Daftar Isi Laporan Penelitian Insidensi Hipoksemia dan Hipotensi pada Cedera Otak Traumatik di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2015 Izhar Muhammad Arif, Hermin Aminah Usman, Dewi Yulianti Bisri ............................................ 70–4 Efek Proteksi Otak Metamizol Intravena sebagai Farmakologik Hipotermi terhadap Suhu Inti dan Kadar Interleukin-6 pada Pasien Cedera Kepala Berat Muchammad Erias, Ruli Herman, Tatang Bisri ........................................................................ 75–84 Laporan Kasus Peranan Index of Consciousness (IoC) dalam Tatalaksana Total Intravenous Anesthesia pada Operasi Mikrovaskular Dekompresi Fitri Sepviyanti Sumardi, Iwan Fuadi, Sri Rahardjo, Tatang Bisri ................................................. 85–92 Penatalaksanaan Anestesi pada Reseksi Tumor Batang Otak Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan, Dewi Yulianti Bisri, Siti Chasnak Saleh, Himendra Wargahadibrata 93–100 Tight Brain pada Anestesi Awake Craniotomy dengan Dexmedetomidine Riyadh Firdaus, Dewi Yulianti Bisri, Siti Chasnak Saleh, A. Himendra Wargahadibrata ..................... 101–13 Tinjauan Pustaka Tatalaksana Anestesi pada Bedah Minimal Invasif Deep Brain Stimulation (DBS) Bona Akhmad Fithrah, Iwan Fuadi, Sri Rahardjo, Tatang Bisri .......................................................... 114–23 Transcranial Doppler Ultrasonography: Diagnosis dan Monitoring Non Invasif pada Neuroanesthesia dan Neurointesive Care Buyung Hartiyo Laksono .................................................................................................................... 124–31 Insidensi Hipoksemia dan Hipotensi pada Cedera Otak Traumatik di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2015 Izhar Muhammad Arif*), Hermin Aminah Usman**), Dewi Yulianti Bisri***) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, **)Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung,**)*Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran–Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung *) Abstrak Latar Belakang dan Tujuan: Cedera otak traumatik (COT) merupakan kasus cedera dengan prevalensi ketiga terbesar diantara cedera bagian tubuh lain (16,8%) di Indonesia. Hipotensi dan hipoksemia adalah prediktor luaran COT yang dapat dikontrol. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui insidensi hipotensi dan hipoksemia pada pasien COT., yang masuk di unit Gawat Darurat Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin. Subjek dan Metode: Penelitian ini berupa deskriptif kuantitatif. Data diambil secara retrospektif dari rekam medis pasien dengan diagnosis COT yang masuk ke Unit Gawat Darurat RSUP Dr. Hasan Sadikin periode 1 Januari 2015–31 Desember 2015. Sampel diambil secara total sampling, kemudian diklasifikasikan berdasarkan usia, jenis kelamin, etiologi cedera, tingkat COT, saturasi oksigen, dan tekanan darah pasien. Hasil: Didapatkan 669 sampel penelitian. Rata-rata umur sampel adalah 29 tahun dengan jumlah terbanyak di kelompok umur 15–24 tahun (30,3%). Kejadian pada laki-laki (71,2%) lebih tinggi dibandingkan perempuan (28,8%). COT paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalulintas (KLL) (68,9%). Terdapat 78 (11,7%) kasus COT berat. Pasien COT yang mengalami hipotensi dan hipoksemia sebanyak 50 orang (7,5%), dan angka kejadian hipotensi dan hipoksemia paling tinggi terdapat pada pasien COT berat (66%). Simpulan: Proporsi kejadian hipoksemia dan hipotensi paling banyak terjadi pada COT berat dengan etiologi KLL. Kata kunci: insidensi, hipoksemia, hipotensi, cedera otak JNI 2017;6 (2): 70‒74 Hypoxaemia and Hypotension Incidence of Traumatic Brain Injury in Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung in 2015 Abstract Background and Objectives: Traumatic brain injury (TBI) is a case with the third highest prevalence among other injuries (16,8%) in Indonesia. Hypotension and hypoxaemia are TBI outcome predictors which can be controlled. This research aims to find out the incidence of hypotension and hypoxaemia in TBI patients. Subjects and Method: This descriptive quantitative research collected the data retrospectively from the medical record of COT patients who were admitted to Emergency Room (ER) Dr. Hasan Sadikin Public General Hospital in 1 January – 31 December 2015. Samples were collected with total sampling technique, and classified based on age, gender, etiology, TBI severity level, oxygen saturation, and blood pressure of the patients. Results: 669 samples were collected. Age average of the samples was 29 years with the highest age group frequency being 15-24 years (30,3%). There were more male patients (71,2%) compared to the female ones (28,8%). The most common cause of TBI was traffic accidents (68,9%). There were 78 (11,7%) severe TBI cases. There were 50 (7,5%) TBI patients with hypoxaemia and hypotension, and the most hypotension and hypoxaemia cases were in severe TBI patients (66%). Conclusion: The proportion of hypoxaemia and hypotension incidence was the highest in severe TBI patients due to traffic accidents. Key words: incidence, hypoxaemia, hypotension, head injury JNI 2017;6 (2): 70‒74 70 Insidensi Hipoksemia dan Hipotensi pada Cedera Otak Traumatik di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2015 I. Pendahuluan Hipoksemia adalah keadaan kadar oksigen di dalam darah di bawah batas normal.1 Hipotensi adalah rendahnya tekanan darah. Pada pasien yang dirawat di intensive care unit (ICU), durasi dari hipotensi berpengaruh terhadap memburuknya luaran neurologis dan meningkatnya angka kematian.2 Cedera otak traumatik (COT) adalah kerusakan nondegeneratif dan nonkongenital pada otak akibat gaya mekanik dari luar.3 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, di Jawa Barat, COT adalah salah satu kasus yang paling sering muncul, menempati peringkat ketiga setelah cedera pada anggota gerak bawah dan anggota gerak atas.4 Proporsi dan prevalensi COT juga mengalami peningkatan dari proporsi 14,9% dan prevalensi 7,5% pada tahun 2007 naik menjadi proporsi 15,8% dan prevalensi 8,2% pada tahun 2013.4 Traumatic Coma Data Bank (TCDB) menyimpulkan bahwa hipotensi dan hipoksemia merupakan 2 dari 5 prediktor luaran yang paling kuat dan yang paling dapat dikontrol.1 Hipoksemia dan hipotensi dapat berperan signifikan dalam keselamatan pasien, terutama pasien COT berat. Di Indonesia, khusunya di RSUP Dr. Hasan Sadikin, belum tersedia data mengenai insidensi hipoksemia dan hipotensi pada COT. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui insidensi hipotensi dan hipoksemia pada pasien COT. II. Subjek dan Metode Penelitian ini menggunakan studi desain deskriptif kuantitatif. Subjek penelitian adalah seluruh pasien COT yang masuk ke Unit Gawat Darurat RSUP Dr. Hasan Sadikin dengan kriteria inklusi berupa rentang perawatan antara 1 Januari – 31 Desember 2015 dan kriteria eksklusi berupa pasien yang tidak memiliki data yang lengkap. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode total sampling. Data diambil secara retrospektif dari rekam medis dengan terlebih dahulu membuat surat etik dan surat izin penelitian. Analisis dilakukan secara deskriptif dengan menghitung jumlah dan persentase serta tabulasi silang. Variabel 71 pada penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, etiologi cedera, tingkat COT, saturasi oksigen, dan tekanan darah pasien. Etiologi cedera dikelompokkan menjadi kecelakaan lalulintas (KLL), kecelakaan kerja, kecelakaan domestik, dan lain-lain. Kecelakaan lalu-lintas adalah kejadian di mana sebuah kendaraan bermotor tabrakan dengan benda lain dan menyebabkan kerusakan. Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang ada hubungannya dengan kerja, dimana kecelakaan terjadi karena pekerjaan atau pada waktu melaksanakan pekerjaan. Kecelakaan domestik adalah kecelakaan yang terjadi di dalam atau sekitar rumah. Etiologi cedera selain yang disebutkan diatas atau tidak diketahui masuk ke dalam kategori lain-lain. COT dikelompokkan menjadi ringan, sedang, dan berat. Pengelompokkan COT berdasarkan pada Glasgow Coma Scale (GCS) yang tertera pada rekam medis pasien. COT dianggap ringan jika skor GCS 13–15, sedang jika skor GCS 9–12, dan berat jika skor GCS 3–8. Pasien diklasifikasikan hipoksemia jika saturasi oksigennya kurang dari 90%. Pasien diklasifikasikan hipotensi jika tekanan darah sistoliknya kurang dari 90 mmHg. II. Hasil Jumlah sampel yang didapatkan pada penelitian ini adalah 669 sampel dengan rincian COT ringan sebanyak 546 kasus, COT sedang sebanyak 45 kasus, dan COT berat sebanyak 78 kasus. (Tabel 1). Karakteristik pasien cedera otak diperoleh dari hasil penelitian bahwa rata-rata usia pasien adalah 29 tahun dengan kelompok usia terbanyak pada usia 15-44 tahun sebesar 59,3% (397 pasien). Angka kejadian COT pada laki-laki (71,2%) lebih banyak dibandingkan perempuan (28,8%). Pada variabel yang diteliti, KLL (68,9%) adalah etiologi COT yang paling banyak ditemukan di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. COT ringan ditemukan memiliki angka kejadian tertinggi dibandingkan COT sedang dan berat dengan jumlah 546 kasus (81,6%). Hanya ada 2 (0,3%) pasien yang mengalami hipoksemia dan 10 (1,5%) pasien yang mengalami hipotensi, tetapi pasien yang mengalami hipoksemia dan hipotensi secara bersamaan berjumlah 50 orang atau 7,5% dari keseluruhan sampel. Dari 72 Jurnal Neuroanestesi Indonesia Tabel 1. Karakteristik Pasien Cedera Otak Traumatik di RSUP Dr. Hasan Sadikin Variabel Usia Kategori 0-4 tahun 5-14 tahun 15-24 tahun 25-44 tahun 45-64 tahun > 65 tahun f (%) 20 (3,0%) 79 (11,8%) 203 (30,3%) 194 (29,0%) 143 (21,4%) 30 (4,5%) Jenis kelamin Laki-laki 476 (71,2%) Perempuan 193 (28,8%) Etiologi KLL Kecelakaan kerja Kecelakaan domestik Lain-lain 461 (68,9%) 109 (16,3%) 87 (13,0%) 12 (1,8%) Cedera otak traumatik Ringan Sedang Berat 546 (81,6%) 45 (6,7%) 78 (11,7%) Hipoksemia Ya Tidak 2 (0,3%) 667 (99,7%) Hipotensi Ya Tidak 10 (1,5%) 659 (98,5%) Hipoksemia dan hipotensi Ya Tidak 50 (7,5%) 619 (92,5%) Tabel 2. Insidensi Hipoksemia dan Hipotensi pada Cedera Otak Traumatik Diagnosa Hipoksemia Hipotensi + + - Hipotensi dan + hipoksemia - Ringan 0 (0%) 546 (100%) 6 (1,1%) 540 (98,9%) Cedera Otak Traumatik Sedang Berat 1 (2,2%) 1 (1,3%) 44 (97,8%) 77 (98,7%) 3 (6,7%) 1 (1,3%) 42 (93,3%) 77 (98,7%) 6 (12%) 540 (87,2%) 11 (22%) 34 (5,5%) 33 (66%) 45 (7,3%) Total 2 (0,3%) 667 (99,3%) 10 (1,5%) 659 (98,5%) 50 (7,5%) 619 (92,5%) Insidensi Hipoksemia dan Hipotensi pada Cedera Otak Trumatik di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2015 Tabel 2 di atas, diketahui bahwa angka kejadian hipoksemia paling tinggi ada pada pasien COT sedang (2,2%). Angka kejadian hipotensi juga paling tinggi ditemukan pada pasien COT sedang (6,7%). Insidensi pasien dengan hipotensi dan hipoksemia secara bersamaan paling banyak ditemukan pada pasien COT berat (66%). III. Pembahasan Cedera otak merupakan trauma yang dapat mengenai berbagai komponen otak mulai dari bagian terluar hingga terdalam, termasuk tengkorak dan otak, seperti kontusio atau memar otak, edema otak, perdarahan atau laserasi, dengan derajat yang bervariasi tergantung pada luas daerah trauma.5,6 Berdasarkan data dari tabel diatas, didapatkan data bahwa kejadian COT di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung paling banyak terjadi di interval usia 15–44 tahun dengan rata-rata usia 29. COT juga lebih banyak ditemukan pada laki-laki dengan 476 kasus (71,2%) dibandingkan perempuan dengan 193 kasus (28,8%). Hasil serupa juga ditemukan di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2011 yang menyebutkan bahwa laki-laki mengalami COT 2 sampai 3 kali lebih sering daripada perempuan.7 Tingginya angka kejadian pada interval usia dewasa muda dan laki-laki disebabkan oleh tingginya mobilisasi lakilaki dan kelompok usia tersebut. Berdasarkan penelitian di Inggris, angka kejadian COT mencapai 1 juta kasus dengan jumlah kejadian tertinggi pada kelompok usia 15–24 tahun.8 Begitu juga dengan penelitian di Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa kelompok usia remaja, dewasa, dan laki-laki memiliki kencenderungan yang tinggi mengalami COT.9 Berdasarkan data dari tabel 4.1, kejadian COT paling banyak disebabkan oleh KLL dengan 461 kasus (68,9%). Dengan kata lain proporsi akibat KLL dibandingkan etiologi lain melebihi rasio 2:1. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh minimnya kesadaran masyarakat Bandung untuk menggunakan pengaman kepala atau helm dengan baik dan benar, tidak lengkapnya perlengkapan kendaraan sesuai standar nasional dan kurang patuhnya pengendara terhadap ramburambu lalulintas. Centers for Disease Control and 73 Prevention mengidentifikasi penyebab utama COT antara lain: jatuh, KLL, kejadian yang berhubungan dengan tabrakan, dan serangan kekerasan.10 Total kejadian COT di RSUP Dr. Hasan Sadikin di tahun 2015 sebanyak 669 kasus dengan kejadian COT ringan sebanyak 546 kasus (81,6%), COT sedang sebanyak 45 kasus (6,7%), dan COT berat sebanyak 78 kasus (11,7%). Dengan demikian COT masih merupakan masalah yang cukup signifikan di Indonesia, khususnya di Jawa Barat.7 Dari tabel diatas juga didapatkan bahwa adanya perbedaan yang signifikan antara jumlah pasien yang mengalami hipoksemia (2 kasus), pasien yang mengalami hipotensi (10 kasus), dan pasien yang mengalami hipoksemia dan hipotensi (50 kasus). Dari sini diduga bahwa hipotensi dan hipoksemia memiliki hubungan sebab-akibat dalam terjadinya cedera otak traumatik. Insidensi hipotensi dan hipoksemia paling tinggi ditemukan pada pasien dengan COT berat, yang kemungkinan disebabkan oleh berbanding lurusnya penurunan kemampuan sirkulasi darah dengan beratnya COT. Hipoksemia meningkatkan kerentanan terhadap hipotensi dengan meningkatan sensitivitas baroreseptor kardiovaskuler.8 Rendahnya angka kejadian hipoksemia dan hipotensi (7,5%) pada pasien COT menandakan bahwa hipoksemia dan hipotensi kemungkinan terjadi bukan karena akibat langsung dari COT, tetapi karena COT dapat menyebabkan gangguan aliran darah di otak melalui gaya eksternal.11 Pada penelitian ini diduga bahwa semakin berat COT maka semakin tinggi kecenderungan untuk hipotensi dan hipoksemia. Ini ditandai dengan tingginya angka kejadian hipoksemia dan hipotensi pada pasien COT berat (66%) dibandingkan COT sedang dan COT ringan.12 Keterbatasan penelitian ini diantaranya adalah ketidaklengkapan data di rekam medis RSUP Dr. Hasan Sadikin, khususnya tentang pemeriksaan saturasi oksigen untuk status hipoksemia karena tidak semua pasien dilakukan pemeriksaan tersebut, serta pengarsipan data-data penting pasien yang kurang baik juga dirasa merupakan keterbatasan dari penelitian ini. 74 Jurnal Neuroanestesi Indonesia IV. Simpulan Dari penelitian ini didapatkan bahwa insidensi hipoksemia lebih banyak terjadi pada pasien dengan COT berat, demikian pula insidensi hipotensi lebih banyak terjadi pada pasien dengan COT berat, dan insidensi hipoksemia serta hipotensi lebih banyak terjadi pada pasien dengan COT berat dibandingkan dengan COT sedang dan ringan. Saran Saran untuk penelitian ini adalah sebaiknya dalam rekam medis tersimpan seluruh pemeriksaan yang dilakukan pada pasien agar memudahkan dokter dalam menegakkan diagnosis. Sistem pencatatan rekam medis pasien RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung menggunakan sistem International Classification of Diseases (ICD) yaitu pengelompokan diagnosa penyakit sesuai standar internasional, ICD yang digunakan di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung adalah ICD-10. Kekurangan ICD-10 adalah tidak spesifik dalam pengelompokan diagnosa cedera otak. Bagian laboratorium pun sebaiknya memiliki cadangan hasil pemeriksaan pasien yang disimpan menjadi arsip jika terjadi hal yang tidak diinginkan. Riset Kesehatan Dasar 2013. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia [Online Journal] 2013 [diunduh 15 Mei 2016] Tersedia dari: http://www.depkes.go.id 5. Dinsomore J, Hall G. Neuroanaesthesia. 2002; 79-86. 6. Prabhu A, Matta BF. Anaesthesia for extracranial surgery in patient with traumatic brain injury. Br J Anaesth. 2004; 4(5): 156-9. 7. Soertidewi L. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral. Continuing Medical Education. 2012; 39(5): 327-31 8. Van Dijk GW. Head injury. Pract Neurol. 2011;11(1):50–5. 9. Faul M, Xu L, Wald MM, Coronado VG. Traumatic brain injury in the United States: emergency department visits, hospitalizations, and deaths. Centers Dis Control Prev Natl Cent Inj Prev Control. 2010;891–904. Daftar Pustaka 10. Fox WC, Watson R, Lockette W. Acute Hypoxemia Increases Cardiovascular Baroreceptor Sensitivity in Humans. Am J Hypertens. 2006;19(9):958–63. 1. Haddad S, Arabi Y. Critical care management of severe traumatic brain injury in adults. Scand Trauma Resusc Emerg Med. 2012;20(1):12. 11. Busl KM, Greer DM. Hypoxic-ischemic brain injury: Pathophysiology, neuropathology and mechanisms. NeuroRehabilitation. 2010: 5–13. 2. Cottrell J, Young W. Care of the acutely unstable patient. Dalam: Rozet I, Domino K, editors. Cottrell and Young's neuroanesthesia. Philadelphia: Mosby, Elsevier; 2010. 166. 12. Stassen W, Welzel T. The prevalence of hypotension and hypoxaemia in blunt traumatic brain injury in the prehospital setting of Johannesburg, South Africa: A retrospective chart review. South African Med J. 2014;104(6):424–7. 3. Maas AIR, Stocchetti N, Bullock R. Moderate and severe traumatic brain injury in adults. Lancet Neurol. 2008;7(8):728–41. 4. Artikel Jurnal dalam Format Elektronik Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Penyajian Pokok-Pokok Hasil Efek Proteksi Otak Metamizol Intravena Sebagai Farmakologik Hipotermi Terhadap Suhu Inti Dan Kadar Interleukin-6 Pada Pasien Cedera Kepala Berat Muchammad Erias, Ruli Herman, Tatang Bisri Departemen Anestesiologi dan Terapi intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/ Rumah Sakit Dr.Hasan Sadikin Bandung Abstrak LatarBelakang danTujuan: Cedera kepala berat merupakan salah satu penyebab mortalitas dan morbiditas bagi pasien pasca trauma. Sirkulasi sitokin interleukin-6 (IL-6) pada cedera kepala berat dan proteksi otak dalam pengaturan suhu berhubungan dengan hasil luaran berupa morbiditas dan mortalitas.Tujuan dari penelitian ini mengkaji efek proteksi otak metamizol intravena sebagai farmakologik hipotermi terhadap suhu inti dan kadar interleukin pada cedera otak traumatik. Subjek dan Metode: Penelitian merupakan penelitian tersamar acak ganda yang dilakukan pada 30 pasien dewasa dengan cedera kepala berat yang dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok metamizol (M). Kelompok M diberikan metamizol intravena 15 mg/kgbb setiap 8 jam selama 72 jam. Data yang dicatat adalah suhu membran timpani setiap 8 jam dan kadar IL-6 setiap 24 jam selama 72 jam. Penelitian dilakukan selama bulan Juli sampai Agustus 2016 dan hasil penelitian diuji statistik menggunakan uji t berpasangan, uji Mann-Whitney, Uji Chi-square dan uji Fisher's Exact. Hasil: Penelitian menunjukkan bahwa nilai IL-6 pada kelompok M 244,20±93,07, lebih rendah dari kelompok K 375,20±152,62 dengan nilai p=0,006 pada jam ke-48 dan pada jam ke-72 dengan kadar IL-6 197,20±76,03 dan nilai p=0,008 sehingga bermakna secara statistik (p<0,05). Subjek pada kelompok M juga menunjukkan suhu tubuh yang lebih rendah secara keseluruhan dan bermakna secara statistik (p<0,01). Simpulan: Metamizole mempunyai efek proteksi otak dan mempunyai kegunaan sebagai farmakologik hipotermi pada cedera kepala traumatik. Kata kunci: cedera kepala berat, hipotermi, interleukin-6, metamizol JNI 2017;6 (2): 75‒84 Effect Brain Protection Metamizol Intravenous as Pharmacalogic Hypothermia to Core Temperature and Interleukin-6 Level in Severe Traumatic Brain Injury Abstract Background and Objective: Severe traumatic brain injury (TBI) is one of the major cause of morbidity and mortality in trauma. Circulating interleukin-6 (IL-6) and neuroprotection from temperature has a strong relation with improve outcome. The aim of this study is to evaluate the brain protection properties of intravenous metamizole as a hypothermic pharmacologic in reducting IL-6 and core temperature regulation on severe TBI. Subject and Method: This is a randomized controlled trial to 30 adult pasien with severe TBI which was distributed into two groups which was control group (K) and metamizole group(M). The M grup was given 15 mg/kgbw of intravenous metamizole every 8 hours for 72 hours. Core temperature from the tympnic membrane every 8 hours and IL-6 every 24 hours was noted for 72 hours. This studi was conducted from July to August 2016 and the data was then analyzed statistically using the paire t test, Mann-Whitney test, Chi-Square test and Fishers’s Exact test. Result: Shows that IL-6 on the M group was 244.20±93.07 which was lower than the K group at 375.20±152.62 with p=0.006 on the 48th hour and on the 72nd hour with IL-6 at 197.20±76.03 with p=0.008 which is statistically significant (p<0.005) and also shows lower temperature at every recording with p<0.01. Conclusion: Metamizole has brain protecting properties in reducing circulating IL-6 and has uses as a hypothermic agent in severe TBI. Key words: hypothermia, interleukin-6, metamizole, severe head injury JNI 2017;6 (2): 75‒84 75 76 Jurnal Neuroanestesi Indonesia I. Pendahuluan Cedera kepala yang disebabkan oleh trauma merupakan salah satu penyebab utama kematian serta kecacatan pada dewasa muda. Diperkirakan terdapat 10.000.000 orang diseluruh dunia mengalami cedera kepala berat setiap tahun.1 Cedera kepala merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada individu di bawah usia 45 tahun di seluruh dunia.2 Percobaan dan analisa klinis dari cedera biomekanik dan kerusakan jaringan telah memperluas pengetahuan tentang patofisiologi yang berpotensi berfungsi sebagai dasar untuk menentukan strategi pengobatan yang baru. Angka kematian akibat cedera kepala menurun seiring dengan perkembangan manajemen dan terapi.3 Pada cedera kepala didapatkan cedera otak fokal atau difus, kerusakan sawar darah otak, iskemia dan reperfusi, cedera difus aksonal dan perkembangan perdarahan mikro di otak, hematoma intrakranial, atau daerah kontusio.4 Cedera kepala primer adalah cedera kepala yang terjadi karena pengaruh gaya mekanik secara langsung pada saat terjadi trauma. Cedera kepala primer dapat diikuti dengan cedera kepala sekunder yang sudah terjadi proses perubahan biokimia yang dapat menyebabkan peningkatan kematian sel (apoptosis) dan luaran neurologis yang buruk.2 Beberapa efek fisiologis sistemik dapat terjadi sebagai akibat dari cedera otak primer sehingga dapat menyebabkan perburukan dari cedera saraf. Efek-efek ini termasuk hipoksia, hipotensi, hipertensi, hiperkarbi, anemia, hipoglikemia, gangguan elektrolit dan hipertermia/demam.5 Beberapa penelitian yang dilakukan pada pasien cedera kepala berat, menunjukkan suhu otak ratarata yang lebih tinggi, yaitu meningkat sebesar 1˚C dari suhu rektal rata-rata di hari pertama pascatrauma. Perbedaan suhu ini diperburuk ketika pasien mengalami demam. Penjelasan dari fenomena ini adalah gangguan dari pusat termoregulasi hipotalamus.4 Hipertermia tampaknya berkorelasi dengan luaran yang buruk pada pasien cedara otak dan stroke, meskipun hubungan langsung penyebab hipertermi masih belum dapat dipastikan. Hipertermi disebabkan oleh nekrosis jaringan atau oleh perubahan mekanisme termoregulasi yang terjadi jika lesi mengenai daerah anterior hipotalamus.6 Hipertermi sering berhubungan dengan infeksi, reaksi obat atau defek pada sistem termoregulator. Hipertermia dapat memperburuk cedera iskemik neuronal sehingga menyebabkan cedera otak sekunder.5 Prinsip utama pada penatalaksaan pasien dengan cedera kepala adalah mengurangi dan mencegah terjadinya cedera otak sekunder, melakukan diagnosa definitif, dan strategi manajemen. Intervensi medis baru dapat dilakukan setelah penilaian awal pada pasien dengan cedera otak traumatik dilakukan.6,7 Pada tahap awal, dilakukan terlebih dahulu terapi ekstrakranial, kemudian diikuti dengan terapi pada intrakranial. Stabilisasi esktrakranial meliputi perbaikan pada perfusi jaringan, koreksi dari status hipovolemia, memperbaiki oksigenasi sistemik dan ventilasi. Target dari stabilisasi intrakranial adalah meningkatkan perfusi otak, menurunkan tekanan tinggi intrakranial, dan menurunkan laju metabolisme otak.7 Suhu tubuh harus dikendalikan pada semua pasien, tetapi hal ini menjadi lebih khusus pada pasien cedera kepala dan pasien pascabedah saraf. Adanya peningkatan suhu dapat meningkatkan laju metabolisme otak yang akan menyebabkan ketidakseimbangan kebutuhan dan pasokan oksigen ke otak. Hipertermia dapat meningkatkan pemakaian adenosine triphospate (ATP) dimana oksigen dan glukosa memegang peranan penting dalam sintesanya, sehingga saat terjadi periode total iskemik, otak hanya dapat mentolerirnya dalam waktu sangat terbatas. Perubahan suhu inti (core temperature) sebesar 1oC akan menyebabkan perubahan aliran darah otak sebesar 5%, yang berakibat peningkatan volume darah otak dan peningkatan tekanan intrakranial.5 Hipotermia ringan (dengan temperatur inti menurun 1,5-3oC) telah menunjukkan memberikan perlindungan pada otak melawan iskemik yang ditunjukan pada penelitian hewan. Efek perlindungan ini lebih besar dari yang diharapkan dari penekanan metabolik itu sendiri Efek Proteksi Otak Metamizol Intravena Sebagai Farmakologik Hipotermi Terhadap Suhu Inti Dan Kadar Interleukin-6 Pada Pasien Cedera Kepala Berat dan mungkin terkait dengan penurunan pelepasan neurotransmitter eksitatori dari sel yang iskemik. Hipotermia dapat mencegah kerusakan sel yang berakhir pada apoptosis sel dan mencegah disfungsi mitokondria. Proses ini terjadi dalam waktu 48 jam pertama, sehingga hipotermia dapat berfungsi sebagai neuroprotektif bila dilakukan sesegera mungkin setelah terjadi trauma kepala.8 Ada beberapa cara untuk menurunkan suhu tubuh, yaitu dengan terapi farmakologik dan non farmakologik. Terapi farmakologis meliputi pemberian antipiretik seperti acetaminofen, metamizol, ibuprofen, dan deksketoprofen sedangkan terapi non farmakologis terbagi menjadi dua cara yaitu dengan external cooling dan intravascular cooling.9 Dipyrone atau yang dikenal dengan metamizol merupakan analgesik dan antipiretik yang kuat. Metabolit ini memang telah terbukti menghambat enzim cyclooxygenase (COX) baik secara vitro atau ex vivo. Metamizol menurunkan demam yang diinduksi