2 Masa remaja merupakan masa yang penuh stres selama masa perkembangan. Remaja adalah suatu periode peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Batasan usia remaja berada pada rentang akhir masa anakanak (10-12 tahun) hingga usia 18-22 tahun. Remaja mengalami perubahan pada aspek kognitif, emosi, fisik, moral, hingga sosial (Santrock, 2002). Hall (Santrock, 2002) juga menyebutkan bahwa masa remaja merupakan masa pergolakan yang penuh konflik dan stres. Smith, Cowie, & Blades (Zimmerman & Clearly, 2006) menyebutkan bahwa remaja mengalami masa transisi, antara lain peralihan dari individu yang tergantung menjadi individu yang mandiri dan mulai memenuhi kebutuhannya sendiri. Pada masa remaja, peran orangtua dalam memberikan dukungan emosional dan menjadi tempat diskusi akan digantikan oleh teman sebaya. Karakteristik yang terdapat pada remaja (Santrock, 2002; Rice & Dolgin, 2008), antara lain yaitu : 1) Lebih dekat dengan teman sebaya, 2) Masa pencarian identitas, 3) Perkembangan fisik sangat pesat, 4) Mengembangkan proses berpikir abstrak dan kritis, 5) Muncul perasaan suka dan cinta, 6) Mementingkan penilaian dari luar. Berdasarkan karakteristik remaja yang telah dijabarkan, dapat diketahui bahwa pada usia remaja pengaruh teman sebaya dan penilaian dari lingkungan memiliki pengaruh yang penting pada individu remaja. Rice & Dolgin (2008) menyebutkan bahwa faktor sosial dan lingkungan sangat berpengaruh pada perilaku remaja. Pada usia remaja, peran teman sebaya memiliki pengaruh yang besar. Remaja memiliki kecenderungan bertindak sesuai konformitas sosial. 3 Teman sebaya adalah orang yang berada pada tingkat usia dan kedewasaan yang relatif sama (Santrock, 2002). Peer group memiliki peran sebagai penggerak proses belajar sosial, dimana individu mengadopsi kebiasaan, sikap, ide, keyakinan, nilai-nilai, dan pola-pola tingkah laku dalam masyarakat, serta mengembangkannya menjadi kesatuan sistem dalam dirinya (Vembriarto, 1992). Gardner menyebutkan bahwa teman sebaya memiliki peranan penting dalam proses perkembangan sosial bagi remaja. Pada usia remaja, sumber konflik berasal dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan sosial (Argiati, 2010). Hubungan dengan teman sebaya yang kurang baik dapat menimbulkan beberapa permasalahan pada remaja, salah satunya menjadi risiko terjadinya perilaku bullying (Hong & Espelage, 2012). Hasil penelitian yang melibatkan 119 siswa SMA di Swedia, menunjukkan bahwa 39% dari responden mengaku pernah mengalami bullying di sekolah, 20% dari responden mengaku pernah melakukan bullying kepada siswa lain, dan 13% dari responden mengaku menjadi pelaku dan korban bullying (Frisen, Jonsson, & Persson, 2007). Menurut Smith, Madsen, & Moody (Frisen, Jonsson, & Persson, 2007) hasil survey berbasis sekolah yang telah dilakukan menunjukkan bahwa siswa pada rentang usia 8 hingga 16 tahun dengan usia lebih muda lebih banyak menjadi korban bullying. Smith (Frisen, Jonsson, & Persson, 2007) menambahkan bahwa siswa SMA senior lebih banyak melakukan bully kepada siswa yang lebih muda. Kasus bullying di Indonesia juga telah banyak terjadi. Pemberitaan di media massa juga menyoroti mengenai kasus bullying yang marak terjadi di 4 Indonesia. Tribun tanggal 5 Agustus 2012 memberitakan mengenai kasus bullying terjadi di SMA Don Bosco Jakarta. Siswa baru dianiaya oleh kakak kelasnya, ada bekas sudutan rokok dan memar di tubuh korban (Suhendi, 2012). Liputan 6 pada tanggal 16 Agustus 2014 memberitakan mengenai pelajar putri berusia 16 tahun, siswa SMA 9 Tangerang mengalami bullying, yang dilakukan oleh kakak kelas di sekolahnya. Korban mengaku dianiaya oleh seniornya di sekolah, kancing baju dilepas dan seragam dicoret-coret dengan kata-kata kasar (Ali, 2014). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Argiati (2010) menyebutkan bahwa 78 dari 113 siswa yang berasal dari satu SMA Swasta dan satu SMA Negeri di Kota Yogyakarta (69,3%) pernah mengalami bullying di sekolah, baik dari teman, guru, maupun orangtua. Pelaku bullying paling tinggi prosentasenya adalah teman yaitu sebesar 71,68% (Argiati, 2010). Hasil survey dari penelitian yang dilakukan oleh Kumara, Pratama, Aryuni, PoEh, & Syahputri (2013) menunjukkan bahwa dari 739 siswa SMA Negeri di Yogyakarta yang menjadi subjek, terdapat 496 kasus bullying (67%) yang terjadi di sekolah. Data permasalahan mengenai bullying di atas, sesuai dengan hasil preliminary study yang dilakukan oleh peneliti pada bulan September hingga Oktober 2014. Preliminary study dilakukan dengan menggunakan metode observasi di salah satu SMA Negeri di Yogyakarta dan FGD dengan 20 siswa di sana. Hasil preliminary study menunjukkan bahwa bullying memang terjadi di sekolah. Berdasarkan data observasi dapat diketahui bahwa terdapat sekelompok siswa yang mengejek siswa lain di sekolah. Sekelompok siswa yang mengejek tampak menikmati kejadian tersebut. Bahan ejekan yang dilontarkan membuat teman lain tertawa. Siswa yang menjadi target 5 ejekan hanya diam dan pergi. Berdasarkan hasil FGD dengan 20 siswa di sekolah tersebut, dapat diketahui bahwa bullying sudah menjadi hal wajar di sekolah. Bullying dianggap sebagai candaan. Wujud perilaku bullying yang banyak terjadi adalah secara verbal. Bahan bullying yang biasanya digunakan berkaitan dengan nama yang tidak lazim, nama orangtua, bentuk tubuh, cara berbicara yang tidak lazim, maupun sindiran-sindiran. Berdasarkan hasil diskusi juga diketahui bahwa bullying berdampak pada penurunan prestasi akademik, meningkatnya frekuensi membolos, dan munculnya perasaan tidak berharga. Bullying didefinisikan sebagai pengulangan perilaku negatif dapat berwujud secara fisik, verbal maupun psikologis yang ditujukan secara langsung kepada korban, dimana pelaku memiliki power yang lebih besar dibanding korban (Olweus, 2005). Remaja pelaku bullying menunjukkan beberapa karakteristik seperti agresif, mudah marah, latar belakang keluarga kurang baik, dan menganggap perilaku bullying sebagai wujud kekuatan dan kekuasaan terhadap lingkungan teman sebaya (Olweus, 1997). Menurut Olweus (1993) perilaku bullying dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu bullying langsung dan bullying tidak langsung. Bullying langsung adalah bullying yang dikenakan secara langsung pada korban, baik melalui perilaku verbal maupun non verbal. Bullying tidak langsung lebih sulit terdeteksi, karena tidak diperlihatkan secara langsung kepada korban, misalnya memberitakan hal yang tidak benar (gossip), mengucilkan, atau menghindari untuk berkelompok dalam tugas. Pada suatu kejadian bullying pada dasarnya 6 berkaitan dengan tiga hal yaitu pelaku, korban dan orang yang melihat perilaku bullying atau sering disebut sebagai bystander. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Frisen, Jonsson, & Persson (2007) dan Guerra, Williamson, & Sadek (2012) menemukan beberapa hal serupa mengenai penyebab siswa menjadi korban bullying, yaitu : (a) Penampilan korban (misal : gendut, kurus, jelek); (b) Perilaku korban (misal : berperilaku aneh, cara jalan yang aneh, logat bicara yang aneh, tampak malu-malu dan insecure. Penyebab siswa menjadi pelaku bullying, yaitu : (a) Pelaku menganggap dirinya keren; (b) Pelaku ingin merasa superior; (c) Pelaku ingin menunjukkan bahwa dirinya memiliki kekuasaan. Korban bullying (victim) adalah seseorang atau kelompok yang merasa disakiti oleh perilaku orang lain dan tidak memiliki kekuatan, kemampuan, atau kemungkinan untuk melawan atau menghentikan perilaku yang menyakiti tersebut (Robinson & Maines, 2008). Siswa yang melihat perilaku bullying disebut dengan bystanders atau saksi. Bystander biasanya melakukan sesuatu tetapi mungkin juga tidak melakukan apapun untuk menghentikan bullying (Enteenman, Murnen, & Hendricks, 2005). Pelaku, korban dan bystander dalam kejadian bullying memiliki peran dalam siklus terjadinya bullying di sekolah. Peran pelaku, korban dan bystander dapat semakin memperkuat dampak dari bullying tersebut. Dampak negatif dari bullying menunjukkan perlunya program pelaksanaan anti-bullying bagi siswa karena efek negatif tersebut tidak hanya dirasakan oleh korban tetapi jangka panjang akan dirasakan pula oleh pelaku (Olweus, 1993; Smokowski & Kopasz, 7 2005). Bullying yang dilakukan oleh teman sebaya menjadi determinan penting pada kualitas kesehatan hidup remaja, yang memiliki dampak negatif terhadap kesejahteraan psikososial (Wilkins-Shurmer, O'Callaghan, Najman, Bor, Williams, & Anderson, 2003). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dwipayanti & Indrawati (2014) menunjukkan bahwa siswa yang menjadi pelaku bullying dilaporkan memiliki prestasi akademik serta minat untuk masuk sekolah yang rendah. Korban bullying akan mengalami kesulitan dalam bergaul, takut datang ke sekolah, tertinggal pelajaran, sulit berkonsentrasi, sehingga berdampak pada prestasi belajarnya (Dwipayanti & Indrawati, 2014). Penelitian yang dilakukan di Delta, salah satu kota di Nigeria, menunjukkan bahwa bullying menjadi determinan yang signifikan terhadap terjadinya dropout pada remaja (Alika, 2012). Siswa yang menjadi korban bullying seringkali merasa cemas atau depresi. Korban mengalami perasaan rendah diri dan tidak berarti dalam lingkungannya serta menjadi sosok pencuriga (Hawker & Boulton, 2000; Rigby & Johnson, 2005; Newman, Holden & Delville, 2004). Korban juga merasakan kecemasan, simptom-simptom psikosomatis, depresi serta menurunnya prestasi akademik (Rigby, 2003; Boyle, 2005; Smokowski & Kopasz, 2005; Rohton, Head, Klineberg & Stansfeld, 2011). Bullying merupakan faktor risiko potensial untuk kejadian depresi dan bunuh diri pada remaja (Klomek, Marrocco, Kleinman, Schonfeld, & Gould, 2007). Penelitian Olweus (1993) menyebutkan bahwa siswa yang menjadi pelaku bullying di masa remaja akan diprediksi melakukan tindakan kriminal saat dewasa. Pelaku bullying juga akan menjadi underachiever serta 8 menampilkan kinerja yang buruk saat bekerja (Smokowski & Kopasz, 2005). Efek tersebut dilihat dari hasil studi meta analisis Ttofi, Farrington, & Losel (2013) serta Robert (Smokowski & Kopasz, 2005) yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara perilaku agresif dengan kejahatan atau tindakan kriminal di masa yang akan datang dibandingkan rekan seusianya. Perilaku bullying pada remaja memiliki karakteristik covert behavior, yaitu perilaku yang tidak terlihat. Menurut Rice & Dolgin (2008) orang dewasa disekitar remaja tidak akan menyadari telah terjadi perilaku bullying, bahkan jarang sekali korban yang melaporkan tindakan bullying yang diterimanya. Perilaku bullying tidak mudah untuk diamati, namun menurut Ajzen (Armitage & Conner, 2001) suatu perilaku dapat diprediksi dari intensi. Theory of Planned Behavior (TPB) menjelaskan