7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Pencari Suaka 1. Pengertian Suaka Suaka adalah penganugrahan perlindungan dalam wilayah suatu negara kepada orang-orang dari negara lain yang datang ke negara yang bersangkutan karena menghindari pengejaran atau bahaya besar (Wagiman, 2012: 92). Kata suaka ini berasal dari Bahasa Yunani yaitu “Asylon” atau “Asylum” dalam bahasa Latin, yang artinya tempat yang tidak dapat dilanggar dimana seseorang yang dikejar-kejar mencari tempat berlindung. Suaka (Asylum) mulai timbul dan sering terjadi di negaranegara Amerika Latin. (Sulaiman Hamid, 2002: 42). Kwan Sik, mendefinisikan suaka sebagai perlindungan yang diberikan kepada individu oleh kekuasaan dari negara lain (negara yang memberikan suaka). Menurut Oppenheim Lauterpacth, suaka berkaitan dengan wewenang suatu negara yang mempunyai kedaulatan di atas territorialnya untuk memperbolehkan seorang asing memasuki dan tinggal di dalam wilayahnya (Sulaiman Hamid, 2002: 45). Perlindungan oleh suatu negara kepada orang asing yang berada di wilayahnya dalam hukum internasional, disebut sebagai memberikan suaka. Suaka adalah dimana seorang pengungsi/pelarian politik mencari perlindungan baik di wilayah satu negara maupun di dalam lingkungan 8 gedung perwakilan diplomatik dari suatu negara. Jika perlindungan diberikan, pencari suaka itu dapat kebal dari proses hukum dari negara di mana ia berasal (Sumaryo Suryokusumo, 1995: 163). Sedangkan dalam definitive asylum, si pemohon suaka adalah yang diberikan perlindungan dan kepada dirinya diletakkan di luar jursdiksi negara asalnya. Pemberian diplomatic asylum sering didasarkan bahwa memang hal tersebut dapat diberikan karena kedutaan itu adalah imun/kebal terhadap jurisdiksi negara penerima, akan tetapi teori yang demikian ini banyak yang menentang. Dasarnya bahwa pemerintah asing dapat memberikan suaka jika didasarkan pada imunity/kekebalan diplomatik adalah kurang tepat, karena dalam hukum internasional hal ini tidak ada sanksi hukumnya, sehingga banyak negara-negara yang tidak mau mengakuinya (Sulaiman Hamid, 2002: 79). Menurut Pasal 1 ayat (1) Deklarasi PBB tahun 1967 tentang Asilum Teritorial, “asylum granted by a State, in the excercise of its sovereignty, to persons entitled to invoke article 14 of the Universal Declaratioin of Human Right, including persons struggling againts colonialism, shall be respected by all other States.” Suaka adalah perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada individu yang merasa terancam dirinya oleh negara asalnya karena alasan politik, agama dan ras (Sri Setianingsih Suwardi, 2004: 42). 9 2. Pengertian Pencari Suaka Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, suaka yaitu mengungsi (berlindung), menumpang, menumpang hidup. Istilah ‘pengungsi’ dan ‘pencari suaka’ memiliki definisi legal dalam hukum internasional, tepatnya di dalam hukum tentang Hubungan Internasional, dan juga di dalam Undang-Undang Dasar Indonesia. Seharusnya tidak ada alasan untuk menyamaratakan semua imigran tanpa dokumen sebagai ‘ilegal’. Pencari suaka adalah istilah yang biasanya digunakan untuk orang yang ingin didaftarkan diri sebagai pengungsi di Kantor UNHCR, dengan menyatakan bahwa mereka membutuhkan perlindungan internasional atas alasan yang sesuai dalam Pasal 1 A di Konvensi Pengungsi (www.suaka.or.id). Pencari suaka adalah orang yang sedang mencari perlindungan untuk mendapatkan status sebagai pengungsi lintas batas (refugee). Mereka sedang menunggu proses pengakuan akan klaimnya (Jesuit Refugee Service (JRS), 2013: 6). Menurut Pasal 1 ayat (2) Draft Peraturan Presiden tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi, pencari suaka adalah orang asing yang menyatakan dirinya sebagai pencari suaka atau memiliki Kartu Pencari Suaka yang dikeluarkan oleh perwakilan UNHCR di Indonesia. Pencari suaka yaitu seseorang yang telah mengajukan permohonan sebagai pengungsi, dan sedang menunggu permohonannya diterima atau ditolak. Seorang pencari suaka adalah seseorang yang 10 menyebut dirinya pengungsi, namun permintaan mereka akan perlindungan belum selesai dipertimbangkan. Pencari suaka adalah orang yang telah mengajukan permohonan untuk mendapatkan perlindungan namun permohonannya sedang dalam proses penentuan. Apabila permohonan seorang pencari suaka itu diterima, maka ia akan disebut sebagai pengungsi, dan ini memberinya hak serta kewajiban sesuai dengan undang-undang negara yang menerimanya. Penentuan praktis apakah seseorang disebut pengungsi atau tidak, diberikan oleh badan khusus pemerintah di negara yang ia singgahi atau badan PBB untuk pengungsi (UNHCR). Prosentase permohonan suaka yang diterima sangat beragam dari satu negara ke negara lain, bahkan untuk satu negara yang sama. Setelah menunggu proses selama bertahuntahun, para pencari suaka yang mendapatkan jawaban negatif tidak dapat dipulangkan ke negara asalnya, yang membuat mereka terlantar. Para pencari suaka yang tidak meninggalkan negara yang disinggahinya biasanya dianggap sebagai imigran tanpa dokumen. Pencari suaka terutama mereka yang permohonannya tidak diterima, semakin banyak yang ditampung di rumah detensi imigrasi (www.unhcr.or.id). Pencari suaka biasanya dilatarbelakangi oleh alasan yang telah ditentukan hukum internasional, mencakup sebab-sebab yang bersifat rasial, agama, kebangsaaan, keanggotaannya dalam suatu kelompok sosial atau kelompok politik. Disamping itu yang bersangkutan tidak mendapat jaminan di negaranya (Wagiman, 2012:93). 11 Pasal 13 ayat (2) Deklarasi HAM Universal 1948 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk meninggalkan negara, termasuk negaranya sendiri, ataupun untuk kembali ke negaranya. Hak kebebasan mencari suaka tersebut diakomodir pula dalam oleh Declaration of Territorial Asylum 1967 yang menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk mencari dan menikmati suaka di negara lain karena kekhawatiran mengalami penyiksaan. Namun pada ayat selanjutnya ditegaskan bahwa hak tersebut tidak dapat dimohonkan dalam kasus-kasus yang sifatnya non politis atau karena tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa. Permohonan suaka dibatasi hanya untuk ketakutan yang timbul dari suatu kejahatan politik atau yang bernuansa suku, agama, ras dan antar golongan (Wagiman, 2012: 115). Pemberian suaka berkaitan dengan pemberian izin masuk bagi orang-orang asing ke suatu negara. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan izin masuk (admission) orang-orang asing ke negara-negara lain, yaitu: a. Suatu negara berkewajiban memberi izin kepada semua orang asing. b. Suatu negara berkewajiban untuk memberi izin kepada semua orang asing, dengan syarat bahwa negara tersebut berhak menolak golongangolongan tertentu, misalnya pecandu-pecandu obat bius, orang-orang berpenyakit tertentu, dan orang-orang yang tidak dikehendaki lainnya. 12 c. Suatu negara terikat untuk mengizinkan orang-orang asing untuk masuk ke wilayahnya tetapi dapat mengenakan syarat-syarat yang berkenaan dengan izin masuk mereka. d. Suatu negara sepenuhnya berhak melarang semua orang asing menurut kehendaknya (J. G. Starke, Edisi Kesepuluh: 465). Hak untuk mendapat perlindungan atau suaka di negara lain tercantum pada Pasal 14 ayat (1) Deklarasi PBB yang berbunyi Everyone has the right to seek and enjoy in other country asylum from perscecution (Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan tempat perlindungan/suaka di negara-negara lain sebagai akibat adanya tekanan) di negara asalnya. Istilah persecution dalam bahsa Indonesia dapat berarti juga ‘penyiksaan’ atau ‘penganiayaan’, namun demikian karena tidak semua orang yang meminta suaka itu disebabkan akibat kekerasan fisik yang mereka terima (Wagiman, 2012: 94). Kasus-kasus permohonan suaka oleh para pencari suaka yang telah terjadi di dunia dan dianggap layak oleh hukum internasional antara lain berasal dari pengungsi Vietnam pasca konflik dengan Amerika Serikat tahun 1960, Pengungsi Afganistan era Taliban, pengungsi Irak era Saddam Husein, pengungsi Kamboja era Pol Pot serta pengungsi asal Haiti. Seringkali mereka mengungsi sekaligus mencari suaka. Hal tersebut terjadi karena mereka tidak punya pilihan hidup lain selain keluar dari negaranya. Namun demikian, ada juga pencari suaka yang tidak mendapat status pengungsi (Wagiman, 2012: 93). 13 3. Ketentuan Pencari Suaka Seorang pencari suaka akan dievaluasi melalui prosedur penentuan status pengungsi, yang dimulai sejak tahap pendaftaran pencari suaka. Setelah registrasi, UNHCR dibantu dengan penerjemah yang kompeten melakukan interview terhadap pencari suaka tersebut. Proses interview tersebut akan melahirkan alasan-alasan yang melatarbelakangi keputusan apakah status pengungsi dapat diberikan atau ditolak. Pencari suaka selanjutnya diberikan satu buah kesempatan untuk meminta banding atas permintaannya akan perlindungan internasional yang sebelumnya ditolak (www.unhcr.or.id). Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut dibawah ini, Pemerintah Indonesia mengakui hak setiap orang untuk mencari suaka di negara lain, yaitu: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab XA, Pasal 28G, butir 2: “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”. b. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 24: “Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain.” c. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 28: “Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain.” 14 d. Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Bab VI, pasal 25, 26, 27 (JRS, 2013: 11). Secara definitif belum ditemui adanya ketentuan-ketentuan Hukum Internasional yang bersifat universal yang menentukan status “pesuaka” (asylee) (Sulaiman Hamid, 2002 : 44). Namun demikian, masyarakat dapat berpegang kepada “Pasal 1 Paragraf 3 Deklarasi tentang Suaka Territorial 1967 yang menyatakan secara tegas menyertakan bahwa penilaian alasan-alasan bagi pemberi suaka diserahkan kepada negara pemberi suaka (“It shall est with the State granting asylum to evaluate the grounds for the grant of asylum”) (Sulaiman Hamid, 2002 : 44). Penanganan terhadap orang asing pencari suaka dan pengungsi didasarkan pada prinsip-prinsip hukum Internasional yang berlaku universal dan hukum nasional Republik Indonesia, Pasal 18 Draft Peraturan Presiden tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi menurut keterangan-keterangan sebagai berikut: a. Tidak mendeportasi Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi ke tempat dimana hidup atau kebebasannya terancam. b. Tidak melakukan tindakan hukum keimigrasian kepada Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi karena semata-mata masuk atau berada di wilayah Indonesia secara tidak sah. c. Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi yang melakukan tindak pidana selain yang dimaksud pada huruf b dikenakan ketentuan pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 15 d. Perlakuan nondiskriminatif kepada Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi berdasarkan ras, kebangsaan, agama atau keyakinan. e. Menghormati Hak Asasi Manusia Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi yang berada di wilayah Indonesia. f. Perlakuan terhadap anak pencari suaka dan pengungsi yang tidak didampingi orang tua/walinya didasarkan pada asas kepentingan terbaik untuk anak (principle of the best interest of the child) yang dilakukan oleh UNHCR untuk penanganan pencari suaka atau pengungsi anak dalam situasi tertentu. g. Orang Asing Pencari Suaka yang kasusnya sudah ditutup dan dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk memperoleh status pengungsi, kepadanya diterapkan peraturan keimigrasian yang berlaku. h. Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi yang secara sukarela menerima perlindungan dari perwakilan negara asalnya, kepadanya diterapkan peraturan keimigrasian yang berlaku. B. Tinjauan Umum tentang Pengungsi 1. Pengertian Pengungsi Akar kata dari istilah pengungsi adalah ungsi dan kata kerjanya adalah mengungsi, yaitu pergi mengungsi (menyingkirkan) diri dari bahaya atau menyelamatkan diri (ke tempat yang memberikan rasa aman). Sedangkan pengungsi adalah kata benda yang berarti orang yang mengungsi (Kamus Besar Bahasa Indonesia). 16 Pengungsi terjadi karena adanya bahaya misalnya, bencana alam (natural disaster) seperti banjir, gempa, gunung meletus, kekeringan. Mengungsi jaadi dapat terjadi bukan disebabkan karena bencana alam (non natural disaster), tetapi karena konflik bersenjata, pergantian rezim politik, penindasan fundamental, pelecehan hak asasi manusia, dan sebagainya. Mengungsi dapat dilakukan baik dilingkup satu wilayah negara ataupun negara lain karena adanya perbedaan haluan politik (Achmad Romsan, dkk, 2003: 35). Perbedaan antara refugee (pengungsi lintas batas) dan IDP (Internally Displaced Person)/ pengungsi internal menurut Hukum Internasional, yaitu: a) Refugee (pengungsi lintas batas) Pengungsi lintas batas adalah seseorang yang “oleh karena rasa takut yang wajar akan kemungkinan dianiaya berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada suatu kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik, berada di luar negeri kebangsaannya, dan tidak bisa atau, karena rasa takut itu, tidak berkehendak berada di dalam perlindungan negeri tersebut.” b) Internally Displaced Person (Pengungsi Internal) Pengungsi internal ialah orang-orang atau kelompok-kelompok orang yang telah dipaksa atau terpaksa melarikan diri atau meninggalkan rumah mereka atau tempat mereka dahulu biasa tinggal, terutama sebagai akibat dari atau dalam rangka menghindarkan diri dari, 17 dampak-dampak konflik bersenjata, situasisituasi rawan yang ditandai oleh maraknya tindak kekerasan secara umum, pelanggaranpelanggaran hak-hak asasi manusia, bencana-bencana alam, atau bencana-bencana akibat ulah manusia, dan yang tidak melintasi perbatasan negara yang diakui secara internasional (OCHA, 2001: iv). Menurut Konvensi 1951 Pasal 1 A yang dimaksud dengan pengungsi yaitu : The term “refugee”, shall apply to any person who: 1) Has been considered a refugee under the Arrengements of 12 May 1926 aand June 1928 or under Convention of 28 October 1933 and 10 February 1938, the protocol of 1 September 1939 or the Constitution of the International Refugee Organization. Decision of non-eligibility taken by the International Refugee Orgnization duringg the period of its activities shall not prevent the status of refugee being accorded to persons who fulfil the conditions of paragraph 2 of this section. 2) As a result of events occuring before 1 January 1951 and owing to well founded fear of being prosecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is outside the country of this nationality and is unable, or owing to such fear, is unwilling to avail himself of the potection of that country: or who, not having nationality and being outside the country of his former habitual residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it. Berdasarkan rumusan tersebut di atas maka istilah pengungsi menurut Konvensi tahun 1951, meliputi orang-orang yang: a. Orang yang berada di luar wilayah negara di mana dia menjadi warga negaranya atau di luar wilayah tempat tinggalnya semula (former habitual residence). b. Orang tersebut dalam kategori di atas, disebabkan karena kejadian sebelum 1 Januari 1951. Penetapan tanggal 1 Januari 1951 sebagai 18 batas waktu yang disebabkan, karena pertama, akan menjadi sukar bagi negara untuk melaksanakan kewajibannya terhadap pengungsi masa depan, asal dan jumlah yang mungkin tidak diketahui. Kedua, karena 1 Januari 1951 adalah saat berdirinya UNHCR (Sri Setianingsih Suwardi, 2004: 33). 2. Penetapan Status sebagai Pengungsi Menetapkan seseorang/kelompok orang berstatus sebagai pengungsi sehingga dapat menikmati hak-hak yang ditentukan dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 harus melalui proses penetapan yang dikenal dengan istilah “eligibility” (determination of eligibility). Berdasarkan proses penetapan tersebut, kemudian dikenal 2 macam pengungsi, yaitu : 1) Pengungsi Konvensi Konvensi 1951 menentukan siapa yang diakui sebagai pengungsi tetapi tidak menentukan prosedurnya karena penetapan status sebagai pengungsi diserahkan kepada negara anggota Konvensi 1951. Di dalam prakteknya, maka prosedur tersebut ditetapkan oleh panitia khusus (special authority) atau panitia ad hoc. Karena dalam Konvensi tidak ada ketentuan tentang prosedur yang harus ditetapkan dalam menentukan status pengungsi maka negara peserta dapat menentukan prosedurnya sendiri sesuai dengan maksud Pasal 31 ayat (2) Konvensi. Biasanya pemerintah negara bersangkutan membentuk suatu panitia khusus (komisi) yang terdiri dari wakil-wakil instansi yang ada 19 hubungannya dengan masalah pengungsi, misalnya instansi imigrasi, polisi, pemerintah daerah, departemen sosial, dan sebagainya. Jika dalam negara tersebut terdapat perwakilan UNHCR, maka dapat dimintai pendapatnya dalam penentuan status pengungsi tersebut. 2) Pengungsi Mandat Negara-negara yang tidak menjadi anggota Konvensi 1951 dan/atau Protokol 1967, penetapan status sebagai pengungsi ditetapkan oleh wakil-wakil UNHCR yang ada di negaranya. Berdasarkan Konvensi 1951, pengungsi tersebut berada di bawah perlindungan UNHCR dan disebut sebagai pengungsi didasarkan pada Statuta UNHCR (Sri Setianingsih Suwardi, 2004: 49). 3. Instrumen Hukum Pengungsi a. Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi The Convention relating to the Status of Refugees atau Konvensi Jenewa 1951 tentang status pengungsi merupakan fondasi bagi hukum pengungsi internasional. Konvensi Jenewa 1951 memberikan batasan tentang apa yang dimaksud dengan pengungsi dan menegaskan standar minimum yang harus diberlakukan terhadap orang-orang yang memenuhi syarat sebagai pengungsi. Konvensi Jenewa 1951 tentang Status Pengungsi dirancang pada akhir Perang Dunia II, sehingga definisi tentang pengungsi yang dirumuskan di dalamnya difokuskan kepada orang-orang yang berada di luar wilayah negara asalnya dan menjadi pengungsi sebagai akibat 20 dari peristiwa yang terjadi di Eropa sebelum 1 Januari 1951. Karena persoalan pengungsi makin meningkatkan pada akhir tahun 1950an dan awal 1960, diperluas cakupan waktu dan geografis dari Konvensi tentang status pengungsi. Oleh karena itu, perkembangan berikutnya telah dirancang dan disepakati suatu protokol tambahan terhadap Konvensi tentang status Pengungsi tersebut yakni: 1967 Protocol Relating to the status of refugees atau Protokol New Yok 1967 tentang status pengungsi (Sigit Riyanto, 2004: 71). b. Protokol New York 1967 mengenai Status Pengungsi 1967 Protocol relating to the status of refugees atau Protokol New York 1967 tentang Status Pengungsi, meskipun berkaitan dan mengandung substansi yang menyatu dengan Konvensi Jenewa 1951 merupakan instrumen yang berdiri sendiri. Protokol New York 1967 ini meniadakan batas waktu dan batas geografis definisi pengungsi yang terdapat dalam Konvensi Jenewa 1951. Secara bersamaan Konvensi Jenewa 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol New York 1967 tentang status pengungsi mencakup tiga masalah pokok sebagai berikut: 1) Definisi pengungsi yang mendasar, serta rumusan yang berkaitan dengan ketentuan-ketentuan yang mengenai penghentian dan pengecualian dari status pengungsi. 2) Status hukum pengungsi di negara suaka, hak dan kewajiban mereka, termasuk hak untuk dilindungi terhadap pengembalian 21 paksa (refoulment), ke wilayah di mana hidup atau kebebasan mereka akan terancam. 3) Kewajiban negara, termasuk untuk bekerjasama dengan UNHCR dalam melaksanakan fungsinya serta memfasilitasi tugas UNHCR dalam mengawasi pelaksanaan Konvensi Jenewa 1951 tentang Status Pengungsi. Melakukan tindakan aksesi Protokol New York 1967, berarti negara yang bersangkutan sepakat untuk menerapkan sebagian terbesar Pasal Konvensi Jenewa 1951 tentang Status Pengungsi (Pasal 2 sampai dengan Pasal 34) pada semua orang yang tercakup oleh definisi pengungsi yang ditetapkan di dalam Protokol 1967. Meskipun demikian, sebagian besar negara lebih suka mengaksesi baik Konvensi Jenewa 1951 tentang Status Pengungsi maupun Protokol New York 1967. Melakukan tindakan demikian, negara–negara menegaskan bahwa kedua perjanjian tersebut merupakan sentra sistem perlindungan pengungsi internasional (Sigit Riyanto, 2004: 72). C. Tinjauan Umum tentang Imigrasi 1. Pengertian Imigrasi Istilah imigrasi berasal dari Bahasa Latin yaitu migratio yang artinya perpindahan orang dari suatu tempat atau negara menuju ke tempat atau negara lain (Herlin Wijayanti, 2011: 129). 22 Secara etimologi istilah emigrasi, imigrasi, dan transmigrasi ketiganya berasal dari bahsa Latin migration, yang berarti perpindahan penduduk. Perpindahan manusia dari suatu tempat ke tempat lain, dekat, atau jauh. Jadi dengan demikian, pengertian migran adalah perpindahan penduduk secara besar-besaran dari suatu tempat ke tempat lain. Imigrasi merupakan salah satu hak asasi manusia, yaitu memasuki negara lain. Sedangkan emigrasi adalah perpindahan penduduk keluar dari suatu negara (Jazim Hamidi & Charles Christian, 2015: 1). Immigration is the movement of people from one place to another. In the modern world day, immigration is always associated with the migratioin of people from one country to another and in the new country which he has permanent residence. Tourist and people who visit other countries for a short term can not be reffered to as immigrants. Parties that can be reffered to as immigrants are people who move to another country for along time and in the new country he has had a permanent residence (Melda Kamil Ariando, 2012: 245). Istilah imigrasi menurut Sihar Sihombing (Jazim Hamidi & Charles Christian, 2015: 7) berasal dari Bahasa Belanda, yaitu immigratie, sedangkan Bahasa Latin, yaitu immigratie dengan kata kerjanya immigreren, yang dalam Bahasa Latinnya disebut menjadi immigratie. Dalam Bahasa Inggris disebut immigration, yang terdiri dari dua kata, yaitu in artinya dalam dan imigrasi artinya pindah, datang masuk, atau boyong. 23 Pengertian di atas, tersirat bahwa imigrasi dilakukan untuk memberikan pembatasan dan perbedaan kewarganegaraan dan perbuatan hukum yang dilakukan baik yang dilakukan antara warga negara asing dengan negara tujuan termasuk warga negaranya, maupun warga negara asing dengan warga negara asing yang berada di negara tujuan bertempat tinggal. Pengertian tersebut disikapi oleh Indonesia dengan membuat produk hukum berupa Undang-undang Keimigrasian tepatnya Undangundang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Sesuai ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tersebut, yang dimaksud keimigrasian adalah hal ikhwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah Negara Republik Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara (Jazim Hamidi & Charles Christian, 2015: 7). Pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas orang masuk atau keluar wilayah Indonesia merupakan hak dan wewenang Negara Republik Indonesia serta merupakan salah satu perwujudan dari kedaulatannya sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. (Jazim Hamidi& Charles Christian, 2015: 8). Fungsi dan kewenangan keimigrasian di Indonesia dilaksanakan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang secara khusus dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi. Penjabaran dari sistim hukum keimigrasian yang dijalankan oleh pemerintah secara operasional 24 dituangkan ke dalam trifungsi imigrasi yaitu fungsi pelayanan masyarakat, penegakan hukum, fungsi keamanan (Bagir Manan, 2000: 22). Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka dapat dikatakan telah terjadi perluasan makna dari istilah imigasi yang selama ini hanya terkait dengan lalu lintas orang saja, melainkan juga terkait dengan segala sesuatu tentang pengawasan orang asing di Indonesia dan dalam rangka menjaga kedaulatan negara. Kedaulatan negara yang dimaksud adalah kekuasaan tertinggi, sifat dan ciri hakiki suatu negara atas wilayah teritorial tertentu, yaitu wilayah Negara Indonesia (Jazim Hamidi & Charles Christian, 2015: 8). 2. Imigran dan Imigran Gelap/Ilegal Dahulu istilah imigran tidak terbatas pada manusia sebagai pelakunya, namun juga dapat digunakan pada hewan dan benda-benda yang dibawa pindah melintasi perbatasan suatu negara. Awalnya perpindahan penduduk ini terjadi dikarenakan peperangan dan bencana alam, sehingga penduduk mencari wilayah lain yang lebih aman. Kemudian istilah imigran dipersempit terbatas pada manusia saja, setelah negara-negara mengalami perkembangan yang secara otomatis juga menciptakan undang-undang dan peraturan. Seseorang yang datang dari suatu negara, ke negara lain namun tidak menetap, tidak disebut imigran, melainkan hanya sebagai turis atau pelancong (www.yahoo.com). Imigran adalah seseorang yang melakukan perpindahan dari negara asalnya ke negara tujuan bermaksud untuk menetap di negara yang akan 25 disinggahi dengan dilengkapi dokumen perjalanan yang sah. Setiap orang yang masuk atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia harus melalui pemeriksaan keimigrasian di tempat pemerikasaan imigrasi oleh petugas imigrasi. Pemeriksaan keimigrasian terhadap warga negara asing yang akan masuk ke wilayah Negara Republik Indonesia meliputi: a. Memeriksa surat perjalanannya dan mencocokkan dengan pemegangnya. b. Memeriksa visa bagi orang asing yang diwajibkan memiliki visa. c. Memeriksa pengisian lembar E/D. d. Memeriksa nama yang bersangkutan dalam daftar penangkalan (Sihar Sihombing, 2009: 18). Kementrian Luar Negeri melakukan perencanaan pencegahan imigran ilegal dengan memperketat pemberian visa kepada warga negara yang berasal dari negara-negara yang diindikasi akan menjadi imigran ilegal. Selanjutnya Ditjen imigrasi, Mabes Polri, dan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota agar melakukan pengawasan terhadap orang asing khususnya terhadap mereka yang datang dengan dokumen melalui fasilitas visa saat kedatangan (visa on arrival). Apabila mereka terbukti melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, agar diambil langkah penegak hukum (Asep Kurnia, 2011: 47). Jumlah imigran yang bisa dikatakan sebagian besar ilegal sangat potensial menimbulkan keresahan dan mengganggu stabilitas ideologi, 26 politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan, serta