melalui partisipasi anggota partai politik itu sendiri dalam proses pengambilan keputusan. 250 Schattschneider dalam Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 400 – 405. 251 Ibid., hlm. 405 – 410. 252 Ibid., hlm. 407 – 413. 253 Ibid., hlm. 409 – 415. 380 - - Kedua, mekanisme keterbukaan partai dimana warga masyarakat diluar partai dapat ikut serta berpartisipasi dalam penentuan kebijakan yang hendak diperjuangkan melalui dan oleh partai politik. Ketiga, pengurus partai hendaknya jangan dicampur adu atau terlalu mudah berpindah-pindah posisi dan jalur. Keempat, adanya jaminan berkembangnya pers secara bebas yang semakin profesional dan mendidik. Menarik untuk dicermati bahwa konstruksi partai politik, khusus mengenai proses menentukan calon pemimpin partai, sepenuhnya diselaraskan dengan mekanisme yang ditetapkan dalam “aturan main” masing-masing partai politik. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan melalui amanat Pasal 22 yang berbunyi “Kepengurusan Partai politik disetiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai dengan AD (Anggaran Dasar) dan ART (Anggaran Rumah Tangga)”.254 Berdasarkan rumusan Pasal 22 tersebut, setidak-tidaknya dapat digaris bawahi bahwa asas yang diterapkan dalam proses pemilihan pemimpin partai, adalah asas demokratis yang sejalan dengan musyawarah. Dengan kata lain, masing-masing partai politik diberi kesempatan untuk memformulasikan mekanisme pemilihan pemimpin secara internal, dalam menginterpretasikan makna demokratis tersebut. Dengan demikian, praktiknya tentu dapat dianalisa bahwa dalam proses pemilihan pemimpin partai politik, tidak akan sama antara satu partai politik dengan partai politik lainnya. Sehingga asimetris dalam penyelenggaraan struktur partai politik adalah sesuatu yang tidak dapat terhindarkan, oleh karena itu tidak menutup kemungkinan ada partai politik yang menerapkan asas demokrasi secara langsung, dan ada yang menerapkan asas demokrasi secara tidak langsung dengan mengutamakan musyawarah dalam mencapai mufakat. C. Demokratisasi Partai Politik Perihal demokrasi sering menimbulkan perdebatan sengit, bahkan bermuara suasana debat kusir, dalam menilai makna demokrasi lebih besar sisi positif atau sisi negatifnya. Menariknya, pasca meningkatnya alam demokrasi, belakangan terdapat kekhawatiran sekaligus kecemasan, baik oleh masyarakat maupun elite yang berada pada tataran infra dan supra struktur politik, bahwa adanya dugaan kenikmatan berdemokrasi yang telah dilalui, akan dikebiri. Berwacana tentang demokrasi, belum ajeg kiranya jika tidak didasari atas pandangan sosok filsuf Plato. Untuk menyatukan persepsi, terlebih dahulu dipahami bahwa pada awalnya Plato menggidentikkan paradigma tentang negara, yang dikualifikasikan sama dengan kehidupan manusia, meskipun diakhir pemikirannya menyatakan bahwa negara yang demikian bukanlah suatu negara ideal. Oleh karena itu, pada kesempatan yang sama Plato memberi ruang bahwa 254 Amanat Pasal 22, Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Sebelumnya, melalui Pasal 1 ditegaskan bahwa AD (Anggaran Dasar) adalah anggaran dasar partai politik, yaitu peraturan dasar partai politik. Adapun ART (Anggaran Rumah Tangga) adalah anggaran rumah tangga partai politik, yaitu peraturan yang dibentuk sebagai penjabaran dari AD (Anggaran Dasar). 381 setidak-tidaknya negara hukum dapat dikategorikan mengarah pada bentuk negara yang ideal. Uraian yang disampaikan Plato255, secara tegas menyatakan tentang keberadaan suatu bentuk pemerintahan yang bersifat demokrasi. Berbagai buah pemikiran Plato mengenai demokrasi, dapat dianalisa berdasarkan: - Pertama, demokrasi oleh Plato dideskripsikan sebagai suatu rangkaian siklus, setelah bentuk oligarki. Awalnya, Plato menerangkan bahwa bentuk demokrasi akan ternilai sebagai bentuk yang paling adil, dengan kata lain demokrasi dapat dianalogikan sebagai “suatu jubah yang tersulam dengan dilengkapi hiasan berbagai macam bentuk kembang”. - Kedua, demokrasi dikategorikan sebagai suatu bentuk pemerintahan yang paling menarik, penuh dengan keanekaragaman dan kekacauan, yang mana memberikan kesamaan derajat pada setiap individu yang berbeda. Sehingga dengan demokrasi, dapat terlihat bahwa antara rakyat biasa dan penguasa akan memiliki kedudukan yang egaliter, oleh karena itu tidak jarang ditemui adanya rakyat yang bertingkah laku mirip dengan penguasa, dan terdapat pula penguasa yang bertindak seperti rakyat. - Ketiga, Plato mengkiyaskan kelemahan demokrasi itu diibaratkan seperti “sang ayah yang terbiasa merendahkan diri di hadapan putranya dan takut terhadap putranya, sementara sang putra menganggap memiliki derajat yang sama dengan ayahnya, sehingga tidak lagi menaruh rasa hormat atau penghormatan atas ayah atau orang tuanya”. Kelemahan lainnya juga dapat dikiyaskan dalam bentuk “ketika sang guru memiliki rasa takut dan tanpa suatu hal yang relevan memuji muridnya, oleh karenanya murid memandang rendah terhadap guru-guru mereka”. - Keempat, ironinya dalam demokrasi, tua dan muda semuanya sama. Sehingga antara tua dan muda saling berkompetisi baik dengan kata maupun perbuatan, bahkan mereka yang tua berkenan untuk merendahkan diri di hadapan yang muda, dengan diiringi senda gurau dan candaan. Oleh karena itu, Plato menyatakan bahwa runtuhnya demokrasi akibat besar dan dalamnya kebebasan yang dimiliki rakyatnya. Dalam hal ini kebebasan yang sangat berlebihan atau kebebasan yang demikian luas tanpa batas, adalah kebebasan yang kebablasan. 1. Kearifan Lokal Demokrasi Menelisik demokrasi Indonesia, tertuju pada buah pikiran founding fathers (Moh. Hatta)256 yang menyebutkan bahwa demokrasi asli Indonesia, terdiri dari unsur: - Pertama, rapat. - Kedua, mufakat. - Ketiga, gotong royong. Plato, Republik, (Yogyakarta: Pustaka Promethea, 2015), hlm. 352 – 360. Moh. Hatta, Demokrasi Kita-Bebas Aktif-Ekonomi Masa Depan, (Jakarta: UI Press, 2002), hlm. 111 – 129. 255 256 382 - Keempat, hak menyatakan protes. Dalam konteks politik dilaksanakan melalui sistem perwakilan rakyat dengan konsep musyawarah, dan berdasarkan kepentingan umum. Dengan demikian, dapat dicermati bahwa salah satu ciri khas demokrasi Indonesia terletak pada sisi musyawarah. Lantas, bagaimana dengan eksistensi musyawarah dalam mencapai mufakat, apakah masih mampu dipertahankan diberbagai lini kehidupan ? khususnya dalam proses menjaring pemimpin partai politik, yang dipandang memiliki kapasitas, integritas, dan loyalitas. Serta bukankah musyawarah juga dapat dikategorikan sebagai demokrasi, yang bersifat tidak langsung ? Konsensus bangsa Indonesia yang dipelopori oleh founding fathers, telah melakukan abstraksi berbagai nilai yang hidup dan berkembang diseluruh wilayah Indonesia. Hingga bermuara dengan mengkristalnya falsafah hidup bangsa Indonesia, yang diaktualisasikan melalui Pancasila, khususnya sila ke-4 yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan”. Memaknai sila ke-4 tersebut, pada prinsipnya menegaskan bahwa bangsa Indonesia akan terus memelihara dan mengembangkan semangat bermusyawarah untuk mencapai mufakat dalam perwakilan. Bangsa Indonesia akan tetap memelihara dan mengembangkan kehidupan demokrasi, sekaligus akan memelihara dan mempertahankan serta mengembangkan kearifan dan kebijaksanaan dalam bermusyawarah.257 Derivasi dari Pancasila selanjutnya diimplementasikan melalui amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disebutkan bahwa “kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut UndangUndang Dasar”,258 benar bahwa tidak disebutkan secara tegas sistem demokrasinya. Namun dalam hal ini, kedaulatan rakyat adalah prinsipnya, wujudnya adalah demokrasi, adapun implementasinya dewasa ini menurut M. Solly Lubis259 dapat direalisasikan dalam dua tahap, yaitu: Pertama, demokrasi yang mempunyai sifat langsung. Kedua, demokrasi yang mempunyai sifat tidak langsung. Dalam hal ini Mahfud M.D260 berpandangan bahwa ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara, yaitu: - Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental. Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2012), hlm. 45 – 78. 258 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, amanat dari Pasal 1 (2). 259 M. Solly Lubis, Ilmu Negara, (Bandung: Mandar Maju, 2007), hlm. 60 - 70. Demokrasi yang mempunyai sifat langsung, ialah adanya pemberian suara oleh rakyat dalam pemilihan umum. Demokrasi yang mempunyai sifat tidak langsung, ialah dalam penyusunan kekuasaan, dimana adanya keharusan tanggung jawab pemerintah kepada perwakilan rakyat, dan dalam kerja sama kedua instansi tersebut mewujudkan dasar-dasar umum kebijaksanaan pemerintah. 260 Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gamma Media, 1999), hlm. 3 – 8. 257 383 - Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya. Demokrasi juga mempersyaratkan untuk mengamati apakah sebuah political order (pemerintahan atau organisasi partai politik) telah menerapkan sistem yang demokratis atau tidak, melalui ukuran yang berlaku secara universal di dalam suatu rezim organisasi (partai politik), yakni: 261 - Pertama, akuntabilitas. - Kedua, rotasi kekuasaan. - Ketiga, rekrutmen politik. - Keempat, pemilihan umum. - Kelima, adanya pengakuan dan perlindungan hak-hak dasar. Demokrasi hanya dapat tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara apabila ada usaha nyata setiap masyarakat dan perangkat pendukungnya, yaitu budaya yang kondusif sebagai manifestasi dari suatu kerangka berpikir (mind set) dan rancangan masyarakat (social setting). Bentuk kongkret dari manifestasi tersebut adalah dijadikannya demokrasi sebagai pandangan hidup (way of life) dalam seluk beluk sendi kehidupan bernegara baik oleh rakyat maupun oleh pemerintah.262 Ada tiga nilai ideal yang mendukung demokrasi sebagai suatu gagasan kehidupan, yaitu:263 Pertama, kemerdekaan (freedom). Kedua, persamaan (equality). Ketiga, keadilan (justice). Dalam kenyataan hidup, ide tersebut direalisasikan melalui perwujudan simbol-simbol dan hakikat dari nilai-nilai dasar demokrasi. Hal itu berarti bahwa simbol demokrasi dan begitu pula makna dan hakikat demokrasi, mewakili atau diabstraksi dari kenyataan hidup yang sepadan dengan nilainya. 2. Sepintas Lalu Bercermin pada pandangan Plato, setidaknya dapat disadari bahwa demokrasi bukanlah suatu hal yang sempurna, melainkan tetap diperlukan adanya kesesuaian dengan berbagai kearifan lokal dimasing-masing bangsa. Kaitannya dengan bangsa Indonesia, yang diasumsikan sebagai bangsa timur yang menjunjung tinggi nilai moral dan etika, maka penguatan kembali demokrasi bukanlah sesuatu yang keliru, dimulai dengan mempertahankan prinsip musyawarah dalam mencapai mufakat. Seperti kata pribahasa, bahwa “jika ada tikus di lumbung padi, jangan lumbungnya yang dibumi hanguskan, melainkan adalah cukup dengan tikusnya yang dibasmi”. Kaitannya dengan alam demokrasi, semoga ketika terdapat kekurangan dan kekeliruan atas demokrasi yang telah dijalani, setidak-tidaknya 261 Affan Ghafar, Demokrasi Politik, Makalah pada Seminar Perkembangan Demokrasi di Indonesia Sejak 1945, (Jakarta: Widyagraha LIPPI, 1993), hlm. 8 – 13. 262 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 70 – 75. 263 Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1985), hlm. 23 – 28. 384 mampu diformulasikan berbagai bingkai baru, dengan tidak mengeleminir spirit dari demokrasi yang dimaksud. Euforia demokrasi sepantasnya mampu menjawab berbagai ekspektasi, sekaligus mampu merevolusi penyelenggaraan pemerintahan. Terlebih lagi hendaknya dipelopori oleh kader partai politik dalam proses memilih pemimpin partainya, mengingat bahwa partai politik dapat dijadikan cerminan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini dikarenakan, berbagai amanat dari konstitusi memposisikan hanya kader-kader terbaik dari partai politik yang dapat terlibat di pusaran pemerintahan. D. Pemimpin Partai; Berpikir dan Bertindak Umumnya hegemoni berbangsa dan bernegara, acapkali diwarnai konsensus dalam menentukan figur yang dinilai pantas dan relevan untuk dijadikan pemimpin, yang hendak diposisikan sebagai pemilik tongkat komando sekaligus panutan dari para pengikutnya. Maka sudah sepantasnya dari jauh-jauh hari kader/masyarakat telah mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin yang sejalan dengan hakikatnya. Sehingga tidak akan terdengar nada sumir yang mencibir bahwa yang bersangkutan hanya pantas disematkan sebagai “pemimpin karbitan”. Pemimpin yang dimaksud relevansinya dituju pada pemimpin yang berada diberbagai level kekuasaan dalam tataran infrastruktur politik, tanpa terkecuali apakah pengurus partai dilevel pusat, maupun dilevel daerah. Oleh karena, pada prinsipnya dari tingkah laku dan tindak tanduk perbuatan dari para pemimpin, dapat mencerminkan karakteristik kader/masyarakat yang mengkultuskannya. Maka mampu tidaknya pemimpin berpikir dan bertindak, keseluruhannya adalah tanggung jawab dari masyarakat itu sendiri. Tentu secara tegas jika merujuk dalam Al-Qur’an telah ditetapkan berbagai kriteria dan syarat pemimpin dalam ajaran Agama Islam, begitu juga halnya dengan amanat berbagai peraturan perundang-undangan. Namun demikian tanpa mengenyampingkan amanat dimaksud, dalam mengelola partai politik seharusnya mampu menampilkan konsistensi dirinya, berupa: Pertama, sebelum berjanji sebaiknya dipikirkan secara matang dan logis terlebih dahulu. Kedua, pemimpin partai politik harus menguatkan mental dan nyali, untuk menuntaskan berbagai tujuan, fungsi, bahkan visi dan misi sesuai dengan norma hukum yang diberlakukan. Ketiga, mampu menyelaraskan antara kerangka berpikir dengan berbagai tindakan. 1. Berpikir dan Bertindak Menyunting adagium para failasuf, bahwa “aku berpikir maka aku ada” hal ini mempertegas letak perbedaan antara manusia dengan makhluk-makhluk ciptaan lainnya adalah dalam kegiatan berpikir. Senada dengan anasir yang dipopulerkan oleh Jujun S. Sumantri264 tentang manusia, maka dalam konteks ini setidak- 264 Jujun S. Sumantri mempopulerkan anasir tentang manusia, bahwa manusia dapat dikategorikan dalam beberapa kelompok, yaitu: Pertama, ada yang tahu ditahunya. Kedua, ada yang tahu ditidak tahunya. Ketiga, ada yang tidak tahu ditahu nya. Keempat, ada yang tidak tahu ditidak tahunya. Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Sinar Harapan, 2009), hlm. 19 – 22. 385 tidaknya dapat dianalogikan bahwa pemimpin partai politik itu menjadi wajar kiranya jika digolongkan dalam beberapa kriteria, diantaranya: Pertama, ada pemimpin yang mampu berpikir dan mampu bertindak. Kriteria ini merupakan yang paling ideal dan dicitakan, bahkan dapat diasumsikan sebagai suatu tingkatan yang paling sempurna. Artinya pemimpin benar-benar mampu berpikir secara matang dan hati-hati dalam menentukan dan merumuskan tindakannya, sekaligus mampu mengimplementasikan berbagai buah pikirannya. Kedua, ada pemimpin yang mampu berpikir dan tidak mampu bertindak. Kriteria ini dapat diasumsikan sebagai pemimpin yang tidak memiliki nyali atau oleh karena patut diduga dalam keadaan terpaksa tidak berani bertindak. Artinya pada prinsipnya pemimpin mampu berpikir secara matang dan hati-hati dalam menentukan dan merumuskan tindakannya, akan tetapi oleh karena satu dan lain hal buah pikirannya tidak mampu diwujudkan. Ketiga, ada pemimpin yang tidak mampu berpikir dan mampu bertindak. Kriteria ini dapat diasumsikan sebagai pemimpin yang lemah akal, tetapi memiliki nyali dan nafsu yang besar dalam bertindak. Artinya kadangkala sering ditemui ada sekelompok pembisik (tim ahli/staf ahli) yang berseliweran disekitar pemimpin, untuk membantu menentukan dan merumuskan segala sesuatu, sehingga dengan penuh keberaniannya pemimpin mengimplementasikan tindakannya. Keempat, ada pemimpin yang tidak mampu berpikir dan tidak mampu bertindak. Kriteria ini dapat diasumsikan sebagai kriteria yang terburuk, bahkan bukanlah sesuatu yang berlebihan betapa besarnya kerugian yang dialami oleh kader partai bersangkutan jika memiliki pemimpin dengan kriteria tersebut. Artinya setali tiga uang, bahwa selain sosok pemimpin yang lemah akal, juga tidak memiliki nyali dalam bertindak. Maka tidak jarang terdengar nada sumbang yang mengkategorikan pemimpin dengan kriteria ini sebagai “boneka” dari pihak yang lain. Menelisik hal tersebut, sudah tentu masyarakat mampu berasumsi bahwa berbagai pemimpin partai politik yang ada dalam kehidupan sehari-hari, baik diruang lingkup desa/kelurahan, diruang lingkup kabupaten/kota, diruang lingkup provinsi, dan diruang lingkup negara, berada pada kriteria yang manakah pemimpin yang ada pada saat sekarang ini ? sekaligus cukupkah masyarakat dipimpin oleh para pemimpin yang hanya memiliki kriteria dengan saat sekarang ini ? Sebagai garda terdepan, para kader partai juga semestinya berpikir dengan penuh seksama dan melakukan revolusi dalam menjaring calon pemimpin. Mengingat segala sesuatunya dimulai dari kerangka berpikir yang ada dimasingmasing kader, dalam hal ini HAMKA265 berujar bahwa “Bagaimana akan dapat berpikir tinggi, bangsa yang hidupnya hanya segobang sehari, bangsa yang tinggal celana pendek sehelaipun masih bersyukur. Oleh karena jiwanya sudah semestinya tidak ada lagi dibadannya, akibat sebegitu melarat dan tertindasnya”. 2. Loyalitas vs Integritas 265 Hamka, Falsafah Hidup, (Jakarta: Umminda, 1983), hlm. 10 – 20. 386 Berbagai preseden yang menggerus eksistensi partai politik, hal ini menimbulkan kesan salah satunya dikarenakan para pemimpin acapkali menutup mata dan telinga, pura-pura tidak sadar dan tidak tahu menahu dengan berbagai teriakan yang terjadi dilingkungannya, sehingga tanpa disadari membenturkan para kader terbaik antara yang memiliki sikap loyalitas dengan yang memiliki sikap integritas. Ketidakpedulian dalam menerapkan adagium “the right man on the right place”, bermuara dengan mencuatnya berbagai gesekan dilingkungan internal partai politik, sehingga tujuan dan hakikat partai politik tidak jarang telah terkesampingkan. Dengan demikian hendaknya para kader dituntut mampu menjunjung sikap loyalitas dan sikap integritas, sehingga dapat tercapai maksud tertentu dan dalam periode waktu yang ditentukan. Frasa loyalitas secara sederhana didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia266 sebagai suatu kepatuhan, suatu kesetiaan. Adanya sikap loyalitas tentu disatu sisi adalah hal yang positif, mengingat dalam menjalankan roda partai politik sepantasnya berbagai kebijakan dijabarkan oleh mereka yang memiliki sikap yang patuh, dan atau sikap yang setia. Namun demikian, loyalitas yang diemban semata-mata dijalankan sesuai dengan kehendak pemimpin partai politik atau didasarkan pada amanat peraturan perundang-undangan ? Adapun frasa integritas, juga didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia267 sebagai suatu mutu, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Maka dapat dianalogikan bahwa seseorang yang memiliki sikap integritas adalah yang mampu menyelaraskan berbagai potensi dalam dirinya, untuk terwujudnya kewibawaan dan kejujuran. Merujuk pada definisi yang menafsirkan secara sederhana antara loyalitas dan integritas, setidak-tidaknya dapat dipahami bahwa disatu sisi terdapat benang merah antara loyalitas dan integritas. Akan tetapi, disisi yang lain terdapat dikotomi dalam memaknai unsur loyalitas dan integritas, sehingga dalam menggerakkan mesin-mesin partai politik, seorang kader sering dihadapkan pada pilihan untuk mengedepankan sikap loyalitas, atau lebih mengutamakan sikap integritas. Berkaca dari berbagai friksi yang melingkupi internal partai politik, baik secara nasional maupun sebatas di daerah otonom, maka jika cita kemakmuran atau kesajehtaraan masyarakat yang diutamakan, pemimpin partai politik jangan memaksakan diri hanya dikelilingi oleh mereka yang bangga diberi label sikap loyalitas semata, tetapi sudah sepantasnya sikap integritas agar diutamakan. Sebagai failasuf, pada suatu masa Plato268 berujar (disertai penambahan penafsiran) bahwa negara (atau organisasi partai politik) jika sekali telah dimulai dengan baik, maka akan bergerak kearah kebaikan dengan kekuatan yang terhimpun, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menghindari ketidaksetaraan, ketidaksamaan, ketidakteraturan, yang selalu dan dalam segala tempat menjadi sebab kebencian dan permusuhan, maka besi jangan dicampur dengan perak, kuningan jangan dicampur dengan emas. 266 267 268 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2012), hlm. 843. Ibid., hlm. 541. Plato, Op. Cit, hlm. 351 - 360 387 E. Kesimpulan Reformasi ketatanegaraan yang dekade ini juga berimbas dalam pengelolaan partai politik, merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Mengingat peran sentral partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi, maka penyelenggaraan pemerintahan hakikatnya adalah cerminan dari wajah partai politik yang mengemban amanah kekuasaan. Oleh karena itu, sepantasnya partai politik berbenah diri, melakukan reformasi internal dalam rangka mewujudkan sistem politik yang demokratis. Sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan, maka dalam pengelolaan partai politik, semestinya menjunjung tinggi prinsip demokrasi. Baik itu yang dijabarkan melalui pemilihan secara langsung maupun tidak langsung, dengan tetap mengedepankan musyawarah dalam mencapai mufakat. Dalam hal ini, hanya partai politik sendiri yang lebih memahami hakikat dari keberadaannya, maka dalam praktiknya asimetris partai politik adalah sesuatu keniscayaan. Menyongsong dinamika dan perkembangan masyarakat yang majemuk, partai politik diharapkan mampu meningkatkan peranannya, baik dalam fungsi partai politik terhadap negara, maupun fungsi partai politik terhadap masyarakat. Sekaligus dengan memberi kesempatan yang seluas-luasnya dalam hal pengkaderan dan rekrutmen politik, yang sejalan dengan prinsip kesetaraan gender. F. - Daftar Pustaka Aristoteles, 2016. Politik, Yogyakarta: Pustaka Promethea. Asshiddiqie, Jimly, 2008. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer. _____________________, 2012. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,(Jakarta: Raja Grafindo Persada. Ghafar, Affan, 1993. Demokrasi Politik, Makalah pada Seminar Perkembangan Demokrasi di Indonesia Sejak 1945, Jakarta: Widyagraha LIPPI. Hamka, 1983. Falsafah Hidup, Jakarta: Umminda. Hatta, Moh, 2002. Demokrasi Kita – Bebas Aktif – Ekonomi Masa Depan, Jakarta: UI Press. Kelsen, Hans, 2011. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Bandung: Nusa Media. Lubis, M. Solly, 2007. Ilmu Negara, Bandung: Mandar Maju. ________________, 2007. Kebijakan Publik, Bandung: Mandar Maju. ________________, 2009. Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Bandung: Mandar Maju. ________________, 2011. Manajemen Strategis Pembangunan Hukum, Bandung: Mandar Maju. ________________, 2011. Serba-Serbi Politik dan Hukum, Medan: PT: Sofmedia. Mahfud MD, Moh, 1999. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gamma Media. Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, 2012. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI. 388 - Plato, 2015. Republik, Yogyakarta: Pustaka Promethea. Sanit, Arbi, 1985. Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers. Soehino, 2010. Hukum Tata Negara Perkembangan Sistem Demokrasi di Indonesia, Yogyakarta: BPFE . Sidharta, Bernard Arief, 2009. Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Bandung: Refika Aditama. Sumantri, Jujun S, 2009. Filsafat Ilmu, Jakarta: Sinar Harapan. Tutik, Titik Triwulan, 2010. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta: Kencana. Depdiknas, 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. BIOGRAFI I. Data Pribadi Nama Tempat/Tgl Lahir NIP Pangkat/Golongan Instansi Jenis Kelamin Telepon Seluler Email Sosial Media Website II. III. : Dr. Cakra Arbas, SH.I, MH. : Aceh Tamiang, 09 Oktober 1987 : 19871009 201003 1 001 : Penata (III/c) : Pemkab Aceh Tamiang, dan Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, Universitas Medan Area. : Laki-laki : (+62) 822 6735 0087 : [email protected] : [email protected] : www.cakraarbas.blogspot.com Riwayat Pendidikan Formal No Jenjang Jurusan 1. Sarjana Hukum Islam 2. Magister Hukum Tata Negara 3. Doktor Hukum Tata Negara Karya Ilmiah Buku No Judul Buku Jalan Terjal Calon Independen Pada 1. Pemilukada di Provinsi Aceh Aceh Dan MoU Helsinki Di Negara 2. Kesatuan Republik Indonesia Universitas (Periode) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (2005-2009) Universitas Sumatera Utara, Medan (2010-2012) Universitas Sumatera Utara, Medan (2012-2015) Penerbit - Tahun PT. Sofmedia, Jakarta, 2012 PT. Sofmedia, Medan, 2015 389 HEGEMONI ALIANSI OLIGARKI DALAM PEMILIHAN KETUA UMUM PARTAI POLITIK Fajlurrahman Jurdi Abstrak Pemilihan ketua umum partai politik hampir dapat dipastikan tidak berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi kualitatif, karena kekuatan oligarkis yang begitu dominan mencampuri seluruh proses sukses pemilihan ketua umum. Secara umum, ketua umum partai politik yang terpilih dapat dipastikan berasal dari dua lapisan sekaligus, yakni orang-orang ultra kaya yang memiliki sumber uang dalam jumlah besar dan individu yang memiliki kekuasaan besar di partai. Kombinasi kedua-nya menyebabkan dengan gampang mengatur struktur partai dang menjaga stabilitas politik di dalamnya. Apabila ada yang mengatakan bahwa demokrasi merupakan sumber penguasaan partai, argumentasi itu mengalami kelemahan secara kualitas, meskipun didukung oleh premis-premis formal, yakni adanya kampanye, pemilihan dan penghitungan suara. Meskipun kadang-kadang hal tersebut tidak berlaku di beberapa partai, karena konsensus peserta kongres/muktamar/munas menghendaki agar dilakukan secara aklamasi. Pemilihan ketua umum partai jelas dibangun dan “direkayasa” untuk memenangkan oligark yang kuat untuk memimpin oligarki lain yang lebih lemah. Dengan harapan, para oligark saling melindungi harta dan membagi jatah kekuasaan mereka. Dengan demikian, pertarungan memperebutkan ketua umum partai politik tidak pernah berjalan berdasarkan konsensus demokratis, tetapi berdasarkan konsensus oligarkis. (Fajlurrahman Jurdi, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 085299262424, [email protected]) Kata Kunci: Ketua Umum, Partai Politik, Oligarki, Demokrasi. A. PENDAHULUAN. Salah satu studi yang mendalam tentang konsep oligarki di partai politik adalah Kuskrido Ambardi269. Disertasinya menggambarkan dengan sangat baik bagaimana oligarki270 menggurita dalam sistem politik demokrasi, khususnya sistem kepartaian di Indonesia. Partai adalah sebagai entitas yang kinerjanya adalah “memburu rente”, apalagi pasca pemilu 2004, dimana kekuatan oposisi mulai melemah, praktis ada alasan bagi kekuatan kartel untuk melakukan konsolidasi guna menguasai kembali arena politik. Riset yang sama dilakukan oleh Marcus Mietzner271 yang melihat betapa buruknya sistem partai di Indonesia, terutama dari sisi pendanaan. Natalie Sambhi, Kuskrodho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, Studi Tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, (Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, 2009). 270 Kuskridho Ambardi tidak menyebutnya sebagai oligarki, tetapi mengistilahkannya dengan “kartel”. 271 Marcus Mietzner, Money, Power and Ideology: Political Parties In Post-Authoritarian Indonesia, (Singapore, NU Press, 2013). 269 390 seorang analis dan Managing Editor di The Strategist, Australian Strategic Policy Institute, dalam resensinya terhadap buku yang ditulis oleh Marcus Mietzner mengemukakan dengan menarik tentang bagaimana korupsi dan buruknya pendanaan partai politik di Indonesia. Menurutnya, bahwa sistem pendanaan partai yang lemah membuat mereka rentan terhadap korupsi dan kepentingan oligarki; dan dalam jangka panjang bisa 'menghancurkan kepercayaan publik dalam demokrasi'. Ia mengemukan bahwa “The beauty of Money, Power and Ideology is that it can be read on a number of levels”. Dapat dibayangkan bagaimana uang, kekuasaan dan ideology beroperasi dalam system politik Indonesia dan itu dijalankan sepenuhnya oleh partai politik. Melihat situasi politik dan kontestasi itu, Mietzner mempertanyakan dengan nada yang mengherankan; “How has Indonesia’s democracy remained stable if its component parts are apparently dysfunctional?”