PENGARUH PEMUPUKAN FOSFOR DAN UMUR POTONG AWAL

advertisement
PENGARUH PEMUPUKAN FOSFOR DAN UMUR POTONG
AWAL TERHADAP VIGORITAS DAN KUALITAS
ALFALFA (Medicago sativa L.)
SKRIPSI
ELES RONGGO PRIYO HERNOWO
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
RINGKASAN
ELES RONGGO PRIYO HERNOWO. D24102021. 2009. Pengaruh Pemupukan
Fosfor dan Umur Potong Awal Terhadap Vigoritas dan Kualitas Alfalfa
(Medicago sativa L.). Skripsi. Proram Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc. Agr
Pembimbing Anggota : Ir. Ignatius Kismono, MS.
Hijauan pakan merupakan salah satu faktor penting dalam budidaya ternak
ruminansia. Hijauan pakan berkualitas tinggi sebagai salah satu bahan baku ransum
ternak ruminansia semakin dibutuhkan mengingat harga konsentrat yang mahal.
Salah satu upaya pengadaan hijauan pakan berkualitas tinggi yaitu dengan cara
mengintroduksi hijauan yang memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi, salah
satunya yaitu alfalfa tropis. Salah satu prinsip manajemen yang diterapkan pada
budidaya hijauan makanan ternak tak terkecuali adalah mengupayakan vigoritas
(ketegaran) pertumbuhan awal yang prima, sebagai basis pertumbuhan kembali
(regrowth) yang kuat ketika dilakukan pemanenan berkali-kali dalam jangka waktu
yang panjang.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemupukan fosfor
dan perlakuan umur potong awal terhadap vigoritas dan kualitas alfalfa (Medicago
sativa L.). Penelitian ini menggunakan bahan-tanam benih yang didatangkan dari
Taiwan. Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan di rumah kaca Laboratorium Lapang
Agrostologi, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan
IPB.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap pola
faktorial yang terbagi dalam 15 perlakuan dengan 4 kali ulangan. Perlakuan terbagi
dalam 2 faktor, taraf pemupukan fosfor dan umur potong awal. Taraf pemupukan
fosfor terdiri dari 0 kg P/ha, 30 kg P/ha, 60 kg P/ha, 90 kg P/ha, 180 kg P/ha. Umur
potong awal terdiri dari 60 hari, 80 hari, 100 hari. Analisis statistika menggunakan
analisis sidik keragaman (Anova). Ketika terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05),
maka digunakan uji lanjut Duncan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan fosfor tidak
memberikan hasil yang berbeda nyata untuk semua peubah (berat bahan kering,
tinggi vertikal, kandungan protein kasar, dan kandungan serat kasar). Berat bahan
kering hijauan dan tinggi vertical akhir pada umur potong awal 100 hari nyata lebih
tinggi dibandingkan perlakuan umur potong awal 60 dan 80 hari. Tidak terdapat efek
interaksi antara kedua faktor perlakuan terhadap semua peubah.
Kata-kata kunci: alfalfa, pemupukan fosfor, umur potong awal
ABSTRACT
The Effects of Phosphorus Fertilizer and Initial Cutting on The Vigority and
Quality of Alfalfa (Medicago sativa L.)
E. R. P. Hernowo, L. Abdullah, and I. Kismono
Alfalfa (Medicago sativa L.) is a herbaceous legume, which has high protein content
but still very rarely cultivated in Indonesia. This research was conducted to know the
effects of phosphorus fertilizer and initial cutting on plant vigority and quality of
alfalfa (Medicago sativa L.). This research used Factorial Completely Randomize
Design. For a four mounth fertilizing trial, a total of 60 plants of alfalfa were allotted
to 15 treatments. The treatments were divided into 2 factors, fertilizing of phospor,
and initial cutting. Factor A were 0 kg P/ha, 30 kg P/ha, 60 kg P/ha, 90 kg P/ha, 180
kg P/ha. Factor B were 60 days, 80 days, 100 days. Statistical analysis were
conducted using ANOVA. When indicated a significant effect (p<0.05), the Duncan
test was used. These result showed that fertilizing of phospor did not have significant
effects on all variances (dry matter, vertical growth, crude protein, and crude fiber).
Initial cutting (days 100) had significant effect in dry matter and vertical height.
Keywords: alfalfa, fertilizing of phospor, initial cutting
PENGARUH PEMUPUKAN FOSFOR DAN UMUR POTONG
AWAL TERHADAP VIGORITAS DAN KUALITAS
ALFALFA (Medicago sativa L.)
ELES RONGGO PRIYO HERNOWO
D24102021
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan
pada Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
PENGARUH PEMUPUKAN FOSFOR DAN UMUR POTONG
AWAL TERHADAP VIGORITAS DAN KUALITAS
ALFALFA (Medicago sativa L.)
Oleh
ELES RONGGO PRIYO HERNOWO
D24102021
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan
Komisi Ujian Lisan pada tanggal 28 November 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc. Agr.
NIP. 131 955 531
Ir. Ignatius Kismono, MS.
NIP. 130 321 050
Dekan Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr.
NIP. 131 955 531
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 27 April 1984 di Yogyakarta, Daerah
Istimewa Yogyakarta. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan
Bapak Widiarto Supriastio dan Ibu Tiwi Rahayu.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SDN Tarubasan 1,
pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di SLTPN 1
Klaten, dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2002 di
SMUN 1 Klaten.
Penulis diterima sebagai mahasiswa pada jurusan Ilmu Nutrisi dan Teknologi
Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI) pada tahun 2002.
Selama mengikuti pendidikan, Penulis aktif di Persekutuan Ouikoumene
Protestan Katolik Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah
mengajar perihal budidaya ternak di Pelatihan Masyarakat Terpadu Muria Bogor
mulai angkatan XV – XIX.
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunianya
sehingga Penulis telah dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh
Pemupukan Fosfor dan Umur Potong Awal Terhadap Vigoritas dan Kualitas
Alfalfa (Medicago sativa L.). Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil dari penelitian
yang dilakukan Laboratorium Lapang Agrostologi, Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pemanfaatan hijauan pakan sebagai makanan ternak ruminansia yang
disuplementasikan dengan pakan konsentrat, dapat memenuhi kebutuhan ternak akan
zat-zat makanan yang diperlukan untuk hidup pokok, pertumbuhan, produksi,dan
reproduksi. Pakan konsentrat adalah bahan pakan yang konsentrasi gizinya tinggi,
kandungan serat kasarnya relatif rendah, dan mudah dicerna. Harga pakan konsentrat
yang mahal membuatnya menjadi tidak terjangkau oleh para peternak. Sehubungan
dengan hal itu, maka hijauan pakan berkualitas tinggi semakin dibutuhkan. Skripsi
ini merupakan karya tulis mengenai introduksi tanaman alfalfa (Medicago sativa L.)
yang benihnya didatangkan dari Taiwan. Alfalfa termasuk hijauan pakan yang
berkualitas tinggi karena memiliki kandungan protein kasar yang tinggi dan serat
kasar yang rendah. Penggunaan alfalfa diharapkan dapat mengurangi penggunaan
konsentrat dalam ransum dengan tidak mengurangi kualitas nutrisi ransum bagi
ternak itu sendiri. Salah satu prinsip manajemen yang diterapkan pada budidaya
hijauan makanan ternak tak terkecuali adalah mengupayakan vigoritas (ketegaran)
pertumbuhan awal yang prima, sebagai basis pertumbuhan kembali (regrowth) yang
kuat setelah pemanenan berkali-kali dalam jangka waktu yang panjang.
Terima kasih untuk setiap kritik, saran, serta dorongan semangat dari semua
pihak sehingga skripsi ini dapat selesai. Semoga penelitian dan skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pembaca dan menjadi referensi untuk penelitian-penelitian
tentang alfalfa (Medicago sativa L.) selanjutnya.
Bogor, Desember 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN…………………………………………………………….
ii
ABSTRACT……………………………………………………………….
iii
RIWAYAT HIDUP………………………….……………………………
vi
KATA PENGANTAR………...…………………………………………..
vii
DAFTAR TABEL…………………………………………………………
ix
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………...
x
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………...
xi
PENDAHULUAN………………………………………………………...
1
Latar Belakang……………………………………………………..
Perumusan Masalah………………………………………………..
Tujuan……………………………………………………………...
1
1
1
TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………..
2
Alfalfa……………………………………………………………...
Fosfor………………………………………………………………
Latosol……………………………………………………………..
Pupuk kandang…………………………………………………….
2
9
11
13
METODE………………………………………………………………….
15
Lokasi dan Waktu………………………………………………….
Materi………………………………………………………………
Rancangan…………………………………………………………
Peubah……………………………………………………………..
Prosedur…………………………………………………………...
15
15
15
16
17
HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………..
Keadaan Umum Penelitian………………………………………..
Berat Bahan Kering……………………………………………….
Tinggi Vertikal Akhir……………………………………………...
Kandungan Protein Kasar…………………………………………
Kandungan Serat Kasar…………………………………………...
Pembahasan Umum Penelitian…………………………………….
KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………..
Kesimpulan………………………………………………………...
Saran……………………………………………………………….
20
20
21
23
26
27
28
32
32
32
UCAPAN TERIMA KASIH……………………………………………..
33
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….
34
LAMPIRAN………………………………………………………………
37
DAFTAR TABEL
Nomor
1. Jaman Pembudidayaan Tanaman Penting…………………………
Halaman
2
2. Pengaruh Pemupukan SP36 dan Umur Potong Awal Terhadap
Berat Bahan Kering Alfalfa (gram / polybag)……………………..
21
3. Pengaruh Pemupukan SP36 dan Umur Potong Awal Terhadap
Tinggi Akhir Alfalfa (cm)………………………………………….
24
4. Pengaruh Pemupukan SP36 dan Umur Potong Awal Terhadap
Kandungan Protein Kasar Alfalfa (% dari Berat Bahan Kering)….
26
5. Pengaruh Pemupukan SP36 dan Umur Potong Awal Terhadap
Kandungan Serat Kasar Alfalfa (% dari Berat Bahan Kering).……
27
6. Ciri Fisik dan Kimia Tanah Latosol Darmaga…………………….
30
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Struktur Biji Alfalfa…………………………………………..........
3
2. Keberadaan Lumut dan Jamur pada Media Tanam..……...………..
20
3. Akar Alfalfa………………………………………………………..
21
4. Berat Bahan Kering………….………………………………….....
23
5. Tinggi Vertikal Akhir……………………………………………....
25
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Cara Kerja Analisis N pada Tanaman Metode Kjeldahl…………
38
2. Cara Kerja Analisis Serat Kasar………………………………….
39
3. Berat Tanah 1 Hektar (Ha)……………………………….…..…..
40
4. Berat 1 Buah Polybag……………………………………….……
40
5. Berat Pupuk Urea (gram / Polybag)……………………...……….
40
6. Berat Pupuk KCl (gram / Polybag)…………………...……….….
40
7. Berat Kapur Dolomit (gram / Polybag)…………...…..…..............
41
8. Berat Pupuk SP36 (gram / Polybag)………………………………
41
9. Jumlah Tanaman Alfalfa (Medicago sativa L.) per Polybag..........
41
10. Uji Anova Bahan Kering……………………………………….…
43
11. Uji Lanjut Bahan Kering……………………………...…………..
43
12. Uji Anova Tinggi Tanaman………………………...…………….
44
13. Uji Lanjut Tinggi Tanaman…………………….……………..….
44
14. Uji Anova Protein Kasar…………………….……………..……..
45
15. Uji Lanjut Protein Kasar……………………………………….….
45
16. Uji Anova Serat Kasar……………………………………………
46
17. Uji Anova Interaksi Serat Kasar…...……………………………..
47
18. Uji Lanjut Interaksi Serat Kasar.…………………………………
48
19. Denah Penelitian………….………………………………………
49
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hijauan pakan merupakan salah satu syarat yang menentukan produktivitas
ternak ruminansia, karena hijauan memiliki persentase yang paling besar di dalam
formulasi pakan ternak ruminansia. Harga konsentrat yang mahal membuat hijauan
pakan berkualitas tinggi semakin dibutuhkan. Penggunaan hijauan pakan berkualitas
tinggi diharapkan dapat mengurangi penggunaan konsentrat dalam ransum dengan
tidak mengurangi kualitas nutrisi ransum bagi ternak itu sendiri. Mutu hijauan pakan
ditentukan oleh banyak hal diantaranya jenis hijauan, kesuburan tanah, macam
perlakuan, dan pengaruh lingkungan lainnya.
Salah satu upaya penyediaan hijauan pakan berkualitas tinggi yaitu dengan
cara mengintroduksi hijauan yang memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi,
salah satunya yaitu alfalfa tropis. Alfalfa (Medicago sativa L.) merupakan
leguminosa yang berasal dari kawasan Asia Barat Daya. Alfalfa mempunyai
beberapa keunggulan, diantaranya alfalfa dapat tumbuh di berbagai macam tipe
tanah, kandungan protein kasarnya cukup tinggi, kandungan serat kasar rendah, dan
memiliki daya pertumbuhan kembali yang cepat setelah pemanenan.
Perumusan Masalah
Alfalfa di Indonesia baru pada tahap introduksi maka perlu upaya memahami
budidaya alfalfa yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui vigoritas tanaman dan kualitas dari alfalfa dengan
perlakuan pemupukan fosfor dan umur potong awal.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemupukan fosfor
dan perlakuan umur potong awal terhadap vigoritas tanaman dan kualitas hijauan
alfalfa (Medicago sativa L.).