mengenai proses mental terjadinya suatu perilaku. Terdapat tiga aspek yang dapat mempengaruhi intensi perilaku, yaitu : sikap (attitude), norma subjektif (subjective norm), dan perceived behavioral control. Untuk memprediksi apa yang akan dilakukan oleh seseorang, dapat dilihat dari : a. Individu tersebut setuju atau tidak terhadap suatu perilaku b. Seberapa banyak individu merasakan tekanan sosial untuk melakukan suatu perilaku c. Seberapa yakin individu merasa mampu untuk melakukan perilaku tersebut Theory of Planned Behavior mengusulkan sebuah model bagaimana tindakan manusia dikendalikan. Perilaku dapat diprediksi terjadinya, apabila perilaku tersebut adalah perilaku yang disengaja. Gambar 1 menunjukkan bagaimana tiga 9 aspek yang dijelaskan dalam teori dapat digunakan untuk memprediksi niat untuk melakukan suatu perilaku. Intensi adalah prekursor perilaku. Gambar 1. Theory of Planned Behavior (Ajzen) Ajzen (Armitage & Conner, 2001) menyebutkan bahwa tingkat kekuatan dari ketiga aspek tersebut dalam menyebabkan terjadinya suatu perilaku, tergantung pada situasi/konteks perilaku. Pada saat sikap dan norma subjektif lebih kuat dalam mempengaruhi terjadinya suatu perilaku, maka perceived behavioral control tidak terlalu signifikan dalam menyebabkan munculnya suatu perilaku. Armitage & Conner (2001) menyebutkan bahwa sikap, norma subjektif, dan PBC merupakan proses kognitif dari terjadinya suatu perilaku. Struktur kognitif individu menjadi dasar dalam proses mental tersebut. Faktor inti dari Theory of Planned Behavior (TPB) adalah adanya intensi atau niat individu untuk melakukan perilaku tertentu. Intensi didefinisikan sebagai faktor motivasional yang dapat mempengaruhi perilaku. Intensi menunjukkan seberapa keras individu dalam mencoba, merencanakan, dan mengusahakan munculnya suatu perilaku. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dikatakan bahwa semakin besar/kuat 10 intensi untuk melakukan suatu perilaku, maka semakin besar kemungkinan perilaku tersebut muncul (Ajzen, 1991). Pada konteks penelitian ini, intensi perilaku bullying adalah seberapa keras individu dalam mencoba, merencanakan, dan mengusahakan munculnya perilaku bullying. Intensi perilaku bullying dipengaruhi oleh tiga hal yaitu : bagaimana sikap individu terhadap bullying, bagaimana tuntutan norma terhadap bullying, dan seberapa yakin individu mampu melakukan bullying. Perilaku bullying yang terjadi berulang kali tanpa mendapatkan konsekuensi negatif dari lingkungan serta informasi yang benar bahwa bullying adalah suatu tindakan yang salah akan mempengaruhi intensi siswa dalam melakukan perilaku bullying. Siswa akan beranggapan bahwa melakukan bullying tidak akan mendapatkan dampak merugikan, lalu akan memiliki keyakinan bahwa tindakan bullying adalah suatu hal dibenarkan oleh kelompok sebaya serta lingkungan. Hal ini juga dikarenakan para korban bullying tidak melaporkan pelaku. Sikap korban ini, akan memberikan sebuah pemahaman bahwa bullying adalah suatu perilaku yang dibenarkan. Olweus (2005) menyebutkan bahwa penanganan terhadap bullying dapat berwujud preventif dan kuratif. Penanganan preventif lebih dianjurkan, karena dapat menurunkan risiko individu menjadi pelaku maupun korban bullying. Tindakan pencegahan lebih dianjurkan, karena mengingat adanya dampak negatif dari bullying. Hong & Espelage (2012) juga menyatakan bahwa dalam penanganan bullying harus fokus pada kondisi iklim sekolah atau berhubungan dengan kebijakan serta memberikan pemahaman pada seluruh siswa tentang 11 bullying, konsekuensi dari seluruh perilaku tersebut dan