21 21 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNG JAWAB

advertisement
21
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNG JAWAB NEGARA
TERHADAP TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI
2.1 Tinjuan Umum Tentang Tanggung Jawab Negara Dalam Hukum
Internasional
Secara umum dikatakan, negara bertanggung jawab dalam hukum
internasional untuk perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan kewajiban
internasional negara itu. Komisi Hukum Internasional (International Law
Commission, ILC) telah membahas persoalan tanggung jawab negara ini sejak tahun
1956 namun baru pada tahun 2001 berhasil merumuskan rancangan Pasal-pasal
tentang Tanggung Jawab Negara karena Perbuatan yang Dipersalahkan menurut
Hukum Internasional (draft Articles on Responsibility of States for Internationally
Wrongful Acts, selanjutnya dalam tulisan ini disebut “Artikel”) yang kemudian
diedarkan oleh Majelis Umum PBB. Dalam Resolusi A/RES/ 59/35 (2004) Majelis
Umum mengundang negara-negara anggota PBB untuk memberi tanggapan tentang
langkah selanjutnya dan memutuskan untuk mempertimbangkan masalah itu kembali
pada tahun 2007.
Hukum internasional tentang tanggung jawab negara adalah hukum
internasional yang bersumber pada hukum kebiasaan internasional. Ia berkembang
melalui praktik negara-negara dan putusan-putusan pengadilan internasional. ILC
menerima seluruh Artikel secara aklamasi. Pengadilan-pengadilan internasional
21
22
bahkan telah sejak lama mengutip dan menyetujui rancangan Artikel yang dibuat oleh
ILC, sehingga kalaupun rancangan Artikel itu tidak menjelma sebagai konvensi,
dapat dipastikan bahwa ia akan tetap berpengaruh besar pada pengadilan-pengadilan
internasional itu. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 Ayat (1) Statuta
Mahkamah Internasional (International Court of Justice), praktik demikian akan
semakin memperkuat kedudukan hukum kebiasaan internasional (yang mengatur
tentang pertanggungjawaban negara) sebagai sumber primer hukum internasional.
Sebelum masuk ke dalam hal-hal substansial yang lebih detail, ada tiga hal
penting, semacam prinsip umum, yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu:1
1. bahwa Artikel bersifat residual, maksudnya Artikel tidak berlaku
dalam hal syarat-syarat atau kondisi bagi adanya suatu perbuatan yang
dipersalahkan secara internasional (internationally wrongful act) atau
isi maupun implementasi tanggung jawab internasional suatu negara
diatur oleh ketentuan hukum internasional khusus;
2. bahwa hukum kebiasaan internasional akan tetap berlaku terhadap
masalah-masalah yang tidak dicakup oleh Artikel, sehingga tetap
terbuka bagi perkembangan hukum internasional yang mengatur
tentang tanggung jawab negara, misalnya mengenai tanggung jawab
atas
1
akibat-akibat
yang
merugikan
atau
membayakan
yang
Hepi Juniaartha, 2002, Fungsi Imigrasi Untuk Mendukung Pelaksanaan
Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia, Akademik Imigrasi, Jakarta.
23
ditimbulkan oleh suatu tindakan yang tidak dilarang oleh hukum
internasional;
3. bahwa, tanpa mengabaikan ketentuan dalam Piagam PBB, kewajibankewajiban yang tertuang dalam Pasal 103 Artikel diutamakan
berlakunya daripada kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjianperjanjian internasional lainnya. Maksud ketentuan ini adalah untuk
menyatakan secara tegas bahwa ketentuan-ketentuan dalam Artikel
tidak mengesampingkan tindakan yang diambil oleh PBB mengenai
pembayaran kompensasi oleh suatu negara.
2.1.1 Pengertian Tanggung Jawab
Berdasarkan hukum internasional, suatu negara bertanggung jawab bilamana
suatu perbuatan atau kelalaian yang dapat dipertautkan kepadanya melahirkan
pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, baik yang lahir dari suatu
perjanjian internasional maupun dari sumber hukum internasional lainnya. Dengan
demikian, secara umum, unsur-unsur tanggung jawab negara adalah :2
1) Ada perbuatan atau kelalaian (act or omission) yang dapat
dipertautkan (imputable) kepada suatu negara;
2) Perbuatan atau kelalaian itu merupakan suatu pelanggaran terhadap
suatu kewajiban internasional, baik kewajiban itu lahir dari perjanjian
maupun dari sumber hukum internasional lainnya.
2
Mohd Burhan Tsani, 1990, Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty,
Yogyakarta.
24
Hingga akhir Abad ke-20 masih dipegang pendapat bahwa untuk lahirnya
tanggung jawab negara tidak cukup dengan adanya dua unsur di atas melainkan harus
ada unsur kerusakan atau kerugian (damage or loss) pada pihak atau negara lain.
