BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diskursus

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diskursus mengenai kebebasan kehendak selalu menarik dan menantang,
sebab persoalan kebebasan kehendak adalah salah satu tema yang penting dan
esensial di dalam kehidupan manusia. Bertocci (1951: 234) menyebutkan bahwa
jika tidak ada kebebasan kehendak maka “benar” dan “salah” menjadi tidak
bermakna. Persoalan kebebasan kehendak menyentuh hampir seluruh hal-hal yang
dekat dengan kehidupan manusia, baik secara sadar maupun tidak sadar.
Meskipun demikian pemahaman umum bahwa manusia memiliki pilihan bebas
terus memunculkan pertanyaan yang tidak pernah berakhir: apakah pilihan bebas
benar-benar ada atau hanya sebuah ilusi? Apakah manusia bisa bertindak sesuai
dengan apa yang ia kehendaki, atau ia hanya bertindak berdasarkan apa yang
sudah terjadi pada dirinya? Jika takdir dan nasib itu ada, maka apakah manusia
masih bisa dikatakan memiliki kehendak bebas? Jika Tuhan itu ada, maka apakah
manusia bisa memperoleh kebebasan? Jika segala sesuatu telah ditentukan
sebelumnya maka apakah perbuatan manusia masih bermakna dan dapat
dipertanggungjawabkan secara moral?
1
2
Ide tentang kebebasan kehendak bukan merupakan ide yang baru tetapi telah
diwariskan dari zaman kuno (Frede, 2011: 1). Ide tersebut dapat ditelusuri secara
historis mulai dari drama-drama tragedi Yunani kuno yang ditulis Homer dan
Sophocles; Plato dan Aristoteles; Stoisisme dan Epikureanisme; Agustinus,
Anselmus dan Thomas Aquinas pada abad pertengahan; Leibniz, Descartes, Hume
dan Kant; Schopenhauer dan Freud; Nietzsche, Kierkegaard dan filsuf
eksistensialisme seperti Sartre dan Camus; sampai pada filsuf kontemporer seperti
William James, Wittgenstein, Whitehead dan sebagainya, hingga filsuf muda
sekaligus ilmuwan ateis seperti Sam Harris.
Historisitas yang panjang tersebut menunjukkan bahwa perdebatan di seputar
persoalan kebebasan kehendak telah menjadi salah satu isu sentral di dalam
filsafat. Kebebasan kehendak, seperti beberapa isu sentral filsafat lainnya, bukan
merupakan isu tunggal yang berdiri sendiri. Persoalan kebebasan kehendak erat
kaitannya dengan persoalan-persoalan yang lain seperti moralitas, kosmologi,
politik, ekonomi, agama, psikologi, sains, bahkan hukum dan kriminologi. Hal ini
menunjukkan bahwa persolan kebebasan kehendak meliputi wilayah yang luas.
Misalnya, dalam kaitannya dengan moralitas, kebebasan kehendak berhubungan
erat dengan persoalan tanggung jawab moral; dalam kosmologi, kebebasan
manusia berhubungan dengan letak dan posisi manusia di dalam alam semesta dan
hukum fisika; kaitannya dengan psikologi, persoalan kebebasan berhubungan
dengan kondisi mental manusia baik secara sadar maupun bawah sadar; dalam
sains, khususnya dalam neurologi, persoalan kebebasan berhubungan dengan
3
neuron-neuron yang ada di dalam otak manusia; di dalam agama, persoalan
kebebasan kehendak berkaitan dengan relasi antara manusia dengan Tuhan, juga
berhubungan erat dengan persoalan kejahatan.
Pada zaman pra-pencerahan, manusia percaya bahwa kebebasan adalah
rahmat yang diberikan Tuhan yang maha kuasa kepada manusia, seperti yang
tercermin dalam pemikiran Agustinus dan Anselmus. Pada zaman pencerahan,
kebebasan rasio telah menuntun manusia pada pencapaian-pencapaian baru dalam
ilmu pengetahuan, dan juga bebas dan merdeka dari segala macam otoritas. Pada
zaman kontemporer, kebebasan semakin terasa mendesak, sebab kebebasan tidak
hanya sekedar disadari sebagai bagian dari diri tetapi juga sebagai harapan dan
keinginan untuk membentuk kehidupan yang lebih bernilai. Kebebasan menjadi
identik dengan ideal tertinggi kemanusiaan. Kebebasan akhirnya tiada lain berarti
“tahap kemanusiaan tertinggi” alias humanum (Hans Kung); atau juga biasa
disebut “kematangan identitas” (Erik Erikson); “kesadaran moral universal”
(Kohlberg); “keutuhan kepribadian”, dan sebagainya (Sugiharto, 2000: 262).
Roth menyebutkan bahwa pada zaman kontemporer, kesadaran akan
kebebasan telah menjadi jantung pemahaman diri manusia. Terlepas dari segala
keterbatasan, manusia semakin memahami bahwa dunia yang ditempatinya adalah
sebuah dunia yang berubah dan berproses, yang mana manusia merupakan
kekuatan-kekuatan yang aktif dan bebas dalam menentukan arah dunia dan
kehidupan manusia itu sendiri (Roth, 2003: 19). Manusia kontemporer tidak
hanya menyadari kebebasan sebagai bagian integral di dalam dirinya yang
4
mengubah pandangannya terhadap dunia, tetapi juga menaruh kebebasan ke
dalam keinginan dan harapan yang utama. Harapan agar menjadi manusia yang
bebas, baik secara sosial, politik, ekonomi, maupun hukum. Dengan demikian,
kebebasan telah menjadi common sense bagi manusia modern.
Harapan dan optimisme yang dihembuskan oleh angin kebebasan nyatanya
juga turut mengikutsertakan hal-hal yang justru bertentangan dengan prinsipprinsip kebebasan: Kolonialisme dan imperialisme, Perang Dunia I dan II,
Nazisme, Fasisme, Apartheid, Chernobyl, ancaman perang nuklir dan sebagainya.
Di dalam masyarakat modern, yang secara filosofis didasarkan oleh paradigma
individualistik
dan dualisme-mekanistik, terbukti telah membawa krisis
multidimensi yang mendalam bagi peradaban manusia. Krisis global yang
menggelisahkan ini dilukiskan dengan baik oleh Fritjof Capra di dalam karyanya
The Turning Point:
Pada awal dua dasawarsa terakhir abad kedua puluh, kita menemukan diri
kita berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks
dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan
kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial,
ekonomi, teknologi, dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensidimensi intelektual, moral, dan spiritual (Capra, 1997: 3).
Krisis multidimensional dalam skala global tersebut mengakibatkan manusia
kontemporer hidup dalam sebuah dunia yang ambigu di mana perasaan optimisme
dan harapan, yang ditumbuhkan oleh pengalaman dan keinginan akan kebebasan,
sering berbenturan dengan perasaan akan datangnya malapetaka, yang disebabkan
5
oleh pengalaman manusia mengenai kemungkinan kejahatan riil yang belum
pernah terjadi sebelumnya (Roth, 2003: 21). Ambiguitas manusia modern antara
kebebasan dan kejahatan, menandakan bahwa persoalan kebebasan kehendak
harus dikaji ulang.
Di dalam filsafat agama kontemporer, persoalan kebebasan kehendak dan
kejahatan adalah persoalan yang pelik dan membingungkan. Alasan adanya
kejahatan
real
yang
semakin
meningkat,
membuat
ateisme
menolak
kemahakuasaan Tuhan, dan pada akhirnya menolak keberadaan Tuhan.
