BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Karbondioksida Karbondioksida adalah zat asam arang CO 2 , gas tidak berwarna, tidak beracun dan berbau merangsang terdapat 0,03% di atmosfer, mineral dan sumber alam. Di udara terbuka, karbondioksida dalam bentuk cair akan segera mengembun menjadi salju asam karbon dan merupakan bahan pemadam api yang baik. Karbondioksida dapat digunakan sebagai bahan pendingin, bahan pemadam kebakaran dan penyegar minuman. Karbon adalah bahan penyusun dasar semua senyawa organik. Pergerakannya dalam suatu ekosistem berbarengan dengan pergerakan energi melalui zat kimia lain, karbohidrat dihasilkan selama fotosintesis dan respirasi seluler menyediakan suatu hubungan antara lingkungan atmosfer dan lingkungan terestrial. Tumbuhan mendapatkan karbon, dalam bentuk CO 2 dari atmosfer melalui stomata daunnya dan menggabungkannya ke dalam bahan organic biomassanya sendiri melalui proses fotosintesis. Sejumlah bahan organik tersebut kemudian menjadi sumber karbon bagi konsumen. Dalam biologi, karbondioksida berperan sebagai hasil akhir dari organisme yang mendapatkan energi dari penguraian gula, lemak dan asam amino dengan oksigen sebagai bagian dari metabolisme dalam proses yang dikenal sebagai respirasi sel. Proses Metabolisme ini meliputi tumbuhan, hewan, sebagian besar jamur dan beberapa bakteri. Pada hewan tingkat tinggi, karbondioksida mengalir di darah dari jaringan tubuh ke paru-paru untuk dikeluarkan dan pada tumbuh-tumbuhan, karbondioksida diserap dari atmosfer sewaktu fotosintesis. 6 2.2 Biomassa 2.2.1 Pengertian Biomassa Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintesis, baik berupa produk maupun buangan, contoh biomassa antara lain tanaman, pepohonan, rumput, ubi, limbah pertanian dan limbah hutan. Biomassa selain digunakan untuk tujuan primer seperti serat, bahan pangan pakan ternak, minyak nabati, bahan bangunan juga dapat digunakan sebagai bahan energi (bahan bakar). Pada umumnya biomassa yang digunakan untuk bahan bakar adalah biomassa yang bernilai ekonomis rendah atau merupakan limbah dari produk primernya. Biomassa dalam bentuk kayu bakar dan limbah pertanian merupakan sumber energi tertua. Hingga sekarang biomassa sebagai sumber energi masih cukup berperan terutama untuk negara-negara berkembang. Menurut Whitten et al. (1984) biomassa hutan adalah jumlah total bobot kering semua bagian tumbuhan hidup, baik untuk seluruh atau sebagian tubuh organism, produksi atau komunitas dan dinyatakan dalam berat kering per satuan luas (ton/ha). Sedangkan menurut Chapman (1976) biomassa adalah berat bahan organik suatu organisme per satuan unit area pada suatu saat, berat bahan organik umumnya dinyatakan dengan satuan berat kering (dry weight) atau kadang-kadang dalam berat kering bebas abu (ash free dry weight). Biomassa hutan merupakan total materi yang ada di bawah dan atas permukaan tanah dari komponen-komponen hayati meliputi pohon serta semak dan non hayati yang ada dalam ekosistem hutan, seringkali biomassa didefinisikan sebagai “jumlah total dari komponen-komponen organik dalam pohon-pohonan di atas tanah, yang biasanya dinyatakan dalam berat kering atau ton per satuan luas” (Brown 1997). Menurut Kusmana (1993) biomassa dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu biomassa tumbuhan diatas permukaan tanah (above ground biomass) adalah berat bahan unsur organik per unit luas pada waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu fungsi sistem produksi, umur, tegakkan hutan dan distribusi organik dan biomassa di bawah permukaan tanah (below ground biomass). 