PENGARUH PEMUPUKAN FOSFOR DAN UMUR POTONG AWAL TERHADAP VIGORITAS DAN KUALITAS ALFALFA (Medicago sativa L.) SKRIPSI ELES RONGGO PRIYO HERNOWO PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN ELES RONGGO PRIYO HERNOWO. D24102021. 2009. Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Umur Potong Awal Terhadap Vigoritas dan Kualitas Alfalfa (Medicago sativa L.). Skripsi. Proram Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc. Agr Pembimbing Anggota : Ir. Ignatius Kismono, MS. Hijauan pakan merupakan salah satu faktor penting dalam budidaya ternak ruminansia. Hijauan pakan berkualitas tinggi sebagai salah satu bahan baku ransum ternak ruminansia semakin dibutuhkan mengingat harga konsentrat yang mahal. Salah satu upaya pengadaan hijauan pakan berkualitas tinggi yaitu dengan cara mengintroduksi hijauan yang memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi, salah satunya yaitu alfalfa tropis. Salah satu prinsip manajemen yang diterapkan pada budidaya hijauan makanan ternak tak terkecuali adalah mengupayakan vigoritas (ketegaran) pertumbuhan awal yang prima, sebagai basis pertumbuhan kembali (regrowth) yang kuat ketika dilakukan pemanenan berkali-kali dalam jangka waktu yang panjang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemupukan fosfor dan perlakuan umur potong awal terhadap vigoritas dan kualitas alfalfa (Medicago sativa L.). Penelitian ini menggunakan bahan-tanam benih yang didatangkan dari Taiwan. Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan di rumah kaca Laboratorium Lapang Agrostologi, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap pola faktorial yang terbagi dalam 15 perlakuan dengan 4 kali ulangan. Perlakuan terbagi dalam 2 faktor, taraf pemupukan fosfor dan umur potong awal. Taraf pemupukan fosfor terdiri dari 0 kg P/ha, 30 kg P/ha, 60 kg P/ha, 90 kg P/ha, 180 kg P/ha. Umur potong awal terdiri dari 60 hari, 80 hari, 100 hari. Analisis statistika menggunakan analisis sidik keragaman (Anova). Ketika terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05), maka digunakan uji lanjut Duncan. Hasil analisis menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan fosfor tidak memberikan hasil yang berbeda nyata untuk semua peubah (berat bahan kering, tinggi vertikal, kandungan protein kasar, dan kandungan serat kasar). Berat bahan kering hijauan dan tinggi vertical akhir pada umur potong awal 100 hari nyata lebih tinggi dibandingkan perlakuan umur potong awal 60 dan 80 hari. Tidak terdapat efek interaksi antara kedua faktor perlakuan terhadap semua peubah. Kata-kata kunci: alfalfa, pemupukan fosfor, umur potong awal ABSTRACT The Effects of Phosphorus Fertilizer and Initial Cutting on The Vigority and Quality of Alfalfa (Medicago sativa L.) E. R. P. Hernowo, L. Abdullah, and I. Kismono Alfalfa (Medicago sativa L.) is a herbaceous legume, which has high protein content but still very rarely cultivated in Indonesia. This research was conducted to know the effects of phosphorus fertilizer and initial cutting on plant vigority and quality of alfalfa (Medicago sativa L.). This research used Factorial Completely Randomize Design. For a four mounth fertilizing trial, a total of 60 plants of alfalfa were allotted to 15 treatments. The treatments were divided into 2 factors, fertilizing of phospor, and initial cutting. Factor A were 0 kg P/ha, 30 kg P/ha, 60 kg P/ha, 90 kg P/ha, 180 kg P/ha. Factor B were 60 days, 80 days, 100 days. Statistical analysis were conducted using ANOVA. When indicated a significant effect (p<0.05), the Duncan test was used. These result showed that fertilizing of phospor did not have significant effects on all variances (dry matter, vertical growth, crude protein, and crude fiber). Initial cutting (days 100) had significant effect in dry matter and vertical height. Keywords: alfalfa, fertilizing of phospor, initial cutting PENGARUH PEMUPUKAN FOSFOR DAN UMUR POTONG AWAL TERHADAP VIGORITAS DAN KUALITAS ALFALFA (Medicago sativa L.) ELES RONGGO PRIYO HERNOWO D24102021 Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PENGARUH PEMUPUKAN FOSFOR DAN UMUR POTONG AWAL TERHADAP VIGORITAS DAN KUALITAS ALFALFA (Medicago sativa L.) Oleh ELES RONGGO PRIYO HERNOWO D24102021 Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 28 November 2008 Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc. Agr. NIP. 131 955 531 Ir. Ignatius Kismono, MS. NIP. 130 321 050 Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr. NIP. 131 955 531 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 27 April 1984 di Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Widiarto Supriastio dan Ibu Tiwi Rahayu. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SDN Tarubasan 1, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di SLTPN 1 Klaten, dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2002 di SMUN 1 Klaten. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada jurusan Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2002. Selama mengikuti pendidikan, Penulis aktif di Persekutuan Ouikoumene Protestan Katolik Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah mengajar perihal budidaya ternak di Pelatihan Masyarakat Terpadu Muria Bogor mulai angkatan XV – XIX. KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunianya sehingga Penulis telah dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Umur Potong Awal Terhadap Vigoritas dan Kualitas Alfalfa (Medicago sativa L.). Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan Laboratorium Lapang Agrostologi, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pemanfaatan hijauan pakan sebagai makanan ternak ruminansia yang disuplementasikan dengan pakan konsentrat, dapat memenuhi kebutuhan ternak akan zat-zat makanan yang diperlukan untuk hidup pokok, pertumbuhan, produksi,dan reproduksi. Pakan konsentrat adalah bahan pakan yang konsentrasi gizinya tinggi, kandungan serat kasarnya relatif rendah, dan mudah dicerna. Harga pakan konsentrat yang mahal membuatnya menjadi tidak terjangkau oleh para peternak. Sehubungan dengan hal itu, maka hijauan pakan berkualitas tinggi semakin dibutuhkan. Skripsi ini merupakan karya tulis mengenai introduksi tanaman alfalfa (Medicago sativa L.) yang benihnya didatangkan dari Taiwan. Alfalfa termasuk hijauan pakan yang berkualitas tinggi karena memiliki kandungan protein kasar yang tinggi dan serat kasar yang rendah. Penggunaan alfalfa diharapkan dapat mengurangi penggunaan konsentrat dalam ransum dengan tidak mengurangi kualitas nutrisi ransum bagi ternak itu sendiri. Salah satu prinsip manajemen yang diterapkan pada budidaya hijauan makanan ternak tak terkecuali adalah mengupayakan vigoritas (ketegaran) pertumbuhan awal yang prima, sebagai basis pertumbuhan kembali (regrowth) yang kuat setelah pemanenan berkali-kali dalam jangka waktu yang panjang. Terima kasih untuk setiap kritik, saran, serta dorongan semangat dari semua pihak sehingga skripsi ini dapat selesai. Semoga penelitian dan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca dan menjadi referensi untuk penelitian-penelitian tentang alfalfa (Medicago sativa L.) selanjutnya. Bogor, Desember 2008 Penulis DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN……………………………………………………………. ii ABSTRACT………………………………………………………………. iii RIWAYAT HIDUP………………………….…………………………… vi KATA PENGANTAR………...………………………………………….. vii DAFTAR TABEL………………………………………………………… ix DAFTAR GAMBAR……………………………………………………... x DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………... xi PENDAHULUAN………………………………………………………... 1 Latar Belakang…………………………………………………….. Perumusan Masalah……………………………………………….. Tujuan……………………………………………………………... 1 1 1 TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………….. 2 Alfalfa……………………………………………………………... Fosfor……………………………………………………………… Latosol…………………………………………………………….. Pupuk kandang……………………………………………………. 2 9 11 13 METODE…………………………………………………………………. 15 Lokasi dan Waktu…………………………………………………. Materi……………………………………………………………… Rancangan………………………………………………………… Peubah…………………………………………………………….. Prosedur…………………………………………………………... 15 15 15 16 17 HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………….. Keadaan Umum Penelitian……………………………………….. Berat Bahan Kering………………………………………………. Tinggi Vertikal Akhir……………………………………………... Kandungan Protein Kasar………………………………………… Kandungan Serat Kasar…………………………………………... Pembahasan Umum Penelitian……………………………………. KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………….. Kesimpulan………………………………………………………... Saran………………………………………………………………. 20 20 21 23 26 27 28 32 32 32 UCAPAN TERIMA KASIH…………………………………………….. 33 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 34 LAMPIRAN……………………………………………………………… 37 DAFTAR TABEL Nomor 1. Jaman Pembudidayaan Tanaman Penting………………………… Halaman 2 2. Pengaruh Pemupukan SP36 dan Umur Potong Awal Terhadap Berat Bahan Kering Alfalfa (gram / polybag)…………………….. 21 3. Pengaruh Pemupukan SP36 dan Umur Potong Awal Terhadap Tinggi Akhir Alfalfa (cm)…………………………………………. 24 4. Pengaruh Pemupukan SP36 dan Umur Potong Awal Terhadap Kandungan Protein Kasar Alfalfa (% dari Berat Bahan Kering)…. 26 5. Pengaruh Pemupukan SP36 dan Umur Potong Awal Terhadap Kandungan Serat Kasar Alfalfa (% dari Berat Bahan Kering).…… 27 6. Ciri Fisik dan Kimia Tanah Latosol Darmaga……………………. 30 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Struktur Biji Alfalfa………………………………………….......... 3 2. Keberadaan Lumut dan Jamur pada Media Tanam..……...……….. 20 3. Akar Alfalfa……………………………………………………….. 21 4. Berat Bahan Kering………….…………………………………..... 23 5. Tinggi Vertikal Akhir…………………………………………….... 25 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Cara Kerja Analisis N pada Tanaman Metode Kjeldahl………… 38 2. Cara Kerja Analisis Serat Kasar…………………………………. 39 3. Berat Tanah 1 Hektar (Ha)……………………………….…..….. 40 4. Berat 1 Buah Polybag……………………………………….…… 40 5. Berat Pupuk Urea (gram / Polybag)……………………...………. 40 6. Berat Pupuk KCl (gram / Polybag)…………………...……….…. 40 7. Berat Kapur Dolomit (gram / Polybag)…………...…..….............. 41 8. Berat Pupuk SP36 (gram / Polybag)……………………………… 41 9. Jumlah Tanaman Alfalfa (Medicago sativa L.) per Polybag.......... 41 10. Uji Anova Bahan Kering……………………………………….… 43 11. Uji Lanjut Bahan Kering……………………………...………….. 43 12. Uji Anova Tinggi Tanaman………………………...……………. 44 13. Uji Lanjut Tinggi Tanaman…………………….……………..…. 44 14. Uji Anova Protein Kasar…………………….……………..…….. 45 15. Uji Lanjut Protein Kasar……………………………………….…. 45 16. Uji Anova Serat Kasar…………………………………………… 46 17. Uji Anova Interaksi Serat Kasar…...…………………………….. 47 18. Uji Lanjut Interaksi Serat Kasar.………………………………… 48 19. Denah Penelitian………….