oleh interleukin-1b (IL-1b), yang merupakan pirogen prostaglandin E2 (PGE2) dependent. Obat ini juga menghambat demam dan peningkatan kadar PGE2 di cairan serebro spinal (Cerebro Spinal Fluid/CSF), dan menunjukkan bahwa efek antipiretik dari metamizol terkait dengan penghambatan sintesis PGE2.10 Suatu obat yang bisa bekerja pada sistem saraf pusat harus dapat melewati sawar darah otak/Blood Brain Barrier (BBB) dan atau melewati Blood Cerebro Spinal Fluid Barrier (BCSFB), yang distribusinya tergantung pada arah gradien antara CSF dan cairan otak interstitial.10 Pada penelitian pasien yang diberikan metamizol peroral terdapat metabolit pada cairan serebro spinalnya, hal itu membuktikan bahwa metamizol dapat melewati sawar darah otak dan sawar darah serebro spinal.11 Penelitian lain menunjukkan bahwa metamizol memiliki efek dalam mengurangi C-Reactive Protein (CRP) dan IL-6. Mediator endogen demam IL-6 dan interleukin-8 (IL-8) meningkat pada pasien ketika demam mencapai 38,5oC. Kadar IL-6 sirkulasi diketahui memiliki korelasi yang tinggi terhadap perubahan suhu tubuh, kadar IL-6 dan IL-8 cenderung menurun setelah pemberian metamizol. Mekanisme penurunan 77 ini masih belum jelas karena prostaglandin E2 terlibat dalam demam yang disebabkan oleh IL-6 dan bukan oleh IL-8.12Tujuan penelitian ini untuk menilai efek proteksi otak metamizol intravena sebagai farmakologik hipotermi terhadap suhu inti dan kadar IL-6 pada pasien cedera kepala berat. II. Subjek dan Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan melakukan uji acak tersamar buta ganda (double blind randomized controlled trial). Sebanyak 30 pasien cedera kepala berat rentang usia 13-45 tahun yang datang ke Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin (RSHS) Bandung dimasukkan ke dalam kriteria inklusi. Riwayat pemberian antipiretik, riwayat alergi terhadap metamizol, pasien dengan gangguan faktor pembekuan darah, riwayat gagal ginjal serta pasien dengan multipel trauma merupakan kriteria eksklusi pada penelitian ini. Penarikan sampel dilakukan secara random sampling, yaitu berdasarkan tabel bilangan acak yang terlebih dahulu telah dibuat. Pasien yang masuk kriteria inklusi, dilakukan randomisasi dan keluarga pasien diberikan penjelasan perihal penelitian, setelah disetujui keluarga dan sebelum dilakukan pemberian obat yang akan diteliti, dilakukan pengukuran suhu di membran timpani dan diambil sampel untuk pemeriksaan interleukin-6 awal dan waktu ini disebut T0 dan IL-6 pada waktu masuk, pengukuran suhu selanjutnya setiap 8 jam maka disebut T1 kemudian T2 diperiksa selang 8 jam dari T1 dan seterusnya hingga T9. Dilakukan pencatatan data dasar berupa jenis kelamin, berat badan, onset trauma dan jumlah leukosit. Pada pasien kelompok M, pasien diberikan metamizol 15mg/kgbb dan diencerkan menjadi 3 cc menggunakan larutan NaCl 0,9%. Preparasi kemudian diberikan setiap 8 jam selama 72 jam. Untuk kelompok kontrol, subjek diberikan NaCl 0,9% sebanyak 3 cc. Suhu semua subjek diukur melalui membran timpani setiap 8 jam selama 72 jam. Pengambilan darah sebanyak 3 ml untuk pemeriksaan IL-6 dilakukan pada semua subjek setiap 24 jam sampai dengan hari ketiga, Kemudian sampel darah dicatat sesuai 78 Jurnal Neuroanestesi Indonesia dengan identitas subjek dan dikirim ke Bagian Laboratorium Patologi Klinik RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung. Untuk pemeriksaan kadar IL6, reagen kit yang dipergunakan adalah produk R&D Sistem, Minneapolis, Amerika Serikat. Istrumen laboratorium yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Instrument Laboratorium micro elisa reader (Washer). Darah sebanyak 3 ml yang dimasukan dalam tabung vakum berisi heparin, biarkan 30–60 menit pada suhu ruangan kemudian dipusingkan dengan sentrifus 3000 rpm selama 5 menit, plasma yang terpisah dipindahkan ke eppendorf tube, kemudian disimpan dalam suhu -20 oC. Plasma yang telah dibekukan akan dicairkan kembali saat dilakukan pemeriksaan kadar IL-6. Pemeriksaan tersebut dengan menggunakan metode ELISA. Prinsip pemeriksaan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) menggunakan teknik quantitative sandwich immunoassay, hasil pencampuran substrat dan enzim akan ditambah dengan larutan asam sulfat yang menyebabkan terjadi perubahan warna, yang diukur memakai spektrofotometri dengan panjang gelombang 450+2 nm. Hasil pemeriksaan ini merupakan angka optical density yang akan diekstrapolasi pada grafik standar untuk mendapatkan angka kadar IL-6 dalam pg/ml. Pengamatan dilakukan oleh pembantu peneliti yang sudah dijelaskan tentang prosedur penelitian. Hasil pengamatan dicatat dalam lembar pengamatan yang telah disiapkan. Analisis statistik data hasil penelitian menggunakan uji-t, chi kuadrat, dan MannWhitney dengan tingkat kepercayaan 95% dan Tabel 1 Data Karakteristik Umum Variabel Usia (tahun) Mean±Std Median Range (min-maks) Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Berat badan (kilogram) Mean±Std Median Range (min-maks) Waktu dari kecelakaan(jam) Mean±Std Median Range (min-maks) Leukosit( per mm3) Mean±Std Median Range (min-maks) Kelompok M N= 15 K N= 15 Nilai p 0,567 24,33±9,43 24,00 14,00-42,00 25,73±9,742 22,00 15,00-43,00 12 (80,0%) 3 (20,0%) 12 (80,0%) 3 (20,0%) 1,000 0,724 59,40±9,97 56,00 45,00-80,00 58,13±9,47 56,00 43,00-78,00 0,470 15,86±3,94 16,00 8,00-20,00 14,93±2,96 15,00 10,00-20,00 0,237 14146,66±1437,19 14000,00 12000,00-16000,00 14946,66±2114.53 14500,00 12000,00-18700,00 Keterangan : Untuk data numerik nilai p dihitung berdasarkan uji t tidak berpasangan dan uji MannWhitney Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda * menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik Efek Proteksi Otak Metamizol Intravena Sebagai Farmakologik Hipotermi Terhadap Suhu Inti Dan Kadar Interleukin-6 Pada Pasien Cedera Kepala Berat dianggap bermakna bila p<0,05. Data disajikan dalam rata-rata (mean) dan dianalisis dengan menggunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) 20 for windows. III. Hasil Penelitian Subjek dibagi secara acak terkontrol buta ganda menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok M (metamizol) dan kelompok K (NaCl 0,9%). Setiap kelompok terdiri atas 15 subjek penelitian. Karakterisitik umum subjek penelitian kedua kelompok berdasarkan usia, jenis kelamin, berat badan dan leukosit tidak berbeda bermakna secara statistika ( p>0,05, Tabel 1). Perbandingan kadar IL-6 diantara kelompok M dan kelompok K pada saat masuk hingga 72 jam dapat dilihat pada tabel 2. Pada tabel 3 memperlihatkan perbandingan suhu inti awal pada Kelompok M didapatkan rata-rata 38 oC dan pada kelompok K sebesar 38 oC. Perbandingan antara kedua kelompok memperlihatkan tidak ada perbedaan bermakna secara statistik (p>0,05). Nilai ratarata suhu pada kelompok M hari pertama pada T1, T2 dan T3 adalah 37,1oC, 36,4oC dan 37 oC. Nilai rata-rata suhu pada kelompok K pad T1, T2 dan T3 adalah sama yaitu 38 oC. Analisa statistik menunjukkan bahwa suhu inti terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok dengan p<0,01. Pada tabel 4 didapatkan bahwa nilai ratarata suhu pada kelompok M hari kedua pada T4, T5 dan T6 adalah 36,8 oC, 36,8 oC dan 37 oC. Nilai rata-rata suhu pada kelompok K adalah 38 oC, 38 o C dan 38,1 oC. Analisa statistik menunjukkan bahwa suhu inti terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok dengan p<0,01. Pada tabel 5 didapatkan bahwa nilai rata-rata suhu pada kelompok M hari pertama pada T7, T8 dan T9 adalah 36,4 oC, 36,5 oC dan 36.5 oC. Nilai ratarata suhu pada kelompok K adalah 38 oC, 37,7 o C dan 37,6 oC. Analisa statistik menunjukkan bahwa suhu inti terdapat perbedaan yang Tabel 2 Perbandingan IL-6 Kedua Kelompok Perlakuan Variabel IL-6 masuk (pg/ml) Mean±Std Median Range (min-maks) IL-6 24 jam (pg/ml) Mean±Std Median Range (min-maks) IL-6 48 jam (pg/ml) Mean±Std Median Range (min-maks) IL-6 72 jam (pg/ml) Mean±Std Median Range (min-maks) M N= 15 Kelompok K N= 15 Nilai p 0,935 395,06±154,65 346,00 221,00-747,00 382,13±156,71 354,000 187,00-765,00 0,083 287,82±137,90 289,00 0,32-567,00 386,33±161,08 354,000 186,00-777,00 0,006** 244,20±93,07 231,00 123,00-453,00 375,20±152,62 321,00 188,00-721,00 0,008** 197,20±76,03 178,00 70,00-323,00 79 278,46±80,64 243,00 187,00-412,00 Keterangan: Untuk data numerik maka nilai p dihitung berdasarkan uji t tidak berpasangan dan uji Mann Whitney. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p<0,05. Tanda * menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik 80 Jurnal Neuroanestesi Indonesia Tabel 3 Perbandingan Suhu Hari Pertama antara Dua Kelompok Variabel M N= 15 Kelompok K N= 15 Hari ke 1 T0 (˚C) Mean±Std 37,96±0.512 Median Range (min-maks) T1 (˚C) Mean±Std Median Range (min-maks) T2 (˚C) Mean±Std Median Range (min-maks) T3 (˚C) Mean±Std Median Range (min-maks) 38,00 38,00 37,10-39.00 37,50-38,40 Tabel 4 Perbandingan Suhu Hari Kedua antara Kedua Kelompok Nilai p Variabel 0,787 Hari ke 2 T4 (˚C) 37,92±0,23 0,0001** 36,97±0.45 38,20±0,42 37,100 38,00 36,00-37,70 37,80-39,20 0,0001** 36,52±0,45 38,20±0,41 36,40 38,00 36,00-37,40 38,00-39,20 0,0001** 36,84±0.49 38,26±0,53 37.,0 38,00 36,00-37,50 37,70-39,40 M N= 15 Kelompok K N= 15 Nilai p 0,0001** Mean±Std 36,65±0,47 Median Range (min-maks) T5 (˚C) Mean±Std Median R a n g e (min-maks) T6 (˚C) 36,80 38,00 36,00-37,50 37,80-39,20 Mean±Std Median Range (min-maks) T3 (˚C) Mean±Std Median Range (min-maks) 36,98±0.46 38,32±0,56 37,00 38,10 36,00-37,50 37,50-39,20 38,18±0,42 0,0001** 36,72±0.52 38,12±0,45 36,80 38,00 36,00-37,50 37,80-39,20 0,0001** 0,0001** 36,84±0,49 38,26±0,53 37,00 38,00 36,00-37,50 37,70-39,40 Keterangan: Untuk data numeric Nilai p dihitung berdasarkan uji T tidak berpasangan dan uji Mann Whitney. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p < 0,05. Tanda * menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistic. T0:Pada awal masuk; T1: 8 jam; T2: 16 jam; T3: 24 jam dari masuk rumah sakit. Keterangan: Untuk data numeric Nilai p dihitung berdasarkan uji T tidak berpasangan dan uji Mann Whitney. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p < 0,05. Tanda * menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik. T4: 32 jam; T5: 40 jam; T6: 48 jam dari masuk rumah sakit. bermakna antara kedua kelompok dengan p<0,01 IV. Pembahasan Serikat didapatkan bahwa usia mempunyai peranan penting pada tingkat IL-6 dan demam yang dapat terjadi pada pasien. Studi tersebut menemukan bahwa pasien dengan usia diatas 70 tahun atau geriatri mempunyai tingkat IL 6 yang lebih tinggi sampai tiga kali lipat dibandingkan dengan pasien-pasien pada usia produktif sehingga gambaran usia akan membedakan tingkat IL 6 yang didapatkan. Pada penelitian ini kedua kelompok mempunyai gambaran usia yang secara statistik tidak berbeda sehingga dapat dibandingkan.2,3,13,14 Hasil lain pada data demografik didapatkan Sesuai dengan tabel 4.1 karakteristik pasien yang diteliti pada penelitian ini mempunyai usia rata-rata 24,33± 9,43 pada kelompok M dan 25.73±9,74 pada kelompok K dengan p>0,05. Hasil ini sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya di Amerika Serikat dan Portugal yang mendapatkan bahwa pasien dengan usia produktif antara 24–45 tahun merupakan kelompok utama pada cedera kepala berat. Sesuai dengan studi sebelumnya di Amerika Efek Proteksi Otak Metamizol Intravena Sebagai Farmakologik Hipotermi Terhadap Suhu Inti Dan Kadar Interleukin-6 Pada Pasien Cedera Kepala Berat Tabel 5 Perbandingan Suhu Hari Ketiga antara Kedua Kelompok M N= 15 Kelompok K N= 15 Mean±Std 36,53±0,49 38,10±0,49 Median R a n g e (min-maks) T8 (˚C) Mean±Std Median R a n g e (min-maks) T9 (˚C) 36,40 38,00 36,00-37,50 37,50-39,20 Variabel Hari ke 3 T7 (˚C) Nilai p 0,0001** 0,0001** 36,56±0,47 37,68±0,20 36,50 37,70 36,00-37,50 37,10-38,00 0,0001** 36,62±0,53 37,70±0,20 Mean±Std 36,50 37,60 Median R a n g e 36,00-37,50 37,30-38,10 (min-maks) Keterangan: Untuk data numeric Nilai p dihitung berdasarkan uji T tidak berpasangan dan uji Mann Whitney. Nilai kemaknaan berdasarkan nilai p< 0,05. Tanda * menunjukkan nilai p<0,05 artinya signifkan atau bermakna secara statistik. T7: 56 jam; T8: 64 jam; T9: 72 jam dari masuk rumah sakit. bahwa jenis kelamin pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna dengan p>0,05 meskipun didapatkan baik kelompok K dan kelompok M mempunyai jumlah subjek laki-laki yang lebih besar. Penelitian-penelitian sebelumnya tidak menemukan pengaruh jenis kelamin pada regulasi suhu maupun IL 6. Subjek pada studi ini mempunyai tingkat leukosit yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi normal yaitu pada median 1400/mm3 pada kelompok M dan 14500 pada kelompok K. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya dimana pasienpasien dengan cedera kepala berat mempunyai kecenderungan peningkatan leukosit sebagai bagian dari kaskade stress dan mekanisme pertahanan pada cedera.15 Data demografik yang perlu diperhatian adalah rata-rata pasien masuk ke rumah sakit sejak kecelakaan (time of admission) pada subjek 81 penelitian ini adalah 16 jam pada kelompok M dan 15 jam pada kelompok K. Perbandingan antara kedua kelompok tidak bermakna namun waktu rata-rata ini penting diperhatikan selanjutnya pada evolusi IL 6 pada 24 jam, 48 jam dan 72 jam setelah trauma kepala terjadi. Gambaran IL 6 pada tabel 4.2 memberikan hasil kadar IL 6 tertinggi pada 24 jam penelitian dengan median 346 mikro/L pada kelompok M dan 382 mikro/L pada kelompok K. Sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa IL6 muncul pada fase awal trauma dengan waktu rata-rata 1-4 jam pasca cedera kepala dan akan menetap selama beberapa hari. Angka rata-rata IL 6 pada penelitian ini relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang mempunyai tingkat IL 6 antara 500-600 mikro/L. Perbedaan ini kemungkinan dikarenakan pada penelitianpenelitian sebelumnya penelitian dilakukan pada pasien dengan trauma multipel sehingga kerusakan jaringan lebih besar. Trauma besar mengaktifkan beberapa perubahan neuroendokrin, metabolik dan imunologis yang menyerupai SIRS termasuk peningkatan IL 6 tinggi.2,6,10,16 Data pada tabel 4.2 menunjukkan bahwa penurunan IL 6 bermakna secara pada jam ke 48 dan jam ke 72. Pada 24jam meskipun ditemukan perbedaan namun perbedaan ini tidak bermakna secara statistik. Hal ini dapat dijelaskan melalui penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa IL6 tertinggi beredar di dalam plasma sampai 48 jam paska trauma inisial. Penelitian lain menggambarkan temuan yang mengaakan bahwa korelasi morbiditas paling kuat ada pada 72 jam paska trauma artinya pasien-pasien yang gagal menurunkan IL6 pada 72 jam akan mengalami mortalitas yang lebih tinggi. Temuan ini dapat dijelaskan oleh patofisiologi aliran sitokin pada trauma yang menyebankan gangguan mikrovaskular dan gangguan organ membutuhkan waktu untuk mengakibatkan gagal organ atau MODS yang menjadi penyebab kematian.15,16,17 Hasil dari penelitian sebelumnya di Portugal mengenai korelasi antara IL 6 dengan kematian dan morbiditas pada trauma menemukan korelasi yang kuat antara kematian dan tingkat IL 6 yang tetap tinggi pada 72 jam paska trauma. Korelasi ini tidak ditemukan pada 24 jam dan 48 82 Jurnal Neuroanestesi Indonesia jam paska trauma sehingga hal ini menegaskan pentingnya terapi awal pada dua hari pertama trauma untuk memperbaiki hasil keluaran pasien. Ada pula suau kemungkinan bahwa beredarnya faktor-faktor pro dan anti inflamasi merupakan suatu penentu atau setidaknya penanda dari suatu gagal organ yang progresif. Studi yang lain menunjukan korelasi yang lebih kuat dengan morbiditas yang lebih berat dan kematian yang lebih banyak bila dilakukan perbandingan antara IL 6 dengan IL 10 pada 24 jam dengan 72 jam. Studi lain menyimpulkan pemeriksaan sitokin ini dapat dijadikan pemeriksaan tambahan secara klinis untuk membantu stratifikasi prognosis dan kemungkinan keberhasilan perawatan di unit perawatan intensif.15,18 Data pada tabel 4.3 memperlihatkan adanya peningkatan suhu rata-rata pada kedua kelompok dengan median 38˚C pada kedua kelompok sehingga tidak ada perbedaan bermakna secara statistik. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu didapatkan hasil bawah pasienpasien dengan cedera kepala berat akan mengalami kenaikan suhu pasca trauma. Kenaikan ini suhu ini disebabkan beredarnya berbagai sitokin pasca cedera kepala berat. Sitokin merupakan mediator utama pada inisiasi respon inflamasi dan metabolik terhadap cedera. Peningkatan sitokin merupakan respon terhadap iskemia cerebral. IL-6 telah terbukti sebagai mediator utama yang dilepaskan pada cedera kepala berat. Penelitian menunjukan bahwa pasien dengan cedera kepala berat mempunyai IL-6 yang lebih tinggi dan menetap tinggi dibandingkan pasienpasien dengan cedera kepala ringan. Sitokin yang dilepaskan akan menstimulasi dihasilkannya produksi radikal bebas dan asam arakhidonat serta melakukan upregulation pada kenaikan suhu serta molekul-molekul adhesi yang merusak mikrosirkulasi.6,10,15,19 Peningkatan suhu pada pasien dengan cedera kepala berat seperti yang didapatkan pada subjek penelitian ini telah terbukti pada penelitian lain menghasilkan peningkatan iskemia otak. Peneltian pada otak binatang percobaan menemukan bahwa setiap peningkatan dari suhu sebanyak 10˚C dapat meningkatkan potensi kebutuhan metabolik oksigen otak sebanyak lebih dari 50% dan bila aliran darah otak tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen ini maka terjadi kerusakan iskemia otak. Penelitian lain menunjukan bahwa temperatur yang cenderung stabil ataupun penurunan dari suhu dapat menciptakan kondisi optimal untuk perlindungan otak dikarenakan adanya peningkatan influks kalsium, perlindungan terhadap sawar darah otak dan perlindungan terhadap lipid peroksidase.15, 19, 20 Data pada tabel 4.4 menunjukan bahwa kelompok yang diberikan metamizol yaitu kelompok M mempunyai perbedaan suhu yang sangat bermakna dari kelompok K pada semua jam pengambilan sampel baik pada 24 jam, 48 jam maupun 72 jam paska trauma dengan p<0,01. Temuan ini menunjukkan efektivitas pemberian metamizole dalam mempertahankan suhu normal pada pasien dengan cedera kepala berat. Pada penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa IL-6 merupakan sitokin yang paling berhubungan dengan pengaturan suhu tubuh. Mekanisme ini meskipun belum jelas namun sebuah studi menghubungkan kemungkinan muncul akibat prostaglandin E2 yang diinduksi oleh IL-6 dan penghambatan jalur ini oleh metamizol memungkinkan terjadinya penurunan suhu dan stabilitas suhu pasca cedera kepala berat.10,15,19 Keterbatasan pada penelitian ini adalah tidak dilakukan pemeriksaan pembanding dengan penanda lain seperti TNF α dan IL-10 sehingga tidak dapat dilakukan perbandingan mendalam mengenai penanda pada inflamasi secara sistemik. Penelitian ini juga tidak mengamati pasien sampai ke akhir masa perawatan untuk melihat korelasi antara penurunan IL6 dan suhu pada 72 jam pertama dengan penurunan morbiditas atau penurunan mortalitas pasien dengan cedera kepala. Hasil dari studi sebelumnya memperlihatkan bahwa pasien-pasien dengan IL-6 yang tinggi pada 48 dan 72 jam pertama kecelakaan mempunyai tingkat Acute Resiratory Distress Syndrome (ARDS) dan Multiple Organ dysfunction Syndrome (MODS) yang lebih tinggi dan berkorelasi kuat dengan kematian. Penelitian selanjutnya mengenai korelasi antara IL-6 dan mortalitas pada pasien dengan cedera kepala berat perlu dilakukan untuk memperlihatkan pentingnya intervensi pada masa awal trauma Efek Proteksi Otak Metamizol Intravena Sebagai Farmakologik Hipotermi Terhadap Suhu Inti Dan Kadar Interleukin-6 Pada Pasien Cedera Kepala Berat dengan perjalanan penyakit.16 V. Simpulan Simpulan penelitian ini adalah pemberian metamizol intravena mempunyai efek proteksi otak melalui farmakologik hipotermi terhadap suhu inti dan melalui penurunan kadar IL 6 pada pasien dengan cedera kepala berat. Dari hasil penelitian dapat direkomendasikan pemberian metamizole 15 mg/kgbb pada pasien dengan cedera kepala berat dapat diberikan dari awal kedatangan untuk memberikan perlindungan pada otak terhadap kerusakan dari sirkulasi sitokin dan sebagai obat farmakologik hipotermi sehingga terjadi efek proteksi otak terhadap suhu. Daftar Pustaka 1. Sydenham E, Roberts I, Alderson P. Hypothermia for traumatic head injury. The Cochrane Library. John Wiley and Sons. 2009;2:1-49. 2. Werner C, Engelhard K. Pathophysiology of traumatic brain injury. Br J Anaesth. 2007;99:4–9. 3. Algattas H, Huang J. Traumatic brain injury pathophysiology and treatments: early, intermediate, and late phases post-injury. Int J Mol Sci. 2014;15:309–41. 4. Mrozek S, Vardon F, T Geeraerts. Brain temperature: physiology and pathophysiology after brain injury. Anesthesiology Research and Practice 2012;1:1–14. 5. Bell D, Adams J. The secondary management of traumatic brain injury. Dalam: McKinlay J, editor. Neurocritical Care. Edisi ke-1. London: Springer;2010. hlm 19–30. 6. Thompson H, Kirkness C, Mitchell P. Intensive care unit management of fever following traumatic brain injury. Journal of Intensive and Critical Care Nursing. 2007;23: 91–6. 7. Hashizume M, Mihara M. The role of interleukin 6 in the pathogenesis of 83 rheumatoid arthritis. Hindawi Publishing Corporation Arthritis. 2011;1:1–8. 8. Shaikh Z. Cytokines and their physiologic and pharmacologic functions in inflamation. Int J of Pharm & Life Sciences. 2011;11: 1247–63. 9. Clifton G, Miller E, Choi S, Levin H, McCaule S, Smith K. Lack of effect of induction of hypothermia after acute brain injury. N Engl J Med..2001;8:556–63. 10. Malvar D, Soares D, Febricio A, Kanashiro A, Machado R, Figueiredo M. The antipyretic effect of dypyrone is unrelated to inhibition of PGE2 synthesis in the hypothalamus. British Journal of Pharmacology.2011;162:1401–09. 11. Cohen O, Zylber-Katz E, Caraco Y, Granit L, Levy M. Cerebrospinal fluid and plasma concentrations of dipyrone metabolites after a single oral dose of dipyrone. Eur J Clin Pharmacol.1998;7:549–53. 12. Gozzoli V, Treggiari M, Kleger G, Pasclae R. Fathi M, Picards C, dkk. Randomized trial of the effect of antipyresis by metamizol, propacetamol or external cooling on metabolism, hemodynamics and inflammatory response. Intensive Care Med.2004;30:401–7. 13. Woodcock T, Kossmann M. The role of markers of inflammation in traumatic brain Injury. Frontiers in Neurology.2013;4(18):1–18. 14. Gomes C. R., Karavitis J, Palmer J, Faincer D, Ramirez L, Nomellini V. Interleukin-6 contributes to age-related alteration of cytokine production by macrophage. Hindawi Publishing Corporation Mediators of Inflamation. 2010;10(7):1–8. 15. Polderman K, Herold I. Therapeutic hypothermia and controlled normothermia in the intensive care unit: practical considerations, side effects, and cooling methods. Crit Care Med.2009;39(3):1101–20. 84 Jurnal Neuroanestesi Indonesia 16. Saosa A, Raposo F, Fonseca S. Valente L, Duarte F, Goncalves M, dkk. Meansurement of cytokines and adhesion molecules in the first 72 hours after severe trauma: association with severity and outcome.2015;25:1–8. 17. Erta M, Quintana A, Hidalgo J. Interleukin-6, a major cytokine in the central nervous system. Int J Biol Sci.2012;8(9):1254–66. 18. Smith W. Neurocritical care written examinations and outlines. Neurocritical care society.2011. www.neurocriticalcareorg. 19. Nikolova I, Tencheva J, Voikinov J, Petkova V, Benasat N, Danchev N. Metamizole a review profile of well known forgotten drug part II pharmaceutical and non clinical profile. Biotechnology & Biotechnological Equipment. 2012;26:3329–37. 20. Antunes A, Sotomaior V, Sakamoto K, Martins C, Aguiar L. Interleukin-6 plasmatic levels in patients with head trauma and intracerebral hemorrhage. Asian Journal of Neurosurgery. 