7 Biomassa atas permukaan adalah semua material hidup di atas permukaan. Bagian yang termasuk dari biomassa atas permukaan ini adalah batang, tunggul, cabang, kulit kayu, biji dan daun vegetasi baik strata pohon maupun dari strata tumbuhan bawah di lantai hutan. Biomassa bawah permukaan adalah semua biomassa dari akar tumbuhan yang hidup. Pengertian akar ini berlaku hingga ukuran diameter tertentu yang ditetapkan. Hal ini dilakukan karena akar tumbuhna dengan diameter yang lebih kecil dari ketentuan cenderung sulit untuk dibedakan dengan bahan organik tanah dan serasah (Sutaryo 2009). 2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Biomassa Faktor iklim seperti suhu dan curah hujan merupakan faktor yang mempengaruhi laju peningkatan karbon biomassa pohon (Kusmana 1993). Selain curah hujan dan suhu yang mempengaruhi besarnya biomassa yang dihasilkan adalah umur dan kerapatan tegakan, komposisi dan struktur tegakan serta kualitas tempat tumbuh (Satoo dan Madgwick 1982). Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan (Lugo dan Snedaker 1974). Semakin tinggi suhu akan menyebabkan kelembaban udara relatif semakin berkurang. Kelembaban udara relatif bisa mempengaruhi laju fotosintesis. Hal ini disebabkan udara yang relatif tinggi akan memiliki tekanan udara uap air pasial CO 2 sehingga memudahkan uap air berdifusi melalui stomata. Akibat selanjutnya laju fotosintesis akan menurun (Siringo & Ginting 1997 dalam Ojo 2003). 2.2.3 Pengukuran dan Pendugaan Biomassa Pengukuran biomassa vegetasi dapat memberikan informasi mengenai nutrisi dan persediaan karbon dalam vegetasi secara keseluruhan atau jumlah bagian-bagian tertentu seperti kayu yang sudah ditebang. Biomassa vegetasi pohon tidak mudah diukur khususnya hutan campuran dan tegakan tidak seumur. Pengumpulan data biomassa dapat dikelompokkan dengan cara dekstruktif dan non destruktif tergantung 8 jenis parameter vegetasi yang diukur seperti yang tercantum pada Tabel 1 (Hairiah et al. 2001). Tabel 1 Parameter-parameter biomassa diatas tanah dan metode pendugaan simpanan biomassa Parameter Metode Tumbuhan bawah Serasah : 1. Serasah kasar 2. Serasah halus Pohon Hidup Pohon mati berdiri (nekromassa) Pemanenan/destruktif Pemanenan/destruktif Pohon mati roboh (nekromassa) Tunggak pohon (nekromassa) Non-destruktif, persamaan allometrik Non-destruktif, persamaan allometrik (yang bercabang) atau silinder (yang tidak bercabang) Non-destruktif, persamaan silinder (atau allometrik untuk yang bercabang) Non-destruktif, persamaan silinder Pendugaan biomassa hutan diperlukan untuk mengetahui perubahan cadangan karbon untuk tujuan lain. Pendugaan biomassa diatas permukaan tanah sangat penting untuk mengkaji cadangan karbon dan efek dan deforestasi dan penyimpanan karbon dalam keseimbangan karbon secara global (Ketterings et al. 2001). Menurut Brown (1997) ada dua pendekatan untuk menduga biomassa dari pohon yaitu pendekatan yang pertama berdasarkan pendugaan volume kulit sampai batang bebas cabang yang kemudian dirubah menjadi jumlah biomassa (ton/ha) sedangkan pendekatan yang kedua secara langsung dengan menggunakan persamaan regresi biomassa. Pendekatan pertama menurut Brown (1997) menggunakan persamaan dibawah ini : Biomassa diatas tanah (ton/ha) : VOB x WD x BEF Dimana, VOB : Volume batang bebas cabang dengan kulit (m3/ha) WB : Kerapatan kayu BEF : Faktor ekspansi 9 Pendekatan