TINJAUAN PUSTAKA
Alfalfa
Alfalfa mempunyai nama latin Medicago sativa L. Kata Medicago berasal
dari bahasa latin yaitu medica yang berarti median, dimana daerah Mediterania
dipercaya merupakan tempat alfalfa berasal. Alfalfa di benua Eropa dikenal dengan
nama lucerne. Lucerne berasal dari nama Lake Lucerne di Switzerland dimana di
tempat ini kultivasi awal dan popularitas alfalfa berkembang sampai akhirnya masuk
ke Eropa (Allen dan Allen, 1981). Alfalfa juga mendapat julukan Cadillac of The
Forages, Queen of The Forages, Purple Medick, dan Trefoil. Alfalfa berasal dari
bahasa Arab, yaitu Al-Fal-Fa, yang berarti bapak dari semua makanan. Menurut
Whiteman (1980), alfalfa juga digunakan sebagai salah satu komponen hijauan
pastura. Alfalfa sering digunakan dalam pastura untuk sapi perah, sapi potong, dan
domba (Cheeke, 2005).
Menurut Vavilov, seorang ahli botani Rusia, pusat penyebaran tanaman
alfalfa yaitu di daerah Asia kecil, Iran, dan dataran tinggi Turki. Di mana di daerah
ini terdapat bermacam-macam tanaman gandum, tanaman biji-bijian untuk makanan
ternak, sayuran, dan buah-buahan. Tabel 1 berikut menunjukkan jaman
pembudidayaan beberapa tanaman penting hasil dari studi yang mendasarkan pada
evolusi tanaman (Poespodarsono, 1988).
Tabel 1. Jaman Pembudidayaan Tanaman Penting
Jaman
Tanaman
Pra 5000 SM
Barley, wheat, jagung, kacang-kacangan, pea, igam, dan lentik
Pra 2500 SM
Kentang, anggur, millet, padi, rye, kacang tanah, lucerne, kapas olive,
apel
Pra 1 SM
Kedelai, flax, jeruk, oat, teh, bit, fig, pisang, coklat.
Pra 1000 M
Tebu, kopi, tembakau, karet
Pengetahuan tentang pembudidayaan suatu tanaman berkaitan dengan
kemungkinan keragaman yang pernah terjadi pada tanaman itu. Keragaman memang
sudah terjadi sebelum pembudidayaan namun setelah itu terjadi peningkatan karena
peristiwa alami. Keragaman ini makin ditingkatkan dengan adanya modifikasi akibat
tanaman berada pada lingkungan baru yang sama sekali berbeda dengan asalnya,
oleh karena itu makin awal pembudidayaannya dapat menimbulkan keragaman
makin tinggi pada saat ini, dan makin beragam suatu tanaman mungkin menunjukkan
makin awal pembudidayaannya (Poespodarsono, 1988).
Dipercaya bahwa alfalfa dibudidayakan pertama kali di Iran. Alfalfa dibawa
ke Yunani sekitar tahun 490 SM oleh invasi Media Persia sebagai bahan makanan
kuda dan hewan yang dibawa. Kemudian alfalfa menyebar ke Itali dan negara-negara
Eropa lainnya, termasuk Spanyol. Dari Spanyol, alfalfa dibawa ke Amerika Tengah
dan Selatan oleh ekspedisi Spanyol. Catatan pertama tentang pertumbuhan alfalfa di
Amerika Serikat yaitu di Georgia pada tahun 1736.
Alfalfa mempunyai klasifikasi sebagai berikut (Ildis, 2005) :
Kingdom
: Plantae
Division
: Magnoliophyta
Class
: Magnoliopsida
Order
: Fabales
Family
: Fabaceae
Subfamily
: Faboideae
Tribe
: Trifolieae
Genus
: Medicago
Species
: M. sativa
Jumlah kromosom alfalfa (purple alfalfa) sebanyak 32 buah (Hughes et al.,
1951). Alfalfa (Medicago sativa) merupakan hijauan leguminosa yang tumbuh
sepanjang tahun, dikotil, crosspollinated, heterozygous autotetraploid, dan memiliki
banyak keragaman genetik. Fenwich et al., (1996) menyatakan alfalfa atau lucerne
merupakan salah satu legum perennial dimana sangat penting dalam produksi
hijauan.
Gambar 1. Struktur Biji Alfalfa (Meyer, D. 1999)
Bunga alfalfa terdapat pada tandan yang longgar atau rangkaian, dan
berwarna keunguan. Kotak dimana biji diproduksi berbentuk spiral yang memutar
satu hingga lima kali, seperti cangkang siput (Hanson dan Barnes, 1973). Setiap
kotak mengandung beberapa biji yang berbentuk seperti ginjal kecil. Batang alfalfa
pada umumnya mempunyai diameter tidak lebih dari 1/8 inci, dan tinggi hingga
mencapai 2,5 kaki. Bagian batang yang muncul dari dasar yang semi-kayu dikenal
dengan nama mahkota atau crown (Wheeler, 1950).
Sistem perakaran memiliki ciri yaitu akar utama yang terpisah, ketika berada
dibawah kondisi yang tidak cocok dapat melakukan penetrasi hingga kedalaman
tanah 7-9 meter atau lebih. Batang yang tegak biasanya mencapai ketinggian 60-90
cm. Ada sekitar 5-25 atau lebih batang per tanaman, tumbuh dari leher akar (crown)
yang berkayu tempat dimana batang baru tumbuh ketika batang yang tua sudah
dewasa atau telah dipanen. Akar utama mempunyai banyak cabang akar. Akar
alfalfa tidak tumbuh pada tanah yang tidak mudah ditembus, keras, terdapat lapisan
bebatuan di dekat permukaan tanah (Wheeler, 1950). Dengan sistem perakaran yang
sangat dalam membuat alfalfa sangat tahan terhadap musim kemarau, dan stocking
rate yang tinggi. Alfalfa juga lebih tahan dingin daripada kebanyakan legum tropik,
dan karena sistem perakarannya yang dalam membuat alfalfa dapat tumbuh di daerah
dengan curah hujan 500 mm/tahun (Whiteman, 1980). Akar-akar alfalfa dalam
sebuah area seluas 1 m2 dapat mencapai 744,8 meter (Kononova, 1966). Dalam
material akar alfalfa memiliki kandungan 2,47% N, 0,26% P, dan 0,24% S
(Kowalenko, 1978). Telah diketahui dengan baik bahwa sistem perakaran dari
tanaman perennial herba memainkan bagian yang besar dalam menghasilkan struktur
tanah yang baik (Kononova, 1966). Alfalfa mempunyai meristem bintil yang
ujungnya tidak tertentu dan menghasilkan bintil yang lonjong (Gardner, 1991).
Walaupun pembentukan bintil akar dapat terjadi tanpa inokulasi, namun hal tersebut
sering tidak efektif. Inokulasi diperlukan hampir untuk semua spesies legum yang
peka aluminium seperti alfalfa, clover, Glycine wightii, dan Leucaena leucocephala.
Penggunaan strain Rhizobium setempat sering menghasilkan pembentukan bintil akar
yang kurang baik (Sanchez, 1993). Daun alfalfa, letaknya berselang-seling pada
batang, merupakan daun yang trifoliate (Hanson dan Barnes, 1973).
Alfalfa memproduksi lebih banyak protein per hektar daripada tanaman lain
untuk ternak. Alfalfa memiliki kandungan mineral yang tinggi dan mengandung
setidaknya 10 jenis vitamin. Alfalfa sudah sejak lama dipertimbangkan sebagai
sumber penting vitamin A (Hanson dan Barnes, 1973). Alfalfa mengandung 8
macam enzim esensial yaitu lipase, amilase, koagulase, emulsin, invertase,
peroxidate, pectinase, dan protase. Vitamin yang ditemukan dalam alfalfa yaitu
vitamin A, B6, D, E, K, U. Sedangkan mineral yang terdapat pada alfalfa yaitu Ca,
Fe, Mn, K, P, Cl, Na, Si-Mg. Alfalfa mengandung 18,9% protein (Lucas, R et al.,
2006). Sebagai sumber kalsium, alfalfa jauh mengungguli hijauan lainnya. Hay
alfalfa juga mengandung rata-rata 14-15% protein yaitu 2,5 kali lebih banyak
dibandingkan tepung sorghum atau tepung jagung (Wheeler, 1950). Alfalfa
mengandung vitamin A sebanyak 231.000 IU / kg (Sudaro dan Siriwa, 1997).
Karakteristik tersebut membuat alfalfa (dalam bentuk hay, pellet, atau silase)
menjadi komponen ransum yang menarik dan menguntungkan untuk kebanyakan
usaha peternakan. Alfalfa juga membantu meminimalkan polusi dengan cara
mengurangi jumlah air run-off dan erosi tanah (Hanson dan Barnes, 1973). Alfalfa
digunakan untuk soil improvement karena diketahui dapat meningkatkan struktur
tanah, bahan organik, dan kesuburan tanah atau disebut green manuring. Alfalfa juga
digunakan sebagai hijauan (forages) karena mampu menyediakan protein dan dapat
mengikat nitrogen dari atmosfer (Sinha, 1977).
Beberapa faktor penting dalam usaha membudidayakan alfalfa, yang pertama
adalah pemilihan lokasi. Lokasi adalah salah satu faktor yang perlu mendapat
perhatian karena menyangkut tempat tumbuh tanaman. Dalam pemilihan lokasi, yang
perlu mendapat pertimbangan adalah syarat tumbuh tanaman. Lokasi yang akan
digunakan harus sesuai dengan keadaan yang diinginkan tanaman, misalnya iklim
atau tanahnya cocok (Palungkun dan Budiarti, 1991)
Alfalfa dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai macam iklim dan
kondisi tanah. Alfalfa beradaptasi sangat baik pada tanah lempung yang dalam
dengan bagian tanah yang berpori. Sistem irigasi juga sangat diperlukan. Alfalfa juga
membutuhkan banyak kapur dan tidak bagus pada tanah yang masam (Hanson dan
Barnes, 1973). Alfalfa rentan dengan kandungan Al dan Mn yang tinggi dalam tanah,
juga rentan terhadap fosfor dan kalium yang rendah dalam tanah (Sanchez, 1993).
Alfalfa tumbuh sangat baik pada iklim yang kering dan tanah subur yang
teririgasi. Dengan pemupukan yang bagus dan inokulasi dengan bakteri pengikat
nitrogen (Rhizobium), alfalfa dapat tumbuh dengan bagus pada kondisi lembab yang
berlebih. Alfalfa secara relatif toleran dengan tanah yang masam tetapi tidak begitu
halnya jika ditanam pada tanah yang terlalu masam (Hanson dan Barnes, 1973).
Alfalfa juga menyesuaikan diri dengan iklim sedang. Spesies legum yang rentan
terhadap sebagian besar faktor yang berkaitan dengan keasaman tanah antara lain
Leucaena leucocephala, Glycine wightii, Trifolium sp., dan Medicago sativa. Spesies
tersebut tumbuh pada tanah yang sangat basa dan menyesuaikan dengan lebih baik
pada tanah itu. Semua spesies tersebut tumbuh dengan subur pada tanah seperti itu di
daerah tropika, terutama tanaman clover dan alfalfa pada tanah bergamping dengan
suhu rendah (Sanchez, 1993). Bakteri pengikat nitrogen yang biasanya dinokulasikan
pada akar alfalfa adalah Rhizobium meliloti. Bakteri ini mempunyai pertumbuhan
yang cepat dan hidup pada suasana tanah yang asam (Allen dan Allen, 1981).
Dalam pemilihan lahan untuk alfalfa, harus sungguh-sungguh memperhatikan
tekstur, produktivitas, dan sistem irigasi. Tanah yang terlalu berpasir, masam, asin,
dan terlalu kompak atau padat sebaiknya dihindari. Tanah yang paling produktif pada
lahan peternakan harus dipilih untuk alfalfa. Ketika sistem irigasi secara alami tidak
ada, maka harus disediakan dengan peralatan buatan sebelum alfalfa dibudidayakan.
Lahan persemaian yang bagus harus padat, gembur, dan tanah yang matang. Lahan
diolah untuk menghilangkan alang-alang dan rumput liar (Wheeler, 1950). Tanah
vertisol yang sangat basa dengan temperatur yang agak rendah, daerah Queensland,
disukai oleh alfalfa. Tanah Ustert di Australia juga dapat digunakan untuk tempat
tumbuh alfalfa (Sanchez, 1993).
Sebelum menanam benih alfalfa, sangat penting untuk mengetahui apa yang
dibutuhkan oleh tanah. Kebutuhan tanah akan kapur bervariasi dan akan lebih baik
jika dilakukan test untuk mengetahui kebutuhan tanah akan kapur. Kapur diberikan
pada saat persiapan lahan persemaian. Alfalfa tumbuh dengan baik rata-rata pada
tingkat pH 6,2 (Rowell, 1994). Menurut Kuswandi (1993) pH optimal bagi alfalfa
antara 6,2-7,8. Tingkat penggunaan kapur akan tergantung pada kemasaman tanah,
kemurnian, dan kualitas kapur yang digunakan. Alfalfa seharusnya tumbuh hanya
pada tanah yang memiliki kandungan pospor yang berlimpah (Wheeler,1950). Hasil
pengujian pH tanah digunakan untuk menentukan kebutuhan kapur. Jumlah
kebutuhan kapur tergantung pada jenis bahan yang digunakan, jenis tanaman, sistem
pergiliran tanaman, jenis tanah, dan faktor-faktor lain. Sifat-sifat tanah yang
mempengaruhi jumlah kebutuhan kapur adalah tekstur tanah dan kandungan bahan
organik dalam tanah (Kuswandi, 1993). Sumber-sumber kapur antara lain tepung
tulang, tepung ikan, batu kapur, dan superphospat. Pemberian kapur sampai pH tanah
mencapai 7 sangat dianjurkan. Untuk budidaya alfalfa, tanah harus dibajak atau
diolah dengan baik. Pupuk kandang dapat diberikan 6 minggu sebelum penanaman,
dan penambahan pupuk kandang setiap habis 3 kali panen (Duke, 1983). Alfalfa
responsif terhadap aplikasi pemupukan khususnya fosfor, sulfur, dan potashium
(Whiteman, 1980).
