7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Pencari

advertisement
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Pencari Suaka
1. Pengertian Suaka
Suaka adalah penganugrahan perlindungan dalam wilayah suatu
negara kepada orang-orang dari negara lain yang datang ke negara yang
bersangkutan karena menghindari pengejaran atau bahaya besar
(Wagiman, 2012: 92). Kata suaka ini berasal dari Bahasa Yunani yaitu
“Asylon” atau “Asylum” dalam bahasa Latin, yang artinya tempat yang
tidak dapat dilanggar dimana seseorang yang dikejar-kejar mencari tempat
berlindung. Suaka (Asylum) mulai timbul dan sering terjadi di negaranegara Amerika Latin. (Sulaiman Hamid, 2002: 42).
Kwan Sik, mendefinisikan suaka sebagai perlindungan yang
diberikan kepada individu oleh kekuasaan dari negara lain (negara yang
memberikan suaka). Menurut Oppenheim Lauterpacth, suaka berkaitan
dengan wewenang suatu negara yang mempunyai kedaulatan di atas
territorialnya untuk memperbolehkan seorang asing memasuki dan tinggal
di dalam wilayahnya (Sulaiman Hamid, 2002: 45).
Perlindungan oleh suatu negara kepada orang asing yang berada di
wilayahnya dalam hukum internasional, disebut sebagai memberikan
suaka. Suaka adalah dimana seorang pengungsi/pelarian politik mencari
perlindungan baik di wilayah satu negara maupun di dalam lingkungan
8
gedung perwakilan diplomatik dari suatu negara. Jika perlindungan
diberikan, pencari suaka itu dapat kebal dari proses hukum dari negara di
mana ia berasal (Sumaryo Suryokusumo, 1995: 163).
Sedangkan dalam definitive asylum, si pemohon suaka adalah yang
diberikan perlindungan dan kepada dirinya diletakkan di luar jursdiksi
negara asalnya. Pemberian diplomatic asylum sering didasarkan bahwa
memang hal tersebut dapat diberikan karena kedutaan itu adalah
imun/kebal terhadap jurisdiksi negara penerima, akan tetapi teori yang
demikian ini banyak yang menentang. Dasarnya bahwa pemerintah asing
dapat memberikan suaka jika didasarkan pada imunity/kekebalan
diplomatik adalah kurang tepat, karena dalam hukum internasional hal ini
tidak ada sanksi hukumnya, sehingga banyak negara-negara yang tidak
mau mengakuinya (Sulaiman Hamid, 2002: 79).
Menurut Pasal 1 ayat (1) Deklarasi PBB tahun 1967 tentang Asilum
Teritorial, “asylum granted by a State, in the excercise of its sovereignty,
to persons entitled to invoke article 14 of the Universal Declaratioin of
Human Right, including persons struggling againts colonialism, shall be
respected by all other States.” Suaka adalah perlindungan yang diberikan
oleh suatu negara kepada individu yang merasa terancam dirinya oleh
negara asalnya karena alasan politik, agama dan ras (Sri Setianingsih
Suwardi, 2004: 42).
9
2. Pengertian Pencari Suaka
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, suaka yaitu mengungsi
(berlindung), menumpang, menumpang hidup. Istilah ‘pengungsi’ dan
‘pencari suaka’ memiliki definisi legal dalam hukum internasional,
tepatnya di dalam hukum tentang Hubungan Internasional, dan juga di
dalam Undang-Undang Dasar Indonesia. Seharusnya tidak ada alasan
untuk menyamaratakan semua imigran tanpa dokumen sebagai ‘ilegal’.
Pencari suaka adalah istilah yang biasanya digunakan untuk orang yang
ingin didaftarkan diri sebagai pengungsi di Kantor UNHCR, dengan
menyatakan bahwa mereka membutuhkan perlindungan internasional atas
alasan yang sesuai dalam Pasal 1 A di Konvensi Pengungsi
(www.suaka.or.id).
Pencari suaka adalah orang yang sedang mencari perlindungan
untuk mendapatkan status sebagai pengungsi lintas batas (refugee).
Mereka sedang menunggu proses pengakuan akan klaimnya (Jesuit
Refugee Service (JRS), 2013: 6).
Menurut Pasal 1 ayat (2) Draft Peraturan Presiden tentang
Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi, pencari suaka
adalah orang asing yang menyatakan dirinya sebagai pencari suaka atau
memiliki Kartu Pencari Suaka yang dikeluarkan oleh perwakilan UNHCR
di Indonesia. Pencari suaka yaitu seseorang yang telah mengajukan
permohonan sebagai pengungsi, dan sedang menunggu permohonannya
diterima atau ditolak. Seorang pencari suaka adalah seseorang yang
10
menyebut
dirinya
pengungsi,
namun
permintaan
mereka
akan
perlindungan belum selesai dipertimbangkan.
Pencari suaka adalah orang yang telah mengajukan permohonan
untuk mendapatkan perlindungan namun permohonannya sedang dalam
proses penentuan. Apabila permohonan seorang pencari suaka itu diterima,
maka ia akan disebut sebagai pengungsi, dan ini memberinya hak serta
kewajiban sesuai dengan undang-undang negara yang menerimanya.
Penentuan praktis apakah seseorang disebut pengungsi atau tidak,
diberikan oleh badan khusus pemerintah di negara yang ia singgahi atau
badan PBB untuk pengungsi (UNHCR). Prosentase permohonan suaka
yang diterima sangat beragam dari satu negara ke negara lain, bahkan
untuk satu negara yang sama. Setelah menunggu proses selama bertahuntahun, para pencari suaka yang mendapatkan jawaban negatif tidak dapat
dipulangkan ke negara asalnya, yang membuat mereka terlantar. Para
pencari suaka yang tidak meninggalkan negara yang disinggahinya
biasanya dianggap sebagai imigran tanpa dokumen. Pencari suaka
terutama mereka yang permohonannya tidak diterima, semakin banyak
yang ditampung di rumah detensi imigrasi (www.unhcr.or.id).
Pencari suaka biasanya dilatarbelakangi oleh alasan yang telah
ditentukan hukum internasional, mencakup sebab-sebab yang bersifat
rasial, agama, kebangsaaan, keanggotaannya dalam suatu kelompok sosial
atau kelompok politik. Disamping itu yang bersangkutan tidak mendapat
jaminan di negaranya (Wagiman, 2012:93).
11
Pasal 13 ayat (2) Deklarasi HAM Universal 1948 menyatakan
bahwa setiap orang berhak untuk meninggalkan negara, termasuk
negaranya sendiri, ataupun untuk kembali ke negaranya. Hak kebebasan
mencari suaka tersebut diakomodir pula dalam oleh Declaration of
Territorial Asylum 1967 yang menyebutkan bahwa setiap orang memiliki
hak untuk mencari dan menikmati suaka di negara lain karena
kekhawatiran mengalami penyiksaan. Namun pada ayat selanjutnya
ditegaskan bahwa hak tersebut tidak dapat dimohonkan dalam kasus-kasus
yang sifatnya non politis atau karena tindakan yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa. Permohonan
suaka dibatasi hanya untuk ketakutan yang timbul dari suatu kejahatan
politik atau yang bernuansa suku, agama, ras dan antar golongan
(Wagiman, 2012: 115).
Pemberian suaka berkaitan dengan pemberian izin masuk bagi
orang-orang asing ke suatu negara. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan
izin masuk (admission) orang-orang asing ke negara-negara lain, yaitu:
a. Suatu negara berkewajiban memberi izin kepada semua orang asing.
b. Suatu negara berkewajiban untuk memberi izin kepada semua orang
asing, dengan syarat bahwa negara tersebut berhak menolak golongangolongan tertentu, misalnya pecandu-pecandu obat bius, orang-orang
berpenyakit tertentu, dan orang-orang yang tidak dikehendaki lainnya.
12
c. Suatu negara terikat untuk mengizinkan orang-orang asing untuk
masuk ke wilayahnya tetapi dapat mengenakan syarat-syarat yang
berkenaan dengan izin masuk mereka.
d. Suatu negara sepenuhnya berhak melarang semua orang asing menurut
kehendaknya (J. G. Starke, Edisi Kesepuluh: 465).
Hak untuk mendapat perlindungan atau suaka di negara lain
tercantum pada Pasal 14 ayat (1) Deklarasi PBB yang berbunyi Everyone
has the right to seek and enjoy in other country asylum from perscecution
(Setiap
orang
memiliki
hak
untuk
mendapatkan
tempat
perlindungan/suaka di negara-negara lain sebagai akibat adanya tekanan)
di negara asalnya. Istilah persecution dalam bahsa Indonesia dapat berarti
juga ‘penyiksaan’ atau ‘penganiayaan’, namun demikian karena tidak
semua orang yang meminta suaka itu disebabkan akibat kekerasan fisik
yang mereka terima (Wagiman, 2012: 94).
Kasus-kasus permohonan suaka oleh para pencari suaka yang telah
terjadi di dunia dan dianggap layak oleh hukum internasional antara lain
berasal dari pengungsi Vietnam pasca konflik dengan Amerika Serikat
tahun 1960, Pengungsi Afganistan era Taliban, pengungsi Irak era Saddam
Husein, pengungsi Kamboja era Pol Pot serta pengungsi asal Haiti.
Seringkali mereka mengungsi sekaligus mencari suaka. Hal tersebut
terjadi karena mereka tidak punya pilihan hidup lain selain keluar dari
negaranya. Namun demikian, ada juga pencari suaka yang tidak mendapat
status pengungsi (Wagiman, 2012: 93).
13
3. Ketentuan Pencari Suaka
Seorang pencari suaka akan dievaluasi melalui prosedur penentuan
status pengungsi, yang dimulai sejak tahap pendaftaran pencari suaka.
Setelah registrasi, UNHCR dibantu dengan penerjemah yang kompeten
melakukan interview terhadap pencari suaka tersebut. Proses interview
tersebut akan melahirkan alasan-alasan yang melatarbelakangi keputusan
apakah status pengungsi dapat diberikan atau ditolak. Pencari suaka
selanjutnya diberikan satu buah kesempatan untuk meminta banding atas
permintaannya akan perlindungan internasional yang sebelumnya ditolak
(www.unhcr.or.id).