yang kedua dengan menggunakan persamaan regresi biomassa yang didasarkan pada diametr batang pohon. Dasar dari persamaan regresi ini adalah hanya mendekati biomassa rata-rata per pohon menurut sebaran diameter, menggabungkan sejumlah pohon pada setiap kelas diameter dan menjumlahkan total seluruh pohon untuk seluruh kelas diameter. Pengukuran biomassa vegetasi dapat memberikan informasi tentang nutrisi dan persediaan karbon dalam vegetasi secara keseluruhan atau jumlah bagian-bagian tertentu seperti kayu yang sudah ditebang. Chapman (1976) mengelompokkan metode pendugaan biomassa diatas tanah ke dalam dua kelompok besar, yaitu : 1. Metode destruktif (permanenan) a. Metode permanenan individu tanaman, metode ini digunakan pada tingkat kerapatan individu tumbuhan cukup rendah dan komunitas tumbuhan dengan jenis sedikit. b. Metode permanenan kuadrat, metode ini mengharuskan memanen semua individu pohon dalam suatu unit cintoh dan menimbangnya. c. Metode permanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar ratarata, metode ini biasanya diterapkan pada tegakan yang memiliki ukuran seragam. 2. Metode non destruktif (tidak langsung) a. Metode hubungan allometrik, persamaan allometrik dibuat dengan mencari korelasi yang paling baik antara dimensi pohon dengan biomassanya. Pembuatan persamaan tersebut dengan cara menebang pohon yang mewakili sebaran kelas diameter dan ditimbang. b. Crop meter, penduga biomassa metode ini dengan cara menggunakan seperangkat peralatan elektronika listrik yang kedua kutubnya diletakkan diatas permukaan tanag pada jarak tertentu. Pendugaan biomassa hutan dibutuhkan untuk mengetahui perubahan cadangan karbon untuk tujuan lain. Pendugaan biomassa diatas permukaan tanah sangat penting untuk mengkaji cadangan karbon dan efek dari deforestasi dan 10 penyimpanan karbon dalam keseimbangan karbon secara global (Ketterings et al. 2001). Menurut Rahayu et al. (2004) peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. Meningkatkan pertumbuhan biomassa hutan secara alami. 2. Menambah cadangan kayu pada ahutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi pemanenan kayu. 3. Mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh. Karbon yang diserap oleh tanaman disimpan dalam bentuk biomassa kayu sehingga cara yang paling mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah dengan menanam dan memelihara pohon. 2.3 Peranan Hutan sebagai Penyerap Karbon Hutan sangat berperan penting dalam upaya peningkatan penyerapan CO 2 dimana dengan bantuan cahaya matahari dan air dari tanah, vegetasi yang berklorofil mampu menyerap CO 2 dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Hasil fotosintesis ini antara lain disimpan dalam bentuk biomassa yang menjadikan vegetasi tumbuh menjadi makin besar atau makin tinggi. Pertumbuhan ini akan berlangsung terus sampai vegetasi tersebut secara fisiologis berhenti tumbuh atau dipanen. Secara umum hutan dengan “net growth” terutama dari pohon-pohon yang sedang berada pada fase pertumbuhan akan mampu menyerap lebih banyak CO 2 , sedangkan hutan dewasa dengan pertumbuhan yang kecil hanya menyimpan karbon tetapi tidak dapat menyerap CO 2 secara berlebih atau ekstrak. Dengan adanya hutan yang lestari maka, jumlah karbon yang disimpan akan semakin banyak dan semakin lama. Oleh karena itu, kegiatan penanaman vegetasi pada lahan yang kosong atau rehabilitasi hutan yang rusak akan membantu menyerap kelebihan CO 2 di atmosfer. Rusaknya hutan-hutan di Indonesia seharusnya berfungsi sebagai tempat penyimpanan CO 2 juga makin memperparah keadaan ini karena pohon-pohon yang mati akan melepaskan CO 2 yang tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer (Kyrklund 1990). 