BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suatu lahan mangrove dapat dikategorikan sebagai lahan kritis, apabila lahan tersebut sudah tidak dapat berfungsi lagi, baik sebagai fungsi produksi, fungsi perlindungan maupun fungsi pelestarian alam. Salah satu modal dasar dalam pembangunan nasional yang memiliki peranan cukup penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah sumberdaya alam. Pengelolaan dan pemanfaatan yang baik terhadap sumberdaya alam di sauatu wilayah diharapkan mampu memberikan manfaat terhadap orang banyak. Pengelolaan yang baik tentunya memerlukan suatu perencanaan berjangka yang baik dan efektif. Di Indonesia kawasan yang belum banyak mendapatkan perhatian dalam eksplorasi sumberdaya alam adalah kawasan pantai. Kajian pada daerah ini perlu mendapatkan perhatian, karena sebagai Negara kepulauan, Indonesia memiliki garis pantai yang relatif panjang di dunia. Salah satu ekosistem pada kawasan pantai adalah hutan mangrove. Hutan mangrove adalah hutan yang terutama tumbuh pada tanah aluvial di daerah pantai berlumpur dan sekitar muara sungai dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan dicirikan oleh jenis pohon aveciennia, sonneratta, rhizopora, bruguera, lumnitztera, exoecaria dan nypa. Hutan mangrove memiliki banyak fungsi, tetapi fungsi utama dari hutan mangrove adalah sebagai mata rantai yang menghubungkan kehidupan ekosistem laut dengan ekosistem darat. 1 Secara umum manfaat yang diberikan hutan mangrove mancakup hal-hal sebagai berikut : 1. Kemampuannya sebagai sumber energi (kayu bakar, arang kayu). 2. Kemampuannya sebagai lahan sumber bahan mentah untuk pembuatan tanin (sarana industri kulit). 3. Kemampuannya sebagai tempat berkembang biak benih udang dan ikan untuk mengembangkan perikanan pantai. 4. Daya lindung atas dataran pantai terhadap abrasi laut dan sekaligus kemampuannya sebagai penahan sedimen untuk penambahan pantai secara alamiah. 5. Sebagai suaka alam atau cagar alam dan sekaligus sebagai sumber plasma nutfah. Sumber : Prihutama Dwi Novika, Rindra. 2005. Di pulau jawa hutan mangrove dewasa ini masih mengalami gangguan keamanan sehingga mengancam kelestariannya yang disebabkan oleh faktor kepadatan penduduk yang memerlukan daerah permukiman, pertanian, bahan bakar dan lapangan kerja. Selain itu ada dua faktor lain yang dapat mengancam kelestarian hutan mangrove antara lain; a. Pencemaran, khususnya oleh limbah pabrik. b. Sedimentasi, khususnya hutan mangrove yang dekat dengan muara sungai yang menghanyutkan bahan erosi. Dalam kedua hal ini, akar pohon yang pada umumnya berlentisel menjadi tertutup oleh minyak, lumpur atau pasir. Akibatnya permukaan akar tertutup 2 dengan sedimen, maka pernafasan system akar terhalang, sehingga pohon akan mati. Sedimentasi membawa akibat peninggian dasar tanah. Di bagian belakang hutan mangrove menjadi keringn (tanah timbul) sedangkan di bagian depan ia tumbuh ke arah laut. Keadaan ini yang menyebabkan area ini di eksploitasi oleh rakyat, digunakan untuk pengguanaan lahan tertentu. Namun keadaan ini tidak akan merubah luas area hutan mangrove. Sumber : LIPI (proyek lingkungan hidup), Balai Penelitian Hutan (1984). Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai di daerah tropis dan sub tropis (FAO, 2007). Data FAO (2007) luas hutan Mangrove di Indonesia pada tahun 2005 hanya mencapai 3,062,300 ha atau 19% dari luas hutan Mangrove di dunia dan yang terbesar di dunia melebihi Australia (10%) dan Brazil (7%). Data Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) RI (2008) berdasarkan Direktoral Jenderal Rehabilitasi lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS), Dephut (2000) luas potensial hutan mangrove Indonesia adalah 9.204.840.32 ha dengan luasan yang berkondisi baik 2.548.209,42 ha, kondisi rusak sedang 4.510.456,61 ha dan kondisi rusak 2.146.174,29 ha. Berdasarkan data tahun 2006 pada 15 provinsi yang bersumber dari BPDAS, Ditjen RLPS, Dephut luas hutan mangrove mencapai 4.390.756,46 ha. Di Asia sendiri luasan hutan mangrove indonesia berjumlah sekitar 49% dari luas total hutan mangrove di Asia yang dikuti oleh Malaysia (10% ) dan Mnyanmar (9%). Akan tetapi 3 diperkirakan luas hutan manrove diindonesia telah berkurang sekitar 120.000 ha dari tahun 1980 sampai 2005 karena alasan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan pertanian (FAO, 2007). Gambar 1. Presentase hutan mangrove di dunia Sumber : FAO (2007) Menurut Keputusan Direktur Jendral Kehutanan No. 60/kpts/DJ/1/1978 tentang Pedoman Silvikultur Hutan Mangrove, yang dimaksud dengan hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Darsidi, 1984). Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung (Nontji, 1987; Nybakken, 1992). Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi 4 mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Restorasi mangrove mendapat perhatian luas mengingat tingginya nilai sosial-ekonomi dan ekologi ekosistem ini. Restorasi dapat menaikkan nilai sumber daya hayati mangrove, memberi mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, produksi perikanan, dan lain-lain (Setyawan, 2002). Suatu lahan mangrove dapat dikategorikan sebagai lahan kritis, apabila lahan tersebut sudah tidak dapat berfungsi lagi, baik sebagai fungsi produksi, fungsi perlindungan maupun fungsi pelestarian alam. Tekanan yang berlebihan terhadap berbagai kawasan hutan mangrove untuk kepentingan tanpa mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian alam telah mengakibatkan terjadinya penurunan luas hutan mangrove yang cukup drastis. Kerusakan hutan mangrove umumnya disebabkan oleh faktor alam dan faktor buatan. Faktor buatan antara lain; pembukaan tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran lingkungan, reklamasi dan sedimentasi, pertambangan, dan faktor alam seperti badai/tsunami, dan lain-lain. Fungsi dan manfaat mangrove telah banyak diketahui, baik sebagai tempat pemijahan ikan di perairan, pelindung daratan dari abrasi oleh ombak, pelindung daratan dari tiupan angin, penyaring intrusi air laut ke daratan dan kandungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan, tempat singgah migrasi burung, dan sebagai habitat satwa liar serta manfaat langsung lainnya bagi manusia. Mangrove juga memiliki fungsi ekologis sebagai habitat berbagai jenis satwa liar. Keanekaragaman fauna di hutan mangrove cukup tinggi, secara garis besar dapat dibagi dua kelompok, yaitu fauna akuatik 5 seperti ikan, udang, kerang, dan lainnya serta kelompok terestrial seperti insekta, reptilia, amphibia, mamalia, dan burung (Nirarita et al.,1996). Hutan mangrove mampu mengikat sedimen yang terlarut dari sungai dan memperkecil erosi atau abrasi pantai. Sumber : www.irwantoshut.com 1.2 Permasalahan Seiring berkembangnya zaman kita dapat mengetahui area/ luasan persebaran mangrove dengan menggunakan teknik penginderaan jauh. Hal ini sangat membantu dalam menyelesaikan berbagai masalah lingkungan dan pengembangan wilayah, terutama bila dikaitkan dengan pengumpulan datadata spasial yang relatif efisien, fleksibel dan ekonomis. Perolehan data luas dan persebaran hutan mangrove dapat diketahui dengan mendeteksi dan menganalisis dengan menggunakan pendekatan tertentu. Permasalahan dalam penelitian ini dapat diwujudkan dalam beberapa pertanyaan: 1. Sejauh mana citra satelit Landsat dapat digunakan untuk pemetaan kelas kerapatan mangrove? 