Bagaimana mungkin Tuhan yang Mahakuasa, Mahatahu, bisa membiarkan adanya
kejahatan di dunia? Jikalau apa yang diciptakan Tuhan itu baik adanya maka
mengapa ada kejahatan? Apabila kebebasan itu diberikan Tuhan kepada manusia
sebagai sesuatu yang baik, maka mengapa kebebasan manusia justru melahirkan
adanya kejahatan? Jika takdir Tuhan itu ada maka apakah kebebasan manusia
sesungguhnya adalah ilusi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa
persoalan kebebasan kehendak sesungguhnya mengemuka atau pertama kali
muncul dalam konteks agama (Kane, 2005: 147).
Persoalan kebebasan kehendak dalam konteks filsafat agama dan teologi telah
mulai dibahas sejak abad pertengahan oleh Agustinus dalam dua karyanya, On
The Free Choice dan On Grace and Free Choice. Sedangkan pada Anselmus,
terdapat pada dua karyanya, On Free Will dan On the Fall of the Devil. Pada
Agustinus dan Anselmus, juga pada Thomas Aquinas, kebebasan kehendak
manusia dilihat dalam hubungannya dengan sifat, kebebasan dan pra-pengetahuan
6
Tuhan. Namun, persoalan kebebasan kehendak berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman. Apa yang menjadi perhatian Agustinus, Anselmus dan
Aquinas, pada zaman modern telah berkembang dalam bentuk yang semakin
kompleks dan multidimensional. Pada zaman modern, persoalan kebebasan
kehendak tidak hanya berhubungan dengan permasalahan teologis semata, tetapi
juga berpengaruh dan dipengaruhi oleh kemajuan sains. Kebebasan manusia tidak
selalu berhubungan dengan Tuhan, tetapi juga kepada sesama manusia dan
lingkungannya.
Apabila persoalan kebebasan kehendak ditarik ke dalam konteks agama,
maka perubahan-perubahan
yang terjadi di dalam tubuh agama juga
mempengaruhi persoalan kebebasan kehendak. Di dalam masyarakat arkhais,
agama mengambil peranan penting untuk melindungi seseorang dari kekuatan
alam yang jahat. Seperti yang dikatakan Freud (1961: 21), bahwa ide-ide religius
pada awalnya lahir dari dorongan kebutuhan akan adanya pertahanan dalam diri
seseorang untuk melawan kekuatan alam yang menghancurkan. Tetapi, di era
modern, pandangan, konsep dan definisi agama mengalami perubahan seiring
dengan perkembangan sains dan perubahan sosial di dalam masyarakat. Terlepas
dari segala angin perubahan dan kemajuan yang menyertainya, modernisme
membawa sikap skeptisisme terhadap agama yang semakin memuncak dan tidak
terdamaikan. Hal ini jelas berpengaruh pada ide mengenai kebebasan kehendak.
Pada tahap awal modernisme, Galileo, Descartes, Newton telah menginisiasi
konsep ontologi dualistik. Dualisme membagi dunia ke dalam dua substansi,
7
yakni jiwa dan materi. Hanya substansi jiwa yang bebas, sedangkan substansi
materi bergerak secara mekanistik sesuai dengan hukum-hukum fisika. Dualisme
dalam perkembangannya bergeser kepada materialisme yang tidak lagi mengakui
adanya jiwa sebagai suatu substansi yang bebas. Jiwa, mental dan aspek nonmaterial lainnya hanya merupakan fenomena yang terjadi di dalam otak manusia.
Dengan demikian kebebasan manusia ditolak, sebab seperti halnya perilaku
sebuah materi, perilaku manusia telah dideterminasi sesuai dengan hukum-hukum
alam dan fisika yang dapat diprediksi. Dengan demikian, di abad modern, pada
satu sisi, manusia memercayai bahwa kebebasan adalah hal yang penting, namun
pada sisi lain kemajuan sains justru mengecilkan arti kebebasan pada manusia.
Griffin membenarkan hal tersebut, ia sependapat dengan Whitehead yang
menjelaskan bahwa di abad modern, sejak kelahirannya, terdapat dua intuisi yang
saling berkonflik yakni antara intuisi terhadap kebebasan dengan intuisi terhadap
determinisme. Griffin mengkategorikan intuisi terhadap kebebasan sebagai salah
satu dari apa yang disebut sebagai “hard-core commonsense”. Kebebasan yang
dimaksud
Griffin
adalah
kebebasan
dalam
artian
penentuan-diri
(self-
determination) yang meliputi kemampuan untuk memilih di antara beberapa
alternatif, dan juga kemampuan untuk bertindak sebaliknya. Pada sisi lain, intuisi
terhadap determinisme digolongkan sebagai “soft-core commonsense”. Intuisi
tersebut berakar pada perkembangan ilmu fisika modern melalui observasi dan
eksperimentasi saintifik terhadap perilaku benda-benda – seperti bintang, laut,
8
lempengan tektonik, bola billiard dan komputer – yang sepenuhnya bersifat
deterministik dan dapat diprediksi.
Dua intuisi yang saling berkonflik tersebut memberikan warna yang unik
pada perdebatan di seputar persoalan kebebasan kehendak di abad modern, jika
dibandingkan dengan perdebatan di abad-abad sebelumnya. Hal ini disebabkan
karena pada zaman Yunani kuno hingga abad pertengahan, kemajuan ilmu
pengetahuan belum terlalu maju sehingga tidak cukup signifikan untuk
memengaruhi doktrin mengenai kebebasan kehendak.
Berdasarkan uraian di atas, penulis beranggapan bahwa persoalan kebebasan
kehendak di abad modern sangat menarik untuk diteliti. Ada beberapa alasan
mengapa pemikiran David Ray Griffin dipakai sebagai objek material dalam
penelitian ini. Pertama, pemikiran David Ray Grifiin menjadi sangat menarik
disebabkan pemikirannya tentang kebebasan kehendak disesuaikan secara
kontekstual dengan perkembangan ilmu pengetahuan seperti dalam ilmu fisika,
biologi dan psikologi.
Kedua, pemikiran David Ray Griffin mengenai kebebasan kehendak
berdasarkan pada teologi postmodernisme rekonstruktif, yang disebut Griffin
(2005a: 18) sebagai
teisme naturalistik yang berbeda
dengan
teisme
supernaturalistik dalam teologi zaman pramodern dan modern awal, juga berbeda
dengan naturalisme nonteistik dalam pandangan dunia modern akhir. Sehingga
konsep kebebasan kehendak yang dikemukakan Griffin adalah revisi terhadap
konsep kebebasan kehendak yang dikemukakan oleh pandangan supernaturalistik
9
zaman pramodern seperti dalam pemikiran Agustinus, Anselmus dan Thomas
Aquinas. Griffin mengubah pandangan mengenai sifat dan pengetahuan Tuhan
yang mahakuasa, sempurna dan mahatahu, yang berimbas pada nihilnya
kebebasan kehendak pada manusia dan menjadi awal dari persoalan kejahatan.
Griffin juga mengkritik konsep-konsep modernisme seperti dualisme, deisme,
materialisme dan ateisme yang membawa pengaruh besar terhadap penolakan
terhadap kebebasan kehendak.