Waktu penanaman benih yang umum dilakukan yaitu pada saat akhir musim
kemarau atau awal musim penghujan. Penanaman pada saat tersebut akan
mengurangi peluang tumbuhnya gulma, alang-alang, dan sebagainya. Penanaman
sebaiknya dilakukan hanya setelah kondisi cuaca dan lahan persemaian mendukung.
Jika lahan persemaian telah siap dan penanaman benih telah dilakukan kemudian
diikuti dengan hujan, germinasi yang cepat akan terjadi dan akar akan mencapai poripori tanah sebelum pengeringan terjadi (Wheeler,1950).
Rekomendasi standar untuk germinasi dan kemurnian benih alfalfa di
Queensland, Australia, adalah sebagai berikut (Whiteman, 1980) :
1.
Minimum benih yang dapat germinasi : 80 %
2.
Maksimum benih yang keras
: 30 %
3.
Minimum benih murni
: 98 %
persentase
4.
Maksimum benih gulma
: 0.5 %
berdasarkan
5.
Maksimum benih tanaman lain
: 0.5 %
berat
6.
Maksimum bahan inert
: 1.5 %
Untuk lahan seluas satu are dibutuhkan satu pound biji alfalfa (dalam satu
pound terdapat sekitar 220000 biji alfalfa), cukup untuk menumbuhkan lima tanaman
per kaki persegi jika semua biji germinasi dan tumbuh. Berbagai macam kendala
yang ada dalam usaha pemeliharaan alfalfa menyebabkan penggunaan sekitar 8-15
pound biji alfalfa untuk lahan seluas satu are. Nilai yang lebih rendah biasanya
direkomendasikan untuk kondisi kelembaban yang rendah, dan nilai yang lebih
tinggi untuk kondisi dengan kelembaban yang tinggi (Wheeler,1950).
Jika penanaman benih menggunakan sistem broadcasting maka memerlukan
benih sebanyak 12-20 kg untuk lahan seluas satu hektar. Sedangkan jika benih
ditanam pada larikan yang telah dibuat maka hanya membutuhkan benih sebanyak
10-12 kg untuk lahan seluas satu hektar (Duke, 1983).
Benih alfalfa sebaiknya diinokulasikan dengan bakteri Rhizobium pada waktu
ditanam. Kedalaman penanaman optimal yaitu 0,25 – 0,5 inchi pada tanah yang keras
dan 0,5 – 1,0 inchi pada tanah yang ringan (McDonald et al., 2006). Sangat penting
untuk menaruh benih dengan tepat sehingga dapat kontak dengan partikel tanah
untuk mempercepat germinasi dan membuat pertumbuhan cepat lebih awal. Jika
penanaman benih alfalfa tidak menggunakan mesin, maka drilling adalah metode
terbaik untuk menempatkan benih ke dalam tanah. Benih ditanam pada kedalaman
tanah kira-kira 1,5 inchi. Broadcasting bukan merupakan metode yang bagus, tetapi
jika digunakan, maka persiapan lahan harus sama seperti metode drilling
(Wheeler,1950).
Benih legum sebelum ditanam sebaiknya diskarifikasi, dengan maksud agar
benih mudah berkecambah serta air dan udara (O2) dapat masuk. Biji leguminosa
keras dan dilapisi oleh wax (lilin). Skarifikasi dapat dilakukan secara fisik maupun
kimiawi. Skarifikasi secara fisik dilakukan bertujuan melukai benih (jauh dari titik
tumbuh) supaya kulit benih retak yaitu dengan cara, benih direndam di air panas
dengan suhu untuk menghilangkan wax (lilin). Skarifikasi secara kimiawi dilakukan
dengan menggunakan H2SO4 (Dewi, 2004). Benih alfalfa mempunyai kulit yang
keras, sehingga perlu dilakukan skarifikasi yaitu dengan cara benih direndam dalam
air terlebih dahulu sebelum ditanam (Duke, 1983).
Alfalfa dipanen ketika bunga yang pertama kali mekar. Jumlah panen per
tahun berbeda-beda pada setiap daerah. Pada kebanyakan iklim alfalfa dapat dipanen
3-4 kali dalam setahun. Dengan total panen 8 ton / hektar tetapi tergantung daerah,
cuaca, dan umur alfalfa saat panen. Umur panen yang lama dapat meningkatkan
jumlah total panen tetapi kandungan nutrisinya berkurang (Ildis, 2005). Alfalfa atau
lucerne harus dipanen sebelum alfalfa berbunga; nilai nutrisi dan kecernaannya
menurun setelah masa berbunga (Gohl, 1981). Waktu pemanenan dan pengeringan
pada masa kedewasaan penting agar memperoleh produk yang berkualitas tinggi
(Golob, et al., 2002). Produksi alfalfa dapat mencapai 4 ton/are atau sekitar 8960
kg/ha (Campbell, 1978). Clements et al., (2008) menyatakan bahwa Lucerne (alfalfa)
yang tumbuh dengan pengairan mampu memproduksi 25-27 ton / ha bahan kering
dalam tahun pertama penanaman dan akan turun menjadi 8-15 ton / ha pada tahun
ketiga penanaman. Ada satu segi yaitu ketenggangan terhadap peranggasan yang
sering yang pada berbagai legum tropika berbeda degan nyata dibandingkan dengan
alfalfa dan kelompok clover. Dibandingkan dengan alfalfa, berbagai spesies yang
merambat seperti Desmodium spp, siratro, dan kacang bulu sangat peka terhadap
peranggasan yang sering dan memerlukan waktu yang lebih lama untuk benar-benar
tumbuh kembali setelah dirumput (Sanchez,1993). Hay alfalfa sangat penting utuk
industri sapi perah sebagai sumber protein dan serat kasar (Cheeke, 2005). Luas
daerah pembudidayaan alfalfa di dunia yaitu sekitar 33 ribu hektar, 70% diantaranya
diproduksi oleh Amerika Serikat, USSR, dan Argentina. Sedangkan Prancis, Itali,
Canada, dan Australia memproduksi sekitar 20% produksi dunia (Duke, 1983).
Fosfor
Elemen esensial yang dibutuhkan oleh tanaman dibagi menjadi dua, yaitu
makronutrien dan mikronutrien. Makronutrien terdiri dari O2, H2, C, N, P, K, S, Ca,
dan Mg. Sedangkan mikronutrien terdiri dari Fe, B, Mo, Zn, Cu, Mn, dan Cl2
(Campbell, 1978). Unsur-unsur yang dapat meracuni kehidupan antara lain adalah Li,
Be, Ni, Al, Cd, Hg, dan Pb (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1991). Fosfor
adalah hal yang esensial untuk kehidupan, yang paling sering menjadi elemen
pembatas dalam produktivitas biologi ekosistem (Turner, 2005). Nitrogen, fosfor,
dan sulfur adalah tiga elemen nutrien penting untuk pertumbuhan tanaman
(Kowalenko, 1978). Diantara elemen-elemen esensial untuk pertumbuhan dan nutrisi
tanaman, fosfor adalah yang kurang terpresentasi dengan baik dalam litosfer (0,1%).
Mineral fosfat tidaklah melimpah dalam tanah, meskipun apatite ( Ca5(F, Cl,
OH)(PO4)3 ) telah teridentifikasi dalam tanah muda. Pada umumnya,mineral fosfat
kurang dapat larut dibandingkan dengan karbonat dan sulfat (Schaetzl dan Anderson,
2005). Fosfor terdapat dalam dua bentuk di alam, yaitu senyawa fosfat organik (pada
tumbuhan dan hewan) dan senyawa fosfat anorganik (pada air dan tanah). Fosfat
organik dari hewan dan tumbuhan yang mati diuraikan oleh dekomposer (pengurai)
menjadi fosfat anorganik. Fosfat anorganik yang terlarut di air tanah atau air laut
akan terkikis dan mengendap di sedimen laut. Oleh karena itu, fosfat banyak terdapat
di batu karang dan fosil. Fosfat dari batu dan fosil terkikis dan membentuk fosfat
anorganik terlarut di air tanah dan laut. Fosfat anorganik ini kemudian akan diserap
oleh akar tumbuhan lagi.
Fosfor sangat terlibat dalam pertumbuhan dan metabolisme tanaman-tanaman
(Quiquampoix, 2005). Fosfor berpengaruh menguntungkan pada banyak hal,
diantaranya pembelahan sel, pembuahan, perkembangan akar (lateral), kekuatan
batang pada tanaman serealia, mutu tanaman, dan kekebalan terhadap penyakit
tertentu. Sumber pokok fosfor yaitu pupuk buatan, pupuk kandang, sisa-sisa
tanaman, dan senyawa asli unsur ini dalam bentuk organik maupun anorganik yang
terdapat dalam tanah. Pengaruh fosfor terhadap tanaman amatlah penting karena
fosfor merupakan bagian dari inti sel, sangat penting dalam pembelahan sel dan juga
untuk perkembangan jaringan meristem. Fosfor dapat merangsang pertumbuhan akar
tanaman muda, mempercepat pembuangan dan pematangan buah, biji, ketahanan
terhadap penyakit, pembentukan nukleo-protein (penyusun gen RNA dan DNA),
metabolisme karbohidrat, menyimpan dan memindahkan energi (Hardjowigeno,
1995). Defisiensi fosfor dapat membawa kepada kebanyakan penurunan yang paling
sering dalam proses metabolik, termasuk bagian sel, respirasi, dan fotosintesis
(Quiquampoix, 2005).
Fosfor dalam bentuknya sebagai ortofosfat memainkan peranan yang
fundamental dalam sejumlah besar reaksi enzim yang bergantung pada fosforilasi
(Russell, 1961). Menurut Mengel dan Kirkby (1987), menjelaskan bahwa dalam
proses metabolisme tanaman kebutuhan energi diperoleh dari senyawa fosfat
berenergi tinggi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) dan sebagai hasilnya akan
diperoleh senyawa fosfat berenergi rendah dalam bentuk adenosin difosfat (ADP).
Salisbury dan Ross (1995), menyatakan bahwa disamping sebagai transfer energi,
unsur P juga berfungsi sebagai penyusun, pengikat-pengikat gula yang diperlukan
bagi proses fotosintesis dan respirasi, selain itu juga mempertahankan pH sel
tanaman. Kandungan nutrisi fosfor dalam tanaman disokong oleh mekanisme
mobilisasi fosfor yang terjadi di rhizosfer (Quiquampoix, 2005).
Pupuk adalah suatu bahan yang digunakan untuk memperbaiki sifat-sifat
fisik, kimia, dan biologi tanah. Pemupukan adalah penambahan pupuk pada tanah
agar tanah menjadi subur. Pupuk fosfor cocok digunakan untuk tanaman generatif.
Pupuk fosfor termasuk pupuk yang sulit larut (Dewi, 2004). Pupuk fosfor sangat
dianjurkan sebagai pupuk dasar karena fosfor tidak cepat tersedia dan dibutuhkan
pada stadia permulaan tumbuh. Kalau unsur yang dapat larut ini diberikan pada tanah
dalam bentuk pupuk, fosfor sering “diikat” atau dijadikan tidak tersedia, meskipun
keadaan lapangan paling ideal. Oleh karena itu pemupukan dengan cara lubang dan
jalur merupakan cara yang terbaik karena dapat mengurangi kontak dengan tanah dan
fiksasi fosfat oleh tanah dikurangi bila dibandingkan dengan cara pemupukan sebar
(Hakim et al., 1986). Dalam lapisan horizon bagian atas, fosfor organik
terepresentasi antara 20-80% dari total fosfor. Fosfor organik yang secara kimia dan
fisik terikat, terepresentasi sekurang-kurangnya 90% dari jumlah total fosfor organik
(Quiquampoix, 2005).
Fosfor pada tanaman saat panen kadarnya lebih rendah daripada yang
diberikan pada tanaman (pupuk), karena pengangkutan fosfor dari tanah oleh
tanaman amat rendah (1/3 atau ¼) dibandingkan N dan K. Fosfor sangat kuat dijerap
oleh koloid tanah dan tidak berada dalam bentuk bahan volatile, sehingga siklusnya
mengambil tempat di biosfer dan hilangnya fosfor yang disebabkan oleh pencucian
umumnya kecil (antara 12 gram P/ha/tahun). Salah satu karakteristik mayor dari
siklus ini yaitu hanya 1% dari fosfor tanah yang tergabung dalam tanaman selama
masa pertumbuhan (Quiquampoix, 2005).
Latosol
Tanah merupakan salah satu dari sumber daya alam yang paling berharga dari
sebuah bangsa. Dalam produksi agrikultur, tanah merupakan bagian integral dengan
sistem ekologi dimana memproduksi bahan pangan dan serat. Untuk tanaman
agrikultur, tanah berperan sebagai media dimana tanah mampu secara fisik
membantu tanaman untuk menyimpan air dan nutrisi esensial untuk pertumbuhan
tanaman.