. Stabilitas demokrasi justru terjadi disaat korupsi berjalan secara massif, kekuasaan dapat diperjualbelikan dan uang menjadi “tuhan” yang mengatur segalanya. Jika Ambardi dan Mietzner melihatnya dalam konteks partai, ahli yang paling otoritatif dalam melihat oligarki dan kontestasinya secara umum dan khususnya di Indonesia adalah Jeffrey A Winters272. Winters dengan sangat baik menguraikan pertarungan orang-orang kaya Indonesia sejak zaman Orde Baru dan pasca Orde Baru. Kekuasaan hanya dikendalikan oleh individu atau aliansi antar oligark, sementara demokrasi hanyalah sebagai gincu kekuasaan. Pembentukan oligarki dan dominasinya sudah diuraikan secara baik oleh berbagai kalangan dari ragam perspektif. Pendekatan mereka melihat partai politik secara umum sebagai bagian dari areal pembentukan dan penguatan oligarki dan lebih fokus lagi pada penguatan dinasti dan pembentukan “keluarga politik”. Di atas semua itu, oligarki dalam partai politik telah menjadi bagian penting bagi tumbuh berkembangnya institusi kepartaian sebagai penopang demokrasi. Tulisan ini tidak melebar pada diskursus dan dinamika kepartaian serta bagaimana jalinan kekuasaan oligarki di dalamnya, namun hanya forkus pada bagaimana kekuatan oligarki yang berseteru dalam pemilihan ketua umum partai politik. Publik berharap oligarki berhenti merusak tatanan demokrasi, namun pada saat tertentu, oligarki justru “bertopeng” demokrasi, dan demokrasi sukses dimanipulasi untuk kepentingan oligarki, terutama dalam proses suksesi pemilihan ketua umum partai politik. Publik disodori dengan gegap gempita pemilihan ketua umum partai, seolah-olah seperti pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen. Desasdesus, isu, berita, wacana dan ketegangan kadang dirasakan oleh publik yang tidak pernah tau apa yang terjadi dalam tubuh partai politik yang sesungguhnya. Citra diri partai diumbar ke publik seolah-olah proses suksesi pemilihan ketua umum berlangsung demokratis dan berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan, kebebasan dan keadilan, padahal pada dasarnya hanyalah kedok barisan oligark untuk menguasai infrastruktur partai dengan cara-cara dan standar etika yang mereka tetapkan yang menguntungkan kepentingan mereka. Jeffrey A. Winters, Oligarki, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2011. Lihat juga Jeffrey A Winters, Oligarki dan Demokrasi di Indonesia, Jurnal Prisma, Volume 33 Nomor 1 tahun 2014 272 391 Pada konteks inilah pemilihan ketua umum partai politik perlu dilihat secara kualitatif, yakni keterlibatan elite pemegang kekuasaan di dalam partai didasarkan pada konsensus oligark, bukan didasarkan pada prinsip dan semangat demokratis. B. PERTARUNGAN KETUA UMUM PARTAI ADALAH PERTARUNGAN OLIGARKIS Tidak dapat disangkal, bahwa suksesi kepemimpinan di partai politik pasca Orde Baru adalah suksesi yang melibatkan sebagian kecil individu “ultra kaya” yang mengendalikan hampir sepenuhnya infrastruktur kekuasaan. “Kepemilikan modal” dan penguasaan atas sumber daya politik menjadi asset yang paling menjanjikan untuk memenangkan pertarungan. Sejarah suksesi dan kemenangan politik elit partai tidaklah di dasari atas kompetisi sehat dan kompetisi kualitas, melainkan di dasari oleh kemampuan membeli suara dan mengatur sebagian besar sumber daya partai. Pengaturan terhadap sumber daya partai tidak murah, namun membutuhkan modal yang kuat, yang berarti topangan sumber daya ekonomi dan sumber daya politik tak terhindarkan. Sebelum menyaksikan roda perputaran elit yang dinamis di tingkat partai politik, penulis semula menduga bahwa pergeseran arus kekuasaan akan terus mengikuti siklus klasik Polybios. Siklus Polybios berurut dari Monarki, Tirani, Aristokrasi, Oligarki, Demokrasi dan berujung ke Okhlorasi. Mestinya setelah demokrasi harus ke Okhlorasi kemudian kembali lagi ke Monarki. Tetapi siklus ini hanya ada dalam teori, tidak dlam sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan mengikuti siklus zaman dan tuntutan sosial, sehingga memimpikan siklus Polybios akan menjadi nyata dalam suatu negara juga tidak mungkin terjadi. Hanya saja, siklus Polybios ini dalam konteks Indonesia – mungkin juga dalam konteks negaranegara lain di dunia – tidak memisahkan praktik demokrasi dan oligarki dalam lanskap yang berbeda. Keduanya berjalan beriringan. Pandangan ini didukung oleh Jeffrey A. Winters273 yang mengingatkan bahwa: “tak ada pertentangan inheren antara oligarki dan demokrasi, maupun oligarki dengan cara produksi apapun. Dengan alasan yang sama, tak mengherankan bila Indonesia pada tahun 2009 bisa menjadi Negara paling demokratis sekaligus paling korup di Asia Tenggara274. Argumentasi ini di Jeffrey A. Winters, Oligarki, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011) hlm. 210. Pada 2005, Freedom House menyebut Thailand dan Filipina “bebas” dan Indonesia “sebagian bebas”. Sejak tahun 2006, Indonesia telah menjadi satu-satunya Negara “bebas” di Asia Tenggara. Selama beberapa tahun Transparency International (2009) mencatat Indonesia, Vietnam, dan Filipina sebagai calon-calon kuat peraih gelar Negara paling korup di Asia Tenggara. Namun Political and Economic Risk Consultancy (PERC 2010) yang bermarkas di Hong Kong, yang melakukan jajak pendapat kepada para eksekutif tingkat menengah dan senior Asia dan ekspatriat 273 274 392 dukung oleh fakta politik yang tak terelakkan, dimana demokrasi “ditumpangi” secara radikal oleh kelompok oligark. Artinya, demokrasi dan oligarki tidak menjadi siklus yang berputar, namun dapat bersatu dan saling menopang. Pada saat rezim demokrasi berlangsung, oligarki dapat menumpang di atas-nya, karena oligarki tidak mengenal pada sistem politik mana dia harus bertahan, karena semua sistem politik dapat melibatkan oligarki. Fenomena politik Indonesia setelah reformasi tidak mengubah keadaan oligarki, meksipun demokrasi menjadi salah satu fenomena yang sangat maju. Demokrasi politik yang berjalan 18 (delapan belas) tahun terakhir sejak reformasi digulirkan adalah merupakan salah satu kesuksesan politik terbesar bagi Indonesia, namun pada saat yang sama kelompok-kelompok oligarki yang terdeferensiasi dan partikular tumbuh mengkonsolidasikan diri. Partai-partai dipaksa untuk mengikuti UU yang dibuat melalui piranti dasar demokrasi, namun mekanisme oligarkis juga bekerja bersamaan dengan demokrasi tersebut. Keterbukaan politik yang menjadi salah satu elemen penting demokrasi memang terjadi dan dipraktikan dihampir seluruh negeri. Namun partai-partai hanya dihuni oleh para oligark terutama mereka yang memiliki modal dan para pengusaha. Kaderisasi politik para oligark ini tidak saja pada anak-anak mereka, tetapi juga pada kader dari luar klan keluarga dengan komitmen menjaga kesetiaan. Golkar sebagai salah satu partai warisan Orde Baru dan merupakan partai yang memiliki mesin politik paling rapi, justru dikuasai oleh para oligark. Meskipun oligarki di dalamnya tidak solid secara internal, manun jika menyangkut urusan partai sebagai mesin politik bersama, mereka menjaganya. Problem terbesarnya, setiap partai politik mengandalkan uang sebagai basis konsolidasi dan pemantik soliditas internal, disamping kekuasaan. Kekuasaan tanpa ditopang dengan uang, ia keropos dan dengan mudah digerogoti oleh pihak lawan. Individu yang memiliki uang akan dengan mudah “membeli” setiap orang untuk membantuk mengatur dan memadamkan “api ketegangan”, apabila terjadi move politic dan ketegangan-ketegangan kecil dari dalam. Tanpa “pembayaran” yang memadai, sulit bagi setiap orang untuk menjaga kesetiaan terhadap individu tertentu, terutama ketua umum, karena pola pikir yang dibangun adalah bagaimana cara mengambil keuntungan sebesar mungkin dari proses dan dinamika kepartaian yang bergulir. Seorang ketua umum yang baik harus memiliki dua modal sebagaimana tersebut di atas untuk terus menjaga stabilitas kekuasaan di dalam partai politik. begitu sentralnya kekayaan di dalam perebutan kursi ketua umum, setiap calon diperhadapkan pada pembiayaan sukses yang begitu besar. Ia harus menyiapkan uang transportasi, konsumsi dan akomodasi pemilik suara yang akan menjadi yang bekerja di kawasan tersebut selalu lebih konsisten menempatkan Indonesia di Bawah, sebagai Negara terkorup (Catatan kaki Winters, 2011; 210) 393 voters nya pada saat pemilihan berlangsung. Selama konsolidasi di berbagai kota, tim sukses di biayai sepenuhnya oleh kandidat, termasuk uang hariannya. Secara sederhana, jika bukan orang kaya, sulit untuk membiayai ticket pesawat, ticket hotel dan memberi “uang makan” kepada ratusan voters, belum juga ditambah dengan suara yang kadang diperjualbelikan. Fenomena ini menuntut oligarki yang kuat secara finansial untuk menduduki posisi ketua umum partai politik, sehingga suksesi yang semula dilakukan secara demokratis hanyalah menjadi “gincu semata”, karena pada akhirnya akan jatuh ke tangan oligarki. Mereka hanya mengendarai slogan demokrasi untuk kepentingan individu dan aliansi mereka. Dalam analisis kasus di bawah mengenai kekuatan oligarki dalam pemilihan ketua umum partai politik, penulis mengambil sample pada Partai Golkar, Partai Demokrat, PDI-P dan PAN. Hal ini dengan pertimbangan, bahwa apa yang terjadi pada PPP mirip dengan yang terjadi pada Partai Golkar, terkait dengan konflik oligarkinya. Sementara Partai Gerindra dan Partai Hanura memiliki oligarki tunggal yang mirip dengan apa yang terjadi pada PDIP. PAN, PKB dan PKS memiliki kecenderungan yang sama, karena dari segi kultur partai-partai tersebut berbasis massa Muslim serta dalam proses pergantian kekuasaan-nya tidak memiliki basis sejarah oligarki yang kuat dan mapan serta berusia panjang. Itulah sebabnya penulis hanya mengambil empat partai sebagai sampling untuk di analisis. Beberapa kasus pemilihan ketua umum partai politik dapat diulas sebagai berikut: 1. Kasus Pemilihan Ketua Umum Partai Golkar. Partai Golkar adalah contoh partai politik yang paling dinamis. Hal ini disebabkan oleh merata-nya kekuatan oligarki di dalamnya. Para pengusaha, birokrat, mantan militer merupakan aliansi penting yang menyatukan Golkar. Fenomena ketegangan partai Golkar belum pernah terjadi di partai politik lain. Ketegangan-ketegangan di Golkar terjadi dalam dua skema, yakni perebutan kekuasaan dari dalam yang menciptakan “neraka politik”, namun “konsolidasi dan perlindungan politik keluar” yang begitu kuat. Akibatnya, “penghancuran” politik sesama kader terjadi secara signifikan, namun di saat yang lain, apabila ada isu bersama dari luar yang mengguncang partai, mereka tiba-tiba bersatu dan “mengangkat senjata” untuk menghadang. Terlepas dari kemampuan manajemen konflik politik yang dikelola oleh partai, Partai Golkar menempatkan “proses” sebagai langgam utama pengembangan institusi. Proses yang dimaksud adalah; tidak mudah menjadi pengurus partai, karena terjadi antrian panjang. Kecuali dalam beberapa kasus tertentu, beberapa tokoh atau Oleh sebab itu, para pengurus dan pimpinan partai adalah barisan lama yang terus-menerus menjadi “penjaga” dominasi kekuasaan. Penulis melihat ada dua lapisan oligarki di dalam partai Golkar, yakni; old oligark (oligarki tua), dan new oligarki (oligarki baru). Kedua lapisan ini saling mengisi satu sama lain, meskipun pada kenyataanya, oligarki tua-lah yang 394 memegang simpul-simpul kekuasaan. Sementara yang muda diproses melalui berbagai instrumen untuk dipersiapkan sebagai pengganti yang tua. Oleh karena itu, kaderisasi partai berjalan bukan untuk membuka kran demokrasi dan meningkatkan kualitas elit partai dalam upaya untuk mempersiapkan mereka sebagai kader politik , tetapi mereproduksi oligarki baru sebagai penopang partai di kemudian hari, sebagai upaya preventif bila oligarki tua sudah tidak lagi dapat diharapkan. Untuk saat ini ada dua oligark yang saling berhadapan, yakni kubu oligark yang dipimpin oleh Aburizal Bakrie di satu sayap dan kubu Oligark yang dipimpin oleh kubu Jusuf Kalla di pihak lain. Meskipun ada kubu lain, seperti Akbar Tanjung, namun kekuasaan nya makin lama makin melemah dan tergerus. Hal ini terjadi karena skala pragmatisme yang dikembangkan oleh kubu Akbar yang terlalu dominan sementara sumber harta sebagai basis utama penguasaan infrastruktur partai tidak terlalu kuat. Di kubu Akbar saat ini, tidak ada pengusaha ultra kaya yang menjadi penopang kekuasaan nya, padahal apabila di topang oleh basis ekonomi yang kuat, dengan pengalaman organisasi dan kemampuan manajerial yang baik, Akbar dapat menguasai infrastruktur partai secara signifikan. Oligark yang awet dan terus bertahan adalah oligark yang menguasai asset ekonomi dan mereka yang penulis sebut sebagai individu ultra kaya di atas. Representasi yang paling kuat dari kedua hal tersebut adalah Bakrie dan Kalla, sebagai pengusaha dengan asset yang dapat diperhitungkan. Keduanya memimpin kekuatan yang berimbang dari komposisi harta, meskipun besar-kecilnya harta mereka tidak ada yang tau persis. Namun yang tampak ke publik, keduanya mewakili oligarki tua yang amat kaya, dan tentu saja memiliki basis penguasaan infrastruktur partai mumpuni. Kongres Partai Golkar di Bali pada tanggal 30 November sampai 2 Desember 2014 yang menyebabkan terpilihnya Bakrie secara aklamasi telah di dahului oleh perseteruan panjang di antara kubu-kubu oligarki yang corak kekuatannya beragam. Semua orang menduga hanya beberapa kekuatan yang akan tampil dan saling berhadapan, namun secara faktual pertengkaran diperburuk oleh bangkitnya aliansi oligarki muda yang semula tidak berani menghadapi tekanan oligarki tua. Tampilnya Priyo Budi Santoso, Zainuddin Amali, Airlangga Hartarto, Agus Gumiwang, Agun Gunanjar, dan Gusti Iskandar dalam Kongres tandingan di Ancol, Jakarta, pada tanggal 6-8 Desember 2014 telah memperlihatkan asumsi sebelumnya, bahwa Kalla terlibat di dalam perseteruan Golkar, meskipun melalui tangan orang lain. Meskipun Agung Laksono, ketua terpilih dalam munas Ancol adalah salah satu oligarki tua, namun dia ditopang penuh oleh aliansi oligarki muda yang sudah lama berkuasa di partai Golkar dan beberapa oligarki tua yang tidak sejalan dengan aliansi yang dibangun oleh Bakrie. Terbelahnya Golkar menjadi dua kubu telah melahirkan kegamangan politik bagi sebagian kader. Diperburuk lagi dengan keputusan Menteri Hukum dan HAM yang melegitimasi Kongres Ancol sebagai Kongres yang sah. Publik 395 menduga, keputusan tersebut muncul karena intervensi langsung dari Kalla yang menjabat sebagai Wakil Presiden. Mengingat kubu Bakrie adalah kubu oposisi terhadap pemerintahan