TINJAUAN PUSTAKA Alfalfa Alfalfa mempunyai nama latin

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Alfalfa
Alfalfa mempunyai nama latin Medicago sativa L. Kata Medicago berasal
dari bahasa latin yaitu medica yang berarti median, dimana daerah Mediterania
dipercaya merupakan tempat alfalfa berasal. Alfalfa di benua Eropa dikenal dengan
nama lucerne. Lucerne berasal dari nama Lake Lucerne di Switzerland dimana di
tempat ini kultivasi awal dan popularitas alfalfa berkembang sampai akhirnya masuk
ke Eropa (Allen dan Allen, 1981). Alfalfa juga mendapat julukan Cadillac of The
Forages, Queen of The Forages, Purple Medick, dan Trefoil. Alfalfa berasal dari
bahasa Arab, yaitu Al-Fal-Fa, yang berarti bapak dari semua makanan. Menurut
Whiteman (1980), alfalfa juga digunakan sebagai salah satu komponen hijauan
pastura. Alfalfa sering digunakan dalam pastura untuk sapi perah, sapi potong, dan
domba (Cheeke, 2005).
Menurut Vavilov, seorang ahli botani Rusia, pusat penyebaran tanaman
alfalfa yaitu di daerah Asia kecil, Iran, dan dataran tinggi Turki. Di mana di daerah
ini terdapat bermacam-macam tanaman gandum, tanaman biji-bijian untuk makanan
ternak, sayuran, dan buah-buahan. Tabel 1 berikut menunjukkan jaman
pembudidayaan beberapa tanaman penting hasil dari studi yang mendasarkan pada
evolusi tanaman (Poespodarsono, 1988).
Tabel 1. Jaman Pembudidayaan Tanaman Penting
Jaman
Tanaman
Pra 5000 SM
Barley, wheat, jagung, kacang-kacangan, pea, igam, dan lentik
Pra 2500 SM
Kentang, anggur, millet, padi, rye, kacang tanah, lucerne, kapas olive,
apel
Pra 1 SM
Kedelai, flax, jeruk, oat, teh, bit, fig, pisang, coklat.
Pra 1000 M
Tebu, kopi, tembakau, karet
Pengetahuan tentang pembudidayaan suatu tanaman berkaitan dengan
kemungkinan keragaman yang pernah terjadi pada tanaman itu. Keragaman memang
sudah terjadi sebelum pembudidayaan namun setelah itu terjadi peningkatan karena
peristiwa alami. Keragaman ini makin ditingkatkan dengan adanya modifikasi akibat
tanaman berada pada lingkungan baru yang sama sekali berbeda dengan asalnya,
oleh karena itu makin awal pembudidayaannya dapat menimbulkan keragaman
makin tinggi pada saat ini, dan makin beragam suatu tanaman mungkin menunjukkan
makin awal pembudidayaannya (Poespodarsono, 1988).
Dipercaya bahwa alfalfa dibudidayakan pertama kali di Iran. Alfalfa dibawa
ke Yunani sekitar tahun 490 SM oleh invasi Media Persia sebagai bahan makanan
kuda dan hewan yang dibawa. Kemudian alfalfa menyebar ke Itali dan negara-negara
Eropa lainnya, termasuk Spanyol. Dari Spanyol, alfalfa dibawa ke Amerika Tengah
dan Selatan oleh ekspedisi Spanyol. Catatan pertama tentang pertumbuhan alfalfa di
Amerika Serikat yaitu di Georgia pada tahun 1736.
Alfalfa mempunyai klasifikasi sebagai berikut (Ildis, 2005) :
Kingdom
: Plantae
Division
: Magnoliophyta
Class
: Magnoliopsida
Order
: Fabales
Family
: Fabaceae
Subfamily
: Faboideae
Tribe
: Trifolieae
Genus
: Medicago
Species
: M. sativa
Jumlah kromosom alfalfa (purple alfalfa) sebanyak 32 buah (Hughes et al.,
1951). Alfalfa (Medicago sativa) merupakan hijauan leguminosa yang tumbuh
sepanjang tahun, dikotil, crosspollinated, heterozygous autotetraploid, dan memiliki
banyak keragaman genetik. Fenwich et al., (1996) menyatakan alfalfa atau lucerne
merupakan salah satu legum perennial dimana sangat penting dalam produksi
hijauan.
