A. Jurnalistik Televisi Menurut Adinegoro, jurnalistik adalah

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Jurnalistik Televisi
Menurut Adinegoro, jurnalistik adalah kepandaian mengarang untuk memberi pekabaran pada
masyarakat dengan selekas-lekasnya agar tersiar seluas-luasnya. Sementara itu definisi jurnalistik
menurut ilmu komunikasi adalah suatu bentuk komunikasi yang menyiarkan berita atau ulasan
berita tentang peristiwa sehari-hari yang umum dan aktual dengan secepat-cepatnya. Dalam kamus
bahasa inggris, kata journal diartikan sebagai pelaporan, pencatatan, penulisan, atau perekaman
kejadian. Kamus the oxford paperback dictionary mengartikan journal sebagai sebuah rekaman
berita, kejadian, atau transaksi bisnis sehari hari dan surat kabar berkala. Sementara itu (Askurifai
Baksin : 2009.50) “Jurnalistik adalah proses penulisan dan penyebar luasan informasi berupa
berita, feature, da opini melalui media massa”.
Televisi dengan tayangan beritanya sudah menjadi bagian dari kehidupan. Dengan sifatnya
yang immediaty , media televisi mampu mendekatkan peristiwa dan tempat kejadian dengan
penontonnya. Adapun Karateristik Media televisi adalah Media pandang dengar (audio-visual)
Mengutamakan gambar, Mengutamakan kecepatan , Bersifat sekilas , Bersifat satu arah dan Daya
jangkau luas (Usman Ks:2009.23).
B. Konstruksi Realitas
Konstruktivisme sebagai suatu pandagan yang lain terhadap dunia seperti yang diungkapkan
oleh Thomas Khun bahwa semesta secara epistemologi merupakan hasil konstruksi sosial.
Pengetahuan/pandangan manusia dibentuk oleh kemampuan tubuh inderawi dan intelektual,
asumsi-asumsi kebudayaan dan bahasa tanpa kita sadari. Bahasa dan ilmu pengetahuan bukanlah
cerminan semesta, melainkan bahasa membentuk semesta dengan orangnya sendiri.
Dalam paradigma konstruktivisme, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh
individu, Namun kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi yang berlaku sesuai konteks spesifik
yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Dengan pemahaman bahwa individu bukanlah korban fakta
sosial, namun mesin produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dan mengkonstruksi dunia
sosialnya. Peter L.Berger dan Thomas Luckman (1966) sebagai sosiolog Interpretatif
memperkenalkan konsep konstruksionisme atau istilah konstruksi sosial atas realitas (Sosial
Contruction of Realty) melalui bukunya The Social Contruction of Realty. A Treastise in the
Sociological of Knowledge. Teori konstruksi sosial menyatakan bahwa proses sosial digambarkan
melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang
dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Realitas kehidupan sehari-hari memilki dimensi
subjektif dan objektif.
Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang objektif melalui proses
ekternalisasi, sebagaimana ia mempengaruhi melalui proses internalisasi yang mencerminkan
realitas subjektif. Masyarakat merupakan produk manusia dan manusia merupakan produk
masyarakat. Baik manusia dan masyarakat saling berdialektika diantara keduanya. Masyarakat
tidak pernah sebagai produk akhir, tetapi sebagai proses yang saling terbentuk.
C. Berita Sebagai Hasil Konstruksi
Berita merupakan produk jurnalistik. Jurnalistik sendiri berasal dari bahasa Belanda,
Journalistiek atau bahasa Inggris, Journalism yang bersumber pada perkataan journal sebagai
terjemahan dari bahasa Latin, Diurna yang berarti harian atau setiap hari (Effendy, 2003: 95).
James Carey dalam Nimmo (2011: 215) melukiskan jurnalistik sebagai pekerjaan yang
menggunakan lambang secara kreatif dan imajinatif. Jurnalis mengungkap situasi, menyebut
unsur-unsur, struktur dan ramuan yang menonjol dan memberi nama dengan cara yang
mengandung sikap terhadapnya.
Dan Nimmo (2011: 216) mengatakan, untuk mendefinisikan berita dapat digunakan satu
pendekatan bahwa berita adalah peralihan dari apa yang dikatakan dan dilakukan oleh wartawan
serta melukiskan berita seperti yang didiktekan oleh organisasi berita. Jalan pikiran ini melibatkan
dua pertimbangan, yaitu:
“Pertama, berita adalah apa yang dimungkinkan oleh ekonomi bisnis berita dan posisi bersaing
organisasi berita di dalamnya. Kondisi ini berkaitan dengan pertanyaan tentang apa yang membuat
sebuah surat kabar dibeli orang. Dalam pandangan ini kekuatan ekonomi media sangat
mempengaruhi, sehingga berita hanya didefinisikan sebagai pemenuhan ekonomi media, terlebih
jika dipengaruhi oleh pengiklan. Pandangan kedua bersangkutan dengan masalah teknologi. Pada
hari apapun, peristiwa yang menjadi berita di televisi bisa disajikan secara visual dalam jangka
waktu 30 menit (dikurangi siaran komersial). Bagi surat kabar berita dibatasi oleh ukuran ruang
berita untuk hari yang bersangkutan.” (Nimmo, 2011: 216)
Banyak tokoh dan ilmuwan di bidang kajian media dan jurnalistik mendefinisikan berita.
