MOTIVASI CUCI TANGAN PERAWAT DI RSUD Dr. M. YUNUS

advertisement
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
MOTIVASI CUCI TANGAN PERAWAT DI RSUD Dr. M. YUNUS
BENGKULU
(MOTIVATION OF NURSE IN HAND WASHING HOSPITAL DR. M YUNUS
BENGKULU)
Feny Marlena
Health Community Program Study, STIKes Bhakti Husada
Jl. Kinibalu 8 Kebun Tebeng Bengkulu Telp (0736) 23422
Email: [email protected]
ABSTRACT
Nosocomial infections are a serious problem, directly or indirectly cause the
death of the patient. It can be transmitted from patient to personnel or otherwise,
visitors to the patient or vice versa, as well as among those who are in the hospital
environment. The results of observations obtained five nurses did not wash hands before
procedure to the patient, and wash hands after only perform actions to the patient. The
purpose of the study to determine the relationship of motivation with hand washing room
nurse Teratai and Seruni dr. M. Yunus Bengkulu. Type descriptive analytic study with
cross-sectional design. The population is a nurse in the room Teratai and Seruni dr. M.
Yunus Bengkulu numbered 53 people. The sample is the total sampling. Univariate and
Bivariate analysis with chi-square statistical test. The result showed 41.5 % of
respondents have less motivation and 52.8 % of respondents do not wash your hands as
well as the obtained p value = 0.03 , summed up almost half the motivation is less and
more than the majority do not wash your hands , and there is a relationship between the
motivation of nurses to wash hand in space Teratai and Seruni in dr. M. Yunus
Bengkulu. It is recommended to add Washtafel, attend seminars, poster displays about
the steps to wash hands properly and correctly in every room, and promote hand
washing behavior on health workers
Keywords : Motivation , Wash Hands .
PENDAHULUAN
kegiatan perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan sehari-hari.
Kewaspadaan
Universal
(Universal Precaution) yaitu tindakan
pengendalian infeksi yang dilakukan
oleh seluruh tenaga kesehatan untuk
mengurangi resiko penyebaran infeksi
dan didasarkan pada perinsip bahwa
darah dan cairan tubuh dapat berpotensi
menularkan penyakit, baik berasal dari
pasien maupun petugas kesehatan
(Nursalam, 2007). Tujuanya adalah
Program pengendalian infeksi
nosokimial terdiri dari tiga kegiatan,
yaitu melaksanakan; upaya pencegahan
infeksi
nosokomial
(Kewaspadaan
Universal),
pengamatan
infeksi
nosokimial
(surveilens),
dan
penanggulangan infeksi nosokomial
(RSCM, 1999). Upaya pencegahan
infeksi nosokomial merupakan hal
terpenting yang menjadikan bagian
23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
melindungi tenaga kesehatan dan semua
pasien dari tertular penyakit selama
menjalani
perawatan,
mengurangi
jumlah mikroba pathogen dilingkungan
rumah sakit. Kewaspadaan universal ini
meliputi cuci tangan sebelum dan
sesudah melakukan tindakan, pakaian
alat pelindung diri (sarung tangan,
masker, aproan), pengelolaan alat
kesehatan, pengelolaan jarum dan alat
tajam untuk mencegah perlukan
(Depkes RI, 2003).
Pelaksanaan prinsip universal
precaution di Indonesia masih kurang.
Beberapa tindakan yang meningkatkan
potensi penularan penyakit yaitu tidak
mencuci tangan, tidak menggunakan
sarung tangan, penanganan benda tajam
yang salah, teknik dikontaminasi yang
tidak adekuat, dan kurangnya sumber
daya untuk melaksanakan prinsip
pencegahan infeksi nosokomial.
Infeksi nosokomial banyak terjadi
di seluruh dunia dengan kejadian
terbanyak di negara miskin dan negara
yang sedang berkembang. Suatu
penelitian yang dilakukan oleh World
Health
Organisation
(WHO)
menunjukan bahwa sekitar 8,7% dari 55
Rumah Sakit dari 14 negara yang
berasal dari Eropa, Timur Tenga, Asia
Tenggara dan Pasifik tetap menunjukan
adanya infeksi nosokomial dengan Asia
Tenggara 10,0% (Harry, 2006).
