bab ii tinjauan pustaka

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Karbondioksida
Karbondioksida adalah zat asam arang CO 2 , gas tidak berwarna, tidak beracun
dan berbau merangsang terdapat 0,03% di atmosfer, mineral dan sumber alam. Di
udara terbuka, karbondioksida dalam bentuk cair akan segera mengembun menjadi
salju asam karbon dan merupakan bahan pemadam api yang baik. Karbondioksida
dapat digunakan sebagai bahan pendingin, bahan pemadam kebakaran dan penyegar
minuman.
Karbon adalah bahan penyusun dasar semua senyawa organik. Pergerakannya
dalam suatu ekosistem berbarengan dengan pergerakan energi melalui zat kimia lain,
karbohidrat dihasilkan selama fotosintesis dan respirasi seluler menyediakan suatu
hubungan antara lingkungan atmosfer dan lingkungan terestrial. Tumbuhan
mendapatkan karbon, dalam bentuk CO 2 dari atmosfer melalui stomata daunnya dan
menggabungkannya ke dalam bahan organic biomassanya sendiri melalui proses
fotosintesis. Sejumlah bahan organik tersebut kemudian menjadi sumber karbon bagi
konsumen.
Dalam biologi, karbondioksida berperan sebagai hasil akhir dari organisme
yang mendapatkan energi dari penguraian gula, lemak dan asam amino dengan
oksigen sebagai bagian dari metabolisme dalam proses yang dikenal sebagai respirasi
sel. Proses Metabolisme ini meliputi tumbuhan, hewan, sebagian besar jamur dan
beberapa bakteri. Pada hewan tingkat tinggi, karbondioksida mengalir di darah dari
jaringan tubuh ke paru-paru untuk dikeluarkan dan pada tumbuh-tumbuhan,
karbondioksida diserap dari atmosfer sewaktu fotosintesis.
6
2.2
Biomassa
2.2.1 Pengertian Biomassa
Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintesis,
baik berupa produk maupun buangan, contoh biomassa antara lain tanaman,
pepohonan, rumput, ubi, limbah pertanian dan limbah hutan. Biomassa selain
digunakan untuk tujuan primer seperti serat, bahan pangan pakan ternak, minyak
nabati, bahan bangunan juga dapat digunakan sebagai bahan energi (bahan bakar).
Pada umumnya biomassa yang digunakan untuk bahan bakar adalah biomassa yang
bernilai ekonomis rendah atau merupakan limbah dari produk primernya. Biomassa
dalam bentuk kayu bakar dan limbah pertanian merupakan sumber energi tertua.
Hingga sekarang biomassa sebagai sumber energi masih cukup berperan terutama
untuk negara-negara berkembang.
Menurut Whitten et al. (1984) biomassa hutan adalah jumlah total bobot kering
semua bagian tumbuhan hidup, baik untuk seluruh atau sebagian tubuh organism,
produksi atau komunitas dan dinyatakan dalam berat kering per satuan luas (ton/ha).
Sedangkan menurut Chapman (1976) biomassa adalah berat bahan organik suatu
organisme per satuan unit area pada suatu saat, berat bahan organik umumnya
dinyatakan dengan satuan berat kering (dry weight) atau kadang-kadang dalam berat
kering bebas abu (ash free dry weight).
Biomassa hutan merupakan total materi yang ada di bawah dan atas permukaan
tanah dari komponen-komponen hayati meliputi pohon serta semak dan non hayati
yang ada dalam ekosistem hutan, seringkali biomassa didefinisikan sebagai “jumlah
total dari komponen-komponen organik dalam pohon-pohonan di atas tanah, yang
biasanya dinyatakan dalam berat kering atau ton per satuan luas” (Brown 1997).
Menurut Kusmana (1993) biomassa dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu
biomassa tumbuhan diatas permukaan tanah (above ground biomass) adalah berat
bahan unsur organik per unit luas pada waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu
fungsi sistem produksi, umur, tegakkan hutan dan distribusi organik dan biomassa di
bawah permukaan tanah (below ground biomass).
7
Biomassa atas permukaan adalah semua material hidup di atas permukaan.
