TINJAUAN PUSTAKA Alfalfa Alfalfa mempunyai nama latin Medicago sativa L. Kata Medicago berasal dari bahasa latin yaitu medica yang berarti median, dimana daerah Mediterania dipercaya merupakan tempat alfalfa berasal. Alfalfa di benua Eropa dikenal dengan nama lucerne. Lucerne berasal dari nama Lake Lucerne di Switzerland dimana di tempat ini kultivasi awal dan popularitas alfalfa berkembang sampai akhirnya masuk ke Eropa (Allen dan Allen, 1981). Alfalfa juga mendapat julukan Cadillac of The Forages, Queen of The Forages, Purple Medick, dan Trefoil. Alfalfa berasal dari bahasa Arab, yaitu Al-Fal-Fa, yang berarti bapak dari semua makanan. Menurut Whiteman (1980), alfalfa juga digunakan sebagai salah satu komponen hijauan pastura. Alfalfa sering digunakan dalam pastura untuk sapi perah, sapi potong, dan domba (Cheeke, 2005). Menurut Vavilov, seorang ahli botani Rusia, pusat penyebaran tanaman alfalfa yaitu di daerah Asia kecil, Iran, dan dataran tinggi Turki. Di mana di daerah ini terdapat bermacam-macam tanaman gandum, tanaman biji-bijian untuk makanan ternak, sayuran, dan buah-buahan. Tabel 1 berikut menunjukkan jaman pembudidayaan beberapa tanaman penting hasil dari studi yang mendasarkan pada evolusi tanaman (Poespodarsono, 1988). Tabel 1. Jaman Pembudidayaan Tanaman Penting Jaman Tanaman Pra 5000 SM Barley, wheat, jagung, kacang-kacangan, pea, igam, dan lentik Pra 2500 SM Kentang, anggur, millet, padi, rye, kacang tanah, lucerne, kapas olive, apel Pra 1 SM Kedelai, flax, jeruk, oat, teh, bit, fig, pisang, coklat. Pra 1000 M Tebu, kopi, tembakau, karet Pengetahuan tentang pembudidayaan suatu tanaman berkaitan dengan kemungkinan keragaman yang pernah terjadi pada tanaman itu. Keragaman memang sudah terjadi sebelum pembudidayaan namun setelah itu terjadi peningkatan karena peristiwa alami. Keragaman ini makin ditingkatkan dengan adanya modifikasi akibat tanaman berada pada lingkungan baru yang sama sekali berbeda dengan asalnya, oleh karena itu makin awal pembudidayaannya dapat menimbulkan keragaman makin tinggi pada saat ini, dan makin beragam suatu tanaman mungkin menunjukkan makin awal pembudidayaannya (Poespodarsono, 1988). Dipercaya bahwa alfalfa dibudidayakan pertama kali di Iran. Alfalfa dibawa ke Yunani sekitar tahun 490 SM oleh invasi Media Persia sebagai bahan makanan kuda dan hewan yang dibawa. Kemudian alfalfa menyebar ke Itali dan negara-negara Eropa lainnya, termasuk Spanyol. Dari Spanyol, alfalfa dibawa ke Amerika Tengah dan Selatan oleh ekspedisi Spanyol. Catatan pertama tentang pertumbuhan alfalfa di Amerika Serikat yaitu di Georgia pada tahun 1736. Alfalfa mempunyai klasifikasi sebagai berikut (Ildis, 2005) : Kingdom : Plantae Division : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Order : Fabales Family : Fabaceae Subfamily : Faboideae Tribe : Trifolieae Genus : Medicago Species : M. sativa Jumlah kromosom alfalfa (purple alfalfa) sebanyak 32 buah (Hughes et al., 1951). Alfalfa (Medicago sativa) merupakan hijauan leguminosa yang tumbuh sepanjang tahun, dikotil, crosspollinated, heterozygous autotetraploid, dan memiliki banyak keragaman genetik. Fenwich et al., (1996) menyatakan alfalfa atau lucerne merupakan salah satu legum perennial dimana sangat penting dalam produksi hijauan. Gambar 1. Struktur Biji Alfalfa (Meyer, D. 1999) Bunga alfalfa terdapat pada tandan yang longgar atau rangkaian, dan berwarna keunguan. Kotak dimana biji diproduksi berbentuk spiral yang memutar satu hingga lima kali, seperti cangkang siput (Hanson dan Barnes, 1973). Setiap kotak mengandung beberapa biji yang berbentuk seperti ginjal