METODOLOGI PENELlTlAN Kerangka Pendekatan Studi pustaka menunjukkan bahwa evaluasi lahan merupakan prosedur baku dalam penentuan kesesuaian lahan untuk suatu penggunaan (FAO, 1976; Beek, 1978; CSRIFAO Staff, 1983; Puslittanak. 1993; Departemen Pertanian, 1997). Secara umurn evaluasi lahan ini dilakukan dengan rnembandingkan kondisi fisik lingkungan dengan persyaratan penggunaannya. Kendati demikian, penggunaan lahan yang dijurnpai di suatu wilayah tidak hanya ditentukan oleh kesesuaiannya, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya (Barlowe. 1986; Mather, 1986; Sys. van Ranst dan Debaveye, 1991; Rossiter. 1994). Sesuai dengan tujuannya penelitian ini membutuhkan data fisik lahan yang beragam. Keadaan ini hanya rnungkin diperoleh bila daerah penelitian meliput wilayah yang luas dengan sejarah penggunaan lahan yang cukup lama. Untuk menyederhanakan perrnasalahan ditempuh pendekatan sebagai berikut : , r Digunakan wilayah yang memenuhi syarat agar dapat menjawab tujuannya dan telah memiliki data spasial yang baik dan beragarn r Penelitian dibatasi hanya pada dua jenis penggunaan lahan saja, yaitu penggunaan lahan sawah dan tegalan. Studi pendahuluan rnenernukan bahwa hasil Studi Penggunaan Lahan DAS Cirnanuk Hulu rnerniliki data yang berlimpah (Tim Studi LP-IPB, 1999). Selain itu keterlibatan penulis dalam proyek tersebut memberikan peluang penyediaan data yang cukup dalam rnenunjang pengurnpulan data primer. Daerah Cimanuk Hulu terletak di bagian tirnur Propinsi Jawa Barat, tercakup pada tiga wilayah kabupaten atau 27 kecarnatan, meliputi areal seluas 150.199 hektar. Dari seluruh areal tersebut sekitar 25,6 persen merupakan lahan sawah dan kirakira 32,8persen rnerupakan areal tegalan, yang tersebar rnulai dari daerah rendah hingga daerah pegunungan, pada lereng-lereng datar hingga daerah-daerah berlereng curam. Selanjutnya berdasarkan data sosial ekonorni yang tersedia, yaitu kerapatan jaringan jalan, kerapatan penduduk, rumahtangga tani, lembaga keuangan dan kios sarana prasarana pertanian, daerah ini merniliki karakteristik sosial ekonomi yang sangat beragarn, sehingga cukup mernadai untuk digunakan sebagai daerah penelitian. Sebagai telah dikernukakan, sebagian dari areal penelitian rnerupakan kawasan hutan negara, yaitu kawasan Perhutani dan kawasan PHPA. Peluang rnasyarakat untuk dapat rnenggunakan kawasan ini sangat terbatas, sehingga berdasarkan pertirnbangan itu maka areal-areal hutan negara tersebut dikeluarkan dari lingkup penelitian. Demikian pula dengan daerah perkotaan yang penggunaannya sudah pasti sebagai pemukirnan, areal tersebut juga dikeluarkan dari lingkup penelitian. Peran kesesuaian lahan dan karakteristik lahan terhadap pola penggunaan lahan sawah dan tegalan dipelajari dengan rnelakukan analisis statistik hubungan antara proporsi lahan sawah dan tegalan pada setiap satuan lahan hornogen (SLH). Proporsi penggunaan lahan sawah atau tegalan dalarn ha1 ini adalah perbandingan antara luas penggunaan lahan sawah atau tegalan terhadap luas poligon SLH yang dinyatakan dalam persen. Sedangkan SLH adalah suatu areal yang rnerniliki karakteristik fisik dan sosial ekonomi lahan yang relatif seragarn yang diperoleh dari hasil analisis spasial karakteristik lahan daerah penelitian dengan rnenggunakan sistirn inforrnasi geografi. Karakteristik fisik dan sosial ekonomi lahan yang digunakan sebagai variabel adalah karakteristik lahan yang berdasarkan studi pustaka diketahui rnernpengaruhi pola penggunaan lahan. Menurut Sys et al. (1991). dan Oldernan (1984). karakteristik fisik yang rnernpengaruhi penggunaan lahan adalah yang secara langsung rnaupun tidak langsung rnernpengaruhi perturnbuhan dan budidaya tanarnan, kernudahan dalarn teknik budidaya ataupun pengolahan lahan dan ketestarian lingkungan. Karakteristik fisik lahan tersebut adalah curah hujan, ternperatur, penyinaran matahari, kelembaban, kecepatan angin, kerniringan lereng, batuan perrnukaan, singkapan batuan, drainase, tekstur dan struktur, fragrnen kasar, kedalaman tanah, kandungan kalsium karbonat, gypsum, kapasitas tukar kation, kejenuhan basa, kernasaman, kandungan nitrogen total, ketersediaan fosfat, kalium dan karbon organik, kedalarnan sulfidik, serta salinitas dan alkalinitas (CSWFAO, 1983; Puslittanak, 1993; Rossiter, 1994). Sedangkan karakteristik sosiaf ekonorni yang rnempengaruhi pola penggunaan lahan adatah karakteristik yang terkait dengan aspek lokasi atau aksesibilitas, kebijakan pernerintah, teknologi, modal, tenaga