Ketiga, pemikiran David Ray Griffin mengenai kebebasan kehendak tidak
hanya berhubungan dengan relasi antara manusia dengan Tuhan, tetapi juga
berkaitan dengan
relasi
antara manusia dengan sesama manusia
dan
lingkungannya. Pandangan ini didasarkan oleh keyakinan Griffin bahwa agama
selain bersifat individual tetapi juga memiliki visi pandangan dunia (worldview)
yang bersifat komunal. Worldview ini menunjukkan bahwa manusia adalah
makhluk yang religius, yang selalu berupaya untuk mencari makna (meskipun
secara tidak sadar), dan bahwa ini dilakukan dengan berusaha untuk bersikap
selaras dengan bentuk kenyataan dunia yang paling mendasar sejauh pemahaman
(Griffin, 2005b: 191). Dengan demikian agama tidak hanya sekedar iman
kepercayaan tetapi juga aksi praktis yang bermanfaat terhadap sesama manusia
dan lingkungan. Dengan landasan pemikiran tersebut, kebebasan kehendak tidak
hanya berhenti sebagai persoalan manusia dengan dirinya sendiri, kejahatan, atau
persoalan manusia dengan Tuhan, tetapi juga persoalan kebebasan manusia dalam
berkreativitas demi membangun sebuah dunia yang lebih baik di masa depan.
10
Alasan keempat, dalam rangka membangun sebuah dunia yang lebih baik di
masa depan, Griffin mengungkapkan arti pentingnya kebebasan kehendak dalam
hubungannya dengan pluralisme keberagamaan dalam tingkat global. Griffin
(2005c: 3-4) berpendapat bahwa pluralisme adalah salah satu hal yang vital dan
penting sebagai solusi atas krisis global yang terjadi sekarang seperti perang,
imperialisme, senjata penghancur massal, pelanggaran HAM, genocide, dan krisis
lingkungan.
Berdasarkan alasan-alasan seperti yang diuraikan di atas, peneliti
berasumsi bahwa pemikiran David Ray Griffin mengenai kebebasan kehendak
sangat relevan dan mampu memberikan kontribusi penting bagi proses kehidupan
keberagamaan di Indonesia. Kenyataan menunjukkan bahwa kehidupan
keberagamaan di Indonesia tidak pernah lepas dari masalah, oleh sebab itu
peneliti berharap bahwa pemikiran David Ray Griffin mengenai kebebasan
kehendak dapat memperluas khazanah pemikiran dalam mencapai solusi terbaik
dalam memecahkan masalah yang muncul dalam proses kehidupan keberagamaan
di Indonesia.
1.
Perumusan Masalah
Masalah yang melatarbelakangi penelitian tesis ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
a.
Bagaimana konsep umum mengenai kebebasan kehendak?
b.
Apa pokok-pokok pemikiran David Ray Griffin?
11
c.
2.
Apa pemikiran David Ray Griffin mengenai kebebasan kehendak?
Keaslian Penelitian
Diskursus mengenai kebebasan manusia adalah objek umum dalam ilmu
filsafat yang telah banyak diteliti sebelumnya. Dalam lingkungan akademik
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, penulis menemukan beberapa peneliti
yang telah membahas kebebasan manusia dalam sudut pandang yang beragam,
antara lain:

“Refleksi tentang Kebebasan dalam Teologi Islam Rasional: Telaah
Filosofis Pemikiran Harun Nasution” (tesis, M. Baharudin, 2001). M.
Baharuddin menemukan bahwa dalam pemikiran Harun Nasution,
kebebasan yang dimiliki manusia tidak bersifat absolut, sebab kebebasan
manusia dibatasi oleh dua hal yaitu: unsur materi yang terdapat di dalam
diri manusia, dan sunnatullah. Harun Nasution juga menyatakan bahwa
Tuhan tidak memiliki kekuasaan dan kehendak mutlak. Kemutlakan
Tuhan telah dibatasi oleh beberapa hal, yaitu: unsur materi yang terdapat
pada diri manusia yang sifatnya terbatas, pemikiran rasional dan
sunnatullah yang bersifat determinisme, serta kebebasan manusia.
Namun, menurut Harun Nasution hal-hal yang membatasi kekuasaan dan
kehendak Tuhan tersebut adalah atas kehendak Tuhan sendiri. Pemikiran
Harun Nasution tidak sejalan dengan konsep kebebasan Epikurus
maupun konsep kebebasan Jean-Paul Sartre yang menyingkirkan Tuhan,
12
namun paralel dengan aliran teologi Islam klasik Mu’tazilah dan
pemikiran pembaharauan Islam Muhammad Abduh.

“Makna Kebebasan Dalam Perspektif Filsafat Hannah Arendt” (tesis,
Ari Rohmawati, 2010). Ari Rohmawati menemukan bahwa dalam
pemikiran Hannah Arendt, kebebasan manusia bukan hal yang dapat
begitu saja dimiliki manusia. Kebebasan perlu diperjuangkan, dan salah
satu aktivitas manusia untuk mendapatkan kebebasan adalah dengan
tindakan politik yang dilakukan di dalam ruang publik dalam suatu badan
politik. Dengan demikian, hanya wilayah publik dalam suatu badan
politik yang mampu mewujudkan kebebasan manusia. Badan politik
yang dimaksud Arnedt adalah Negara yang memiliki badan hukum,
sehingga
individu
yang
menjadi
warga
Negara
akan
mampu
merealisasikan dan kebebasannya

“Dimensi Ontologis Kebebasan Menurut Erich Fromm: Relevansinya
bagi Pengembangan Pers di Indonesia” (Disertasi, Nana Sutikna, 2013).
Nana Sutikna menemukan bahwa Erich Fromm memaknai kebebasan
sebagai orientasi struktur karakter dan sebagai kemampuan untuk
memilih. Erich Fromm mengkiritik bahwa manusia modern telah berhasil
meraih kebebasan negative (“bebas dari”), yakni bebas dari penentuan
naluri dan belenggu alam, namun belum mampu merealisasikan
kebebasan positif (“bebas untuk”), yakni untuk mencapai realisasi diri
yang produktif dan mandiri. Ada tiga dimensi ontologis dalam pemikiran
13
Erich Fromm mengenai kebebasan, yakni: (1) dimensi otonomi
kebebasan, (2) dimensi dinamika kebebasan, dan (3) dimensi materialitas
kebebasan.
Dilihat
dari
dimensi
pertama,
kebebasan
positif
mengimplikasikan prinsip bahwa tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi
daripada diri-individu yang unik. Dilihat dari dimensi kedua, kebebasan
berkembang sesuai dengan struktur karakter manusia/masyarakat. Dilihat
dari dimensi ketiga, kebebasan lebih berorientasi pada upaya pencapaian
kanikmatan materi dan penguasaan alam material.
Selain penelitian dalam bentuk tesis dan disertasi seperti yang telah
disebutkan di atas, penulis juga menemukan sebuah penelitian di dalam negeri
dalam bentuk buku yang ditulis oleh Dr. Nico Syukur Dister, berjudul Filsafat
Kebebasan (Kanisius, 1988). Buku tersebut membahas persoalan kebebasan
kehendak secara umum dengan mencoba menganalisis persoalan-persoalan
mendasar mengenai kebebasan kehendak, juga melihat perkembangan ide
mengenai kebebasan dalam lintasan sejarah. Namun, di dalam buku ini tidak satu
pun pemikiran David Ray Griffin disinggung.
Selain buku karya Dr Nico Syukur Dister yang terbit di dalam negeri, secara
global sudah banyak sekali penelitian dalam bentuk jurnal maupun buku yang
membahas mengenai kebebasan kehendak. Beberapa buku tersebut, penulis pakai
sebagai referensi dalam penelitian ini yang dapat dilihat dalam daftar pustaka.