Namun, beberapa ilmuwan mengatakan sangat sulit untuk memberikan definisi berita. Herbert J.
Gans (1979) pernah melakukan penelitian dengan mewawancarai wartawan untuk menemukan
definisi berita berdasarkan pemahaman para wartawan. Hasil dari penelitian Gans cukup
mencengangkan, kebanyakan jawaban wartawan saat ditanya, “apa itu berita?” maka mereka
menjawab, “berita adalah apa yang anda rasa akan menjadi berita.” Tidak jarang pula ditemukan
wartawan yang tidak tahu apa itu berita (Othman, Nayan, dan Tiung, 2013: 52).
Menurut Mitchel V. Charnley dalam Effendy (2003: 131) berita adalah laporan tercepat
mengenai fakta atau opini yang mengandung hal yang menarik minat dan penting atau kedua-
duanya bagi sejumlah besar penduduk. Berangkat dari definisi tersebut, maka jelaslah bahwa berita
merupakan produk jurnalistik dimana wartawan melakukan liputan mulai dari mencari,
menemukan, mengolah, hingga menyebarkan berita melalui media massa kepada sejumlah besar
khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim. Berita bukanlah hasil karya “asal jadi” dari
seorang wartawan. Berita merupakan suatu bentuk laporan khas hasil liputan dan penemuan fakta
oleh wartawan di lapangan. Ada beberapa pertimbangan dari wartawan untuk mengangkat sebuah
peristiwa menjadi sebuah laporan berita. Dalam dunia jurnalistik hal tersebut lazim dikenal sebagai
nilai berita (news value). Tidak ada kesepakatan mutlak mengenai nilai berita apa yang sebenarnya
dipakai untuk menunjuk sebuah peristiwa laik menjadi berita.
Alo Liliweri (2011: 906) mengatakan bahwa nilai berita sangat menentukan berapa banyak
berita yang menonjol harus diberikan oleh media dan berapa banyak perhatian yang diberikan oleh
para penonton. Dalam praktik barat, keputusan mengenai pemilihan dan prioritas berita dibuat
oleh editor berdasarkan pengalaman dan intuisi mereka, meskipun analisis J. Galtung dan M. Ruge
menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang secara konsisten diterapkan di berbagai organisasi
surat kabar.
Nilai suatu berita dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya nilai menurut reporter atau
wartawan yang mengumpulkan berita tersebut, menurut warga masyarakat yang menjadi subjek
pemberitaan, menurut sudut pandang editor, dan menurut organisasi media. Pelbagai sudut
pandang ini berpeluang memengaruhi nilai suatu berita. Untuk membuat sebuah berita bernilai dan
laik konsumsi oleh masyarakat, maka tak jarang dilakukan manipulasi fakta atas sebuah peristiwa
(Liliweri, 2011: 907). Dalam kondisi ini yang paling penting bagi wartawan adalah apa yang
disebut oleh Dan Nimmo (2011) sebagai kepentingan ekonomi-bisnis media. Michele Weldon
(2009: 593) mengemukakan beberapa hal pokok suatu isu atau peristiwa mengandung nilai berita,
yaitu, Timeliness hal ini merujuk kepada aspek ketetapan dan kecepatan waktu bagi wartawan
dalam meliput, mengolah, hingga menyebarkan berita. Proximity terkait dengan kedekatan suatu
isu dengan pembacanya (lokal, nasional, atau internasional).
Berita tidak dapat dipercaya sebagai sebuah tulisan yang objektif. Eriyanto (2012: 30-31)
menegaskan bahwa hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan sebuah standar
yang rigid (baku) seperti halnya pandangan kaum positivistik. Hal ini karena berita adalah produk
dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Kaum konstruktivis menolak pandangan bahwa berita
adalah cermin dari ralitas (mirror of reality). Berita semata-mata adalah hasil konstruksi wartawan
yang melibatkan pandangan ideologi dan nilai-nilai dari wartawan atau media (Eriyanto, 2012:
29).
Setiap hari kita menggunakan berita sebagai bahan konsumsi untuk mengetahui berbagai
realitas peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat. Akan tetapi tanpa kita sadari
(atau pun dalam keadaan sedikit menyadari) bahwa kita ikut dikonstruksi oleh media sesuai dengan
apa yang ditampilkan media. Melalui berita, wartawan berusaha menarik perhatian dan menggiring
opini publik ke arah yang dikehendaki wartawan. Terdapat pola konstruksi –mulai dari memilih
fakta, sumber, pemakaian kata, gambar, sampai pada tahap penyuntingan –semua itu memberi
andil bagaimana realitas hadir di hadapan khalayak.