menjadi kelemahan bangsa Indonesia tidak dapat menangani, mencegah, dan menyelesaikan permasalahan imigran ilegal ini, maka akan menyebabkan lemahnya Ketahanan Nasional. Imigran gelap/ilegal menurut Direktorat Jenderal Imigrasi adalah orang asing yang masuk dan/atau berada di wilayah Indonesia tidak sesuai ketentuan perundang-undangan. Illegal immigration itself is a movement of one person who crossed the line of the territory of a state where the movement has violated the immigration laws of the country of destination. People who perform illegal migration is reffered to as illegal immigrant. Illegal immigrants made up of two types namely : a) Foreigners who enter the boundaries of a country illegal (without a valid visa or travel documents), whether by land, sea, or air. b) Foreigners who legally entered a country but their immigration permits run out in force and yet still remained within the country and abusing or perform activities that are inconsistent with the purpose of their immigration permit (Melda Kamil Ariando, 2012: 245). Pengendalian Kementrian Luar Negeri dalam pencegahan imigran ilegal dengan memerintahkan perwakilan di luar negeri khususnya terhadap perwakilan di negara-negara yang diindikasikan sebagai tempat awal dan tempat transit imigran ilegal untuk memperketat pemberian visa dengan memeriksa secara teliti terhadap aplikasi pemohon visa. Petugas imigrasi di bandar udara, pelabuhan laut, dan jalur darat memeriksa lebih 27 teliti keabsahan dokumen orang asing yang berasal dari negara-negara yang diindikasi akan menjadi imigran ilegal. Selanjutnya Ditjen Imigrasi, Mabes Polri, dan Kejaksaan Agung melakukan pengungkapan, penangkapan serta memproses secara hukum terhadap personel sindikat penyelundupan manusia yang ada di dalam negeri dengan menerapkan pasal-pasal dalam Undang-undang Keimigrasian yang ancaman hukumannya paling berat (Asep Kurnia, 2011: 48). 3. Pengelompokan Masalah Imigrasi a. Perdagangan Manusia Upaya untuk mendefinisikan perdagangan manusia sudah dilakukan sejak akhir abad 18. Namun sampai sekarang belum ada kesepakatan lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah menggenai definisi Perdagangan manusia (HumanTrafikking). Menurut Aliansi Global Anti Perdagangan Perempuan (Global Aliance Againts the Trafficking of Women/GAATW) mendefinisikan perdagangan orang sebagai “ All acts involved in the recrutment and/or transportation of a person within and across national borders for work or services by means of violence or threat of violence, abuse of authority or dominant position, debt bondage, deception or other forms of coercion” (Mahrus Ali dan Bayu Aji Pramono, 2011: 1). The International Organization for Migration (IOM) mengidentifikasi empat elemen yang harus ada dalam perdagangan orang yaitu : 28 1) an International border is cossed. 2) an facilitator-the trafficker-is involved. 3) money or another form of payment changes hands, and 4) entry and/orstay in the country of destination is illegal. Definisi ini menegaskan bahwasannya perdagangan orang tersebut pada kenyataannya bisa terjadi di suatu negara dan bisa juga dalam konteks lintas negara (B. Rahmanto, 2005: 19). Perdagangan orang (trafficking) menurut definisi dari Pasal 3 Protokol PBB berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk paling tidak eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh. Pasal 3 Protokol PBB untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Trafficking Manusia, kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. 29 Eksploitasi termasuk paling tidak eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh. (Pasal 3 Protokol PBB untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Trafficking Manusia, Khususnya Wanita dan Anak-Anak, ditandatangani pada bulan Desember 2000 di Palermo, Sisilia, Italia) (www.unair.ac.id). Sedangkan pengertian perdagangan manusia dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ialah sebagai berikut: " Tindakan perekrutan, penampungan, pengangkutan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, penggunaan kekerasan, penyekapan, penipuan, pemalsuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi bayaran atau penjeratan utang atau manfaat, sehingga dapat memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan antarnegara maupun di dalam negara, demi untuk tujuan mengeksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi". Dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Manusia, Pengertian eksploitasi dalam tindak pidana perdagangan manusia dijelaskan dalam Pasal 1 angka 7 yang menyebutkan bahwa: " Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi, tetapi tidak terbatas pada perbudakan, pelacuran, atau praktik serupa perbudakan, kerja atau pelayanan paksa, pemanfaatan fisik, penindasan, pemerasan, organ reproduksi, seksual, atau secara melawan hukum. Mentransplantasi atau memindahkan organ dan/atau jaringan tubuh, atau kemampuan seseorang atau tenaga seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materil maupun immateril". 30 b. Penyelundupan Manusia Penyelundupan Manusia (People Smuggling), menurut definisi Pasal 3 Protokol PBB Tahun 2000 tentang Penyelundupan Manusia, berarti mencari untuk mendapat, langsung maupun tidak langsung, keuntungan finansial atau materi lainnya, dari masuknya seseorang secara illegal ke suatu bagian negara dimana orang tersebut bukanlah warga atau memiliki izin tinggal. Masuk secara illegal berarti melintasi batas negara tanpa mematuhi peraturan/perijinan yang diperlukan untuk memasuki wilayah suatu negara secara legal. Tindak pidana penyelundupan imigran yang diatur dalam Pasal 6 Protokol Menentang Penyelundupan Migran bahwa negara peserta harus membuat peraturan perundang-undangan tentang jenis kejahatan ini yang dilakukan secara sengaja dan untuk mendapatkan uang atau keuntungan materi lainnya. Indonesia merupakan salah satu negara yang turut meratifikasi protokol ini yang diwujudkan dalam UU No. 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, yaitu ketentuan mengenai penyelundupan imigran diatur dalam Pasal 120 UU No. 6 Tahun 2011. Pasal 120 ayat (1) tidak menggunakan istilah imigran melainkan istilah penyelundupan tindakan yang memberi peluang atau bantuan terjadinya penyelundupan imigran berupa: 1) Mengeluarkan dokumen identitas atau perjalanan yang diperoleh secara curang. 31 2) Mendapatkan, menyediakan, atau memiliki dokumen. Ketetuan ini diwujudkan dalam Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 126, Pasal 127, Pasal 128, Pasal 129, dan Pasal 130 UU No. 6 Tahun 2011. 3) Membantu orang asing untuk tinggal di suatu negara tanpa mematuhi ketentuan hukum nasionalnya untuk tinggal secara sah atau secara illegal, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 124, dan Pasal 125 UU No. 6 Tahun 2011 mengatur sebagaimana yang dijelaskan dalam protokol tersebut. 4) Melakukan percobaan, berperan serta, mengorganisasi atau memberi petunjuk kepada orang lain untuk melakukan kejahatan penyelundupan imigran dan dalam UU No. 6 Tahun 2011, hal percobaan penyelundupan manusia diatur dalam Pasal 120 (2). Tidak diatur mengenai tindak pidana penyelundupan manusia yang dilakukan oleh kejahatan terorganisasi. Tindak pidana yang diatur adalah jika tindak pidana penyelundupan manusia dilakukan oleh korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 136 ayat (1) dan (2). Terhadap pejabat imigrasi yang membiarkan tindak pidana penyelundupan manusia diatur dalam Pasal 133 ayat (1). 5) Tindakan yang membahayakan kehidupan atau keselamatan para imigran atau adanya perlakuan tidak manusiawi termasuk eksploitasi terhadap para imigran. Ketentuan terakhir ini tidak diatur dalam UU No. 6 Tahun 2011. Tindak pidana 32 penyelundupan manusia dalam UUNo. 6 Tahun 2011 tidak diatur tersendiri dalam suatu Bab melainkan masuk dalam Bab XI yang mengatur mengenai ketentuan pidana keimigrasian. Hal yang secara langsung berkaitan dengan tindak pidana penyelundupan manusia diatur dalam Pasal 120, Pasal 133 huruf a dan Pasal 136 ayat (1) dan (2) (Eranovita Kalalo Paembonan, 2014: 143). Terkait dua pengertian tersebut, terdapat minimal tiga aspek yang membedakan antara kejahatan perdagangan orang dan kejahatan penyelundupan manusia, yakni aspek persetujuan (agreement), aspek (purpose), dan aspek lokus atau wilayah (territory). Selain itu, masih ada satu aspek lagi yan terkait erat dengan praktik penyelundupan manusia yaitu proses terbentuknya kesepakatan antara orang dan/atau pihak yang terlibat di dalamnya (IOM, 2009: 4). Empat aspek terkait penyelundupan manusia sekaligus membedakannya dengan perdagangan manusia, yaitu: a. Aspek persetujuan (agreement), dalam kejahatan perdagangan orang, korban tidak menyadari kesuluruhan proses yang terjadi atau apabila korban menyadarinya, maka seringkali kaena penipuan atau ancaman kekerasan. Sedangkan dalam kejahatan penyelundupan manusia, orang yang diselundupkan sepenuhnya menyadari keseluruhan proses, walaupun ini mengakibatkan kondisi sangat memprihatinkan dan membahayakan bagi dirinya sendiri. 