Berdasarkan
keterangan-keterangan
tersebut
dibawah
ini,
Pemerintah Indonesia mengakui hak setiap orang untuk mencari suaka di
negara lain, yaitu:
a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab
XA, Pasal 28G, butir 2: “Setiap orang berhak untuk bebas dari
penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia dan
berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”.
b. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia,
pasal 24: “Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh
perlindungan politik dari negara lain.”
c.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
pasal 28: “Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh
perlindungan politik dari negara lain.”
14
d. Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri,
Bab VI, pasal 25, 26, 27 (JRS, 2013: 11).
Secara definitif belum ditemui adanya ketentuan-ketentuan Hukum
Internasional yang bersifat universal yang menentukan status “pesuaka”
(asylee) (Sulaiman Hamid, 2002 : 44).
Namun demikian, masyarakat dapat berpegang kepada “Pasal 1
Paragraf 3 Deklarasi tentang Suaka Territorial 1967 yang menyatakan
secara tegas menyertakan bahwa penilaian alasan-alasan bagi pemberi
suaka diserahkan kepada negara pemberi suaka (“It shall est with the State
granting asylum to evaluate the grounds for the grant of asylum”)
(Sulaiman Hamid, 2002 : 44).
Penanganan terhadap orang asing pencari suaka dan pengungsi
didasarkan pada prinsip-prinsip hukum Internasional yang berlaku
universal dan hukum nasional Republik Indonesia, Pasal 18 Draft
Peraturan Presiden tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan
Pengungsi menurut keterangan-keterangan sebagai berikut:
a. Tidak mendeportasi Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi ke
tempat dimana hidup atau kebebasannya terancam.
b. Tidak melakukan tindakan hukum keimigrasian kepada Orang Asing
Pencari Suaka dan Pengungsi karena semata-mata masuk atau berada di
wilayah Indonesia secara tidak sah.
c. Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi yang melakukan tindak
pidana selain yang dimaksud pada huruf b dikenakan ketentuan pidana
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
15
d. Perlakuan nondiskriminatif kepada Orang Asing Pencari Suaka dan
Pengungsi berdasarkan ras, kebangsaan, agama atau keyakinan.
e. Menghormati Hak Asasi Manusia Orang Asing Pencari Suaka dan
Pengungsi yang berada di wilayah Indonesia.
f. Perlakuan terhadap anak pencari suaka dan pengungsi yang tidak
didampingi orang tua/walinya didasarkan pada asas kepentingan terbaik
untuk anak (principle of the best interest of the child) yang dilakukan
oleh UNHCR untuk penanganan pencari suaka atau pengungsi anak
dalam situasi tertentu.
g. Orang Asing Pencari Suaka yang kasusnya sudah ditutup dan
dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk memperoleh status pengungsi,
kepadanya diterapkan peraturan keimigrasian yang berlaku.
h. Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi yang secara sukarela
menerima perlindungan dari perwakilan negara asalnya, kepadanya
diterapkan peraturan keimigrasian yang berlaku.
B. Tinjauan Umum tentang Pengungsi
1. Pengertian Pengungsi
Akar kata dari istilah pengungsi adalah ungsi dan kata kerjanya
adalah mengungsi, yaitu pergi mengungsi (menyingkirkan) diri dari
bahaya atau menyelamatkan diri (ke tempat yang memberikan rasa aman).
Sedangkan pengungsi adalah kata benda yang berarti orang yang
mengungsi (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
16
Pengungsi terjadi karena adanya bahaya misalnya, bencana alam
(natural disaster) seperti banjir, gempa, gunung meletus, kekeringan.
Mengungsi jaadi dapat terjadi bukan disebabkan karena bencana alam
(non natural disaster), tetapi karena konflik bersenjata, pergantian rezim
politik, penindasan fundamental, pelecehan hak asasi manusia, dan
sebagainya. Mengungsi dapat dilakukan baik dilingkup satu wilayah
negara ataupun negara lain karena adanya perbedaan haluan politik
(Achmad Romsan, dkk, 2003: 35).
Perbedaan antara refugee (pengungsi lintas batas) dan IDP
(Internally Displaced Person)/ pengungsi internal menurut Hukum
Internasional, yaitu:
a) Refugee (pengungsi lintas batas)
Pengungsi lintas batas adalah seseorang yang “oleh karena rasa takut
yang wajar akan kemungkinan dianiaya berdasarkan ras, agama,
kebangsaan, keanggotaan pada suatu kelompok sosial tertentu, atau
pandangan politik, berada di luar negeri kebangsaannya, dan tidak bisa
atau, karena rasa takut itu, tidak berkehendak berada di dalam
perlindungan negeri tersebut.”
b) Internally Displaced Person (Pengungsi Internal)
Pengungsi internal ialah orang-orang atau kelompok-kelompok orang
yang telah dipaksa atau terpaksa melarikan diri atau meninggalkan
rumah mereka atau tempat mereka dahulu biasa tinggal, terutama
sebagai akibat dari atau dalam rangka menghindarkan diri dari,
17
dampak-dampak konflik bersenjata, situasisituasi rawan yang ditandai
oleh maraknya tindak kekerasan secara umum, pelanggaranpelanggaran hak-hak asasi manusia, bencana-bencana alam, atau
bencana-bencana akibat ulah manusia, dan yang tidak melintasi
perbatasan negara yang diakui secara internasional (OCHA, 2001: iv).
Menurut Konvensi 1951 Pasal 1 A yang dimaksud dengan
pengungsi yaitu :
The term “refugee”, shall apply to any person who:
1) Has been considered a refugee under the Arrengements of 12 May
1926 aand June 1928 or under Convention of 28 October 1933 and 10
February 1938, the protocol of 1 September 1939 or the Constitution
of the International Refugee Organization.
Decision of non-eligibility taken by the International Refugee
Orgnization duringg the period of its activities shall not prevent the
status of refugee being accorded to persons who fulfil the conditions of
paragraph 2 of this section.
2) As a result of events occuring before 1 January 1951 and owing to
well founded fear of being prosecuted for reasons of race, religion,
nationality, membership of a particular social group or political
opinion, is outside the country of this nationality and is unable, or
owing to such fear, is unwilling to avail himself of the potection of that
country: or who, not having nationality and being outside the country
of his former habitual residence as a result of such events, is unable
or, owing to such fear, is unwilling to return to it.
Berdasarkan rumusan tersebut di atas maka istilah pengungsi
menurut Konvensi tahun 1951, meliputi orang-orang yang:
a. Orang yang berada di luar wilayah negara di mana dia menjadi warga
negaranya atau di luar wilayah tempat tinggalnya semula (former
habitual residence).
b. Orang tersebut dalam kategori di atas, disebabkan karena kejadian
sebelum 1 Januari 1951. Penetapan tanggal 1 Januari 1951 sebagai
18
batas waktu yang disebabkan, karena pertama, akan menjadi sukar bagi
negara untuk melaksanakan kewajibannya terhadap pengungsi masa
depan, asal dan jumlah yang mungkin tidak diketahui. Kedua, karena 1
Januari 1951 adalah saat berdirinya UNHCR (Sri Setianingsih Suwardi,
2004: 33).
2. Penetapan Status sebagai Pengungsi
Menetapkan seseorang/kelompok orang berstatus sebagai pengungsi
sehingga dapat menikmati hak-hak yang ditentukan dalam Konvensi 1951
dan Protokol 1967 harus melalui proses penetapan yang dikenal dengan
istilah “eligibility” (determination of eligibility). Berdasarkan proses
penetapan tersebut, kemudian dikenal 2 macam pengungsi, yaitu :
1) Pengungsi Konvensi
Konvensi 1951 menentukan siapa yang diakui sebagai
pengungsi tetapi tidak menentukan prosedurnya karena penetapan
status sebagai pengungsi diserahkan kepada negara anggota Konvensi
1951. Di dalam prakteknya, maka prosedur tersebut ditetapkan oleh
panitia khusus (special authority) atau panitia ad hoc. Karena dalam
Konvensi tidak ada ketentuan tentang prosedur yang harus ditetapkan
dalam menentukan status pengungsi maka negara peserta dapat
menentukan prosedurnya sendiri sesuai dengan maksud Pasal 31 ayat
(2) Konvensi.
Biasanya pemerintah negara bersangkutan membentuk suatu
panitia khusus (komisi) yang terdiri dari wakil-wakil instansi yang ada
19
hubungannya dengan masalah pengungsi, misalnya instansi imigrasi,
polisi, pemerintah daerah, departemen sosial, dan sebagainya. Jika
dalam negara tersebut terdapat perwakilan UNHCR, maka dapat
dimintai pendapatnya dalam penentuan status pengungsi tersebut.
2) Pengungsi Mandat
Negara-negara yang tidak menjadi anggota Konvensi 1951
dan/atau Protokol 1967, penetapan status sebagai pengungsi ditetapkan
oleh wakil-wakil UNHCR yang ada di negaranya. Berdasarkan
Konvensi 1951, pengungsi tersebut berada di bawah perlindungan
UNHCR dan disebut sebagai pengungsi didasarkan pada Statuta
UNHCR (Sri Setianingsih Suwardi, 2004: 49).
3. Instrumen Hukum Pengungsi
a. Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi
The Convention relating to the Status of Refugees atau
Konvensi Jenewa 1951 tentang status pengungsi merupakan fondasi
bagi hukum pengungsi internasional. Konvensi Jenewa 1951
memberikan batasan tentang apa yang dimaksud dengan pengungsi
dan menegaskan standar minimum yang harus diberlakukan terhadap
orang-orang yang memenuhi syarat sebagai pengungsi.