Di negara maju pun, infeksi yang
di dapat dalam Rumah Sakit terjadi
dengan angka yang cukup tinggi. Infeksi
nosokomial
menyebabkan
20.000
kematian setiap tahun di AS, 10 % rawat
inap di Rumah Sakit mengalami infeksi
yang baru selama di rawat sampai 1,4
juta infeksi setiap tahun di seluruh
dunia. Di Indonesia, penelitian yang
dilakukan di 11 Rumah Sakit di DKI
Jakarta (2004) menunjukan bahwa 9,8%
pasien rawat inap mendapat infeksi yang
baru selama di rawat. Faktor-faktor
penunjang peningkatan ini adalah
meningkatnya pasien yang lemah yang
masuk ke Rumah Sakit dan penggunaan
tehnologi invasif beresiko tinggi
(Schaffer, 2000).
Beberapa
kejadian
infeksi
nosokomial
mungkin
tidak
menyebabkan kematian pada pasien,
akan tetapi ini menjadi penyebab
penting pasien dirawat lebih lama di
Rumah Sakit. Infeksi nosokomial
merupakan persoalan serius yang
menjadi penyebab langsung maupun
tidak langsung kematian pasien. Infeksi
ini bisa di tularkan dari pasien ke
petugas maupun sebaliknya, pasien ke
pengunjung atau sebaliknya, serta antar
orang yang berada di lingkungan Rumah
Sakit. Penyebab infeksi nosokomial
akan menjadi kuman yang berada di
lingkungan Rumah Sakit atau oleh
kuman yang di bawah olleh pasien itu
sendiri, yaitu kuman endogen. Bahaya
dari terjadinya infeksi nosokomial
adalah meningkatnya angka kesakitan
(morbidity) dan angka kematian
(mortality) serta dapat memperlama
perawatan pasien di Rumah Sakit dan
dapat mempengruhi mutu pelayanan
Rumah Sakit. Dari batasan ini dapat di
simpulkan bahwa kejadian infeksi
nosokomial adalah infeksi yang secara
potensial
dapat di cegah. Cara
penularan infeksi nosokomial yaitu
kontak langsung antar pasien dengan
personel yang merawat atau menjaga
pasien, kontak tidak langsun ketika
obyek di dalam lingkungan yang
terkontaminasi dan tidak didesinfeksi
atau disterilkan (Amdani, 2009).
Selama 10-20 tahun belakangan
ini telah banyak perkembangan yang
telah di buat untuk mencari masalah
utama terhadap meningkatnya angka
kejadian infeksi nosokomial di banyak
23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
negara, dan di beberapa negara
kondisinya
justru
sangat
memperhatinkan. Keadaan ini justru
memperlama perawatan dan perubahan
pengobatan dengan obat-obatan mahal,
serta penggunaan jasa di luar Rumah
Sakit. Karena itulah, dinegara-negara
miskin dan berkembang, pencegahan
infeksi nosokomial lebih diutamakan
untuk dapat meningkatkan kualitas
pelayanan pasien di Rumah Sakit dan
fasilitas kesehatan lainnya. Oleh karena
itu, mencuci tangan menjadi metode
pencegahan dan pengendalian infeksi
nosokomial yang paling penting karena
tangan merupakan salahsatu wahana
yang paling efesien untuk penularan
infeksi nosokomial (Scaffer, 2000).
Salah satu cara untuk pencegahan
infeksi nosokomial adalah dengan
mencuci tangan. Mencuci tangan adalah
proses membuang kotoran dan debu
secara mekanis dari kulit kedua belah
tangandengan memakai sabun atau air.
Tujuan cuci tangan adalah untuk
menghilangkan kotoran dan debu secara
mekanis dari permukaan kulit dan
mengurangi jumlah mikroorganisme
(Tietjen, 2003). Salah satu tenaga
kesehatanyang paling rentan terhadap
penyakit infeksi tersebut adalah perawat
karena yang bertugas selama 24 jam di
Rumah Sakit dan yang sering berintraksi
dengan pasien adalah perawat.