kerja, pengelolaan dan status penguasaan lahan (Rossiter, 1994; Barlowe, 1986; Mather, 1986). Berdasarkan uraian tersebut maka variabel fisik lahan yang digunakan dalarn penelitian ini adalah suhu udara dan curah hujan yang mewakili karakteristik iklirn, kerapatan jaringan sungai sebagai indikator dari kemungkinan untuk rnendapatkan pengairan, efevasi dan kerniringan lereng sebagai karakteristik topografi, serta kedalaman tanah, kandungan pasir dan kandungan liat sebagai pewakil karakteristik tanah. Karakteristik tanah lainnya, seperti reaksi tanah, kapasitas tukar kation dan kandungan hara lainnya tidak digunakan sebagai variabel karena diperkirakan rnerupakan hasil dari pola penggunaan lahan yang telah ada. Variabel sosial ekonomi yang digunakan adalah kerapatan penduduk, kerapatan rurnah tangga dan kerapatan rurnah tangga tani, yang rnerupakan indikator dari ketersediaan lahan untuk setiap individu, rurnah tangga ataupun rurnah tangga tani. serta indikator dari ketersediaan tenaga kerja dan konsurnen hasil-hasil pertanian. Variabel sosial ekonomi lainnya adalah kerapatan jaringan jalan yang rnerupakan indikator dari aksesibilitas, kerapatan lernbaga keuangan serta kerapatan kios sarana dan prasarana pertanian sebagai indikator dari kelernbagaan penunjang kegiatan pertanian. Metode Penelitian Pelaksanaan penelitian ini secara garis besar terbagi ke dalam beberapa tahapan, yaitu (1) Penentuan satuan lahan hornogen, (2) Pernetaan penggunaan lahan dan identifikasinya pada setiap SLH. (3) Pengolahan dan Analisis data. Secara skernatik tahapan kegiatan penelitian ini disajikan pada Garnbar 2. Penentuan Satuan Lahan Homogen Satuan lahan hornogen diperoleh dari delineasi terhadap hasil turnpang-tepat (overlaying) peta-peta ternatik bersekala 1 : 50.000, rneliputi peta lereng, elevasi, tanah dan peta isohyet. Hasil turnpang-tepat ini rnenghasilkan peta satuan lahan yarig rnerniliki satuan peta lebih detil dari peta-peta sebelumnya dengan karakteristik Peta Lereng Peta Elevasi I Peta Tanah Peta lsohyet Peta Satuan Lahan (karakteristik lereng, elevasi. tanah dan curah hujan homogen) Peta Jaringan Sungai IDrainase I c ++ J Peta Administrasi Oesa Peta Jaringan Jalan Peta Satuan Lahan (karakteristik fisik homogen) : I lnterpretasi Foto udara + I I ' I Peta Satuan Lahan Homogen (karakteristik fisik dan sosial ekonomi) ' \ j : Peta Penggunaan Lahan Sementara + I I : Venfikasi lapangan + Pets Penggunaan + tahan I Proporsi Penggunaan Lahan pada setiap SLH Pengolahan dan Anatisis Data P Penilaian kesesuaian untuk penggunaan lahan sawah dan tegalan P Hubungan antara kesesuaian lahan dan penggunaan lahan Variabel yang rnempengawhi penggunaan lahan sawah dan tegalan Hubungan variabel dengan proporsi sawah dan tegalan pada setiap SLH Gambar 2. Diagram Alir Tahapan Penelitian / lereng, elevasi, tanah dan curah hujan relatif seragarn. Terhadap peta satuan lahan hasil turnpang-tepat ini kernudian dilakukan proses cross-table dengan peta jaringan sungai. Berbeda dengan proses turnpang-tindih, hasil cross-table tidak rnernbentuk satuan peta baru, tetapi rnenarnbah atribut satuan petanya dengan inforrnasi kerapatan jaringan sungai. Selanjutnya dilakukan cross-table antara peta satuan administrasi desa dan peta jaringan jalan. lahan dengan peta Peta administrasi memuat informasi rnengenai potensi desa, terrnasuk juga inforrnasi rnengenai sosial ekonorni. Dengan dernikian dari hasil cross-table tersebut atribut setiap satuan peta bertarnbah dengan inforrnasi kerapatan jaringan jalan dan variabel sosial ekonomi. Variabelvariabel sosial ekonorni untuk poligon-poligon yang terletak dalarn suatu desa adalah variabel dari desa tersebut, sedangkan poligon yang terletak pada dua desa atau lebih, variabelnya secara tertirnbang dirata-ratakan dari kondisi sosial ekonorni desa-desa tersebut. Hasil dari tahap ini adalah poligon-poligon satuan lahan yang hornogen, baik rnenurut variabel fisik rnaupun sosial ekonorninya. Poligon-poligon tersebut selanjutnya disebut sebagai satuan lahan hornogen atau SLH, yang digunakan sebagai satuan analisis dalarn penelitian ini. Peta lereng dibuat dari peta topografi yang tersedia, yaitu peta Topografi Java dan Madura dari AMS, sekala I: 50.000, tahun 1943-1949, rneliputi lernbar 39lXL1-B, 39lXL-6. 