Namun, dalam perkembangannya hingga saat ini, tampaknya unsur “kerugian” itu
tidak lagi dianggap sebagai keharusan dalam setiap kasus untuk lahirnya tanggung
jawab negara. Contohnya, pelanggaran terhadap ketentuan hukum internasional yang
berkenaan dengan hak asasi manusia, jelas merupakan perbuatan yang dipersalahkan
menurut hukum internasional, walaupun tidak merugikan pihak atau negara lain.
Pasal 24 Konvensi Eropa tentang Hak-hak Asasi Manusia menyatakan, setiap negara
peserta diperbolehkan mengajukan keberatan terhadap negara peserta lain tanpa
mengharuskan negara yang mengajukan keberatan itu sebagai korban pelanggaran
hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara yang dituduh melakukan pelanggaran
tersebut.
Pasal 3 rancangan konvensi tentang tanggung jawab negara yang
dibuat oleh ILC (International Law Commission) menghapus/meniadakan
syarat kerugian dalam setiap definisinya mengenai perbuatan yang dapat
dipersalahkan menurut hukum internasional.
Pada dasarnya, ada dua macam teori pertanggungjawaban negara,
yaitu :3
3
I Dewa Gede Palguna, Op.Cit, hal.4
25
a) Teori Risiko (Risk Theory) yang kemudian melahirkan prinsip
tanggung jawab mutlak (absolute liability atau strict liability) atau
tanggung jawab objektif (objective responsibility), yaitu bahwa suatu
negara mutlak bertanggung jawab atas setiap kegiatan yang
menimbulkan akibat yang sangat membahayakan (harmful effects of
untra-hazardous activities) walaupun kegiatan itu sendiri adalah
kegiatan yang sah menurut hukum. Contohnya, Pasal II Liability
Convention 1972 (nama resmi konvensi ini adalah Convention on
International Liability for Damage caused by Space Objects of 1972)
yang menyatakan bahwa negara peluncur (launching state) mutlak
bertanggung jawab untuk membayar kompensasi untuk kerugian di
permukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang dalam
penerbangan yang ditimbulkan oleh benda angkasa miliknya.
b) Teori Kesalahan (Fault Theory) yang melahirkan prinsip tanggung
jawab subjektif (subjective responsibility) atau tanggung jawab atas
dasar kesalahan (liability based on fault), yaitu bahwa tanggung jawab
negara atas perbuatannya baru dikatakan ada jika dapat dibuktikan
adanya unsur kesalahan pada perbuatan itu.
Kecenderungan
yang
berkembang
akhir-akhir
ini
adalah
makin
ditinggalkannya teori kesalahan ini dalam berbagai kasus. Dengan kata lain, dalam
perkembangan di berbagai lapangan hukum internasional, ada kecenderungan untuk
menganut prinsip tanggung jawab mutlak.
26
Pertanggungjawaban negara berkaitan erat dengan suatu kaidah dimana
prinsip fundamental hukum internasional menyebutkan bahwa negara atau suatu
pihak yang dirugikan berhak mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang dideritanya.
Suatu doktrin serupa berlaku dalam kaitannya dengan unit-unit bagian lain dari
negara-negara pada umumnya, baik federal maupun kesatuan. Laporan tahun 1974
Komisi hukum Internasional menyebutkan prinsip bahwa negara bertanggung jawab
atas tindakan-tindakan dan kelalaian-kelalaian organ-organ dari kesatuan-kesatuan
pemerintah teritorial, seperti kota praja dan provinsi dan daerah-daerah telah lama
diakui secara tegas di dalam keputusan-keputusan yudisial internasional dan praktikpraktik negara.4
Latar belakang timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum internasional
yaitu bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hak-hak negara lain.
Seperti yang dikemukakan oleh Shaw, yang menjadi karakteristik penting adanya
tanggung jawab negara ini bergantung kepada faktor-faktor dasar: 5
a. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara
negara tertentu.
b. Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban
hukum internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara.
4
Mochtar Kusumaatmadja dan Agoes, Etty R, 2003, Pengantar Hukum Internasional,
PT. Alumni, Bandung, hal. 26.
5
Jawahir Thontowi dan Pronoto Iskandar, 2006, Hukum Internasional Kontemporer,
Yogyakarta, hal. 35
27
c. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang
melanggar hukum atau kelalaian.