Konvensi Jenewa 1951 tentang Status Pengungsi dirancang
pada akhir Perang Dunia II, sehingga definisi tentang pengungsi yang
dirumuskan di dalamnya difokuskan kepada orang-orang yang berada
di luar wilayah negara asalnya dan menjadi pengungsi sebagai akibat
20
dari peristiwa yang terjadi di Eropa sebelum 1 Januari 1951. Karena
persoalan pengungsi makin meningkatkan pada akhir tahun 1950an
dan awal 1960, diperluas cakupan waktu dan geografis dari Konvensi
tentang status pengungsi. Oleh karena itu, perkembangan berikutnya
telah dirancang dan disepakati suatu protokol tambahan terhadap
Konvensi tentang status Pengungsi tersebut yakni: 1967 Protocol
Relating to the status of refugees atau Protokol New Yok 1967 tentang
status pengungsi (Sigit Riyanto, 2004: 71).
b. Protokol New York 1967 mengenai Status Pengungsi
1967 Protocol relating to the status of refugees atau Protokol
New York 1967 tentang Status Pengungsi, meskipun berkaitan dan
mengandung substansi yang menyatu dengan Konvensi Jenewa 1951
merupakan instrumen yang berdiri sendiri. Protokol New York 1967
ini meniadakan batas waktu dan batas geografis definisi pengungsi
yang terdapat dalam Konvensi Jenewa 1951.
Secara bersamaan Konvensi Jenewa 1951 tentang Status
Pengungsi dan Protokol New York 1967 tentang status pengungsi
mencakup tiga masalah pokok sebagai berikut:
1) Definisi pengungsi yang mendasar, serta rumusan yang berkaitan
dengan ketentuan-ketentuan yang mengenai penghentian dan
pengecualian dari status pengungsi.
2) Status hukum pengungsi di negara suaka, hak dan kewajiban
mereka, termasuk hak untuk dilindungi terhadap pengembalian
21
paksa (refoulment), ke wilayah di mana hidup atau kebebasan
mereka akan terancam.
3) Kewajiban negara, termasuk untuk bekerjasama dengan UNHCR
dalam melaksanakan fungsinya serta memfasilitasi tugas UNHCR
dalam mengawasi pelaksanaan Konvensi Jenewa 1951 tentang
Status Pengungsi.
Melakukan tindakan aksesi Protokol New York 1967, berarti
negara yang bersangkutan sepakat untuk menerapkan sebagian terbesar
Pasal Konvensi Jenewa 1951 tentang Status Pengungsi (Pasal 2 sampai
dengan Pasal 34) pada semua orang yang tercakup oleh definisi
pengungsi yang ditetapkan di dalam Protokol 1967. Meskipun
demikian, sebagian besar negara lebih suka mengaksesi baik Konvensi
Jenewa 1951 tentang Status Pengungsi maupun Protokol New York
1967. Melakukan tindakan demikian, negara–negara menegaskan
bahwa
kedua
perjanjian
tersebut
merupakan
sentra
sistem
perlindungan pengungsi internasional (Sigit Riyanto, 2004: 72).
C. Tinjauan Umum tentang Imigrasi
1. Pengertian Imigrasi
Istilah imigrasi berasal dari Bahasa Latin yaitu migratio yang
artinya perpindahan orang dari suatu tempat atau negara menuju ke tempat
atau negara lain (Herlin Wijayanti, 2011: 129).
22
Secara etimologi istilah emigrasi, imigrasi, dan transmigrasi
ketiganya berasal dari bahsa Latin migration, yang berarti perpindahan
penduduk. Perpindahan manusia dari suatu tempat ke tempat lain, dekat,
atau jauh. Jadi dengan demikian, pengertian migran adalah perpindahan
penduduk secara besar-besaran dari suatu tempat ke tempat lain. Imigrasi
merupakan salah satu hak asasi manusia, yaitu memasuki negara lain.
Sedangkan emigrasi adalah perpindahan penduduk keluar dari suatu
negara (Jazim Hamidi & Charles Christian, 2015: 1).
Immigration is the movement of people from one place to another.
In the modern world day, immigration is always associated with the
migratioin of people from one country to another and in the new country
which he has permanent residence. Tourist and people who visit other
countries for a short term can not be reffered to as immigrants. Parties
that can be reffered to as immigrants are people who move to another
country for along time and in the new country he has had a permanent
residence (Melda Kamil Ariando, 2012: 245).
Istilah imigrasi menurut Sihar Sihombing (Jazim Hamidi & Charles
Christian, 2015: 7) berasal dari Bahasa Belanda, yaitu immigratie,
sedangkan Bahasa Latin, yaitu immigratie dengan kata kerjanya
immigreren, yang dalam Bahasa Latinnya disebut menjadi immigratie.
Dalam Bahasa Inggris disebut immigration, yang terdiri dari dua kata,
yaitu in artinya dalam dan imigrasi artinya pindah, datang masuk, atau
boyong.
23
Pengertian di atas, tersirat bahwa imigrasi dilakukan untuk
memberikan pembatasan dan perbedaan kewarganegaraan dan perbuatan
hukum yang dilakukan baik yang dilakukan antara warga negara asing
dengan negara tujuan termasuk warga negaranya, maupun warga negara
asing dengan warga negara asing yang berada di negara tujuan bertempat
tinggal. Pengertian tersebut disikapi oleh Indonesia dengan membuat
produk hukum berupa Undang-undang Keimigrasian tepatnya Undangundang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Sesuai ketentuan
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tersebut, yang
dimaksud keimigrasian adalah hal ikhwal lalu lintas orang yang masuk
atau keluar wilayah Negara Republik Indonesia serta pengawasannya
dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara (Jazim Hamidi &
Charles Christian, 2015: 7).
Pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas orang masuk atau
keluar wilayah Indonesia merupakan hak dan wewenang Negara Republik
Indonesia serta merupakan salah satu perwujudan dari kedaulatannya
sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. (Jazim Hamidi& Charles Christian, 2015: 8).
Fungsi dan kewenangan keimigrasian di Indonesia dilaksanakan
oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang secara khusus
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi. Penjabaran dari sistim
hukum keimigrasian yang dijalankan oleh pemerintah secara operasional
24
dituangkan ke dalam trifungsi imigrasi yaitu fungsi pelayanan masyarakat,
penegakan hukum, fungsi keamanan (Bagir Manan, 2000: 22).
Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka dapat dikatakan telah
terjadi perluasan makna dari istilah imigasi yang selama ini hanya terkait
dengan lalu lintas orang saja, melainkan juga terkait dengan segala sesuatu
tentang pengawasan orang asing di Indonesia dan dalam rangka menjaga
kedaulatan negara. Kedaulatan negara yang dimaksud adalah kekuasaan
tertinggi, sifat dan ciri hakiki suatu negara atas wilayah teritorial tertentu,
yaitu wilayah Negara Indonesia (Jazim Hamidi & Charles Christian,
2015: 8).
2. Imigran dan Imigran Gelap/Ilegal
Dahulu istilah imigran tidak terbatas pada manusia sebagai
pelakunya, namun juga dapat digunakan pada hewan dan benda-benda
yang dibawa pindah melintasi perbatasan suatu negara. Awalnya
perpindahan penduduk ini terjadi dikarenakan peperangan dan bencana
alam, sehingga penduduk mencari wilayah lain yang lebih aman.
Kemudian istilah imigran dipersempit terbatas pada manusia saja,
setelah negara-negara mengalami perkembangan yang secara otomatis
juga menciptakan undang-undang dan peraturan. Seseorang yang datang
dari suatu negara, ke negara lain namun tidak menetap, tidak disebut
imigran, melainkan hanya sebagai turis atau pelancong (www.yahoo.com).
Imigran adalah seseorang yang melakukan perpindahan dari negara
asalnya ke negara tujuan bermaksud untuk menetap di negara yang akan
25
disinggahi dengan dilengkapi dokumen perjalanan yang sah. Setiap orang
yang masuk atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia harus melalui
pemeriksaan keimigrasian di tempat pemerikasaan imigrasi oleh petugas
imigrasi.
Pemeriksaan keimigrasian terhadap warga negara asing yang akan
masuk ke wilayah Negara Republik Indonesia meliputi:
a.
Memeriksa
surat
perjalanannya
dan
mencocokkan
dengan
pemegangnya.
b.
Memeriksa visa bagi orang asing yang diwajibkan memiliki visa.
c.
Memeriksa pengisian lembar E/D.
d.
Memeriksa nama yang bersangkutan dalam daftar penangkalan (Sihar
Sihombing, 2009: 18).
Kementrian Luar Negeri melakukan perencanaan pencegahan
imigran ilegal dengan memperketat pemberian visa kepada warga negara
yang berasal dari negara-negara yang diindikasi akan menjadi imigran
ilegal. Selanjutnya Ditjen imigrasi, Mabes Polri, dan Pemerintah
Provinsi/Kabupaten/Kota agar melakukan pengawasan terhadap orang
asing khususnya terhadap mereka yang datang dengan dokumen melalui
fasilitas visa saat kedatangan (visa on arrival). Apabila mereka terbukti
melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, agar diambil
langkah penegak hukum (Asep Kurnia, 2011: 47).
Jumlah imigran yang bisa dikatakan sebagian besar ilegal sangat
potensial menimbulkan keresahan dan mengganggu stabilitas ideologi,
26
politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan, serta menjadi
kelemahan bangsa Indonesia tidak dapat menangani, mencegah, dan
menyelesaikan permasalahan imigran ilegal ini, maka akan menyebabkan
lemahnya Ketahanan Nasional. Imigran gelap/ilegal menurut Direktorat
Jenderal Imigrasi adalah orang asing yang masuk dan/atau berada di
wilayah Indonesia tidak sesuai ketentuan perundang-undangan.
Illegal immigration itself is a movement of one person who crossed
the line of the territory of a state where the movement has violated the
immigration laws of the country of destination. People who perform illegal
migration is reffered to as illegal immigrant. Illegal immigrants made up
of two types namely :
a) Foreigners who enter the boundaries of a country illegal (without a
valid visa or travel documents), whether by land, sea, or air.
b) Foreigners who legally entered a country but their immigration
permits run out in force and yet still remained within the country and
abusing or perform activities that are inconsistent with the purpose of
their immigration permit (Melda Kamil Ariando, 2012: 245).