Sejauh yang ditelusuri, penulis belum menemukan di dalam penelitian-penelitian
14
tersebut yang secara khusus membedah pemikiran David Ray Griffin mengenai
kebebasan kehendak ditinjau dari perspektif filsafat agama. Akan tetapi, tidak
menutup peluang bahwa mungkin saja sudah ada penelitian mengenai subyek
tersebut di luar jangkauan pengetahuan penulis. Meskipun demikian, penulis
berkeyakinan bahwa penelitian ini bukan merupakan plagiasi atas karya penulis
yang lain.
3.
Manfaat Penelitian
Penelitian filsafat tidak hanya sekedar petualangan intelektual belaka, tetapi
juga mampu menghembuskan angin perubahan sosial dalam kehidupan manusia.
Dengan demikian, filsafat tidak hanya sekedar menjadi metode berpikir kritis
tetapi juga sebagai jalan hidup (way of life). Filsafat tidak hanya berkenaan
dengan aspek teoritis abstrak, tetapi juga dapat membawa manfaat dalam hal
praksis. Berdasarkan harapan yang indah inilah peneliti mengharapkan penelitian
ini membawa manfaat sebagai berikut:
a.
Bagi ilmu filsafat: Oleh karena persoalan kebebasan kehendak selalu
berkembang secara dinamis sesuai dengan perkembangan zaman maka
urgensi persoalan dan pemecahan masalah memiliki perbedaan penekanan
di tiap zaman. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan mampu
menyajikan pemikiran yang mendalam mengenai persoalan kebebasan
kehendak, khususnya ditinjau dalam perspektif filsafat agama. Secara
intelektual, penelitian ini juga diharapkan membawa manfaat dalam
15
memperkaya khazanah pemikiran dalam usaha untuk memecahkan
persoalan kehidupan keberagamaan di Indonesia.
b.
Bagi bangsa dan negara: Penelitian ini diharapkan mampu membuka
wawasan pembaca dan masyarakat secara luas bahwa kebebasan kehendak
adalah ideal kemanusiaan yang harus diperjuangkan di dalam kehidupan
keberagamaan di tingkat global mau pun di Indonesia pada khususnya
dapat menjadi lebih baik dan berkualitas di tengah arus modernitas.
c.
Bagi peneliti: Penelitian ini diharapkan memberikan pencerahan
intelektual bagi penulis, tidak hanya mengenai permasalahan kebebasan
kehendak, tetapi dalam tingkap-tingkap kehidupan yang lebih luas.
B. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah penelitian, maka penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Mendeskripsikan persoalan kebebasan kehendak secara umum
2. Mendeskripsikan pokok-pokok pemikiran David Ray Griffin
3. Menganalisis pemikiran David Ray Griffin mengenai kebebasan kehendak
16
C. Tinjauan Pustaka
David Ray Griffin adalah professor filsafat agama dan teologi di Sekolah
Teologi Claremont. Bersama dengan koleganya John B. Cobb Jr., ia mendirikan
Pusat Studi Proses yang khusus meneliti dan mengembangkan filsafat proses yang
dipelopori oleh Alfred North Whitehead dan Charles Hartshorne. Bahkan Griffin
(bersama Daniel W. Sherburne), mengedit karya utama Whitehead, Process and
Reality, terbitan Macmillan. Secara holistik, bisa dikatakan bahwa filsafat proses
adalah bagian integral yang menjadi fondasi bagi bangunan filsafat agama Griffin.
Oleh sebab itu Griffin digolongkan ke dalam kelompok postmodern yang
menggerakkan dan menjabarkan pemikiran-pemikiran Whitehead ke dalam
gambaran-dunia baru (Sugiharto, 1996: 31).
Dalam
sebuah
pengantar
buku
antologi
“From
Modernism
to
Postmodernism”, Lawrence Cahoone menyebutkan nama David Ray Griffin dan
karya-karyanya masuk ke dalam keluarga besar postmodern di samping Jacques
Derrida, Michel Foucault, Gilles Deleuze, Jean-Francois Lyotard, Luce Irigaray,
Mark Taylor, Jean Baudrillard, Charles Jencks, Ihab Hasan, Henry Giroux,
Richard Rorty. David Ray Griffin ditempatkan sebagai filsuf postmodern yang
mengaplikasikan secara positif konsep postmodernism ke dalam kosmologi.
Berdasarkan pembacaan atas salah satu tulisan Griffin yang berjudul The
Reenchantment of Science, Cahoon menyebut Griffin telah membuat sebuah
varian baru di antara para pemikir postmodernis lainnya, yakni dengan
17
menampilkan filsafat postmodernisme yang spekulatif. Griffin mengembangkan
filsafat spekulatif ala Whitehead seperti yang dijelaskan dalam karya utama
Whitehead, Process and Reality, yakni sebagai upaya untuk membingkai suatu
sistem ide-ide umum yang bersifat koheren, logis dan pasti, yang dengan setiap
unsur pengalaman dapat ditafsirkan dan diterapkan secara adekuat (Whitehead,
1969: 5). Berbekal filsafat spekulatif inilah, Griffin mengkombinasikannya
dengan memakai strategi-strategi postmodern terhadap konsep filsafat modern
mengenai Tuhan dan alam (nature) untuk mengajukan konsepsi positif yang
disesuaikan dengan arah postmodernisme yang anti-dualistik (Cahoon, 1996:
271).
Cahoon
(1996:
665)
meneropong
pemikiran
Griffin
lebih
kepada
kontribusinya di dalam mengembangkan kosmologi postmodern. Kosmologi
postmodern Griffin dipengaruhi oleh dua hal yakni perkembangan sains abad 20
(relativitas umum, teori kuantum, “hipotesis Gaia”, pengetahuan tentang interaksi
pikiran-tubuh di dalam imunologi), dan filsafat organisme Whitehead. Kosmologi
Griffin menolak karakteristik kosmologi filsafat modern yang didasarkan pada
mekanisme, atomisme, determinisme, dan dualisme Cartesian mengenai pikirantubuh. Sebagai alternatif, Griffin mengajukan konsep kosmologi postmodern yang
holistik dan indeterminis.
Dalam buku Where Writing Begins: A Postmodern Reconstruction, Michael
Carter menunjukkan bahwa cara terbaik untuk memahami postmodernisme
rekonstruksi Griffin adalah dengan melihat tulisan Griffin, “Postmodern Theology
18
and A/Theology: A Response to Mark C. Taylor,” yang merupakan tanggapan
terhadap karya Mark C. Taylor, Erring: A Post-modern A/Theology. Taylor, yang
dipengaruhi oleh Derrida, melakukan dekonstruksi terhadap empat fondasi utama
dalam pemikiran Barat: Tuhan, diri (self), sejarah, dan teks. Di tengah kekosongan
yang ditinggalkan oleh dekonstruksi, yang ada hanya tulisan, indeterministik,
perpindahan terus-menerus – sebuah permainan kata yang tiada akhir. Oleh sebab
itu, Taylor menawarkan dekonstruksi teologi yang tidak didasarkan pada tulisan.
Griffin tidak menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap model pemikiran
postmodern yang dekonstruktif. Sebab, menurut Griffin, ide rekonstruksi selalu
menyiratkan dua hal, yakni dekonstruksi dan rekonstruksi itu sendiri.
Dekonstruksi selalu tersirat di dalam rekonstruksi. Griffin setuju dengan
postmodernisme dekonstruktif Taylor dalam hal mengkritik modernitas yang telah
membunuh Tuhan pramodern dan memproyeksikan atribut-atribut yang
sebelumnya ada di dalam Tuhan ke dalam diri manusia dan masyarakat.
