Inovasi Pesantren dalam Pengembangan Keilmuan H. Muhammad Fadhil Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Abstract: The existence of Islamic boarding school (pesantren) has been a great contribution for community in all aspects of life, either as preaching and educational institution or as a center of community development and empowerment. As for educational institution to mention one, Islamic Boarding Scholl Played a significant role, particularly in the process of knowledge transmission. This could be seen from the fact that a lot of Islamic boarding school’s alumni became well known muslim scholars or even political leaders both national and international levels. Some of them also have been religious leaders in their community. This article, hence, aims at elucidating the role of Islamic boarding school in the sphere of knowledge development. In Recent years, it has produced several educational institutions introducing and applying modern educational and learning systems. Keywords: Pesantren, pengembangan keilmuan I. Pendahuluan Pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan tradisional mempunyai daya tahan yang kuat, meskipun arus modernisasi dan globalisasi terus bergulir dan meningkat dengan cepatnya. Hal ini terlihat dari sejarah perkembangan pesantren di Indonesia, bahwa sejak 300 tahun yang lalu pesantren telah berdiri di bumi Indonesia, dan dari masa ke masa pertumbuhannya cukup signifikan serta andilnya sangat Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011 59 H. Muhammad Fadhil besar dalam usaha membangun bangsa, baik mencerdaskan kehidupan bangsa maupun keikutsertaannya dalam perjuangan mengusir kolonialisme dan imperialisme, guna merebut kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Kehadirannya memberikan kiprah yang sangat luas bagi kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, baik sebagai lembaga dakwah, lembaga pendidikan maupun sebagai pusat pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren telah banyak melakukan aktivitas­nya di berbagai bidang, tidak hanya bidang pendidikan dan keaga­maan, namun merambah pula ke berbagai bidang ilmu pengetahuan lain dan keterampilan. Pesantren sebagai pusat pendidikan telah berjasa, terutama dalam proses transmisi ilmu pengetahuan. Hal tersebut dapat dilihat dengan banyaknya lulusan dari pesantren yang menjadi cendekiawan dan intelektual muslim terkenal, dan sebagiannya dapat hidup di tengah-tengah masyarakat dengan mandiri. Ada yang menjadi Kyai, petani, pedagang, pegawai, pejabat dan lain sebagainya. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dikaji sejauh mana peran pesantren dalam pengembangan keilmuan, yang pembahasannya dibatasi pada; bagaimana tradisi kehidupan di pesantren, tradisi keilmuan di pesantren serta daya tahan dan kekuatan pesantren. II. Tradisi Kehidupan Pesantren Pesantren merupakan lingkungan kehidupan yang unik, yaitu sebuah komplek dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya. Dalam komplek tersebut berdiri beberapa buah bangun­ an,terdiri dari rumah kediaman pengasuh (Kyai), sebuah surau atau masjid yang berfungsi sebagai tempat pengajaran diberikan dan asrama tempat tinggal santri. Tidak ada pola tertentu yang diikuti dalam pembangunan fisik sebuah pesantren, sehingga dapatlah dikatakan penambahan bangunan dalam lingkungannya sering dikatakan mengambil bentuk improfisasi seadanya belaka1. Pada pesantren yang lebih besar dimana menetap beberapa ratus bahkan ribuan santri yang mengikuti pendidikan, jumlah bangunan dalam lingkungan pesantren 60 Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011 Inovasi Pesantren dalam Pengembangan Keilmuan juga banyak, sehingga menjadi suatu desa tersendiri. Kebanyakan para santri menetap di pesantren sepanjang hari, dan hanya meninggalkannya jika ada keperluan tertentu seperti berbelanja, dan mencari nafkah.2 Semua kegiatan di pesantren harus tunduk pada aturan tertentu yang ditetapkan oleh para pengurus pesantren dan disesuaikan dengan pembagian waktu pengajian; demikian pula ukuran lamanya waktu yang dipergunakan sehari-hari; Pelajaran pada waktu tengah hari dan malam lebih panjang masanya dari pada di waktu petang dan subuh. Dimensi waktu yang bercorak tersendiri ini juga terlihat pada lamanya masa belajar di pesantren; Selama seorang santri merasa masih memerlukan bim­bingan pengajian dari Kyainya, selama itu pula ia tidak merasakan adanya keharusan menyelesaikan masa belajarnya di pesantren. Tidak terdapat ukuran tertentu mengenai lamanya masa belajar di pesantren, karena penentuannya diserahkan kepada santri sendiri, sehingga sering kali ukuran satu-satunya yang dipergunakan adalah biaya yang tersedia atau panggilan orang tua untuk menikah.3 Corak pesantren dapat dilihat juga dari struktur pengajaran yang diberikan. Dari sistematika pengajaran, dijumpai jenjang pelajaran yang berulang-ulang dari tingkat ke tingkat, tanpa terlihat kesudahannya. Dan dalam sistem pesantren dikenal proses belajar mengajar dengan cara “bandongan” dan “sorogan”. Bandongan yaitu belajar dengan cara “semua murid sekaligus (antara 5-500 orang) mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemah­kan, menerangkan, dan sering kali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab”.4 Cara ini merupakan sistem utama yang dilakukan di pesantren. Sedang proses belajar dengan cara “sorogan” yaitu: seorang murid mendatangi seorang guru yang akan membacakan beberapa baris al-Qur’an atau kitab-kitab bahasa Arab dan menerje­mahkannya ke 1 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi,Esai-Esai Pesantren, LkiS. Yogyakarta, 2001, h.3 2 Karel A.Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah. Pustaka LP3Es, 1994, h.l6 3 Abdurrahman Wahid, h.4 4 Zamahsyari Dhafir, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011 61 H. Muhammad Fadhil dalam bahasa Jawa”.5 Karel A. Stenbrink mengemukakan: Mata pelajaran, selain diberikan secara individual, juga diberikan secara kolektif dalam satu lingkaran kepada beberapa santri sekaligus yang disebut sistem halaqah. Dalam sistem ini guru membacakan teks baris demi baris, menerjemahkan dan kalau dipandang perlu memberikan penjelasan. Dengan cara ini seorang santri dapat mempelajari satu karya yang luas selama beberapa tahun, sebelum dapat mengerti seluruhnya, lamanya waktu yang dipergunakan juga dapat disebabkan karena Kyai membaca beberapa macam buku yang dikuasainya sekaligus, pelajaran ini berlangsung sepanjang tahun, dan hanya diselingi libur Maulid dan Ramadlan”.6 Persoalan yang diajarkan sering kali pembahasan serupa yang diulang-ulang selama jangka waktu bertahun-tahun, walaupun buku teks yang dipergunakan berlainan. Dimulai dengan “Kitab kecil” (mabsutat) yang berisiskan teks ringkas dan sederhana, pengajian akan memakan waktu bertahun-tahun untuk mencapai tingkat “Kitab Sedang” (Mutawasitat).7 Seorang santri biasanya sering berpindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh kesenangan bepergian para santri, melainkan juga disebabkan pesantren kecil hanya memberikan pendidikan pendahu­luan, sedangkan pesantren yang lebih besar dipimpin oleh seorang Kyai yang masyhur, dan semua santri dapat bimbingan membaca kitab-kitab yang sulit.8 Hal ini telah terjadi di masa klasik. Salah satu karakteristik yang paling menarik dalam pendidikan Islam di masa klasik adalah sistem rihlah ilmiyah, yaitu pengembaraan atau perjalanan jauh untuk menuntut ilmu. Menurut Syalabi, yang dikutip oleh Hanun Asrohah: Rihlah ilmiyah telah berkembang dalam Islam sejak awal, setelah wilayah Islam meluas, banyak sahabat Nabi dikirim ke daerah-daerah yang telah ditaklukkan. Di daerah masing-masing mereka mendirikan Kyai, LP3ES Jakarta, 1985, h.13 5 Ibid, 6 Karel A. Steenbrink, Op-cit, h.15 7 Abdurrahman Wahid, Op-cit, h. 4 8 Karel A.Stenbrink, Op-cit, h.18 62 Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011 Inovasi Pesantren dalam Pengembangan Keilmuan lembaga pendidikan dan mengajarkan ajaran agama yaitu al-Quran dan hadits, karena pada masa itu terdapat hadits-hadits Nabi yang hanya diketahui dan diriwayatkan oleh sahabat tertentu; Sedangkan umat Islam membutuhkan hadits Nabi untuk kepentingan agama. Kemudian mereka mengunjungi sahabat-sahabat walaupun tempatnya sangat jauh. Dari sini timbul sistem melakukan perjalanan jauh untuk menuntut ilmu.9 Dengan melakukan rihlah ilmiyah, santri bukan hanya dapat memperkaya ilmunya sendiri dan sekaligus pengalaman hidupnya, bahkan memungkinkan terjadinya proses pertukaran keilmuan (scholarly axcanges) yang pada gilirannya mendorong terjadinya pengayaan dunia keilmuan di lingkungan pesantren secara keselu­ruhan. Di sini para santri sekaligus menjadi “pialang” ilmu yang menerima, melakukan scholarly excanges, untuk kemudian menye­barkannya kepada khalayak ramai.10 Lama dan jauhnya perjalanan dapat digunakan sebagai bukti luasnya ilmu seorang pelajar. Dan penilaian masyarakat terhadap para santri tergantung kepada banyaknya perjalanan ilmiyah dan jumlah guru yang pernah mereka ikuti khalaqahnya.11 Namun dengan penyebaran sekolah dan madra­sah modern, maka tradisi rihlah ilmiyah juga memudar, yang pada gilirannya mengakibatkan terputusnya pertukaran keilmuan (scholarly excanges) yang intens di kalangan masyarakat Muslim secara keseluruhan.12 Seorang santri baru, tidak selalu terikat dengan tahun ajaran tertentu, mereka boleh mulai kapan saja dikehendaki. Pada waktu permulaan mereka ditolong oleh santri lama yang sudah lebih dahulu membaca dan memahami satu kitab selama beberapa bulan hingga mereka dapat berdiri sendiri.13 Namun, pada penghujung abad 19 perkembangan pesantren digambarkan sungguh pesat dengan indikatornya bertambah banyak umat Islam menunaikan haji ke Mekkah. Ada beberapa ulama dari Jawa seperti Syekh Nawawi dari Banten, Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, 1998, h.90 Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, 1998, h. 90 11 Hanun Asrohah, Op-cit, h.87 12 Azyumardi Azra, Esey-Esey, h.90 9 10 Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011 63 H. Muhammad Fadhil Syekh Mahfud dari Tremas menjadi pengajar tetap di Masjidil Haram Mekkah, dan mereka itu diakui kebesaran­nya di Timur Tengah.14 Clifford Geertz, yang dikutip oleh Ahmad Mansyur, mengatakan: Pertumbuhan pesantren tidak terlepas hubungannya dengan semakin bertambahnya jumlah jamaah haji Indonesia. Meningkatnya jumlah jamaah haji ini dapat dilihat dari perkembangan tahun 1860 hanya 2000 orang, pada tahun 1880 meningkat jumlahnya 10.000 orang dan pada tahun 1929 menjadi 50.000 orang.15 Kemudian Azyumardi Azra mengemukakan: Pada awal abad 20 tidak sedikit para santri yang belajar di pusat lahirnya agama Islam. Yang saat itu Syekh Ahmad Khatib dari Sumatra Barat telah menetap dan berkeluarga di Mekkah, beliau menjadi ulama atau Syaikh yang mengajar di Masjidil Haram.16 Banyak murid-murid dari Indonesia