Bagian yang termasuk dari biomassa atas permukaan ini adalah batang, tunggul,
cabang, kulit kayu, biji dan daun vegetasi baik strata pohon maupun dari strata
tumbuhan bawah di lantai hutan.
Biomassa bawah permukaan adalah semua
biomassa dari akar tumbuhan yang hidup. Pengertian akar ini berlaku hingga ukuran
diameter tertentu yang ditetapkan. Hal ini dilakukan karena akar tumbuhna dengan
diameter yang lebih kecil dari ketentuan cenderung sulit untuk dibedakan dengan
bahan organik tanah dan serasah (Sutaryo 2009).
2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Biomassa
Faktor iklim seperti suhu dan curah hujan merupakan faktor yang
mempengaruhi laju peningkatan karbon biomassa pohon (Kusmana 1993). Selain
curah hujan dan suhu yang mempengaruhi besarnya biomassa yang dihasilkan adalah
umur dan kerapatan tegakan, komposisi dan struktur tegakan serta kualitas tempat
tumbuh (Satoo dan Madgwick 1982). Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh
umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan
(Lugo dan Snedaker 1974).
Semakin tinggi suhu akan menyebabkan kelembaban udara relatif semakin
berkurang. Kelembaban udara relatif bisa mempengaruhi laju fotosintesis. Hal ini
disebabkan udara yang relatif tinggi akan memiliki tekanan udara uap air pasial CO 2
sehingga memudahkan uap air berdifusi melalui stomata. Akibat selanjutnya laju
fotosintesis akan menurun (Siringo & Ginting 1997 dalam Ojo 2003).
2.2.3 Pengukuran dan Pendugaan Biomassa
Pengukuran biomassa vegetasi dapat memberikan informasi mengenai nutrisi
dan persediaan karbon dalam vegetasi secara keseluruhan atau jumlah bagian-bagian
tertentu seperti kayu yang sudah ditebang. Biomassa vegetasi pohon tidak mudah
diukur khususnya hutan campuran dan tegakan tidak seumur. Pengumpulan data
biomassa dapat dikelompokkan dengan cara dekstruktif dan non destruktif tergantung
8
jenis parameter vegetasi yang diukur seperti yang tercantum pada Tabel 1 (Hairiah et
al. 2001).
Tabel 1
Parameter-parameter biomassa diatas tanah dan metode pendugaan
simpanan biomassa
Parameter
Metode
Tumbuhan bawah
Serasah : 1. Serasah kasar
2. Serasah halus
Pohon Hidup
Pohon mati berdiri (nekromassa)
Pemanenan/destruktif
Pemanenan/destruktif
Pohon mati roboh (nekromassa)
Tunggak pohon (nekromassa)
Non-destruktif, persamaan allometrik
Non-destruktif, persamaan allometrik (yang
bercabang) atau silinder (yang tidak
bercabang)
Non-destruktif, persamaan silinder (atau
allometrik untuk yang bercabang)
Non-destruktif, persamaan silinder
Pendugaan biomassa hutan diperlukan untuk mengetahui perubahan cadangan
karbon untuk tujuan lain. Pendugaan biomassa diatas permukaan tanah sangat penting
untuk mengkaji cadangan karbon dan efek dan deforestasi dan penyimpanan karbon
dalam keseimbangan karbon secara global (Ketterings et al. 2001).
Menurut Brown (1997) ada dua pendekatan untuk menduga biomassa dari
pohon yaitu pendekatan yang pertama berdasarkan pendugaan volume kulit sampai
batang bebas cabang yang kemudian dirubah menjadi jumlah biomassa (ton/ha)
sedangkan pendekatan yang kedua secara langsung dengan menggunakan persamaan
regresi biomassa.
Pendekatan pertama menurut Brown (1997) menggunakan persamaan dibawah ini :
Biomassa diatas tanah (ton/ha)
: VOB x WD x BEF
Dimana, VOB : Volume batang bebas cabang dengan kulit (m3/ha)
WB : Kerapatan kayu
BEF : Faktor ekspansi
9
Pendekatan yang kedua dengan menggunakan persamaan regresi biomassa
yang didasarkan pada diametr batang pohon. Dasar dari persamaan regresi ini adalah
hanya mendekati biomassa rata-rata per pohon menurut sebaran diameter,
menggabungkan sejumlah pohon pada setiap kelas diameter dan menjumlahkan total
seluruh pohon untuk seluruh kelas diameter.