kecil. Batang alfalfa pada umumnya mempunyai diameter tidak lebih dari 1/8 inci, dan tinggi hingga mencapai 2,5 kaki. Bagian batang yang muncul dari dasar yang semi-kayu dikenal dengan nama mahkota atau crown (Wheeler, 1950). Sistem perakaran memiliki ciri yaitu akar utama yang terpisah, ketika berada dibawah kondisi yang tidak cocok dapat melakukan penetrasi hingga kedalaman tanah 7-9 meter atau lebih. Batang yang tegak biasanya mencapai ketinggian 60-90 cm. Ada sekitar 5-25 atau lebih batang per tanaman, tumbuh dari leher akar (crown) yang berkayu tempat dimana batang baru tumbuh ketika batang yang tua sudah dewasa atau telah dipanen. Akar utama mempunyai banyak cabang akar. Akar alfalfa tidak tumbuh pada tanah yang tidak mudah ditembus, keras, terdapat lapisan bebatuan di dekat permukaan tanah (Wheeler, 1950). Dengan sistem perakaran yang sangat dalam membuat alfalfa sangat tahan terhadap musim kemarau, dan stocking rate yang tinggi. Alfalfa juga lebih tahan dingin daripada kebanyakan legum tropik, dan karena sistem perakarannya yang dalam membuat alfalfa dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan 500 mm/tahun (Whiteman, 1980). Akar-akar alfalfa dalam sebuah area seluas 1 m2 dapat mencapai 744,8 meter (Kononova, 1966). Dalam material akar alfalfa memiliki kandungan 2,47% N, 0,26% P, dan 0,24% S (Kowalenko, 1978). Telah diketahui dengan baik bahwa sistem perakaran dari tanaman perennial herba memainkan bagian yang besar dalam menghasilkan struktur tanah yang baik (Kononova, 1966). Alfalfa mempunyai meristem bintil yang ujungnya tidak tertentu dan menghasilkan bintil yang lonjong (Gardner, 1991). Walaupun pembentukan bintil akar dapat terjadi tanpa inokulasi, namun hal tersebut sering tidak efektif. Inokulasi diperlukan hampir untuk semua spesies legum yang peka aluminium seperti alfalfa, clover, Glycine wightii, dan Leucaena leucocephala. Penggunaan strain Rhizobium setempat sering menghasilkan pembentukan bintil akar yang kurang baik (Sanchez, 1993). Daun alfalfa, letaknya berselang-seling pada batang, merupakan daun yang trifoliate (Hanson dan Barnes, 1973). Alfalfa memproduksi lebih banyak protein per hektar daripada tanaman lain untuk ternak. Alfalfa memiliki kandungan mineral yang tinggi dan mengandung setidaknya 10 jenis vitamin. Alfalfa sudah sejak lama dipertimbangkan sebagai sumber penting vitamin A (Hanson dan Barnes, 1973). Alfalfa mengandung 8 macam enzim esensial yaitu lipase, amilase, koagulase, emulsin, invertase, peroxidate, pectinase, dan protase. Vitamin yang ditemukan dalam alfalfa yaitu vitamin A, B6, D, E, K, U. Sedangkan mineral yang terdapat pada alfalfa yaitu Ca, Fe, Mn, K, P, Cl, Na, Si-Mg. Alfalfa mengandung 18,9% protein (Lucas, R et al., 2006). Sebagai sumber kalsium, alfalfa jauh mengungguli hijauan lainnya. Hay alfalfa juga mengandung rata-rata 14-15% protein yaitu 2,5 kali lebih banyak dibandingkan tepung sorghum atau tepung jagung (Wheeler, 1950). Alfalfa mengandung vitamin A sebanyak 231.000 IU / kg (Sudaro dan Siriwa, 1997). Karakteristik tersebut membuat alfalfa (dalam bentuk hay, pellet, atau silase) menjadi komponen ransum yang menarik dan menguntungkan untuk kebanyakan usaha peternakan. Alfalfa juga membantu meminimalkan polusi dengan cara mengurangi jumlah air run-off dan erosi tanah (Hanson dan Barnes, 1973). Alfalfa digunakan untuk soil improvement karena diketahui dapat meningkatkan struktur tanah, bahan organik, dan kesuburan tanah atau disebut green manuring. Alfalfa juga digunakan sebagai hijauan (forages) karena mampu menyediakan protein dan dapat mengikat nitrogen dari atmosfer (Sinha, 1977). Beberapa faktor penting dalam usaha membudidayakan alfalfa, yang pertama adalah pemilihan lokasi. Lokasi adalah salah satu faktor yang perlu mendapat perhatian karena menyangkut tempat tumbuh tanaman. Dalam pemilihan lokasi, yang perlu mendapat pertimbangan adalah syarat tumbuh tanaman. Lokasi yang akan digunakan harus sesuai dengan keadaan yang diinginkan tanaman, misalnya iklim atau tanahnya cocok (Palungkun dan Budiarti, 1991) Alfalfa dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai macam iklim dan kondisi tanah. Alfalfa beradaptasi sangat baik pada tanah lempung yang dalam dengan bagian tanah yang berpori. Sistem irigasi juga sangat diperlukan. Alfalfa juga membutuhkan banyak kapur dan tidak bagus pada tanah yang masam (Hanson dan Barnes, 1973). Alfalfa rentan dengan kandungan Al dan Mn yang tinggi dalam tanah, juga rentan terhadap fosfor dan kalium yang rendah dalam tanah (Sanchez, 1993). Alfalfa tumbuh sangat baik pada iklim yang kering dan tanah subur yang teririgasi. Dengan pemupukan yang bagus dan inokulasi dengan bakteri pengikat nitrogen (Rhizobium), alfalfa dapat tumbuh dengan bagus pada kondisi lembab yang berlebih. Alfalfa secara relatif toleran dengan tanah yang masam tetapi tidak begitu halnya jika ditanam pada tanah yang terlalu masam (Hanson dan Barnes, 1973). Alfalfa juga menyesuaikan diri dengan iklim sedang. Spesies legum yang rentan terhadap sebagian besar faktor yang berkaitan dengan keasaman tanah antara lain Leucaena leucocephala, Glycine wightii, Trifolium sp., dan Medicago sativa. Spesies tersebut tumbuh pada tanah yang sangat basa dan menyesuaikan dengan lebih baik pada tanah itu. Semua spesies tersebut tumbuh dengan subur pada tanah seperti itu di daerah tropika, terutama tanaman clover dan alfalfa pada tanah bergamping dengan suhu rendah (Sanchez, 1993). Bakteri pengikat nitrogen yang biasanya dinokulasikan pada akar alfalfa adalah Rhizobium meliloti. Bakteri ini mempunyai pertumbuhan yang cepat dan hidup pada suasana tanah yang asam (Allen dan Allen, 1981). Dalam pemilihan lahan untuk alfalfa, harus sungguh-sungguh memperhatikan tekstur, produktivitas, dan sistem irigasi. Tanah yang terlalu berpasir, masam, asin, dan terlalu kompak atau padat sebaiknya dihindari. Tanah yang paling produktif pada lahan peternakan harus dipilih untuk alfalfa. Ketika sistem irigasi secara alami tidak ada, maka harus disediakan dengan peralatan buatan sebelum alfalfa dibudidayakan. Lahan persemaian yang bagus harus padat, gembur, dan tanah yang matang. Lahan diolah untuk menghilangkan alang-alang dan rumput liar (Wheeler, 1950). Tanah vertisol yang sangat basa dengan temperatur yang agak rendah, daerah Queensland, disukai oleh alfalfa. Tanah Ustert di Australia juga dapat digunakan untuk tempat tumbuh alfalfa (Sanchez, 1993). Sebelum menanam benih alfalfa, sangat penting untuk mengetahui apa yang dibutuhkan oleh tanah. Kebutuhan tanah akan kapur bervariasi dan akan lebih baik jika dilakukan test untuk mengetahui kebutuhan tanah akan kapur. Kapur diberikan pada saat persiapan lahan persemaian. Alfalfa tumbuh dengan baik rata-rata pada tingkat pH 6,2 (Rowell, 1994). Menurut Kuswandi (1993) pH optimal bagi alfalfa antara 6,2-7,8. Tingkat penggunaan kapur akan tergantung pada kemasaman tanah, kemurnian, dan kualitas kapur yang digunakan. Alfalfa seharusnya tumbuh hanya pada tanah yang memiliki kandungan pospor yang berlimpah (Wheeler,1950). Hasil pengujian pH tanah digunakan untuk menentukan kebutuhan kapur. Jumlah kebutuhan kapur tergantung pada jenis bahan yang digunakan, jenis tanaman, sistem pergiliran tanaman, jenis tanah, dan faktor-faktor lain. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi jumlah kebutuhan kapur adalah tekstur tanah dan kandungan bahan organik dalam tanah (Kuswandi, 1993). Sumber-sumber kapur antara lain tepung tulang, tepung ikan, batu kapur, dan superphospat. Pemberian kapur sampai pH tanah mencapai 7 sangat dianjurkan. Untuk budidaya alfalfa, tanah harus dibajak atau diolah dengan baik. Pupuk kandang dapat diberikan 6 minggu sebelum penanaman, dan penambahan pupuk kandang setiap habis 3 kali panen (Duke, 1983). Alfalfa responsif terhadap aplikasi pemupukan khususnya fosfor, sulfur, dan potashium (Whiteman, 1980). Waktu penanaman benih yang umum dilakukan yaitu pada saat akhir musim kemarau atau awal musim penghujan. Penanaman pada saat tersebut akan mengurangi peluang tumbuhnya gulma, alang-alang, dan sebagainya. Penanaman sebaiknya dilakukan hanya setelah kondisi cuaca dan lahan persemaian mendukung. Jika lahan persemaian telah siap dan penanaman benih telah dilakukan kemudian diikuti dengan hujan, germinasi yang cepat akan terjadi dan akar akan mencapai poripori tanah sebelum pengeringan terjadi (Wheeler,1950). Rekomendasi standar untuk germinasi dan kemurnian benih alfalfa di Queensland, Australia, adalah sebagai berikut (Whiteman, 1980) : 1. Minimum benih yang dapat germinasi : 80 % 2. Maksimum benih yang keras : 30 % 3. Minimum benih murni : 98 % persentase 4. Maksimum benih gulma : 0.5 % berdasarkan 5. Maksimum benih tanaman lain : 0.5 % berat 6. Maksimum bahan inert : 1.5 % Untuk lahan seluas satu are dibutuhkan satu pound biji alfalfa (dalam satu pound terdapat sekitar 220000 biji alfalfa), cukup untuk menumbuhkan lima tanaman per kaki persegi jika semua biji germinasi dan tumbuh. Berbagai macam kendala yang ada dalam usaha pemeliharaan alfalfa menyebabkan penggunaan sekitar 8-15 pound biji alfalfa untuk lahan seluas satu are. Nilai yang lebih rendah biasanya direkomendasikan untuk kondisi kelembaban yang rendah, dan nilai yang lebih tinggi untuk kondisi dengan kelembaban yang tinggi (Wheeler,1950). Jika penanaman benih menggunakan sistem broadcasting maka memerlukan benih sebanyak 12-20 kg untuk lahan seluas satu hektar. Sedangkan jika benih ditanam pada larikan yang telah dibuat maka hanya membutuhkan benih sebanyak 10-12 kg untuk lahan seluas satu hektar (Duke, 1983). Benih alfalfa sebaiknya diinokulasikan dengan bakteri Rhizobium pada waktu ditanam. Kedalaman penanaman optimal yaitu 0,25 – 0,5 inchi pada tanah yang keras dan 0,5 – 1,0 inchi pada tanah yang ringan (McDonald et al., 2006). Sangat penting untuk menaruh benih dengan tepat sehingga dapat kontak dengan partikel tanah untuk mempercepat germinasi dan membuat pertumbuhan cepat lebih awal. Jika penanaman benih alfalfa tidak menggunakan mesin, maka drilling adalah metode terbaik untuk menempatkan benih ke dalam tanah. Benih ditanam pada kedalaman tanah kira-kira 1,5 inchi. Broadcasting bukan merupakan metode yang bagus, tetapi jika digunakan, maka persiapan lahan harus sama seperti metode drilling (Wheeler,1950). Benih legum sebelum ditanam sebaiknya diskarifikasi, dengan maksud agar benih mudah berkecambah serta air dan udara (O2) dapat masuk. Biji leguminosa keras dan dilapisi oleh wax (lilin). Skarifikasi dapat dilakukan secara fisik maupun kimiawi. Skarifikasi secara fisik dilakukan bertujuan melukai benih (jauh dari titik tumbuh) supaya kulit benih retak yaitu dengan cara, benih direndam di air panas dengan suhu untuk menghilangkan wax (lilin). Skarifikasi secara kimiawi dilakukan dengan menggunakan H2SO4 (Dewi, 2004). Benih alfalfa mempunyai