Chapter One - Repository UNIMAL

advertisement
Chapter
One
Pendahuluan
Article 2 (1)(a) Vienna Convention on Treaty
“A treaty an international agreement concluded between States in written form and
governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or
more related instruments, and whatever its particular designation.”
2
Chapter One – Pendahuluan
Kedudukan Hukum Internasional sampai saat ini masih terus
dipertanyakan kekuatan berlakunya. Masih banyak yang skeptis
tentang proses pembentukan, penafsiran, dan penerapan Hukum
Internasional pada tataran praktis. Sistem Hukum Internasional tidak
memiliki lembaga legislasi universal yang dapat melakukan proses
legislasi peraturan, tidak memiliki lembaga eksekutif yang akan
melaksanakan ataupun menegakkan hukum yang telah dibuat, serta
tidak ada lembaga yudikatif yang akan menafsirkan dan menyelesaikan
perselisihan yang timbul.
Walaupun demikian, para pengacara internasional, diplomat,
pembuat kebijakan pemerintah, perwakilan organisasi internasional,
aktor non government organization, dan masih banyak pihak lain yang
terus menerus meminta agar Hukum Internasional mengadili,
mengatur, dan membatasi sebuah tindakan. Orang perorangan sering
mengandalkan Hukum Internasional untuk mengajukan gugatan baik
pada forum nasional maupun forum internasional. Pengadilan nasional
maupun internasional juga sering menerapkan Hukum Internasional
untuk memutuskan sebuah sengketa. Hal ini dapat disimpulkan bahwa
Hukum Internasional dibuat, diterapkan, ditafsirkan, dan terkadang
ditegakkan melalui berbagai macam proses dan cara.
Terdapat beberapa jalan untuk membentuk Hukum
Internasional. Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional
menyebutkan beberapa sumber Hukum Internasional yang dapat
digunakan untuk memutuskan kasus-kasus internasional. Isi Pasal
tersebut lengkapnya adalah sebagai berikut:
(1) The Court, whose function is to decide in accordance with international
law such disputes as are submitted to it, shall apply:
a. International conventions, whether general or particular,
establising rules expressly recognized by the contesting states;
b. International customs, as evidence of a general practice accepted
as law;
c. The general principles of law recognized by civilized nations;
Chapter One – Pendahuluan
3
d. ….judicial decisions and the teachings of the most highly qualified
publicists of the various nations, as subsidiary means for the
determination of rules of law.
Walaupun Pasal ini sangat membantu, namun yang perlu
digarisbawahi bahwa ini hanya merupakan jalan awal untuk
menemukan Hukum Internasional. Ketentuan ini mengandung dua hal
penting, yaitu: pertama, menyarankan pada pengadilan ataupun
pembuat kebijakan lainnya untuk mencari Hukum Internasional dari
beberapa sumber yang disebutkan di atas; kedua, walaupun perjanjian
dan kebiasaan internasional terdapat pada urutan atas, namun semakin
hari peran keduanya mulai dibantu dengan meningkatnya aktivitas
organisasi internasional, lembaga regional, perusahaan multinasional,
dan NGO.
Urutan sumber hukum ini tidak lagi menggambarkan sebuah
hirarkhie formal, melainkan semata-mata sebagai sumber hukum bagi
Hakim Mahkamah Internasional dalam memutuskan sebuah perkara.
Bagi sebuah pengadilan yang sedang menghadapi kasus Hukum
Internasional, perjanjian internasional merupakan bentuk hukum yang
lebih diprioritaskan dengan beberapa alasan. Pertama, terlepas dari
masalah penafsiran, isi perjanjian akan lebih mudah untuk diputuskan;
Kedua, pada dasarnya perjanjian internasional merupakan gambaran
dari persetujuan sebuah negara yang terlibat untuk mengikatkan
dirinya; Ketiga, perjanjian internasional menjadi sumber hukum yang
cukup dikenal oleh pembuat kebijakan nasional dan para pengikutnya
dibandingkan dengan sumber Hukum Internasional lainnya, dan
keputusan yang didasarkan pada perjanjian internasional lebih mudah
diterima oleh para pihak yang terlibat.
Perjanjian internasional yang pada hakikatnya merupakan
sumber Hukum Internasional yang utama adalah instrumen-instrumen
yuridik yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau
subjek Hukum Internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama.
