AKLIMATISASI SAPI PO DAN SAPI BALI MERESPONS PERUBAHAN CUACA DI KABUPATEN MERAUKE PAPUA HENY VENSYE SAIYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aklimatisasi Sapi PO dan Sapi Bali Merespons Perubahan Cuaca di Kabupaten Merauke Papua adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Desember 2012 Heny Vensye Saiya NRP D151090051 ABSTRACT HENY VENSYE SAIYA. Acclimatization of Ongole Crossbred and Bali Cattle in Response to Weather Changes in Merauke Papua. Under the supervision of BAGUS P. PURWANTO, RUDY PRIYANTO and WASMEN MANALU The objective of this study was to determine the physiological responses and acclimatization of Ongole Crossbred (OC) cattle (Bos indicus) and bali cattle (Bos javanicus) in response to weather changes in Merauke district. The experiment was carried out in Wasur Village II, Merauke district. Eighteen OC cattle and 12 bali cattle, age ranged between 2-5 years were used. In the morning the cattle were removed from the cage and placed in the ranch and in the evening were put back into the cage. Meteorological data were recorded in the experiment environment where cattles were located during 8 am until 4 pm, included dry bulb temperature, wet bulb temperature, wind speed, and solar radiation. Relative humidity (RH) and Temperature Humidity Index (THI) were calculated. The physiological responses (rectal temperature, skin temerature, body temperature, respiration rate, and pulse rate) of OC and bali cattles were monitored every 21 days on April and May. Data were analyzed using the repeated measurement GLM procedure. Simple linear regression procedures was utilized to establish acclimatization ability from each breed of cattle. The different weather between west monsoon on April and east monsoon on May were showed that bali cattles were able to maintain the physiological responses during monsoon changed. Rectal temperature, skin temperature, and respiratory rate data indicated that bali cattles acclimatization with east monsoon (P>0,05), while Ongole Crossbred cattles that should acclimatization with weather changes (P <0,05). Bali cattle have the ability termoregulatory better than PO cattle. Keywords: physiological responses, acclimatization, Ongole Crossbred cattle and bali cattle . RINGKASAN HENY VENSYE SAIYA. Aklimatisasi Sapi PO dan Sapi Bali Merespons Perubahan Cuaca di Kabupaten Merauke Papua. Dibimbing oleh BAGUS P. PURWANTO, RUDY PRIYANTO dan WASMEN MANALU Kegagalan pengembangan ternak di suatu daerah diduga akibat berbagai faktor penghambat, yaitu faktor pakan, manajemen, dan iklim. Ketiga aspek tersebut merupakan pengaruh langsung (direct effect) pada produktivitas ternak, sedangkan aspek geografi, daerah, dan kesehatan ternak merupakan pengaruh tidak langsung (indirect effect). Hasil produksi yang baik dari ternak hanya dapat diperoleh apabila keadaan iklim di tempat yang baru itu mirip dengan daerah asalnya. Untuk itu, ada tiga faktor yang harus diperhatikan, yaitu suhu rata-rata, kelembapan relatif udara setempat, dan curah hujan. Adaptasi atau penyesuaian diri ternak terhadap lingkungan merupakan suatu bentuk atau sifat tingkah laku yang ditujukan untuk bertahan hidup atau melakukan reproduksi dalam suatu lingkungan tertentu. Lingkungan yang tidak baik dapat mengakibatkan perubahan status fisiologis ternak yang disebut stres atau cekaman. Ternak yang terkena stres akan menunjukkan perubahan tingkah laku. Cara ternak untuk mengatasi atau mengurangi stres adalah dengan penyesuaian diri, baik secara genetis maupun fenotipe. Faktor lingkungan yang langsung berpengaruh pada kehidupan ternak adalah iklim. Iklim merupakan faktor penentu ciri khas dan pola hidup dari suatu ternak. Karakterikstik iklim yang unik di Kabupaten Merauke akan memberikan pengaruh pada produksi ternak secara umum dan sapi potong secara khusus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respons fisiologis, pertambahan bobot badan, dan kemampuan aklimatisasi sapi PO dan sapi bali pada kondisi lingkungan di Kabupaten Merauke. Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan acuan untuk seleksi dalam rangka usaha memperbaiki mutu ternak di Kabupaten Merauke, memperoleh ternak-ternak beserta keturunannya yang sudah beradaptasi, dan mampu beradaptasi dengan keadaan iklim di Kabupaten Merauke serta bahan acuan untuk memilih ternak yang cocok untuk didatangkan dari daerah lain yang sama iklimnya. Sampel yang digunakan adalah sapi PO sebanyak 18 ekor (9 jantan dan 9 betina) dan sapi bali berjumlah 12 ekor (1 jantan dan 11 betina). Data yang dikumpulkan mencakup karakteristik wilayah, data pencatatan sapi potong di tempat penelitian 1 tahun terakhir, data cuaca pada saat penelitian, data respons fisiologis ternak, dan data respons produksi ternak. Data tentang unsur cuaca dihitung rataan dan standar deviasi. Pengaruh musim terhadap respons fisiologis sapi PO dan sapi bali dianalisis menggunakan metode pengujian berulang (Repeated Measurement) prosedur GLM. Analisis regresi linear digunakan untuk mengetahui kemampuan aklimatisasi dari setiap bangsa sapi. Status kesehatan dan hormon dianalisis secara deskriptif. Hasil analisis dan pengamatan menunjukkan bahwa berdasarkan nilai THI maka kondisi lingkungan hidup ternak masuk dalam kategori danger. Tetapi hasil respons fisiologis sapi PO dan sapi bali masih dalam kisaran normal. nilai THI ini berdasarkan acuan negara 4 musim yang menjadi tempat asal bangsa sapi Bos taurus. Respons fisiologis berupa suhu rektal, suhu kulit, dan suhu tubuh menunjukkan sapi bali lebih rendah dibandingkan dengan sapi PO. Sebaliknya dengan frekuensi pernapasan. Ini diduga terjadi karena kemampuan sistem homeotermi sapi PO yang sudah cukup baik dengan mengatur pelepasan panas melalui kulit (sweating). Berdasarkan proses aklimatisasi, sapi bali memiliki kemampuan aklimatisasi yang lebih baik dibandingkan dengan sapi PO. Kemampuan ini merupakan hasil dari pengurangan produksi panas, peningkatan kapasitas pelepasan panas ke lingkungan, atau kombinasi keduanya. Pengamatan pertambahan bobot badan sebagai salah satu tolak ukur produktivitas sapi, menunjukkan bahwa ukuran lingkar dada sapi PO mengalami penurunan bila dibandingkan dengan lingkar dada sapi bali yang cenderung naik. Dilihat dari kondisi tubuh yang diwakili dari rataan Body Condition Score (BCS), kondisi tubuh baik sapi PO dan sapi bali dalam keadaan kurus (BCS 2). Hal ini diduga karena pengaruh tidak langsung dari perubahan cuaca terhadap ketersediaan pakan di lapangan dan daya jelajah merumput yang dibatasi. Kata Kunci: respons fisiologis, aklimatisasi, perubahan cuaca, sapi PO, sapi bali © Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB. AKLIMATISASI SAPI PO DAN SAPI BILA MERESPONS PERUBAHAN CUACA DI KABUPATEN MERAUKE PAPUA HENY VENSYE SAIYA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Komang G. Wiryawan HALAMAN PENGESAHAN Judul Tesis : Aklimatisasi Sapi PO dan Sapi Bali Merespons Perubahan Cuaca di Kabupaten Merauke Papua Nama : Heny Vensye Saiya NIM : D151090051 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr Ketua Dr. Ir. Rudy Priyanto Anggota Prof. Ir. Wasmen Manalu, Ph.D Anggota Diketahui Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian: 7 Desember 2012 Tanggal Lulus: PRAKATA Puji Tuhan segala rancangan-Mu indah pada waktunya. Doa dan syukur Penulis kepada Tuhan Yesus atas penyertaanNya selama ini sehingga Penulis dapat menyelesaikan studi dan meraih gelar master dari Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr., selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Rudy Priyanto, dan Prof. Ir. Wasmen Manalu, Ph.D selaku anggota pembimbing, karena dengan sepenuh hati dan penuh kesabaran telah membimbing dan meluangkan waktu selama penyusunan tesis. Prof. Dr.Ir. Komang G. Wiryawan, selaku penguji luar komisi. Bapak Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA, selaku Ketua Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan dan Ibu Dr.Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA yang telah memberi arahan selama kuliah di kampus IPB. Terima kasih tak terhingga kepada orang tua tercinta, Bapak (alm.) Elly Saiya dan Mama Christina Saiya, terima kasih Mama untuk bantuan, doa, kasih sayang, dan pengertiannya selama ini. Mertuaku Mama Beni Karim, terima kasih turut serta menjaga dan merawat cucu. Suamiku Johan, serta anak-anakku tercinta, Vessica Chriselys Benyrta Karim, Javier Ealdian Karim dan Zaviero Kenzo Karim-Saiya, pengertian dan pengorbanan kalian tak akan tergantikan. Adikadikku Eves, Linda, dan Edy Saiya untuk dukungan dan perhatiannya serta temanteman ITP 2009 atas kebersamaan yang penuh makna. Penelitian ini terlaksana juga karena bantuan dari berbagai pihak, untuk itu ungkapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Johanes Gluba Gebze, selaku pemilik peternakan sapi di Wasur; Bapak Hanok Untayana, selaku Kepala Disnak Kabupaten Merauke; Staf Dinas Peternakan; Karyawan peternakan sapi di Wasur: Pak Darso, Adi, dan Nono; mahasiswaku: Ellen, Novi, Peni, Rizal, dan Dian yang membantu selama penelitian. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pada ilmu dan pengetahuan. Bogor, Desember 2012 Heny Vensye Saiya RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Wamena, Papua pada tanggal 30 Desember 1976. Penulis anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak (alm.) Ely Saiya dan Ibu Christina Latumaerissa. Riwayat pendidikan penulis: TK Bernadetha, Merauke 1981-1983, SD Negeri 1 Merauke pada tahun 1983-1989. Sekolah lanjutan tingkat pertama ditempuh pada tahun 1989-1992 di SLTP Negeri 1 Merauke, kemudian dilanjutkan ke SMA Negeri 1 Merauke pada tahun 1992-1995. Penulis diterima di Program Diploma Peternakan IPB pada tahun 1995-1998. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan ke strata satu (S-1) Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2009 penulis diberikan kesempatan oleh Universitas Musamus Merauke untuk menempuh pendidikan strata dua (S-2) ke Sekolah Pascasarjana IPB Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................ x DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xii PENDAHULUAN ....................................................................................... Latar Belakang ......................................................................... Tujuan Penelitian ................................................................................ Manfaat Penelitian .............................................................................. Hipotesis Penelitian ............................................................................ 1 1 2 3 3 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 4 Kondisi Geografis Kabupaten Merauke................................................ 4 Lingkungan Ternak .............................................................................. 5 Aklimatisasi ........................................................................................ 6 Termoregulasi ..................................................................................... 7 Suhu Kulit, Suhu Rektal, dan Suhu Tubuh ........................................... 8 Denyut Jantung . .................................................................................. 9 Respirasi .............................................................................................. 10 Karakteristik Sapi PO dan Sapi Bali .................................................... 11 BAHAN DAN METODE ............................................................................ Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. Bahan Penelitian ................................................................................. Ternak ....................................................................................... Alat dan Perlengkapan ............................................................... Metode ............................................................................................... Tahapan Penelitian dan Model Analisis ...................................... Peubah yang Diamati ................................................................. Prosedur Pengambilan Data ........................................................ Model Analisis ........................................................................... Analisis Data ............................................................................. 14 14 14 14 14 15 15 15 15 17 17 HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 18 Keadaan Cuaca Lokasi Penelitian ....................................................... Respons Fisiologis Ternak pada Musim Barat Bulan April................... Respons Fisiologis Ternak pada Musim Barat Bulan Mei .................... Kemampuan Aklimatisasi Sapi PO dan Sapi Bali ................................ Kondisi Kesehatan Sapi PO dan Sapi Bali............................................ 18 23 26 29 32 SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 40 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 41 LAMPIRAN ................................................................................................ 45 ii DAFTAR TABEL Halaman 1 Data rataan unsur cuaca lingkungan penelitian pukul 08.00-16.00 WIT .. 18 2 Data rataan unsur cuaca lingkungan penelitian pukul 15.00-16.00 WIT .. 22 3 Respons Fisiologis sapi bali dan PO pada musim barat bulan April dan musim timur bulan Mei .................................................................. 24 4 Regresi linear respons fisiologis sapi bali dan sapi PO terhadap suhu udara minggu I, II, III ........................................................................... 30 5 Rataan selisih lingkar dada sapi PO dan sapi bali bulan April dan Mei ...................................................................................................... 36 6 Rataan skor dan persentase BCS sapi PO dan sapi bali ........................... 36 3 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Lokasi titik pengukuran suhu permukaan kulit sapi ................................ 17 2 Tabel Temperature Humidity Index (THI) ............................................. 19 3 Rataan nilai unsur cuaca harian di lingkungan penelitian ....................... 21 4 Rataan suhu udara mulai dari hari 1-21 bulan April dan hari 1-21 bulan Mei. Angka rataan diperoleh dari pengkuran jam 15.0016.00 WIT setiap hari............................................................................. 22 5 Perubahan suhu rektal, kulit, dan tubuh pada bulan April dan Mei ....................................................................................................... 28 6 Perubahan frekuensi pernapasan dan denyut jantung bulan April dan bulan Mei ............................................................................... 29 7 Regresi linier untuk suhu rektal, suhu kulit dan frekuensi pernapasan Sapi PO dan sapi bali selama minggu I bulan April dan Mei .................. 33 8 Regresi linier untuk suhu rektal, suhu kulit dan frekuensi pernapasan Sapi PO dan sapi bali selama minggu I-II bulan April dan Mei ............... 34 9 Regresi linier untuk suhu rektal, suhu kulit dan frekuensi pernapasan Sapi PO dan sapi bali selama minggu I-III bulan April dan Mei ............. 35 10 Perbandingan BCS sapi PO dan sapi bali di tempat penelitian ................ 38 4 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Analisis suhu kulit sapi PO dan bali musim barat bulan April................. 46 2 Analisis suhu kulit sapi PO dan bali musim timur bulan Mei .................. 47 3 Analisis suhu rektal sapi PO dan bali musim barat bulan April ............... 48 4 Analisis suhu rektal sapi PO dan bali musim timur bulan Mei ................ 49 5 Analisis suhu tubuhs PO dan bali musim barat bulan April..................... 50 6 Analisis suhu tubuh sapi PO dan bali musim timur bulan Mei ................ 51 7 Analisis denyut jantung sapi PO dan bali musim barat bulan April ......... 52 8 Analisis denyut jantung sapi PO dan bali musim timur bulan Mei .......... 53 9 Analisis frekuensi pernapasan sapi PO dan bali musim barat bulan April ................................................................................................... 54 10 Analisis frekuensi pernapasan sapi PO dan bali musim timur bulan Mei ..................................................................................................... 55 11 Perkiraan berat badan sapi PO dan sapi bali berdasarkan lingkar dada ... 56 12 Investasi telur cacing pada feses dari sapi PO dan sapi bali.................... 57 13 Kadar hormon kortisol dalam serum darah sapi PO dan sapi bali ............ 58 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kabupaten Merauke memiliki iklim yang sangat tegas antara musim penghujan dan musim kemarau. Berdasarkan pengelompokan iklim menurut Oldeman (1980), wilayah Kabupaten Merauke berada pada zona (Agroclimate Zone C) yang memiliki masa basah antara 5 sampai 6 bulan. Dataran Merauke mempunyai karakteristik iklim yang agak khusus, curah hujan yang terjadi dipengaruhi oleh Angin Muson, baik Muson Barat (Angin Muson Basah) dan Muson Timur (Angin Muson Kering) dan juga dipengaruhi oleh kondisi topografi dan elevasi daerah setempat. Pada saat terjadi angin Muson barat pada bulan Oktober-April, Indonesia mengalami musim penghujan. Sebaliknya pada musim timur umumnya Indonesia akan mengalami musim kering, kecuali pantai barat Sumatera, Sulawesi Tenggara, dan pantai selatan Papua (termasuk Kabupaten Merauke). Di Kabupaten Merauke, Papua, jenis sapi potong yang ada ialah sapi PO (Bos indicus) dan sapi bali (Bos javanicus). Sapi-sapi tersebut didatangkan dari Pulau Jawa dan NTB. Informasi dari Dinas Peternakan Kabupaten Merauke menyatakan bahwa umumnya sapi potong yang ada di Kabupaten Merauke adalah sapi peranakan ongole (PO) dan sapi bali yang masuk pada tahun 1986 dan 1989, seiring dengan berdatangannya transmigran asal Pulau Jawa. Cara pemeliharaan sapi potong pada masyarakat di Kabupaten Merauke sampai saat ini masih bersifat ekstensif. Kondisi dan produksi sapi potong tidak menjadi prioritas utama para peternak. Pada umumnya, ternak dapat hidup di lingkungan yang memiliki karakteristik berbeda-beda. Perubahan lokasi dari asal ternak tersebut menyebabkan terjadinya variasi akibat tidak samanya kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lokasi baru. Respons ternak terhadap kondisi lingkungan yang ada akan berpengaruh pada produktivitas ternak terutama yang berkaitan dengan pertambahan bobot badan ternak. Kegagalan pengembangan ternak di suatu daerah diduga akibat berbagai faktor penghambat, yaitu faktor pakan, manajemen, dan iklim. Ketiga aspek 2 tersebut merupakan pengaruh langsung (direct effect) pada produktivitas ternak, sedangkan aspek geografi, daerah, dan kesehatan ternak merupakan pengaruh tidak langsung (indirect effect). Hasil produksi yang baik dari ternak hanya dapat diperoleh apabila keadaan iklim di tempat yang baru itu mirip dengan daerah asalnya. Untuk itu, ada tiga faktor yang harus diperhatikan, yaitu suhu rata-rata, kelembapan relatif udara setempat, dan curah hujan. Perpindahan ternak dari suatu daerah ke daerah lain sering tidak memperhatikan kondisi lingkungan asalnya. Kegagalan tersebut pada intinya tidak memperhatikan aspek fisiologis iklim ternak tersebut. Aspek “fisilogis iklim” ternak perlu untuk diketahui sebelum ternak dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Pada dasarnya di lingkungan baru tersebut ternak mampu beradaptasi, baik melalui adaptasi alamiah atau adaptasi tiruan. Adaptasi di tempat yang baru meliputi adaptasi morfologi, fisiologi, dan tingkah laku. Mekanisme dasar proses adaptasi dimulai dengan mekanisme homeostasis melalui pengaturan cairan tubuh, pengaturan suhu tubuh, pengaturan kardiovaskuler, dan ritme biologis. Adanya empat mekanisme pengaturan ini disebabkan oleh hewan selalu dihadapkan pada dua tipe lingkungan, yakni lingkungan di luar tubuh (external environment) dan lingkungan di dalam tubuh (internal environment) (Soeharsono 2008). Faktor cuaca turut mempengaruhi produksi sapi potong karena dapat menyebabkan perubahan keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi, dan keseimbangan tingkah laku ternak (Esmay 1978). Karakterikstik iklim yang unik di Kabupaten Merauke akan memberikan pengaruh pada produksi ternak secara umum dan sapi potong secara khusus. Berdasarkan informasi tersebut perlu diteliti respons fisiologis dan aklimatisasi sapi PO dan sapi bali yang ada di Kabupaten Merauke dalam merespons terjadinya perubahan cuaca. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respons fisiologis, pertambahan bobot badan, dan kemampuan aklimatisasi sapi PO dan sapi bali pada kondisi lingkungan di Kabupaten Merauke 3 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan acuan untuk seleksi dalam rangka usaha memperbaiki mutu ternak di Kabupaten Merauke, memperoleh ternak-ternak beserta keturunannya yang sudah beradaptasi, dan mampu beradaptasi dengan keadaan iklim di Kabupaten Merauke serta bahan acuan untuk memilih ternak yang cocok untuk didatangkan dari daerah lain yang sama iklimnya. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah perubahan cuaca menyebabkan respons pada kondisi fisiologis, pertambahan bobot badan, dan kemampuan aklimatisasi sapi PO dan sapi bali. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Geografis Kabupaten Merauke Kabupaten Merauke adalah kabupaten induk dari 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Mappi, Asmat, dan Bouven Digul, hasil pemekaran pada tahun 2001. Luas wilayah Kabupaten Merauke adalah 45,071 km² (11% dari wilayah Provinsi Papua) dengan jumlah penduduk 192.383 jiwa. Kabupaten Merauke terletak di ujung timur pantai selatan Papua pada koordinat 137º40’-141º0’ BT dan 6º30’9º10’ LS. Di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Mappi dan Kabupaten Bouven Digul, sebelah timur berbatasan dengan Papua New Guinea (PNG), di sebelah selatan dan barat berbatasan dengan Laut Arafura. Kondisi kontur wilayah berdataran rendah dan berawa, kemiringan 0-3 dengan ketinggian 0-20 meter dpl. Suhu udara rata-rata pada tahun 2008 berkisar pada 27.4 oC. Suhu udara maksimum 31.9 oC dan suhu udara minimum 23.5 oC. Kabupaten Merauke memiliki kelembapan udara yang cukup tinggi, yaitu 81.2%, dengan curah hujan 1 963 mm dan jumlah hari hujan 164 hari. Di daerah pantai, angin bertiup cukup kencang dengan kecepatan sekitar 4-5 m/det dan di pedalaman berkisar 2 m/det. Penyinaran matahari rata–rata di Merauke adalah 5.5 jam/hari pada bulan Juli dan yang terbesar 8.43 jam/hari pada bulan September. Pemerintah Kabupaten Merauke melalui Dinas Peternakan sejak tahun 2008 menetapkan suatu program peternakan, yaitu “Ternak Bangkit”. Tujuan program ini adalah untuk mendukung Kabupaten Merauke sebagai sumber lumbung pangan di Indonesia bagian timur melalui Program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2008. Pada bulan Februari 2010, pemerintah pusat menetapkan Kabupaten Merauke sebagai salah satu daerah Food Estate atau kawasan pertanian pangan luas yang berbentuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Komoditas subsektor peternakan yang menjadi andalan di Kabupaten Merauke adalah sapi potong. Hal ini disebabkan karena Merauke juga berperan sebagai penyuplai daging ke beberapa kabupaten lain di Papua. Wilayah yang cukup luas memungkinkan untuk pengembangan peternakan berskala besar. Dengan lahan yang luas tersebar di berbagai distrik, maka rencana pengembangan 5 ke depan subsektor peternakan adalah potensi lahan pengembangan seluas 577 031 ha, daya dukung lahan : 415 462 ha, dan prospek pengembangan ternak : 397 710.37 ST (BPS 2010). Lingkungan Ternak Ternak sapi mendapatkan panas dari aktivitas metabolik dan lingkungan, dan kehilangan panas melalui cara konveksi, radiasi, konduksi, dan evaporasi. Lingkungan ternak adalah semua faktor fisik, kimia, biologi, dan sosial yang ada di sekitar ternak. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah iklim (suhu, cahaya, dan humiditas), tingkah laku ternak, penyebab penyakit, dan pengelolaan ternak (kandang, pemberian makan, minum, dan pemeliharaan). Adaptasi atau penyesuaian diri ternak terhadap lingkungan merupakan suatu bentuk atau sifat tingkah laku yang ditujukan untuk bertahan hidup atau melakukan reproduksi dalam suatu lingkungan tertentu. Lingkungan yang tidak baik dapat mengakibatkan perubahan status fisiologis ternak yang disebut stres atau cekaman. Ternak yang terkena stres akan menunjukkan perubahan tingkah laku. Cara ternak untuk mengatasi atau mengurangi stres adalah dengan penyesuaian diri, baik secara genetis maupun fenotipe. Faktor penting yang mempengaruhi kemampuan termoregulasi ternak sapi dalam situasi panas ialah bangsa dan tantangan iklim. Hewan ternak mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim. Hasil penelitian Beatty et al. (2006) menunjukkan bahwa sapi bangsa Bos taurus mengalami perubahan fisiologis yang berpengaruh nyata selama terpapar matahari dibandingkan sapi bangsa Bos indicus. Keturunan bangsa sapi Pernakan Ongole (Bos indicus) diketahui sudah lebih toleran panas daripada keturunan lainnya. Faktor lingkungan yang langsung berpengaruh pada kehidupan ternak adalah iklim. Iklim merupakan faktor penentu ciri khas dan pola hidup dari suatu ternak. Misalnya, ternak pada daerah tropis tidak sama dengan ternak yang berada di daerah subtropis. Iklim sangat berpengaruh pada hewan ternak. Beberapa ahli mempelajari pengaruh iklim pada berbagai fenotipe, antara lain bentuk tubuh (Hukum Bergmann), insulasi pelindung atau kulit dan bulu (Hukum Wilson), warna (Hukum Gloger), tubuh bagian dalam/internal (Hukum Claude Bernard). 6 Pengaruh iklim pada produksi ternak menurut Valtorta (2006) dapat dilihat pada empat hal, yaitu: a) pengaruh pada ketersediaan dan harga bijian pakan ternak, b) pengaruh pada produktivitas dan kualitas pastura dan hijauan pakan ternak, c) perubahan pada penyebaran hama dan penyakit ternak, dan d) pengaruh langsung dari cuaca dan kondisi yang ekstrim pada kesehatan, pertumbuhan, dan reproduksi ternak. Temperatur lingkungan mempengaruhi penggunaan energi yang diperoleh ternak dari makanan, produksi panas, dan pembuangan panas hewan ternak ke lingkungannya. Radiasi sinar matahari pada hewan ternak dapat menimbulkan dua bentuk gangguan umum, yaitu mutasi gen oleh radiasi kosmik dan kerusakan sel kulit oleh sinar ultraviolet pada proses 'sunburn'. Menurut Williamson dan Payne (1993), pengaruh iklim pada produktivitas ternak di daerah-daerah beriklim tropis secara langsung terlihat pada perilaku merumput ternak-ternak yang digembalakan, asupan dan penggunaan pakan, pertumbuhan, produksi susu, dan reproduksi. Faktor lingkungan juga berpengaruh pada tingkah laku ternak. Bila suhu lingkungan berada di atas atau di bawah suhu nyaman, untuk mempertahankan suhu tubuhnya ternak akan mengurangi atau meningkatkan laju metabolisme. Williamson dan Payne (1993) menjelaskan, sapi yang berada di daerah tropis yang dipelihara pada suhu lingkungan di atas 27°C, mekanisme pengaturan panas aktif dan laju pernapasan dan penguapan akan meningkat. Beban panas yang ada pada lingkungan ternak digambarkan menggunakan THI karena termoregulasi pada sapi dipengaruhi oleh suhu udara dan kelembapan relatif. Aklimatisasi Salah satu istilah untuk menggambarkan kemampuan ternak merespons kondisi lingkungan yang berubah adalah aklimatisasi. Definisi aklimatisasi menurut Bligh (1976) adalah suatu proses ketika hewan beradaptasi terhadap beberapa stressor di dalam lingkungan alamnya. Aklimatisasi menurut Bernabucci et al. (2010) adalah merupakan proses perubahan fisiologis atau tingkah laku yang terjadi dalam masa hidup suatu organisme dalam merespons perubahan iklim alam (misalnya musiman atau geografis). Fenomena perubahan fisiologis atau biokimia terjadi dalam kehidupan individu hewan dalam kurun waktu yang lebih 7 cepat, yang dihasilkan dari paparan di lingkungan yang baru disebut juga sebagai aklimatisasi (Willmer et al. 2005). Aklimatisasi juga merupakan kompensasi fungsional untuk merespons faktor lingkungan yang kompleks, seperti perubahan musim atau iklim selama periode beberapa hari sampai beberapa minggu (Gaughan et al. 2009). Unsur fisik lingkungan yang sangat penting dalam terjadinya stres pada ternak adalah suhu udara. Lingkungan yang panas telah terbukti menyebabkan perubahan fase, peningkatan amplitudo, dan peningkatan kemampuan dari ritme diurnal (Hahn 1999). Aklimatisasi stress panas terjadi ketika hewan, sebagai konsekuensi dari paparan secara berulang atau permanen pada lingkungan yang lebih panas, dapat mengembangkan kualitas fungsional, struktural, dan tingkah laku yang meningkatkan kemampuannya untuk menahan lingkungan panas tanpa kesulitan (McDowell 1972). Proses terjadinya aklimatisasi memerlukan waktu beberapa hari sampai beberapa minggu dan melibatkan perubahan sinyal hormonal yang mempengaruhi kemampuan merespons jaringan target terhadap rangsangan lingkungan (Bernabucci et al. 2010). Tingkat aklimatisasi terhadap stres panas bervariasi antara bangsa dalam spesies yang sama dan ini dapat mungkin terjadi karena sapi Bos indicus dan Bos taurus telah berevolusi dalam iklim yang berbeda (Hansen 2004). Hahn (1999) menemukan bahwa aklimatisasi fisiologis terhadap kondisi suhu tinggi tercermin pada siang hari dengan mengamati variasi suhu tubuh pada 0.1 ºC -0.4 ºC per hari. Termoregulasi Proses mempertahankan suhu tubuh dikenal dengan proses termoregulasi atau pengaturan panas. Proses ini akan aktif bila sapi mulai merasa tidak nyaman. Proses termoregulasi pada prinsipnya adalah proses keseimbangan panas antara produksi panas dan pelepasan panas. Pada kondisi produksi panas atau beban panas lebih besar, sapi berusaha melepas panas sebanyak-banyaknya (Yousef 1985). 8 Esmay (1982) menyatakan bahwa termoregulasi adalah pengaturan suhu tubuh yang bergantung pada produksi panas melalui metabolisme dan pelepasan panas tersebut ke lingkungan. Panas adalah bentuk energi yang ditransmisikan dari suatu tubuh ke yang lainnya karena adanya perbedaan temperatur. Temperatur mengacu pada kemampuan tubuh untuk menyerap panas. Energi didefinisikan sebagai kapasitas untuk melakukan kerja (Esmay1982). Salah satu cara mengurangi kehilangan panas adalah dengan mengurangi evaporasi (Esmay 1982). Produksi panas diatur oleh mekanisme seperti menggigil, pergantian pada posisi otot, dan sekresi kelenjar endokrin yang meningkatkan produksi panas. Produksi panas metabolis dihasilkan dari energi kimia bahan makanan yang diubah menjadi energi panas. Keseimbangan panas menurut Williamson dan Payne (1993) dipengaruhi oleh produksi panas metabolik (produksi panas basal, panas dari pencernaan, panas dari aktivitas ternak, naiknya metabolisme untuk proses produksi), panas yang hilang melalui evaporasi (kulit dan pernapasan), dan panas yang hilang atau didapat dari makanan atau minuman, konduksi, konveksi, dan radiasi. Respons fisiologis ternak terhadap beban panas termal sangat dinamis dan kompleks, yang melibatkan unsur genotipe, umur, kondisi tubuh, gizi, dan aspek status kesehatan (Hahn 1999). Ternak mengintegrasikan kondisi lingkungan dan kemudian merespons secara adaptif. Berbagai langkah dapat digunakan untuk mengindikasikan stres panas, antara lain: observasi perilaku, laju pertambahan bobot badan, konsumsi harian pakan, sifat karkas, fungsi kekebalan tubuh, suhu tubuh, dan laju respirasi. Suhu Kulit, Suhu Rektal, dan Suhu Tubuh Suhu rektal ternak dapat digunakan mewakili suhu tubuh karena suhu rektum merupakan suhu yang optimal. Suhu rektal pada ternak dipengaruhi beberapa faktor, yaitu temperatur lingkungan, aktivitas, pakan, minuman, dan pencernaan (Duke’s 1995). Suhu rektal merupakan indikator keseimbangan termal dan mungkin efektif dalam mengukur kerasnya panas lingkungan (Silanikove 2000). 9 Lokasi yang biasa digunakan untuk pengukuran suhu rektal adalah rektum, karena cukup mewakili dan kondisinya stabil. Menurut Weeth et al. (2008), temperatur rektal dan kulit pada siang hari meningkat akibat dehidrasi, dan frekuensi respirasi dan temperatur tubuh berfluktuasi lebih besar pada keadaan dehidrasi. Walaupun temperatur rektal tidak mengindikasikan temperatur tubuh pada hewan, rektum adalah tempat yang tepat untuk menginformasikan temperatur tubuh. Suhu rektal ternak yang berumur di atas satu tahun berkisar 37.8-39.2 °C dan ternak di bawah satu tahun berkisar 38.6-9.8 °C. Suhu tubuh menunjukkan kemampuan tubuh untuk melepas dan menerima panas (Esmay 1982). Pengukuran suhu tubuh pada dasarnya sulit dilakukan karena pengukuran suhu tubuh merupakan resultan dari berbagai pengukuran di berbagai tempat (Schmidt-Nielsen 1997). Suhu tubuh hewan homeotermis adalah relatif seragam dan konstan, tetapi di beberapa bagian tubuh memiliki temperatur yang berbeda. Variasi suhu dari bagian ke bagian lainnya dalam tubuh disebabkan oleh perbedaan dalam insulasi. Menurut Robertshaw (1984), suhu tubuh atau suhu inti (core temperature) dapat dihitung pada beberapa lokasi. Menurut Kelly et al. (1984), suhu tubuh yang diukur dengan termometer klinis bukan indikasi dari jumlah total yang diproduksi, tetapi hanya merefleksikan keseimbangan antara suhu yang diproduksi dengan suhu yang dilepaskan. Suhu tubuh hewan hoemotermis cenderung lebih tinggi di sore menjelang malam hari daripada pagi hari. Pada banyak spesies, penyimpangan suhu tubuh sebesar 5-7 °C dapat menyebabkan kematian, dan setidaknya kinerja produktif menurun (Gaughan et al. 2009). Denyut Jantung Jantung adalah struktur otot (muskuler) berongga yang bentuknya menyerupai kerucut dan siklus jantung adalah urutan peristiwa yang terjadi selama suatu denyut lengkap. Faktor fisiologis yang mempengaruhi denyut jantung pada hewan normal adalah spesies, ukuran, umur, kondisi fisik, jenis kelamin, tahap kebuntingan, kelahiran, tahap laktasi, rangsangan, olah raga, posisi tubuh, aktivitas sistem pencernaan, ruminasi, dan temperatur lingkungan 10 (Frandson 1992). Menurut Ganong (1983), faktor yang mempengaruhi denyut jantung adalah temperatur lingkungan, pakan, aktivitas latihan otot, dan tidur. Menurut Schmidt-Nielsen (1997), jantung memiliki suatu kapasitas yang kompleks untuk berkontraksi tanpa stimulus eksternal. Cara untuk mendeteksi denyut jantung adalah dengan meraba arteri menggunakan jari hingga denyutan terasa atau pada bagian dada kiri atas (dekat ketiak) dekat tulang axilla sebelah kiri dengan menggunakan stetoskop. Kisaran denyut jantung sapi sekitar 60-70 kali/menit (Smith dan Kamping 1988). Respirasi Respirasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu respons fisiologis akibat perubahan temperatur lingkungan, suhu tubuh, ukuran tubuh, dan keadaan bunting (Smith 1988). Banyak penelitian telah dilakukan mendukung adanya korelasi positif antara laju respirasi dan suhu udara. Selain itu, peningkatan laju respirasi telah dikaitkan dengan peningkatan radiasi matahari, meningkatnya kelembapan relatif, dan menurunnya kecepatan angin (Eigenberg et al. 2005). Respirasi merupakan bentuk perpindahan panas dari tubuh secara konveksi. Udara yang dihirup dekat hubungannya dengan suhu tubuh pada saat udara mencapai trakea yang disebabkan karena pertukaran panas dan kelembapan (Yousef 1985). Pada kebanyakan mamalia, respirasi merupakan jalur penting untuk transfer panas pada berbagai kondisi lingkungan (Eigenberg et al. 2000) Dua fungsi utama sistem respirasi adalah menyediakan oksigen untuk darah, dan mengambil karbon dioksida dari dalam darah. Fungsi-fungsi yang bersifat sekunder meliputi membantu dalam regulasi keasaman cairan ekstraseluler dalam tubuh, membantu pengendalian suhu, eliminasi air, dan pembentukan suara. Sistem respirasi (pada alveolus) dapat mengatur kelembapan dan temperatur udara yang masuk (dingin atau panas) agar sesuai dengan suhu tubuh. Sistem respirasi terdiri atas paru dan saluran-saluran yang memungkinkan udara dapat mencapai dan meninggalkan paru (Frandson 1992). Pusat pengaturan respirasi pada burung dan mamalia adalah di medula yang sensitif terhadap perubahan pH, temperatur darah, dan faktor-faktor lain (Duke 1977). Medula adalah perpanjangan dari otak yang terletak sepanjang ruas tulang belakang (Esmay 1982). 