bab iii perkembangan film asing di surakarta 1970-1975

advertisement
BAB III
PERKEMBANGAN FILM ASING DI SURAKARTA 1970-1975
Seiring perkembangan zaman, perkembangan film asing di bioskop
semakin maju, dimana banyak terdapat persaingan bisnis mulai dari yang semula
film bisu atau gambar hidup yang kemudian diiringi dengan musik. Setiap
pertunjukan film diiringi oleh pemain musik pengiring di samping layar film yang
memainkan gambar hidup. Hal ini menjadi suatu macam dilema bagi para pemilik
bioskop dengan modal kecil, karena di satu sisi bisnis pertunjukan ini harus terus
berjalan, namun di sisi lainnya mereka harus memberikan pertunjukan yang
memadai kepada penonton, terutama menjaga kualitas gambar maupun musik
iringan. Bagi pemilik bioskop dengan modal kecil, mereka hanya sanggup
membayar pemain musik yang bertarif rendah dan sering kali hanya dengan
memainkan sebuah piano saja.
Menghadapi keadaan ini, orang Eropa (Belanda) ternyata kalah strategi
dengan orang-orang Cina, terutama untuk masalah negosiasi dengan pihak
importir dan distributor film asing. Dengan kemampuannya dalam bernegosiasi,
orang-orang Cina ini menjadi penentu kebijakan perbioskopan, yang justru
membawahi orang-orang Belanda yang notabene sedang menduduki Hindia
Belanda.
Keadaan ini menjadikan masuknya film-film asing ke Indonesia semakin
lancar, bahkan film-film Hollywood terbaru bisa diputar lebih awal ketimbang di
Negera Belanda ataupun Negara yang lain.16 Hal ini menjadi sebuah keuntungan
tersendiri dengan adanya negosiasi dengan pihak importir dan distributor film
16
Edi Sedyawati, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Seni Pertunjukan dan
Seni Media, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 112.
36
37
asing. Pada mulanya usaha perfilman ini hanya dilakukan oleh orang Belanda.
Orang Cina hanya menyewakan gedung saja. Ketika bioskop sudah menjadi lahan
bisnis yang menjanjikan, maka orang Cina segera masuk, dan menguasai usaha
perbioskopan ini.
A. Film Asing di Surakarta
Perkembangan film asing di Surakarta tidak lepas dari perkembangan filmfilm yang beredar di bioskop nasional, dengan kata lain film asing yang diputar di
bioskop-bioskop di kota lain hampir sama dengan film-film yang diputar di kota
Surakarta, seperti halnya di kota Semarang, atau di kota Surabaya, di setiap kota
memiliki persamaan judul film yang di tayangkan, hanya waktu penayangannya
yang dibedakan berdasarkan kelas-kelas bioskopnya itu sendiri, bioskop yang di
kategorikan bioskop kelas utama atau kelas “A” akan memutar film yang paling
baru, sedangkan bioskop kelas di bawahnya akan menayangkan film yang di putar
pada bioskop kelas utama minggu ke tiga maupun minggu ke empat kemarin, dan
seterusnya.
Pada mulanya, usaha pemutaran film hanya dilakukan oleh orang Belanda.
Orang-orang Cina hanya menyewakan gedung. Ketika pertunjukan film menjadi
bisnis yang bagus, maka orang-orang Cina segera masuk, bahkan menguasai
usaha perfilman.17 Orang -orang
Belanda
banyak
yang
jera
mendirikan
bioskop, maka jika ada yang dapat membangun bioskop dan mampu
mempertahankan usaha ini dalam waktu yang lama, merupakan prestasi
tersendiri.
17
Ibid., hlm. 31.
38
Awal mula perkembangan film di Surakarta terjadi di Schouwburg.
Hiburan menjadi perilaku masyarakat Surakarta yang menyukai kehidupan di
malam hari, dimana pada waktu siang hanya mereka gunakan untuk bekerja,
sehingga Pemerintah Kota melihat perlu untuk memadai masyarakat yang haus
akan hiburan. Akhirnya bermunculan bioskop dimana film diputar dari pinggiran,
menengah, sampai tengah kota. Hiburan dapat membangkitkan perekonomian
masyarakat mulai dari pedagang kaki lima, penjual kaset, penjual Koran, tukang
becak serta warung makan.
Kehadiran film asing memberi pengaruh positif dan pengaruh negatif bagi
masyarakat kota Surakarta. Dampak positif dengan adanya film asing di Surakarta
yaitu masyarakat dapat mengenal tontonan sebuah hiburan baru yang berupa
gambar-gambar yang beda, latar seting film yang beda, keadaaan lingkungan baru
yang dipertontonkan, yaitu bagaimana keadaan di luar negeri, dengan begitu
masyarakat tidak perlu pergi jauh-jauh ke luar negeri untuk mengetahui keadaan
lingkungan, namun hanya dengan menonton film, mereka dapat setidaknya
membayangkan bagaimana keadaan lingkungan di luar negeri.18 Selain itu
pemerintah daerah juga mendapatkan penghasilan tambahan dari pajak perfilman
ini baik pajak tanah, gedung bangunan, dan pajak film itu sendiri. Besaran pajak
tersebut kisaran 10% hasil dari tontonan film diberikan kepada pemerintah
daerah.19
Kemunculan film asing ini dapat menggeser tradisi lokal masyarakat kota
Surakarta, Masyarakat mulai melupakan tontonan-tontonan lokal, bahkan
menganggap remeh tontonan tradisional tersebut. Film-film sebagai tontonan baru,
18
19
Wawancara dengan Yunita, pada tanggal 28 September 2016.
Wawancara dengan Ananto, pada tanggal 28 September 2016.
39
khususnya film Hollywood, membawa hubungan baru antara fiksi dan realitas
yang mempengaruhi cara pandang atas nilai-nilai budaya global dengan lokal.20
Film-film yang diputar biasa diganti dengan judul baru tiga kali dalam
seminggu. Dalam setiap harinya setiap film hanya di putar dua hingga tiga kali
saja, sore dan juga malam hari hingga pukul 9 malam.21 Sehingga dalam setahun
bioskop membutuhkan suplai judul film lebih kurang 100 judul. Dengan adanya
hal ini berarti akan meningkatkan jumlah penonton yang berarti juga peningkatan
pemasukan bagi para pemilik bioskop. Lancarnya peredaran film asing di
Indonesia ini tidak lepas dari peran pengusaha-pengusaha Amerika untuk
memasukkan film-film buatan Hollywood. Di sisi lain minat penonton kurang
begitu baik terhadap film-film non Hollywood, maka film-film Hollywood
menjadi semacam penguasa tunggal dalam hiburan perbioskopan di Indonesia.