4
Chapter One – Pendahuluan
Persetujuan bersama yang dirumuskan dalam perjanjian tersebut
merupakan dasar Hukum Internasional untuk mengatur kegiatan
negara-negara atau subjek Hukum Internasional lainnya di dunia ini.1
Dewasa ini dalam Hukum Internasional kecendrungan untuk
mengatur Hukum Internasional dalam bentuk perjanjian intenasional
baik antar negara ataupun antar negara dan organisasi internasional
serta negara dan subjek internasional lainnya telah berkembang dengan
sangat pesat, ini disebabkan oleh perkembangan yang pesat dari
masyarakat internasional, termasuk organisasi internasional dan
negara-negara. Untuk itu, buku ini akan mencoba memberikan
gambaran dan penjelasan yang cukup tentang perjanjian internasional
sebagai sumber Hukum Internasional.
A. Pengertian Hukum Perjanjian Internasional
Pengertian tentang apa yang dimaksud dengan perjanjian
internasional oleh para sarjana memberikan definisi masing-masing
sesuai dengan apa yang ditekankan dalam pengertian istilah itu, tetapi
dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik persamaan yang
menggambarkan ciri-ciri perjanjian internasional. Definisi perjanjian
Internasional diungkap oleh G. Schwarzenberger. “Treaties are
agreements between subject of International Law creating binding obligations in
International Law. They may be bilateral (i.e. concluded between contracting
parties) or multilateral (i.e. concluded more than contracting parties).”2
Dapat diartikan, bahwa perjanjian internasional, sebagai suatu
persetujuan antara subyek-subyek Hukum Internasional yang
menimbulkan kewajiban-kewajiban (obligations) yang mengikat dalam
Hukum Internasional. Persetujuan tersebut dapat berbentuk bilateral
maupun multilateral. Sedangkan definisi lain dari perjanjian
1
2
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global,
2003, Alumni, Bandung, Hlm. 82.
Schwarzenberger, Georg, and Brown, A Manual of International Law, 6th edition, Professional
Books Limiter, London and Cardiff, 1976.
Chapter One – Pendahuluan
5
internasional juga diungkapkan oleh Oppenheim-Lauterpacht :
“International treaties are agreements of contractual charter between states,
creating legal rights and obligations between the parties”3.
Ditegaskan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan antar
negara, yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak.
Pendapat yang lebih luas lagi, yaitu definisi dari Mochtar
Kusumaatmadja bahwa : “Perjanjian internasional adalah suatu
perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa
yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.”4
Berdasarkan definisi tersebut bahwa subyek Hukum
Internasional yang mengadakan perjanjian adalah anggota masyarakat
bangsa-bangsa, termasuk juga lembaga-lembaga internasional dan
negara-negara. Dari definisi-definisi ini dapat ditarik persamaan
mengenai ciri-ciri perjanjian internasional bahwa pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian saling menyetujui antara pihak-pihak yang
dapat menimbulkan hak dan kewajiban dalam bidang internasional.
Untuk memulai mengkaji secara yuridis tentang perjanjian
internasional, kita tidak bisa terlepas dari 2 (dua) sumber hukum
perjanjian, yaitu Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986.
Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional mulai berlaku
sejak 27 Januari 1980. Rancangan Konvensi ini dibuat oleh Komisi
Hukum Internasional yang memiliki penjelasan yang sangat berguna
dalam menafsirkan Konvensi. Sejak tahun 1969, banyak ketentuan
Konvensi dijadikan rujukan oleh para hakim dan dipraktikkan oleh
negara-negara.
Walaupun demikian, Konvensi hanya diterapkan terhadap
perjanjian yang dibuat setelah Konvensi tersebut berlaku, yaitu setelah
3
4
Oppenheim, L. International Law a Treaties, Vol. I., 7th edition, Edited by H. Lauterpacht,
Longmans Green and Co., London, 1952.
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bina Cipta, Bandung, 2000.
6
Chapter One – Pendahuluan
tanggal 27 Januari 1980.5 Sebagai sebuah konvensi, sepertinya nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya mulai sedikit terbatas. Faktanya,
konvensi tersebut merupakan kodifikasi terhadap hukum kebiasaan
yang terkait dengan perjanjian, walaupun ada beberapa ketentuan baru
yang merupakan progressive development dari hukum perjanjian
internasional.