Cuci tangan harus dilakukan
dengan benar sebelum dan sesudah
melakukan
tindakan
perawatan
meskipun memakai sarung tangan atau
alat
pelindung
lain
untuk
menghilangkan
atau
mengurangi
mokroorganisme yang ada ditangan
sehingga penyebaran penyakit dapat
dikurangi dan lingkungan terjaga dari
infeksi. Indikasi cuci tangan harus
dilakukan pada saat yang diantisipasi
akan terjadi perpindahan kuman melalui
tangan, yaitu sebelum melakukan
tindakan yang dimungkinkan terjadi
pencemaran dan setelah melakukan
tindakan yang dimungkinkan terjadi
pencemaran (Depkes RI, 2003).
Mencuci tangan merupakan teknik dasar
yang paling penting dalam pencegahan
dan pengontrolan infeksi (Potter &
Perry, 2005).
Petugas
kesehatan
yang
mempunyai faktor resiko paling tinggi
sebagai media terjadinya infeksi
nosokimial kepada pasien adalah
perawat. Hal ini disebabkan karena
perawat selama 24 jam berhubungan
dengan pasien untuk melaksanakn
asuhan keperawatan. Perawat sangat
rentan terhadap penularan infeksi,
karena perawat dalam memberikan
asuhan keperawatan kepada pasien akan
kontak langsung dengan darah dan
cairan tubuh. Upaya yang dilakukan
untuk mengurangi resiko penularan
infeksi nosokomial
adalah dengan
melaksanakan tindakan kewaspadaan
universal (Universal Precaution) atau
tindakan pencegahan. Diantara faktorfaktor tersebut salah satu yang paling
penting adalah motivasi perawat dalam
pencegahan infeksi nosokomial.
Motivasi adalah suatu kondisi
kejiwaan dan mental manusia seperti
aneka keinginan, harapan kebutuhan
dorongan dan kesukaan individu untuk
berperilaku kerja untuk mencapai
kepuasan
atau
mengurangi
keseimbangan (Ilias, 2002). Seorang
perawat diharapkan motivasi untuk
berperilaku mencegah terjadinya infeksi
nosokomial, karena hal ini keterkaitan
yang
tinggi
dengan
pekerjaan,
mencakup setiap aspek penanganan
pasien, dan upaya pencegahan infeksi
merupakan langkah pertama dalam
pemberian pelayanan yang bermutu.
23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
Pencegahan penularan infeksi di
rumah sakit melibatkan berbagai unsur,
mulai dari peran pimpinan sampai
perawat itu sendiri. Peran pimpinan
adalah penyediaan system, sarana, dan
pendukung. Peran perawat adalah
sebagai pelaksana langsung dalam
upaya pencegahan infeksi nosokimial.
Dengan berpedoman pada perlunya
peningkatan mutu pelayanan di rumah
sakit dan sarana kesehatan lainnya,
maka perlu dilakukan pelatihan yang
menyeluruh
untuk
meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan perawat
dalam pencegahan infeksi di rumah
sakit.
Pengorganisasian
program
pengendalian infeksi nosokimial ini
tidaklah mudah karena membutuhkan
interaksi, koordinasi, kesadaran, dan
motivasi antar berbagai disiplin ilmu.
Semua pihak terlibat, harus sadar dan
mau
mengubah
perilaku
untuk
mencegah terjadinya infeksi nosokimial.
Kesepakatan dan dukungan baik dari
pihak pimpinan rumah sakit dan semua
petugas khususnya perawat sangatlah
penting, mengingat rumah sakit
merupakan organisasi yang kompleks
(Lindawati, 2001).
