II CIRI-CIRI AKHLAK MULIA ْ ص ُم َم ْن َكانَ يُؤْ ِم ُن بِ ه ت ِ اَّللِ َو ْاليَ ْو ِم ْ َاآلخ ِر فَ ْليَقُ ْل َخي ًْرا أ َ ْو ِلي Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang benar atau diam. (HR Bukhari & Muslim) Akhlak merupakan wujud keimanan. Perilaku akhlaqi banyak berkaitan dengan hubungan antar manusia. Tentang hubungan di antara sesama orang yang beriman Allah SWT menegaskan dalam Qs. 49/Al-Hujurat ayat 10: Tiap-tiap orang yang beriman adalah saudara (Innamal mu`minuna ikhwatun). Nabi SAW membuat ajaran operasional tentang hubungan di antara manusia. Hadits-hadits Nabi SAW banyak yang dimulai dengan kalimat La yu`minu ahadukum hatta ........... (Tidaklah seseorang disebut beriman, kecuali .....). Misal: Tidaklah seseorang disebut beriman hingga ia mencintai saudaranya (yang seiman) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri; tidaklah beriman orang yang tidur nyenyak sementara tetangganya tidak dapat tidur karena kelaparan; dan sebagainya. Contoh hadits berikut: اآلخ ِر ِ َو ْاليَ ْو ِم اآلخ ِر ِ َو ْاليَ ْو ِم « َم ْن َكانَ يُؤْ ِم ُن ِب ه: -صلى هللا عليه وسلم- ِاَّلل سو ُل ه ُ ع ْن أ َ ِبى ُه َري َْرة َ قَا َل قَا َل َر ِاَّلل َ ارهُ َم ْن َكانَ يُؤْ ِم ُن ِب ه ض ْيفَهُ َم ْن َكانَ يُؤْ ِم ُن ِب ه ِ اَّللِ َو ْاليَ ْو ِم ِاَّلل َ فَ ْليُ ْك ِر ْم َ اآلخ ِر فَالَ يُؤْ ذِى َج ْ ص ُم .» ت ْ فَ ْل َيقُ ْل َخي ًْرا أ َ ْو ِل َي Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakan tamunya; barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan menyakiti tetangganya; barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam. HR Bukhari dan Muslim, dalam Bukhari (TT) dan Muslim (TT). Hadits-hadits ini merupakan penegasan bahwa akhlak mulia merupakan ekspresi dari keimanan, atau wujud nyata keimanan seseorang adalah akhlak mulia. Implikasinya, jika ada seseorang yang mengaku beriman tapi akhlaknya tidak mulia maka orang itu sebenarnya tidak beriman. C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPERKUAT AKHLAK MULIA Akhlak seseorang bisa kuat (kokoh, otomatis, konsisten, istiqomah, diamalkan kapan pun dan dalam situasi apa pun) atau bisa juga lemah (tergantung situasi, kalau sedang kondisi normal berakhlak/berkarakter yang mulia, tapi kalau kondisi berubah maka akhlak/karkternya pun berubah) sangat tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor utama dan pertama yang memperkuat akhlak mulia, juga memperkuat keimanan, peribadatan, dan ketakwaan seseorang adalah karena fadhl (karunia) dan rahmat Allah SWT. Jika tidak, maka syetan-lah yang menguasai manusia: Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung di atasmu (lalu Kami berfirman): "Peganglah erat-erat apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada didalamnya agar kamu bertakwa".Kemudian kamu berpaling setelah itu. Maka kalau bukan karena fadhl (karunia)dari Allah dan rahmatNya atasmu niscaya kamu tergolong orang-orang yang merugi. (Qs. 2/Al-Baqarah: 63-64) Kalau tidaklah karena fadhl (karunia) dan rahmat dari Allah kepada kamu, tentulah kamu menjadi pengikut syetan, kecuali sebagian kecil (di antaramu). (Qs. 4/An-Nisa: 83) Oleh karena itu kita harus selalu memohon kepada Allah SWT untuk memperoleh hidayahNya. Permohonan hidayah yang biasa kita baca dalam Surat Al-Fatihah: Ihdinash shirothol mustaqim (Bimbinglah kami ke jalan yang lurus, atau: Beri hidayahlah kami untuk berjalan [menuju Tuhan] di atas shirothol mustaqim-Nya, yakni shirothol mustaqim di bawah bimbingan RasulNya) janganlah sekedar diucapkan tanpa makna dan tanpa pencarian. Jangan sampai pula hidayah yang telah Tuhan turunkan kepada kita (bagi orang yang sudah memperoleh hidayahNya) terlepas lagi. Oleh karena itulah orang-orang yang telah memperoleh hidayahNya harus selalu berdoa dengan doa semacam ini: Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri hidayah kepada kami; dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisiMu, karena sesungguhnya EngkauMaha Pemberi (karunia). (Qs. 3/Ali Imran: 8) Tapi kita jangan sampai berlaku pasif menunggu datangnya hidayah, sementara diri kita tidak menyiapkan diri untuk turunnya hidayah itu. Ada sejumlah persiapan diri agar hidayah Tuhan turun kepada kita. Persiapan diri di sini kita sebut saja dengan faktor-faktor yang memperkuat akhlak mulia, yakni: Pertama, terbimbing oleh seorang guru yang shaleh.Seorang guru yang salehterbukti mampu mengalahkan segala faktor yang melemahkan tindakan akhlaki. Atas bimbingan gurunya yang saleh, Umar bin Abdul Aziz mencapai ketinggian akhlak dan menjadi pemimpin yang sejajar dengan Khulafaur Rasyidin; padahal baik ayahnya, keluarga besarnya, ataupun lingkungan pergaulannya adalah di Istana yang jauh dari akhlak Islam. Dalam Al-Quran ditegaskan sebagai berikut: Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk (karena dia memperoleh bimbingan dari Guru Mursyid; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang Wali Mursyid (=Guru Mursyid, yakni Guru yang memberikan petunjuk yang benar sesuai Kehendak Allah). (Qs. 18/Al-Kahfi: 17) Al-Quran menegaskan peranan Guru Mursyid dalam menurunkan hidayahNya kepada seseorang yang berguru kepadanya. Adapun orang menjadi sesat karena tidak terbimbing oleh Guru Mursyid. Guru Mursyid yang hak dan sah adalah Ulama Pewaris Nabi. Kedua, pencari kebenaran. Para pencari kebenaran memiliki ciri khas tidak puas dengan keberagamaan, Ilmu Agama, Ilmu Akhlak, dan akhlak mulia yang dijalaninya. Oleh karena itu mereka terus mencari dan mencari model keberagamaan, Ilmu Agama, dan