2 Masa remaja merupakan masa yang penuh stres

advertisement
2
Masa remaja merupakan masa yang penuh stres selama masa
perkembangan. Remaja adalah suatu periode peralihan dari masa anak-anak
menuju masa dewasa. Batasan usia remaja berada pada rentang akhir masa anakanak (10-12 tahun) hingga usia 18-22 tahun. Remaja mengalami perubahan pada
aspek kognitif, emosi, fisik, moral, hingga sosial (Santrock, 2002). Hall (Santrock,
2002) juga menyebutkan bahwa masa remaja merupakan masa pergolakan yang
penuh konflik dan stres. Smith, Cowie, & Blades (Zimmerman & Clearly, 2006)
menyebutkan bahwa remaja mengalami masa transisi, antara lain peralihan dari
individu yang tergantung menjadi individu yang mandiri dan mulai memenuhi
kebutuhannya sendiri. Pada masa remaja, peran orangtua dalam memberikan
dukungan emosional dan menjadi tempat diskusi akan digantikan oleh teman
sebaya. Karakteristik yang terdapat pada remaja (Santrock, 2002; Rice & Dolgin,
2008), antara lain yaitu : 1) Lebih dekat dengan teman sebaya, 2) Masa pencarian
identitas, 3) Perkembangan fisik sangat pesat, 4) Mengembangkan proses berpikir
abstrak dan kritis, 5) Muncul perasaan suka dan cinta, 6) Mementingkan penilaian
dari luar.
Berdasarkan karakteristik remaja yang telah dijabarkan, dapat diketahui
bahwa pada usia remaja pengaruh teman sebaya dan penilaian dari lingkungan
memiliki pengaruh yang penting pada individu remaja. Rice & Dolgin (2008)
menyebutkan bahwa faktor sosial dan lingkungan sangat berpengaruh pada
perilaku remaja. Pada usia remaja, peran teman sebaya memiliki pengaruh yang
besar. Remaja memiliki kecenderungan bertindak sesuai konformitas sosial.
3
Teman sebaya adalah orang yang berada pada tingkat usia dan kedewasaan
yang relatif sama (Santrock, 2002). Peer group memiliki peran sebagai penggerak
proses belajar sosial, dimana individu mengadopsi kebiasaan, sikap, ide,
keyakinan, nilai-nilai, dan pola-pola tingkah laku dalam masyarakat, serta
mengembangkannya menjadi kesatuan sistem dalam dirinya (Vembriarto, 1992).
Gardner menyebutkan bahwa teman sebaya memiliki peranan penting dalam
proses perkembangan sosial bagi remaja. Pada usia remaja, sumber konflik
berasal dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan sosial
(Argiati, 2010). Hubungan dengan teman sebaya yang kurang baik dapat
menimbulkan beberapa permasalahan pada remaja, salah satunya menjadi risiko
terjadinya perilaku bullying (Hong & Espelage, 2012).
Hasil penelitian yang melibatkan 119 siswa SMA di Swedia, menunjukkan
bahwa 39% dari responden mengaku pernah mengalami bullying di sekolah, 20%
dari responden mengaku pernah melakukan bullying kepada siswa lain, dan 13%
dari responden mengaku menjadi pelaku dan korban bullying (Frisen, Jonsson, &
Persson, 2007). Menurut Smith, Madsen, & Moody (Frisen, Jonsson, & Persson,
2007) hasil survey berbasis sekolah yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
siswa pada rentang usia 8 hingga 16 tahun dengan usia lebih muda lebih banyak
menjadi korban bullying. Smith (Frisen, Jonsson, & Persson, 2007) menambahkan
bahwa siswa SMA senior lebih banyak melakukan bully kepada siswa yang lebih
muda.