Gambar 1. Struktur Biji Alfalfa (Meyer, D. 1999)
Bunga alfalfa terdapat pada tandan yang longgar atau rangkaian, dan
berwarna keunguan. Kotak dimana biji diproduksi berbentuk spiral yang memutar
satu hingga lima kali, seperti cangkang siput (Hanson dan Barnes, 1973). Setiap
kotak mengandung beberapa biji yang berbentuk seperti ginjal kecil. Batang alfalfa
pada umumnya mempunyai diameter tidak lebih dari 1/8 inci, dan tinggi hingga
mencapai 2,5 kaki. Bagian batang yang muncul dari dasar yang semi-kayu dikenal
dengan nama mahkota atau crown (Wheeler, 1950).
Sistem perakaran memiliki ciri yaitu akar utama yang terpisah, ketika berada
dibawah kondisi yang tidak cocok dapat melakukan penetrasi hingga kedalaman
tanah 7-9 meter atau lebih. Batang yang tegak biasanya mencapai ketinggian 60-90
cm. Ada sekitar 5-25 atau lebih batang per tanaman, tumbuh dari leher akar (crown)
yang berkayu tempat dimana batang baru tumbuh ketika batang yang tua sudah
dewasa atau telah dipanen. Akar utama mempunyai banyak cabang akar. Akar
alfalfa tidak tumbuh pada tanah yang tidak mudah ditembus, keras, terdapat lapisan
bebatuan di dekat permukaan tanah (Wheeler, 1950). Dengan sistem perakaran yang
sangat dalam membuat alfalfa sangat tahan terhadap musim kemarau, dan stocking
rate yang tinggi. Alfalfa juga lebih tahan dingin daripada kebanyakan legum tropik,
dan karena sistem perakarannya yang dalam membuat alfalfa dapat tumbuh di daerah
dengan curah hujan 500 mm/tahun (Whiteman, 1980). Akar-akar alfalfa dalam
sebuah area seluas 1 m2 dapat mencapai 744,8 meter (Kononova, 1966). Dalam
material akar alfalfa memiliki kandungan 2,47% N, 0,26% P, dan 0,24% S
(Kowalenko, 1978). Telah diketahui dengan baik bahwa sistem perakaran dari
tanaman perennial herba memainkan bagian yang besar dalam menghasilkan struktur
tanah yang baik (Kononova, 1966). Alfalfa mempunyai meristem bintil yang
ujungnya tidak tertentu dan menghasilkan bintil yang lonjong (Gardner, 1991).
Walaupun pembentukan bintil akar dapat terjadi tanpa inokulasi, namun hal tersebut
sering tidak efektif. Inokulasi diperlukan hampir untuk semua spesies legum yang
peka aluminium seperti alfalfa, clover, Glycine wightii, dan Leucaena leucocephala.
Penggunaan strain Rhizobium setempat sering menghasilkan pembentukan bintil akar
yang kurang baik (Sanchez, 1993). Daun alfalfa, letaknya berselang-seling pada
batang, merupakan daun yang trifoliate (Hanson dan Barnes, 1973).
Alfalfa memproduksi lebih banyak protein per hektar daripada tanaman lain
untuk ternak. Alfalfa memiliki kandungan mineral yang tinggi dan mengandung
setidaknya 10 jenis vitamin. Alfalfa sudah sejak lama dipertimbangkan sebagai
sumber penting vitamin A (Hanson dan Barnes, 1973). Alfalfa mengandung 8
macam enzim esensial yaitu lipase, amilase, koagulase, emulsin, invertase,
peroxidate, pectinase, dan protase. Vitamin yang ditemukan dalam alfalfa yaitu
vitamin A, B6, D, E, K, U. Sedangkan mineral yang terdapat pada alfalfa yaitu Ca,
Fe, Mn, K, P, Cl, Na, Si-Mg. Alfalfa mengandung 18,9% protein (Lucas, R et al.,
2006). Sebagai sumber kalsium, alfalfa jauh mengungguli hijauan lainnya. Hay
alfalfa juga mengandung rata-rata 14-15% protein yaitu 2,5 kali lebih banyak
dibandingkan tepung sorghum atau tepung jagung (Wheeler, 1950). Alfalfa
mengandung vitamin A sebanyak 231.000 IU / kg (Sudaro dan Siriwa, 1997).
Karakteristik tersebut membuat alfalfa (dalam bentuk hay, pellet, atau silase)
menjadi komponen ransum yang menarik dan menguntungkan untuk kebanyakan
usaha peternakan. Alfalfa juga membantu meminimalkan polusi dengan cara
mengurangi jumlah air run-off dan erosi tanah (Hanson dan Barnes, 1973). Alfalfa
digunakan untuk soil improvement karena diketahui dapat meningkatkan struktur
tanah, bahan organik, dan kesuburan tanah atau disebut green manuring. Alfalfa juga
digunakan sebagai hijauan (forages) karena mampu menyediakan protein dan dapat
mengikat nitrogen dari atmosfer (Sinha, 1977).