39lXC-D, 40lXLl-A. 40lXL-D, 401XL-A, 40lXC-C, 40lXL-B, 40lXXXIX-D dan 431XXXIX-C. Berdasarkan kerniringan lerengnya daerah studi dibedakan dalarn 7 kelas kerniringan lereng, yaitu lereng A (0-3) %, B (3-8) %, C (8-15) %, D (15-25) %. E (25-45)%, F (45-60)%, dan kelas G (> 60 ) % (Lihat Gambar 6). Satuan peta tanah sesungguhnya telah rnenyajikan variabel kelas lereng, tetapi sebagian di antaranya rnasih dalarn selang yang terlalu lebar, sehingga untuk rnernperoleh satuan lahan yang lebih hornogen perlu dilakukan pernbagian kelas Iereng dalarn kelas yang lebih detil. Peta elevasi juga dibuat dengan cara melakukan ekstraksi data ketinggian dari peta topografi. Sebagairnana halnya dengan variabel lereng, satuan peta tanah sesungguhnya telah menyajikan variabel elevasi, tetapi sebagian di antaranya rnasih dalarn selang yang terlalu lebar, sehingga untuk rnernperoleh satuan lahan yang lebih hornogen dilakukan pernbagian elevasi yang lebih detil. Amien, Sosiawan dan Susanti (1994), dalarn rnenyusun zona agroekologi untuk pengernbangan pertanian rnernbedakan wilayah berdasarkan rejirn kelernbaban dan rejirn suhu, yaitu rejirn lernbab panas pada elevasi kurang dari 750 rn dpl., rejirn lembab sejuk pada elevasi antara 750 pada elevasi lebih dari 2.000 rn dpl. - 2.000 rn dpl., dan rejirn yang lebih dingin Untuk rnendapatkan garnbaran rnengenai pengaruh elevasi terhadap pola penggunaan lahan, selang elevasi tersebut diperkirakan rnasih terlalu lebar. Dalarn penelitian ini elevasi dibedakan dalarn sernbilan zona yaitu: < 300 rn. 300-600 m, 600-900 rn, 900-1.200 rn, 1.200-1 500 rn, 1.500-1.800 rn, 1.800-2.100 rn, 2.100-2.400 m, dan >2.400 m dpl. (Garnbar 5). Peta tanah yang digunakan diperoleh dari hasil Studi Penggunaan Lahan DAS Cirnanuk Hulu (Tim Studi LP-IPB, 1999). Berdasarkan peta tersebut daerah penelitian terbagi dalarn 169 satuan peta tanah (SPT) yang tersebar dalarn 281 potigon. Setiap SPT rnenyajikan inforrnasi rnengenai bentuk lahan, lereng, elevasi. karakteristik fisik dan kirnia tanah, subgroup tanah, ketebalan solurn dan ukuran butir. Peta isohyet juga didapatkan dari hasil Studi Penggunaan Lahan DAS Cirnanuk Hulu. Berdasarkan peta tersebut daerah studi terbagi rnenjadi 6 kelas curah hujan, - 1.500) rnrn Itahun, (15 0 0 - 2.000) rnrn ltahun, (2.000 - 2.500) rnrn ltahun, (2.500 - 3.000) rnrn Itahun, (3.000 - 3.500) rnrn Itahun, dan (3.500 - 4.000) rnrn ltahun (Lihat Gambar 4). yaitu curah hujan antara (1.000 Peta jaringan jalan dan jaringan sungai diturunkan dari peta topografi, dengan tarnbahan informasi dari hasit interpretasi foto udara dan pengarnatan lapang. Perbaikan data ini diperlukan karena peta topografi yang digunakan telah terlalu tua. Dengan cara yang diternpuh ini berbagai perubahan yang terjadi, terutarna jaringan jalan, tetap dapat dikornpilasi secara teliti. Peta-peta ternatik tersebut di atas selanjutnya diubah menjadi data dijital dengan rnenggunakan perangkat lunak ILWlS versi 1,4 DOS dan bantuan rneja dijitasi. Dalam format dijital ini proses turnpang-tindih dan perhitungan-perhitungan luas rnaupun kerapatan berbagai atribut lahan lebih mudah dilakukan. Pemetaan Penggunaan Lahan dan ldentifikasinya pada Setiap SLH lnforrnasi rnengenai penggunaan lahan diperoleh dari hasil interpretasi foto udara sekala 3 : 50.000, pernotretan tahun 1993. Dalarn ha1 ini pengenalan berbagai obyek atau fenornena penggunaan lahan yang terekarn pada foto udara dilakukan dengan rnernanfaatkan unsur-unsur interpretasi, seperti ukuran obyek, bentuk, tekstur. warna, rona, tinggi, lokasi, asosiasi, dan lain-lain. Batas-batas penggunaan lahan hasil interpretasi ini selanjutnya diptotkan ke atas peta dasar, rnenghasilkan peta penggunaan lahan sernentara. Peta dasar yang digunakan adalah peta topografi skala 1 : 50.000. Peta penggunaan lahan sementara ini kernudian diverifikasi di lapangan. lnformasi penggunaan lahan yang masih meragukan atau belum bisa diperoleh rnelalui interpretasi foto ditarnbahkan dan diperiksa kebenarannya dan hasifnya adalah peta penggunaan lahan sekarang. Berdasarkan hasil pernetaan ini penggunaan lahan di daerah studi dibedakan menjadi penggunaan lahan pemukiman, sawah, tegalan, kebun campuran, semak belukar, lahan terbuka, perkebunan teh, danau dan hutan. Selanjutnya peta ini juga diubah ke dalam bentuk dijital dengan rnenggunakan perangkat lunak ILWlS versi 1.4 DOS. lnformasi rnengenai distribusi penggunaan lahan pada setiap SLH diperoleh dari hasil cross-table peta satuan lahan hornogen dengan peta penggunaan lahan. Hasil proses ini rnenambah atribut SLH dengan data proporsi penggunaan lahan yang disajikan dalam ukuran persentase terhadap luas SLH. Setiap SLH rnungkin