Pengukuran biomassa vegetasi dapat memberikan informasi tentang nutrisi dan
persediaan karbon dalam vegetasi secara keseluruhan atau jumlah bagian-bagian
tertentu seperti kayu yang sudah ditebang.
Chapman (1976) mengelompokkan metode pendugaan biomassa diatas tanah
ke dalam dua kelompok besar, yaitu :
1. Metode destruktif (permanenan)
a. Metode permanenan individu tanaman, metode ini digunakan pada tingkat
kerapatan individu tumbuhan cukup rendah dan komunitas tumbuhan dengan
jenis sedikit.
b. Metode permanenan kuadrat, metode ini mengharuskan memanen semua
individu pohon dalam suatu unit cintoh dan menimbangnya.
c. Metode permanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar ratarata, metode ini biasanya diterapkan pada tegakan yang memiliki ukuran
seragam.
2. Metode non destruktif (tidak langsung)
a. Metode hubungan allometrik, persamaan allometrik dibuat dengan mencari
korelasi yang paling baik antara dimensi pohon dengan biomassanya.
Pembuatan persamaan tersebut dengan cara menebang pohon yang mewakili
sebaran kelas diameter dan ditimbang.
b. Crop meter, penduga biomassa metode ini dengan cara menggunakan
seperangkat peralatan elektronika listrik yang kedua kutubnya diletakkan
diatas permukaan tanag pada jarak tertentu.
Pendugaan biomassa hutan dibutuhkan untuk mengetahui perubahan
cadangan karbon untuk tujuan lain. Pendugaan biomassa diatas permukaan tanah
sangat penting untuk mengkaji cadangan karbon dan efek dari deforestasi dan
10
penyimpanan karbon dalam keseimbangan karbon secara global (Ketterings et al.
2001).
Menurut Rahayu et al. (2004) peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Meningkatkan pertumbuhan biomassa hutan secara alami.
2. Menambah cadangan kayu pada ahutan yang ada dengan penanaman pohon atau
mengurangi pemanenan kayu.
3. Mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh.
Karbon yang diserap oleh tanaman disimpan dalam bentuk biomassa kayu sehingga
cara yang paling mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah dengan
menanam dan memelihara pohon.
2.3
Peranan Hutan sebagai Penyerap Karbon
Hutan sangat berperan penting dalam upaya peningkatan penyerapan CO 2
dimana dengan bantuan cahaya matahari dan air dari tanah, vegetasi yang berklorofil
mampu menyerap CO 2 dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Hasil fotosintesis ini
antara lain disimpan dalam bentuk biomassa yang menjadikan vegetasi tumbuh
menjadi makin besar atau makin tinggi. Pertumbuhan ini akan berlangsung terus
sampai vegetasi tersebut secara fisiologis berhenti tumbuh atau dipanen.
Secara umum hutan dengan “net growth” terutama dari pohon-pohon yang
sedang berada pada fase pertumbuhan akan mampu menyerap lebih banyak CO 2 ,
sedangkan hutan dewasa dengan pertumbuhan yang kecil hanya menyimpan karbon
tetapi tidak dapat menyerap CO 2 secara berlebih atau ekstrak. Dengan adanya hutan
yang lestari maka, jumlah karbon yang disimpan akan semakin banyak dan semakin
lama. Oleh karena itu, kegiatan penanaman vegetasi pada lahan yang kosong atau
rehabilitasi hutan yang rusak akan membantu menyerap kelebihan CO 2 di atmosfer.
Rusaknya
hutan-hutan
di
Indonesia
seharusnya
berfungsi
sebagai
tempat
penyimpanan CO 2 juga makin memperparah keadaan ini karena pohon-pohon yang
mati akan melepaskan CO 2 yang tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer
(Kyrklund 1990).
11
Siklus karbon menggambarkan dinamika karbon di alam secara sederhana.
Siklus ini merupakan siklus biogeokimia yang mencakup pertukaran atau
perpindahan karbon diantara biosfer, pedosfer, geosfer, hidrosfer dan atmosfer bumi.