Definisi tanah menurut Century Dictionary adalah campuran dari berbagai
material bumi dengan kurang atau lebih bahan organik yang dihasilkan dari
pertumbuhan dan dekomposisi dari vegetasi yang berada di permukaan bumi atau
dari kotoran binatang, maupun dari campur tangan manusia (Taylor, 1924). Tanah
yang subur adalah tanah yang mengandung suplai yang cukup untuk tanaman dalam
bentuk tersedia atau populasi mikroba yang memberikan nutrient cukup cepat untuk
mendukung pertumbuhan cepat tanaman (Russel, 1961). Brady et al., (2002)
menyatakan bahwa tanah memegang banyak peranan, yaitu :
1.
Tanah mendukung pertumbuhan dari tanaman, terutama dengan menyediakan
media untuk akar tanaman dan memberikan elemen nutrien yang esensial untuk
segala tanaman.
2.
Kepemilikan tanah adalah faktor prinsipil dalam mengontrol ketersediaan air
tanah. Kekurangan air, penggunaan air, pencemaran air, dan pemurnian air
tergantung dari tanah.
3.
Fungsi tanah sebagai nature’s recycling system. Dalam tanah,, sampah dan
bagian mati dari tanaman, hewan, dan manusia diasimilasikan, dan elemen dasar
dibuat menjadi tersedia untuk digunakan kembali oleh generasi yang baru.
4.
Tanah menyediakan habitat untuk banyak sekali organisme, dari mamalia kecil
dan reptil samapai serangga berukuran mikroskopik dalam jumlah yang tak
terhitung dan beragam.
Latosol merupakan tanah yang tidak potensial untuk pengembangan pastura.
Tanah latosol dapat dijumpai di sebagian besar wilayah di dunia, seperti Amerika
Serikat bagian tenggara, Brazil, Venezuela, Afrika bagian tengah, India bagian
selatan, Srilanka, Asia Tenggara, dan Australia (Skerman, 1977). Tanah latosol
adalah tanah liat yang banyak dipakai untuk pertanian di Indonesia. Biasanya
warnanya kemerahan, kekuningan, atau kecoklatan karena banyak besinya. Sifat-sifat
fisiknya baik , tidak mudah mengalami erosi. Tanah ini banyak terbasuh hujan, oleh
karena itu kehilangan unsur-unsurnya yang penting bagi pertanian; kadar bahan
organiknya rendah. Tanah ini memerlukan pupuk dan untuk legum tertentu
diperlukan tambahan kapur (Tafal, 1981). Tanah latosol telah mengalami pelapukan
tanah yang lanjut (Kuswandi, 1993). Tanah latosol di wilayah tersebut kebanyakan
tidak subur untuk mendukung pertanian. Pengembangan pastura dapat dilakukan bila
dilakukan penambahan pupuk yang secukupnya dan usaha seleksi kultivar dari
legum dan rumput yang cocok untuk tanah latosol (Skerman, 1977).
Tanah latosol merupakan tanah liat rapuh yang berasal dari batuan basalt
dalam (Skerman, 1977). Adapun permasalahan dalam pemanfaatan lahan kering
adalah seringnya dijumpai kekurangan unsur N yang hilang melalui proses
pencucian, penguapan, dan erosi. Permasalahan lain pada tanah tersebut adalah
miskinnya hara P. Pada tanah-tanah miskin hara N dan P penambahan unsur hara
tersebut tentu akan meningkatkan kesuburan tanah sehingga produktifitas tanaman
yang tumbuh di atasnya akan meningkat (Feniara, 2001). Faktor pembatas pada tanah
latosol ialah status nutrisinya dapat dikatakan rendah (Tafal, 1981).
Hakim et al., (1986) menyatakan bahwa pada tanah latosol mempunyai sifat
fisik yang lebih baik tetapi memiliki kapasitas tukar kation yang rendah dan
membutuhkan pemupukan yang agak sering. Soepardi (1985) menerangkan bahwa
reaksi tanah ini masam hingga agak masam, berkadar bahan organik rendah, keadaan
hara rendah sampai sedang dan tanah latosol biasanya memberikan respon yang baik
terhadap pemupukan dan pengapuran.
Menurut Kellogg (1949) tanah latosol banyak terdapat di daerah tropik dan
equatorial. Vegetasi alami dari tanah latosol seringkali adalah hutan hujan tropis.
Hijauan yang cocok untuk tanah latosol antara lain Glycine wightii, Macroptilium
atropurpureum, Centrosema pubescens, Stylosanthes guianensis, Desmodium spp,
Setaria sphacelata, Panicum maximum, Panicum maximum var. trichoglume, dan
Chloris gayana. Biasanya segera sesudah land clearing, tanah ini sangat subur dan
mendukung untuk tumbuhnya gulma. Kebanyakan dari tanaman pangan tropik
tumbuh di atas tanah ini. Penurunan kesuburan tanah ini sangat cepat dan
penambahan unsur nitrogen, fosfor, sulfur, dan molibdenum sangat diperlukan
(Skerman, 1977).
Pupuk kandang
Bahan organik tanah yaitu fraksi organik dari tanah; termasuk residu
tumbuhan dan binatang dalam berbagai tahap dekomposisi, sel (baik hidup atau
mati), dan jaringan dari mikroba, dan substan yang tersintesis oleh mikroba tanah
(Campbell, 1978). Schnitzer dan Khan (1978) menyatakan bahwa bahan organik
tanah adalah komponen kunci yang mempengaruhi banyak reaksi yang terjadi dalam
sistem tanah. Kowalenko (1978) menyatakan bahwa bahan organik tanah memainkan
peranan penting dalam tanah – sistem tanaman, dan unsur pokok ini mengandung
elemen N, P, dan S beserta reaksi kimia, fisika, dan biokimia mereka yang penting
dalam pertumbuhan tanaman.
Pupuk kandang adalah hasil dari penguraian yang ditimbulkan oleh jasadjasad renik seperti bakteri, jamur, dan alga. Berbagai polisakarida dan zat-zat yang
menyerupai poliuranida yang dihasilkan oleh itu, dapat mengikat partikel-partikel
tanah. Zat-zat ini dibentuk oleh jasad-jasad renik yang menguraikan pupuk itu (Tafal,
1981). Pupuk kandang menyuplai sejumlah mikronutrien dan menjadi bahan yang
sempurna untuk menjadi bahan humus (Campbell, 1978). Pentingnya pupuk kandang
untuk meningkatkan kesuburan tanah telah dibuktikan selama lebih dari berabadabad dalam praktis agrikultura (Kononova, 1966). Pupuk kandang ini bobotnya
ringan, tapi kaya akan kandungan hara dan sangat berperan dalam pertumbuhan
vegetatif tanaman, yaitu akar, batang, dan daun (Wudianto, 1988).
Gardner (1991) menyatakan bahwa substansi organik dan anorganik alami
merupakan sumber utama nutrien tumbuhan dalam ekosistem pertanian dan
ekosistem alami. Nutrien memasuki tumbuhan dalam bentuk ion-ion, baik dari
anorganik (misalnya pupuk komersial) maupun organik (seperti pupuk kandang).
Mikroba tanah merepresentasikan tipe morfologi dan fisiologi yang ditemukan dalam
setiap partikel di bumi, kompos, dan pada berbagai macam substrat alami lainnya.
Peran mikroba tanah dalam transformasi bahan organik sangat signifikan melalui
bermacam aktivitas. Aktivitas yang dilakukan berhubungan dengan pembebasan
nutien tumbuhan dan binatang, dan efek yang dihasilkan terhadap kesuburan tanah.
Populasi mikroba dalam tanah memainkan peranan dalam formasi dan transformasi
dari bahan organik, mulai dari pembebasan nutrient tumbuhan dalam bentuk yang
tersedia, dalam menghasilkan humus, dan terakhir kesuburan dari tanah (Walksman
et al., 1968). Para peneliti melihat bahwa rasio dari bahan organik tanah dibanding
detritus dibanding biomassa mikrobial dibanding biomassa fauna adalah berkisar
1000 : 100 : 10 : 1. Efek yang menguntungkan
dari organisme tanah adalah
pembusukan bahan organik, kerusakan bahan kimia, transformasi anorganik, fiksasi
nitrogen, rhizobakteria, dan perlindungan tanaman (Brady, 2002).
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2005 sampai dengan Januari
2006. Penanaman dan pemeliharaan bertempat di rumah kaca Laboratorium Lapang
Agrostologi, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan
IPB. Pengukuran biomassa kering batang dan daun dilakukan di Laboratorium
Agrostologi, Fakultas Peternakan. Sedangkan analisis protein dan serat kasar
dilaksanakan di Balai Besar Pasca Panen, Cimanggu.
Materi
Bahan-bahan yang digunakan yaitu biji alfalfa tropis (Medicago sativa L.)
yang diperoleh dari Taiwan dan telah melalui proses modifikasi secara genetik,
kapur, pupuk kandang, SP36, Urea, KCl, dan tanah latosol.
Peralatan yang dipakai yaitu cangkul, alat saring tanah dengan lubang
berukuran 0.5 cm x 0.5 cm, karung, polybag, plastik, label, benang, gunting,
penggaris, timbangan, dan oven.
Rancangan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola
faktorial. Terdapat 15 kombinasi perlakuan dan 4 ulangan sehingga terdapat 60
satuan percobaan.
Faktor pertama adalah pemupukan, yaitu :
1.
A1 :
0 kg Phospor / ha
2.
A2 : 30 kg Phospor / ha
3.
A3 : 60 kg Phospor / ha
4.
A4 : 90 kg Phospor / ha
5.
A5 : 180 kg Phospor / ha
Faktor kedua adalah umur potong, yaitu :
1.
B1 : 60 hari
2.
B2 : 80 hari
3.
B3 : 100 hari
Model matematika yang digunakan adalah : Yijk = μ + αI + βj + (αβ)ij + ∑ijk
Keterangan :
Yij
: Nilai pengamatan karena adanya pengaruh perlakuan kombinasi
pemupukan ke-i, umur potong ke-j, dan ulangan ke-k
μ
: Nilai rataan umum
αI
: Pengaruh pemupukan ke-i (i = 1, 2, 3, 4, 5)
βj
: Pengaruh umur potong ke-j (j = 1, 2, 3)
(αβ)ij : Pengaruh interaksi pemupukan ke-i, umur potong ke-j, ulangan ke-k
∑ijk
: Pengaruh galat perlakuan kombinasi pemupukan ke-i, umur potong kej, ulangan ke-k
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam (Anova) dan jika
hasilnya berbeda nyata dilakukan Uji Duncan.
Peubah
Berat Bahan Kering Batang dan Daun
Setelah dipanen maka alfalfa ditimbang untuk mengetahui berat segarnya,
kemudian alfalfa (meliputi batang dan daun) dioven pada suhu 60-700C selama 48
jam. Proses pengovenan ini dilaksanakan di Laboratorium Agrostologi. Setelah
dioven, maka alfalfa ditimbang sekali lagi untuk mengetahui berat bahan keringnya.
Tinggi Vertikal Akhir
Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dengan menggunakan peralatan benang
dan penggaris. Mengingat alfalfa memiliki 5-25 batang per tanaman, maka langkah
pertama yang dilakukan adalah memilih batang yang paling tinggi dalam satu
tanaman alfalfa tiap polybagnya. Langkah berikutnya adalah menempelkan benang
pada batang alfalfa terpilih. Benang diarahkan mengikuti bentuk batang alfalfa,
mulai dari permukaan media tanam sampai ujung paling atas batang alfalfa. Hal ini
dilakukan karena bentuk batang alfalfa beragam (lurus, bengkok, dan berpilin).
Pengukuran dilakukan secara hati-hati untuk menghindari rebah atau patahnya
batang alfalfa. Kemudian langkah terakhir adalah mengukur panjang benang dengan
menggunakan penggaris. Hasil yang diperoleh adalah tinggi vertikal tanaman.
Pengukuran tinggi vertikal akhir tanaman, dilakukan sebelum proses pemanenan
alfalfa dilaksanakan.
Kandungan Protein Kasar
Bahan kering alfalfa dianalisis di Balai Besar Pasca Panen Cimanggu untuk
mengetahui dan mendapatkan data protein kasar alfalfa. Analisis N pada bahan
kering menggunakan Metode Kjeldahl (Lampiran 1).
Kandungan Serat Kasar
Bahan kering alfalfa dianalisis di Balai Besar Pasca Panen Cimanggu untuk
mengetahui dan mendapatkan data serat kasar alfalfa (Lampiran 2).
Prosedur
Persiapan Bahan
Tanah latosol diambil dari Laboratorium Agrostologi, sedangkan pupuk
kandang diambil dari Kandang A (sapi perah). Tanah dan pupuk kandang tersebut
dijemur secara terpisah dibawah sinar matahari selama 3 hari, kemudian diayak
menggunakan saringan dengan ukuran lubang 0.5 cm x 0.5 cm. Selanjutnya tanah,
pupuk kandang, dan kapur dicampur dan dimasikkan dalam setiap polybag dan
diinkubasi selama 1 minggu. Jumlah pupuk SP36 yang digunakan sesuai perlakuan.
