Laporan Penelitian Laporan Kasus Tinjauan Pustaka

advertisement
Daftar Isi
Laporan Penelitian
Insidensi Hipoksemia dan Hipotensi pada Cedera Otak Traumatik di RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung Tahun 2015
Izhar Muhammad Arif, Hermin Aminah Usman, Dewi Yulianti Bisri ............................................
70–4
Efek Proteksi Otak Metamizol Intravena sebagai Farmakologik Hipotermi terhadap Suhu
Inti dan Kadar Interleukin-6 pada Pasien Cedera Kepala Berat
Muchammad Erias, Ruli Herman, Tatang Bisri ........................................................................
75–84
Laporan Kasus
Peranan Index of Consciousness (IoC) dalam Tatalaksana Total Intravenous Anesthesia
pada Operasi Mikrovaskular Dekompresi
Fitri Sepviyanti Sumardi, Iwan Fuadi, Sri Rahardjo, Tatang Bisri .................................................
85–92
Penatalaksanaan Anestesi pada Reseksi Tumor Batang Otak
Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan, Dewi Yulianti Bisri, Siti Chasnak Saleh, Himendra Wargahadibrata
93–100
Tight Brain pada Anestesi Awake Craniotomy dengan Dexmedetomidine
Riyadh Firdaus, Dewi Yulianti Bisri, Siti Chasnak Saleh, A. Himendra Wargahadibrata .....................
101–13
Tinjauan Pustaka
Tatalaksana Anestesi pada Bedah Minimal Invasif Deep Brain Stimulation (DBS)
Bona Akhmad Fithrah, Iwan Fuadi, Sri Rahardjo, Tatang Bisri ..........................................................
114–23
Transcranial Doppler Ultrasonography: Diagnosis dan Monitoring Non Invasif pada
Neuroanesthesia dan Neurointesive Care
Buyung Hartiyo Laksono ....................................................................................................................
124–31
Insidensi Hipoksemia dan Hipotensi pada Cedera Otak Traumatik di RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung Tahun 2015
Izhar Muhammad Arif*), Hermin Aminah Usman**), Dewi Yulianti Bisri***)
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, **)Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung,**)*Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran–Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung
*)
Abstrak
Latar Belakang dan Tujuan: Cedera otak traumatik (COT) merupakan kasus cedera dengan prevalensi
ketiga terbesar diantara cedera bagian tubuh lain (16,8%) di Indonesia. Hipotensi dan hipoksemia adalah
prediktor luaran COT yang dapat dikontrol. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui insidensi hipotensi
dan hipoksemia pada pasien COT., yang masuk di unit Gawat Darurat Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin.
Subjek dan Metode: Penelitian ini berupa deskriptif kuantitatif. Data diambil secara retrospektif dari rekam
medis pasien dengan diagnosis COT yang masuk ke Unit Gawat Darurat RSUP Dr. Hasan Sadikin periode
1 Januari 2015–31 Desember 2015. Sampel diambil secara total sampling, kemudian diklasifikasikan
berdasarkan usia, jenis kelamin, etiologi cedera, tingkat COT, saturasi oksigen, dan tekanan darah pasien.
Hasil: Didapatkan 669 sampel penelitian. Rata-rata umur sampel adalah 29 tahun dengan jumlah terbanyak
di kelompok umur 15–24 tahun (30,3%). Kejadian pada laki-laki (71,2%) lebih tinggi dibandingkan
perempuan (28,8%). COT paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalulintas (KLL) (68,9%). Terdapat
78 (11,7%) kasus COT berat. Pasien COT yang mengalami hipotensi dan hipoksemia sebanyak 50 orang
(7,5%), dan angka kejadian hipotensi dan hipoksemia paling tinggi terdapat pada pasien COT berat (66%).
Simpulan: Proporsi kejadian hipoksemia dan hipotensi paling banyak terjadi pada COT berat dengan etiologi KLL.
Kata kunci: insidensi, hipoksemia, hipotensi, cedera otak
JNI 2017;6 (2): 70‒74
Hypoxaemia and Hypotension Incidence of Traumatic Brain Injury in Dr. Hasan Sadikin
Hospital Bandung in 2015
Abstract
Background and Objectives: Traumatic brain injury (TBI) is a case with the third highest prevalence among other
injuries (16,8%) in Indonesia. Hypotension and hypoxaemia are TBI outcome predictors which can be controlled.
This research aims to find out the incidence of hypotension and hypoxaemia in TBI patients.
Subjects and Method: This descriptive quantitative research collected the data retrospectively from the medical
record of COT patients who were admitted to Emergency Room (ER) Dr. Hasan Sadikin Public General Hospital
in 1 January – 31 December 2015. Samples were collected with total sampling technique, and classified based on
age, gender, etiology, TBI severity level, oxygen saturation, and blood pressure of the patients.
Results: 669 samples were collected. Age average of the samples was 29 years with the highest age group frequency
being 15-24 years (30,3%). There were more male patients (71,2%) compared to the female ones (28,8%). The
most common cause of TBI was traffic accidents (68,9%). There were 78 (11,7%) severe TBI cases. There were
50 (7,5%) TBI patients with hypoxaemia and hypotension, and the most hypotension and hypoxaemia cases were
in severe TBI patients (66%).
Conclusion: The proportion of hypoxaemia and hypotension incidence was the highest in severe TBI patients due
to traffic accidents.
Key words: incidence, hypoxaemia, hypotension, head injury
JNI 2017;6 (2): 70‒74
70
Insidensi Hipoksemia dan Hipotensi pada Cedera Otak
Traumatik di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2015
I. Pendahuluan
Hipoksemia adalah keadaan kadar oksigen di
dalam darah di bawah batas normal.1 Hipotensi
adalah rendahnya tekanan darah. Pada pasien yang
dirawat di intensive care unit (ICU), durasi dari
hipotensi berpengaruh terhadap memburuknya
luaran neurologis dan meningkatnya angka
kematian.2 Cedera otak traumatik (COT) adalah
kerusakan nondegeneratif dan nonkongenital
pada otak akibat gaya mekanik dari luar.3
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
2013, di Jawa Barat, COT adalah salah satu kasus
yang paling sering muncul, menempati peringkat
ketiga setelah cedera pada anggota gerak bawah
dan anggota gerak atas.4 Proporsi dan prevalensi
COT juga mengalami peningkatan dari proporsi
14,9% dan prevalensi 7,5% pada tahun 2007 naik
menjadi proporsi 15,8% dan prevalensi 8,2%
pada tahun 2013.4 Traumatic Coma Data Bank
(TCDB) menyimpulkan bahwa hipotensi dan
hipoksemia merupakan 2 dari 5 prediktor luaran
yang paling kuat dan yang paling dapat dikontrol.1
Hipoksemia dan hipotensi dapat berperan
signifikan dalam keselamatan pasien, terutama
pasien COT berat. Di Indonesia, khusunya di
RSUP Dr. Hasan Sadikin, belum tersedia data
mengenai insidensi hipoksemia dan hipotensi
pada COT. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui insidensi hipotensi dan hipoksemia
pada pasien COT.
II. Subjek dan Metode
Penelitian ini menggunakan studi desain
deskriptif kuantitatif. Subjek penelitian adalah
seluruh pasien COT yang masuk ke Unit Gawat
Darurat RSUP Dr. Hasan Sadikin dengan kriteria
inklusi berupa rentang perawatan antara 1
Januari – 31 Desember 2015 dan kriteria eksklusi
berupa pasien yang tidak memiliki data yang
lengkap. Pengambilan sampel pada penelitian ini
menggunakan metode total sampling.
Data diambil secara retrospektif dari rekam
medis dengan terlebih dahulu membuat surat
etik dan surat izin penelitian. Analisis dilakukan
secara deskriptif dengan menghitung jumlah
dan persentase serta tabulasi silang. Variabel
71
pada penelitian ini adalah usia, jenis kelamin,
etiologi cedera, tingkat COT, saturasi oksigen,
dan tekanan darah pasien. Etiologi cedera
dikelompokkan menjadi kecelakaan lalulintas
(KLL), kecelakaan kerja, kecelakaan domestik,
dan lain-lain. Kecelakaan lalu-lintas adalah
kejadian di mana sebuah kendaraan bermotor
tabrakan dengan benda lain dan menyebabkan
kerusakan. Kecelakaan kerja adalah kecelakaan
yang ada hubungannya dengan kerja, dimana
kecelakaan terjadi karena pekerjaan atau pada
waktu melaksanakan pekerjaan. Kecelakaan
domestik adalah kecelakaan yang terjadi di
dalam atau sekitar rumah. Etiologi cedera selain
yang disebutkan diatas atau tidak diketahui
masuk ke dalam kategori lain-lain. COT
dikelompokkan menjadi ringan, sedang, dan
berat. Pengelompokkan COT berdasarkan pada
Glasgow Coma Scale (GCS) yang tertera pada
rekam medis pasien. COT dianggap ringan jika
skor GCS 13–15, sedang jika skor GCS 9–12, dan
berat jika skor GCS 3–8. Pasien diklasifikasikan
hipoksemia jika saturasi oksigennya kurang
dari 90%. Pasien diklasifikasikan hipotensi jika
tekanan darah sistoliknya kurang dari 90 mmHg.
II. Hasil
Jumlah sampel yang didapatkan pada penelitian
ini adalah 669 sampel dengan rincian COT ringan
sebanyak 546 kasus, COT sedang sebanyak 45
kasus, dan COT berat sebanyak 78 kasus. (Tabel 1).
Karakteristik pasien cedera otak diperoleh dari
hasil penelitian bahwa rata-rata usia pasien adalah
29 tahun dengan kelompok usia terbanyak pada
usia 15-44 tahun sebesar 59,3% (397 pasien).
Angka kejadian COT pada laki-laki (71,2%)
lebih banyak dibandingkan perempuan (28,8%).
Pada variabel yang diteliti, KLL (68,9%) adalah
etiologi COT yang paling banyak ditemukan
di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. COT
ringan ditemukan memiliki angka kejadian
tertinggi dibandingkan COT sedang dan berat
dengan jumlah 546 kasus (81,6%). Hanya ada 2
(0,3%) pasien yang mengalami hipoksemia dan
10 (1,5%) pasien yang mengalami hipotensi,
tetapi pasien yang mengalami hipoksemia
dan hipotensi secara bersamaan berjumlah 50
orang atau 7,5% dari keseluruhan sampel. Dari
72
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Tabel 1. Karakteristik Pasien Cedera Otak Traumatik di RSUP Dr. Hasan Sadikin
Variabel
Usia
Kategori
0-4 tahun
5-14 tahun
15-24 tahun
25-44 tahun
45-64 tahun
> 65 tahun
f (%)
20 (3,0%)
79 (11,8%)
203 (30,3%)
194 (29,0%)
143 (21,4%)
30 (4,5%)
Jenis kelamin
Laki-laki
476 (71,2%)
Perempuan
193 (28,8%)
Etiologi
KLL
Kecelakaan kerja
Kecelakaan domestik
Lain-lain
461 (68,9%)
109 (16,3%)
87 (13,0%)
12 (1,8%)
Cedera otak traumatik
Ringan
Sedang
Berat
546 (81,6%)
45 (6,7%)
78 (11,7%)
Hipoksemia
Ya
Tidak
2 (0,3%)
667 (99,7%)
Hipotensi
Ya
Tidak
10 (1,5%)
659 (98,5%)
Hipoksemia dan hipotensi Ya
Tidak
50 (7,5%)
619 (92,5%)
Tabel 2. Insidensi Hipoksemia dan Hipotensi pada Cedera Otak Traumatik
Diagnosa
Hipoksemia
Hipotensi
+
+
-
Hipotensi dan +
hipoksemia
-
Ringan
0 (0%)
546 (100%)
6 (1,1%)
540 (98,9%)
Cedera Otak Traumatik
Sedang
Berat
1 (2,2%)
1 (1,3%)
44 (97,8%)
77 (98,7%)
3 (6,7%)
1 (1,3%)
42 (93,3%)
77 (98,7%)
6 (12%)
540 (87,2%)
11 (22%)
34 (5,5%)
33 (66%)
45 (7,3%)
Total
2 (0,3%)
667 (99,3%)
10 (1,5%)
659 (98,5%)
50 (7,5%)
619
(92,5%)
Insidensi Hipoksemia dan Hipotensi pada Cedera Otak Trumatik
di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2015
Tabel 2 di atas, diketahui bahwa angka kejadian
hipoksemia paling tinggi ada pada pasien COT
sedang (2,2%). Angka kejadian hipotensi juga
paling tinggi ditemukan pada pasien COT sedang
(6,7%). Insidensi pasien dengan hipotensi dan
hipoksemia secara bersamaan paling banyak
ditemukan pada pasien COT berat (66%).
III. Pembahasan
Cedera otak merupakan trauma yang dapat
mengenai berbagai komponen otak mulai
dari bagian terluar hingga terdalam, termasuk
tengkorak dan otak, seperti kontusio atau memar
otak, edema otak, perdarahan atau laserasi,
dengan derajat yang bervariasi tergantung pada
luas daerah trauma.5,6 Berdasarkan data dari
tabel diatas, didapatkan data bahwa kejadian
COT di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
paling banyak terjadi di interval usia 15–44
tahun dengan rata-rata usia 29. COT juga lebih
banyak ditemukan pada laki-laki dengan 476
kasus (71,2%) dibandingkan perempuan dengan
193 kasus (28,8%). Hasil serupa juga ditemukan
di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta pada
tahun 2011 yang menyebutkan bahwa laki-laki
mengalami COT 2 sampai 3 kali lebih sering
daripada perempuan.7 Tingginya angka kejadian
pada interval usia dewasa muda dan laki-laki
disebabkan oleh tingginya mobilisasi lakilaki dan kelompok usia tersebut. Berdasarkan
penelitian di Inggris, angka kejadian COT
mencapai 1 juta kasus dengan jumlah kejadian
tertinggi pada kelompok usia 15–24 tahun.8
Begitu juga dengan penelitian di Amerika
Serikat yang menyebutkan bahwa kelompok
usia remaja, dewasa, dan laki-laki memiliki
kencenderungan yang tinggi mengalami COT.9
Berdasarkan data dari tabel 4.1, kejadian COT
paling banyak disebabkan oleh KLL dengan
461 kasus (68,9%). Dengan kata lain proporsi
akibat KLL dibandingkan etiologi lain melebihi
rasio 2:1. Hal ini kemungkinan disebabkan
oleh minimnya kesadaran masyarakat Bandung
untuk menggunakan pengaman kepala atau
helm dengan baik dan benar, tidak lengkapnya
perlengkapan kendaraan sesuai standar nasional
dan kurang patuhnya pengendara terhadap ramburambu lalulintas. Centers for Disease Control and
73
Prevention mengidentifikasi penyebab utama
COT antara lain: jatuh, KLL, kejadian yang
berhubungan dengan tabrakan, dan serangan
kekerasan.10 Total kejadian COT di RSUP Dr.
Hasan Sadikin di tahun 2015 sebanyak 669 kasus
dengan kejadian COT ringan sebanyak 546 kasus
(81,6%), COT sedang sebanyak 45 kasus (6,7%),
dan COT berat sebanyak 78 kasus (11,7%).
Dengan demikian COT masih merupakan masalah
yang cukup signifikan di Indonesia, khususnya di
Jawa Barat.7 Dari tabel diatas juga didapatkan
bahwa adanya perbedaan yang signifikan antara
jumlah pasien yang mengalami hipoksemia (2
kasus), pasien yang mengalami hipotensi (10
kasus), dan pasien yang mengalami hipoksemia
dan hipotensi (50 kasus). Dari sini diduga bahwa
hipotensi dan hipoksemia memiliki hubungan
sebab-akibat dalam terjadinya cedera otak
traumatik. Insidensi hipotensi dan hipoksemia
paling tinggi ditemukan pada pasien dengan
COT berat, yang kemungkinan disebabkan oleh
berbanding lurusnya penurunan kemampuan
sirkulasi darah dengan beratnya COT. Hipoksemia
meningkatkan kerentanan terhadap hipotensi
dengan meningkatan sensitivitas baroreseptor
kardiovaskuler.8
Rendahnya angka kejadian hipoksemia dan
hipotensi (7,5%) pada pasien COT menandakan
bahwa hipoksemia dan hipotensi kemungkinan
terjadi bukan karena akibat langsung dari COT,
tetapi karena COT dapat menyebabkan gangguan
aliran darah di otak melalui gaya eksternal.11
Pada penelitian ini diduga bahwa semakin
berat COT maka semakin tinggi kecenderungan
untuk hipotensi dan hipoksemia. Ini ditandai
dengan tingginya angka kejadian hipoksemia
dan hipotensi pada pasien COT berat (66%)
dibandingkan COT sedang dan COT ringan.12
Keterbatasan penelitian ini diantaranya adalah
ketidaklengkapan data di rekam medis RSUP Dr.
Hasan Sadikin, khususnya tentang pemeriksaan
saturasi oksigen untuk status hipoksemia karena
tidak semua pasien dilakukan pemeriksaan
tersebut, serta pengarsipan data-data penting
pasien yang kurang baik juga dirasa merupakan
keterbatasan dari penelitian ini.
74
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
IV. Simpulan
Dari penelitian ini didapatkan bahwa insidensi
hipoksemia lebih banyak terjadi pada pasien
dengan COT berat, demikian pula insidensi
hipotensi lebih banyak terjadi pada pasien
dengan COT berat, dan insidensi hipoksemia
serta hipotensi lebih banyak terjadi pada pasien
dengan COT berat dibandingkan dengan COT
sedang dan ringan.
Saran
Saran untuk penelitian ini adalah sebaiknya dalam
rekam medis tersimpan seluruh pemeriksaan
yang dilakukan pada pasien agar memudahkan
dokter dalam menegakkan diagnosis. Sistem
pencatatan rekam medis pasien RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung menggunakan sistem
International Classification of Diseases (ICD)
yaitu pengelompokan diagnosa penyakit sesuai
standar internasional, ICD yang digunakan di
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung adalah ICD-10.
Kekurangan ICD-10 adalah tidak spesifik dalam
pengelompokan diagnosa cedera otak. Bagian
laboratorium pun sebaiknya memiliki cadangan
hasil pemeriksaan pasien yang disimpan menjadi
arsip jika terjadi hal yang tidak diinginkan.
Riset Kesehatan Dasar 2013. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia [Online
Journal] 2013 [diunduh 15 Mei 2016]
Tersedia dari: http://www.depkes.go.id
5. Dinsomore J, Hall G. Neuroanaesthesia.
2002; 79-86.
6. Prabhu A, Matta BF. Anaesthesia for
extracranial surgery in patient with traumatic
brain injury. Br J Anaesth. 2004; 4(5): 156-9.
7. Soertidewi L. Penatalaksanaan Kedaruratan
Cedera Kranioserebral. Continuing Medical
Education. 2012; 39(5): 327-31
8. Van Dijk GW. Head injury. Pract Neurol.
2011;11(1):50–5.
9. Faul M, Xu L, Wald MM, Coronado
VG. Traumatic brain injury in the United
States: emergency department visits,
hospitalizations, and deaths. Centers Dis
Control Prev Natl Cent Inj Prev Control.
2010;891–904.
Daftar Pustaka
10. Fox WC, Watson R, Lockette W. Acute
Hypoxemia
Increases
Cardiovascular
Baroreceptor Sensitivity in Humans. Am J
Hypertens. 2006;19(9):958–63.
1. Haddad S, Arabi Y. Critical care management
of severe traumatic brain injury in adults.
Scand Trauma Resusc Emerg Med.
2012;20(1):12.
11. Busl KM, Greer DM. Hypoxic-ischemic brain
injury: Pathophysiology, neuropathology and
mechanisms. NeuroRehabilitation. 2010:
5–13.
2. Cottrell J, Young W. Care of the acutely
unstable patient. Dalam: Rozet I, Domino K,
editors. Cottrell and Young's neuroanesthesia.
Philadelphia: Mosby, Elsevier; 2010. 166.
12. Stassen W, Welzel T. The prevalence of
hypotension and hypoxaemia in blunt
traumatic brain injury in the prehospital
setting of Johannesburg, South Africa: A
retrospective chart review. South African
Med J. 2014;104(6):424–7.
3. Maas AIR, Stocchetti N, Bullock R. Moderate
and severe traumatic brain injury in adults.
Lancet Neurol. 2008;7(8):728–41.
4. Artikel Jurnal dalam Format Elektronik
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia. Penyajian Pokok-Pokok Hasil
Efek Proteksi Otak Metamizol Intravena Sebagai Farmakologik Hipotermi Terhadap
Suhu Inti Dan Kadar Interleukin-6 Pada Pasien Cedera Kepala Berat
Muchammad Erias, Ruli Herman, Tatang Bisri
Departemen Anestesiologi dan Terapi intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ Rumah Sakit Dr.Hasan Sadikin Bandung
Abstrak
LatarBelakang danTujuan: Cedera kepala berat merupakan salah satu penyebab mortalitas dan morbiditas bagi pasien
pasca trauma. Sirkulasi sitokin interleukin-6 (IL-6) pada cedera kepala berat dan proteksi otak dalam pengaturan suhu
berhubungan dengan hasil luaran berupa morbiditas dan mortalitas.Tujuan dari penelitian ini mengkaji efek proteksi otak
metamizol intravena sebagai farmakologik hipotermi terhadap suhu inti dan kadar interleukin pada cedera otak traumatik.
Subjek dan Metode: Penelitian merupakan penelitian tersamar acak ganda yang dilakukan pada 30
pasien dewasa dengan cedera kepala berat yang dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok
kontrol dan kelompok metamizol (M). Kelompok M diberikan metamizol intravena 15 mg/kgbb setiap 8
jam selama 72 jam. Data yang dicatat adalah suhu membran timpani setiap 8 jam dan kadar IL-6 setiap
24 jam selama 72 jam. Penelitian dilakukan selama bulan Juli sampai Agustus 2016 dan hasil penelitian
diuji statistik menggunakan uji t berpasangan, uji Mann-Whitney, Uji Chi-square dan uji Fisher's Exact.
Hasil: Penelitian menunjukkan bahwa nilai IL-6 pada kelompok M 244,20±93,07, lebih rendah dari
kelompok K 375,20±152,62 dengan nilai p=0,006 pada jam ke-48 dan pada jam ke-72 dengan kadar IL-6
197,20±76,03 dan nilai p=0,008 sehingga bermakna secara statistik (p<0,05). Subjek pada kelompok M juga
menunjukkan suhu tubuh yang lebih rendah secara keseluruhan dan bermakna secara statistik (p<0,01).
Simpulan: Metamizole mempunyai efek proteksi otak dan mempunyai kegunaan sebagai farmakologik hipotermi
pada cedera kepala traumatik.
Kata kunci: cedera kepala berat, hipotermi, interleukin-6, metamizol
JNI 2017;6 (2): 75‒84
Effect Brain Protection Metamizol Intravenous as Pharmacalogic Hypothermia to Core
Temperature and Interleukin-6 Level in Severe Traumatic Brain Injury
Abstract
Background and Objective: Severe traumatic brain injury (TBI) is one of the major cause of morbidity and
mortality in trauma. Circulating interleukin-6 (IL-6) and neuroprotection from temperature has a strong relation
with improve outcome. The aim of this study is to evaluate the brain protection properties of intravenous
metamizole as a hypothermic pharmacologic in reducting IL-6 and core temperature regulation on severe TBI.
Subject and Method: This is a randomized controlled trial to 30 adult pasien with severe TBI which was distributed
into two groups which was control group (K) and metamizole group(M). The M grup was given 15 mg/kgbw of
intravenous metamizole every 8 hours for 72 hours. Core temperature from the tympnic membrane every 8 hours
and IL-6 every 24 hours was noted for 72 hours. This studi was conducted from July to August 2016 and the data
was then analyzed statistically using the paire t test, Mann-Whitney test, Chi-Square test and Fishers’s Exact test.
Result: Shows that IL-6 on the M group was 244.20±93.07 which was lower than the K group at
375.20±152.62 with p=0.006 on the 48th hour and on the 72nd hour with IL-6 at 197.20±76.03 with p=0.008
which is statistically significant (p<0.005) and also shows lower temperature at every recording with p<0.01.
Conclusion: Metamizole has brain protecting properties in reducing circulating IL-6 and has uses as a hypothermic
agent in severe TBI.
Key words: hypothermia, interleukin-6, metamizole, severe head injury
JNI 2017;6 (2): 75‒84
75
76
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
I. Pendahuluan
Cedera kepala yang disebabkan oleh trauma
merupakan salah satu penyebab utama kematian
serta kecacatan pada dewasa muda. Diperkirakan
terdapat 10.000.000 orang diseluruh dunia
mengalami cedera kepala berat setiap tahun.1
Cedera kepala merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas pada individu di
bawah usia 45 tahun di seluruh dunia.2 Percobaan
dan analisa klinis dari cedera biomekanik
dan kerusakan jaringan telah memperluas
pengetahuan tentang patofisiologi yang berpotensi
berfungsi sebagai dasar untuk menentukan
strategi pengobatan yang baru. Angka kematian
akibat cedera kepala menurun seiring dengan
perkembangan manajemen dan terapi.3
Pada cedera kepala didapatkan cedera otak
fokal atau difus, kerusakan sawar darah otak,
iskemia dan reperfusi, cedera difus aksonal
dan perkembangan perdarahan mikro di otak,
hematoma intrakranial, atau daerah kontusio.4
Cedera kepala primer adalah cedera kepala
yang terjadi karena pengaruh gaya mekanik
secara langsung pada saat terjadi trauma. Cedera
kepala primer dapat diikuti dengan cedera kepala
sekunder yang sudah terjadi proses perubahan
biokimia yang dapat menyebabkan peningkatan
kematian sel (apoptosis) dan luaran neurologis
yang buruk.2 Beberapa efek fisiologis sistemik
dapat terjadi sebagai akibat dari cedera otak
primer sehingga dapat menyebabkan perburukan
dari cedera saraf. Efek-efek ini termasuk
hipoksia, hipotensi, hipertensi, hiperkarbi,
anemia, hipoglikemia, gangguan elektrolit dan
hipertermia/demam.5
Beberapa penelitian yang dilakukan pada pasien
cedera kepala berat, menunjukkan suhu otak ratarata yang lebih tinggi, yaitu meningkat sebesar
1˚C dari suhu rektal rata-rata di hari pertama
pascatrauma. Perbedaan suhu ini diperburuk
ketika pasien mengalami demam. Penjelasan
dari fenomena ini adalah gangguan dari pusat
termoregulasi
hipotalamus.4
Hipertermia
tampaknya berkorelasi dengan luaran yang buruk
pada pasien cedara otak dan stroke, meskipun
hubungan langsung penyebab hipertermi masih
belum dapat dipastikan. Hipertermi disebabkan
oleh nekrosis jaringan atau oleh perubahan
mekanisme termoregulasi yang terjadi jika
lesi mengenai daerah anterior hipotalamus.6
Hipertermi sering berhubungan dengan infeksi,
reaksi obat atau defek pada sistem termoregulator.
Hipertermia dapat memperburuk cedera iskemik
neuronal sehingga menyebabkan cedera otak
sekunder.5 Prinsip utama pada penatalaksaan
pasien dengan cedera kepala adalah mengurangi
dan mencegah terjadinya cedera otak sekunder,
melakukan diagnosa definitif, dan strategi
manajemen. Intervensi medis baru dapat
dilakukan setelah penilaian awal pada pasien
dengan cedera otak traumatik dilakukan.6,7 Pada
tahap awal, dilakukan terlebih dahulu terapi
ekstrakranial, kemudian diikuti dengan terapi
pada intrakranial. Stabilisasi esktrakranial
meliputi perbaikan pada perfusi jaringan, koreksi
dari status hipovolemia, memperbaiki oksigenasi
sistemik dan ventilasi. Target dari stabilisasi
intrakranial adalah meningkatkan perfusi otak,
menurunkan tekanan tinggi intrakranial, dan
menurunkan laju metabolisme otak.7
Suhu tubuh harus dikendalikan pada semua
pasien, tetapi hal ini menjadi lebih khusus pada
pasien cedera kepala dan pasien pascabedah
saraf. Adanya peningkatan suhu dapat
meningkatkan laju metabolisme otak yang akan
menyebabkan ketidakseimbangan kebutuhan
dan pasokan oksigen ke otak. Hipertermia dapat
meningkatkan pemakaian adenosine triphospate
(ATP) dimana oksigen dan glukosa memegang
peranan penting dalam sintesanya, sehingga saat
terjadi periode total iskemik, otak hanya dapat
mentolerirnya dalam waktu sangat terbatas.
Perubahan suhu inti (core temperature) sebesar
1oC akan menyebabkan perubahan aliran darah
otak sebesar 5%, yang berakibat peningkatan
volume darah otak dan peningkatan tekanan
intrakranial.5
Hipotermia
ringan
(dengan
temperatur
inti menurun 1,5-3oC) telah menunjukkan
memberikan perlindungan pada otak melawan
iskemik yang ditunjukan pada penelitian hewan.
Efek perlindungan ini lebih besar dari yang
diharapkan dari penekanan metabolik itu sendiri
Efek Proteksi Otak Metamizol Intravena Sebagai Farmakologik
Hipotermi Terhadap Suhu Inti Dan Kadar Interleukin-6 Pada
Pasien Cedera Kepala Berat
dan mungkin terkait dengan penurunan pelepasan
neurotransmitter eksitatori dari sel yang iskemik.
Hipotermia dapat mencegah kerusakan sel
yang berakhir pada apoptosis sel dan mencegah
disfungsi mitokondria. Proses ini terjadi dalam
waktu 48 jam pertama, sehingga hipotermia dapat
berfungsi sebagai neuroprotektif bila dilakukan
sesegera mungkin setelah terjadi trauma kepala.8
Ada beberapa cara untuk menurunkan suhu
tubuh, yaitu dengan terapi farmakologik dan
non farmakologik. Terapi farmakologis meliputi
pemberian antipiretik seperti acetaminofen,
metamizol, ibuprofen, dan deksketoprofen
sedangkan terapi non farmakologis terbagi
menjadi dua cara yaitu dengan external cooling
dan intravascular cooling.9
Dipyrone atau yang dikenal dengan metamizol
merupakan analgesik dan antipiretik yang kuat.
Metabolit ini memang telah terbukti menghambat
enzim cyclooxygenase (COX) baik secara vitro
atau ex vivo. Metamizol menurunkan demam
yang diinduksi oleh interleukin-1b (IL-1b), yang
merupakan pirogen prostaglandin E2 (PGE2)
dependent. Obat ini juga menghambat demam dan
peningkatan kadar PGE2 di cairan serebro spinal
(Cerebro Spinal Fluid/CSF), dan menunjukkan
bahwa efek antipiretik dari metamizol terkait
dengan penghambatan sintesis PGE2.10
Suatu obat yang bisa bekerja pada sistem saraf
pusat harus dapat melewati sawar darah otak/Blood
Brain Barrier (BBB) dan atau melewati Blood
Cerebro Spinal Fluid Barrier (BCSFB), yang
distribusinya tergantung pada arah gradien antara
CSF dan cairan otak interstitial.10 Pada penelitian
pasien yang diberikan metamizol peroral terdapat
metabolit pada cairan serebro spinalnya, hal itu
membuktikan bahwa metamizol dapat melewati
sawar darah otak dan sawar darah serebro spinal.11
Penelitian lain menunjukkan bahwa metamizol
memiliki efek dalam mengurangi C-Reactive
Protein (CRP) dan IL-6. Mediator endogen
demam IL-6 dan interleukin-8 (IL-8) meningkat
pada pasien ketika demam mencapai 38,5oC.
