III. HASIL DAN PEMBAHASAN bc aaaaada ab cd

advertisement
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Sintasan
Sintasan atau kelangsungan hidup merupakan persentase udang yang hidup
pada akhir pemanenan terhadap jumlah ikan saat ditebar . Sintasan merupakan
parameter utama dalam penelitian ini. Sintasan diamati sebelum dan setelah uji
tantang menggunakan virus IMNV. Nilai sintasan pada masing-masing perlakuan
disajikan pada Gambar 2.
100
90
80
Sintasan (%)
70
60
K-
50
K+
40
A
30
B
20
C
10
0
a a
a a
a
d a ab bc cd
Sebelum uji tantang
Setelah uji tantang
Perlakuan
Keterangan :
* Huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
** K- (kontrol negatif), K+ (kontrol positif ), A (probiotik 0,5% dan prebiotik 1%), B (probiotik 1%
dan prebiotik 2%), C (probiotik 2% dan prebiotik 4%).
Gambar 2. Sintasan udang vaname sebelum dan setelah uji tantang dengan IMNV.
Hasil uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan menunjukan bahwa tidak
ada perbedaan yang nyata antar perlakuan sebelum infeksi IMNV dengan nilai
sintasan sebesar 100% pada semua perlakuan (p>0,05; Lampiran 2), namun
infeksi IMNV melalui oral memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap
perlakuan (p<0,05; Lampiran 3). Setelah infeksi, uji statistik menunjukkan bahwa
perlakuan C menghasilkan sintasan yang tinggi yaitu 80% dan tidak berbeda nyata
dengan perlakuan A, B, dan K-, namun berbeda nyata dengan perlakuan K+
(p<0,05; Lampiran 2).
Dosis yang ditambahkan pada perlakuan B dan C diduga mampu
meningkatkan respon imun sehingga memiliki sintasan yang berbeda nyata
11
dengan kontrol positif. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Widagdo (2011)
yang menunjukkan bahwa penambahan probiotik SKT-b 1% dan prebiotik 2%
memberikan kelangsungan hidup udang vaname sebesar 83,33% setelah diinfeksi
V. harveyi sedangkan kontrol positif hanya mencapai 31,67%. Hasil penelitian
Li et al. (2009) juga menunjukkan bahwa penambahan probiotik Bacillus OJ (PB)
dengan konsentrasi 108 CFU/g pakan dan 0,2% isomaltooligosaccharides (IMO)
dapat meningkatkan resistensi udang terhadap penyakit dengan meningkatkan
respons imun udang.
3.2
Laju Pertumbuhan Harian
Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran baik bobot maupun panjang
dalam suatu periode atau waktu tertentu (Effendie 1997). Hasil yang disajikan
pada Gambar 3 menunjukkan bahwa pemberian sinbiotik melalui pakan
memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap laju pertumbuhan harian
udang vaname (p<0,05; Lampiran 4). Secara statistik, perlakuan B dan C
(7,52-7,59%) tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan perlakuan K-,
K+, dan A (6,73-6,96%).
7,52
7,59
a
b
b
A
Perlakuan
B
C
Laju Pertumbuhan Harian (%)
8,00
7,00
6,73
6,84
6,96
a
a
K-
K+
6,00
5,00
4,00
3,00
2,00
1,00
,00
Keterangan :
* Huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
** K- (kontrol negatif), K+ (kontrol positif ), A (probiotik 0,5% dan prebiotik 1%), B (probiotik 1%
dan prebiotik 2%), C (probiotik 2% dan prebiotik 4%).
Gambar 3. Laju pertumbuhan harian udang vaname sebelum uji tantang dengan
IMNV.
12
Dosis pemberian sinbiotik pada perlakuan B lebih rendah dibandingkan
perlakuan C, namum laju pertumbuhan udang vaname pada kedua perlakuan
tersebut tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan dugaan bahwa dosis tersebut
telah mampu meningkatkan mikroflora normal dan mampu memperpanjang
kolonisasi bakteri probiotik di dalam usus sehingga pakan dapat dimanfaatkan
dengan baik untuk pertumbuhan dengan menghasilkan enzim pencernaan. Wang
(2007) menyatakan bahwa pemberian probiotik pada udang vaname sebanyak
1% memiliki pertumbuhan dan aktivitas enzim pencernaan yang lebih baik
dibandingkan dengan kontrol. Hasil penelitian Li et al. (2005) juga menunjukan
bahwa prebiotik GrobiotikR–A 2% menghasilkan pertumbuhan, efisiensi pakan
dan proteksi terhadap infeksi Mycobacterium marinum yang terbaik dibandingkan
dengan perlakuan lainnya. Pendapat tersebut diperkuat oleh Widagdo (2011) yang
menyatakan bahwa peningkatan bobot udang vaname pada perlakuan pakan yang
ditambahkan probiotik sebanyak 1%, prebiotik sebanyak 2%, dan sinbiotik
(probiotik sebanyak 1% dan prebiotik sebanyak 2%) cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol.