Masuknya film-film buatan Hollywood ini dengan lancar karena ditangani
langsung oleh usaha orang Amerika. Lama kelamaan film menjadi semacam “seni
bazaar”, yaitu kesenian hiburan yang bisa dibeli dipasaran. Film-film yang diputar
terutama berasal dari Amerika dan juga dari beberapa Negara di Eropa seperti
Perancis, Jerman, dan juga dari daratan Asia, yakni negeri Cina.22 Dengan
masuknya film dari Amerika dan Jerman, selera para penonton film sudah
dibentuk dengan cukup tinggi.
Pasca peristiwa G30S/PKI yang diikuti dengan sikap anti komunis, film
Amerika cenderung mendominasi peredaran film di Indonesia hingga sampai pada
tahun 1975. Tidak kurang dari 700 film impor masuk ke Indonesia dan menyebar
20
Garin Nugroho & Dyna Herlina S, Krisis dan Paradoks Film Indonesia,
(Jakarta: Kompas, 2015), hlm. 46.
21
Wawancara dengan St. Wiyono, pada tanggal 25 April 2016.
22
Edi Sedyawati, Op. Cit., hlm. 110.
40
ke daerah-daerah.23 Sebuah jumlah yang sangat banyak dibandingkan pada tahun
1960-an yang hanya 400-an judul film. Importir film Hollywood terus-menerus
mendapatkan keuntungan dari pengaturan pemerintah ini. Kendali pemerintah
terutama dilakukan dalam sensor film. Melalui surat keputusan Nomor
34/SK/M/1968 pemerintah memutuskan lahirnya Dewan Produksi Film Indonesia
(DPFN) yang terdiri dari pelaku film swasta dan pemerintah. Depan ini pada
intinya bertugas untuk menentukan kebijakan yang mencakup persetujuan atas
naskah, penentuan artis, karyawan, biaya produksi, produser pelaksana, dan
pertanggungjawaban penyelesaian pembuatan film.
B. Masa ke-emasan Film Asing di Surakarta 1970-1975
1. Sulit Berkembangnya Film Dalam Negeri
Sampai dengan 1970 jumlah importir film asing yang masuk ke Indonesia
telah berkembang dengan pesat menjadi lebih kurang 70 perusahaan hingga
sampai pada puncaknya pada tahun 1975 karena ada pembatasan kuota oleh
pemerintah. Situasi semacam ini memunculkan kerjasama antara importir film
dengan pengusaha bioskop. Tidak heran jika demi kepentingan bisnis, pengusaha
bioskop lebih memilih film asing yang lebih menjanjikan secara komersial
dibandingkan dengan film nasional.24 Semenjak diberlakukannya Penpres
No.1/1964 sejak masa Orde Baru, orang-orang film mempunyai badan pelindung
yang sama yaitu Departemen Penerangan. Lain halnya pada sebelum tahun 1970an urusan film terbagi-bagi pada beberapa kementerian (departemen) seperti
berikut :
23
Garin Nugroho & Dyna Herlina S, Op Cit., hlm. 121.
Novi Kurnia, Lambannya Pertumbuhan Industri Perfilman, Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, 2006, hlm. 282.
24
41
1.
Sensor film di bawah Departemen P & K (yang sebelumnya diurus
oleh Departemen Dalam Negeri).
2.
Urusan pengimporan bahan baku dan peralatan film di bawah
Departemen Perdagangan/Keuangan.
3.
PFN (Perusahaan Film Negara) di bawah Departemen Penerangan
4.
Bioskop di bawah Departemen Dalam Negeri
Dalam keadaan seperti itu sangat sulit tercapai bagi apa yang diharapkan
oleh Djamaludin Malik, bahwa “Bioskop dan pengusaha film itu sebagai suami
istri, yang mempunyai kerukunan dan saling menyayangi”, yang diucapkan ketika
menyambut lahirnya Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI).25 Tidak
mengherankan jika pada tahun-tahun berikutnya hingga sampai tahun 1975, PPFI
seakan berjuang sendiri dalam menghadapi banyak impor masuknya film-film
Malaya dan India.
Sebuah tulisan dalam buku 20 Th PPFI :
“Semua orang hanya merisaukan film Filipina dan Malaya, sehingga
perlu dilakukan pengurangan. Tapi ternyata film India lebih dahsyat lagi.
Jumlahnya yang jauh melebihi film-film impor lainnya, diluar film
Amerika, ternyata telah memenuhi bioskop-bioskop kelas II yang menjadi
pasaran utama film nasional.”26
Dalam tahun 1970 hingga 1975 film impor yang masuk ke Indonesia terus
berada diatas atau paling banyak, dengan kata lain bahwa hal tersebut
menunjukkan betapa beratnya film nasional yang berjumlah ratusan harus
bersaing dengan film asing yang berada di pasar film Indonesia dan mencapai
ribuan judul yang kemudian disebarkan ke daerah hingga ke Surakarta.27 Peristiwa
membanjirnya film asing ini terjadi karena tidak ada regulasi tentang pembatasan
25
Departemen Penerangan RI, Laporan Data Perbioskopan di Indonesia
1984, (Jakarta: Departemen Penerangan, 1984, hlm. 24.
26
Ibid., hlm. 25.
27
Novi Kurnia, Op Cit., hlm. 284.
42
film impor. Sehingga film asing terus masuk dan mendominasi yang tidak
terkecuali di Surakarta. Situasi yang demikian dimana film dalam negeri sulit
sekali berkembang dan penyelenggaraan Festival Film Indonesia yang
dimaksudkan setiap tahun hanya bisa terselenggara dua kali dan hal itu tidak bisa
membantu dalam produksi film dalam negeri untuk berkembang sampai tahun
1975.
Film nasional semakin menurun dari tahun-tahun sebelumnya dimana
terdapat dua periode Festival Film Indonesia yang tidak begitu berpengaruh
terhadap berkembangnya film-film Indonesia. Film nasional hanya sebentar
mengalami kenaikan jumlah produksi yaitu pada awal tahun 1971, lalu menurun
kembali sampai pada tahun 1975. Akibat dari situasi yang tidak menentu,
produksi film nasional kemudian jatuh. Hal ini terjadi karena banyaknya film
asing yang tidak lolos sensor.28
Kelangkaan film nasional menjadikan keuntungan bagi masuknya filmfilm asing. Peningkatan terjadi karena film asing merupakan pasokan potensial.