Siklus karbon merupakan proses yang rumit dan setiap proses saling mempengaruhi
proses lainnya (Sutaryo 2009).
Tumbuhan memerlukan sinar matahari dan gas karbondioksida yang diserap
dari udara serta air serta hara yang diserap dari dalam tanah untuk kelangsungan
hidupnya. Melalui proses fotosintesis, CO 2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah
menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya
ditimbun dalam tubuh tanaman berupa daun, batang, ranting, bunga dan buah. Proses
penimbunan karbon dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi.
Pengukuran jumlah karbon yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomassa)
pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO 2 di atmosfer yang diserap
oleh tanaman (Hairiah dan Rahayu 2007).
Aliran karbon dari atmosfer ke vegetasi merupakan aliran yang bersifat dua
arah yaitu pengikatan CO 2 ke dalam biomassa melalui fotosintesis dan pelepasan
CO 2 ke atmosfer melalui proses dekomposisi dan pembakaran. Alih guna lahan dan
konversi hutan merupakan sumber utama emisi CO 2 dengan jumlah sebesar (1,7 ±
0,6) 109 Mg karbon pertahun. Karbon yang terikat oleh vegetasi hutan akan segera
dilepaskan kembali ke atmosfer melalui pembakaran, dekomposisi sisa panen
maupun pengangkutan hasil panen. Pelepasan karbon ke atmosfer akibat konversi
hutan berjumlah sekitar 250 Mg karbon per hektar yang terjadi selama penebangan
dan pembakaran sedangkan, penyerapan kembali karbon menjadi vegetasi pohon
relatif lambat hanya sekitar 5 Mg karbon per hektar setiap tahun (Rahayu et al. 2004).
2.4 Penggunaan Lahan
Lahan (land) adalah lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah air,
dan vegetasi serta benda yang memberikan pengaruhnya terhadap potensi
penggunaan lahan (FAO 1976 dalam Arsyad 2006). Saefulhakim (1998) menyatakan
bahwa lahan adalah matriks dasar kehidupan manusia dan pembangunan karena
12
semua aspek kehidupan dan pembangunan baik langsung maupun tidak langsung
berkaitan dengan permasalahan lahan.
Penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk campur tangan
manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material
maupun spiritual (Arsyad 2006). Penggunaan lahan merupakan bentuk kegiatan
manusia terhadap sumberdaya alam lahan baik yang bersifat permanen atau
sementara yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan material maupun spiritual
(Candra 2003). Penggunaan lahan diartikan sebagai setiap bentuk intervensi manusia
terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk keadaan
alamiah yang belum terpengaruh oleh kegiatan manusia. Aktivitas tersebut
menyebabkan terjadi penggunaan lahan yang sangat beraneka ragam sesuai dengan
peruntukan (Suburi 2000). Saefulhakim dan Nasoetion (1994) menyatakan bahwa
penggunaan lahan merupakan proses dinamis, sebagai hasil dari perubahan pola dan
besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu.
Menurut Chapman (1976), kebutuhan penggunaa lahan berkaitan erat dengan
sistem aktivitas antara manusia dan kelembagaan (institusi) yaitu individu, rumah
tangga, firma dan institusi. Barlowe (1987) menyebutkan ada tiga faktor penting yang
dipertimbangkan dalam menggunakan lahan yaitu kesesuaian bio-fisik, kelayakan
sosial ekonomi dan kelayakan kelembagaan. Faktor fisik dan biologis mencakup
kesesuaian sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan,
binatang dan kependudukan.
Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan
dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lain diikuti oleh berkurangnya tipe
penggunaan lahan lain pada suatu waktu ke waktu berikutnya (Martin 1993 dalam
Candra 2003). Perubahan penggunaan lahan tidak akan membawa masalah yang
serius sepanjang mengikuti kaidah konservasi tanah dan air serta kelas kemampuan
lahan. Perubahan lahan akan berpengaruh langsung terhadap karakteristik penutupan
lahan sehingga akan mempengaruhi sistem tata air DAS yang ditunjukkan oleh
respon hidrologi DAS yang diketahui melalui produksi air, erosi dan sedimentasi
(Seyhan 1990).