11 Aktivitas respirasi ditandai dengan pergerakan tulang rusuk, tulang dada, dan perut (merespons kontraksi paru-paru dan pergerakan diafragma). Observasi aktivitas respirasi lebih diutamakan saat ternak dalam posisi berdiri, karena posisi berbaring akan mempengaruhi respirasi terlebih lagi pada ternak yang sedang sakit. Pengamatan frekuensi respirasi dengan cara berdiri pada salah satu sisi ternak, lalu mengamati daerah dada dan perut. Disarankan untuk mengamati ternak dari kedua sisi, untuk mengetahui kemiripan pergerakan kedua sisi (Kelly et al. 1984). Mekanisme respirasi dikontrol di medula yang sensitif terhadap kadar CO2 pada darah. Jika tekanan meningkat sedikit, pernapasan menjadi lebih dalam dan cepat (Esmay 1982). Peningkatan frekuensi respirasi terjadi ketika ada peningkatan permintaan oksigen, yaitu setelah olah raga, terekspos oleh suhu lingkungan, dan kelembapan relatif yang tinggi, dan kegemukan (Kelly 1984). Respirasi pada masing-masing jenis hewan berbeda. Ternak sapi mempunyai kisaran respirasi sekitar 24-42 (Smith dan Kamping 1988). Mengukur laju respirasi adalah hal yang paling mudah diakses dan pendekatan termudah untuk mengevaluasi tingkat stres panas pada hewan ternak. Pada ternak, tingkat stres rendah: 40-60 kali/menit, menengah tinggi: 60-80 kali/menit, tinggi: 80-120 kali/menit, dan stres berat: di atas 150 kali/menit. Saat laju respirasi mencapai 160 kali/menit atau lebih tinggi, harus diberikan pertimbangan tindakan darurat untuk mengurangi beban panas yang berlebihan (misalnya membasahi hewan). Pada cuaca musim panas, bangsa sapi Bos indicus (zebu) memiliki kemampuan mempertahankan laju pernapasan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan sapi bangsa Bos taurus. Biasanya, laju pernapasan yang rendah pada ternak di bawah cuaca panas mengidentifikasi ternak tersebut pada situasi ketidaknyamanan yang lebih rendah. Karakteristik Sapi PO dan Sapi bali Tingkat adaptasi dari suatu bangsa ternak akan mempengaruhi kemampuan ternak tersebut dalam menghadapi cekaman lingkungan yang dipengaruhi oleh unsur-unsur iklim atau cuaca. Perbedaan bangsa ada pada kemampuan adaptasi 12 genetik. Genotipe mempengaruhi karakteristik fisiologis, biokomia, dan perilaku neurokimia hewan, yang semuanya menentukan bagaimana hewan dapat menahan stress yang terkait dengan cuaca (Williamson dan Payne 1993). Ternak yang telah berevolusi untuk bertahan hidup dalam kondisi buruk umumnya memiliki karakteristik berikut: resistensi yang tinggi terhadap stres, tingkat metabolisme rendah, fekunditas rendah, masa hidup panjang, perbedaan perilaku, maturitas lambat, ukuran tubuh dewasa lebih kecil, dan laju perkembangan lambat (Gauhgan 2009). Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan atau penggunaan ternak (bangsa indigenous) yang terbiasa dengan iklim buruk akan memiliki produktivitas lebih rendah daripada ternak yang di iklim kurang cekaman. Di banyak negara berkembang yang terletak di daerah tropis, perfomans reproduksi sapi yang buruk (baik bangsa indigenous dan impor), adalah hasil dari kombinasi genetika, manajemen, dan faktor lingkungan. Bergantung pada lokasi, perubahan iklim dapat memperbaiki lingkungan setempat atau memiliki dampak negatif besar. Sapi PO adalah bangsa sapi hasil persilangan antara pejantan sapi Sumba Ongole (SO) dengan sapi betina lokal di Jawa yang berwarna putih. Saat ini, sapi PO yang murni mulai sulit ditemukan karena telah banyak disilangkan dengan sapi Brahman sehingga sapi PO diartikan sebagai sapi lokal berwarna putih (keabu-abuan), berkelasa dan gelambir. Sapi PO terkenal sebagai sapi pedaging dan sapi pekerja, mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perbedaan kondisi lingkungan, memiliki tenaga yang kuat dan aktivitas reproduksi induknya cepat kembali normal setelah beranak, dan jantannya memiliki kualitas semen yang baik (Affandhy et al. 2002). Sapi PO juga menunjukkan keunggulan sapi tropis, yaitu daya adaptasi terhadap iklim tropis yang tinggi, tahan terhadap panas, tahan terhadap gangguan parasit, seperti gigitan nyamuk dan caplak, di samping itu juga menunjukkan toleransi yang baik terhadap pakan yang mengandung serat kasar tinggi. Dalam kondisi iklim panas, hasil penelitian menunjukkan adaptasi genetik sapi bangsa Bos indicus memungkinkan mereka untuk memiliki laju respirasi dan suhu rektal yang lebih rendah dibandingkan dengan sapi bangsa Bos taurus. 13 Sapi bali adalah bangsa sapi potong lokal asli Indonesia hasil domestikasi dari banteng (Bos-bibos banteng) yang telah dijinakkan berabad-abad yang lalu (Hardjosubroto dan Astuti 1994). Penyebaran sapi bali telah meluas hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Karakteristik lain yang harus dipenuhi dari ternak sapi bali murni, yaitu warna putih pada bagian belakang paha, pinggiran bibir atas, dan pada paha kaki bawah mulai tarsus dan carpus sampai batas pinggir atas kuku, bulu pada ujung ekor hitam, bulu pada bagian dalam telinga putih, terdapat garis hitam yang jelas pada bagian atas punggung, bentuk tanduk pada jantan yang paling ideal disebut bentuk tanduk silak congklok, yaitu jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar lalu membengkok ke atas, kemudian pada ujungnya membengkok sedikit keluar. Bentuk tanduk yang ideal pada betina disebut manggul gangsa, yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi arah ke belakang sedikit melengkung ke bawah dan pada ujungnya sedikit mengarah ke bawah dan ke dalam, tanduk ini berwarna hitam (Hardjosubroto, 1994). Sapi bali memiliki pola warna bulu yang unik dan menarik, yaitu warna bulu pada ternak jantan berbeda dari betinanya sehingga termasuk hewan dimorfisme seks. Pada umunya, bulu sapi bali berwarna merah keemasan. Sapi bali betina dan sapi jantan muda berwarna merah bata kecokelatan, namun sapi bali jantan berubah menjadi warna hitam sejak umur 1,5 dan menjadi hitam mulus pada umur 3 tahun. Bulu sapi bali dapat pendek-pendek, halus, dan mengkilap. Lebih lanjut disebutkan bahwa sapi bali mempunyai angka reproduksi yang tinggi, bobot karkas tinggi, mudah digemukkan, dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa faktor genetik ternak menentukan kemampuan yang dimiliki oleh seekor ternak, sedangkan faktor lingkungan memberikan kesempatan kepada ternak untuk menampilkan kemampuannya. Seekor ternak tidak akan menunjukkan penampilan yang baik apabila tidak didukung oleh lingkungan yang baik tempat ternak hidup atau dipelihara, sebaliknya lingkungan yang baik tidak menjamin penampilan apabila ternak tidak memiliki mutu genetik yang baik. 14 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari 2011 sampai Agustus 2011. Lokasi penelitian adalah peternakan sapi rakyat di Kampung Wasur II Distrik Merauke, Kabupaten Merauke. Analisis investasi cacing pada feses dilakukan di laboratorium Dinas Peternakan Kabupaten Merauke. Analisis preparasi sampel darah untuk analisis hormon kortisol dengan metode RIA dilakukan di Laboratorium Fisiologi, FKH IPB dan pembacaan radioaktivitas sampel dilakukan di Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor. Bahan Penelitian Ternak Ternak yang digunakan adalah kelompok sapi yang sudah lama ada di Kabupaten Merauke, yaitu sapi PO dan sapi bali yang berada di peternakan sapi rakyat di Kampung Wasur II Distrik Merauke. Dalam penelitian ini telah diamati sapi PO sebanyak 18 ekor (9 jantan dan 9 betina) dan sapi bali sebanyak 12 ekor (1 jantan dan 11 betina). Kisaran umur sapi-sapi tersebut antara 2-5 tahun. Sapisapi tersebut pada pagi hari dikeluarkan dari kandang dan ditempatkan di dalam ranch dan sore hari dimasukkan kembali ke dalam kandang. Alat dan Perlengkapan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah anemometer digital (TAYLOR-Roschest, New York), termometer bola basah dan bola kering, termometer rektal, termometer suhu kulit digital (Digital Surface Temperatur)(Anritsu HI-2000, Tokyo), stetoskop, stopwatch, dan lux meter (EXTEC, Cina) sebagai alat pengukur intensitas cahaya matahari. Kandang jepit sebanyak 2 unit digunakan sebagai tempat untuk memasukkan ternak selama pengukuran berlangsung. 15 Metode Tahapan Penelitian dan Model Analisis Data yang dikumpulkan mencakup data sekunder dan data primer. Data sekunder meliputi: 1) karakteristik wilayah berupa data iklim dan topografi dan 2) data pencatatan sapi potong di tempat penelitian 1 tahun terakhir. Data primer meliputi: 1) data cuaca pada saat penelitian, 2) data respons fisiologis ternak, dan 3) data respons produksi ternak. Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini meliputi: 1. Kondisi cuaca, meliputi: suhu, RH, kecepatan angin, THI, dan intensitas radiasi cahaya matahari 2. Respons fisiologis sapi PO dan sapi bali, meliputi: denyut jantung, frekuensi respirasi, suhu rektal, suhu permukaan kulit, dan suhu tubuh. 3. Performans sapi PO dan sapi bali meliputi: pengukuran lingkar dada dan kondisi ternak (BCS, skor 1 sampai 5) 4. Pemeriksaan hormon 5. Pemeriksaan status kesehatan (investasi caplak, lalat, dan telur cacing dalam feses) Prosedur Pengambilan Data Pengamatan peubah kondisi cuaca (suhu udara, kelembapan, kecepatan angin, dan intensitas radiasi cahaya matahari) didapat dengan mengukur dan menghitung unsur cuaca setiap jam mulai dari pukul 08.00 sampai 16.00 WIT. Pengukuran unsur cuaca tahap pertama dilakukan pada bulan April 2011, mewakili musim barat dan tahap kedua bulan Mei 2011 mewakili musim timur. Kedua bulan ini mewakili kondisi perubahan musim yang terjadi dan perbedaan tingkat curah hujan yang tinggi. Suhu dan kelembapan udara diukur dengan alat termometer bola basah danbola kering. Kecepatan angin diukur dengan anemometer digital yang dihidupkan selama lima belas menit pada setiap pengamatan. Intensitas radiasi cahaya matahari diamati dengan mencatat angka yang tertera pada lux meter. 16 Temperature humidity index (THI) dihitung dengan rumus berikut (Mader et al. 2006): THI = ( 0.8 x Tdb ) + [( RH / 100 ) x ( Tdb – 14.4 )] + 46.4 Keterangan : Tdb = dry bulb temperature (°C) RH = Relative Humidity (%) Pengukuran respons fisiologis ternak (denyut jantung, frekuensi pernapasan, suhu permukaan kulit, suhu rektal, dan suhu tubuh) dilakukan sebanyak 1 kali, yaitu pada pukul 15.00. Waktu pengamatan selama 21 hari pada bulan April dan 21 hari bulan Mei. Denyut jantung. Pengukuran denyut jantung menggunakan stetoskop dilakukan dengan mengukur jumlah detakan di bagian dada kiri atas, dekat tulang axilla sebelah kiri (dekat ketiak). Penghitungan denyut jantung dengan cara menghitung berapa waktu yang dibutuhkan untuk 10 kali denyutan. Frekuensi respirasi. Diukur dengan cara menghitung berapa waktu yang dibutuhkan untuk 10 kali gerakan bagian antara daerah rusuk terakhir dan flank. Suhu permukaan kulit (Sk) diukur menggunakan alat Digital Surface Temperatur. Lokasi pengukuran di empat titik, yaitu di bagian punggung tepat di belakang pundak (A), bagian dada tepat di belakang ketiak (B), tungkai kaki depan bagian atas (C), dan tungkai kaki depan bagian bawah (metacarpus) (D). Rataan suhu permukaan kulit dihitung berdasarkan rumus McLean et al. (1984): Sk = 0,25 (A + B) + 0,32 C + 0,18 D Suhu rektal (Sr) diukur menggunakan termometer rektal digital dengan cara memasukkan termometer ke dalam rektum sedalam ±8 cm. Suhu tubuh (St) dihitung berdasarkan rumus McLean et al. (1984) : St = 0,86 Sr + 0,14 Sk Pengukuran lingkar dada dan pertambahan bobot badan dilakukan pada hari pertama pengamatan dan hari terakhir pengamatan setiap bulan pengamatan. Pengukuran lingkar dada dilakukan sebelum ternak dilepas ke padang penggembalaan. 17 A B C D Gambar 1 Lokasi titik pengukuran suhu permukaan kulit sapi (Sumber: dokumentasi pribadi) Model Analisis Data tentang unsur cuaca (suhu, kelembapan, kecepatan angin, dan intensitas radiasi cahaya matahari) dihitung rataan dan standar deviasi. Pengaruh antara musim hujan dan musim panas pada respons fisiologis ternak sapi PO dan sapi bali dianalisis menggunakan metode pengujian berulang (Repeated Measurement) prosedur GLM (Littell et al. 1998). Analisis regresi linear digunakan untuk mengetahui kemampuan aklimatisasi dari setiap bangsa sapi. Status kesehatan dan hormon dianalisis secara deskriptif. Analisis Data Data unsur cuaca dan respons fisiologis dianalisis dengan menggunakan nilai rata-rata, prosedur pengujian berulang (Repeated Measuremen), dan regresi. 