Akibat dari itu, bioskop kemudian menggantungkan diri pada film asing, sehingga
film asing semakin menguasai porsi besar dalam konsumsi penonton.29
Dalam keadaan kosong film impor akibat aksi yang dilakukan PAPFIAS
atas pemboikotan film-film Amerika, sementara itu produksi film Indonesia baru
bangkit kembali, dan kemudian pemerintah mengambil kebijakan membuka
kembali film impor sebesar-besarnya dikarenakan kekosongan film impor sampai
28
Dwi Aris Subakti, Pemboikotan Film Amerika oleh PAPFIAS Dalam
Rangka Propaganda Politik “Kepribadian Nasional” Tahun 1964”, Skripsi Jurusan
Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, 2006, hlm. 6.
29
Ibid., hlm 7.
43
pada tahun 1974.30 Dalam keadaan film nasional yang baru bangkit, dimana
pemerintah membuka kembali impor masuk ke Indonesia, maka bioskop sudah
berhasil bangkit terlebih dahulu, film impor dari Amerika, Italia, dan lain-lainnya
tetap masih ramai digemari oleh masyarakat seperti pada sebelumnya.
2. Impor Film Asing
Memasuki tahun 1972 praktik impor film asing semakin banyak dan
berkembang, maka kemudian pemerintah melalui Departemen Penerangan dengan
Kepmenpen
No.79A/Kep/Menpen/1972,
membentuk
Gabungan
Importir,
Produser, dan Distributor Film Nasional (Giprodfin). Tugas daripada Giprodfin
adalah turut berperan dalam pengendalian pengimporan film asing dan peredaran
film impor serta mengawasi dan menertibkan lalu lintas film impor dan
peredarannya. Kemudian ditunjuk kelompok yang bertindak sebagai Koordinator
pelaksanaan tugas tersebut. Kelompok tersebut dinamakan Badan Koordinasi
Impor Film (BKIF). Fungsi daripada BKIF sebagai single buying agency yang
dimaksudkan untuk lebih memantapkan pembinaan di sektor film dan
peredarannya antara lain sehubungan dengan tidak adanya keseimbangan antara
jumlah perusahaan impor film dan jumlah film yang di impor setiap tahunnya.31
Kuota
impor
film
asing
ditetapkan
setiap
tahun
dengan
mempertimbangkan perkembangan dan peningkatan jumlah dan mutu film
produksi nasional. Kenyataannya menunjukkan bahwa dalam peredaran masih
diperlukan film impor sebagai suplemen. Film impor diperlukan untuk menjamin
terciptanya
program
bioskop
yang
bervariasi.
Melalui
Kepmenpen
Alex Leo Zulkarnain, Radio, Televisi dan Film Dalam Era 50 Tahun
Indonesia Merdeka, (Jakarta: Departemen penerangan RI, Dirjen Radio-Televisifilm, 1995), hlm. 463.
31
Ibid., hlm. 234.
30
44
No.61/Kep/Menpen/1971, ditetapkan kuota film impor tahun 1971/1972 sebanyak
600 judul film. Dalam surat kabar Merdeka pada tanggal 31 Maret 1972 yaitu,
Pemerintah memandang perlu membentuk pembiayaan bersama (konsorsium) film
impor sebagai pengganti BKIF dan melakukan kegiatan untuk kepentingan
kelompok importir film dan anggota Giprodfin. Kebijakan pokok dalam impor
film ialah melaksanakan pengendalian dan pengawasan, sehingga jumlah
perusahaan impor film dapat dibatasi dan dikendalikan. Namun kenyatannya film
asing masih tetap ramai dibuktikan dalam tabel berikut ini berdasarkan hasil
penjualan karcis pada tahun 1975 :
45
Tabel 1: Jumlah Film Yang diputar, Jumlah Penonton dan Hasil Penjualan Karcis Diperinci Menurut Jenis Film di Kodya
Dati II Surakarta Tahun 1975
Sumber : Data Badan Pusat Statistik Kota Surakarta Tahun 1975
46
Data Badan Pusat Statistik Kota Surakarta tersebut menjelaskan bahwa
film impor masih menjadi minat tertinggi di kalangan masyarakat penikmat
tontonan bioskop di Surakarta. meskipun film impor mulai di kurangi dengan
digiatkannya film nasional, namun minat masyarakat masih tetap menggemari
film asing sebagaimana dijelaskan dalam tabel tersebut film Amerika yang
mendominasi di bioskop kelas utama tetap menjadi tontonan utama bagi kalangan
penikmat film. Jumlah judul dan pemutaran film Indonesia dengan film Hongkong
hanya selisih sedikit. Berbeda perbandinganya antara film Indonesia dengan film
asing yang berasal dari Inggris yang jauh lebih sedikit hanya 13 judul saja dalam
kurun waktu satu tahun. Sangat berbeda jauh antara film Indonesia dengan
Amerika. Film Amerika yang mendominasi film di bioskop Surakarta tersebut
lebih banyak hampir dua kali lipat dibanding dengan film Indonesia.
Penyebab minat yang dimiliki masyarakat terhadap jenis film yang di
tonton terutama film asing di Surakarta ada bermacam-macam. Selain kebanyakan
penonton film asing adalah orang-orang golongan kelas menengah keatas, ada
yang disebabkan oleh karena perubahan yang terjadi di bidang politik, ada yang
disebabkan oleh masalah ekonomi, ada yang karena perubahan selera masyarakat
penikmat film, dan ada pula yang tidak mampu bersaing dengan bentuk-bentuk
atau genre yang menarik sebagai daya tarik terhadap masyarakat penikmat film.71
Kemudian film-film yang berasal dari selain Amerika seperti India dan Hongkong
memenuhi bioskop-bioskop kelas kedua bersamaan dengan film produksi
Indonesia. Disamping itu juga terdapat beberapa penonton yang tidak berbayar,
71
R.M Soedarsono, “Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi”,
(Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1998), hlm. 1.