13
2.4.1 Pola Penggunaan Lahan
Pola penggunaan lahan adalah konfigurasi spasial atau tata ruang di suatu
wilayah untuk waktu tertentu. Pola penggunaan lahan dapat menggambarkan keadaan
sosial ekonomi dari masyarakatnya. Secara umum, pola tersebut merefleksikan
aktivitas manusia yang membutuhkan lahan untuk memproduksi pangan, lokasi
perumahan, bangunan serta fasilitas lainnya (Saefulhakim 1998).
Pola penggunaan lahan merupakan gabungan dari beberapa jenis penggunaan
lahan yang ada dalam suatu wilayah. Oleh karena itu, potensi suatu daerah dapat
dilihat dari pola penggunaan lahan yang ada di daerah yang bersangkutan.
2.4.2 Klasifikasi Penggunaan Lahan
Arsyad (2010) mengelompokkan penggunaan lahan ke dalam dua golongan
besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian.
Penggunaan lahan pertanian yaitu penggunaan lahan tegalan, sawah, kebun, padang
rumput, hutan, padang alang-alang dan sebagainya. Sedangkan penggunaan lahan
bukan pertanian yaitu penggunaan lahan kota atau desa (pemukiman), industri,
rekreasi, pertambangan dan sebagainya.
Menurut Barlowe (1987), penggunaan lahan dibagi menjadi sepuluh kelas
yaitu lahan pemukiman, lahan industri dan perdagangan, lahan bercocok tanam, lahan
peternakan dan penggembalaan, lahan rekreasi, lahan pelayanan jasa, lahan
transportasi dan lahan tempat pembuangan. Kelas penggunaan lahan tersebut dapat
dikelompokkan ke dalam beberapa jenis penggunaan, yaitu :
1. Pemukiman dan industri, meliputi sebagian besar penggunaan lahan di perkotaan,
tetapi hanya sebagian kecil dari penggunaan lahan seluruhnya.
2. Pertanian, meliputi areal tanaman pertanian yaitu pangan dan perkebunan yang
merupakan porsi terbesar dari penggunaan lahan seluruhnya.
3. Padang rumput dan penggembalaan, meliputi penggunaan lahan untuk peternakan
termasuk komplek pertanian.
4. Perhutanan, meliputi penggunaan lahan untuk hutan industri, hutan lindung dan
belukar.
14
5. Lain-lain, meliputi penggunaan lahan untuk tempat rekreasi, jalan raya,
pertambangan, pembuangan sampah dan lainnya.
2.5
Sifat Fisik Tanah
2.5.1 Tekstur Tanah
Tekstur tanah merupakan komposisi butiran penyusun tanah yang pada
umumnya terdiri dari pasir, debu dan liat yang mempunyai ukuran kurang dari 2 mm.
Pasir biasanya didominasi oleh mineral kuarsa (SiO 2 ) yang sangat tahan terhadap
pelapukan sedangkan debu biasanya berasal dari mineral Feldspar dan mika yang
dengan mudah melapuk dan pada saat pelapukannya mengeluarkan sejumlah hara
sehingga tanah bertekstur debu pada umumnya lebih subur daripada tanah bertekstur
pasir. Liat merupakan koloid yang bermuatan listrik yang aktif sebagai pertukaran
anion dan kation maka, liat lebih berperan secara kimiawi (Hanafiah 2005).
Kelas tekstur tanah ditentukan berdasarkan proporsi dari pasir, debu dan liat
yang terkandung dalam tanah. Menurut Hardjowigeno (2003) tanah dikelompokkan
ke dalam beberapa macam kelas tekstur, yaitu :
1. Tanah bertekstur kasar meliputi pasir dan pasir berlempung.
2. Tanah bertekstur agak kasar meliputi lempung berpasir dan lempung berpasir
halus.
3. Tanah bertekstur sedang meliputi lempung berpasir sangat halus, lempung,
lempung berdebu dan debu.
4. Tanah bertekstur agak halus meliputi lempung liat, lempung liat berpasir dan
lempung liat berdebu.