ditempati oleh satu jenis atau lebih penggunaan lahan. Pengolahan dan Analisis Data Tahap awal dari pengolahan data adalah rnelakukan tabulasi dan menyirnpannya dalam suatu basis data. Pengolahan selanjutnya adalah melakukan evaluasi kesesuaian untuk penggunaan lahan sawah dan tegalan terhadap sernua SLH. Evaluasi dilaksanakan dengan menggunakan rnetode faktor pembatas rnaksirnum (Sys, van Ran and Debaveye, 1991). sedangkan kriteria yang digunakan sebagai acuan adalah kriteria yang dipublikasikan oleh Departemen Pertanian (1997). Penilaian kesesuaian untuk padi sawah dilakukan dengan menggunakan kriteria untuk padi sawah tadah hujan, sedangkan untuk tegalan dengan menggunakan kriteria untuk berbagai tanaman tegalan yang banyak dijumpai di daerah penelitian, yaitu padi ladang, jagung, kentang dan petsai. Padi ladang dan jagung merupakan tanaman tegalan yang banyak dijumpai di daerah rendah, sedangkan kentang dan petsai merupakan tanaman tegalan yang banyak dijumpai di daerah yang lebih tinggi. Kelas kesesuaian lahan untuk pengusahaan tegalan adalah tingkat kesesuaian terbaik untuk salah satu tanaman-tanaman tersebut. Kriteria kesesuaian lahan untuk budidaya tanaman-tanaman ini disajikan pada Tabel Lampiran 1. Selanjutnya, hasil evaluasi kesesuaian lahan ini dibandingkan dengan penggunaan lahannya dan dianalisis lebih mendalam untuk mengkaji hubungannya. Hubungan antara variabel karakteristik lahan dengan proporsi penggunaan lahan sawah dan tegalan pada setiap SLH pertama-tama dieksplorasi dengan analisis korelasi linear partial. Analisis korelasi merupakan cara untuk mengukur hubungan antara dua variabel atau sifat bersama yang dimiliki oleh variabel-variabel tersebut dan tidak terkait dengan hubungan sebab akibat antara peubah bebas dan tidak bebas. Koefisien korelasi lebih menunjukkan derajat bervariasinya dua variabel secara bersama-sama atau ukuran keeratan hubungan antara dua variabel tersebut (Steel and Torrie, 1980). Berdasarkan hasil analisis ini akan terlihat bagaimana keeratan hubungan antara karakteristik lahan dengan proporsi penggunaan lahan pada setiap SLH. Hanya variabel-variabet yang berkorelasi nyata terhadap proporsi penggunaan lahannya dan memiliki nilai koefisien korelasi cukup besar saja yang akan dianalisis hingga pengembangan model penduga proporsi penggunaan lahannya, sedangkan variabel-variabel yang berkorelasi nyata tetapi nilai koefisiennya terlalu rendah hanya akan dianalisis secara deskriptif. Analisis selanjutnya adalah dengan rnentabulasikan proporsi setiap penggunaan lahan pada setiap kelas variabel karakteristik lahan. Hasil analisis ini akan rnemperlihatkan pola urnurn penggunaan lahan berdasarkan karakteristik lahan tertentu, pada kondisi karakteristik lahan bagaimana suatu penggunaan lahan dorninan dan pada kondisi bagairnana proporsi penggunaan lahan tersebut minimal atau bahkan tidak dijurnpai sarna sekali. Penyajian diagram pencar akan menyajikan bentuk hubungan antara setiap karakteristik lahan dengan proporsi penggunaan lahan. Dari diagram pencar ini terlihat juga berapa proporsi rnaksirnurn penggunaan lahan sawah dan tegalan pada setiap kelas karakteristik lahan tertentu. Sedangkan dengan diagram kotak garis akan diketahui pernusatan data untuk setiap variabel dan pola hubungan urnurn antara setiap variabel dengan proporsi penggunaan lahannya, serta pada kondisi karakteristik lahan bagaimana penggunaan lahan tersebut dijurnpai paling banyak, pajing minimum atau bahkan tidak dijurnpai sarna sekali. Diagram kotak garis rnenyajikan juga penyirnpangan dari pola urnurn hubungan antara suatu karakteristik lahan dengan proporsi penggunaan lahannya dalarn bentuk pencilan-pencilan. Pengaruh suatu karakteristik lahan terhadap proporsi lahan sawah atau lahan tegalan baru terlihat jelas pada kondisi dirnana karakteristik tahan tersebut rnenjadi pernbatas untuk penggunaan lahan sawah atau lahan tegalan. Sernakin besar pernbatas dari karakteristik lahan tersebut akan sernakin rendah proporsi sawah ataupun tegalan pada lahan tersebut. Model penduga pengaruh suatu karakteristik lahan terhadap proporsi sawah atau tegalan dengan pola tersebut adalah : Y = f (X) dimana untuk (X >C) Y = Proporsi penggunaan lahan (%) X = Karakteristik lahan C = Nilai atau ambang batas dimana karakteristik lahan mulai menjadi pembatas untuk penggunaan lahan sawah atau tegalan Tahap awal dalam penyusunan model persamaan tersebut adalah memperkirakan nilai C, ambang batas karakteristik lahan, berdasarkan