Ilmu Akhlak yang benar, yang sesuai dengan Kehendak Tuhan. Di kalangan orang-orang Islam tampak mereka berpindah-pindah mazhab atas dasar pencariannya, bukan atas dasar kepentingan duniawi. Di kalangan politikus dikenal adanya ‘kutu loncat’, yakni berpindah-pindah partai karena di partai yang didudukinya dia tidak memperoleh kedudukan sesuai dengan yang dikehendakinya. Maksud pindah-pindah mazhab di kalangan pencari kebenaran bukanlah sebagaimana pindah-pindah partai di kalangan politikus. Para pencari kebenaran berpindah-pindah mazhab karena dia mencari terus kebenaran. Adapun mazhab yang dipilihnya itu karena sesuai dengan kriteria kebenaran yang dia cari. Dia kemudian berpindah lagi ke mazhab lainnya karena dia terus mencari kebenaran, sedangkan kebenaran yang dicarinya itu ada pada mazhab yang baru dia pilih itu. Setelah sampai Al-Haq (yakni Al-Haqqu min Robbika fala takunanna minal mumtarin =Al-Haq atau kebenaran itu berasal dari Tuhanmu, maka janganlah kamu menjadi orang yang ragu – terhadap kebenaran dari Tuhan itu – antaralain dalam Qs. 2/Al-Baqarah ayat 147) barulah dia berhenti mencari. Dia mempelajari dan mengamalkan Ilmu Agama dan Ilmu Akhlak dari mazhab baru yang terus dicarinya itu. Ya kalau sudah ketemu Tuhan (Al-Haqqu min Robbika) dia tidak mencari-cari yang lainnya lagi. Ketiga, kokohnya iman.Tidak diragukan lagi bahwa kokohnya keimanan seseorang akan memperkuat akhlaknya. Para Nabi, para Rasul, para Wali, dan orang-orang shaleh sudah terbukti merupakan teladan-teladan akhlak mulia. Tapi perlu diingat bahwa iman itu yazidu wa yanqutsu (bertambah dan berkurang, menaik dan menurun); dan yang terbanyak adalah yang menurun. Karena itu di sepanjang sejarah sangat sedikit kaum mu’minin yang imannya kokoh. Kebanyakan manusia justru menyimpang dari keimanan, sebagaimana firmanNya: Dan mereka berkata: "Hati Kami tertutup". tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk mereka karena keingkaran mereka; Maka sedikit sekali mereka yang beriman. (Qs. 2/Al-Baqarah: 88) Sesungguhnya Al Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia. Dan Al Quran itu bukanlah Perkataan seorang penyair. sedikit sekali kamu beriman kepadanya. (Qs. 69/Al-Haqqoh: 40-41) Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman: "Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang, dan (demikian juga) keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya (yakni anaknya yang kafir), dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman." dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. (Qs. 11/Hud: 40) Daud berkata: "Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya; dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu berbuat zalim kepada sebagian lainnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan (tetapi) amat sedikitlah mereka (orang-orang yang beriman) ini". Dan (adapun) Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. (Qs. 38/Shad: 24) Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan (demikian pula) tidaklah (sama) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal saleh dengan orang-orang yang durhaka. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran. (Qs. 40/Al-Mu`min: 58) Dan kebanyakan dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan musyrik. (Qs. 12/Yusuf ayat 106). Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa orang-orang yang benar-benar beriman sangatlah sedikit. Dengan demikian maka otomatis orang-orang yang benar-benar berakhlak mulia pun sedikit pula, karena sangat sedikitnya orang-orang yang benar-benar beriman. Kebanyakan orang hanyalah mengaku beriman, merasa beriman, atau berimannya keliru. Maka otomatis pula kebanyakan orang hanyalah mengaku berakhlak mulia, merasa berakhlak mulia, atau berakhlak mulia yang tidak sejalan dengan kehendak Allah dan RasulNya. Keempat, memiliki pengetahuan agama yang cukup dan benar.Pengetahuan agama terbukti memperkokoh keimanan, sekaligus peribadatan dan akhlak. Dalam titik ekstrim kita bisa membandingkan akhlak kaum Santri (berbekal pengetahuan agama yang ‘cukup’ dan ‘benar’) dengan Preman (berbekal pengetahuan agama yang ‘minim’ dan ‘keliru’). Tesis S2 Adelina Hasyim di IKIP Bandung/UPI (1988) tentang tindakan pelanggaran etis menyebutkan, bahwa siswa SMA lebih banyak melakukan pelanggaran etis ketimbang siswa Madrasah Aliyah. Mengapa demikian? Jawabannya, karena di Madrasah Aliyah diciptakan suasana religius dan lebih banyak dibekalkan pengetahuan agama ketimbang di SMA. Di masa sekarang banyak SMA (baca sekolah, bukan madrasah) yang menciptakan suasana religius dan membekalkan lebih banyak pengetahuan agama. Ternyata para siswanya jauh lebih baik dibanding para siswa dari SMA yang tidak demikian. Memilih materi (content)yang benar-benar substansial untuk mengembang-kan manusia (baca: peserta didik) agar menjadi insan kamil (manusia sempurna) atau ber-kepribadian utuh bukanlah perkara gampang. Jika seluruh ayat Al-Quran (dan hadits-hadits shahih) dijadikan substansi materi pendidikan agama belum tentu dapat mengembangkan kepribadian utuh. Sejak dulu lembaga-lembaga pendidikan Islam selalu menyusun kurikulum berdasarkan sumber-sumber ajaran Islam yang utama, Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Kemudian berkembanglah Ilmu-ilmu Islam (Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Ilmu Tauhid, Ilmu Akhlak, Ilmu Tasawuf, Sejarah Islam, Tafsir dan Ilmu Al- Quran, serta Hadits dan Musthalah Hadits). Di era kekhalifahan Abbasiah, kurikulum