Data yang diperoleh dari Rekam
Medik pada tahun 2010 infeksi
nosokomial yang terjadi di Rumah Sakit
Umum Daerah dr. M. Yunus Bengkulu
berjumlah 114 orang dengan rincian
infeksi saluran kemih (ISK) yaitu 6
orang, Pneumonia yaitu 2 orang, Plebitis
yaitu 79 orang, dekubitus yaitu 19 orang
dan Infeksi Luka Operasi (ILO) yaitu 8
orang. Sedangkan pada tahun 2011
infeksi nosokomial berjumlah 140 orang
dengan rincian infeksi saluran kemih
(ISK) berjumlah 11 orang, Pneumonia
berjumlah 4 orang, Plebitis berjumlah
79, dekubitus berjumlah 4 orang dan
Infeksi Luka Operasi (ILO) berjumlah
42 orang. Dari angka kejadian diatas
terjadi peningkatan angka kejadian
infeksi nosokomial pada tahun 2011
(MR RSUD dr. M. Yunus Bengkulu,
2011).
Survei awal yang dilakukan
peneliti pada tanggal 9 Februari 2012,
diketahui jumlah perawat yang ada di
ruangan Seruni dan ruangan Teratai
yaitu 53 orang dengan rincian SPK
berjumlah 3 orang, DIII keperawatan
berjumlah 37 orang dan Sarjana
Keperawatan berjumlah 13 orang.
Berdasarkan observasi yang peneliti
amati di lapangan, meskipun perawat
telah mendapatkan pengetahuan dan
pelatihan tentang pencegahan infeksi
nosokomial akan tetapi perawat kurang
mempunyai
motivasi
untuk
melaksanakan
pencegahan
infeksi
nosokimial.
Kejadian infeksi nosokomial
belum diketahui secara pasti, untuk
menghindari
terjadinya
infeksi
nosokomial di rumah sakit perlu adanya
pencegahan serta pengendalian infeksi
nosokomial di Rumah Sakit, salah satu
caranya adalah dengan melakukan cuci
tangan. Namun berdasarkan survey dan
observasi di beberapa Bangsal di RSUD
dr. M. Yunus peneliti masih melihat
adanya kesenjangan antara lain peneliti
menemukan
lima
perawat
tidak
melakukan cuci tangan sebelum
melakukan tindakan ke pasien, dan
hanya melakukan cuci tangan setelah
melakukan tindakan ke pasien. Alasan
karena perawat menganggap bahwa
tangannya sudah bersih dan pada
kondisi tertentu misalnya pada pasien
yang memerlukan pertolongan cepat, ini
tidak memungkinkan perawat untuk
melakukan cuci tangan. Padahal perawat
merupakan tenaga profesional yang
perannya tidak dapat dikesampingkan
dari lini terdepan pelayanan rumah sakit,
23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
karena tugasnya mengharuskan perawat
kontak paling lama dengan pasien, maka
diasumsikan ikut mengambil peran yang
cukup besar dalam memberikan
kontribusi kejadian infeksi nosokomial.
Berdasarkan fenomena diatas
maka peneliti tertarik untuk mengetahui
hubungan motivasi dengan cuci tangan
perawat di ruang Teratai dan Seruni
RSUD dr. M. Yunus Bengkulu Tahun
2012.
yang didapat tidak langsung dari
responden (jumlah perawat yang
diambil dari buku daftar kehadiran
perawat di ruangan Seruni dan Teratai).
Sedangkan data primer, yaitu meliputi
data motivasi perawat yang dilakukan
melalui 10 pertanyaan yang di adopsi
dari Afrida (2007), dan data cuci tangan
melalui observasi.
Analisis univariat
bertujuan
menggambarkan distribusi frekuensi
masing-masing variabel penelitian.
Analisis bivariat untuk mengetahui
hubungan motivasi perawat dengan cuci
tangan. Jenis uji statistik yang
digunakan Chi-Square dengan estimasi
Confidence
Interval
(CI)
yang
ditetapkan pada tingkat kepercayaan
95%.
METODE PENELITIAN
Penelitian
ini
menggunakan
metode diskriptif bersifat Analitik
dengan desain Cross Sectional. Cross
Sectional adalah suatu penelitian dimana
pengumpulan data variabel independen
(motivasi perawat) dan variabel
dependen (cuci tangan) dilakukan pada
saat yang bersamaan (Notoatmodjo,
2005). Populasi dalam penelitian ini
adalah jumlah perawat yang ada di
ruangan Teratai dan Seruni RSUD dr.
M. Yunus Bengkulu yaitu 53 orang.
Sampel yang digunakan adalah (Total
Sampling) semua anggota populasi
menjadi sampel (Alimul, 2008).