hasil analisis diagram kotak garis. Selanjutnya model persamaan regresi dikembangkan berdasarkan pada nilai C tersebut. Persamaan yang diperoleh kemudian diuji dengan menaikkan dan menurunkan nilai C pada selang kelas karakteristik lahan di sekitarnya. Pengujian dihentikan saat diperoleh koeffesien regresi terbaik. Pengembangan model regresi penduga pengaruh karakteristik lahan terhadap proporsi penggunaan sawah dan tegalan hanya dilakukan untuk variabel-variabel yang berkorelasi nyata terhadap proporsi penggunaan lahannya dan memiliki nilai koefisien korelasi yang retatif cukup besar. Dalam pelaksanaannya, karakteristik fisik dan sosial ekonomi dari setiap SLH diasumsikan sebagai variabel bebas (independent), sedangkan proporsi lahan sawah maupun tegalan merupakan variabel tidak bebas (dependent). Dalam pengembangan model ini digunakan beberapa asumsi sebagai berikut a) Dalam setiap SLH mernpunyai atribut atau karakteristik hornogen dan berbeda (unique) terhadap SLH lain b) Setiap karakteristik lahan rnerupakan variabel bebas yang rnernpengaruhi besarnya proporsi penggunaan lahan yang rnerupakan variabel tidak bebas c) Pengaruh setiap karakteristik lahan terhadap proporsi penggunaan lahan rnenyebar normal d) Pengaruh setiap karakteristik lahan bersifat aditif terhadap proporsi penggunaan lahan e) Terdapat persaingan antara berbagai penggunaan lahan di areal studi. Selanjutnya berdasarkan model tersebut dapat diketahui variabel karakteristik lahan rnana yang paling dorninan rnernpengaruhi proporsi penggunaan lahan sawah dan tegalan. Dalarn penelitian ini, anatisis statistik ditakukan dengan menggunakan piranti lunak SAS versi 6.12. Tabel5. Pembagian Kecamatan Kabupaten Daerah Penelitian Kecamatan Bandung Cicalengka Jumlah seluruh kabupaten Garut Pakenjeng Banjannmngi Leuwigoong Cibiuk Garut Kota Kadungora Cilawu Karangpawitan Selaawi Cibatu Tarogong Cikajang Banyuresmi Bluburlimbangan Sukawening Bayongbong Leles Wanaraja Malangbong Cisurupan Samarang Jumtah seluruh kabupaten Sumedang Situraja Darrnaraja Cadasngampar Cibugel Wado Jurnlah seluruh kabupaten Jumlah seturuh DAS Berdasarkan Administrasi Luas (ha) - 1.587 1.586 179 675 1.492 1.704 2.618 3.668 4.985 5.045 5.130 5.434 5.507 5.809 6.416 7.151 7.281 7.521 7.770 8.374 9.830 11.392 12.143 120.124 3.415 3.879 5.115 6.467 9.612 28.489 150.199 Curah Hujan Secara urnurn hujan di daerah penelitian diciriltan oleh hujan berintensitas tinggi yang terjadi dalam waktu singkat. Hal ini terjadi sebagai akibat dari kenaikan suhu udara hangat yang rneninggalkan masa daratan pada sore hari. Selain hujan seperti itu, masih dijurnpai juga hujan akibat pengaruh iklirn global seperti yang dicirikan dengan hujan-hujan berintensitas rendah yang berlangsung dalarn waktu relatif lama. Sebagian besar hujan di daerah penelitian berlangsung pada periode rnusim angin Monsoon Baratan, November-April. Hasil analisis curah hujan rnenunjukkan adanya pengaruh orografis pada hujan tahunan di daerah penelitian, sehingga rnernungkinkan ontuk dibuat peta isohyet hujan tahunannya (Gambar 4). Berdasarkan peta tersebut terlihat bahwa rata-rata curah hujan tahunan di daerah penelitian b e ~ a r i a s dart i < 2000 rnrn di daerah rendah, hingga > 3000 rnrn di daerah yang lebih tinggi. Sebaran hujan bulanan menunjukkan adanya variasi hujan yang besar antara rnusirn kernarau dengan musirn hujan. Musim hujan daerah penelitian urnurnnya berlangsung pada periode Oktober-April. Bulan terbasah urnurnnya terjadi pada Butan Desember-Maret, sedang bulan terkering terjadi pada Bulan Juli-Agustus. Tipe lklim Berdasarkan sistem klasifikasi Schmidt dan Fergusson, iklirn di daerah penelitian dapat dibedakan rnenjadi tipe B, C, dan D. Tipe B urnurnnya dijurnpai di bagian selatan daerah penefitian, tipe C di bagian tengah sedangkan tipe D dijurnpai di bagian utara daerah penelitian. Tipe B rnenunjukkan daerah yang relatif basah, tipe C merupakan daerah agak basah, sedang tipe D rnenunjukkan daerah sedang. Menurut klasifikasi Oldeman daerah penelitian terbagi rnenjadi tipe D2, dan E3. Tipe iklim D2 pada umurnnya dijumpai di bagian selatan daerah penelitian sedangkan tipe iklirn E3 pada urnurnnya dijumpai di bagian utara daerah penelitian. Tipe D2 menunjukkan daerah yang memiliki bulan basah, yaitu bulan dengan curah - hujan bulanan rata >200rnm, berturut-turut antara 3 4 bulan dan bulan kering, yaitu bulan dengan curah hujan bulanan e 200 rnm, 2-3 bulan. Sedangkan tipe E3 rnenunjukkan daerah