Akibatnya, di dalam modernisme akhir, meskipun sosok Tuhan telah dibuang,
namun atribut-atribut Tuhan tetap dipertahankan dan kemudian direpresentasikan
ke dalam totalitas ide dalam diri individu, kebenaran absolut dan dalam moralitas.
Totalitas kekuasaan Tuhan, sebagai pengatur dunia yang secara inheren terpisah
dari dunia, telah menjadi model bagi manusia modern.
Baik postmodernisme rekonstruktif maupun dekonstruktif setuju untuk
mengkritik konsep totalitas modernisme. Namun, solusi yang ditawarkan oleh
kedua kubu itu mengambil jalan yang berlainan. Terhadap visi totalitas
19
modernisme, kubu dekonstruksi mengeliminasi setiap kemungkinan yang
mengarah pada ketunggalan (oneness): tidak ada kebenaran dan diri yang tunggal;
tidak ada referensi linguistik di luar bahasa; tidak ada realitas di luar interpretasi;
tidak ada tujuan, maksud, atau makna di dalam sejarah; tidak ada kebaikan dan
kejahatan yang ultimate. Dengan demikian, kubu postmodernisme dekonstruksi
menolak adanya suatu pandangan dunia (antiworldview), sedangkan Griffin pada
kubu rekonstruktif menerima adanya pandangan dunia (worldview).
Perbedaan kedua antara kedua kubu ini adalah dalam menginterpretasi
modernitas,
dan
merespons
kekeliruan
yang
dibawa
oleh
modernitas.
Dekonstruksi beroperasi dengan menggunakan asumsi-asumsi dasar, lalu
mendekonstruksi asumsi-asumsi tersebut secara ekstrim. Kubu dekonstruktif
mampu menyingkap aspek irasional di dalam modernitas, tetapi pada akhirnya
hanya berhenti di titik bahwa semua hanya permainan bahasa. Sehingga,
dekonstruksi postmodern justru menghasilkan kesimpulan yang absurd. Pada sisi
lain, postmodernisme rekonstruktif mengambil apa yang baik dari modernisme
dan membuang apa yang buruk.
Teolog Graham Ward (1997a: xl; 1997b: 588), meninjau Griffin sebagai
seorang teolog postmodern yang populer di Amerika Utara karena secara
sederhana mendahului kalangan teologi liberal yang menjadi mainstream saat itu
(tahun 1997), dengan mengelaborasi dua pemikir – Whitehead dan Hartshorne –
yang belum sepenuhnya dianggap sebagai filsuf postmodern. Griffin (2005: 15)
menolak teologi liberal modern, sebab teologi ini hanya menggunakan Tuhan
20
untuk memberi selubung religius pada cara pandang sekularisme terhadap realitas
nihilistik. Dalam beberapa hal, misalnya mengenai kehidupan setelah mati, Griffin
(2000: 238) menganggap teologi liberal modern terlalu mendasarkan diri pada
rasio dan bukti-bukti empiris.
Ward bahkan menyebut teologi yang diajukan Griffin lebih tepat disebut
sebagai animistic naturalistic theism, daripada disebut sebagai teologi
postmodern. Hal ini disebabkan karena Griffin percaya kepada energi kreatif yang
tidak hanya ada di dalam manusia tetapi juga ada di dalam setiap benda di dalam
dunia, termasuk batu.
Di dalam sebuah esai yang berjudul “David Ray Griffin and Constructive
Postmodern Communalism”, Terrence W. Tilley and Craig Westman (1995: 1727) melancarkan kritik yang berfokus pada pandangan Grifin mengenai
permasalahan ekologi dan agenda sosial. Mereka memberikan label kepada
Griffin
sebagai
antiantroposentris,
seorang
naturalistik,
nonmekanistik
dan
komunal,
afirmatif,
antiindividualistik.
nondualistik,
Rekonstruksi
postmodern ala Griffin menyediakan visi etika yang baru dengan tujuan untuk
mengubah dunia. Tilley dan Westman mengakui bahwa pemahaman Griffin
terhadap postmodern merupakan sesuatu yang unik, namun mereka masih
mempertanyakan
postmodern.
apakah
Daripada
pemikiran
postmodern,
Griffin
Tilley
dapat
dan
digolongkan
Westman
justru
sebagai
malah
menggolongkan Griffin sebagai neoromantisme modern. Keraguan-raguan Tilley
dan Westman pada akhirnya mengarah pada bagaimana pemikiran Griffin tidak
21
hanya sekedar menginspirasi tetapi juga dapat dipraktekan. Jika tujuan Griffin
untuk mengubah dunia, maka Tilley dan Westman pesimis bahwa visi-visi yang
dikemukakan Griffin tidak mempunyai cukup kekuatan untuk mengubah kultur
yang sudah mengakar kuat.
Carter (2003: 155) menyebutkan bahwa aspek terpenting dari rekonstruksi
postmodern Griffin bukan pada segi pengaruhnya, tetapi lebih pada perspektif
baru yang lebih segar dan radikal. Meskipun pemikiran Griffin tidak menjadi
kanon dalam pemikiran postmodern, namun Griffin telah membawa pengertian
atraktif dan berbeda mengenai bagaimana memahami diri sendiri, relasi antar
sesama, dan dengan alam. Selain itu, aspek terpenting dari filsafat rekonstruksi
postmodern Griffin adalah menjadi alternatif di antara dua ekstrim, yakni
fondasionalisme modernis dan antifondasionalisme dekonstruksi.
Di dalam Encyclopedia of Science and Religion terbitan Macmillan (2003:
340), Griffin secara umum digolongkan ke dalam deretan pemikir yang menjadi
pembela kebebasan kehendak (free will defense), dan secara khusus digolongkan
ke dalam essential free will theism atau yang dikenal juga sebagai free process
defense. Griffin mengusulkan konsep teisme yang mengakui kebebasan kehendak
dengan melihat Tuhan yang secara metafisis tidak sanggup mendeterminasi
keputusan makhluk ciptaannya secara sepihak.
Creatures possess self-determinative power that cannot be withdrawn or
overridden by God, and the fact that individuals possess power for freedom is
an eternal metaphysical law. God cannot circumvent these metaphysical laws
of freedom, partly because God did not create them. God is not indictable for
failing to prevent genuinely evil events from occurring because these
22
metaphysical laws prevent God from removing power and freedom away from
creatures who misuse freedom (van Huyssteen, 2003: 340).
Konsep kebebasan kehendak yang dikemukakan Griffin dimaksudkan sebagai
solusi bagi persoalan kejahatan yang kerap kali digunakan oleh ateisme sebagai
alasan untuk menolak eksistensi Tuhan. Hipotesis yang dikemukakan Griffin
mendatangkan banyak kritikan dari para teisme lainnya, terutama mengenai figur
Tuhan yang bukan merupakan pencipta hukum-hukum dasar metafisika yang
menggerakan eksistensi aktual. Konsekuensi dari hipotesis tentang kreativitas
Tuhan dan kebebasan kehendak, membawa Griffin menolak doktrin creatio ex
nihilo yang dipercaya oleh Gereja. Sebab, Bagi Griffin (1998: 184; 2005a: 66;
1989: 114), doktrin creatio ex nihilo adalah nonsense, sebab dunia diciptakan dari
ketiadaan relatif bukan dari ketiadaan mutlak.