33 b. Aspek tujuan (purpose), dalam konteks perdagangan orang, eksploitasi dapat berlangsung sejak orang yang diperdagangkan (korban) berada di penampungan dan terus berlangsung hingga korban sampai di tempat tujuan. Sedangkan dalam penyelundupan manusia, aspek tujuan mengacu pada situasi kedatangan seseorang di tempat tujuan sesuai dengan keingininan dan pilihan secara bebas orang yang diselundupkan tersebut. c. Aspek wilayah (territory), kegiatan perdagangan orang bisa terjadi di luar wilayah negara atau bisa juga terjadi dalam suatu wilayah negara (antar daerah/antar pulau). Sementara itu, wilayah kegiatan penyelundupan manusia adalah antar negara dan menyangkut lintas batas satu negara dengan negara lain. d. Aspek hubungan antar pihak yang terlibat. Kejahatan perdagangan orang bisa saja tidak pernah ada kesepakatan antar pelaku perdagangan orang yang diperdagangkan. Andai terjadi kesepakatan terdapat ketidaksesuaian antara kesepakatan itu dengan kenyataan yang terjadi. Penyelundupan manusia, kesepakatan antara orang yang akan diselundupkan dan pelaku penyelundupan sudah terbentuk sejak awal dan berakhir di negara tujuan (IOM, 2009: 5). 34 D. Tinjauan Umum tentang IOM (International Organization for Migration) 1. Eksistensi IOM (International Organization for Migration) Didirikan tahun 1951 atas inisiatif Belgia dan Amerika. IOM terbentuk sebagai manifestasi hasil Konferensi International tentang imigrasi yang diadakan di Brusels. Badan ini semula diberi nama Provisional Integovermental Committee for the Movements of Migrant from Europ (PICMME), kemudian berubah nama menjadi Intergovernmental Committee for European Migrantion (ICEM). Tahun 1989 ICEM’s Council berubah nama lagi menjadi Intergovernmental Comittee for Migration (ICM) dengan skala kerja yang lebih luas, tidak hanya mencangkup Eropa saja. Baru pada tahun 1989 ICM berubah menjadi International Organization for Migration (Wagiman, 2012: 191). Berdasarkan sejarahnya sejak tahun 1951 hingga tahun 2001 IOM telah berganti nama sebanyak empat kali, yaitu PICMME (mulai tahun 1951), kemudian berubah menjadi ICEM, kemudian berubah lagi menjadi ICM (mulai tahun 1980 sampai 1989), dan terakhir IOM (mulai tahun 1989 sampai sekarang). Struktur organisasi IOM meliputi Office of the Director General yang memebawahi Director Genenral, Deputy Director General, dan Working Group on Gender Issues. Office of the Director General dipilih oleh suatu dewan masa kerja lima tahun. Badan ini meliputi Excecutif Officer yang memiliki otoritas untuk mengelola organisasi dan mengadakan kegiatan sesuai mandat untuk memformulasi kebijakan-kebijakan organisasi serta menyusun program pengembangan 35 sesuai dengan prioritas serta strategi organisasi. Dibawah Office of the Director General adalah seluruh tenaga administrasi dan staf petugas lapangan yang melaksanakan kegiatan-kegiatan IOM di markas-markas (Wagiman, 2012: 191). Organisasi Internasional untuk Migrasi (International Organization for Migration) berupa untuk menjamin penanganan imigrasi secara tertib dan manusiawi, untuk mencapai kerjasama yang menyangkut permasalahan imigrasi, untuk memberikan pencarian solusi praktis terhadap permasalahan imigrasi dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada para imigran yang membutuhkan, termasuk para pengungsi dan pengungsi internal (IOM, 2009: 247). IOM beroperasi di Indonesia sejak 1979 dengan diprosesnya orangorang perahu yang berasal dari Vietnam di Tanjung Pinang, Riau. Sejak saat itu, aktifitas IOM di Indonesia telah berkembang secara signifikan baik dalam hal jangkauan geografis maupun sasaran populasinya. Saat ini IOM pendiri 20 kantor wilayah yang terletak di seluruh Indonesia, termasuk ibukota Jakarta, serta Banda Aceh di daerah paling barat dari propinsi Aceh dan Jayapura sebagai wilayah paling timur dari propinsi Papua. IOM Indonesia telah memiliki lebih dari 300 staf yang mengerjakan berbagai macam aktifitas, dalam kemitraannya dengan Pemerintah Indonesia, masyarakat madani dan komunitas donor. Nilai total dari proyek aktif dan portfolio program IOM Indonesia pada tahun 2013 mencapai lebih dari USD 70 juta (http://indonesia.iom.int/id/iomindonesia-0). 36 2. Mandat dan Peran IOM secara Internasional Organisasi Internasional untuk Migrasi (International Organization for Migration) berupaya untuk menjamin penanganan imigrasi secara tertib dan manusiawi, untuk memajukan kerjasama menyangkut permasalahan imigrasi, dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada para imigran yang membutuhkan, termasuk para pengungsi dan pengungsi internal. Langkah-langkah untuk memerangi imigrasi ilegal secara efekrif menggabungkan penegakan hukum dengan pencegahan dan pendidikan, baik di dalam maupun secara internasional. Kerjasama internasional perlu mencakup tindakan-tindakan pengendalian, pelatihan, riset, informasi dan serangkaian tindakan-tindakan preventif (IOM, 2009: 247). Mandat utama IOM secara internasional yaitu membantu pemerintah di berbagai negara dalam mengembangkan dan menerapkan kebijakan, perundang-undangan dan mekanisme administratif imigrasi. Bantuan tersebut diberikan baik melalui pemberian bantuan teknis dan pelatihan bagi pejabat pemerintah juga pemberian bantuan teknis dan pelatihan bagi pejabat pemerintah dan juga pemberian bantuan bagi para imigran. Fokus lembaga tersebut saat ini dirasakan menjadi masalah utama dalam penanganan imigrasi di berbagai negara (Wagiman, 2002: 193). Sebagai sebuah organisasi antar-pemerintah utama dalam bidang migrasi, IOM kerap diminta oleh negara untuk membantu menangani tantangan-tantangan yang kompleks dalam manajemen perbatasan. Secara 37 umum, program penanganan imigrasi dan manajemen perbatasan IOM meliputi 7 area: 1) Pengkajian manajemen migrasi dan perbatasan. 2) Pengembangan kapasitas manajemen perbatasan dan migrasi. 3) Manajemen perbatasan. 4) Manajemen identitas. 5) Pemberantasan penyelundupan manusia. 6) Manajemen data migrasi, dan analisa risiko dan intelejen. 7) Bantuan imigrasi dan visa. 3. IOM (International Organization for Migration) Indonesia Direktorat Jenderal Imigrasi Republik Indonesia telah lama hanya memiliki kapasitas yang terbatas dalam menyelenggarakan pengawasan perbatasan secara memadai dan telah berupaya untuk mengkoordinasikan usaha-usahanya dengan Kepolisian Republik Indonesia dalam memproses para imigran ilegal. Kantor IOM bekerjasama secara erat dengan Pemerintah RI untuk mengembangkan koordinasi yang lebih baik dalam upaya-upaya untuk memerangi penyelundupan manusia serta penanganan imigran ilegal (IOM, 2009: 247). IOM di Indonesia mulai beroperasi tahun 1979 kiprah pertama yaitu dengan memberikan bantuan terhadap manusia perahu Vietnam di Tanjung Pinang, Riau. Tahun 1991 Indonesia mendapatkan status sebagai Negara Pengawas IOM. Pada tahun 1999 Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dan IOM ditandatangani pada bulan Oktober 1999, 38 mengotorisasi IOM untuk menangani isu masyarakat pengungsi dari konflik di Timor Timur. IOM mendirikan kantor pusat Kupang dan Atambia, untuk menfasilitasi pemulangan pengungsi Timor Timur. Tahun 2000, IOM dan Pemerintah Indonesia menandatangani Persetujuan Kerjasama dalam Penanganan Migrasi Iregular, pengungsi internal, manajemen perbatasan dan imigrasi. Persetujuan ini menjadi basis hukum operasi IOM di Indonesia. IOM memindahkan kantor cabang pada tahun 2001 di Bali ke Mataram, Lombok, dalam rangka menangani meningkatnya jumlah kasus migran iregular. Bali Process terjadi pada tahun 2002, yaitu IOM menfasilitasi Konferensi Tingkat Menteri Regional tentang penyelundupan manusia, perdagangan manusia dan kejahatan trans-nasional lainnya di Bali. Konferensi Bali Process ini bertujuan untuk mengembangkan kapasitas nasional dan regional dalam rangka menangani isu-isu perdagangan dan penyelundupan manusia. Sebagai kelanjutan dari Bali Process, IOM meluncurkan sebuah pilot programme untuk mendukung upaya penegakan hukum dalam rangka memerangi perdagangan manusia. Program anti-perdagangan manusia yang lebih luas kemudian diluncurkan bekerjasama dengan pemerintah. Kemudian, IOM membuka dua kantor baru yaitu di Situbondo, Jawa Timur, untuk membantu penanganan migran iregular, dan di Pontianak, Kalimantan Barat, untuk implementasi proyek rehabilitasi lahan dan pengembangan kapasitas, dengan kelompok target pengungsi internal orang Madura. IOM mulai bekerja dengan Kementerian Hukum 39 dan HAM untuk meningkatkan perlindungan bagi pengungsi internal melalui kegiatan pengembangan kapasitas. IOM