11 Siklus karbon menggambarkan dinamika karbon di alam secara sederhana. Siklus ini merupakan siklus biogeokimia yang mencakup pertukaran atau perpindahan karbon diantara biosfer, pedosfer, geosfer, hidrosfer dan atmosfer bumi. Siklus karbon merupakan proses yang rumit dan setiap proses saling mempengaruhi proses lainnya (Sutaryo 2009). Tumbuhan memerlukan sinar matahari dan gas karbondioksida yang diserap dari udara serta air serta hara yang diserap dari dalam tanah untuk kelangsungan hidupnya. Melalui proses fotosintesis, CO 2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman berupa daun, batang, ranting, bunga dan buah. Proses penimbunan karbon dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi. Pengukuran jumlah karbon yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomassa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO 2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman (Hairiah dan Rahayu 2007). Aliran karbon dari atmosfer ke vegetasi merupakan aliran yang bersifat dua arah yaitu pengikatan CO 2 ke dalam biomassa melalui fotosintesis dan pelepasan CO 2 ke atmosfer melalui proses dekomposisi dan pembakaran. Alih guna lahan dan konversi hutan merupakan sumber utama emisi CO 2 dengan jumlah sebesar (1,7 ± 0,6) 109 Mg karbon pertahun. Karbon yang terikat oleh vegetasi hutan akan segera dilepaskan kembali ke atmosfer melalui pembakaran, dekomposisi sisa panen maupun pengangkutan hasil panen. Pelepasan karbon ke atmosfer akibat konversi hutan berjumlah sekitar 250 Mg karbon per hektar yang terjadi selama penebangan dan pembakaran sedangkan, penyerapan kembali karbon menjadi vegetasi pohon relatif lambat hanya sekitar 5 Mg karbon per hektar setiap tahun (Rahayu et al. 2004). 2.4 Penggunaan Lahan Lahan (land) adalah lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah air, dan vegetasi serta benda yang memberikan pengaruhnya terhadap potensi penggunaan lahan (FAO 1976 dalam Arsyad 2006). Saefulhakim (1998) menyatakan bahwa lahan adalah matriks dasar kehidupan manusia dan pembangunan karena 12 semua aspek kehidupan dan pembangunan baik langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan permasalahan lahan. Penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Arsyad 2006). Penggunaan lahan merupakan bentuk kegiatan manusia terhadap sumberdaya alam lahan baik yang bersifat permanen atau sementara yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan material maupun spiritual (Candra 2003). Penggunaan lahan diartikan sebagai setiap bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk keadaan alamiah yang belum terpengaruh oleh kegiatan manusia. Aktivitas tersebut menyebabkan terjadi penggunaan lahan yang sangat beraneka ragam sesuai dengan peruntukan (Suburi 2000). Saefulhakim dan Nasoetion (1994) menyatakan bahwa penggunaan lahan merupakan proses dinamis, sebagai hasil dari perubahan pola dan besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu. Menurut Chapman (1976), kebutuhan penggunaa lahan berkaitan erat dengan sistem aktivitas antara manusia dan kelembagaan (institusi) yaitu individu, rumah tangga, firma dan institusi. Barlowe (1987) menyebutkan ada tiga faktor penting yang dipertimbangkan dalam menggunakan lahan yaitu kesesuaian bio-fisik, kelayakan sosial ekonomi dan kelayakan kelembagaan. Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, binatang dan kependudukan. Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lain diikuti oleh berkurangnya tipe penggunaan lahan lain pada suatu waktu ke waktu berikutnya (Martin 1993 dalam Candra 2003). Perubahan penggunaan lahan tidak akan membawa masalah yang serius sepanjang mengikuti kaidah konservasi tanah dan air serta kelas kemampuan lahan. Perubahan lahan akan berpengaruh langsung terhadap karakteristik penutupan lahan sehingga akan mempengaruhi sistem tata air DAS yang ditunjukkan oleh respon hidrologi DAS yang diketahui melalui produksi air, erosi dan sedimentasi (Seyhan 1990). 13 2.4.1 Pola Penggunaan Lahan Pola penggunaan lahan adalah konfigurasi spasial atau tata ruang di suatu wilayah untuk waktu tertentu. Pola penggunaan lahan dapat menggambarkan keadaan sosial ekonomi dari masyarakatnya. Secara umum, pola tersebut merefleksikan aktivitas manusia yang membutuhkan lahan untuk memproduksi pangan, lokasi perumahan, bangunan serta fasilitas lainnya (Saefulhakim 1998). Pola penggunaan lahan merupakan gabungan dari beberapa jenis penggunaan lahan yang ada dalam suatu wilayah. Oleh karena itu, potensi suatu daerah dapat dilihat dari pola penggunaan lahan yang ada di daerah yang bersangkutan. 2.4.2 Klasifikasi Penggunaan Lahan Arsyad (2010) mengelompokkan penggunaan lahan ke dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian yaitu penggunaan lahan tegalan, sawah, kebun, padang rumput, hutan, padang alang-alang dan sebagainya. Sedangkan penggunaan lahan bukan pertanian yaitu penggunaan lahan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya. Menurut Barlowe (1987), penggunaan lahan dibagi menjadi sepuluh kelas yaitu lahan pemukiman, lahan industri dan perdagangan, lahan bercocok tanam, lahan peternakan dan penggembalaan, lahan rekreasi, lahan pelayanan jasa, lahan transportasi dan lahan tempat pembuangan. Kelas penggunaan lahan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis penggunaan, yaitu : 1. Pemukiman dan industri, meliputi sebagian besar penggunaan lahan di perkotaan, tetapi hanya sebagian kecil dari penggunaan lahan seluruhnya. 2. Pertanian, meliputi areal tanaman pertanian yaitu pangan dan perkebunan yang merupakan porsi terbesar dari penggunaan lahan seluruhnya. 3. Padang rumput dan penggembalaan, meliputi penggunaan lahan untuk peternakan termasuk komplek pertanian. 4. Perhutanan, meliputi penggunaan lahan untuk hutan industri, hutan lindung dan belukar. 14 5. Lain-lain, meliputi penggunaan lahan untuk tempat rekreasi, jalan raya, pertambangan, pembuangan sampah dan lainnya. 2.5 Sifat Fisik Tanah 2.5.1 Tekstur Tanah Tekstur tanah merupakan komposisi butiran penyusun tanah yang pada umumnya terdiri dari pasir, debu dan liat yang mempunyai ukuran kurang dari 2 mm. Pasir biasanya didominasi oleh mineral kuarsa (SiO 2 ) yang sangat tahan terhadap pelapukan sedangkan debu biasanya berasal dari mineral Feldspar dan mika yang dengan mudah melapuk dan pada saat pelapukannya mengeluarkan sejumlah hara sehingga tanah bertekstur debu pada umumnya lebih subur daripada tanah bertekstur pasir. Liat merupakan koloid yang bermuatan listrik yang aktif sebagai pertukaran anion dan kation maka, liat lebih berperan secara kimiawi (Hanafiah 2005). Kelas tekstur tanah ditentukan berdasarkan proporsi dari pasir, debu dan liat yang terkandung dalam tanah. Menurut Hardjowigeno (2003) tanah dikelompokkan ke dalam beberapa macam kelas tekstur, yaitu : 1. Tanah bertekstur kasar meliputi pasir dan pasir berlempung. 