kulit yang keras, sehingga perlu dilakukan skarifikasi yaitu dengan cara benih direndam dalam air terlebih dahulu sebelum ditanam (Duke, 1983). Alfalfa dipanen ketika bunga yang pertama kali mekar. Jumlah panen per tahun berbeda-beda pada setiap daerah. Pada kebanyakan iklim alfalfa dapat dipanen 3-4 kali dalam setahun. Dengan total panen 8 ton / hektar tetapi tergantung daerah, cuaca, dan umur alfalfa saat panen. Umur panen yang lama dapat meningkatkan jumlah total panen tetapi kandungan nutrisinya berkurang (Ildis, 2005). Alfalfa atau lucerne harus dipanen sebelum alfalfa berbunga; nilai nutrisi dan kecernaannya menurun setelah masa berbunga (Gohl, 1981). Waktu pemanenan dan pengeringan pada masa kedewasaan penting agar memperoleh produk yang berkualitas tinggi (Golob, et al., 2002). Produksi alfalfa dapat mencapai 4 ton/are atau sekitar 8960 kg/ha (Campbell, 1978). Clements et al., (2008) menyatakan bahwa Lucerne (alfalfa) yang tumbuh dengan pengairan mampu memproduksi 25-27 ton / ha bahan kering dalam tahun pertama penanaman dan akan turun menjadi 8-15 ton / ha pada tahun ketiga penanaman. Ada satu segi yaitu ketenggangan terhadap peranggasan yang sering yang pada berbagai legum tropika berbeda degan nyata dibandingkan dengan alfalfa dan kelompok clover. Dibandingkan dengan alfalfa, berbagai spesies yang merambat seperti Desmodium spp, siratro, dan kacang bulu sangat peka terhadap peranggasan yang sering dan memerlukan waktu yang lebih lama untuk benar-benar tumbuh kembali setelah dirumput (Sanchez,1993). Hay alfalfa sangat penting utuk industri sapi perah sebagai sumber protein dan serat kasar (Cheeke, 2005). Luas daerah pembudidayaan alfalfa di dunia yaitu sekitar 33 ribu hektar, 70% diantaranya diproduksi oleh Amerika Serikat, USSR, dan Argentina. Sedangkan Prancis, Itali, Canada, dan Australia memproduksi sekitar 20% produksi dunia (Duke, 1983). Fosfor Elemen esensial yang dibutuhkan oleh tanaman dibagi menjadi dua, yaitu makronutrien dan mikronutrien. Makronutrien terdiri dari O2, H2, C, N, P, K, S, Ca, dan Mg. Sedangkan mikronutrien terdiri dari Fe, B, Mo, Zn, Cu, Mn, dan Cl2 (Campbell, 1978). Unsur-unsur yang dapat meracuni kehidupan antara lain adalah Li, Be, Ni, Al, Cd, Hg, dan Pb (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1991). Fosfor adalah hal yang esensial untuk kehidupan, yang paling sering menjadi elemen pembatas dalam produktivitas biologi ekosistem (Turner, 2005). Nitrogen, fosfor, dan sulfur adalah tiga elemen nutrien penting untuk pertumbuhan tanaman (Kowalenko, 1978). Diantara elemen-elemen esensial untuk pertumbuhan dan nutrisi tanaman, fosfor adalah yang kurang terpresentasi dengan baik dalam litosfer (0,1%). Mineral fosfat tidaklah melimpah dalam tanah, meskipun apatite ( Ca5(F, Cl, OH)(PO4)3 ) telah teridentifikasi dalam tanah muda. Pada umumnya,mineral fosfat kurang dapat larut dibandingkan dengan karbonat dan sulfat (Schaetzl dan Anderson, 2005). Fosfor terdapat dalam dua bentuk di alam, yaitu senyawa fosfat organik (pada tumbuhan dan hewan) dan senyawa fosfat anorganik (pada air dan tanah). Fosfat organik dari hewan dan tumbuhan yang mati diuraikan oleh dekomposer (pengurai) menjadi fosfat anorganik. Fosfat anorganik yang terlarut di air tanah atau air laut akan terkikis dan mengendap di sedimen laut. Oleh karena itu, fosfat banyak terdapat di batu karang dan fosil. Fosfat dari batu dan fosil terkikis dan membentuk fosfat anorganik terlarut di air tanah dan laut. Fosfat anorganik ini kemudian akan diserap oleh akar tumbuhan lagi. Fosfor sangat terlibat dalam pertumbuhan dan metabolisme tanaman-tanaman (Quiquampoix, 2005). Fosfor berpengaruh menguntungkan pada banyak hal, diantaranya pembelahan sel, pembuahan, perkembangan akar (lateral), kekuatan batang pada tanaman serealia, mutu tanaman, dan kekebalan terhadap penyakit tertentu. Sumber pokok fosfor yaitu pupuk buatan, pupuk kandang, sisa-sisa tanaman, dan senyawa asli unsur ini dalam bentuk organik maupun anorganik yang terdapat dalam tanah. Pengaruh fosfor terhadap tanaman amatlah penting karena fosfor merupakan bagian dari inti sel, sangat penting dalam pembelahan sel dan juga untuk perkembangan jaringan meristem. Fosfor dapat merangsang pertumbuhan akar tanaman muda, mempercepat pembuangan dan pematangan buah, biji, ketahanan terhadap penyakit, pembentukan nukleo-protein (penyusun gen RNA dan DNA), metabolisme karbohidrat, menyimpan dan memindahkan energi (Hardjowigeno, 1995). Defisiensi fosfor dapat membawa kepada kebanyakan penurunan yang paling sering dalam proses metabolik, termasuk bagian sel, respirasi, dan fotosintesis (Quiquampoix, 2005). Fosfor dalam bentuknya sebagai ortofosfat memainkan peranan yang fundamental dalam sejumlah besar reaksi enzim yang bergantung pada fosforilasi (Russell, 1961). Menurut Mengel dan Kirkby (1987), menjelaskan bahwa dalam proses metabolisme tanaman kebutuhan energi diperoleh dari senyawa fosfat berenergi tinggi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) dan sebagai hasilnya akan diperoleh senyawa fosfat berenergi rendah dalam bentuk adenosin difosfat (ADP). Salisbury dan Ross (1995), menyatakan bahwa disamping sebagai transfer energi, unsur P juga berfungsi sebagai penyusun, pengikat-pengikat gula yang diperlukan bagi proses fotosintesis dan respirasi, selain itu juga mempertahankan pH sel tanaman. Kandungan nutrisi fosfor dalam tanaman disokong oleh mekanisme mobilisasi fosfor yang terjadi di rhizosfer (Quiquampoix, 2005). Pupuk adalah suatu bahan yang digunakan untuk memperbaiki sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pemupukan adalah penambahan pupuk pada tanah agar tanah menjadi subur. Pupuk fosfor cocok digunakan untuk tanaman generatif. Pupuk fosfor termasuk pupuk yang sulit larut (Dewi, 2004). Pupuk fosfor sangat dianjurkan sebagai pupuk dasar karena fosfor tidak cepat tersedia dan dibutuhkan pada stadia permulaan tumbuh. Kalau unsur yang dapat larut ini diberikan pada tanah dalam bentuk pupuk, fosfor sering “diikat” atau dijadikan tidak tersedia, meskipun keadaan lapangan paling ideal. Oleh karena itu pemupukan dengan cara lubang dan jalur merupakan cara yang terbaik karena dapat mengurangi kontak dengan tanah dan fiksasi fosfat oleh tanah dikurangi bila dibandingkan dengan cara pemupukan sebar (Hakim et al., 1986). Dalam lapisan horizon bagian atas, fosfor organik terepresentasi antara 20-80% dari total fosfor. Fosfor organik yang secara kimia dan fisik terikat, terepresentasi sekurang-kurangnya 90% dari jumlah total fosfor organik (Quiquampoix, 2005). Fosfor pada tanaman saat panen kadarnya lebih rendah daripada yang diberikan pada tanaman (pupuk), karena pengangkutan fosfor dari tanah oleh tanaman amat rendah (1/3 atau ¼) dibandingkan N dan K. Fosfor sangat kuat dijerap oleh koloid tanah dan tidak berada dalam bentuk bahan volatile, sehingga siklusnya mengambil tempat di biosfer dan hilangnya fosfor yang disebabkan oleh pencucian umumnya kecil (antara 12 gram P/ha/tahun). Salah satu karakteristik mayor dari siklus ini yaitu hanya 1% dari fosfor tanah yang tergabung dalam tanaman selama masa pertumbuhan (Quiquampoix, 2005). Latosol Tanah merupakan salah satu dari sumber daya alam yang paling berharga