yang datang belajar kepada Syaikh Ahmad Khatib, antara lain; Syaikh Abdullah Ahmad, Syaikh Mohammad Jamil Jambek, Syaikh Abdul Karim Amrullah, Syaikh Muhammad Thaib Umar, Syaikh Daud Rasyidi, Syaikh Ibrahim Musa, dan lain-lainnya, Sedangkan murid yang berasal bukan dari Minangkabau antara lain: KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ibrahim, KH. Zarka­syi, dan lain-lain.17 Ketika itu pemikiran Islam Jamaluddin Afgani, Said Ridha dan Muhammad Abduh sedang berkembang dan mempengaruhi para santri dari Indonesia. Kemudian setelah pulang ke Tanah Air, murid-murid Syaikh Ahmad Khatib ini menjadi ulama terkemuka dan banyak menjadi “pembaharu” di daerah asalnya masing-masing. Dan gerakan Islam Modernpun dikembangkan dan muncullah Muhammadiyah di Sumbar dan Yogyakarta, Persis di Bandung, NU di Jawa Timur, Al-Jami’ah al Washliyah di Medan, Al-Irsyad untuk kalangan keturunan Arab di kota-kota besar. Gerakan pembaharuan yang mereka lakukan, bukan Karel A.Steenbrink, Op-cit, h.15 Yacub, Pondok Pesantren & Pembangunan Masyarakat Desa, Angkasa, Bandung, TT, h.67 15 Ahmad Mansyur Surya Negara, Menemukan Sejarah, Wacana Pergerakkan Islam di Indonesia, Mizan, 1988,h.130 16 Yacub,Pondok pesantren ...., h.68 17 Azyumardi Azra, Surau.Pendidikan Tradsional Dalam Transsisi dan Modernisasi, Logos, Jakarta, 2003, h.16 13 14 64 Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011 Inovasi Pesantren dalam Pengembangan Keilmuan hanya menim­bulkan perubahan-perubahan dalam kehidupan agama, sosial, budaya umat Islam, tetapi sekaligus memunculkan fenomena baru dalam dunia pendidikan Islam.18 Dengan tambahnya pembaharu di kalangan ulama Islam tersebut sistem pendidikan dalam pondok pesantren juga mengalami perubahan, maka mulailah sistem madrasah dimasukkan ke dalam pondok pesantren. Dalam kuriku­lumnya dimasukkan pelajaran bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Hal tersebut berpengaruh pada melonjaknya jumlah santri di pesantren. Jika tahun 1920-an pesantren besar santrinya sekitar 200 orang, pada tahun 1930-an jumlah santri pesantren besar melonjak menjadi lebih dari 1500 orang.19 Kualitas dan kemampuan seorang Kyai dapat diamati melalui kitab yang dijadikan pegangan dalam mengajar. Oleh karena itu, beberapa Kyai hanya mengajarkan kitab untuk tahap pemula saja, seperti Kitab al-Jurumiyah, Safinatu Najah dan Nasaihul Ibad. Sementara Kyai yang dipandang memiliki ilmu tinggi mengajarkan Kitab Alfiyah Ibnu Aqil, Tafsir Al Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir dan Ihya Ulum al Din. Pengajaran dalam pesantren tidak memiliki kuri­kulum tetap sebagai pedoman. Meskipun demi­kian, tingkat dan jenjang pendidikan santri dapat dikategorikan dalam tiga tingkat, yaitu awwaliyah, wustha dan ‘ulya. Pembagian tingkat tergantung kepada kemampuan santri. Hal ini berlaku di pesantren Buntet.20 Pesantren pada masa kemerdekaan memberikan respons terhadap ekspansi sistem pendidikan umum yang disebarkan peme­rintah dengan memperluas cakupan pendidikan mereka. Sedikitnya terdapat 2 cara yang dilakukan pesantren dalam hal ini: Pertama merevisi kurikulumnya dengan memasukkan semakin banyak mata pelajaran umum bahkan keterampilan umum. Kedua membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum.21 Namun perubahan tentang Kurikulum ini tidak berjalan merata, Ibid Yacub, Pondok Pesantren ..... , h. 68 20 Hafidz Dasuki, Laporan Hasil Penelitian, Pesantren Buntet, Jawa Barat, 18 19 Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011 65 H. Muhammad Fadhil bahkan pesantren-pesantren yang menerima pembaharuan tersebut hanya menerapkannya secara terbatas. Di samping itu terdapat banyak pesantren yang dipimpin Kyai yang lebih konservatif yang umumnya cenderung sangat resistan terhadap pembaharuan kuriku­lum atau substansi pendidikan pesantren.22 Pada dekade 1950-an dan awal 1960-an pembaharuan pesantren banyak berkenaan dengan pemberian keterampilan, khususnya dalam bidang pertanian yang tentu saja diharapkan bisa menjadi bekal bagi para santri, selain untuk menunjang pesantren itu sendiri. Cara ini semakin menemukan momentumnya, khususnya karena persaingan pesantren dengan sistem kelembagaan madrasah modern yang ditempatkan dibawah tanggung jawab dan pengawasan Departemen Agama RI, yang sejak 1950-an melancarkan pembaha­ruan madrasah setelah sebelumnya menegerikan madrasah swasta.23 Dari sini madrasahmadrasah semakin berkembang di pesantren-pesantren. Dan modernisasi pesantren sejak akhir 1970-an telah banyak mengubah sistem dan kelembagaan pendidikan pesantren. Perubahan cukup mendasar misalnya terjadi pada aspek-aspek tertentu dalam kelembagaan. Dalam hal ini, banyak pesantren tidak hanya mengembangkan madrasah sesuai dengan pola Departemen Agama RI, tetapi mendirikan juga sekolah-sekolah umum dan universitas umum. Untuk merespon perkembangan ini, semakin banyak pesantren yang mendirikan madrasah dalam komplek pesantren masingmasing. Dengan cara ini pesantren tetap berfungsi sebagai pesantren dalam arti aslinya, yakni tempat pendidikan dan pengajaran bagi para santri (umumnya mukim) yang ingin memperoleh pengetahuan Islam secara mendalam dan sekaligus merupakan madrasah bagi anak-anak di lingkungan pesantren. Lebih jauh lagi beberapa pesan­tren tidak berhenti dengan eksperimen madrasahnya. Beberapa pesantren bahkan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan umum Puslitbang, Depag, Jakarta, 1994/1995, h.33 21 