3.3
Rasio Konversi Pakan
Konversi pakan merupakan suatu ukuran yang menyatakan rasio jumlah
pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 kg daging (Effendi 2004). Konversi
pakan dapat digunakan untuk mengetahui kualitas pakan yang diberikan terhadap
pertumbuhan udang. Jumlah pakan yang efektif diketahui dari konversi pakan
yang rendah. Semakin kecil nilai konversi pakan maka semakin efektif pakan
yang diberikan. Hasil pengamatan yang dapat dilihat pada Gambar 4
menunjukkan bahwa pemberian sinbiotik melalui pakan memiliki pengaruh yang
berbeda nyata terhadap konversi pakan udang vaname (p<0,05; Lampiran 5).
Perlakuan B dan C (1,64-1,65) memiliki laju pertumbuhan yang lebih baik
dibandingkan perlakuan lainnya. Secara statistik, perlakuan A tidak berbeda nyata
dengan perlakuan lainnya, sedangkan perlakuan B dan C tidak berbeda nyata,
namun berbeda nyata dengan perlakuan K- dan K+.
13
Rasio Konversi Pakan
2,0
1,88
1,87
1,76
1,65
1,64
1,5
1,0
0,5
a
a
ab
b
b
K-
K+
A
Perlakuan
B
C
0,0
Keterangan :
* Huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
** K- (kontrol negatif), K+ (kontrol positif ), A (probiotik 0,5% dan prebiotik 1%), B (probiotik 1%
dan prebiotik 2%), C (probiotik 2% dan prebiotik 4%).
Gambar 4. Rasio konversi pakan udang vaname sebelum uji tantang dengan
IMNV.
Gambar 4 menunjukkan pakan yang ditambahkan sinbiotik pada perlakuan
B dan C mampu dicerna lebih efektif. Menurut Widagdo (2011), probiotik SKT-b
merupakan bakteri yang mampu menghasilkan enzim amilase dan protease yang
ditandai dengan pembentukan zona bening pada uji aktivitas amilolitik dan
proteolitik. Kedua enzim tersebut berperan dalam kecernaan pakan. Enzim
amilase memiliki fungsi dalam perombakan amilum menjadi maltosa dan glukosa
sedangkan enzim protease berperan dalam perombakan protein menjadi asam
amino. Sehingga, dosis sinbiotik pada perlakuan B dan C diduga dapat
meningkatkan kecernaan pakan melalui peningkatan enzim pencernaan.
3.4
Gejala Klinis
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa udang yang terinfeksi IMNV
memiliki gejala-gejala seperti timbulnya otot putih di ruas permukaan tubuh, usus
udang tidak terisi penuh, serta ketika udang mengalami kematian maka seluruh
ruas tubuhnya terlihat putih (Gambar 5). Menurut Tang et al. (2005), organ target
penyakit IMNV adalah otot dan organ limfoid. Timbulnya otot putih disebabkan
oleh rusaknya jaringan otot. Usus yang tidak terisi penuh diduga akibat udang
stres ketika diinfeksi virus IMNV sehingga nafsu makan menurun.
14
A
C
D
B
D
Gambar 5. Gejala klinis udang yang terinfeksi IMNV (udang normal (A), otot
putih pada ruas tubuh (B), usus udang yang tidak terisi penuh (C),
udang mati akibat terinfeksi IMNV(D))
Udang yang terinfeksi IMNV menularkan penyakit infectious myonecrosis
dengan gejala klinis yang utama adalah hilangnya transparansi atau opacity
jaringan perut, disebabkan oleh nekrosis di otot skeletal. Pada tahap yang lebih
parah, perut lesi yang keputihan beralih menjedi kemerahan akibat nekrosis otot
yang luas (Nunes et al. 2004; Tang et al. 2005.). Secara histologi, lesi ditandai
dengan nekrosis otot coagulative, hemocytic infiltrasi dan fibrosis (Tang et al.
