TUGAS AKHIR – RE 141581 DEKONSENTRASI NUTRIEN PADA LIMPASAN PERTANIAN DENGAN HYBRID CONSTRUCTED WETLANDS AFIFAH YUSRINA NRP 3313100111 Dosen Pembimbing Harmin Sulistiyaning Titah, ST., MT., PhD. DEPARTEMEN TEKNIK LINGKUNGAN Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2017 TUGAS AKHIR – RE 141581 DEKONSENTRASI NUTRIEN PADA LIMPASAN PERTANIAN DENGAN HYBRID CONSTRUCTED WETLANDS AFIFAH YUSRINA NRP 3313100111 Dosen Pembimbing Harmin Sulistiyaning Titah, ST., MT., PhD. DEPARTEMEN TEKNIK LINGKUNGAN Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2017 FINAL PROJECT – RE 141581 AGRICULTURAL RUNOFF NUTRIENT DECONCENTRATION WITH HYBRID CONSTRUCTED WETLANDS AFIFAH YUSRINA NRP 3313100111 Supervisor Harmin Sulistiyaning Titah, ST., MT., PhD. DEPARTMENT OF ENVIRONMENTAL ENGINEERING Faculty of Civil Engineering and Planing Sepuluh Nopember Institute and Technology Surabaya 2017 DEKONSENTRASI NUTRIEN PADA LIMPASAN PERTANIAN DENGAN SISTEM HYBRID CONSTRUCTED WETLANDS Nama Mahasiswa NRP Jurusan Dosen Pembimbing : Afifah Yusrina : 3313100111 : Teknik Lingkungan : Harmin Sulistiyaning Titah, ST., MT., PhD. ABSTRAK Sektor pertanian menjadi salah satu sektor penghasil air limbah terbesar dengan kandungan nutrien yang tinggi. Kadar nutrien yang tinggi dapat menyebabkan degradasi ekosistem akuatik dan penurunan kualitas air. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan melakukan phytotreatment menggunakan Hybrid Constructed Wetlands (HCWs). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat kemampuan dua spesies tumbuhan, yaitu Typha angustifolia dan Scirpus grossus, dalam dekonsentrasi nutrien pada limpasan pertanian, serta untuk menentukan efisiensi dekonsentrasi nutrien pada limpasan pertanian dengan menggunakan sistem HCWs. HCWs yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem VSSF dan HSSF yang disusun secara seri dan bertingkat. Reaktor berukuran 73 x 52 x 42 cm digunakan untuk kedua sistem tersebut. Reaktor diisi dengan dua jenis media, yaitu pasir sebagai media utama dan kerikil sebagai media penyangga. Secara kontinyu air limbah artifisial yang terbuat dari pupuk kimia dialirikan ke dalam reaktor. Jenis tumbuhan dan HRT digunakan sebagai variabel penelitian. Jenis tumbuhan divariasikan menjadi tiga kelompok, yaitu Typha angustifolia, Scirpus grossus, dan kombinasi keduanya (Mixed Plants), sedangkan variasi HRT yang digunakan adalah HRT 1 dan 3 hari. Penelitian dilakukan selama 30 hari dengan pengambilan sampel sebanyak sepuluh kali. Parameter sampel yang diukur adalah parameter utama, yaitu amonium, nitrat, dan fosfat, serta parameter monitor, yaitu pH, suhu, dan DO. i Tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus mampu bertahan hidup pada kondisi air limbah dengan konsentrasi amonium sebesar 500 mg/L dan fosfat sebesar 166,67 mg/L. Tumbuhan tidak memberikan pengaruh yang signifikan dalam dekonsentrasi nitrogen. Hasil uji phythotreatment menunjukkan efisiensi dekonsentrasi amonium tertinggi terjadi pada reaktor Kontrol HRT 1 hari dan reaktor Kontrol HRT 3 hari, yakni dengan efisiensi sebesar 99,99% dan 99,96%. Proses nitrifikasi menyebabkan kadar nitrat dalam reaktor meningkat sehingga efisiensi removal nitrat hanya sebesar 59,91% dan 144,70% yang terjadi pada reaktor Typha angustifolia HRT 1 hari dan Kontrol 3 hari. Tumbuhan memberikan pengaruh yang signifikan dalam dekonsentrasi fosfat pada HRT 1 hari. Efisiensi dekonsentrasi fosfat tertinggi terjadi pada reaktor Kontrol HRT 1 hari, yaitu sebesar 99,81% dan reaktor Typha angustifolia HRT 3, yaitu sebesar 99,93%. Kata kunci : HRT, Hybrid Constructed Wetlands, limpasan pertanian, nutrien, Scirpus grossus, Typha angustifolia ii AGRICULTURAL RUNOFF NUTRIENT DECONCENTRATION WITH HYBRID CONSTRUCTED WETLANDS SYSTEM Name of Student NRP Study Programme Supervisor : Afifah Yusrina : 3313100111 : Teknik Lingkungan : Harmin Sulistiyaning Titah, ST., MT., PhD. ABSTRACT Agriculture is one of the sectors that produces largest amount of wastewater with high nutrient content. High levels of nutrient in water can cause aquatic ecosystem and water quality degradation. Alternative that can be used to overcome these problems is using Hybrid Constructed Wetlands (HCWs). This study aims to determine the ability of Typha angustifolia and Scirpus grossus which used in the study to deconcentrate nutrient in agricultural runoff, as well as the efficiency of nutrient deconcentration in agricultural runoff using HCWs system. HCWs used in this study were VSSF and HSSF which arranged in series and stratified. The reactor size was 73 cm x 52 cm x 42 cm for both system. The reactor was filled with two types of medium, sand as main medium and gravel as buffer medium. Artificial wastewater, made from chemical fertilizer, was used in this study and flowed continously into the reactor. Plants species were Typha angustifolia, Scirpus grossus, and both of them as combination (Mixed Plants). Main HRT variation were 1 and 3 days. Research was done during 30 days with intake of samples as much nine times. Parameters measured are main parameter such as ammonium, nitrate, phosphat, and monitor parameters such as pH, temperature, and DO. Typha angustifolia and Scirpus grossus able to survive in the condition of wastewater with ammonium concentration is 500 mg/L of and phosphate is 166,67 mg/L. Plants didn’t give significant effect in nitrogen deconcentration. Phythotreatment test iii result showed that the highest ammonium deconcentration efficiency were in Control 1 day HRT and Control 3 days HRT reactor, which were 99,99% and 99,96%. Nitrification caused increasing of nitrate in all reactors so that the highest nitrate removal efficiency were just 59,91% and -144,70% which was happened in Typha angustifolia 1 day HRT and Control 3 days HRT reactors. Plants gave a significant effect in phosphate deconcentration on HRT 1 day. The highest phosphate deconcentration efficiency were in Control 1 days HRT and Typha angustifolia 3 days HRT reactor which were 99,81% and 99, 93%. Keyword(s) : agricultural runoff, HRT, Hybrid Constructed Wetlands, nutrient, Scirpus grossus, Typha angustifolia iv KATA PENGANTAR Assalamu’alaykum Warrahmatullahi Wabarakatuh Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat, ridho, dan pertolongan-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir yang berjudul “Dekonsentrasi Nutrien pada Limpasan Pertanian dengan Sistem Hybrid Constructed Wetlands”. Penulis menyampaikan terima kasih dan rasa hormat atas segala bantuan yang telah diberikan kepada: 1. 2. 3. 4. Ibu Harmin Sulistiyaning Titah, ST., MT., PhD., selaku dosen pembimbing tugas akhir yang telah memberi ilmu, masukan, dan pengarahan selama proses pembimbingan. Bapak Prof. Dr. Ir. Sarwoko Mangkoedihardjo, M.ScEs, Ibu Ipung Fitri Purwanti, ST., MT., PhD., dan Bapak Welly Herumurti, S.T., M.Sc., selaku dosen penguji yang memberikan masukan dan saran terhadap perbaikan tugas akhir. Bapak Adhi Yuniarto, ST., MT., PhD. selaku Kepala Departemen Teknik Lingkungan ITS atas dukungannya. Bapak Arseto Yekti Bagastyo, S.T., MT., M.Phil., PhD selaku dosen wali atas dukungannya. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan Laporan Tugas Akhir ini. Semoga laporan tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Wassalamual’aykum Warrahmatullahi Wabarakatuh Surabaya, Juli 2017 Penulis v “Halaman ini sengaja dikosongkan” vi DAFTAR ISI ABSTRAK ....................................................................................... i ABSTRACT .................................................................................. iii KATA PENGANTAR ...................................................................... v DAFTAR ISI ................................................................................. vii DAFTAR GAMBAR ....................................................................... ix DAFTAR TABEL ..........................................................................xiii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................xvii BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1 1.1 Latar Belakang .................................................................. 1 1.2 Perumusan Masalah ......................................................... 3 1.3 Tujuan Penelitian .............................................................. 4 1.4 Ruang Lingkup Penelitian ................................................. 4 1.5 Manfaat Penelitian ............................................................ 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................ 7 2.1 Karakteristik Limpasan Pertanian ..................................... 7 2.2 Karakteristik Nitrogen ....................................................... 8 2.4 Definsi Wetland ............................................................... 11 2.5 Definisi dan Karakteristik Constructed Wetlands ........... 12 2.6 Karakteristik Sistem Aliran Bawah Permukaan (SSF CWs) ............................................................................... 14 2.7 Karakteristik Horizontal Subsurface Flow Constructed .. 17 Wetland ........................................................................... 17 2.8 Karakteristik Vertical Flow Constructed Wetland ........... 18 2.9 Karakteristik Typha angustifolia ...................................... 19 2.10 Karakteristik Scirpus grossus ......................................... 21 2.11 Penelitian Terdahulu ....................................................... 23 BAB III METODE PENELITIAN ................................................... 29 3.1 Gambaran Umum ........................................................... 29 3.2 Kerangka Penelitian ........................................................ 29 3.3 Studi Literatur ................................................................. 29 vii 3.4 Ide Penelitian .................................................................. 30 3.5 Persiapan Alat dan Bahan .............................................. 32 3.6 Penelitian Pendahuluan .................................................. 36 3.7 Pelaksanaan Penelitian .................................................. 37 3.8 Analisis dan Pembahasan .............................................. 40 3.9 Penarikan Kesimpulan dan Saran ................................. 40 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................... 41 4.1 Penelitian Pendahuluan .................................................. 41 4.1.1 Tahap Propagasi Tumbuhan ................................ 41 4.1.2 Tahap Pembuatan Air Limbah.............................. 46 4.1.3 Tahap Range Finding Test ................................... 47 4.2 Uji Phythotreatment ........................................................ 50 4.3 Analisis Parameter Monitor............................................. 51 4.3.1 Analisis Temperatur ............................................. 51 4.3.2 Analisis pH............................................................ 55 4.3.3 Analisis Dissolved Oxygen (DO) .......................... 58 4.4 Penurunan Kandungan Senyawa Nitrogen .................... 61 4.4.1 Parameter Amonium sebagai Nitrogen (NH4+-N) . 61 4.4.2 Parameter Nitrat sebagai Nitrogen (NO3--N) ........ 73 4.4.3 Analisis Dekonsentrasi Nitrogen Berdasarkan HRT ..................................................................... 83 4.5 Penurunan Kandungan Fosfat sebagai Fosfor (PO43-) ... 87 4.5.1 Analisis Dekonsentrasi Fosfat Berdasarkan HRT . 97 4.6 Analisis Karakteristik Tumbuhan Setelah Uji Phytotreatment ............................................................... 97 4.6.1 Analisis Karakteristik Fisik Tumbuhan.................. 97 4.6.2 Analisis Biomassa Tumbuhan ............................ 103 4.7 Uji Statistik .................................................................... 108 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................... 121 5.1 Kesimpulan ................................................................... 121 5.2 Saran ............................................................................ 121 DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 123 BIOGRAFI PENULIS ................................................................. 175 viii DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3.4 Gambar 3.5 Gambar 3.6 Gambar 3.7 Gambar 3.8 Gambar 4.1 Daur Nitrogen pada Ekosistem Alami .................... 9 Horizontal Subsurface Constructed Wetland ....... 18 Vertical Subsurface Constructed Wetland ........... 19 Typha angustifolia ................................................ 21 Scirpus grossus .................................................... 22 Diagram Alir Kerangka Penelitian ........................ 32 Reaktor Propagasi Tumbuhan ............................. 33 Reaktor Range Finding Test ................................ 33 Reaktor Hybrid Constructed Wetlands ................. 34 Reaktor VSSF-CW ............................................... 35 Reaktor HSSF-CW ............................................... 35 Pupuk Calcium Ammonium Nitrat ........................ 37 Pupuk Super Fosfat (SP-36) ................................ 37 Tumbuhan Induk Typha angustifolia dan Scirpus grosssus ............................................................... 41 Gambar 4.2 Tunas Baru Tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grosssus .................................................. 42 Gambar 4.3 Pengukuran Tinggi Tumbuhan dan Lebar Daun .. 42 Gambar 4.4 Jumlah Daun Tumbuhan selama Tahap Propagasi .............................................................................. 43 Gambar 4.5 Ukuran Fisik Typha angsutifolia selama Tahap Propagasi ............................................................. 44 Gambar 4.6 Ukuran Fisik Scirpus grossus selama Tahap Propagasi ............................................................. 45 Gambar 4.7 Typha angustifolia dan Scirpus grossus untuk RFT dan Uji Phytotreatment ......................................... 46 Gambar 4.8 Susunan Reaktor Uji Phytotreatment .................... 50 Gambar 4.9 Sistem Overflow pada Reservoir Air Limbah ........ 51 Gambar 4.10 Temperatur Air Limbah pada Reaktor dengan HRT 1 Hari ....................................................................... 53 Gambar 4.11 Temperatur Air Limbah pada Reaktor dengan HRT ix 3 Hari .................................................................... 54 Gambar 4.12 pH Air Limbah pada Reaktor dengan HRT 1 Hari 56 Gambar 4.13 pH Air Limbah pada Reaktor dengan HRT 3 Hari 57 Gambar 4.14 DO Air Limbah pada Reaktor dengan HRT 1 Hari .............................................................................. 59 Gambar 4.15 DO Air Limbah pada Reaktor dengan HRT 3 Hari .............................................................................. 60 Gambar 4.16 Efisiensi Dekonsentrasi Amonium pada Reaktor dengan HRT 1 Hari .............................................. 68 Gambar 4.17 Efisiensi Dekonsentrasi Amonium pada Reaktor dengan HRT 3 Hari .............................................. 72 Gambar 4.18 Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat pada Reaktor dengan HRT 1 Hari............................................................ 79 Gambar 4.19 Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat pada Reaktor dengan HRT 3 Hari............................................................ 84 Gambar 4.20 Efisiensi Dekonsentrasi Amonium pada Reaktor dengan HRT 1 Hari dan 3 Hari ............................. 85 Gambar 4.21 Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat pada Reaktor dengan HRT 1 Hari dan 3 Hari .......................................... 86 Gambar 4.22 Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat pada Reaktor dengan HRT 1 Hari............................................................ 93 Gambar 4.23 Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat pada Reaktor dengan HRT 3 Hari............................................................ 99 Gambar 4.24 Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat pada Reaktor dengan HRT 1 Hari dan 3 Hari ........................................ 100 Gambar 4.25 Perbandingan Tinggi Tumbuhan pada Reaktor dengan HRT 1 Hari ............................................ 101 Gambar 4.26 Perbandingan Tinggi Tumbuhan dengan pada Reaktor HRT 3 Hari ............................................ 102 Gambar 4.27 Perbandingan Karakteristik Fisik Tumbuhan pada Reaktor HRT 1 Hari ............................................ 106 Gambar 4.28 Perbandingan Karakteristik Fisik Tumbuhan pada Reaktor HRT 3 Hari ............................................ 107 x Gambar 4.29 Typha angustifolia dan Scirpus grossus saat Pengukuran Berat Basah ................................... 108 Gambar 4.30 Typha angustifolia dan Scirpus grossus saat Pengukuran Berat Kering ................................... 108 Gambar 4.31 Hasil Pengukuran Berat Basah dan Berat Kering Tumbuhan pada Reaktor HRT 1 Hari ................ 109 Gambar 4.32 Hasil Pengukuran Berat Basah dan Berat Kering Tumbuhan pada Reaktor HRT 3 Hari ................ 110 Gambar 4.33 Grafik Histogram Variabilitas Data Amonium ..... 117 Gambar 4.34 Grafik Histogram Variabilitas Data Nitrat ........... 118 Gambar 4.35 Grafik Histogram Variabilitas Data Fosfat .......... 119 xi “Halaman ini sengaja dikosongkan” xii DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Kriteria Desain Constructed Wetlands – Emerge Plants ................................................................................... 14 Tabel 2.2 Efisiensi Penurunan Beberapa Komponen pada Sistem Constructed Wetlands ............................................... 14 Tabel 2.3 Karakteristik Media dalam SSF CWs ........................ 16 Tabel 2.4 Review Penelitian Terdahulu ..................................... 24 Tabel 3.1 Variasi Konsentrasi Range Finding Test ................... 38 Tabel 3.2 Variabel Penelitian .................................................... 38 Tabel 4.1 Jumlah Tumbuhan Survive Tiap Konsentrasi Setelah RFT ............................................................................ 49 Tabel 4.2 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Reaktor Kontrol HRT 1 Hari....................................... 63 Tabel 4.3 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Reaktor Typha angustifolia HRT 1 Hari..................... 65 Tabel 4.4 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Reaktor Scirpus grossus HRT 1 Hari ........................ 66 Tabel 4.5 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Reaktor Mixed Plants HRT 1 Hari ............................ 66 Tabel 4.6 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Reaktor Kontrol HRT 3 Hari...................................... 69 Tabel 4.7 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Reaktor Typha angustifolia HRT 3 Hari..................... 69 Tabel 4.8 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Reaktor Scirpus grossus HRT 3 Hari ...................... 70 Tabel 4.9 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Reaktor Mixed Plants HRT 3 Hari ............................ 71 Tabel 4.10 Konsentrasi dan Efisiensi Removal Nitrat Reaktor Kontrol HRT 1 Hari ................................................... 75 Tabel 4.11 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor Typha angustifolia HRT 1 Hari ................................. 75 xiii Tabel 4.12 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor Scirpus grossus HRT 1 Hari ................................... 766 Tabel 4.13 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor Mixed Plants HRT 1 Hari .......................................... 77 Tabel 4.14 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor Kontrol HRT 3 Hari ................................................. 800 Tabel 4.15 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor Typha angustifolia HRT 3 Hari .................................. 81 Tabel 4.16 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor Scirpus grossus HRT 3 Hari ..................................... 82 Tabel 4.17 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor Mixed Plants HRT 3 Hari ........................................ 822 Tabel 4.18 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor Kontrol HRT 1 Hari...................................... 89 Tabel 4.19 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor Typha angustifolia HRT 1 Hari.................. 900 Tabel 4.20 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor Scirpus grossus HRT 1 Hari ........................ 90 Tabel 4.21 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor Mixed Plants HRT 1 Hari ............................. 91 Tabel 4 22 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor Kontrol HRT 3 Hari .................................................. 944 Tabel 4.23 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor Typha angustifolia HRT 3 Hari................... 955 Tabel 4.24 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor Scirpus grossus HRT 3 Hari ...................... 955 Tabel 4.25 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor Mixed Plants HRT 3 Hari ............................. 96 Tabel 4 26 Nilai Growth Rate dan Relative Growth Rate Tumbuhan Hasil Uji Phytotreatment ........................................ 1033 Tabel 4.27 Hasil Uji Korelasi antara Parameter Monitor dengan Presentase Efisiensi Dekonsentrasi Nutrien ........... 113 Tabel 4.28 Hasil Uji Kruskal-Wallis antara Variabel Penelitian xiv dengan Presentase Efisiensi Dekonsentrasi Amonium ................................................................................. 120 Tabel 4.29 Hasil Uji Kruskal-Wallis antara Variabel Penelitian dengan Presentase Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat . 120 Tabel 4.30 Hasil Uji Kruskal-Wallis antara Variabel Penelitian dengan Presentase Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat 120 xv “Halaman ini sengaja dikosongkan” xvi DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN A DATA HASIL PENELITIAN ................................. 133 LAMPIRAN B METODE ANALISIS PARAMETER.................... 169 LAMPIRAN C DOKUMENTASI ................................................. 173 xvii “Halaman ini sengaja dikosongkan” xviii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang paling banyak menggunakan air di dalam kegiatannya, terutama untuk irigasi. Sekitar 70%, bahkan dalam beberapa kasus hingga 90%, kebutuhan air dunia digunakan untuk kegiatan irigasi (FAO, 2002). Sebagai sektor pengguna air terbanyak, kegiatan pertanian juga menjadi sumber pencemar air yang berupa residu bahan-bahan agrokimia pada limpasan (run off) yang mengalir menuju badan air (Pujiastuti et al., 2015). Dalam pengembangan bidang pertanian, aplikasi bahanbahan agrokimia seperti pupuk mengakibatkan sistem lahan sawah beririgasi berada pada kondisi yang kontradiktif. Di satu sisi, kebutuhan pangan terutama komoditi padi harus mampu dipenuhi oleh lahan, sedangkan di sisi lain, penggunaan pupuk mempunyai resiko adanya residu di saluran irigasi dan sungai yang dapat menyebabkan penurunan kualitas hingga potensi pencemaran air (Wantasen, 2015). Menurut Agustiningsih (2012), tidak semua pupuk terserap oleh akar tanaman, sebagian besar (70%) terlarut dalam air dan masuk ke sungai sebagai sumber polutan. Pada proses pemupukan, nitrogen dalam pupuk akan terurai menjadi amonia, nitrit dan nitrat, sedangkan fosfor dalam pupuk akan terurai menjadi fosfat. Limpasan air irigasi atau drainase yang mengandung nutrien-nutrien tersebut merupakan sumber kontaminan yang dapat membahayakan pengguna air sungai (Raouf et al., 2012). Kadar nitrogen dan fosfor yang tinggi di perairan dapat menyebabkan terjadinya toxic alga blooming, penurunan kadar oksigen, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Selain itu, kelimpahan nutrien dapat menimbulkan degradasi ekosistem akuatik dan penurunan kualitas air yang digunakan sebagai air minum, kebutuhan industri, pertanian, rekreasi, dan tujuan lainnya (Farenga, 2007). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengolahan pada limpasan pertanian agar tidak mencemari drainase, sungai, maupun air tanah. 1 Salah satu alternatif untuk mengolah air limbah pertanian dengan kadar nutrien tinggi adalah dengan menggunakan Constructed Wetlands (CWs). CWs merupakan suatu sistem rekayasa yang telah dirancang dan dibangun dengan memanfaatkan proses alam yang melibatkan tumbuhan, tanah, dan mikroba (Vymazal, 2006). Removal nitrogen pada sistem CWs berlangsung melalui beberapa proses, yaitu: (1) adsorpsi oleh tumbuhan; (2) transformasi nutrien menjadi senyawa anorganik oleh mikroorganisme akar; dan (3) proses fisik, seperti sedimentasi dan filtrasi (Ciria et al., 2005). Terdapat keuntungan dalam penggunaan CWs, yaitu biaya operasional murah, desainnya sederhana, konsumsi energi yang rendah, dan mudah dalam perawatan (Knight et al., 2000). CWs merupakan sistem pengolahan yang tepat untuk digunakan dalam menurunkan nutrien pada air limbah pertanian. Hal ini dikarenakan unsur nitrogen dan fosfor pada air limbah pertanian yang merupakan pupuk alami bagi tumbuhan (Danista, 2012). Jenis sistem CWs yang dapat menurunkan kadar berbagai kontaminan seperti nitrogen, fosfor, BOD, COD, logam tersuspensi, maupun patogen adalah sistem Subsurface Flow (SSF) (Lee, 2009). Berdasarkan pada arah aliran air, SSF CWs dibagi menjadi dua jenis, yaitu Vertical Subsurface Flow (VSSF) dan Horizontal Subsurface Flow (HSSF) (Lee, 2009). Sistem VSSF dapat memberikan kondisi yang menguntungkan untuk nitrifikasi, tetapi kurang menguntungkan untuk denitrifikasi (Cooper., 1999). Sementara itu, pada sistem HSSF, transformasi nitrogen berlangsung melalui proses denitrifikasi, volatilisasi, dan penyerapan oleh tumbuhan. Meski terjadi proses denitrifikasi, pada sistem HSSF terdapat keterbatasan dalam mereduksi nitrogen karena kadar oksigen yang kurang pada media. Kekurangan kadar oksigen tersebut menjadi penghambat proses nitrifikasi sehingga kadar nitrat yang diuraikan pada proses denitrifikasi terbatas (Vymazal, 2009). Untuk memanfaatkan keunggulan kedua sistem tersebut, VSSF dan HSSF CWs dapat dikombinasikan sebagai sistem Hybrid Subsurface Wetland (Zhang et al., 2016). Sistem hybrid pada CWs merupakan gabungan dari beberapa jenis CWs yang tingkat efisiensi pengolahannya lebih 2 besar dibandingkan satu sistem CWs. Menurut Vymazal (2013), penggunaan sistem hybrid meningkat karena karakteristik air limbah yang kompleks untuk diolah dalam satu jenis CWs. Sistem hybrid yang banyak digunakan untuk mengolah air limbah domestik dan industri adalah VSSF-HSSF Constructed Wetlands. Berdasarkan penelitian terdahulu, terungkap bahwa VSSF-HSSF CWs lebih efisien dalam menurunkan kadar amonia dibandingkan dengan jenis lainnya (Vymazal, 2013). Dalam penggunaan CWs sebagai alternatif pengolahan, diperlukan penentuan tingkat efisiensi pengolahan berdasarkan berbagai faktor. Salah satunya adalah faktor penggunaan tumbuhan. Contoh jenis tumbuhan yang efektif untuk sistem CWs adalah jenis tumbuhan rawa, seperti Typha angustifolia dan Scirpus grossus. Typha angustifolia merupakan tumbuhan yang banyak ditemukan di lahan basah alami Indonesia. Tumbuhan ini memiliki daya tahan yang cukup kuat sehingga tidak mudah mati. Akarnya memugkinkan untuk menyerap beban pencemar dan unsur hara dengan jumlah yang relatif besar karena berupa serabut yang sangat lebat. (Hidayah dan Aditya, 2011). Scirpuss grossus juga merupakan tumbuhan hiperakumulator yang dapat digunakan untuk proses fitoremediasi air limbah (Tangahu et al., 2010). Berdasarkan latar belakang tersebut, pada penelitian ini akan dianalisis besar efisiensi Hybrid Constructed Wetlands (HCWs) dalam dekonsentrasi nutrien di limpasan pertanianian. Efisiensi tersebut akan dilihat dari pengaruh variasi jenis tumbuhan dan HRT yang digunakan. Tingkat efisiensi yang didapatkan bisa dijadikan pertimbangan dalam mengaplikasikan HCWs sebagai unit pengolahan untuk limpasan pertanian. 