Kasus bullying di Indonesia juga telah banyak terjadi. Pemberitaan di
media massa juga menyoroti mengenai kasus bullying yang marak terjadi di
4
Indonesia. Tribun tanggal 5 Agustus 2012 memberitakan mengenai kasus bullying
terjadi di SMA Don Bosco Jakarta. Siswa baru dianiaya oleh kakak kelasnya, ada
bekas sudutan rokok dan memar di tubuh korban (Suhendi, 2012). Liputan 6 pada
tanggal 16 Agustus 2014 memberitakan mengenai pelajar putri berusia 16 tahun,
siswa SMA 9 Tangerang mengalami bullying, yang dilakukan oleh kakak kelas di
sekolahnya. Korban mengaku dianiaya oleh seniornya di sekolah, kancing baju
dilepas dan seragam dicoret-coret dengan kata-kata kasar (Ali, 2014).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Argiati (2010) menyebutkan bahwa
78 dari 113 siswa yang berasal dari satu SMA Swasta dan satu SMA Negeri di
Kota Yogyakarta (69,3%) pernah mengalami bullying di sekolah, baik dari teman,
guru, maupun orangtua. Pelaku bullying paling tinggi prosentasenya adalah teman
yaitu sebesar 71,68% (Argiati, 2010). Hasil survey dari penelitian yang dilakukan
oleh Kumara, Pratama, Aryuni, PoEh, & Syahputri (2013) menunjukkan bahwa
dari 739 siswa SMA Negeri di Yogyakarta yang menjadi subjek, terdapat 496
kasus bullying (67%) yang terjadi di sekolah. Data permasalahan mengenai
bullying di atas, sesuai dengan hasil preliminary study yang dilakukan oleh
peneliti pada bulan September hingga Oktober 2014. Preliminary study dilakukan
dengan menggunakan metode observasi di salah satu SMA Negeri di Yogyakarta
dan FGD dengan 20 siswa di sana. Hasil preliminary study menunjukkan bahwa
bullying memang terjadi di sekolah. Berdasarkan data observasi dapat diketahui
bahwa terdapat sekelompok siswa yang mengejek siswa lain di sekolah.
Sekelompok siswa yang mengejek tampak menikmati kejadian tersebut. Bahan
ejekan yang dilontarkan membuat teman lain tertawa. Siswa yang menjadi target
5
ejekan hanya diam dan pergi. Berdasarkan hasil FGD dengan 20 siswa di sekolah
tersebut, dapat diketahui bahwa bullying sudah menjadi hal wajar di sekolah.
Bullying dianggap sebagai candaan. Wujud perilaku bullying yang banyak terjadi
adalah secara verbal. Bahan bullying yang biasanya digunakan berkaitan dengan
nama yang tidak lazim, nama orangtua, bentuk tubuh, cara berbicara yang tidak
lazim, maupun sindiran-sindiran. Berdasarkan hasil diskusi juga diketahui bahwa
bullying berdampak pada penurunan prestasi akademik, meningkatnya frekuensi
membolos, dan munculnya perasaan tidak berharga.
Bullying didefinisikan sebagai pengulangan perilaku negatif dapat
berwujud secara fisik, verbal maupun psikologis yang ditujukan secara langsung
kepada korban, dimana pelaku memiliki power yang lebih besar dibanding korban
(Olweus, 2005). Remaja pelaku bullying menunjukkan beberapa karakteristik
seperti agresif, mudah marah, latar belakang keluarga kurang baik, dan
menganggap perilaku bullying sebagai wujud kekuatan dan kekuasaan terhadap
lingkungan teman sebaya (Olweus, 1997).
Menurut Olweus (1993) perilaku bullying dapat diklasifikasikan menjadi
dua yaitu bullying langsung dan bullying tidak langsung. Bullying langsung
adalah bullying yang dikenakan secara langsung pada korban, baik melalui
perilaku verbal maupun non verbal. Bullying tidak langsung lebih sulit terdeteksi,
karena
tidak
diperlihatkan
secara
langsung
kepada
korban,
misalnya
memberitakan hal yang tidak benar (gossip), mengucilkan, atau menghindari
untuk berkelompok dalam tugas. Pada suatu kejadian bullying pada dasarnya
6
berkaitan dengan tiga hal yaitu pelaku, korban dan orang yang melihat perilaku
bullying atau sering disebut sebagai bystander.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Frisen, Jonsson, & Persson (2007)
dan Guerra, Williamson, & Sadek (2012) menemukan beberapa hal serupa
mengenai penyebab siswa menjadi korban bullying, yaitu : (a) Penampilan korban
(misal : gendut, kurus, jelek); (b) Perilaku korban (misal : berperilaku aneh, cara
jalan yang aneh, logat bicara yang aneh, tampak malu-malu dan insecure.