2. Sejauh mana teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi dapat digunakan untuk penelitian kelas kerapatan mangrove? Penelitian ini dilaksanakan di sebagian daerah pesisir Pohuwato Provinsi Gorontalo. Alasan mendasar adalah tempat ini merupakan daerah pesisir yang cocok sebagai ekosistem mangrove dan merupakan daerah yang cukup rawan 6 terkena abrasi pantai yang terletak di wilayah pantai utara. Yang menjadi sorotan terpenting adalah daerah ini termasuk dalam kategori wilayah pesisir hutan mangrove yang buruk. Berdasarkan analisis di atas, maka penulis mengambil judul “Identifikasi Mangrove Melalui Teknik Analisis Visual Citra Landsat 7 ETM+ Sebagian Daerah Pesisir Pohuwato Provinsi Gorontalo”. 1.3 Tujuan Memetakan kerapatan mangrove melalui teknik analisis visual citra dengan metode transformasi indeks vegetasi. 1.4 Manfaat 1.4.1 Ilmiah Diharapkan laporan ini dapat memberikan sumbangan teknis dalam hal perolehan informasi mangrove pada sebagian kecil wilayah di Indonesia menggunakan citra Landsat dari sudut pandang geomorfologis. 1.3.2 Praktis Sebagai bahan monitoring mangrove sebagian daerah Pohuwato Sulawesi Utara. 1.5 Tinjauan Pustaka 1.5.1 Penginderaan Jauh A. Pengertian Penginderaan Jauh Penginderaan jauh menurut Lillesand dan Kiefer (1990) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek daerah dan gejala dengan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat dan tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah atau gejala yang dikaji. Dalam beberapa 7 tahun terakhir, penggunaan teknologi satelit atau sensor elektronik dan teknologi komputer untuk mendapatkan informasi keruangan suatu daerah semakin berkembang. Teknik interpretasi citra penginderaan jauh mengalami perkembangan kearah penggunaan teknik interpretasi secara digital, meskipun tidak meninggalkan teknik interpretasi secara manual yang telah banyak digunakan dan terbukti bermanfaat dengan akurasi tinggi. Butler et al (1988) menyatakan bahwa terdapat empat komponen yang sangat penting dalam sistem penginderaan jauh yaitu: 1. Matahari sebagai sumber energi yang berupa radiasi elektromagnetik (REM). Radiasi elektromagnetik ini merupakan suatu bentuk energi yang hanya dapat diobservasi melelui interaksinya dengan suatu obyek (Butler et al, 1988). 2. Atmosfer merupakan media lintasan dari radiasi elektromagnetik, karena semua energi yang diditeksi dengan sistem penginderaan jauh tentu melalui atmosfer dengan jarak atau panjang alur tertentu. 3. Sensor yaitu alat yang dipantulkan atau dipancarkan dari suatu obyek dan kemudian mengubahnya dalam bentuk sinyal yang dapat direkam dan ditampilkan sebagai citra atau data numerik. 4. Target atau obyek yaitu fenomena yang terditeksi oleh sensor. Sumber tenaga dalam penginderaan jauh ada 2, sumber tenaga alamiah dan sumber tenaga buatan. Dalam penginderaan jauh matahari merupakan sumber tenaga alamiah. Jumlah tenaga matahari yang mencapai bumi dipengaruhi oleh waktu (jam, musim), kondisi cuaca dan lokasi. Untuk waktu 8 dan letak yang sama, jumlah sinar matahari yang mencapai kebumi berbedabeda, tergantung dengan kondisi cuacanya. Semakin banyak penutupan oleh kabut, asap, dan awan, maka akan semakin sedikit tenaga yang dapat mencapai bumi. Jumlah tenaga yang mencapai bumi dapat disajikan dalam bentuk formula E = f(w.l.c). Tenaga alami yang diterima oleh sensor dapat berupa tenaga pantulan maupun tenaga