Pengendalian Kementrian Luar Negeri dalam pencegahan imigran
ilegal dengan memerintahkan perwakilan di luar negeri khususnya
terhadap perwakilan di negara-negara yang diindikasikan sebagai tempat
awal dan tempat transit imigran ilegal untuk memperketat pemberian visa
dengan memeriksa secara teliti terhadap aplikasi pemohon visa. Petugas
imigrasi di bandar udara, pelabuhan laut, dan jalur darat memeriksa lebih
27
teliti keabsahan dokumen orang asing yang berasal dari negara-negara
yang diindikasi akan menjadi imigran ilegal. Selanjutnya Ditjen Imigrasi,
Mabes
Polri,
dan
Kejaksaan
Agung
melakukan
pengungkapan,
penangkapan serta memproses secara hukum terhadap personel sindikat
penyelundupan manusia yang ada di dalam negeri dengan menerapkan
pasal-pasal
dalam
Undang-undang
Keimigrasian
yang
ancaman
hukumannya paling berat (Asep Kurnia, 2011: 48).
3. Pengelompokan Masalah Imigrasi
a. Perdagangan Manusia
Upaya untuk mendefinisikan perdagangan manusia sudah
dilakukan sejak akhir abad 18. Namun sampai sekarang belum ada
kesepakatan lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah
menggenai
definisi
Perdagangan
manusia
(HumanTrafikking).
Menurut Aliansi Global Anti Perdagangan Perempuan (Global Aliance
Againts
the
Trafficking
of
Women/GAATW)
mendefinisikan
perdagangan orang sebagai “ All acts involved in the recrutment and/or
transportation of a person within and across national borders for work
or services by means of violence or threat of violence, abuse of
authority or dominant position, debt bondage, deception or other
forms of coercion” (Mahrus Ali dan Bayu Aji Pramono, 2011: 1).
The
International
Organization
for
Migration
(IOM)
mengidentifikasi empat elemen yang harus ada dalam perdagangan
orang yaitu :
28
1) an International border is cossed.
2) an facilitator-the trafficker-is involved.
3) money or another form of payment changes hands, and
4) entry and/orstay in the country of destination is illegal.
Definisi ini menegaskan bahwasannya perdagangan orang
tersebut pada kenyataannya bisa terjadi di suatu negara dan bisa juga
dalam konteks lintas negara (B. Rahmanto, 2005: 19).
Perdagangan orang (trafficking) menurut definisi dari Pasal 3
Protokol
PBB
berarti
perekrutan,
pengiriman,
pemindahan,
penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau
penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan,
penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan
atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau
memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari
seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.
Eksploitasi termasuk paling tidak eksploitasi untuk melacurkan orang
lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau
pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan,
penghambaan atau pengambilan organ tubuh. Pasal 3 Protokol PBB
untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Trafficking Manusia,
kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran
atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari
seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.
29
Eksploitasi termasuk paling tidak eksploitasi untuk melacurkan orang
lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau
pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan,
penghambaan atau pengambilan organ tubuh. (Pasal 3 Protokol PBB
untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Trafficking Manusia,
Khususnya Wanita dan Anak-Anak, ditandatangani pada bulan
Desember 2000 di Palermo, Sisilia, Italia) (www.unair.ac.id).
Sedangkan pengertian perdagangan manusia dalam pasal 1
angka 1 Undang-undang No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang ialah sebagai berikut:
" Tindakan perekrutan, penampungan, pengangkutan, pengiriman,
pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penculikan, penggunaan kekerasan, penyekapan, penipuan,
pemalsuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi
bayaran atau penjeratan utang atau manfaat, sehingga dapat
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas
orang lain tersebut, baik yang dilakukan antarnegara maupun di
dalam negara, demi untuk tujuan mengeksploitasi atau
mengakibatkan orang tereksploitasi".
Dalam
Undang-undang
No.
21
Tahun
2007
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Manusia, Pengertian
eksploitasi dalam tindak pidana perdagangan manusia dijelaskan
dalam Pasal 1 angka 7 yang menyebutkan bahwa:
" Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban
yang meliputi, tetapi tidak terbatas pada perbudakan, pelacuran, atau
praktik serupa perbudakan, kerja atau pelayanan paksa, pemanfaatan
fisik, penindasan, pemerasan, organ reproduksi, seksual, atau secara
melawan hukum. Mentransplantasi atau memindahkan organ
dan/atau jaringan tubuh, atau kemampuan seseorang atau tenaga
seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik
materil maupun immateril".
30
b. Penyelundupan Manusia
Penyelundupan Manusia (People Smuggling), menurut definisi
Pasal 3 Protokol PBB Tahun 2000 tentang Penyelundupan Manusia,
berarti mencari untuk mendapat, langsung maupun tidak langsung,
keuntungan finansial atau materi lainnya, dari masuknya seseorang
secara illegal ke suatu bagian negara dimana orang tersebut bukanlah
warga atau memiliki izin tinggal. Masuk secara illegal berarti melintasi
batas negara tanpa mematuhi peraturan/perijinan yang diperlukan
untuk memasuki wilayah suatu negara secara legal.
Tindak pidana penyelundupan imigran yang diatur dalam Pasal
6 Protokol Menentang Penyelundupan Migran bahwa negara peserta
harus membuat peraturan perundang-undangan tentang jenis kejahatan
ini yang dilakukan secara sengaja dan untuk mendapatkan uang atau
keuntungan materi lainnya. Indonesia merupakan salah satu negara
yang turut meratifikasi protokol ini yang diwujudkan dalam UU No. 6
Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, yaitu ketentuan mengenai
penyelundupan imigran diatur dalam Pasal 120 UU No. 6 Tahun 2011.
Pasal 120 ayat (1) tidak menggunakan istilah imigran melainkan istilah
penyelundupan tindakan yang memberi peluang atau bantuan
terjadinya penyelundupan imigran berupa:
1) Mengeluarkan dokumen identitas atau perjalanan yang diperoleh
secara curang.
31
2) Mendapatkan, menyediakan, atau memiliki dokumen. Ketetuan ini
diwujudkan dalam Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 126,
Pasal 127, Pasal 128, Pasal 129, dan Pasal 130 UU No. 6 Tahun
2011.
3) Membantu orang asing untuk tinggal di suatu negara tanpa
mematuhi ketentuan hukum nasionalnya untuk tinggal secara sah
atau secara illegal, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 124, dan Pasal 125
UU No. 6 Tahun 2011 mengatur sebagaimana yang dijelaskan
dalam protokol tersebut.
4) Melakukan percobaan, berperan serta, mengorganisasi atau
memberi petunjuk kepada orang lain untuk melakukan kejahatan
penyelundupan imigran dan dalam UU No. 6 Tahun 2011, hal
percobaan penyelundupan manusia diatur dalam Pasal 120 (2).
Tidak diatur mengenai tindak pidana penyelundupan manusia
yang dilakukan oleh kejahatan terorganisasi. Tindak pidana yang
diatur adalah jika tindak pidana penyelundupan manusia dilakukan
oleh korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 136 ayat (1) dan
(2). Terhadap pejabat imigrasi yang membiarkan tindak pidana
penyelundupan manusia diatur dalam Pasal 133 ayat (1).
5) Tindakan yang membahayakan kehidupan atau keselamatan para
imigran atau adanya perlakuan tidak manusiawi termasuk
eksploitasi terhadap para imigran. Ketentuan terakhir ini tidak
diatur
dalam
UU
No.
6
Tahun
2011.
Tindak
pidana
32
penyelundupan manusia dalam UUNo. 6 Tahun 2011 tidak diatur
tersendiri dalam suatu Bab melainkan masuk dalam Bab XI yang
mengatur mengenai ketentuan pidana keimigrasian. Hal yang
secara langsung berkaitan dengan tindak pidana penyelundupan
manusia diatur dalam Pasal 120, Pasal 133 huruf a dan Pasal 136
ayat (1) dan (2) (Eranovita Kalalo Paembonan, 2014: 143).
Terkait dua pengertian tersebut, terdapat minimal tiga aspek
yang membedakan antara kejahatan perdagangan orang dan kejahatan
penyelundupan manusia, yakni aspek persetujuan (agreement), aspek
(purpose), dan aspek lokus atau wilayah (territory). Selain itu, masih
ada satu aspek lagi yan terkait erat dengan praktik penyelundupan
manusia yaitu proses terbentuknya kesepakatan antara orang dan/atau
pihak yang terlibat di dalamnya (IOM, 2009: 4).
Empat
aspek
terkait
penyelundupan
manusia
sekaligus
membedakannya dengan perdagangan manusia, yaitu:
a. Aspek persetujuan (agreement), dalam kejahatan perdagangan
orang, korban tidak menyadari kesuluruhan proses yang terjadi
atau apabila korban menyadarinya, maka seringkali kaena
penipuan atau ancaman kekerasan. Sedangkan dalam kejahatan
penyelundupan manusia, orang yang diselundupkan sepenuhnya
menyadari keseluruhan proses, walaupun ini mengakibatkan
kondisi sangat memprihatinkan dan membahayakan bagi dirinya
sendiri.
33
b. Aspek tujuan (purpose), dalam konteks perdagangan orang,
eksploitasi dapat berlangsung sejak orang yang diperdagangkan
(korban) berada di penampungan dan terus berlangsung hingga
korban sampai di tempat tujuan. Sedangkan dalam penyelundupan
manusia, aspek tujuan mengacu pada situasi kedatangan seseorang
di tempat tujuan sesuai dengan keingininan dan pilihan secara
bebas orang yang diselundupkan tersebut.
c. Aspek wilayah (territory), kegiatan perdagangan orang bisa terjadi
di luar wilayah negara atau bisa juga terjadi dalam suatu wilayah
negara (antar daerah/antar pulau). Sementara itu, wilayah kegiatan
penyelundupan manusia adalah antar negara dan menyangkut lintas
batas satu negara dengan negara lain.
d. Aspek hubungan antar pihak yang terlibat. Kejahatan perdagangan
orang bisa saja tidak pernah ada kesepakatan antar pelaku
perdagangan
orang
yang
diperdagangkan.