2.1.2
Bentuk-Bentuk Tanggung Jawab
Terdapat beberapa bentuk pertanggungjawaban yang diakui dalam hukum
internasional. Salah satunya adalah reparation. Akan tetapi, pada saat ini reparation
sudah jarang digunakan karena pada saat ini lebih sering persoalan mengenai
ekspropiasi yang lebih bersifat politis. Disamping itu, penggunaan istilah ini makin
membingungkan ketika Brownlie menerapkan istilah reparation untuk ditujukan
kepada semua tindakan yang diambil oleh negara yang terkena pertanggungjawaban:
pembayaran kompensasi atau restitusi, sebuah apologi, penghukuman atas individu
yang bertanggungjawab, mengambil tindakan supaya tidak terjadinya pengulangan,
segala bentuk pembalasan (satisfaction) lainnya. Problematika tidak berhenti sampai
disitu, Brownlie membuat perbedaan antara restitusi dan kompensasi. Kompensasi
adalah reparasi dalam pengertian sempit yang berhubungan dengan pembayaran
sejumlah uang sebagai nilai ganti atas kerugian. 6
Kompensasi dapat diberikan terhadap pelanggaran-pelanggaran oleh suatu
negara walaupun pelanggaran terhadap negara tersebut tidak berhubungan dengan
kerugian yang bersifat finansial, misal pelanggaran terhadap kekebalan diplomatik
atau konsular. Ganti rugi dalam kaitannya dengan persoalan diatas disebut sebagai
6
Ian Brownlie, 1992, Principles of Public International Law, Oxford: Clarendon
Press, hal. 458
28
reparasi moral atau politis.
7
Akan tetapi, prinsip dasar dalam pertanggungjawaban
atas kesalahan yang dilakukan oleh suatu negara merupakan sebuah persoalan yang
dapat kita generalisir.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh The Chorzow Factory Case: 8
The essential principle contained in the actual notion of an illegal act
a principle which seems to be established by international practice and in
particular by the decisions of arbitral tribunals is that reparation must, as far
as possible, wipe out all the consequences of the illegal act and re-established
the situation which would, in all probability, have existed if that act had not
been commited. Restitution in kind, or, if this is not possible payment of a sum
corresponding to the value which a restution in kind would bear; the award, if
need be, of damages for loss sustained which would not be covered by
restution in kind or payment inplace of it – such are the principles which
should serve to determine the amount of compensation due for an act contrary
to international law.
Dari pernyataan semua bentuk restitusi harus memiliki tujuan utama, yakni;
perlindungan kepentingan negara penuntut yang harus dibedakan dengan model yang
hanya ditujukan untuk mendapatkan legal standing untuk melindungi kepentingan
hukum yang tidak identik dengan negara yang bersangkutan ataupun negara-negara
7
Ibid
Ian Brownlie,op.cit, hal. 458-459
8
29
lain. Sehingga sebisa mungkin restitusi tersebut dapat mengembalikan situasi ketika
tidak terjadinya pelanggaran.
Sebelum menutup bagian ini perlu kita bahas dua bentuk lain dari remedy.
Pertama,declaratory
judgements
yang
merupakan
putusan
dari
pengadilan
internasional. Putusan ini pada dasarnya merupakan kehendak dari para pihak yang
bersengketa. Putusan ini bersifat declaratory bukan executory. Hal ini seperti yang
dituntut oleh para applicants dalam South West African Case yang hanya
mempersoalkan tindakan dari Afrika Selatan yang menurut mereka bertentangan
dengan sistem mandat.
Kedua adalah satisfaction yang memiliki arti sebagai sebuah upaya yang
dilakukan oleh sebuah negara untuk mendapatkan sebuah putusan dari pengadilan
yang mendukungnya. Dalam beberapa kasus, persoalan yang diajukan tidak
menyebabkan kerugian secara langsung kepada negara yang mengajukan tapi
melanggar hak negara tersebut. Contoh mengenai ini bisa kita temukan dalam Corfu
Channel Case dimana Inggris mengajukan gugatan terhadap Albania atas kerusakan
berat dari dua kapal perang Inggris yang diakibatkan oleh ranjau yang ditempatkan
oleh Albania.
2.1.3
Sistem Tanggung Jawab Negara Indonesia
Di Indonesia, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi adalah lembaga
pemerintah utama untuk pengaturan pekerja migran di Indonesia. Rekrutmen dan
penempatan tenaga kerja dilakukan oleh agen swasta, yang diberikan izin oleh
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen juga mengawasi pelatihan
30
keterampilan, pembekalan wajib prakeberangkatan dan menyediakan sejumlah kecil
atas tenaga kerja di kedutaan besar Indonesia di luar negeri. Departemen-departemen
pemerintah yang lain juga terlibat, sejalan dengan mandat mereka yang beragam.
Misalnya, Departemen Luar Negeri menangani persoalan konsuler, Direktorat
Jenderal Imigrasi (di dalam struktur Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia)
mengeluarkan
paspor,
dan
Departemen
Kesehatan
bertanggungjawab
atas
pemeriksaan kesehatan pra-keberangkatan.