pancaran yang berasal dari obyek di permukaan bumi. Jumlah tenaga yang diterima oleh sensor tergantung pada jumlah tenaga awal dan karakteristik obyeknya. Bagi tenaga pantulan, jumlah tenaga yang diterima oleh sensor sebesar pantulan n (%) dikalikan tenaga yang mengenai obyeknya. Bila tenaga yang mengenai obyek sebesar 100 unit daya pantul obyek sebesar 30%, maka jumlah tenaga yang dapat mencapai sensor sebesar 30 unit. Bagi tenaga pancaran jumlah tenaga yang mencapai sensor tergantung atas suhu dan daya pancar obyek. Semakin banyak tenaga yang diterima oleh sensor maka semakin cerah wujud obyek pada citra. Hal ini dapat diformulasikan dengan er = f(E.p). Gambar 1.2. Sistem Penginderaan Jauh 9 Pengaruh atmosfer dalam penginderaan jauh adalah fungsi dari panjang gelombangnya. Bagian spektrum elektromagnetik yang dapat mencapai bumi disebut jendela atmosfer, sedangakan kendala yang disebabkan oleh hamburan spektrum tampak disebut hambatan atmosfer, dan ini biasanya terjadi pada spektrum inframerah termal. Karakteristik panjang gelombang. Tabel 1. Kerakteristik panjang gelombang Spektrum saluran Panjang gelombang ( μm ) Gamma 3 x - 3 x 10 X 3 x - 0,01 Ultraviolet ( UV ) 0,01 – 0,4 UV fotografik / dekat 0,3 - 0,4 Tampak 0,4 – 0,7 Biru 0,4 – 0,5 Hijau 0,5 – 0,6 Merah 0,6 – 0,7 Infra Merah 0,7 – 1,00 IM fotografik dekat 0,7 – 1,2 IM sedang 1,5 – 5,5 IM jauh 5,5 – 1.00 Gelombang Mikro 1.000 - 10 10 Bentuk interaksi elektromagnetik dengan atmosfer adalah : 1. Pemancaran atau hamburan (scattering) yang terjadi terhadap radiasi elektromagnetik pada panjang gelombang sinar tampak sehingga terjadi kehilangan informasi detail. 2. Absorbsi, yaitu proses dimana energi radiasi gelombang diserap oleh partikel atmosfer. Radiasi elektromagnetik yang mengenai obyek atau sasaran akan berinteraksi dengan obyek dalam tiga bentuk : 1. Refleksi yang terdiri dari : a. Refleksi spekuler yaitu proeses dimana radiasi elektromagnetik dipantulkan ke satu arah dengan sudut refleksi sama dengan sudut datang. b. Refleksi hambur (diffuse) yaitu proses dimana radiasi elektromagnetik yang tiba dirfelksikan secara menghambur (diffuse) yakni dihamburkan kesegala arah. 2. Absorbsi yaitu proses dimana energi elektromagnetik diserap oleh materi di dalam air yang tidak meneruskannya (transmisi). 3. Transmisi yaitu proses dimana elektromagnetik akan diteruskan ke dalam kolam air dan akan memberikan informasi tentang lapisan kolam air tersebut. Transmisi ini hanya terbatas pada sensor tampak dan terutama pada sinar biru dan hijau. 11 B. Data Masukan Penginderaan Jauh Dalam penginderaan jauh didapat dari masukan data atau hasil observasi yang disebut citra. Citra dapat diartikan sebagai gambaran yang tampak dari suatu objek yang sedang diamati, sebagai hasil liputan atau rekaman suatu alat pemantau. Sebagai contoh, memotret bunga di taman. Foto bunga yang berhasil kita buat itu merupakan citra bunga tersebut. Menurut Simonett (1983): bahwa citra sebagai gambaran rekaman suatu objek (biasanya berupa suatu gambaran pada foto) yang didapat dengan cara optik, elektro optik, optik mekanik atau elektronik. Di dalam bahasa Inggris terdapat dua istilah yang berarti citra dalam bahasa Indonesia, yaitu “image” dan “imagery”, akan tetapi istilah imagery dirasa lebih tepat penggunaannya (Susanto, 1986). Agar dapat dimanfaatkan maka citra tersebut harus diinterpretasikan atau diterjemahkan / ditafsirkan terlebih dahulu. Interpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut (Estes dan Simonett, 1975). Singkatnya interpretasi citra merupakan suatu proses pengenalan objek yang berupa gambar (citra) untuk digunakan dalam disiplin ilmu tertentu seperti Geologi, Geografi, Ekologi, Geodesi dan disiplin ilmu lainnya. Dalam menginterpretasikan citra dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu: • Deteksi ialah pengenalan objek yang mempunyai karakteristik tertentu oleh sensor. • Identifikasi ialah mencirikan objek dengan menggunakan data rujukan. • Analisis ialah mengumpulkan keterangan lebih lanjut secara terinci. 