WAHDAT AL ADYAN DAN RELEVANSINYA DENGAN PLURALISME AGAMA Skripsi : Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam ( S.Pd.I) Oleh: FAJRI KHOIRULLAH 105011000053 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 ABSTRAK Fajri Khoirullah, Wahdat al-Adyan dan Relevansinya dengan Pluralisme Agama, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Desember 2010 Latar belakang pemilihan judul tersebut adalah karena ketertarikan penulis pada dua konsep pemikiran yang kerap menuai polemik dan kontroversi yakni wahdat al-Adyan dan Pluralisme agama, yang keduanya sama-sama membahas tentang titik temu agama-agama. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan deskripsi yang jelas, sistematis, obyektif, dan komperehensif tentang kedua konsep tersebut, melalui pendekatan sosio-historis dan menganalisis landasan epistemologisnya sehingga dapat diketahui relevansi teologis dan relevansi sosio-humanis yang terkandung pada masing-masing konsep tersebut. Disamping itu, penulis juga menyertai penelitian ini dalam perspektif syariat (fikih), agar diperoleh keseimbangan (proporsionalitas) antara tasawuf, filsafat dan syariat. Metode pembahasan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan teknik analisis komparasional. Selain itu metode pembahasan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan sosio-historis dan epistemologis yakni Al-Hallaj, Ibn Araby dan John Hick. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh adanya relevansi sosiologis-historis berdasarkan tujuannya dalam meminimalisir konflik yang terjadi pada masa dilahirkannya kedua konsep tersebut. Adapun relevansi epistemologisnya, maka kedua konsep ini bertemu pada teori filsafat monisme Plato dan Aristoteles. Monisme adalah keyakinan, bukan hanya bahwa segala yang ada merupakan suatu kesatuan, melainkan pada akhirnya segala-galanya adalah satu, segenap kemajemukan dan perkembangannya adalah kosong (ilusi/maya), eksistensieksistensi zahir tersebut merupakan emanasi dari yang satu. Monisme berdasarkan kesadaran filosofis bahwa pada akhirnya realitas harus merupakan kesatuan. Kemudian relevansi teologis keduanya adalah Unity of God yakni segala sesuatu bersumber dan menuju pada Yang Satu yaitu Tuhan, sementara dari sudut pandang eskatologisnya maka agama sebagai jalan yang memberikan keselamatan dan kebahagiaan kelak di akhirat adalah bagi pemeluknya yang tunduk, pasrah, berserah diri, tidak menyekutukan Tuhan dan senantiasa berbuat baik selama hidupnya didunia. Sedangkan relevansi sosio-humanis adalah nilai-nilai etika universal untuk mewujudkan toleransi, demokrasi dan perdamaian. Dalam konteks keindonesiaan, maka tulisan ini bertujuan untuk menyegarkan ideide demokrasi, hak asasi kemanusiaan, dan perdamaian berdasarkan nilai-nilai keislaman, untuk selanjutnya dapat menyadarkan kita tentang pentingnya integritas bangsa kita (Indonesia) yang majemuk / plural. Sedangkan dalam konteks keislaman, hendaknya kita tidak memahami ajaran-ajaran Islam secara parsial dan sebaiknya memandang segala sesuatu dari substansinya ketimbang dari beragam bentuk yang berbeda. Sebagai hamba-Nya yang mencari kebenaran, hendaknya kita kembalikan kebenaran itu kepada Yang Mutlak, Sang Pemilik Kebenaran. Wallahu A’lam. KATA PENGANTAR ِﺑِﺴْـﻢِ اﻟﻠﱠـﮫِ اﻟﺮﱠﺣْﻤَـﻦِ اﻟﺮﱠﺣِﯿـﻢ Assalamu’alaikum wr.wb. Puji syukur kehadirat Allah. Pemilik segala pujian, Maha Suci lagi Maha Sempurna, Penggerak Utama segala daya, cipta, rasa dan karsa pada hamba-Nya. Dengan Kehendak, Ilmu dan Cahaya-Nya jualah, penulis mampu menggenapi huruf per huruf, kata per kata, kalimat per kalimat hingga tertunaikannya penulisan ini. Salawat dan salam senantiasa tercurah atas utusan-Nya Muhammad SAW, pembawa risalah dan keselamatan, penyempurna semesta alam, revolusioner teragung untuk setiap kelahiran dan seluruh sejarah kehidupan. Demi setiap tetes keringat dan air mata, setiap untaian senyum dan doa, segenap harap yang membekali jiwa, maka penulis persembahkan karya ini untuk kedua orangtua tercinta (Ayahanda Sahir dan Ibunda Rokayah), dan kedua adik tersayang (Ridwan Habibullah dan Arsyilah Pangastuti). Semoga Allah merahmati dan senantiasa memberikan yang terbaik untuk mereka.amin. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang turut membantu selama proses penulisan hingga terselesaikannya skripsi ini, atas segala kesediaan, ketulusan, semangat, motivasi dan inspirasi merekalah penulis dapat terus menumpahkan tinta-tinta pikiran diatas kertas-kertas kewajiban ini. Terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis haturkan, karena mereka telah menjadi bagian dari kausalitas dan rotasi jalan kehidupan penulis. Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan kepada : 1. Dekan Fakultas Ilmu Tabiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. 2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, Bapak. Bahrissalim M.Pd. 3. Dosen Pembimbing Skripsi, Bapak. Dr. Khalimi, M.Ag. 4. Dosen Penasehat Akademik, Ibu. Sururin, M.Ag. 5. Dosen Pembimbing Praktik Profesi Keguruan Terpadu, Bapak. Abdul Haris M.Ag, dan Ibu. Heny Narendrani Hidayati, M.Pd. 6. (Abi Ta’lim) Guru sekaligus Orangtua Penulis, Uwa Dehir alias Ki Banteng “Si Bujang Nanggung dari Parung”, beserta istri, Uwa Sami, yang selalu mengingatkan penulis untuk tetap istiqomah, tawadhu, tasyakur, tafakur, tawakkul, taqorrub, kepada Allah SWT. 7. Pe’ Gayung dan istri “Ci’ Embun” (penulis menganggap keduanya seperti kakek dan nenek sendiri, meski keduanya beragama Kong Hu Cu dan Kristen), Panjul dan keluarga (adalah teman penulis semasa SD, dirumahnyalah penulis mengenal kasih sayang dari agama lain, Kristen), Bu’ Beth dan Pa’ Usman (adalah guru penulis semasa SD, mereka adalah keluarga dengan perbedaan agama, Islam dan Kristen. Orangtua penulis memiliki hubungan persahabatan yang erat sehingga penulis sering berkunjung kerumah mereka). Mereka semua menginspirasi penulis untuk mencintai oranglain apapun agamanya, karena dari mereka penulis juga dapat merasakan ketulusan, kedamaian dan kasih sayang. 8. Teman-teman terbaik Sweeter Land; Depi “Tholob” Arisandi, Yudha “Chamielz” Hadi, Roup “Kunyin” Abdul, Somad “Dhuby” Abdul, dan Yusuf “Uchuf” Muhamad. Mereka adalah teman-teman yang selalu ada disegala suasana dalam suka dan duka, khususnya dimeja kehidupan dengan 52 lembar persegi tempat bermula dan berakhir, tanpa akhir sebuah persahabatan. 9. Temen-teman F4 beserta keluarga, Andri Yann Cheng Xu (A-She), Eko Wu Jian Hao (Ei-Chuo) dan Ardi Zhu Xiao Tien (Xi-men), dan “Si Orang Kaya Baru” Hendrik “Idunk” Zhen Qing He. 10. My Senorita Cihuyy Partner, “hum hain rahin pyar ke, phir milenge, chalte...chalte….” 11. Teman-teman seperjuangan, Kelas.B PAI angkatan 2005; Dedi, Arul, Fathur, Maman, Syukron, Juned, Bang Aji, Yayan, Away, John, Icad, Ibay, Irul, Akhsay, Tulus, Asep, Ridwan, Rubi, Uchay dan Uci. 12. Teman-teman sekolega dan sekosan; Fathul Munir, Riyan Nurdiansyah, Najamudin, Ridwan afandi, Ujang Syahid, Mukhlisin, Luthfi, Abidin Khusaeni, dan Akbar Khadafi. 13. Ne’ Ani, Ne’ Nani, Uwa Aminah, Uwa Asmani, Uwa Hata, Uwa Hj. Emin, Kong Cilim, Bapa’ Warjoz dan Emak Kosan. Merekalah yang selama ini menampung penulis. 14. Mimi Sayur Asin, Cici Geboy, Tika Madam Sahara, Bibi Mira Uni, Nurul uyunk, Neng Sya-sya, Neng Yuni, Neng Rini, Ade’ Putri (Dhessy Anita Dyah Saputri), Laita, Sera, Fisti Resti, Lila dan Ikrimah. 15. Angga Prasetya, Asep Awaludin, Dziky Jauharul Fikri, Ryna Resnawati, Nova Amalia, Hani Nuraida, Ika Satriani, Murysida, dan Nursyidah. 16. Encep “si bontot”, Ipang, Raden Oji, Nk-Cost, Time, Oya, Jecky, Subur, Ade, Samsul, Jaja, Ijar, dan Mahrudin. 17. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada “Bapak dan Ibu Warjos” yang menjadi kelas kuliah dari “kampus kehidupan”, tempat berbagi rasa, bertukar pikir, mempelajari tiap gejala kerancuan realita dari dosen-dosen kami yang bernama “alam sekitar”. Semoga Allah memberi kebaikan bagi mereka didalam agama, di dunia dan akhirat. Amin. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis meminta maaf atas segala kekurangan, kealfaan dan kekhilafan dalam diri penulis, karena tak ada yang sempurna maka penulis mohonkan kritik dan sarannya. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Amin. Wa Allahu al-Mawafiq ila aqwami al-Thoriq. Wassalamualaikum, wr.wb. Jakarta, 06 Desember 2010 Fajri Khoirullah DAFTAR ISI ABSTRAK LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………… 1 A. Latar Belakang Masalah……………………………………… 1 B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah………… 11 C. Metodologi Penelitian………………………………………… 14 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………… 17 BAB II KONTEKSTUALITAS MAKNA AGAMA……………………… 18 A. Agama dan Keberagamaan…………………………………… 18 B. Agama dan Sikap Keagamaan……………………………… 21 C. Agama dan Gagasan Tentang Tuhan………………………… 30 D. Agama dan Tauhid…………………………………………… 38 E. Agama dalam Pendekatan Perspektif Perenial……………… 43 F. Kesatuan Transenden Agama-agama………………………… 44 1. Mono dan Multi…………………………………………… 47 2. Bentuk dan Substansi……………………………………… 50 3. Relatif dan Absolut………………………………………… 52 4. Partikular dan Universal…………………………………… 54 5. Monoteisme Ibrahim……………………………………… 56 6. Makna Al-Islam, Titik Temu Agama-agama Semitik…… 61 BAB III WAHDAT AL-ADYAN DAN PLURALISME AGAMA………… 72 A. Wahdat al-Adyan……………………………………………… 73 1. Pengertian Wahdat al-Adyan……………………………… 74 2. Sosio-historis Wahdat al-Adyan…………………………… 75 a. Al-Hallaj Pencetus Wahdat al-Adyan………………… 76 b. Ibn Araby Pengukuh Wahdat al-Adyan……………… 81 3. Epistemologi Wahdat al-Adyan…………………………… 86 a) Epistemologi Al-Hallaj………………………………… 86 b) Epistemologi Ibn Araby……………………………… 93 B. Pluralisme Agama…………………………………………… 101 1. Pengertian Pluralisme Agama…………………………… 102 2. Sosio-historis Pluralisme Agama………………………… 105 3. Epistemologi Pluralisme Agama John Hick…………… 110 4. Kutub-kutub Pluralisme Agama, Motif dan Orientasi… 114 BAB IV WAHDAT AL-ADYAN DAN PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF SYARIAT…………………………………… 125 A. Korelasi Fikih (Syariat) dan Tasawuf (Hakikat)……… 129 B. Integrasi Fikih (Syariat) dan Tasawuf (Hakikat)……… 133 C. Islam dan Tinjauan Kritis Pluralisme Agama dalam Al-Quran…………………………………………… 139 a) Pluralisme dalam Masyarakat Islam………………… 139 b) Pluralisme Agama dalam Al-Quran………………… 140 c) Kesatuan Teologis…………………………………… 156 d) Ahlul Kitab…………………………………………… 165 BAB V WAHDAT AL-ADYAN DAN RELEVANSINYA DENGAN PLURALISME AGAMA…………………………… 171 A. Relevansi Historis…………………………………………… 171 B. Relevansi Epistemologis……………………………………… 172 C. Relevansi Teologis…………………………………………… 173 D. Relevansi Sosio-humanis……………………………………… 175 E. Orientasi Logis………………………………………………… 177 F. Orientasi Etis………………………………………………… 180 BAB VI PENUTUP………………………………………………………… 188 Kesimpulan……………………………………………………… 188 Saran……………………………………………………………… 191 DAFTAR PUSTAKA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama merupakan bagian kehidupan sebagian besar umat manusia. Oleh karena itu kehidupan beragama akan tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi kehidupan umat manusia dari zaman ke zaman. Agama bukan sekedar keyakinan hasil refleksi intelektual semata, melainkan juga sebagai suatu jalan dan cara hidup. Dengan kata lain, agama menyangkut seluruh hidup manusia. Jadi agama bukan hanya mengenai kebenaran melainkan juga mengenai perasaan dan suasana hidup manusia. Menurut A.M Romly (1999 :1), agama merupakan kiprah manusia yang bersumber pada sikap percaya kepada Tuhan. Sikap percaya kepada Tuhan tersebut disertai dengan penyerahan diri secara menyeluruh, yang diwujudkan antara lain dengan kepatuhan terhadap ajaran-ajarannya1. Oleh sebab itu agama bukanlah sekedar pengetahuan melainkan suatu pendirian eksistensial yang juga berhubungan dengan perasaan dan perbuatan. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa agama berdasarkan fungsinya membimbing manusia kearah kehidupan rohaniahnya. Istilah fungsi yang dimaksudkan disini ialah sumbangan dan peran agama (lewat ajaran1 A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia : Suatu Pendekatan Filsafat, (Jakarta : Bina Rena Pariwara, 1999), h.1 2 ajarannya yang bersifat normatif) yang diberikan kepada manusia dalam meniti kehidupannya di dunia ini2. Agama sebagai jalan hidup, hal ini diyakini bahwa ajaran agama adalah satu-satunya yang memiliki kebenaran holistik, absolut dan abadi karena bersumber dari Tuhan. Oleh sebab itu, agama diyakini pula sebagai jalan keselamatan dan kebahagiaan hidup manusia baik di dunia maupun di akhirat, selain sebagai jalan menuju kehadirat Tuhan. Sehingga dapat dikatakan bahwa agama memberi dan menjamin kepastian hidup manusia. Namun demikian, sebagaimana kita ketahui bahwa di dunia ini telah tumbuh dan berkembang berbagai agama yang sudah barang tentu setiap agama memilki konsepsinya tentang Tuhan serta tentang ajaran-ajaran kebenaran dan jalan keselamatan. Sehingga pergumulan intelektual manusia dari zaman ke zaman hanya berkutat pada perdebatan tentang konsep teologis agama-agama. Diantara banyaknya agama-agama di dunia, agama manakah yang paling benar dan menunjukkan jalan keselamatan? Bila setiap agama memiliki tuhannya masing-masing, maka banyak agama berarti banyak tuhan, lalu tuhan manakah yang sebenarnya (The Real Ultimate / Tuhan) itu? Apa yang mendasari pluralitas keagamaan dan pengenalan Tuhan terhadap agamaagama? Mengapa terjadi eksistensi keberagamaan yang beragam, serta apa dibalik tujuan Tuhan mengenai keberanekaan yang dikehendaki-Nya? Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, dalam hal ini manusia dihadapkan pada kebingungan teologis antara harus menerima atau menolaknya. Sebagaimana dalam agama Islam, pada dasarnya seluruh agama mengajarkan kepada pemeluknya tentang doktrin kebenaran dan jalan keselamatan, untuk kemudian ajaran-ajaran tersebut menjadi misi bagi para pemeluk agama dalam menyampaikan dan menyebarkan ajaran-ajaran agamanya. Melalui ajaran-ajaran inilah manusia berkomitmen terhadap 2 A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia : Suatu Pendekatan Filsafat…, h.79 3 agama yang dianutnya, namun demikian komitmen terhadap agama juga dapat menumbuhkan dua sikap yang berbeda, yakni inklusif dan ekslusif3 Adanya pendistorsian ajaran-ajaran agama sampai kepada ekslusivisme terhadap ajaran-ajaran tersebut telah berlangsung seiring dengan munculnya agama-agama di dunia. Bila kita melihat sejarah tentang agamaagama (khususnya Yahudi, Kristen dan Islam), memang selalu identik dan kontras dengan kekerasan dan peperangan. Sejarah mencatat keterlibatan tiga agama samawi tersebut dalam berbagai konflik dan pertikaian yang hingga saat ini masih membiuskan kebencian diantara sebagian penganutnya. Mungkin dapat dikatakan sebagai suatu “warisan historis” yang bersifat sentimentil, kondisi yang sangat memprihatinkan, karena bila keadaan ini dibiarkan terus berlanjut maka layaknya sebuah “kanker universal” yang bukan hanya merusak tatanan hidup sosio-budaya dan politik melainkan juga berimplikasi pada kehidupan manusia baik secara nasional dan internasional dalam bingkai yang ekslusif. Perlu dipahami bahwa pendistorsian nilai-nilai kebenaran yang dianut sampai kepada ekslusivitas pembenaran suatu agama terhadap kebenaran agama lain dapat menyebabkan terhapusnya substansi ajaran yang dimiliki agama itu sendiri, juga dapat menjauhkan kita dari nilai-nilai humanis serta menjauhkan kita terhadap universalitas kehendak Tuhan. Sikap ekslusivisme teologis dalam memandang perbedaan dan pluralitas agama semacam ini sesungguhnya merugikan diri sendiri, karena mempersempit bagi masuknya kebenaran-kebenaran baru yang dapat membuat hidup ini lebih lapang dan kaya. Kita tidak bisa mengingkari adanya kemungkinan bahwa dalam perkembangannya sebuah agama mengalami 3 Bagi para pemeluk agama yang cenderung menempuh jalan ekslusif, mereka menunjukkan sikap “keras” terhadap orang lain karena adanya klaim kebenaran pada agamanya sendiri. Mereka menganggap bahwa agamanyalah yang paling benar dan sempurna, sedang agama lain dianggap salah dan menyeleweng, atau ostilah apa saja yang menimbulkan permusuhan. Sebaliknya, komitmen terhadap ajaran sendiri dapat pula menumbuhkan sikap inklusif, yang pengalamannya lebih fleksibel, akomodatif dan kondusif, dengan tanpa mengorbankan nilai-nilai ajaran agama tersebut. Sikap ini lebih manusiawi karena siapapun mengakui karena ajaran agama diberikan oleh Tuhan kepada manusia agar lebih mengakui derajat mereka, bukan untuk permusuhan. (Lihat : Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama, Yogyakarta : LKiS, 2002, Cet.1, h.1) 4 deviasi atau penyimpangan dalam hal doktrin dan prakteknya 4. Tetapi arogansi teologis yang memandang agama lain sesat dan tidak akan memperoleh jalan keselamatan, sebaliknya justru menjauhkan kita dari substansi sikap keberagamaan yang serba kasih dan mengajak kepada jalan kebenaran. Konflik-konflik teologis yang terjadi pun bukan hanya notabene berbeda tetapi juga terjadi dalam suatu komunitas seagama5 Nampaknya kita perlu menelaahi bahwa terjadinya konflik diantara pemeluk agama tidak berlandaskan pada akidah semata, tetapi juga adanya latar belakang politis, budaya dan ekonomi yang menjadi pemicunya. Unsurunsur politik itu dapat kita analisis berdasarkan sejarah pemerintahan dan kondisi keagamaan masyarakat pada masa itu6 Walau bagaimanapun, penggunaan agama sebagai tameng untuk kepentingan dan tujuan politis ini telah mengorbankan kesucian agama, dimana setiap agama mengajarkan untuk hidup dan membawa perdamaian universal bagi umat manusia. Sedangkan dari sudut pandang sosiologis, konflik antar agama lahir dari sentimen publik yang merasa kecewa terhadap penindasan, kesewenangwenangan dan hegemoni politik terhadap kaum lemah (miskin) dan minoritas. Sehingga dapat dikatakan bahwa kemiskinan sangat rentan terhadap arogansi individu dan kelompok, tindakan-tindakan radikal bahkan pemberontakan. Hal ini didasari karena adanya rasa ketidakberdayaan menghadapi ketidakadilan (merasa terdiskriminasi) yang akhirnya memicu pemberontakan yang 4 Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial, (Jakarta : Paramadina, 1995), Cet.1, h.9 5 Sejarah membuktikan kepada kita bagaimana kerasnya bentrokan yang terjadi antara satu aliran dengan aliran lain. Bentrokan semacam ini semakin menjadi ironi, ketika ternyata yang muncul dan yang menjadian isu secara kuat adalah kepentingan politiknya. Simbiose pandangan politik teologis ini selalu cenderung mengarah pada konspirasi ekslusif dan potensial bagi munculnya tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan kebenaran. (Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h.9-10) 6 Menurut sudut pandang penulis, setidaknya ada dua unsur politik, pertama karena adanya keinginan legitimasi keagamaan oleh kaum mayoritas sehingga melahirkan sikap mengintimidasi, mengintervensi bahkan mengekspansi kaum minoritas. Kedua, karena adanya kekhawatiran dari kaum minoritas terhadap hegemoni politik dalam suatu masyarakat atau pemerintahan yang berlandaskan pada suatu agama tertentu sehingga melahirkan pemberontakan untuk menjatuhkan dan merubah pemerintahan 5 dilakukan dalam bentuk teror-teror. sementara itu, bila kita telusuri lebih jauh lagi, pertikaian yang terjadi beberapa abad belakangan ini cenderung dipenuhi arus kecurigaan dari konflik-konflik sejarah yang terjadi dimasa lalu, sebagaimana yang marak terjadi di kawasan Timur Tengah (Irak, Palestina dan Afganistan), Asia Selatan (India dan Pakistan), Maupun di kawasan Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand). karena memang negara-negara tersebut diatas memiliki sejarah kelam konflik politik, sosial dan budaya, yang kemudian berimbas pada konflik antar agama7. Pertikaian antar agama yang terjadi di masa lalu (khususnya Yahudi, Kristen dan Islam), kini telah menampakkan wujudnya dalam sebuah formalitas dan legalitasnya sebagaimana yang sering kita dengar dengan istilah “The Holy War” atau perang suci8. Istilah perang suci inilah yang dijadikan landasan pembenaran untuk mengintervensi dan mengintimidasi agama lain. Setidaknya hal ini membuktikan bahwa pertikaian antar agama telah menjelmakan bentuknya sebagai momok yang menakutkan dan meresahkan, apalagi diiringi dengan penindasan dan teror yang akan menggoreskan trauma mendalam pada kehidupan umat manusia. Kiranya inilah yang penulis maksudkan dengan ”warisan historis”9 yang dipenuhi kebencian, prasangka buruk dan kecurigaan yang melekat pada 7 Menurut pandangan penulis, meski agama bukanlah sumber konflik, tetapi memang agama memiliki potensi konflik, dikarenakan agama memiliki kekuatan massa dengan berbagai doktrinnya. Maka dalam hal ini, mereka yang bertikai sengaja menjual (memanfaatkan) semangat perjuangan umat (penganut) agama untuk meraih simpati, dukungan kekuatan dan kekuasaan. Sedangkan mereka yang menjadi obyek sasaran adalah para pemeluk agama yang memiliki pandangan ekslusif. oleh karena itu, inilah yang penulis maksud, bahwa ekslusivisme beragama dapat menimbulkan potensi konflik. 8 Perang suci atau Holy War adalah istilah yang dulu digunakan pada peristiwa perang salib. Saat ini istilah perang suci digunakan untuk misi penyelamatan diluar gereja / agama Kristen karena klaim kebenaran mutlak yang dimilikinya, secara terorganisir dan sistematis adalah upaya para orientalis kristiani. Istilah perang suci juga digunakan umat islam untuk mengabsurdkan nilainilai dan makna jihad. 9 Sebagai contoh warisan historis pertentangan antar agama yang paling dikenal dalam sejarah adalah pertentangan antara Islam dan Kristen. Pertentangan ini pada tahap perkembangannya telah memecah dunia pada garis imajinatif Timur dan Barat. Timur identik dengan Islam, yang berarti pula Negara-negara terbelakang, bodoh, miskin, biadab dan teroris. Gambaran-gambaran demikian, sangat kental dengan masyarakat Islam yang tersebar dikalangan masyarakat Barat akibat ulah para orientalis. Demikian pula sebaliknya, barat identik dengan 6 sebagian pemeluk agama, sehingga konflik apapun yang terjadi selalu saja dikaitkan dengan permusuhan antar pemeluk agama pada masa lampau, untuk kemudian menganggap penganut agama lain sebagai musuh yang harus diperangi. Pola pikir seperti ini baik secara konstan maupun terstruktur menimbulkan tindakan yang radikal terhadap pemeluk agama lain. Sebagaimana dikatakan diatas bahwa fanatisme dan eklusivisme yang berlebihan dapat menimbulkan kebencian serta tindakan yang radikal. Selain itu, radikalisme antar pemeluk agama juga dapat disebabkan dari ketidakpuasan terhadap suatu sistem ideologi yang dianut dan berkembang pada suatu Negara. Dewasa ini, sikap radikal menjadi lebih luas lagi, bukan hanya dikarenakan fanatisme, kebencian dan ekslusivisme melainkan sebagai reaksi ketidakpuasan dari kegagalan modernisme, libelisme dan sekulerisme. Hal ini terjadi karena pada kenyataannya, baik modernisme, libelisme dan sekulerisme tidak mampu memberi kesejahteraan dan ketenangan hidup, tetapi sebaliknya hanya menyengsarakan dan menciptakan tirani global srta makin menumbuhkan tatanan-tatanan primordial yang terbelakang. Arus globalisasi, migarsi dan multikulturalisme makin menambah persoalan hidup bersama bagi masyarakat multi budaya dan agama seperti Indonesia. Ditambah lagi perkembangan ideologi agama-agama dan bentuk spiritualiatas baru yang muncul bak jamur di musim hujan. Disinlah mengapa suatu paradigma baru misi agama-agama menjadi amat mendesak10. Perubahan paradigma yang diperlukan adalah upaya pencarian guna memahami penyelamatan sebagaimana yang diekpresikan dalam agamaagama lain Masing-masing penganut agama semestinya memiliki kesadaran dan kesamaan prinsip teologis “the One of Many” atau “the One God” adalah bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan semua manusia yang penjajah, Kristen, arogan dan amoral. Perbedaan persepsi ini diakibatkan mis-informasi, pada akhirnya berimplikasi pada semakin melebarnya jurang dan pertikaian antara Timur dan Barat. Lihat : Amir Mahmud (ed.), Islam dan Realitas Sosial di Mata Intelektual Muslim Indonesia, (Jakarta : Edu Indonesia Sinergi, 2005), h.212 10 Muhammad Ali, Teologi Pluralis multikulral: Mengharagai kemejmukan menjalin kebersamaan, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2003), cet. 1, h.11 7 termanifestasi dalam berbagai nama, bukan Tuhan dalam pengetahuan manusia yang diperoleh dari sejarah dan budaya semata yang tersistematisasi oleh doktrin melainkan pengenalan kepada Tuhan melalui penghayatan dan “cinta” yakni dengan penggalian makna keagamaan yang terkandung dalam wahyu (kitab suci) sebagai pesan moral ajaran Tuhan. Inilah suatu orisinilitas ketauhidan secara kritis tanpa alih-alih dan batas ekslusif sebagai suatu kebenaran absolut dan kekal. Semangat ajaran seperti inilah yang diterapkan oleh kaum sufi dalam tasawufnya dan kaum Sophia-perenis dalam filsafat perenialismenya. Dalam babak baru sejarah umat manusia saat ini, kita sering mendengar istilah “New Age” – suatu istilah yang muncul baru-baru ini (memasuki millennium ketiga) adalah suatu “konspirasi universal” tentang semangat manusia mencari “romantisme mistik-spiritual” dalam menghadapi krisis sosial kehidupan umat manusia. Istilah New Age tidak lain adalah untuk membentuk millennium baru yang menggambarkan / mencita-citakan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diiringi dengan keharmonisan hidup beragama dan bermasyarakat dalam tatanan global. Manusia pada saat ini membutuhkan agama yang humanistik dan universal sebagaimana pada terkandung dalam ajaran agama, bukan wajahwajah kekerasan yang menutupi substansi keramahan agama. Dalam hal ini kita tidak boleh memahami New Age sebagai gagasan yang berupaya untuk me-relatif-kan agama-agama atau bahkan membentuk suatu agama baru (teologi global), melainkan perlu dipahami bahwa New Age berupaya untuk menghapus adanya standar ganda11 (claim of truth and claim of salvation) 11 Standar ganda yaitu menerapkan standar yang berbeda untuk dirinya (agamanya) dan orang (agama) lain. Terhadap agama yang dianutnya, maka standar yang digunakan bersifat ideal normatif, bahwa agamanyalah yang paling benar dan otentik dari Tuhan sedangkan agama lainnya salah. Hal ini dikarenakan standar yang digunakan dalam melihat agama lain berbeda dengan standar yang digunakan untuk agamanya, maka standar yang digunakan untuk agama lain hanya berdasarkan realitas historis, bahwa agama lainnya adalah konstruksi pemikiran manusia atau telah diselewengkan oleh manusia. Standar ganda atau standar kebenaran yang dipakai oleh sebagian pemeluk agama sebagai fundamen mengejawantah kebenaran selain kebenaran yang dimilikinya. Mereka mengatakan bahwa kebenaran mereka adalah satu-satunya kebenaran dari Tuhan, Standar ganda juga dipakai untuk melegalkan legitimasi tindakan dan anarkisme terhadap agama agama 8 yang dijadikan landasan pengkafiran dan diperbolehkannya memerangi umat agama lain. New Age mengantarkan manusia pada pemahaman kesetaraan hak asasi manusia serta keimanannya di hadapan Tuhan, New Age merupakan suatu ideologi universal yang membangkitkan nilai-nilai humanis yang dicitrakan oleh agama. Era kebangkitan agama-agama ini semestinya bukan hanya harapan semata, meski tidak dapat kita pungkiri bahwa hingga saat ini permasalahan mengenai agama-agama masih mencari suatu formula yang efektif bukan hanya pada tataran teoretis-konsepsional melainkan juga pada tataran yang praktis dan konkrit. Hal-hal yang jelas nyata, karena tidak semua pemeluk agama dapat dengan mudah memahami tujuan konseptual para cendikia dan pemuka agamanya. Walaupun dalam tataran praksisnya setiap umat agama mengharapkan keharmonisan beragama tetapi seringkali gagasan konseptual tersebut (saat memasuki ranah publik) menjadi “mentah” dan menuai polemik bahkan “bumerang” baik secara internal seagama maupun antar umat beragama. Ditengah kenyataan pluralitas (sosio-religio) dewasa ini, perbincangan mengenai titik temu agama-agama semakin terasa menghangat. Hal ini dikarenakan pergaulan antara agama dalam kehidupan sehari-hari semakin terasa intens. Intensitas pergaulan antar agama tersebut menuntut manusia untuk dapat memposisikan eksistensi teologisnya diantara agama-agama lain. Untuk dapat hidup berdampingan kita harus memiliki pemahaman yang komprehensif tentang hakikat agama dan memandangnya secara rasional dan terbuka agar tidak terjebak dalam dikotomi dan distorsi kebenaran, memisahkan sekat-sekat perbedaan eksoteris dan menyatukan persamaan esoteris akan menuju pada sikap keberagamaan yang toleran, meredam pengakuan superior dan menyadari eksistensi agama lain adalah sikap kerendahan hati menerima rahmat Tuhan. Demikianlah Tuhan menetapkan lain. Lihat : Adeng Muhtar Ghazaly, Ilmu Studi Agama, (Jakarta : CV. Pustaka Setia, 2005), Cet.1, h.25 9 keniscayaan pluralitas sebagai sunnah-Nya agar manusia dapat menjaga kemajemukan tersebut sebagai suatu kesatuan yang utuh. Bahwa sesungguhnya lewat ajaran agama, Tuhan telah menyampaikan pesan universal-Nya, yakni pesan moral kepada seluruh umat manusia yang dirisalahkan melalui para utusan-Nya. Pesan moral ajaran Tuhan inilah yang harus kita wujudkan tanpa memandang perbedaan dan menyatukan kesamaan yang terkandung dalam setiap agama serta berupaya mencari kebenaran ajaran Tuhan yang hakiki. Dengan demikian manusia telah menjalankan fungsinya sebagai makhluk / hamba (‘abid) Tuhan. Menjaga persatuan serta perdamaian dimuka bumi dengan cara mengaktualisasikan ajaran agama tersebut dengan baik dan benar, berarti manusia telah menjalankan fungsinya sebagai wakil / pengganti (khalifah). Lebih dalam lagi, sifat tersebut akan mengantarkan manusia menemukan esensi agamanya yang secara implisit dan substansial telah mengokohkan keimanan serta kemurnian iman kepada Tuhan. Hal inilah yang terus diupayakan para elite/pemuka agama dengan menggali landasan-landasan historis, filosofis dan epistemologis antar agama untuk kemudian memberi kesepahaman logis serta konsekuensi teknis yang diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tren harmonisasi agama-agama dapat kita temukan dari dua konsep yang selalu menuai polemik dan kontroversi yakni konsep kesatuan agamaagama atau lebih dikenal dalam dunia tasawuf dengan wahdat al-Adyan dan konsep kemajemukan agama atau lebih dikenal dalam dunia filsafat dengan pluralism agama. Kedua konsep tersebut masing-masing lahir dari sosiohistoris, landasan filosofis dan epistemologis yang berbeda, namun keduanya sama-sama bertujuan untuk mencari titik temu agama-agama. Perlunya pemahaman yang lurus mengenai wahdat al-Adyan dan pluralisme agama sehingga kedua konsep ini tidak lagi menjadi pro-kontra akan tetapi kita perlu memandangnya sebagai ajaran tentang sikap saling menghormati dan menghargai antar pemeluk agama sehingga mereka yang bertentengan ideologi tidak lagi saling menyalahkan atau mengkafirkan. 10 Adapun beberapa diantara pengertian wahdat al-Adyan dan pluralisme agama adalah : “Wahdat al-Adyan mengajarkan bahwa pada hakikatnya agamaagama bertujuan sama dan mengabdi kepada Tuhan yang sama pula. Perbedaan yang ada hanya bentuk luar dan namanya saja. Jadi, agama apapun dapat dipahami setara karena sumbernya satu, yakni Tuhan. wahdat al-Adyan menyalahkan orang yang menyalahkan agama orang lain sekaligus ia mengajarkan agar seseorang patuh dan konsisten pada ajaran masing-masing. Oleh karena itu konsep ini sama sekali tidak mengarahkan pada upaya menyatukan agama-agama12 “Pluralisme adalah sikap atau paham terhadap keadaan majemuk, baik dalam konteks sosial, politik, budaya maupun agama. Dengan demikian yang dimaksud dengan pluralisme keagamaan adalah terdapat lebih dari satu agama yang mempunyai eksistensi yang hidup berdampingan dan saling berinteraksi antara satu agama dengan penganut agama lainnya atau dalam pengertian lain, setiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan menghormati hak agama orang lain, guna tercapainya kerukunan dalam keragaman. Jadi pluralisme keagamaan bukan menciptakan agama baru atau sebuah ideologi alternatif yang menggantikan atau setara dengan ideologi agama yang bersifat Ilahiah13. Dapat dikatakan bahwa dari kedua konsep tersebut eksistensi agamaagama adalah entitas yang harus diterima dan diakui oleh manusia. Manusia tidak lagi dipandang dari segi agama yang dianutnya sebagai tolak ukur dalam pencapaian kebenaran Tuhan karena yang berhak menentukan hal tersebut adalah Tuhan (sendiri). Hal yang paling menarik dari paham wahdat al-Adyan dan pluralisme agama menurut penulis adalah dari sisi persamaan sekaligus perbedaannya, karena kedua konsep ini digunakan sebagai solusi alternatif untuk permasalahan agama-agama di dunia. Kedua konsep yang nampaknya sama namun juga berbeda sehingga memerlukan analisis lebih jauh, apakah kandungan dari kedua ajaran tersebut ternyata memang sama, hanya saja dikemas dalam term yang berbeda? Apakah ada keterkaitan yang saling mengilhami sehingga memungkinkan bahwa ajaran pluralisme telah terkandung (merupakan bagian dari) ajaran wahdat al-Adyan, atau sebaliknya 12 13 Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.2 Amir Mahmud (ed), Islam dan Realitas Sosial…, h.209 11 ajaran wahdat al-Adyan telah terkandung (bagian dari) ajaran pluralisme? Dalam hal ini diperlukan suatu analisis sosio-historis dan epistemologis serta meninjau kembali orientasi dan tujuan baik dari sisi teologis maupun sosiohumanis, sehingga dapat terlihat ada atau tidaknya relevansi diantara kedua konsep tersebut. Berdasarkan pemaparan diatas, penulis bermaksud menganalisis kedua konsep tersebut dan mencari relevansi (keterkaitan dan kesesuaian)nya, sehingga penelitian / penulisan ini diberi judul “WAHDAT AL-ADYAN DAN RELEVANSINYA DENGAN PLURALISME AGAMA” B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka kiranya penulis mengidentifikasikan masalah, sebagai berikut : a. Minimnya sikap toleransi disebabkan ekslusivisme pemeluk agama terhadap ajaran agamanya b. Penyampaian doktrin keagamaan yang dikemas secara ekslusif dan radikal serta penggunaan ajaran agama sebagai pengabsahan mengintervensi dan mengintimidasi pemeluk agama lain. c. Adanya sejarah kelam bentrokan antar agama dimasa lalu yang hingga kini masih menyisakan benih-benih kebencian, prasangka buruk dan permusuhan. d. Agama kerap dituduh sebagai sumber konflik dan perpecahan, yang sesungguhnya konflik, bentrokan dan perpecahan yang terjadi tidak semata disebabkan perbedaan akidah semata melainkan juga disebabkan oleh faktor politik, sosial, ekonomi dan budaya. e. Para pemeluk agama membutuhkan formulasi tepat ditengah realitas plural kehidupan-keagamaan, guna memposisikan keyakinannya terhadap agama lain, meredam konflik dan menciptakan keharmonisan baik dalam kehidupan seagama maupun antar agama. 12 f. Masih kurangnya kesadaran terhadap pluralitas, bukan hanya menghormati dan menghargai tetapi juga dengan membuka diri dan menerima secara mendalam nilai-nilai kebenaran dan kebaikan dalam setiap ajaran agama. Umat beragama dituntut untuk mengedepankan prinsip-prinsip etis dan humanis sebagai bagian dari tujuan dan perwujudan agama. g. Pentingnya upaya mencari titik temu agar sesama manusia (umat agama) dapat hidup harmonis dan berdampingan. Sayangnya upaya mencari titik temu ini masih dianggap tabu (karena berada pada level esoteris dan cenderung bersifat falsafi) dan banyak diantara umat beragama yang enggan bahkan cenderung takut untuk memahami ajaran agama-agama lain karena dianggap akan berdampak pada kegoyahan iman atau konversi agama. Padahal upaya ini selain memperkokoh memperkaya keimanan nilai-nilai seseorang kebenaran terhadap agama juga yang dianutnya. h. Beberapa gagasan alternatif yang dikemukakan dalam tujuan harmonisasi agama-agama adalah ajaran wahdat al-Adyan dan pluralisme agama. Namun hingga saat ini, kedua gagasan tersebut masih menuai polemik baik pada tataran teoritis maupun praktisnya. Sehingga diperlukan pemahaman yang lurus mengenai kedua ajaran tersebut. Sehingga tidak lagi menjadi menjadi kontroversi dan polemik dikalangan akademis dan intra agama, agar dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. i. Bila dilihat dari ajarannya tentang ketuhanan dan kemanusiaan (antara wahdat al-Adyan dan pluralisme agama), keduanya nampak memiliki kesamaan orientasi. Kedua konsep yang nampaknya sama, tetapi juga berbeda berdasarkan latar belakangnya tradisi intelektual dan keilmuan (antara tasawuf / Islam / dunia Timur dengan filsafat / Kristiani / dunia Barat), sehingga diperlukan 13 analisis yang lebih jauh, apakah kandungan nilai-nilai dasar dan prinsip ajaran dari kedua konsep tersebut memiliki relevansi dengan menganalisis sosio-historis dan epistemologis serta meninjau kembali orientasi dan tujuan baik dari sisi teologis maupun sosio-humanis. 2. Pembatasan dan Perumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka penulis perlu membatasi dan merumuskan permasalahan yang akan diteliti. Adapun pembatasan dan perumusan masalah penelitian ini adalah: a. Makna agama, substansi agama, esoterisme agama-agama, alIslam dalam monoteisme Ibrahim, serta kesatuan transenden agama-agama, b. Konsep Ketuhanan dari setiap agama-agama, konsep ketauhidan sebagaimana dalam Fithrat al-Ibrahim, serta Tuhan sebenarnya yang terlepas dari semua/berbagai konsep yang ada. c. Perdebatan mengenai Ahl-al-Kitab, siapa sajakah sebenarnya yang disebut Ahl-al-Kitab dalam al-Quran apakah sebatas umat Yahudi dan Nasrani saja atau semua pemeluk agama selain Islam, serta perdebatan tentang masih adakah Ahl-al-Kitab hingga saat ini. d. Landasan sosio-historis dan epistemologis konsep wahdat alAdyan dan pluralisme agama e. Prinsip dasar, orientasi dan tujuan wahdat al-Adyan dan pluralisme agama f. Wahdat al-Adyan dan pluralisme agama dalam perspektif syariat g. Relevansi berdasarkan sosio-historis dan epistemologis wahdat alAdyan dan pluralisme agama h. Relevansi teologis dan sosio-humanis wahdat al-Adyan dan pluralisme agama. 14 C. Metodologi Penelitian 1. Sumber Penelitian Skripsi ini merupakan upaya penelitian yang dilakukan melalui studi kepustakaan ( library research), yaitu dengan mengumpulkan datadata, yang berkenaan dengan kajian konsep wahdat al- Adyan dan pluralisme agama sebagai sumber data primer dan sumber data sekunder. Diantara sumber referensi primer (Primary Reference) dalam penulisan skripsi ini adalah buku Wahdat al-Adyan ; Dialog Pluralisme Agama karya Fathimah Usman, Tasawuf Perenial karya Kautsar Azhari Noer dan Agama Masa Depan dalam Perspektif Filsafat Perenial karya Komarudin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam karya Simuh, Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran karya Gamal alBanna, Al-Quran Kitab Toleransi ; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme karya Zuhairi Misrawi, Melampaui Pluralisme ; Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama karya Hendar Riyadi dan Pluralisme Agama dalam Islam ; Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan karya Jalaludin Rakhmat. Sedangkan untuk sumber referensi sekunder (Secondary Reference), yakni sejumlah karya-karya ilmiah dalam bidang kajian tasawuf, dan filsafat yang mendukung teori / konsep wahdat al- Adyan dan pluralisme agama. 2. Metode Pembahasan Metode pembahasan dalam penelitian ini bersifat deskriptifanalisis, sedangkan analisis yang digunakan adalah analisis komparasi dengan pendekatan berdasarkan sosio-historis, dan epistemologis14. 14 Pada umumnya komparasi adalah mempelajari pola-pola atau tipe-tipe yang terjadi untuk menentukan secara analitis faktor-faktor yang membawa kesamaan dan perbedaan pola dan tipe tersebut. Biasanya dalam studi komparasi dilibatkan pula pendekatan historis dan fenomenologis yang terjadi untuk dapat menginterpretasi fakta, konsepsi, makna dan ekspresi psikologis baik yang bersifat individu, kelompok ataupun masyarakat. Dalam penelitian ini penulis mengkomparasikan konsep yang berarti dibutuhkan analisis historis-fenomenologis dan epistemologis yang berlaku, melatarbelakangi dan terkandung dalam konsep-konsep tersebut. Selain itu diperlukan pula bidang kajian sosiologis antropologis, psikologis dan hermeneutis untuk mendeskripsikan 15 Artinya setelah data-data diperoleh kemudian dibahas dengan memberikan gambaran deskriptif tentang masalah yang diteliti dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan pendekatan historis lahirnya paham Wahdat al- Adyan dan pluralisme agama beserta tokoh-tokoh pendirinya, kemudian disertai pula dengan pendekatan epistemologis ajaran Wahdat al- Adyan dan pluralisme agama. Dengan demikian dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang konsep Wahdat al- Adyan dan pluralisme agama. Untuk metode pembahasan / penulisan dalam skripsi ini, penulis lebih cenderung menggunakan tehnik hermeneutika Paul Ricoeur,15 yang lebih mengarah pada proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat atau sastra. Studi Ricoeur ini membedakan antara simbol univokal dan equivokal; simbol univokal adalah tanda dengan satu makna yang ditandai, seperti simbol-simbol dalam logika simbol, sementara simbol equivokal adalah fokus sebenarnya dari hermeneutika. Karena hermeneutika harus terkait dengan teks simbolik yang memilik multi makna ( multiple meaning ); ia dapat membentuk kesatuan semantik yang memiliki makna permukaan yang betul-betul koheren dan sekaligus mempunyai signifikansi lebih dalam. Hermeneutika adalah sistem di mana signifikansi mendalam diketahui di bawah kandungan yang nampak.16 keterkaitan atau eksistensi konsep-konsep yang tengah diteliti. (Lihat : Adeng Muhtar Ghazaly, Ilmu Studi Agama…, h.87 15 Arti hermeneutik yang dimaksudkan di sini adalah analisis yang mengarah pada interpretasi penuh atas fakta-fakta pemikiran dan pandangan al-Hallaj tentang Wahdat al-Adyan dan John Hick tentang Pluralisme Agama. Dilengkapi dengan analisis fenomenologi, yaitu analisis yang berusaha memberi makna dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia dalam situasinya yang khusus. Lebih lanjut Paul Ricoeur berpendapat “ Yang kita maksud dengan hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, dengan kata lain, sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks ”. De l’intretation ( 1965). 16 Palmer, E, Richard, Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet. Ke I, November 2003, h.48 16 Menurut Ricoeur, ada tiga langkah pemahaman, yaitu yang berlangsung dari penghayatan atas simbol-simbol ke gagasan tentang “ berpikir dari” simbol-simbol. Langkah pertama ialah langkah simbolik, atau pemahaman dari simbol ke simbol. Langkah kedua adalah pemberian makna oleh simbol serta ‘penggalian’ yang cermat atas makna. Langkah ketiga adalah langkah yang benar-benar filosofis, yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya. Ketiga langkah tersebut berhubungan erat dengan langkah-langkah pemahaman bahasa yaitu : semantik, refleksif, serta eksistensial atau ontologis. Langkah semantik adalah pemahaman pada tingkat ilmu bahasa yang murni; pemahaman refleksif adalah pemahaman pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu yang mendekati ontologi; sdang langkah pemahaman eksistensial atau ontologis adalah pemahaman pada tingkat being atau keberadaan makna itu sendiri. 17 Selain metode pembahasan yang bertumpu pada titik tolak hermeneutik, metode pembahasan yang digunakan juga bertumpu pada titik tolak fenomenologi17, yaitu analisis yang berusaha memberi makna dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia dalam situasinya yang khusus. Metode ini digunakan agar pembahasan ini tidak terjebak pada pendekatan yang hanya bersifat historis-empiris semata, sehingga dapat memperoleh gambaran yang lebih utuh dan yang lebih fundamental tentang keberagamaan manusia. Dalam penelitian ini, mencakup peristiwaperistiwa (hal-hal) lain, seperti kondisi sosio-kultural dan makna etisnya. Dengan cara ini akan terpenuhi prinsip koherensi internal yang menghimpun unsur-unsur struktural secara konsisten, sehingga benarbenar merupakan internal structuirs atau internal relations yang menjamin pemaknaan atau pemahaman yang benar 18. Maka, analisis data dari penelitian ini juga akan menukik jauh sampai menjangkau pada data-data ontologis dan epistemologis serta pemikiran logis yang menjadi tiang 17 Sumaryono, E, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Kanisisus, Yogyakarta, 1999, h. 111 18 Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.10 17 penyangga bangunan pemikiran-pemikiran konsep wahdat al-Adyan dan pluralisme agama. D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Upaya penelitian yang dilakukan dalam penulisan ini lebih diorientasikan pada satu tujuan pokok, yaitu untuk mendapatkan deskripsi yang jelas, sistematis, obyektif, dan komperehensif tentang konsep relevansi antara konsep wahdat al-Adyan dan pluralisme agama 2. Manfaat Penelitian a. Untuk memenuhi persyaratan penyelesaian studi tingkat strata satu (S.1), memperoleh gelar sarjana pendidikan Islam (S.Pd.I) pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. b. Sebagai sumbangsih intelektual dalam bentuk tulisan yang bersifat ilmiah dan dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang memerlukannya, dalam rangka menggali khazanah pemikiran Islam, bahwa pemahaman yang benar dan tepat mengenai wahdat al-Adyan dan pluralisme agama akan turut memperkokoh komitmen keyakinan terhadap agama yang kita anut. c. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan bagi penulis sebagai calon guru pada khususnya dan pembaca umumnya, serta dapat memberikan informasi dan pemahaman terhadap konsep wahdat al-Adyan dan pluralisme agama dalam kajian filsafat, fiqh dan tasawuf terlebih mengenai makna dasar dan tujuan agama untuk kemudian dikejawantahkan dalam hidup dan kehidupan, di tengah arus globalisasi, sekularisasi dan modernisasi dewasa ini, yang harus pula diimbangi dengan keimanan dan ketakwaan. 18 BAB II KONTEKSTUALITAS MAKNA AGAMA1 Dalam konteks wacana agama-agama, kita sering mendengar istilah “titik temu agama-agama”2, beberapa diantara tawaran alternatif dalam mencari titik temu agama-agama adalah konsep pluralisme agama dan wahdat al-Adyan. Sebelum lebih jauh mengkaji kedua konsep tersebut, ada baiknya kita menelusuri hal-hal yang mendasari semangat kaum agamawan dalam mencari titik temu agama-agama. Hal-hal apa sajakah yang menjadi titik temu dan titik pisah dalam agama-agama. Ini sangat penting agar kita terhindar dari relativisme sinkretisme, dan terjebak dalam keraguan terhadap agama yang kita anut. Adanya semangat spiritual untuk mencapai kebenaran absolut dan kebaikan universal adalah dengan menggabungkan persamaan landasan teologis normatif dan landasan etis-humanis pada agama-agama, untuk dapat mencapai titik temu terlebih dahulu kita harus memisahkan garis eksoteris dan esoteris agama-agama. 1 Bab ini menjadi pengantar, sebelum kita memijaki zona wahdat al-Adyan dan pluralisme agama. Pada bab ini akan dibahas beberapa hal (esoterisme agama-agama dan kesatuan transenden) yang juga menjadi cakup kajian wahdat al-Adyan dan pluralisme agama. Penulis merasa perlu memisahkannya menjadi bab tersendiri agar penulisan skripsi ini lebih terstruktur dan sistematis, sehingga pembahasan mengenai wahdat al-Adyan dan pluralisme agama tidak terlalu meluas dan terfokus pada sisi historis dan epistemologisnya serta beberapa prinsip dasar ajarannya. 2 Titik temu agama-agama atau istilah yang digunakan oleh Sayyed Hussein Nasr, istilah yang serupa dengannya seperti “Unity of Transendent Religions” yang digunakan oleh Frithjof Schuon, “The Common Vision” yang digunakan oleh Huston Smith, dan “The Common Platform atau kalimah sawa’” yang digunakan oleh Nurcholis Madjid. 19 Demikianlah teori-teori yang dikemukakan selanjutnya dalam upaya mencapai titik temu agama-agama. A. Agama dan Keberagamaan Agama merupakan tuntunan yang menyentuh hal-hal paling prinsipil dari manusia, yaitu keyakinan, sedangkan keyakinan itu sendiri bersumber dari hati hati / “qalb” yang suci, yang berjalan sesuai dengan fitrahnya3. Agama merupakan wadah manifestasi fitrah manusia, dari sanalah manusia mendapat keyakinan tentang Tuhan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah; bagaimana manusia mendapatkan pemahaman dan keyakinan yang benar kepada Tuhan? Untuk mendapatkan pemahaman yang benar kepada Tuhan, tentunya manusia harus memperolah pemahaman yang benar terhadap agama yang dianutnya. Setiap agama memang memiliki konsep teologinya masingmasing, sehingga dalam memahami makna agama harus dibicarakan satu nafas dengan pembicaraan tentang Tuhan4. Ajaran agama mengisyaratkan tentang hakikat tuhan, agama diyakini sebagai jalan hidup yang bersumber dan kembali kepada tuhan. Oleh sebab itu, hakikat agama itu sendiri adalah tuhan. Pemahaman terhadap konsep teologis inilah yang menentukan keyakinan dan konsistensi pemeluk agama dalam menjalankan ajaran agamanya. Sehingga dalam menjalankan perintah agama disertai dengan penghayatan akan kehadiran Tuhan dalam setiap laku-aktivitas yang dilakukan karena merasa dirinya terikat langsung dengan tuhan sebagai satusatunya sumber kebenaran hakiki, pemberi aturan moral dan hakim atas tindakan-tindakan manusia5. 