Berdasarkan pustaka-pustaka yang telah ditinjau di atas, terdapat penekanan
yang berbeda-beda terhadap pemikiran David Ray Griffin: Cahoon menyorot
konsep-konsep kosmologi Griffin; Carter tertarik pada insiprasi dan kesegaran
alternatif di dalam rekontruksi postmodernisme yang ditawarkan Griffin; Ward
lebih cenderung membahas konsep teologi proses Griffin; Tilley dan Westman
mengkritik dalam nada pesimis aspek praktis dari konsep ekologi dan agenda
sosial; Encyclopedia Science and Religion menitikberatkan pada konsep Griffin
mengenai kebebasan kehendak (free will). Maka, penelitian ini ingin lebih
menyorot pemikiran Griffin mengenai kebebasan kehendak dalam perspektif
filsafat agama, dan relevansinya dengan proses keberagamaan di Indonesia.
23
D. Landasan Teori
Kebebasan kehendak (free will) adalah tema yang memiliki cakupan
pembahasan yang luas, maka untuk menjaga agar tema penelitian ini tidak
melebar, maka pisau analisis atau kerangka pendekatan yang akan digunakan di
dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan filsafat agama.
Sebelum sampai pada pembahasan mengenai metode dan objek penelitian
filsafat agama, perlu untuk diketahui apa yang menjadi perbedaan mendasar
antara filsafat dan agama. M. Rasjidi (1965: 3-4) menjelaskan bahwa perbedaan
antara filsafat dan agama tidak terletak dalam bidangnya tetapi dalam cara
menyelidiki. Filsafat lebih mengutamakan kegiatan berpikir dan memahami dalam
proses pemerolehan pengetahuan, dengan demikian, di dalam berfilsafat
seseorang tidak sekedar mengetahui tetapi juga berpikir dan memahami secara
kritis. Di dalam agama, seseorang mencari pengetahuan untuk mengabdikan diri,
sehingga pengetahuan adalah untuk beribadat. Perbedaan mendasar tersebut
menunjukkan bahwa agama lebih berhubungan dengan hati, sedangkan filsafat
dengan pikiran yang dingin dan tenang. Selanjutnya, masih menurut M. Rasjidi
(1965: 4-5), Agama, melalui pengabdian dan penyerahan diri, mampu
memberikan ketenangan kepada hati, sedangkan filsafat yang berbasis pada proses
berpikir yang kritis justru mengeruhkan pikiran, sebab di dalam penyelidikan
filsafat, seseorang kerap dihadapkan pada kekeliruan-kekeliruan dan kesulitan.
24
Perbedaan-perbedaan tersebut tidak lantas menjadikan filsafat dan agama
tidak dapat bekerja sama. M. Rasjidi menyebutkan bahwa metode penyelidikan di
dalam filsafat justru sangat penting dalam mempelajari agama. Hal ini berkaitan
dengan proses membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan lain terhadap
jalan kebenaran melalui penyelidikan atas pengalaman-pengalaman keagamaan
yang berlainan. Melalui metode kritis dan dialektis, seseorang dapat melakukan
kritik yang simpatik terhadap agama.
Murray dan Rea (2008: xii) menjelaskan bahwa dua aktivitas di dalam
filsafat, yakni klarifikasi konseptual (conceptual clarification) dan justifikasi
proposional (propotional justification), melahirkan pertanyaan-pertanyaan kritis
dan mendasar mengenai klaim-klaim di dalam agama. Afirmasi-afirmasi di dalam
domain agama kembali dipertanyakan secara fundamental. Sebagai contoh,
seorang filosof agama akan mengeksplorasi secara persis apa yang dimaksud
dengan kata “Tuhan”. Apakah makna dari kata “Tuhan” itu koheren, dan apakah
iya atau tidak, menerima realitas Tuhan pada posisi yang utama.
Menurut John K. Roth (2003: 10-11), filsafat agama adalah sebuah konsep
yang fleksibel karena berkaitan dengan kategori umum yang mencakup pluralitas
penekanan. Maka, agar sesuai dengan kategori filsafat agama, ada dua batasan
yang perlu diperhatikan. Pertama, sebuah penyelidikan perlu mengemukakan
setidak-tidaknya salah satu dari persoalan di dalam agama, misalnya penyelidikan
yang terpusat pada tradisi agama tertentu; perbandingan agama; penyelidikan
mengenai mitos dan simbol dalam agama: verifikasi klaim yang berasal dari
25
tradisi agama; penyelidikan mengenai nilai doktrin agama tertentu; dan, penetapan
apa yang merupakan agama secara umum. Kedua, penyelidikan perlu dimulai dan
tetap terkait dengan klaim-klaim dari manusia (yang positif dan negatif) yang
berkenaan dengan pengalaman tentang apa yang suci, sakral, ilahi, berkekuasaan
dan bernilai puncak, dan hakikat dari wujud yang mungkin dianggap memiliki
sifat-sifat ini.
Dua batasan filsafat agama yang telah diuraikan di atas penting untuk
diperhatikan sebagai landasan untuk mengkaji pemikiran David Ray Griffin. Di
beberapa kesempatan di dalam karyanya, David Ray Griffin secara eksplisit
menyebut pemikirannya dengan sebutan “teologi postmodern”. Berkaitan dengan
batasan yang pertama, David Ray Griffin (2005a: 25) menjelaskan bahwa teologi
postmodern yang ia kembangkan memusatkan diri pada isu-isu sentral keagamaan
yang tidak secara eksklusif mengarah ke salah satu tradisi pengalaman religius
dengan mengesampingkan tradisi-tradisi religius lain. Sebab, pada prinsipnya,
teologi postmodern memberikan kerangka yang sedemikian rupa sehingga setiap
tradisi religius bisa menafsirkan tekanannya masing-masing. Berkaitan dengan
batasan yang kedua, David Ray Griffin (2005a: 24) menjelaskan bahwa teologi
postmodern yang ia kembangkan adalah sebuah teologi filosofis (teologi natural)
yang mempertahankan posisinya mengikuti kriteria-kriteria yang dipakai pada
penalaran ilmiah dan filosofis, yaitu konsistensi, kecocokan dengan fakta-fakta
yang relevan, yakni semua fakta dalam pengalaman, tanpa wahyu khusus untuk
mendukung klaim-klaimnya tentang kebenaran.
26
Melihat penjelasan David Ray Griffin mengenai teologi postmodern yang ia
kembangkan, maka David Ray Griffin dapat digolongkan sebagai seorang “teolog
filosofis.” Untuk mengetahui secara baik kedudukan teologi filosofis di dalam
filsafat agama, maka harus dimulai dengan penjelasan mengenai perbedaan
filsafat dan teologi. Menurut John K. Roth (2003: 15-18), filsafat dan teologi
berdiri pada dua titik ekstrem yang berbeda dalam sebuah spektrum. Filsafat
berdiri pada sebuah titik yang menanyakan persoalan tentang asumsi-asumsi
kehidupan dasar dan struktur-struktur realitas tanpa membicarakannya secara
khusus sebagai fenomena agama. Sedangkan pada titik yang lain, teologi bertugas
untuk menyingkapkan, mengklarifikasi dan menegaskan doktrin-doktrin sebuah
tradisi agama dan pandangannya tentang Tuhan tanpa memiliki perhatian khusus
terhadap persoalan yang luas dan kritis. Jadi, filsafat lebih dicirikan dengan
persoalan yang dikemukakannya, sedangkan teologi lebih dicirikan dengan pokok
masalah positif yang dengannya ia bekerja, yakni penegasan positif mengenai
Tuhan dan agama. Dalam spektrum dengan dua titik ekstrim tersebut, filsafat
agama berada di tengah-tengah dua titik ekstrim. Sehingga, filosof agama akan
merupakan filosof dan teolog, dan karyanya akan berisikan teologi dan filsafat.