12 C. Alat Penginderaan Jauh Alat sensor dalam penginderaan jauh dapat menerima informasi dalam berbagai bentuk antara lain sinar atau cahaya, gelombang bunyi dan daya elektromagnetik. Alat sensor digunakan untuk melacak, mendeteksi, dan merekam suatu objek dalam daerah jangkauan tertentu. Tiap sensor memiliki kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik. Kemampuan sensor untuk merekam gambar terkecil disebut resolusi spasial. Semakin kecil objek yang dapat direkam oleh sensor semakin baik sensor dan semakin baik resolusi spasial pada citra. Berdasarkan proses perekamannya sensor dapat dibedakan atas : 1. Sensor Fotografi Proses perekamannya berlangsung seperti pada kamera foto biasa, atau yang kita kenal yaitu melalui proses kimiawi. Tenaga elektromagnetik yang diterima kemudian direkam pada emulsi film dan setelah diproses akan menghasilkan foto. Ini berarti, di samping sebagai tenaga, film juga berfungsi sebagai perekam, yang hasil akhirnya berupa foto udara, jika perekamannya dilakukan dari udara, baik melalui pesawat udara atau wahana lainnya. Tapi jika perekamannya dilakukan dari antariksa maka hasil akhirnya disebut foto satelit atau foto orbital. Menurut Lillesand dan Kiefer, ada beberapa keuntungan menggunakan sensor fotografi, yaitu: a. Caranya sederhana seperti proses pemotretan biasa. b. Biayanya tidak terlalu mahal. 13 c. Resolusi spasialnya baik. 2. Sensor Elektronik Sensor elekronik berupa alat yang bekerja secara elektrik dengan pemrosesan menggunakan komputer. Hasil akhirnya berupa data visual atau data digital/numerik. Proses perekamannya untuk menghasilkan citra dilakukan dengan memotret data visual dari layar atau dengan menggunakan film perekam khusus. Hasil akhirnya berupa foto dengan film sebagai alat perekamannya dan tidak disebut foto udara tetapi citra, agar informasiinformasi dalam berbagai bentuk tadi dapat diterima oleh sensor, maka harus ada tenaga yang membawanya antara lain matahari. Informasi yang diterima oleh sensor dapat berupa: 1. Distribusi daya (force). 2. Distribusi gelombang bunyi. 3. Distribusi tenaga elektromagnetik. Informasi tersebut berupa data tentang objek yang diindera dan dikenali dari hasil rekaman berdasarkan karakteristiknya dalam bentuk cahaya, gelombang bunyi, dan tenaga elektromagnetik. Contoh: Salju dan batu kapur akan memantulkan sinar yang banyak (menyerap sinar sedikit) dan air akan memantulkan sinar sedikit (menyerap sinar banyak). Informasi tersebut merupakan hasil interaksi antara tenaga dan objek. Interaksi antara tenaga dan objek direkam oleh sensor, yang berupa alat-alat sebagai berikut: • Gravimeter: mengumpulkan data yang berupa variasi daya magnet. 14 • Magnetometer: mengumpulkan data yang berupa variasi daya magnet. • Sonar: mengumpulkan data tentang distribusi gelombang dalam air. • Mikrofon: mengumpulkan/menangkap gelombang bunyi di udara. • Kamera: mengumpulkan data variasi distribusi tenaga elektromagnetik yang berupa sinar. Seperti telah disebutkan bahwa salah satu tenaga yang dimanfaatkan dalam penginderaan jauh antara lain berasal dari matahari dalam bentuk tenaga elektromagnetik. Matahari merupakan sumber utama tenaga elektromagnetik ini. Di samping matahari sebagai sumber tenaga alamiah, ada juga sumber tenaga lain, yakni sumber tenaga buatan. 