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi & Modemisasi Menuju Milenium Baru, Logos, Jakarta, 2000, h.102 22 Ibid 23 Ibid, h.103 66 Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011 Inovasi Pesantren dalam Pengembangan Keilmuan yang berada dibawah sistem Departemen Penddikan Nasional bukan sistem pendidikan agama yang berada dibawah Departemen Agama. Dengan kata lain pesantren bukan hanya mendirikan madrasah, tetapi juga sekolah-sekolah umum yang mengikuti sistem dan kurikulum Departemen Pendidikan Nasonal.24 Pada saat yang sama juga terdapat kecenderungan kuat pesan melakukan konsolidasi organisasi kelembagaan, khususnya pada aspek kepemimpinan dan manajemen. Secara tradisional, kepemim­ pinan dipegang oleh satu atau dua orang Kyai, yang biasanya merupakan pendiri pesantren yang bersangkutan. Tetapi perkem­bangan kelembagaan terutama karena terjadinya disertifikasi pendi­dikan yang diselenggarakan, juga mencakup madrasah dan sekolah umum, maka kepemimpinan tunggal Kyai tidak memadai lagi, banyak pesantren kemudian mengembangkan kelembagaan yayasan yang pada dasarnya merupakan kepemimpinan kolektif.25 III.Tradisi Keilmuan Pesantren Asal usul tradisi keilmuan di pesantren dapat dilihat pada perkem­ bangan ilmu-ilmu keislaman sejak ia ada dalam masyarakat Islam yang pertama. Salah satu watak utama dari Islam adalah sangat menekankan pada aspek pendidikan, sebagaimana dapat dilihat pada sejumlah sumber normatif, seperti ayat-ayat al-Qur’an dan hadist yang menggambarkan pentingnya arti ilmu bagi ummat Islam dalam pandangan Allah dan RasulNya. Atas dasar itulah, maka Islam telah mengembangkan perangkat keilmuannya sendiri sejak masa dini dari sejarahnya yang panjang, terbukti dengan adanya kelompokkelompok yang telah melakukan spesialisasi. Bahkan sejak masa pertama Madinah, kita kenal adanya orang yang ahli dalam penaf­siran al-Qur’an seperti sahabat Abdullah bin Abbas, orang yang menjadi ahli dalam hukum agama seperti Abdullah Ibnu Mas’ud, ada juga yang menjadi penghafal al-Qur’an dan pencatatnya seperti Zaid Ibnu Tsabit, dan demikian seterusnya. Mereka adalah orang-orang yang 24 25 Ibid Ibid, h. 104 Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011 67 H. Muhammad Fadhil memperlakukan al-Qur’an dan hadist sebagai objek ilmu, bukannya sekedar sebagai wadah pengamalan. Di tangan ilmuwan agama yangb pertama inilah seperti pada saat adanya para penghafal al-Qur’an., para penafsir al-Qur’an dan para penjaga hukum agama terbentuk suatu tradisi keilmuan pada tarafnya yang dini. Kita lihat umpamanya saja belum satu abad setelah nabi wafat telah muncul sebuah kelompok yang dikenal sebagai Al Fukaha Ashab’ah (para ahli Fukaha yang tujuh) yang merupakan para ahli terkemuka dalam bidang hukum agama (Fiqih) di Mekkah dan Madinah, termasuk diantaranya adalah Robi’ah dan Anas. Mereka merupakan peletak dasar ilmu-ilmu agama yang akhirnya berujung pada tradisi mazhab fiqih26. Tradisi keilmuan selanjutnya dapat diperhatikan dari adanya kitab-kitab fiqih yang mendalam dengan penguasaan alat-alat bantu yang sangat mengagumkan tetap diajarkan di pesantren-pesantren, terlihat dari pengajian kitab fiqih seperti Al-Muhadzdzab, Fath Alwahhab, Qulyubi wa Umairah bahkan Bijurain yang merupakan komentar fiqih yang sangat dalam. Lebih jauh dari itu diajarkan pula penggunaan referensi fiqih yang berukuran raksasa seperti Majmuk, yang merupakan komentar atas kitab Al-Muhadzdzab yang berjumlah 14 jilid dengan tebal 6000 halaman tetap dilakukan oleh para Kyai pesantren hingga saat ini. Kitab fiqih yang sangat tua yaitu Tuhfah, merupakan salah satu diantara pegangan ulama yang tidak pernah berhenti diajarkan. Penjagaan kualitas fiqih itu dilakukan sedemikan rupa, sehingga tercapai standarisasi dalam penggunaan kitab dasar fiqih, yaitu Taqrib yang terkenal. Demikian juga kajian kitab yang pendek tetapi sangat sulit dibaca, seperti Tahris tetap dilakukan di pesantren.27 Alat bantunya juga mengalami perkembangan pesat. Diantara alat bantu yang terkenal adalah kitab semacam Jalalain, Ibnu Katsir, Khazin, bahkan tafsir Qasimi yang 16 jilid dan Tafsir Thabari yang 30 jilid masih juga diajarkan terutama di beberapa pesantren utama. Kitab-Kitab hadist tidak dicukupkan hanya pada Al-Bukhori dan 26 68 Abdurrahman Wahid, Op-cit, h.158-159 Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011 Inovasi Pesantren dalam Pengembangan Keilmuan Muslim, melainkan juga berlanjut pada syarah Al Bukhari yang bermacam-macam dan tebal. Syarah Muslim dan Imam Nawawi serta Kailani sebagai komentar atau syarah atas Bukhari, demikian juga yang lain merupakan bacaan yang berkembang luas di pesantren-pesantren selama ini.28 Bahkan buku standar seperti Bulugh Al- Maram, Tajrid As-Asharih dan Riadh Ash-Shalihin menunjukkan tingginya mutu pengajaran hadist di pesantren. Dalam bahasa Arab yang menitikberatkan pada gramatika dan sintaksis, buku-buku Nahwuu dan Sharaf sangat umum digunakan dalam pendalaman bahasa Arab dan jenjangnya jelas sekali menunjuk pada penguasaan yang bertahap yang semakin tinggi dan lama serta semakin komplek. Mulai dari Al Jurumiyah, melalui Al Imriti dan Milhat Al I’rob, selanjutkan ditingkatkan menjadi Al Mutammimah dan berakhir pada Alfiyah Ibnu Malik yang merupakan 1000 baris sajak tentang gramatika bahasa Arab. Pendidikan lanjutan dapat dilihat pada penggunaan Syarah Hudhari atas Alfiyah Ibnu Malik dan lain-lain.29 Kurikulum yang berkembang di pesantren, selama ini memperlihatkan sebuah pola yang tetap. Yaitu kurikulum ditujukan untuk mencetak ulama di kemudian hari, struktur dasar kurikulum adalah pengajaran pengetahuan agama dalam segenap tingkatannya dan pemberian pendidikan dalam bentuk bimbingan kepada santri secara pribadi oleh Kyai/guru, dan secara keseluruhan kurikulum yang ada berwatak lentur/fleksibel, dalam artian setiap santri berkesempatan menyusun kurikulumnya sendiri sepenuhnya atau sebagian sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.30 Dan kegiatan di pesantren dapat dikatakan berlangsung selama 24 jam. Setiap aktivitas yang dilakukan santri selama di pesantren, diatur oleh tata tertib yang pelaksanaannya diatur oleh para santri. Adapun materi pelajaran yang diberikan dimulai yang paling sederhana dan mendasar yaitu seluruhnya dipusatkan pada al-Qur’an, sedangkan pada tingkat pertama pada pengajaran kitab adalah mempelajari bahasa Arab, kemudian fiqh, Tauhid atau Ushuluddin dan tafsir al-Qur’an. Sesudah menyelesaikan Abdurrahman Wahid, Op-cit, h. 167 Ibid, h. 159 29 Ibid, h.168 27 28 Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011 69 H. Muhammad Fadhil ketiga macam pelajaran pokok tersebut, para santri dapat mengambil mata pelajaran sampingan, seperti: tasawuf, hadits, hisab atau falaq yang semuanya tergantung pada keahlian Kyai pesantren tersebut.31 Selain kurikulum pelajaran yang demikian lentur (luwes), keunikan pengajaran di pesantren juga dapat ditemui pada cara pemberian pelajarannya, dan dalam penggunaan materi yang telah diajarkan kepada dan dikuasai oleh para santri, pengajaran diberikan dalam pengajian yang berbentuk seperti kuliah terbuka, dimana sang Kyai membaca, menerjemahkan dan kemudian santri membaca ulang teks itu, dihadapan Kyai atau setelah ia kembali ke biliknya atau dalam pengajian ulang antara sesama teman setingkat pengajian. “Pengajian ulang ini memiliki nama bermacam-macam, yaitu muthala’ah, Tikrar, Mudrasi, Jam’iyah dan seterusnya.32 Pengajian ulang semacam ini di masa klasik sudah biasa, untuk mempercepat memahami materi pelajaran diadakan sistem belajar dengan metode muzakarah, yaitu belajar bersama antara murid di luar jam belajar, melakukan pelatihanpelatihan dan saling mengoreksi satu sama lainnya.33 Di samping itu di masa klasik, murid belajar kepada mu’id. Mu’id adalah guru bantu, ia bertugas membantu murid yang kecerdasannya terbatas.34 Cara ini juga dipakai di pesantren, dimana seorang murid belajar kepada asisten Kyai untuk mengulang materi pelajaran yang belum dikuasainya. Sedangkan pada proses belajar mengajar di pesantren yang sudah berkembang, yaitu seorang guru memegang bidang studi tertentu seperti berlaku di sekolah, hanya saja bidang studi itu berupa kitab kuning, proses belajar tidak dilakukan oleh seorang guru (Kyai) melainkan terdapat beberapa orang guru (Kyai) yang mengajar bidang studi (kitab kuning) yang berbeda pula dan cara sorogan sudah ditinggalkan. Pada tahun 1900 madrasah mulai mengajarkan mata pelajaran umum seperti seperti ilmu Falaq, al Jabar dan lain sebagainya. Para ulama yang berjasa dalam perkembangan madrasah diantaranya Abdurrahman Wahid, Op-cit, h.109 Karel A Steenbrink, Op-cit, h.14 32 Abdurrahman Wahid, Op-cit, h.4 30 31 70 Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011 Inovasi Pesantren dalam Pengembangan Keilmuan syeikh Abdullah Ahmad (1907) di Padang, K.H. Ahmad Dahlan (1912) di Yogyakarta, K.H. Wahab Abdullah, K.H. Mas Mansyur 1914 di Surabaya, KH.Hasyim Asy’ari (1919) di Jombang, Rangkoyo Rahmah al Yunusi (1915) di Padang Panjang dan lainnya.35 Di pesantren juga sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas untuk menunjang proses belajar seperti perpustakaan. Di samping itu untuk meningkatkan keterampilan murid juga diberikan pendidikan, seperti; pramuka, PMR, OR/senam, kesenian, diskusi, tablig dan baca rawi.36 Dan Waktu belajar di pesantren diadakan pada waktu pagi hari, setelah subuh, sore hari setelah asar dan malam hari setelah maghrib. Pada tahap selanjutnya Pesantren mengalami perkembangan. Sebagaimana di pesantren al-Masturiyah. Tahun 1955 pesantren tersebut membuka sekolah formal, yang diawali dengan membuka Madrasah Diniyah dengan mendapat bantuan pemerintah, perkembangan selanjutnya menjadi Madrasah Ibtidaiyah, kemudian pada tahun 1962 membuka PGA. Namun selanjutrnya tahun 1978 PGA dirubah menjadi Tsanawiyah karena ada intruksi Menteri Agama, mengenai penciutan PGA.37 Bidang studi yang diajarkan di pesantren al Masturiyah. Pada tingkal Tsanawiyah ada 7 materi pelajaran, yaitu: al-Qur’an/Tafsir, Hadits/Ilmu Hadits. Nahwu Sharaf, Tauhid, Akhlak tasawuf, Fiqh dan bahasa Arab, khat dan Imla. Sedangkan di Aliyah materi pelajaran diberikan yaitu selain yang diberikan di Tsanawiyah ditambah Faraid, Mantiq, Balaghah. Adapun Kitab yang dijadikan pegangan adalah Jalalain, Riyad Ash-Shalihin, Jurumiyah, Imriti Alfiyah, Yaqulu, Kailani, Tijan, Ta’lim Muta’alim, Fathul Mu’in, Fathul Qarib, Safinatunnajah, Fathul Qarib dan lain sebagainya.38 33 Berkey Jonathan, The Transmision Of Knowledge In Medievel, Princeton University Press New Jersey, New Jersey, 1972, h.27 34 Ahmad Syalaby, Tarikh al-tarbiyah al-Islamiyah, Kasysyaf Li al-Nasyr Wa al-Thiba’ah Wa al-Tauzi, Cairo, 1959, h.239 35 Abdurrahman Saleh, Pendidikan Agama & Keagamaan (Visi.Misi & Aksi), PT.Gema Windu Panca Perkasa, Jakarta, 2000, h.112 36 Zamakhsyari Dhofir, Op-cit, h.13 Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011 71 H. Muhammad Fadhil Adapun materi pokok yang diberikan di madrasah ini, dalam bidang agama yaitu, Ilmu Tauhid, Ilmu Fiqh, kemudian diajarkan pula ilmu Tafsir, Hadits, Ilmu Alat (Gramatika Ilmu Mantiq).39 Sedangkan bobot materi pelajaran 25% pengetahuan umum dan 75% pengetahuan agama. Pada tahun 1967 dibuka madrasah Aliyah dengan bobot materi pelajaran sama dengan Tsanawiyah. Dan dibuka pula SMA, bobot materi pelajaran agama lebih banyak porsinya sebagai identitas keislamannya.40 Pada perkembangan selanjutnya mengingat lulusan pesantren semakin banyak dan persaingan antara lulusan semakin ketat, maka dibuka Perguruan Tinggi. Dan kini pendirian pesantren telah banyak yang memadukan sistem salafi dan modern. Di pesantren telah didirikan lembaga pendidikan mulai dari TK sampai PT, ditambah pengajian Majlis Ta’lim dan lembaga pendukung lainnya. Sebagaimana pesantren al Masturiyah keberadaannya berbeda dengan pesantren yang selama ini dikenal. Pesantren ini telah menggabungkan model salafi dan madrasi yaitu system “modern” dan tradisional. Ketradisionalannya ditandai antara lain dengan adanya pengajian kitab kuning dengan waktu belajar pada waktu subuh, sore dan malam hari, sedang sisi kemoderenannya ditandai antara lain dengan adanya pembagian tingkatan belajar serta masa yang terprogram.41 Dengan demikian, pesantren semakin hari semakin mengalami kemajuan, dan peranannya semakin luas. Saat ini pesantren telah dijadikan sebagai pusat rehabilitasi moral bagi kenakalan remaja, korban narkoba bahkan “pesantren sangat efektif untuk menampung perempuan korban kekerasan, dan menjadi problem solver atas problem-problem sosial kemanusiaan”.42 IV.Daya Tahan dan Kekuatan Pesantren 37 M.Syatibi, Laporan Hasil Penelitian, Pesantren Pulo Sari, Garut, Puslitabang, Depag, Jakarta, 1995, h.19 38 Ibid, h.31 39 Badri Yunardi, Laporan Hasil Penelitian, Pesantren Al-Masturiyah, Sukabumi,Puslitbang Depag, Jakarta. 1994/1995, h.l7 40 Ibid, h.19 72 Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011 Inovasi Pesantren dalam Pengembangan Keilmuan Daya tahan pesantren dapat dibuktikan dari berbagai hal yang terkait di dalamnya. Pesantren merupakan kultur tradisional yang kuat dan memiliki hubungan timbal balik dengan masyarakat sekitarnya. Kyiai merupakan figur sentral yang menjadi motor penggerak lembaga pendidikan tradisional Islam di Indonesia. Pengaruh Kyiai bukan hanya terhadap pesantren tetapi juga terhadap warga desa, bahkan kepada pemimpin formal di daerah tersebut. Kridibilitas Kyai sangat berpengaruh dalam menarik jumlah santri: gelar Kyai bukan diberikan oleh pondok pesantren tetapi kehormatan yang diberikan oleh masyarakat Islam kepada seorang yang ahli dalam ilmu agama tersebut lalu mengajarkannya pada santri.43 Di kalangan NU, Kyai mempunyai peranan yang sangat besar menentukan keputusan, termasuk keputusan politik. Masyarakat menilai bahwa ulama sebagai mata rantai pembawa rohani Islam juga ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas dan pembimbing jalannya organisasi. Ulama mempunyai wewenang memberikan keputusan mengenai hukum agama. Mereka adalah panutan keagamaan yang paling autentik untuk diikuti dalam mencari jalan kehidupan agama yang benar, sehingga oleh NU disebut tiang utama umat.44 Di samping itu, pesantren memiliki tradisi kepatuhan santri kepada Kyainya secara mutlak dan tidak terputus, berlaku sepanjang hidup santri. Oleh karena itu keterbukaan Kyai merupakan sikap yang dapat mendukung proses kaderisasi secara optimal. Kaderisasi yang baik sebagai salah satu tanda keberhasilan kepemimpinan Kyai. Oleh karena itu berarti Kyai telah membibitkan calon pemimpin yang siap melangsungkan kepemimpinan di masa depan.45 Daya tahan pesantren juga dapat dilihat dari data yang telah dilaporkan oleh proyek pembinaan dan bantuan Kepala Pondok Pesantren Ditjen Bimas Islam Depag RI, menunjukkan sebuah perkembangan dan kemajuan. Jumlah pesantren tercatat sebanyak 6.239 buah Ibid, h.25 Sukidi, Teologi Inklusif CakNur, Kompas, Jakarta, 2001, h.173 43 Yacub, Op-cit, h.66 41 42 Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011 73 H. Muhammad Fadhil dengan jumlah santri 1.084.901 murid di seluruh Indonesia.46 Hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun pesantren merupakan lembaga pendidikan yang bersifat tradisional, ia mempunyai kekuatan yang memungkinkan dirinya dapat bertahan, bahkan tetap relevan dengan cita-cita perjuangan bangsa. Daya tahan pesantren dapat diperhatikan dari kemandirian pesantren, baik dalam sistem pendidikan dan strukturnya maupun dalam pandangan hidup yang ditimbulkannya dalam diri santri. Struktur pendidikan pesantren berwatak populis dan memiliki kelenturan sangat besar.47 Dalam konteks keilmuan, keberadaan pesantren merupakan perwujudan dari egalitarisme Islam dalam lapangan keilmuan. Dengan pesantren, setiap Muslim yang mempunyai latar belakang lapisan sosial yang berbeda memiliki akses terhadap ilmu pengeta­huan, tetapi pengetahuan agama yang dalam segi-segi tertentu dipandang memiliki aura sakralisme. Pendidikan pesantren pada dasarnya adalah pendidikan Lillahi Ta’ala. Orang tua santri tidak perlu membayar, kalaupun “membayar”, jumlahnya sangat minimal. Bahkan sering terjadi “uang sekolah” dibayar dengan pengabdian kepada Kyai, apakah dengan menjadi “asisten”nya untuk mengajar, atau bekerja di lahan pertanian sang Kyai.48 Perhatian guru terhadap santri tidak hanya