juga mendukung teciptanya garis perbatasan yang stabil antara Timor Barat dan Timur. Tahun 2003 Kantor IOM di Banda Aceh dibuka untuk mengkaji dampak sosial-ekonomi konflik di Nanggore Aceh Darusallam (NAD), terutama yang terkait dengan kondisi pengungsi. IOM memulai proyek Reformasi Polisi untuk membantu Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) bertransformasi menjadi lembaga penegak hukum yang berbasis pada nilai-nilai demokratis, penghormatan hak asasi manusia, dan supremasi hukum. Proyek ini memberikan pelatihan HAM dan Polisi Masyarakat. Paska bencana tsunami 26 Desember 2004, IOM mengembangkan operasinya di Indonesia. IOM adalah satu-satunya lembaga internasional yang beroperasi di 15 Kabupaten NAD yang terkena dampak bencana. Pengalaman IOM yang luas dalam bidang bantuan darurat bencana dan hubungannya yang erat dengan pemerintah serta lembaga lainnya membuat IOM mampu merespons dengan cepat. Kemudian adanya bantuan untuk darurat tsunami. IOM Medan membuka kantor di Medan sebagai kantor pusat logistik bagi operasi bantuan tsunami. Truk-truk dari Medan mengirimkan berton-ton bantuan dari Medan kepada korban selamat di NAD. Pemulihan bencana pada tahun 2005 IOM membuka kantor di Meulaboh, Simeulue dan Pidie di NAD, Pulau Nias dan Sibolga di Sumatra Utara untuk membantu mengelola aktivitas di Indonesia dalam 40 rangka Program Pemulihan Bencana. IOM juga meresmikan pendirian Pusat Pemulihan Psikologis dan Medis bagi korban perdagangan manusia di Jakarta. Tahun 2006 IOM melakukan operasi tangggap darurat bencana gempa Yogyakarta, dengan membantu transportasi, logistik, bantuan medis dan tempat penampungan darurat, dengan memanfaatkan pengalaman dan hubungan kemitraan yang telah dikembangkan di NAD dalam rangka tanggap darurat bencana. Tahun 2007, IOM menyelesaikan pembangunan sebanyak 1.233 pemukiman sementara, 3.040 pemukiman permanen, 247 sekolah dan 132 bangunan komunitas sebagai bagian dari rekonstruksi paska tsunami di NAD. IOM melakukan operasi darurat bencana di Sumatra Barat dengan bantuan logistik, pemukiman dan medis. Bersama-sama dengan empat organisasi mitra, IOM membangun 669 pemukiman sementara di empat kabupaten yang terkena. Klinik Medis Bergerak diciptakan untuk mendukung pelayanan kesehatan fisik dan mental bagi komunitas yang terkena dampak konflik di NAD. Proyek ini menggabungkan layanan kesehatan ke dalam program Pembangunan Perdamaian IOM yang mengikutsertakan reintegrasi mantan tahanan dan pejuang. IOM ditunjuk oleh pemerintah Indonesia sebagai organisasi utama yang merancang dan mengimplementasikan program paska konflik dalam rangka penstabilan kembali Aceh. Kemudian pada tahun 2008 IOM mendukung pendirian koperasi perempuan di NAD. Pada akhir tahun lebih dari 8.000 pinjaman kredit dengan nilai lebih dari US$1.460.000 telah 41 diberikan pada perempuan miskin di daerah-daerah terpencil di Aceh untuk membantu mereka membuka usaha kecil dan memberi mereka pemasukan. Di Yogyakarta dan Jawa Tengah, IOM meluncurkan sebuah proyek yang didanai oleh Java Reconstruction Fund untuk membantu membangkitkan kembali 3.000 usaha kecil yang terkena dampak gempa. IOM Indonesia menfasilitasi migrasi meluncurkan sebuah proyek untuk mengumpulkan data, mendorong diskusi kebijakan dan menyebarluaskan pengetahuan tentang praktik-praktik terbaik tentang pengiriman uang pulang yang dilakukan oleh tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Pada Police Project 25% dari personil polisi telah menerima pelatihan HAM dan Polisi Masyarakat dengan menggunakan modul pelatihan IOM. IOM memperbaharui Buku Panduan bagi Penegak Hukum dan Perlindungan Korban Perdagangan Manusia dan Penanganan Kasus Perdagangan Manusia pada tahun 2009, dengan memasukkan Undangundang No. 21 tentang Pemberantasan Perdagangan Manusia. Panduan IOM telah disebarkan kepada 28.000 anggota komunitas penegak hukum sejak tahun 2005. IOM juga menerbitkan kurikulum pelatihan bagi Kepolisian, Jaksa, dan Hakim tentang penanganan kasus perdagangan manusia. Pada bulan September, jumlah korban perdagangan manusia yang dibantu secara langsung oleh IOM Indonesia adalah 3.540 orang. Buku panduan penyelundupan manusia Berkolaborasi dengan Kepolisian, Imigrasi dan tim peneliti multi-disiplin dari Universitas Indonesia, IOM 42 mengembangkan dan menerbitkan buku panduan pertama bagi penegak hukum tentang penanganan kasus penyelundupan manusia. IOM pada tahun 2010 mendukung pemulihan dan pembangunan ekonomi paska bencana dengan memperluas akses keuangan dan memberikan bantuan terpadu bagi petani, koperasi dan usaha kecil perkebunan kopi di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah. Proyek ini berhasil meningkatkan kualitas kopi dan meningkatkan hasil panen dari 1.767 petani dan koperasi mereka, sekaligus juga menciptakan 193 pekerjaan tambahan. Pengurangan risiko bencana di Jawa Barat, IOM mengimplementasikan proyek pengurangan risiko bencana multi-sektor, meningkatkan kapasitas tanggap darurat bencana dan DRR di 6 desa yang rawan (http://indonesia.iom.int/id/iom-indonesia/sejarah-iom-indonesia). Sejak Juni 2000, IOM Indonesia telah berhasil melaksanakan Perjanjian Kerjasama Regional (Regional Coorporation Agreement-RCA), sebuah program yang diciptakan oleh pemerintah Australia, Indonesia dan IOM untuk memberikan perawatan dan pemeliharaan bagi imigran gelap yang terdampar. Proyek ini membantu Pemerintah RI dengan memberikan akomodasi, makanan, layanan kesehatan, konseling dan opsi pemulangan secara sukarela kepada imigran yang tertangkap dalam perjalanan menuju Australia. Kerangka ini, pihak berwajib Indonesia bertanggungjawab menentukan maksud para imigran yang ditangkap. Mereka yang diidentifikasi sedang melakukan transit melalui Indonesia dalam perjalanan mereka ke Australia kemudian dirujuk ke IOM untuk 43 mendapatkan bantuan. Disamping memberikan bantuan materiil, IOM memberitahukan kepada para imigran mengenai hak-hak mereka untuk menuntut suaka dan merujuk mereka yang ingin mendaftar permohonan tersebut kepada UNHCR. IOM akan terus memberikan layanan perawatan dan pemeliharaan kepada para imigran sementara mereka dievakuasi oleh UNHCR untuk status pengungsi (IOM, 2009: 247). IOM Indonesia bekerja erat dengan pemerintah terutama di bidang pengkajian manajemen migrasi dan perbatasan dan pemberantasan penyelundupan manusia. Upaya IOM Indonesia dalam pemberantasan penyelundupan dimulai pada tahun 2000, dan sejak itu telah berkembang secara signifikan. Bantuan dana dari berbagai negara seperti Australia dan Kanada, sejumlah proyek telah diluncurkan untuk mendukung upaya pemerintah Indonesia dalam manajemen migrasi dan pemberantasan penyelundupan. Semua proyek dirancang untuk menopang kebijakan dan prioritas pemerintah Indonesia (http://indonesia.iom.int/id/aktivitas- kami/imigrasi-dan-manajemen-perbatasan). Tepatnya pada Maret 2012 terdapat 48 imigran gelap yang ditangkap pihak POLRES Ciamis saat akan menyeberang ke Australia dari Perairan Pantai Masawah, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Ciamis. Saat para imigran gelap masih berada di penampungan sementara di Hotel Nukita Jalan Raya Jenderal Soedirman, Kabupaten Ciamis. Polisi maupun petugas Imigrasi mengalami kesulitan untuk melakukan pendataan nama imigran lantaran para imigran tertutup saat diajak berkomunikasi. 44 Kebanyakan dari mereka mengaku tidak bisa berbahasa Inggris, padahal beberapa imigran ada yang sudah bisa mengucapkan Bahasa Indonesia. 48 imigran yang berada di penampungan sedang ditangani langsung International Organization for Migration (IOM). Perwakilan IOM yang datang ke Ciamis langsung melakukan pendekatan dan pengarahan agar mereka lebih terbuka (http://news.okezone.com/read/2012/03/09 /526/590515/48-imigran- gelap-ditangani-iom-di-penampungan). E. Tinjauan Umum tentang United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) 1. Sejarah UNHCR United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa No. 428 (V) dan keberadaannya diakui sejak bulan Januari 1951. UNHCR berpedoman kepada mandat yang diberikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan The Economic and Social Council (ECOSOC). Badan PBB untuk urusan pengungsi pertama kali terbentuk pada awal Perang Dunia ke-2 untuk membantu orang Eropa yang terpencar karena konflik tersebut. Kantor United Nations High Commissioner for Refugees didirikan pada 14 December 1950 oleh Sidang Umum PBB dengan mandat tiga tahun untuk menyelesaikan tugasnya lalu akan dibubarkan. Pada 28 Juli dicetuskannya Konvensi PBB tentang 45 Status Pengungsi, sebuah dasar hukum dalam membantu pengungsi dan statuta dasar yang mengarahkan kerja UNHCR. Pada tahun 1956, UNHCR mengalami keadaan darurat terbesarnya yang pertama, dimana jumlah pengungsi mengalami peledakan dikarenakan Soviet yang menghancurkan