Kadar IL-6 sirkulasi diketahui memiliki korelasi
yang tinggi terhadap perubahan suhu tubuh,
kadar IL-6 dan IL-8 cenderung menurun setelah
pemberian metamizol. Mekanisme penurunan
77
ini masih belum jelas karena prostaglandin E2
terlibat dalam demam yang disebabkan oleh IL-6
dan bukan oleh IL-8.12Tujuan penelitian ini untuk
menilai efek proteksi otak metamizol intravena
sebagai farmakologik hipotermi terhadap suhu
inti dan kadar IL-6 pada pasien cedera kepala
berat.
II. Subjek dan Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan melakukan uji acak
tersamar buta ganda (double blind randomized
controlled trial). Sebanyak 30 pasien cedera
kepala berat rentang usia 13-45 tahun yang datang
ke Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin (RSHS)
Bandung dimasukkan ke dalam kriteria inklusi.
Riwayat pemberian antipiretik, riwayat alergi
terhadap metamizol, pasien dengan gangguan
faktor pembekuan darah, riwayat gagal ginjal
serta pasien dengan multipel trauma merupakan
kriteria eksklusi pada penelitian ini. Penarikan
sampel dilakukan secara random sampling, yaitu
berdasarkan tabel bilangan acak yang terlebih
dahulu telah dibuat.
Pasien yang masuk kriteria inklusi, dilakukan
randomisasi dan keluarga pasien diberikan
penjelasan perihal penelitian, setelah disetujui
keluarga dan sebelum dilakukan pemberian
obat yang akan diteliti, dilakukan pengukuran
suhu di membran timpani dan diambil sampel
untuk pemeriksaan interleukin-6 awal dan waktu
ini disebut T0 dan IL-6 pada waktu masuk,
pengukuran suhu selanjutnya setiap 8 jam maka
disebut T1 kemudian T2 diperiksa selang 8 jam
dari T1 dan seterusnya hingga T9. Dilakukan
pencatatan data dasar berupa jenis kelamin,
berat badan, onset trauma dan jumlah leukosit.
Pada pasien kelompok M, pasien diberikan
metamizol 15mg/kgbb dan diencerkan menjadi
3 cc menggunakan larutan NaCl 0,9%. Preparasi
kemudian diberikan setiap 8 jam selama 72
jam. Untuk kelompok kontrol, subjek diberikan
NaCl 0,9% sebanyak 3 cc. Suhu semua subjek
diukur melalui membran timpani setiap 8 jam
selama 72 jam. Pengambilan darah sebanyak
3 ml untuk pemeriksaan IL-6 dilakukan pada
semua subjek setiap 24 jam sampai dengan hari
ketiga, Kemudian sampel darah dicatat sesuai
78
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
dengan identitas subjek dan dikirim ke Bagian
Laboratorium Patologi Klinik RS. Dr. Hasan
Sadikin Bandung. Untuk pemeriksaan kadar IL6, reagen kit yang dipergunakan adalah produk
R&D Sistem, Minneapolis, Amerika Serikat.
Istrumen laboratorium yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah Instrument Laboratorium
micro elisa reader (Washer). Darah sebanyak
3 ml yang dimasukan dalam tabung vakum
berisi heparin, biarkan 30–60 menit pada suhu
ruangan kemudian dipusingkan dengan sentrifus
3000 rpm selama 5 menit, plasma yang terpisah
dipindahkan ke eppendorf tube, kemudian
disimpan dalam suhu -20 oC. Plasma yang telah
dibekukan akan dicairkan kembali saat dilakukan
pemeriksaan kadar IL-6. Pemeriksaan tersebut
dengan menggunakan metode ELISA. Prinsip
pemeriksaan Enzyme-Linked Immunosorbent
Assay (ELISA) menggunakan teknik quantitative
sandwich immunoassay, hasil pencampuran
substrat dan enzim akan ditambah dengan larutan
asam sulfat yang menyebabkan terjadi perubahan
warna, yang diukur memakai spektrofotometri
dengan panjang gelombang 450+2 nm. Hasil
pemeriksaan ini merupakan angka optical density
yang akan diekstrapolasi pada grafik standar
untuk mendapatkan angka kadar IL-6 dalam
pg/ml. Pengamatan dilakukan oleh pembantu
peneliti yang sudah dijelaskan tentang prosedur
penelitian. Hasil pengamatan dicatat dalam
lembar pengamatan yang telah disiapkan.
Analisis statistik data hasil penelitian
menggunakan uji-t, chi kuadrat, dan MannWhitney dengan tingkat kepercayaan 95% dan
Tabel 1 Data Karakteristik Umum
Variabel
Usia (tahun)
Mean±Std
Median
Range (min-maks)
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Berat badan (kilogram)
Mean±Std
Median
Range (min-maks)
Waktu dari kecelakaan(jam)
Mean±Std
Median
Range (min-maks)
Leukosit( per mm3)
Mean±Std
Median
Range (min-maks)
Kelompok
M
N= 15
K
N= 15
Nilai p
0,567
24,33±9,43
24,00
14,00-42,00
25,73±9,742
22,00
15,00-43,00
12 (80,0%)
3 (20,0%)
12 (80,0%)
3 (20,0%)
1,000
0,724
59,40±9,97
56,00
45,00-80,00
58,13±9,47
56,00
43,00-78,00
0,470
15,86±3,94
16,00
8,00-20,00
14,93±2,96
15,00
10,00-20,00
0,237
14146,66±1437,19
14000,00
12000,00-16000,00
14946,66±2114.53
14500,00
12000,00-18700,00
Keterangan : Untuk data numerik nilai p dihitung berdasarkan uji t tidak berpasangan dan uji MannWhitney Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda * menunjukkan nilai p<0,05 artinya
signifkan atau bermakna secara statistik
Efek Proteksi Otak Metamizol Intravena Sebagai Farmakologik
Hipotermi Terhadap Suhu Inti Dan Kadar Interleukin-6 Pada
Pasien Cedera Kepala Berat
dianggap bermakna bila p<0,05. Data disajikan
dalam rata-rata (mean) dan dianalisis dengan
menggunakan program Statistical Product and
Service Solution (SPSS) 20 for windows.
III. Hasil Penelitian
Subjek dibagi secara acak terkontrol buta
ganda menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok
M (metamizol) dan kelompok K (NaCl 0,9%).
Setiap kelompok terdiri atas 15 subjek penelitian.
Karakterisitik umum subjek penelitian kedua
kelompok berdasarkan usia, jenis kelamin, berat
badan dan leukosit tidak berbeda bermakna
secara statistika ( p>0,05, Tabel 1). Perbandingan
kadar IL-6 diantara kelompok M dan kelompok
K pada saat masuk hingga 72 jam dapat dilihat
pada tabel 2. Pada tabel 3 memperlihatkan
perbandingan suhu inti awal pada Kelompok M
didapatkan rata-rata 38 oC dan pada kelompok
K sebesar 38 oC. Perbandingan antara kedua
kelompok memperlihatkan tidak ada perbedaan
bermakna secara statistik (p>0,05). Nilai ratarata suhu pada kelompok M hari pertama pada
T1, T2 dan T3 adalah 37,1oC, 36,4oC dan 37 oC.
Nilai rata-rata suhu pada kelompok K pad T1, T2
dan T3 adalah sama yaitu 38 oC. Analisa statistik
menunjukkan bahwa suhu inti terdapat perbedaan
yang bermakna antara kedua kelompok dengan
p<0,01. Pada tabel 4 didapatkan bahwa nilai ratarata suhu pada kelompok M hari kedua pada T4,
T5 dan T6 adalah 36,8 oC, 36,8 oC dan 37 oC. Nilai
rata-rata suhu pada kelompok K adalah 38 oC, 38
o
C dan 38,1 oC. Analisa statistik menunjukkan
bahwa suhu inti terdapat perbedaan yang
bermakna antara kedua kelompok dengan p<0,01.
Pada tabel 5 didapatkan bahwa nilai rata-rata suhu
pada kelompok M hari pertama pada T7, T8 dan
T9 adalah 36,4 oC, 36,5 oC dan 36.5 oC. Nilai ratarata suhu pada kelompok K adalah 38 oC, 37,7
o
C dan 37,6 oC. Analisa statistik menunjukkan
bahwa suhu inti terdapat perbedaan yang
Tabel 2 Perbandingan IL-6 Kedua Kelompok Perlakuan
Variabel
IL-6 masuk (pg/ml)
Mean±Std
Median
Range (min-maks)
IL-6 24 jam (pg/ml)
Mean±Std
Median
Range (min-maks)
IL-6 48 jam (pg/ml)
Mean±Std
Median
Range (min-maks)
IL-6 72 jam (pg/ml)
Mean±Std
Median
Range (min-maks)
M
N= 15
Kelompok
K
N= 15
Nilai p
0,935
395,06±154,65
346,00
221,00-747,00
382,13±156,71
354,000
187,00-765,00
0,083
287,82±137,90
289,00
0,32-567,00
386,33±161,08
354,000
186,00-777,00
0,006**
244,20±93,07
231,00
123,00-453,00
375,20±152,62
321,00
188,00-721,00
0,008**
197,20±76,03
178,00
70,00-323,00
79
278,46±80,64
243,00
187,00-412,00
Keterangan: Untuk data numerik maka nilai p dihitung berdasarkan uji t tidak berpasangan
dan uji Mann Whitney. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda * menunjukkan
nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik
80
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Tabel 3 Perbandingan Suhu Hari Pertama antara
Dua Kelompok
Variabel
M
N= 15
Kelompok
K
N= 15
Hari ke 1
T0 (˚C)
Mean±Std
37,96±0.512
Median
Range
(min-maks)
T1 (˚C)
Mean±Std
Median
Range
(min-maks)
T2 (˚C)
Mean±Std
Median
Range
(min-maks)
T3 (˚C)
Mean±Std
Median
Range
(min-maks)
38,00
38,00
37,10-39.00 37,50-38,40
Tabel 4 Perbandingan Suhu Hari Kedua antara
Kedua Kelompok
Nilai p
Variabel
0,787
Hari ke 2
T4 (˚C)
37,92±0,23
0,0001**
36,97±0.45 38,20±0,42
37,100
38,00
36,00-37,70 37,80-39,20
0,0001**
36,52±0,45 38,20±0,41
36,40
38,00
36,00-37,40 38,00-39,20
0,0001**
36,84±0.49 38,26±0,53
37.,0
38,00
36,00-37,50 37,70-39,40
M
N= 15
Kelompok
K
N= 15
Nilai p
0,0001**
Mean±Std
36,65±0,47
Median
Range
(min-maks)
T5 (˚C)
Mean±Std
Median
R a n g e
(min-maks)
T6 (˚C)
36,80
38,00
36,00-37,50 37,80-39,20
Mean±Std
Median
Range
(min-maks)
T3 (˚C)
Mean±Std
Median
Range
(min-maks)
36,98±0.46 38,32±0,56
37,00
38,10
36,00-37,50 37,50-39,20
38,18±0,42
0,0001**
36,72±0.52 38,12±0,45
36,80
38,00
36,00-37,50 37,80-39,20
0,0001**
0,0001**
36,84±0,49 38,26±0,53
37,00
38,00
36,00-37,50 37,70-39,40
Keterangan: Untuk data numeric Nilai p dihitung
berdasarkan uji T tidak berpasangan dan uji Mann
Whitney. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p < 0,05.
Tanda * menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan
atau bermakna secara statistic. T0:Pada awal masuk; T1:
8 jam; T2: 16 jam; T3: 24 jam dari masuk rumah sakit.
Keterangan: Untuk data numeric Nilai p dihitung
berdasarkan uji T tidak berpasangan dan uji Mann
Whitney. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p < 0,05.
Tanda * menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan
atau bermakna secara statistik. T4: 32 jam; T5: 40 jam;
T6: 48 jam dari masuk rumah sakit.
bermakna antara kedua kelompok dengan p<0,01
IV. Pembahasan
Serikat didapatkan bahwa usia mempunyai
peranan penting pada tingkat IL-6 dan demam
yang dapat terjadi pada pasien. Studi tersebut
menemukan bahwa pasien dengan usia diatas 70
tahun atau geriatri mempunyai tingkat IL 6 yang
lebih tinggi sampai tiga kali lipat dibandingkan
dengan pasien-pasien pada usia produktif
sehingga gambaran usia akan membedakan
tingkat IL 6 yang didapatkan. Pada penelitian
ini kedua kelompok mempunyai gambaran usia
yang secara statistik tidak berbeda sehingga dapat
dibandingkan.2,3,13,14
Hasil lain pada data demografik didapatkan
Sesuai dengan tabel 4.1 karakteristik pasien
yang diteliti pada penelitian ini mempunyai
usia rata-rata 24,33± 9,43 pada kelompok M dan
25.73±9,74 pada kelompok K dengan p>0,05.
Hasil ini sesuai dengan penelitian-penelitian
sebelumnya di Amerika Serikat dan Portugal
yang mendapatkan bahwa
pasien dengan
usia produktif antara 24–45 tahun merupakan
kelompok utama pada cedera kepala berat.
Sesuai dengan studi sebelumnya di Amerika
Efek Proteksi Otak Metamizol Intravena Sebagai Farmakologik
Hipotermi Terhadap Suhu Inti Dan Kadar Interleukin-6 Pada
Pasien Cedera Kepala Berat
Tabel 5 Perbandingan Suhu Hari Ketiga antara
Kedua Kelompok
M
N= 15
Kelompok
K
N= 15
Mean±Std
36,53±0,49
38,10±0,49
Median
R a n g e
(min-maks)
T8 (˚C)
Mean±Std
Median
R a n g e
(min-maks)
T9 (˚C)
36,40
38,00
36,00-37,50 37,50-39,20
Variabel
Hari ke 3
T7 (˚C)
Nilai p
0,0001**
0,0001**
36,56±0,47 37,68±0,20
36,50
37,70
36,00-37,50 37,10-38,00
0,0001**
36,62±0,53 37,70±0,20
Mean±Std
36,50
37,60
Median
R a n g e 36,00-37,50 37,30-38,10
(min-maks)
Keterangan: Untuk data numeric Nilai p dihitung berdasarkan
uji T tidak berpasangan dan uji Mann Whitney. Nilai
kemaknaan berdasarkan nilai p< 0,05. Tanda * menunjukkan
nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik.
T7: 56 jam; T8: 64 jam; T9: 72 jam dari masuk rumah sakit.
bahwa jenis kelamin pada kedua kelompok tidak
berbeda bermakna dengan p>0,05 meskipun
didapatkan baik kelompok K dan kelompok
M mempunyai jumlah subjek laki-laki yang
lebih besar. Penelitian-penelitian sebelumnya
tidak menemukan pengaruh jenis kelamin pada
regulasi suhu maupun IL 6. Subjek pada studi
ini mempunyai tingkat leukosit yang lebih
tinggi dibandingkan dengan populasi normal
yaitu pada median 1400/mm3 pada kelompok
M dan 14500 pada kelompok K. Hasil ini sesuai
dengan penelitian sebelumnya dimana pasienpasien dengan cedera kepala berat mempunyai
kecenderungan peningkatan leukosit sebagai
bagian dari kaskade stress dan mekanisme
pertahanan pada cedera.15
Data demografik yang perlu diperhatian adalah
rata-rata pasien masuk ke rumah sakit sejak
kecelakaan (time of admission) pada subjek
81
penelitian ini adalah 16 jam pada kelompok M dan
15 jam pada kelompok K. Perbandingan antara
kedua kelompok tidak bermakna namun waktu
rata-rata ini penting diperhatikan selanjutnya
pada evolusi IL 6 pada 24 jam, 48 jam dan 72
jam setelah trauma kepala terjadi. Gambaran IL
6 pada tabel 4.2 memberikan hasil kadar IL 6
tertinggi pada 24 jam penelitian dengan median
346 mikro/L pada kelompok M dan 382 mikro/L
pada kelompok K. Sesuai dengan penelitian
sebelumnya bahwa IL6 muncul pada fase awal
trauma dengan waktu rata-rata 1-4 jam pasca
cedera kepala dan akan menetap selama beberapa
hari. Angka rata-rata IL 6 pada penelitian ini
relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya yang mempunyai tingkat
IL 6 antara 500-600 mikro/L. Perbedaan ini
kemungkinan dikarenakan pada penelitianpenelitian sebelumnya penelitian dilakukan
pada pasien dengan trauma multipel sehingga
kerusakan jaringan lebih besar. Trauma besar
mengaktifkan beberapa perubahan neuroendokrin,
metabolik dan imunologis yang menyerupai
SIRS termasuk peningkatan IL 6 tinggi.2,6,10,16
Data pada tabel 4.2
menunjukkan bahwa
penurunan IL 6 bermakna secara pada jam ke 48
dan jam ke 72. Pada 24jam meskipun ditemukan
perbedaan namun perbedaan ini tidak bermakna
secara statistik. Hal ini dapat dijelaskan melalui
penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa
IL6 tertinggi beredar di dalam plasma sampai
48 jam paska trauma inisial. Penelitian lain
menggambarkan temuan yang mengaakan bahwa
korelasi morbiditas paling kuat ada pada 72 jam
paska trauma artinya pasien-pasien yang gagal
menurunkan IL6 pada 72 jam akan mengalami
mortalitas yang lebih tinggi. Temuan ini dapat
dijelaskan oleh patofisiologi aliran sitokin
pada trauma yang menyebankan gangguan
mikrovaskular dan gangguan organ membutuhkan
waktu untuk mengakibatkan gagal organ atau
MODS yang menjadi penyebab kematian.15,16,17
Hasil dari penelitian sebelumnya di Portugal
mengenai korelasi antara IL 6 dengan kematian
dan morbiditas pada trauma menemukan korelasi
yang kuat antara kematian dan tingkat IL 6
yang tetap tinggi pada 72 jam paska trauma.
Korelasi ini tidak ditemukan pada 24 jam dan 48
82
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
jam paska trauma sehingga hal ini menegaskan
pentingnya terapi awal pada dua hari pertama
trauma untuk memperbaiki hasil keluaran pasien.
Ada pula suau kemungkinan bahwa beredarnya
faktor-faktor pro dan anti inflamasi merupakan
suatu penentu atau setidaknya penanda dari
suatu gagal organ yang progresif. Studi yang
lain menunjukan korelasi yang lebih kuat dengan
morbiditas yang lebih berat dan kematian yang
lebih banyak bila dilakukan perbandingan antara
IL 6 dengan IL 10 pada 24 jam dengan 72 jam.
Studi lain menyimpulkan pemeriksaan sitokin ini
dapat dijadikan pemeriksaan tambahan secara
klinis untuk membantu stratifikasi prognosis
dan kemungkinan keberhasilan perawatan di unit
perawatan intensif.15,18
Data pada tabel 4.3 memperlihatkan adanya
peningkatan suhu rata-rata pada kedua kelompok
dengan median 38˚C pada kedua kelompok
sehingga tidak ada perbedaan bermakna secara
statistik. Hasil ini sesuai dengan penelitian
sebelumnya yaitu didapatkan hasil bawah pasienpasien dengan cedera kepala berat akan mengalami
kenaikan suhu pasca trauma. Kenaikan ini suhu
ini disebabkan beredarnya berbagai sitokin
pasca cedera kepala berat. Sitokin merupakan
mediator utama pada inisiasi respon inflamasi
dan metabolik terhadap cedera. Peningkatan
sitokin merupakan respon terhadap iskemia
cerebral. IL-6 telah terbukti sebagai mediator
utama yang dilepaskan pada cedera kepala berat.
Penelitian menunjukan bahwa pasien dengan
cedera kepala berat mempunyai IL-6 yang lebih
tinggi dan menetap tinggi dibandingkan pasienpasien dengan cedera kepala ringan. Sitokin yang
dilepaskan akan menstimulasi dihasilkannya
produksi radikal bebas dan asam arakhidonat
serta melakukan upregulation pada kenaikan
suhu serta molekul-molekul adhesi yang merusak
mikrosirkulasi.6,10,15,19
Peningkatan suhu pada pasien dengan cedera
kepala berat seperti yang didapatkan pada subjek
penelitian ini telah terbukti pada penelitian
lain menghasilkan peningkatan iskemia otak.
Peneltian pada otak binatang percobaan
menemukan bahwa setiap peningkatan dari suhu
sebanyak 10˚C dapat meningkatkan potensi
kebutuhan metabolik oksigen otak sebanyak
lebih dari 50% dan bila aliran darah otak tidak
dapat memenuhi kebutuhan oksigen ini maka
terjadi kerusakan iskemia otak. Penelitian lain
menunjukan bahwa temperatur yang cenderung
stabil ataupun penurunan dari suhu dapat
menciptakan kondisi optimal untuk perlindungan
otak dikarenakan adanya peningkatan influks
kalsium, perlindungan terhadap sawar darah otak
dan perlindungan terhadap lipid peroksidase.15, 19, 20
Data pada tabel 4.4 menunjukan bahwa kelompok
yang diberikan metamizol yaitu kelompok
M mempunyai perbedaan suhu yang sangat
bermakna dari kelompok K pada semua jam
pengambilan sampel baik pada 24 jam, 48 jam
maupun 72 jam paska trauma dengan p<0,01.
Temuan ini menunjukkan efektivitas pemberian
metamizole dalam mempertahankan suhu normal
pada pasien dengan cedera kepala berat. Pada
penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa
IL-6 merupakan sitokin yang paling berhubungan
dengan pengaturan suhu tubuh. Mekanisme
ini meskipun belum jelas namun sebuah studi
menghubungkan kemungkinan muncul akibat
prostaglandin E2 yang diinduksi oleh IL-6
dan penghambatan jalur ini oleh metamizol
memungkinkan terjadinya penurunan suhu dan
stabilitas suhu pasca cedera kepala berat.10,15,19
Keterbatasan pada penelitian ini adalah tidak
dilakukan pemeriksaan pembanding dengan
penanda lain seperti TNF α dan IL-10 sehingga
tidak dapat dilakukan perbandingan mendalam
mengenai penanda pada inflamasi secara sistemik.
Penelitian ini juga tidak mengamati pasien
sampai ke akhir masa perawatan untuk melihat
korelasi antara penurunan IL6 dan suhu pada
72 jam pertama dengan penurunan morbiditas
atau penurunan mortalitas pasien dengan
cedera kepala. Hasil dari studi sebelumnya
memperlihatkan bahwa pasien-pasien dengan
IL-6 yang tinggi pada 48 dan 72 jam pertama
kecelakaan mempunyai tingkat Acute Resiratory
Distress Syndrome (ARDS) dan Multiple Organ
dysfunction Syndrome (MODS) yang lebih tinggi
dan berkorelasi kuat dengan kematian. Penelitian
selanjutnya mengenai korelasi antara IL-6 dan
mortalitas pada pasien dengan cedera kepala
berat perlu dilakukan untuk memperlihatkan
pentingnya intervensi pada masa awal trauma
Efek Proteksi Otak Metamizol Intravena Sebagai Farmakologik
Hipotermi Terhadap Suhu Inti Dan Kadar Interleukin-6 Pada
Pasien Cedera Kepala Berat
dengan perjalanan penyakit.16
V. Simpulan
Simpulan penelitian ini adalah pemberian
metamizol intravena mempunyai efek proteksi
otak melalui farmakologik hipotermi terhadap
suhu inti dan melalui penurunan kadar IL 6 pada
pasien dengan cedera kepala berat. Dari hasil
penelitian dapat direkomendasikan pemberian
metamizole 15 mg/kgbb pada pasien dengan
cedera kepala berat dapat diberikan dari awal
kedatangan untuk memberikan perlindungan
pada otak terhadap kerusakan dari sirkulasi
sitokin dan sebagai obat farmakologik hipotermi
sehingga terjadi efek proteksi otak terhadap suhu.
Daftar Pustaka
1. Sydenham E, Roberts I, Alderson P.
Hypothermia for traumatic head injury. The
Cochrane Library. John Wiley and Sons.
2009;2:1-49.
2. Werner C, Engelhard K. Pathophysiology
of traumatic brain injury. Br J Anaesth.
2007;99:4–9.
3. Algattas H, Huang J. Traumatic brain injury
pathophysiology and treatments: early,
intermediate, and late phases post-injury. Int
J Mol Sci. 2014;15:309–41.
4. Mrozek S, Vardon F, T Geeraerts. Brain
temperature: physiology and pathophysiology
after brain injury. Anesthesiology Research
and Practice 2012;1:1–14.
5. Bell D, Adams J. The secondary management
of traumatic brain injury. Dalam: McKinlay
J, editor. Neurocritical Care. Edisi ke-1.
London: Springer;2010. hlm 19–30.
6. Thompson H, Kirkness C, Mitchell P. Intensive
care unit management of fever following
traumatic brain injury. Journal of Intensive
and Critical Care Nursing. 2007;23: 91–6.
7. Hashizume M, Mihara M. The role of
interleukin 6 in the pathogenesis of
83
rheumatoid arthritis. Hindawi Publishing
Corporation Arthritis. 2011;1:1–8.
8. Shaikh Z. Cytokines and their physiologic
and pharmacologic functions in inflamation.
Int J of Pharm & Life Sciences. 2011;11:
1247–63.
9. Clifton G, Miller E, Choi S, Levin H, McCaule
S, Smith K. Lack of effect of induction of
hypothermia after acute brain injury. N Engl
J Med..2001;8:556–63.
10. Malvar D, Soares D, Febricio A, Kanashiro
A, Machado R, Figueiredo M. The antipyretic
effect of dypyrone is unrelated to inhibition of
PGE2 synthesis in the hypothalamus. British
Journal of Pharmacology.2011;162:1401–09.
11. Cohen O, Zylber-Katz E, Caraco Y, Granit
L, Levy M. Cerebrospinal fluid and plasma
concentrations of dipyrone metabolites after
a single oral dose of dipyrone. Eur J Clin
Pharmacol.1998;7:549–53.
12. Gozzoli V, Treggiari M, Kleger G, Pasclae
R. Fathi M, Picards C, dkk. Randomized
trial of the effect of antipyresis by
metamizol, propacetamol or external
cooling on metabolism, hemodynamics
and inflammatory response. Intensive Care
Med.2004;30:401–7.
13. Woodcock T, Kossmann M. The role of markers
of inflammation in traumatic brain Injury.
Frontiers in Neurology.2013;4(18):1–18.
14. Gomes C. R., Karavitis J, Palmer J, Faincer
D, Ramirez L, Nomellini V. Interleukin-6
contributes to age-related alteration of
cytokine production by macrophage.
Hindawi Publishing Corporation Mediators
of Inflamation. 2010;10(7):1–8.
15. Polderman K, Herold I. Therapeutic
hypothermia and controlled normothermia
in the intensive care unit: practical
considerations, side effects, and cooling
methods. Crit Care Med.2009;39(3):1101–20.
84
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
16. Saosa A, Raposo F, Fonseca S. Valente L,
Duarte F, Goncalves M, dkk. Meansurement
of cytokines and adhesion molecules in the
first 72 hours after severe trauma: association
with severity and outcome.2015;25:1–8.
17. Erta M, Quintana A, Hidalgo J. Interleukin-6,
a major cytokine in the central nervous
system. Int J Biol Sci.2012;8(9):1254–66.
18. Smith W. Neurocritical care written
examinations and outlines. Neurocritical care
society.2011. www.neurocriticalcareorg.
19. Nikolova I, Tencheva J, Voikinov J, Petkova
V, Benasat N, Danchev N. Metamizole
a review profile of well known forgotten
drug part II pharmaceutical and non clinical
profile. Biotechnology & Biotechnological
Equipment. 2012;26:3329–37.
20. Antunes A, Sotomaior V, Sakamoto K,
Martins C, Aguiar L. Interleukin-6 plasmatic
levels in patients with head trauma and
intracerebral hemorrhage. Asian Journal of
Neurosurgery. 2010;5:68–77.
Peranan Index of Consciousness (IoC) dalam Tatalaksana Total Intravenous Anesthesia pada
Operasi Mikrovaskular Dekompresi
Fitri Sepviyanti Sumardi*), Iwan Fuadi**), Sri Rahardjo***), Tatang Bisri**)
Departement Anestesiologi dan Terapi Intensif, Rumah Sakit Proklamasi Regasdengklok, Karawang,**)
Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung, ***)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah MadaRSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
*)
Abstrak
Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnik operasi bedah saraf ini berbanding lurus dengan kemajuan keilmuan
anestesi. Tatalaksana anestesi sangat mempengaruhi kualitas hidup dan kesehatan pasien pascabedah. Seorang
laki-laki 58 tahun dengan diagnosis trigeminal neuralgia sinistra, berat badan 60 kg dan tinggi badan 165 cm.
Pasien mengeluh nyeri wajah sebelah kiri yang terkadang disertai nyeri kepala. Riwayat hipertensi dan penyakit
penyerta lain disangkal. Riwayat konsumsi obat-obatan seperti carbamazepine disangkal. Dilakukan induksi
anestesi umum dengan tehnik total intravenous anesthesia (TIVA) menggunakan teknik target controlled infuse
(TCI): propofol, dexmetomidine, fentanyl dan rocuronium, sebagai alat pantau/monitoring digunakan index of
consciousness (IoC), lama operasi 2 jam dan lama pasien teranestesi 2 jam 30 menit. Pascabedah pasien dirawat
di ICU selama 1 hari, lalu dipindahkan ke ruang rawat inap dan pulang ke rumah pada hari ke-6 perawatan.
Mikrovaskular dekompresi merupakan operasi bedah otak yang minimal invasif menuntut para ahli anestesi untuk
bertanggung jawab menyokong pascabedah yang lebih optimal, sehingga pasien cepat bangun dan penilaian
neurokognitif dilakukan sedini mungkin. Penggunaan IoC sebagai alat pantau pasien/monitoring selama diberikan
anestesi TIVA sangatlah berguna. Hal ini bertujuan untuk mencegah timbulnya pasien tetap sadar selama operasi
berlangsung, dengan melihat kedalaman anestesi yang diberikan, agar tidak terjadi kekurangan atau kelebihan
dosis obat-obatan anestesi yang diberikan.
Kata kunci: mikrovaskular dekompresi, TIVA, IoC
JNI 2017;6 (2): 85‒92
The role of index of consciousness (IoC) Total Intravenous Anesthesia Management for
Microvascular Decompression Surgery
Abstract
The development of science and engineering neurosurgical operation is directly proportional to the scientific
advancement of anesthesia. Management of anesthesia greatly affect quality of life and health of patients
postoperatively. A man 58 years old with a diagnosis of the left trigeminal neuralgia, weighing 60 kg and height
165 cm. Patients complain of pain left face is sometimes accompanied by headache. A history of hypertension and
other comorbidities denied. A history of consumption of drugs such as carbamazepine denied. Induction of general
anesthesia with TIVA technique using TCI: propofol, dexmetomidine, fentanyl and rocuronium, as a means of
monitoring / monitoring use IoC (index of consciousness), long operating time of 2 hours and anesthetized patients
2 hours 30 minutes. Postoperative patients admitted to the ICU for 1 day, and then transferred to the wards and
go home on the 6th day of treatment. Microvascular decompression is a brain surgery less invasive and requires
minimal bleeding anesthesiologists responsible for more optimal postoperative support, so patients quickly get
up and neurocognitive assessment done as early as possible. The use IoC as a tool to monitor patients during
anesthesia TIVA, it’s very useful. It aims to prevent the patient awareness during surgery, to see the depth of
anesthesia is given, in order to avoid under- or overdosing anesthesia agents.
