dekonsentrasi nutrien pada limpasan pertanian dengan hybrid

advertisement
TUGAS AKHIR – RE 141581
DEKONSENTRASI NUTRIEN PADA LIMPASAN
PERTANIAN DENGAN HYBRID CONSTRUCTED
WETLANDS
AFIFAH YUSRINA
NRP 3313100111
Dosen Pembimbing
Harmin Sulistiyaning Titah, ST., MT., PhD.
DEPARTEMEN TEKNIK LINGKUNGAN
Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya 2017
TUGAS AKHIR – RE 141581
DEKONSENTRASI NUTRIEN PADA LIMPASAN
PERTANIAN DENGAN HYBRID CONSTRUCTED
WETLANDS
AFIFAH YUSRINA
NRP 3313100111
Dosen Pembimbing
Harmin Sulistiyaning Titah, ST., MT., PhD.
DEPARTEMEN TEKNIK LINGKUNGAN
Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya 2017
FINAL PROJECT – RE 141581
AGRICULTURAL RUNOFF NUTRIENT
DECONCENTRATION WITH HYBRID
CONSTRUCTED WETLANDS
AFIFAH YUSRINA
NRP 3313100111
Supervisor
Harmin Sulistiyaning Titah, ST., MT., PhD.
DEPARTMENT OF ENVIRONMENTAL ENGINEERING
Faculty of Civil Engineering and Planing
Sepuluh Nopember Institute and Technology
Surabaya 2017
DEKONSENTRASI NUTRIEN PADA LIMPASAN
PERTANIAN DENGAN SISTEM HYBRID CONSTRUCTED
WETLANDS
Nama Mahasiswa
NRP
Jurusan
Dosen Pembimbing
: Afifah Yusrina
: 3313100111
: Teknik Lingkungan
: Harmin Sulistiyaning Titah, ST.,
MT., PhD.
ABSTRAK
Sektor pertanian menjadi salah satu sektor penghasil air
limbah terbesar dengan kandungan nutrien yang tinggi. Kadar
nutrien yang tinggi dapat menyebabkan degradasi ekosistem
akuatik dan penurunan kualitas air. Salah satu alternatif untuk
mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan melakukan
phytotreatment menggunakan Hybrid Constructed Wetlands
(HCWs). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat
kemampuan dua spesies tumbuhan, yaitu Typha angustifolia dan
Scirpus grossus, dalam dekonsentrasi nutrien pada limpasan
pertanian, serta untuk menentukan efisiensi dekonsentrasi nutrien
pada limpasan pertanian dengan menggunakan sistem HCWs.
HCWs yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem
VSSF dan HSSF yang disusun secara seri dan bertingkat. Reaktor
berukuran 73 x 52 x 42 cm digunakan untuk kedua sistem tersebut.
Reaktor diisi dengan dua jenis media, yaitu pasir sebagai media
utama dan kerikil sebagai media penyangga. Secara kontinyu air
limbah artifisial yang terbuat dari pupuk kimia dialirikan ke dalam
reaktor. Jenis tumbuhan dan HRT digunakan sebagai variabel
penelitian. Jenis tumbuhan divariasikan menjadi tiga kelompok,
yaitu Typha angustifolia, Scirpus grossus, dan kombinasi
keduanya (Mixed Plants), sedangkan variasi HRT yang digunakan
adalah HRT 1 dan 3 hari. Penelitian dilakukan selama 30 hari
dengan pengambilan sampel sebanyak sepuluh kali. Parameter
sampel yang diukur adalah parameter utama, yaitu amonium,
nitrat, dan fosfat, serta parameter monitor, yaitu pH, suhu, dan DO.
i
Tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus
mampu bertahan hidup pada kondisi air limbah dengan
konsentrasi amonium sebesar 500 mg/L dan fosfat sebesar 166,67
mg/L. Tumbuhan tidak memberikan pengaruh yang signifikan
dalam dekonsentrasi nitrogen. Hasil uji phythotreatment
menunjukkan efisiensi dekonsentrasi amonium tertinggi terjadi
pada reaktor Kontrol HRT 1 hari dan reaktor Kontrol HRT 3 hari,
yakni dengan efisiensi sebesar 99,99% dan 99,96%. Proses
nitrifikasi menyebabkan kadar nitrat dalam reaktor meningkat
sehingga efisiensi removal nitrat hanya sebesar 59,91% dan 144,70% yang terjadi pada reaktor Typha angustifolia HRT 1 hari
dan Kontrol 3 hari. Tumbuhan memberikan pengaruh yang
signifikan dalam dekonsentrasi fosfat pada HRT 1 hari. Efisiensi
dekonsentrasi fosfat tertinggi terjadi pada reaktor Kontrol HRT 1
hari, yaitu sebesar 99,81% dan reaktor Typha angustifolia HRT 3,
yaitu sebesar 99,93%.
Kata kunci : HRT, Hybrid Constructed Wetlands, limpasan
pertanian, nutrien, Scirpus grossus, Typha angustifolia
ii
AGRICULTURAL RUNOFF NUTRIENT
DECONCENTRATION WITH HYBRID CONSTRUCTED
WETLANDS SYSTEM
Name of Student
NRP
Study Programme
Supervisor
: Afifah Yusrina
: 3313100111
: Teknik Lingkungan
: Harmin Sulistiyaning Titah, ST.,
MT., PhD.
ABSTRACT
Agriculture is one of the sectors that produces largest
amount of wastewater with high nutrient content. High levels of
nutrient in water can cause aquatic ecosystem and water quality
degradation. Alternative that can be used to overcome these
problems is using Hybrid Constructed Wetlands (HCWs). This
study aims to determine the ability of Typha angustifolia and
Scirpus grossus which used in the study to deconcentrate nutrient
in agricultural runoff, as well as the efficiency of nutrient
deconcentration in agricultural runoff using HCWs system.
HCWs used in this study were VSSF and HSSF which
arranged in series and stratified. The reactor size was 73 cm x 52
cm x 42 cm for both system. The reactor was filled with two types
of medium, sand as main medium and gravel as buffer medium.
Artificial wastewater, made from chemical fertilizer, was used in
this study and flowed continously into the reactor. Plants species
were Typha angustifolia, Scirpus grossus, and both of them as
combination (Mixed Plants). Main HRT variation were 1 and 3
days. Research was done during 30 days with intake of samples
as much nine times. Parameters measured are main parameter
such as ammonium, nitrate, phosphat, and monitor parameters
such as pH, temperature, and DO.
Typha angustifolia and Scirpus grossus able to survive in
the condition of wastewater with ammonium concentration is 500
mg/L of and phosphate is 166,67 mg/L. Plants didn’t give
significant effect in nitrogen deconcentration. Phythotreatment test
iii
result showed that the highest ammonium deconcentration
efficiency were in Control 1 day HRT and Control 3 days HRT
reactor, which were 99,99% and 99,96%. Nitrification caused
increasing of nitrate in all reactors so that the highest nitrate
removal efficiency were just 59,91% and -144,70% which was
happened in Typha angustifolia 1 day HRT and Control 3 days HRT
reactors. Plants gave a significant effect in phosphate
deconcentration on HRT 1 day. The highest phosphate
deconcentration efficiency were in Control 1 days HRT and Typha
angustifolia 3 days HRT reactor which were 99,81% and 99, 93%.
Keyword(s) : agricultural runoff, HRT, Hybrid Constructed
Wetlands, nutrient, Scirpus grossus, Typha angustifolia
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaykum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT,
karena atas rahmat, ridho, dan pertolongan-Nya, penulis dapat
menyelesaikan laporan tugas akhir yang berjudul “Dekonsentrasi
Nutrien pada Limpasan Pertanian dengan Sistem Hybrid
Constructed Wetlands”. Penulis menyampaikan terima kasih dan
rasa hormat atas segala bantuan yang telah diberikan kepada:
1.
2.
3.
4.
Ibu Harmin Sulistiyaning Titah, ST., MT., PhD., selaku dosen
pembimbing tugas akhir yang telah memberi ilmu, masukan,
dan pengarahan selama proses pembimbingan.
Bapak Prof. Dr. Ir. Sarwoko Mangkoedihardjo, M.ScEs, Ibu
Ipung Fitri Purwanti, ST., MT., PhD., dan Bapak Welly
Herumurti, S.T., M.Sc., selaku dosen penguji yang
memberikan masukan dan saran terhadap perbaikan tugas
akhir.
Bapak Adhi Yuniarto, ST., MT., PhD. selaku Kepala
Departemen Teknik Lingkungan ITS atas dukungannya.
Bapak Arseto Yekti Bagastyo, S.T., MT., M.Phil., PhD selaku
dosen wali atas dukungannya.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun
untuk perbaikan Laporan Tugas Akhir ini. Semoga laporan tugas
akhir ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Wassalamual’aykum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Surabaya, Juli 2017
Penulis
v
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ....................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................. iii
KATA PENGANTAR ...................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................... ix
DAFTAR TABEL ..........................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................xvii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ......................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................. 4
1.4 Ruang Lingkup Penelitian ................................................. 4
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................ 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................ 7
2.1 Karakteristik Limpasan Pertanian ..................................... 7
2.2 Karakteristik Nitrogen ....................................................... 8
2.4 Definsi Wetland ............................................................... 11
2.5 Definisi dan Karakteristik Constructed Wetlands ........... 12
2.6 Karakteristik Sistem Aliran Bawah Permukaan (SSF
CWs) ............................................................................... 14
2.7 Karakteristik Horizontal Subsurface Flow Constructed .. 17
Wetland ........................................................................... 17
2.8 Karakteristik Vertical Flow Constructed Wetland ........... 18
2.9 Karakteristik Typha angustifolia ...................................... 19
2.10 Karakteristik Scirpus grossus ......................................... 21
2.11 Penelitian Terdahulu ....................................................... 23
BAB III METODE PENELITIAN ................................................... 29
3.1 Gambaran Umum ........................................................... 29
3.2 Kerangka Penelitian ........................................................ 29
3.3 Studi Literatur ................................................................. 29
vii
3.4 Ide Penelitian .................................................................. 30
3.5 Persiapan Alat dan Bahan .............................................. 32
3.6 Penelitian Pendahuluan .................................................. 36
3.7 Pelaksanaan Penelitian .................................................. 37
3.8 Analisis dan Pembahasan .............................................. 40
3.9 Penarikan Kesimpulan dan Saran ................................. 40
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................... 41
4.1 Penelitian Pendahuluan .................................................. 41
4.1.1 Tahap Propagasi Tumbuhan ................................ 41
4.1.2 Tahap Pembuatan Air Limbah.............................. 46
4.1.3 Tahap Range Finding Test ................................... 47
4.2 Uji Phythotreatment ........................................................ 50
4.3 Analisis Parameter Monitor............................................. 51
4.3.1 Analisis Temperatur ............................................. 51
4.3.2 Analisis pH............................................................ 55
4.3.3 Analisis Dissolved Oxygen (DO) .......................... 58
4.4 Penurunan Kandungan Senyawa Nitrogen .................... 61
4.4.1 Parameter Amonium sebagai Nitrogen (NH4+-N) . 61
4.4.2 Parameter Nitrat sebagai Nitrogen (NO3--N) ........ 73
4.4.3 Analisis Dekonsentrasi Nitrogen Berdasarkan
HRT ..................................................................... 83
4.5 Penurunan Kandungan Fosfat sebagai Fosfor (PO43-) ... 87
4.5.1 Analisis Dekonsentrasi Fosfat Berdasarkan HRT . 97
4.6 Analisis Karakteristik Tumbuhan Setelah Uji
Phytotreatment ............................................................... 97
4.6.1 Analisis Karakteristik Fisik Tumbuhan.................. 97
4.6.2 Analisis Biomassa Tumbuhan ............................ 103
4.7 Uji Statistik .................................................................... 108
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................... 121
5.1 Kesimpulan ................................................................... 121
5.2 Saran ............................................................................ 121
DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 123
BIOGRAFI PENULIS ................................................................. 175
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 2.4
Gambar 2.5
Gambar 3.1
Gambar 3.2
Gambar 3.3
Gambar 3.4
Gambar 3.5
Gambar 3.6
Gambar 3.7
Gambar 3.8
Gambar 4.1
Daur Nitrogen pada Ekosistem Alami .................... 9
Horizontal Subsurface Constructed Wetland ....... 18
Vertical Subsurface Constructed Wetland ........... 19
Typha angustifolia ................................................ 21
Scirpus grossus .................................................... 22
Diagram Alir Kerangka Penelitian ........................ 32
Reaktor Propagasi Tumbuhan ............................. 33
Reaktor Range Finding Test ................................ 33
Reaktor Hybrid Constructed Wetlands ................. 34
Reaktor VSSF-CW ............................................... 35
Reaktor HSSF-CW ............................................... 35
Pupuk Calcium Ammonium Nitrat ........................ 37
Pupuk Super Fosfat (SP-36) ................................ 37
Tumbuhan Induk Typha angustifolia dan Scirpus
grosssus ............................................................... 41
Gambar 4.2 Tunas Baru Tumbuhan Typha angustifolia dan
Scirpus grosssus .................................................. 42
Gambar 4.3 Pengukuran Tinggi Tumbuhan dan Lebar Daun .. 42
Gambar 4.4 Jumlah Daun Tumbuhan selama Tahap Propagasi
.............................................................................. 43
Gambar 4.5 Ukuran Fisik Typha angsutifolia selama Tahap
Propagasi ............................................................. 44
Gambar 4.6 Ukuran Fisik Scirpus grossus selama Tahap
Propagasi ............................................................. 45
Gambar 4.7 Typha angustifolia dan Scirpus grossus untuk RFT
dan Uji Phytotreatment ......................................... 46
Gambar 4.8 Susunan Reaktor Uji Phytotreatment .................... 50
Gambar 4.9 Sistem Overflow pada Reservoir Air Limbah ........ 51
Gambar 4.10 Temperatur Air Limbah pada Reaktor dengan HRT 1
Hari ....................................................................... 53
Gambar 4.11 Temperatur Air Limbah pada Reaktor dengan HRT
ix
3 Hari .................................................................... 54
Gambar 4.12 pH Air Limbah pada Reaktor dengan HRT 1 Hari 56
Gambar 4.13 pH Air Limbah pada Reaktor dengan HRT 3 Hari 57
Gambar 4.14 DO Air Limbah pada Reaktor dengan HRT 1 Hari
.............................................................................. 59
Gambar 4.15 DO Air Limbah pada Reaktor dengan HRT 3 Hari
.............................................................................. 60
Gambar 4.16 Efisiensi Dekonsentrasi Amonium pada Reaktor
dengan HRT 1 Hari .............................................. 68
Gambar 4.17 Efisiensi Dekonsentrasi Amonium pada Reaktor
dengan HRT 3 Hari .............................................. 72
Gambar 4.18 Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat pada Reaktor dengan
HRT 1 Hari............................................................ 79
Gambar 4.19 Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat pada Reaktor dengan
HRT 3 Hari............................................................ 84
Gambar 4.20 Efisiensi Dekonsentrasi Amonium pada Reaktor
dengan HRT 1 Hari dan 3 Hari ............................. 85
Gambar 4.21 Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat pada Reaktor dengan
HRT 1 Hari dan 3 Hari .......................................... 86
Gambar 4.22 Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat pada Reaktor dengan
HRT 1 Hari............................................................ 93
Gambar 4.23 Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat pada Reaktor dengan
HRT 3 Hari............................................................ 99
Gambar 4.24 Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat pada Reaktor dengan
HRT 1 Hari dan 3 Hari ........................................ 100
Gambar 4.25 Perbandingan Tinggi Tumbuhan pada Reaktor
dengan HRT 1 Hari ............................................ 101
Gambar 4.26 Perbandingan Tinggi Tumbuhan dengan pada
Reaktor HRT 3 Hari ............................................ 102
Gambar 4.27 Perbandingan Karakteristik Fisik Tumbuhan pada
Reaktor HRT 1 Hari ............................................ 106
Gambar 4.28 Perbandingan Karakteristik Fisik Tumbuhan pada
Reaktor HRT 3 Hari ............................................ 107
x
Gambar 4.29 Typha angustifolia dan Scirpus grossus saat
Pengukuran Berat Basah ................................... 108
Gambar 4.30 Typha angustifolia dan Scirpus grossus saat
Pengukuran Berat Kering ................................... 108
Gambar 4.31 Hasil Pengukuran Berat Basah dan Berat Kering
Tumbuhan pada Reaktor HRT 1 Hari ................ 109
Gambar 4.32 Hasil Pengukuran Berat Basah dan Berat Kering
Tumbuhan pada Reaktor HRT 3 Hari ................ 110
Gambar 4.33 Grafik Histogram Variabilitas Data Amonium ..... 117
Gambar 4.34 Grafik Histogram Variabilitas Data Nitrat ........... 118
Gambar 4.35 Grafik Histogram Variabilitas Data Fosfat .......... 119
xi
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kriteria Desain Constructed Wetlands – Emerge Plants
................................................................................... 14
Tabel 2.2 Efisiensi Penurunan Beberapa Komponen pada Sistem
Constructed Wetlands ............................................... 14
Tabel 2.3 Karakteristik Media dalam SSF CWs ........................ 16
Tabel 2.4 Review Penelitian Terdahulu ..................................... 24
Tabel 3.1 Variasi Konsentrasi Range Finding Test ................... 38
Tabel 3.2 Variabel Penelitian .................................................... 38
Tabel 4.1 Jumlah Tumbuhan Survive Tiap Konsentrasi Setelah
RFT ............................................................................ 49
Tabel 4.2 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium
Reaktor Kontrol HRT 1 Hari....................................... 63
Tabel 4.3 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium
Reaktor Typha angustifolia HRT 1 Hari..................... 65
Tabel 4.4 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium
Reaktor Scirpus grossus HRT 1 Hari ........................ 66
Tabel 4.5 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium
Reaktor Mixed Plants HRT 1 Hari ............................ 66
Tabel 4.6 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium
Reaktor Kontrol HRT 3 Hari...................................... 69
Tabel 4.7 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium
Reaktor Typha angustifolia HRT 3 Hari..................... 69
Tabel 4.8 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium
Reaktor Scirpus grossus HRT 3 Hari ...................... 70
Tabel 4.9 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium
Reaktor Mixed Plants HRT 3 Hari ............................ 71
Tabel 4.10 Konsentrasi dan Efisiensi Removal Nitrat Reaktor
Kontrol HRT 1 Hari ................................................... 75
Tabel 4.11 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor
Typha angustifolia HRT 1 Hari ................................. 75
xiii
Tabel 4.12 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor
Scirpus grossus HRT 1 Hari ................................... 766
Tabel 4.13 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor
Mixed Plants HRT 1 Hari .......................................... 77
Tabel 4.14 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor
Kontrol HRT 3 Hari ................................................. 800
Tabel 4.15 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor
Typha angustifolia HRT 3 Hari .................................. 81
Tabel 4.16 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor
Scirpus grossus HRT 3 Hari ..................................... 82
Tabel 4.17 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor
Mixed Plants HRT 3 Hari ........................................ 822
Tabel 4.18 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat
Reaktor Kontrol HRT 1 Hari...................................... 89
Tabel 4.19 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat
Reaktor Typha angustifolia HRT 1 Hari.................. 900
Tabel 4.20 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat
Reaktor Scirpus grossus HRT 1 Hari ........................ 90
Tabel 4.21 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat
Reaktor Mixed Plants HRT 1 Hari ............................. 91
Tabel 4 22 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor
Kontrol HRT 3 Hari .................................................. 944
Tabel 4.23 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat
Reaktor Typha angustifolia HRT 3 Hari................... 955
Tabel 4.24 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat
Reaktor Scirpus grossus HRT 3 Hari ...................... 955
Tabel 4.25 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat
Reaktor Mixed Plants HRT 3 Hari ............................. 96
Tabel 4 26 Nilai Growth Rate dan Relative Growth Rate Tumbuhan
Hasil Uji Phytotreatment ........................................ 1033
Tabel 4.27 Hasil Uji Korelasi antara Parameter Monitor dengan
Presentase Efisiensi Dekonsentrasi Nutrien ........... 113
Tabel 4.28 Hasil Uji Kruskal-Wallis antara Variabel Penelitian
xiv
dengan Presentase Efisiensi Dekonsentrasi Amonium
................................................................................. 120
Tabel 4.29 Hasil Uji Kruskal-Wallis antara Variabel Penelitian
dengan Presentase Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat . 120
Tabel 4.30 Hasil Uji Kruskal-Wallis antara Variabel Penelitian
dengan Presentase Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat 120
xv
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A DATA HASIL PENELITIAN ................................. 133
LAMPIRAN B METODE ANALISIS PARAMETER.................... 169
LAMPIRAN C DOKUMENTASI ................................................. 173
xvii
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
xviii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pertanian merupakan sektor yang paling banyak
menggunakan air di dalam kegiatannya, terutama untuk irigasi.
Sekitar 70%, bahkan dalam beberapa kasus hingga 90%,
kebutuhan air dunia digunakan untuk kegiatan irigasi (FAO, 2002).
Sebagai sektor pengguna air terbanyak, kegiatan pertanian juga
menjadi sumber pencemar air yang berupa residu bahan-bahan
agrokimia pada limpasan (run off) yang mengalir menuju badan air
(Pujiastuti et al., 2015).
Dalam pengembangan bidang pertanian, aplikasi bahanbahan agrokimia seperti pupuk mengakibatkan sistem lahan
sawah beririgasi berada pada kondisi yang kontradiktif. Di satu sisi,
kebutuhan pangan terutama komoditi padi harus mampu dipenuhi
oleh lahan, sedangkan di sisi lain, penggunaan pupuk mempunyai
resiko adanya residu di saluran irigasi dan sungai yang dapat
menyebabkan penurunan kualitas hingga potensi pencemaran air
(Wantasen, 2015). Menurut Agustiningsih (2012), tidak semua
pupuk terserap oleh akar tanaman, sebagian besar (70%) terlarut
dalam air dan masuk ke sungai sebagai sumber polutan.
Pada proses pemupukan, nitrogen dalam pupuk akan
terurai menjadi amonia, nitrit dan nitrat, sedangkan fosfor dalam
pupuk akan terurai menjadi fosfat. Limpasan air irigasi atau
drainase yang mengandung nutrien-nutrien tersebut merupakan
sumber kontaminan yang dapat membahayakan pengguna air
sungai (Raouf et al., 2012). Kadar nitrogen dan fosfor yang tinggi
di perairan dapat menyebabkan terjadinya toxic alga blooming,
penurunan kadar oksigen, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Selain itu, kelimpahan nutrien dapat menimbulkan degradasi
ekosistem akuatik dan penurunan kualitas air yang digunakan
sebagai air minum, kebutuhan industri, pertanian, rekreasi, dan
tujuan lainnya (Farenga, 2007). Oleh karena itu, perlu dilakukan
pengolahan pada limpasan pertanian agar tidak mencemari
drainase, sungai, maupun air tanah.
1
Salah satu alternatif untuk mengolah air limbah pertanian
dengan kadar nutrien tinggi adalah dengan menggunakan
Constructed Wetlands (CWs). CWs merupakan suatu sistem
rekayasa yang telah dirancang dan dibangun dengan
memanfaatkan proses alam yang melibatkan tumbuhan, tanah,
dan mikroba (Vymazal, 2006). Removal nitrogen pada sistem CWs
berlangsung melalui beberapa proses, yaitu: (1) adsorpsi oleh
tumbuhan; (2) transformasi nutrien menjadi senyawa anorganik
oleh mikroorganisme akar; dan (3) proses fisik, seperti sedimentasi
dan filtrasi (Ciria et al., 2005). Terdapat keuntungan dalam
penggunaan CWs, yaitu biaya operasional murah, desainnya
sederhana, konsumsi energi yang rendah, dan mudah dalam
perawatan (Knight et al., 2000). CWs merupakan sistem
pengolahan yang tepat untuk digunakan dalam menurunkan
nutrien pada air limbah pertanian. Hal ini dikarenakan unsur
nitrogen dan fosfor pada air limbah pertanian yang merupakan
pupuk alami bagi tumbuhan (Danista, 2012).
Jenis sistem CWs yang dapat menurunkan kadar berbagai
kontaminan seperti nitrogen, fosfor, BOD, COD, logam
tersuspensi, maupun patogen adalah sistem Subsurface Flow
(SSF) (Lee, 2009). Berdasarkan pada arah aliran air, SSF CWs
dibagi menjadi dua jenis, yaitu Vertical Subsurface Flow (VSSF)
dan Horizontal Subsurface Flow (HSSF) (Lee, 2009). Sistem VSSF
dapat memberikan kondisi yang menguntungkan untuk nitrifikasi,
tetapi kurang menguntungkan untuk denitrifikasi (Cooper., 1999).
Sementara itu, pada sistem HSSF, transformasi nitrogen
berlangsung melalui proses denitrifikasi, volatilisasi, dan
penyerapan oleh tumbuhan. Meski terjadi proses denitrifikasi, pada
sistem HSSF terdapat keterbatasan dalam mereduksi nitrogen
karena kadar oksigen yang kurang pada media. Kekurangan
kadar oksigen tersebut menjadi penghambat proses nitrifikasi
sehingga kadar nitrat yang diuraikan pada proses denitrifikasi
terbatas (Vymazal, 2009). Untuk memanfaatkan keunggulan
kedua sistem tersebut, VSSF dan HSSF CWs dapat
dikombinasikan sebagai sistem Hybrid Subsurface Wetland
(Zhang et al., 2016).
Sistem hybrid pada CWs merupakan gabungan dari
beberapa jenis CWs yang tingkat efisiensi pengolahannya lebih
2
besar dibandingkan satu sistem CWs. Menurut Vymazal (2013),
penggunaan sistem hybrid meningkat karena karakteristik air
limbah yang kompleks untuk diolah dalam satu jenis CWs. Sistem
hybrid yang banyak digunakan untuk mengolah air limbah
domestik dan industri adalah VSSF-HSSF Constructed Wetlands.
Berdasarkan penelitian terdahulu, terungkap bahwa VSSF-HSSF
CWs lebih efisien dalam menurunkan kadar amonia dibandingkan
dengan jenis lainnya (Vymazal, 2013).
Dalam penggunaan CWs sebagai alternatif pengolahan,
diperlukan penentuan tingkat efisiensi pengolahan berdasarkan
berbagai faktor. Salah satunya adalah faktor penggunaan
tumbuhan. Contoh jenis tumbuhan yang efektif untuk sistem CWs
adalah jenis tumbuhan rawa, seperti Typha angustifolia dan
Scirpus grossus. Typha angustifolia merupakan tumbuhan yang
banyak ditemukan di lahan basah alami Indonesia. Tumbuhan ini
memiliki daya tahan yang cukup kuat sehingga tidak mudah mati.
Akarnya memugkinkan untuk menyerap beban pencemar dan
unsur hara dengan jumlah yang relatif besar karena berupa
serabut yang sangat lebat. (Hidayah dan Aditya, 2011). Scirpuss
grossus juga merupakan tumbuhan hiperakumulator yang dapat
digunakan untuk proses fitoremediasi air limbah (Tangahu et al.,
2010).
Berdasarkan latar belakang tersebut, pada penelitian ini
akan dianalisis besar efisiensi Hybrid Constructed Wetlands
(HCWs) dalam dekonsentrasi nutrien di limpasan pertanianian.
Efisiensi tersebut akan dilihat dari pengaruh variasi jenis tumbuhan
dan HRT yang digunakan. Tingkat efisiensi yang didapatkan bisa
dijadikan pertimbangan dalam mengaplikasikan HCWs sebagai
unit pengolahan untuk limpasan pertanian.
1.2
Perumusan Masalah
Sektor pertanian menghasilkan air limbah terbesar dengan
kandungan nitrogen dan fosfor yang tinggi. Kadar nitrogen dan
fosfor yang tinggi dapat menyebabkan degradasi ekosistem
akuatik dan penurunan kualitas air sehingga diperlukan treatment
terlebih dahulu pada limpasan pertanian sebelum dialirkan ke
badan perairan. Salah satu treatment untuk menurunkan kadar
nitrogen dan fosfor pada air limbah adalah dengan Hybrid
3
Constructed
Wetlands
menggunakan
tumbuhan
Typha
angustifolia atau Scirpus grossus. Oleh karena itu, perlu diteliti
mengenai tingkat kemampuan tumbuhan Typha angustifolia dan
Scirpus grossus yang digunakan dalam menurunkan kadar
nitrogen dan fosfor pada limpasan pertanian. Selain itu, perlu juga
diketahui efisiensi Hybrid Constructed Wetlands dalam
dekonsentrasi kadar nutrien pada limpasan pertanian.
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Menentukan tingkat ketahanan tumbuhan Typha
angustifolia dan Scirpus grossus dalam berbagai
konsentrasi nitrogen dan fosfat pada limpasan
pertanian
2. Menentukan efisiensi dekonsentrasi nitrogen pada
limpasan pertanian dengan menggunakan Hybrid
Constructed Wetlands
3. Menentukan
efisiensi dekonsentrasi fosfat pada
limpasan pertanian dengan menggunakan Hybrid
Constructed Wetlands
1.4
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah:
1. Penelitian akan dilaksanakan mulai bulan September
2016 – Mei 2017
2. Air limbah yang digunakan untuk penelitian ini
merupakan air limbah artifisal
3. Parameter yang akan diuji adalah amonium sebagai
nitrogen (NH3-N), nitrat sebagai nitrogen (NO3-N), dan
fosfat (PO43-) sebagai parameter utama, serta suhu,
pH, dan Dissolved Oxygen sebagai parameter
monitor.
4. Variabel yang digunakan, yaitu:
 Variasi tumbuhan:
a) Typha angustifolia
b) Scirpus grossus
c) Mixed plants
4
 Variasi Hydraulic Retention Time (HRT):
a) 1 hari
b) 3 hari
5. Total jumlah reaktor yang digunakan adalah 8 paket
reaktor dengan tiap paket terdiri dari 1 reaktor VSSF
dan 1 reaktor HSSF
6. Media tanam yang digunakan adalah pasir sebagai
media utama dan kerikil sebagai media penyangga
7. Pada
awal
penelitian
dilakukan
penelitian
pendahuluan berupa propagasi tumbuhan, pembuatan
air limbah, dan Range Finding Test dilakukan
1.5
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi
baru dan alternatif sistem dekonsentrasi kadar nutrien pada
limpasan pertanian, terutama dalam menurunkan senyawa
nitrogen dan fosfat, dengan menggunakan sistem Hybrid
Constructed Wetlands.
5
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Karakteristik Limpasan Pertanian
Pada sektor pertanian terdapat kegiatan yang berpotensi
sebagai sumber pencemaran. Berdasarkan PERMENLH tahun
2010, sumber utama pencemaran air yang berkaitan dengan
kegiatan pertanian adalah 1) penggunaan pestisida, herbisida, dan
fungisida; 2) penggunaan pupuk kimia yang berlebihan.
Pencemaran air yang ditimbulkan dari kegiatan pertanian
dikategorikan sebagai sumber pencemar air tak tentu atau non
point source (NPS). Sumber pencemar NPS adalah sumber
pencemar yang berasal dari kumpulan beberapa kegiatan
individual secara periodik, serta jumlahnya terlalu banyak untuk
diidentifikasi sebagai sumber-sumber pencemar air tertentu atau
point source (PS) dalam inventarisasi. Kegiatan pertanian sebagai
sumber pencemar air NPS, memberikan kontribusi yang berarti
pada pencemaran air secara nasional, khususnya di daerahdaerah yang menggunakan senyawa agrokimia seperti pestisida,
herbisida, dan pupuk kimia. Kontribusi yang diberikan, yaitu dapat
menyebabkan beban pencemaran pada badan air melalui
limpasan (run off) yang mengandung residu bahan-bahan tersebut
(Pujiastuti et al., 2015).
Dampak dari pemupukan dalam sektor pertanian akan
menghasilkan limpasan nitrat dan fosfat yang masuk ke badan air
(Casali et al., 2010; Pujiastuti et al., 2015). Sebagian besar pupuk
yang digunakan petani adalah pupuk kimia, seperti urea, TSP,
Ponska, NPK, dan lain-lain. Pupuk tersebut mengandung unsur
hara tanaman nitrogen, sulfur, kalium dan fosfat, yang dibutuhkan
tanaman dalam konsentrasi besar, untuk pembentukan asam
amino, protein, klorofil, nuleotida dan enzim. Pada proses
pemupukan, nitrogen dalam pupuk akan terurai menjadi amonia,
nitrit dan nitrat, sedangkan fosfor dalam pupuk akan terurai
menjadi fosfat. Menurut Agustiningsih (2012), tidak semua pupuk
terserap oleh akar tanaman, sebagian besar (70%) terlarut dalam
air dan masuk ke sungai sebagai sumber polutan.
7
Limpasan pertanian dengan kandungan nutrien tinggi
menyebabkan nitrogen dan fosfat masuk ke badan air dalam
jumlah besar. Hal ini berakibat pada munculnya beberapa
permasalahan, yaitu toksik alga blooming, penurunan kadar
oksigen, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Selain itu,
kelimpahan nutrien menimbulkan degradasi ekosistem akuatik dan
penurunan kualitas air untuk digunakan sebagai air minum, serta
kebutuhan industri, pertanian, rekreasi, dan tujuan lainnya
(Farenga, 2007). Limpasan dari kegiatan pertanian berdampak
pada pencemaran air permukaan dan air tanah (FAO, 1996).
Salah satu hal yang harus dilakukan adalah menginventarisasi
senyawa-senyawa fosfat dan nitrogen, seperti amonia, nitrit, dan
nitrat yang terdapat di badan air, untuk mengendalikan
pencemaran (Pujiastuti et al., 2015).
2.2
Karakteristik Nitrogen
Nitrogen (N) merupakan unsur yang terdiri dari beberapa
bentuk terlarut dan terikat. Nitrogen terlarut berupa organik N
terlarut, NH4-N (amonium), NO3-N (Nitrat), dan NO2-N (Nitrit).
Sementara itu, nitrogen terikat dengan endapan sebagai NH 4-N
atau organik-N yang dapat mengalami pertukaran. Daur nitrogen
sangat dinamis dan kompleks, terutama pada proses mikrobiologi
untuk terjadinya mineralisasi, fiksasi, dan denitrifikasi nitrogen
dalam tanah. Pada umumnya, di tanah yang tidak tergenang air,
nitrogen tanah (sebagai protein pada tumbuhan) dan nitrogen
dalam pupuk secara mikrobiologi bertransformasi menjadi NH4
melalui proses amonifikasi. Ion amonium dioksidasi oleh dua jenis
bakteri (Nitrosomonas dan Nitrobacter) menjadi NO3 dengan NO2
yang tidak stabil sebagai intermediate product. Urea mudah
terhidolisis menjadi amonium. Daur nitrogen sebagian besar
dikendalikan oleh bakteri sehingga daur nitrogen dipengaruhi oleh
faktor-faktor seperti kelembaban tanah, temperatur, pH, dan
sebagainya (FAO,1996).