UU Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran mewajibkan pembentukan
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja ke Luar Negeri (BNPPTKLN). Badan ini belum dibentuk, kendati Menteri Tenaga Kerja baru-baru ini telah
meyakinkan masyarakat bahwa badan ini akan mulai beroperasi pada Oktober 2006.
BNPP-TKLN akan terdiri dari departemen-departemen pemerintah yang terkait, dan
akan bertanggungjawab langsung pada presiden. Badan ini akan memiliki tanggung
jawab untuk “menerapkan kebijakan-kebijakan dalam bidang penempatan dan
perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri secara terkoordinir dan terpadu”
(Pasal 95 UU No. 39 tahun 2004). Hal ini akan meliputi, interalia, rekrutmen,
pemeriksaan kesehatan, pelatihan, keberangkatan dan perlindungan dalam negara.
Pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kota/Kabupaten dalam menerapkan UU Penempatan dan Pelindungan
Pekerja Migran tidak dibuat dengan jelas. UU tersebut tidak menjelaskan hubungan
antara BNPP-TKLN dan tingkat-tingkat pemerintahan yang berbeda-beda. Saat ini,
kesepakatan
penempatan
kerja
haruslah
didaftarkan
dengan
wewenang
31
Kota/Kabupaten, dan “Biro Pelayanan” akan dibentuk di ibukota-ibukota provinsi.
Pengawasan perizinan terhadap para perekrut dan pelatihan tampaknya dibagi secara
informal oleh tingkat pemerintahan yang berbeda; hubungan antara Pemerintah Pusat,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kotapraja/Kabupaten tidaklah jelas. Persoalan
penting lainnya juga tidak tercakup dalam UU ini. Kenyataan bahwa otonomi daerah
sekarang berlaku di Indonesia, maka penting bagi UU tersebut untuk mendefinisikan
secara jelas peran dan tanggung jawab tiap tingkat pemerintahan dalam mengelola
proses
migrasi.
Pembagian
wewenang
terakhir
haruslah
berupaya
untuk
menyeimbangkan kebutuhan menyalurkan jasa untuk tingkat lokal di satu sisi dengan
sumber daya manusia yang lebih banyak tersedia di pemerintah pusat di sisi lainnya.
Di Indonesia, rekrutmen dan penempatan warga negara untuk bekerja di luar
negeri dilakukan oleh perusahaan swasta yang disebut sebagai Perusahaan Jasa
Tenaga Kerja Indonesia, atau PJTKI. Peran pemerintah menurut kerangka peraturan
yang ada sekarang adalah untuk mengawasi agen-agen ini melalui skema perizinan
yang disebut sebagai Surat Izin Pelaksana Penempatan TKI, atau SIPPTKI.
Perlindungan hukum dan tanggung jawab perusahaan yang mengirim TKI ke
luar negeri merupakan dua variabel yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
Pengiriman TKI ke luar negeri termasuk salah satu masalah krusial dalam sistem
ketenagakerjaan di Indonesia karena penerimaan devisa negara yang sangat besar
dari pengiriman dan penempatan TKI ke luar negeri. Peraturan perundang-undangan
yang memberikan perlindungan terhadap TKI (baik selamamasa prapenempatan,
selama penempatan, dan purnapenempatan) termasuk tanggung jawab perusahaan
32
pengirim TKI telah banyak dibuat oleh pemerintah, tetapi Tim Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia masih banyak menemukan permasalahan
pokok di lapangan yang kerap menimpa TKI antara lain :9
a. Dokumen jati diri asli tetapi palsu.
Hal ini banyak ditemukan pada berbagai kasus yang menimpa TKI dalam
pemberangkatannya menuju luar negeri.Banyak di antara dokumen kelengkapan kerja
para TKI dari sebelum keberangkatan ke luar negeri, asli tetapi palsu.Maksudnya,
dari data yang terkandung di dalam dokumen tersebut kadangkala sudah dimanipulasi
atau direkayasa sedemikian rupa, sehingga melegalkan segala cara untuk tetap
memberangkatkan calon TKI ke luar negeri walaupun dengan kekurangan
persyaratan dan keterbatasan kompetensi TKI.Dokumen jati diri asli tetapi palsu
tersebut seperti data diri pribadi (umur, pendidikan terakhir calon TKI), KTP, hasil
medical checkup, surat pengantar, paspor keberangkatan ke negara tujuan, dan lain
sebagainya. Jika ini terjadi dan diketahui oleh pihak yang berwenang menangani
masalah buruh migran di negara tujuan penempatan TKI, maka akan terjadi deportasi
terhadap TKI yang bersangkutan.