Key words: microvascular decompression, TIVA, IoC
JNI 2017;6 (2): 85‒92
85
86
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
I. Pendahuluan
Trigeminal neuralgia adalah suatu kelainan
yang ditandai oleh serangan nyeri paroksismal
dan singkat, dimana mencakup satu atau lebih
cabang persarafan nervus trigeminus, biasanya
tanpa bukti penyakit organik.1 Penyakit ini
menyebabkan nyeri wajah yang berat. Penyakit
ini juga dikenal sebagai tic douloureux atau
penyakit Fothergill, neuralgia fothergill,
trifacial neuralgia.1 Sebuah literature tahun
1968 menyatakan bahwa prevalensi trigeminal
neuralgia mendekati 15,5 per 100.000 orang
di Amerika. Sumber lain menyatakan bahwa
inseden tahunannya adalah 4-5 per 100.000 orang,
dimana menandakan tingginya prevalensi. Di
beberapa daerah, penyakit ini jarang ditemukan.
Tidak ada penelitian statistik yang pasti mengenai
prevalensi dari trigeminal neuralgia.1,2
Etiologi pasti pada trigeminal neuralgia pun
belum diketahui secara pasti. Trigeminal
neuralgia lebih sering terjadi pada perempuan
dibandingkan laki-laki, tersering pada pasien
dengan hipertensi, serta pasien berusia >50 tahun.
Trigeminal neuralgia dapat diterapi dengan
obat-obatan dan operasi. Jika carbamazepine,
baclophen dan phenitoine tidak efektif dalam
terapi pengobatan, maka perlu dipertimbangkan
untuk dilakukan operasi. Pada pemeriksaan fisik
dan neurologis juga mungkin tidak ada gejala
yang jelas.1,2 Prinsip penting pada trigeminal
neuralgia adalah terjadinya penekanan di cabang
utama nervus trigeminal yang disebabkan
oleh tumor atau hal lain. Suatu penelitian pada
tahun 1934 menyatakan bahwa penyebab utama
disebabkan oleh kompresi pada arteri serebral di
anterior dan inferior, dan merupakan penelitian
terapi operasi bedah otak permulaan sebagai
terapi pada trigeminal neuralgia.3 Penelitian terapi
ini terus berkembang sampai pada tahun 1962,
operasi dengan menggunakan tehnik mikroskop
agar tidak lebih banyak terjadi kerusakan pada
saraf saat terjadi pembebasan/dekompresi. Pada
saat operasi, morbiditas dan mortalitas dapat
terjadi karena emboli udara, cedera pembuluh
darah otak dan infark. Masalah pada pascabedah
biasanya disebabkan karena terjadinya hematoma
di daerah operasi, kelainan pada nervus VII dan
VIII harus diobeservasi lebih lanjut.1-3
Perkembangan tehnik-tehnik operasi bedah
otak yang tidak invasif dan perdarahan minimal
menuntut para ahli anestesi untuk bertanggung
jawab menyokong pascabedah yang lebih optimal,
sehingga pasien cepat bangun dan penilaian
neurokognitif dilakukan sedini mungkin.4
Sejak tahun 2007, para ahli anestesi telah
banyak melakukan penelitian untuk menghadapi
permasalahan ini.5 Banyak terjadi perdebatan
tentang tehnik mana yang lebih baik untuk
menyokong operasi bedah otak seperti ini, karena
pengelolaan anestesi merupakan masalah krusial
untuk hal ini. Target utama dari ahli anestesi
adalah menjaga perfusi jaringan yang adekuat
menuju otak, untuk menyeimbangkan kebutuhan
metabolik agar ahli bedah saraf dapat melakukan
operasi dengan nyaman. Beberapa tehnik
dan obat-obatan anestesi dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial, merupakan
pilihan yang buruk dan menyebabkan hasil luaran
pasien yang buruk.4,5 Salah satu tehnik anestesi
yang popular saat ini adalah total intravenous
anesthesia (TIVA). Karena efek vasokontruksi
serebral dan penurunan metabolisme otak yang
menyebabkan otak menjadi "slack" sehingga
menyebabkan lapang operasi. Sejak pertama
kali obat yang dipakai untuk induksi anestesi
dengan tehnik ini adalah barbiturate (1921) dan
thiopental (1934), TIVA telah mengalami banyak
perkembangan sejak digunakannya tehnik ini
dalam anestesi umum, sekarang TIVA dilakukan
dengan target controlled infusion pump (TCI).6
Penelitian pertama TCI dilakukan tahun 1981
oleh Schwilden untuk mengetahui farmakokinetik
dari obat anestesi. Sejak saat itu, TCI dengan
system komputerisasi digunakan untuk menjaga
konsentrasi plasma yang diinginkan dari obat
anestesi yang dipakai.6 Saat ini, obat anestesi
tersering digunakan dalam TIVA adalah obat
hipnotis-sedatif (Propofol) yang dikombinasi
dengan opioid sebagai obat-obatan induksi dan
pemeliharaan selama anestesi.5-7 Kombinasi yang
dipakai adalah propofol dan remifentanil, karena
dianggap mempunyai kesamaan karakteristik
dengan obat-obatan anestesi inhalasi.5 Pada
laporan kasus ini, karena ketidaksediaannya
remifentanil, maka kombinasi obat anestesi yang
Peranan Index of Consciousness (IoC) dalam Tatalaksana Total Intravenous
Anesthesia pada Operasi Mikrovaskular Dekompresi
87
digunakan propofol, fentanyl dan dexmetomidine.
Penggunaan TIVA dengan TCI membutuhkan
monitoring kedalaman anestesi yang baik,
sehingga resiko terbangunnya pasien saat operasi
dapat dihindari.7 Peralatan yang biasa digunakan
untuk menentukan kedalaman anestesi, yaitu:
bispectral index (BIS), entropy, cerebral state
index (CSI) dan index of consciousness (IoC).7
Pada laporan kasus ini, kami menggunakan IoC,
karena IoC merupakan alat yang baru di RS ini
sehingga digunakan sebagai uji coba alat pada
kasus ini, sehingga kami hanya membahas tehnik
TIVA dengan TCI dan IoC sebagai alat pengukur
kedalaman anestesi.
II. Kasus
Gambar 1. Foto MRI kepala
Anamnesis
Seorang laki-laki 58 tahun dengan diagnosis
trigeminal neuralgia sinistra, berat badan 60
kg dan tinggi badan 165 cm, datang ke RS.
Sardjito Jogjakarta. Pasien mengeluh nyeri wajah
sebelah kiri yang terkadang disertai nyeri kepala.
Riwayat hipertensi dan penyakit penyerta lain
disangkal. Riwayat konsumsi obat-obatan seperti
carbamazepine disangkal, selain kadang bila
nyeri kepala hebat, pasien minum obat analgetik
yang diberikan dokter.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan pasien:
glassglow coma scale (GCS) 15, pupil bulat
isokor reflex cahaya +/+, tidak ada hemiparese
atau kelemahan anggota badan, tekanan darah
132/76 mmHg, laju nadi 70 x/menit, laju napas
12-16 x/menit. Pemeriksaan fisik lain dalam
batas normal.
Pemeriksaan laboratorium dan MRI
Pemeriksaan laboratorium darah menunjukkan
Hb 12,9 g/dL; Ht 37, 9 %; Leukosit 10510 /
µL; Trombosit 291 ribu/µL; BUN 12 mg/dL;
Kreatinin 0,93 mg/dL; GDS 191 mg/dL; Natrium
141 mmol/L; Kalium 3,45 mmol/L; Klorida
101 mmol/L; PT 11,1 detik; INR 0,76; APTT
31,9 detik. Pada pemeriksaan MRI: Pada daerah
periventrikuler kiri kornu anterior tampak lebih
hipodens. Tidak tampak edema lokal atau midline
shift.
Gambar 2. Monitor Index of Consciousness (IoC)
Gambar 3. Keadaan hemodinamik dan IoC selama
operasi
88
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Penatalaksanaan Anestesi
Pasien dibawa ke kamar operasi, pasien
diposisikan head up 300 dan diberi O2 3 L/
menit melalui nasal kanul, kemudian dipasang
tensimeter, chest piece EKG, pulse oxymetri
dan IoC. Dilakukan induksi anestesi umum
dengan tehnik TIVA menggunakan TCI: propofol
sampai target konsentrasi plasma 6 µ/mL,
dexmetomidine (precedex®) 0,7 µ/KgBB selama
15 menit. Fentanyl 100 µg dan rocuronium 50 mg
dibolus intravena.
IoC pasien sadar penuh (GCS 15) menunjukkan
94-98, kemudian saat IoC menunjukkan <
50 atau sekitar 40 dilakukan intubasi dengan
menggunakan pipa endotrakheal non-kinking
no 7,5 dengan kedalaman 20 cm. Untuk dosis
pemeliharaan selama operasi diberikan O2:Air
50:50, fentanyl 1–2 µg/KgBB/jam, propofol
dengan target konsentrasi plasma 3-4 µ/mL
tergantung dari IoC (IoC dipertahan antara 4050) dan dexmetomidine 0,2 µg/KgBB/jam.
Dexametason 10 mg dan granisetron 3 mg dibolus
intravena. Total cairan yang masuk gelofusal 500
cc dan ringerasering 1000 cc, perdarahan ± 300
cc, jumlah urin yang keluar 0,8 cc/KgBB/jam.
Lama operasi 2 jam dan lama pasien teranestesi
2 jam 30 menit. Tekanan darah selama operasi
95/64-138/91 mmHg dan laju nadi 58-93 x/menit.
Penatalaksanaan pascabedah di ICU
Pasien dipindahkan ke ruangan intensive care
unit (ICU) dengan menggunakan O2 10 L/menit
melalui simple mask non-rebreathing (SMRN),
setelah dilakukan ekstubasi di kamar operasi.
Skor GCS 14, tekanan darah 138/91 mmHg, laju
nadi 90 x/menit. Dexmedetomidine 0,2 µg/KgBB/
jam dilanjutkan sebagai analgetik dan sedasi.
Laboratorium pascabedah menunjukkan: 11 g/
dL; Ht 34 g/dL; Leukosit 7160 /µL; Trombosit
303 ribu/µL; SGOT 16 U/L; SGPT 18 U/L;
BUN 12,40 mg/dL; Kreatinin 0,95 mg/dL; GDS
107 mg/dL; Natrium 143 mmol/L; Kalium 4,30
mmol/L; Klorida 107 mmol/L. Pasien dirawat di
ICU selama 1 hari, untuk pemantauan masalah
sistemik dan intrakranial, lalu dipindahkan ke
ruang rawat inap dan pulang ke rumah pada hari
ke-6 perawatan.
III. Pembahasan
Mikrovaskular Dekompresi
MVD melalui terapi pembedahan dinilai
mempunyai banyak keuntungan, terutama bagi
pasien usia muda dan merupakan terapi alternatif
untuk pasien usia di atas 70 tahun.2 Komplikasi
yang mungkin terjadi pada operasi MVD meliputi:
kebocoran cairan serebropinal, kerusakan otak,
kehilangan pendengaran dan kelumpuhan wajah.
Kebocoran cairan serebrospinal setelah operasi
MVD berhubungan dengan infeksi intracranial,
seperti meningitis. Insidensi terjadinya hal ini
sekitar 0,9–12%.2
Trigemino-cardiac reflex (TCR) adalah salah satu
komplikasi terpenting yang terjadi selama pasien
teranestesi, hal ini terjadi karena stimulasi saraf
sensorik dari nervus trigeminal.2 Karateristik
terjadinya TCR adalah bradikardia, hipotensi
arteri, apnoe dan gastric hypermotility. Hal ini
ditandai dengan penurunan tekanan arteri rerata
(mean arterial pressure /MAP) dan laju nadi lebih
dari 20% dari nilai dasar sebelum dilakukan
stimulasi dan manipulasi pada nervus trigeminal.
Pada satu penelitian restrospektif dari 28 pasien,
angka kejadian TCR selama operasi MVD
adalah 18%. Laju nadi menurun 46% dan MAP
turun 57% saat dilakukannya manipulasi nervus
trigeminal selama operasi berlangsung. Setelah
manipulasi dihentikan atau selesai, maka laju
nadi dan MAP kembali ke keadaan semula.2
Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnik
operasi bedah saraf ini berbanding lurus dengan
kemajuan keilmuan anestesi. Hal ini menuntut
para ahli anestesi untuk ikut bertanggung jawab
memberikan hasil yang optimal pascabedah.4
Tatalaksana anestesi sangat mempengaruhi
kualitas hidup dan kesehatan pasien pascabedah.
Berdasarkan Deklarasi di Helsinki, yang
dipublikasikan oleh European Society of
Anesthesiology (ESA) tahun 2010 tentang
keselamatan pasien, maka sangatlah penting
bagi para ahli anestesi untuk meningkatkan
pengetahuan, sehingga dapat menurunkan
angka kejadian mortalitas dan morbiditas pasien
pascabedah.8
Peranan Index of Consciousness (IoC) dalam Tatalaksana Total Intravenous
Anesthesia pada Operasi Mikrovaskular Dekompresi
Target Controlled Infuse (TCI)
Saat ini, anestesi umum TIVA dengan sistem target
controlled infusion (TCI) semakin berkembang
untuk peningkatan kenyamanan operator selama
operasi dan pengontrolan dosis obat-obatan yang
digunakan dapat mencapai kedalaman anestesi
sesuai dalam tehnik tersebut. TCI adalah suatu
sistem infus dengan menggunakan komputer
dimana para ahli anestesi dapat mengatur jumlah
obat anestesi yang akan dimasukkan sesuai
dengan farmakokinetik dan famakodinamik obatobatan yang digunakan. Berbagai keuntungan
mengenai keakuratan TCI inilah yang dinyatakan
oleh para penemu alat ini dibandingkan dengan
manually controlled infusion (MCI).8
Beberapa konsep dasar kemudian diperkenalkan
seiring makin popularnya penggunaan TCI.
Berdasarkan teori trikompartemen, tubuh manusia
dapat dibagi menjadi 3 bagian dimana terjadi
perubahan pada obat-obatan yang dimasukkan.
Konsentrasi obat merupakan konsep paling
penting dalam TIVA.6 Rumus dari konsentrasi
adalah:
Konsentrasi= Dosis /Volume
Untuk lebih memahami hal ini, maka dapat
diilustrasikan sebagai sebuah gelas yang diisi
dengan garam. Ketika garam dilarutkan dalam
setengah gelas air, maka partikel garam yang
terkandung dalam air tersebut akan lebih banyak
dibandingkan dengan yang dilarutkan dalam
segelas penuh air. Jumlah partikel garam yang
terlarut menggambarkan konsentrasi obat,
sedangkan air digambarkan sebagai volume
dalam kompartemen tubuh. Sejak obat dibawa
oleh darah ke setiap bagian tubuh, maka akan
terjadi pengurangan konsentrasi obat tersebut.
Organ-organ utama yang mendapat sebagian
besar darah dari jantung, seperti otak, ginjal, hati,
jantung, paru-paru dan kelenjar-kelenjar endokrin
akan menjadi tempat pertama yang menerima
obat, lebih disebut sebagai kompartemen 1. Dari
organ-organ ini kemudian obat didistribusikan
ke otot-otot, disebut sebagai kompartemen 2.
Terakhir adalah jaringan lemak, disebut sebagai
kompartemen 3. Konsentrasi obat pada masingmasing kompartemen dapat berubah atau
tetap sama, sesuai dengan farmakokinetik dan
farmakodinamik obat tersebut.6
89
Ketika obat-obatan dimasukkan melalui infus
kontinu, maka konsentrasi obat dalam plasma
akan tetap sama, karena obat tersebut akan
dimetabolisme dan redistribusi pada waktu
yang bersamaan. Kekurangan dari tehnik ini
adalah para ahli anestesi harus lebih terbiasa
menggunakannya untuk mengetahui lebih
detail mengenai konsentrasi obat-obatan yang
digunakan, margin of error dari alat dan kualitas
obat yang digunakan.6
Propofol adalah obat anestesi yang sering
digunakan dalam anestesi umum TIVA, karena
mempunyai karakteristik mudah dititrasi,
mula kerja dan lama kerja cepat, mengurangi
angka kejadian mual/muntah serta agitasi
pascabedah.10 Kombinasi propofol dan fentanyl
memberikan kedalaman anestesi yang mudah
tercapai sesuai keinginan ahli anestesi, selain
itu dapat meningkatkan kualitas pascabedah
yang baik.11 Propofol menghasilkan penurunan
aliran darah otak (ADO) dan cerebral metabolic
rate for oxygen (CMRO2) tergantung dari dosis
yang digunakan, dengan penurunan minimum
CMRO2 40–60% dari nilai kontrol. Penurunan
aliran darah otak yang disebabkan oleh propofol
tampaknya tidak disebabkan oleh adanya efek
langsung terhadap pembuluh darah, tetapi oleh
penurunan laju metabolisme oksigen otak.
Meskipun pengaruhnya tergantung pada dosis,
tetapi tidak identik dengan penurunan terhadap
MAP dan tekanan intrakranial (intracranial
pressure/ICP). Reaktivitas terhadap CO2 tetap
dipertahankan. Hampir pada semua keadaan
propofol menyebabkan penurunan MAP sehingga
dapat menurunkan ICP.12 Propofol mendepresi
jantung lebih kuat daripada thiopental. Tekanan
darah menurun 15–30%, dapat disertai atau
tidak peningkatan laju nadi. Propofol lebih
efektif daripada thiopental dan etomidat dalam
mencegah respon hemodinamik pada saat
intubasi.13 Pemberian propofol dengan tehnik
TCI-IoC.
Fentanyl termasuk dalam golongan opioid, yang
dapat memberikan efek sedasi, analgesia dan
menyebabkan terjadinya penurunan pelepasan
neurotransmitter otak, sehingga autoregulasi,
reaktivitas terhadap CO2 dan hemodinamik tetap
90
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
stabil. ADO, CMRO2 dan ICP tidak berubah
atau sedikit menurun. Fentanyl mempunyai
efek 100 kali lebih kuat daripada morfin, tidak
menyebabkan pelepasan histamin, lama kerja
lebih singkat dan dapat menurunkan ICP, terjadi
penurunan volume otak saat mempertahankan
tekanan perfusi otak.14 Fentanyl diberikan
secara bolus dengan dosis 2 ug/kg berat badan
pada saat induksi anestesi. Dexmetomidime
termasuk golongan selective α2 agonist dengan
efek sedasi lebih kuat, tergantung dari jumlah
dosis yang dipakai, ansiolisis, analgesia serta
meyebabkan terjadinya penumpulan respon
simpatis akibat operasi dan stress respon lainnya,
karena penurunan pelepasan norepinefrin
plasma. Dexmetomidine juga memberi efek
neuroprotektif pada beberapa kasus iskemik otak,
diduga karena mempengaruhi kadar katekolamin
yang
berhubungan
dengan
peningkatan
kerusakan neuron iskemik.14 Hal terpenting yang
perlu diingat, dexmedetomidine mempunyai
efek seperti opioid dan tidak mempengaruhi
pernapasan secara signifikan.15 Dexmetomidine
diberikan secara kontinyu dengan syringe pump.
Index of consciousness (IoC)
IoC merupakan sebuah monitor yang
diperkenalkan oleh the Morpheus Medical
Company. IoC merekam electroencephalogram
(EEG) dengan 3 buah elektroda yang ditempelkan
pada dahi pasien. Parameter utama dari IoC adalah
metode dinamik simbolik, dimana membagi EEG
Gambar 4: Kriteria Penilaian BIS16
menjadi jumlah terbatas dari partisi dan menandai
setiap simbol partisi. Simbol-simbol alternatif ini
menggambarkan EEG yang dinamik. Dinamik
simbol mendeteksi bagian komplek non-linear
dari EEG, hal ini dihubungkan dengan kedalaman
anestesi. Monitor IoC tidak berhubungan secara
langsung dengan parameter β-ratio dan EEG
burst suppression ratio (BSR). Seluruh parameter
dikombinasi melalui pengaturan fuzzy logic set
menjadi satu index.16 Pada dasarnya kriteria
penilaian pada IoC sama dengan BIS, yaitu:
80-100: pasien sadar penuh; 60-80: pasien di
bawah pengaruh sedasi; 40-60: pasien di bawah
pengaruh anestesi dalam; ≤40: pasien di bawah
pengaruh anestesi terlalu dalam (overdosis obatobatan anestesi).16 Secara kriteria penilaian
terdapat kesamaan antara IoC dan BIS, tetapi ada
perbedaan antara keduanya. Tingkat kedalaman
anestesi dapat terjadi saat susunan saraf pusat
(SSP) terdepresi oleh obat-obatan anestesi, hal ini
tergantung dari potensiasi dan konsentrasi obatobatan yang dimasukkan.17 Arthur Ernest Guedel
(1937) menggambarkan klasifikasi kedalaman
anestesi yang menggunakan obat anestesi
inhalasi diethyl ether secara detail. Tanda-tanda
kedalaman anestesi berdasarkan klasifikasi
Guedel ini meliputi: reflex bulu mata, laju napas,
gerakan bola mata, ukuran pupil dan gerakan
otot.17 Kejadian yang tidak diinginkan selama
operasi berlangsung adalah pasien tetap sadar
(awareness) di bawah pengaruh anestesi umum.
Hal ini bisa terjadi dalam beberapa hal, pasien
tidak dapat berkomunikasi dengan yang lain.17
Pasien tetap sadar (awareness) selama anestesi
dapat terjadi secara tersurat (explicit) atau tersirat
(implicit). Pasien tetap sadar tersurat melibatkan
semua ingatan, berbicara selama operasi dan
mungkin dapat mengakibatkan hasil luaran
secara signifikan, berupa komplikasi fisik. Pasien
tetap sadar secara tersirat terjadi dimana pasien
tidak berbicara, tetapi mempengaruhi tingkah
lakunya yang mungkin terjadi karena penerimaan
informasi di bawah pengaruh anestesi.17 Angka
kejadian pasien tetap sadar secara tersurat selama
operasi sangat bervariasi antara 0,2%–2%.17
Pada kegagalan dalam menentukan kedalaman
anestesi dapat terjadi karena penilaian subjektif
dari ahli anestesi dalam memberikan obat-obatan
anestesi dan derajat nyeri selama operasi. Hal ini
Peranan Index of Consciousness (IoC) dalam Tatalaksana Total Intravenous
Anesthesia pada Operasi Mikrovaskular Dekompresi
91
Tabel Perbandingan antara BIS dan IoC
BIS
Ya
Burst suppression analysis
Metode pengelolaan data
Metode pengelolaan data
Perkiraan keterlambatan waktu (deep 61–63 detik
anaest. → awake, awake → deep
anaest.)
Kesesuaian nilai yang ditunjukan Ya
dengan tanda klinis dalam stadium
anestesi
Laporan penggunaan DGA pada 878
pasien dewasa
(yang dipublikasian di Pubmed)
IoC
Ya
Symbol dynamics analysis
Belum terdapat data yang pasti
untuk saat ini
Laporan penggunaan DGA pada 122
pasien anak
(yang dipublikasian di Pubmed)
0
Menurunkan
resiko
awareness intraoperatif
Cost effectiveness
Ya
terjadinya Ya
Masih dibutuhkan penelitian lebih
lanjut
2
Dapat digunakan pada pasien yang Belum terdapat data yang pasti
memiliki resiko tinggi
untuk saat ini
Dikutip dari: Musizza B, Ribaric S. Monitoring the depth of anesthesia. Sensors 2010, 3(1): 10896-935.16
DGA: dept of general anesthesia
dapat terjadi baik dengan menggunakan obatobatan anestesi inhalasi mau pun intravena.17
Pada kasus yang kami tangani untuk menghindari
pasien tetap sadar inilah maka digunakanlah IoC,
sehingga kami dapat tetap menjaga kedalaman
anestesi tanpa khawatir dalam pemberian obatobatan anestesi intravena yang kami berikan.
Penggunaan IoC atau alat-alat pantau penilai
kesadaran pasien sangatlah berguna bukan
hanya pada operasi dengan menggunakan tehnik
anestesi TIVA saja, tetapi sebaiknya selalu
digunakan pada semua prosedur operasi yang
menggunakan tehnik anestesi umum. Tidak
semua rumah sakit di Indonesia mempunyai
alat-alat pantau kesadaran pasien selama operasi
berlangsung. Untuk para anestesi yang bekerja
di rumah sakit yang mempunyai fasilitas
terbatas, mungkin hal ini hanya dapat dinilai
melalui haemodinamik pasien, dimana biasanya
bila kedalaman anestesi yang diberikan sudah
dalam, maka tekanan darah dan laju nadi akan
menurun, bahkan bila terlalu dalam anestesi yang
diberikan, maka akan menimbulkan perubahan
pada gambaran rekam jantung. Hal ini mungkin
sangat membahayakan pasien, selain itu, tidak
tertutup kemungkinan terjadinya pasien tetap
sadar, sehingga mengakibatkan jalannya operasi
terganggu dan trauma pada pasien pascabedah.
IV. Simpulan
Penggunaan IoC sebagai alat pantau pasien/
monitoring selama diberikan anestesi TIVA,
sangatlah berguna, walaupun, IoC merupakan
alat pemantau yang paling sederhana, karena
hanya meletakkan tiga buah elektroda di dahi
pasien. Hal ini bertujuan untuk mencegah
timbulnya pasien tetap sadar selama operasi
berlangsung, dengan melihat kedalaman anestesi
yang diberikan, agar tidak terjadi kekurangan
atau kelebihan dosis obat-obatan anestesi yang
diberikan. Dengan penggunaan alat pantau
pasien yang lengkap diharapkan dapat mencegah
terjadinya komplikasi yang tidak diinginkan,
seperti: terbangunnya pasien selama operasi, mau
pun pascabedah.
92
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Daftar Pustaka
1. Yilmaz N, Akdemir G, Akbay Y, Aslantürk Y,
Argüngör F. Microvascular decompression
treatment of trigeminal neuralgia. Eur J Gen
Med 2005, 2(3): 114-9
2. Kabas S, Albayrak SB, Cansever T, Hepgul
KT. Microvascular decompression as
a surgical management for trigeminal
neuralgia: a critical review of the literature.
Neurology India 2009, 57(2): 134-8
3. Kalkanis SN, Eskandar EN, Carter BS, Barker
II FG. Microvascular decompression surgery
in the united state, 1996 to 2000: mortality
rates, morbidity rates and the effect of
hospital and surgeon volumes. Neurosurgery
2003, 52(6): 1251-62
4. Kulshrestha A, Bajwa SJS. Anesthesia
considerations in intracranial neurosurgical
patients. J spine neurosurg 2013, S1(8): 1-8
5. Alarcón AZ, Larios KC, Mejía MCN,
Bergese SD. Total intravenous anesthesia
versus inhaled anesthetic in neurosurgery.
Rev Colomb Anestesiol 2015, 4 S1(3): 9-14
6. Nora FS. Total intravenous anesthesia as
a target-controlled infusion: an evolutive
analysis. Rev Bras Anesthesiol 2008, 58(2):
170-92
7. Ayub A, Balakrishnan I, Lalwani P, Rath
GP. Index of consciousness monitoring is
possible with placement of electrodes in the
occipital region. J Neurosurgery and Critical
Care 2014, 1(2): 153-4
8. Bienert A, Wiczling P, Grześkowiak E,
Cynwiński JB, Kusza K. Potential pitfalls
of propofol target controlled infusion
delivery related to its pharmacokinetics
and pharmacodynamics. Pharmacological
Reports 2012, 64(1): 782–95
9. Goytia GL, Esquivel V, Gutierrez H, Rayón
AH. Total intravenous anesthesia with
propofol and fentanyl: a comparison of
target-controlled versus manual-controlled
infusion systems. Revista Mexicana de
Anesthesiologia 2005, 28(1): 20-6
10. Bisri T. Penanganan neuroanesthesia dan
critical care: cedera otak traumatik. Bandung:
Universitas Padjadjaran; 2012.
11. Lin CK, FengYT, Hwang SL, Lin CL,
Lee KT, Cheng KI. A comparasion of
propofol target controlled infusion-based
and sevoflurane-based anesthesia in adults
undergoing elective anterior cervical
disectomy and fusion. Kaohsing Journal
of Medical Sciences 2015, 31: 150-55
12. Saleh SC. Sinopsis neuroanestesia klinik.
Surabaya: Universitas Airlangga; 2013
13. Bisri T. Dasar-dasar neuroanestesi. Bandung:
Olah saga Citra; 2000
14. Sloan TB, Jameson L, Janik D. Evoked
potential. Dalam: Cottrell JE, Young WL,
editor. Cottrell and Young’s Neuroanesthesia,
edisi ke-5, Philadelphia: Mosby; 2010, 115-30
15. Butterworth IV JF, Mackey DC, Wasnick
JB. Adjunct to anesthesia. Dalam: Morgan
GE, Mikhail MS, editor. Morgan&Mikhail’s
Clinical Anesthesiology, edisi ke-5, New
York: McGraw-Hill; 2013, 288-89
16. Musizza B, Ribaric S. Monitoring the depth
of anesthesia. Sensors 2010, 3(1): 10896-935
17. Rani DD, Harsoor SS. Depth of general
anesthesia monitors. Indian J Anesth 2012,
56: 437-41
Penatalaksanaan Anestesi pada Reseksi Tumor Batang Otak
Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan*), Dewi Yulianti Bisri **) , Siti Chasnak Saleh ***), Himendra Wargahadibrata **)
*)
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RSUP Sanglah,
**)
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Unversitas Padjadjaran RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung, ***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Unversitas Airlangga
RSUP Dr. Soetomo Surabaya
Abstrak
Batang otak adalah komponen dari fossa posterior, oleh karena itu penatalaksanaan anestesi pada reseksi tumor
di batang otak tentunya mengikuti prinsip-prinsip umum penatalaksanaan anestesi pada fossa posterior ditambah
dengan perhatian khusus terhadap komplikasi yang mungkin terjadi pada saat melakukan manipulasi pada batang
otak. Seorang laki-laki 41 tahun dengan tumor batang otak mengeluh adanya pengelihatan ganda, rasa tebal dan
nyeri pada wajah serta gangguan menelan, pada MRI ditemukan lesi difus batas tidak tegas di daerah pons sampai
mid brain, curiga tumor otak primer (low grade tumor), nervus optikus dan kiasma optikum kanan kiri tampak
normal. Pasien berhasil dianestesi dengan baik digunakan TCI- propofol monitoring standar ditambah monitoring
invasif artery line dan pemasangan kateter vena sentral, intraoperatif pasien mengalami episode hipotensi tekanan
darah (70/40 mmHg) dan bradikardia, (laju nadi 35 x/menit), oksigen 50%, fentanyl sevofluran dan rekuronium,
digunakan akibat manipulasi pada batang otak. Postoperatif pasien dirawat di ICU dan diextubasi 12 jam kemudian.