pendidikan Islam didasarkan pada rumpun keilmuan itu. Malah di zaman kemunduran dunia Islam, kurikulum semakin dipersempit dengan mementingkan Ilmu Fiqih. Tujuan akhirnya tentu saja, dalam perspektif pendidikan agama, untuk mengembangkan peserta didik agar menjadi al-insan kamil (manusia sempurna) atau ber-kepribadian utuh. Gerakan kembali kepada Al-Quran dan Hadits di dunia Islam sejak abad XVIII Masehi didasarkan atas kekecewaan mereka terhadap kurikulum pada lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lebih terkonsentrasi mendalami Ilmu-Ilmu Islam yang terkotak-kotak tidak utuh. Sebenarnya Imam Ghazali pun (abad XIII Masehi) merasakan terkotak-kotaknya kurikulum di dunia Islam. Imam Ghazali menyebutkan adanya lebih dari 30 jenis Ilmu Islam yang berkembang saat itu, dan masingmasing ulama hanya membanggakan ilmu yang didalaminya. Dalam bahasa pendidikan umum, kurikulum terkotak-kotak semacam itu tidak mungkin dapat mengantarkan peserta didik menjadi alinsan kamil (manusia sempurna) atau ber-kepribadian utuh. Hanya saja kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi pun sebenarnya tidak menyelesaikan masalah. Persoalan paling mendasar karena sangat tebalnya Al-Quran dan Kitab Hadits serta beragamnya pemahaman ulama terhadap ayat-ayat Al-Quran dan Hadits. Persoalan mendasar lainnya, dan mungkin ini yang paling mendasar, cara adalah memilih ayat-ayat Al-Quran dan Hadits manakah yang harus lebih didahulukan dipelajari. Atau dengan pendekatan hierarki kurikulum, substansi materi manakah yang harus lebih didahulukan dan harus dikemudiankan, substansi materi manakah yang merupakan core (inti) dan substansi materi manakah yang merupakan cabang atau pengembangkan dari substansi materi yang inti itu. Jika diaplikasikan ke dalam Al-Quran dan Hadits, ayat Al-Quran manakah (juga hadits manakah) yang merupakan core (inti) dan ayat Al-Quran manakah (juga hadits manakah) yang merupakan cabang atau pengembangan dari ayat Al-Quran atau Hadits yang inti itu. Artinya, untuk memilih mana yang core (inti) dan yang cabang atau pengembangannya tidak cukup dengan sekedar mengadakan telaah yang kritis, tapi apa yang dikehendaki Tuhan dengan Kitab AlQurannya itu, serta apa pula yang dikehendaki Nabi Muhammad SAW dengan haditsnya itu! KH Muhammad Munawwar Afandi (Guru Mursyid Sufisme Syathariah) menjelaskan, bahwa Kitab Al-Quran yang sangat tebal itu (30 juz, 114 surat, dan 6.236 ayat) intinya adalah petunjuk untuk dapat “mati selamat”. Untuk dapat mati selamat ada ‘pintu’-nya mati, yakni selalu ‘mengingat-ingat’ DiriNya Ilahi Zat Yang Wajib WujudNya tapi Al-Ghaib namaNya Allah. Manusia (dan jin) sejak semula diciptakan tujuannya agar mereka menyembah Dirinya Ilahi Yang Al-Ghaib yang Asma-Nya Allah itu. Malah shalat pun perlu didirikan adalah untuk mengingat-ingat Aku (=DiriNya Yang AlGhaib), sebagaimana ditegaskan dalam ayat ‘inti’ Al-Quran, Qs. 20/Thoha ayat 14 berikut ini: Sesungguhnya Aku ini (bernama) Allah, tidak ada Tuhan selain Aku; maka sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. Menurut KH Muhammad Munawwar Afandi, Qs. 20/Thaha ayat 14 tersebut merupakan ayat “inti” Al-Quran. Oleh karena itu ayat tersebut harus dipahami dengan benar dan tuntas. Isi ayatnya harus dipelajari secara luas dan mendalam, maknanya harus direnungkan, kemudian diamalkan agar al-insan kamil atau kepribadian utuh dapat tercapai. Mengapa Qs. 20/Thaha ayat 14 tersebut merupakan ayat ‘inti’? Jawabnya, karena ayat ini merangkum episode kehidupan manusia yang ingin selamat kembali dan berjumpa dengan Tuhan. Dengan demikian, seluruh ayat Al-Quran yang 30 juz itu semuanya merupakan penjelasan dari ayat ‘inti’ itu. Implikasi lainnya, jika Qs. 20/Thaha ayat 14 tidak dipahami secara benar, maka ke arah pengembangan al-insan kamil atau kepribadian utuh tidak akan tercapai; masih lumayan jika ke arah kepribadian setengah utuh, bagaimana jika malah mengembangkan ke arah kepribadian yang pecah (manusia sesat)? Untuk dapat mati selamat dan berjumpa dengan Tuhan, syarat utamanya (menurut Qs. 20/Thaha ayat 14 tersebut) harus mengenal AKU (=DiriNya Ilahi Zat Yang Wajibul Wujud, tapi AlGhaib). Dalam ayat tersebut, AKU mengenalkan DiriNya dengan Nama ALLAH ((Innani ANA Allah =Sesungguhnya AKU Allah). Persoalannya, siapakah AKU ini? Jawabannya ada di ayat lainnya. Tapi dalam ayat ‘inti’ AlQuran itu, Sang AKU menegaskan La ilaha illa ANA (arti harfiyahnya: Tidak ada Tuhan kecuali AKU). Tapi makna lengkap La ilaha menurut KH Muhammad Munawwar Afandi (juga menurut banyak sufi, seperti Ibn `Araby) adalah: tidak ada Tuhan, tidak ada Daya, tidak ada Kekuatan, tidak ada Wujud, tidak ada Yang Dituju, dan tidak ada yang layak dijadikan Sandaran (dikumantili); illa Ana = kecuali AKU (=Daya-Ku, Kekuatan-Ku, Wujud-Ku, AKU-lah yang kamu Tuju, dan AKU-lah Sandaran-mu), yakni Dirinya Ilahi Zat Yang Yang Wajib WujudNya tapi Al-Ghaib, AsmaNya Allah). Kata “AKU” menunjukkan dekatNya Tuhan dengan hambaNya, jika Sang AKU benar-benar dikenali (benar-benar disaksikan keberadaannya, bukan sekedar tahu namaNya) dan dipahami secara benar dan tuntas. Jika Sang AKU sudah dikenali dan dipahami secara benar dan tuntas, maka agungnya kalimat naïf: Laa ilaaha dan kalimat itsbat: Illallah benar-benar meresap dalam rasa-hati, juga akan dirasakan sebagai Daya, Kekuatan, dan Wujud AKU pada diri hamba-hambaNya. Karena itulah syarat ketakwaan seseorang sebagaimana dijelaskan dalam Qs. 2/Al-Baqarah ayat 2-3 adalah “selalu” mengimani DiriNya Yang Al-Ghaib (alladzina yu`minuna bil-ghaibi). Ghaib adalah kalimat mufrad (singular) sedangkan “al” (alif-lam) adalah ma`rifah. Artinya, hanya satusatunya Yang Maha Ghaib, yakni Zat Wajibul WujudYang Al-Ghaib dan Allah AsmaNya. Jika DiriNya Yang Al-Ghaib sudah dipahami (yakni: Yang Punya Daya, Yang Punya Kekuatan, Yang Wujud, Yang Dituju, dan Yang Layak Dikumantili), maka akan mudah memahami yang bukan DiriNya Ilahi, yaitu: tidak punya daya, tidak punya kekuatan, tidak punya wujud, bukan yang dituju, dan tidak layak dijadikan sandaran. Jika La ilaha illa Anasudah dijadikan nilai dasar, maka kita tidak akan merasa punya daya, kekuatan, dan wujud (selain DiriNya Ilahi), dan kita pun tidak akan menetapkan adanya yang dituju dan dikumantili selain DiriNya Ilahi. Artinya, kita terbebas dari dosa syirik (menyekutukan Tuhan), suatu dosa yang paling besar dan tidak ada ampunannya, sebagaimana firmanNya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (Qs. 4/An-Nisa ayat 48) Berbeda halnya dengan orang yang sudah mengenali DiriNya Ilahi, ia tidak akan ‘ngaku’. Ia akan sadar sesadar-sadarnya terhadap makna La ilaha illa ANA-nya. Jika kaya, ia tidak ngaku kaya, melainkan merasa dikayakan oleh Allah; jika cerdas, tidak ngaku cerdas, tapi merasa dicerdaskan oleh Allah; jika ia punya pengetahuan yang banyak, ia tidak ngaku berilmu (karena cerdas dan rajin belajar), tapi merasa diberi ilmu oleh Allah. Efeknya pun akan bersebrangan dengan yang senang ngaku. Jika kaya, ia merasa sedang diuji dengan hartanya sehingga ia hanya akan memilih harta yang halal serta berinfak (membayar hak-hak Allah, hak-hak Rasul, hak-hak kerabat Rasul, hak-hak manusia, dan peduli memajukan lingkungan dengan hartanya), sebagaimana dijelaskan oleh ayat-ayat Al-Quran dan hadits; dan seterusnya. Pantas saja Nabi SAW dalam sebuah haditsnya menegaskan, bahwa barangsiapa yang mati mengucapkan La ilaha illallah maka dijamin masuk surga. Tentu bukan sekedar mengucapkan, tapi sebagaimana penegasan dalam Qs. 20/Thaha ayat 14 tadi. Jadi, ALLAH itu adalah sebuah nama, yakni Nama TUHAN. Lazimnya sebuah nama tentu tidak bisa apa-apa. Yang bisa apa-apa, yang bisa berbuat dan lain-lain, adalah pemilik nama itu; atau ZatNya. Inti keimanan kepada Allah sebenarnya mengenal Zat Tuhan Yang Maha Ghaib itu. Setelah mengenal AKU dan makna La ilaha illa ANA, ayat “inti” ini (Qs. 20/Thaha ayat 14) menegaskan fa`budni =maka sembahlah AKU. Artinya, seluruh peribadatan yang diperintahkan dalam Al-Quran dan hadits (shalat, puasa, zakat, haji, hingga bekerja dan bermasyarakat), titik fokusnya adalah untuk menyembah AKU. Di sinilah pentingnya Sang AKU harus benar-benar dikenali. Kemudian shalat yang dalam sebuah hadits disebutkan sebagai tiangnya agama, shalat itu wajib didirikan dengan tujuan “mengingat” AKU: wa aqimish shalala lidz-dzikri =dan dirikanlah shalat untuk mengingat AKU. Karena jika tidak “ingat” AKU, maka shalatnya divonis sahun (lalai), yang diancam dengan neraka (Qs. 107/Al-Ma`un ayat 4-5: Fawailul lil mushollin, alladzinahum `an shalatihim sahun). Jika diaplikasikan ke dalam kurikulum pendidikan agama, substansi materi yang paling “inti” (the core curriculum) adalah tentang mengimani Ada dan Wujud DiriNya Ilahi Zat Yang Al-Ghaib, sehingga La ilaha illa ANA(=tidak ada Tuhan, tidak ada daya, tidak ada kekuatan, tidak ada wujud, tidak ada yang dituju, dan tidak ada yang layak dikumantili (dijadikan tempat bergantung) kecuali AKU (Daya-Ku, Kekuatan-Ku, Wujud-Ku, Aku-lah yang kamu tuju, dan Aku-lah Yang Layak Dikumantili). Ini harus benar-benar dihayati dalam rasa hati. Kemudian dilanjutkan dengan menyembah AKU, kemudian mendirikan shalat untuk “mengingat” AKU. Kelima, memiliki falsafah hidup yang baik.Jasa Descartes - filsuf Perancis abad pertengahan di bidang pencerahan pemikiran merupakan realitas sejarah. Tema sentral filsafatnya cogito ergo sum (saya berpikir, karena itu saya ada) bukan saja menjadi bahan dasar pendidikan dan pengajarannya, melainkan menjadi falsafah hidup yang ia jalankan. Ia tidak melakukan suatu tindakan sebelum memikirkannya secara baik. Malah dalam beragama pun ia jalani setelah terlebih dahulu mengadakan studi kritis dan komparatip. Walau tidak sempat mengkaji ajaran Islam - mungkin karena faktor lingkungan saat itu - tapi ia sempat mencetuskan pemikiran, bahwa mungkin ada satu agama dan madzhab pemikiran keagamaan yang lebih baik ketimbang agama Katolik yang ia anut. Secara kebetulan ia menunjuk agama dan madzhab pemikiran keagamaan yang dianut oleh bangsa Iran. Di sekitar kita mungkin pembaca pun menemukan orang semacam Descartes kecil. Ia mungkin disebutsebut tidak beragama hanya karena tidak mengamalkan ritus-ritus formal Islam, terutama shalat. Tapi ia berakhlak (Islami), paling tidak diukur dari karakter pribadi dan hubungannya dengan sesama. Sebenarnya seseorang mempunyai falsafah hidup yang baik karena dia seorang pencari kebenaran. Keenam, memiliki lingkungan pergaulan yang baik.Betapa banyak anak-anak dan pemuda yang semula memiliki akhlak yang buruk menjadi berakhlak mulia karena tinggal dalam lingkungan sosial yang baik. Pesantren telah teruji dan terbukti sebagai tempat tinggal yang baik bagi anak-anak dan pemuda. Kita bisa membandingkan perilaku akhlaqi anak-anak dan pemuda yang tinggal di pesantren dan di luar pesantren. Misal, kasus tawuran. Kita sering mendengar tawuran pelajar dan tawuran mahasiswa. Malah dalam tawuran pelajar atau tawuran mahasiswa itu sering terjadi korban luka-luka hingga korban