tindakan yang perlu dilakukan ketika melihat terjadinya bullying di sekolah. Hal tersebut dikatakan oleh Aron & Milicic sebagai metode preventif dalam menangani bullying (Berger, Karimpour & Rodkin, 2008). Pada konteks penelitian ini, penanganan bullying yang dilakukan adalah melibatkan siswa secara langsung. Hal tersebut adalah langkah awal dalam mengubah kondisi iklim sekolah agar lebih sadar terhadap fenomena bullying di sekolah. Olweus (Ttofi, Farrington & Baldry, 2008) menyebutkan bahwa metode preventif dapat menurunkan perilaku bullying sebanyak 17-23%. Penelitian Ttofi, Farrington dan Baldry (2008) menyatakan bahwa metode preventif bullying lebih efektif ketika dilatih dengan jumlah subjek yang kecil, usia di atas sebelas tahun. Penanganan bullying akan lebih efektif bila dilakukan dalam lingkungan teman sebaya dan sekolah (Whitted & Dupper, 2005). Hasil penelitian mengenai bullying menunjukkan bahwa diperlukan pelatihan preprofesional dan berkelanjutan untuk mencegah terjadinya bullying di sekolah. Bullying terjadi secara terus menerus di setiap generasi, sehingga diperlukan penanganan yang berkelanjutan (Dake, Price, Telljohann, & Funk, 2004). Intervensi norma sosial dapat menjadi strategi untuk mengurangi bullying di sekolah (Perkins, Craig, & Perkins, 2011). Pada penelitian ini, intervensi norma sosial yang dimaksud adalah dengan melibatkan teman sebaya akan membentuk norma sosial di antara mereka. Berdasarkan kajian teori dan hasil-hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam penanganan bullying di sekolah akan lebih efektif apabila dilakukan usaha preventif yang melibatkan teman sebaya (Whitted & 12 Dupper, 2005; Berger, Karimpour & Rodkin, 2008; Rice & Dolgin, 2008). Pada penelitian ini, teman sebaya dilatih menggunakan Program “Rembug Sahabat” yang disusun oleh PoEh (2014). Program “Rembug Sahabat” merupakan modul pelatihan keterampilan fasilitator diskusi kelompok mengenai bullying. Modul tersebut telah diuji validasinya pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh PoEh pada tahun 2014. Uji validasi modul “Rembug Sahabat” dilakukan pada 18 siswa kelas XI di dua SMA Negeri di kota Yogyakarta. Hasil uji validasi modul “Rembug Sahabat” adalah sebagai berikut : a. Hasil analisis menunjukkan perbedaan antara skor pretest dan skor posttest pengetahuan bullying antara kelompok eksperimen dan kontrol berbeda secara signifikan dengan F= 38,102 (p<0,01). Kelompok eksperimen mengalami peningkatan skor pengetahuan bullying lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. b. Hasil analisis menunjukkan perbedaan skor pretest dan skor posttest ketrampilan fasilitator diskusi kelompok antara kelompok eksperimen dan kontrol berbeda secara signifikan dengan F= 13,98 (p<0,01). Kelompok eksperimen mengalami peningkatan skor ketrampilan fasilitator diskusi kelompok lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. c. Hasil analisis menunjukkan perbedaan skor pretest dan skor posttest pengetahuan mengenai diskusi kelompok antara kelompok eksperimen dan kontrol berbeda secara signifikan dengan F= 73,129 (p<0,01). Kelompok eksperimen mengalami peningkatan skor pengetahuan mengenai diskusi kelompok lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. 