Kata kunci: Tumor batang otak, penatalaksanaan anestesi pada fossa posterior
JNI 2017;6 (2): 93‒100
Anesthesia Management in Brain Steam Tumor Resection
Abstract
Brain steam is a component of fossa posterior, ther fore anesthesia management for brain steam tumor resection
should follow the general rule for anesthesia management of fossa posterior and a special concern for complication
that could happen when brain steam is manipulated. Forty one year old male with a brain steam tumor complain a
double vision, numbness and pain on the face, and swallowing problem, MRI show diffuse lesion on the pons to
mid brain, suspect primary brain tumor (low grade tumor), nervus opticus and chiasma opticum are normal. Patient
has been anesthesied well using TCI propofol, oxygen 50%, fentanyl, sevoflurane and rocuronium using invasive
monitoring artery line and central venous catheter (CVC) in addition to standart monitoring. Intraoperatifly patient
going through a hypotensive episode (blood pressure 70/40 mmHg) and bradycardia (heart rate 35x/minute that
caused by manipulation on the brain steam. Postoperatifly patient is in the ICU and extubated on next 12 hours.
Key word: Brain steam tumor, anesthesia management of fossa posterior
JNI 2017;6 (2): 93‒100
93
94
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
I. Pendahuluan
Penatalaksanaan anestesi pasien yang dilakukan
tindakan operasi pada daerah fossa posterior
memberikan tantangan tersendiri bagi seorang
dokter anestesi, hal ini karena pada fossa
posterior terdapat satu struktur yang sangat vital
yaitu batang otak. Pada batang otak terdapat
pusat-pusat vital seperti pusat pernafasan, pusat
kardiovaskular dan reticular activating system
(RAS). Sehingga dapat menyebabkan gangguangangguan pada sistem pernafasan, kardiovaskular
dan kesadaran pada saat intraoperatif maupun
postoperatif. Selain itu batang otak juga
tempat keluarnya saraf-saraf kranialis sehingga
manipulasi pada daerah batang otak, tentunya
juga akan mempengaruhi fungsi dari saraf-saraf
kranialis tersebut baik itu intaoperatif maupun
postoperatif.1
Fossa posterior dibatasi pada bagian anteriornya
oleh tulang clivus dan petrous, lateral dan
posteriornya dibatasi oleh occipital squamosa,
superiornya dibatasi oleh tentorium cerebelli
dan pada daerah inferior dibatasi oleh foramen
magnum dan sinus vena dural. Hal ini
menyebabkan fossa posterior merupakan suatu
ruang yang cukup sempit sehingga operasi
didaerah ini biasanya rumit dan memerlukan
penanganan yang kompleks serta waktu operasi
yang lama.2 Selain keberadaan batang otak
pada fossa posterior, tantangan lain yang juga
dihadapi oleh dokter anestesi pada tindakan
di fossa posterior diantaranya peningkatan
tekanan intrakranial, posisi pasien, kemungkinan
terjadinya disfungsi saraf kranial selama operasi
berlangsung, risiko tinggi terjadinya emboli
udara pada pembuluh darah vena (venous air
embolism/VAE) dan kebutuhan menggunakan
ventilasi mekanik postoperatif.3
Penatalaksanaan anestesi untuk tindakan
di fossa posterior mengacu pada tujuannya
yaitu memfasilitasi akses ke area bedah,
meminimalisir resiko kerusakan jaringan saraf,
dan mempertahankan stabilitas respiratorik dan
kardiovaskular.3 Oleh karena itu diperlukan
beberapa alat monitoring tambahan selain
monitoring standar yang biasa digunakan. Alat-
alat monitoring yang sebaiknya disediakan
untuk tindakan pada fossa posterior adalah alatalat monitoring tambahan yang dapat menilai
terjadinya VAE, instabilitas hemodinamik
yang cepat dan kerusakan saraf. Selain itu
juga diperlukan komunikasi yang sangat baik
dengan operator, komunikasi sebaiknya sudah
dilaksanakan sejak preoperatif, terutama
mengenai posisi pasien, teknik operasi yang
akan dilakukan dan tindakan-tindakan yang akan
dilakukan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
intraoperatif. Pada makalah ini dilaporkan
seorang laki-laki yang didiagnosa dengan tumor
batang otak dan dilakukan tindakan reseksi
tumor. Tindakan operasi berjalan lancar dengan
monitoring tambahan intraoperatif menggunakan
entidal CO2, artery line dan pemasangan CVC.
Intraoperatif sempat terjadi gejolak hemodinamik
pada saat operator mereseksi tumor, namun
semuanya dapat teratasi dengan baik.
II. Kasus
Seorang laki-laki umur 41 tahun dikonsulkan
dengan diagnosa tumor batang otak yang
rencananya akan dilakukan reseksi tumor
dan biopsi dengan posisi park bench dekstra.
Anamnesis
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan
penglihatan ganda yang dirasakan sejak 3 bulan
sebelum masuk rumah sakit, keluhan semakin
hari dirasakan semakin berat sehingga pasien
harus dibantu jika berjalan karena takut terjatuh.
Sejak 1 bulan terakhir keluhan juga disertai
dengan rasa tebal di wajah bagian kiri dan sulit
menelan. Pasien juga merasakan nyeri kepala
yang dirasakan menjalar hingga ke daerah
wajah bagian kiri, nyeri dirasakan berkurang
jika mengkonsumsi obat anti nyeri. Riwayat
kejang dan muntah proyektil disangkal oleh
pasien. Selama perawatan di ruangan pasien
mendapatkan analgetik paracetamol 500 mg tiap
6 jam per oral.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum: Berat Badan: 58 kg; TB: 170
cm; BMI 20 kg/m2; Suhu: 36,6 oC; VAS diam
2/10 cm; VAS gerak 2/10 cm. Sistem Saraf Pusat:
Penatalaksanaan Anestesi pada Reseksi Tumor Batang Otak
E4V5M6; Reflek Pupil +/+ isokor; Parese nervus
kranial VII sinistra (+); Parese nervus kranial
no XII sinistra (+). Respiratori: Napas 14x/
menit, vesikuler di kedua lapang paru, rhonki
& wheezing (–). Kardiovaskuler: tekanan darah
130/80 mmHg; laju nadi: 85x/menit, S1 S2
tunggal, reguler tanpa murmur. Gastrointestinal:
bising usus normal, distensi tidak ada. Urogenital:
Buang air kecil spontan. Muskuloskeletal: flexi
dan defleksi leher normal, gigi geligi utuh tanpa
gigi palsu, mallampati II, motorik 5555/5555 atas
bawah.
Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap : WBC 11,54x103ul; HGB 13,22
g/dl; HCT 41,27%; PLT 412 x 103/ul. Faal
Hemostasis : BT 1’30”; CT 8’00”, PPT 12,9
(10,8-14,4); APTT 30,5 (24-36); INR 1,04 (0,91,1). Kimia Darah : SGOT 63,10 U/L (11-33);
SGPT 131 U/L (11-50). GDS 94 mg/dl (70-140);
BUN 16 mg/dl (8-23); SC 0,73 mg/dl (0,0-1,20)
Na 141 mg/dl (136-145); K 4,18 mg/dl (3,505,10). Albumin 3,75 (3,40-4,80). EKG: irama
sinus; HR 78x/menit; axis normal; ST-T change
tidak ada.
Pemeriksaan Radiologi
MRI Kepala dan Orbita : Lesi difus batas tidak
tegas di daerah pons sampai mid brain, suspek
primary brain tumor (low grade tumor), nervus
optikus dan kiasma optikum kanan kiri tampak
normal
Thorax PA : cor dan pulmo dalam batas normal
95
Pengelolaan Anestesi
Persiapan preoperatif dilakukan di ruang
perawatan, ruang persiapan anestesi dan kamar
operasi. Di ruang perawatan pasien dipuasakan
dari makanan padat selama 8 jam, air putih non
partikel diberikan sampai dengan 2 jam sebelum
operasi kurang lebih 200 cc. Melakukan informed
consent mengenai keadaan-keadaan yang akan
dialami pasien di ruang operasi sehingga dapat
menurunkan rasa cemas pasien. Selanjutnya
pasien dipasangkan infus ringer fundin di ruang
persiapan keesokan harinya, sambil memeriksa
ulang catatan medik pasien. Sesampainya di ruang
operasi, pasien dipasangkan alat-alat monitoring
saturasi oksigen, tekanan darah manual, EKG dan
diberikan oksigen dengan nasal canul 3 L/mnt.
Selanjutnya pasien disedasi menggunakan target
controlled infusion (TCI) propofol dengan model
Schnider sampai target effect (Ce) 1 µg/ml, sambil
menjaga airway pasien dilakukan pemasangan
artery line dengan anestesi lokal lidokain
subkutis. Setelah diberikan preoksigenasi, maka
induksi dilakukan dengan fentanyl 200 µg
secara berlahan-lahan, lidokain 90 mg intravena,
kemudian TCI propofol ditingkatkan sampai
Ce 3 µg/mL dan diberikan rokorunium 40 mg.
Laringoskopi intubasi dilakukan dengan halus
tanpa lonjakan hemodinamik yang bermakna,
menggunakan ETT non kingking no 7,5 cuff (+)
yang selanjutnya dihubungkan dengan endtidal
CO2.
Pemasangan CVC dilakukan di vena
supraclavikula dengan tuntunan USG dan
Gambar 1. Foto MRI Pasien pada Potongan Sagittal
96
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Gambar 2. Foto MRI pasien pada potongan axial
certodin. Selanjutnya pasien diposisikan park
bench kanan dan fiksasi di daerah kepala dengan
pinning. Pemeliharan dilakukan dengan oksigen
50%, sevoflurane 0,3-0,8 Vol%, TCI propofol
1-3 µg/mL, dan rokuronium 0,2 mg/kgbb/jam,
intaoperatif sebelum dibuka dura juga diberikan
manitol 0,5 gr/kgbb dalam waktu 20 menit.
Operasi berlangsung selama 5 jam dengan
hemodinamik yang relatif stabil. Tekanan darah
intraoperatif berkisar antara 70–125/40–70
mmHg, dengan nadi 35–88 x/mnt, endtidal CO2
30–35 mmHg dan saturasi O2 99–100%. Cairan
masuk selama operasi sekitar 2000 ml ringer
fundin, pendarahan 200 ml dengan jumlah urine
1000 ml. Namun demikian pada saat operator
membebaskan tumornya dan melakukan biopsi
sempat terjadi goncangan hemodinamik, dimana
tekanan darah sempat turun sampai 70/40 dan
juga terjadi bradikardia sampai 35 x/menit.
Goncangan hemodinamik ini mereda dengan
sendirinya dalam kurun waktu kurang dari 1
menit setelah operator untuk menghentikan
tindakan untuk sementara.
Pengelolaan Postoperatif
Postoperatif pasien tidak langsung diextubasi,
pernapasan pasien disupport oleh ventilator
dengan mode pressure support 10, PEEP 5,
FiO2 40% didapatkan volume tidal 450–550 ml,
saturasi O2 99% dengan respirasi 12–14x/mnt.
Pasien disedasi dengan TCI propofol model
Schinder dengan Ce 0,2–0,5 µg/mL dengan
analgetik fentanyl 10 µg/jam dan paracetamol
3 x 1 gram didapatkan Ramsay score 2. Terapi
lain diberikan antibiotik dan deksametason.
Pemeliharaan cairan dilakukan dengan ringer
fundin 30 cc/kgbb/24 jam. Hemodinamik relatif
stabil dengan tekanan darah 112–130/78-80
mmHg dengan saturasi O2 98–99%. Setelah
sedasi dihentikan dan dilakukan pemeriksaan
AGD (pH 7,40, pCO2 38,5 mmHg, pO2 93,10
93,10 mmHg, BE -1,8 mmol/L, HCO3 -23,10
mmol/L) pasien diextubasi 12 jam kemudian
dengan GCS 15. Pasien dipindahkan ke ruangan
pada hari ke-3. Selanjutnya dirawat di ruangan
dan hasil pemeriksaan patologi anatominya
menunjukan adanya astrocytoma WHO grade II.
III. Pembahasan
Fossa posterior merupakan suatu ruang yang
cukup sempit sehingga operasi didaerah ini
biasanya rumit dan memerlukan penanganan
yang kompleks serta waktu operasi yang lama.3
Batang otak adalah salah satu dari empat struktur
yang terdapat di fossa posterior, oleh karena itu
reseksi tumor dibatang otak tentunya mengikuti
pertimbangan-pertimbangan umum pasien yang
menjalani operasi di fossa posterior. Pada saat
melakukan preoperatif pada pasien yang akan
dilakukan tindakan di daerah fossa posterior,
ada 6 pertanyaan mengenai keadaan pasien yang
seharusnya dijawab.4 Pertanyaan pertama Apakah
pasien pada saat preoperatif memiliki bukti
mengalami disfungsi batang otak atau nervus
kranialis?4 Pada pasien ini, terbukti memiliki
kelainan pada saraf otak IV (trokhlearis), hal
ini terlihat dari gejala diplopia yang terutama
dirasakan memberat pada saat berjalan dan
menaiki tangga, hal ini sebabkan adanya
gangguan pada otot oblikus superior (disarafi oleh
N IV) yang menggerakan mata kearah bawah dan
nasal. Selain itu juga terdapat gangguan pada
saraf otak VII sinistra didaerah pons diatas inti
nervus VII, hal ini terlihat dari adanya keluhan
tebal pada wajah bagian kiri terutama di daerah
meatus akustikus eksterna dan kelumpuhan otot
yang khas untuk lesi upperneuron saraf otak
VII. Terakhir juga terdapat gangguan pada saraf
otak XII yang ditandai dengan adanya gangguan
menelan.5 Pertanyaan kedua, apakah pasien
Penatalaksanaan Anestesi pada Reseksi Tumor Batang Otak
mengalami peningkatan tekanan intrakranial?4
Iya pada pasien ini terbukti terdapat peningkatan
tekanan intrakranial, dengan adanya gejalan nyeri
kepala yang semakin lama semakin berat.
Pertanyaan ketiga, bagaimanakah posisi pasien
pada saat operasi?4 Ada beberapa posisi yang
biasanya dilakukan pada operasi di daerah
fossa posterior diantaranya: posisi lateral,
posisi telungkup (prone), posisi duduk (sitting)
dan posisi telentang (supine).3 Masing-masing
posisi memiliki keuntungan dan kerugiannya
masing-masing.
Posisi
lateral
dikatakan
banyak dipilih untuk pendekatan pada daerah
CPA (cerebrellopontin angle), namun sering
menyebabkan permasalahan pada bahu pasien
dan kelumpuhan saraf pofliteal akibat kaki
yang menggantung. Posisi telungkup digunakan
pada lesi di/dekat midline termasuk ventrikel
ke-4, posisi ini lebih banyak digunakan pada
anak-anak, karena prosesnya lebih mudah. Dari
semua posisi yang sudah disebutkan, posisi
duduk dikatakan memiliki keuntungan paling
banyak yaitu memudahkan operator bedah
karena penempatan kateter darinase CSF yang
jauh dan karena adanya gravity-assisted blood,
sehingga tercipta lapangan pandang yang cukup
baik; tekanan pada jalan nafas lebih rendah,
kemudahan gerak diafragma, kemampuan untuk
hiperventilasi meningkat, dan akses ETT yang
lebih baik.3 Namun demikian angka kejadian VAE
dan pneumocephalus yang tinggi menyebabkan
banyak operator yang menghindari posisi ini.
Pada pasien ini, tindakan reseksi tumor pada
batang otak akan dilakukan dengan park bench,
dimana tubuh pasien dibalikan agak telungkup,
bahu bagian atas menjadi condong ke dalam
dan memberikan akses yang lebih leluasa bagi
operator bedah. Namun demikian ada beberapa
resiko dari posisi diantaranya pembuntuan vena
dan leher yang terpelintir, selain itu walaupun
angka kejadiannya lebih rendah dari posisi duduk
tetapi tetap beresiko terjadinya VAE.3
Pertanyaan keempat, apakah pasien berresiko
mengalami VAE?4 VAE adalah satu dari
beberapa hal yang paling diantisipasi oleh
seorang neuroanestesi. Angka kejadian VAE
sangat tergantung dari posisi dari pasien pada
97
saat operasi, dimana angka kejadian tertinggi
pada posisi duduk 40–45% sedangkan pada
posisi lateral, telungkup dan park bench angka
kejadiannya menurun menjadi 10–15%. Oleh
karena pasien ini akan dilakukan pada posisi park
bench maka pasien ada pada resiko sedang untuk
terjadinya VAE.3 VAE juga berbanding lurus
dengan besarnya beda ketinggikan antara jantung
dan lapangan operasi, dimana semakin tinggi
letak lapangan operasi terhadap jantung, maka
angka kejadian VAE akan semakin meningkat.
Hal ini karena perbedaan ketinggian antar
lapangan operasi dan jantung akan menyebabkan
terjadinya tekanan subatmosfer3 pada pembuluh
darah yang terbuka, sehingga terjadi penyedotan
udara dari luka operasi ke dalam pembuluh darah
(sucking wound). VAE dapat dimonitor dengan
beberapa metode yaitu kondisi hemmodinamik
seperti tekanan darah, tekanan vena sentral/
CVP, tekanan arteri pulmonal; precordial
doppler ultrasound, end tidal gas monitoring,
dan transesophagial echocardiography (TEE).3
Untuk kasus-kasus dengan resiko yang tinggi
disarankan untuk menggunakan ETCO2. Pada
kasus ini kejadian VAE termasuk dalam resiko
sedang oleh karena itu kejadian VAE dimonitoring
dengan menggunakan kateter vena sentral,
ETCO2 dan saturasi oksigen. Tidak ada tindakan
yang 100% efektif untuk mencegah terjadinya
VAE pada posisi operasi yang menempatkan
lapangan operasi lebih tinggi dari pada jantung.
Tetapi insiden dan keparahan dari VAE dapat
diturunkan dengan mengkontrol nafas dengan
ventilasi kendali tekanan positif, hidrasi yang
adequat, pengaturan posisi sedemikian hingga
sehingga posisi kepala paling mendekati jantung
dengan lapangan operasi yang masih tetap baik,
teknik operasi yang sangat berhati-hati pada
saat melakukan dissection dan penggunaan
bone wax yang liberal, hindari penggunaan N2O
terutama pada pasien yang diketahui memiliki
defect intrakardiak dan hindari penggunaan
obat-obatan yang meningkatkan kapasitasi
vena (nitrogliserida).6 Tindakan-tindakan yang
dilakukan jika terjadi VAE intraoperatif6:
Informasikan kepada operator bahwa terjadi
VAE; Hentikan N2O dan tingkatkan konsentrasi
oksigen; Rubah teknik anestesi; Minta pada
98
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
operator untuk membanjiri lapangan operasi
dengan air; Lakukan penekanan pada vena
jugularis; Lakukan aspirasi pada kateter vena
sentral; Persiapkan support kardiovaskular;
Rubah posisi pasien.
Pertanyaan kelima, apakah ada kemungkinan
terjadi perdarahan yang banyak?4 Untuk
memperkirakan jumlah pendarahan yang mungkin
terjadi, maka sebaiknya mempertimbangkan
keterlibatan sinus, vaskularitas dari massa, dan
skill & riwayat ahli bedahnya. Pada pasien ini,
letak tumor tidak terlalu dekat dengan sinus,
kemudian vaskularisasi dari massa menurut ahli
bedah juga tidak terlalu banyak. Selain itu ahli
bedah yang akan mengerjakan juga mempunyai
reputasi yang baik dalam hal perdarahan, oleh
karena itu pasien ini untuk peredarahan kami
masukkan dalam resiko menengah, dan tetap
kami siapkan persediaan darah.
Pertanyaan keenam, apakah tindakan opeasi ini
akan melibatkan monitoring introperatif susunan
saraf pusat?4 Resiko terjadinya injuri pada sarafsaraf otak pada tindakan di fossa posterior apalagi
pada tumor di batang otak sangatlah tinggi, karena
sebagian besar saraf-saraf otak tersebut letaknya
disekitar batang otak terutama pons dan midbrain.
Oleh karena itu diperlukan monitoring dari fungsi
saraf-saraf otak tersebut pada saat intraoperatif.
Monitoring yang didapat digunakan diantaranya
somatosensory evoked potensial (SSEPs),
Brain steam auditory evoked respons (BAERs),
dan spontaneous and evoked electromyogram
(EMG). Saraf otak V,VII dan X biasanya dapat
dimonitoring dengan EMG dan khusus untuk
saraf otak VIII biasanya dimonitoring dengan
BAERs.4 Jika diputuskan untuk menggunakan
monitoring saraf-saraf otak intraoperatif, maka
teknik anestesi yang dilakukan harus disesuaikan
sehingga tidak menyebabkan gangguan pada
proses monitoringnya. Hal yang perlu diingat
oleh seorang dokter anestesi adalah obat-obat
anestesi dapat mempengaruhi pembacaan evoked
potentials dan EMG, dimana pelumpuh otot
sangat mengganggu interpretasi dari EMG, N2O
dan dosis tinggi voletile dapat mempengaruhi
SSEPs.4 Disarankan untuk menggunakan total
intravenous anesthesia (TIVA) dengan propofol
dan fentanyl untuk mendapatkan pasien dengan
tanpa pergerakan dan monitoring neurofisiologi
yang baik.7 Pada pasien ini, kami tidak akan
menggunakan monitoring neurofisiologi karena
alatnya tidak tersedia di rumah sakit kami. Intraoperatif, pemantauan yang dilakukan pada
pasien ini adalah elektrokardiogram 5 lead,
pemantauan tekanan darah dengan pemasangan
artery line, pulse oxymetri, pemantauan ETCO2,
dan pemasangan kateter vena sentral di vena
supraklavikula kiri dengan bantuan USG dan
certodin sehingga ujung kateter dapat tepat
berada 2 cm dibawah sinoatrial node. Hal ini
karena selain untuk diagnosa, pemasangan CVC
juga diperlukan untuk mengaspirasi udara yang
sudah terperangkap, dan letak tip kateter sesuai
dengan yang diatas, adalah tempat yang paling
dekat dengan tempat percampuran udara dengan
darah.6
Durante operasi pasien saat manipulasi di batang
otak pasien mengalami bradikardia dan hipotensi
sebanyak 1 kali tetapi tidak berlangsung lama,
saat terjadi bradikardia dan hipotensi dilakukan
komunikasi dengan operator dan kembali normal
setelah operator mengurangi manipulasinya.
Selain posisi operasi, masalah lain pada operasi
daerah fossa posterior adalah dekatnya operasi
pada saraf kranial dan struktur batang otak yang
mengatus fungsi respirasi dan kardiovaskular.
Manipulasi
bedah
sering
menimbulkan
ketidakstabilan kardiovaskular. Angka kejadian
bradikardia intraoperatif pada operasi di daerah
fossa posterior ditemukan signifigant yaitu 14,5%,
angka kejadian takikardia 4,34%, hipertensi
10,14%, dan hipotensi 11,6%. Kesemua ini
diperkirakan karena terajdinya manipulasi
pada dasar ventrikel empat, medullary reticular
formation, akar saraf trigeminus, akar saraf vagus
dan saraf otak no IX.8 Bila nervus V (nervus
trigeminalis) distimulasi bisa terjadi bradikardia
berat dan hipertensi sedangkan bila distimulasi
nervus IX atau X bisa terjadi bradikardi dan
hipotensi.9 Selain nervus kranialis stimulasi
terhadap daerah periventrikulaer substansia
grisea, formasio retikularis, nucleus traktus
solitorius dapat menyebabkan hipertensi hebat.
Sedangkan hipotensi terjadi akibat penekanan
medulla oblongata dan pons.9
Episode hipotensi pada operasi bedah saraf
tidak boleh dianggap remeh, jika terjadi maka
Penatalaksanaan Anestesi pada Reseksi Tumor Batang Otak
secepat mungkin harus ditangani. Hal ini karena
aliran darah otak bergantung pada tekanan arteri
serebral dan resistensi pembuluh-pembuluh
darah serebral. Aliran darah otak rata-rata
sekitar 50–54 ml/100 gr jaringan/menit yang
mana dipertahankan oleh autoregulasi antara
mean arterial pressure (MAP) 50–150 mmHg.
Dibawah MAP 50 mmHg, maka aliran darah otak
akan mengikuti tekanan darah dari pasien, jika
aliran darah otak <20 ml/100 gr jaringan/ menit
akibat MAPnya kurang dari 50 mmHg, maka
elektroencefalografi (EEG) menunjukan tanda
iskemik. Bila aliran darah otak 6–9 ml/100 gr/
menit, Ca2+ masuk ke dalam sel. Jika aliran darah
ke otak 12-20 ml/ 100 gr jaringan/ menit, maka
akan terbentuk episode penumbra, yaitu suatu
episode iskemia reversible, yang jika dibiarkan
dapat menyebabkan terjadinya episode infarction
yang sifatnya nonreversible.10
Pascaoperasi pasien tidak langsung dilakukan
ekstubasi dengan pertimbangan operasi di daerah
batang otak yang berisiko terjadi perdarahan dan
pembengkakan akut dari struktur-struktur fossa
posterior. Selain itu durante operasi juga sempat
terjadi periode bradikardia dan hipotensi yang
dicurigai akibat manipulasi yang berlebihan pada
nervus kranialis dan struktur batang otak.
Selama perawatan di ruang terapi intensif
pasien dilakukan kontrol ventilasi dengan sedasi
propofol dan analgesia fentanyl kontinyu dengan
target ramsay 2. Setelah perawatan selama 12 jam
di ruang terapi intensif dilakukan weaning dan
dilakukan ekstubasi setelah pasien sadar baik dan
napas adekuat.
IV. Simpulan
Batang otak adalah salah satu dari empat struktur
yang terdapat di fossa posterior, oleh karena itu
reseksi tumor dibatang otak tentunya mengikuti
pertimbangan-pertimbangan umum pasien yang
menjalani operasi di fossa posterior, yang mana
dapat terrangkum pada enam buah pertanyaan
mengenai keadaan pasien preoperatif. Adapun
pertanyaan tersebut diantaranya adalah : Apakah
pasien pada saat preoperatif memiliki bukti
mengalami disfungsi batang otak atau nervus
kranialis, Apakah pasien mengalami peningkatan
tekanan intrakranial, Bagaimanakah posisi pasien
99
pada saat operasi, Apakah pasien berresiko
mengalami VAE, Apakah ada kemungkinan
terjadi perdarahan yang banyak dan yang terakhir
Apakah tindakan opeasi ini akan melibatkan
monitoring introperatif susunan saraf pusat.
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan diatas maka
akan terlihat monitoring-moitoring apa saja yang
diperlukan intraoperatif untuk mencapai tujuan
dari pembiusan pada fossa posterior. Ada pun
tujuannya adalah memfasilitasi akses ke area
bedah, meminimalisir resiko kerusakan jaringan
saraf, dan mempertahankan stabilitas respiratorik
dan kardiovaskular.
Daftar Pustaka
1. Gheorghita E, Ciurea J, Balanescu B.
Considerations on anesthesia for posterior
fossa-surgery. Romanian Neurosurgery.
2012;19(3):183-92.
2. Jagannathan S, Krovvidi H. Anaesthetic
considerations for posterior fossa surgery.
Continuing Education in Anaesthesia,
Critical Care & Pain. 2014;14(5):202-6.
3. Rachman IA, Bisri T. Penatalaksanaan
anestesi pada tindakan bedah tumor fossa
posterior: serial kasus. Journal Neuroanestesi
Indonesia. 2016;5(1):1-12.
4. Pederson DS, Peterfreund RA. Anesthesia
for posterior fossa surgery. Dalam: Newfield
P, Cottrell JE, penyunting. Handbook of
Neuroanesthesia. fifth. ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2012, 136–47.
5. Lumbantobing.
Neurologi
Klinik
Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2015.
6. Schlichter RA, Smith DS. Anesthetic
management for posterior fossa surgery.
Dalam: Cottrell JE, Patel P, penyunting.
Neuroanesthesia. edisi 6: Elsevier; 2017.
7. Sabbagh AJ, Al-Yamany M, Bunyan RF,
Takrouri MSM, Radwan SM. Neuroanesthesia
management of neurosurgry of brain stem
100
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
tumor requiring neurophysiology monitoring
in an iMRI OT setting. Saudi J Anaesth.
2009;3(2).
8. Chand M, Thapa P, Shrestha S, Chand P. Perioperative anesthetic events in posterior fossa
tumor surgery. Postgraduate Medical Journal
of NAMS. 2012;12(2).
9. Bisri T. Anestesi untuk operasi fossa posterior.
Neuroanestesia. Bandung; 1997, 153–63.
10. Bisri DY, Bisri T. Anestesi untuk Operasi
Tumor Otak: Supratentorial Infratentorial.
edisi Pertama. Bandung: Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran 2016.
Tight Brain pada Anestesi Awake Craniotomy dengan Dexmedetomidine
Riyadh Firdaus*), Dewi Yulianti Bisri **), Siti Chasnak Saleh***), A. Himendra Wargahadibrata**)
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung, ***) Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Universitas
Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya
*)
Abstrak
Anestesi pada awake craniotomy dilakukan dengan menggunakan salah satu atau kombinasi dari teknik scalp block,
sedasi dengan propofol dan dexmedetomidine. Teknik ini memfasilitasi awake craniotomy sehingga pemetaan
intraoperatif fungsi korteks elokuen yang memfasilitasi reseksi tumor secara radikal. Kebutuhan pemetaan korteks
adalah untuk menggambarkan fungsi otak antara lain bicara, sensorik dan motorik dengan tujuan mempertahankan
selama dilakukan reseksi. Obat yang diberikan harus dapat memberikan level sedasi dan analgesia yang adekuat
untuk mengangkat tulang tetapi tidak mempengaruhi tes fungsional dan elektrokortikografi. Prosedur ini sama
dengan kraniotomi standar dengan perbedaan pasien sadar penuh selama pemetaan korteks dan reseksi tumor.
Dexmedetomidine adalah suatu agonis adrenoreseptor α-2 spesifik dengan efek sedatif, analgetik, anesthetic
sparing effect, efek proteksi otak, tidak adiksi, tidak menekan respirasi dan pasien mudah dibangunkan. Wanita,
54 tahun dengan keluhan utama kejang berulang sejak 3 hari yang lalu. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis tumor lobus frontal kanan. Pasien dilakukan pengangkatan tumor
dengan teknik awake craniotomy. Pasien dilakukan scalp block, sedasi dengan propofol dan dexmedetomidine.
Saat operasi berlangsung didapatkan kondisi tight brain. Dexmedetomidine dipertimbangkan sebagai salah satu
faktor yang mempengaruhi relaksasi otak selama operasi. Lama operasi kurang lebih 5 jam. Pascaoperasi pasien
dirawat di HCU.