dari sebuah bangsa. Dalam produksi agrikultur, tanah merupakan bagian integral dengan sistem ekologi dimana memproduksi bahan pangan dan serat. Untuk tanaman agrikultur, tanah berperan sebagai media dimana tanah mampu secara fisik membantu tanaman untuk menyimpan air dan nutrisi esensial untuk pertumbuhan tanaman. Definisi tanah menurut Century Dictionary adalah campuran dari berbagai material bumi dengan kurang atau lebih bahan organik yang dihasilkan dari pertumbuhan dan dekomposisi dari vegetasi yang berada di permukaan bumi atau dari kotoran binatang, maupun dari campur tangan manusia (Taylor, 1924). Tanah yang subur adalah tanah yang mengandung suplai yang cukup untuk tanaman dalam bentuk tersedia atau populasi mikroba yang memberikan nutrient cukup cepat untuk mendukung pertumbuhan cepat tanaman (Russel, 1961). Brady et al., (2002) menyatakan bahwa tanah memegang banyak peranan, yaitu : 1. Tanah mendukung pertumbuhan dari tanaman, terutama dengan menyediakan media untuk akar tanaman dan memberikan elemen nutrien yang esensial untuk segala tanaman. 2. Kepemilikan tanah adalah faktor prinsipil dalam mengontrol ketersediaan air tanah. Kekurangan air, penggunaan air, pencemaran air, dan pemurnian air tergantung dari tanah. 3. Fungsi tanah sebagai nature’s recycling system. Dalam tanah,, sampah dan bagian mati dari tanaman, hewan, dan manusia diasimilasikan, dan elemen dasar dibuat menjadi tersedia untuk digunakan kembali oleh generasi yang baru. 4. Tanah menyediakan habitat untuk banyak sekali organisme, dari mamalia kecil dan reptil samapai serangga berukuran mikroskopik dalam jumlah yang tak terhitung dan beragam. Latosol merupakan tanah yang tidak potensial untuk pengembangan pastura. Tanah latosol dapat dijumpai di sebagian besar wilayah di dunia, seperti Amerika Serikat bagian tenggara, Brazil, Venezuela, Afrika bagian tengah, India bagian selatan, Srilanka, Asia Tenggara, dan Australia (Skerman, 1977). Tanah latosol adalah tanah liat yang banyak dipakai untuk pertanian di Indonesia. Biasanya warnanya kemerahan, kekuningan, atau kecoklatan karena banyak besinya. Sifat-sifat fisiknya baik , tidak mudah mengalami erosi. Tanah ini banyak terbasuh hujan, oleh karena itu kehilangan unsur-unsurnya yang penting bagi pertanian; kadar bahan organiknya rendah. Tanah ini memerlukan pupuk dan untuk legum tertentu diperlukan tambahan kapur (Tafal, 1981). Tanah latosol telah mengalami pelapukan tanah yang lanjut (Kuswandi, 1993). Tanah latosol di wilayah tersebut kebanyakan tidak subur untuk mendukung pertanian. Pengembangan pastura dapat dilakukan bila dilakukan penambahan pupuk yang secukupnya dan usaha seleksi kultivar dari legum dan rumput yang cocok untuk tanah latosol (Skerman, 1977). Tanah latosol merupakan tanah liat rapuh yang berasal dari batuan basalt dalam (Skerman, 1977). Adapun permasalahan dalam pemanfaatan lahan kering adalah seringnya dijumpai kekurangan unsur N yang hilang melalui proses pencucian, penguapan, dan erosi. Permasalahan lain pada tanah tersebut adalah miskinnya hara P. Pada tanah-tanah miskin hara N dan P penambahan unsur hara tersebut tentu akan meningkatkan kesuburan tanah sehingga produktifitas tanaman yang tumbuh di atasnya akan meningkat (Feniara, 2001). Faktor pembatas pada tanah latosol ialah status nutrisinya dapat dikatakan rendah (Tafal, 1981). Hakim et al., (1986) menyatakan bahwa pada tanah latosol mempunyai sifat fisik yang lebih baik tetapi memiliki kapasitas tukar kation yang rendah dan membutuhkan pemupukan yang agak sering. Soepardi (1985) menerangkan bahwa reaksi tanah ini masam hingga agak