Upaya yang dapat dilakukan pemerintah dalam memberikan perlindungan
kepada TKI berkenaan dengan masalah ini, seperti melakukan peninjauan ulang,
mengevaluasi, dan mengawasi PPTKIS untuk melengkapi data-data diri para TKI
serta menjamin kembali keberangkatan TKI melalui prosedur resmi ketika TKI telah
dideportasi dari negara tujuan. Pada kenyataannya, pemerintah telah menyadari
9
Editorial Media Indonesia”, Surat Kabar Harian Media Indonesia, 19 Juni 2007.
33
bahwa banyak PPTKIS membiarkan hal seperti ini terjadi dan kadang kala ada
beberapa dokumen TKI yang ikut dipalsukan oleh PPTKIS untuk memenuhi kuota
pengiriman TKI ke luar negeri yang menjadi target PPTKIS, namun pemerintah terus
membiarkan hal semacam ini terjadi, tanpa ada tindakan tegas untuk menindak dan
menghentikan perbuatan ini.
b. Sertifikat Pelatihan, Sertifikat Uji Kesehatan, Sertifikat Uji Kompetensi yang
dipalsukan.
Kasus seperti ini sudah tidak asing lagi terjadi. Hal ini dimaksudkan agar para
TKI walaupun tidak mengikuti pelatihan oleh PPTKIS, gagal dalam proses medical
checkup, memiliki keterbatasan kompetensi seperti skill dan bahasa, tetap dapat di
berangkatkan ke luar negeri dengan modal nekat dan kemauan semata untuk
memenuhi permintaan TKI di luar negeri oleh pengguna serta untuk memenuhi
keuntungan balas jasa yang akan diterima oleh PPTKIS selaku perusahaan penyalur
TKI ke luar negeri. Mengenai pemalsuan Sertifikat Pelatihan, Sertifikat Uji
Kesehatan, dan Sertifikat Uji Kompetensi pada kenyataannya tidak sedikit PPTKIS
yang juga ikut melakukan praktek kecurangan10seperti ini dengan membantu
meloloskan TKI yang tidak memenuhi syarat kelulusan dalam pelatihan, uji
kesehatan, dan uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat tersebut.
c. Asuransi yang tidak dibayarkan sesuai dengan ketentuan dan tidak langsung
kepada TKI tetapi melalui PPTKIS.
Edy Gustan.”Rp 550 M Dana Asuransi TKI Belum Dibayarkan”, http://nasional
.vivanews. com/news/read/93720, diunduh tanggal 14/10/2015
10
34
Asuransi bagi TKI yang bekerja di luar negeri pada dasarnya merupakan suatu
bentuk perlindungan bagi TKI dalam bentuk santunan berupa uang sebagai akibat
resiko yang dialami TKI sebelum, selama, dan sesudah bekerja di luar negeri. Setiap
TKI yang akan bekerja di luar negeri akan didaftarkan dalam program asuransi,
berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 68 ayat (1) UU No.39 Tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dan
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor PER.07/MEN/V/2010
tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia. Sesuai dengan kedua instrumen peraturan
perundang-undangan tersebut PPTKISdiwajbkan untuk mengikutsertakan TKI pada
program asuransi TKI, dan pada kenyataannya memang banyak PPTKIS yang sudah
mengikutsertakan TKI yang akan diberangkatkan ke luar negeri dalam program
asuransi TKI, akan tetapi yang terjadi kemudian adalah banyak asuransi yang dibayar
tidak sesuai dengan ketentuan (sesuai dengan prosedur) dan tidak langsung
dibayarkan kepada TKI, melainkan melalui PPTKIS terlebih dahulu. Hal ini
menyebabkan TKI tidak dapat menerima pencairan dana asuransi secara utuh sesuai
dengan haknya karena melalui meja PPTKIS terlebih dahulu. Selain itu proses klaim
pengurusan pencairan dana asuransi TKI pada implementasinya cukup sulit.
Adapun di deportasi karena bekerja ilegal/overstay yaitu kegiatan deportasi ini
dilakukan karena TKI tidak memiliki dokumenkelengkapan keberangkatan yang
disyaratkan seperti kelengkapan paspor, identitas diri, perlindungan asuransi dan
sebagainya. Selain itu juga bagi TKI yang menempuh jalur ilegal dengan perantara
oknum calo untuk dapat bekerja di luar negeri, jika terjaring dan tertangkap dalam
35
razia di negara tujuan maka akan di deportasi atau bagi para TKI yang bekerja setelah
selesai masa kontrak dan masih tinggal melebihi izin tinggal di negara tujuan, akan di
deportasi.