Kata Kunci: Awake craniotomy, scalp block, propofol, dexmedetomidine
JNI 2017;6 (2): 101‒11
Tight Brain on Awake Craniotomy Anesthesia with Dexmedetomidine
Abstract
Anesthesia in awake craniotomy is done using scalp block, propofol sedation, dexmedetomidine sedation or a
combination of the three. This technique facilitate awake craniotomy such that intraoperative mapping of eloquent
cortical function can be done in radical tumor resection. The need for cortical mapping is to describe and maintain
brain function such as speaking, sensoric and motoric function throughout the resection process. The drug given
must be able to provide adequate sedation and analgesia for bone removal but do not interfere with the result of
function test and electrocorticography. This procedure is similar to other craniotomy, however the patient is alert
during cortical mapping and tumor resection and is able to speak after tumor is resected. Dexmedetomidine is
an alpha 2 adrenoreceptor agonist with specific effects such as sedation, analgesia, anesthetic sparing, cerebral
protection, non addictive, does not suppress respiration, comfortable and easy to recover from. A case of 54 years
old female with chief complaint of recurrent seizure in the last 3 days prior to admission is described. Based on
history and examination, patient is diagnosed with right frontal lobe tumor. Patient underwent tumor resection
using awake craniotomy technique. Scalp block combined with propofol and dexmedetomidine sedation was
done. During the surgery, tight brain was encountered. Dexmedetomidine was evaluated as one of the factors that
influence the brain relaxation throughout surgery. The Surgery took 5 hours, post surgery patient is observed in
HCU.
Key words: awake craniotomy, scalp block, propofol, dexmedetomidine
JNI 2017;6 (2): 101‒11
101
102
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
I. Pendahuluan
Awake craniotomy merupakan teknik yang
penting untuk meningkatkan pengangkatan
lesi dan meminimalkan kerusakan pada kortek
elokuen.1 Prosedur ini dilakukan ketika reseksi
jaringan diperlukan pemetaan dari korteks
motorik, sensorik, visual, dan bahasa yang dekat
dengan area yang akan direseksi.2 Teknik ini
membutuhkan pemetaan yang optimal sehingga
memerlukan analgesia serta sedasi yang cukup agar
dokter bedah dan anestesi dapat berkomunikasi
dengan pasien intraoperasi. Hal ini menjadi
tantangan tersendiri bagi dokter anestesi. Operasi
tumor otak memerlukan ketelitian yang sangat
tinggi untuk menghindari adanya jaringan otak
sehat ikut terpotong saat bagian tumor diambil.
Tehnik awake craniotomy digunakan untuk
menentukan batas antara jaringan otak normal
dengan tumor dengan cara memberi rangsangan
listrik pada jaringan tersebut.3 Ketelitian yang
lebih tinggi didapatkan jika dari hasil monitoring
saraf intraoperasi juga memberikan hasil yang
mendukung penilaian subyektif atas respon pasien
yang sadar (awake). Dexmedetomidine memiliki
pengaruh berupa sedasi dan ansiolisis, analgesia,
penurunan katekolamin plasma, mempunyai
efek hipotensi dan bradikardi, diuresis karena
menginhibisi pelepasan ADH, efek dekongestan
dan antisialogogus, mencegah kematian sel
neuron setelah iskemik fokal dan daerah yang
mengalami iskemik turun 40% dibandingkan
plasebo.4, 5
Propofol sering digunakan dalam neuroanestesi
awake craniotomy, mudah dititrasi untuk
mendapatkan efek sedatif, pemulihannya
cepat, menurunkan metabolisme otak (cerebral
metabolic rate for oxygen/CMRO2) 30%,
menurunkan tekanan intrakranial (intracranial
pressure/ICP)
mempunyai
gambaran
antikonvulsan, antiemetik dan menurunkan aliran
darah otak (cerebral blood flow/CBF) 30%.6-8
II. Kasus
Anamnesis
Wanita, 54 tahun dengan diagnosis tumor lobus
frontal kanan suspek glioma. Pada tanggal 28
Februari 2017 dilakukan pengambilan tumor
dengan teknik awake craniotomy. Pasien tidak
memiliki riwayat operasi sebelumnya. Tidak
ada riwayat alergi obat atau makanan. Pasien
mengeluh kejang berulang sejak 3 hari sebelum
masuk rumah sakit, kejang berawal dari tangan
dan kaki kiri kemudian ke seluruh tubuh, setelah
kejang pasien merasa mengantuk dan masih
sadar, terakhir kejang tanggal 23 Februari 2017
dengan terapi dilantin 3x200 mg. Sejak lima tahun
yang lalu pasien mengeluh kaki kiri mengalami
kelemahan bergerak, masih dapat berjalan dan
tidak mendapatkan terapi. Pada dua tahun yang
lalu pasien mengalami kejang pertama kali.
Pasien juga mengeluh sakit kepala hilang timbul
terutama pagi hari, tidak ada muntah menyemprot
dan pandangan kabur. Riwayat sakit jantung,
paru, ginjal, kuning, asma, diabetes mellitus
dan hipertensi disangkal. Nyeri dada dan sesak
disangkal. Saat ini pasien tidak ada batuk, pilek
dan demam. buang air besar dan buang air kecil
normal.
Pemeriksaan fisik
Pasien compos mentis, tampak sakit sedang,
kooperatif, berat badan 61 kg, tinggi badan 155
cm dengan indeks masa tubuh 25,4 kg/cm².
Tekanan darah pasien 146/96 mmHg, frekuensi
Tabel 1. Hasil Laboratorium Praoperasi
Pemeriksan
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
SGOT
Kreatinin
Ureum
Natrium
Kalium
Klorida
Protombin Time
SGPT
Albumin
APTT
Gula Darah Sewaktu
Keterangan
12.2 g/dL
38.5 %
7030/uL
426000/uL
15Unit/L
0.5 g/dL
18 g/dL
142
3.49
100.8 mEq/L
9.9(10.5)
15 Unit/L
4.42 g/dL
24.5(31.9)
92 mg/d
Tight Brain pada Anestesi Awake Craniotomy dengan
Dexmedetomidine
103
Gambar 1. MRI Kepala Pasien.
nadi 75–80 x/menit, frekuensi napas 16–18 x/
menit, suhu 36˚ C dan saturasi oksigen 99% pada
udara kamar. Dari pemeriksaan mata didapatkan
pupil isokor 4 mm/ 4 mm, refleks cahaya positif
kiri dan kanan, tidak terdapat edem papil, terdapat
kelemahan di tangan dan kaki kiri dengan
kekuatan motorik 4, akral hangat. Pemeriksaan
fisik yang lain dalam batas normal. Pemeriksaan
penunjang ditampilkan dalam Tabel 1.
Rontgen dada (22/2/2017) pasien tidak
menunjukkan kelainan pada jantung dan paru.
Elektrokardiografi (EKG) pasien menunjukkan
sinus ritme, denyut jantung 84 x/menit, tidak ada
perubahan segmen ST dan tidak ada left ventrikel
hipertrofi. Pada MRI kepala (24/2/2017) pasien
tampak tumor lobus frontal kanan berbatas tidak
tegas tepi irregular, ukuran 2.6 x 4.5x 3 cm, suspek
maligna dengan gangguan jaras kortikal menuju
kapsul interna kornu anterior kanan (Gambar 1).
Disimpulkan pasien dengan status fisik ASA II
dengan peningkatan tekanan intrakranial kronik
(sakit kepala, kejang berulang, kejang terakhir
23/2/17 terapi dilantin 3x200 mg, hemiparese
sinistra (kekuatan motorik 4), hipertensi grade
II tekanan darah 146/96 mmHg tanpa terapi dan
tanpa masalah jalan nafas.
Pengelolaan Anestesi
Rencana anestesi dengan blok scalp, sedasi
propofol dan dexmedetomidine. Saat kunjungan
praanestesi dan kunjungan sejawat bedah saraf,
dimintakan informed consent berkaitan prosedur
pembedahan, metode anestesi yang direncanakan
dan pemasangan kateter urin. Pasien dijelaskan
bahwa pasien tidak akan merasakan sakit
daerah operasi, bahwa awal pembiusan pasien
akan diberikan obat anestesi hingga tertidur
tetapi ada saatnya pasien dibangunkan untuk
mengetahui fungsi motorik kedua kaki dan
tangan, mengikuti perintah dari operator untuk
mengevaluasi fungsi neurologis pasien. Pasien
juga diharapkan tenang serta bekerjasama selama
pembiusan dan pembedahan berlangsung. Pasien
menyetujui berkaitan dengan pembedahan
awake craniotomy dengan sedasi propofol dexmedetomidine dan scalp block. Teknik yang
digunakan sleep – awake – sleep. Pascaoperasi
pasien direncanakan ke HCU. Persiapan di kamar
operasi dilakukan dengan pasien tidur telentang
di atas meja operasi kemudian dilakukan
pemasangan alat-alat monitoring yaitu EKG,
tekanan darah dan pulse oxymetri. Tekanan
darah prabedah 132/78 mmHg, frekuensi nadi
74 x/menit, frekuensi napas 14 x/menit, saturasi
oksigen 100%. Dilakukan pemasangan CVC
di proyeksi v. subclavia kanan menggunakan
USG dalam anestesi lokal lidokain 2%.
Anestesi dimulai pukul 10.00 diawali dengan
pemberian sedasi dengan menggunakan TCI
propofol Schnider Effect dengan target 1,5
–2,5 mcg/ml dan dikombinasikan dengan
dexmedetomidine 0,8 mcg/KgBB/jam. Setelah
pasien tertidur (Ramsay score 3), patensi
jalan nafas dijaga dengan menggunakan pipa
104
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Gambar 2. Hemodinamik Intraoperasi
nasofaring no. 7 terpasang di lubang hidung
sebelah kiri, diberikan oksigen melalui kanul
nasal 4 liter per menit dan dipasang kateter urin.
Pada pasien dilakukan scalp block unilateral
sebelah kanan karena insisi direncanakan di sisi
sebelah kanan. Nervus yang diblok adalah n.
supraorbital bilateral, n. supratokhlear dextra, n.
zygomaticotemporal dextra, n. auriculotemporal
dextra, n. occipital mayor, n. occipital minor dan
n. aurikula mayor. Dilakukan a dan antiseptik
dengan mengusap cairan chlorehexidine
pada daerah penyuntikan. Kemudian daerah
penyuntikan ditunggu sampai cairan aseptik
kering, supaya mengurangi risiko toksisitas
cairan antiseptik pada syaraf.4 Blok dilakukan
dengan menggunakan jarum no. 26 dan no. 23,
menggunakan ropivakain 0.5% satu sisi total
volume 15 ml. Selama blok TCI propofol dititrasi
berkisar 1,5 – 2,5 mcg/ml. Setelah blok dilakukan
tes untuk mengetahui keberhasilan blok dengan
menusukkan jarum ke daerah yang diblok dan
menanyakan ke pasien, pasien tidak merasakan
nyeri. Di lokasi pemasangan pin Mayfield
di sisi sebelah kiri dilakukan infiltrasi lokal
Gambar 3. Medikamentosa Intraoperasi
Tight Brain pada Anestesi Awake Craniotomy dengan
Dexmedetomidine
105
Gambar 4. Hemodinamik 3 hari Pascaoperasi
ropivakain dengan total volume 10 ml. Kemudian
dilakukan pemasangan IONM (Intraoperative
Neurophysiological Monitoring) oleh sejawat
neurologi. Dexmedetomidine dititrasi dari 0.8 mcg
– 0.2 mcg /KgBB/jam untuk menurunkan ramsay
score menjadi 2. Pada 1 jam sejak pembedahan
di mulai otak tampak edem. Dexmedetomidine
dititrasi turun hingga dihentikan, diberikan
mannitol 250 g dan furosemide 20 mg intravena.
Kondisi otak kembali slack dan operasi eksisi
tumor dilanjutkan.
Pada saat dilakukan eksisi tumor di daerah frontal
terdapat periode pasien dibangunkan, TCI propofol
diturunkan 1 mcg/ml. Waktu yang dibutuhkan
untuk membangunkan pasien kurang lebih 5–10
menit saat konsentrasi TCI propofol mendekati
nol. Setelah dibangunkan pasien diminta untuk
berhitung angka 1–10, menyebutkan nama,
menggenggam tangan pemeriksa, menggerakkan
kedua kaki dan tangan oleh operator (sejawat
bedah saraf) dan disinkronkan fungsinya dengan
IONM oleh sejawat neurologi. Pada pasien ini
defisit fungsi motorik kedua kaki dan tangan
minimal kemudian TCI propofol dilanjutkan 1,5
– 2,5 mcg/ml sampai operasi selesai. Intraoperasi
didapatkan hemodinamik yang stabil sejak
anestesi dimulai sampai operasi selesai, tidak
terdapat lonjakan hemodinamik yang signifikan
dengan skor Ramsay 1–3 tercantum pada
Gambar 2. Pembiusan berlangsung selama 5 jam
30 menit, lama pembedahan 5 jam. Perdarahan
total 500 ml, urine out 1900 ml. Cairan masuk
2000 ml kristaloid. Dengan balance cairan minus
400 cc. Hemodinamik intraoperatif stabil tanpa
topangan, tekanan darah 99 – 125 /55–62 mmHg,
frekuensi nadi 68-75 x/ menit, frekuensi nafas 1620 x/mnt, saturasi oksigen 97–99% dengan kanul
nasal 4 liter per menit. Selama intraoperatisi
pasien mendapatkan dexketoprofen 50 mg iv
(setelah 1 jam operasi berjalan), omeprazole 40
mg iv, ondansentron 8 mg iv, dexametasone 10
mg iv (setelah 1 jam operasi berjalan), mannitol
250 ml iv (setelah 1.5 jam operasi berjalan),
furosemide 20 mg iv (setelah 2 jam operasi
berjalan), paracetamol 1 g iv, fenitoin 250
mg (setelah 2 jam operasi berjalan) dan asam
traneksamat 1 g iv (dosis maksimal 10 mg / kg
BB). Obat – obat intraoperasi yang dibutuhkan
untuk menjaga kelancaran dan kestabilan operasi,
tercantum pada Gambar 3. Pascaoperasi pasien
compos mentis, tekanan darah 120/84 mmHg,
frekuensi nadi 67 x/menit, frekuensi nafas 14 x/
menit, saturasi oksigen 100 %, kemudian pasien
dipindahkan ke HCU. Gambar 4 menunjukkan
hemodinamik 3 hari pascaoperasi.
Pengelolaan Pascabedah
Setelah sehari di HCU pasien dirawat di ruang
rawat inap selama 7 hari. Setelah itu pasien
106
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
pulang dari rumah sakit dalam keadaan baik
dengan tangan dan kaki kiri
berkekuatan
motorik 5. Pada pemeriksaan Patologi Anatomi
pascaoperasi (01/03/2017) didapatkan gambaran
histologi sesuai dengan Oligoastrositoma (World
Health Organization /WHO grade II), dengan area
– area yang sudah menunjukkan progresi menjadi
oligoastrositoma anaplastik (WHO grade III).
III. Pembahasan
Awake craniotomy membutuhkan agen sedasi
onset cepat dan durasi pendek karena prosedur ini
menuntut transisi kedalaman anestesi sewaktuwaktu.9 Awake craniotomy diindikasikan untuk
pembedahan evakuasi lesi intrakranial yang
terletak pada atau dekat dengan area elokuen yang
mencakup lobus temporal dan frontal kiri untuk
kemampuan bahasa dan bicara, lobus oksipital
bilateral untuk penglihatan, lobus parietal untuk
sensasi dan korteks motorik bilateral untuk
mengatur gerakan.9 Indikasi dilakukannya awake
craniotomy antara lain tumor supratentorial,
korteks elokuen (korteks motorik, area Broca/
Wernicke, korteks sensorik), deep brain nerve
stimulator, epilepsi refrakter, arteriovenosus
malformation
(AVM)
dan
aneurisma.1,10
Tabel 2. Kontraindikasi Anestesi pada Awake
Craniotomy
No Komponen Cakupan
1
Absolut
Penolakan pasien
Ketidakmampuan pasien untuk
diam dalam posisi tertentu
dengan waktu yang lama
Tidak
kooperatif,
contoh
kebingungan
2
Relatif
Pasien batuk
Sulit belajar
Ketidakmampuan
untuk
berbaring
Pasien cemas
Perbedaan bahasa
Obstructive Sleep Apnoe (OSA)
Usia muda
Dikutip dari Burnand (2014).1
Tabel 3. Komplikasi
craniotomy.
intraoperatif
awake
No Komponen
Cakupan
1
Jalan
nafas/ Hipoventilasi/
obstruksi
pernafasan
jalan nafas/apnue
Hipoksia
Hiperkapnia
Kegagalan peralatan jalan
nafas, contoh LMA
Konversi
ke
general
anesthesia
Aspirasi
2
Kardiovaskuler Hipotensi/hipertensi
Bradikardi/takikardi
3
T e k n i k Sedasi
Inadekuat
atau
antestesi
berlebihan
Nyeri atau tidak nyaman,
biasanya karena posisi
4
5
Muntah,
mual,
atau
keduanya
Toksisitas anestesi lokal
F a k t o r Kejang fokal, kejang
Pembedahan
umum, atau keduanya
Emboli udara
Defisit neurologi fokal
Edem otak (“tight” brain)
Faktor mental/ Cemas/ agitasi/ intoleransi
Psikologis
terhadap prosedur
Kelelahan pasien/fatique
Pembatalan persetujuan
tindakan
Dikutip dari Burnand (2014).1
Pada praoperasi telah dinilai kesesuaian dan
kesiapan pasien untuk menjalani prosedur awake
craniotomy sebagaimana tercantum padaTabel 2.1,10
Pasien memiliki indikasi awake craniotomy
karena tumor berada di area elokuen, tidak
terdapat kontraindikasi dilakukan awake
craniotomy, pasien menyetujui untuk dilakukan
awake craniotomy, kooperatif dan usia 54 tahun.
Komplikasi pada awake craniotomy intraoperasi
tertera pada Tabel 3.1,10 Pada pasien tidak terdapat
komplikasi pada jalan nafas, dapat dijaga patensi
jalan nafas dengan pemasangan pipa nasofaring.
Tight Brain pada Anestesi Awake Craniotomy dengan
Dexmedetomidine
107
buli-buli penuh. Saat prosedur berlangsung
didapatkan komplikasi intraoperasi dari faktor
pembedahan berupa edem serebri (tight brain).
Untuk memperlancar drainage vena otak
sekaligus memfasilitasi tindakan operasi pasien
diposisikan head up 10–20% atau 15–30˚, posisi
terlentang dengan kepala miring ke kiri dan
dipastikan tidak terdapat penekanan pada vena
jugularis.1, 2,11,12 Pada prinsipnya pengaturan area
operasi pada awake craniotomy dapat dilihat dari
Gambar 5.
Gambar 5. Pengaturan Ruang Operasi.
Dikutip dari Burnand (2014).1
Hemodinamik pasien selama operasi stabil,
pasien merasa nyaman dengan teknik anestesi
selama operasi berlangsung, tidak ada kecemasan
dan kooperatif. Operasi berdurasi 5 jam namun
pasien cukup merasa nyaman karena telah
memahami prosedur tersebut sebelumnya, posisi
yang diyakinkan nyaman sejak awal, diberikan
selimut untuk menjaga suhu dan kenyamanan
pasien dan dipasang kateter urin untuk mencegah
Pada blok scalp, saraf yang diblok adalah nervus
supraorbital cabang dari nervus trigeminal
(VI) yang mempersarafi daerah dahi dan scalp
bagian anterior dan kepala bagian atas, nervus
supratroklear cabang dari nervus trigeminal (VI)
yang mempersarafi daerah dahi dan scalp bagian
anterior, nervus zygomatikotemporal cabang
dari nervus trigeminal (V2) yang mempersarafi
sebagian kecil dari dahi dan daerah temporal
kepala, nervus aurikulotemporal cabang dari
nervus trigeminal (V3) yang mempersarafi
daerah temporal, bibir bawah, wajah bagian
bawah, aurikula dan scalp diatas aurikula, nervus
oksipitalis minor cabang dari nervus spinalis
servikalis kedua dan ketiga, nervus oksipitalis
mayor, cabang dari nervus servikalis kedua
Gambar 6. Blok Scalp. Proyeksi injeksi blok scalp. (a) nervus supratroklear. (b)
nervus supraorbita. (c) nervus zygomatikotemporal. (d) nervus aurikulotemporal.
(e) nervus aurikularis minor. (f) nervus aurikularis mayor. (g) nervus occipitalis
minor. (h) nervus Occipitalis mayor. (i) infilitrasi anestesi lokal. 1
108
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Gambar 7. Mekanisme Dexmedetomidine.
Dikutip dari Alam A (2017)5
yang mempersarafi scalp bagian posterior,
scalp pada puncak kepala dan puncak aurikula
dan nervus aurikula mayor cabang dari nervus
spinalis servikalis kedua dan ketiga yang
mempersarafi kulit didaerah kelenjar parotis,
prosesus mastoideus dan aurikula. Pada kasus ini
blok scalp unilateral kanan hanya bisa memblok
kranial sebelah kanan.1,13,14 Di lokasi pemasangan
pin Mayfield di sisi sebelah kiri tidak terblok
sehingga ditambahkan infiltrasi ropivakain. Blok
scalp pada pasien ini dapat dilihat di Gambar 6.
Pada kasus ini setelah blok scalp selesai
dilakukan obat dexmedetomidine ditambahkan di
dalam rumatan anestesi. Sebenarnya penggunaan
dexmedetomidine dapat diberikan sejak awal
untuk memfasilitasi prosedur blok scalp. Pada
kasus ini penulis menggunakan teknik anestesi
sleep – awake – sleep, karena pada awal pembiusan
Ramsay Score ditingkatkan dengan mengunakan
infus propofol dan dexmedetomidine. Pemberian
dexmedetomidine tunggal direkomendasikan
10 menit pertama diberikan loading dose 1 µg/
kg dilanjutkan rumatan 0.5 µg/kg/jam dengan
mempertahankan ramsay score 2–3.11, 12
Setelah dilakukan scalp block dilakukan
pemasangan IONM dan pin Mayfield kemudian
pasien dibangunkan. Dalam hal ini dokter anestesi
menggabungkan penggunaan propofol dengan
dexmedetomidine dengan harapan efek sedasi
dapat dinaikkan dan diturunkan dalam waktu
singkat dan pasien tidak mengalami kecemasan.
Gambar 6. Blok Scalp. Proyeksi injeksi blok
scalp. (a) nervus supratroklear. (b) nervus
supraorbita. (c) nervus zygomatikotemporal. (d)
nervus aurikulotemporal. (e) nervus aurikularis
minor. (f) nervus aurikularis mayor. (g) nervus
occipitalis minor. (h) nervus Occipitalis mayor.
(i) infilitrasi anestesi lokal.1
Dexmedetomidine mulai menjadi perhatian para
peneliti karena memiliki efek kardioproteksi,
renoproteksi dan neuroproteksi pada penelitian
preklinik.5 Pada tahun 2008, obat ini diresmikan
oleh FDA untuk digunakan juga pada pasien
yang tidak terintubasi ataupun sebagai terapi
preoperatif.5 Dexmedetomidine merupakan
agonis terhadap adrenoreseptor α2. Reseptor
adrenergik (adrenoreseptor) dikelompokkan
menjadi reseptor α dan β berdasarkan sifat
respon mereka terhadap katekolamin sintetik
ataupun alami. Reseptor adrenergik α terletak
pada pre- dan postsinaptik saraf, yang reseptor
presinaptik bertanggungjawab atas regulasi
Tight Brain pada Anestesi Awake Craniotomy dengan
Dexmedetomidine
pelepasan neurotransmitter. Terdapat lebih dari
3 jenis reseptor isoadrenergik -α2 (α-2A, α-2B
dan α-2C), dengan 70% homogenitas yang telah
teridentifikasi melalui pemeriksaan farmakologis
dan biologimolekular.5
Reseptor adrenergik α2 merupakan reseptor
transmembran yang mengatur aktivasi guaninenucleotide regulatory binding protein (Protein G).
Guanine-nucleotide regulatory binding proteins
(protein G) menghambat adenilat siklase yang
kemudian menurunkan pembentukan adenosin
monofosfat siklik (cAMP) intraseluler. Enzim
kinase yang tergantung terhadap cAMP jumlahnya
bertambah sehingga mengaktivasi kanal ion di
membran sel. Aktivasi kanal ion mengakibatkan
efluks kalium yang menyebabkan hiperpolarisasi
di membran neuron. Hal ini mengakibatkan
supresi aktivitas neuron.5
Mekanisme lain dari stimulasi reseptor adrenergik
α2 adalah perubahan regulasi dari influks
kalsium melalui inhibisi kanal kalsium yang
membutuhkan energi untuk terbuka (N- type
voltage-gated Ca2+). Reduksi influks kalsium
ini menyebabkan efek inhibisi terhadap sekresi
neurotransmitter. Kedua mekanisme yang sangat
berbeda di atas memberikan efek yang sinergis
dari obat-obat agonis adrenergik α2 yaitu pertama
mencegah sinyal rangsang agar tidak pernah
terjadi di sel saraf dan kedua menyebabkan sinyal
rangsang yang terbentuk tidak bisa tersampaikan
ke sel berikutnya.5
109
Reseptor α terdistribusi terutama di locus
caeruleus dan nucleus solitaries terletak
daerah pons otak. Locus coeruleus merupakan
nukleus noradrenergik yang dominan di otak,
modulator siaga. Nukleus ini juga dikenal
sebagai jalur modulator medulospinal desenden
(nosisepsi). Dexmedetomidine di locus coeruleus
menginhibisi sinyal rangsang di membran sel
sehingga memberikan efek sedasi yang prosesnya
menghilangkan inhibisi neuron ventrolateral
preoptic nucleus (VLPO). Proses ini yang
disebut sebagai “sleep switch”. Rangsangan pada
reseptor adrenergik α-2A akan memberikan efek
sedasi, analgesia, hipnosis, neuroproteksi dan
simpatolisis. Efek dari reseptor adrenergik α-2A
dapat mencegah peningkatan tekanan intrakranial
sehingga melindungi otak dari tight brain.5
Rangsangan pada reseptor adrenergik α-2B
di sistem saraf pusat akan mengurangi efek
menggigil. Aktivasi di saraf spinal akan
memberikan efek analgesia dan di perifer akan
menyebabkan vasokontriksi. Rangsangan pada
reseptor adrenergik α-2C berkaitan dengan
regulasi sekresi adrenalin dari kelenjar adrenal,
proses sensorik kognitif dan mood. Reseptor α
2b dan 2C terdapat di sumsum tulang belakang,
otak dan neuron noradrenergik sistem saraf pusat
(terutama locus coeruleus dan kompleks motor
medula dorsal) yang dapat memberikan efek
bradikardi.5
Dexmedetomidine merupakan turunan dari
imidazolin (terdapat cincin imidazol) dan
Reseptor adrenergik α2 memediasi beberapa
macam efek fisiologis (sedasi dan analgesia,
agregasi trombosit, konstriksi vena perifer,
mengurangi salivasi, motilitas gaster dan
pelepasan insulin oleh pankreas, meningkatkan
laju filtrasi glomerulus ginjal serta mengurangi
tekanan intra okuli mata) karena reseptor ini
tersebar pada sistem saraf pusat dan perifer,
trombosit dan organ lainnnya, seperti ginjal, hati,
pankreas dan mata.5
Reseptor adrenergik α2 dapat teraktivasi oleh
adanya obat agonis α2 seperti dexmedetomidine
(penggunaan perioperatif), brimonidine (untuk
glaukoma), clonidine dan moxonidine (kontrol
Gambar 8. Sedasi Propofol-Dexmedetomidine
110
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
berinteraksi
dengan
reseptor
imidazolin
(“I”), yang merupakan komponen utama dari
dexmedetomidine. Pemberian agonis atau
antagonis dari imidazolin dengan reseptor
imidazolin (I2) akan melindungi otak dari cedera
iskemik.5 Penjelasan ini menunjukkan bahwa
dexmedetomidine dapat mencegah edem serebri
yang merupakan penyebab terjadinya tight brain.5
Dexmedetomidine direkomendasikan ketika
diinfuskan pada dosis 0,2 – 0,7 µg/kgbb/jam.15
Dexmedetomidine merupakan obat yang mudah
dikendalikan (mulai kerja cepat dan pemulihan
cepat), menjaga homeostasis intrakranial
tetap stabil, tidak mempengaruhi monitoring
neurofisiologi, neuroproteksi dan antinosisepsi. 2,5,16
Penggunaan dexmedetomidine pada awake
craniotomy mempunyai efek proteksi otak, slack
brain dan pemulihannya cepat. Dexmedetomidine
memiliki anesthesia sparring effect berupa
penurunan dosis propofol, menurunkan MAC
isoflurane 50–60%, menurunkan dosis thiopental,
MAC isofluran sampai 47%, MAC sevoflurane
17%.2,15 Gambar 8 menunjukkan sedasi
kombinasi propofol dan dexmedetomidine.
Dari beberapa sumber dipaparkan mengenai akibat
tingginya kadar konsentrasi dexmedetomidine
selama pemberian loading dose dapat terjadi
transient hypertension yang menyebabkan efek
awal vasokonstriksi perifer karena aktivasi dari
α2-adenoreseptor yang berlokasi di sel otot halus
pada pembuluh darah.16
Pada kasus yang dipaparkan di atas telah
terjadi
tight
brain
yang
penggunaan
dexmedetomidine dipikirkan menjadi salah
satu faktor yang dapat dimanipulasi. Tight
brain adalah ketidakseimbangan antara volume
organ intrakranial dengan rongga intrakranial
(volumenya
lebih
besar
dibandingkan
rongganya). Kejadian tight brain pada operasi
kraniotomi 5–6,1 % terdapat pembengkakan
intraoperasi. Penelitian lain menyebutkan pada
30% operasi reseksi tumor supratentorial terjadi
pembengkakan otak. Penilaian secara subyektif
intraoperasi dengan inspeksi langsung dan
palpasi dapat menghasilkan kesimpulan adanya
tight brain dalam 5 kategori yaitu ideal, less
ideal, tense, bulging dan worst condition for
surgery. Kategori lain adalah soft, adequate dan
tight. Penilaian obyektif dapat dilakukan dengan
mengukur tekanan subdural saat tulang kranial
dibuka dan dura masih tertutup. Herniasi otak
jarang terjadi bila tekanan subdural kurang dari
6 mmHg dan sering terjadi jika diatas 11 mmHg.
Diagnosis adanya tight brain juga penting
diikuti dengan mengevaluasi faktor risiko,
mencari penyebab dan melakukan pemeriksaan
penunjang.12
Dexmedetomidine memberikan efek sedasi,
analgesia, hipnosis, neuroproteksi dan simpatolisis
baik melalui efeknya terhadap reseptor adrenergik
α-2A maupun reseptor imidazoline. Efeknya
terhadap reseptor adrenergik α-2C menjaga mood
dan tidak meningkatkan nadi. Efek-efek tersebut
dapat mencegah peningkatan tekanan intrakranial
yang dapat berkontribusi terhadap timbulnya
tight brain. Timbulnya transient hypertension
pada kasus ini telah dicegah dengan tidak
melakukan loading dose dan menggunakan infus
propofol untuk mendapatkan efek ‘sleep’ pada
fase awal awake craniotomy. Dengan demikian
kecil kemungkinan terjadinya tight brain karena
peningkatan tekanan intrakranial akibat hipertensi
yang berhubungan dengan dexmedetomidine.