2010;5:68–77. Peranan Index of Consciousness (IoC) dalam Tatalaksana Total Intravenous Anesthesia pada Operasi Mikrovaskular Dekompresi Fitri Sepviyanti Sumardi*), Iwan Fuadi**), Sri Rahardjo***), Tatang Bisri**) Departement Anestesiologi dan Terapi Intensif, Rumah Sakit Proklamasi Regasdengklok, Karawang,**) Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, ***)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah MadaRSUP Dr. Sardjito Yogyakarta *) Abstrak Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnik operasi bedah saraf ini berbanding lurus dengan kemajuan keilmuan anestesi. Tatalaksana anestesi sangat mempengaruhi kualitas hidup dan kesehatan pasien pascabedah. Seorang laki-laki 58 tahun dengan diagnosis trigeminal neuralgia sinistra, berat badan 60 kg dan tinggi badan 165 cm. Pasien mengeluh nyeri wajah sebelah kiri yang terkadang disertai nyeri kepala. Riwayat hipertensi dan penyakit penyerta lain disangkal. Riwayat konsumsi obat-obatan seperti carbamazepine disangkal. Dilakukan induksi anestesi umum dengan tehnik total intravenous anesthesia (TIVA) menggunakan teknik target controlled infuse (TCI): propofol, dexmetomidine, fentanyl dan rocuronium, sebagai alat pantau/monitoring digunakan index of consciousness (IoC), lama operasi 2 jam dan lama pasien teranestesi 2 jam 30 menit. Pascabedah pasien dirawat di ICU selama 1 hari, lalu dipindahkan ke ruang rawat inap dan pulang ke rumah pada hari ke-6 perawatan. Mikrovaskular dekompresi merupakan operasi bedah otak yang minimal invasif menuntut para ahli anestesi untuk bertanggung jawab menyokong pascabedah yang lebih optimal, sehingga pasien cepat bangun dan penilaian neurokognitif dilakukan sedini mungkin. Penggunaan IoC sebagai alat pantau pasien/monitoring selama diberikan anestesi TIVA sangatlah berguna. Hal ini bertujuan untuk mencegah timbulnya pasien tetap sadar selama operasi berlangsung, dengan melihat kedalaman anestesi yang diberikan, agar tidak terjadi kekurangan atau kelebihan dosis obat-obatan anestesi yang diberikan. Kata kunci: mikrovaskular dekompresi, TIVA, IoC JNI 2017;6 (2): 85‒92 The role of index of consciousness (IoC) Total Intravenous Anesthesia Management for Microvascular Decompression Surgery Abstract The development of science and engineering neurosurgical operation is directly proportional to the scientific advancement of anesthesia. Management of anesthesia greatly affect quality of life and health of patients postoperatively. A man 58 years old with a diagnosis of the left trigeminal neuralgia, weighing 60 kg and height 165 cm. Patients complain of pain left face is sometimes accompanied by headache. A history of hypertension and other comorbidities denied. A history of consumption of drugs such as carbamazepine denied. Induction of general anesthesia with TIVA technique using TCI: propofol, dexmetomidine, fentanyl and rocuronium, as a means of monitoring / monitoring use IoC (index of consciousness), long operating time of 2 hours and anesthetized patients 2 hours 30 minutes. Postoperative patients admitted to the ICU for 1 day, and then transferred to the wards and go home on the 6th day of treatment. Microvascular decompression is a brain surgery less invasive and requires minimal bleeding anesthesiologists responsible for more optimal postoperative support, so patients quickly get up and neurocognitive assessment done as early as possible. The use IoC as a tool to monitor patients during anesthesia TIVA, it’s very useful. It aims to prevent the patient awareness during surgery, to see the depth of anesthesia is given, in order to avoid under- or overdosing anesthesia agents. Key words: microvascular decompression, TIVA, IoC JNI 2017;6 (2): 85‒92 85 86 Jurnal Neuroanestesi Indonesia I. Pendahuluan Trigeminal neuralgia adalah suatu kelainan yang ditandai oleh serangan nyeri paroksismal dan singkat, dimana mencakup satu atau lebih cabang persarafan nervus trigeminus, biasanya tanpa bukti penyakit organik.1 Penyakit ini menyebabkan nyeri wajah yang berat. Penyakit ini juga dikenal sebagai tic douloureux atau penyakit Fothergill, neuralgia fothergill, trifacial neuralgia.1 Sebuah literature tahun 1968 menyatakan bahwa prevalensi trigeminal neuralgia mendekati 15,5 per 100.000 orang di Amerika. Sumber lain menyatakan bahwa inseden tahunannya adalah 4-5 per 100.000 orang, dimana menandakan tingginya prevalensi. Di beberapa daerah, penyakit ini jarang ditemukan. Tidak ada penelitian statistik yang pasti mengenai prevalensi dari trigeminal neuralgia.1,2 Etiologi pasti pada trigeminal neuralgia pun belum diketahui secara pasti. Trigeminal neuralgia lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki, tersering pada pasien dengan hipertensi, serta pasien berusia >50 tahun. Trigeminal neuralgia dapat diterapi dengan obat-obatan dan operasi. Jika carbamazepine, baclophen dan phenitoine tidak efektif dalam terapi pengobatan, maka perlu dipertimbangkan untuk dilakukan operasi. Pada pemeriksaan fisik dan neurologis juga mungkin tidak ada gejala yang jelas.1,2 Prinsip penting pada trigeminal neuralgia adalah terjadinya penekanan di cabang utama nervus trigeminal yang disebabkan oleh tumor atau hal lain. Suatu penelitian pada tahun 1934 menyatakan bahwa penyebab utama disebabkan oleh kompresi pada arteri serebral di anterior dan inferior, dan merupakan penelitian terapi operasi bedah otak permulaan sebagai terapi pada trigeminal neuralgia.3 Penelitian terapi ini terus berkembang sampai pada tahun 1962, operasi dengan menggunakan tehnik mikroskop agar tidak lebih banyak terjadi kerusakan pada saraf saat terjadi pembebasan/dekompresi. Pada saat operasi, morbiditas dan mortalitas dapat terjadi karena emboli udara, cedera pembuluh darah otak dan infark. Masalah pada pascabedah biasanya disebabkan karena terjadinya hematoma di daerah operasi, kelainan pada nervus VII dan VIII harus diobeservasi lebih lanjut.1-3 Perkembangan tehnik-tehnik operasi bedah otak yang tidak invasif dan perdarahan minimal menuntut para ahli anestesi untuk bertanggung jawab menyokong pascabedah yang lebih optimal, sehingga pasien cepat bangun dan penilaian neurokognitif dilakukan sedini mungkin.4 Sejak tahun 2007, para ahli anestesi telah banyak melakukan penelitian untuk menghadapi permasalahan ini.5 Banyak terjadi perdebatan tentang tehnik mana yang lebih baik untuk menyokong operasi bedah otak seperti ini, karena pengelolaan anestesi merupakan masalah krusial untuk hal ini. Target utama dari ahli anestesi adalah menjaga perfusi jaringan yang adekuat menuju otak, untuk menyeimbangkan kebutuhan metabolik agar ahli bedah saraf dapat melakukan operasi dengan nyaman. Beberapa tehnik dan obat-obatan anestesi dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, merupakan pilihan yang buruk dan menyebabkan hasil luaran pasien yang buruk.4,5 Salah satu tehnik anestesi yang popular saat ini adalah total intravenous anesthesia (TIVA). Karena efek vasokontruksi serebral dan penurunan metabolisme otak yang menyebabkan otak menjadi "slack" sehingga menyebabkan lapang operasi. Sejak pertama kali obat yang dipakai untuk induksi anestesi dengan tehnik ini adalah barbiturate (1921) dan thiopental (1934), TIVA telah mengalami banyak perkembangan sejak digunakannya tehnik ini dalam anestesi umum, sekarang TIVA dilakukan dengan target controlled infusion pump (TCI).6 Penelitian pertama TCI dilakukan tahun 1981 oleh Schwilden untuk mengetahui farmakokinetik dari obat anestesi. Sejak saat itu, TCI dengan system komputerisasi digunakan untuk menjaga konsentrasi plasma yang diinginkan dari obat anestesi yang dipakai.6 Saat ini, obat anestesi tersering digunakan dalam TIVA adalah obat hipnotis-sedatif (Propofol) yang dikombinasi dengan opioid sebagai obat-obatan induksi dan pemeliharaan selama anestesi.5-7 Kombinasi yang dipakai adalah propofol dan remifentanil, karena dianggap mempunyai kesamaan karakteristik dengan obat-obatan anestesi inhalasi.5 Pada laporan kasus ini, karena ketidaksediaannya remifentanil, maka kombinasi obat anestesi yang Peranan Index of Consciousness (IoC) dalam Tatalaksana Total Intravenous Anesthesia pada Operasi Mikrovaskular Dekompresi 87 digunakan propofol, fentanyl dan dexmetomidine. Penggunaan TIVA dengan TCI membutuhkan monitoring kedalaman anestesi yang baik, sehingga resiko terbangunnya pasien saat operasi dapat dihindari.7 Peralatan yang biasa digunakan untuk menentukan kedalaman anestesi, yaitu: bispectral index (BIS), entropy, cerebral state index (CSI) dan index of consciousness (IoC).7 Pada laporan kasus ini, kami menggunakan IoC, karena IoC merupakan alat yang baru di RS ini sehingga digunakan sebagai uji coba alat pada kasus ini, sehingga kami hanya membahas tehnik TIVA dengan TCI dan IoC sebagai alat pengukur kedalaman anestesi. II. Kasus Gambar 1. Foto MRI kepala Anamnesis Seorang laki-laki 58 tahun dengan diagnosis trigeminal neuralgia sinistra, berat badan 60 kg dan tinggi badan 165 cm, datang ke RS. Sardjito Jogjakarta. Pasien mengeluh nyeri wajah sebelah kiri yang terkadang disertai nyeri kepala. Riwayat hipertensi dan penyakit penyerta lain disangkal. Riwayat konsumsi obat-obatan seperti carbamazepine disangkal, selain kadang bila nyeri kepala hebat, pasien minum obat analgetik yang diberikan dokter. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan pasien: glassglow coma scale (GCS) 15, pupil bulat isokor reflex cahaya +/+, tidak ada hemiparese atau kelemahan anggota badan, tekanan darah 132/76 mmHg, laju nadi 70 x/menit, laju napas 12-16 x/menit. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium dan MRI Pemeriksaan laboratorium darah menunjukkan Hb 12,9 g/dL; Ht 37, 9 %; Leukosit 10510 / µL; Trombosit 291 ribu/µL; BUN 12 mg/dL; Kreatinin 0,93 mg/dL; GDS 191 mg/dL; Natrium 141 mmol/L; Kalium 3,45 mmol/L; Klorida 101 mmol/L; PT 11,1 detik; INR 0,76; APTT 31,9 detik. Pada pemeriksaan MRI: Pada daerah periventrikuler kiri kornu anterior tampak lebih hipodens. Tidak tampak edema lokal atau midline shift. Gambar 2. Monitor Index of Consciousness (IoC) Gambar 3. Keadaan hemodinamik dan IoC selama operasi 88 Jurnal Neuroanestesi Indonesia Penatalaksanaan Anestesi Pasien dibawa ke kamar operasi, pasien diposisikan head up 300 dan diberi O2 3 L/ menit melalui nasal kanul, kemudian dipasang tensimeter, chest piece EKG, pulse oxymetri dan IoC. Dilakukan induksi anestesi umum dengan tehnik TIVA menggunakan TCI: propofol sampai target konsentrasi plasma 6 µ/mL, dexmetomidine (precedex®) 0,7 µ/KgBB selama 15 menit. Fentanyl 100 µg dan rocuronium 50 mg dibolus intravena. IoC pasien sadar penuh (GCS 15) menunjukkan 94-98, kemudian saat IoC menunjukkan < 50 atau sekitar 40 dilakukan intubasi dengan menggunakan pipa endotrakheal non-kinking no 7,5 dengan kedalaman 20 cm. Untuk dosis pemeliharaan selama operasi diberikan O2:Air 50:50, fentanyl 1–2 µg/KgBB/jam, propofol dengan target konsentrasi plasma 3-4 µ/mL tergantung dari IoC (IoC dipertahan antara 4050) dan dexmetomidine 0,2 µg/KgBB/jam. Dexametason 10 mg dan granisetron 3 mg dibolus intravena. Total cairan yang masuk gelofusal 500 cc dan ringerasering 1000 cc, perdarahan ± 300 cc, jumlah urin yang keluar 0,8 cc/KgBB/jam. Lama operasi 2 jam dan lama pasien teranestesi 2 jam 30 menit. Tekanan darah selama operasi 95/64-138/91 mmHg dan laju nadi 58-93 x/menit. Penatalaksanaan pascabedah di ICU Pasien dipindahkan ke ruangan intensive care unit (ICU) dengan menggunakan O2 10 L/menit melalui simple mask non-rebreathing (SMRN), setelah dilakukan ekstubasi di kamar operasi. Skor GCS 14, tekanan darah 138/91 mmHg, laju nadi 90 x/menit. Dexmedetomidine 0,2 µg/KgBB/ jam dilanjutkan sebagai analgetik dan sedasi. Laboratorium pascabedah menunjukkan: 11 g/ dL; Ht 34 g/dL; Leukosit 7160 /µL; Trombosit 303 ribu/µL; SGOT 16 U/L; SGPT 18 U/L; BUN 12,40 mg/dL; Kreatinin 0,95 mg/dL; GDS 107 mg/dL; Natrium 143 mmol/L; Kalium 4,30 mmol/L; Klorida 107 mmol/L. Pasien dirawat di ICU selama 1 hari, untuk pemantauan masalah sistemik dan intrakranial, lalu dipindahkan ke ruang rawat inap dan pulang ke rumah pada hari ke-6 perawatan. III. Pembahasan Mikrovaskular Dekompresi MVD melalui terapi pembedahan dinilai mempunyai banyak keuntungan, terutama bagi pasien usia muda dan merupakan terapi alternatif untuk pasien usia di atas 70 tahun.2 Komplikasi yang mungkin terjadi pada operasi MVD meliputi: kebocoran cairan serebropinal, kerusakan otak, kehilangan pendengaran dan kelumpuhan wajah. Kebocoran cairan serebrospinal setelah operasi MVD berhubungan dengan infeksi intracranial, seperti meningitis. Insidensi terjadinya hal ini sekitar 0,9–12%.2 Trigemino-cardiac reflex (TCR) adalah salah satu komplikasi terpenting yang terjadi selama pasien teranestesi, hal ini terjadi karena stimulasi saraf sensorik dari nervus trigeminal.2 Karateristik terjadinya TCR adalah bradikardia, hipotensi arteri, apnoe dan gastric hypermotility. Hal ini ditandai dengan penurunan tekanan arteri rerata (mean arterial pressure /MAP) dan laju nadi lebih dari 20% dari nilai dasar sebelum dilakukan stimulasi dan manipulasi pada nervus trigeminal. Pada satu penelitian restrospektif dari 28 pasien, angka kejadian TCR selama operasi MVD adalah 18%. Laju nadi menurun 46% dan MAP turun 57% saat dilakukannya manipulasi nervus trigeminal selama operasi berlangsung. Setelah manipulasi dihentikan atau selesai, maka laju nadi dan MAP kembali ke keadaan semula.2 Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnik operasi bedah saraf ini berbanding lurus dengan kemajuan keilmuan anestesi. Hal ini menuntut para ahli anestesi untuk ikut bertanggung jawab memberikan hasil yang optimal pascabedah.4 Tatalaksana anestesi sangat mempengaruhi kualitas hidup dan kesehatan pasien pascabedah. Berdasarkan Deklarasi di Helsinki, yang dipublikasikan oleh European Society of Anesthesiology (ESA) tahun 2010 tentang keselamatan pasien, maka sangatlah penting bagi para ahli anestesi untuk meningkatkan pengetahuan, sehingga dapat menurunkan angka kejadian mortalitas dan morbiditas pasien pascabedah.8 Peranan Index of Consciousness (IoC) dalam Tatalaksana Total Intravenous Anesthesia pada Operasi Mikrovaskular Dekompresi Target Controlled Infuse (TCI) Saat ini, anestesi umum TIVA dengan sistem target controlled infusion (TCI) semakin berkembang untuk peningkatan kenyamanan operator selama operasi dan pengontrolan dosis obat-obatan yang digunakan dapat mencapai kedalaman anestesi sesuai dalam tehnik tersebut. TCI adalah suatu sistem infus dengan menggunakan komputer dimana para ahli anestesi dapat mengatur jumlah obat anestesi yang akan dimasukkan sesuai dengan farmakokinetik dan famakodinamik obatobatan yang digunakan. Berbagai keuntungan mengenai keakuratan TCI inilah yang dinyatakan oleh para penemu alat ini dibandingkan dengan manually controlled infusion (MCI).8 Beberapa konsep dasar kemudian diperkenalkan seiring makin popularnya penggunaan TCI. Berdasarkan teori trikompartemen, tubuh manusia dapat dibagi menjadi 3 bagian dimana terjadi perubahan pada obat-obatan yang dimasukkan. Konsentrasi obat merupakan konsep paling penting dalam TIVA.6 Rumus dari konsentrasi adalah: Konsentrasi= Dosis /Volume Untuk lebih memahami hal ini, maka dapat diilustrasikan sebagai sebuah gelas yang diisi dengan garam. Ketika garam dilarutkan dalam setengah gelas air, maka partikel garam yang terkandung dalam air tersebut akan lebih banyak dibandingkan dengan yang dilarutkan dalam segelas penuh air. Jumlah partikel garam yang terlarut menggambarkan konsentrasi obat, sedangkan air digambarkan sebagai volume dalam kompartemen tubuh. Sejak obat dibawa oleh darah ke setiap bagian tubuh, maka akan terjadi pengurangan konsentrasi obat tersebut. Organ-organ utama yang mendapat sebagian besar darah dari jantung, seperti otak, ginjal, hati, jantung, paru-paru dan kelenjar-kelenjar endokrin akan menjadi tempat pertama yang menerima obat, lebih disebut sebagai kompartemen 1. Dari organ-organ ini kemudian obat didistribusikan ke otot-otot, disebut sebagai kompartemen 2. Terakhir adalah jaringan lemak, disebut sebagai kompartemen 3. Konsentrasi obat pada masingmasing kompartemen dapat berubah atau tetap sama, sesuai dengan farmakokinetik dan farmakodinamik obat tersebut.6 89 Ketika obat-obatan dimasukkan melalui infus kontinu, maka konsentrasi obat dalam plasma akan tetap sama, karena obat tersebut akan dimetabolisme dan redistribusi pada waktu yang bersamaan. Kekurangan dari tehnik ini adalah para ahli anestesi harus lebih terbiasa menggunakannya untuk mengetahui lebih detail mengenai konsentrasi obat-obatan yang digunakan, margin of error dari alat dan kualitas obat yang digunakan.6 Propofol adalah obat anestesi yang sering digunakan dalam anestesi umum TIVA, karena mempunyai karakteristik mudah dititrasi, mula kerja dan lama kerja cepat, mengurangi angka kejadian mual/muntah serta agitasi pascabedah.10 Kombinasi propofol dan fentanyl memberikan kedalaman anestesi yang mudah tercapai sesuai keinginan ahli anestesi, selain itu dapat meningkatkan kualitas pascabedah yang baik.11 Propofol menghasilkan penurunan aliran darah otak (ADO) dan cerebral metabolic rate for oxygen (CMRO2) tergantung dari dosis yang digunakan, dengan penurunan minimum CMRO2 40–60% dari nilai kontrol. Penurunan aliran darah otak yang disebabkan oleh propofol tampaknya tidak disebabkan oleh adanya efek langsung terhadap pembuluh darah, tetapi oleh penurunan laju metabolisme oksigen otak. Meskipun pengaruhnya tergantung pada dosis, tetapi tidak identik dengan penurunan terhadap MAP dan tekanan intrakranial (intracranial pressure/ICP). Reaktivitas terhadap CO2 tetap dipertahankan. Hampir pada semua keadaan propofol menyebabkan penurunan MAP sehingga dapat menurunkan ICP.12 Propofol mendepresi jantung lebih kuat daripada thiopental. Tekanan darah menurun 15–30%, dapat disertai atau tidak peningkatan laju nadi. Propofol lebih efektif daripada thiopental dan etomidat dalam mencegah respon hemodinamik pada saat intubasi.13 Pemberian propofol dengan tehnik TCI-IoC. Fentanyl termasuk dalam golongan opioid, yang dapat memberikan efek sedasi, analgesia dan menyebabkan terjadinya penurunan pelepasan neurotransmitter otak, sehingga autoregulasi, reaktivitas terhadap CO2 dan hemodinamik tetap 90 Jurnal Neuroanestesi Indonesia stabil. ADO, CMRO2 dan ICP tidak berubah atau sedikit menurun. Fentanyl mempunyai efek 100 kali lebih kuat daripada morfin, tidak menyebabkan pelepasan histamin, lama kerja lebih singkat dan dapat menurunkan ICP, terjadi penurunan volume otak saat mempertahankan tekanan perfusi otak.14 Fentanyl diberikan secara bolus dengan dosis 2 ug/kg berat badan pada saat induksi anestesi. Dexmetomidime termasuk golongan selective α2 agonist dengan efek sedasi lebih kuat, tergantung dari jumlah dosis yang dipakai, ansiolisis, analgesia serta meyebabkan terjadinya penumpulan respon simpatis akibat operasi dan stress respon lainnya, karena penurunan pelepasan norepinefrin plasma. Dexmetomidine juga memberi efek neuroprotektif pada beberapa kasus iskemik otak, diduga karena mempengaruhi kadar katekolamin yang berhubungan dengan peningkatan kerusakan neuron iskemik.14 Hal terpenting yang perlu diingat, dexmedetomidine mempunyai efek seperti opioid dan tidak mempengaruhi pernapasan secara signifikan.15 Dexmetomidine diberikan secara kontinyu dengan syringe pump. Index of consciousness (IoC) IoC merupakan sebuah monitor yang diperkenalkan oleh the Morpheus Medical Company. IoC merekam electroencephalogram (EEG) dengan 3 buah elektroda yang ditempelkan pada dahi pasien. Parameter utama dari IoC adalah metode dinamik simbolik, dimana membagi EEG Gambar 4: Kriteria Penilaian BIS16 menjadi jumlah terbatas dari partisi dan menandai setiap simbol partisi. Simbol-simbol alternatif ini menggambarkan EEG yang dinamik. Dinamik simbol mendeteksi bagian komplek non-linear dari EEG, hal ini dihubungkan dengan kedalaman anestesi. Monitor IoC tidak berhubungan secara langsung dengan parameter β-ratio dan EEG burst suppression ratio (BSR). Seluruh parameter dikombinasi melalui pengaturan fuzzy logic set menjadi satu index.16 Pada dasarnya kriteria penilaian pada IoC sama dengan BIS, yaitu: 80-100: pasien sadar penuh; 60-80: pasien di bawah pengaruh sedasi; 40-60: pasien di bawah pengaruh anestesi dalam; ≤40: pasien di bawah pengaruh anestesi terlalu dalam (overdosis obatobatan anestesi).16 Secara kriteria penilaian terdapat kesamaan antara IoC dan BIS, tetapi ada perbedaan antara keduanya. Tingkat kedalaman anestesi dapat terjadi saat susunan saraf pusat (SSP) terdepresi oleh obat-obatan anestesi, hal ini tergantung dari potensiasi dan konsentrasi obatobatan yang dimasukkan.17 Arthur Ernest Guedel (1937) menggambarkan klasifikasi kedalaman anestesi yang menggunakan obat anestesi inhalasi diethyl ether secara detail. Tanda-tanda kedalaman anestesi berdasarkan klasifikasi Guedel ini meliputi: reflex bulu mata, laju napas, gerakan bola mata, ukuran pupil dan gerakan otot.17 Kejadian yang tidak diinginkan selama operasi berlangsung adalah pasien tetap sadar (awareness) di bawah pengaruh anestesi umum. Hal ini bisa terjadi dalam beberapa hal, pasien tidak dapat berkomunikasi dengan yang lain.17 Pasien tetap sadar (awareness) selama anestesi dapat terjadi secara tersurat (explicit) atau tersirat (implicit). Pasien tetap sadar tersurat melibatkan semua ingatan, berbicara selama operasi dan mungkin dapat mengakibatkan hasil luaran secara signifikan, berupa komplikasi fisik. Pasien tetap sadar secara tersirat terjadi dimana pasien tidak berbicara, tetapi mempengaruhi tingkah lakunya yang mungkin terjadi karena penerimaan informasi di bawah pengaruh anestesi.17 Angka kejadian pasien tetap sadar secara tersurat selama operasi sangat bervariasi antara 0,2%–2%.17 Pada kegagalan dalam menentukan kedalaman anestesi dapat terjadi karena penilaian subjektif dari ahli anestesi dalam memberikan obat-obatan anestesi dan derajat nyeri selama operasi. Hal ini Peranan Index of Consciousness (IoC) dalam Tatalaksana Total Intravenous Anesthesia pada Operasi Mikrovaskular Dekompresi 91 Tabel Perbandingan antara BIS dan IoC BIS Ya Burst suppression analysis Metode pengelolaan data Metode pengelolaan data Perkiraan keterlambatan waktu (deep 61–63 detik anaest. → awake, awake → deep anaest.) Kesesuaian nilai yang ditunjukan Ya dengan tanda klinis dalam stadium anestesi Laporan penggunaan DGA pada 878 pasien dewasa (yang dipublikasian di Pubmed) IoC Ya Symbol dynamics analysis Belum terdapat data yang pasti untuk saat ini Laporan penggunaan DGA pada 122 pasien anak (yang dipublikasian di Pubmed) 0 Menurunkan resiko awareness intraoperatif Cost effectiveness Ya terjadinya Ya Masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut 2 Dapat digunakan pada pasien yang Belum terdapat data yang pasti memiliki resiko tinggi untuk saat ini Dikutip dari: Musizza B, Ribaric S. Monitoring the depth of anesthesia. Sensors 2010, 3(1): 10896-935.16 DGA: dept of general anesthesia dapat terjadi baik dengan menggunakan obatobatan anestesi inhalasi mau pun intravena.17 Pada kasus yang kami tangani untuk menghindari pasien tetap sadar inilah maka digunakanlah IoC, sehingga kami dapat tetap menjaga kedalaman anestesi tanpa khawatir dalam pemberian obatobatan anestesi intravena yang kami berikan. Penggunaan IoC atau alat-alat pantau penilai kesadaran pasien sangatlah berguna bukan hanya pada operasi dengan menggunakan tehnik anestesi TIVA saja, tetapi sebaiknya selalu digunakan pada semua prosedur operasi yang menggunakan tehnik anestesi umum. Tidak semua rumah sakit di Indonesia mempunyai alat-alat pantau kesadaran pasien selama operasi berlangsung. Untuk para anestesi yang bekerja di rumah sakit yang mempunyai fasilitas terbatas, mungkin hal ini hanya dapat dinilai melalui haemodinamik pasien, dimana biasanya bila kedalaman anestesi yang diberikan sudah dalam, maka tekanan darah dan laju nadi akan menurun, bahkan bila terlalu dalam anestesi yang diberikan, maka akan menimbulkan perubahan pada gambaran rekam jantung. Hal ini mungkin sangat membahayakan pasien, selain itu, tidak tertutup kemungkinan terjadinya pasien tetap sadar, sehingga mengakibatkan jalannya operasi terganggu dan trauma pada pasien pascabedah. IV. Simpulan Penggunaan IoC sebagai alat pantau pasien/ monitoring selama diberikan anestesi TIVA, sangatlah berguna, walaupun, IoC merupakan alat pemantau yang paling sederhana, karena hanya meletakkan tiga buah elektroda di dahi pasien. Hal ini bertujuan untuk mencegah timbulnya pasien tetap sadar selama operasi berlangsung, dengan melihat kedalaman anestesi yang diberikan, agar tidak terjadi kekurangan atau kelebihan dosis obat-obatan anestesi yang diberikan. Dengan penggunaan alat pantau pasien yang lengkap diharapkan dapat mencegah terjadinya komplikasi yang tidak diinginkan, seperti: terbangunnya pasien selama operasi, mau pun pascabedah. 92 Jurnal Neuroanestesi Indonesia Daftar Pustaka 1. Yilmaz N, Akdemir G, Akbay Y, Aslantürk Y, Argüngör F. Microvascular decompression treatment of trigeminal neuralgia. Eur J Gen Med 2005, 2(3): 114-9 2. Kabas S, Albayrak SB, Cansever T, Hepgul KT. Microvascular decompression as a surgical management for trigeminal neuralgia: a critical review of the literature. Neurology India 2009, 57(2): 134-8 3. Kalkanis SN, Eskandar EN, Carter BS, Barker II FG. Microvascular decompression surgery in the united state, 1996 to 2000: mortality rates, morbidity rates and the effect of hospital and surgeon volumes. Neurosurgery 2003, 52(6): 1251-62 4. Kulshrestha A, Bajwa SJS. Anesthesia considerations in intracranial neurosurgical patients. J spine neurosurg 2013, S1(8): 1-8 5. Alarcón AZ, Larios KC, Mejía MCN, Bergese SD. Total intravenous anesthesia versus inhaled anesthetic in neurosurgery. Rev Colomb Anestesiol 2015, 4 S1(3): 9-14 6. Nora FS. Total intravenous anesthesia as a target-controlled infusion: an evolutive analysis. Rev Bras Anesthesiol 2008, 58(2): 170-92 7. Ayub A, Balakrishnan I, Lalwani P, Rath GP. Index of consciousness monitoring is possible with placement of electrodes in the occipital region. J Neurosurgery and Critical Care 2014, 1(2): 153-4 8. Bienert A, Wiczling P, Grześkowiak E, Cynwiński JB, Kusza K. Potential pitfalls of propofol target controlled infusion delivery related to its pharmacokinetics and pharmacodynamics. Pharmacological Reports 2012, 64(1): 782–95 9. Goytia GL, Esquivel V, Gutierrez H, Rayón AH. Total intravenous anesthesia with propofol and fentanyl: a comparison of target-controlled versus manual-controlled infusion systems. Revista Mexicana de Anesthesiologia 2005, 28(1): 20-6 10. Bisri T. Penanganan neuroanesthesia dan critical care: cedera otak traumatik. Bandung: Universitas Padjadjaran; 2012. 