2. Tanah bertekstur agak kasar meliputi lempung berpasir dan lempung berpasir halus. 3. Tanah bertekstur sedang meliputi lempung berpasir sangat halus, lempung, lempung berdebu dan debu. 4. Tanah bertekstur agak halus meliputi lempung liat, lempung liat berpasir dan lempung liat berdebu. 5. Tanah bertekstur halus meliputi liat berpasir, liat berdebu dan liat. 2.6 Sifat Kimia Tanah 2.6.1 Reaksi Tanah (pH Tanah) Reaksi tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai pH (potential of hydrogen). Nilai pH menunjukkan 15 banyaknya konsentrasi ion hydrogen (H+) di dalam tanah (Hardjowigeno 2003). Tanah asam memiliki nilai pH yang rendah atau kadar ion H+ yang tinggi, sebaliknya tanah basa memiliki nilai pH yang tinggi atau kadar ion H+ yang rendah. Dalam tanah, selain ion H+ dan ion–ion lain ditemukan pula ion OH- yang jumlahnya berbanding terbalik dengan ion H+. Bila kandungan H+ dan OH- adalah sama, maka tanah bereaksi netral. Reaksi tanah yang asam hampir selalu ditemukan di daerah beriklim basah, pada tanah ini kandungan ion H+ melebihi OH-. Sebaliknya, tanah basa hampir selalu pula ditemukan di daerah kering, kandungan ion OH- lebih tinggi dari ion H+ (Dikti 1991a). Nilai pH berkisar antara 0–14 dengan pH 7 disebut netral, pH kurang dari 7 disebut masam dan pH lebih dari 7 disebut basa. Namun, pada umumnya pH tanah berkisar antara 3,0 – 9,0 (Hardjowigeno 2003). Tingkat kemasaman atau pH yang digunakan untuk menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap tanaman. Pada umumnya unsur hara mudah diserap akar tanaman pada pH tanah sekitar netral, karena pada pH tersebut kebanyakan unsur hara mudah larut dalam air. Pada umumnya pula tanaman menunjukkan penurunan pertumbuhan pada tanah asam. Hal ini disebabkan karena kandungan A1 serta unsur-unsur mikro yang berlebih sehingga bersifat racun terhadap tanaman. Menurut Dikti (1991a) masalah yang paling menonjol pada tanah asam adalah keracunan A1 dan Mn serta kekurangan hara P. Selain itu, tanah yang terlalu basa juga sering mengandung garam yang terlalu tinggi yang juga dapat menjadi racun bagi tanaman. 2.6.2 C-Organik C-organik adalah penyusun utama bahan organik. Bahan organik mempunyai peranan yang sangat penting dalam tanah terutama pengaruhnya terhadap kesuburan tanah. Banyak sifat-sifat tanah baik fisik, kimia dan biologi tanah yang secara langsung dan tidak langsung dipengaruhi oleh bahan organik (Istomo 1994). 16 Tabel 2 Kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah No Sifat Tanah Satuan Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi 1 C-Organik % < 1,00 1,00−2,00 2,01−3,00 3,01−5,00 > 5,00 2 N-Total % < 0,10 0,10−0,20 0,21−0,50 0,51−0,75 > 0,75 3 P 2 O 5 HCl 25% (mg/100g) < 15,00 15,00−20,00 21,00−40,00 41,00−60,00 > 60,00 4 Ca (me/100g) < 2,00 2,00−5,00 6,00−10,00 11,00−20,00 > 20,00 5 Mg (me/100g) < 0,30 0,41−1,00 1,10−2,00 2,10−8,00 > 8,00 6 pH H2O 4,50 4,50−5,50 5,60−6,50 6,60−7,50 Masam Agak Netral Sangat masam 7,60−8,50 Agak basa masam Sumber : Staff Pusat Penelitian tanah (1983) 2.6.3 N-Total Nitrogen (N) merupakan salah satu unsur hara makro esensial yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah yang besar. Menurut Hanafiah (2005) unsur N berfungsi sebagai penyusun semua protein, klorofil dan asam-asam nukleat serta berperan dalam pembentukkan koenzim. Nitrogen dalam tanah berasal dari bahan organik tanah, pengikatan oleh mikroorganisme dari N udara, pupuk dan air hujan. Nitrogen di dalam tanah terdapat dalam berbagai bentuk yaitu protein, senyawa-senyawa amino, amonium (NH4 +), serta nitrat (NO 3 -).Nitrogen yang diserap oleh tanaman adalah nitrogen dalam bentuk ammonium dan nitrat (Hardjowigeno 2003). 