……………………………………… 49 PENDAHULUAN Latar Belakang Hijauan pakan merupakan salah satu syarat yang menentukan produktivitas ternak ruminansia, karena hijauan memiliki persentase yang paling besar di dalam formulasi pakan ternak ruminansia. Harga konsentrat yang mahal membuat hijauan pakan berkualitas tinggi semakin dibutuhkan. Penggunaan hijauan pakan berkualitas tinggi diharapkan dapat mengurangi penggunaan konsentrat dalam ransum dengan tidak mengurangi kualitas nutrisi ransum bagi ternak itu sendiri. Mutu hijauan pakan ditentukan oleh banyak hal diantaranya jenis hijauan, kesuburan tanah, macam perlakuan, dan pengaruh lingkungan lainnya. Salah satu upaya penyediaan hijauan pakan berkualitas tinggi yaitu dengan cara mengintroduksi hijauan yang memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi, salah satunya yaitu alfalfa tropis. Alfalfa (Medicago sativa L.) merupakan leguminosa yang berasal dari kawasan Asia Barat Daya. Alfalfa mempunyai beberapa keunggulan, diantaranya alfalfa dapat tumbuh di berbagai macam tipe tanah, kandungan protein kasarnya cukup tinggi, kandungan serat kasar rendah, dan memiliki daya pertumbuhan kembali yang cepat setelah pemanenan. Perumusan Masalah Alfalfa di Indonesia baru pada tahap introduksi maka perlu upaya memahami budidaya alfalfa yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui vigoritas tanaman dan kualitas dari alfalfa dengan perlakuan pemupukan fosfor dan umur potong awal. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemupukan fosfor dan perlakuan umur potong awal terhadap vigoritas tanaman dan kualitas hijauan alfalfa (Medicago sativa L.). TINJAUAN PUSTAKA Alfalfa Alfalfa mempunyai nama latin Medicago sativa L. Kata Medicago berasal dari bahasa latin yaitu medica yang berarti median, dimana daerah Mediterania dipercaya merupakan tempat alfalfa berasal. Alfalfa di benua Eropa dikenal dengan nama lucerne. Lucerne berasal dari nama Lake Lucerne di Switzerland dimana di tempat ini kultivasi awal dan popularitas alfalfa berkembang sampai akhirnya masuk ke Eropa (Allen dan Allen, 1981). Alfalfa juga mendapat julukan Cadillac of The Forages, Queen of The Forages, Purple Medick, dan Trefoil. Alfalfa berasal dari bahasa Arab, yaitu Al-Fal-Fa, yang berarti bapak dari semua makanan. Menurut Whiteman (1980), alfalfa juga digunakan sebagai salah satu komponen hijauan pastura. Alfalfa sering digunakan dalam pastura untuk sapi perah, sapi potong, dan domba (Cheeke, 2005). Menurut Vavilov, seorang ahli botani Rusia, pusat penyebaran tanaman alfalfa yaitu di daerah Asia kecil, Iran, dan dataran tinggi Turki. Di mana di daerah ini terdapat bermacam-macam tanaman gandum, tanaman biji-bijian untuk makanan ternak, sayuran, dan buah-buahan. Tabel 1 berikut menunjukkan jaman pembudidayaan beberapa tanaman penting hasil dari studi yang mendasarkan pada evolusi tanaman (Poespodarsono, 1988). Tabel 1. Jaman Pembudidayaan Tanaman Penting Jaman Tanaman Pra 5000 SM Barley, wheat, jagung, kacang-kacangan, pea, igam, dan lentik Pra 2500 SM Kentang, anggur, millet, padi, rye, kacang tanah, lucerne, kapas olive, apel Pra 1 SM Kedelai, flax, jeruk, oat, teh, bit, fig, pisang, coklat. Pra 1000 M Tebu, kopi, tembakau, karet Pengetahuan tentang pembudidayaan suatu tanaman berkaitan dengan kemungkinan keragaman yang pernah terjadi pada tanaman itu. Keragaman memang sudah terjadi sebelum pembudidayaan namun setelah itu terjadi peningkatan karena peristiwa alami. Keragaman ini makin ditingkatkan dengan adanya modifikasi akibat tanaman berada pada lingkungan baru yang sama sekali berbeda dengan asalnya, oleh karena itu makin awal pembudidayaannya dapat menimbulkan keragaman makin tinggi pada saat ini, dan makin beragam suatu tanaman mungkin menunjukkan makin awal pembudidayaannya (Poespodarsono, 1988). Dipercaya bahwa alfalfa dibudidayakan pertama kali di Iran. Alfalfa dibawa ke Yunani sekitar tahun 490 SM oleh invasi Media Persia sebagai bahan makanan kuda dan hewan yang dibawa. Kemudian alfalfa menyebar ke Itali dan negara-negara Eropa lainnya, termasuk Spanyol. Dari Spanyol, alfalfa dibawa ke Amerika Tengah dan Selatan oleh ekspedisi Spanyol. Catatan pertama tentang pertumbuhan alfalfa di Amerika Serikat yaitu di Georgia pada tahun 1736. Alfalfa mempunyai klasifikasi sebagai berikut (Ildis, 2005) : Kingdom : Plantae Division : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Order : Fabales Family : Fabaceae Subfamily : Faboideae Tribe : Trifolieae Genus : Medicago Species : M. sativa Jumlah kromosom alfalfa (purple alfalfa) sebanyak 32 buah (Hughes et al., 1951). Alfalfa (Medicago sativa) merupakan hijauan leguminosa yang tumbuh sepanjang tahun, dikotil, crosspollinated, heterozygous autotetraploid, dan memiliki banyak keragaman genetik. Fenwich et al., (1996) menyatakan alfalfa atau lucerne merupakan salah satu legum perennial dimana sangat penting dalam produksi hijauan. Gambar 1. Struktur Biji Alfalfa (Meyer, D. 1999) Bunga alfalfa terdapat pada tandan yang longgar atau rangkaian, dan berwarna keunguan. Kotak dimana biji diproduksi berbentuk spiral yang memutar satu hingga lima kali, seperti cangkang siput (Hanson dan Barnes, 1973). Setiap kotak mengandung beberapa biji yang berbentuk seperti ginjal kecil. Batang alfalfa pada umumnya mempunyai diameter tidak lebih dari 1/8 inci, dan tinggi hingga mencapai 2,5 kaki. Bagian batang yang muncul dari dasar yang semi-kayu dikenal dengan nama mahkota atau crown (Wheeler, 1950). Sistem perakaran memiliki ciri yaitu akar utama yang terpisah, ketika berada dibawah kondisi yang tidak cocok dapat melakukan penetrasi hingga kedalaman tanah 7-9 meter atau lebih. Batang yang tegak biasanya mencapai ketinggian 60-90 cm. Ada sekitar 5-25 atau lebih batang per tanaman, tumbuh dari leher akar (crown) yang berkayu tempat dimana batang baru tumbuh ketika batang yang tua sudah dewasa atau telah dipanen. Akar utama mempunyai banyak cabang akar. Akar alfalfa tidak tumbuh pada tanah yang tidak mudah ditembus, keras, terdapat lapisan bebatuan di dekat permukaan tanah (Wheeler, 1950). Dengan sistem perakaran yang sangat dalam membuat alfalfa sangat tahan terhadap musim kemarau, dan stocking rate yang tinggi. Alfalfa juga lebih tahan dingin daripada kebanyakan legum tropik, dan karena sistem perakarannya yang dalam membuat alfalfa dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan 500 mm/tahun (Whiteman, 1980). Akar-akar alfalfa dalam sebuah area seluas 1 m2 dapat mencapai 744,8 meter (Kononova, 1966). Dalam material akar alfalfa memiliki kandungan 2,47% N, 0,26% P, dan 0,24% S (Kowalenko, 1978). Telah diketahui dengan baik bahwa sistem perakaran dari tanaman perennial herba memainkan bagian yang besar dalam menghasilkan struktur tanah yang baik (Kononova, 1966). Alfalfa mempunyai meristem bintil yang ujungnya tidak tertentu dan menghasilkan bintil yang lonjong (Gardner, 1991). Walaupun pembentukan bintil akar dapat terjadi tanpa inokulasi, namun hal tersebut sering tidak efektif. Inokulasi diperlukan hampir untuk semua spesies legum yang peka aluminium seperti alfalfa, clover, Glycine wightii, dan Leucaena leucocephala. Penggunaan strain Rhizobium setempat sering menghasilkan pembentukan bintil akar yang kurang baik (Sanchez, 1993). Daun alfalfa, letaknya berselang-seling pada batang, merupakan daun yang trifoliate (Hanson dan Barnes, 1973). Alfalfa memproduksi lebih banyak protein per hektar daripada tanaman lain untuk ternak. Alfalfa memiliki kandungan mineral yang tinggi dan mengandung setidaknya 10 jenis vitamin. Alfalfa sudah sejak lama dipertimbangkan sebagai sumber penting vitamin A (Hanson dan Barnes, 1973). Alfalfa mengandung 8 macam enzim esensial yaitu lipase, amilase, koagulase, emulsin, invertase, peroxidate, pectinase, dan protase. Vitamin yang ditemukan dalam alfalfa yaitu vitamin A, B6, D, E, K, U. Sedangkan mineral yang terdapat pada alfalfa yaitu Ca, Fe, Mn, K, P, Cl, Na, Si-Mg. Alfalfa mengandung 18,9% protein (Lucas, R et al., 2006). Sebagai sumber kalsium, alfalfa jauh mengungguli hijauan lainnya. Hay alfalfa juga mengandung rata-rata 14-15% protein yaitu 2,5 kali lebih banyak dibandingkan tepung sorghum atau tepung jagung (Wheeler, 1950). Alfalfa mengandung vitamin A sebanyak 231.000 IU / kg (Sudaro dan Siriwa, 1997). Karakteristik tersebut membuat alfalfa (dalam bentuk hay, pellet, atau silase) menjadi komponen ransum yang menarik dan menguntungkan untuk kebanyakan usaha peternakan. Alfalfa juga membantu meminimalkan polusi dengan cara mengurangi jumlah air run-off dan erosi tanah (Hanson dan Barnes, 1973). Alfalfa digunakan untuk soil improvement karena diketahui dapat meningkatkan struktur tanah, bahan organik, dan kesuburan tanah atau disebut green manuring. Alfalfa juga digunakan sebagai hijauan (forages) karena mampu menyediakan protein dan dapat mengikat nitrogen dari atmosfer (Sinha, 1977). Beberapa faktor penting dalam usaha membudidayakan alfalfa, yang pertama adalah pemilihan lokasi. Lokasi adalah salah satu faktor yang perlu mendapat perhatian karena menyangkut tempat tumbuh tanaman. Dalam pemilihan lokasi, yang perlu mendapat pertimbangan adalah syarat tumbuh tanaman. Lokasi yang akan digunakan harus sesuai dengan keadaan yang diinginkan tanaman, misalnya iklim atau tanahnya cocok (Palungkun dan Budiarti, 1991) Alfalfa dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai macam iklim dan kondisi tanah. Alfalfa beradaptasi sangat baik pada tanah lempung yang dalam dengan bagian tanah yang berpori. Sistem irigasi juga sangat diperlukan. Alfalfa juga membutuhkan banyak kapur dan tidak bagus pada tanah yang masam (Hanson dan Barnes, 1973). Alfalfa rentan dengan kandungan Al dan Mn yang tinggi dalam tanah, juga rentan terhadap fosfor dan kalium yang rendah dalam tanah (Sanchez, 1993). Alfalfa tumbuh sangat baik pada iklim yang kering dan tanah subur yang teririgasi. Dengan pemupukan yang bagus dan inokulasi dengan bakteri pengikat nitrogen (Rhizobium), alfalfa dapat tumbuh dengan bagus pada kondisi lembab yang berlebih. Alfalfa secara relatif toleran dengan tanah yang masam tetapi tidak begitu halnya jika ditanam pada tanah yang terlalu masam (Hanson dan Barnes, 1973). Alfalfa juga menyesuaikan diri dengan iklim sedang. Spesies legum yang rentan terhadap sebagian besar faktor yang berkaitan dengan keasaman tanah antara lain Leucaena leucocephala, Glycine wightii, Trifolium sp., dan Medicago sativa. Spesies tersebut tumbuh pada tanah yang sangat basa dan menyesuaikan dengan lebih baik pada tanah itu. Semua spesies tersebut tumbuh dengan subur pada tanah seperti itu di daerah tropika, terutama tanaman clover dan alfalfa pada tanah bergamping dengan suhu rendah (Sanchez, 1993). Bakteri pengikat nitrogen yang biasanya dinokulasikan pada akar alfalfa adalah Rhizobium meliloti. Bakteri ini mempunyai pertumbuhan yang cepat dan hidup pada suasana tanah yang asam (Allen dan Allen, 1981). Dalam pemilihan lahan untuk alfalfa, harus sungguh-sungguh memperhatikan tekstur, produktivitas, dan sistem irigasi. Tanah yang terlalu berpasir, masam, asin, dan terlalu kompak atau padat sebaiknya dihindari. Tanah yang paling produktif pada lahan peternakan harus dipilih untuk alfalfa. Ketika sistem irigasi secara alami tidak ada, maka harus disediakan dengan peralatan buatan sebelum alfalfa dibudidayakan. Lahan persemaian yang bagus harus padat, gembur, dan tanah yang matang. Lahan diolah untuk menghilangkan alang-alang dan rumput liar (Wheeler, 1950). Tanah vertisol yang sangat basa dengan temperatur yang agak rendah, daerah Queensland, disukai oleh alfalfa. Tanah Ustert di Australia juga dapat digunakan untuk tempat tumbuh alfalfa (Sanchez, 1993). Sebelum menanam benih alfalfa, sangat penting untuk mengetahui apa yang dibutuhkan oleh tanah. Kebutuhan tanah akan kapur bervariasi dan akan lebih baik jika dilakukan test untuk mengetahui kebutuhan tanah akan kapur. Kapur diberikan pada saat persiapan lahan persemaian. Alfalfa tumbuh dengan baik rata-rata pada tingkat pH 6,2 (Rowell, 1994). Menurut Kuswandi (1993) pH optimal bagi alfalfa antara 6,2-7,8. Tingkat penggunaan kapur akan tergantung pada kemasaman tanah, kemurnian, dan kualitas kapur yang digunakan. Alfalfa seharusnya tumbuh hanya pada tanah yang memiliki kandungan pospor yang berlimpah (Wheeler,1950). Hasil pengujian pH tanah digunakan untuk menentukan kebutuhan kapur. Jumlah kebutuhan kapur tergantung pada jenis bahan yang digunakan, jenis tanaman, sistem pergiliran tanaman, jenis tanah, dan faktor-faktor lain. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi jumlah kebutuhan kapur adalah tekstur tanah dan kandungan bahan organik dalam tanah (Kuswandi, 1993). Sumber-sumber kapur antara lain tepung tulang, tepung ikan, batu kapur, dan superphospat. Pemberian kapur sampai pH tanah mencapai 7 sangat dianjurkan. Untuk budidaya alfalfa, tanah harus dibajak atau diolah dengan baik. Pupuk kandang dapat diberikan 6 minggu sebelum penanaman, dan penambahan pupuk kandang setiap habis 3 kali panen (Duke, 1983). Alfalfa responsif terhadap aplikasi pemupukan khususnya fosfor, sulfur, dan potashium (Whiteman, 1980). Waktu penanaman benih yang umum dilakukan yaitu pada saat akhir musim kemarau atau awal musim penghujan. Penanaman pada saat tersebut akan mengurangi peluang tumbuhnya gulma, alang-alang, dan sebagainya. Penanaman sebaiknya dilakukan hanya setelah kondisi cuaca dan lahan persemaian mendukung. Jika lahan persemaian telah siap dan penanaman benih telah dilakukan kemudian diikuti dengan hujan, germinasi yang cepat akan terjadi dan akar akan mencapai poripori tanah sebelum pengeringan terjadi (Wheeler,1950). Rekomendasi standar untuk germinasi dan kemurnian benih alfalfa di Queensland, Australia, adalah sebagai berikut (Whiteman, 1980) : 1. Minimum benih yang dapat germinasi : 80 % 2. Maksimum benih yang keras : 30 % 3. Minimum benih murni : 98 % persentase 4. Maksimum benih gulma : 0.5 % berdasarkan 5. Maksimum benih tanaman lain : 0.5 % berat 6. Maksimum bahan inert : 1.5 % Untuk lahan seluas satu are dibutuhkan satu pound biji alfalfa (dalam satu pound terdapat sekitar 220000 biji alfalfa), cukup untuk menumbuhkan lima tanaman per kaki persegi jika semua biji germinasi dan tumbuh. Berbagai macam kendala yang ada dalam usaha pemeliharaan alfalfa menyebabkan penggunaan sekitar 8-15 pound biji alfalfa untuk lahan seluas satu are. Nilai yang lebih rendah biasanya direkomendasikan untuk kondisi kelembaban yang rendah, dan nilai yang lebih tinggi untuk kondisi dengan kelembaban yang tinggi (Wheeler,1950). Jika penanaman benih menggunakan sistem broadcasting maka memerlukan benih sebanyak 12-20 kg untuk lahan seluas satu hektar. Sedangkan jika benih ditanam pada larikan yang telah dibuat maka hanya membutuhkan benih sebanyak 10-12 kg untuk lahan seluas satu hektar (Duke, 1983). Benih alfalfa sebaiknya diinokulasikan dengan bakteri Rhizobium pada waktu ditanam. Kedalaman penanaman optimal yaitu 0,25 – 0,5 inchi pada tanah yang keras dan 0,5 – 1,0 inchi pada tanah yang ringan (McDonald et al., 2006). Sangat penting untuk menaruh benih dengan tepat sehingga dapat kontak dengan partikel tanah untuk mempercepat germinasi dan membuat pertumbuhan cepat lebih awal. Jika penanaman benih alfalfa tidak menggunakan mesin, maka drilling adalah metode terbaik untuk menempatkan benih ke dalam tanah. Benih ditanam pada kedalaman tanah kira-kira 1,5 inchi. Broadcasting bukan merupakan metode yang bagus, tetapi jika digunakan, maka persiapan lahan harus sama seperti metode drilling (Wheeler,1950). Benih legum sebelum ditanam sebaiknya diskarifikasi, dengan maksud agar benih mudah berkecambah serta air dan udara (O2) dapat masuk. Biji leguminosa keras dan dilapisi oleh wax (lilin). Skarifikasi dapat dilakukan secara fisik maupun kimiawi. Skarifikasi secara fisik dilakukan bertujuan melukai benih (jauh dari titik tumbuh) supaya kulit benih retak yaitu dengan cara, benih direndam di air panas dengan suhu untuk menghilangkan wax (lilin). Skarifikasi secara kimiawi dilakukan dengan menggunakan H2SO4 (Dewi, 2004). Benih alfalfa mempunyai kulit yang keras, sehingga perlu dilakukan skarifikasi yaitu dengan cara benih direndam dalam air terlebih dahulu sebelum ditanam (Duke, 1983). Alfalfa dipanen ketika bunga yang pertama kali mekar. Jumlah panen per tahun berbeda-beda pada setiap daerah. Pada kebanyakan iklim alfalfa dapat dipanen 3-4 kali dalam setahun. Dengan total panen 8 ton / hektar tetapi tergantung daerah, cuaca, dan umur alfalfa saat panen. Umur panen yang lama dapat meningkatkan jumlah total panen tetapi kandungan nutrisinya berkurang (Ildis, 2005). Alfalfa atau lucerne harus dipanen sebelum alfalfa berbunga; nilai nutrisi dan kecernaannya menurun setelah masa berbunga (Gohl, 1981). Waktu pemanenan dan pengeringan pada masa kedewasaan penting agar memperoleh produk yang berkualitas tinggi (Golob, et al., 2002). Produksi alfalfa dapat mencapai 4 ton/are atau sekitar 8960 kg/ha (Campbell, 1978). Clements et al., (2008) menyatakan bahwa Lucerne (alfalfa) yang tumbuh dengan pengairan mampu memproduksi 25-27 ton / ha bahan kering dalam tahun pertama penanaman dan akan turun menjadi 8-15 ton / ha pada tahun ketiga penanaman. Ada satu segi yaitu ketenggangan terhadap peranggasan yang sering yang pada berbagai legum tropika berbeda degan nyata dibandingkan dengan alfalfa dan kelompok clover. Dibandingkan dengan alfalfa, berbagai spesies yang merambat seperti Desmodium spp, siratro, dan kacang bulu sangat peka terhadap peranggasan yang sering dan memerlukan waktu yang lebih lama untuk benar-benar tumbuh kembali setelah dirumput (Sanchez,1993). Hay alfalfa sangat penting utuk industri sapi perah sebagai sumber protein dan serat kasar (Cheeke, 2005). Luas daerah pembudidayaan alfalfa di dunia yaitu sekitar 33 ribu hektar, 70% diantaranya diproduksi oleh Amerika Serikat, USSR, dan Argentina. Sedangkan Prancis, Itali, Canada, dan Australia memproduksi sekitar 20% produksi dunia (Duke, 1983). Fosfor Elemen esensial yang dibutuhkan oleh tanaman dibagi menjadi dua, yaitu makronutrien dan mikronutrien. Makronutrien terdiri dari O2, H2, C, N, P, K, S, Ca, dan Mg. Sedangkan mikronutrien terdiri dari Fe, B, Mo, Zn, Cu, Mn, dan Cl2 (Campbell, 1978). Unsur-unsur yang dapat meracuni kehidupan antara lain adalah Li, Be, Ni, Al, Cd, Hg, dan Pb (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1991). Fosfor adalah hal yang esensial untuk kehidupan, yang paling sering menjadi elemen pembatas dalam produktivitas biologi ekosistem (Turner, 2005). Nitrogen, fosfor, dan sulfur adalah tiga elemen nutrien penting untuk pertumbuhan tanaman (Kowalenko, 1978). Diantara elemen-elemen esensial untuk pertumbuhan dan nutrisi tanaman, fosfor adalah yang kurang terpresentasi dengan baik dalam litosfer (0,1%). Mineral fosfat tidaklah melimpah dalam tanah, meskipun apatite ( Ca5(F, Cl, OH)(PO4)3 ) telah teridentifikasi dalam tanah muda. Pada umumnya,mineral fosfat kurang dapat larut dibandingkan dengan karbonat dan sulfat (Schaetzl dan Anderson, 2005). Fosfor terdapat dalam dua bentuk di alam, yaitu senyawa fosfat organik (pada tumbuhan dan hewan) dan senyawa fosfat anorganik (pada air dan tanah). Fosfat organik dari hewan dan tumbuhan yang mati diuraikan oleh dekomposer (pengurai) menjadi fosfat anorganik. Fosfat anorganik yang terlarut di air tanah atau air laut akan terkikis dan mengendap di sedimen laut. Oleh karena itu, fosfat banyak terdapat di batu karang dan fosil. Fosfat dari batu dan fosil terkikis dan membentuk fosfat anorganik terlarut di air tanah dan laut. Fosfat anorganik ini kemudian akan diserap oleh akar tumbuhan lagi. Fosfor sangat terlibat dalam pertumbuhan dan metabolisme tanaman-tanaman (Quiquampoix, 2005). Fosfor berpengaruh menguntungkan pada banyak hal, diantaranya pembelahan sel, pembuahan, perkembangan akar (lateral), kekuatan batang pada tanaman serealia, mutu tanaman, dan kekebalan terhadap penyakit tertentu. Sumber pokok fosfor yaitu pupuk buatan, pupuk kandang, sisa-sisa tanaman, dan senyawa asli unsur ini dalam bentuk organik maupun anorganik yang terdapat dalam tanah. Pengaruh fosfor terhadap tanaman amatlah penting karena fosfor merupakan bagian dari inti sel, sangat penting dalam pembelahan sel dan juga untuk perkembangan jaringan meristem. Fosfor dapat merangsang pertumbuhan akar tanaman muda, mempercepat pembuangan dan pematangan buah, biji, ketahanan terhadap penyakit, pembentukan nukleo-protein (penyusun gen RNA dan DNA), metabolisme karbohidrat, menyimpan dan memindahkan energi (Hardjowigeno, 1995). Defisiensi fosfor dapat membawa kepada kebanyakan penurunan yang paling sering dalam proses metabolik, termasuk bagian sel, respirasi, dan fotosintesis (Quiquampoix, 2005). Fosfor dalam bentuknya sebagai ortofosfat memainkan peranan yang fundamental dalam sejumlah besar reaksi enzim yang bergantung pada fosforilasi (Russell, 1961). Menurut Mengel dan Kirkby (1987), menjelaskan bahwa dalam proses metabolisme tanaman kebutuhan energi diperoleh dari senyawa fosfat berenergi tinggi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) dan sebagai hasilnya akan diperoleh senyawa fosfat berenergi rendah dalam bentuk adenosin difosfat (ADP). Salisbury dan Ross (1995), menyatakan bahwa disamping sebagai transfer energi, unsur P juga berfungsi sebagai penyusun, pengikat-pengikat gula yang diperlukan bagi proses fotosintesis dan respirasi, selain itu juga mempertahankan pH sel tanaman. Kandungan nutrisi fosfor dalam tanaman disokong oleh mekanisme mobilisasi fosfor yang terjadi di rhizosfer (Quiquampoix, 2005). Pupuk adalah suatu bahan yang digunakan untuk memperbaiki sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pemupukan adalah penambahan pupuk pada tanah agar tanah menjadi subur. Pupuk fosfor cocok digunakan untuk tanaman generatif. Pupuk fosfor termasuk pupuk yang sulit larut (Dewi, 2004). Pupuk fosfor sangat dianjurkan sebagai pupuk dasar karena fosfor tidak cepat tersedia dan dibutuhkan pada stadia permulaan tumbuh. Kalau unsur yang dapat larut ini diberikan pada tanah dalam bentuk pupuk, fosfor sering “diikat” atau dijadikan tidak tersedia, meskipun keadaan lapangan paling ideal. Oleh karena itu pemupukan dengan cara lubang dan jalur merupakan cara yang terbaik karena dapat mengurangi kontak dengan tanah dan fiksasi fosfat oleh tanah dikurangi bila dibandingkan dengan cara pemupukan sebar (Hakim et al., 1986). Dalam lapisan horizon bagian atas, fosfor organik terepresentasi antara 20-80% dari total fosfor. Fosfor organik yang secara kimia dan fisik terikat, terepresentasi sekurang-kurangnya 90% dari jumlah total fosfor organik (Quiquampoix, 2005). Fosfor pada tanaman saat panen kadarnya lebih rendah daripada yang diberikan pada tanaman (pupuk), karena pengangkutan fosfor dari tanah oleh tanaman amat rendah (1/3 atau ¼) dibandingkan N dan K. Fosfor sangat kuat dijerap oleh koloid tanah dan tidak berada dalam bentuk bahan volatile, sehingga siklusnya mengambil tempat di biosfer dan hilangnya fosfor yang disebabkan oleh pencucian umumnya kecil (antara 12 gram P/ha/tahun). Salah satu karakteristik mayor dari siklus ini yaitu hanya 1% dari fosfor tanah yang tergabung dalam tanaman selama masa pertumbuhan (Quiquampoix, 2005). Latosol Tanah merupakan salah satu dari sumber daya alam yang paling berharga dari sebuah bangsa. Dalam produksi agrikultur, tanah merupakan bagian integral dengan sistem ekologi dimana memproduksi bahan pangan dan serat. Untuk tanaman agrikultur, tanah berperan sebagai media dimana tanah mampu secara fisik membantu tanaman untuk menyimpan air dan nutrisi esensial untuk pertumbuhan tanaman. Definisi tanah menurut Century Dictionary adalah campuran dari berbagai material bumi dengan kurang atau lebih bahan organik yang dihasilkan dari pertumbuhan dan dekomposisi dari vegetasi yang berada di permukaan bumi atau dari kotoran binatang, maupun dari campur tangan manusia (Taylor, 1924). Tanah yang subur adalah tanah yang mengandung suplai yang cukup untuk tanaman dalam bentuk tersedia atau populasi mikroba yang memberikan nutrient cukup cepat untuk mendukung pertumbuhan cepat tanaman (Russel, 1961). Brady et al., (2002) menyatakan bahwa tanah memegang banyak peranan, yaitu : 1. Tanah mendukung pertumbuhan dari tanaman, terutama dengan menyediakan media untuk akar tanaman dan memberikan elemen nutrien yang esensial untuk segala tanaman. 