Beberapa faktor penting dalam usaha membudidayakan alfalfa, yang pertama
adalah pemilihan lokasi. Lokasi adalah salah satu faktor yang perlu mendapat
perhatian karena menyangkut tempat tumbuh tanaman. Dalam pemilihan lokasi, yang
perlu mendapat pertimbangan adalah syarat tumbuh tanaman. Lokasi yang akan
digunakan harus sesuai dengan keadaan yang diinginkan tanaman, misalnya iklim
atau tanahnya cocok (Palungkun dan Budiarti, 1991)
Alfalfa dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai macam iklim dan
kondisi tanah. Alfalfa beradaptasi sangat baik pada tanah lempung yang dalam
dengan bagian tanah yang berpori. Sistem irigasi juga sangat diperlukan. Alfalfa juga
membutuhkan banyak kapur dan tidak bagus pada tanah yang masam (Hanson dan
Barnes, 1973). Alfalfa rentan dengan kandungan Al dan Mn yang tinggi dalam tanah,
juga rentan terhadap fosfor dan kalium yang rendah dalam tanah (Sanchez, 1993).
Alfalfa tumbuh sangat baik pada iklim yang kering dan tanah subur yang
teririgasi. Dengan pemupukan yang bagus dan inokulasi dengan bakteri pengikat
nitrogen (Rhizobium), alfalfa dapat tumbuh dengan bagus pada kondisi lembab yang
berlebih. Alfalfa secara relatif toleran dengan tanah yang masam tetapi tidak begitu
halnya jika ditanam pada tanah yang terlalu masam (Hanson dan Barnes, 1973).
Alfalfa juga menyesuaikan diri dengan iklim sedang. Spesies legum yang rentan
terhadap sebagian besar faktor yang berkaitan dengan keasaman tanah antara lain
Leucaena leucocephala, Glycine wightii, Trifolium sp., dan Medicago sativa. Spesies
tersebut tumbuh pada tanah yang sangat basa dan menyesuaikan dengan lebih baik
pada tanah itu. Semua spesies tersebut tumbuh dengan subur pada tanah seperti itu di
daerah tropika, terutama tanaman clover dan alfalfa pada tanah bergamping dengan
suhu rendah (Sanchez, 1993). Bakteri pengikat nitrogen yang biasanya dinokulasikan
pada akar alfalfa adalah Rhizobium meliloti. Bakteri ini mempunyai pertumbuhan
yang cepat dan hidup pada suasana tanah yang asam (Allen dan Allen, 1981).
Dalam pemilihan lahan untuk alfalfa, harus sungguh-sungguh memperhatikan
tekstur, produktivitas, dan sistem irigasi. Tanah yang terlalu berpasir, masam, asin,
dan terlalu kompak atau padat sebaiknya dihindari. Tanah yang paling produktif pada
lahan peternakan harus dipilih untuk alfalfa. Ketika sistem irigasi secara alami tidak
ada, maka harus disediakan dengan peralatan buatan sebelum alfalfa dibudidayakan.
Lahan persemaian yang bagus harus padat, gembur, dan tanah yang matang. Lahan
diolah untuk menghilangkan alang-alang dan rumput liar (Wheeler, 1950). Tanah
vertisol yang sangat basa dengan temperatur yang agak rendah, daerah Queensland,
disukai oleh alfalfa. Tanah Ustert di Australia juga dapat digunakan untuk tempat
tumbuh alfalfa (Sanchez, 1993).