Penyebab siswa menjadi pelaku bullying, yaitu : (a) Pelaku menganggap dirinya
keren; (b) Pelaku ingin merasa superior; (c) Pelaku ingin menunjukkan bahwa
dirinya memiliki kekuasaan.
Korban bullying (victim) adalah seseorang atau kelompok yang merasa
disakiti oleh perilaku orang lain dan tidak memiliki kekuatan, kemampuan, atau
kemungkinan untuk melawan atau menghentikan perilaku yang menyakiti tersebut
(Robinson & Maines, 2008). Siswa yang melihat perilaku bullying disebut dengan
bystanders atau saksi. Bystander biasanya melakukan sesuatu tetapi mungkin juga
tidak melakukan apapun untuk menghentikan bullying (Enteenman, Murnen, &
Hendricks, 2005).
Pelaku, korban dan bystander dalam kejadian bullying memiliki peran
dalam siklus terjadinya bullying di sekolah. Peran pelaku, korban dan bystander
dapat semakin memperkuat dampak dari bullying tersebut. Dampak negatif dari
bullying menunjukkan perlunya program pelaksanaan anti-bullying bagi siswa
karena efek negatif tersebut tidak hanya dirasakan oleh korban tetapi jangka
panjang akan dirasakan pula oleh pelaku (Olweus, 1993; Smokowski & Kopasz,
7
2005). Bullying yang dilakukan oleh teman sebaya menjadi determinan penting
pada kualitas kesehatan hidup remaja, yang memiliki dampak negatif terhadap
kesejahteraan
psikososial
(Wilkins-Shurmer,
O'Callaghan,
Najman,
Bor,
Williams, & Anderson, 2003). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dwipayanti &
Indrawati (2014) menunjukkan bahwa siswa yang menjadi pelaku bullying
dilaporkan memiliki prestasi akademik serta minat untuk masuk sekolah yang
rendah. Korban bullying akan mengalami kesulitan dalam bergaul, takut datang ke
sekolah, tertinggal pelajaran, sulit berkonsentrasi, sehingga berdampak pada
prestasi belajarnya (Dwipayanti & Indrawati, 2014). Penelitian yang dilakukan di
Delta, salah satu kota di Nigeria, menunjukkan bahwa bullying menjadi
determinan yang signifikan terhadap terjadinya dropout pada remaja (Alika,
2012).
Siswa yang menjadi korban bullying seringkali merasa cemas atau depresi.
Korban mengalami perasaan rendah diri dan tidak berarti dalam lingkungannya
serta menjadi sosok pencuriga (Hawker & Boulton, 2000; Rigby & Johnson,
2005; Newman, Holden & Delville, 2004). Korban juga merasakan kecemasan,
simptom-simptom psikosomatis, depresi serta menurunnya prestasi akademik
(Rigby, 2003; Boyle, 2005; Smokowski & Kopasz, 2005; Rohton, Head,
Klineberg & Stansfeld, 2011). Bullying merupakan faktor risiko potensial untuk
kejadian depresi dan bunuh diri pada remaja (Klomek, Marrocco, Kleinman,
Schonfeld, & Gould, 2007). Penelitian Olweus (1993) menyebutkan bahwa siswa
yang menjadi pelaku bullying di masa remaja akan diprediksi melakukan tindakan
kriminal saat dewasa. Pelaku bullying juga akan menjadi underachiever serta
8
menampilkan kinerja yang buruk saat bekerja (Smokowski & Kopasz, 2005). Efek
tersebut dilihat dari hasil studi meta analisis Ttofi, Farrington, & Losel (2013)
serta Robert (Smokowski & Kopasz, 2005) yang menunjukkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara perilaku agresif dengan kejahatan atau tindakan
kriminal di masa yang akan datang dibandingkan rekan seusianya.
Perilaku bullying pada remaja memiliki karakteristik covert behavior,
yaitu perilaku yang tidak terlihat. Menurut Rice & Dolgin (2008) orang dewasa
disekitar remaja tidak akan menyadari telah terjadi perilaku bullying, bahkan
jarang sekali korban yang melaporkan tindakan bullying yang diterimanya.
Perilaku bullying tidak mudah untuk diamati, namun menurut Ajzen (Armitage &
Conner, 2001) suatu perilaku dapat diprediksi dari intensi. Theory of Planned
Behavior (TPB) menjelaskan mengenai proses mental terjadinya suatu perilaku.