2.6.4 P 2 O 5 Unsur Fosfor (P) di dalam tanah berasal dari bahan organik, pupuk buatan, dan mineral-mineral di dalam tanah. P-organik dan P-anorganik merupakan jenis unsur P yang terdapat di dalam tanah (Hardjowigeno 2003). Menurut Hanafiah (2005), sumber utama unsur P dalam tanah selain dari pelapukan bahan induk juga berasal dari mineralisasi P-organik hasil dekomposisi sisa-sisa tanaman yang mengimobilisasikan P dari larutan tanah dan hewan. Dibandingkan dengan N, unsur P lebih cepat menjadi tersedia akibat terikat oleh 17 kation tanah serta terfiksasi pada permukaan positif koloidal tanah.Ketersediaan unsur P optimum terdapat pada kisaran pH 6,0–7,0. 2.6.5 Kalium (K 2 O) Unsur K dalam tanah berasal dari mineral-mineral primer tanah (feldspar, mika dan lain-lain) serta berasal dari pupuk buatan. Unsur K ditemukan dalam jumlah yang besar pada tanah, tetapi hanya sebagian kecil yang digunakan oleh tanaman yaitu yang larut dalam air atau yang dapat dipertukarkan (Hardjowigeno 2003). Kalium berfungsi dalam proses pembentukkan pati, mengaktifkan enzim, pembukaan stomata, proses fisiologis dalam tanaman, proses metabolik dalam sel, mempengaruhi penyerapan unsur-unsur lain, mempertinggi daya tahan terhadap kekeringan dan penyakit serta perkembangan akar. 2.6.6 Kalsium (Ca) Unsur Ca dalam tanah berasal dari mineral-mineral primer, karbobat (kalsit, dolomit) dan garam-garam sederhana (gipsum dan Ca fosfat) (Hardjowigeno 2003). Unsur kalsium tersedia dalam bentuk kation bervalensi 2, dan diambil oleh tanaman dalam bentuk ion Ca2+. Kalsium berperan sebagai komponen penyusun dinding sel tanaman, pembentukkan struktur dan permeabilitas membran sel (Hanafiah 2005). Defisiensi Ca biasanya dijumpai pada kondisi masam dengan kejenuhan Ca rendah. Ca tersedia pada pH 7,0–8,5. Kekurangan Ca dapat menyebabkan terhentinya pertumbuhan tanaman akibat terganggunya pembentukkan pucuk tanaman dan ujung-ujung akar serta jaringan penyimpan yang disebabkan terhambatnya pembelahan sel. 2.6.7 Magnesium (Mg) Magnesium dalam tanah berasal dari mineral (biotit, augit, horenblende, amfibol), garam dan kapur (dolomit) (Hardjowigeno 2003). Sama halnya dengan kalsium, unsur magnesium (Mg) juga tersedia dalam bentuk kation bevalensi 2, dan 18 diambil tanaman dalam bentuk Mg2+ (Hanafiah 2005). Magnesium berperan sebagai satu-satunya mineral penyusun klorofil, berperan dalam aktivasi enzim, serta dalam pembentukkan minyak. Tabel 3 Kriteria penilaian Ca dan Mg No Sifat Tanah Satuan 1 2 Kalsium (Ca) Magnesium (Mg) mg/100 g mg/100 g Sangat Renda h < 2,00 < 0,40 Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi 2,00−5,00 0,40−1,00 6,00−10,00 1,10−2,00 11,00−20,00 2,10−8,00 >20,00 > 8,00 Sumber: Pustlitanak (1994) 2.7 Topografi Topografi merupakan gambaran variabilitas permukaaan bumi, yang biasanya berasosiasi dengan ciri-ciri bentuk permukaan seperti variasi relief suatu daerah. Untuk menggambarkan secara lebih sederhana dapat digunakan pengertianpengertian bentang lahan, seperti perbukitan, lembah dan dataran. Topografi suatu wilayah dapat digambarkan dalam SIG dengan data elevasi digital. Data ini terdiri dari sejumlah besar titik elevasi yang menyebar di seluruh daerah yang