Pupuk nitrogen dalam air di persawahan akan terurai
menjadi amonia. Contohnya, yaitu reaksi hidrolisis pupuk urea
dalam air (Pujiastuti et al., 2015).
CO(NH2)2 + H2O
2 NH3 + CO2
Urea
Ammonia
8
Gambar 2.1 Daur Nitrogen pada Ekosistem Alami
Sumber: Lee et al., 2009
Amonia-nitrogen merupakan sejumlah nitrogen yang hadir dalam
bentuk amonia (NH3) atau ion amonia (NH4+). Amonia terbentuk
dari proses amonifikasi atau mineralisasi, yaitu proses
transformasi biologis dari nitrogen organik menjadi amonia (NH 4N) yang menjadi proses pertama dari mineralisasi nitrogen organik.
Protein dan senyawa organik nitrogen lain terdekomposisi menjadi
molekul organik yang sederhana, seperti asam amino yang
terdekomposisi menjadi amonia (Kurniadie, 2011).
Dalam pH netral, 99% dari amonia menjadi NH 4+, dimana
konsentrasi NH3 naik pada pH>9.
NH4 + OHNH3 + H2O
Maka dari itu, toksisitas amonia biasanya menjadi penting dalam
proses fotosintesis cepat alga, dimana menimbulkan pH yang
tinggi.
Dinamika konsentrasi amonia (N-NO3) dalam air
dipengaruhi oleh suhu perairan. Pada musim kemarau, suhu
lingkungan perairan meningkat, aktivitas bakteri meningkat, proses
nitrifikasi dan nitratasi bekerja dengan baik sehingga konsentrasi
amonia rendah. Sementara itu, pada musim penghujan terjadi hal
9
sebaliknya (Titiresmi dan Nida, 2006). Amonia dalam air
merupakan racun bagi biota air, mengiritasi insang ikan dan
jaringan lainnya.
Pada kondisi aerob, amonia akan dioksidasi oleh bakteri
nitrifikasi yang bersifat autotrof dan heterotrof menjadi ion nitrit
(NO2-) kemudian ion nitrat (NO3-) (Davis dan Hart, 1990). Nitritnitrogen merupakan sejumlah nitrogen yang hadir dalam bentuk
ion nitrit (NO2-). Biasanya di perairan alami, nitrit ditenukan dalam
jumlah yang sangat sedikit, lebih sedikit daripada nitrat karena
tidak stabil dengan keberadaan oksigen (Effendi, 2003). Nitrat
(NO3-) merupakan senyawa nitrogen yang paling stabil. Senyawa
nitrat banyak diperlukan oleh tanaman, tetapi apabila jumlahnya
terlalu banyak akan menyebabkan eutrofikasi dari danau dan
perairan umum lainnya (Hammer dan Knight, 1994). Nitrat dapat
tereduksi menjadi berbagai bentuk gas melalui proses denitrifikasi
yang terjadi pada kondisi anoxic, seperti wetland (Pujiastuti et al.,
2015). Nitrat dan nitrit merupakan senyawa yang juga penting
untuk manusia karena kedua senyawa ini bisa menyebabkan
keracunan bagi anak-anak (Methylglobanemia) apabila mereka
meminum minuman yang mengandung senyawa nitrat dan nitrit
pada konsentrasi di atas standar.
2.3
Karakteristik Fosfat
Fosfat adalah sebuah ion poliatomik atau radikal yang
terdiri dari satu atom fosforus (P) dan empat oksigen (O). Dalam
bentuk ionik, fosfat membawa muatan -3 sehingga dinotasikan
menjadi PO43-. Fosfat terdapat dalam tiga bentuk, yaitu H2PO4-,
HPO42-, dan PO43-. Fosfat umumnya diserap oleh tanaman dalam
bentuk ion ortofosfat primer H2PO4- dan ortofosfat sekunder HPO42. Bentuk fosfat yang paling dominan dalam tanah tergantung pH
tanah (Engelstad, 1997). Pada pH lebih rendah, tanaman lebih
banyak menyerap ion ortofosfat primer dan pada pH yang lebih
tinggi ion ortofosfat sekunder yang lebih banyak diserap oleh
tananaman (Hanafiah, 2005).
Unsur fosfor (P) dalam fosfat sangat berguna bagi
tumbuhan. Unsur ini berfungsi untuk merangsang pertumbuhan
akar terutama pada awal pertumbuhan, serta mempercepat
pembungaan dan pemasakan biji dan buah (Ali, 2011). Fosfor juga
10
memiliki peran penting dalam setiap proses tumbuhan yang
melibatkan perpindahan energi. Fosfat berenergi tinggi, sebagai
bagian dari struktur kimia adenosin difosfat (ADP) dan ATP yang
merupakan sumber energi yang digunakan oleh berbagai reaksi
kimia di dalam tumbuhan. Total konsentrasi fosfor pada tumbuhan
memiliki variasi antara 0,1-0,5% (Sultenfuss dan Doyle, 1999).
Dalam vegetasi tumbuhan, fosfat dapat tersimpan dalam
jangka waktu pendek maupun panjang. Hal ini tergantung pada
jenis vegetasi, laju dekomposisi pencemar, lepasnya fosfat dari
jaringan yang rusak, dan translokasi fosfat. Fosfat yang telah
diserap tumbuhan, dapat terlepas kembali ke alam ketika
tumbuhan mengalami kematian melalui proses dekomposisi
(USDA, 2010)
Ketika ketersediaan unsur fosfor terbatas, ekspansi
panjang dan lebar daun akan terhambat. Pertumbuhan tunas
menerima dampak lebih jika dibandingkan dengan pertumbuhan
akar. Dampak tersebut, yaitu penurunan berat kering akar tunas.
Kekurangan fosfor juga memperlambat proses pemanfaatan
karbohidrat ketika produksi karbohidrat melalui fotosintesis
berlangsung. Hal ini menyebabkan penumpukan karbohidrat
sehingga warna daun menjadi lebih hijau. Pada beberapa
tumbuhan dapat menyebabkan batang dan tepi daun berwarna
keunguan. Efek lain dari kekurangan fosfor terhadap tumbuhan,
yaitu menunda kematangan, penurunan kualitas tumbuhan baik
dari pembentukan biji maupun buah, serta penurunan ketahanan
terhadap penyakit (Sultenfuss dan Doyle, 1999).
2.4
Definsi Wetland
Definisi Wetland sangat beragam, tetapi pada dasarnya,
Wetland adalah area yang setidaknya tergenangi air secara
intermiten (Campbell dan Ogden, 1999). Menurut Metcalf dan
Eddy (2003), Wetland adalah sistem yang termasuk pengolahan
alami, dimana terjadi aktivitas pengolahan sedimentasi, filtrasi,
transfer gas, adsorpsi, pengolahan kimiawi dan biologis karena
aktivitas mikroorganisme dalam tanah dan aktivitas tumbuhan.
Wetland merupakan salah satu Aquatic Treatment
System, yaitu sistem pengolahan air limbah yang memanfaatkan
11
tanaman dan hewan perairan. Dalam Aquatic Treatment System
terdapat beragam Constructed Wetlands System, Floating Aquatic
Plants System, dan kombinasi keduanya (Crites dan
Tchobanoglous, 1998). Wetland dibedakan menjadi dua, yaitu
Natural Wetland dan Constructed Wetland. Natural wetland adalah
area yang sudah terbentuk secara alami dengan debit dan struktur
yang tidak direncanakan, misalnya rawa-rawa pesisir pantai atau
mangrove wetland. Tidak berbeda dengan Wetland, Constructed
Wetland merupakan Wetland buatan yang dikelola dan dikontrol
manusia (Novotny dan Olem, 1994).
Pada Wetland, nitrogen diurai melalui proses amonifikasi,
nitrifikasi, dan denitrifikasi oleh bakteri. Selain itu, penurunan
nitrogen juga terjadi melalui volatilisasi ion amonium (NH4+)
menjadi gas NH3, sedimentasi dan penyaringan, adsorbsi ion
amonium ke dalam sedimen organik dan inorganik melalui
pertukaran ion positif (Liehr, 2000)
2.5
Definisi dan Karakteristik Constructed Wetlands
Sistem lahan basah buatan (Constructed Wetlands/CWs)
merupakan proses pengolahan limbah yang meniru aplikasi dari
proses penjernihan air yang terjadi di lahan basah/rawa (Wetland)
dimana tumbuhan air (Hydrophita) yang tumbuh di daerah tersebut
memegang peranan penting dalam proses pemulihan kualitas air
limbah secara alamiah (self purification). Pengertian lain mengenai
CWs, yaitu sebuah komplek rancangan dan buatan manusia yang
terdiri dari substrat, tanaman, hewan, mikroorganisme, dan air
yang mengikuti Natural Wetlands untuk kegunaan dan keuntungan
manusia (Hammer, 1989).
Secara umum, fungsi CWs menurut Novotny dan Olem
(1994), yaitu:
 Penahan dan penyimpan air
 Pencegah erosi dan kontrol sedimen
 Memodifikasi sistem aliran air
 Kontrol polusi
 Tempat masuk dan keluarnya air tanah
 Habitat makhluk hidup
12
Namun pada perkembangannya, aplikasi CWs ini lebih
banyak digunakan sebagai alat kontrol kualitas air yang dalam hal
ini sebagai pengolah air limbah. Menurut Halverson (2004),
mekanisme penyerapan polutan pada CWs secara umum melalui
proses abiotik (fisik dan kimia) atau biotik (mikrobia dan tanaman)
dan gabungan dari kedua proses tersebut. Proses pengolahan
awal secara abiotik, antara lain melalui:
 Settling dan sedimentasi, efektif untuk menghilangkan
partikulat dan padatan tersuspensi,
 Adsorpsi dan absorpsi, merupakan proses kimiawi yang
terjadi pada tanamanan, substrat, sedimen, maupun air
limbah, yang berkaitan dengan waktu retensi air limbah
 Oksidasi dan reduksi, efektif untuk mengikat logam-logam B3,
 Fotodegradasi, penurunan berbagai unsur polutan yang
berkaitan dengan adanya sinar matahari,
 Volatilisasi, penuturan polutan akibat menguap dalam bentuk
gas.
 Proses secara biotik, seperti biodegradasi dan penyerapan
oleh tanaman juga merupakan bentuk pengurangan polutan
seperti halnya pada proses abiotik.
Secara prinsipal, tipe wetlands dibedakan menjadi:
 Free Water Surface (FWS) Constructed Wetlands
 Subsurface Flow (SF) Constructed Wetlands
 Floating aquatic Plant System
 Sistem kombinasi (hybrid)
Sistem hybrid pada CWs merupakan gabungan dari
beberapa jenis CWs yang tingkat efisiensi pengolahannya lebih
besar dibandingkan satu sistem CWs. Menurut Vymazal (2013),
penggunaan sistem hybrid meningkat karena karakteristik air
limbah yang kompleks untuk diolah dalam satu jenis CWs
Berdasarkan penelitian terdahulu, terungkap bahwa VSSF-HSSF
CWs lebih efisien dalam menurunkan kadar amonia dibandingkan
dengan jenis lainnya (Vymazal, 2013). Sistem hybrid yang banyak
digunakan untuk mengolah air limbah domestik dan industri
adalah VSSF-HSSF Constructed Wetlands.
13
Tabel 2.1 Kriteria Desain Constructed Wetlands – Emerge Plants
Faktor
Tipikal FWS
Tipikal SF
Waktu detensi (hari)
5-14
2-7
BOD loading rate max (kg/ha.hari)
100
75
0,1 - 0,5
0,1 - 10
7 – 60
2 - 30
0,002 – 0,014
0,001 - 0,007
2 : 1 – 10 : 1
4:1-5:1
3–5
3-5
Kedalaman air (m)
Hydraulic loading rate (mm/hari)
Area
yang
(ha/m3.hari)
dibutuhkan
Rasio panjang : lebar
Frekuensi pemanenan (tahun)
Sumber: Wood, 1993
Tabel 2.2 Efisiensi Penurunan Beberapa Komponen pada Sistem
Constructed Wetlands
Komponen
Influen (mg/L)
Efluen (mg/L)
Removal (%)
BOD5
110
7
94
COD
3.000
50
98
TSS
46
13
72
NH4-N
5
2,4
52
NO3-N
5,5
2,1
62
Total fosfor
3,8
1,7
56
VOC
16
0,8
95
Phenol
38
8,6
Sumber: Komex, 2004
2.6
74
Karakteristik Sistem Aliran Bawah Permukaan (SSF
CWs)
Jenis sistem CWs yang dapat menurunkan kadar berbagai
kontaminan seperti nitrogen, fosfor, BOD, COD, logam
tersuspensi, maupun patogen adalah sistem Subsurface Flow
(SSF) (Khatiwada et al., 1999; Lee, 2009). Pada sistem ini air tidak
14
menggenang di atas media tanam, tetapi air mengalir di bawah
media sehingga memiliki berbagai keuntungan. Menurut Danista
(2012), salah satu keuntungan SSF adalah tumbuhan yang dapat
beradaptasi lebih bervariasi sehingga dapat digunakan sebagai
taman dengan estetika yang baik.
Tangahu dan Warmadewanthi (2001) mengungkapkan
bahwa pengolahan air limbah dengan sistem aliran bawah
permukaan lebih dianjurkan karena beberapa alasan, yaitu:
 Dapat mengolah limbah domestik, limbah pertanian, dan
sebagian limbah industri, termasuk logam berat,
 Efisiensi pengolahan tinggi (80%),
 Biaya perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan
murah, serta tidak membutuhkan keterampilan yang tinggi.
Faktor yang mempengaruhi kinerja SSF CWs, yaitu:
1. Media
Media yang digunakan dalam reaktor SSF CWs secara
umum dapat berupa tanah, pasir, batuan, atau bahan-bahan
lainnya. Tingkat permeabilitas dan konduktivitas hidrolis media
tersebut sangat berpengaruh terhadap waktu detensi air limbah,
dimana waktu detensi yang cukup akan memberikan kesempatan
kontak antar mikroorganisme dengan air limbah, serta oksigen
yang dikeluarkan oleh akar tanaman (Tangahu dan
Warmadewanthi, 2001). Tabel 2.3 menunjukkan karakteristik
media yang umum digunakan dalam SSF CWs.
Peranan utama dari media pada SSF CWs adalah:
 Tempat tumbuh bagi tanaman,
 Media berkembang biaknya mikroorganisme,
 Membantu terjadinya proses sedimentasi,
 Membantu penyerapan (adsorbsi) bau dari gas hasil
biodegradasi.
Peranan lainnya adalah sebagai tempat terjadinya proses
transformasi kimiawi, tempat penyimpanan bahan-bahan nutrien
yang dibutuhkan oleh tanaman.
2. Tanaman
Jenis tanaman yang sering digunakan untuk untuk SSF
Wetlands adalah jenis tanaman air atau tanaman yang tahan hidup
di air tergenang (submerged plants atau amphibious plants). Pada
15
umumnya tanaman air tersebut dapat dibedakan menjadi tiga
kelompok berdasarkan area pertumbuhannya di dalam air. Adapun
ketiga tipe tanaman air tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel 2.3 Karakteristik Media dalam SSF CWs
Tipe Media
Diameter
Butiran (mm)
Porositas
(n)
Konduktivitas
Hidrolik (ft/d)
Medium sand
1
0,30
1.640
Coarse sand
2
0,32
3.280
Gravelly sand
8
0,35
16.400
Medium gravel
32
0,40
32.800
Coarse gravel
128
0,45
328.000
Sumber: Crites dan Tchobanoglous, 1998

Tanaman yang mencuat ke permukaan air, merupakan
tanaman air yang memiliki sistem perakaran pada tanah di
dasar perairan dan daun berada jauh di atas permukaan air.
 Tanaman yang mengambang dalam air, merupakan tanaman
air yang seluruh tanaman (akar, batang, daun) berada di
dalam air.
 Tanaman yang mengapung di permukaan air, merupakan
tanaman air yang akar dan batangnya berada dalam air
sedangkan daun di atas permukaan air.
3. Mikroorganisme
Mikroorganisme
yang
diharapkan
tumbuh
dan
berkembang dalam media SSF Wetlands adalah jenis heterotropik
aerobik karena pengolahan berlagsung lebih cepat dibandingkan
dengan
mikroorganisme
anaerobik
(Tangahu
dan
Warmadewanthi,
2001).
Untuk
menjamin
kehidupan
mikroorganisme tersebut dapat tumbuh dengan baik, maka
transfer oksigen dari akar tanaman harus dapat mencukupi
kebutuhan untuk kehidupan mikroorganisme. Kandungan oksigen
dalam media akan disuplai oleh akar tanaman, yang merupakan
hasil samping dari proses fotosintesis tanaman dengan bantuan
sinar matahari. Dengan demikian, maka pada siang hari akan lebih
banyak terjadi pelepasan oksigen.
16
Kondisi aerob pada daerah sistem perakaran
(Rhizosphere) dan ketergantungan mikroorganisme aerob
terhadap pasokan oksigen dari sistem perakaran tanaman yang
ada dalam SSF-Wetlands akan menyebabkan jenis-jenis
mikroorganisme yang dapat hidup pada rhizosphere tersebut
hanya jenis tertentu dan spesifik. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Bagwell C.E. et al. (1998) terhadap mikroorganisme
rhizosphere pada akar rumput-rumputan yang terdapat pada
daerah rawa (Wetlands), telah ditemukan 399 strains yang
termasuk dalam familia Enterobacteriaceae, Vibrionaceae,
Azotobacteraceae,
Spirillaceae,
Pseudomonadaceae,
Rhizobiaceae. Sementara itu, dalam penelitian yang dilakukan
oleh Ibekwe et al. (2003) dengan analisis DGGE (Denaturing
Gradient Gel Electrophoresis), disebutkan bahwa komposisi
mikrobia yang terdapat dalam efluen Constructed Wetlands
didominasi oleh jenis Bacillus, Clostridium, Mycoplasma,
Eubacterium, Nitrobacter, dan Nitrosospira.
4. Temperatur
Temperatur air limbah akan berpengaruh pada aktivitas
mikroorganisme maupun tanaman sehingga akan mempengaruhi
kinerja pengolhn air limbah yang masuk ke bak SSF Wetlands
yang akan digunakan. Menurut Suriawiria (1993), temperatur akan
dapat mempengaruhi reaksi, dimana setiap kenaikan suhu 10 oC
akan meningkatkan reaksi 2 - 3 kali lebih cepat. Di samping itu,
temperatur juga merupakan salah satu faktor pembatas bagi
kehidupan mikroorganisme.
2.7
Karakteristik Horizontal Subsurface Flow Constructed
Wetland
Horizontal Subsurface Flow Constructed Wetlands (HSSF)
merupakan jenis CWs dimana aliran air limbah dialirkan secara
horizontal melalui matriks yang berupa akar tumbuhan, kerikil,
dan/atau pasir. Matriks tersebut menjadi tempat melekatnya
mikroorganisme (Lee, 2009).
Pada sistem HSSF terdapat keterbatasan dalam
mereduksi nitrogen karena kadar oksigen yang kurang di media.
Kekurangan kadar oksigen tersebut menjadi penghambat proses
17
nitrifikasi sehingga kadar nitrat yang diuraikan pada proses
denitrifikasi terbatas (Vymazal, 2007).
Gambar 2.2 Horizontal Subsurface Constructed Wetland
Sumber: Vymazal, 2010
2.8
Karakteristik Vertical Flow Constructed Wetland
Air limbah diaplikasikan ke permukaan bak, membanjiri
seluruh permukaannya kemudian air mengalami perkolasi dan
mengalir secara vertikal melalui media berporos. Media yang
sering digunakan adalah kerikil dan tanah yang semakin ke dalam
semakin besar. Kedalaman bed berkisar antara 0,45 hingga 1,2 m
dan di dasar bed diberi slope sebesar 1-2% (Stefanakis et al.,
2014).
1. Downflow
Pada sistem ini, air limbah dimasukkan dalam jumlah
besar ke permukaan Wetland sehingga menimbulkan
air tergenang di permukaan tanah hingga setinggi 3-5
cm untuk sementara. Kemudian air mengalir ke bawah
secara gravitasi melalui media berpori. Reaktor
dijalaankan secara batch. Biasanya jumlah air limbah
yang dimasukkan per hari tidak terlalu besar.
2. Upflow
Dalam Vertical-Upflow Constructed Wetland air limbah
dialirkan pada bagian bawah bed. Air kemudian
mengalami perkolasi ke atas dan outlet-nya berada di
dekat permukaan atau di permukaan tanah. Bed diisi
dengan batu pecah pada bagian bawah, lapisan
18
berikutnya adalah kerikil kasar dan lapisan teratasnya
adalah tanah dengan tumbuhan (Vymazal dan
Kröpfelová, 2008).
3. Tidal Flow
Tidal Flow merupakan jenis baru dari sistem VSSF
CW. Pada Tidal Flow air dialirkan melalui dasar bed
dengan pipa aerasi. Kemudian air mengalami
perkolasi
ke atas hingga membanjiri bagian
permukaan tanah. Setelah permukaan banjir, inlet
ditutup dan air mengalami pengolahan oleh tumbuhan
dan mikroorganisme tanah. Air dikeluarkan melalui
bagian bawah bed (Vymazal dan Kröpfelová, 2008).
Gambar 2.3 Vertical Subsurface Constructed Wetland
Sumber: Vymazal, 2010
2.9
Karakteristik Typha angustifolia
Typha angustifolia merupakan jenis tumbuhan yang umum
berada di Wetland. Bagian bunganya berbentuk silinder
memanjang yang terletak pada ujung batang yang panjangnya
sekitar 1-3 meter. Bunga Typha angustifolia dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu putik dan benang sari. Bagian putik berbentuk
seperti tongkat berwarna cokelat yang berada di bawah benang
sari yang berwarna kuning dengan ujung meruncing. Daunnya
berasal dari pangkal batang yang mencuat keluar. Di bawah tanah,
bagian akar yang mengandung zat tepung mengikat tumbuhan
19
dengan tanah. Jika tumbuhan ini tumbuh secara berkoloni,
akarnya dapat saling berkaitan dan membentuk seperti tikar padat
(Ling, 2010).
Benih dari Typha angustifolia berukuran kecil, kering, dan
mudah tersebar oleh angin. Satu tumbuhan dapat memproduksi
lebih dari 200.000 benih per tahun. Benih tersebut dapat bertahan
di dalam tanah sampai 100 tahun (DCNR Pennsylvania, 1999).
Cahaya dan beberapa faktor lingkungan lain dapat mempengaruhi
perkecambahan benih. Cahaya yang terlalu sedikit dan air yang
terlalu dalam dapat menghambat perkecambahan. Jika benih
Typha angustifolia terletak pada lebih dari 0,5 inchi (1,3 cm) di
bawah air, benih tidak dpat mengalami perkecambahan. Salah
satu alasan utama tumbuhan ini mudah berkembang biak adalah
karena kondisi tanah mendekati jenuh dengan rentang suhu besar.
Suhu permukaan tanah optimum adalah 77o hingga 86oF (2530oC) (Sojda, 1993). Selain memproduksi benih, tumbuhan ini juga
membentuk tunas. Spesies ini dapat dengan cepat tersebar di
lahan basah terbuka dan bersaing dengan tumbuhan asli di habitat
tersebut (DCNR Pennsylvania, 1999).
Typha angustifolia merupakan tumbuhan yang banyak
ditemukan di lahan basah alami di Indonesia. Tumbuhan ini
memiliki daya tahan yang cukup kuat sehingga tidak mudah mati.
Akarnya memungkinkan untuk menyerap beban pencemar dan
unsur hara dengan jumlah yang relatif besar karena berupa
serabut yang sangat lebat (Hidayah dan Aditya, 2011). Berikut ini
adalah klasifikasi ilmiah dari tanaman Typha angustifolia atau
biasa disebut dengan nama Narrowleaf Cattail.
Dalam penelitian yang dilakukan Abdulgani, Izzati, dan
Sudarno (2014), penggunaan Constructed Wettland dengan
tumbuhan Typha angustifolia memiliki efisiensi penurunan
amoniak nitrogen, yaitu 76,07-87,52% yang lebih besar
dibandingkan dengan reaktor tanpa Typha angustifolia, yaitu
17,16-68,46%. Selain itu, pada penelitian tersebut diketahui bahwa
penurunan amoniak mengalami peningkatan seiring dengan
bertambahnya waktu tinggal.
20
Gambar 2.4 Typha angustifolia
Sumber: PFAF, 2012
Kelas
: Liliopsida
Subkelas
: Commelinidae
Ordo
: Typhales
Famili
: Typhaceae
Genus
: Typha
Spesies
: Typha angustifolia L.
Respon pertumbuhan jangka panjang Typha angustifolia
terhadap suplai nitrogen menunjukkan bahwa spesies ini tumbuh
lebih baik dengan NH4+ dibandingkan dengan NO3- sebagai dasar
sumber N. Pada pH mendekati netral, tumbuhan yang
mengonsumsi NH4+ memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi.
Konsentrasi nutrien utama pada jaringan lebih tinggi, kandungan
adeninnya lebih tinggi, dan daya tarik menarik lebih tinggi untuk
menyerap nitrogen anorganik dibandingkan dengan tumbuhan
yang mengonsumsi NO3-. Typha angustifolia dapat beradaptasi
dengan baik untuk tumbuh pada tanah wetland dmana amonium
berlaku sebagai senyawa nitrogen, tetapi pH yang sangat rendah
di sekitar akar sangat memberi tekanan untuk tumbuhan (Brix et
al., 2002).
2.10
Karakteristik Scirpus grossus
Scirpuss grossus merupakan tumbuhan yang mampu
bertahan pada lingkungan yang tercemar. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Sundari et al. (2013), diketahui bahwa Scirpus
21
grossus memiliki potensi untuk mengurngi konsentrasi nitrat dan
ortofosfat hingga 90% setelah enam hari inkubasi.
Gambar 2.5 Scirpus grossus
Sumber: Tangahu et al., 2010
Kingdom
: Plantae
Filum
: Tracheophyta
Kelas
: Liliopsida
Ordo
: Cyperales
Famili
: Cyperaceae
Genus
: Scirpus
Spesies : grossus
(Gupta, 2011)
Scirpuss grossus merupakan tumbuhan hiperakumulator.
Tumbuhan ini dapat digunakan untuk proses fitoremediasi air
limbah (Tangahu et al., 2010). Tumbuhan ini merupakan tumbuhan
perairan trops yang tumbuh sepanjang tahun dengan nama
sebutan umum Mensiang atau Walingi (Indonesia), serta Rumput
Gajah Raksasa dan Rumput Menderong (Malaysia). Tumbuhan ini
umumnya hidup di lahan basah (daerah berair), tetapi dapat pula
ditemukan di daerah tanah yang subur dengan sirkulasi yang baik.
Tumbuhan ini memiliki akar berserat warna putih atau coklat,
padat, batang berbentuk segitiga, panjang, lebar daun lebih dari 2
meter (Weed Science Society of America, 2011). Berat kering
Scirpus grossus di atas tanah adalah 1,75; 1,60; dan 0,8-0,75
22
kg/m2 dengan maksimum 1,9-1,2 0,75 kg/m 2 (Sasikala, et al.,
2009).
Scirpus grossus tergolong dalam gulma sedges (berdaun
sempit), batang mendong (calamus) seperti batang rumput, tetapi
mempunyai ruas-ruas yang lebih panjang dan berbentuk segitiga.
Tumbuhan ini termasuk gulma tahunan, yaitu gulma yang umurnya
lebih dari dua tahun. Gulma ini umumnya berkembang biak secara
vegetatif dan generatif. Organ perkembangbiakkan berupa stolon
atau rimpang, yaitu batang yang menjalar dalam tanah, serta pada
setiap buku atau ruas dapat tumbuh tunas dan akar menjadi
individu baru. Tumbuhan ini memiliki akar rimpang, tumbuh pada
daerah rawa-rawa tergenang air tawar, seperti kolam dan sawah,
tumbuh baik pada dataran rendah sampai ketinggian 800 mdpl
dengan tinggi tumbuhan antara 0,80-2 meter. Tumbuhan ini sering
ditemukan dalam jumlah besar secara berkelompok (Heyne,
1987). Berikut ini adalah klasifikasi tumbuhan Scirpus grossus.
2.11
Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian pernah dilakukan terkait dengan
penggunaan CWs dalam menurunkan kadar nutrien pada air
limbah berdasarkan variasi jenis tumbuhan dan HRT. Hasil
penelitian tersebut terangkum dalam Tabel 2.4.
Berdasarkan penelitian Jinadasa et al. (2008), Typha
angustifolia dan Scirpus grossus memiliki kemampuan untuk
menurunkan kadar nutrien, yaitu amonium, nitrat, dan fosfor, pada
air limbah. Dalam satu jenis aliran CWs, penurunan amonium dan
nitrat, baik dengan Typha angustifolia maupun Scirpus grossus,
dapat mencapai persentase yang cukup tinggi, yakni > 50%.
Sementara efisiensi penurunan fosfor oleh kedua jenis tumbuhan
tersebut mencapai ± 10%. Pada penelitian yang dilakukan Sun et
al. (2009), Typha angustifolia memiliki kemampuan removal
nutrien paling baik dibandingkan jenis tanaman lain yang
digunakan.
Xinshan et al. (2010) melakukan penelitian mengenai
HCWs dengan jenis VSSF dan HSSF. HRT 1 sampai 7 hari
digunakan sebagai variabel dalam penelitian ini. Pada hari ke-4
sampai dengan hari ke-7, kemampuan removal nutrien mengalami
23
Tabel 2.4 Review Penelitian Terdahulu
Referensi
Ni'am dan
Warmadewan
thi (2013)
Jenis Limbah
Konsentrasi
Limbah
(mg/L)
-
Tumbuhan
Typha
angustifolia
Leachate
HRT
Jenis
Aliran
3 hari
SSF
Rasheed et
al. (2014)
Air limbah
domestik
-
-
0,5; 1; 2;
dan 4 hari
VSSFHSSF
Jinadasa et
al. (2008)
Air limbah
domestik
Ammonium
Scirpus
grossus dan
Typha
angustifolia
1 hari
FWS
14,3 ± 2,7
Nitrat
2,20 ± 0,64
24
Removal
Ammonium
100 L/hari 97,29% dan
81,73%
50 L/hari 94,4% dan
91,14%
Ammonia
82,5% 92,5%
Nitrat
30 - 47%
Nitrit
9,5 - 25%
Fosfat
37,7% 46,3%
Keterangan
-
Pengolahan
optimum pada
HRT 4 hari
Scirpus
grossus
Amonium
59,40%
Nitrat
Referensi
Jenis Limbah
Konsentrasi
Limbah
(mg/L)
Fosfor
2,00 ± 0,62
Tumbuhan
HRT
Jenis
Aliran
Removal
Keterangan
52,10%
Fosfor
11,20%
Typha
angustifolia
Amonium
56,50%
Nitrat
51,60%
Fosfor
9,10%
HRT 3 hari
Sirlanuntapib
oon et al.
(2006)
Air limbah
domestik
TKN
38,4 ± 4,2
TP
12,0 ± 1,9
Typha sp.
0,75; 1,5;
dan 3 hari
Up Flow
CW
TKN
84 ± 5 % 90 ± 3 %
TP
93 ± 3 % 95 ± 3 %
Amonia
59 ± 3 % 62 ± 3 %
Efisiensi
removal
tertinggi pada
HRT 3 hari
25
Referensi
Jenis Limbah
Xinshan et al.
(2010)
Air limbah
domestik
artifisial
Keffala dan
Ghrabi (2005)
Air limbah
domestik
Arivoli dan
Mohanraj
(2013)
Air limbah
domestik
Sun et al.
(2009)
26
Air limbah
pupuk kimia
(Diammonium
phosphate)
artifisial
Konsentrasi
Limbah
(mg/L)
Ammonium
10 – 120
Nitrat
0 - 14
TP
4 – 10
Amonium
47
Nitrat
22
Nitrat
78,98 ± 1,01
Fosfat
22,08 ± 0,87
Amonium
44,6 - 81,2
TN
47,6 – 80
TP
32,7 - 52,9
Tumbuhan
HRT
Jenis
Aliran
Removal
Keterangan
Canna sp.
1 , 2, 3, 4,
5, 6, dan
7 hari
VSSFHSSF
TN
92%
Pada hari ke-4
sampai ke-7
kemampuan
removal
mengalami
steady state
Phragmites
australis dan
Typa latifolia
1 hari
VSSFHSSF
Amonium
19%
Nitrat
4%
-
Typha
angustifolia
0,5; 1;
dan 1,5
hari
VSSF
Nitrat
88,48%
Fosfat
83,51%
Removal
efisiensi
tertinggi
dengan HRT
1,5 hari
Phragmites
australis,
Typa
angustifolia,
dan Acorus
calamus
Typha
angustifolia
3, 4, dan
5 hari
SSF
TN
89,70%
TP
88,90%
Removal
efisiensi
tertinggi
dengan Typha
angustifolia
pada HRT 3
hari
steady state. Pada penelitian tersebut juga disebutkan bahwa
penurunan amonium terjadi secara drastis pada hari ke-1 dengan
efisiensi lebih dari 80%. Penelitian lain mengenai CWs yang juga
menggunakan
HRT
sebagai
variabel
dilakukan
oleh
Sirlanuntapiboon et al. (2006) dan Sun et al. (2009). Dari kedua
penelitian tersebut didapatkan kesimpulan bahwa penggunaan
CWs memiliki efisiensi removal nutrien optimum pada HRT 3 hari.
27
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
28
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1
Gambaran Umum
Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis mengenai
efisiensi penurunan senyawa nitrogen dan fosfat pada limpasan
pertanian dengan menggunakan Hybrid Constructed Wetlands
(HCWs). Sistem HCWs yang digunakan merupakan kombinasi
antara Vertical Subsurface Flow (VSSF) dan Horizontal
Subsurface Flow (HSSF). Pada sistem ini, dianalisis pula pengaruh
variasi jenis tumbuhan terhadap efisiensi tersebut. Limbah yang
digunakan adalah air limbah artifisial yang dibuat dari pupuk urea
dan pupuk fosfat. Sebelum melakukan uji phytotreatment air
limbah, dilakukan penelitian pendahuluan terlebih dulu, yaitu
propagasi tumbuhan, pembuatan air limbah, dan Range Finding
Test.
3.2
Kerangka Penelitian
Dasar pemikiran dan rangkaian kegiatan dalam penelitian
direpresentasikan melalui kerangka penelitian. Kerangka
penelitian merupakan gambaran umum pelaksanaan penelitian
yang disusun berdasarkan tahapan pelaksanaan penelitian
sehingga penelitian dapat berjalan sistematis dengan tujuan yang
jelas. Penyusunan kerangka penelitian didasarkan pada studi
literatur yang dilakukan, baik dari jurnal ilmiah, buku teks, maupun
laporan tugas akhir yang mendukung pada penelitian ini. Adapun
kerangka penelitian digambarkan dalam Gambar 3.1.