47
artinya dari pihak pengelola bioskop memberikan tiket dalam bentuk free pass
(tiket gratis), dan juga tiket gratis dalam bentuk kartu kehormatan artinya tiket
tersebut diberikan kepada pejabat-pejabat atau tamu-tamu penting, dan itu hanya
bisa dikeluarkan oleh GPBSI.72
3. Jenis Film (Genre)
Film yang pada awal kemunculannya yang paling sederhana hanya
berawal dari film bisu, atau gambar hidup, yang kemudian berkembang dimana
film masih tetap bisu namun dengan iringan orchestra, ataupun alat musik. Seiring
berkembangnya teknologi perangkat yang mendukung terhadap pembuatan film,
maka film pun juga berkembang, dengan adanya penambahan suara sehingga film
dapat dinikmati dengan suara asli yang ada pada tayangan tersebut. Dan seiring
berjalanya waktu maka film semakin memiliki kualitas yang baik pula, kemudian
dari awal mula film yang hanya film bisu atau gambar hidup, kemudian film
mulai berkembang dengan mulai adanya pembagian jenis-jenis film.
Pada dasarnya film dikelompokkan ke dalam dua pembagian besar, yaitu
kategori film cerita dan non-cerita.73 Film cerita adalah film yang diproduksi
berdasarkan cerita yang dikarang, dan diperankan oleh aktor dan aktris. Pada
umumnya, film cerita bersifat komersial, artinya dipertunjukkan di bioskop
dengan harga karcis tertentu. Sedangkan, film non-cerita merupakan kategori film
yang mengambil kenyataan sebagai subyeknya. Perekaman sebuah peristiwa nyata
(dokumenter). Dalam perkembangannya, film cerita dan non-cerita saling
72
Wawancara dengan Yunita, pada tanggal 28 September 2016.
Marselli Sumarno, “Dasar-Dasar Apresiasi Film”, (Jakarta: Gramedia,
1996), hlm. 10.
73
48
mempengaruhi dan melahirkan berbagai jenis film yang memiliki ciri, gaya dan
corak masing-masing.
a. Film Cerita
Film memiliki berbagai jenis atau genre. dalam hal ini, genre diartikan
sebagai jenis film yang ditandai oleh gaya, bentuk atau isi tertentu. Ada yang
disebut film drama, film horror, film perang, film sejarah, film fiksi-ilmiah, film
komedi, film laga (action), film musikal, dan film koboi.74 Penggolongan jenis
film tidaklah ketat karena sebuah film dapat dimasukkan ke dalam beberapa jenis.
Misalnya sebuah film komedi-laga (action), dan film drama-sejarah. Jenis-jenis
film tersebut akan terus mengalami perkembangan menyesuaikan minat penikmat
film agar tetap diminati. Adapun keterangan dari beberapa jenis film sebagai
berikut :
1) Film Drama merupakan jenis film yang lebih menekankan pada sisi
kehidupan sehari-hari manusia yang bertujuan mengajak penonton
ikut merasakan kejadian yang dialami tokohnya, sehingga
penonton merasa seakan-akan berada di dalam film tersebut. Tidak
jarang penonton yang merasakan sedih, senang, kecewa, bahkan
ikut marah. Pada awal berkembangnya film. Film jenis ini, banyak
sekali di bubuhi dengan adegan-adegan erotis yang berbau seks.
2) Film Horor adalah Jenis film yang bertemakan tentang sebuah
kejadian mistis dan berhubungan dengan kejadian-kejadian yang
menyeramkan dan menakutkan sebagai nyawa dari film tersebut.
74
Ibid., hlm. 11.
49
3) Film Perang, film ini mengutamakan tema cerita yang berisi
tentang militer, perang antar negara atau sebuah cuplikan kisah
seorang prajurit militer.
4) Film Sejarah, dalam film ini kebanyakan berisi tentang film yang
mengusung tentang kisah-kisah nyata dari seseorang, atau
peristiwa sejarah umum.
5) Film Komedi jenis film ini merupakan tontonan yang selalu
membuat penonton tersenyum, atau bahkan tertawa terbahak-bahak.
Film komedi berbeda dengan lawakan, karena film komedi tidak
harus dimainkan oleh pelawak, tetapi pemain biasa pun bisa
memerankan tokoh yang dengan adegan yang lucu.
6) Film Laga (action) berisi adegan-adegan perkelahian, pertempuran
dengan senjata, atau kebut-kebutan kendaraan antara tokoh yang
baik (protagonis) dengan tokoh yang jahat (antagonis), sehingga
penonton ikut merasakan ketegangan, was-was, takut, bahkan bisa
ikut bangga terhadap kemenangan si tokoh.
7) Film Fiksi dalam tema ini mengusung cerita-cerita yang tidak nyata
biasanya diambil dari kisah kisah atau cerita novel-novel dari buku.
50
Gambar. 4
Iklan Film The Gypsy Moths dan Massacre Harbor, Tahun 1973
Sumber : Kompas 2 Januari 1973
Salah satu contoh Film dengan genre Film Laga The Gypsy Moths yang di
tayangkan di Bioskop Star Theater, dan juga Film dengan genre Film Perang
Massacre Harbor. Star Theater merupakan bioskop golongan kelas “A” berada di
Jl. Widuran No 64 yang berdiri sejak tanggal 22 Desember 1970.75
Keadaan film nasional semakin diperparah karena begitu banyak film
Malaysia dan India yang masuk dan menjadi saingan berat film nasional di
bioskop kelas dua, sedangkan film Amerika mendominasi bioskop-bioskop kelas
satu, di Surakarta, film-film bagus atau baru akan ditayangkan di bioskop
golongan “A” seperti Presiden Theatre, New Fajar Theatre, Dhedy Theatre, Star
Theatre, Solo Theatre, UP Theatre.
75
Departemen Penerangan RI, Laporan Data Perbioskopan di Indonesia
1984, (Jakarta: Departemen Penerangan, 1984, hlm. 235.