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Cuaca Lokasi Penelitian Perubahan unsur cuaca harian yang terjadi selama penelitian berlangsung sangat fluktuatif. Hasil pengamatan rataan unsur cuaca pada bulan April dan Mei menunjukkan bahwa nilai kelembapan relatif berbeda jauh di antara kedua bulan tersebut. Data unsur curah hujan yang diperoleh dari BMKG Stasiun Mopah Merauke, menunjukkan perbedaan yang sangat ekstrim antara bulan April (352.9 mm) dan Mei (51.5 mm). Hal ini menunjukkan ada keterkaitan antara curah hujan dan kelembapan. Williamson dan Payne (1993) menuliskan bahwa di daerah yang curah hujannya lebih tinggi, hijauan yang tumbuh umumnya akan mengandung kadar air yang lebih tinggi pula sehingga dapat menurunkan konsumsi bahan kering oleh ternak. Selama musim barat di bulan April, rata-rata suhu udara dan kecepatan angin rendah sedangkan kelembapan udara dan intensitas radiasi cahaya matahari tinggi jika dibandingkan musim panas bulan Mei (Tabel 1). Tabel 1 Data rataan unsur cuaca lingkungan penelitian pukul 08.00-16.00 WIT Waktu Unsur cuaca lingkungan Pengamatan T (oC) RH(%) Va(m/s) Im(lux) THI Bulan April 29.30±2.45 78.18±9.18 1.45±0.95 48,154.43±8,315.95 81.34±3.11 Bulan Mei 29.63±1.84 73.09±9.39 2.30±1.22 47,331.91±9,409.55 81.14±2.40 o Keterangan : T ( C) = suhu lingkungan dalam derajat Celcius; RH(%) = kelembapan relatif dalam persentase; Va(m/s) = kecepatan angin dalam satuan meter per detik; Im (lux) = Intensitas radiasi cahaya matahari dalam lux; THI = Temperature Humidity Index Data yang diperoleh menunjukkan saat THI tinggi maka kelembapan udara dan radiasi matahari tinggi, namun kecepatan angin rendah. Nilai THI di lingkungan penelitian pada bulan April dan Mei berada pada danger zone bagi ternak yang ditunjukkan dari hasil THI yang tinggi (Gambar 2). Perlu diperhatikan bahwa nilai THI ini berdasarkan acuan negara 4 musim yang menjadi tempat asal bangsa sapi Bos taurus. Kemungkinan besar untuk sapi-sapi lokal tropik, toleransi terhadap nilai THI akan lebih besar lagi. 19 Pada kondisi THI ini ternak telah mendapat cekaman panas yang tinggi, tetapi respons fisiologis sapi PO dan bali masih dalam kisaran normal. Hal ini dapat dilihat dari perubahan respons fisiologis sapi terhadap lingkungan selama bulan April-Mei. Ternak sapi membutuhkan kondisi lingkungan yang nyaman dengan nilai THI ≤ 74. Nilai THI di pagi lebih rendah dari siang hari karena di pagi hari suhu udara lebih rendah, sebaliknya pada siang hari. Gambar 2 Tabel Temperature Humidiy Index (THI) Keterangan : berdasarkan Livestock Weather Safety Index : Normal (THI ≤ 74), Alert (75–78 THI), Danger (79–83 THI) dan Emergency (THI ≥ 84) Nilai unsur suhu udara dan kelembapan yang tinggi menyebabkan sapi PO dan sapi bali berpotensi mengalami cekaman panas. Menurut Williamson dan Payne (1993), temperatur lingkungan yang paling sesuai bagi kehidupan ternak di daerah tropis adalah 10 °C sampai 27 °C (50 °F-80 °F). Suhu dan kelembapan yang terjadi di lingkungan penelitian akan menyebabkan proses penguapan dari tubuh sapi terhambat mengakibatkan ternak akan mengalami cekaman panas. Suhu lingkungan yang melebihi rata-rata normal membuat ternak akan melakukan penyesuaian secara fisiologis dan secara tingkah laku (behaviour). Kelembapan yang tinggi bisa meningkatkatkan heat stress pada sapi (Mader et al. 2006) karena kelembapan bisa meningkatkan tekanan uap dan 20 menghambat evaporasi kulit tubuh dalam proses pelepasan panas tubuh melalui keringat. Reaksi sapi atas kondisi cekaman tersebut terlihat dari respons frekuensi pernapasan dan denyut jantung sapi untuk mengurangi atau melepaskan panas yang diterima dari luar tubuh sapi. Nilai rataan intensitas radiasi matahari pada bulan-bulan pengukuran sangat tinggi. Radiasi matahari dapat sangat mempengaruhi beban panas pada ternak karena intensitas radiasi cahaya matahari yang besar membuat peningkatan suhu lingkungan sehingga ternak akan mengalami cekaman. Radiasi matahari dan kecepatan angin mengubah kemampuan ternak untuk mempertahankan keseimbangan termal (Brosh et al. 1998; Mader 2003). Rata-rata kecepatan angin harian pada musim barat (bulan April) lebih rendah dibandingkan pada musim timur (bulan Mei). Pada bulan Mei, kondisi cuaca di Kabupaten Merauke sangat dipengaruhi oleh perubahan cuaca di benua Australia. Tercatat kecepatan angin maksimum yang terjadi pada saat itu mencapai 13.2 meter/detik. Rataan kecepatan angin harian (Gambar 3) pada bulan April mencapai titik puncak pada sore hari, yaitu pukul 14.00, titik puncak pada bulan Mei biasanya terjadi pada pagi hari pukul 9.00 dan sore hari pukul 15.00. Rata-rata kecepatan angin tinggi pada saat suhu udara tinggi dan kelembapan rendah (Gambar 3). Pada saat kelembapan relatif lebih rendah, maka kecepatan angin cenderung lebih tinggi, karena saat itu kandungan uap air relatif rendah Kecepatan angin dan intensitas radiasi cahaya matahari adalah faktor yang mempengaruhi peningkatan panas atau kehilangan panas dari tubuh ternak. Kecepatan angin yang tinggi akan mengurangi aktivitas ternak melepaskan beban panas tubuh melalui napas, karena kemungkinan besar panas tubuh akan hilang dengan cara konveksi, yaitu melalui pergerakan udara di atas permukaan tubuh dekat permukaan kulit ternak. Panas tubuh ternak akan ditransfer ke udara sejuk dan dihilangkan melalui pergerakan udara secara terus menerus (Robertshaw 1985). Temperature Humidity Index 21 82 81 80 79 78 700 800 900 1000 1100 1200 1300 1400 1500 1600 1700 700 800 900 1000 1100 1200 1300 1400 1500 1600 1700 700 800 900 1000 1100 1200 1300 1400 1500 1600 1700 700 800 900 1000 1100 1200 1300 1400 1500 1600 1700 700 800 900 1000 1100 1200 1300 1400 Waktu pengamatan (WIT) 1500 1600 1700 Suhu Udara (oC) 31 30 29 28 85 80 75 70 65 51000 49000 47000 45000 43000 41000 39000 37000 35000 Kecepatan Angin (m/s) Intensitas Cahaya Matahari (lux) Kelemnbaban Relatif (%) 27 4 3 2 1 0 Gambar 3 Rataan nilai unsur cuaca harian di lingkungan penelitian bulan April, bulan Mei 22 Suhu udara dan THI pukul 15.00-16.00 WIT pada musim barat bulan April lebih rendah daripada musim timur (Gambar 4). Suhu udara maksimum pada bulan April dan Mei masing-masing 35.5 oC dan 35 oC, sedangkan suhu udara minimum 24.7 oC dan 26 oC. Bulan April 38 Bulan Mei 86 34 82 32 80 30 78 28 76 26 74 24 72 So C 84 THI 36 22 70 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 Hari ke- Gambar 4 Rataan suhu udara dan THI mulai dari hari 1-21 bulan April dan hari 1-21 bulan Mei. Angka rataan diperoleh dari pengkuran pukul 15.0016.00 WIT setiap hari. Suhu udara, THI Suhu udara yang cenderung menurun pada waktu pengukuran di bulan April dikarenakan pola curah hujan yang tinggi pada akhir bulan. Hal ini tentunya mempengaruhi nilai THI pada waktu pengukuran. Berdasarkan data BMKG stasiun Merauke Tahun 2010 dan 2011, curah hujan tinggi pada bulan DesemberApril kemudian sejak bulan Mei curah hujan menurun drastis. Tabel 2 Data rataan unsur cuaca lingkungan penelitian pukul 15.00-16.00 WIT Waktu Unsur cuaca lingkungan pengamatan o T ( C) RH(%) Va(m/s) Im(lux) THI Bulan April 29.05±2.44 79.15±9.03 1.55±1.03 42745.17±12944.22 81.09±3.22 29.05±1.99 75.41±9.84 2.85±1.19 40591.98±13972.79 80.58±2.48 Bulan Mei o Keterangan : T ( C) = suhu lingkungan dalam derajat Celcius; RH(%) = kelembapan relatif dalam persentase; Va(m/s) = kecepatan angin dalam satuan meter per detik; Im (lux) = Intensitas radiasi cahaya matahari dalam lux; THI = Temperature Humidity Index Lingkungan penelitian saat pengukuran fisiologis ternak pada siang hari pukul 15.00-16.00 WIT (Tabel 2), menunjukkan nilai unsur cuaca yang tidak berbeda jauh dari rataan harian. Pada waktu tersebut, ternak memberikan respons 23 fisiologis (laju respirasi, laju denyut jantung, suhu rektal, dan suhu kulit) yang tidak nyaman. Respons Fisiologis Ternak pada Musim Barat Bulan April Kondisi lingkungan pemeliharaan ternak akan mempengaruhi keadaan fisiologis ternak. Sapi termasuk hewan homeotermi, yaitu hewan yang suhu tubuhnya merupakan hasil keseimbangan dari panas yang diterima dan dikeluarkan oleh tubuh. Pada keadaan normal, suhu tubuh sapi dapat bervariasi karena adanya perbedaan umur, jenis kelamin, iklim, panjang hari, suhu lingkungan, aktivitas, pakan, aktivitas pencernaan, dan jumlah air yang diminum. Suhu rektal ternak merupakan ukuran representatif dari suhu tubuh dari hasil paparan suhu dan kelembapan lingkungan. Pengaruh waktu pada respons suhu rektal berbeda sangat nyata untuk setiap ternak sapi (P<0.0001). Perbedaan bangsa sapi tidak memberikan pengaruh nyata pada suhu rektal (P>0.05), tetapi perbedaan musim antara musim barat dan musim timur berpengaruh nyata (P<0.05). Rataan suhu rektal, suhu kulit, dan suhu tubuh sapi PO pada bulan April, lebih tinggi dibandingkan sapi bali (Tabel 3). Rata-rata suhu rektal harian sapi PO pada bulan April lebih tinggi (0.528 oC) daripada sapi bali. Pada awal bulan April, suhu rektal sapi PO lebih tinggi kemudian turun pada akhir bulan pengamatan (38.978 ke 38.828 oC). Jika temperatur tubuh tinggi menyebabkan ternak akan meningkatkan mekanisme termoregulasi dengan cara meningkatkan frekuensi pernapasan, yaitu dengan cara mengeluarkan panas dengan meningkatkan penguapan melalui saluran pernapasan. Hal ini menunjukkan bahwa sapi bali memiliki lebih baik kemampuan beradaptasi dengan panas dibandingkan dengan sapi PO. Suhu udara, kelembapan udara, dan intensitas radiasi cahaya matahari yang tinggi serta kecepatan angin yang rendah mengakibatkan respons fisiologis kedua bangsa sapi tersebut pada musim barat bulan April lebih tinggi daripada musim timur bulan Mei. Hal ini diduga karena kemampuan sapi melepas panas dari tubuh terhalang pada saat keadaan lingkungan lembap dan rendahnya kecepatan angin 24 sebagai fungsi untuk memindahkan panas dari permukaan tubuh ke udara lingkungan. Tabel 3 Respons Fisiologis sapi PO dan sapi bali pada musim barat bulan April dan musim timur bulan Mei Paramater Musim barat bulan April Musim timur bulan Mei PO bali PO bali Suhu kulit 33.05±1.72 32.90±1.88 32.04±1.87 31.47±1.54 Frekuensi pernapasan (per menit) 17.10±5.48 20.12±7.27 15.84±3.93 18.97±4.01 Denyut jantung (per menit) 61.17±12.52 59.63±8.12 52.28±11.20 59.87±10.11 Suhu rectal (oC) 38.83±1.10 38.70±0.61 38.53±0.54 38.46±0.83 Suhu tubuh (o C) 38.02±1.06 37.89±0.68 Keterangan : Pengukuran dilakukan pada jam 15.00-16.00 WIT 37.62±0.61 37.48±0.80 Perbedaan antarbangsa memberikan pengaruh yang sangat nyata pada respons suhu kulit sapi bali dan sapi PO (P<0.001). Pengaruh waktu dan musim juga memberikan respons yang sangat nyata atas respons suhu kulit pada setiap PO dan sapi bali (P<0.0001). Hal ini terjadi karena paparan sinar matahari yang langsung mengenai kulit sapi akan memberikan respons langsung terhadap keadaan suhu kulit sapi. Jenis lapisan penutup kulit berkorelasi dengan suhu tubuh dan dengan produktivitas ternak di daerah tropis. Ternak yang ramping, berambut padat, dan pendek dikaitkan dengan suhu tubuh yang lebih rendah dan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi (Chytil 2002). Lebih lanjut dijelaskan bahwa jika mantel itu pendek, putih, dan mengkilap, itu akan memantulkan 30 sampai 50% dari energi radiasi. Jika mantel adalah berbulu dan hitam, di sisi lain mungkin hanya memantulkan 10% dari yang masuk energi. Kondisi suhu kulit sapi PO yang lebih tinggi dibandingkan sapi bali, meskipun dari warna kulit sapi PO bisa memantulkan energi radiasi lebih besar, kemungkinan terjadi karena keadaan bulu dari sapi PO yang kasar dan tidak terlalu padat. Kulit dengan bulu yang kasar juga dapat memberikan kontribusi mengurangi kemampuan ternak membuang panas tubuh dan mengatur suhu tubuh (McClanahan 2007). Turner dan Schleger (1960) melaporkan bahwa ternak yang 25 memiliki bulu rapi dan lebih padat memiliki suhu tubuh lebih rendah dan tingkat pertumbuhan lebih tinggi. Menurut McManus et al. (2011), hewan dengan kulit gelap (dark skin) akan mampu menghambat penetrasi sinar ultraviolet dan rambut putih (white hairs) akan memantulkan panas radiasi infra-merah. Sapi bali memiliki mantel yang mengkilat dan juga kulit yang gelap. Frekuensi pernapasan antara bangsa sapi bali dan PO pada musim barat bulan April memberikan respons yang sangat nyata (P<0.0001). Begitu pun pengaruh waktu dan musim memberikan respons yang berbeda pada setiap bangsa sapi (P<0.050). Menurut Esmay (1978), mekanisme respirasi dikontrol di medula yang sensitif terhadap CO2 pada tekanan darah, dan jika tekanan meningkat sedikit, pernapasan menjadi lebih dalam dan cepat. Medula adalah perpanjangan dari otak yang bersambung dengan ruas