terpilih Jokowi-Kalla, maka sangat beralasan, Kalla dituding terlibat di dalamnya. Pertanyaannya, adakah proses demokratisasi dalam pemilihan ketua umum partai Golkar?. Secara sepintas, bahwa demokrasi dibangun di atas puing-puing demoralisasi politik. betapa tidak, kekuasaan sepenuhnya dikendalikan oleh oligarki rakus yang saling menerkam di antara mereka. Pada Munas gabungan yang berlangsung di Bali pada tanggal 15-17 Mei 2016 terlihat dengan jelas bagaimana perseteruan oligarki muncul dalam skema kampanye kandidat calon ketua umum yang akan maju. Mereka adalah Ade Komarudin, Setya Novanto, Airlangga Hartarto,Mahyudin, Priyo Budi Santoso, Aziz Syamsudin, Indra Bambang Utoyo, Syahrul Yasin Limpo. Skenario demokrasi internal partai tidak dapat berjalan mulus, dan tentu saja publik sudah menduga sebelumnya, bahwa posisi Novanto sangat kuat, karena ia dekan dengan ketua umum, Bakrie. Relasi kuasa dan kedekatan keduanya dalam waktu lama tidak dapat dipungkiri. Posisi Novanto pasca Pemilu 2014 sebagai ketua DPR sebelum mengundurkan diri dan kembali lagi menjadi ketua Fraksi adalah karena jalinan persahabatan, politik dan bisnis keduanya yang saling menopang satu sama lain. Dalam konteks sejarah, rumit memaknai demokratisasi di partai Golkar dan penulis mengambil posisi untuk mengatakan bahwa demokrasi dikendarai sepenuhnya oleh kekuatan oligarki. Pasca Orde Baru, naiknya Akbar Tanjung sebagai ketua umum tidak terlepas dari posisi politiknya, begitu juga juga terpilihnya Jusuf Kalla, disebabkan karena kekuasaan Wakil Presiden serta bisnis raksasa yang ia miliki. Tentu saja faktor lama nya seseorang di partai dan di kader tidak dapat pula dinafikan, tetapi itu semua itu hanyalah faktor pendukung dari faktor utama, yakni kepemilikan uang dan kekuasaan. Karena uang dan kekuasaan yang dimilikinya pula maka dalam Munas Riau, pada Oktober 2009, Bakrie terpilih sebagai ketua umum menggantikan Jusuf Kalla. Tentu saja keterpilihan-nya tersebut disebabkan oleh kekuatan uang yang dimiliki, di samping jaringan persahabatan dan lama-nya waktu ia menjadi kader partai. Tidak dapat dipungkiri, kepemimpinan Bakri berjalan penuh dinamika dan “interupsi” dari dalam, tetapi ia dapat mengendalikan dinamika politik tersebut hingga akhir kekuasaan periode. Dinamika politik dan demokrasi di dalam partai sangat ditentukan oleh kekuatan uang dang kekuasaan. Karena hanya mereka yang mampu mengatur dan membiayai ongkos akomodasi dan belanja untuk kepentingan politik. Pada akhirnya terlihat dengan jelas, siapa yang akan selalu berkuasa di partai, akan ditentukan oleh kepemilikan capital dan kekuasaan. 396 2. Kasus Pemilihan ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan) Salah satu partai yang sulit merobohkan dinding oligarki adalah PDI-P. Dengan segenap kelemahan dan kelebihannya, PDI-P menempati posisi sebagai partai ultra oligarkis. Penguasaan sumber daya partai dikendalikan sepenuhnya oleh satu orang, karenanya, partai ini tidak menjadikan demokrasi sebagai rumusan kebijakan internal. Eksistensi ketua umum Partai, Megawati Soekarno Putri begitu sentral, tanpa kritik dan tanpa interupsi dari dalam. Ucapan dan titahnya adalah merupakan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai, sehingga sistem yang dianut adalah closed system, partai tertutup. Sebagai partai yang tertutup, PDI-P memiliki rumusan politik dan sirkulasi elite tersumbat. Elite lama cenderung tak berganti, sementara elite baru tidak memiliki bargaining menghadapi dominasi elite lama. Dibanding dengan Partai Golkar, masih jauh lebih baik dari PDI-P dalam hal kaderisasi dan komitmen pada pembentukan elite baru. Akibat sistem partai yang tertutup tersebut, pemilihan ketua umum berjalan hampir tanpa dinamika. Ketua umum terpilih berulang kali hanya satu orang, Megawati. Megawati dianggap sebagai satu-satunya orang yang dapat mensolidkan partai dan menyatukan perbedaan-perbedaan dari dalam. Kohesivitas dan soliditas partai terjaga di tangan Megawati. Karena salah satu kekhawatiran terbesar partai-partai politik saat ini adalah solidaritas tergerus, perpecahan karena kepentingan kekuasaan tak dapat dikendalikan serta perang internal. Di PDI-P, hanya satu orang yang dapat menjamin itu semua tidak terjadi, yakni Megawati. Itulah sebabnya, pemilihan ketua umum yang berlangsung pada 8-12 April 2015 di Bali berakhir aklamasi. Kongres hanya membicarakan program, tidak membicarakan mengenai siapa saja yang menjadi kandidat ketua umum. Padahal suksesi dalam tradisi demokrasi menghendaki kompetisi dan kontestasi yang fair dan sehat. Sebagai seorang oligark tunggal, Megawati hampir tanpa celah, bahkan dianggap sebagai satu-satunya “orang yang paling benar” dalam segala tindakan dan keputusan politiknya di dalam partai. Oligarki seperti ini mematikan demokrasi, bahkan tidak ada celah bagi demokrasi. Dengan kenyataan seperti ini, PDI-P menjadi partai yang kurang sehat dalam membangun tradisi demokrasi, karena dominasi oligarki tunggal menjadi begitu kuat dan tak tersentuh koreksi dan kritik dari dalam. Dengan posisi nya yang tunggal tanpa interupsi, seorang presiden, kepala negara dan kepala pemerintahan yang dalam tradisi partai lain di elukkan dan dihormati, di PDI-P hal itu tidak berlaku. Presiden bagi Megawati hanyalah petugas 397 partai, sama hal-nya dengan anggota DPR atau pejabat lain nya yang diberi mandate oleh partai. Tak heran jika saat Kongres di Bali tersebut, Jokowi sebagai Presiden tidak diberi panggung untuk pidato oleh Megawati, karena ia dianggap sama posisinya dengan kader partai yang lainnya. Ketunggalan dan sentralisasi kekuasaan partai yang maha besar ini tidak dapat menjunjung tinggi demokrasi dan tentu saja tidak ada demokrasi di dalam partai. Demokrasi macam apa yang bisa diharapkan tumbuh dari suatu partai yang tak ada interupsi dan perbedaan, tidak boleh menjatuhkan pilihan yang berbeda dengan pilihan ketua umum. Apalagi berkompetisi dan bersaing dengan ketua umum di dalam partai, jelas tidak mungkin. Maka demokrasi tak punya tempat di PDI-Perjuangan, karena oligarki tua yang begitu tunggal dan sakral dan memberi tempat bagi tumbuh berkembangnya demokrasi. 3. Kasus Pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat Sebagai partai baru, Partai Demokrat adalah partai yang sukses mendulang suara yang begitu besar. Kemenangan Soesilo Bambang Yudhoyono, sang ketua umum partai sebagai presiden di periode pertama tahun 2004 memberikan memberikan kredit point yang besar bagi eksistensi partai demokrat. Sebagai presiden, Yudhoyono kemudian memenangkan pemilu kedua tahun 2009 secara telak dan kembali mengantarkannya sebagai presiden di periode kedua. Suksesnya Yudhoyono sebenarnya di dukung oleh personalitas yang kuat serta citra diri yang sukses dibentuk melalui media massa dan mesin politik partai. Setelah pemilu tahun 2009, Partai Demokrat menyiapkan suksesi pergantian ketua umum di Bandung pada tanggal……….2010. Sebagaimana yang publik ketahui, bahwa ada tiga kandidat yang bertarung dalam Kongres di Bandung, yakni; Andi Alfian Mallrangeng, kader dan orang terdekat Yudhoyono. Ia diharapkan oleh Yudhoyono sebagai penggantinya. Hal ini sebenarnya lebih dikarenakan kesetiaan dan “kepatuhan” Mallarangeng kepada Yudhoyono serta sikapnya yang menghormati Yudhoyono. Disamping itu, Yudhoyono juga memandang Mallarangeng bukanlah ancaman baginya apabila terpilih. Karena selama ini ia selalu mendengarkan petuah dan arahan dari sang presiden yang juga sekaligus pimpinan oligark di partai Demokrat. Namun Mallarangeng tidak sendirian, dia dihadang oleh Anas Urbaningrum, kader yang dianggap oleh publik memiliki potensi besar untuk menjadi calon presiden. Dia memiliki jaringan politik yang kuat serta memiliki komunikasi politik yang baik di dalam struktur partai. Tetapi yang tidak kalah kuat juga adalah Marzuki Ali, yang juga sekaligus ketua DPR. Marzuki memiliki potensi besar untuk melawan Anas yang di dukung oleh sejumlah oligarki tua. Meskipun pada akhirnya pemilihan ketua umum Partai Demokrat berakhir dengan terpilihnya Anas Urbaningrum dalam gegap gempita yang cukup riuh, namun menyisakan berbagai persoalan yang muncul di kemudian hari. Mungkin dapat dikatakan, bahwa kongres demokrat di bandung adalah kongres yang 398 menunjukan betapa demokrasi benar-benar dijalankan. Dukungan Yudhoyono, sang presiden yang juga memimpin oligarki ke Mallarangeng tidak dapat membendung arung dukungan ke Anas. Jelas sekali bahwa oligarki di Partai Demokrat belum terlalu kuat, namun partai ini menghimpun para aktivis dan orang-orang muda yang memiliki visi politik yang maju. Meskipun pada akhirnya Anas terjungkal karena kasus korupsi, kongres Partai Demokrat di Bandung dapat menjadi contoh bagi diskursus oligarki yang dinamis dan rumitnya membaca peta dominasi oleh oligark yang satu atas oligark yang lain di dalam tubuh partai Demokrat. Setelah Anas terjungkal, dilakukan Kongres luar biasa di Bali pada 30-31 Maret 2013 yang memilih Yudhyono secara aklamasi sebagai ketua umum. Kongres ini mengembalikan Yudhoyono sebagai ketua umum, yang berarti kembalinya sang fuhrer memimpin partai. Konsensus oligark di Bali memutuskan untuk mengembalikan partai ke tangan Yudhoyono dengan alasan agar stabilitas partai setelah terserang tsunami korupsi dan dihantam oleh media dari berbagai sisi dapat dikembalikan. Mimpi pemilihan demokratis atau demokratisasi yang sebelumnya telah mulai dikembangkan dalam suksesi partai politik mulai berjalan dengan baik, dikembalikan pada track konsensus oligark. Kongres bandung yang mengantarkan Anas menjadi Ketua Umum dengan segenap gegap gempita yang menyertainya, telah membuat Partai ini menjadi partai yang dianggap demokratis karena Ketua Umum, yakni Yudhoyono yang juga sekaligus presiden tidak menunjukan tandatanda keberpihakan. Meskipun ia menempatkan anaknya sebagai tim sukses Andi Malarangeng, namun secara terbuka, Yudhoyono membiarkan kongres di Bandung berjalan dengan langgam demokrasi yang baik. Hingga Kongres Partai Demokrat tahun 2015 yang digelar di Hotel ShangriLa Surabaya pada 11-13 Mei 2015, publik meyakini Yudhoyono tidak akan melepas partainya. Ia akan terus menjadi ketua umum. Meskipun dalam kongres di Surabaya muncul nama Marzuki Alie yang akan bersaing menghadapi Yudhoyono, namun tidak dapat membendung keinginan arus bawah pemilik suara untuk terus memilih Yudhoyono sebagai ketua umum. Hingga akhirnya yang bersangkutan terpilih kembali secara aklamasi sebagai ketua umum. Kecenderungan-kecenderungan aklamasi dan tanpa pemilihan ini merupakan fenomena tidak adanya consensus untuk menerima demokrasi sepenuhnya di dalam partai. Kehendak oligarki dan aliansi-aliansi besar yang mereka bangun justru mengancurkan harapan untuk menata dan mendorong demokratisasi partai. Partai Demokrat yang semula diharapkan untuk menjadi lokomotif pratik demokrasi di partai politik, kembali terjerembab ke dalam kutub oligarki. Praktis pada akhirnya pemilihan ketua umum yang demokratis menjadi mimpi yang terus didendangkan oleh masyarakat sipil, meskipun partai politik tidak hingga kini belum menerima demokratisasi pemilihan ketua umum-nya 399 sebagai konsensus. Kepemilikan uang dan kekuasaan menjadi dominan dalam setiap perhelatan suksesi partai politik. 4. Kasus Pemilihan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Salah satu partai yang mengembangkan konsep oligarki-teknorat adalah PAN. Dengan berbagai kekurangannya, PAN hingga kini adalah partai yang mempertahankan tradisi pemilihan ketua umum hanya satu periode. Sejak Amien Rais, kepemimpinan di PAN berganti hanya dalam satu periodik, dan itu menjadi konsensus yang secara diam-diam diamini oleh kalangan elite di dalamnya. Proses kepemimpinan yang hanya satu periode seperti ini sebenarnya merupakan tradisi yang baik bagi demokratisasi partai politik. Hal ini juga sebagai distingsi (pembeda) yang mencolok dari partai lain. Setelah Amein Rais menjadi ketua umum, pengganti yang dianggap memiliki modal ekonomi yang kuat dikalangan kader partai adalah Soetrisno Bachir. Bachir – atas restu Rais – terpilih dengan suara terbanyak dalam kompetisi melawan Fuad Bawazir pada Kongres PAN di Semarang pada 10 April 2005. Bachir memperoleh 745 suara, sedangkan lawan-nya Fuad Bawazier hanya mendapatkan 551 suara. Keterpilihan Bachir tentu saja disebabkan dia termasuk dalam jajaran oligark yang memilki basis ekonomi yang kuat. Bisnis properti (real estate) yang dikembangkannya melalui Ika Muda Group bersama kakaknya Kamaluddin, yang sekarang ia kembangkan sendiri melalui Sabira Group menyebabkan ia menjadi salah satu konglomerat muda pribumi yang memiliki pengaruh kuat di jajaran partai. Dengan kekayaan yang dimiliki, Bachir dapat dengan mudah melakukan konsolidasi untuk membesarkan partai, sehingga Rais memiliki banyak harapan kepadanya. Sebagaimana telah diuraikan di atas, eksistensi oligarki Bachir sepenuhnya disokong oleh oligarki Rais. Rais menguasai seluruh infrastruktur partai dan dianggap sebagai pemersatu yang mengendalikan struktur dan di dengar sebagai imam bagi kadernya. Atas dasar restu Rais, Bachir sukses bertahan dan mengendalikan sepenuhnya struktur partai hingga akhir periode. Di akhir periode, ketika suksesi dipersiapkan untuk melanjutkan kepemimpinan Bachir, ia ingin kembali maju sebagai calon ketua umum untuk periode kedua. Namun Rais hendak mempertahankan tradisi agar ketua umum hanya satu periode saja. Banyak yang mensinyalir, bahwa Bachir, dengan dukungan uang yang dia miliki dapat memenangkan pertarungan. Namun Rais menjatuhkan “dukungan” nya pada Hatta Radjasa, yang juga pengusaha dan menteri di era presiden Yudhoyono. Sukses mendorong Radjasa sebagai ketua umum secara aklamasi melalui Kongres di Batam pada Januari 2010, Rais kembali melenggang sebagai ketua Majelis Pertimbangan partai. Posisi ini masih dipegang oleh Rais, karena kader menghendaki agar Rais tidak meninggalkan partai meskipun bukan sebagai ketua 400 umum. Rangkulan tangan Radjasa dan Rais telah sukses mengantarkan Radjasa sebagai calon wakil presiden yang berpasangan dengan Prabowo Subianto di pemilu 2014. Jelas sekali, bahwa Radjasa bukanlah oligarki “kacangan”, dia memiliki basis keuangan yang kuat. Terbukti, seseorang yang mengikuti suksesi kepemimpinan nasional membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk membiayai suksesi politik tersebut. Setelah suksesi kepemimpinan nasional berakhir, Radjasa berharap masih dapat melanjutkan kepemimpinan nya di PAN untuk periode kedua. Lagi-lagi Rais menghendaki agar dia berhenti dan menyerahkan estafet kepemipinan kepada orang lain. Pra-suksesi berjalan cukup alot, karena rival Radjasa adalah ketua MPR, Zulkifli Hasan yang juga merupakan besan Rais. Selain karena alasan kepemimpinan satu periode, ikatan kekeluargaan antara Rais dengan Hasan tak dapat dipungkiri memuluskan dukungan Rais ke Hasan. Sebagaimana peristiwa politik sebelumnya, kemenangan tipis diperoleh Hasan atas Radjasa, padahal jika diperhitungkan secara politis, konstribusi Radjasa terhadap partai sangat besar. Namun karena tradisi satu periode dipertahankan sebagai konsensus, jelas sekali kemenangan Hasan adalah kemenangan tradisi politik PAN. Maka Pada 1 Maret 2015, Zulkifli Hasan terpilih sebagai Ketua Umum PAN periode 2015-2020, dengan perolehan 292 suara, sedangkan lawannya, Hatta Rajasa hanya mendapat 286 suara. Selisih tipis antara keduanya. Sebagai catatan, ketika dipimpin Amien Rais, PAN dalam Pemilu 1999 memperoleh dukungan suara 7,5 jutaan. Turun tipis pada Pemilu 2004 menjadi 7,3 juta. Ketika di bawah kepemimpinan Soetrisno Bachir, hasil Pemilu 2009 turun lagi ke 6,2 juta suara. Penurunan itu membuat Sutrisno Bachir digantikan oleh Hatta Rajasa. Hasilnya perolehan suara PAN naik drastis ke 9,5 juta pada Pemilu 2014.275 Alasan karena suara PAN naik secara signifikan, maka Radjasa maju kembali sebagai calon ketua umun. Kekuatan oligarki yang dipimpin oleh Radjasa kalah oleh kekuatan oligarkiteknorat yang dipimpin oleh Rais. Hal ini sebenarnya adalah kombinasi antara Rais, Bachir dan Hasan untuk menghadang Radjasa. Hasilnya ternyata mampu mengalahkan Radjasa. Hal ini disebabkan karena pengurus Provinsi dan Kabupaten/Kota masih melihat Rais sebagai perekat yang menyatukan mereka, dan tentu saja mereka tidak menghendaki adanya konflik di dalam partai. Hasan yang di dukung oleh oligarki lama yang di depak, yakni Bachir, sukses melenggang menjadi ketua umum dengan selisih hanya sekitar enam (6) suara. Suatu selisih yang sangat kecil bagi kekalahan yang besar. Kemenangan Hasan adalah kemenangan oligarki lama, yakni Rais, meskipun ia tidak memiliki basis material harta yang kuat, tetapi kharisma 275 “INCAR MASUK 3 BESAR DI PEMILU 2019, KETUM PAN HARUS FOKUS KE PARTAI”, HTTP:// NEWS.METROTVNEWS .COM / READ/2015/02/08/355473/ INCAR- MASUK -3- BESAR- D, DIAKSES TANGGAL 17 JULI 2016. 401 kepemimpinan nya masih di dengar. Ia memiliki basis suara besar di Muhammadiyah yang selalu terpelihara, menyebabkan Rais selalu memiliki kekuatan politik meskipun ketua umum silih berganti. Titik demokrasi masih bisa terlihat dalam skema pemilihan ketua umum PAN, meskipun dukungan uang yang datang dari Bachir dan dukungan politik yang kuat dari Rais telah mengantarkan Hasan menjadi ketua umum partai, disamping dia adalah ketua MPR, sebuah jabatan Kenegaraan prestisius. C. DIMANA “RUH DEMOKRASI” DALAM PEMILIHAN KETUA UMUM PARTAI POLITIK?. Problem yang rumit dalam memetakkan praktik demokrasi pada suksesi pemilihan ketua umum partai politik adalah, demokrasi macam apakah yang dikehendaki?. Jika merujuk pada teori demokrasi yang paling sederhana, yakni kekuasaan dari anggota, oleh anggota dan untuk anggota, sepertinya sulit teraktualisasikan secara kualitatif. Rumusan demokrasi prosedural yakni konsep demokrasi kuantitatif dapat saja terpenuhi, karena ada bilik suara, ada pemilihan dan perhitungan dilakukan sebagaimana yang diketengahkan dalam demokrasi formal. Namun rumusan demokrasi kualitatif, yakni kesetaraan dan keadilan politik tidak dapat sepenuhnya dijalankan, bahkan dalam konteks tertentu tidak dipraktikkan sama sekali. Kasus PDI-P adalah potret paling buruk dari sentralisasi kekuasaan partai di satu tangan, yang menyebabkan demokrasi hanya milik segelintir orang bahkan satu orang. Ruh demokrasi hanya melekat dalam symbol dan slogan partai, ia tidak menginjkesi ke dalam perilaku dan tindakan elite partai. Kecuali dalam kasus PAN, terlihat artikulasi demokrasi berjalan dengan baik, meskipun tekanan oligarkiteknorat yang melekat bersama Rais tak dapat dihindari. Praktis pada akhirnya tidak ada satupun Partai Politik yang dapat menjalankan pemilihan ketua umum dengan lanskap demokrasi, karena prinsip dasarnya adalah penguasaan oleh aliansi oligarkis yang saling menopang diantara mereka. Demokrasi yang didendangkan adalah slogan oligarki. Karena kelompok oligarki yang sepenuhnya menjadi massinis dari kereta demokrasi yang melaju. Secara prosedural, demokrasi di dalam partai sebagian melalui rel yang sudah ditetapkan, namun tidak sedikit yang keluar jalur, sehingga saling tabrakan dengan moralitas, kebudayaan, dan masyarakat sebagai basis massa dan basis voters partai politik. Penguasaan sumber daya partai pada saat yang sama dibarengi dengan penguasaan sumber daya ekonomi dan sumber daya politik. Tujuan utamanya adalah untuk menjaga stabilitas harta dan stabilitas kekuasaan. Dengan menguasai partai politik, sumber daya politik di parlemen dapat dikendalikan. Dengan pengendalian tersebut, dapat dengan mudah membangun negosiasi dengan pemerintah agar bisnis nya dapat dijaga dari pembayaran pajak tepat waktu, bisa 402 meminjam pada bank negara dengan bunga minimal, serta gampang mendapat izin usaha dari pemerintah. Menjadi ketua partai politik – terutama partai-partai pemenang pertama, kedua dan ketiga pemilu – sama dengan menguasai sepertiga kekuasaan politik negara. Dengan kekuatan partai yang dimiliki, ketua umum dapat dengan bebas membangun konsolidasi, negosiasi dan kompromi atas berbagai keputusan politik yang menguntungkan posisi dan kepentingan aliansi pendukungnya. Menjadi ketua partai di Indonesia sama saja dengan menjadi “raja” dalam sistem monarki. Karena dapat mengatur dan mengendalikan sumber-sumber kekuasaan yang primer. Seorang kader yang membantah kebijakan partai terlalu keras dapat dengan mudah di depak tanpa alasan yang masuk akal. Bahkan diam untuk tak setuju dapat menjadi alasan untuk menyingkirkan seseorang dari paartai politik. Posisi ketua umum yang begitu sentral tersebut menyebabkan banyak orang-orang kaya dan ultra kaya berani mengambil resiko membuang uang untuk dapat menguasai infrastruktur politik. Dalam kasus yang diketengahkan di atas, nyata sekali orang-orang kaya bertarung untuk memperebutkan kekuasaan di partai politik. Mereka yang sudah kaya raya, di dukung oleh sejawatnya yang juga kaya, sehingga akumulasi kekayaan mereka menjadi besar guna merebutkan kekuasaan. Pertarungan memperebutkan ketua umum partai politik, adalah pertarungan orang kaya melawan orang kaya, yang kita sebut sebagai perang oligark vs oligark. D. UNDANG-UNDANG PARTAI POLITIK DAPAT MENJADI MENGHALANG LAJU OLIGARKI. Pergeseran pemilihan ketua umum yang seharusnya dilaksanakan melalui mekanisme dan prosedur demokrasi yang berubah menjadi formula oligarkis dapat dicegah melalui instrumen hukum, yakni undang-undang Partai Politik, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai politik. Pengaturan agar partai politik dapat dijalankan dengan logika dan prinsip demokratis dapat dikendalikan. Tetapi pengaturan seperti ini sebenarnya hanya kembali kepada konsep demokrasi formal, dimana hanya sebatas pemenuhan kebutuhan undang-undang semata, bukan pada demokrasi kualitatif yang bersandar pada kualitas dan substansi demokrasi. Di dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, konsep demokrasi itu tuangkan secara tersurat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c berbunyi; “mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kata “kehidupan demokrasi” adalah nilai yang harus dihayati dan dikembangkan. Begitu juga dengan bunyi pasal 11 ayat (1) huruf e yang menyatakan: rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Juga di dalam Pasal 13 huruf a berbunyi; menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia. 403 Dalam hubungan nya yang paling erat dengan konsep pemilihan ketua umum partai politik yang demokratis ini, Undang-Undang telah “mewasiatkan” secara jelas di dalam Pasal 22 yang berbunyi; “Kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai dengan AD dan ART”. Kata “kehidupan demokrasi”, “mekanisme demokrasi”, “demokrasi” dan kata dipilih secara demokratis” yang disebutkan dalam kutipan pasal-pasal di atas menunjukan pada kualitas partai politik. Pada pasal 22, disebutkan secara tegas dipilih secara demokratis untuk komposisi pengurus partai politik. Persoalan yang dihadapi adalah, apakah yang dimaksud dengan dipilih secara demokratis itu?. Apakah hanya pemilihan langsung yang disebut sebagai pemilihan demokratis?. Atau apakah demokrasi hanya bermakna pemilihan langsung?. Konsep ini menjadi rumit karena di dalam Pasal 18 ayat (4) UndangUndang Dasar yang mengatur mengenai pemilihan kepala daerah disebutkan juga “dipilih secara demokratis”. Tetapi diterjemahkan ke dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi UndangUndang, bahwa yang dimaksud dengan dipilih secara demokratis adalah dipilih secara langsung. Dalam realitasnya, jabatan-jabatan yang dipilih secara langsung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Kepala Desa, Bupati-Wakil Bupati, Walikota-Wakil Walikota, Gubernur-Wakil Gubernur, Presiden-Wakil Presiden, Anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Sisanya adalah melalui mekanisme perwakilan. Hal ini menunjukan bahwa demokrasi di partai juga tidak selalu pemilihan langsung, namun dapat diwakili. Konsep dasarnya adalah melalui musyawarah berdasarkan AD dan ART. AD dan ART partai harus mengatur mengenai semangat dan mekanisme demokratis dalam pemilihan pengurus. Karena sandaran-nya adalah AD dan ART, maka undang-undang tidak dapat mengintervensi terlalu jauh mekanisme pembentukan pengurus partai, terutama mekanisme pemilihan ketua umum. Itulah sebabnya, setiap partai menerapkan pola yang berbeda dalam pemilihan ketua umumnya, sepanjang mereka dapat menciptakan harmoni dan menghindari konflik. Undang-Undang Partai Politik yang ada saat ini tidak dapat digunakan untuk menghentikan laju penguatan dan dominasi oligarki di partai, sehingga diperlukan konsep dan norma yang lebih ketat agar oligarki dapat dikikis, meskipun tidak dapat dihapus. Sebagai sarang oligarki, partai politik sulit untuk menghapus dominasi oligarki, namun dapat dikurangi dengan mekanisme hukum yang ketat dalam mengatur proses pembentukan kepengurusan partai. Undangundang Partai Politik harus dapat mengatur secara khusus mengenai pengisian jabatan ketua umum dan syarat-syarat formal ketua umum. Disamping itu, makna kata dipilih secara demokratis harus diperjelas, misalnya dipilih secara langsung. Ketentuan mengenai pemilihan secara langsung juga harus ditentukan berapa orang di setiap kaabupaten/kota dan setiap provinsi pengurus yang dapat memilih bila hendak dilakukan suksesi di tingkat pusat. Misalnya hanya ketua umum dan sekretaris umum di kabupaten kota, sementara di provinsi adalah ketua umum, sekretaris umum dan bendahara. Begitu juga secara berjenjang. Jika pemilihan 404 dilakukan di provinsi, wakil dari kabupaten/kota berapa orang yang akan memilih dan wakil dari kecamatan. Sementara untuk pemilihan di tingkat kabupaten kota perlu diperjelas wakil dari kecamatan dan desa/kelurahan berapa orang yang memilih. Perlu juga diatur mengenai standar minimal kandidat yang akan maju dalam kompetisi, misalnya minimal tiga orang dalam setiap jenjang untuk menghindari aklamasi. Bahwa pada akhirnya peroleh suaranya untuk nol dua orang misalnya, namun konsep dan mekanisme pemilihan langsung dilakukan. Pengaturan seperti ini tidak menjamin juga menghapus kekuatan oligarki, namun dapat mengikis kekuatan mereka. Dalam arti bahwa kemungkinan besar konsolidasi tidak selalu mengandalkan uang, karena upaya membeli suara yang terlalu besar. E. PENUTUP. Berdasarkan pembahasan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pemilihan ketua umum partai politik tidak didasari atas konsensus demokratis, namun lebih dominan dikuasai melalui mekanisme jual beli suara. Suara terbanyak ditentukan oleh seberapa besar modal ekonomi dan seberapa kuat kekuasaan yang dimiliki di dalam partai. Hal ini menunjukan bahwa praktik pemilihan ketua umum partai politik hanya dapat dimenangkan oleh individu dan kelompok yang memiliki uang dan kekuasaan. Sebab itu, pemilihan ketua umum partai politik hanyalah suksesi kekuatan oligarki yang ingin mengendalikan partai politik untuk menjamin stabilitas harta dan kekuasaan agar tetap di tangan mereka. 2. Penguasaan terhadap partai politik hanya dapat dilakukan melalui intervensi hegemonik, bukan melalui diskursus dan dialog sebagai basis argumentasi yang demokratis. Mereka yang merasa memiliki kekuasaan dan uang, bisa dengan mudah mengatur, karena bagi mereka, “kepatuhan dapat dibeli” dan suara gampang ditawar, selama memiliki uang dan kekuasaan. Uang bisa membeli kepatuhan, dapat digunakan untuk membukam suara, dan tentu saja oligarki dapat terus Berjaya dengan caracara culas seperti ini. 3. Harus dilakukan pengetatan pengaturan mengenai mekanisme pengisian jabatan ketua umum di partai politik. Pengetatan tersebut dapat dilakukan melalui revisi undang-undang partai politik dengan mempeketat bab yang mengatur mekanisme pengisian jabatan ketua umum atau pengurus partai politik secara umum. DAFTAR PUSTAKA Winters, Jeffrey A., 2011, Oligarki, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 405 _______________, Oligarki dan Demokrasi di Indonesia, Jurnal Prisma, Volume 33 Nomor 1 tahun 2014 Ambardi, Kuskridho, 2009, Mengungkap Politik Kartel, Studi Tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Mietzner, Marcus, 2013, Money, Power and Ideology: Political Parties In PostAuthoritarian Indonesia, Singapore: NU Press. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi UndangUndang. INCAR MASUK 3 BESAR DI PEMILU 2019, KETUM PAN HARUS FOKUS KE PARTAI, HTTP:// NEWS .METROTVNEWS .COM / READ /2015/02/08/355473/ INC AR-MASUK -3- BESAR-D, DIAKSES TANGGAL 17 J ULI 2016, BIODATA Fajlurrahman Jurdi, SH., MH adalah tenaga pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Menyelesaikan Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan Magister Hukum pada almamater yang sama. Menulis Buku antala lain: Membalut Luka Demokrasi dan Islam (2004); Aib Politik Muhammadiyah (2007); Komisi Yudisial; Dari Delegitimasi Hingga Revitalisasi Moral Hakim (2007); Predator-Predator Pasca Orde Baru (2008); Aib Politik Islam (2009); Gerakan Sosial Islam (dkk. 2009); Relasi Kuasa, Ideologi dan Oligarki (2013); Melawan Kekuasaan (2015); Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (2015); Hukum Dibawah Tekanan Oligarki (bersama Hamzah Halim, 2016); Dua artikelnya di muat di dua edisi jurnal konstitusi, yaitu Sistem Presidensial dan Masa Depan Demokrasi Politik (2009) Konstitusi Pasca Kolonial (2010). Menulis diberbagai media massa mengenai tema-tema hukum, ideologi, politik, dan gerakan sosial. Penulis secara khusus mendalami Hukum Kelembagaan Negara dan sekarang sedang mendalami hubungan hukum dengan teori dan praktik oligarki. 406 PROSES PEMILIHAN KETUA UMUM PARTAI POLITIK YANG DEMOKRATIS Abstrak Tujuan dilakukannya kajian ini adalah untuk menjelaskan sistem pemilihan demokratis dalam memilih ketua umum partai politik. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (legal normatif study). Tipe penelitian dalam tulisan ini adalah bersifat deskriptif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekaan kasus (cases approach) dan pendekatan sejarah (historical approach) yaitu dengan melihat fenomena yang tumbuh dan berkembang berdasarkan kasus-kasus yang muncul dan disertai dengan pengamatan pada aspek sejarah perjalanan partai politik di Indonesia. Hasil kajian menunjukkan bahwa Sistem pemilihan ketua partai politik secara umum terdapat dua cara yaitu: pertama, pemilihan secara aklamasi (aclamation); dan kedua, sistem pemilihan secara vooting dimana setiap pemilih memiliki hak suara yang sama dengan para pemilih lainnya (one man one voot). Sistem pemilihan ketua partai politik secara vooting dapat berupa 2 (dua) model yaitu sistem pemilihan secara vooting dengan menggunakan terbuka dan sistem pemilihan secara vooting dengan menggunakan model tertutup. Setiap pilihan sistem pemilihan ketua umum partai politik baik dengan menggunakan pilihan secara aklamasi maupun dengan sistem pemilihan secara vooting baik dengan pilihan sistem pemilihan secara vooting dengan menggunakan model terbuka maupun model tertutup memiliki implikasi positif dan implikasi negatif. Pada hakikatnya, kedua sistem pemilihan tersebut termasuk beserta ragam model (terbuka atau tertutup) yang digunakan sesuai (cocok) diterapkan pada setiap partai politik. Sesuai tidaknya diterapkan kedua sistem pemilihan tersebut berserta ragam modelnya yang digunakan sangat ditentukan pada 2 variabel penting yaitu Pertama, variabel kondisi kemapanan berdemokrasi (proses kaderisasi suatu partai politik), dan Kedua, variabel ragam kepentingan politik (diversity of political interrest) yang menumpang pada suatu partai politik yang pada akhirnya akan mempengaruhi tinggi tidaknya (stabil tidaknya) eskalasi (konfigurasi) rivalitas konflik (pertarungan kepentingan) atau disharmonisasi di inernal partai dari suatu partai politik. Kurniawan S, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) - Aceh, Mobile Phone: 085370903661, Email : [email protected] 407 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Keberadaan Partai Politik merupakan manifestasi dari kehendak (aspirasi) politik rakyat. Partai politik dapat dimaknai sebagai organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum sebagaimana yang dikatakan oleh Appadorai, yaitu :276 “A political party is more or less organized group of citizens who act together as a political unit, have distinctive aims and opinions on the leadig political questions of controversy in the state, and who, by acting together as a political unit, seek toobtain control of the government, it is based on two fundamentals of human nature: men difer in their opinions, and are gregarious; they try to achieve by combination what they can not achieve individually”. Carl J Friedrich menuliskan pengertian partai politik sebagai sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materil.277 Giovanni Sartori secara lebih jelas mendefinisikan partai politik sebagai suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum, dan melalui pemilihan umum itu, mampu menempatkan caloncalonnya untuk menduduki jabatan-jabatan publik.278 Dapat disimpulkan bahwa partai politik merupakan suatu kelompok tertentu yang di dalamnya terdiri atas orang-orang dengan otientasi tertentu guna meraih kekuasaan politik untuk menjalankan program-programnya. Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), partai politik berarti perkumpulan yang didirikan untuk mewujudkan ideologi politik tertentu. Tujuan dari kelompok-kelompok yang terdapat dalam suau organisasi partai politik tersebut ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik yang dilakukan secara konstitusional untuk mewujudkan visivisinya dalam bentuk program-program. Dalam negara yang melaksanakan prinsip demokrasi, kedudukan dan peranan setiap lembaga negara seyogyanya memiliki kekuatan yang seimbang dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan A. Appadorai, The substance of Politics, (New Delhi: Oxford University Press, 2005), hlm. 537 – 538. Secara umum, Partai politik dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama baik yang berdasarkan partai kader atau struktur kepartaian yang dimonopoli oleh sekelompok anggota partai yang terkemuka. Atau bisa juga berdasarkan partai massa, yaitu partai politik yang mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggotanya. 277 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi,(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 52. 278 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 405. 276 408 “Check and balances”.279 Namun apabila terjadinya kekuatan yang tidak seimbang diantara para lembaga negara di suatu negara tentunya akan menyebabkan tidak adanya eran saling kontrol antara satu lembaga negara terhadap embaga negara lainnya. Situasi tersebut berimplikasi terjadinya praktik penyelenggaraan negara yang tidak sehat, yang pada akhirnya menyebabkan terabaikannya pelaksanaan demokrasi secara murni dan konsekuen. Kondisi tersebut tentunya akan membuka ruang bagi partai - partai politik yang rakus lah yang mendominasi sebagai pemegang kekuasaan penyelenggaraan negara. Partai politik merupakan pilar demokrasi dalam perjalanan suatu bangsa karena memiliki peranan yang penting sebagai penghubung antara pemerintahan negara (the state) dengan warga negaranya (the citizen). Pertai politik memiliki kedudukan (status) dan peranan (role) yang sentral dan penting dalam setiap sistem demokrasi.280 Bahkan menurut Schattscheider (1942), “political parties create democracy”, partai politik lah yang membentuk demokrasi, bukan sebaliknya.281 Baik buruknya sistem kepartaian (termasuk sistem atau model pemilihan ketua umum suatu partai politik) yang dianut oleh suatu partai tentunya akan memberikan warna terhadap baik tidaknya bekerjanya sistem ketatanegaraan dan demokrasi suatu negara. Untuk itu sangat penting dan strategis untuk dilakukan penguatan terhadap derajat perlembagaannya (the degree of institutionalization) dalam sistem poitik yang demokratis. Partai politik tentunya bukan satu-satunya bentuk perlembagaan sebagai wujud ekspresi ide, pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam suatu masyarakat demokratis, melainkan terdapat bentuk perlembagaan lainnya seperti adanya kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan berserikat melalui organisasi non partai politik seperti lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS), Organisasi Non Pemerintah (NGO’s) dan lain sebagainya. Namun, dalam hubungannya dengan kegiatan bernegara, peranan partai politik sebagai media dan wahana sangat menonjol dalam menentukan warna dan dinamika penyelenggaraan kekuasaan negara. Partai politik sangat berperan dalam proses dinamika perjuangan nilai dan kpentingan (values dan interest) dari konstituen yang diwakilinya untuk menentukan kebijakan dalm konteks kegiatan bernegara.282 Partai politik merupakan satu-satunya bentuk perlembagaan sebagai wujud ekspresi ide, pikiran, pandangan dan keyakinan bebas yang dapat bertindak sebagai perantara dalam proses pengambilan keputusan bernegara sekaligus menghubungkan antara kepentingan para warga negara (konstituennya) dengan berbagai instrumen atau institusi-institusi kenegaraan yanga ada. Robert Michels dalam bukunya yang berjudul “Political Parties: A sociological Study of the Olygarchical Tendencies of Modern Demoracy”, mengataka bahwa: “..... organisasi .... Jimly Asshiddiqie, Loc. Cit. Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 2007), hlm. 709 – 708. 281 Ibid. 282 Ibid., hlm. 712. 279 280 409 merupakan satu-satunya sarana ekonomi atau politik untuk membentuk kemauan kolektif”.283 Kemapanan pelaksanaan demokrasi suatu negara sangat ditentukan pada kemapanan dari proses perlembagaan partai - partai politik yanga da di suatu negara. Hal ini mengingat keberadaan partai politik merupakan suatu keniscayaan dalam suat pemerintahan yang demokratis. Hal senada juga dikemukakan oleh Yves Meny and Andrew Knapp, yang mengatakan bahwa: “A Democratic System without political parties or with a single party is impossible or at any rate hard to imagine”.284 Ketiadaan partai politik tentunya akan menyebabkan ketiadaan (hilangnya) media atau wadah penyaluran aspirasi masyarakat dalam upaya mempengaruhi proses pengambilan kebijakan bagi kemaslahatan publik dalam praktek penyelenggaraan kekuasaan negara. Keberadaan partai politik sebagai salah satu bentuk perlembagaan sebagai wujud ekspresi ide, pikiran, pandangan dan keyakinan bebas dalam suatu masyarakat demkratis pada hakikanya merupakan manifestasi dari prinsip-prinsip kemerdekaan berpendapat (freedom of expression), berorganisasi (freedom of association), dan kebebasan berkumpul (freedom of assembly). Ketiga prinsip kemerdekaan atau prinsip kebebasan diakui dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (NKRI) Tahun 1945 sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Proses demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan kekuasaan negara pada hakikatnya bersifat integral dan inklusif. Oleh karenanya penyelenggaraan suatu pemerintahan yang demokratis hanya dapat berjalan mapan bilamana adanya proses yang demokratis di dalam internal partai politik baik dalam hal penempatan calon legislator, maupun khususnya dalam hal pemilihan ketua umum partai politik. Hal ini mengingat, secara umum keberadaan ketua umum partai politik memiliki pengaruh signifikan dalam menentukan arah dan kebijakan partai politik termasuk dalam menentukan warna praktek penyelenggaraan kekuasaan negara.285 Mengingat akan penting dan strategisnya jabatan ketua partai politik, untuk itu fokus kajian tulisan ini menitik beratkan pada masalah sistem pemilihan ketua umum partai politik yang demokratis. Robert Michels dalam Jimly Asshiddiqie. Ibid. Yves Meny and Andrew Knapp, Government and Politics in Western Europe: Britain, France, italy, Germany, third edition, (Britian: Oxford University Press, 1998), hlm. 86. 285 Dalam perjalan ketatanegaraan Indonesia, menunjukkan bahwa keberadaan posisi ketua umum partai politik menjadi rebutan diantara kalangan pengurus partai politik. Padahal dalam sistem pemerintah seperti di Indonesia yang cenderung mempraktikkan sistem Presidensil keberadaan ketua umum partai politik tidak memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan arah dan warna kebijakan suatu rezim pemerintahan yang sedang berkuasa. Berbeda halnya dalam sistem pemerintahan parlementer, dimana ketua umum partai politik memiliki pengaruh cukup signifikan dalam menentukan warna kebijakan suatu pemerintahan baik pada levek nasional maupun pada levek regional (provinsi dan kabupaten/kota). Namun demikian, kenyataannya menunjukkan bahwa kecenderungan jabatan ketua umum partai politik menjadi rebutan diantara pengurus partai politik. 283 284 410 2. KAJIAN TEORITIK 2.1. Peran Partai Politik pada Era Penjajahan Dalam sejarah Indonesia, keberadaan Partai politik di Indonesia diawali dengan didirikannya organisasi Boedi Oetomo (BO), pada tahun 1908 di Jakarta oleh Dr. Wahidin Soediro Hoesodo dkk.286 Walaupun pada waktu itu BO belum bertujuan ke politik murni, tetapi keberadaan BO sudah diakui para peneliti dan pakar sejarah Indonesia sebagai perintis organisasi modern. Dengan kata lain, BO merupakan cikal bakal dari organisasi massa atau organisasi politik di Indonesia. Sejarah keberadaan Partai Politik di Indonesia diawali dengan berdirinya Indische Partij yang diprakarsai oleh Tiga Serangkai (Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan Soewardi Soeryaningrat).287 Partai politik inilah yang menjadi pelopor munculnya partai-partai politik sebelum kemerdekaan Indonesia baik yang bersifat legal maupun ilegal. Setelah Indische Partij dibubarkan oleh kolonial Belanda kemudian lahir partai-partai politik baru. Partai politik zaman prakemerdekaan pada umumnya bertujuan untuk pergerakan demi kemerdekaan Indonesia. 