Perlakuan A1 sebagai kontrol tidak menggunakan pupuk SP36. Untuk perlakuan A2
menggunakan 0,5 gram SP36 / polybag, sedangkan perlakuan A3 menggunakan 1,0
gram SP36 / polybag. Perlakuan A4 menggunakan 1,5 gram SP36 / polybag,
sedangkan perlakuan A5 menggunakan 3,0 gram SP36 / polybag. Jumlah media
tanam yang dipersiapkan yaitu sebanyak 60 buah polybag. Untuk setiap polybag
diperlukan 4 kg tanah latosol, 1 kg pupuk kandang, 25 g (10 Ton / Ha) kapur, 0.2 g
(80 kg N / Ha) pupuk Urea, 0.15 g (30 kg K / Ha) pupuk KCl, dan pupuk SP36
(sesuai dengan perlakuan) yang dicampur dalam sebuah plastik berukuran besar
sampai homogen. Setelah itu setiap polybag diberi label sesuai dengan perlakuan
(pupuk SP36 dan umur potong).
Penanaman
Penanaman benih alfalfa dilaksanakan setelah menyediakan media tanam
melalui beberapa tahap persiapan, seperti pengapuran, inkubasi, dan proses
pencampuran antara tanah, pupuk kandang, dan pupuk dasar. Pengacakan tempat
media tanam dilakukan seperti yang terlihat pada denah penelitian (Lampiran 19).
Sebelum ditanam, benih alfalfa direndam dulu dalam air sebagai bentuk skarifikasi
pada benih (Duke, 1983). Setelah benih alfalfa ditanam di polybag dengan
kedalaman tanam ± 2 cm, lalu media tanam disiram dengan air. Menurut Wheeler
(1950), untuk lahan seluas 1 are dibutuhkan 1 pound biji alfalfa (dalam satu pound
terdapat sekitar 220000 biji alfalfa), sehingga untuk setiap polybag (5 kg) maksimum
hanya dapat ditumbuhi 1 tanaman alfalfa. Benih alfalfa sebanyak 15 biji ditanam
pada setiap polybag yang telah diacak.
Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan selama penelitian meliputi penyulaman, penyiangan,
pendangiran, pemberantasan terhadap gulma dan hama. Penyulaman adalah
penanaman susulan yang dilakukan bila sebagian tanaman ternyata tidak dapat
tumbuh atau bertunas. Tujuan dari penyulaman yaitu mencegah tumbuhnya gulma,
menjamin pertanaman yang seragam, dan efisiensi penggunaan lahan (Dewi, 2004).
Ketersediaan air dalam media tanam selalu dijaga (media tanam terlihat basah) agar
kebutuhan alfalfa akan air terpenuhi. Penyiangan dan pendangiran dilakukan setelah
penanaman, tergantung tingkat invasi gulma dan kepadatan tanah, sebaiknya
dilakukan sebelum gulma tumbuh subur (Dewi, 2004). Penyiangan dilakukan dengan
membersihkan daerah sekitar tanaman dari gulma (lumut, jamur, dan tumbuhan lain)
yang tumbuh pada media tanam. Pendangiran dilakukan pada permukaan media
tanam. Tujuan dari penyiangan dan pendangiran yaitu melindungi tanaman yang baru
tumbuh dari persaingan cahaya, air, hara, dan ruang dan untuk memperbaiki struktur
tanah (Dewi, 2004).
Pengamatan dan Pengumpulan Data
Pertumbuhan alfalfa diamati dengan cara mengukur dan mencatat tinggi
vertikal akhir tanaman alfalfa pada saat menjelang panen. Selama masa pemeliharaan
dilakukan pengamatan terhadap keadaan alfalfa, media tanam, keberadaan hama dan
gulma.
Pemanenan
Pemanenan hanya dilakukan satu kali untuk setiap perlakuan umur potong
awal yaitu pada saat umur tanaman 60, 80, dan 100 hari. Panen hijauan makanan
ternak dikenal dengan istilah defoliasi yaitu pengambilan sebagian dari bagian
tanaman yang berada di atas permukaan tanah, terutama daun. Pemanenan hijauan
makanan ternak hanya sebagian saja, yang diambil yaitu antara 25-70% dari bagian
tanaman yang diambil, perlu disisakan sebagian antara 30-75% dari bagian tanaman
agar panen dapat dilakukan berulang-ulang (Dewi, 2004). Proses pemanenan dengan
umur potong alfalfa 60 hari dilakukan dengan memotong alfalfa (meliputi batang dan
daun) pada ketinggian 3 cm di atas permukaan media tanam. Menurut Dewi (2004)
pemanenan ini tergolong pada tingkat intensitas defoliasi berat, yaitu bagian tanaman
yang dipanen 60-70%; dan secara teknis proses pemanenan dilakukan secara
mekanik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Penelitian
Pengamatan terhadap pertumbuhan alfalfa dilaksanakan dua hari setelah
penanaman, dimana beberapa dari benih alfalfa yang ditanam mulai bertunas. Tunas
alfalfa pada hari kedua setelah tanam mulai tampak antara 1-2 tunas per polybag.
Pertumbuhan normal yang menghasilkan tunas secara serentak terjadi antara 4-7 hari
setelah tanam. Lumut dan jamur tumbuh akibat keadaan media tanah yang selalu
lembab dan adanya bahan-bahan organik tanah yang mendukung pertumbuhan lumut
dan jamur (Gambar 2).
Gambar 2. Keberadaan Lumut dan Jamur pada Media Tanam
Selama penelitian juga dilakukan pengamatan terhadap keberadaan hama
yang berpotensi mengganggu pertumbuhan dan produktivitas alfalfa. Hama-hama
tersebut antara lain kutu daun, belalang (Empoasca solana), ulat (Spodoptera
exigua), kupu-kupu (Colias eurytheme), kumbang (Hippodamia convergens). Hamahama tersebut dapat masuk ke dalam rumah kaca melalui dinding-dinding rumah
kaca. Kutu daun menyerang pada bagian daun alfalfa dan membuat bercak-bercak
kuning pada daun (kemungkinan sel-sel daun yang menjadi mati), dan jika bercakbercak kuning tersebut telah memenuhi seluruh daun maka daun tersebut akan
menjadi kering dan akhirnya rontok. Belalang dan kumbang adalah predator dari
kutu daun. Penanganan terhadap hama cukup dilakukan dengan menghalau hamahama tersebut, memindahkan mereka dari tanaman alfalfa dan tidak sampai
menggunakan pestisida, karena hama-hama (kecuali kutu daun) muncul secara
sporadis. Rhizobium tidak ditemukan pada akar alfalfa, dikarenakan memang tidak
adanya
inokulasi
rhizobium
pada
awal
penelitian
(Gambar
3).
Gambar 3. Akar Alfalfa
Berat Bahan Kering
Berat bahan kering hijauan merupakan salah satu parameter yang diamati di
dalam hal vigoritas tanaman. Uji sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan
pemupukan fosfor tidak memberikan pengaruh yang nyata, sedangkan umur potong
awal memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap berat bahan kering alfalfa
(Tabel 2). Tidak terdapat interaksi antara perlakuan pemupukan fosfor dan umur
potong awal dalam meningkatkan berat bahan kering.
Tabel 2. Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Umur Potong Awal Terhadap
Berat Bahan Kering Alfalfa (gram / polybag)
Umur Potong Awal
(Hari)
60
80
100
Rataan
Pemupukan P (kg/ha)
0
0,98
1,46
2,82
1,76
30
0,88
1,44
3,9
2,07
60
0,95
1,88
2,8
1,88
90
0,84
2,13
3,79
2,25
180
1,45
1,98
3,52
2,32
Rataan
1,02 c
1,78 b
3,37 a
Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh nyata (p<0,05)
Alfalfa yang dipupuk dengan baik tidak hanya membuat produksi bahan
kering per satuan luas lebih besar, namun juga membuat alfalfa dapat tumbuh
kembali dengan lebih baik sesudah pemanenan dilakukan (Hughes, Metcalfe, dan
Johnson, 1952). Whiteman (1980) menyatakan alfalfa responsif terhadap aplikasi
pemupukan khususnya fosfor, namun berdasarkan uji sidik ragam diketahui bahwa
pemupukan fosfor tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap berat
bahan kering alfalfa. Banyak hal yang mempengaruhi produktivitas suatu tanaman,
salah satunya adalah faktor lingkungan. Diduga pH tanah pada media tanam masih
rendah (asam) akibat pemberian kapur yang kurang, sehingga fosfor menjadi tidak
tersedia bagi tanaman akibat terjerap oleh Al dan Fe (lebih lanjut akan dibahas di
bagian bawah). Meskipun pemupukan fosfor tidak memberikan pengaruh nyata
secara statistik namun sebenarnya alfalfa memberikan respon terhadap pemupukan
fosfor. Produksi bahan kering alfalfa cenderung meningkat seiring bertambahnya
level pemberian pupuk SP36, walaupun kenaikannya tidak signifikan secara statistik.
Hutton (1977) menyatakan bahwa legum tanggap terhadap pemberian P dalam
bentuk superphospat.
Perlakuan umur potong awal memberikan pengaruh yang berbeda nyata
(p>0,05) terhadap produksi bahan kering alfalfa. Selisih antara produksi bahan
kering (per polybag) dengan umur potong awal 60 hari dan 80 hari yaitu sekitar 0,76
gram dan nyata secara statistik pada taraf 5%. Kemudian selisih antara produksi
bahan kering dengan umur potong awal 80 hari dan 100 hari yaitu sekitar 1,59 gram
dan nyata secara statistik pada taraf 5% (2 kali lipat selisih umur potong awal 60 hari
dan 80 hari).
Terjadi mobilisasi fosfor dari bagian tanaman yang tua ke bagian tanaman
yang muda sehingga semakin lama umur potong, pembentukan jaringan muda
menyebabkan kebutuhan fosfor meningkat. Hal ini sesuai dengan Gardner (1991)
yang menyatakan sepanjang masa pertumbuhan vegetatif, akar, daun, dan batang
merupakan daerah-daerah pemanfaatan yang kompetitif dalam hal hasil asimilasi.
Proporsi hasil asimilasi yang dibagikan ke ketiga bagian organ ini dapat
mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan produktivitas. Daun muda yang sedang
berkembang memerlukan hasil asimilasi yang diimpornya untuk penyediaan energi
dan kerangka karbon yang diperlukannya untuk tumbuh dan berkembang sampai
daun-daun itu dapat memproduksi hasil asimilasi yang cukup untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri. Setelah daun menjadi dewasa dan mulai menua, daun itu
mungkin gagal memenuhi kebutuhan energinya sendiri karena usia atau penaungan
atau kedua-duanya. Sebelum mati, banyak senyawa anorganik maupun organik
dalam daun dimobilisasi kembali dan ditranslokasikan ke bagian-bagian tanaman
yang lain.
4
3,5
3
2,5
2
1,5
1
0,5
0
Umur Potong Awal 60 Hari
Umur Potong Awal 80 Hari
Umur Potong Awal 100 Hari
Berat Bahan Kering (gram / polybag)
Gambar 4. Berat Bahan Kering
Berat bahan kering alfalfa yang rendah diduga terjadi karena alfalfa (tanaman
C3) tidak mendapatkan cahaya matahari yang cukup banyak untuk melakukan proses
fotosintesis secara optimal, mengingat kondisi cuaca pada saat penelitian (musim
penghujan) cenderung berawan. Menurut Salisbury dan Ross (1995), cahaya adalah
faktor lingkungan yang diperlukan untuk mengendalikan pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan, alasan utamanya tentu saja karena cahaya menyebabkan
fotosintesis.
Kelembaban udara yang tinggi diduga juga mempengaruhi rendahnya berat
bahan kering alfalfa. Kota Bogor terletak pada ketinggian 190 sampai 330 meter dari
permukaan laut. Udaranya relatif sejuk dengan suhu udara rata-rata setiap bulannya
adalah 26°C dan kelembaban udaranya kurang lebih 70% (Wikipedia, 2008). Alfalfa
tumbuh secara ekstensif pada kelembaban udara yang rendah dengan pengairan
(Hughes, Metcalfe, dan Johnson, 1952). Berdasarkan berat bahan kering dengan
mempertimbangkan aspek vigoritas hijauan alfalfa (Medicago sativa L.), maka
perlakuan umur potong awal 100 hari lebih menguntungkan.
Tinggi Vertikal Akhir
Pertumbuhan tanaman dapat dilihat dari ukuran tanaman yang dapat dijadikan
ciri pertumbuhan, salah satunya adalah dapat dilihat dengan satu dimensi yaitu tinggi
tanaman (Lakitan, 1996). Tinggi vertikal akhir tanaman juga merupakan salah satu
parameter di dalam hal vigoritas tanaman, selain berat bahan kering.
Tabel 3. Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Umur Potong Awal Terhadap
Tinggi Vertikal Akhir Alfalfa (cm)
Umur Potong Awal
(Hari)
Pemupukan P (kg/ha)
0
30
60
90
180
Rataan
60
80
100
43,92
48,90
62,64
41,94
49,28
57,79
38,55
49,92
57
43,65
53,33
62,78
45,14
50,69
59,38
42,64 c
50,42 b
59,92 a
Rataan
51,82
49,67
48,49
53,25
51,74
Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh nyata (p<0,05)
Berdasarkan uji sidik ragam diketahui bahwa pemupukan fosfor tidak
memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap tinggi vertikal akhir alfalfa.
Diduga pH tanah pada media tanam masih rendah (asam) akibat pemberian kapur
yang kurang, sehingga fosfor menjadi tidak tersedia bagi tanaman akibat terjerap
oleh Al dan Fe. Akibatnya adalah alfalfa tidak mendapat suplai fosfor dari perlakuan
pemupukan fosfor, padahal menurut Hardjowigeno (1995) pengaruh fosfor terhadap
tanaman amatlah penting karena fosfor merupakan bagian dari inti sel, sangat
penting dalam pembelahan sel dan juga untuk perkembangan jaringan meristem.