mati. Tapi kita tidak pernah mendengar adanya tawuran santri. Ketujuh, visioner (memiliki wawasan ke depan).Seseorang yang memiliki wawasan ke depan akan mempertimbangkan segala sikap dan tindakannya. Ia tidak akan terjebak dengan perilaku anti akhlaki karena akan merusak citra dirinya, terlebih-lebih lagi sekaligus merusak masa depannya. Dan bagi orang-orang yang beriman, masa depan yang paling utama adalah Hari Akhir, yakni berjumpa dengan Tuhan (dengan rasa bahagia selama-lamanya) atau disimpan di tempat sesat (di neraka) selama-lamanya. Orang yang benar-benar visioner akan bersikap zuhud, yakni selalu berorientasi akhirat. Karena akhirat itu adalah Tuhan (Huwal Awwalu Huwal Akhiru = Dialah Yang Awal dan Dialah Yang Akhir), maka orang yang visioner perspektif Islam selalu berakhlak mulia atas dasar lillah (karena Allah), billah (bersama Allah), fi sabilillah (di Jalan Allah), dan ilallah (menuju Allah), karena cita-cita satu-satunya hanyalah berjumpa dengan Tuhan. Kedelapan, memiliki pekerjaan dan aktivitas terhormat. Pekerjaan menjadi guru dan dosen, misalnya saja, cukup dihormati oleh masyarakat dan mendatangkan penghasilan yang berkecukupan. Pekerjaan sejenis ini cukup memperkuat sikap dan akhlak Islam. Berbeda dengan pekerjaan kotor, misalnya menjadi ‘germo’. Pekerjaannya sendiri sudah merupakan anti akhlaki, dan di luar itu tindakan-tindakannya pun cenderung anti akhlaqi. Kesembilan, terpenuhinya kebutuhan pokok.Terpenuhinya kebutuhan pokok cukup membuat tentram diri dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Dengan tentramnya jiwa, maka tindakantindakan akhlaki pun - atau sekurang-kurangnya tindakan biasa - tidak sulit untuk dilakukan. Dalam psikologi, kebutuhan pokok termasuk basic need (kebutuhan dasar) yang jika tidak terpenuhi maka jiwa orang tersebut menjadi goncang. Kebutuhan pokok yang paling utama dan yang pertama adalah terpenuhinya pangan (makanan dan minuman), kemudian sandang (pakaian sekedar cukup untuk menutupi badannya yang biasa tertutup dan diganti dengan pakaian lainnya jika pakaian yang sedang dipakainya itu sudah kotor), dan terakhir papan (yakni tempat tinggal yang aman dari panas matahari, hujan lebat, angin kencang, dan gangguan binatang). D. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPERLEMAH AKHLAK MULIA Adapun faktor-faktor yang memperlemah sikap dan perbuatan akhlak dapat diidentifikasi sebagai berikut: Pertama, hidup mewah. Kehidupan mewah cenderung membuat lupa-diri. Dalam Al-Quran dan Sejarah Islam terungkap bahwa para penantang Nabi dan misi kenabian adalah mereka yang hidup mewah. FirmanNya: Lalu Kami utus kepada mereka, seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri (yang berkata): "Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada Tuhan selain daripada-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa? Dan berkatalah pemuka-pemuka yang kafir di antara kaumnya dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat (kelak) dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan di dunia: "(Orang) ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu. Dia makan dari apa yang kamu makan, dan meminum dari apa yang kamu minum. (Qs. 23/Al-Mu`minun: 32-33) Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka Kami perintahkan kepada orangorang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (Qs. 17/Al-Isra: 16) Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan banyaknya harta maka orang cenderung menjalani hidup dengan mewah. Dengan harta yang banyak maka orang dapat dengan mudah membeli rumah yang mewah (besar, agreng, halaman yang luas dengan taman-tamannya, serba perabot rumah tangga yang juga serba mewah), mobil yang banyak dan mewah (mobil yang mahal dan pengeluarannya yang serba mahal), dan hidup serba mewah (makan yang enak-enak, makan-makan di restoran mewah, piknik ke luar negeri). Adapun bagi orang yang ‘merasa’ taat beragama biasanya memilih-milih ibadah yang sesuai dengan dorongan nafsu dan syahwatnya. Biasanya orang-orang yang kaya-raya memilih ibadah haji dan umrah berkali-kali ketimbang memperbanyak ibadah harta. Ibadah hartanya mungkin hanya cukup puas dengan membayar zakat 2,5%. Itu pun dilakukan biasanya dengan memilih-milih sasaran orang yang berhak menerima zakat, biasanya atas dasar kepentingan pribadi. Padahal Islam Syi`ah, juga Prof. Dr. Amien Rais (petinggi Muhammadiyah, yang juga pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Muhammadiyah) menetapkan zakat profesional sebesar 20%. Jarang sekali orang-orang yang hidup mewah membayar jariyah dan shodaqoh lainnya, terlebih-lebih membayar infaq. Padahal ibadah-ibadah harta dalam Islam cukup banyak: Shodaqoh jariyah, shodaqoh bukan jariyah, zakat, infaq, kifarat, khumus, fay, dan lain-lain. Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir, tidak menjalankan ibadah-ibadah harta); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia (dengan menjalankan ibadah-ibadah harta); dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui. (Qs. 2/Al-Baqarah: 268) Kalau pun mengeluarkan zakat dan shodaqoh biasanya dilakukan dengan cara-cara agar orang banyak mengetahuinya. Cenderung pamer bahkan riya. Dalam hal ilmu agama pun biasanya orang-orang yang kaya-raya tidak mau dinasihati. Terlebih-lebih lagi dalam hal ibadah harta biasanya orang yang kaya-raya tidak mau dinasihati. Mereka cenderung memilih da`i atau guru agama yang dapat menyenangkan dirinya, yang suka memuji-muji dirinya, da`i dan guru agama yang mau dibayar murahan. Imam Ghazali menyebutnya, mereka menyukai ibadah-ibadah palsu. Orang yang kaya-raya biasanya merasa dikasih-sayangi oleh Tuhan. Mereka pun biasanya merasa lebih baik dalam beribadah karena mereka bisa melakukan ibadah-ibadah yang bisa dilakukan oleh orang-orang miskin (seperti shalat dan puasa) juga ibadah-ibadah yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kaya seperti mereka (terutama haji dan umrah). Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun (Rasul atau Ulil Amri, atau Ulama Pewaris Nabi) melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya". Dan mereka berkata: "Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak- anak (daripada kamu) dan kami sama sekali tidak akan diazab (ini sebenarnya ungkapan di batinnya, tidak dikatakan secara terbuka). (Qs. 34/Saba`: 34-35). Maksud ayat ini, oleh karena orang-orang yang hidup mewah itu mendapat nikmat yang besar di dunia, maka mereka ‘merasa’ dikasihi Tuhan. Oleh karena itu mereka ‘merasa’ tidak akan diazab di akhirat. Pertanyaannya, mengapa agama Islam menetapkan banyak dan beragamnya ibadahibadah harta? Jawaban terhadap pertanyaan ini dapat disimak dalam bab khusus tentang Akhlak Terhadap Harta. Orang yang bersikap dan berperilaku benar terhadap hartanya, walaupun kaya-raya, orang itu tetap memiliki kesempurnaan akhlak. Nabi Sulaiman bukan saja kaya-raya. Dia adalah satu-satunya manusia yang paling kaya di dunia sejak dulu hingga sekarang dan sampai kiamat nanti. Separoh harta dunia dikuasai oleh Nabi Sulaiman. Dia pun bukan saja kaya-raya tapi juga sebagai Kepala Negara yang paling berkuasa dan pemilik segala ilmu. Tapi Nabi Sulaiman hidupnya sangat sederhana. Seluruh harta kekayaannya dia gunakan sesuai Kehendak Allah. Syekh Ibnu `Araby adalah seorang Ulama, Sufi, dan Filosof yang sangat kaya. Orang menyebutnya Nabi Sulaiman kedua (tapi Ibn Araby bukan Nabi). Rumah dia di Andalusia (Spanyol Islam) sangat luas, besar, dan megah. Dari pintu gerbang hingga ke rumahnya mencapai 1 (satu) km dengan taman bunga di kiri-kanannya. Pelayannya anak-anak muda yang berpakaian serba sutra (simbol pakaian termewah saat itu). Dinding-dinding rumah, hiasan rumah, dan piring-gelasnya pun banyak yang terbuat dari bahan logam mas dan perak. Tapi Ibnu `Araby hidup sangat sederhana. Dia dapat mengendalikan dunia, bukannya dikendalikan oleh dunia. Hanya ketika Malaikat Jibril mendatangi Nabi Sulaiman dan bertanya, ujian kepada siapakah yang paling berat: apakah ujian Allah yang diberikan kepada Nabi Ayyub (Nabi Ayyub hidup miskin, sakit yang sangat parah, dan diisolasi oleh keluarga dan masyarakatnya) ataukah ujian Allah yang diberikan kepada kamu? Nabi Sulaiman menjawab, bahwa ujian kepada dirinyalah yang paling berat. Ujian kekayaan, jabatan, dan ilmu pengetahuan adalah ujian yang paling berat, mudah tergelincir ke dalam perbuatan syirik yang tidak ada ampunannya sama sekali. Harta kekayaan dan jabatan cenderung merusak akhlak mulia. Kedua, miskin harta. Nabi Saw pernah bersabda Kadzal faqru ayyakuna kufran (Kefaqiran harta itu cenderung membuat seseorang menjadi kufur) memang terbukti. Betapa banyak orang yang berperilaku anti akhlaki adalah mereka yang memang hidupnya sangat miskin. Mereka cenderung emosional, berkata kasar, bertindak beringas, gampang bertengkar dan berkelahi, mudah kawin-cerai, dan tindakan-tindakan anti akhlaki lainnya. Mereka cenderung mudah mengeluh, mudah tersinggung, dan cenderung menyalahkan takdir. Orang yang miskin harta cenderung terkungkung dalam lingkaran syetan miskin-bodoh dan sakit-sakitan. Karena miskin harta, maka orang miskin tidak bisa bersekolah sebagaimana layaknya orang-orang bersekolah. Mereka bersekolah sekedar menjalani kewajiban bersekolah. Anak-anak orang miskin biasanya bersekolah sambil membantu pekerjaan orang tua mereka yang menguras tenaga banyak. Oleh karena itulah mereka bersekolah secara asal-asalan. Hasilnya pun sangat minimal. Mereka tetap saja bodoh. Kemudian, ketika orang miskin itu sakit, maka penyakitnya semakin bertambah berat karena ketidak-mampuannya untuk berobat. Dengan sakit-sakitan maka orang miskin itu semakin bertambah miskin dan semakin parah penyakitnya. Mentalitas mereka pun akhirnya labil. Mereka menjadi mudah emosional, mudah marah, mudah ribut, mudah bertengkar, dan ujung-ujungnya mereka menjadi pelaku kriminal. Dalam kondisi seperti ini bagaimana mungkin orang-orang miskin dapat hidup tenang dan berakhlak mulia? Al-Quran menggambarkan kehidupan manusia yang ditimpa kesusahan sebagai berikut: Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat dunia) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih. (Qs. 11/Hud: 9) Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia dan membelakang dengan sikap yang sombong; dan apabila dia ditimpa kesusahan (kemiskinan dll) niscaya dia berputus asa. (Qs. 17/Al-Isra: 83) Dan apabila manusia ditimpa kemudharatan (kesusahan duniawi, seperti kemiskinan), dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya (kesenangan duniawi, seperti kekayaan) kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia berdoa untuk (menghilangkannya) sebelum itu; dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: "Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu (selama hidup di dunia),sesungguhnya kamu (di akhirat) termasuk penghuni neraka". (Qs. 39/Az-Zumar: 8) Manusia tidak jemu memohon kebaikan (kesenangan duniawi, seperti kekayaan); dan jika mereka ditimpa malapetaka (kesusahan duniawi, seperti kemiskinan) dia menjadi putus asa lagi putus harapan. Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat (kesenangan duniawi, seperti kekayaan) dari Kami sesudah dia ditimpa kesusahan (seperti kemiskinan), pastilah dia berkata: "Ini adalah hakku, dan aku tidak yakin bahwa hari kiamat itu akan datang. (Semua orang percaya akan datangnya hari kiamat. Ungkapan ini hanyalah perasaan hati bahwa dia akan berumur panjang dan tidak akan mengalami hari kiamat, sehingga dia melakukan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan selera nafsu dan syahwatnya, tapi dia merasakannya sebagai berbuat baik); dan jika aku dikembalikan kepada Tuhanku (maksudnya, jika dia mati) maka sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan pada sisiNya.” (Karena dia merasa telah beribadah dan beramal sosial, padahal ibadah dan amal sosialnya tidak sejalan dengan Kehendak Allah dan RasulNya). Maka Kami (jawab Tuhan) benar-benar akan memberitakan kepada orang-orang kafir (ini vonis dari Allah, sedangkan dirinya merasa beriman) apa yang telah mereka kerjakan dan akan Kami rasakan kepada mereka azab yang keras. Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka, maka ia banyak berdoa. (Qs. 41/Fushshilat: 49-51) Adapun kehidupan ekonomi yang baik adalah yang ‘tengah-tengah’, yakni tidak begitu kaya dan tidak begitu miskin. Sabda Nabi SAW: khoerul umur autsatuha (sebaik-baiknya perkara adalah yang ‘tengah-tengah’). Sebenarnya ini adalah sikap hidup. Bisa saja orang yang dikayakan atau dimiskiskan memposisikan diri sebagai berada di ‘tengah-tengah’. Oleh karena itulah kita dianjurkan untuk memohon kepada Allah Ta`ala jangan sampai diuji dengan ujian yang tidak sanggup menanggungnya. Kita dianjurkan untuk selalumengucapkan doa ini: Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir. (Qs. 2/Al-Baqarah: 286) Ketiga, lingkunganpergaulan yang buruk.Betapa banyak pemuda pedesaan yang religius menjadi buruk akhlaknya karena berpindah ke kota dan bergaul dengan para pemuda yang berakhlak buruk. Zakiah Daradjat dalam Ilmu Jiwa Agama mengungkap seorang pemuda Kalimantan yang religius menjadi peminum khamar setelah tinggal di Jakarta, karena kawan-kawan sepekerjaannya banyak yang minum khamar. Di rumah dia pura-pura religius. Jika bulan Ramadhan tiba dia biasa makan sahur dan berbuka puasa, padahal di luar rumah tidak berpuasa. Ketika berbuka puasa dia sering membaca kelapa muda, dan dia meminum air kelapa muda itu. Padahal ternyata air kelapanya sudah diganti dengan khamar. Keempat, menganggur.Sekalipun keluarganya kaya (baca: berkecukupan), para pengangguran cenderung berperilaku anti akhlaqi. Zat-zat adiktif yang sangat berbahaya - dan cenderung menimbulkan perilaku anti akhlaqi - banyak dikonsumsi oleh para pengangguran yang kaya. Terlebihlebih lagi pengangguran yang miskin, karena tindakan-tindakan anti akhlaqinya justru digerakkan oleh kemiskinannya. Ya sudah miskin, menganggur lagi. Maka semakin lengkaplah kemiskinannya. Kelima, minim pengetahuan agama atau memiliki banyak pengetahuan agama tapi tidak tahu mana yang ‘inti’ dan mana yang ‘cabang’ atau ‘ranting’.Pengetahuan agama terbukti memperkokoh keimanan, sekaligus peribadatan dan akhlak. Dalam titik ekstrim kita bisa membandingkan akhlak kaum Santri (berbekal pengetahuan agama yang cukup dan “benar”) dengan Preman (berbekal pengetahuan agama yang minim). Tesis S2 Adelina Hasyim di IKIP Bandung/UPI (1988) tentang tindakan pelanggaran etis menyebutkan, bahwa siswa SMA lebih banyak melakukan pelanggaran etis ketimbang siswa Madrasah Aliyah. Mengapa demikian? Jawabannya, karena di Madrasah Aliyah lebih banyak dibekalkan pengetahuan agama ketimbang di SMA. Kita sering menyaksikan juga orang-orang yang berpengetahuan agama memadai, bahkan lulusan Perguruan Tinggi Agama atau lulusan Pesantren Tinggi tapi akhlaknya tidak mulia. Kasus Kyai dan Ustad yang dipenjara karena korupsi atau melecehkan wanita merupakan sedikit contoh dari kasus-kasus anti akhlaqi yang dilakukan oleh orang-orang yang cukup mendalam pengetahuan agamanya. Belum lagi masyarakat pun sering menyaksikan pemuka-pemuka agama yang sombong, gila hormat, mudah tersinggung, mudah marah, dan perilaku-perilaku anti akhlaqi lainnya. Jika kita telaah dari sudut Ilmu Akhlak, mereka berperilaku akhlaqi yang tidak mulia karena mereka tidak mengetahui, pengetahuan agama manakah yang ‘inti’, pengetahuan agama manakah yang ‘cabang’, dan pengetahuan agama manakah yang ‘ranting’. Seringkali mereka sangat mendalam pengetahuan agamanya, tapi hanya mendalam dalam memahami ‘cabang’, bahkan ‘ranting’, sementara ‘inti’ agama tidak diketahuinya. Contoh, shalat. Orang bisa saja menguasai segala syarat dan rukun shalat, mengetahui shalatshalat wajib dan shalat-shalat sunat, menguasai bacaan-bacaan dan gerakan-gerakan shalat secara benar dan serasi, bahkan hapal 3 juz Al-Quran. Atau, orang bisa saja menulis berjilid-jilid kitab tentang shalat, mengajar tentang shalat, bahkan menjadi Guru Besar dalam Bab Shalat. Tapi jika dia tidak mendirikan shalat secara khusyu` (tidak bisa menghadirkan Tuhan dalam shalatnya), shalatnya tidak lidz-dzikrii (bukan untuk mengingat Tuhan Yang AsmaNya Allah), maka oleh Allah shalatnya divonis sahun (=lalai, =tidak ingat Tuhan) yang diancam dengan fawailun (masuk neraka). Shalat yang sahun tidak mungkin dapat mengantarkan orang yang mengerjakannya (sekali pun banyak shalatnya) kepada kesempurnaan akhlak mulia. Shalat yang sahun tidak mungkin dapat mencegah perbuatan keji dan munkar