3 Fitrah adalah sifat dasar dan alamiah manusia. Kata ini diturunkan dari kata fathara yang memiliki arti “memecah” atau “memisahkan”. Fathara juga dapat berarti “menciptakan” keadaan non wujud terpecah dan terbuka, sehingga terkuaklah kutub kebalikannya : penciptaan, pengetahuan sejati – pengetahuan transformatif – pengetahuan mendasar dalam diri manusia yakni pengetahuan/jalan menuju Tuhan. (Lihat : Fadhullah Haeri, Jiwa Al-Qur’an : Tafsir Surat alBaqarah, (Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2001), Cet.1, h.24-25) 4 A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia : Suatu Pendekatan Filsafat…, h.11 5 Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran hakiki dan absolut, berarti meyakini bahwa agama adalah jalan menuju kebenaran, karena kebenaran itu hanya dimiliki oleh Tuhan, maka benar dan salah secara absolut hanya ada dalam penilaian Tuhan. Olah sebab itu, fungsi agama adalah pembentukan iman. Dengan demikian manusia sebagai pencari kebenaran secara sadar 20 Substansi keberagamaan manusia adalah meyakini adanya Yang Mutlak, maka oleh karena itu, memahami substansi agama berarti menumbuhkan sikap saling menghormati ajaran agama lain6. Bila hakikat keberagamaan adalah Tuhan itu sendiri, maka dalam memahami substansi keberagamaan adalah upaya seseorang dalam menanggapi keberadaan agama lain, untuk itu diperlukan kesadaran yang merupakan modal dasar untuk bersikap wajar dan proporsional. Dengan demikian ia dapat menempatkan dirinya dan keyakinannya ditengah keberagaman tersebut, ia juga dapat memposisikan keyakinan lain diluar dirinya tetapi sebagai bagian yang inheren dari keyakinannya sehingga perbedaan-perbedaan yang ada tidak menghilangkan substansinya, atau dengan kata lain melihat adanya kesamaan substansi yang menyatukan perbedaan. Maka pandangan substansi agama adalah pandangan dasar yang melahirkan prinsip-prinsip kebersamaan terhadap agama-agama lain disamping itu juga meneguhkan prinsip keunikannya sendiri. Mengenai hal ini seorang penganut harus memiliki prinsip agree in disagreement (setuju untuk tidak setuju), agree in agreement (setuju untuk saling setuju), dan agree in different (setuju didalam perbedaan). Agree in disagreement atau setuju untuk tidak setuju, dalam hal yang prinsipil dan dasar-dasar dalam agama, misalnya tentang akidah atau keimanan. Dalam prinsip ini masing-masing pemeluk agama harus memantapkan posisi kepercayaan umatnya dan meyakinkan bahwa agamanya berbeda dengan agama lain. Agree in agreement atau setuju untuk saling setuju adalah mengakui bahwa ajaran agama memiliki sifatnya yang ekslusif sekaligus juga inklusif. Banyak hal semakna yang ditemukan dalam setiap akan mengaktualisasikan dirinya dengan menjalankan perintah Tuhan disertai dengan penyerahan diri kepada Tuhan. Sedangkan Tuhan sebagai satu-satunya pemberi aturan moral dan hakim atas tindakan manusia berarti meyakini bahwa agama adalah jalan kebaikan – keselamatan – kebahagiaan yang diberikan oleh Tuhan, maka baik dan buruk secara absolut hanya ada dalam penilaian Tuhan untuk menentukan keselamatan dan kebahagiaan manusia. Oleh sebab itu fungsi agama adalah pembentukan akhlak. Dengan demikian manusia sebagai pencari kebahagiaan secara sadar mengapresiasikan nilai-nilai ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari. 6 Said Agil Husain Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta : Ciputat Press, 2005), Cet.3, h.208 21 agama, satu semangat dan satu tujuan. Persamaan-persamaan ini harus diketengahkan, sementara itu perbedaan-perbedaan harus diakui, dihargai dan dihormati. Dalam prinsip ini, kepercayaan kepada Tuhan adalah ikatan yang menyatukan persaudaraan antar umat beragama. Agree in different setuju didalam perbedaan,ditemukan adanya doktrin-doktrin yang disepakati oleh berbagai pemeluk agama kendatipun dalam perbedaannya. Islam mengakui keberadaan Injil dan Taurat serta penghormatan yang istimewa bagi pemeluknya.persetujuan umat Islam terhadap Taurat dan Injil dipahami sebagai suatu pengakuan, namun juga disadari adanya perbedaan tentang memahami eksistensinya. Demikian juga umat Yahudi dan Kristiani harus menyadari bahwa umat Islam mengimani Musa dan Isa, kendatipun dalam pengertian kedudukan berbeda dengan pemahaman Yahudi dan Kristen tersebut7. Memahami agama dengan pemahaman teologis selain memperkokoh keyakinan (terhadap agamanya) sekaligus juga mengakui koeksistensi agama/teologi lain sehingga otoritas kebenaran bukanlah justifikasi manusia. Selain itu, memahami agama dengan pemahaman etis (nilai-nilai ajarannya) yakni keterlibatan aktif manusia dalam membangun perdamaian dan kerjasama karena adanya kesadaran prinsip moral universal dalam tiap-tiap agama. B. Agama dan Sikap Keagamaan Dalam pembahasan ini, penulis akan mendeskripsikan beberapa pengertian agama secara definitif (tekstual) serta indefinitif (kontekstual) serta menjelaskan hubungan antara agama dengan sikap keagamaan. Sehingga dapat terlihat jelas bahwa agama yang tidak terwakilkan dengan definisi tersebut dapat kita pahami dari sikap keagamaan yang tercermin – dan mencerminkan agama itu sendiri. Kata “agama” setara dan sepadan dengan kata “religion” (dalam bahasa Inggris), dan “din” (dalam Bahasa Arab). Kata “agama” itu sendiri berasal dari bahasa Sansekerta (a = tidak dan gama = kacau). Jadi, agama berarti 7 Said Agil Husain Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama…, h.209-210 22 “tidak kacau”. Hal ini dipahami, bahwa agama adalah seperangkat aturan Tuhan yang mengatur kehidupan manusia. Sehingga mereka yang ber-agama, berarti tidak mengalami kekacauan dalam hidupnya, baik itu kekacauan akal maupun hati atau lahir maupun batin. Dalam al-Quran, kata din memiliki dua makna penting yang dapat dibedakan : (1) agama dan (2) pengadilan. Menurut para ilmuwan, dari dua makna dasar tersebut, pertama “agama” berasal dari Persia. “Den” menurut bahasa Persia Zaman Pertengahan artinya kira-kira “agama (yang sistematik)”. Kedua, pengadilan berasal dari bahasa Ibrani; kata Ibrani din bermakan “pengadilan“; disamping itu , dengan kombinasi tertentu “Hari Pengadilan” (yaumul din) merupakan cirri khas Yahudi. Pengkajian teradap literatur pra-Islam menjelaskan tiga makna akar berikut : (1) adat istiadat, kebiasaan, (2) kebangkitan dan (3) kepatuhan8. Menurut Dr. Wilfred Cantwell Smith kata Agama secara umum dapat diartikan dengan dua pengertian yang berbeda, sekalipun sangat berkaitan erat; satunya adalah “agama” sebagai persoalan pribadi yang dalam, sebagai tindakan eksistensial tiap-tiap- orang yang mempercayai sesuatu, singkatnya “iman” dan yang lainnya adalah “agama” dalam pengertian umum, yakni sesuatu yang dikenal oleh suatu masyarakat, suatu persoalan komunal yang yang objektif meliputi semua kepercayaan dan praktek ritual yang dilakukan oleh semua anggosa masyarakat itu 9. ”Religi itu bekerja didalam sejarah manusia. Ia merupakan suatu proses dialektis antara yang duniawi dan yang transenden; suatu proses yang lokusnya adalah iman yang personal, kehidupan manusia itu sendiri, lebih dari sekedar yang bisa diamati dan lebih dari sekadar yang dapat dipahami. Tentang hasil-hasil apa yang tidak bisa diamati (secara publik) dan apa saja yang bukan duniawi dari proses dialektis ini yang ditemukan dalam iman orang-orang yang berpartisipasi dalam tradisi ini, mereka bisa mengatakannya dengan berbagai cara mereka sendiri. Sesuatu yang dapat diamati secara publik oleh oleh para sejarawan- 8 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik Terhadap Al-Quran, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2003), Cet.2, h. 245 9 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia…, h.252 23 bertumpuk dan berkembang terus menerus-menerus dalam apa yang disebut tradisi kumulatif”10. Bila kita melangkah lebih jauh lagi pada arah ini, untuk melihat perbedaannya antara din dalam arti obyektif umum dengan din arti tradisi akan kita temukan dalam ayat yang berbunyi “Hari ini telah Kusempurnakan agamamu dan Aku ridhoi Islam sebagai agamamu11”, dengan ayat lainnya yang berbunyi “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti millah (agama) mereka12” kata din tampaknya bermakna “agama” yang objektif dan umum yang mengarah pada suatu ketaatan. Bila kita melangkah lebih jauh lagi pada arah ini, yakni arah yang umum, maka konsep tersebut berubah menjadi millah, yang merupakan agama sebagai sesuatu yang objektif dalam arti kata yang sesungguhnya, suatu sistem kepercayaan dan ritual formal yang merupakan prinsip-prinsip kesatuan bagi suatu masyarakat religius dan karya sebagai asas bagi kehidupan sosialnya. Tidak seperti kata din yang masih mempertahankan konotasi personal, betapapun jauhnya kita menuju kearah pengertian umum, millah mengandung arti sesuatu yang tegas, objektif dan formal dan ia selalu mengingatkan kita akan eksistensi suatu masyarakat yang berlandaskan pada suatu agama yang lazim13. 10 Tradisi kumulatif, adalah istilah yang ia gunakan – (disebutkan oleh Willfred Cantwell Smith) sendiri, dalam tradisi kumulatif, menurutnya; setiap person dihadapkan pada tradisi kumulatif dan tumbuh ditengah person-person yang lain yang memandang tradisi mereka penuh makna. Dari tradisi itu, dari person-person lain, dan dari kapasitas batiniah person yang bersangkutan serta lingkungan kehidupan lahiriahnya, si person sampai kepada suatu iman yang adalah miliknya sendiri. Tradisi itu, dalam aktualitasnya yang terindera dan person-person lain yang berada dalam tradisi itu – berpartisipasi secara mirip dengannya – mengasuh serta menumbuhkembangkan imannya dan memberinya bentuk. Sebaliknya, iman si person itu memberikan kepada tradisi konkrit yang bersangkutan, lebih dari sekedar signifikansi intrinsik dan menggalakkan sesama warga tradisi untuk tekun melanjutkan keterlibatannya dalam tradisi itu. (Lihat : Wilfred Cantwell Smith, Memburu Makna Agama, terj. The Meaning and End of Religion, (Bandung : PT. Mizan Pustaka, 2004), Cet.1 h.321-322) 11 Q.S Al-Miadah (5) : 3 12 Q.S. Al-Baqarah (2) : 120 13 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia…, h.254 24 Din berasal dari “kepatuhan” yang sangat personal, yang bersifat umum; pada tahap akhir perkembangannya semakin menuju konsep millah tersebut. Persoalan ini akan menjadi jelas bila kita membandingkan Surah Ali Imran (3), ayat 73 yang telah kita kutip diatas dengan surat al-Baqarah (2), ayat 120, tempat situasi yang sama disebutkan dengan millah, bukannya din. (١٢٠ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ﻢﻬﻠﱠﺘ ﻣﺒﹺﻊﺘﻰ ﺗﺘﻯ ﺣﺎﺭﺼﻻﹶ ﺍﻟﻨ ﻭﻮﺩﻬ ﺍﻟﹾﻴﻨﻚﻰ ﻋﺿﺮﻟﹶﻦ ﺗﻭ “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti (agama) millah mereka” . (Q.S. Al-Baqarah, 2 : 120)14 Sinonim antara din dengan millah tampak lebih jelas pada Surat alAn’am (6), ayat 161 yang berbunyi: ﻦﺎﻛﹶﺎﻥﹶ ﻣﻣﻨﹺﻴﻔﹰﺎ ﻭ ﺣﻴﻢﺍﻫﺮﻠﱠﺔﹶ ﺇﹺﺑﺎ ﻣﻤﻴﺎ ﻗﻳﻨﻴﻢﹴ ﺩﻘﺘﺴ ﻣﺍﻁﺮﻲ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺻﺑﺍﻧﹺﻲ ﺭﺪﻨﹺﻲ ﻫﻗﹸﻞﹾ ﺇﹺﻧ (١۶۱)ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ ﲔﺮﹺﻛﺸﺍﻟﹾﻤ “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan lurus, (yaitu) agama (din) yang benar; agama (millah) Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik” (Q.S. An’am, 6 : 161)15 Disini penting sekali kita melihat tiga konsep penting yang memiliki kesejajaran antara satu dengan lainnya : jalan yang lurus = din yang benar = millah Ibrahim. Tetapi bila kita kembali ke titik awal keberangkatan kita din dan millah menjadi semakin berbeda satu sama lain, sehingga kita tidak saling tukar. Misalnya, dalam surah Az-Zumar (39), ayat 2 dapat kita baca : (٢ 14 )ﺍﻟﺰﻣﺮﻳﻦ ﺍﻟﺪﺎ ﻟﱠﻪﺼﻠﺨ ﺍﷲَ ﻣﺪﺒ ﻓﹶﺎﻋﻖ ﺑﹺﺎﻟﹾﺤﺎﺏﺘ ﺍﻟﹾﻜﻚﺂ ﺇﹺﻟﹶﻴﻟﹾﻨﺂ ﺃﹶﻧﺰﺇﹺﻧ Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir Al-Quran, 1971). 15 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.216 25 “Sesunggunhya kami menurunkan kepadamu kitab (al-Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan din kepada-Nya” (Q.S. Az-Zumar, 39: 2)16 Disini Tuhan menggunakan kata-kata tersebut secara langsung kepada Nabi Muhammad Saw dan meneru beliau sebagai seorang hamba untk menyembah Tuhan. Dalam konteks ini, persoalan tersebut menyangkut setiap religious masing-masing individu, dan secara objektif bukan merupakan sistem agama yang formal. Millah pada hakikatnya merupakan persoalan ummah, sedangkan din menurut asal-usulnya merupakan persoalan masingmasing individu yang beriman. Berbagai istilah agama dan artinya telah melahirkan berbagai macam definisi, namun pendifinisian agama hingga saat ini masih belum berlaku dan dapat diterima (disepakati). Hal ini dikarenakan agama memenuhi berbagai lingkupnya untuk didefinisikan17, selain agama menyangkut batin dan pengalaman rohani manusia, ia juga meliputi berbagai formalitasnya sebagai agama; baik dari segi ajaran (dogma dan doktrin), tradisi, institusi dan sejarahnya, (kebudayaan dan peradaban) yang masing-masing agama berbeda atau bahkan berlawanan. Namun demikian, meski sulit terwakilkan oleh satu definisi saja, karena agama menyangkut masalah yang berhubungan dengan batin manusia. Secara garis besar dapat diperoleh kesimpulan bahwa keyakinan terhadap agama didorong oleh keyakinan manusia terhadap kekuatan Adi-Kodrati yang mengatur hidup manusia. Bila kita generalisir berdasarkan perspektif etimologinya, definisi agama (din atau religi) memiliki dua kutub penekanan (pengertian), pertama, agama didefinisikan sebagai perihal yang menekankan rasa iman dan kepercayaan, kedua, agama didefinisikan sebagai aturan tentang cara hidup18. 16 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h. .745 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005), h.213 18 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Jakarta : PT. Remaja Rosdakarya, 2003), Cet.11, h.8 17 26 Sebagaimana dikatakan diatas, bahwa agama menyangkut kehidupan batin manusia. Oleh karena itu, kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan gaib. Dari kesadaran agama dan pengalaman agama ini pula kemudian muncul sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang Lebih lanjut, Prof. Komaruddin Hidayat juga menjelaskan lima tipologi sikap keagamaan, yaitu ekslusivisme, inklusivisme, pluralisme, eklektivisme, dan universalisme. Ekslusivisme adalah sikap keagamaan yang memandang bahwa ajaran yang paling benar adalah agama yang dipeluknya, yang lainnya sesat. Insklusivisme adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya, juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh dan sesempurna agama yang dianutnya. Pluralisme adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa secara teologis, pluralitas agama dipandang sebagai realitas niscaya yang masingmasing berdiri sejajar sehingga semangat misionaris dan dakwah dianggap “tidak relevan”. Eklektivisme adalah sikap keagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mozaik eklektik. Universalisme adalah sikap keagamaan yang berpandangan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama, hanya karena faktor historis yang menyebabkan agama tampil dalam format yang plural19. Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Sikap keagamaan tersebut oleh adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur afektif dan perilaku terhadap agama sebagai unsur konatif. Jadi sikap keagamaan merupakan interaksi secara 19 “Dialog: Cara Baru Beragama, Sumbangan Hans Kung bagi Dialog antar-Agama,” dalam Seri DIAN I/Tahun I: Dialog Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Dian, 1994), hal. 69 27 kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama serta tindak keagamaan dalam diri seseorang20 Dalam studi keagamaan sering dibedakan antara istilah “religion” dengan “religiousity”. Kata religion yang biasa dialih-bahasakan menjadi “agama” pada mulanya kata ini lebih berkonotasi sebagai kata kerja yang mencerminkan sikap keberagamaan atau kesalehan hidup berdasarkan nilainilai ketuhanan21 Agama sebagai kata kerja, berkenaan dengan perwujudan moral ketuhanan dan kemanusiaan. Perwujudan moral ketuhanan dapat diartikan sebagai wujud sifat-sifat ilahiah dalam diri manusia yang termanifestasikan dalam sikap dan tingkah laku atau sering kita sebut dengan akhlak. Perwujudan moral hadir dari rasa kesadaran moral bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta yang tidak terpisahkan sehingga kesadaran tersebut mengambil peran dan tanggung jawabnya terhadap dunia ini. Perwujudan moral ketuhanan tersebut yang kemudian termanifestasikan oleh manusia, maka dengan sendirinya akan melahirkan suatu prinsip universal tentang nilai-nilai etis / kebaikan hidup manusia. Hal ini senada dengan pendapat A.M. Romly bahwa agama merupakan pelajaran mewujudkan rasa kemanusiaan setinggi-tingginya dalam susunan yang teratur, agar bisa bermanfaat sebanyak-banyaknya untuk kehidupan manusia. Oleh karena itu, tujuan tiap-tiap agama pada hakekatnya adalah sama, yaitu perwujudan prikemanusiaan setinggi-tingginya22 Dalam Islam, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW “Tidaklah aku diutus, kecuali untuk menyempurnakan akhlak”. Hal ini sangatlah jelas bahwa agama (Islam) bertujuan untuk mengembangkan dan membentuk akhlak manusia, sehingga agama dengan seperangkat aturan yang terkandung didalamnya (syariat) adalah jalan atau cara untuk menumbuhkembangkan akhlak tersebut. Sebagaimana yang dikehendaki agama adalah yang 20 Jalaluddin, Psikologi Agama …, h.239 Komarudin Hidayat, The Wisdom of Life, Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2008), h.3 22 A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, h. 85 21 28 dikehendaki Tuhan, agar manusia memahami jati dirinya dan eksistensinya untuk berbakti kepada Tuhan, manusia dan alam semesta. Menurut Prof.Dr. Komarudin Hidayat, keberagamaan atau religiusitas lebih mengarah pada kualitas penghayatan dan sikap hidup seseorang berdasarkan nilai-nilai keagamaan yang dianutnya23 Dengan demikian dapat diartikan bahwa keberagamaan adalah penyikapan atau pemahaman para penganut agama terhadap doktrin, kepercayaan dan ajaran-ajaran Tuhan. Pandangan penganut agama terhadap nilai dan ajaran agama yang parsial memunculkan keberagamaan yang ekstrinsik, hal ini disebabkan pemahaman agama yang literalis dan tekstualis terutama pada teks-teks suci yang mengandung makna ambigu sering dipahami dengan pengertian yang bias dan absurd. Pada sisi ini rekonstruksi terhadap pemahaman agama perlu diupayakan secara sistematis, kontekstual, otentik serta dijadikan komitmen bagi seluruh umat beragama. Untuk memulainya nilai-nilai teologi pembebasan perlu dihadirkan dan melihat relevansinya dengan nilai-nilai kemanusiaan, fakta sosial dan perkembangan zaman. Karena sebenarnya kelahiran agama yang dibawa para rasul Tuhan tidak lain adalah untuk pembebasan terhadap kaum tertindas serta upayanya menegakkan hak-hak asasi manusia24 Dengan faham dan penghayatan agama yang benar, mestinya seseorang dan masyarakat tumbuh menjadi semakin manusiawi dan beradab. Disisi lain secara diakletis nilai-nilai dan praktek luhur keagamaan juga harus dijaga dan dihormati karena agama merupakan sumber dan pedoman luhur yang sakral untuk kebaikan manusia sendiri25 Kerukunan dan dialog antar agama harus dijaga dan terus dikembangkan. Semuanya tetap menjaga prinsip yang telah diyakini sebagai inti dari kepercayaan sebuah agama. Dalam hal ini, W. Montgomery Watt menyatakan dalam pengantar bukunya, Islamic Revelation in the Modern 23 Komarudin Hidayat, The Wisdom of Life…, h.4 Irwan Suhanda (ed), Damai Untuk Perdamaian, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2006), Cet.1, …, h.17 25 Irwan Suhanda (ed), Damai Untuk Perdamaian, h.xii 24 29 World (1969), dialog agama melibatkan kesediaan untuk menjawab secara positif pernyataan agama lain tanpa maksud mengubah kesetiaan orang itu terhadap agamanya26. Jadi tujuan dialog agama bukan mengajak umat lain masuk agama kita, tetapi mengungkapkan keyakinan yang kita imani agar dapat memperkaya pengetahuan umat lan tentang agama kita sehingga menghindarkan kesalahpahaman dan buruk sangka. Tujuan dialog agama juga bukan untuk mencapai pandangan ideal yang satu, tetapi mencari simpul-simpul ajaran universal yang harus diperjuangkan bersama, seperti keadilan dan perdamaian27 Dari berbagai pemaparan diatas, agama dipahami dalam bentuk kata kerjanya tentu ia lebih menekankan pada substansi dan nilai-nilai luhur yang aktual didalamnya. Oleh karena itu, pada tataran ini, setiap agama memiliki persamaan tujuan terhadap kemanusiaan. Tetapi kemudian, pada saat yang bersamaan dan dalam perkembangannya agama bergeser menjadi semacam kata benda, yakni sebagai institusi kelembagaan yaitu himpunan doktrin dan ajaran serta hukum-hukum yang telah dibakukan. Proses pembakuan ini berlangsung antara lain melalui proses sistematisasi nilai dan semangat agama, sehingga sosok agama lalu hadir sebagai himpunan sabda Tuhan yang terhimpun dalam literatur keagamaan karangan para tokoh agama28. Ketika ajaran agama telah dibungkus menjadi paket-paket informasi ilmiah, maka sesungguhnya telah berlangsung proses obyektivikasi dan rasionalisasi dalam dunia agama, sehingga sangatlah mungkin ruh dan misteri agama akan surut menghilang. Manusia akan lebih memandang bentuk formalitas suatu agama dan semakin jauh dari esensi dasar dan tujuan agamanya. Tentu saja hal ini tidak dapat kita pungkiri, karena setiap agama dari masa-masa lahir dan perkembangannya telah menciptakan tradisi-tradisi yang melekat dengan agama itu sendiri. Namun setidaknya untuk memahami agama yang murni, selain menjaga tradisi positif yang dapat mempertahankan 26 Irwan Suhanda (ed), Damai Untuk Perdamaian…, h. 40 Irwan Suhanda (ed), Damai Untuk Perdamaian…, h. 41 28 Komarudin Hidayat, The Wisdom of Life, …, h.4 27 30 eksisitensi agama, harus disertai dengan penghayatan agar kita juga tidak kehilangan spirit (semangat) pesan dasar agama dan tujuan agama bagi manusia. Dalam menyikapi pluralitas agama tersebut, lahirlah konsep-konsep mengenai sikap keagamaan yang diusung oleh beberapa tokoh. Misalnya, Hans Kung yang mempromosikan mengusulkan ide global ethics, John Hick global theology. Pemikiran eksklusif dari agama-agama diglobalkan dan dilebur agar dikenal dengan gagasan yang disebut teologi inklusif. Teologi ini menekankan bahwa semua agama pada esensinya adalah sama, semuanya benar karena tanpa kecuali seluruhnya mengajarkan kebaikan dan ketundukan kepada Yang Mahakuasa dan Mahabenar. Oleh sebab itu, tidak ada satu pun di antara agama yang ada pada saat ini, lebih superior dibandingkan yang lain. C. Agama dan Gagasan tentang Tuhan Umat manusia sejak awal kehadirannya dipentas sejarah telah memberikan nama yang berbeda-beda, sesuai dengan bahasa yang digunakan masing-masing, kepada “Kausa Prima” alam keberadaan. Orang Persia menyebutnya “Yazdan” atau “Khoda”. Orang Inggris menyebutnya “God” atau “Lord”, kita menyebutnya Tuhan atau “Sang Hyang” 29. Dialah Tuhan Maha Sempurna. Kepercayaan pada “Yang Adi Kodrati”, merupakan bagian integral dari kehidupan manusia, baik terbentuk dalam sebuah lembaga transsendental yang disebut “agama” maupun tidak di-agamakan. Kendati demikian, konsep dan keyakinan tentang Tuhan telah berkembang dan terpecah dalam beberapa aliran ketuhanan. Demikianlah, Tuhan, sejak dulu hingga sekarang telah menjadi obyek perdebatan, pengimanan sekaligus juga penolakan. 29 Kata “tuhan” dalam bahasa Indonesia, misalnya, hampir memiliki arti yang berdekatan dengan “tuan” yang berarti “majikan” atau “pemilik”, atau kata “Hyang” yang memliki kedekatan arti dengan “eyang” yang berarti kakek atau nenek…., Lihat : Ja’far Subhani, Sang Pencipta Menurut Sains dan Filsafat, (Jakarta : Penerbit Lentera, 2004), Cet.1, h.11-12 31 Dari beberapa konsepsi atau pandangan ketuhanan yang amat mendasar yang diterangkan dengan jelas oleh Imam Ja’far ash-Shadiq, guru dari para imam dan tokoh keagamaan besar dalam sejarah Islam, baik untuk kalangan ahlusunnah maupun syi’ah. Dalam sebuah penuturannya ia menjelaskan nama “Allah” dan bagaimana menyembah-Nya secara benar sebagai jawaban atas pertanyaan Hisyam bin Hakam : “Dia Yang Esa itu bukanlah Nama-Nya, melainkan Dzat atau EsensiNya, sebab Dia mempunyai banyak nama. Karena itu, al-Baidhawi menegaskan paham Tauhid bukanlah ditujukan kepada nama, melainkan kepada esensi, maka tauhid yang benar ialah “Tauhid alDzat” bukan “Tauhid al-Ism” (Tauhid Esensi, bukan Tauhid Nama)”. “Sesungguhnya kata “Allah” (kadang-kadang dieja “Al-Lah”) berasal dari kata “ilah”, dan “ilah” mengandung makna “ma’luh” (yang disembah), dan nama (ism) tidaklah sama dengan yang dinamai (almusamma). Maka barangsiapa menyembah nama tanpa makna, ia sungguh telah kafir dan tidak menyembah apa-apa. Barangsiapa menyembah nama dan makna (sekaligus), maka ia sungguh telah musyrik dan menyembah dua hal. Barangsiapa menyembah makna tanpa nama, maka itulah Tauhid. Engkau mengerti wahai Hisyam? Hisyam menyatakan lagi, “tambahilah aku (ilmu)”. Imam Ja’far alShadiq menambahkan : “Bagi Allah yang Maha Mulia dan Maha Agung ada 99 nama. Kalau seandainya nama itu sama dengan yang dinamai, maka setiap nama itu adalah suatu Tuhan. Tetapi Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung adalah suatu Makna (Esensi) yanh diacu oleh nama-nama itu, sedangkan nama-nama itu seluruhnya tidaklah sama dengan Dia…30” Gagasan ketuhanan lainnya yang dapat kita temui, misalnya Plato yang menyatakan ide ketuhanannya melalui apa yang ia sebut dengan Idea Tertinggi, gagasannya tentang Idea tersebut adalah “Idea yang tertinggi adalah idea kebaikan, sebagai Tuhan yang membentuk dunia”, plato menyamakannya dengan matahari yang menyinari semuanya. Idea kebaikan tidak saja sebab timbunya pengetahuan dalam dunia yang lahir, tetapi juga sebab tumbuh dan berkembang segala-galanya. Dengan demikian, idea adalah pokok dan merupakan sumber dari yang ada dan sumber pengetahuan. Selain itu, ia juga mengemukakan bahwa karena sinar yang memancar dari idea kebaikan, semuanya tertarik padanya dank arena itu ia jadi sebab dan tujuan 30 Ja’far Subhani, Sang Pencipta Menurut Sains dan Filsafat…, h.22-23 32 dari segala-galanya. Dengan kata lain, dalam istilah agama, semua berasal dari idea tertinggi dan segalanya akan kembali kepada-Nya31 Sedangkan dalam metafisika aristoteles, ide ketuhanan dapat dilihat dari pandangannya tentang gerak dalam pembentukan materi. Menurut Aristoteles, gerak bukan dalam arti tempat, tetapi dalam arti perubahan. Gerak itu ada yang menyebabkannya dan sebab gerak itu sendiri ada pula sebabnya dan seterusnya. Akhirnya sampai pada sebab yang pertama yang immaterial. Tidak bertubuh, tidak bergerak dan, serta cerdas. Sebab gerak pertama itu ialah Tuhan. Dia adalah tetap selama-lamanya, tidak berubahubah, terpisah dari yang lain tetapi sebab dari segala-galanya32 Adapun agasan ketuhanan Konfusius yakni adanya nilai-nilai susila sebagai kehendak dari yang Adi Susila yang disebut Alam Ketuhanan. Ia percaya ahwa dengan menyadari adanya Alam Ketuhanan ia percaya bahwa yang dikerjakannya selaras dengan kehendak Alam Ketuhanan. Konfusius berkeyakinan bahwa ia mengikuti Alam Ketuhanan dan memperoleh dukungan Alam Ketuhanan33 Gagasan ketuhanan dalam Taoisme adalah dasar ajaran Tao itu sendiri tentang (dua konsep), Yang Ada (Yu) dan Bukan- Yang Ada (Wu). “Yang Ada” dan “Bukan Yang Ada” tidak diartikan sebagai dua hal yang bertentangan, melainkan berada dalam hukum sebab-akibat. Yang Ada sebagai akibat dari Yang Bukan Ada sebagai sebabnya. Sebab adanya Yang Ada timbul ada-ada lainnya. “Segala sesuatu di dunia menjadi ada dari Yang Ada (Yu); dan Yang Ada menjadi dari Bukan Yang Ada (Wu)”. Bukan-Yang Ada sebenarnya tidak dapat diberi nama, sehingga tidak dapat dimuat dalam kata-kata34 31 32 33 34 A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, h.29 A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, h.30 A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, h.37 A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, h.38 33 Beberapa pandangan filosof dan ilmuan abad-20 diantaranya : Jean Jacques Rousseau mengatakan, “Sesungguhnya mengenal Tuhan tidak terbatas pada akal, keragu-raguan serta anggapan saja, karena perasaan dan emosi yang bersifat fitri adalah jalan terbaik untuk membuktikannya”. Max Muller berkata, “Sesungguhnya perasaan yang tiada akhir untuk menemukan kekuatan tak terbatas menunjukkan kita pada suatu keyakinan terhadap agama” Sedangkan Einstein mengatakan “Sesungguhnya keyakinan dan amal ibadahku merupakan pernyataan pujian yang tak layak bila dibandingkan dengan roh yang layak dan tak terbatas”35 Mahatma Gandhi mengatakan: “Tuhan bukan suatu pribadi. Dia mengatasi segala penggambaran. Dia adalah pencipta Hukum, Hukum itu sendiri dan Pelaksana Hukum. Tuhan adalah Kebenaran. Hukum Tuhan dan Tuhan tidak berbeda dalam wujud dan kenyataannya; lain halnya dengan raja duniawi yang berbeda dengan hukum yang harus dijalankannya. Karena Tuhan adalah Idea, Hukum itu sendiri, maka tidak mungkin Tuhan merusak Hukum36” Dari uraian diatas jelaslah bahwa masalah menyembah kepada Tuhan adalah sesuatu yang fitri. Manusia tak pernah memetik keimanannya dari prinsip-prinsip filsafat atau hukum-hukum ilmiah yang telah dikodifikasikan, berbeda dengan tauhid (monoteisme demonstrable) yang berkisar pada argument rasional dan saintis. Kedua hal ini mesti dibedakan37. Sekarang kita beralih pada pandangan ibnu al-Arabi tentang perbedaan keagamaan. Dalam hal ini, salah satu tema pokok yan perlu dan sekaligus ,menarik untuk dibicarakan adalah teori Ibnu al-Arabi tentang “Tuhan kepercayaan” (al-Ilah al-mu’taqad), yang disebut pula “Tuhan dalam kepercayaan” (al-Ilah fi al-I’tiqad), atau “Tuhan kepercayaan” (al-Haqq alI’tiqadi), atau “Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan “ (al-Haqq almakhluq fi al-I’tiqad). 35 Ja’far Subhani, Sang Pencipta Menurut Sains dan Filsafat…,h.33 A.M Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, 36-37 37 Ja’far Subhani, Sang Pencipta Menurut Sains dan Filsafat…, h.33 36 34 “Tuhan kepercayaan” adalah Tuhan dalam pengetahuan, konsep, penangkapan, atau persepsi manusia. Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, tetapi adalah tuhan ciptaan manusia, yaitu tuhan yang diciptakan oleh pengetahuan, konsep, penangkapan, atau persepsi manusia. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang “dimasukkan” atau “ditempatkan” oleh manusia dalam kepercayaannya. “Bentuk” , “gambar”, atau “wajah” tuhan seperti itu ditentukan atau diwarnai oleh manusia yang mempunyai kepercayaan kepada-Nya. “Apa yang diketahui” diwarnai oleh “ apa yang mengetahui”. Dengan mengutip perkataan al-Junayd, Ibn al-Arabi berkata,” warna air adalah warna bejana yang ditempati” (lawn al-ma’lawn ‘inaihi). Itulah sebabnya Tuhan berkata, “Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku” (Ana ‘inda zhann ‘abdi). Tuhan disangka, bukan diketahui38. Teori ibn al-Arabi tersebut mengingatkan kita kepada Xenophanes (kira-kira 570-480 SM) terhadap antromorfisme Tuhan, atau tuhan-tuhan. Sebagaimana dijelaskan diatas “Tuhan kepercayaan“ adalah Tuhan ciptaan manusia. Barang siapa memuji ciptaan-Nya berarti memuji dirinya sendiri. Ibn al-’Arabi berkata: Tuhan kepercayaan adalah ciptaan bagi yang mempersepsikannya. Dia adalah ciptaannya. Karena itu, pujiannya kepada apa yang dipercayainya kepada dirinya sendiri. Itulah sebabnya ia mencela kepercayaan orang lain. Jika ia menyadari (persoalan yang sebenarnya), tentu ia tidak akan berbuat demikian. Tidak diragukan bahwa pemilik objek penyembahan khusus itu adalah bodoh tentang itu karena penolakannya terhadap apa yang dipercayai orang lain tentang Allah. Jika ia mengetahui apa yang dikatakan oleh al-Junayd, “warna air adalah warna bejana yang ditempatinya,” ia akan membenarkan apa yang dipercayai setiap orang yang mempunyai kepercayaan dan mengakui Tuhan dalam setiap bentuk dan dalam setiap kepercayaan39. Di mata Ibn al-Arabi, orang yang menyalahkan atau mencela kepercayaan orang lain tentang Tuhan adalah orang yang bodoh. Pasalnya, Tuhan dalam kepercayannya sendiri, sebagaimana dalam kepercayaankepercayaan yag disalahkannya itu, bukanlah Tuhan sebagaimana Dia 38 Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial, Kearifan Kritis Kaum Sufi, (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003), Cet.3, h.36-38 39 Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.38-39 35 sebenarnya. Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya tidak dapat diketahui. Ini sama dengan “mengetahui Tuhan yang tidak dapat diketahui” (to know the Unknowable God). Orang seperti itu mengakui hanya Tuhan dalam bentuk kepercayaannya atau kerpercayaan kelompoknya sendiri dan mengingkari Tuhan dalam bentuk-bentuk kepercayaan lai. Padahal, Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam semua bentuk kepercayaan yang berbeda-beda itu adalah satu dan sama40. Pengetahuan yang benar tentang Tuhan, menurut sufi dari Andalusia ini, adalah pengetahuan yang tidak terlihat oleh bentuk kepercayaan atau agama tertentu. Kata Ibn al-Arabi, “Barang siapa membebaskan-Nya dari pembatasan, tidak akan mengingkari-Nya dan mengakui-Nya dalam setiap bentuk tempat Dia mengubah diri-Nya”41 Kepercayaan seorang hamba kepada Tuhannya ditetukan dan diwarnai oleh kapasitas pengetahuan sang hamba. Kapasitas pengetahuan itu tergantung kepada”kesiapan partikular" (al-isti’dad al-juz’i) masing-masing individu hamba sebagai bentuk penampakkan”kesiapan universal”. Tuhan menampakkan diri-Nya kepada hamba-Nya dengan kesiapan sang hamba untuk mencapai pengetahuan tentang Tuhan yang akhirnya “diikat” atau “dibatasi” oleh dan dalam kepercayaannya sesuai dengan pengetahuan yang dicapainya42. Pengaruh kebudayaan terhadap bentuk atau tipe kepercayaan kepada Tuhan, terhadap “Tuhan kepercayaan”, dibuktikan oleh sejarah agamaagama. Tuhan dalam kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan patriarchal-pastoral, yang berkebudayaan perayahan yang hidup dengan meggembala, berbeda dengan Tuhan dalam kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan matriarchal agricultural yang berkebudayaan peribuan yang hidup dengan bertani. Bapa samawi atau Bapa surgawi adalah Tuhan tipikal orang-orang nomad yang hidup di padang rumput yang - pada gilirannya tergantung kepada hujan dari langit. Ibu Bumi atau ibu Pertiwi adalah Tuhan 40 Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.39 Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.40 42 Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.96-97 41 36 tipikal para petani yang hidup dari hasil tanah atau bumi. Dalam kebudayaan patriarchal pastoral, biasanya bapak dan langit dijadikan sebagai simbol Tuhan. Agama-agama Semitik lebih cenderung kepada kebudayaan tipe pertama, “Bukankah agama Semitik, karena diturunkan dari langit, sering disebut “agama-agama samawi43”. Sekali lagi, dan ungkapan ini adalah simbol (yang menunjukkan). Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Di mata kaum monoteis, kekeliruan kaum polities terletak pada penuhanan mereka akan simbol-simbol, seperti langit, matahari, bulan dan bumi. Kaum polities tidak lagi sepenuhnya bertuhan kepada Tuhan, tetapi telah bertuhan kepada simbol-simbol44. Pandangan Ibn Araby tentang “Tuhan Yang Sebenarnya”. Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat Tuhan, tidak diketahui dan tidak dapat diketahui oleh akal manusia. Karena Tuhan (Zat Tuhan) tidak dapat diketahui oleh siapa pun, maka Nabi saw. Melarang orang-orang beriman untuk memikirkan Tuhan. Beliau bersabda, “berpikirlah tentang ciptaan Allah, tetapi jangan berpikir tentang Zat Allah. Larangan ini 43 Menurut pandangan penulis, pengklasifikasian agama dalam dua kubu yakni “agama samawi dan agama ardhi” tidak sepenuhnya tepat dan dapat diterima. Agama samawi yang biasa kita definisikan sebagai agama langit atau agama yang memiliki (dibawa oleh) Nabi atau Rasul Tuhan serta memiliki kitab suci, agama samawi lebih dianggap sebagai agama yang berasal dari Tuhan dan hanya diidentikkan dengan tiga agama besar yakni Yahudi, Nasrani, dan Islam, sementara yang diluar ketiganya adalah agama ardhi. Sedangkan agama ardhi itu sendiri dianggap sebagai agama hasil budaya atau pemikiran dari tokoh-tokoh suci pencetus/pendirinya, misalnya saja pada agama Zoroaster, Buddha atau Kong Hu Cu. Mengapa penulis katakan kurang tepat, karena tidak ada satupun penganut agama yang akan menerima bila agamanya dianggap sebagai produk akal atau budaya – karena dengan demikian agama tersebut lalu dianggap jauh dari nilai holistik dan otentisitas keberasalannya dari Tuhan, sementara kita tahu bahwa pada ajaran Buddha dan Kong Hu Cu mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang sangat agung. Terlebih bila kita menyadari sebagai umat Islam yang mengimani al-Quran bahwa dengan tegas dikatakan “hanya beberapa dari jumlah nabi dan rasul yang dikisahkan dalam al-Quran” (124.000 nabi dan 313 rasul), sedang alQuran juga menjelaskan bahwa pada setiap umat diutus seorang rasul. Dengan demikian kita menutup kemungkinan adanya kebenaran hanya karena agama, dan nabinya tidak tercantum dalam al-quran. Sedangkan secara lebih logis lagi, bagaimana mungkin Allah swt memperkenalkan keseluruhan umat dan para nabi-Nya kepada bangsa Arab yang pada saat itu tidak mengetahui keberadaan umat yang lain dikarenakan waktu dan tempat yang berbeda. Sehingga sangat tepat apabila setiap agama yang diturunkan akan disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi dan pengetahuan umat pada saat itu. Kata ini lebih tepat (agama ardhi) bila disandarkan pada agamaagama yang muncul setelah agama Islam, merujuk pada keyakinan bahwa nabi Muhammad saw adalah Rasul terakhir, sehingga dapat dipastikan bahwa agama setelah Islam bukan dibawa oleh seorang Nabi melainkan hanya orang-orang yang mengalami pengalaman spiritual luar biasa yang kemudian diyakininya benar sebagai agama. 44 Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.100 37 diperkuat oleh ibn al-Arabi dengan firman Tuhan yang berbunyi, “Allah memperingatkan kalian tentang diri-Nya” (Q.S Ali Imran, 3:28)..” 45 Lebih lanjut Ibn al-Arabi menegaskan sebagai berikut : “Berpikir (fikr) tidak mempunyai hukum dan daerah kekuasaan dalam (mengetahui dan memahami) Zat ah-Haqq, baik secara rasional maupun menurut syara’. Syara’ telah melarang berpikir tentang Zat Allah, inilah yang disinggung oleh firman-Nya, “Allah memperingatkan kalian tentang diri-Nya,” (Q.S 3;28) yaitu “Jangan kamu berpikir tentang Zat-Nya! Larangan ini ditetapkan karena tidak ada hubungan antara Zat al-Haqq dan Zat al-khalaq46” Dari segi diri-Nya, Zat Tuhan tidak mempunyai nama, karena Zat itu bukanlah lokus efek dan tidak pula diketahui oleh siapapun. Tidak ada nama yang menunjukkannya yang terlepas dari hubungan dan tidak pula dengan pengukuhan. Nama-nama berfungsi untuk pemberitahuan dan pembedaan, tetapi pintu (untuk mengetahui Zat Tuhan) dilarang bagi siapapun selain Allah, karena tidak ada yang mengetahui selain Allah. Ibnu Arabi mengecam orang-orang yang melanggar larangan berpikir tentang Zat Tuhan dan menuduh mereka telah menambah kesalahan dengan al-khawd (melakukan upaya spekulasi besar-besaran dan serampangan). Ia memandang bahwa upaya mereka itu adalah sia-sia. Dengan berkali-kali mengutip perkataan Abu Bakar r.a. Ibn ‘Arabi berkata, “(Ketidakmampuan mencapai pengetahuan adalah pengetahuan, al‘ajz ‘an dark al-idrak idrak). Ungkapan ini melukiskan tingkat tertinggi pengetahuan manusia tentang Tuhan dan segala sesuatu yang gaib dan tidak dapat diketahuinya. Orang mengetahui bahwa ia tidak dapat mengetahui Tuhan adalah orang yang secara benar mengetahui-Nya; itulah orang-orang yang bijak. Orang yang menganggap bahwa ia mengetahui Tuhan adalah orang yang tidak mengetahui-Nya; itulah orang-orang yang bodoh. Bukankah 45 46 Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.102 Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.103 38 Tuhan telah berfirman, “Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya (yaitu Tuhan), tetapi Dia mempersepsi semua penglihatan” 47 Demikianlah konsepsi mengenai Tuhan sepanjang sejarah manusia dan agama-agama selalu berbeda, namun tetap pada makna dan inti yang dimaksud atau dituju tersebut. Bentuk aktualisasi pengakuan keimanan (percaya kepada Tuhan dan sebagai manusia yang beragama) harus tercermin dalam dua hal yaitu, kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Dalam halnya mengenai kesalehan sosial ini, ada tiga cara yang harus dilakukan. Pertama. Saling mengenal (ta’aruf), saling mengenal secara mendalam adalah saling mengerti dan saling memahami satu sama lain. Dengan demikian setiap orang bisa saling menghormati dan saling menghargai. Kedua, ta’alluf artinya menyatukan hati dan segenap perasaan. Perasaan saling menyayangi, perasaan senasib-sepenanggungan. Bisa juga dalam bentuk empati (menempatkan perasaan orang lain pada perasaan sendiri). Dengan demikian, perasaan iri, dengki, hasud dan benci akan sirna. Ketiga, ta’awun (bekerjasama). Agama mengajarkan bahwa kerjasama yang dikehendaki adalah saling mendukung dan membantu dalam hal kebajikan dan takwa melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya48 D. Agama dan Tauhid Dalam pembahasan ini, penulis ingin menegaskan tentang keberagaman teologis pada agama-agama. Keberagaman teologis tersebut sebenarnya akan bertemu pada satu titik persamaan yang akan kita bahas lebih lanjut dalam pembahasan selanjutnya (kesatuan transenden). Bila boleh disepakati bahwa ide teologis adalah ide ketuhanan atau konsepsi ketuhanan yang menjadi dasar ajaran pada setiap agama. 47 QS. Al-An’am, 6 : 103. ﺒﹺﲑ ﺍﻟﹾﺨﻴﻒ ﺍﻟﻠﱠﻄﻮﻫ ﻭﺎﺭﺼ ﺍﹾﻷَﺑﺭﹺﻙﺪ ﻳﻮﻫ ﻭﺎﺭﺼ ﺍﹾﻷَﺑﺭﹺﻛﹸﻪﺪ “ ﻻﹶﺗDia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.204) 48 A.M. Romly, Fungsi Agama Bagi Manusia…, h.95-96 39 Keberagaman teologis sepenuhnya adalah bagian-bagian yang tersebar dalam pemahaman manusia tentang Tuhan. Keberagaman teologis tersebut tidak lain adalah berbagai ungkapan yang dituju untuk menegaskan tentang keesaan Tuhan. Keesaan Tuhan atau yang kita kenal dengan istilah “Tauhid” Konsepsi tauhid itu sendiri secara gamblang dapat ditemukan pada agama-agama monoteis, karena agama pagan atau politeisme mengakui adanya banyak tuhan, meskipun tidak berarti juga mereka meniadakan Tuhan – yang satu itu – sebagai tuhan tertinggi. (mengenai monoteisme dan politeisme akan kita bahas pada bagian selanjutnya tentang kesatuan teologis agama-agama). Oleh sebab itu esensi tauhid adalah pengesaan kepada Tuhan. Para ulama kalam lazimnya membagi tauhid kedalam empat bagian, yaitu : Tauhid fi al-Dzat wa al-Sifat, berkaitan dengan keyakinan bahwa Allah itu Esa dalam Dzat-Nya dan dalam Sifat-Nya. Tauhid fi al al-Af’al, berkaitan dengan keykinan bahwa Allah lah satu-satunya yang menciptakan (tauhid khalqiyah, united of Creature) dan mengatur (tauhid rububiyah) alam dengan seluruh sistem, norma, dan sebab-akibatnya melalui karya dan kehendak-Nya. Tauhid fi al-Wilayah,berkenaan dengan keyakinan bahwa Allah saja yang berhak menerapkan syariat dan hukum, memegang kedaulatan dan hakimnya ala mini secara mutlak. Tauhid fi al-Ibadat. Berkaitan dengan ibadah secara hakiki dengan menunjukkan ketaatan sematamata kepada Allah dan menjadikannya sebagai tujuan kiblat dan ideal serta berarti pula menolak segala ketaatan, tujuan, kiblat atau ideal selain Allah yakni ruku’, berdiri, sujud, bergerak, hidup dan mati hanya untuk Allah semata49 Tauhid menolak adanya kontradiksi dan disharmonisasi pandangan tentang Tuhan, karena itu dalam pandangan tauhid tidak dibenarkan adanya eksistensi lain yang melebihi Tuhan. Puncak penegasan tauhid dalam agama Islam adalah kalimat “Laa Ilaaha Illa Allah” yang berarti “Tiada tuhan selain 49 Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme ; Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama, (Jakarta : RMBOOKS&PSAP, 2007), h.124 40 Tuhan”. Bila kita telaah lebih dalam, kalimat tersebut meniadakan “tuhan” ( dengan huruf “t” kecil) dalam pengertian partikular yang dipahami berbeda/berlainan, selain “Tuhan” ( dengan huruf “T” besar) dalam pengertian universal yang dipahami sebagai pokok inti dari semua penyembahan menuju pada yang Satu). Oleh sebab ia partikular maka dari segi etimologi “tuhan / ilah” berbeda dengan Tuhan “Allah”. Kata ilah menunujukkan tuhan-tuhan sesembahan manusia dalam persepsi, pengenalan dan konsepsi manusia (yang juga dipengaruhi oleh sosio-historis dan tradisi dimana seseorang/masyarakat itu hidup), tetapi kata “Allah” menunjukkan Tuhan yang Satu, Tuhan yang wajib disembah, yang dapat diketahui/dikenal dengan peleburan persepsi dan konsepsi yang mengikat akal manusia dari berbagai belenggu sejarah dan tradisi. Oleh sebab itu, Tuhan (Ia yang sebenarnya) hanya dapat diketahui dengan hati yang suci, pendekatan rohani atau pengatahuan metafisik-esoterik, bukan dengan berbagai rangkaian nama, bentuk, persepsi, doktrin dan pengetahuan lahiriah. Menurut Nurcholis Madjid rangkaian tauhid adalah faham tertentu tentang hakikat dan martabat manusia. Bertauhid (mengimani ke-Maha Esaan Tuhan) adalah jalan hidup yang dapat mempertahankan ketinggian martabat manusia karena semangat tauhid itu dengan sendirinya atau seharusnya membawa dampak pembebasan. Yaitu pembebasan dari suatu yang akan membawa kepada pengingkaran harkat kemanusiaan itu sendiri. Dengan komitmen tauhid yang dimulai dari adanya keyakinan dan kesadaran bahwa Tuhan Yang Maha Esa berada diatas manusia, maka dari sini muncullah keinsyafan akan keterbatasan dan kelemahan yang selanjutnya melahirkan sikap kemanusiaan sehingga tidak meninggikan posisi manusia dan tidak mendudukkannya pada posisi yang lemah. Dan melalui peresapan yang mendalam terhadap ke-Maha Esa-an Tuhan (tauhid) ini, akan melahirkan kehidupan yang penuh moral, yang akan termanifestasi beukan 41 hanya pada aspek sosio-ekonomi tapi juga dalam aspek sosio-politiknya dengan sikap penegakan keadilan diantara sesama manusia 50 Dalam perspektif tauhid Islam, semua manusia adalah sama dihadapan Tuhan (baca : Allah). Manusia dicptakan Tuhan hanyalah untuk melaksanakan kehendak Ilahi yakni sebagai khalifah dimuka bumi, yang tiada lain mengejawantahkan penghambaan (‘ubudiyah) sepenuhnya kepada Tuhan (Q.S Al-Zariyat : 56)51, maka oleh karena itu Tuhan menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk (Q.S Al-Tin : 4)52 serta membekali manusia dengan potensi suci untuk mengenal-Nya yakni potensi / fitrah (rasa keberagamaan)53 Jadi secara natural berdasarkan fitrahnya, manusia adalah suci, tidak membawa dosa warisan. Fitrah inilah yang dideklarasikan Islam pertama kali dalam sejarah manusia, sebagaimana sabda Rasulullah saw : “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah), maka orangtuanyalah yang menjadikan mereka Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Fitrah tersebut berupa kecondongan untuk (mengenal Tuhan sebagai sang pencipta) dalam hal ini adalah potensi keberagamaan yang tertanam dalam jiwa manusia.fitrah tersebut yang dimaksud adalah agama yang hanif (lurus) agama yang diajarkan oleh para nabi /utusan Tuhan yang mengajarkan kepada tauhid atau mengesakan Tuhan). Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Rasulullah saw dalam hadis qudsi, bahwa Allah swt berfirman : “Sesungguhnya aku ciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan suci (hunafa’)semua, lalu datang syetan kepada mereka yang menyesatkan mereka dari agama-agama mereka, mengharamkan apa yang Aku halalkan dan memerintahkan mereka agar mempersekutukan-Ku dengan apa-apa yang Aku tidak menurunkan hujjah untuk itu” 50 Junaidi Idrus, Rekonstruksi Pemikiran Nurcholis Madjid; Membangun Visi dan Misi Baru Islam, (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2004), Cet.1, h.125 51 Dan tidaklah Aku ciptakan manusia kecuali agar mereka menyembah-Ku 52 Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk (penciptaan) 53 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama : Tinjauan Kritis, (Jakarta : Perspektif, 2005), Cet.1, h.200 42 Bila kita analisis relevansi dalam makna kedua hadis diatas, kita tidak bisa dengan serta-merta menganggap bahwa Yahudi, Nasrani dan Majusi seperti agama yang kita kenal sekarang melainkan nama-nama agama tersebut diatas lebih mencerminkan kondisi, sifat atau karakter bangsa Yahudi, Nasrani dan Majusi yang membangkang dari syariat/ajaran para nabi mereka. Itu artinya bahwa diantara mereka terdapat pula orangorang yang hanif, hanya saja citra karakter disini lebih kepada paradigma historis yang telah dikenal kaum muslim terhadap bangsa atau agama mereka, karena kebanyakan mereka adalah sesat (tidak lagi meng-esa-kan tuhan). Melalui perspektif inilah kita akan menemukan korelasi yang tepat, bahwa Islam tidak melihat non-Muslim sebagai makhluk yang salah akan tetapi dengan potensi fitrahnya semua manusia berada dalam posisi yang sama untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang sempurna dan tingkat religiusitas yang hanif ; yaitu mengenal Tuhan dan memahami kehendakNya dialam semesta. Dengan konsep agama fitrah ini, Islam telah meletakkan landasan universal yang lebih kuat dan humanis yang memungkinkan manusia untuk mengakomodasi berbagai latar belakang agama dan keyakinan sehingga seluruh “kemanusiaan”. umat Dengan manusia bersaudara demikian jelaslah, dibawah bahwa payung perbedaan keberagamaan menusia tidak boleh dinisbatkan kepada fitrahnya, karena seluruhnya merupakan mekanisme rancangan Tuhan untuk manusia, apakah manusia akan kembali atau keluar dari fitrahnya 54 54 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama : Tinjauan Kritis..., h.201 43 E. Agama dalam Pendekatan Perspektif Filsafat Perenial Sayyid Hossein Nasr menawarkan kajian agama dengan philosophia perennis (filsafat perenial)55, hal ini dikarenakan ia banyak melihat kajian keagamaan di Barat kurang memahami bahwa realitas agama sebagai agama dan bentuk-bentuk yang sacral sebagai realitas ilahi. Sesuatu yang hilang di Barat dalam kajian agama adalah suatu pengetahuan yang bisa memandang agama secara adil, yaitu dengan menggunakan perennial wisdom (hikmah perenial) 56 yang berada dalam “hati” semua taradisi-tradisi keagamaan. Philosophia perennis merupakan pengetahuan yang berada pada “hati” agama yang bisa menerangkan makna ritus-ritus keagamaan, doktrin-doktrin dan symbol-simbol. Philosophia perennis juga menyediakan kunci untuk memahami pentingnya pluralitas agama dan metode untuk masuk kepada dunia agama lain tanpa mereduksi signifikansi atau menghilangkan komitmen kita kepada dunia agama yang menjadi kajian kita. Philosophia perennis akan mengkaji agama dari segala aspeknya; Tuhan dan manusia, wahyu dan seni yang sakral, simbolsimbol dan images, ritus-ritus dan hukum-hukum agama, mistisisme dan etika sosial, metafisika, kosmologi dan teologi57 55 The perennial Philosophy, menyebut bahwa filsafat perennial adalah: 1) Metafisika yang memperlihatkan suatu hakikat kenyataan ilahi dalam segala sesuatu: kehidupan dan pikiran. 2) Suatu psikologi yang memperlihatkan adanya sesuatu dalam jiwa manusia (soul) yang identik dengan kenyataan ilahi itu. 3) Etika yang meletakan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan-yang bersipat imanen dan transenden-mengenai seluruh keberadaan. (Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h.xxix) 56 Kearifan perennial (perennial wisdom) dipandang bisa menjelaskan segala kejadian yang bersifat hakiki, menyangkut kearifan yang diperlukan dealam menjalankan hidup yang benar, yang rupanya menjadi hakikat dari agama-agama dan tradisi besar spiritualitas manusia. Kearifan ini sangat penting, karena hanya dengan kearifan inilah, kita bisa memahami kompleksitas perbedaan yang ada antara yang satu dengan yang lain, yang selama ini dianggap banyak orang bahwa realitas dalam agama-agama hanyalah perbedaannya saja. 57 Tonang, Dialog Antar Umat Beragama, dalam Jurnal FARABI, Volume 3, (Jakarta : 2007) h.100 44 Dalam perspektif filsuf Muslim Jerman, F. Schuon, dan filsuf Syiah, Sayyed Hussein Nasr, agama masa depan adalah agama perenial. Agama perenial lahir jika agama-agama bertemu pada tingkat esensial atau hakikat. Artinya, syariat tidak lagi merupakan inti agama seperti sekarang ini. Dalam istilah para sufi muslim, terlahir kesatuan agama-agama (wahdat al Adyan). Dalam praktek sufi, agama adalah proses transendensi mengatasi (agama-agama) formalitas dalam upaya memahami jati diri. Apabila seseorang telah mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya58. Dalam pengertian agama seperti itu, orang tidak perlu mengklaim kebenaran. Agama juga tidak perlu didakwahkan, apalagi dengan menggunakan kekerasan. Dengan kata lain, agama tidak memerlukan institusi negara karena agama tidak perlu perlindungan dari ancaman. Dalam pertemuan agama-agama tidak perlu lagi ada persaingan apalagi perjuangan antaragama. Agama-agama telah mengalami perdamaian (darr al-salam) atau dalam bahasa Kristen, manusia telah memasuki kerajaan Tuhan yang aman dan damai. Dalam pengertian Islam, agama-agama telah ter-islamkan. Dalam keadaan seperti ini, agama tidak lagi bisa dimanfaatkan atau dimanipulasi untuk kepentingan individu dan kelompok59 F. Kesatuan Transenden Agama-agama Jika ada yang bertanya mengapa harus ada titik temu, apalagi titik temu teologis dan metafisik? Jawabannya, karena kita semakin dihadapkan pada suatu masa yang sering disebut para ahli, sebagai "zaman pascamodern" dimana pluralitas telah menjadi kenyataan yang tidak bisa ditolak. Setiap agama akan bertemu dengan agama-agama yang lain, sehingga ia harus mendefinisikan bahkan secara teologis dan metafisik bagaimana hubungan dirinya dengan agama lain. Sekaligus mendefinisikan ulang masalah keabsahan agama lain, yang 58 59 M. Dawam Rahardjo, Agama Masa Depan, www.korantempo.com, 28 September 2010 M. Dawam Rahardjo, Agama Masa Depan, www.korantempo.com, 28 September 2010 45 tidak lagi bisa secara naif diberi label dengan "kafir," "mengalami penyelewengan," "tidak lebih sempurna," "lebih rendah" dan sebagainya, seperti selama ini dilakukan. Dalam konteks agama-agama, penerimaan adanya the common vision ini berarti menghubungkan kembali the many, dalam hal ini adalah realitas eksoteris agama-agama, kepada asalnya The OneTuhan, yang diberi berbagai macam nama oleh para pemeluknya sejalan dengan perkembangan kebudayaan dan kesadaran sosial dan spiritual manusia. Sehingga kesan empiris tentang adanya agamaagama yang majemuk itu, tidak hanya berhenti sebagai fenomena faktual saja, tetapi kemudian dilanjutkan: bahwa ada satu realitas yang menjadi pengikat yang sama dari agama-agama tersebut, yang dalam bahasa simbolis bolehlah kita sebut dengan “ Agama itu” (The Religion). Dengan cara trasendental ini di temukan adanya norma-norma abadi yang hidup dalam jantung setiap agama-agama besar, maupun tradisi tradisi spiritual kuno .The heart of religion inilah yang bersifat Ilahi dari agama-agama itu, yang selalu disampaikan dan diajarkan oleh kalangan perennialis. Mereka menganggap, mengerti mengenai hal tersebut adalah cara untuk mengerti “ pesan ketuhanan” kepada manusia” sekaligus cara manusia kembali kepada tuhannya60. selanjutnya menurut Fritjhof Schuon, metafisika keagamaan atau filsafat perennial ini tidak terpisah sama sekali dari tradisi, dan transmisi (mata rantai) tradisional, termasuk dalam realisasi spiritual. Metafisika inilah yang menjadikan setiap agama bersifat religio, perennis, agama agama yang bersifat abadi.metafisika ini juga yang hidup dalam manusia. Dalam bahasa Meister Eikhart, “Dalam diri manusia, ada sesuatu yang tidak diciptakan, dan tidak dapat diciptakan.itulah Intelek.” Memang filsafat perennial sepenuhnya 60 Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h.xxx 46 mencurahkan perhatian pada agama, dalam realitasnya yang paling transenden atau metafisik yang bersifat transhitoris ini. Bukan agama dalam kenyataan faktual, seperti dalam ajaran religionwissenshaft, bahkan fenomologi. Usaha transenden metafisis ini dilakukan untuk mendapatlkan kunci manusia dapat memahani ajaran agama agama yang sangat kompleks dan penuh teka-tek, yang tak pernah bias diduga maknanya lewat analisis empiris, apalagi historis, seperti yang dilakukan oleh para ahli agama-agama selama ini. Dari sudut pandang hirakis atau tingkat-tingkat ekistensi agumen bahwa “tradisi” adalah jalan yang memberitahu kita bagaimana menempuh pendakian dari tinggkat eksistensi/realitas yang lebih rendah-yaitu kehidupan sehari hari ini-sampai ketinggkat/realitas yang paling tinggi, kepada Tuhan melalui pengalaman pengalaman mistis,penggalaman kesatuan atau wahdat-ul wujud. Filsafat perennial sering menggambil istilah upaya dari Buddhisme untuk 61 menggambarkan perjalanan pendakian spiritual ini . Memang secara lahiriah setiap kontruksi upaya kelihatannya bertentangan, tapi secara transenden atau esensial dalam istilah Knitter tadi semuanya mempunyai maksud yang sama,yaitu sebagai sarana penyelamatan kehidupan ruhani manusia. Dan pada akhirnya, seperti dikatakan Bhagavan Das dalam The Essential Unity of All Religions (1966,h.604), kita semua penganut agama bertemu dalamthe road of life (jalan kehidupan) yang sama yang datang dari jauh, yang datang dari dekat, semua kelaparan dan kehausan: semua membutuhkan roti dan air kehidupan, yang hanya bias didap[at melalui kesatuan dengan The supreme Spirit. Yang di gambarkan oleh bhagavan Das sebagai the road of life adalah upaya dalam istilah Schuon itu. penganut agama bertemu dalam the road of life (jalan kehidupan) yang sama, yang datang dari jauh, yang datang dari dekat, semua kelaparan dan 61 Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h.xxxi 47 kehausan: Semua membutuhkan roti dan air kehidupan, yang hanya bisa didapat melalui kesatuan dengan The Supreme Spirit yang digambarkan oleh Bhagavan Das sebagai the road of life adalah upaya dalam istilah Schuon itu62. Penjelasan perennial tentang upaya ini tentu saja kemudian membawa "tradisi" bisa dilihat dari dua arah: Dari sisi Ketuhanan adalah narasi tentang "asal-usul" dari seluruh realitas. Dari sudut manusiawi, adalah "jalan" kembali pada Tuhan, kepada "Yang Asal." Schuon dan Nasr mengemukakan, pandangan kesatuan transenden agama-agama dapat ditelusuri melalui pendekatan filsafat perennial adalah bahwa dalam setiap agama dan tradisi-tradisi esoterik ada suatu pengetahuan dan pesan keagamaan yang sama, yang muncul melalui beragam nama dan dibungkus dalam berbagai bentuk dan simbol63. 1. Mono dan Multi Mengapa Dia Yang Absolut secara partikular kemudian memiliki banyak nama? Dari perspektif penalaran manusia, seperti kata Ibn al-'Arabi, Tuhan dalam kesendirian-Nya sesungguhnya tidak perlu nama. Tetapi karena Tuhan ingin dikenal dan 62 Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h.xxxiii 63 filsafat perennial sedikitnya bisa didekati dari tiga sudut pandang; epistemologis, ontologis, dan psikologis. Secara epistemologis filsafat perennial membahas makna, substansi dan sumber kebenaran agama serta bagaimana kebenaran itu ber-proses mengalir dari Tuhan, Yang Absolut, dan pada gilirannya tampil dalam kesadaran akal budi manusia serta mengambil bentuk dalam tradisi keagamaan yang menyejarah. Sedang dari pendekatan ontologis, filsafat perennial berusaha menjelaskan adanya Sumber dari segala yang ada (Being Qua Being), bahwa segala wujud ini sesungguhnya bersifat relatif, ia tak lebih sebagai jejak, kreasi ataupun cerminan dari Dia yang Esensi dan Substansinya di luar jangkauan nalar manusia. Adapun melalui pendekatan psikologis, filsafat rerennial berusaha mengungkapkan apa yang disebut "wahyu bi al khalidah", "agama asli", "hikmah khalidah", "kebenaran abadi", 'sophia perennis" yang terukir di dalam lembaran hati seseorang yang senantiasa mendorong seseorang untuk berpikir dan berperilaku yang benar. secara psikologis filsafat adalah bahwa secara instrik dan alamiah Tuhan telah menahamkan "benih" iman pada diri setiap insan, hanya saja "benih" itu adakalanya tertimbun (kafir) sehingga tidak bisa tumbuh mekar, tetapi meskipun demikian, kandungan iman dan Islam tersebut tetap t i d a k a k a n mati. (Lihat : Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h.5) 48 ingin berdialog dengan manusia, makhluk ciptaan-Nya yang paling dibanggakan, maka persoalan nama Tuhan lalu muncul. Oleh karenanya, mengingat manusia adalah makhluk historis, maka nama-nama Tuhan juga muncul dan merupakan bagian dari agenda wacana sejarah dan pemikiran agama. Oleh karenanya, mengingat manusia lahir dan berkembang dalam pluralitas etnis, budaya dan agama, maka kita jumpai pula pluralitas pemahaman, penghayatan dan penamaan Tuhan. Dalam sejarahnya, manusia menyebut Tuhan Yang Esa danMutlak itu dengan berbagai nama dan istilah, namun secara subsstansial beragam nama itu menunjuk kepada Dzat yang sama. Tuhan sebagai wujud Absolut inilah yang dijadikan obyek pujaan karena fungsi dan posisi-Nya yang diyakini oleh manusia sebagai pencipta dan penguasa jagad semesta ini. Karena Maha absoulut, maka antara Tuhan dan manusia selalu terdapat "jarak" yang amat jauh sehingga manusia bersikap "paradoksal" dalam memposisikan Tuhan. Tuhan diyakini sebagai yang teramat jauh, bahkan tidak terjangkau (transenden), tetapi sekaligus juga berada bersama, bahkan di dalam, diri kita (immanen). Sebagai akibatnya, maka Yang Satu dan Absolut—karena tidak mungkin liiukkan" oleh kapasitas pemahaman nalar manusia ditangkap kehadiran-Nya melalui simbol-simbol yang disakralkan sehingga di mata manusia lalu muncul bentuk tuhan-tuhan plural64. William C. Chittick menyatakan ihwal beragam nama yang dikenali manusia sebagai (untuk menunjukkan) Tuhan, tidaklah cukup untuk mendefinisikan Tuhan sebenarnya-benarnya. Karena Ia yang sebenarnya melebihi dari semua nama untuk-Nya, bahkan lebih dari itu Ia yang sebenrnya tak terdefinisikan oleh nama. 64 Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat Perennial… h.25 49 “…Though all the Names (of God) refer to a single Reality, none denotes Its true nature.From this point of view even the Name of Allah, which is called the "all-comprehensive Name" 'al-ism al-jami') since it is the referent of all other Names, is said to denote that Reality only in as much as It makes It self known…”65 Allah sebagai Dzat Yang Absolut dan Maha Gaib, seperti kata Ibn al-'Arabi, sesungguhnya tidak memerlukan nama. Sekalipun Dzat Yang Absolut diberikan nama, kata Lao-tze, maka nama apapun tak ada yang tepat sebab jika yang Absolut bisa didefinsikan maka ia tidak lagi absolut. Bukankah definisi berarti juga sebuah pembatasan dan penciutan dari sebuah realitas? Karena Allah itu "Serba-Maha", dan sungguh tidak mudah, bahkan tidak mungkin, memberikan penjelasan secara mutlak tentang Tuhan, maka filosof Yunani Kuno menyebutnya sebagai aktus purus, yaitu Substansi hidup yang suci yang keberadaan-Nya tidak memerlukan siapapun di luar diri-Nya. pada manusia. Tetapi karena terdapatnya jarak yang jauh antara Tuhan dan manusia, maka jarak itu lalu dijembatani dengan nama-nama serta tanda-tanda yang dalam bahasa Arab juga disebut asma', ayat dan 'alam. Asmd' biasanya muncul dalam wacana filsafat dan teologi, ayat biasa dipahami sebagai informasi dan pengenalan diri Tuhan melalui wahyu (kitab suci), sedangkan alam ialah tanda-tanda kekuasaan dan kehadiran Tuhan melalui ciptaan-Nya berupa alam raya ini. Secara semiotik ketiga istilah itu memiliki kesamaan bahwa ketiganya berfungsi sebagai medium komunikasi untuk menghadirkan Tuhan dengan berbagai pesannya agar Tuhan bisa dikenal manusia66. 65 Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat Perennial… h.23 66 Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial… h.33 50 2. Bentuk dan Substansi Sebagaimana telah diuraikan di sebelumnya, pembicaraan mengenai substansi dan bentuk sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno, terutama pada Plato dan dikembangkan kemudian oleh Aristoteles. Meskipun substansi keberadaannya bersifat primer sementara bentuk adalah sekunder, namun tanpa bentuk atau suatu atribut sebuah substansi tidak bisa dikenal. Demikian juga halnya dengan keberadaan agama. Substansi dan misi agama akan menjadi aktual ketika agama tampil dalam bentuk yang nyata, bisa dikenali manusia dan lebih jauh lagi adalah dengan bentuk itu substansi agama menjadi fungsional dan operasional. Ketika substansi agama hadir dalam bentuk yang terbatas. maka sesungguhnya agama pada waktu yang sama bersifat universal dan sekaligus juga partikular. Dalam konteks inilah barangkali Schuon mengatakan bahwa, "Setiap agama memilik: satu bentuk dan satu substansi"1 Bentuk agama adalah relatif. namun di dalamnya terkandung muatan substansial yang mutlak. Karena agama merupakan gabungan antara "substansi" dan "bentuk", maka agama kemudian menjadi sesuatu yang absolut tetapi relatif. Inilah yang seperti telah disebut dalam bab terdahulu bahwa agama bisa disebut sebagai sesuatu yang "relativelyabsolute". Kepicikan dan kesempitan sebuah agama akan terjadi jika kebenarannya diidentikkan hanya dengan bentuknya 67. Walaupun substansi semua agama itu sama, tapi karena kehadiran substansi selalu dibatasi oleh, dan fungsinya berkaitan dengan, bentuknya, maka walaupun substansi setiap agama semua sama, tetapi secara eksoterik dan operasional sekaligus berbeda dari agama yang lain. Oleh karenanya setiap agama selalu otentik 67 Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial… h.54 51 untuk zamannya meskipun secara substansial kebenarannya bersifat perennial, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu68. Untuk pemisahan bentuk dan substansi, bukan berarti penafian terhadap bentuk sebuah agama, karena memang karakteristik formal agama adalah keharusan yang tak terejawantahkan dalam sejarah agama dan sejarah manusia dalam pelestarian agamanya. Bila dapat kita katakan, bahwa formalitas sebuah agama adalah identitas, maka substansi sebuah agama adalah entitas. Formalitas tersebut suatu saat dapat saja berubah sesuai dengan situasi, kondisi dan yang terpenting adalah manusia itu sendiri yang senantiasa berkembang pemikirannya. Namun ada hal-hal yang tidak berubah dalam agama adalah substansinya, karena ia merupakan nilai-nilai dasar kehendak Ilahiah yang permanen dalam setiap jantung agama-agama. Kiranya hal inilah yang dapat membuka pintu inklusivitas dan pemahaman yang benar ditengah berbagai pluralitas agama dan kemanusiaan. Bilapun dikatakan bahwa Islam adalah agama mutakhir yang mencakup ataupun meliputi ajaran agama sebelumnya, maka pengertiannya adalah kebenaran Islam pada level substansinya. Membicarakan kehadiran agama dalam sekuens waktu, sehingga ada agama klasik dan agama mutakhir, memang sulit dihindari karena baik agama maupun para pemeluknya hidup dalam rentang waktu sejarah. Jadi kalaupun keberadaan Tuhan Yang Absolut berada di luar waktu empiris, begitupun substansi agama bersifat trans-historis, namun manusia yang meresponi seruan Tuhan berada dalam ruang dan waktu yang empiris. Oleh karena itu dunia manusia. mengenai kategori masa lalu, sekarang, dan esok, 68 Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial… h.54 52 sedangkan bagi Yang Maha Absolut kategori waktu seperti itu tidak berlaku69. Melihat kenyataan di atas maka kesadaran adanya aspek substansi dan bentuk, adanya wahyu tertulis, tercipta, dan materi dalam kalbu, akan membuka banyak jalan alternatif menuju Jalan Lurus, tanpa kita mengingkari adanya orang yang yang mengingkari agama ataupun yang menyimpang dari jalan yang benar. Meminjam ungkapan Schuon; Inwardly, or in terms of substance, the claims that a religion makes are ibsolute, but outwardly, or in terms of form, and so on the level of human contingency, they are necessarily relative." ("Secara esoteris, atau dalam pengertian substansi, klaim ataupun pernyataanpernyataan yang dibuat oleh suatu agama bersifat mutlak. Tetapi, secara eksoterik, atau dalam pengertian bentuk, atau pada tingkat keberagamaan manusiawi, pernyataan-pernyataan tersebut mau mau menjadi relatif") 70 3. Relatif dan Absolut "Paul Knitter dalam bukunya No Other Name?; A Critical Survey of Christian Attitudes, Toward the World Religion (1985) mengatakan, “Anda tidak dapat mengatakan bahwa (agama) yang satu lebih baik dari yang lain. "You can't say that one is better than another…, All religions are relative that is, limited, partial, incomplete, one way of looking at thing. To hold that any religion is intrinsically better than another is felt to be somehow wrong, offensif, narrowminded.’’…(Anda tidak bisa mengatakan bahwa agama yang satu lebih baik dari agama yang lain. Semua agama pada dasarnya semua relative-yaitu terbatas, parsial, tidak lengkapsebagai jalan dalam melihat segala sesuatu. Menganggap bahwa sebuah agama secara intrinsik lebih baik dari yang lain, sekarang (oleh ahli agama-agama) dirasakan sebagai sebuah 69 Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial… h.54-55 70 Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial… h.5 53 sikap yang agak salah,ofensif, dan merupakan pandangan yang sempit)"71. Sebagaimana menurut pendapat Knitter diatas, Bahwa semua agama pada dasarnya adalah seperti dikatakan dalam filsafat perennial, relatively absolute ( hanya secara relative absolute), atas klaim kebenaran yang secara tradisional memang inheren dalam agama, maka agama bisa diharapkan kembali, seperti dulunya menggambil peranan pembebasan (interior dan eksterior) atas kemanusiaan. Klaim kebenaran bahwa agamanya sendirilah yang paling benar atau lebih tinggi kebenarannya akan mendapat tantangan yang besar sekarang ini, "Pluralisme keagamaan merupakan tantangan khusus yang dihadapi agama-agama dewasa ini" Tentu saja yang dimaksudkannya dengan "tantangan" di sini adalah perlunya keberanian melakukan definisi ulang atas keberadaan dan kebenaran dari agama lain. Tapi untuk mencapai maksud ini memang kita perlu memasuki suatu bidang yang disebut meta-religious language yang termasuk dalam bidang metafisika. Karena hanya dalam bidang inilah termuat seluruh pengertian dari makna terdalam semua struktur logis bahasa teologi agama-agama72. Kemampuan kita memahami makna terdalam dari setiap agama inilah yang diharapkan bisa menjadi penghancur tembok pemisah teologis agama-agama, yang selama ini menjadi hambatan dalam dialog dan hubungan agama-agama. Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, kebenaran yang sejati itu hanya satu, bersumber dari dan bermuara pada Yang Maha Benar. Hanya saja, manifestasi dari kebenaran itu selalu tampil dalam wujudnya yang plural. Dibalik pluralitas ini terdapat 71 Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h.23 72 Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h.xlii 54 kebenaran tunggal, namun tidak mungkin diketahui secara tuntas oleh manusia sebab realitas metafisis-ontologis selalu berada di luar jangkauan manusia. Oleh karena-nya semua agama pasti hadir menyapa manusia dengan bantuan medium sejarah dan kultur. Dengan demikian pluralitas pemahaman agama merupakan keniscayaan teologis, psikologis, dan historis. Ini tidak berarti kita lalu menutup mata dari kemung-kinan terjadinya penyimpangan dan pendangkalan ajaran agama yang agung itu. Hanya saja secara apriori semua manusia sesungguhnya ingin berpartisipasi memperoleh cahaya kebenaran dan jalan keselamatan yang ditawarkan oleh semua agama. Bahwa sejauh mana seseorang bisa mengenal dan memperoleh jalan keselamatan, secara teologis bisa saja diduga-duga. Namun begitu sehebat-hebatnya teologi tetap tidak mampu memastikan tingkat kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya serta tidak mampu menyajikan laporan yang valid tentang apakah seseorang tengah menapaki ataukah menjauhi jalan keselamatan. Pada akhirnya, kebenaran iman dan jalan keselamatan merupakan obyek dan komitmen nurani dan akal sehat yang selalu didekati dan dipahami secara terus-menerus, bukannya sebuah situasi yang mapan, tuntas dan selesai73. 4. Partikular dan Universal Hakikat agama itu satu, tetapi karena agama muncul dalam ruang dan waktu secara tidak simultan, maka pluralitas dan partikularitas bentuk dan bahasa agama tidak bisa dielakkan dalam realitas sejarah. Dengan ungkapan lain, pesan kebenaran yang Absolut itu berpartisipasi dan bersimbiose dalam dialektika sejarah. Maka setiap bentuk dan bahasa keagamaan juga mengandung muatan nilai-nilai budaya dari sebuah komunitas dan pada waktu 73 Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h. 55 yang sama bahasa dan nilai agama yang terwadahi dalam lembaga budaya tertentu tersebut pada gilirannya akan melahirkan pengelompokan ideologis74. Esoterisme, secara intrinsik bersifat universal dan karenanya sangat terbuka, meniscayakan pluralitas eksistensi agama. Pluralitas eksistensi agama, yang kita sebut kemudian sebagai eksoterisme agama, karenanya tidaklah serta merta dianggap sebagai suatu kesesatan yang terkutuk, melainkan sebagiannya merupakan keharusan penjelmaan historis dari esensi agama yang bersifat esoterik. Kebenaran abadi yang universal akan selalu ditemukan pada setiap agama, walaupun masing-masing tradisi agama memiliki bahasa dan bungkusnya yang berbeda-beda. Karena perbedaan bungkus inilah maka kesulitan, kesalahpahaman dan perselisihan antar pemeluk agama seringkali muncul ke permukaan75. Setiap fenomena keagamaan adalah fenomena karakter agama itu sendiri, dan tidak bisa direduksi ke dalam kategori lain karena berbagai variable dan alasan kemunculannya juga spesifik. Kita bisa saja membuat analogi dan mengambil beberapa pelajaran dan pesan dasar dari agama-agama yang pernah ada, tetapi pada dimensi eksoteriknya setiap penampakkan adalah khas, unik, yang memantulkan cahaya realitas arketip dari tradisi primordial (dalam pengertian metafisis) yang sejalan dengan bentangan sejarahnya 76. Dari partikularitas menuju universalitas adalah pendekatan yang mencurahkan perhatian pada agama dalam realitas transhistoris dan metafisis (filsafat perennial), Namun demikian—perlu ditegaskan kembali—walaupun sasaran kajian filsafat perennial adalah persoalan-persoalan metafisika, tidak berarti persoalan 74 Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h.6 75 Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h.69-70 76 Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h.14 56 bentuk agama-agama diabaikan77. Dalam hal ini, yang perlu .dikritik bukannya adanya eksoterisme itu sendiri, melainkan otokrasi dan berbagai ekses negatifnya yang merasuki seluruh bidang kehidupan, sehingga menimbulkan keyakinan hanya pahamnyalah yang paling benar. 5. Monoteisme Ibrahim ﻴﻢﺍﻫﺮﻠﱠﺔﹶ ﺇﹺﺑ ﻣﻊﺒﺍﺗُ ﻭﺴِﻦﺤ ﻣﻮﻫ ﷲِ ﻭﻪﻬﺟ ﻭﻠﹶﻢ ﺃﹶﺳﻦﻤﺎ ﻣﻳﻨ ﺩﻦﺴ ﺃﹶﺣﻦﻣﻭ ( ١٢٥ : ﻴﻼﹰ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀﻠ ﺧﻴﻢﺍﻫﺮﺬﹶ ﺍﷲُ ﺇﹺﺑﺨﺍﺗﻨﹺﻴﻔﹰﺎ ﻭﺣ “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya”. (QS. An-Nisaa 4:125)78 ﹶﻻ ﺇﹺﻻﱠ ﺍﷲَ ﻭﺪﺒﻌ ﺃﹶﻻﱠ ﻧﻜﹸﻢﻨﻴﺑﺎ ﻭﻨﻨﻴﺁﺀٍ ﺑﻮ ﺳﺔﻤﺍ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﻛﹶﻠﺎﻟﹶﻮﻌﺎﺏﹺ ﺗﺘﻞﹶ ﺍﻟﹾﻜﺎﺃﹶﻫﻗﹸﻞﹾ ﻳ ﺍ ﻓﹶﻘﹸﻮﻟﹸﻮﺍﻟﱠﻮﻮ ﺍﷲِ ﻓﹶﺈﹺﻥ ﺗﻭﻥﻦ ﺩﺎ ﻣﺎﺑﺑﺎ ﺃﹶﺭﻀﻌﺎ ﺑﻨﻀﻌﺬﹶ ﺑﺨﺘﻻﹶ ﻳﺌﹰﺎ ﻭﻴ ﺷ ﺑﹺﻪﺮﹺﻙﺸﻧ (٦٤:ﻮﻥﹶ )ﺍﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥﻤﻠﺴﺎ ﻣﻭﺍ ﺑﹺﺄﹶﻧﺪﻬﺍﺷ Katakanlah:"Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Ilah selain Allah.Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka:"Saksikanlah, bahwa kami adalah orangorang yang berserah diri (kepada Allah)". (QS. Ali Imran 3:64)79 77 Proses pelembagaan perilaku keagamaan jelas diperlukan antara lain berfungsi untuk mengawetkan ajaran agama dan juga berfungsi bagi pembentukkan karakter pemeluknya dalam rangka membangun masyarakat ideal menurut pesan dasar agama. Tetapi ketika tradisi agama secara sosiologis mengalami reifikasi atau pengentalan, maka bisa jadi spirit agama yang paling "hanif7 lalu terkubur oleh simbol-simbol yang diciptakan dan dibakukan oleh para pemeluk agama itu sendiri. Pada tarap ini sangat mungkin orang lalu tergelincir menganut dan meyakini agama yang mereka buat sendiri, bukan lagi agama yang asli, meskipun yang bersangkutan tidak menyadari. (Lihat : Komarudin Hidayat, Muhamad Wahyuni Nafis, agama Masa Depan, Perspektif Filsafat perennial…, h.6) 78 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.142 79 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.86 57 Kita akan membahas secara menyeluruh masalah homogenitas rohani dan siklus perkembangan agama monoteisme yang mencakup Yahudi, Kristen dan Islam, yang pada hakikatnya didasarkan pada konsepsi dogmatis tentang keesaan Ilahi. Jika kita katakan bahwa konsepsi ini bersifat dogmatis, pernyataan itu bermaksud menunjukkan konsepsi tadi disertai sikap yang menolak pandangan lain. Tanpa sikap tersebut, yang merupakan pembenaran bagi semua dogma, tidak mungkin ada penerapan eksoteris. Dari segi berbagai bentuk konsepsi itu saling bertentangan, namun dari segi ajaran metafisik atau kerohanian murni, rumusanrumusan yang kelihatannya saling bertentangan sebenarnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain atau saling terkait. Agama monoteistis pada mulanya merupakan agama orang semit, yang berasal dari Ibrahim, berkembang lebih lanjut menjadi dua cabang, yakni keturunan Ishak dan keturunan Ismail80. Baru pada zaman Musa monoteisme ini mengambil bentuk Yahudi. Pada saat agama Ibrahim mulai luntur dikalangan keturunan nabi Ismail, Musa lah yang terpanggil mengembangkan monoteisme tersebut. Musa menghubungkan monoteisme dengan bangsa Israel, yang karena itu ia menjadi pelindungnya. Tetapi, betapapun pentingnya adaptasi tadi yang juga sesuai dengan kehendak Ilahi, tindakan ini juga menyebabkan terjadinya pembatasan dalam bentuk lahiriah, karena kecenderungan pengkhususan yang ada pada setiap bangsa. Karena itu dapat dikatakan bahwa agama Yahudi mengambil alih monoteisme dan menjadikannya milik bangsa Israel. Akibatnya sejak saat itu warisan Ibrahim dalam bentuk ini tidak dapat dipisahkan dari 80 semua adaptasi lebih lanjut dan dari semua Fritjhof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama, terj. The Trancendent Unity of Religions, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1994), Cet.2, h.104 58 konsekuensi ritual dan sosial yang terkandung dalam hukum Musa81. Akibat tersalur dan terkristalnya monoteisme dalam agama Yahudi, maka mulai saat itulah monoteisme memiliki ciri historiseksoteris. Ciri historis agama Yahudi mempunyai konsekuensi yang sebelumnya tidak ditemukan dalam monoteisme asli, paling kurang bukan dalam bentuk yang sama. Itulah paham messianis, dan karena itu ia dikaitkan dengan tradisi Musa82. Beberpa tinjauan mengenai monoteisme asli beserta adaptasinya yang dilakukan nabi Musa, penerapannya dalam agama yahudi dan perwujudannya dalam paham mesianis, cukup memungkinkan kita melangkah lebih jauh guna membahas peranan organis yang dimainkan agama kristen dalam perkembangan monoteisme selanjutnya. Karena itu dapat dikatakan bahwa pada gilirannya, agama Kristen menyerap semua warisan ajaran monoteisme menjadi peneguh akan messias, karena agama Kristen adalah buah yang absah dari bentuk agama Yahudi. Karena sang messias harus mewujudkan kehendak Ilahi yang merupakan sumber monoteisme dalam dirinya sendiri, tentu saja Ia harus mengatasi bentuk yang tidak memungkinkannya mewujudkan kehendak Ilahi itu sepenuhnya. Telah kita katakan bahwa pribadi messias merupakan ”avataris” menyerap seluruh ajaran monoteistis. Ini berarti kristus bukan hanya akhir agama yahudi yang historis, paling tidak dari segi dan ukuran tertentu, melainkan juga bahwa pribadi messias adalah dukungan terhadap monoteisme. Tetapi kenyataan historis yang amat jelas tentang adanya Kristus itu pada gilirannya mengandung konsekuensi terbatasnya bentuk agama tersebut (agama kristen). Hal ini dapat dilihat dalam bentuk agama Yahudi, dimana Israel memainkan peranan yang kemudian berpindah ke 81 82 Fritjhof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama…, h.105 Fritjhof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama…, h.106 59 messias, yakni penerapan yang seharusnya bersifat terbatas ditinjau dari sudut perwujudan monoteisme secara utuh. Disinilah agama Islam masuk, dan menjadi tugas kita menelaah kedudukan dan peranannya yang penting dalam perkembangan monoteisme83 Perkembangan ajaran Ibrahim tentang monoteisme hingga mengambil bentuknya dalam agama-agama (Yahudi, kristen dan Islam), bukanlah sebagai bentuk penghapusan atau pembatalan. Yang perlu dipahami adalah, meskipun adanya pembatalan yang dijelaskan dalam kitab suci, pembatalan tersebut tidak lain adalah penjelasan monoteisme tentang sehingga penyimpangan pembatalan yang dilakukan kaum tersebut bersifat relatif, sedangkan inti hakikat agama Ibrahim itu sendiri adalah mutlak karena bersifat Ilahi. Itulah sebabnya dalam tiga agama besar tersebut sama-sama memiliki posisi yang absah dalam hal kepemilikannya terhadap agama Ibrahim, serta memiliki posisi yang sama dalam hal esensi ajaran monoteisme, karena ketiganya merupakan geneologi yang saling melengkapi (geneologi historis dan ajaran yang sama). Pada agama Yahudi dan Kristen, monoteisme menampakkan dua wajah yang saling bertentangan. Keduanya dirangkum oleh Islam dengan menyelaraskan pertentangan tersebut dalam satu sintesis. Inilah yang menandai berakhirnya perkembangan dan perwujudan integral monoteisme. Dengan kata lain penyelarasan Yahudi dan kristen dalam Islam dalam arti tertentu yakni mengembalikan kepada monoteisme murni ibrahim84. Monoteisme yang diwahyukan kepada ibrahim mempunyai keseimbangan yang sempurna antara asoterisme dan eksoterisme, dan sampai taraf tertentu memiliki kesamaan primordial, walaupun masalahnya disini hanya menyangkut primordialitas dalam hubungan dengan 83 Fritjhof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama…, h.107 Fritjhof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama…, h.109 84 60 sejumlah bangsa Semit. Dapat dikatakan, pada nabi Musa eksoterisme menjadi agama dalam arti bhwa eksoterisme itu memberi petunjuk pada agama tanpa mempengaruhi hakikatnya. Pada Kristus sebaliknya esoterismelah yang pada gilirannya memberi bentuk kepada agama tanpa mempengaruhi hakikatnya. Pada Muhammad, keseimbangan semula dipulihkan kembali, dan siklus perkembangan monoteisme pun berakhir85. Sudah seharusnya setiap agama merupakan suatu adaptasi, dan adaptasi mengandung pengertian adanya pembatasan. Jika berbagai agama metafisik murni merupakan suatu adaptasi, demikian pula halnya beragam agama eksoteris, yang merupakan rangkaian adaptasi demi kepentingan mentalitas yang lebih terbatas. Pembatasan perlu ada pada bentuk-bentuk agama asli. Tidak dapat dielakkan, berbagai pembatasan itu tampak dalam proses perkembangan bentuk-bentuk tersebut, dan menjai semakin nyata pada akhir pekembangannya, yang ikut ditentukan oleh pembatasan bentuk agama itu sendiri. Jika beragam pembatasan itu diperlukan demi kehidupan agma tersebut.konsekuensinya, agamaagama itu walau bagaimanapun juga akan tetap terbatas. Ajaran heterodoks ini sendiri adalah konsekuensi tidak langsug dari kebutuhan akan pembatasan bentuk agama, dan untuk memberinya batas sesuai dengan taraf kemajuan yang dicapai dalam abad gelap 86. Bahkan simbol-simbol suci pun demikian halnya. Karena hanya hakikat tak berhingga, abadi dan tanpa bentuklah yang secara absolut bersifat murni dan tidak dapat diubah, dan karena sifat-Nya yang Adikodrati harus dinyatakan, baik melalui diluluhkannya bentuk-bentuk yang ada maupun melalui sinar-Nya yang dipancar melalui beragam bentuk tadi. 6. Makna Al-Islam, Titik Temu Agama-agama Semitik 85 Fritjhof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama…, h.111 Fritjhof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-agama…, h.112 86 61 Agama Ibrahim mengandung tiga unsur kepercayaan, yakni percaya kepada Tuhan, unsur etik berupa kebenaran dan keadilan, serta ritual. Unsur pertama yakni percaya kepada Tuhan, dalam hal ini Abrahamic Religions (agama Ibrahimistik) mengajarkan fondasi monotheistis yakni konsepsi dogmatis tentang keesaan Ilahi – non dualitas. Ajaran monoteisme yang berasal dari Ibrahim tersebut yang merupakan kelompok agama Semit, kemudian berkembang menjadi dua cabang yakni keturunan Ishaq dan keturunan Isma’il. Agama Ibrahim tersebut juga dikenal (dalam term al-Qur’an) dengan agama hanif, artinya agama fitrah yang mencerminkan keberagamaan manusia, kemudian diikuti dengan kepatuhan dan ketundukan kepada Tuhan yang disebut Muslim. Jadilah agama Ibrahim tersebut hanifan muslima87 yang menjadi dasar dari setiap agama monoteisme. Ada satu tema besar yang mendominasi ajaran (course) agama Yahudi, yaitu kebenaran Tuhan (truth of God) yang tunggal pada tatanan sosial (social order) dialam. Ide ketuhanan tersebut berasal dari Ibrahim, Ishaq dan Ya’kub berupa ajaran yang membawa kembali kepada masa-masa patriarch. Ide ini dihidupkan kembali oleh musa untuk menerangi Israel, karena itu Musa merupakan inagurator agama Israel yang membawa mereka kepada Tuhan yang sebenarnya88. Ajaran kebenaran Tuhan tersebut dinyatakan dengan sepuluh perintah (Ten Commandment ) dalam Taurat/Perjanjian Lama, 87 Istilah hanif dan muslim berarti mengikuti kebenaran jalan hidup yang asli, primordial dan perennial, yang tidak berubah sepanjang masa. Itu semua berpangkal pada keyakinan fitrah manusia kepada Tuhan yang merupakan esensi semua agama yang lurus (al-Din al-Qayyim)... Lihat : Ajat Sudrajat, Tafsir Inklusif Makna Islam, (Yogyakarta : AK Group Yogya, 2004), Cet.1, h.108 88 Ajat Sudrajat, Tafsir Inklusif Makna Islam...,h.109 62 kesepuluh perintah tersebut terdapat dalam Kitab keluaran (Exodus) 20 : 3, 5, 7, 8, 12, 13, 14, 15, 16 dan 17. Urutan kesepuluh firman Tuhan tersebut adalah : 1) Janganlah menyembah selain Allah (3) 2) Janganlah membuat dan menyembah patung berhala (4 dan 5) 3) Janganlah menyebut nama Allah dengan sia-sia (7) 4) Ingatlah hari Sabat [Sabtu] (8) 5) Hormatilah ayah dan ibu (12) 6) Janganlah membunuh (13) 7) Janganlah berzina (14) 8) Janganlah mencuri (15) 9) Jangalah mengucapkan saksi palsu tentang sesama (16) 10) Janganlah menginginkan rumah sesamamu, isterinya dan barang-barang seluruhnya (17)89 Umat yahudi diwajibkan untuk tunduk dan patuh kepada ”Sepuluh Perintah Tuhan” tersebut. Ketundukan kepada Tuhan untuk menjalankan perintah-Nya itu dalam term al-Qur’an disebut dengan al-Islam. Kesepuluh perintah tersebut secara implisit dapat kita temukan dalam Q.S. al-An’am 151-153, sebagai berikut : Katakanlah:"Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabbmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak,dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak diantaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Rabbmu kepadamu supaya kamu memahami(nya). (QS. 6:151) Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfa'at, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan 89 Ajat Sudrajat, Tafsir Inklusif Makna Islam...,h.110 63 sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu, dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat, (QS. 6:152) dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa. (QS. 6:153)90 Dari pernyataan ayat-ayat diatas dan sepuluh perintah Tuhan, maka dalam hal ini kita melihat adanya keterhimpunan yang diajarkan pada agama Yahudi dan Islam dalam hal hubungan vertikal dengan Tuhan dan hubungan horizontal antar sesama manusia. Ibadah merupakan realisasi dari ketundukan kepada Tuhan, peribadatan dalam agama Yahudi berupa ”selamatan” dan berkurban untuk mencapai keridhoan-Nya. Bentuk pengorbanan (ritual) pada umumnya dilakukan dengan melakukan korban diatas mezbah (altar) yang kemudian korban itu dimakan oleh para peserta ritual (worshipper) tersebut. Dalam al-Qur’an (QS. AlBaqarah :67-71)91 kita bisa temukan informasi perihal peribadatan 90 Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahnya…, h.214-215 91 Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya:"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata:"Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?". Musa menjawab:"Aku berlindung kepada Allah sekiranya menjadi seorang dari orang-orang yang jahil". (QS. 2:67) Mereka menjawab:"Mohonkanlah kepada Rabb-mu untuk kami, agar dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu?". Musa menjawab:"sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu". (QS. 2:68) Mereka berkata:"Mohonkanlah kepada Rabb-mu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya". Musa menjawab:"Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya". (QS.2:69)Mereka berkata:"Mohonkanlah kepada Rabb-mu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk". (QS. 2:70) Musa berkata:"Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya". Mereka berkata:"Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang 64 Yahudi dalam berkorban adalah perintah kepada Israel untuk menyembelih sapi betina. Kata kunci dari hubungan timbal balik antara manusia dengan Tuhan dan antar sesama manusia dalam agama Yahudi adalah shalom, shalem, shelamim yang artinya kedamaian (peace). Kata ini berdekatan dengan kata salam dalam term al-Islam . Pengertian shalom atau kedamaian dan integritasnya dalam kehidupan yang penuh berkah, bisa menyentuh berbagai sektor baik ekonomi maupun politik melalui penguasa Israel92. Dengan demikian ide monoteisme antara Yahudi dan Islam terletak pada konsepsinya tentang keesaan Tuhan dan ketundukan kepada perintah-perintah-Nya. Sementara itu dalam hal teologi dan keimanan, agama Kristen mewarisi dari agama Yahudi. Teologi Perjanjian Baru dimulai dengan keyakinan yang sangat besar, yakni : Allah ada bahwa Dia menciptakan manusia dan terus memperhatikannya 93 dalam Yohanes 4 : 24 disebutkan bahwa : ”Allah itu Roh dan barangsiapa yang menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenarannya”. Ajaran teologi Kristen memang begitu dekat dengan istilah penyatuan roh Tuhan dan roh manusia. Oleh karenanya, untuk kemudian kita mengenal istilah Trinitas dalam teologi kristen. Konsepsi hubungan Tuhan dengan manusia dalam agama Kristen adalah bahwa manusia itu diciptakan dalam persamaan (likeness) Tuhan, karena itu manusia adalah bayangan (image) dan pujian- sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. (QS. 2:71). Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahnya… 92 Pernyataan kedamaian pada suatu bangsa berarti kondisi pemerintahan yang penuh dengan kedamaian dan keadilan. Keduanya merupakan tanggung jawab sentral dari para raja dan pembesar agama bangsa Israel. Kedamaian tersebut dibangun oleh Tuhan Yahweh, karena Tuhan sendiri Maha Damai dan Maha Penyelamat. Kondisi demikian telah dilakukan oleh raja Gedion sebagaimana disebutkan dalam kitab Hakim-Hakim 24 : 6 93 Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru I, terj. Lisda T Gamadhi, (Jakarta : PT.BPK Gunung Mulia, 1995), Cet.4, h.43 65 Nya. Kesamaan antara manusia dengan Tuhan berarti dalam kesucian dan kebenaran-Nya, kendatipun sebenarnya hal ini bersifat spiritual. Pengetahuan tentang Tuhan nampak dalam pewahyuan firman-Nya melalui roh suci, kemudian pada realitas dan keyakinan serta kepatuhan. Selain mewarisi monoteisme Yahudi, agama kristen memiliki kekhususan tersendiri, keyakinan Kristen dimulai dengan mengkuduskan makna pribadi Yesus yang dipandang sebagai Kristus (penyelamat). Kepatuhan terhadap seruan Kristus merupakan iman (faith), dalam iman itu adalah keadilan Tuhan dan rahmat-Nya yang bisa diketahui. Iman merupakan determinasi tindakan manusia melalui esensi gereja (agama) yang diajarkan Yesus Kristus melalui pendekatan ”Tuhan pada manusia” (Human God)94 Hubungan manusia dengan ciri sebagai makhluk (creatureliness) Tuhan diekspresikan hanya dengan melalui keutuhan pesan Kristus. Dengan posisi Tuhan manusia sebagai makhluk yang berada pada kerajaan Allah, dan posisi Tuhan sebagai raja, maka manusia harus patuh dan tunduk pada perintahNya. Kepatuhan kepada Tuhan merupakan syarat mutlak bagi keinsafan manusia kepada-Nya. Hal itu bisa terjadi hanya jika seorang hamba melintasi jalan Tuhan dan berkeinginan unuk mengidentifikasi dirinya dengan Tuhan. Hubungan antara manusia dan Tuhan dengan pengorbanan paling klimaks terdapat dalam pribadi Yesus. Yesus telah mengorbankan dirinya demi keselamatan orang banyak berupa penebusan dosa. Selama hidupnya Yesus mendasarkan agama pada prinsip cinta kasih. Prinsip ini dijadikan dasar dalam menafsirkan kembali hukum-hukum Taurat (Markus 12 :31; 2 : 23-28; 7 : 1-23, 94 Ajat Sudrajat, Tafsir Inklusif Makna Islam...,h.128 66 Matius 22 : 40; 23 : 23; 5 : 17-58, dan Lukas 10 : 25-37). Yang paling mendasar terdapat pada Markus 12 :31, yaitu: ”Jawab Yesus : Hukum yang terutama ialah ; Dengarlah hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu Esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dengan segenap akal budimu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah ; kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama daripada kedua hukum ini.” 95 Inilah hakikat keberagamaan kristiani, nilai-nilai monoteisme serta pola relasi antara manusia dan Tuhan dan manusia antar sesama yang juga serupa dengan agama Yahudi dan Islam. Maka titik temu ketiga agama samawi ini merupakan pemahaman terhadap makna al-Islam itu sendiri yang artinya tunduk, patuh dan berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan96. Untuk lebih dalam memaknai dan memahami istilah / konsepsi al-Islam itu sendiri, marilah kita merujuk pada QS. Ali Imran : 83, 84 dan 85 mengenai struktur kata yang digunakan alQur’an dalam pengungakapan term al-Islam. ﻪ ﺇﹺﻟﹶﻴﺎ ﻭﻫﻛﹶﺮﺎ ﻭﻋﺽﹺ ﻃﹶﻮﺍﹾﻷَﺭ ﻭﺍﺕﺎﻭﻤﻲ ﺍﻟﺴﻦ ﻓ ﻣﻠﹶﻢ ﺃﹶﺳﻟﹶﻪﻮﻥﹶ ﻭﻐﺒﻳﻦﹺ ﺍﷲِ ﻳ ﺩﺮﻴﺃﹶﻓﹶﻐ ﺎﻕﺤﺇﹺﺳﻴﻞﹶ ﻭﺎﻋﻤﺇﹺﺳ ﻭﻴﻢﺍﻫﺮﻠﹶﻰ ﺇﹺﺑﺂﺃﹸﻧﺰﹺﻝﹶ ﻋﻣﺎ ﻭﻨﻠﹶﻴﺂﺃﹸﻧﺰﹺﻝﹶ ﻋﻣﺎ ﺑﹺﺎﷲِ ﻭﻨﻮﻥﹶ ﻗﹸﻞﹾﺀَﺍﻣﻌﺟﺮﻳ ﺪ ﺃﹶﺣﻦﻴ ﺑﻕﻔﹶﺮ ﻻﹶ ﻧﻬﹺﻢﺑﻦ ﺭﻮﻥﹶ ﻣﺒﹺﻴﺍﻟﻨﻰ ﻭﻴﺴﻋﻰ ﻭﻮﺳ ﻣﻲﺂﺃﹸﻭﺗﻣ ﻭﺎﻁﺒﺍﹾﻷَﺳ ﻭﻘﹸﻮﺏﻌﻳﻭ ﺓﺮﻲ ﺍﹾﻷَﺧ ﻓﻮﻫ ﻭﻪﻨﻞﹶ ﻣﻘﹾﺒﺎ ﻓﹶﻠﹶﻦ ﻳﻳﻨﻼﹶﻡﹺ ﺩ ﺍﹾﻷِﺳﺮﻎﹺ ﻏﹶﻴﺘﺒﻦ ﻳﻣﻮﻥﹶ ﻭﻤﻠﺴ ﻣ ﻟﹶﻪﻦﺤﻧ ﻭﻢﻬﻨﻣ ﺮﹺﻳﻦﺎﺳ ﺍﻟﹾﺨﻦﻣ ”Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa 95 Ajat Sudrajat, Tafsir Inklusif Makna Islam...,h.133-134 Dalam agama Kristen tidak dikenal istilah tertentu yang berdekatan dengan makna istilah Shalom/Salam atau al-Islam/Shalem tersebut, baik secara literal maupun maknawi namun esensi ajaran Kristen tentang ketauhidan tidaklah berbeda yang kemudian diimplementasikan dalam konsep cinta kasih. Sehingga dengan demikian konsep aal-Islam sudah inheren dan terdapat didalamnya. 96 67 yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan. (QS. 3:83) Katakanlah:"Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub, dan anakanaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, 'Isa dan para nabi dari Rabb mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri". (QS. 3:84) Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. 