Perlakuan umur potong awal memberikan pengaruh yang berbeda nyata
(p>0,05) terhadap tinggi vertikal akhir alfalfa. Umur potong awal 100 hari
memberikan rataan tinggi vertikal akhir alfalfa paling tinggi yaitu 59,92 cm. Namun
alfalfa dengan tinggi 59,92 cm masih terbilang pendek, karena menurut Wheeler
(1950) alfalfa dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian sekitar 2,5 kaki atau 76,2
cm.
Tinggi tanaman berkaitan erat dengan berat kering. Tinggi vertikal akhir
alfalfa yang belum mencapai potensi optimalnya ini juga turut menyebabkan
rendahnya berat kering alfalfa dalam penelitian, karena semakin tinggi tanaman,
maka berat kering cenderung meningkat pula. Tinggi tanaman alfalfa yang terbilang
pendek diduga terjadi karena pH tanah pada media tanam masih rendah (asam)
akibat pemberian kapur yang kurang, sehingga fosfor menjadi tidak tersedia bagi
tanaman akibat terjerap oleh Al dan Fe, padahal pengaruh fosfor terhadap tanaman
amatlah penting karena fosfor merupakan bagian inti sel, sangat penting dalam
pembelahan sel dan juga untuk perkembangan jaringan meristem (Hardjowigeno,
1995). Selain itu alfalfa (tanaman C3) diduga tidak mendapatkan cahaya matahari
yang cukup banyak untuk bertumbuh, mengingat kondisi cuaca pada saat penelitian
(musim penghujan) cenderung berawan. Lakitan (1996) menyatakan bahwa
pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor keliling, dan yang paling primer
tersangkut dalam pertumbuhan tanaman adalah energi penyinaran dalam bentuk
panas dan cahaya.
70
60
50
40
30
20
10
0
Umur Potong Awal 60 Umur Potong Awal 80 Umur Potong Awal 100 Hari
Hari
Hari
Tinggi Vertikal Akhir
Gambar 5. Tinggi Vertikal Akhir
Pemanenan alfalfa dengan memotong alfalfa pada ketinggian 3 cm di atas
permukaan media tanam mengakibatkan ada sebagian alfalfa yang tidak dapat
tumbuh kembali. Hal ini dikarenakan titik tumbuh (epikotil) ikut terpanen, dan
menurut Meyer (1999) pertumbuhan vegetatif berjalan melalui pembelahan sel dan
perluasan di dalam epikotil atau titik tumbuh pada tanaman muda. Oleh karena
pertimbangan daya tumbuh kembali tanaman, maka pada proses pemanenan umur
potong alfalfa 80 dan 100 hari pemotongan alfalfa dilakukan pada ketinggian 5 cm
(terdapat titik tumbuh). Diketahui bahwa sekitar 7 hari setelah panen, alfalfa yang
mendapat perlakuan umur potong awal 80 dan 100 hari dapat tumbuh kembali
dengan cepat dan mencapai ketinggian kurang lebih 10 cm. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Sanchez (1993) bahwa alfalfa memerlukan waktu yang lebih cepat untuk
benar-benar tumbuh kembali setelah dirumput dibandingkan dengan berbagai spesies
yang merambat seperti Desmodium spp, siratro, dan kacang bulu sangat peka
terhadap peranggasan.
Tanaman seperti alfalfa yang menawarkan kemungkinan hasil produksi untuk
hay alfalfa per musim tanam, palatabilitas, dan nilai nutrisi yang tinggi ketika
dipotong pada suatu masa pertumbuhan, maka pentingnya pemotongan atau
pemanenan alfalfa pada waktu yang tepat adalah sudah jelas. Ketika pemanenan
terlambat maka palatabilitas, kandungan protein, dan nilai pakan akan menurun
semua. Namun sebaliknya, jika dipanen terlalu muda, hasil panenan akan rendah dan
vigor (kekuatan) tanaman akan berkurang dengan tumbuhnya gulma dan alfalfa akan
berumur pendek (Hughes et al., 1952). Berdasarkan tinggi vertikal akhir dengan
mempertimbangkan aspek vigoritas hijauan alfalfa (Medicago sativa L.), maka
perlakuan pemupukan fosfor sebanyak 0 kg P / ha dan umur potong awal 100 hari
lebih menguntungkan.
Kandungan Protein Kasar
Kandungan protein kasar yang tinggi merupakan salah satu indikasi bahwa
suatu tanaman pakan memiliki kualitas yang baik. Dalam penelitian ini alfalfa
mengandung rataan protein kasar antara 26 – 29% dengan koefisien variasi 10%. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Hanson dan Barnes (1973) bahwa alfalfa memproduksi
lebih banyak protein per hektar daripada tanaman lain untuk ternak. Sebagai
perbandingan, lamtoro (Leucaena spp) yang merupakan hijauan pakan yang sering
digunakan oleh para peternak, mempunyai kandungan protein kasar sekitar 18,75%.
Flemingia macrophylla yang merupakan tanaman legum perdu mempunyai
kandungan protein kasar antara 11-24%.
Tabel 4. Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Umur Potong Awal Terhadap
Kandungan Protein Kasar Alfalfa (% dari Berat Bahan Kering)
Umur Potong Awal
(Hari)
Pemupukan P (kg/ha)
0
60
180
Rataan
60
80
100
Rataan
27,4
23,9
29,7
27,0
28,0
24,8
28,3
27,0
30,5
29,2
28,8
29,5
28,6
26,0
29
Berdasarkan uji sidik ragam diperoleh bahwa pemupukan dan umur potong
tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap kandungan protein kasar
alfalfa. Rataan kandungan protein kasar alfalfa cenderung untuk meningkat bila
dipupuk dengan level fosfor yang semakin meningkat, walaupun kenaikannya tidak
signifikan. Respon alfalfa ketika diberi pupuk dengan 60 kg P/ha sangat kecil yaitu
protein kasar hanya bertambah sekitar 0,06% dari kontrol. Pemberian pupuk 180 kg
P/ha hanya menambah protein kasar alfalfa sekitar 2,5% dari kontrol dan tidak
berbeda nyata secara statistik.
Rataan kandungan protein kasar alfalfa pada saat umur potong awal 60 hari
sebesar 28,6% cenderung menurun pada saat umur potong awal 80 hari yaitu menjadi
26,0%, dan kemudian cenderung naik lagi menjadi 29% pada saat umur potong awal
100 hari meskipun tidak berbeda nyata secara nyata secara statistik. Perubahan
kandungan protein dalam kondisi optimal dapat disebabkan karena perbedaan
kandungan unsur hara tanah terutama nitrogen dan umur tanaman. Perubahan umur
tanaman dari muda ke umur tanaman lebih tua pada umumnya menurunkan
kandungan protein hijauan. Hal ini terjadi karena adanya mobilisasi nitrat dari
jaringan tua ke jaringan lebih muda, namun pada penelitian ini ternyata perbedaan
umur dari 60-100 hari tidak menunjukkan fenomena perubahan protein secara nyata
menurut analisis statistik.
Berdasarkan tabel 4 terlihat bahwa alfalfa (Medicago sativa L.) termasuk
tanaman lambat mengalami penuaan, ini terbukti dari tidak adanya penurunan
kandungan protein kasar meskipun umur potong awal ditambah. Berarti jika alfalfa
dibudidayakan dengan orientasi untuk memproduksi benih (memerlukan umur lebih
lama, 100 hari), maka produk yang dihasilkan yaitu benih dan sekaligus hijauan
makanan ternak yang berkualitas.
Kandungan Serat Kasar
Tabel 5. Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Umur Potong Awal Terhadap
Kandungan Serat Kasar Alfalfa (% dari Berat Bahan Kering)
Umur Potong Awal
(Hari)
Pemupukan P (kg/ha)
0
60
180
Rataan
60
80
100
Rataan
24,4
24,35
24,88
24,54
24,49
23,93
23,77
24,06
23,44
25,46
23,46
24,12
24,11
24,58
24,04
Rataan kandungan serat kasar alfalfa dalam penelitian ini yaitu sebesar 24%.
Perlakuan pemupukan fosfor dan umur potong awal tidak memberikan pengaruh
yang nyata terhadap kandungan serat kasar alfalfa.
Berdasarkan analisis kandungan serat kasar maka dapat disimpulkan bahwa
perlakuan pemupukan fosfor sebanyak 0 kg P / ha dan umur potong 60 hari lebih
menguntungkan. Secara kimiawi, dinding sel serat terutama adalah selulosa.
Kebanyakan dinding sel terdiri atas sejumlah besar persentase dari lignin.
Kandungan yang lain terdiri dari jumlah yang kecil termasuk tannin, dyes, dan
bermacam larutan atau komponen yang siap diubah. Namun serat yang yang baik
adalah yang mendekati selulosa murni, sebuah polimer kompleks dari residu rantai
glukosa (C6H10O5)n dari panjang molekular yang besar (Janick et al, 1969). Secara
fisiologis pembentukan serat kasar dan proses lignifikasi terkait dengan laju
fotosintesis dan akumulasi bahan kering.
Berdasarkan tabel 5 terlihat bahwa alfalfa (Medicago sativa L.) termasuk
tanaman lambat mengalami penuaan, ini terbukti dari tidak adanya kenaikan
kandungan serat kasar meskipun umur potong awal ditambah. Hal ini juga
menunjukkan bahwa alfalfa merupakan hijauan makanan ternak ruminansia yang
berkualitas tinggi karena mempunyai kandungan serat kasar yang tergolong rendah
yaitu hanya berkisar 24%.
Pembahasan Umum Penelitian
Hal pertama yang menyebabkan pemupukan SP36 tidak berpengaruh nyata
terhadap semua peubah yang diamati adalah diduga masih rendahnya dosis kapur
untuk mencapai pH tanah yang diharapkan yaitu sampai 6. Menurut Plaster (1992)
seperti pupuk ammonia, pupuk kandang dapat menurunkan pH. Kira-kira 1 ton kapur
akan menghilangkan keasaman yang dihasilkan dari 10 ton pupuk kandang. Jadi
dengan pemberian pupuk kandang sebesar 500 ton / ha, maka seharusnya dilakukan
penambahan kapur lagi sebanyak 50 ton / ha. Pemberian kapur dolomite sebanyak 10
ton / ha dalam penelitian ini dilakukan hanya untuk menaikkan pH tanah latosol dari
4 sampai mendekati pH tanah netral. Kekurangan kapur inilah yang membuat tanah
tetap asam karena pengaruh pupuk kandang yang diberikan, sehingga pH tanah yang
netral untuk pertumbuhan alfalfa yang optimal tidak tercapai. Pada tanah yang masih
asam, terjadilah fiksasi fosfat yang akhirnya menyebabkan pemupukan SP36 tidak
berpengaruh nyata terhadap produksi bahan kering, tinggi tanaman, kandungan
protein kasar, dan kandungan serat kasar.
Reaksi fiksasi fosfor atau jerapan (absorbsi) terjadi oleh ion-ion Ca2+, Fe3+,
dan Al3+. Jerapan adalah pelekatan suatu zat padat pada permukaan koloid
(Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1991). Unsur fosfor (P) diserap oleh
tanaman dalam bentuk orthophosphat primer (H2PO4-) dan dalam bentuk
orthophosphat skunder (HPO42-) pada tanah alkali. Orthophosphat merupakan anion
dan dapat mengalami reaksi kimia dengan Ca2+, Fe3+, dan Al3+. Jika reaksi ini terjadi
maka fosfat tidak akan lama tersedia di dalam tanah. Reaksi ini dinamakan reaksi
fiksasi fosfor (Sopher et al, 1982). Semakin tinggi dosis pemupukan fosfor, maka
semakin tinggi pula peningkatan jerapan terhadap fosfor yang diberikan, sehingga
perlakuan pemupukan fosfor (SP36) terhadap produksi bahan kering, tinggi tanaman,
kandungan protein kasar, dan kandungan serat kasar alfalfa menjadi tidak berbeda
nyata. Hal ini sesuai dengan penjelasan yang diberikan oleh Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, (1991) bahwa ion-ion logam dapat membentuk suatu jerapan
antara senyawa organik dan permukaan liat. Peningkatan jerapan dengan rantai
organik yang panjang ditimbulkan oleh gaya Van der walls dan menjadi lebih sangkil
bila ukuran molekul bertambah.