Terdapat tiga aspek yang dapat mempengaruhi intensi perilaku, yaitu : sikap
(attitude), norma subjektif (subjective norm), dan perceived behavioral control.
Untuk memprediksi apa yang akan dilakukan oleh seseorang, dapat dilihat dari :
a. Individu tersebut setuju atau tidak terhadap suatu perilaku
b. Seberapa banyak individu merasakan tekanan sosial untuk melakukan suatu
perilaku
c. Seberapa yakin individu merasa mampu untuk melakukan perilaku tersebut
Theory of Planned Behavior mengusulkan sebuah model bagaimana tindakan
manusia dikendalikan. Perilaku dapat diprediksi terjadinya, apabila perilaku
tersebut adalah perilaku yang disengaja. Gambar 1 menunjukkan bagaimana tiga
9
aspek yang dijelaskan dalam teori dapat digunakan untuk memprediksi niat untuk
melakukan suatu perilaku. Intensi adalah prekursor perilaku.
Gambar 1. Theory of Planned Behavior (Ajzen)
Ajzen (Armitage & Conner, 2001) menyebutkan bahwa tingkat kekuatan dari
ketiga aspek tersebut dalam menyebabkan terjadinya suatu perilaku, tergantung
pada situasi/konteks perilaku. Pada saat sikap dan norma subjektif lebih kuat
dalam mempengaruhi terjadinya suatu perilaku, maka perceived behavioral
control tidak terlalu signifikan dalam menyebabkan munculnya suatu perilaku.
Armitage & Conner (2001) menyebutkan bahwa sikap, norma subjektif,
dan PBC merupakan proses kognitif dari terjadinya suatu perilaku. Struktur
kognitif individu menjadi dasar dalam proses mental tersebut. Faktor inti dari
Theory of Planned Behavior (TPB) adalah adanya intensi atau niat individu untuk
melakukan perilaku tertentu. Intensi didefinisikan sebagai faktor motivasional
yang dapat mempengaruhi perilaku. Intensi menunjukkan seberapa keras individu
dalam mencoba, merencanakan, dan mengusahakan munculnya suatu perilaku.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dikatakan bahwa semakin besar/kuat
10
intensi untuk melakukan suatu perilaku, maka semakin besar kemungkinan
perilaku tersebut muncul (Ajzen, 1991).
Pada konteks penelitian ini, intensi perilaku bullying adalah seberapa keras
individu dalam mencoba, merencanakan, dan mengusahakan munculnya perilaku
bullying. Intensi perilaku bullying dipengaruhi oleh tiga hal yaitu : bagaimana
sikap individu terhadap bullying, bagaimana tuntutan norma terhadap bullying,
dan seberapa yakin individu mampu melakukan bullying. Perilaku bullying yang
terjadi berulang kali tanpa mendapatkan konsekuensi negatif dari lingkungan serta
informasi yang benar bahwa bullying adalah suatu tindakan yang salah akan
mempengaruhi intensi siswa dalam melakukan perilaku bullying. Siswa akan
beranggapan bahwa melakukan bullying tidak akan mendapatkan dampak
merugikan, lalu akan memiliki keyakinan bahwa tindakan bullying adalah suatu
hal dibenarkan oleh kelompok sebaya serta lingkungan. Hal ini juga dikarenakan
para korban bullying tidak melaporkan pelaku. Sikap korban ini, akan
memberikan sebuah pemahaman bahwa bullying adalah suatu perilaku yang
dibenarkan.
Olweus (2005) menyebutkan bahwa penanganan terhadap bullying dapat
berwujud preventif dan kuratif. Penanganan preventif lebih dianjurkan, karena
dapat menurunkan risiko individu menjadi pelaku maupun korban bullying.
Tindakan pencegahan lebih dianjurkan, karena mengingat adanya dampak negatif
dari bullying. Hong & Espelage (2012) juga menyatakan bahwa dalam
penanganan bullying harus fokus pada kondisi iklim sekolah atau berhubungan
dengan kebijakan serta memberikan pemahaman pada seluruh siswa tentang
11
bullying, konsekuensi dari seluruh perilaku tersebut dan tindakan yang perlu
dilakukan ketika melihat terjadinya bullying di sekolah. Hal tersebut dikatakan
oleh Aron & Milicic sebagai metode preventif dalam menangani bullying (Berger,
Karimpour & Rodkin, 2008). Pada konteks penelitian ini, penanganan bullying
yang dilakukan adalah melibatkan siswa secara langsung. Hal tersebut adalah
langkah awal dalam mengubah kondisi iklim sekolah agar lebih sadar terhadap
fenomena bullying di sekolah.