1.2 Perumusan Masalah Sektor pertanian menghasilkan air limbah terbesar dengan kandungan nitrogen dan fosfor yang tinggi. Kadar nitrogen dan fosfor yang tinggi dapat menyebabkan degradasi ekosistem akuatik dan penurunan kualitas air sehingga diperlukan treatment terlebih dahulu pada limpasan pertanian sebelum dialirkan ke badan perairan. Salah satu treatment untuk menurunkan kadar nitrogen dan fosfor pada air limbah adalah dengan Hybrid 3 Constructed Wetlands menggunakan tumbuhan Typha angustifolia atau Scirpus grossus. Oleh karena itu, perlu diteliti mengenai tingkat kemampuan tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus yang digunakan dalam menurunkan kadar nitrogen dan fosfor pada limpasan pertanian. Selain itu, perlu juga diketahui efisiensi Hybrid Constructed Wetlands dalam dekonsentrasi kadar nutrien pada limpasan pertanian. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Menentukan tingkat ketahanan tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus dalam berbagai konsentrasi nitrogen dan fosfat pada limpasan pertanian 2. Menentukan efisiensi dekonsentrasi nitrogen pada limpasan pertanian dengan menggunakan Hybrid Constructed Wetlands 3. Menentukan efisiensi dekonsentrasi fosfat pada limpasan pertanian dengan menggunakan Hybrid Constructed Wetlands 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Penelitian akan dilaksanakan mulai bulan September 2016 – Mei 2017 2. Air limbah yang digunakan untuk penelitian ini merupakan air limbah artifisal 3. Parameter yang akan diuji adalah amonium sebagai nitrogen (NH3-N), nitrat sebagai nitrogen (NO3-N), dan fosfat (PO43-) sebagai parameter utama, serta suhu, pH, dan Dissolved Oxygen sebagai parameter monitor. 4. Variabel yang digunakan, yaitu: Variasi tumbuhan: a) Typha angustifolia b) Scirpus grossus c) Mixed plants 4 Variasi Hydraulic Retention Time (HRT): a) 1 hari b) 3 hari 5. Total jumlah reaktor yang digunakan adalah 8 paket reaktor dengan tiap paket terdiri dari 1 reaktor VSSF dan 1 reaktor HSSF 6. Media tanam yang digunakan adalah pasir sebagai media utama dan kerikil sebagai media penyangga 7. Pada awal penelitian dilakukan penelitian pendahuluan berupa propagasi tumbuhan, pembuatan air limbah, dan Range Finding Test dilakukan 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi baru dan alternatif sistem dekonsentrasi kadar nutrien pada limpasan pertanian, terutama dalam menurunkan senyawa nitrogen dan fosfat, dengan menggunakan sistem Hybrid Constructed Wetlands. 5 “Halaman ini sengaja dikosongkan” 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Limpasan Pertanian Pada sektor pertanian terdapat kegiatan yang berpotensi sebagai sumber pencemaran. Berdasarkan PERMENLH tahun 2010, sumber utama pencemaran air yang berkaitan dengan kegiatan pertanian adalah 1) penggunaan pestisida, herbisida, dan fungisida; 2) penggunaan pupuk kimia yang berlebihan. Pencemaran air yang ditimbulkan dari kegiatan pertanian dikategorikan sebagai sumber pencemar air tak tentu atau non point source (NPS). Sumber pencemar NPS adalah sumber pencemar yang berasal dari kumpulan beberapa kegiatan individual secara periodik, serta jumlahnya terlalu banyak untuk diidentifikasi sebagai sumber-sumber pencemar air tertentu atau point source (PS) dalam inventarisasi. Kegiatan pertanian sebagai sumber pencemar air NPS, memberikan kontribusi yang berarti pada pencemaran air secara nasional, khususnya di daerahdaerah yang menggunakan senyawa agrokimia seperti pestisida, herbisida, dan pupuk kimia. Kontribusi yang diberikan, yaitu dapat menyebabkan beban pencemaran pada badan air melalui limpasan (run off) yang mengandung residu bahan-bahan tersebut (Pujiastuti et al., 2015). Dampak dari pemupukan dalam sektor pertanian akan menghasilkan limpasan nitrat dan fosfat yang masuk ke badan air (Casali et al., 2010; Pujiastuti et al., 2015). Sebagian besar pupuk yang digunakan petani adalah pupuk kimia, seperti urea, TSP, Ponska, NPK, dan lain-lain. Pupuk tersebut mengandung unsur hara tanaman nitrogen, sulfur, kalium dan fosfat, yang dibutuhkan tanaman dalam konsentrasi besar, untuk pembentukan asam amino, protein, klorofil, nuleotida dan enzim. Pada proses pemupukan, nitrogen dalam pupuk akan terurai menjadi amonia, nitrit dan nitrat, sedangkan fosfor dalam pupuk akan terurai menjadi fosfat. Menurut Agustiningsih (2012), tidak semua pupuk terserap oleh akar tanaman, sebagian besar (70%) terlarut dalam air dan masuk ke sungai sebagai sumber polutan. 7 Limpasan pertanian dengan kandungan nutrien tinggi menyebabkan nitrogen dan fosfat masuk ke badan air dalam jumlah besar. Hal ini berakibat pada munculnya beberapa permasalahan, yaitu toksik alga blooming, penurunan kadar oksigen, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Selain itu, kelimpahan nutrien menimbulkan degradasi ekosistem akuatik dan penurunan kualitas air untuk digunakan sebagai air minum, serta kebutuhan industri, pertanian, rekreasi, dan tujuan lainnya (Farenga, 2007). Limpasan dari kegiatan pertanian berdampak pada pencemaran air permukaan dan air tanah (FAO, 1996). Salah satu hal yang harus dilakukan adalah menginventarisasi senyawa-senyawa fosfat dan nitrogen, seperti amonia, nitrit, dan nitrat yang terdapat di badan air, untuk mengendalikan pencemaran (Pujiastuti et al., 2015). 2.2 Karakteristik Nitrogen Nitrogen (N) merupakan unsur yang terdiri dari beberapa bentuk terlarut dan terikat. Nitrogen terlarut berupa organik N terlarut, NH4-N (amonium), NO3-N (Nitrat), dan NO2-N (Nitrit). Sementara itu, nitrogen terikat dengan endapan sebagai NH 4-N atau organik-N yang dapat mengalami pertukaran. Daur nitrogen sangat dinamis dan kompleks, terutama pada proses mikrobiologi untuk terjadinya mineralisasi, fiksasi, dan denitrifikasi nitrogen dalam tanah. Pada umumnya, di tanah yang tidak tergenang air, nitrogen tanah (sebagai protein pada tumbuhan) dan nitrogen dalam pupuk secara mikrobiologi bertransformasi menjadi NH4 melalui proses amonifikasi. Ion amonium dioksidasi oleh dua jenis bakteri (Nitrosomonas dan Nitrobacter) menjadi NO3 dengan NO2 yang tidak stabil sebagai intermediate product. Urea mudah terhidolisis menjadi amonium. Daur nitrogen sebagian besar dikendalikan oleh bakteri sehingga daur nitrogen dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kelembaban tanah, temperatur, pH, dan sebagainya (FAO,1996). Pupuk nitrogen dalam air di persawahan akan terurai menjadi amonia. Contohnya, yaitu reaksi hidrolisis pupuk urea dalam air (Pujiastuti et al., 2015). CO(NH2)2 + H2O 2 NH3 + CO2 Urea Ammonia 8 Gambar 2.1 Daur Nitrogen pada Ekosistem Alami Sumber: Lee et al., 2009 Amonia-nitrogen merupakan sejumlah nitrogen yang hadir dalam bentuk amonia (NH3) atau ion amonia (NH4+). Amonia terbentuk dari proses amonifikasi atau mineralisasi, yaitu proses transformasi biologis dari nitrogen organik menjadi amonia (NH 4N) yang menjadi proses pertama dari mineralisasi nitrogen organik. Protein dan senyawa organik nitrogen lain terdekomposisi menjadi molekul organik yang sederhana, seperti asam amino yang terdekomposisi menjadi amonia (Kurniadie, 2011). Dalam pH netral, 99% dari amonia menjadi NH 4+, dimana konsentrasi NH3 naik pada pH>9. NH4 + OHNH3 + H2O Maka dari itu, toksisitas amonia biasanya menjadi penting dalam proses fotosintesis cepat alga, dimana menimbulkan pH yang tinggi. Dinamika konsentrasi amonia (N-NO3) dalam air dipengaruhi oleh suhu perairan. Pada musim kemarau, suhu lingkungan perairan meningkat, aktivitas bakteri meningkat, proses nitrifikasi dan nitratasi bekerja dengan baik sehingga konsentrasi amonia rendah. Sementara itu, pada musim penghujan terjadi hal 9 sebaliknya (Titiresmi dan Nida, 2006). Amonia dalam air merupakan racun bagi biota air, mengiritasi insang ikan dan jaringan lainnya. Pada kondisi aerob, amonia akan dioksidasi oleh bakteri nitrifikasi yang bersifat autotrof dan heterotrof menjadi ion nitrit (NO2-) kemudian ion nitrat (NO3-) (Davis dan Hart, 1990). Nitritnitrogen merupakan sejumlah nitrogen yang hadir dalam bentuk ion nitrit (NO2-). Biasanya di perairan alami, nitrit ditenukan dalam jumlah yang sangat sedikit, lebih sedikit daripada nitrat karena tidak stabil dengan keberadaan oksigen (Effendi, 2003). Nitrat (NO3-) merupakan senyawa nitrogen yang paling stabil. Senyawa nitrat banyak diperlukan oleh tanaman, tetapi apabila jumlahnya terlalu banyak akan menyebabkan eutrofikasi dari danau dan perairan umum lainnya (Hammer dan Knight, 1994). Nitrat dapat tereduksi menjadi berbagai bentuk gas melalui proses denitrifikasi yang terjadi pada kondisi anoxic, seperti wetland (Pujiastuti et al., 2015). Nitrat dan nitrit merupakan senyawa yang juga penting untuk manusia karena kedua senyawa ini bisa menyebabkan keracunan bagi anak-anak (Methylglobanemia) apabila mereka meminum minuman yang mengandung senyawa nitrat dan nitrit pada konsentrasi di atas standar. 2.3 Karakteristik Fosfat Fosfat adalah sebuah ion poliatomik atau radikal yang terdiri dari satu atom fosforus (P) dan empat oksigen (O). Dalam bentuk ionik, fosfat membawa muatan -3 sehingga dinotasikan menjadi PO43-. Fosfat terdapat dalam tiga bentuk, yaitu H2PO4-, HPO42-, dan PO43-. Fosfat umumnya diserap oleh tanaman dalam bentuk ion ortofosfat primer H2PO4- dan ortofosfat sekunder HPO42. Bentuk fosfat yang paling dominan dalam tanah tergantung pH tanah (Engelstad, 1997). Pada pH lebih rendah, tanaman lebih banyak menyerap ion ortofosfat primer dan pada pH yang lebih tinggi ion ortofosfat sekunder yang lebih banyak diserap oleh tananaman (Hanafiah, 2005). Unsur fosfor (P) dalam fosfat sangat berguna bagi tumbuhan. Unsur ini berfungsi untuk merangsang pertumbuhan akar terutama pada awal pertumbuhan, serta mempercepat pembungaan dan pemasakan biji dan buah (Ali, 2011). Fosfor juga 10 memiliki peran penting dalam setiap proses tumbuhan yang melibatkan perpindahan energi. Fosfat berenergi tinggi, sebagai bagian dari struktur kimia adenosin difosfat (ADP) dan ATP yang merupakan sumber energi yang digunakan oleh berbagai reaksi kimia di dalam tumbuhan. Total konsentrasi fosfor pada tumbuhan memiliki variasi antara 0,1-0,5% (Sultenfuss dan Doyle, 1999). Dalam vegetasi tumbuhan, fosfat dapat tersimpan dalam jangka waktu pendek maupun panjang. Hal ini tergantung pada jenis vegetasi, laju dekomposisi pencemar, lepasnya fosfat dari jaringan yang rusak, dan translokasi fosfat. Fosfat yang telah diserap tumbuhan, dapat terlepas kembali ke alam ketika tumbuhan mengalami kematian melalui proses dekomposisi (USDA, 2010) Ketika ketersediaan unsur fosfor terbatas, ekspansi panjang dan lebar daun akan terhambat. Pertumbuhan tunas menerima dampak lebih jika dibandingkan dengan pertumbuhan akar. Dampak tersebut, yaitu penurunan berat kering akar tunas. Kekurangan fosfor juga memperlambat proses pemanfaatan karbohidrat ketika produksi karbohidrat melalui fotosintesis berlangsung. Hal ini menyebabkan penumpukan karbohidrat sehingga warna daun menjadi lebih hijau. Pada beberapa tumbuhan dapat menyebabkan batang dan tepi daun berwarna keunguan. Efek lain dari kekurangan fosfor terhadap tumbuhan, yaitu menunda kematangan, penurunan kualitas tumbuhan baik dari pembentukan biji maupun buah, serta penurunan ketahanan terhadap penyakit (Sultenfuss dan Doyle, 1999). 2.4 Definsi Wetland Definisi Wetland sangat beragam, tetapi pada dasarnya, Wetland adalah area yang setidaknya tergenangi air secara intermiten (Campbell dan Ogden, 1999). Menurut Metcalf dan Eddy (2003), Wetland adalah sistem yang termasuk pengolahan alami, dimana terjadi aktivitas pengolahan sedimentasi, filtrasi, transfer gas, adsorpsi, pengolahan kimiawi dan biologis karena aktivitas mikroorganisme dalam tanah dan aktivitas tumbuhan. Wetland merupakan salah satu Aquatic Treatment System, yaitu sistem pengolahan air limbah yang memanfaatkan 11 tanaman dan hewan perairan. Dalam Aquatic Treatment System terdapat beragam Constructed Wetlands System, Floating Aquatic Plants System, dan kombinasi keduanya (Crites dan Tchobanoglous, 1998). Wetland dibedakan menjadi dua, yaitu Natural Wetland dan Constructed Wetland. Natural wetland adalah area yang sudah terbentuk secara alami dengan debit dan struktur yang tidak direncanakan, misalnya rawa-rawa pesisir pantai atau mangrove wetland. Tidak berbeda dengan Wetland, Constructed Wetland merupakan Wetland buatan yang dikelola dan dikontrol manusia (Novotny dan Olem, 1994). Pada Wetland, nitrogen diurai melalui proses amonifikasi, nitrifikasi, dan denitrifikasi oleh bakteri. Selain itu, penurunan nitrogen juga terjadi melalui volatilisasi ion amonium (NH4+) menjadi gas NH3, sedimentasi dan penyaringan, adsorbsi ion amonium ke dalam sedimen organik dan inorganik melalui pertukaran ion positif (Liehr, 2000) 2.5 Definisi dan Karakteristik Constructed Wetlands Sistem lahan basah buatan (Constructed Wetlands/CWs) merupakan proses pengolahan limbah yang meniru aplikasi dari proses penjernihan air yang terjadi di lahan basah/rawa (Wetland) dimana tumbuhan air (Hydrophita) yang tumbuh di daerah tersebut memegang peranan penting dalam proses pemulihan kualitas air limbah secara alamiah (self purification). Pengertian lain mengenai CWs, yaitu sebuah komplek rancangan dan buatan manusia yang terdiri dari substrat, tanaman, hewan, mikroorganisme, dan air yang mengikuti Natural Wetlands untuk kegunaan dan keuntungan manusia (Hammer, 1989). Secara umum, fungsi CWs menurut Novotny dan Olem (1994), yaitu: Penahan dan penyimpan air Pencegah erosi dan kontrol sedimen Memodifikasi sistem aliran air Kontrol polusi Tempat masuk dan keluarnya air tanah Habitat makhluk hidup 12 Namun pada perkembangannya, aplikasi CWs ini lebih banyak digunakan sebagai alat kontrol kualitas air yang dalam hal ini sebagai pengolah air limbah. Menurut Halverson (2004), mekanisme penyerapan polutan pada CWs secara umum melalui proses abiotik (fisik dan kimia) atau biotik (mikrobia dan tanaman) dan gabungan dari kedua proses tersebut. Proses pengolahan awal secara abiotik, antara lain melalui: Settling dan sedimentasi, efektif untuk menghilangkan partikulat dan padatan tersuspensi, Adsorpsi dan absorpsi, merupakan proses kimiawi yang terjadi pada tanamanan, substrat, sedimen, maupun air limbah, yang berkaitan dengan waktu retensi air limbah Oksidasi dan reduksi, efektif untuk mengikat logam-logam B3, Fotodegradasi, penurunan berbagai unsur polutan yang berkaitan dengan adanya sinar matahari, Volatilisasi, penuturan polutan akibat menguap dalam bentuk gas. Proses secara biotik, seperti biodegradasi dan penyerapan oleh tanaman juga merupakan bentuk pengurangan polutan seperti halnya pada proses abiotik. Secara prinsipal, tipe wetlands dibedakan menjadi: Free Water Surface (FWS) Constructed Wetlands Subsurface Flow (SF) Constructed Wetlands Floating aquatic Plant System Sistem kombinasi (hybrid) Sistem hybrid pada CWs merupakan gabungan dari beberapa jenis CWs yang tingkat efisiensi pengolahannya lebih besar dibandingkan satu sistem CWs. Menurut Vymazal (2013), penggunaan sistem hybrid meningkat karena karakteristik air limbah yang kompleks untuk diolah dalam satu jenis CWs Berdasarkan penelitian terdahulu, terungkap bahwa VSSF-HSSF CWs lebih efisien dalam menurunkan kadar amonia dibandingkan dengan jenis lainnya (Vymazal, 2013). Sistem hybrid yang banyak digunakan untuk mengolah air limbah domestik dan industri adalah VSSF-HSSF Constructed Wetlands. 13 Tabel 2.1 Kriteria Desain Constructed Wetlands – Emerge Plants Faktor Tipikal FWS Tipikal SF Waktu detensi (hari) 5-14 2-7 BOD loading rate max (kg/ha.hari) 100 75 0,1 - 0,5 0,1 - 10 7 – 60 2 - 30 0,002 – 0,014 0,001 - 0,007 2 : 1 – 10 : 1 4:1-5:1 3–5 3-5 Kedalaman air (m) Hydraulic loading rate (mm/hari) Area yang (ha/m3.hari) dibutuhkan Rasio panjang : lebar Frekuensi pemanenan (tahun) Sumber: Wood, 1993 Tabel 2.2 Efisiensi Penurunan Beberapa Komponen pada Sistem Constructed Wetlands Komponen Influen (mg/L) Efluen (mg/L) Removal (%) BOD5 110 7 94 COD 3.000 50 98 TSS 46 13 72 NH4-N 5 2,4 52 NO3-N 5,5 2,1 62 Total fosfor 3,8 1,7 56 VOC 16 0,8 95 Phenol 38 8,6 Sumber: Komex, 2004 2.6 74 Karakteristik Sistem Aliran Bawah Permukaan (SSF CWs) Jenis sistem CWs yang dapat menurunkan kadar berbagai kontaminan seperti nitrogen, fosfor, BOD, COD, logam tersuspensi, maupun patogen adalah sistem Subsurface Flow (SSF) (Khatiwada et al., 1999; Lee, 2009). Pada sistem ini air tidak 14 menggenang di atas media tanam, tetapi air mengalir di bawah media sehingga memiliki berbagai keuntungan. Menurut Danista (2012), salah satu keuntungan SSF adalah tumbuhan yang dapat beradaptasi lebih bervariasi sehingga dapat digunakan sebagai taman dengan estetika yang baik. Tangahu dan Warmadewanthi (2001) mengungkapkan bahwa pengolahan air limbah dengan sistem aliran bawah permukaan lebih dianjurkan karena beberapa alasan, yaitu: Dapat mengolah limbah domestik, limbah pertanian, dan sebagian limbah industri, termasuk logam berat, Efisiensi pengolahan tinggi (80%), Biaya perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan murah, serta tidak membutuhkan keterampilan yang tinggi. Faktor yang mempengaruhi kinerja SSF CWs, yaitu: 1. Media Media yang digunakan dalam reaktor SSF CWs secara umum dapat berupa tanah, pasir, batuan, atau bahan-bahan lainnya. Tingkat permeabilitas dan konduktivitas hidrolis media tersebut sangat berpengaruh terhadap waktu detensi air limbah, dimana waktu detensi yang cukup akan memberikan kesempatan kontak antar mikroorganisme dengan air limbah, serta oksigen yang dikeluarkan oleh akar tanaman (Tangahu dan Warmadewanthi, 2001). Tabel 2.3 menunjukkan karakteristik media yang umum digunakan dalam SSF CWs. Peranan utama dari media pada SSF CWs adalah: Tempat tumbuh bagi tanaman, Media berkembang biaknya mikroorganisme, Membantu terjadinya proses sedimentasi, Membantu penyerapan (adsorbsi) bau dari gas hasil biodegradasi. Peranan lainnya adalah sebagai tempat terjadinya proses transformasi kimiawi, tempat penyimpanan bahan-bahan nutrien yang dibutuhkan oleh tanaman. 2. Tanaman Jenis tanaman yang sering digunakan untuk untuk SSF Wetlands adalah jenis tanaman air atau tanaman yang tahan hidup di air tergenang (submerged plants atau amphibious plants). Pada 15 umumnya tanaman air tersebut dapat dibedakan menjadi tiga kelompok berdasarkan area pertumbuhannya di dalam air. Adapun ketiga tipe tanaman air tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 2.3 Karakteristik Media dalam SSF CWs Tipe Media Diameter Butiran (mm) Porositas (n) Konduktivitas Hidrolik (ft/d) Medium sand 1 0,30 1.640 Coarse sand 2 0,32 3.280 Gravelly sand 8 0,35 16.400 Medium gravel 32 0,40 32.800 Coarse gravel 128 0,45 328.000 Sumber: Crites dan Tchobanoglous, 1998 Tanaman yang mencuat ke permukaan air, merupakan tanaman air yang memiliki sistem perakaran pada tanah di dasar perairan dan daun berada jauh di atas permukaan air. Tanaman yang mengambang dalam air, merupakan tanaman air yang seluruh tanaman (akar, batang, daun) berada di dalam air. Tanaman yang mengapung di permukaan air, merupakan tanaman air yang akar dan batangnya berada dalam air sedangkan daun di atas permukaan air. 3. Mikroorganisme Mikroorganisme yang diharapkan tumbuh dan berkembang dalam media SSF Wetlands adalah jenis heterotropik aerobik karena pengolahan berlagsung lebih cepat dibandingkan dengan mikroorganisme anaerobik (Tangahu dan Warmadewanthi, 2001). Untuk menjamin kehidupan mikroorganisme tersebut dapat tumbuh dengan baik, maka transfer oksigen dari akar tanaman harus dapat mencukupi kebutuhan untuk kehidupan mikroorganisme. Kandungan oksigen dalam media akan disuplai oleh akar tanaman, yang merupakan hasil samping dari proses fotosintesis tanaman dengan bantuan sinar matahari. Dengan demikian, maka pada siang hari akan lebih banyak terjadi pelepasan oksigen. 16 Kondisi aerob pada daerah sistem perakaran (Rhizosphere) dan ketergantungan mikroorganisme aerob terhadap pasokan oksigen dari sistem perakaran tanaman yang ada dalam SSF-Wetlands akan menyebabkan jenis-jenis mikroorganisme yang dapat hidup pada rhizosphere tersebut hanya jenis tertentu dan spesifik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bagwell C.E. et al. (1998) terhadap mikroorganisme rhizosphere pada akar rumput-rumputan yang terdapat pada daerah rawa (Wetlands), telah ditemukan 399 strains yang termasuk dalam familia Enterobacteriaceae, Vibrionaceae, Azotobacteraceae, Spirillaceae, Pseudomonadaceae, Rhizobiaceae. Sementara itu, dalam penelitian yang dilakukan oleh Ibekwe et al. (2003) dengan analisis DGGE (Denaturing Gradient Gel Electrophoresis), disebutkan bahwa komposisi mikrobia yang terdapat dalam efluen Constructed Wetlands didominasi oleh jenis Bacillus, Clostridium, Mycoplasma, Eubacterium, Nitrobacter, dan Nitrosospira. 4. Temperatur Temperatur air limbah akan berpengaruh pada aktivitas mikroorganisme maupun tanaman sehingga akan mempengaruhi kinerja pengolhn air limbah yang masuk ke bak SSF Wetlands yang akan digunakan. Menurut Suriawiria (1993), temperatur akan dapat mempengaruhi reaksi, dimana setiap kenaikan suhu 10 oC akan meningkatkan reaksi 2 - 3 kali lebih cepat. Di samping itu, temperatur juga merupakan salah satu faktor pembatas bagi kehidupan mikroorganisme. 2.7 Karakteristik Horizontal Subsurface Flow Constructed Wetland Horizontal Subsurface Flow Constructed Wetlands (HSSF) merupakan jenis CWs dimana aliran air limbah dialirkan secara horizontal melalui matriks yang berupa akar tumbuhan, kerikil, dan/atau pasir. Matriks tersebut menjadi tempat melekatnya mikroorganisme (Lee, 2009). Pada sistem HSSF terdapat keterbatasan dalam mereduksi nitrogen karena kadar oksigen yang kurang di media. Kekurangan kadar oksigen tersebut menjadi penghambat proses 17 nitrifikasi sehingga kadar nitrat yang diuraikan pada proses denitrifikasi terbatas (Vymazal, 2007). Gambar 2.2 Horizontal Subsurface Constructed Wetland Sumber: Vymazal, 2010 2.8 Karakteristik Vertical Flow Constructed Wetland Air limbah diaplikasikan ke permukaan bak, membanjiri seluruh permukaannya kemudian air mengalami perkolasi dan mengalir secara vertikal melalui media berporos. Media yang sering digunakan adalah kerikil dan tanah yang semakin ke dalam semakin besar. Kedalaman bed berkisar antara 0,45 hingga 1,2 m dan di dasar bed diberi slope sebesar 1-2% (Stefanakis et al., 2014). 1. Downflow Pada sistem ini, air limbah dimasukkan dalam jumlah besar ke permukaan Wetland sehingga menimbulkan air tergenang di permukaan tanah hingga setinggi 3-5 cm untuk sementara. Kemudian air mengalir ke bawah secara gravitasi melalui media berpori. Reaktor dijalaankan secara batch. Biasanya jumlah air limbah yang dimasukkan per hari tidak terlalu besar. 2. Upflow Dalam Vertical-Upflow Constructed Wetland air limbah dialirkan pada bagian bawah bed. Air kemudian mengalami perkolasi ke atas dan outlet-nya berada di dekat permukaan atau di permukaan tanah. Bed diisi dengan batu pecah pada bagian bawah, lapisan 18 berikutnya adalah kerikil kasar dan lapisan teratasnya adalah tanah dengan tumbuhan (Vymazal dan Kröpfelová, 2008). 3. Tidal Flow Tidal Flow merupakan jenis baru dari sistem VSSF CW. Pada Tidal Flow air dialirkan melalui dasar bed dengan pipa aerasi. Kemudian air mengalami perkolasi ke atas hingga membanjiri bagian permukaan tanah. Setelah permukaan banjir, inlet ditutup dan air mengalami pengolahan oleh tumbuhan dan mikroorganisme tanah. Air dikeluarkan melalui bagian bawah bed (Vymazal dan Kröpfelová, 2008). Gambar 2.3 Vertical Subsurface Constructed Wetland Sumber: Vymazal, 2010 2.9 Karakteristik Typha angustifolia Typha angustifolia merupakan jenis tumbuhan yang umum berada di Wetland. Bagian bunganya berbentuk silinder memanjang yang terletak pada ujung batang yang panjangnya sekitar 1-3 meter. Bunga Typha angustifolia dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu putik dan benang sari. Bagian putik berbentuk seperti tongkat berwarna cokelat yang berada di bawah benang sari yang berwarna kuning dengan ujung meruncing. Daunnya berasal dari pangkal batang yang mencuat keluar. Di bawah tanah, bagian akar yang mengandung zat tepung mengikat tumbuhan 19 dengan tanah. Jika tumbuhan ini tumbuh secara berkoloni, akarnya dapat saling berkaitan dan membentuk seperti tikar padat (Ling, 2010). Benih dari Typha angustifolia berukuran kecil, kering, dan mudah tersebar oleh angin. Satu tumbuhan dapat memproduksi lebih dari 200.000 benih per tahun. Benih tersebut dapat bertahan di dalam tanah sampai 100 tahun (DCNR Pennsylvania, 1999). Cahaya dan beberapa faktor lingkungan lain dapat mempengaruhi perkecambahan benih. Cahaya yang terlalu sedikit dan air yang terlalu dalam dapat menghambat perkecambahan. Jika benih Typha angustifolia terletak pada lebih dari 0,5 inchi (1,3 cm) di bawah air, benih tidak dpat mengalami perkecambahan. Salah satu alasan utama tumbuhan ini mudah berkembang biak adalah karena kondisi tanah mendekati jenuh dengan rentang suhu besar. Suhu permukaan tanah optimum adalah 77o hingga 86oF (2530oC) (Sojda, 1993). Selain memproduksi benih, tumbuhan ini juga membentuk tunas. Spesies ini dapat dengan cepat tersebar di lahan basah terbuka dan bersaing dengan tumbuhan asli di habitat tersebut (DCNR Pennsylvania, 1999). Typha angustifolia merupakan tumbuhan yang banyak ditemukan di lahan basah alami di Indonesia. Tumbuhan ini memiliki daya tahan yang cukup kuat sehingga tidak mudah mati. Akarnya memungkinkan untuk menyerap beban pencemar dan unsur hara dengan jumlah yang relatif besar karena berupa serabut yang sangat lebat (Hidayah dan Aditya, 2011). Berikut ini adalah klasifikasi ilmiah dari tanaman Typha angustifolia atau biasa disebut dengan nama Narrowleaf Cattail. Dalam penelitian yang dilakukan Abdulgani, Izzati, dan Sudarno (2014), penggunaan Constructed Wettland dengan tumbuhan Typha angustifolia memiliki efisiensi penurunan amoniak nitrogen, yaitu 76,07-87,52% yang lebih besar dibandingkan dengan reaktor tanpa Typha angustifolia, yaitu 17,16-68,46%. Selain itu, pada penelitian tersebut diketahui bahwa penurunan amoniak mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya waktu tinggal. 