Pasal 2 (1) (a) Konvensi Wina 1969 mendefinisikan perjanjian
internasional (treaty) sebagai, “…an international agreement concluded between
States in written form and governed by international law, whether embodied in a
single instrument or in two or more related instruments, and whatever its particular
designation.”6
Pengertian ini tidak memasukkan perjanjian yang dibuat antar
negara yang diatur oleh hukum nasional dan perjanjian antar negara
yang memang tidak bertujuan untuk menciptakan hubungan hukum
sama sekali. Pengecualian terhadap kedua bentuk perjanjian ini
sebanarnya cukup kuno, namun menjadi lebih kontroversial ketika
pengecualian juga diberikan terhadap perjanjian yang tidak tertulis,
dan perjanjian yang dibuat antar organisasi internasional atau antara
negara dengan organisasi internasional. Perjanjian seperti inilah yang
lazimnya juga disebut traktar (treaty) ini dikecualikan dalam Konvensi
karena memang ada beberapa aspek pengaturannya yang berbeda.
Untuk mencegah terjadinya pro dan kontra yang berkepanjangan
tentang perjanjian yang dibuat diluar aturan Konvensi, akhirnya pada
tahun 1986 dibentuk sebuah Konvensi khusus tentang Hukum
Perjanjian Antara Negara dengan Organisasi Internasional dan Antar
Organisasi Internasional. Dengan beberapa pertimbangan, perjanjian
internasional yang dibuat oleh organisasi internasional akan lebih
5
6
Pasal 4 Konvensi Wina 1969.
Diterjemahkan secara harfiah bahwa perjanjian internasional adalah “sebuah persetujuan
yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional,
apakah dalam instrumen tunggal, atau dua, atau lebih instrumen yang berkaitan dan
apapun nama yang diberikan padanya.”
Chapter One – Pendahuluan
7
relevan bila dibahas sebagai bagian dari Hukum Organisasi
Internasional daripada dalam pembahasan tentang Perjanjian
Internasional (Antar Negara), sedangkan perjanjian lisan sekarang
sudah sangat jarang dilakukan.
Definisi yang diberikan oleh Konvensi ini kemudian dijabarkan
dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri, yaitu:
“Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan
apapun, yang diatur oleh Hukum Internasional dan dibuat secara tertulis
oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara,
organisasi internasional atau subjek Hukum Internasional lainnya, serta
menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang
bersifat hukum publik.”7
Sedangkan menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No. 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang dibuat dengan
merujuk kepada Konvensi Wina tersebut, menyatakan bahwa yang
dimaksud Perjanjian Internasional adalah:
”Perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam Hukum
Internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan
kewajiban di bidang hukum publik.”8
Dari pengertian atau definisi yang sudah diberikan di atas dapat
dilihat ada dua unsur pokok yang terdapat dalam suatu perjanjian
internasional, yaitu:
7
8
Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 3882
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 4012
8
Chapter One – Pendahuluan
a.
Adanya subjek Hukum Internasional;
Artinya suatu perjanjian adalah dianggap perjanjian
internasional jika pelaksana perjanjian internasional tersebut
adalah subjek Hukum Internasional yaitu antara negara,
negara dengan subjek hukum lain, dan antara subjek hukum
satu sama lainnya.
b.
Adanya rejim Hukum Internasional;
Artinya suatu perjanjian adalah dianggap perjanjian
internasional apabila perjanjian tersebut diatur oleh rejim
Hukum Internasional. Perjanjian yang tunduk dan diatur
oleh rejim hukum nasional suatu negara tidak termasuk
dalam perjanjian internasional (treaty), walaupun salah satu
atau semua pihaknya adalah subjek Hukum Internasional.
Perjanjian internasional harus tunduk pada Hukum
Internasional dan tidak boleh tunduk pada suatu hukum
nasional tertentu. Walaupun perjanjian itu dibuat oleh
negara atau organisasi internasional namun apabila telah
tunduk pada suatu hukum nasional tertentu yang dipilih,
perjanjian tersebut bukanlah perjanjian internasional.
Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian dan
Konvensi Wina 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara Negara dan
Organisasi
Internasional
atau
antara
Organisasi-organisasi
Internasional tidak memberikan pembedaan terhadap berbagai bentuk
perjanjian internasional. Pada umumnya bentuk dan nama perjanjian
menunjukkan bahwa materi yang diatur oleh perjanjian tersebut
memiliki bobot kerja sama yang berbeda tingkatannya. Namun
demikian, secara hukum perbedaan tersebut tidak mengurangi hak dan
kewajiban para pihak yang tertuang dalam suatu perjanjian
internasional. Penggunaan suatu bentuk dan nama tertentu bagi
perjanjian internasional pada dasarnya menunjukkan keinginan dan
Chapter One – Pendahuluan
9
maksud para pihak terkait serta dampak politik dan hukum bagi para
pihak tersebut.
B. Istilah dan Bentuk Perjanjian Internasional
Banyak istilah yang digunakan untuk perjanjian internasional
diantaranya adalah traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention),
piagam (statute), charter, deklarasi, protokol, arrangement, accord,
modus vivendi, covenant, dan lain-lain. Semua ini apapun namanya
mempunyai arti yang tidak berbeda dengan perjanjian internasional.
Istilah yang digunakan atas perangkat internasional tersebut umumnya
tidak mengurangi hak dan kewajiban yang terkandung di dalamnya.
Suatau terminologi perjanjian internasional digunakan berdasarkan
permasalahan yang diatur dan dengan memperhatikan keinginan para
pihak pada perjanjian tersebut dan dampak politisnya terhadap
mereka. Selain itu, penggunaan judul tertentu pada suatu perjanjian
internasional juga dilakukan untuk menunjukkan bahwa materi
perjanjian tersebut memiliki bobot kerjasama yang berbeda
tingkatannya dengan perjanjian internasional lainnya, atau untuk
menunjukkan hubungan antara perjanjian internasional tersebut
dengan perjanjian-perjanjian internasional lainnya yang telah dibuat
sebelumnya.9
Adapun istilah-istilah dan bentuk perjanjian internasional yang
sering dipraktekkan di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Traktat/Perjanjian Internasional (Treaty)
Istilah traktat dapat digunakan menurut pengertian umum
atau pengertian khusus. Pengertian umum adalah traktat
mencakup segala macam bentuk persetujuan internasional.10
Sedangkan dalam arti khusus treaty merupakan perjanjian
9
10
Boer Mauna, Ibid. Hlm. 89.
T.O. Elias, The Modern Law of Treaties, 1974, Oceana Publications, INC., Dobbs Ferry, NY.
Hlm. 14.
10
Chapter One – Pendahuluan
yang paling penting dan sangat formal dalam urutan
perjanjian. Umumnya, traktat digunakan untuk suatu
perjanjian yang materinya merupakan hal-hal yang sangat
prinsipil. Bentuk perjanjian internasional yang mengatur
hal-hal yang sangat penting yang mengikat negara secara
menyeluruh, yang umumnya bersifat multilateral. Arti
penting traktat menyebabkan perjanjian ini sering harus
diikuti dengan proses ratifikasi atau pengesahan. Traktat
juga harus melalui beberapa prosedur penting dalam
pembuatannya secara lengkap, dimulai dari perundingan,
penandatanganan, dan ratifikasi. Namun demikian, istilah
traktat juga terkadang digunakan juga untuk perjanjian
yang sifatnya tidak begitu penting, tergantung pada
kebiasaan negara yang membentuknya.
b. Konvensi (Convention)
Menurut pengertian umum, istilah Convention
dapat
disamakan dengan pengertian umum terminologi traktat.
Dalam pengertian khusus, dikenal juga dengan istilah dalam
Bahasa Indonesia dengan Konvensi yang digunakan untuk
perjanjian-perjanjian multilateral yang beranggotakan
banyak pihak. Suatu perjanjian penting dan resmi yang
bersifat multilateral. Konvensi biasanya bersifat “Law Making
Treaty” dengan pengertian yang meletakkan kaidah-kaidah
hukum bagi masyarakat internasional, sebagaimana yang
termuat dalam konvensi-konvensi hukum perang, hukum
perjanjian, dan hukum laut internasional. Konvensi biasanya
merupakan perjanjian-perjanjian sebagai pendahulu
perjanjian yang bersifat formil atau menjadi dasar dari
perjanjian-perjanjian. Konvensi juga merupakan perjanjianperjanjian internasional untuk mengatur hal-hal yang
berkenaan dengan kepentingan bersama negara-negara itu
yang berasal dari kepentingan-kepentingan hubungan
Chapter One – Pendahuluan
11
politik maupun perniagaan; misalnya perjanjian tentang
international postage dan perlindungan bagi kawat-kawat
di dasar laut.11
c. Persetujuan (Agreement)
Dalam pengertian khusus, istilah persetujuan mengatur
materi yang memiliki cakupan lebih kecil dibanding materi
yang diatur pada traktat. Suatu bentuk perjanjian
internasional yang isinya tidak termasuk materi seperti yang
dikategorikan dalam treaty atau convention. Umumnya
bersifat bilateral, namun tidak tertutup kemungkinan juga
dibuat bersifat multilateral. Umumnya digunakan pada
perjanjian yang mengatur materi kerjasama di bidang
ekonomi, kebudayaan, teknik, dan ilmu pengetahuan.