Olweus (Ttofi, Farrington & Baldry, 2008) menyebutkan bahwa metode
preventif dapat menurunkan perilaku bullying sebanyak 17-23%. Penelitian Ttofi,
Farrington dan Baldry (2008) menyatakan bahwa metode preventif bullying lebih
efektif ketika dilatih dengan jumlah subjek yang kecil, usia di atas sebelas tahun.
Penanganan bullying akan lebih efektif bila dilakukan dalam lingkungan teman
sebaya dan sekolah (Whitted & Dupper, 2005). Hasil penelitian mengenai
bullying
menunjukkan
bahwa
diperlukan
pelatihan
preprofesional
dan
berkelanjutan untuk mencegah terjadinya bullying di sekolah. Bullying terjadi
secara terus menerus di setiap generasi, sehingga diperlukan penanganan yang
berkelanjutan (Dake, Price, Telljohann, & Funk, 2004). Intervensi norma sosial
dapat menjadi strategi untuk mengurangi bullying di sekolah (Perkins, Craig, &
Perkins, 2011). Pada penelitian ini, intervensi norma sosial yang dimaksud adalah
dengan melibatkan teman sebaya akan membentuk norma sosial di antara mereka.
Berdasarkan kajian teori dan hasil-hasil penelitian di atas, dapat
disimpulkan bahwa dalam penanganan bullying di sekolah akan lebih efektif
apabila dilakukan usaha preventif yang melibatkan teman sebaya (Whitted &
12
Dupper, 2005; Berger, Karimpour & Rodkin, 2008; Rice & Dolgin, 2008). Pada
penelitian ini, teman sebaya dilatih menggunakan Program “Rembug Sahabat”
yang disusun oleh PoEh (2014). Program “Rembug Sahabat” merupakan modul
pelatihan keterampilan fasilitator diskusi kelompok mengenai bullying. Modul
tersebut telah diuji validasinya pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
PoEh pada tahun 2014. Uji validasi modul “Rembug Sahabat” dilakukan pada 18
siswa kelas XI di dua SMA Negeri di kota Yogyakarta. Hasil uji validasi modul
“Rembug Sahabat” adalah sebagai berikut :
a. Hasil analisis menunjukkan perbedaan antara skor pretest dan skor posttest
pengetahuan bullying antara kelompok eksperimen dan kontrol berbeda secara
signifikan dengan F= 38,102 (p<0,01). Kelompok eksperimen mengalami
peningkatan skor pengetahuan bullying lebih tinggi dibanding kelompok
kontrol.
b. Hasil analisis menunjukkan perbedaan skor pretest dan skor posttest
ketrampilan fasilitator diskusi kelompok antara kelompok eksperimen dan
kontrol berbeda secara signifikan dengan F= 13,98 (p<0,01). Kelompok
eksperimen mengalami peningkatan skor ketrampilan fasilitator diskusi
kelompok lebih tinggi dibanding kelompok kontrol.
c. Hasil analisis menunjukkan perbedaan skor pretest dan skor posttest
pengetahuan mengenai diskusi kelompok antara kelompok eksperimen dan
kontrol berbeda secara signifikan dengan F= 73,129 (p<0,01). Kelompok
eksperimen mengalami peningkatan skor pengetahuan mengenai diskusi
kelompok lebih tinggi dibanding kelompok kontrol.
13
d. Hasil analisis data pengetahuan bullying, keterampilan fasilitator diskusi
kelompok didukung dengan pengetahuan mengenai diskusi kelompok
menunjukkan bahwa hipotesis penelitian yang dilakukan oleh PoEh (2014)
dapat diterima, yaitu Program “Rembug Sahabat” dapat meningkatkan
pengetahuan bullying dan keterampilan fasilitator diskusi kelompok.
Sumbangan efektif pelatihan dapat dilihat dari partial eta squared pada
pengetahuan bullying sebesar 0,704 dan keterampilan fasiliatator diskusi
kelompok sebesar 0,897. Artinya Program “Rembug Sahabat” dapat
meningkatkan pengetahuan bullying sebesar 70,4% dan meningkatkan
keterampilan fasilitator diskusi kelompok sebesar 89,7% pada kelompok
eksperimen.