13 d. Hasil analisis data pengetahuan bullying, keterampilan fasilitator diskusi kelompok didukung dengan pengetahuan mengenai diskusi kelompok menunjukkan bahwa hipotesis penelitian yang dilakukan oleh PoEh (2014) dapat diterima, yaitu Program “Rembug Sahabat” dapat meningkatkan pengetahuan bullying dan keterampilan fasilitator diskusi kelompok. Sumbangan efektif pelatihan dapat dilihat dari partial eta squared pada pengetahuan bullying sebesar 0,704 dan keterampilan fasiliatator diskusi kelompok sebesar 0,897. Artinya Program “Rembug Sahabat” dapat meningkatkan pengetahuan bullying sebesar 70,4% dan meningkatkan keterampilan fasilitator diskusi kelompok sebesar 89,7% pada kelompok eksperimen. Penelitian ini menggunakan Program “Rembug Sahabat” sebagai instrumen pelatihan fasilitator teman sebaya karena telah terbukti dapat meningkatkan pengetahuan mengenai bullying dan ketrampilan fasilitator diskusi kelompok. Program “Rembug Sahabat” akan melatih siswa kelas XI SMA menjadi fasilitator diskusi kelompok pada teman sebaya dengan tema diskusi yaitu bullying. Siswa tersebut kemudian akan menjadi fasilitator diskusi kelompok, dimana peserta diskusi adalah teman-teman sebayanya (siswa kelas XI SMA). Penelitian ini akan membandingkan skor pretest dan posttest skala intensi perilaku bullying dari siswa kelas XI SMA Negeri di Yogyakarta. Pemilihan subjek penelitian berdasarkan skor pretest. Subjek yang terpilih adalah yang memiliki skor pretest berada pada kategori sedang. Subjek penelitian ini adalah 19 siswa kelas XI SMA Negeri A di Kota Yogyakarta sebagai kelompok eksperimen, 14 dan 18 siswa kelas XI SMA Negeri B di Kota Yogyakarta sebagai kelompok kontrol. Pemilihan kedua SMA Negeri yang digunakan sebagai subjek dalam penelitian ini, dilakukan dengan purposive sampling. SMA Negeri A dan B di Kota Yogyakarta dipilih karena ditemukan adanya bullying di sekolah tersebut berdasarkan hasil preliminary study yang dilakukan oleh peneliti. Proses pembelajaran dari trainer ke fasilitator teman sebaya menggunakan prinsip dari teori sosial kognitif. Teori sosial kognitif yang dikemukanan Albert Bandura (1986; 1997), dilandasi oleh teori reciprocal determinism. Teori reciprocal determinism menjelaskan tingkah laku individu dalam bentuk interaksi timbal balik yang terus menerus antara determinan kognitif, behavioral dan lingkungan. Individu dapat menentukan/mempengaruhi tingkah lakunya dengan cara mengendalikan lingkungan, namun perilaku individu juga dikendalikan oleh pengaruh lingkungan. Gambar 2 menunjukkan bagaimana hubungan timbal balik antara determinan kognitif, behavioral, dan lingkungan menurut triadic reciprocal determinism (Bandura, 1986;1997). Gambar 2. Triadic Reciprocal Determinism (Bandura, 1986;1997). Reciprocal determinism adalah konsep penting dalam teori belajar sosial Bandura, menjadi landasan Bandura dalam memahami tingkah laku. Teori belajar 15 sosial menggunakan reciprocal determinism sebagai prinsip dasar dalam menganalisis fenomena psiko-sosial di berbagai tingkat kompleksitas, dari perkembangan interpersonal hingga tingkah laku interpersonal dalam suatu sistem sosial (Bandura, 1986; 1997). Teori sosial kognitif melihat individu sebagai agen yang terlibat aktif dalam proses perkembangan dan pembelajarannya secara aktif. Bandura meyakini bahwa perilaku individu tidak hanya dibentuk oleh faktor lingkungan, namun merupakan interaksi yang dinamis antara faktor lingkungan, personal dan perilaku (Schunk, 2008). Pada konteks penelitian ini, siswa memiliki faktor personal berupa kemampuan kognitif untuk menangkap materi yang diberikan serta mengelaborasi dengan pemahaman yang sudah dialami selama ini, kemudian didukung oleh kondisi perasaan dan fisik menjadi satu modal yang baik untuk menjadi seorang fasilitator kelompok sebaya. Hal tersebut dapat mendorong siswa untuk berperilaku yang diharapkan yaitu aktif dalam pencegahan terjadinya bullying di