11. Lin CK, FengYT, Hwang SL, Lin CL, Lee KT, Cheng KI. A comparasion of propofol target controlled infusion-based and sevoflurane-based anesthesia in adults undergoing elective anterior cervical disectomy and fusion. Kaohsing Journal of Medical Sciences 2015, 31: 150-55 12. Saleh SC. Sinopsis neuroanestesia klinik. Surabaya: Universitas Airlangga; 2013 13. Bisri T. Dasar-dasar neuroanestesi. Bandung: Olah saga Citra; 2000 14. Sloan TB, Jameson L, Janik D. Evoked potential. Dalam: Cottrell JE, Young WL, editor. Cottrell and Young’s Neuroanesthesia, edisi ke-5, Philadelphia: Mosby; 2010, 115-30 15. Butterworth IV JF, Mackey DC, Wasnick JB. Adjunct to anesthesia. Dalam: Morgan GE, Mikhail MS, editor. Morgan&Mikhail’s Clinical Anesthesiology, edisi ke-5, New York: McGraw-Hill; 2013, 288-89 16. Musizza B, Ribaric S. Monitoring the depth of anesthesia. Sensors 2010, 3(1): 10896-935 17. Rani DD, Harsoor SS. Depth of general anesthesia monitors. Indian J Anesth 2012, 56: 437-41 Penatalaksanaan Anestesi pada Reseksi Tumor Batang Otak Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan*), Dewi Yulianti Bisri **) , Siti Chasnak Saleh ***), Himendra Wargahadibrata **) *) Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RSUP Sanglah, **) Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Unversitas Padjadjaran RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, ***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Unversitas Airlangga RSUP Dr. Soetomo Surabaya Abstrak Batang otak adalah komponen dari fossa posterior, oleh karena itu penatalaksanaan anestesi pada reseksi tumor di batang otak tentunya mengikuti prinsip-prinsip umum penatalaksanaan anestesi pada fossa posterior ditambah dengan perhatian khusus terhadap komplikasi yang mungkin terjadi pada saat melakukan manipulasi pada batang otak. Seorang laki-laki 41 tahun dengan tumor batang otak mengeluh adanya pengelihatan ganda, rasa tebal dan nyeri pada wajah serta gangguan menelan, pada MRI ditemukan lesi difus batas tidak tegas di daerah pons sampai mid brain, curiga tumor otak primer (low grade tumor), nervus optikus dan kiasma optikum kanan kiri tampak normal. Pasien berhasil dianestesi dengan baik digunakan TCI- propofol monitoring standar ditambah monitoring invasif artery line dan pemasangan kateter vena sentral, intraoperatif pasien mengalami episode hipotensi tekanan darah (70/40 mmHg) dan bradikardia, (laju nadi 35 x/menit), oksigen 50%, fentanyl sevofluran dan rekuronium, digunakan akibat manipulasi pada batang otak. Postoperatif pasien dirawat di ICU dan diextubasi 12 jam kemudian. Kata kunci: Tumor batang otak, penatalaksanaan anestesi pada fossa posterior JNI 2017;6 (2): 93‒100 Anesthesia Management in Brain Steam Tumor Resection Abstract Brain steam is a component of fossa posterior, ther fore anesthesia management for brain steam tumor resection should follow the general rule for anesthesia management of fossa posterior and a special concern for complication that could happen when brain steam is manipulated. Forty one year old male with a brain steam tumor complain a double vision, numbness and pain on the face, and swallowing problem, MRI show diffuse lesion on the pons to mid brain, suspect primary brain tumor (low grade tumor), nervus opticus and chiasma opticum are normal. Patient has been anesthesied well using TCI propofol, oxygen 50%, fentanyl, sevoflurane and rocuronium using invasive monitoring artery line and central venous catheter (CVC) in addition to standart monitoring. Intraoperatifly patient going through a hypotensive episode (blood pressure 70/40 mmHg) and bradycardia (heart rate 35x/minute that caused by manipulation on the brain steam. Postoperatifly patient is in the ICU and extubated on next 12 hours. Key word: Brain steam tumor, anesthesia management of fossa posterior JNI 2017;6 (2): 93‒100 93 94 Jurnal Neuroanestesi Indonesia I. Pendahuluan Penatalaksanaan anestesi pasien yang dilakukan tindakan operasi pada daerah fossa posterior memberikan tantangan tersendiri bagi seorang dokter anestesi, hal ini karena pada fossa posterior terdapat satu struktur yang sangat vital yaitu batang otak. Pada batang otak terdapat pusat-pusat vital seperti pusat pernafasan, pusat kardiovaskular dan reticular activating system (RAS). Sehingga dapat menyebabkan gangguangangguan pada sistem pernafasan, kardiovaskular dan kesadaran pada saat intraoperatif maupun postoperatif. Selain itu batang otak juga tempat keluarnya saraf-saraf kranialis sehingga manipulasi pada daerah batang otak, tentunya juga akan mempengaruhi fungsi dari saraf-saraf kranialis tersebut baik itu intaoperatif maupun postoperatif.1 Fossa posterior dibatasi pada bagian anteriornya oleh tulang clivus dan petrous, lateral dan posteriornya dibatasi oleh occipital squamosa, superiornya dibatasi oleh tentorium cerebelli dan pada daerah inferior dibatasi oleh foramen magnum dan sinus vena dural. Hal ini menyebabkan fossa posterior merupakan suatu ruang yang cukup sempit sehingga operasi didaerah ini biasanya rumit dan memerlukan penanganan yang kompleks serta waktu operasi yang lama.2 Selain keberadaan batang otak pada fossa posterior, tantangan lain yang juga dihadapi oleh dokter anestesi pada tindakan di fossa posterior diantaranya peningkatan tekanan intrakranial, posisi pasien, kemungkinan terjadinya disfungsi saraf kranial selama operasi berlangsung, risiko tinggi terjadinya emboli udara pada pembuluh darah vena (venous air embolism/VAE) dan kebutuhan menggunakan ventilasi mekanik postoperatif.3 Penatalaksanaan anestesi untuk tindakan di fossa posterior mengacu pada tujuannya yaitu memfasilitasi akses ke area bedah, meminimalisir resiko kerusakan jaringan saraf, dan mempertahankan stabilitas respiratorik dan kardiovaskular.3 Oleh karena itu diperlukan beberapa alat monitoring tambahan selain monitoring standar yang biasa digunakan. Alat- alat monitoring yang sebaiknya disediakan untuk tindakan pada fossa posterior adalah alatalat monitoring tambahan yang dapat menilai terjadinya VAE, instabilitas hemodinamik yang cepat dan kerusakan saraf. Selain itu juga diperlukan komunikasi yang sangat baik dengan operator, komunikasi sebaiknya sudah dilaksanakan sejak preoperatif, terutama mengenai posisi pasien, teknik operasi yang akan dilakukan dan tindakan-tindakan yang akan dilakukan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan intraoperatif. Pada makalah ini dilaporkan seorang laki-laki yang didiagnosa dengan tumor batang otak dan dilakukan tindakan reseksi tumor. Tindakan operasi berjalan lancar dengan monitoring tambahan intraoperatif menggunakan entidal CO2, artery line dan pemasangan CVC. Intraoperatif sempat terjadi gejolak hemodinamik pada saat operator mereseksi tumor, namun semuanya dapat teratasi dengan baik. II. Kasus Seorang laki-laki umur 41 tahun dikonsulkan dengan diagnosa tumor batang otak yang rencananya akan dilakukan reseksi tumor dan biopsi dengan posisi park bench dekstra. Anamnesis Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan penglihatan ganda yang dirasakan sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit, keluhan semakin hari dirasakan semakin berat sehingga pasien harus dibantu jika berjalan karena takut terjatuh. Sejak 1 bulan terakhir keluhan juga disertai dengan rasa tebal di wajah bagian kiri dan sulit menelan. Pasien juga merasakan nyeri kepala yang dirasakan menjalar hingga ke daerah wajah bagian kiri, nyeri dirasakan berkurang jika mengkonsumsi obat anti nyeri. Riwayat kejang dan muntah proyektil disangkal oleh pasien. Selama perawatan di ruangan pasien mendapatkan analgetik paracetamol 500 mg tiap 6 jam per oral. Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum: Berat Badan: 58 kg; TB: 170 cm; BMI 20 kg/m2; Suhu: 36,6 oC; VAS diam 2/10 cm; VAS gerak 2/10 cm. Sistem Saraf Pusat: Penatalaksanaan Anestesi pada Reseksi Tumor Batang Otak E4V5M6; Reflek Pupil +/+ isokor; Parese nervus kranial VII sinistra (+); Parese nervus kranial no XII sinistra (+). Respiratori: Napas 14x/ menit, vesikuler di kedua lapang paru, rhonki & wheezing (–). Kardiovaskuler: tekanan darah 130/80 mmHg; laju nadi: 85x/menit, S1 S2 tunggal, reguler tanpa murmur. Gastrointestinal: bising usus normal, distensi tidak ada. Urogenital: Buang air kecil spontan. Muskuloskeletal: flexi dan defleksi leher normal, gigi geligi utuh tanpa gigi palsu, mallampati II, motorik 5555/5555 atas bawah. Pemeriksaan Penunjang Darah Lengkap : WBC 11,54x103ul; HGB 13,22 g/dl; HCT 41,27%; PLT 412 x 103/ul. Faal Hemostasis : BT 1’30”; CT 8’00”, PPT 12,9 (10,8-14,4); APTT 30,5 (24-36); INR 1,04 (0,91,1). Kimia Darah : SGOT 63,10 U/L (11-33); SGPT 131 U/L (11-50). GDS 94 mg/dl (70-140); BUN 16 mg/dl (8-23); SC 0,73 mg/dl (0,0-1,20) Na 141 mg/dl (136-145); K 4,18 mg/dl (3,505,10). Albumin 3,75 (3,40-4,80). EKG: irama sinus; HR 78x/menit; axis normal; ST-T change tidak ada. Pemeriksaan Radiologi MRI Kepala dan Orbita : Lesi difus batas tidak tegas di daerah pons sampai mid brain, suspek primary brain tumor (low grade tumor), nervus optikus dan kiasma optikum kanan kiri tampak normal Thorax PA : cor dan pulmo dalam batas normal 95 Pengelolaan Anestesi Persiapan preoperatif dilakukan di ruang perawatan, ruang persiapan anestesi dan kamar operasi. Di ruang perawatan pasien dipuasakan dari makanan padat selama 8 jam, air putih non partikel diberikan sampai dengan 2 jam sebelum operasi kurang lebih 200 cc. Melakukan informed consent mengenai keadaan-keadaan yang akan dialami pasien di ruang operasi sehingga dapat menurunkan rasa cemas pasien. Selanjutnya pasien dipasangkan infus ringer fundin di ruang persiapan keesokan harinya, sambil memeriksa ulang catatan medik pasien. Sesampainya di ruang operasi, pasien dipasangkan alat-alat monitoring saturasi oksigen, tekanan darah manual, EKG dan diberikan oksigen dengan nasal canul 3 L/mnt. Selanjutnya pasien disedasi menggunakan target controlled infusion (TCI) propofol dengan model Schnider sampai target effect (Ce) 1 µg/ml, sambil menjaga airway pasien dilakukan pemasangan artery line dengan anestesi lokal lidokain subkutis. Setelah diberikan preoksigenasi, maka induksi dilakukan dengan fentanyl 200 µg secara berlahan-lahan, lidokain 90 mg intravena, kemudian TCI propofol ditingkatkan sampai Ce 3 µg/mL dan diberikan rokorunium 40 mg. Laringoskopi intubasi dilakukan dengan halus tanpa lonjakan hemodinamik yang bermakna, menggunakan ETT non kingking no 7,5 cuff (+) yang selanjutnya dihubungkan dengan endtidal CO2. Pemasangan CVC dilakukan di vena supraclavikula dengan tuntunan USG dan Gambar 1. Foto MRI Pasien pada Potongan Sagittal 96 Jurnal Neuroanestesi Indonesia Gambar 2. Foto MRI pasien pada potongan axial certodin. Selanjutnya pasien diposisikan park bench kanan dan fiksasi di daerah kepala dengan pinning. Pemeliharan dilakukan dengan oksigen 50%, sevoflurane 0,3-0,8 Vol%, TCI propofol 1-3 µg/mL, dan rokuronium 0,2 mg/kgbb/jam, intaoperatif sebelum dibuka dura juga diberikan manitol 0,5 gr/kgbb dalam waktu 20 menit. Operasi berlangsung selama 5 jam dengan hemodinamik yang relatif stabil. Tekanan darah intraoperatif berkisar antara 70–125/40–70 mmHg, dengan nadi 35–88 x/mnt, endtidal CO2 30–35 mmHg dan saturasi O2 99–100%. Cairan masuk selama operasi sekitar 2000 ml ringer fundin, pendarahan 200 ml dengan jumlah urine 1000 ml. Namun demikian pada saat operator membebaskan tumornya dan melakukan biopsi sempat terjadi goncangan hemodinamik, dimana tekanan darah sempat turun sampai 70/40 dan juga terjadi bradikardia sampai 35 x/menit. Goncangan hemodinamik ini mereda dengan sendirinya dalam kurun waktu kurang dari 1 menit setelah operator untuk menghentikan tindakan untuk sementara. Pengelolaan Postoperatif Postoperatif pasien tidak langsung diextubasi, pernapasan pasien disupport oleh ventilator dengan mode pressure support 10, PEEP 5, FiO2 40% didapatkan volume tidal 450–550 ml, saturasi O2 99% dengan respirasi 12–14x/mnt. Pasien disedasi dengan TCI propofol model Schinder dengan Ce 0,2–0,5 µg/mL dengan analgetik fentanyl 10 µg/jam dan paracetamol 3 x 1 gram didapatkan Ramsay score 2. Terapi lain diberikan antibiotik dan deksametason. Pemeliharaan cairan dilakukan dengan ringer fundin 30 cc/kgbb/24 jam. Hemodinamik relatif stabil dengan tekanan darah 112–130/78-80 mmHg dengan saturasi O2 98–99%. Setelah sedasi dihentikan dan dilakukan pemeriksaan AGD (pH 7,40, pCO2 38,5 mmHg, pO2 93,10 93,10 mmHg, BE -1,8 mmol/L, HCO3 -23,10 mmol/L) pasien diextubasi 12 jam kemudian dengan GCS 15. Pasien dipindahkan ke ruangan pada hari ke-3. Selanjutnya dirawat di ruangan dan hasil pemeriksaan patologi anatominya menunjukan adanya astrocytoma WHO grade II. III. Pembahasan Fossa posterior merupakan suatu ruang yang cukup sempit sehingga operasi didaerah ini biasanya rumit dan memerlukan penanganan yang kompleks serta waktu operasi yang lama.3 Batang otak adalah salah satu dari empat struktur yang terdapat di fossa posterior, oleh karena itu reseksi tumor dibatang otak tentunya mengikuti pertimbangan-pertimbangan umum pasien yang menjalani operasi di fossa posterior. Pada saat melakukan preoperatif pada pasien yang akan dilakukan tindakan di daerah fossa posterior, ada 6 pertanyaan mengenai keadaan pasien yang seharusnya dijawab.4 Pertanyaan pertama Apakah pasien pada saat preoperatif memiliki bukti mengalami disfungsi batang otak atau nervus kranialis?4 Pada pasien ini, terbukti memiliki kelainan pada saraf otak IV (trokhlearis), hal ini terlihat dari gejala diplopia yang terutama dirasakan memberat pada saat berjalan dan menaiki tangga, hal ini sebabkan adanya gangguan pada otot oblikus superior (disarafi oleh N IV) yang menggerakan mata kearah bawah dan nasal. Selain itu juga terdapat gangguan pada saraf otak VII sinistra didaerah pons diatas inti nervus VII, hal ini terlihat dari adanya keluhan tebal pada wajah bagian kiri terutama di daerah meatus akustikus eksterna dan kelumpuhan otot yang khas untuk lesi upperneuron saraf otak VII. Terakhir juga terdapat gangguan pada saraf otak XII yang ditandai dengan adanya gangguan menelan.5 Pertanyaan kedua, apakah pasien Penatalaksanaan Anestesi pada Reseksi Tumor Batang Otak mengalami peningkatan tekanan intrakranial?4 Iya pada pasien ini terbukti terdapat peningkatan tekanan intrakranial, dengan adanya gejalan nyeri kepala yang semakin lama semakin berat. Pertanyaan ketiga, bagaimanakah posisi pasien pada saat operasi?4 Ada beberapa posisi yang biasanya dilakukan pada operasi di daerah fossa posterior diantaranya: posisi lateral, posisi telungkup (prone), posisi duduk (sitting) dan posisi telentang (supine).3 Masing-masing posisi memiliki keuntungan dan kerugiannya masing-masing. Posisi lateral dikatakan banyak dipilih untuk pendekatan pada daerah CPA (cerebrellopontin angle), namun sering menyebabkan permasalahan pada bahu pasien dan kelumpuhan saraf pofliteal akibat kaki yang menggantung. Posisi telungkup digunakan pada lesi di/dekat midline termasuk ventrikel ke-4, posisi ini lebih banyak digunakan pada anak-anak, karena prosesnya lebih mudah. Dari semua posisi yang sudah disebutkan, posisi duduk dikatakan memiliki keuntungan paling banyak yaitu memudahkan operator bedah karena penempatan kateter darinase CSF yang jauh dan karena adanya gravity-assisted blood, sehingga tercipta lapangan pandang yang cukup baik; tekanan pada jalan nafas lebih rendah, kemudahan gerak diafragma, kemampuan untuk hiperventilasi meningkat, dan akses ETT yang lebih baik.3 Namun demikian angka kejadian VAE dan pneumocephalus yang tinggi menyebabkan banyak operator yang menghindari posisi ini. Pada pasien ini, tindakan reseksi tumor pada batang otak akan dilakukan dengan park bench, dimana tubuh pasien dibalikan agak telungkup, bahu bagian atas menjadi condong ke dalam dan memberikan akses yang lebih leluasa bagi operator bedah. Namun demikian ada beberapa resiko dari posisi diantaranya pembuntuan vena dan leher yang terpelintir, selain itu walaupun angka kejadiannya lebih rendah dari posisi duduk tetapi tetap beresiko terjadinya VAE.3 Pertanyaan keempat, apakah pasien berresiko mengalami VAE?4 VAE adalah satu dari beberapa hal yang paling diantisipasi oleh seorang neuroanestesi. Angka kejadian VAE sangat tergantung dari posisi dari pasien pada 97 saat operasi, dimana angka kejadian tertinggi pada posisi duduk 40–45% sedangkan pada posisi lateral, telungkup dan park bench angka kejadiannya menurun menjadi 10–15%. Oleh karena pasien ini akan dilakukan pada posisi park bench maka pasien ada pada resiko sedang untuk terjadinya VAE.3 VAE juga berbanding lurus dengan besarnya beda ketinggikan antara jantung dan lapangan operasi, dimana semakin tinggi letak lapangan operasi terhadap jantung, maka angka kejadian VAE akan semakin meningkat. Hal ini karena perbedaan ketinggian antar lapangan operasi dan jantung akan menyebabkan terjadinya tekanan subatmosfer3 pada pembuluh darah yang terbuka, sehingga terjadi penyedotan udara dari luka operasi ke dalam pembuluh darah (sucking wound). VAE dapat dimonitor dengan beberapa metode yaitu kondisi hemmodinamik seperti tekanan darah, tekanan vena sentral/ CVP, tekanan arteri pulmonal; precordial doppler ultrasound, end tidal gas monitoring, dan transesophagial echocardiography (TEE).3 Untuk kasus-kasus dengan resiko yang tinggi disarankan untuk menggunakan ETCO2. Pada kasus ini kejadian VAE termasuk dalam resiko sedang oleh karena itu kejadian VAE dimonitoring dengan menggunakan kateter vena sentral, ETCO2 dan saturasi oksigen. Tidak ada tindakan yang 100% efektif untuk mencegah terjadinya VAE pada posisi operasi yang menempatkan lapangan operasi lebih tinggi dari pada jantung. Tetapi insiden dan keparahan dari VAE dapat diturunkan dengan mengkontrol nafas dengan ventilasi kendali tekanan positif, hidrasi yang adequat, pengaturan posisi sedemikian hingga sehingga posisi kepala paling mendekati jantung dengan lapangan operasi yang masih tetap baik, teknik operasi yang sangat berhati-hati pada saat melakukan dissection dan penggunaan bone wax yang liberal, hindari penggunaan N2O terutama pada pasien yang diketahui memiliki defect intrakardiak dan hindari penggunaan obat-obatan yang meningkatkan kapasitasi vena (nitrogliserida).6 Tindakan-tindakan yang dilakukan jika terjadi VAE intraoperatif6: Informasikan kepada operator bahwa terjadi VAE; Hentikan N2O dan tingkatkan konsentrasi oksigen; Rubah teknik anestesi; Minta pada 98 Jurnal Neuroanestesi Indonesia operator untuk membanjiri lapangan operasi dengan air; Lakukan penekanan pada vena jugularis; Lakukan aspirasi pada kateter vena sentral; Persiapkan support kardiovaskular; Rubah posisi pasien. Pertanyaan kelima, apakah ada kemungkinan terjadi perdarahan yang banyak?4 Untuk memperkirakan jumlah pendarahan yang mungkin terjadi, maka sebaiknya mempertimbangkan keterlibatan sinus, vaskularitas dari massa, dan skill & riwayat ahli bedahnya. Pada pasien ini, letak tumor tidak terlalu dekat dengan sinus, kemudian vaskularisasi dari massa menurut ahli bedah juga tidak terlalu banyak. Selain itu ahli bedah yang akan mengerjakan juga mempunyai reputasi yang baik dalam hal perdarahan, oleh karena itu pasien ini untuk peredarahan kami masukkan dalam resiko menengah, dan tetap kami siapkan persediaan darah. Pertanyaan keenam, apakah tindakan opeasi ini akan melibatkan monitoring introperatif susunan saraf pusat?4 Resiko terjadinya injuri pada sarafsaraf otak pada tindakan di fossa posterior apalagi pada tumor di batang otak sangatlah tinggi, karena sebagian besar saraf-saraf otak tersebut letaknya disekitar batang otak terutama pons dan midbrain. Oleh karena itu diperlukan monitoring dari fungsi saraf-saraf otak tersebut pada saat intraoperatif. Monitoring yang didapat digunakan diantaranya somatosensory evoked potensial (SSEPs), Brain steam auditory evoked respons (BAERs), dan spontaneous and evoked electromyogram (EMG). Saraf otak V,VII dan X biasanya dapat dimonitoring dengan EMG dan khusus untuk saraf otak VIII biasanya dimonitoring dengan BAERs.4 Jika diputuskan untuk menggunakan monitoring saraf-saraf otak intraoperatif, maka teknik anestesi yang dilakukan harus disesuaikan sehingga tidak menyebabkan gangguan pada proses monitoringnya. Hal yang perlu diingat oleh seorang dokter anestesi adalah obat-obat anestesi dapat mempengaruhi pembacaan evoked potentials dan EMG, dimana pelumpuh otot sangat mengganggu interpretasi dari EMG, N2O dan dosis tinggi voletile dapat mempengaruhi SSEPs.4 Disarankan untuk menggunakan total intravenous anesthesia (TIVA) dengan propofol dan fentanyl untuk mendapatkan pasien dengan tanpa pergerakan dan monitoring neurofisiologi yang baik.7 Pada pasien ini, kami tidak akan menggunakan monitoring neurofisiologi karena alatnya tidak tersedia di rumah sakit kami. Intraoperatif, pemantauan yang dilakukan pada pasien ini adalah elektrokardiogram 5 lead, pemantauan tekanan darah dengan pemasangan artery line, pulse oxymetri, pemantauan ETCO2, dan pemasangan kateter vena sentral di vena supraklavikula kiri dengan bantuan USG dan certodin sehingga ujung kateter dapat tepat berada 2 cm dibawah sinoatrial node. Hal ini karena selain untuk diagnosa, pemasangan CVC juga diperlukan untuk mengaspirasi udara yang sudah terperangkap, dan letak tip kateter sesuai dengan yang diatas, adalah tempat yang paling dekat dengan tempat percampuran udara dengan darah.6 Durante operasi pasien saat manipulasi di batang otak pasien mengalami bradikardia dan hipotensi sebanyak 1 kali tetapi tidak berlangsung lama, saat terjadi bradikardia dan hipotensi dilakukan komunikasi dengan operator dan kembali normal setelah operator mengurangi manipulasinya. Selain posisi operasi, masalah lain pada operasi daerah fossa posterior adalah dekatnya operasi pada saraf kranial dan struktur batang otak yang mengatus fungsi respirasi dan kardiovaskular. Manipulasi bedah sering menimbulkan ketidakstabilan kardiovaskular. Angka kejadian bradikardia intraoperatif pada operasi di daerah fossa posterior ditemukan signifigant yaitu 14,5%, angka kejadian takikardia 4,34%, hipertensi 10,14%, dan hipotensi 11,6%. Kesemua ini diperkirakan karena terajdinya manipulasi pada dasar ventrikel empat, medullary reticular formation, akar saraf trigeminus, akar saraf vagus dan saraf otak no IX.8 Bila nervus V (nervus trigeminalis) distimulasi bisa terjadi bradikardia berat dan hipertensi sedangkan bila distimulasi nervus IX atau X bisa terjadi bradikardi dan hipotensi.9 Selain nervus kranialis stimulasi terhadap daerah periventrikulaer substansia grisea, formasio retikularis, nucleus traktus solitorius dapat menyebabkan hipertensi hebat. Sedangkan hipotensi terjadi akibat penekanan medulla oblongata dan pons.9 Episode hipotensi pada operasi bedah saraf tidak boleh dianggap remeh, jika terjadi maka Penatalaksanaan Anestesi pada Reseksi Tumor Batang Otak secepat mungkin harus ditangani. Hal ini karena aliran darah otak bergantung pada tekanan arteri serebral dan resistensi pembuluh-pembuluh darah serebral. Aliran darah otak rata-rata sekitar 50–54 ml/100 gr jaringan/menit yang mana dipertahankan oleh autoregulasi antara mean arterial pressure (MAP) 50–150 mmHg. Dibawah MAP 50 mmHg, maka aliran darah otak akan mengikuti tekanan darah dari pasien, jika aliran darah otak <20 ml/100 gr jaringan/ menit akibat MAPnya kurang dari 50 mmHg, maka elektroencefalografi (EEG) menunjukan tanda iskemik. Bila aliran darah otak 6–9 ml/100 gr/ menit, Ca2+ masuk ke dalam sel. Jika aliran darah ke otak 12-20 ml/ 100 gr jaringan/ menit, maka akan terbentuk episode penumbra, yaitu suatu episode iskemia reversible, yang jika dibiarkan dapat menyebabkan terjadinya episode infarction yang sifatnya nonreversible.10 Pascaoperasi pasien tidak langsung dilakukan ekstubasi dengan pertimbangan operasi di daerah batang otak yang berisiko terjadi perdarahan dan pembengkakan akut dari struktur-struktur fossa posterior. Selain itu durante operasi juga sempat terjadi periode bradikardia dan hipotensi yang dicurigai akibat manipulasi yang berlebihan pada nervus kranialis dan struktur batang otak. Selama perawatan di ruang terapi intensif pasien dilakukan kontrol ventilasi dengan sedasi propofol dan analgesia fentanyl kontinyu dengan target ramsay 2. Setelah perawatan selama 12 jam di ruang terapi intensif dilakukan weaning dan dilakukan ekstubasi setelah pasien sadar baik dan napas adekuat. IV. Simpulan Batang otak adalah salah satu dari empat struktur yang terdapat di fossa posterior, oleh karena itu reseksi tumor dibatang otak tentunya mengikuti pertimbangan-pertimbangan umum pasien yang menjalani operasi di fossa posterior, yang mana dapat terrangkum pada enam buah pertanyaan mengenai keadaan pasien preoperatif. Adapun pertanyaan tersebut diantaranya adalah : Apakah pasien pada saat preoperatif memiliki bukti mengalami disfungsi batang otak atau nervus kranialis, Apakah pasien mengalami peningkatan tekanan intrakranial, Bagaimanakah posisi pasien 99 pada saat operasi, Apakah pasien berresiko mengalami VAE, Apakah ada kemungkinan terjadi perdarahan yang banyak dan yang terakhir Apakah tindakan opeasi ini akan melibatkan monitoring introperatif susunan saraf pusat. Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan diatas maka akan terlihat monitoring-moitoring apa saja yang diperlukan intraoperatif untuk mencapai tujuan dari pembiusan pada fossa posterior. Ada pun tujuannya adalah memfasilitasi akses ke area bedah, meminimalisir resiko kerusakan jaringan saraf, dan mempertahankan stabilitas respiratorik dan kardiovaskular. Daftar Pustaka 1. Gheorghita E, Ciurea J, Balanescu B. Considerations on anesthesia for posterior fossa-surgery. Romanian Neurosurgery. 2012;19(3):183-92. 2. Jagannathan S, Krovvidi H. Anaesthetic considerations for posterior fossa surgery. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain. 2014;14(5):202-6. 3. Rachman IA, Bisri T. Penatalaksanaan anestesi pada tindakan bedah tumor fossa posterior: serial kasus. Journal Neuroanestesi Indonesia. 2016;5(1):1-12. 4. Pederson DS, Peterfreund RA. Anesthesia for posterior fossa surgery. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, penyunting. Handbook of Neuroanesthesia. fifth. ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2012, 136–47. 5. Lumbantobing. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2015. 6. Schlichter RA, Smith DS. Anesthetic management for posterior fossa surgery. Dalam: Cottrell JE, Patel P, penyunting. Neuroanesthesia. edisi 6: Elsevier; 2017. 7. Sabbagh AJ, Al-Yamany M, Bunyan RF, Takrouri MSM, Radwan SM. Neuroanesthesia management of neurosurgry of brain stem 100 Jurnal Neuroanestesi Indonesia tumor requiring neurophysiology monitoring in an iMRI OT setting. Saudi J Anaesth. 2009;3(2). 8. Chand M, Thapa P, Shrestha S, Chand P. Perioperative anesthetic events in posterior fossa tumor surgery. Postgraduate Medical Journal of NAMS. 2012;12(2). 9. Bisri T. Anestesi untuk operasi fossa posterior. Neuroanestesia. Bandung; 1997, 153–63. 10. Bisri DY, Bisri T. Anestesi untuk Operasi Tumor Otak: Supratentorial Infratentorial. edisi Pertama. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran 2016. Tight Brain pada Anestesi Awake Craniotomy dengan Dexmedetomidine Riyadh Firdaus*), Dewi Yulianti Bisri **), Siti Chasnak Saleh***), A. Himendra Wargahadibrata**) Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin Bandung, ***) Departemen Anestesiologi dan Reanimasi Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya *) Abstrak Anestesi pada awake craniotomy dilakukan dengan menggunakan salah satu atau kombinasi dari teknik scalp block, sedasi dengan propofol dan dexmedetomidine. Teknik ini memfasilitasi awake craniotomy sehingga pemetaan intraoperatif fungsi korteks elokuen yang memfasilitasi reseksi tumor secara radikal. Kebutuhan pemetaan korteks adalah untuk menggambarkan fungsi otak antara lain bicara, sensorik dan motorik dengan tujuan mempertahankan selama dilakukan reseksi. Obat yang diberikan harus dapat memberikan level sedasi dan analgesia yang adekuat untuk mengangkat tulang tetapi tidak mempengaruhi tes fungsional dan elektrokortikografi. Prosedur ini sama dengan kraniotomi standar dengan perbedaan pasien sadar penuh selama pemetaan korteks dan reseksi tumor. Dexmedetomidine adalah suatu agonis adrenoreseptor α-2 spesifik dengan efek sedatif, analgetik, anesthetic sparing effect, efek proteksi otak, tidak adiksi, tidak menekan respirasi dan pasien mudah dibangunkan. Wanita, 54 tahun dengan keluhan utama kejang berulang sejak 3 hari yang lalu. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis tumor lobus frontal kanan. Pasien dilakukan pengangkatan tumor dengan teknik awake craniotomy. Pasien dilakukan scalp block, sedasi dengan propofol dan dexmedetomidine. Saat operasi berlangsung didapatkan kondisi tight brain. Dexmedetomidine dipertimbangkan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi relaksasi otak selama operasi. Lama operasi kurang lebih 5 jam. Pascaoperasi pasien dirawat di HCU. Kata Kunci: Awake craniotomy, scalp block, propofol, dexmedetomidine JNI 2017;6 (2): 101‒11 Tight Brain on Awake Craniotomy Anesthesia with Dexmedetomidine Abstract Anesthesia in awake craniotomy is done using scalp block, propofol sedation, dexmedetomidine sedation or a combination of the three. This technique facilitate awake craniotomy such that intraoperative mapping of eloquent cortical function can be done in radical tumor resection. The need for cortical mapping is to describe and maintain brain function such as speaking, sensoric and motoric function throughout the resection process. The drug given must be able to provide adequate sedation and analgesia for bone removal but do not interfere with the result of function test and electrocorticography. This procedure is similar to other craniotomy, however the patient is alert during cortical mapping and tumor resection and is able to speak after tumor is resected. Dexmedetomidine is an alpha 2 adrenoreceptor agonist with specific effects such as sedation, analgesia, anesthetic sparing, cerebral protection, non addictive, does not suppress respiration, comfortable and easy to recover from. A case of 54 years old female with chief complaint of recurrent seizure in the last 3 days prior to admission is described. Based on history and examination, patient is diagnosed with right frontal lobe tumor. Patient underwent tumor resection using awake craniotomy technique. Scalp block combined with propofol and dexmedetomidine sedation was done. During the surgery, tight brain was encountered. Dexmedetomidine was evaluated as one of the factors that influence the brain relaxation throughout surgery. The Surgery took 5 hours, post surgery patient is observed in HCU. Key words: awake craniotomy, scalp block, propofol, dexmedetomidine JNI 2017;6 (2): 101‒11 101 102 Jurnal Neuroanestesi Indonesia I. Pendahuluan Awake craniotomy merupakan teknik yang penting untuk meningkatkan pengangkatan lesi dan meminimalkan kerusakan pada kortek elokuen.1 Prosedur ini dilakukan ketika reseksi jaringan diperlukan pemetaan dari korteks motorik, sensorik, visual, dan bahasa yang dekat dengan area yang akan direseksi.2 Teknik ini membutuhkan pemetaan yang optimal sehingga memerlukan analgesia serta sedasi yang cukup agar dokter bedah dan anestesi dapat berkomunikasi dengan pasien intraoperasi. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi dokter anestesi. Operasi tumor otak memerlukan ketelitian yang sangat tinggi untuk menghindari adanya jaringan otak sehat ikut terpotong saat bagian tumor diambil. Tehnik awake craniotomy digunakan untuk menentukan batas antara jaringan otak normal dengan tumor dengan cara memberi rangsangan listrik pada jaringan tersebut.3 Ketelitian yang lebih tinggi didapatkan jika dari hasil monitoring saraf intraoperasi juga memberikan hasil yang mendukung penilaian subyektif atas respon pasien yang sadar (awake). Dexmedetomidine memiliki pengaruh berupa sedasi dan ansiolisis, analgesia, penurunan katekolamin plasma, mempunyai efek hipotensi dan bradikardi, diuresis karena menginhibisi pelepasan ADH, efek dekongestan dan antisialogogus, mencegah kematian sel neuron setelah iskemik fokal dan daerah yang mengalami iskemik turun 40% dibandingkan plasebo.4, 5 Propofol sering digunakan dalam neuroanestesi awake craniotomy, mudah dititrasi untuk mendapatkan efek sedatif, pemulihannya cepat, menurunkan metabolisme otak (cerebral metabolic rate for oxygen/CMRO2) 30%, menurunkan tekanan intrakranial (intracranial pressure/ICP) mempunyai gambaran antikonvulsan, antiemetik dan menurunkan aliran darah otak (cerebral blood flow/CBF) 30%.6-8 II. Kasus Anamnesis Wanita, 54 tahun dengan diagnosis tumor lobus frontal kanan suspek glioma. Pada tanggal 28 Februari 2017 dilakukan pengambilan tumor dengan teknik awake craniotomy. Pasien tidak memiliki riwayat operasi sebelumnya. Tidak ada riwayat alergi obat atau makanan. Pasien mengeluh kejang berulang sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, kejang berawal dari tangan dan kaki kiri kemudian ke seluruh tubuh, setelah kejang pasien merasa mengantuk dan masih sadar, terakhir kejang tanggal 23 Februari 2017 dengan terapi dilantin 3x200 mg. Sejak lima tahun yang lalu pasien mengeluh kaki kiri mengalami kelemahan bergerak, masih dapat berjalan dan tidak mendapatkan terapi. Pada dua tahun yang lalu pasien mengalami kejang pertama kali. Pasien juga mengeluh sakit kepala hilang timbul terutama pagi hari, tidak ada muntah menyemprot dan pandangan kabur. Riwayat sakit jantung, paru, ginjal, kuning, asma, diabetes mellitus dan hipertensi disangkal. Nyeri dada dan sesak disangkal. Saat ini pasien tidak ada batuk, pilek dan demam. buang air besar dan buang air kecil normal. Pemeriksaan fisik Pasien compos mentis, tampak sakit sedang, kooperatif, berat badan 61 kg, tinggi badan 155 cm dengan indeks masa tubuh 25,4 kg/cm². Tekanan darah pasien 146/96 mmHg, frekuensi Tabel 1. Hasil Laboratorium Praoperasi Pemeriksan Hemoglobin Hematokrit Leukosit Trombosit SGOT Kreatinin Ureum Natrium Kalium Klorida Protombin Time SGPT Albumin APTT Gula Darah Sewaktu Keterangan 12.2 g/dL 38.5 % 7030/uL 426000/uL 15Unit/L 0.5 g/dL 18 g/dL 142 3.49 100.8 mEq/L 9.9(10.5) 15 Unit/L 4.42 g/dL 24.5(31.9) 92 mg/d Tight Brain pada Anestesi Awake Craniotomy dengan Dexmedetomidine 103 Gambar 1. MRI Kepala Pasien. nadi 75–80 x/menit, frekuensi napas 16–18 x/ menit, suhu 36˚ C dan saturasi oksigen 99% pada udara kamar. Dari pemeriksaan mata didapatkan pupil isokor 4 mm/ 4 mm, refleks cahaya positif kiri dan kanan, tidak terdapat edem papil, terdapat kelemahan di tangan dan kaki kiri dengan kekuatan motorik 4, akral hangat. Pemeriksaan fisik yang lain dalam batas normal. Pemeriksaan penunjang ditampilkan dalam Tabel 1. Rontgen dada (22/2/2017) pasien tidak menunjukkan kelainan pada jantung dan paru. Elektrokardiografi (EKG) pasien menunjukkan sinus ritme, denyut jantung 84 x/menit, tidak ada perubahan segmen ST dan tidak ada left ventrikel hipertrofi. Pada MRI kepala (24/2/2017) pasien tampak tumor lobus frontal kanan berbatas tidak tegas tepi irregular, ukuran 2.6 x 4.5x 3 cm, suspek maligna dengan gangguan jaras kortikal menuju kapsul interna kornu anterior kanan (Gambar 1). Disimpulkan pasien dengan status fisik ASA II dengan peningkatan tekanan intrakranial kronik (sakit kepala, kejang berulang, kejang terakhir 23/2/17 terapi dilantin 3x200 mg, hemiparese sinistra (kekuatan motorik 4), hipertensi grade II tekanan darah 146/96 mmHg tanpa terapi dan tanpa masalah jalan nafas. Pengelolaan Anestesi Rencana anestesi dengan blok scalp, sedasi propofol dan dexmedetomidine. Saat kunjungan praanestesi dan kunjungan sejawat bedah saraf, dimintakan informed consent berkaitan prosedur pembedahan, metode anestesi yang direncanakan dan pemasangan kateter urin. Pasien dijelaskan bahwa pasien tidak akan merasakan sakit daerah operasi, bahwa awal pembiusan pasien akan diberikan obat anestesi hingga tertidur tetapi ada saatnya pasien dibangunkan untuk mengetahui fungsi motorik kedua kaki dan tangan, mengikuti perintah dari operator untuk mengevaluasi fungsi neurologis pasien. Pasien juga diharapkan tenang serta bekerjasama selama pembiusan dan pembedahan berlangsung. Pasien menyetujui berkaitan dengan pembedahan awake craniotomy dengan sedasi propofol dexmedetomidine dan scalp block. Teknik yang digunakan sleep – awake – sleep. Pascaoperasi pasien direncanakan ke HCU. Persiapan di kamar operasi dilakukan dengan pasien tidur telentang di atas meja operasi kemudian dilakukan pemasangan alat-alat monitoring yaitu EKG, tekanan darah dan pulse oxymetri. Tekanan darah prabedah 132/78 mmHg, frekuensi nadi 74 x/menit, frekuensi napas 14 x/menit, saturasi oksigen 100%. Dilakukan pemasangan CVC di proyeksi v. subclavia kanan menggunakan USG dalam anestesi lokal lidokain 2%. Anestesi dimulai pukul 10.00 diawali dengan pemberian sedasi dengan menggunakan TCI propofol Schnider Effect dengan target 1,5 –2,5 mcg/ml dan dikombinasikan dengan dexmedetomidine 0,8 mcg/KgBB/jam. Setelah pasien tertidur (Ramsay score 3), patensi jalan nafas dijaga dengan menggunakan pipa 104 Jurnal Neuroanestesi Indonesia Gambar 2. Hemodinamik Intraoperasi nasofaring no. 7 terpasang di lubang hidung sebelah kiri, diberikan oksigen melalui kanul nasal 4 liter per menit dan dipasang kateter urin. Pada pasien dilakukan scalp block unilateral sebelah kanan karena insisi direncanakan di sisi sebelah kanan. Nervus yang diblok adalah n. supraorbital bilateral, n. supratokhlear dextra, n. zygomaticotemporal dextra, n. auriculotemporal dextra, n. occipital mayor, n. occipital minor dan n. aurikula mayor. Dilakukan a dan antiseptik dengan mengusap cairan chlorehexidine pada daerah penyuntikan. Kemudian daerah penyuntikan ditunggu sampai cairan aseptik kering, supaya mengurangi risiko toksisitas cairan antiseptik pada syaraf.4 Blok dilakukan dengan menggunakan jarum no. 26 dan no. 23, menggunakan ropivakain 0.5% satu sisi total volume 15 ml. Selama blok TCI propofol dititrasi berkisar 1,5 – 2,5 mcg/ml. Setelah blok dilakukan tes untuk mengetahui keberhasilan blok dengan menusukkan jarum ke daerah yang diblok dan menanyakan ke pasien, pasien tidak merasakan nyeri. Di lokasi pemasangan pin Mayfield di sisi sebelah kiri dilakukan infiltrasi lokal Gambar 3. Medikamentosa Intraoperasi Tight Brain pada Anestesi Awake Craniotomy dengan Dexmedetomidine 105 Gambar 4. Hemodinamik 3 hari Pascaoperasi ropivakain dengan total volume 10 ml. Kemudian dilakukan pemasangan IONM (Intraoperative Neurophysiological Monitoring) oleh sejawat neurologi. Dexmedetomidine dititrasi dari 0.8 mcg – 0.2 mcg /KgBB/jam untuk menurunkan ramsay score menjadi 2. Pada 1 jam sejak pembedahan di mulai otak tampak edem. Dexmedetomidine dititrasi turun hingga dihentikan, diberikan mannitol 250 g dan furosemide 20 mg intravena. Kondisi otak kembali slack dan operasi eksisi tumor dilanjutkan. Pada saat dilakukan eksisi tumor di daerah frontal terdapat periode pasien dibangunkan, TCI propofol diturunkan 1 mcg/ml. Waktu yang dibutuhkan untuk membangunkan pasien kurang lebih 5–10 menit saat konsentrasi TCI propofol mendekati nol. Setelah dibangunkan pasien diminta untuk berhitung angka 1–10, menyebutkan nama, menggenggam tangan pemeriksa, menggerakkan kedua kaki dan tangan oleh operator (sejawat bedah saraf) dan disinkronkan fungsinya dengan IONM oleh sejawat neurologi. Pada pasien ini defisit fungsi motorik kedua kaki dan tangan minimal kemudian TCI propofol dilanjutkan 1,5 – 2,5 mcg/ml sampai operasi selesai. Intraoperasi didapatkan hemodinamik yang stabil sejak anestesi dimulai sampai operasi selesai, tidak terdapat lonjakan hemodinamik yang signifikan dengan skor Ramsay 1–3 tercantum pada Gambar 2. Pembiusan berlangsung selama 5 jam 30 menit, lama pembedahan 5 jam. Perdarahan total 500 ml, urine out 1900 ml. Cairan masuk 2000 ml kristaloid. Dengan balance cairan minus 400 cc. Hemodinamik intraoperatif stabil tanpa topangan, tekanan darah 99 – 125 /55–62 mmHg, frekuensi nadi 68-75 x/ menit, frekuensi nafas 1620 x/mnt, saturasi oksigen 97–99% dengan kanul nasal 4 liter per menit. Selama intraoperatisi pasien mendapatkan dexketoprofen 50 mg iv (setelah 1 jam operasi berjalan), omeprazole 40 mg iv, ondansentron 8 mg iv, dexametasone 10 mg iv (setelah 1 jam operasi berjalan), mannitol 250 ml iv (setelah 1.5 jam operasi berjalan), furosemide 20 mg iv (setelah 2 jam operasi berjalan), paracetamol 1 g iv, fenitoin 250 mg (setelah 2 jam operasi berjalan) dan asam traneksamat 1 g iv (dosis maksimal 10 mg / kg BB). Obat – obat intraoperasi yang dibutuhkan untuk menjaga kelancaran dan kestabilan operasi, tercantum pada Gambar 3. Pascaoperasi pasien compos mentis, tekanan darah 120/84 mmHg, frekuensi nadi 67 x/menit, frekuensi nafas 14 x/ menit, saturasi oksigen 100 %, kemudian pasien dipindahkan ke HCU. Gambar 4 menunjukkan hemodinamik 3 hari pascaoperasi. Pengelolaan Pascabedah Setelah sehari di HCU pasien dirawat di ruang rawat inap selama 7 hari. Setelah itu pasien 106 Jurnal Neuroanestesi Indonesia pulang dari rumah sakit dalam keadaan baik dengan tangan dan kaki kiri berkekuatan motorik 5. Pada pemeriksaan Patologi Anatomi pascaoperasi (01/03/2017) didapatkan gambaran histologi sesuai dengan Oligoastrositoma (World Health Organization /WHO grade II), dengan area – area yang sudah menunjukkan progresi menjadi oligoastrositoma anaplastik (WHO grade III). III. Pembahasan Awake craniotomy membutuhkan agen sedasi onset cepat dan durasi pendek karena prosedur ini menuntut transisi kedalaman anestesi sewaktuwaktu.9 Awake craniotomy diindikasikan untuk pembedahan evakuasi lesi intrakranial yang terletak pada atau dekat dengan area elokuen yang mencakup lobus temporal dan frontal kiri untuk kemampuan bahasa dan bicara, lobus oksipital bilateral untuk penglihatan, lobus parietal untuk sensasi dan korteks motorik bilateral untuk mengatur gerakan.9 Indikasi dilakukannya awake craniotomy antara lain tumor supratentorial, korteks elokuen (korteks motorik, area Broca/ Wernicke, korteks sensorik), deep brain nerve stimulator, epilepsi refrakter, arteriovenosus malformation (AVM) dan aneurisma.1,10 Tabel 2. Kontraindikasi Anestesi pada Awake Craniotomy No Komponen Cakupan 1 Absolut Penolakan pasien Ketidakmampuan pasien untuk diam dalam posisi tertentu dengan waktu yang lama Tidak kooperatif, contoh kebingungan 2 Relatif Pasien batuk Sulit belajar Ketidakmampuan untuk berbaring Pasien cemas Perbedaan bahasa Obstructive Sleep Apnoe (OSA) Usia muda Dikutip dari Burnand (2014).1 Tabel 3. Komplikasi craniotomy. intraoperatif awake No Komponen Cakupan 1 Jalan nafas/ Hipoventilasi/ obstruksi pernafasan jalan nafas/apnue Hipoksia Hiperkapnia Kegagalan peralatan jalan nafas, contoh LMA Konversi ke general anesthesia Aspirasi 2 Kardiovaskuler Hipotensi/hipertensi Bradikardi/takikardi 3 T e k n i k Sedasi Inadekuat atau antestesi berlebihan Nyeri atau tidak nyaman, biasanya karena posisi 4 5 Muntah, mual, atau keduanya Toksisitas anestesi lokal F a k t o r Kejang fokal, kejang Pembedahan umum, atau keduanya Emboli udara Defisit neurologi fokal Edem otak (“tight” brain) Faktor mental/ Cemas/ agitasi/ intoleransi Psikologis terhadap prosedur Kelelahan pasien/fatique Pembatalan persetujuan tindakan Dikutip dari Burnand (2014).1 Pada praoperasi telah dinilai kesesuaian dan kesiapan pasien untuk menjalani prosedur awake craniotomy sebagaimana tercantum padaTabel 2.1,10 Pasien memiliki indikasi awake craniotomy karena tumor berada di area elokuen, tidak terdapat kontraindikasi dilakukan awake craniotomy, pasien menyetujui untuk dilakukan awake craniotomy, kooperatif dan usia 54 tahun. Komplikasi pada awake craniotomy intraoperasi tertera pada Tabel 3.1,10 Pada pasien tidak terdapat komplikasi pada jalan nafas, dapat dijaga patensi jalan nafas dengan pemasangan pipa nasofaring. Tight Brain pada Anestesi Awake Craniotomy dengan Dexmedetomidine 107 buli-buli penuh. Saat prosedur berlangsung didapatkan komplikasi intraoperasi dari faktor pembedahan berupa edem serebri (tight brain). Untuk memperlancar drainage vena otak sekaligus memfasilitasi tindakan operasi pasien diposisikan head up 10–20% atau 15–30˚, posisi terlentang dengan kepala miring ke kiri dan dipastikan tidak terdapat penekanan pada vena jugularis.1, 2,11,12 Pada prinsipnya pengaturan area operasi pada awake craniotomy dapat dilihat dari Gambar 5. Gambar 5. Pengaturan Ruang Operasi. Dikutip dari Burnand (2014).1 Hemodinamik pasien selama operasi stabil, pasien merasa nyaman dengan teknik anestesi selama operasi berlangsung, tidak ada kecemasan dan kooperatif. Operasi berdurasi 5 jam namun pasien cukup merasa nyaman karena telah memahami prosedur tersebut sebelumnya, posisi yang diyakinkan nyaman sejak awal, diberikan selimut untuk menjaga suhu dan kenyamanan pasien dan dipasang kateter urin untuk mencegah Pada blok scalp, saraf yang diblok adalah nervus supraorbital cabang dari nervus trigeminal (VI) yang mempersarafi daerah dahi dan scalp bagian anterior dan kepala bagian atas, nervus supratroklear cabang dari nervus trigeminal (VI) yang mempersarafi daerah dahi dan scalp bagian anterior, nervus zygomatikotemporal cabang dari nervus trigeminal (V2) yang mempersarafi sebagian kecil dari dahi dan daerah temporal kepala, nervus aurikulotemporal cabang dari nervus trigeminal (V3) yang mempersarafi daerah temporal, bibir bawah, wajah bagian bawah, aurikula dan scalp diatas aurikula, nervus oksipitalis minor cabang dari nervus spinalis servikalis kedua dan ketiga, nervus oksipitalis mayor, cabang dari nervus servikalis kedua Gambar 6. Blok Scalp. Proyeksi injeksi blok scalp. (a) nervus supratroklear. (b) nervus supraorbita. (c) nervus zygomatikotemporal. (d) nervus aurikulotemporal. (e) nervus aurikularis minor. (f) nervus aurikularis mayor. (g) nervus occipitalis minor. (h) nervus Occipitalis mayor. (i) infilitrasi anestesi lokal. 1 108 Jurnal Neuroanestesi Indonesia Gambar 7. Mekanisme Dexmedetomidine. Dikutip dari Alam A (2017)5 yang mempersarafi scalp bagian posterior, scalp pada puncak kepala dan puncak aurikula dan nervus aurikula mayor cabang dari nervus spinalis servikalis kedua dan ketiga yang mempersarafi kulit didaerah kelenjar parotis, prosesus mastoideus dan aurikula. Pada kasus ini blok scalp unilateral kanan hanya bisa memblok kranial sebelah kanan.1,13,14 Di lokasi pemasangan pin Mayfield di sisi sebelah kiri tidak terblok sehingga ditambahkan infiltrasi ropivakain. Blok scalp pada pasien ini dapat dilihat di Gambar 6. Pada kasus ini setelah blok scalp selesai dilakukan obat dexmedetomidine ditambahkan di dalam rumatan anestesi. Sebenarnya penggunaan dexmedetomidine dapat diberikan sejak awal untuk memfasilitasi prosedur blok scalp. Pada kasus ini penulis menggunakan teknik anestesi sleep – awake – sleep, karena pada awal pembiusan Ramsay Score ditingkatkan dengan mengunakan infus propofol dan dexmedetomidine. Pemberian dexmedetomidine tunggal direkomendasikan 10 menit pertama diberikan loading dose 1 µg/ kg dilanjutkan rumatan 0.5 µg/kg/jam dengan mempertahankan ramsay score 2–3.11, 12 Setelah dilakukan scalp block dilakukan pemasangan IONM dan pin Mayfield kemudian pasien dibangunkan. Dalam hal ini dokter anestesi menggabungkan penggunaan propofol dengan dexmedetomidine dengan harapan efek sedasi dapat dinaikkan dan diturunkan dalam waktu singkat dan pasien tidak mengalami kecemasan. Gambar 6. Blok Scalp. Proyeksi injeksi blok scalp. (a) nervus supratroklear. (b) nervus supraorbita. (c) nervus zygomatikotemporal. (d) nervus aurikulotemporal. (e) nervus aurikularis minor. (f) nervus aurikularis mayor. (g) nervus occipitalis minor. (h) nervus Occipitalis mayor. (i) infilitrasi anestesi lokal.1 Dexmedetomidine mulai menjadi perhatian para peneliti karena memiliki efek kardioproteksi, renoproteksi dan neuroproteksi pada penelitian preklinik.5 Pada tahun 2008, obat ini diresmikan oleh FDA untuk digunakan juga pada pasien yang tidak terintubasi ataupun sebagai terapi preoperatif.5 Dexmedetomidine merupakan agonis terhadap adrenoreseptor α2. Reseptor adrenergik (adrenoreseptor) dikelompokkan menjadi reseptor α dan β berdasarkan sifat respon mereka terhadap katekolamin sintetik ataupun alami. Reseptor adrenergik α terletak pada pre- dan postsinaptik saraf, yang reseptor presinaptik bertanggungjawab atas regulasi Tight Brain pada Anestesi Awake Craniotomy dengan Dexmedetomidine pelepasan neurotransmitter. Terdapat lebih dari 3 jenis reseptor isoadrenergik -α2 (α-2A, α-2B dan α-2C), dengan 70% homogenitas yang telah teridentifikasi melalui pemeriksaan farmakologis dan biologimolekular.5 Reseptor adrenergik α2 merupakan reseptor transmembran yang mengatur aktivasi guaninenucleotide regulatory binding protein (Protein G). Guanine-nucleotide regulatory binding proteins (protein G) menghambat adenilat siklase yang kemudian menurunkan pembentukan adenosin monofosfat siklik (cAMP) intraseluler. Enzim kinase yang tergantung terhadap cAMP jumlahnya bertambah sehingga mengaktivasi kanal ion di membran sel. Aktivasi kanal ion mengakibatkan efluks kalium yang menyebabkan hiperpolarisasi di membran neuron. Hal ini mengakibatkan supresi aktivitas neuron.5 Mekanisme lain dari stimulasi reseptor adrenergik α2 adalah perubahan regulasi dari influks kalsium melalui inhibisi kanal kalsium yang membutuhkan energi untuk terbuka (N- type voltage-gated Ca2+). Reduksi influks kalsium ini menyebabkan efek inhibisi terhadap sekresi neurotransmitter. Kedua mekanisme yang sangat berbeda di atas memberikan efek yang sinergis dari obat-obat agonis adrenergik α2 yaitu pertama mencegah sinyal rangsang agar tidak pernah terjadi di sel saraf dan kedua menyebabkan sinyal rangsang yang terbentuk tidak bisa tersampaikan ke sel berikutnya.5 109 Reseptor α terdistribusi terutama di locus caeruleus dan nucleus solitaries terletak daerah pons otak. Locus coeruleus merupakan nukleus noradrenergik yang dominan di otak, modulator siaga. Nukleus ini juga dikenal sebagai jalur modulator medulospinal desenden (nosisepsi). Dexmedetomidine di locus coeruleus menginhibisi sinyal rangsang di membran sel sehingga memberikan efek sedasi yang prosesnya menghilangkan inhibisi neuron ventrolateral preoptic nucleus (VLPO). Proses ini yang disebut sebagai “sleep switch”. Rangsangan pada reseptor adrenergik α-2A akan memberikan efek sedasi, analgesia, hipnosis, neuroproteksi dan simpatolisis. Efek dari reseptor adrenergik α-2A dapat mencegah peningkatan tekanan intrakranial sehingga melindungi otak dari tight brain.5 Rangsangan pada reseptor adrenergik α-2B di sistem saraf pusat akan mengurangi efek menggigil. Aktivasi di saraf spinal akan memberikan efek analgesia dan di perifer akan menyebabkan vasokontriksi. Rangsangan pada reseptor adrenergik α-2C berkaitan dengan regulasi sekresi adrenalin dari kelenjar adrenal, proses sensorik kognitif dan mood. Reseptor α 2b dan 2C terdapat di sumsum tulang belakang, otak dan neuron noradrenergik sistem saraf pusat (terutama locus coeruleus dan kompleks motor medula dorsal) yang dapat memberikan efek bradikardi.5 Dexmedetomidine merupakan turunan dari imidazolin (terdapat cincin imidazol) dan Reseptor adrenergik α2 memediasi beberapa macam efek fisiologis (sedasi dan analgesia, agregasi trombosit, konstriksi vena perifer, mengurangi salivasi, motilitas gaster dan pelepasan insulin oleh pankreas, meningkatkan laju filtrasi glomerulus ginjal serta mengurangi tekanan intra okuli mata) karena reseptor ini tersebar pada sistem saraf pusat dan perifer, trombosit dan organ lainnnya, seperti ginjal, hati, pankreas dan mata.5 Reseptor adrenergik α2 dapat teraktivasi oleh adanya obat agonis α2 seperti dexmedetomidine (penggunaan perioperatif), brimonidine (untuk glaukoma), clonidine dan moxonidine (kontrol Gambar 8. Sedasi Propofol-Dexmedetomidine 110 Jurnal Neuroanestesi Indonesia berinteraksi dengan reseptor imidazolin (“I”), yang merupakan komponen utama dari dexmedetomidine. Pemberian agonis atau antagonis dari imidazolin dengan reseptor imidazolin (I2) akan melindungi otak dari cedera iskemik.5 Penjelasan ini menunjukkan bahwa dexmedetomidine dapat mencegah edem serebri yang merupakan penyebab terjadinya tight brain.5 Dexmedetomidine direkomendasikan ketika diinfuskan pada dosis 0,2 – 0,7 µg/kgbb/jam.15 Dexmedetomidine merupakan obat yang mudah dikendalikan (mulai kerja cepat dan pemulihan cepat), menjaga homeostasis intrakranial tetap stabil, tidak mempengaruhi monitoring neurofisiologi, neuroproteksi dan antinosisepsi. 