Andai
terjadi
kesepakatan terdapat ketidaksesuaian antara kesepakatan itu
dengan
kenyataan
yang
terjadi.
Penyelundupan
manusia,
kesepakatan antara orang yang akan diselundupkan dan pelaku
penyelundupan sudah terbentuk sejak awal dan berakhir di negara
tujuan (IOM, 2009: 5).
34
D. Tinjauan Umum tentang IOM (International Organization for Migration)
1. Eksistensi IOM (International Organization for Migration)
Didirikan tahun 1951 atas inisiatif Belgia dan Amerika. IOM
terbentuk sebagai manifestasi hasil Konferensi International tentang
imigrasi yang diadakan di Brusels. Badan ini semula diberi nama
Provisional Integovermental Committee for the Movements of Migrant
from
Europ
(PICMME),
kemudian
berubah
nama
menjadi
Intergovernmental Committee for European Migrantion (ICEM). Tahun
1989 ICEM’s Council berubah nama lagi menjadi Intergovernmental
Comittee for Migration (ICM) dengan skala kerja yang lebih luas, tidak
hanya mencangkup Eropa saja. Baru pada tahun 1989 ICM berubah
menjadi International Organization for Migration (Wagiman, 2012: 191).
Berdasarkan sejarahnya sejak tahun 1951 hingga tahun 2001 IOM
telah berganti nama sebanyak empat kali, yaitu PICMME (mulai tahun
1951), kemudian berubah menjadi ICEM, kemudian berubah lagi menjadi
ICM (mulai tahun 1980 sampai 1989), dan terakhir IOM (mulai tahun
1989 sampai sekarang). Struktur organisasi IOM meliputi Office of the
Director General yang memebawahi Director Genenral, Deputy Director
General, dan Working Group on Gender Issues. Office of the Director
General dipilih oleh suatu dewan masa kerja lima tahun. Badan ini
meliputi Excecutif Officer yang memiliki otoritas untuk mengelola
organisasi dan mengadakan kegiatan sesuai mandat untuk memformulasi
kebijakan-kebijakan organisasi serta menyusun program pengembangan
35
sesuai dengan prioritas serta strategi organisasi. Dibawah Office of the
Director General adalah seluruh tenaga administrasi dan staf petugas
lapangan yang melaksanakan kegiatan-kegiatan IOM di markas-markas
(Wagiman,
2012:
191).
Organisasi
Internasional
untuk
Migrasi
(International Organization for Migration) berupa untuk menjamin
penanganan imigrasi secara tertib dan manusiawi, untuk mencapai
kerjasama yang menyangkut permasalahan imigrasi, untuk memberikan
pencarian solusi praktis terhadap permasalahan imigrasi dan memberikan
bantuan kemanusiaan kepada para imigran yang membutuhkan, termasuk
para pengungsi dan pengungsi internal (IOM, 2009: 247).
IOM beroperasi di Indonesia sejak 1979 dengan diprosesnya orangorang perahu yang berasal dari Vietnam di Tanjung Pinang, Riau. Sejak
saat itu, aktifitas IOM di Indonesia telah berkembang secara signifikan
baik dalam hal jangkauan geografis maupun sasaran populasinya. Saat ini
IOM pendiri 20 kantor wilayah yang terletak di seluruh Indonesia,
termasuk ibukota Jakarta, serta Banda Aceh di daerah paling barat dari
propinsi Aceh dan Jayapura sebagai wilayah paling timur dari propinsi
Papua. IOM Indonesia telah memiliki lebih dari 300 staf yang
mengerjakan berbagai macam aktifitas, dalam kemitraannya dengan
Pemerintah Indonesia, masyarakat madani dan komunitas donor. Nilai
total dari proyek aktif dan portfolio program IOM Indonesia pada tahun
2013 mencapai lebih dari USD 70 juta (http://indonesia.iom.int/id/iomindonesia-0).
36
2. Mandat dan Peran IOM secara Internasional
Organisasi Internasional untuk Migrasi (International Organization
for Migration) berupaya untuk menjamin penanganan imigrasi secara
tertib
dan
manusiawi,
untuk
memajukan
kerjasama menyangkut
permasalahan imigrasi, dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada
para imigran yang membutuhkan, termasuk para pengungsi dan pengungsi
internal. Langkah-langkah untuk memerangi imigrasi ilegal secara efekrif
menggabungkan penegakan hukum dengan pencegahan dan pendidikan,
baik di dalam maupun secara internasional. Kerjasama internasional perlu
mencakup tindakan-tindakan pengendalian, pelatihan, riset, informasi dan
serangkaian tindakan-tindakan preventif (IOM, 2009: 247).
Mandat
utama
IOM
secara
internasional
yaitu
membantu
pemerintah di berbagai negara dalam mengembangkan dan menerapkan
kebijakan, perundang-undangan dan mekanisme administratif imigrasi.
Bantuan tersebut diberikan baik melalui pemberian bantuan teknis dan
pelatihan bagi pejabat pemerintah juga pemberian bantuan teknis dan
pelatihan bagi pejabat pemerintah dan juga pemberian bantuan bagi para
imigran. Fokus lembaga tersebut saat ini dirasakan menjadi masalah utama
dalam penanganan imigrasi di berbagai negara (Wagiman, 2002: 193).
Sebagai sebuah organisasi antar-pemerintah utama dalam bidang
migrasi, IOM kerap diminta oleh negara untuk membantu menangani
tantangan-tantangan yang kompleks dalam manajemen perbatasan. Secara
37
umum, program penanganan imigrasi dan manajemen perbatasan IOM
meliputi 7 area:
1) Pengkajian manajemen migrasi dan perbatasan.
2) Pengembangan kapasitas manajemen perbatasan dan migrasi.
3) Manajemen perbatasan.
4) Manajemen identitas.
5) Pemberantasan penyelundupan manusia.
6) Manajemen data migrasi, dan analisa risiko dan intelejen.
7) Bantuan imigrasi dan visa.
3. IOM (International Organization for Migration) Indonesia
Direktorat Jenderal Imigrasi Republik Indonesia telah lama hanya
memiliki kapasitas yang terbatas dalam menyelenggarakan pengawasan
perbatasan secara memadai dan telah berupaya untuk mengkoordinasikan
usaha-usahanya dengan Kepolisian Republik Indonesia dalam memproses
para imigran ilegal. Kantor IOM bekerjasama secara erat dengan
Pemerintah RI untuk mengembangkan koordinasi yang lebih baik dalam
upaya-upaya untuk memerangi penyelundupan manusia serta penanganan
imigran ilegal (IOM, 2009: 247).
IOM di Indonesia mulai beroperasi tahun 1979 kiprah pertama yaitu
dengan memberikan bantuan terhadap manusia perahu Vietnam di
Tanjung Pinang, Riau. Tahun 1991 Indonesia mendapatkan status sebagai
Negara Pengawas IOM. Pada tahun 1999 Nota Kesepahaman antara
Pemerintah Indonesia dan IOM ditandatangani pada bulan Oktober 1999,
38
mengotorisasi IOM untuk menangani isu masyarakat pengungsi dari
konflik di Timor Timur. IOM mendirikan kantor pusat Kupang dan
Atambia, untuk menfasilitasi pemulangan pengungsi Timor Timur.
Tahun 2000, IOM dan Pemerintah Indonesia menandatangani
Persetujuan Kerjasama dalam Penanganan Migrasi Iregular, pengungsi
internal, manajemen perbatasan dan imigrasi. Persetujuan ini menjadi
basis hukum operasi IOM di Indonesia. IOM memindahkan kantor cabang
pada tahun 2001 di Bali ke Mataram, Lombok, dalam rangka menangani
meningkatnya jumlah kasus migran iregular. Bali Process terjadi pada
tahun 2002, yaitu IOM menfasilitasi Konferensi Tingkat Menteri Regional
tentang penyelundupan manusia, perdagangan manusia dan kejahatan
trans-nasional lainnya di Bali. Konferensi Bali Process ini bertujuan untuk
mengembangkan kapasitas nasional dan regional dalam rangka menangani
isu-isu perdagangan dan penyelundupan manusia. Sebagai kelanjutan dari
Bali Process, IOM meluncurkan sebuah pilot programme untuk
mendukung
upaya
penegakan
hukum
dalam
rangka
memerangi
perdagangan manusia. Program anti-perdagangan manusia yang lebih luas
kemudian diluncurkan bekerjasama dengan pemerintah.
Kemudian, IOM membuka dua kantor baru yaitu di Situbondo,
Jawa Timur, untuk membantu penanganan migran iregular, dan di
Pontianak, Kalimantan Barat, untuk implementasi proyek rehabilitasi
lahan dan pengembangan kapasitas, dengan kelompok target pengungsi
internal orang Madura. IOM mulai bekerja dengan Kementerian Hukum
39
dan HAM untuk meningkatkan perlindungan bagi pengungsi internal
melalui kegiatan pengembangan kapasitas. IOM juga mendukung
teciptanya garis perbatasan yang stabil antara Timor Barat dan Timur.
Tahun 2003 Kantor IOM di Banda Aceh dibuka untuk mengkaji
dampak sosial-ekonomi konflik di Nanggore Aceh Darusallam (NAD),
terutama yang terkait dengan kondisi pengungsi. IOM memulai proyek
Reformasi Polisi untuk membantu Kepolisian Republik Indonesia
(POLRI) bertransformasi menjadi lembaga penegak hukum yang berbasis
pada nilai-nilai demokratis, penghormatan hak asasi manusia, dan
supremasi hukum. Proyek ini memberikan pelatihan HAM dan Polisi
Masyarakat.
Paska
bencana
tsunami
26
Desember
2004,
IOM
mengembangkan operasinya di Indonesia. IOM adalah satu-satunya
lembaga internasional yang beroperasi di 15 Kabupaten NAD yang
terkena dampak bencana. Pengalaman IOM yang luas dalam bidang
bantuan darurat bencana dan hubungannya yang erat dengan pemerintah
serta lembaga lainnya membuat IOM mampu merespons dengan cepat.