Data
yang
dikumpulkan
merupakan data sekunder, yaitu data
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Hasil analisis univariat variabel
motivasi diperoleh hampir sebagian
(41,5%)
dari responden memiliki
motivasi kurang.Variabel cuci tangan
diperoleh lebih dari sebagian (52,8%)
responden tidak cuci tangan.
Tabel 1. Analisis Hubungan Motivasi Perawat dengan Cuci Tangan Teratai dan
Seruni RSUD dr. M. Yunus Bengkulu Tahun 2012
Motivasi
Baik
Kurang
Jumlah
Cuci Tangan
Ya
Tidak
n
%
n
%
19
61,3
12
38,7
6
27,3
16
72,7
25
47,2
28
52,8
Berdasarkan tabel 1 di atas,
diketahui bahwa dari 31 responden yang
motivasi baik, 12 responden (22,6%)
Total
n
31
22
53
%
100
100
100
P
0,030
diantaranya adalah tidak cuci tangan,
sedangkan dari 22 responden yang
motivasi kurang, 16 responden (30,2%)
23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
diantaranya adalah yang tidak cuci
tangan. Hasil analisis Chi-Square
diperoleh nilai p = 0,03 ≤ 0,05, sehingga
dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak
dan Ha diterima, artinya ada hubungan
yang signifikan antara motivasi perawat
dengan cuci tangan di ruang Seruni dan
Teratai di RSUD dr. M. Yunus
Bengkulu.
direalisasikan,
dan
fungsi
kepemimpinan. Atas dasar itulah maka
dalam rangka menggerakkan orangorang, pemimpin wajib termotivasi
(memberikan
dorongan-dorongan).
Tinggi rendahnya motivasi seseorang
karyawan dalam bekerja dipengaruhi
oleh kemampuan pimpinan dalam
memberikandorongan/motivasi-motivasi
tersebut.
Hasil analisis menunjukkan bahwa
dari 53 responden diketahui 47,2% yang
cuci tangan dan 52,8% yang tidak cuci
tangan. Responden yang cuci tangan
disebabkan
karena
seseorang
mengetahui dampak dan efek apabila
tidak mencuci tangan sebelum dan
sesudah melakukan tindakan asuhan
keperawatan kepada pasien. Disamping
itu juga cuci tangan itu merupakan salah
satu langkah untuk melindungi/proteksi
diri dari penularan penyakit antara
pasien-petugas kesehatan dan antara
pasien ke pasien itu sendiri.
Hampir sebagian responden yang
tidak cuci tangan, hal ini disebabkan
karena responden merasa tangan bersih,
karena menggunakan sarung tangan,
mengejar waktu dalam pemberian
asuhan keperawatan, dan melakukan
banyak melakukan asuhan keperawatan
kepada pasien sehingga tidak ada waktu
untuk
cuci
tangan
berkali-kali.
Disamping itu juga dipengaruhi oleh
sarana dan prasarana yang tidak
memadai dan kurang tersedianya
washtapel di dalam ruang-ruangan
pelayanan.
Sejalan dengan pengamatan yang
dilakukan Musadad (1993) yaitu
perilaku cuci tangan oleh tenaga
kesehatan baik dokter maupun perawat
menunjukkan bahwa sebagian besar
tidak cuci tangan. Hal ini terlihat pada
waktu petugas akan memeriksa pasien,
baik saat pertama kali atau pergantian
PEMBAHASAN
Hasil analisis menunjukkan bahwa
dari 53 responden diketahui nilai
motivasi yang kurang 41,5% dan
motivasi yang baik 58,5%. Adanya
motivasi yang kurang terhadap perawat
disebabkan kurangnya dorongan dari
dalam diri seseorang terhadap sesuatu,
disamping itu juga dipengaruhi oleh
kurangnya pengetahuan, sarana dan
prasarana yang ada tidak mendukung.
Sedangkan ada juga motivasi yang baik
dari responden, hal ini disebabkan oleh
seseorang memiliki pengetahuan yang
baik, tahu apabila dampak dan akibat
apabila kurang motivasi terhadap
sesuatu pekerjaan.