Untuk itu perlu dicari penyebab lain yang dapat
menyebabkan tight brain.5 Empat dasar penyebab
terjadinya tight brain yaitu lesi intrakranial,
edem serebri, kongestif kardiovaskuler dan
hidrosefalus.17 Faktor risiko terjadinya tight brain
antara lain glioblastoma multiforme, adanya
metastasis, adanya mid line shift pada gambaran
radiologis preoperasi dan peningkatan tekanan
subdural.17
Pada kasus ini sifat tumor yang dapat menyebabkan
edem serebri sehingga menimbulkan tight brain.
Penelitian pada tahun 1967 menyatakan bahwa
edem serebri adalah peningkatan akumulasi
cairan otak intraseluler dan atau ekstraseluler
ditandai dengan pembengkakan jaringan otak
sesuai dengan peningkatan progresif kadar
cairan otak yang sesuai dengan peningkatan
yang progresif kadar cairan otak yang dapat
terjadi karena iskemia.16,18,19 Iskemia berperan
pada terjadinya vasodilatasi melalui mekanisme
autoregulator yang berfungsi sebagai restorasi
Tight Brain pada Anestesi Awake Craniotomy dengan
Dexmedetomidine
perfusi serebral. Edem serebri dapat terjadi akibat
dari vasodilatasi. Vasodilatasi yang terjadi akan
meningkatkan volume darah serebral yang pada
akhirnya meningkatkan tekanan intrakranial,
menurunkan tekanan perfusi serebral. Edem
serebri dapat terjadi akibat kebocoran sawar
darah otak yang menyebabkan peningkatan
tekanan osmotik dan cairan keluar dari pembuluh
darah kemudian masuk ke dalam kompartemen
ekstraseluler. Cairan intravaskular ini keluar
melalui endotel dengan mekanisme pinositosis
dan atau tight junction yang bocor. Kebocoran
sawar darah dapat terjadi karena beberapa
keadaan antara lain tumor.2, 18 Berdasarkan
pemeriksaan Patologi Anatomi didapatkan
diagnosis Oligoastrositoma. Oligoastrositoma
merupakan tumor glioma campuran yang berisi
oligodendroglioma abnormal dan sel astrositoma.
Insidensi oligoastrositoma mencapai 5–10%
kejadian tumor glioma, terutama pada usia 35 –
50 tahun tanpa memandang jenis kelamin. Tumor
ini lebih sering ditemukan pada lobus frontal
dan temporal otak. Tumor ini bersifat lebih
agresif dibandingkan dengan oligodendroglioma.
Umumnya pasien yang memiliki tumor ini akan
mengeluhkan kejang, sakit kepala dan perubahan
kepribadian.20 Adanya edem serebri pada kasus
ini dimungkinkan karena sifat tumor yang
agresif dan menekan jaringan otak di sekitar dan
menyebabkan pergeseran garis tengah.
Kongestif kardiovaskular dapat menyebabkan
tight brain berkaitan dengan depresi pernapasan
yang
menonjol.
Hiperkapnia,
tingginya
agent volatile anestesi, peningkatan cairan
serebrospinal/volume pembuluh darah otak,
penekanan vena pada leher (gangguan aliran
balik vena) juga dapat menyebabkan tight brain.
Pada kasus ini sudah dilakukan tatalaksana
pemberian cairan hiperosmolar (mannitol dan
salin hipotonus), hiperventilasi, posisi head up,
penggunaan propofol, furosemide dan steroid.12
Pasien diposisikan head up 10–30 derajat untuk
mengurangi tekanan intrakranial dengan cara
mengalokasikan cairan serebrospinal dari ruang
intrakranial ke ruang ekstrakranial – intratekal,
mereduksi volume darah otak volume intrakanial
serta retraksi otak karena adanya pengaruh
111
gravitasi. Perlu diperhatikan bahwa posisi head
up ini dapat meningkatkan risiko hipoperfusi
serebral, kejadian emboli udara pada vena serta
pneumocephalus.12
Obat anestesi intravena memiliki efek yang
signifikan terhadap tonus vasomotor serta aliran
darah ke otak. Efek propofol terhadap aliran
darah otak dan juga metabolisme otak adalah
menurunkan tekanan perfusi serebral sebanyak
30%, menurunkan aliran darah ke otak sebanyak
30% dan pada saat yang sama dapat menurunkan
tekanan intrakranial.
Autoregulasi serebrovaskular sebagai respon
terhadap perubahan tekanan darah sistemik dan
reaktivitas aliran darah ke otak untuk merubah
PaCO2 tidak dipengaruhi oleh propofol.14,18
Propofol
juga
mempunyai
gambaran
antikonvulsan dan antiemetik yang mencegah
peningkatan tekanan intrakranial. Pemberian
propofol untuk menghasilkan sedasi pada pasien
dengan SOL (space occupying lesion) intrakranial
tidak meningkatkan tekanan intrakranial. Dengan
targeted continuous infusion tekanan perfusi
serebral dipertahankan adekuat, tidak mengalami
penurunan mendadak atau besar.2,14 Penurunan
tekanan perfusi serebral yang mendadak atau
besar dapat menyebabkan risiko terjadinya
iskemia otak, edem serebri dan tight brain.
Propofol dipilih karena memiliki efek sedasi
yang dapat dinaikkan dan diturunkan dalam
waktu singkat dan pada dosis terapeutik dapat
mencegah tight brain.
Selain obat anestesi intravena, agen volatil
juga memiliki efek yang signifikan terhadap
tonus vasomotor serta aliran darah ke otak obat
inhalasi dengan MAC tinggi akan meningkatkan
aliran darah ke otak dan volume darah otak
dengan menyebabkan vasodilatasi instrinsik
serebral dan meningkatkan aktivitas metabolism
serebral. Obat anestesi volatil dengan 0,5 MAC
dapat mengurangi kejadian peningkatan tekanan
intrakranial dan tight brain.12 Pasien mendapatkan
manitol untuk mengurangi edem serebri.
Cara kerja manitol sebagai diuretik osmotik
dengan meningkatkan osmolalitas plasma dan
menarik cairan normal dari dalam sel otak yang
osmolarnya rendah ke intravaskuler yang osmolar
112
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
tinggi, untuk menurunkan edem otak. Furosemide
juga diberikan pada pasien ini sebagai diuretik.
Dexamethasone (steroid) dalam hal ini bermanfaat
pada edem serebri yang berkaitan dengan tumor,
primer atau metastasis. Kemungkinan steroid
berefek langsung pada sel endotelial dengan
mengurangi permeabilitasnya.6,12 Pada pasien ini
diberikan fenitoin selain mencegah kejang akibat
tumornya dan dapat berguna juga untuk mencegah
tight brain akibat iskemia pascakejang. Fenitoin
diberikan setelah 2 jam operasi berjalan untuk
mencegah kejang sehingga tidak mengganggu
proses awake craniotomy. Fenitoin bekerja
dengan cara menstabilkan aktivitas elektrik.2, 9, 12
IV. Simpulan
Dexmedetomidine berdasarkan literatur dapat
dijadikan sedasi tunggal dalam awake craniotomy.
Dexmedetomidine mencegah tight brain karena
memiliki fungsi neuroproteksi dengan adanya
reseptor imidazoline. Pada kasus ini penyebab
tight brain berasal dari tumor oligoastrositoma
yang bersifat agresif dan menekan jaringan
otak di sekitar serta menyebabkan pergeseran
garis tengah. Kongestif kardiovaskuler otak
dapat diperbaiki dengan tatalaksana secara
nonmedikamentosa dan medikamentosa. Pada
kasus-kasus tumor banyak penyebab terjadinya
tight brain maka seorang anestesiologis perlu
mengevaluasi masing-masing faktor tersebut.
Teknik awake craniotomy yang menggunakan
dexmedetomidine masih baik untuk dilakukan.
Daftar Pustaka
1. Burnand C. Anaesthesia for awake
craniotomy. Contin Educ Anaesth Crit Care
Pain. 2014;14(1):6-11.
2. Schubert A, Lotto M. Awake craniotomy,
epilepsy, minimal invasive, and robotic
surgery. In: Cottrell JE, Young WL, editors.
Cottrell and Young's Neuroanesthesia. 5th
ed: 2010.
3. Lalenoh DC, Lalenoh HJ, Rehata NM.
Anesthesia for craniotomy supratentorial
tumor. Jurnal Neuroanestesia Indonesia.
2012;1(1):16–24.
4. Ramkiran S, Iyer SS, Dharmavaram S, Mohan
CV, Balekudru A, Kunnavil R. BIS targeted
propofol sparing effects of dexmedetomidine
versus ketamine in outpatient ERCP: A
prospective randomised controlled trial.
Journal of clinical and diagnostic research:
JCDR. 2015 May;9(5):UC07-12.
5. Alam A, Suen KC, Hana Z, Sanders RD,
Maze M, Ma D. Neuroprotection and
neurotoxicity in the developing brain: an
update on the effects of dexmedetomidine
and xenon. Neurotoxicology and teratology.
2017 Jan 06.
6. Yang GZ, Xue FS, Sun C. Assessing
interaction
between
dexmedetomidine
and propofol. Journal of anesthesia. 2017
Feb;31(1):156.
7. Peng W, Zhang T, Wang Y. Comparison
of propofol-hydromorphone and propofoldexmedetomidine in patients with intubation
after
maxillofacial
plastic
surgery.
Therapeutics and clinical risk management.
2016;12:373-7.
8. Turunen H, Jakob SM, Ruokonen E,
Kaukonen KM, Sarapohja T, Apajasalo M,
et al. Dexmedetomidine versus standard
care sedation with propofol or midazolam
in intensive care: an economic evaluation.
Critical care. 2015 Feb 19;19:67.
9. Zoppellari R, Ferri E, Pellegrini M.
Anesthesiologic management of awake
craniotomy. Dalam: Signorelli F, editor.
Explicative Cases of Controversial Issues in
Neurosurgery2012: 19–34.
10. Brydges G, Atkinson R, Perry MJ, Hurst
D, Laqua T, Wiemers J. Awake craniotomy:
a practice overview. AANA journal.
2012;80(1):61-8.
11. Pastor J, Vega-Zelaya L. Intraoperative
Tight Brain pada Anestesi Awake Craniotomy dengan
Dexmedetomidine
neurophysiologica; monitoring techniques
for the resection of malignant brain tumors
Located in Eloquent Cortical Areas. Austin
Neurosurg. 2015;2(4):1–8.
12. Li J, Gelb AW, Flexman AM, Ji F, Menq L.
Definition, evaluation and management of
brain relaxation during craniotomy. Br. J
anaesth. 2016;1–11.
13. Amiri HR, Kouhnavard M, Safari S.
Scalp block for awake craniotomy in a
patient with a frontal bone mass: a case
report. Anesthesiology and pain medicine.
2012;1(3):187–90.
14. Sung B, Kim HS, Park JW, Byon HJ, Kim
JT, Kim CS. Anesthetic management
with scalp nerve block and propofol/
remifentanil
infusion
during
awake
craniotomy in an adolescent patient -A case
report. Korean journal of anesthesiology.
2010;59(Suppl):S179–82.
15. Gertler R, Brown HC, Mitchell DH, Silvius EN.
Dexmedetomidine: a novel sedative-analgesic
agent. Proceedings. 2001;14(1):13–21.
113
16. Yektas A, Gumus F, Alagol A.
Dexmedetomidine and propofol infusion on
sedation characteristics in patients undergoing
sciatic nerve block in combination with
femoral nerve block via anterior approach.
Brazilian journal of anesthesiology. 2015
Sep-Oct;65(5):371–8.
17. Whitby JD. The tight brain. Anesthesia.
2007;16(1):99–100.
18. Ilhan O, Koruk S, Serin G, Erkutlu I, Oner
U. Dexmedetomidine in the supratentorial
craniotomy. The Eurasian journal of
medicine. 2010 Aug;42(2):61–5.
19. Zhang H, Fang B, Zhou W. The efficacy
of dexmedetomidine-remifentanil versus
dexmedetomidine-propofol
in
children
undergoing
flexible
bronchoscopy:
A retrospective trial. Medicine. 2017
Jan;96(1):e5815.
20. American Brain Tumor Association.
Oligodendroglioma and Oligoastrocytoma.
2016.
Tatalaksana Anestesi pada Bedah Minimal Invasif Deep Brain Stimulation (DBS)
Bona Akhmad Fithrah*), Iwan Fuadi**), Sri Rahardjo***), Tatang Bisri**)
Departemen Anestesi dan terapi Intensif RS Mayapada Lebak Bulus Jakarta, **)Departemen Anestesi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung, ***)Departemen Anestesi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-RSUP dr. Sardjito Yogyakarta
*)
Abstrak
Otak adalah organ terpenting dalam tubuh manusia. Pada neuroanestesi otak ini dimanipulasi dengan berbagai
obat hingga dapat dilakukan pembedahan pada otak itu sendiri. Saat ini berkembang berbagai prosedur bedah
syaraf yang bersifat minimal invasif. Dengan hadirnya pembedahan minimal ini diharapkan keluaran bedah syaraf
semakin baik dan komplikasi minimal. Salah satu prosedur bedah minimal invasif adalah Deep Brain stimulation
(DBS). Prosedur ini memiliki beberapa hal yang harus dipertimbangkan yang bila tidak diperhatikan maka akan
menyulitkan operator dan anestesi sendiri. Hal terpenting dari prosedur ini adalah keakuratan untuk menempatkan
electrode pada nuclei yang akan dilakukan stimulasi. Anestesi hadir untuk memfasilitasi prosedur minimal invasif
ini. Target anestesi pada bedah syaraf minimal invasif tetap sama yaitu perfusi otak yang adekuat. Dan untuk
mencapai perfusi otak yang adekuat ini tetap memerlukan persiapan pasien yang baik. Teknik anestesi yang
dilakukan berbeda dengan anestesi rutin bedah syaraf. Tekhnik yang umum dikerjakan saat ini adalah monitored
anesthesia care dengan local anesthesia, conscious sedation dan anestesi umum. Setiap tekhnik ini memiliki
keuntungan, kerugian, pemilihan obat anestesi dan dapat disesuaikan dengan kondisi rumah sakit. DBS sendiri
setelah ditanamkan memiliki standar keamanan tersendiri yang harus dipatuhi agar tetap bekerja dengan baik. DBS
saat ini dapat ditawarkan sebagai terapi alternatif bagi pasien parkinson yang gagal dengan terapi medikamentosa.
Kata kunci: Bedah syaraf minimal invasif, Deep Brain Stimulation, tata laksana anestesi.
JNI 2017;6 (2): 114‒23
Anesthesia for Minimally Invasive Surgery Deep Brain Stimulation (DBS)
Abstract
Brain is the important part from human body. In neuroanesthesia brain is manipulated so surgery can conduct in
the brain itsef. Nowadays there are several minimally invasive neurosurgery procedure. What we expect from the
minimally invasive surgery is the outcome will be better and or with minimal complication. One of the minimally
invasive procedure is Deep Brain Stimulation (DBS). This procedure have some concern to considered if not
would complicate the surgeon and the anesthesiologist. Anesthesia come to facilitate this minimally invasive
neurosurgery. The goal of anesthesia attending this minimal invasive procedure still the same with routine
neurosurgery. which is to make sure adequate cerebral perfusion pressure. Anesthesia procedure litle bit different
with common neurosurgery. Anesthesia procedure that recommend nowadays are monitored anesthesia care with
local anesthesia, conscious sedation and general anesthesia. All the procedure have advantages and disadvantages,
anesthesia drug chosen and customizing with hospital condition. After implanted DBS has certain procedure to
be followed if not would endanger or destroyed the DBS itself. Nowadays DBS can be offered as an alternative
therapy for the patients which failed with medical therapy.
Key word: Minimally invasive neurosurgery, Deep brain stimulation, anesthesia technique
JNI 2017;6 (2): 114‒23
114
Tatalaksana Anestesi Pada Bedah Minimal Invasive
Deep Brain Stimulation (DBS)
I. Pendahuluan
Otak adalah organ yang paling berharga dalam
tubuh manusia, organ yang menjadikan seorang
hidup. Hingga definisi kematian seseorang saat
ini adalah bila telah terjadi kehilangan fungsi
otak. Dalam kehidupan anestesi sehari-hari
fungsi otak ini dimanipulasi dengan berbagai
teknik dan obat-obatan untuk menghasilkan
kondisi anesthesia hingga berbagai prosedur
operasi dapat dikerjakan. Pada pasien dengan
masalah otak yang akan dikerjakan adalah otak
itu sendiri hingga otak tersebut dimanipulasi
hingga otak bisa menjadi lokasi operasi.1
Sekarang ini sedang menjadi tren yaitu bedah
invasive minimal disemua bidang ilmu bedah.
Termasuk dalam ilmu bedah syaraf. Seiring
dengan berkembangnya ilmu pencitraan dan
fibre optic telah ikut menopang berkembangnya
ilmu bedah invasif minimal pada bidang bedah
syaraf. Keuntungan dari bedah invasive minimal
ini adalah akurasi pada lesi hingga prosedur
dapat dikerjakan pada area area yang sulit dan
mengurangi resiko kerusakan pada jaringan yang
sehat.2,3
Berkembangnya ilmu bedah syaraf minimal
invasif minimal ini juga berdampak pada
perkembangan ilmu neuroanestesi. Seorang
anestesi perannya menjadi lebih luas ke ruang
radiologi dan tidak sekedar di kamar operasi.
Tetapi secara global tujuan dari anestesi tetap
sama yaitu memberikan pengkajian pre operasi,
perencanaan anestesi, hemodinamik monitoring
dan mengkontrol adekukat perfusi otak. Persiapan
yang perlu dilakukan pun tidak terlalu berbeda
hampir sama dengan persiapan kraniotomi.3
Penyakit Parkinson adalah penyakit kronik,
progresif dan neurodegeneratif yang ditandai
empat gejala motorik utama yaitu postural
instability, rigidity, bradikinesia, dan resting
tremor dan empat beberapa gejala klinis non
motorik seperti anxietas, depressi, impaired
cognition dan autonomic dysfunction. Parkinson
diketahui terjadi karena ketidak seimbangan
antara dopaminergic dan cholinergic neuron di
otak. Umumnya Parkinson ini diterapi dengan
medikamentosa. Bila terapi medikamentosa ini
115
tidak adekuat maka pasien itu dapat disarankan
untuk dilakukan Deep Brain stimulation (DBS).4
DBS ini termasuk dalam prosedur bedah minimal
invasif pada bedah syaraf disamping neuro
endoskopi dan close brain biosy.1
Tekhnik anestesi pada DBS ini sangat khas dan
memerlukan pertimbangan yang banyak sejak
pra hingga pasca operasi.1-4 Saat ini prosedur ini
belum ada catatannya dilakukan di Indonesia
tapi seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi
akan berkembang pesat di Indonesia. Sebagai
seorang anestesi wajib memahami dan mengerti
pertimbangan pertimbangan anestesi terkait DBS
ini. Pada makalah ini akan dibahas pengantar
tentang DBS itu sendiri hingga tekhnik anestesi
pada prosedur DBS dan hal-hal yang harus
diperhatikan pada pasien DBS yang harus
menjalani prosedur diagnostik ataupun operasi
yang tidak terkait DBS itu sendiri.
II. Deep Brain stimulation (DBS)
Deep brain stimulation adalah terapi pembedahan
pada pasien dengan gangguan pergerakan yang
tidak hilang dengan terapi medikamentosa.
Salah satu contoh penyakit dengan gangguan
pergerakan ini adalah penyakit Parkinson.
Disamping itu DBS ini juga dipakai sebagai
terapi dari berbagai masalah neurologi dan
psikiatri seperti nyeri kronik, epilepsi, obsessive
compulsive disease (OCD) dan gangguan
depressive. Sampai saat ini telah 75000 pasien
dari seluruh dunia tercatat ditanamkan implant
dari DBS ini. Pada tahun 1997 FDA sendiri telah
menyetujui penggunaan DBS ini untuk penyakit
Parkinson. DBS dinyatakan memiliki prosedur
yang aman dan keuntungan jangka panjang. Saat
ini penggunaan DBS untuk terapi pada sindroma
Tourette, depresi, cluster headache, nyeri kronis,
alzhemeir dan vegetative state pada pasien pasca
trauma masih terus dikembangkan.5,6
Efektifitas terapi dari DBS sangat tergantung
dari akurasi penempatan electrode pada target
nuclei. Target nuclei ini terletak di dalam dan
kecil secara ukuran. Untuk penempatan electrode
yang baik memerlukan metode inovatif untuk
meningkatkan akurasinya. Penggunaan frame
based imaging technique untuk menggambarkan
116
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
dan mendapatkan koordinat yang tepat dari
target nuclei. Penggunaan panduan intraoperatif
elektrofisiologi perekam microelectrode (MER)
dan macrostimulator saat pasien masih sadar
hingga posisi dapat diverifikasi ketepatannya.
Penggunaan frameless brain navigation telah
dilakukan tetapi hingga saat ini masih tidak
popular. Teknik pencitraan yang lebih baik
dengan MRI 3 T dan 7 T juga telah membantu
meningkatkan
akurasi
penempatan
dari
electrode. dilaporkan satu serial kasus dari 79
kasus Parkinson yang diterapi dengan DBS.
Pencitraan yang dilakukan adalah dengan MRI.
Dimana penempatan electrode dari dibantu
dengan panduan dari MRI tanpa MER. Prosedur
penempatan electrode berhasil dengna baik dan
aman.4-6
Target nuclei DBS untuk gangguan pergerakan
saat ini yang popular adalah Subthalamic nuclei
(STN), Globus pallidus interna (GPi) dan
ventralis intermedius nucleus of thalamus (Vim).
Saat ini yang paling sering untuk terapi penyakit
parkinson adalah STN. Dimana perangsangan
pada area ini dapat menyingkirkan gejalan
klinis dari pada Parkinson seperti bradikinesia,
rigiditias dan tremor. GPi adalah target yang
efektif untuk keluhan dystonia umum dan
dystonia daerah cervical. GPi juga digunakan
untuk pasien Parkinson dengan gejala dyskinesia
berat. Stimulasi pada area Vim juga efektif pada
gejala essential tremor dan tremor dominantparkinson diseases. Sedangkan titik lain seperti
subcallosal cingulate gyrus (Cg25), anterior limb
of internal capsule (AIC), Nucleus accumbens
(NAcc) adalah are area target untuk pasien dengan
diagnosis depresi dan OCD. Target lain seperti
anterior thalamus untuk epilepsy, centromedianparafascicular thalamic nuclei untuk Tourette
syndrome, fornix dan hypothalamus untuk
dementia. Target target terapi baru yang masih
terus diteliti seperti hippocampus, pedunclopontine tegmental nucleus (PPTg) dan reticular
formation.4
Sejarah DBS
Penggunaan terapi listrik sudah dimuali sejak
abad 18 dimana giovani aldini di bologna
mengenalkan penggunaan ECT pada gangguan
perilaku. Diawal abad 20 telah berkembang
pemahaman tentang basal ganglia dimana bansal
ganglia ini besar perannya dalam terjadinya
gerakan ekstrapiramidal. sebelum saat itu basal
ganglia masih disebut sebagai noli me tangere
atau no go area. Tahun 1920 Leriche melakukan
pembedahan terbuka cervical rhizotomy, 1937
Bucy melakukan pembedahan terbuka cortectomy
untuk tremor, 1937 Meyers melakukan pembautan
lesi pada bangsal ganglia, 1948 pool melakukan
caudat stimulation untuk mengurangi depresi.
Semua ini berubah pada periode 1940–1950
dimana mulainya penggunaann frame stereotactic
pada manusia. Pada tahun 1950 Spiegel dan Wycic
berhasil melakukan pembedahan stereotactic
pertama. Tahun 1951 talairach menggunakan
frame sterotactic untuk movement disorder.
Tahun 1954 Hassler melakukan thalamotomy
pada pasien dengan Parkinson.4,6,7
Pada perkembangan awal masih terfokus
pada pallidum dan ventrolateral thalamus.
Tindakan pembedahan yang dikerjakan pada
thalamus menyebabkan hilangnya tremor.
Seiring penggunaan microelectrode recorder
ditemukan subdivisi dari thalamus yaitu Vim
yang menjadi fokus dari tremor.pencatatan pada
Vim menemukan gelombang abberan ritmis yang
sesuai dengan terrjadinya tremor yang dicatat oleh
electromiografi. Penekanan gelombang abberan
ini menyebabkan berkurang hingga hilangnya
tremor. Dasar ini yang menjadi berkembangnya
thalamotomy.4,6,7
Pada tahun 1960 an berkembang pembedahan
dengan dasar perkembangan ventriculografi.
Tapi perkembangan ini tidak lama dengan
ditemukannya L-DOPA pada tahun 1968.
Penemuan Ldopa ini yang disebut sebagai end of
surgical era.
Pada tahun 1990an minat untuk mengembangan
pembedahan pada basal ganglia ini kembali
berkembang. Hal ini dipicu oleh komplikasi dan
masalah pnggunaan jagka panjang dari l-dopa
dan didukung penemuan alat alat radiologi
diagnostic yang semakin berkembang dengan
high resolution CT scan atau MRI. Perkembangan
penggunaan model binatang juga mendukung
teknik pembedahan ini dengan ditemukannya
Subthalamic nucleus yang overactive pada
penyakit Parkinson. Subthalamic nucleus ini
Tatalaksana Anestesi Pada Bedah Minimal Invasive
Deep Brain Stimulation (DBS)
sekarang menjadi target terapi dari penggunaan
DBS pada pasien Parkinson. Tahun 1990 Laitinen
melakukan thalamotomy/pallidothomy dan 1991
Profesor Alim Louis Benabid mengenalkan
konsep DBS untuk pertama kali. Perbedaan
utama dari konsep DBS dengan operasi terbuka/
membuat lesi pada basal ganglia adalah sifat
reversibilitas dan titrasi perangsangan dari listrik
yang diberikan. Sedangkan pada operasi terbuka
bersifat irreversible dan erat kaitannnya dengan
efek samping yang permanen.4,6,7
Indikasi dan Kontraindikasi
Umumnya DBS digunakan pada pasien yang telah
gagal dilakukan terapi medikamentosa untuk
mengontrol gejala gejala klinis yang terjadi.4,7
Indikasi
Pada Parkinson DBS tidak memberikan harapan
untuk kesembuhan dan penghambatan progesivitas
penyakit. DBS hanya menguirangi gejala klinis
tremor, rigidity dan bradikenesia. Disamping itu
juga gejala mood, energy level dan well being
akan membaik. Pasien yang preoperative respons
terhadap levodopa, telah menderita lebih dari
lima tahun dan berumur kurang dari 70 tahun
memiliki reapon yang baik dengan DBS.4,7
Pasien dystonia dengan gejala tremor dengan
tampilan klinis yang berat/ hingga mengganggu
aktivitas harian merupakan kandidat yang baik
untuk DBS. Intention tremor atau resting tremor
pada daerah distal lebih respon disbandingkan
yang proksimal ekstremitas.4,7 Dystonia yang
tidak respon terhadap semua obat termasuk toxin
botulinum telah menunjukan respon yang baik
terhadap DBS. Primary generalized dystonia,
idiopathic cervical dystonia, dan juvenile onset
dystonia juga telah menunjukkan respon yang
baik terhadap dystonia.4,7 Pasien psikiatri yang
gagal dengan terapi medikamentosa dapat
dipertimbangkan untuk dilakukan terapi dengan
DBS. Salah satunya adalah pasien Obsesive
compulsive disease (OCD) telah dilakukan DBS
dan hasilnya cukup menjanjikan. Disamping
semua penyakit diatas masih ada beberapa
penyakit yang dilakukan terapi dengan DBS
seperti pasien chronic pain, Alzheimer dan
Huntington chorea.4,7
117
Kontraindikasi
DBS tidak perlu dipertimbangkan pada pasien
yang memiliki hasil terapi yang baik pada
penggunaan medikamentosa. Pasien usia lebih
dari 70 tahun dan telah menderita Parkinson
kurang dari lima tahun merupakan kontraindikasi
relative.4,7
Sebagai tambahan DBS tidak mengurangi gejala
kekurangan dopamine seperti masalah berjalan,
bicara dan berpikir.7 Pasien dengan gejala
cogninitive dearrangement seperti dementia
juga tidak perlu dilakukan DBS. STn DBS
menunjukan kejadian depresi dan penurunan
cognitive pascaprosedur.4,7 Pasien dengan
coagulopathy, uncontrolled hypertension, severe
coronary artery diaseses, pasien rutin terapi
dengan diathermi, kanker, infeksi yang aktif,
DM tidak terkontrol, pasien yang akan rutin
menggunakan MRI juga tidak disarankan untuk
dilakukan DBS.4 Pasien dengan pace maker juga
bukan kontraindikasi tetetapi perhatian khusus
harus diberikan pada pasien tersebut.4
Cara kerja DBS
Telah diketahui sejak tahun 1970 bahwa
penggunaan stimulasi listrik memiliki efek yang
sama dengan operasi terbuka/melukai/membuat
lesi pada basal ganglia. Bagaimana DBS kerja
ini sebenarnya belum diketahui secara pasti.
Semuanya masih dugaan yaitu stimulasi listrik
pada basal ganglia akan menghambat aktivitas
sel dan eksitasi dari akson, menyebabkan
terlepasnya calcium yang memicu terlepasnya
neurotransmitter yang mengurangi gejala dari
Parkinson.4,6,7 Efek dari DBS berbeda beda
tergantung dari lokasi yang distimulasi. Lokasi
target stimulasi tergantung pada gejala pasien
dan reaksi yang diharapkan dari stimualsi target.
stimulator akan diatur pada frekuensi tinggi
sekitar 130–180 Hz untuk menekan aktivitas
yang berlebihan dari target. Efek dari DBS ini
sangat tergantung pada frekunsi yang diberikan.
Masing masing target lokasi memiliki efektifitas
frekuensi sendiri.4,6,7 Vim nucleus dipilh sebagai
target lokasi untuk mengurangi gejala tremor.tapi
stimulasi pada Vim tidak menyebabkan hilangnya
gejala rigiditas, bradikonesia, dyskinesia dll.4,6,7
STn/GPi dipilih sebagai target lokasi pada
118
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
pasien dengan gejala lebih dari sekedar tremor.
STn ditemukan lebih baik dari GPi dalam
menghilangkan gejala motoric, dan dipilih
sebagai alternative pada pasien yang gagal setelah
dilakukan pemasangan DBS dengan target lokasi
GPi.4,6,7
Prosuder pembedahan DBS
Saat ini alat DBS yang telah dipasarkan luas
dibuat oleh Medtronic dengan merk dagang
Activa Parkinson control therapy telah mendapat
persetujuan FDA untuk digunakan secara luas.4
Alat ini terdiri dari lead (dengan diameter hanya
beberapa millimeter) dengan empat contact
electrode pada ujungnya. Anchoring system
(plastic ring) untuk akan memegang electrode
pada cranium. Electorde ini akan dihubungkan
dengan kabel ke pulse generator. Saat ini ada
bebrapa pilihan pulse generator yaitu unilateral
stimulator, bilateral stimulator dan beberapa
ada yang dengan battery rechargeable. Pasien
dapat mengendalikan sendiri pulse generator ini,
menghidupkan, mematikan mengganti battery
dan mengatur implantable pulse generator (IPG)
parameter. Battery yang digunakan berumur 2–5
tahun yang rechargeable bahkan hingga sembilan
tahun. Direkomendasikan battery diganti setelah
tersisa 10% atau kurang proses penggantian ini
juga tidak memerlukan perawatan.4
Prosedur pembedahan DBS berlangsung dalam
dua tahap. Tahap pertama adalah penempatan
electrode pada lokasi target dan tahap kedua
adalah penanaman implantable pulse generator
(IPG) pada subkutis. Penempatan electrode
pada satu atau dua sisi tergantung pada gejala
dari pasien. Biasanya tahap kedua dikerjakan
tiga hari atau dua minggu setelah tahap pertama.