Perlu dipahami lebih lanjut bahwa di dalam filsafat agama terdapat dua
kecenderungan karakter yang pada akhirnya mengambil arah yang berlainan.
Yang pertama, apa yang disebut Roth sebagai “filosof agama”, yakni mereka
yang melihat agama dan teologi secara analitis dan kritis, dan sampai pada
kesimpulan bahwa agama itu penuh dengan masalah dan kesulitan, dan bahwa
27
manusia mungkin akan lebih baik bila terlepas dari agama dan menggantikannya
dengan
suatu
pandangan
yang
non-teologis.
Seorang
“filosof
agama”
menggabungkan filsafat dan teologi di dalam karyanya, tetapi ia akan jatuh lagi ke
dalam arah spektrum filsafat yang ekstrem, karena ia pada akhirnya akan menolak
setiap identifikasi yang positif dengan sebuah tradisi agama. Yang kedua, apa
yang disebut Roth sebagai “teolog filosofis”, yakni mereka yang menanyakan
persoalan-persoalan kritis yang merupakan karakteristik filsafat, tetapi usahanya
untuk menjawab persoalan ini, bersamaan dengan kesimpulan akhirnya, tetap
menempatkannya di dalam hubungan yang positif dengan sebuah tradisi agama.
Seorang teolog filosofis melakukan klarifikasi, menjelaskan, menyusun kembali
atau secara radikal mengubah sebuah pandangan agama atau filsafat yang telah
mapan,
tetapi
tanpa
menolak
semua
tradisi
yang
dipersoalkan
atau
merekomendasi sesuatu untuk menggantikannya. Kecenderungan filosofis seorang
“teolog filosofis” memustahilkannya untuk menerima batasan tradisi tertentu
tanpa modifikasi. Tetapi, pada saat yang sama, ia bekerja dengan kategori dan
konsep sebuah tradisi, sehingga dapat dipertahankan keberlanjutan yang positif.
Berdasarkan pada uraian ini, maka dapat diketahui dengan jelas posisi dan arah
pemikiran Griffin sebagai seorang teolog filosofis di dalam wilayah filsafat
agama.
Penjelasan Roth mengenai pengertian dan kedudukan filsafat agama
merupakan eksplanasi yang masih bersifat umum. Sebab, meskipun baru disadari
keberadaannya secara khsusus pada pertengahan abad kedua puluh, filsafat agama
28
telah mengalami perkembangan yang cepat dan melahirkan banyak varian
pendekatan. Pada abad kedua puluh tercatat ada beberapa pendekatan utama
filsafat agama, antara lain pendekatan filsafat analitik yang menggantikan
idealisme abad kesembilan belas. Lalu, ada pula pendekatan “filsafat proses” yang
dipelopori oleh Whitehead sebagai alternatif atas idealisme dan filsafat analitik.
Selain dua pendekatan tersebut, juga terdapat lima perkembangan penting yang
patut diperhatikan dalam filsafat agama, yakni: pertama, pengaruh dari para
teolog seperti Karl Barth dan Paul Tillich; kedua, pengaruh dari kubu
eksistensialis religius yang berusaha menggali kembali pemikiran Kierkegaard,
juga pemikiran dari filsuf kontemporer seperti Gabriel Marcel dan Martin Buber;
ketiga, pembaharuan filsafat Thomisme seperti yang dilakukan oleh Jacques
Maritain dan Etienne Gilson; keempat, munculnya fenomenologi religius seperti
yang terdapat dalam pemikiran Rudolf Otto; kelima, pengaruh dari filsuf-filsuf
seperti Dewey, yang memiliki ketertarikan terhadap perasaan dan dorongan
religius, dan juga skeptis terhadap aspek metafisis religiusitas agar supaya
memperoleh sesuatu yang betul-betul bernilai dan membuang apa yang tidak
berguna (Wainwright, 2005: 5). Di luar yang telah diuraikan di atas, tidak
menutup kemungkinan masih banyak pendekatan-pendekatan lain di dalam
filsafat agama kontemporer.
Salah satu dari sekian persoalan di dalam filsafat agama, adalah persoalan
kebebasan. Persoalan kebebasan kehendak bahkan kerap disebutkan sebagai
persoalan yang sentral di zaman modern (Roth, 2003: 19; Kane, 2005: 2). Keith E.
29
Yandell, dalam karyanya Philosophy of Religion: a Contemporary Introduction
memasukan persoalan kebebasan kehendak sebagai bagian dari persoalan agama
dan moralitas. Menurut Yandell (1999: 306-337), dalam filsafat agama terdapat
tiga aliran yang memiliki perbedaan pendapat mengenai persoalan kebebasan
kehendak, yakni monoteistik determinisme, monoteistik libertarianisme, dan
monoteistik kompatibilisme. Dalam skema filsafat agama, debat di antara ketiga
pandangan tersebut berimplikasi pada konsep mengenai pra-pengetahuan Tuhan
dan kebebasan manusia.
Monoteistik determinisme percaya bahwa sifat Tuhan yang mahakuasa
membawa konsekuensi bahwa Tuhan menetapkan atau menentukan segala sesuatu
yang terjadi di dunia. Sedangkan kemahatahuan Tuhan berkonsekuensi bahwa
Tuhan berada di luar waktu sehingga Tuhan memiliki kemampuan untuk
mengetahui apa yang ada di masa lalu, sekarang maupun apa yang akan terjadi di
masa depan, sehingga masa depan telah ditetapkan oleh Tuhan. Pada
perkembangannya, dalam menolak kebebasan kehendak, determinisme tidak
hanya bersandar kepada kemahakuasaan dan kemahatahuan Tuhan, tetapi juga
pada hukum alam.
Monoteistik
libertarianisme
menolak
apa
yang
dikemukakan
oleh
determinisme. Manusia memilliki kebebasan kehendak. Kebebasan diberikan
Tuhan kepada manusia sebagai rahmat dan anugerah yang mampu membawa
manusia menuju kebaikan. Kejahatan muncul karena manusia menyalahgunakan
kebebasan yang ia miliki. Sedangkan kubu Kompatibilisme meyakini bahwa baik
30
determinisme dan kebebasan kehendak sama-sama membingungkan, dan
sesungguhnya antara determinisme dan kebebasan kehendak terdapat kecocokan
(Harris, 2012: 16). Kompatibilisme berusaha melakukan rekonsiliasi antara
determinisme dan kebebasan kehendak. Dengan kata lain, kompatibilisme
meyakini bahwa takdir ilahi (divine predestination) yang dipercaya oleh
determinisme kompatibel dengan kebebasan manusia. Kompatibilis Jonathan
Edward, seorang teolog Calvinis dari Amerika, berargumen bahwa
…we could have such freedom to do as we want even if everything in the
world was determined by the foreordaining acts of God. Though God has
created the good or corrupt natures from which we act, Edwards argued, our
acts are nonetheless our free acts, imputable to us, since they flow without
impediments from our natures (dalam Kane, 2005: 148).
Berdasarkan uraian di atas, penulis akan mengacu pada ketiga pandangan
tersebut untuk menganalisis pemikiran David Ray Griffin mengenai kebebasan
kehendak. Alasan menggunakan ketiga pandangan tersebut adalah karena David
Ray Griffin dalam merumuskan pemikirannya mengenai kebebasan kehendak
banyak dipengaruhi oleh persoalan-persoalan yang muncul dari perdebatan di
antara ketiga pandangan tersebut.
E. Cara Penelitian
1.