sebagaimana dikehendaki dari orang-orang yang mendirikan shalat. Keenam, negative thinking. Dalam Beyond Psychology disebutkan betapa besarnya peran ‘berpikir positip’ dalam sukses hidup seseorang. Sementara mereka yang ‘berpikir negatip’(negative thinking) cenderung merusak diri dan anti akhlaqi. Mereka yang berpikir “negatip” bukan hanya akan berprasangka buruk terhadap orang lain, malah mereka akan berprasangka buruk pula terhadap dirinya sendiri.Mereka merasakan dirinya akan gagal, dan kegagalan itulah yang didapatnya. Lebih jauhnya lagi mereka pun akan berprasanka buruk terhadap Tuhan. Dalam sebuah hadits diungkapkan: Ana `inda zhonni `abdi bii (Aku, kata Tuhan, tergantung persangkaan hambaKu kepadaKu). Jika manusia berprasangka buruk kepada Tuhan, maka Tuhan pun akan memperlakukan hamba-hambanya dengan buruk. Sebaliknya, jika hamba-hamba Tuhan berprasangka baik kepada Tuhan, maka Tuhan pun akan berbuat baik pada hambaNya. E. RENUNGAN Coba simak dan renungkan kisah seorang `alim, dermawan, dan mujahid yang masuk neraka. Dikisahkan Sufyan Ash-Ashbahiny bercerita kepada 'Uqah ibn Muslim ketika dia memasuki Madinah, dia melihat orang sedang mengerumuni Abu Hurairah r.a. Sufyan pun menghampirinya lalu dia duduk di hadapan Abu Hurairah yang sedang menyampaikan sebuah hadis kepada jemaah. Abu Hurairah lalu terdiam. Sufyan meminta agar dia menyampaikan hadis yang dapat difahami untuk dihayati. Abu Hurairah bersetuju seraya berkata. “Aku akan sampaikan kepadamu satu hadis yang telah disampaikan Rasulullah SAW kepadaku”. Tiba-tiba Abu Hurairah menangis tersedu-sedu hingga hampir pengsan. Kemudian dia diam sebentar lalu berkata, “Aku akan sampaikan kepadamu satu hadis yang telah disampaikan Rasulullah SAW kepadaku di rumah ini, tidak ada orang lain selain aku dan baginda.” Tiba-tiba Abu Hurairah menangis tersedu-sedu hingga hampir pengsan. Setelah sadar kembali dia bercerita, “bahwa pada hari kiamat nanti Allah SWT akan turun kepada hambanya untuk memberikan keputusan kepada mereka. Setiap umat ketika itu berlutut. Golongan pertama yang akan dipanggil adalah orang `alim, orang kaya, dan mujahid (orang yang berperang) fi sabilillah.” Allah SWT bertanya kepada orang alim itu, “Bukankah AKU telah mengajarkan kepadamu Al-Kitab yang telah AKU turunkan kepada Rasul-KU?” Orang `alim itu menjawab. “Benar, wahai Tuhan.”' Allah SWT bertanya lagi. “Apa yang engkau kerjakan dengan ilmu yang engkau miliki itu?'” Orang itu menjawab, “Dengannya aku beribadat kepada-MU di malam hari dan siang hari.” Malaikat berkata kepada orang `alim itu, “Engkau berdusta!” Allah SWT berfirman lagi, “Engkau hanya ingin disebutsebut sebagai orang `alim!” Setelah itu dipanggil orang kaya. Allah SWT berfirman kepadanya, “Engkau telah AKU beri rezeki sehingga keadaanmu berkecukupan.” Orang itu menjawab, “Benar wahai Tuhan!” Allah SWT kemudian bertanya lagi, “Apa yang telah engkau kerjakan dengan hartamu itu?” Dia menjawab, “Dengannya aku bersillaturrahim dan bersedekah!” Allah SWT berfirman kepadanya, “Engkau dusta!” Malaikat juga berkata begitu. Allah SWT berfirman lagi, “Engkau hanya ingin disebut-sebut sebagai orang dermawan!” Kemudian dipanggil orang yang terbunuh ketika berperang fi sabilillah. Allah SWT berfirman kepadanya, “Apa yang menyebabkan engkau terbunuh?” Dia menjawab, “Telah diperintahkan kepadaku untuk berjihad di jalan-MU, maka aku berperang hingga terbunuh. Allah SWT berfirman kepadanya, “Engkau berdusta!” Malaikat juga berkata begitu. Allah SWT berfirman lagi, “Engkau hanya ingin disebut-sebut sebagai seorang pemberani!” Kata Abu Huraerah, kemudian Rasulullah SAW menepuk lututku sambil bersabda, “Wahai Abu Hurairah, ketiga orang itu adalah orang-orang yang pertama kali merasakan seksaan api neraka pada hari kiamat. Kisah ini perlu dijadikan bahan renungan mendalam. Orang umum sering kali menilai orang dari segi perilaku lahirnya saja. Jika `alim, dermawan, dan mujahid pasti orang saleh dan pasti masuk surga; padahal yang Allah lihat adalah aspek lahir sekaligus aspek batin manusia; atau aspek jasmani dan hati; atau istilah tasawufnya aspek syare`at da hakekat. Ketiga orang yang terkesan baik itu (`alim, dermawan, mujahid) mengapa dijadikan ahli neraka karena hatinya menyimpan keburukan. Dia menjadi orang `alim hanya karena ingin disebut-sebut sebagai orang `alim; dia menjadi orang dermawan karena ingin disebut-sebut sebagai orang dermawan; dan dia menjadi mujahid karena ingin disebut-sebut sebagai seorang pemberani. Mereka menyimpan sifat takabur, ujub, riya, dan sum`ah dalam hatinya. Artinya, mereka orang-orang `alim, dermawan, dan mujahid yang tidak berakhlak. (Disadur dari Greenbuble.blogspot.com, 2009). F. KESIMPULAN Akhlak dalam Islam bukan sekedar perilaku atau karakter yang baik. Akhlak dalam Islam adalah akhlak mulia yang “sempurna”. Ciri-ciri akhlak dalam Islam haruslah mengandung unsurunsur berikut: (1) baik dan bersifat ikhtiari, maksudnya sikap dan perilaku yang baiknya itu merupakan hasil usaha yang keras dan sungguh-sungguh; (2) benar, maksudnya sikap dan perbuatan yang baiknya itu dilakukan semata-mata sebagai ketaatan kepada Allah dengan mengikuti petunjuk dan teladan Rasulullah; (3) ikhlash, maksudnya sikap dan perbuatan yang baiknya itu dilakukan karena Allah semata, bukan karena parih dunia ataupun pamrih akhirat; dan (4) istiqomah, atau ajeg dan tetap, maksudnya sikap dan perbuatan yang baiknya itu dilakukan secara terus-menerus dalam situasi dan kondisi apa pun dan bagaimana pun.