Ini tergantung dari pasien dan untuk mencegah
terjadinya microlession effect, yaitu efek yang
terjadi akibat edema saat penanaman electrode.
Micro lesion ini berdampak perbaikan gejala
walaupun belum dilakukan stimulasi hal ini
membuat stimulasi yang akan diatur menjadi
tidak akurat.
Prosedur penempatan electrode adalah prosedur
sterotactic. Procedure ini menggunakan frame
based imaging. STN dan GPi dapat diidentifikasi
dengan MRI sedangkan Nucleus thalamic tidak
dapat digambarkan. Prosedur dimulai dengan
peasangan frame dilanjutkan dengan MRI.
Frame yang umum dipakai adalah Laksell Frame
dan Cosman-Robert-Wells frame. Pemasangan
frame ini membuat akses pada airway menjadi
sulit. Selanjutnya proses berlangsung di kamar
operasi. Pasien diposisikan sitting atau semi
sitting position. kemudian dilakukan burr hole.
Pada area yang ttelah ditentukan. Dilakukan
pemasangan electrode dengan neurofisiologis
melakukan pencatatan hasil stimulasi hingga
mendapatkan titik yang tepatselanjutnya bias
dilanjutkan dengan penanaman dari IPG pada
dinding abdomen atau dibawah clavicula.4,6,7
III. Pertimbangan Anestesi pada DBS
Pemilihan pasien dan teknik anestesi
Disamping seleksi untuk DBS nya sendiri
seleksi perlu juga dilakukan terkait dengan
teknik anestesi yang akan dikerjakan. Disamping
pengkajian rutin anestesi maka perlu dilakukan
juga pertimbangan pertimbangan tersendiri.4,6
Pertimbangan seperti komorbid pada pasien, usia
pasien, ada tidak nya OSA, tingkat kooperasi dari
pasien dan adanya ferro magnetic implat seperti
pace maker, clip aneurisma, implant cochlear.
Hipertensi harus terkontrol dengan baik karena
berisiko untuk menimbulkan perdarahan saat
dilakukan prosedur DBS.4
Pengkajian anestesi intraprosedure sepeti jalan
napas dan potensi terjadinya difficult airway
sudah harus dpertimbangkan sebelum dilakukan
prosedur. Alat alat difficult airway harus tersedia.
Fibreoptic intubation dan LMA adalah dua alat
yang diunggulkan. Posisi pasien intraoperatif
juga menentukan pada pasien yang memilik
masalah pergerakan akan sulit dilakukan posisi
yang baik, posisi semi sitting atau sitting juga
berisiko terjadi VAE dan penggunaan obat
obat anestesi juga harus menjadi petimbangan
terhadap penggunaan MER.4
Terkait penyakit pasien seperti pada Parkinson
juga harus menjadi pertimbangan tersendiri.
Resiko ketidakstabilan hemodinamik, aspirasi,
laringospasme, sulit batuk, anemia, depresi,
halusinasi, dementia dan potential interaksi obat.
pasien dengan tremor biasanya berisiko terjadi
bradikardia dan aritmia lain. Pasien dengan
Tatalaksana Anestesi Pada Bedah Minimal Invasive
Deep Brain Stimulation (DBS)
epilepsi biasanya masih dalam pengaruh obat
dan memiliki potensi interaksi obat dengan obat
anestesi. Pasien dengna nyeri kronik harus optimal
pengobatannya sebelum prosedur dilakukan.4
Tekhnik Anestesi
Tujuan dari anestesi adalah untuk menciptakan
kondisi operasi yang ideal, memfasilitasi neuro
monitor, mengkondisikan pasien tetap sadar,
aman jalan napas termasuk mendiagnosis dan
mengelolanya bila terjadi komplikasi. Tujuan
anestesi pada DBS tidak ada yang berbeda
sebenarnya dengan tujuan anestesi pada setiap
pembedahan hanya yang menjadi hal penting
adalah memfasilitasi proses neuro monitor.4
Tantangan terbesar dari penggunaan teknik
anestesi pada DBS adalah pengaruh obat anestesi
pada microelectrode recording (MER) dan
kebutuhan untuk tetap bangun dan kooperatif
pasien saat dilakukan uji macrostimulasi.4-7
Teknik anesthesia yang digunakan memang bisa
sangat bervariasi sekali tergantung bagaimana
praktik terbaik yang dilakukan di rumah sakit
tersebut. Tetapi umumnya dibagi menjadi tiga
teknik yaitu monitored anesthesia care dengan
lokal anestesi, conscious sedation dan anestesi
umum. Saat ini tidak ada teknik yang lebih
superior dibanding yang lain, sekalipun pada
teknik awake atau conscious sedation dapat
memfasilitasi proses monitor elektofisiologi.5
Apapun pilihan teknik anestesinya pasien harus
mendapat penjelasan yang baik tentang teknik
anestesi yang akan dilakukan. Penjelasan yang
baik ini akan sangat membantu pada saat prosedur
akan dikerjakan dan akan membantu memotivasi
pasien dalam menjalani prosedur yang panjang
dari ruang radiologi hingga ke kamar operasi
dan membantu menghilangkan kecemasan yang
dialami pasien.4 pasien yang akan melalaui
anesthesia dengan bantuan local anesthesia
juga harus dijelaskan bahwa ia akan dilakukan
pemasangan frame yang sebelumnya dilakukan
penyuntikkan obat anestesi lokal, setelah frame
terpasang ia juga akan merasa disekeliling kepala
merasa diikat selama lebih kurang lima menit
hingga frame terpasang.7
Ada perbedaan yang bermakna terkait pemilihan
teknik anestesi dan ini ditentukan berdasarkan
populasi pasien dan target nucleus yang akan
119
di stimulasi.5 Contohnya adalah pada pasien
dengan rencana stimulasi pada STN dapat
dilakukan dengan baik dan efektif dalam general
anesthesia dengan atau tanpa MER.5,9 Panduan
MRI intraoperasi dapat dilakukan dalam general
anesthesia, tanpa perlu sterotactic frame dan uji
intraoperasi hingga dapat memangkas waktu
prosedur operasi DBS secara bermakna.5 Berbeda
dengan pasien dengan target nuclei Vim dan GPi
(pasien dengan kelainan dystonia dan essential
tremor) masih memerlukan teknik moitored
anesthesia care dengan anestesi local atau
contious sedation.5
Monitored anesthesia care dengan local
anesthesia
Seperti disampaikan diatas bahwa prosedur
pembedahan dari DBS berlangsung dalam dua
tahap, pertama pemasangan electrode pada target
dan penanaman IPG di subkutis, local anestesi
digunakan untuk pemasangan pin dan subkutis
infiltasi pada area burrhole. Scalp block atau
dengan Supraorbital blok dan greater occipital
blok dapat menjadi pengganti infiltrasi sub
kutis. Prosedur scalp blok ini lebih tidak nyeri
dibandingkan infiltrasi subkutis. Kemampuan
menghilangkan nyeri antara sclap blok dengan
infiltrasi sub kutis sama.4 Lokal anestesi yang
digunakan biasanya lidokain, bupivakain atau
ropivakain. Harus diperhatikan komplikasi dan
efek toksik dari penggunaan lokal anestesi. Pada
prosedur yang panjang mungkin diperlukan
suntikkan ulangan atau tambahan infiltarasi sub
kultis saat penutupan kulit.6 Standar monitor
yang digunakan sama seperti prosedur anestesi
lain yaitu elektrocardiagram, tekanan darah non
invasif, oksigen saturasi, dan End Tidal CO2.
Standar monitor ini akan sulit digunakan pada
pasien dengan gangguan gerak berat dan atau
spastis.6 Oksigen diberikan lewat nasal kanul
atau masker, diharapkan dengan alat yang dapat
mengukur end tidal CO2. Posisi pasien diatur
senyaman mungkin pastikan kepala sedikit
ekstensi untuk memastikan tidak ada sumbatan
pada jalan napas. Pasien dengan riwayat OSA
harus tetap dipasang alat bantunya.6
Pasien dengan dystonia, depresi, emosional yang
tidak stabil mungkin tidak akan bias dilakukan
120
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
dengan local anesthesia dan tidak akan sabar
menunggu hingga selesai. Bila memungkinkan
pasien dengan kondisi seperti ini dilakukan
anestesi umum.7
Conscious sedation
Pada beberapa rumah sakit teknik ini popular
dilakukan untuk pemasangan DBS. Obat yang
umum dipakai adalah golongan benzodiazepine,
propofol, opioid (fentanyl dan remifentanil) dan
alfa 2 agonis. Penggunaan obat obat ini harus hati
hati, perhatikan untung ruginya.
DBS biasanya dilakukan dengan lokal anestesi
dan sedasi. Propofol cukup adekuat untuk
diberikan tetapi pada pasien yang kooperatif
tidak diperlukan. Bila diperlukan dosis yang
umum diberikan adalah 50 mcg/kg bb/menit.
Pada pasien dengan Parkinson disease lebih
sensitive dengan propofol dan cenderung tejadi
hipoventilasi hingga obstruksi jalan napas.
Terutama bila digunakan bersama remifentanil.
Bangun yang terlambat akibat penggunaan
propofol pernah dilaporkan.5 Dexmedetomidine
bisa menjadi pilihan karena memberikan
sedasi tanpa membuat obstruksi jalan napas.4-8
Dexmedetomidine dengan dosis rendah 0,3–0,6
mcg/kg bb/jam adalah pilihan alternatif karena
mekanisme kerjanya yang bukan GABA, tidak
menggangguMER dan hemodinamik tetap stabil. 6
Penggunaan alat monitor kedalaman anestesi
sepeti BIS masih menjadi kontroversi. Beberapa
penelitian mendukung penggunaan BIS tapi di
sisi yang lain mengatakan tidak ada gunanya.6
Anestesi Umum
Anestesi umum hanya menjadi pilihan pada
pasien dengan severe dystonia. Beberapa
pusat menggunakan panduan MRI saat
insersi electrode. Pada pusat seperti ini
biasanya
menggunakan
anestesi
umum
4
selama prosedur. Penerimaan pasien terhadap
Anestesi umum untuk insersi DBS sangat
memuaskan dan membuka peluang untuk lebih
luas dan banyak dilakukan pemasangan DBS.6
Intraoperasi stimulasi dan pemetaan tidak
akan dapat dilakukan pada general anesthesia.
tapi dapat dilakukan bila dilakukan titrasi yang
baik dari obat anestesi dan pemetaan secara
terbasatas. Secara umum dapat dilakukan teknik
asleep-awake- asleep. Dimana pasien ditidurkan
saat awal dan akhir sedangkan dibangunkan saat
pemetaan dan stimulasi. Penggunaan gas anestesi,
obat intravena atau kombinasi dari keduanya
dapat dilakukan. Gas anestesi diberikan < 1 MAC.
Nilai BIS ditergetkan sekitar 60. Penggunaan
Agent
Keuntungan
GABA
receptor
antagonis
Benzodiazepin
Anxiolitik
Propofol
Opioid
Fentanyl
Remifentanil
Dexmedetomidine
Kerugian
Menghilangkan MER, merubah batas
dari stimulasi, memicu dyskinesia
Digunakan secara luas, durasi Menghilangkan tremor, menguatkan
pendek, dapat diprediksi untuk MER, memicu dyskinesia, memicu
membangunkan pasien
sneezing, pharmacokinetic model
berubah pada pasien dengan Parkinson
Minimal efek pada MER
Durasi kerja pendek.
Non GABA, efek kurang pada
MER, anxiolitik dan analgesia,
sedasi, tidak menghilangkan gejalan
Parkinson, hemodinamik stabil,
tidak mengganggu jalan napas
Rigidity
Menekan tremor
Pada penggunaan dosis tinggi
mengganggu MER, hipotensi dan
bradikardia
Tatalaksana Anestesi Pada Bedah Minimal Invasive
Deep Brain Stimulation (DBS)
ketamine dan remifentanil sebagai agen dalam
general anesthesia dilaporkan tidak mengganggu
MER.9 Sebaliknya MER dan intraoperatif testing
masih diperlukan pada target stimulasi GPi dan
Vim (pasien dystonia dan essential tremor)
seiring semakin banyak ditemuinya lokasi target
stimulasi baru maka semakin banyak keperluan
untuk awake dan testing intraoperatif.4-8
Perdebatan antara awake dengan lokal anestehesia
dengan sedation atau Anestesi umum terus
berlangsung. Umumnya pembedahan dilakukan
dengan pasien awake, tidak dalam pengaruh
terapi obat obatan dan dilakukan dengan lokal
anestesi. Dengan teknik seperti ini hasil MER
dapat diyakini dan evaluasi intraoperatif dapat
berlangsung dengan baik. Pasien dapat merasakan
langsung efek terapi dari stimulus yang diberikan
dan dapat juga merasakan efek yang tidak
diinginkan dari stimulus tersebut.6
Pengaruh obat anestesi pada MER dan
Macrostimulation
Efek obat anestesi tidak bias disamakan pada
semua lokasi otak, tergantung juga pada proses
penyakit yang terjadi dan target nucleusnya.
Masuknya Gamma amino butyric acid (GABA)
pada nucleui nucleui ini mempengaruhi efek dari
obat abat anestesi pada nucleus tresebut. GPi
dimasuki GABA lebih banyak dari STN karena
itu nucleus GBi lebih terpengaruh oleh obat
obatan anestesi.4,7
Daerah subcortical sebagain besar sangat
dipengaruhi oleh obat obat GABA reseptor yang
akan teerlihat pada hilangnya tremor dan MER.
dari seluruh golongan obat sedative yang paling
dihindarkan adalah golongan benzodiazepine.
karena golongan ini menghilangkan tremor,
mengganggu MERdan stimulasi yang diberikan.
disamping resiko depresi pernapasan dan
mengganggu kesadaran.4 Propofol adalah obat
yang paling sering digunakan pada operasi DBS.
MER telah dapat mencatat pada nucleui GPi,
STN, Vim dibawah pengaruh propofol.propofol
juga menghilangkan tremor, dyskinesia, dan
kadang menyebabkan sneezing yang hilang bila
diberikan fentanyl atau remifentanil sebelum
pemberiannya.pasien dengan dystonia propofol
menekan firing rate dari GPi. Penggunaan
121
propofol 50 mcg/kg/min dikombinasikan dengan
fentanyl atau remifentanil telah dilakukan secara
luas. Propofol memang menekan firing rate tapi
firing rate segera kembali lagi ketika propofol
dihentikan.4 Dexmedetomidine sebagai obat
anestesi non GABAmediasi menjadi alternative
yang baik. Dexmedetomidine dapat memberikan
efek sedasi, anxiolitik, anestesi sparring efek,
depersi pernapasan minimal dan menurunkan
tekanan intracranial. Dengan dosis 0,3–0,6 mcg/
kg/jam tidak mengganggu proses MER.4,8
Desfluran telah sukses digunakan pada DBS
dengan MAC <1 sedangkan saat MAC>1
maka akan terjadi gangguan pada MER.4
Macrostimulasi adalah tes yang digunakan setelah
electrode berhasil dipasang tes ini berguna untuk
mengetahui keuntungan klinis dari DBS dan juga
efek yang tidak diinginkan yang mungkin terjadi.
Karena itu tes ini memerlukan pasien yang ssadar
penuh dan kerja sama yang baik dari pasien.
pada pasien dengan teknik anestesi conscious
sedation tes ini dapat dikerjakan. Tetapi pada
pasien dengan teknik general anestesi ini sangat
sulit dan biasanya akan menggunakan MRI untuk
memastikan posisi electrode yang tepat tanpa
melakukan macrostimulasi.4
Komplikasi
Komplikasi intraoperasi dari DBS sekitar
6,9%-16%. Komplikasi kardio vascular 0,4%,
komplikasi neurologi sekitar 0,6%. Komplikasi
terkait alat 1–15%. Komplikasi pernapasan dan
jalan napas 1,1–1,6%. Komplikasi terkait depresi
1,5–25%. Komplikasi yang dapat terjadi batuk,
sneezing, bronchospasm, aspirasi, obstruksi jalan
napas, kejang, penurunan kesadaran, perdarahan
intracranial,udema paru, agitasi, angina, nyeri,
mual muntah, perdarahan, infeksi hingga depresi
pasca prosedur.4-7
Standar keamanan pada pasien dengan DBS
Pasien dengan DBS masih tetap mempunyai
potensi untuk dilakuka prosedur prosedur medis.
Sepeti MRI, external fibrilator, diathermi atau
bahkan pembedahan lain yang sama sekali tidak
terkait dengan electrode dan IPG yang tertanam
pada pasien.7,9 Untuk prosedur general anesthesia
dan regional anesthesia tidak perlu dilakukan
perubahan apapun. Penggunaan nerve stimulator
122
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
untuk block perifer aman utuk dilakukan pada
pasien DBS.7,9 MRI mengeluarkan gelombang
electromagnetic yang dapat menimbulkan
interaksi dengan implant yang ditanam pada
pasien.interaksi dari gelombang elektromaknetik
ini dapat menyebabkan cedera serius hingga
kematian pada pasien DBS. Pabrik alat DBS
secara jelas melarang penggunaan MRI kepala
pada pasien dengan DBS. Ct-scan, fluoroscopy,
rontgen dapat dilakukan seperti biasa.7,9 Pabrik
DBS menyatakan diatermi terlarang bagi pasien
DBS. Terutama diatermi untuk terapi otot seperti
shortwave diatermi, microwave diathermy dan
therapeutic ultrasound diathermy.
Alat alat ini dapat menimbulkan panas yang
sama di lokasi electrode DBS dan merusak
jaringan. Panas yang dialirkan ini juga dapat
dialirkan sekalipin IPG dalam kondisi dimatikan.
Satu laporan kasus menyatakan dua kasus
pasien Parkinson dengan DBS menggunakan
diatermi dan mengakibatkan satu kerusakan
jaringan dan satu kematian. Electrocautery/
surgical diathermy dapat merusak DBS lead dan
secara temporer mensupresi neurostimulator,
reprogram neurostimulator tetapi alat ini bukan
kontraindikasi untuk DBS. Bila memang
diathermi diperlukan ada beberapa hal yang
harus diperhatikan: gunakan bipolar diatermi bila
memerlukan, bila memerlukan unipolar diatermi
maka gunakan dengan tegangan listrik rendah
(low voltage mode), gunakan power terendah
(lowest power setting), tempatkan ground plate
sejauh mungkin dari neurostimulato dan lead.
Setiap setelah penggunaan diathermi harus
dipastikan bahwa neurstimulator masih tetap
bekerja.7,9
Jika pasien memerlukan external defibrillator hal
yang paling utama adalah keselamatan pasien
itu sendiri. External defibrillator dapat merusak
neurostimulator, bila memang diperlukan hal
yang harus dipertimbangkan adalah: posisi pedal
external defibrillator harus sejauh mungkin dari
neurostimulator, posisi pedal defibrillator tegak
lurus dengan neurostimulator, pilih keluaran
energy terkecil yang dibolehkan, pastikan
neurostimulator tetap bekerja setelah dilakukan
defibrilasi.7,9
IV. Simpulan
DBS adalah teknologi yang digunakan secara luas
saat ini dan memberikan hasil luaran yang baik
untuk saat ini terutama pada penyakit Parkinson.
Proses pemasangan alat ini memerlukan
pertimbangan pertimbangan khusus dari sisi
anestesi terkait pada pemilihan pasien, prosedur
yang dilakukan hingga alat alat radiografi yang
dimiliki oleh pasien. Setelah alat terpasang juga
beberapa hal hal harus menjadi perhatian dan
bila tidak akan menimbulkan kerusakan bahkan
hingga kematian
Daftar Pustaka
1. Sakabe T, Matsumoto M. Effect of anesthetic
agents and other drugs on cerebral blood
flow, metabolism, and intracranial pressure.
Dalam: Cottrell and Young’s neuroanesthesia
5th edition. Mosby 2010; 78–93
2. Fabregas N, Hurtado P, Gracia I, Craen
R. Anesthesia for minimally invasive
neurosurgery. Colombian Journal of
Anesthesiology 2015;43:15–21
3. Fabregas N, Craen RA. Anesthesia for
minimally invasive neurosurgery. Best
practice and research clinal anesthesiology.
2002;16:81–93.
4. Bindu B, Bithal PK. Anesthesia and deep brain
stimulation. Journal of neuroanesthesiology
and critical care 2016;3:197–204.
5. Venkatraghavan L, Manninen P. Anesthesia
for deep brain stimulation. Current opinion
in anesthesiology 2011;24:495–499.
6. Venkatraghavan L, Luciano M, Manninen P.
Anesthetic managementof patient undergoing
deep brain stimulation insertion. Anesthe
analg. 2010;110:1138–45
7. Dobbs P, Hoyle J, Rowe J. Anesthesia and
deep brain stimulation. Continuing education
in anesthesia critical care and pain 2009; 9(5).
Tatalaksana Anestesi Pada Bedah Minimal Invasive
Deep Brain Stimulation (DBS)
8. Ozlu O, Sanalbas S,Yazicioglu D, Utebey G,
Baran I. Sedation and regional anesthesia for
deep brain stimulation in parkinsons diseases.
Hindawi Publishing corporation Journal of
Anesthesiology 2014. article ID 139859.6
9. Lettieri C, Rinaldo S, Devigili G, Pauletto
G, Verriello L, Budai R. et al. Clinical
neurophysiology 2012(123):2406–2413.
123
10. Davies RG. Deep Brain stimulators and
anesthesia. Br. J. Anaesth. 2005;95(3):424–7
11. Harries AM, Kausar J, Roberts SAG, Macroft
AP, Hodson JA, Pall HS, Mitchell RD.
Deep brain stimulation of the subthalamic
nucleus for advancedParkinson disease using
general anesthesia: long term result.Jorunal
neurosurgery 2012;116:107–13.
Transcranial Doppler Ultrasonography:
Diagnosis dan Monitoring Non Invasif pada Neuroanesthesia dan Neurointesive Care
Buyung Hartiyo Laksono
Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya – RSUD. Dr Saiful
Anwar Malang
Abstrak
Transcranial Doppler (TCD) adalah pemeriksaan ultrasonografi yang telah digunakan secara luas dibidang
neuroanestesi dan perawatan intensif. Pada bidang perawatan intensif neurologi, pemeriksaan TCD sangat berguna
untuk evaluasi dan monitoring perubahan sirkulasi pembuluh darah penting di otak, seperti arteri serebri media
(middle cerebral artery-MCA), arteri serebri anterior (anterior cerebral artery-ACA), arteri carotis interna (internal
carotid artery-ICA) cabang terminalis, arteri cerebri posterior (posterior cerebral artery-PCA), arteri vertebralis
dan arteri basilaris. Selain kecepatan aliran, pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk evaluasi perubahan
diameter pembuluh darah. TCD digunakan untuk pemeriksaan penunjang diagnostik perdarahan subarachnoid,
monitoring vasospasme dan deteksi peningkatan tekanan intrakranial (TIK), evaluasi hemodinamik cerebral pada
kasus trauma kepala, serta sebagai alat bantu penentuan kasus kematian otak. Pada tindakan pembedahan saraf
atau neurosurgery, TCD sangat berguna dalam deteksi dini adanya mikroemboli.
Kata kunci: Neuroanesthesi, Transcranial Doppler, Vasospasme
JNI 2017;6 (2): 124‒31
Transcranial Doppler Ultrasonography: Diagnosis and Monitoring non Invasive in
Neuroanesth and Neurointensive Care
Abstract
Transcranial Doppler (TCD) is ultrasound examination which is already widely used in the field of
neuroanesthesia and intensive care. In the field of neurology intensive care, TCD examination is very
useful for the evaluation and monitoring of significant changes in the circulation of main cerebral blood
vessels, such as the middle cerebral artery (MCA), anterior cerebral artery (ACA), terminal branches of
internal carotid artery (ICA), posterior cerebral artery (PCA) , the vertebral artery and the basilar artery.
In addition to the flow velocity, the examination can also be used to evaluate changes in the diameter
of blood vessels. TCD is used for diagnostic investigation of subarachnoid hemorrhage, vasospasm
monitoring and detection of elevated intracranial pressure (ICP), evaluation of cerebral hemodynamics
changes in cases of head injury, as well as aids for determination of brain death cases. In neurosurgery,
TCD is very useful in the early detection of microemboli .
Key words: neuroanesthesia, transcranial doppler, vasospasm
JNI 2017;6 (2): 124‒31
124
Transcranial Doppler Ultrasonography:
Diagnosis dan Monitoring Non Invasif pada Neuroanesthesia dan Neurointesive Care
I. Pendahuluan
Prinsip Doppler pertama kali dikemukakan
oleh Christian Johann Doppler, seorang ahli
matematika, fisika dan astronomer. Transcranial
Doppler ultrasonography (TCD) diperkenalkan
tahun 1982 oleh Aaslid dan kawan-kawan sebagai
tehnik non-invasif untuk monitoring kecepatan
aliran darah (blood flow velocity-FV) pada arteri
serebral basalis. Saat ini telah digunakan secara
luas di bidang anestesi dan perawatan intensif,
baik untuk penelitian maupun pelayanan medis.1
Pemeriksaan TCD merupakan suatu perangkat
diagnostik yang dapat digunakan untuk menilai
perubahan hemodinamik serebral. Pemeriksaan
ini tidak invasif, dapat dilakukan secara serial
dan memiliki mobilitas tinggi. Penggunaan TCD
paling umum adalah pada kondisi stroke. TCD
dapat memberikan informasi akurat kondisi
oklusi, reperfusi, stenosis, dan vasospasme
pada stroke. Transcranial Doppler juga dapat
mendeteksi adanya vasopasme pasca perdarahan
subarachnoid (subarachnoid hemorrhage-SAH)
dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
setelah kejadian trauma kepala. Keunggulan lain
TCD adalah mobilitasnya yang tinggi.2
Pada bidang perawatan intensif neurologi, TCD
digunakan sebagai alat diagnosis dan monitoring
vasopasme pada pasien dengan SAH dan juga
dapat digunakan untuk mendeteksi peningkatan
TIK. Hal tersebut penting untuk monitoring
efektivitas respon terhadap CO2 dan kondisi
autoregulasi otak, sehingga menjadi dasar bagi
ahli perawatan intensif neurologi (neurointesivist)
untuk mengoptimalisasi tekanan perfusi
cerebral (cerebral perfusion pressure/CPP) dan
manajemen terapi ventilator pada setiap pasien.
Transcranial Doppler juga mampu mendeteksi
kondisi kematian otak (brain death) dan penting
sebagai alat penapis (screening) dalam kondisi
tersebut. Penggunaan TCD semakin penting pada
pasien dengan kondisi trauma neurologic yang
mengancam jiwa (life threatening neurologic
injury).3
II. Konsep Dasar
Konsep dasar dari TCD adalah tehnik non invasif
yang memungkinkan kita untuk mengevaluasi
125
kecepatan, arah dan sifat aliran darah di arteri
serebral dengan menggunakan gelombang
ultrasonik. Interpretasi hasil didasarkan pada
perbedaan frekuensi suara yang diterima oleh
penerima sinyal setelah gelombang tersebut
dipantulkan oleh obyek tertentu. Transcranial
Doppler menggunakan gelombang ultrasonik
dengan frekuensi sekitar 2 MHz, gelombang
tersebut melewati lapisan tulang tengkorak pada
titik atau poin tertentu yang dikenal dengan
window dan dipantulkan kembali oleh eritrosit
yang bergerak didalam pembuluh darah. Dengan
demikian terdapat perbedaan frekuensi antara
sinyal yang ditransmisikan dengan sinyal yang
diterima dan perbedaan ini, sebut “Doppler shift”,
dapat dinyatakan oleh rumus:1,4
Doppler shift = 2 x Vf x Fsrc x cos(α)/V
Dimana: Vf adalah kecepatan aliran pada
pembuluh darah (velocity of blood flow), Fsrc
adalah frekuensi dari sinyal yang ditransmisikan
oleh sumber, V adalah kecepatan rambatan sinyal
pada jaringan lunak (1540 m/s), α adalah sudut
isonasi (sudut antara arah transmisi sinyal dari
transduser dan arah aliran pembuluh darah).
Mengingat frekuensi sinyal dari TCD dan
kecepatan rambatan gelombang suara pada
jaringan lunak adalah konstan maka nilai Doppler
shift tergantung pada sudut isonasi dan kecepatan
dari aliran pembuluh darah. Didalam pembuluh
darah, eritrosit bergerak dengan kecepatan yang
berbeda sehingga akan diperoleh sinyal dengan
frekuensi yang berbeda pula sesuai pembuluh
darah yang dilewati oleh eritrosit tersebut.
Sinyal tersebut akan diterima oleh transduser
dan diubah menjadi sinyal elektrik.4,5 Analisis
spektrum digunakan untuk menyajikan data
tiga dimensi dalam format dua dimensi, dimana
perubahan frekuensi atau kecepatan diwakili oleh
skala vertikal, waktu pada skala horizontal dan
intensitas sinyal diwakili oleh kecerahan warna.
Gambaran yang terbentuk berupa spektrum yang
menyerupai bentuk amplop (spectral envelope)
sesuai dengan sinyal maksimum yang diterima
disepanjang siklus jantung.4
Parameter yang dievaluasi melalui TCD adalah
velocity of flow - sistolik, diastolik dan timeaveraged mean values dapat dihitung dari bentuk
gelombang flow velocity ( tetapi mean velocity
126
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
ini disampaikan oleh Gosling dan King dalam
rumus perbandingan antara systolic velocity dan
diastolic velocity dan mean flow velocity.4
PI = (FVs – FVd) / FV mean
Gambar 1. Gambaran TCD dari spektrum
kecepatan arteri serebri media (Vmca). Tiap
bentuk gelombang menyerupai kerucut yang
ditutup dengan garis tebal berwarna putih disisi
luar mewakili nilai kecepatan maksimum dari
masing-masing siklus jantung.
Dikutip dari: Fodale 2007
Gambar 2. Penempatan probe pada 3 titik acoustic
window .