Usaha Pemerintah dalam memberikan perlindungan untuk mengurangi
masalah deportasi karena bekerja ilegal/overstay, yaitu denganmemberikan sosialisasi
pentingnya bekerja di luar negeri dengan melengkapi dokumen asli dan melewati
jalur penempatan resmi oleh PPTKIS resmi yang memiliki izin dan terdaftardi
instansi pemerintah bidang ketenagakerjaan serta pemahaman mengenai aturan-aturan
yang tercantum dalam perjanjian kerja.Sampai saat ini TKI yang dirugikan jarang
sekali menerima nasihat atau perwakilan hukum, baik di Indonesia maupun di luar
negeri. Dalam kasus-kasus di mana pengacara disediakan, pengacara tersebut didanai
dan ditunjuk oleh perusahaan asuransi pekerja migran tersebut. Hal ini seringkali
menimbulkan konflik kepentingan karena perusahaan asuransi adalah perusahaan
yang akhirnya bertanggungjawab untuk membayar ganti rugi. Selain itu, banyak hakhak TKI sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 8 UU No. 39 Tahun 2004 tidak
dimasukkan ke dalam sebuah kontrak sehingga tidak jelas bagaimana hak-hak ini
akan ditegakkan.
Masalah yang umum terjadi adalah bahwa calon TKI diminta menandatangani
kontrak di tempat. Selain mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk
mempertimbangkan pro dan kontra dari kontrak tersebut, seringkali mereka juga tidak
memahaminya. Fakta bahwa banyak pekerja migran hanya menerima pendidikan
formal yang terbatas, penting untuk memberikan waktu bagi mereka guna menunjuk-
36
kan dan mendiskusikan kontrak dengan keluarga mereka, kelompok ber-basis
kepercayaan, LSM, dan sebagainya. Keadaan seperti itu menunjukkan bahwa
pertanggungjawaban perusahaan yang mengirim Tenaga Kerja Indonesia ke Luar
Negeri belum bisa dikatakan baik karena banyak perusahaan/agen yang
memberangkatkan TKI untuk bekerja di luar negeri seolah-olah melepaskan tanggung
jawabnya sehingga banyak TKI yang dirugikan baik secara finansil maupun nonfinansil, baik material maupun spiritual.
2.2 Tenaga Kerja Indonesia
Pengaturan mengenai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri diatur
dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri.
2.2.1 Pengertian Tenaga Kerja Indonesia
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian Tenaga Kerja Indonesia.
Menurut Pasal 1 bagian (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, TKI adalah
setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri
dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.
Sedangkan menurut buku pedoman pengawasam perusahaan jasa tenaga kerja
Indonesia adalah warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan yang
melakukan kegiatan di bidang perekonomian, sosial, keilmuan, kesenian, dan
olahraga profesional serta mengikuti pelatihan kerja di luar negeri baik di darat, laut
maupun udara dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja yaitu suatu
37
perjanjian antara pekerja dan pengusaha secara lisan dan atau tertulis baik untuk
waktu tertentu maupun untuk waktu tidak tertentu yang memuat syarat-syarat kerja,
hak dan kewajiban para pihak. Dengan adanya perjanjian kerja ini TKI akan lebih
terlindungi apabila nantinya dikemudian hari pihak majikan atau pihak perusahaan
tempat TKI bekerja “wanprestasi”maka TKI dapat menentukan sesuai perjanjian
kerja yang telah dibuat sebelumnya.
Sementara itu dalam Pasal 1 Kep. Manakertran RI No Kep 104A/Men/2002
tentang penempatan TKI keluar negeri disebutkan bahwa TKI adalah baik laki-laki
maupun perempuan yang bekerja di luar negeri dalam jangka waktu tertentu
berdasarkan perjanjian kerja melalui prosedur penempatan TKI. Prosedur penempatan
TKI ini harus benarbenar diperhatikan oleh calon TKI yang ingin bekerja ke luar
negeri tetapi tidak melalui prosedur yang benar dan sah maka TKI tersebut nantinya
akan menghadapi masalah di negara tempat ia bekerja karena CTKI tersebut
dikatakan TKI ilegal karena datang ke negata tujuan tidak melalui prosedur
penempatan TKI yang benar.
Berdasarkan beberapa pengertian TKI tersebut, maka dapat dikemukakan
bahwa TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk
bekerja di luar negeri dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja
melalui prosedur penempatan TKI dengan menerima upah.
38
2.2.2 Hak dan Kewajiban Calon Tenaga Kerja Indonesia
Hak calon TKI :11
Setiap calon TKI mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk:
a. bekerja di luar negeri;
b. memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja luar negeri
dan prosedur penempatan TKI di luar negeri;
c. memperoleh pelayanan dan perlakuan yang sama dalam penempatan
di luar negeri;
d. memperoleh kebebasan menganut agama dan keyakinannya serta
kesempatan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
keyakinan yang dianutnya.
e. memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di negara
tujuan.
f. memperoleh hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama yang
diperoleh tenaga kerja asing lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di negara tujuan;
g. memperoleh jaminan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan atas tindakan yang dapat merendahkan harkat
dan martabatnya serta pelanggaran atas hak-hak yang ditetapkan
11
Juniartha, Hepi, Fungsi Imigrasi Untuk Mendukung Pelaksanaan Pengiriman
Tenaga Kerja Indonesia, Akademi Imigrasi, Jakarta 2002, hlm 16.