3.3
Studi Literatur
Studi literatur bertujuan untuk mendukung pelaksanaan
penelitian. Literatur yang digunakan dalam penelitian ini berupa
jurnal ilmiah, buku teks, paper, dan literatur lain yang mendukung.
Studi literatur yang dilakukan berkaitan dengan kondisi eksisting,
kondisi ideal, kemampuan HCWs jenis VSSF dan HSSF dalam
menurunkan kadar senyawa nitrogen dan fosfat, dan kemampuan
Typha angustifolia dan Scirpus grossus dalam menurunkan kadar
senyawa nitogen dan fosfat.
29
3.4
Ide Penelitian
Ide penelitian berasal dari gap antara kondisi eksisting
dengan kondisi ideal kekinian yang berada di lapangan.
“Dekonsentrasi Nutrien pada Limpasan Pertanian dengan Sistem
Hybrid Constructed Wetlands” merupakan penelitian yang
dilakukan dalam upaya pemanfaatan HCWs untuk penurunan
kadar nitrogen dan fosfat dengan efisiensi yang tinggi.
Studi
Pustaka
Kondisi Eksisting
 Kegiatan
pertanian
menjadi
sumber pencemar air pada badan
air melalui
limpasan
yang
mengandung residu bahan-bahan
agrokimia (Pujiastuti et al., 2015).
 CWs jenis Vertical Flow kurang
menguntungka untuk denitrifikasi,
sementara
Horizontal
Flow
terbatas
dalam
penurunan
nitrogen karena suplai oksigen
terbatas (Cooper, 1999; Zhang,
2016)
 Jenis tumbuhan merupakan faktor
yang mempengaruhi kinerja SSFWetlands
(Tangahu
dan
Warmadewanthi, 2001).
Kondisi Ideal

GAP


CWs
merupakan
sistem
pengolahan yang tepat dalam
menurunkan polutan air limbah
pertanian (Danista, 2012)
Vertical
Flow
(VF)
dan
Horizontal Flow (HF) CWs dapat
dikombinasikan sebagai sistem
Hybrid Subsurface Wetland
(Zhang et al., 2016)
Typha angustifolia dan Scirpus
grossus
merupakan
jenis
tumbuhan yang efektif untuk
sistem CWs
Ide Penelitian
Efisiensi Dekonsentrasi Nutrien pada
Limpasan Pertanian dengan Hybrid
Constructed Wetlands
A
30
A
Rumusan Masalah



Tingkat ketahanan tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus
grossus dalam berbagai konsentrasi nitrogen dan fosfat pada
limpasan pertanian
Efisiensi dekonsentrasi nitrogen pada limpasan pertanian dengan
menggunakan Hybrid Constructed Wetlands
Efisiensi dekonsentrasi fosfat pada limpasan pertanian dengan
menggunakan Hybrid Constructed Wetlands

Tujuan Penelitian



Menentukan tingkat ketahanan tumbuhan Typha angustifolia dan
Scirpus grossus dalam berbagai konsentrasi nitrogen dan fosfat pada
limpasan pertanian
Menentukan efisiensi dekonsentrasi nitrogen pada limpasan
pertanian dengan menggunakan Hybrid Constructed Wetlands
Menentukan efisiensi dekonsentrasi fosfat pada limpasan pertanian
dengan menggunakan Hybrid Constructed Wetlands
Persiapan Alat dan Bahan
1.
2.
3.
4.
Pupuk calcium ammonium nitrat dan pupuk fosfat
Reaktor Wetlands jenis VSSF dan HSSF
Tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus
Peralatan dan bahan untuk uji parameter
Penelitian Pendahuluan
1.
2.
3.
Propagasi tumbuhan
Pembuatan air limbah
Range Finding Test
B
31
B
Pelaksanaan Penelitian

1.
2.
3.
a)
b)

Variabel Penelitian
Jenis tumbuhan:
Typha angustifolia
Scirpus grossus
Mixed Plants
Hydraulic Retention Time (HRT):
1 hari
3 hari
Pengujian
pH, suhu, DO, ammonium, nitrat, dan fosfat
Analisis Data dan Pembahasan
Membandingkan tingkat efisiensi penurunan senyawa
nitrogen dan fosfor pada masing-masing variasi
Kesimpulan dan Saran
Gambar 3.1 Diagram Alir Kerangka Penelitian
3.5
32
Persiapan Alat dan Bahan
a. Penelitian Pendahuluan
1. Alat
 Propagasi tumbuhan dilakukan di bak berbahan plastik
dengan diameter 41 cm dan tinggi 18 cm seperti pada
Gambar 3.2. Sementara untuk Range Finding Test,
reaktor yang digunakan berupa pot berdiameter 25 cm dan
tinggi 20 cm seperti pada Gambar 3.3.
 Pembuatan dan analisis kualitas air limbah pertanian
dilakukan dengan menggunakan peralatan standar
laboratorium, seperti glassware, neraca analitik, dan
spektorfotometer.
Gambar 3.2 Reaktor Propagasi Tumbuhan
Gambar 3.3 Reaktor Range Finding Test
2. Bahan
 Air limbah pertanian
Air limbah didapatkan secara artifisial dengan
melarutkan pupuk urea dan pupuk fosfat dengan air
PDAM.
Langkah-langkah pembuatan air limbah pertanian
selengkapnya tercantum pada lampiran.
 Tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus
 Air PDAM untuk pengembangbiakan tumbuhan
 Tanah dan pupuk kompos
 Bahan-bahan untuk analisis parameter kualitas air
limbah
b. Uji Phytotreatment
1. Alat
33
Reaktor penelitian berupa bak plastik dengan bentuk
persegi panjang. Reaktor dioperasikan berdasarkan volume media
dan karakteristik air limbah yang sama. Sketsa reaktor Hybrid
Constructed Wetlands ditunjukkan pada Gambar 3.4.
Gambar 3.4 Reaktor Hybrid Constructed Wetlands

1)
2)
3)

1)
2)
3)
34
Reaktor Vertical Subsurface Flow Constructed Wetland
(VSSF-CW)
Volume reaktor: 0,159 m3 (73 x 52 x 42 cm)
Tinggi media tanam:
Pasir: 20 cm
Kerikil ø 1-2 cm: 5 cm
Kerikil ø 2-3 cm: 5 cm
Sketsa reaktor VSSF-CW ditunjukkan pada Gambar 3.5.
Reaktor Horizontal Subsurface Flow Constructed
Wetlands (HSSF-CWs)
Volume reaktor: 0,159 m 3 (73 x 52 x 42 cm)
Tinggi media tanam:
Pasir: 20 cm
Gravel ø 1-2 cm: 5 cm
Gravel ø 2-3 cm: 5 cm
Sketsa reaktor HSSF-CWs ditunjukkan pada Gambar
3.6.
Gambar 3.5 Reaktor VSSF-CW





Analisis kualitas air limbah pertanian dilakukan dengan
menggunakan peralatan standar laboratorium, seperti
glass ware, neraca analitik, dan spektorfotometer.
2. Bahan
Air limbah pertanian artifisial
Tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus
dengan berumur 1 bulan atau tinggi ± 30 cm.
Pasir dan kerikil
Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk analisis parameter
amonium, nitrat, fosfat, dan Dissolved Oxygen.
Gambar 3.6 Reaktor HSSF-CW
35
3.6
Penelitian Pendahuluan
1. Tahap Propagasi Tumbuhan
Tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus
didapatkan dari rawa-rawa sekitar ITS. Kedua tumbuhan ini
kemudian ditanam di reaktor berupa bak plastik dengan digenangi
air PDAM hingga ± 2 cm yang disesuaikan dengan kondisi habitat
aslinya. Tahap ini dilakukan minimal selama 1 bulan sampai
tumbuhan memiliki ukuran dan bentuk tumbuh secara optimum
(Suelee, 2015). Selama tahap propagasi, dilakukan pengukuran
laju pertumbuhan (Growth Rate) Typha angustifolia dan Scirpus
grossus.
2. Tahap Pembuatan Air Limbah
Air limbah dibuat dengan melarutkan Pupuk Calcium
Ammonium Nitrat (kosentrasi amonium 13,5%) dan Pupuk Super
Fosfat SP-36 (konsentrasi fosfat 36%) dengan air PDAM. Bahanbahan tersebut direaksikan hingga didapat konsentrasi yang
sesuai dengan kemampuan tumbuhan pada Range Finding Test.
Karakteristik air limbah disesuaikan dengan karakteristik nutrien
pada limpasan pertanian, yaitu rasio N : P sama dengan 3 : 1.
3. Tahap Range Finding Test
Range Finding Test (RFT) yang akan dilakukan mengacu
pada pedoman U.S. EPA Ecological Effect Guideline OPPTS
850.4400. Range Finding Test dilakukan dengan membuat variasi
konsentrasi air limbah yang kemudian diujikan ke tumbuhan.
Konsentrasi yang dipilih adalah konsentrasi tertinggi dimana
tumbuhan tetap hidup dengan kondisi baik. Tumbuhan yang
digunakan sebanyak 3 batang per konsentrasi dengan ukuran
tumbuhan yang sama. Variasi konsentrasi didapat dengan cara
mencampurkan air limbah dengan air PDAM. Variasi konsentrasi
yang digunakan, yaitu sesuai pada Tabel 3.1. Range Finding Test
dilakukan selama 4 hari atau selama 96 jam. Namun apabila dalam
96 jam tidak terjadi perubahan pada tumbuhan, maka waktu
diperpanjang selama 24 jam. Jika perpanjangan waktu RFT masih
belum menyebabkan perubahan pada tumbuhan, waktu
diperpanjang lagi hingga 14 hari. Dari variasi konsentrasi yang
dibuat, dipilih konsentrasi dimana tumbuhan tetap dapat hidup
untuk digunakan dalam uji phytotreatment.
36
Gambar 3.7 Pupuk Calcium Ammonium Nitrat
Gambar 3.8 Pupuk Super Fosfat (SP-36)
3.7
Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian dimulai dari uji fitotreatment
menggunakan reaktor CWs. Air limbah dialirkan secara kontinyu
dengan debit 12,32 L/hari untuk HRT 1 hari dan 4,107L/hari untuk
HRT 3 hari. Kemudian penelitian dilanjutkan dengan analisis
parameter air limbah.
a. Variabel Penelitian
 Terdapat dua variabel yang digunakan, yaitu variasi
jenis tumbuhan (Typha angustifolia dan Scirpus
grossus) dan Hydraulic Retention Time (HRT).
Penjelasan penggunaan variabel terdapat pada Tabel
3.2.
 Penelitian dilakukan dengan duplo.
37

Reaktor variabel kontrol yang digunakan mendapatkan
perlakuan yang sama seperti variabel penelitian, tetapi
tanpa tumbuhan.
Tabel 3.1 Variasi Konsentrasi Range Finding Test
Kadar Nutrien (mg/L)
Variasi
Amonium
Fosfat
I
0
0
II
10
3,33
III
25
8,33
IV
100
33,33
V
250
83,33
VI
500
166,67
VII
750
250
VIII
1.000
333,33
Tabel 3.2 Variabel Penelitian
Jenis Tumbuhan
HRT
Typha
angustifolia
Scirpus
grossus
Mixed
Plants
Kontrol
1 hari
Ta1
Sg1
MP1
K1
3 hari
Ta3
Sg3
MP3
K3
Keterangan:
1. Ta1 = Jenis tumbuhan Typha angustifolia dengan HRT
1 hari
2 Ta3 = Jenis tumbuhan Typha angustifolia dengan HRT
3 hari
3 Sg1 = Jenis tumbuhan Scirpus grossus dengan HRT 1
hari
4 Sg3 = Jenis tumbuhan Scirpus grossus dengan HRT 3
hari
5 MP1 = Jenis tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus
grossus dengan HRT 1 hari
38
6
7
8
MP3 = Jenis tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus
grossus dengan HRT 3 hari
K1 = Tanpa tumbuhan dengan HRT 1 hari
K3 = Tanpa tumbuhan dengan HRT 3 hari
b. Uji Parameter
Metode analisis parameter menggunakan metode yang
masih berlaku dan dapat dilaksanakan di laboratorium Teknik
Lingkungan ITS. Parameter yang diuji pada penelitian ini dibagi
menjadi 2 (dua), yaitu parameter utama dan parameter monitor.
Parameter utama meliputi konsentrasi amonium, nitrat, dan fosfat,
sedangkan parameter monitor adalah pH, suhu, dan DO.
1. pH
Pengukuran pH dilakukan pada seluruh sampel yang
diambil. Metode yang digunakan mengacu pada SNI
06-6989.11-2004 (cara uji derajat keasaman dengan
menggunakan alat pH meter).
2. Suhu
Metode pengukuran suhu yang digunakan mengacu
pada SNI 06-6989.23-2005 (cara uji suhu dengan
termometer).
3. Dissolved Oxygen (DO)
Dissolved Oxygen atau oksigen terlarut dianalisis
dengan menggunakan alat DO-meter.
4. Amonium
Metode yang digunakan dalam analisis amonium
adalah dengan Metode Nessler. Metode ini mengacu
pada Standard Methods for the Examination of Water
and Wastewater.
5. Nitrat
Pada analisis kadar nitrat, metode yang digunakan
adalah Metode Brucine Acetat yang mengacu pada
Standard Methods for the Examination of Water and
Wastewater.
6. Fosfat
Fosfat dianalisis dengan Metode Timah Klorida yang
mengacu pada Standard Methods for the Examination
of Water and Wastewater.
39
Prosedur uji selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran B.
3.8
Analisis dan Pembahasan
Analisis data dan pembahasan dilakukan setelah
mendapatkan data yang diperoleh selama penelitian. Hasil analisis
akan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik, serta dianalisis
secara deskriptif. Kemudian dilakukan uji signifikansi data
menggunakan uji statistik menguji hubungan antara parameter
yang bergantung pada normalitas dan homogenitas data.
Pembahasan hasil penelitian ini dilakukan berdasarkan
tujuan awal penelitian, serta harus disesuaikan dengan studi
literatur yang telah dilakukan. Literatur tersebut digunakan sebagai
pendukung maupun pembanding hasil yang diperoleh. Output data
yang akan dibahas adalah perbandingan tingkat efisiensi proses
pengolahan dengan Hybrid Constructed Wetlands berdasarkan
variabel jenis tumbuhan dan HRT.
3.9
Penarikan Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan dan saran diperoleh dari hasil analisis dan
pembahasan yang telah dilakukan. Kesimpulan yang akan
disampaikan berisi tentang jawaban atas tujuan penelitian
berdasarkan fakta yang diperoleh selama penelitian. Sementara
itu, pemberian saran dilakukan untuk perbaikan dan
pengembangan penelitian selanjutnya mengenai Hybrid
Constructed Wetlands.
40
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan dilakukan sebelum penelitian
utama dilaksanakan. Penelitian pendahuluan meliputi tahap
propagasi, tahap pembuatan air limbah, dan tahap Range Finding
Test.
4.1.1
Tahap Propagasi Tumbuhan
Tahap propagasi tumbuhan merupakan proses
pengembangbiakan untuk mendapatkan tunas baru (second
generation) dari dua tumbuhan yang digunakan dalam proses
pengolahan, yaitu Typha angustifolia dan Scirpus grossus.
Tumbuhan yang menjadi second generation inilah yang nantinya
akan digunakan untuk Range Finding Test dan uji phytotreatment.
Propagasi tumbuhan dilakukan dengan menanam tumbuhan induk
yang didapatkan dari rawa-rawa di sekitar ITS seperti pada
Gambar 4.1 dalam reaktor bak plastik dengan media tanam
berupa tanah taman. Sebelum ditanam, tumbuhan induk dipotong
hinggga tingginya mencapai ± 30 cm untuk mempercepat
pertumbuhan tunas. Pada media juga ditambahkan nutrien dari
kompos dan pupuk organik yang dilarutkan dalam air kran atau air
PDAM untuk menunjang kondisi optimum pertumbuhan.
Gambar 4.1 Tumbuhan Induk Typha angustifolia (kiri) dan Scirpus
grosssus (kanan)
41
Selama tahap propagasi tumbuhan, dilakukan pengukuran
fisik tumbuhan untuk menentukan karakteristik laju pertumbuhan
(Growth Rate) pada kondisi normal. Pengamatan karakteristik
tumbuhan yang dilakukan meliputi, panjang dan diameter batang;
jumlah, panjang, dan lebar daun; dan panjang akar. Tinggi
tumbuhan merupakan jumlah dari panjang daun dan panjang
batang. Proses pengamatan karakteristik fisik dapat dilihat pada
Gambar 4.3. Tumbuhan dengan umur dan tinggi yang sama dari
hasil pengamatan terhadap laju pertumbuhan ini akan digunakan
pada setiap tahap penelitian sehingga diharapkan kondisi awal
tumbuhan yang digunakan adalah sama (Karenlampi et al., 2000).
Gambar 4.2 Tunas Baru Tumbuhan Typha angustifolia (kiri) dan
Scirpus grosssus (kanan)
Gambar 4.3 Pengukuran Tinggi Tumbuhan (kiri) dan Lebar Daun
(kanan)
42
Berdasarkan hasil pengamatan, Typha angustifolia dan
Scirpus grossus masih mengalami pertumbuhan fisik yang
signifikan tiap minggunya. Gambar 4.5 dan Gambar 4.6
menunjukkan grafik pertumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus
grossus. Dari grafik tersebut, terlihat bahwa Typha angustifolia dan
Scirpus grossus dapat tumbuh dengan baik pada kondisi
lingkungan perlakuan. Typha angustifolia mengalami pertumbuhan
tinggi terbesar pada usia 3 minggu, sedangkan Scirpus grossus
mengalami pertumbuhan tinggi terbesar pada usia 5 minggu.
Pemilihan umur tumbuhan untuk Range Finding Test (RFT) dan
phytotreatment didasarkan pada kecepatan pertumbuhan vegetatif
tersebut, serta berdasarkan umur tumbuhan sebelum memasuki
fase generatif (fase munculnya bunga). Diharapkan pada fase
pertumbuhan vegetatif tercepat dan belum memasuki fase
generatif ini, tumbuhan dapat menyerap kontaminan secara
optimal.
12
Jumah Daun
10
8
6
4
2
0
1
2
3
4
5
6
Umur Tumbuhan (minggu)
Typha angustifolia
7
8
Scirpus grossus
Gambar 4.4 Jumlah Daun Tumbuhan selama Tahap Propagasi
43
160
140
Panjang (cm)
120
Umur tumbuhan
yang digunakan
100
80
60
40
20
0
0
1
2
3
4
5
6
Umur Tumbuhan (minggu)
Lebar Daun (cm)
Panjang Daun (cm)
Panjang Batang (cm)
Diameter Batang (cm)
Panjang Akar (cm)
Tinggi Tumbuhan (cm) [Panjang Daun + Panjang Batang]
Gambar 4.5 Ukuran Fisik Typha angsutifolia selama Tahap Propagasi
44
7
8
Panjang (cm)
0
20
40
60
80
100
120
140
160
0
3
4
Umur Tumbuhan (minggu)
5
Tinggi Tumbuhan (cm) [Panjang Daun + Panjang Batang]
Panjang Akar (cm)
Diameter Batang (cm)
Panjang Batang (cm)
Panjang Daun (cm)
Lebar Daun (cm)
2
6
Gambar 4.6 Ukuran Fisik Scirpus grossus selama Tahap Propagasi
1
Umur tumbuhan
yang digunakan
7
45
8
Gambar 4.7 Typha angustifolia (kiri) dan Scirpus grossus (kanan)
untuk RFT dan Uji Phytotreatment
Tunas vegetatif dari tumbuhan induk muncul setelah 2
minggu propagasi dilakukan. Tunas baru yang umurnya telah
mencapai 3-5 minggu dipindahkan ke reaktor Range Finding Test
untuk penelitian selanjutnya. Sementara itu, tanaman induk
dibiarkan berada pada reaktor propagasi untuk menumbuhkan
tunas baru yang akan digunakan pada uji phytotreatment.
4.1.2
Tahap Pembuatan Air Limbah
Air limbah dibuat dengan konsentrasi amonium dan fosfat
yang tinggi sebagai larutan stock yang akan digunakan pada saat
Range Finding Test. Konsentrasi yang dibuat, yaitu amonium
sebesar 10.000 mg/L dan fosfat sebesar 3.333,33 mg/L
(perbandingan amonium : fosfat = 3 : 1). Larutan stock dibuat
sebanyak 1 L.
Bahan dasar air limbah yang dibuat adalah pupuk Calcium
Ammonium Nitrat dengan konsentrasi amonium 13,5% dan pupuk
Super Fosfat (SP-36) dengan konsentrasi fosfat 36%. Perhitungan
kebutuhan pupuk untuk pembuatan air limbah dilakukan sebagai
berikut.
Kandungan amonium dalam 1 kg pupuk Calcium Ammonium Nitrat
[a]
= 13,5% x 1.000 gram
= 135 gram
46
Kandungan fosfat dalam 1 kg Pupuk Super Fosfat (SP-36) [b]
= 36% x 1.000 gram
= 360 gram
Kebutuhan pupuk Calcium Ammonium Nitrat untuk kadar amonium
sebesar 10.000 mg/L dalam 1 L air:
Massa ammonium air limbah [c] = 10.000 mg/L x 1 L
= 10.000 mg = 10 g
Massa pupuk Calcium Ammonium Nitrat
=
=
𝑐
𝑎
𝑥 1.000 𝑔𝑟𝑎𝑚
10
135
𝑥 1.000 𝑔𝑟𝑎𝑚 = 74,07 gram
Kebutuhan pupuk Super Fosfat (SP-36) untuk kadar fosfat sebesar
3.333,33 mg/L dalam 1 L air:
Massa fosfat air limbah [d]
= 3.333,33 mg/L x 1 L
= 3.333,33 mg = 3,33 g
Massa pupuk Super Fosfat (SP-36)
=
𝑑
𝑏
𝑥 1.000 𝑔𝑟𝑎𝑚
3,333
𝑥 1.000 𝑔𝑟𝑎𝑚 = 9,26 gram
Berdasarkan perhitungan tersebut, maka untuk membuat
1 L air limbah dengan konsentrasi amonium sebesar 10.000 mg/L
dan fosfat sebesar 3.333,33 mg/L dibutuhkan Pupuk Calcium
Ammonium Nitrat sebanyak 74,07 gram dan pupuk Super Fosfat
(SP-36) sebanyak 9,26 gram. Air limbah selanjutnya diencerkan
menjadi beberapa variasi konsentrasi yang lebih kecil untuk RFT.
=
360
4.1.3
Tahap Range Finding Test
Range Finding Test (RFT) bertujuan untuk menetapkan
rentang konsentrasi maksimum yang dapat diproses secara
fitoremediasi oleh tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus
grossus (Tangahu et al., 2010). Media tanam yang digunakan
47
untuk RFT berupa pasir seberat 3 kg pada ember berdiameter 25
cm dengan tinggi 20 cm. Pada masing-masing ember ditanam 3
tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus. Tumbuhan
yang digunakan pada tahap ini, yaitu tumbuhan generasi kedua
hasil propagasi sebelumnya.
RFT dilakukan dengan rentang konsentrasi seperti yang
tertera pada Tabel 3.1. Variasi konsentrasi diperoleh melalui
pengenceran larutan stock air limbah yang telah dibuat
sebelumnya. Volume air limbah yang digunakan untuk RFT
sebanyak 350 mL. Besar nilai volume ini didapat berdasarkan hasil
pengukuran bulk density pasir yang perhitungannya dapat dilihat
pada Lampiran A.
Mengacu pada pedoman U.S. EPA Ecological Effect
Guideline OPPTS 850.4400, RFT dilakukan selama 4 hari atau
selama 96 jam. Namun, dikarenakan tidak adanya perubahan yang
signifikan dalam 4 hari, maka waktu RFT diperpanjang 24 jam
hingga terlihat perubahan. Dalam penelitian ini, RFT dilakukan
hingga 14 hari untuk mendapatkan perubahan yang signifikan.
Selama 14 hari, kondisi fisik tumbuhan seperti warna tumbuhan
(daun dan batang), serta layu atau tidaknya tumbuhan diamati.
Hasil analisis perubahan kondisi fisik tumbuhan selama RFT dapat
dilhat pada Lampiran A.
Dalam penelitian yang dilakukan Surrency (1993),
tumbuhan yang ber-genus sama dengan Typha angustifolia, yakni
Typha latifolia, mengalami stres atau penurunan kemampuan
hidupnya pada air limbah dengan konsentrasi amonium 160 – 170
mg/L. Kondisi tersebut sesuai dengan hasil pada penelitian ini,
dimana pada konsentrasi amonium sama dengan atau lebih tinggi
dari 100 mg/L, efek kematian tumbuhan pada Typha angustifolia
lebih dari 50%. Akan tetapi, dari hasil pengamatan fisik tumbuhan
pada tahap RFT, Typha angustifolia masih dapat bertahan hidup
(survive) pada kadar amonium sebesar 500 mg/L dan fosfat
sebesar 166,67 mg/L. Pada konsentrasi ini, 3 tumbuhan Typha
angustifolia dapat survive dengan menunjukkan kondisi tumbuhan
yang masih segar dan tumbuh tunas, meskipun daun dan
batangnya berwarna kekuningan. Sementara itu, Scirpus grossus
dapat bertahan hidup hingga kadar amonium sebesar 750 mg/L
dan fosfat sebesar 250 mg/L. Pada konsentrasi ini, 2 tumbuhan
48
Scirpus grossus dapat survive dengan menunjukkan kondisi
daunnya berwarna kuning dan agak kering. Jumlah tumbuhan
yang survive pada tiap konsentrasi dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Berdasarkan hasil dari RFT tersebut, konsentrasi
amonium dan fosfat yang akan digunakan pada uji phytotreatment
adalah sebesar 500 mg/L dan 166,67 mg/L. Hal ini
mempertimbangkan dari kemampuan kedua tumbuhan, dimana
kedua tumbuhan mampu bertahan pada konsentrasi air limbah
yang sama.
Tabel 4.1 Jumlah Tumbuhan Survive Tiap Konsentrasi Setelah RFT
Jenis
Tumbuhan
Typha
angustifolia
Scirpus
grossus
Kadar Nutrien (mg/L)
Jumlah
Tumbuhan
Letal
Efek
Kematian
Tumbuhan
(%)
Amonium
Fosfat
Jumlah
Tumbuhan
Survive
0
0
2
1
33,3
10
3,33
2
1
33,3
25
8,33
2
1
33,3
100
33,33
1
2
66,7
250
83,33
1
2
66,7
500
166,67
3
0
0
750
250
0
3
100
1000
333,33
0
3
100
0
0
2
1
33,3
10
3,33
3
0
0
25
8,33
2
1
33,3
100
33,33
2
1
33,3
250
83,33
1
2
66,7
500
166,67
2
1
33,3
750
250
2
1
33,3
1000
333,33
1
2
66,7
49
4.2
Uji Phythotreatment
Uji phytotreatment dilakukan terhadap air limbah yang
dibuat dengan konsentrasi berdasarkan hasil Range Finding Test,
yaitu amonium sebesar 500 mg/L dan fosfat sebesar 166,67 mg/L.
Reaktor yang digunakan berbahan plastik dengan ukuran 73 cm x
52 cm x 42 cm seperti pada Gambar 4.8. Media yang digunakan
adalah media pasir sebagai media utama dan media kerikil
sebagai media penyangga.
Tumbuhan yang digunakan merupakan tumbuhan dari hasil
propagasi dengan usia sekitar 3-5 bulan. Jumlah tumbuhan untuk
reaktor Vertical Flow CWs (VF-CWs) sebanyak 58 tumbuhan,
sedangkan untuk reaktor Horizontal Flow CWs (HF-CWs)
sebanyak 48 tumbuhan. Kebutuhan jumlah tumbuhan ini
berdasarkan pada hasil Range Finding Test dengan perhitungan
yang dapat dilihat pada Lampiran A.
Gambar 4.8 Susunan Reaktor Uji Phytotreatment
Air limbah dialirkan secara gravitasi dari reservoir air limbah
menuju VF-CWs lalu HF-CWs. Volume air limbah yang dibutuhkan
untuk masing-masing reaktor dalam sehari didapatkan dari hasil
pengukuran bulk density media setelah disusun di dalam reaktor.
Volume air limbah yang dibutuhkan untuk reaktor VF-CWs
sebanyak 6,74 L, sedangkan untuk HF-CWs sebanyak 5,58 L.
Secara kontinyu, air limbah dialirkan dengan debit sebesar
12,32 L/hari untuk HRT 1 hari dan 4,107L/hari untuk HRT 3 hari.
Debit aliran dijaga dengan mempertahankan ketinggian air limbah
50
menggunakan sistem overflow pada reservoir air limbah agar
tekanan yang dihasilkan tetap.
Parameter diamati pada efluen dari tiap reaktor VSSF dan
HSSF pada tiga macam variasi tumbuhan dan kontrol tanpa
tumbuhan. Pengoperasian dimulai pada hari ke-0 dengan
pengamatan parameter dilakukan setiap hari pada minggu
pertama pengoperasian. Kemudian pengamatan dilakukan sekali
untuk minggu berikutnya hingga pengoperasian mencapai 1 bulan.
Sementara itu, pengamatan parameter pada influen air limbah
dilakukan sebelum air limbah dialirkan ke reaktor uji.
Gambar 4.9 Sistem Overflow pada Reservoir Air Limbah
4.3
Analisis Parameter Monitor
Temperatur, pH, dan Dissolved Oxygen merupakan
parameter yang mempengaruhi mekanisme dekonsentrasi nutrien.
Hal ini dikarenakan mikroorganisme dan tumbuhan yang berperan
dalam proses dekonsentrasi, sensitif terhadap ketiga parameter
tersebut. Analisis temperatur, pH, dan Dissolved Oxygen sebagai
parameter monitor akan dibahas sebagai berikut.
4.3.1
Analisis Temperatur
Temperatur atau suhu merupakan derajat atau tingkat
panas dari suatu zat. Temperatur menjadi salah satu parameter
fisik yang mempengaruhi proses dekonsentrasi nutrien dalam
Constructed Wetlands. Proses pertukaran zat (metabolisme) pada
51
makhluk hidup sangat dipengaruhi oleh kondisi temperatur
(Permana, 2003). Tumbuhan juga dapat menyerap nutrien dengan
baik jika berada pada kondisi temperatur yang ideal.
Pada penelitian ini, pengukuran suhu dilakukan dengan
menggunakan termometer air raksa pada efluen setiap kali
sampling dilakukan. Fluktuasi temperatur pada reaktor uji dapat
dilihat dalam grafik pada Gambar 4.10 dan Gambar 4.11.
Dalam uji pytotreatment, temperatur untuk semua reaktor,
baik dengan HRT 1 hari maupun HRT 3 hari berkisar 26o – 33oC.
Dikarenakan reaktor diletakkan pada green house di luar
laboratorium, akibatnya panas matahari mempengaruhi kenaikan
temperatur setiap reaktor. Semakin tinggi temperatur maka kadar
oksigen akan semakin berkurang (Caroline dan Moa, 2015) yang
akan menyebabkan penurunan kemampuan dekonsentrasi
amonium dengan proses nitrifikasi. Sebaliknya, menurut Jones et
al (2013), kemungkinan terjadinya volatilisasi amonium semakin
meningkat pada temperatur yang tinggi (> 21oC). Temperatur yang
tinggi juga dapat mendukung dekomposisi dan/atau mineralisasi
organik (proses amonifikasi) yang mengakibatkan kenaikan
konsentrasi amonium (Zhang et al., 2016).
Mikroorganisme yang berperan dalam dekonsentrasi
nitrogen bergantung pada kondisi temperatur. Temperatur ideal
untuk proses nitrifikasi berkisar antara 16,5o hingga 32oC dan untuk
proses denitrifikasi berkisar antara 20o hingga 25oC (Saeed dan
Sun, 2012). Selama penelitian ini, kondisi temperatur ideal untuk
proses nitrifikasi, tetapi kurang mendukung untuk proses
denitrifikasi karena temperatur yang tinggi.
Berdasarkan Crites dan Tchobanoglousl (1998), Typha sp.
dapat tumbuh dengan baik pada temperatur 10 o – 30oC,
sedangkan Scirpus sp. pada temperatur 16o – 27oC. Dari hasil
pengukuran yang dilakukan, pada reaktor yang ditanami tumbuhan
Typha angustifolia (single plant dan mixed plants), baik dengan
HRT 1 hari maupun HRT 3 hari, tumbuhan masih dapat tumbuh
dengan baik karena rata-rata temperatur tidak melebihi 30oC.
Sementara pada reaktor dengan tumbuhan Scirpus grossus, ratarata suhu melebihi 27oC (sekitar 28o - 30oC) sehingga
menyebabkan tumbuhan menjadi agak kering.
52
Temperatur (OC)
0
5
10
15
20
25
30
35
HSSF
Hari ke-2
Hari ke-7
Hari ke-6
Hari ke-14
Hari ke-3
HSSF
Hari ke-21
Hari ke-28
Hari ke-5
Scirpus grossus
VSSF
Hari ke-4
Jenis Reaktor
Typha angustifolia
VSSF
Hari ke-1
Kontrol
HSSF
HSSF
Mixed Plants
VSSF
Gambar 4.10 Temperatur Air Limbah pada Reaktor dengan HRT 1 Hari
Air Limbah
VSSF
53
35
Temperatur (OC)
30
25
20
15
10
5
0
VSSF
Air Limbah
HSSF
Kontrol
VSSF
HSSF
VSSF
Typha angustifolia
HSSF
VSSF
Scirpus grossus
Jenis Reaktor
Hari ke-3
Hari ke-6
Hari ke-9
Hari ke-12
Hari ke-15
Hari ke-18
Hari ke-21
Hari ke-24
Hari ke-27
Hari ke-30
Gambar 4.11 Temperatur Air Limbah pada Reaktor dengan HRT 3 Hari
54
HSSF
Mixed Plants
4.3.2
Analisis pH
Derajat Keasaman atau pH menunjukkan konsentrasi ion
H+ dan ion OH- pada air limbah. Semakin tinggi ion H+ menandakan
bahwa limbah tersebut bersifat asam. Semakin tinggi ion OH menandakan bahwa limbah tersebut bersifat basa.