2. Kepemilikan tanah adalah faktor prinsipil dalam mengontrol ketersediaan air tanah. Kekurangan air, penggunaan air, pencemaran air, dan pemurnian air tergantung dari tanah. 3. Fungsi tanah sebagai nature’s recycling system. Dalam tanah,, sampah dan bagian mati dari tanaman, hewan, dan manusia diasimilasikan, dan elemen dasar dibuat menjadi tersedia untuk digunakan kembali oleh generasi yang baru. 4. Tanah menyediakan habitat untuk banyak sekali organisme, dari mamalia kecil dan reptil samapai serangga berukuran mikroskopik dalam jumlah yang tak terhitung dan beragam. Latosol merupakan tanah yang tidak potensial untuk pengembangan pastura. Tanah latosol dapat dijumpai di sebagian besar wilayah di dunia, seperti Amerika Serikat bagian tenggara, Brazil, Venezuela, Afrika bagian tengah, India bagian selatan, Srilanka, Asia Tenggara, dan Australia (Skerman, 1977). Tanah latosol adalah tanah liat yang banyak dipakai untuk pertanian di Indonesia. Biasanya warnanya kemerahan, kekuningan, atau kecoklatan karena banyak besinya. Sifat-sifat fisiknya baik , tidak mudah mengalami erosi. Tanah ini banyak terbasuh hujan, oleh karena itu kehilangan unsur-unsurnya yang penting bagi pertanian; kadar bahan organiknya rendah. Tanah ini memerlukan pupuk dan untuk legum tertentu diperlukan tambahan kapur (Tafal, 1981). Tanah latosol telah mengalami pelapukan tanah yang lanjut (Kuswandi, 1993). Tanah latosol di wilayah tersebut kebanyakan tidak subur untuk mendukung pertanian. Pengembangan pastura dapat dilakukan bila dilakukan penambahan pupuk yang secukupnya dan usaha seleksi kultivar dari legum dan rumput yang cocok untuk tanah latosol (Skerman, 1977). Tanah latosol merupakan tanah liat rapuh yang berasal dari batuan basalt dalam (Skerman, 1977). Adapun permasalahan dalam pemanfaatan lahan kering adalah seringnya dijumpai kekurangan unsur N yang hilang melalui proses pencucian, penguapan, dan erosi. Permasalahan lain pada tanah tersebut adalah miskinnya hara P. Pada tanah-tanah miskin hara N dan P penambahan unsur hara tersebut tentu akan meningkatkan kesuburan tanah sehingga produktifitas tanaman yang tumbuh di atasnya akan meningkat (Feniara, 2001). Faktor pembatas pada tanah latosol ialah status nutrisinya dapat dikatakan rendah (Tafal, 1981). Hakim et al., (1986) menyatakan bahwa pada tanah latosol mempunyai sifat fisik yang lebih baik tetapi memiliki kapasitas tukar kation yang rendah dan membutuhkan pemupukan yang agak sering. Soepardi (1985) menerangkan bahwa reaksi tanah ini masam hingga agak masam, berkadar bahan organik rendah, keadaan hara rendah sampai sedang dan tanah latosol biasanya memberikan respon yang baik terhadap pemupukan dan pengapuran. Menurut Kellogg (1949) tanah latosol banyak terdapat di daerah tropik dan equatorial. Vegetasi alami dari tanah latosol seringkali adalah hutan hujan tropis. Hijauan yang cocok untuk tanah latosol antara lain Glycine wightii, Macroptilium atropurpureum, Centrosema pubescens, Stylosanthes guianensis, Desmodium spp, Setaria sphacelata, Panicum maximum, Panicum maximum var. trichoglume, dan Chloris gayana. Biasanya segera sesudah land clearing, tanah ini sangat subur dan mendukung untuk tumbuhnya gulma. Kebanyakan dari tanaman pangan tropik tumbuh di atas tanah ini. Penurunan kesuburan tanah ini sangat cepat dan penambahan unsur nitrogen, fosfor, sulfur, dan molibdenum sangat diperlukan (Skerman, 1977). Pupuk kandang Bahan organik tanah yaitu fraksi organik dari tanah; termasuk residu tumbuhan dan binatang dalam berbagai tahap dekomposisi, sel (baik hidup atau mati), dan jaringan dari mikroba, dan substan yang tersintesis oleh mikroba tanah (Campbell, 1978). Schnitzer dan Khan (1978) menyatakan bahwa bahan organik tanah adalah komponen kunci yang mempengaruhi banyak reaksi yang terjadi dalam sistem tanah. Kowalenko (1978) menyatakan bahwa bahan organik tanah memainkan peranan penting dalam tanah – sistem tanaman, dan unsur pokok ini mengandung elemen N, P, dan S beserta reaksi kimia, fisika, dan biokimia mereka yang penting dalam pertumbuhan tanaman. Pupuk kandang adalah hasil dari penguraian yang ditimbulkan oleh jasadjasad renik seperti bakteri, jamur, dan alga. Berbagai polisakarida dan zat-zat yang menyerupai poliuranida yang dihasilkan oleh itu, dapat mengikat partikel-partikel tanah. Zat-zat ini dibentuk oleh jasad-jasad renik yang menguraikan pupuk itu (Tafal, 1981). Pupuk kandang menyuplai sejumlah mikronutrien dan menjadi bahan yang sempurna untuk menjadi bahan humus (Campbell, 1978). Pentingnya pupuk kandang untuk meningkatkan kesuburan tanah telah dibuktikan selama lebih dari berabadabad dalam praktis agrikultura (Kononova, 1966). Pupuk kandang ini bobotnya ringan, tapi kaya akan kandungan hara dan sangat berperan dalam pertumbuhan vegetatif tanaman, yaitu akar, batang, dan daun (Wudianto, 1988). Gardner (1991) menyatakan bahwa substansi organik dan anorganik alami merupakan sumber utama nutrien tumbuhan dalam ekosistem pertanian dan ekosistem alami. Nutrien memasuki tumbuhan dalam bentuk ion-ion, baik dari anorganik (misalnya pupuk komersial) maupun organik (seperti pupuk kandang). Mikroba tanah merepresentasikan tipe morfologi dan fisiologi yang ditemukan dalam setiap partikel di bumi, kompos, dan pada berbagai macam substrat alami lainnya. Peran mikroba tanah dalam transformasi bahan organik sangat signifikan melalui bermacam aktivitas. Aktivitas yang dilakukan berhubungan dengan pembebasan nutien tumbuhan dan binatang, dan efek yang dihasilkan terhadap kesuburan tanah. Populasi mikroba dalam tanah memainkan peranan dalam formasi dan transformasi dari bahan organik, mulai dari pembebasan nutrient tumbuhan dalam bentuk yang tersedia, dalam menghasilkan humus, dan terakhir kesuburan dari tanah (Walksman et al., 1968). Para peneliti melihat bahwa rasio dari bahan organik tanah dibanding detritus dibanding biomassa mikrobial dibanding biomassa fauna adalah berkisar 1000 : 100 : 10 : 1. Efek yang menguntungkan dari organisme tanah adalah pembusukan bahan organik, kerusakan bahan kimia, transformasi anorganik, fiksasi nitrogen, rhizobakteria, dan perlindungan tanaman (Brady, 2002). METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2005 sampai dengan Januari 2006. Penanaman dan pemeliharaan bertempat di rumah kaca Laboratorium Lapang Agrostologi, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB. Pengukuran biomassa kering batang dan daun dilakukan di Laboratorium Agrostologi, Fakultas Peternakan. Sedangkan analisis protein dan serat kasar dilaksanakan di Balai Besar Pasca Panen, Cimanggu. Materi Bahan-bahan yang digunakan yaitu biji alfalfa tropis (Medicago sativa L.) yang diperoleh dari Taiwan dan telah melalui proses modifikasi secara genetik, kapur, pupuk kandang, SP36, Urea, KCl, dan tanah latosol. Peralatan yang dipakai yaitu cangkul, alat saring tanah dengan lubang berukuran 0.5 cm x 0.5 cm, karung, polybag, plastik, label, benang, gunting, penggaris, timbangan, dan oven. Rancangan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial. Terdapat 15 kombinasi perlakuan dan 4 ulangan sehingga terdapat 60 satuan percobaan. Faktor pertama adalah pemupukan, yaitu : 1. A1 : 0 kg Phospor / ha 2. A2 : 30 kg Phospor / ha 3. A3 : 60 kg Phospor / ha 4. A4 : 90 kg Phospor / ha 5. A5 : 180 kg Phospor / ha Faktor kedua adalah umur potong, yaitu : 1. B1 : 60 hari 2. B2 : 80 hari 3. B3 : 100 hari Model matematika yang digunakan adalah : Yijk = μ + αI + βj + (αβ)ij + ∑ijk Keterangan : Yij : Nilai pengamatan karena adanya pengaruh perlakuan kombinasi pemupukan ke-i, umur potong ke-j, dan ulangan ke-k μ : Nilai rataan umum αI : Pengaruh pemupukan ke-i (i = 1, 2, 3, 4, 5) βj : Pengaruh umur potong ke-j (j = 1, 2, 3) (αβ)ij : Pengaruh interaksi pemupukan ke-i, umur potong ke-j, ulangan ke-k ∑ijk : Pengaruh galat perlakuan kombinasi pemupukan ke-i, umur potong kej, ulangan ke-k Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam (Anova) dan jika hasilnya berbeda nyata dilakukan Uji Duncan. Peubah Berat Bahan Kering Batang dan Daun Setelah dipanen maka alfalfa ditimbang untuk mengetahui berat segarnya, kemudian alfalfa (meliputi batang dan daun) dioven pada suhu 60-700C selama 48 jam. Proses pengovenan ini dilaksanakan di Laboratorium Agrostologi. Setelah dioven, maka alfalfa ditimbang sekali lagi untuk mengetahui berat bahan keringnya. Tinggi Vertikal Akhir Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dengan menggunakan peralatan benang dan penggaris. Mengingat alfalfa memiliki 5-25 batang per tanaman, maka langkah pertama yang dilakukan adalah memilih batang yang paling tinggi dalam satu tanaman alfalfa tiap polybagnya. Langkah berikutnya adalah menempelkan benang pada batang alfalfa terpilih. Benang diarahkan mengikuti bentuk batang alfalfa, mulai dari permukaan media tanam sampai ujung paling atas batang alfalfa. Hal ini dilakukan karena bentuk batang alfalfa beragam (lurus, bengkok, dan berpilin). Pengukuran dilakukan secara hati-hati untuk menghindari rebah atau patahnya batang alfalfa. Kemudian langkah terakhir adalah mengukur panjang benang dengan menggunakan penggaris. Hasil yang diperoleh adalah tinggi vertikal tanaman. Pengukuran tinggi vertikal akhir tanaman, dilakukan sebelum proses pemanenan alfalfa dilaksanakan. Kandungan Protein Kasar Bahan kering alfalfa dianalisis di Balai Besar Pasca Panen Cimanggu untuk mengetahui dan mendapatkan data protein kasar alfalfa. Analisis N pada bahan kering menggunakan Metode Kjeldahl (Lampiran 1). Kandungan Serat Kasar Bahan kering alfalfa dianalisis di Balai Besar Pasca Panen Cimanggu untuk mengetahui dan mendapatkan