Kemudian adanya bantuan untuk darurat tsunami. IOM Medan membuka
kantor di Medan sebagai kantor pusat logistik bagi operasi bantuan
tsunami. Truk-truk dari Medan mengirimkan berton-ton bantuan dari
Medan kepada korban selamat di NAD.
Pemulihan bencana pada tahun 2005 IOM membuka kantor di
Meulaboh, Simeulue dan Pidie di NAD, Pulau Nias dan Sibolga di
Sumatra Utara untuk membantu mengelola aktivitas di Indonesia dalam
40
rangka Program Pemulihan Bencana. IOM juga meresmikan pendirian
Pusat Pemulihan Psikologis dan Medis bagi korban perdagangan manusia
di Jakarta. Tahun 2006 IOM melakukan operasi tangggap darurat bencana
gempa Yogyakarta, dengan membantu transportasi, logistik, bantuan
medis
dan
tempat
penampungan
darurat,
dengan
memanfaatkan
pengalaman dan hubungan kemitraan yang telah dikembangkan di NAD
dalam rangka tanggap darurat bencana. Tahun 2007, IOM menyelesaikan
pembangunan sebanyak 1.233 pemukiman sementara, 3.040 pemukiman
permanen, 247 sekolah dan 132 bangunan komunitas sebagai bagian dari
rekonstruksi paska tsunami di NAD. IOM melakukan operasi darurat
bencana di Sumatra Barat dengan bantuan logistik, pemukiman dan medis.
Bersama-sama dengan empat organisasi mitra, IOM membangun 669
pemukiman sementara di empat kabupaten yang terkena. Klinik Medis
Bergerak diciptakan untuk mendukung pelayanan kesehatan fisik dan
mental bagi komunitas yang terkena dampak konflik di NAD. Proyek ini
menggabungkan layanan kesehatan ke dalam program Pembangunan
Perdamaian IOM yang mengikutsertakan reintegrasi mantan tahanan dan
pejuang.
IOM ditunjuk oleh pemerintah Indonesia sebagai organisasi utama
yang merancang dan mengimplementasikan program paska konflik dalam
rangka penstabilan kembali Aceh. Kemudian pada tahun 2008 IOM
mendukung pendirian koperasi perempuan di NAD. Pada akhir tahun lebih
dari 8.000 pinjaman kredit dengan nilai lebih dari US$1.460.000 telah
41
diberikan pada perempuan miskin di daerah-daerah terpencil di Aceh
untuk membantu mereka membuka usaha kecil dan memberi mereka
pemasukan. Di Yogyakarta dan Jawa Tengah, IOM meluncurkan sebuah
proyek yang didanai oleh Java Reconstruction Fund untuk membantu
membangkitkan kembali 3.000 usaha kecil yang terkena dampak gempa.
IOM Indonesia menfasilitasi migrasi meluncurkan sebuah proyek
untuk
mengumpulkan
data,
mendorong
diskusi
kebijakan
dan
menyebarluaskan pengetahuan tentang praktik-praktik terbaik tentang
pengiriman uang pulang yang dilakukan oleh tenaga kerja Indonesia di
luar negeri. Pada Police Project 25% dari personil polisi telah menerima
pelatihan HAM dan Polisi Masyarakat dengan menggunakan modul
pelatihan IOM. IOM memperbaharui Buku Panduan bagi Penegak Hukum
dan Perlindungan Korban Perdagangan Manusia dan Penanganan Kasus
Perdagangan Manusia pada tahun 2009, dengan memasukkan Undangundang No. 21 tentang Pemberantasan Perdagangan Manusia. Panduan
IOM telah disebarkan kepada 28.000 anggota komunitas penegak hukum
sejak tahun 2005. IOM juga menerbitkan kurikulum pelatihan bagi
Kepolisian, Jaksa, dan Hakim tentang penanganan kasus perdagangan
manusia. Pada bulan September, jumlah korban perdagangan manusia
yang dibantu secara langsung oleh IOM Indonesia adalah 3.540 orang.
Buku panduan penyelundupan manusia Berkolaborasi dengan Kepolisian,
Imigrasi dan tim peneliti multi-disiplin dari Universitas Indonesia, IOM
42
mengembangkan dan menerbitkan buku panduan pertama bagi penegak
hukum tentang penanganan kasus penyelundupan manusia.
IOM pada tahun 2010 mendukung pemulihan dan pembangunan
ekonomi paska bencana dengan memperluas akses keuangan dan
memberikan bantuan terpadu bagi petani, koperasi dan usaha kecil
perkebunan kopi di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah. Proyek ini
berhasil meningkatkan kualitas kopi dan meningkatkan hasil panen dari
1.767 petani dan koperasi mereka, sekaligus juga menciptakan 193
pekerjaan tambahan. Pengurangan risiko bencana di Jawa Barat, IOM
mengimplementasikan proyek pengurangan risiko bencana multi-sektor,
meningkatkan kapasitas tanggap darurat bencana dan DRR di 6 desa yang
rawan (http://indonesia.iom.int/id/iom-indonesia/sejarah-iom-indonesia).
Sejak Juni 2000, IOM Indonesia telah berhasil melaksanakan
Perjanjian Kerjasama Regional (Regional Coorporation Agreement-RCA),
sebuah program yang diciptakan oleh pemerintah Australia, Indonesia dan
IOM untuk memberikan perawatan dan pemeliharaan bagi imigran gelap
yang terdampar. Proyek ini membantu Pemerintah RI dengan memberikan
akomodasi, makanan, layanan kesehatan, konseling dan opsi pemulangan
secara sukarela kepada imigran yang tertangkap dalam perjalanan menuju
Australia. Kerangka ini, pihak berwajib Indonesia bertanggungjawab
menentukan maksud para imigran yang ditangkap. Mereka yang
diidentifikasi sedang melakukan transit melalui Indonesia dalam
perjalanan mereka ke Australia kemudian dirujuk ke IOM untuk
43
mendapatkan bantuan. Disamping memberikan bantuan materiil, IOM
memberitahukan kepada para imigran mengenai hak-hak mereka untuk
menuntut suaka dan merujuk mereka yang ingin mendaftar permohonan
tersebut kepada UNHCR. IOM akan terus memberikan layanan perawatan
dan pemeliharaan kepada para imigran sementara mereka dievakuasi oleh
UNHCR untuk status pengungsi (IOM, 2009: 247).
IOM Indonesia bekerja erat dengan pemerintah terutama di bidang
pengkajian manajemen migrasi dan perbatasan dan pemberantasan
penyelundupan manusia. Upaya IOM Indonesia dalam pemberantasan
penyelundupan dimulai pada tahun 2000, dan sejak itu telah berkembang
secara signifikan. Bantuan dana dari berbagai negara seperti Australia dan
Kanada, sejumlah proyek telah diluncurkan untuk mendukung upaya
pemerintah Indonesia dalam manajemen migrasi dan pemberantasan
penyelundupan. Semua proyek dirancang untuk menopang kebijakan dan
prioritas
pemerintah
Indonesia
(http://indonesia.iom.int/id/aktivitas-
kami/imigrasi-dan-manajemen-perbatasan).
Tepatnya pada Maret 2012
terdapat 48 imigran gelap yang
ditangkap pihak POLRES Ciamis saat akan menyeberang ke Australia
dari Perairan Pantai Masawah, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Ciamis.
Saat para imigran gelap masih berada di penampungan sementara di Hotel
Nukita Jalan Raya Jenderal Soedirman, Kabupaten Ciamis. Polisi maupun
petugas Imigrasi mengalami kesulitan untuk melakukan pendataan nama
imigran lantaran para imigran tertutup saat diajak berkomunikasi.
44
Kebanyakan dari mereka mengaku tidak bisa berbahasa Inggris, padahal
beberapa imigran ada yang sudah bisa mengucapkan Bahasa Indonesia.
48 imigran yang berada di penampungan sedang ditangani langsung
International Organization for Migration (IOM). Perwakilan IOM yang
datang ke Ciamis langsung melakukan pendekatan dan pengarahan agar
mereka
lebih
terbuka
(http://news.okezone.com/read/2012/03/09
/526/590515/48-imigran- gelap-ditangani-iom-di-penampungan).
E. Tinjauan Umum tentang United Nations High Commissioner for Refugees
(UNHCR)
1. Sejarah UNHCR
United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR)
dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa No. 428 (V) dan keberadaannya diakui sejak bulan Januari 1951.
UNHCR berpedoman kepada mandat yang diberikan oleh Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan The Economic and Social Council
(ECOSOC). Badan PBB untuk urusan pengungsi pertama kali terbentuk
pada awal Perang Dunia ke-2 untuk membantu orang Eropa yang
terpencar karena konflik tersebut. Kantor United Nations High
Commissioner for Refugees didirikan pada 14 December 1950 oleh Sidang
Umum PBB dengan mandat tiga tahun untuk menyelesaikan tugasnya lalu
akan dibubarkan. Pada 28 Juli dicetuskannya Konvensi PBB tentang
45
Status Pengungsi, sebuah dasar hukum dalam membantu pengungsi dan
statuta dasar yang mengarahkan kerja UNHCR.
Pada tahun 1956, UNHCR mengalami keadaan darurat terbesarnya
yang
pertama,
dimana
jumlah
pengungsi
mengalami
peledakan
dikarenakan Soviet yang menghancurkan Revolusi Hongaria. Segala teori
yang menyebutkan bahwa UNHCR tidak dibutuhkan, tidak lagi
mengemuka. Pada tahun 1960-an, dekolonisasi Afrika menyebabkan krisis
pengungsi dalam jumlah terbesar dalam benua tersebut hingga
membutuhkan intervensi UNHCR. Selama dua dekade berikutnya
UNHCR membantu mengatasi pergerakan manusia di Asia dan Amerika
Latin. Pada akhir abad, terdapat permasalahan pengungsi baru di Afrika,
menjadikan adanya siklus yang berulang dan membawa gelombang
pengungsi baru di Eropa menyusul serangkaian perang di daerah Balkan.