3:85)”97 Pada ayat diatas (QS. Ali Imran : 83), penyebutan al-Islam (berserah diri), diungkapkan dengan bentuk kata kerja lampau (fi’il madhi), aslama. Hal ini berarti al-Islam merupakan suatu proses melakukan “berserah diri”. Dalam ayat berikutnya (QS. Ali Imran : 84), makna al-Islam diungkapkan dalam bentuk kata sifat (isim fa’il) yang merujuk pada personalitas dalam bentuk jamaknya, muslimun. Hal ini berarti al-Islam mengacu kepada orang-orang yang mempunyai sifat keberagamaan yang dimaksud yaitu yang menyerahkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa. Pada ayat selanjutnya (QS. Ali Imran : 85),makna al-islam diungkapkan dalam bentuk kata benda (mashdar) al-Islam itu sendiri. Penafsiran yang biasa digunakan adalah agama Islam. Yaitu suatu agama yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. Pemaknaan dalam bentuk kata benda ini memposisikan al-Islam yang sebelumnya adalah sikap dan sifat menjadi suatu golongan yang dibakukan dalam bentuk agama yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. Sehingga kita bisa melihat dengan jelas pola pengkhususan yang diungkapkan, namun demikian makna al-Islam dalam bentuknya sebagai kata kerja dan kata sifat tetap tidak kehilangan esensinya. Ini berarti bahwa sikap al-Islam dan sifat al-Islam tetap terkandung meski pada orangorang yang diluar al-Islam dalam bentuk kata benda. Karena walau 97 Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahnya…, h.89-90 68 bagaimanapun agama yang dianut para nabi dan umat-umat yang mengikuti ajarannya adalah al-Islam (pada tataran nilai religiusnya), hanya saja belum diungkapkan dalam bentuk khususnya (sebagai kata benda). Sehingga Al-Islam adalah agama untuk orang-orang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah swt. Secara prinsipil dan garis besar bahwa term al-islam adalah hakikat keberagamaan manusia, karena ia adalah fitrah itu sendiri. Al-Islam merupakan etika kebaikan universal. Dalam konteks ini tidak ada perbedaan antara agama-agama semitik yang telah disebutkan diatas. Karena semua agama menjunjung tinggi etika. Dengan kata lain al-Islam adalah petunjuk Allah kepada manusia, bagi siapa saja yang ingin berserah diri kepada-Nya dengan mentaati aturan-aturan agama yang dimilikinya dan menjaga kelestarian hidup dimuka bumi, merekalah orang-orang yang disebut hanif dan muslim. Schuon membuat definisi menarik tentang Islam. Baginya Islam adalah ”pertemuan antara Allah sebagaimana adanya dengan manusia sebagaimana adanya”98 yang dimaksudkan dengan Allah sebagaimana adanya bukanlah Allah seperti yang dimanifestasikanNya sendiri dengan cara tertentu, tetapi Allah yang bebas dari sejarah, dan oleh karena itu sebagaimana Dia adalah Dia dan sebagaimana oleh karena sifat-Nya, Dia menciptakan alam semesta dan mewahyukan agama. Artinya bila berbicara mengenai Allah, maka samalah artinya berbicara mengenai “eksistensi”, ”penciptaan alam semesta” dan ”agama” atau dengan kata lain mengenai ”realitas”, ”manifestasi” dan ”reintegrasi”. Kemudian yang dimaksudkan dengan manusia sebagaimana adanya bukanlah sebagai makhluk yang terjatuh dari surga dan memerlukan keajaiban untuk menyelamatkan dirinya, tetapi 98 Hamid Nasuhi, Frithjof Schuon dan Filsafat perennial, dalam jurnal : REFLEKSI; Jurnal kajian Agama dan Filsafat, (Jakarta : Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002), Vol.IV, No.2, h. 89 69 sebagai manusia, dia adalah makhluk theomorfis yang memiliki intelegensi sehingga dapat memahami Yang Mutlak dan memiliki kehendak, sehingga dapat memilih jalan menuju kepada Yang Mutlak. Dengan demikian berbicara mengenai manusia, sama artinya berbicara mengenai ”theomorfisme”, ”intelegensi transenden” dan ”kebebasan berkehendak”. Semua inilah yang menurut Schuon merupakan dasar-dasar dari perspektif Islam; dasar-dasar inilah yang kemudian menerangkan perspektif tersebut, dan dasar-dasar ini jangan sampai dilupakan oleh orang-orang yang ingin memahami setiap aspek tertentu dari Islam. Menurut Schuon, dalam esensinya, Islam merupakan kebenaran dan hukum. Sebagai kebenaran dan hukum, Islam hendak memberi jawaban kepada Intelegensi dan kehendak bebas manusia sehingga ia bisa lepas dari ketidakpastian dan keraguraguan, yang pada gilirannya menghilangkan kesalahan dan dosa. Oleh sebab itu, doktrin yang paling fundamental dalam Islam adalah syahadat (kesaksian). Bagian pertama syahadat, La ilaha illa Allah, merupakan kesaksian mengenai kebenaran eksistensial Tuhan (Allah), dan ini menjadi pengakuan iman yang menetapkan intelegensi manusia. Bagian kedua, Muhammad rasul Allah, yang berkenaan dengan Nabi Muhammad merupakan refleksi dari kesaksian terhadap hukum Islam (syari’ah) yang menetapkan kehendak dan aksi manusia99 Karena manusia adalah intelegensi Transenden dan kebebasan berkehendak, lanjut Schuon, maka intelegensi dan kehendak atau transendensi dan kemerdekaan inilah yang menyelamatkannya. Intelegensi ini tidak lain daripada pengetahuan mengenai Yang Esa, atau Yang Mutlak, dan mengenai ketergantungan segala sesuatu kepada-Nya. Dan kehendak adalah al-Islam, atau kesesuaian dengan yang dikehendaki oleh Allah. 99 Hamid Nasuhi, Frithjof Schuon dan Filsafat perennial…, h.90 70 Ditambah dengan al-Ihsan – yang arti harfiahnya adalah ”kebajikan” – yang manifestasinya adalah ”mengingat Allah”. Sebagaimana agama-agama lain, Islam juga memiliki substansi dan bentuk. Dalam pandangan Schuon, Islam menyebar keseluruh dunia penyebarannya bagaikan terhenti kilat berkat dikarenakan substansinya, bentuknya. dan Substansi mempunyai hak-hak yang tidak terbatas, sebab ia lahir dari Yang mutlak, sedangkan bentuk adalah relatif dank arena itu hak-haknya terbatas100 Tentang hal ini, Schuon memaparkan sebuah analogi dari perjalanan historis antara Kristen dan Islam: “Jika Tuhan benar-benar ingin menyelamatkan dunia melalui agama Kristen dan bukan dengan sarana lain, maka mustahil untuk menjelaskan mengapa beberapa abad kemudian, ketika agama Kristen belum berhasil memantapkan kedudukannya di Eropa, Dia membiarkan agama lain – Islam – menumbuhkan dirinya justru didalam wilayah-wilayah dimana pahala Kristen telah diusahakan untuk dimasukkan sehingga dengan demikian tertutup dan terkuncilah untuk selamanya pintu untuk menyebarkan agama Kristen ke Timur. Sebaliknya, jika kedatangan Islam menandakan bahwa seluruh dunia hendaknya memeluk agama ini, maka tidak akan dapat dijelaskan mengapa Tuhan menutup hati manusia dengan perasaan Kristen, dan membuat dunia Barat tidak dapat ditembus oleh pesan yang dibawa Muhammad” 101 Yahudi, Kristen dan Islam memiliki kumpulan wahyu ilahiah yang sama, dalam bentuk-bentuk aslinya, ketiganya dapat dipandang tidak hanya sebagai satu tradisi agama, tetapi juga sebagai satu agama. Hal ini sendiri diucapkan secara berulangulang dan gamblang didalam al-Quran, ketika Tuhan mengatakan bahwa agama yang ditetapkan pada Nabi Muhammad adalah agama yang sama ditetapkan Tuhan kepada nabi Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa. Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran : 100 101 Hamid Nasuhi, Frithjof Schuon dan Filsafat perennial…, h.90 Hamid Nasuhi, Frithjof Schuon dan Filsafat perennial…, h.90 71 ﻪ ﺎ ﺑﹺﻨﻴﻭﺻ ﺎﻣ ﻭﻚﺂ ﺇﹺﻟﹶﻴﻨﻴﺣﻱ ﺃﹶﻭﺍﻟﱠﺬﺎ ﻭﻮﺣ ﻧﻰ ﺑﹺﻪﺻﺎﻭﻳﻦﹺ ﻣ ﺍﻟﺪﻦ ﻟﹶﻜﹸﻢ ﻣﻉﺮﺷ ﻠﹶﻰ ﻋﺮ ﻛﹶﺒﻴﻪﻗﹸﻮﺍ ﻓﻔﹶﺮﺘﻻﹶﺗ ﻭﻳﻦﻮﺍ ﺍﻟﺪﻴﻤﻰ ﺃﹶﻥﹾ ﺃﹶﻗﻴﺴﻋﻰ ﻭﻮﺳﻣ ﻭﻴﻢﺍﻫﺮﺇﹺﺑ ﻨﹺﻴﺐﻦ ﻳ ﻣﻪﻱ ﺇﹺﻟﹶﻴﺪﻬﻳﺂﺀُ ﻭﺸﻦ ﻳ ﻣﻪﺒﹺﻲ ﺇﹺﻟﹶﻴﺘﺠ ﺍﷲُ ﻳﻪ ﺇﹺﻟﹶﻴﻢﻮﻫﻋﺪﺎﺗ ﻣﲔﺮﹺﻛﺸﺍﻟﹾﻤ (١۳ : ) ﺍﻟﺸﻮﺭﻯ Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (QS. 42:13)102 102 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya…, h.785 72 BAB III WAHDAT AL-ADYAN DAN PLURALISME AGAMA Beberapa pandangan kejamakan dan keragaman (plural) serta kesatuan (wahdat) yang dinisbahkan kepada agama, merupakan gagasan-gagasan yang dikonstruksi oleh para cendekiawan, filsuf, teolog dan kaum sufi baik dari dunia Timur maupun Barat yang dipengaruhi oleh suatu pandangan tentang pentingnya harmonisasi kehidupan dan memecahkan sebagian masalah-masalah akidah dan keyakinan dan juga untuk memecahkan sebagian dari masalah-masalah kemasyarakatan yang muncul diantara agama-agama yang berbeda. Dalam konteks wacana agama-agama, kita sering mendengar istilah “titik temu agama-agama”1, beberapa diantara tawaran alternatif dalam mencari titik temu agama-agama adalah konsep pluralisme agama dan wahdat al-Adyan. Berbeda dengan pluralisme yang lebih populer dan sering didengungkan dalam kajian filsafat dan ilmu pengetahuan keagamaan dewasa ini, nampaknya wahdat al-Adyan telah kehilangan momentumnya dan mulai terlupakan dalam kajiankajian ilmu keislaman. Menurut penulis, terdapat perbedaan yang menarik diantara kedua konsep tersebut (pluralisme agama dan wahdat al-Adyan) dilihat 1 Titik temu agama-agama atau istilah yang digunakan oleh Sayyed Hussein Nasr, istilah yang serupa dengannya seperti “Unity of Transendent Religions” yang digunakan oleh Frithjof Schuon, “The Common Vision” yang digunakan oleh Huston Smith, dan “The Common Platform atau kalimah sawa’” yang digunakan oleh Nurcholis Madjid. 73 dari embrio kemunculan dan perkembangannya. Perbedaan tersebut dapat diidentifikasi dari disiplin ilmu dan tradisi keagamaan yang mengembangkan masing-masing konsep tersebut. Wahdat al-Adyan merupakan ajaran yang lahir dan berkembang dari tradisi tasawuf pada masa kebangkitan Islam di Timur Tengah hingga Eropa yakni pada awal abad ke-11, beberapa sufi yang mengajarkan konsep ini diantaranya adalah al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi, Hazrat Inayat Khan, Muhaiyaden dan Jalaludin Rumi. Sedangkan pluralisme agama adalah ajaran yang lahir dan berkembang dalam tradisi filsafat Barat dan dan beberapa konsili gereja-gereja di Eropa pada awal abad ke-20 yang diusung oleh para sarjana dan teolog Kristen diantaranya adalah John Hick, Ernst Troeltsch, William E. Hocking, Arnold Toynbee dan Grover Cleveland. A. Wahdat al-Adyan Berdasarkan penjelasan diatas, kita dapat melihat bahwa pluralisme lahir dari gagasan filsafat (Barat-Kristen) sedangkan wahdat al-Adyan lahir dari ajaran-ajaran tasawuf (Islam). Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa akar dari tren harmonisasi agama-agama telah jauh lebih dulu diperkenalkan oleh dunia Islam, terlebih bila kita mengacu pada Piagam Madinah pada masa Nabi SAW. Khazanah intelektualitas inilah yang kini terpendam dan terlupakan, padahal bila kita lebih jauh mengkaji ajaran-ajaran tasawuf, kita akan menemukan sikap kerendahan hati, keramahan, keterbukaan, saling menghargai dalam beragama tanpa harus mencampuradukkan ajaran agama dan keyakinan diantara agama-agama. Kiranya hal inilah yang dilakukan oleh para sufi terdahulu dengan penghayatan keimanan yang dipenuhi rasa cinta dan tulus dalam memahami ajaran-ajaran agama. Dunia tasawuf dikenal banyak memiliki konsep tentang al-wahdat (kesatuan), seperti wahdat d-wujud, wahdat al-syuhud, wahdat al-ummah, dan wahdat al-Adyan. Berdasarkan hasil rangkuman Ahmad Amin. Salah satu ajaran al-wahdat tersebut adalah wahdat al-Adyan (kesatuan agama-agama), yang banyak ditanggapi pro maupun kontra oleh berbagai kalangan, sejak zaman dahulu sampai sekarang. Orang yang dianggap pertama kali 74 menyodorkan wahdat al-Adyan ini adalah al-Hallaj. Sebagai konsep yang cukup menarik, pada perkembangan berikutnya banyak diikuti oleh para pemikir lain, seperti Ibn 'Arabi, Jalaluddin Rumi dan Hazral Inayat Khan. Konsep ini diperkirakan berawal dari penjabaran formulasi kalimat tauhid: La Ilaha Illa Allah, yang mempunyai implikasi sangat dalam bagi kehidupan umat Islam, sebab kalimat ini merangkum secara universal bagaimana seharusnya manusia hidup memandang dirinya dan alam semesta dalam kaitan-nya dengan Yang Mutlak (Tuhan). Segala sesuatu dipandang sebagai wujud dari karya Tuhan dan fenomena kebesaran-Nya. sehingga pada umumnya ajaran tasawuf memandang bahwa keanekaragaman agama di dunia hanya sekadar bentuk, sedang hakikatnya sama, karena semuanya mempunyai sumber yang sama dan bertujuan untuk menyembah Zat yang sama pula, yakni Tuhan Pencipta alam semesta 2. 1. Pengertian Wahdat al-Adyan Secara etimologis wahdat al Adyan terdiri dari dua kata, yaitu ”wahdat” dalam bahasa Arab yang berarti kesatuan dan ”adyan” yang berarti agama-agama (jamak dari kata al-Din : agama)3 Dalam kamus al-Mu’jam al-Falsafi, kata wahdat dipertentangkan dengan pengertian al-Katsirah “banyak” yang berarti keadaan sesuatu yang tidak terbagi4 Dalam pengertian lain, kata “wahdat” lazim berarti “kesatuan, kesamaan, keesaan”5, sedangkan kesatuan diartikan pula dengan “perihal satu, keesaan” dengan sifat tunggal atau keseutuhan6. 2 Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.11 (Tanpa Nama), Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari www.nusantaraonline.com, didownload pada tanggal 15 Januari 2009 4 Rahmil Shaliba, al-Mu’jam al-Falsafi, (Beirut : Dar al-Kitab al-Banani, 1973), Cet.1, h.361 5 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Mudhlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta : Multi Karya Grafika, 2003), Cet.VIII, h.2004 6 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : 2009), Cet.2, h.787 3 75 Dalam terminologinya, wahdat al Adyan berarti bahwa pada hakikatnya semua agama adalah satu dalam tujuannya kepada Tuhan YME, perbedaan antara agama-agama hanya terletak pada nama, bentuk dan cara ibadah, bukan pada tujuannya, karena tujuan tersebut berlaku sama yakni hanya kepada Tuhan semata, sehingga perbedaan itu tidak menghalangi para penganut masing-masing agama untuk sampai kepada tujuan yang sama 7. Wahdat al Adyan mengakui dan menghargai tradisi-tradisi keagamaan dan kepercayaan lain sebagai tradisi yang sederajat menjadi sebuah tuntutan. Tak ada lagi tradisi yang menjadi “anak tunggal” dengan segala privelese yang dimilikinya. Setiap tradisi keagamaan dan kepercayaan berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, karenanya memiliki hak hidup yang sama8. 2. Sosio-historis Wahdat al-Adyan Ajaran wahdat al-Adyan ini merupakan untaian dari ajaranajaran al-Hallaj yang lain, yaitu teori hulul dan Nur Muhammad Terutama dengan Nur Muhammad, wahdat al-Adyan memiliki kaitan langsung, karena menurut al-Hallaj, Nur Muhammad merupakan jalan hidayah (petunjuk) dari semua nabi. Oleh karena itu, agama yang dibawa oleh para nabi pada prinsipnya sama. Apalagi dalam keyakinan al-Hallaj, semua nabi merupakan "emanasi wujud", sebagaimana terumus dalam teori hulul-nya. Oleh karena itu, pada dasarnya agama-agama berasal dari dan akan kembali kepada pokok yang satu, karena memancar dari cahaya yang satu 9. Pandangan beberapa ulama Islam populer yang kontroversial, seperti al-Hallaj, al-Rumi, dan Ibn Arabi tentang konsep wahdat alAdyan, yaitu konsep yang menyatakan bahwa pada dasarnya sumber agama adalah satu, yaitu Tuhan yang sama, yang juga menghadirkan polemik kontroversi antara monotheisme dan politheisme paling tidak 7 Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com, Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com 9 Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.12 8 76 cukup menarik bahkan menantang untuk disimak dan direnungi terutama pada tren harmonisasi wacana keagamaan dewasa ini. Bila dilihat dari pendekatan sosio historis wahdat al Adyan sebenarnya lahir dari landasan filosofis Al-Hallaj tentang Hulul dan Nur Muhammad yang kemudian dikembangkan oleh Ibn Araby tentang Wahdat al-Wujud. Sehingga dengan demikian tidak ada landasan sosiohistoris yang signifikan, namun begitu kehidupan dan karya-karya dari kedua tokoh ini dapat menjelaskan secara kronologis fenomena keberagaman dan kemasyarakatan yang terjadi dimasa kehidupan kedua tokoh ini, sehingga konsep wahdat al Adyan lahir dari perkembangan konsep wahdat al wujud Ibn Araby dan Hulul al Hallaj10. a) Al-Hallaj Pencetus Wahdat al-Adyan Nama lengkap al-Hallaj adalah Abu al-Mughits al-Hasan ibn Manshur ibn Muhammad al-Baidhaun. Al-Hallaj lahir pada tahun 858 M/ 244 H. Sebutan al-Hallaj, berarti pemintal, dinisbatkan kepada ayahnya yang bekerja sebagai pemintal benang kapas dan wol di kota Tustar, salah satu desa dekat Baidha' Persia. Julukan lengkapnya adalah al-Hallaj al-Asrar, menurut putera bungsunya, Hamd, berarti 'seorang pemintal di lubuk hati', karena dia mengetahui segala hal yang ter-sembunyi di dalam hati dan jiwa manusia. Ada yang mengatakan dia keturunan Abu Ayyub, salah seorang sahabat dekat Nabi Muhammad SAW11. Sejak kecil al-Hallaj telah banyak bergaul dengan para sufi (orang yang menjalani kehidupan tasawuf) kenamaan. Di usia 16 tahun, dia berguru kepada sufi terkenal waktu itu, Sahal Ibn Abdullah al-Tusturi. Setelah 2 tahun belajar dan berlatih secara sungguh-sungguh, tahun 876 M/ 262 H. dia pergi berkelana ke 10 11 Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.19 77 Bashrah, lalu ke Baghdad. Bersarna Tusturi, Amr al-Makki dan Abu al-Qasim al-Junaid al-Baghdadi (guru-guru al-Hallaj), dia mengalami hidup dalam pertapaan, di tahun 877-897 M/263-283 H. Khiraah sufi (simbol otoritas sebagai seorang guru sufi) diterimanya dari salah satu gurunya, Sahal al-Tusturi12. Al-Hallaj pernah pula mengadakan pengembaraan ke Negara-negara timur tahun 988-903 M/284-289 H, yakni ke India, Turkistan, Azwaz, Persi, Khurasan, dan Turfan untuk berdakwah dan menulis buku. Selanjutnya di tanah-tanah yang pernah dia datangi, seperti Gujarat, Hindia, Parsi, dan Turki, muncul karyakarya puisi mistik daerah dalam berbagai bahasa yang dipengaruhi oleh aiaran-aiarannya13. Bahkan tidak sedikit para seniman dan sufi yang secara sengaja mencari inspirasi dari kisah hidup al-Hallaj untuk karya-karya mereka, seperti yang dilakukan Jalaluddin al-Rumi, Ruzbihan Baqli dari Shiraz, Fariduddin al'Attar, dan Shalah Abd al-Sabur. Setelah agak lama berkelana, di tahun 906 M/ 292 H. dia kembali ke Baghdad untuk mengajarkan ilmu tasawuf sampai tahun 909 M/ 295 H14.. Ajaran-ajarannya banyak menimbulkan polemik dan perdebatan di antara para ulama waktu itu. Bahkan banyak timbul anggapan di masyarakat, sehingga muncul pendapat pro dan kontra terhadapnya Kemasyhuran al-Hallaj sudah tidak diragukan lagi, tidak saja karena ajaran-ajarannya yang 'lain daripada yang lain', te-tapi juga karena semakin bertambahnya pengikut dan penga-gumnya yang memberikan aliran Hallajiyyah15 12 Fathimah Usman, Fathimah Usman, 14 Fathimah Usman, 15 Fathimah Usman, 13 Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.19 Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.21 Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.22 Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.23 78 Al-Hallaj sang pencetus wahdat al-Adyan, hidup di bawah pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah. Pemerintah ini berkuasa dalam rentang waktu yang cukup panjang, yakni sejak tahun 7501258 M/ 132-656 H5 Kekuasaannya menggantikan Dinasti Umayyah yang telah mereka runtuhkan. Dan nama dinasti yang didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn' Abdullah ibn al-Abbas ini dinisbatkan kepada al-Abbas, parnan Nabi Muhammad saw. yang merupakan nenek moyang mereka. Selama dinasti ini berkuasa di Baghdad (lebih kurang 509, tahun Masehi/524 Hijriyyah), pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya yang terjadi. Berdasarkan perubahan pola tersebut, para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah ini menjadi lima periode. 1) Periode pengaruh Persia pertama (tahun 750-847 M/ 132-232 H); 2) Periode pengaruh Turki pertama (tahun 847-945 M/ 232-334 H); 3) Periode kekuasaan Bani Buwaihi atau disebut juga dengan periode pengaruh Persia kedua (tahun 945-1055 M/ 334-447H); 4) Periode kekuasaan Bani Seljuk atau periode pengaruh Turki kedua (tahun 1055-1194 M/ 447-590 H); dan 5) Periode bebas pengaruh, namun kekuasaan khalifah hanya efektif di sekitar kota Baghdad (tahun 1094-125' M / 590-656 H)16Jika dilihat dari pembagian periodisasi ini, al-Hallaj hidup da periode kedua, ketika pemerintah Abbasiyah 'di bawah' dominasi kekuasaan bangsa Turki yang terkenal bengis dan kejam namun karena penting untuk melihat faktor-faktor sosial politis dan keagamaan sekitar masa hidup al-Hallaj, atau tepatnva masa wahdat al-Adyan dirumuskan17. 16 17 Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.44 Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.45 79 Pada periode ini, ada hal menarik yang patut disimak dalam perbincangan teologi, hukum (fikih), filasafat dan tasawuf. keempat disiplin ilmu ini masih mencari identitasnya sehingga tidak jarang menimbulkan persaingan antar peminat mereka. persaingan ini sering menimbulkan vonis-vonis negatif seperti bid’ah, murtad dan mulhid (penyeleweng), bahkan tidak jarang mereka bersaing dalam mempengaruhi elit-politik dan sistem pemerintahan18 Pada masa itu, Kehidupan al-Hallaj tidak saja menjadi kekaguman, tetapi juga sekaligus mengundang banyak kebencian dan kecemburuan. Sehingga ia bagaikan menjadi lambang cinta dan kebencian, Kelompok yang membencinya berasal dari berbagai kalangan Pertama, dari para ahli hukum (fuqaha), terutama aliran al-Dzahiriyah jelas sekaii sangat membencinya. Al-Hallaj dituduh-nya sebagai orang yang menganggap 'ringan' terhadap hukum Islam dan ibadah. Para fuqaha' menuduh alHallaj telah membuat bid'ah Tuduhan ini telah cukup menjadi vonis yang keji bagi setiap orang Islam, karena arti bid'ah, rnenurut Mahmoud Syalthout, adalah mengubah atau menyelewengkan kewajiban akidah, ibadah, dan hukum halalharam. Maka bid'ah merupakan perampasan hak Allah dalam membuat syari'ah, karena mengadakan masalah baru dalam hal agama. Oleh karenanya, bid'ah itu ditolak19. Golongan yang kedua yang memusuhi al-Hallaj adalah dari kalancan sufi, termasuk mertuanya sendiri, Abu Ya'qub dan mantan gurunya, al-Junaid. menuduh al-Hallaj telah menyimpang dari ajaran tasawuf yang benar, bahkan memakai ilmu sihir yang telah dipelajarinya tatkala pergi ke daerah Timur20. 18 Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.50 Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.24 20 Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.25 19 80 Adapun musuhnya yang ketiga dari kalangan ahli teolog AlHallaj dituduh telah mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan prinsip tauhid, atau kata-katanya bernafaskan panteistik Menurut golongan Asy'ariyah -salah satu madzhab terkenal dalam teologi Islam- ajaran hulul hanya akan menjerumuskan manua pada paham isytirak, yakni menyekutukan Tuhan21. Selanjutya serangan keempat datang dari kalangan politisi. Menteri Ali Ibn al-Furat dan Ali Ibn Isa menganggap al-Hallaj sebagai orang yang berbahaya. Mereka khawatir jika pengaruhnya yang besar terhadap rohaniawan akan merembet ke organisasi sosial dan bahkan ke struktur politik. Di samping itu, tuduhan politis yang keterlibatannya cukup serius dalam dilancarkan gerakan makar kepadanya kelompok atas Syi'ah Qaramithah. Pemerintah berkesimpulan bahwa komplotan ini dengan cara rahasia telah menyebarluaskan permusuhan dan berniat menggulingkan pemerintah. Pada tahun 301 H/913 M alHallaj masuk penjara Baghdad selama 8 tahun karena dituduh terlibat makar dan menodai kesucian agama. Setidaknya ada empat tindakan subversif yang dituduhkan kepadanya. Pertama, ia dituduh memiliki hubungan politik dengan kaum Qaramithah, gerakan bawah tanah yang hendak menggulingkan pemerintah Abbasiyyah. Kedua, keyakinan al-Hallaj yang mengaku dirinya Tuhan, ketika mengalami syathahat. Ketiga, keyakinan al-Hallaj bahwa ibadah haji bukanlah kewajiban agama yang penting. Dan keempat keyakinan al-Hallaj tentang wahdat al-Adyan (kesatuan agama). Amnesti untuk al-Hallaj tidak terlaksana karena sikap Perdana Menteri yang menghalanginya, Kasus al-Hallaj diputuskan di Mahkamah Syariah dengan vonis hukuman mati dan dieksekusi dengan disalib pada tiang gantungan tahun 309 H/922 M. Majid Fakhry berpendapat bahwa hasutan politis inilah 21 Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.26 81 yang sebenarnya merupakan faktor utama yang menentukan dalam penyiksaan akhir dan hukuman mati al-Hallaj22 b) Ibn Araby Pengukuh Wahdat al-Adyan Kendati mewakili suatu hakikat, wahdat al-Adyan selaku ide dapat diasumsikan sebagai reaksi atas realitas yang dihadapi. Sebab, pada dasarnya sebuah ide adalah ‘iluminasi’ atau refleksi dari realitas yang dilain waktu – secara dialektis dapat membentuk suatu realitas lain. Oleh karena itu, sebelum hakikat wahdat al-Adyan ‘dibongkar’ lalu dikembangkan, sangatlah penting bila kita mendahulukan bahasan tentang realitas sosiohistoris wahdat al-adyan. Bagaimana keadaan politik, budaya dan sosial-keagamaan pada zaman Ibnu Arabi mencetuskan ide wahdat al-Adyan. Secara historis, jalan kehidupan sufi kelahiran Mursiah 17 Ramadhan 560 H ini dapat dibagi menjadi dua fase. Pertama, fase keberadaannya di Andalusia (560-597 H). Kedua, fase keberadaannya dalam perjalanan mencari dan memperluas ilmu pengetahuan, hingga meninggal (597-638 H). Di fase pertama, Ibnu Arabi berada di bawah sistem pemerintahan monarkis Dinasti Muwahiddin (al-Mohad) yang sedang dipimpin oleh Khalifah Abu Ya’qub Yusuf bin Abdul Mu’min (551-580 H) lalu Khalifah Ya’qub bin Yusuf AlManshur (580-595 H)23. Menurut Muhammad Abdullah ‘Inan, khalifah Abu Ya’qub terkenal dengan karakter wara’, takwa, luas ilmu pengetahuan dan keagamannya, teguh dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, kapabel dalam menjalankan roda pemerintahan, gemar berjihad, dan dermawan.24 Karena corak 22 Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama…, h.27 23 Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari www.nusantaraonline.com 24 Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari www.nusantaraonline.com 82 politik suatu Negara monarkis tergantung dengan karakteristik pemegang tampuk pemerintahannya, maka karakteristik politik pemerintahan khalifah Abu Ya’qub pun tak jauh dari karakter sang khalifah. Ia didaulat bernuansa religius, teratur, aman, makmur, diiringi stressing pada pengembangan ilmu pengetahuan dan ekspansi ke luar negeri. Corak pemerintahan semacam itu menstabilitaskan politik dalam negeri, dan memberikan kesempatan hidup dan pendidikan yang lebih nyaman dan baik bagi rakyat. Ibnu ‘Arabi selaku rakyat Dinasti Muwahiddinpun mendapatkan anugerah nikmat serupa itu. Ia memiliki basis ilmu pengetahuan dan tradisi pemikiran Islam yang luas dan konprehensif, setelah berguru pada dua syeikh lebih.25 Sepeninggal Khalifah Abu Ya’qub, tongkat estafet kepemimpinan Dinasti Muwahiddin dipegang oleh anaknya, Khalifah Al-Manshur. Ia jalankan roda pemerintahan dengan nuansa politik yang hampir sama dengan ayahnya. Bedanya dalam masalah budaya-pemikiran keagamaan, pemerintahan Khalifah Al-Manshur cenderung fanatik. Ia hanya memberi ruang hidup bagi madzhab pilihannya dan melarang hidup mazhab lain yang berseberangan. Ia berangus buku Mazhab Maliki, dan ia inkuisi, asingkan, dan usir pemikir liberal (contoh konkritnya Ibnu Rusyd). Semuanya lantaran sang khalifah dikelilingi oleh fuqaha eksoteris bermahdzab Dzahiriyyah yang gila kekuasaan, hasud dan benci terhadap pemikir liberal dan esoterik. 26 Kebebasan berpikir di zaman itu tak berjalan leluasa dan kecenderungan untuk berpendapat lain tersumbat. Semua tak boleh berbeda dengan mainstream pemerintah (fuqaha). Karena suasana mengungkung dan tak kondusif lagi, tokoh-tokoh 25 M.Abdurrahman Al-Mara’syili, Tarjamah Ibnu Arabi, dalam pengantar buku AlFutuhat Al-Makiyyah Ibn Arabi, (Beirut : Dar Ihya Al Turast Al-Arabi,1998) h.11. 26 Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari www.nusantaraonline.com 83 “berfikir liberal” pun enggan tinggal lama di Andalusia. Termasuk Ibnu Arabi, usai keluar dari penjara akibat benturan pemikiran dengan pemerintah, ia hengkang dari Andalusia pada tahun 597 H, lalu melanglang buana di sekitar Masyriq 27 Secara garis besar, model politik pemerintahan Daulah Muwahiddin di fase awal kehidupan Ibnu Arabi mengarah pada religiusitas, stabilitas nasional dan ‘penjajahan’. Adapun corak budayanya; di masa Abu Ya’kub tergelar suasana inklusif dan toleran, sedangkan di masa Al-Manshur tersaji suasana ekslusif dan fanatis. Saat kehidupan budaya Muwahiddin bercorak inklusif dan toleran, pluralitas terangkul, dan kehidupan sosial-keagamaan terasa nyaman. Namun saat, kehidupan budaya bercorak ekslusif dan fanatik, keagamaan tersingkirkan, dan kehidupan sosialkeagamaan mengenaskan dan menggelisahkan. Pemerintahan Al-Manshur dengan corak budaya rigid yang dikembangkannya itu telah mendiskriminasi umat ‘beragama’ (baca: bersyariat) lain. Bila kaum dzimmi pada masa pemerintahan. Khalifah Abdul Mu’min (khalifah pertama Dinasti Muwahiddin) disingkirkan dan diberi alternatif: “menjadi muslim atau keluar dari wilayah Muwahiddin”, di masa Al-Manshur, mereka dibedakan dari orang ‘Islam’. Pada tahun 595 H, AlManshur mengeluarkan keputusan bahwa umat Yahudi wajib menggunakan baju berwarna hijau agar berbeda dengan umat Islam 28 Walaupun tak separah keputusan Khalifah Abdul Ma’mun, keputusan Khalifah Al-Manshur ini telah menjadikan umat ‘beragama’ lain sebagai warga Negara nomor dua pula. Keputusan itu tentu tidak fair dan dapat menjadi preseden buruk 27 Wadi’ Amin, A’lam Shufiyyah, dalam Jurnal Adab wa Naqd, Edisi 204, Agustus 2002,h.19. 28 Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari www.nusantaraonline.com 84 bagi sejarah Islam, paradigma integralistik dalam relasi agama dan Negara, dan konsep agama resmi Negara. Jika implikasi epistemologis dua keputusan itu berwarna kelabu, implikasi praksisnya berwarna hitam-menyeramkan. Secara khusus, keputusan itu menimbulkan dendam di hati warga yang di nomor duakan. Dan secara umum, ia menimbulkan dendam di hati komunitas lain yang ‘seagama’ dan berempati terhadap mereka. Contohnya, entah hukum karma atau memang ‘tren keagamaan’ di masa itu, kerajaan Spanyol Kristen melakukan hal yang hampir serupa dengan apa yang dilakukan Dinasti Muwahiddin terhadap kaun dzimmi. Tepatnya di Sevilla, pada akhir abad ke-6 H/12 M, di masa pemerintahan William I juga di masa Fedrick II, kerajaan Spanyol Kristen telah menekan umat Islam minoritas Sevilla dalam bidang hukum dan telah menindas mereka dengan perempasan tanah dan pengekangan kebebasan beragama29 Celakanya, implikasi praksis yang menyeramkan tadi tak berhenti disitu. Antipati terhadap agama lain muncul menjadi benih bawah sadar yang sewaktu-waktu dapat digerakkan oleh kekuatan politik kotor, sebagaimana yang dilakukan oleh kerajaan Muwahiddin dan kerajaan Spanyol Kristen. Dua kerajaan yang haus wilayah kekuasaan luas itu tak segan-segan menggerakan antipasti tersebut dengan politisasi agama untuk memenuhi dahaganya. Kerajaan Muwahiddin gencar mengkampanyekan jihad dan kerajaan Spanyol Kristen gemar mengkampanyekan perang suci membela salib30. Akhirnya, setelah antipati umat 29 Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari www.nusantaraonline.com Sebagai contoh, Abu Ya’kub secara pribadi mengarang buku tentang keutamaan jihad dan Alfonso VIII (raja Qasytalah/Spanyol Kristen) membujuk Baba Anushan III menggerakan umat Kristen Eropa, merebut tanah Andalusia dari umat islam hingga terjadilah perang salib ‘Mauqi’ah Iqab’… (lihat, Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari www.nusantaraonline.com) 30 85 bangkit oleh kampanye kerajaan, kemudian mulai sinkron dengan hasrat inti kerajaan, maka timbullah perang antar-kerajaan yang bertameng nama perang antar-agama. Di masa Khalifah AlMansur terjadi tragedi Arak (591 H/1193 M) antara Andalusia Muslim dengan Spanyol Kristen Qasytalah, lalu di Masa Khalifah Nashir terjadi tragedi ‘Iqab/Perang Salib (1212 M) antara Andalusia Muslim dengan persatuan umat Kristen Eropa31 Dalam pelarian dari kekangan pemikiran dan kekacauan politik dan sosial keagamaan Andalusia (fase kedua dari kehidupannya), Ibnu ‘Arabi berjalan mencari hakikat wujud, dan memperdalam serta memperluas ilmu pengetahuan, khususnya bidang tasawuf di Masyriq 32 Selama perjalanan itu, tintanya tak pernah kering menulis karya-karya monumental. Telah disinggung di atas bahwa dalam bidang budaya berpikir dan sosial keagamaan, pemerintahan Islam maupun Kristen telah membelenggu kebebasan berpikir dan telah mempolitisir agama. Karena kungkungan itu, Ibnu ‘Arabi lari dari Andalusia memproduk karya-karya yang sering keluar dari mainstream pemikiran ‘biasa’ atau berupaya menggulirkan ide pluralitas dan kebebasan berpikir-berekspresi. Dan karena penyelewengan itu, Ibnu ‘Araby’ berusaha mengungkap hakikat agama dan mencari “lem” perekat antarumat beragama. 31 Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari www.nusantaraonline.com Makkah (598 H), Muwashal (601 H), Cairo (603 H), Makkah (604-606 H) Qauniyyah Turki, Armenia (606-607 H), Baghdad (608 H) Makkah (611 H), Halb, terakhir ke Damaskus (620-638 H)… (lihat., Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, dari www.nusantaraonline.com) 32 86 3. Epistemologi Wahdat al-Adyan a) Epistemologi Al-Hallaj Ajaran wahdat al-Adyan ini merupakan untaian dari ajaranajaran al-Hallaj yang lain, yaitu teori hulul dan Nur Muhammad Terutama dengan Nur Muhammad, wahdat al-Adyan memiliki kaitan langsung, karena menurut al-Hallaj, Nur Muhammad merupakan jalan hidayah (petunjuk) dari semua nabi. Oleh karena itu, agama yang dibawa oleh para nabi pada prinsipnya sama. Apalagi dalam keyakinan al-Hallaj, semua nabi merupakan "emanasi wujud", sebagaimana terumus dalam teori hulul-nya. Oleh karena itu, pada dasarnya agama-agama berasal dari dan akan kembali kepada pokok yang satu, karena memancar dari cahaya yang satu 33. Berangkat dari teori al-Hulul, al-Hallaj memaparkan pandangannya tentang eksistensi alam semesta melalui teori Nur Muhammad atau al-Haqiqah al-Muhammadiyah. Pandangannya tentang hulul ini berlanjut lebih jauh dan lebih luas kepada teori emanasi yakni haqiqah yang dihubungkan dan berkesinambungan dari Allah (menjadikan) kepada Nur-Nya (Nur Muhammad) untuk dipancarkan (kepada) menjadi alam semesta. Nur muhammad menjadi logos dan perantara bagi alam semesta34. 33 Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.12 Bila kita cermati teori nur Muhammad tersebut serupa dengan doktrin Trinitas yang menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah “firman Tuhan”. Dalam keyakinan Kristiani, Yesus Kristus adalah Oknum Aktif dan aktual yang dalam hal ini menjadi pancaran semesta atau pancaran Tuhan yang menjelma dalam bentuk/pribadi manusia. Dalam tradisi murni Kristiani, memang tidak pernah ada pengangkatan Yesus Kristus (Nabi Isa as) sebagai Tuhan, Yesus Kristus tetap diyakini sebagai manusia, tetapi karena keimanan yang berlebihan yang akhirnya merancukan nalar mereka, keyakinan murni tersebut berubah menjadi Trinitas dalam pengertian Yesus adalah bagian dari pribadi Tuhan-atau dengan kata lain Yesus disamakan dengan Tuhan. Bila kita kembalikan pada doktrin al-Hallaj nampaknya al-Hallaj memang terilhami (bukan meniru atau mengadopsi) dari konsep ketuhanan umat kristiani, karena al-Hallaj dapat dengan gambling dan logis menjelaskan hakikat nur-muhammad serta perbedaan lainnya adalah al-Hallaj tetap mempertahankan fundamen pemikirannya pada pemisahan antara wujud dan substansi (dapat kita lihat dari pemikirannya tentang Nabi Muhammad sebagai ruhul qadim dan ruhul hadits). Lebih jauh lagi kita telaah, sebetulnya umat Kristen telah mencapai pemurniannya terhadap Tuhan (dan kenabian Isa,as), walaupun untuk kemudian menjadi absurd dan mengarah pada kemusyrikan. 34 87 Bagi al-Hallaj, Nabi Muhammad memiliki dua hakikat yaitu qadim dan hadts. Haqiqat qadimah merupakan nur al-Azali yang telah ada sebelum terjadinya alam semesta. Hakikat inilah yang menjadi sumber ilmu dan ‘irfan (wisdom) serta sebagai titik tolak munculnya para nabi dan para wali Allah. Sedangkan haqiqat haditsah adalah eksistensinya (Muhammad dalam wujud manusia) yang menjadi nabi dan rasul, meskipun kemunculannya berasal dari yang azali35 Kemudian dari teorinya tentang Nur muhammad, maka ia mengembangkan pemahaman tentang wahdat al-Adyan. Kesatuan agama terjadi karena adanya kesatuan kenabian, dalam hal ini para nabi dihubungkan oleh pengetahuan (al-Aql Awwal) yakni Nur Muhammad, sehingga Nur Muhammad melampaui seluruh “aql” pengetahuan para nabi yang berasal (bersumber) dari ruh-nya yang qadim. Konsep Nur Muhammad atau haqiqat al-Muhammadiyah dalam tasawuf adalah nama bagi sifat-sifat Tuhan yang dapat diwujudkan oleh manusia pada dirinya. Nur Muhammad bukan makhluk tetapi sifat-sifat yang ada pada Allah dan belum berada pada manusia. Sifat-sifat Allah yang ada pada manusia dan hilang sifat-sifat kemanusiaannya disebut Insan Kamil. Nur Muhammad dalam teori penciptaan menempati posisi kausa prima yang berarti sifat-sifat Allah itulah yang menyebabkan terciptanya alam semesta dengan segala isinya. Dengan demikian sifat-sifat Allah ini tampak dengan alam yang dengannya manusia mengenal Allah. Dalam tajalli Allah mempunyai maksud dengan ciptaan-Nya, sedangkan dalam emanasi Allah menciptakan alam ini tanpa maksud36. 35 36 Sahabuddin, Menyibak Tabir Nur Muhammad, (Jakarta : Renaisan, 2004), Cet.,1 h.25 Sahabuddin, Menyibak Tabir Nur Muhammad..., h.96-97 88 Melalui konsep Nur Muhammad inilah berkembang wahdat alAdyan. Dalam tasawuf kedudukan Nur Muhammad sebagai jalan menuju Tuhan, sehingga dapat pula dikatakan bahwa melalui Nur Muhammad maka akan ada kesatuan kenabian yang secara inheren berarti kesatuan kitab suci, kesatuan umat, dan kesatuan agama yang menjadi jalan menuju Allah. Ajaran-ajaran al-Hallaj, khususnya yang berbicara tentang tasawuf ada tiga,80 yaitu (1) 'penjelmaan Tuhan ke dalam diri manusia (hulul / infussion); (2) asal usul kejadian alam semesta dari Nur Muhammad (cahaya Muhammad); dari ajarannya tentang hulul dan Nur Muhammad inilah al-Hallaj mencetuskan, – (3) konsep kesatuan agama (wahdat al-adyan). Hulul atau Infusion. Hulul secara etimologis berasal dari kata ”hall-yahull-hulul” berarti berhenti atau diam. Menurut Abu Manshur al-Hallaj dalam tasawuf filosofis menyatakan bahwa hulul adalah pengalaman spiritual seorang sufi sehingga ia dekat dengan Allah, lalu Allah memilih kemudian menempati dan menjelma padangya. Konsep hulul dibangun diatas landasan teori lahut dan nasut. Lahut berasal dari perkataan ilah yang berarti tuhan, sedangkan lahut berarti sifat ketuhanan. Nasut berasal dari perkataan nas yang berarti manusia; sedangkan nasut berarti sifat kemanusiaan. Al-Hallaj mengambil teori hulul dari kaum Nasrani yang menyatakan bahwa Allah memilih tubuh Nabi Isa, menempati, dan menjelma pada diri Isa putra Maryam. Nabi Isa menjadi Tuhan, karena nilai kemanusiannya telah hilang. Hulul Allah pada diri Nabi Isa bersifat fundamental dan permanen. Sedangkan hulul Allah pada diri al-Hallaj bersifat sementara; melibatkan emosi dan spiritual; tidak fundamental dan permanen. AlHallaj tidak menjadi Tuhan dan tidak menyatakan Tuhan, kecuali ucapan yang tidak disadarinya (syathahat). Al-Hallaj tidak kehilangan nilai kemanusiannya. Ia hanya tidak menyadarinya selama syathahdt. Adapun tazkiyat al-nafs adalah langkah untuk membersihkan jiwa 89 melalui tahapan mawamat hingga merasakan kedekatan dengan Allah dan mengalami al-fana ‘an al-nafs. Out put dari tazkiyat al-nafs adalah lahut manusia menjadi bening, sehingga bisa menerima hulul dari nasut Allah37. Nur Muhammad. Konsep Nur Muhammad ini merupakan ajaran al-Hallaj yang kedua. Menurutnya, Nur Muhammad adalah cahaya purba yang melewati nabi satu ke nabi yang lain, dan berlanjut sampai kepada para imam/ wali, yang merupakan rantai pentahbisan (silsilah). Al-Hallaj merujukkan ajarannya pada Al-Qur'an surat alNur: 35, yang terjemahnya sebagai berikut: "Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti lubang yang tak tembus, yang didalamny aada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di eras cahaya (berlapislapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya, siapa saja yang Dia kehendaki".38 Menurut al-Hallaj, Muhammad memiliki dua hakikat, yakni pertama hakikat cahaya azali yang telah ada sebelum adanya se-gala sesuatu dan menjadi landasan ilmu serta ma'rifat. Kedua, hakikat yang baru dalam kedudukannya sebagai seorang nabi, pada ruang dan waktu 37 Ajaran ini menjelaskan tentang keadaan 'kerasukan Tuhan' atau Tuhan menitis pada diri seseorang yang telah mampu 'menyatu' dengan-Nya. Kemungkinan 'prestasi' ini dapat dicapai karena dalam diri manusia terdapat dua potensi sifat dasar, yakni unsur nasut (kemanusiaan) dan unsur lahut (ketuhanan), yakni ruh manusia yang berasal dari ruh Tuhan, yang sesuai dengan penegasan Al-Qur'an surat Shaad: 71-72 yang artinya : "(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat:"Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apahila telah Kusempumakan kejadiannya dan Kutiupkan kepada ruh-Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dan bersujud kepadanya".81… Nasut adalah tabiat kemanusiaan, baik yang rohani maupun jasmani. Karenanya Tuhan tidak dapat bersatu dengan tabiat ini, kecuali dengan jalan 'menjelaskan' diri atau menurut istilah Massignon, “dengan jalan merasuknya Ruh Suci yang mengambil tempat dalam ruh jasmani”…, Lihat : Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com 38 Q.S An-Nur,24 : 35.Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya 90 tertentu. Cahaya yang pertama itulah yang menjadi landasan semua para nabi dan para imam/ wali yang lahir sesudahnya 39. Sedangkan menurut Ibnu Arabi (seorang sufi-filosofis yans banyak dipengaruhi oleh al-Hallaj), Nur Muhammad sebaga prinsip aktif di dalam semua pewahyuan dan inspirasi. Melaluinyalah pengetahuan kudus itu diturunkan kepada semua nabi dan santo-santo, bahkan kepada Nabi Muhammad sendiri. Hanya kepada Ruh Muhammad/ Nur Muhammad saja diberikan awamt al-kalim aveba Dei (firman universal). Adapun menurut Masssignon, Muhammad sebagai cahaya dikenal sebagai 'fet meriting light' di bawah pengaruh dari 'the uncreated of the mystery'. Proses hubungannya dengan melalui emanasi,10 bahwa Dia (sebagai the active intellect) selalu memberi ilham kepada superioritas esensi Muhammad yang disebut supred reason atau 'al-aql al-akbar'. Esensi Muhammad menurut alTusturi, sebagaimana dikutip oleh Massignon, disebut 'amit al-nur' (tiang cahaya), yakni 'jasad halus' dari keyakinan yang diemanasi dari Tuhan sendiri yang membungkuk kepada-Nya) selama 1.000.000 tahun sebelum diciptakan-Nya makhluk makhluk40. Lalu Allah menunjukkannya kepada para malaikat dan makhluk lain yang telah ada, dan berfirman : “ Inilah makhluk Allah yang paling mulia" Berkaitan dengan hal ini, Ibn Arabi berpendapat bahwa manusia adalah wujud satu-satunya yang didalamnya prinsip Nur Muhammad ini dimanifestasikan dengan derajat yang sangat tinggi, sehingga ia patut disebut al-Khalifah (wakil Tuhan) dan image dari Tuhan. Selanjutnya al-Hallaj menulis bahwa eksistensi Muhammad telah terjadi bahkan sebelum non-eksistensi dan namanya pun sebelum intelek pertama. Berkaitan dengan hal itu, maka 'Afifi berpendapat bahwa al-Hallaj adalah sufi pertama yang mengisyaratkan sesuatu 39 40 Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com 91 semacam logos dalam Islam dan menekankan kekudusan Muhammad, bahkan menegaskan keabadian dan pra-eksistensinya. 'Afifi juga rnenduga, selain terpengaruh oleh filsafat Yunani, al-Hallaj telah mengambil pemikiran St. Johannes tentang Logos dan memodifikasikannya dengan menggantikan 'Kristus' dengan al-Haq (Tuhan) dan dengan ini diletakkan dasar pandangannya tentang lahut dan nasut41. Wahdat al-Adyan. Yang menarik dan patut direnungkan, dalam pandangan a1-Hallaj, tidak ada perbedaan hakikat antara monoteisme dan politeisme. Dia berkata: "Kufur (ingkar Tuhan) dan iman itu hanya berbeda dari segi namanya, bukan dari segi hakikatnya, karena antara keduanya tidak ada perbedaan". Selain itu, al-Hallaj juga menyalahkan orang yang menyalahkan agama orang lain42. Pandangan al-Hallaj tegas, bahwa pada dasarnya beragama apapun adalah Islam. Ia menuliskan dalam syairnya : "Aku memikirkan agama-agama dengan sungguh-sungguh, kemudian sampailah pada kesimpulan bahwa ia mernpunyai banyak sekali cabang. Maka jangan sekali-kali rnengajak seseorang kepada suatu agama, karena sesungguhnya itu akan menghalangi untuk sampai padatujuan yang kokoh. Tetapi ajaklah melihat asal/sumber segaia kemuliaan dan makna, maka dia akan memahaminya” 43. Dalam syair yang lain al-Hallaj berbicara: "If the Well-Guided was pleased with indirect information how shall he who searches the route not suffice himself with an indirect trace. From the Burning Bush, on the side of Sinai what he heard speak from the Bush was not the Bush nor its seed, but Allah. And my role is like this Bush".44 41 Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.12 43 Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.14 44 Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.14 42 92 faham wahdat al-Adyan al-Hallaj dilandaskan pada pandangannya tentang tauhid. Memang, banyak orang sulit memahami jalan pikiran ini, karena tampaknya ada sesuatu yang kontradiktif. Bagaimana mungkin dapat terjadi, tauhid yang menghendaki konsep keesaan Tuhan secara mutlak, oleh al-Hallaj dijadikan landasan konsep wahdat al-Adyan yang 'mempersilakan' kehadiran konsep ketuhanan yang beraneka ragarn. Bagi al-Hallaj, Tuhan itu Satu, Unik, Sendiri, dan terbukti Satu. Dalam syairnya al-Hallaj menulis: "He is Allah the Living. Ailah is One, Unique, Alone and Testified as One. Both the One and the profession of Unity of the One are in Him and from Him. From Him comes the distance that separates others from His Unity. The knowledge of Tawhid is an autonomous abstract cognizance45". Baginya, Tuhan tidak bisa disifati apa pun. Penyifatan terhadap-Nya hanya akan membatasi-Nya. Selengkapnya al-Hallaj berkata: "Ourdemontrative allusion presents a definition. Now, as regards this definition, the unicity of God cannot be an exception (to the general rules); however, every definition is a limitation, and the attributes of a limitation apply to a limited object; on the other hand, the object of the attestation that God is one has no limitation46". Maka, konsep Tuhan yang satu harus dipahami secara unik, karena Tuhan adalah kesatuan yang mutlak dari keseluruhan. Oleh karena itu, menurut al-Hallaj, penyembahan melalui konsep 47 monoteisme atau politeisme tak masalah bagi Tuhan . Pada dasarnya keduanya hanya berkaitan dengan logika, yakni antara yang satu dan yang banyak. Dari situ juga ditelusuri akan dijumpai kepercayaankepercayaan yang apabila ditafsirkan akan mengarah kepada satu Tuhan. 45 Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.15 Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…,h.15 47 Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.16 46 93 faham Massignon, wahdat al-adyan-nya merupakan al-Hallaj, menurut Louis konsekuensi dari kesadaran diri atas “kehadiran” Tuhan di setiap tempat, dalam semua agama. Karena pada dasarnya agama yang dipeluk oleh seseorang secara tidak langsung merupakan “bukan hasil pilihan sendiri” (Abu al-Wafa al-Ghanami alTaftazani, 1983 : 132). Senada dengan itu John Hick berpendapat bahwa 99% keyakinan agama tergantung kepada tempat di mana seseorang dilahirkan. Seseorang yang lahir di Thailand sangat mungkin beragama Buddha, yang lahir di Saudi Arabia sangat mungkin beragama Islam dan sebagainya 48 b) Epistemologi Ibn ’Araby Konsep wahdat al-adyan ini juga dikembangkan oleh Ibn Arabi dengan agama universalnya, yaitu suatu agama yang mistikal dan bukan sekedar theistikal, yakni suatu faham bahwa Tuhan tidak dapat disifati dan dibatasi oleh suatu apapun. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pandangan al-Hallaj tentang Tuhan yang satu harus dipahami secara unik, karena Tuhan adalah kesatuan yang mutlak dari keseluruhan, maka penyembahan melalui konsep monoteisme atau politeisme tak masalah bagi Tuhan karena Pada dasarnya perbedaan keduanya hanya berkaitan dengan logika, yakni yang satu dan yang banyak. Berbicara tentang konsep yang satu (al-wohid) dan yang banyak (al-katsir), kalangan sufi memulainya dari konsep wahdat al-wujud (kesatuan wujud), dalam pandangan Ibn 'Arabi. Pemikiran Ibn Araby mengenai wahdat al-adyan ini dapat kita lacak dari pemahaman logikanya mengenai makna yang satu (alwahid) dan yang banyak (al-katsir), di sini Ibn Arabi memulainya dengan konsep wahdat al-wujud, dasar filosofis dalam memahami Tuhan dalam hubungan-Nya dengan alam. Tuhan tidak bisa dipahami 48 Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com 94 kecuali dengan memadukan dia sifat yang berlawanan padanya. Bahwa wujud hakiki hanyalah satu, yakni Tuhan, Al-Haq. Meski wujud-Nya hanya satu. Tuhan menampakkan dirinya [tajjala] dalam banyak bentuk yang tidak terbatas pada alam. Dalam pandangan Ibn 'Arabi,bahwa hubungan ontologis antara yang satu dan yang banyak menggunakan penjelasan matematis. Bilangan-bilangan banyak: yang tak terbatas) berasal dari yang satu (dengan bilangannya) menurut pengelompokan yang telah diketahui. (dihitung). Setiap unit bilangan adalah realitas, seperti sembilan dan sepuluh sampai pada yang terkecil dan yang tertinggi hingga tanpa batas; tidak satu pun dari unit itu yang merupakan kumpulan (dari satusatu) semata, namun di pihak lain masing-masing unit itu merupakan kumpulan satu-satu. Jadi, walaupun "yang banyak" berasal dari "yang satu", akan janggal kedengarannya jika untuk'menyebut angka-angka (yang banyak) sebagai manifestasi-manifestasi dari angka "satu" dalam pengertian bahwa objek-objek fenomena adalah manifestasi dari yang satu. Itulah, menurut istilah Ibn 'Arabi. metafor-metafor matematis angka "satu" dan titik diakritikal, dan pusat suatu lingkaran49. Ibn Arabi melukiskan wahdat al-adyan itu dengan sebuah syairnya : "Sungguh hatiku telah menerima berbagai bentuk, tempat penggembalaan bagi kijang dan biara bagi pendeta, rumah bagi berhala, dan ka'bah bagi yang berthawaf, sabak bagi Taurat, dan mushhaf bagi Al-Our'an, saya beragama dengan agama cinta.... cinta itulah agama dan imanku". Atau lebih ekstrim lagi, Jalal al-Din al-Rumi dalam sebuah pengakuannya: "... aku adalah seorang Muslim, tetapi aku juga seorang Nasrani, Brahmanisme dan Zaratustraisme. Aku pasrah kepada-Mu al-Haq Yang Mahamulia, Aku hanya mempunyai satu tempat ibadah, masjid atau gereja atau rumah berhala. Tujuanku hanya kepada Zat Yang Mahamulia"50 49 50 Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.17 Fathimah Usman, Wahdat al-Adyan, Dialog Pluralisme Agama…, h.18 95 Filsafat al-Rumi ini diilhami oleh gagasan monistik. Dia mengatakan “Matsnawi” adalah kedai kesatuan (wahdah) : setiap sesuatu yang engkau lihat dari sana selain yang Esa adalah berhala. Mengenai medan pertempuran dalam kehidupan, ia pahami bahwa seluruh pertentangan dan perselisihan itu hanya berperan melaksanakan tugasnya dalam menjaga fungsi keharmonisan alam semesta yang hanya disadari oleh para sufi. Oleh karena itu, menurut para sufi, orang yang telah mencapai ma'rifat memandang setiap yang disembah adalah tempat teofani Tuhan. Mereka lebih mementingkan hakikat sesuatu dibandingkan dengan bentuk lahirnya. Dalam tampilan sehari-harinya, para sufi dianggap 'kurang' sungguh-sungguh memperhatikan ibadah ritual, yang lebih bernuansa tampilan lahir. Padahal yang sebenarnya tidaklah demikian karena mereka lebih mementingkan hakikat ketimbang 'hiasan luar' semata. Salah satu tema pokok yang perlu dan sekaligus ,menarik untuk dibicarakan adalah teori Ibnu al-Arabi tentang “Tuhan kepercayaan” (al-Ilah al-mu’taqad), yang disebut pula “Tuhan dalam kepercayaan” (al-Ilah fi al-I’tiqad), atau “Tuhan kepercayaan” (al-Haqq al-I’tiqadi), atau “Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan “(al-Haqq almakhluq fi al-I’tiqad)”. “Tuhan kepercayaan” adalah Tuhan dalam pengetahuan, konsep, penangkapan, atau persepsi manusia. Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, tetapi adalah tuhan ciptaan manusia, yaitu tuhan yang diciptakan oleh pengetahuan, konsep, penangkapan, atau persepsi manusia. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang “dimasukkan” atau “ditempatkan” oleh manusia dalam kepercayaannya. “Bentuk” , “gambar”, atau “wajah” tuhan seperti itu ditentukan atau diwarnai oleh manusia yang mempunyai kepercayaan kepada-Nya. “Apa yang diketahui” diwarnai oleh “ apa yang mengetahui”. Dengan mengutip perkataan al-Junayd, Ibn al-Arabi berkata,” warna air adalah warna bejana yang ditempati” (lawn al-ma’lawn ‘inaihi). Itulah sebabnya Tuhan berkata, “Aku adalah dalam sangkaan hamba- 96 Ku” (Ana ‘inda zhann ‘abdi). Tuhan disangka, bukan diketahui51. Sebagaimana dijelaskan diatas “Tuhan kepercayaan“ adalah Tuhan ciptaan manusia. Barang siapa memuji ciptaan-Nya berarti memuji dirinya sendiri. Ibn al-’Arabi berkata: Tuhan kepercayaan adalah ciptaan bagi yang mempersepsikannya. Dia adalah ciptaannya. Karena itu, pujiannya kepada apa yang dipercayainya kepada dirinya sendiri. Itulah sebabnya ia mencela kepercayaan orang lain. Jika ia menyadari (persoalan yang sebenarnya), tentu ia tidak akan berbuat demikian. Tidak diragukan bahwa pemilik objek penyembahan khusus itu adalah bodoh tentang itu karena penolakannya terhadap apa yang dipercayai orang lain tentang Allah. Jika ia mengetahui apa yang dikatakan oleh al-Junayd, “warna air adalah warna bejana yang ditempatinya,” ia akan membenarkan apa yang dipercayai setiap orang yang mempunyai kepercayaan dan mengakui Tuhan dalam setiap bentuk dan dalam setiap kepercayaan52. Di mata Ibn al-Arabi, orang yang menyalahkan atau mencela kepercayaan orang lain tentang Tuhan adalah orang yang bodoh. Pasalnya, Tuhan dalam kepercayannya sendiri, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan yang disalahkannya itu, bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya. Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya tidak dapat diketahui. Ini sama dengan “mengetahui Tuhan yang tidak dapat diketahui” (to know the Unknowable God). Orang seperti itu mengakui hanya Tuhan dalam bentuk kepercayaannya atau kerpercayaan kelompoknya sendiri dan mengingkari Tuhan dalam bentuk-bentuk kepercayaan lain. Padahal, Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam semua bentuk kepercayaan yang berbeda-beda itu adalah satu dan sama53. 51 Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial, Kearifan Kritis Kaum Sufi, (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003), Cet.3, h.36-38 52 Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.38-39 53 Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.39 97 Pengetahuan yang benar tentang Tuhan, menurut sufi dari Andalusia ini, adalah pengetahuan yang tidak terlihat oleh bentuk kepercayaan atau ragam tertentu. Kata Ibn al-Arabi, “Barang siapa membebaskan-Nya dari pembatasan, tidak akan mengingkari-Nya dan mengakui-Nya dalam setiap bentuk tempat Dia mengubah diri-Nya”54 Kepercayaan seorang hamba kepada Tuhannya ditentukan dan diwarnai oleh kapasitas pengetahuan sang hamba. Kapasitas pengetahuan itu tergantung kepada”kesiapan partikular" (al-isti’dad al-juz’i) masing-masing individu hamba sebagai bentuk penampakan ”kesiapan universal”. Tuhan menampakkan diri-Nya kepada hambaNya dengan kesiapan sang hamba untuk mencapai pengetahuan tentang Tuhan yang akhirnya “diikat” atau “dibatasi” oleh dan dalam kepercayaannya sesuai dengan pengetahuan yang dicapainya 55. Pandangan Ibn al-Arabi tentang persoalan kebenaran keagamaan harus dijelaskan melalui ajarannya tentang perintah Tuhan. Ibn al-Arabi membagi perintah Tuhan kepada dua macam: Perintah Penciptaan dan Perintah Kewajiban . Yang pertama disebut Kehendak Ilahi dan yang kedua disebut Keinginan Ilahi. Berikut adalah penjelasan teori Ibn al-Arabi yang penulis kutip dari Prof.Dr. Kautsar Azhari Noer dalam bukunya “Tasawuf Perrenial” : “Perintah Penciptaan menyebabkan semua makhluk ada. Tidak sesuatupun yang tidak mematuhi perintah ini. Perintah Kewajiban disampaikan Tuhan kepada para Nabi dalam bentuk wahyu yang harus mereka sampaikan kepada umat mereka. Perintah ini memberikan kewajiban atas manusia untuk mengabdi kepada Tuhan. Perintah pertama ditujukan kepada segala makhluk. Perintah kedua ditujukan secara khusus kepada manusia. Perintah pertama pasti terpenuhi. Perintah kedua dapat terpenuhi dan tidak dapat terpenuhi. Dilihat dari segi Perintah Penciptaan atau Kehendak Ilahi, menurut ibn al-Arabi, semua agama, baik agama-agama para penyembah Tuhan maupun agama-agama para 54 55 Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.40 Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.96-97 98 penyembah berhala, adalah benar. Artinya, semua agama itu sesuai dengan Perintah Penciptaan atau Kehendak Ilahi Akan tetapi, dilihat dari segi Perintah Kewajiban, semua agama tidak sama dan tidak benar. Agama yang benar adalah agama yang sesuai Perintah Kewajiban, yaitu agama yang sesuai dengan wahyu Tuhan yang disampaikna kepada para Nabi. Agama inilah yang menjamin keselamatan dan kebahagiaan. Agama yang tidak benar adalah yang meyalahi Perintah Kewajiban, yaitu agama yang tidak sesuai dengan wahyu Tuhan. Agama ini tidak menjamin keselamatan dan kebehagiaan. Orangorang yang mematuhi wahyu Tuhan akan memperoleh keselamatan dan kebahagiaan, sedangkan yang mengingkarinya akan celaka dan sengsara 56. Penjelasan Ibn ‘Araby yang lebih jelas lagi dapat kita temukan dalam magnum opusnya (al-Futuhat al-Makkiyah), ia menerangkan tentang kepastian hukum Tuhan baik secara normatif maupun historis mengenai kebhinekaan agama-agama. Ia menjelaskan tentang delapan relasi Tuhan kepada manusia yang kesemuanya bergerak secara Systemic-Causa yakni: 1) keragaman syariat (ikhtilaf al-syra’I) disebabkan oleh keragaman relasi Ilahi (ikhtilaf al-nisab al-Ilahiyah), 2) keragaman relasi Ilahi disebabkan oleh keragaman keadaan (ikhtilaf alahwal), 3) keragaman keadaan disebabkan oleh keragaman zaman (ikhtilaf al-azman), 4) keragaman zaman disebabkan oleh keragaman gerak (ikhtilaf al-harakat), 5) keragaman gerak disebabkan oleh keragaman arah perhatian Ilahi (ikhtilaf al-tawajjuhat al-Ilahiyah), 6) keragaman arah perhatian Ilahi disebabkan oleh keragaman tujuan (ikhtilaf al-maqashid), 7) keragaman tujuan disebabkan oleh keragaman penampakan diri Tuhan (ikhtilaf al-Tajalliyat), dan 8) keragaman penampakan diri Tuhan disebabkan oleh keragaman syariat (ikhtilaf alsyra’I) 57 56 57 h.61 Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.42 Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…, 99 Pertama, keragaman syariat (ikhtilaf al-syra’I) disebabkan oleh keragaman relasi Ilahi (ikhtilaf al-nisab al-Ilahiyah). Tuhan sebagai wujud yang memiliki kehendak selalu melakukan hubungan dan komunikasi dengan para nabi-Nya pada setiap masa dalam menyampaikan kehendak wahyu atau syariat-Nya. Relasi Tuhan dengan seorang nabi, berbeda dengan relasi Tuhan dengan nabi-nabi yang lain. Karena itu, syariat yang disampaikan oleh setiap nabi pun berbeda-beda. Inilah yang dimaksudkan Ibn ‘Araby dengan pernyataan alQuran bahwa setiap (komunitas agama) telah diberikan aturan (syir’ah) dan jalan/cara (minhaj) (QS. 5: 48). Pernyataan lainnya didalam al-Quran adalah bahwa pada tiap-tiap umat telah ditetapkan cara ibadahnya masing-masing, maka janganlah bertengkar (berbantah-bantahan) mengenai hal tersebut, tetapi katakanlah bahwa Tuhan paling mengetahui dan kelak Tuhan lah yang menjadi hakim di hari kebangkitan (QS. 22: 67-69) Kedua, keragaman relasi Ilahi disebabkan oleh keragaman keadaan (ikhtilaf al-ahwal). Ibn ‘Araby mengibaratkan perbedaan relasi-relasi Tuhan dengan para nebi-Nya, seperti perbedaan relasi Tuhan dengan orang yang sakit dan relasi Tuhan dengan orang yang lapar atau tenggelam. Seseorang yang dalam keadaan sakit, ia akan berdoa, “Wahai Yang Maha Pemberi Obat” atau “Wahai Yang Maha Pemberi Sembuh”; seseorang yang dalam keadaan lapar, ia akan berdoa, “Wahai Yang Maha Penyedia Makan”; sedang orang yang dalam keadaan tenggelam, ia akan menyeru, “Wahai Yang Maha Penolong (Penyelamat)”. Oleh karena itu relasi Tuhan akan beraneka ragam sesuai dengan keragaman keadaan makhluk-Nya. Demikian juga relasi Tuhan kepada para nabi disebabkan keragaman keadaan masyarakat pada setiap masa kenabian. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan al-Quran “Dia Allah pada setiap saat (masa) berada dalam kesibukan-Nya. Kami akan menyelesaikan (urusan) dengan kamu – wahai manusia dan jin” (QS. 55: 29-30) Ketiga, keragaman keadaan disebabkan oleh keragaman zaman (ikhtilaf al-azman). Keadaan pada saat musim semi berbeda dengan keadaan pada saat musim panas; keadaan pada saat musim panas berbeda dengan keadaan pada saat musim gugur; keadaan pada musim gugur berbeda dengan keadaan pada saat musim dingin; dan keadaan pada saat musim dingin berbeda dengan keadaan pada saat musim semi. Sebagaimana musim mempengaruhi keadaan tubuh. Dengan demikian, keragaman zaman atau waktu menyebabkan keragaman keadaan. Keempat, keragaman zaman disebabkan oleh keragaman gerak (ikhtilaf al-harakat). Gerakan yang dimaksudkan disini adalah gerakan dari benda-benda angkasa, dimana gerakan-gerakan 100 tersebut memunculkan siang-malam dan menentukan keberlangsungan tahun, bulan dan musim yang semua itu menggambarkan (melukiskan) keragaman waktu. Kelima, keragaman gerak disebabkan oleh keragaman arah perhatian Ilahi (ikhtilaf al-tawajjuhat al-Ilahiyah). Menurut Ibn ‘Araby, seandainya arah perhatian Tuhan terhadap arah gerakan bendabenda langit tersebut sama, maka gerakan benda-benda angakasa tidak akan menjadi beranekaragam. Padahal kenyataan terjadi keragaman gerakan. Hal ini membuktikan bahwa arah perhatian Tuhan terhadap gerakan bulan yang beredar pada porosnya, berbeda dengan arah perhatian |Tuhan terhadap gerakan matahari dan gerakan planet-planet lainnya. Dalam hal ini al-Quran dinyatakan “Masing-masing beredar pada porosnya” (QS. 21: 33). Keenam, keragaman arah perhatian Ilahi disebabkan oleh keragaman tujuan (ikhtilaf almaqashid). Seandainya tujuan arah perhatian Tuhan terhadap gerakan bulan sama dengan arah perhatian Tuhan terhadap gerakan matahari, maka tidak akan dapat dibedakan antara satu efek (atsar) dengan efek lainnya. Padahal tidak diragukan lagi bahwa efek itu beranekaragam. Ibn ‘Araby mengibaratkan bahwa arah perhatian Tuhan dalam menerima Zaed secara ridha, akan berbeda dengan arah perhatian Tuhan dalam menerima ‘Amr secara murka. Perbedaan tersebut karena tujuan Tuhan untuk member hukuman (kesengsaraan) kepada ‘Amr, dan tujuan Tuhan untuk memberikan kebahagiaan kepada Zaed. Karena itu, tujuan menjadi penyebab pluralitas arah perhatian. Ketujuh, keragaman tujuan disebabkan oleh keragaman penampakan diri Tuhan (ikhtilaf al-Tajalliyat). Menurut Ibn ‘Araby, Kemahaluasan Tuhan tidak menuntut sesuatu pengulangan dalam eksistensi (wujud), dan karenanya penampakan diri Tuhan pun menjadi secara beragam (bukan berulang). Seandainya penampakan diri Tuhan bentuknya sama (berulang) dalam seluruh wujud, maka yang ada adalah kesamaan. Akan tetapi, keragaman tujuan niscaya ditetapkan. Dengan demikian, setiap tujuan tertentu pasti memiliki penampakan diri tertentu pula, yang berbeda dengan setiap penampakan diri yang lain. Kedelapan, keragaman penampakan diri Tuhan disebabkan oleh keragaman syariat (ikhtilaf al-syra’I) yang menyebabkan keragaman agama. Setiap syariat adalah jalan menuju Tuhan, dan jalan-jalan tersebut berbeda (beragam). Maka penampakan diri Tuhan pasti menjadi beragam sebagaimana beragamnya pemberian Tuhan. Lagipula pandangan manusia terhadap syariat juga berbeda-beda. Maka setiap mujtahid memiliki pandangan hukum (syariat) tertentu sebagai jalan menuju Tuhan yang berbeda dengan pandangan mujtahid lain. Perbedaan ini 101 menyebabkan keragaman mazhab-mazhab. Jadi penampakan diri Tuhan berbeda (beragam), karena keragaman syariat. Sedangkan keragaman syariat, sebagaimana telah dikemukakan diatas, disebabkan oleh keragaman relasi Tuhan. Demikian selanjutnya keragaman itu berkesinambungan. 58 Demikianlah, konsep wahdat al-adyan yang memandang bahwa sumber agama adalah satu, yakni Tuhan yang sama, memandang bahwa wujud agama hanyalah bungkus lahirnya saja. Beberapa pernyataan al-Hallaj, Ibn-Arabi dan Rumi di atas memang mengandung pengertian yang saling bertolak belakang. Namun kebertolak-belakangan tersebut bukannya tidak mungkin mengandung pengertian hakikat kebenaran. Puncak-puncak pikiran orang-orang unik yang didapat dari hasil pengembaraan pengalaman keagamaanya patut menjadi sebuah harapan hakiki. Paling tidak, dalam merenungi kenyataan diciptakannya perbedaan di muka bumi ini oleh Allah swt, dapat kita dapati hakikat tujuan dan maknanya. B. Pluralisme Agama Tidak diragukan bahwa kita hidup di suatu dunia yang penuh dengan dimensi perbedaan dan keragaman. Sebagaimana yang kita saksikan terdapat bangsa-bangsa dan warna kulit yang beraneka ragam, bahasa yang beranekamacam, budaya yang berbeda, agama yang multi-corak, ideologi dan pemikiran yang jamak dan berbagai aspek serta dimensi hidup manusia lainnya yang tidak sama. Sekarang kita akan membahas tinjauan pluralisme agama terhadap masalah ini dan serta mengajukan teori dan pandangannya. 58 Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…, h. 61-65 Lihat juga; Muhammad Qorib, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi, dalam Jurnal : Titik Temu, Vol.2, No.2 Jakarta : Nurcholis Madjid Society (NCMS), h.151-156 102 1. Pengertian Pluralisme Agama Secara etimologi, pluralisme agama, berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme atau pluralism59” dan “agama”. Dalam bahasa Arab diterjemahkan “al-ta’addudiyyah aldiniyyah” dan dalam bahasa Inggris “religious pluralism”. Oleh karena istilah pluralisme agama berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut. Pluralisme berarti “jamak” atau lebih dari satu. Pengertian secara bahasa: Dalam kamus Oxford, pluralisme ditafsirkan kedalam dua bentuk yakni; Pluralisme, yang menunjukkan suatu kehidupan dalam sebuah masyarakat yang dibentuk oleh kelompokkelompok suku-bangsa yang berbeda-beda, di mana kelompok-kelompok ini mempunyai kehidupan politik dan agama yang berbeda. Definisi ini bentuknya menjelaskan suatu fenomena kemasyarakatan. Dan pluralisme berarti menerima prinsip bahwa kelompok-kelompok suku-bangsa yang berbeda-beda dapat hidup secara rukun dan damai dalam suatu masyarakat. Definisi ini mengandung suatu ide dan maktab pemikiran60 Adapun tentang agama para ahli sosiologi dan antropologi cenderung mendefinisikan agama dari sudut fungsi sosialnya, yaitu suatu sistem kehidupan yang mengikat manusia dalam satuan-satuan atau kelompokkelompok sosial. Sedangkan kebanyakan pakar teologi, fenomenologi dan 59 Pluralisme berasal dari kata “plural” yang berarti banyak atau berbilang atau “bentuk kata yang digunakan untuk menunjukkan lebih daripada satu” (form of word used with reference to more than one) Pluralisme dalam filsafat adalah pandangan yang melihat dunia terdiri dari banyak makhluk. Istilah ini sering dilawankan dengan monoteisme yang menekankan kesatuan dalam banyak hal atau dualisme yang melihat dunia terdiri dari dua hal yang berbeda. Monoisme terbagi kepada physic monoism yang terwujud dalam filsafat materialisme bahwa seluruh alam adalah benda dan mental monoism atau idealism yang menyatakan bahwa alam seluruhnya adalah gagasan atau idea. Pada dualism, segala sesuatu dilihat sebagai dua, Filsafat Zoroaster misalnya, melihat dunia terbagi kepada gelap dan terang, dan Descartes mempertentangkan antara pikiran (mind) dan benda (mater). Pada pluralism, segala hal dilihat sebagai banyak. Lihat : A.S Hornby et.al., The Advanced Learner’s Dictionary of Current English (Oxford : Oxford University Press, 1972), hal.744 dalam Riyal Ka’bah. Nilai-nilai Pluralisme Dalam Islam, Bingkai gagasan yang berserak, (Ed.) Sururin, Bandung : Penerbit Nuansa, 2005, h.68 60 Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com 103 sejarah agama melihat agama dari aspek substansinya yang sangat asasiyaitu sesuatu yang sakral61 Pluralisme agama secara istilah, minimal memiliki empat macam penggunaan : 1) Pluralisme disamakan dengan toleransi, yakni bermakna toleran dan hidup bersama secara rukun untuk mencegah dan mengantisipasi pertikaian dan peperangan.Dalam definisi ini, keragaman dan kejamakan diterima sebagai suatu realitas kemasyarakatan. Yakni para pengikut masing-masing dari agama dan mazhah, dalam kenyataan mereka memandang bahwa hanya diri mereka yang benar dan ahli selamat, dalam bergaul dan bermasyarakat dengan para pengikut agama dan mazhab lainnya selalu toleran, rukun, dan saling menghormati. 2) Pluralisme yang bermakna agama adalah satu. Semua agama datang dari sisi Tuhan, tetapi mempunyai wajah yang berbedabeda. Perbedaan agama-agama tidak pada tataran substansi agama, akan tetapi pada arah pemahaman agama. Sekelompok orang memahami perkara Ilahi dalam satu bentuk maka mereka menjadi Yahudi. Segolongan lainnya memahaminya dalam bentuk lain maka mereka menjadi orang-orang Nasrani. Dan adapun orang-orang Muslim dan pengikut-pengikut agama lainnya memahami perkara-perkara Tuhan dalam bentuk yang berbeda dengan kedua pengikut agama tersebut di atas. 3) Bentuk ketiga makna dari pluralisme adalah bahwa terdapat hakikat yang banyak dan kita tidak memiliki hanya satu hakikat. Berbagai akidah dan keyakinan yang saling bertentangan, terlepas dari perbedaan pemahaman kita, semuanya adalah hakikat dan benar. 4) Hakikat, merupakan totalitas dari bagian-bagian dan unsurunsur, di mana masing-masing dari setiap unsure bagian ini ditemukan dalam setiap agama-agama. Oleh karena itu, kita tidak memilili satu agama yang komprehensip dan utuh, tetapi kita mempunya keseluruhan agama-agama yang setiap dari mereka memiliki saham hakikat. Oleh karena itu, tidak satupun dari agama-agama yang dapat mengklaim dirinya sebagai agama yang mencapai hakikat secara keseluruhan dan sempurna. Tidak Islam. Tidak Nasrani, tidak Yahudi, tidak Budha, dan tidak yang lainnya62. 61 62 Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com 104 Dari definisi diatas, maka dapat di tarik suatu pengertian bahwa “pluralitas agama” adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama. Namun dari segi konteks dimana “plurlisme agama” sering digunakan dalam studi-studi dan wacana sosio-ilmiah pada era modern ini, memiliki definisi yang berbeda. John Hick, yang dikutip Anis Malik Thoha misalnya menyatakan: ”Pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan secara bertepatan merupakan respon real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan diri menuju pemusatan hakiki terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural manusia tersebut dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas yang sama”63 Dengan kata lain, Hick menurut Anis menegaskan sejatinya semua agama adalah merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain64. Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia mendefinisikan Pluralisme Agama sebagai; Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga65 63 Wahdat al-Adyan : Melerai Konflik Umat Beragama, www.nusantaraonline.com Anis Malik Toha, Melacak Pluralisme Agama, dari www.hidayatullah.com, di download pada tgl.12 Agustus 2010 65 Lihat Fatwa MUI dalam majalah Media Dakwah No.358 Ed. Sya’ban 1426 H/September 2005, h.49 64 105 2. Sosio-historis Pluralisme Agama Pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang disebut dengan Pencerahan (Enlightment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama. Di tengah hiruk-pikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul sebagai konsekuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar gereja, muncullah suatu paham yang dikenal dengan “liberalisme”, yang komposisinya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme66. Sebenarnya gagasan pluralisme agama merupakan upaya peletakan landasan teoritis dalam teologi Kristen untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain. Gagasan pluralisme agama ini merupakan salah satu elemen gerakan reformasi pemikiran agama atau liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja Kristen pada abad ke-19. Gerakan ini kemudian dikenal dengan Liberal Protestantism. Pelopornya adalah Friedrich Schleiermacher. Memasuki abad ke-20, gagasan pluralisme agama semakin kokoh dalam wacana pemikiran filsafat dan teologi Barat. Munculnya tokoh seperti Ernst Troeltsch (1865-1923). Seorang teolog Kristen liberal dalam sebuah makalahnya yang berjudul "Posisi Agama Kristen di antara Agama-agama Dunia" yang disampaikan dalam sebuah kuliah di Universitas Oxford (1923), Troeltsch melontarkan gagasan pluralisme agamanya secara argumentatif. Menurutnya, semua agama, termasuk Kristen, selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak 66 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif (Kelompok GEMA INSANI, 2005), hlm. 16-17 106 satu agama pun yang memiliki kebenaran mutlak. Konsep ketuhanan di muka bumi ini beragam dan tidak tunggal67. Tokoh lainnya adalah William E Hocking dengan gagasannya yang ditulis dalam buku Re-thinking Mission (1932) dan Living Religions and A World Faith. Ia tanpa ragu-ragu memprediksi akan munculnya model keyakinan atau agama universal baru yang selaras dengan konsep pemerintahan global68. Gagasan serupa datang dari sejarawan Inggris ternama, Arnold Toynbee (1889-1975), dalam karyanya An Historian's Approach to Religion (1956) dan Cristianity and World Religions (1957). Juga seorang teolog dan sejarawan Kanada, Wilfred Cantwell Smith yang dalam bukunya Towards A World Theology (1981) yang mencoba meyakinkan perlunya menciptakan konsep teologi universal atau global yang bisa dijadikan pijakan bersama bagi agama-agama dunia dalam berinteraksi dan bermasyarakat secara damai dan harmonis69. Nampaknya karya tersebut memuat saripati pergolakan pemikiran dan penelitian Smith, dari karya-karya sebelumnya The Meaning and End of Religion (1962) dan Questions of Religious Truth (1967). Gagasan pluralisme agama telah mencapai fase kematangan dalam dua dekade terakhir abad ke-20, pluralisme agama menjadi sebuah wacana pemikiran tersendiri pada dataran teologi dan filsafat agama modern. Fenomena sosial politik juga mengetengahkan realitas baru kehidupan antar agama yang lebih nampak sebagai penjabaran bahkan suatu proses sinergi gagasan pluralisme agama ini. Menurut Muhammad Legenhausen, ide pluralisme agama pada awalnya adalah ide yang digagas sebagai respons teologis atas perkembangan yang berlaku di masyarakat Barat ketika itu. Konflik agama terjadi di mana-mana sehingga menimbulkan ribuan korban 67 Anis Malik Toha, Melacak Pluralisme Agama, dari www.hidayatullah.com Anis Malik Toha, Melacak Pluralisme Agama, dari www.hidayatullah.com 69 Anis Malik Toha, Melacak Pluralisme Agama, dari www.hidayatullah.com 68 107 jiwa. Atas nama agama, masing-masing pihak menghabisi pihak lain yang berseberangan dengannya. Dalam kondisi seperti inilah kemudian lahir gerakan liberalisme. Gerakan liberalisme pada awalnya bersifat politis karena tujuannya hanya untuk membatasi intervensi gereja dalam administrasi pemerintahan. Akan tetapi, pada abad 19, gerakan liberalisme menular ke barisan Kristen Protestan sehingga melahirkan apa yang disebut Protestan Liberalisme. Tidak bisa dinafikan, gerakan ini sangat kuat dipengaruhi oleh konsep modernisme yang juga sedang berkembang saat itu. Di antara penggagas gerakan ini adalah teolog Protestan Fredrich Schleiermacher (1768-1834), yang pikiran-pikirannya banyak mempengaruhi John Hick. Ide-ide dasar pluralisme agama dapat ditelusuri dari tulisan Schleiermacher. Schleiermacher menilai bahwa agama adalah urusan privat; esensinya terletak pada jiwa dan diri manusia dalam interaksinya dengan Yang Mutlak, bukan pada institusi tertentu dari agama atau bentuk-bentuk eksternalnya. Dalam kerangka teoretis pluralisme agama pada masa ini telah dimatangkan oleh beberapa teolog dan filosof agama modern. Konsepsinya lebih lihai, agar dapat diterima oleh kalangan antar agama. John Hick adalah yang pertama kali merekonstruksi landasanlandasan teoretis pluralism agama sedemikian rupa, sehingga menjadi sebuah teori yang baku dan populer. Hick menuangkan pemikirannya dalam buku An Interpretation of Religion : Human Responses to the Transcendent. Buku ini diangkat dari serial kuliahnya pada tahun 1986-1987, yang merupakan rangkuman dari karya-karya sebelumnya70. Sementara itu gagasan pluralisme agama dalam wacana pemikiran Islam, baru muncul pada masa-masa pasca Perang Dunia II, ketika mulai terbukanya kesempatan besar bagi generasi-generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas 70 Anis Malik Toha, Melacak Pluralisme Agama, dari www.hidayatullah.com 108 Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya Barat. Dalam waktu yang sama, gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wacana pemikiran Islam. Antara lain melalui karyakarya pemikir-pemikir mistik Barat Muslim seperti Rene Guenon dan Frithjof Schuon. Karya-karya mereka ini, khususnya Schuon dengan bukunya The Transcendent Unity of Religions, yang sarat dengan pemikiran, tesis dan gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh-kembangnya wacana pluralisme agama 71. Beberapa faktor munculnya pluralisme agama adalah sebagai berikut: 1. Faktor pertama, keyakinan konsep ketuhanannya adalah paling benar (Truth Claim). 2. Faktor kedua, keyakinan bahwa agamanyalah yang menjadi jalan keselamatan. 3. Faktor ketiga, keyakinan bahwa mereka adalah umat pilihan. 4. Faktor keempat, pergeseran cara pandang kajian terhadap agama. Dalam kajian agama yang seharusnya berpijak pada keyakinan, kajian ilmiah moderen memposisikan agama sebagai obyek kajian yang sama sebagaimana ilmu pengetahuan pada umumnya, yaitu berpijak pada keraguan. 5. Faktor kelima, kepentingan ideologi dengan mengangkat isu-isu demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia72. Berdasarkan ketiga faktor diatas ( faktor ke-1, 2 dan 3), para penggagas pluralisme melihat konflik yang terjadi seringkali dilandasi oleh keyakinan-keyakinan internal agama itu sendiri. Sehingga persepsi tentang ketuhanan, jalan keselamatan dan umat pilihan harus didefinisikan ulang, sehingga agama tidak lagi berwajah eksklusif. Sedangkan untuk faktor ke-4 dan ke-5, memang tidak bisa 71 72 Anis Malik Toha, Melacak Pluralisme Agama, dari www.hidayatullah.com Anis Malik Toha, Melacak Pluralisme Agama, dari www.hidayatullah.com 109 kita pungkiri pula bahwa pluralisme muncul dari background dan dipengaruhi oleh interes kapitalisme, globalisme dan liberalisme. Teologi pluralisme telah berkembang dengan kuat pada zaman modern ini. Namun ada beberapa perbedaan pandangan dalam hal metodologi dan pendekatan filosofis di kalangan pluralis. Sebagian pluralis berpandangan bahwa semua agama memiliki inti atau esensi yang sama. Esensi yang sama ini dapat diidentifikasi secara historis di dalam tradisi-tradisi mistik agama-agama dunia. Sedangkan sebagian pluralis yang lain memulainya dengan asumsi relativitas historis, mereka berpandangan bahwa semua tradisi bersifat relatif dan tidak dapat mengklaim dirinya superior dibandingkan dengan jalan keselamatan lain, yang sama terbatas dan sama relatifnya. Hick adalah pluralis yang menggabungkan kedua unsur pendekatan di atas. Ia menyatakan bahwa semua agama memiliki perbedaan-perbedaan historis dan substansi yang penting. Menurut Hick pandangan bahwa semua agama memiliki esensi yang sama, berada dalam bahaya mengkompromikan integritas tradisi partikular dengan hanya menekankan satu aspek dari tradisi tersebut. Kesatuan sesungguhnya dari agama-agama tidak ditemukan dalam doktrin atau pengalaman mistik tetapi di dalam pengalaman keselamatan atau pembebasan yang sama. Untuk memperjelas dan memperkokoh pemahaman tersebut, ia membangun suatu garis besar teori tentang agama73. Di sini kita perlu membuat perbedaan antara pluralisme agama sebagai sebuah fakta dan pluralisme agama sebagai suatu ideologi. Sebagai sebuah fakta, pluralisme agama yang telah lama kita jumpai bukan hanya sesuatu yang harus diterima tetapi juga dianggap baik, bahkan perlu dijaga. Sedangkan pluralisme sebagai suatu ideologi adalah suatu kepercayaan bahwa pluralisme ini didukung serta 73 Christian Sulistio, Teologi Pluralisme Agama John Hick : Sebuah Dialog Kritis dari Perspektif Partikularis, dari www.seabs.ac.id didownload pada tanggal 29 Agustus 2010 110 diinginkan, dan bahwa klaim-klaim normatif yang berbau imperialistik serta bersifat memecah belah perlu dibuang74 Salah seorang tokoh pluralisme agama yang cukup terkenal adalah John Hick, yang membangun suatu pluralisme hipotetis yang cukup solid dan komprehensif75. 3. Epistemologi Pluralisme Agama John Hick Hick merupakan tokoh terbesar dan terpenting dalam wacana Pluralisme Agama. Dialah orang yang paling banyak menguras tenaga dan fikiran untuk mengembangkan, menjelaskan dan menginterpretasikan gagasan dan teori ini secara masif. Dengan usahanya inilah wacana pluralisme agama dapat dikenalkan kepada masyarakat secara umum. Ia memiliki banyak karya, kebanyakan telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa. Lebih dari dua puluh buku tentangnya telah diterbitkan dalam bahasa Inggris, Jerman, Perancis, Cina dan Jepang. Teori pluralisme agama Hick bermula dari pandangannya terhadap globalisasi. Menurutnya, seiring dengan arus globalisasi, maka secara gradual akan terjadi proses penyatuan (konvergensi) caracara beragama, sehingga pada suatu ketika agama-agama akan lebih menyerupai sekte daripada entitas-entitas yang eksklusif secara radikal Hick kemudian menamakan agama yang telah bersatu itu dengan teologi global (global theology) 76. 74 Christian Sulistio, Teologi Pluralisme Agama John Hick : Sebuah Dialog Kritis dari Perspektif Partikularis, dari www.seabs.ac.id 75 Karya-karya Hick yang berkaitan dengan pluralisme agama cukup banyak. Diantaranya: An Interpretation of Religion (London: Macmillan; New Haven: Yale University Press, 1989); Problem of Religious Pluralism (London: Macmillan; NY: St Martin’s, 1985); God and the Universe of Faiths (London: Macmillan; NY: St Martin’s,1973); God Has Many Names (Louisville: Westminster/John Knox, 1982); The Metaphor of God Incarnate (Louisville: Westminster/John Knox, 1994); yang terakhir A Christian Theology of Religions (Louisville: Westminster/John Knox, 1995) …, Christian Sulistio, Teologi Pluralisme Agama John Hick : Sebuah Dialog Kritis dari Perspektif Partikularis, dari www.seabs.ac.id) 76 Dwi Budiman, Tokoh-Tokoh Pluralisme Agama, dari : www.republika.co.id, didownload pada tgl.03 Agustus 2010 111 Untuk mencapai hal itu Hick menawarkan sebuah gagasan yang ia sebut dengan transformasi orientasi dari pemusatan agama menuju pemusatan Tuhan (The transformation from self-centredness to Reality centredness). Teori Hick ini mengatakan bahwa agamaagama hanyalah bentuk-bentuk yang beragam dan berbeda dalam konteks tradisi-tradisi historis yang beragam di seluruh dunia. Ini semua terbentuk sebagai akibat dari pengalaman spiritual manusia dalam merespon Realitas yang absolut. Realitas yang absolut itu menurut Hick adalah Tuhan yang sesungguhnya yang ia sebut dengan istilah The Real Yang Absolut. Sementara tuhan-tuhan yang ada pada setiap agama dan kepercayaan, dianggap Hick sebagai tuhan-tuhan relatif karena hanya merupakan “image” masing-masing pemeluk agama terhadap The Real Yang Absolut tadi77. Jadi The Real itu pada dasarnya satu dan sama. Hanya saja ditangkap oleh pengalaman manusia dengan berbagai konsep dan image menurut konteks-konteks tradisional yang berbeda sehingga menghasilkan “image” Tuhan yang berbeda-beda pula. Dengan teori Hick ini maka terjadilah perubahan besar dalam semua agama. Islam misalnya, yang sebelumnya merupakan satusatunya jalan keselamatan yang absolut telah mengalami perubahan yang sangat besar menjadi hanya satu dari sekian banyak jalan-jalan keselamatan yang ada. Upaya mempermasalahkan benar (haq) dan salah (bathil) terhadap agama-agama menjadi tidak relevan dan tepat karena dengan teorinya ini, Hick hendak menegaskan bahwa jalan keselamatan tidaklah tunggal dan monolitik, melainkan plural dan beragam sesuai dengan jumlah tradisi-tradisi atau ajaran-ajaran yang ada. 77 Dwi Budiman, Tokoh-Tokoh Pluralisme Agama, dari : www.republika.co.id, 112 Menurut Hick pluralisme agama mengimplikasikan pengakuan terhadap fondasi bersama bagi seluruh varitas pencarian agama dan konvergensi agama-agama dunia. Bagi sebagian lainnya pluralisme agama mengimplikasikan saling menghargai diantara berbagai pandangan dunia (world view) dan mengikuti sepenuhnya perbedaan tersebut. Jika yang pertama menekankan kebebasan beragama individu, maka yang kedua menekankan pengakuan atas denominasi sebagai pemberi jawaban khas78. Landasan epistemologi yang sangat kuat mempengaruhi pluralisme agama datang dari pemikiran Immanuel Kant (1724-1804 M), seorang pemikir dan filosof berkebangsaan Jerman. Inti pemikiran Kant yang digunakan dalam pluralisme agama adalah pemisahan nomen dengan phenomen dalam dimensi membedakan antara makrifat agama dengan substansi agama. Dengan kata lain terdapat jurang pemisah yang dalam antara pengetahuan agama dan realitas agama. Pandangan ini kemudian menyebabkan pemisahan agama dengan pengetahuan agama, serta menafikan parameter kebenaran dan kesalahan dari proposisi-proposisi agama79. John Hick, dengan menggunakan pemisahan nomen dengan phenomen dalam maktab Kant, pada awalnya mengisyaratkan kepada wajah Tuhan yang sama dalam berbagai syariat agama. Dengan mengambil ilham dari pemisahan nomen dengan phenomen Kant, Hick kemudian membedakan antara Tuhan, “ maqam lâ isma dan rasm” (maqam tak dikenal dan tak terdeskripsi), Tuhan dalam nisbahnya dengan kita, dan mengambil manifestasi Haq dalam mazhar-mazhar yang beragam sebagai rahasia perbedaan agamaagama dan sekaligus sebagai dalil kebenaran semua agama-agama. Dia menyatakan, agama-agama ini mungkin merupakan manifestasi, 78 Tonang, Dialog Antar Umat Beragama, dalam Jurnal FARABI, Volume 3, (Jakarta : 2007), h.95 79 Ruhullah Syams, Landasan Epistemologi dan Teologi Pluralisme Agama, dari www.alShia.com, didownload pada tgl 03 Agustus 2010 113 wajah, gambaran, dan tajalli satu Tuhan, mungkin merupakan sisi-sisi dan jalan-jalan yang berbeda-beda, di mana Tuhan menampakkan diriNya kepada manusia. Baik itu Yehova (Yahudi), Allah (Islam), dan Tuhan Langit kaum Nasrani, pribadi ketuhanan dalam masing-masing merupakan adalah kesejarahan, yang pada hakikatnya merupakan hasil yang sama dari manifestasi universal Ilahi dan campur tangan kekuatan konsepsi manusia dalam syarat-syarat khusus kesejarahan80 John Hick, dalam salah satu bukunya masalah pluralisme agama. Ia khusus membahas mengatakan bahwa semua itu (gambaran beragam dari pengetahuan dan kesadaran agama) mengambil bentuk dikarenakan kehadiran realitas (hakikat) Ilahi, kehadiran seluruh sisi yang berasaskan kumpulan yang beragam dari definisi, konsepsi, dan struktur makna keagamaan yang berpengaruh dalam internal tradisi-tradisi kegamaan yang beragam, yang masuk dalam kesadaran dan pengetahuan kita81 Apa yang menjadi sandaran penegasan dalam hal ini adalah membedakan antara sesuatu sebagaimana dia adanya (hakikatnya) dan sesuatu sebagaimana dia memanifestasi (zuhurnya), di mana ia berperan dalam membentuk landasan epistemologi agama yang melahirkan teori pemisahan pengetahuan keagamaan dari dzat agama. Dan ini adalah suatu bentuk relativisme dalam makrifat keagamaan tanpa pengingkaran terhadap keberadaan substansi agama. Berdasarkan teori Kant bahwa sesuatu sebagaimana hakikatnya bukanlah sesuatu itu di sisi kita, karena itu realitas dan hakikat sesuatu yang tak terjamah tidak akan pernah sampai ke tangan kita, sebab ia tidak terjangkau oleh kemampuan persepsi kita. Akan tetapi apa yang 80 Ruhullah Syams, Landasan Epistemologi dan Teologi Pluralisme Agama, dari www.al- Shia.com 81 Shia.com, Ruhullah Syams, Landasan Epistemologi dan Teologi Pluralisme Agama, dari www.al- 114 kita persepsi di dalam sistem persepsi adalah sejumlah lokus-lokus yang ada sebelumnya dan telah terwarnai, karena itu manusia tidak pernah sampai kepada realitas sebagaimana ia adanya. Hukum dan kaidah ini pasti berlaku juga bagi para nabi. Mereka dalam menjelaskan syuhud dan mukasyafahnya tentang wujud mutlak terpengaruh oleh faktor-faktor tertentu dan ini memestikan terjadinya perbedaan hasil mukasyafah di antara mereka satu sama lain. Dan dari jalan inilah muncul kejamakan agama, di mana pakaian hak dan batil tidak terkenakan pada salah satu pun dari mereka; sebab setiap dari mereka mengungkapkan penemuan dan hasil mukasyafahnya dalam maqam pengalaman keagamaan. John Hick, berkata dalam hal ini: Immanuel Kant (tanpa punya maksud melakukan ini) telah menyediakan kerangka filosofis, yang mana asumsi seperti ini dapat mendapatkan pengembangan dan kesempurnaan. Dia membedakan antara alam sebagaimana dia fii nafsihi (hakikatnya) dan alam sebagaimana zahir atas pengetahuan dan kesadaran manusia (zuhurnya)82 4. Kutub-kutub Pluralisme Agama; Motif dan Orientasi Sekedar mengakui perbedaan dan keragaman adalah sebuah keniscayaan, nampaknya kurang sempurna tanpa disertai upaya mencari titik temu dan koeksistensi. Tuhan memerintahkan Nabi SAW dalam rangka mengajak ahlul kitab untuk membangun “kalimah sawa” (titik temu), terutama dalam rangka menyembah dan menyerahkan diri kepada Tuhan secara total (QS. 3: 64)83. Tentu saja penyerahan diri secara total kepada Tuhan tidak semata-mata dalam 82 Ruhullah Syams, Landasan Epistemologi dan Teologi Pluralisme Agama, dari www.al- Shia.com, 83 (QS. 3:64) : “Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Ilah selain Allah.Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka:"Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.86 115 kerangka teologis, melainkan juga dalam rangka sosiologis. Sebab dalam ayat tersebut ditegaskan secara eksplisit agar orang-orang muslim dan umat agama lainnya tidak menjadikan tuhan-tuhan lain selain Allah SWT. Maka dalam rangka membangun titik temu dan koeksistensi, umat Islam senantiasa diperingatkan Tuhan didalam al-Quran agar menggunakan dakwah yang toleran (QS. 16: 125)84, yang artinya jalan menuju kerjasama dan koeksistensi tidak akan tercapai bilamana praktek dakwah dan dialog keberagamaan disampaikan dengan caracara yang ekstrim. Tuhan juga meminta umat Islam tidak berdebat dengan kalangan non-muslim kecuali dengan cara yang lebih baik, yang mencerminkan etika yang tinggi (QS. 29: 46)85. Disamping itu, pada ayat selanjutnya Tuhan mengingatkan umat Islam untuk tidak menebarkan kebencian, karena tidak sepantasnya hal tersebut dilakukan oleh orang yang mengaku beriman. Alasan yang perlu diperhatikan adalah orang yang dibenci bisa jadi lebih baik dari yang membenci (QS. 49: 11)86 Tidak seperti inklusivisme, pluralisme menawarkan sesuatu yang baru. Pluralisme dianggap oleh banyak kalangan sebagai tahap lanjutan dari inklusivisme. Pluralisme makin memperjelas dan 84 (QS. 16:125) : “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.421 85 (QS. 29:46) : “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim diantara mereka, dan katakanlah:"Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Ilah kami dan Ilahmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri". Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.635 86 (QS. 49:11) : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolokolokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan)dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolokolokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.847 116 meyakini adanya perbedaan dalam agama-agama. Bila dalam inklusivisme diniscayakan adanya pemahaman tentang yang lain yang mana selalu ada dimensi substansi dan nilai, tapi dalam pluralisme justru mengakui adanya perbedaan-perbedaan. Pluralisme dianggap sebagai lompatan praksis dari sekedar inklusivisme pemahaman keagamaan. Pluralisme telah menjadi realitas dari agama-agama itu sendiri87 Pluralisme sebenarnya mengajak kita agar lebih realistis, bahwa pada hakikatnya agama-agama adalah berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari segi penghayatan terhadap agama (syariat), dan yang lebih penting adalah dimensi simbolik dan sosiologisnya. Kendatipun ada kesamaan dalam ranah ritual sekalipun. Disinilah pluralisme menunjukkan relevansi dan signifikansinya. Pluralisme hadir dalam rangka membangun toleransi ditengah perbedaan dan keragaman tersebut. Pluralisme menjadikan perbedaan sebagai potensi untuk bersatu memajukan masyarakat dari keterpurukan keterbelakangan dan 88 Dalam hal ini, Diana L. Eck, Pimpinan Pluralism Project, Harvard University memberikan pemahaman terhadap pluralisme yang relatif distingtif. Setidaknya ada tiga poin yang terkandung dalam pluralisme, Pertama, pluralisme adalah keterlibatan aktif ditengah keragaman dan perbedaan. Pluralisme sesungguhnya berbicara pada tataran fakta dan realitas, bukan pada tatar teologis (sebagaimana inkusivisme), oleh sebab itu pluralisme dalam tataran sosial lebih dari sekedar mengakui keragaman dan perbedaan, melainkan merangkai keragaman untuk tujuan kebersamaan. Kedua, pluralisme lebih dari sekedar toleransi. Dalam toleransi akan lahir sebuah kesadaran tentang pentingnya menghargai orang lain. Tapi 87 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme, (Jakarta : Penerbit FITRAH, 2007), Cet.1, h.204-205 88 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme..., h.206 117 pluralisme ingin melampaui capaian tersebut, yaitu menjadi sebuah upaya memahami yang lain melalui sebuah pemahaman yang konstruktif. Pluralism mengakui bahwa setiap entitas dalam masyarakat selalu mempunyai perbedaan dan persamaan, oleh karena itu setiap entitas harus memahami dengan baik setiap perbedaan dan persamaan tersebut. Ketiga, pluralisme bukan relativisme, pluralisme adalah upaya menemukan komitmen bersama diantara berbagai komitmen. Komitmen yang dimaksudkan adalah komitmen kemanusiaan. Disini keragaman dalam pluralisme tetap dipertahankan, tidak dihilangkan. Sedangkan relativisme berada pada posisi menafikan komitmen, bahkan menafikan kebenaran itu sendiri89 Peter L. Berger mempunyai pandangan lain yang lebih praksis perihal pluralisme. Ia menyebutnya sebagai “pluralisme baru”. Yaitu pluralisme yang lahir dari rahim globalisasi. Pada zaman ini pluralisme hampir seperti pasar keagamaan. Dimana-mana agama dan keberagamaan tumbuh dengan pesat. Upaya sekularisasi harus diakui telah gagal, karena agama justru telah berkembang dengan pesat di era globalisasi. Itulah wujud dari fenomena pluralisme. Karena pluralisme adalah pasar keagamaan, maka yang terjadi adalah determinasi untuk memilih, bukan determinasi untuk meyakini. Karena itu menurut Berger, yang menarik dari pluralisme model ini adalah kehendak institusi keagamaan pada akhirnya bukan melayani agama, melainkan melayani umat. Institusi agama akan berubah menjadi asosiasi pelayanan umat. Hal ini merupakan lompatan yang baik dari sekedar sekulariasi menjadi lembaga-lembaga yang konsern pada aksi-aksi kemanusiaan90 89 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme..., h.207-208 90 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme..., h.209 118 Berdasarkan pemaparan diatas, terdapat beberapa bentuk orientasi pluralisme yaitu; 1. Orientasi moral, yaitu ajakan untuk menyebarkan toleransi antar penganut agama. Dalam istilah Muhammad legenhausen sebagai ”pluralisme religius yang berifat normatif” yaitu himbauan dan kewajiban moral serta etis untuk menghargai para pemeluk agama yang berbeda-beda dan mencegah arogansi dalam beragama. 2. Pluralisme religius soteriologis91 (soteriological religious pluralism), yaitu bahwa umat selain Kristen juga bisa memperoleh keselamatan Kristiani. Tesis pluralisme soteriologi mula-mula diketengahkan John Hick untuk setidaknya mengefektifkan pluralisme normatif secara psikologis. 3. Pluralisme religius epistemologi (epistemological religious pluralism), yaitu pemahaman atau kesadaran setiap pengikut agama-agama didunia memiliki kedudukan yang sama dalam konteks justifikasi keyakinan religius. 4. Pluralisme religius aletis (alethic religious pluralism), yaitu penegasan bahwa kebenaran religius harus ditemukan dalam semua agama-agama dengan posisi dan derajat yang sama 5. Pluralisme religius deontis92 (deontic religious pluralism), yaitu pluralisme yang menyangkut kehendak atau perintah Tuhan untuk mengikuti suatu tradisi agama. Pluralisme jenis ini berupaya memberikan pemahaman dan tanggung jawab manusia dihadapan keragaman tradisi agama didunia. Menurut pluralisme religius deontis, pada beberapa daur sejarah tertentu (diachronic), Tuhan memberikan wayu pada umat manusia melalui seorang nabi dan rasul, sampai ditetapkan rasul muhammad sebagai sebagai risalah terakhir 93 Dalam paham pluralisme agama sendiri yang berkembang saat ini terdapat dua aliran yang berbeda: yaitu paham yang dikenal dengan program teologi global (global theology) dan paham kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions). Kedua 91 Soteriologi merupakan bidang kajian dalam teologi Kristiani yang mempelajari penderitaan Yesus kristus. 92 Kata deon bermakna kewajiban, sehingga jenis pluralisme ini didasari oleh kewajiban untuk memenuhi kehendak Tuhan 93 Amir Mahmud (ed.), Islam dan Realitas Sosial di Mata Intelektual Muslim Indonesia…, 210-211 119 aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masingmasing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik94. Munculnya kedua aliran diatas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Bagi aliran pertama yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Tentang hubungan antara agama dan globalisasi, nampaknya agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Berbeda dari motif aliran pertama yang diwarnai pendekatan sosiologis, motif aliran kedua yang didominasi oleh pendekatan filosofis dan teologis Barat justru kebalikan dari motif aliran pertama. Kalangan filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan globalisasi yang cenderung mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama itu. Yang pertama memakai pendekatan sosiologis, sedangkan yang kedua memakai pendekatan religious filosofis. Solusi yang ditawarkan kedua aliran inipun berbeda. Berdasarkan motif sosiologisnya, aliran pertama menawarkan konsep dunia yang tanpa batas geografis cultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian akan melebur menjadi satu. Berdasarkan asumsi itu maka John Hick, salah satu tokoh terpentingnya, segera memperkenalkan konsep pluralisme 94 M. Dawam Rahardjo, Agama Masa Depan, www.korantempo.com 120 agama dengan gagasannya yang ia sebut global theology (teologi global). Sedangkan solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua dengan pendekatan religious filosofisnya yakni lebih mengedepankan eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa di rubah begitu saja dengan mengikuti arus globalisasi, liberalisasi, modernisasi ataupun post-modern yang telah memarjinalkan peran dan fungsi agama-agama. Agama tidak bisa dilihat hanya dari perspektif sosilogis ataupun historisnya saja, dan tidak pula dapat dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama. Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep sophia perrenis atau dalam bahasa Hindu disebut Sanata Dharma atau dalam Islam disebut “al-Hikmah al-Khalidah”. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisitradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini adalah bagaikan beberapa jalan yang pada akhirnya mengantarkan ke puncak/tujuan yang sama (all paths lead to the same summit). Tokoh pencetus dan pendukung paham ini adalah Rene Guenon (m. 1951), T. S. Eliot (m. 1965), Titus Burckhardt (m. 1984), Fritjhof Schuon (m.1998), Ananda K. Coomaraswamy (m. 1947), Martin Ling, Seyyed Hossein Nasr, Huston Smith, Louis Massignon, Marco Pallis (m. 1989), Henry Corbin, Jean-Louis Michon, Jean Cantein, Victor Danner, Joseph E. Brown, William Stoddart, Lord Northbourne, Gai Eaton, W. N. Perry, G. Durand, E. F. Schumacher, J. Needleman, William C. Chittick dan lain-lain95. Pluralisme pada akhirnya melampaui fundamentalisme yang berkutat pada setiap agama. Fundamentalisme yang mempunyai 95 M. Dawam Rahardjo, Agama Masa Depan, www.korantempo.com 121 keyakinan taken for grantedness yang hanya berkutat pada dimensi hukum dan ritualistik. Maka pluralisme mencoba membuka ruang baru bagi agama, yaitu ruang kemanusiaan yang menekankan aspek pelayanan secara sukarela. Dari beberapa pernyataan diatas, apa yang sebenarnya ingin dicapai pluralisme? Maka sesungguhnya, pluralisme hendak mewujudkan masyarakat yang dialogis, toleran dan dinamis. Dengan demikian, fatwa mengenai haramnya pluralisme merupakan cerminan dari ketidakmampuan kaum agamawan untuk memahami pluralisme dengan baik dan tepat. Setidaknya ada kecurigaan untuk menerima diskursus baru yang berkaitan dengan toleransi96. Fatwa mengenai haramnya pluralisme adalah suatu kelemahan memandang nilai-nilai obyektivitas pluralisme, fatwa tersebut masih mengindikasikan paham keagamaan yang ekslusif dan rentan pada intoleransi, maka dalam hal ini dibutuhkan sudut pandang positif dalam menilai suatu gagasan baru, perlunya ketelitian, kesungguhan, kemenyeluruhan dan kejujuran dalam membedah sebuah persoalan. Setiap masalah 96 Menurut hemat penulis, tanpa bermaksud “menyalahkan” keputusan MUI bagi kemaslahatan umat Islam, pengharaman pluralisme terkesan “buru-buru” dan minim dialog dengan para tokoh penganut pluralis di Indonesia. Sebenarnya hal ini mungkin terjadi (tanpa harus dikeluarkannya fatwa haram bagi pluralisme) bila ada ruang dialog yang konstruktif, sehingga selain pluralisme menjadi solusi bagi keragaman teologis-sosiologis, pluralisme juga menjadi solusi (akademis) dalam cara bagaimana umat Islam memahaminya dengan baik dan tepat. Sifat kehati-hatian MUI mengenai konsekuensi logis pluralisme sebaiknya dapat dijembatani dengan dialog akademis, sehingga baik MUI maupun kaum elit-pluralis dapat mengarahkan umat Islam untuk memahami pluralisme secara tepat-menyeluruh. Hal inipun hanya mungkin terjadi bila MUI sendiri telah meneliti dengan baik pluralisme itu sendiri, terlebih pluralisme memiliki banyak definisi bahkan mazhabnya tersendiri. Kajian akademik terhadap pluralisme yang intens dan mendalam sangatlah perlu sebagai standar pluralisme yang sesuai dengan nilai-nilai syariat/ajaran Islam. Lebih tepatnya inilah yang seharusnya dilakukan MUI yang juga memiliki fungsi kontrol terhadap pemikiran keislaman. Karena pada kenyataannya di- (beberapa)- kalangan MUI, pluralisme masih dianggap kebaikan negatif yang mengindikasikan misi orientalisme kaum Liberal-Kristiani, memandang pluralisme dari sisi historis tanpa epistemologisnya akan melahirkan pandangan sempit, selain itu pluralisme juga harus disepadankan dengan sinyalemen ayat-ayat al-Quran yang mengedepankan pada pentingnya sikap toleran terhadap berbagai aspek keragaman yang hanya mengarahkan manusia untuk berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Pengharaman pluralisme, secara tidak langsung telah “mengekang intelektual” Muslim dalam menyelami samudera hikmah ajaran Islam dan mengubur mutiara-mutiara keilmuan yang disampaikan para arif-sufi. Bahwa sesungguhnya dengan berpijak pada ajaran Islam, pluralisme sendiri adalah keniscayaan yang ajarkan oleh Islam. 122 sejatinya diselesaikan melalui mekanisme dialog yang bersifat konstruktif, utamanya dalam hal-hal yang menimbulkan kemusykilan akademis untuk mencapai pemahaman yang komprehensif. Disamping itu, dialog diperlukan untuk memecahkan masalah-masalah riil yang muncul ditengah-tengah masyarakat97 Imam al-Razi menakwil “tidak ada paksaan dalam agama” bahwa Tuhan telah menggarisbawahi sebuah landasan, bahwa keimanan tidak dibangun diatas paksaan, melainkan atas dasar pengetahuan dan pertimbangan matang untuk memilih agama tertentu. Disamping dunia merupakan tempat ujian dan cobaan yang mana memberikan kebebasan kepada oranglain sekalipun untuk menentukan pilihan. Pentingnya ajaran tidak ada paksaan dalam agama juga diperkuat oleh ayat lain (QS. 10:99) yang berbunyi : “Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kau (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”. Ayat ini secara eksplisit memperkuat dan meneguhkan larangan paksaan dalam agama, karena tidak sesuai dengan kehendak Tuhan yang memberikan kebebasan dalam iman98. Tidak ada paksaan dalam agama dapat dipahami sebagai sikap akomodatif dan adaptif Islam terhadap agama-agama dan budayabudaya pada umumnya. Karena tujuan agama adalah tegaknya keadilan dan kemanusiaan, maka dalam hal penyebaran agama diperlukan landasan etis yang kuat, yaitu dengan tidak mempertentangkan antara agama yang satu dengan yang lain. Dalam hal membangun toleransi, Tuhan juga menggarisbawahi pentingnya amal saleh. Bila ditanya apa ada korelasi antara keadilan dengan amal saleh? Secara cepat harus dikatakan, bahwa ada 97 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme..., h.211 98 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme..., h.253 123 hubungan yang kuat diantara keduanya. Amal saleh merupakan salahsatu bentuk konkrit keadilan. Amal saleh memberikan perhatian yang besar terhadap realitas sosial. Amal saleh mendorong ajaran Islam yang melangit agar lebih membumi lagi. Karena itu amal saleh sangat penting dalam rangka membumikan toleransi. Konsep amal saleh diharapkan dapat menjawab berbagai klaim fundamentalis, bahwa sebuah kebenaran hanya mengacu pada dimensi tekstualnya. Dalam paradigma amal saleh, sebuah agama akan dianggap membawa ajaran yang agung bilamana mampu memberikan spirit dan motivasi bagi gerakan praksis. Karena pentingnya dimensi sosial didalam Islam, maka Tuhan pun menjadikan amal saleh sebagai salah satu tiket yang bisa mengantarkan pelakunya kedalam surga99. Hal ini pulalah yang menjadi paradigma ajaran pluralisme, dalam paradigma pluralisme bahwa ketakwaan menjadi inti dari agama-agama. ﺎﻟﹶﻜﹸﻢﻤ ﺃﹶﻋ ﻟﹶﻜﹸﻢﺢﻠﺼ ﻳ.ﺍﻳﺪﺪﻻﹰ ﺳﻗﹸﻮﻟﹸﻮﺍ ﻗﹶﻮﻘﹸﻮﺍ ﺍﷲَ ﻭﻮﺍ ﺍﺗﻨ ﺀَﺍﻣﻳﻦﺎ ﺍﻟﱠﺬﻬﺎﺃﹶﻳﻳ : ﺎ )ﺍﻷﺣﺰﺍﺏﻴﻤﻈﺍ ﻋﺯ ﻓﹶﻮ ﻓﹶﺎﺯ ﻓﹶﻘﹶﺪﻮﻟﹶﻪﺳﺭﻊﹺ ﺍﷲَ ﻭ ﻄﻦ ﻳﻣ ﻭﻜﹸﻢﻮﺑ ﺫﹸﻧ ﻟﹶﻜﹸﻢﺮﻔﻐﻳﻭ ( ۷۰-۷۱ “ Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menta'ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”. (QS. Al-Ahzab, 33 : 70-71)100 Dijelaskan pula pada ayat lain, bahwa kebaikan dan ketakwaan bersumber atau dilandasi dengan keimanan. Apapun agamanya, keimanan dan ketakwaan adalah kebenaran suci (ketulusan) seorang hamba kepada Tuhannya, mereka adalah orang-orang yang berjalan diatas kebenaran (di jalan Tuhan). 99 Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Multikulturalisme..., h.460-461 100 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.680 Pluralisme dan 124 ﻦ ﺀَﺍﻣﻦ ﻣ ﺍﻟﹾﺒﹺﺮﻦﻟﹶﻜﺮﹺﺏﹺ ﻭﻐﺍﻟﹾﻤﺮﹺﻕﹺ ﻭﺸﻞﹶ ﺍﻟﹾﻤﺒ ﻗﻜﹸﻢﻮﻫﺟﻟﱡﻮﺍ ﻭﻮ ﺃﹶﻥﹾ ﺗ ﺍﻟﹾﺒﹺﺮﺲﻟﹶﻴ ﺫﹶﻭﹺﻱﻪﺒﻠﹶﻰ ﺣﺎﻝﹶ ﻋﻰ ﺍﻟﹾﻤﺀَﺍﺗ ﻭﻦﺒﹺﻴﺍﻟﻨﺎﺏﹺ ﻭﺘﺍﻟﹾﻜ ﻭﻜﹶﺔﻠﹶﺌﺍﻟﹾﻤﺮﹺ ﻭﻡﹺ ﺍﹾﻷَﺧﻮﺍﻟﹾﻴﷲِ ﻭﺑﺎ ﺃﹶﻗﺎﹶﻡﻗﹶﺎﺏﹺ ﻭﻲ ﺍﻟﺮﻓ ﻭﲔﻠﺎﺋﺍﻟﺴﺒﹺﻴﻞﹺ ﻭ ﺍﻟﺴﻦﺍﺑ ﻭﲔﺎﻛﺴﺍﻟﹾﻤﻰ ﻭﺎﻣﺘﺍﻟﹾﻴﻰ ﻭﺑﺍﻟﹾﻘﹸﺮ ِﺂﺀﺄﹾﺳﻲ ﺍﻟﹾﺒ ﻓﺎﺑﹺﺮﹺﻳﻦﺍﻟﺼﻭﺍ ﻭﺪﺎﻫ ﺇﹺﺫﹶﺍ ﻋﻢﻫﺪﻬﻮﻓﹸﻮﻥﹶ ﺑﹺﻌﺍﻟﹾﻤﻛﹶﺎﺓﹶ ﻭﻰ ﺍﻟﺰﺀَﺍﺗﻠﹶﻮﺓﹶ ﻭﺍﻟﺼ ﻘﹸﻮﻥﹶ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓﺘ ﺍﻟﹾﻤﻢ ﻫﻚﻟﹶﺌﺃﹸﻭﻗﹸﻮﺍ ﻭﺪ ﺻﻳﻦ ﺍﻟﱠﺬﻚﻟﹶﺌﺄﹾﺱﹺ ﺃﹸﻭ ﺍﻟﹾﺒﲔﺣﺁﺀِ ﻭﺮﺍﻟﻀﻭ (۱۷۷ ”Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah Timur dan Barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikatmalaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orangorang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan orangorang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orangorang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. (QS.Al-Baqarah, 2:177)101 Komitmen dalam pluralisme adalah adalah komitmen untuk menancapkan bendera ketuhanan dan kemanusiaan. Keduanya harus menjadi garapan agama-agama. Dan sekali lagi, tidak ada tempatnya bila substansi agama-agama dipertentangkan. Dalam pluralisme justru ajaran yang secara substansi sejalan dengan apa yang terkandung dalam ayat diatas menjadi perhatian yang dapat membangun pluralisme, toleransi, keadilan dan kedamaian dimuka bumi ini. 101 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.43 125 125 BAB IV WAHDAT AL ADYAN DAN PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF SYARIAT Sebagaimana kita ketahui bahwa fenomena keagamaan dalam Islam tidak terlepas antara dua dimensinya yakni syariat (fikih) dan hakikat (tasawuf), keduanya merupakan dua ilmu yang saling berhadapan secara vis a vis. Perseteruan panjang antara para penganut keduanyapun hingga kini masih terasa1. Syariat, seperti yang banyak dipahami, sebagai hukum asli (formal) yang 1 Pada masyarakat miliu-tadisional, fanatisme syaria’ah (baca : fuqaha) memandang “haram” atas praktik tasawuf dengan berbagai dalil dan argumentasinya, baik secara naqli maupun aqli. Sementara itu, para pelaku tasawuf juga mengkritik para fuqaha yang hanya melihat hitam diatas putih (formalisme keagamaan), tanpa menangkap esensi atau substansi yang diharapkan oleh kaum sufi. Masyarakat Jawa dalam rumor mereka sedikit banyak mengisyaratkan tentang perseteruan itu, masyarakat Jawa sering menyebut syariat (dalam dialog Jawa disebut “syaringat”) sebagai nek sare njengat (kalau tidur nungging). Sedangkan tasawuf disimbolkan sebagai jalan meniti ke kota “Mekah” dengan ungkapan nek turu mekakah (kalau tidur telentang). Lain halnya dengan masyarakat miliu-modern, fenomena spiritualisme/tasawuf sebenarnya mulai dirasakan ”’lumrah” dan dapat diterima, hanya pada hal-hal tertentu saja, misalnya dalam hal ritualistik para penganut tasawuf dianggap ”tidak lazim” (bukan menyimpang), – bagi para penganut syariat. Hal inipun sebenarnya disadari oleh kaum syariat, karena pendekatan tasawuf yang menggunakan daya batin seringkali tidak dapat dijelaskan dengan daya nalar. Meskipun demikian, syariat bukan tanpa ”masalah” yang dihadapinya sendiri, justru pertentangan internal lebih banyak terjadi pada kaum (pengikut) syariat, sebagaimana kita tahu bahwa syariat (fiqh) memiliki keragaman mazhab, yang pada akhirnya pula memiliki keragaman ijtihad dari para ulama fikih tersebut. Dalam hal ini penulis tidak bermaksud mengangkat permasalahan/perbedaan dalam hukum fikih, melainkan mengemukakan bahwa pemahaman kaum sufi dalam menyikapi perbedaan lebih arif dan bijaksana karena mereka senantiasa menilai segala sesuatu dengan cinta, ketulusan dan kerendahan hati. Hal inilah yang menunjukkan bahwa kaum sufi adalah kaum yang paling toleran dalam menyikapi perbedaan dan keanekaragaman… Lihat : Hasan M. Noor (ed.), Agama di Tengah Kemelut, (Jakarta : Media Citra, 2001), Cet.2, h.136 126 dengannya seluruh aspek kehidupan seorang muslim harus berlandaskan pada alQuran dan hadis Nabi SAW. Berbeda dengan tasawuf , tasawuf / tariqat hingga kini masih dipandang ekslusif (khusus/istimewa) – karena diperuntukkan bagi mereka yang menempuh jalan menuju Tuhan (baca : Allah) dengan pendekatan batiniah, sehingga terkadang nilai-nilai amaliah terkesan formalistik dan masih jauh dalam upaya mencapai esensinya Fiqih (sebagai dimensi syariat) menjadi pokok / sentral dalam kehidupan beragama terutama dalam hal ibadah, peran fiqih tersebut antara lain adalah: mendorong timbulnya kesadaran beribadah kepada Allah SWT, membentuk kebiasaan melaksanakan syari’at dengan ikhlas, membentuk kebiasaan melaksanakan tuntunan akhlak yang mulia, mendorong timbulnya kesadaran mensyukuri nikmat Allah dengan mengolah serta memanfaatkan alam untuk kesejahteraan hidup, membentuk kebiasaan menerapkan disiplin dan tanggung jawab sosial di masyarakat, dan membentuk kebiasaan berbuat atau berperilaku yang sesuai dengan peraturan. Selain daripada itu, tasawuf (sebagai dimensi filosofis/hakikat) oleh banyak pihak, dianggap identik dengan kehidupan yang serba kolot, tradisionil dan ketinggalan zaman Kehidupan sufi dianggap tidak relevan dengan kemajuan zaman. Sufisme dianggap, hanya sebagai catatan sejarah zaman dulu, yang sudah kehilangan signifikansinya untuk diterapkan dalam kehidupan sekarang. Timbulnya asumsi ini, disebabkan kesalahan persepsi mereka dalam menginterpretasikan tasawuf. Tasawuf yang identik atau diasumsikan sebagai kehidupan seseorang yang berpakaian compang-camping, memakai baju lusuh, dan bercirikan kemiskinan. Tentu saja asumsi ini , kurang tepat– kalau tidak ingin dikatakan tidak – tepat sama sekali. Karena ada beberapa bahkan banyak diantara para sufi yang kaya raya. Tasawuf tidak lebih, merupakan kehidupan yang menjauhi berbagai kesenangan dunia dengan segala aspeknya. Kehidupan yang hanya berorientasi pada kedekatan diri pada Allah dengan berbagai ritus-ritus 127 sehari-harinya. Membasahi bibir dengan bacaan tasbih dan istighfar. Mengambil kebutuhan dunia hanya sekedarnya saja2. Salah satu alasan kita membahas kaitan antara spiritulisme Islam (tasawuf) dan syariat, adalah untuk menunjukkan bahwa antara syariat dan hakikat (tasawuf) sesungguhnya tidak bertentangan. Jika kita ingin beragama secara lengkap, kita bersyariat dan kita pun bertariqat, bertasawuf. Syariat berasal dari kata syar’i, yang artinya jalan yang besar. Sedangkan thariqat berasal dari kata thariq yang artinya jalan yang kecil. Namun tetap saja kedua kata itu mempunyai arti yang sama, yakni jalan. Jalan disini maksudnya adalah jalan menuju Allah SWT. Syariat disebut dengan jalan besar atau jalan raya dikarenakan arti asli kata itu identik dengan agama itu sendiri. Tasawuf, setidaknya merupakan cabang otentik dari agama Islam itu sendiri. Spiritualisme Islam berbeda dengan spiritualismespiritualisme yang lain, dalam hal ini Islam mengontrol ajaran spiritualismenya (tasawuf) dengan ajaran syariatnya 3. Lebih lanjut, tasawuf adalah jalan agar kita dapat membersihkan diri dan hati kita agar menjadi wadah untuk menampung Allah SWT. Berkenaan dengan hal ini, sebuah hadis qudsi menyatakan bahwa ”Tidak ada yang bisa menampung Allah, kecuali hati orang-orang mukmin”4. Tuduhan bahwa tasawuf mengabaikan syariat tidak dapat diterima, karena sesungguhnya tasawuf sangat menekankan pentingnya syariat. Tasawuf tidak dapat dipisahkan dari syariat karena bagi para penganutnya thariqat, syariat adalah jalan awal yang harus ditempuh untuk menuju tasawuf. 2 Ada beberapa praktek disiplin spiritual dalam tradisi sufi yang dianggap oleh para penentangnya sebagai bersifat eksesif dan cenderung mengabaikan kehidupan dunia. Diantara praktek-praktek itu adalah berkhalwat selama 10 hari, 20 hari, 30 hari, atau 40 hari. Khalwat, yang di Indonesia disebut “suluk”, adalah kegiatan menyepi untuk sementara waktu dari kesibukan dunia. Selama khalwat seorang penempuh jalan spiritual makan dan minum sedikit sekali, dan tidak boleh berbicara kecuali dengan syeikhnya atau mitranya yang juga melakukan khalwat. Para salik menggunakan hampir seluruh waktu untuk berzikir dan bertakakur. Semula khalwat dilakukan secara fisik dengan menarik diri dari segala gangguan yang memalingkan seorang hamba dari mengingat Allah dan dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifat Allah. Akhirnya, penarikan diri ini semata-mata ditujukan untuk meningkatkan kualitas spiritual untuk semakin mempermudah perjalanan spiritual untuk semakin mempermudah perjalanan menjumpai Yang Dicintai. Khalwat seperti ini yang dilakukan para salik tidak bisa dikatakan eksesif (berlebihan dalam ibadah) dan cenderung mengabaikan kehidupan dunia karena ia hanya dilakukan dalam waktu terbatas, paling lama 40 hari, dan setelah itu salik kembali kepada kesibukan dunia seperti biasa. 3 Hasan M. Noor (ed.), Agama di Tengah Kemelut..., h.104 4 Hasan M. Noor (ed.), Agama di Tengah Kemelut..., h.105 128 Dalam satu bagian al-Futuhat al Makiyah, ibn al Arabi menyatakan, “Jika engkau bertanya, ‘Apa itu tasawuf?,’ maka kami menjawab, ‘(Tasawuf adalah) mengikatkan diri kepada kelakuan-kelakuan baik menurut syariat secara lahir dan batin, dan itu adalah aklak mulia. Ungkapan “kelakuan-kelakuan baik menurut syariat “(al-adab al-syariyyah) dalam perkataan Ibn al-Arabi ini menunjukkan bahwa tasawuf harus berpedoman kepada syariat. Menurut sufi ini, sairat adalah timbangan dan pemimpin yang harus ddikuti dan ditaati oleh siapa saja yang menginginkan keberhasilan tasawuf. Sebagaimana Ibn al-Arabi, Seyyed Hossein Nasr, seorang pemikir sufi dari Iran yang membela tasawuf tipe “keadaan tidak mabuk” berulang kali menekankan bahwa tidak ada tasawuf tanpa syariat5. Islam sebagai agama yang sangat menekankan keserimbangan manifestasikan dirinya dalam kesatuan syariat (hukum Tuhan ) dan thariqah (jalan spiritual, yang sering disebut sufisme atau tasawuf). Apabila syariah adalah dimensi eksoterik Islam, yang lebih banyak berurusan dengan aspek lahiriah, maka thariqah adalah dimensi eksoterik Islam, yang lebih banyak berurusan dengan aspek batiniah. Pentingnya menjaga kesatuan syariah dan thariqah dituntut oleh kenyataan bahwa segala sesuatu di alam ini, termasuk manusia, mempunyai aspek lahiriah dan aspek batiniah. Menekankan salah satu aspek dan mengabaikan aspak lain akan menimbulkan ketidakseimbangan dan kekacauan6 Landasan metafistis bagi pemeliharaan keseimbangan antara aspek lahiriah dan batiniah. Aspek lahiriah mempunyai gerak menjauh dan memisah dari Tuhan sebagai Pusat, yang tidak lain adalah Yang batin. Aspek batiniah mempunyai kecenderungan untuk bergerak kembali kepada Tuhan sebagai Sumbernya. Mengabaikan salah satu dari kedua aspek ini adalah mengingkari kodrat manusia, yang selalau cenderung berusaha untuk memenuhi lahiriah dan batiniah, material dan spiritual. 5 6 Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.20 Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.21 129 Tiga dimensi agama Islam, syariah, thariqah, dan haqiqah, dari suatu sudut pandang sejajar dengan tiga dimensi lain, islam, iman dan ihsan. Secara historis, islam termanifestasi melalui syariah (syariat) dan fiqih sedangkan iman terlembaga melalui kalam (ilmu kalam) dan bentuk bentuk lain ajaran doktrinal. dengan cara yang sama, ihsan memperlihatkan kehadirannya terutama melalui ajaran-ajaran dan praktik sufi7 Dengan mengkodifikasi syariat, fikih menetapkan cara yang tepat bagi manusia untuk menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Ilmu kalam mendeskripsikan kandungan-kandungan iman. Tasawuf memusatkan perhatian untuk memberikan hak yang penuh kepada penyerahan diri dan iman. Tasawuf dalam arti ini adalah jalan utama menuju Tuhan. Tasawuf, yang diidentikkan dengan ihsan, adalah jalan atau tahap tertinggi yang harus ditempuh melalui islam dan iman terlebih dahulu8 Oleh karena itu, pembicaraan tentang integrasi syariat dengan tasawuf menjadi syarat mutlak bagi kesempurnaan seorang Muslim. Syariat merupakan elaborasi dari kelima pilar Islam, sedangkan tasawuf berpangkal pada ajaran atau konsep ”Ihsan”. ”’an ta’buda Allaha ka-annaka tarah, fainlam takun tarah, fainnahu yarak” (hendaknya kalian beribadah [bersyariat] kepada Allah seakanakan kamu melihatnya, jika kamu tidak bisa Melihatnya, maka sesungguhnya [bersikaplah seakan-akan] Ia melihatmu. A. Korelasi Fiqh (Syariat) dengan Tasawuf (Hakikat) Secara umum, fiqh didefinisikan sebagai : “ilmu tentang hukumhukum syar’iyyah amaliyah dari dalil-dalilnya yang terperinci (adillah tafshiliyyah) ”. Dari definisi ini dapat dilihat bahwa fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’iyyah yang ‘amaliyyah yakni yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan manusia baik dalam bentuk ibadah maupun mu’amalah. 7 8 Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.22 Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial…, h.23 130 Dari sini dapat dikatakan bahwa hukum-hukum aqidah dan akhlak tidak termasuk dalam fiqh, meskipun jika ditelusuri lebih jauh dapat dimasukkan ke dalamnya. Hukum-hukum ini diambil dari dalil-dalil yang terperinci yakni dalil-dalil yang menunjukkan pada suatu hukum tertentu. Dalam artian yang seperti ini, jelas bahwa fiqh mengatur hal-hal yang berhubungan dengan perbuatan manusia baik dalam bidang ibadah maupun mu’amalah. Dalam bidang ibadah, misalnya, fiqh mengatur syarat-syarat, rukun-rukun dan sunnah-sunnah ibadah. Suatu ibadah akan dianggap sah jka telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Sebagai contoh, shalat seseorang dihukumi sah dari segi fiqh apabila ia shalat di waktu yang benar, telah bersuci, menutup aurat, mengahadap kiblat, dan memenuhi syarat dan rukun lainnya. Sementara tasawuf memberikan dimensi lain. Ibadah dalam ilmu tasawuf bukan sekedar terpenuhinya syarat-syarat dan rukun-rukun yang telah digariskan dalam fiqh. Lebih dari itu shalat dimaknai dengan hubungan manusia dengan Allah. Hubungan ini mesti benar-benar diusahakan dan dirasakan lewat cara-cara yang telah digariskan tasawuf. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ilmu tasawuf memberikan unsur-unsur bathiniyah kepada fiqh, fiqh akan terasa sangat lahiriyah dan formalistik atau terasa amat kering dan gersang jika tanpa tasawuf. Sebaliknya fiqh pula memberikan aturan-aturan yang dengannya tasawuf terhindar dari kebenaran sendiri yang bathiniyah tanpa memperhatikan aturan-aturan lahiriyah, sebab dalam tasawuf faktor bathiniyahlah yang diutamakan. Seseorang yang shalat dengan kehadiran hati meskipun dia dalam keadaan tidak menutup aurat atau bahkan tidak menghadap kiblat sekalipun shalatnya terbilang sah . Di disinilah perlunya mengintegrasikan keduanya, yakni antara syari’ah (dalam artian fiqh) dengan hakikat (dalam artian tasawuf). Dalam konteks ini perlu dikutip ungkapan al-Junaid al-Baghdd di sebagaimana yang dikutip oleh Abdurrahman Shiddiq : 131 ﻣﻦ ﺗﻔﻘﻪ ﺑﻐﲑ ﺗﺼﻮﻑ ﻓﻘﺪ ﺗﻔﺴﻖ ﻭﻣﻦ ﺗﺼﻮﻑ ﺑﻐﲑ ﺗﻔﻘﻪ ﻓﻘﺪ ﺗﺰﻧﺪﻕ ﻭﻣﻦ ﲨﻊ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﻓﻘﺪ ﲢﻘﻖ “Barang siapa yang mendalami fiqh tanpa bertasawuf, berarti ia fasik. Barang siapa bertasawuf tanpa mendalami fiqh, berarti ia zindiq. Dan barang siapa mengumpulkan keduanya berarti ia melakukan kebenaran (tahaqquq)”9 Al-Qusyairi juga mengatakan : ﻛﻞ ﺷﺮﻳﻌﺔ ﻏﲑ ﻣﺌﻴﺪﺓ ﺑﺎﳊﻘﻴﻘﺔ ﻓﺎﹾﻣﺮﻫﺎ ﻏﲑ ﻣﻘﺒﻮﻝ ﻭﻛﻞ ﺑﺎﳊﻘﻴﻘﺔ ﻏﲑ ﻣﺆﻳﺪﺓ ﺑﺎﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﻓﺎﹾﻣﺮﻫﺎﻏﲑ ﳏﺼﻮﻝ “Setiap syari’at yang tidak didukung dengan hakikat maka urusannya tidak diterima, setiap hakikat yang tidak didukung oleh syari’at maka urusannya tidak berhasil.”10 Al-Ghazali mengatakan : ﺎ ﻳﺘﻬﺎ ﺍﻻ ﺑﻌﺪ ﺍﺣﻜﺎﻡ ﺑﺪﺍﻳﺘﻬﺎ ﻻ ﻭﺻﻮﻝ ﺍﱃ “Tidak akan sampai kepada tujuan kecuali setelah diawali dengan hukumhukum”11 Korelasi syari’at dan hakikat ini pun dengan indahnya diuraikan alQusyairi dalam karyanya, al-Risalah al-Qusyairiyah, dengan: “Syari’at berkaitan dengan konsistensi seorang hamba Allah, sementara hakikat adalah penyaksian ketuhanan. Jadi, setiap syari’at yang tidak ditopang hakikat tidak diterima. Dan sebaliknya, setiap hakikat yang tidak dikekang syari’at tidak tercapai. Syariat datang menetapkan beban kewajiban terhadap makhluk, sementara hakikat adalah kabar tentang gerak-gerik Yang Maha Benar. Syari’at hendaklah kau menyembah-Nya, sementara hakikat hendaklah kau menyaksikan-Nya. 9 Syariat adalah pelaksanaan terhadap apa yang H.M, Jamil, Cakrawala Tasawuf…, h. 74 H.M, Jamil, Cakrawala Tasawuf…, h. 74 11 Nawawi, Muhammad al-Jawi, Maraqi al-Ubudiyyah Syarh ‘Ala Matan Bidayah alHidayah, (Semarang, Pustaka al-Alawiyyah, t.t.), h. 5. 10 132 diperintahkan. Sementara hakikat ialah penyaksian terhadap apa yang telah ditetapkan dan ditentukan atau pun yang disembunyikan dan ditampakkan.”12 Sementara itu, dalam pandangan al-Sarraj, tasawuf dan kaum sufi mempunyai hubungan yang erat dengan para fuqaha dan ahli hadits. Tiga komunitas ini merupakan ahli-ahli ilmu yang mempunyai keutamaan. Oleh karenanya, dalam pandangan al-Sarraj ilmu agama itu terdiri dari tiga unsur : ilmu al-Qur’an, ilmu Sunnah dan Bayan, dan ilmu tentang hakikat iman. Dan secara garis besar, ilmu-ilmu agama tak akan keluar dari tiga hal: ayat-ayat dari kitab Allah, khabar (hadis) dari Rasulullah SAW, dan hikmah yang memancar dari kalbu para wali Allah. Pandangan di atas, berasal dari hadis tentang iman, ketika Jibril alaihissalam bertanya kepada Nabi saw tentang tiga macam pondasi: tentang Islam dan iman, ihsan zahir dan batin dan hakikat. Maka Islam adalah zahir, iman adalah zahir batin, sedang ihsan merupakan gabungan antara hakikat zahir dan batin. Selanjutnya, ia juga berpendapat bahwa pokok-pokok agama, cabang-cabangnya, hak-hak, batasan-batasan, dan hukum-hukmnya secara lahir dan batin, tidak bisa tidak hendaknya merujuk kepada tiga komunitas ini: ahli hadis, para fuqaha, dan kaum sufi. Jadi jelaslah bahwa tasawuf merupakan sub dari syari’ah, jika syari’ah di sini diartikan sama dengan agama. Jika syari’ah secara spesifik diartikan dengan fiqh, terjadi perbedaan secara epistemologis, metodologis, dan aksiologis. Singkat kata, secara garis besar, syari’ah memayungi dua elemen besar yang menjadi jalan untuk mengamalkan agama secara benar, yakni ilmu lahir (riwayah) dan ilmu batin (dirayah).13 Demikian hubungan yang erat antara syariat (fiqh) dengan hakikat (tasawuf) yang tergambar dari beberapa ungkapan dan pendapat di atas. 12 13 Al-Taftazani, Abu al-Wafa, Sufi Dari Zaman Ke Zaman…, h. 94 Bahri, Zaenal, Menembus Tirai Kesendirian-Nya, Jakarta, Prenada, 2005, h. 23-26. 133 Memang diakui ada tokoh-tokoh tertentu dari kalangan sufi yang berfaham bahwa pada tingkat tertentu di saat seorang bersatu dengan Tuhannya, di saat dia adalah Tuhan dan Tuhan adalah dia, maka syari’ah dalam artian fiqh tidak lagi diperlukan karena ia telah sampai kepada hakikat syari’ah tersebut. Pemahaman seperti inilah yang dengan keras ditolak oleh al-Qusyairi dan al-Ghazali. Tidak ada syari’ah tanpa hakikat dan tidak ada hakikat tanpa syari’ah. B. Integrasi Fiqh (Syariat) dengan Tasawuf (Hakikat) Konsep al-Ghazali Al-Ghazali adalah ulama besar yang sanggup menyusun kompromi antara syariat (fiqh) dan hakikat (tasawuf) menjadi bangunan baru yang cukup memuaskan kedua belah pihak, baik dari kalangan syar’i (fuqaha) ataupun lebih-lebih kalangan sufi. Pemikiran konstruktif Al-Ghazali dalam memoderasi fiqih dan tasawuf dilakukan dalam rangka mengeliminir konflik antara syariat dan hakikat. Ia sanggup mengikat tasawuf dengan dalil-dalil wahyu ayat al-Qur’an ataupun hadis Nabi saw. Dan dari judul karyanya yang paling monumental Ihya’Ulum al-Din Nampak betapa besar jasa al-Ghazali. Yakni mampu menyusun bangunan yang dapat menghidupkan kegairahan ummat Islam mempelajari ilmu-ilmu agama, dan mengamalkan dengan penuh ketekunan. Dengan demikian apa yang dicita-citakan al-Ghazali tercapai. Yakni menghidupkan dan mendalamkan kualitas keimanan umat Islam dan memantapkannya, sehingga terpancar dalam kegairahan dalam mempelajari dan mengamalkan agama mereka. Kedalaman spiritual yang ditimbulkan oleh ajaran tasawuf bisa didayagunakan untuk mendukung kegairahan mempelajari ilmu-ilmu agama beserta pengamalannya. Sebaliknya dengan keterikatan yang ketat pengamalan tasawuf dengan syariat (fiqh) dan ayat-ayat suci al-Qur’an dan Hadis, tasawuf mulai mendapat hati dari pihak ulama ahli syariat (fuqaha), dan diterimanya sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang paling kaya kerohanian dan tuntutan moral. Dengan demikian tasawuf bisa berfungsi sebagai obat yang paling mujarab untuk membebaskan ummat Islam dari 134 kekakuan dan kekeringan rasionalisme fiqhiyah dan dari penyakit spekulatifisme ilmu kalam Dari susunan Ihya’ Ulum al-Din tergambar pokok pikiran al-Ghazali mengenai penyelarasan syari’at (fiqh) dan hakikat (tasawuf). Yakni sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus mempelajari dan memperdalam ilmu tentang syariat dan akidah terlebih dahulu. Tidak hanya itu, dia harus konsekuen menjalankan syariat secara tekun dan sempurna. Karena dalam hal syari’at seperti shalat, puasa, dan lain-lainnya, di dalam Ihya’ diterangkan tingkatan cara menjalankan shalat, puasa, dan sebagainya. Yakni sebagai umumnya para penganut tasawuf dalam Ihya’ dibedakan tingkat orang shalat antara orang awam, khawas, dan yang lebih khusus lagi’ Dapat dilihat dan dibedakan dengan melakukan penyempurnaan rukun dan sunnah-sunnah shalat. Demikian juga puasa dan sebagainya. Maka dari itu, tidak sepatutnya ilmu fiqh dipelajari semata-mata agar mampu membedakan antara yang sunnah dan yang fardhu sedemikian, sehingga tidak terbayangkan akan hal-hal yang sunnah kecuali bahwa itu semua boleh saja ditinggalkan. Pemahaman seperti itu sama saja dengan ucapan dokter bahwa membutakan mata tidak menghilangkan keberadaan seorang manusia. Yang lebih layak, tentulah, melaksanakan semua sunnah dengan penuh ketulusan seperti dilakukan si pemberi hadiah kepada Sultan dengan harapan dapat mendekatkan diri kepadanya.14 Sesudah menjalankan syari’at dengan tertib dan penuh pengertian, baru pada jilid ketiga dimulai mempelajari tarekat. Yaitu tentang mawas diri, pengendalian nafsu-nafsu, dan kemudian laku wiridan dalam menjalankan zikir, hingga akhirnya berhasil mencapai ilmu kasyfi atau penghayatan makrifat. Kemudian untuk mempertahankan nilai-nilai luhur agama dan spiritual yang mistik ini harus awas godaan nafsu dan penyakit-penyakit yang sering menyerang dan mengotori hati, dan yang berkaitan dengan panca indera dan anggota badan serta bagaimana mengatasinya. Jadi sebagai 14 Al-Ghazali, Rahasia-Rahasia Shalat, Mizan, Bandung, cet. ke XV, h. 19, 52-54. 135 bangunan untuk jadi sarana penyelarasan keselarasan syariat dan tasawuf Ihya’ Ulum al-Din merupakan karya monumental yang cukup lengkap, teliti,dan sistematis. Tasawuf akhirnya mendapat hati dari pihak ahlu syari’at dan diterima sebagai bagian dari system agama ilmu keislaman yang amat dibanggakan oleh umat Islam pada umumnya. Dalam pada itu, tergambar pokok pikiran al-Ghazali mengenai keintegralan dan keselarasan hubungan syari’at (fiqh) dan hakikat (tasawuf). Dia menawarkan sebuah formula dalam upaya memesrakan antara kedua disiplin ilmu ini, yakni sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus memperdalam ilmu tentang syari’at dan akidah terlebih dahulu. Konsepsi pemikiran yang ditawarkannya diawali dengan al-Qur’an, lalu hadis Nabi saw, meskipun dengan sanad yang dhoif, kisah hikmah dari para sahabat dan tabiin, baru kemudian dijelaskan dengan analisis pribadinya. Upaya ini cukup efektif, namun sebenarnya masih mengandung kelemahan yang mendasar. Kelemahan itu terletak kedudukan syariat (fiqh) yang diletakkan di bawah tarikat dan hakikat. Sehingga urutan tingkatan ketiganya jadi syari’at, tarikat, dan hakikat. Kemudian dalam perkembangannya ditambah makrifat sebagai tingkat keempat dan yang tertinggi. Dengan strata pembagian yang seperti ini terbukalah pintu untuk menilai syariat (fiqh) sebagai lebih rendah dibandingkan dengan tasawuf (tarikat, hakikat, dan makrifat). Yakni memandang syariat terutama bagi orang-orang awam yang tidak mampu mencapai tingkat hakikat dan makrifat. Sedang bagi para sufi yang telah mampu mencapai penghayatan makrifat adalah golongan khawas yang tidak bisa dinilai dari perbuatan-perbuatan lahiriyah (syari’at)15. Para sufi adalah Islam syar’i plus tasawuf; sedang ahli syari’at adalah Islam syar’i saja. Dalam perpaduannya menurut al-Ghazali syari’at diletakkan pada tingkat di bawah tarikat dan hakikat, maka para sufi selalu punya rasa lebih atau unggulan dari muslim biasa. Bahkan kedudukan ulama biasa di 15 Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam…, h.167-168 136 bawah derajatnya. Dengan anggapan punya nilai lebih atau dikhawaskan ini tentu sulit diikat oleh aturan-aturan syari’at secara ketat16. Menyinggung perbedaan ilmu fiqh dengan ilmu tasawuf, Ibnu Khaldun berkomentar sebagai berikut: “Ilmu agama itu menjadi dua bagian, yang satu berkaitan dengan fuqaha dan para pemberi fatwa, yaitu mengenai hukum-hukum ibadah yang umum, adat istiadat, ataupun niaga. Dan satunya lagi berkaitan dengan kelompok (maksudnya, para sufi) yang melakukan latihan ruhaniah, introspeksi diri, memperbincangkan rasa dan intuisi yang ditempuh dalam perjalanannya, dan cara peningkatan diri dari satu rasa ke rasa yang lain, atau pun menerapkan terminologi-terminologi yang berkaitan dengan hal itu semua.”17 Al-Ghazali sendiri dalam kitabnya, Ihya’ Ulum alDin, menyebutkan kedua jenis ilmu ini sebagai ‘ilm syar’iyyah dan ghair syar’iyyah18 namun karena mereka menggunakan konsep ilmu yang integral dan menemukan basis yang menyatukan keduanya, dikotomi yang mereka lakukan hanyalah sekedar penjenisan bukan pemisahan apalagi penolakan validitas yang satu terhadap yang lain sebagai bidang atau disiplin ilmu yang sah. Sekalipun al-Ghazali lebih condong pada ilmu-ilmu agama dengan menganggapnya fardhu ain bagi setiap Muslim untuk menuntutnya, dibandingkan dengan ilmu-ilmu umum, yang menurutnya fardhu kifayah untuk menuntutnya, paling tidak dia menganggap fardhu untuk menuntut kedua kelompok ilmu tersebut, yang sekaligus merupakan pengakuan terhadap validitas ilmu-ilmu umum tersebut sebagai ilmu atau sains. Bahkan untuk cabang-cabang ilmu umum tertentu, seperti logika dan matematika, dia menganjurkan agar umat Islam mempelajarinya dengan seksama. Al-Ghazali lebih lanjut mengatakan dalam kitab Ihya’, “Akal memerlukan Syara’ dan Syara’ membutuhkan akal. Orang yang mengajak kepada taklid murni dengan mengesampingkan akal secara total adalah bodoh. Dan orang yang mencukupkan hanya dengan akal, tidak melihat cahaya al-Qur’an dan Al-Sunnah, dia adalah orang yang tertipu. Hati-hatilah jangan sampai anda menjadi salah 16 Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam…, h.169 Al-Taftazani,Abu al-Wafa, Sufi Dari Zaman Ke Zaman…, h. 92. 18 Kartanegara, Mulaydhi, Integrasi Ilmu, Bandung, Mizan, 2005, h. 45 17 137 satu dari keduanya. Jadilah orang yang mampu menyatukan akal dan syara’, yang menjadi sumber (dasar). Sebab ilmu-ilmu aqliyah bagaikan makanan, sedang ilmu syara’ bagaikan obat-obatannya. Sebagian orang mengira bahwa ilmu-ilmu aqliyah itu bertentangan dengan ilmu-ilmu syar’iyah dan keduanya tidak dapat dipadukan. Ketahuilah, dugaan semacam itu adalah dugaan orang yang buta hatinya, bahkan bisa jadi orang tersebut menganggap bahwa sebagian ilmu syari’ah bertentangan dengan ilmu syariah yang lain, sehingga keduanya tidak dapat dipadukan, lantas dia menyangka bahwa terdapat pertentangan dalam agama yang membuatnya bingung dan akhirnya keluar dari agama sebagaimana keluarnya bulu/rambut dari adonan(tepung yang dicampur dengan air). Kami mohon perlindungan kepada Allah dari perilaku seperti itu.”19 Sejak masa itu dan masa-masa selanjutnya, para sufi mulai mengemukakan terminologi-terminologi khusus tentang ilmu mereka. AlThusi dalam karyanya, al-Luma’, mengomentari perbedaan ilmu lahir dan ilmu batin atau antara ilmu riwayah dan dirayah, sebagai berikut: “Syari’at adalah suatu ilmu. Dan itu adalah suatu nama yang mengandung dua pengertian: riwayah dan dirayah. Jika keduanya terhimpun, maka jadinya adalah ilmu syari’at yang menyerukan amal-amal lahir dan batin. Amalanamalan lahir, sebagai amal-amal tubuh luar, terkadang merupakan ibadah dan terkadang merupakan hukum. Bersuci, shalat, zakat dan lainnya adalah ibadah. Bahkan hukum, misalkan pidana, thalaq dan lain-lain, dikaitkan pada tubuh luar. Sementara amal-amal batin, sebagai amal kalbu, adalah mengenai tingkatan dan keadaan, misalkan iman, yakin, jujur, ikhlas, dan lain sebagainya. Jika disebut ilmu batin, maksudnya ialah ilmu tentang amal-amal batin yang berkaitan dengan anggota tubuh dalam, yaitu kalbu. Sebaliknya jika disebut ilmu lahir, maksudnya ialah ilmu tentang amal-amal lahir yang berkaitan dengan anggota tubuh luar.”20 19 20 Al-Ghazali, Ihya’Ulum al-Din…, h. 16-17. Al-Taftazani, Abu al-Wafa, Sufi Dari Zaman Ke Zaman…, h. 92. 138 Dengan uraian al-Thusi di atas tampak jelas bahwa para sufi, dalam menyebut ilmunya dengan ilmu batin atau dirayah ataupun sebutan lain yang serupa, membedakan adanya dua ilmu: ilmu teoritis, yang berkaitan dengan hukum, serta ilmu yang membahas cara-cara merealisasikan hukum-hukum tersebut, baik dalam kalbu ataupun dalam tingkah laku. Yang pertama ialah fiqh atau lahir, sementara yang kedua adalah tasawuf atau batin. Namun keduanya tetap dalam bingkai syari’ah sebagai sebuah ilmu. Tegasnya, tasawuf –seperti juga halnya fiqh- merupakan bagian belaka dari syari’ah. Antara keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat, tak terpisahkan, dan saling membutuhkan, karena keduanya tetap berada pada frame syari’ah, sebagai sebuah narasi besar dalam Islam. Pembedaan kedua ilmu itu tentu saja relatif. Pada hakikat dan kenyataannya, kedua ilmu tersebut tidaklah berbeda. Sebab yang satunya (ilmu batin) adalah buah dari yang lainnya (ilmu lahir). Ketika seorang hamba Allah secara sempurna melaksanakan hukumhukum agamanya, di mana kalbunya menghadap Allah serta menempuh jalan lurus dalam perjalanannya, secara otomatis dia meraih ilmu batin. Dan pada statemen al-Ghazali di atas nampak jelas bahwa kedudukan akal (yang menjadi salah satu komponen utama dalam menggali dan memproduk hukum syara’:fiqh) tidak kalah pentingnya dengan syara’. Bahkan orang yang menyangka bahwa terdapat pertentangan antara sebagian ilmu aqliyah dengan ilmu syara’ atau justru ilmu syara’ dengan ilmu syara’ yang lainnya adalah keliru. Mengesampingkan totalitas akal dan bersandar hanya dengan al-Qur’an dan Sunnah adalah kebodohan, sementara mencukupkan akal tanpa landasan al-Qur’an dan Sunnah adalah orang yang tertipu dan bisa menyebabkan keluar dari agama ini. 21 21 Penulis mengutip dan memaparkan pendapat al-Ghazali di atas dalam kaitannya dengan masalah integralitas ilmu, karena; fiqh tergolong ilmu syar’iyah melalui pendekatan ijtihad (rasio) dan berarti juga tergolong ilmu aqliyah dilihat dari sisi penggunaannya, sedang tasawuf tergolong ilmu syar’iyah namun lebih cenderung melalui pendekatan intuitif. 139 Terlihat jelas bahwa kedua disiplin ilmu ini terintegrasi dalam prinsip dan sumber dan tujuan utama, yaitu Allah, atau sebagaimana pendapat yang diutarakan oleh Mulyadhi Kartanegara yaitu Tauhid. Konsep tauhid tentu saja diambil dari formula konvensional Islam “La Ilaha Illallah” yang artinya “tidak ada tuhan melainkan Allah” yang juga telah menjadi prinsip yang paling utama sehingga ia juga telah menjadi asa pemersatu atau dasar integrasi ilmu pengetahuan manusia.22 C. Islam dan Tinjauan Kritis Pluralisme Agama 1. Pluralisme dalam masyarakat Islam Jika kita ingin mempertegas lahirnya pluralisme dalam masyarakat Islam, maka prinsip pertama yang mendukung pluralisme dalam masyarakat Islam adalah bahwa pluralisme itu sendiri merupakan kebebasan. Bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan kebebasan berfikir, sebagai dasar pluralisme, dan pluralism sebagai manifestasi dari kebebasan berfikir. Pengertian keesaan Allah (tauhid) berarti meniscayakan pluralitas selain Dia dan kebebasan adalah suatu yang sangat diterima oleh bahasa agama. Karena kebebasan merupakan prinsip dasar, dan segala sesuatu pada dasarnya berhukum boleh, hingga ada nash al-Quran yang mengharamkannya. Apalagi kita menyadari bahwa Hikmah merupakan salah satu sumber kebijakan dalam Islam. Dengan Hikmah, manusia akan terhindar dari fanatisme, ketertutupan dan membatasi diri hanya pada apa yang didalam kitab. Nash yang mempertegas masalah ini ada dalam al-Quran itu sendiri23 Kebebasan berfikir dan berkeyakinan didalam Islam tidak pernah dibatasi, kecuali jika kebebasan itu menciptakan kondisi negatif dan melahirkan bencana ditengah masyarakat. Seperti memperlakukan kebebasan sebagai kesempatan untuk mencaci dan menghina orang lain. Adapun kebebasan yang didasarkan pada logika dan argumentasi, maka 22 Kartanegara, Mulaydhi, Integrasi Ilmu…, h.32 Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran, terj. Al-Ta’aduddiyyah fi alMujtama’ al-Islamiy, (|Jakarta : Menara, 2006), h.107 23 140 tidak boleh dibatasi sama sekali. Sedang kebebasan dalam aktivitas ekonomi dan politik, maka batasannya hanya satu, yaitu keadilan. keadilan inilah yang menjadi batas bagi setiap kegiatan ekonomi dan politik, agar kebebasan itu tidak berubah menjadi kekuatan yang menindas dan mengekang rakyat24 Selama dasar dari pluralisme adalah kebebasan, maka pluralisme yang ada didalam masyarakat Islam tidak berbeda dengan pluralisme yang ada pada masyarakat lainnya. Perbedaan hanya ada pada derajat dan kadar pluralisme itu, bukan pada bentuk dan caranya. Iman kepada nilainilai Islam yang tertanam dengan kuat akan menghalangi lahirnya kondisi yang tak terkendali dan penyimpangan yang kini menodai penerapan pluralisme dalam sebagian masyarakat Eropa dewasa ini. masyarakat Islam, walau ia bagian dari masyarakat manusia yang tunduk dibawah hulum-hukum obyektif, namun ia memiliki karakter khusus yang membedakannya dari masyarakat lainnya. Ini bila masyarakat Islam tidak kehilangan karakternya itu25. 2. Pluralisme Agama dalam Al-Quran Al-qur’an sebagai sumber normatif bagi satu teologi inklusifpluralis. Bagi kaum muslimin, tidak ada teks lain yang mempunyai posisi otoritas mutlak dan tak terbantahkan selain al-qur’an. Maka, al-qur’an merupakan kunci untuk menemukan dan memahami konsep pluralisme agama dalam al-qur’an. Secara normatif-doktrinal, al-qur’an dengan tegas menyangkal dan menolak sikap eksklusif dan tuntutan truth claim (klaim kebenaran) secara sepihak yang berlebihan, seperti biasa melekat pada diri penganut agama-agama, termasuk para penganut agama Islam. Munculnya klaim kebenaran sepihak itu pada gilirannya akan membawa kepada konflik dan pertentangan yang menurut Abdurrahman Wahid, merupakan akibat dari proses pendangkalan agama, dan ketidak mampuan penganut agama 24 25 Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran…, h.107-108 Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran…, h.109 141 dalam memahami serta menghayati nilai dan ajaran agama yang hakiki. Al-qur’an berulangkali mengakui adanya manusia-manusia yang saleh di dalam kaum-kaum tersebut, yaitu Yahudi, Kristen, dan Shabi’in seperti pengakuannya terhadap adanya manusia-manusia yang beriman di dalam Islam. Ibnu ‘Arabi salah seorang Sufi kenamaan mengatakan, bahwa setiap agama wahyu adalah sebuah jalan menuju Allah, dan jalan-jalan tersebut berbeda-beda. Karena penyingkapan diri harus berbeda-beda, semata-mata anugrah Tuhan yang juga berbeda. Jalan bisa saja berbedabeda tetapi tujuan harus tetap sama, yaitu sama-sama menuju kepada satu titik yang sama yakni Allah swt. Pengakuan terhadap pluralisme atau keragaman agama dalam alqur’an, banyak ditemukan dalam terminologi yang merujuk kepada komunitas agama yang berbeda seperti ahl al-kitab utu al-Kitab, utu nashiban min al-Kitab, ataytum al-Kitab, al-ladzina Hadu, al-nashara, al-Shabi’in, al-majusi dan yang lainnya. Al-qur’an disamping membenarkan, mengakui keberadaan, eksistensi agama-agama lain, juga memberikan kebebasan untuk menjalankan ajaran agamanya masingmasing. Ini adalah sebuah konsep yang secara sosiologis dan kultural menghargai keragaman, tetapi sekaligus secara teologis mempersatukan keragaman tersebut dalam satu umat yang memiliki kitab suci Ilahi. memang pada dasarnya tiga agama samawi yaitu Yahudi, Kristen dan Islam adalah bersudara, masih terikat hubungan kekeluargaan yaitu sama-sama berasal dari nabi Ibrahim as. Kita tahu bahwa salah satu pokok keimanan dalam Islam ialah percaya kepada para nabi dan rasul. Al-Quran menyebutkan bahwa Allah telah mengirimkan nabi dan rasul untuk setiap golongan umat manusia. Sebagaimana ayat yang tertera diatas. Nabi Muhammad saw pernah menjelaskan (dalam hadis yang diriwayatkan olah Ahmad, bahwa berkata kepada abu dzar) bahwa jumlah keseluruhan nabi dimuka bumi 142 sepanjang masa ada 124.000 orang dan dari kalangan mereka itu 315 adalah rasul26. Para nabi dan rasul itu diutus dengan bahasa kaumnya masingmasing (QS. 14 : 4)27, namun semuanya dengan tujuan yang sama yakni mengajak umat manusia untuk menempuh jalan kebenaran, dengan inti pengakuan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan kewajiban manusia untuk menghambakan diri kepada-Nya (QS. 21 :25)28. Selain ajaran tauhid (mengesakan Tuhan), para rasul juga menyerukan perlawanan kepada thagut yakni kekuasaan/kekuatan jahat dan zalim (QS. 16 :36)29. Kaum beriman harus mempercayai nabi dan rasul tersebut tanpa membeda-bedakan seseorangpun diantara mereka dengan sikap berserah diri karena para nabi dan rasul adalah orang-orang yang berserah diri kepada Tuhan (QS. 2:136) dan (QS. 3:84)30 26 Jumlah tersebut adalah para nabi sejak nabi Adam as. Sampai kepada nabi Muhammad saw. Sebagian dari mereka ada yang tersebutkan nama dan kisahnya didalam al-Quran, tetapi sebagian besar tidak dikisahkan dalam al-Quran. Sebagian dari mereka (yang dikisahkan alQuran) adalah para rasul atau tokoh-tokoh taurat dan Injil, dan dapat dikatakan semuanya itu (yang dikisahkan al-Quran) berasal dari bangsa semit. Lihat … : Nurcholis Madjid, et,al, Fiqih Lintas Agama : Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis, (Jakarta : Paramadina, 2004), Cet.5, h. 18-19 27 (QS. 14 : 4) : Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petinjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.Dan Dia-lah Rabb Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. Departemen Agama RI, AlQur’an dan terjemahnya..., h.379 28 (QS. 21 :25) : Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya:"Bahwasanya tidak ada Ilah(yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.498 29 (QS. 16 :36) : Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.407 30 (QS. 2:136) : Katakanlah (hai orang-orang mu'min):"Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'kub dan anak cucunya, dan apa yang telah diberikan kepada Musa dan 'Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Rabb-nya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.35 (QS. 3:84) : Katakanlah:"Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub, dan anakanaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, 'Isa dan para nabi dari Rabb mereka. Kami tidak 143 Inti agama dari semua rasul adalah sama : (QS. 42:13), dan umat serta agama agama seluruhnya adalah umat dan agama yang tunggal (QS. 21:92 dan QS. 23:52) 31 Sementara din atau agama itu sama kepada setiap golongan dari kalangan umat manusia dan Allah menetapkan syir’ah atau syari’ah (jalan) dan minhaj (cara) yang berbeda-beda, sebab Allah tidak menghendaki umat manusia itu satu dan sama. Allah menhendaki agar mereka saling berlomba-lomba menuju kebaikan. Seluruh umat manusia akan kembali kepada-Nya kelak, dan Dialah yang akan membeberkan hakikat perbedaan antara manusia itu (QS. 5:48)32. Al-Quran juga menjelaskan bahwa untuk setiap umat telah ditetapkan uapacara keagamaan atau mansak (jamak : manasik) (QS. 22:67-68)33. Berkaitan dengan hal ini adalah keterangan dalam al-Quran bahwa setiap golongan atau umat mempunyai wijhah (titik “orientasi” membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.90 31 (QS. 42:13) : Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.Amat berat bagi orangorang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepadaNya). Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.785 (QS. 23:52) : Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Rabbmu, maka bertaqwalah kepada-Ku. Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.532 ( QS. 21:92) : Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Rabbmu, maka sembahlah Aku. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.507 32 (QS. 5:48) : Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlombalombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukanNya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.168 33 (QS. 22:67) : Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari'at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari'at) ini dan serulah kepada (agama) Rabbmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus. (QS. 22:68) : Dan jika mereka membantah kamu, maka katakanlah :"Allah lebih mengetahui tentang apa yang kamu kerjakan. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya…, h.522 144 tempat mengarahkan diri) yang dilambangkan dalam konsep tentang tempat suci seperti Ka’bah dan Masjidil Haram untuk kaum Muslim. Setiap golongan tidak perlu mempersoalkan wijhah tersebut, yang terpenting adalah bagaimana mereka dapat saling berlomba menuju kebaikan. Dimanapun manusia berada, Allah akan mengumpulkan mereka menjadi satu (jami’an ) (QS. 2:148)34. Terdapat pebedaan pendapat dikalangan para ulama tentang, apakah Ahli Kitab yang dimaksudkan didalam al-Quran hanyalah untuk golongan dari Yahudi dan Nasrani serta keturunan Israel, ataukah bangsa-bangsa lainnya? Dalam konteks ini, apakah golongan dari kaum Majusi (Zoroaster), Shabi’iin atau penganut agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu dan penganut Confusius termasuk dalam Ahli Kitab? Rasyid Ridho membahas masalah ini dalam ulasan dan tafsirnya mengenai QS. 5:5 berkenaan dengan hukum perkawinan dengan wanita Ahli Kitab. Rasyid Ridho menegaskan bahwa diluar kaum Yahudi dan Nasrani juga terdapat Ahli Kitab, pembahasan ini dapat ditemukan dalam tafsir al-Manar yang isinya adalah sebagai berikut: “Para ahli fiqih berselisih mengenai kaum Majusi dan Shabi’in. karena kaun Shabi’in bagi Abu Hanifah adalah sama dengan Ahli Kitab. Begitu pula kaum Majusi bagi Abu Tsaur, berbeda dari banyak kalangan yang berpendapat bahwa mereka itu diperlakukan sebagai Ahli Kitab hanya dalam urusan jizyah saja, dan mereka meriwayatkan sebuah hadis dalam hal ini, “Jalankanlah sunnah kepada mereka seperti sunnah kepada Ahli Kitab, tanpa memakan sesembelihan mereka dan menikahi wanita mereka”. Tetapi pengecualiaan ini tidak benar, sebagaimana diterangkan oleh para ahli hadis, namun hal itu terkenal dikalangan para ahli fiqih. Dan dikatakan bahwa kedua kelompok itu adalah kelompok Ahli Kitab yang mereka kehilangan kitab suci oleh lamanya waktu. Pendapat para ahli fiqih itu pula yang dahulu pernah menjadi pendirian saya sebelum saya menemukan kutipan dari salah seorang kaum salaf kita dan ulama-ulama ahli agama dan sejarah dari kalangan kita, 34 (QS. 2:148) : Dan bagi tiap-tiap ummat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Seungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.38 145 dan telah pula saya sebutkan dalam al-Manar beberapa kali. Kemudian saya temukan dalam kitab al-Farq bain al-Firaq karangan Abu Manshur ‘Abd-al-Qahir ibn Thahir al-Baghdadi (w.426 H) dalam konteks pembahasan tentang kaum Bathiniyah : “Kaum Majusi itu mempercayai kenabian Zaratustra dan turunnya wahyu kepadanya dari Allah, kaum Sabiin mempercayai kenabian Hermes (Idris), Plato dan sejumlah filsuf serta para pembawa syariat yang lain. Setiap kelompok dari mereka mengaku turunnya wahyu dari langit kepada orangorang yang mereka percayai kenabian mereka, dan mereka katakana bahwa wahyu itu mengandung perintah, larangan, berita tentang akibat kematian, tentang pahala dan siksa, serta tentang surge dan neraka yang disana ada balasan bagi perbuatan yang telah lewat”. Kemudian dia (al-Baghdadi) menyebutkan bahwa kaum Bathiniyah mengingkari itu semua. Yang nampak bahwa al-Quran menyebut para penganut agamaagama terdahulu, kaum Majusi dan Sabiin, dan tidak menyebut kaun Brahma (Hindu), Buddha dan para pengikut Konfusius karena kaum Majusi dan Sabiin dikenal oleh bangsa Arab yang menjadi sasaran mula-mula alamat al-Quran, kaum Majusi dan Sabiin itu berada berdekatan dengan mereka di Irak dan Bahrain, dan mereka (orang-orang Arab) belum melakukan perjalanan ke India, Jepang dan Cina sehingga mereka mengetahui golongan yang lain. Dan tujuan ayat suci telah tercapai dengan menyebut agama-agama yang dikenal (oleh bangsa Arab), sehingga tidak perlu membuat keterangan yang terasa asing (ighrab) dengan menyebut golongan yang tidak dikenal oleh orang yang menjadi alamat pembicaraan itu dimasa turunnya al-Quran, berupa penganut agama-agama yang lain. Dan setelah itu tidak diragukan bagi mereka (orang Arab) yang menjadi alamat pembicaraan (wahyu) itu bahwa Allah juga akan membuat keputusan perkara antara kaum Brahma, Buddha dan lain-lain” 35. Berdasarkan keterangan diatas, konsep Ahli Kitab merupakan kemajuan yang luar biasa dalam sejarah agama-agama sepanjang zaman. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa keunggulan konsep-konsep alQuran dan sunnah perlu dipahami secara komprehensif dan dalam kaitan sistemiknya yang lengkap. Konsep Ahli Kitab sebagaimana halnya dengan ajaran prinsipil lainnya yang memerlukan penjabaran operasional 35 Nurcholis Madjid, et,al, Fiqih Lintas Agama : Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis…, h. 51-52 146 dan praktis dalam konteks ruang dan waktu36. Dalam konteks penjabaran tersebut ditujukan guna memberikan respon yang tepat terhadap kaum Ahli kitab sepanjang waktu. Hal ini sesuai dengan pernyataan al-Quran (QS. 42:15) tentang perintah bersikap (umat Islam) kepada Ahli Kitab37 Dalam kacamata kaum sufi, seluruh umat manusia dipandang sebagai kesatuan makhluk yang bernaung dibawah kasih sayang Tuhan. Para sufi mengajarkan tentang landasan cinta dalam memandang segala ciptaan Tuhan. Landasan cinta merupakan titik berpijak bagi mereka untuk melihat orang lain. Melalui cinta ini, para sufi meyakini bahwa mereka berada dalam naungan cinta Tuhan. Tuhan tidak membedabedakan agama manusia. Terkait dengan wacana ini, Kabir Helminski menyatakan bahwa “mereka yang hidup dengan bimbingan pesan alQuran harus mengakui bahwa kasih sayang, kemurahan dan rahmat yang dilimpahkan Tuhan melalui semua agama, dan setiap yang ada. Sifat-sifat Tuhan mengalir tidak hanya kepada mereka yang beriman, namun juga kepada mereka yang beriman”38 Bagi para sufi, cinta pada hakikatnya adalah tujuan aktivitas seorang hamba. Cinta merupakan kekuatan yang sangat vital dalam berlari menuju Tuhan. Menurut Jalaludin Rumi, “kematian terburuk adalah hidup tanpa cinta”. Dalam sebuah syairnya ia berkata : “Betapa lama percakapan ini, figur-figur ini bicara metafora ini? Aku ingin membakar, membakar mendekati diri-Mu sendirian ke kobaran itu. Kobarkan api cinta dalam jiwa-Mu dan bakarlah semua pikiran dan segala konsep”39 36 Nurcholis Madjid, et,al, Fiqih Lintas Agama : Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis…, h.52-53 37 (QS. 42:15) : “Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah:"Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu.Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)". Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.785 38 Muhammad Qorib, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi…, h.146-147 39 Muhammad Qorib, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi…, h.149 147 Rumi meyakini melalui ajaran tentang cinta inilah yang dapat menembus sekat-sekat perbedaan diantara manusia, dan tugas utama manusia adalah kembali pada rahmat (baca : cinta) yang telah menyatukan keragaman kedalam kesatuan. Hal senada juga dikatakan Javad Nurbakhsh, bahwa hanya dengan cinta lah umat manusia dapat meninggalkan perbedaan menuju pada tujuan yang satu (baca : Tuhan), melalui cinta kita dapat menghayati aktivitas ibadah ketika ditampilkan dengan hati yang tulus, menuju sebuah tujuan, dan yang datan dari sumber yang sama40 Dalam al-Quran (2: 213) dijelaskan bahwa manusia diciptakan dari umat yang satu, namun disebabkan oleh faktor-faktor yang meliputi manusia itu sendiri menjadi berbeda. Kesatuan manusia dapat dipahami dalam lingkup yang luas. Pertama; kesatuan asal-usul kejadian awal manusia pertama (asal penciptaan) dan kedua; kesatuan ketuhanan atau keagamaan.41 ﻢ ﻬﻌﻝﹶ ﻣﺃﹶﻧﺰ ﻭﺭﹺﻳﻦﻨﺬﻣ ﻭﺮﹺﻳﻦﺸﺒ ﻣﲔﺒﹺﻴﺚﹶ ﺍﷲُ ﺍﻟﻨﻌﺓﹰ ﻓﹶﺒﺪﺍﺣﺔﹰ ﻭ ﺃﹸﻣﺎﺱﻛﹶﺎﻥﹶ ﺍﻟﻨ ﻳﻦ ﺇﹺﻻﱠ ﺍﻟﱠﺬﻴﻪ ﻓﻠﹶﻒﺘﺎ ﺍﺧﻣ ﻭﻴﻪﻠﹶﻔﹸﻮﺍ ﻓﺘﺎ ﺍﺧﻴﻤﺎﺱﹺ ﻓ ﺍﻟﻨﻦﻴ ﺑﻜﹸﻢﺤﻴ ﻟﻖ ﺑﹺﺎﻟﹾﺤﺎﺏﺘﺍﻟﹾﻜ ﻠﹶﻔﹸﻮﺍﺘﺎ ﺍﺧﻤﻮﺍ ﻟﻨ ﺀَﺍﻣﻳﻦﻯ ﺍﷲُ ﺍﻟﱠﺬﺪ ﻓﹶﻬﻢﻬﻨﻴﺎ ﺑﻴﻐ ﺑﺎﺕﻨﻴ ﺍﻟﹾﺒﻢﻬﺂﺀَﺗﺎﺟ ﻣﺪﻌﻦ ﺑ ﻣﻮﻩﺃﹸﻭﺗ (٢١۳ : ﻴﻢﹴ )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓﻘﺘﺴ ﻣﺍﻁﺮﺂﺀُ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺻﺸﻦ ﻳﻱ ﻣﺪﻬﺍﷲُ ﻳ ﻭ ﺑﹺﺈﹺﺫﹾﻧﹺﻪﻖ ﺍﻟﹾﺤﻦ ﻣﻴﻪﻓ “Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang merekaperselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah 40 41 Muhammad Qorib, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi…, h.151 Said Agil Husain Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama…, h.201 148 selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”. (QS. 2:213)42 Setiap individu bertanggung jawab untuk dirinya sendiri, demikian pula setiap bangsa atau umat. Jika mereka membiarkan diri mereka berlaku tidak adil, mereka akan celaka. Namun, jika mereka memilih jalan keadilan dan pengetahuan, mereka akan terselamatkan. Meskipun karakter setiap individu atau bangsa berbeda-beda, tetapi hukum-hukum yang mengatur nasib mereka sama. Jika semua individu bertanggung jawab dan berperilaku sesuai dengan tuntunan Tuhan, maka akibatnya segala permasalahan bangsa akan ditangani dengan baik oleh orangorang yang dituntun Tuhan; orang-orang yang layak menjadi penjaga kebenaran dan keadilan dimuka bumi ini43. Kecenderungan tertinggi manusia adalah menuju realitas, petunjuk kebenaran sejati tidak akan datang dengan bergabung pada satu kelompok atau memeluk suatu agama yang didefinisikan secara khusus oleh para penyebarnya. Petunjuk kebenaran tergantung pada kecenderungan seseorang menggapai pengetahuan tauhid. Ini sama dengan Ibrahim, dimana dia tidak menduakan perjalanan menuju Tuhan44 Jika hanya sekedar terlahir dalam keluarga Islam, atau menyebut dirinya muslim, maka ia tidak akan diubah oleh Islam. Muslim sejati adalah orang yang dengan sadar dan rendah hati tunduk kepada sang pencipta. Dia adalah hamba yang ikhlas dalam menjunjung kehendak dan hukum Allah dalam menegakkan keadilan Allah. Dia penuh belas kasih serta tidak mengenal takut disetiap tempat dan waktu. Inilah (99) Tuhan menjaga setiap orang yang menyerahkan diri kepada-Nya. Dia merahmati mereka. Dia menuruti segala prasangka hamba-Nya. Hanya Dialah satusatunya sumber kedamaian45 42 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.51 Faadhullah Haeri, Jiwa Al-Qur’an : Tafsir Surat al-Baqarah…, h.95 44 Faadhullah Haeri, Jiwa Al-Qur’an : Tafsir Surat al-Baqarah…, h.96 45 Faadhullah Haeri, Jiwa Al-Qur’an : Tafsir Surat al-Baqarah…, h.111 43 149 Menyikapi makna Islam diatas Munthahhari membagi Islam kepada Islam al-Jughrafy dan Islam al-waqi’i. Menurutnya, Islam alJughrafy atau disebut Islam fisik adalah mereka yang lahir, hidup dan mati dalam lingkungan Islam. Meskipun mereka tidak memeluk Islam dengan sebenar-benarnya namun mereka tetap dikatakan Islam. Muslim seperti ini hanyalah muslim tradisional (dari latar geneologi Islam) dan muslim geografi (dari kalangan/wilayah yang mayoritas beragama Islam). Kemudian, yang kedua adalah Islam al-waqi’i, Islam seperti ini adalah Islam aktual. Inilah Islam yang memikul nilai ruhiyyah samawiyyah. Menurut Munthahhari, Islam aktual adalah Islamnya orang yang sedah pasrah kepada kebenaran dengan hatinya. Ia meyakini dan menerima kebenaran melalui penelitian dan tanpa fanatisme. Bila ada orang yang telah berusaha mencari kebenaran, lalu ia menerima kebenaran itu dengan sepenuh hati, tetapi ia tidak memeluk agama Islam, Tuhan tidak akan mengazabnya, mustahil Tuhan menghukum orang diluar kemampuannya. Bila seseorang hanya mampu mengetahui kebenaran Kristen dan mengikutinya dengan setia, pada hakikatnya ia sudah menerima Islam dalam pengertian kepasrahan yang tulus46. Agama adalah satu keinginan akan suatu cara hidup yang benar dan melakukan pemerataan cara hidup yang demikian. Keinginan tersebut merupakan desakan dari rasa kesadaran terhadap kebenaran yang diyakini, sekaligus sebagai tuntutan kesemestaannya. Sumber agama itu sendiri adalah kosmos dan dan dunia metafisis. Keinginan yang timbul dari dunia metafisis itulah inti ajaran semua agama. Dalam hal ini agama bersifat pribadi sekaligus universal. Dikatakan pribadi karena agama merupakan pengalaman seseorang, namun hal itu sesuai pula dengan kebutuhan dan keinginan umum (universal) dari hati manusia. Berdasarkan kerangka ini, maka harus disusun suatu agama universal yang memenuhi kebutuhan segala suku bangsa dengan cara rekonsepsi. 46 Jalaludin Rakhmat, Islam dan Pluralisme, Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan, (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta,2006), h. 48-51 150 Ajaran-ajaran agama digali, diambil dan dituangkan untuk kemudian diberlakukan secara universal. Dalam hal ini setiap pemeluk agama tetap tinggal pada agamanya masing-masing, tetapi dalam agama tersebut harus dihidupkan unsur-unsur yang baik dari agama lain sehingga tercipa “koeksistensi religius” bagaikan sungai-sungai besar mengalir menjadi satu47 Maka dalam konteks agama-agama, yang harus menjadi pijakan adalah kesadaran tentang keragaman syariat. Sebagai jalan menuju Tuhan, syariat disebutkan dalam al-Quran tidak hanya satu. Setiap umat mempunyai syariat yang bertujuan untuk menguji mereka dan berpacu dalam kebaikan. Tuhan sebenarnya mempunyai kekuasaan untuk menjadikan syariat dalam satu bentuk. Tapi Dia memilih untuk menjadikan anekaragam syariat agar setiap hamba-Nya memilih yang sesuai dengan kehendak hati nurani dan akal budinya (QS. Al Maidah, 5: 48) ﻪ ﻠﹶﻴﺎ ﻋﻨﻤﻴﻬﻣﺎﺏﹺ ﻭﺘ ﺍﻟﹾﻜﻦ ﻣﻪﻳﺪ ﻳﻦﻴﺎ ﺑﻗﹰﺎ ﻟﱢﻤﺪﺼ ﻣﻖ ﺑﹺﺎﻟﹾﺤﺎﺏﺘ ﺍﻟﹾﻜﻚﺂﺇﹺﻟﹶﻴﻟﹾﻨﺃﹶﻧﺰﻭ ﺎﻠﹾﻨﻌﻜﱡﻞﱟ ﺟ ﻟﻖ ﺍﻟﹾﺤﻦ ﻣﺂﺀَﻙﺎ ﺟﻤ ﻋﻢﺁﺀَﻫﻮ ﺃﹶﻫﺒﹺﻊﺘﻻﹶﺗﻝﹶ ﺍﷲُ ﻭﺂﺃﹶﻧﺰ ﺑﹺﻤﻢﻬﻨﻴﻜﹸﻢ ﺑﻓﹶﺎﺣ ﻲ ﻓﻛﹸﻢﻠﹸﻮﺒﻦ ﻟﱢﻴﻟﹶﻜﺓﹰ ﻭﺪﺍﺣﺔﹰ ﻭ ﺃﹸﻣﻠﹶﻜﹸﻢﻌﺂﺀَ ﺍﷲُ ﻟﹶﺠ ﺷﻟﹶﻮﺎ ﻭﺎﺟﻬﻨﻣﺔﹰ ﻭﻋﺮ ﺷﻨﻜﹸﻢﻣ ﻴﻪ ﻓﻢﺎ ﻛﹸﻨﺘﺌﹸﻜﹸﻢ ﺑﹺﻤﺒﻨﺎ ﻓﹶﻴﻴﻌﻤ ﺟﻜﹸﻢﺟﹺﻌﺮ ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺍﷲِ ﻣﺍﺕﺮﻴﺒﹺﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﹾﺨﺘ ﻓﹶﺎﺳﺎﻛﹸﻢﺂﺀَﺍﺗﻣ (٤۸ ﻔﹸﻮﻥﹶ )ﺍﳌﺎﺋﺪﺓﻠﺘﺨﺗ “Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu 47 Said Agil Husain Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama…, h.202 151 diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” (QS. Al Maidah, 5: 48)48 Akal budi merupakan salah satu anugerah Tuhan kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya. Keanekaragaman dalam syariat secara sosiologis diperkuat oleh kenyataan bahwa Tuhan mengutus para nabi untuk memberikan kabar gembira dan peringatan. Tidak hanya itu, para nabi juga dibekali kitab suci sebagai pegangan bagi tata khidupan yang lebih baik. Kitab suci tersebut diharapkan dapat menjadi penengah diantara berbagai masalah yang dihadapi oleh setiap umat ﻪ ﺎ ﺑﹺﻨﻴﺻﺎﻭﻣ ﻭﻚﺂ ﺇﹺﻟﹶﻴﻨﻴﺣﻱ ﺃﹶﻭﺍﻟﱠﺬﺎ ﻭﻮﺣ ﻧﻰ ﺑﹺﻪﺻﺎﻭﻳﻦﹺ ﻣ ﺍﻟﺪﻦ ﻟﹶﻜﹸﻢ ﻣﻉﺮﺷ ﲔﺮﹺﻛﺸﻠﹶﻰ ﺍﻟﹾﻤ ﻋﺮ ﻛﹶﺒﻴﻪﻗﹸﻮﺍ ﻓﻔﹶﺮﺘﻻﹶﺗ ﻭﻳﻦﻮﺍ ﺍﻟﺪﻴﻤﻰ ﺃﹶﻥﹾ ﺃﹶﻗﻴﺴﻋﻰ ﻭﻮﺳﻣ ﻭﻴﻢﺍﻫﺮﺇﹺﺑ ( ١۳ )ﺍﻟﺸﻮﺭﻯﻨﹺﻴﺐﻦ ﻳ ﻣﻪﻱ ﺇﹺﻟﹶﻴﺪﻬﻳﺂﺀُ ﻭﺸﻦ ﻳ ﻣﻪﺒﹺﻲ ﺇﹺﻟﹶﻴﺘﺠ ﺍﷲُ ﻳﻪ ﺇﹺﻟﹶﻴﻢﻮﻫﻋﺪﺎﺗﻣ “Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)”. (QS. Asy- Syura, 42 :13)49 Islam tidak hanya mengakui sebagai agama yang mendahuluinya dan mendukung kebebasan beragama saja. Tetapi lebih dari itu, Islam memiliki tujuan yang lebih jauh untuk merealisasikan manusia tertinggi. Tujuan itu adalah adanya persatuan yang menyeluruh di antara umat beragama untuk beriman kepada Allah, tanpa membeda-bedakan para utusan Allah. 48 49 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.168 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.785 152 Empat konsep dasar (tetralogi) etika religious Al-Quran yang juga mengandung gagasan paling penting mengenai kemanusiaan (idea of hummanity), khususnya dalam masalah hubungan sosial antarumat beragama adalh iman, islam, ihsan dan taqwa50. Istilah iman dan kafir atau bentuk-bentuk personal yang berhubungan, mu’min dan kafir adalah dua dari konsep religio-etis yang paling penting dan merupakan pusat dari selituh pemikiran Al-Quran. Secara semantic, istilah iman ini berasal dari akar kata a-m-n yang berarti “aman”, “mempercayakan”,”berpaling kepada”, “keyakinan yang baik”, “ketulusan”, “ketaatan”, atau “kesetiaan” 51. Akar kata a-m-n juga berarti “damai”, “tidak menghadapi bahaya”, atau “merasa aman dan terlindungi” serta berarti “pikiran merasa damai”. Bentuk keempatnya (amanat) mengandung makna ganda, yaitu “percaya” dan “menyerahkan keyakinan”. Iman sebagai respons pribadi kepada Tuhan, tidak dapat di batasi pada komunitas sosio-religius tertentu. Tetapi, iman sebagai keyakinan batin terdapat bersifat universal dan berlaku setiap manusia, termasuk di luar komunitas sosio_religios mukminun. Penolakan terhadap universal iaman ini, akan mengarah kepada penolakan universal Tuhan sendiri; dan penolakan terhadap universal Tuhan, berarti kufr52. Berarti bahwa iman tidak di batasi oleh komunitas formal keagamaan, melainkan setipa individu yang menjalankan berbagai cabang keimanan tersebut, dapat di sebut sebagai seorang mukmin. 50 Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…, 51 Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…, 52 Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…, h.130 h.130 h.135 153 Istilah al-Islam dalam Al-Quran mengandung pesan universal yang ditujukan bagi siapa pun yang tunduk patuh, memahaesakan Tuhan (bertauhid), bersikap pasrah dan mengikhlaskan diri dalam beribadah kepada-Nya53. Dalam pemahaman ini, maka al-Islam mencakup agamaagama yang beragam dan segala bentuk kewajiban, praktik keagamaan dan apa-apa yang telah menjadi bagian (keyakinan) mereka. Sehingga menurut Ridha, muslim sejati adalah orang yang tidak ternodai oleh dosa syirik, mengikhlaskan (tulus) dalam tindakan atau amalnya dan memiliki iman, dari komunias agama apapun, kapanpunm dan di tempat asal mana pun. Secara ringkas, konsep etiko-religius iman maupun islam memiliki makna dasar yang sama, yakni “selamat: atau “memberikan keselamatan” dan “aman” atau “memberikan rasa aman”. Dalam konteks kebinekaan agama, seseorang yang mengaku mukmin atau muslim, maka ia harus memberikan rasa aman dan keselamatan kepada yang lainnya, termasuk terhadap kaum beriman yang berbeda agama. Ihsan adalah kebaikan “tersembunyi” yang melampaui keadilan. Dalam pengertian ini, maka ihsan lebih tepat diartikan sebagai “kearifan”, bukan sekedar kebaikan, melainkan melampaui kebaikankebaikan54. Dalam konteks pluralisme agama atau hubungan sosial antarumat beragama-sebagaimana akan dijelaskan nanti—Al-Quran secara khusus memerintahkan untuk bersikap arif dalam melakukan dialog antar agama (Q.S .Al-Ankabut, 29 : 46)55 53 Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…, 54 Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…, h.137 h.159 55 Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim diantara mereka, dan katakanlah:"Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Ilah kami dan Ilahmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri". (Departemen Agama RI, AlQur’an dan terjemahnya..., h.635) 154 Ihsan dalam pengertian kearifan inilah yang merupakan pesan dasar atau menjadi spiritualias agama-agama. Dalam Al-Quran surat AlBaqarah, 2 : 11256, kata ihsan ini disebut dengan kata Islam sebagai logika kebajikan universal. Taqwa merupakan pesan dasar keagamaan yang sama bagi semua komunitas pemilik Kitab Suci. Taqwa itu merupakan wasiat atau pesan (keagamaan) lama yang selalu dipesankan oleh Tuhan kepada hambanya, tidak ada yang dikhususkan, karena melalui taqwa-sebagai sumber segala kebaikan-mereka akan meraih kebahagiaan dia kesuksesan dalam hidup57. Dalam Al-Quran surat Al-Hujurat (49): 13, “Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling ber-taqwa.” Tuhan menegaskan religio etis taqwa ini sebagai kriteria obyektif yang menjadi dasar hubungan antar bangsa, ras, suku, dan termasuk antar manusia secara keseluruhan. Dasar kemanusiaan yang ditunjukkan dalam teks diatas, adalah visi egalitarianisme atau kesetaraan manusia dihadapan Tuhan. Dalam konteks pluralism dan kerukunan antarumat beragama, visi egalitarianism ini mendasari wawasan kesetaraan antar kaum beriman, di mana antara mereka tidak ada yang lebih mulia atau kinasih Tuhan, kecuali jika mereka menjalankan pesan ke-taqwa-an. Dalam konteks kebhinekaan agama dan kesetaraan kaum beriman, sekaligus yang menjadi spiritualitas agama-agama adalah tawhid, iman, islam, ihsan dan taqwa. Seluruh konsep religio-etik ini mengajarkan pesan yang sama, yaitu pertama, menghargai adanya kebinekaan atau pluralisme beragama; dan kedua, mengakui egalitarianisme (equality) atau kesetaraan kaum beriman. 56 “Tidak demikian) dan bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Rabb-nya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hatil”.(Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., h.30) 57 Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama…, h.161 155 Konsep-konsep religio-etik ini pula yang menjadi dasar falsafah etika Al-Quran, dimana konsep baik dan buruk dalam konteks hubungan sosial antarumat beragama dapat didefinisikan, yaitu suatu hubungan sosial antarumat beragama dapat dianggap baik menurut Al-Quran apabila sejalan atau tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar memahaesakan Tuhan (tauhid), prinsip tunduk patuh dan pasrah kepadaNya (islam), serta sejalan dengan semangat prinsip keimanan. Kesalehan dan religious ketaqwaan, yakni memberi memberikan rasa aman, kedamaian dan perlindungan dari hubungan yang membahayakan. Sebaliknya, suatu hubungan sosial antarumat beragama dianggap buruk apabila keluar dari kerangka tauhid (prinsip memahaesakan Tuhan), prinsip tunduk patuh dan pasrah kepada-Nya (Islam), serta tidak sejalan dengan semangat prinsip keimanan, kesalehan dan religious ketaqwaan. “Dan janganlah kamu memaki sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap ummat memandang baik perbuatan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekanlah tempat mereka kembali, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. “(Q.S Al – An’am, 6 :108)58 Klaim kebenaran (truth claim) ini merupakan karakteristik dasar dan identitas suatu agama, tidak ada agama tanpa klaim kebenaran, Sebab, tanpa adanya truth claim yang oleh Withead disebut sebagai dogma atau oleh Fazlur Rahman disebut sebagai normative (transedent aspect), maka agama sebagai bentuk kehidupan (form of life) yang distinctive tidak akan memiliki kekuatan simbolik yang menarik pengikutnya. Ashley Montagu, salah seorang Anthropologi Barat, menamakannya sebagai emosi keagamaan (religious emotional). Menurutnya, emosi keagamaan merupakan salah satu unsur framework agama yang bersifat universal. 58 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya..., 205 156 Seseorang belumlah dikatakan memahami ajaran Islam dan menangkap intinya, jika, mengesampingkan konsep keadilan sosioekonomi, persamaan jenis kelamin, ras dan kebebasan, serta menghargai harkat dan martabat manusia. Salah satu pemikiran penting dari doktrin tauhid bukan hanya melahirkan kesadaran akan keesaan atau kesatuan ketuhanan (united of god), melainkan juga harus melahirkan kesadaran akan kesatuan kemanusiaan (united of makind). Jika Tuhan adalah Esa, maka umatnya pun dalah esa, dalam arti bahwa manusia merupakan ummat yang satu, dank arena itu memiliki derajat yang sama. 3. Kesatuan Teologis Dalam pembahasan ini, penulis ingin menegaskan tentang keberagaman teologis pada agama-agama. Keberagaman teologis tersebut sebenarnya akan bertemu pada satu titik persamaan yang akan kita bahas lebih lanjut dalam pembahasan ini. Bila boleh disepakati bahwa ide teologis adalah ide ketuhanan atau konsepsi ketuhanan yang menjadi dasar ajaran pada setiap agama,maka konsepsi-konsepsi tersebut akan mengacu pada keseragaman atau apa yang disebut sebagai kesatuan ketuhanan Berangkat dari ide wahdat al-Wujud yang mengajarkan bahwa semua eksistensi yang ada pada dasarnya menuju satu substansi, maka kesatuan teologis disini, mencoba mengajukan sebuah pemahaman bahwa semua konsepsi tentang ketuhanan sebenarnya hanyalah ingin menjelaskan tentang Tuhan itu sendiri yang oleh manusia dipahami dalam bingkai-bingkai teologis yang berbeda. Keberagaman teologis sepenuhnya adalah bagian-bagian yang tersebar dalam pemahaman manusia tentang Tuhan. Keberagaman teologis tersebut tidak lain adalah berbagai ungkapan yang dituju untuk menegaskan tentang keesaan Tuhan. Keesaan Tuhan atau yang kita kenal dengan istilah Tauhid adalah pokok ajaran agama-agama monoteisme. 157 Oleh sebab itu, pada agama-agama monoteisme akan terjalin suatu kesatuan teologis59. Secara lebih umum dan universal, maka kesatuan teologis mencakup semua ide ketuhanan baik itu monoteisme ataupun politeisme, karena Tuhan itu satu, Tuhan pencipta, Tuhan yang disembah adalah Tuhan Yang Esa. Dalam hal ini, mengesakan Tuhan berarti meyakini bahwa Tuhan seluruh umat manusia, Tuhan semua agama adalah Tuhan yang sama, Tuhan yang Satu, Yang Esa. Inilah bukti pemurnian tauhid yang sebenarnya. Tauhid menolak adanya kontradiksi dan disharmonisasi pandangan tentang Tuhan, karena itu dalam pandangan tauhid tidak dibenarkan adanya eksistensi lain yang melebihi Tuhan. Puncak penegasan tauhid dalam agama Islam adalah kalimat “Laa Ilaaha Illa Allah” yang berarti “Tiada tuhan selain Tuhan”. Bila kita telaah lebih dalam, kalimat tersebut meniadakan “tuhan” ( dengan huruf “t” kecil) dalam pengertian partikular yang dipahami berbeda/berlainan, selain “Tuhan” ( dengan huruf “T” besar) dalam pengertian universal yang dipahami sebagai pokok inti dari semua penyembahan menuju pada yang Satu). Oleh sebab ia partikular maka dari segi etimologi “tuhan/ilah” berbeda dengan Tuhan “Allah”. Kata ilah menunujukkan tuhan-tuhan sesembahan manusia dalam persepsi, pengenalan dan konsepsi manusia (yang juga dipengaruhi oleh sosio-historis dan tradisi dimana seseorang/masyarakat itu hidup), tetapi kata “Allah” menunjukkan Tuhan yang Satu, Tuhan yang wajib disembah, yang dapat diketahui/dikenal dengan peleburan persepsi dan konsepsi yang mengikat akal manusia dari berbagai belenggu sejarah dan tradisi. Oleh sebab itu, Tuhan (Ia yang sebenarnya) 59 Meskipun pada beberapa ajaran politeisme, tuhan-tuhan yang disembah adalah Manifestasi sifat-sifat tuhan yang digambarkan melalui bentuk, tetapi sesungguhnya mereka (penganut politeis) hanya mengimani (dan penyembahan mereka menuju) pada satu Tuhan saja. Dalam hal ini, politeisme tidak dapat kita golongkan pada tingkatan syirik karena syirik yang sesungguhnya adalah mengimani / tunduk pada selain Tuhan. Lihat : Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan, Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta : Friska Agung Insani, 2000), Cet.I, h.24-28 158 hanya dapat diketahui dengan hati yang suci, pendekatan rohani atau pengatahuan metafisik-esoterik, bukan dengan berbagai rangkaian nama, bentuk, persepsi, doktrin dan pengetahuan lahiriah. Bila kita umat Muslim yang mengenal istilah asma al-Husna, (sebagaimana kita ketahui bahwa asma al-Husna adalah nama-nama yang mencerminkan sifat-sifat Allah) kemudian dari setiap namanama/sifat-sifat Tuhan tersebut, kita memberi bentuk wujud sebagaimana yang dilakukan kaum pagan, apakah kita jatuh kepada musyrik, bila yang kita tuju atau kita imani hanya satu dari sekian banyak wujud manifestasi tersebut? Jawabannya bisa “ya”, bila kemudian manifestasi tersebut membuat kita kehilangan inti tauhid, manifestasi tersebut menjadi tandingan/sekutu bagi Tuhan, dan inilah yang terjadi pada masyarakat paganisme, arab jahiliyah, dan umat-umat nabi terdahulu yang menyimpang. Sehingga turun ajaran Islam. Oleh sebab itu Islam mengharamkan praktek paganisme karena dapat mengubur kemurniaan tauhid/keesaan Tuhan. Jawaban lainnya, bisa kita katakan “tidak” karena bagi mereka yang belum sampai pengetahuan seperti yang diajarkan Islam, tetapi mereka sama sekali tidak menyekutukan Tuhan, sesembahan-sesembahan tersebut adalah upaya mereka menginterpretasi kemahakuasaan Tuhan yang sulit untuk mereka kenali/definisikan. Itu berarti wujud manifestasi tersebut sebagaimana rangkaian wujud-wujud yang berasal dan menuju pada yang Satu. Bila itu yang terjadi apakah Tuhan akan menghukum mereka karena belum sampainya keterangan/petunjuk pada mereka dan dari keterbatasan pengetahuan mereka, sedangkan mereka dengan sepenuhnya menghamba kepada Tuhan tanpa menyekutukannya? 159 Bagi kita umat Islam, yang telah sampai kepada kita ajaran tauhid, maka semestinya kita dapat memahami dan membedakan bentuk penyembahan yang benar dan yang salah, apa yang dikatakan musyrik dan kafir, bukan menjatuhkan vonis negatif kepada umat lain hanya dengan alasan berbeda keyakinan/agama. Dengan demikian sesungguhnya banyak diantara umat Islam yang belum memahami dengan benar dan utuh inti ajaran tauhid ; yang berarti pembebasan (kepada) Tuhan dari berbagai hal yang dapat membatasinya, dan tanpa kita sadari, mungkin hingga saat ini kita masih membatasi keesaan Tuhan dengan pengetahuan yang relatif tentang-Nya. Pengakuan pada keesaan Tuhan (kesatuan ketuhanan) berarti juga pengakuan terhadap kesatuan penciptaan dan kesatuan kemanusiaan. Dalam hal ini tauhid mencakup tiga aspek yakni (ketuhanan), kosmologis (kealaman), dan aspek teologis antropo-sosiologis (kemanusiaan). Tiga elemen pokok ini bukan hanya dibahas oleh Islam tetapi juga oleh agama-agama lainnya60 Ismail Raji al-Faruqi menyatakan. Ismail Raji al-Faruqi menjelaskan bahwa asal semua agama adalah satu, karena bersumber pada yang satu, Tuhan. Agama yang menjadi asal semua agama ini disebut Ur-Religion, atau agama fitrah (din al-Fithrah) yang bersifat meta-religion, sebagaimana firman Allah “Maka hadapkanlah wajahmu kepada (Allah) dengan lurus; tetaplah pada fitrah Allah yang telah menciptakan manusia diatas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang benar, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. 30: 20). Islam mengidentikkan dirinya dengan “agama fitrah” ini. tetapi kemudian, sejalan dengan tingkat perkembangan sejarah, peradaban dan lokasi umat yang menerimanya, “agama fitrah” 60 Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan, Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam..., h.28 160 atau Ur-Religion tersebut berkembang menjadi agama historis atau tradisi agama yang spesifik dan beraneka (plural)61 Ia juga menyatakan bahwa mengakui Tuhan dan keesaanNya berarti mengakui kebenaran (QS. 11: 14, 14: 52, 16:2, 23:23,116, 39:5) dan kesatu-paduannya62. Kebenaran yang banyak (pluralitas kebenaran) itu didapatkan secara beragam pula oleh manusia untuk memahami kebenaran yang satu, atau kebenaran mutlak. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan itu sendiri, sumber dan pemilik kebenaran. Keesaan Tuhan dan kesatuan kebenaran tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan aspek-aspek dari satu realitas yang sama. Ini menjadi jelas karena kebenaran adalah satu sifat dari pernyataan tauhid, bahwa Tuhan itu tunggal. Ini berarti bila kita memahami kebenaran itu satu, berarti kita telah mengakui adanya kesatuan kebenaran, dan memahami Tuhan itu satu, berarti mengakui adanya kesatuan Tuhan63. Dengan tauhid seorang muslim diarahkan untuk memiliki pengetahuan yang benar dan positif tentang realitas yang ada (alam) dan yang adanya wajib ada (Tuhan), menolak segala bentuk kontradiksi dan paradoks dan sebaliknya mengakui keteraturan dan keharmonisan agar tidak terjebak dalam skeptisisme, mengakui adanya kebenaran absolutrelatif dan relatif-absolut; absolut-relatif, yakni memahami kebenaran mutlak (absolut) adalah kesatuan pengetahuan yang bertebaran dialam semesta dalam pola kerja sunnatullah (hukum kehidupan, hukum alam) 61 Muhammad Qorib, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi…, h.156 Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan, Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam..., h.32 63 Kita sering terjebak dengan kata “kesatuan” atau wahdat, yang sesungguhnya dimaksud bukanlah menyamakan atau mencampuradukkan kebenaran, perbedaan-perbedaan yang ada itu tetap pada porsinya masing-masing sebagai identitas yang mandiri namun disisi lain, identitasidentitas mandiri tersebut memiliki hubungan yang tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Pandangan yang menyamakan atau mencampuradukkan kebenaran (menurut penulis) jelas sangat keliru. Karena bagaimana kita mengatakan kesatuan tanpa adanya keragaman, kesatuan berarti memelihara keragaman. Inilah poros dan sistem yang berlaku dan tidak berubah. Begitupun sebaliknya, kata keragaman atau plural (baca : pluralisme) berarti menunjukkan adanya kesatuan dalam perbedaan/keragaman. Yang satu tersebut muncul (aktual/aktif) secara berlainan sebagai unsur dalam suatu sistem, kesatuan bukan berarti kesamaan. Karena “sama” yang dimaksud dalam hal sumber dan tujuan, tetapi wajib berbeda dalam hal fungsi dan eksistensinya. 62 161 sehingga kebenaran tersebut secara absolut berasal dari Tuhan untuknya (seseorang, kelompok atau yang lainnya) yang harus diimani secara mutlak akan tetapi itu akan menjadi relatif (bagian dari) pada kebenaran yang lain, dengan pemahaman inilah maka prinsip sunnatullah (hukum alam) tetap terjaga. sedangkan relatif-absolut, yakni kebenaran relatif (yang diperoleh manusia) itu akan tetap berada dalam pola Ilahiah selama ia tidak dipengaruhi oleh keinginan (nafsu) dan sangkaan (dzan) yang negatif, atau dapat dikatakan nilai-nilai substansinya adalah mutlak dan tidak hilang, karena Tuhan lah yang menghendaki dan mengatur pola kerja kehidupan dan alam, hal ini dalam ilmu tasawuf kita kenal dengan istilah tajalli (pancaran) Tuhan64. Lebih lanjut dikatakan bahwa yang benar tersebut tidak mutlak, karena yang mutlak adalah Tuhan dan hanya ada dalam pengetahuan-Nya sedangkan manusia hanya menangkap tajalli Tuhan sesuai dengan kemampuannya memahami ilmu Tuhan. Sehingga ia (kebenaran/pengetahuan manusia tentang Tuhan) adalah mutlak pada tataran esoteris dan relatif pada tataran eksoteris. Apa yang dimaksud dengan kesatuan? Pertama kita harus membedakan antara dua macam kesatuan yang mengikuti Thomas Aquinas dapat disebut “satu pada diri sendiri” (unum in se) dan “satu karena keterarahan” (unum ordinis). Yang kedua terdapat apabila beberapa unum in se terarah pada satu tujuan, misalnya kesatuan sekelompok orang. Unum ordinis kita biarkan saja. Yang primer adalah unum per se. sesuatu merupakan “satu pada dirinya sendiri” apabila sesuatu itu sedemikian bersatu sehingga dapat bertindak sendiri dan bagiannya hanya dapat ada dan bertindak dalam kesatuan yang satu itu. Manusia dan binatang merupakan “kesatuan pada dirinya sendiri”. Kesatuan itu juga disebut “substansial” yang mandiri. 65 64 Mohammad Irfan dan Mastuki HS, Teologi Pendidikan, Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam..., h.32-35 65 Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Jakarta : Kanisius, 2006), Cet.5, h.198 162 Berdasarkan teori Aquinas mengenai kesatuan diatas, maka kita bisa memberikan analogi kesatuan pada agama-agama. Agama merupakan unum in se atau satu pada dirinya sendiri, dalam hal ini agama merupakan bentuk kesatuan dari unsur-unsur yang membangunnya, agama merupakan bentuk kesatuan berdasarkan unsur historis, ajaran, tradisi, simbol dan lain sebagainya yang membentuk identitas sebuah agama. Sebuah agama merupakan kesatuan pada unsurunsurnya yang tidak terpisahkan sebagai identitas. Unsur-unsur dalam agama, kita katakan saja sebagai “satuan pengada”, semakin tinggi tingkat kemengadaan suatu pengada maka semakin jelas/terang kesatuannya, dan semakin rendah tingkat kemengadaannya maka semakin kabur kesatuannya66. Inilah yang disebut sebagai kesatuan berdasarkan kualitas67. Unsur atau satuan pengada pada agama merupakan “kualitas” yang dengan sendirinya mengokohkan identitas (agama). Bila unsur-unsur tersebut dipisahkan maka, agama tetaplah agama, hanya saja tingkat kualitasnya memudar dan identitasnya akan semakin kabur. Inilah yang menguatkan landasan pluralisme tidak menisbikan realitas agama, atau menghilangkan kualitas dan identitas suatu agama. 66 Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan…, h.199 Berdasarkan sifatnya, kesatuan dibedakan secara kuantitatif dan kualitatif. Kesatuan dalam kategori kualitatif, yakni apabila satuan pengada (unsur) nya terlepas maka kesatuan tersebut menjadi rendah kualitasnya. Misalnya manusia, (manusia terdiri dari kemajemukan seperti kepala, tangan, kaki dan lain sebagainya) bila unsur pengadanya semakin berkurang, maka manusia secara kualitas menjadi lemah/rendah. Lebih jauh lagi bila keterpecahan unsur (bagian tubuh dari manusia) tersebut melampaui ukuran, maka manusia akan mati. Begitupun agama, bila nilai-nilai sejarah, ajaran, simbol dan tradisi nya hilang maka agama tidak akan dikenal atau bahkan mati…, itulah sebabnya formalitas agama tetap dibutuhkan dan harus dipertahankan karena ia adalah identitas yang membedakan dari agama yang satu dengan agama yang lain. Kategori kedua adalah kesatuan berdasarkan sifat kuantitatif, pada kesatuan kuantitatif, apabila terjadi keterpisahan maka keterpisahan itu hanya pada kuantitas, penyatuan yang terjadipun diukur berdasarkan kuantitas. Misalnya pada sebuah batu bata (sebagai unum in se), bila batu bata tersebut dipatahkan menjadi dua, maka nilai kualitasnya adalah sama sebagai batu-bata (tidak ada pengaruh) hanya kuantitasnya yang berubah dari 500 gr misalnya menjadi 250 gr. Lihat : Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Jakarta : Kanisius, 2006), Cet.5, h.198 67 163 Selanjutnya, selain agama merupakan unum in se, sekaligus juga sebagai satuan pengada dalam satu keterarahan. (agama-agama yang terarah pada tujuan yang satu). Kesatuan agama merupakan unum ordinis, dalam hal ini keterarahan/kesatuan yang dimaksud adalah kualitas-kualitas, substansi-substansi, dan identitas-identitas agama akan mengarah pada sebuah kesatuan, dimana keterarahan menuju yang satu (kesatuan) itu, menjadi satu kualitas, satu substansi dan satu identitas. Disebut kesatuan adalah ; adanya kesatuan historis (asal agama adalah satu, agama fitrah atau meta-religion), nilai-nilai kesatuan ajaran agamaagama yang bersifat orisinil dan perennial, kesatuan simbol dan tradisi pada agama-agama menjadi satu yang dipahami secara tujuan esensi dibalik simbol-simbol dan tradisi-tradisi. Sementara itu, baik kesatuan dalam wahdat al-Adyan dan pluralisme, bila agama-agama (unsur pengadanya) dipisahkan secara kualitas (terpisah mandiri) dan identitas agama-agama dihilangkan maka dengan sendirinya melemahkan (kesatuan) dalam kualitas/substansinya tersebut. Sehingga tidak akan terbentuk kesatuan yang mapan, yang artinya juga tidak akan terbentuk suatu keterarahan/ tujuan, Yakni Tuhan (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un). Kesatuan utuh dapat terjadi bila unsur-unsur pengadanya berada pada posisi pertemuan yang menghimpun bukan keterpisahan yang menjauh. Sekarang mari kita analogikan kesatuan agama dengan kesatuan individu, misalnya pada pernikahan. Mereka (masing-masing individu) yang menikah mengatakan “kami telah menyatu”. Tentunya kita dapat memahami dengan jelas bahwa yang dimaksud “kesatuan” dari dua individu itu bukanlah kesatuan lahiriah/fisik melainkan kesatuan rasa/batin atau cinta. Karena walau bagaimanapun mereka tetaplah dua yang berbeda, namun dapat menyatu pada tujuan dan perasaan yang sama/satu. Bahkan pada aktivitas seksual yang dilakukan manusia tetaplah bukan merupakan kesatuan karena mereka tetap terpisah dan tidak ada persatuan fisik yang permanen terlebih lagi mereka tetap pada 164 peran dan fungsinya untuk pasangannya masing-masing, namun bila dikatakan aktivitas seksual sebagai cara penyatuan rasa cinta adalah benar, karena kebersamaan akan penyatuan itu hanya dirasakan dan ditemukan oleh mereka saja. Titik temu agama-agama adalah seperti pernikahan pada manusia, bila boleh penulis mengatakan; titik temu tersebut sebagai perkawinan esoteris agama-agama. Manusia dan agama mencari cinta, kebersamaan dan keparipurnaan. Namun yang harus dipertegas adalah, keparipurnaan tersebut dalam perspektif yang diinginkan manusia baru terwujud dengan/melalui pasangannya yang dianggap sebagai pelengkap dan yang menyempurnakannya.pandangan seperti ini adalah pandangan yang keliru, karena sejatinya manusia telah utuh dan paripurna, namun hal itu belum aktual tanpa eksistensi orang lain. Keparipurnaan tersebut justru teraktualisasikan dengan adanya pernikahan, sehingga seseorang dapat melihat dirinya yang utuh pada orang lain, menyadari keutuhan masingmasing dan menyadari keutuhan dari kesatuan mereka. Begitupun agama, agama adalah utuh dan paripurna, memiliki esensi, substansi dan identitasnya masing-masing. Aktualisasi terlihat dengan adanya penyatuan (kesatuan), dimana fungsi kesatuan adalah mengokohkan yang satu-mandiri dan yang jamak secara bersamaan. Agama yang satu secara fungsional akan saling mengaktualisasikan agama yang lain dengan eksistensinya sendiri. Kesatuan agama-agama menjamin keutuhan dan keparipurnaan setiap agama, kesadaran inilah yang ingin dicapai oleh wahdat al-Adyan dan pluralisme agama. Dan Supreme Tertinggi dari cinta, satu dan paripurna itu sendiri adalah Tuhan. 165 4. Ahl-al-Kitab Dan sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya. (QS. Ali-Imran [3] : 199) Dalam tradisi Islam, para mufassir senantiasa berpendapat, bahwa istilah Ahlul Kitab merujuk pada dua komunitas: Yahudi dan Nasrani. Dalam perkembangannya, sebagian kalangan mengembangkan pengertian Ahlul Kitab hingga semakin jauh dari apa yang telah dikaji oleh para ulama di masa lalu. Kata mereka, Ahlul Kitab dapat mencakup semua agama yang memiliki kitab suci; atau umat agama-agama besar dan agama kuno yang masih eksis sampai sekarang; seperti golongan Yahudi, Nasrani, Zoroaster; Yahudi, Nasrani, Majusi, Shabi’un, Hindu, Budha, Konghucu, dan Shinto68. Istilah Ahlul Kitab sendiri berasal dari dua kata bahasa Arab yang tersusun dalam bentuk Idhafah yaitu ahlu dan Al-kitab. Ahlu berarti pemilik , ahli, sedangkan Al- kitab berarti kitab suci. Jadi, Ahlul Kitab berarti, “Pemilik Kitab Suci”, yakni para umat nabi yang diturunkan kepada mereka kitab suci (wahyu Allah)69. Term Ahlul Kitab disebutkan secara langsung di dalam al-Qur’an sebanyak 31 kali dan tersebar pada 9 surat yang berbeda. Kesembilan surat tersebut adalah al-Baqarah, Alu ‘Imran, al-Nisa’, al-Maidah, al-Ankabut, al-Ahzab, al-Hadid, al-Hasyr, dan al-Bayyinah. Dari kesembilan surat tersebut hanya al-Ankabut lah satu-satunya yang termasuk dalam surat Makkiyah dan selebihnya termasuk dalam surat-surat Madaniyah 68 Lihat, misalnya, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (1992), dan Huston Smith, kata pengantar dalam Frithjof Schuon, The Trancendent Unity of Religions, (1984) 69 Klaim ini disandarkan atas argumen bahwa setiap kaum telah diutus bagi mereka nabinabi yang membawa risalah tauhid; umat-umat terdahulu berasal dari satu kesatuan kenabian; setiap kaum memiliki sirath, sabil, syari’ah, thariqoh, minhaj, mansakhnya masing-masing.. Siapa ahlul kitab? Dari : www.nsistnet.com, didownload pada 18 Desember2011 166 Ini mengisyaratkan bahwa interaksi dengan Ahlul Kitab baru berjalan intensif tatkala Nabi Muhammad SAW berada di Madinah. Ini dikarenakan bahwa di Kota Makkah sendiri pada waktu itu (periode Makkah) penganut agama Yahudi sangat sedikit. Adapun yang dihadapi Nabi SAW dalam dakwahnya adalah kaum musyrik penyembah berhala. (Muhammad Galib Mattola, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya70 Al-Quran juga menyebutkan bahwa kaum ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) memang tidak sama. Ada yang kemudian beriman kepada kenabian Muhammad saw. Jumlahnya sedikit (QS 2:88). Tetapi sebagian besar fasik. (QS 3:110). ”Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala) nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa.” 71 Perihal pluralisme agama yang hingga saat ini masih menjadi kontroversi, puncak determinasinya adalah dalam hal penentuan siapakah mereka yang disebut sebagai ahlul kitab? dan masih adakah ahli kitab hingga saat ini?. Karena hal inilah yang kemudian menjadi dasar pengharaman pluralisme. Mereka mengatakan bahwa ahlul kitab sudah tidak ada dikarenakan kitab suci (Yahudi dan Nasrani) sudah terselewengkan. Dari beberapa literatur yang penulis pelajari tentang ahlul kitab baik itu yang mengatakan ahlul kitab hanya dari golongan Yahudi dan Nasrani saja ataupun ahlul kitab itu tak terbatas hanya pada dua agama tersebut, mulai dari yang mengatakan ahlul kitab itu masih ada atau sudah tidak ada lagi, maka untuk menanggapi hal ini penulis berpendapat : 70 71 Siapa ahlul kitab? Dari : www.nsistnet.com, didownload pada 18 Desember2011 QS Ali Imran ayat 113-115 167 Mereka yang disebut ahlul-kitab oleh al-Quran hingga saat inipun masih ada, karena tidak mungkin ayat-ayat al-Quran (mengenai keberadaan ahlul kitab hanya di kurun waktu tertentu) – akan menjadi tidak relevan dengan zaman . Lalu siapakah sesungguhnya ahlul kitab itu? “Ahlul kitab adalah umat terdahulu yang diturunkan kepada mereka al- kitab/kitab suci (sebelum datangnya nabi Muhammad saw membawa agama Islam – al-Quran kitab suci umat Islam) baik itu dari golongan Yahudi dan Nasrani ataupun umat-umat terdahulu lainnya yang para nabinya tidak disebutkan dalam Al-Quran. Hal ini dikarenakan semua agama para nabi adalah agama tauhid. Untuk menjawabnya, mari kita telaah bagaimana al-Quran mengkategorikan kedudukan hati manusia. Secara garis besar manusia digolongkan pada “iman” yakni orang-orang yang menerima/meyakini, dan “kufur atau kafir” yakni orang-orang yang menolak/membangkang. Beriman berarti meyakini sebagaimana yang kita ketahui dalam rukun iman, jika ada manusia yang tidak mempercayai salah satu dari rukun iman tersebut maka ia termasuk golongan orang-orang yang membangkang yakni kufur/ kafir. Orang-orang beriman kemudian terpecah menjadi tiga golongan yakni, “fasik, munafik, dan syirik”. orang-orang yang beriman tetapi tidak menjalankan syariat agamanya maka mereka tergolong “fasik”. Orang-orang beriman yang mengkhianati agamanya atau menjadikan agama sebagai tameng kepentingannya disebut “munafik” itulah mengapa orang-orang munafik pada zaman rasulullah ditujukan kepada mereka yang meskipun perbuatannya menjalankan agama tetapi hatinya telah meninggalkan agama bahkan merusak agama. Sementara itu, Orang-orang beriman yang kemudian berpaling dari keimanannya, maka mereka digolongkan sebagai orang-orang syirik/musyrik. 168 Tidak seperti musyrik, orang munafik menyembunyikan pengingkarannya dan berselimut agama, sedangkan orang-orang musyrik dengan terang-terangan berpaling dari keimanannya. Musyrik diartikan sebagai tindakan men-dua-kan Tuhan. Lalu bagaimana membedakan antara syirik dengan kafir. Syirik lebih spesifik lagi dari kafir, syirik adalah pengingkaran terhadap keesaan Allah, sementara kafir adalah pengingkaran terhadap kebenaran/ayat-ayat Allah. Kafir lebih umum atau lebih luas pengertiannya dari syirik. Orang-orang syirik termasuk orang-orang kafir, perbuatan syirik dilakukan karena hatinya telah ingkar/kafir. Sehingga kata kafir lebih menunjukkan kepada “kata sifat” sementara kata syirik lebih menunjukkan kepada “kata kerja”. Sedangkan kata “muslimin” dan “ahlul kitab” adalah pembeda, ini dikarenakan derajat Islam dan Al-Quran lebih tinggi (sempurna) dibandingkan agama/kitab sebelumnya. Dalam hal ini al-quran menegaskan tentang adanya (keberadaan) ahlul-kitab yang masih berpegang teguh pada ajaran-ajaran nabi/kitab-nya (selain atau sebelum ajaran Nabi Muhammad Saw). Titik tekan pembedaan ini; mereka yang disebut ahlul kitab adalah yang masih berpegang teguh menjalankan perintah kitab sucinya atau ajaran agamanya, serta mengakui kebenaran Islam dan kerasulan Muhammad SAW. Golongan ini sudah beriman sehingga tidak ada anjuran bagi mereka untuk masuk agama Islam. Bila diantara golongan Ahlul kitab tidak mengimani nabi Muhammad dan al-Quran maka mereka termasuk golongan orang-orang kafir. Golongan ahlul kitab yang kafir (tdak mengimani al-Quran dan Nabi Muhammad) -inilah yang diserukan kepada mereka untuk memeluk agama Islam agar kembali kepada keimanannya. 