2,5,16 Penggunaan dexmedetomidine pada awake craniotomy mempunyai efek proteksi otak, slack brain dan pemulihannya cepat. Dexmedetomidine memiliki anesthesia sparring effect berupa penurunan dosis propofol, menurunkan MAC isoflurane 50–60%, menurunkan dosis thiopental, MAC isofluran sampai 47%, MAC sevoflurane 17%.2,15 Gambar 8 menunjukkan sedasi kombinasi propofol dan dexmedetomidine. Dari beberapa sumber dipaparkan mengenai akibat tingginya kadar konsentrasi dexmedetomidine selama pemberian loading dose dapat terjadi transient hypertension yang menyebabkan efek awal vasokonstriksi perifer karena aktivasi dari α2-adenoreseptor yang berlokasi di sel otot halus pada pembuluh darah.16 Pada kasus yang dipaparkan di atas telah terjadi tight brain yang penggunaan dexmedetomidine dipikirkan menjadi salah satu faktor yang dapat dimanipulasi. Tight brain adalah ketidakseimbangan antara volume organ intrakranial dengan rongga intrakranial (volumenya lebih besar dibandingkan rongganya). Kejadian tight brain pada operasi kraniotomi 5–6,1 % terdapat pembengkakan intraoperasi. Penelitian lain menyebutkan pada 30% operasi reseksi tumor supratentorial terjadi pembengkakan otak. Penilaian secara subyektif intraoperasi dengan inspeksi langsung dan palpasi dapat menghasilkan kesimpulan adanya tight brain dalam 5 kategori yaitu ideal, less ideal, tense, bulging dan worst condition for surgery. Kategori lain adalah soft, adequate dan tight. Penilaian obyektif dapat dilakukan dengan mengukur tekanan subdural saat tulang kranial dibuka dan dura masih tertutup. Herniasi otak jarang terjadi bila tekanan subdural kurang dari 6 mmHg dan sering terjadi jika diatas 11 mmHg. Diagnosis adanya tight brain juga penting diikuti dengan mengevaluasi faktor risiko, mencari penyebab dan melakukan pemeriksaan penunjang.12 Dexmedetomidine memberikan efek sedasi, analgesia, hipnosis, neuroproteksi dan simpatolisis baik melalui efeknya terhadap reseptor adrenergik α-2A maupun reseptor imidazoline. Efeknya terhadap reseptor adrenergik α-2C menjaga mood dan tidak meningkatkan nadi. Efek-efek tersebut dapat mencegah peningkatan tekanan intrakranial yang dapat berkontribusi terhadap timbulnya tight brain. Timbulnya transient hypertension pada kasus ini telah dicegah dengan tidak melakukan loading dose dan menggunakan infus propofol untuk mendapatkan efek ‘sleep’ pada fase awal awake craniotomy. Dengan demikian kecil kemungkinan terjadinya tight brain karena peningkatan tekanan intrakranial akibat hipertensi yang berhubungan dengan dexmedetomidine. Untuk itu perlu dicari penyebab lain yang dapat menyebabkan tight brain.5 Empat dasar penyebab terjadinya tight brain yaitu lesi intrakranial, edem serebri, kongestif kardiovaskuler dan hidrosefalus.17 Faktor risiko terjadinya tight brain antara lain glioblastoma multiforme, adanya metastasis, adanya mid line shift pada gambaran radiologis preoperasi dan peningkatan tekanan subdural.17 Pada kasus ini sifat tumor yang dapat menyebabkan edem serebri sehingga menimbulkan tight brain. Penelitian pada tahun 1967 menyatakan bahwa edem serebri adalah peningkatan akumulasi cairan otak intraseluler dan atau ekstraseluler ditandai dengan pembengkakan jaringan otak sesuai dengan peningkatan progresif kadar cairan otak yang sesuai dengan peningkatan yang progresif kadar cairan otak yang dapat terjadi karena iskemia.16,18,19 Iskemia berperan pada terjadinya vasodilatasi melalui mekanisme autoregulator yang berfungsi sebagai restorasi Tight Brain pada Anestesi Awake Craniotomy dengan Dexmedetomidine perfusi serebral. Edem serebri dapat terjadi akibat dari vasodilatasi. Vasodilatasi yang terjadi akan meningkatkan volume darah serebral yang pada akhirnya meningkatkan tekanan intrakranial, menurunkan tekanan perfusi serebral. Edem serebri dapat terjadi akibat kebocoran sawar darah otak yang menyebabkan peningkatan tekanan osmotik dan cairan keluar dari pembuluh darah kemudian masuk ke dalam kompartemen ekstraseluler. Cairan intravaskular ini keluar melalui endotel dengan mekanisme pinositosis dan atau tight junction yang bocor. Kebocoran sawar darah dapat terjadi karena beberapa keadaan antara lain tumor.2, 18 Berdasarkan pemeriksaan Patologi Anatomi didapatkan diagnosis Oligoastrositoma. Oligoastrositoma merupakan tumor glioma campuran yang berisi oligodendroglioma abnormal dan sel astrositoma. Insidensi oligoastrositoma mencapai 5–10% kejadian tumor glioma, terutama pada usia 35 – 50 tahun tanpa memandang jenis kelamin. Tumor ini lebih sering ditemukan pada lobus frontal dan temporal otak. Tumor ini bersifat lebih agresif dibandingkan dengan oligodendroglioma. Umumnya pasien yang memiliki tumor ini akan mengeluhkan kejang, sakit kepala dan perubahan kepribadian.20 Adanya edem serebri pada kasus ini dimungkinkan karena sifat tumor yang agresif dan menekan jaringan otak di sekitar dan menyebabkan pergeseran garis tengah. Kongestif kardiovaskular dapat menyebabkan tight brain berkaitan dengan depresi pernapasan yang menonjol. Hiperkapnia, tingginya agent volatile anestesi, peningkatan cairan serebrospinal/volume pembuluh darah otak, penekanan vena pada leher (gangguan aliran balik vena) juga dapat menyebabkan tight brain. Pada kasus ini sudah dilakukan tatalaksana pemberian cairan hiperosmolar (mannitol dan salin hipotonus), hiperventilasi, posisi head up, penggunaan propofol, furosemide dan steroid.12 Pasien diposisikan head up 10–30 derajat untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan cara mengalokasikan cairan serebrospinal dari ruang intrakranial ke ruang ekstrakranial – intratekal, mereduksi volume darah otak volume intrakanial serta retraksi otak karena adanya pengaruh 111 gravitasi. Perlu diperhatikan bahwa posisi head up ini dapat meningkatkan risiko hipoperfusi serebral, kejadian emboli udara pada vena serta pneumocephalus.12 Obat anestesi intravena memiliki efek yang signifikan terhadap tonus vasomotor serta aliran darah ke otak. Efek propofol terhadap aliran darah otak dan juga metabolisme otak adalah menurunkan tekanan perfusi serebral sebanyak 30%, menurunkan aliran darah ke otak sebanyak 30% dan pada saat yang sama dapat menurunkan tekanan intrakranial. Autoregulasi serebrovaskular sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah sistemik dan reaktivitas aliran darah ke otak untuk merubah PaCO2 tidak dipengaruhi oleh propofol.14,18 Propofol juga mempunyai gambaran antikonvulsan dan antiemetik yang mencegah peningkatan tekanan intrakranial. Pemberian propofol untuk menghasilkan sedasi pada pasien dengan SOL (space occupying lesion) intrakranial tidak meningkatkan tekanan intrakranial. Dengan targeted continuous infusion tekanan perfusi serebral dipertahankan adekuat, tidak mengalami penurunan mendadak atau besar.2,14 Penurunan tekanan perfusi serebral yang mendadak atau besar dapat menyebabkan risiko terjadinya iskemia otak, edem serebri dan tight brain. Propofol dipilih karena memiliki efek sedasi yang dapat dinaikkan dan diturunkan dalam waktu singkat dan pada dosis terapeutik dapat mencegah tight brain. Selain obat anestesi intravena, agen volatil juga memiliki efek yang signifikan terhadap tonus vasomotor serta aliran darah ke otak obat inhalasi dengan MAC tinggi akan meningkatkan aliran darah ke otak dan volume darah otak dengan menyebabkan vasodilatasi instrinsik serebral dan meningkatkan aktivitas metabolism serebral. Obat anestesi volatil dengan 0,5 MAC dapat mengurangi kejadian peningkatan tekanan intrakranial dan tight brain.12 Pasien mendapatkan manitol untuk mengurangi edem serebri. Cara kerja manitol sebagai diuretik osmotik dengan meningkatkan osmolalitas plasma dan menarik cairan normal dari dalam sel otak yang osmolarnya rendah ke intravaskuler yang osmolar 112 Jurnal Neuroanestesi Indonesia tinggi, untuk menurunkan edem otak. Furosemide juga diberikan pada pasien ini sebagai diuretik. Dexamethasone (steroid) dalam hal ini bermanfaat pada edem serebri yang berkaitan dengan tumor, primer atau metastasis. Kemungkinan steroid berefek langsung pada sel endotelial dengan mengurangi permeabilitasnya.6,12 Pada pasien ini diberikan fenitoin selain mencegah kejang akibat tumornya dan dapat berguna juga untuk mencegah tight brain akibat iskemia pascakejang. Fenitoin diberikan setelah 2 jam operasi berjalan untuk mencegah kejang sehingga tidak mengganggu proses awake craniotomy. Fenitoin bekerja dengan cara menstabilkan aktivitas elektrik.2, 9, 12 IV. Simpulan Dexmedetomidine berdasarkan literatur dapat dijadikan sedasi tunggal dalam awake craniotomy. Dexmedetomidine mencegah tight brain karena memiliki fungsi neuroproteksi dengan adanya reseptor imidazoline. Pada kasus ini penyebab tight brain berasal dari tumor oligoastrositoma yang bersifat agresif dan menekan jaringan otak di sekitar serta menyebabkan pergeseran garis tengah. Kongestif kardiovaskuler otak dapat diperbaiki dengan tatalaksana secara nonmedikamentosa dan medikamentosa. Pada kasus-kasus tumor banyak penyebab terjadinya tight brain maka seorang anestesiologis perlu mengevaluasi masing-masing faktor tersebut. Teknik awake craniotomy yang menggunakan dexmedetomidine masih baik untuk dilakukan. Daftar Pustaka 1. Burnand C. Anaesthesia for awake craniotomy. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain. 2014;14(1):6-11. 2. Schubert A, Lotto M. Awake craniotomy, epilepsy, minimal invasive, and robotic surgery. In: Cottrell JE, Young WL, editors. Cottrell and Young's Neuroanesthesia. 5th ed: 2010. 3. Lalenoh DC, Lalenoh HJ, Rehata NM. Anesthesia for craniotomy supratentorial tumor. Jurnal Neuroanestesia Indonesia. 2012;1(1):16–24. 4. Ramkiran S, Iyer SS, Dharmavaram S, Mohan CV, Balekudru A, Kunnavil R. BIS targeted propofol sparing effects of dexmedetomidine versus ketamine in outpatient ERCP: A prospective randomised controlled trial. Journal of clinical and diagnostic research: JCDR. 2015 May;9(5):UC07-12. 5. Alam A, Suen KC, Hana Z, Sanders RD, Maze M, Ma D. Neuroprotection and neurotoxicity in the developing brain: an update on the effects of dexmedetomidine and xenon. Neurotoxicology and teratology. 2017 Jan 06. 6. Yang GZ, Xue FS, Sun C. Assessing interaction between dexmedetomidine and propofol. Journal of anesthesia. 2017 Feb;31(1):156. 7. Peng W, Zhang T, Wang Y. Comparison of propofol-hydromorphone and propofoldexmedetomidine in patients with intubation after maxillofacial plastic surgery. Therapeutics and clinical risk management. 2016;12:373-7. 8. Turunen H, Jakob SM, Ruokonen E, Kaukonen KM, Sarapohja T, Apajasalo M, et al. Dexmedetomidine versus standard care sedation with propofol or midazolam in intensive care: an economic evaluation. Critical care. 2015 Feb 19;19:67. 9. Zoppellari R, Ferri E, Pellegrini M. Anesthesiologic management of awake craniotomy. Dalam: Signorelli F, editor. Explicative Cases of Controversial Issues in Neurosurgery2012: 19–34. 10. Brydges G, Atkinson R, Perry MJ, Hurst D, Laqua T, Wiemers J. Awake craniotomy: a practice overview. AANA journal. 2012;80(1):61-8. 11. Pastor J, Vega-Zelaya L. Intraoperative Tight Brain pada Anestesi Awake Craniotomy dengan Dexmedetomidine neurophysiologica; monitoring techniques for the resection of malignant brain tumors Located in Eloquent Cortical Areas. Austin Neurosurg. 2015;2(4):1–8. 12. Li J, Gelb AW, Flexman AM, Ji F, Menq L. Definition, evaluation and management of brain relaxation during craniotomy. Br. J anaesth. 2016;1–11. 13. Amiri HR, Kouhnavard M, Safari S. Scalp block for awake craniotomy in a patient with a frontal bone mass: a case report. Anesthesiology and pain medicine. 2012;1(3):187–90. 14. Sung B, Kim HS, Park JW, Byon HJ, Kim JT, Kim CS. Anesthetic management with scalp nerve block and propofol/ remifentanil infusion during awake craniotomy in an adolescent patient -A case report. Korean journal of anesthesiology. 2010;59(Suppl):S179–82. 15. Gertler R, Brown HC, Mitchell DH, Silvius EN. Dexmedetomidine: a novel sedative-analgesic agent. Proceedings. 2001;14(1):13–21. 113 16. Yektas A, Gumus F, Alagol A. Dexmedetomidine and propofol infusion on sedation characteristics in patients undergoing sciatic nerve block in combination with femoral nerve block via anterior approach. Brazilian journal of anesthesiology. 2015 Sep-Oct;65(5):371–8. 17. Whitby JD. The tight brain. Anesthesia. 2007;16(1):99–100. 18. Ilhan O, Koruk S, Serin G, Erkutlu I, Oner U. Dexmedetomidine in the supratentorial craniotomy. The Eurasian journal of medicine. 2010 Aug;42(2):61–5. 19. Zhang H, Fang B, Zhou W. The efficacy of dexmedetomidine-remifentanil versus dexmedetomidine-propofol in children undergoing flexible bronchoscopy: A retrospective trial. Medicine. 2017 Jan;96(1):e5815. 20. American Brain Tumor Association. Oligodendroglioma and Oligoastrocytoma. 2016. Tatalaksana Anestesi pada Bedah Minimal Invasif Deep Brain Stimulation (DBS) Bona Akhmad Fithrah*), Iwan Fuadi**), Sri Rahardjo***), Tatang Bisri**) Departemen Anestesi dan terapi Intensif RS Mayapada Lebak Bulus Jakarta, **)Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung, ***)Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-RSUP dr. Sardjito Yogyakarta *) Abstrak Otak adalah organ terpenting dalam tubuh manusia. Pada neuroanestesi otak ini dimanipulasi dengan berbagai obat hingga dapat dilakukan pembedahan pada otak itu sendiri. Saat ini berkembang berbagai prosedur bedah syaraf yang bersifat minimal invasif. Dengan hadirnya pembedahan minimal ini diharapkan keluaran bedah syaraf semakin baik dan komplikasi minimal. Salah satu prosedur bedah minimal invasif adalah Deep Brain stimulation (DBS). Prosedur ini memiliki beberapa hal yang harus dipertimbangkan yang bila tidak diperhatikan maka akan menyulitkan operator dan anestesi sendiri. Hal terpenting dari prosedur ini adalah keakuratan untuk menempatkan electrode pada nuclei yang akan dilakukan stimulasi. Anestesi hadir untuk memfasilitasi prosedur minimal invasif ini. Target anestesi pada bedah syaraf minimal invasif tetap sama yaitu perfusi otak yang adekuat. Dan untuk mencapai perfusi otak yang adekuat ini tetap memerlukan persiapan pasien yang baik. Teknik anestesi yang dilakukan berbeda dengan anestesi rutin bedah syaraf. Tekhnik yang umum dikerjakan saat ini adalah monitored anesthesia care dengan local anesthesia, conscious sedation dan anestesi umum. Setiap tekhnik ini memiliki keuntungan, kerugian, pemilihan obat anestesi dan dapat disesuaikan dengan kondisi rumah sakit. DBS sendiri setelah ditanamkan memiliki standar keamanan tersendiri yang harus dipatuhi agar tetap bekerja dengan baik. DBS saat ini dapat ditawarkan sebagai terapi alternatif bagi pasien parkinson yang gagal dengan terapi medikamentosa. Kata kunci: Bedah syaraf minimal invasif, Deep Brain Stimulation, tata laksana anestesi. JNI 2017;6 (2): 114‒23 Anesthesia for Minimally Invasive Surgery Deep Brain Stimulation (DBS) Abstract Brain is the important part from human body. In neuroanesthesia brain is manipulated so surgery can conduct in the brain itsef. Nowadays there are several minimally invasive neurosurgery procedure. What we expect from the minimally invasive surgery is the outcome will be better and or with minimal complication. One of the minimally invasive procedure is Deep Brain Stimulation (DBS). This procedure have some concern to considered if not would complicate the surgeon and the anesthesiologist. Anesthesia come to facilitate this minimally invasive neurosurgery. The goal of anesthesia attending this minimal invasive procedure still the same with routine neurosurgery. which is to make sure adequate cerebral perfusion pressure. Anesthesia procedure litle bit different with common neurosurgery. Anesthesia procedure that recommend nowadays are monitored anesthesia care with local anesthesia, conscious sedation and general anesthesia. All the procedure have advantages and disadvantages, anesthesia drug chosen and customizing with hospital condition. After implanted DBS has certain procedure to be followed if not would endanger or destroyed the DBS itself. Nowadays DBS can be offered as an alternative therapy for the patients which failed with medical therapy. Key word: Minimally invasive neurosurgery, Deep brain stimulation, anesthesia technique JNI 2017;6 (2): 114‒23 114 Tatalaksana Anestesi Pada Bedah Minimal Invasive Deep Brain Stimulation (DBS) I. Pendahuluan Otak adalah organ yang paling berharga dalam tubuh manusia, organ yang menjadikan seorang hidup. Hingga definisi kematian seseorang saat ini adalah bila telah terjadi kehilangan fungsi otak. Dalam kehidupan anestesi sehari-hari fungsi otak ini dimanipulasi dengan berbagai teknik dan obat-obatan untuk menghasilkan kondisi anesthesia hingga berbagai prosedur operasi dapat dikerjakan. Pada pasien dengan masalah otak yang akan dikerjakan adalah otak itu sendiri hingga otak tersebut dimanipulasi hingga otak bisa menjadi lokasi operasi.1 Sekarang ini sedang menjadi tren yaitu bedah invasive minimal disemua bidang ilmu bedah. Termasuk dalam ilmu bedah syaraf. Seiring dengan berkembangnya ilmu pencitraan dan fibre optic telah ikut menopang berkembangnya ilmu bedah invasif minimal pada bidang bedah syaraf. Keuntungan dari bedah invasive minimal ini adalah akurasi pada lesi hingga prosedur dapat dikerjakan pada area area yang sulit dan mengurangi resiko kerusakan pada jaringan yang sehat.2,3 Berkembangnya ilmu bedah syaraf minimal invasif minimal ini juga berdampak pada perkembangan ilmu neuroanestesi. Seorang anestesi perannya menjadi lebih luas ke ruang radiologi dan tidak sekedar di kamar operasi. Tetapi secara global tujuan dari anestesi tetap sama yaitu memberikan pengkajian pre operasi, perencanaan anestesi, hemodinamik monitoring dan mengkontrol adekukat perfusi otak. Persiapan yang perlu dilakukan pun tidak terlalu berbeda hampir sama dengan persiapan kraniotomi.3 Penyakit Parkinson adalah penyakit kronik, progresif dan neurodegeneratif yang ditandai empat gejala motorik utama yaitu postural instability, rigidity, bradikinesia, dan resting tremor dan empat beberapa gejala klinis non motorik seperti anxietas, depressi, impaired cognition dan autonomic dysfunction. Parkinson diketahui terjadi karena ketidak seimbangan antara dopaminergic dan cholinergic neuron di otak. Umumnya Parkinson ini diterapi dengan medikamentosa. Bila terapi medikamentosa ini 115 tidak adekuat maka pasien itu dapat disarankan untuk dilakukan Deep Brain stimulation (DBS).4 DBS ini termasuk dalam prosedur bedah minimal invasif pada bedah syaraf disamping neuro endoskopi dan close brain biosy.1 Tekhnik anestesi pada DBS ini sangat khas dan memerlukan pertimbangan yang banyak sejak pra hingga pasca operasi.1-4 Saat ini prosedur ini belum ada catatannya dilakukan di Indonesia tapi seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi akan berkembang pesat di Indonesia. Sebagai seorang anestesi wajib memahami dan mengerti pertimbangan pertimbangan anestesi terkait DBS ini. Pada makalah ini akan dibahas pengantar tentang DBS itu sendiri hingga tekhnik anestesi pada prosedur DBS dan hal-hal yang harus diperhatikan pada pasien DBS yang harus menjalani prosedur diagnostik ataupun operasi yang tidak terkait DBS itu sendiri. II. Deep Brain stimulation (DBS) Deep brain stimulation adalah terapi pembedahan pada pasien dengan gangguan pergerakan yang tidak hilang dengan terapi medikamentosa. Salah satu contoh penyakit dengan gangguan pergerakan ini adalah penyakit Parkinson. Disamping itu DBS ini juga dipakai sebagai terapi dari berbagai masalah neurologi dan psikiatri seperti nyeri kronik, epilepsi, obsessive compulsive disease (OCD) dan gangguan depressive. Sampai saat ini telah 75000 pasien dari seluruh dunia tercatat ditanamkan implant dari DBS ini. Pada tahun 1997 FDA sendiri telah menyetujui penggunaan DBS ini untuk penyakit Parkinson. DBS dinyatakan memiliki prosedur yang aman dan keuntungan jangka panjang. Saat ini penggunaan DBS untuk terapi pada sindroma Tourette, depresi, cluster headache, nyeri kronis, alzhemeir dan vegetative state pada pasien pasca trauma masih terus dikembangkan.5,6 Efektifitas terapi dari DBS sangat tergantung dari akurasi penempatan electrode pada target nuclei. Target nuclei ini terletak di dalam dan kecil secara ukuran. Untuk penempatan electrode yang baik memerlukan metode inovatif untuk meningkatkan akurasinya. Penggunaan frame based imaging technique untuk menggambarkan 116 Jurnal Neuroanestesi Indonesia dan mendapatkan koordinat yang tepat dari target nuclei. Penggunaan panduan intraoperatif elektrofisiologi perekam microelectrode (MER) dan macrostimulator saat pasien masih sadar hingga posisi dapat diverifikasi ketepatannya. Penggunaan frameless brain navigation telah dilakukan tetapi hingga saat ini masih tidak popular. Teknik pencitraan yang lebih baik dengan MRI 3 T dan 7 T juga telah membantu meningkatkan akurasi penempatan dari electrode. dilaporkan satu serial kasus dari 79 kasus Parkinson yang diterapi dengan DBS. Pencitraan yang dilakukan adalah dengan MRI. Dimana penempatan electrode dari dibantu dengan panduan dari MRI tanpa MER. Prosedur penempatan electrode berhasil dengna baik dan aman.4-6 Target nuclei DBS untuk gangguan pergerakan saat ini yang popular adalah Subthalamic nuclei (STN), Globus pallidus interna (GPi) dan ventralis intermedius nucleus of thalamus (Vim). Saat ini yang paling sering untuk terapi penyakit parkinson adalah STN. Dimana perangsangan pada area ini dapat menyingkirkan gejalan klinis dari pada Parkinson seperti bradikinesia, rigiditias dan tremor. GPi adalah target yang efektif untuk keluhan dystonia umum dan dystonia daerah cervical. GPi juga digunakan untuk pasien Parkinson dengan gejala dyskinesia berat. Stimulasi pada area Vim juga efektif pada gejala essential tremor dan tremor dominantparkinson diseases. Sedangkan titik lain seperti subcallosal cingulate gyrus (Cg25), anterior limb of internal capsule (AIC), Nucleus accumbens (NAcc) adalah are area target untuk pasien dengan diagnosis depresi dan OCD. Target lain seperti anterior thalamus untuk epilepsy, centromedianparafascicular thalamic nuclei untuk Tourette syndrome, fornix dan hypothalamus untuk dementia. Target target terapi baru yang masih terus diteliti seperti hippocampus, pedunclopontine tegmental nucleus (PPTg) dan reticular formation.4 Sejarah DBS Penggunaan terapi listrik sudah dimuali sejak abad 18 dimana giovani aldini di bologna mengenalkan penggunaan ECT pada gangguan perilaku. Diawal abad 20 telah berkembang pemahaman tentang basal ganglia dimana bansal ganglia ini besar perannya dalam terjadinya gerakan ekstrapiramidal. sebelum saat itu basal ganglia masih disebut sebagai noli me tangere atau no go area. Tahun 1920 Leriche melakukan pembedahan terbuka cervical rhizotomy, 1937 Bucy melakukan pembedahan terbuka cortectomy untuk tremor, 1937 Meyers melakukan pembautan lesi pada bangsal ganglia, 1948 pool melakukan caudat stimulation untuk mengurangi depresi. Semua ini berubah pada periode 1940–1950 dimana mulainya penggunaann frame stereotactic pada manusia. Pada tahun 1950 Spiegel dan Wycic berhasil melakukan pembedahan stereotactic pertama. Tahun 1951 talairach menggunakan frame sterotactic untuk movement disorder. Tahun 1954 Hassler melakukan thalamotomy pada pasien dengan Parkinson.4,6,7 Pada perkembangan awal masih terfokus pada pallidum dan ventrolateral thalamus. Tindakan pembedahan yang dikerjakan pada thalamus menyebabkan hilangnya tremor. Seiring penggunaan microelectrode recorder ditemukan subdivisi dari thalamus yaitu Vim yang menjadi fokus dari tremor.pencatatan pada Vim menemukan gelombang abberan ritmis yang sesuai dengan terrjadinya tremor yang dicatat oleh electromiografi. Penekanan gelombang abberan ini menyebabkan berkurang hingga hilangnya tremor. Dasar ini yang menjadi berkembangnya thalamotomy.4,6,7 Pada tahun 1960 an berkembang pembedahan dengan dasar perkembangan ventriculografi. Tapi perkembangan ini tidak lama dengan ditemukannya L-DOPA pada tahun 1968. Penemuan Ldopa ini yang disebut sebagai end of surgical era. Pada tahun 1990an minat untuk mengembangan pembedahan pada basal ganglia ini kembali berkembang. Hal ini dipicu oleh komplikasi dan masalah pnggunaan jagka panjang dari l-dopa dan didukung penemuan alat alat radiologi diagnostic yang semakin berkembang dengan high resolution CT scan atau MRI. Perkembangan penggunaan model binatang juga mendukung teknik pembedahan ini dengan ditemukannya Subthalamic nucleus yang overactive pada penyakit Parkinson. Subthalamic nucleus ini Tatalaksana Anestesi Pada Bedah Minimal Invasive Deep Brain Stimulation (DBS) sekarang menjadi target terapi dari penggunaan DBS pada pasien Parkinson. Tahun 1990 Laitinen melakukan thalamotomy/pallidothomy dan 1991 Profesor Alim Louis Benabid mengenalkan konsep DBS untuk pertama kali. Perbedaan utama dari konsep DBS dengan operasi terbuka/ membuat lesi pada basal ganglia adalah sifat reversibilitas dan titrasi perangsangan dari listrik yang diberikan. Sedangkan pada operasi terbuka bersifat irreversible dan erat kaitannnya dengan efek samping yang permanen.4,6,7 Indikasi dan Kontraindikasi Umumnya DBS digunakan pada pasien yang telah gagal dilakukan terapi medikamentosa untuk mengontrol gejala gejala klinis yang terjadi.4,7 Indikasi Pada Parkinson DBS tidak memberikan harapan untuk kesembuhan dan penghambatan progesivitas penyakit. DBS hanya menguirangi gejala klinis tremor, rigidity dan bradikenesia. Disamping itu juga gejala mood, energy level dan well being akan membaik. Pasien yang preoperative respons terhadap levodopa, telah menderita lebih dari lima tahun dan berumur kurang dari 70 tahun memiliki reapon yang baik dengan DBS.4,7 Pasien dystonia dengan gejala tremor dengan tampilan klinis yang berat/ hingga mengganggu aktivitas harian merupakan kandidat yang baik untuk DBS. Intention tremor atau resting tremor pada daerah distal lebih respon disbandingkan yang proksimal ekstremitas.4,7 Dystonia yang tidak respon terhadap semua obat termasuk toxin botulinum telah menunjukan respon yang baik terhadap DBS. Primary generalized dystonia, idiopathic cervical dystonia, dan juvenile onset dystonia juga telah menunjukkan respon yang baik terhadap dystonia.4,7 Pasien psikiatri yang gagal dengan terapi medikamentosa dapat dipertimbangkan untuk dilakukan terapi dengan DBS. Salah satunya adalah pasien Obsesive compulsive disease (OCD) telah dilakukan DBS dan hasilnya cukup menjanjikan. Disamping semua penyakit diatas masih ada beberapa penyakit yang dilakukan terapi dengan DBS seperti pasien chronic pain, Alzheimer dan Huntington chorea.4,7 117 Kontraindikasi DBS tidak perlu dipertimbangkan pada pasien yang memiliki hasil terapi yang baik pada penggunaan medikamentosa. Pasien usia lebih dari 70 tahun dan telah menderita Parkinson kurang dari lima tahun merupakan kontraindikasi relative.4,7 Sebagai tambahan DBS tidak mengurangi gejala kekurangan dopamine seperti masalah berjalan, bicara dan berpikir.7 Pasien dengan gejala cogninitive dearrangement seperti dementia juga tidak perlu dilakukan DBS. STn DBS menunjukan kejadian depresi dan penurunan cognitive pascaprosedur.4,7 Pasien dengan coagulopathy, uncontrolled hypertension, severe coronary artery diaseses, pasien rutin terapi dengan diathermi, kanker, infeksi yang aktif, DM tidak terkontrol, pasien yang akan rutin menggunakan MRI juga tidak disarankan untuk dilakukan DBS.4 Pasien dengan pace maker juga bukan kontraindikasi tetetapi perhatian khusus harus diberikan pada pasien tersebut.4 Cara kerja DBS Telah diketahui sejak tahun 1970 bahwa penggunaan stimulasi listrik memiliki efek yang sama dengan operasi terbuka/melukai/membuat lesi pada basal ganglia. Bagaimana DBS kerja ini sebenarnya belum diketahui secara pasti. Semuanya masih dugaan yaitu stimulasi listrik pada basal ganglia akan menghambat aktivitas sel dan eksitasi dari akson, menyebabkan terlepasnya calcium yang memicu terlepasnya neurotransmitter yang mengurangi gejala dari Parkinson.4,6,7 Efek dari DBS berbeda beda tergantung dari lokasi yang distimulasi. Lokasi target stimulasi tergantung pada gejala pasien dan reaksi yang diharapkan dari stimualsi target. stimulator akan diatur pada frekuensi tinggi sekitar 130–180 Hz untuk menekan aktivitas yang berlebihan dari target. Efek dari DBS ini sangat tergantung pada frekunsi yang diberikan. Masing masing target lokasi memiliki efektifitas frekuensi sendiri.4,6,7 Vim nucleus dipilh sebagai target lokasi untuk mengurangi gejala tremor.tapi stimulasi pada Vim tidak menyebabkan hilangnya gejala rigiditas, bradikonesia, dyskinesia dll.4,6,7 STn/GPi dipilih sebagai target lokasi pada 118 Jurnal Neuroanestesi Indonesia pasien dengan gejala lebih dari sekedar tremor. STn ditemukan lebih baik dari GPi dalam menghilangkan gejala motoric, dan dipilih sebagai alternative pada pasien yang gagal setelah dilakukan pemasangan DBS dengan target lokasi GPi.4,6,7 Prosuder pembedahan DBS Saat ini alat DBS yang telah dipasarkan luas dibuat oleh Medtronic dengan merk dagang Activa Parkinson control therapy telah mendapat persetujuan FDA untuk digunakan secara luas.4 Alat ini terdiri dari lead (dengan diameter hanya beberapa millimeter) dengan empat contact electrode pada ujungnya. Anchoring system (plastic ring) untuk akan memegang electrode pada cranium. Electorde ini akan dihubungkan dengan kabel ke pulse generator. Saat ini ada bebrapa pilihan pulse generator yaitu unilateral stimulator, bilateral stimulator dan beberapa ada yang dengan battery rechargeable. Pasien dapat mengendalikan sendiri