Dikutip dari: Mounzer 2007
adalah parameter indikator yang terbaik). Selain
itu pulsality index (PI) digunakan untuk menilai
resistensi pembuluh darah serebral, parameter
Rasio tersebut memiliki nilai normal dengan
rentang 0,85-1,10, nilai PI tidak tergantung
dengan sudut insonasi tetapi beberapa faktor yang
berpengaruh adalah tekanan arteri, compliance
pembuluh darah dan PaCO2. Yang terakhir TCD
dapat digunakan untuk menilai kemampuan
autoregulasi dari pembuluh darah serebral
dimana kemampuan tersebut dibutuhkan untuk
mempertahahankan CBF yang konstan pada
kondisi CPP yang berubah. Salah satu test untuk
menilai hal tersebut adalah transient hyperemic
response (THR), pertama kali diperkenalkan
oleh Giller. THR dilakukan dengan cara menilai
respon flow velocity dari middle cerebral artery
(MCA) setelah kompresi sesaat pada arteri
(carotis-carotis artery/CA). Tindakan ini akan
meyebabkan penurunan FV dan CPP, jika
autoregulasi intak maka akan terjadi vasodilatasi
pada MCA dan peningkatan FV sementara pada
saat kompresi dilepaskan. Jika autoregulasi tidak
ada, maka FV akan tetap tanpa respon episode
hiperemia.4
Tehnik pemeriksaan TCD sama dengan prinsip
pemeriksaan ultrasonografi. Probe TCD diletakkan
di tulang tengkorak yang memiliki “acoustic
window” untuk menilai hemodinamik pada
berbagai sirkulasi serebral. Window transtemporal
digunakan untuk menilai hemodinamik di arteri
serebri media (middle cerebral artery-MCA),
arteri serebri anterior (anterior cerebral arteryACA), arteri carotis interna (internal carotid
artery-ICA) cabang terminalis, dan arteri cerebri
posterior (posterior cerebral artery-PCA).
Window transorbital digunakan untuk menilai
arah aliran dan kondisi hemodinamik di arteri
oftalmika (ophthalmic artery-OA) dan arteri
karotis interna (internal carotid artery-ICA).
Window oksipital atau foramina memberikan
informasi tentang kondisi sirkulasi posterior
{arteri vertebralis (vertebral artery-VA) dan
arteri basilaris (basilar artery-BA)}. Window
Transcranial Doppler Ultrasonography:
Diagnosis dan Monitoring Non Invasif pada Neuroanesthesia dan Neurointesive Care
127
Tabel 1. Nilai normal TCD
Artery
Window
Depth (mm)
Direction
MCA
Temporal
30 to 60
Toward probe
ACA
Temporal
60 to 85
Away
Mean
Flow
Velocity
55 ± 12 cm/s
50 ± 11 cm/s
PCA
Temporal
60 to 70
Bidirectional
40 ± 10 cm/s
TICA
Temporal
55 to 65
Toward
39 ± 09 cm/s
ICA (siphon)
Orbital
60 to 80
Bidirectional
45 ± 15 cm/s
OA
Orbital
40 to 60
Toward
20 ± 10 cm/s
VA
Occipital
60 to 80
Away
38 ± 10 cm/s
BA
Occipital
80 to 110
Away
41 ± 10 cm/s
TCD, transcranial Dopler; MCA, middle cerebral artery; ACA, Anterior cerebral artery;
PCA, posterior cerebral artery, TICA, terminal internal crotid artery; ICA, internal carotid
artery; OA, ophtalmic artery; VR, vertebral artery;BA, basilar artery
Dikutip dari: Mounzer 2007
submandibular
untuk
ekstracranial
ICA.2
III. Indikasi TCD
Pemeriksaan TCD telah digunakan secara luas
baik pada dewasa maupun anak-anak. Beberapa
indikasi pemeriksaan TCD yang direkomendasikan
oleh American Institute of Ultrasound Medicine
bekerja sama dengan American College of
Radiology (ACR), the Society for Pediatric
Radiology (SPR), dan the Society of Radiologists
in Ultrasound (SRU) adalah:6 1) deteksi dan
follow-up stenosis atau oklusi pada arteri-arteri
besar intrakranial di sirkulus Willis dan sistim
vertebrobasiler, termasuk monitoring terapi
trombolitik dan pasien stroke akut, 2) Deteksi
vaskulopati serebral, 3) deteksi dan monitoring
vasospasme pada pasien dengan SAH spontan
atau traumatik, 4) evaluasi jalur-jalur kolateral
dari aliran darah intrakranial, termasuk setelah
tindakan intervensi, 5) deteksi mikroemboli
sirkulasi cerebral, 6) deteksi right-to-left shunts,
7) penilaian reaktivitas vasomotor cerebral, 8)
sebagai pemeriksaan tambahan untuk konfirmasi
diagnosis klinis kematian otak, 9) monitoring
embolisasi cerebral, thrombosis, hipoperfusi, dan
hiperperfusi intraopertif dan periprosedural, 10)
evaluasi risiko stroke pada sickle cell disease,
11) penilaian malformasi arteriovenosa, 12)
deteksi dan follow-up aneurisma intracranial,
13) evaluasi positional vertigo dan syncope, 14)
penilaian tekanan intrakranial dan hidrosefalus,
15) penilaian ensefalopati iskemik hipoksik, 16)
penilaian patensi sinus venosus dura.
IV. Penggunaan TCD pada Perawatan
Intensif Neurologi (Neuro Intensive Care)
Perdarahan Subarachnoid (SAH) dan Vasospasme
Transcranial Doppler pada kasus perdarahan
subarachnoid
(subarachnoid
haemorrhageSAH) digunakan untuk mengetahui perubahan
diameter pembuluh darah dan perubahan aliran
darah. Pada kasus dimana kecepatan aliran
tidak berubah, pemeriksaan ini dapat digunakan
untuk mengetahui perubahan diameter pembuluh
darah yang dapat menyebabkan penurunan
aliran darah.1 Vasospasme serebral merupakan
proses vasokonstriksi dari pembuluh darah
yang diakibatkan adanya kontak antara dinding
pembuluh darah dan produk darah setelah
terjadinya SAH. Vasospasme arteri cerebral yang
terjadi sekitar 50% pasien dengan SAH akibat
pecahnya aneurisma. Vasospasme umumnya
mulai terjadi pada 3 hari setelah kejadian
SAH, puncaknya pada hari ke 6 sampai 8.
Sekitar seperempat dari pasien akan mengalami
defisit neurologis pada hari ke 14 akibat dari
vasospasme yang terjadi. Kejadian vasospasme
meningkatkan mortalitas pasien SAH. Penyebab
terjadinya SAH sebagian besar karena pecahnya
aneurisma pembuluh darah otak. Penyebab lain
128
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
Tabel 2. Kriteria Vasospasme berdasarkan hasil
pengukuran FV MCA dengan TCD
Severity of MFV
Vasospasm
cm/s
Value MCA/ICA Ratio
Normal
<85
<3
<120
<3
Mild
120 to 150
3 to 5.9
Moderate
151 to 200
>6
Severe
>200
>6
Critical
TCD, transcranial Doppler;MFV Value, mean flow
velocity;MCA, middle cerbral artery; ICA, internal
carotid artery
Dikutip dari: Mounzer 2007
adalah trauma dan iatrogenik karena tindakan
neurologis. Frekuensi kejadian vasopasme pada
pecahnya aneurisma otak diatas 40% dan 15%
sampai 20% berisiko stroke maupun kematian.3,7
Kejadian vasospasme ini pertama kali
dikemukakan oleh Eckerd dan Riemenschneider
melalui gambaran angiografi. Pemeriksaan
angiografi serebral merupakan baku emas
(gold standard) untuk diagnosis vasospasme.
Tetapi prosedur angiografi adalah prosedur
invasif dengan resiko emboli serebral, sobeknya
pembuluh darah ataupun pecahnya aneurisma.
Apalagi jika kondisi pasien tidak dapat dilakukan
mobilisasi karena dalam ventilator dan kondisi
buruk. Sejak 20 tahun yang lalu, TCD mulai
digunakan sebagai alat diagnostik untuk kejadian
vasopasme serebral. Dasar diagnosis kejadian
vasospasme adalah kecepatan aliran darah pada
arteri berbanding terbalik dengan besarnya
diameter lumen. Transcranial Doppler dapat
menjadi alat penapis bahkan dapat dikatakan
mampu menggantikan angiografi. 2,3,7
Pada tingkat yang paling mendasar, data TCD
dapat dijadikan dasar analisis kecepatan aliran
darah, dengan nilai cut-off untuk mendiagnosis
vasospasme sekitar 120–140 cm s-1. Jika nilai
ini digunakan, hasil TCD dari arteri cerebri
media memiliki nilai spesifisitas yang tinggi
(85–100%) tapi sensitivitasnya rendah (59–94%)
dibandingkan angiografi (misal, jika diagnosis
vasospasme berdasarkan pemeriksaan TCD, maka
kemungkinan benar, tapi hasil negatif tidak dapat
menyingkirkan adanya vasospasme). Kecepatan
aliran darah arteri cerebri media yang tinggi
(>200 cm s-1) berhubungan dengan buruknya
derajat SAH yang terlihat dari hasil pemeriksaan
CT-Scan dan dapat berpengaruh pada prognosis
yang buruk. Namun, hasil pemeriksaan negatif
palsu bisa terjadi. Perdarahan subarachnoid yang
berat berhubungan dengan rendahnya aliran darah
cerebral dan rendahnya kecepatan aliran darah
arteri cerebri media. Kecepatan aliran darah arteri
cerebri media yang sangat tinggi tidak dapat
terukur. Lesi yang terletak di proksimal (misal
pada arteri carotis interna) dapat mengaburkan
gambaran klinis vasospasme distal.2,3,7
Indeks Lindegaard (FV MCA/FV ICA)
digunakan untuk memprediksi vasospasme.
Rasio kurang dari 3 jarang ditemukan pada pasien
dengan vasospasme, dan rasio lebih dari 6 dapat
digunakan untuk membedakan vasospasme arteri
cerebri media yang sedang dan berat. Sensitivitas
dan spesifisitas hampir sama dengan pengukuran
kecepatan aliran darah arteri cerebri media
sendiri.3
Pengulangan pemeriksaan pada semua pembuluh
darah yang dapat dilakukan dapat memperbaiki
sensitivitas dan meningkatkan kemampuan
deteksi dini terjadinya vasospasme. Peningkatan
kecepatan aliran darah yang cepat (>65 cm s-1
selama 24 jam) berhubungan dengan prognosis
yang buruk, dan direkomendasikan sebagai
indikasi awal pemberian terapi hemodilusi,
hipertensi dan hiperventilasi (terapi triple “H”).1
Pemeriksaan TCD pada kasus SAH dimulai
pada hari ke 2 atau hari ke 3 setelah onset. Pada
pustaka yang lain dituliskan sebaiknya dilakukan
sedini mungkin bahkan jika memungkinkan hari
ke 0 setelah onset. Pemeriksaan dilakukan pada
seluruh arteri serebralis bagian proksimal, data
tersebut dijadikan data dasar untuk pemeriksaan
selanjutnya.
Monitoring dilanjutkan setiap hari atau
berdasarkan pertimbangan khusus. Untuk
interval pemeriksaan dimulai hari ke 4
sampai 14 pasca onset SAH, ada juga yang
merekomendasikan hari ke 3 sampai hari ke
10. Akurasi dari pemeriksaan TCD dalam
mendiagnosis kejadian vasopasme serebral,
Transcranial Doppler Ultrasonography:
Diagnosis dan Monitoring Non Invasif pada Neuroanesthesia dan Neurointesive Care
dapat ditingkatkan dengan memperhitungkan
variabel index Lindegaard, yaitu menghitung
perbandingan MFV antara MCA, ACA dan ICA
ipsilateral (VMCA/VICA atau VACA/VICA).3,5
B. Traumatic Brain Injury (TBI): Tekanan
Intrakranial (TIK) dan Tekanan Perfusi
Serebral (Cerebral Perfusion Presssure-CPP)
Pengukuran dan manajemen dari perubahan
TIK dan CPP direkomendasikan dalam
penatalaksanaan kasus TBI. Pada umumnya
pengukuran TIK memerlukan tindakan invasif
berupa pemasangan monitor TIK. Tindakan
tersebut mempunyai risiko infeksi, perdarahan,
malfungsi, obstruksi, dan malposisi. Sehingga
TCD mempunyai tempat sebagai monitoring
non invasif dari TIK dan CPP. Beberapa cara
dikembangkan untuk mencari hubungan antara
variabel TCD dengan TIK dan CPP. Chan dkk,
meneliti pada 41 kasus cedera kepala berat
menyimpulkan ada hubungan antara peningkatan
TIK, penurunan CPP dan penurunan kecepatan
aliran pembuluh darah otak. Pertama kali variabel
yang mengalami perubahan adalah kecepatan
aliran pada fase diastolik. Pada nilai CPP < 70
mmHg terjadi peningkatan progesif TCD pulsality
index (pulsality index = (peak systolic velocity –
end diastolic velocity/time mean velocity) (r =
-.942, p < 0.0001). Hal ini terjadi pada kondisi
peningkatan TIK karena penurunan CPP dan
penurunan dari tekanan darah. Klingelhofer dkk,
dalam penelitiannya menunjukkan peningkatan
TIK dicerminkan oleh perubahan dari Pourcelot
index (peak velocity – end diastolic velocity/
peak systolic velocity) dan mean flow velocity
(MFV). Pada penelitian yang sama, didapatkan
juga adanya korelasi antara TIK dan nilai (MAP
X Pourcelot index/MFV) pada 13 pasien subyek
penelitian (r = 0.873; p <0.001 ). Homburg dkk
menemukan pulsality index berubah 2.4% per 1
mmHg TIK.3
Penilaian Respon CO2 dan Autoregulasi Otak
Transcranial Doppler dapat digunakan sebagai
alat untuk menilai respon otak terhadap CO2
dan kemampuan autoregulasinya. Perubahan
kecepatan MCAberkorelasi kuat dengan perubahan
aliran darah serebral (cerebral blood flow/CBF).
Kegagalan otak dalam merespon perubahan CO2
129
dan autoregulasi akan mengakibatkan prognosis
neurologis yang jelek pada pasien cedera kepala.3
Kematian Otak (Brain Death)
Hasil pemeriksaan TCD dapat membantu
penegakkan diagnosis kematian otak meliputi: 1)
aliran sistolik yang singkat atau lonjakan (spike)
sistolik dan aliran balik diastolik, 2) aliran sistolik
yang singkat atau lonjakan (spike) sistolik dan
tidak ada aliran diastolik, atau 3) tidak ada aliran
yang nampak, dimana pada pemeriksaan TCD
sebelumnya didapatkan adanya aliran.
Baru-baru ini De Frietas dan Andre melakukan
telaah terhadap 16 penelitian yang menggunakan
TCD untuk mengevaluasi diagnosis klinis
kematian otak. Dihasilkan kesimpulan nilai
sensitivitas TCD sebesar 88% dengan spesifisitas
98% dan nilai negatif palsu sebesar 7%. Validitas
pemeriksaan TCD dalam mendiagnosis kematian
otak tergantung dari waktu antara terjadinya
mati otak dengan pemeriksaan TCD dilakukan,
pemeriksaan TCD ulangan dapat dilakukan
jika diperlukan. Efikasi TCD dalam mendeteksi
cerebral circulatory arrest untuk konfirmasi
penentuan kematian otak pada literatur dituliskan
klasifikasi evidens kelas II dan rekomendasi kuat
tipe B.1,9
V. Penggunaan TCD Dalam Pembedahan
Otak (Neurosurgery)
Transcranial
Doppler
banyak
berguna
pada beberapa kasus pembedahan otak dan
neuroanestesi.
Pemeriksaan
TCD
dapat
mendeteksi dengan baik adanya emboli
mikro, yang dapat berpengaruh pada tindakan
pembedahan maupun anestesi. Kecepatan aliran
darah pasca pembedahan juga dapat dievaluasi
dengan TCD, sehingga manajemen hemodinamik
pasca pembedahan vaskuler dapat dilakukan
dengan tepat. Beberapa tindakan pembedahan
tumor dan aneurisma diperlukan tindakan
pemotongan atau oklusi sementara arteri carotis
interna. Adanya respon perubahan kecepatan
aliran darah MCA pada tindakan oklusi manual
arteri carotis merupakan prediktor toleransi yang
baik pada tindakan pemotongan atau oklusi.1,8,10
130
Jurnal Neuroanestesi Indonesia
VI. Kelebihan dan Keterbatasan TCD
Transcranial Doppler merupakan modalitas
pemeriksaan yang relatif murah, tidak invasive,
praktis dan cukup mudah digunakan. Pemeriksaan
ini memungkinkan untuk dilakukan beruang-ulang
dan dapat digunakan untuk monitoring secara
terus-menerus. Deteksi perubahan hemodinamik
pembuluh darah otak dapat dilakukan seketika
atau segera. Pada pusat kesehatan yang tidak
memiliki alat diagnotik canggih seperti MRI atau
bahakan tidak memiliki sorang spesialis saraf,
pemerikaan TCD memungkinkan penentuan
apakah pasien harus segera dirujuk ke pusat
kesehatan yang spesialistik untuk evaluasi dan
penanganan lebih lanjut. Selain itu, pada pasien
yang menolak tindakan intervensi, TCD dapat
menjadi pemeriksaan yang baik untuk monitoring
identifikasi lesi dan evaluasi efektivitas
pengobatan.5
Transcranial Doppler merupakan pilihan
modalitas diagnostik kelainan pembuluh darah
intracranial yang merupakan kontraindikasi
pemeriksaan radiografik lainnya. Pemeriksaan
TCD merupakan blind procedure, akurasi data
hasil pemeriksaan tergantung pada pengetahuan
dan pengalaman dari teknisi yang terlatih dan
interpreter. Pemeriksaan ini memiliki keterbatasan
dalam mendeteksi dan evaluasi cabang distal
dari pembuluh darah intracranial. Pada 5–10%
kasus, penetrasi yang cukup dari window tulang
tidak dapat dicapai untuk mendapatkan paparan
gelombang ultrasonik yang memadai.5
VII. Simpulan
Pemeriksaan TCD memiliki banyak keunggulan
dibandingkan pemeriksaan yang lainnya.
Pemeriksaan TCD non invasif, mempunyai
mobilitas yang tinggi dan dapat digunakan pada
semua kondisi. Analisa terhadap hemodinamik
serebral penting sekali untuk mendeteksi dini
kejadian vasospasme pada kasus SAH, sehingga
dapat menurunkan angka mortalitas kasus
tersebut. Penentuan nilai CPP dan ICP digunakan
pada kasus-kasus cedera kepala. TCD juga dapat
digunakan sebagai alat bantu penentuan kematian
batang otak. Dalam kasus neurosurgery, TCD
juga dapat digunakan sebagai alat monitoring
dan diagnostik kejadian thrombus dan emboli,
penilaian FV pada CEA dan
monitoring
hemodinamik serebral paska pembedahan.
Masih banyak pengembangan yang dilakukan
untuk memaksimalkan penggunaan TCD dalam
neuroanesthesia dan neurointensive care, maka
penting bagi setiap neurointensivist untuk
mempelajari dan memahami penggunaan TCD.
Daftar Pustaka
1. Moppett IK, Mahajan RP. Transcranial
doppler ultrasonography in anaesthesia and
intensive care. Br. J Anaesth 2004; 93(5):
710-24.
2. Pinzon R. Transcranial Doppler untuk deteksi
perubahan hemodinamik serebral pada stroke
akut. CDK 2011;38(4): 253-56.
3. Saqqur M, Zygun D, Demchuk A. Role of
trenscranial doppler in neurocritical care.
Crit Care Med 2007; 35(5); 216-23.
4. Fodale V, Schifilliti D, Conti A, Lucanto T,
Pino G, Santamaria B. Transcranial doppler
and anesthetics. Acta Anaesthesiol Scand
2007; 51: 839-47.
5. Mounzer Y. Transcranial doppler: An
introduction for primary care physicians. J
Am Board Fam Med 2007; 20: 65-71.
6. Anonymuos. Transcranial doppler ultrasound
examination for adult and children. AIUM
Practice Guideline 2012. (www.aium.org)
7. Nakae R, Yokota H, Yoshida D, Teramoto
A. Transcranial doppler ultrasonography
for diagnosis cerebral vasospasme after
aneurysmal SAH: Mean blood flow velocity
ratio of ipsilateral and contralateral MCA.
Neurosurgery 2011; 69(4): 876-83
8. Sloan MA. Assessment: Transcranial doppler
ultrasonography. Neurology 2004; 62: 146881.
Transcranial Doppler Ultrasonography:
Diagnosis dan Monitoring Non Invasif pada Neuroanesthesia dan Neurointesive Care
9. Andrei V. Practice Standards for Transcranial
doppler (TCD) ultrasound. J Neuroimaging
2012; 22: 215–24.
10. Pong RP, Lam AM. Anesthetic management
131
of cerebral aneurysm surgery. Dalam: Cottrel
JE, Young W, eds. Cottrel and Young’s
Neuroanesthesia.Edisi 5. USA: Mosby Inc;
2010:13: 218–4
Indeks Penulis
B
Bona Akhmad Fithrah, 114
Buyung Hartiyo Laksono, 124
K
Kenanga Marwan S, 48
D
Dewi Yulianti Bisri, 70, 93, 101
Muhammad Erias, 75
M
F
Fitri Sepviyanti Sumardi, 85
R
Riyadh Firdaus, 101
Ruli herman, 75
H
Hermin Aminah Usman, 70
Himendra Wargahadibrata, 93, 101
S
Siti Chasnak Saleh, 93, 101
Sri Rahardjo, 85, 114
I
Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan, 93
Iwan Fuadi, 85, 114
T
Tatang Bisri, 75, 85, 114
Indeks Subjek
A
Awake craniotomy, 101
B
Bedah syaraf minimal invasif, 114
C
Cedera Otak, 70
Cedera Kepala Berat, 75
D
Dexmedetomidine, 101
Deep brain stimulation, 114
H
Hipoksemia, 70
Hipotensi, 70
Hipotermi, 75
I
Insidensi, 70
Interleukin-6, 75
IoC, 85
M
Mikrovaskular dekompresi, 85
Metamizol, 75
P
Penatalaksanaan anestesi pada fossa posterior, 93
Propofol, 101
S
Scalp block, 101
T
Tata laksana anestesi, 114
TIVA, 85
Tumor Batang Otak, 93
Pedoman Bagi Penulis
1.
Ketentuan Umum
Redaksi
majalah
Jurnal
Neuroanestesia
Indonesia menerima tulisan Neurosains dalam
bentuk Laporan Penelitian, Laporan Kasus,
Tinjauan Pustaka, serta surat ke editor. Naskah
yang dipertimbangkan dapat dimuat adalah
naskah lengkap yang belum dipublikasikan
dalam majalah nasional lainnya. Naskah yang
telah dimuat dalam proceeding pertemuan
ilmiah masih dapat diterima asalkan mendapat
izin tertulis dari panitia penyelenggara.
2.
Judul
Bahasa Indonesia tidak melebihi 12 kata,
judul bahasa Inggris tidak melebihi10 kata.
3. Abstrak
Ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia serta tidak boleh lebih dari 250 kata.
Abstrak Penelitian:
Terdiri dari IMRAD (Introduction, Method,
Result, and Discussion). Dalam introduction
mengandung latar belakang dan tujuan penelitian.
Dalam Discussion diakhiri oleh Simpulan.
Contoh Penulisan Abstrak Penelitian:
Latar Belakang dan Tujuan: Disfungsi
kognitif pascaoperasi (DKPO) sering terjadi
dan menjadi masalah serius karena dapat
menurunkan kualitas hidup pasien yang
menjalani pembedahan dan meningkatkan beban
pembiayaan kesehatan. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui angka kejadian DKPO
pada pasien yang menjalani operasi elektif
di GBPT RSU dr. Sutomo dan menganalisa
faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya.
Subjek dan Metode: Penelitian ini melibatkan
50 orang sampel berusia 40 tahun atau lebih
yang menjalani pembedahan lebih dari dua
jam. Dilakukan serangkaian pemeriksaan fungsi
kognitif praoperasi dan tujuh hari pascaoperasi.
Domain kognitif yang diukur adalah atensi dan
memori. Faktor yang diduga mempengaruhi
kejadian DKPO dalam penelitian ini adalah
usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi.
Hasil: Tujuh hari pascaoperasi 30% sampel
mengalami gangguan atensi, 36% sampel
mengalami gangguan memori dan 52% sampel
mengalami disfungsi kognitif pascaoperasi.
Pemeriksaan
kognitif
yang
mengalami
penurunan bermakna adalah digit repetition
test, immediate recall, dan paired associate
learning. Analisa logistik regresi variabel usia
(p=0,798), tingkat pendidikan (p=0,921) dan
durasi operasi (p=0,811) terhadap kejadian
DKPO menunjukkan hubungan yang tidak
bermakna. Namun bila dianalisa pada masing
masing kelompok usia tampak bahwa persentase
pasien yang mengalami DKPO konsisten lebih
tinggi pada usia ≥50 tahun, tingkat pendidikan
≤6 tahun dan durasi operasi ≥180 menit
Simpulan: Kejadian disfungsi kognitif pada
pasien yang
menjalani operasi elektif di
GBPT RSU dr. Sutomo cukup tinggi. Faktor
usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi
tampaknya mempengaruhi kejadian DKPO
meskipun secara statistik tidak signifikan.
Kata kunci: anestesi umum, atensi, kognitif
pascaoperasi, memori
Abstrak Laporan Kasus:
Terdiri dari Pendahuluan, Kasus, Pembahasan,
simpulan
Contoh Penulisan Abstrak Laporan Kasus:
Abstrack
Meningoencephaloceles are very rare congenital
malformations in the world that have a high
incidence in the population of Southeast Asia,
include in Indonesia. Children with anterior
meningoencephaloceles should have surgical
correction as early as possible because of the facial
dysmorphia, impairment of binocular vision,
increasing size of the meningoencephalocele
caused by increasing brainprolapse, and risk
of infection of the central nervous system. In
the report, we presented a case of a 9 monthsold baby girl with naso-frontal encephalocele
and hydrocepahalus non communicant, posted
for VP shunt (ventriculo-peritoneal shunt)
and cele excision. Becaused of the mass,
nasofrontal or frontoethmoidal and occipital
meningoencephalocele leads the anaesthetist to
problems since the anaesthesia during the operation
until post operative care. Anaesthetic challenges
in management of meningoencephalocele,
which most of the patients are children, include
securing the airway with intubation with the
mass in nasofrontal or nasoethmoidal with its
associated complications and accurate assessment
of blood loss and prevention of hypothermia
pengelolaan hemodinamik dan jantung, 2) jalan
nafas dan ventilasi, 3) evaluasi fungsi neurologik
dan kebutuhan pemantauan tekanan intrakranial
atau drainase ventrikel atau keduanya.
Key
words:
Anaesthesia,
difficult
ventilation, difficult intubation, naso-frontal,
meningoencephalocele, padiatrics
Contoh cara penulisannya:
Abstrak Tinjauan Pustaka:
Terdiri dari Pendahuluan, Isi, dan Simpulan
Abstrak
Stroke hemoragik merupakan penyakit yang
mengerikan dan hanya 30% pasien bertahan hidup
dalam 6 bulan setelah kejadian. Penyebab umum
dari perdarahan intrakranial adalah subarachnoid
haemorrhage (SAH) dari aneurisma, perdarahan
dari arteriovenous malformation (AVM),
atau perdarahan intraserebral. Perdarahan
intraserebral sering dihubungkan dengan
hipertensi, terapi antikoagulan atau koagulopati
lainnya, kecanduan obat dan alcohol, neoplasma,
atau angiopati amyloid. Mortalitas dalam 30 hari
sebesar 50%. Outcome untuk stroke hemoragik
lebih buruk bila dibandingkan dengan stroke
iskemik dimana mortalitas hanya sekitar 10-30%.
Stroke hemoragik khas dengan danya sakit kepala,
mual muntah, kejang dan defisit neurologic fokal
yang lebih besar. Hematoma dapat menyebabkan
letargi, stupor dan koma. Disfungsi neurologik
dapat terjadi dari rentang sakit kepala sampai
koma. Pengelolaan dini difokuskan pada: 1)
Kata kunci: perdarahan intrakranial, stroke
perdarahan
Diakhir abstrak dibuat kata kunci yang
ditulis berurutan secara alphabet, 3–5 buah.
4.
Cara Penulisan Makalah
Penulisan Daftar Pustaka:
•
Nomor Kepustakaan berdasarkan urutan
datang” di dalam teks, Vancouver style.
Jumlah kepustakaan minimal 8 dan maksimal
20 buah.
•
Dari Jurnal:
1. Powers WJ. Intracerebral haemorrhage and
head trauma. Common effect and common
mechanism of injury. Stroke 2010;41(suppl
1):S107–S110.
2. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick JP, Batjer
HH, Hondo H, Hanley DF. Spontaneus
intracerebral haemorrhage. N Engl J Med
2001,344(19):1450–58.
Dari Buku:
1. Ryan S, Kopelnik A, Zaroff J. Intracranial
hemorrhage: Intensive care management.
Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials
of Neuroanesthesia and Neurointensive Care.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008, 229–
36.
2. Rost N, Rosand J. Intracerebral Hemorrhage.
Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical
Care. New York: Cambridge University
Press;2010,143–56.
Materi Elektronik
Artikel Jurnal dalam Format Elektronik Lipton B,
Fosha D. Attachment as a transformative process
in AEDP: operationalizing the intersection of
Penanggungjawab, pemimpin, dan segenap redaksi Jurnal Neuroanestesi Indonesia
menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih yang tulus
kepada mitra bebestari:
Prof. Siti Chasnak Saleh, dr., SpAnKIC,KNA
(Universitas Airlangga ‒ Surabaya)
Dr. M. Sofyan Harahap, dr., SpAnKNA
(Universitas Diponegoro ‒ Semarang)
Dr. Bambang J. Oetoro, dr., SpAnKNA
(Universitas Atmajaya Khatolik‒ Jakarta)
Dr. I Putu Pramana Suarjaya, dr., SpAnKMN, KNA
(Universitas Udayana – Denpasar)
Dr. M.M. Rudi Prihatno, dr., SpAnKNA, M.Si
(Universitas Jenderal Soedirman – Purwokerto)
Dr. Rose Mafiana, dr., SpAnKNA
(Universitas Sriwijaya – Palembang)
Atas kerjasama yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal
Neuroanestesi Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan lebih baik untuk masa yang akan
datang
Redaksi
FORMULIR PESANAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama Lengkap
: ………………………………………………………………...
Alamat Rumah
: ………………………………………………………………...
………………………………………………………………...
……………….. Kode pos………………………….................
Telepon …………………………Faks ………………….........
HP ………………………………E-mail…………...................
Alamat Praktik
: ………………………………………………………………...
Telepon …………………………Faks ……………….............
Alamat Kantor
: ………………………………………………………................
……………………….. Kode pos……………………………..
Telepon …………………………Faks ……………………......
Mulai berlangganan
: ………………………………. s.d ……………………………...
Saya bermaksud untuk berlangganan JNI secara teratur dengan mengirimkan biaya berlangganan
sebesar Rp. 250.000,00 per tahun**
Pembayaran melalui :
□
Langsung ke Sekretariat Redaksi
Jl. Prof. Dr. Eijkman No. 38 – Bandung 40161
Mobile
: 087722631615
JNI dikirimkan ke* :
□
□
□
Alamat Rumah
Alamat praktik
Alamat Kantor
Bandung, …………………………………
Hormat Saya
(
* pilih salah satu
** foto kopi bukti transfer mohon segera dikirimkan/faks ke Sekretariat Redaksi
*** termasuk ongkos kirim untuk wilayah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten
)
Download