Menurut Saydam (2006), banyak
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
motivasi, antara lain; lingkungan kerja
yang menyenangkan, kompensasi yang
memadai, supervisi yang baik, adanya
penghargaan dan prestasi, status dan
tanggung jawab, peraturan yang berlaku,
kematangan pribadi, tingkat pendidikan,
keinginan
dan
harapan
pribadi,
kebutuhan, kelelahan dan kebosanan,
serta kepuasan kerja.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
motivasi seseorang adalah karena
kebutuhan-kebutuhan pribadi, tujuantujuan dan persepsi orang atau
kelompok yang bersangkutan, cara
dengan apa kebutuhan-kebutuhan serta
tujuan-tujuan
tersebut
akan
23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
dari pasien satu ke pasien lainnya.
Mereka pada umumnya mencuci tangan
setelah selesai melakuakan pemeriksaan
pasien keseluruhannya. Kondisi seperti
ini dapat memicu terjadinya infeksi
nosokomial yang dapat terjadi melalui
penularan dari pasien kepada petugas,
dari pasien ke pasien lain, dari pasien ke
pengunjung atau keluarga maupun dari
petugas kepada pasien.
Hasil analisis menunjukkan bahwa
ada hubungan yang signifikan antara
motivasi perawat dengan cuci tangan di
ruang Seruni dan Teratai di RSUD dr.
M. Yunus Bengkulu. Hal ini sesuai
dengan pendapat Zuidah (2006),
mengatakan bahwa motivasi seseorang
berkaitan dengan kebutuhan meliputi
tempat dan suasana lingkungan kerja
sehingga
perawat
yang
bekerja
mengalami penurunan motivasi yang
mengakibatkan hasil kerja yang tidak
memuaskan
dan
mengakibatkan
tindakan perawat menurun. Dimana
motivasi yang baik maka tindakan cuci
tangan juga baik dilakukan dan
sebaliknya motivasi kurang, tindakan
cuci tangan kurang juga dilakukan.
Motivasi perawat dalam cuci
tangan di Ruang Teratai dan Seruni
RSUD dr. M. Yunus Bengkulu sudah
berjalan cukup optimal, tetapi masih ada
juga kurangnya motivasi perawat cuci
tangan. Hal ini disebabkan oleh
pengetahuan perawat yang masih
kurang, sarana dan prasarana yang
belum mendukung dan perawat sudah
merasa tangannya bersih dengan
menggunakan sarung tangan yang tidak
harus di cuci, serta pada kondisi tertentu
misalnya pada pasien yang memerlukan
pertolongan
cepat,
ini
tidak
memungkinkan
perawat
untuk
melakukan cuci tangan.
Faktor lainnya yang menyebabkan
kurangnya motivasi perawat cuci tangan
adalah perawat mengaku keterbatasan
waktu yang digunakan untuk melakukan
cuci tangan, kondisi pasien, dan perawat
menyatakan mencuci tangan merupakan
hal yang dirasanya kurang praktis untuk
dilakukan. Kondisi seperti ini tentu saja
berdampak munculnya masalah seperti
tejadinya kasus-kasus infeksi (Tjienjen,
2003).
Di Rumah sakit kebiasaan cuci
tangan petugas merupakan perilaku
yang mendasar sekali dalam upaya
mencegah Cross Infection (Infeksi
Silang). Hal ini mengingat rumah sakit
sebagai tempat berkumpulnya segala
macam penyakit, baik menular maupun
tidak menular. Karena itu seluruh
petugas kesehatan yang bekerja di
rumah sakit seharusnya mengetahui
pentingnya pencegahan infeksi silang
(nosokomial). Sebagian besar infeksi
dapat dicegah dengan strategi yang telah
tersedia yaitu dengan cuci tangan
(Tjienjen, 2003).
Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Tohamik
(2003), dalam penelitiannya bahwa
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kepatuhan perawat terhadap tindakan
cuci tangan dalam pencegahan infeksi
adalah faktor karakteristik individu
(jenis kelamin, umur, jenis pekerjaan,
masa kerja, tingkat pendidikan), faktor
psikososial (sikap terhadap penyakit,
ketegangan kerja, rasa takut dan
persepsi
terhdap
resiko),
faktor
organisasi
manajemen,
faktor
pengetahuan, faktor fasilitias, faktor
motivasi dan kesadaran, faktor tempat
tugas, dan faktor bahan cuci tangan
terhadap kulit.