data serat kasar alfalfa (Lampiran 2). Prosedur Persiapan Bahan Tanah latosol diambil dari Laboratorium Agrostologi, sedangkan pupuk kandang diambil dari Kandang A (sapi perah). Tanah dan pupuk kandang tersebut dijemur secara terpisah dibawah sinar matahari selama 3 hari, kemudian diayak menggunakan saringan dengan ukuran lubang 0.5 cm x 0.5 cm. Selanjutnya tanah, pupuk kandang, dan kapur dicampur dan dimasikkan dalam setiap polybag dan diinkubasi selama 1 minggu. Jumlah pupuk SP36 yang digunakan sesuai perlakuan. Perlakuan A1 sebagai kontrol tidak menggunakan pupuk SP36. Untuk perlakuan A2 menggunakan 0,5 gram SP36 / polybag, sedangkan perlakuan A3 menggunakan 1,0 gram SP36 / polybag. Perlakuan A4 menggunakan 1,5 gram SP36 / polybag, sedangkan perlakuan A5 menggunakan 3,0 gram SP36 / polybag. Jumlah media tanam yang dipersiapkan yaitu sebanyak 60 buah polybag. Untuk setiap polybag diperlukan 4 kg tanah latosol, 1 kg pupuk kandang, 25 g (10 Ton / Ha) kapur, 0.2 g (80 kg N / Ha) pupuk Urea, 0.15 g (30 kg K / Ha) pupuk KCl, dan pupuk SP36 (sesuai dengan perlakuan) yang dicampur dalam sebuah plastik berukuran besar sampai homogen. Setelah itu setiap polybag diberi label sesuai dengan perlakuan (pupuk SP36 dan umur potong). Penanaman Penanaman benih alfalfa dilaksanakan setelah menyediakan media tanam melalui beberapa tahap persiapan, seperti pengapuran, inkubasi, dan proses pencampuran antara tanah, pupuk kandang, dan pupuk dasar. Pengacakan tempat media tanam dilakukan seperti yang terlihat pada denah penelitian (Lampiran 19). Sebelum ditanam, benih alfalfa direndam dulu dalam air sebagai bentuk skarifikasi pada benih (Duke, 1983). Setelah benih alfalfa ditanam di polybag dengan kedalaman tanam ± 2 cm, lalu media tanam disiram dengan air. Menurut Wheeler (1950), untuk lahan seluas 1 are dibutuhkan 1 pound biji alfalfa (dalam satu pound terdapat sekitar 220000 biji alfalfa), sehingga untuk setiap polybag (5 kg) maksimum hanya dapat ditumbuhi 1 tanaman alfalfa. Benih alfalfa sebanyak 15 biji ditanam pada setiap polybag yang telah diacak. Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan selama penelitian meliputi penyulaman, penyiangan, pendangiran, pemberantasan terhadap gulma dan hama. Penyulaman adalah penanaman susulan yang dilakukan bila sebagian tanaman ternyata tidak dapat tumbuh atau bertunas. Tujuan dari penyulaman yaitu mencegah tumbuhnya gulma, menjamin pertanaman yang seragam, dan efisiensi penggunaan lahan (Dewi, 2004). Ketersediaan air dalam media tanam selalu dijaga (media tanam terlihat basah) agar kebutuhan alfalfa akan air terpenuhi. Penyiangan dan pendangiran dilakukan setelah penanaman, tergantung tingkat invasi gulma dan kepadatan tanah, sebaiknya dilakukan sebelum gulma tumbuh subur (Dewi, 2004). Penyiangan dilakukan dengan membersihkan daerah sekitar tanaman dari gulma (lumut, jamur, dan tumbuhan lain) yang tumbuh pada media tanam. Pendangiran dilakukan pada permukaan media tanam. Tujuan dari penyiangan dan pendangiran yaitu melindungi tanaman yang baru tumbuh dari persaingan cahaya, air, hara, dan ruang dan untuk memperbaiki struktur tanah (Dewi, 2004). Pengamatan dan Pengumpulan Data Pertumbuhan alfalfa diamati dengan cara mengukur dan mencatat tinggi vertikal akhir tanaman alfalfa pada saat menjelang panen. Selama masa pemeliharaan dilakukan pengamatan terhadap keadaan alfalfa, media tanam, keberadaan hama dan gulma. Pemanenan Pemanenan hanya dilakukan satu kali untuk setiap perlakuan umur potong awal yaitu pada saat umur tanaman 60, 80, dan 100 hari. Panen hijauan makanan ternak dikenal dengan istilah defoliasi yaitu pengambilan sebagian dari bagian tanaman yang berada di atas permukaan tanah, terutama daun. Pemanenan hijauan makanan ternak hanya sebagian saja, yang diambil yaitu antara 25-70% dari bagian tanaman yang diambil, perlu disisakan sebagian antara 30-75% dari bagian tanaman agar panen dapat dilakukan berulang-ulang (Dewi, 2004). Proses pemanenan dengan umur potong alfalfa 60 hari dilakukan dengan memotong alfalfa (meliputi batang dan daun) pada ketinggian 3 cm di atas permukaan media tanam. Menurut Dewi (2004) pemanenan ini tergolong pada tingkat intensitas defoliasi berat, yaitu bagian tanaman yang dipanen 60-70%; dan secara teknis proses pemanenan dilakukan secara mekanik. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Pengamatan terhadap pertumbuhan alfalfa dilaksanakan dua hari setelah penanaman, dimana beberapa dari benih alfalfa yang ditanam mulai bertunas. Tunas alfalfa pada hari kedua setelah tanam mulai tampak antara 1-2 tunas per polybag. Pertumbuhan normal yang menghasilkan tunas secara serentak terjadi antara 4-7 hari setelah tanam. Lumut dan jamur tumbuh akibat keadaan media tanah yang selalu lembab dan adanya bahan-bahan organik tanah yang mendukung pertumbuhan lumut dan jamur (Gambar 2). Gambar 2. Keberadaan Lumut dan Jamur pada Media Tanam Selama penelitian juga dilakukan pengamatan terhadap keberadaan hama yang berpotensi mengganggu pertumbuhan dan produktivitas alfalfa. Hama-hama tersebut antara lain kutu daun, belalang (Empoasca solana), ulat (Spodoptera exigua), kupu-kupu (Colias eurytheme), kumbang (Hippodamia convergens). Hamahama tersebut dapat masuk ke dalam rumah kaca melalui dinding-dinding rumah kaca. Kutu daun menyerang pada bagian daun alfalfa dan membuat bercak-bercak kuning pada daun (kemungkinan sel-sel daun yang menjadi mati), dan jika bercakbercak kuning tersebut telah memenuhi seluruh daun maka daun tersebut akan menjadi kering dan akhirnya rontok. Belalang dan kumbang adalah predator dari kutu daun. Penanganan terhadap hama cukup dilakukan dengan menghalau hamahama tersebut, memindahkan mereka dari tanaman alfalfa dan tidak sampai menggunakan pestisida, karena hama-hama (kecuali kutu daun) muncul secara sporadis. Rhizobium tidak ditemukan pada akar alfalfa, dikarenakan memang tidak adanya inokulasi rhizobium pada awal penelitian (Gambar 3). Gambar 3. Akar Alfalfa Berat Bahan Kering Berat bahan kering hijauan merupakan salah satu parameter yang diamati di dalam hal vigoritas tanaman. Uji sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan fosfor tidak memberikan pengaruh yang nyata, sedangkan umur potong awal memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap berat bahan kering alfalfa (Tabel 2). Tidak terdapat interaksi antara perlakuan pemupukan fosfor dan umur potong awal dalam meningkatkan berat bahan kering. Tabel 2. Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Umur Potong Awal Terhadap Berat Bahan Kering Alfalfa (gram / polybag) Umur Potong Awal (Hari) 60 80 100 Rataan Pemupukan P (kg/ha) 0 0,98 1,46 2,82 1,76 30 0,88 1,44 3,9 2,07 60 0,95 1,88 2,8 1,88 90 0,84 2,13 3,79 2,25 180 1,45 1,98 3,52 2,32 Rataan 1,02 c 1,78 b 3,37 a Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh nyata (p<0,05) Alfalfa yang dipupuk dengan baik tidak hanya membuat produksi bahan kering per satuan luas lebih besar, namun juga membuat alfalfa dapat tumbuh kembali dengan lebih baik sesudah pemanenan dilakukan (Hughes, Metcalfe, dan Johnson, 1952). Whiteman (1980) menyatakan alfalfa responsif terhadap aplikasi pemupukan khususnya fosfor, namun berdasarkan uji sidik ragam diketahui bahwa pemupukan fosfor tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap berat bahan kering alfalfa. Banyak hal yang mempengaruhi produktivitas suatu tanaman, salah satunya adalah faktor lingkungan. Diduga pH tanah pada media tanam masih rendah (asam) akibat pemberian kapur yang kurang, sehingga fosfor menjadi tidak tersedia bagi tanaman akibat terjerap oleh Al dan Fe (lebih lanjut akan dibahas di bagian bawah). Meskipun pemupukan fosfor tidak memberikan pengaruh nyata secara statistik namun sebenarnya alfalfa memberikan respon terhadap pemupukan fosfor. Produksi bahan kering alfalfa cenderung meningkat seiring bertambahnya level pemberian pupuk SP36, walaupun kenaikannya tidak signifikan secara statistik. Hutton (1977) menyatakan bahwa legum tanggap terhadap pemberian P dalam bentuk superphospat. Perlakuan umur potong awal memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05) terhadap produksi bahan kering alfalfa. Selisih antara produksi bahan kering (per polybag) dengan umur potong awal 60 hari dan 80 hari yaitu sekitar 0,76 gram dan nyata secara statistik pada taraf 5%. Kemudian selisih antara produksi bahan kering dengan umur potong awal 80 hari dan 100 hari yaitu sekitar 1,59 gram dan nyata secara statistik pada taraf 5% (2 kali lipat selisih umur potong awal 60 hari dan 80 hari). Terjadi mobilisasi fosfor dari bagian tanaman yang tua ke bagian tanaman yang muda sehingga semakin lama umur potong, pembentukan jaringan muda menyebabkan kebutuhan fosfor meningkat. Hal ini sesuai dengan Gardner (1991) yang menyatakan sepanjang masa pertumbuhan vegetatif, akar, daun, dan batang merupakan daerah-daerah pemanfaatan yang kompetitif dalam hal hasil asimilasi. Proporsi hasil asimilasi yang dibagikan ke ketiga bagian organ ini dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan produktivitas. Daun muda yang sedang berkembang memerlukan hasil asimilasi yang diimpornya untuk penyediaan energi dan kerangka karbon yang diperlukannya untuk tumbuh dan berkembang sampai daun-daun itu dapat memproduksi hasil asimilasi yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Setelah daun menjadi dewasa dan mulai menua, daun itu mungkin gagal memenuhi kebutuhan energinya sendiri karena usia atau penaungan atau kedua-duanya. Sebelum mati, banyak senyawa anorganik maupun organik dalam daun dimobilisasi kembali dan ditranslokasikan ke bagian-bagian tanaman yang lain. 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 Umur Potong Awal 60 Hari Umur Potong Awal 80 Hari Umur Potong Awal 100 Hari Berat Bahan Kering (gram / polybag) Gambar 4. Berat Bahan Kering Berat bahan kering alfalfa yang rendah diduga terjadi karena alfalfa (tanaman C3) tidak mendapatkan cahaya matahari yang cukup banyak untuk melakukan proses fotosintesis secara optimal, mengingat kondisi cuaca pada saat penelitian (musim penghujan) cenderung berawan. Menurut Salisbury dan Ross (1995), cahaya adalah faktor lingkungan yang diperlukan untuk mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan, alasan utamanya tentu saja karena cahaya menyebabkan fotosintesis. Kelembaban udara yang tinggi diduga juga mempengaruhi rendahnya berat bahan kering alfalfa. Kota Bogor terletak pada ketinggian 190 sampai 330 meter dari permukaan laut. Udaranya relatif sejuk dengan suhu udara rata-rata setiap bulannya adalah 26°C dan kelembaban udaranya kurang lebih 70% (Wikipedia, 2008). Alfalfa tumbuh secara ekstensif pada kelembaban udara yang rendah dengan pengairan (Hughes, Metcalfe, dan Johnson, 1952). Berdasarkan berat bahan kering dengan mempertimbangkan aspek vigoritas hijauan alfalfa (Medicago sativa L.), maka perlakuan umur potong awal 100 hari lebih menguntungkan. Tinggi Vertikal Akhir Pertumbuhan tanaman dapat dilihat dari ukuran tanaman yang dapat dijadikan ciri pertumbuhan, salah satunya adalah dapat dilihat dengan satu dimensi yaitu tinggi tanaman (Lakitan, 1996). Tinggi vertikal akhir tanaman juga merupakan salah satu parameter di dalam hal vigoritas tanaman, selain berat bahan kering. Tabel 3. Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Umur Potong Awal Terhadap Tinggi Vertikal Akhir Alfalfa (cm) Umur Potong Awal (Hari) Pemupukan P (kg/ha) 0 30 60 90 180 Rataan 60 80 100 43,92 48,90 62,64 41,94 49,28 57,79 38,55 49,92 57 43,65 53,33 62,78 45,14 50,69 59,38 42,64 c 50,42 b 59,92 a Rataan 51,82 49,67 48,49 53,25 51,74 Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh nyata (p<0,05) Berdasarkan uji sidik ragam diketahui bahwa pemupukan fosfor tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap tinggi vertikal akhir alfalfa. Diduga pH tanah pada media tanam masih rendah (asam) akibat pemberian kapur yang kurang, sehingga fosfor menjadi tidak tersedia bagi tanaman akibat terjerap oleh Al dan Fe. Akibatnya adalah alfalfa tidak mendapat suplai fosfor dari perlakuan pemupukan fosfor, padahal menurut Hardjowigeno (1995) pengaruh fosfor terhadap tanaman amatlah penting karena fosfor merupakan bagian dari inti sel, sangat penting dalam pembelahan sel dan juga untuk perkembangan jaringan meristem. Perlakuan umur potong awal memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05) terhadap tinggi vertikal akhir alfalfa. Umur potong awal 100 hari memberikan rataan tinggi vertikal akhir alfalfa paling tinggi yaitu 59,92 cm. Namun alfalfa dengan tinggi 59,92 cm masih terbilang pendek, karena menurut Wheeler (1950) alfalfa dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian sekitar 2,5 kaki atau 76,2 cm. Tinggi tanaman berkaitan erat dengan berat kering. Tinggi vertikal akhir alfalfa yang belum mencapai potensi optimalnya ini juga turut menyebabkan rendahnya berat kering alfalfa dalam penelitian, karena semakin tinggi tanaman, maka berat kering cenderung meningkat pula. Tinggi tanaman alfalfa yang terbilang pendek diduga terjadi karena pH tanah pada media tanam masih rendah (asam) akibat pemberian kapur yang kurang, sehingga fosfor menjadi tidak tersedia bagi tanaman akibat terjerap oleh Al dan Fe, padahal pengaruh fosfor terhadap tanaman amatlah penting karena fosfor merupakan bagian inti sel, sangat penting dalam pembelahan sel dan juga untuk perkembangan jaringan meristem (Hardjowigeno, 1995). Selain itu alfalfa (tanaman C3) diduga tidak mendapatkan cahaya matahari yang cukup banyak untuk bertumbuh, mengingat kondisi cuaca pada saat penelitian (musim penghujan) cenderung berawan. Lakitan (1996) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor keliling, dan yang paling primer tersangkut dalam pertumbuhan tanaman adalah energi penyinaran dalam bentuk panas dan cahaya. 70 60 50 40 30 20 10 0 Umur Potong Awal 60 Umur Potong Awal 80 Umur Potong Awal 100 Hari Hari Hari Tinggi Vertikal Akhir Gambar 5. Tinggi Vertikal Akhir Pemanenan alfalfa dengan memotong alfalfa pada ketinggian 3 cm di atas permukaan media tanam mengakibatkan ada sebagian alfalfa yang tidak dapat tumbuh kembali. Hal ini dikarenakan titik tumbuh (epikotil) ikut terpanen, dan menurut Meyer (1999) pertumbuhan vegetatif berjalan melalui pembelahan sel dan perluasan di dalam epikotil atau titik tumbuh pada tanaman muda. Oleh karena pertimbangan daya tumbuh kembali tanaman, maka pada proses pemanenan umur potong alfalfa 80 dan 100 hari pemotongan alfalfa dilakukan pada ketinggian 5 cm (terdapat titik tumbuh). Diketahui bahwa sekitar 7 hari setelah panen, alfalfa yang mendapat perlakuan umur potong awal 80 dan 100 hari dapat tumbuh kembali dengan cepat dan mencapai ketinggian kurang lebih 10 cm. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sanchez (1993) bahwa alfalfa memerlukan waktu yang lebih cepat untuk benar-benar tumbuh kembali setelah dirumput dibandingkan dengan berbagai spesies yang merambat seperti Desmodium spp, siratro, dan kacang bulu sangat peka terhadap peranggasan. Tanaman seperti alfalfa yang menawarkan kemungkinan hasil produksi untuk hay alfalfa per musim tanam, palatabilitas, dan nilai nutrisi yang tinggi ketika dipotong pada suatu masa pertumbuhan, maka pentingnya pemotongan atau pemanenan alfalfa pada waktu yang tepat adalah sudah jelas. Ketika pemanenan terlambat maka palatabilitas, kandungan protein, dan nilai pakan akan menurun semua. Namun sebaliknya, jika dipanen terlalu muda, hasil panenan akan rendah dan vigor (kekuatan) tanaman akan berkurang dengan tumbuhnya gulma dan alfalfa akan berumur pendek (Hughes et al., 1952). Berdasarkan tinggi vertikal akhir dengan mempertimbangkan aspek vigoritas hijauan alfalfa (Medicago sativa L.), maka perlakuan pemupukan fosfor sebanyak 0 kg P / ha dan umur potong awal 100 hari lebih menguntungkan. Kandungan Protein Kasar Kandungan protein kasar yang tinggi merupakan salah satu indikasi bahwa suatu tanaman pakan memiliki kualitas yang baik. Dalam penelitian ini alfalfa mengandung rataan protein kasar antara 26 – 29% dengan koefisien variasi 10%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hanson dan Barnes (1973) bahwa alfalfa memproduksi lebih banyak protein per hektar daripada tanaman lain untuk ternak. Sebagai perbandingan, lamtoro (Leucaena spp) yang merupakan hijauan pakan yang sering digunakan oleh para peternak, mempunyai kandungan protein kasar sekitar 18,75%. Flemingia macrophylla yang merupakan tanaman legum perdu mempunyai kandungan protein kasar antara 11-24%. Tabel 4. Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Umur Potong Awal Terhadap Kandungan Protein Kasar Alfalfa (% dari Berat Bahan Kering) Umur Potong Awal (Hari) Pemupukan P (kg/ha) 0 60 180 Rataan 60 80 100 Rataan 27,4 23,9 29,7 27,0 28,0 24,8 28,3 27,0 30,5 29,2 28,8 29,5 28,6 26,0 29 Berdasarkan uji sidik ragam diperoleh bahwa pemupukan dan umur potong tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap kandungan protein kasar alfalfa. Rataan kandungan protein kasar alfalfa cenderung untuk meningkat bila dipupuk dengan level fosfor yang semakin meningkat, walaupun kenaikannya tidak signifikan. Respon alfalfa ketika diberi pupuk dengan 60 kg P/ha sangat kecil yaitu protein kasar hanya bertambah sekitar 0,06% dari kontrol. Pemberian pupuk 180 kg P/ha hanya menambah protein kasar alfalfa sekitar 2,5% dari kontrol dan tidak berbeda nyata secara statistik. Rataan kandungan protein kasar alfalfa pada saat umur potong awal 60 hari sebesar 28,6% cenderung menurun pada saat umur potong awal 80 hari yaitu menjadi 26,0%, dan kemudian cenderung naik lagi menjadi 29% pada saat umur potong awal 100 hari meskipun tidak berbeda nyata secara nyata secara statistik. Perubahan kandungan protein dalam kondisi optimal dapat disebabkan karena perbedaan kandungan unsur hara tanah terutama nitrogen dan umur tanaman. Perubahan umur tanaman dari muda ke umur tanaman lebih tua pada umumnya menurunkan kandungan protein hijauan. Hal ini terjadi karena adanya mobilisasi nitrat dari jaringan tua ke jaringan lebih muda, namun pada penelitian ini ternyata perbedaan umur dari 60-100 hari tidak menunjukkan fenomena perubahan protein secara nyata menurut analisis statistik. Berdasarkan tabel 4 terlihat bahwa alfalfa (Medicago sativa L.) termasuk tanaman lambat mengalami penuaan, ini terbukti dari tidak adanya penurunan kandungan protein kasar meskipun umur potong awal ditambah. Berarti jika alfalfa dibudidayakan dengan orientasi untuk memproduksi benih (memerlukan umur lebih lama, 100 hari), maka produk yang dihasilkan yaitu benih dan sekaligus hijauan makanan ternak yang berkualitas. Kandungan Serat Kasar Tabel 5. Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Umur Potong Awal Terhadap Kandungan Serat Kasar Alfalfa (% dari Berat Bahan Kering) Umur Potong Awal (Hari) Pemupukan P (kg/ha) 0 60 180 Rataan 60 80 100 Rataan 24,4 24,35 24,88 24,54 24,49 23,93 23,77 24,06 23,44 25,46 23,46 24,12 24,11 24,58 24,04 Rataan kandungan serat kasar alfalfa dalam penelitian ini yaitu sebesar 24%. Perlakuan pemupukan fosfor dan umur potong awal tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan serat kasar alfalfa. Berdasarkan analisis kandungan serat kasar maka dapat disimpulkan bahwa perlakuan pemupukan fosfor sebanyak 0 kg P / ha dan umur potong 60 hari lebih menguntungkan. Secara kimiawi, dinding sel serat terutama adalah selulosa. Kebanyakan dinding sel terdiri atas sejumlah besar persentase dari lignin. Kandungan yang lain terdiri dari jumlah yang kecil termasuk tannin, dyes, dan bermacam larutan atau komponen yang siap diubah. Namun serat yang yang baik adalah yang mendekati selulosa murni, sebuah polimer kompleks dari residu rantai glukosa (C6H10O5)n dari panjang molekular yang besar (Janick et al, 1969). Secara fisiologis pembentukan serat kasar dan proses lignifikasi terkait dengan laju fotosintesis dan akumulasi bahan kering. Berdasarkan tabel 5 terlihat bahwa alfalfa (Medicago sativa L.) termasuk tanaman lambat mengalami penuaan, ini terbukti dari tidak adanya kenaikan kandungan serat kasar meskipun umur potong awal ditambah. Hal ini juga menunjukkan bahwa alfalfa merupakan hijauan makanan ternak ruminansia yang berkualitas tinggi karena mempunyai kandungan serat kasar yang tergolong rendah yaitu hanya berkisar 24%. Pembahasan Umum Penelitian Hal pertama yang menyebabkan pemupukan SP36 tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati adalah diduga masih rendahnya dosis kapur untuk mencapai pH tanah yang diharapkan yaitu sampai 6. Menurut Plaster (1992) seperti pupuk ammonia, pupuk kandang dapat menurunkan pH. Kira-kira 1 ton kapur akan menghilangkan keasaman yang dihasilkan dari 10 ton pupuk kandang. Jadi dengan pemberian pupuk kandang sebesar 500 ton / ha, maka seharusnya dilakukan penambahan kapur lagi sebanyak 50 ton / ha. Pemberian kapur dolomite sebanyak 10 ton / ha dalam penelitian ini dilakukan hanya untuk menaikkan pH tanah latosol dari 4 sampai mendekati pH tanah netral. Kekurangan kapur inilah yang membuat tanah tetap asam karena pengaruh pupuk kandang yang diberikan, sehingga pH tanah yang netral untuk pertumbuhan alfalfa yang optimal tidak tercapai. Pada tanah yang masih asam, terjadilah fiksasi fosfat yang akhirnya menyebabkan pemupukan SP36 tidak berpengaruh nyata terhadap produksi bahan kering, tinggi tanaman, kandungan protein kasar, dan kandungan serat kasar. Reaksi fiksasi fosfor atau jerapan (absorbsi) terjadi oleh ion-ion Ca2+, Fe3+, dan Al3+. Jerapan adalah pelekatan suatu zat padat pada permukaan koloid (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1991). Unsur fosfor (P) diserap oleh tanaman dalam bentuk orthophosphat primer (H2PO4-) dan dalam bentuk orthophosphat skunder (HPO42-) pada tanah alkali. Orthophosphat merupakan anion dan dapat mengalami reaksi kimia dengan Ca2+, Fe3+, dan Al3+. Jika reaksi ini terjadi maka fosfat tidak akan lama tersedia di dalam tanah. Reaksi ini dinamakan reaksi fiksasi fosfor (Sopher et al, 1982). Semakin tinggi dosis pemupukan fosfor, maka semakin tinggi pula peningkatan jerapan terhadap fosfor yang diberikan, sehingga perlakuan pemupukan fosfor (SP36) terhadap produksi bahan kering, tinggi tanaman, kandungan protein kasar, dan kandungan serat kasar alfalfa menjadi tidak berbeda nyata. Hal ini sesuai dengan penjelasan yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, (1991) bahwa ion-ion logam dapat membentuk suatu jerapan antara senyawa organik dan permukaan liat. Peningkatan jerapan dengan rantai organik yang panjang ditimbulkan oleh gaya Van der walls dan menjadi lebih sangkil bila ukuran molekul bertambah. Hal kedua yang menyebabkan pemupukan SP36 tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati diduga karena pH tanah yang masih rendah akibat pemberian kapur yang kurang, sehingga banyak fosfor yang tidak tersedia akibat terjerap oleh Al dan Fe. Sebenarnya pupuk kandang sendiri memiliki kandungan P2O5 yang sangat rendah, yaitu hanya sekitar 4 pounds / ton pupuk kandang, namun pupuk kandang dapat membantu mencegah fosfor dari proses fiksasi dalam tanah, dan membuat fosfor menjadi lebih tersedia bagi tanaman (Plaster, 1992). Keberadaan pupuk kandang (500 ton / ha) pada awal pemberian menyebabkan pH tanah menjadi rendah atau asam, namun seiring dengan berjalannya waktu pH tanah akan meningkat dan tanah menjadi basa. Kelarutan fosfat dalam tanah sangat rendah terutama pada pH rendah (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1991), namun dalam keadaan basa (pH tanah tinggi), akibat pengaruh pemberian pupuk kandang, fosfat potensial (Tabel 6) dalam tanah dapat digunakan dan menyebabkan tanah menjadi kaya akan unsur fosfor sehingga pengaruh pemupukan SP36 menjadi tidak berbeda nyata terhadap produksi bahan kering. Apalagi fosfor (SP36) pada awal pemberian pupuk kandang sudah banyak Tabel 6. Ciri Fisik dan Kimia Tanah Latosol Darmaga Analisis* PH H2O (1 : 1) Metode* Kandungan* Penilaian** pH meter 4,56 Masam KCl (1 : 1) C-organik (%) N-total (%) P-tersedia (ppm) P-total (ppm) Basa-basa 3,61 Walkley dan Black 2,15 Sedang Kjeldahl 0,23 Sedang Bray-1 4,9 Sangat Rendah HCl 25% 133,0 Sangat Tinggi N NH4 Oac pH 7,0 Ca-dd (me/100g) 2,25 Mg-dd (me/100g) 1,58 K-dd (me/100g) 0,46 KTK (me/100g) 16,36 KB (%) 29,40 Al-dd (me/100g) N KCl Kejenuhan Al (%) H-dd (me/100g) Unsur mikro 2,42 33,47 N KCl 0,28 0,05 N HCl Fe (ppm) 15,88 Cu (ppm) 0,52 Zn (ppm) 3,88 Mn (ppm) 43,80 Tekstur Pipet Pasir (%) 4,90 Debu (%) 19,43 Liat (%) 75,67 Kelas Tekstur = Liat Keterangan : * Arios (2005) ** Pusat Penelitian Tanah (1983) Rendah Tinggi yang terjerap oleh ion-ion Ca2+, Fe3+, dan Al3+ seperti penjelasan yang sudah diberikan sebelumnya. Lakitan (1996) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor keliling, dan yang paling primer tersangkut dalam pertumbuhan tanaman adalah tanah yang member hara dan kelembaban disamping sebagai penyokong secara mekanis Faktor ketiga yang menyebabkan pemupukan fosfor (P) tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati adalah bentuk pupuk SP36 pada saat diberikan. Pupuk SP36 diberikan dalam bentuk serbuk, yang akan cepat habis ketersediaannya di dalam tanah apalagi ditambah dengan adanya pencucian oleh aktivitas penyiraman. Seharusnya pupuk SP36 diberikan dalam bentuk granule yang tidak mudah habis atau tercuci oleh aktivitas penyiraman. Hal keempat yang menyebabkan fosfor (P) tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati adalah penempatan pupuk. Tempat yang tepat dalam aplikasi pupuk akan menyediakan bagi tanaman pasokan nutrien yang cukup. Metode yang paling baik ditentukan beberapa faktor, seperti tanaman seperti apa yang akan ditanam, tipe tanah, tingkat kesuburan tanah, dan sesuai dengan pilihan atau keinginan petani (Sopher et al, 1982). Penyiapan media tanam dengan cara diaduk bertujuan agar pupuk dapat merata di setiap bagian dari polybag. Namun ternyata setelah melihat pemupukan SP36 yang tidak berpengaruh nyata maka disimpulkan metode penempatan pupuk yang dipakai kurang tepat. Penempatan pupuk untuk penelitian seperti ini perlu mempertimbangkan penggunaan polybag sebagai tempat media tanam dan pencucian unsur hara karena aktivitas penyiraman. Penempatan pupuk SP36 (granule) pada media tanam dengan kedalaman 1-2 cm dari permukaan media tanam (tanpa diaduk) dapat menjadi pilihan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Interaksi antara pemupukan P dan umur potong awal tidak signifikan pengaruhnya terhadap produksi bahan kering, pertumbuhan, kandungan protein kasar, dan kandungan serat kasar alfalfa. Produksi bahan kering dan pertumbuhan terbaik diperoleh dari perlakuan pemotongan 100 hari, sedangkan kandungan protein kasar dan serat kasar hijauan alfalfa tidak dipengaruhi oleh kedua perlakuan. Saran Perlu penelitian lebih lanjut tentang pengaruh frekuensi pemanenan setelah pemotongan awal 100 hari terhadap produksi dan kualitas alfalfa (Medicago sativa L.). UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Bapa di dalam nama Tuhan Yesus Kristus atas kasih setia, anugerah kekuatan, rencana, dan penghiburan dari Roh Kudus sehingga penelitian dan skripsi ini dapat diselesaikan pada waktuNya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc. Agr. selaku dosen pembimbing utama yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, motivasi, dan saran sejak penulis menyusun rencana penelitian hingga terselesainya skripsi ini. Juga, kepada Ir. Ignatius Kismono, MS. selaku dosen pembimbing anggota sekaligus dosen pembimbing akademik yang telah banyak membantu dan mendukung selama penulis menjadi mahasiswa di IPB. Selain itu ucapan terima kasih disampaikan kepada Ir. Sudarsono Jayadi, M.Sc. Agr. dan Ir. Sri Rahayu, M.Si yang telah menguji, mengkritik, dan memberikan sumbangan pemikiran serta masukan dalam penulisan skripsi ini. Bapak dan Ibu yang senantiasa berdoa, mendukung, dan menasehati dengan penuh kasih kepada penulis. Kakak Rangga dan adik Tera yang telah banyak membantu penulis di dalam tugas akhir. Teman-teman penelitian, Irmayati dan Heri Irawan, Teman-teman INTP angkatan 39, dan teman-teman POPK yang saling mendukung satu dengan yang lainnya. Para pemimpin GKKD, kakak-kakak, temanteman, dan adik-adik dalam Pelayanan Mahasiswa Darmaga YoNM yang selalu menjaga dan mendukung penulis di dalam doa. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh civitas akademika Fakultas Peternakan IPB. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua yang menggunakannya. Tuhan Yesus memberkati. Bogor, Desember 2008 Penulis DAFTAR PUSTAKA Allen, O. N. and E. K. Allen. 1981. The Leguminosae. The University of Wisconsin Press. Wisconsin. Arios, J. R. 2005. Pengaruh pemberian pupuk magnesium (Mg) terhadap kadar klorofil daun dan serapan hara Mg tanaman kacang tanah (Arachis hypogea L.) pada podsolik tanah jagung dan latosol Darmaga. Skripsi. Departemen Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Brady, N. C. dan R. R. Weil. 2002. The Nature and Properties of Soils. Pearson Education Inc. Upper Saddle River. New Jersey. Campbell, C. A. 1978. Soil Organic Matter, Nitrogen, and Fertility. Dalam: M. Schnitzer and S. U. Khan (Editor). Soil Organic Matter. Elsevier Scientific Publishing Company. New York. Cheeke, P. R. 2005. Applied Animal Nutrition, Feeds and Feeding. 3rd Edition. Pearson Education Inc. Oregon State University. Oregon. Clements, R. J., R. M. Jones, J. Frame, J. F. L. Charlton, A. S. Laidlaw. 2008. Tropicalforages. http://www.tropicalforages.info/key/Forages/Media/Html/ Medicago_sativa.htm. [21 Oktober 2008]. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 1991. Kimia Tanah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Duke, J. A. 1983. Medicago sativa L. http://www.hort.purdue.edu/newcrop.html. [6 April 2006]. Feniara. 2001. Efektifitas cendawan mikoriza arbuskula (CMA), pupuk P dan N terhadap pertumbuhan dan produksi rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach). Skripsi. Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fenwich, G. R., R. L. Richards and S. Khokar. 1996. Agri-food Quality. An Interdisciplinary Approach. The Royal Society of Chemistry. Cambridge. Gardner, F. P., R. B. Pearce and R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Universitas Indonesia. Jakarta. Gohl, B. 1981. Tropical Feeds. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Roma. Golob, P., G. Farrell, J. E. Orchard. 2002. Crop Post-Harvest : Science and Technology. Volume I Principles and Practice. Blackwell Publishing Company. National Resources Institute. United Kingdom. Hakim, N. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah.Universitas Lampung. Lampung. Hanson, C. H. and D. K. Barnes. 1973. Alfalfa. Dalam: Heath, M. E., D. S. Metcalfe and R. F. Barnes (Editor). Forages The Science of Grassland Agriculture. 3rd Edition. The Iowa State University Press / Ames. Iowa. Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Hughes, H. D., M. E. Heath and D. S. Metcalfe. 1951. Forages The Science Of Grassland Agriculture. The Iowa State College Press. Iowa. Hughes, H. D. D. S. Metcalfe and I. J. Johnson. 1952. Crop Production Principles and Practices. The MacMillan Company. New York. Hutton, E. M., 1977. The role of legumes in pastures. Proc. Grassld. Soc. South Africa. 12: 13-17. Ildis, 2005. Alfalfa. http://en.wikipedia.org/wiki/Alfalfa. [6 April 2006]. Janick, J. R. W. Schery, F. W. Woods and V. W. Ruttan. 1969. Science An Introduction To World Crops. W. H. Freeman and Company. San Fransisco. Karti, P. D. M. H. 2004. Budidaya Hijauan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kellogg, C. E. 1949. Preliminary Suggestions For The Classification And Nomenclature Of Great Soil Groups In Tropical And Equatorial Regions. Dalam: A. Young (Editor). Tropical Soils And Soil Survey. Cambridge University Press. London. Kononova, M. M. 1966. Soil Organic Matter. Pergamon Press Ltd. London. Kowalenko, C. G. 1978. Organic Nitrogen, Phosphorus, and Sulphur in Soils. Dalam : M. Schnitzer and S. U. Khan (Editor). Soil Organic Matter. Elsevier Scientific Publishing Company. New York. Kuswandi. 1993. Pengapuran Tanah Pertanian. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Lakitan, B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Lucas, R., H. E. Kirschner and B. L. Corley. 2006. The Benefits of alfalfa. http://www.pjstory.com/Alfalfa.htm. [6 April 2006]. Maryani, Y. 2000. Pengaruh inokulasi cendawan mikoriza arbuskula terhadap pertumbuhan dan produksi rumput tropika. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mengel, K. and E. A. Kirkby. 1987. Principles of Plant Nutrition. International Potash Institute. Worblaufen-Bern. Meyer, D. 1999. Alfalfa. http://www.ext.nodak.edu/extpubs/plantsci/hay.htm. [6 April 2006]. Palungkun, R. dan A. Budiarti. 2004. Sweet Corn Baby Corn. Cetakan ke-10. PT Penebar Swadaya. Cimanggis. Depok. Plaster, E. J. 1992. Soil Science and Management. Delmar Publisher Inc. New York. Poespodarsono, S. 1988. Dasar-Dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Purwanto, I. 2007. Mengenal Lebih Dekat Leguminoseae. Cetakan ke-5. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Quiquampoix, H. and D. Mousain. 2005. Enzymatic Hydrolysis of Organic Phosphorus. Dalam : Turner, B. L., E. Frossard, and D. S. Baldwin (Editor). Organic Phosphorus in the Environment. CABI Publishing. Oxfordshire. Rowell, D. L. 1994. Soil Science Methods And Applications. Longman Group UK Limited. England. Russell, E. W. 1961. Soil Conditions and Plant Growth. Farrold and Sons Ltd. Norwich. Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 3. Terjemahan: D. R. Lukman dan Sumaryono. Penerbit ITB. Bandung. Sanchez, A. P. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Penerbit ITB. Bandung. Schaetzl, R. J. and S. Anderson. 2005. Soil Genesis and Geomorphology. Cambridge University Press. New York. Schnitzer, M. and S. U. Khan. 1978. Soil Organic Matter. Elsevier Scientific Publishing Company. New York. Sinha, S.K. 1977. Food Legumes : Distribution, Adaptibility, and Biology of Yield. FAO. Roma. Skerman, P. J. 1977. Tropical Forage Legumes. FAO. Roma. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah.Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sopher, C. D and J. V. Baird. 1982. Soil and Soil Management. 2nd Edition. Reston Publishing Company. Reston. Virginia. Sudaro, Y. dan A. Siriwa. 1997. Ransum Ayam dan Itik. Penebar Swadaya. Depok. Tafal, Z. B. 1981. Ranci Sapi. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Taylor, W. E. 1924. Soil Culture and Modern Farm Methods. 5th Edition. Deere & Company. Illinois. Turner, B. L., E. Frossard and D. S. Baldwin. 2005. Organic Phosphorus in the Environment. CABI Publishing. Oxfordshire. Walksman, S. A. 1968. Organic Matter and Soil Fertility. North-Holland Publishing Company. Amsterdam. Wheeler, W. A. 1950. Forage and Pasture Crops. D. Van Nostrand Company Inc. Princeton. New Jersey. Whiteman, P. C. 1980. Tropical Pasture Science. Oxford University Press. Oxford. Wikipedia.2008.Bogor.http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Bogor#Iklim.2C_topografi. 2C dan_geografi. [21 Oktober 2008]. Wudianto, R. 1988. Membuat Setek, Cangkok, dan Okulasi. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. LAMPIRAN Lampiran 1. Cara Kerja Analisis N Pada Tanaman Metode Kjeldahl 1. Timbang sample 0,2 – 0,5 gram, kemudian masukan ke dalam botol destruksi 2. Tambahkan Selenium mature sebanyak 0,2 gram dan 3 ml H2SO4 3. Masukan botol kea lat pemanas (destruksi), kemudian atur tombol skala pada angka 9 dan alat tersebut akan menunjukkan suhu 1210C 4. Kemudian biarkan selama 1 jam sampai larutan menjadi bening dan botol tersebut diangkat dan didinginkan 5. Tambahkan air aquades sebanyak 25 ml 6. Kemudian titrasi dengan menggunakan alat Kjeltex secara automatic 7. Buat larutan Normalitas HCl 0,1 N 8. Larutan NaOH teknis 3,2 kg / 8 liter aquadest 9. Buat larutan H3BO3 (80 gram H3BO3 dalam 4 liter aquadest kemudian panaskan dan dinginkan. Buat larutan Metyred dan Brocress al green dengan perbandingan 0,066 gram dan 0,099 gram dalam etanol 100 ml, kemudian larutan dicampur dengan larutan H3BO3 sebanyak 80 ml dengan pH 5,0) 10. Sebelumnya buat dulu blangko (tanpa sample dengan cara no.2 sampai dengan no.5) Cara Perhitungan : % N = Abs – Blangko X 14 X N. HCl X 100% Berat Sampel Lampiran 2. Cara Kerja Analisis Serat Kasar 1. Haluskan sample (digiling dengan menggunakan blender) 2. Timbang sample sebanyak 2 gram. Ekstraksi lemak dengan menggunakan metode Soklet 3. Pindahkan sample ke dalam erlenmeyer 4. Tambahkan 200 ml larutan H2SO4, tutup dengan pendingin balik 5. Didihkan selama 30 menit, kadang digoyangkan 6. Saring suspensi dengan kertas saring, bilas residu yang tertinggal dengan aquadest (air mendidih) 7. Pindahkan secara kuantitatif residu dari kertas saring ke dalam erlenmeyer dengan menggunakan spatula, sisa dicuci dengan 200 ml larutan NaOH mendidih sampai semua residu masuk ke dalam erlenmeyer 8. Didihkan dengan pendingin balik sambil digoyang selama 30 menit 9. Saring kembali dengan kertas saring yang telah diketahui beratnya 10. Cuci lagi residu dengan air mendidih, kemudian dengan alkohol 95% sekitar 15 menit 11. Keringkan kertas saring dengan isinya pada 1100C sampai berat konstan, dingin dalam desikator dan timbang Lampiran 3. Berat tanah 1 hektar (ha) Berat tanah 1 ha = Kedalaman lapis tanah olah X 1 hektar X Berat Jenis tanah = 20 cm X 100000000 cm2 X 1 g/cm3 = 2000000000 gram = 2000000 kg Lampiran 4. Berat 1 buah Polybag (kg) Berat 1 buah polybag = 5 kg = 4 kg tanah Latosol + 1kg pupuk kandang Lampiran 5. Berat pupuk Urea (gram / polybag) Nitrogen (N) yang diberikan sebanyak 80 kg N / ha, maka untuk setiap polybag (5 kg) dibutuhkan N = 5 kg X 80 kg N / ha 2.106 kg = 0,0002 kg N / polybag = 0,2 g N / polybag Berat pupuk Urea (CO(NH3)2) = 62 X 0,2 g N / polybag 28 = 0,17 g / polybag ≈ 0,2 g Urea / polybag Lampiran 6. Berat pupuk KCl (gram / polybag) Kalium (K) yang diberikan sebanyak 30 kg K / ha, maka untuk setiap polybag ( 5 kg) dibutuhkan K = 5 kg X 30 kg K / ha 6 2.10 kg = 0,000075 kg K / polybag = 0,075 g K / polybag Berat pupuk KCl = 74,5 X 0,075 g K / polybag 39 = 0,143 g / polybag ≈ 0,15 g KCl / polybag Lampiran 7. Berat kapur Dolomit (gram / polybag) Untuk tanah yang memiliki pH 4, maka jumlah kapur Dolomit yang dibutuhkan sebanyak 10,24 Ton / ha (Kuswandi, 1993). Kapur yang diberikan sebanyak 10 Ton / ha, maka untuk setiap polybag (5 kg) dibutuhkan kapur = 5 kg X 1.107 g / ha 2.106 kg = 25 g Dolomit / polybag Lampiran 8. Berat pupuk SP36 (gram / polybag) Pupuk SP36 mengandung 36% P2O5. Untuk perlakuan dengan pemupukan fosfor (P) 30 kg P / ha maka, jumlah SP36 yang diberikan = 100 . 142 X 30 kg P / ha 36. 62 = 190, 86 kg SP36 / ha Untuk setiap polybag (5 kg) maka, jumlah SP36 yang diberikan = 190,86 kg SP36 / ha X 5 kg 2.106 kg = 0,00048 kg SP36 / ha = 0,48 g SP36 / ha ≈ 0,5 g SP36 / ha Untuk perlakuan 60, 90, dan 180 kg P / ha, jumlah SP36 yang diberikan untuk setiap polybag (gram) secara berturut-turut adalah 1, 1,5 dan 3 gram SP36 / ha. Lampiran 9. Jumlah tanaman alfalfa (Medicago sativa L.) per polybag Jika 1 acre butuh 1 pound biji alfalfa, maka 1 ha butuh = 1 X 1 pound biji alfalfa 0,41 = 2,44 pound biji alfalfa Jika 1 pound bji alfalfa terdapat sekitar 220000 biji alfalfa, maka 1 ha butuh = 2,44 pound X 220000 biji / pound = 536800 biji alfalfa Jika 1 ha butuh biji alfalfa, maka 1 polybag (5 kg) butuh = 5 kg X 536800 biji 2.106 kg = 1,34 biji ≈ 1 biji (tanaman) alfalfa / polybag Dengan berbagai macam kendala yang ada, seperti kelembaban Darmaga (Bogor) yang relatif tinggi, maka untuk 1 acre dibuhkan 15 pound biji alfalfa, ini berarti jumlah biji yang harus ditanam untuk mendapatkan 1 tanaman alfalfa / polybag yaitu sebanyak 15 biji alfalfa. Lampiran 10. Uji Anova Bahan Kering The GLM Procedure Dependent Variable: respon respon Source DF Sum of Squares Model 14 920.687723 65.763409 Error 45 393.773350 8.750519 Corrected Total 59 1314.461073 Mean Square F Value Pr > F 7.52 <.0001 R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean 0.700430 14.24670 2.958128 Source DF faktor_A 4 faktor_B 2 faktor_A*faktor_B 8 7.734333 Type I SS Mean Square F Value Pr > F 39.9577567 824.4962533 56.2337133 9.9894392 412.2481267 7.0292142 1.14 47.11 0.80 0.3492 <.0001 0.6030 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F faktor_A faktor_B faktor_A*faktor_B 4 2 8 39.9577567 824.4962533 56.2337133 9.9894392 412.2481267 7.0292142 1.14 47.11 0.80 0.3492 <.0001 0.6030 Lampiran 11. Uji Lanjut Bahan Kering Duncan Grouping Mean N faktor_B A 12.4500 20 B3 B 7.3600 20 B2 C 3.3930 20 B1 Lampiran 12. Anova Tinggi Tanaman The GLM Procedure Dependent Variable: respon respon Source DF Sum of Squares Mean Square Model 14 3283.665956 234.547568 Error 45 3104.066765 68.979261 Corrected Total 59 6387.732721 F Value Pr > F 3.40 R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean 0.514058 16.42143 8.305375 Source faktor_A faktor_B faktor_A*faktor_B Source faktor_A faktor_B faktor_A*faktor_B DF Type I SS 4 2 8 313.931679 2688.742964 280.991314 0.0009 50.57646 Mean Square F Value Pr > F 78.482920 1344.371482 35.123914 0.3509 <.0001 0.8430 DF Type III SS Mean Square 4 2 8 313.931679 2688.742964 280.991314 78.482920 1344.371482 35.123914 Lampiran 13. Uji Lanjut Tinggi Tanaman Duncan Grouping Mean N faktor_B A 58.822 20 B3 B 50.482 20 B2 C 42.426 20 B1 1.14 19.49 0.51 F Value Pr > F 1.14 19.49 0.51 0.3509 <.0001 0.843 Lampiran 14. Uji Anova Protein Kasar The GLM Procedure Dependent Variable: respon respon Source DF Sum of Squares Model 14 Error Corrected Total Mean Square F Value Pr > F 282.2452733 20.1603767 0.0169 45 391.7004250 8.7044539 59 673.9456983 R-Square Coeff Var 0.418795 10.64327 Source DF faktor_A faktor_B faktor_A*faktor_B Source faktor_A faktor_B faktor_A*faktor_B 4 2 8 2.32 Root MSE respon Mean 2.950331 Type I SS 27.72017 Mean Square F Value Pr > F 13.7625725 83.3114867 7.5715012 0.1957 0.0003 0.5486 55.0502900 166.6229733 60.5720100 1.58 9.57 0.87 DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F 4 2 8 55.0502900 166.6229733 60.5720100 13.7625725 83.3114867 7.5715013 0.1957 0.0003 0.5486 Lampiran 15. Uji Lanjut Protein Kasar Duncan Grouping Mean N faktor_B A A A 29.0295 20 B3 28.7625 20 B1 B 25.3685 20 B2 1.58 9.57 0.87 Lampiran 16. Uji Anova Serat Kasar The GLM Procedure Dependent Variable: respon respon Source DF Sum of Squares Mean Square Model 14 18.94374000 1.35312429 Error 45 21.07422500 0.46831611 Corrected Total 59 40.01796500 F Value Pr > F 2.89 R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean 0.473381 2.816372 0.684336 Source DF Type I SS faktor_A faktor_B faktor_A*faktor_B 4 2 8 4.41550667 0.68419000 13.84404333 Source DF Type III SS faktor_A faktor_B faktor_A*faktor_B 4 2 8 4.41550667 0.68419000 13.84404333 0.0035 24.29850 Mean Square F Value 1.10387667 0.34209500 1.73050542 2.36 0.73 3.70 Mean Square F Value 1.10387667 0.34209500 1.73050542 2.36 0.73 3.70 Pr > F 0.0678 0.4873 0.0022 Pr > F 0.0678 0.4873 0.0022 Lampiran 17. Anova Interaksi Serat Kasar The GLM Procedure Dependent Variable: respon respon Source DF Sum of Squares Model 14 Error Corrected Total Mean Square F Value Pr > F 18.94374000 1.35312429 0.0035 45 21.07422500 0.46831611 59 40.01796500 2.89 R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean 0.473381 2.816372 0.684336 24.29850 Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F faktor_AB 14 18.94374000 1.35312429 Source DF Type III SS Mean Square faktor_AB 14 18.94374000 1.35312429 2.89 0.0035 F Value Pr > F 2.89 0.0035 Lampiran 18. Uji Lanjut Interaksi Serat Kasar Duncan Grouping B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B B A A A A A A A A A A A A A A A A A C C C C C C C C C C C C C C C C C C C C C Mean N faktor_AB 25.4625 4 A5B2 24.8825 4 A1B3 24.8825 4 A2B1 24.8825 4 A2B3 24.4875 4 A3B1 24.4875 4 A4B1 24.4000 4 A1B1 24.3475 4 A2B2 24.3475 4 A1B2 23.9300 4 A4B2 23.9300 4 A3B2 23.7675 4 A3B3 23.7675 4 A4B3 23.4600 4 A5B3 23.4425 4 A5B1 Lampiran 19. Denah Penelitian MEJA 1 MEJA 2 01. A2B2 02. A2B3 03. A1B3 31. A1B1 32. A3B2 33. A5B3 04. A5B2 05. A4B2 06. A5B3 34. A1B1 35. A4B1 36. A4B3 07. A4B3 08. A5B1 09. A2B3 37. A3B3 38. A4B3 39. A1B3 10. A3B1 11. A2B1 12. A3B1 40. A4B2 41. A5B1 42. A2B1 13. A3B2 14. A5B3 15. A3B1 43. A1B3 44. A4B3 45. A3B1 16. A2B2 17. A1B2 18. A1B1 46. A2B1 47. A4B1 48. A5B1 19. A5B2 20. A2B3 21. A3B3 49. A2B1 50. A5B2 51. A4B2 22. A4B1 23. A5B2 24. A3B2 52. A4B1 53. A3B3 54. A1B1 25. A1B2 26. A4B2 27. A2B2 55. A2B3 56. A1B2 57. A1B3 28. A3B2 29. A5B1 30. A1B2 58. A3B3 59. A2B2 60. A5B3