Persetujuan juga dapat digunakan pada perjanjian yang
menyangkut pencegahan pajak berganda, perlindungan
investasi atau penanaman modal atau bantuan keuangan.
d. Memorandum Saling Pengertian (Memorandum of Understanding)
Bentuk lain dari perjanjian internasional yang memiliki sifat
khas. Dalam prakteknya, kerjasama melalui MoU lebih
disukai karena dianggap sederhana dan dapat dibuat
sebagai persetujuan induk atau sebagai pelaksanaan
perjanjian yang mengatur hal-hal teknis. Karena dianggap
sederhana maka umumnya MoU tidak perlu diratifikasi.
e.
Pengaturan (Arrangement)
Bentuk perjanjian yang dibuat sebagai pelaksana teknis dari
suatu perjanjian internasional yang telah ada, atau sering
disebut implementing arrangement.
11
Soekotjo Hardiwinoto, Pengantar Hukum Internasional, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1995, Hlm. 54.
12
Chapter One – Pendahuluan
f.
Agreed Minutes/Summary Records/Records of Discussion
Suatu
kesepakatan
antara
wakil-wakil
lembaga
pemerintahan tentang hasil akhir atau hasil sementara dari
suatu pertemuan teknis. Bentuk ini banyak dipakai untuk
merekam pembicaraan pada acara-acara kunjungan resmi
atau tidak resmi, atau untuk mencapai kesepakatan
sementara sebagai bagian dari rangkaian putaran
perundingan mengenai suatu masalah.
g. Pertukaran Nota Politik (Exchange of Notes)
Instrumen diplomatic yang berisi pertukaran penyampaian
atau pemberitahuan resmi posisi Pemerintah masing-masing
yang telah disetujui bersama mengenai suatu masalah
tertentu. Exchange of Note dapat berupa sekedar
pelaksanaan tindak lanjut dari suatu persetujuan yang telah
dicapai; konfirmasi dari kesepakatan lisan yang telah
dicapai sebelumnya; kesepakatan tentang perbaikan dari
suatu perjanjian yang telah berlaku; atau suatu perjanjian
yang ditandatangani di tempat yang berbeda dan dalam
waktu yang tidak sama.
Istilah lain seperti Joint Statement, Modus Vivendi, Protocol, Charter,
Joint Declaration, Final Act, Process Verbal, Memorandum of Cooperation, Side
Letter, Reciprocal Agreement, Letter of Intent, Aide Memoire, atau Demarche juga
merupakan istilah-istilah yang dapat digunakan untuk mewakili
perjanjian internasional.
Sekalipun Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional tidak mempermasalahkan judul atau isitlah
perjanjian internasional, namun praktek Indonesia pada umumnya
tanpa disengaja telah mengarah pada penggunaan istilah tertentu
untuk ruang lingkup materi tertentu. Misalnya lebih cenderung
menggunakan “Agreement” sebagai instrumen payung dan kemudian
Chapter One – Pendahuluan
13
MOU serta Arrangements untuk instrumen turunannya. Pendekatan ini
dimaksudkan hanya untuk kebutuhan praktis dan secara hukum tidak
mengurangi atau melarang Indonesia untuk menentukan bentuk lain
berdasarkan asas kebebasan berkontrak sepanjang kedua pihak
menyepakatinya.