masam, berkadar bahan organik rendah, keadaan hara rendah sampai sedang dan tanah latosol biasanya memberikan respon yang baik terhadap pemupukan dan pengapuran. Menurut Kellogg (1949) tanah latosol banyak terdapat di daerah tropik dan equatorial. Vegetasi alami dari tanah latosol seringkali adalah hutan hujan tropis. Hijauan yang cocok untuk tanah latosol antara lain Glycine wightii, Macroptilium atropurpureum, Centrosema pubescens, Stylosanthes guianensis, Desmodium spp, Setaria sphacelata, Panicum maximum, Panicum maximum var. trichoglume, dan Chloris gayana. Biasanya segera sesudah land clearing, tanah ini sangat subur dan mendukung untuk tumbuhnya gulma. Kebanyakan dari tanaman pangan tropik tumbuh di atas tanah ini. Penurunan kesuburan tanah ini sangat cepat dan penambahan unsur nitrogen, fosfor, sulfur, dan molibdenum sangat diperlukan (Skerman, 1977). Pupuk kandang Bahan organik tanah yaitu fraksi organik dari tanah; termasuk residu tumbuhan dan binatang dalam berbagai tahap dekomposisi, sel (baik hidup atau mati), dan jaringan dari mikroba, dan substan yang tersintesis oleh mikroba tanah (Campbell, 1978). Schnitzer dan Khan (1978) menyatakan bahwa bahan organik tanah adalah komponen kunci yang mempengaruhi banyak reaksi yang terjadi dalam sistem tanah. Kowalenko (1978) menyatakan bahwa bahan organik tanah memainkan peranan penting dalam tanah – sistem tanaman, dan unsur pokok ini mengandung elemen N, P, dan S beserta reaksi kimia, fisika, dan biokimia mereka yang penting dalam pertumbuhan tanaman. Pupuk kandang adalah hasil dari penguraian yang ditimbulkan oleh jasadjasad renik seperti bakteri, jamur, dan alga. Berbagai polisakarida dan zat-zat yang menyerupai poliuranida yang dihasilkan oleh itu, dapat mengikat partikel-partikel tanah. Zat-zat ini dibentuk oleh jasad-jasad renik yang menguraikan pupuk itu (Tafal, 1981). Pupuk kandang menyuplai sejumlah mikronutrien dan menjadi bahan yang sempurna untuk menjadi bahan humus (Campbell, 1978). Pentingnya pupuk kandang untuk meningkatkan kesuburan tanah telah dibuktikan selama lebih dari berabadabad dalam praktis agrikultura (Kononova, 1966). Pupuk kandang ini bobotnya ringan, tapi kaya akan kandungan hara dan sangat berperan dalam pertumbuhan vegetatif tanaman, yaitu akar, batang, dan daun (Wudianto, 1988). Gardner (1991) menyatakan bahwa substansi organik dan anorganik alami merupakan sumber utama nutrien tumbuhan dalam ekosistem pertanian dan ekosistem alami. Nutrien memasuki tumbuhan dalam bentuk ion-ion, baik dari anorganik (misalnya pupuk komersial) maupun organik (seperti pupuk kandang). Mikroba tanah merepresentasikan tipe morfologi dan fisiologi yang ditemukan dalam setiap partikel di bumi, kompos, dan pada berbagai macam substrat alami lainnya. Peran mikroba tanah dalam transformasi bahan organik sangat signifikan melalui bermacam aktivitas. Aktivitas yang dilakukan berhubungan dengan pembebasan nutien tumbuhan dan binatang, dan efek yang dihasilkan terhadap kesuburan tanah. Populasi mikroba dalam tanah memainkan peranan dalam formasi dan transformasi dari bahan organik, mulai dari pembebasan nutrient tumbuhan dalam bentuk yang tersedia, dalam menghasilkan humus, dan terakhir kesuburan dari tanah (Walksman et al., 1968). Para peneliti melihat bahwa rasio dari bahan organik tanah dibanding detritus dibanding biomassa mikrobial dibanding biomassa fauna adalah berkisar 1000 : 100 : 10 : 1. Efek yang menguntungkan dari organisme tanah adalah pembusukan bahan organik, kerusakan bahan kimia, transformasi anorganik, fiksasi nitrogen, rhizobakteria, dan perlindungan tanaman (Brady, 2002).