Revolusi Hongaria. Segala teori yang menyebutkan bahwa UNHCR tidak dibutuhkan, tidak lagi mengemuka. Pada tahun 1960-an, dekolonisasi Afrika menyebabkan krisis pengungsi dalam jumlah terbesar dalam benua tersebut hingga membutuhkan intervensi UNHCR. Selama dua dekade berikutnya UNHCR membantu mengatasi pergerakan manusia di Asia dan Amerika Latin. Pada akhir abad, terdapat permasalahan pengungsi baru di Afrika, menjadikan adanya siklus yang berulang dan membawa gelombang pengungsi baru di Eropa menyusul serangkaian perang di daerah Balkan. Pada awal abad 21, UNHCR telah membantu berbagai krisis pengungsi terbesar di Afrika seperti di Republik Demokrat Kongo dan Somalia, serta di Asia, terutama dalam permasalahan pengungsi di Afghanistan yang berlangsung selama 30 tahun. Pada saat yang sama, UNHCR diminta untuk menggunakan keahliannya untuk mengatasi permasalahan pengungsi internal yang disebabkan oleh konflik. Disamping itu, peran UNHCR juga meluas hingga menangani bantuan bagi orang-orang tanpa kewarganegaraan, sebuah kelompok orang yang berjumlah jutaan namun tidak kasat mata, sementara mereka menghadapi bahaya kehilangan hak-hak dasarnya karena tidak memiliki 46 kewarganegaraan. Beberapa bagian dunia seperti di Afrika dan Amerika Latin, mandat awal UNHCR yang ditetapkan pada tahun 1951 telah diperkuat dengan adanya perjanjian tentang instrumen hukum regional. Pada tahun 1954, UNHCR memenangkan penghargaan Nobel Peace atas kerja besarnya membantu pengungsi di Eropa. Mandatnya kemudian diperluas hingga akhir dekade dan lebih dari 25 tahun kemudian, UNHCR menerima penghargaan pada tahun 1981 atas kontribusinya yang berupa bantuan global bagi para pengungsi dengan kutipan yang menggaris bawahi hambatan politik yang harus dihadapi UNHCR. Jumlah negara anggota sebanyak 34 staff pada saat awal berdirinya, saat ini UNHCR telah memiliki 7.190 staff nasional dan internasional, termasuk 702 orang yang bekerja di kantor pusat di Geneva. UNHCR bekerja di 123 negara, dengan staff yang berbasis di 124 lokasi utama, seperti di daerah dan kantor cabang, dan 272 sub-kantor dan kantor lapangan yang seringkali berada di daerah terpencil (http://www.unhcr.or.id/id/tentang- unhcr/sejarah-unhcr). 2. Tugas dan Fungsi UNHCR UNHCR berpedoman kepada mandat yang diberikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan The Economic and Social Council (ECOSOC). Statuta tahun 1950 menyebutkan tentang fungsi utama UNHCR yaitu memberikan perlindungan internasional dan mencari solusi permanen untuk masalah pengungsi dengan membantu pemerintah untuk memfasilitasi pemulangan sukarela para pengungsi tersebut, atau asimilasi 47 mereka dalam komunitas-komunitas nasional baru (Achmad Romsan, dkk, 2003: 70). Konsep perlindungan yang diberikan oleh UNHCR adalah lebih menekankan pada usaha pengembangan instrumen hukum Internasional untuk kepentingan para pengungsi dan memastikan agar mereka mendapat perlakuan sesuai dengan ketentuan instrumen hukum internasional, khusus yang berkaitan dengan hak untuk bekerja, jaminan sosial, serta hak untuk mendapatkan atau memanfaatkan fasilitas perjalanan (Achmad Romsan, dkk, 2003: 71). PBB telah membentuk badan UNHCR guna memenuhi hak-hak para pengungsi sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Pada butir kedua DUHAM disebutkan hak-hak tersebut mencakup hak untuk hidup, hak untuk mendapat kebebasan dan keamanan pribadi, dimana kondisi ini tidak mereka dapat di negaranya dan juga tidak diberikan oleh pemerintah (Wagiman, 2012: 189). Disamping melindungi hak-hak dan menjaga keadaan para pengungsi, UNHCR memiliki tujuan utama untuk mencari solusi jangka panjang bagi para pengungsi yang akan memberikan mereka kesempatan untuk membangun kembali hidup mereka sepantasnya dalam damai. Mencari solusi jangka panjang bagi mereka yang membutuhkan perlindungan internasional di Indonesia adalah salah satu tugas terpenting UNHCR. Pemerintah Indonesia memberikan dukungan besar dalam pemberian suaka dengan pemberian ijin bagi pencari suaka untuk berada 48 di Indonesia, memperoleh layanan UNHCR dan ijin tinggal sementara di Indonesia selama mereka menunggu solusi jangka panjang yang sesuai bagi mereka. Solusi jangka panjang yang ada terdiri dari integrasi lokal, pemulangan secara sukarela, atau penempatan di negara ketiga (http://www.unhcr.or.id/id/tugas-a-kegiatan/solusi-jangka-panjang). UNHCR menjalankan mandatnya dalam hal keadaan tanpa kewarganegaraan di Indonesia dengan cara melakukan berbagai aktivitas untuk mengidentifikasi populasi orang yang tidak memiliki kewarganegaraan yang mungkin ada dan untuk melihat celah-celah yang ada dalam peraturan yang berlaku yang mungkin mengarah kepada keadaan tanpa kewarganegaraan. UNHCR juga mempromosikan dan mendorong dikeluarkannya dokumen dan perolehan kewarganegaraan. UNHCR di Indonesia dalam menjalankan kegiatan tersebut, melakukan upaya bahu membahu dengan instansi pemerintah yang relevan, LSM, badan PBB lainnya (UNFPA, UNICEF) dan organisasi sosial sipil yang melalui berbagai diskusi dan pertemuan membahas permasalahan untuk mengidentifikasi celah yang ada dalam peraturan dan praktek kesehariannya, untuk memperkuat komitmen diantara para partisipan dalam mengatasi tantangan yang saat ini ada dalam hal memperoleh kewarganegaraan Indonesia, dan untuk menimbang nilai lebih yang dapat diperoleh apabila instrumen hukum terkait statelessness diaksesi. Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI), Kementrian Hukum dan HAM dan Kementrian Dalam Negeri adalah mitra kerja utama UNHCR dalam 49 menangani statelessness. Meskipun Indonesia saat ini belum menjadi Negara Pihak dari Konvensi 1954 tentang Status Orang Tanpa Kewarganegaraan atau Konvensi 1961 tentang Pengurangan Keadaan tanpa Kewarganegaraan, Indonesia telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam reformasi ketentuan dan Undang-undang kewarganegaraannya. Pemerintah Indonesia telah mengadopsi berbagai langkah proaktif untuk mengurangi dan mencegah keadaan tanpa kewarganegaraan, terutama dengan Undang-undang Kewarganegaraan 2006 yang menghapus ketentuan diskriminasi yang ada sebelumnya dan dengan adanya pembaharuan dalam ketentuan kewarganegaraan di Indonesia (http://www.unhcr.or.id/id/tugas-a-kegiatan/keadaan-tanpa- kewarganegaraan). UNHCR memiliki prosedur pemberian bantuan yang berkaitan dengan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) berupa perlindungan internasional. Secara umum konsep ini berisikan pencegahan pemulangan kembali, bantuan dalam memproses pencarian suaka, bantuan dan nasihat hukum, pemajuan penyelenggarakan keamanan fisik bagi pengungsi, pemajuan dan membantu pemulangan kembali secara sukarela, dan membantu para pengungsi untuk bermukim kembali (Wagiman, 2012: 190). Para pengungsi adalah orang-orang yang sangat miskin dan tidak dapat mencari penghidupan serta memperbaiki taraf kehidupan mereka tanpa adanya bantuan perlindungan dari negara dimana mereka berada. 50 Kepergian mereka juga karena terpaksa, akibatnya mereka tidak dapat mengurus dokumen-dokumen (surat-surat) perjalanan yang sangat dibutuhkan sewaktu mereka melintasi batas negara mereka untuk pergi mengungsi ke negara lain (Achmad Romsan, dkk, 2003: 28). Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan Pengungsi (UNHCR) memiliki mandat menyediakan perlindungan internasional untuk pencari suaka dan pengungsi, serta untuk menemukan solusi berkelanjutan untuk pengungsi. Upaya ini dicapai dengan memastikan dipenuhinya hak asasi pencari suaka dan pengungsi, melalui penyediaan bantuan kemanusiaan dalam kondisi-kondisi tertentu dan dengan memastikan bahwa para pencari suaka dan pengungsi dilindungi dari upaya pengembalian secara tidak suka rela ke sebuah negara dimana mereka dapat mengalami persekusi. Di Indonesia, UNHCR bekerja erat dengan Pemerintah Indonesia dan IOM (International Organization for Migration) dalam menjalankan mandatnya (IOM, 2009: 251). Tugas UNHCR yaitu mewawancarai para pencari suaka yang berada di RUDENIM (Rumah Detensi Imigrasi) terkait alasan mencari suaka, kemudian berdasarkan hasil interview tersebut akan ditetapkan statusnya oleh UNHCR. Apakah mereka akan ditingkatkan statusnya menjadi pengungsi atau tidak. Jika para pencari suaka dikabulkan maka akan dipindahkan ke Community Housing kemudian menunggu sampai ada yang menerima mereka atau negara ketiga dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Belum tentu terkabul dan bisa juga ditolak (rejected). Jika 51 reject maka akan mengajukan lagi maksimal 3 kali. Jika selama 3 kali tidak dikabulkan maka oleh UNHCR akan dipulangkan ke negaranya secara paksa (Wawancara dengan Adithia Perdana, Kasubsie Komunikasi Keimigrasian, Kantor Imigrasi Cilacap, 4 Desember 2015). 