286 Kebijakan Politik Etis (etische politic) atau kebijakan Politik Balas Budi pada 1901 di Hindia Belanda yang diinisiasi oleh E.F.E. Douwes Dekker alias Setiabudi telah memberikan angin segar terhadap Bumi Putra/rakyat Indonesia dalam kesadaran menuju kemerdekaan sebuah bangsa yang telah lama tereksploitasi dari penjajahan Belanda, di abad ke-XX ini adalah kebangkitan bumi putra dalam cita-cita kemerdekaan negara yang di tandai dengan lahirnya beberapa organisasi modern, dalam istilahnya Takeshi Shiraisi dalam bukunya “Zaman Bergerak” sebagai titik tolak radikalisasi rakyat jawa. Perkembangan situasi ekonomi sosial politik pada masa itu telah memberikan pelajaran bagi pemuda bangsa khususnya dan rakyat ini, sehingga terbangunlah organisasi pemuda “Mahasiswa STOVIA” School tot Opleiding voor Inlandsche Arsten yang lazimnya dikenal dengan Boedi Oetomo (BO) pada tanggal 20 Mei 1908 yang diprakarsasi oleh Dr. Soetomo. Di awal mula berdirinya organisasi Boedi Oetomo merupakan organisasi pelajar yang ruang lingkupnya masih kedaerahan, namun pada perkembangannya berubah menjadi organisasi perkumpulan pemuda nasional, dan tanggal berdirinya organisasi ini di tetapkan oleh pemerintah sebagai hari kebangkitan nasional. Dengan lahirnya organisasi tersebut memiliki pengaruh signifikan terhadap kondisi sosioal politik di Hindia Belanda sekaligus menjadi pemicu kelahiran organisasi-oganisasi modern lainnya masa itu. Seiring dengan semakin menonjolnya orientasi politik di kalangan pemuda tak jarang yang meleburkan dan ikut serta dalam organisasiorganisasi lain seperri Serikat Dagang Islam (SI) yang didirikan di Solo 16 Oktober 1905 (oleh Haji Samanhudi, Sumowardoyo, Wiryotirto, Suwandi, Suryopranoto, Jarmani, Haryosumarto, Sukir dan Martodikoro), Sarikat Islamiyah (SI) yang didirikan di Batavia tahun 1909 (oleh Tirtoadisuryo), Partai Hindia (Indische Party) yaitu organisasi campuran orang Indo dan bumiputra yang didirikan di Bandung 25 Desember 1912 (oleh E.F.E. Douwes Dekker alias Setiabudi) dan sebagainya. Selengkapnya dapat diakses pada : Saiful Hakki, Peranan Pemuda Dalam Perjuangan Kemerdekaan Nasional Peranan Pemuda Dalam Perjuangan Kemerdekaan Nasional (http://kehendakmassa.blogspot.co.id/2009/11/peranan-pemuda-dalam-perjuangan.html). 287 Partai Hindia atau Indische Partij (IP) didirikan di Bandung 25 Desember 1912 (atas prakarsa E.F.E. Douwes Dekker alias Setiabudi). IP ini merupakan organisasi campuran orang Indo dan bumiputra. IP menjadi organisasi politik yang kuat pada waktu itu, setelah ia bekerjasama dengan dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantoro. Douwes Dekker menjadi ketuanya, dr. Cipto Mangunkusumo dan R.M. Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantoro) menjadi anggota pengurus. Indische Partij terbuka buat semua golongan bangsa (bangsa Indonesia, bangsa Eropa yang terus tinggal disini, Belanda peranakan, peranakan Tionghoa dan sebagainya), yang merasa dirinya seorang “indier”. Selengkapnya dapat diakses pada: (http://kehendakmassa.blogspot.co.id/2009/11/peranan-pemuda-dalam-perjuangan.html). 411 Partai dalam arti modern sebagai suatu organisasi massa yang berusaha untuk mempengaruhi proses politik, merombak kebijaksanaan dan mendidik para pemimpin dan mengejar penambahan anggota, baru lahir sejak didirikan Sarekat Islam pada tahun 1912. Sejak itulah partai dianggap menjadi wahana yang bisa dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan nasionalis. Selang beberapa bulan, lahir sebuah partai yang di dirikan Douwes Dekker yaitu Indesce Partij, yang dilatarbelakangi oleh adanya diskriminasi antara kaum Indo peranakan dan Belanda baik dalam gaji maupun perlakuan lainnya menyebabkan timbulnya pergolakan jiwa di kalangan kaum Indo. Pada masa pendudukan Jepang semua Partai Politik yang telah ada sisa peninggalan di masa Belanda dibubarkan. Selanjutnya Jepang mempelopori berdirinya organisai-organisasi massa yang jauh menyentuh akar di masyarakat seperti dibentuknya organisasi massa bernama Pusat Tenaga Rakyat (Poetera). Namun nasib organisasi ini pada akhirnya juga ikut dibubarkan oleh Jepang karena dianggap telah melakukan kegiatan yang bertujuan untuk mempengaruhi proses politik. 2.2. Peran Partai Politik pada Era Awal Kemerdekaan Setelah Indonesia merdeka dan berdaulat, telah menetapkan bahwa NKRI menganut paham demokrasi dan sistem multi-partai, terbukalah kesempatan yang besar untuk mendirikan partai politik. Yang melatar belakangi terbentuknya partai-partai baru ini adalah adanya maklumat Nomor “X” pada tanggal 3 November 1945 yang dikeluarkan oleh Wakil Presiden RI yaitu Mohammad Hatta atas usulan dari Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), mendorong terbentuknya partai-partai politik sebagai bagian dari demokrasi.288 Maklumat tersebut merupakan salah satu bagian dari rencana persiapan penyelenggaraan pemilu pada tahun berikutnya yaitu 1946. Maklumat tersebut menggunakan nomor X (bukan sepuluh) karena nomor urut maklumatnya sama dengan nomor sebelumnya. Maklumat Nomor X pada tanggal 3 November 1945 ini melegitimasi partai-partai politik yang telah terbentuk sebelumnya, sejak zaman Belanda dan Jepang. Pemerintah menerima usulan Badan Pekerja KNIP agar dibukanya kesempatan untuk mendirikan partai-partai politik untuk mengikuti Pemilihan Umum yang rencananya akan digelar pada Januari 1946. Ketetapan tersebut dituangkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang menegaskan kembali bahwa pembentukan partai politik tersebut adalah untuk memperkuat perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat. Isi maklumat tersebut adalah: “Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat. Diharapkan bahwa partai-partai telah tersusun sebelum pemilihan umum pada bulan Januari 1946”. Pengumuman tersebut lalu disambut gembira oleh masyarakat karena selama 3,5 tahun penjajahan Jepang, setiap kegiatan politik adalah terlarang. Berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu yang rencananya akan digelar pada bulan Januari tahun 1946, maka rencana tersebut terpaksa ditunda karena kondisi dalam negeri yang tidak memungkinkan karena serangan sekutu yang ingin kembali melakukan penjajahan di Indonesia. Selengkapnya dapat diakses pada: http://www.idsejarah.net/2014/12/sejarah-partai-politik-pada-masa_3.html 288 412 Dalam perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, rakyat tidak hanya menyusun pemerintahan dan militer yang resmi, tetapi juga menyusun laskar atau badan perjuangan bersenjata dan organisasi politik. Pada zaman kemerdekaan ini, partai politik tumbuh di Indonesia ibarat tumbuhnya jamur di musim hujan, dengan berbagai haluan ideologi politik yang berbeda satu sama lain. Hal ini dikarenakan adanya maklumat Pemerintah RI 3 November 1945 yang berisi anjuran mendirikan partai politik dalam rangka memperkuat perjuangan kemerdekaan. Pada masa ini peran partai politik adalah sebagai sarana perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan melalui cara-cara yang bersifat politis. 2.3. Peran Partai Politik pada Era Orde Lama Seiring dengan dikeluarkannya maklumat pemerintah pada tanggal 3 November 1945 yang menganjurkan dibentuknya Parpol, sejak saat itu berdirilah puluhan partai. Maklumat ini ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Atas usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat yang meminta diberikannya kesempatan pada rakyat yang seluas-luasnya untuk mendirikan Partai Politik. Partai Politik hasil dari Maklumat Pemerintah 3 November 1945 berjumlah 29 buah, dikelompokkan dalam 4 kelompok partai berdasarkan ketuhanan, kebangsaan, Marxisme, dan kelompok partai lain-lain yang termasuk partai lain-lain adalah Partai Demokrat Tionghoa Indonesia dan Partai Indo Nasional. Pada saat Indonesia menganut demokrasi liberal, sistem pemerintahan yang dianut adalah parlementer. Dalam demokrasi parlementer, demokrasi liberal atau demokrasi Eropa Barat, memberikan jaminan yang kuat dan luas terhadap kebebasan individu. Dalam sistem pemerintahan berdasarkan rezim UUDS 1950 partai politik memiliki pernaan yang signifikan. Keberadaan kelembagaan DPR memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap partai politik. Hal ini mengingat para anggota DPR pada umumnya adalah berasal dari partai politik. Di awal peemrintahan setelah pengakuan kedaulatan Negara Indonesia, terbangun stigma di masyarakat bahwa partai politik merupakan sarana atau instrumen (media) menuju popularitas. Para pemimpin partai politik memiliki pengaruh signifikan terhadap pemerintahan baik di pusat maupun di daerah-daerah. Partai politik pada zaman liberal diwarnai suasana penuh ketegangan politik, saling curiga mencurigai antara partai politik yang satu dengan partai politik lainnya. Dalam kondisi tersebut, Partai Politik tumbuh dan berkembang selama revolusi fisik dan mencapai puncaknya pada tahun 1955 ketika diselenggarakan Pemilihan Umum pertama yang diikuti oleh 36 Partai Politik, meski yang mendapatkan kursi di parlemen hanya 27 partai. Pergolakan-pergolakan dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Konstituante hasil Pemilihan Umum telah menyudutkan posisi Partai Politik. Hampir semua tokoh, golongan mempermasalahkan keberadaan Partai Politik. Kekalutan dan kegoncangan di dalam sidang konstituante inilah yang pada akhirnya memaksa Bung Karno membubarkan partai-partai politik. 413 Pada tanggal 5 Juli 1960 Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan Presiden No.13 tahun 1960 tentang pengakuan, pengawasan, dan pembubaran partai-partai. Pada tanggal 14 April 1961 Presiden Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 128 tahun 1961 tentang partai yang lulus seleksi, yaitu PNI, NU, PKI, partai Katolik, Pertindo, Partai Murba, PSII, Arudji, dan IPKI. Setelah itu, terdapat 2 partai yang menyusul yaitu Parkindo dan partai Islam Perti. Jadi pada waktu itu, parpol yang boleh bergerak hanya 10 partai saja, sementara selebihnya dibubarkan karena tergolong partai Gurem. Tetapi jumlah partai yang tinggal 10 buah itu berkurang satu pada tahun 1964. Presiden Sukarno atas desakan PKI dan antek-anteknya, membubarkan Partai Murba dengan alasan Partai Murba merongrong jalannya revolusi dengan cara membantu kegiatan terlarang seperti BPS (Badan Pendukung Sukarnoisme) dan Menikebu (Manifesto Kebudayaan).289 2.4. Peran Partai Politik pada Era Orde Baru Perkembangan partai politik setelah tragedi G. 30 S/PKI, adalah dengan dibubarkannya PKI dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Menyusul setelah itu Pertindo juga menyatakan bubar. Dengan demikian partai politik yang tersisa hanya 7 buah. Tetapi jumlah itu bertambah dua dengan direhabilitasinya Murba dan terbentuknya Partai Muslimin Indonesia. Golongan Karya yang berdiri pada tahun 1964, semakin jelas sosoknya sebagai kekuatan sosial politik baru. Dalam masa Orde Baru dengan belajar dari pengalaman Orde Lama lebih berusaha menekankan pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen. Kristalisasi Parpol Suara yang terdengar dalam MPR sesudah pemilu 1971 menghendaki jumlah partai diperkecil dan dirombak sehingga partai tidak berorientasi pada ideologi politik, tetapi pada politik pembangunan. Itu karena banyaknya Partai Politik dianggap tidak menjamin adanya stabilitas politik dan dianggap mengganggu program pembangunan. Usaha pemerintah ini baru terealisasi pada tahun 1973, partai yang diperbolehkan tumbuh hanya berjumlah tiga yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), GOLKAR dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Hal tersebut terlihat secara tegas menunjukkan bahwa keberadaan partaipartai politik yang ada di Indonesia di masa Orde Baru (ORBA) merupakan partai yang dibentuk atas prakarsa atau intervensi negara, bukannya inisiatif atau wujud sesungguhnya perlembagaan kehendak atas ide-ide dan kepentingan komunal yang tumbuh, hidup dan berkembang di masyarakat masa itu.290 289 Peranan partai politik pada masa ini sudah menjadi sarana penyalur aspirasi rakyat, namun kurang maksimal karena situasi politik yang panas dan tidak kondusif. Dimana setiap partai hanya mementingkan kepentingan partai sendiri tanpa memikirkan kepentingan yang lebih luas yaitu kepentingan bangsa. 290 Pembentukan partai bukan atas dasar kepentingan masing-masing anggota melainkan karena kepentingan negara. Dengan kondisi partai seperti ini, sulit rasanya mengharapkan partai menjadi wahana artikulasi untuk mewujudkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, melainkan 414 2.5. Peran Partai Politik pada Era Reformasi dan Masa Kini Bergulirnya era reformasi yang ditandai dengan jatuhnya rezim Orde Baru (ORBA) telah mendorong terjadinya perubahan (amandemen) signifikan terhadap UUD NRI Tahun 1945 sebanyak 4 (empat) kali secara berturut-turut mulai tahun 1999 - 2002. Perubahan (amandemen) terhadap UUD NRI Tahun 1945 tersebut telah mendorong terjadinya perubahan mendasar terhadap sistem perlembagaan parlemen (termasuk perlembagaan MPR RI) yang akhirnya memberi akses bagi para tokoh reformis masuk ke dalam kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan negara. Perubahan (amandemen) terhadap Konstitusi Indonesia sebanyak 4 (empat) kali secara berturut-turut tersebut menunjukkan bahwa keberadaan UUD NRI Tahun 1945 sebelum amandemen (produk rezim ORBA) cenderung sama sekali tidak memberi akses bagi perubahan kehidupan bangsa Indonesia dalam upaya mendukung terus berjalannya pemerintahan yang demokratis di era reformasi. Seiring dengan masifnya tekanan dan intervensi negara di bawah rezim pemerintahan Orde Baru (ORBA) terhadap rakyat, maka pada saat jatuhnya rezim Orde Baru (ORBA) telah mendorong munculnya hasrat kuat bagi kelompokkelompok masyarakat untuk melembagakan kesamaan ide (gagasan) dan kepentingan tersebut ke dalam suatu partai politik. Karenanya di masa reformasi muncul begitu banyak partai politik (multy party) di Indonesia sebagai wujud manifestasi dari perlembagaan gagasan atau ide komunal yang tumbuh, hidup dan berkembang di masyarakat yang dikekang selama rezim ORBA. Jadi negara melalui rezim yang sedang berkuasa di masa reformasi tidak mampu membendung kuatnya hasrat politik rakyat untuk melembagakan ide (gagasan) dan kepentingan komunalnya ke dalam suatu partai politik. 3. PEMBAHASAN 3.1. Sistem Pemilihan Ketua Partai Politik Yang Demokratis Baik tidaknya penyelenggaraan suatu pemerintahan yang demokratis sangat ditentukan pada mekanisme dan proses demokratisasi di dalam internal partai. Untuk itu, menjadi sangat penting dan strategis membahas mengenai sistem pemilihan ketua umum partai politik. Hal ini mengingat setiap kebijakan partai (baik dalam hal syarat pengusulan calon legislatif, recall, termasuk penentuan arah kebijakan koalisi atau oposisi serta berbagai kebijakan strategis partai lainnya) sangat ditentukan oleh figuritas dari para ketua umum partai politik. Demokratis atau tidaknya suatu sistem pemilihan ketua umum partai pilitik sangat ditentukan berdasarkan pilihan yang diputuskan dalam musyawarah mufakat diantara para pemilik suara (pemilih) dalam suatu partai politik. Apabila tidak tercapai kata sepakat selanjutnya diputuskan degan menggunakan mekansme suara terbanyak melalui vooting yaitu dimana setiap pemilik suara (pemilih) memiliki hak suara yang sama dengan para pemilih lainnya (one man one hanya sebagai wahana untuk mempertahankan keberlanjutan kekuasaan rezim tertentu yang mengatas namakan rakyat. 