2005; Andrade et al. 2008). Gejala-gejala ini disertai dengan tingkat kematian
harian persisten setelah udang mencapai 7 g dan setelah 120 hari, mortalitas
kumulatif dapat mencapai 70% (Nunes et al. 2004).
3.5 Total Hemosit
Hemosit krustase dan invertebrata lain memiliki peranan penting dalam
sistem pertahanan tubuh terhadap patogen seperti virus, bakteri, fungi, protozoa,
dan metazoa melalui tahap-tahap pengenalan, fagositosis, melanisasi, sitotoksis,
dan komunikasi sel (Johansson et al. 2000; Rodriguez dan Le Muollac 2000).
Hemosit juga berperan dalam sintesa dan pelepasan molekul penting hemolim
seperti α2-macroglobulin (α2M), aglutinin, dan peptida antibakteri (Rodriguez dan
Le Moullac 2000).
15
Uji statistik menunjukkan bahwa infeksi IMNV melalui oral memberikan
pengaruh berbeda nyata pada total hemosit udang vaname (p<0,05; Lampiran 6).
Gambar 6 menunjukkan bahwa perlakuan sinbiotik A, B, dan C memiliki total
hemosit yang lebih tinggi ((1,13-3,76)x107 sel/ml ) dibandingkan dengan K+
(0,73x107 sel/ml). Hal tersebut mengindikasikan perlakuan sinbiotik memberikan
pengaruh yang lebih baik dibanding kontrol positif. Semakin tinggi total hemosit
maka semakin tinggi pula peluang sel-sel yang melakukan fagositosis dan sel
granular yang melakukan aktifitas phenoloxydase sehingga udang dapat bertahan
terhadap serangan patogen. Apabila terjadi penurunan total hemosit maka dapat
terjadi infeksi akut yang dapat menyebabkan kematian (Rodriguez dan Le
Moullac 2000)
Total hemosit (x107 sel/ml)
4,50
3,76
4,00
3,50
3,00
2,50
2,00
1,50
1,50
1,22
0,73
1,00
,50
1,13
b
a
b
b
c
K-
K+
A
Perlakuan
B
C
,00
Keterangan :
* Huruf superscript yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
** K- (kontrol negatif), K+ (kontrol positif ), A (probiotik 0,5% dan prebiotik 1%), B (probiotik 1%
dan prebiotik 2%), C (probiotik 2% dan prebiotik 4%).
Gambar 6. Total hemosit udang vaname setelah uji tantang dengan IMNV.
Total hemosit yang berbeda-beda antar perlakuan (Gambar 6) diduga
diakibatkan oleh perbedaan nutrisi yang diberikan pada udang uji. Tidak ada
penambahan sinbiotik pada perlakuan K- dan K+ sedangkan perlakuan A, B, dan
C merupakan perlakuan sinbiotik dengan dosis yang berbeda. Dengan demikian,
perbedaan tersebut juga diduga mempengaruhi respon uji terhadap infeksi IMNV.
Seperti yang dinyatakan Johansson et al. (2000), jumlah haemocyte dapat sangat
bervariasi berdasarkan spesies, respon terhadap infeksi, stres lingkungan, aktivitas
16
endokrin selama siklus molting. Selain itu, dapat dipengaruhi juga oleh seks,
perkembangan, status reproduksi dan nutrisi (Song et al. 2003).
3.6 Indeks Fagositik
Fagositosis merupakan reaksi yang paling umum dalam pertahanan seluler
udang. Fagosit dapat terjadi pada luka, di dalam organ penyaringan, jaringan
sistem peredaran, dan dalam cairan tubuh. Lebih lanjut, perbandingan indeks
fagositik antar perlakuan dapat dilihat pada Gambar 7.
Indeks Fagositik (%)
70
61,00
60
52,00
50
40
36,00
35,00
26,50
30
20
10
b
a
b
c
d
K-
K+
A
Perlakuan
B
C
0
Keterangan :
* Huruf superscript yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
** K- (kontrol negatif), K+ (kontrol positif ), A (probiotik 0,5% dan prebiotik 1%), B (probiotik 1%
dan prebiotik 2%), C (probiotik 2% dan prebiotik 4%).
b
a
b
Gambar 7. Indeks fagositik udang vaname setelah uji tantang dengan imnv.