yang rnerniliki bulan basah kurang dari 3 bulan dan bulan kering antara 4-6 bulan. Di daerah penelitian, khususnya di bagian Selatan, cadangan air permukaan relatif berlirnpah sehingga tipe iklirn ini berdampak relatif kecil terhadap pola tanam yang dilakukan petani. Elevasi dan Kemiringan Lereng Berdasarkan topografinya, daerah penelitian dibatasi oleh punggung-punggung perbukitan yang rnenghubungkan puncak Gunung Cikurai. Mandalagiri dan Papandayan di bagian selatan, punggung perbukitan yang menghubungkan puncakpuncak Gunung Cikurai, Kracak. Telagabodas dan Cakrabuana di bagian timur, dan punggung perbukitan yang rnenghubungkan puncak-puncak Gunung Papandayan, Kendang. Guntur. Harurnan dan Calancang di bagian barat. Sedangkan muaranya di 'bagian utara rnerupakan dataran pelernbahan yang terletak di Kecarnatan Cadasngarnpar. Kabupaten Sumedang. Elevasi daerah penelitian berkisar dari sekitar 150 hingga 2.800 meter dpl. Elevasi terendah dijumpai di sekitar muara Jatigede, sedang elevasi tertinggi dijumpai di puncak-puncak Gunung Cikurai (2.821 r n dpl.), Papandayan (2.665 m dpl.), Kendang (2.608 rn dpl.) dan Gunung Guntur (2.249 rn dpl.). Peta penyebaran ketinggian tempat di daerah penelitian disajikan pada Gambar 5. Kerniringan tereng daerah penelitian dibedakan dalarn beberapa kelas kemiringan. Berdasarkan kerniringannya daerah ini didorninasi oleh areal yang agak curam sampai terjal, dengan kerniringan 215 %. Tabel 6 rnenyajikan pernbagian daerah penelitian berdasarkan kelas kerniringan lerengnya, sedangkan penyebarannya disajikan pada Gambar 6. Tabel 6. Pembagian Daerah Penelitian Menurut Kemiringan Lereng Kelas Lereng Luas Kemiringan Persen A (0-3)% 16.108 10,72 8 (3-8)% 23.123 15.40 C (8-15)% 28.927 19,26 D (15-25)% 17.419 11,60 E (25-45)% 29.690 19,77 F (45-60)% 16.363 10,89 G > 60 % 18.536 12,34 33 0,02 Danau 1 Hektar Jurnlah 1 150.199 1100,OO Geologi dan Bahan lnduk Secara umum daerah penelitian didominasi oleh bahan vulkanik muda seperti formasi Qyp, Qypu, dan Qkp. Pada sebagian dari daerah hulunya dijumpai bahan vulkanik tua dari fonnasi Qtv. Pada bagian tengah di sekitar Garut, selain formasi vulkanik kuarter seperti Qhg, Qkp, dan Qpu, ditemukan juga formasi aluvial kuarter (Qa), di sekitar Situ Bagendit. Bagian hilir daerah penelitian dibangun oleh formasi tersier, seperti formasi Tomcl, TPk, Tmhl, Tmhu dan Tms, yang menyebar di daerah Cadasngampar dan sekitarnya. Bahan-bahan vulkanik muda umumnya menghasilkan batuan vulkanik, lava, tufa, abu vulkanik dan bahan-bahan vulkanik lainnya. Pada bagian tengah daerah studi, di lereng Gunung Guntur, kenampakan lava yang relatif masih segar terlihat jelas merupakan suatu singkapan. Bahan-bahan vulkanik ini umumnya mempunyai kandungan andesit, piroksin, basal, dan basal labradorit. Endapan aluvial yang terbentuk di daerah cekungan bagian tengah merupakan daerah pengendapan bahan aluvial-vulkanik. Bagian hilir daerah penelitian didominasi formasi geologi tua (berumur tersier) dan merupakan daerah struktural, ditunjukkan oleh adanya berbagai punggung patahan dan lipatan, serta kenampakan pola aliran sungainya yang bersifat paralel atau rektanguler. Bahan induk umumnya terdiri dari batu pasir, serpih pasiran, breksi dan batu apung, serta batu gamping pasiran. Pada daerah ini juga ditemukan beberapa bukit kecil yang dihasilkan dari terobosan batuan andesit yang mengandung hornblende. Gambar 7 menyajikan keadaan geologi di daerah penelitian. Geomorfologi dan Bentuk Lahan Geornorfologi daerah penelitian didorninasi oleh kenarnpakan bentuk lahan gunung api yang ideal, ditandai dengan adanya kerucut pada vulkan yang rnasih muda, atau adanya kenampakan lereng atas, lereng tengah, lereng bawah dan dataran vulkanik dengan tingkat torehan yang berbeda. Sernakin tua bentuk lahan vulkanik tersebut akan rnenunjukkan torehan yang lebih kuat. Dataran vulkanik dan lereng bawah urnurnnya merniliki torehan ringan, lereng tengah dengan tingkat torehan sedang dan lereng atas dengan tingkat torehan kuat hingga sangat kuat, sedangkan bentuk lahan daerah struktural umurnnya sudah tertoreh sangat kuat. Dinamika proses vulkanik juga rnenghasilkan bentuk lahan aluvial, terutarna di bagian tengah daerah penelitian, dirnana dijurnpai dataran pelernbahan atau dataran antar pebukitan, serta teras aluvial di pinggir sungai Cimanuk. Pada peralihan dari kaki lereng dengan dataran vulkanik diternukan kipas aluvial. Di bagian hilir daerah penelitian diternukan bentuk lahan yang