Penelitian ini menggunakan Program “Rembug Sahabat” sebagai
instrumen pelatihan fasilitator teman sebaya karena telah terbukti dapat
meningkatkan pengetahuan mengenai bullying dan ketrampilan fasilitator diskusi
kelompok. Program “Rembug Sahabat” akan melatih siswa kelas XI SMA
menjadi fasilitator diskusi kelompok pada teman sebaya dengan tema diskusi
yaitu bullying. Siswa tersebut kemudian akan menjadi fasilitator diskusi
kelompok, dimana peserta diskusi adalah teman-teman sebayanya (siswa kelas XI
SMA). Penelitian ini akan membandingkan skor pretest dan posttest skala intensi
perilaku bullying dari siswa kelas XI SMA Negeri di Yogyakarta. Pemilihan
subjek penelitian berdasarkan skor pretest. Subjek yang terpilih adalah yang
memiliki skor pretest berada pada kategori sedang. Subjek penelitian ini adalah 19
siswa kelas XI SMA Negeri A di Kota Yogyakarta sebagai kelompok eksperimen,
14
dan 18 siswa kelas XI SMA Negeri B di Kota Yogyakarta sebagai kelompok
kontrol. Pemilihan kedua SMA Negeri yang digunakan sebagai subjek dalam
penelitian ini, dilakukan dengan purposive sampling. SMA Negeri A dan B di
Kota Yogyakarta dipilih karena ditemukan adanya bullying di sekolah tersebut
berdasarkan hasil preliminary study yang dilakukan oleh peneliti.
Proses pembelajaran dari trainer ke fasilitator teman sebaya menggunakan
prinsip dari teori sosial kognitif. Teori sosial kognitif yang dikemukanan Albert
Bandura (1986; 1997), dilandasi oleh teori reciprocal determinism. Teori
reciprocal determinism menjelaskan tingkah laku individu dalam bentuk interaksi
timbal balik yang terus menerus antara determinan kognitif, behavioral dan
lingkungan. Individu dapat menentukan/mempengaruhi tingkah lakunya dengan
cara mengendalikan lingkungan, namun perilaku individu juga dikendalikan oleh
pengaruh lingkungan. Gambar 2 menunjukkan bagaimana hubungan timbal balik
antara determinan kognitif, behavioral, dan lingkungan menurut triadic reciprocal
determinism (Bandura, 1986;1997).
Gambar 2. Triadic Reciprocal Determinism (Bandura, 1986;1997).
Reciprocal determinism adalah konsep penting dalam teori belajar sosial
Bandura, menjadi landasan Bandura dalam memahami tingkah laku. Teori belajar
15
sosial menggunakan reciprocal determinism sebagai prinsip dasar dalam
menganalisis fenomena psiko-sosial di berbagai tingkat kompleksitas, dari
perkembangan interpersonal hingga tingkah laku interpersonal dalam suatu sistem
sosial (Bandura, 1986; 1997). Teori sosial kognitif melihat individu sebagai agen
yang terlibat aktif dalam proses perkembangan dan pembelajarannya secara aktif.
Bandura meyakini bahwa perilaku individu tidak hanya dibentuk oleh faktor
lingkungan, namun merupakan interaksi yang dinamis antara faktor lingkungan,
personal dan perilaku (Schunk, 2008).
Pada konteks penelitian ini, siswa memiliki faktor personal berupa
kemampuan kognitif untuk menangkap materi yang diberikan serta mengelaborasi
dengan pemahaman yang sudah dialami selama ini, kemudian didukung oleh
kondisi perasaan dan fisik menjadi satu modal yang baik untuk menjadi seorang
fasilitator kelompok sebaya. Hal tersebut dapat mendorong siswa untuk
berperilaku yang diharapkan yaitu aktif dalam pencegahan terjadinya bullying di
sekolah dengan cara menjadi fasilitator bagi teman-teman sekolahnya.
Menurut Bandura modeling adalah konsep utama dari sosial kognitif
dimana perubahan perilaku, kognitif dan afeksi terbentuk melalui proses observasi
orang lain atau disebut dengan observational learning (Rice & Dolgin, 2008).