Pada penelitian ini, pH diukur dengan menggunakan pH
meter digital Senz pH (Scientific). Pengukuran pH dilakukan setiap
kali sampling. Hasil analisis pH untuk variabel HRT 1 hari
menunjukkan bahwa pH pada efluen reaktor jenis VSSF
berfluktuasi pada kisaran 7,1 – 8,1, sedangkan pada efluen HSSF
berkisar 7 – 8,3. Sementara pada variabel HRT 3 hari, pH efluen
reaktor jenis VSSF dan HSSF memiliki rentang pH yang sama,
yaitu 6,8 – 8,1. Influen reaktor memiliki pH yang lebih rendah
daripada efluen, yaitu pada kisaran 5,6 – 7,4. Fluktuasi pH dari
tiap-tiap reaktor dapat dilihat dalam grafik pada Gambar 4.12 dan
Gambar 4.13.
Selama pengoperasian reaktor, terjadi peningkatan pH
dari air limbah awal atau influen menuju efluen reaktor jenis VSSF
untuk seluruh variabel, baik HRT maupun jenis tumbuhan.
Kemudian penurunan pH terjadi pada efluen reaktor HSSF,
terkecuali reaktor kontrol. Pada reaktor kontrol jenis HSSF, pH
pada efluen mengalami kenaikan dibandingkan jenis VSSF selama
seminggu awal pengoperasian. Menurut Lines-Kelly (2005), ketika
tumbuhan menyerap N dalam bentuk nitrat, tumbuhan akan
melepaskan ion hidroksil sehingga mengakibatkan rizosfir lebih
alkalis. Ketika tumbuhan menyerap N dalam bentuk amonium,
maka tumbuhan akan melepaskan ion hidrogen sehingga pH pada
rizosfir menjadi lebih asam. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa kenaikan pH pada reaktor VSSF dikarenakan
tumbuhan lebih menyerap N dalam bentuk nitrat dibandingkan
amonium. Sebaliknya, penurunan pH pada reaktor HSSF
menunjukkan bahwa tumbuhan mulai menyerap N dalam bentuk
amonium. Penurunan pH juga dapat terjadi karena adanya
respirasi mikroba dan akar tanaman yang melepaskan CO 2
sehingga mengakibatkan kenaikan konsentrasi asam karbonat
atau bikarbonat yang mengarah pada penurunan pH.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Deman et al. (2002),
kondisi yang ideal untuk proses nitrifikasi adalah pada pH dengan
55
9
8
7
pH
6
5
4
3
2
1
0
VSSF
Air Limbah
HSSF
Kontrol
VSSF
HSSF
Typha angustifolia
Jenis Reaktor
VSSF
HSSF
Scirpus grossus
HSSF
Mixed Plants
Hari ke-1
Hari ke-2
Hari ke-3
Hari ke-4
Hari ke-5
Hari ke-6
Hari ke-7
Hari ke-14
Hari ke-21
Hari ke-28
Gambar 4.12 pH Air Limbah pada Reaktor dengan HRT 1 Hari
56
VSSF
pH
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Air Limbah
VSSF
HSSF
Hari ke-21
Hari ke-18
Hari ke-24
Hari ke-9
HSSF
Hari ke-27
Hari ke-12
Hari ke-30
Hari ke-15
Scirpus grossus
VSSF
Gambar 4.13 pH Air Limbah pada Reaktor dengan HRT 3 Hari
Hari ke-6
Typha angustifolia
Jenis Reaktor
VSSF
Hari ke-3
Kontrol
HSSF
HSSF
Mixed Plants
VSSF
57
rentang 7,5 hingga 8,6, sedangkan untuk proses denitrifikasi
dibutuhkan pH dengan rentang 7 hingga 8. Sementara dalam
penelitian lainnya, proses nitrifikasi biasanya berlangsung pada pH
5,5 hingga pH 10 dan optimum pada pH 8,5 (Damanik et al., 2011),
sedangkan proses denitrifikasi paling efektif pada pH antara 7,0
hingga 8,5 dengan optimalnya sekitar 7 (Kida et al., 1999). Selain
proses nitrifikasi dan denitrifikasi, pH juga menjadi faktor yang
memungkinkan terjadinya volatilisasi amonium. Menurut Jones et
al (2013), pH yang tinggi (>7,0) dapat meningkatkan terjadinya
proses volatilisasi amonium.
4.3.3
Analisis Dissolved Oxygen (DO)
Dissolved Oxygen (DO) merupakan kadar oksigen terlarut
dalam air. Dalam penelitian ini, DO memiliki peranan penting untuk
terjadinya proses nitrifikasi. Menurut Rasheed (2014), semakin
tinggi konsentrasi DO pada sistem VSSF, maka semakin besar
terjadinya penurunan konsentrasi amonium melalui proses
nitrifikasi. Berdasarkan Hammer dan Knight (1994), nitrifikasi akan
berkurang pada kondisi DO kurang dari 2 mg/L.
Analisis DO dilakukan dengan menggunakan DO-meter.
Konsentrasi DO dari hasil analisis dapat dilihat dalam bentuk grafik
pada Gambar 4.14 dan Gambar 4.15.
Konsentrasi DO air limbah pada influen cukup tinggi, yakni
berkisar antara 4,2 – 6,2 mg/L untuk variabel HRT 1 hari dan 4,1
– 5,1 mg/L untuk HRT 3 hari. Adanya oksigen terlarut pada influen
dikarenakan pembuatan air limbah yang berulang-ulang, yaitu
setiap 2 hari sekali sehingga pengisian air limbah ke dalam
reservoir dapat meningkatkan oksigen terlarut.
Penurunan DO terjadi setelah air limbah melewati reaktor
jenis VSSF maupun HSSF yang menunjukkan adanya proses
nitrifikasi oleh bakteri dengan memanfaatkan oksigen dalam air
limbah. Meski terjadi penurunan DO, pada reaktor HSSF sulit
untuk mecapai DO dengan kadar < 2 mg/L yang menjadi prasyarat
terjadinya proses denitrifikasi dengan baik. Padahal reaktor HSSF
memiliki fungsi utama sebagai tempat berlangsungnya proses
denitrifikasi.
Tumbuhan dapat meningkatkan kadar oksigen terlarut
dalam air yang menguntungkan untuk proses nitrifikasi, namun
58
DO (mg/L)
0
1
2
3
4
5
6
7
Air Limbah
Hari ke-14
Hari ke-3
HSSF
Hari ke-21
Hari ke-4
Scirpus grossus
VSSF
Gambar 4.14 DO Air Limbah pada Reaktor dengan HRT 1 Hari
Hari ke-7
Hari ke-6
HSSF
Typha angustifolia
Jenis Reaktor
VSSF
Hari ke-2
Kontrol
HSSF
Hari ke-1
VSSF
HSSF
Hari ke-28
Hari ke-5
Mixed Plants
VSSF
59
6
5
DO (mg/L)
4
3
2
1
0
VSSF
Air Limbah
HSSF
Kontrol
VSSF
HSSF
Typha angustifolia
Hari ke-3
Hari ke-6
Hari ke-18
Hari ke-21
VSSF
HSSF
VSSF
Scirpus grossus
Mixed Plants
Jenis Reaktor
Hari ke-9
Hari ke-12
Hari ke-15
Hari ke-24
Hari ke-27
Hari ke-30
Gambar 4.15 DO Air Limbah pada Reaktor dengan HRT 3 Hari
60
HSSF
tidak untuk denitrifikasi (Toet et al., 2005). Menurut Vretare (2001),
tumbuhan dapat meningkatkan oksigen dalam air melalui proses
fotosintesis. Selain tumbuhan, kadar DO juga dapat meningkat
tergantung pada media yang digunakan. Pasir sebagai media
utama yang digunakan dalam penelitian ini merupakan media yang
berporositas tinggi sehingga dapat meningkatkan oksigen terlarut
dalam air limbah (Lei, 2001).
4.4
Penurunan Kandungan Senyawa Nitrogen
Proses dekonsentrasi senyawa nitrogen sebagian besar
dilakukan bakteri melalui proses amonifikasi, nitrifikasi, dan
denitrifikasi. Selain secara biologis, proses penghilangan nitrogen
dalam wetland juga terjadi melalui proses volatilisasi ion amonium
(NH4+) menjadi gas NH3 ketika pH lebih besar dari 8, sedimentasi
dan penyaringan partikel padat yang mengandung nitrogen, serta
proses adsorbsi ion amonium ke dalam sedimen organik dan
anorganik melalui pertukaran ion positif (Liehr et al., 2000).
Dalam proses dekonsentrasi senyawa nitrogen, tumbuhan
memiliki peranan penting sebagai tempat mikroorganisme tumbuh
dan pemasok oksigen untuk mendukung pertumbuhan bakteri
aerob. Sementara itu, kebutuhan karbon organik oleh bakteri
sebagai sumber energi berasal dari sisa-sisa bagian tumbuhan
yang telah mati (Liehr et al., 2000).
4.4.1 Parameter Amonium sebagai Nitrogen (NH4+-N)
A. Penurunan Amonium pada Reaktor HRT 1 Hari
Konsentrasi amonium mengalami penurunan yang
signifikan pada hari ke-1 pengoperasian untuk semua reaktor, baik
reaktor dengan tumbuhan, maupun reaktor kontrol tanpa
tumbuhan. Efisiensi tersebut dapat mencapai 99,9%. Tingginya
efisiensi pada hari ke-1 pengoperasian bisa disebabkan karena
terjadinya berbagai proses fisika, kimia, ataupun biologi. Akan
tetapi, dikarenakan reaktor kontrol tanpa tumbuhan (reaktor K1)
juga memiliki efisiensi yang tinggi, hal ini menunjukkan bahwa
media memberikan peranan besar dalam dekonsentrasi amonium
melalui proses fisik, yakni filtrasi dan sedimentasi. Selain itu,
mikroorganisme dan tumbuhan membutuhan waktu untuk dapat
61
beradaptasi dengan kondisi lingkungan baru sehingga belum
dapat menjadi faktor utama penurunan konsentrasi amonium.
Efisiensi dekonsentrasi reaktor K1 tertinggi untuk jenis
VSSF terjadi pada 5 hari awal pengoperasian yang mencapai
99,62 - 99,96% dengan konsentrasi amonium terendah yang dapat
dicapai sebesar 0,21 mg/L. Nilai efisiensi yang tinggi selama 5 hari
tersebut menandakan bahwa media masih sangat efektif dalam
menurunkan konsentrasi amonium. Setelah hari ke-5, konsentrasi
amonium mengalami kenaikan yang cukup signifikan hingga hari
ke-14 pengoperasian, kemudian kembali mengalami penurunan
setelahnya. Peningkatan konsentrasi amonium di reaktor VSSF
menyebabkan penurunan efisiensi dekonsentrasi hingga
mencapai 63,38%. Air limbah dengan konsentrasi yang tetap dan
dialirkan secara terus-menerus ke dalam reaktor akan
menyebabkan media dalam reaktor menjadi jenuh atau mengalami
penurunan efisiensi dalam proses. Kenaikan efisiensi
dekonsentrasi amonium setelah hari ke-14 menunjukkan bahwa
peran mikroorganisme dalam proses nitrifikasi semakin besar. Hal
ini ditandai dengan penurunan pH, serta selisih DO yang besar
antara influen dan efluen reaktor setelah hari ke-14. Selisih DO
lebih besar karena oksigen dalam air digunakan mikroorganisme
untuk proses nitrifikasi.
Sementara itu, pada reaktor K1 jenis HSSF, efisiensi
dekonsentrasi tertinggi sebesar 99,88% pada hari ke-28 dengan
konsentrasi amonium
mencapai 0,07
mg/L.
Efisiensi
dekonsentrasi yang tinggi pada reaktor HSSF di akhir penelitian
dikarenakan efisiensi reaktor VSSF yang tinggi di awal penelitian.
Konsentrasi amonium yang rendah pada efluen reaktor VSSF
menyebabkan reaktor HSSF hanya bisa menurunkan sedikit
konsentrasi amonium. Konsentrasi amonium pada reaktor HSSF
berfluktuasi hingga hari ke-6 kemudian mengalami kenaikan
hingga hari ke-21. Fluktuasi konsentrasi ini juga terjadi disebabkan
karena influen reaktor HSSF dari reaktor VSSF yang berfluktuasi,
serta dikarenakan mikroorganisme pada media masih dalam tahap
adaptasi. Konsentrasi amonium dan efisiensi dekonsentrasi pada
reaktor kontrol dengan HRT 1 hari selengkapnya dapat dilihat
dalam bentuk grafik pada Tabel 4.2.
62
Sedikit berbeda dengan reaktor K1, fluktuasi konsentrasi
amonium selama minggu pertama pengoperasian pada reaktor
dengan tumbuhan dapat disebabkan karena keberadaan
tumbuhan itu sendiri. Tumbuhan mensekresikan eksudat akar
untuk mengundang mikroba datang ke rizosfir. Menurut Purwantari
(2008), senyawa metabolit (eksudat), seperti senyawa-senyawa
gula, asam amino, asam organik, glikosida, senyawa nukleotida,
enzim, vitamin, dan senyawa indol akan dilepaskan oleh akar
tumbuhan. Senyawa ini dimanfaatkan sebagai nutrisi oleh
mikroorganisme tanah untuk proses metabolisme. Sebaliknya,
hasil metabolisme mikroorganisme tanah yang berupa ion-ion
anorganik seperti amonium akan menjadi unsur hara bagi
tumbuhan.
Tabel 4.2 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Reaktor
Kontrol HRT 1 Hari
Reaktor K1
Hari
ke-
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Efluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
1
495,13
1,86
99,62
0,61
67,40
99,88
2
506,07
0,26
99,95
0,18
30,98
99,97
3
499,00
0,42
99,92
0,22
47,96
99,96
4
505,67
0,76
99,85
0,18
76,02
99,96
5
505,67
0,21
99,96
0,08
61,81
99,98
6
502,33
54,97
89,06
0,28
99,50
99,94
7
495,67
91,35
81,57
0,36
99,61
99,93
14
499,00
182,71
63,38
0,47
99,74
99,91
21
495,67
154,43
68,84
0,47
99,69
99,90
28
505,67
59,60
88,21
0,07
99,88
99,99
Dikarenakan adanya peran media yang cukup besar,
konsentrasi amonium dari influen air limbah juga mengalami
63
penurunan yang signifikan setelah melewati reaktor dengan
tumbuhan, baik reaktor dengan Typha angustifolia (reaktor Ta1)
dan Scirpus grossus (reaktor Sg1) single plant, maupun reaktor
Mixed Plants (reaktor MP1).
Setelah hari ke-1 pengoperasian, konsentrasi amonium
pada reaktor VSSF Ta1 terus mengalami peningkatan hingga hari
ke-28. Terjadinya peningkatan tersebut menunjukkan bahwa
setelah hari ke-1 pengoperasian, media sudah jenuh sehingga
efisiensi menurun dan Typha angustifolia memberikan peranan
yang kecil dalam dekonsentrasi amonium melalui proses
fitoekstraksi. Sementara itu, pada reaktor HSSF, konsentrasi
amonium mengalami peningkatan yang signifikan di hari ke-14
hingga akhir penelitian. Besarnya konsentrasi amonium pada
influen reaktor VSSF lebih besar dibandingkan HSSF sehingga
waktu jenuh media lebih lama terjadi pada reaktor HSSF.
Konsentrasi amonium pada reaktor Typha angustifolia dengan
HRT 1 hari selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Sama seperti reaktor Ta1, pada reaktor Sg1 efisiensi
tertinggi reaktor untuk jenis VSSF terjadi pada awal
pengoperasian, kemudian efisiensi dekonsentrasi pada reaktor
VSSF mengalami penurunan yang signifikan hingga akhir
pengoperasian. Di hari ke-1 pengoperasian reaktor HSSF Sg1,
efisiensi dekonsentrasi amonium bernilai negatif dikarenakan
terjadi peningkatan konsentrasi amonium dari efluen reaktor VSSF
menuju efluen HSSF. Efluen reaktor VSSF yang menjadi influen
reaktor HSSF memiliki konsentrasi amonium yang sangat kecil
karena reaktor VSSF memiliki efisiensi yang tinggi. Konsentrasi
amonium yang sangat kecil sulit untuk diturunkan kadarnya
dengan reaktor HSSF sehingga menyebabkan efisiensi bernilai
negatif. Konsentrasi amonium dan efisiensi dekonsentrasi pada
reaktor Scirpus grossus dengan HRT 1 hari selengkapnya dapat
dilihat dalam bentuk grafik pada Tabel 4.4.
Reaktor dengan kombinasi tumbuhan Typha angustifolia
dan Scirpus grossus (Mixed Plants) juga memiliki efisiensi
dekonsentrasi amonium yang tinggi sama seperti reaktor lainnya.
Efisiensi dekonsentrasil pada reaktor jenis VSSF tertinggi terjadi
dari hari ke-1 hingga hari ke-5 pengoperasian (99,90 – 100%).
Akibat efisiensi pada reaktor VSSF sangat tinggi, reaktor HSSF
64
juga memiliki efisiensi bernilai negatif seperti reaktor HSSF Sg1.
Bedanya pada reaktor HSSF Sg1 hanya terjadi hingga hari ke-2
karena setelahnya efisiensi menjadi sangat tinggi dan stabil hingga
akhir penelitian. Sementara pada reaktor HSSF MP1, efisiensi
bernilai negatif hingga hari ke-5. Kemudian efisiensi reaktor HSSF
kembali meningkat hingga akhir pengoperasian. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya peningkatan konsentrasi amonium
dari efluen VSSF menuju efluen HSSF yang bisa disebabkan
karena aktivitas pengeluaran eksudat melalui akar tumbuhan.
Efisiensi selanjutnya mengalami peningkatan hingga hari ke-14
yang kembali mengalami penurunan setelahnya. Efisiensi
dekonsentrasi tertinggi pada reaktor HSSF 1 hari mencapai
99,82%. Konsentrasi amonium dan efisiensi dekonsentrasi pada
reaktor Mixed Plants dengan HRT 1 hari selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.3 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Reaktor
Typha angustifolia HRT 1 Hari
Reaktor Ta1
Hari
ke-
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Efluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
1
495,13
0,48
99,90
0,36
23,50
99,93
2
506,07
10,15
97,99
0,38
96,24
99,92
3
499,00
22,09
95,57
0,48
97,83
99,90
4
505,67
27,00
94,66
0,48
98,22
99,90
5
505,67
37,78
92,53
0,48
98,74
99,91
6
502,33
54,97
89,06
0,61
98,88
99,88
7
495,67
132,93
73,18
0,29
99,78
99,94
14
499,00
166,87
66,56
10,97
93,43
97,80
21
495,67
272,93
44,94
83,60
69,37
83,13
28
505,67
296,63
41,34
113,77
61,65
77,50
65
Tabel 4.4 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Reaktor
Scirpus grossus HRT 1 Hari
Reaktor Sg1
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Hari keEfluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
1
495,13
0,22
99,95
0,37
-67,57
99,92
2
506,07
0,00
100,00
0,67
-16760,47
99,87
3
499,00
113,95
77,16
7,77
93,18
98,44
4
505,67
102,83
79,66
0,31
99,70
99,94
5
505,67
213,04
57,87
0,24
99,89
99,95
6
502,33
178,70
64,43
0,24
99,86
99,95
7
495,67
135,52
72,66
0,22
99,84
99,96
14
499,00
198,21
60,28
0,35
99,82
99,93
21
495,67
298,31
39,82
0,92
99,69
99,81
28
505,67
404,93
19,92
3,38
99,17
99,33
Tabel 4.5 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Reaktor
Mixed Plants HRT 1 Hari
Reaktor MP1
Hari
ke-
66
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Efluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
1
495,13
0,51
99,90
0,35
30,74
99,93
2
506,07
0,02
100,00
0,07
-238,73
99,99
3
499,00
0,08
99,98
0,29
-268,40
99,94
4
505,67
0,32
99,94
0,57
-74,56
99,89
5
505,67
0,38
99,92
0,85
-121,82
99,83
6
502,33
58,34
88,39
0,34
99,42
99,93
Reaktor MP1
Hari
ke-
Influen
VSSF
Efluen
Total
Efisiensi
HSSF
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
7
495,67
48,57
90,20
0,15
99,70
99,97
14
499,00
129,90
73,97
0,23
99,82
99,95
21
495,67
29,00
94,15
17,20
40,70
96,53
28
505,67
11,60
97,71
11,53
0,57
97,72
B. Penurunan Amonium pada Reaktor HRT 3 Hari
Penurunan amonium pada reaktor dengan HRT 3 hari
memiliki tren yang hampir sama dengan reaktor HRT 1 hari.
Seluruh reaktor VSSF memiliki efisiensi yang tinggi pada awal
pengoperasian, sedangkan efisiensi pada reaktor HSSF sangat
rendah, bahkan bernilai negatif kecuali pada reaktor MP3.
Konsentrasi amonium yang sangat kecil pada influen reaktor HSSF
menyebabkan reaktor HSSF tidak optimal dalam dekonsentrasi
amonium. Konsentrasi amonium dan efisiensi dekonsentrasi pada
HRT 3 hari dapat dilihat pada Tabel 4.6, Tabel 4.7, Tabel 4.8, dan
Tabel 4.9. Sementara grafik fluktuasi efisiensi dekonsentrasi
amonium pada reaktor dengan HRT 3 hari dapat dilihat pada
Gambar 4.17.
Konsentrasi amonium pada reaktor VSSF K3 mengalami
kenaikan yang signifikan pada hari ke-18 pengoperasian.
Sementara itu, pada reaktor VSSF Ta3 dan Sg3 mengalami
kenaikan konsentrasi amonium di hari yang lebih lama, yakni pada
hari ke-21. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peran tumbuhan
dalam dekonsentrasi amonium, baik melalui proses fitoekstraksi,
maupun sebagai tempat berkembangnya bakteri nitrifikasi.
Berbeda dengan reaktor single plant yang menunjukkan hasil yang
lebih baik dibandingkan reaktor kontrol, pada reaktor mixed plants,
kenaikan konsentrasi amonium yang tinggi mulai terjadi di hari ke9 sehingga dapat dikatakan bahwa kombinasi Typha angustifolia
dan Scirpus grossus di reaktor VSSF tidak dapat memberikan hasil
yang efektif dalam dekonsentrasi amonium. Meski reaktor VSSF
67
100
100
80
60
40
60
20
0
40
-20
-40
20
-60
-80
0
-100
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
30
Hari KeVSSF K1
VSSF Ta1
VSSF Sg1
VSSF MP1
HSSF K1
HSSF Ta1
HSSF Sg1
HSSF MP1
Gambar 4.16 Efisiensi Dekonsentrasi Amonium pada Reaktor dengan HRT 1 Hari
68
Efisiensi Dekonsentrasi HSSF (%)
Efisiensi Dekonsentrasi VSSF (%)
80
Tabel 4.6 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Reaktor
Kontrol HRT 3 Hari
Reaktor K3
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Hari keEfluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
3
495,67
0,13
99,97
0,48
-280,32
99,90
6
499,00
0,40
99,92
0,88
-120,33
99,82
9
502,33
0,03
99,99
0,16
-481,48
99,97
12
505,67
0,07
99,99
0,36
-382,43
99,93
15
502,33
0,21
99,96
0,61
-191,44
99,88
18
505,67
29,17
94,23
0,55
98,13
99,89
21
509,00
29,17
94,27
0,74
97,47
99,86
24
499,00
122,39
75,47
0,82
99,33
99,84
27
495,67
219,78
55,66
1,28
99,42
99,74
30
502,33
92,05
81,68
0,19
99,80
99,96
Tabel 4.7 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Reaktor
Typha angustifolia HRT 3 Hari
Reaktor Ta3
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Hari keEfluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
3
495,67
0,36
99,93
0,33
7,54
99,93
6
499,00
0,62
99,88
0,43
30,96
99,91
9
502,33
2,06
99,59
0,77
62,61
99,85
12
505,67
0,42
99,92
0,10
76,57
99,98
15
502,33
1,23
99,76
0,14
88,73
99,97
18
505,67
0,72
99,86
0,50
30,97
99,90
69
Reaktor Ta3
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Hari ke(mg/L)
Efluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
21
509,00
52,93
89,60
0,62
98,84
99,88
24
499,00
101,63
79,63
1,52
98,50
99,69
27
495,67
224,84
54,64
2,33
98,96
99,53
30
502,33
238,74
52,47
2,51
98,95
99,50
Tabel 4.8 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Reaktor
Scirpus grossus HRT 3 Hari
Reaktor Sg1
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Hari keEfluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
3
495,67
0,15
99,97
0,22
-44,35
99,96
6
499,00
0,15
99,97
0,13
11,60
99,97
9
502,33
0,69
99,86
0,38
44,59
99,92
12
505,67
0,45
99,91
0,27
38,65
99,95
15
502,33
0,47
99,91
0,33
30,19
99,93
18
505,67
4,40
99,13
0,36
91,72
99,93
21
509,00
21,42
95,79
0,43
98,01
99,92
24
499,00
137,22
72,50
0,50
99,63
99,90
27
495,67
256,86
48,18
0,50
99,81
99,90
30
502,33
89,01
82,28
0,32
99,64
99,94
dengan tumbuhan memberikan hasil efisiensi yang tinggi di hari
yang lebih lama, konsentrasi terendah amonium yang dapat
dicapai terjadi pada reaktor kontrol dengan konsentrasi sebesar
0,07 mg/L. Hal tersebut dikarenakan adanya eksudat akar yang
70
dikeluarkan oleh tumbuhan yang dapat meningkatkan konsentrasi
amonium dalam air limbah, seperti pada reaktor HRT 1 hari.
Pada semua reaktor HSSF HRT 3 hari, konsentrasi
amonium sangat rendah dari awal hingga akhir pengoperasian
yang menunjukkan bahwa media masih memiliki kemampuan
pengolahan fisik yang cukup efektif untuk dekonsentrasi amonium.
Konsentrasi amonium terendah dapat tercapai pada reaktor HSSF
MP3 di hari ke-1 pengoperasian, yakni sebesar 0,08 mg/L. Selain
itu, efisiensi reaktor HSSF MP3 di hari ke-30 lebih tinggi
dibandingkan reaktor Ta3 dan Sg3 sehingga dapat disimpulkan
bahwa kombinasi Typha angustifolia dan Scirpus grossus dalam
reaktor HSSF HRT 3 hari memiliki pengolahan yang lebih efektif
dibandingkan secara single plant.
Dalam satu sistem hybrid, efisiensi dekonsentrasi
amonium tertinggi pada hari ke-30 terdapat pada reaktor K3
Tabel 4.9 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Reaktor
Mixed Plants HRT 3 Hari
Reaktor MP1
Influen
VSSF
Hari ke-
Total
Efisiensi
HSSF
Efluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
3
495,67
0,09
99,98
0,08
99,98
99,98
6
499,00
1,39
99,72
0,93
99,81
99,81
9
502,33
25,31
94,96
1,21
99,76
99,76
12
505,67
70,14
86,13
0,82
99,84
99,84
15
502,33
68,27
86,41
0,23
99,95
99,95
18
505,67
130,62
74,17
0,25
99,95
99,95
21
509,00
238,69
53,11
0,37
99,93
99,93
24
499,00
204,31
59,06
0,59
99,88
99,88
27
495,67
276,11
44,29
1,04
99,79
99,79
30
502,33
318,23
36,65
1,50
99,70
99,70
71
100
80
80
60
40
60
20
0
40
-20
-40
20
-60
-80
0
-100
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
HARI KEVSSF K3
VSSF Ta3
VSSF Sg3
VSSF MP3
HSSF K3
HSSF Ta3
HSSF Sg3
HSSF MP3
Gambar 4.17 Efisiensi Dekonsentrasi Amonium pada Reaktor dengan HRT 3 Hari
72
30
Efisiensi Dekonsentrasi HSSF (%)
Efisiensi Dekonsentrasi VSSF (%)
100
dengan nilai sebesar 99,96%. Proses nitrifikasi berjalan dengan
sangat baik, meskipun tanpa keberadaan tumbuhan. Akan tetapi,
di antara seluruh reaktor dengan HRT 3 hari, efisiensi
dekonsentrasi amonium tertinggi dan paling stabil terdapat pada
reaktor Sg3. Selain itu, efisiensi dekonsentrasi amonium pada hari
ke-30 sebesar 99,94% yang hanya berselisih 0,02% dari reaktor
K3. Hal ini menunjukkan bahwa pada HRT 3 hari, Scirpus grossus
memiliki kemampuan dekonsentrasi amonium lebih tinggi dari
Typha angustifolia, serta lebih efektif jika Scirpus grossus ditanam
secara single plant dibandingkan mixed plants dengan Typha
angustifolia. Meski begitu, pengaruh keberadaan tumbuhan pada
reaktor dalam dekonsentrasi amonium belum signfikan karena
efisiensi removal pada reaktor K3 juga tinggi. Diperlukan waktu
pengoperasian yang lebih lama untuk bisa mendapatkan
perbedaan efisiensi yang jelas antara reaktor K3 dengn reaktor
yang menggunakan tumbuhan.
Parameter Nitrat sebagai Nitrogen (NO3--N)
Keberadaan nitrat pada CWs sebagian besar berasal dari
proses nitrifikasi amonium. Nitrat merupakan senyawa yang stabil
dalam mata rantai daur alami nitrogen (Khiatuddin, 2003). Efisiensi
dekonsentrasi nitrat yang tinggi disebabkan karena proses
denitrifikasi oleh mikroorganisme yang merubah nitrat menjadi gas
nitrogen (N2) dan gas nitro (N2O) yang dilepas ke udara.
Konsentrasi nitrat juga dapat diturunkan melalui proses amonifikasi
nitrat dimana nitrat kembali menjadi amonium. Tumbuhan juga
berperan dalam penurunan konsentrasi nitrat, karena tumbuhan
menyerap nitrat sebagai nutrien.
Dalam penelitian ini, frekuensi kenaikan konsentrasi nitrat
selama pengoperasian lebih banyak dibandingkan frekuensi
penurunan untuk seluruh variasi reaktor sehingga efisiensi
dekonsentrasi sebagian besar bernilai negatif. Hal ini disebabkan
karena sulit tercapainya kondisi anoksik untuk proses denitrifikasi
di reaktor HSSF. Masih adanya ketersediaan oksigen terlarut dan
kurangnya senyawa organik menyebabkan proses nitrifikasi lebih
dominan dibandingkan denitrifikasi sehingga konsentrasi nitrat
meningkat. Tingginya konsentrasi nitrat juga dikarenakan pada
influen air limbah terdapat konsentrasi nitrat yang tinggi.
4.4.2
73
Konsentrasi nitrat yang tinggi pada air limbah (rata-rata 201,58
mg/L) juga menjadi faktor yang menyebabkan efisiensi
dekonsentrasi nitrat bernilai sangat kecil. Selain itu, dekonsentrasi
nitrat oleh tumbuhan dan proses denitrifikasi tidak sebanding
dengan proses nitrifikasi oleh mikroorganisme yang menghasilkan
nitrat sehingga konsentrasi nitrat mengalami kenaikan pada efluen
reaktor.
A. Penurunan Nitrat pada Reaktor HRT 1 Hari
Konsentrasi nitrat terendah yang dapat dicapai reaktor K1
untuk jenis VSSF dan HSSF sebesar 156,43 mg/L dan 136,92
mg/L. Untuk satu sistem hybrid CWs pada reaktor K1, efisiensi
removal nitrat tertinggi mencapai 44,57%. Efisiensi yang optimal
pada reaktor ini terjadi pada awal pengoperasian. Penurunan
konsentrasi nitrat dalam reaktor kontrol pada awal pengoperasian
menunjukkan bahwa bakteri denitrifikasi dapat tumbuh dan
berkembang pada media pasir. Meski efisiensi removal nitrat lebih
kecil dibandingkan reaktor jenis HSSF dikarenakan tingginya
Dissolved Oxygen, denitrifikasi bisa terjadi pada area anoksik di
VSSF (Cooper et al, 1999) sehingga reaktor VSSF juga dapat
menurunkan konsentrasi nitrat. Konsentrasi nitrat dan efisiensi
dekonsentrasi pada reaktor K1 hari selengkapnya dapat dilihat
pada Tabel 4.10.
Setelah hari ke-2 dan ke-3 pengoperasian, konsentrasi
nitrat pada semua reaktor VSSF HRT 1 hari meningkat hingga
melebihi konsentrasi nitrat di influen. Hal ini disebabkan karena
influen dengan kandungan nitrat yang tinggi masuk secara
kontinyu ke dalam reaktor, serta ditambah dengan adanya proses
nitrifikasi, dimana amonium diubah menjadi nitrat. Dalam penelitian
ini, reaktor dengan tumbuhan Typha angustifolia (Ta1)
menunjukkan efisiensi dekonsentrasi nitrat yang lebih tinggi
dibandingkan reaktor lainnya. Pada Tabel 4.11 dapat dilihat
konsentrasi dan efisiensi removal nitrat untuk reaktor Ta1.
Selain adanya proses denitrifikasi, kemampuan Typha
angustifolia dalam menyerap nitrat sebagai nutrien dapat
membantu dekonsentrasi nitrat. Namun demikian, menurut
Kantawanichkul dan Wannasri (2013), Nitrogen uptake oleh
tumbuhan tidak menjadi proses utama dalam removal N di CWs
74
terutama ketika beban air limbah tinggi digunakan. Hal ini
ditunjukkan dengan efisiensi removal total reaktor Ta1 tidak
berbeda jauh dengan reaktor K1.