51
Bioskop New Fajar Theatre yang berdiri pada tahun 1973 sering memutar
film-film besar yang membutuhkan banyak pelaku, film-film seperti Spartus dan
Samson and Delilla film ini hanya boleh dilihat oleh remaja yang telah berusia 17
tahun keatas. Bioskop Dhedy theatre kebanyakan memutar film-film asing yang
berasal dari Amerika seperti, film-film Coboy yang masuk dalam kategori film
action yaitu The Last Sun Said yang dibintangi oleh Frank Sinatra, dalam film
tersebut menceritakan tentang adanya masalah antara coboy-coboy. Disini
pengunjung atau penikmat film selalu ramai, karena menganggap cerita-ceritanya
lebih modern.76 Kemudian Solo Theater, meskipun bioskop ini tergolong dalam
Kelas “A” film-film yang diputar adalah film-film Indonesia dan Malaysia,77
diantaranya adalah film Ramli salah satu film dengan genre film drama dimana
film ini mampu membuat penonton menangis dan terharu. Tiket film yang berada
di bioskop dengan Golongan A pada tahun tersebut berkisar antara Rp.1000,sampai dengan Rp.3000,-.78 Kemudian UP Theatre sama halnya dengan bioskop
Dhedy Theater yang juga banyak memutarkan film-film yang berasal dari
Amerika, salah satu film yang pernah diputar dalam bioskop tersebut adalah film
Gian yang artinya adalah raksasa yang dibintangi oleh Roger Moor.
76
Wawancara dengan Sujatmi, pada tanggal 23 April 2016.
Departemen Penerangan RI, Loc. Cit.
78
Wawancara dengan Ananto, Pada tanggal 28 September 2016
77
52
Gambar. 5
Iklan Film Hatari tahun 1973.
Sumber : Kompas, 5 April 1973
Sementara bioskop-bioskop golongan “B” atau kelas kedua dan “C” kelas
ketiga harus menanti giliran pemutaran film dari bioskop golongan kelas “A” atau
kelas satu tersebut sekitar 3 minggu hingga 1 bulan dari jadwal penayangan film
box office tersebut. Sebuah film dikatakan sebagai film Box Office jika hasil
penjualan tiket film tersebut melebihi biaya proses pembuatan film tersebut.79
Istilah Box Office diambil karena secara harfiah, Box Office merupakan tempat
penjualan tiket di bioskop yang dahulu biasanya berbentuk kotak. Oleh karena hal
tersebut, maka semakin banyak orang yang antri di loket tiket atau Box Office,
semakin larislah film tersebut. Banyak penonton yang sudah menonton film di
79
Https://www.selasar.com/kreatif/film-box-office-apa-itu, diakses pada 7
April 2016.
53
Bioskop golongan “A” malas untuk menonton lagi di bioskop golongan “B” dan
“C” Hal ini yang akhirnya menyebabkan banyak bioskop di Surakarta bangkrut
dan akhirnya tutup, karena bioskop tersebut tetap harus membayar pajak tontonan,
pajak gedung, sementara penghasilan mereka berkurang. Di samping itu juga
perawatan gedung juga kurang memadai misalnya banyak tikusnya dan
sebagainya.80
Gambar. 6
Iklan Film Hitler, The Last Ten Days, pada tahun 1974
Sumber : Kompas, 30 Maret 1974.
Tahun-tahun 1974 banyak sekali beredar film-film buatan Amerika
diantaranya film-film ber-genre film laga atau film perang yang dimana film-film
tersebut selalu memenuhi bioskop golongan kelas “A” artinya film-film yang
80
Wawancara dengan St. Wiyono, pada tanggal 25 April 2016.
54
berasal dari negara Amerika kebanyakan memang film yang menjadi tontonan
utama atau film yang memang bagus dikelasnya saat itu. Sementara film-film
yang berasal dari Hongkong kebanyakan film yang bergenre Komedi dan Laga.
Salah satu film yang berasal dari Hongkong yaitu film The Crazy Bumpkin tahun
1975, Sebuah komedi pahit tentang seorang udik sederhana yang tiba di kota besar
untuk mencari peruntungan, " The Crazy Bumpkin " dibintangi populer Yeh Feng
sebagai Ah Niu, yang meninggalkan desa asalnya untuk hidup dengan seorang
paman di Hongkong, yang tidak menyadari bahwa pamannya seorang penjahat.
Setelah mengambil serangkaian lucu dari pekerjaan ilegal dengan pamannya, ia
bertemu dan jatuh cinta kepada seseorang dan memutuskan untuk mencari
pekerjaan yang nyata. Namun, nasib buruk dan kenaifan segera menimpa dirinya.
Salah satu iklan dalam surat kabar Suara Merdeka, 1 April 1975 yaitu :
"DI DUA GEDUNG ANDA, tunggu dijamin lebih bloon dari serial “Crazy
Boys”. Lebih lucu dan kocak dari “Ateng Minta Kawin”. Kalau tidak
uang anda dapat minta kembali dan jangan percaya lagi.” 81
81
Surat Kabar Suara Merdeka 1 April 1975, hlm. 9, Koleksi Koran Digital
Monumen Pers Nasional Surakarta.
55
Gambar. 7
Iklan Film The Crazy Bumpkin, pada tahun 1975
Sumber : Suara Merdeka, 1 April 1975
Dalam iklan tersebut menjelaskan bahwa memang sebelumnya film-film
komedi lainnya juga telah banyak di pertontonkan juga berasal dari Hongkong.
Selain film dengan genre Komedi, Hongkong juga banyak mengeluarkan filmfilm dengan Genre Drama salah satu film yang ramai pada tahun 1975 yaitu film
Blood & Rose yang menceritakan tentang kisah asmara sepasang kekasih, dimana
film-film drama kebanyakan dibubuhi adegan-adegan yang berbau erotis dan seks.
Film-film semacam tersebut masih terus laris hingga tahun 80-an, yang kemudian
dalam tahun-tahun tersebut film nasional terus di galakkan, dengan pendekatan
genre-genre film yang tidak jauh berbeda dengan film-film drama impor luar
56
negeri agar masyarakat penikmat film tidak kaget dengan adanya film nasional
dengan tujuan agar supaya film tetap ramai terus di bioskop.
Selain melalui Surat kabar biasanya iklan film juga terpasang di depan
bioskop-bioskop,82 karena pada tahun tersebut sudah jarang sekali para pemilik
bioskop memberikan informasi atau iklan dengan berkeliling. Jadi sumber
pemberitaan adanya film hanya melalui surat kabar dan iklan yang terpasang di
depan gedung bioskop saja.
Gambar. 8
Iklan film Hongkong : Blood & Rose, pada tahun 1975
Sumber : Suara Merdeka, 12 Juni 1975.