dipengaruhi oleh struktural, yang rnernbentuk lungur-lungur lipatan rnernanjang rnaupun depresinya yang mernbentuk cekungan, dataran atau bentuk lahan patahan. Bentuk lahan di wilayah ini lebih kornpleks dan mempunyai kelerengan yang bervariasi dari landai hingga terjai. Punggung atau pebukitan yang dijurnpai urnurnnya telah tertoreh kuat hingga sangat kuat dan rnernbentuk lernbah yang dalarn. Tanah Tanah yang dijumpai di daerah penelitian urnurnnya berkernbang dari bahan-bahan vulkanik hasil erupsi dari gunung api di sekitarnya. Perbedaan umur dari bahan- bahan vulkanik ini tercerrnin juga pada perkernbangan tanahnya. Tanah yang berkernbang dari bahan vulkanik rnuda urnurnnya tergolong dalarn ordo Entisol dan Andisol, sedangkan tanah yang berkernbang dari bahan vulkanik yang sudah melapuk lebih lanjut urnurnnya telah rnengalami perkernbangan horison bawah pennukaan dan tergolong dalarn ordo lnceptisol (Tim Studi Lernbaga Penelitian IPB, 1999). Tanah lain yang dijurnpai di daerah penelitian adalah tanah tergolong dalarn ordo Alfisol dan Ultisol. Alfisol adalah tanah-tanah yang telah berkembang agak lanjut, rnemiliki horison argilik dan kejenuhan basa yang relatif tinggi (KB >35 %). Tanahtanah ini berkernbang dari napal dan batuliat, umurnnya diternukan agak jauh dari gunung berapi, di bagian tengah dan utara daerah penelitian. Sedangkan Ultisol adalah tanah yang telah berkembang lanjut, dicirikan oleh adanya horison argilik dan kejenuhan basa yang relatif rendah (KBc35%). Tim Studi Lembaga Penelitian IPB (1999), mernbagi ordo-ordo tanah tersebut dalarn 9 subordo, 14 greatgroup atau 24 Subgroup. Selanjutnya, satuan peta tanah (SPT) disusun dengan rnenggabungkan jenis tanah pada tingkat subgroup, karakteristik lahan (bentuk lahan dan lereng), dan karakterisitik tanah (kedalaman tanah dan ukuran butir). Berdasarkan satuan peta tanah ini, daerah penelitian terbagi menjadi 169 SPT. Klasifikasi berdasarkan Soil Taxanomy (Soil Survey Staff, 1994) untuk tanah-tanah yang diternui di daerah penelitian disajikan pada Tabel 7, sifat dan ciri dari masing-masing SPT disajikan dalarn Tabel penyebarannya disajikan pada Gambar 8. Lampiran 2, sedangkan Tabel 7. Tanah-tanah di Daerah Penelitian Aquic Dystropept Typic Dystropept Eutropept Typic Eutropept Humitropept Andic Humitropept Typic Humitropept Alfisol Aquept Tropaquept Typic Tropaquept Udalf Hapludalf Andic HapludaW Typic Hapludalf Ultisol Udult Paleudalf Typic Paleudalf Hapludutt Aquic Hapludult Typic Hapludult Haptahumult Typic Haplahumult Typic Paleudult Aquult Ochraquult Aeric Ochraquult , Status Lahan dan Penggunaan Lahan Berdasarkan status lahannya, areal DAS Cirnanuk Hulu dibedakan dalarn dua kelompok. yaitu areal kawasan hutan negara dan areal di luar kawasan hutan. Areal kawasan hutan negara ini berdasarkan pengelolaannya dibedakan rnenjadi kawasan hutan Perhutani yang fokus utarnanya rnengelola kawasan hutan produksi, dan kawasan hutan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) yang fokus utamanya mengelola kawasan hutan konservasi, seperti hutan suaka alam, suaka rnargasahnra dan taman nasional. Kawasan hutan Perhutani yang terletak di wilayah Kabupaten Garut merupakan bagian wilayah kerja dari kawasan pemangkuan hutan (KPH) Garut dengan komoditas utama tanarnan pinus, sedangkan yang terletak di wilayah Kabupaten Sumedang merupakan wilayah kerja dari KPH Surnedang dengan komoditas utama tanaman jati. lnformasi mengenai penggunaan lahan di luar kawasan hutan diperoleh dari hasil interpretasi foto udara dan pengarnatan lapangan. Berdasarkan hasil tersebut penggunaan lahan di luar kawasan hutan dibedakan rnenjadi areal penggunaan lahan permukirnan, sawah, tegalan. kebun campuran, tegalan dan kebun carnpuran, perkebunan teh, hutan, semak lbelukar dan tanah terbuka. Perrnukiman rnerupakan areal ternpat tinggal, berupa kelornpok-kelompok rurnah dengan pola yang umumnya tidak beraturan, hanya sebagian kecil di antaranya rnerniliki pola yang teratur. Dari foto udara, areal perrnukirnan relatif mudah dikenali dari bentuk-bentuk individu rurnah, rnerniliki rona yang terang dan asosiasinya dengan jaringan jalan. Sawah rnerupakan harnparan areal pemnian lahan basah. Di daerah penelitian sawah rnudah dikenali dari pola petakan-petakannya, sebagian besar tertutup tanarnan padi atau sisa-sisa jerarni padi pada sawah yang baru dipanen, sebagian besar berasosiasi dengan saluran irigasi. Lahan sawah urnurnnya ditanami padi secara rnonokultur, walaupun dijurnpai