Bagaimana cara membuat berita agar sesuai dengan realitas? Teknik dan prosedur jurnalistik
memberikan petunjuk (guide) bagaimana membuat liputan yang baik. Standar yang baku itu
seringkali dikatakan sebagai peliputan yang berimbang, dari dua sisi, netral, dan objektif. Peliputan
yang berimbang maksudnya adalah menampilkan pandangan yang setara antara pihak-pihak yang
terlibat dan hendak diberitakan. Prinsip yang agak sama adalah liputan dua sisi, di mana ada
kesempatan yang sama bagi semua pihak untuk menyampaikan pandangan dan pendapatnya atas
suatu masalah. Prinsip netral, berarti dalam menulis maupun mencari bahan wartawan tidak boleh
berpihak pada satu kelompok.
Menurut Fishman (1980) ada dua kecenderungan studi bagaimana proses produksi berita
dilihat. Pertama, seleksi isu (selectivity of news). Dalam bentuk yang umum proses seleksi ini
sering dikenal sebagai bentuk “gatekeeper”. Intinya, proses produksi berita adalah proses seleksi.
Proses ini bekerja mulai dari ruang redaksi saat wartawan akan turun ke lapangan, menuju kepada
proses peliputan di lapangan, hingga di meja para editor. Kedua, pembentukan berita (creation of
news). Dalam perspektif ini berita itu bukan diseleksi, melainkan dibentuk oleh wartawan.
Wartawanlah yang membentuk peristiwa: mana yang disebut berita mana yang tidak. Titik
perhatian utama perspektif ini ada pada rutinitas dan nilai-nilai kerja wartawan yang memproduksi
berita (Eriyanto, 2012: 116-118).
Masalahnya kemudian adalah bukan bagaimana sebuah laporan tersebut baik atau buruk,
atau apakah sebuah laporan mengandung bias ataukah tidak, melainkan memang demikianlah
kenyataannya. Artinya, kalau ada seorang wartawan yang menulis berita dari satu sisi,
mewawancarai hanya satu pihak, dan memasukkan banyak opini pribadi, tidak kemudian dinilai
sebagai benar atau salah, tetapi memang wartawan melakukan itu semua dalam kerangka
pembenar tertentu (Eriyanto, 2012: 30). Berita merupakan struktur narasi yang membawa ideologi.
Menurut John Fiske (1990: 166) ideologi dapat dipahami sebagai proses umum produksi makna
dan gagasan. Ideologi berkaitan dengan pandangan atau sistem keyakinan yang dipercaya oleh
suatu masyarakat. Sehingga melalui berita, media menyebarkan ideologi dengan memberikan
pelabelan, jargon, sentilan, dan lain sebagainya untuk menunjukkan posisi media dalam sebuah
kasus.
Menurut Lule (2002), berita mempunyai fungsi dalam membentuk solidaritas masyarakat di
mana anggota komunitas yang mempunyai nilai-nilai yang sama saling berbagi (share) atas nilainilai tersebut. Studi yang dilakukan oleh Ehrlich menunjukkan bahwa berita kerap ditulis sebagai
suatu mitos untuk mengukuhkan solidaritas antar-anggota komunitas di mana berita tersebut hadir
(Eriyanto, 2013: 222).
D. Media Massa Sebagai Agen Konstruksi
Secara garis besar, media massa merupakan sejumlah sarana komunikasi yang dipakai untuk
menyampaikan informasi kepada khalayak. Kata massa yang melekat padanya memberitahukan
kita bahwa sasaran komunikasi jenis ini bukanlah orang per-orang, melainkan khalayak ramai atau
semua orang yang menjadi sasaran alat-alat komunikasi massa atau mereka yang berada pada
ujung lain dari saluran (Kushendrawati, 2011: 10-11). Media massa massa juga bisa dianggap
sebagai institusi yang berperan sebagai agent of change, yaitu, sebagai institusi pelopor kebutuhan.
Hafied Cangara (2011: 128-129) memberikan penjelasan mengenai karakteristik media massa,
diantaranya: (1) Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari banyak
orang, yaitu, mulai dari pengumpulan, pengelolaan, sampai pada penyajian informasi; (2) Bersifat
satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang memungkinkan terjadinya dialog antara
pengirim dan penerima. Kalau toh terjadi reaksi atau umpan balik, biasanya memerlukan waktu
dan tertunda; (3) Meluas dan serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan jarak karena
ia memiliki kecepatan. Bergerak secara luas dan simultan, di mana informasi yang disampaikan
diterima oleh banyak orang pada saat yang sama; (4) Memakai peralatan teknis atau mekanis,
seperti radio, televisi, surat kabar, dan semacamnya; dan (5) Bersifat terbuka, artinya pesannya
dapat diterima oleh siapa saja dan di mana saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin, dan suku
bangsa.