Tabel 4.10 Konsentrasi dan Efisiensi Removal Nitrat Reaktor Kontrol
HRT 1 Hari
Reaktor K1
Hari
ke-
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Efluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
1
208,15
186,50
10,40
142,05
23,83
31,75
2
247,00
173,39
29,80
136,92
21,03
44,57
3
202,45
246,89
-21,95
259,43
-5,08
-28,15
4
238,00
291,44
-22,46
277,84
4,67
-16,74
5
205,31
156,43
23,81
188,24
-20,34
8,32
6
224,10
333,04
-48,61
252,41
24,21
-12,63
7
171,48
248,57
-44,96
402,70
-62,00
-134,84
14
258,70
522,09
-101,81
394,84
24,37
-52,63
21
105,79
315,23
-197,97
358,88
-13,85
-239,23
28
244,80
300,67
-22,82
447,97
-48,99
-82,99
Tabel 4.11 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor
Typha angustifolia HRT 1 Hari
Reaktor Ta1
Hari
ke-
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Efluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
1
208,15
118,69
42,98
160,28
-35,05
22,99
2
247,00
183,65
25,65
132,36
27,92
46,41
3
202,45
315,27
-55,73
173,39
45,00
14,35
75
Reaktor Ta1
Hari
ke-
Influen
VSSF
Efluen
Total
Efisiensi
HSSF
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
4
238,00
359,02
-50,85
405,09
-12,83
-70,21
5
205,31
268,32
-30,69
356,08
-32,71
-73,43
6
224,10
384,60
-71,62
348,95
9,27
-55,71
7
171,48
440,49
-156,88
355,53
19,29
-107,33
14
258,70
596,31
-130,50
495,13
16,97
-91,39
21
105,79
505,25
-377,59
235,47
53,40
-122,58
28
244,80
363,49
-48,49
98,13
73,00
59,91
Tabel 4.12 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor
Scirpus grossus HRT 1 Hari
Reaktor Sg1
Hari
ke-
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Efluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
1
208,15
165,41
20,53
81,08
50,98
61,05
2
247,00
207,09
16,16
131,23
36,64
46,87
3
202,45
188,24
7,02
402,45
-113,80
-98,79
4
238,00
388,44
-63,21
409,92
-5,53
-72,23
5
205,31
83,36
59,40
174,53
-109,36
14,99
6
224,10
372,62
-66,27
401,05
-7,63
-78,96
7
171,48
360,47
-110,21
414,22
-14,91
-141,56
14
258,70
692,30
-167,61
736,18
-6,34
-184,57
21
105,79
476,59
-350,50
679,34
-42,54
-542,14
28
244,80
348,93
-42,53
631,57
-81,00
-157,99
76
Reaktor Sg1 memiliki efisiensi dekonstasi nitrat yang
terkecil dibandingkan reaktor dengan HRT 1 hari lainnya. Reaktor
MP1 memiliki efisiensi dekonsentrasi yang masih lebih tinggi
dibandingkan reaktor Sg1. Hal ini menunjukkan bahwa Scirpus
grossus memiliki kemampuan menyerap nitrat yang lebih rendah
dibandingkan tumbuhan Typha angustifolia. Dalam penelitian yang
dilakukan Kantawanichkul et al. (2003), ditemukan bahwa hanya 3
- 4% akumulasi nitrogen di Scirpus grossus L pada kombinasi
HSSF dan VSSF dengan efluen anaerobik digester dari air limbah
peternakan babi dengan amonium sebesar 340 mg/L dan HLR 6
cm/hari.
Tidak jauh berbeda dengan reaktor K1 dan Ta1, pada awal
pengoperasian reaktor Sg1 dan MP1, efisiensi removal nitrat
cukup tinggi. Kemudian setelah hari ke-2 pengoperasian, efisiensi
removal terus menurun dan bernilai negatif. Konsentrasi dan
efisiensi removal nitrat untuk reaktor Sg1 dan MP1 dapat dilihat
pada Tabel 4.12 dan Tabel 4.13. Sementara itu, fluktuasi dan
perbandingan efisiensi dekonsentrasi nitrat untuk seluruh reaktor
HRT 1 hari dapat dilihat pada Gambar 4.18.
Tabel 4.13 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor
Mixed Plants HRT 1 Hari
Reaktor Mixed Plants
Hari
ke-
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Efluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
1
208,15
179,66
13,69
146,04
18,71
29,84
2
247,00
166,55
32,57
125,53
24,63
49,18
3
202,45
139,20
31,24
212,14
-52,39
-4,78
4
238,00
399,82
-67,99
285,30
28,64
-19,87
5
205,31
153,14
25,41
234,86
-53,37
-14,39
6
224,10
249,12
-11,17
246,38
1,10
-9,94
7
171,48
418,60
-144,12
378,57
9,56
-120,77
14
258,70
503,62
-94,67
673,65
-33,76
-160,40
77
Reaktor Mixed Plants
Hari
ke-
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Efluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
21
105,79
615,13
-481,45
646,95
-5,17
-511,53
28
244,80
406,49
-66,05
249,40
38,65
-1,88
A. Penurunan Nitrat pada Reaktor HRT 3 Hari
Efisiensi dekonsentrasi nitrat pada reaktor dengan HRT 3
hari lebih kecil dibandingkan dengan reaktor HRT 1 hari. Hal ini
dikarenakan waktu tinggal air limbah yang lebih lama sehingga
kemungkinan terjadinya proses nitrifikasi dalam reaktor lebih
besar. Kemungkinan tersebut diperkuat dengan adanya efisiensi
dekonsentrasi amonium yang lebih besar pada HRT 3 hari.
Konsentrasi nitrat terendah yang dapat dicapai reaktor K3
sebesar 82,32 mg/L untuk jenis VSSF dan 129,94 mg/L untuk jenis
HSSF. Pada awal pengoperasian, konsentrasi nitrat menurun
sebesar 21,54%, yang menunjukkan bahwa proses denitrifikasi
dapat berlangsung di reaktor yang hanya berisi media saja, serta
bakteri denitrifikasi dapat tumbuh dan berkembang pada media
pasir. Hari-hari berikutnya, efisiensi menurun secara signifikan
hingga mencapai -144,70% pada hari ke-28. Konsentrasi dan
efisiensi dekonsentrasi nitrat untuk reaktor K3 dapat dilihat pada
Tabel 4.14.
Reaktor Ta3 dan Sg3 memiliki efisiensi dekonsentrasi
nitrat sedikit lebih tinggi dibandingkan reaktor kontrol. Hal ini
menunjukkan bahwa keberadaan tumbuhan berpengaruh dalam
penurunan konsentrasi nitrat dalam reaktor. Pada awal
pengoperasian, konsentrasi nitrat dalam kedua reaktor tersebut
menurun cukup besar, yakni 74,49% dan 69,83% untuk reaktor
Ta3 dan Sg3. Di hari ke-6, efisiensi dekonsentrasi sudah
mengalami penurunan yang dapat disebabkan karena berbagai
faktor, seperti konsentrasi nitrat pada air limbah yang tinggi dan
78
100
80
60
40
20
0
-20 0
-40
-60
-80
-100
-120
-140
-160
-180
-200
4
16
Hari Ke-
14
HSSF Ta1
12
VSSF Ta1
10
HSSF K1
8
VSSF K1
6
20
HSSF Sg1
VSSF Sg1
18
22
26
HSSF MP1
VSSF MP1
24
28
Gambar 4.18 Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat pada Reaktor dengan HRT 1 Hari
2
100
80
60
40
20
0
30 -20
-40
-60
-80
-100
-120
-140
-160
-180
-200
Efisiensi Dekonsentrasi HSSF (%)
Efisiensi Dekonsentrasi VSSF (%)
79
proses nitrifikasi yang lebih besar terjadi dibandikan proses
denitrifikasi. Akan tetapi efisiensi dekonsentrasi di reaktor Ta3
masih cukup tinggi, yakni 66,52%, sedangkan reaktor Sg3 hanya
sebesar 0,27%. Hal ini menunjukkan bahwa Typha angustifolia
memiliki kemampuan penyerapan nitrat yang lebih baik
dibandingnkan Scirpus grossus. Konsentrasi dan efisiensi removal
nitrat untuk reaktor Ta3 dan Sg3 dapat dilihat pada Tabel 4.15 dan
Tabel 4.16.
Pada reakor MP3, efisiensi dekonsentrasi nitrat bernilai
paling kecil di antara reaktor lainnya, bahkan lebih kecil dari reaktor
kontrol., yakni sebesar -89,21%. Hal ini menunjukkan bahwa
keberadaan Typha angustifolia dan Scirpus grossus dalam reaktor
yang sama dapat mengurangi kemampuan dalam menyerap nitrat
sebagai nutrien pada keduanya.
Tabel 4.14 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor
Kontrol HRT 3 Hari
Reaktor K3
Hari
ke-
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Efluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
3
221,24
207,37
6,27
173,58
16,29
21,54
6
211,29
82,32
61,04
273,01
-231,66
-29,22
9
209,30
364,30
-74,06
129,94
64,33
37,92
12
260,05
450,42
-73,20
305,62
32,15
-17,52
15
250,10
523,05
-109,13
523,21
-0,03
-109,20
18
245,12
544,27
-122,04
395,02
27,42
-61,15
21
269,01
575,03
-113,76
456,52
20,61
-69,70
24
236,17
414,80
-75,64
466,40
-12,44
-97,49
27
210,29
363,32
-72,77
568,28
-56,41
-170,23
30
215,27
410,49
-90,69
526,77
-28,33
-144,70
80
Seperti reaktor lainnya, pada reaktor MP3, nitrat
mengalami penurunan konsentrasi sebesar 45,24% pada awal
pengoperasian. Kemudian pada hari ke-6, efisiensi menurun
menjadi 13,15% dan kembali naik menjadi 69,02% pada hari ke-9.
Kenaikan dan penurunan konsentrasi nitrat di awal pengoperasian
dikarenakan tumbuhan masih baru beradaptasi dengan
lingkungan barunya. Tumbuhan akan mengeluarkan eksudat akar
yang dapat mengundang bakteri untuk tumbuh dan berkembang.
Konsentrasi dan efisiensi removal nitrat untuk reaktor MP3 dapat
dilihat pada Tabel 4.17. Sementara untuk fluktuasi dan
perbandingan efisiensi dekonsentrasi nitrat dari tiap reaktor HRT 3
hari dapat dilihat pada Gambar 4.19. Berdasarkan Gambar 4.19,
efisiensi dekonsentrasi nitrat tidak ada yang stabil. Efisiensi
tertinggi pada hari ke-30 terjadi pada reaktor K3 dengan nilai
sebesar -144,70%.
Tabel 4.15 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor
Typha angustifolia HRT 3 Hari
Reaktor Ta3
Hari
ke-
Influen
(mg/L)
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Efluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
3
221,24
36,68
83,42
56,43
-53,83
74,49
6
211,29
107,50
49,12
70,73
34,20
66,52
9
209,30
413,67
-97,65
173,43
58,07
17,14
12
260,05
427,93
-64,56
370,89
13,33
-42,62
15
250,10
600,26
-140,01
775,95
-29,27
-210,26
18
245,12
777,97
-217,38
417,51
46,33
-70,33
21
269,01
627,69
-133,33
535,30
101,51
103,52
24
236,17
550,80
-133,23
600,20
-8,97
-154,14
27
210,29
429,14
-104,07
673,30
-56,92
-220,22
30
215,27
400,30
-85,96
626,59
-56,53
-191,08
81
Tabel 4.16 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor
Scirpus grossus HRT 3 Hari
Reaktor Sg3
Hari
ke-
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Efluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
3
221,24
102,28
53,77
66,74
34,75
69,83
6
211,29
235,10
-11,27
210,71
10,38
0,27
9
209,30
265,03
-26,63
288,61
-8,90
-37,90
12
260,05
327,01
-25,75
271,06
17,11
-4,23
15
250,10
603,55
-141,33
352,08
41,66
-40,78
18
245,12
550,42
-124,55
416,41
24,35
-69,88
21
269,01
613,43
-128,03
522,27
14,86
-94,15
24
236,17
584,38
-147,44
490,60
16,05
-107,73
27
210,29
413,27
-96,52
373,19
9,70
-77,46
30
215,27
690,22
-220,63
637,56
7,63
-196,17
Tabel 4.17 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor
Mixed Plants HRT 3 Hari
Reaktor MP3
Hari
ke-
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Efluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
3
221,24
184,34
16,68
121,15
34,28
45,24
6
211,29
256,34
-21,32
183,50
28,41
13,15
9
209,30
466,87
-123,07
64,83
86,11
69,02
12
260,05
278,19
-6,98
319,33
-14,79
-22,79
15
250,10
527,86
-111,06
456,70
13,48
-82,61
18
245,12
271,35
-10,70
524,10
-93,15
-113,81
82
Reaktor MP3
Hari
ke-
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Efluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
21
269,01
355,21
-32,04
610,97
-72,00
-127,12
24
236,17
482,90
-104,47
709,30
-46,88
-200,34
27
210,29
488,37
-132,24
883,28
-80,86
-320,03
30
215,27
457,66
-112,60
544,32
-18,94
-152,86
4.4.3
Analisis Dekonsentrasi Nitrogen Berdasarkan HRT
Perbandingan efisiensi dekonsentrasi amonium dengan
sistem Hybrid Constructed Wetlands (HCWs) berdasarkan HRT
dapat dilihat dalam bentuk grafik pada Gambar 4.20. Berdasarkan
Gambar 4.20, efisiensi dekonsentrasi amonium dalam satu sistem
hybrid paling stabil dari awal hingga akhir penelitian, sekaligus
menjadi yang paling tinggi terdapat pada reaktor K1 dengan
efisiensi sebesar 99,99% dan K3 dengan efisiensi sebsar 99,96%.
Hal ini menunjukkan bahwa proses nitrifikasi dapat berlangsung
meski tanpa tumbuhan. Hal tersebut didukung dengan adanya
oksigen terlarut yang tinggi dari influen air limbah awal dan tidak
adanya sumber senyawa organik. Penggunaan pasir sebagai
media juga menguntungkan untuk proses nitrifikasi. Ukuran media
pasir yang kecil menyebabkan media memiliki surface area yang
besar untuk tempat berkembangnya bakteri. Selain itu, tumbuhan
memberikan peranan yang kecil dalam dekonsentrasi amonium
karena tumbuhan lebih menyerap nitrat dibandingkan amonium.
Pada reaktor dengan HRT 1 hari, peran tumbuhan dalam
dekonsentrasi amonium masih belum terlihat karena media masih
memiliki efisiensi pengolahan yang tinggi. Untuk bisa mengetahui
peran tumbuhan dalam sistem HCWs ini, maka waktu
pengoperasian reaktor perlu diperpanjang hingga efisiensi benarbenar stabil dan terlihat jelas perbedaan antara reaktor K1 dengan
reaktor lainnya. Pada HRT 3 hari, Scirpus grossus memiliki
83
Efisiensi Dekonsentrasi VSSF (%)
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
Hari KeVSSF K3
VSSF Ta3
VSSF Sg3
VSSF MP3
HSSF K3
HSSF Ta3
HSSF Sg3
HSSF MP3
Gambar 4.19 Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat pada Reaktor dengan HRT 3 Hari
84
100
80
60
40
20
0
30 -20
-40
-60
-80
-100
-120
-140
-160
-180
-200
-220
-240
Efisiensi Dekonsentrasi HSSF (%)
100
80
60
40
20
0
-20 0
-40
-60
-80
-100
-120
-140
-160
-180
-200
-220
-240
Efisiensi Dekonsentrasi (%)
70
73
76
79
82
85
88
91
94
97
100
5
Reaktor K3
Reaktor Sg3
Reaktor Ta3
Reaktor K1
15
Hari keReaktor Ta1
Reaktor Sg1
10
20
Reaktor MP3
Reaktor MP1
25
Gambar 4.20 Efisiensi Dekonsentrasi Amonium pada Reaktor dengan HRT 1 Hari dan 3 Hari
0
30
85
100
Efisiensi Dekonsentrasi (%)
50
0
-50 0
5
10
15
20
25
-100
-150
-200
-250
-300
-350
-400
-450
-500
-550
-600
Hari keReaktor K1
Reaktor Ta1
Reaktor Sg1
Reaktor MP1
Reaktor K3
Reaktor Ta3
Reaktor Sg3
Reaktor MP3
Gambar 4.21 Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat pada Reaktor dengan HRT 1 Hari dan 3 Hari
86
30
kemampuan dekonsentrasi amonium lebih tinggi dari Typha
angustifolia, serta lebih efisien jika Scirpus grossus ditanam secara
single plant dibandingkan mixed plants dengan Typha angustifolia.
Meski begitu, pengaruh keberadaan tumbuhan pada reaktor dalam
dekonsentrasi amonium belum signfikan karena efisiensi removal
pada reaktor K3 juga tinggi.
Efisiensi dekonsentrasi amonium pada reaktor HRT 3 hari
memiliki fluktuasi yang lebih stabil dan tinggi dibandingkan HRT 1
hari yang menunjukkan bahwa lamanya waktu tinggal air limbah
dalam reaktor dapat berpengaruh pada efisiensi dekonsentrasi
amonium. Semakin lama waktu tinggal air limbah, maka efisiensi
pengolahan akan semakin tinggi. Hal ini sejalan dengan
keterbatasan kemampuan tumbuhan dalam melakukan uptake
nutrien dan kemampuan mikroorganisme dalam proses
denitrifikasi yang membutuhkan waktu dalam proses adaptasi
maupun pengolahan.
Berdasarkan Gambar 4.21, reaktor Ta1 memiliki efisiensi
dekonsentrasi nitrat tertinggi dan paling stabil dalam satu sistem
hybrid dari awal hingga akhir penelitian. Pada hari ke-28, efisiensi
dekonsentrasi nitrat reaktor Ta1 mencapai 59,91%, berbeda jauh
dengan reaktor jenis lainnya yang memiliki efisiensi bernilai
negatif. Selisih efisiensi antara reaktor K1 dengan Ta1 juga cukup
jauh sehingga dapat dikatakan bahwa tumbuhan memiliki peranan
yang cukup besar dalam efisiensi dekonsentrasi nitrat.
Fluktuasi efisiensi dekonsentrasi nitrat pada keempat jenis
reaktor dengan HRT 3 hari relatif lebih kecil dibandingkan reaktor
dengan HRT 1 hari. Fluktuasi tersebut dapat dilihat pada grafik
dalam Gambar 4.21. Hal ini dikarenakan waktu tinggal air limbah
yang lebih lama dalam
reaktor akan membuat kinerja
mikroorganisme dalam dekonsentrasi amonium dengan proses
nitrifikasi lebih efektif sehingga kadar nitrat bertambah.
Penurunan Kandungan Fosfat sebagai Fosfor (PO 43-)
Uptake oleh tumbuhan, adsorpsi, dan presipitasi
merupakan proses dekonsentrasi fosfat di sistem Wetland
(Rasheed et al., 2014). Konsentrasi fosfat pada efluen reaktor
diukur dengan Metode Klorid Timah. Fosfat mengalami
dekonsentrasi yang signifikan pada hari ke-1 pengoperasian untuk
4.5
87
semua reaktor, baik reaktor dengan tumbuhan, maupun reaktor
kontrol tanpa tumbuhan. Efisiensi penurunan fosfat rata-rata
mencapai >99%.
A. Penurunan Fosfat pada Reaktor HRT 1 Hari
Pada reaktor dengan HRT 1 hari, seluruh reaktor termasuk
reaktor K1, memiliki efisiensi dekonsentrasi total lebih dari 99%.
Tingginya efisiensi ini menunjukkan bahwa media yang digunakan,
yaitu pasir, memiliki kemampuan dekonsentrasi fosfat yang besar.
Di pasir, fosfor terikat pada media terutama akibat reaksi adsorpsi
dan presipitasi dengan Ca, Al, dan Fe. Pada pH >6, reaksi yang
terjadi merupakan kombinasi adsorpsi fisik terhadap Fe2O3 dan
Al2O3 dan presipitasi sebagai Ca3(PO4)2. Pada pH yang lebih
rendah, presipitasi sebagai FePO4 dan AlPO4 meningkat.
Kapasitas media filter untuk removal P tergantung pada
kandungan mineral dalam substrat (Christina et al., 2011).
Efisiensi removal fosfat dan TP paling dipengaruhi oleh
ukuran dan tipe poros media. Arias et al. (2001), menemukan
bahwa untuk purifikasi air limbah yang kompleks (BOD, COD, NH4N, dan juga beberapa terhadap PO4-P dan fecal coliform)
kapasitas removal P beberapa jenis pasir akan habis setelah
beberapa bulan pada sistem full-scale, dimana sebagian lain
bertahan hingga beberapa tahun. Hal yang paling penting pada
karakteristik pasir yang menentukan kapasitas removal P adalah
kadar Ca.
Efisiensi dekonsentrasi fosfat sangat tinggi pada jenis
VSSF reaktor K1, yaitu 99,55%. Sebaliknya, efisiensi
dekonsentrasi pada HSSF rata-rata sebesar -46,46%. Rendahnya
efisiensi pada reaktor HSSF ini dikarenakan air limbah dialirkan
secara kontinyu. Oksigenisasi pada media yang disebabkan aliran
air secara terus menerus dapat menyebabkan desorpsi dan
selanjutnya melepas fosfor (Vymazal, 2007). Konsentrasi dan
efisiensi dekonsentrasi fosfat untuk reaktor K1 dapat dilihat pada
Tabel 4.18.
Unsur fosfor (P) dalam fosfat sangat berguna bagi
tumbuhan. Unsur ini berfungsi untuk merangsang pertumbuhan
akar terutama pada awal pertumbuhan, serta mempercepat
pembungaan dan pemasakan biji dan buah (Ali, 2011). Fosfor juga
88
memiliki peran penting dalam setiap proses tumbuhan yang
melibatkan perpindahan energi. Fosfat berenergi tinggi, sebagai
bagian dari struktur kimia adenosin difosfat (ADP) dan ATP yang
merupakan sumber energi yang digunakan oleh berbagai reaksi
kimia di dalam tumbuhan. Total konsentrasi fosfor pada tumbuhan
memiliki variasi antara 0,1-0,5% (Sultenfuss dan Doyle, 1999).
Tabel 4.18 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor
Kontrol HRT 1 Hari
Reaktor K1
Hari
ke-
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Efluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
1
163,50
0,24
99,85
0,24
0,00
99,85
2
163,50
0,06
99,97
0,28
-384,62
99,83
3
161,68
0,63
99,61
0,57
9,27
99,65
4
167,15
1,33
99,20
1,78
-33,37
98,94
5
163,50
1,51
99,08
0,62
59,14
99,62
6
161,68
1,44
99,11
0,47
67,33
99,71
7
165,33
0,75
99,55
0,45
39,88
99,73
14
165,33
0,40
99,76
0,73
-82,12
99,56
21
167,15
0,17
99,90
0,52
-206,14
99,69
28
168,98
0,95
99,44
0,32
66,00
99,81
Pada reaktor dengan tumbuhan HRT 1 hari, baik single
plant maupun mixed plants, efisiensi removal fosfat tidak berbeda
signifikan dengan efisiensi pada reaktor kontrol sehingga tidak
diketahui apakah keberadaan tumbuhan berpengaruh terhadap
dekonsentrasi fosfat atau tidak. Akan tetapi, selama minggu
pertama pengoperasian, konsentrasi fosfat pada efluen reaktor
naik turun yang bisa disebabkan karena adanya fosfat yang
dilepaskan tumbuhan. Di dalam tumbuhan, fosfat dapat tersimpan
dalam jangka waktu pendek maupun panjang. Hal ini tergantung
89
pada jenis vegetasi, laju dekomposisi pencemar, lepasnya fosfat
dari jaringan yang rusak, dan translokasi fosfat. Fosfat yang telah
diserap tumbuhan, dapat terlepas kembali ke alam ketika
tumbuhan mengalami kematian melalui proses dekomposisi
(USDA, 2010).
Konsentrasi fosfat terendah yang dapat dicapai reaktor
Ta1 adalah sebesar 0,63 mg/L untuk jenis VSSF dan 0,02 mg/L
untuk jenis HSSF. Efisiensi removal fosfat tertinggi terjadi pada
hari ke-1 pengoperasian, yaitu mencapai 99,99%. Efisiensi
tersebut selanjutnya menurun hingga akhir penelitian yang
menunjukkan bahwa kemampuan reaktor untuk dekonsentrasi
menurun. Konsentrasi dan efisiensi dekonsentrasi fosfat untuk
reaktor Ta1 dapat dilihat pada Tabel 4.19.
Tabel 4.19 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor
Typha angustifolia HRT 1 Hari
Reaktor Ta1
Hari
ke-
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Efluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
1
163,5
1,057
99,35
0,017
98,41
99,99
2
163,5
0,630
99,61
0,535
15,06
99,67
3
161,7
1,145
99,29
0,542
52,61
99,66
4
167,2
9,803
94,14
2,777
71,68
98,34
5
163,5
11,044
93,25
0,860
92,21
99,47
6
161,7
6,299
96,10
0,674
89,30
99,58
7
165,3
7,796
95,28
0,663
91,50
99,60
14
165,3
7,905
95,22
0,900
88,61
99,46
21
167,2
12,285
92,65
1,086
91,16
99,35
28
169,0
17,321
89,75
1,097
93,67
99,35
Konsentrasi fosfat terendah yang dapat dicapai reaktor
Sg1 adalah sebesar 0,51 mg/L untuk jenis VSSF dan 0,09 mg/L
90
untuk jenis HSSF. Efisiensi removal fosfat tertinggi terjadi pada
hari ke-6 pengoperasian, yaitu mencapai 99,95%. Efisiensi
tersebut selanjutnya menurun hingga akhir penelitian. Konsentrasi
dan efisiensi removal fosfat untuk reaktor Sg1 dapat dilihat pada
Tabel 4.20.
Tabel 4.20 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor
Scirpus grossus HRT 1 Hari
Reaktor Sg1
Hari
ke-
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Efluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
1
163,50
0,98
99,40
0,56
43,40
99,66
2
163,50
0,51
99,69
0,46
10,03
99,72
3
161,68
1,18
99,27
0,51
57,04
99,69
4
167,15
17,02
89,82
1,66
90,23
99,01
5
163,50
2,28
98,60
1,11
51,47
99,32
6
161,68
4,18
97,41
0,09
97,94
99,95
7
165,33
7,83
95,26
0,74
90,56
99,55
14
165,33
9,22
94,42
0,75
91,90
99,55
21
167,15
20,06
88,00
0,82
95,89
99,51
28
168,98
4,62
97,27
0,97
79,10
99,43
Pada reaktor MP1, konsentrasi fosfat terendah yang dapat
dicapai adalah sebesar 0,02 mg/L untuk jenis VSSF dan 0,23 mg/L
untuk jenis HSSF. Efisiensi removal fosfat tertinggi terjadi pada
hari ke-4 pengoperasian, yaitu mencapai 99,89%. Konsentrasi dan
efisiensi dekonsentrasi fosfat untuk reaktor MP1 dapat dilihat pada
Tabel 4.21. Sementara untuk fluktuasi efisiensi dan perbandingan
efisiensi dekonsentrasi fosfat tiap reaktor dapat dilihat pada grafik
dalam Gambar 4.22.
91
Tabel 4.21 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor
Mixed Plants HRT 1 Hari
Reaktor MP1
Hari
ke-
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Efluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
1
163,50
0,78
99,52
0,69
11,65
99,58
2
163,50
0,02
99,99
0,31
-1717,39
99,81
3
161,68
0,16
99,90
0,33
-112,68
99,80
4
167,15
1,96
98,83
0,18
90,57
99,89
5
163,50
1,56
99,04
0,47
70,23
99,72
6
161,68
5,02
96,89
0,58
88,47
99,64
7
165,33
3,85
97,67
0,24
93,88
99,86
14
165,33
6,30
96,19
0,23
96,37
99,86
21
167,15
15,46
90,75
0,49
96,80
99,70
28
168,98
27,98
83,44
0,53
98,11
99,69
A. Penurunan Fosfat pada Reaktor HRT 3 Hari
Pada reaktor dengan HRT 3 hari, Efisiensi dekonsentrasi
fosfat yang tinggi terjadi tidak hanya pada reaktor dengan
tumbuhan, tetapi juga pada reaktor kontrol tanpa tumbuhan
(reaktor K3). Tingginya efisiensi ini menunjukkan bahwa media
yang digunakan, yaitu pasir, memiliki kemampuan dekonsentrasi
fosfat yang besar. Konsentrasi terendah yang dapat dicapai
reaktor K3 adalah sebesar 0,01 mg/L untuk jenis VSSF dan 0,04
mg/L untuk jenis HSSF. Efisiensi tertinggi terjadi pada hari ke-21
pengoperasian, yaitu sebesar 99,98%. Pada hari berikutnya,
prosentase efisiensi masih tinggi yang menunjukkan bahwa media
masih dapat mendekonsentrasi fosfat, baik secara adsorpsi,
maupun presipitasi. Konsentrasi dan efisiensi dekonsentrasi fosfat
untuk reaktor K3 dapat dilihat pada Tabel 4.22.
Pada reaktor VSSF dengan tumbuhan, konsentrasi fosfat
cukup rendah dari awal hingga akhir penelitian, kecuali pada
92
HSSF Ta1
HSSF K1
HSSF Sg1
VSSF Sg1
26
HSSF MP1
VSSF MP1
24
28
Gambar 4.22 Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat pada Reaktor dengan HRT 1 Hari
VSSF Ta1
VSSF K1
Hari Ke-
22
30
-100
20
0
18
-80
10
16
-60
20
14
-40
30
12
-20
40
10
0
50
8
20
60
6
40
70
4
60
80
2
80
90
0
100
100
Efisiensi Dekonsentrasi HSSF (%)
Efisiensi Dekonsentrasi VSSF (%)
93
reaktor MP3. Konsentrasi fosfat pada reaktor VSSF MP3
mengalami kenaikan yang tinggi pada dari hari ke-9. Hal ini
menunjukkan bahwa kombinasi Typha angustifolia dan Scirpus
grossus dalam satu reaktor VSSF kurang efektif untuk
dekonsentrasi fosfat. Sementara itu, pada semua reaktor HSSF,
konsentrasi fosfat cukup rendah dan stabil dari awal hingga akhir
penelitian yang menunjukkan bahwa media pada reaktor HSSF
masih memiiki kemampuan pengolahan yang cukup baik hingga
akhir penelitian. Hal ini disebabkan karena reaktor VSSF memiliki
efisiensi pengolahan yang tinggi sehingga mengahasilkan influen
dengan konsentrasi fosfat yang rendah untuk diolah di reaktor
HSSF.
Tabel 4 22 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor
Kontrol HRT 3 Hari
Reaktor K3
Hari
ke-
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Efluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
3
165,33
0,42
99,74
0,04
91,71
99,98
6
167,15
0,61
99,64
0,25
58,88
99,85
9
165,33
0,26
99,84
0,16
39,94
99,90
12
170,80
1,33
99,22
0,29
78,50
99,83
15
168,98
0,87
99,48
0,34
61,24
99,80
18
168,98
0,21
99,88
0,21
0,00
99,88
21
168,98
0,06
99,96
0,04
34,61
99,98
24
167,15
0,05
99,97
0,09
-71,70
99,95
27
165,33
0,01
100,00
0,10
-1663,88
99,94
30
170,80
0,32
99,81
0,35
-7,81
99,80
Dalam satu sistem hybrid reaktor HRT 3 hari dengan
tumbuhan, selisih efisiensi dekonsentrasi fosfat antar tiga reaktor
di hari ke-30kurang signifikan, yakni berkisar antara 0,08 – 0,30%.
94
Tabel 4.23 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor
Typha angustifolia HRT 3 Hari
Reaktor Ta3
Hari
ke-
Influen
VSSF
Efluen
Total
Efisiensi
HSSF
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
3
165,33
1,02
99,38
0,71
30,04
99,57
6
167,15
1,09
99,35
0,62
42,84
99,63
9
165,33
0,23
99,86
0,48
-105,60
99,71
12
170,80
0,33
99,81
0,36
-10,04
99,79
15
168,98
0,84
99,50
0,52
38,33
99,69
18
168,98
0,82
99,52
0,10
87,66
99,94
21
168,98
7,76
95,41
2,22
71,34
98,68
24
167,15
3,42
97,96
0,78
77,29
99,54
27
165,33
0,76
99,54
0,10
86,29
99,94
30
170,80
0,52
99,69
0,11
78,61
99,93
Tabel 4.24 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor
Scirpus grossus HRT 3 Hari
Reaktor Sg3
Hari
ke-
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Efluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
3
165,33
0,18
99,89
0,23
-28,81
99,86
6
167,15
0,55
99,67
0,90
-64,84
99,46
9
165,33
0,18
99,89
0,17
4,03
99,89
12
170,80
0,09
99,95
0,22
-152,54
99,87
15
168,98
0,12
99,93
0,02
79,19
99,99
18
168,98
0,22
99,87
0,08
64,17
99,95
95
Reaktor Sg3
Hari
ke-
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Efluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
21
168,98
0,27
99,84
0,14
49,00
99,92
24
167,15
0,66
99,61
0,13
80,00
99,92
27
165,33
0,74
99,55
0,24
68,06
99,86
30
170,80
0,76
99,55
0,26
66,49
99,85
Efisiensi tertinggi terjadi pada reaktor Ta3, yaitu sebesar 99,93%.
Hal ini
menunjukkan bahwa Typha angustifolia memiliki
kemampuan dekonsentrasi fosfat yang lebih baik dibandingkan
Scirpus grossus dan penanaman secara mixed plants dapat
menurunkan kemampuan Typha angustifolia dalam penyerapan
fosfat. Konsentrasi dan efisiensi dekonsentrasi fosfat untuk reaktor
Ta3, Sg3, dan MP3 dapat dilihat pada Tabel 4.23 hingga Tabel
4.25. Sementara untuk fluktuasi efisiensi dan perbandingan
efisiensi dekonsentrasi fosfat tiap reaktor dapat dilihat pada grafik
dalam Gambar 4.23.
Tabel 4.25 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor
Mixed Plants HRT 3 Hari
Reaktor MP3
Hari
ke-
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Efluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
3
165,33
0,43
99,74
0,77
-80,62
99,54
6
167,15
0,28
99,83
0,49
-77,02
99,70
9
165,33
6,90
95,83
0,14
97,96
99,91
12
170,80
17,01
90,04
0,11
99,36
99,94
15
168,98
24,01
85,79
0,26
98,91
99,85
96
Reaktor MP3
Hari
ke-
Influen
VSSF
Total
Efisiensi
HSSF
Efluen
Efisiensi
Efluen
Efisiensi
(mg/L)
(mg/L)
(%)
(mg/L)
(%)
(%)
18
168,98
7,41
95,62
0,30
95,93
99,82
21
168,98
7,04
95,83
0,28
96,08
99,84
24
167,15
8,82
94,72
0,01
99,85
99,99
27
165,33
11,97
92,76
0,42
96,47
99,74
30
170,80
21,04
87,68
0,62
97,06
99,64
4.5.1 Analisis Dekonsentrasi Fosfat Berdasarkan HRT
Reaktor HRT 3 hari memiliki efisiensi dekonsentrasi fosfat
sedikit lebih tinggi dibandingkan reaktor HRT 1 hari, yaitu berkisar
antara 0,04 – 0,32%. Di akhir pengoperasian, efisiensi
dekonsentrasi tertinggi dengan HRT 1 hari terjadi pada reaktor K1,
yakni sebesar 99,81, sedangkan dengan HRT 3 hari terjadi pada
reaktor Ta3, yakni sebesar 99,93%. Efisiensi yang tidak jauh
berbeda antara reaktor HRT 1 hari dan HRT 3 hari ini menunjukkan
bahwa waktu tinggal air limbah dalam reaktor tidak terlalu
memberikan pengaruh dalam dekonsentrasi fosfat.
Berdasarkan Gambar 4.24, efisiensi dekonsentrasi fosfat yang
paling stabil terjadi pada reaktor K3. Hal ini menunjukkan bahwa
media sangat efektif dalam menurunkan konsentrasi fosfat. Namun
demikian, efisiensi tertinggi pada hari ke-30 terjadi pada reaktor
Ta3 yang menandakan bahwa tumbuhan mulai berperan dalam
dekonsentrasi fosfat. Hanya saja, perlu waktu pengoperasian lebih
lama untuk mengetahui apakah keberadaan tumbuhan
memberikan pengaruh yang signifikan atau tidak terhadap efisiensi
dekonsentrasi fosfat.