Seiring dengan terus berkembangnya genre ataupun jenis film, maka akan
memunculkan banyak sekali jenis-jenis film yang dikombinasikan antara jenis
film yang satu dengan jenis film yang lainnya misalnya, genre film laga-horor,
ataupun komedi-horor hingga sampai pada film animasi. Film animasi merupakan
serangkaian gambar gerak cepat yang continue atau terus-menerus
yang
memiliki hubungan satu dengan lainnya. Animasi yang awalnya hanya berupa
rangkaian dari potongan-potongan gambar yang digerakkan sehingga terlihat
82
Wawancara dengan A.H Purwanto, pada tanggal 25 April 2016.
57
hidup.83 Film animasi merupakan jenis film khusus karena film jenis ini sangat
fleksibel dimana sang pembuat film dapat membuat film animasi ini dengan
berbagai genre yang ada, misalnya animasi horor, ataupun animasi komedi atau
lelucuan.
Film
animasi
atau
kebanyakan
disebut
film
kartun
banyak
memanfaatkan gambar (lukisan) maupun benda benda mati yang lain, seperti
boneka, meja, dan kursi yang bisa dihidupkan dengan teknik animasi, hewan
misalnya. Studio Walt Disney di Amerika juga telah lama dikenal sebagai
produser terbesar dalam pembuatan film animasi. Dari Studinya diciptakan tokohtokoh dari hewan seperti Mickey Mouse, Donald Duck, dan Goofy. Produk-produk
film animasinya banyak yang menjadi klasik, antara lain Snow White and The
Seven Dwarfs, dan Sleeping Beauty.84
b. Film Non Cerita (dokumenter)
Dalam kategori film non-cerita pada mulanya hanya memiliki dua jenis
film non-cerita, yaitu yang termasuk dalam film dokumenter dan film faktual.
Film faktual umumnya hanya menampilkan fakta, hanya sekedar merekam
peristiwa. Kemudian
film dokumenter, selain
mengandung fakta,
juga
mengandung subyektivitas pembuatnya. Subyektivitas dapat diartikan sebagai
sikap atau opini terhadap peristiwa. Film dokumenter sering digunakan sebagai
media kritik sosial dengan memotret hal-hal kelam dalam negara seperti potret
kehidupan masyarakat bawah atau miskin dan juga tentang kesenjangan sosial
yang terjadi didalam suatu negara. Adapun jenis-jenis film dokumenter sebagai
berikut :
83
Agus Hilman Yusup, “Pengertian Animasi dan jenis jenisnya”, Jurnal
Umum, 2010, hlm. 5.
84
Marselli Sumarno, Op. Cit., hlm. 16.
58
1) Biografi, merupakan film yang menjelaskan tentang biografi dan
profil perjalanan hidup suatu tokoh terkenal dunia, bisa berupa
presiden, menteri, pengusaha, artis, musisi dan lain-lainnya.
Contohnya : film F is for Fake (Orson Welles, 1973)
2) Sejarah, yaitu tentang rekaman kejadian dan peristiwa sejarah yang
terjadi di masa lalu, biasanya berupa perang, perjanjian, kehidupan
masa lalu dan lain-lain. Contohnya : Film Janis (1974) yang
berasal dari negara Kanada.
3) Traveling, biasanya berisi tentang laporan perjalanan lengkap ke
tempat wisata atau tempat-tempat tertentu bida dalam bidang
antropologi atau bidang hiburan saja. Contohnya : Nanook of the
North, Song of Ceylon.
4) Ilmu Pengetahuan, berisi tentang film mengenai pendidikan dan
edukasi yang memberikan informasi bisa dari bidang sains,
teknologi, budaya dan lain-lain. Contoh : film Discovery Channel,
National Geograpic.
5) Investigasi, merupakan rekaman penyelidikan dan investigasi
secara jurnalistik kasus atau suatu peristiwa yang sedang dibahas
dengan tujuan mengetahu lebih dalam. Contohny : film The Thin
Blue, The Act of Killing.85
Film faktual pada umumnya hanya menampilkan fakta. Proses perekaman
atau pembuatan hanya sekedar merekam peristiwa. Film faktual pada waktu
sekarang masih tetap hadir dalam bentuk sebagai film berita dan film dokumentasi.
85
www.namafilm.blospot.co.id/2014/07/pengertian-film-dokumenter.html,
diakses pada 7 April 2016.
59
Film berita menitikberatkan pada segi pemberitaan suatu kejadian aktual.86 Karena
film-film dokumenter bersifat subyektif yang tinggi maka film tersebut jarang
sekali beredar ke bioskop-bioskop. Karena pada dasarnya bioskop-bioskop hanya
akan mempertontonkan film-film yang mempunyai nilai komersial yang tinggi.
C. Jaringan Usaha Film Asing di Surakarta 1970-1975
1. Proses Distribusi Film
Sistem jaringan usaha film asing hanya sederhana yaitu mata rantai
industri film, yang paling sederhana adalah Produksi kemudian di salurkan ke
distributor, yang bertindak sebagai pendistribusian film (peredaran) kemudian
yang terakhir ke bioskop (Pertunjukan di bioskop-bioskop). Orang yang bertugas
mengedarkan film secara resmi diberi nama distributor. Disamping nama resmi ini
terdapat pula istilah-istilah lain, yaitu broker. Broker adalah calo yang dengan
modal sedikit uang dapat meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dengan
melakukan perdagangan film. Wilayah edar film di kota Surakarta didapatkan dari
distributor Semarang melalui PT. Sanggar Film yang berada di Jl. Pahlawan No.
2A, Semarang.87 Film yang didapatkan dari Semarang kemudian diedarkan ke
bioskop-bioskop di Solo yang kemudian di putar pada bioskop-bioskop tersebut.
Pengimporan film sebelumnya dilakukan dengan cara pembiayaan
bersama (konsorsium) importir film yang terdiri dari 4 konsorsium, yaitu Film
Eropa/Amerika I, Film Eropa/Amerika II, Film Mandarin, dan Film Asia NonMandarin. Peredaran film dikelola oleh organisasi pengedar film pusat dan
pengedar film daerah. Untuk mengatur peredaran film nasional dibentuk PT.
86
87
Ibid., hlm. 13.
Wawancara dengan Ananto, pada tanggal 28 September 2016.
60
Peredaran Film Indonesia (PT Perfin) berdasarkan keputusan tiga menteri, yaitu
Menteri P & K, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Penerangan.