Pada penelitian ini, trainer menjadi model bagi siswa, kemudian siswa yang
menjadi fasilitator sebagai model bagi teman sebayanya. Bandura (1986; 1997)
menyebutkan proses observational learning terdiri dari empat tahap, yaitu:
attention, retention, production, serta motivation. Penjelasan mengenai keempat
tahap tersebut, adalah sebagai berikut :
16
a. Tahap attention, merupakan proses memperhatikan dan mempersepsi perilaku
model secara tepat. Tingkat keberhasilan belajar ditentukan oleh karakteristik
model maupun individu yang mengamati. Karakteristik model merupakan
variabel penentu seperti frekuensi kehadiran, kejelasan dalam menyampaikan
informasi, daya tarik personal dan nilai fungsional perilaku model.
b. Tahap retention, dimana hasil yang diperoleh dari modelling harus disimpan
dalam ingatan dengan cara melakukan pemaknaan dalam bentuk verbal yang
mudah dipergunakan. Materi yang bermakna bagi individu yang mengamati
dan menambah pengalaman sebelumnya tentu akan lebih mudah diingat. Cara
lain untuk mengingatnya dengan membayangkan perilaku model atau dengan
mempraktikkannya. Kemampuan dan struktur kognitif individu yang
mengamati dapat memperkuat retensi.
c. Tahap production, gambaran simbolik tentang perilaku model perlu
diterjemahkan ke dalam tindakan yang efektif. Individu yang mengamati
memerlukan gambaran kognitif yang akurat tentang perilaku model untuk
dibandingkan dengan umpan balik dari tingkah lakunya. Modeling korektif
merupakan cara yang efektif untuk memberikan umpan balik bila pengamat
melakukan kinerja yang tidak tepat.
d. Tahap motivational, tahap ini menekankan pada apakah seseorang
mempraktikkan apa yang sudah dipelajarinya tergantung pada motivasinya.
Individu akan cenderung mengadopsi perilaku model jika menghasilkan
imbalan eksternal, secara internal individu memberikan penilaian yang positif
serta individu melihat bahwa perilaku tersebut memang bermanfaat bagi
17
model itu sendiri. Penjabaran konsep observational learning ke dalam
program “Rembug Sahabat” dapat dilihat pada bagan 1.
Fasilitator teman sebaya mempunyai peranan bagi kelompoknya sebagai
kontrol tingkah laku sosial. Fasilitator teman sebaya juga dapat mengembangkan
keterampilan dan minat yang sesuai dengan usianya, dimana terjadi saling tukar
informasi, perasaan dan masalah. Kelompok sebaya dalam suasana akrab dapat
lebih membantu teman sebaya dalam memahami konsep diri yang positif (Depkes
RI, 2004).
Diskusi kelompok menjadi sarana penyampaian informasi kepada siswa,
hasil penelitian yang dilakukan oleh Johnson dan Mighten (2005) menunjukkan
bahwa siswa yang mendapat pengajaran melalui diskusi kelompok dan ceramah
memiliki pengajaran yang lebih baik dibanding dengan siswa yang hanya
mendapat pengajaran melalui ceramah. Hal tersebut sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Krueger et. al. (2004) dimana diskusi lebih efektif dalam
meningkatkan retensi, kemampuan pemecahan masalah siswa, kemampuan
berpikir dan motivasi belajar dibandingkan metode ceramah. Diskusi merupakan
proses berpikir bersama untuk memahami suatu masalah, menemukan penyebab,
serta mencari pemecahannya (Khamdi, 1995), sedangkan diskusi kelompok
merupakan kegiatan tukar pikiran pada sekumpulan individu yang saling
berinteraksi secara teratur untuk menghasilkan suatu pengertian yang tepat dan
luas dalam mencapai tujuan yang sama (Sarwono, 2004).
18
Input
Program “Rembug Sahabat” menggunakan metode diskusi kelompok. Trainer
memberikan pengetahuan tentang bullying dan ketrampilan menjadi fasilitator diskusi
kelompok.
Attention
Peserta diskusi kelompok mendapatkan pengetahuan mengenai bullying, ketrampilan
menjadi fasilitator diskusi kelompok, dan mengamati perilaku trainer dalam menjadi
fasilitator diskusi kelompok.