pulse generator ini, menghidupkan, mematikan mengganti battery dan mengatur implantable pulse generator (IPG) parameter. Battery yang digunakan berumur 2–5 tahun yang rechargeable bahkan hingga sembilan tahun. Direkomendasikan battery diganti setelah tersisa 10% atau kurang proses penggantian ini juga tidak memerlukan perawatan.4 Prosedur pembedahan DBS berlangsung dalam dua tahap. Tahap pertama adalah penempatan electrode pada lokasi target dan tahap kedua adalah penanaman implantable pulse generator (IPG) pada subkutis. Penempatan electrode pada satu atau dua sisi tergantung pada gejala dari pasien. Biasanya tahap kedua dikerjakan tiga hari atau dua minggu setelah tahap pertama. Ini tergantung dari pasien dan untuk mencegah terjadinya microlession effect, yaitu efek yang terjadi akibat edema saat penanaman electrode. Micro lesion ini berdampak perbaikan gejala walaupun belum dilakukan stimulasi hal ini membuat stimulasi yang akan diatur menjadi tidak akurat. Prosedur penempatan electrode adalah prosedur sterotactic. Procedure ini menggunakan frame based imaging. STN dan GPi dapat diidentifikasi dengan MRI sedangkan Nucleus thalamic tidak dapat digambarkan. Prosedur dimulai dengan peasangan frame dilanjutkan dengan MRI. Frame yang umum dipakai adalah Laksell Frame dan Cosman-Robert-Wells frame. Pemasangan frame ini membuat akses pada airway menjadi sulit. Selanjutnya proses berlangsung di kamar operasi. Pasien diposisikan sitting atau semi sitting position. kemudian dilakukan burr hole. Pada area yang ttelah ditentukan. Dilakukan pemasangan electrode dengan neurofisiologis melakukan pencatatan hasil stimulasi hingga mendapatkan titik yang tepatselanjutnya bias dilanjutkan dengan penanaman dari IPG pada dinding abdomen atau dibawah clavicula.4,6,7 III. Pertimbangan Anestesi pada DBS Pemilihan pasien dan teknik anestesi Disamping seleksi untuk DBS nya sendiri seleksi perlu juga dilakukan terkait dengan teknik anestesi yang akan dikerjakan. Disamping pengkajian rutin anestesi maka perlu dilakukan juga pertimbangan pertimbangan tersendiri.4,6 Pertimbangan seperti komorbid pada pasien, usia pasien, ada tidak nya OSA, tingkat kooperasi dari pasien dan adanya ferro magnetic implat seperti pace maker, clip aneurisma, implant cochlear. Hipertensi harus terkontrol dengan baik karena berisiko untuk menimbulkan perdarahan saat dilakukan prosedur DBS.4 Pengkajian anestesi intraprosedure sepeti jalan napas dan potensi terjadinya difficult airway sudah harus dpertimbangkan sebelum dilakukan prosedur. Alat alat difficult airway harus tersedia. Fibreoptic intubation dan LMA adalah dua alat yang diunggulkan. Posisi pasien intraoperatif juga menentukan pada pasien yang memilik masalah pergerakan akan sulit dilakukan posisi yang baik, posisi semi sitting atau sitting juga berisiko terjadi VAE dan penggunaan obat obat anestesi juga harus menjadi petimbangan terhadap penggunaan MER.4 Terkait penyakit pasien seperti pada Parkinson juga harus menjadi pertimbangan tersendiri. Resiko ketidakstabilan hemodinamik, aspirasi, laringospasme, sulit batuk, anemia, depresi, halusinasi, dementia dan potential interaksi obat. pasien dengan tremor biasanya berisiko terjadi bradikardia dan aritmia lain. Pasien dengan Tatalaksana Anestesi Pada Bedah Minimal Invasive Deep Brain Stimulation (DBS) epilepsi biasanya masih dalam pengaruh obat dan memiliki potensi interaksi obat dengan obat anestesi. Pasien dengna nyeri kronik harus optimal pengobatannya sebelum prosedur dilakukan.4 Tekhnik Anestesi Tujuan dari anestesi adalah untuk menciptakan kondisi operasi yang ideal, memfasilitasi neuro monitor, mengkondisikan pasien tetap sadar, aman jalan napas termasuk mendiagnosis dan mengelolanya bila terjadi komplikasi. Tujuan anestesi pada DBS tidak ada yang berbeda sebenarnya dengan tujuan anestesi pada setiap pembedahan hanya yang menjadi hal penting adalah memfasilitasi proses neuro monitor.4 Tantangan terbesar dari penggunaan teknik anestesi pada DBS adalah pengaruh obat anestesi pada microelectrode recording (MER) dan kebutuhan untuk tetap bangun dan kooperatif pasien saat dilakukan uji macrostimulasi.4-7 Teknik anesthesia yang digunakan memang bisa sangat bervariasi sekali tergantung bagaimana praktik terbaik yang dilakukan di rumah sakit tersebut. Tetapi umumnya dibagi menjadi tiga teknik yaitu monitored anesthesia care dengan lokal anestesi, conscious sedation dan anestesi umum. Saat ini tidak ada teknik yang lebih superior dibanding yang lain, sekalipun pada teknik awake atau conscious sedation dapat memfasilitasi proses monitor elektofisiologi.5 Apapun pilihan teknik anestesinya pasien harus mendapat penjelasan yang baik tentang teknik anestesi yang akan dilakukan. Penjelasan yang baik ini akan sangat membantu pada saat prosedur akan dikerjakan dan akan membantu memotivasi pasien dalam menjalani prosedur yang panjang dari ruang radiologi hingga ke kamar operasi dan membantu menghilangkan kecemasan yang dialami pasien.4 pasien yang akan melalaui anesthesia dengan bantuan local anesthesia juga harus dijelaskan bahwa ia akan dilakukan pemasangan frame yang sebelumnya dilakukan penyuntikkan obat anestesi lokal, setelah frame terpasang ia juga akan merasa disekeliling kepala merasa diikat selama lebih kurang lima menit hingga frame terpasang.7 Ada perbedaan yang bermakna terkait pemilihan teknik anestesi dan ini ditentukan berdasarkan populasi pasien dan target nucleus yang akan 119 di stimulasi.5 Contohnya adalah pada pasien dengan rencana stimulasi pada STN dapat dilakukan dengan baik dan efektif dalam general anesthesia dengan atau tanpa MER.5,9 Panduan MRI intraoperasi dapat dilakukan dalam general anesthesia, tanpa perlu sterotactic frame dan uji intraoperasi hingga dapat memangkas waktu prosedur operasi DBS secara bermakna.5 Berbeda dengan pasien dengan target nuclei Vim dan GPi (pasien dengan kelainan dystonia dan essential tremor) masih memerlukan teknik moitored anesthesia care dengan anestesi local atau contious sedation.5 Monitored anesthesia care dengan local anesthesia Seperti disampaikan diatas bahwa prosedur pembedahan dari DBS berlangsung dalam dua tahap, pertama pemasangan electrode pada target dan penanaman IPG di subkutis, local anestesi digunakan untuk pemasangan pin dan subkutis infiltasi pada area burrhole. Scalp block atau dengan Supraorbital blok dan greater occipital blok dapat menjadi pengganti infiltrasi sub kutis. Prosedur scalp blok ini lebih tidak nyeri dibandingkan infiltrasi subkutis. Kemampuan menghilangkan nyeri antara sclap blok dengan infiltrasi sub kutis sama.4 Lokal anestesi yang digunakan biasanya lidokain, bupivakain atau ropivakain. Harus diperhatikan komplikasi dan efek toksik dari penggunaan lokal anestesi. Pada prosedur yang panjang mungkin diperlukan suntikkan ulangan atau tambahan infiltarasi sub kultis saat penutupan kulit.6 Standar monitor yang digunakan sama seperti prosedur anestesi lain yaitu elektrocardiagram, tekanan darah non invasif, oksigen saturasi, dan End Tidal CO2. Standar monitor ini akan sulit digunakan pada pasien dengan gangguan gerak berat dan atau spastis.6 Oksigen diberikan lewat nasal kanul atau masker, diharapkan dengan alat yang dapat mengukur end tidal CO2. Posisi pasien diatur senyaman mungkin pastikan kepala sedikit ekstensi untuk memastikan tidak ada sumbatan pada jalan napas. Pasien dengan riwayat OSA harus tetap dipasang alat bantunya.6 Pasien dengan dystonia, depresi, emosional yang tidak stabil mungkin tidak akan bias dilakukan 120 Jurnal Neuroanestesi Indonesia dengan local anesthesia dan tidak akan sabar menunggu hingga selesai. Bila memungkinkan pasien dengan kondisi seperti ini dilakukan anestesi umum.7 Conscious sedation Pada beberapa rumah sakit teknik ini popular dilakukan untuk pemasangan DBS. Obat yang umum dipakai adalah golongan benzodiazepine, propofol, opioid (fentanyl dan remifentanil) dan alfa 2 agonis. Penggunaan obat obat ini harus hati hati, perhatikan untung ruginya. DBS biasanya dilakukan dengan lokal anestesi dan sedasi. Propofol cukup adekuat untuk diberikan tetapi pada pasien yang kooperatif tidak diperlukan. Bila diperlukan dosis yang umum diberikan adalah 50 mcg/kg bb/menit. Pada pasien dengan Parkinson disease lebih sensitive dengan propofol dan cenderung tejadi hipoventilasi hingga obstruksi jalan napas. Terutama bila digunakan bersama remifentanil. Bangun yang terlambat akibat penggunaan propofol pernah dilaporkan.5 Dexmedetomidine bisa menjadi pilihan karena memberikan sedasi tanpa membuat obstruksi jalan napas.4-8 Dexmedetomidine dengan dosis rendah 0,3–0,6 mcg/kg bb/jam adalah pilihan alternatif karena mekanisme kerjanya yang bukan GABA, tidak menggangguMER dan hemodinamik tetap stabil. 6 Penggunaan alat monitor kedalaman anestesi sepeti BIS masih menjadi kontroversi. Beberapa penelitian mendukung penggunaan BIS tapi di sisi yang lain mengatakan tidak ada gunanya.6 Anestesi Umum Anestesi umum hanya menjadi pilihan pada pasien dengan severe dystonia. Beberapa pusat menggunakan panduan MRI saat insersi electrode. Pada pusat seperti ini biasanya menggunakan anestesi umum 4 selama prosedur. Penerimaan pasien terhadap Anestesi umum untuk insersi DBS sangat memuaskan dan membuka peluang untuk lebih luas dan banyak dilakukan pemasangan DBS.6 Intraoperasi stimulasi dan pemetaan tidak akan dapat dilakukan pada general anesthesia. tapi dapat dilakukan bila dilakukan titrasi yang baik dari obat anestesi dan pemetaan secara terbasatas. Secara umum dapat dilakukan teknik asleep-awake- asleep. Dimana pasien ditidurkan saat awal dan akhir sedangkan dibangunkan saat pemetaan dan stimulasi. Penggunaan gas anestesi, obat intravena atau kombinasi dari keduanya dapat dilakukan. Gas anestesi diberikan < 1 MAC. Nilai BIS ditergetkan sekitar 60. Penggunaan Agent Keuntungan GABA receptor antagonis Benzodiazepin Anxiolitik Propofol Opioid Fentanyl Remifentanil Dexmedetomidine Kerugian Menghilangkan MER, merubah batas dari stimulasi, memicu dyskinesia Digunakan secara luas, durasi Menghilangkan tremor, menguatkan pendek, dapat diprediksi untuk MER, memicu dyskinesia, memicu membangunkan pasien sneezing, pharmacokinetic model berubah pada pasien dengan Parkinson Minimal efek pada MER Durasi kerja pendek. Non GABA, efek kurang pada MER, anxiolitik dan analgesia, sedasi, tidak menghilangkan gejalan Parkinson, hemodinamik stabil, tidak mengganggu jalan napas Rigidity Menekan tremor Pada penggunaan dosis tinggi mengganggu MER, hipotensi dan bradikardia Tatalaksana Anestesi Pada Bedah Minimal Invasive Deep Brain Stimulation (DBS) ketamine dan remifentanil sebagai agen dalam general anesthesia dilaporkan tidak mengganggu MER.9 Sebaliknya MER dan intraoperatif testing masih diperlukan pada target stimulasi GPi dan Vim (pasien dystonia dan essential tremor) seiring semakin banyak ditemuinya lokasi target stimulasi baru maka semakin banyak keperluan untuk awake dan testing intraoperatif.4-8 Perdebatan antara awake dengan lokal anestehesia dengan sedation atau Anestesi umum terus berlangsung. Umumnya pembedahan dilakukan dengan pasien awake, tidak dalam pengaruh terapi obat obatan dan dilakukan dengan lokal anestesi. Dengan teknik seperti ini hasil MER dapat diyakini dan evaluasi intraoperatif dapat berlangsung dengan baik. Pasien dapat merasakan langsung efek terapi dari stimulus yang diberikan dan dapat juga merasakan efek yang tidak diinginkan dari stimulus tersebut.6 Pengaruh obat anestesi pada MER dan Macrostimulation Efek obat anestesi tidak bias disamakan pada semua lokasi otak, tergantung juga pada proses penyakit yang terjadi dan target nucleusnya. Masuknya Gamma amino butyric acid (GABA) pada nucleui nucleui ini mempengaruhi efek dari obat abat anestesi pada nucleus tresebut. GPi dimasuki GABA lebih banyak dari STN karena itu nucleus GBi lebih terpengaruh oleh obat obatan anestesi.4,7 Daerah subcortical sebagain besar sangat dipengaruhi oleh obat obat GABA reseptor yang akan teerlihat pada hilangnya tremor dan MER. dari seluruh golongan obat sedative yang paling dihindarkan adalah golongan benzodiazepine. karena golongan ini menghilangkan tremor, mengganggu MERdan stimulasi yang diberikan. disamping resiko depresi pernapasan dan mengganggu kesadaran.4 Propofol adalah obat yang paling sering digunakan pada operasi DBS. MER telah dapat mencatat pada nucleui GPi, STN, Vim dibawah pengaruh propofol.propofol juga menghilangkan tremor, dyskinesia, dan kadang menyebabkan sneezing yang hilang bila diberikan fentanyl atau remifentanil sebelum pemberiannya.pasien dengan dystonia propofol menekan firing rate dari GPi. Penggunaan 121 propofol 50 mcg/kg/min dikombinasikan dengan fentanyl atau remifentanil telah dilakukan secara luas. Propofol memang menekan firing rate tapi firing rate segera kembali lagi ketika propofol dihentikan.4 Dexmedetomidine sebagai obat anestesi non GABAmediasi menjadi alternative yang baik. Dexmedetomidine dapat memberikan efek sedasi, anxiolitik, anestesi sparring efek, depersi pernapasan minimal dan menurunkan tekanan intracranial. Dengan dosis 0,3–0,6 mcg/ kg/jam tidak mengganggu proses MER.4,8 Desfluran telah sukses digunakan pada DBS dengan MAC <1 sedangkan saat MAC>1 maka akan terjadi gangguan pada MER.4 Macrostimulasi adalah tes yang digunakan setelah electrode berhasil dipasang tes ini berguna untuk mengetahui keuntungan klinis dari DBS dan juga efek yang tidak diinginkan yang mungkin terjadi. Karena itu tes ini memerlukan pasien yang ssadar penuh dan kerja sama yang baik dari pasien. pada pasien dengan teknik anestesi conscious sedation tes ini dapat dikerjakan. Tetapi pada pasien dengan teknik general anestesi ini sangat sulit dan biasanya akan menggunakan MRI untuk memastikan posisi electrode yang tepat tanpa melakukan macrostimulasi.4 Komplikasi Komplikasi intraoperasi dari DBS sekitar 6,9%-16%. Komplikasi kardio vascular 0,4%, komplikasi neurologi sekitar 0,6%. Komplikasi terkait alat 1–15%. Komplikasi pernapasan dan jalan napas 1,1–1,6%. Komplikasi terkait depresi 1,5–25%. Komplikasi yang dapat terjadi batuk, sneezing, bronchospasm, aspirasi, obstruksi jalan napas, kejang, penurunan kesadaran, perdarahan intracranial,udema paru, agitasi, angina, nyeri, mual muntah, perdarahan, infeksi hingga depresi pasca prosedur.4-7 Standar keamanan pada pasien dengan DBS Pasien dengan DBS masih tetap mempunyai potensi untuk dilakuka prosedur prosedur medis. Sepeti MRI, external fibrilator, diathermi atau bahkan pembedahan lain yang sama sekali tidak terkait dengan electrode dan IPG yang tertanam pada pasien.7,9 Untuk prosedur general anesthesia dan regional anesthesia tidak perlu dilakukan perubahan apapun. Penggunaan nerve stimulator 122 Jurnal Neuroanestesi Indonesia untuk block perifer aman utuk dilakukan pada pasien DBS.7,9 MRI mengeluarkan gelombang electromagnetic yang dapat menimbulkan interaksi dengan implant yang ditanam pada pasien.interaksi dari gelombang elektromaknetik ini dapat menyebabkan cedera serius hingga kematian pada pasien DBS. Pabrik alat DBS secara jelas melarang penggunaan MRI kepala pada pasien dengan DBS. Ct-scan, fluoroscopy, rontgen dapat dilakukan seperti biasa.7,9 Pabrik DBS menyatakan diatermi terlarang bagi pasien DBS. Terutama diatermi untuk terapi otot seperti shortwave diatermi, microwave diathermy dan therapeutic ultrasound diathermy. Alat alat ini dapat menimbulkan panas yang sama di lokasi electrode DBS dan merusak jaringan. Panas yang dialirkan ini juga dapat dialirkan sekalipin IPG dalam kondisi dimatikan. Satu laporan kasus menyatakan dua kasus pasien Parkinson dengan DBS menggunakan diatermi dan mengakibatkan satu kerusakan jaringan dan satu kematian. Electrocautery/ surgical diathermy dapat merusak DBS lead dan secara temporer mensupresi neurostimulator, reprogram neurostimulator tetapi alat ini bukan kontraindikasi untuk DBS. Bila memang diathermi diperlukan ada beberapa hal yang harus diperhatikan: gunakan bipolar diatermi bila memerlukan, bila memerlukan unipolar diatermi maka gunakan dengan tegangan listrik rendah (low voltage mode), gunakan power terendah (lowest power setting), tempatkan ground plate sejauh mungkin dari neurostimulato dan lead. Setiap setelah penggunaan diathermi harus dipastikan bahwa neurstimulator masih tetap bekerja.7,9 Jika pasien memerlukan external defibrillator hal yang paling utama adalah keselamatan pasien itu sendiri. External defibrillator dapat merusak neurostimulator, bila memang diperlukan hal yang harus dipertimbangkan adalah: posisi pedal external defibrillator harus sejauh mungkin dari neurostimulator, posisi pedal defibrillator tegak lurus dengan neurostimulator, pilih keluaran energy terkecil yang dibolehkan, pastikan neurostimulator tetap bekerja setelah dilakukan defibrilasi.7,9 IV. Simpulan DBS adalah teknologi yang digunakan secara luas saat ini dan memberikan hasil luaran yang baik untuk saat ini terutama pada penyakit Parkinson. Proses pemasangan alat ini memerlukan pertimbangan pertimbangan khusus dari sisi anestesi terkait pada pemilihan pasien, prosedur yang dilakukan hingga alat alat radiografi yang dimiliki oleh pasien. Setelah alat terpasang juga beberapa hal hal harus menjadi perhatian dan bila tidak akan menimbulkan kerusakan bahkan hingga kematian Daftar Pustaka 1. Sakabe T, Matsumoto M. Effect of anesthetic agents and other drugs on cerebral blood flow, metabolism, and intracranial pressure. Dalam: Cottrell and Young’s neuroanesthesia 5th edition. Mosby 2010; 78–93 2. Fabregas N, Hurtado P, Gracia I, Craen R. Anesthesia for minimally invasive neurosurgery. Colombian Journal of Anesthesiology 2015;43:15–21 3. Fabregas N, Craen RA. Anesthesia for minimally invasive neurosurgery. Best practice and research clinal anesthesiology. 2002;16:81–93. 4. Bindu B, Bithal PK. Anesthesia and deep brain stimulation. Journal of neuroanesthesiology and critical care 2016;3:197–204. 5. Venkatraghavan L, Manninen P. Anesthesia for deep brain stimulation. Current opinion in anesthesiology 2011;24:495–499. 6. Venkatraghavan L, Luciano M, Manninen P. Anesthetic managementof patient undergoing deep brain stimulation insertion. Anesthe analg. 2010;110:1138–45 7. Dobbs P, Hoyle J, Rowe J. Anesthesia and deep brain stimulation. Continuing education in anesthesia critical care and pain 2009; 9(5). Tatalaksana Anestesi Pada Bedah Minimal Invasive Deep Brain Stimulation (DBS) 8. Ozlu O, Sanalbas S,Yazicioglu D, Utebey G, Baran I. Sedation and regional anesthesia for deep brain stimulation in parkinsons diseases. Hindawi Publishing corporation Journal of Anesthesiology 2014. article ID 139859.6 9. Lettieri C, Rinaldo S, Devigili G, Pauletto G, Verriello L, Budai R. et al. Clinical neurophysiology 2012(123):2406–2413. 123 10. Davies RG. Deep Brain stimulators and anesthesia. Br. J. Anaesth. 2005;95(3):424–7 11. Harries AM, Kausar J, Roberts SAG, Macroft AP, Hodson JA, Pall HS, Mitchell RD. Deep brain stimulation of the subthalamic nucleus for advancedParkinson disease using general anesthesia: long term result.Jorunal neurosurgery 2012;116:107–13. Transcranial Doppler Ultrasonography: Diagnosis dan Monitoring Non Invasif pada Neuroanesthesia dan Neurointesive Care Buyung Hartiyo Laksono Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya – RSUD. Dr Saiful Anwar Malang Abstrak Transcranial Doppler (TCD) adalah pemeriksaan ultrasonografi yang telah digunakan secara luas dibidang neuroanestesi dan perawatan intensif. Pada bidang perawatan intensif neurologi, pemeriksaan TCD sangat berguna untuk evaluasi dan monitoring perubahan sirkulasi pembuluh darah penting di otak, seperti arteri serebri media (middle cerebral artery-MCA), arteri serebri anterior (anterior cerebral artery-ACA), arteri carotis interna (internal carotid artery-ICA) cabang terminalis, arteri cerebri posterior (posterior cerebral artery-PCA), arteri vertebralis dan arteri basilaris. Selain kecepatan aliran, pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk evaluasi perubahan diameter pembuluh darah. TCD digunakan untuk pemeriksaan penunjang diagnostik perdarahan subarachnoid, monitoring vasospasme dan deteksi peningkatan tekanan intrakranial (TIK), evaluasi hemodinamik cerebral pada kasus trauma kepala, serta sebagai alat bantu penentuan kasus kematian otak. Pada tindakan pembedahan saraf atau neurosurgery, TCD sangat berguna dalam deteksi dini adanya mikroemboli. Kata kunci: Neuroanesthesi, Transcranial Doppler, Vasospasme JNI 2017;6 (2): 124‒31 Transcranial Doppler Ultrasonography: Diagnosis and Monitoring non Invasive in Neuroanesth and Neurointensive Care Abstract Transcranial Doppler (TCD) is ultrasound examination which is already widely used in the field of neuroanesthesia and intensive care. In the field of neurology intensive care, TCD examination is very useful for the evaluation and monitoring of significant changes in the circulation of main cerebral blood vessels, such as the middle cerebral artery (MCA), anterior cerebral artery (ACA), terminal branches of internal carotid artery (ICA), posterior cerebral artery (PCA) , the vertebral artery and the basilar artery. In addition to the flow velocity, the examination can also be used to evaluate changes in the diameter of blood vessels. TCD is used for diagnostic investigation of subarachnoid hemorrhage, vasospasm monitoring and detection of elevated intracranial pressure (ICP), evaluation of cerebral hemodynamics changes in cases of head injury, as well as aids for determination of brain death cases. In neurosurgery, TCD is very useful in the early detection of microemboli . Key words: neuroanesthesia, transcranial doppler, vasospasm JNI 2017;6 (2): 124‒31 124 Transcranial Doppler Ultrasonography: Diagnosis dan Monitoring Non Invasif pada Neuroanesthesia dan Neurointesive Care I. Pendahuluan Prinsip Doppler pertama kali dikemukakan oleh Christian Johann Doppler, seorang ahli matematika, fisika dan astronomer. Transcranial Doppler ultrasonography (TCD) diperkenalkan tahun 1982 oleh Aaslid dan kawan-kawan sebagai tehnik non-invasif untuk monitoring kecepatan aliran darah (blood flow velocity-FV) pada arteri serebral basalis. Saat ini telah digunakan secara luas di bidang anestesi dan perawatan intensif, baik untuk penelitian maupun pelayanan medis.1 Pemeriksaan TCD merupakan suatu perangkat diagnostik yang dapat digunakan untuk menilai perubahan hemodinamik serebral. Pemeriksaan ini tidak invasif, dapat dilakukan secara serial dan memiliki mobilitas tinggi. Penggunaan TCD paling umum adalah pada kondisi stroke. TCD dapat memberikan informasi akurat kondisi oklusi, reperfusi, stenosis, dan vasospasme pada stroke. Transcranial Doppler juga dapat mendeteksi adanya vasopasme pasca perdarahan subarachnoid (subarachnoid hemorrhage-SAH) dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) setelah kejadian trauma kepala. Keunggulan lain TCD adalah mobilitasnya yang tinggi.2 Pada bidang perawatan intensif neurologi, TCD digunakan sebagai alat diagnosis dan monitoring vasopasme pada pasien dengan SAH dan juga dapat digunakan untuk mendeteksi peningkatan TIK. Hal tersebut penting untuk monitoring efektivitas respon terhadap CO2 dan kondisi autoregulasi otak, sehingga menjadi dasar bagi ahli perawatan intensif neurologi (neurointesivist) untuk mengoptimalisasi tekanan perfusi cerebral (cerebral perfusion pressure/CPP) dan manajemen terapi ventilator pada setiap pasien. Transcranial Doppler juga mampu mendeteksi kondisi kematian otak (brain death) dan penting sebagai alat penapis (screening) dalam kondisi tersebut. Penggunaan TCD semakin penting pada pasien dengan kondisi trauma neurologic yang mengancam jiwa (life threatening neurologic injury).3 II. Konsep Dasar Konsep dasar dari TCD adalah tehnik non invasif yang memungkinkan kita untuk mengevaluasi 125 kecepatan, arah dan sifat aliran darah di arteri serebral dengan menggunakan gelombang ultrasonik. Interpretasi hasil didasarkan pada perbedaan frekuensi suara yang diterima oleh penerima sinyal setelah gelombang tersebut dipantulkan oleh obyek tertentu. Transcranial Doppler menggunakan gelombang ultrasonik dengan frekuensi sekitar 2 MHz, gelombang tersebut melewati lapisan tulang tengkorak pada titik atau poin tertentu yang dikenal dengan window dan dipantulkan kembali oleh eritrosit yang bergerak didalam pembuluh darah. Dengan demikian terdapat perbedaan frekuensi antara sinyal yang ditransmisikan dengan sinyal yang diterima dan perbedaan ini, sebut “Doppler shift”, dapat dinyatakan oleh rumus:1,4 Doppler shift = 2 x Vf x Fsrc x cos(α)/V Dimana: Vf adalah kecepatan aliran pada pembuluh darah (velocity of blood flow), Fsrc adalah frekuensi dari sinyal yang ditransmisikan oleh sumber, V adalah kecepatan rambatan sinyal pada jaringan lunak (1540 m/s), α adalah sudut isonasi (sudut antara arah transmisi sinyal dari transduser dan arah aliran pembuluh darah). Mengingat frekuensi sinyal dari TCD dan kecepatan rambatan gelombang suara pada jaringan lunak adalah konstan maka nilai Doppler shift tergantung pada sudut isonasi dan kecepatan dari aliran pembuluh darah. Didalam pembuluh darah, eritrosit bergerak dengan kecepatan yang berbeda sehingga akan diperoleh sinyal dengan frekuensi yang berbeda pula sesuai pembuluh darah yang dilewati oleh eritrosit tersebut. Sinyal tersebut akan diterima oleh transduser dan diubah menjadi sinyal elektrik.4,5 Analisis spektrum digunakan untuk menyajikan data tiga dimensi dalam format dua dimensi, dimana perubahan frekuensi atau kecepatan diwakili oleh skala vertikal, waktu pada skala horizontal dan intensitas sinyal diwakili oleh kecerahan warna. Gambaran yang terbentuk berupa spektrum yang menyerupai bentuk amplop (spectral envelope) sesuai dengan sinyal maksimum yang diterima disepanjang siklus jantung.4 Parameter yang dievaluasi melalui TCD adalah velocity of flow - sistolik, diastolik dan timeaveraged mean values dapat dihitung dari bentuk gelombang flow velocity ( tetapi mean velocity 126 Jurnal Neuroanestesi Indonesia ini disampaikan oleh Gosling dan King dalam rumus perbandingan antara systolic velocity dan diastolic velocity dan mean flow velocity.4 PI = (FVs – FVd) / FV mean Gambar 1. Gambaran TCD dari spektrum kecepatan arteri serebri media (Vmca). Tiap bentuk gelombang menyerupai kerucut yang ditutup dengan garis tebal berwarna putih disisi luar mewakili nilai kecepatan maksimum dari masing-masing siklus jantung. Dikutip dari: Fodale 2007 Gambar 2. Penempatan probe pada 3 titik acoustic window . Dikutip dari: Mounzer 2007 adalah parameter indikator