39
sesuai dengan peraturan perundang-undangan selama penampatan di
luar negeri;
a. memperoleh jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan
kepulangan TKI ke tempat asal;
b. memperoleh naskah perjanjian kerja yang asli. Kewajiban TKI :
Setiap calon TKI/TKI mempunyai kewajiban untuk:
1. menaati peraturan perundang-undangan baik di dalam negeri maupun
di negara tujuan;
2. menaati dan melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan perjanjian
kerja;
3. membayar biaya pelayanan penempatan TKI di luar negeri sesuai
dengan peraturan perundang-undangan;
4. memberitahukan atau melaporkan kedatangan keberadaan dan
kepulangan TKI kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara
2.2.3 Persyaratan Tenaga Kerja Indonesia
Adanya TKI yang bekerja di luar negeri membutuhkan suatu proses
perencanaan. Perencanaan tenaga kerja ialah suatu proses pengumpulan informasi
secara reguler dan analisis situasi untuk masa kini dan masa depan dari permintaan
dan penawaran tenaga kerja termasuk penyajian pilihan pengambilan keputusan,
40
kebijakan dan program aksi sebagai bagian dari proses perencanan pembangunan
untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
12
Dilihat dari prosesnya perencanaan tenaga kerja adalah usaha menemukan
masalah-masalah ketenagakerjaan yang terjadi pada waktu sekarang dan mendatang
serta usaha untuk merumuskan kebijaksanaa dan program yang relevan dan konsisten
untuk mengatasinya.
13
Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri bahwa setiap calon TKI yang
akan mendaftarkan diri untuk bekerja di luar negeri harus memenuhi prosedur yang
telah ditentukan. Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI dilakukan
terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan:
1) berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi calon
TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurangkurangnya berusia 21 ( dua puluh satu) tahun;
2) sehat jasmani dan rohani;
3) tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan; dan
4) berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP) atau yang sederajat.
12
http://www.hukumtenagakerja.com/penempata-dan-perlindungantenaga-kerjaindonesia-di-luar-negeri, diakses pada tanggal 30 Mei 2015
13
Ibid.
41
Selain persyaratan tersebut di atas, menurut Pasal 51 Undang-Undang Nomor
39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di
Luar Negeri, calon TKI juga wajib memiliki dokumen – dokumen, yaitu :
a. Kartu Tanda Penduduk, Ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran atau surat
keterangan kenal lahir;
b. Surat keterangan status perkawinan bagi yang telah menikah melampirkan
copy buku nikah;
c. Surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali;
d. Sertifikat kompetensi kerja;
e. Surat keterangan sehat berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan kesehatan dan
psikologi;
f. paspor yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat;
g. visa kerja;
h. perjanjian penempatan kerja;
i. perjanjian kerja
TKI yang memenuhi persyaratan dan prosedur untuk bekerja di luar negeri.
Setelah calon TKI memenuhi persyaratan yang ditentukan, maka para calon TKI
wajib mengikuti serangkaian prosedur sebelum nantinya ditempatkan di luar negeri.
Pada masa pra penempatan kegiatan calon TKI meliputi:
1. Pengurusan SIP;
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri,
42
pelaksana penempatan TKI swasta yang akan melakukan perekrutan wajib
memilki SIP dari Menteri. Untuk mendapatkan SIP, pelaksana penempatan
TKI swasta harus memiliki:
1) Perjanjian kerjasama penempatan;
2) Surat permintaan TKI dari pengguna;
3) Rancangan perjanjian penempatan; dan
4) Rancangan perjanjian kerja.
Dalam proses untuk mendapatkan SIP tersebut, surat permintaan TKI dari
Pengguna perjanjian kerjasama penempatan, dan rancangan perjanjian kerja harus
memperoleh persetujuan dari pejabat yang berwenang pada Perwakilan Republik
Indonesia di negara tujuan. Selain itu Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang
mengalihkan atau memindahkan SIP kepada pihak lain untuk melakukan perekrutan
calon TKI.
2. Perekrutan dan seleksi;
Proses perekrutan di dahului dengan memberikan informasi kepada
calon TKI sekurang- kurangnya tentang:
1) tata cara perekrutan;
2) dokumen yang diperlukan;
3) hak dan kewajiban calon TKI/TKI;
4) situasi, kondisi, dan resiko di negara tujuan; dan
5) tata cara perlindungan bagi TKI.