Pada awal abad 21, UNHCR telah membantu berbagai krisis
pengungsi terbesar di Afrika seperti di Republik Demokrat Kongo dan
Somalia, serta di Asia, terutama dalam permasalahan pengungsi di
Afghanistan yang berlangsung selama 30 tahun. Pada saat yang sama,
UNHCR diminta untuk menggunakan keahliannya untuk mengatasi
permasalahan
pengungsi
internal
yang
disebabkan
oleh
konflik.
Disamping itu, peran UNHCR juga meluas hingga menangani bantuan
bagi orang-orang tanpa kewarganegaraan, sebuah kelompok orang yang
berjumlah jutaan namun tidak kasat mata, sementara mereka menghadapi
bahaya
kehilangan
hak-hak
dasarnya
karena
tidak
memiliki
46
kewarganegaraan. Beberapa bagian dunia seperti di Afrika dan Amerika
Latin, mandat awal UNHCR yang ditetapkan pada tahun 1951 telah
diperkuat dengan adanya perjanjian tentang instrumen hukum regional.
Pada tahun 1954, UNHCR memenangkan penghargaan Nobel Peace
atas kerja besarnya membantu pengungsi di Eropa. Mandatnya kemudian
diperluas hingga akhir dekade dan lebih dari 25 tahun kemudian, UNHCR
menerima penghargaan pada tahun 1981 atas kontribusinya yang berupa
bantuan global bagi para pengungsi dengan kutipan yang menggaris
bawahi hambatan politik yang harus dihadapi UNHCR. Jumlah negara
anggota sebanyak 34 staff pada saat awal berdirinya, saat ini UNHCR
telah memiliki 7.190 staff nasional dan internasional, termasuk 702 orang
yang bekerja di kantor pusat di Geneva. UNHCR bekerja di 123 negara,
dengan staff yang berbasis di 124 lokasi utama, seperti di daerah dan
kantor cabang, dan 272 sub-kantor dan kantor lapangan yang seringkali
berada
di
daerah
terpencil
(http://www.unhcr.or.id/id/tentang-
unhcr/sejarah-unhcr).
2. Tugas dan Fungsi UNHCR
UNHCR berpedoman kepada mandat yang diberikan oleh Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan The Economic and Social Council
(ECOSOC). Statuta tahun 1950 menyebutkan tentang fungsi utama
UNHCR yaitu memberikan perlindungan internasional dan mencari solusi
permanen untuk masalah pengungsi dengan membantu pemerintah untuk
memfasilitasi pemulangan sukarela para pengungsi tersebut, atau asimilasi
47
mereka dalam komunitas-komunitas nasional baru (Achmad Romsan, dkk,
2003: 70).
Konsep perlindungan yang diberikan oleh UNHCR adalah lebih
menekankan pada usaha pengembangan instrumen hukum Internasional
untuk kepentingan para pengungsi dan memastikan agar mereka mendapat
perlakuan sesuai dengan ketentuan instrumen hukum internasional, khusus
yang berkaitan dengan hak untuk bekerja, jaminan sosial, serta hak untuk
mendapatkan atau memanfaatkan fasilitas perjalanan (Achmad Romsan,
dkk, 2003: 71).
PBB telah membentuk badan UNHCR guna memenuhi hak-hak para
pengungsi sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM). Pada butir kedua DUHAM disebutkan hak-hak
tersebut mencakup hak untuk hidup, hak untuk mendapat kebebasan dan
keamanan pribadi, dimana kondisi ini tidak mereka dapat di negaranya dan
juga tidak diberikan oleh pemerintah (Wagiman, 2012: 189).
Disamping melindungi hak-hak dan menjaga keadaan para
pengungsi, UNHCR memiliki tujuan utama untuk mencari solusi jangka
panjang bagi para pengungsi yang akan memberikan mereka kesempatan
untuk membangun kembali hidup mereka sepantasnya dalam damai.
Mencari solusi jangka panjang bagi mereka yang membutuhkan
perlindungan internasional di Indonesia adalah salah satu tugas terpenting
UNHCR. Pemerintah Indonesia memberikan dukungan besar dalam
pemberian suaka dengan pemberian ijin bagi pencari suaka untuk berada
48
di Indonesia, memperoleh layanan UNHCR dan ijin tinggal sementara di
Indonesia selama mereka menunggu solusi jangka panjang yang sesuai
bagi mereka. Solusi jangka panjang yang ada terdiri dari integrasi lokal,
pemulangan secara sukarela, atau penempatan di negara ketiga
(http://www.unhcr.or.id/id/tugas-a-kegiatan/solusi-jangka-panjang).
UNHCR menjalankan mandatnya dalam hal keadaan tanpa
kewarganegaraan di Indonesia dengan cara melakukan berbagai aktivitas
untuk
mengidentifikasi
populasi
orang
yang
tidak
memiliki
kewarganegaraan yang mungkin ada dan untuk melihat celah-celah yang
ada dalam peraturan yang berlaku yang mungkin mengarah kepada
keadaan tanpa kewarganegaraan. UNHCR juga mempromosikan dan
mendorong dikeluarkannya dokumen dan perolehan kewarganegaraan.
UNHCR di Indonesia dalam menjalankan kegiatan tersebut, melakukan
upaya bahu membahu dengan instansi pemerintah yang relevan, LSM,
badan PBB lainnya (UNFPA, UNICEF) dan organisasi sosial sipil yang
melalui berbagai diskusi dan pertemuan membahas permasalahan untuk
mengidentifikasi
celah
yang
ada
dalam
peraturan
dan
praktek
kesehariannya, untuk memperkuat komitmen diantara para partisipan
dalam mengatasi tantangan yang saat ini ada dalam hal memperoleh
kewarganegaraan Indonesia, dan untuk menimbang nilai lebih yang dapat
diperoleh apabila instrumen hukum terkait statelessness diaksesi. Institut
Kewarganegaraan Indonesia (IKI), Kementrian Hukum dan HAM dan
Kementrian Dalam Negeri adalah mitra kerja utama UNHCR dalam
49
menangani statelessness. Meskipun Indonesia saat ini belum menjadi
Negara Pihak dari Konvensi 1954 tentang Status Orang Tanpa
Kewarganegaraan atau Konvensi 1961 tentang Pengurangan Keadaan
tanpa Kewarganegaraan, Indonesia telah mencapai kemajuan yang
signifikan
dalam
reformasi
ketentuan
dan
Undang-undang
kewarganegaraannya. Pemerintah Indonesia telah mengadopsi berbagai
langkah proaktif untuk mengurangi dan mencegah keadaan tanpa
kewarganegaraan, terutama dengan Undang-undang Kewarganegaraan
2006 yang menghapus ketentuan diskriminasi yang ada sebelumnya dan
dengan adanya pembaharuan dalam ketentuan kewarganegaraan di
Indonesia
(http://www.unhcr.or.id/id/tugas-a-kegiatan/keadaan-tanpa-
kewarganegaraan).
UNHCR memiliki prosedur pemberian bantuan yang berkaitan
dengan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) berupa perlindungan
internasional. Secara umum konsep ini berisikan pencegahan pemulangan
kembali, bantuan dalam memproses pencarian suaka, bantuan dan nasihat
hukum, pemajuan penyelenggarakan keamanan fisik bagi pengungsi,
pemajuan dan membantu pemulangan kembali secara sukarela, dan
membantu para pengungsi untuk bermukim kembali (Wagiman, 2012:
190).
Para pengungsi adalah orang-orang yang sangat miskin dan tidak
dapat mencari penghidupan serta memperbaiki taraf kehidupan mereka
tanpa adanya bantuan perlindungan dari negara dimana mereka berada.
50
Kepergian mereka juga karena terpaksa, akibatnya mereka tidak dapat
mengurus dokumen-dokumen (surat-surat) perjalanan yang sangat
dibutuhkan sewaktu mereka melintasi batas negara mereka untuk pergi
mengungsi ke negara lain (Achmad Romsan, dkk, 2003: 28).
Badan
Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk
urusan Pengungsi
(UNHCR) memiliki mandat menyediakan perlindungan internasional
untuk pencari suaka dan pengungsi, serta untuk menemukan solusi
berkelanjutan untuk pengungsi. Upaya ini dicapai dengan memastikan
dipenuhinya hak asasi pencari suaka dan pengungsi, melalui penyediaan
bantuan kemanusiaan dalam kondisi-kondisi tertentu dan dengan
memastikan bahwa para pencari suaka dan pengungsi dilindungi dari
upaya pengembalian secara tidak suka rela ke sebuah negara dimana
mereka dapat mengalami persekusi. Di Indonesia, UNHCR bekerja erat
dengan Pemerintah Indonesia dan IOM (International Organization for
Migration) dalam menjalankan mandatnya (IOM, 2009: 251).
Tugas UNHCR yaitu mewawancarai para pencari suaka yang berada
di RUDENIM (Rumah Detensi Imigrasi) terkait alasan mencari suaka,
kemudian berdasarkan hasil interview tersebut akan ditetapkan statusnya
oleh UNHCR. Apakah mereka akan ditingkatkan statusnya menjadi
pengungsi atau tidak. Jika para pencari suaka dikabulkan maka akan
dipindahkan ke Community Housing kemudian menunggu sampai ada
yang menerima mereka atau negara ketiga dan membutuhkan waktu yang
cukup lama. Belum tentu terkabul dan bisa juga ditolak (rejected). Jika
51
reject maka akan mengajukan lagi maksimal 3 kali. Jika selama 3 kali
tidak dikabulkan maka oleh UNHCR akan dipulangkan ke negaranya
secara paksa (Wawancara dengan Adithia Perdana, Kasubsie Komunikasi
Keimigrasian, Kantor Imigrasi Cilacap, 4 Desember 2015).
3. Peran UNHCR
UNHCR adalah suatu badan kemanusiaan untuk mengurusi masalah
pengungsi. Majelis umum PBB dalam resolusinya no. 319 (V) tanggal 3
Desember 1949 memutuskan untuk membentuk badan yang ditugasi untuk
mengurusi masalah pengungsi. Statuta UNHCR diterima oleh Majelis
Umum dengan Resolusi No. 428 (V) tanggal 14 Desember 1950. Menurut
pasal 1 statuta UNHCR yang selanjutnya disebut sebagai statuta, tugasnya
adalah memberikan perlindungan dan mencarikan penyelesaian terhadap
masalah-masalah yang dihadapi pengungsi.