20 Gambar 2.4 Typha angustifolia Sumber: PFAF, 2012 Kelas : Liliopsida Subkelas : Commelinidae Ordo : Typhales Famili : Typhaceae Genus : Typha Spesies : Typha angustifolia L. Respon pertumbuhan jangka panjang Typha angustifolia terhadap suplai nitrogen menunjukkan bahwa spesies ini tumbuh lebih baik dengan NH4+ dibandingkan dengan NO3- sebagai dasar sumber N. Pada pH mendekati netral, tumbuhan yang mengonsumsi NH4+ memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi. Konsentrasi nutrien utama pada jaringan lebih tinggi, kandungan adeninnya lebih tinggi, dan daya tarik menarik lebih tinggi untuk menyerap nitrogen anorganik dibandingkan dengan tumbuhan yang mengonsumsi NO3-. Typha angustifolia dapat beradaptasi dengan baik untuk tumbuh pada tanah wetland dmana amonium berlaku sebagai senyawa nitrogen, tetapi pH yang sangat rendah di sekitar akar sangat memberi tekanan untuk tumbuhan (Brix et al., 2002). 2.10 Karakteristik Scirpus grossus Scirpuss grossus merupakan tumbuhan yang mampu bertahan pada lingkungan yang tercemar. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sundari et al. (2013), diketahui bahwa Scirpus 21 grossus memiliki potensi untuk mengurngi konsentrasi nitrat dan ortofosfat hingga 90% setelah enam hari inkubasi. Gambar 2.5 Scirpus grossus Sumber: Tangahu et al., 2010 Kingdom : Plantae Filum : Tracheophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Cyperales Famili : Cyperaceae Genus : Scirpus Spesies : grossus (Gupta, 2011) Scirpuss grossus merupakan tumbuhan hiperakumulator. Tumbuhan ini dapat digunakan untuk proses fitoremediasi air limbah (Tangahu et al., 2010). Tumbuhan ini merupakan tumbuhan perairan trops yang tumbuh sepanjang tahun dengan nama sebutan umum Mensiang atau Walingi (Indonesia), serta Rumput Gajah Raksasa dan Rumput Menderong (Malaysia). Tumbuhan ini umumnya hidup di lahan basah (daerah berair), tetapi dapat pula ditemukan di daerah tanah yang subur dengan sirkulasi yang baik. Tumbuhan ini memiliki akar berserat warna putih atau coklat, padat, batang berbentuk segitiga, panjang, lebar daun lebih dari 2 meter (Weed Science Society of America, 2011). Berat kering Scirpus grossus di atas tanah adalah 1,75; 1,60; dan 0,8-0,75 22 kg/m2 dengan maksimum 1,9-1,2 0,75 kg/m 2 (Sasikala, et al., 2009). Scirpus grossus tergolong dalam gulma sedges (berdaun sempit), batang mendong (calamus) seperti batang rumput, tetapi mempunyai ruas-ruas yang lebih panjang dan berbentuk segitiga. Tumbuhan ini termasuk gulma tahunan, yaitu gulma yang umurnya lebih dari dua tahun. Gulma ini umumnya berkembang biak secara vegetatif dan generatif. Organ perkembangbiakkan berupa stolon atau rimpang, yaitu batang yang menjalar dalam tanah, serta pada setiap buku atau ruas dapat tumbuh tunas dan akar menjadi individu baru. Tumbuhan ini memiliki akar rimpang, tumbuh pada daerah rawa-rawa tergenang air tawar, seperti kolam dan sawah, tumbuh baik pada dataran rendah sampai ketinggian 800 mdpl dengan tinggi tumbuhan antara 0,80-2 meter. Tumbuhan ini sering ditemukan dalam jumlah besar secara berkelompok (Heyne, 1987). Berikut ini adalah klasifikasi tumbuhan Scirpus grossus. 2.11 Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian pernah dilakukan terkait dengan penggunaan CWs dalam menurunkan kadar nutrien pada air limbah berdasarkan variasi jenis tumbuhan dan HRT. Hasil penelitian tersebut terangkum dalam Tabel 2.4. Berdasarkan penelitian Jinadasa et al. (2008), Typha angustifolia dan Scirpus grossus memiliki kemampuan untuk menurunkan kadar nutrien, yaitu amonium, nitrat, dan fosfor, pada air limbah. Dalam satu jenis aliran CWs, penurunan amonium dan nitrat, baik dengan Typha angustifolia maupun Scirpus grossus, dapat mencapai persentase yang cukup tinggi, yakni > 50%. Sementara efisiensi penurunan fosfor oleh kedua jenis tumbuhan tersebut mencapai ± 10%. Pada penelitian yang dilakukan Sun et al. (2009), Typha angustifolia memiliki kemampuan removal nutrien paling baik dibandingkan jenis tanaman lain yang digunakan. Xinshan et al. (2010) melakukan penelitian mengenai HCWs dengan jenis VSSF dan HSSF. HRT 1 sampai 7 hari digunakan sebagai variabel dalam penelitian ini. Pada hari ke-4 sampai dengan hari ke-7, kemampuan removal nutrien mengalami 23 Tabel 2.4 Review Penelitian Terdahulu Referensi Ni'am dan Warmadewan thi (2013) Jenis Limbah Konsentrasi Limbah (mg/L) - Tumbuhan Typha angustifolia Leachate HRT Jenis Aliran 3 hari SSF Rasheed et al. (2014) Air limbah domestik - - 0,5; 1; 2; dan 4 hari VSSFHSSF Jinadasa et al. (2008) Air limbah domestik Ammonium Scirpus grossus dan Typha angustifolia 1 hari FWS 14,3 ± 2,7 Nitrat 2,20 ± 0,64 24 Removal Ammonium 100 L/hari 97,29% dan 81,73% 50 L/hari 94,4% dan 91,14% Ammonia 82,5% 92,5% Nitrat 30 - 47% Nitrit 9,5 - 25% Fosfat 37,7% 46,3% Keterangan - Pengolahan optimum pada HRT 4 hari Scirpus grossus Amonium 59,40% Nitrat Referensi Jenis Limbah Konsentrasi Limbah (mg/L) Fosfor 2,00 ± 0,62 Tumbuhan HRT Jenis Aliran Removal Keterangan 52,10% Fosfor 11,20% Typha angustifolia Amonium 56,50% Nitrat 51,60% Fosfor 9,10% HRT 3 hari Sirlanuntapib oon et al. (2006) Air limbah domestik TKN 38,4 ± 4,2 TP 12,0 ± 1,9 Typha sp. 0,75; 1,5; dan 3 hari Up Flow CW TKN 84 ± 5 % 90 ± 3 % TP 93 ± 3 % 95 ± 3 % Amonia 59 ± 3 % 62 ± 3 % Efisiensi removal tertinggi pada HRT 3 hari 25 Referensi Jenis Limbah Xinshan et al. (2010) Air limbah domestik artifisial Keffala dan Ghrabi (2005) Air limbah domestik Arivoli dan Mohanraj (2013) Air limbah domestik Sun et al. (2009) 26 Air limbah pupuk kimia (Diammonium phosphate) artifisial Konsentrasi Limbah (mg/L) Ammonium 10 – 120 Nitrat 0 - 14 TP 4 – 10 Amonium 47 Nitrat 22 Nitrat 78,98 ± 1,01 Fosfat 22,08 ± 0,87 Amonium 44,6 - 81,2 TN 47,6 – 80 TP 32,7 - 52,9 Tumbuhan HRT Jenis Aliran Removal Keterangan Canna sp. 1 , 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 hari VSSFHSSF TN 92% Pada hari ke-4 sampai ke-7 kemampuan removal mengalami steady state Phragmites australis dan Typa latifolia 1 hari VSSFHSSF Amonium 19% Nitrat 4% - Typha angustifolia 0,5; 1; dan 1,5 hari VSSF Nitrat 88,48% Fosfat 83,51% Removal efisiensi tertinggi dengan HRT 1,5 hari Phragmites australis, Typa angustifolia, dan Acorus calamus Typha angustifolia 3, 4, dan 5 hari SSF TN 89,70% TP 88,90% Removal efisiensi tertinggi dengan Typha angustifolia pada HRT 3 hari steady state. Pada penelitian tersebut juga disebutkan bahwa penurunan amonium terjadi secara drastis pada hari ke-1 dengan efisiensi lebih dari 80%. Penelitian lain mengenai CWs yang juga menggunakan HRT sebagai variabel dilakukan oleh Sirlanuntapiboon et al. (2006) dan Sun et al. (2009). Dari kedua penelitian tersebut didapatkan kesimpulan bahwa penggunaan CWs memiliki efisiensi removal nutrien optimum pada HRT 3 hari. 27 “Halaman ini sengaja dikosongkan” 28 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Gambaran Umum Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis mengenai efisiensi penurunan senyawa nitrogen dan fosfat pada limpasan pertanian dengan menggunakan Hybrid Constructed Wetlands (HCWs). Sistem HCWs yang digunakan merupakan kombinasi antara Vertical Subsurface Flow (VSSF) dan Horizontal Subsurface Flow (HSSF). Pada sistem ini, dianalisis pula pengaruh variasi jenis tumbuhan terhadap efisiensi tersebut. Limbah yang digunakan adalah air limbah artifisial yang dibuat dari pupuk urea dan pupuk fosfat. Sebelum melakukan uji phytotreatment air limbah, dilakukan penelitian pendahuluan terlebih dulu, yaitu propagasi tumbuhan, pembuatan air limbah, dan Range Finding Test. 3.2 Kerangka Penelitian Dasar pemikiran dan rangkaian kegiatan dalam penelitian direpresentasikan melalui kerangka penelitian. Kerangka penelitian merupakan gambaran umum pelaksanaan penelitian yang disusun berdasarkan tahapan pelaksanaan penelitian sehingga penelitian dapat berjalan sistematis dengan tujuan yang jelas. Penyusunan kerangka penelitian didasarkan pada studi literatur yang dilakukan, baik dari jurnal ilmiah, buku teks, maupun laporan tugas akhir yang mendukung pada penelitian ini. Adapun kerangka penelitian digambarkan dalam Gambar 3.1. 3.3 Studi Literatur Studi literatur bertujuan untuk mendukung pelaksanaan penelitian. Literatur yang digunakan dalam penelitian ini berupa jurnal ilmiah, buku teks, paper, dan literatur lain yang mendukung. Studi literatur yang dilakukan berkaitan dengan kondisi eksisting, kondisi ideal, kemampuan HCWs jenis VSSF dan HSSF dalam menurunkan kadar senyawa nitrogen dan fosfat, dan kemampuan Typha angustifolia dan Scirpus grossus dalam menurunkan kadar senyawa nitogen dan fosfat. 29 3.4 Ide Penelitian Ide penelitian berasal dari gap antara kondisi eksisting dengan kondisi ideal kekinian yang berada di lapangan. “Dekonsentrasi Nutrien pada Limpasan Pertanian dengan Sistem Hybrid Constructed Wetlands” merupakan penelitian yang dilakukan dalam upaya pemanfaatan HCWs untuk penurunan kadar nitrogen dan fosfat dengan efisiensi yang tinggi. Studi Pustaka Kondisi Eksisting Kegiatan pertanian menjadi sumber pencemar air pada badan air melalui limpasan yang mengandung residu bahan-bahan agrokimia (Pujiastuti et al., 2015). CWs jenis Vertical Flow kurang menguntungka untuk denitrifikasi, sementara Horizontal Flow terbatas dalam penurunan nitrogen karena suplai oksigen terbatas (Cooper, 1999; Zhang, 2016) Jenis tumbuhan merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja SSFWetlands (Tangahu dan Warmadewanthi, 2001). Kondisi Ideal GAP CWs merupakan sistem pengolahan yang tepat dalam menurunkan polutan air limbah pertanian (Danista, 2012) Vertical Flow (VF) dan Horizontal Flow (HF) CWs dapat dikombinasikan sebagai sistem Hybrid Subsurface Wetland (Zhang et al., 2016) Typha angustifolia dan Scirpus grossus merupakan jenis tumbuhan yang efektif untuk sistem CWs Ide Penelitian Efisiensi Dekonsentrasi Nutrien pada Limpasan Pertanian dengan Hybrid Constructed Wetlands A 30 A Rumusan Masalah Tingkat ketahanan tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus dalam berbagai konsentrasi nitrogen dan fosfat pada limpasan pertanian Efisiensi dekonsentrasi nitrogen pada limpasan pertanian dengan menggunakan Hybrid Constructed Wetlands Efisiensi dekonsentrasi fosfat pada limpasan pertanian dengan menggunakan Hybrid Constructed Wetlands Tujuan Penelitian Menentukan tingkat ketahanan tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus dalam berbagai konsentrasi nitrogen dan fosfat pada limpasan pertanian Menentukan efisiensi dekonsentrasi nitrogen pada limpasan pertanian dengan menggunakan Hybrid Constructed Wetlands Menentukan efisiensi dekonsentrasi fosfat pada limpasan pertanian dengan menggunakan Hybrid Constructed Wetlands Persiapan Alat dan Bahan 1. 2. 3. 4. Pupuk calcium ammonium nitrat dan pupuk fosfat Reaktor Wetlands jenis VSSF dan HSSF Tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus Peralatan dan bahan untuk uji parameter Penelitian Pendahuluan 1. 2. 3. Propagasi tumbuhan Pembuatan air limbah Range Finding Test B 31 B Pelaksanaan Penelitian 1. 2. 3. a) b) Variabel Penelitian Jenis tumbuhan: Typha angustifolia Scirpus grossus Mixed Plants Hydraulic Retention Time (HRT): 1 hari 3 hari Pengujian pH, suhu, DO, ammonium, nitrat, dan fosfat Analisis Data dan Pembahasan Membandingkan tingkat efisiensi penurunan senyawa nitrogen dan fosfor pada masing-masing variasi Kesimpulan dan Saran Gambar 3.1 Diagram Alir Kerangka Penelitian 3.5 32 Persiapan Alat dan Bahan a. Penelitian Pendahuluan 1. Alat Propagasi tumbuhan dilakukan di bak berbahan plastik dengan diameter 41 cm dan tinggi 18 cm seperti pada Gambar 3.2. Sementara untuk Range Finding Test, reaktor yang digunakan berupa pot berdiameter 25 cm dan tinggi 20 cm seperti pada Gambar 3.3. Pembuatan dan analisis kualitas air limbah pertanian dilakukan dengan menggunakan peralatan standar laboratorium, seperti glassware, neraca analitik, dan spektorfotometer. Gambar 3.2 Reaktor Propagasi Tumbuhan Gambar 3.3 Reaktor Range Finding Test 2. Bahan Air limbah pertanian Air limbah didapatkan secara artifisial dengan melarutkan pupuk urea dan pupuk fosfat dengan air PDAM. Langkah-langkah pembuatan air limbah pertanian selengkapnya tercantum pada lampiran. Tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus Air PDAM untuk pengembangbiakan tumbuhan Tanah dan pupuk kompos Bahan-bahan untuk analisis parameter kualitas air limbah b. Uji Phytotreatment 1. Alat 33 Reaktor penelitian berupa bak plastik dengan bentuk persegi panjang. Reaktor dioperasikan berdasarkan volume media dan karakteristik air limbah yang sama. Sketsa reaktor Hybrid Constructed Wetlands ditunjukkan pada Gambar 3.4. Gambar 3.4 Reaktor Hybrid Constructed Wetlands 1) 2) 3) 1) 2) 3) 34 Reaktor Vertical Subsurface Flow Constructed Wetland (VSSF-CW) Volume reaktor: 0,159 m3 (73 x 52 x 42 cm) Tinggi media tanam: Pasir: 20 cm Kerikil ø 1-2 cm: 5 cm Kerikil ø 2-3 cm: 5 cm Sketsa reaktor VSSF-CW ditunjukkan pada Gambar 3.5. Reaktor Horizontal Subsurface Flow Constructed Wetlands (HSSF-CWs) Volume reaktor: 0,159 m 3 (73 x 52 x 42 cm) Tinggi media tanam: Pasir: 20 cm Gravel ø 1-2 cm: 5 cm Gravel ø 2-3 cm: 5 cm Sketsa reaktor HSSF-CWs ditunjukkan pada Gambar 3.6. Gambar 3.5 Reaktor VSSF-CW Analisis kualitas air limbah pertanian dilakukan dengan menggunakan peralatan standar laboratorium, seperti glass ware, neraca analitik, dan spektorfotometer. 2. Bahan Air limbah pertanian artifisial Tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus dengan berumur 1 bulan atau tinggi ± 30 cm. Pasir dan kerikil Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk analisis parameter amonium, nitrat, fosfat, dan Dissolved Oxygen. Gambar 3.6 Reaktor HSSF-CW 35 3.6 Penelitian Pendahuluan 1. Tahap Propagasi Tumbuhan Tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus didapatkan dari rawa-rawa sekitar ITS. Kedua tumbuhan ini kemudian ditanam di reaktor berupa bak plastik dengan digenangi air PDAM hingga ± 2 cm yang disesuaikan dengan kondisi habitat aslinya. Tahap ini dilakukan minimal selama 1 bulan sampai tumbuhan memiliki ukuran dan bentuk tumbuh secara optimum (Suelee, 2015). Selama tahap propagasi, dilakukan pengukuran laju pertumbuhan (Growth Rate) Typha angustifolia dan Scirpus grossus. 2. Tahap Pembuatan Air Limbah Air limbah dibuat dengan melarutkan Pupuk Calcium Ammonium Nitrat (kosentrasi amonium 13,5%) dan Pupuk Super Fosfat SP-36 (konsentrasi fosfat 36%) dengan air PDAM. Bahanbahan tersebut direaksikan hingga didapat konsentrasi yang sesuai dengan kemampuan tumbuhan pada Range Finding Test. Karakteristik air limbah disesuaikan dengan karakteristik nutrien pada limpasan pertanian, yaitu rasio N : P sama dengan 3 : 1. 3. Tahap Range Finding Test Range Finding Test (RFT) yang akan dilakukan mengacu pada pedoman U.S. EPA Ecological Effect Guideline OPPTS 850.4400. Range Finding Test dilakukan dengan membuat variasi konsentrasi air limbah yang kemudian diujikan ke tumbuhan. Konsentrasi yang dipilih adalah konsentrasi tertinggi dimana tumbuhan tetap hidup dengan kondisi baik. Tumbuhan yang digunakan sebanyak 3 batang per konsentrasi dengan ukuran tumbuhan yang sama. Variasi konsentrasi didapat dengan cara mencampurkan air limbah dengan air PDAM. Variasi konsentrasi yang digunakan, yaitu sesuai pada Tabel 3.1. Range Finding Test dilakukan selama 4 hari atau selama 96 jam. Namun apabila dalam 96 jam tidak terjadi perubahan pada tumbuhan, maka waktu diperpanjang selama 24 jam. Jika perpanjangan waktu RFT masih belum menyebabkan perubahan pada tumbuhan, waktu diperpanjang lagi hingga 14 hari. Dari variasi konsentrasi yang dibuat, dipilih konsentrasi dimana tumbuhan tetap dapat hidup untuk digunakan dalam uji phytotreatment. 36 Gambar 3.7 Pupuk Calcium Ammonium Nitrat Gambar 3.8 Pupuk Super Fosfat (SP-36) 3.7 Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian dimulai dari uji fitotreatment menggunakan reaktor CWs. Air limbah dialirkan secara kontinyu dengan debit 12,32 L/hari untuk HRT 1 hari dan 4,107L/hari untuk HRT 3 hari. Kemudian penelitian dilanjutkan dengan analisis parameter air limbah. a. Variabel Penelitian Terdapat dua variabel yang digunakan, yaitu variasi jenis tumbuhan (Typha angustifolia dan Scirpus grossus) dan Hydraulic Retention Time (HRT). Penjelasan penggunaan variabel terdapat pada Tabel 3.2. Penelitian dilakukan dengan duplo. 37 Reaktor variabel kontrol yang digunakan mendapatkan perlakuan yang sama seperti variabel penelitian, tetapi tanpa tumbuhan. Tabel 3.1 Variasi Konsentrasi Range Finding Test Kadar Nutrien (mg/L) Variasi Amonium Fosfat I 0 0 II 10 3,33 III 25 8,33 IV 100 33,33 V 250 83,33 VI 500 166,67 VII 750 250 VIII 1.000 333,33 Tabel 3.2 Variabel Penelitian Jenis Tumbuhan HRT Typha angustifolia Scirpus grossus Mixed Plants Kontrol 1 hari Ta1 Sg1 MP1 K1 3 hari Ta3 Sg3 MP3 K3 Keterangan: 1. Ta1 = Jenis tumbuhan Typha angustifolia dengan HRT 1 hari 2 Ta3 = Jenis tumbuhan Typha angustifolia dengan HRT 3 hari 3 Sg1 = Jenis tumbuhan Scirpus grossus dengan HRT 1 hari 4 Sg3 = Jenis tumbuhan Scirpus grossus dengan HRT 3 hari 5 MP1 = Jenis tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus dengan HRT 1 hari 38 6 7 8 MP3 = Jenis tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus dengan HRT 3 hari K1 = Tanpa tumbuhan dengan HRT 1 hari K3 = Tanpa tumbuhan dengan HRT 3 hari b. Uji Parameter Metode analisis parameter menggunakan metode yang masih berlaku dan dapat dilaksanakan di laboratorium Teknik Lingkungan ITS. Parameter yang diuji pada penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua), yaitu parameter utama dan parameter monitor. Parameter utama meliputi konsentrasi amonium, nitrat, dan fosfat, sedangkan parameter monitor adalah pH, suhu, dan DO. 1. pH Pengukuran pH dilakukan pada seluruh sampel yang diambil. Metode yang digunakan mengacu pada SNI 06-6989.11-2004 (cara uji derajat keasaman dengan menggunakan alat pH meter). 2. Suhu Metode pengukuran suhu yang digunakan mengacu pada SNI 06-6989.23-2005 (cara uji suhu dengan termometer). 3. Dissolved Oxygen (DO) Dissolved Oxygen atau oksigen terlarut dianalisis dengan menggunakan alat DO-meter. 4. Amonium Metode yang digunakan dalam analisis amonium adalah dengan Metode Nessler. Metode ini mengacu pada Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. 5. Nitrat Pada analisis kadar nitrat, metode yang digunakan adalah Metode Brucine Acetat yang mengacu pada Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. 6. Fosfat Fosfat dianalisis dengan Metode Timah Klorida yang mengacu pada Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. 39 Prosedur uji selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran B. 3.8 Analisis dan Pembahasan Analisis data dan pembahasan dilakukan setelah mendapatkan data yang diperoleh selama penelitian. Hasil analisis akan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik, serta dianalisis secara deskriptif. Kemudian dilakukan uji signifikansi data menggunakan uji statistik menguji hubungan antara parameter yang bergantung pada normalitas dan homogenitas data. Pembahasan hasil penelitian ini dilakukan berdasarkan tujuan awal penelitian, serta harus disesuaikan dengan studi literatur yang telah dilakukan. Literatur tersebut digunakan sebagai pendukung maupun pembanding hasil yang diperoleh. Output data yang akan dibahas adalah perbandingan tingkat efisiensi proses pengolahan dengan Hybrid Constructed Wetlands berdasarkan variabel jenis tumbuhan dan HRT. 3.9 Penarikan Kesimpulan dan Saran Kesimpulan dan saran diperoleh dari hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan. Kesimpulan yang akan disampaikan berisi tentang jawaban atas tujuan penelitian berdasarkan fakta yang diperoleh selama penelitian. Sementara itu, pemberian saran dilakukan untuk perbaikan dan pengembangan penelitian selanjutnya mengenai Hybrid Constructed Wetlands. 40 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan sebelum penelitian utama dilaksanakan. Penelitian pendahuluan meliputi tahap propagasi, tahap pembuatan air limbah, dan tahap Range Finding Test. 4.1.1 Tahap Propagasi Tumbuhan Tahap propagasi tumbuhan merupakan proses pengembangbiakan untuk mendapatkan tunas baru (second generation) dari dua tumbuhan yang digunakan dalam proses pengolahan, yaitu Typha angustifolia dan Scirpus grossus. Tumbuhan yang menjadi second generation inilah yang nantinya akan digunakan untuk Range Finding Test dan uji phytotreatment. Propagasi tumbuhan dilakukan dengan menanam tumbuhan induk yang didapatkan dari rawa-rawa di sekitar ITS seperti pada Gambar 4.1 dalam reaktor bak plastik dengan media tanam berupa tanah taman. Sebelum ditanam, tumbuhan induk dipotong hinggga tingginya mencapai ± 30 cm untuk mempercepat pertumbuhan tunas. Pada media juga ditambahkan nutrien dari kompos dan pupuk organik yang dilarutkan dalam air kran atau air PDAM untuk menunjang kondisi optimum pertumbuhan. Gambar 4.1 Tumbuhan Induk Typha angustifolia (kiri) dan Scirpus grosssus (kanan) 41 Selama tahap propagasi tumbuhan, dilakukan pengukuran fisik tumbuhan untuk menentukan karakteristik laju pertumbuhan (Growth Rate) pada kondisi normal. Pengamatan karakteristik tumbuhan yang dilakukan meliputi, panjang dan diameter batang; jumlah, panjang, dan lebar daun; dan panjang akar. Tinggi tumbuhan merupakan jumlah dari panjang daun dan panjang batang. Proses pengamatan karakteristik fisik dapat dilihat pada Gambar 4.3. Tumbuhan dengan umur dan tinggi yang sama dari hasil pengamatan terhadap laju pertumbuhan ini akan digunakan pada setiap tahap penelitian sehingga diharapkan kondisi awal tumbuhan yang digunakan adalah sama (Karenlampi et al., 2000). Gambar 4.2 Tunas Baru Tumbuhan Typha angustifolia (kiri) dan Scirpus grosssus (kanan) Gambar 4.3 Pengukuran Tinggi Tumbuhan (kiri) dan Lebar Daun (kanan) 42 Berdasarkan hasil pengamatan, Typha angustifolia dan Scirpus grossus masih mengalami pertumbuhan fisik yang signifikan tiap minggunya. Gambar 4.5 dan Gambar 4.6 menunjukkan grafik pertumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus. Dari grafik tersebut, terlihat bahwa Typha angustifolia dan Scirpus grossus dapat tumbuh dengan baik pada kondisi lingkungan perlakuan. Typha angustifolia mengalami pertumbuhan tinggi terbesar pada usia 3 minggu, sedangkan Scirpus grossus mengalami pertumbuhan tinggi terbesar pada usia 5 minggu. Pemilihan umur tumbuhan untuk Range Finding Test (RFT) dan phytotreatment didasarkan pada kecepatan pertumbuhan vegetatif tersebut, serta berdasarkan umur tumbuhan sebelum memasuki fase generatif (fase munculnya bunga). Diharapkan pada fase pertumbuhan vegetatif tercepat dan belum memasuki fase generatif ini, tumbuhan dapat menyerap kontaminan secara optimal. 12 Jumah Daun 10 8 6 4 2 0 1 2 3 4 5 6 Umur Tumbuhan (minggu) Typha angustifolia 7 8 Scirpus grossus Gambar 4.4 Jumlah Daun Tumbuhan selama Tahap Propagasi 43 160 140 Panjang (cm) 120 Umur tumbuhan yang digunakan 100 80 60 40 20 0 0 1 2 3 4 5 6 Umur Tumbuhan (minggu) Lebar Daun (cm) Panjang Daun (cm) Panjang Batang (cm) Diameter Batang (cm) Panjang Akar (cm) Tinggi Tumbuhan (cm) [Panjang Daun + Panjang Batang] Gambar 4.5 Ukuran Fisik Typha angsutifolia selama Tahap Propagasi 44 7 8 Panjang (cm) 0 20 40 60 80 100 120 140 160 0 3 4 Umur Tumbuhan (minggu) 5 Tinggi Tumbuhan (cm) [Panjang Daun + Panjang Batang] Panjang Akar (cm) Diameter Batang (cm) Panjang Batang (cm) Panjang Daun (cm) Lebar Daun (cm) 2 6 Gambar 4.6 Ukuran Fisik Scirpus grossus selama Tahap Propagasi 1 Umur tumbuhan yang digunakan 7 45 8 Gambar 4.7 Typha angustifolia (kiri) dan Scirpus grossus (kanan) untuk RFT dan Uji Phytotreatment Tunas vegetatif dari tumbuhan induk muncul setelah 2 minggu propagasi dilakukan. Tunas baru yang umurnya telah mencapai 3-5 minggu dipindahkan ke reaktor Range Finding Test untuk penelitian selanjutnya. Sementara itu, tanaman induk dibiarkan berada pada reaktor propagasi untuk menumbuhkan tunas baru yang akan digunakan pada uji phytotreatment. 4.1.2 Tahap Pembuatan Air Limbah Air limbah dibuat dengan konsentrasi amonium dan fosfat yang tinggi sebagai larutan stock yang akan digunakan pada saat Range Finding Test. Konsentrasi yang dibuat, yaitu amonium sebesar 10.000 mg/L dan fosfat sebesar 3.333,33 mg/L (perbandingan amonium : fosfat = 3 : 1). Larutan stock dibuat sebanyak 1 L. Bahan dasar air limbah yang dibuat adalah pupuk Calcium Ammonium Nitrat dengan konsentrasi amonium 13,5% dan pupuk Super Fosfat (SP-36) dengan konsentrasi fosfat 36%. Perhitungan kebutuhan pupuk untuk pembuatan air limbah dilakukan sebagai berikut. Kandungan amonium dalam 1 kg pupuk Calcium Ammonium Nitrat [a] = 13,5% x 1.000 gram = 135 gram 46 Kandungan fosfat dalam 1 kg Pupuk Super Fosfat (SP-36) [b] = 36% x 1.000 gram = 360 gram Kebutuhan pupuk Calcium Ammonium Nitrat untuk kadar amonium sebesar 10.000 mg/L dalam 1 L air: Massa ammonium air limbah [c] = 10.000 mg/L x 1 L = 10.000 mg = 10 g Massa pupuk Calcium Ammonium Nitrat = = 𝑐 𝑎 𝑥 1.000 𝑔𝑟𝑎𝑚 10 135 𝑥 1.000 𝑔𝑟𝑎𝑚 = 74,07 gram Kebutuhan pupuk Super Fosfat (SP-36) untuk kadar fosfat sebesar 3.333,33 mg/L dalam 1 L air: Massa fosfat air limbah [d] = 3.333,33 mg/L x 1 L = 3.333,33 mg = 3,33 g Massa pupuk Super Fosfat (SP-36) = 𝑑 𝑏 𝑥 1.000 𝑔𝑟𝑎𝑚 3,333 𝑥 1.000 𝑔𝑟𝑎𝑚 = 9,26 gram Berdasarkan perhitungan tersebut, maka untuk membuat 1 L air limbah dengan konsentrasi amonium sebesar 10.000 mg/L dan fosfat sebesar 3.333,33 mg/L dibutuhkan Pupuk Calcium Ammonium Nitrat sebanyak 74,07 gram dan pupuk Super Fosfat (SP-36) sebanyak 9,26 gram. Air limbah selanjutnya diencerkan menjadi beberapa variasi konsentrasi yang lebih kecil untuk RFT. = 360 4.1.3 Tahap Range Finding Test Range Finding Test (RFT) bertujuan untuk menetapkan rentang konsentrasi maksimum yang dapat diproses secara fitoremediasi oleh tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus (Tangahu et al., 2010). Media tanam yang digunakan 47 untuk RFT berupa pasir seberat 3 kg pada ember berdiameter 25 cm dengan tinggi 20 cm. Pada masing-masing ember ditanam 3 tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus. Tumbuhan yang digunakan pada tahap ini, yaitu tumbuhan generasi kedua hasil propagasi sebelumnya. RFT dilakukan dengan rentang konsentrasi seperti yang tertera pada Tabel 3.1. Variasi konsentrasi diperoleh melalui pengenceran larutan stock air limbah yang telah dibuat sebelumnya. Volume air limbah yang digunakan untuk RFT sebanyak 350 mL. Besar nilai volume ini didapat berdasarkan hasil pengukuran bulk density pasir yang perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran A. Mengacu pada pedoman U.S. EPA Ecological Effect Guideline OPPTS 850.4400, RFT dilakukan selama 4 hari atau selama 96 jam. Namun, dikarenakan tidak adanya perubahan yang signifikan dalam 4 hari, maka waktu RFT diperpanjang 24 jam hingga terlihat perubahan. Dalam penelitian ini, RFT dilakukan hingga 14 hari untuk mendapatkan perubahan yang signifikan. Selama 14 hari, kondisi fisik tumbuhan seperti warna tumbuhan (daun dan batang), serta layu atau tidaknya tumbuhan diamati. Hasil analisis perubahan kondisi fisik tumbuhan selama RFT dapat dilhat pada Lampiran A. Dalam penelitian yang dilakukan Surrency (1993), tumbuhan yang ber-genus sama dengan Typha angustifolia, yakni Typha latifolia, mengalami stres atau penurunan kemampuan hidupnya pada air limbah dengan konsentrasi amonium 160 – 170 mg/L. Kondisi tersebut sesuai dengan hasil pada penelitian ini, dimana pada konsentrasi amonium sama dengan atau lebih tinggi dari 100 mg/L, efek kematian tumbuhan pada Typha angustifolia lebih dari 50%. Akan tetapi, dari hasil pengamatan fisik tumbuhan pada tahap RFT, Typha angustifolia masih dapat bertahan hidup (survive) pada kadar amonium sebesar 500 mg/L dan fosfat sebesar 166,67 mg/L. Pada konsentrasi ini, 3 tumbuhan Typha angustifolia dapat survive dengan menunjukkan kondisi tumbuhan yang masih segar dan tumbuh tunas, meskipun daun dan batangnya berwarna kekuningan. Sementara itu, Scirpus grossus dapat bertahan hidup hingga kadar amonium sebesar 750 mg/L dan fosfat sebesar 250 mg/L. Pada konsentrasi ini, 2 tumbuhan 48 Scirpus grossus dapat survive dengan menunjukkan kondisi daunnya berwarna kuning dan agak kering. Jumlah tumbuhan yang survive pada tiap konsentrasi dapat dilihat pada Tabel 4.1. Berdasarkan hasil dari RFT tersebut, konsentrasi amonium dan fosfat yang akan digunakan pada uji phytotreatment adalah sebesar 500 mg/L dan 166,67 mg/L. Hal ini mempertimbangkan dari kemampuan kedua tumbuhan, dimana kedua tumbuhan mampu bertahan pada konsentrasi air limbah yang sama. Tabel 4.1 Jumlah Tumbuhan Survive Tiap Konsentrasi Setelah RFT Jenis Tumbuhan Typha angustifolia Scirpus grossus Kadar Nutrien (mg/L) Jumlah Tumbuhan Letal Efek Kematian Tumbuhan (%) Amonium Fosfat Jumlah Tumbuhan Survive 0 0 2 1 33,3 10 3,33 2 1 33,3 25 8,33 2 1 33,3 100 33,33 1 2 66,7 250 83,33 1 2 66,7 500 166,67 3 0 0 750 250 0 3 100 1000 333,33 0 3 100 0 0 2 1 33,3 10 3,33 3 0 0 25 8,33 2 1 33,3 100 33,33 2 1 33,3 250 83,33 1 2 66,7 500 166,67 2 1 33,3 750 250 2 1 33,3 1000 333,33 1 2 66,7 49 4.2 Uji Phythotreatment Uji phytotreatment dilakukan terhadap air limbah yang dibuat dengan konsentrasi berdasarkan hasil Range Finding Test, yaitu amonium sebesar 500 mg/L dan fosfat sebesar 166,67 mg/L. Reaktor yang digunakan berbahan plastik dengan ukuran 73 cm x 52 cm x 42 cm seperti pada Gambar 4.8. Media yang digunakan adalah media pasir sebagai media utama dan media kerikil sebagai media penyangga. Tumbuhan yang digunakan merupakan tumbuhan dari hasil propagasi dengan usia sekitar 3-5 bulan. Jumlah tumbuhan untuk reaktor Vertical Flow CWs (VF-CWs) sebanyak 58 tumbuhan, sedangkan untuk reaktor Horizontal Flow CWs (HF-CWs) sebanyak 48 tumbuhan. Kebutuhan jumlah tumbuhan ini berdasarkan pada hasil Range Finding Test dengan perhitungan yang dapat dilihat pada Lampiran A. Gambar 4.8 Susunan Reaktor Uji Phytotreatment Air limbah dialirkan secara gravitasi dari reservoir air limbah menuju VF-CWs lalu HF-CWs. Volume air limbah yang dibutuhkan untuk masing-masing reaktor dalam sehari didapatkan dari hasil pengukuran bulk density media setelah disusun di dalam reaktor. Volume air limbah yang dibutuhkan untuk reaktor VF-CWs sebanyak 6,74 L, sedangkan untuk HF-CWs sebanyak 5,58 L. Secara kontinyu, air limbah dialirkan dengan debit sebesar 12,32 L/hari untuk HRT 1 hari dan 4,107L/hari untuk HRT 3 hari. Debit aliran dijaga dengan mempertahankan ketinggian air limbah 50 menggunakan sistem overflow pada reservoir air limbah agar tekanan yang dihasilkan tetap. Parameter diamati pada efluen dari tiap reaktor VSSF dan HSSF pada tiga macam variasi tumbuhan dan kontrol tanpa tumbuhan. Pengoperasian dimulai pada hari ke-0 dengan pengamatan parameter dilakukan setiap hari pada minggu pertama pengoperasian. Kemudian pengamatan dilakukan sekali untuk minggu berikutnya hingga pengoperasian mencapai 1 bulan. Sementara itu, pengamatan parameter pada influen air limbah dilakukan sebelum air limbah dialirkan ke reaktor uji. Gambar 4.9 Sistem Overflow pada Reservoir Air Limbah 4.3 Analisis Parameter Monitor Temperatur, pH, dan Dissolved Oxygen merupakan parameter yang mempengaruhi mekanisme dekonsentrasi nutrien. Hal ini dikarenakan mikroorganisme dan tumbuhan yang berperan dalam proses dekonsentrasi, sensitif terhadap ketiga parameter tersebut. Analisis temperatur, pH, dan Dissolved Oxygen sebagai parameter monitor akan dibahas sebagai berikut. 4.3.1 Analisis Temperatur Temperatur atau suhu merupakan derajat atau tingkat panas dari suatu zat. Temperatur menjadi salah satu parameter fisik yang mempengaruhi proses dekonsentrasi nutrien dalam Constructed Wetlands. Proses pertukaran zat (metabolisme) pada 51 makhluk hidup sangat dipengaruhi oleh kondisi temperatur (Permana, 2003). Tumbuhan juga dapat menyerap nutrien dengan baik jika berada pada kondisi temperatur yang ideal. Pada penelitian ini, pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termometer air raksa pada efluen setiap kali sampling dilakukan. Fluktuasi temperatur pada reaktor uji dapat dilihat dalam grafik pada Gambar 4.10 dan Gambar 4.11. Dalam uji pytotreatment, temperatur untuk semua reaktor, baik dengan HRT 1 hari maupun HRT 3 hari berkisar 26o – 33oC. Dikarenakan reaktor diletakkan pada green house di luar laboratorium, akibatnya panas matahari mempengaruhi kenaikan temperatur setiap reaktor. Semakin tinggi temperatur maka kadar oksigen akan semakin berkurang (Caroline dan Moa, 2015) yang akan menyebabkan penurunan kemampuan dekonsentrasi amonium dengan proses nitrifikasi. Sebaliknya, menurut Jones et al (2013), kemungkinan terjadinya volatilisasi amonium semakin meningkat pada temperatur yang tinggi (> 21oC). Temperatur yang tinggi juga dapat mendukung dekomposisi dan/atau mineralisasi organik (proses amonifikasi) yang mengakibatkan kenaikan konsentrasi amonium (Zhang et al., 2016). Mikroorganisme yang berperan dalam dekonsentrasi nitrogen bergantung pada kondisi temperatur. Temperatur ideal untuk proses nitrifikasi berkisar antara 16,5o hingga 32oC dan untuk proses denitrifikasi berkisar antara 20o hingga 25oC (Saeed dan Sun, 2012). Selama penelitian ini, kondisi temperatur ideal untuk proses nitrifikasi, tetapi kurang mendukung untuk proses denitrifikasi karena temperatur yang tinggi. Berdasarkan Crites dan Tchobanoglousl (1998), Typha sp. dapat tumbuh dengan baik pada temperatur 10 o – 30oC, sedangkan Scirpus sp. pada temperatur 16o – 27oC. Dari hasil pengukuran yang dilakukan, pada reaktor yang ditanami tumbuhan Typha angustifolia (single plant dan mixed plants), baik dengan HRT 1 hari maupun HRT 3 hari, tumbuhan masih dapat tumbuh dengan baik karena rata-rata temperatur tidak melebihi 30oC. Sementara pada reaktor dengan tumbuhan Scirpus grossus, ratarata suhu melebihi 27oC (sekitar 28o - 30oC) sehingga menyebabkan tumbuhan menjadi agak kering. 52 Temperatur (OC) 0 5 10 15 20 25 30 35 HSSF Hari ke-2 Hari ke-7 Hari ke-6 Hari ke-14 Hari ke-3 HSSF Hari ke-21 Hari ke-28 Hari ke-5 Scirpus grossus VSSF Hari ke-4 Jenis Reaktor Typha angustifolia VSSF Hari ke-1 Kontrol HSSF HSSF Mixed Plants VSSF Gambar 4.10 Temperatur Air Limbah pada Reaktor dengan HRT 1 Hari Air Limbah VSSF 53 35 Temperatur (OC) 30 25 20 15 10 5 0 VSSF Air Limbah HSSF Kontrol VSSF HSSF VSSF Typha angustifolia HSSF VSSF Scirpus grossus Jenis Reaktor Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12 Hari ke-15 Hari ke-18 Hari ke-21 Hari ke-24 Hari ke-27 Hari ke-30 Gambar 4.11 Temperatur Air Limbah pada Reaktor dengan HRT 3 Hari 54 HSSF Mixed Plants 4.3.2 Analisis pH Derajat Keasaman atau pH menunjukkan konsentrasi ion H+ dan ion OH- pada air limbah. Semakin tinggi ion H+ menandakan bahwa limbah tersebut bersifat asam. Semakin tinggi ion OH menandakan bahwa limbah tersebut bersifat basa. Pada penelitian ini, pH diukur dengan menggunakan pH meter digital Senz pH (Scientific). Pengukuran pH dilakukan setiap kali sampling. Hasil analisis pH untuk variabel HRT 1 hari menunjukkan bahwa pH pada efluen reaktor jenis VSSF berfluktuasi pada kisaran 7,1 – 8,1, sedangkan pada efluen HSSF berkisar 7 – 8,3. Sementara pada variabel HRT 3 hari, pH efluen reaktor jenis VSSF dan HSSF memiliki rentang pH yang sama, yaitu 6,8 – 8,1. Influen reaktor memiliki pH yang lebih rendah daripada efluen, yaitu pada kisaran 5,6 – 7,4. Fluktuasi pH dari tiap-tiap reaktor dapat dilihat dalam grafik pada Gambar 4.12 dan Gambar 4.13. Selama pengoperasian reaktor, terjadi peningkatan pH dari air limbah awal atau influen menuju efluen reaktor jenis VSSF untuk seluruh variabel, baik HRT maupun jenis tumbuhan. Kemudian penurunan pH terjadi pada efluen reaktor HSSF, terkecuali reaktor kontrol. Pada reaktor kontrol jenis HSSF, pH pada efluen mengalami kenaikan dibandingkan jenis VSSF selama seminggu awal pengoperasian. Menurut Lines-Kelly (2005), ketika tumbuhan menyerap N dalam bentuk nitrat, tumbuhan akan melepaskan ion hidroksil sehingga mengakibatkan rizosfir lebih alkalis. Ketika tumbuhan menyerap N dalam bentuk amonium, maka tumbuhan akan melepaskan ion hidrogen sehingga pH pada rizosfir menjadi lebih asam. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kenaikan pH pada reaktor VSSF dikarenakan tumbuhan lebih menyerap N dalam bentuk nitrat dibandingkan amonium. Sebaliknya, penurunan pH pada reaktor HSSF menunjukkan bahwa tumbuhan mulai menyerap N dalam bentuk amonium. Penurunan pH juga dapat terjadi karena adanya respirasi mikroba dan akar tanaman yang melepaskan CO 2 sehingga mengakibatkan kenaikan konsentrasi asam karbonat atau bikarbonat yang mengarah pada penurunan pH. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Deman et al. (2002), kondisi yang ideal untuk proses nitrifikasi adalah pada pH dengan 55 9 8 7 pH 6 5 4 3 2 1 0 VSSF Air Limbah HSSF Kontrol VSSF HSSF Typha angustifolia Jenis Reaktor VSSF HSSF Scirpus grossus HSSF Mixed Plants Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4 Hari ke-5 Hari ke-6 Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21 Hari ke-28 Gambar 4.12 pH Air Limbah pada Reaktor dengan HRT 1 Hari 56 VSSF pH 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Air Limbah VSSF HSSF Hari ke-21 Hari ke-18 Hari ke-24 Hari ke-9 HSSF Hari ke-27 Hari ke-12 Hari ke-30 Hari ke-15 Scirpus grossus VSSF Gambar 4.13 pH Air Limbah pada Reaktor dengan HRT 3 Hari Hari ke-6 Typha angustifolia Jenis Reaktor VSSF Hari ke-3 Kontrol HSSF HSSF Mixed Plants VSSF 57 rentang 7,5 hingga 8,6, sedangkan untuk proses denitrifikasi dibutuhkan pH dengan rentang 7 hingga 8. Sementara dalam penelitian lainnya, proses nitrifikasi biasanya berlangsung pada pH 5,5 hingga pH 10 dan optimum pada pH 8,5 (Damanik et al., 2011), sedangkan proses denitrifikasi paling efektif pada pH antara 7,0 hingga 8,5 dengan optimalnya sekitar 7 (Kida et al., 1999). Selain proses nitrifikasi dan denitrifikasi, pH juga menjadi faktor yang memungkinkan terjadinya volatilisasi amonium. Menurut Jones et al (2013), pH yang tinggi (>7,0) dapat meningkatkan terjadinya proses volatilisasi amonium. 4.3.3 Analisis Dissolved Oxygen (DO) Dissolved Oxygen (DO) merupakan kadar oksigen terlarut dalam air. Dalam penelitian ini, DO memiliki peranan penting untuk terjadinya proses nitrifikasi. Menurut Rasheed (2014), semakin tinggi konsentrasi DO pada sistem VSSF, maka semakin besar terjadinya penurunan konsentrasi amonium melalui proses nitrifikasi. Berdasarkan Hammer dan Knight (1994), nitrifikasi akan berkurang pada kondisi DO kurang dari 2 mg/L. Analisis DO dilakukan dengan menggunakan DO-meter. Konsentrasi DO dari hasil analisis dapat dilihat dalam bentuk grafik pada Gambar 4.14 dan Gambar 4.15. Konsentrasi DO air limbah pada influen cukup tinggi, yakni berkisar antara 4,2 – 6,2 mg/L untuk variabel HRT 1 hari dan 4,1 – 5,1 mg/L untuk HRT 3 hari. Adanya oksigen terlarut pada influen dikarenakan pembuatan air limbah yang berulang-ulang, yaitu setiap 2 hari sekali sehingga pengisian air limbah ke dalam reservoir dapat meningkatkan oksigen terlarut. Penurunan DO terjadi setelah air limbah melewati reaktor jenis VSSF maupun HSSF yang menunjukkan adanya proses nitrifikasi oleh bakteri dengan memanfaatkan oksigen dalam air limbah. Meski terjadi penurunan DO, pada reaktor HSSF sulit untuk mecapai DO dengan kadar < 2 mg/L yang menjadi prasyarat terjadinya proses denitrifikasi dengan baik. Padahal reaktor HSSF memiliki fungsi utama sebagai tempat berlangsungnya proses denitrifikasi. Tumbuhan dapat meningkatkan kadar oksigen terlarut dalam air yang menguntungkan untuk proses nitrifikasi, namun 58 DO (mg/L) 0 1 2 3 4 5 6 7 Air Limbah Hari ke-14 Hari ke-3 HSSF Hari ke-21 Hari ke-4 Scirpus grossus VSSF Gambar 4.14 DO Air Limbah pada Reaktor dengan HRT 1 Hari Hari ke-7 Hari ke-6 HSSF Typha angustifolia Jenis Reaktor VSSF Hari ke-2 Kontrol HSSF Hari ke-1 VSSF HSSF Hari ke-28 Hari ke-5 Mixed Plants VSSF 59 6 5 DO (mg/L) 4 3 2 1 0 VSSF Air Limbah HSSF Kontrol VSSF HSSF Typha angustifolia Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-18 Hari ke-21 VSSF HSSF VSSF Scirpus grossus Mixed Plants Jenis Reaktor Hari ke-9 Hari ke-12 Hari ke-15 Hari ke-24 Hari ke-27 Hari ke-30 Gambar 4.15 DO Air Limbah pada Reaktor dengan HRT 3 Hari 60 HSSF tidak untuk denitrifikasi (Toet et al., 2005). Menurut Vretare (2001), tumbuhan dapat meningkatkan oksigen dalam air melalui proses fotosintesis. Selain tumbuhan, kadar DO juga dapat meningkat tergantung pada media yang digunakan. Pasir sebagai media utama yang digunakan dalam penelitian ini merupakan media yang berporositas tinggi sehingga dapat meningkatkan oksigen terlarut dalam air limbah (Lei, 2001). 4.4 Penurunan Kandungan Senyawa Nitrogen Proses dekonsentrasi senyawa nitrogen sebagian besar dilakukan bakteri melalui proses amonifikasi, nitrifikasi, dan denitrifikasi. Selain secara biologis, proses penghilangan nitrogen dalam wetland juga terjadi melalui proses volatilisasi ion amonium (NH4+) menjadi gas NH3 ketika pH lebih besar dari 8, sedimentasi dan penyaringan partikel padat yang mengandung nitrogen, serta proses adsorbsi ion amonium ke dalam sedimen organik dan anorganik melalui pertukaran ion positif (Liehr et al., 2000). Dalam proses dekonsentrasi senyawa nitrogen, tumbuhan memiliki peranan penting sebagai tempat mikroorganisme tumbuh dan pemasok oksigen untuk mendukung pertumbuhan bakteri aerob. Sementara itu, kebutuhan karbon organik oleh bakteri sebagai sumber energi berasal dari sisa-sisa bagian tumbuhan yang telah mati (Liehr et al., 2000). 4.4.1 Parameter Amonium sebagai Nitrogen (NH4+-N) A. Penurunan Amonium pada Reaktor HRT 1 Hari Konsentrasi amonium mengalami penurunan yang signifikan pada hari ke-1 pengoperasian untuk semua reaktor, baik reaktor dengan tumbuhan, maupun reaktor kontrol tanpa tumbuhan. Efisiensi tersebut dapat mencapai 99,9%. Tingginya efisiensi pada hari ke-1 pengoperasian bisa disebabkan karena terjadinya berbagai proses fisika, kimia, ataupun biologi. Akan tetapi, dikarenakan reaktor kontrol tanpa tumbuhan (reaktor K1) juga memiliki efisiensi yang tinggi, hal ini menunjukkan bahwa media memberikan peranan besar dalam dekonsentrasi amonium melalui proses fisik, yakni filtrasi dan sedimentasi. Selain itu, mikroorganisme dan tumbuhan membutuhan waktu untuk dapat 61 beradaptasi dengan kondisi lingkungan baru sehingga belum dapat menjadi faktor utama penurunan konsentrasi amonium. Efisiensi dekonsentrasi reaktor K1 tertinggi untuk jenis VSSF terjadi pada 5 hari awal pengoperasian yang mencapai 99,62 - 99,96% dengan konsentrasi amonium terendah yang dapat dicapai sebesar 0,21 mg/L. Nilai efisiensi yang tinggi selama 5 hari tersebut menandakan bahwa media masih sangat efektif dalam menurunkan konsentrasi amonium. Setelah hari ke-5, konsentrasi amonium mengalami kenaikan yang cukup signifikan hingga hari ke-14 pengoperasian, kemudian kembali mengalami penurunan setelahnya. Peningkatan konsentrasi amonium di reaktor VSSF menyebabkan penurunan efisiensi dekonsentrasi hingga mencapai 63,38%. Air limbah dengan konsentrasi yang tetap dan dialirkan secara terus-menerus ke dalam reaktor akan menyebabkan media dalam reaktor menjadi jenuh atau mengalami penurunan efisiensi dalam proses. Kenaikan efisiensi dekonsentrasi amonium setelah hari ke-14 menunjukkan bahwa peran mikroorganisme dalam proses nitrifikasi semakin besar. Hal ini ditandai dengan penurunan pH, serta selisih DO yang besar antara influen dan efluen reaktor setelah hari ke-14. Selisih DO lebih besar karena oksigen dalam air digunakan mikroorganisme untuk proses nitrifikasi. Sementara itu, pada reaktor K1 jenis HSSF, efisiensi dekonsentrasi tertinggi sebesar 99,88% pada hari ke-28 dengan konsentrasi amonium mencapai 0,07 mg/L. Efisiensi dekonsentrasi yang tinggi pada reaktor HSSF di akhir penelitian dikarenakan efisiensi reaktor VSSF yang tinggi di awal penelitian. Konsentrasi amonium yang rendah pada efluen reaktor VSSF menyebabkan reaktor HSSF hanya bisa menurunkan sedikit konsentrasi amonium. Konsentrasi amonium pada reaktor HSSF berfluktuasi hingga hari ke-6 kemudian mengalami kenaikan hingga hari ke-21. Fluktuasi konsentrasi ini juga terjadi disebabkan karena influen reaktor HSSF dari reaktor VSSF yang berfluktuasi, serta dikarenakan mikroorganisme pada media masih dalam tahap adaptasi. Konsentrasi amonium dan efisiensi dekonsentrasi pada reaktor kontrol dengan HRT 1 hari selengkapnya dapat dilihat dalam bentuk grafik pada Tabel 4.2. 62 Sedikit berbeda dengan reaktor K1, fluktuasi konsentrasi amonium selama minggu pertama pengoperasian pada reaktor dengan tumbuhan dapat disebabkan karena keberadaan tumbuhan itu sendiri. Tumbuhan mensekresikan eksudat akar untuk mengundang mikroba datang ke rizosfir. Menurut Purwantari (2008), senyawa metabolit (eksudat), seperti senyawa-senyawa gula, asam amino, asam organik, glikosida, senyawa nukleotida, enzim, vitamin, dan senyawa indol akan dilepaskan oleh akar tumbuhan. Senyawa ini dimanfaatkan sebagai nutrisi oleh mikroorganisme tanah untuk proses metabolisme. Sebaliknya, hasil metabolisme mikroorganisme tanah yang berupa ion-ion anorganik seperti amonium akan menjadi unsur hara bagi tumbuhan. Tabel 4.2 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Reaktor Kontrol HRT 1 Hari Reaktor K1 Hari ke- Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 1 495,13 1,86 99,62 0,61 67,40 99,88 2 506,07 0,26 99,95 0,18 30,98 99,97 3 499,00 0,42 99,92 0,22 47,96 99,96 4 505,67 0,76 99,85 0,18 76,02 99,96 5 505,67 0,21 99,96 0,08 61,81 99,98 6 502,33 54,97 89,06 0,28 99,50 99,94 7 495,67 91,35 81,57 0,36 99,61 99,93 14 499,00 182,71 63,38 0,47 99,74 99,91 21 495,67 154,43 68,84 0,47 99,69 99,90 28 505,67 59,60 88,21 0,07 99,88 99,99 Dikarenakan adanya peran media yang cukup besar, konsentrasi amonium dari influen air limbah juga mengalami 63 penurunan yang signifikan setelah melewati reaktor dengan tumbuhan, baik reaktor dengan Typha angustifolia (reaktor Ta1) dan Scirpus grossus (reaktor Sg1) single plant, maupun reaktor Mixed Plants (reaktor MP1). Setelah hari ke-1 pengoperasian, konsentrasi amonium pada reaktor VSSF Ta1 terus mengalami peningkatan hingga hari ke-28. Terjadinya peningkatan tersebut menunjukkan bahwa setelah hari ke-1 pengoperasian, media sudah jenuh sehingga efisiensi menurun dan Typha angustifolia memberikan peranan yang kecil dalam dekonsentrasi amonium melalui proses fitoekstraksi. Sementara itu, pada reaktor HSSF, konsentrasi amonium mengalami peningkatan yang signifikan di hari ke-14 hingga akhir penelitian. Besarnya konsentrasi amonium pada influen reaktor VSSF lebih besar dibandingkan HSSF sehingga waktu jenuh media lebih lama terjadi pada reaktor HSSF. Konsentrasi amonium pada reaktor Typha angustifolia dengan HRT 1 hari selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.3. Sama seperti reaktor Ta1, pada reaktor Sg1 efisiensi tertinggi reaktor untuk jenis VSSF terjadi pada awal pengoperasian, kemudian efisiensi dekonsentrasi pada reaktor VSSF mengalami penurunan yang signifikan hingga akhir pengoperasian. Di hari ke-1 pengoperasian reaktor HSSF Sg1, efisiensi dekonsentrasi amonium bernilai negatif dikarenakan terjadi peningkatan konsentrasi amonium dari efluen reaktor VSSF menuju efluen HSSF. Efluen reaktor VSSF yang menjadi influen reaktor HSSF memiliki konsentrasi amonium yang sangat kecil karena reaktor VSSF memiliki efisiensi yang tinggi. Konsentrasi amonium yang sangat kecil sulit untuk diturunkan kadarnya dengan reaktor HSSF sehingga menyebabkan efisiensi bernilai negatif. Konsentrasi amonium dan efisiensi dekonsentrasi pada reaktor Scirpus grossus dengan HRT 1 hari selengkapnya dapat dilihat dalam bentuk grafik pada Tabel 4.4. Reaktor dengan kombinasi tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus (Mixed Plants) juga memiliki efisiensi dekonsentrasi amonium yang tinggi sama seperti reaktor lainnya. Efisiensi dekonsentrasil pada reaktor jenis VSSF tertinggi terjadi dari hari ke-1 hingga hari ke-5 pengoperasian (99,90 – 100%). Akibat efisiensi pada reaktor VSSF sangat tinggi, reaktor HSSF 64 juga memiliki efisiensi bernilai negatif seperti reaktor HSSF Sg1. Bedanya pada reaktor HSSF Sg1 hanya terjadi hingga hari ke-2 karena setelahnya efisiensi menjadi sangat tinggi dan stabil hingga akhir penelitian. Sementara pada reaktor HSSF MP1, efisiensi bernilai negatif hingga hari ke-5. Kemudian efisiensi reaktor HSSF kembali meningkat hingga akhir pengoperasian. Hal ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan konsentrasi amonium dari efluen VSSF menuju efluen HSSF yang bisa disebabkan karena aktivitas pengeluaran eksudat melalui akar tumbuhan. Efisiensi selanjutnya mengalami peningkatan hingga hari ke-14 yang kembali mengalami penurunan setelahnya. Efisiensi dekonsentrasi tertinggi pada reaktor HSSF 1 hari mencapai 99,82%. Konsentrasi amonium dan efisiensi dekonsentrasi pada reaktor Mixed Plants dengan HRT 1 hari selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.3 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Reaktor Typha angustifolia HRT 1 Hari Reaktor Ta1 Hari ke- Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 1 495,13 0,48 99,90 0,36 23,50 99,93 2 506,07 10,15 97,99 0,38 96,24 99,92 3 499,00 22,09 95,57 0,48 97,83 99,90 4 505,67 27,00 94,66 0,48 98,22 99,90 5 505,67 37,78 92,53 0,48 98,74 99,91 6 502,33 54,97 89,06 0,61 98,88 99,88 7 495,67 132,93 73,18 0,29 99,78 99,94 14 499,00 166,87 66,56 10,97 93,43 97,80 21 495,67 272,93 44,94 83,60 69,37 83,13 28 505,67 296,63 41,34 113,77 61,65 77,50 65 Tabel 4.4 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Reaktor Scirpus grossus HRT 1 Hari Reaktor Sg1 Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Hari keEfluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 1 495,13 0,22 99,95 0,37 -67,57 99,92 2 506,07 0,00 100,00 0,67 -16760,47 99,87 3 499,00 113,95 77,16 7,77 93,18 98,44 4 505,67 102,83 79,66 0,31 99,70 99,94 5 505,67 213,04 57,87 0,24 99,89 99,95 6 502,33 178,70 64,43 0,24 99,86 99,95 7 495,67 135,52 72,66 0,22 99,84 99,96 14 499,00 198,21 60,28 0,35 99,82 99,93 21 495,67 298,31 39,82 0,92 99,69 99,81 28 505,67 404,93 19,92 3,38 99,17 99,33 Tabel 4.5 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Reaktor Mixed Plants HRT 1 Hari Reaktor MP1 Hari ke- 66 Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 1 495,13 0,51 99,90 0,35 30,74 99,93 2 506,07 0,02 100,00 0,07 -238,73 99,99 3 499,00 0,08 99,98 0,29 -268,40 99,94 4 505,67 0,32 99,94 0,57 -74,56 99,89 5 505,67 0,38 99,92 0,85 -121,82 99,83 6 502,33 58,34 88,39 0,34 99,42 99,93 Reaktor MP1 Hari ke- Influen VSSF Efluen Total Efisiensi HSSF Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 7 495,67 48,57 90,20 0,15 99,70 99,97 14 499,00 129,90 73,97 0,23 99,82 99,95 21 495,67 29,00 94,15 17,20 40,70 96,53 28 505,67 11,60 97,71 11,53 0,57 97,72 B. Penurunan Amonium pada Reaktor HRT 3 Hari Penurunan amonium pada reaktor dengan HRT 3 hari memiliki tren yang hampir sama dengan reaktor HRT 1 hari. Seluruh reaktor VSSF memiliki efisiensi yang tinggi pada awal pengoperasian, sedangkan efisiensi pada reaktor HSSF sangat rendah, bahkan bernilai negatif kecuali pada reaktor MP3. Konsentrasi amonium yang sangat kecil pada influen reaktor HSSF menyebabkan reaktor HSSF tidak optimal dalam dekonsentrasi amonium. Konsentrasi amonium dan efisiensi dekonsentrasi pada HRT 3 hari dapat dilihat pada Tabel 4.6, Tabel 4.7, Tabel 4.8, dan Tabel 4.9. Sementara grafik fluktuasi efisiensi dekonsentrasi amonium pada reaktor dengan HRT 3 hari dapat dilihat pada Gambar 4.17. Konsentrasi amonium pada reaktor VSSF K3 mengalami kenaikan yang signifikan pada hari ke-18 pengoperasian. Sementara itu, pada reaktor VSSF Ta3 dan Sg3 mengalami kenaikan konsentrasi amonium di hari yang lebih lama, yakni pada hari ke-21. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peran tumbuhan dalam dekonsentrasi amonium, baik melalui proses fitoekstraksi, maupun sebagai tempat berkembangnya bakteri nitrifikasi. Berbeda dengan reaktor single plant yang menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan reaktor kontrol, pada reaktor mixed plants, kenaikan konsentrasi amonium yang tinggi mulai terjadi di hari ke9 sehingga dapat dikatakan bahwa kombinasi Typha angustifolia dan Scirpus grossus di reaktor VSSF tidak dapat memberikan hasil yang efektif dalam dekonsentrasi amonium. Meski reaktor VSSF 67 100 100 80 60 40 60 20 0 40 -20 -40 20 -60 -80 0 -100 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 Hari KeVSSF K1 VSSF Ta1 VSSF Sg1 VSSF MP1 HSSF K1 HSSF Ta1 HSSF Sg1 HSSF MP1 Gambar 4.16 Efisiensi Dekonsentrasi Amonium pada Reaktor dengan HRT 1 Hari 68 Efisiensi Dekonsentrasi HSSF (%) Efisiensi Dekonsentrasi VSSF (%) 80 Tabel 4.6 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Reaktor Kontrol HRT 3 Hari Reaktor K3 Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Hari keEfluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 3 495,67 0,13 99,97 0,48 -280,32 99,90 6 499,00 0,40 99,92 0,88 -120,33 99,82 9 502,33 0,03 99,99 0,16 -481,48 99,97 12 505,67 0,07 99,99 0,36 -382,43 99,93 15 502,33 0,21 99,96 0,61 -191,44 99,88 18 505,67 29,17 94,23 0,55 98,13 99,89 21 509,00 29,17 94,27 0,74 97,47 99,86 24 499,00 122,39 75,47 0,82 99,33 99,84 27 495,67 219,78 55,66 1,28 99,42 99,74 30 502,33 92,05 81,68 0,19 99,80 99,96 Tabel 4.7 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Reaktor Typha angustifolia HRT 3 Hari Reaktor Ta3 Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Hari keEfluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 3 495,67 0,36 99,93 0,33 7,54 99,93 6 499,00 0,62 99,88 0,43 30,96 99,91 9 502,33 2,06 99,59 0,77 62,61 99,85 12 505,67 0,42 99,92 0,10 76,57 99,98 15 502,33 1,23 99,76 0,14 88,73 99,97 18 505,67 0,72 99,86 0,50 30,97 99,90 69 Reaktor Ta3 Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Hari ke(mg/L) Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 21 509,00 52,93 89,60 0,62 98,84 99,88 24 499,00 101,63 79,63 1,52 98,50 99,69 27 495,67 224,84 54,64 2,33 98,96 99,53 30 502,33 238,74 52,47 2,51 98,95 99,50 Tabel 4.8 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Reaktor Scirpus grossus HRT 3 Hari Reaktor Sg1 Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Hari keEfluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 3 495,67 0,15 99,97 0,22 -44,35 99,96 6 499,00 0,15 99,97 0,13 11,60 99,97 9 502,33 0,69 99,86 0,38 44,59 99,92 12 505,67 0,45 99,91 0,27 38,65 99,95 15 502,33 0,47 99,91 0,33 30,19 99,93 18 505,67 4,40 99,13 0,36 91,72 99,93 21 509,00 21,42 95,79 0,43 98,01 99,92 24 499,00 137,22 72,50 0,50 99,63 99,90 27 495,67 256,86 48,18 0,50 99,81 99,90 30 502,33 89,01 82,28 0,32 99,64 99,94 dengan tumbuhan memberikan hasil efisiensi yang tinggi di hari yang lebih lama, konsentrasi terendah amonium yang dapat dicapai terjadi pada reaktor kontrol dengan konsentrasi sebesar 0,07 mg/L. Hal tersebut dikarenakan adanya eksudat akar yang 70 dikeluarkan oleh tumbuhan yang dapat meningkatkan konsentrasi amonium dalam air limbah, seperti pada reaktor HRT 1 hari. Pada semua reaktor HSSF HRT 3 hari, konsentrasi amonium sangat rendah dari awal hingga akhir pengoperasian yang menunjukkan bahwa media masih memiliki kemampuan pengolahan fisik yang cukup efektif untuk dekonsentrasi amonium. Konsentrasi amonium terendah dapat tercapai pada reaktor HSSF MP3 di hari ke-1 pengoperasian, yakni sebesar 0,08 mg/L. Selain itu, efisiensi reaktor HSSF MP3 di hari ke-30 lebih tinggi dibandingkan reaktor Ta3 dan Sg3 sehingga dapat disimpulkan bahwa kombinasi Typha angustifolia dan Scirpus grossus dalam reaktor HSSF HRT 3 hari memiliki pengolahan yang lebih efektif dibandingkan secara single plant. Dalam satu sistem hybrid, efisiensi dekonsentrasi amonium tertinggi pada hari ke-30 terdapat pada reaktor K3 Tabel 4.9 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Reaktor Mixed Plants HRT 3 Hari Reaktor MP1 Influen VSSF Hari ke- Total Efisiensi HSSF Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 3 495,67 0,09 99,98 0,08 99,98 99,98 6 499,00 1,39 99,72 0,93 99,81 99,81 9 502,33 25,31 94,96 1,21 99,76 99,76 12 505,67 70,14 86,13 0,82 99,84 99,84 15 502,33 68,27 86,41 0,23 99,95 99,95 18 505,67 130,62 74,17 0,25 99,95 99,95 21 509,00 238,69 53,11 0,37 99,93 99,93 24 499,00 204,31 59,06 0,59 99,88 99,88 27 495,67 276,11 44,29 1,04 99,79 99,79 30 502,33 318,23 36,65 1,50 99,70 99,70 71 100 80 80 60 40 60 20 0 40 -20 -40 20 -60 -80 0 -100 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 HARI KEVSSF K3 VSSF Ta3 VSSF Sg3 VSSF MP3 HSSF K3 HSSF Ta3 HSSF Sg3 HSSF MP3 Gambar 4.17 Efisiensi Dekonsentrasi Amonium pada Reaktor dengan HRT 3 Hari 72 30 Efisiensi Dekonsentrasi HSSF (%) Efisiensi Dekonsentrasi VSSF (%) 100 dengan nilai sebesar 99,96%. Proses nitrifikasi berjalan dengan sangat baik, meskipun tanpa keberadaan tumbuhan. Akan tetapi, di antara seluruh reaktor dengan HRT 3 hari, efisiensi dekonsentrasi amonium tertinggi dan paling stabil terdapat pada reaktor Sg3. Selain itu, efisiensi dekonsentrasi amonium pada hari ke-30 sebesar 99,94% yang hanya berselisih 0,02% dari reaktor K3. Hal ini menunjukkan bahwa pada HRT 3 hari, Scirpus grossus memiliki kemampuan dekonsentrasi amonium lebih tinggi dari Typha angustifolia, serta lebih efektif jika Scirpus grossus ditanam secara single plant dibandingkan mixed plants dengan Typha angustifolia. Meski begitu, pengaruh keberadaan tumbuhan pada reaktor dalam dekonsentrasi amonium belum signfikan karena efisiensi removal pada reaktor K3 juga tinggi. Diperlukan waktu pengoperasian yang lebih lama untuk bisa mendapatkan perbedaan efisiensi yang jelas antara reaktor K3 dengn reaktor yang menggunakan tumbuhan. Parameter Nitrat sebagai Nitrogen (NO3--N) Keberadaan nitrat pada CWs sebagian besar berasal dari proses nitrifikasi amonium. Nitrat merupakan senyawa yang stabil dalam mata rantai daur alami nitrogen (Khiatuddin, 2003). Efisiensi dekonsentrasi nitrat yang tinggi disebabkan karena proses denitrifikasi oleh mikroorganisme yang merubah nitrat menjadi gas nitrogen (N2) dan gas nitro (N2O) yang dilepas ke udara. Konsentrasi nitrat juga dapat diturunkan melalui proses amonifikasi nitrat dimana nitrat kembali menjadi amonium. Tumbuhan juga berperan dalam penurunan konsentrasi nitrat, karena tumbuhan menyerap nitrat sebagai nutrien. Dalam penelitian ini, frekuensi kenaikan konsentrasi nitrat selama pengoperasian lebih banyak dibandingkan frekuensi penurunan untuk seluruh variasi reaktor sehingga efisiensi dekonsentrasi sebagian besar bernilai negatif. Hal ini disebabkan karena sulit tercapainya kondisi anoksik untuk proses denitrifikasi di reaktor HSSF. Masih adanya ketersediaan oksigen terlarut dan kurangnya senyawa organik menyebabkan proses nitrifikasi lebih dominan dibandingkan denitrifikasi sehingga konsentrasi nitrat meningkat. Tingginya konsentrasi nitrat juga dikarenakan pada influen air limbah terdapat konsentrasi nitrat yang tinggi. 4.4.2 73 Konsentrasi nitrat yang tinggi pada air limbah (rata-rata 201,58 mg/L) juga menjadi faktor yang menyebabkan efisiensi dekonsentrasi nitrat bernilai sangat kecil. Selain itu, dekonsentrasi nitrat oleh tumbuhan dan proses denitrifikasi tidak sebanding dengan proses nitrifikasi oleh mikroorganisme yang menghasilkan nitrat sehingga konsentrasi nitrat mengalami kenaikan pada efluen reaktor. A. Penurunan Nitrat pada Reaktor HRT 1 Hari Konsentrasi nitrat terendah yang dapat dicapai reaktor K1 untuk jenis VSSF dan HSSF sebesar 156,43 mg/L dan 136,92 mg/L. Untuk satu sistem hybrid CWs pada reaktor K1, efisiensi removal nitrat tertinggi mencapai 44,57%. Efisiensi yang optimal pada reaktor ini terjadi pada awal pengoperasian. Penurunan konsentrasi nitrat dalam reaktor kontrol pada awal pengoperasian menunjukkan bahwa bakteri denitrifikasi dapat tumbuh dan berkembang pada media pasir. Meski efisiensi removal nitrat lebih kecil dibandingkan reaktor jenis HSSF dikarenakan tingginya Dissolved Oxygen, denitrifikasi bisa terjadi pada area anoksik di VSSF (Cooper et al, 1999) sehingga reaktor VSSF juga dapat menurunkan konsentrasi nitrat. Konsentrasi nitrat dan efisiensi dekonsentrasi pada reaktor K1 hari selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.10. Setelah hari ke-2 dan ke-3 pengoperasian, konsentrasi nitrat pada semua reaktor VSSF HRT 1 hari meningkat hingga melebihi konsentrasi nitrat di influen. Hal ini disebabkan karena influen dengan kandungan nitrat yang tinggi masuk secara kontinyu ke dalam reaktor, serta ditambah dengan adanya proses nitrifikasi, dimana amonium diubah menjadi nitrat. Dalam penelitian ini, reaktor dengan tumbuhan Typha angustifolia (Ta1) menunjukkan efisiensi dekonsentrasi nitrat yang lebih tinggi dibandingkan reaktor lainnya. Pada Tabel 4.11 dapat dilihat konsentrasi dan efisiensi removal nitrat untuk reaktor Ta1. Selain adanya proses denitrifikasi, kemampuan Typha angustifolia dalam menyerap nitrat sebagai nutrien dapat membantu dekonsentrasi nitrat. Namun demikian, menurut Kantawanichkul dan Wannasri (2013), Nitrogen uptake oleh tumbuhan tidak menjadi proses utama dalam removal N di CWs 74 terutama ketika beban air limbah tinggi digunakan. Hal ini ditunjukkan dengan efisiensi removal total reaktor Ta1 tidak berbeda jauh dengan reaktor K1. Tabel 4.10 Konsentrasi dan Efisiensi Removal Nitrat Reaktor Kontrol HRT 1 Hari Reaktor K1 Hari ke- Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 1 208,15 186,50 10,40 142,05 23,83 31,75 2 247,00 173,39 29,80 136,92 21,03 44,57 3 202,45 246,89 -21,95 259,43 -5,08 -28,15 4 238,00 291,44 -22,46 277,84 4,67 -16,74 5 205,31 156,43 23,81 188,24 -20,34 8,32 6 224,10 333,04 -48,61 252,41 24,21 -12,63 7 171,48 248,57 -44,96 402,70 -62,00 -134,84 14 258,70 522,09 -101,81 394,84 24,37 -52,63 21 105,79 315,23 -197,97 358,88 -13,85 -239,23 28 244,80 300,67 -22,82 447,97 -48,99 -82,99 Tabel 4.11 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor Typha angustifolia HRT 1 Hari Reaktor Ta1 Hari ke- Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 1 208,15 118,69 42,98 160,28 -35,05 22,99 2 247,00 183,65 25,65 132,36 27,92 46,41 3 202,45 315,27 -55,73 173,39 45,00 14,35 75 Reaktor Ta1 Hari ke- Influen VSSF Efluen Total Efisiensi HSSF Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 4 238,00 359,02 -50,85 405,09 -12,83 -70,21 5 205,31 268,32 -30,69 356,08 -32,71 -73,43 6 224,10 384,60 -71,62 348,95 9,27 -55,71 7 171,48 440,49 -156,88 355,53 19,29 -107,33 14 258,70 596,31 -130,50 495,13 16,97 -91,39 21 105,79 505,25 -377,59 235,47 53,40 -122,58 28 244,80 363,49 -48,49 98,13 73,00 59,91 Tabel 4.12 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor Scirpus grossus HRT 1 Hari Reaktor Sg1 Hari ke- Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 1 208,15 165,41 20,53 81,08 50,98 61,05 2 247,00 207,09 16,16 131,23 36,64 46,87 3 202,45 188,24 7,02 402,45 -113,80 -98,79 4 238,00 388,44 -63,21 409,92 -5,53 -72,23 5 205,31 83,36 59,40 174,53 -109,36 14,99 6 224,10 372,62 -66,27 401,05 -7,63 -78,96 7 171,48 360,47 -110,21 414,22 -14,91 -141,56 14 258,70 692,30 -167,61 736,18 -6,34 -184,57 21 105,79 476,59 -350,50 679,34 -42,54 -542,14 28 244,80 348,93 -42,53 631,57 -81,00 -157,99 76 Reaktor Sg1 memiliki efisiensi dekonstasi nitrat yang terkecil dibandingkan reaktor dengan HRT 1 hari lainnya. Reaktor MP1 memiliki efisiensi dekonsentrasi yang masih lebih tinggi dibandingkan reaktor Sg1. Hal ini menunjukkan bahwa Scirpus grossus memiliki kemampuan menyerap nitrat yang lebih rendah dibandingkan tumbuhan Typha angustifolia. Dalam penelitian yang dilakukan Kantawanichkul et al. (2003), ditemukan bahwa hanya 3 - 4% akumulasi nitrogen di Scirpus grossus L pada kombinasi HSSF dan VSSF dengan efluen anaerobik digester dari air limbah peternakan babi dengan amonium sebesar 340 mg/L dan HLR 6 cm/hari. Tidak jauh berbeda dengan reaktor K1 dan Ta1, pada awal pengoperasian reaktor Sg1 dan MP1, efisiensi removal nitrat cukup tinggi. Kemudian setelah hari ke-2 pengoperasian, efisiensi removal terus menurun dan bernilai negatif. Konsentrasi dan efisiensi removal nitrat untuk reaktor Sg1 dan MP1 dapat dilihat pada Tabel 4.12 dan Tabel 4.13. Sementara itu, fluktuasi dan perbandingan efisiensi dekonsentrasi nitrat untuk seluruh reaktor HRT 1 hari dapat dilihat pada Gambar 4.18. Tabel 4.13 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor Mixed Plants HRT 1 Hari Reaktor Mixed Plants Hari ke- Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 1 208,15 179,66 13,69 146,04 18,71 29,84 2 247,00 166,55 32,57 125,53 24,63 49,18 3 202,45 139,20 31,24 212,14 -52,39 -4,78 4 238,00 399,82 -67,99 285,30 28,64 -19,87 5 205,31 153,14 25,41 234,86 -53,37 -14,39 6 224,10 249,12 -11,17 246,38 1,10 -9,94 7 171,48 418,60 -144,12 378,57 9,56 -120,77 14 258,70 503,62 -94,67 673,65 -33,76 -160,40 77 Reaktor Mixed Plants Hari ke- Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 21 105,79 615,13 -481,45 646,95 -5,17 -511,53 28 244,80 406,49 -66,05 249,40 38,65 -1,88 A. Penurunan Nitrat pada Reaktor HRT 3 Hari Efisiensi dekonsentrasi nitrat pada reaktor dengan HRT 3 hari lebih kecil dibandingkan dengan reaktor HRT 1 hari. Hal ini dikarenakan waktu tinggal air limbah yang lebih lama sehingga kemungkinan terjadinya proses nitrifikasi dalam reaktor lebih besar. Kemungkinan tersebut diperkuat dengan adanya efisiensi dekonsentrasi amonium yang lebih besar pada HRT 3 hari. Konsentrasi nitrat terendah yang dapat dicapai reaktor K3 sebesar 82,32 mg/L untuk jenis VSSF dan 129,94 mg/L untuk jenis HSSF. Pada awal pengoperasian, konsentrasi nitrat menurun sebesar 21,54%, yang menunjukkan bahwa proses denitrifikasi dapat berlangsung di reaktor yang hanya berisi media saja, serta bakteri denitrifikasi dapat tumbuh dan berkembang pada media pasir. Hari-hari berikutnya, efisiensi menurun secara signifikan hingga mencapai -144,70% pada hari ke-28. Konsentrasi dan efisiensi dekonsentrasi nitrat untuk reaktor K3 dapat dilihat pada Tabel 4.14. Reaktor Ta3 dan Sg3 memiliki efisiensi dekonsentrasi nitrat sedikit lebih tinggi dibandingkan reaktor kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan tumbuhan berpengaruh dalam penurunan konsentrasi nitrat dalam reaktor. Pada awal pengoperasian, konsentrasi nitrat dalam kedua reaktor tersebut menurun cukup besar, yakni 74,49% dan 69,83% untuk reaktor Ta3 dan Sg3. Di hari ke-6, efisiensi dekonsentrasi sudah mengalami penurunan yang dapat disebabkan karena berbagai faktor, seperti konsentrasi nitrat pada air limbah yang tinggi dan 78 100 80 60 40 20 0 -20 0 -40 -60 -80 -100 -120 -140 -160 -180 -200 4 16 Hari Ke- 14 HSSF Ta1 12 VSSF Ta1 10 HSSF K1 8 VSSF K1 6 20 HSSF Sg1 VSSF Sg1 18 22 26 HSSF MP1 VSSF MP1 24 28 Gambar 4.18 Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat pada Reaktor dengan HRT 1 Hari 2 100 80 60 40 20 0 30 -20 -40 -60 -80 -100 -120 -140 -160 -180 -200 Efisiensi Dekonsentrasi HSSF (%) Efisiensi Dekonsentrasi VSSF (%) 79 proses nitrifikasi yang lebih besar terjadi dibandikan proses denitrifikasi. Akan tetapi efisiensi dekonsentrasi di reaktor Ta3 masih cukup tinggi, yakni 66,52%, sedangkan reaktor Sg3 hanya sebesar 0,27%. Hal ini menunjukkan bahwa Typha angustifolia memiliki kemampuan penyerapan nitrat yang lebih baik dibandingnkan Scirpus grossus. Konsentrasi dan efisiensi removal nitrat untuk reaktor Ta3 dan Sg3 dapat dilihat pada Tabel 4.15 dan Tabel 4.16. Pada reakor MP3, efisiensi dekonsentrasi nitrat bernilai paling kecil di antara reaktor lainnya, bahkan lebih kecil dari reaktor kontrol., yakni sebesar -89,21%. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Typha angustifolia dan Scirpus grossus dalam reaktor yang sama dapat mengurangi kemampuan dalam menyerap nitrat sebagai nutrien pada keduanya. Tabel 4.14 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor Kontrol HRT 3 Hari Reaktor K3 Hari ke- Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 3 221,24 207,37 6,27 173,58 16,29 21,54 6 211,29 82,32 61,04 273,01 -231,66 -29,22 9 209,30 364,30 -74,06 129,94 64,33 37,92 12 260,05 450,42 -73,20 305,62 32,15 -17,52 15 250,10 523,05 -109,13 523,21 -0,03 -109,20 18 245,12 544,27 -122,04 395,02 27,42 -61,15 21 269,01 575,03 -113,76 456,52 20,61 -69,70 24 236,17 414,80 -75,64 466,40 -12,44 -97,49 27 210,29 363,32 -72,77 568,28 -56,41 -170,23 30 215,27 410,49 -90,69 526,77 -28,33 -144,70 80 Seperti reaktor lainnya, pada reaktor MP3, nitrat mengalami penurunan konsentrasi sebesar 45,24% pada awal pengoperasian. Kemudian pada hari ke-6, efisiensi menurun menjadi 13,15% dan kembali naik menjadi 69,02% pada hari ke-9. Kenaikan dan penurunan konsentrasi nitrat di awal pengoperasian dikarenakan tumbuhan masih baru beradaptasi dengan lingkungan barunya. Tumbuhan akan mengeluarkan eksudat akar yang dapat mengundang bakteri untuk tumbuh dan berkembang. Konsentrasi dan efisiensi removal nitrat untuk reaktor MP3 dapat dilihat pada Tabel 4.17. Sementara untuk fluktuasi dan perbandingan efisiensi dekonsentrasi nitrat dari tiap reaktor HRT 3 hari dapat dilihat pada Gambar 4.19. Berdasarkan Gambar 4.19, efisiensi dekonsentrasi nitrat tidak ada yang stabil. Efisiensi tertinggi pada hari ke-30 terjadi pada reaktor K3 dengan nilai sebesar -144,70%. Tabel 4.15 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor Typha angustifolia HRT 3 Hari Reaktor Ta3 Hari ke- Influen (mg/L) VSSF Total Efisiensi HSSF Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 3 221,24 36,68 83,42 56,43 -53,83 74,49 6 211,29 107,50 49,12 70,73 34,20 66,52 9 209,30 413,67 -97,65 173,43 58,07 17,14 12 260,05 427,93 -64,56 370,89 13,33 -42,62 15 250,10 600,26 -140,01 775,95 -29,27 -210,26 18 245,12 777,97 -217,38 417,51 46,33 -70,33 21 269,01 627,69 -133,33 535,30 101,51 103,52 24 236,17 550,80 -133,23 600,20 -8,97 -154,14 27 210,29 429,14 -104,07 673,30 -56,92 -220,22 30 215,27 400,30 -85,96 626,59 -56,53 -191,08 81 Tabel 4.16 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor Scirpus grossus HRT 3 Hari Reaktor Sg3 Hari ke- Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 3 221,24 102,28 53,77 66,74 34,75 69,83 6 211,29 235,10 -11,27 210,71 10,38 0,27 9 209,30 265,03 -26,63 288,61 -8,90 -37,90 12 260,05 327,01 -25,75 271,06 17,11 -4,23 15 250,10 603,55 -141,33 352,08 41,66 -40,78 18 245,12 550,42 -124,55 416,41 24,35 -69,88 21 269,01 613,43 -128,03 522,27 14,86 -94,15 24 236,17 584,38 -147,44 490,60 16,05 -107,73 27 210,29 413,27 -96,52 373,19 9,70 -77,46 30 215,27 690,22 -220,63 637,56 7,63 -196,17 Tabel 4.17 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Reaktor Mixed Plants HRT 3 Hari Reaktor MP3 Hari ke- Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 3 221,24 184,34 16,68 121,15 34,28 45,24 6 211,29 256,34 -21,32 183,50 28,41 13,15 9 209,30 466,87 -123,07 64,83 86,11 69,02 12 260,05 278,19 -6,98 319,33 -14,79 -22,79 15 250,10 527,86 -111,06 456,70 13,48 -82,61 18 245,12 271,35 -10,70 524,10 -93,15 -113,81 82 Reaktor MP3 Hari ke- Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 21 269,01 355,21 -32,04 610,97 -72,00 -127,12 24 236,17 482,90 -104,47 709,30 -46,88 -200,34 27 210,29 488,37 -132,24 883,28 -80,86 -320,03 30 215,27 457,66 -112,60 544,32 -18,94 -152,86 4.4.3 Analisis Dekonsentrasi Nitrogen Berdasarkan HRT Perbandingan efisiensi dekonsentrasi amonium dengan sistem Hybrid Constructed Wetlands (HCWs) berdasarkan HRT dapat dilihat dalam bentuk grafik pada Gambar 4.20. Berdasarkan Gambar 4.20, efisiensi dekonsentrasi amonium dalam satu sistem hybrid paling stabil dari awal hingga akhir penelitian, sekaligus menjadi yang paling tinggi terdapat pada reaktor K1 dengan efisiensi sebesar 99,99% dan K3 dengan efisiensi sebsar 99,96%. Hal ini menunjukkan bahwa proses nitrifikasi dapat berlangsung meski tanpa tumbuhan. Hal tersebut didukung dengan adanya oksigen terlarut yang tinggi dari influen air limbah awal dan tidak adanya sumber senyawa organik. Penggunaan pasir sebagai media juga menguntungkan untuk proses nitrifikasi. Ukuran media pasir yang kecil menyebabkan media memiliki surface area yang besar untuk tempat berkembangnya bakteri. Selain itu, tumbuhan memberikan peranan yang kecil dalam dekonsentrasi amonium karena tumbuhan lebih menyerap nitrat dibandingkan amonium. Pada reaktor dengan HRT 1 hari, peran tumbuhan dalam dekonsentrasi amonium masih belum terlihat karena media masih memiliki efisiensi pengolahan yang tinggi. Untuk bisa mengetahui peran tumbuhan dalam sistem HCWs ini, maka waktu pengoperasian reaktor perlu diperpanjang hingga efisiensi benarbenar stabil dan terlihat jelas perbedaan antara reaktor K1 dengan reaktor lainnya. Pada HRT 3 hari, Scirpus grossus memiliki 83 Efisiensi Dekonsentrasi VSSF (%) 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 Hari KeVSSF K3 VSSF Ta3 VSSF Sg3 VSSF MP3 HSSF K3 HSSF Ta3 HSSF Sg3 HSSF MP3 Gambar 4.19 Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat pada Reaktor dengan HRT 3 Hari 84 100 80 60 40 20 0 30 -20 -40 -60 -80 -100 -120 -140 -160 -180 -200 -220 -240 Efisiensi Dekonsentrasi HSSF (%) 100 80 60 40 20 0 -20 0 -40 -60 -80 -100 -120 -140 -160 -180 -200 -220 -240 Efisiensi Dekonsentrasi (%) 70 73 76 79 82 85 88 91 94 97 100 5 Reaktor K3 Reaktor Sg3 Reaktor Ta3 Reaktor K1 15 Hari keReaktor Ta1 Reaktor Sg1 10 20 Reaktor MP3 Reaktor MP1 25 Gambar 4.20 Efisiensi Dekonsentrasi Amonium pada Reaktor dengan HRT 1 Hari dan 3 Hari 0 30 85 100 Efisiensi Dekonsentrasi (%) 50 0 -50 0 5 10 15 20 25 -100 -150 -200 -250 -300 -350 -400 -450 -500 -550 -600 Hari keReaktor K1 Reaktor Ta1 Reaktor Sg1 Reaktor MP1 Reaktor K3 Reaktor Ta3 Reaktor Sg3 Reaktor MP3 Gambar 4.21 Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat pada Reaktor dengan HRT 1 Hari dan 3 Hari 86 30 kemampuan dekonsentrasi amonium lebih tinggi dari Typha angustifolia, serta lebih efisien jika Scirpus grossus ditanam secara single plant dibandingkan mixed plants dengan Typha angustifolia. Meski begitu, pengaruh keberadaan tumbuhan pada reaktor dalam dekonsentrasi amonium belum signfikan karena efisiensi removal pada reaktor K3 juga tinggi. Efisiensi dekonsentrasi amonium pada reaktor HRT 3 hari memiliki fluktuasi yang lebih stabil dan tinggi dibandingkan HRT 1 hari yang menunjukkan bahwa lamanya waktu tinggal air limbah dalam reaktor dapat berpengaruh pada efisiensi dekonsentrasi amonium. Semakin lama waktu tinggal air limbah, maka efisiensi pengolahan akan semakin tinggi. Hal ini sejalan dengan keterbatasan kemampuan tumbuhan dalam melakukan uptake nutrien dan kemampuan mikroorganisme dalam proses denitrifikasi yang membutuhkan waktu dalam proses adaptasi maupun pengolahan. Berdasarkan Gambar 4.21, reaktor Ta1 memiliki efisiensi dekonsentrasi nitrat tertinggi dan paling stabil dalam satu sistem hybrid dari awal hingga akhir penelitian. Pada hari ke-28, efisiensi dekonsentrasi nitrat reaktor Ta1 mencapai 59,91%, berbeda jauh dengan reaktor jenis lainnya yang memiliki efisiensi bernilai negatif. Selisih efisiensi antara reaktor K1 dengan Ta1 juga cukup jauh sehingga dapat dikatakan bahwa tumbuhan memiliki peranan yang cukup besar dalam efisiensi dekonsentrasi nitrat. Fluktuasi efisiensi dekonsentrasi nitrat pada keempat jenis reaktor dengan HRT 3 hari relatif lebih kecil dibandingkan reaktor dengan HRT 1 hari. Fluktuasi tersebut dapat dilihat pada grafik dalam Gambar 4.21. Hal ini dikarenakan waktu tinggal air limbah yang lebih lama dalam reaktor akan membuat kinerja mikroorganisme dalam dekonsentrasi amonium dengan proses nitrifikasi lebih efektif sehingga kadar nitrat bertambah. Penurunan Kandungan Fosfat sebagai Fosfor (PO 43-) Uptake oleh tumbuhan, adsorpsi, dan presipitasi merupakan proses dekonsentrasi fosfat di sistem Wetland (Rasheed et al., 2014). Konsentrasi fosfat pada efluen reaktor diukur dengan Metode Klorid Timah. Fosfat mengalami dekonsentrasi yang signifikan pada hari ke-1 pengoperasian untuk 4.5 87 semua reaktor, baik reaktor dengan tumbuhan, maupun reaktor kontrol tanpa tumbuhan. Efisiensi penurunan fosfat rata-rata mencapai >99%. A. Penurunan Fosfat pada Reaktor HRT 1 Hari Pada reaktor dengan HRT 1 hari, seluruh reaktor termasuk reaktor K1, memiliki efisiensi dekonsentrasi total lebih dari 99%. Tingginya efisiensi ini menunjukkan bahwa media yang digunakan, yaitu pasir, memiliki kemampuan dekonsentrasi fosfat yang besar. Di pasir, fosfor terikat pada media terutama akibat reaksi adsorpsi dan presipitasi dengan Ca, Al, dan Fe. Pada pH >6, reaksi yang terjadi merupakan kombinasi adsorpsi fisik terhadap Fe2O3 dan Al2O3 dan presipitasi sebagai Ca3(PO4)2. Pada pH yang lebih rendah, presipitasi sebagai FePO4 dan AlPO4 meningkat. Kapasitas media filter untuk removal P tergantung pada kandungan mineral dalam substrat (Christina et al., 2011). Efisiensi removal fosfat dan TP paling dipengaruhi oleh ukuran dan tipe poros media. Arias et al. (2001), menemukan bahwa untuk purifikasi air limbah yang kompleks (BOD, COD, NH4N, dan juga beberapa terhadap PO4-P dan fecal coliform) kapasitas removal P beberapa jenis pasir akan habis setelah beberapa bulan pada sistem full-scale, dimana sebagian lain bertahan hingga beberapa tahun. Hal yang paling penting pada karakteristik pasir yang menentukan kapasitas removal P adalah kadar Ca. Efisiensi dekonsentrasi fosfat sangat tinggi pada jenis VSSF reaktor K1, yaitu 99,55%. Sebaliknya, efisiensi dekonsentrasi pada HSSF rata-rata sebesar -46,46%. Rendahnya efisiensi pada reaktor HSSF ini dikarenakan air limbah dialirkan secara kontinyu. Oksigenisasi pada media yang disebabkan aliran air secara terus menerus dapat menyebabkan desorpsi dan selanjutnya melepas fosfor (Vymazal, 2007). Konsentrasi dan efisiensi dekonsentrasi fosfat untuk reaktor K1 dapat dilihat pada Tabel 4.18. Unsur fosfor (P) dalam fosfat sangat berguna bagi tumbuhan. Unsur ini berfungsi untuk merangsang pertumbuhan akar terutama pada awal pertumbuhan, serta mempercepat pembungaan dan pemasakan biji dan buah (Ali, 2011). Fosfor juga 88 memiliki peran penting dalam setiap proses tumbuhan yang melibatkan perpindahan energi. Fosfat berenergi tinggi, sebagai bagian dari struktur kimia adenosin difosfat (ADP) dan ATP yang merupakan sumber energi yang digunakan oleh berbagai reaksi kimia di dalam tumbuhan. Total konsentrasi fosfor pada tumbuhan memiliki variasi antara 0,1-0,5% (Sultenfuss dan Doyle, 1999). Tabel 4.18 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor Kontrol HRT 1 Hari Reaktor K1 Hari ke- Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 1 163,50 0,24 99,85 0,24 0,00 99,85 2 163,50 0,06 99,97 0,28 -384,62 99,83 3 161,68 0,63 99,61 0,57 9,27 99,65 4 167,15 1,33 99,20 1,78 -33,37 98,94 5 163,50 1,51 99,08 0,62 59,14 99,62 6 161,68 1,44 99,11 0,47 67,33 99,71 7 165,33 0,75 99,55 0,45 39,88 99,73 14 165,33 0,40 99,76 0,73 -82,12 99,56 21 167,15 0,17 99,90 0,52 -206,14 99,69 28 168,98 0,95 99,44 0,32 66,00 99,81 Pada reaktor dengan tumbuhan HRT 1 hari, baik single plant maupun mixed plants, efisiensi removal fosfat tidak berbeda signifikan dengan efisiensi pada reaktor kontrol sehingga tidak diketahui apakah keberadaan tumbuhan berpengaruh terhadap dekonsentrasi fosfat atau tidak. Akan tetapi, selama minggu pertama pengoperasian, konsentrasi fosfat pada efluen reaktor naik turun yang bisa disebabkan karena adanya fosfat yang dilepaskan tumbuhan. Di dalam tumbuhan, fosfat dapat tersimpan dalam jangka waktu pendek maupun panjang. Hal ini tergantung 89 pada jenis vegetasi, laju dekomposisi pencemar, lepasnya fosfat dari jaringan yang rusak, dan translokasi fosfat. Fosfat yang telah diserap tumbuhan, dapat terlepas kembali ke alam ketika tumbuhan mengalami kematian melalui proses dekomposisi (USDA, 2010). Konsentrasi fosfat terendah yang dapat dicapai reaktor Ta1 adalah sebesar 0,63 mg/L untuk jenis VSSF dan 0,02 mg/L untuk jenis HSSF. Efisiensi removal fosfat tertinggi terjadi pada hari ke-1 pengoperasian, yaitu mencapai 99,99%. Efisiensi tersebut selanjutnya menurun hingga akhir penelitian yang menunjukkan bahwa kemampuan reaktor untuk dekonsentrasi menurun. Konsentrasi dan efisiensi dekonsentrasi fosfat untuk reaktor Ta1 dapat dilihat pada Tabel 4.19. Tabel 4.19 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor Typha angustifolia HRT 1 Hari Reaktor Ta1 Hari ke- Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 1 163,5 1,057 99,35 0,017 98,41 99,99 2 163,5 0,630 99,61 0,535 15,06 99,67 3 161,7 1,145 99,29 0,542 52,61 99,66 4 167,2 9,803 94,14 2,777 71,68 98,34 5 163,5 11,044 93,25 0,860 92,21 99,47 6 161,7 6,299 96,10 0,674 89,30 99,58 7 165,3 7,796 95,28 0,663 91,50 99,60 14 165,3 7,905 95,22 0,900 88,61 99,46 21 167,2 12,285 92,65 1,086 91,16 99,35 28 169,0 17,321 89,75 1,097 93,67 99,35 Konsentrasi fosfat terendah yang dapat dicapai reaktor Sg1 adalah sebesar 0,51 mg/L untuk jenis VSSF dan 0,09 mg/L 90 untuk jenis HSSF. Efisiensi removal fosfat tertinggi terjadi pada hari ke-6 pengoperasian, yaitu mencapai 99,95%. Efisiensi tersebut selanjutnya menurun hingga akhir penelitian. Konsentrasi dan efisiensi removal fosfat untuk reaktor Sg1 dapat dilihat pada Tabel 4.20. Tabel 4.20 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor Scirpus grossus HRT 1 Hari Reaktor Sg1 Hari ke- Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 1 163,50 0,98 99,40 0,56 43,40 99,66 2 163,50 0,51 99,69 0,46 10,03 99,72 3 161,68 1,18 99,27 0,51 57,04 99,69 4 167,15 17,02 89,82 1,66 90,23 99,01 5 163,50 2,28 98,60 1,11 51,47 99,32 6 161,68 4,18 97,41 0,09 97,94 99,95 7 165,33 7,83 95,26 0,74 90,56 99,55 14 165,33 9,22 94,42 0,75 91,90 99,55 21 167,15 20,06 88,00 0,82 95,89 99,51 28 168,98 4,62 97,27 0,97 79,10 99,43 Pada reaktor MP1, konsentrasi fosfat terendah yang dapat dicapai adalah sebesar 0,02 mg/L untuk jenis VSSF dan 0,23 mg/L untuk jenis HSSF. Efisiensi removal fosfat tertinggi terjadi pada hari ke-4 pengoperasian, yaitu mencapai 99,89%. Konsentrasi dan efisiensi dekonsentrasi fosfat untuk reaktor MP1 dapat dilihat pada Tabel 4.21. Sementara untuk fluktuasi efisiensi dan perbandingan efisiensi dekonsentrasi fosfat tiap reaktor dapat dilihat pada grafik dalam Gambar 4.22. 91 Tabel 4.21 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor Mixed Plants HRT 1 Hari Reaktor MP1 Hari ke- Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 1 163,50 0,78 99,52 0,69 11,65 99,58 2 163,50 0,02 99,99 0,31 -1717,39 99,81 3 161,68 0,16 99,90 0,33 -112,68 99,80 4 167,15 1,96 98,83 0,18 90,57 99,89 5 163,50 1,56 99,04 0,47 70,23 99,72 6 161,68 5,02 96,89 0,58 88,47 99,64 7 165,33 3,85 97,67 0,24 93,88 99,86 14 165,33 6,30 96,19 0,23 96,37 99,86 21 167,15 15,46 90,75 0,49 96,80 99,70 28 168,98 27,98 83,44 0,53 98,11 99,69 A. Penurunan Fosfat pada Reaktor HRT 3 Hari Pada reaktor dengan HRT 3 hari, Efisiensi dekonsentrasi fosfat yang tinggi terjadi tidak hanya pada reaktor dengan tumbuhan, tetapi juga pada reaktor kontrol tanpa tumbuhan (reaktor K3). Tingginya efisiensi ini menunjukkan bahwa media yang digunakan, yaitu pasir, memiliki kemampuan dekonsentrasi fosfat yang besar. Konsentrasi terendah yang dapat dicapai reaktor K3 adalah sebesar 0,01 mg/L untuk jenis VSSF dan 0,04 mg/L untuk jenis HSSF. Efisiensi tertinggi terjadi pada hari ke-21 pengoperasian, yaitu sebesar 99,98%. Pada hari berikutnya, prosentase efisiensi masih tinggi yang menunjukkan bahwa media masih dapat mendekonsentrasi fosfat, baik secara adsorpsi, maupun presipitasi. Konsentrasi dan efisiensi dekonsentrasi fosfat untuk reaktor K3 dapat dilihat pada Tabel 4.22. Pada reaktor VSSF dengan tumbuhan, konsentrasi fosfat cukup rendah dari awal hingga akhir penelitian, kecuali pada 92 HSSF Ta1 HSSF K1 HSSF Sg1 VSSF Sg1 26 HSSF MP1 VSSF MP1 24 28 Gambar 4.22 Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat pada Reaktor dengan HRT 1 Hari VSSF Ta1 VSSF K1 Hari Ke- 22 30 -100 20 0 18 -80 10 16 -60 20 14 -40 30 12 -20 40 10 0 50 8 20 60 6 40 70 4 60 80 2 80 90 0 100 100 Efisiensi Dekonsentrasi HSSF (%) Efisiensi Dekonsentrasi VSSF (%) 93 reaktor MP3. Konsentrasi fosfat pada reaktor VSSF MP3 mengalami kenaikan yang tinggi pada dari hari ke-9. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi Typha angustifolia dan Scirpus grossus dalam satu reaktor VSSF kurang efektif untuk dekonsentrasi fosfat. Sementara itu, pada semua reaktor HSSF, konsentrasi fosfat cukup rendah dan stabil dari awal hingga akhir penelitian yang menunjukkan bahwa media pada reaktor HSSF masih memiiki kemampuan pengolahan yang cukup baik hingga akhir penelitian. Hal ini disebabkan karena reaktor VSSF memiliki efisiensi pengolahan yang tinggi sehingga mengahasilkan influen dengan konsentrasi fosfat yang rendah untuk diolah di reaktor HSSF. Tabel 4 22 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor Kontrol HRT 3 Hari Reaktor K3 Hari ke- Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 3 165,33 0,42 99,74 0,04 91,71 99,98 6 167,15 0,61 99,64 0,25 58,88 99,85 9 165,33 0,26 99,84 0,16 39,94 99,90 12 170,80 1,33 99,22 0,29 78,50 99,83 15 168,98 0,87 99,48 0,34 61,24 99,80 18 168,98 0,21 99,88 0,21 0,00 99,88 21 168,98 0,06 99,96 0,04 34,61 99,98 24 167,15 0,05 99,97 0,09 -71,70 99,95 27 165,33 0,01 100,00 0,10 -1663,88 99,94 30 170,80 0,32 99,81 0,35 -7,81 99,80 Dalam satu sistem hybrid reaktor HRT 3 hari dengan tumbuhan, selisih efisiensi dekonsentrasi fosfat antar tiga reaktor di hari ke-30kurang signifikan, yakni berkisar antara 0,08 – 0,30%. 94 Tabel 4.23 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor Typha angustifolia HRT 3 Hari Reaktor Ta3 Hari ke- Influen VSSF Efluen Total Efisiensi HSSF Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 3 165,33 1,02 99,38 0,71 30,04 99,57 6 167,15 1,09 99,35 0,62 42,84 99,63 9 165,33 0,23 99,86 0,48 -105,60 99,71 12 170,80 0,33 99,81 0,36 -10,04 99,79 15 168,98 0,84 99,50 0,52 38,33 99,69 18 168,98 0,82 99,52 0,10 87,66 99,94 21 168,98 7,76 95,41 2,22 71,34 98,68 24 167,15 3,42 97,96 0,78 77,29 99,54 27 165,33 0,76 99,54 0,10 86,29 99,94 30 170,80 0,52 99,69 0,11 78,61 99,93 Tabel 4.24 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor Scirpus grossus HRT 3 Hari Reaktor Sg3 Hari ke- Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 3 165,33 0,18 99,89 0,23 -28,81 99,86 6 167,15 0,55 99,67 0,90 -64,84 99,46 9 165,33 0,18 99,89 0,17 4,03 99,89 12 170,80 0,09 99,95 0,22 -152,54 99,87 15 168,98 0,12 99,93 0,02 79,19 99,99 18 168,98 0,22 99,87 0,08 64,17 99,95 95 Reaktor Sg3 Hari ke- Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 21 168,98 0,27 99,84 0,14 49,00 99,92 24 167,15 0,66 99,61 0,13 80,00 99,92 27 165,33 0,74 99,55 0,24 68,06 99,86 30 170,80 0,76 99,55 0,26 66,49 99,85 Efisiensi tertinggi terjadi pada reaktor Ta3, yaitu sebesar 99,93%. Hal ini menunjukkan bahwa Typha angustifolia memiliki kemampuan dekonsentrasi fosfat yang lebih baik dibandingkan Scirpus grossus dan penanaman secara mixed plants dapat menurunkan kemampuan Typha angustifolia dalam penyerapan fosfat. Konsentrasi dan efisiensi dekonsentrasi fosfat untuk reaktor Ta3, Sg3, dan MP3 dapat dilihat pada Tabel 4.23 hingga Tabel 4.25. Sementara untuk fluktuasi efisiensi dan perbandingan efisiensi dekonsentrasi fosfat tiap reaktor dapat dilihat pada grafik dalam Gambar 4.23. Tabel 4.25 Konsentrasi dan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Reaktor Mixed Plants HRT 3 Hari Reaktor MP3 Hari ke- Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 3 165,33 0,43 99,74 0,77 -80,62 99,54 6 167,15 0,28 99,83 0,49 -77,02 99,70 9 165,33 6,90 95,83 0,14 97,96 99,91 12 170,80 17,01 90,04 0,11 99,36 99,94 15 168,98 24,01 85,79 0,26 98,91 99,85 96 Reaktor MP3 Hari ke- Influen VSSF Total Efisiensi HSSF Efluen Efisiensi Efluen Efisiensi (mg/L) (mg/L) (%) (mg/L) (%) (%) 18 168,98 7,41 95,62 0,30 95,93 99,82 21 168,98 7,04 95,83 0,28 96,08 99,84 24 167,15 8,82 94,72 0,01 99,85 99,99 27 165,33 11,97 92,76 0,42 96,47 99,74 30 170,80 21,04 87,68 0,62 97,06 99,64 4.5.1 Analisis Dekonsentrasi Fosfat Berdasarkan HRT Reaktor HRT 3 hari memiliki efisiensi dekonsentrasi fosfat sedikit lebih tinggi dibandingkan reaktor HRT 1 hari, yaitu berkisar antara 0,04 – 0,32%. Di akhir pengoperasian, efisiensi dekonsentrasi tertinggi dengan HRT 1 hari terjadi pada reaktor K1, yakni sebesar 99,81, sedangkan dengan HRT 3 hari terjadi pada reaktor Ta3, yakni sebesar 99,93%. Efisiensi yang tidak jauh berbeda antara reaktor HRT 1 hari dan HRT 3 hari ini menunjukkan bahwa waktu tinggal air limbah dalam reaktor tidak terlalu memberikan pengaruh dalam dekonsentrasi fosfat. Berdasarkan Gambar 4.24, efisiensi dekonsentrasi fosfat yang paling stabil terjadi pada reaktor K3. Hal ini menunjukkan bahwa media sangat efektif dalam menurunkan konsentrasi fosfat. Namun demikian, efisiensi tertinggi pada hari ke-30 terjadi pada reaktor Ta3 yang menandakan bahwa tumbuhan mulai berperan dalam dekonsentrasi fosfat. Hanya saja, perlu waktu pengoperasian lebih lama untuk mengetahui apakah keberadaan tumbuhan memberikan pengaruh yang signifikan atau tidak terhadap efisiensi dekonsentrasi fosfat. 4.6 4.6.1 Analisis Karakteristik Tumbuhan Phytotreatment Analisis Karakteristik Fisik Tumbuhan Setelah Uji 97 Analisis karakteristik fisik tumbuhan berfungsi untuk mengetahui pengaruh air limbah terhadap perkembangan tumbuhan setelah uji phytotreatment. Analisis ini dilakukan dengan membandingkan tumbuhan yang terpapar air limbah dengan tumbuhan yang tidak terpapar air limbah (menggunakan air PDAM). Pada Gambar 4.25 dan Gambar 4.26 terlihat bahwa terjadi peningkatan tinggi dari tinggi tumbuhan sebelum terpapar air limbah hingga setelah terpapar air limbah. Peningkatan tinggi tumbuhan pada reaktor VSSF lebih besar dibandingkan reaktor HSSF. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar nutrien air limbah yang dapat diserap tumbuhan, maka semakin besar peningkatan tinggi tumbuhan, karena pada reaktor VSSF, kadar nutrien pada influen lebih tinggi dibandingkan reaktor HSSF. Pada HRT 3 hari, tumbuhan memiliki tinggi yang lebih besar dibandingkan HRT 1 hari yang menunjukkan bahwa semakin lama waktu tinggal air limbah dalam reaktor, maka tumbuhan dapat menyerap nutrien lebih banyak. Kemampuan Typha angustifolia dalam menyerap nutrien lebih besar dibandingkan Scirpus grossus. Peningkatan tinggi Typha angustifolia dapat mencapai 3 kali lipat dari tinggi awal, sedangkan Scirpus grossus hanya mencapai sekitar 2 kali lipat dari tinggi awal. Pada Gambar 4.25 dan Gambar 4.26 juga dapat dilihat bahwa peningkatan tinggi Typha angustifolia pada reaktor Mixed Plants lebih besar dibandingkan Scirpus grossus. Peningkatan tinggi tumbuhan berkaitan dengan proses fitodegradasi dan fitoekstraksi yang berlangsung selama uji phytotreatment. Kontaminan diserap dan kemudian dimanfaatkan untuk proses metaboliisme tumbuhan. Hasil metabolisme ini berupa sel-sel baru yang menyebabkan pertambahan tinggi tumbuhan. Menurut Hinchman et al. (1995), pertumbuhan tanaman ditunjukkan dengan adanya perubahan secara kuantitatif yang ditandai dengan pertambahan ukuran, volume, jumlah sel, banyaknya protoplasma, dan tingkat kerumitan yang tidak baik. Dari data tinggi tumbuhan yang didapatkan, maka nilai Relative Growth Rate (RGR) dapat dicari. Penggunaan nilai RGR adalah untuk mengetahui besaran nilai pertumbuhan tumbuhan yang menggunakan media tanam limbah. Nilai RGR kurang dari 10% dapat dikatakan bahwa limbah mempengaruhi pertumbuhan 98 Efisiensi Dekonsentrasi VSSF (%) 18 20 22 24 26 28 30 HSSF Ta1 HSSF K1 HSSF Sg1 VSSF Sg1 HSSF MP1 VSSF MP1 Gambar 4.23 Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat pada Reaktor dengan HRT 3 Hari VSSF Ta1 VSSF K1 Hari Ke- -100 16 0 14 -80 10 12 -60 20 10 -40 30 8 -20 40 6 0 50 4 20 60 2 40 70 0 60 80 90 80 100 100 Efisiensi Dekonsentrasi HSSF (%) 99 100 Efisiensi Dekonsentrasi (%) 100 99 99 98 98 97 97 96 96 95 0 5 10 15 20 25 30 Hari keReaktor K1 Reaktor Ta1 Reaktor Sg1 Reaktor MP1 Reaktor K3 Reaktor Ta3 Reaktor Sg3 Reaktor MP3 Gambar 4.24 Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat pada Reaktor dengan HRT 1 Hari dan 3 Hari 100 Tinggi Tumbuhan (cm) 0 20 40 60 80 100 120 140 Scirpus grossus 47,7 HSSF Reaktor Ta1 VSSF 97,9 HSSF 77,8 HSSF 113,0 HSSF 75,5 Scirpus grossus VSSF 62,8 Reaktor MP1 Typha angutifolia VSSF Setelah Uji Phytotreatment Reaktor Sg1 VSSF 95,2 125,5 Gambar 4.25 Perbandingan Tinggi Tumbuhan pada Reaktor dengan HRT 1 Hari Sebelum Uji Phytotreatment Typha angutifolia 47,0 126,7 101 160 155,8 Tinggi Tumbuhan (cm) 140 133,1 120 131,3 115,2 100 129,0 119,7 115,0 80 60 40 63,4 47,0 47,7 20 0 VSSF HSSF VSSF HSSF VSSF HSSF Typha angutifolia Typha angutifolia Scirpus grossus Sebelum Uji Phytotreatment Reaktor Ta1 Reaktor Sg1 VSSF Scirpus grossus Reaktor MP1 Setelah Uji Phytotreatment Gambar 4.26 Perbandingan Tinggi Tumbuhan dengan pada Reaktor HRT 3 Hari 102 HSSF Tabel 4.26 Nilai Growth Rate dan Relative Growth Rate Tumbuhan Hasil Uji Phytotreatment Reaktor Ta1 Sg1 Jenis Tumbuhan Typha angutifolia Scirpus grossus Typha angutifolia MP1 Scirpus grossus Ta3 Sg3 Typha angutifolia Scirpus grossus Typha angutifolia MP3 Scirpus grossus Sistem Pengaliran Tinggi Tumbuhan (cm) Growth Rate (GR) Relative Growth Rate (RGR) Hari ke-0 Hari ke-30 VSSF 47,0 126,7 2,66 5,6 HSSF 47,0 97,9 1,70 3,6 VSSF 47,7 95,2 1,58 3,3 HSSF 47,7 77,8 1,00 2,1 VSSF 47,0 125,5 2,62 5,6 HSSF 47,0 113,0 2,20 4,7 VSSF 47,7 62,8 0,50 1,1 HSSF 47,7 75,5 0,93 1,9 VSSF 47,0 155,8 3,63 7,7 HSSF 47,0 133,1 2,87 6,1 VSSF 47,7 115,2 2,25 4,7 HSSF 47,7 115,0 2,24 4,7 VSSF 47,0 131,3 2,81 6,0 HSSF 47,0 129,0 2,73 5,8 VSSF 47,7 63,4 0,52 1,1 HSSF 47,7 119,7 2,40 5,0 (%) tumbuhan (Mangkoedihardjo, 2012). Berdasarkan Tabel 4.26, nilai RGR semua variasi kurang dari 10%. Hal ini membuktikan bahwa peningkatan tinggi 103 tumbuhan yang terjadi dikarenakan adanya pengaruh air limbah di dalam reaktor. Selain tinggi tumbuhan, karakteristik fisik tumbuhan yang diamati setelah uji phytotreatment adalah panjang akar, lebar batang, jumlah daun, dan lebar daun. Karakteristik ini sama dengan karakteristik yang diamati pada saat propagasi. Oleh karena itu, hasil pengamatan karakteristik fisik tumbuhan setelah uji phytotreatment akan dibandingkan dengan hasil pengamatan tumbuhan dari propagasi. Berdasarkan Gambar 4.27 dan Gambar 4.28, panjang akar mengalami pengecilan setelah tumbuhan terpapar air limbah. Hal ini bisa jadi disebabkan karena akar yang sakit setelah terpapar air limbah dapat membusuk dan terdegradasi. Akar pada reaktor VSSF lebih panjang dibandingkan reaktor HSSF dikarenakan media pada VSSF lebih tinggi dibandingkan reaktor HSSF. Di dalam media, akar tumbuhan akan menyebar untuk mencari sumber makanan, Sementara itu, lebar batang pada Typha angustifolia tidak jauh berbeda antara yang terpapar limbah dengan yang tidak, sedangkan pada Scirpus grossus, lebar batang tumbuhan yang terpapar air limbah jauh lebih kecil dibandingkan dengan saat belum terpapar. Sebagian besar Typha angustifolia mengalami pertambahan lebar sisi batang. Selisih rata-rata pertumbuhan lebar sisi batang Typha angustifolia berkisar antara -0,1 cm hingga 0,5 cm pada reaktor dengan HRT 1 hari dan -0,2 hingga 0,6 pada reaktor dengan HRT 3 hari. Sementara selisih rata-rata pertumbuhan lebar sisi batang pada Scirpus grossus berkisar antara -1 hingga -0,9 untuk HRT 1 hari dan -0,9 hingga 0,6 untuk HRT 3 hari. Nilai negatif pada selisih ini menunjukkan bahwa lebar batang mengalami penyusutan setelah terpapar air limbah. Typha angustifolia memiliki kemampuan yang lebih besar dalam bertahan pada kondisi lingkungan yang toksik dibandingkan Scirpus grossus. Jumlah daun yang berbeda antara kondisi tumbuhan sebelum terpapar dengan setelah terpapar air limbah disebabkan karena selama pengoperasian reaktor terdapat daun yang kering dan kemudian terdegradasi sehingga tidak ikut terhitung pada saat pengamatan. Sementara itu, lebar daun memiliki karakteristik yang sama dengan lebar batang karena daun dan batang merupakan satu kesatuan, dimana pertumbuhan lebar 104 daun pada Typha angustifolia tidak jauh berbeda antara tumbuhan sebelum terpapar dengan setelah terpapar. Sebaliknya, lebar daun pada Scirpus grossus mengalami penyusutan setelah terpapar air limbah. Selisih rata-rata pertumbuhan lebar sisi daun Typha angustifolia berkisar antara 0,0 cm hingga 0,2 cm pada reaktor dengan HRT 1 hari dan -0,1 hingga 0,2 pada reaktor dengan HRT 3 hari. Sementara selisih rata-rata pertumbuhan lebar sisi daun pada Scirpus grossus berkisar antara -1 hingga -0,7 untuk HRT 1 hari dan -0,9 hingga -0,5 untuk HRT 3 hari. 4.6.2 Analisis Biomassa Tumbuhan Analisis biomassa didasarkan pada berat basah dan berat kering tumbuhan. Pengukuran berat basah dan berat kering dilakukan pada awal dan akhir pengoperasian reaktor. Berat basah diukur segera setelah tumbuhan diambil dan dibersihkan dari reaktor. Sementara berat kering diukur setelah tumbuhan dikeringkan dalam oven 105oC selama minimal 24 jam. Penentuan biomassa ini bertujuan untuk mengetahui berapa banyak bahan tumbuhan yang ada di dalam satu kawasan (Warrington, 1994). Biomassa tumbuhan ini menunjukkan akumulasi nutrien pada tumbuhan hasil dari fitoekstraksi. Hasil pengukuran berat basah dan berat kering tumbuhan dapat dilihat dalam grafik pada Gambar 4.31 dan Gambar 4.32. Dari data yang ditampilkan pada Gambar 4.31 dan Gambar 4.32, terlihat bahwa terjadi peningkatan berat kering pada tumbuhan Typha angustifolia setelah terpapar air limbah selama pengoperasian reaktor. Berbanding terbalik dengan Typha angustifolia, berat kering Scirpus grossus mengalami penurunan setelah terpapar air limbah. Hal ini menunjukkan bahwa Typha angustifolia lebih banyak menyerap nutrien selama uji phytotreatment. Nutrien yang paling banyak diserap oleh Typha angustifolia adalah dalam bentuk nitrat (NO3-). Hal ini ditunjukkan dengan efisiensi dekonsentrasi nitrat yang tinggi pada reaktor dengan tumbuhan Typha angustifolia. Sementara itu, penurunan berat kering pada Scirpus grossus belum tentu disebabkan karena tumbuhan tidak menyerap nutrien, tetapi bisa disebabkan karena temperatur lingkungan yang terlalu panas. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis temperatur 105 Diameter Batang (cm) Jumlah Daun Lebar Daun (cm) 11,4 15,2 VSSF HSSF VSSF VSSF 8 HSSF Typha angutifolia Typha angutifolia Scirpus grossus Sebelum Uji Phytotreatment Reaktor Ta1 Reaktor Sg1 0,9 0,7 HSSF Scirpus grossus Reaktor MP1 Setelah Uji Phytotreatment 0,9 5 VSSF Gambar 4.27 Perbandingan Karakteristik Fisik Tumbuhan pada Reaktor HRT 1 Hari 106 0,9 0,9 0,6 1,9 0,7 4 HSSF 2,0 0,6 0,8 0,8 0,8 0,5 1,6 0,7 2,2 1,6 1,6 0,6 1,7 4 6 7 7 7,7 9 10,3 12,0 14,2 8 9 13,8 15,8 24,0 Panjang Akarl (cm) 0,6 1,7 7 24,0 1,6 9 13,8 Scirpus grossus 1,6 0,7 2,3 9 12,9 0,6 7 9,8 HSSF 1,5 Reak tor T ypha angutifolia VSSF Lebar Batang (cm) 1,1 1,0 4 10,9 1,0 5 9,0 HSSF 0,8 Lebar Daun (cm) 0,7 1,9 8 15,6 7 8,8 HSSF 1,7 4 8,9 7 14,4 HSSF 1,0 107 Scirpus grossus VSSF 0,7 Reaktor Mixed Plants T ypha angutifolia VSSF 0,5 T inggi Setelah Uji Phytotreatm ent (cm ) Reaktor Scirpus grossus VSSF Jumlah Daun 0,8 Gambar 4.28 Perbandingan Karakteristik Fisik Tumbuhan pada Reaktor HRT 3 Hari Tinggi Awal (cm) T ypha angutifolia Panjang Akarl (cm) 0,8 yang kurang ideal untuk pertumbuhan Scirpus grossus. Penurunan berat kering juga bisa disebabkan karena tumbuhan kurang mampu bertahan hidup pada kondisi dialirkannya air limbah secara terus menerus sehingga tumbuhih cepat mengering dan membusuk. Gambar 4.29 Typha angustifolia (kiri) dan Scirpus grossus (kanan) saat Pengukuran Berat Basah Gambar 4.30 Typha angustifolia (kiri) dan Scirpus grossus (kanan) saat Pengukuran Berat Kering 4.7 Uji Statistik Dalam penelitian ini, hasil analisis parameter monitor dan utama dalam masing-masing reaktor diuji secara statistik untuk mengetahui pengaruh tiap variabel penelitian. Hasil analisis parameter monitor dan presentase efisiensi dekonsentrasi ketiga nutrien (amonium, nitrat, dan fosfat) diuji dengan uji korelasi dan uji regresi menggunakan program Microsoft Excel. Kedua uji tersebut menunjukkan bentuk hubungan antar variabel, tetapi dengan ukuran yang berbeda. Uji korelasi digunakan untuk meliihat seberapa erat hubungan antar dua variabel kuantitatif 108 2,6 4,3 15,4 43,5 2,6 3,3 15,4 15,6 3,4 1,9 7,6 18,2 2,6 9,4 15,4 33,9 HSSF Typha angustifolia VSSF MP1 HSSF Scirpus grossus VSSF 18,2 Gambar 4.31 Hasil Pengukuran Berat Basah dan Berat Kering Tumbuhan pada Reaktor HRT 1 Hari Sg1 HSSF Ta1 VSSF 18,2 Scirpus grossus HSSF 6,4 3,4 2,3 Typha angustifolia VSSF 15,4 19,7 Berat Kering Tumbuhan (gram) Hari ke-30 2,6 2,9 Berat Kering Tumbuhan (gram) Hari ke-0 18,2 Berat Basah Tumbuhan (gram) Hari ke-30 7,1 3,4 1,9 Berat Basah Tumbuhan (gram) Hari ke-0 5,9 3,4 1,7 109 Berat Basah Tumbuhan (gram) Hari ke-30 Berat Kering Tumbuhan (gram) Hari ke-0 Berat Kering Tumbuhan (gram) Hari ke-30 VSSF HSSF VSSF HSSF Typha angustifolia Scirpus grossus Ta1 Sg1 VSSF HSSF VSSF Typha angustifolia 3,4 2,7 18,2 13,2 6,1 3,4 1,2 2,6 3,2 18,2 15,4 20,9 2,6 3,4 15,4 18,2 3,4 1,8 9,3 3,4 1,8 18,2 15,8 2,6 2,1 2,6 3,9 15,4 15,4 18,5 36,6 62,9 Berat Basah Tumbuhan (gram) Hari ke-0 HSSF Scirpus grossus MP1 Gambar 4.32 Hasil Pengukuran Berat Basah dan Berat Kering Tumbuhan pada Reaktor HRT 3 Hari 110 yang dilihat dari besarnya angka. Adapun uji regresi bertujuan untuk mengukur seberapa besar suatu variabel independen (variabel penjelas/bebas) mempengaruhi variabel dependen (terikat) sehingga dapat digunakan untuk melakukan perkiraan atau prediksi nilai rata-rata variabel dependen berdasarkan variabel independen yang ada (Gujarati, 2003). Pada uji korelasi, nilai korelasi (r) yang dihasilkan dapat bernilai positif dan negatif. Nilai positif menyatakan hubungan semakin besar nilai pada suatu variabel, maka akan diikuti pula perubahan dengan semakin besar nilai dari variabel lainnya. Sebaliknya, nilai negatif menyatakan hubungan semakin besar nilai pada suatu variabel, maka akan semakin kecil nilai variabel lainnya. Besar nilai korelasi menunjukkan seberapa erat hubungan antar variabel. Besaran r = 1 menyatakan hubungan antar variabel bersifat kuat dan sempurna, r = 0,5 menyatakan hubungan sedang, dan nilai sama dengan r = 0,0 menyatakan tidak ada hubungan sama sekali (dua variabel tidak berhubungan). Hasil uji korelasi dan regresi parameter monitor dapat dilihat pada Tabel 4.27. Berdasarkan Tabel 4.27, hubungan antara pH dan presentase efisiensi dekonsentrasi amonium pada seluruh reaktor VSSF bernilai positif sehingga semakin besar pH pada air limbah, maka efisiensi semakin besar pula. Akan tetapi, nilai r < 0,5 yang menunjukkan bahwa hubungan antar keduanya kurang kuat, kecuali pada reaktor VSSF Ta1 dan Sg1 yang memiliki nilai r > 0,5. Pada reaktor HSSF, sebagian r bernilai positif dan sebagian lain bernilai negatif dengan besaran nilainya < 0,5, kecuali pada reaktor HSSF Ta1 dan Sg 3. Hubungan antara pH dan efisiensi dekonsentrasi nitrat pada reaktor VSSF bernilai positif, kecuali pada reaktor VSSF MP1 dan MP3 sehingga semakin besar pH pada air limbah, maka efisiensi juga semakin besar. Sementara pada reaktor HSSF, sebagian r bernilai positif dan sebagian bernilai negatif. Rata-rata besar nilai r < 0,5 yang menunjukkan hubungan kurang kuat. Akan tetapi nilai r > 0,5 terjadi pada reaktor VSSF Ta3 dan Sg3, serta reaktor HSSF MP3 yang menunjukkan bahwa hubungan antara pH dan efisiensi dekonsentrasi nitrat cukup kuat. 111 Hubungan antara pH dan efisiensi dekonsentrasi fosfat pada reaktor VSSF dan HSSF sebagian besar bernilai positif untuk HRT 1 hari dan sebagian besar bernilai negatif untuk reaktor HRT 3 hari. Akan tetapi besar nilai r > 0,5 hanya terjadi pada reaktor VSSF MP1 dan HSSF Ta3. Dari hasil uji korelasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pH memiliki hubungan kurang kuat dengan efisiensi dekonsentrasi ketiga parameter utama. Hubungan yang cukup kuat hanya terjadi pada reaktor dengan tumbuhan. Hal ini menunjukkan bahwa pH air limbah mempengaruhi kinerja tumbuhan dalam uptake nutrien sehingga juga memberikan pengaruh terhadap presentase efisiensi dekonsentrasi nutrien yang terjadi. Hubungan antara temperatur dan amonium bernilai positif di reaktor VSSF yang menunjukkan semakin besar temperatur, maka efisiensi semakin tinggi. Sementara pada reaktor HSSF, nilai r sebagian bernilai positif dan sebagian bernilai negatif. Nilai r sebagian besar < 0,5 yang menunjukkan bahwa hubungan kurang kuat. Nilai > 0,5 terjadi pada reaktor dengan HRT 3 hari. Hal ini menunjukkan bahwa temperatur pada HRT 3 hari mempengaruhi efisiensi dekonsentrasi amonium karena temperatur pada HRT 3 hari lebih tinggi dibandingkan HRT 1 hari. Hubungan antara temperatur dan efisiensi dekonsentrasi nitrat bernilai negatif pada reaktor VSSF HRT 1 hari dan bernilai positif pada reaktor VSSF HRT 3 Hari. Sementara pada reaktor HSSF, r sebagian bernilai positif dan sebagian bernilai negatif untuk kedua HRT tersebut. Nilai r > 0,5 untuk reaktor HSSF K1 yang menyatakan hubungan cukup kuat, sedangkan pada reaktor HSSF Sg1 nilai r = 1 yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara temperatur dengan efisiensi dekonsentrasi nitrat pada reaktor tersebut. Sementara pada reaktor HRT 3 hari, masing-masing reaktor memilki nilai r > 0,5. Hubungan antara temperatur dan efisiensi dekonsentrasi fosfat bernilai positif pada reaktor VSSF, kecuali reaktor VSSF Sg1 dan K3. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tempeatur, maka semakin tinggi efisiensi dekonsentrasi fosfat. Sementara nilai r pada reaktor HSSF sebagian besar bernilai positif pada reaktor HRT 1 hari dan sebagian besar bernilai negatif pada reaktor HRT 3 hari. Temperatur dan efisiensi dekonsentrasi fosfat 112 HSSF Bernilai (+) dan (-); r < 0,5 kecuali reaktor Ta1 dan Sg3 Bernilai (+) dan (-); r > 0,5 kecuali reaktor MP3 Bernilai (+), kecuali reaktor Ta3; r < 0,5 kecuali reaktor K1 dan Sg3 Bernilai (+); r < 0,5 kecuali reaktor Ta1 dan Sg1 Bernilai (+); r < 0,5 kecuali reaktor K3 dan MP3 Bernilai (-), kecuali reaktor Ta1 dan MP1; r < 0,5 kecuali reaktor MP3 pH Temperatur DO Amonium VSSF Parameter Bernilai (+) pada reaktor HRT 1 hari; r sebagian < 0,5 dan sebagian > 0,5 VSSF Bernilai (+), kecuali reaktor MP1 dan MP3; r < 0,5 kecuali reaktor Ta3 dan Sg3 Bernilai (+) pada reaktor HRT 3 hari; r < 0,5 kecuali reaktor K3, Ta3, dan Sg3 Bernilai (+) dan (-); r < 0,5 kecuali reaktor Sg1 (r = 1) dan MP3 (r = 0,5) Bernilai (+) dan (); r < 0,5 kecuali reaktor K3 dan MP3 Bernilai (+), kecuali Sg1 dan K3; r < 0,5 kecuali reaktor K1 dan K3 Bernilai (+) dan (-); r < 0,5 kecuali reaktor K1, Sg1 (r = 1), dan MP3 VSSF Bernilai (+) dan (); r < 0,5 kecuali reaktor MP1 HSSF Fosfat Bernilai (+) dan (-); r < 0,5 kecuali reaktor MP3 Nitrat Nilai Korelasi 113 Bernilai (+); r < 0,5 kecuali reaktor Sg3 dan MP3 Bernilai (+) dan (-); r < 0,5 kecuali reaktor K1 dan Ta3 Bernilai (+) dan (-); r < 0,5 kecuali reaktor Ta3 HSSF Tabel 4.27 Hasil Uji Korelasi antara Parameter Monitor dengan Presentase Efisiensi Dekonsentrasi Nutrien memiliki hubungan sedang pada reaktor K1 VSSF dan HSSF, sedangkan hubungan cukup kuat terjadi pada reaktor VSSF K3, serta reaktor Sg3 VSSF dan HSSF. Hubungan antara Dissolved Oxygen (DO) dengan efisiensi dekonsentrasi amonium sebagian besar bernilai negatif pada reaktor VSSF dan sebagian besar bernilai positif pada reaktor HSSF. Hubungan bernilai negatif pada reaktor VSSF menunjukkan bahwa tumbuhan lebih berperan dalam dekonsentrasi amonium dibandingkan mikroorganisme. Hal ini dikarenakan di dalam reaktor, akar tumbuhan menghasilkan oksigen, sedangkan mikroorganisme memerlukan oksigen untuk proses nitrifikasi. Sebaliknya, pada reaktor HSSF, hubungan dengan DO bernilai negatif karena mikroorganisme lebih berperan dalam dekonsentrasi amonium. Akan tetapi nilai r > 0,5 yang menunjukkan hubungan cukup kuat hanya terjadi pada reaktor HSSF K1, HSSF Sg 3, dan VSSF MP3. Hubungan antara DO dengan efisiensi dekonsentrasi nitrat bernilai positif pada seluruh reaktor HRT 1 hari, kecuali reaktor HSSF K1. Sebaliknya, r bernilai negatif pada reaktor HRT 3 hari, kecuali pada reaktor HSSF K3. Hal ini menunjukkan bahwa pengolahan berlangsung dengan baik pada reaktor HRT 3 hari karena kemampuan dekonsentrasi nitrat dengan proses denitrifikasi seharusnya berbanding terbalik dengan kadar DO dalam air. Nilai r > 0,5 sebagian besar terjadi pada reaktor HRT 3 hari yang menyatakan hubungan cukup kuat antara DO dengan efisiensi dekonsentrasi nitrat. Hubungan antara DO dengan efisiensi dekonsentrasi fosfat bernilai positif, kecuali pada reaktor VSSF K1, VSSF Ta1, dan VSSF MP1 sehinggan dapat dikatakan semakin besar kadar DO, maka semakin tinggi efisiensinya. Akan tetapi, nilai r > 0,5 hanya terjadi pada reaktor VSSF K3, HSSF Sg3, dan HSSF MP3. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa DO memiliki hubungan kurang kuat dengan efisiensi dekonsentrasi fosfat. Selain uji korelasi, hubungan antara parameter monitor dengan presentase efisiensi dekonsentrasi nutrien diuji menggunakan uji regresi dengan hasil seperti pada tabel dalam Lampiran A. Penarikan kesimpulan signifikasni dapat dilakukan dengan membandingkan taraf nyata dengan p-value. Taraf nyata 114 dalam uji regresi pada penelitian ini menggunakan taraf nyata 5% sehingga jika nilai p-value sama atau lebih kecil dari 5%, maka dapat dinyatakan bahwa variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Reaktor yang memiliki nilai p-value kurang dari 5% ditunjukkan dengan warna kuning pada tabel. Pengaruh pH signifikan terhadap efisiensi dekonsentrasi amonium dan nitrat hanya terjadi pada 3 reaktor, sedangkan terhadap efisiensi dekonsentrasi fosfat signifikan terjadi pada 1 reaktor. Dikarenakan sedikitnya reaktor yang dipengaruhi parameter pH terhadap efisiensi dekonsentrasi nutrien tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pH tidak terlalu berpengaruh terhadap nilai efisiensi dekonsentrasi nutrien. Tidak jauh berbeda dengan pH, pengaruh temperatur signifikan terhadap efisiensi dekonsentrasi amonium dan nitrat hanya terjadi pada 2 reaktor, sedangkan terhadap efisiensi dekonsentrasi fosfat signifikan terjadi pada 1 reaktor. Sementara itu, pengaruh temperatur signifikan terhadap efisiensi dekonsentrasi amonium terjadi pada 4 reaktor, terhadap efisiensi dekonsentrasi nitrat hanya terjadi pada 1 reaktor, sedangkan terhadap efisiensi dekonsentrasi fosfat signifikan terjadi pada 1 reaktor 2 reaktor. Dari hasil uji regresi tersebut, secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa parameter monitor tidak terlalu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai efisiensi dekonsentrasi nutrien. Selain pada parameter monitor, uji statistik juga diakukan untuk mengetahui pengaruh dari variabel penelitian, yaitu jenis tumbuhan dan HRT terhadap presentase efisiensi dekonsentrasi nutrien. Dalam hal ini, uji statistik yang digunakan adalah uji Kruskal-Wallis dengan menggunakan SPSS 16.0. Uji KruskalWallis digunakan karena data hasil analisis berdistribusi tidak normal sehingga tidak memenuhi syarat untuk dilakukan uji ANOVA. Uji Kruskal-Wallis adalah uji nonparametrik berbasis peringkat yang tujuannya untuk menentukan adakah perbedaan signifikan secara statistik antara dua atau lebih kelompok variabel independen pada variabel dependen yang berskala data numerik (interval/rasio) dan skala ordinal. Uji ini identik dengan uji One Way ANOVA pada pengujian parametris sehingga uji ini merupakan 115 alternatif bagi uji One Way ANOVA apabila tidak memenuhi syarat, seperti syarat normalitas data. Langkah awal pada uji Kruskal-Wallis adalah mengetehaui apakah semua kelompok variabel memiliki variabilitas nilai efisiensi yang sama. Variabilitas yang dimaksud di sini adalah bentuk dan sebaran data. Apabila sebaran data sama, maka uji Kruskall-Wallis dapat digunakan untuk mengetahui adakah perbedaan Median dan Mean. Jika tidak memiliki sebaran yang sama, maka uji ini hanya dapat digunakan untuk mengetahui perbedaan Mean saja. Variabilitas data dapat diketahu dari grafik histogram seperti pada Gambar 4.33, Gambar 4.34, dan Gambar 4.35. Data dapat dikatakan memiliki variabilitas yang sama jika memiliki bentuk kurva histogram yang sama pula. Berdasarkan Gambar 4.33, Gambar 4.34, dan Gambar 4.35, kurva pada grafik histogram memilki bentuk yang tidak sama, sehingga diketahui bahwa data memiliki variabilitas yang tidak sama. Oleh karena itu, uji Kruskal-Wallis tidak dapat digunakan untuk menilai perbedaan Median, melainkan hanya untuk menilai perbedaan peringkat rata-rata. Hasil akhir dari uji Kruskal-Wallis adalah nilai p-value atau pada tabel uji bernama asymp. sig. Apabila nilai asymp. sig. kurang dari batas kritis, yakni 0,05 (5%), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari variabel penelitian terhadap efisiensi dekonsentrasi nutrien. Berdasarkan Tabel 4.28, Tabel 4.29, dan Tabel 4.30, nilai asymp. sig. lebih besar dari 0,05, baik pada HRT 1 hari maupun HRT 3 hari. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tumbuhan tidak berpengaruh signifikan terhadap efisiensi dekonsentrasi amonium dan nitrat. Sementara itu, nilai asymp. sig. pada reaktor dengan HRT 1 hari lebih kecil dari 0,05, sedangkan pada reaktor HRT 3 hari lebih besar dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa jenis tumbuhan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap efisiensi dekonsentrasi fosfat apabila menggunakan HRT 1 hari. 116 Gambar 4.33 Grafik Histogram Variabilitas Data Amonium 117 Gambar 4.34 Grafik Histogram Variabilitas Data Nitrat 118 Gambar 4.35 Grafik Histogram Variabilitas Data Fosfat 119 Tabel 4.28 Hasil Uji Kruskal-Wallis antara Variabel Penelitian dengan Presentase Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Test Statisticsa,b 1 Hari Chi-Square df Asymp. Sig. 3 Hari 7.211 3 .065 4.273 3 .233 Tabel 4.29 Hasil Uji Kruskal-Wallis antara Variabel Penelitian dengan Presentase Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Test Statisticsa,b 1 Hari Chi-Square df Asymp. Sig. 3 Hari 1.242 3 .743 .484 3 .922 Tabel 4. 30 Hasil Uji Kruskal-Wallis antara Variabel Penelitian dengan Presentase Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Test Statisticsa,b 1 Hari Chi-Square df Asymp. Sig. 120 9.799 3 .020 3 Hari 6.438 3 .092 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan analisa data dan pembahasan dari penelitian ini, didapatkan kesimpulan, yaitu: 1. Tumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus mampu melakukan dekonsentrasi nutrien pada limpasan pertanian dengan konsentrasi amonium dan fosfat yang tinggi, yaitu 500 mg/L amonium dan 166,67 mg/L fosfat untuk Typha angustifolia, serta konsentrasi amonium sebesar 750 mg/L dan fosfat sebesar 250 mg/L untuk Scirpus grossus. 2. Tumbuhan tidak memberikan pengaruh yang signifikan dalam dekonsentrasi nitrogen. Efisiensi dekonsentrasi amonium tertinggi terjadi pada reaktor kontrol HRT 1 hari, yakni dengan efisiensi sebesar 99,99% dan reaktor kontrol HRT 3 hari dengan efisiensi sebesar 99,96%. Efisiensi dekonsentrasi nitrat tertinggi terjadi pada reaktor Typha angustifolia HRT 1 hari, yakni sebesar 59,91% dan reaktor kontrol HRT 3 hari, yakni sebesar -144,70%. 3. Berdasarkan uji statistik, tumbuhan memberikan pengaruh yang signifikan dalam dekonsentrasi fosfat pada HRT 1 hari. Efisiensi dekonsentrasi fosfat rata-rata tertinggi terjadi pada reaktor kontrol HRT 1 hari, yaitu sebesar 99,81% dan reaktor Typha angustifolia HRT 3 hari, yaitu sebesar 99,93%. 5.2 Saran Saran yang dapat penyusun berikan untuk dapat meningkatkan hasil penelitian ini adalah: 1. Konsentrasi air limbah diperbesar atau waktu pengoperasian reaktor saat uji phytotreatment diperlama hingga efektivitas media berkurang untuk membuktikan pengaruh keberadaan tumbuhan dalam meningkatkan efisiensi dekonsentrasi nutrien dengan menunjukkan 121 perbedaan efisiensi yang signifikan antara reaktor dengan tumbuhan dan reaktor tanpa tumbuhan. 2. Perlu ditambahkan reaktor kontrol tumbuhan tanpa air limbah untuk mengetahui pengaruh faktor lingkungan terhadap biomassa tumbuhan dalam uji phytotreatment. 3. Perlu dilakukan pengukuran kadar senyawa organik pada efluen reaktor penelitian untuk dibandingkan dengan kebutuhan senyawa organik oleh mikroorganisme dalam proses denitrifikasi. 4. Perlu dilakukan penelitian yang mengkombinasikan Typha angustifolia dengan jenis tumbuhan lain yang memiliki kemampuan bertahan hidup lebih tinggi dibandingkan Scirpus grossus, baik dalam keadaan single plant, maupun mixed plants. 122 DAFTAR PUSTAKA Abdulgani, H., Izzati, M., dan Sudarno. 2014. ”Kemampuan Tumbuhan Typha angustifolia dalam Sistem Subsurface Flow Constructed untuk Pengolahan Limbah Cair Industri Kerupuk (Studi Kasus Limbah Cair entra Industri Kerupuk Desa Kenanga Kecamatan Sindang Kabupaten Indramayu Jawa Barat)”. Bioma 16, 1: 90-101. Agustiningsih, D. 2012. Kajian Kualitas Air Sungai Blukar Kabupaten Kendal dalam Upaya Pengendalian Pencemaran Sungai. Tesis. Semarang: Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro. Ali, M. 2011. Rembesan Air Lindi (LeachateI Dampak Pada Tanaman Pangan dan Kesehatan. Surabaya: UPN Veteran Jawa Timur. Arias, C. A., Del Bubba, M., dan Brix, H. 2001. “Phosphorus Removal by Sanda for Use as Media in Subsurfave Flow Constructed Reed Beds”. Water Res. 35, 5:1159-1168. Arivoli, A. dan Mohanraj, R. 2013. “Efficiacy of Typha angustifolia based Vertical Flow Constructed Wetland System in Pollutant Reduction of Domestic Wastewater”. International Journal of Environmental Sciences 3, 5:1497–1508. Bagwell, E. C. et al. 1998. “Physicological of Rhizosphere Diazotroph Assemblages of Selected Salt Marsh Grasses”. Applied and Environmental Microbiology Journal of Science Education 4, 12. Bogor: Puslit Limnologi-LIPI. Brix, H., Dyhr-Jensen, K., dan Lorenzen, B. 2002. “Root-zone Acidity and Nitrogen Source Affects Typha latifolia L. Growth and Uptake Kinetics of Ammonium and Nitrate”. Journal of Experimental Botany, 53:2441-2450. Caroline, J., dan Moa, G. A. “Fitoremediasi Logam Timbal (Pb) Menggunakan Tanaman Melati Air (Echinodorus palaefolius) pada Limbah Industri Peleburan Tembaga dan Kuningan. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Terapan III. Surabaya. 123 Campbel, C. S. dan Odgen, M. 1999. Constructed Wetlands in the Sustainable Landscape. Canada: John Wiley & Sons, Inc. Casali, J. R., Gimenez, J., Diez, J., Alvarez-Mozos, J., de Lersundi, J. D. V., Goni, M., Campo, M. A., Chahor, Y., Gastesi, R., Lopez, J. 2010. “Sediment Production and Water Quality of Watersheds with Contrasting Land Use in Navarre (Spain)”. Agricultural Water Management 97:16831694. Christina, V., Margit, K., Bavor, H. J., Chazarenc, F., dan Mander, U. 2011. “Filter Materials for Phosphorus Removal from Wastewater in Treatment Wetlands-A Revier”. Ecological Engineering 37:70-89. Ciria, M.P., Solano, M.L., dan Soriano, P. 2005. “Role of Macrophyte Typha latifolia in a Constructed Wetland for Wastewater Treatment and Assessment of Its Potential as a Biomass Fuel”. Biosystems Engineering 92, 4:535544. Connecticut Department of Energy and Environmental Protection. 2008. Agricultural Wastewater. <URL: http://www.ct.gov/deep/cwp/view.asp?a=2721&q=325688 &depNav_GID=1654>. Cooper, P. 1999. “A Review of The Design and Performance of Vertical-Flow and Hybrid Reed Bed Treatment Systems. Water Science and Technology 40, 3:1-9. Crites, K. dan Tchobanoglous, G. 1998. Small and Decentralized Wastewater Management Systems: Wetlands and Awuatic Treatment Systems. Singapure: Mc Graw-Hill. Damanik, M. M. B., Hasibuan, B. E., Sarifuddin, dan Hanum, H. 2011. Kesuburan Tanah dan Pemupukan. Medan: USU Press. Danista, R.W. 2012. Penggunaan Bambu Air (Equisetum hyemale) dan Bambu Rejeki (Dracaena sanderiana) untuk Penyisihan Nitrogen dan Fosfor pada Grey Water dengan Sistem Constructed Wetland. Tesis. Surabaya: ITS. Davies, T. H. dan Hart, B. T. 1990. “Use of Aeration to Promote Nitrification in Reed Beds Treating Wastewater”. 124 Proceedings of the International Conference on the Use of Constructed Wetlands in Water Pollution Control: 77-84. Oxford, U.K: Pergamon Press. DCNR Pennsylvania. 1999. Invasive Plants in Penssylvania: Narrow-Leaved Cattail (Typha angustifolia). <URL: http://www.dcnr.state.pa.us/conservationscience/invasive species/index.htm>. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius. Engelstad, O. P., dan Hellums, D. T. “Water Solubility of Phosphate Fertilizers Agronomic Aspect-A Literature Review”. Paper 17. FAO. 1996. “Control of Water Pollution from Agriculture”. FAO Irrigation and Drainage Paper 55. Canada. FAO. 2002. “Crops and Drops: Making the Best Use for Agriculture”. FAO. Rome, Italia. Farenga, S. J. dan Daniel N. 2007. “Making a Community Information Guide about Nonpoint Source Pollution. Science Scope 30:12-15. Gujarati, N. D. 2003. Basic Economics. Edisi 4. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Gupta, A. K. 2011. Actinoscirpus grossus. IUCN Red List of Threatened Species Version 2013.2. <URL: http://iucnredlist.org>. Halverson, N. V. 2004. Review of Constructed Subsurface Flow vs Surface Flow Wetlands. U.S.: Westinghouse Savannah River Company. Hammer, D. A. 1989. Constructed Wetlands for Wastewater Treatment. Chelsea, Michigan: Lewia Publisher. Hammer, D. A. dan Knight, R. L. 1994. “Designing Consetructed Wetlands for Nitrogen Removal”. Water Science Technology 29:15-17. Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta: PT. Raya Grafindo Persada. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jakarta: Koperasi Karyawan Departemen Kehutanan. 125 Hidayah dan Aditya. 2011. “Potensi Pengaruh Tanaman pada Pengolahan Air Limbah Domestik dengan Sistem Constructed Wetland”. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan 2, 2:11-18. Ibekwe, A. M., Grieve, C. M., dan Lyon, S. R. 2003. “Characterization of Microbial Communities and Composition in Constructed Dairy Wetland Wastewater Effluent. Appl. Environ. Microbiol. 69:5060-5069. Jones, C., Brown, B. D., Engel, R., Horneck, D., dan Olson-Rutz, K. 2013. Factors Affecting Nitrogen Fertilizer Volatilization. U.S.: Montana State University. Jinadasa, K., Sasikala, S., Werellagama, D., Mowjood, M.I., dan Ng, W.J. 2008. “Impact of Harvesting on Constructed Wetlands Performance – a Comparison Between Scirpus grossus and Typha angustifolia”. Journal of Environmental Science and Health 43, 6:664-671. Karenlampi, S. K., Schat, H., Vangronsveld, J. Verkleij, J. A. C., van der Leile, D., Mergeay, M., dan Tervahauta, A. I. 2000. “Genetic Engineering in the Improvement of Plants for Phytoremediation of Metal Polluted Soils”. Environ. Pollut. 107:225-231. Keffala, C. dan Ghrabi, A. 2005. “Nitrogen and Bacterial Removal in Constructed Wetlands Treating Domestic Wastewater”. Desalination 185: 383-389. Khiatuddin, M. 2003. Melestarikan Sumber Daya Air dengan Teknologi Rawa Buatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University. Kida, K., Morimura, S., Mochinaga, Y., dan Tokuda, M. 1999. “Efficient Removal of Organic Matter and NH4 from Pot Ale by a Combination of Methane Fermentation and Biological Denitrification and Nitrification Processes”. Process Biochemistry 34:567-575. Knight, R. L., Payne Jr, V. W. E., Borer, R. E., Clarker Jr, R. A., Pries, J. H. 2000. “Constructed Wetland for Livestock Wastewater Management”. Ecological Engineering 15:41-55. Kurniadie, D. 2011. Teknologi Pengolahan Limbah Cair Secara Biologis. Bandung: Widya Padjadjaran. 126 Lee, C.G., Fletcher, T.D., dan Sun, G. 2009. “Nitrogen Removal in Constructed Wetlands· Engineering Life Sciences 9, 1:11-22. Lei, Y. A., Hui-Ting, C., dan Mong-Na L. H. 2001. “Nutrient Removal in Gravel and Soil Based Wetland Microcosmwith and without Vegetation. Eco. Eng. 18:91-105. Liehr, S. K., et al. 2000. Constructed Wetlands Treatment of High Nitrogen Landfill Leachate. Virginia: Water Environment Research Foundation. Lines-Kelly, R. 2005. Defend the Rhizosphere and Root Againts Pathogenic Microorganisms. <URL: http://ice/agric/uwa.edu.au/soils/soilhealth>. Ling, C. 2010. Nonindigenous Aquatic Species. <URL: http://nas.er.usgs.gov/queries/FactSheet.aspx?speciesID =2679>. Mangkoedihardjo, S., Rahmawati, C. O. D., Rinpropadebi, A. H., dan Putri, L. M. 2012. “Phytostabilization of Lead in Soil by Ornamental Local Plants and Enhanced by Composy Addition”. International Journal of Academic Research 4, 5: 95-99. Metcalf dan Eddy. 2003. Wastewater Engineering: Treatment and Reuse, 4th Edition. International Edition. New York: McGraw-Hill. Ni’am, A. C. dan Warmadewanthi, IDAA. 2013. “Efektifitas Typha angustifolia dan Eichornia crassipes dalam Mengolah Leahate dengan Sistem Constructed Wetland”. Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII. Surabaya: Program Studi MMT-ITS. Novotny, V. dan Olem, H. 1994. Water Quality: Prevention, Identification, and Management of Diffuse Pollution. Van Nostrand Reinhold. New York. Nugroho, et al. 2014. “Distribusi serta Kandungan Nitrat dan Fosfat di Perairan Danau Rawa Pening”. Bioma 3, 1:27-41. Permana, D. 2003. Keanekaragaman Makrobentos di Bendungan Bapang dan Bendungan Ngablabaan Sragen. Skripsi. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret. 127 PermenLH. 2010. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 01 Tahun 2010 Tentang Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup. PFAF (Plant For A Future). 2012. Typha latifolia-L. <URL: http://www.pfaf.org/user/plant.aspx?LatinName=Typha+la tifolia>. Pujiastuti, P., Sumardiyono, dan Mutiah, S. 2015. “Pola Distribusi Pencemar Nitrogen dan Fosfor Non Point Source Sub Das Wuryantoro ke Waduk Gajah Mungkur Wonogiri”. Seminar Nasional Teknologi Kimia, Industri, dan Informasi. Purwantari, N. D. 2008. “Penambatan Nitrogen secara Biologis: Perspektif dan Keterbatasannya”. Wartazoa 18, 1:9-17. Rao, J., X. T. Ji, W. Ouyang, X.C. Zhao, X.H. Lai. 2012. “Dilemma Analysis of China Agricultural Non-point Source Pollution Based on Peasants’ Household Surveys”. Procedia Environmental Science 13: 2169 – 2178. Raouf, N.A., Al-Homaidan, A.A., Ibraheem, I.B.M. 2012. “Microalgae and Wastewater Treatment”.Saudi Journal of Biological Sciences 19, 3:257-275. Rasheed, A. M., Mansoor, M.M.A., Ahmath, M.H.A., dan Shameer, S.M. 2014. “Nutrient Removal in Hybrid Constructed Wetlands”. International Journal of Scientific & Engineering Research 5, 2:1004-1006. Saeed, T. dan Sun, G. “A Review on Nitrogen and Organics Removal Mechanisms in Subsurface Flow Constructed Wetlands: Dependency on Environmental Parameters, Operating Conditions And Supporting Media”. J. Environ. Manag 112:429–448. Sasikala, S., Tanaka N., Jinadasa, K., dan Mowjood M. 2009. “Comparison Study of Pulsing and Continuous Flow for Improving Effluent Water Quality and Plant Growth of a Constructed Wetland to Treat Domestic Wastewater”. Tropical Agricultural Research 21, 2:147-156. Sirianuntapiboon, S., Kongchum, M., dan Jitmaikasem, W. 2006. “Effects of Hydraulic Retention Time and Media of Constructed Wetland for Treatment of Domestic 128 Wastewater”. African Journal of Agricultural Research 1, 2:027-037. Stefanakis, A., Christos, A., dan Tsihrintzis, V. 2014. Vertical Flow Constructed Wetland. Elsevier Science. Sultenfuss, J. H., dan Doyle W. J. 1999. “Phosphorus for Agriculture”. Better Crops with Plant Food 83:1-40. Sun, G., Ma, Y., dan Ran, Z. 2009. “Study on Purification Efficiency of Sewage in Constructed Wetlands with Different Plants”. World Rural Observation 1, 2:35-39. Sundari, A. S., Retnaningdyah, C., dan Suharjono. 2013. “The Effectiveness of Scirpus grossus and Limnocharis flava as Fitoremediation Agents of Nitrate-Phosphate to Prevent Microcystis Blooming in Fresh Water Ecosystem”. The Journal of Tropical Science 3,1:28-33. Suriawiria, U. 1993. Pengantar untuk Mengenal dan Menanam Jamur. Bandung: Penerbit Angkasa. Surrency, D. 1993. Evaluation of Aquatic Plants for Constructed Wetlands. Dalam Constructed for Water Quality Improvement. Moshiri, G. (ed). Boca Raton: Lewis Publishers. Tangahu, B.V. dan Warmadewanthi, I. D. A. A. 2001. “Pengolahan Limbah Rumah Tangga dengan Memanfaatkan Tanaman Cattail (Typha angustifolia) dalam Sistem Constructed Wetland”. Purifikasi 2, 3. Tangahu, B.V., et al. 2010. “Range Finding Test of Lead (Pb) on Scirpus grossus and Measurement of Plant Wet-Dry Weight as Preliminary Study of Phytotoxicity”. Regional Engineering Postgraduate Conference (EPC). Universiti Kebangsaan Malaysia. Titiresmi dan Nida, S. 2006. “Teknologi Biofilter untuk Pengolahan Limbah Ammonia. Jurnal Teknik Lingkungan 7, 2:173179. Toet, S., Logtestijin, R. S. P. V., Schreijer, M., Kampf, R., dan Vergoeven, J. T. A. 2005. “Potential Denitrification in Wetland Sediments with Different Plant Species Detritus. Ecol. Eng. 14:17-32. US Environmental Protection Agency. 1993. Subsurface Flow Constructed Wetlands for Wastewater Treatment, A 129 Technology Assesment. USA: Office of Water Environmental Protection Agency (EPA). USDA. 2010. “Keys to Soil Taxonomy, Soil Survey Staff”. Natural Resource Conservation Service. Eleventh ed. US Agriculture Department. Vretare, V., Weisner, S. E. B., Strand, J. A., dan Graneli, W. “Phenotypic Plasticity in Phragmites australis as a Functional Response to Water Depth. Aquatic Botany 69:127-145. Vymazal, J. 2006. “Constructed Wetlands with Emergent Macrophytes: from Experiments to a High Quality Treatment Technology”. Proceedings of the 10th International Conference on Constructed Wetlands for Water Pollution Control: 3-27. Lisbon, Portugal: MAOTDR. Vymazal, J. 2007. “Removal of Nutrients in Various Types of Constructed Wetlands”. Sci. Total Environ. 380, 1-3:4865. Vymazal, J. 2009. “The Use Constructed Wetlands with Horizontal Sub-Surface Flow for Various Types of Wastewater. Ecological Engineering 35, 1:1-17. Vymazal, J. 2010. “Review: Constructed Wetlands for Wastewater Treatment”. Water 2: 530-549. Vymazal, J. dan Kropfelova, L. 2008. “Wastewater Treatment in Constructed Wetlands with Horizontal Subsurface Flow”. USA: Springer. Vymazal, J. 2013. “The Use of Hybrid Constructed Wetlands for Wastewater Treatment with Special Attention to Nitrogen Removal: a Review of a Recent Development”. Water Research 47, 14:4795-4811. Wantasen, S. 2015. “Transformasi Nitrogen di Outlet Saluran Irigasi Daerah Aliran Sungai Tondano. Saiteknol 13, 1:6170. Warrington, P. 1994. Collecting and Preserving Aquatic Plants. <http://www.ilmb.gov.bc.ca/risc/odocs/aquatic/collect/colle cthtm-28.htm>. 130 Weed Science Society of America. 2010. Invasise Plant Fact Sheet-Actinoscirpus grossus. <URL: http://agprime.com/Weeds/Invasive/FactSheets/>. Wood, A. 1993. Constructed Wetland for Wastewater Treatment Engineering and Design Consideration. U.K.: Pergamon press. Xinshan, S., Qin, L., dan Denghua, Y. 2010. “Nutrient Removal by Hybrid Subsurface Constructed Wetlands for High Concentration Ammonia Nitrogen Wastewater”. Procedia Environmental Sciences 2:1461-1468. Zhang, X., Inoue, T., Kato, K., Harada, J., Izumoto, H., Wu, D., Sakuragi, H. Ietsugu, H., dan Sugawara, Y. 2016. “Performance of Hybrid Subsurface Constructed Wetland System for Piggery Wastewater Treatment”. Water Science Technology 73, 1:13-20. 131 “Halaman ini sengaja dikosongkan” 132 Typha angustifolia Jumlah Daun 2 3 4 4 5 5 5 6 Umur Tumbuhan (minggu) 1 2 3 4 5 6 7 8 0,9 0,8 0,5 1 0,8 0,6 0,4 0,3 Lebar Daun (cm) 128 107 79,2 70,2 62,7 48 16,7 14,7 Panjang Daun (cm) 12 13 8,8 5,8 7,3 5 3,3 2,8 Panjang Batang (cm) 3 3 2,4 1,6 1 0,7 0,6 0,3 Diameter Batang (cm) 19,5 13,8 13 18 5,6 11,5 3,9 8,5 Panjang Akar (cm) Data Pertumbuhan Typha angustifolia dan Scirpus grossus pada Tahap Propagasi Jenis Tumbuhan A. LAMPIRAN A DATA HASIL PENELITIAN 140 120 88 76 70 53 20 17,5 133 Tinggi Tumbuhan (cm) [Panjang Daun + Panjang Batang] Jenis Tumbuhan Scirpus grossus 134 Umur Tumbuhan (minggu) Jumlah Daun Lebar Daun (cm) Panjang Daun (cm) Panjang Batang (cm) Diameter Batang (cm) Panjang Akar (cm) Tinggi Tumbuhan (cm) [Panjang Daun + Panjang Batang] 1 4 0,5 13,8 2,7 0,5 4 16,5 2 5 0,7 24,5 3,6 0,6 5 28,1 3 5 0,8 43,1 3,6 0,7 12 46,7 4 5 0,7 53,2 5,4 0,6 16 58,6 5 7 1 74,3 8 0,8 20 82,3 6 10 1,2 97 5,5 1 19 102,5 7 10 1,34 113,64 6,06 1,1 22 119,7 8 10 1,48 130,28 6,62 1,2 25 136,9 2 1 0 Hari ke- 1 tumbuhan kuning, 2 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar Warna daun hijau segar dan tidak ada tunas 1 tumbuhan daunnya sedikit kuning, 2 tumbuhan hijau dan segar 0; 0 Warna daun hijau segar dan tidak ada tunas 1 tumbuhan daunnya sedikit kuning, 2 tumbuhan hijau dan segar 1 tumbuhan kuning dan kering, 2 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar 10; 3,33 Warna daun hijau segar dan tidak ada tunas 1 tumbuhan daunnya sedikit kuning, 2 tumbuhan hijau dan segar 1 tumbuhan kuning dan kering, 2 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar 2 tumbuhan kuning dan kering, 1 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar 1 tumbuhan daunnya sedikit kuning, 2 tumbuhan hijau dan segar Warna daun hijau segar dan tidak ada tunas Warna daun hijau segar dan tidak ada tunas 1 tumbuhan daunnya sedikit kuning, 2 tumbuhan hijau dan segar 2 tumbuhan kuning dan kering, 1 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar 3 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar 2 tumbuhan daunnya sedikit kuning, 1 tumbuhan hijau dan segar Warna daun hijau segar dan tidak ada tunas Karakteristik Typha angustifolia Konsentrasi Amonium; Konsentrasi Fosfat (mg/L) 25; 8,33 100; 33,33 250; 83,33 500; 166,67 B. Data Perubahan Kondisi Fisik Tumbuhan Selama RFT 3 tumbuhan daunnya kuning dan segar 3 tumbuhan hijau dan segar Warna daun hijau segar dan tidak ada tunas 750; 250 135 3 tumbuhan daunnya kuning dan segar 3 tumbuhan hijau dan segar Warna daun hijau segar dan tidak ada tunas 1000; 333,33 3 1 tumbuhan kuning, 2 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar 4 hingga 5 1 tumbuhan kuning dan kering, 2 tumbuhan daunnya kuning dan segar 6 hingga 13 136 1 tumbuhan kuning dan kering, 2 tumbuhan daunnya kuning dan segar 1 tumbuhan kuning dan kering, 2 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar 1 tumbuhan kuning dan kering, 2 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar 1 tumbuhan kuning dan kering, 2 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar 1 tumbuhan kuning dan kering, 2 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar 2 tumbuhan kuning dan kering, 1 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar 2 tumbuhan kuning dan kering, 1 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar 3 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar 3 tumbuhan daunnya kuning dan segar 3 tumbuhan daunnya kuning dan segar 1 tumbuhan mati, 2 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar 1 tumbuhan mati, 1 tumbuhan kuning dan kering, dan 1 tumbuhan kekuningan segar 2 tumbuhan mati, 1 tumbuhan kuning segar 3 tumbuhan daunnya kekuningan dan segar 3 tumbuhan daunnya kuning dan kering 3 tumbuhan daunnya kuning dan kering 1 tumbuhan mati, 2 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar 1 tumbuhan mati, 1 tumbuhan kuning dan agak kering, 1 tumbuhan kuning dan segar 2 tumbuhan mati, 1 tumbuhan kuning dan segar 3 tumbuhan daunnya kuning, segar, dan tumbuh 1 tunas 3 tumbuhan mati 3 tumbuhan mati 14 1 tumbuhan mati, 2 tumbuhan daunnya kuning dan segar, tumbuh 2 tunas 1 tumbuhan mati, 2 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar 1 tumbuhan mati, 2 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar 1 tumbuhan mati, 1 tumbuhan kuning dan kering, dan 1 tumbuhan kuning dan segar 2 tumbuhan mati, 1 tumbuhan kuning dan segar 3 tumbuhan daunnya kuning, segar, dan tumbuh 1 tunas 3 tumbuhan mati 3 tumbuhan mati 137 Karakteristik Scirpus grossus Kadar Amonium (mg/L) Hari ke- 0 10 25 100 250 500 750 1000 166,67 250 333,33 Warna daun hijau segar dan tidak ada tunas Warna daun hijau segar dan tidak ada tunas Warna daun hijau segar dan tidak ada tunas 1 tumbuhan daunnya sedikit kuning, 2 tumbuhan hijau dan kering 3 tumbuhan daunnya kuning dan kering 3 tumbuhan daunnya kuning dan kering Kadar Fosfat (mg/L) 0 3,33 8,33 Warna daun hijau segar dan tidak ada tunas Warna daun hijau segar dan tidak ada tunas Warna daun hijau segar dan tidak ada tunas 1 tumbuhan batangnya sedikit kuning, 2 tumbuhan hijau dan kering 2 tumbuhan daunnya sedikit kuning, 1 tumbuhan hijau dan kering 1 tumbuhan batangnya sedikit kuning, 2 tumbuhan hijau dan kering 33,33 83,33 Warna daun hijau segar dan tidak ada tunas 1 tumbuhan batangnya sedikit kuning, 2 tumbuhan hijau dan kering Warna daun hijau segar dan tidak ada tunas 1 tumbuhan daunnya sedikit kuning, 2 tumbuhan hijau dan kering 0 1 138 4 hingga 5 2 hingga 3 Hari ke- 1 tumbuhan mati, 2 tumbuhan kuning dan kering 2 tumbuhan kuning dan kering, 1 tumbuhan daunnya 3,33 2 tumbuhan kuning dan kering, 1 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar 0 3 tumbuhan kuning dan kering 10 0 1 tumbuhan mati, 2 tumbuhan kuning dan kering 3 tumbuhan kuning dan kering 8,33 25 250 1 tumbuhan mati, 2 tumbuhan kuning dan kering 3 tumbuhan kuning dan kering 33,33 2 tumbuhan kuning dan kering, 1 tumbuhan daunnya 83,33 2 tumbuhan kuning dan kering, 1 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar Kadar Fosfat (mg/L) 100 Kadar Amonium (mg/L) 1 tumbuhan kuning dan kering, 2 tumbuhan daunnya sedikit 3 tumbuhan daunnya kuning dan kering 333,33 1000 139 3 tumbuhan 3 tumbuhan daunnya daunnya kuning kuning dan dan kering kering 3 tumbuhan daunnya kuning dan kering 1 tumbuhan kuning dan kering, 2 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar 750 250 500 166,67 Karakteristik Scirpus grossus Karakteristik Scirpus grossus Kadar Amonium (mg/L) Hari ke- 0 10 25 100 250 500 750 1000 83,33 sedikit kuning dan segar 2 tumbuhan kuning dan kering, 1 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar 166,67 kuning dan segar 250 333,33 1 tumbuhan kuning dan kering, 2 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar 3 tumbuhan daunnya kuning dan kering 3 tumbuhan daunnya kuning dan kering 1 tumbuhan mati, 1 1 tumbuhan kuning dan kering, 2 1 tumbuhan mati, 2 2 tumbuhan mati, 1 tumbuhan Kadar Fosfat (mg/L) 0 6 hingga 7 1 tumbuhan mati, 2 tumbuhan kuning dan kering 3,33 sedikit kuning dan segar 2 tumbuhan kuning dan kering, 1 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar 8,33 33,33 1 tumbuhan mati, 2 tumbuhan kuning dan kering 1 tumbuhan mati, 2 tumbuhan kuning dan kering 1 tumbuhan mati, 2 tumbuhan 1 tumbuhan mati, 2 8 hingga 14 1 tumbuhan mati, 2 140 2 tumbuhan kuning dan Hari ke- 10 3,33 kering, 1 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar 0 0 tumbuhan kuning dan kering 8,33 kuning dan kering 25 250 33,33 tumbuhan kuning dan kering 83,33 tumbuhan kuning dan kering, 1 tumbuhan sedikit kuning dan segar Kadar Fosfat (mg/L) 100 Kadar Amonium (mg/L) 500 166,67 tumbuhan daunnya sedikit kuning dan segar Karakteristik Scirpus grossus 250 tumbuhan daunnya kuning dan kering 750 333,33 daunnya kuning dan kering 1000 141 C. Hasil Analisis Temperatur a. HRT 1 Hari Waktu Pemaparan (hari setelah tanam) 1 Reaktor Influen (oC) 28 Kontrol (oC) Typha angustifolia (oC) Scirpus grossus( oC) Mixed Plants (oC) VSSF HSSF VSSF HSSF VSSF HSSF VSSF HSSF 28 27,5 29 27,5 29 28 28 27 2 32 33 28 32,5 27 32,5 27 33 27,5 3 28 28,5 28,5 28 28,5 28 29 29 29 4 29 28 28 28,5 28 28,5 28 29,5 28 5 28 27,5 29 29 29 29 29 29 27 6 29,5 28,5 28 28,5 30 28,5 30 26 29,5 7 31,5 30,5 30 30 29 30,5 30 29 28 14 28,5 31,5 28 29,5 28,5 30,5 28,5 30,5 26 21 29,5 28,5 26,5 31,5 26 31,5 25 30 26 28 29 30,5 29 27 29 27 27 29 27,5 Rata-Rata 29 29 28 29 28 30 28 29 28 142 30,5 29,5 30 24 27 30 31 31 21 Rata-Rata 32 12 30,5 29 9 18 31,5 6 15 32 30,5 3 Influen (oC) Waktu Pemaparan (hari setelah tanam) b. HRT 3 Hari 30 29 29 30 30 29 31 31,5 30,5 31 32,5 VSSF 30 28,5 28 29,5 30 27 30 30,5 29 30,5 32,5 HSSF Kontrol (oC) 30 29,5 29,5 28 27 29 31 31,5 30,5 31,5 33 VSSF 30 28 28 29 29 29 30,5 30,5 31 31,5 32 HSSF Typha angustifolia (oC) 28 27 28 27,5 26 28 28,5 28,5 30 28,5 28,5 VSSF 28 27 27 27 27,5 27 28 26,5 30 30 28,5 HSSF Scirpus grossus (oC) Reaktor 28 27,5 27,5 27 27 26 28,5 27,5 28 31 29 VSSF 143 29 27 27,5 28 27,5 30 28,5 28 30,5 31 29 HSSF Mixed Plants (oC) D. Hasil Analisis pH a. HRT 1 Hari Waktu Pemaparan (hari setelah tanam) Influen 1 7,4 VSSF 8,1 2 7,2 3 Reaktor Kontrol Typha angustifolia Scirpus grossus HSSF 8,3 VSSF 7,9 HSSF 7,8 VSSF 7,7 HSSF 7,4 VSSF 7,6 HSSF 7,8 7,7 8 7,3 7,4 7,7 7,2 7,4 7,3 7,1 7,4 8,1 7,5 7,5 7,5 7,5 7,5 7,5 4 7,1 7,9 8,1 7,5 7,3 7,5 7,2 7,8 7,5 5 6,9 7,8 8,5 7,3 7,4 7,5 7,4 7,4 7,3 6 7 7,6 8,2 7,8 7,3 7,6 7,5 7,5 7,4 7 7,3 7,9 8 7,5 7 7,7 7,1 7,4 7,2 14 6,4 8,1 7,8 7,2 7,1 7,3 7,1 7,3 7 21 5,6 7,2 7,5 7,2 7,3 7,5 7,4 7,5 7,4 28 6 7,7 7,3 7,2 7,5 7,1 8 7,1 7,7 Rata-Rata 7 8 8 7 7 8 7 7 7 144 Mixed Plants 6,2 5,6 6,8 18 21 24 7 5,8 15 Rata-Rata 6,8 12 7 6,5 9 6,5 6,8 6 30 7,3 3 27 Influen Waktu Pemaparan (hari setelah tanam) b. HRT 3 Hari 8 7,5 7,4 7,3 7,4 7,3 7,6 7,5 8,1 7,6 7,7 VSSF 7 6,9 7,3 7,1 7,4 6,9 7,7 7 7,1 7,3 7,3 HSSF Kontrol 7 7,3 7,3 7,2 7,5 6,8 7,4 7,3 7,3 7,9 7,4 VSSF 7 7 7,2 7,2 7 7,1 7,8 7,3 7,7 7 7 HSSF Typha angustifoli 8 7,5 7,7 7,4 7,6 7,6 7,5 7,7 7,9 8 7,9 VSSF 7 7,1 7,2 7,3 7,1 7,1 7,4 7,4 7,1 7,4 7,7 HSSF Scirpus grossus Reaktor 7 7,4 7,3 7,1 7 7,1 7,8 7,4 7 7,5 7,4 VSSF 145 7 7,1 6,9 7 6,8 7 7,8 7 7,2 7,4 7,4 HSSF Mixed Plants E. Hasil Analisis DO a. HRT 1 Hari Waktu Pemaparan (hari setelah tanam) 146 DO Influen (mg/L) DO (mg/L) Reaktor Kontrol Typha angustifoli Scirpus grossus Mixed Plants VSSF HSSF VSSF HSSF VSSF HSSF VSSF HSSF 1 5,6 3,4 2,2 4,2 2,6 4,6 3,0 3,2 1,2 2 4,2 4,4 2,1 3,2 1,4 3,2 1,4 3,6 1,8 3 4,4 3,4 2,0 1,9 3,1 2,4 3,4 2,6 1,6 4 5,1 3,6 2,2 3,8 1,7 2,2 2,2 1,7 3,7 5 4,3 4,0 2,9 3,2 2,0 3,1 1,5 3,5 1,6 6 5,8 4,1 3,8 2,5 3,2 5,0 4,7 2,6 3,3 7 5,8 5,1 4,4 3,3 4,7 5,1 3,3 1,0 3,5 14 6,2 4,9 4,3 4,6 4,4 1,3 0,9 1,7 2,5 21 4,6 2,6 2,3 2,8 1,8 3,5 1,7 1,9 1,9 28 4,2 3,4 3,0 2,8 3,5 4,8 1,5 1,7 2,1 Rata-Rata 5,0 3,9 2,9 3,2 2,8 3,5 2,4 2,4 2,3 Rata-Rata 30 27 24 21 18 15 12 9 6 3 Waktu Pemaparan (hari setelah tanam) b. HRT 3 Hari 4,7 5,0 4,6 4,5 4,9 5,1 4,6 4,1 5,3 4,7 4,5 DO Influen (mg/L) 3,3 3,1 3,8 3,2 4,5 3,5 2,5 2,8 3,5 3,7 2,6 2,3 2,3 2,2 1,7 3,8 1,9 2,3 2,3 2,4 2,0 1,8 Kontrol VSSF HSSF 3,1 2,8 3,5 3,6 3,5 3,2 3,7 2,8 3,2 2,4 2,2 2,0 1,7 1,6 2,1 1,9 1,9 2,7 2,4 1,4 1,7 2,5 3,5 3,6 3,5 3,8 4,3 3,6 4,1 3,9 3,3 2,3 2,8 2,5 2,5 2,9 2,8 2,9 2,2 2,7 2,0 2,9 1,9 1,7 DO (mg/L) Reaktor Typha angustifoli Scirpus grossus VSSF HSSF VSSF HSSF 2,7 2,9 3,3 3,9 3,0 2,1 3,1 2,8 2,0 1,9 2,0 147 2,2 1,9 2,5 2,9 2,4 2,3 2,4 1,8 2,2 1,6 1,6 Mixed Plants VSSF HSSF F. Hasil Uji Korelasi antara pH dengan Presentase Efisiensi Dekonsentrasi Nutrien Nilai Nilai Reaktor Reaktor Korelasi (r) Korelasi (r) Amonium K1 K3 VSSF 0,07199 VSSF 0,47337 HSSF -0,49026 HSSF -0,10009 Ta1 Ta3 VSSF 0,61400 VSSF 0,10517 HSSF -0,71075 HSSF 0,23035 Sg1 Sg3 VSSF 0,80011 VSSF 0,32847 HSSF 0,23782 HSSF -0,85032 MP1 MP3 VSSF 0,30797 VSSF 0,26636 HSSF -0,14644 HSSF 0,25132 Nitrat K1 K3 VSSF 0,44863 VSSF 0,30140 HSSF 0,36419 HSSF -0,18533 Ta1 Ta3 VSSF 0,41865 VSSF 0,69688 HSSF -0,18806 HSSF 0,01143 Sg1 Sg3 VSSF 0,17564 VSSF 0,86172 HSSF -0,48971 HSSF 0,61021 MP1 VSSF 148 MP3 -0,01244 VSSF -0,00393 Reaktor HSSF Nilai Korelasi (r) 0,44753 Reaktor HSSF Nilai Korelasi (r) 0,64312 Fosfat K1 K3 VSSF -0,06992 VSSF -0,19305 HSSF 0,22090 HSSF -0,10257 Ta1 Ta3 VSSF 0,54628 HSSF -0,05832 Sg1 VSSF -0,17169 HSSF -0,60666 Sg3 VSSF 0,17410 VSSF 0,21997 HSSF 0,03324 HSSF -0,47373 MP1 MP3 VSSF 0,62253 VSSF -0,45928 HSSF 0,12733 HSSF -0,41611 G. Hasil Uji Korelasi antara Temperatur dengan Presentase Efisiensi Dekonsentrasi Nutrien Nilai Nilai Reaktor Reaktor Korelasi (r) Korelasi (r) Amonium K1 K3 VSSF -0,29313 VSSF 0,65093 HSSF 0,02749 HSSF -0,50855 Ta1 Ta3 VSSF 0,04064 HSSF 0,37083 Sg1 VSSF VSSF 0,39956 HSSF -0,70363 Sg3 0,32614 VSSF 0,26735 149 Reaktor HSSF Nilai Korelasi (r) 0,26494 MP1 Reaktor HSSF Nilai Korelasi (r) -0,57125 MP3 VSSF 0,05008 VSSF 0,59021 HSSF -0,24015 HSSF 0,10288 Nitrat K1 K3 VSSF 0,04699 HSSF -0,65007 Ta1 VSSF 0,55702 HSSF -0,10470 Ta3 VSSF -0,32145 VSSF 0,72771 HSSF -0,13165 HSSF 0,12531 Sg1 Sg3 VSSF -0,40691 VSSF 0,60764 HSSF 1,00000 HSSF -0,27752 MP1 MP3 VSSF -0,11226 VSSF 0,16516 HSSF 0,05708 HSSF 0,51006 Fosfat K1 K3 VSSF 0,51663 VSSF -0,60869 HSSF 0,50999 HSSF 0,40495 Ta1 Ta3 VSSF 0,31718 VSSF 0,69851 HSSF 0,30863 HSSF -0,61434 Sg1 150 Sg3 VSSF -0,21602 VSSF 0,37418 HSSF 0,12094 HSSF -0,20999 Reaktor Nilai Korelasi (r) MP1 Reaktor Nilai Korelasi (r) MP3 VSSF 0,06558 VSSF 0,32424 HSSF -0,02948 HSSF -0,49332 H. Hasil Uji Korelasi antara Dissolved Oxygen dengan Presentase Efisiensi Dekonsentrasi Nutrien Nilai Nilai Reaktor Reaktor Korelasi Korelasi Amonium K1 K3 VSSF -0,16207 VSSF -0,27005 HSSF 0,67751 HSSF 0,11356 Ta1 Ta3 VSSF 0,07675 VSSF -0,21837 HSSF 0,08425 HSSF -0,11975 Sg1 Sg3 VSSF -0,13166 VSSF -0,12178 HSSF 0,28069 HSSF 0,69669 MP1 MP3 VSSF 0,46713 VSSF -0,67735 HSSF 0,43995 HSSF 0,12859 Nitrat K1 K3 VSSF 0,27681 VSSF -0,09278 HSSF -0,24704 HSSF 0,21848 Ta1 Ta3 VSSF 0,15376 VSSF -0,83360 HSSF 0,21864 HSSF -0,29757 151 Reaktor Nilai Korelasi Sg1 Reaktor Nilai Korelasi Sg3 VSSF 0,08440 VSSF -0,62711 HSSF 1,00000 HSSF -0,37143 MP1 MP3 VSSF 0,52558 VSSF -0,52770 HSSF 0,30672 HSSF -0,50103 Fosfat K1 K3 VSSF -0,08713 VSSF 0,60689 HSSF 0,38307 HSSF 0,05624 Ta1 Ta3 VSSF 0,03054 VSSF -0,36521 HSSF 0,43622 HSSF 0,11391 Sg1 Sg3 VSSF 0,24816 VSSF 0,19664 HSSF 0,21552 HSSF 0,66929 MP1 I. MP3 VSSF 0,45386 VSSF -0,53117 HSSF 0,26319 HSSF 0,69606 Hasil Uji Regresi antara pH dengan Presentase Efisiensi Dekonsentrasi Nutrien Reaktor Coefficients Standard t Stat Error Amonium Pvalue Lower 95% Upper 95% K1 VSSF 3,45 16,90 0,20 0,84 -35,51 42,41 HSSF -34,55 21,72 -1,59 0,15 -84,64 15,53 54,02 24,55 2,20 0,06 -2,60 110,64 Ta1 VSSF 152 -80,49 Standard Error 28,16 VSSF 104,02 27,57 3,77 0,01 40,44 HSSF 4764,65 6880,03 0,69 0,51 -11100,72 Reaktor HSSF Coefficients -2,86 Pvalue 0,02 Lower 95% -145,44 Upper 95% -15,54 167,61 20630,0 3 t Stat Sg1 MP1 VSSF 14,06 15,36 0,92 0,39 -21,36 49,49 HSSF -86,54 206,67 -0,42 0,69 -563,13 390,05 K3 VSSF 29,76 19,58 1,52 0,17 -15,39 74,91 HSSF -91,12 320,25 -0,28 0,78 -829,61 647,37 VSSF 7,40 24,73 0,30 0,77 -49,62 64,41 HSSF 26,98 40,29 0,67 0,52 -65,94 119,89 VSSF 28,73 29,21 0,98 0,35 -38,62 96,08 HSSF -210,89 46,15 -4,57 0,00 -317,30 -104,47 VSSF 24,76 31,68 0,78 0,46 -48,29 97,81 HSSF 0,08 0,11 0,73 0,48 -0,17 0,33 Ta3 Sg3 MP3 Nitrat K1 VSSF 105,68 74,43 1,42 0,19 -65,96 277,32 HSSF 31,53 28,51 1,11 0,30 -34,21 97,28 VSSF 199,41 152,93 1,30 0,23 -153,25 552,07 HSSF -30,26 55,87 -0,54 0,60 -159,11 98,59 VSSF 109,96 217,89 0,50 0,63 -392,49 612,40 HSSF -104,50 65,78 -1,59 0,15 -256,18 47,19 VSSF -10,45 297,07 -0,04 0,97 -695,49 674,59 HSSF 64,22 45,37 1,42 0,19 -40,40 168,84 Ta1 Sg1 MP1 K3 VSSF 72,93 81,57 0,89 0,40 -115,17 261,03 HSSF -61,46 115,23 -0,53 0,61 -327,18 204,25 Ta3 153 VSSF 230,28 Standard Error 83,79 2,75 Pvalue 0,03 HSSF 2,13 65,99 0,03 0,97 -150,04 154,31 VSSF 355,51 74,01 4,80 0,00 184,84 526,17 HSSF 43,85 20,13 2,18 0,06 -2,56 90,26 VSSF -0,89 80,15 -0,01 0,99 -185,71 183,92 HSSF 124,34 52,34 2,38 0,04 3,63 245,05 Reaktor Coefficients t Stat Lower 95% 37,06 Upper 95% 423,50 Sg3 MP3 Fosfat K1 VSSF -0,08 0,40 -0,20 0,85 -1,01 0,85 HSSF 88,97 138,88 0,64 0,54 -231,28 409,21 Ta1 VSSF 7,08 3,84 1,84 0,10 -1,77 15,93 HSSF -6,84 41,38 -0,17 0,87 -102,27 88,59 Sg1 VSSF 3,73 7,47 0,50 0,63 -13,49 20,96 HSSF 3,65 38,77 0,09 0,93 -85,75 93,04 MP1 VSSF 17,79 7,91 2,25 0,05 -0,44 36,03 HSSF 309,03 851,06 0,36 0,73 -1653,51 2271,56 K3 VSSF -0,20 0,36 -0,56 0,59 -1,03 0,63 HSSF -221,37 758,99 -0,29 0,78 -1971,61 1528,88 Ta3 VSSF -0,87 1,76 -0,49 0,64 -4,92 3,19 HSSF -122,97 56,97 -2,16 0,06 -254,35 8,41 Sg3 VSSF 0,18 0,28 0,64 0,54 -0,46 0,82 HSSF -184,24 121,10 -1,52 0,17 -463,49 95,00 MP3 VSSF -8,55 5,85 -1,46 0,18 -22,03 4,93 HSSF -103,64 80,08 -1,29 0,23 -288,30 81,01 Keterangan: Bagian yang berwarna kuning merupakan hasil uji regresi dengan P-value < 0,05 154 J. Hasil Uji Regresi antara Temperatur dengan Presentase Efisiensi Dekonsentrasi Nutrien Reaktor Coefficients Standard t Stat Error Amonium Pvalue Lower 95% Upper 95% K1 VSSF -2,22 2,56 -0,87 0,41 -8,13 3,69 HSSF 0,74 9,48 0,08 0,94 -21,12 22,59 VSSF 0,55 4,76 0,12 0,91 -10,43 11,53 HSSF 8,04 7,12 1,13 0,29 -8,37 24,44 Ta1 Sg1 VSSF 4,77 4,89 0,98 0,36 -6,50 16,04 HSSF 923,19 1187,93 0,78 0,46 -1816,17 3662,56 MP1 VSSF 0,24 1,67 0,14 0,89 -3,60 4,08 HSSF -28,98 41,42 -0,70 0,50 -124,49 66,53 K3 VSSF 8,21 3,39 2,43 0,04 0,40 16,02 HSSF -75,20 45,02 -1,67 0,13 -179,01 28,61 VSSF 4,24 3,44 1,23 0,25 -3,69 12,16 HSSF -16,92 6,04 -2,80 0,02 -30,85 -2,99 Ta3 Sg3 VSSF 4,36 5,56 0,78 0,46 -8,46 17,19 HSSF -22,18 11,27 -1,97 0,08 -48,16 3,80 VSSF 10,16 4,91 2,07 0,07 -1,17 21,50 HSSF 0,01 0,02 0,29 0,78 -0,05 0,06 MP3 Nitrat K1 VSSF 1,75 13,16 0,13 0,90 -28,60 32,10 HSSF -21,41 8,85 -2,42 0,04 -41,82 -1,01 VSSF -23,46 24,43 -0,96 0,37 -79,80 32,88 HSSF -4,05 10,79 -0,38 0,72 -28,94 20,83 -28,65 22,74 -1,26 0,24 -81,10 23,79 Ta1 Sg1 VSSF 155 -2,63 Standard Error 13,09 -0,20 Pvalue 0,85 VSSF -9,74 HSSF 1,67 30,49 -0,32 10,34 0,16 VSSF 27,04 HSSF -5,64 14,25 1,90 18,94 -0,30 VSSF HSSF 36,25 12,08 3,00 4,80 13,44 0,36 VSSF 46,78 21,62 2,16 HSSF -3,12 3,82 -0,82 VSSF 6,94 14,64 HSSF 21,38 12,75 Reaktor HSSF Coefficients -32,82 Upper 95% 27,55 0,76 -80,04 60,56 0,88 -22,18 25,53 0,09 -5,83 59,90 0,77 -49,32 38,04 0,02 8,39 64,10 0,73 -26,20 35,80 0,06 -3,07 96,62 0,44 -11,93 5,69 0,47 0,65 -26,83 40,70 1,68 0,13 -8,02 50,78 t Stat Lower 95% MP1 K3 Ta3 Sg3 MP3 Fosfat K1 VSSF 0,09 0,05 1,71 0,13 -0,03 0,22 HSSF 78,14 46,60 1,68 0,13 -29,31 185,60 VSSF 0,63 0,67 0,95 0,37 -0,91 2,17 HSSF 6,92 7,55 0,92 0,39 -10,47 24,32 VSSF -0,52 0,83 -0,63 0,55 -2,44 1,40 HSSF 2,31 6,70 0,34 0,74 -13,14 17,75 Ta1 Sg1 MP1 VSSF 0,19 1,04 0,19 0,86 -2,21 2,59 HSSF -14,61 175,15 -0,08 0,94 -418,52 389,29 K3 VSSF -0,13 0,06 -2,17 0,06 -0,26 0,01 HSSF 141,96 113,32 1,25 0,25 -119,36 403,28 Ta3 VSSF 0,53 0,19 2,76 0,02 0,09 0,98 HSSF -25,57 11,61 -2,20 0,06 -52,34 1,21 0,06 0,05 1,14 0,29 -0,06 0,17 Sg3 VSSF 156 Reaktor HSSF Coefficients -12,79 Standard Error 21,05 -0,61 Pvalue 0,56 t Stat Lower 95% -61,32 Upper 95% 35,75 MP3 VSSF 1,12 1,15 0,97 0,36 -1,54 3,78 HSSF -26,64 16,61 -1,60 0,15 -64,95 11,66 Keterangan: Bagian yang berwarna kuning merupakan hasil uji regresi dengan P-value < 0,05 K. Hasil Uji Regresi antara Dissolved Oxygen dengan Presentase Efisiensi Dekonsentrasi Nutrien Reaktor Coefficients Standard t Stat Error Amonium Pvalue Lower 95% Upper 95% K1 VSSF -2,92 6,28 -0,46 0,65 -17,40 11,57 HSSF 18,52 7,11 2,61 0,03 2,13 34,92 Ta1 VSSF 2,10 9,65 0,22 0,83 -20,16 24,36 HSSF 78,49 23,58 3,33 0,01 24,12 132,87 Sg1 VSSF -2,48 6,60 -0,38 0,72 -17,69 12,73 HSSF 1251,37 1512,83 0,83 0,43 -2237,23 4739,97 MP1 VSSF 4,45 2,97 1,49 0,17 -2,41 11,30 HSSF 68,34 49,32 1,39 0,20 -45,39 182,08 K3 VSSF -6,58 8,29 -0,79 0,45 -25,71 12,55 HSSF 43,79 135,46 0,32 0,75 -268,57 356,16 VSSF -8,03 12,69 -0,63 0,54 -37,28 21,22 HSSF -9,71 28,46 -0,34 0,74 -75,35 55,93 VSSF -3,53 10,18 -0,35 0,74 -27,01 19,94 HSSF 74,30 27,05 2,75 0,03 11,93 136,68 VSSF -23,74 9,12 -2,60 0,03 -44,76 -2,72 HSSF 0,03 0,08 0,37 0,72 -0,15 0,21 Ta3 Sg3 MP3 Nitrat 157 Coefficients Standard Error t Stat Pvalue Lower 95% Upper 95% VSSF 24,50 HSSF -8,30 30,07 0,81 0,44 -44,85 93,85 11,51 -0,72 0,49 -34,83 18,24 VSSF HSSF 22,80 51,79 0,44 0,67 -96,64 142,24 6,84 10,79 0,63 0,54 -18,05 31,73 VSSF 7,65 31,93 0,24 0,82 -65,98 81,28 HSSF 3,83 16,73 0,23 0,82 -34,76 42,42 VSSF 92,02 52,66 1,75 0,12 -29,42 213,47 HSSF 11,57 12,69 0,91 0,39 -17,70 40,84 VSSF -8,70 33,01 -0,26 0,80 -84,82 67,42 HSSF 30,69 48,47 0,63 0,54 -81,08 142,46 VSSF -144,02 33,74 -4,27 0,00 -221,83 -66,22 HSSF -38,46 43,63 -0,88 0,40 -139,06 62,14 VSSF -85,81 37,68 -2,28 0,05 -172,71 1,09 HSSF -11,48 10,14 -1,13 0,29 -34,87 11,91 VSSF -45,10 25,67 -1,76 0,12 -104,29 14,09 HSSF -68,16 41,62 -1,64 0,14 -164,14 27,83 Reaktor K1 Ta1 Sg1 MP1 K3 Ta3 Sg3 MP3 Fosfat K1 VSSF -0,04 0,15 -0,25 0,81 -0,39 0,31 HSSF 59,84 51,02 1,17 0,27 -57,81 177,50 VSSF 0,12 1,43 0,09 0,93 -3,16 3,41 HSSF 9,94 7,25 1,37 0,21 -6,78 26,67 VSSF 0,77 1,06 0,72 0,49 -1,68 3,22 HSSF 5,26 8,43 0,62 0,55 -14,17 24,70 Ta1 Sg1 MP1 VSSF 2,70 1,88 1,44 0,19 -1,62 7,03 HSSF 167,91 217,61 0,77 0,46 -333,90 669,72 158 Reaktor Coefficients Standard Error t Stat Pvalue Lower 95% Upper 95% K3 VSSF 0,24 0,11 2,16 0,06 -0,02 0,51 HSSF 51,41 322,70 0,16 0,88 -692,73 795,55 Ta3 VSSF -0,96 0,87 -1,11 0,30 -2,97 1,04 HSSF 15,99 49,30 0,32 0,75 -97,70 129,67 0,05 111,94 0,09 43,94 0,57 2,55 0,59 0,03 -0,16 10,62 0,27 213,25 Sg3 VSSF HSSF MP3 VSSF -3,73 2,10 -1,77 0,11 -8,57 1,12 HSSF 121,99 44,49 2,74 0,03 19,40 224,58 Keterangan: Bagian yang berwarna kuning merupakan hasil uji regresi dengan P-value < 0,05 159 L. Hasil Uji Kruskal-Wallis antara Variabel Penelitian dengan Efisiensi Dekonsentrasi Amonium Descriptive Statistics N Mean 1 Hari 3 Hari 40 98.7005 40 99.8713 Jenis Tumbuhan 40 Std. Deviation Minimum Maximum 4.38046 .11110 77.50 99.50 99.99 99.98 1.132 1 4 2.50 Ranks Jenis Tumbuhan 1 Hari 3 Hari N Kontrol 10 27.65 Typha angustifolia 10 13.70 Scirpus grossus 10 19.65 Mixed Plants 10 21.00 Total 40 Kontrol 10 18.65 Typha angustifolia 10 18.20 Scirpus grossus 10 27.10 Mixed Plants 10 18.05 Total 40 Test Statisticsa,b 1 Hari Chi-Square df Asymp. Sig. 7.211 3 .065 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Jenis Tumbuhan 160 Mean Rank 3 Hari 4.273 3 .233 M. Hasil Uji Kruskal-Wallis antara Variabel Penelitian dengan Efisiensi Dekonsentrasi Nitrat Descriptive Statistics N 1 Hari 3 Hari Jenis Tumbuhan Std. Deviation Mean 40 -69.4372 40 -67.9270 40 Minimum Maximum 129.85561 96.92133 -542.14 -320.03 61.05 103.52 1.132 1 4 2.50 Ranks Jenis Tumbuhan 1 Hari 3 Hari N Mean Rank Kontrol 10 21.20 Typha angustifolia 10 22.30 Scirpus grossus 10 17.00 Mixed Plants 10 21.50 Total 40 Kontrol 10 20.90 Typha angustifolia 10 20.80 Scirpus grossus 10 21.90 Mixed Plants 10 18.40 Total 40 Test Statisticsa,b 1 Hari Chi-Square df Asymp. Sig. 1.242 3 .743 3 Hari .484 3 .922 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Jenis Tumbuhan 161 N. Hasil Uji Kruskal-Wallis antara Variabel Penelitian dengan Efisiensi Dekonsentrasi Fosfat Descriptive Statistics N 1 Hari 3 Hari Jenis Tumbuhan Mean Std. Deviation Minimum Maximum 40 99.5950 40 99.7968 40 .29961 .22709 98.34 98.68 99.99 99.99 1.132 1 4 2.50 Ranks Jenis Tumbuhan 1 Hari 3 Hari N 10 23.35 Typha angustifolia 10 14.20 Scirpus grossus 10 15.90 Mixed Plants 10 28.55 Total 40 Kontrol 10 25.50 Typha angustifolia 10 14.05 Scirpus grossus 10 24.40 Mixed Plants 10 18.05 Total 40 Test Statisticsa,b 1 Hari Chi-Square df Asymp. Sig. 9.799 3 .020 a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Jenis Tumbuhan 162 Mean Rank Kontrol 3 Hari 6.438 3 .092 O. Kurva Kalibrasi Amonium-Nitrogen - Penentuan Panjang Gelombang Analisis Amonium Konsentrasi (mg/L) QP Absorbansi 1,6 385 0,182 1,6 390 0,195 1,6 395 0,210 1,6 396 0,207 1,6 397 0,206 1,6 398 0,205 1,6 399 0,203 1,6 400 0,203 1,6 405 0,202 1,6 410 0,191 1,6 415 0,175 - Kurva Kalibrasi Analisis Amonium Digunakan panjang gelombang 395 nm sesuai dengan hasil penentuan panjang gelombang optimum. Konsentrasi (mg/L) Absorbansi 0 0 0,1 0,003 0,2 0,007 0,8 0,102 1 0,113 1,2 0,148 1,6 0,210 163 Absorbansi Amonium (A) 0,25 y = 0,1335x - 0,0102 R² = 0,9907 0,2 0,15 0,1 0,05 0 0 -0,05 0,5 1 1,5 2 Konsentrasi Amonium (mg/L) P. Kurva Kalibrasi Nitrat-Nitrogen - Penentuan Panjang Gelombang Analisis Nitrat-Nitrogen Konsentrasi QP Absorbansi (mg/L) 2 395 0,393 2 400 0,396 2 401 0,387 2 405 0,374 - Kurva Kalibrasi Analisis Nitrat-Nitrogen Digunakan panjang gelombang 400 nm sesuai dengan hasil penentuan panjang gelombang optimum. 164 Konsentrasi (mg/L) 0 Absorbansi (A) 0 0,6 0,139 0,8 0,166 Absorbansi Nitrat (A) Konsentrasi (mg/L) 0 Absorbansi (A) 0 1,2 0,269 1,4 0,302 1,6 0,355 1,8 0,386 0,45 0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 y = 0,2167x + 0,0019 R² = 0,9975 0 - 0,5 1 1,5 Konsentrasi Nitrat (mg/L) 2 Q. Kurva Kalibrasi Fosfat Penentuan Panjang Gelombang Analisis Fosfat Konsentrasi (mg/L) 1,8 QP Absorbansi 640 0,376 1,8 645 0,385 1,8 650 0,391 1,8 655 0,362 1,8 660 0,350 165 - Kurva Kalibrasi Analisis Fosfat Digunakan panjang gelombang 650 nm sesuai dengan hasil penentuan panjang gelombang optimum Konsentrasi (mg/L) 0 Absorbansi 0 0,05 0,041 0,1 0,050 0,2 0,071 0,4 0,110 0,6 0,176 0,8 0,218 1 0,261 1,2 0,314 1,4 0,334 Absorbansi Amonium (A) 0,25 y = 0,1335x - 0,0102 R² = 0,9907 0,2 0,15 0,1 0,05 0 0 -0,05 0,5 1 1,5 2 Konsentrasi Amonium (mg/L) R. Perhitungan Bulk Density Pasir untuk Range Finding Test 1) Volume air yang dibutuhkan untuk 100 gram pasir menetes pertama kali, yaitu 11, 7 mL. 166 2) Pasir yang digunakan untuk Range Finding Test seberat 3 kg. 3.000 𝑔𝑟𝑎𝑚 3) Volume air untuk Range Finding Test = 𝑥 11,7 𝑚𝐿 100 𝑔𝑟𝑎𝑚 4) 5) 4) 5) 6) 7) = 350 mL Perhitungan Kebutuhan Tumbuhan dalam Reaktor 𝑘𝑥𝑣 Konversi satuan mg/L ke mg/kg = 𝑤 Keterangan: k = Konsentrasi air limbah v = Volume air limbah w = Berat pasir Konsentrasi air limbah yang digunakan, yaitu 500 mg/L. Volume air limbah saat RFT sebanyak 350 mL. Pasir yang digunakan untuk Range Finding Test seberat 3 kg. Volume air limbah untuk reaktor VSSF sebanyak 6,74 L. Volume air limbah untuk reaktor HSSF sebanyak 5,58 L. 𝑚𝑔 8) Konversi satuan mg/L ke mg/kg hasil RFT= 500 𝐿 𝑥 350𝑚𝐿 3 𝑘𝑔 = 58,33 mg/kg 9) Kebutuhan tumbuhan pada reaktor VSSF 𝑚𝑔 500 𝑥 6 ,74 𝐿 𝑚𝑔 𝐿 58,33 = 𝑘𝑔 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛 Jumlah tumbuhan = 58 tumbuhan 10) Kebutuhan tumbuhan pada reaktor HSSF 𝑚𝑔 500 𝑥 5,58 𝐿 𝑚𝑔 𝐿 58,33 = 𝑘𝑔 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑢𝑚𝑏𝑢ℎ𝑎𝑛 Jumlah tumbuhan = 48 tumbuhan 167 “Halaman ini sengaja dikosongkan” 168 LAMPIRAN B METODE ANALISIS PARAMETER 1. Analisis pH a. Peralatan dan bahan: 1. pH meter digital Senz pH (Scientific) 2. Gelas beaker 3. Aquadest b. Prosedur kerja analisis 1. Siapkan sampel sebanyak ±50 mL 2. Bersihkan bagian glass sensor pada pH meter digital dengan aquadest, lalu keringkan dengan tisu 3. Ukur kadar pH sampel dengan pH meter digital hingga bagian glass sensor tercelup sepenuhnya ke dalam sampel dan tunggu angka pH meter berhenti berkedip 2. Analisis Suhu a. Peralatan dan Bahan 1. Termometer dengan skala suhu sampai 100°C b. Prosedur kerja analisis 1. Celupkan termometer ke dalam sampel dan biarkan 2 sampai 5 menit hingga termometer menunjukkan nilai yang stabil. 2. Catat pembacaan skala termometer tanpa mengangkat termometer lebih dulu dari air. 3. Analisis Dissolved Oxygen (DO) a. Peralatan dan bahan: 1. DO-meter 2. Aquadest b. Prosedur kerja analisis 1. Siapkan sampel sebanyak ±50 mL 2. Bersihkan bagian glass sensor pada DO-meter dengan aquadest, lalu keringkan dengan tisu 169 3. Ukur kadar DO sampel dengan DO-meter hingga bagian glass sensor tercelup sebagian ke dalam sampel dan tunggu hingga angka pada layar berhenti berkedip dan muncul kata “ready”. 4. Amonium (NH4+) a. Peralatan dan bahan 1. Gelas ukur 100 mL 2. Labu Erlenmeyer 100 mL 3. NaOH 4 N 4. Garam Signet 5. Larutan Nessler 6. Spektrofotometer b. Prosedur kerja analisis: 1) Encerkan sampel sesuai perkiraan konsentrasi amonium pada sampel, setelah itu ambil 25 mL dan masukkan kedalam labu Erlenmeyer 100 mL 2) Tambahkan 1 mL Nessler dan 1,25 mL Garam Signet 3) Diamkan selama 10 menit 4) Lakukan hal 1-3 pada aquadest sebagai blanko 5) Baca dengan spektrofotometer 6) Hitung kadar amonium pada sampel dengan rumus dari kurva kalibrasi. 5. Nitrat (NO3-N) Peralatan dan bahan 1. Labu Erlenmeyer 100 mL 2. Brucin Asetat 0,05 N 3. H2SO4 Pekat 4. Spektrofotometer Prosedur kerja analisis: 1) Encerkan sampel sesuai perkiraan konsentrasi nitrat pada sampel, setelah itu ambil 25 mL dan masukkan kedalam labu Erlenmeyer 100 mL 2) Tambahkan 2 mL Brucin Asetat 0,05 N dan 4 mL H2SO4 Pekat 170 3) 4) 5) 6) Diamkan selama 10 menit Lakukan hal 1-3 pada aquadest sebagai blanko Baca dengan spektrofotometer Hitung kadar nitrat pada sampel dengan rumus dari kurva kalibrasi. 6. Fosfat (NO3-N) Peralatan dan bahan 1. Labu Erlenmeyer 100 mL 2. Larutan Ammonium Molybdate 3. Larutan SnCl2 4. Spektrofotometer Prosedur kerja analisis: 1) Encerkan sampel sesuai perkiraan konsentrasi fosfat pada sampel, setelah itu ambil 25 mL dan masukkan kedalam labu Erlenmeyer 100 mL 2) Tambahkan 1 mL Ammonium Molybdate dan 2-3 mL SnCl2 Pekat 3) Diamkan selama 7 menit 4) Lakukan hal 1-3 pada aquadest sebagai blanko 5) Baca dengan spektrofotometer 6) Hitung kadar fosfat pada sampel dengan rumus dari kurva kalibrasi. 171 “Halaman ini sengaja dikosongkan” 172 LAMPIRAN C DOKUMENTASI Reaktor Sebelum Diisi Media Media Pasir Vertical Flow CWs Media Kerikil Pengukuran Porositas Pasir Horizontal Flow CWs 173 Analisis pH Analisis Suhu Analisis dengan menggunakan Spektrofotometer 174 BIOGRAFI PENULIS Penulis merupakan putri kedua dari pasangan Yusrial dan Murniati yang lahir pada tanggal 24 Juni 1995 di Bogor, Jawa Barat. Penulis mengenyam pendidikan dasar pada tahun 2001-2007 di SDN Polisi 5 Bogor. Kemudian dilanjutkan di SMPN 7 Bogor pada tahun 2007-2010, sedangkan pendidikan tingkat atas dilalui di SMAN 5 Bogor dari tahun 2010-2013. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan S1 di Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, ITS, Surabaya pada tahun 2013 dan terdaftar dengan NRP 3313 100 111. Selama perkuliahan, penulis aktif sebagai panitia di berbagai kegiatan HMTL, wakil Divisi Syiar Tim Kerohanian Al Kaun, dan asisten praktikum. Berbagai pelatihan dan seminar di bidang Teknik Lingkungan (2013-2017) juga telah diikuti dalam rangka untuk pengembangan diri. Di tahun 2016-2017, penulis melakukan penelitian untuk Pekan Kreatitas Mahasiswa (PKM) yang didanai DIKTI dengan topik yang hampir sama dengan tugas akhir ini, yakni mengenai Hybrid Constructed Wetlands. Selain itu, penulis pernah mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) periode 2013-2014, 2014-2015, dan 2017. Penulis dapat dihubungi via email [email protected] atau [email protected]. 175 176