Materi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yang dilakukan dengan
cara membaca, menelaah pustaka-pustaka berupa buku, jurnal majalah yang
31
berkaitan dengan rumusan masalah penelitian. Bahan dan materi kepustakaan
dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yakni:
Pertama, Materi Primer meliputi buku-buku karya David Ray Griffin
sejauh berhubungan kebebasan kehendak, misalnya:

God and Religion in the Postmodern World

Unsnarling the World-Knot: Consciousness, Freedom, and the Mind-Body
Problem

Spirituality and Society: Postmodern Visions

Religion and Scientific Naturalism

Evil Revisited: Responses and Reconsiderations
Kedua, pustaka sekunder yang meliputi beberapa buku seperti buku karya
Robert Kane, A Contemporary Introduction to Free Will, dan pustaka lainnya
mengenai problematika kebebasan kehendak dari beberapa pemikir seperti
Agustinus, Anselmus, Thomas Aquinas, Martin Luther, John Calvin, Luis de
Molina, dan sebagainya
.
2.
Jalan Penelitian
Proses penelitian dilaksanakan melalui tahapan sebagai berikut:
a.
Inventarisasi data. Pada tahap ini penulis mengumpulkan data yang dapat
dibagi menjadi dua bagian yang besar berdasarkan objek formal dan
material penelitian. Data yang pertama berisi pustaka mengenai filsafat
32
agama. Data yang kedua berisi tentang pustaka mengenai pemikiran
Griffin yang terdapat dalam karyanya. Data-data tersebut dikumpulkan
sebanyak mungkin melalui penelusuran di berbagai perpustakan maupun
melalui penelusuran internet.
b.
Pengklasifikasian data. Jika pada tahap pengumpulan data penulis
mengumpulkan data sebanyak mungkin, maka pada tahap ini data-data
yang telah diperoleh mulai diklasifikasikan dan dipilah-pilah berdasarkan
bab dan sub-sub bab yang telah penulis susun sesuai dengan rencana dan
kebutuhan.
c.
Analisis data. Data yang telah diklasifikasikan mulai dianalisis sesuai
dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.
d.
Penyajian data, yaitu memaparkan hasil analisis secara sistematis dan
teratur berdasarkan sub-sub bab yang telah ditentukkan. Penyajian data
diawali dari pokok-pokok pikiran atau unsur-unsur yang paling mendasar
dan sederhana, kemudian menuju pada pokok pembahasan yang lebih
rumit.
3.
Analisis Hasil
Data-data dalam penelitian ini dianalisis menggunakan metode sebagai
berikut:
a.
Interpretasi: Secara mendasar analisis hasil di dalam penelitian ini
menggunakan interpretasi penulis atas pemikiran David Ray Griffin
33
sebagai topik utama dalam penelitian ini, maupun interpretasi atas
pemikiran-pemikiran lainnya menyangkut objek formal penelitian.
b.
Holistika, metode ini digunakan untuk melihat pemikiran David Ray
Griffin mengenai kebebasan kehendak sebagai bagian integral dari
keseluruhan pemikirannya.
c.
Kesinambungan historis, berdasarkan asumsi bahwa pemikiran filsafati
yang lahir dari seorang pemikir tidak pernah terlepas dari sejarah
pemikiran yang ada sebelumnya. Maka, penulis mencoba menganalisis
pemikiran David Ray Griffin sebagai reaksi atas sejarah pemikiran yang
telah ada sebelumnya. Kesinambungan historis dapat menunjukkan
mengapa dan bagaimana Griffin menyusun bangunan filsafatnya
sedemikian rupa sebagai koreksi dan kritik atas pemikiran terdahulu untuk
mencapai solusi di masa yang akan datang.
d.
Heuristika, metode ini digunakan untuk menemukan suatu paradigma baru
dari pemikiran David Ray Griffin mengenai kebebasan kehendak bagi
kehidupan keberagamaan di Indonesia.
F. Sistematika Penulisan
Pembahasan dalam penelitian ini akan dipaparkan sesuai dengan
sistematika berikut:
34
Bab I, memaparkan latar belakang penelitian; perrumusan masalah;
keaslian penelitian; manfaat dan tujuan penelitian; tinjauan atas kepustakaan
penelitian sebelumnya; landasan teori dan cara penelitian.
Bab II, memaparkan secara umum mengenai persoalan umum kebebasan
kehendak. Penulis menjelaskan apa yang dimaksud dengan kebebasan dan
kehendak, kemudian menjelaskan mengenai konsep kebebasan sebagai kebebasan
kehendak. Selanjutnya penulis menjelaskan mengenai determinisme. Kemudian,
menguraikan mengenai perdebatan kebebasan kehendak versus determinisme
yang melahirkan dua pendapat utama yakni kompatibilisme (beranggapan bahwa
kebebasan kehendak dan determinisme adalah kompatibel), dan inkompatibilisme
(kebebasan kehendak dan determinisme tidak kompatibel). Inkompatibilisme
terdiri dari dua kubu yang berseberangan yakni libertarianisme (kebebasan
kehendak benar), dan determinisme keras (determinisme benar). Pada bagian
selanjutnya, penulis menunjukkan letak persoalan kebebasan kehendak sebagai
bagian dari persoalan filsafat agama; kemudian melakukan eksplorasi umum
mengenai perdebatan di seputar kebebasan kehendak terutama yang dipaparkan
oleh beberapa filsuf seperti Augustinus, Anselmus, Thomas Aquinas, Martin
Luther, John Calvin dan Luis de Molina.
Bab III, mendeskripsikan pokok-pokok pemikiran Griffin yang meliputi
biografi intelektual David Ray Griffin; latar belakang pemikiran Griffin dan para
filsuf yang memengaruhi pemikirannya. Pada bagian ini penulis juga menjabarkan
secara garis besar beberapa pokok pemikiran Griffin mengenai teologi proses,
35
terutama pandangan mengenai Tuhan dan konsep-konsep dasar teologi proses.
Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan mengenai teologi postmodern, yang
berisi kritik-kritik Griffin terhadap modernisme dan visi baru postmodern
rekonstruktif.
Bab IV, memaparkan pemikiran David Ray Griffin mengenai kebebasan
kehendak, yang meliputi dua aspek kebebasan yang saling berkaitan erat, yakni
kebebasan kosmologis, kebebasan teologis, dan kebebasan aksiologis. Kebebasan
kosmologis diawali dengan uraian mengenai kontribusi persoalan jiwa-tubuh bagi
persoalan kebebasan kehendak. Kemudian menjelaskan solusi yang diberikan oleh
interaksionisme dualistik dan identisme nondualistik berikut kelemahan dan
kekurangannya. Pembahasan ini diakhiri dengan konsep Griffin mengenai
interaksionisme nondualistik sebagai inti dari kebebasan kosmologis. Kebebasan
teologis meliputi pembahasan mengenai persoalan kejahatan dan kebebasan
kehendak; sifat Tuhan yang tidak memaksa tetapi membujuk; spiritulitas
kreativitas versus spiritualitas kepatuhan; dan persoalan pra-pengetahuan ilahi dan
kebebasan kehendak. Penulis akan menjelaskan pemikiran Griffin mengenai
kebebasan aksiologis pada sub bab yang terakhir. Bagian ini terdiri dari
pembahasan mengenai kebebasan dan simpati, pluralism komplementer, dan
relevansi pemikiran Griffin dalam konteks kehidupan keberagamaan di Indonesia.
Bab V, merupakan bab penutup yang berisi rangkuman sejumlah
kesimpulan umum, dan mengusulkan beberapa saran oleh peneliti.
Download