Sebelum menanam benih alfalfa, sangat penting untuk mengetahui apa yang
dibutuhkan oleh tanah. Kebutuhan tanah akan kapur bervariasi dan akan lebih baik
jika dilakukan test untuk mengetahui kebutuhan tanah akan kapur. Kapur diberikan
pada saat persiapan lahan persemaian. Alfalfa tumbuh dengan baik rata-rata pada
tingkat pH 6,2 (Rowell, 1994). Menurut Kuswandi (1993) pH optimal bagi alfalfa
antara 6,2-7,8. Tingkat penggunaan kapur akan tergantung pada kemasaman tanah,
kemurnian, dan kualitas kapur yang digunakan. Alfalfa seharusnya tumbuh hanya
pada tanah yang memiliki kandungan pospor yang berlimpah (Wheeler,1950). Hasil
pengujian pH tanah digunakan untuk menentukan kebutuhan kapur. Jumlah
kebutuhan kapur tergantung pada jenis bahan yang digunakan, jenis tanaman, sistem
pergiliran tanaman, jenis tanah, dan faktor-faktor lain. Sifat-sifat tanah yang
mempengaruhi jumlah kebutuhan kapur adalah tekstur tanah dan kandungan bahan
organik dalam tanah (Kuswandi, 1993). Sumber-sumber kapur antara lain tepung
tulang, tepung ikan, batu kapur, dan superphospat. Pemberian kapur sampai pH tanah
mencapai 7 sangat dianjurkan. Untuk budidaya alfalfa, tanah harus dibajak atau
diolah dengan baik. Pupuk kandang dapat diberikan 6 minggu sebelum penanaman,
dan penambahan pupuk kandang setiap habis 3 kali panen (Duke, 1983). Alfalfa
responsif terhadap aplikasi pemupukan khususnya fosfor, sulfur, dan potashium
(Whiteman, 1980).
Waktu penanaman benih yang umum dilakukan yaitu pada saat akhir musim
kemarau atau awal musim penghujan. Penanaman pada saat tersebut akan
mengurangi peluang tumbuhnya gulma, alang-alang, dan sebagainya. Penanaman
sebaiknya dilakukan hanya setelah kondisi cuaca dan lahan persemaian mendukung.
Jika lahan persemaian telah siap dan penanaman benih telah dilakukan kemudian
diikuti dengan hujan, germinasi yang cepat akan terjadi dan akar akan mencapai poripori tanah sebelum pengeringan terjadi (Wheeler,1950).
Rekomendasi standar untuk germinasi dan kemurnian benih alfalfa di
Queensland, Australia, adalah sebagai berikut (Whiteman, 1980) :
1.
Minimum benih yang dapat germinasi : 80 %
2.
Maksimum benih yang keras
: 30 %
3.
Minimum benih murni
: 98 %
persentase
4.
Maksimum benih gulma
: 0.5 %
berdasarkan
5.
Maksimum benih tanaman lain
: 0.5 %
berat
6.
Maksimum bahan inert
: 1.5 %
Untuk lahan seluas satu are dibutuhkan satu pound biji alfalfa (dalam satu
pound terdapat sekitar 220000 biji alfalfa), cukup untuk menumbuhkan lima tanaman
per kaki persegi jika semua biji germinasi dan tumbuh. Berbagai macam kendala
yang ada dalam usaha pemeliharaan alfalfa menyebabkan penggunaan sekitar 8-15
pound biji alfalfa untuk lahan seluas satu are. Nilai yang lebih rendah biasanya
direkomendasikan untuk kondisi kelembaban yang rendah, dan nilai yang lebih
tinggi untuk kondisi dengan kelembaban yang tinggi (Wheeler,1950).
Jika penanaman benih menggunakan sistem broadcasting maka memerlukan
benih sebanyak 12-20 kg untuk lahan seluas satu hektar. Sedangkan jika benih
ditanam pada larikan yang telah dibuat maka hanya membutuhkan benih sebanyak
10-12 kg untuk lahan seluas satu hektar (Duke, 1983).
Benih alfalfa sebaiknya diinokulasikan dengan bakteri Rhizobium pada waktu
ditanam. Kedalaman penanaman optimal yaitu 0,25 – 0,5 inchi pada tanah yang keras
dan 0,5 – 1,0 inchi pada tanah yang ringan (McDonald et al., 2006). Sangat penting
untuk menaruh benih dengan tepat sehingga dapat kontak dengan partikel tanah
untuk mempercepat germinasi dan membuat pertumbuhan cepat lebih awal. Jika
penanaman benih alfalfa tidak menggunakan mesin, maka drilling adalah metode
terbaik untuk menempatkan benih ke dalam tanah. Benih ditanam pada kedalaman
tanah kira-kira 1,5 inchi. Broadcasting bukan merupakan metode yang bagus, tetapi
jika digunakan, maka persiapan lahan harus sama seperti metode drilling
(Wheeler,1950).