Selain itu, terdapat pula kecenderungan umum dalam praktek
Indonesia bahwa dalam setiap pembuatan perjanjian yang bersifat
teknis antar sektor harus didahului dengan pembuatan perjanjian
payung, seperti Perjanjian Kerjasama Ekonomi dan Teknik. Pendekatan
ini cukup idealis namun hanya dimaksudkan untuk kepentingan
conveniences dan bukan merupakan suatu aturan yang mengikat. Dalam
hal ini, jika terdapat kebutuhan lain maka suatu perjanjian dapat saja
dibuat untuk masalah yang teknis dan konkrit tanpa adanya perjanjian
payung.
Memorandum Saling Pengertian (Memorandum of Understanding)
merupakan salah satu model dokumen yang memiliki sifat khas/typical.
Terdapat praktek negara, khususnya pada negara-negara common law
system, yang berpandangan bahwa MOU adalah non-legally binding dan
perlu dibedakan dengan Treaties. Namun praktek negara-negara lain
termasuk Indonesia menekankan prinsip bahwa setiap persetujuan
yang dibuat antara negara (termasuk MOU) memiliki daya mengikat
seperti Treaties. Para ahli berpendapat bahwa istilah MOU digunakan
dengan alasan politis yaitu ingin sedapat mungkin menghindari
penggunaan Agreement yang dinilai lebih formal dan mengikat. Adanya
pengertian MOU yang non-legally binding dalam praktek beberapa negara
akan menimbulkan suatu situasi bahwa satu pihak menilai dokumen
tersebut sebagai perjanjian internasional yang mengikat namun pihak
14
Chapter One – Pendahuluan
yang lain menganggap dokumen itu hanya memuat komitmen politik
dan moral.12
Pada tataran praktis, pengertian non-legally binding itu sendiri
masih belum memberikan klarifikasi yang berarti. Secara umum
pengertian ini selalu diartikan bahwa salah satu pihak tidak dapat
meng-enforce isi MOU melalui jalur peradilan internasional atau jalur
kekuatan memaksa yang lazim dilakukan terhadap perjanjian
internasional. Dari sisi hukum nasional, khususnya pada negara-negara
common law, pengertian non-legally binding memiliki implikasi bahwa
dokumen ini tidak dapat dijadikan alat pembuktian serta di-enforce oleh
pengadilan. Dalam praktek diplomasi Indonesia saat ini, sebenarnya
belum ada kecenderungan untuk mengarahkan penyelesaian sengketa
atas suatu perjanjian internasional melalui pengadilan internasional.
Dengan demikian, pengertian non-legally binding belum menjadi concern
yang berarti bagi Indonesia.
Istilah MOU sendiri ternyata telah sering digunakan sebagai
bentuk yang lebih informal dari ”kontrak” atau ”perjanjian” dalam
hubungan perdata nasional. Dalam rangka menarik dan memberikan
jaminan politik terhadap investor asing, Pemerintah Daerah juga sudah
mulai menggunakan format MOU untuk merefleksikan jaminan
Pemerintah Daerah terhadap niat investor asing untuk melakukan
investasi di daerah itu. Status hukum MOU semacam ini masih menjadi
perdebatan.
Perlu pula dicermati bahwa MOU sudah menjadi instrumen yang
digunakan dalam hubungan kerjasama antar wilayah dalam kerangka
otonomi daerah di Indonesia. Pengertian MOU oleh otonomi daerah
merupakan dokumen awal yang tidak mengikat yang nantinya akan
12
Damos Dumoli Agusman, Apa Perjanjian Internasional itu? Beberapa Perkembangan Teori
dan Praktek di Indonesia Tentang Perjanjian Internasional, Refleksi Dinamika Hukum, 2008,
dapat
diakses
di
http://elibrary.kemlu.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=65%3Aapaperjanjian-internasional-itu&catid=45%3Ae-resources&Itemid=76&lang=en
Chapter One – Pendahuluan
15
dituangkan dalam bentuk “Perjanjian Kerjasama” yang bersifat
mengikat.
Berdasarkan tahap pembuatan perjanjian yang dipraktikkan oleh
negara-negara selama ini, Mochtar Kusumaatmadja13 membagi bentuk
perjanjian internasional dalam 2 (dua) kelompok:
1.
Perjanjian yang dibuat dalam 3 (tiga) tahap, yaitu tahap perundingan,
penandatanganan, dan ratifikasi;
2. Perjanjian yang dibuat hanya melewati 2 (dua) tahap, yaitu tahap
perundingan dan tahap penandatanganan.