3. Peran UNHCR UNHCR adalah suatu badan kemanusiaan untuk mengurusi masalah pengungsi. Majelis umum PBB dalam resolusinya no. 319 (V) tanggal 3 Desember 1949 memutuskan untuk membentuk badan yang ditugasi untuk mengurusi masalah pengungsi. Statuta UNHCR diterima oleh Majelis Umum dengan Resolusi No. 428 (V) tanggal 14 Desember 1950. Menurut pasal 1 statuta UNHCR yang selanjutnya disebut sebagai statuta, tugasnya adalah memberikan perlindungan dan mencarikan penyelesaian terhadap masalah-masalah yang dihadapi pengungsi. Peran UNHCR sebagai badan yang bertugas memberikan perlindungan terhadap pengungsi diaki oleh Konvensi 1951. Menurut preambul paragraf kelima Konvensi 1951, UNHCR diberi tugas mengawasi konvensi-konvensi internasional yang mengatur tentang perlindungan internasional bagi pengungsi. UNHCR berusaha bahwa pengungsi mendapat perlindungan di negara pemberi suaka atau ditempatkan (resettlement) di negara lain. UNHCR akan memberikan bantuan materi (Sri Setianingsih Suwardi , 2004: 54). Upaya UNHCR untuk mengatasi masalah pengungsi adalah pemecahan masalah yang permanen. UNHCR dapat mengadakan 52 perjanjian dengan sebuah negara hal ini diatur dalam Chapter II No. 7 (b) Satuta yang menentukan: “ Promoting through special agreements witahun Governments the excuttion of any measure to improve the situastion of refugees and to reduce the number requiring protection”. UNHCR bekerja sama dengan badan-badan lain dari PBB, misalkan UNDP (United Nations Development Programme) atau badan-badan kemanusiaan lainnya, misalkan ICRC (International Committee of the Red Cross) atau IOM (International Organization for Migration) (Sri Setianingsih Suwardi , 2004: 54). It has been noted, regrettably, that efforts on the part of UNHCR in promoting refugee law in Indonesia through accession to the 51 Conventioin and/or 1967 Protocolseem relaxing. The effort should now be evitalized and increased, as national conditions are now more conducive with the inclusion of the ratifiction of the two instruments in the Indonesian Human Rights Plan of Action. As the Plan of ction is subject to review and assesmet every year, efforts should be aimed at acceleration of the ratification of the two refugee instruments, not in 2009 but ealier (Enny Soeprapto, 2004: 66). 4. UNHCR (United Nations High Commissioner of Refugees) Indonesia UNHCR telah berdiri di Indonesia sejak tahun 1979, saat ini berkantor pusat di Jakarta dan memiliki perwakilan di Medan, Tanjung Pinang, Surabaya, Makassar, Kupang dan Pontianak. Pada masa awal berdirinya, aktivitas UNHCR berfokus pada penanganan kedatangan 53 pengungsi Vietnam dengan kapal dalam jumlah besar, seperti yang termaktub dalam Comprehensive Plan of Action (CPA), sebuah rencana aksi yang dicetuskan pada 14 Juni 1989 oleh negara-negara anggota yang mengikuti Konferensi Internasional tentang Pengungsi Indo-Cina. Adapun tanggung jawab khusus UNHCR dalam menangani pengungsi Indo-Cina dirumuskan dalam CPA tersebut. Pada tahun 1979, pemerintah Indonesia memberikan otorisasi untuk pendirian kamp pengungsian di Pulau Galang, yang mengakomodir lebih dari 170.000 pengungsi hingga pada saat kamp tersebut ditutup pada tahun 1996. Indonesia belum menjadi Negara Pihak dari Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967, dan belum memiliki sebuah sistem penentuan status pengungsi. Dengan demikian, pemerintah memberikan kewenangan kepada UNHCR untuk menjalankan mandat perlindungan pengungsi dan untuk menangani permasalahan pengungsi di Indonesia. Berada diantara negara-negara penerima pencari suaka dan pengungsi dalam jumlah besar seperti Malaysia, Thailand dan Australia, secara berkelanjutan Indonesia terkena dampak dari pergerakan populasi tercampur (mixed population movements). Setelah penurunan jumlah di akhir tahun 1990-an, jumlah kedatangan pencari suaka ke Indonesia kembali meningkat di tahun 2000, 2001 dan 2002. Meskipun jumlah kedatangan kemudian menurun lagi pada tahun 2003 - 2008, tren kedatangan kembali meningkat di tahun 2009 dengan jumlah 3.230 orang meminta perlindungan melalui UNHCR. Saat ini mayoritas pencari suaka 54 tersebut datang dari Afghanistan, Myanmar dan Somalia. Data kedatangan pencari suaka yang mendaftarkan diri di UNHCR dari tahun ke tahun adalah 385 di tahun 2008; 3.230 pada tahun 2009; 3.905 pada tahun 2010; 4.052 di tahun 2011, 7.223 di tahun 2012; 8.332 di tahun 2013 dan 5.659 di tahun 2014. Perlindungan yang diberikan UNHCR, dimulai dengan memastikan bahwa pengungsi dan pencari suaka terlindung dari refoulement (yakni perlindungan dari pemulangan kembali secara paksa ke tempat asal mereka dimana hidup atau kebebasan mereka terancam bahaya atau penganiayaan). Perlindungan pengungsi lebih jauh mencakup proses verifikasi identitas pencari suaka dan pengungsi agar mereka dapat terdaftar dan dokumentasi individual dapat dikeluarkan. Pencari suaka yang telah terdaftar kemudian dapat mengajukan permohonan status pengungsi melalui prosedur penilaian yang mendalam oleh UNHCR, yang disebut sebagai Penentuan Status Pengungsi atau Refugee Status Determination (RSD). Prosedur ini memberikan kesempatan kepada para pencari suaka secara individual untuk diinterview dalam bahasa ibu mereka oleh seorang staff RSD dan dibantu oleh seorang penerjemah ahli, yang akan menilai keabsahan permintaan perlindungan yang diajukan. Selanjutnya pencari suaka akan diberikan keputusan, apakah status pengungsi diberikan atau tidak kepadanya, beserta dengan alasannya. Apabila permintaan untuk perlindungan ditolak, prosedur dalam RSD memberlakukan satu kesempatan untuk pengajuan ulang 55 (banding). Bagi mereka yang mendapatkan status pengungsi, UNHCR akan mencarikan satu dari tiga solusi jangka panjang yang memungkinkan yaitu penempatan di negara ketiga, pemulangan sukarela (apabila konflik di daerah asal sudah berakhir) atau integrasi lokal. Namun, solusi yang terakhir tidak berlaku di Indonesia karena pemerintah tidak memberikan izin tinggal secara permanen di Indonesia bagi pengungsi. Penempatan di negara ketiga sejauh ini masih menjadi satu-satunya solusi bagi mayoritas pengungsi di Indonesia (http://www.unhcr.or.id/id/tentang-unhcr). Saat ini, UNHCR memiliki lebih dari 60 staff di Indonesia. Sampai dengan akhir September 2015, sebanyak 7.666 pencari suaka terdaftar di UNHCR Jakarta secara kumulatif dari Afghanistan (48%), Myanmar (11%), Somalia (9%) dan Irak (7%). Sementara sejumlah 5.739 pengungsi terdaftar di UNHCR Jakarta dari Afghanistan (46%), Myanmar (12%), Palestina (7%) dan Somalia (7%). UNHCR mendukung dikembangkannya kerangka perlindungan nasional untuk membantu pemerintah Indonesia mengatur kedatangan orang yang mencari suaka. UNHCR terus menerus secara aktif mempromosikan aksesi terhadap dua instrumen hukum internasional yaitu Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967. Kedua instrumen ini telah dimasukan dalam Rencana Aksi Nasional (RANHAM) pemerintah tahun 2010-2014, yang mengkonfirmasi rencana pemerintah untuk mengaksesi Konvensi 1951 pada tahun 2013, lalu selanjutnya Protokol 1976 pada tahun 2014. 56 Pada tahun 2008, UNHCR telah menyiapkan dan menyampaikan kepada pemerintah, sebuah draft “10 Pokok Rencana Aksi dalam Memberikan Perlindungan Pengungsi dan Mengatasi Migrasi Tercampur di Indonesia” (10 Point Plan of Action in Addressing Refugee Protection and Mixed Migration in Indonesia), yang mencakup proses langkah demi langkah, pemberian dukungan bagi pemerintah dalam mengembangkan mekanisme untuk secara efektif mengatasi permasalahan dalam perlindungan pengungsi dan isu-isu migrasi tercampur dalam rangka menuju aksesi terhadap Konvensi 1951. Sepuluh pokok rencana aksi tersebut mencakup cara-cara yang sesuai untuk mengembangkan kapasitas dalam pemerintahan agar selanjutnya dapat menjalankan fungsi penanganan pengungsi dengan dukungan UNHCR. Instansi pemerintah yang utama bagi proses pengembangan kapasitas ini adalah Kementrian Luar Negeri dan dua instansi Direktorat Jendral dibawah Kementrian Hukum dan HAM, yakni Direktorat Jendral Imigrasi dan Direktorat Jendral Hak Asasi Manusia. Program pelatihan lebih jauh lagi juga diberikan kepada Departemen Kepolisian di Indonesia (http://www.unhcr.or.id/id/tugas-a-kegiatan/relasi-dengan-pemerintah-apeningkatan-kapasitas). Pada tahun 2014 UNHCR dan IOM telah menangani 10.000 imigran gelap dari berbagai negara konflik di Timur Tengah yang datang ke Pekanbaru. Pemerintah Indonesia telah menyiapkan penampungan untuk para imigran gelap di Waikabubak, Ibu Kota Kabupaten Sumba Barat, 57 Nusa Tenggara Timur (NTT). Menangani jumlah imigran gelap yang masuk ke beberapa kota di Indonesia, ada IOM yang mau membiayai tempat tinggal mereka di guest house atau wisma. Termasuk biaya makan mereka setiap hari (http://www.sinarharapan.co/ news/ read/ 141223025/ waikabubak-disiapkan-tampung-10-000-imigran-gelap).