yang terbaik). Selain itu pulsality index (PI) digunakan untuk menilai resistensi pembuluh darah serebral, parameter Rasio tersebut memiliki nilai normal dengan rentang 0,85-1,10, nilai PI tidak tergantung dengan sudut insonasi tetapi beberapa faktor yang berpengaruh adalah tekanan arteri, compliance pembuluh darah dan PaCO2. Yang terakhir TCD dapat digunakan untuk menilai kemampuan autoregulasi dari pembuluh darah serebral dimana kemampuan tersebut dibutuhkan untuk mempertahahankan CBF yang konstan pada kondisi CPP yang berubah. Salah satu test untuk menilai hal tersebut adalah transient hyperemic response (THR), pertama kali diperkenalkan oleh Giller. THR dilakukan dengan cara menilai respon flow velocity dari middle cerebral artery (MCA) setelah kompresi sesaat pada arteri (carotis-carotis artery/CA). Tindakan ini akan meyebabkan penurunan FV dan CPP, jika autoregulasi intak maka akan terjadi vasodilatasi pada MCA dan peningkatan FV sementara pada saat kompresi dilepaskan. Jika autoregulasi tidak ada, maka FV akan tetap tanpa respon episode hiperemia.4 Tehnik pemeriksaan TCD sama dengan prinsip pemeriksaan ultrasonografi. Probe TCD diletakkan di tulang tengkorak yang memiliki “acoustic window” untuk menilai hemodinamik pada berbagai sirkulasi serebral. Window transtemporal digunakan untuk menilai hemodinamik di arteri serebri media (middle cerebral artery-MCA), arteri serebri anterior (anterior cerebral arteryACA), arteri carotis interna (internal carotid artery-ICA) cabang terminalis, dan arteri cerebri posterior (posterior cerebral artery-PCA). Window transorbital digunakan untuk menilai arah aliran dan kondisi hemodinamik di arteri oftalmika (ophthalmic artery-OA) dan arteri karotis interna (internal carotid artery-ICA). Window oksipital atau foramina memberikan informasi tentang kondisi sirkulasi posterior {arteri vertebralis (vertebral artery-VA) dan arteri basilaris (basilar artery-BA)}. Window Transcranial Doppler Ultrasonography: Diagnosis dan Monitoring Non Invasif pada Neuroanesthesia dan Neurointesive Care 127 Tabel 1. Nilai normal TCD Artery Window Depth (mm) Direction MCA Temporal 30 to 60 Toward probe ACA Temporal 60 to 85 Away Mean Flow Velocity 55 ± 12 cm/s 50 ± 11 cm/s PCA Temporal 60 to 70 Bidirectional 40 ± 10 cm/s TICA Temporal 55 to 65 Toward 39 ± 09 cm/s ICA (siphon) Orbital 60 to 80 Bidirectional 45 ± 15 cm/s OA Orbital 40 to 60 Toward 20 ± 10 cm/s VA Occipital 60 to 80 Away 38 ± 10 cm/s BA Occipital 80 to 110 Away 41 ± 10 cm/s TCD, transcranial Dopler; MCA, middle cerebral artery; ACA, Anterior cerebral artery; PCA, posterior cerebral artery, TICA, terminal internal crotid artery; ICA, internal carotid artery; OA, ophtalmic artery; VR, vertebral artery;BA, basilar artery Dikutip dari: Mounzer 2007 submandibular untuk ekstracranial ICA.2 III. Indikasi TCD Pemeriksaan TCD telah digunakan secara luas baik pada dewasa maupun anak-anak. Beberapa indikasi pemeriksaan TCD yang direkomendasikan oleh American Institute of Ultrasound Medicine bekerja sama dengan American College of Radiology (ACR), the Society for Pediatric Radiology (SPR), dan the Society of Radiologists in Ultrasound (SRU) adalah:6 1) deteksi dan follow-up stenosis atau oklusi pada arteri-arteri besar intrakranial di sirkulus Willis dan sistim vertebrobasiler, termasuk monitoring terapi trombolitik dan pasien stroke akut, 2) Deteksi vaskulopati serebral, 3) deteksi dan monitoring vasospasme pada pasien dengan SAH spontan atau traumatik, 4) evaluasi jalur-jalur kolateral dari aliran darah intrakranial, termasuk setelah tindakan intervensi, 5) deteksi mikroemboli sirkulasi cerebral, 6) deteksi right-to-left shunts, 7) penilaian reaktivitas vasomotor cerebral, 8) sebagai pemeriksaan tambahan untuk konfirmasi diagnosis klinis kematian otak, 9) monitoring embolisasi cerebral, thrombosis, hipoperfusi, dan hiperperfusi intraopertif dan periprosedural, 10) evaluasi risiko stroke pada sickle cell disease, 11) penilaian malformasi arteriovenosa, 12) deteksi dan follow-up aneurisma intracranial, 13) evaluasi positional vertigo dan syncope, 14) penilaian tekanan intrakranial dan hidrosefalus, 15) penilaian ensefalopati iskemik hipoksik, 16) penilaian patensi sinus venosus dura. IV. Penggunaan TCD pada Perawatan Intensif Neurologi (Neuro Intensive Care) Perdarahan Subarachnoid (SAH) dan Vasospasme Transcranial Doppler pada kasus perdarahan subarachnoid (subarachnoid haemorrhageSAH) digunakan untuk mengetahui perubahan diameter pembuluh darah dan perubahan aliran darah. Pada kasus dimana kecepatan aliran tidak berubah, pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengetahui perubahan diameter pembuluh darah yang dapat menyebabkan penurunan aliran darah.1 Vasospasme serebral merupakan proses vasokonstriksi dari pembuluh darah yang diakibatkan adanya kontak antara dinding pembuluh darah dan produk darah setelah terjadinya SAH. Vasospasme arteri cerebral yang terjadi sekitar 50% pasien dengan SAH akibat pecahnya aneurisma. Vasospasme umumnya mulai terjadi pada 3 hari setelah kejadian SAH, puncaknya pada hari ke 6 sampai 8. Sekitar seperempat dari pasien akan mengalami defisit neurologis pada hari ke 14 akibat dari vasospasme yang terjadi. Kejadian vasospasme meningkatkan mortalitas pasien SAH. Penyebab terjadinya SAH sebagian besar karena pecahnya aneurisma pembuluh darah otak. Penyebab lain 128 Jurnal Neuroanestesi Indonesia Tabel 2. Kriteria Vasospasme berdasarkan hasil pengukuran FV MCA dengan TCD Severity of MFV Vasospasm cm/s Value MCA/ICA Ratio Normal <85 <3 <120 <3 Mild 120 to 150 3 to 5.9 Moderate 151 to 200 >6 Severe >200 >6 Critical TCD, transcranial Doppler;MFV Value, mean flow velocity;MCA, middle cerbral artery; ICA, internal carotid artery Dikutip dari: Mounzer 2007 adalah trauma dan iatrogenik karena tindakan neurologis. Frekuensi kejadian vasopasme pada pecahnya aneurisma otak diatas 40% dan 15% sampai 20% berisiko stroke maupun kematian.3,7 Kejadian vasospasme ini pertama kali dikemukakan oleh Eckerd dan Riemenschneider melalui gambaran angiografi. Pemeriksaan angiografi serebral merupakan baku emas (gold standard) untuk diagnosis vasospasme. Tetapi prosedur angiografi adalah prosedur invasif dengan resiko emboli serebral, sobeknya pembuluh darah ataupun pecahnya aneurisma. Apalagi jika kondisi pasien tidak dapat dilakukan mobilisasi karena dalam ventilator dan kondisi buruk. Sejak 20 tahun yang lalu, TCD mulai digunakan sebagai alat diagnostik untuk kejadian vasopasme serebral. Dasar diagnosis kejadian vasospasme adalah kecepatan aliran darah pada arteri berbanding terbalik dengan besarnya diameter lumen. Transcranial Doppler dapat menjadi alat penapis bahkan dapat dikatakan mampu menggantikan angiografi. 2,3,7 Pada tingkat yang paling mendasar, data TCD dapat dijadikan dasar analisis kecepatan aliran darah, dengan nilai cut-off untuk mendiagnosis vasospasme sekitar 120–140 cm s-1. Jika nilai ini digunakan, hasil TCD dari arteri cerebri media memiliki nilai spesifisitas yang tinggi (85–100%) tapi sensitivitasnya rendah (59–94%) dibandingkan angiografi (misal, jika diagnosis vasospasme berdasarkan pemeriksaan TCD, maka kemungkinan benar, tapi hasil negatif tidak dapat menyingkirkan adanya vasospasme). Kecepatan aliran darah arteri cerebri media yang tinggi (>200 cm s-1) berhubungan dengan buruknya derajat SAH yang terlihat dari hasil pemeriksaan CT-Scan dan dapat berpengaruh pada prognosis yang buruk. Namun, hasil pemeriksaan negatif palsu bisa terjadi. Perdarahan subarachnoid yang berat berhubungan dengan rendahnya aliran darah cerebral dan rendahnya kecepatan aliran darah arteri cerebri media. Kecepatan aliran darah arteri cerebri media yang sangat tinggi tidak dapat terukur. Lesi yang terletak di proksimal (misal pada arteri carotis interna) dapat mengaburkan gambaran klinis vasospasme distal.2,3,7 Indeks Lindegaard (FV MCA/FV ICA) digunakan untuk memprediksi vasospasme. Rasio kurang dari 3 jarang ditemukan pada pasien dengan vasospasme, dan rasio lebih dari 6 dapat digunakan untuk membedakan vasospasme arteri cerebri media yang sedang dan berat. Sensitivitas dan spesifisitas hampir sama dengan pengukuran kecepatan aliran darah arteri cerebri media sendiri.3 Pengulangan pemeriksaan pada semua pembuluh darah yang dapat dilakukan dapat memperbaiki sensitivitas dan meningkatkan kemampuan deteksi dini terjadinya vasospasme. Peningkatan kecepatan aliran darah yang cepat (>65 cm s-1 selama 24 jam) berhubungan dengan prognosis yang buruk, dan direkomendasikan sebagai indikasi awal pemberian terapi hemodilusi, hipertensi dan hiperventilasi (terapi triple “H”).1 Pemeriksaan TCD pada kasus SAH dimulai pada hari ke 2 atau hari ke 3 setelah onset. Pada pustaka yang lain dituliskan sebaiknya dilakukan sedini mungkin bahkan jika memungkinkan hari ke 0 setelah onset. Pemeriksaan dilakukan pada seluruh arteri serebralis bagian proksimal, data tersebut dijadikan data dasar untuk pemeriksaan selanjutnya. Monitoring dilanjutkan setiap hari atau berdasarkan pertimbangan khusus. Untuk interval pemeriksaan dimulai hari ke 4 sampai 14 pasca onset SAH, ada juga yang merekomendasikan hari ke 3 sampai hari ke 10. Akurasi dari pemeriksaan TCD dalam mendiagnosis kejadian vasopasme serebral, Transcranial Doppler Ultrasonography: Diagnosis dan Monitoring Non Invasif pada Neuroanesthesia dan Neurointesive Care dapat ditingkatkan dengan memperhitungkan variabel index Lindegaard, yaitu menghitung perbandingan MFV antara MCA, ACA dan ICA ipsilateral (VMCA/VICA atau VACA/VICA).3,5 B. Traumatic Brain Injury (TBI): Tekanan Intrakranial (TIK) dan Tekanan Perfusi Serebral (Cerebral Perfusion Presssure-CPP) Pengukuran dan manajemen dari perubahan TIK dan CPP direkomendasikan dalam penatalaksanaan kasus TBI. Pada umumnya pengukuran TIK memerlukan tindakan invasif berupa pemasangan monitor TIK. Tindakan tersebut mempunyai risiko infeksi, perdarahan, malfungsi, obstruksi, dan malposisi. Sehingga TCD mempunyai tempat sebagai monitoring non invasif dari TIK dan CPP. Beberapa cara dikembangkan untuk mencari hubungan antara variabel TCD dengan TIK dan CPP. Chan dkk, meneliti pada 41 kasus cedera kepala berat menyimpulkan ada hubungan antara peningkatan TIK, penurunan CPP dan penurunan kecepatan aliran pembuluh darah otak. Pertama kali variabel yang mengalami perubahan adalah kecepatan aliran pada fase diastolik. Pada nilai CPP < 70 mmHg terjadi peningkatan progesif TCD pulsality index (pulsality index = (peak systolic velocity – end diastolic velocity/time mean velocity) (r = -.942, p < 0.0001). Hal ini terjadi pada kondisi peningkatan TIK karena penurunan CPP dan penurunan dari tekanan darah. Klingelhofer dkk, dalam penelitiannya menunjukkan peningkatan TIK dicerminkan oleh perubahan dari Pourcelot index (peak velocity – end diastolic velocity/ peak systolic velocity) dan mean flow velocity (MFV). Pada penelitian yang sama, didapatkan juga adanya korelasi antara TIK dan nilai (MAP X Pourcelot index/MFV) pada 13 pasien subyek penelitian (r = 0.873; p <0.001 ). Homburg dkk menemukan pulsality index berubah 2.4% per 1 mmHg TIK.3 Penilaian Respon CO2 dan Autoregulasi Otak Transcranial Doppler dapat digunakan sebagai alat untuk menilai respon otak terhadap CO2 dan kemampuan autoregulasinya. Perubahan kecepatan MCAberkorelasi kuat dengan perubahan aliran darah serebral (cerebral blood flow/CBF). Kegagalan otak dalam merespon perubahan CO2 129 dan autoregulasi akan mengakibatkan prognosis neurologis yang jelek pada pasien cedera kepala.3 Kematian Otak (Brain Death) Hasil pemeriksaan TCD dapat membantu penegakkan diagnosis kematian otak meliputi: 1) aliran sistolik yang singkat atau lonjakan (spike) sistolik dan aliran balik diastolik, 2) aliran sistolik yang singkat atau lonjakan (spike) sistolik dan tidak ada aliran diastolik, atau 3) tidak ada aliran yang nampak, dimana pada pemeriksaan TCD sebelumnya didapatkan adanya aliran. Baru-baru ini De Frietas dan Andre melakukan telaah terhadap 16 penelitian yang menggunakan TCD untuk mengevaluasi diagnosis klinis kematian otak. Dihasilkan kesimpulan nilai sensitivitas TCD sebesar 88% dengan spesifisitas 98% dan nilai negatif palsu sebesar 7%. Validitas pemeriksaan TCD dalam mendiagnosis kematian otak tergantung dari waktu antara terjadinya mati otak dengan pemeriksaan TCD dilakukan, pemeriksaan TCD ulangan dapat dilakukan jika diperlukan. Efikasi TCD dalam mendeteksi cerebral circulatory arrest untuk konfirmasi penentuan kematian otak pada literatur dituliskan klasifikasi evidens kelas II dan rekomendasi kuat tipe B.1,9 V. Penggunaan TCD Dalam Pembedahan Otak (Neurosurgery) Transcranial Doppler banyak berguna pada beberapa kasus pembedahan otak dan neuroanestesi. Pemeriksaan TCD dapat mendeteksi dengan baik adanya emboli mikro, yang dapat berpengaruh pada tindakan pembedahan maupun anestesi. Kecepatan aliran darah pasca pembedahan juga dapat dievaluasi dengan TCD, sehingga manajemen hemodinamik pasca pembedahan vaskuler dapat dilakukan dengan tepat. Beberapa tindakan pembedahan tumor dan aneurisma diperlukan tindakan pemotongan atau oklusi sementara arteri carotis interna. Adanya respon perubahan kecepatan aliran darah MCA pada tindakan oklusi manual arteri carotis merupakan prediktor toleransi yang baik pada tindakan pemotongan atau oklusi.1,8,10 130 Jurnal Neuroanestesi Indonesia VI. Kelebihan dan Keterbatasan TCD Transcranial Doppler merupakan modalitas pemeriksaan yang relatif murah, tidak invasive, praktis dan cukup mudah digunakan. Pemeriksaan ini memungkinkan untuk dilakukan beruang-ulang dan dapat digunakan untuk monitoring secara terus-menerus. Deteksi perubahan hemodinamik pembuluh darah otak dapat dilakukan seketika atau segera. Pada pusat kesehatan yang tidak memiliki alat diagnotik canggih seperti MRI atau bahakan tidak memiliki sorang spesialis saraf, pemerikaan TCD memungkinkan penentuan apakah pasien harus segera dirujuk ke pusat kesehatan yang spesialistik untuk evaluasi dan penanganan lebih lanjut. Selain itu, pada pasien yang menolak tindakan intervensi, TCD dapat menjadi pemeriksaan yang baik untuk monitoring identifikasi lesi dan evaluasi efektivitas pengobatan.5 Transcranial Doppler merupakan pilihan modalitas diagnostik kelainan pembuluh darah intracranial yang merupakan kontraindikasi pemeriksaan radiografik lainnya. Pemeriksaan TCD merupakan blind procedure, akurasi data hasil pemeriksaan tergantung pada pengetahuan dan pengalaman dari teknisi yang terlatih dan interpreter. Pemeriksaan ini memiliki keterbatasan dalam mendeteksi dan evaluasi cabang distal dari pembuluh darah intracranial. Pada 5–10% kasus, penetrasi yang cukup dari window tulang tidak dapat dicapai untuk mendapatkan paparan gelombang ultrasonik yang memadai.5 VII. Simpulan Pemeriksaan TCD memiliki banyak keunggulan dibandingkan pemeriksaan yang lainnya. Pemeriksaan TCD non invasif, mempunyai mobilitas yang tinggi dan dapat digunakan pada semua kondisi. Analisa terhadap hemodinamik serebral penting sekali untuk mendeteksi dini kejadian vasospasme pada kasus SAH, sehingga dapat menurunkan angka mortalitas kasus tersebut. Penentuan nilai CPP dan ICP digunakan pada kasus-kasus cedera kepala. TCD juga dapat digunakan sebagai alat bantu penentuan kematian batang otak. Dalam kasus neurosurgery, TCD juga dapat digunakan sebagai alat monitoring dan diagnostik kejadian thrombus dan emboli, penilaian FV pada CEA dan monitoring hemodinamik serebral paska pembedahan. Masih banyak pengembangan yang dilakukan untuk memaksimalkan penggunaan TCD dalam neuroanesthesia dan neurointensive care, maka penting bagi setiap neurointensivist untuk mempelajari dan memahami penggunaan TCD. Daftar Pustaka 1. Moppett IK, Mahajan RP. Transcranial doppler ultrasonography in anaesthesia and intensive care. Br. J Anaesth 2004; 93(5): 710-24. 2. Pinzon R. Transcranial Doppler untuk deteksi perubahan hemodinamik serebral pada stroke akut. CDK 2011;38(4): 253-56. 3. Saqqur M, Zygun D, Demchuk A. Role of trenscranial doppler in neurocritical care. Crit Care Med 2007; 35(5); 216-23. 4. Fodale V, Schifilliti D, Conti A, Lucanto T, Pino G, Santamaria B. Transcranial doppler and anesthetics. Acta Anaesthesiol Scand 2007; 51: 839-47. 5. Mounzer Y. Transcranial doppler: An introduction for primary care physicians. J Am Board Fam Med 2007; 20: 65-71. 6. Anonymuos. Transcranial doppler ultrasound examination for adult and children. AIUM Practice Guideline 2012. (www.aium.org) 7. Nakae R, Yokota H, Yoshida D, Teramoto A. Transcranial doppler ultrasonography for diagnosis cerebral vasospasme after aneurysmal SAH: Mean blood flow velocity ratio of ipsilateral and contralateral MCA. Neurosurgery 2011; 69(4): 876-83 8. Sloan MA. Assessment: Transcranial doppler ultrasonography. Neurology 2004; 62: 146881. Transcranial Doppler Ultrasonography: Diagnosis dan Monitoring Non Invasif pada Neuroanesthesia dan Neurointesive Care 9. Andrei V. Practice Standards for Transcranial doppler (TCD) ultrasound. J Neuroimaging 2012; 22: 215–24. 10. Pong RP, Lam AM. Anesthetic management 131 of cerebral aneurysm surgery. Dalam: Cottrel JE, Young W, eds. Cottrel and Young’s Neuroanesthesia.Edisi 5. USA: Mosby Inc; 2010:13: 218–4 Indeks Penulis B Bona Akhmad Fithrah, 114 Buyung Hartiyo Laksono, 124 K Kenanga Marwan S, 48 D Dewi Yulianti Bisri, 70, 93, 101 Muhammad Erias, 75 M F Fitri Sepviyanti Sumardi, 85 R Riyadh Firdaus, 101 Ruli herman, 75 H Hermin Aminah Usman, 70 Himendra Wargahadibrata, 93, 101 S Siti Chasnak Saleh, 93, 101 Sri Rahardjo, 85, 114 I Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan, 93 Iwan Fuadi, 85, 114 T Tatang Bisri, 75, 85, 114 Indeks Subjek A Awake craniotomy, 101 B Bedah syaraf minimal invasif, 114 C Cedera Otak, 70 Cedera Kepala Berat, 75 D Dexmedetomidine, 101 Deep brain stimulation, 114 H Hipoksemia, 70 Hipotensi, 70 Hipotermi, 75 I Insidensi, 70 Interleukin-6, 75 IoC, 85 M Mikrovaskular dekompresi, 85 Metamizol, 75 P Penatalaksanaan anestesi pada fossa posterior, 93 Propofol, 101 S Scalp block, 101 T Tata laksana anestesi, 114 TIVA, 85 Tumor Batang Otak, 93 Pedoman Bagi Penulis 1. Ketentuan Umum Redaksi majalah Jurnal Neuroanestesia Indonesia menerima tulisan Neurosains dalam bentuk Laporan Penelitian, Laporan Kasus, Tinjauan Pustaka, serta surat ke editor. Naskah yang dipertimbangkan dapat dimuat adalah naskah lengkap yang belum dipublikasikan dalam majalah nasional lainnya. Naskah yang telah dimuat dalam proceeding pertemuan ilmiah masih dapat diterima asalkan mendapat izin tertulis dari panitia penyelenggara. 2. Judul Bahasa Indonesia tidak melebihi 12 kata, judul bahasa Inggris tidak melebihi10 kata. 3. Abstrak Ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia serta tidak boleh lebih dari 250 kata. Abstrak Penelitian: Terdiri dari IMRAD (Introduction, Method, Result, and Discussion). Dalam introduction mengandung latar belakang dan tujuan penelitian. Dalam Discussion diakhiri oleh Simpulan. Contoh Penulisan Abstrak Penelitian: Latar Belakang dan Tujuan: Disfungsi kognitif pascaoperasi (DKPO) sering terjadi dan menjadi masalah serius karena dapat menurunkan kualitas hidup pasien yang menjalani pembedahan dan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian DKPO pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo dan menganalisa faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Subjek dan Metode: Penelitian ini melibatkan 50 orang sampel berusia 40 tahun atau lebih yang menjalani pembedahan lebih dari dua jam. Dilakukan serangkaian pemeriksaan fungsi kognitif praoperasi dan tujuh hari pascaoperasi. Domain kognitif yang diukur adalah atensi dan memori. Faktor yang diduga mempengaruhi kejadian DKPO dalam penelitian ini adalah usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi. Hasil: Tujuh hari pascaoperasi 30% sampel mengalami gangguan atensi, 36% sampel mengalami gangguan memori dan 52% sampel mengalami disfungsi kognitif pascaoperasi. Pemeriksaan kognitif yang mengalami penurunan bermakna adalah digit repetition test, immediate recall, dan paired associate learning. Analisa logistik regresi variabel usia (p=0,798), tingkat pendidikan (p=0,921) dan durasi operasi (p=0,811) terhadap kejadian DKPO menunjukkan hubungan yang tidak bermakna. Namun bila dianalisa pada masing masing kelompok usia tampak bahwa persentase pasien yang mengalami DKPO konsisten lebih tinggi pada usia ≥50 tahun, tingkat pendidikan ≤6 tahun dan durasi operasi ≥180 menit Simpulan: Kejadian disfungsi kognitif pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo cukup tinggi. Faktor usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi tampaknya mempengaruhi kejadian DKPO meskipun secara statistik tidak signifikan. Kata kunci: anestesi umum, atensi, kognitif pascaoperasi, memori Abstrak Laporan Kasus: Terdiri dari Pendahuluan, Kasus, Pembahasan, simpulan Contoh Penulisan Abstrak Laporan Kasus: Abstrack Meningoencephaloceles are very rare congenital malformations in the world that have a high incidence in the population of Southeast Asia, include in Indonesia. Children with anterior meningoencephaloceles should have surgical correction as early as possible because of the facial dysmorphia, impairment of binocular vision, increasing size of the meningoencephalocele caused by increasing brainprolapse, and risk of infection of the central nervous system. In the report, we presented a case of a 9 monthsold baby girl with naso-frontal encephalocele and hydrocepahalus non communicant, posted for VP shunt (ventriculo-peritoneal shunt) and cele excision. Becaused of the mass, nasofrontal or frontoethmoidal and occipital meningoencephalocele leads the anaesthetist to problems since the anaesthesia during the operation until post operative care. Anaesthetic challenges in management of meningoencephalocele, which most of the patients are children, include securing the airway with intubation with the mass in nasofrontal or nasoethmoidal with its associated complications and accurate assessment of blood loss and prevention of hypothermia pengelolaan hemodinamik dan jantung, 2) jalan nafas dan ventilasi, 3) evaluasi fungsi neurologik dan kebutuhan pemantauan tekanan intrakranial atau drainase ventrikel atau keduanya. Key words: Anaesthesia, difficult ventilation, difficult intubation, naso-frontal, meningoencephalocele, padiatrics Contoh cara penulisannya: Abstrak Tinjauan Pustaka: Terdiri dari Pendahuluan, Isi, dan Simpulan Abstrak Stroke hemoragik merupakan penyakit yang mengerikan dan hanya 30% pasien bertahan hidup dalam 6 bulan setelah kejadian. Penyebab umum dari perdarahan intrakranial adalah subarachnoid haemorrhage (SAH) dari aneurisma, perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM), atau perdarahan intraserebral. Perdarahan intraserebral sering dihubungkan dengan hipertensi, terapi antikoagulan atau koagulopati lainnya, kecanduan obat dan alcohol, neoplasma, atau angiopati amyloid. Mortalitas dalam 30 hari sebesar 50%. Outcome untuk stroke hemoragik lebih buruk bila dibandingkan dengan stroke iskemik dimana mortalitas hanya sekitar 10-30%. Stroke hemoragik khas dengan danya sakit kepala, mual muntah, kejang dan defisit neurologic fokal yang lebih besar. Hematoma dapat menyebabkan letargi, stupor dan koma. Disfungsi neurologik dapat terjadi dari rentang sakit kepala sampai koma. Pengelolaan dini difokuskan pada: 1) Kata kunci: perdarahan intrakranial, stroke perdarahan Diakhir abstrak dibuat kata kunci yang ditulis berurutan secara alphabet, 3–5 buah. 4. Cara Penulisan Makalah Penulisan Daftar Pustaka: • Nomor Kepustakaan berdasarkan urutan datang” di dalam teks, Vancouver style. Jumlah kepustakaan minimal 8 dan maksimal 20 buah. • Dari Jurnal: 1. Powers WJ. Intracerebral haemorrhage and head trauma. Common effect and common mechanism of injury. Stroke 2010;41(suppl 1):S107–S110. 2. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick JP, Batjer HH, Hondo H, Hanley DF. Spontaneus intracerebral haemorrhage. N Engl J Med 2001,344(19):1450–58. Dari Buku: 1. Ryan S, Kopelnik A, Zaroff J. Intracranial hemorrhage: Intensive care management. Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials of Neuroanesthesia and Neurointensive Care. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008, 229– 36. 2. Rost N, Rosand J. Intracerebral Hemorrhage. Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical Care. New York: Cambridge University Press;2010,143–56. Materi Elektronik Artikel Jurnal dalam Format Elektronik Lipton B, Fosha D. Attachment as a transformative process in AEDP: operationalizing the intersection of Penanggungjawab, pemimpin, dan segenap redaksi Jurnal Neuroanestesi Indonesia menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih yang tulus kepada mitra bebestari: Prof. Siti Chasnak Saleh, dr., SpAnKIC,KNA (Universitas Airlangga ‒ Surabaya) Dr. M. Sofyan Harahap, dr., SpAnKNA (Universitas Diponegoro ‒ Semarang) Dr. Bambang J. Oetoro, dr., SpAnKNA (Universitas Atmajaya Khatolik‒ Jakarta) Dr. I Putu Pramana Suarjaya, dr., SpAnKMN, KNA (Universitas Udayana – Denpasar) Dr. M.M. Rudi Prihatno, dr., SpAnKNA, M.Si (Universitas Jenderal Soedirman – Purwokerto) Dr. Rose Mafiana, dr., SpAnKNA (Universitas Sriwijaya – Palembang) Atas kerjasama yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal Neuroanestesi Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan lebih baik untuk masa yang akan datang Redaksi FORMULIR PESANAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama Lengkap : ………………………………………………………………... Alamat Rumah : ………………………………………………………………... ………………………………………………………………... ……………….. Kode pos…………………………................. Telepon …………………………Faks …………………......... HP ………………………………E-mail…………................... Alamat Praktik : ………………………………………………………………... Telepon …………………………Faks ………………............. Alamat Kantor : ………………………………………………………................ ……………………….. Kode pos…………………………….. Telepon …………………………Faks ……………………...... Mulai berlangganan : ………………………………. s.d ……………………………... Saya bermaksud untuk berlangganan JNI secara teratur dengan mengirimkan biaya berlangganan sebesar Rp. 250.000,00 per tahun** Pembayaran melalui : □ Langsung ke Sekretariat Redaksi Jl. Prof. Dr. Eijkman No. 38 – Bandung 40161 Mobile : 087722631615 JNI dikirimkan ke* : □ □ □ Alamat Rumah Alamat praktik Alamat Kantor Bandung, ………………………………… Hormat Saya ( * pilih salah satu ** foto kopi bukti transfer mohon segera dikirimkan/faks ke Sekretariat Redaksi *** termasuk ongkos kirim untuk wilayah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten )