TINJAUAN PUSTAKA Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Infeksi saluran pernapasan atas di kenal sebagai ISPA adalah penyakit infeksi akut yang melibatkan organ saluran pernafasan, hidung, sinus, faring, atau laring (Algsagaff et al 1998). ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) yang diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI) mempunyai pengertian sebagai berikut: a. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paruparu) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan. b. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik bakteri, virus maupun riketsia tanpa atau disertai radang parenkim paru. ISPA adalah penyakit penyebab angka absensi tertinggi, lebih dari 50% semua angka tidak masuk kerja/sekolah karena sakit ISPA (Algsagaff et al 1998). Etiologi ISPA terdiri dari lebih 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus streptokokus, stafilokokus, pnemokokus, hemofilus, korinekbakterium dan bordetella. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan miksovirus, adenovirus, pikornavirus, mikoplasma, hipervirus dan lain-lain. Gejala ISPA dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu ringan, sedang dan berat. Gejala ringan ditandai dengan batuk, serak yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya pada waktu berbicara atau menangis), pilek yaitu mengeluarkan lendir / ingus dari hidung, panas, atau demam dengan suhu badan lebih dari 370C atau jika dahi anak diraba dengan punggung tangan terasa panas, perlu berhati-hati karena jika anak menderita ISPA ringan sedangkan ia mengalami panas badannya lebih dari 390C, gizinya kurang umurnya 6 bulan atau kurang maka anak tersebut menderita ISPA sedang (Depkes 2002). Gejala sedang ditandai jika gejala seperti pernafasan lebih dari 50x permenit pada anak yang berumur kurang dari satu tahun atau lebih dari 40x permenit pada anak yang berumur satu tahun lebih. Cara menghitung pernafasan ialah dengan menghitung jumlah tarikan nafas dalam satu menit. Untuk menghitung dapat digunakan arloji, suhu lebih dari 390C (diukur dengan thermometer), tenggorokan berwarna merah, timbul bercak campak, telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga, pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur), pernafasan berbunyi menciut-ciut (Depkes 2002). Gejala ISPA berat yang ditandai dengan bibir atau kulit membiru, lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas, anak tidak sadar atau kesadarannya menurun, pernafasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah, sela iga tertarik kedalam pada waktu bernafas, nadi lebih cepat dari 160x permenit atau tidak teraba, tenggorokkan berwarna merah (Depkes 2002). Faktor risiko yaitu faktor yang mempengaruhi atau memudahkan terjadinya penyakit, tiga faktor risiko infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), yaitu : keadaan sosial ekonomi dengan cara mengasuh atau mengurus anak, keadaan gizi dan cara pemberian makanan, kebiasaan merokok dan pencemaran udara (Depkes 2002). Secara umum efek pencemaran udara terhadap saluran pernafasan dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat iritasi oleh bahan pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan penyempitan saluran pernafasan dan rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran pernafasan. Akibat dari hal tersebut akan menyebabkan kesulitan bernafas sehingga benda asing tertarik dan bakteri lain tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan, hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan (Mukono 1997) Faktor yang meningkatkan morbiditas, yaitu kurang gizi, BBLR, pemberian ASI tidak memadai, polusi udara, kepadatan dalam rumah kekurangan vitamin A dan vitamin C. Sedangkan faktor yang meningkatkan mortalitas, yaitu tingkat sosial ekonomi rendah, gizi kurang, BBLR, tingkat pendidikan ibu rendah, jangkauan pelayanan kesehatan rendah. ISPA bila mengenai saluran pernafasan bawah, khususnya pada bayi, anak-anak dan orang tua, memberikan gambaran klinik yang berat dan jelek, berupa bronchitis dan banyak berakhir dengan kematian. ISPA disebabkan karena virus maka wanita lebih rentan terkena dibandingkan dengan laki-laki namun pada waktu mensis mereka lebih tahan terhadap infeksi virus (Depkes 2002). Status Gizi Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat gizi oleh tubuh. Status gizi dapat dikatakan baik apabila pola makan kita seimbang artinya banyak dan jenis makanan yang kita makan sesuai dengan yang dibutuhkan tubuh. Status gizi seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain tingkat pendapatan, pengetahuan gizi dan budaya setempat. Tingginya pendapatan yang tidak diimbangi pengetahuan gizi yang cukup akan menyebabkan seseorang menjadi sangat konsumtif dalam pola makannya sehari-hari (Depkes 2002). Kondisi kesehatan anak saat diperiksa lebih banyak yang sakit pada kelompok status gizi bawah. Risiko kurang gizi juga lebih tinggi secara nyata bila konsumsi semua zat gizi pada anak lebih rendah. Riwayat kelahiran juga berperan dalam risiko kurang gizi antara lain tempat lahir dan penolong persalinan (Depkes 2002). Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan balita ada dua macam yaitu faktor dalam yaitu jumlah dan mutu makanan, kesehatan balita (ada atau tidaknya penyakit) sedangkan faktor luarnya yaitu tingkat ekonomi, pendidikan, perilaku orang tua atau pengasuh, sosial budaya / kebiasaan, kesediaan bahan makanan di rumah tangga (Depkes 2002). Banyak faktor yang mempengaruhi baik buruknya keadaan seorang balita. Keadaan gizi pada kehamilan merupakan penentu utama bagi kelangsungan hidup anak. Growth faltering (menurunnya pertumbuhan) merupakan tanda terjadinya keadaan gizi yang tidak baik. Kejadian ini bisa disebabkan oleh dua hal yaitu karena asupan makan yang salah atau tidak memenuhi gizi seimbang dan karena penyakit infeksi (Sumardi 1995 diacu dalam Fitri 2008). Hubungan yang signifikan antara status gizi dengan ISPA tidak lain karena status gizi sangat berpengaruh terhadap status imun atau kekebalan anak. Kurang gizi pada anak akan menyebabkan penurunan reaksi kekebalan tubuh yang berarti kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun. Hal inilah yang menyebabkan anak sangat potensial terkena penyakit infeksi seperti ISPA (Siswatiningsih 2001 diacu dalam Maitatorum 2009). Penelitian yang dilakukan Smith et al (1991) menyebutkan bahwa anak yang mengalami kurang gizi kronik berdampak terhadap sel imun mediasi dan produksi antibodi, sehingga memperbesar peluang terjadinya penyakit infeksi. Konsentrasi antibodi antipneumococcal pada anak kurang gizi juga sangat rendah, sehingga meningkatkan risiko terserang infeksi saluran pernafasan seperti ISPA (diacu dalam Maitatorum 2009). Disamping kurang gizi, anak yang mengalami gizi lebih juga mengalami risiko lebih tinggi terkena penyakit infeksi jika dibandingkan dengan status gizi normal. Seperti yang dikemukakan oleh Chandra (1991) yang menyatakan bahwa anak dengan status gizi lebih mempunyai penurunan jumlah limfosit, penurunan aktivitas sel Natural-killer (selNK) dan penurunan stimulasi limposit T jika dibandingkan dengan anak status gizi normal. Penurunan sistem kekebalan tubuh inilah yang menyebabkan anak potensial terkena penyakit infeksi (diacu dalam Maitatorum 2009). Parameter antropometri merupakan dasar dari penelitian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) (Arisman 2003). Tabel 1 Kategori Status Gizi Pada Berbagai Ukuran Antropometri Indeks BB/U TB/U BB/TB Kategori Gizi lebih : > 2.0 SD Gizi baik : - 2.0 SD s/d + 2.0 SD Gizi kurang : < - 2 SD Gizi buruk : < - 3 SD Normal : ≥ - 2 SD Pendek/stunted : < - 2 SD Gemuk : > 2.0 SD Normal : - 2 SD s/d + 2 SD Kurus/wasted : < - 2.0 SD Sangat kurus : < - 3 SD Sumber : Depkes (2000), Arisman (2003) Berat Badan menurut Umur (BB/U) Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter antropometri yang labil. Dalam keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan akan berkembang mengikuti pertambahan umur (Supariasa 2001). Sebaliknya dalam keadaan yang abnormal terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang secara cepat atau lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik badan yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status) (Supariasa 2001). Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertumbuhan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kurang gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu relatif lama (Supariasa 2001). Berdasarkan karakteristik tersebut di atas, maka indeks ini menggambarkan status gizi masa lalu. Beaton dan Bengoa (1973) menyatakan bahwa indeks TB/U disamping memberikan gambaran status masa lampau, juga lebih erat kaitanya dengan status sosial ekonomi (Supariasa 2001). Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan berat badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Jelliefe pada tahun 1966 telah memperkenalakan indeks ini untuk mengindentifikasi status gizi (Supariasa 2001) Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini (sekarang). Berdasarkan sifat-sifat tersebut, indeks BB/TB mempunyai beberapa kelebihan yaitu: tidak memerlukan data umum, dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal atau kurus) dan kelemahannya adalah : tidak dapat memberikan gambaran apakah anak tersebut pendek, cukup tinggi badan atau kelebihan tinggi badan menurut umumya, karena faktor umur tidak dipertimbangkan, dalam prakteknya sering mengalami kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang/tinggi badan pada kelompok balita. Membutuhkan dua macam alat ukur, pengukuran relatif lebih lama (Supariasa 2001). Konsumsi Pangan Menurut Riyadi (2006), konsumsi pangan seseorang atau sekelompok orang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Ada empat faktor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan sehari-hari, yaitu produksi pangan untuk keperluan rumah tangga, pengeluaran uang untuk pangan rumah tangga, pengetahuan gizi dan ketersediaan pangan. Sumarwan (2002) menyatakan bahwa memahami usia konsumen adalah penting karena konsumen yang berbeda usia akan mengkonsumsi produk dan jasa yang berbeda pula. Perbedaan usia juga akan mengakibatkan perbedaan selera dan kesukaan terhadap merk. Seorang yang berumur relatif muda akan relatif lebih cepat dalam menerima sesuatu yang baru. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat konsumsi pangan seseorang dalam memilih bahan pangan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang yang memiliki pendidikan tinggi cenderung memilih bahan pangan yang lebih baik dalam kuantitas maupun kualitas dibanding dengan orang yang berpendidikan rendah (Hardinsyah 1985 diacu dalam Permana 2006). Pekerjaan yang berhubungan dengan pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Terdapat hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi yang didorong oleh pengaruh yang menguntungkan dari pendapatan yang meningkat bagi perbaikan kesehatan dan masalah keluarga lainnya yang berkaitan dengan keadaan gizi. Apabila penghasilan keluarga meningkat, penyediaan lauk pauk pada umumnya juga meningkat mutunya (Suhardjo 1989). Menurut Suhardjo (1989), keluarga yang berpenghasilan rendah menggunakan sebagian besar dari keuangannya untuk pangan dan keluarga yang berpenghasilan tinggi akan menurunkan pengeluaran untuk pangan. Keluarga yang berpenghasilan rendah akan rendah pula jumlah uang yang dibelanjakan untuk pangan. Jika penghasilan menjadi semakin baik, jumlah uang yang dipakai untuk membeli makanan dan bahan makanan juga akan meningkat sampai tingkat tertentu dimana uang tidak dapat bertambah secara berarti. Besar keluarga akan mempengaruhi pendapatan per kapita dan pengeluaran untuk konsumsi pangan. Keluarga dengan banyak anak dan jarak kelahiran antar anak yang amat dekat akan menimbulkan lebih banyak masalah. Pangan yang tersedia untuk satu keluarga, mungkin tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga tersebut tetapi hanya mencukupi sebagian dari anggota keluarga itu (Martianto dan Ariani 2004 diacu dalam Rosyida 2010). Energi Manusia membutuhkan energi untuk menjalani hidup, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktifitas fisik. Energi tersebut diperolah dari karbohidrat, protein dan lemak yang ada dalam bahan makanan (Almatsier 2002). Manusia yang kurang makan akan lemah, baik daya kegiatan, pekerjaanpekerjaan fisik maupun daya pemikirannya karena kurangnya zat-zat makanan yang diterima tubuhnya yang dapat menghasilkan energi (Marsetyo 2005). Secara berturut-turut energi yang dibutuhkan tubuh untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut : untuk memenuhi kebutuhan energi basal, untuk aktifitas tubuh, untuk keperluan khusus (Moehji 2002). Kebutuhan energi seseorang menurut FAO/WHO (1985) adalah konsumsi energi berasal dari makanan yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi seseorang bila ia mempunyai ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat aktifitas yang sesuai dengan kesehatan jangka panjang, dan yang memungkinkan pemeliharaan fisik yang dibutuhkan secara sosial dan ekonomi (Almatsier 2002). Kebutuhan energi setiap anak berbeda-beda, walaupun pada umur yang sama, terutama oleh adanya perbedaan aktifitas fisik (Pudjiadi 2000). Pada anak masa sekolah, aktifitas anak lebih banyak, baik di sekolah maupun di luar sekolah, sehingga anak perlu energi lebih banyak. Pertumbuhan anak lambat tetapi pasti, sesuai dengan banyaknya makanan yang dikonsumsi anak (Soetjiningsih 2002). Energi yang digunakan untuk melakukan aktifitas dalam kehidupan sehari-hari didapatkan oleh tubuh dari energi yang dilepaskan di dalam tubuh pada proses pembakaran zat makanan (Irianto 2004). Setelah melakukan aktifitas fisik yang berat, seseorang akan mengalami proses oksidasi dalam sel yang lebih aktif dibandingkan apabila tidak melakukan gerak fisik yang berat. Keadaan ini mengakibatkan meningkatnya energi basal metabolisme (Suhardjo 1992). Zat-zat Gizi yang Berperan Dalam Imunitas Protein Protein merupakan komponen terbesar dari tubuh manusia setelah air (Winarno 2002), seperlima bagian tubuh adalah protein, setengahnya ada di dalam otot, seperlimanya di dalam tulang dan tulang rawan, sepersepuluh di dalam kulit, dan selebihnya di dalam jaringan lain dan cairan tubuh. Protein mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier 2004). Khusus untuk anak-anak, asupan protein di perlukan lebih tinggi daripada orang dewasa, karena mereka masih dalam masa pertumbuhan (Irianto 2004). Fungsi protein diantaranya untuk membantu pertumbuhan, pemeliharaan dan membangun enzim, hormon dan imunitas, oleh sebab itu protein sering kali disebut sebagai zat pembangun. Protein dibagi dua, yakni berasal dari hewani dan nabati. Sumber pangan yang mengandung protein antara lain ikan, telur, daging, susu dan kacang-kacangan (Almatsier 2004). Hasil kajian pemantauan konsumsi makanan yang dilaksanakan tahun 1995 sampai 1998 di wilayah pedesaan prevalensi rumah tangga defisit protein pada tingkat rumah tangga sudah tinggi pada tahun 1995. Mulai dengan prevalensi sebesar 35% rumah tangga defisit protein, kemudian berkurang menjadi 24% pada tahun 1996, akan tetapi terjadi kecenderungan meningkat dari tahun 1996 ke tahun 1998 (Latief dkk dalam WKNPG VII 2000). Vitamin A Diantara beberapa jenis zat gizi, vitamin A merupakan zat gizi yang telah banyak terbukti memiliki keterkaitan dengan status imunitas. Vitamin A merupakan senyawa poliisoprenoid yang mengandung cincin sikloheksenil. Vitamin A atau retinol merupakan istilah generik bagi semua senyawa dari sumber hewani yang memperlihatkan aktivitas biologik vitamin A. Senyawa tersebut disimpan dalam bentuk ester retinol di dalam hati. Di dalam sayur, vitamin A berwujud sebagai provitamin dalam bentuk pigmen β-karoten berwarna kuning (Murray 2003). β-karoten merupakan antioksidan dan mempunyai peran dalam menangkap radikal bebas peroksi di dalam jaringan pada tekanan parsial oksigen yang rendah (Murray 2003). Radikal bebas yaitu atom atau molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Adanya kecenderungan memperoleh elektron dari substansi lain menjadikan radikal bebas bersifat sangat reaktif. Namun, tidak semua jenis oksigen reaktif merupakan radikal bebas, diantaranya oksigen singlet (tunggal) dan H2O2 (Murray 2003). Karotenoid memperlihatkan kemampuannya dalam menghambat reaksi radikal bebas. β-caroten sangat efisien menurunkan radikal trichloromethylperoxyl (Sies dan Stahl 1995). Secara biologis karotenoid kurang aktif daripada retinol. Selain itu, sumber dietari karotenoid juga kurang diproses dan diserap secara efisisen di usus. Maka, untuk mencapai efek yang serupa dengan retinol, β-karoten vitamin A harus dicerna sebanyak enam kali lebih banyak (melalui massa makanan) (Sommer 2004). Sifat kimia vitamin A, yaitu kristal alkohol berwarna kuning dan larut dalam lemak atau pelarut lemak, stabil terhadap panas, asam, dan alkali. Namun demikian, vitamin A mudah sekali teroksidasi oleh udara dan akan rusak jika dipanaskan pada suhu tinggi bersama sinar, udara, dan lemak yang sudah tengik (Winarno 2002). Vitamin A penting untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh, kesehatan mata, melawan bakteri dan infeksi, mempertahankan kesehatan jaringan epitel, membantu pembentukkan tulang dan gigi (Hartono 2000). Antioksidan juga merupakan bahan yang menghambat atau mencegah keruntuhan, kerusakan atau kehancuran akibat oksidasi (Youngson 2005). Aktivitas enzim antioksidan meningkat pada alveolar macrophages perokok muda tanpa gejala, tapi sel yang serupa dari perokok umur tua memperlihatkan penurunan aktivitas dan terjadi ketidakseimbangan oksidan-antioksidan (Sridhar 1995). Selain itu, antioksidan juga merupakan suatu senyawa yang dapat menghambat atau mencegah kerusakan karena oksidasi pada suatu molekul target. Perusakan oksidatif adalah serangan dari molekul radikal bebas (superoksida, hidroksil radikal) atau molekul non radikal (singlet oksigen dan ozon) kepada molekul biologis (Sitompul 2003). Radikal bebas dapat terbentuk melalui pernafasan. Saat kita bernafas, akan masuk oksigen (O2) yang sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk proses pembakaran gula menjadi CO2, H2O, dan energi. Namun demikian, dengan bernafas atau oksigen yang berlebihan saat olahraga terjadi reaksi yang kompleks dalam tubuh dan menghasilkan produkproduk sampingan berupa radikal bebas, yaitu radikal oksigen singlet, radikal peroksida lipid, radikal hidroksil, dan radikal superoksida. Semua radikal bebas oksigen ini sangat cepat merusak jaringan-jaringan sel. Sehingga oksigen dapat menjadi pemasok radikal bebas. Saat kita menghirup udara terpolusi oleh asap rokok dan asap pembakaran bensin mobil dapat memicu terbentuknya radikal bebas seperti radikal oksigen singlet, yang dapat merusak jaringan paru (Kumalaningsih 2006). Peroksidasi lipid merupakan mekanisme umum kerusakan jaringan oleh radikal bebas yang diketahui bertanggungjawab pada kerusakan sel dan menyebabkan banyak kejadian patologis. Selama inflamasi paru, peningkatan jumlah ROS (Reactive Oxygen Species) dan RNI (Reactive Nitrogen Intermediates) diproduksi sebagai konsekuensi letusan phagocytic pernafasan. Produksi Reactive Oxygen Species (ROS) oleh phagocytes aktif dapat disebabkan oleh mikrobakteria. Meskipun hal tersebut merupakan bagian penting dalam pertahanan melawan mikrobakteria, hasil perluasan ROS dapat mengakibatkan luka pada jaringan dan inflamasi. Hal ini dapat berkontribusi lebih jauh pada immunosuppression, terutama dengan kapasitas antioksidan yang tidak berpasangan, diantaranya pasien yang terinfeksi HIV. Selain itu, malnutrisi yang terjadi pada pasien TB dapat menambah kapasitas antioksidan yang tidak berpasangan dalam pasien tersebut (Reddy et al 2004). Reactivate oxygen species terjadi pada jaringan dan dapat merusak DNA, protein, karbohidrat, dan lemak. Reaksi penghapusan yang potensial diawasi oleh sistem antioksidan enzimatik dan non enzimatik yang menghilangkan prooksidan dan mencari radikal bebas. Kemampuan karotenoid larut lemak adalah untuk memadamkan molekul oksigen singlet dapat menjelaskan beberapa sifat karotenoid, tidak tergantung pada aktivitas provitamin A (Mascio et al 1991). Kaitan antara Vitamin A dan Kejadian Infeksi Menurut Supariasa (2002) Penyakit infeksi berkaitan dengan keadaan gizi kurang sehingga merupakan hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang buruk akan mempermudah terjadinya infeksi. Berikut adalah bagan kaitan antara vitamin A dan kejadian infeksi. infeksi Perubahan Integrasi Epitel Jaringan Limfoid Imunitas Spesifik Mekanisme Non Spesifik dll Panas, Gangguan nafsu makan, Gangguan absorpsi Gangguan utilisasi dll Kekuarangan Vitamin A Gambar 1 Bagan interelasi antara kurang vitamin A (KVA) dengan infeksi Tingkat keparahan penyakit selalu berkorelasi dengan tingkat defisiensi vitamin A. Kematian selalu berhubungan dengan infeksi diantaranya pneumonia dan diare berat. Pemberian vitamin A dosis besar dapat menurunkan risiko kematian akibat infeksi (Rolfes et al 2006). Untuk mengurangi pengaruh infeksi dan memperbaiki status gizi, pasien dianjurkan untuk menjalani diet yang dianjurkan oleh ahli gizi. Vitamin E Fungsi utama vitamin E adalah sebagai antioksidan yang larut dalam lemak dan mudah memberikan hidrogen dari gugus hidroksil (OH) pada struktur cincin ke radikal bebas. Radikal bebas adalah molekul-molekul reaktif dan dapat merusak, yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Bila menerima hidrogen, radikal bebas menjadi tidak reaktif. Pembentukan radikal bebas terjadi didalam tubuh dalam proses metabolisme aerobik normal pada waktu oksigen secara bertahap direduksi menjadi air. Radikal bebas yang dapat merusak itu juga diperoleh tubuh dari benda-benda polusi, ozon dan asap rokok (Almatsier 2004). Walaupun vitamin E adalah antioksidan larut lemak utama di dalam membran sel, konsentrasinya sangat kecil yaitu satu molekul per 2000-3000 molekul fosfolipida. Diduga terjadi regenerasi dengan bantuan vitamin C atau reduktase lain yang mereduksi radikal vitamin E ke bentuk aslinya. Sumber utama vitamin E adalah minyak tumbuh-tumbuhan, terutama minyak kecambah gandum dan biji-bijian. Minyak kelapa dan zaitun hanya sedikit mengandung vitamin E. Sayuran dan buah-buahan juga merupakan sumber vitamin E yang baik. Daging, unggas, ikan, dan kacang-kacangan mengandung vitamin E dalam jumlah terbatas (Almatsier 2004). Vitamin C Vitamin C merupakan vitamin yang larut dalam air, tidak tahan terhadap panas dan dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak. Vitamin C membantu spesifik enzim dalam melakukan fungsinya. Vitamin C juga berperan sebagai antioksidan. Vitamin C juga penting untuk membentuk kolagen, serat, struktur protein serta meningkatkan ketahanan tubuh terhadap infeksi dan membantu tubuh menyerap zat besi (Almatsier 2004) Vitamin C diperlukan pada pembentukan zat kolagen oleh fibroblast hingga merupakan bagian dalam pembentukan zat intersel. Keadaan kekurangan vitamin C akan mengganggu integrasi dinding kapiler. Vitamin C diperlukan proses pematangan eritrosit dan pada pembentukan tulang dan dentin, vitamin C mempunyai peranan penting pada respirasi jaringan (Pudjiadi 2001). Vitamin C banyak sekali manfaatnya salah satunya adalah mencegah infeksi, kemungkinan karena pemeliharaan terhadap membran mukosa atau pengaruh terhadap fungsi kekebalan. Menurut Pauling, mengemukakan bahwa mengkonsumsi vitamin C dalam dosis tinggi dapat menyembuhkan infeksi (Almatsier 2004). Jeruk, brokoli, sayuran berwarna hijau, kol (kubis), melon dan stawberi mempunyai kandungan vitamin C yang tinggi. Selain dari sayuran dan buahbuahan vitamin C juga terdapat dalam makanan hewani seperti hati, ginjal tapi yang paling banyak mengandung vitamin C terdapat dalam buah-buahan dan sayuran (Marsetyo 2005). Sama seperti vitamin A, vitamin C juga jika berlebihan ataupun kekurangan akan menimbulkan masalah, diantaranya jika kekurangan vitamin C akan mengakibatkan skorbut, anemia, perdarahan gusi serta depresi dan gangguan saraf. Kelebihan juga akan mengakibatkan hal yang tidak baik seperti hiperoksaluria dan resiko lebih tinggi terhadap batu ginjal (Almatsier 2004). Kebutuhan vitamin C pada manusia itu berbeda sesuai dengan golongan umurnya, peningkatan konsumsi vitamin C dibutuhkan dalam keadaan stress psikologik atau fisik, seperti luka, panas tinggi atau suhu lingkungan tinggi dan pada perokok. Apabila dimakan dalam jumlah melebihi kecukupan atau dalam jumlah sedang, sisa vitamin C akan dibuang dari tubuh tanpa perubahan. Sedangkan pada tingkat lebih tinggi (500 mg) atau lebih akan dimetabolisme menjadi asam oksalat. Dalam jumlah banyak asam oksalat dapat berubah menjadi batu ginjal (Pudjiadi 2001). Tabel 2 Angka Kecukupan Gizi Vitamin C yang di Anjurkan Pada Berbagai Kelompok Usia No Kelompok Umur Anak 1. 0 - 6 bulan 2. 7 - 11 bulan 3. 1 – 3 tahun 4. 4 – 6 tahun Depkes RI 2005 BB TB Vit C Kg Cm Mg 6.0 8.5 12.0 17.0 60 71 90 110 40 40 40 45 Vitamin C pada umumnya hanya terdapat di dalam pangan nabati, yaitu sayur dan buah terutama yang asam (Almatsier 2004). Jeruk, brokoli, sayuran berwarna hijau, kol (kubis), melon dan stawberi mempunyai kandungan vitamin C yang tinggi. Selain dari sayuran dan buah-buahan vitamin C juga terdapat dalam makanan hewani seperti hati, ginjal tapi yang paling banyak mengandung vitamin C terdapat dalam buah-buahan dan sayuran (Marsetyo 2005). Seng Di Indonesia, data defisiensi seng masih terbatas. Sejauh ini belum dijumpai penelitian seng dalam skala besar di Indonesia. Hal ini disebabkan rentannya kontaminasi penanganan spesimen sejak persiapan, pelaksanakan dan pemrosesan baik di lapangan maupun di laboratorium untuk penentuan seng. Secara keseluruhan, sekitar 800.000 anak yang meninggal per tahun berkaitan dengan defisiensi seng. Kematian dan peningkatan penyakit infeksi ini mengakibatkan 1,9% dari keseluruhan DALYs (Disability Adjusted Life Years) yang berkaitan dengan defisiensi seng. Menurut WHO, secara global jumlah tersebut terjadi 10,8 juta kematian anak per tahun berkaitan dengan defisiensi seng, vitamin A, dan besi, atau sekitar 19% keseluruhan kematian anak. Pengaruh suplementasi seng terhadap penyakit infeksi saluran nafas akut (ISPA) masih belum jelas, akan tetapi suplementasi seng dapat mengurangi morbiditas ISPA melalui perbaikan meningkatkan fungsi imun, termasuk sistem imun. Suplementasi seng hipersensitivitas tipe lambat, dan meningkatkan jumlah limfosit CD4 (helper). Pada penelitian eksperimental, defisiensi seng terbukti mengganggu fungsi imun seluler dan humoral. Gangguan fungsi imun ini menyebabkan anak rentan terhadap penyakit infeksi termasuk ISPA (Bhandari et al diacu dalam Sudiana 2005). Defisiensi seng menyebabkan gangguan fungsi imun non spesifik seperti kerusakan epitel saluran nafas, menggangu fungsi leukosit PMN, sel natural killer dan aktivitas komplemen dan fungsi imun spesifik seperti penurunan jumlah sitokin. Gangguan fungsi imun non spesifik dan spesifik tersebut akhirnya memudahkan anak menderita ISPA (Shankar et al diacu dalam Sudiana 2005). Besi Mineral yang penting bagi pekerja adalah zat besi (Fe). Fungsi zat besi adalah untuk membentuk hemoglobin yang berfungsi untuk mengangkut oksigen yang sangat diperlukan pada proses metabolisme di dalam sel, pembentukan energi. Kekurangan zat besi akan berakibat anemia (Mahan 2000). Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan. Yaitu sebanyak 3-5 gr di dalam tubuh manusia dewasa, besi mempunyai beberapa fungsi essensial dalam tubuh, sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Sebagai alat angkut elektron di dalam sel dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi di dalam jaringan tubuh. (Almatsier 2004). Sebelum di absorpsi di dalam lambung, besi di bebaskan dari ikatan organik protein. Hal ini terjadi dalam suasana asam di dalam lambung dengan adanya HCL dan Vitamin C yang terdapat di dalam makanan. Absorbsi terjadi di bagian usus halus. Besi dalam makanan terdapat dalam bentuk besi hem seperti yang terdapat dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani dan besi non hem dalam makanan nabati. Besi hem di absorpsi di dalam sel mukosa sebagai kompleks feritin utuh. Taraf absorbsi besi di atur oleh mukosa saluran cerna yang di tentukan oleh kebutuhan tubuh, transferin mukosa yang di keluarkan ke dalam empedu berperan sebagai alat angkut protein yang bolak-balik membawa besi kepermukaan sel usus halus untuk di ikat oleh transferin reseptor dan kembali ke rongga untuk mengangkut besi lain (Winarno 2002). Defisiensi besi merupakan defisiensi gizi yang paling umum terdapat, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Defisiensi besi terutama menyerang golongan rentan seperti anak-anak, remaja, ibu hamil dan menyusui serta pekerja berpenghasilan rendah. Kekurangan besi terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama terjadi bila simpanan besi berkurang yang dilihat dari penurunan feritin dalam plasma hingga 12 ug/L. Tahap kedua terlihat dengan habisnya simpanan besi. Tahap ketiga terjadi anemia gizi besi terlihat dari kadar hemoglobin total turun di bawah nilai normal. Anemia gizi besi merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia. Sebagian besar anemia gizi ini disebabkan karena makanan yang kurang mengandung besi (Almatsier 2004). Tabel 3 Bahan makanan sumber besi Bahan makanan Berat (gr) Kandungan besi (mg) Tempe 100 10.0 Kacang kedelai kering 100 8.0 Udang segar 100 8.0 Kacang hijau 100 6.7 Hati sapi 100 6.6 Daun kacang panjang 100 6.2 Kacang merah 100 5.0 Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan Depkes (1979). Almatsier (2001) Angka Kecukupan Gizi Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua penduduk menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu, seperti kehamilan dan menyusui (Riyadi 2006). Kecukupan gizi merupakan suatu taraf asupan yang dianggap dapat memenuhi kecukupan gizi semua orang sehat menurut berbagai kelompoknya sehingga kebutuhan pangan hanya diperlukan secukupnya (Khumaidi 1994). Kecukupan pangan dapat diukur secara kualitatif dan kuantitatif. Ukuran kualitatif meliputi nilai sosial dan cita rasa beragam jenis pangan, sedangkan nilai kuantitatif yang umum digunakan yakni kandungan gizi. Almatsier (2004) menyatakan bahwa angka kecukupan gizi adalah taraf konsumsi zat-zat gizi essensial yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat. Kegunaannya untuk berbagai keperluan yang menyangkut populasi, seperti merencanakan dan menyediakan suplai pangan untuk penduduk atau kelompok penduduk.