5. Tanah bertekstur halus meliputi liat berpasir, liat berdebu dan liat.
2.6
Sifat Kimia Tanah
2.6.1 Reaksi Tanah (pH Tanah)
Reaksi tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah yang
dinyatakan dengan nilai pH (potential of hydrogen). Nilai pH menunjukkan
15
banyaknya konsentrasi ion hydrogen (H+) di dalam tanah (Hardjowigeno 2003).
Tanah asam memiliki nilai pH yang rendah atau kadar ion H+ yang tinggi, sebaliknya
tanah basa memiliki nilai pH yang tinggi atau kadar ion H+ yang rendah. Dalam
tanah, selain ion H+ dan ion–ion lain ditemukan pula ion OH- yang jumlahnya
berbanding terbalik dengan ion H+. Bila kandungan H+ dan OH- adalah sama, maka
tanah bereaksi netral.
Reaksi tanah yang asam hampir selalu ditemukan di daerah beriklim basah,
pada tanah ini kandungan ion H+ melebihi OH-. Sebaliknya, tanah basa hampir selalu
pula ditemukan di daerah kering, kandungan ion OH- lebih tinggi dari ion H+ (Dikti
1991a). Nilai pH berkisar antara 0–14 dengan pH 7 disebut netral, pH kurang dari 7
disebut masam dan pH lebih dari 7 disebut basa. Namun, pada umumnya pH tanah
berkisar antara 3,0 – 9,0 (Hardjowigeno 2003).
Tingkat kemasaman atau pH yang digunakan untuk menentukan mudah
tidaknya unsur-unsur hara diserap tanaman. Pada umumnya unsur hara mudah diserap
akar tanaman pada pH tanah sekitar netral, karena pada pH tersebut kebanyakan
unsur hara mudah larut dalam air. Pada umumnya pula tanaman menunjukkan
penurunan pertumbuhan pada tanah asam. Hal ini disebabkan karena kandungan A1
serta unsur-unsur mikro yang berlebih sehingga bersifat racun terhadap tanaman.
Menurut Dikti (1991a) masalah yang paling menonjol pada tanah asam adalah
keracunan A1 dan Mn serta kekurangan hara P. Selain itu, tanah yang terlalu basa
juga sering mengandung garam yang terlalu tinggi yang juga dapat menjadi racun
bagi tanaman.
2.6.2 C-Organik
C-organik adalah penyusun utama bahan organik. Bahan organik mempunyai
peranan yang sangat penting dalam tanah terutama pengaruhnya terhadap kesuburan
tanah. Banyak sifat-sifat tanah baik fisik, kimia dan biologi tanah yang secara
langsung dan tidak langsung dipengaruhi oleh bahan organik (Istomo 1994).
16
Tabel 2 Kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah
No
Sifat Tanah
Satuan
Sangat
Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat
Tinggi
1
C-Organik
%
< 1,00
1,00−2,00
2,01−3,00
3,01−5,00
> 5,00
2
N-Total
%
< 0,10
0,10−0,20
0,21−0,50
0,51−0,75
> 0,75
3
P 2 O 5 HCl 25%
(mg/100g)
< 15,00
15,00−20,00
21,00−40,00
41,00−60,00
> 60,00
4
Ca
(me/100g)
< 2,00
2,00−5,00
6,00−10,00
11,00−20,00
> 20,00
5
Mg
(me/100g)
< 0,30
0,41−1,00
1,10−2,00
2,10−8,00
> 8,00
6
pH
H2O
4,50
4,50−5,50
5,60−6,50
6,60−7,50
Masam
Agak
Netral
Sangat
masam
7,60−8,50
Agak basa
masam
Sumber : Staff Pusat Penelitian tanah (1983)
2.6.3 N-Total
Nitrogen (N) merupakan salah satu unsur hara makro esensial yang dibutuhkan
oleh tanaman dalam jumlah yang besar. Menurut Hanafiah (2005) unsur N berfungsi
sebagai penyusun semua protein, klorofil dan asam-asam nukleat serta berperan
dalam pembentukkan koenzim. Nitrogen dalam tanah berasal dari bahan organik
tanah, pengikatan oleh mikroorganisme dari N udara, pupuk dan air hujan. Nitrogen
di dalam tanah terdapat dalam berbagai bentuk yaitu protein, senyawa-senyawa
amino, amonium (NH4 +), serta nitrat (NO 3 -).Nitrogen yang diserap oleh tanaman
adalah nitrogen dalam bentuk ammonium dan nitrat (Hardjowigeno 2003).