Klasifikasi perjanjian internasional dapat dibedakan dalam 2
(dua) golongan, yaitu:
1.
Perjanjian Bilateral
Perjanjian bilateral adalah perjanjian antara dua negara yang
menjadi pihak-pihak dalam perjanjian. Perundingan biasanya
diadakan atas pernyataan salah satu pihak yang menyatakan
keinginannya untuk mengadakan perjanjian tentang hal-hal
tertentu. Perundingan pendahuluan ini dimaksudkan untuk
membuat rancangan perjanjian yang kemudian akan mereka
tandatangani. Biasanya pihak yang mengusulkan diadakannya
perjanjian tersebut mengajukan naskah rancangan perjanjian
yang diusulkan.
2. Perjanjian Multilateral
Perjanjian multilateral merupakan perjanjian yang diadakan
oleh tiga negara atau lebih, biasanya disetujui dalam
konferensi internasional yang diadakan khusus untuk
13
Mochtar Kusumaatmadja, Ibid. Hlm. 116.
16
Chapter One – Pendahuluan
keperluan itu atau bersangkutan dengan pertemuan suatu
organisasi internasional.
Mochtar14 juga mengklasifikasi perjanjian dilihat dari segi pihakpihak yang mengadakan perjanjian yaitu:
1.
Perjanjian antar negara, merupakan jenis perjanjian yang jumlahnya
banyak, hal ini dapat dimaklumi karena negara merupakan subyek
Hukum Internasional yang paling utama dan saling klasik.
2. Perjanjian antar negara dengan subyek Hukum Internasional lainnya
seperti negara dengan organisasi internasional atau dengan vatikan.
3. Perjanjian antara subyek Hukum Internasional selain negara satu sama
lain, misalnya negara-negara yang tergabung dalam ACP (African,
Carriban and Pacific) dengan MEE.
Klasifikasi perjanjian dapat ditinjau dari perwakilan negara
dalam membentuk perjanjian internasional, yaitu:
1. Perjanjian antar kepala negara (head of state form). Pihak peserta
dari perjanjian disebut “High Contracting State”. Dalam praktek
pihak yang mewakili negara dapat diwakilkan kepada
MENLU, atau Duta Besar dan dapat juga pejabat yang
ditunjuk sebagai kuasa penuh (full powers).
2. Perjanjian antar Pemerintah (inter-Government form). Perjanjian ini
juga sering ditunjuk MENLU atau Duta Besar atau wakil
berkuasa penuh. Pihak peserta perjanjian ini tetap disebut
“Contracting State” walaupun perjanjian itu dinamakan
perjanjian “inter-governmental”.
14
Mochtar Kusumaatmadja, Ibid. Hlm. 11
Chapter One – Pendahuluan
17
3. Perjanjian antar negara (inter-state form), pejabat yang
mewakilinya dapat ditunjuk MENLU, Duta Besar dan wakil
berkuasa penuh (full Powers).15
Pembagian perjanjian internasional juga dapat dilakukan dalam
hal akibat yang ditimbulkannya, yaitu:
1.
Treaty Contract
Perjanjian yang seperti suatu kontrak atau perjanjian dalam
hukum perdata hanya mengakibatkan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban antara pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian itu. Misalnya dalam perjanjian mengenai
kewarganegaraan ganda, perjanjian perbatasan, perjanjian
perdagangan, dan sebagainya.
2. Law Making Treaty
Law making treaty adalah perjanjian yang meletakkan
ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi
amsyarakat internasional secara keseluruhan. Contohnya
adalah Konvensi 1949 tentang Perlindungan Korban Perang,
Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional, dan
lainnya.
Perbedaan antara treaty contract dan law making treaty dapat dilihat
dari kemungkinan para pihak untuk turut serta dalam perjanjian
tersebut. Pihak ketiga umumnya tidak dapat turut serta dalam treaty
contract yang diadakan antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian
tersebut di awalnya karena hanya mengatur kepentingan pihak
tersebut saja.
15
Sam Suheidi, “Sejarah Hukum internasional”.Bina Cipta, Bandung, 1969.
18
Chapter One – Pendahuluan
Sebaliknya law making treaty selalu terbuka bagi pihak lain yang
tadinya tidak turut serta dalam perjanjian karena yang diatur ileh
perjanjian tersebut merupakan masalah-masalah umum mengenai
semua anggota masyarakat internasional.
Download