43
Informasi disampaikan secara lengkap dan benar. Informasi wajib
mendapatkan
persetujuan
dari
instansi
yang bertanggungjawab
di
bidang
ketenagakerjaan dan disampaikan oleh pelaksana penempatan TKI swasta.
3. Pendidikan dan pelatihan kerja;
Calon TKI wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja sesuai dengan
persyaratan jabatan. Dalam hal TKI belum memiliki kompetensi kerja
pelaksana penempatan TKI swasta wajib melakukan penddikan dan pelatihan
sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan. Calon TKI berhak mendapat
pendidikan dan pelatihan kerja sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan.
Pendidikan dan pelatihan kerja bagi calon TKI dimaksudkan untuk:
a) membekali, menempatkan dan mengembangkan kompetensi kerja
calon TKI;
b) memberi pengetahuan dan pemahaman tentang situasi, kondisi, adat
istiadat, budaya agama, dan risiko bekerja di luar negeri;
c) membekali kemampuan berkomunikasi dalam bahas negara tujuan;
dan
d) memberi pengetahuan dan pemahaman tentang hak dan kewajiban
calon TKI/TKI.
Pendidikan dan pelatihan kerja dilaksanakan oleh pelaksana penempatan
tenaga kerja swasta atau lembaga pelatihan kerja yang telah memenuhi persyaratan.
Pendidikan dan pelatihan harus memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan kerja.
44
4. Pemeriksaan kesehatan dan psikologi;
Pemeriksaan kesehatan dan psikologi bagi calon TKI dimaksudkan untuk
mengetahui dengan kesehatan dan tingkat kesiapan psikis serta kesesuaian
kepribadian calon TKI dengan pekerjaan yang akan dilakukan di negara
tujuan. Setiap calon TKI harus mengikuti pemeriksaan kesehatan dan
psikologi yang diselenggarakan oleh sarana kesehatan dan lembaga yang
menyelenggarakan pemeriksaan psikologi yang ditunjuk oleh Pemerintah.
5. Pengurusan dokumen;
Untuk dapat ditempatkan di luar negeri, calon TKI barus memiliki
dokumen yang meliputi:
a.Kartu Tanda Penduduk, Ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran atau surat
keterangan kenal lahir;
b Surat keterangan status perkawinan bagi yang telah menikah melampirkan
copy buku nikah;
c. Surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali;
d. Sertifikat kompetensi kerja;
e. Surat keterangan sehat berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan
f. Kesehatan dan psikologi;
g. Paspor yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat;
h. Visa kerja;
i. Perjanjian penempatan kerja;
j. Perjanjian kerja;
45
k. KTKLN;
l. Uji kompetensi;
m. Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP);
Pembekalan Akhir Pemberangkatan yang disebut PAP adalah kegiatan
pemberian pembekalan atau informasi kepada calon TKI yang akan
berangkat bekerja ke luar negeri agar calon TKI mempunyai kesiapan
mental dan pengetahuan untuk bekerja ke luar negeri, memahami hak dan
kewajibannya serta dapat mengatasi masalah yang akan dihadapi.
Pelaksana penempatan TKI swasta wajib mengikutsertakan TKI yang
akan
diberangkatkan
ke
luar
negeri
dalam
pembekalan
akhir
pemberangkatan. Tugas PAP adalah memberikan materi tentang aturan
negara setempat. Perjanjian kerja (hak dan kewajiban TKI), serta
pembinaan mental dan kepribadian. Adanya PAP ini diharapkan TKI
sudah siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul
kemudian. Pembekalan akhir pemberangkatan (PAP) dimaksudkan untuk
memberikan pemahaman pendalaman terhadap:
1) peraturan perundang-undangan di negara tujuan; dan
2) materi perjanjian kerja.
Pembekalan dapat diketahui bahwa dengan perencanaan tenaga kerja akan
memudahkan akhir pemberangkatan (PAP) menjadi tanggung jawab
Pemerintah.
n. Pemberangkatan.
46
Adanya persyaratan dan prosedur yang harus dipenuhi oleh calon TKI
tersebut di atas, pemerintah maupun calon TKI dalam memecahkan persoalan
mengenai ketenagakerjaan termasuk perlindungan kepada calon TKI, baik
waktu sekarang maupun yang akan datang. Sehingga hal itu akan
memudahkan pemerintah melalui Instansi yang tekait dalam hal ini
Dinsosnakertrans maupun masyarakat dalam mengambil suatu kebijaksanaan
guna mengatasi masalah ketenagakerjaan tersebut sesuai dengan tujuan yang
hendak dicapai termasuk perlindungan calon TKI yang bekerja di luar negeri.
Download