Film yang akan diedarkan baik itu film nasional maupun film asing harus
wajib menyertakan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) yang asli. Film yang
dinyatakan lulus sensor dapat diedarkan dengan menunjukkan STLS yang antara
lain mencantumkan nomor copy, masa royalty, batasan umur, judul film, dan
panjang film. Film impor yang telah habis masa royaltinya, yaitu lima tahun sejak
penandatanganan transaksi jual beli, film harus ditarik dari peredaran. Film yang
dinyatakan tidak lulus sensor harus harus segera dikirim kembali ke negara
asalnya selambat-lambatnya satu bulan sejak tanggal penolakan. Jatah film yang
ditolak dapat ditukar dengan film lain. Setiap importir film yang akan
mengedarkan filmnya, terlebih dahulu harus memiliki Surat Pengakuan
Perusahaan sebagai Pengedar Film Pusat (Darfipus). Darfipus yang akan
mengedarkan filmnya ke daerah harus melalui Darfida yang akan berhubungan
langsung ke bioskop-bioskop. Pertunjukan film untuk bioskop wajib dilengkapi
Surat
Ijin
Edar
Wilayah
dari
Kepala
Kantor
Wilayah
Departemen
Penerangan/Kepala Wilayah Edar Film.88
Perusahaan pengedar film diwajibkan memiliki Surat Pengakuan
Perusahaan. Perusahaan-perusahaan itu ialah Perusahaan Pengedar Film Pusat
(Darfipus), Perusahaan Pengedar Film Daerah (Darfida), PT. Perfin cabang,
Perusahaan Pengedar Rekaman Video Pusat (Darvisat), Perusahaan Pengedar
Rekaman Video Provinsi (Darvisi), Perusahaan Pengedar Rekaman Video
Kabupaten (Darvikab/Ko), dan Usaha Penjualan dan Penyewaan Rekaman Video
88
Ibid., hlm. 237.
61
(Palwa Video). Agar film yang beredar dapat menjangkau di seluruh tanah air,
khususnya di Surakarta. Maka pemerintah membentuk Bapfida yaitu suatu badan
yang membantu pemerintah dalam membina perfilman di daerah.
2. Usaha Perbioskopan
a) Pengusaha bioskop meliputi bidang usaha pertunjukan hiburan film.
b) Pimpinan bioskop berkewajiban :
i.
Memenuhi dan mentaati semua ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku termasuk perjanjian kerja, keselamatan
kerja, jaminan sosial/kesehatan bagi karyawan.
ii.
Menjaga martabat dan mencegah penggunaan bioskop untuk
kegiatan-kegiatan yang melanggar kesusilaan, keamanan, dan
ketertiban umum.
iii.
c)
Menjaga kebersihan, kesehatan, dan keselamatan lingkungan.
Secara bertahap persyaratan bangunan, tata ruang, peralatan, dan
perlengkapan bioskop disediakan dengan klas bioskop yang
bersangkutan
sehingga
mampu
berfungsi
sebagai
obyek
kepariwisataan yang berhasil guna.
3.
Ketentuan Perijinan
a)
Setiap pembangunan, perbaikan dan atau perluasan bangunan
bioskop
terlebih
dahulu
harus
mendapatkan
ijin
prinsip
dari
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah.
b)
Usaha bioskop baru dapat dijalankan setelah mendapatkan ijin
Usaha Bioskop dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah.
62
c)
Ijin Usaha Bioskop berlaku untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat
diperpanjang atas permohonan yang bersangkutan.
d)
Tata cara memperoleh Ijin Prinsip dan/ Ijin Usaha Bioskop
ditetapkan
oleh
Bupati/Walikotamadya
Kepala
Daerah
dengan
memperhatikan hal-hal berikut :
1)
Pemohon telah memenuhi persyaratan pendirian suatu perusahaan
pada umumnya (missal; akte otentik pendirian perusahaan, ijin H, O.,
Ijin bangunan, keterangan fiskal) sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2)
Permohonan diajukan dengan menggunakan formulir-formulir
yang telah disediakan (model A, B, C, & D) disertai bea materai Rp/
500,- (lima ratus rupiah) melalui Dinas Pariwisata Tingkat II/Bagian
Perekonomian Setwilda Tingkat II.
3)
Ijin Prinsip dan/atau Ijin Usaha Bioskop diberikan setelah
mempertimbangkan :
i.
Persyaratan pokok dimaksud huruf a ;
ii.
Saran/pertimbangan teknis Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh
Indonesia setempat ;
iii.
Aspek fisik, administratif dan pengelolaan perusahaan disamping
segi sosial kultural, agama, kepadatan penduduk, income per
kapita dan penyerapan tenaga kerja, yang penelitiannya dilakukan
oleh Team terdiri dari unsur Dinas Pariwisata Dati II ; Bagian
Perekonomian dan Bagian Hukum & Ortala Setwilda Tk. II serta
63
unsur lain yang dipandang perlu oleh Bupati/Walikotamadya
Kepala Daerah.
e) Ijin Usaha Bioskop dapat dicabut oleh Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah apabila :
1) Diperoleh secara tidak sah.
2) Tidak memenuhi persyaratan dan kewajiban yang tercantum dalam
Ijin Usaha.
3) Menyimpang dari kegiatan pokok usaha bioskop.
4) Perusahaan dinyatakan jatuh pailit.
4.
Klasifikasi Kota dan Tingkat Bioskop
a)
Wilayah Daerah Tingkat II di Jawa Tengah berdasarkan
penggolongan tingkat bioskop yang diperkenankan berdiri didalamnya
dibagi dalam 4 klasifikasi, yaitu :
i. Wilayah Kota Utama, meliputi : wilayah Kotamadya Semarang ;
ii. Wilayah Kota Menengah, meliputi : wilayah-wilayah Kotamadya
Surakarta, Pekalongan, Magelang dan Tegal ;
iii. Wilayah Kota Penunjang, meliputi : wilayah-wilayah Kabupaten
Klaten, Sukoharjo, Pekalongan, Pemalang, Brebes, Batang, Pati,
Kudus, Magelang, Purworejo, Temanggung, Wonosobo, Banyumas,
Cilacap, dan Kotamadya Salatiga ;
iv. Wilayah Kota Kecil, meliputi : wilayah-wilayah Kabupaten Sragen,
Wonogiri, Boyolali, Kendal, Demak, Grobogan, Blora, Kebumen,
Purbalingga, Banjarnegara, Jepara, Rembang, Karanganyar dan
Semarang.