Gambar 7 menunjukkan bahwa indeks fagositik udang vaname perlakuan
A, B, dan C lebih tinggi (36-61%) dibandingkan dengan K+ (26,5%). Uji statistik
menunjukkan bahwa infeksi IMNV memberikan pengaruh berbeda nyata pada
indeks fagositik udang vaname (p<0,05; Lampiran 7). Berdasarkan uji lanjut
Duncan, perlakuan C tidak berbeda nyata dengan K-, namun berbeda nyata
dengan perlakuan lainnya. Meningkatnya pertahanan tubuh dapat diketahui
dengan meningkatnya aktifitas sel-sel fagosit dari hemosit. Sel-sel fagosit tersebut
berfungsi dalam proses fagositosis terhadap benda asing yang masuk ke dalam
tubuh inang. Proses fagositosis dimulai dengan pelekatan (attachment) dan
penelanan (ingestion) partikel mikroba ke dalam sel fagosit. Sel fagosit kemudian
membentuk vakuola pencernaan (digestive vacuola) yang disebut phagosome
(Rodriguez dan Le Moullac 2000). Sehingga, perlakuan C merupakan perlakuan
17
b
sinbiotik yang memiliki respon imun yang lebih baik dibandingkan perlakuan
lainnya.
3.7
Aktivitas Phenoloxydase (PO)
Enzim phenoloxydase (PO) terdapat dalam hemolim dan merupakan
inactive pro-enzyme yang disebut proPO. Uji statistik menunjukkan bahwa infeksi
IMNV memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap aktivitas enzim PO (p<0,05;
Lampiran 7). Aktivitas enzim PO udang vaname pada masing-masing perlakuan
Phenoloxydase
dapat dilihat pada Gambar 8.
0,45
0,4
0,35
0,3
0,25
0,2
0,15
0,1
0,05
0
0,40
0,20
0,21
0,05
0,08
b
a
a
b
c
K-
K+
A
Perlakuan
B
C
Keterangan :
* Huruf superscript yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
** K- (kontrol negatif), K+ (kontrol positif ), A (probiotik 0,5% dan prebiotik 1%), B (probiotik 1%
dan prebiotik 2%), C (probiotik 2% dan prebiotik 4%).
Gambar 8. Aktivitas Phenoloxydase udang vaname setelah uji tantang dengan
IMNV.
Gambar 8 menunjukkan bahwa perlakuan B, C, dan K- memiliki aktivitas
PO lebih tinggi (0,20-0,41) dibandingkan dengan K+ dan A (0,05 dan 0,08). Hal
ini menunjukkan pemberian sinbiotik dengan dosis yang terdapat pada perlakuan
B dan C mampu meningkatkan aktivitas PO. Meningkatnya aktivitas PO
menyebabkan kemampuan udang vaname untuk mengenali benda asing yang
masuk ke dalam tubuh semakin baik. Proses ini akan mengurangi benda asing
dalam tubuh sehingga daya tahan udang akan meningkat. Enzim PO diaktifkan
oleh imunostimulan dan berperan dalam proses melanisasi. Imunostimulan yang
digunakan dalam penelitian ini berupa sinbiotik. Imunostimulan dapat berupa
18
bakteri dan produk bakteri, yeast, kompleks karbohidrat, faktor nutrisi, ekstrak
hewan,
ekstrak
tumbuhan,
dan
obat-obatan
sintetik
(Sakai
1999;
Cook et al. 2003).
Transformasi proPO menjadi PO melibatkan beberapa reaksi yang dikenal
sebagai sistem aktivasi proPO. Sistem ini terutama diaktifkan oleh beta glukan,
dinding sel bakteri dan LPS. Sistem proPO dapat digunakan sebagai marker
kesehatan udang dan lingkungan karena perubahan sistem proPO berkorelasi
dengan
tahap
infeksi
dan
variasi
lingkungan
(Sritunyalucksana
dan
Soderhall 2000).
Enzim PO bertanggung jawab terhadap proses melanisasi pada arthropoda
(Rodriquez dan Le Moullac 2000). Enzim ini mengkatalis hidroksilasi
monophenol dan oksidasi phenol menjadi quinones yang diperlukan untuk proses
melanisasi sebagai respon terhadap penyerang asing dan selama proses
penyembuhan. Quinone selanjutnya diubah melalui suatu reaksi non-enzymatic
menjadi melanin dan sering dideposit pada benda yang dienkapsulasi, dalam
nodule haemocyte, dan pada daerah kulit yang terinfeksi jamur. Produksi reactive
oxygen spesies seperti superoxyde anion dan hydroxyl radical selama
pembentukan quonoid juga memainkan peranan penting sebagai antimikroba
(Sritunyalucksana dan Soderhall 2000; Vargas dan Yepiz 2000).