Benih legum sebelum ditanam sebaiknya diskarifikasi, dengan maksud agar
benih mudah berkecambah serta air dan udara (O2) dapat masuk. Biji leguminosa
keras dan dilapisi oleh wax (lilin). Skarifikasi dapat dilakukan secara fisik maupun
kimiawi. Skarifikasi secara fisik dilakukan bertujuan melukai benih (jauh dari titik
tumbuh) supaya kulit benih retak yaitu dengan cara, benih direndam di air panas
dengan suhu untuk menghilangkan wax (lilin). Skarifikasi secara kimiawi dilakukan
dengan menggunakan H2SO4 (Dewi, 2004). Benih alfalfa mempunyai kulit yang
keras, sehingga perlu dilakukan skarifikasi yaitu dengan cara benih direndam dalam
air terlebih dahulu sebelum ditanam (Duke, 1983).
Alfalfa dipanen ketika bunga yang pertama kali mekar. Jumlah panen per
tahun berbeda-beda pada setiap daerah. Pada kebanyakan iklim alfalfa dapat dipanen
3-4 kali dalam setahun. Dengan total panen 8 ton / hektar tetapi tergantung daerah,
cuaca, dan umur alfalfa saat panen. Umur panen yang lama dapat meningkatkan
jumlah total panen tetapi kandungan nutrisinya berkurang (Ildis, 2005). Alfalfa atau
lucerne harus dipanen sebelum alfalfa berbunga; nilai nutrisi dan kecernaannya
menurun setelah masa berbunga (Gohl, 1981). Waktu pemanenan dan pengeringan
pada masa kedewasaan penting agar memperoleh produk yang berkualitas tinggi
(Golob, et al., 2002). Produksi alfalfa dapat mencapai 4 ton/are atau sekitar 8960
kg/ha (Campbell, 1978). Clements et al., (2008) menyatakan bahwa Lucerne (alfalfa)
yang tumbuh dengan pengairan mampu memproduksi 25-27 ton / ha bahan kering
dalam tahun pertama penanaman dan akan turun menjadi 8-15 ton / ha pada tahun
ketiga penanaman. Ada satu segi yaitu ketenggangan terhadap peranggasan yang
sering yang pada berbagai legum tropika berbeda degan nyata dibandingkan dengan
alfalfa dan kelompok clover. Dibandingkan dengan alfalfa, berbagai spesies yang
merambat seperti Desmodium spp, siratro, dan kacang bulu sangat peka terhadap
peranggasan yang sering dan memerlukan waktu yang lebih lama untuk benar-benar
tumbuh kembali setelah dirumput (Sanchez,1993). Hay alfalfa sangat penting utuk
industri sapi perah sebagai sumber protein dan serat kasar (Cheeke, 2005). Luas
daerah pembudidayaan alfalfa di dunia yaitu sekitar 33 ribu hektar, 70% diantaranya
diproduksi oleh Amerika Serikat, USSR, dan Argentina. Sedangkan Prancis, Itali,
Canada, dan Australia memproduksi sekitar 20% produksi dunia (Duke, 1983).
Fosfor
Elemen esensial yang dibutuhkan oleh tanaman dibagi menjadi dua, yaitu
makronutrien dan mikronutrien. Makronutrien terdiri dari O2, H2, C, N, P, K, S, Ca,
dan Mg. Sedangkan mikronutrien terdiri dari Fe, B, Mo, Zn, Cu, Mn, dan Cl2
(Campbell, 1978). Unsur-unsur yang dapat meracuni kehidupan antara lain adalah Li,
Be, Ni, Al, Cd, Hg, dan Pb (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1991). Fosfor
adalah hal yang esensial untuk kehidupan, yang paling sering menjadi elemen
pembatas dalam produktivitas biologi ekosistem (Turner, 2005). Nitrogen, fosfor,
dan sulfur adalah tiga elemen nutrien penting untuk pertumbuhan tanaman
(Kowalenko, 1978). Diantara elemen-elemen esensial untuk pertumbuhan dan nutrisi
tanaman, fosfor adalah yang kurang terpresentasi dengan baik dalam litosfer (0,1%).
Mineral fosfat tidaklah melimpah dalam tanah, meskipun apatite ( Ca5(F, Cl,
OH)(PO4)3 ) telah teridentifikasi dalam tanah muda. Pada umumnya,mineral fosfat
kurang dapat larut dibandingkan dengan karbonat dan sulfat (Schaetzl dan Anderson,
2005). Fosfor terdapat dalam dua bentuk di alam, yaitu senyawa fosfat organik (pada
tumbuhan dan hewan) dan senyawa fosfat anorganik (pada air dan tanah). Fosfat
organik dari hewan dan tumbuhan yang mati diuraikan oleh dekomposer (pengurai)
menjadi fosfat anorganik. Fosfat anorganik yang terlarut di air tanah atau air laut
akan terkikis dan mengendap di sedimen laut. Oleh karena itu, fosfat banyak terdapat
di batu karang dan fosil. Fosfat dari batu dan fosil terkikis dan membentuk fosfat
anorganik terlarut di air tanah dan laut. Fosfat anorganik ini kemudian akan diserap
oleh akar tumbuhan lagi.