4.6
4.6.1
Analisis Karakteristik Tumbuhan
Phytotreatment
Analisis Karakteristik Fisik Tumbuhan
Setelah
Uji
97
Analisis karakteristik fisik tumbuhan berfungsi untuk mengetahui
pengaruh air limbah terhadap perkembangan tumbuhan setelah uji
phytotreatment. Analisis ini dilakukan dengan membandingkan
tumbuhan yang terpapar air limbah dengan tumbuhan yang tidak
terpapar air limbah (menggunakan air PDAM).
Pada Gambar 4.25 dan Gambar 4.26 terlihat bahwa
terjadi peningkatan tinggi dari tinggi tumbuhan sebelum terpapar
air limbah hingga setelah terpapar air limbah. Peningkatan tinggi
tumbuhan pada reaktor VSSF lebih besar dibandingkan reaktor
HSSF. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar nutrien air
limbah yang dapat diserap tumbuhan, maka semakin besar
peningkatan tinggi tumbuhan, karena pada reaktor VSSF, kadar
nutrien pada influen lebih tinggi dibandingkan reaktor HSSF. Pada
HRT 3 hari, tumbuhan memiliki tinggi yang lebih besar
dibandingkan HRT 1 hari yang menunjukkan bahwa semakin lama
waktu tinggal air limbah dalam reaktor, maka tumbuhan dapat
menyerap nutrien lebih banyak.
Kemampuan Typha angustifolia dalam menyerap nutrien
lebih besar dibandingkan Scirpus grossus. Peningkatan tinggi
Typha angustifolia dapat mencapai 3 kali lipat dari tinggi awal,
sedangkan Scirpus grossus hanya mencapai sekitar 2 kali lipat
dari tinggi awal. Pada Gambar 4.25 dan Gambar 4.26 juga dapat
dilihat bahwa peningkatan tinggi Typha angustifolia pada reaktor
Mixed Plants lebih besar dibandingkan Scirpus grossus.
Peningkatan tinggi tumbuhan berkaitan dengan proses
fitodegradasi dan fitoekstraksi yang berlangsung selama uji
phytotreatment. Kontaminan diserap dan kemudian dimanfaatkan
untuk proses metaboliisme tumbuhan. Hasil metabolisme ini
berupa sel-sel baru yang menyebabkan pertambahan tinggi
tumbuhan. Menurut Hinchman et al. (1995), pertumbuhan tanaman
ditunjukkan dengan adanya perubahan secara kuantitatif yang
ditandai dengan pertambahan ukuran, volume, jumlah sel,
banyaknya protoplasma, dan tingkat kerumitan yang tidak baik.
Dari data tinggi tumbuhan yang didapatkan, maka nilai
Relative Growth Rate (RGR) dapat dicari. Penggunaan nilai RGR
adalah untuk mengetahui besaran nilai pertumbuhan tumbuhan
yang menggunakan media tanam limbah. Nilai RGR kurang dari
10% dapat dikatakan bahwa limbah mempengaruhi pertumbuhan
98
Efisiensi Dekonsentrasi VSSF (%)
18
20
22
24
26
28
30
HSSF Ta1
HSSF K1
HSSF Sg1
VSSF Sg1
HSSF MP1
VSSF MP1
Gambar 4.23 Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat pada Reaktor dengan HRT 3 Hari
VSSF Ta1
VSSF K1
Hari Ke-
-100
16
0
14
-80
10
12
-60
20
10
-40
30
8
-20
40
6
0
50
4
20
60
2
40
70
0
60
80
90
80
100
100
Efisiensi Dekonsentrasi HSSF (%)
99
100
Efisiensi Dekonsentrasi (%)
100
99
99
98
98
97
97
96
96
95
0
5
10
15
20
25
30
Hari keReaktor K1
Reaktor Ta1
Reaktor Sg1
Reaktor MP1
Reaktor K3
Reaktor Ta3
Reaktor Sg3
Reaktor MP3
Gambar 4.24 Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat pada Reaktor dengan HRT 1 Hari dan 3 Hari
100
Tinggi Tumbuhan (cm)
0
20
40
60
80
100
120
140
Scirpus
grossus
47,7
HSSF
Reaktor Ta1
VSSF
97,9
HSSF
77,8
HSSF
113,0
HSSF
75,5
Scirpus grossus
VSSF
62,8
Reaktor MP1
Typha angutifolia
VSSF
Setelah Uji Phytotreatment
Reaktor Sg1
VSSF
95,2
125,5
Gambar 4.25 Perbandingan Tinggi Tumbuhan pada Reaktor dengan HRT 1 Hari
Sebelum Uji
Phytotreatment
Typha
angutifolia
47,0
126,7
101
160
155,8
Tinggi Tumbuhan (cm)
140
133,1
120
131,3
115,2
100
129,0
119,7
115,0
80
60
40
63,4
47,0
47,7
20
0
VSSF
HSSF
VSSF
HSSF
VSSF
HSSF
Typha angutifolia
Typha
angutifolia
Scirpus
grossus
Sebelum Uji
Phytotreatment
Reaktor Ta1
Reaktor Sg1
VSSF
Scirpus grossus
Reaktor MP1
Setelah Uji Phytotreatment
Gambar 4.26 Perbandingan Tinggi Tumbuhan dengan pada Reaktor HRT 3 Hari
102
HSSF
Tabel 4.26 Nilai Growth Rate dan Relative Growth Rate Tumbuhan
Hasil Uji Phytotreatment
Reaktor
Ta1
Sg1
Jenis
Tumbuhan
Typha
angutifolia
Scirpus
grossus
Typha
angutifolia
MP1
Scirpus
grossus
Ta3
Sg3
Typha
angutifolia
Scirpus
grossus
Typha
angutifolia
MP3
Scirpus
grossus
Sistem
Pengaliran
Tinggi
Tumbuhan
(cm)
Growth
Rate
(GR)
Relative
Growth
Rate
(RGR)
Hari
ke-0
Hari
ke-30
VSSF
47,0
126,7
2,66
5,6
HSSF
47,0
97,9
1,70
3,6
VSSF
47,7
95,2
1,58
3,3
HSSF
47,7
77,8
1,00
2,1
VSSF
47,0
125,5
2,62
5,6
HSSF
47,0
113,0
2,20
4,7
VSSF
47,7
62,8
0,50
1,1
HSSF
47,7
75,5
0,93
1,9
VSSF
47,0
155,8
3,63
7,7
HSSF
47,0
133,1
2,87
6,1
VSSF
47,7
115,2
2,25
4,7
HSSF
47,7
115,0
2,24
4,7
VSSF
47,0
131,3
2,81
6,0
HSSF
47,0
129,0
2,73
5,8
VSSF
47,7
63,4
0,52
1,1
HSSF
47,7
119,7
2,40
5,0
(%)
tumbuhan (Mangkoedihardjo, 2012).
Berdasarkan Tabel 4.26, nilai RGR semua variasi kurang
dari 10%. Hal ini membuktikan bahwa peningkatan tinggi
103
tumbuhan yang terjadi dikarenakan adanya pengaruh air limbah di
dalam reaktor.
Selain tinggi tumbuhan, karakteristik fisik tumbuhan yang
diamati setelah uji phytotreatment adalah panjang akar, lebar
batang, jumlah daun, dan lebar daun. Karakteristik ini sama
dengan karakteristik yang diamati pada saat propagasi. Oleh
karena itu, hasil pengamatan karakteristik fisik tumbuhan setelah
uji phytotreatment akan dibandingkan dengan hasil pengamatan
tumbuhan dari propagasi.
Berdasarkan Gambar 4.27 dan Gambar 4.28, panjang akar
mengalami pengecilan setelah tumbuhan terpapar air limbah. Hal
ini bisa jadi disebabkan karena akar yang sakit setelah terpapar
air limbah dapat membusuk dan terdegradasi. Akar pada reaktor
VSSF lebih panjang dibandingkan reaktor HSSF dikarenakan
media pada VSSF lebih tinggi dibandingkan reaktor HSSF. Di
dalam media, akar tumbuhan akan menyebar untuk mencari
sumber makanan, Sementara itu, lebar batang pada Typha
angustifolia tidak jauh berbeda antara yang terpapar limbah
dengan yang tidak, sedangkan pada Scirpus grossus, lebar batang
tumbuhan yang terpapar air limbah jauh lebih kecil dibandingkan
dengan saat belum terpapar. Sebagian besar Typha angustifolia
mengalami pertambahan lebar sisi batang. Selisih rata-rata
pertumbuhan lebar sisi batang Typha angustifolia berkisar antara
-0,1 cm hingga 0,5 cm pada reaktor dengan HRT 1 hari dan -0,2
hingga 0,6 pada reaktor dengan HRT 3 hari. Sementara selisih
rata-rata pertumbuhan lebar sisi batang pada Scirpus grossus
berkisar antara -1 hingga -0,9 untuk HRT 1 hari dan -0,9 hingga 0,6 untuk HRT 3 hari. Nilai negatif pada selisih ini menunjukkan
bahwa lebar batang mengalami penyusutan setelah terpapar air
limbah. Typha angustifolia memiliki kemampuan yang lebih besar
dalam bertahan pada kondisi lingkungan yang toksik dibandingkan
Scirpus grossus. Jumlah daun yang berbeda antara kondisi
tumbuhan sebelum terpapar dengan setelah terpapar air limbah
disebabkan karena selama pengoperasian reaktor terdapat daun
yang kering dan kemudian terdegradasi sehingga tidak ikut
terhitung pada saat pengamatan. Sementara itu, lebar daun
memiliki karakteristik yang sama dengan lebar batang karena daun
dan batang merupakan satu kesatuan, dimana pertumbuhan lebar
104
daun pada Typha angustifolia tidak jauh berbeda antara tumbuhan
sebelum terpapar dengan setelah terpapar. Sebaliknya, lebar daun
pada Scirpus grossus mengalami penyusutan setelah terpapar air
limbah. Selisih rata-rata pertumbuhan lebar sisi daun Typha
angustifolia berkisar antara 0,0 cm hingga 0,2 cm pada reaktor
dengan HRT 1 hari dan -0,1 hingga 0,2 pada reaktor dengan HRT
3 hari. Sementara selisih rata-rata pertumbuhan lebar sisi daun
pada Scirpus grossus berkisar antara -1 hingga -0,7 untuk HRT 1
hari dan -0,9 hingga -0,5 untuk HRT 3 hari.
4.6.2
Analisis Biomassa Tumbuhan
Analisis biomassa didasarkan pada berat basah dan berat
kering tumbuhan. Pengukuran berat basah dan berat kering
dilakukan pada awal dan akhir pengoperasian reaktor. Berat basah
diukur segera setelah tumbuhan diambil dan dibersihkan dari
reaktor. Sementara berat kering diukur setelah tumbuhan
dikeringkan dalam oven 105oC selama minimal 24 jam. Penentuan
biomassa ini bertujuan untuk mengetahui berapa banyak bahan
tumbuhan yang ada di dalam satu kawasan (Warrington, 1994).
Biomassa tumbuhan ini menunjukkan akumulasi nutrien pada
tumbuhan hasil dari fitoekstraksi. Hasil pengukuran berat basah
dan berat kering tumbuhan dapat dilihat dalam grafik pada
Gambar 4.31 dan Gambar 4.32.
Dari data yang ditampilkan pada Gambar 4.31 dan
Gambar 4.32, terlihat bahwa terjadi peningkatan berat kering
pada tumbuhan Typha angustifolia setelah terpapar air limbah
selama pengoperasian reaktor. Berbanding terbalik dengan Typha
angustifolia, berat kering Scirpus grossus mengalami penurunan
setelah terpapar air limbah. Hal ini menunjukkan bahwa Typha
angustifolia lebih banyak menyerap nutrien selama uji
phytotreatment. Nutrien yang paling banyak diserap oleh Typha
angustifolia adalah dalam bentuk nitrat (NO3-). Hal ini ditunjukkan
dengan efisiensi dekonsentrasi nitrat yang tinggi pada reaktor
dengan tumbuhan Typha angustifolia.
Sementara itu, penurunan berat kering pada Scirpus
grossus belum tentu disebabkan karena tumbuhan tidak menyerap
nutrien, tetapi bisa disebabkan karena temperatur lingkungan yang
terlalu panas. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis temperatur
105
Diameter Batang (cm)
Jumlah Daun
Lebar Daun (cm)
11,4
15,2
VSSF
HSSF
VSSF
VSSF
8
HSSF
Typha angutifolia
Typha
angutifolia
Scirpus
grossus
Sebelum Uji
Phytotreatment
Reaktor Ta1
Reaktor Sg1
0,9
0,7
HSSF
Scirpus grossus
Reaktor MP1
Setelah Uji Phytotreatment
0,9
5
VSSF
Gambar 4.27 Perbandingan Karakteristik Fisik Tumbuhan pada Reaktor HRT 1 Hari
106
0,9
0,9
0,6
1,9
0,7
4
HSSF
2,0
0,6
0,8
0,8
0,8
0,5
1,6
0,7
2,2
1,6
1,6
0,6
1,7
4
6
7
7
7,7
9
10,3
12,0
14,2
8
9
13,8
15,8
24,0
Panjang Akarl (cm)
0,6
1,7
7
24,0
1,6
9
13,8
Scirpus
grossus
1,6
0,7
2,3
9
12,9
0,6
7
9,8
HSSF
1,5
Reak tor T ypha
angutifolia
VSSF
Lebar Batang (cm)
1,1
1,0
4
10,9
1,0
5
9,0
HSSF
0,8
Lebar Daun (cm)
0,7
1,9
8
15,6
7
8,8
HSSF
1,7
4
8,9
7
14,4
HSSF
1,0
107
Scirpus grossus
VSSF
0,7
Reaktor Mixed Plants
T ypha angutifolia
VSSF
0,5
T inggi Setelah Uji Phytotreatm ent (cm )
Reaktor Scirpus
grossus
VSSF
Jumlah Daun
0,8
Gambar 4.28 Perbandingan Karakteristik Fisik Tumbuhan pada Reaktor HRT 3 Hari
Tinggi Awal (cm)
T ypha
angutifolia
Panjang Akarl (cm)
0,8
yang kurang ideal untuk pertumbuhan Scirpus grossus. Penurunan
berat kering juga bisa disebabkan karena tumbuhan kurang
mampu bertahan hidup pada kondisi dialirkannya air limbah secara
terus menerus sehingga tumbuhih cepat mengering dan
membusuk.
Gambar 4.29 Typha angustifolia (kiri) dan Scirpus grossus (kanan)
saat Pengukuran Berat Basah
Gambar 4.30 Typha angustifolia (kiri) dan Scirpus grossus (kanan)
saat Pengukuran Berat Kering
4.7
Uji Statistik
Dalam penelitian ini, hasil analisis parameter monitor dan utama
dalam masing-masing reaktor diuji secara statistik untuk
mengetahui pengaruh tiap variabel penelitian. Hasil analisis
parameter monitor dan presentase efisiensi dekonsentrasi ketiga
nutrien (amonium, nitrat, dan fosfat) diuji dengan uji korelasi dan
uji regresi menggunakan program Microsoft Excel. Kedua uji
tersebut menunjukkan bentuk hubungan antar variabel, tetapi
dengan ukuran yang berbeda. Uji korelasi digunakan untuk
meliihat seberapa erat hubungan antar dua variabel kuantitatif
108
2,6
4,3
15,4
43,5
2,6
3,3
15,4
15,6
3,4
1,9
7,6
18,2
2,6
9,4
15,4
33,9
HSSF
Typha angustifolia
VSSF
MP1
HSSF
Scirpus grossus
VSSF
18,2
Gambar 4.31 Hasil Pengukuran Berat Basah dan Berat Kering Tumbuhan pada Reaktor HRT 1 Hari
Sg1
HSSF
Ta1
VSSF
18,2
Scirpus grossus
HSSF
6,4
3,4
2,3
Typha angustifolia
VSSF
15,4
19,7
Berat Kering Tumbuhan (gram) Hari ke-30
2,6
2,9
Berat Kering Tumbuhan (gram) Hari ke-0
18,2
Berat Basah Tumbuhan (gram) Hari ke-30
7,1
3,4
1,9
Berat Basah Tumbuhan (gram) Hari ke-0
5,9
3,4
1,7
109
Berat Basah Tumbuhan (gram) Hari ke-30
Berat Kering Tumbuhan (gram) Hari ke-0
Berat Kering Tumbuhan (gram) Hari ke-30
VSSF
HSSF
VSSF
HSSF
Typha angustifolia
Scirpus grossus
Ta1
Sg1
VSSF
HSSF
VSSF
Typha angustifolia
3,4
2,7
18,2
13,2
6,1
3,4
1,2
2,6
3,2
18,2
15,4
20,9
2,6
3,4
15,4
18,2
3,4
1,8
9,3
3,4
1,8
18,2
15,8
2,6
2,1
2,6
3,9
15,4
15,4
18,5
36,6
62,9
Berat Basah Tumbuhan (gram) Hari ke-0
HSSF
Scirpus grossus
MP1
Gambar 4.32 Hasil Pengukuran Berat Basah dan Berat Kering Tumbuhan pada Reaktor HRT 3 Hari
110
yang dilihat dari besarnya angka. Adapun uji regresi bertujuan
untuk mengukur seberapa besar suatu variabel independen
(variabel penjelas/bebas) mempengaruhi variabel dependen
(terikat) sehingga dapat digunakan untuk melakukan perkiraan
atau prediksi nilai rata-rata variabel dependen berdasarkan
variabel independen yang ada (Gujarati, 2003).
Pada uji korelasi, nilai korelasi (r) yang dihasilkan dapat
bernilai positif dan negatif. Nilai positif menyatakan hubungan
semakin besar nilai pada suatu variabel, maka akan diikuti pula
perubahan dengan semakin besar nilai dari variabel lainnya.
Sebaliknya, nilai negatif menyatakan hubungan semakin besar
nilai pada suatu variabel, maka akan semakin kecil nilai variabel
lainnya. Besar nilai korelasi menunjukkan seberapa erat hubungan
antar variabel. Besaran r = 1 menyatakan hubungan antar variabel
bersifat kuat dan sempurna, r = 0,5 menyatakan hubungan
sedang, dan nilai sama dengan r = 0,0 menyatakan tidak ada
hubungan sama sekali (dua variabel tidak berhubungan). Hasil uji
korelasi dan regresi parameter monitor dapat dilihat pada Tabel
4.27.
Berdasarkan Tabel 4.27, hubungan antara pH dan
presentase efisiensi dekonsentrasi amonium pada seluruh reaktor
VSSF bernilai positif sehingga semakin besar pH pada air limbah,
maka efisiensi semakin besar pula. Akan tetapi, nilai r < 0,5 yang
menunjukkan bahwa hubungan antar keduanya kurang kuat,
kecuali pada reaktor VSSF Ta1 dan Sg1 yang memiliki nilai r >
0,5. Pada reaktor HSSF, sebagian r bernilai positif dan sebagian
lain bernilai negatif dengan besaran nilainya < 0,5, kecuali pada
reaktor HSSF Ta1 dan Sg 3.
Hubungan antara pH dan efisiensi dekonsentrasi nitrat
pada reaktor VSSF bernilai positif, kecuali pada reaktor VSSF MP1
dan MP3 sehingga semakin besar pH pada air limbah, maka
efisiensi juga semakin besar. Sementara pada reaktor HSSF,
sebagian r bernilai positif dan sebagian bernilai negatif. Rata-rata
besar nilai r < 0,5 yang menunjukkan hubungan kurang kuat. Akan
tetapi nilai r > 0,5 terjadi pada reaktor VSSF Ta3 dan Sg3, serta
reaktor HSSF MP3 yang menunjukkan bahwa hubungan antara pH
dan efisiensi dekonsentrasi nitrat cukup kuat.
111
Hubungan antara pH dan efisiensi dekonsentrasi fosfat
pada reaktor VSSF dan HSSF sebagian besar bernilai positif untuk
HRT 1 hari dan sebagian besar bernilai negatif untuk reaktor HRT
3 hari. Akan tetapi besar nilai r > 0,5 hanya terjadi pada reaktor
VSSF MP1 dan HSSF Ta3.
Dari hasil uji korelasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pH memiliki hubungan kurang kuat dengan efisiensi dekonsentrasi
ketiga parameter utama. Hubungan yang cukup kuat hanya terjadi
pada reaktor dengan tumbuhan. Hal ini menunjukkan bahwa pH air
limbah mempengaruhi kinerja tumbuhan dalam uptake nutrien
sehingga juga memberikan pengaruh terhadap presentase
efisiensi dekonsentrasi nutrien yang terjadi.
Hubungan antara temperatur dan amonium bernilai positif
di reaktor VSSF yang menunjukkan semakin besar temperatur,
maka efisiensi semakin tinggi. Sementara pada reaktor HSSF, nilai
r sebagian bernilai positif dan sebagian bernilai negatif. Nilai r
sebagian besar < 0,5 yang menunjukkan bahwa hubungan kurang
kuat. Nilai > 0,5 terjadi pada reaktor dengan HRT 3 hari. Hal ini
menunjukkan bahwa temperatur pada HRT 3 hari mempengaruhi
efisiensi dekonsentrasi amonium karena temperatur pada HRT 3
hari lebih tinggi dibandingkan HRT 1 hari.
Hubungan antara temperatur dan efisiensi dekonsentrasi
nitrat bernilai negatif pada reaktor VSSF HRT 1 hari dan bernilai
positif pada reaktor VSSF HRT 3 Hari. Sementara pada reaktor
HSSF, r sebagian bernilai positif dan sebagian bernilai negatif
untuk kedua HRT tersebut. Nilai r > 0,5 untuk reaktor HSSF K1
yang menyatakan hubungan cukup kuat, sedangkan pada reaktor
HSSF Sg1 nilai r = 1 yang menyatakan bahwa terdapat hubungan
yang kuat antara temperatur dengan efisiensi dekonsentrasi nitrat
pada reaktor tersebut. Sementara pada reaktor HRT 3 hari,
masing-masing reaktor memilki nilai r > 0,5.
Hubungan antara temperatur dan efisiensi dekonsentrasi
fosfat bernilai positif pada reaktor VSSF, kecuali reaktor VSSF Sg1
dan K3. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tempeatur,
maka semakin tinggi efisiensi dekonsentrasi fosfat. Sementara
nilai r pada reaktor HSSF sebagian besar bernilai positif pada
reaktor HRT 1 hari dan sebagian besar bernilai negatif pada
reaktor HRT 3 hari. Temperatur dan efisiensi dekonsentrasi fosfat
112
HSSF
Bernilai (+)
dan (-); r <
0,5 kecuali
reaktor Ta1
dan Sg3
Bernilai (+)
dan (-); r >
0,5 kecuali
reaktor MP3
Bernilai (+),
kecuali
reaktor Ta3;
r < 0,5
kecuali
reaktor K1
dan Sg3
Bernilai (+); r
< 0,5 kecuali
reaktor Ta1
dan Sg1
Bernilai (+); r
< 0,5 kecuali
reaktor K3
dan MP3
Bernilai (-),
kecuali
reaktor Ta1
dan MP1; r <
0,5 kecuali
reaktor MP3
pH
Temperatur
DO
Amonium
VSSF
Parameter
Bernilai (+)
pada reaktor
HRT 1 hari; r
sebagian < 0,5
dan sebagian
> 0,5
VSSF
Bernilai (+),
kecuali reaktor
MP1 dan MP3;
r < 0,5 kecuali
reaktor Ta3
dan Sg3
Bernilai (+)
pada reaktor
HRT 3 hari; r <
0,5 kecuali
reaktor K3,
Ta3, dan Sg3
Bernilai (+)
dan (-); r < 0,5
kecuali reaktor
Sg1 (r = 1)
dan MP3 (r =
0,5)
Bernilai (+) dan (); r < 0,5 kecuali
reaktor K3 dan
MP3
Bernilai (+),
kecuali Sg1 dan
K3; r < 0,5
kecuali reaktor
K1 dan K3
Bernilai (+)
dan (-); r < 0,5
kecuali reaktor
K1, Sg1 (r =
1), dan MP3
VSSF
Bernilai (+) dan (); r < 0,5 kecuali
reaktor MP1
HSSF
Fosfat
Bernilai (+)
dan (-); r < 0,5
kecuali reaktor
MP3
Nitrat
Nilai Korelasi
113
Bernilai (+);
r < 0,5
kecuali
reaktor Sg3
dan MP3
Bernilai (+)
dan (-); r <
0,5 kecuali
reaktor K1
dan Ta3
Bernilai (+)
dan (-); r <
0,5 kecuali
reaktor Ta3
HSSF
Tabel 4.27 Hasil Uji Korelasi antara Parameter Monitor dengan Presentase Efisiensi Dekonsentrasi Nutrien
memiliki hubungan sedang pada reaktor K1 VSSF dan HSSF,
sedangkan hubungan cukup kuat terjadi pada reaktor VSSF K3,
serta reaktor Sg3 VSSF dan HSSF.
Hubungan antara Dissolved Oxygen (DO) dengan efisiensi
dekonsentrasi amonium sebagian besar bernilai negatif pada
reaktor VSSF dan sebagian besar bernilai positif pada reaktor
HSSF. Hubungan bernilai negatif pada reaktor VSSF menunjukkan
bahwa tumbuhan lebih berperan dalam dekonsentrasi amonium
dibandingkan mikroorganisme. Hal ini dikarenakan di dalam
reaktor, akar tumbuhan menghasilkan oksigen, sedangkan
mikroorganisme memerlukan oksigen untuk proses nitrifikasi.
Sebaliknya, pada reaktor HSSF, hubungan dengan DO bernilai
negatif karena mikroorganisme lebih berperan dalam
dekonsentrasi amonium. Akan tetapi nilai r > 0,5 yang
menunjukkan hubungan cukup kuat hanya terjadi pada reaktor
HSSF K1, HSSF Sg 3, dan VSSF MP3.
Hubungan antara DO dengan efisiensi dekonsentrasi nitrat
bernilai positif pada seluruh reaktor HRT 1 hari, kecuali reaktor
HSSF K1. Sebaliknya, r bernilai negatif pada reaktor HRT 3 hari,
kecuali pada reaktor HSSF K3. Hal ini menunjukkan bahwa
pengolahan berlangsung dengan baik pada reaktor HRT 3 hari
karena kemampuan dekonsentrasi nitrat dengan proses
denitrifikasi seharusnya berbanding terbalik dengan kadar DO
dalam air. Nilai r > 0,5 sebagian besar terjadi pada reaktor HRT 3
hari yang menyatakan hubungan cukup kuat antara DO dengan
efisiensi dekonsentrasi nitrat.
Hubungan antara DO dengan efisiensi dekonsentrasi
fosfat bernilai positif, kecuali pada reaktor VSSF K1, VSSF Ta1,
dan VSSF MP1 sehinggan dapat dikatakan semakin besar kadar
DO, maka semakin tinggi efisiensinya. Akan tetapi, nilai r > 0,5
hanya terjadi pada reaktor VSSF K3, HSSF Sg3, dan HSSF MP3.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa DO memiliki hubungan
kurang kuat dengan efisiensi dekonsentrasi fosfat.
Selain uji korelasi, hubungan antara parameter monitor
dengan presentase efisiensi dekonsentrasi nutrien diuji
menggunakan uji regresi dengan hasil seperti pada tabel dalam
Lampiran A. Penarikan kesimpulan signifikasni dapat dilakukan
dengan membandingkan taraf nyata dengan p-value. Taraf nyata
114
dalam uji regresi pada penelitian ini menggunakan taraf nyata 5%
sehingga jika nilai p-value sama atau lebih kecil dari 5%, maka
dapat dinyatakan bahwa variabel independen berpengaruh
signifikan terhadap variabel dependen. Reaktor yang memiliki nilai
p-value kurang dari 5% ditunjukkan dengan warna kuning pada
tabel.
Pengaruh pH signifikan terhadap efisiensi dekonsentrasi
amonium dan nitrat hanya terjadi pada 3 reaktor, sedangkan
terhadap efisiensi dekonsentrasi fosfat signifikan terjadi pada 1
reaktor. Dikarenakan sedikitnya reaktor yang dipengaruhi
parameter pH terhadap efisiensi dekonsentrasi nutrien tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa pH tidak terlalu berpengaruh
terhadap nilai efisiensi dekonsentrasi nutrien.
Tidak jauh berbeda dengan pH, pengaruh temperatur
signifikan terhadap efisiensi dekonsentrasi amonium dan nitrat
hanya terjadi pada 2 reaktor, sedangkan terhadap efisiensi
dekonsentrasi fosfat signifikan terjadi pada 1 reaktor. Sementara
itu, pengaruh temperatur signifikan terhadap efisiensi
dekonsentrasi amonium terjadi pada 4 reaktor, terhadap efisiensi
dekonsentrasi nitrat hanya terjadi pada 1 reaktor, sedangkan
terhadap efisiensi dekonsentrasi fosfat signifikan terjadi pada 1
reaktor 2 reaktor. Dari hasil uji regresi tersebut, secara
keseluruhan dapat dikatakan bahwa parameter monitor tidak
terlalu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai
efisiensi dekonsentrasi nutrien.
Selain pada parameter monitor, uji statistik juga diakukan
untuk mengetahui pengaruh dari variabel penelitian, yaitu jenis
tumbuhan dan HRT terhadap presentase efisiensi dekonsentrasi
nutrien. Dalam hal ini, uji statistik yang digunakan adalah uji
Kruskal-Wallis dengan menggunakan SPSS 16.0. Uji KruskalWallis digunakan karena data hasil analisis berdistribusi tidak
normal sehingga tidak memenuhi syarat untuk dilakukan uji
ANOVA. Uji Kruskal-Wallis adalah uji nonparametrik berbasis
peringkat yang tujuannya untuk menentukan adakah perbedaan
signifikan secara statistik antara dua atau lebih kelompok variabel
independen pada variabel dependen yang berskala data numerik
(interval/rasio) dan skala ordinal. Uji ini identik dengan uji One Way
ANOVA pada pengujian parametris sehingga uji ini merupakan
115
alternatif bagi uji One Way ANOVA apabila tidak memenuhi syarat,
seperti syarat normalitas data.
Langkah awal pada uji Kruskal-Wallis adalah mengetehaui
apakah semua kelompok variabel memiliki variabilitas nilai
efisiensi yang sama. Variabilitas yang dimaksud di sini adalah
bentuk dan sebaran data. Apabila sebaran data sama, maka uji
Kruskall-Wallis dapat digunakan untuk mengetahui adakah
perbedaan Median dan Mean. Jika tidak memiliki sebaran yang
sama, maka uji ini hanya dapat digunakan untuk mengetahui
perbedaan Mean saja. Variabilitas data dapat diketahu dari grafik
histogram seperti pada Gambar 4.33, Gambar 4.34, dan Gambar
4.35. Data dapat dikatakan memiliki variabilitas yang sama jika
memiliki bentuk kurva histogram yang sama pula.
Berdasarkan Gambar 4.33, Gambar 4.34, dan Gambar
4.35, kurva pada grafik histogram memilki bentuk yang tidak sama,
sehingga diketahui bahwa data memiliki variabilitas yang tidak
sama. Oleh karena itu, uji Kruskal-Wallis tidak dapat digunakan
untuk menilai perbedaan Median, melainkan hanya untuk menilai
perbedaan peringkat rata-rata.
Hasil akhir dari uji Kruskal-Wallis adalah nilai p-value atau
pada tabel uji bernama asymp. sig. Apabila nilai asymp. sig. kurang
dari batas kritis, yakni 0,05 (5%), maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa ada pengaruh yang signifikan dari variabel penelitian
terhadap efisiensi dekonsentrasi nutrien.
Berdasarkan Tabel 4.28, Tabel 4.29, dan Tabel 4.30, nilai
asymp. sig. lebih besar dari 0,05, baik pada HRT 1 hari maupun
HRT 3 hari. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tumbuhan tidak
berpengaruh signifikan terhadap efisiensi dekonsentrasi amonium
dan nitrat. Sementara itu, nilai asymp. sig. pada reaktor dengan
HRT 1 hari lebih kecil dari 0,05, sedangkan pada reaktor HRT 3
hari lebih besar dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa jenis
tumbuhan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
efisiensi dekonsentrasi fosfat apabila menggunakan HRT 1 hari.
116
Gambar 4.33 Grafik Histogram Variabilitas Data Amonium
117
Gambar 4.34 Grafik Histogram Variabilitas Data Nitrat
118
Gambar 4.35 Grafik Histogram Variabilitas Data Fosfat
119
Tabel 4.28 Hasil Uji Kruskal-Wallis antara Variabel Penelitian dengan
Presentase Efisiensi Dekonsentrasi Amonium
Test Statisticsa,b
1 Hari
Chi-Square
df
Asymp. Sig.
3 Hari
7.211
3
.065
4.273
3
.233
Tabel 4.29 Hasil Uji Kruskal-Wallis antara Variabel Penelitian dengan
Presentase Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat
Test Statisticsa,b
1 Hari
Chi-Square
df
Asymp. Sig.
3 Hari
1.242
3
.743
.484
3
.922
Tabel 4. 30 Hasil Uji Kruskal-Wallis antara Variabel Penelitian dengan
Presentase Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat
Test Statisticsa,b
1 Hari
Chi-Square
df
Asymp. Sig.
120
9.799
3
.020
3 Hari
6.438
3
.092
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisa data dan pembahasan dari penelitian
ini, didapatkan kesimpulan, yaitu:
1. Tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus
mampu melakukan dekonsentrasi nutrien pada limpasan
pertanian dengan konsentrasi amonium dan fosfat yang
tinggi, yaitu 500 mg/L amonium dan 166,67 mg/L fosfat
untuk Typha angustifolia, serta konsentrasi amonium
sebesar 750 mg/L dan fosfat sebesar 250 mg/L untuk
Scirpus grossus.
2. Tumbuhan tidak memberikan pengaruh yang signifikan
dalam dekonsentrasi nitrogen. Efisiensi dekonsentrasi
amonium tertinggi terjadi pada reaktor kontrol HRT 1 hari,
yakni dengan efisiensi sebesar 99,99% dan reaktor kontrol
HRT 3 hari dengan efisiensi sebesar 99,96%. Efisiensi
dekonsentrasi nitrat tertinggi terjadi pada reaktor Typha
angustifolia HRT 1 hari, yakni sebesar 59,91% dan reaktor
kontrol HRT 3 hari, yakni sebesar -144,70%.
3. Berdasarkan uji statistik, tumbuhan memberikan pengaruh
yang signifikan dalam dekonsentrasi fosfat pada HRT 1
hari. Efisiensi dekonsentrasi fosfat rata-rata tertinggi
terjadi pada reaktor kontrol HRT 1 hari, yaitu sebesar
99,81% dan reaktor Typha angustifolia HRT 3 hari, yaitu
sebesar 99,93%.