2.6.4 P 2 O 5
Unsur Fosfor (P) di dalam tanah berasal dari bahan organik, pupuk buatan, dan
mineral-mineral di dalam tanah. P-organik dan P-anorganik merupakan jenis unsur P
yang terdapat di dalam tanah (Hardjowigeno 2003).
Menurut Hanafiah (2005), sumber utama unsur P dalam tanah selain dari
pelapukan bahan induk juga berasal dari mineralisasi P-organik hasil dekomposisi
sisa-sisa tanaman yang mengimobilisasikan P dari larutan tanah dan hewan.
Dibandingkan dengan N, unsur P lebih cepat menjadi tersedia akibat terikat oleh
17
kation tanah serta terfiksasi pada permukaan positif koloidal tanah.Ketersediaan
unsur P optimum terdapat pada kisaran pH 6,0–7,0.
2.6.5 Kalium (K 2 O)
Unsur K dalam tanah berasal dari mineral-mineral primer tanah (feldspar, mika
dan lain-lain) serta berasal dari pupuk buatan. Unsur K ditemukan dalam jumlah
yang besar pada tanah, tetapi hanya sebagian kecil yang digunakan oleh tanaman
yaitu yang larut dalam air atau yang dapat dipertukarkan (Hardjowigeno 2003).
Kalium berfungsi dalam proses pembentukkan pati, mengaktifkan enzim, pembukaan
stomata, proses fisiologis dalam tanaman, proses metabolik dalam sel, mempengaruhi
penyerapan unsur-unsur lain, mempertinggi daya tahan terhadap kekeringan dan
penyakit serta perkembangan akar.
2.6.6 Kalsium (Ca)
Unsur Ca dalam tanah berasal dari mineral-mineral primer, karbobat (kalsit,
dolomit) dan garam-garam sederhana (gipsum dan Ca fosfat) (Hardjowigeno 2003).
Unsur kalsium tersedia dalam bentuk kation bervalensi 2, dan diambil oleh tanaman
dalam bentuk ion Ca2+. Kalsium berperan sebagai komponen penyusun dinding sel
tanaman, pembentukkan struktur dan permeabilitas membran sel (Hanafiah 2005).
Defisiensi Ca biasanya dijumpai pada kondisi masam dengan kejenuhan Ca
rendah.
Ca tersedia pada pH 7,0–8,5.
Kekurangan Ca dapat menyebabkan
terhentinya pertumbuhan tanaman akibat terganggunya pembentukkan pucuk
tanaman dan ujung-ujung akar serta jaringan penyimpan yang disebabkan
terhambatnya pembelahan sel.
2.6.7 Magnesium (Mg)
Magnesium dalam tanah berasal dari mineral (biotit, augit, horenblende,
amfibol), garam dan kapur (dolomit) (Hardjowigeno 2003). Sama halnya dengan
kalsium, unsur magnesium (Mg) juga tersedia dalam bentuk kation bevalensi 2, dan
18
diambil tanaman dalam bentuk Mg2+ (Hanafiah 2005). Magnesium berperan sebagai
satu-satunya mineral penyusun klorofil, berperan dalam aktivasi enzim, serta dalam
pembentukkan minyak.
Tabel 3 Kriteria penilaian Ca dan Mg
No
Sifat Tanah
Satuan
1
2
Kalsium (Ca)
Magnesium (Mg)
mg/100 g
mg/100 g
Sangat
Renda
h
< 2,00
< 0,40
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat
Tinggi
2,00−5,00
0,40−1,00
6,00−10,00
1,10−2,00
11,00−20,00
2,10−8,00
>20,00
> 8,00
Sumber: Pustlitanak (1994)
2.7
Topografi
Topografi merupakan gambaran variabilitas permukaaan bumi, yang biasanya
berasosiasi dengan ciri-ciri bentuk permukaan seperti variasi relief suatu daerah.