Hal kedua yang menyebabkan pemupukan SP36 tidak berpengaruh nyata
terhadap semua peubah yang diamati diduga karena pH tanah yang masih rendah
akibat pemberian kapur yang kurang, sehingga banyak fosfor yang tidak tersedia
akibat terjerap oleh Al dan Fe. Sebenarnya pupuk kandang sendiri memiliki
kandungan P2O5 yang sangat rendah, yaitu hanya sekitar 4 pounds / ton pupuk
kandang, namun pupuk kandang dapat membantu mencegah fosfor dari proses
fiksasi dalam tanah, dan membuat fosfor menjadi lebih tersedia bagi tanaman
(Plaster, 1992). Keberadaan pupuk kandang (500 ton / ha) pada awal pemberian
menyebabkan pH tanah menjadi rendah atau asam, namun seiring dengan
berjalannya waktu pH tanah akan meningkat dan tanah menjadi basa. Kelarutan
fosfat dalam tanah sangat rendah terutama pada pH rendah (Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, 1991), namun dalam keadaan basa (pH tanah tinggi), akibat
pengaruh pemberian pupuk kandang, fosfat potensial (Tabel 6) dalam tanah dapat
digunakan dan menyebabkan tanah menjadi kaya akan unsur fosfor sehingga
pengaruh pemupukan SP36 menjadi tidak berbeda nyata terhadap produksi bahan
kering. Apalagi fosfor (SP36) pada awal pemberian pupuk kandang sudah banyak
Tabel 6. Ciri Fisik dan Kimia Tanah Latosol Darmaga
Analisis*
PH H2O (1 : 1)
Metode*
Kandungan*
Penilaian**
pH meter
4,56
Masam
KCl (1 : 1)
C-organik (%)
N-total (%)
P-tersedia (ppm)
P-total (ppm)
Basa-basa
3,61
Walkley dan Black
2,15
Sedang
Kjeldahl
0,23
Sedang
Bray-1
4,9
Sangat Rendah
HCl 25%
133,0
Sangat Tinggi
N NH4 Oac pH 7,0
Ca-dd (me/100g)
2,25
Mg-dd (me/100g)
1,58
K-dd (me/100g)
0,46
KTK (me/100g)
16,36
KB (%)
29,40
Al-dd (me/100g)
N KCl
Kejenuhan Al (%)
H-dd (me/100g)
Unsur mikro
2,42
33,47
N KCl
0,28
0,05 N HCl
Fe (ppm)
15,88
Cu (ppm)
0,52
Zn (ppm)
3,88
Mn (ppm)
43,80
Tekstur
Pipet
Pasir (%)
4,90
Debu (%)
19,43
Liat (%)
75,67
Kelas Tekstur = Liat
Keterangan : * Arios (2005)
** Pusat Penelitian Tanah (1983)
Rendah
Tinggi
yang terjerap oleh ion-ion Ca2+, Fe3+, dan Al3+ seperti penjelasan yang sudah
diberikan sebelumnya. Lakitan (1996) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman
dipengaruhi oleh faktor keliling, dan yang paling primer tersangkut dalam
pertumbuhan tanaman adalah tanah yang member hara dan kelembaban disamping
sebagai penyokong secara mekanis
Faktor ketiga yang menyebabkan pemupukan fosfor (P) tidak berpengaruh
nyata terhadap semua peubah yang diamati adalah bentuk pupuk SP36 pada saat
diberikan. Pupuk SP36 diberikan dalam bentuk serbuk, yang akan cepat habis
ketersediaannya di dalam tanah apalagi ditambah dengan adanya pencucian oleh
aktivitas penyiraman. Seharusnya pupuk SP36 diberikan dalam bentuk granule yang
tidak mudah habis atau tercuci oleh aktivitas penyiraman.
Hal keempat yang menyebabkan fosfor (P) tidak berpengaruh nyata terhadap
semua peubah yang diamati adalah penempatan pupuk. Tempat yang tepat dalam
aplikasi pupuk akan menyediakan bagi tanaman pasokan nutrien yang cukup. Metode
yang paling baik ditentukan beberapa faktor, seperti tanaman seperti apa yang akan
ditanam, tipe tanah, tingkat kesuburan tanah, dan sesuai dengan pilihan atau
keinginan petani (Sopher et al, 1982). Penyiapan media tanam dengan cara diaduk
bertujuan agar pupuk dapat merata di setiap bagian dari polybag. Namun ternyata
setelah melihat pemupukan SP36 yang tidak berpengaruh nyata maka disimpulkan
metode penempatan pupuk yang dipakai kurang tepat. Penempatan pupuk untuk
penelitian seperti ini perlu mempertimbangkan penggunaan polybag sebagai tempat
media tanam dan pencucian unsur hara karena aktivitas penyiraman. Penempatan
pupuk SP36 (granule) pada media tanam dengan kedalaman 1-2 cm dari permukaan
media tanam (tanpa diaduk) dapat menjadi pilihan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Interaksi antara pemupukan P dan umur potong awal tidak signifikan
pengaruhnya terhadap produksi bahan kering, pertumbuhan, kandungan protein
kasar, dan kandungan serat kasar alfalfa. Produksi bahan kering dan pertumbuhan
terbaik diperoleh dari perlakuan pemotongan 100 hari, sedangkan kandungan protein
kasar dan serat kasar hijauan alfalfa tidak dipengaruhi oleh kedua perlakuan.
Saran
Perlu penelitian lebih lanjut tentang pengaruh frekuensi pemanenan setelah
pemotongan awal 100 hari terhadap produksi dan kualitas alfalfa (Medicago sativa
L.).
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Bapa di dalam nama Tuhan
Yesus Kristus atas kasih setia, anugerah kekuatan, rencana, dan penghiburan dari
Roh Kudus sehingga penelitian dan skripsi ini dapat diselesaikan pada waktuNya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.
Agr. selaku dosen pembimbing utama yang telah banyak memberikan bimbingan,
pengarahan, motivasi, dan saran sejak penulis menyusun rencana penelitian hingga
terselesainya skripsi ini. Juga, kepada Ir. Ignatius Kismono, MS. selaku dosen
pembimbing anggota sekaligus dosen pembimbing akademik yang telah banyak
membantu dan mendukung selama penulis menjadi mahasiswa di IPB. Selain itu
ucapan terima kasih disampaikan kepada Ir. Sudarsono Jayadi, M.Sc. Agr. dan Ir. Sri
Rahayu, M.Si yang telah menguji, mengkritik, dan memberikan sumbangan
pemikiran serta masukan dalam penulisan skripsi ini.
Bapak dan Ibu yang senantiasa berdoa, mendukung, dan menasehati dengan
penuh kasih kepada penulis. Kakak Rangga dan adik Tera yang telah banyak
membantu penulis di dalam tugas akhir. Teman-teman penelitian, Irmayati dan Heri
Irawan, Teman-teman INTP angkatan 39, dan teman-teman POPK yang saling
mendukung satu dengan yang lainnya. Para pemimpin GKKD, kakak-kakak, temanteman, dan adik-adik dalam Pelayanan Mahasiswa Darmaga YoNM yang selalu
menjaga dan mendukung penulis di dalam doa.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh civitas akademika
Fakultas Peternakan IPB. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua yang
menggunakannya. Tuhan Yesus memberkati.
Bogor, Desember 2008
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Allen, O. N. and E. K. Allen. 1981. The Leguminosae. The University of Wisconsin
Press. Wisconsin.
Arios, J. R. 2005. Pengaruh pemberian pupuk magnesium (Mg) terhadap kadar
klorofil daun dan serapan hara Mg tanaman kacang tanah (Arachis hypogea
L.) pada podsolik tanah jagung dan latosol Darmaga. Skripsi. Departemen
Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Brady, N. C. dan R. R. Weil. 2002. The Nature and Properties of Soils. Pearson
Education Inc. Upper Saddle River. New Jersey.
Campbell, C. A. 1978. Soil Organic Matter, Nitrogen, and Fertility. Dalam: M.
Schnitzer and S. U. Khan (Editor). Soil Organic Matter. Elsevier Scientific
Publishing Company. New York.
Cheeke, P. R. 2005. Applied Animal Nutrition, Feeds and Feeding. 3rd Edition.
Pearson Education Inc. Oregon State University. Oregon.
Clements, R. J., R. M. Jones, J. Frame, J. F. L. Charlton, A. S. Laidlaw. 2008.
Tropicalforages. http://www.tropicalforages.info/key/Forages/Media/Html/
Medicago_sativa.htm. [21 Oktober 2008].
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 1991. Kimia Tanah. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Jakarta.
Duke, J. A. 1983. Medicago sativa L. http://www.hort.purdue.edu/newcrop.html. [6
April 2006].
Feniara. 2001. Efektifitas cendawan mikoriza arbuskula (CMA), pupuk P dan N
terhadap pertumbuhan dan produksi rumput gajah (Pennisetum purpureum
Schumach). Skripsi. Jurusan Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Fenwich, G. R., R. L. Richards and S. Khokar. 1996. Agri-food Quality. An
Interdisciplinary Approach. The Royal Society of Chemistry. Cambridge.
Gardner, F. P., R. B. Pearce and R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.
Universitas Indonesia. Jakarta.
Gohl, B. 1981. Tropical Feeds. Food and Agriculture Organization of The United
Nations. Roma.
Golob, P., G. Farrell, J. E. Orchard. 2002. Crop Post-Harvest : Science and
Technology. Volume I Principles and Practice. Blackwell Publishing
Company. National Resources Institute. United Kingdom.
Hakim, N. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah.Universitas Lampung. Lampung.
Hanson, C. H. and D. K. Barnes. 1973. Alfalfa. Dalam: Heath, M. E., D. S. Metcalfe
and R. F. Barnes (Editor). Forages The Science of Grassland Agriculture. 3rd
Edition. The Iowa State University Press / Ames. Iowa.
Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta.
Hughes, H. D., M. E. Heath and D. S. Metcalfe. 1951. Forages The Science Of
Grassland Agriculture. The Iowa State College Press. Iowa.
Hughes, H. D. D. S. Metcalfe and I. J. Johnson. 1952. Crop Production Principles
and Practices. The MacMillan Company. New York.
Hutton, E. M., 1977. The role of legumes in pastures. Proc. Grassld. Soc. South
Africa. 12: 13-17.
Ildis, 2005. Alfalfa. http://en.wikipedia.org/wiki/Alfalfa. [6 April 2006].
Janick, J. R. W. Schery, F. W. Woods and V. W. Ruttan. 1969. Science An
Introduction To World Crops. W. H. Freeman and Company. San Fransisco.
Karti, P. D. M. H. 2004. Budidaya Hijauan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kellogg, C. E. 1949. Preliminary Suggestions For The Classification And
Nomenclature Of Great Soil Groups In Tropical And Equatorial Regions.
Dalam: A. Young (Editor). Tropical Soils And Soil Survey. Cambridge
University Press. London.
Kononova, M. M. 1966. Soil Organic Matter. Pergamon Press Ltd. London.
Kowalenko, C. G. 1978. Organic Nitrogen, Phosphorus, and Sulphur in Soils. Dalam
: M. Schnitzer and S. U. Khan (Editor). Soil Organic Matter. Elsevier
Scientific Publishing Company. New York.
Kuswandi. 1993. Pengapuran Tanah Pertanian. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Lakitan, B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. PT Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Lucas, R., H. E. Kirschner and B. L. Corley. 2006. The Benefits of alfalfa.
http://www.pjstory.com/Alfalfa.htm. [6 April 2006].
Maryani, Y. 2000. Pengaruh inokulasi cendawan mikoriza arbuskula terhadap
pertumbuhan dan produksi rumput tropika. Skripsi. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mengel, K. and E. A. Kirkby. 1987. Principles of Plant Nutrition. International
Potash Institute. Worblaufen-Bern.
Meyer, D. 1999. Alfalfa. http://www.ext.nodak.edu/extpubs/plantsci/hay.htm. [6
April 2006].
Palungkun, R. dan A. Budiarti. 2004. Sweet Corn Baby Corn. Cetakan ke-10. PT
Penebar Swadaya. Cimanggis. Depok.
Plaster, E. J. 1992. Soil Science and Management. Delmar Publisher Inc. New York.
Poespodarsono, S. 1988. Dasar-Dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Pusat Antar
Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Purwanto, I. 2007. Mengenal Lebih Dekat Leguminoseae. Cetakan ke-5. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta.
Quiquampoix, H. and D. Mousain. 2005. Enzymatic Hydrolysis of Organic
Phosphorus. Dalam : Turner, B. L., E. Frossard, and D. S. Baldwin (Editor).
Organic Phosphorus in the Environment. CABI Publishing. Oxfordshire.
Rowell, D. L. 1994. Soil Science Methods And Applications. Longman Group UK
Limited. England.
Russell, E. W. 1961. Soil Conditions and Plant Growth. Farrold and Sons Ltd.
Norwich.
Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 3. Terjemahan: D.
R. Lukman dan Sumaryono. Penerbit ITB. Bandung.
Sanchez, A. P. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Penerbit ITB. Bandung.
Schaetzl, R. J. and S. Anderson. 2005. Soil Genesis and Geomorphology. Cambridge
University Press. New York.
Schnitzer, M. and S. U. Khan. 1978. Soil Organic Matter. Elsevier Scientific
Publishing Company. New York.
Sinha, S.K. 1977. Food Legumes : Distribution, Adaptibility, and Biology of Yield.
FAO. Roma.
Skerman, P. J. 1977. Tropical Forage Legumes. FAO. Roma.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah.Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Sopher, C. D and J. V. Baird. 1982. Soil and Soil Management. 2nd Edition. Reston
Publishing Company. Reston. Virginia.
Sudaro, Y. dan A. Siriwa. 1997. Ransum Ayam dan Itik. Penebar Swadaya. Depok.
Tafal, Z. B. 1981. Ranci Sapi. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.
Taylor, W. E. 1924. Soil Culture and Modern Farm Methods. 5th Edition. Deere &
Company. Illinois.
Turner, B. L., E. Frossard and D. S. Baldwin. 2005. Organic Phosphorus in the
Environment. CABI Publishing. Oxfordshire.
Walksman, S. A. 1968. Organic Matter and Soil Fertility. North-Holland Publishing
Company. Amsterdam.
Wheeler, W. A. 1950. Forage and Pasture Crops. D. Van Nostrand Company Inc.
Princeton. New Jersey.
Whiteman, P. C. 1980. Tropical Pasture Science. Oxford University Press. Oxford.
Wikipedia.2008.Bogor.http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Bogor#Iklim.2C_topografi.
2C dan_geografi. [21 Oktober 2008].