64
b)
Tingkat Bioskop yang ada di Jawa Tengah digolongkan sebagai
berikut :
i. Bioskop Kelas A II
Merupakan bioskop kelas paling utama VVIP (Very Very Important
Person) dimana tidak sembarangan orang bisa masuk dalam kelas
tersebut, hanya orang-orang eksklusif. Bioskop di A II akan memutar
film pada pagi hari. Di Surakarta bioskop golongan ini adalah
President Theatre.89
ii. Bioskop Kelas A I
Merupakan bioskop kelas utama yang kedua setelah A II, VIP (Very
Important Person) kebanyakan penonton dalam kelas ini orang-orang
kaya. Dalam perbedaaan kelas A II maupun A I hanya pada kualitas
sarana, tempat duduk dan pelayanan. Pada Bioskop kelas A I akan
memutar film pada pagi dan siang hari.90
iii. Bioskop Kelas B II ;
Merupakan bioskop dengan kelas kedua, jika di bioskop kelas A
diputar minggu pertama, maka pada bioskop B akan diputar pada
minggu kedua atau minggu ketiga. Pemutaran film lebih utama
dibandingkan pada bioskop kelas B I.
iv. Bioskop Kelas B I ;
Pada bioskop kelas ini pemutaran film pada siang hari setelah bioskop
kelas B II memutarkan film tersebut. Penontonnya termasuk golongan
89
Departemen Penerangan RI : Arsip Data Perbioskopan di Indonesia
1984, hlm. 234.
90
Wawancara dengan Yunita, pada tanggal 28 september 2016.
65
menengah ke bawah. Bioskop dengan predikat golongan ini adalah
Kartika Theatre, Rama Theatre, dan Trisakti Theatre.91
v. Bioskop Kelas C ;
Pada Bioskop kelas C merupakan bioskop tingkat ke tiga dari bioskop
A dan B. bioskop ini kebanyakan untuk orang orang yang berekonomi
rendah namun masih ingin menikmati hiburan film dibioskop. Film
yang diputar disini kebanyakan film yang sudah pasti diputar di
bioskop kelas A dan B jauh-jauh hari lalu.
vi. Bioskop Kelas D
Merupakan bioskop dengan kelas terendah.
vii. Bioskop Kelas K (Keliling).
Merupakan bioskop keliling artinya bioskop atau pertunjukan ini di
selenggarakan pada tempat-tempat terbuka maupun pada acara acara
seperti pasar malam dan sebagainya. Tiketnya tergolong sangat murah
bahkan gratis.
c)
Tingkat Bioskop yang diperkenankan di masing-masing wilayah kota
dimaksud angka 1 adalah sebagai berikut :
i. Untuk Kota Utama setinggi-tingginya bioskop Kelas A II ;
ii. Untuk Kota Menengah setinggi-tingginya bioskop Kelas A I ;
iii. Untuk Kota Penunjang setinggi-tingginya bioskop Kelas B II ;
iv. Untuk Kota Kecil setinggi-tingginya bioskop Kelas B I ;
d)
Penetapan Kelas Bioskop dimasing-masing wilayah Daerah Tingkat II
dilakukan oleh masing-masing Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah
91
Departemen Penerangan RI : Arsip Data Perbioskopan di Indonesia
1984, hlm. 236.
66
yang bersangkutan dengan berpedoman pada kriteria klasifikasi bioskop
yang ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah.
Kepala Dinas Pariwisata Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah.
5.
Harga Tanda Masuk (HTM)
a)
Besarnya HTM untuk masing-masing Kelas Bioskop ditentukan
oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah dengan mempertimbangkan
kemampuan daya beli masyarakat dan nilai komersil film yang akan
diputar serba berpedoman pada HTM
b)
Besarnya HTM untuk pertunjukan khusus (Gala Premier,
Midnight Show dan sejenisnya) setinggi-tingginya 2 (dua) kali lipat dari
HTM maksimum pertunjukan biasa.
c)
Besarnya HTM untuk pertunjukan bagi anak-anak sekolah, sosial
dan pertunjukan matine92 ditetapkan lebih rendah dari tarif HTM yang
berlaku, dengan ketentuan serendah-rendahnya 50% dari HTM untuk
pertunjukan-pertunjukan biasa.
d)
Pengadaan tanda masuk untuk bioskop diselenggarakan oleh
Dinas Pendapatan Daerah Tingkat II setempat.
e)
Bentuk, warna dan ukuran tanda masuk ditetapkan oleh
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah.
92
Menurut KBBI Matine merupakan pertunjukan yang dipertontonkan
pada siang hari.
67
6.
Pajak Tontonan Bioskop
a)
Pajak Tontonan Bioskop ditentukan berdasarkan besarnya jasa
Film dan bioskop. Di Surakarta pajak tontonan tersebut sekitar 10%
bahkan bisa ditekan hingga 8%.93
b)
Komponen HTM yang didalamnya termasuk
Pajak Tontonan
Bioskop adalah meliputi :
i. Jasa Film ;
ii. Jasa Bioskop ;
iii. Pajak Penjualan ;
iv. Pajak Tontonan ; dan
v. Pembulatan.
c)
Penetapan besarnya pajak tontonan untuk masing-masing kelas
bioskop sebagaimana tersebut pada angka 3 dilakukan oleh Dinas
Pendapatan Daerah Tingkat II setempat.
d)
Pengelolaan dana hasil pembulatan komponen HTM akan diatur lebih
lanjut oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah guna
pembinaan perbioskopan di Jawa Tengah.
7.
Pembinaan dan Pengawasan
a)
Pembinaan
usaha
perbioskopan
dilakukan
oleh
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah. Kepala
Dinas Pariwasata Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah.
93
Wawancara dengan Ananto, pada tanggal 28 September 2016.
68
b)
Pembinaan operasional peredaran dan pertunjukan film di Daerah
dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah dibantu
oleh Badan Pembinaan Perfilman Daerah/Kantor Peredaran Film Daerah.
c)
Pengawasan terhadap pelaksanaan Pajak Tontonan Bioskop
dilakukan oleh :
1) Secara teknis dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah Tingkat I
2) Pengawasan umum oleh Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kotamadya
Daerah Tingkat II yang bersangkutan.94
94
Surakarta.
Arsip Data Dinas Pariwisata Kota Surakarta : Data GPBSI Cabang
Download