415 voot) dalam menentukan pilihan sistem pemilihan ketua umum partai politik yang akan digunakan. Apapun keputusan pilihan yang digunakan dalam sistem pemilihan ketua umum partai politik yang akan diterapkan tersebut pada hakikatnya merupakan kehendak bersama (collective willingness) yang notabenanya adalah hasil berdemokrasi. yaitu: Sistem pemilihan ketua partai politik secara umum terdapat dua cara 1. Pemilihan secara aklamasi (aclamation); dan 2. Sistem pemilihan secara vooting. Sistem pemilihan ini memperlakukan setiap pemilih memiliki hak suara yang sama dengan para pemilih lainnya (one man one voot). Sistem pemilihan ketua partai politik secara vooting dapat berupa 2 (dua) model/tipe yaitu: a. Sistem pemilihan secara vooting dengan menggunakan model/tipe terbuka; dan b. Sistem pemilihan secara vooting dengan menggunakan model/tipe tertutup. Pada hakikatnya, kedua sistem pemilihan tersebut termasuk beserta ragam model (terbuka atau tertutup) nya sesuai (cocok) untuk diterapkan pada setiap partai politik bedasarkan variabel yag tepat. Sesuai tidaknya diterapkan kedua sistem pemilihan tersebut berserta ragam modelnya di dalam suatu partai politik sangat ditentukan pada 2 variabel penting yaitu: 1. 2. Variabel kondisi kemapanan berdemokrasi (proses kaderisasi suatu partai politik), dan Variabel ragam kepentingan politik (diversity of political interrest) yang menumpang pada suatu partai politik yang pada akhirnya akan mempengaruhi tinggi tidaknya (stabil tidaknya) eskalasi (konfigurasi) rivalitas konflik (pertarungan kepentingan) atau disharmonisasi di inernal partai dari suatu partai politik. Baik dalam kondisi partai politik yang sudah mapan berdemokrasi (proses perekrutan dan kaderisasinya) maupun dalam kondisi partai politik yang belum mapan berdemokrasi,291baik dalam kondisi masif maupun tidaknya (tinggi atau tidaknya) rivalitas (persaingan kepentingan) yang ada dalam internal partai politik sebaiknya menggunakan sistem pemilihan secara aklamasi (penunjukan secara spontan dan kolektif). Namun dalam hal pemilihan secara aklamasi tersebut sulit dicapai, maka satu-satunya pilihan yang tersisa hanya pemilihan dengan menggunakan sistem pemilihan secara vooting dimana setiap pemilih memliki hak suara yang sama dengan para pemilih lainnya (one man one voot). Sistem pemilihan secara vooting terdapat 2 model yaitu sistem pemilihan secara vooting dengan model terbuka dan sistem pemilihan secara vooting dengan model tertutup. 291 Partai politik yang memiliki kemapanan dalam berdemokrasi cenderung sudah memiliki mekanisme rekrutmen serta kaderisasi yang baik sehingga membentuk sikap mental para kader yang patriot dan negarawan serta mapan menerima perbedaan pandangan atau ide/gagasan. 416 Dalam kondisi partai politik yang meskipun sudah mapan dalam berdemokrasi dan mapan proses kaderisasinya, namun masih tingginya (masifnya) eskalasi (konfigurasi) rivalitas (persaingan kepentingan) sehingga menyebabkan kondisi internal partai politik menjadi tidak stabil (unstable political situation) sebaiknya menggunakan sistem pemilihan scara vooting dengan menggunakan model tertutup. Sistem pemilihan secara vooting dengan model tertutup yang notabenanya menjamin kerahasiaan pilihan suara bagi pemilih cenderung menjadi lebih tepat diterapkan dalam kondisi partai seperti ini karena dapat semakin memperkecil adanya praktek politik penyingkiran alias politik bumi hangus terhadap mereka (lawan-lawan politik) yang tidak mendukung ketua umum partai politik terpilih. Adapun, dalam hal kondisi partai politik yang sudah mapan dalam berdemokrasi dan mapan proses kaderisasinya, namun kondisi eskalasi (konfigurasi) rivalitas (persaingan kepentingan) yang terjadi di internal partai politik rendah (belum masif) sehingga menyebabkan kondisi internal partai politik masih stabil (stable political situation) sebaiknya menggunakan sistem pemilihan secara vooting dengan menggunakan model terbuka. Dalam hal kondisi partai politik yang belum mapan dalam berdemokrasi dan belum mapan proses kaderisasinya namun kondisi eskalasi (konfigurasi) rivalitas (persaingan kepentingan) yang terjadi di internal partai politik masih tinggi (masif) sehingga menyebabkan kondisi internal partai politik menjadi tidak stabil l (unstable political situation) sebaiknya menggunakan sistem pemilihan secara vooting dengan menggunakan model tertutup. Dalam situasi seperti ini, sistem pemilihan secara vooting dengan menggnakan model tertutup cenderung akan menekan laju (eskalasi) konfigurasi rivalitas (persaingan kepentingan) yang terjadi di internal partai politik. Adapun dalam hal kondisi partai politik yang belum mapan dalam berdemokrasi dan belum mapan proses kaderisasinya, meskipun kondisi eskalasi (konfigurasi) rivalitas (persaingan kepentingan) yang terjadi di internal partai politik masih rendah (tidak masif) sehingga menyebabkan kondisi internal partai politik masih stabil (stable political situation) sebaiknya untuk tetap menggunakan sistem pemilihan secara vooting dengan menggunakan model tertutup. Hal ini mengingat masih prematurnya suatu partai politik dalam berdemokrasi (belum dewasa) dan belum mapannya proses kaderisasi di internal partai bila dipaksakan menggunakan sistem pemilihan secara vooting dengan menggunakan model terbuka (dimana setiap pemilih (pengguna suara) terlihat pilihan politiknya (memilih siapa dan tidak memilih siapa)), dikuatirkan cenderung berpotensi menimbulkan praktek politik penyingkiran (politik bumi hangus) terhadap para pemilik suara yang tidak memilih ketua umum partai politik terpilih. Namun, bilamana dalam situasi ini setelah dilakukannya musyawarah mufakat tidak tercapai kata sepakat untuk menggunakan sistem pemilihan secara vooting dengan model tertutup, maka satu-satunya pilihan (pilihan akhir/pilihan yang tersisa) adalah menggunakan sistem pemilihan secara vooting dengan model terbuka, meskipun adanya konsekuensi kecenderungan menimbulkan praktek politik penyingkiran (politik bumi hangus) terhadap para pemilik suara yang tidak memilih ketua umum partai politik terpilih. 417 Model (sistem) Pemilihan Ketua Partai Politik Secara Aklamasi Model (sistem) ini dilakukan tanpai melalui proses perdebatan alot di dalam internal partai, melainkan disepakati secara kolektif di dalam internal partai dengan menunjuk figur tertentu sebagai ketua partai sebagai pemegang amanat kolektif. Cara ini terjadi biasanya dalam kondisi dimana di dalam suatu partai hanya terdapat figuritas tunggal. Figuritas tokoh hanya melekat pada orangperorangan tertentu saja. Akibat adanya monopoli figuritas tokoh partai telah menyebabkan warna pemilihan ketua partai terjadi secara aklamasi karena tidak adanya figur tandingan. Adanya figuritas tunggal atau monopoli figur dalam suatu partai politik kecenderungan disebabkan karena miskinnya kaderasi (pendidikan politik atau vooter education) yang dilakukan, sehingga tidak muncul figur tokoh alternatif tempat di mana konstituen dapat membanding-bandingkan kualitas (mutu) kepemimpinan. Model (sistem) pemilihan ketua umum partai politik secara aklamasi memiliki keunggulan yaitu tidak terbangun suasana (atmosfer) menang – kalah diantara kelompok kelompok yang berbeda kepentingan dalam partai yang sama. Model pemilihan secara aklamasi ini cenderung menutup kemungkinan munculnya perpecahan di dalam internal partai politik sehingga menjauhkan prakek politik penyingkiran (politik bumi hangus) terhadap para pemilih (kelompok-kelompok) yang tidak memilih ketuan umum partai politik terpilih. Monopoli figuritas tokoh partai akan menguntungan pemilik (owner) figuritas tunggal tersebut karena tidak adanya tokoh figuritas tandingan. Dengan demikian akan memperpanjang kekuasaan yang dimilikinya. Mengingat “kekuasaan” cenderung membawa manusia kepada tindakan menyeleweng, maka kondisi monopoli figuritas tokoh akan cenderung membawa suatu partai kepada arah kebijakan yang meyimpang pula. Hal ini senada dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Seorang Filsuf Lord Acton pernah berkata “Power tends to corrupt absolut power corrupt absolutely”.292 Bermakna bahwa: “Kekuasaan cenderung menyeleweng, kekuasaan mutlak pasti melakukan penyelewengan”.293 Model (sistem) pemilihan ketua partai politik secara Vooting Pemilihan ketua partai secara vooting (pemilihan) ini bermakna bahwa setiap pengurus partai atau perwakilan setiap DPD dari suatu partai politik memiliki hak untuk menggunakan pilihan politik (political choice) di mana setiap pengurus atau perwakilan DPD memiliki hak suara dengan konsep one man one voot. Pemilihan ketua partai politik dengan cara ini terjadi cenderung disebabkan karena beberapa hal yaitu : a. Tersebarnya figuritas tokoh di dalam suatu partai politik lebih dari satu orang. b. Banyaknya (beragamnya) kepentingan yang melekat pada partai tertentu. c. Mapannya proses dan jenjang kaderisasi bagi para pegurus partai politik. 292 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 78 293 Ibid. 418 Sistem pemilihan ketua partai politik dengan menggunakan model (sistem) Vooting (pemilihan) ini cenderung terjadi di dalam tubuh partai politik memiliki proses dan jenjang kaderisasi yang sudah mapan. Seiring dengan mapannya proses dan jenjang pengkaderan yang ada sehingga tidak terjadinya konsentrasi (dominasi) figuritas tokoh pada sosok tertentu, melainkan figuritas tokoh partai terdistribusi secara merata. Semakin mapannya proses dan jenjang kaderisasi suatu partai politik cenderung akan menyebabkan meningkatnya daya tarik para tokoh yang berada di luar pengurus partai (seperti tokoh masyarakat, intelektual, kalangan profesional, dan berbagai tokoh yang mewakili komunitas tertentu lainnya) untuk bergabung dengan partai tersebut. Dengan demikian, kondisi tersebut telah berimplikasi semakin meningkatkan variasi kepentingan kelompok-kelompok yang dititipkan di pundak partai tersebut. Kondisi keragaman (variasi) kepentingan politik di dalam suatu partai politik cenderung akan menyebabkan semakin ketatnya rivalitas (kompetesi) kepentingan yang diwakili oleh masingmasing tokoh komunitas tersebut. Ketatnya rivalitas kompetesi diantara para tokoh di dalam suatu partai akan menimbulkan kecenderungan mengarah pada pemilihan ketua partai menggunakan pilihan model (sistem) pemilihan secara vooting (pemilihan). 3.2. Implikasi Positif dan Negatif Sistem Pemilihan Ketua Partai Politik Setiap pilihan tentunya memiliki implikasi positif maupun negatif. Hal yang sama juga pada sistem pemilihan ketua umum partai politik. Setiap pilihan sistem pemilihan ketua umum partai politik baik dengan menggunakan sistem pemilihan secara aklamasi maupun dengan sistem pemilihan secara vooting (baik dengan pilihan model terbuka maupun tertutup) memiliki implikasi positif dan implikasi negatif. Berikut analisa terkait implikasi positif dan implikasi negatif dari sistem pemilihan ketua partai politik secara aklamasi dan sistem pemeilihan ketua partai politik secara vooting (baik dengan model terbuka dan model tertutup). Sistem Pemilihan Ketua Partai secara Vooting dengan Menggunakan Model Terbuka Sistem pemilihan ketua partai politik secaar vooting dengan menggunakan model terbuka adalah pemilihan yang dilakukan dengan cara dimana para pemilik suara saling mengetahui pilihan masing-masing diantara meraka. Sistem pemilihan ketua partai politik secara vooting dengan menggunakan model terbuka memiliki implikasi positif dan juga memiliki implikasi negatif. Adapun diantara beberapa implikasi positifnya yaitu sebagai berikut : a. Para pemilih semakin terlatih untuk saling menerima perbedaan pilihan satu dengan lainnya dalam penentuan ketua partai politik yang pada akhirnya akan semakin memupuk den mendorong terbentuknya jiwa patriot serta melatih terbentuknya karakter negarawan. 419 b. Semakin memperkecil ruang terjadinya kamuflase dukungan politik diantara para pemilih terhadap para calon (kandidat) ketua umum partai politik. c. Mempu menetralisir mentalitas ganda diantara para pemilih. d. Mendorong terpilihnya ketua umum partai politik secara obyektif dan terbuka sehingga dapat memperkecil kemungkinan terjadinya pemilihan ketua partai politik yang transaksional (politik dagang sapi) yang syarat dengan kepentingan-kepentingan. Sementara beberapa implikasi negatif dari sistem pemilihan ketua partai politik secara vooting dengan menggunaka model terbuka adalah sebagai berikut: a. Sistem ini akan nampak secara jelas siapa yang mendukung siapa dan siapa yang tidak mendukung siapa. Dalam kondisi tingginya eskalasi rivalitas diantara para calon ketua umum dalam suatu partai tertentu, tentunya cenderung dapat semakin mempertajam terjadinya disharmonisasi kepentingan sehinga mendorong terjadinya perpecahan di dalam tubuh partai politik. Bahkan dalam kondisi partai politik yang belum mapan dan miskin para pengurus yang memiliki jiwa negarawan tentunya akan membawa kepada suatu situasi munculnya praktik politik saling menyingkirkan alias politik bumi hangus terhadap para lawan kepentingan politiknya. b. Memperbesar gap konflik kepentingan di dalam tubuh partai politik dalam kondisi partai politik yang belum mapan). c. Melanggar asas “LUBER” yaitu Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia. Sistem (model) pemilihan ketua partai politik dengan menggunakan model terbuka tidak dapat memenuhi unsur “kerahasiaan”. Sistem Pemilihan Ketua Partai secara Vooting dengan menggunakan Model Tertutup Sistem pemilihan ketua partai politik secara vooting degan menggunakan model tertutup adalah pemilihan yang dilakukan dengan cara dimana para pemilik suara tidak saling mengetahui pilihan masing-masing diantara meraka.294 Sistem 294 Pada saat dilaksanakannya Musyawarah Nasional Luar Biasa (MUNASLUB) Partai Golongan Karya (GOLKAR) di Nusa Dua Bali, para peserta MUNASLUB terjadi perdebatan sengit mengenai pilihan piihan sistem pemunguta suara yang akan digunakan antara sistem pemugutan suara secara terbuka atau sistem tertutup. Sekretaris Panitia Pengarah Munaslub Partai Golkar Agun Gunandjar Sudarsa mengatakan, tetap berpegang terhadap rancangan yang sudah dipersiapkan oleh panitia, yakni sistem pemilihan tertutup. Menurutnya