3.8
Diferensial Hemosit
Klasifikasi
tipe
haemocyte
krustase
terutama
didasarkan
pada
keberadaan granula sitoplasma, yaitu sel hyaline, semigranular, dan granular
(Johansson et al. 2000). Sel hyaline merupakan tipe sel yang paling kecil dengan
rasio nukleus sitoplasma tinggi dan tanpa atau hanya sedikit granula sitoplasma;
sel granular merupakan tipe sel paling besar dengan nukleus yang lebih kecil dan
terbungkus dengan granula; sel semi granulosit merupakan tipe sel diantara
hyaline dan sel granulosit. Perbandingan antara sel hyalin dan sel granulosit
ditunjukkan pada Gambar 9.
19
Hyalin (%)
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
44,00
36,50
46,00
37,00
34,00
a
a
a
b
b
K-
K+
A
Perlakuan
B
C
(A)
80
Granulosit (%)
70
63,50
66,00
63,00
60
56,00
54,00
50
40
30
20
b
b
b
a
a
K-
K+
A
Perlakuan
B
C
10
0
(B)
Keterangan :
* Huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05)
** K- (kontrol negatif), K+ (kontrol positif ), A (probiotik 0,5% dan prebiotik 1%), B (probiotik 1%
dan prebiotik 2%), C (probiotik 2% dan prebiotik 4%).
Gambar 9. Diferensial hemosit udang vaname setelah uji tantang dengan
IMNV (hyalin (A) dan granulosit (B)).
Gambar 9 menunjukkan bahwa sel hyalin pada udang vaname yang telah
diinfeksi IMNV lebih rendah dibandingkan dengan sel granulosit. Pemberian
sinbiotik melalui pakan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap sel
hyalin dan sel granulosit (Lampiran 9 dan Lampiran 10). Persentase hyalin pada
perlakuan B dan C lebih tinggi (44% dan 46%) dibandingkan dengan K+, K-, dan
A
(34%, 36,5% dan 37%). Sel hyaline berperan dalam proses fagositosis,
sehingga dapat dikatakan bahwa persentase sel hyaline berkorelasi dengan
fagositosis. Persentase sel granulosit perlakuan B dan C lebih rendah (56,00% dan
20
54,00%) dibandingkan dengan K- (63,50%), K+ (66%), dan A (63,00%). Sel
granulosit terdiri dari sel semi granulosit dan sel granulosit. Sel semi granulosit
menunjukkan kapasitas dalam mengenali dan merespons partikel unsur atau
molekul asing, biasa dikenal sebagai sel aktif dalam enkapsulasi. Sel granulosit
bertanggung jawab dalam mengaktifkan sistem PO.
3.9
Kualitas Air
Kualitas air memiliki peranan penting dalam mendukung kelangsungan
hidup dan pertumbuhan udang vaname. Pengukuran kualitas air dilakukan pada
awal dan akhir masa pemeliharaan. Beberapa parameter kualitas air yang diamati
diantaranya, suhu, pH, DO (Dissolved Oxygen), salinitas, dan TAN. Tabel 3
menunjukkan bahwa parameter kualitas air yang diukur masih berada dalam
kisaran normal. Dengan demikian, perubahan kelangsungan hidup, pertumbuhan,
konversi pakan, dan respon imun udang vaname pada perlakuan bukan
diakibatkan oleh kualitas air pemeliharaan.
Tabel 4. Kualitas Air selama Pemeliharaan
Perlakuan
Tandon (Awal)
KK+
A
B
C
Brock dan Main
(1994)
Suhu (oC)
pH
DO (mg/L) Salinitas (ppt)
TAN
27-30
27,5-29
27,5-29
27,5-29
27,5-29
27,5-29
8,15
7,89
7,8
7,76
7,9
7,86
5,7
3,48
3,5
3,5
3,43
3,45
30,2
24-26
24-26
24-26
24-26
24-26
0,1359
0,2869
0,2924
0,3525
0,3682
0,3475
26-30
7-9
>3
5-35
<1
21
Download