Menurut berbagai literatur, media massa memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan
sosial. Walau kerap dipandang secara berbeda-beda, namun tidak ada yang menyangkal atas peran
yang signifikan dalam masyarakat modern. McQuail (2000) dalam Subiakto dan Ida (2012: 106)
merangkum padangan khalayak terhadap peran media massa. Setidaknya ada enam pespektif
dalam hal melihat media, sebagai berikut:
1. Melihat media massa sebagai window on events and experience. Media dipandang
sebagai jendela yang memungkinkan khalayak “melihat” apa yang terjadi di luar sana
ataupun pada diri mereka sendiri.
2. Media juga sering dianggap sebagai a mirror of events in society and the world, implying
a faithful reflection, yaitu, cermin berbagai peristiwa yang ada di masyarakat dan dunia,
yang merefleksikan apa adanya. Karenanya, para pengelola media sering merasa tidak
“bersalah” jika isi media penuh dengan kekerasan, konflik, dan berbagai keburukan lain,
karena memang menurut mereka faktanya demikian, media hanya sebagai refleksi fakta,
terlepas dari suka atau tidak suka. Padahal, sesungguhnya angle, arah, dan framing dari
isi yang dianggap sebagai cermin realitas ini diputuskan oleh para profesional media,
dan khalayak tidak sepenuhnya bebas untuk mengetahui apa yang inginkan.
3. Memandang media massa sebagai filter atau gatekeeper yang menyeleksi berbagai hal
untuk diberi perhatian atau tidak. Media senantiasa memilih isu, informasi, atau bentuk
content yang lain berdasarkan standar para pengelolanya. Di sini khalayak “dipilihkan”
oleh media tentang apa-apa yang laik untuk diketahui dan mendapat perhatian.
4. Media massa acap kali pula dipandang sebagai guide (penunjuk jalan) atau interpreter
yang menerjemahkan dan menunjukkan arah ats berbagai ketidakpastian atau alternatif
yang beragam.
5. Melihat media massa sebagai forum untuk mempresentasikan berbagai fenomena dan
ide-ide kepada khalayak, sehingga memungkinkan terjadinya tanggapan dan umpan
balik.
6. Media sebagai interlocutor yang tidak hanya sekadar tempat berlalu lalangnya informasi,
tetapi juga partner komunikasi yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang efektif.
Selanjutnya Eriyanto (2012) menyebutkan peran media dalam membentuk realitas, yaitu,
pertama media membingkai peristiwa dalam bingkai tertentu. Peristiwa-peristiwa yang kompleks
disederhanakan sehingga membentuk pengertian dan gagasan tertentu. Media juga agen, bukan
hanya bagaimana peristiwa dipahami, melainkan juga apakah peristiwa tersebut disetujui atau
tidak. Semua hal ini akan dilihat dari bagaimana peristiwa tersebut didefinisikan, bagaimana
urutan peristiwa disajikan, siapa aktor yang diwawancarai, dan sebagainya.
Kedua, media memberikan simbol-simbol tertentu pada peristiwa dan aktor yang terlibat
dalam berita. Pemberian simbol tersebut akan menentukan bagaimana peristiwa dipahami, siapa
yang dilihat sebagai pahlawan dan siapa yang dilihat sebagai musuh. Media bukan hanya mengutip
apa adanya sesuai dengan apa yang dikatakan sumber berita, ia juga akan memakai dan menyeleksi
ucapan dan menambah dengan berbagai ungkapan atau kata-kata yang ditampilkan. Semua
ungkapan yang digunakan itu akan memberikan citra tertentu di pikiran khalayak. Misalnya,
penggunaan kata separatis bagi setiap gerakan bersenjata dengan tujuan memberontak kepada
negara, atau pelabelan Pekerja Seks Komersial bagi para wanita yang menjajakan tubuhnya untuk
dinikmati lelaki dengan bayaran sejumlah uang. Penggunaan simbol ini juga akan membuat
memori kolektif di pikiran khalayak sehingga pada saat tertentu ketika suatu simbol atau tanda
diulang, maka memori kolektifnya juga akan merujuk kepada objek yang dimaksud.
Ketiga, media juga menentukan apakah peristiwa ditempatkan sebagai hal yang penting
ataukah tidak; apakah peristiwa hendak ditulis secara panjang atau pendek; apakah ditempatkan di
halaman pertama atau tidak; apakah peristiwa ditulis secara bersambung ataukah tidak. Semua
pilihan tersebut adalah kemungkinan yang dapat diambil oleh media.
Pembentukan realitas atas sebuah isu dalam sebuah berita dilakukan oleh karena media
bukanlah suatu entitas yang netral. Shoemaker dan Rees (1996) merincikan beberapa faktor yang
memengaruhi isi media (media framing). Pertama, pengaruh rutinitas media (the influence of
media routines). Rutinitas media merujuk kepada cara kerja dan aktivitas keseharian (jadwal
deadline) wartawan. Kedua, level organisasi (the organization level). Hal ini merujuk kepada
sistem organisasi media, termasuk pengaruh dari pemimpin redaksi, para editor, dan kebebasan
(independensi) wartawan saat bekerja. Ketiga, level extra-media. Faktor sosial-ekonomi-budayapolitik, tekanan dari pemerintah, hingga pemilik modal merupakan level extra-media sebagaimana
yang dimaksud oleh Shoemaker dan Rees (Van Gorp, 2007: 67-68).
Level extra-media yang dikemukakan Shoemaker dan Ress (1996) tesebut dalam
pandangan Herman dan Chomsky (2000) disebut sebagai manufacturing consent dimana media
dilihat sebagai alat kepentingan politik, ekonomi, militer, dan kultur kalangan eksklusif. Menurut
mereka, para gatekeeper media menjadi pion politisi dan industriawan untuk mencari keuntungan.
Dengan kata lain, atas nama kepentingan bangsa, para pejabat mengatur pemberitaan sesuai
keinginan mereka. Adapun atas nama pertumbuhan ekonomi, para pebisnis atau pedagang
melakukan hal yang sama (Subiakto dan Ida, 2012: 137).
Gitlin (1980) percaya jika rutinitas wartawan menjadi penyebab beberapa frame harus
diseleksi seringkali dari pada yang lain. Lebih lanjut, kepemilikan dan logika ekonomi dari
organisasi berita sangat potensial menyebabkan konflik kepentingan (interest conflict) dengan
prosedur jurnalistik yang dimiliki personal wartawan (Shoemaker dan Rees dalam Van Gorp,
2007: 68). Stuart Hall, Chas Critcher, Tony Jefferson, John Clarke, dan Brian Robert (1978)
(dalam Eriyanto, 2012: 119-139) memberikan beberapa alternatif faktor yang memengaruhi suatu
peristiwa dijadikan berita, diantaranya, pertama rutinitas organisasi (dalam pandangan Shoemaker
dan Rees disebut level organization). Lebih banyak proses sortir (seleksi) berita terjadi dalam suatu
rutinitas kerja keredaksionalan, suatu bentuk rutinitas organisasi. Setiap hari institusi media secara
teratur memproduksi berita, dan proses seleksi itu adalah bagian dari ritme dan keteraturan kerja
yang dijalankan setiap harinya. Untuk efektivitas kerja, wartawan dibagi ke dalam beberapa desk
atau departemen. Pada awalnya pembagian kerja semacam ini dimaksudkan untuk efektivitas, dan
pelimpahan wewenang akhirnya berubah menjadi bentuk seleksi tersendiri. Peristiwa, isu, dan
masalah dilihat melalui kaca mata dari bidang yang mereka tempati.
Faktor kedua adalah nilai berita. Nilai berita ini terkait dengan ideologi profesional media.
Ideologi profesional wartawan dapat dilihat jelas melalui beritanya. Berita yang baik selalu
ditentukan melalui sejauhmana kualifikasi dan kualitas pekerjaan wartawan dan keberhasilan kerja
mereka. Tidak setiap peristiwa adalah berita, hanya peristiwa yang mengandung unsur berita saja
yang laik dijadikan berita dan ditampilkan dalam media. Setidaknya ada lima yang dapat dijadikan
nilai berita, yaitu, prominence (kebesaran peristiwa), human interest (menyangkut unsur
kemanusiaan), conflict/controversy (menyangkut konflik, polemik, dan pertentangan, unusual
(mengandung unsur yang tidak biasa), dan proximity (kedekatan peristiwa dengan khalayak).
Ketiga, kategori berita. Hal ini mengarahkan kepada cara wartawan mengonstruksi berita.
Mengapa suatu peristiwa dihitung sebagai berita, sedangkan yang lain tidak? Ini adalah sebuah
proses konstruksi. Sebagai sebuah konstruksi, ia menentukan mana yang dianggap berita dan mana
yang tidak. Artinya, peristiwa itu penting dan bernilai berita, bukan karena inheren peristiwa itu
penting. Media dan wartawanlah yang mengonstruksi sedemikian rupa sehingga peristiwa satu
dinilai lebih penting. Terakhir, ideologi profesional/objektivitas. Standar profesional berhubungan
dengan jaminan yang ditekankan kepada khalayak bahwa apa yang disajikan adalah suatu
kebenaran. Menurut Shoemaker dan Ress objektivitas lebih merupakan ideologi bagi jurnalis
dibandingkan seperangkat aturan atau praktik yang disediakan oleh jurnalis.
Analisis Framing : Alternatif Metode Analisis Media
Pada dasarnya, analisis framing merupakan bentuk up to date dari pendekatan analisis
wacana, khususnya untuk menganalisis teks media. Gagasan mengenai framing, pertama kali
dilontarkan oleh Beterson tahun 1955 (Sudibyo, 1999: 23). Mulanya, frame dimaknai sebagai
struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisisr pandangan politik,
kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi
realitas.
Konsep tentang framing atau frame sendiri bukan murni berasal dari konsep ilmu
komunikasi, melainkan dipinjam dari ilmu kognitif (psikologi). Dalam praktiknya, analisis
framing juga membuka peluang bagi implementasi konsep-konsep sosiologis, politik, dan kultural
untuk menganalisis fenomena komunikasi, sehingga suatu fenomena dapat diapresiasi dan
dianalisis berdasarkan konteks sosiologis, politis, atau kultural yang melingkupinya (Sudibyo,
1999: 176). Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara
atau ideologi media saat mengonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan,
dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih
diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektif medianya. Menurut Erving
Goffman (Sobur, 2012: 163) secara sosiologi konsep frame analysis memelihara kelangsungan
kebiasaan kita mengklasifikasi, mengorganisasi, dan menginterpretasi secara aktif pengalamanpengalaman hidup kita untuk dapat memahaminya.
Entman (1993: 52) memberikan tawaran konsep bagi analisis framing. Bagi Entman, konsep
framing digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari
realitas oleh media. Framing dapat dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam
konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapat alokasi lebih besar daripada isu lain.
Meski sudah lahir dalam pertengahan tahun 1950-an, analisis framing baru “diakui” dan
digunakan secara masif sebagai unit analisis teks media setelah Journal of Communication yang
dikeluarkan oleh International Communication Association pada tahun 2007 mengeluarkan edisi
khusus tentang Framing, Agenda Setting, and Priming dimana Entman juga ikut menulis di
dalamnya dengan judul Framing Bias: Media in the Distribution of Power (Entman, 2007).
Konsep framing dalam pandangan Entman, secara konsisten menawarkan sebuah cara untuk
mengungkapkan the power of a communication text. Framing analysis dapat menjelaskan dengan
cara yang tepat pengaruh atas kesadaran manusia yang didesak oleh transfer (atau komunikasi)
informasi dari sebuah lokasi, seperti pidato, ucapan/ungkapan, news report, atau novel (Sobur,
2012: 165). Bagi Eriyanto (2012: 79), konsep framing dimaknai sebagai pendekatan untuk
mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika
menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif tersebut pada akhirnya
menentukan apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak
dibawa kemana berita tersebut.
Sejalan dengan apa yang dikatakan Entman, Todd Gitlin seorang ilmuwan yang menaruh
perhatian kepada konsep framing dalam Eriyanto (2012: 79-80), mengutip pendapat Erving
Goffman, menjelaskan frame berkaitan dengan prinsip seleksi, penekanan, dan presentasi dari
realitas oleh media. Hampir semua ilmuwan analisis framing sepakat dengan dua prinsip dari
konsep analisis framing, yaitu, pertama seleksi isu, Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua
kemungkinan: apa yang dipilih (include) dan apa yang dibuang (exclude). Wartawan tidak
mungkin melihat realitas suatu isu tanpa perspektif. Wartawan melihat peristiwa dari sisi tertentu,
sehingga pemahaman dan konstruksi atas peristiwa bisa jadi berbeda antara satu media dengan
media lain.
Kedua, penulisan fakta atau penonjolan fakta, hal ini terkait dengan bagaimana strategi dan
cara wartawan menuliskan fakta yang didapatkan di lapangan, bagian mana yang harus diberi
keterangan lebih dalam, bagian mana yang bisa dihilangkan, apa yang bisa dijadikan judul berita
agar mampu menarik perhatian khalayak. Biasanya penonjolan ini bisa terlihat dalam judul berita,
serta foto atau grafik yang digunakan. Penggunaan elemen-elemen ini berhubungan dengan
penonjolan realitas. Pemakaian tulisan, kalimat, dan foto atau grafik merupakan implikasi dari
memilih aspek tertentu dari realitas. Sehingga, aspek terttentu yang ditonjolkan menjadi menonjol,
lebih mendapat alokasi dan perhatian yang besar dibandingkan aspek lain. Realitas yang disajikan
secara menonjol atau mencolok ini akan mendapat perhatian lebih besar oleh khalayak.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, beberapa ilmuwan telah memberikan definisi
terhadap analisis framing. Definisi umum yang dipakai dalam analisis framing adalah metode yang
dipakai sebagai upaya menelusuri, menggali, dan menemukan esensi dari proses penyusunan teks
berita. Berikut akan dipaparkan beberapa definisi analisis framing menurut para ahli (Eriyanto,
2012: 77-79).
Tabel 1
Definisi Analisis Framing Menurut Para Tokoh
TOKOH
DEFINISI
Robert N. Entman
Proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga
bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol
dibandingkan aspek lain. Ia juga menyertakan
penempatan informasi-informasi dalam konteks yang
khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih
besar daripada sisi yang lain.
William A. Gamson
Cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir
sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi
makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan
objek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk
dalam sebuah kemasan (package). Kemasan itu
semacam skema atau struktur pemahaman yang
digunakan individu untuk mengkonstruksi makna
pesan-pesan
yang ia
sampaikan, serta untuk
menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima.
Strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan
Todd Gitlin
disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan
kepada
khalayak
ditampilkan
dalam
pembaca.
Peristiwa-peristiwa
pemberitaan
agar
tampak
menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca
itu
dilakukan
dengan
seleksi,
pengulangan,
penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari realitas.
David
E.
Snow
Robert Benfort
& Pemberian makna untuk menafsirkan peristiwa dan
kondisi yang relevan. Frame mengorganisasikan
sistem kepercayaan dan diwujudkan dalam kata kunci
tertentu, anak kalimat, citra tertentu, sumber
informasi, dan kalimat tertentu.
Amy Binder
Skema interpretasi yang digunakan oleh individu
untuk menempatkan, menafsirkan, mengidentifikasi,
dan melabeli peristiwa secara langsung atau tidak
langsung. Frame mengorganisir peristiwa yang
kompleks ke dalam bentuk dan pola yang mudah
dipahami dan membantu individu untuk mengerti
makna peristiwa.
Zhongdang Pan dan Strategi konstruksi dan memproses berita. Perangkat
Gerald M. Kosicki
kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi,
menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dengan
rutinitas dan konvensi pembentukan berita.
(Sumber: Eriyanto, 2012: 77-79)
Berdasarkan definisi-definisi yang dikemukakan para ilmuwan tersebut, memperlihatkan
setidaknya ada dua konsep penting dalam analisis framing, yaitu, seleksi isu terkait dengan isu
mana yang akan ditampilkan dan mana yang akan dibuang atau ditutupi serta penonjolan fakta,
bagian mana dari sebuah berita disoroti lebih tajam dan mana yang harus dikaburkan. Konsep
framing berita dilakukan oleh wartawan di dalam ruang redaksi. Rutinitas media mempengaruhi
bagaimana mana framing ini bekerja. Analisis framing dipakai untuk membedah isi teks media,
bukan hanya apa yang tampak melainkan lebih jauh pada implikasi dari pemberitaan. Lebih jauh
Janssen (2010: 22) mengatakan bahwa analisis framing merupakan suatu metode penting untuk
memahami interkoneksitas, dinamika, dan perilaku sosial.
Entman (1993) mengatakan bahwa literatur framing menyebutkan jika pengaruh frame dapat
dijumpai pada orang-orang yang terlibat dalam suatu proses komunikasi. Sementara bagi Goffman
(1974) mengatakan bahwa frame adalah pusat dari budaya dan melembaga dalam berbagai cara
hidup. Konsep framing, di satu sisi adalah cara yang khas dimana wartawan membentuk isi berita
(news conten) menggunakan rujukan frame yang sudah lazim dan menurut beberapa sturktur
makna tersembunyi. Di sisi lain, bagi khalayak yang mengadopsi frame ini dan melihat dunia
dalam bentuk yang sama dengan apa yang dilakukan oleh wartawan (Van Gorp, 2007: 61-62).
Dalam pandangan konstruksi sosial, dunia sosial tidaklah dikontrol oleh setiap orang yang
sederajat. Beberapa orang memiliki kekuatan yang lebih besar dari pada yang lainnya. Mereka
senantiasa melihat dan mengatur atau bahkan memperluas kontrolnya. Penelitian mengenai
framing mengindikasikan bahwa elite politik dan sosial terampil dalam mengontrol bagaimana
suatu peristiwa dibingkai oleh wartawan menggunakan berbagai macam strategi yang lazim seharihari (Annonimous, 2006). Pandangan Eriyanto (2012: 51) analisis framing berasal dari filsafat
konstruktivisme. Seperti yang sudah sedikit disinggung di awal pemaparan, teori konstruktivisme
memandang bahwa sebuah teks berita merupakan hasil sebuah konstruksi sehingga realitas yang
ada bukanlah realitas yang sebenarnya. Realitas dalam pandangan konstruktivisme adalah realitas
yang terdistorsi oleh kepingan-kepingan ide yang dimiliki wartawan, diteruskan melalui berita di
media, dan dipaksakan untuk diterima oleh khalayaknya.
Filsafat teori konstruktivisme berasal dari teori Konstruksi Realitas Sosial yang
dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman pada tahun 1966. Dalam pandangan
Berger dan Luckman, masyarakat terbentuk melalui tiga proses, yaitu, Eksternalisasi, pengeluaran
ide-ide atau konsep yang ada dalam pikiran manusia. Objektivasi, ide-ide yang terwujud dalam
sebuah objek. Perlu dipahami bahwa objek yang dihasilkan dari proses eksternalisasi ide manusia
tersebut tidaklah bebas nilai, ia memiliki nilai dan aturan dalam penggunaannya sehingga ia
kembali menciptakan nilai baru bagi manusia. Internalisasi, proses penyerapan kembali nilai-nilai
atau aturan-aturan yang berasal dari proses objektivasi. Ketiga proses ini; eksternalisasi,
objektivasi, dan internalisasi terus berproses dalam suatu dialektika yang pada akhirnya
menghasilkan apa yang kita sebut sebagai realitas.
Pandangan konstruktivisme menolak pandangan positivisme, sama dengan halnya
strukturalisme menolak pandangan struktural-fungsional dalam memaknai realitas. Dalam
pandangan konstruktivisme, media dipandang sebagai agen konstruksi dimana media merupakan
pusat dari sebuah konstruksi. Berbeda dengan positivisme dimana media hanya dipandang sebagai
saluran (medium) dari sebuah pesan. Berita dalam pandangan konstruktivis adalah konstruksi atas
realitas bukan cerminan dari realitas (mirror of reality) seperti yang selama ini dipahami oleh kaum
positivistik. Khalayak adalah manusia yang memiliki penafsiran sendiri terhadap sebuah berita,
bukan manusia yang menerima serta merta penafsiran yang ada di dalam sebuah berita.
Demikianlah sekilas tentang akar studi dari analisis framing. Eriyanto (2012) dan Sobur
(2012) mengategorikannya ke dalam filsafat konstruktivisme. Deddy Mulyana dalam Eriyanto
(2012) mengategorikannya ke dalam pendekatan konstruktivisme-kritis dimana manusia
diasumsikan sebagai makhluk yang kreatif, inovatif, mampu bertindak sesuai dengan
keinginannya, serta memiliki daya pikir kritis yang mampu melihat apa yang baik dan tidak baik
baginya. Namun dalam pandangan peneliti, jika ditelaah dari asal mula teorinya, analisis framing
berasal dari analisis wacana dengan filsafat teori strukturalisme sebagai akarnya.
TABEL 1 PERANGKAT FRAMING MODEL ROBERT ENTMAN
Seleksi isu
Aspek ini berhubungan dengan pemilihan fakta.dari
realitas yang kompleks dan beragam itu, aspek mana
yang diseleksi untuk ditampilkan ? dari proses ini
selalu terkandung di dalamnya ada bagian berita yang
dimasukkan (include), tetapi ada juga berita yang
dikeluar (excluded). Tidak semua aspek atau bagian
dari isu ditampilkan, wartawan memilih aspek
tertentu dari suatu isu.
Penonjolan aspek tertentu Aspek ini berhubungan dengan penulisan fakta. ketika
dari isu
aspek tertentu dari suatu peristiwa/isu tersebut dipilih,
bagaimana aspek tersebut ditulis ? hal ini sangat
berkaitan dengan pemakain kata, kalimat, gambar,
dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak.
Sumber : Eriyanto, 2002 : 187
Framing secara esensial menurut robert N. Entman meliputi penyeleksian dan penonjolan.
Membuat frame adalah menyeleksi beberapa aspek dari suatu pemahaman atas realitas, dan
membuatnya lebih menonjol di dalam suatu teks yang dikomunikasikan sedemikian rupa sehingga
mempromosikan sebuah definisi permasalahan yang khusus, interpretasi kausal, evaluasi moral,
dan atau merekomendasikan penyelesaian secara bijaksana. Seperti yang dijelaskan dalam tabel
konsepsi Robert N.Entman (Eriyanto, 2008 : 188-189).
TABEL 2. KONSEPSI ROBERT ENTMAN
Define problems
Bagaimana suatu peristiwa/ isu dilihat
(pendefinisian masalah)
? sebagai apa ? atau sebagai masalah
apa ?
Diagnose causes
Peristiwa itu dilihat disebabkan oleh
(memperkirakan masalah atau sumber apa ? apa yang dianggap sebagai
masalah)
penyebab dari suatu masalah ? siapa
(aktor)
yang
dianggap
penyebab masalah ?
sebagai
Make moral judgement
Nilai moral apa yang disajikan untuk
(membuat keputusan moral)
menjelaskan masalah ? nilai moral apa
yang diapakai untuk melegitimasi atau
mendelegitisimasi suatu tindakan ?
Treatment Recommendation
Penyelesaian apa yang ditawarkan
(menekankan masalah)
untuk mengatasi masalah/isu ? jalan
apa
yang
ditawarkan
dan
harus
ditempuh untuk mengatasi masalah ?
Sumber : Eriyanto, 2002 : 188
Download