tulang belakang. Peningkatan frekuensi respirasi terjadi ketika ada peningkatan permintaan oksigen, yaitu setelah olah raga, terekspos oleh suhu lingkungan dan kelembapan relatif yang tinggi, dan kegemukan (Kelly 1984). Suhu udara dan nilai THI yang tinggi akan meningkatkan frekuensi pernapasan ternak sapi. Panting adalah salah satu manisfestasi pelepasan panas dari tubuh ternak yang ditunjukkan dengan tingginya frekuensi pernapasan. Frekuensi pernapasan sapi bali dan sapi PO pada penelitian ini masih dalam kisaran normal. Rataan frekuensi pernapasan sapi bali lebih tinggi dibandingkan dengan sapi PO. Hal ini terlihat mulai dari awal sampai akhir hari pengamatan di bulan April. Rendahnya frekuensi pernapasan pada sapi PO diduga karena kemampuan sapi PO melepas beban panas tubuhnya lebih banyak melalui kelenjar keringat walaupun pelepasan panas dengan cara evaporasi melalu kelenjar keringat pada sapi bali lebih banyak dibandingkan dengan sapi Bos indicus (232 vs 158 g/m2/h) (Gebremedhin et al. 2008) tetapi jumlah kelenjar keringat terbanyak dimiliki sapi PO berdasarkan besar dan luas permukaan kulit. Hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan bangsa tidak memberikan respons yang berbeda pada denyut jantung (P>0.05). Musim memberikan pengaruh yang tidak sama pada setiap individu ternak sapi (P<0.05). Respons denyut jantung sapi bali selama bulan April lebih rendah dibandingkan dengan sapi PO. Pada hari pertama awal bulan April denyut jantung sapi bali (57.047 26 kali/menit) naik terus selama minggu pertama. Minggu pertama dan kedua, denyut jantung sapi bali lebih rendah dibandingkan pada saat masuk pada minggu ketiga. Rataan denyut jantung dan suhu tubuh sapi PO dan bali selama musim barat lebih tinggi dibandingkan dengan musim timur. Hal ini dapat terjadi karena ketersedian dan konsumsi pakan yang lebih banyak pada musim barat. Menurut Purwanto et al. (2004), tingginya konsumsi pakan dapat menyebabkan meningkatnya panas tubuh ternak akibat proses metabolisme. Konsumsi energi yang lebih banyak menyebabkan produksi panas metabolis lebih tinggi dan selanjutnya dapat memicu peningkatan respon fisiologis termasuk denyut jantung (Brosh et al. 1998). Selama 21 hari waktu pengamatan respons suhu rektal, suhu kulit, suhu tubuh, denyut jantung, dan frekuensi pernapasan harian dari sapi PO dan sapi bali menunjukkan masih adanya usaha untuk melakukan aklimatisasi terhadap cuaca yang terjadi di lingkungan penelitian (P<0.0001). Respons Fisiologis Ternak pada Musim Timur Bulan Mei Kondisi respons fisiologis yang terjadi pada musim timur bulan Mei menunjukkan ada penurunan suhu rektal, suhu kulit, suhu tubuh, frekuensi pernapasan, dan denyut jantung baik pada sapi PO maupun sapi bali. Perbedaan bangsa tidak memberikan pengaruh yang nyata pada suhu rektal, suhu tubuh, dan denyut jantung antara sapi PO dan sapi bali pada musim timur (P>0.05), tetapi suhu kulit dan frekuensi pernapasan memberikan pengaruh yang nyata (P<0.0001). Masing-masing bangsa memberikan respons fisiologis yang nyata pada waktu (P<0.0001) dan musim (P<0.05). Musim timur bulan Mei adalah musim pancaroba, yaitu terjadi peralihan musim penghujan ke musim kemarau. Pada musim ini, kondisi cuaca di Kabupaten Merauke juga dipengaruhi oleh angin Muson. Oleh sebab itu pada saat bulan Mei keadaan cuaca yang paling ekstrim adalah kecepatan angin yang tinggi. Dibandingkan dengan musim barat bulan April maka nilai respons fisiologis sapi PO maupun sapi bali lebih rendah pada bulan Mei. Hal ini terjadi karena pada malam hari suhu udara rendah dan siang hari angin bertiup kencang. Kondisi ini membantu ternak sapi PO dan sapi bali tidak terlalu mengalami cekaman panas. Pada siang hari, suhu udara tinggi, tetapi karena adanya 27 kelembapan relatif yang rendah dan kecepatan angin yang tinggi maka membantu ternak melepaskan panas tubuh dengan cara konveksi. Rataan suhu rektal, suhu kulit, dan suhu tubuh sapi PO lebih tinggi dibandingkan sapi bali (Tabel 3). Sebaliknya rataan frekuensi pernapasan dan denyut jantung sapi PO lebih rendah dibandingkan dengan sapi bali. Berdasarkan waktu harian terlihat bahwa posisi respons fisiologis sapi bali lebih rendah dibandingkan dengan sapi bali (Gambar 5). Hal yang menarik adalah respons fisiologis denyut jantung sapi PO yang jauh lebih rendah daripada sapi bali dan terlihat konstan (Gambar 6). Ini diduga terjadi karena kemampuan sistem homeotermi sapi PO yang sudah cukup baik dengan mengatur pelepasan panas melalui kulit (sweating). Penyebab lainnya adalah sapi bali mampu tetap memakan pakan yang tersedia pada musim ketika kuantitas dan kualitas pakan berkurang bila dibandingkan dengan sapi PO, akibatnya denyut jantung akan meningkat. Pada keadaan normal, biasanya hewan yang mempunyai ukuran tubuh lebih kecil, denyut nadinya lebih besar daripada hewan yang mempunyai ukuran tubuh besar (Frandson 1992). Penelitian Kasa (1997) menghasilkan data rataan frekuensi pernapasan sapi bali di lapangan 72.5 kali/menit, sedangkan pada sapi PO (Panjono et al. 2009) sebesar 43,13 kali/menit. 28 40 Bulan April Bulan Mei 39 So C 38 37 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 2 Hari ke- 4 6 Bulan April 8 10 12 14 16 18 20 Bulan Mei 37.0 35.0 33.0 31.0 29.0 27.0 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 Hari ke- Bulan April 40 Bulan Mei 39 38 37 36 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 Hari ke- Gambar 5 Perubahan suhu rektal, kulit, dan tubuh pada bulan April dan Mei sapi PO, sapi bali 29 Bulan April 34 Bulan Mei 30 26 22 18 14 D F 10 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 Hari ke- Bulan Mei Bulan April 75 70 65 60 55 50 45 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 Hari ke- Gambar 6 Perubahan frekeuensi pernapasan dan denyut jantung pada bulan April dan Mei. sapi PO, sapi bali Kemampuan Aklimatisasi Sapi PO dan Sapi Bali Dari setiap variabel terikat setiap minggunya menunjukkan koefisien korelasi sapi PO lebih besar daripada sapi bali (Tabel 4). Di lain sisi, tingkat kemiringan (slope) pada sapi bali lebih rendah daripada sapi PO pada semua respons fisiologis. Pada musim barat bulan April minggu I, berdasarkan respons suhu rektal, sapi PO dan sapi bali tidak mengalami aklimatisasi (P=0.89 dan P=0.51) dikarenakan pada awal bulan curah hujan yang ada belum terlalu tinggi. Berdasarkan respons suhu kulit dan frekuensi pernapasan, pada minggu I, kedua bangsa sapi juga tidak beraklimatisasi. Suhu rektal sapi PO pada minggu I musim timur bulan Mei menunjukkan proses aklimatisasi (P<0.05). 30 Tabel 4 Regresi linear respons fisiologis sapi PO dan sapi bali terhadap suhu udara minggu I, II, III Musim Minggu ke- Barat I Respons fisiologis SR SK FP II SR SK FP III SR SK FP Timur I SR SK FP II SR SK FP III SR Bangsa sapi Koefisien korelasi (%) Slope Nilai P PO Bali PO Bali PO bali -6.64 -30.14 49.71 -50.79 55.53 -50.17 -0.018 -0.085 0.409 -0.466 1.658 -2.535 0.888 0.511 0.256 0.244 0.196 0.251 PO Bali PO Bali PO bali 62.25 66.20 73.76 67.00 68.05 46.94 0.137 0.155 0.482 0.615 1.169 1.467 0.017 0.010 0.002 0.009 0.007 0.090 PO Bali PO Bali PO bali 57.33 46.84 73.78 50.98 51.39 29.04 0.088 0.081 0.368 0.335 0.673 0.644 0.007 0.032 0.0001 0.260 0.017 0.202 PO Bali PO Bali PO bali 78.95 14.03 50.51 6.77 0.88 -42.64 0.059 0.025 0.298 0.042 0.006 -2.507 0.035 0.764 0.248 0.885 0.985 0.340 PO Bali PO Bali PO bali 71.26 42.85 63.44 32.81 2.50 -4.09 0.104 0.086 0.477 0.217 0.027 -0.055 0.004 0.126 0.015 0.252 0.933 0.889 PO 70.89 0.108 0.0003 Bali 47.01 0.099 0.032 SK PO 66.28 0.523 0.001 Bali 35.70 0.259 0.112 FP PO 14.62 0.178 0.527 bali 3.69 0.058 0.874 o o Keterangan : SR ( C) = suhu rektal dalam derajat Celcius; SK ( C) = suhu kulit dalam derajat Celcius; FP (kali/menit) = frekuensi pernapasan dalam satuan kali per menit 31 Kemampuan aklimatisasi sapi bali pada minggu I pada bulan April dan Mei lebih baik daripada sapi PO, ini dapat dilihat dari posisi kemiringan garis linear respons fisiologis berupa suhu rektal dan suhu kulit sapi bali lebih rendah dibandingkan dengan sapi PO (Gambar 7). Garis linear frekuensi pernapasan sapi bali yang lebih tinggi selama minggu I menentukan kemampuan melepas panas tubuhnya lebih besar diduga melalui panting. Memasuki minggu II bulan April kedua bangsa sapi mengalami aklimatisasi, terlihat dari respons fisiologis yang nyata (P<0.05), kecuali untuk respons frekuensi pernapasan sapi bali yang tidak nyata (P>0.05). Hal ini diduga sapi bali lebih banyak melepas panas tubuh melalui pernapasan. Pada saat memasuki minggu II bulan Mei, suhu rektal dan suhu kulit sapi PO beraklimatisasi terhadap suhu udara yang ada (P<0.05). Respons suhu rektal, suhu kulit dan frekuensi pernapasan sapi bali tidak nyata terhadap suhu lingkungan (P>0.05). Garis linear suhu rektal dan suhu kulit sapi bali lebih rendah dibandingkan dengan sapi PO (Gambar 8), kecuali pada frekuensi pernapasan yang berarti kemampuan sapi bali melepas panas tubuhnya selama minggu I-II lebih besar melalui pernapasan. Proses aklimatisasi sapi PO melalui minggu III bulan April, menunjukkan bahwa terjadi usaha penyesuaian respons fisiologis terhadap lingkungan (P<0.05). Sebaliknya respon sapi bali sudah tidak beraklimatisasi lagi (P>0.05). Kondisi yang sama juga terjadi selama minggu III bulan Mei. Posisi garis linear suhu rektal dan suhu kulit sapi bali juga lebih rendah dibandingkan dengan sapi PO (Gambar 9), kecuali pada frekuensi pernapasan yang berarti kemampuan sapi bali melepas panas tubuhnya selama minggu I-III lebih besar melalui pernapasan. Selama musim timur bulan Mei, respons frekuensi pernapasan sapi PO dalam kondisi stabil (tidak ada aklimatisasi). Respons suhu rektal dan suhu kulit di minggu I sampai III, terjadi aklimatisasi sapi PO atas perubahan cuaca (P<0.05). Hal sebaliknya terjadi pada sapi bali yang tidak mengalami aklimatisasi pada musim timur (P>0.05), yang berarti bahwa sapi bali menujukkan kondisi fisiologis stabil. 32 Penelitian ini memberikan bukti bahwa sapi bali memiliki kemampuan termoregulator yang lebih baik dibandingkan dengan sapi PO. Kemampuan ini merupakan hasil dari pengurangan produksi panas, peningkatan kapasitas pelepasan panas ke lingkungan, atau kombinasi keduanya. Terdapat cukup bukti, berdasarkan suhu rektal, suhu kulit, dan denyut jantung bahwa kemampuan heat tolerance sapi bali lebih tinggi dari sapi PO dan kemampuan aklimatisasi sapi bali lebih baik daripada sapi PO. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Kondisi Kesehatan Sapi PO dan Bali Kemampuan adaptasi ternak yang baik terhadap lingkungannya akan menghasilkan produktivitas ternak yang baik pula. Lingkungan dan ketersediaan pakan yang mendukung akan memberikan produktivitas ternak yang lebih baik. Dari hasil pengamatan pertambahan bobot badan sebagai salah satu tolak ukur produktivitas sapi selama musim hujan bulan April dan musim kemarau bulan Mei, menunjukkan bahwa ukuran lingkar dada sapi PO mengalami penurunan bila dibandingkan dengan lingkar dada sapi bali yang cenderung naik (Tabel 5). Merauke untuk memilih dan mendatangkan sapi bali serta mengembangkan pembibitan sapi bali sebagai sumber daya ternak lokal yang adaptif. Pertambahan bobot badan berkaitan dengan kualitas hijauan di lapangan penggembalaan. Musim barat dengan curah hujan yang tinggi akan mempengaruhi kandungan kualitas nutrisi hijauan relatif rendah karena kandungan air yang banyak. Ini merupakan pengaruh tidak langsung keadaan cuaca pada produktivitas ternak. Pada musim timur terjadi sebaliknya, yaitu curah hujan rendah akan mempengaruhi kuantitas pakan di lapangan yang akibatnya ternak mengalami penurunan konsumsi pakan. Selain itu, penurunan bobot badan yang cukup besar dimungkinkan karena adanya cekaman (stress) fisiologis sapi. 33 40 1-7 hari bulan April PO bali 39 PO bali 1-7 hari bulan Mei So C F 38 37 24 25 26 27 28 29 30 31 Suhu Udara (oC) 32 33 34 35 36 35 bali 1-7 hari bulan April 34 PO PO 33 32 bali 31 1-7 hari bulan Mei 30 29 28 24 25 26 27 28 29 30 31 Suhu Udara (oC) 32 33 34 35 34 31 1-7 hari bulan April 28 25 22 PO 19 bali bali 16 PO 1-7 hari bulan Mei 13 10 24 25 26 27 28 29 30 31 Suhu Udara (oC) 32 33 34 35 Gambar 7 Regresi linear untuk suhu rektal, suhu kulit dan frekuensi pernapasan sapi PO dan sapi bali selama minggu I bulan April dan Mei sapi PO, sapi bali 34 40 PO 1-14 hari bulan April PO bali 39 bali 1-14 hari bulan Mei So F C 38 37 24 25 26 27 28 29 30 31 o Suhu Udara ( C) 32 33 34 35 36 1-14 hari bulan April 35 PO 34 33 bali 32 PO 1-14 hari bulan Mei 31 bali 30 29 28 24 25 26 27 28 29 30 31 Suhu Udara (oC) 32 33 34 35 34 31 1-14 hari bulan April 28 25 bali 22 PO 19 bali 16 1-14 hari bulan Mei 13 PO 10 24 25 26 27 28 29 30 31 Suhu Udara (oC) 32 33 34 35 Gambar 8 Regresi linear untuk suhu rektal, suhu kulit dan frekuensi pernapasan sapi PO dan sapi bali selama minggu I-II bulan April dan Mei sapi PO, sapi bali 35 40 PO 1-21 hari bulan April PO bali 39 bali 1-21 hari bulan Mei So F C 38 37 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 Suhu Udara (oC) 36 1-21hari bulan April 35 PO bali 34 PO 33 bali 32 1-21 hari bulan Mei 31 30 29 28 24 25 26 27 28 29 30 31 Suhu Udara (oC) 32 33 34 35 34 31 28 1-21hari bulan April 25 bali PO 22 19 bali PO 16 1-21hari bulan Mei 13 10 24 25 26 27 28 29 30 31 Suhu Udara (oC) 32 33 34 35 Gambar 9 Regresi linear untuk suhu rektal, suhu kulit dan frekuensi pernapasan sapi PO dan sapi bali selama minggu I-III bulan April dan Mei sapi PO, sapi bali 36 Penurunan bobot badan sapi PO disebabkan oleh cekaman panas. Dalam keadaan terpapar cekaman panas, sapi akan mengurangi konsumsi pakan dan meningkatkan konsumsi air minum agar pembentukan panas endoterm tubuhnya dapat berkurang. Di sisi lain, kurangnya asupan pakan ini menyebabkan kebutuhan energi dan zat gizi lainnya untuk pertumbuhan menjadi berkurang. Menurut Hahn (1999), penurunan konsumsi pakan merupakan salah satu respons ternak mengurangi heat stress. Hal ini dihubungkan dengan produksi panas metabolik tubuh yang sangat dipengaruhi oleh konsumsi pakan (Young et al. 1997; Purwanto et al. 1990). Tabel 5 Rataan selisih lingkar dada sapi PO dan sapi bali bulan April dan Mei Lingkar dada (cm) Sapi bulan April bulan Mei PO -0.81±1.44 -1.14 ±1.63 Bali 0.50±1.52 0.42±1.88 Dilihat dari kondisi tubuh (Gambar 10) yang diwakili dari rataan Body Condition Score (BCS), kondisi tubuh baik sapi PO dan sapi bali dalam keadaan kurus (BCS 2). Hal ini diduga karena pengaruh tidak langsung dari perubahan cuaca pada ketersediaan pakan di lapangan dan daya jelajah merumput yang dibatasi. Berdasarkan persentase nilai BCS (Tabel 6), nilai BCS sapi bali lebih banyak berada pada kondisi 3 (sedang), sedangkan sapi PO pada nilai 2 (kurus). Sapi bali memiliki rataan skor BCS yang lebih tinggi (2.58) dibandingkan dengan sapi PO (2.11). Hal ini didukung kemampuan yang dimiliki oleh sapi bali, yaitu memakan segala jenis rumput dan legum. Pada saat di lapangan terlihat sapi bali mampu memakan jerami padi lebih banyak dari sapi PO dan sapi bali mampu memakan pucuk-pucuk tanaman putri malu (Mimosa pudica). Tabel 6 Rataan skor dan persentase BCS sapi PO dan sapi bali % (skor 1-5) Sapi BCS 1 (sangat kurus) 2 (kurus) 3 (sedang) 4 (gemuk) 5 (sangat gemuk) PO 2.11±0.68 16.67 55.56 27.78 0 0 Bali 2.58±0.51 0 41.67 58.33 0 0 37 Hasil pemeriksaan terhadap feses sapi PO dan sapi bali menunjukkan adanya keberadaan telur cacing (strongyl nativ). Tidak teridentifikasi jenis cacing yang ditemukan tersebut. Persentase telur cacing pada populasi objek penelitian ialah sapi PO sebesar 5.56% dan pada sapi bali 16.67%. Diperkirakan keberadaan telur cacing tersebut berkaitan dengan pola penggembalaan yang bersifat ekstensif, yaitu dimana ternak sapi makan langsung dari rumput yang tercemar feses yang mengandung cacing. Keberadaan lalat dan caplak sangat banyak pada saat pergantian musim, yaitu pada saat musim timur bulan Mei. Area tubuh yang paling banyak dihinggapi lalat dan caplak adalah permukaan bagian bawah perut kanan dan kiri, leher dan gelambir, serta bagian pantat dan bagian bawah pangkal ekor. Pada peternak belum ada usaha yang digunakan untuk menghilangkan invasi lalat dan caplak pada sapi. Namun, sapi PO memiliki kemampuan mengusir lalat dari permukaan kulit karena kemampuan otot subkutan untuk menggerakkan kulit (shaking). Mereka juga mengeluarkan sebum, zat berminyak, dari kulitnya, yang efektif dalam mengusir serangga. Cekaman stress yang dialami ternak sapi tidak lepas dari mekanisme hormonal yang terjadi dalam tubuh. Turunnya produksi pada ternak yang dipelihara pada lingkungan panas karena adanya perubahan pada sistem hormonal. Suhu lingkungan yang tinggi akan menurunkan kandungan hormon tiroid dan beberapa hormon reproduksi. Lain halnya dengan hormon yang berasal dari korteks adrenal, seperti kortisol dan kortikosteron, akan meningkat. Hormon kortisol adalah salah satu hormon yang dapat menunjukkan indikasi ternak ada pada kondisi cekaman atau tidak. Hasil analisis menunjukkan konsentrasi hormon kortisol sapi bali 6.16±1.26 (dengan kisaran 5.001-9.393 ng/mL) dan sapi PO 7.02±2.68 (dengan kisaran 4.824-13.965 ng/mL. Hasil ini dapat menerangkan bahwa sapi PO lebih menderita terhadap cekaman panas daripada sapi bali. Grandin (1997) melaporkan bahwa konsentrasi kortisol baseline pada sapi berkisar dari 0.5-9.0 ng/mL. Hormon kortisol meningkat seiring dengan perlakuan penanganan dan terpapar matahari dari kisaran 13-93 ng/mL. Peningkatan hormon kortisol pada saat cekaman 38 bertujuan untuk merangsang terjadinya glukoneogenesis sebagai usaha penyediaan glukosa darah yang turun, salah satunya karena kekurangan pakan. Gambar 10 Perbandingan BCS sapi PO dan sapi bali di tempat penelitian (Sumber: dokumentasi pribadi) Umumnya, efek negatif dari cuaca tidak diketahui pada sapi potong karena bobot badan sapi tidak dicatat setiap hari. Padahal, jika periode stres lingkungan lama, sapi dapat menderita konsekuensi serius, mempengaruhi kebutuhan energi, konsumsi bahan kering, rata-rata pertambahan bobot harian, laju konsepsi, dan dalam kasus ekstrim dapat menyebabkan kematian ternak (Arias dan Mader 2010). Untuk itu, perlu dicari pencegahan yang mudah dan murah untuk penggembalaan ternak sapi di area padang penggembalaan. Sejumlah peneliti telah melaporkan manfaat pemberian naungan untuk perkembangbiakan dan penggemukan sapi di lingkungan yang panas, yaitu keuntungan dari segi penambahan bobot badan lebih tinggi, konversi pakan yang lebih baik, laju respirasi dan suhu rektal yang lebih rendah (Clarke et al. 1994). Pemberian naungan dapat berupa penggembalaan dan juga shelter yang diletakkan di padang penanaman pohon-pohon pelindung di area penggembalaan. Penyediaan naungan dapat mencegah radiasi matahari sampai 50%. 39 Penyediaan air bersih yang cukup sangat penting untuk mereduksi panas tubuh ternak pada saat meminum air. Sebaiknya, air minum juga diletakkan pada tempat naungan sapi. Hal ini bertujuan agar suhu air minum tidak meningkat. Berdasarkan penelitian Purwanto et al. (1996), respons fisiologi sapi perah akan menurun dengan menurunnya suhu air minum yang dikonsumsi. Tempat air minum agar terbuat dari fiber glass dan dapat mudah dipindah-pindahkan, mengingat sistem beternak sapi yang bersifat ranch. Cara lain untuk mengurangi beban panas tubuh sapi adalah dengan cara menghindari menggembalakan ternak sapi untuk rotasi perpindahan lahan penggembalaan di siang hari, serta mencegah dan mengurangi gigitan serangga (lalat dan caplak) yang cenderung membuat ternak akan berkelompok bersamasama. 40 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Sapi bali memiliki kemampuan termoregulator yang lebih baik dibandingkan dengan sapi PO. Respons fisiologis sapi bali yang lebih rendah daripada sapi PO baik pada saat musim barat maupun timur membuktikan bahwa sapi bali lebih baik kemampuan melepas panas tubuhnya dibandingkan sapi PO. Perbedaan cuaca antara musim barat bulan April dan musim timur bulan Mei menunjukkan bahwa sapi bali mampu mempertahankan kondisi fisiologisnya selama pergantian musim barat ke timur. Hal ini juga membuktikan bahwa kemampuan aklimatisasi sapi bali lebih baik daripada sapi PO. Kondisi tubuh sapi bali berdasarkan rataan Body Condition Score (BSC) lebih tinggi dari sapi PO. Persentase skor BCS sapi bali lebih banyak berada pada kondisi 3 (sedang), sedangkan sapi PO pada nilai 2 (kurus). Saran Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh cuaca pada kepadatan bulu, warna bulu, laju keringat, tingkah laku (utamanya panting score), reproduksi, serta pola diurnal harian pada bangsa Bos indicus dan Bos javanicus mengingat karakteristik sapi bali jantan dan betina yang berbeda warna. 41 DAFTAR PUSTAKA Affandhy L, Situmorang P, Wijono DB, Aryogi, Rihandini PWP. 2002. Evaluasi dan Alternatif Pengelolaan Reproduksi Usaha Ternak Sapi Potong pada Kondisi Lapang. Laporan Loka Penelitian Sapi Potong. Grati. Ariasa RA, Mader TL. 2010. Determination of potential risk of heat stress of cattle in four locations of Central and Southern Chile. Arch Med Vet 42:33-39. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Merauke dalam Angka. Merauke (ID): BPS. Bernabucci U, Lacetera N, Baumgard LH, Rhoads RP, Ronchi B, Nardone A. 2010. Metabolic and hormonal acclimation to heat stress in domesticated ruminants. Animal 4(7):1167–1183. Beatty DT, Barnes A, Taylor E, Petchick D, McCarthy M, Maloney SK. 2006. Physiological responses of Bos taurus and Bos indicus cattle to prolonged,continuous heat and humidity. J Anim Sci 84:972-985. Bligh J. 1976. Introduction to acclamatory adaptation-including notes on terminology. Di dalam: Bligh J, Cloudsley-Thompson JL, Macdonald AG, editor. Environmental Physiology of Animals. New York (US): J Wiley. P 219-229. Brosh A, Aharoni Y, Degen AA, Wright D, Young B. 1998. Effects of solar radiation, dietary energy, and time of feeding on thermoregulatory responses and energy balance in cattle in a hot environment. J Anim Sci 76:2671–2677. Clarke MR, Jeffery MR, Kelly AM. 1994. Some effects of shade on zebu cross cattle in a feedlot. Proc Aust Soc Anim Prod 20:97-99. Chytil MA, 2002. Physiological responses of “slick” versus normal haired Holstein x Senepol crossbred cattle in Florida [Tesis]. Florida (US): University of Florida. Duke GE. 1977. Respiration in Birds. Di dalam: Swenson MJ, editor. Duke’s Physiology of Domestic Animals, Review of Medical Physiology, Ed ke-9. London (GB): Cornell University Pr. Duke’s. 1995. Physiology of Domestic Animal. New York (US): University Collage Camel, Comstock Pub. Eigenberg RA, Hahn GL, Nienaber JA, Brown-Brandl TM, Spiers DE. 2000. Development of a new respiration rate monitor for cattle. Trans Am Soc Agric Engs 43(3):723-728. 42 Eigenberg RA, Brown-Brandl TM, Nienaber JA, Hahn GL. 2005. Dynamic response indicators of heat stress in shaded and non-shaded feedlot cattle, part 2: predictive relationships. Biosystems Engineering 91(1):111–118. Esmay ML. 1982. Principles of Animal Environment. Westport, Connecticut (US): Avi Publishing Company Inc. Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Srigandono B, Praseno K, penerjemah. Yogyakarta (ID):Gadjah Mada University Pr. Ganong. 1983. Review of Medical Physiology. Ed ke-11. California: Lange Medical Publication. Gaughan J, Lacetera N, Valtorta SE, Khalifa HH, Hahn L, Mader T. 2009. Response of domestic animals to climate challenges. Di dalam: Ebi KL, Burton I, McGregor GR, editor. Biometeorology for Adaptation to Climate Variability and Change, Volume 1: Biometeorology. Dordrecht [DE]: Springer Science+ Business Media B.V. Gebremedhin KG, Hillman PE, Lee CN, Collier RJ, Willard ST, Arthington JD, Brown-Brandl TM. 2008. Sweating rates of dairy cows and beef heifers in hot conditions. Am Soc Agric Biol Eng 51(6):2167-2178. Grandin T. 1997. Assessment of stress during handling and transport. J Anim Sci 75:249-257. Hahn GL, Parkhurst AM, Gaughan JB. 1997. Cattle respiration rate as a function of ambient temperature. Paper presented at the ASAE Mid-Central Meeting, April 11-12, Paper No. MC97-121, St. Joseph, MI. Hahn GL. 1999. Dynamic responses of cattle to thermal heat load. J Anim Sci 77 (supl 2):10–20. Hansen PJ. 2004. Physiological and cellular adaptation of zebu cattle to thermal stress. Animal Reproduction Science 82–83:349–360. Hardjosubroto W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta (ID): Grasido. Hardjosubroto W, Astuti JM. 1994. Buku Pintar Peternakan. Jakarta (ID): PT. Gramedia. Kasa IW. 1997. Sweating rates and thermoregulation in male and female bali cattle. AJAS 10(2):201-205. Kelly RO, Martz FA, Johnson HD. 1968. Effect of environmental temperature on ruminal volatile fatty acid levels with controlled feed intake. J Dairy Sci 50:531. 