digambarkan. Titik-titik ini umumnya diorganisasikan sebagai grid titik sebagai bentuk raster dari organisasi tersebut. Topografi dapat dipergunakan untuk mempelajari data selain elevasi. Berbagai ciri-ciri yang mempunyai perubahan nilai kontinyu pada suatu daerah dapat ditampilkan sebagai suatu permukaan sehingga dinamika proses di permukaan tersebut dapat dipahami. Data geologi, aerogmatik, dan geokimia sering ditampilkan sebagai suatu bidang permukaan. Contoh lain adalah tingkat kebisingan di sekitar bandar udara, atau tingkat polusi dalam suatu danau juga dapat digambarkan sebagai permukaan topografi. Aplikasi fungsi topografi sangat banyak dipakai saat ini untuk keperluan pemetaan polusi di daerah industri atau daerah pertanian intensif. Fungsi topografi dipakai untuk memperhitungkan nilai-nilai tertentu. Kebanyakan fungsi-fungsi topografi menggunakan tetangga-tetangganya untuk menandai terain local. Parameter terain yang palinh sering dipakai adalah lereng dan 19 aspek, yang dihitung dengan menggunakan elevasi data dari berbagai titik berdekatan. Topografi (relief) juga dapat diartikan sebagai perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah, termasuk perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Peran topografi dalam proses genesis dan perkembangan profil tanah adalah melalui empat cara, yaitu lewat pengaruhnya dalam menentukan jumlah air hujan yang dapat meresap atau disimpan oleh massa tanah, kedalaman air tanah, besarnya erosi yang dapat terjadi, dan arah pergerakan air yang membawa bahan-bahan terlarut dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Melalui empat perannya ini, maka Hardjowigeno (2003) menyimpulkan bahwa sifat-sifat tanah yang terpengaruh meliputi, ketebalan solum dan bahan organik pada horizon O, kadar bahan organik pada horizon O dan air tanah, warna, temperatur dan taraf perkembangan horizon, reaksi tanah dan kadar garam mudah larut, jenis dan taraf perkembangan lapisan padas, sifat bahan induk tanah. Lereng didefinisikan sebagai besarnya perubahan elevasi dibandingkan ke panjang bidang datar. Aspek adalah arah lereng menghadap yang biasanya dinyatakan dalam derajat sudut antara 0 sampai 360. Konsepnya, perhitungan lereng dan aspek pada suatu titik dapat dibayangkan sebagai ketepatan suatu bidang kenilai elevasi dari lingkungannya. Kemiringan dan arah bidang adalah lereng dan aspek dari titik tersebut. Arah maksimum lereng disebut juga gradient. Lereng biasanya diukur dalam derajat atau persentase perubahan elevasi dibagi jarak horizontal bersangkutan, sedangkan aspek didefinisikan dari sudut horizontal, yang biasanya diukur dalam derajat azimuth yang merupakan sudut yang dibentuk dari pergerakan jarum jam dari utara. Sudut vertikal atau sudut elevasi adalah sudut positif yang diukur dari horizontal ke suatu garis yang digambar tegak lurus ke permukaan. Sudut ini adalah 900 dikurangi dengan besarnya gradient. Lereng dan aspek juga umum dipakai untuk keperluan lain selain elevasi. Pengukuran lereng biasanya juga dipakai untuk analisis gravitasi dan aeromagnetic pada bidang geologi. Pada penentuan daerah pemukiman nilai lereng dapt dihitung sebagai biaya pengelolaan lahan. Tingginya nilai lereng dapat menunjukkan adanya 20 perubahan biaya yang berhubungan langsung dengan jarak. Daerah tertentu dapat juga menggambarkan zona potensi konflik atau untuk keperluan investasi. Fungsi topografi lain yang penting adalah iluminasi, model pandangan samping, dan pandangan perspektif.