pengajaran, tetapi pada perbelanjaannya, dimana guru-guru juga memberikan bantuan uang kepada mereka, bila ia melihat salah satu muridnya sakit. Lebih dari itu, guru juga sering memberi bantuan kepada murid-murid yang membutuhkan.49 Di samping itu kemampuan pesantren dalam membina pribadi muslim dan mengadakan perubahan serta perbaikan sosial kemasyarakatan menjadi pangkal kekuatan. Kyai mempunyai peran utama dalam kehidupan seharihari di pondok pesantren, baik terhadap individu-individu pondok pesantren itu sendiri maupun masyarakaat luar di sekitarnya. Oleh sebab itu maju mundurnya pondok pesantren tergantung level daya 44 Mujamil Qomar, NU Liberal, Dari Tradisionalisme ke Untversalisme Islam, Mizan, Bandung, 2002, h.88 45 Ibid, h.25 46 M.Syatibi, Op-cit, h.2 47 Abdurrahman Wahid, Op-cit, h. 103 74 Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011 Inovasi Pesantren dalam Pengembangan Keilmuan kerja Kyai. Pondok pesantren sebenamya adalah dimiliki dan dalam kekuasaan Kyai di satu sisi, disisi lain seluruh milik Kyai tersebut, bahkan hampir seluruh hidup, waktu dan ilmu sang Kyai diabdikan untuk kepentingan umum, khususnya di bidang pendidikan.50 Di kalangan umat Islam sendiri nampaknya pesantren telah dianggap sebagai model institusi pendidikan yang memiliki keunggulan, baik dari aspek tradisi keilmuannya, maupun sisi transmisi dan internalisasi moralitas umat Islam.51 Karena itu pesantren mendapatkan respon dari masyarakat yang cukup besar. Begitu juga respon dari IAIN, yang tadinya tidak mau rnenerima lulusan pesantren, namun pada tahun 1998/1999 IAIN dapat menerima lulusan pesantren meskipun hanya berbekal ijazah lokal. Dan lulusan pesantren ternyata lebih berpotensi dibanding yang lain.52 Respon masyarakat terhadap pesantren juga dapat dilihat dari banyaknya putera/puteri mereka yang dikirim ke pasantren untuk belajar. Dan banyaknya peserta pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak yang diadakan seminggu sekali. Di samping itu keikutsertaan masya­rakat dalam menjaga ketertiban dan keamaanan pesantren, memban­tu gotong royong dalam membangun sesuai dengan kemampuan masingmasing. Di samping itu pesantren sebagai lembaga pendidik­an yang dahulu disebut tradisional, kini semakin diminati oleh banyak kalangan, termasuk mayarakat kelas menengah atas. Hal ini membuktikan bahwa lembaga ini mampu memberikan solusi terhadap kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Menurut data di Depag bahwa dari 8.991 pondok pesantren saat ini terdapat 1.598 berada di wilayah perkotaan (18 %), sedang yang ada di wilayah pedesaan sebanyak 7.393 (82%) dengan melihat kecenderungan ini, maka diprediksikan suatu saat nanti akan terjadi perkembangan jumlah pesantren antara kota dan desa.53 Dan di antara pesantren-pesantren yang mengalami perkemAzyumardi Azra, Esey-Esey, Op-cit, h.88 Hanun Asrohah, Op-cit, h.80 50 M. Dawam Raharjo, Kyai, Pesantren & Pembangunan Desa, Dalam Prisma, 1973, Bulan 8 51 Malik Fajar, Visi Pembaharuan Pendidikan, LP3NI, Jakarta, 1998, h.126 52 Azyumardi Azra, Islam Subtantif, Mizan, 2000, h.421 48 49 Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011 75 H. Muhammad Fadhil bangan adalah pesantren Tebuireng, pesantren Lirboyo, Pesantren Tambak Beras dan pesantren Gontor. Dan kini semakin berkembang pesantren modern di Indonesia, sebagaimana pesantren al-Zaitun, yang menyedot perhatian berbagai kalangan masyarakat. Pesantren tersebut berdiri dengan bangunan megah, fasilitas lengkap, lingkungan bersih, tata ruang rapi, para karyawan disiplin, ada perkebunan yang subur, peternakan gemuk-gemuk.54 Dan dalam waktu relatif singkat telah mempunyai santri ribuan yang terdiri dari dalam dan luar negeri. Walaupun pesantren tersebut mendapat kritikan dan hujatan bahkan minta supaya dibubarkan. Namun hal tersebut justru menambah berkibar namanya di kalangan masyarakat, dan malah banyak orang-orang berdatangan dari berbagai penjuru baik yang berziarah ingin menyaksikan kemegahan dan kelengkapannya maupun yang datang untuk menyekolahkan anak-anaknya, serta banyak yang datang mendermakan hartanya. Namun demikian tidak berarti pesantren tetap survive. Tantang­ an yang dialami lembaga ini menurut pengamatan para ahli semakin lama semakin banyak, kompleks dan mendesak. Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Tantangan itu menyebabkan terjadinya pergeseran nilai yang menyangkut pondok pesantren, baik nilai sumber belajar maupun nilai yang berkaitan dengan proses pengelolaan pendidikan (menajemen). Beberapa indikator pergeseran nilai yang dialami oleh pesantren, diantaranya seperti dikemukakan oleh DR. Mastuhu, Pertama Kyai bukan satu-satunya sumber belajar. Dengan semakin beraneka ragam sumber belajar baru, maka semakin tinggi dinamika komunikasi antara sistem pendidikan pondok pesantren dengan sistem yang lama. Santri dapat belajar dari banyak sumber. Namun kondisi objektif ini tidak segera menggeser kedudukan Kiyai sebagai tokoh kunci yang menentukan corak pondok pesantren. Kedua, seiring 53 54 h.183 55 76 Malik Fajar, Op-cit, h.125 Hurriyudin, Jurnal Dialog, Puslitbang Depag, Jakarta, Desember, 2000, Malik Fajar, Op-cit,h.l27-128 Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011 Inovasi Pesantren dalam Pengembangan Keilmuan dengan pergeseran nilai dimaksud, maka kebanyakan santri saat ini membutuhkan ijazah dan penguasaan bidang keahlian keterampilan yang jelas, agar dapat mengantarkannya untuk