1.5.2 Citra Landsat ETM+ Teknologi penginderaan jauh satelit dipelopori oleh NASA Amerika Serikat dengan diluncurkannya satelit sumberdaya alam yang pertama, yang disebut ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite) pada tanggal 23 Juli 1972, menyusul ERTS-2 pada tahun 1975, satelit ini membawa sensor RBV (Retore Beam Vidcin) dan MSS (Multi Spectral Scanner) yang mempunyai resolusi spasial 80 x 80 m. Satelit ERTS-1, ERTS-2 yang kemudian setelah diluncurkan berganti nama menjadi Landsat 1, Landsat 2, diteruskan dengan seri-seri berikutnya, yaitu Landsat 3, 4, 5, 6 dan terakhir adalah Landsat 7 yang diorbitkan bulan Maret 1998, merupakan bentuk baru dari Landsat 6 yang gagal mengorbit. 15 Tabel 1.2 Spesifikasi Citra Landsat 7 ETM+ Landsat 5, diluncurkan pada 1 Maret 1984, sekarang ini masih beroperasi pada orbit polar, membawa sensor TM (Thematic Mapper), yang mempunyai resolusi spasial 30 x 30 m pada band 1, 2, 3, 4, 5 dan 7. Sensor Thematic Mapper mengamati obyek-obyek di permukaan bumi dalam 7 band spektral, yaitu band 1, 2 dan 3 adalah sinar tampak (visible), band 4, 5 dan 7 adalah infra merah dekat, infra merah menengah, dan band 6 adalah infra merah termal yang mempunyai resolusi spasial 120 x 120 m. Luas liputan satuan citra adalah 175 x 185 km pada permukaan bumi. Landsat 5 mempunyai kemampuan untuk meliput daerah yang sama pada permukaan bumi pada setiap 16 hari, pada ketinggian orbit 705 km (Sitanggang, 1999 dalam Ratnasari, 2000). Kemampuan spektral dari Landsat-TM, ditunjukkkan pada Tabel diatas. Program Landsat merupakan program tertua dalam observasi bumi. Landsat dimulai tahun 1972 dengan satelit Landsat-1 yang membawa sensor MSS multispektral. Setelah tahun 1982, Thematic Mapper TM ditempatkan pada 16 sensor MSS. MSS dan TM merupakan whiskbroom scanners. Pada April 1999 Landsat-7 diluncurkan dengan membawa ETM+ scanner. Saat ini, hanya Landsat-5 dan 7 sedang beroperasi. Sistem Landsat merupakan milik Amerika Serikat yang mempunyai tiga instrument pencitraan, yaitu RBV (Return Beam Vidicon), MSS (multispectral Scanner) dan TM (Thematic Mapper). RBV Merupakan instrumen semacam televisi yang mengambil citra snapshot dari permukaan bumi sepanjang track lapangan satelit pada setiap selangwaktu tertentu. MSS Merupakan suatu alat scanning mekanik yang merekam data dengan caramen-scanning permukaan bumi dalam jalur atau baris tertentu TM Merupakan alat scanning spektral,spasial dan radiometrik, mekanis yang mempunyai resolusi terdapat banyak aplikasi dari data Landsat TM: pemetaan penutupan lahan, pemetaan penggunaan lahan, pemetaan tanah, pemetaan geologi, pemetaan suhu permukaan laut dan lain-lain. Sumber :www.Karakteristik citra Landsat 7 ETM + 1.5.3 Ekologi Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan 17 yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000). Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000). Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan mangrove untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup 18 dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000). Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah. 2.3.1 Karakteristik Hutan mangrove : Jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang tinggi. Frekuensi genangan menentukan komposisi jenis vegetasi hutan mangrove. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat. Air bersalinitas payau (2-22/mil) hingga asin (mencapai 38/mil) . 