Penurunan ini akan berpengaruh
pada lingkungan pekerjaan yang akan
berdampak pada motivasi kerja perawat
di rumah sakit. Motivasi akan berbeda
antara satu perawat dengan perawat
23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
yang lainnya. Motivasi kerja merupakan
suatu yang menimbulkan semangat
dorongan kerja. Berdasarkan definisi
motivasi tersebut, motivasi merupakan
faktor utama perawat dalam melakukan
segala pekerjaan baik yang meliputi
tindakan pada pasien maupun tugas
perawat pada asuhan keperawatan untuk
mencapai hasil yang optimal (Monika,
2008).
Peningkatan motivasi personal
dirumah sakit harus dilakukan untuk
menjaga semangat kerja sehingga tidak
terjadi penurunan akibat dari kegiatan
rutin. Pengamatan pada motivasi
personal harus dilakukan terus menerus
dan merupakan tanggung jawab atasan.
Hal
ini
digunakan
untuk
mengidentifikasi pribadi yang memiliki
potensi dan motivasi tinggi (Monika,
2008).
salah satu tenaga dirumah sakit yang
secara langsung berinteraksi dengan
klien dan menjadi sumber penyebab
terjadinya infeksi silang. Pemasangan
poster tentang cuci tangan secara baik
dan benar pada tiap ruangan.
DAFTAR PUSTAKA
Amdani, 2009. Jenis-Jenis Infeksi.
(Online),(http://www.infeksi.co
m Diakses 25 Desember 2009).
Departemen Kesehatan RI. 2003. Survey
Demografi Kesehatan Indonesia.
Jakarta.
Harry, 2006. Infeksi Nosokomial.
(Online),http//www.klikharry.co
m (Diakses, 20 Desember, 2011)
Ilias, 2002. Kumpulan Pedoman
Sanitasi Rumah Sakit. Jakarta:
DepKes RI
Lindawati,
2001.
Faktor-Faktor
Karakteristik Individu Infeksi
Nosokomial.
(Online),
(http://library.usu.ac.id/downloa
d/fkm/fkm.hiswani6.pdf,
Diakses 25 November 2011).
Musadad, 1993. Mikrobiologi dan
Parasitologi. Bandung: Citra
Aditya Sakti.
Notoatmodjo,
Soekidjo.
2005.
MetodologiPenelitian
Kes.
Jakarta : Rineka Cipta.
Nursalam. 2003. Infeksi Nosokomial.
Jakarta: EGC
Potter & Perry, 2005. Fundamental Of
Nursing. Jakarta: EGC
Saydam. 2006. pneumonia in infalansi
and
childhood.
http://www.topmember.com,
Diakses 31 maret 2009.
Schaffer, 2000. Pencegahan Infeksi dan
Praktek Yang Aman. Jakarta: EGC
Tietjen, 2003. Infeksi Nosokomial.
(Online),
(http://www.kompas.com/kompa
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
Perawat
hampir
sebagian
memiliki motivasi kurang dan lebih dari
sebagian tidak cuci tangan serta ada
hubungan antara motivasi dengan cuci
tangan perawat di ruang Teratai dan
Seruni RSUD dr. M. Yunus Bengkulu.
SARAN
Disarankan Rumah Sakit Umum
Daerah dr. M. Yunus Bengkulu untuk
menambah Washtapel khususnya di
ruangan Teratai dan Seruni, dan perawat
mengikuti seminar/penyuluhan PPI bagi
petugas
kesehatannya,
dan
menggalakkan perilaku cuci tangan pada
tenaga kesehatan khususnya perawat
sebagai
upaya
untuk
mencegah
terjadinya infeksi silang karena tenaga
kesehatan khusunya perawat adalah
23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
s-cetak/humaniota, Diakses 15
Nov 2011).
23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
23
Mitra Raflesia Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013
23
Download