43 Littell RC, Henry PR, Ammerman CB. 1998. Statistical analysis of repeated measures data using SAS procedures. J Anim. Sci 76:1216-1231. Mader, TL. 2003. Environmental stress in confined beef cattle. J Anim Sci 81(Supl 2):E110-E119. Mader TL, Davis MS, Brown-Brandl T. 2006. Enviromental factors influencing heat stress in feedlot cattle. J Anim Sci 84:712-719. McClanahan LK. 2007. Hair coat and steroidal implant effects on steers grazing ndophyteinfected tall fescue during the summer. [Tesis]. Kentucky (US): University of Kentucky. McDowell RE. 1972. Improvement of Livestock in Warm Climates. California (US): WH Freeman. McLean JA, Whitmore WT, Young BA, Weingardt R. 1984. Body heat storage, metabolism and respiration of cows Abruptly exposed and acclimatized to cold and 18oC Environments. Can J Anim Sci 64:641-653. McManus C, Louvandini H, Gugel R, LCB Sasaki, Bianchini E, Bernal FEM, Paiva SR, Paim TP. 2011. Skin and coat traits in sheep in Brazil and their relation with heat tolerance. Trop Anim Health Prod. 43:121–126. Oldeman, LR, Las I, Muladi. 1980. An agroclimatic map of Kalimantan, Irian Jaya dan bali, West and East Nusa Tenggara. Cont Centr Res Inst Agric. Bogor. Panjono, Widyobroto BP, Suhartanto B, Baliarti E. 2009. Pengaruh penjemuran terhadap kenyamanan dan kinerja produksi sapi Peranakan Ongole. Buletin Peternakan 33(1):17-22. Purwanto BP, Abo Y, Sakamoto R, Furumoto F, Yamamato S. 1990. Diurnal patterns of heat production and heart rate under thermoneutral conditions in Holstein Friesian cows differing in milk production. Journal of Agricultural Science (Camb.) 141:139. Purwanto BP, Harada M, Yamamoto S. 1996. Effect of drinking-water temperature on heat balance and thermoregulatory response in dairy heifers. Aust J Agric Res 47:505-512. Purwanto BP, Djafar DM, Murfi A. 2004. Pengaruh suhu air minum terhadap respons termoregulasi sapi Holstein dara. J Pengembangan Peternakan Tropis. 2:16-21. Robertshaw D. 1985. Heat loss of cattle. Di dalam: Yousef MK, editor. Stress Physiology in Livestock. Vol. I: Basic Principles. Boca Raton,FL (US): CRC Pr. p 55–66. 44 Schmidt-Nielsen K. 1997. Animal Physiology : Adaptation and Environment. 5th ed. Cambridge (GB): Cambridge Univ Pr. Silanikove N. 2000. Effects of heat stress on the welfare of extensively managed domestic ruminants. Livest Prod Sci 67:1-18. Smith JJ, Kamping JP. 1988. Sirkulatory Physiology. 2nd ed. Baltimore (GB): William & Wilkins. Soeharsono. 2008. Bionomika Ternak. Indonesia (ID):Widya Padjadjaran Taylor RE, Field TG. 2004. Scientific Form Animal Product. 8th ed. New Jersey (GB): Pearson-Prenstice Hall. Turner HG, Schleger AV. 1960. The significance of coat type in cattle. Aust J Agric Res. 11:645-663. Valtorta SE. 2006. Animal Production in changing climate. http://www.asrc.agri. missouri.edu. Walpole RE. 1995. Pengantar Statistika. Ed ke-3. PT. Jakarta (ID):Gramedia Pustaka Utama. Williamson G, Payne WJA. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Darmadja SGN D, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr. Willmer P, Stone G, Johnston I. 2005. Environmental physiology of animals. 2th ed. Australia (AU): Blackwell Publishing. Young BA, Hall AB, Goodwin PJ, Gaughan JB. 1997. Identifying excessive heat load. Livestock Environment V 1:572-6. Yousef MK. 1985. Stress Physiology in Livestock, Volume I : Basic Principles. Florida (US): CRC Pr. 45 LAMPIRAN 46 Lampiran 1 Analisis suhu kulit sapi PO dan bali musim barat bulan April Prosedur GLM Analisis ragam pengujian berulang (repeated measures) Uji hipotesis untuk pengaruh antar subjek Sumber Keragaman DB JK KT F 1.84 bangsa 1 3.67 3.67 Error 28 55.87 1.997 Pr > F 0.19 Prosedur GLM Analisis ragam pengujian berulang (repeated measures) Uji univariat hipotesis untuk pengaruh di dalam subjek Sumber keragaman DB JK KT F Pr > F Adj Pr > F G-G H-F waktu 20 891.52 44.58 28.08 <.0001 <.0001 <.0001 waktu*bangsa 20 180.38 9.019 5.68 <.0001 <.0001 <.0001 Error(waktu) 560 888.90 1.59 47 Lampiran 2 Analisis suhu kulit sapi PO dan bali musim timur bulan Mei Prosedur GLM Analisis ragam pengujian berulang (repeated measures) Uji hipotesis untuk pengaruh antar subjek Sumber Keragaman DB JK KT F Pr > F 10.42 0.0032 bangsa 1 49.20 49.20 Error 28 132.16 4.72 Prosedur GLM Analisis ragam pengujian berulang (repeated measures) Uji univariat hipotesis untuk pengaruh di dalam subjek Sumber Keragaman DB JK KT F Pr > F Adj Pr > F G-G H-F waktu 20 721.61 36.08 22.08 <.0001 <.0001 <.0001 waktu*bangsa 20 98.71 4.93 3.02 <.0001 0.0007 <.0001 Error(waktu) 560 915.02 1.63 48 Lampiran 3 Analisis suhu rektal sapi PO dan bali musim barat bulan April Prosedur GLM Analisis ragam pengujian berulang (repeated measures) Uji hipotesis untuk pengaruh antar subjek Sumber Keragaman DB JK KT F 2.07 bangsa 1 2.73 2.73 Error 28 36.95 1.32 Pr > F 0.16 Prosedur GLM Analisis ragam pengujian berulang (repeated measures) Uji univariat hipotesis untuk pengaruh di dalam subjek Sumber Keragaman DB JK KT F Pr > F Adj Pr > F G-G H-F waktu 20 71.10 3.568 4.67 <.0001 0.02 0.018 waktu*bangsa 20 12.95 0.65 0.85 0.65 0.41 0.42 Error(waktu) 560 426.70 0.76 49 Lampiran 4 Analisis suhu rektal sapi PO dan bali musim timur bulan Mei Prosedur GLM Analisis ragam pengujian berulang (repeated measures) Uji hipotesis untuk pengaruh antar subjek Sumber Keragaman DB JK KT F Pr > F 0.28 0.5985 bangsa 1 0.64 0.64 Error 28 62.95 2.25 Prosedur GLM Analisis ragam pengujian berulang (repeated measures) Uji univariat hipotesis untuk pengaruh di dalam subjek Sumber Keragaman DB JK KT F Pr > F Adj Pr > F G-G H-F waktu 20 40.23 2.01 6.44 <.0001 0.0002 <.0001 waktu*bangsa 20 8.06 0.40 1.29 0.18 0.28 0.28 Error(waktu) 560 175.02 0.31 50 Lampiran 5 Analisis suhu tubuh sapi PO dan bali musim barat bulan April Prosedur GLM Analisis ragam pengujian berulang (repeated measures) Uji hipotesis untuk pengaruh antar subjek Sumber Keragaman DB JK KT F 2.71 bangsa 1 2.85 2.85 Error 28 29.46 1.05 Pr > F 0.11 Prosedur GLM Analisis ragam pengujian berulang (repeated measures) Uji univariat hipotesis untuk pengaruh di dalam subjek Sumber Keragaman DB JK KT F Pr > F Adj Pr > F G-G H-F waktu 20 119.73 5.99 8.85 <.0001 0.0009 0.0006 waktu*bangsa 20 16.87 0.84 1.25 0.21 0.29 0.29 Error(waktu) 560 378.98 0.68 51 Lampiran 6 Analisis suhu tubuh sapi PO dan bali musim timur bulan Mei Prosedur GLM Analisis ragam pengujian berulang (repeated measures) Uji hipotesis untuk pengaruh antar subjek Sumber Keragaman DB JK KT F 1.43 bangsa 1 2.7 2.79 Error 28 54.42 1.94 Pr > F 0.24 Prosedur GLM Analisis ragam pengujian berulang (repeated measures) Uji univariat hipotesis untuk pengaruh di dalam subjek Sumber Keragaman DB JK KT F Pr > F Adj Pr > F G-G H-F waktu 20 77.41 3.87 13.66 <.0001 <.0001 <.0001 waktu*bangsa 20 8.99 0.45 1.59 0.05 0.17 0.15 Error(waktu) 560 158.67 0.28 52 Lampiran 7 Analisis denyut jantungs PO dan bali musim barat bulan April Prosedur GLM Analisis ragam pengujian berulang (repeated measures) Uji hipotesis untuk pengaruh antar subjek Sumber Keragaman DB JK KT F 0.54 bangsa 1 356.68 356.68 Error 28 18521.78 661.50 Pr > F 0.47 Prosedur GLM Analisis ragam pengujian berulang (repeated measures) Uji univariat hipotesis untuk pengaruh di dalam subjek Sumber Keragaman DB JK KT F Pr > F Adj Pr > F G-G H-F waktu 20 12061.67 603.08 8.65 <.0001 <.0001 <.0001 waktu*bangsa 20 4375.73 218.79 3.14 <.0001 0.0011 <.0001 Error(waktu) 560 39031.31 69.70 53 Lampiran 8 Analisis denyut jantung sapi PO dan bali musim timur bulan Mei Prosedur GLM Analisis ragam pengujian berulang (repeated measures) Uji hipotesis untuk pengaruh antar subjek Sumber Keragaman DB JK KT F Pr > F 6.50 0.017 bangsa 1 8708.90 8708.90 Error 28 37523.35 1340.12 Prosedur GLM Analisis ragam pengujian berulang (repeated measures) Uji univariat hipotesis untuk pengaruh di dalam subjek Sumber Keragaman DB JK KT F Pr > F Adj Pr > F G-G H-F waktu 20 4117.24 205.87 3.97 <.0001 0.0003 <.0001 waktu*bangsa 20 3035.90 151.79 2.93 <.0001 0.0047 0.0010 Error(waktu) 560 29059.79 51.89 54 Lampiran 9 Analisis frekuensi pernapasan sapi PO dan bali musim barat bulan April Prosedur GLM Analisis ragam pengujian berulang (repeated measures) Uji hipotesis untuk pengaruh antar subjek Sumber Keragaman DB JK KT F Pr > F 9.95 0.0038 bangsa 1 1382.48 1382.48 Error 28 3890.35 138.94 Prosedur GLM Analisis ragam pengujian berulang (repeated measures) Uji univariat hipotesis untuk pengaruh di dalam subjek Sumber Keragaman DB JK KT F Pr > F Adj Pr > F G-G H-F waktu 20 7528.40 376.42 19.40 <.0001 <.0001 <.0001 waktu*bangsa 20 2912.48 145.62 7.51 <.0001 <.0001 <.0001 Error(waktu) 560 10865.73 19.40 55 Lampiran 10 Analisis frekuensi pernapasan sapi PO dan bali musim timur bulan Mei Prosedur GLM Analisis ragam pengujian berulang (repeated measures) Uji hipotesis untuk pengaruh antar subjek Sumber Keragaman DB JK KT F Pr > F 24.00 <.0001 bangsa 1 1489.13 1489.13 Error 28 1737.32 62.05 Prosedur GLM Analisis ragam pengujian berulang (repeated measures) Uji univariat hipotesis untuk pengaruh di dalam subjek Sumber Keragaman DB JK KT F Pr > F Adj Pr > F G-G H-F waktu 20 2355.23 117.76 12.40 <.0001 <.0001 <.0001 waktu*bangsa 20 471.04 23.55 2.48 0.0004 0.0072 0.0010 Error(waktu) 560 5316.64 9.49 56 Lampiran 11 Perkiraan berat badan sapi PO dan sapi bali berdasarkan lingkar dada LINGKAR DADA DAN BCS SAPI PO LD BULAN APRIL Awal Akhir LD BULAN MEI Awal Akhir UMUR (thn) BCS No. No. Sapi 1 452 137.00 2 481 144.00 143.00 3 465 153.00 153.00 4 436 137.00 136.00 136.00 5 475 167.00 164.00 164.00 158.50 5.5 2 6 444 173.00 171.50 171.50 170.50 5.5 3 7 421 170.00 170.50 170.50 171.00 4 2 8 411 166.00 164.00 164.00 163.50 2 3 9 505 144.00 142.00 142.00 140.00 2 1 10 542 146.00 144.00 144.00 142.50 5.5 2 11 536 158.00 155.00 155.00 156.00 2 3 12 539 142.00 143.00 143.00 142.00 4.5 2 13 532 141.00 140.00 140.00 139.00 4 1 14 504 158.00 156.00 156.00 152.50 4 3 15 591 144.00 143.00 143.00 140.50 5 1 16 543 145.00 145.00 145.00 146.00 5 2 17 565 143.00 145.00 145.00 146.00 5 2 18 501 151.00 152.00 152.00 150.00 5.5 2 Max 173.00 171.50 171.50 171.00 Min 137.00 136.00 136.00 135.00 137.50 LINGKAR DADA DAN BCS SAPI BALI LD BULAN APRIL No. No. Sapi Awal Akhir 137.50 136.00 2 3 143.00 142.50 3.5 2 153.00 152.00 4 2 135.00 4,5 2 LD BULAN MEI Awal Akhir 2.11±0.68 UMUR (thn) BCS 1 428 145.00 146.50 146.50 147.00 3 3 2 219 142.00 141.00 141.00 140.50 3 3 3 211 133.00 132.50 132.50 130.00 2 2 4 238 138.00 138.50 138.50 139.00 3 3 5 283 136.00 138.00 138.00 142.00 4 3 6 256 137.00 138.50 138.50 140.00 4 2 7 279 143.00 144.00 144.00 145.00 3 3 8 224 130.00 132.50 132.50 134.00 2.5 2 9 264 134.00 132.00 132.00 131.50 2.5 2 10 210 138.00 136.00 136.00 133.00 2.5 3 11 230 126.00 127.50 127.50 129.00 3 2 200 4.5 12 137.00 138.00 138.00 139.00 Max 145.00 146.50 146.50 147.00 Min 126.00 127.50 127.50 129.00 3 2.58±0.51 57 Lampiran 12 Investasi telur cacing pada feses dari sapi PO dan sapi bali SAPI PO Hasil Pemeriksaan No. No. Sapi +/- Ket 1 2 3 4 1 452 - + telur cacing 2 481 - strongyl natif 3 465 - 4 436 - 5 475 + 6 444 - 7 421 - 8 411 - 9 505 - 10 542 - 11 536 - 12 539 - 13 532 - 14 504 - 15 591 - 16 543 - 17 565 - 18 501 SAPI BALI Hasil Pemeriksaan No. No. Sapi +/- Ket 1 2 3 4 1 428 - + telur cacing 2 219 - strongyl natif 3 211 - 4 238 + 5 283 - 6 256 - 7 279 - 8 224 - 9 264 - 10 210 - 11 230 + 12 200 - 58 Lampiran 13 Kadar hormon kortisol dalam serum darah sapi PO dan sapi bali DATA ANALISA SERUM CORTISOL KIT : CORTISOL [125 I] KIT (Ref: RK-240CT) No.urut No. Sampel PO 1 Cortisol (ng/ml) 2 3 1 505 5.324 2 542 6.470 3 536 5.351 4 539 6.364 5 532 4.824 6 504 7.379 7 591 6.673 8 543 5.985 9 565 6.486 10 501 4.738 11 452 11.344 12 481 6.373 13 465 6.377 14 436 5.210 15 475 13.965 16 444 12.345 17 421 6.088 18 411 5.090 Rata-rata 7.021±2.679 No.urut No. Sampel Bali 1 Cortisol (ng/ml) 2 3 1 428 9.393 2 219 6.711 3 211 6.387 4 238 5.207 5 283 7.686 6 256 5.562 7 279 5.545 8 224 5.948 9 264 5.001 10 210 5.573 11 230 5.642 12 200 5.295 Rata-rata 6.163±1.262 59