169 Pengertian ahlul kitab sebagai “penerima kitab suci atau mereka yang diberi al-kitab”, adalah pengertian yang dangkal. Bila pengertiannya seperti itu maka kemungkinannya adalah; pada saat ini tidak ada lagi ahlul-kitab, karena hanya al-quran-lah yang terjaga keasliannya hingga akhir zaman sementara kitab-kitab yang lain telah mengalami perubahan, tidak otentik lagi. Semestinya ahlul-kitab dipahami sebagai orang-orang yang mengamalkan dan menjaga ajaran-ajaran kitab sucinya72. Kenyataan saat ini kitab suci mereka telah mengalami penyimpangan, namun ada beberapa ajaran yang tetap sama dan itu tetap mereka pegang teguh/jalankan. Jadi secara lengkap ahlul kitab diartikan sebagai golongan penerima kitab suci, mengakui kerasulan Muhammad dan kitab al-quran, serta menjalankan ajaran kitab sucinya masingmasing. Mereka inilah termasuk kedalam golongan orang-orang yang beriman. Definisi seperti ini yang nampak lebih sesuai dengan permaksudan al-quran tentang ahlul-kitab, disamping menyatakan masih adanya ahlul-kitab, pengertian ini juga mendukung kebenaran tentang relevansi ayat al-quran disepanjang zaman. Pluralisme dan wahdat al-adyan tentang batas toleransi beragama dalam hal ini (ahlul-kitab) adalah adanya pengakuan atau penerimaan terhadap kitab-kitab suci beserta ajaran-ajaran kebenaran/kebaikannya serta pengakuan atau penerimaan terhadap para pembawa risalah (agama) / yang kita yakini sebagai nabi atau rasul. Lebih jauh lagi dalam hal akidah, mengapa ahlul kitab yang sebenarnya tidak diserukan masuk Islam dikarenakan dalam kitab 72 Bagaimana menurut Anda bila ada istilah “Ahlul-Quran”, nampaknya kita akan sepakat bahwa yang disebut ahlul-quran adalah yang mengamalkan ajaranajaran al-quran, atau artinya bukan sembarang muslim saja dapat disebut ahlulquran. Begitupun dengan ahlul-kitab. Kita juga sering mendengar istilah ahlussunnah wal jamaah, lalu siapakah ahlussunnah wal jamaah itu? Ada dua jawaban, pertama; seluruh umat Islam sebagai penerima sunnah, kedua; hanya umat Islam yang benar-benar menjalankan sunnah rasulullah saw. Dan lagi-lagi kita akan lebih sepakat pada pengertian yang kedua. 170 suci mereka telah disampaikan ajaran untuk menyembah Tuhan yang Esa73. Sementara dalam hal penyembahan kepada Tuhan, maka hanya Tuhan lah yang mengetahui hambanya tersebut telah mengesakan-Nya atau tidak. 73 Bahkan dualitas, trinitas atau polities sekalipun meyakini adanya Tuhan sebagai Yang Tertinggi dan Ia (Yang Satu). Penyembahan (politeis) terhadap tuhan-tuhan mereka tidak lebih dari sekedar simbol/oknum dari sifat-sifat Tuhan (Yang Tertinggi). Dualitas sebagai baik dan buruk yang saling berperang hanyalah manifestasi untuk menunjukkan sifat penyayang dan murka Tuhan. Doktrin trinitas pada awalnya tidak lebih sebagai upaya penjabaran ke-Tunggal-an. 171 BAB V KONSEP WAHDAT AL-ADYAN DAN RELEVANSINYA DENGAN PLURALISME AGAMA A. Relevansi historis Berdasarkan analisis historis pada bab sebelumnya, wahdat al-Adyan dicetuskan al-Hallaj pada masa pemerintah Abbasiyah 'di bawah dominasi kekuasaan bangsa Turki (tahun 847-945 M/ 232-334 H). Wahdat al-Adyan kemudian menemukan menemukan momentumnya melalui ajaran-ajaran Ibn ‘Araby yang merupakan murid al-Hallaj. Ibn ‘Araby hidup pada masa Dinasti Muwahiddin (al-Mohad) yang sedang dipimpin oleh Khalifah Abu Ya’qub Yusuf bin Abdul Mu’min (551-580 H) lalu Khalifah Ya’qub bin Yusuf Al-Manshur (580-595 H). Keduanya merupakan tokoh sentral pencetus wahdat al-Adyan. Sedangkan pluralisme agama lahir dari gerakan reformasi pemikiran agama atau liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja Kristen pada abad ke-19. Kemudian pada awal abad ke-20, seorang teolog Kristen Jerman bernama Ernst Troeltsch mengungkapkan perlunya bersikap pluralis ditengah berkembangnya konflik internal agama Kristen maupun antar agama. Namun konsep ini baru terlihat jelas, setelah John Hick menggagas pluralisme agama dengan teologi globalnya. Hick merupakan tokoh terbesar dan terpenting dalam wacana pluralisme agama. Dialah orang yang paling banyak menguras 172 tenaga dan fikiran untuk mengembangkan, menjelaskan dan menginterpretasikan (wacana pluralisme agama) melalui gagasan dan teorinya (teologi global) ini secara masif. Dari aspek historis, wahdat al-Adyan dan pluralisme agama tidak memiliki geneologi yang sama, dalam arti kedua konsep ini tidak terkait satu sama lain dari sisi historisitasnya, keduanya tidak memiliki keterlibatan–keberlangsungan (waktu dan tempat) yang saling berkaitan. Dengan demikian, secara historis kita bisa melihat bahwa wahdat al-Adyan lahir terlebih dahulu sebelum pluralisme agama. Salah satu relevansi yang dapat ditemukan adalah apabila kita melihat aspek sosiologis lahirnya kedua paham tersebut yang diorientasikan untuk menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Namun itupun memiliki perbedaan dari kekhususannya, apabila wahdat al-Adyan merupakan gagasan yang lahir dari diskriminasi politik pemerintahan, maka pluralisme agama lahir dari semangat liberalisme dan globalisasi. B. Relevansi epistemologis Bila dilihat dari sudut pandang epistemologi para tokoh-tokoh penggagasnya, baik wahdat al-Adyan dan pluralisme agama juga tidak memiliki epistemologi yang berkaitan; dalam arti keduanya berlainan dari hujjah atau natijah keilmuan. Namun, bila mengacu pada relevansi filosofisnya, baik wahdat al-Adyan dan pluralisme agama, keduanya memiliki kesamaan, berkaitan dengan teori filsafat emanasi. Hal ini tertuang dalam ajaran Ibn ‘Araby tentang kesatuan wujud yang juga serupa dengan teori emanasi. Ajaran al-Hallaj tentang Nur Muhammad yang juga serupa dengan teori emanasi atau biasa diistilahkan dengan kata “tajalli” dalam kajian tasawuf. Lebih lanjut, gagasan epistemologi John Hick yang diilhaminya dari teori nomen dan phenomen Emanuel Kant, juga serupa dengan ajaran Ibn ‘Araby tentang al-Wahid wa al-Katsir (Yang Satu dan Yang Banyak). Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa relevansi 173 epistemologis tidak ditemukan dalam wahdat al-Adyan dan pluralisme agama. C. Relevansi Teologis Berdasarkan relevansi epistemologis, maka relevansi teologis wahdat al-Adyan dan pluralisme agama adalah ajaran keduanya tentang kesatuan teologis dan kesatuan Tuhan yang memandang bahwa apapun nama, simbol atau atribut (teologi) yang digunakan manusia untuk mengenal Tuhan, tidak akan secara penuh dan tuntas bagi manusia untuk mengenali – (pengenalannya) – kepada Tuhan yang sebenarnya. Adapun keragaman perbedaan nama, simbol dan atribut tersebut adalah sunnatullah yang merupakan kehendak Tuhan. Karena secara esensi, keragaman manusia berasal dari Pencipta (baca : Tuhan) Yang Satu, sebagai umat yang satu (kesatuan umat), dimana setiap umat memiliki rasul dan kitab yang satu (Kesatuan kenabian dan kitab suci) – yang walaupun berbeda syariat, namun esensi wahyu memilki nilai yang sama (satu), sehingga keragaman jalan / syariat/ agama pada dasarnya menuju satu yang sama, yaitu Tuhan, – atau kesatuan Tuhan (Unity of God). Kesatuan teologis diarahkan untuk memiliki pengetahuan yang benar dan positif tentang realitas yang ada (alam) dan yang adanya wajib ada (Tuhan), menolak segala bentuk kontradiksi dan paradoks dan sebaliknya mengakui keteraturan dan keharmonisan agar tidak terjebak dalam skeptisisme, mengakui adanya kebenaran absolut-relatif dan relatifabsolut; absolut-relatif, yakni memahami kebenaran mutlak (absolut) adalah kesatuan pengetahuan yang bertebaran dialam semesta dalam pola kerja sunnatullah (hukum kehidupan, hukum alam) sehingga kebenaran tersebut secara absolut berasal dari Tuhan untuknya (seseorang, kelompok atau yang lainnya) yang harus diimani secara mutlak akan tetapi itu akan menjadi relatif (bagian dari) pada kebenaran yang lain, dengan pemahaman inilah maka prinsip sunnatullah (hukum alam) tetap terjaga. 174 sedangkan relatif-absolut, yakni kebenaran relatif (yang diperoleh manusia) itu akan tetap berada dalam pola Ilahiah selama ia tidak dipengaruhi oleh keinginan (nafsu) dan sangkaan (dzan) yang negatif, atau dapat dikatakan nilai-nilai substansinya adalah mutlak dan tidak hilang, karena Tuhan lah yang menghendaki dan mengatur pola kerja kehidupan dan alam, hal ini dalam ilmu tasawuf kita kenal dengan istilah tajalli (pancaran) Tuhan. Relevansi teologis berikutnya adalah tentang pandangan eskatologi, yakni mengenai adanya jalan keselamatan dalam setiap agama. Bahwa manusia apapun agamanya, apabila selama didunia, mereka berbuat kebaikan dan kebenaran serta menyerahkan diri dengan tulus kepada Tuhan tanpa menyekutukannya maka sesungguhnya manusia dapat hidup berdampingan disurga. Ajaran-ajaran inilah yang dinilai paling kontroversial dari keduanya (wahdat al-Adyan dan pluralisme agama), karena menolak doktrin yang dimiliki setiap agama sebagai satu-satunya jalan keselamatan Salah satu yang menarik dari ajaran (wahdat al-Adyan dan pluralisme agama) tentang jalan keselamatan dalam setiap agama adalah pandangan mengenai sifat Tuhan itu sendiri, bila dalam pluralisme mengacu pada prinsip keadilan Tuhan, maka pada wahdat al-Adyan mengacu pada rahmat dan kasih sayang Tuhan. Dalam pandangan penulis, setiap agama memang dan pasti memiliki doktrinnya sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Dalam hal ini, apabila kita telaah lebih dalam; doktrin ini wajib dimilki oleh setiap agama agar para pemeluknya tetap konsisten dan komitmen terhadap keyakinan agamanya. Tidak ada satu agamapun yang menganjurkan pemeluknya untuk mencari agama lain atau melakukan konversi. Mengapa demikian? hal ini dikarenakan, agama merupakan paket-paket ajaran yang diterima manusia dalam bentuknya yang permanen, absolut, universal meski dalam waktu dan tempat tertentu dan terbatas. Dari sini kita bisa melihat adanya esensi yang tak berubah, sedangkan waktu dan kondisi selalu berubah, 175 inilah mengapa kemudian Tuhan mengutus para rasul-Nya pada setiap umat. Dalam sejarah agama, tidak ada satu pun pembawa risalah (rasul) yang menyatakan ajarannya belumlah baku dan masih akan diteruskan oleh rasul lain, karena jika itu terjadi, maka tidak ada satu risalahpun yang dapat diterima, karena mengandung kelemahan logis serta keragu-raguan untuk diimani. Adapun mengenai terjadinya konversi agama, kita bisa meninjau hal ini disebabkan banyak faktor, baik itu psikis, interesekonomis maupun interes-politis, namun bila kita mau lebih bijak, bukankan manusia dianugerahi Tuhan berupa akal dan hati untuk dioptimalkan dan dengannya pula manusia diberikan kebebasan dan kehendak untuk memilih. Yang perlu kita lakukan adalah memelihara kebebasan dan kehendak tersebut tanpa harus memaksa dan menyalahkan keyakinan orang lain. D. Relevansi Sosio-humanis Orientasi wahdat al-Adyan pluralisme agama adalah manusia itu sendiri, yakni kehidupan yang harmonis dalam berbagai perbedaan. Adapun mengenai relevansi privatis-humanis, nampaknya kita sepakat bahwa prinsip yang yang ditawarkan wahdat al-Adyan dan pluralisme agama adalah nilai-nilai kemanusiaan berupa hak asasi dan kebebasan. Sedangkan untuk sosial kemanusiaan, maka nilai-nilai yang diusung adalah etika universal untuk mewujudkan toleransi, demokrasi dan perdamaian. Dasar kemanusiaan dalam pluralisme agama dan wahdat alAdyan, adalah visi egalitarianisme atau kesetaraan manusia dihadapan Tuhan. Dalam konteks pluralism dan kerukunan antarumat beragama, visi egalitarianism ini mendasari wawasan kesetaraan antar kaum beriman, di mana antara mereka tidak ada yang lebih mulia atau kinasih Tuhan, kecuali jika mereka menjalankan pesan ketakwaan. Dalam konteks kebhinekaan agama dan kesetaraan kaum beriman, sekaligus yang menjadi spiritualitas agama-agama adalah tawhid, iman, islam, ihsan dan taqwa. Seluruh konsep religio-etik ini 176 mengajarkan pesan yang sama, yaitu pertama, menghargai adanya kebinekaan atau pluralisme beragama; dan kedua, mengakui egalitarianisme (equality) atau kesetaraan kaum beriman. Konsep-konsep religio-etik ini pula yang menjadi dasar falsafah etika Al-Quran, dimana konsep baik dan buruk dalam konteks hubungan sosial antarumat beragama dapat didefinisikan, yaitu suatu hubungan sosial antarumat beragama dapat dianggap baik menurut Al-Quran apabila sejalan atau tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar memahaesakan Tuhan (tauhid), prinsip tunduk patuh dan pasrah kepadaNya (islam), serta sejalan dengan semangat prinsip keimanan. Kesalehan dan religious ketaqwaan, yakni memberi memberikan rasa aman, kedamaian dan perlindungan dari hubungan yang membahayakan. Sebaliknya, suatu hubungan sosial antarumat beragama dianggap buruk apabila keluar dari kerangka tauhid (prinsip memahaesakan Tuhan), prinsip tunduk patuh dan pasrah kepada-Nya (Islam), serta tidak sejalan dengan semangat prinsip keimanan, kesalehan dan religious ketaqwaan. Tuhan Maha Kasih dan Maha Adil. Sekali-kali Dia tidak akan menghukum dan menyakiti kita kecuali amal kita sendiri yang akan memberikan kenikmatan atau kesengsaraan dalam serial drama hidup berikutnya. Karena kasih-Nya, Tuhan selalu menyeru dan membuka Diri bagi hamba-hamba-Nya yang memerlukan pertolongan-Nya. Setiap saat selalu terbuka sebuah jalan lurus yang menghubungkan seseorang dan Tuhan, Cara untuk mendekatkan, atau bahkan menyatukan, dua kutub itu ialah melalui medium iman dan pencarian kebenaran secara tulus dan kontinyu menuju Sang Kebenaran itu sendiri, lalu dituangkan dan diabadikan melalui tindakan nyata berupa amal saleh. Iman pada Tuhan, meyakini hari kebangkitan serta setia untuk selalu beramal saleh adalah inti dari semua ajaran agama maupun teosofi, sebuah kebajikan abadi dan universal, meskipun pemahaman, pendekatan dan perwujud-annya selalu berciri lokal dan partikular. 177 Sikap dan inti ajaran semacam itulah pencarian tulus yang kontinu dan meyakini adanya Tuhan, Hari Kebangkitan, dan setia untuk selalu beramal saleh yang tampaknya harus menjadi keyakinan bagi para manusia bumi ini. Sehingga keseimbangan dzikir dan pikir, psikis dan fisik, jasmani dan ruhani, individu dan sosial, keselamatan dunia dan akhirat, tetap terjaga, dan selalu terhias dalam segala perilaku keseharian. Wallah'u a'lam bi al-shawwab. E. Orientasi Logis (Membangun Paradigma Teologi Universal) Untuk menyusun paradigma baru bingkai teologi universal, maka bagian yang juga penting bagi seseorang adalah merekonstruksi atau mempersepsi kembali agama-agama dalam sistem paradigma lama yang telah usang dan jauh dari kesejatian misi agama-agama. Misi suci agamaagama dalam sejarahnya dilumuri oleh interes para pemeluknya untuk kemudian paradigma tersebut mengakar dalam doktrin dan budaya keagamaan. Paradigma tersebut harus diformat sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi misspersepsi, yang diakibatkan dari kesalahan interpretasi antar agama, yang tentu saja mis-sinterpretasi tersebut adalah produk paradigma yang salah pula yang diajarkan oleh para pemuka agama. Lalu bagaimana menyusun paradigma misi keagamaan yang tepat dalam kaitannya dengan landasan dan cita-cita pluralisme. Beberapa paradigma yang harus diubah tersebut adalah: Pertama, klaim kebenaran dan keselamatan, dalam paradigma lama, kegiatan misi agama penuh dengan prasangka teologis, sehingga bagi mereka yang berbeda dengan keyakinan yang dianutnya dapat dengan mudah divonis ”kufur atau kafir”. Dalam paradigma baru, sifat yang dikembangkan adalah mutual respect (saling menghormati), mutual recognition (saling mengakui eksistensi), positive attitude and thinking (berpikir dan bersikap positif), dan enrighment of faith (saling memperkaya iman). Sikap lain yang perlu dkembangkan adalah relatively- 178 absolute atau absolutely-relative (bahwa apa yang saya miliki adalah benar, tetapi tetap relative bila dikaitkan dengan yang lain). Kedua, amal saleh, dalam paradigma lama, kompetisi misi agama dilakukan untuk menguasai pasar sendiri dan orang lain secara tidak sehat dan sering melanggar etika sosial bersama, maka dalam paradigma baru kompetisi harus berjalan secara sehat dan menaati hukum yang telah disepakati. Ditengah perbedaan agama dan spiritualitas, setiap pemeluk dituntut untuk berkompetisi menjalankan kebaikan (fastabiq al-Khairat). Ketiga, misi dakwah, bila dalam paradigma lama orientasi misi agama adalah peningkatan kuantitatif (jumlah penganut) dan konversi dari agama lain kepada agamanya, maka dalam paradigma baru orientasinya adalah pengembangan internal umat atau peningkatan secara kualitatif – kehidupan beragama – para pemeluk agama (intensity of te quality of both devotion to God and righteous living) dan konversi dalam komunitas (conversion with in one’s own community and tradition). Dalam paradigma baru ini, selama seseorang merasakan dia adalah obyek kepentingan terselubung hanya demi alas an-alasan politis atau tujuan konversi, maka tidak akan ada kontak alami manusiawi yang merupakan prasyarat penting pertemuan antar agama. Keempat, bila dalam paradigma lama, misi seringkali mengundang pertentangan yang membawa kekerasan. Maka dalam paradigma baru, kegiatan misi agama harus membawa persaudaraan universal. Imbauan agama-agama sebaiknya mengacu pada common platform dan nilai-nilai esoteris sehingga sehingga setiap agama dapat mentransformasikan teologinya masing-masing terhadap agama lain. Kelima, bila dalam paradigma lama, agama-agama lebih menekankan aspek formal, ritual, simbolik, dan karenanya dogmatis dari doktrin agama, maka dalam paradigma baru, prioritas program keagamaan adalah pemberdayaan keyakinan, sikap dan perilaku keagamaan yang lebih substantif. Ritualitas keagamaan dimaknai secara substantive sehingga 179 sikap keagamaan lebih rasional dan membawa kemanfaatan yang lebih praktis dan konkrit. Keenam, bila dalam paradigma lama, metode pengembangan misi agama lebih bersifat emosional dan sering kurang jujur dalam melihat agama-agama lain, maka dalam paradigma baru yang perlu dikembangkan adalah metode kebijakan (hikmak, wisdom), keteladanan (mau’idzah hasanah), dan dialog (jadal bil ahsan). Oleh karena itu, pemaksaan, indoktrinasi dan debat kusir tidak mendapat tempat dalam paradigma baru1. Dalam sub-bahasan ini, paradigma baru teologi universal yang penulis maksud, adalah nilai-nilai universal (kebenaran dan kebaikan) yang terdapat pada setiap agama. Bahwa terdapat esensi Ilahiah (makna dasar) pada setiap ajaran agama sebagai jalan dan tujuan untuk mencapai-Nya. Untuk kemudian ajaran atau nilai-nilai universal tersebut dijadikan sebagai bangunan paradigma teologis. Paradigma teologi universal merupakan bentuk keimanan sejati, dikatakan sejati karena mengacu pada ajaran tauhid (Laa ilaha illa Al-Ilah), keyakinan terhadap Yang Satu (Tuhan) itu meniscayakan pluralitas kehendak-Nya bagi manusia melalui agamaagama. Tuhan menghendaki adanya pemahaman partikular untuk mengenal-Nya, sebagai bukti kemaha-luasan-Nya dan ketidak terbatasanNya terhadap pengetahuan manusia untuk diketahui. Namun dibalik realitas yang partikular tersebut ada substansi absolut sebagai pengejawantahan keberadaan-Nya (al-Awwal wa al-Akhir) yang hanya mungkin dicapai dengan penyerahan diri yang tulus kepada-Nya (alIslam). Pemeluk agama diharapkan dapat memahami makna dasar dan tujuan universal pada setiap agama yakni membentuk relasi antara manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan sesama. Maka dalam hal ini yang menjadi penekanannya adalah ketakwaan dan amal saleh. Sedangkan untuk teologi universal itu sendiri, adalah pedoman yang gunakan pada 1 Muhammad Ali, Teologi Pluralis Multikultural : Menghargai Kemajemukan, Menjakin Kebersamaan…, h.13-15 180 saat seseorang dihadapkan dengan teologi atau agama lain, disatu sisi ia berpegang teguh pada teologi agamanya, namun disisi lain ia menyadari dan secara proporsional menempatkan paradigma teologi universal untuk berhadapan dengan teologi/agama lain. Karena agama adalah satu keinginan akan suatu cara hidup yang benar dan melakukan pemerataan cara hidup yang demikian. Keinginan tersebut merupakan desakan dari rasa kesadaran terhadap kebenaran yang diyakini, sekaligus sebagai tuntutan kesemestaannya. Sumber agama itu sendiri adalah kosmos dan dan dunia metafisis. Keinginan yang timbul dari dunia metafisis itulah inti ajaran semua agama. Dalam hal ini agama bersifat pribadi sekaligus universal. Dikatakan pribadi karena agama merupakan pengalaman seseorang, namun hal itu sesuai pula dengan kebutuhan dan keinginan umum (universal) dari hati manusia. Berdasarkan kerangka ini, maka harus disusun suatu agama universal yang memenuhi kebutuhan segala suku bangsa dengan cara rekonsepsi. Ajaran-ajaran agama digali, diambil dan dituangkan untuk kemudian diberlakukan secara universal. Dalam hal ini setiap pemeluk agama tetap tinggal pada agamanya masingmasing, tetapi dalam agama tersebut harus dihidupkan unsur-unsur yang baik dari agama lain sehingga tercipa “koeksistensi religius” bagaikan sungai-sungai besar mengalir menjadi satu2 F. Orientasi Etis (Mencitakan Agama Masa Depan) Secara empiris adalah suatu kemustahilan jika kita mengidealisasikan munculnya kebenaran tunggal yang tampil dengan format dan bungkus tunggal, lalu ditangkap oleh manusia dengan pemahaman serta keyakinan yang seragam dan tunggal pula. Namun begitu setidaknya kita akan sependapat bahwa selama perbedaan agama merupakan pilihan pribadi dan tidak mendatangkan gangguan sosial, maka kita seyogyanya bersikap toleran. Hanya saja jika pandangan dan perilaku keagamaan seseorang atau kelompok sudah 2 Said Agil Husain Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama…, h.202 181 menjurus pada tindakan dan provokasi anti-sosial, maka eksesekses itu tidak bisa lagi ditolerir. Istilah "bersikap toleran" tetapi harus berpegang teguh pada etika dan tata-krama sosial serta tetap menghargai hak-hak individu untuk menentukan pilihan hidupnya masing-masing secara suka rela, sebab pada hakikatnya hanya di tangan Tuhanlah pengadilan atau penilaian sejati akan dilaksanakan. perlu kiranya kita memperhatikan dan membangun iklim dialogis bagi hubungan antar pemeluk agama yang ada. Untuk itu, setiap agama paling tidak diisyaratkan memiliki tiga prinsip dasar, sebagai acuan dasar dialog dan landasan akan adanya tantangan pluralisme. Pertama, bahwa Yang Satu bisa dipahami dan meyakini dengan berbagai bentuk dan tafsiran. Bahwa dalam semua agama terdapat keyakinan dan pengalaman mengenai suatu Realitas yang mengatasi konsepsi yang dibangun oleh manusia. Pikiran dan bahasa agama berusaha mewadahi dan menjelaskan, tetapi tidak mungkin bisa menerangkan sampai, tuntas. Kedua, yaitu bahwa banyaknya bentuk dan tafsiran mengenai Yang Satu itu harus dipandang hanya sebagai "alat" atau "jalan" menuju ke Hakikat Yang Absolut. Ketiga, yaitu bahwa karena keterbatasan dan sekaligus kebutuhan kita akan komitmen terhadap suatu pengalaman partikular mengenai realitas yang transenden dan absolut, maka pengalaman partikular kita, meskipun terbatas, akan berfungsi dalam arti yang sepenuhnya sebagai kriteria yang mengabsahkan pengalaman keagamaan pribadi kita sendiri3. Secara historis-sosiologis, agama-agama besar yang berkembang dewasa ini lahir pada satu masyarakat parokhial atau regional, bukannya masyarakat terbuka (open society) sebagaimana yang kita temukan sekarang ini Bagi masyarakat tradisional agama parokhial itu sangat besar fungsinya untuk memelihara kohesi, integritas, dan sumber makna hidup bagi mereka di saat nilai-nilai baru yang asing secara ekspansif merembes 3 Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial…, h.77-79 182 ke dunia kognitif mereka. Namun begitu, buat lapisan atau kelompok masyarakat tertentu yang berada dalam jalur dan strata peradaban mondial sangat mungkin yang tengah berlangsung adalah sebaliknya, yaitu terjadinya proses eklektisasi nilai-nilai agama yang universal dan humanistik yang diambil dari agama-agama parokhial. Proses ini pada gilirannya akan mengantarkan bagi lahirnya agama atau setidaknya sikap keberagamaan baru dengan semangat serta teologi yang baru pula. Bisa saja seseorang mempertahankan nama sebuah agama tradisional dengan bangunan teologinya yang telah mapan. Tetapi, kita sulit mengelak suatu kenyataan bahwa pemikiran dan pemahaman orang tentang agama itu selalu berkembang dalam sejarah. Bahkan tidaklah terlalu salah untuk mengatakan bahwa agama yang kita pahami dan anut sekarang ini adalah agama produk sejarah4. Menurut para ahli psikologi, kapasitas penalaran manusia yang teraktualisasikan belum mencapai 13 persen. Bahkan mayoritas manusia masih di bawah 5 persen5, itu artinya, cara pandang manusia terhadap alam, terhadap dirinya, terhadap warisan sejarah serta paham agama yang dianutnya akan selalu mengalami evolusi dan bahkan lompatan paradigma.6 Oleh karenanya, salah satu kerja nalar adalah merobohkan tembok “frontier” yang menghadangnya, tetapi perburuan nalar manusia tidka pernah mencapai garis limit. Ketika umur dan prestasi keilmuan jutaan generasi manusia dijumlah, manusia semakin sadar bahwa “wilayah”kosmik yang ditemuinya jauh lebih besar ketimbang “peta” yang disusunnya. Ketika nalar tidak sampai untuk memahami misteri dan kompleksitas realitas semesta untuk memahami misteri dan kompleksitas realitas semesta maka disitulah Tuhan dihadirkan untuk menentramkan kebingungan kita. Namun, ketika sebagian teka-teki tersebut terpecahkan, 4 Komarudin Hidayat, Wisdom of Life…, h.51 Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial…, h.115 6 Komarudin Hidayat, Wisdom of Life…, h.52 5 183 maka posisi Tuhan lalu digeser lagi. Menurut Ibnu Arabi, sufi kenamaan, Tuhan akan hadir dan menyapa manusia sesuai dengan persepsi manusia tentang Dia. Bagi para mistikus, jalan masuk pada Tuhan yang dipilihnya adalah pintu Kasih, sehingga tuhannya para mistikus adalah Tuhan Sang Kekasih. Adapun para filosuf Tuhan hadir sebagai Dia Yang Maha Cerdas dan Kreatif. Demikianlah seterusnya pluralitas persepsi dan keyakinan orang tentang Tuhan akan selalu bertahan sepanjang zaman yang pada urutannya akan melahirkan dan mengawetkan pluralitas agama, pluralitas teologi dan pluralitas ideologi keagamaan. Manusia memiliki potensi kreatif yang tak terhingga untuk merancang hari depannya, maka hendaknya kita membebaskan diri dari keberagaman yang mekanistik dan manipulatif sebagaimana cara kerja ilmu pengetahuan modern memanipulasi alam. Seringkali tanpa disadari kita memposisikan Tuhan sebagai sumber kekuatan yang dieksploitasi untuk memuaskan ego kita, bukannya Tuhan sebagai sumber inspirasi dan kekuatan yang menumbuhkan dan membebaskan manusia dari rutinitas perintah kredo agama dan kredo tradisi yang memenjarakan. Keberagamaan seperti ini cenderung melahirkan konflik antara iman dan ilmu pengetahuan modern yang senantiasa melesat ke depan. Meminjam pendapatnya Arnold bahwa agama yang cocok untuk dunia modern adalah keberagamaan kaum sufi atau esoterisme Tao, karena keduanya dinilai sangat humanis, inklusif. dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip antropis dan hukum alam. Dengan ungkapan lain, agama masa depan yang ditawarkan adalah agama yang memperjuangkan prinsip-prinsip antropik-spiritualisme7., yaitu madzhab filsafat agama yang menempatkan manusia sebagai subyek sentral dalam jagad raya, tetapi inheren dalam kemanusiaannya itu tumbuh kesadaran spiritual yang senantiasa berorientasi pada Tuhan. 7 Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial…, h.116-117 184 Agama masa depan yang muncul bukanlah agama yang terpisah dan berbeda sama sekali dari agama-agama tradisional8. Berbeda dari teologi tradisional yang amat menekankan sabda Tuhan yang diwakili oleh lembaga agama dengan para tokoh-tokohnya yang cenderung doktriner, teologi agama masa depan lebih konsen pada persoalan lingkungan hidup, etika sosial, dan masa depan kemanusiaan, dengan mengandalkan pada kekuatan ilmu pengetahuan empiris dan kesadaran spiritual yang bersifat mistis. Secara epistemologis, agama masa depan menolak paham absolutisme, melainkan memilih apa yang oleh Swidler disebut deabsolutizing truth atau yang oleh Seyyed Hossein Nasr diistilahkan sebagai relatively absolute9. Dikatakan absolut karena setiap agama mempunyai klaim dan orientasi keilahian, tetapi semua itu relatif karena klaim dan keyakinan agama itu tumbuh dan terbentuk dalam sejarah. Johan Wolfgang von Goethe pernah membuat antisipasi tentang kemunculan agama eklektik ini dan dia menamakannya dengan "Islam", seperti dikutip oleh Annemarie Schimmel pada halaman awal bukunya: “How strange that in every special case one praises one's own way! If Islam means "surrender into God's will" it's in Islam that we all live and die” 10.. Tentu saja pengertian Islam yang digunakan oleh Goethe akan mengundang polemik. Tetapi setidaknya Goethe telah melihat tanda-tanda zaman akan munculnya kesadaran beragama yang baru, yang mengatasi tembok-tembok teologi agama tradisional meskipun tidak berarti agama tradisional lalu kehilangan otentisitasnya. 8 Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial…, h.117 9 Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial…, h.118 10 Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial…, h.118 185 Kajian terhadap pluralisme teologis yang memiliki semangat pencarian kebenaran dan memiliki dimensi kebingungan akhir-akhir ini semakin berkembang. Salah satu literatur yang mencoba memetakan kegelisahan ini disusun oleh Paul F. Knitter dalam bukunya No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes Toward the World Religions (1985). Menurut Knitter, ternyata banyak sarjana dari berbagai bidang keilmuan yang cenderung melihat dan mengakui adanya kesamaan esensial dari berbagai agama yang ada. "Deep down, all religions are the same —different paths leading to the same goal"11. Sebagaimana telah diulang-ulang dalam bab-bab sebelumnya, kebenaran yang sejati itu hanya satu, bersumber dari dan bermuara pada Yang Maha Benar. Hanya saja, manifestasi dari kebenaran itu selalu tampil dalam wujudnya yang plural. Dibalik pluralitas ini terdapat kebenaran tunggal, namun tidak mungkin diketahui secara tuntas oleh manusia sebab realitas metafisis-ontologis selalu berada di luar jangkauan manusia. Oleh karena-nya semua agama pasti hadir menyapa manusia dengan bantuan medium sejarah dan kultur. Dengan demikian pluralitas pemahaman agama merupakan keniscayaan teologis, psikologis, dan historis. Ini tidak berarti kita lalu menutup mata dari kemungkinan terjadinya penyimpangan dan pendangkalan ajaran agama yang agung itu. Hanya saja secara apriori semua manusia sesungguhnya ingin berpartisipasi memperoleh cahaya kebenaran dan jalan keselamatan yang ditawarkan oleh semua agama. Bahwa sejauh mana seseorang bisa mengenal dan memperoleh jalan keselamatan, secara teologis bisa saja diduga-duga. Namun begitu sehebat-hebatnya teologi tetap tidak mampu memastikan tingkat kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya serta tidak mampu menyajikan laporan yang valid tentang apakah seseorang tengah menapaki ataukah menjauhi jalan keselamatan. 11 Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial…, h.126 186 Kebenaran iman dan jalan keselamatan, oleh karenanya. merupakan obyek dan komitmen nurani dan akal sehat yang selalu didekati dan dipahami secara terus-menerus, bukannya sebuah situasi yang mapan, tuntas dan selesai12. Meskipun secara rasional kita menerima kenyataan adanya pluralitas agama dan berbagai tawaran jalan keselamatan eskatologis, namun setiap orang beragama selalu dituntut untuk menerima, mengakui dan meyakini bahwa hanya jalan keselamatan miliknya yang paling benar. Tanpa adanya keyakinan yang mantap dan sikap mengabsolutkan kebenaran imannya itu maka seseorang akan ragu dalam menjalani perintah agamanya Tanpa adanya keyakinan kuat bahwa jalan yang ditempuhnya adalah jalan lurus yang menghubungkan dirinya dan Tuhan, maka seseorang sulit untuk memperoleh kekhu-syu'an dan pencerahan spiritual. Pengalaman iman pada akhirnya adalah pengalaman subyektif, yang kadangkala merupakan pengalaman dari sebuah pendakian terjal, berat dan penuh risiko untuk sampai pada taman pencerahan yang bertahun-tahun baru bisa diraihnya. Agama di masa depan adalah sebuah agama yang akan dihayati sebagai sebuah wadah, ekpsresi dan manifestasi pencarian makna hidup manusia melalui aktualisasi kemanusiaannya13. Makna hidup yang sejati adalah yang bisa memberi tingkat ketenangan dan kepastian lebih tinggi ketimbang apa yang ditawarkan oleh agenda kehidupan yang rutin namun bernilai sementara14. Dengan kata lain, agama yang diperlukan oleh manusia pada setiap zaman adalah agama yang bisa memberikan sebuah pencerahan hati dan akal, agama yang mampu membebaskan manusia dari dominasi dan hijab duniawi, sehingga kesadaran transendentalnya menjadi tumpul. Agama bagaikan sebuah pohon yang selalu tumbuh bersama dan ditengah bumi 12 Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial…, h.132 13 Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial…, h.133 14 Komarudin Hidayat, Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial…, h.134 187 manusia. Akarnya selalu terhujam pada kesadaran nurani manusia, sementara jika pohon Ilahi ini memperoleh pupuk dari cahaya akal-budi maka pohon ini akan tumbuh menjulang dengan daunnya yang lebat dan buahnya yang subur. Demikianlah siklus agama yang terpaut dengan sejarah, pemikiran dan peradaban manusia. Sejarah berasal dari bahasa Arab yang berarti pohon (syajara)—akan selalu terkena hukum siklus dan pertumbuhan. Ada saat menguning, gugur, semi, dan mekar, namun akar-akarnya akan tetap menghunjam meskipun permukaannya mengenal perubahan karena perubahan musim. Begitupun agama, terdapat ruh yang perennial dan universal yang merupakan akar bagi eksistensi dan pertumbuhan-nya, meskipun manifestasi historis-sosiologis dari akar keagamaan selalu melahirkan keragaman warna dan identitas lokal yang semuanya bersifat temporer. Kita melihat bahwa semua agama pada akhirnya dihadapkan pada ujian mahkamah sejarah. Dalam pada itu manusia sendirilah yang tampil sebagai subyek dalam hakim yang merasa berkepentingan untuk menentukan sikap dan pilihan terhadap agama-agama yang ada. Kemanusiaan yang sejati akan merasa tentram hanya apabila bertemu dengan pemahaman dan penghayatan agama yang sejati. Tetapi, kesejatian beragama bukanlah ibarat peninggalan pakaian yang telah jadi dan tinggal pakai serta pas ukurannya untuk semua orang. Kesejatian dan kenikmatan beragama adalah hasil dari sebuah pencarian melalui pergulatan panjang, berupa upaya untuk menemukan makna hidup yang kadangkala makna itu muncul sebagai akumulasi pencarian oleh generasi yang satu diteruskan oleh generasi berikutnya. No peace among the nations without peace among religious . No peace among realigions without dialogue between the religions. No dialogue between the religions without investigation the foundation of the religions. 188 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Manusia dengan problematika dalam berbagai aspek kehidupannya menandakan bahwa manusia adalah makhluk dinamis, oleh karena itu sepanjang kurun sejarah kehidupan manusia didunia ini, kita akan melihat suatu bentuk dinamika yang senantiasa berubah-ubah. Manusia adalah makhluk yang dalam perkembangannya (dari dahulu hingga kini bahkan dimasa mendatang) mengalami proses evolusi baik secara intelektual, mental maupun rohani agar mencapai bentuk yang sempurna. Sedang agama berfungsi untuk membimbing akal, mental dan rohani manusia tersebut, maka agama-agama yang diturunkan Tuhan juga merupakan serangkaian perintah (evolusi syariat) yang menyertai dinamika kehidupan manusia sesuai dengan zamannya. Sebagaimana kita ketahui, evolusi syariat (agama yang dibawa para nabi), berakhir setelah munculnya agama Islam sebagai agama yang terakhir. Namun hakikat (agama) dari dahulu hingga saat ini tetaplah sama meski dibingkai dalam agama yang berbeda. Maka sesungguhnya proses evolusi tersebut secara hakikat belumlah 189 tergenapi bila manusia hanya terikat pada syariatnya saja. Dengan kata lain, Tuhan menyimpan hakikat dari agama-agama yang diturunkan-Nya untuk digenapi oleh manusia. Bila manusia memanfaatkan potensi intelektual dan spiritualnya maka manusia akan menemukan hakikat (kesempurnaan) dalam setiap agama. Sebagaimana diungkapkan pada bab-bab sebelumnya bahwa permasalahan yang paling mendasar sekaligus inti dari setiap agama adalah tentang keyakinan (akidah). Oleh sebab itu solusi terbaik adalah memberi ruang pemahaman terhadap akidah agama-agama tersebut dengan cara memisahkan garis eksoteris dan esoterismenya. Dalam konteks wacana agama-agama, kita sering mendengar istilah “titik temu agama-agama”. Berbeda dengan pluralisme yang lebih populer dan sering didengungkan dalam kajian filsafat dan ilmu pengetahuan keagamaan dewasa ini, nampaknya wahdat al-Adyan telah kehilangan momentumnya dan mulai terlupakan dalam kajian-kajian ilmu keislaman. Menurut hemat penulis, ada perbedaan unik diantara kedua konsep tersebut (pluralisme agama dan wahdat al-Adyan) dilihat dari embrio kemunculan dan perkembangannya. Perbedaan tersebut dapat diidentifikasi dari disiplin ilmu dan tradisi keagamaan yang berkembang. Wahdat al-Adyan merupakan ajaran yang lahir dan berkembang dari tradisi tasawuf pada masa kebangkitan Islam di Timur Tengah hingga Eropa yakni pada awal abad ke-11, beberapa sufi yang mengajarkan konsep ini diantaranya adalah al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi, Hazrat Inayat Khan, Muhaiyaden dan Jalaludin Rumi. Sedangkan pluralisme agama adalah ajaran yang lahir dan berkembang dalam tradisi filsafat Barat dan dan beberapa konsili gereja-gereja di Eropa pada awal abad ke-20 yang diusung oleh para sarjana dan teolog Kristen diantaranya adalah John Hick, Ernst Troeltsch, William E. Hocking, Arnold Toynbee dan Grover Cleveland. 190 Kedua ajaran tersebut mengantarkan kita memahami antara hal-hal yang bersifat partikular dan universal. Baik itu kemajemukan (ta’adud / plural) maupun kesatuan (unity / wahdat) mengajarkan bahwa segala sesuatu bersumber dari yang “satu” dan menuju pada yang “satu”. Perbedaan manusia tidak lagi dipandang dari agama yang dianutnya melainkan keimanannya kepada “Yang Satu” dan perbuatannya (amal salehnya) didunia ini. Perlu dipahami pula bahwa kedua ajaran ini sama sekali tidak bertujuan untuk menghilangkan bentuk/form agama-agama dan hanya melihat substansinya saja, karena tanpa bentuk (formalitas) agama akan kehilangan identitasnya dan tidak dapat dikenali, dengan formalitas agama, maka substansi dan misi agama menjadi aktual ketika agama tampil dalam bentuk yang nyata, lebih jauh lagi adalah dengan bentuk itu substansi agama menjadi fungsional dan operasional. Oleh karena itu dalam wacana pluralisme dan wahdat al-Adyan, kejamakan bentuk merupakan keniscayaan yang mengisyaratkan sebuah pemusatan (transendensi), sedangkan kesatuan substansial merupakan eksistensi yang menyelubungi suatu realitas dalam segenap wujud (imanensi). Tuhan adalah Esa yang Maha (terpisah dan terbebas dari segala sesuatu yang mensifati-Nya ataupun pengetahuan yang dapat mengenaliNya). Hukum yang mengatur dunia ini adalah satu hukum. Sistem yang menghubungkan antara satu bagian dengan bagian lainnya adalah juga berada dalam satu sistem, dunia hanya memiliki satu prinsip yaitu “gerak”. Maka Ia (Tuhan) adalah gerak tersebut yang menggerakkan segala sesuatu. Oleh sebab itu perbedaan antara yang satu dengan yang lain merupakan mekanisme alamiah yang bergerak sesuai dengan sistem/hukum (kehendak) Tuhan. Setiap ajaran agama memiliki nilai-nilai universal karena tidak ada satu agamapun yang mengajarkan dan memerintahkan pemeluknya untuk berbuat jahat, berlaku tidak adil, bermusuhan dan lain-lain. Nilai-nilai universal agama yakni agar manusia dapat hidup berdampingan, oleh 191 karena itu misi setiap agama adalah membangun perdamaian dan peradaban hidup manusia. Wahdat al-Adyan dan pluralisme agama mengajarkan tentang sikap terbuka, menerima dan toleransi terhadap eksistensi keberagamaan. Inilah cara dalam mengungkapkan keramahan agama serta cara dalam mengaplikasikan nilai-nilai etis kemanusiaan sebagai wujud keimanan terhadap Tuhan, kitab suci dan para nabi. Bahwa setiap agama membawa pesan keharmonisan dan perdamaian. Oleh sebab itu tidak diperlukan lagi arogansi kebenaran teologis untuk menyatukan umat manusia, karena hal tersebut seharusnya menjadi ranah privasi keagamaan seseorang bukan lagi orientasi interes atau subyektivitas yang dipaksakan. Kenyataan manusia terbagi atas berbagai agama diibaratkan anakanak sungai yang mengalir dan berakhir menuju samudera raya. Sebagaimana agama menyangkut sisi batiniah, maka hanya Tuhan lah yang mengetahuinya. Pada akhirnya kita harus mengimani bahwa Tuhan lah yang mutlak dan tidak terbatas, hakim dan penentu atas hamba-hambaNya. (Wallahu A’lamu bi al-Shawwab). B. Saran Ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang seiring berjalannya waktu. Hal tersebut haruslah diimbangi dengan kemajuan pemikiran Islam sebagai bagian dari solusi yang ditawarkan bagi kebutuhan zaman. Wacana intelektual Islam tidak boleh begitu saja stagnan atau mengalami kebekuan sehingga kita dituntut untuk mendermakan pikiran kita untuk terus menggali khazanah intelektual Islam. DAFTAR PUSTAKA Abu Bakar, As-Sayyid Ibn Muhammad syata. Kifayat Al-Atqiya Wa Minhaj AlSyifa, trans; Menapak Jejak Kaum Sufi, Surabaya. Dunia Ilmu Offset. 1997 Al-Banna, Gamal. Doktrin Pluralisme dalam Al-Quran, terj. Al-Ta’aduddiyyah fi al-Mujtama’ al-Islamiy. Jakarta. Menara. 2006 Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya ‘Ulum al-Din Karya al-Ghazali, terj. Purwanto, Bandung Marja’ 2003 Al-Ghazali, Abu Hamid, Kerancuan Filosof, terj. Ahmad Maimun, Yogyakarta, Islamika, 2003 Al-Ghazali, Abu Hamid, Mutiara Ihya’ ‘Ulum Al-Din, terj. Irwan Kurniawan, Bandung, Mizan, 2000 Al-Mara’syili, M.Abdurrahman. Tarjamah Ibnu Arabi, Al-Futuhat Al-Makiyyah Ibn Arabi. Beirut : Dar Ihya Al Turast Al-Arab. 1998 Al Qardhawy, Yusuf. Iman dan Kehidupan, terj. “Al-Iman wa al-Hayat”. Jakarta. PT. Bulan Bintang. 1993. Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Mudhlor. Kamus Kontemporer Arab Indonesia. Yogyakarta. Multi Karya Grafika. 2003 Ali, Muhammad. Teologi Pluralis multikulral: Mengharagai kemejmukan menjalin kebersamaan. Jakarta. Penerbit Buku Kompas. 2003 Al-Munawar, Husain Said Agil. Fikih Hubungan Antar Agama. Jakarta. Ciputat Press. 2005 Amin, Wadi’. A’lam Shufiyyah, Jurnal, Adab wa Naqd, Edisi 204, 2002 Anonim. Konsekuensi Logis Pluralisme Agama. www.islamshia-w.com _______. Epistemologi Wahdat al-Adyan. www.wisdom4all.com. ________. Wahdat al-Adyan : Melerai www.nusantaraonline.org.com Konflik Umat Beragama. Anwar, Rosihon, Ilmu Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2004 A.S, Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta, P.T Raja Grafindo Persada, 2002 Bahri, Ghazali, Muhammad, Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali; Suatu Tinjauan Psikologik Paedagogik, Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 2000 Bahri, Zaenal, Menembus Tirai Kesendirian-Nya, Jakarta, Prenada, 2005 Budiman, Dwi. Tokoh-Tokoh Pluralisme Agama,: www.republika.co.id Cyril Gkasse, Ensiklopedia Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoove, 1991 Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan terjemahnya. Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir Al-Quran. 1971 Departemen Pendidikan Nasional RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. 2009 Dirks, Jerald F. Titik Temu dan Titik Seteru Antara Islam, Kristen dan Yahudi. terj. “Abrahamic Faiths”. Jakarta. PT. Serambi Ilmu Semesta.2006 Ghazaly, Adeng Muhtar. Ilmu Studi Agama. Jakarta. CV. Pustaka Setia. 2005 Haeri,Fadhullah. Jiwa Al-Qur’an : Tafsir Surat al-Baqarah. Jakarta. PT Serambi Ilmu Semesta. 2001 Heer, Nicholas, Tafsir Esoteris Ghazali dan Sam’ani, Yogyakarta, Pustaka Sufi, 2003 Hidayat, Komarudin dan Muhammad Wahyuni Nafis. Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial. Jakarta. Paramadina. 1995 _________________. The Wisdom of Life, Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama, Jakarta. Penerbit Buku Kompas, 2008 A.S Hornby et.al., The Advanced Learner’s Dictionary of Current English. Oxford. Oxford University Press. 1972 Idrus, Junaidi. Rekonstruksi Pemikiran Nurcholis Madjid; Membangun Visi dan Misi Baru Islam. Yogyakarta. Logung Pustaka. 2004 Irfan, Mohammad dan Mastuki HS. Teologi Pendidikan. Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Jakarta. Friska Agung Insani. 2000 Izutsu, Toshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik Terhadap Al-Quran. Yogyakarta. Tiara Wacana Yogya. 2003 Kardiyanto, Wawan. Konsep Wahdat al-Adyan : Antara Mono dan Multi. www.wawankardiyanto.multiply.com Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. 2005 Lubis, Abdul Karim. Islam dan Pluralisme agama. www.wisdom4all.com Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta : Paramadina. 1992 Mahmud, Abdul Halim, Qadhiyat at-Tasawwuf al-Munqidz Min adh-Dh. al, Dar al-Maarif, Kairo, 1119 Mahmud, Amir (ed.). Islam dan Realitas Sosial di Mata Intelektual Muslim Indonesia. Jakarta. Edu Indonesia Sinergi. 2005 Misrawi, Zuhairi. Al-Quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme. Jakarta. Penerbit FITRAH. 2007 Nasuhi, Hamid. Frithjof Schuon dan Filsafat perennial. jurnal, REFLEKSI. Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2002 Nawawi, Muhammad al-Jawi, Maraqi al-Ubudiyyah Syarh ‘Ala Matan Bidayah al-Hidayah, (Semarang, Pustaka al-Alawiyyah, t.t. Noer, Kautsar Azhari. Esoterisme dan Kesatuan Agama-agama. Jurnal, Titik Temu. No.1. 2010 _____________________. Tasawuf Perenial, Kearifan Kritis Kaum Sufi. Jakarta. PT. Serambi Ilmu Semesta. 2003 Noor, Hasan M. (ed.), Agama di Tengah Kemelut. Jakarta. Media Citra. 2001 Palmer, E Richard. Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2003 Qorib, Muhammad. Pluralisme Agama dalam Perspektif Sufi. Jurnal, Titik Temu. No.2, Jakarta. NCMS. 2010 Rahardjo, M Dawam. Agama Masa Depan. www.korantempo.com Rakhmat, Jalaludin. Islam dan Pluralisme, Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan. Jakarta. PT. Serambi Ilmu Semesta. 2006 Riyadi, Hendar. Melampaui Pluralisme ; Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama. Jakarta. RMBOOKS&PSAP, 2007 Romly, A.M. Fungsi Agama Bagi Manusia : Suatu Pendekatan Filsafat. Jakarta. Bina Rena Pariwara. 1999 Sahabuddin. Menyibak Tabir Nur Muhammad. Jakarta. Renaisan, 2004 Schuon, Fritjhof. Mencari Titik Temu Agama-agama, terj. The Trancendent Unity of Religions. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 1994 Shaliba, Rahmil. al-Mu’jam al-Falsafi, Beirut. Dar al-Kitab al-Banani. 1973 Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada, 2002 Sirry, Mun’im (ed.). Fikih Lintas Agama : Membangun Masyarakat InklusifPluralis. Jakarta. Paramadina.2004 Smith, Wilfred Cantwell. Memburu Makna Agama, terj. The Meaning and End of Religion. Bandung. PT. Mizan Pustaka. 2004 Subhani, Ja’far. Sang Pencipta Menurut Sains dan Filsafat. Jakarta. Penerbit Lentera, 2004 Sudrajat, Ajat. Tafsir Inklusif Makna Islam. Yogyakarta. AK Group Yogya.2004 Suhanda, Irwan (ed), Damai Untuk Perdamaian. Jakarta. Penerbit Buku Kompas. 2006 Sulistio, Christian Teologi Pluralisme Agama John Hick : Sebuah Dialog Kritis dari Perspektif Partikularis, www.seabs.ac.id Sumaryono, E. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta. Kanisisus. 1999 Sururin (Ed.). Nilai-nilai Pluralisme Dalam Islam, Bingkai gagasan yang berserak. Bandung. Penerbit Nuansa. 2005 Suseno, Frans Magnis. Menalar Tuhan, Jakarta. Kanisius. 2006 Syams, Ruhullah. Landasan Epistemologi dan Teologi Pluralisme Agama, www.al-Shia.org Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Jakarta. PT. Remaja Rosdakarya. 2003 Thoha, Anis Malik. Melacak Pluralisme Agama, www.hidayatullah.com _______________. Tren Pluralisme Agama : Tinjauan Kritis. Jakarta. Perspektif. 2005 Tonang. Dialog Antar Umat Beragama, dalam Jurnal FARABI, Volume 3. Jakarta. 2007 Usman, Fathimah. Wahdat al-Adyan : Dialog Pluralisme Agama. Yogyakarta. LKiS. 2002 Zainal Abidin, Ahmad, Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali, Jakarta, Bulan Bintang, 1975 www.almukmin-ngruki.com www.islamlib.com www.al-khilafah.org www.nsistnet.com www.republika.co.id