juga yang rnenggunakan pola tanarn dengan palawija sebagai penyelang dan pada daerah-daerah yang lebih tinggi rnenanarn sayuran pada rnasa bera. Pada foto udara sawah relatif mudah dikenali dari teras dan pola petakan-petakannya, rnerniliki tekstur yang sangat halus sarnpai halus, rona bewariasi dari gelap sarnpai kelabu terang tergantung dari kondisi pertanarnannya. Penggunaan lahan tegalan rnerupakan harnparan areal pertanian lahan kering yang ditanarni tanarnan sernusirn dan tanaman tahunan, dengan tanarnan sernusirn sebagai tanaman utarna. Di daerah penelitian lahan tegalan ini urnurnnya ditanami padi ladang ataupun tanarnan palawija, seperti jagung, ubi kayu dan kacangkacangan, kecuali di daerah-daerah yang lebih tinggi banyak dijurnpai tanarnan sayuran seperti kentang, petsai, wortel, bawang daun dan tanarnan perkebunan seperti akatwangi dan ternbakau. Pada foto udara lahan tegalan dikenali dari rona yang kefabu terang dengan batas yang jelas, terkadang berupa petakan-petakan, dengan sedikit tajuk pohonan. Penggunaan lahan kebun carnpuran rnerupakan areal pertanian yang terdiri dari berbagai rnacarn tanarnan tahunan, terrnasuk juga tanarnan pohonan. Pada sebagian di antaranya dijurnpai juga tanarnan palawija yang ditanarn di antara pohon-pohonan. Pada foto udara kebun carnpurari rnerniliki tekstur kasar dan tidak seragarn, rona kelabu gelap dengan sedikit bercak-bercak agak terang. Tegalan dan kebun carnpuran kadang-kadang sulit dibedakan, baik pada foto udaramaupun di lapangan. Seringkali dijumpai tegalan dengan banyak pohonan atau kebun carnpuran dengan proporsi tanarnan sernusim yang agak besar. Lahan-lahan seperti ini dikelompokkan sebagai lahan tegalan dan kebun campuran. Areal perkebunan teh hanya dijumpai di daerah perbukitan di bagian hulu daerah penelitian dalarn luasan yang terbatas. Pada foto udara perkebunan teh dikenali dari teksturnya yang halus dan seragarn dengan rona kelabu terang. Selain kawasan Perhutani dan PHPA, di daerah penelitian dijurnpai juga hutan rakyat yang urnurnnya ditanarni pinus. Sebagian besar dari hutan rakyat rnerupakan hasil kegiatan penghijauan. Lahan hutan rnerupakan areal yang tertutup oleh vegetasi pohonan dan semak, urnurnnya dijurnpai di daerah ketinggian antara perbukitan dan pegunungan dengan lereng yang curam. Pada foto udara lahan hutan dikenali dari tekstur yang kasar, rona kelabu gelap dan pola yang tidak teratur. Sernaklbelukar dan tanah terbuka bukan rnerupakan pola penutup lahan yang urnurn dijurnpai di daerah penelitian dan hanya dijurnpai dalarn luasan terbatas. Semak belukar dijumpai di bagian utara daerah penelitian, rnerupakan bekas lahan budidaya yang tidak diusahakan oleh rnasyarakat setempat. Pada foto udara sernak betukar dikenali dari tekstur yang relatif agak halus dengan rona kelabu terang. Tanah terbuka dijurnpai di lereng Gunung Guntur, rnerupakan aliran lava yang belurn rnelapuk dan tanahnya sangat dangkal sehingga tidak tertutup oleh vegetasi kecuali rumput-rumputan. Pada foto udara, lahan terbuka ini dikenali dari bentuk dan asosiasinya dengan lereng yang curam, dengan rona kelabu. Tabel 8 menyajikan pembagian daerah penelitian berdasarkan status lahan dan penggunaan lahannya, sedangkan penyebarannya disajikan pada Garnbar 9. Tabel 8. Pembagian Daerah Penelitian Menurut Status Lahan dan Penggunaan Lahan I Status lahan lpenggunaan lahan I I Kawasan Perhutani I Luas (ha) 30.168 4.909 Kawasan PHPA Areal di luar kawasan hutan : 33 Danau 114 Perkotaan (Kota Garut) 6.714 Permukiman Sawah 38.496 Tegalan 11.400 Tegalan lkebun campuran 37.798 Kebun campuran I I Perkebunan teh Sernak lbelukar Tanah terbuka Hutan Jumlah I I 576 5 8.630 ? 50.199 Tabel 9. Perkembangan Jumlah Penduduk di Daerah Penelitian Jumlah Penduduk (Jiwa) Tahun Propinsi Jawa Barat Kabupaten Bandung Kabupaten Sumedang Kabupaten Garut 1991 36.268.000 3.247.900 839.700 1.770.600 1992 37.026.400 3.285.500 845.900 1.788.CIOO 1993 37.791.ZOO 3.321.900 851.600 1.804.700 1994 38.561.700 3.356.800 856.900 1.820.600 1995 39.206.787 3.383.233 860.3 01 1.832.213 1996 Laju Petumbuhan Rata-rata (%/tahun) 40.1 17.500 3.529.584 883.950 1.887.102 Tabel 10. 2.57 1, I 1 0,67 f ,I2 Perkembangan Tingkat Kepadatan Penduduk Daerah Penelitian Kepadatan Penduduk (jiwalkm2) Tahun Propinsi Jawa Barat Kabupaten Bandung Kabupaten Surnedang Kabupaten Garut 1991 847 1.093 552 577 1992 864 1.106 556 583 1993 882 1.118 559 588 1994 900 1.I30 563 594 1995 915 1.139 565 597 1996 936 1.188 58 1 615