Fosfor sangat terlibat dalam pertumbuhan dan metabolisme tanaman-tanaman
(Quiquampoix, 2005). Fosfor berpengaruh menguntungkan pada banyak hal,
diantaranya pembelahan sel, pembuahan, perkembangan akar (lateral), kekuatan
batang pada tanaman serealia, mutu tanaman, dan kekebalan terhadap penyakit
tertentu. Sumber pokok fosfor yaitu pupuk buatan, pupuk kandang, sisa-sisa
tanaman, dan senyawa asli unsur ini dalam bentuk organik maupun anorganik yang
terdapat dalam tanah. Pengaruh fosfor terhadap tanaman amatlah penting karena
fosfor merupakan bagian dari inti sel, sangat penting dalam pembelahan sel dan juga
untuk perkembangan jaringan meristem. Fosfor dapat merangsang pertumbuhan akar
tanaman muda, mempercepat pembuangan dan pematangan buah, biji, ketahanan
terhadap penyakit, pembentukan nukleo-protein (penyusun gen RNA dan DNA),
metabolisme karbohidrat, menyimpan dan memindahkan energi (Hardjowigeno,
1995). Defisiensi fosfor dapat membawa kepada kebanyakan penurunan yang paling
sering dalam proses metabolik, termasuk bagian sel, respirasi, dan fotosintesis
(Quiquampoix, 2005).
Fosfor dalam bentuknya sebagai ortofosfat memainkan peranan yang
fundamental dalam sejumlah besar reaksi enzim yang bergantung pada fosforilasi
(Russell, 1961). Menurut Mengel dan Kirkby (1987), menjelaskan bahwa dalam
proses metabolisme tanaman kebutuhan energi diperoleh dari senyawa fosfat
berenergi tinggi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) dan sebagai hasilnya akan
diperoleh senyawa fosfat berenergi rendah dalam bentuk adenosin difosfat (ADP).
Salisbury dan Ross (1995), menyatakan bahwa disamping sebagai transfer energi,
unsur P juga berfungsi sebagai penyusun, pengikat-pengikat gula yang diperlukan
bagi proses fotosintesis dan respirasi, selain itu juga mempertahankan pH sel
tanaman. Kandungan nutrisi fosfor dalam tanaman disokong oleh mekanisme
mobilisasi fosfor yang terjadi di rhizosfer (Quiquampoix, 2005).
Pupuk adalah suatu bahan yang digunakan untuk memperbaiki sifat-sifat
fisik, kimia, dan biologi tanah. Pemupukan adalah penambahan pupuk pada tanah
agar tanah menjadi subur. Pupuk fosfor cocok digunakan untuk tanaman generatif.
Pupuk fosfor termasuk pupuk yang sulit larut (Dewi, 2004). Pupuk fosfor sangat
dianjurkan sebagai pupuk dasar karena fosfor tidak cepat tersedia dan dibutuhkan
pada stadia permulaan tumbuh. Kalau unsur yang dapat larut ini diberikan pada tanah
dalam bentuk pupuk, fosfor sering “diikat” atau dijadikan tidak tersedia, meskipun
keadaan lapangan paling ideal. Oleh karena itu pemupukan dengan cara lubang dan
jalur merupakan cara yang terbaik karena dapat mengurangi kontak dengan tanah dan
fiksasi fosfat oleh tanah dikurangi bila dibandingkan dengan cara pemupukan sebar
(Hakim et al., 1986). Dalam lapisan horizon bagian atas, fosfor organik
terepresentasi antara 20-80% dari total fosfor. Fosfor organik yang secara kimia dan
fisik terikat, terepresentasi sekurang-kurangnya 90% dari jumlah total fosfor organik
(Quiquampoix, 2005).
Fosfor pada tanaman saat panen kadarnya lebih rendah daripada yang
diberikan pada tanaman (pupuk), karena pengangkutan fosfor dari tanah oleh
tanaman amat rendah (1/3 atau ¼) dibandingkan N dan K. Fosfor sangat kuat dijerap
oleh koloid tanah dan tidak berada dalam bentuk bahan volatile, sehingga siklusnya
mengambil tempat di biosfer dan hilangnya fosfor yang disebabkan oleh pencucian
umumnya kecil (antara 12 gram P/ha/tahun). Salah satu karakteristik mayor dari
siklus ini yaitu hanya 1% dari fosfor tanah yang tergabung dalam tanaman selama
masa pertumbuhan (Quiquampoix, 2005).