Wudianto, R. 1988. Membuat Setek, Cangkok, dan Okulasi. PT. Penebar Swadaya.
Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Cara Kerja Analisis N Pada Tanaman Metode Kjeldahl
1.
Timbang sample 0,2 – 0,5 gram, kemudian masukan ke dalam botol destruksi
2.
Tambahkan Selenium mature sebanyak 0,2 gram dan 3 ml H2SO4
3.
Masukan botol kea lat pemanas (destruksi), kemudian atur tombol skala pada
angka 9 dan alat tersebut akan menunjukkan suhu 1210C
4.
Kemudian biarkan selama 1 jam sampai larutan menjadi bening dan botol
tersebut diangkat dan didinginkan
5.
Tambahkan air aquades sebanyak 25 ml
6.
Kemudian titrasi dengan menggunakan alat Kjeltex secara automatic
7.
Buat larutan Normalitas HCl 0,1 N
8.
Larutan NaOH teknis 3,2 kg / 8 liter aquadest
9.
Buat larutan H3BO3 (80 gram H3BO3 dalam 4 liter aquadest kemudian panaskan
dan dinginkan. Buat larutan Metyred dan Brocress al green dengan perbandingan
0,066 gram dan 0,099 gram dalam etanol 100 ml, kemudian larutan dicampur
dengan larutan H3BO3 sebanyak 80 ml dengan pH 5,0)
10. Sebelumnya buat dulu blangko (tanpa sample dengan cara no.2 sampai dengan
no.5)
Cara Perhitungan : % N = Abs – Blangko X 14 X N. HCl X 100%
Berat Sampel
Lampiran 2. Cara Kerja Analisis Serat Kasar
1.
Haluskan sample (digiling dengan menggunakan blender)
2.
Timbang sample sebanyak 2 gram. Ekstraksi lemak dengan menggunakan
metode Soklet
3.
Pindahkan sample ke dalam erlenmeyer
4.
Tambahkan 200 ml larutan H2SO4, tutup dengan pendingin balik
5.
Didihkan selama 30 menit, kadang digoyangkan
6.
Saring suspensi dengan kertas saring, bilas residu yang tertinggal dengan
aquadest (air mendidih)
7.
Pindahkan secara kuantitatif residu dari kertas saring ke dalam erlenmeyer
dengan menggunakan spatula, sisa dicuci dengan 200 ml larutan NaOH
mendidih sampai semua residu masuk ke dalam erlenmeyer
8.
Didihkan dengan pendingin balik sambil digoyang selama 30 menit
9.
Saring kembali dengan kertas saring yang telah diketahui beratnya
10. Cuci lagi residu dengan air mendidih, kemudian dengan alkohol 95% sekitar 15
menit
11. Keringkan kertas saring dengan isinya pada 1100C sampai berat konstan, dingin
dalam desikator dan timbang
Lampiran 3. Berat tanah 1 hektar (ha)
Berat tanah 1 ha
= Kedalaman lapis tanah olah X 1 hektar X Berat Jenis tanah
= 20 cm X 100000000 cm2 X 1 g/cm3
= 2000000000 gram
= 2000000 kg
Lampiran 4. Berat 1 buah Polybag (kg)
Berat 1 buah polybag
= 5 kg
= 4 kg tanah Latosol + 1kg pupuk kandang
Lampiran 5. Berat pupuk Urea (gram / polybag)
Nitrogen (N) yang diberikan sebanyak 80 kg N / ha, maka untuk setiap
polybag (5 kg) dibutuhkan N
= 5 kg
X 80 kg N / ha
2.106 kg
= 0,0002 kg N / polybag
= 0,2 g N / polybag
Berat pupuk Urea (CO(NH3)2)
= 62 X 0,2 g N / polybag
28
= 0,17 g / polybag ≈ 0,2 g Urea / polybag
Lampiran 6. Berat pupuk KCl (gram / polybag)
Kalium (K) yang diberikan sebanyak 30 kg K / ha, maka untuk setiap polybag
( 5 kg) dibutuhkan K
= 5 kg
X 30 kg K / ha
6
2.10 kg
= 0,000075 kg K / polybag
= 0,075 g K / polybag
Berat pupuk KCl
= 74,5 X 0,075 g K / polybag
39
= 0,143 g / polybag ≈ 0,15 g KCl / polybag
Lampiran 7. Berat kapur Dolomit (gram / polybag)
Untuk tanah yang memiliki pH 4, maka jumlah kapur Dolomit yang
dibutuhkan sebanyak 10,24 Ton / ha (Kuswandi, 1993). Kapur yang diberikan
sebanyak 10 Ton / ha, maka untuk setiap polybag (5 kg) dibutuhkan kapur
= 5 kg X 1.107 g / ha
2.106 kg
= 25 g Dolomit / polybag
Lampiran 8. Berat pupuk SP36 (gram / polybag)
Pupuk SP36 mengandung 36% P2O5. Untuk perlakuan dengan pemupukan
fosfor (P) 30 kg P / ha maka, jumlah SP36 yang diberikan
= 100 . 142 X 30 kg P / ha
36. 62
= 190, 86 kg SP36 / ha
Untuk setiap polybag (5 kg) maka, jumlah SP36 yang diberikan
= 190,86 kg SP36 / ha X 5 kg
2.106 kg
= 0,00048 kg SP36 / ha
= 0,48 g SP36 / ha ≈ 0,5 g SP36 / ha
Untuk perlakuan 60, 90, dan 180 kg P / ha, jumlah SP36 yang diberikan
untuk setiap polybag (gram) secara berturut-turut adalah 1, 1,5 dan 3 gram SP36 / ha.
Lampiran 9. Jumlah tanaman alfalfa (Medicago sativa L.) per polybag
Jika 1 acre butuh 1 pound biji alfalfa, maka 1 ha butuh
=
1 X 1 pound biji alfalfa
0,41
= 2,44 pound biji alfalfa
Jika 1 pound bji alfalfa terdapat sekitar 220000 biji alfalfa, maka 1 ha butuh
= 2,44 pound X 220000 biji / pound
= 536800 biji alfalfa
Jika 1 ha butuh biji alfalfa, maka 1 polybag (5 kg) butuh
=
5 kg X 536800 biji
2.106 kg
= 1,34 biji
≈ 1 biji (tanaman) alfalfa / polybag
Dengan berbagai macam kendala yang ada, seperti kelembaban Darmaga
(Bogor) yang relatif tinggi, maka untuk 1 acre dibuhkan 15 pound biji alfalfa, ini
berarti jumlah biji yang harus ditanam untuk mendapatkan 1 tanaman alfalfa /
polybag yaitu sebanyak 15 biji alfalfa.
Lampiran 10. Uji Anova Bahan Kering
The GLM Procedure
Dependent Variable: respon respon
Source
DF
Sum of
Squares
Model
14
920.687723
65.763409
Error
45
393.773350
8.750519
Corrected Total
59
1314.461073
Mean Square
F Value
Pr > F
7.52
<.0001
R-Square
Coeff Var
Root MSE respon Mean
0.700430
14.24670
2.958128
Source
DF
faktor_A
4
faktor_B
2
faktor_A*faktor_B 8
7.734333
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
39.9577567
824.4962533
56.2337133
9.9894392
412.2481267
7.0292142
1.14
47.11
0.80
0.3492
<.0001
0.6030
Source
DF
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
faktor_A
faktor_B
faktor_A*faktor_B
4
2
8
39.9577567
824.4962533
56.2337133
9.9894392
412.2481267
7.0292142
1.14
47.11
0.80
0.3492
<.0001
0.6030
Lampiran 11. Uji Lanjut Bahan Kering
Duncan Grouping
Mean
N
faktor_B
A
12.4500
20
B3
B
7.3600
20
B2
C
3.3930
20
B1
Lampiran 12. Anova Tinggi Tanaman
The GLM Procedure
Dependent Variable: respon respon
Source
DF
Sum of
Squares
Mean Square
Model
14
3283.665956
234.547568
Error
45
3104.066765
68.979261
Corrected Total
59
6387.732721
F Value Pr > F
3.40
R-Square
Coeff Var
Root MSE respon Mean
0.514058
16.42143
8.305375
Source
faktor_A
faktor_B
faktor_A*faktor_B
Source
faktor_A
faktor_B
faktor_A*faktor_B
DF
Type I SS
4
2
8
313.931679
2688.742964
280.991314
0.0009
50.57646
Mean Square F Value
Pr > F
78.482920
1344.371482
35.123914
0.3509
<.0001
0.8430
DF
Type III SS
Mean Square
4
2
8
313.931679
2688.742964
280.991314
78.482920
1344.371482
35.123914
Lampiran 13. Uji Lanjut Tinggi Tanaman
Duncan Grouping
Mean
N
faktor_B
A
58.822
20
B3
B
50.482
20
B2
C
42.426
20
B1
1.14
19.49
0.51
F Value Pr > F
1.14
19.49
0.51
0.3509
<.0001
0.843
Lampiran 14. Uji Anova Protein Kasar
The GLM Procedure
Dependent Variable: respon respon
Source
DF
Sum of
Squares
Model
14
Error
Corrected Total
Mean Square F Value
Pr > F
282.2452733
20.1603767
0.0169
45
391.7004250
8.7044539
59
673.9456983
R-Square
Coeff Var
0.418795
10.64327
Source
DF
faktor_A
faktor_B
faktor_A*faktor_B
Source
faktor_A
faktor_B
faktor_A*faktor_B
4
2
8
2.32
Root MSE respon Mean
2.950331
Type I SS
27.72017
Mean Square F Value
Pr > F
13.7625725
83.3114867
7.5715012
0.1957
0.0003
0.5486
55.0502900
166.6229733
60.5720100
1.58
9.57
0.87
DF
Type III SS
Mean Square F Value
Pr > F
4
2
8
55.0502900
166.6229733
60.5720100
13.7625725
83.3114867
7.5715013
0.1957
0.0003
0.5486
Lampiran 15. Uji Lanjut Protein Kasar
Duncan Grouping
Mean
N
faktor_B
A
A
A
29.0295
20
B3
28.7625
20
B1
B
25.3685
20
B2
1.58
9.57
0.87
Lampiran 16. Uji Anova Serat Kasar
The GLM Procedure
Dependent Variable: respon respon
Source
DF
Sum of
Squares
Mean Square
Model
14
18.94374000
1.35312429
Error
45
21.07422500
0.46831611
Corrected Total
59
40.01796500
F Value Pr > F
2.89
R-Square
Coeff Var
Root MSE respon Mean
0.473381
2.816372
0.684336
Source
DF
Type I SS
faktor_A
faktor_B
faktor_A*faktor_B
4
2
8
4.41550667
0.68419000
13.84404333
Source
DF
Type III SS
faktor_A
faktor_B
faktor_A*faktor_B
4
2
8
4.41550667
0.68419000
13.84404333
0.0035
24.29850
Mean Square F Value
1.10387667
0.34209500
1.73050542
2.36
0.73
3.70
Mean Square F Value
1.10387667
0.34209500
1.73050542
2.36
0.73
3.70
Pr > F
0.0678
0.4873
0.0022
Pr > F
0.0678
0.4873
0.0022
Lampiran 17. Anova Interaksi Serat Kasar
The GLM Procedure
Dependent Variable: respon respon
Source
DF
Sum of
Squares
Model
14
Error
Corrected Total
Mean Square F Value
Pr > F
18.94374000
1.35312429
0.0035
45
21.07422500
0.46831611
59
40.01796500
2.89
R-Square
Coeff Var
Root MSE respon Mean
0.473381
2.816372
0.684336
24.29850
Source
DF
Type I SS
Mean Square F Value Pr > F
faktor_AB
14
18.94374000
1.35312429
Source
DF
Type III SS
Mean Square
faktor_AB
14
18.94374000
1.35312429
2.89
0.0035
F Value Pr > F
2.89
0.0035
Lampiran 18. Uji Lanjut Interaksi Serat Kasar
Duncan Grouping
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
C
Mean
N
faktor_AB
25.4625
4
A5B2
24.8825
4
A1B3
24.8825
4
A2B1
24.8825
4
A2B3
24.4875
4
A3B1
24.4875
4
A4B1
24.4000
4
A1B1
24.3475
4
A2B2
24.3475
4
A1B2
23.9300
4
A4B2
23.9300
4
A3B2
23.7675
4
A3B3
23.7675
4
A4B3
23.4600
4
A5B3
23.4425
4
A5B1
Lampiran 19. Denah Penelitian
MEJA 1
MEJA 2
01. A2B2
02. A2B3
03. A1B3
31. A1B1
32. A3B2
33. A5B3
04. A5B2
05. A4B2
06. A5B3
34. A1B1
35. A4B1
36. A4B3
07. A4B3
08. A5B1
09. A2B3
37. A3B3
38. A4B3
39. A1B3
10. A3B1
11. A2B1
12. A3B1
40. A4B2
41. A5B1
42. A2B1
13. A3B2
14. A5B3
15. A3B1
43. A1B3
44. A4B3
45. A3B1
16. A2B2
17. A1B2
18. A1B1
46. A2B1
47. A4B1
48. A5B1
19. A5B2
20. A2B3
21. A3B3
49. A2B1
50. A5B2
51. A4B2
22. A4B1
23. A5B2
24. A3B2
52. A4B1
53. A3B3
54. A1B1
25. A1B2
26. A4B2
27. A2B2
55. A2B3
56. A1B2
57. A1B3
28. A3B2
29. A5B1
30. A1B2
58. A3B3
59. A2B2
60. A5B3
Download