2.3.2 Zonasi Hutan Mangrove 19 Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia sp. Pada zona ini berasosiasi sonneratia sp. Yang didominan tumbuh pada lumpur dalam, yang kaya akan bahan organik. Lebih kearah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora sp. Di zona ini juga dapat dijumpai Bruguiera sp. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera s, Zona transisisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah bisa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa jenis palem lainnya. Gambar 1.3. Zonasi Hutan Mangrove Daya adaptasi mangrove terhadap lingkungan tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk : 1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas : 20 Bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus, dan Sonneratia spp) untuk mengambil oksigen dari udara, dan Bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp). 2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi : Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan. D. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen. 4. Zonasi Hutan Mangrove Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia : Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh 21 Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. Yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp dan Xylocarpus spp. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya. Sumber: http://www.irwantoshut.com Klasifikasi Hutan Mangrove Berdasarkan Geomorfologi : 1. Hutan mangrove pasang – surut (Overwash mangrove forest) Gambar 1.4. Hutan mangrove pasang - surut Mangrove merah merupakan jenis yang dominan di pulau ini yang sering dibanjiri dan dibilas oleh pasang, menghasilkan ekspor bahan organik dengan tingkat yang tinggi. Tinggi pohon maksimum adalah sekitar 7 meter. 2. Hutan mangrove disepanjang terusan sungai (Fringe mangrove forest) 22 Gambar 1.5. Hutan mangrove disepanjang terusan sungai Mangrove fringe ini ditemukan sepanjang terusan air, digambarkan sepanjang garis pantai yang tingginya lebih dari rata-rata pasang naik. Ketinggian mangrove maksimum adalah sekitar 10 meter 3. Hutan mangrove pesisir pantai (Riverine mangrove forest) Gambar 1.6. Hutan mangrove pesisir pantai Kelompok ini mungkin adalah hutan yang tinggi letaknya sepanjang daerah pasang surut sungai dan teluk, merupakan daerah pembilasan reguler. Ketiga jenis bakau, yaitu putih (Laguncularia racemosa), hitam (Avicennia germinans) dan mangrove merah (Rhizophora mangle) adalah terdapat di dalamnya. Tingginya rata-rata dapat mencapai 18-20 meter. 23 4. Hutan mangrove daerah rawa (Basin mangrove forest) Gambar 1.7. Hutan mangrove daerah rawa Kelompok ini biasanya adalah jenis yang kerdil terletak di bagian dalam rawa Karena tekanan runoff terestrial yang menyebabkan terbentuknya cekungan atau terusan ke arah pantai. Bakau merah terdapat dimana ada pasang surut yang membilas tetapi ke arah yang lebih dekat pulau, mangrove putih dan hitam lebih mendominasi. Pohon dapat mencapai tinggi 15 meter. 5. Hutan pohon tidur (Hammock forest) Gambar 1.8. Hutan pohon tidur Biasanya serupa dengan tipe (4) di atas tetapi mereka ditemukan pada lokasi sedikit lebih tinggi dari area yang melingkupi. Semua jenis ada tetapi tingginya jarang lebih dari 5 meter. 24 5. Hutan mangrove anak sungai (Scrub or dwarf forest) Gambar 1.9. Hutan mangrove anak sungai Jenis komunitas ini secara khas ditemukan di pinggiran yang rendah. Semua dari tiga jenis ditemukan tetapi jarang melebihi 1.5 m ( 4.9 kaki). Nutrient merupakan faktor pembatas. Sumber : http//www.acehpedia.com 25