Latosol
Tanah merupakan salah satu dari sumber daya alam yang paling berharga dari
sebuah bangsa. Dalam produksi agrikultur, tanah merupakan bagian integral dengan
sistem ekologi dimana memproduksi bahan pangan dan serat. Untuk tanaman
agrikultur, tanah berperan sebagai media dimana tanah mampu secara fisik
membantu tanaman untuk menyimpan air dan nutrisi esensial untuk pertumbuhan
tanaman.
Definisi tanah menurut Century Dictionary adalah campuran dari berbagai
material bumi dengan kurang atau lebih bahan organik yang dihasilkan dari
pertumbuhan dan dekomposisi dari vegetasi yang berada di permukaan bumi atau
dari kotoran binatang, maupun dari campur tangan manusia (Taylor, 1924). Tanah
yang subur adalah tanah yang mengandung suplai yang cukup untuk tanaman dalam
bentuk tersedia atau populasi mikroba yang memberikan nutrient cukup cepat untuk
mendukung pertumbuhan cepat tanaman (Russel, 1961). Brady et al., (2002)
menyatakan bahwa tanah memegang banyak peranan, yaitu :
1.
Tanah mendukung pertumbuhan dari tanaman, terutama dengan menyediakan
media untuk akar tanaman dan memberikan elemen nutrien yang esensial untuk
segala tanaman.
2.
Kepemilikan tanah adalah faktor prinsipil dalam mengontrol ketersediaan air
tanah. Kekurangan air, penggunaan air, pencemaran air, dan pemurnian air
tergantung dari tanah.
3.
Fungsi tanah sebagai nature’s recycling system. Dalam tanah,, sampah dan
bagian mati dari tanaman, hewan, dan manusia diasimilasikan, dan elemen dasar
dibuat menjadi tersedia untuk digunakan kembali oleh generasi yang baru.
4.
Tanah menyediakan habitat untuk banyak sekali organisme, dari mamalia kecil
dan reptil samapai serangga berukuran mikroskopik dalam jumlah yang tak
terhitung dan beragam.
Latosol merupakan tanah yang tidak potensial untuk pengembangan pastura.
Tanah latosol dapat dijumpai di sebagian besar wilayah di dunia, seperti Amerika
Serikat bagian tenggara, Brazil, Venezuela, Afrika bagian tengah, India bagian
selatan, Srilanka, Asia Tenggara, dan Australia (Skerman, 1977). Tanah latosol
adalah tanah liat yang banyak dipakai untuk pertanian di Indonesia. Biasanya
warnanya kemerahan, kekuningan, atau kecoklatan karena banyak besinya. Sifat-sifat
fisiknya baik , tidak mudah mengalami erosi. Tanah ini banyak terbasuh hujan, oleh
karena itu kehilangan unsur-unsurnya yang penting bagi pertanian; kadar bahan
organiknya rendah. Tanah ini memerlukan pupuk dan untuk legum tertentu
diperlukan tambahan kapur (Tafal, 1981). Tanah latosol telah mengalami pelapukan
tanah yang lanjut (Kuswandi, 1993). Tanah latosol di wilayah tersebut kebanyakan
tidak subur untuk mendukung pertanian. Pengembangan pastura dapat dilakukan bila
dilakukan penambahan pupuk yang secukupnya dan usaha seleksi kultivar dari
legum dan rumput yang cocok untuk tanah latosol (Skerman, 1977).
Tanah latosol merupakan tanah liat rapuh yang berasal dari batuan basalt
dalam (Skerman, 1977). Adapun permasalahan dalam pemanfaatan lahan kering
adalah seringnya dijumpai kekurangan unsur N yang hilang melalui proses
pencucian, penguapan, dan erosi. Permasalahan lain pada tanah tersebut adalah
miskinnya hara P. Pada tanah-tanah miskin hara N dan P penambahan unsur hara
tersebut tentu akan meningkatkan kesuburan tanah sehingga produktifitas tanaman
yang tumbuh di atasnya akan meningkat (Feniara, 2001). Faktor pembatas pada tanah
latosol ialah status nutrisinya dapat dikatakan rendah (Tafal, 1981).