Retention
Peserta diskusi kelompok mengingat apa yang diperoleh dari proses diskusi kelompok.
Peserta mengingat perilaku trainer dalam menjadi fasilitator diskusi kelompok, kemudian
melakukan simbolisasi dalam bentuk verbal.
Production
Peserta diskusi kelompok mempraktikkan apa yang dipelajari dari proses diskusi
kelompok, kemudian diberikan feedback.
Motivational
Peserta mendapatkan manfaat internal maupun eksternal sebagai penguatan dari perilaku
peserta dalam menerapkan hasil modeling.
Output
Peserta memiliki pengetahuan mengenai bullying, ketrampilan menjadi fasilitator diskusi
kelompok, dan mampu menampilkan pola perilaku seperti model (trainer) sebagai
fasilitator diskusi kelompok untuk teman sebaya.
Bagan 1. Observational learning pada Program “Rembug Sahabat”
O’Donnell menyatakan bahwa secara kognitif, pembelajaran yang
dilakukan secara berkelompok membuat individu memproses informasi secara
lebih mendalam (Van Blankenstein, Dolmans, Van der Vleuten & Schmidt, 2009).
Laursen (2005) menyatakan bahwa kelompok teman sebaya yang positif
19
memungkinkan remaja merasa diterima, memungkinkan remaja melakukan
katarsis, serta memungkinkan remaja menguji nilai-nilai baru dan pandanganpandangan baru. Budaya teman sebaya yang positif dapat digunakan untuk
membantu mengubah tingkah laku dan nilai-nilai remaja.
Program “Rembug Sahabat” dapat meningkatkan ketrampilan menjadi
fasilitator diskusi kelompok dan meningkatkan pengetahuan bullying. Modal
tersebut yang akan digunakan oleh fasilitator untuk menyampaikan materi
mengenai bullying kepada teman sebaya, yang diharapkan dapat menurunkan
intensi perilaku bullying. Dinamika penelitian dapat dilihat pada bagan 2.
Attitude Toward
Pengetahuan tentang bullying dapat
digunakan
oleh
siswa
untuk
mengevaluasi baik-buruknya perilaku
bullying, menentukan sikap setuju atau
tidak terhadap bullying. Pengetahuan
tentang bullying dapat mempengaruhi
intensi perilaku bullying.
Subjective Norm
Subjective norm dipengaruhi oleh
penilaian individu terhadap bullying dan
bagaimana norma sosial yang berlaku.
Penilaian teman sebaya terhadap
bullying akan membentuk norma sosial,
yang dapat mempengaruhi sikap siswa
terhadap bullying. Penilaian teman
sebaya dan norma subjektif terhadap
bullying dapat mempengaruhi intensi
perilaku bullying.
Perceived Behavioral Control
Keyakinan
siswa
untuk
mampu
melakukan
tindakan
anti-bullying
mempengaruhi intensi perilaku bullying.
Siswa memiliki kontrol untuk melakukan
sesuatu atau tidak.
Intensi Perilaku Bullying
Bagan 2. Dinamika Penelitian
20
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh fasilitator teman
sebaya yang dilatih menggunakan modul “Rembug Sahabat” guna menurunkan
intensi perilaku bullying pada siswa SMA. Manfaat teoritis dari penelitian ini
adalah untuk menerapkan teori Planned Behavior khususnya terkait dengan
intensi perilaku bullying pada siswa SMA. Manfaat praktis dari penelitian ini
adalah sebagai usaha preventif dalam penanganan perilaku bullying. Hipotesis
pada penelitian ini adalah fasilitator teman sebaya yang dilatih menggunakan
modul “Rembug Sahabat” dapat menurunkan intensi perilaku bullying pada siswa
SMA.
METODE PENELITIAN
Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel Penelitian
Variabel tergantung pada penelitian ini adalah intensi perilaku bullying.
Intensi perilaku bullying adalah seberapa kuat keinginan individu untuk mencoba
dan seberapa besar usaha yang dikeluarkan untuk melakukan bullying. Menurut
Ajzen (1991; 2006) intensi perilaku bullying secara spesifik memiliki empat
elemen, yaitu :
1. Target
Target adalah sasaran yang ingin dicapai dari perilaku yang akan dilakukan.
Pada penelitian ini target yang dimaksud adalah sasaran dari perilaku bullying.
Download