Untuk menggambarkan secara lebih sederhana dapat digunakan pengertianpengertian bentang lahan, seperti perbukitan, lembah dan dataran. Topografi suatu
wilayah dapat digambarkan dalam SIG dengan data elevasi digital. Data ini terdiri
dari sejumlah besar titik elevasi yang menyebar di seluruh daerah yang digambarkan.
Titik-titik ini umumnya diorganisasikan sebagai grid titik sebagai bentuk raster dari
organisasi tersebut.
Topografi dapat dipergunakan untuk mempelajari data selain elevasi. Berbagai
ciri-ciri yang mempunyai perubahan nilai kontinyu pada suatu daerah dapat
ditampilkan sebagai suatu permukaan sehingga dinamika proses di permukaan
tersebut dapat dipahami. Data geologi, aerogmatik, dan geokimia sering ditampilkan
sebagai suatu bidang permukaan. Contoh lain adalah tingkat kebisingan di sekitar
bandar udara, atau tingkat polusi dalam suatu danau juga dapat digambarkan sebagai
permukaan topografi. Aplikasi fungsi topografi sangat banyak dipakai saat ini untuk
keperluan pemetaan polusi di daerah industri atau daerah pertanian intensif.
Fungsi topografi dipakai untuk memperhitungkan nilai-nilai tertentu.
Kebanyakan fungsi-fungsi topografi menggunakan tetangga-tetangganya untuk
menandai terain local. Parameter terain yang palinh sering dipakai adalah lereng dan
19
aspek, yang dihitung dengan menggunakan elevasi data dari berbagai titik
berdekatan.
Topografi (relief) juga dapat diartikan sebagai perbedaan tinggi atau bentuk
wilayah suatu daerah, termasuk perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Peran
topografi dalam proses genesis dan perkembangan profil tanah adalah melalui empat
cara, yaitu lewat pengaruhnya dalam menentukan jumlah air hujan yang dapat
meresap atau disimpan oleh massa tanah, kedalaman air tanah, besarnya erosi yang
dapat terjadi, dan arah pergerakan air yang membawa bahan-bahan terlarut dari
tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.
Melalui empat perannya ini, maka Hardjowigeno (2003) menyimpulkan bahwa
sifat-sifat tanah yang terpengaruh meliputi, ketebalan solum dan bahan organik pada
horizon O, kadar bahan organik pada horizon O dan air tanah, warna, temperatur dan
taraf perkembangan horizon, reaksi tanah dan kadar garam mudah larut, jenis dan
taraf perkembangan lapisan padas, sifat bahan induk tanah.
Lereng didefinisikan sebagai besarnya perubahan elevasi dibandingkan ke
panjang bidang datar. Aspek adalah arah lereng menghadap yang biasanya dinyatakan
dalam derajat sudut antara 0 sampai 360. Konsepnya, perhitungan lereng dan aspek
pada suatu titik dapat dibayangkan sebagai ketepatan suatu bidang kenilai elevasi dari
lingkungannya. Kemiringan dan arah bidang adalah lereng dan aspek dari titik
tersebut. Arah maksimum lereng disebut juga gradient.
Lereng biasanya diukur dalam derajat atau persentase perubahan elevasi dibagi
jarak horizontal bersangkutan, sedangkan aspek didefinisikan dari sudut horizontal,
yang biasanya diukur dalam derajat azimuth yang merupakan sudut yang dibentuk
dari pergerakan jarum jam dari utara. Sudut vertikal atau sudut elevasi adalah sudut
positif yang diukur dari horizontal ke suatu garis yang digambar tegak lurus ke
permukaan. Sudut ini adalah 900 dikurangi dengan besarnya gradient.
Lereng dan aspek juga umum dipakai untuk keperluan lain selain elevasi.
Pengukuran lereng biasanya juga dipakai untuk analisis gravitasi dan aeromagnetic
pada bidang geologi. Pada penentuan daerah pemukiman nilai lereng dapt dihitung
sebagai biaya pengelolaan lahan. Tingginya nilai lereng dapat menunjukkan adanya
20
perubahan biaya yang berhubungan langsung dengan jarak. Daerah tertentu dapat
juga menggambarkan zona potensi konflik atau untuk keperluan investasi. Fungsi
topografi lain yang penting adalah iluminasi, model pandangan samping, dan
pandangan perspektif.
Download