Hakim et al., (1986) menyatakan bahwa pada tanah latosol mempunyai sifat
fisik yang lebih baik tetapi memiliki kapasitas tukar kation yang rendah dan
membutuhkan pemupukan yang agak sering. Soepardi (1985) menerangkan bahwa
reaksi tanah ini masam hingga agak masam, berkadar bahan organik rendah, keadaan
hara rendah sampai sedang dan tanah latosol biasanya memberikan respon yang baik
terhadap pemupukan dan pengapuran.
Menurut Kellogg (1949) tanah latosol banyak terdapat di daerah tropik dan
equatorial. Vegetasi alami dari tanah latosol seringkali adalah hutan hujan tropis.
Hijauan yang cocok untuk tanah latosol antara lain Glycine wightii, Macroptilium
atropurpureum, Centrosema pubescens, Stylosanthes guianensis, Desmodium spp,
Setaria sphacelata, Panicum maximum, Panicum maximum var. trichoglume, dan
Chloris gayana. Biasanya segera sesudah land clearing, tanah ini sangat subur dan
mendukung untuk tumbuhnya gulma. Kebanyakan dari tanaman pangan tropik
tumbuh di atas tanah ini. Penurunan kesuburan tanah ini sangat cepat dan
penambahan unsur nitrogen, fosfor, sulfur, dan molibdenum sangat diperlukan
(Skerman, 1977).
Pupuk kandang
Bahan organik tanah yaitu fraksi organik dari tanah; termasuk residu
tumbuhan dan binatang dalam berbagai tahap dekomposisi, sel (baik hidup atau
mati), dan jaringan dari mikroba, dan substan yang tersintesis oleh mikroba tanah
(Campbell, 1978). Schnitzer dan Khan (1978) menyatakan bahwa bahan organik
tanah adalah komponen kunci yang mempengaruhi banyak reaksi yang terjadi dalam
sistem tanah. Kowalenko (1978) menyatakan bahwa bahan organik tanah memainkan
peranan penting dalam tanah – sistem tanaman, dan unsur pokok ini mengandung
elemen N, P, dan S beserta reaksi kimia, fisika, dan biokimia mereka yang penting
dalam pertumbuhan tanaman.
Pupuk kandang adalah hasil dari penguraian yang ditimbulkan oleh jasadjasad renik seperti bakteri, jamur, dan alga. Berbagai polisakarida dan zat-zat yang
menyerupai poliuranida yang dihasilkan oleh itu, dapat mengikat partikel-partikel
tanah. Zat-zat ini dibentuk oleh jasad-jasad renik yang menguraikan pupuk itu (Tafal,
1981). Pupuk kandang menyuplai sejumlah mikronutrien dan menjadi bahan yang
sempurna untuk menjadi bahan humus (Campbell, 1978). Pentingnya pupuk kandang
untuk meningkatkan kesuburan tanah telah dibuktikan selama lebih dari berabadabad dalam praktis agrikultura (Kononova, 1966). Pupuk kandang ini bobotnya
ringan, tapi kaya akan kandungan hara dan sangat berperan dalam pertumbuhan
vegetatif tanaman, yaitu akar, batang, dan daun (Wudianto, 1988).
Gardner (1991) menyatakan bahwa substansi organik dan anorganik alami
merupakan sumber utama nutrien tumbuhan dalam ekosistem pertanian dan
ekosistem alami. Nutrien memasuki tumbuhan dalam bentuk ion-ion, baik dari
anorganik (misalnya pupuk komersial) maupun organik (seperti pupuk kandang).
Mikroba tanah merepresentasikan tipe morfologi dan fisiologi yang ditemukan dalam
setiap partikel di bumi, kompos, dan pada berbagai macam substrat alami lainnya.
Peran mikroba tanah dalam transformasi bahan organik sangat signifikan melalui
bermacam aktivitas. Aktivitas yang dilakukan berhubungan dengan pembebasan
nutien tumbuhan dan binatang, dan efek yang dihasilkan terhadap kesuburan tanah.
Populasi mikroba dalam tanah memainkan peranan dalam formasi dan transformasi
dari bahan organik, mulai dari pembebasan nutrient tumbuhan dalam bentuk yang
tersedia, dalam menghasilkan humus, dan terakhir kesuburan dari tanah (Walksman
et al., 1968). Para peneliti melihat bahwa rasio dari bahan organik tanah dibanding
detritus dibanding biomassa mikrobial dibanding biomassa fauna adalah berkisar
1000 : 100 : 10 : 1. Efek yang menguntungkan
dari organisme tanah adalah
pembusukan bahan organik, kerusakan bahan kimia, transformasi anorganik, fiksasi
nitrogen, rhizobakteria, dan perlindungan tanaman (Brady, 2002).
Download