Peran
UNHCR
sebagai
badan
yang
bertugas
memberikan
perlindungan terhadap pengungsi diaki oleh Konvensi 1951. Menurut
preambul paragraf kelima Konvensi 1951, UNHCR diberi tugas
mengawasi konvensi-konvensi internasional yang mengatur tentang
perlindungan internasional bagi pengungsi. UNHCR berusaha bahwa
pengungsi mendapat perlindungan di negara pemberi suaka atau
ditempatkan (resettlement) di negara lain. UNHCR akan memberikan
bantuan materi (Sri Setianingsih Suwardi , 2004: 54).
Upaya UNHCR untuk mengatasi masalah pengungsi adalah
pemecahan masalah yang permanen. UNHCR dapat mengadakan
52
perjanjian dengan sebuah negara hal ini diatur dalam Chapter II No. 7 (b)
Satuta yang menentukan:
“ Promoting through special agreements witahun Governments the
excuttion of any measure to improve the situastion of refugees and to
reduce the number requiring protection”.
UNHCR bekerja sama dengan badan-badan lain dari PBB, misalkan
UNDP (United Nations Development Programme) atau badan-badan
kemanusiaan lainnya, misalkan ICRC (International Committee of the Red
Cross) atau IOM (International Organization for Migration) (Sri
Setianingsih Suwardi , 2004: 54).
It has been noted, regrettably, that efforts on the part of UNHCR in
promoting refugee law in Indonesia through accession to the 51
Conventioin and/or 1967 Protocolseem relaxing. The effort should now be
evitalized and increased, as national conditions are now more conducive
with the inclusion of the ratifiction of the two instruments in the
Indonesian Human Rights Plan of Action. As the Plan of ction is subject to
review and assesmet every year, efforts should be aimed at acceleration of
the ratification of the two refugee instruments, not in 2009 but ealier
(Enny Soeprapto, 2004: 66).
4. UNHCR (United Nations High Commissioner of Refugees) Indonesia
UNHCR telah berdiri di Indonesia sejak tahun 1979, saat ini
berkantor pusat di Jakarta dan memiliki perwakilan di Medan, Tanjung
Pinang, Surabaya, Makassar, Kupang dan Pontianak. Pada masa awal
berdirinya, aktivitas UNHCR berfokus pada penanganan kedatangan
53
pengungsi Vietnam dengan kapal dalam jumlah besar, seperti yang
termaktub dalam Comprehensive Plan of Action (CPA), sebuah rencana
aksi yang dicetuskan pada 14 Juni 1989 oleh negara-negara anggota yang
mengikuti Konferensi Internasional tentang Pengungsi Indo-Cina. Adapun
tanggung jawab khusus UNHCR dalam menangani pengungsi Indo-Cina
dirumuskan dalam CPA tersebut. Pada tahun 1979, pemerintah Indonesia
memberikan otorisasi untuk pendirian kamp pengungsian di Pulau Galang,
yang mengakomodir lebih dari 170.000 pengungsi hingga pada saat kamp
tersebut ditutup pada tahun 1996.
Indonesia belum menjadi Negara Pihak dari Konvensi 1951 tentang
Status Pengungsi dan Protokol 1967, dan belum memiliki sebuah sistem
penentuan status pengungsi. Dengan demikian, pemerintah memberikan
kewenangan kepada UNHCR untuk menjalankan mandat perlindungan
pengungsi dan untuk menangani permasalahan pengungsi di Indonesia.
Berada diantara negara-negara penerima pencari suaka dan pengungsi
dalam jumlah besar seperti Malaysia, Thailand dan Australia, secara
berkelanjutan Indonesia terkena dampak dari pergerakan populasi
tercampur (mixed population movements). Setelah penurunan jumlah di
akhir tahun 1990-an, jumlah kedatangan pencari suaka ke Indonesia
kembali meningkat di tahun 2000, 2001 dan 2002. Meskipun jumlah
kedatangan kemudian menurun lagi pada tahun 2003 - 2008, tren
kedatangan kembali meningkat di tahun 2009 dengan jumlah 3.230 orang
meminta perlindungan melalui UNHCR. Saat ini mayoritas pencari suaka
54
tersebut datang dari Afghanistan, Myanmar dan Somalia. Data kedatangan
pencari suaka yang mendaftarkan diri di UNHCR dari tahun ke tahun
adalah 385 di tahun 2008; 3.230 pada tahun 2009; 3.905 pada tahun 2010;
4.052 di tahun 2011, 7.223 di tahun 2012; 8.332 di tahun 2013 dan 5.659
di tahun 2014.
Perlindungan yang diberikan UNHCR, dimulai dengan memastikan
bahwa pengungsi dan pencari suaka terlindung dari refoulement (yakni
perlindungan dari pemulangan kembali secara paksa ke tempat asal
mereka dimana hidup atau kebebasan mereka terancam bahaya atau
penganiayaan). Perlindungan pengungsi lebih jauh mencakup proses
verifikasi identitas pencari suaka dan pengungsi agar mereka dapat
terdaftar dan dokumentasi individual dapat dikeluarkan.
Pencari suaka yang telah terdaftar kemudian dapat mengajukan
permohonan status pengungsi melalui prosedur penilaian yang mendalam
oleh UNHCR, yang disebut sebagai Penentuan Status Pengungsi atau
Refugee
Status
Determination
(RSD).
Prosedur
ini
memberikan
kesempatan kepada para pencari suaka secara individual untuk diinterview
dalam bahasa ibu mereka oleh seorang staff RSD dan dibantu oleh seorang
penerjemah ahli, yang akan menilai keabsahan permintaan perlindungan
yang diajukan. Selanjutnya pencari suaka akan diberikan keputusan,
apakah status pengungsi diberikan atau tidak kepadanya, beserta dengan
alasannya. Apabila permintaan untuk perlindungan ditolak, prosedur
dalam RSD memberlakukan satu kesempatan untuk pengajuan ulang
55
(banding). Bagi mereka yang mendapatkan status pengungsi, UNHCR
akan mencarikan satu dari tiga solusi jangka panjang yang memungkinkan
yaitu penempatan di negara ketiga, pemulangan sukarela (apabila konflik
di daerah asal sudah berakhir) atau integrasi lokal. Namun, solusi yang
terakhir tidak berlaku di Indonesia karena pemerintah tidak memberikan
izin tinggal secara permanen di Indonesia bagi pengungsi. Penempatan di
negara ketiga sejauh ini masih menjadi satu-satunya solusi bagi mayoritas
pengungsi di Indonesia (http://www.unhcr.or.id/id/tentang-unhcr).
Saat ini, UNHCR memiliki lebih dari 60 staff di Indonesia. Sampai
dengan akhir September 2015, sebanyak 7.666 pencari suaka terdaftar di
UNHCR Jakarta secara kumulatif dari Afghanistan (48%), Myanmar
(11%), Somalia (9%) dan Irak (7%). Sementara sejumlah 5.739 pengungsi
terdaftar di UNHCR Jakarta dari Afghanistan (46%), Myanmar (12%),
Palestina (7%) dan Somalia (7%).
UNHCR mendukung dikembangkannya kerangka perlindungan
nasional untuk membantu pemerintah Indonesia mengatur kedatangan
orang yang mencari suaka. UNHCR terus menerus secara aktif
mempromosikan aksesi terhadap dua instrumen hukum internasional yaitu
Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967. Kedua
instrumen ini telah dimasukan dalam Rencana Aksi Nasional (RANHAM)
pemerintah tahun 2010-2014, yang mengkonfirmasi rencana pemerintah
untuk mengaksesi Konvensi 1951 pada tahun 2013, lalu selanjutnya
Protokol 1976 pada tahun 2014.
56
Pada tahun 2008, UNHCR telah menyiapkan dan menyampaikan
kepada pemerintah, sebuah draft “10 Pokok Rencana Aksi dalam
Memberikan Perlindungan Pengungsi dan Mengatasi Migrasi Tercampur
di Indonesia” (10 Point Plan of Action in Addressing Refugee Protection
and Mixed Migration in Indonesia), yang mencakup proses langkah demi
langkah, pemberian dukungan bagi pemerintah dalam mengembangkan
mekanisme
untuk
secara
efektif
mengatasi
permasalahan
dalam
perlindungan pengungsi dan isu-isu migrasi tercampur dalam rangka
menuju aksesi terhadap Konvensi 1951. Sepuluh pokok rencana aksi
tersebut mencakup cara-cara yang sesuai untuk mengembangkan kapasitas
dalam
pemerintahan
agar
selanjutnya
dapat
menjalankan
fungsi
penanganan pengungsi dengan dukungan UNHCR. Instansi pemerintah
yang utama bagi proses pengembangan kapasitas ini adalah Kementrian
Luar Negeri dan dua instansi Direktorat Jendral dibawah Kementrian
Hukum dan HAM, yakni Direktorat Jendral Imigrasi dan Direktorat
Jendral Hak Asasi Manusia. Program pelatihan lebih jauh lagi juga
diberikan
kepada
Departemen
Kepolisian
di
Indonesia
(http://www.unhcr.or.id/id/tugas-a-kegiatan/relasi-dengan-pemerintah-apeningkatan-kapasitas).
Pada tahun 2014 UNHCR dan IOM telah menangani 10.000 imigran
gelap dari berbagai negara konflik di Timur Tengah yang datang ke
Pekanbaru. Pemerintah Indonesia telah menyiapkan penampungan untuk
para imigran gelap di Waikabubak, Ibu Kota Kabupaten Sumba Barat,
57
Nusa Tenggara Timur (NTT). Menangani jumlah imigran gelap yang
masuk ke beberapa kota di Indonesia, ada IOM yang mau membiayai
tempat tinggal mereka di guest house atau wisma. Termasuk biaya makan
mereka setiap hari (http://www.sinarharapan.co/ news/ read/ 141223025/
waikabubak-disiapkan-tampung-10-000-imigran-gelap).
Download