menguasai dan memasuki lapangan kehidupan baru dalam kehidupan modern, kita tidak cukup hanya dengan berbekal moral yang baik, tetapi perlu dilengkapi dengan keahlian (skill) atau keterampilan yang relevan dan sinergis dengan kebutuhan dunia kerja.55 Oleh sebab itu untuk menumbuhkembangkan sebuah pesantren maka perlu menerapkan 5 prinsip, yaitu: pertama kaderisasi untuk mendapatkan bibit unggul di bidang keagamaan; kedua, meningkatkan kualitas di bidang pendidikan untuk mengembangkan kulaitas pendidikan; ketiga peningkatan sarana pendidikan; keempat peningkatan kesejahteraan bagi dewan guru, Kyai dan santri khususnya, masyarakat umumnya; kelima, peningkatan perlengkapan perpustakaan, pusat informasi pesantren, bank, wartel, poliklinik dan sebagainya.56 Sebagaimana pesantren al-Zaitun yang telah memiliki sarana dan prasarana yang lengkap. V. Kesimpulan Dari pemaparan di atas, dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa pesantren sebagai institusi pendidikan mempunyai peran yang sangat besar dalam mengembangkan tradisi keilmuan, terutama proses transmisi ilmu dari satu generasi ke generasi lainnya. Tradisi keilmuan di pesantren dapat diperhatikan dari kondisi pesantren yang terus mengalami kemajuan. Baik dari segi jumlah, kelembagaan maupun sistem. Sistem yang tadinya semata-mata tradisional, namun secara berangsur-angsur mengalami perubahan. Dan kini banyak pesantren yang mengalami modernisasi, baik dilihat dari sistem kelembagaannya maupun dari sisi sistem pengajaran, kurikulum dan metodologinya. Hal tersebut terjadi seiring dengan adanya tantang­an dari berbagai unsur, baik dari kalangan penguasa maupun dari pengaruh perkembangan iptek. Secara kelembagaan, banyak pesantren yang telah mendirikan 56 Ahmad Susilo, Strategi Adaptasi Pondok Pesantren, Kucika, Jakarta, Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011 77 H. Muhammad Fadhil madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah umum, mulai dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Sistem yang digunakan juga telah mengalami perpaduan antara tradisional dan moderen. Dan dengan terjadinya modernisasi, maka pesantren yang tadinya terpinggirkan, kini pesantren mempunyai daya tarik yang cukup signifikan di kalangan masyarakat, baik dari kalangan ekonomi menengah maupun ekonomi tinggi, apalagi dari kalangan ekonomi rendah. Pesantren telah memberikan kontribusi yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada bidang tranmisi ilmu agama dan da’wah saja, namun bidang pengetahuan umum, keterampilan (vocational) maupun pembinaan kemasyarakatan serta sebagai pengayom masyarakat. Di bidang da’wah Pesantren telah banyak melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan telah banyak melaksanakan program pengembangan masyarakat yang berorientasi kepada usaha mem­ bantu masyarakat memecahkan masalah kehidupan sehari-sehari. Dan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di pesantren, kini telah banyak bermunculan pesantren-pesantren dengan sistem pendidikan dan pengajaran modern yang cukup spektakuler dan ini patut kita syukuri. Wallahu a’lam. 2003, h.154. 78 Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011 Inovasi Pesantren dalam Pengembangan Keilmuan Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011 79 H. Muhammad Fadhil BIBLIOGRAFI Asrohah, Hanun Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Logos, 1999. Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi & Modernisasi Menuju Millenium Baru, Logos, Jakarta, 2000. Azra, Azyumardi, Esei-Esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, 1998 Azra, Azyumardi, Islam Substantif, Mizan, Bandung, 2000 Azra, Azyumardi, Surau,Pendidikan Tradisional Dalam Transisi dan Modernisasi, Logos, Jakarta, 2003 Dasuki, Hafizh, Laporan Hasil Penelitian, Pesantren Buntet, Jawa Barat, Puslitbang, Depag, Jakarta, 1994/1995. Jonathan, Berkey The Transmision of Nowledge in Medieval , Princeton, University Press New Jersey,New Jersey,1992. Dhofir, Zamahsyari, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES,Jakarta 1985. Fajar, Malik, Visi Pembaharuan Pendidikan, LP3NI,Jakarta, 1998. Hurriyudin, Jurnal Dialog, Puslitbang, Depag, Jakarta, Desember, 2000. Mansyur Surya, Negara Ahmad, Menemukan Sejarah, Wacana pergerakan Islam di Indonesia, Mizan, 1998. Qomar, Mujamil, NU Liberal, Dari Tradisionalisme Ahlussunah ke Universalisme Islam, Mizan, 2002. Raharjo, M. Dawam, Kyai, Pesantren & Desa, Dalam Prisma, 1973 Bulan Agustus. Satibi, M, Laporan Hasil Penelitian, Pesantren Pulo Sari Garut, Puslitbang Depag, 1994/1995. Shaleh, Abdurrachman, Pendidikan Agama & Keagamaan (Visi,Misi & Aksi), Gema Windu Panca Perkasa, Jakarta, 2000. Syalaby, Ahmad, Tarikh al-Tarbiyal al-Islamiyah,Kasysyaf Li al-Nasyr Wa al-Thiba’ah Wa al-Tauzi , Cairo, 1954 Steenbrink, Karel a., Pesantren Madrasah Sekolah, Pustaka LP3ES.1994 Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Kompas, Jakart, 2001. Susilo, Ahmad, Strategi Adaptasi Pondok Pesantren, Kucica, Jakarta, 2003. Wahid, Abdurrahman, Mengerakkan Tradisi, Esai-Esai Pesantren, LKiS, Yogyakarta, 2001. Yacub, Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, Angkasa, Bandung TT. 80 Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011 Inovasi Pesantren dalam Pengembangan Keilmuan Yunardi, Badry, Laporan Hasil Penelitian, Pesantren Al-Masturiyah,Sukabumi, Puslitbang, Depag, Jakarta, 1994/1995. Innovatio, Vol. X, No. 1, Januari-Juni 2011 81