5.2
Saran
Saran yang dapat penyusun berikan untuk dapat
meningkatkan hasil penelitian ini adalah:
1. Konsentrasi air limbah diperbesar atau waktu
pengoperasian reaktor saat uji phytotreatment diperlama
hingga efektivitas media berkurang untuk membuktikan
pengaruh keberadaan tumbuhan dalam meningkatkan
efisiensi dekonsentrasi nutrien dengan menunjukkan
121
perbedaan efisiensi yang signifikan antara reaktor dengan
tumbuhan dan reaktor tanpa tumbuhan.
2. Perlu ditambahkan reaktor kontrol tumbuhan tanpa air
limbah untuk mengetahui pengaruh faktor lingkungan
terhadap biomassa tumbuhan dalam uji phytotreatment.
3. Perlu dilakukan pengukuran kadar senyawa organik pada
efluen reaktor penelitian untuk dibandingkan dengan
kebutuhan senyawa organik oleh mikroorganisme dalam
proses denitrifikasi.
4. Perlu dilakukan penelitian yang mengkombinasikan Typha
angustifolia dengan jenis tumbuhan lain yang memiliki
kemampuan bertahan hidup lebih tinggi dibandingkan
Scirpus grossus, baik dalam keadaan single plant,
maupun mixed plants.
122
DAFTAR PUSTAKA
Abdulgani, H., Izzati, M., dan Sudarno. 2014. ”Kemampuan
Tumbuhan Typha angustifolia dalam Sistem Subsurface
Flow Constructed untuk Pengolahan Limbah Cair Industri
Kerupuk (Studi Kasus Limbah Cair entra Industri Kerupuk
Desa Kenanga Kecamatan Sindang Kabupaten
Indramayu Jawa Barat)”. Bioma 16, 1: 90-101.
Agustiningsih, D. 2012. Kajian Kualitas Air Sungai Blukar
Kabupaten Kendal dalam Upaya Pengendalian
Pencemaran Sungai. Tesis. Semarang: Program
Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro.
Ali, M. 2011. Rembesan Air Lindi (LeachateI Dampak Pada
Tanaman Pangan dan Kesehatan. Surabaya: UPN
Veteran Jawa Timur.
Arias, C. A., Del Bubba, M., dan Brix, H. 2001. “Phosphorus
Removal by Sanda for Use as Media in Subsurfave Flow
Constructed Reed Beds”. Water Res. 35, 5:1159-1168.
Arivoli, A. dan Mohanraj, R. 2013. “Efficiacy of Typha angustifolia
based Vertical Flow Constructed Wetland System in
Pollutant
Reduction
of
Domestic
Wastewater”.
International Journal of Environmental Sciences 3,
5:1497–1508.
Bagwell, E. C. et al. 1998. “Physicological of Rhizosphere
Diazotroph Assemblages of Selected Salt Marsh
Grasses”. Applied and Environmental Microbiology
Journal of Science Education 4, 12. Bogor: Puslit
Limnologi-LIPI.
Brix, H., Dyhr-Jensen, K., dan Lorenzen, B. 2002. “Root-zone
Acidity and Nitrogen Source Affects Typha latifolia L.
Growth and Uptake Kinetics of Ammonium and Nitrate”.
Journal of Experimental Botany, 53:2441-2450.
Caroline, J., dan Moa, G. A. “Fitoremediasi Logam Timbal (Pb)
Menggunakan Tanaman Melati Air (Echinodorus
palaefolius) pada Limbah Industri Peleburan Tembaga
dan Kuningan. Seminar Nasional Sains dan Teknologi
Terapan III. Surabaya.
123
Campbel, C. S. dan Odgen, M. 1999. Constructed Wetlands in
the Sustainable Landscape. Canada: John Wiley &
Sons, Inc.
Casali, J. R., Gimenez, J., Diez, J., Alvarez-Mozos, J., de Lersundi,
J. D. V., Goni, M., Campo, M. A., Chahor, Y., Gastesi, R.,
Lopez, J. 2010. “Sediment Production and Water Quality
of Watersheds with Contrasting Land Use in Navarre
(Spain)”. Agricultural Water Management 97:16831694.
Christina, V., Margit, K., Bavor, H. J., Chazarenc, F., dan Mander,
U. 2011. “Filter Materials for Phosphorus Removal from
Wastewater in Treatment Wetlands-A Revier”. Ecological
Engineering 37:70-89.
Ciria, M.P., Solano, M.L., dan Soriano, P. 2005. “Role of
Macrophyte Typha latifolia in a Constructed Wetland for
Wastewater Treatment and Assessment of Its Potential as
a Biomass Fuel”. Biosystems Engineering 92, 4:535544.
Connecticut Department of Energy and Environmental Protection.
2008.
Agricultural
Wastewater.
<URL:
http://www.ct.gov/deep/cwp/view.asp?a=2721&q=325688
&depNav_GID=1654>.
Cooper, P. 1999. “A Review of The Design and Performance of
Vertical-Flow and Hybrid Reed Bed Treatment Systems.
Water Science and Technology 40, 3:1-9.
Crites, K. dan Tchobanoglous, G. 1998. Small and Decentralized
Wastewater Management Systems: Wetlands and
Awuatic Treatment Systems. Singapure: Mc Graw-Hill.
Damanik, M. M. B., Hasibuan, B. E., Sarifuddin, dan Hanum, H.
2011. Kesuburan Tanah dan Pemupukan. Medan: USU
Press.
Danista, R.W. 2012. Penggunaan Bambu Air (Equisetum
hyemale) dan Bambu Rejeki (Dracaena sanderiana)
untuk Penyisihan Nitrogen dan Fosfor pada Grey
Water dengan Sistem Constructed Wetland. Tesis.
Surabaya: ITS.
Davies, T. H. dan Hart, B. T. 1990. “Use of Aeration to Promote
Nitrification in Reed Beds Treating Wastewater”.
124
Proceedings of the International Conference on the
Use of Constructed Wetlands in Water Pollution
Control: 77-84. Oxford, U.K: Pergamon Press.
DCNR Pennsylvania. 1999. Invasive Plants in Penssylvania:
Narrow-Leaved Cattail (Typha angustifolia). <URL:
http://www.dcnr.state.pa.us/conservationscience/invasive
species/index.htm>.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan
Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta:
Kanisius.
Engelstad, O. P., dan Hellums, D. T. “Water Solubility of Phosphate
Fertilizers Agronomic Aspect-A Literature Review”. Paper
17.
FAO. 1996. “Control of Water Pollution from Agriculture”. FAO
Irrigation and Drainage Paper 55. Canada.
FAO. 2002. “Crops and Drops: Making the Best Use for
Agriculture”. FAO. Rome, Italia.
Farenga, S. J. dan Daniel N. 2007. “Making a Community
Information Guide about Nonpoint Source Pollution.
Science Scope 30:12-15.
Gujarati, N. D. 2003. Basic Economics. Edisi 4. New York:
McGraw-Hill Companies, Inc.
Gupta, A. K. 2011. Actinoscirpus grossus. IUCN Red List of
Threatened
Species
Version
2013.2.
<URL:
http://iucnredlist.org>.
Halverson, N. V. 2004. Review of Constructed Subsurface Flow
vs Surface Flow Wetlands. U.S.: Westinghouse
Savannah River Company.
Hammer, D. A. 1989. Constructed Wetlands for Wastewater
Treatment. Chelsea, Michigan: Lewia Publisher.
Hammer, D. A. dan Knight, R. L. 1994. “Designing Consetructed
Wetlands for Nitrogen Removal”. Water Science
Technology 29:15-17.
Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta: PT. Raya
Grafindo Persada.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta:
Koperasi Karyawan Departemen Kehutanan.
125
Hidayah dan Aditya. 2011. “Potensi Pengaruh Tanaman pada
Pengolahan Air Limbah Domestik dengan Sistem
Constructed Wetland”. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan
2, 2:11-18.
Ibekwe, A. M., Grieve, C. M., dan Lyon, S. R. 2003.
“Characterization of Microbial Communities and
Composition in Constructed Dairy Wetland Wastewater
Effluent. Appl. Environ. Microbiol. 69:5060-5069.
Jones, C., Brown, B. D., Engel, R., Horneck, D., dan Olson-Rutz,
K. 2013. Factors Affecting Nitrogen Fertilizer
Volatilization. U.S.: Montana State University.
Jinadasa, K., Sasikala, S., Werellagama, D., Mowjood, M.I., dan
Ng, W.J. 2008. “Impact of Harvesting on Constructed
Wetlands Performance – a Comparison Between Scirpus
grossus and Typha angustifolia”.
Journal
of
Environmental Science and Health 43, 6:664-671.
Karenlampi, S. K., Schat, H., Vangronsveld, J. Verkleij, J. A. C.,
van der Leile, D., Mergeay, M., dan Tervahauta, A. I. 2000.
“Genetic Engineering in the Improvement of Plants for
Phytoremediation of Metal Polluted Soils”. Environ.
Pollut. 107:225-231.
Keffala, C. dan Ghrabi, A. 2005. “Nitrogen and Bacterial Removal
in Constructed Wetlands Treating Domestic Wastewater”.
Desalination 185: 383-389.
Khiatuddin, M. 2003. Melestarikan Sumber Daya Air dengan
Teknologi Rawa Buatan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University.
Kida, K., Morimura, S., Mochinaga, Y., dan Tokuda, M. 1999.
“Efficient Removal of Organic Matter and NH4 from Pot Ale
by a Combination of Methane Fermentation and Biological
Denitrification and Nitrification Processes”. Process
Biochemistry 34:567-575.
Knight, R. L., Payne Jr, V. W. E., Borer, R. E., Clarker Jr, R. A.,
Pries, J. H. 2000. “Constructed Wetland for Livestock
Wastewater Management”. Ecological Engineering
15:41-55.
Kurniadie, D. 2011. Teknologi Pengolahan Limbah Cair Secara
Biologis. Bandung: Widya Padjadjaran.
126
Lee, C.G., Fletcher, T.D., dan Sun, G. 2009. “Nitrogen Removal in
Constructed Wetlands· Engineering Life Sciences 9,
1:11-22.
Lei, Y. A., Hui-Ting, C., dan Mong-Na L. H. 2001. “Nutrient
Removal in Gravel and Soil Based Wetland Microcosmwith
and without Vegetation. Eco. Eng. 18:91-105.
Liehr, S. K., et al. 2000. Constructed Wetlands Treatment of
High Nitrogen Landfill Leachate. Virginia: Water
Environment Research Foundation.
Lines-Kelly, R. 2005. Defend the Rhizosphere and Root Againts
Pathogenic
Microorganisms.
<URL:
http://ice/agric/uwa.edu.au/soils/soilhealth>.
Ling, C. 2010. Nonindigenous Aquatic Species. <URL:
http://nas.er.usgs.gov/queries/FactSheet.aspx?speciesID
=2679>.
Mangkoedihardjo, S., Rahmawati, C. O. D., Rinpropadebi, A. H.,
dan Putri, L. M. 2012. “Phytostabilization of Lead in Soil by
Ornamental Local Plants and Enhanced by Composy
Addition”. International Journal of Academic Research
4, 5: 95-99.
Metcalf dan Eddy. 2003. Wastewater Engineering: Treatment
and Reuse, 4th Edition. International Edition. New York:
McGraw-Hill.
Ni’am, A. C. dan Warmadewanthi, IDAA. 2013. “Efektifitas Typha
angustifolia dan Eichornia crassipes dalam Mengolah
Leahate dengan Sistem Constructed Wetland”. Prosiding
Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII.
Surabaya: Program Studi MMT-ITS.
Novotny, V. dan Olem, H. 1994. Water Quality: Prevention,
Identification, and Management of Diffuse Pollution.
Van Nostrand Reinhold. New York.
Nugroho, et al. 2014. “Distribusi serta Kandungan Nitrat dan Fosfat
di Perairan Danau Rawa Pening”. Bioma 3, 1:27-41.
Permana, D. 2003. Keanekaragaman Makrobentos di
Bendungan Bapang dan Bendungan Ngablabaan
Sragen. Skripsi. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA
Universitas Sebelas Maret.
127
PermenLH. 2010. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 01 Tahun 2010 Tentang Tata Laksana
Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta: Kementerian
Lingkungan Hidup.
PFAF (Plant For A Future). 2012. Typha latifolia-L. <URL:
http://www.pfaf.org/user/plant.aspx?LatinName=Typha+la
tifolia>.
Pujiastuti, P., Sumardiyono, dan Mutiah, S. 2015. “Pola Distribusi
Pencemar Nitrogen dan Fosfor Non Point Source Sub Das
Wuryantoro ke Waduk Gajah Mungkur Wonogiri”. Seminar
Nasional Teknologi Kimia, Industri, dan Informasi.
Purwantari, N. D. 2008. “Penambatan Nitrogen secara Biologis:
Perspektif dan Keterbatasannya”. Wartazoa 18, 1:9-17.
Rao, J., X. T. Ji, W. Ouyang, X.C. Zhao, X.H. Lai. 2012. “Dilemma
Analysis of China Agricultural Non-point Source Pollution
Based on Peasants’ Household Surveys”. Procedia
Environmental Science 13: 2169 – 2178.
Raouf, N.A., Al-Homaidan, A.A., Ibraheem, I.B.M. 2012.
“Microalgae and Wastewater Treatment”.Saudi Journal
of Biological Sciences 19, 3:257-275.
Rasheed, A. M., Mansoor, M.M.A., Ahmath, M.H.A., dan Shameer,
S.M. 2014. “Nutrient Removal in Hybrid Constructed
Wetlands”. International Journal of Scientific &
Engineering Research 5, 2:1004-1006.
Saeed, T. dan Sun, G. “A Review on Nitrogen and Organics
Removal Mechanisms in Subsurface Flow Constructed
Wetlands: Dependency on Environmental Parameters,
Operating Conditions And Supporting Media”. J. Environ.
Manag 112:429–448.
Sasikala, S., Tanaka N., Jinadasa, K., dan Mowjood M. 2009.
“Comparison Study of Pulsing and Continuous Flow for
Improving Effluent Water Quality and Plant Growth of a
Constructed Wetland to Treat Domestic Wastewater”.
Tropical Agricultural Research 21, 2:147-156.
Sirianuntapiboon, S., Kongchum, M., dan Jitmaikasem, W. 2006.
“Effects of Hydraulic Retention Time and Media of
Constructed Wetland for Treatment of Domestic
128
Wastewater”. African Journal of Agricultural Research
1, 2:027-037.
Stefanakis, A., Christos, A., dan Tsihrintzis, V. 2014. Vertical Flow
Constructed Wetland. Elsevier Science.
Sultenfuss, J. H., dan Doyle W. J. 1999. “Phosphorus for
Agriculture”. Better Crops with Plant Food 83:1-40.
Sun, G., Ma, Y., dan Ran, Z. 2009. “Study on Purification Efficiency
of Sewage in Constructed Wetlands with Different Plants”.
World Rural Observation 1, 2:35-39.
Sundari, A. S., Retnaningdyah, C., dan Suharjono. 2013. “The
Effectiveness of Scirpus grossus and Limnocharis flava as
Fitoremediation Agents of Nitrate-Phosphate to Prevent
Microcystis Blooming in Fresh Water Ecosystem”. The
Journal of Tropical Science 3,1:28-33.
Suriawiria, U. 1993. Pengantar untuk Mengenal dan Menanam
Jamur. Bandung: Penerbit Angkasa.
Surrency, D. 1993. Evaluation of Aquatic Plants for Constructed
Wetlands. Dalam Constructed for Water Quality
Improvement. Moshiri, G. (ed). Boca Raton: Lewis
Publishers.
Tangahu, B.V. dan Warmadewanthi, I. D. A. A. 2001. “Pengolahan
Limbah Rumah Tangga dengan Memanfaatkan Tanaman
Cattail (Typha angustifolia) dalam Sistem Constructed
Wetland”. Purifikasi 2, 3.
Tangahu, B.V., et al. 2010. “Range Finding Test of Lead (Pb) on
Scirpus grossus and Measurement of Plant Wet-Dry
Weight as Preliminary Study of Phytotoxicity”. Regional
Engineering Postgraduate Conference (EPC). Universiti
Kebangsaan Malaysia.
Titiresmi dan Nida, S. 2006. “Teknologi Biofilter untuk Pengolahan
Limbah Ammonia. Jurnal Teknik Lingkungan 7, 2:173179.
Toet, S., Logtestijin, R. S. P. V., Schreijer, M., Kampf, R., dan
Vergoeven, J. T. A. 2005. “Potential Denitrification in
Wetland Sediments with Different Plant Species Detritus.
Ecol. Eng. 14:17-32.
US Environmental Protection Agency. 1993. Subsurface Flow
Constructed Wetlands for Wastewater Treatment, A
129
Technology Assesment. USA: Office of Water Environmental Protection Agency (EPA).
USDA. 2010. “Keys to Soil Taxonomy, Soil Survey Staff”. Natural
Resource Conservation Service. Eleventh ed. US
Agriculture Department.
Vretare, V., Weisner, S. E. B., Strand, J. A., dan Graneli, W.
“Phenotypic Plasticity in Phragmites australis as a
Functional Response to Water Depth. Aquatic Botany
69:127-145.
Vymazal, J. 2006. “Constructed Wetlands with Emergent
Macrophytes: from Experiments to a High Quality
Treatment Technology”. Proceedings of the 10th
International Conference on Constructed Wetlands for
Water Pollution Control: 3-27. Lisbon, Portugal:
MAOTDR.
Vymazal, J. 2007. “Removal of Nutrients in Various Types of
Constructed Wetlands”. Sci. Total Environ. 380, 1-3:4865.
Vymazal, J. 2009. “The Use Constructed Wetlands with Horizontal
Sub-Surface Flow for Various Types of Wastewater.
Ecological Engineering 35, 1:1-17.
Vymazal, J. 2010. “Review: Constructed Wetlands for Wastewater
Treatment”. Water 2: 530-549.
Vymazal, J. dan Kropfelova, L. 2008. “Wastewater Treatment in
Constructed Wetlands with Horizontal Subsurface Flow”.
USA: Springer.
Vymazal, J. 2013. “The Use of Hybrid Constructed Wetlands for
Wastewater Treatment with Special Attention to Nitrogen
Removal: a Review of a Recent Development”. Water
Research 47, 14:4795-4811.
Wantasen, S. 2015. “Transformasi Nitrogen di Outlet Saluran
Irigasi Daerah Aliran Sungai Tondano. Saiteknol 13, 1:6170.
Warrington, P. 1994. Collecting and Preserving Aquatic Plants.
<http://www.ilmb.gov.bc.ca/risc/odocs/aquatic/collect/colle
cthtm-28.htm>.
130
Weed Science Society of America. 2010. Invasise Plant Fact
Sheet-Actinoscirpus
grossus.
<URL:
http://agprime.com/Weeds/Invasive/FactSheets/>.
Wood, A. 1993. Constructed Wetland for Wastewater
Treatment Engineering and Design Consideration.
U.K.: Pergamon press.
Xinshan, S., Qin, L., dan Denghua, Y. 2010. “Nutrient Removal by
Hybrid Subsurface Constructed Wetlands for High
Concentration Ammonia Nitrogen Wastewater”. Procedia
Environmental Sciences 2:1461-1468.
Zhang, X., Inoue, T., Kato, K., Harada, J., Izumoto, H., Wu, D.,
Sakuragi, H. Ietsugu, H., dan Sugawara, Y. 2016.
“Performance of Hybrid Subsurface Constructed Wetland
System for Piggery Wastewater Treatment”. Water
Science Technology 73, 1:13-20.
131
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
132
Typha angustifolia
Jumlah
Daun
2
3
4
4
5
5
5
6
Umur
Tumbuhan
(minggu)
1
2
3
4
5
6
7
8
0,9
0,8
0,5
1
0,8
0,6
0,4
0,3
Lebar
Daun
(cm)
128
107
79,2
70,2
62,7
48
16,7
14,7
Panjang
Daun
(cm)
12
13
8,8
5,8
7,3
5
3,3
2,8
Panjang
Batang
(cm)
3
3
2,4
1,6
1
0,7
0,6
0,3
Diameter
Batang
(cm)
19,5
13,8
13
18
5,6
11,5
3,9
8,5
Panjang
Akar
(cm)
Data Pertumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus pada Tahap Propagasi
Jenis Tumbuhan
A.
LAMPIRAN A
DATA HASIL PENELITIAN
140
120
88
76
70
53
20
17,5
133
Tinggi
Tumbuhan
(cm)
[Panjang
Daun +
Panjang
Batang]
Jenis Tumbuhan
Scirpus grossus
134
Umur
Tumbuhan
(minggu)
Jumlah
Daun
Lebar
Daun
(cm)
Panjang
Daun
(cm)
Panjang
Batang
(cm)
Diameter
Batang
(cm)
Panjang
Akar
(cm)
Tinggi
Tumbuhan
(cm)
[Panjang
Daun +
Panjang
Batang]
1
4
0,5
13,8
2,7
0,5
4
16,5
2
5
0,7
24,5
3,6
0,6
5
28,1
3
5
0,8
43,1
3,6
0,7
12
46,7
4
5
0,7
53,2
5,4
0,6
16
58,6
5
7
1
74,3
8
0,8
20
82,3
6
10
1,2
97
5,5
1
19
102,5
7
10
1,34
113,64
6,06
1,1
22
119,7
8
10
1,48
130,28
6,62
1,2
25
136,9
2
1
0
Hari ke-
1 tumbuhan
kuning, 2
tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning dan
segar
Warna daun
hijau segar
dan tidak
ada tunas
1 tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning, 2
tumbuhan
hijau dan
segar
0; 0
Warna daun
hijau segar
dan tidak
ada tunas
1 tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning, 2
tumbuhan
hijau dan
segar
1 tumbuhan
kuning dan
kering, 2
tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning dan
segar
10; 3,33
Warna daun
hijau segar
dan tidak
ada tunas
1 tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning, 2
tumbuhan
hijau dan
segar
1 tumbuhan
kuning dan
kering, 2
tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning dan
segar
2 tumbuhan
kuning dan
kering, 1
tumbuhan
daunnya
sedikit kuning
dan segar
1 tumbuhan
daunnya
sedikit kuning,
2 tumbuhan
hijau dan
segar
Warna daun
hijau segar
dan tidak ada
tunas
Warna daun
hijau segar
dan tidak
ada tunas
1 tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning, 2
tumbuhan
hijau dan
segar
2 tumbuhan
kuning dan
kering, 1
tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning dan
segar
3 tumbuhan
daunnya
sedikit kuning
dan segar
2 tumbuhan
daunnya
sedikit kuning,
1 tumbuhan
hijau dan
segar
Warna daun
hijau segar
dan tidak ada
tunas
Karakteristik Typha angustifolia
Konsentrasi Amonium; Konsentrasi Fosfat (mg/L)
25; 8,33
100; 33,33
250; 83,33
500; 166,67
B. Data Perubahan Kondisi Fisik Tumbuhan Selama RFT
3 tumbuhan
daunnya
kuning dan
segar
3 tumbuhan
hijau dan
segar
Warna daun
hijau segar
dan tidak
ada tunas
750; 250
135
3 tumbuhan
daunnya kuning
dan segar
3 tumbuhan
hijau dan segar
Warna daun
hijau segar dan
tidak ada tunas
1000; 333,33
3
1 tumbuhan
kuning, 2
tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning dan
segar
4 hingga
5
1 tumbuhan
kuning dan
kering, 2
tumbuhan
daunnya
kuning dan
segar
6 hingga
13
136
1 tumbuhan
kuning dan
kering, 2
tumbuhan
daunnya
kuning dan
segar
1 tumbuhan
kuning dan
kering, 2
tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning dan
segar
1 tumbuhan
kuning dan
kering, 2
tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning dan
segar
1 tumbuhan
kuning dan
kering, 2
tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning dan
segar
1 tumbuhan
kuning dan
kering, 2
tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning dan
segar
2 tumbuhan
kuning dan
kering, 1
tumbuhan
daunnya
sedikit kuning
dan segar
2 tumbuhan
kuning dan
kering, 1
tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning dan
segar
3 tumbuhan
daunnya
sedikit kuning
dan segar
3 tumbuhan
daunnya
kuning dan
segar
3 tumbuhan
daunnya kuning
dan segar
1 tumbuhan
mati, 2
tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning dan
segar
1 tumbuhan
mati, 1
tumbuhan
kuning dan
kering, dan 1
tumbuhan
kekuningan
segar
2 tumbuhan
mati, 1
tumbuhan
kuning segar
3 tumbuhan
daunnya
kekuningan
dan segar
3 tumbuhan
daunnya
kuning dan
kering
3 tumbuhan
daunnya kuning
dan kering
1 tumbuhan
mati, 2
tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning dan
segar
1 tumbuhan
mati, 1
tumbuhan
kuning dan
agak kering, 1
tumbuhan
kuning dan
segar
2 tumbuhan
mati, 1
tumbuhan
kuning dan
segar
3 tumbuhan
daunnya
kuning, segar,
dan tumbuh 1
tunas
3 tumbuhan
mati
3 tumbuhan
mati
14
1 tumbuhan
mati, 2
tumbuhan
daunnya
kuning dan
segar,
tumbuh 2
tunas
1 tumbuhan
mati, 2
tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning dan
segar
1 tumbuhan
mati, 2
tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning dan
segar
1 tumbuhan
mati, 1
tumbuhan
kuning dan
kering, dan 1
tumbuhan
kuning dan
segar
2 tumbuhan
mati, 1
tumbuhan
kuning dan
segar
3 tumbuhan
daunnya
kuning, segar,
dan tumbuh 1
tunas
3 tumbuhan
mati
3 tumbuhan
mati
137
Karakteristik Scirpus grossus
Kadar Amonium (mg/L)
Hari ke-
0
10
25
100
250
500
750
1000
166,67
250
333,33
Warna
daun hijau
segar dan
tidak ada
tunas
Warna
daun hijau
segar dan
tidak ada
tunas
Warna daun
hijau segar
dan tidak ada
tunas
1 tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning, 2
tumbuhan
hijau dan
kering
3
tumbuhan
daunnya
kuning dan
kering
3 tumbuhan
daunnya
kuning dan
kering
Kadar Fosfat (mg/L)
0
3,33
8,33
Warna
daun hijau
segar dan
tidak ada
tunas
Warna
daun hijau
segar dan
tidak ada
tunas
Warna daun
hijau segar
dan tidak
ada tunas
1
tumbuhan
batangnya
sedikit
kuning, 2
tumbuhan
hijau dan
kering
2
tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning, 1
tumbuhan
hijau dan
kering
1 tumbuhan
batangnya
sedikit
kuning, 2
tumbuhan
hijau dan
kering
33,33
83,33
Warna
daun hijau
segar dan
tidak ada
tunas
1
tumbuhan
batangnya
sedikit
kuning, 2
tumbuhan
hijau dan
kering
Warna
daun hijau
segar dan
tidak ada
tunas
1
tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning, 2
tumbuhan
hijau dan
kering
0
1
138
4
hingga
5
2
hingga
3
Hari ke-
1
tumbuhan
mati, 2
tumbuhan
kuning dan
kering
2
tumbuhan
kuning dan
kering, 1
tumbuhan
daunnya
3,33
2
tumbuhan
kuning dan
kering, 1
tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning dan
segar
0
3
tumbuhan
kuning dan
kering
10
0
1 tumbuhan
mati, 2
tumbuhan
kuning dan
kering
3 tumbuhan
kuning dan
kering
8,33
25
250
1
tumbuhan
mati, 2
tumbuhan
kuning dan
kering
3
tumbuhan
kuning dan
kering
33,33
2
tumbuhan
kuning dan
kering, 1
tumbuhan
daunnya
83,33
2
tumbuhan
kuning dan
kering, 1
tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning dan
segar
Kadar Fosfat (mg/L)
100
Kadar Amonium (mg/L)
1 tumbuhan
kuning dan
kering, 2
tumbuhan
daunnya
sedikit
3 tumbuhan
daunnya
kuning dan
kering
333,33
1000
139
3 tumbuhan
3 tumbuhan
daunnya
daunnya kuning
kuning dan
dan kering
kering
3
tumbuhan
daunnya
kuning dan
kering
1 tumbuhan
kuning dan
kering, 2
tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning dan
segar
750
250
500
166,67
Karakteristik Scirpus grossus
Karakteristik Scirpus grossus
Kadar Amonium (mg/L)
Hari ke-
0
10
25
100
250
500
750
1000
83,33
sedikit
kuning dan
segar
2
tumbuhan
kuning dan
kering, 1
tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning dan
segar
166,67
kuning dan
segar
250
333,33
1 tumbuhan
kuning dan
kering, 2
tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning dan
segar
3
tumbuhan
daunnya
kuning dan
kering
3 tumbuhan
daunnya
kuning dan
kering
1
tumbuhan
mati, 1
1 tumbuhan
kuning dan
kering, 2
1
tumbuhan
mati, 2
2 tumbuhan
mati, 1
tumbuhan
Kadar Fosfat (mg/L)
0
6
hingga
7
1
tumbuhan
mati, 2
tumbuhan
kuning dan
kering
3,33
sedikit
kuning dan
segar
2
tumbuhan
kuning dan
kering, 1
tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning dan
segar
8,33
33,33
1 tumbuhan
mati, 2
tumbuhan
kuning dan
kering
1
tumbuhan
mati, 2
tumbuhan
kuning dan
kering
1 tumbuhan
mati, 2
tumbuhan
1
tumbuhan
mati, 2
8
hingga
14
1
tumbuhan
mati, 2
140
2
tumbuhan
kuning dan
Hari ke-
10
3,33
kering, 1
tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning dan
segar
0
0
tumbuhan
kuning dan
kering
8,33
kuning dan
kering
25
250
33,33
tumbuhan
kuning dan
kering
83,33
tumbuhan
kuning dan
kering, 1
tumbuhan
sedikit
kuning dan
segar
Kadar Fosfat (mg/L)
100
Kadar Amonium (mg/L)
500
166,67
tumbuhan
daunnya
sedikit
kuning dan
segar
Karakteristik Scirpus grossus
250
tumbuhan
daunnya
kuning dan
kering
750
333,33
daunnya
kuning dan
kering
1000
141
C. Hasil Analisis Temperatur
a. HRT 1 Hari
Waktu
Pemaparan
(hari
setelah
tanam)
1
Reaktor
Influen
(oC)
28
Kontrol
(oC)
Typha angustifolia
(oC)
Scirpus grossus( oC)
Mixed Plants (oC)
VSSF
HSSF
VSSF
HSSF
VSSF
HSSF
VSSF
HSSF
28
27,5
29
27,5
29
28
28
27
2
32
33
28
32,5
27
32,5
27
33
27,5
3
28
28,5
28,5
28
28,5
28
29
29
29
4
29
28
28
28,5
28
28,5
28
29,5
28
5
28
27,5
29
29
29
29
29
29
27
6
29,5
28,5
28
28,5
30
28,5
30
26
29,5
7
31,5
30,5
30
30
29
30,5
30
29
28
14
28,5
31,5
28
29,5
28,5
30,5
28,5
30,5
26
21
29,5
28,5
26,5
31,5
26
31,5
25
30
26
28
29
30,5
29
27
29
27
27
29
27,5
Rata-Rata
29
29
28
29
28
30
28
29
28
142
30,5
29,5
30
24
27
30
31
31
21
Rata-Rata
32
12
30,5
29
9
18
31,5
6
15
32
30,5
3
Influen
(oC)
Waktu
Pemaparan
(hari setelah
tanam)
b. HRT 3 Hari
30
29
29
30
30
29
31
31,5
30,5
31
32,5
VSSF
30
28,5
28
29,5
30
27
30
30,5
29
30,5
32,5
HSSF
Kontrol (oC)
30
29,5
29,5
28
27
29
31
31,5
30,5
31,5
33
VSSF
30
28
28
29
29
29
30,5
30,5
31
31,5
32
HSSF
Typha angustifolia (oC)
28
27
28
27,5
26
28
28,5
28,5
30
28,5
28,5
VSSF
28
27
27
27
27,5
27
28
26,5
30
30
28,5
HSSF
Scirpus grossus (oC)
Reaktor
28
27,5
27,5
27
27
26
28,5
27,5
28
31
29
VSSF
143
29
27
27,5
28
27,5
30
28,5
28
30,5
31
29
HSSF
Mixed Plants (oC)
D. Hasil Analisis pH
a. HRT 1 Hari
Waktu
Pemaparan
(hari setelah
tanam)
Influen
1
7,4
VSSF
8,1
2
7,2
3
Reaktor
Kontrol
Typha angustifolia
Scirpus grossus
HSSF
8,3
VSSF
7,9
HSSF
7,8
VSSF
7,7
HSSF
7,4
VSSF
7,6
HSSF
7,8
7,7
8
7,3
7,4
7,7
7,2
7,4
7,3
7,1
7,4
8,1
7,5
7,5
7,5
7,5
7,5
7,5
4
7,1
7,9
8,1
7,5
7,3
7,5
7,2
7,8
7,5
5
6,9
7,8
8,5
7,3
7,4
7,5
7,4
7,4
7,3
6
7
7,6
8,2
7,8
7,3
7,6
7,5
7,5
7,4
7
7,3
7,9
8
7,5
7
7,7
7,1
7,4
7,2
14
6,4
8,1
7,8
7,2
7,1
7,3
7,1
7,3
7
21
5,6
7,2
7,5
7,2
7,3
7,5
7,4
7,5
7,4
28
6
7,7
7,3
7,2
7,5
7,1
8
7,1
7,7
Rata-Rata
7
8
8
7
7
8
7
7
7
144
Mixed Plants
6,2
5,6
6,8
18
21
24
7
5,8
15
Rata-Rata
6,8
12
7
6,5
9
6,5
6,8
6
30
7,3
3
27
Influen
Waktu Pemaparan
(hari setelah
tanam)
b. HRT 3 Hari
8
7,5
7,4
7,3
7,4
7,3
7,6
7,5
8,1
7,6
7,7
VSSF
7
6,9
7,3
7,1
7,4
6,9
7,7
7
7,1
7,3
7,3
HSSF
Kontrol
7
7,3
7,3
7,2
7,5
6,8
7,4
7,3
7,3
7,9
7,4
VSSF
7
7
7,2
7,2
7
7,1
7,8
7,3
7,7
7
7
HSSF
Typha angustifoli
8
7,5
7,7
7,4
7,6
7,6
7,5
7,7
7,9
8
7,9
VSSF
7
7,1
7,2
7,3
7,1
7,1
7,4
7,4
7,1
7,4
7,7
HSSF
Scirpus grossus
Reaktor
7
7,4
7,3
7,1
7
7,1
7,8
7,4
7
7,5
7,4
VSSF
145
7
7,1
6,9
7
6,8
7
7,8
7
7,2
7,4
7,4
HSSF
Mixed Plants
E. Hasil Analisis DO
a. HRT 1 Hari
Waktu Pemaparan
(hari setelah tanam)
146
DO
Influen
(mg/L)
DO (mg/L) Reaktor
Kontrol
Typha angustifoli
Scirpus grossus
Mixed Plants
VSSF
HSSF
VSSF
HSSF
VSSF
HSSF
VSSF
HSSF
1
5,6
3,4
2,2
4,2
2,6
4,6
3,0
3,2
1,2
2
4,2
4,4
2,1
3,2
1,4
3,2
1,4
3,6
1,8
3
4,4
3,4
2,0
1,9
3,1
2,4
3,4
2,6
1,6
4
5,1
3,6
2,2
3,8
1,7
2,2
2,2
1,7
3,7
5
4,3
4,0
2,9
3,2
2,0
3,1
1,5
3,5
1,6
6
5,8
4,1
3,8
2,5
3,2
5,0
4,7
2,6
3,3
7
5,8
5,1
4,4
3,3
4,7
5,1
3,3
1,0
3,5
14
6,2
4,9
4,3
4,6
4,4
1,3
0,9
1,7
2,5
21
4,6
2,6
2,3
2,8
1,8
3,5
1,7
1,9
1,9
28
4,2
3,4
3,0
2,8
3,5
4,8
1,5
1,7
2,1
Rata-Rata
5,0
3,9
2,9
3,2
2,8
3,5
2,4
2,4
2,3
Rata-Rata
30
27
24
21
18
15
12
9
6
3
Waktu Pemaparan
(hari setelah tanam)
b. HRT 3 Hari
4,7
5,0
4,6
4,5
4,9
5,1
4,6
4,1
5,3
4,7
4,5
DO Influen
(mg/L)
3,3
3,1
3,8
3,2
4,5
3,5
2,5
2,8
3,5
3,7
2,6
2,3
2,3
2,2
1,7
3,8
1,9
2,3
2,3
2,4
2,0
1,8
Kontrol
VSSF HSSF
3,1
2,8
3,5
3,6
3,5
3,2
3,7
2,8
3,2
2,4
2,2
2,0
1,7
1,6
2,1
1,9
1,9
2,7
2,4
1,4
1,7
2,5
3,5
3,6
3,5
3,8
4,3
3,6
4,1
3,9
3,3
2,3
2,8
2,5
2,5
2,9
2,8
2,9
2,2
2,7
2,0
2,9
1,9
1,7
DO (mg/L) Reaktor
Typha angustifoli Scirpus grossus
VSSF
HSSF
VSSF
HSSF
2,7
2,9
3,3
3,9
3,0
2,1
3,1
2,8
2,0
1,9
2,0
147
2,2
1,9
2,5
2,9
2,4
2,3
2,4
1,8
2,2
1,6
1,6
Mixed Plants
VSSF HSSF
F. Hasil Uji Korelasi antara pH dengan Presentase Efisiensi
Dekonsentrasi Nutrien
Nilai
Nilai
Reaktor
Reaktor
Korelasi (r)
Korelasi (r)
Amonium
K1
K3
VSSF
0,07199
VSSF
0,47337
HSSF
-0,49026
HSSF
-0,10009
Ta1
Ta3
VSSF
0,61400
VSSF
0,10517
HSSF
-0,71075
HSSF
0,23035
Sg1
Sg3
VSSF
0,80011
VSSF
0,32847
HSSF
0,23782
HSSF
-0,85032
MP1
MP3
VSSF
0,30797
VSSF
0,26636
HSSF
-0,14644
HSSF
0,25132
Nitrat
K1
K3
VSSF
0,44863
VSSF
0,30140
HSSF
0,36419
HSSF
-0,18533
Ta1
Ta3
VSSF
0,41865
VSSF
0,69688
HSSF
-0,18806
HSSF
0,01143
Sg1
Sg3
VSSF
0,17564
VSSF
0,86172
HSSF
-0,48971
HSSF
0,61021
MP1
VSSF
148
MP3
-0,01244
VSSF
-0,00393
Reaktor
HSSF
Nilai
Korelasi (r)
0,44753
Reaktor
HSSF
Nilai
Korelasi (r)
0,64312
Fosfat
K1
K3
VSSF
-0,06992
VSSF
-0,19305
HSSF
0,22090
HSSF
-0,10257
Ta1
Ta3
VSSF
0,54628
HSSF
-0,05832
Sg1
VSSF
-0,17169
HSSF
-0,60666
Sg3
VSSF
0,17410
VSSF
0,21997
HSSF
0,03324
HSSF
-0,47373
MP1
MP3
VSSF
0,62253
VSSF
-0,45928
HSSF
0,12733
HSSF
-0,41611
G. Hasil Uji Korelasi antara Temperatur dengan Presentase
Efisiensi Dekonsentrasi Nutrien
Nilai
Nilai
Reaktor
Reaktor
Korelasi (r)
Korelasi (r)
Amonium
K1
K3
VSSF
-0,29313
VSSF
0,65093
HSSF
0,02749
HSSF
-0,50855
Ta1
Ta3
VSSF
0,04064
HSSF
0,37083
Sg1
VSSF
VSSF
0,39956
HSSF
-0,70363
Sg3
0,32614
VSSF
0,26735
149
Reaktor
HSSF
Nilai
Korelasi (r)
0,26494
MP1
Reaktor
HSSF
Nilai
Korelasi (r)
-0,57125
MP3
VSSF
0,05008
VSSF
0,59021
HSSF
-0,24015
HSSF
0,10288
Nitrat
K1
K3
VSSF
0,04699
HSSF
-0,65007
Ta1
VSSF
0,55702
HSSF
-0,10470
Ta3
VSSF
-0,32145
VSSF
0,72771
HSSF
-0,13165
HSSF
0,12531
Sg1
Sg3
VSSF
-0,40691
VSSF
0,60764
HSSF
1,00000
HSSF
-0,27752
MP1
MP3
VSSF
-0,11226
VSSF
0,16516
HSSF
0,05708
HSSF
0,51006
Fosfat
K1
K3
VSSF
0,51663
VSSF
-0,60869
HSSF
0,50999
HSSF
0,40495
Ta1
Ta3
VSSF
0,31718
VSSF
0,69851
HSSF
0,30863
HSSF
-0,61434
Sg1
150
Sg3
VSSF
-0,21602
VSSF
0,37418
HSSF
0,12094
HSSF
-0,20999
Reaktor
Nilai
Korelasi (r)
MP1
Reaktor
Nilai
Korelasi (r)
MP3
VSSF
0,06558
VSSF
0,32424
HSSF
-0,02948
HSSF
-0,49332
H. Hasil Uji Korelasi antara Dissolved Oxygen dengan
Presentase Efisiensi Dekonsentrasi Nutrien
Nilai
Nilai
Reaktor
Reaktor
Korelasi
Korelasi
Amonium
K1
K3
VSSF
-0,16207
VSSF
-0,27005
HSSF
0,67751
HSSF
0,11356
Ta1
Ta3
VSSF
0,07675
VSSF
-0,21837
HSSF
0,08425
HSSF
-0,11975
Sg1
Sg3
VSSF
-0,13166
VSSF
-0,12178
HSSF
0,28069
HSSF
0,69669
MP1
MP3
VSSF
0,46713
VSSF
-0,67735
HSSF
0,43995
HSSF
0,12859
Nitrat
K1
K3
VSSF
0,27681
VSSF
-0,09278
HSSF
-0,24704
HSSF
0,21848
Ta1
Ta3
VSSF
0,15376
VSSF
-0,83360
HSSF
0,21864
HSSF
-0,29757
151
Reaktor
Nilai
Korelasi
Sg1
Reaktor
Nilai
Korelasi
Sg3
VSSF
0,08440
VSSF
-0,62711
HSSF
1,00000
HSSF
-0,37143
MP1
MP3
VSSF
0,52558
VSSF
-0,52770
HSSF
0,30672
HSSF
-0,50103
Fosfat
K1
K3
VSSF
-0,08713
VSSF
0,60689
HSSF
0,38307
HSSF
0,05624
Ta1
Ta3
VSSF
0,03054
VSSF
-0,36521
HSSF
0,43622
HSSF
0,11391
Sg1
Sg3
VSSF
0,24816
VSSF
0,19664
HSSF
0,21552
HSSF
0,66929
MP1
I.
MP3
VSSF
0,45386
VSSF
-0,53117
HSSF
0,26319
HSSF
0,69606
Hasil Uji Regresi antara pH dengan Presentase Efisiensi
Dekonsentrasi Nutrien
Reaktor
Coefficients
Standard
t Stat
Error
Amonium
Pvalue
Lower
95%
Upper
95%
K1
VSSF
3,45
16,90
0,20
0,84
-35,51
42,41
HSSF
-34,55
21,72
-1,59
0,15
-84,64
15,53
54,02
24,55
2,20
0,06
-2,60
110,64
Ta1
VSSF
152
-80,49
Standard
Error
28,16
VSSF
104,02
27,57
3,77
0,01
40,44
HSSF
4764,65
6880,03
0,69
0,51
-11100,72
Reaktor
HSSF
Coefficients
-2,86
Pvalue
0,02
Lower
95%
-145,44
Upper
95%
-15,54
167,61
20630,0
3
t Stat
Sg1
MP1
VSSF
14,06
15,36
0,92
0,39
-21,36
49,49
HSSF
-86,54
206,67
-0,42
0,69
-563,13
390,05
K3
VSSF
29,76
19,58
1,52
0,17
-15,39
74,91
HSSF
-91,12
320,25
-0,28
0,78
-829,61
647,37
VSSF
7,40
24,73
0,30
0,77
-49,62
64,41
HSSF
26,98
40,29
0,67
0,52
-65,94
119,89
VSSF
28,73
29,21
0,98
0,35
-38,62
96,08
HSSF
-210,89
46,15
-4,57
0,00
-317,30
-104,47
VSSF
24,76
31,68
0,78
0,46
-48,29
97,81
HSSF
0,08
0,11
0,73
0,48
-0,17
0,33
Ta3
Sg3
MP3
Nitrat
K1
VSSF
105,68
74,43
1,42
0,19
-65,96
277,32
HSSF
31,53
28,51
1,11
0,30
-34,21
97,28
VSSF
199,41
152,93
1,30
0,23
-153,25
552,07
HSSF
-30,26
55,87
-0,54
0,60
-159,11
98,59
VSSF
109,96
217,89
0,50
0,63
-392,49
612,40
HSSF
-104,50
65,78
-1,59
0,15
-256,18
47,19
VSSF
-10,45
297,07
-0,04
0,97
-695,49
674,59
HSSF
64,22
45,37
1,42
0,19
-40,40
168,84
Ta1
Sg1
MP1
K3
VSSF
72,93
81,57
0,89
0,40
-115,17
261,03
HSSF
-61,46
115,23
-0,53
0,61
-327,18
204,25
Ta3
153
VSSF
230,28
Standard
Error
83,79
2,75
Pvalue
0,03
HSSF
2,13
65,99
0,03
0,97
-150,04
154,31
VSSF
355,51
74,01
4,80
0,00
184,84
526,17
HSSF
43,85
20,13
2,18
0,06
-2,56
90,26
VSSF
-0,89
80,15
-0,01
0,99
-185,71
183,92
HSSF
124,34
52,34
2,38
0,04
3,63
245,05
Reaktor
Coefficients
t Stat
Lower
95%
37,06
Upper
95%
423,50
Sg3
MP3
Fosfat
K1
VSSF
-0,08
0,40
-0,20
0,85
-1,01
0,85
HSSF
88,97
138,88
0,64
0,54
-231,28
409,21
Ta1
VSSF
7,08
3,84
1,84
0,10
-1,77
15,93
HSSF
-6,84
41,38
-0,17
0,87
-102,27
88,59
Sg1
VSSF
3,73
7,47
0,50
0,63
-13,49
20,96
HSSF
3,65
38,77
0,09
0,93
-85,75
93,04
MP1
VSSF
17,79
7,91
2,25
0,05
-0,44
36,03
HSSF
309,03
851,06
0,36
0,73
-1653,51
2271,56
K3
VSSF
-0,20
0,36
-0,56
0,59
-1,03
0,63
HSSF
-221,37
758,99
-0,29
0,78
-1971,61
1528,88
Ta3
VSSF
-0,87
1,76
-0,49
0,64
-4,92
3,19
HSSF
-122,97
56,97
-2,16
0,06
-254,35
8,41
Sg3
VSSF
0,18
0,28
0,64
0,54
-0,46
0,82
HSSF
-184,24
121,10
-1,52
0,17
-463,49
95,00
MP3
VSSF
-8,55
5,85
-1,46
0,18
-22,03
4,93
HSSF
-103,64
80,08
-1,29
0,23
-288,30
81,01
Keterangan: Bagian yang berwarna kuning merupakan hasil uji
regresi dengan P-value < 0,05
154
J. Hasil Uji Regresi antara Temperatur dengan Presentase
Efisiensi Dekonsentrasi Nutrien
Reaktor
Coefficients
Standard
t Stat
Error
Amonium
Pvalue
Lower 95%
Upper
95%
K1
VSSF
-2,22
2,56
-0,87
0,41
-8,13
3,69
HSSF
0,74
9,48
0,08
0,94
-21,12
22,59
VSSF
0,55
4,76
0,12
0,91
-10,43
11,53
HSSF
8,04
7,12
1,13
0,29
-8,37
24,44
Ta1
Sg1
VSSF
4,77
4,89
0,98
0,36
-6,50
16,04
HSSF
923,19
1187,93
0,78
0,46
-1816,17
3662,56
MP1
VSSF
0,24
1,67
0,14
0,89
-3,60
4,08
HSSF
-28,98
41,42
-0,70
0,50
-124,49
66,53
K3
VSSF
8,21
3,39
2,43
0,04
0,40
16,02
HSSF
-75,20
45,02
-1,67
0,13
-179,01
28,61
VSSF
4,24
3,44
1,23
0,25
-3,69
12,16
HSSF
-16,92
6,04
-2,80
0,02
-30,85
-2,99
Ta3
Sg3
VSSF
4,36
5,56
0,78
0,46
-8,46
17,19
HSSF
-22,18
11,27
-1,97
0,08
-48,16
3,80
VSSF
10,16
4,91
2,07
0,07
-1,17
21,50
HSSF
0,01
0,02
0,29
0,78
-0,05
0,06
MP3
Nitrat
K1
VSSF
1,75
13,16
0,13
0,90
-28,60
32,10
HSSF
-21,41
8,85
-2,42
0,04
-41,82
-1,01
VSSF
-23,46
24,43
-0,96
0,37
-79,80
32,88
HSSF
-4,05
10,79
-0,38
0,72
-28,94
20,83
-28,65
22,74
-1,26
0,24
-81,10
23,79
Ta1
Sg1
VSSF
155
-2,63
Standard
Error
13,09
-0,20
Pvalue
0,85
VSSF
-9,74
HSSF
1,67
30,49
-0,32
10,34
0,16
VSSF
27,04
HSSF
-5,64
14,25
1,90
18,94
-0,30
VSSF
HSSF
36,25
12,08
3,00
4,80
13,44
0,36
VSSF
46,78
21,62
2,16
HSSF
-3,12
3,82
-0,82
VSSF
6,94
14,64
HSSF
21,38
12,75
Reaktor
HSSF
Coefficients
-32,82
Upper
95%
27,55
0,76
-80,04
60,56
0,88
-22,18
25,53
0,09
-5,83
59,90
0,77
-49,32
38,04
0,02
8,39
64,10
0,73
-26,20
35,80
0,06
-3,07
96,62
0,44
-11,93
5,69
0,47
0,65
-26,83
40,70
1,68
0,13
-8,02
50,78
t Stat
Lower 95%
MP1
K3
Ta3
Sg3
MP3
Fosfat
K1
VSSF
0,09
0,05
1,71
0,13
-0,03
0,22
HSSF
78,14
46,60
1,68
0,13
-29,31
185,60
VSSF
0,63
0,67
0,95
0,37
-0,91
2,17
HSSF
6,92
7,55
0,92
0,39
-10,47
24,32
VSSF
-0,52
0,83
-0,63
0,55
-2,44
1,40
HSSF
2,31
6,70
0,34
0,74
-13,14
17,75
Ta1
Sg1
MP1
VSSF
0,19
1,04
0,19
0,86
-2,21
2,59
HSSF
-14,61
175,15
-0,08
0,94
-418,52
389,29
K3
VSSF
-0,13
0,06
-2,17
0,06
-0,26
0,01
HSSF
141,96
113,32
1,25
0,25
-119,36
403,28
Ta3
VSSF
0,53
0,19
2,76
0,02
0,09
0,98
HSSF
-25,57
11,61
-2,20
0,06
-52,34
1,21
0,06
0,05
1,14
0,29
-0,06
0,17
Sg3
VSSF
156
Reaktor
HSSF
Coefficients
-12,79
Standard
Error
21,05
-0,61
Pvalue
0,56
t Stat
Lower 95%
-61,32
Upper
95%
35,75
MP3
VSSF
1,12
1,15
0,97
0,36
-1,54
3,78
HSSF
-26,64
16,61
-1,60
0,15
-64,95
11,66
Keterangan: Bagian yang berwarna kuning merupakan hasil uji
regresi dengan P-value < 0,05
K. Hasil Uji Regresi antara Dissolved Oxygen dengan
Presentase Efisiensi Dekonsentrasi Nutrien
Reaktor
Coefficients
Standard
t Stat
Error
Amonium
Pvalue
Lower
95%
Upper
95%
K1
VSSF
-2,92
6,28
-0,46
0,65
-17,40
11,57
HSSF
18,52
7,11
2,61
0,03
2,13
34,92
Ta1
VSSF
2,10
9,65
0,22
0,83
-20,16
24,36
HSSF
78,49
23,58
3,33
0,01
24,12
132,87
Sg1
VSSF
-2,48
6,60
-0,38
0,72
-17,69
12,73
HSSF
1251,37
1512,83
0,83
0,43
-2237,23
4739,97
MP1
VSSF
4,45
2,97
1,49
0,17
-2,41
11,30
HSSF
68,34
49,32
1,39
0,20
-45,39
182,08
K3
VSSF
-6,58
8,29
-0,79
0,45
-25,71
12,55
HSSF
43,79
135,46
0,32
0,75
-268,57
356,16
VSSF
-8,03
12,69
-0,63
0,54
-37,28
21,22
HSSF
-9,71
28,46
-0,34
0,74
-75,35
55,93
VSSF
-3,53
10,18
-0,35
0,74
-27,01
19,94
HSSF
74,30
27,05
2,75
0,03
11,93
136,68
VSSF
-23,74
9,12
-2,60
0,03
-44,76
-2,72
HSSF
0,03
0,08
0,37
0,72
-0,15
0,21
Ta3
Sg3
MP3
Nitrat
157
Coefficients
Standard
Error
t Stat
Pvalue
Lower
95%
Upper
95%
VSSF
24,50
HSSF
-8,30
30,07
0,81
0,44
-44,85
93,85
11,51
-0,72
0,49
-34,83
18,24
VSSF
HSSF
22,80
51,79
0,44
0,67
-96,64
142,24
6,84
10,79
0,63
0,54
-18,05
31,73
VSSF
7,65
31,93
0,24
0,82
-65,98
81,28
HSSF
3,83
16,73
0,23
0,82
-34,76
42,42
VSSF
92,02
52,66
1,75
0,12
-29,42
213,47
HSSF
11,57
12,69
0,91
0,39
-17,70
40,84
VSSF
-8,70
33,01
-0,26
0,80
-84,82
67,42
HSSF
30,69
48,47
0,63
0,54
-81,08
142,46
VSSF
-144,02
33,74
-4,27
0,00
-221,83
-66,22
HSSF
-38,46
43,63
-0,88
0,40
-139,06
62,14
VSSF
-85,81
37,68
-2,28
0,05
-172,71
1,09
HSSF
-11,48
10,14
-1,13
0,29
-34,87
11,91
VSSF
-45,10
25,67
-1,76
0,12
-104,29
14,09
HSSF
-68,16
41,62
-1,64
0,14
-164,14
27,83
Reaktor
K1
Ta1
Sg1
MP1
K3
Ta3
Sg3
MP3
Fosfat
K1
VSSF
-0,04
0,15
-0,25
0,81
-0,39
0,31
HSSF
59,84
51,02
1,17
0,27
-57,81
177,50
VSSF
0,12
1,43
0,09
0,93
-3,16
3,41
HSSF
9,94
7,25
1,37
0,21
-6,78
26,67
VSSF
0,77
1,06
0,72
0,49
-1,68
3,22
HSSF
5,26
8,43
0,62
0,55
-14,17
24,70
Ta1
Sg1
MP1
VSSF
2,70
1,88
1,44
0,19
-1,62
7,03
HSSF
167,91
217,61
0,77
0,46
-333,90
669,72
158
Reaktor
Coefficients
Standard
Error
t Stat
Pvalue
Lower
95%
Upper
95%
K3
VSSF
0,24
0,11
2,16
0,06
-0,02
0,51
HSSF
51,41
322,70
0,16
0,88
-692,73
795,55
Ta3
VSSF
-0,96
0,87
-1,11
0,30
-2,97
1,04
HSSF
15,99
49,30
0,32
0,75
-97,70
129,67
0,05
111,94
0,09
43,94
0,57
2,55
0,59
0,03
-0,16
10,62
0,27
213,25
Sg3
VSSF
HSSF
MP3
VSSF
-3,73
2,10
-1,77
0,11
-8,57
1,12
HSSF
121,99
44,49
2,74
0,03
19,40
224,58
Keterangan: Bagian yang berwarna kuning merupakan hasil uji
regresi dengan P-value < 0,05
159
L. Hasil Uji Kruskal-Wallis antara Variabel Penelitian dengan
Efisiensi Dekonsentrasi Amonium
Descriptive Statistics
N
Mean
1 Hari
3 Hari
40 98.7005
40 99.8713
Jenis
Tumbuhan
40
Std.
Deviation
Minimum Maximum
4.38046
.11110
77.50
99.50
99.99
99.98
1.132
1
4
2.50
Ranks
Jenis Tumbuhan
1 Hari
3 Hari
N
Kontrol
10
27.65
Typha angustifolia
10
13.70
Scirpus grossus
10
19.65
Mixed Plants
10
21.00
Total
40
Kontrol
10
18.65
Typha angustifolia
10
18.20
Scirpus grossus
10
27.10
Mixed Plants
10
18.05
Total
40
Test Statisticsa,b
1 Hari
Chi-Square
df
Asymp. Sig.
7.211
3
.065
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Jenis
Tumbuhan
160
Mean Rank
3 Hari
4.273
3
.233
M. Hasil Uji Kruskal-Wallis antara Variabel Penelitian dengan
Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat
Descriptive Statistics
N
1 Hari
3 Hari
Jenis
Tumbuhan
Std.
Deviation
Mean
40 -69.4372
40 -67.9270
40
Minimum Maximum
129.85561
96.92133
-542.14
-320.03
61.05
103.52
1.132
1
4
2.50
Ranks
Jenis Tumbuhan
1 Hari
3 Hari
N
Mean Rank
Kontrol
10
21.20
Typha angustifolia
10
22.30
Scirpus grossus
10
17.00
Mixed Plants
10
21.50
Total
40
Kontrol
10
20.90
Typha angustifolia
10
20.80
Scirpus grossus
10
21.90
Mixed Plants
10
18.40
Total
40
Test Statisticsa,b
1 Hari
Chi-Square
df
Asymp. Sig.
1.242
3
.743
3 Hari
.484
3
.922
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Jenis
Tumbuhan
161
N. Hasil Uji Kruskal-Wallis antara Variabel Penelitian dengan
Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat
Descriptive Statistics
N
1 Hari
3 Hari
Jenis
Tumbuhan
Mean
Std. Deviation Minimum Maximum
40 99.5950
40 99.7968
40
.29961
.22709
98.34
98.68
99.99
99.99
1.132
1
4
2.50
Ranks
Jenis Tumbuhan
1 Hari
3 Hari
N
10
23.35
Typha angustifolia
10
14.20
Scirpus grossus
10
15.90
Mixed Plants
10
28.55
Total
40
Kontrol
10
25.50
Typha angustifolia
10
14.05
Scirpus grossus
10
24.40
Mixed Plants
10
18.05
Total
40
Test Statisticsa,b
1 Hari
Chi-Square
df
Asymp. Sig.
9.799
3
.020
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable:
Jenis Tumbuhan
162
Mean Rank
Kontrol
3 Hari
6.438
3
.092
O. Kurva Kalibrasi Amonium-Nitrogen
-
Penentuan Panjang Gelombang Analisis Amonium
Konsentrasi
(mg/L)
QP
Absorbansi
1,6
385
0,182
1,6
390
0,195
1,6
395
0,210
1,6
396
0,207
1,6
397
0,206
1,6
398
0,205
1,6
399
0,203
1,6
400
0,203
1,6
405
0,202
1,6
410
0,191
1,6
415
0,175
-
Kurva Kalibrasi Analisis Amonium
Digunakan panjang gelombang 395 nm sesuai dengan hasil
penentuan panjang gelombang optimum.
Konsentrasi
(mg/L)
Absorbansi
0
0
0,1
0,003
0,2
0,007
0,8
0,102
1
0,113
1,2
0,148
1,6
0,210
163
Absorbansi Amonium (A)
0,25
y = 0,1335x - 0,0102
R² = 0,9907
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0
-0,05
0,5
1
1,5
2
Konsentrasi Amonium (mg/L)
P. Kurva Kalibrasi Nitrat-Nitrogen
-
Penentuan Panjang Gelombang Analisis Nitrat-Nitrogen
Konsentrasi
QP
Absorbansi
(mg/L)
2
395
0,393
2
400
0,396
2
401
0,387
2
405
0,374
-
Kurva Kalibrasi Analisis Nitrat-Nitrogen
Digunakan panjang gelombang 400 nm sesuai dengan hasil
penentuan panjang gelombang optimum.
164
Konsentrasi
(mg/L)
0
Absorbansi
(A)
0
0,6
0,139
0,8
0,166
Absorbansi Nitrat (A)
Konsentrasi
(mg/L)
0
Absorbansi
(A)
0
1,2
0,269
1,4
0,302
1,6
0,355
1,8
0,386
0,45
0,4
0,35
0,3
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
y = 0,2167x + 0,0019
R² = 0,9975
0
-
0,5
1
1,5
Konsentrasi Nitrat (mg/L)
2
Q. Kurva Kalibrasi Fosfat
Penentuan Panjang Gelombang Analisis Fosfat
Konsentrasi
(mg/L)
1,8
QP
Absorbansi
640
0,376
1,8
645
0,385
1,8
650
0,391
1,8
655
0,362
1,8
660
0,350
165
-
Kurva Kalibrasi Analisis Fosfat
Digunakan panjang gelombang 650 nm sesuai dengan hasil
penentuan panjang gelombang optimum
Konsentrasi
(mg/L)
0
Absorbansi
0
0,05
0,041
0,1
0,050
0,2
0,071
0,4
0,110
0,6
0,176
0,8
0,218
1
0,261
1,2
0,314
1,4
0,334
Absorbansi Amonium (A)
0,25
y = 0,1335x - 0,0102
R² = 0,9907
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0
-0,05
0,5
1
1,5
2
Konsentrasi Amonium (mg/L)
R. Perhitungan Bulk Density Pasir untuk Range Finding
Test
1) Volume air yang dibutuhkan untuk 100 gram pasir menetes
pertama kali, yaitu 11, 7 mL.
166
2) Pasir yang digunakan untuk Range Finding Test seberat 3
kg.
3.000 𝑔𝑟𝑎𝑚
3) Volume air untuk Range Finding Test =
𝑥 11,7 𝑚𝐿
100 𝑔𝑟𝑎𝑚
4)
5)
4)
5)
6)
7)
= 350 mL
Perhitungan Kebutuhan Tumbuhan dalam Reaktor
𝑘𝑥𝑣
Konversi satuan mg/L ke mg/kg =
𝑤
Keterangan:
k = Konsentrasi air limbah
v = Volume air limbah
w = Berat pasir
Konsentrasi air limbah yang digunakan, yaitu 500 mg/L.
Volume air limbah saat RFT sebanyak 350 mL.
Pasir yang digunakan untuk Range Finding Test seberat 3
kg.
Volume air limbah untuk reaktor VSSF sebanyak 6,74 L.
Volume air limbah untuk reaktor HSSF sebanyak 5,58 L.
𝑚𝑔
8) Konversi satuan mg/L ke mg/kg hasil RFT=
500 𝐿 𝑥 350𝑚𝐿
3 𝑘𝑔
= 58,33 mg/kg
9) Kebutuhan tumbuhan pada reaktor VSSF
𝑚𝑔
500
𝑥 6 ,74 𝐿
𝑚𝑔
𝐿
58,33
=
𝑘𝑔 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛
Jumlah tumbuhan = 58 tumbuhan
10) Kebutuhan tumbuhan pada reaktor HSSF
𝑚𝑔
500
𝑥 5,58 𝐿
𝑚𝑔
𝐿
58,33
=
𝑘𝑔 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛
Jumlah tumbuhan = 48 tumbuhan
167
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
168
LAMPIRAN B
METODE ANALISIS PARAMETER
1. Analisis pH
a. Peralatan dan bahan:
1. pH meter digital Senz pH (Scientific)
2. Gelas beaker
3. Aquadest
b. Prosedur kerja analisis
1. Siapkan sampel sebanyak ±50 mL
2. Bersihkan bagian glass sensor pada pH meter digital
dengan aquadest, lalu keringkan dengan tisu
3. Ukur kadar pH sampel dengan pH meter digital hingga
bagian glass sensor tercelup sepenuhnya ke dalam
sampel dan tunggu angka pH meter berhenti berkedip
2. Analisis Suhu
a. Peralatan dan Bahan
1. Termometer dengan skala suhu sampai 100°C
b. Prosedur kerja analisis
1. Celupkan termometer ke dalam sampel dan biarkan 2
sampai 5 menit hingga termometer menunjukkan nilai
yang stabil.
2. Catat pembacaan skala termometer tanpa mengangkat
termometer lebih dulu dari air.
3. Analisis Dissolved Oxygen (DO)
a. Peralatan dan bahan:
1. DO-meter
2. Aquadest
b. Prosedur kerja analisis
1. Siapkan sampel sebanyak ±50 mL
2. Bersihkan bagian glass sensor pada DO-meter
dengan aquadest, lalu keringkan dengan tisu
169
3. Ukur kadar DO sampel dengan DO-meter hingga
bagian glass sensor tercelup sebagian ke dalam
sampel dan tunggu hingga angka pada layar berhenti
berkedip dan muncul kata “ready”.
4. Amonium (NH4+)
a. Peralatan dan bahan
1. Gelas ukur 100 mL
2. Labu Erlenmeyer 100 mL
3. NaOH 4 N
4. Garam Signet
5. Larutan Nessler
6. Spektrofotometer
b. Prosedur kerja analisis:
1) Encerkan sampel sesuai perkiraan konsentrasi
amonium pada sampel, setelah itu ambil 25 mL dan
masukkan kedalam labu Erlenmeyer 100 mL
2) Tambahkan 1 mL Nessler dan 1,25 mL Garam Signet
3) Diamkan selama 10 menit
4) Lakukan hal 1-3 pada aquadest sebagai blanko
5) Baca dengan spektrofotometer
6) Hitung kadar amonium pada sampel dengan rumus dari
kurva kalibrasi.
5. Nitrat (NO3-N)
Peralatan dan bahan
1. Labu Erlenmeyer 100 mL
2. Brucin Asetat 0,05 N
3. H2SO4 Pekat
4. Spektrofotometer
Prosedur kerja analisis:
1) Encerkan sampel sesuai perkiraan konsentrasi nitrat
pada sampel, setelah itu ambil 25 mL dan masukkan
kedalam labu Erlenmeyer 100 mL
2) Tambahkan 2 mL Brucin Asetat 0,05 N dan 4 mL H2SO4
Pekat
170
3)
4)
5)
6)
Diamkan selama 10 menit
Lakukan hal 1-3 pada aquadest sebagai blanko
Baca dengan spektrofotometer
Hitung kadar nitrat pada sampel dengan rumus dari
kurva kalibrasi.
6. Fosfat (NO3-N)
Peralatan dan bahan
1. Labu Erlenmeyer 100 mL
2. Larutan Ammonium Molybdate
3. Larutan SnCl2
4. Spektrofotometer
Prosedur kerja analisis:
1) Encerkan sampel sesuai perkiraan konsentrasi fosfat
pada sampel, setelah itu ambil 25 mL dan masukkan
kedalam labu Erlenmeyer 100 mL
2) Tambahkan 1 mL Ammonium Molybdate dan 2-3 mL
SnCl2 Pekat
3) Diamkan selama 7 menit
4) Lakukan hal 1-3 pada aquadest sebagai blanko
5) Baca dengan spektrofotometer
6) Hitung kadar fosfat pada sampel dengan rumus dari
kurva kalibrasi.
171
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
172
LAMPIRAN C
DOKUMENTASI
Reaktor Sebelum Diisi Media
Media Pasir
Vertical Flow CWs
Media Kerikil
Pengukuran Porositas Pasir
Horizontal Flow CWs
173
Analisis pH
Analisis Suhu
Analisis dengan menggunakan Spektrofotometer
174
BIOGRAFI PENULIS
Penulis merupakan putri kedua dari
pasangan Yusrial dan Murniati yang
lahir pada tanggal 24 Juni 1995 di
Bogor,
Jawa
Barat.
Penulis
mengenyam pendidikan dasar pada
tahun 2001-2007 di SDN Polisi 5
Bogor. Kemudian dilanjutkan di SMPN
7 Bogor pada tahun 2007-2010,
sedangkan pendidikan tingkat atas
dilalui di SMAN 5 Bogor dari tahun
2010-2013.
Penulis
kemudian
melanjutkan pendidikan S1 di Jurusan
Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik
Sipil dan Perencanaan, ITS, Surabaya
pada tahun 2013 dan terdaftar dengan
NRP 3313 100 111.
Selama perkuliahan, penulis aktif sebagai panitia di
berbagai kegiatan HMTL, wakil Divisi Syiar Tim Kerohanian Al
Kaun, dan asisten praktikum. Berbagai pelatihan dan seminar di
bidang Teknik Lingkungan (2013-2017) juga telah diikuti dalam
rangka untuk pengembangan diri. Di tahun 2016-2017, penulis
melakukan penelitian untuk Pekan Kreatitas Mahasiswa (PKM)
yang didanai DIKTI dengan topik yang hampir sama dengan tugas
akhir ini, yakni mengenai Hybrid Constructed Wetlands. Selain itu,
penulis pernah mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi
Akademik (PPA) periode 2013-2014, 2014-2015, dan 2017.
Penulis dapat dihubungi via email
[email protected] atau
[email protected].
175
176
Download