sekolah dengan cara menjadi fasilitator bagi teman-teman sekolahnya. Menurut Bandura modeling adalah konsep utama dari sosial kognitif dimana perubahan perilaku, kognitif dan afeksi terbentuk melalui proses observasi orang lain atau disebut dengan observational learning (Rice & Dolgin, 2008). Pada penelitian ini, trainer menjadi model bagi siswa, kemudian siswa yang menjadi fasilitator sebagai model bagi teman sebayanya. Bandura (1986; 1997) menyebutkan proses observational learning terdiri dari empat tahap, yaitu: attention, retention, production, serta motivation. Penjelasan mengenai keempat tahap tersebut, adalah sebagai berikut : 16 a. Tahap attention, merupakan proses memperhatikan dan mempersepsi perilaku model secara tepat. Tingkat keberhasilan belajar ditentukan oleh karakteristik model maupun individu yang mengamati. Karakteristik model merupakan variabel penentu seperti frekuensi kehadiran, kejelasan dalam menyampaikan informasi, daya tarik personal dan nilai fungsional perilaku model. b. Tahap retention, dimana hasil yang diperoleh dari modelling harus disimpan dalam ingatan dengan cara melakukan pemaknaan dalam bentuk verbal yang mudah dipergunakan. Materi yang bermakna bagi individu yang mengamati dan menambah pengalaman sebelumnya tentu akan lebih mudah diingat. Cara lain untuk mengingatnya dengan membayangkan perilaku model atau dengan mempraktikkannya. Kemampuan dan struktur kognitif individu yang mengamati dapat memperkuat retensi. c. Tahap production, gambaran simbolik tentang perilaku model perlu diterjemahkan ke dalam tindakan yang efektif. Individu yang mengamati memerlukan gambaran kognitif yang akurat tentang perilaku model untuk dibandingkan dengan umpan balik dari tingkah lakunya. Modeling korektif merupakan cara yang efektif untuk memberikan umpan balik bila pengamat melakukan kinerja yang tidak tepat. d. Tahap motivational, tahap ini menekankan pada apakah seseorang mempraktikkan apa yang sudah dipelajarinya tergantung pada motivasinya. Individu akan cenderung mengadopsi perilaku model jika menghasilkan imbalan eksternal, secara internal individu memberikan penilaian yang positif serta individu melihat bahwa perilaku tersebut memang bermanfaat bagi 17 model itu sendiri. Penjabaran konsep observational learning ke dalam program “Rembug Sahabat” dapat dilihat pada bagan 1. Fasilitator teman sebaya mempunyai peranan bagi kelompoknya sebagai kontrol tingkah laku sosial. Fasilitator teman sebaya juga dapat mengembangkan keterampilan dan minat yang sesuai dengan usianya, dimana terjadi saling tukar informasi, perasaan dan masalah. Kelompok sebaya dalam suasana akrab dapat lebih membantu teman sebaya dalam memahami konsep diri yang positif (Depkes RI, 2004). Diskusi kelompok menjadi sarana penyampaian informasi kepada siswa, hasil penelitian yang dilakukan oleh Johnson dan Mighten (2005) menunjukkan bahwa siswa yang mendapat pengajaran melalui diskusi kelompok dan ceramah memiliki pengajaran yang lebih baik dibanding dengan siswa yang hanya mendapat pengajaran melalui ceramah. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Krueger et. al. (2004) dimana diskusi lebih efektif dalam meningkatkan retensi, kemampuan pemecahan masalah siswa, kemampuan berpikir dan motivasi belajar dibandingkan metode ceramah. Diskusi merupakan proses berpikir bersama untuk memahami suatu masalah, menemukan penyebab, serta mencari pemecahannya (Khamdi, 1995), sedangkan diskusi kelompok merupakan kegiatan tukar pikiran pada sekumpulan individu yang saling berinteraksi secara teratur untuk menghasilkan suatu pengertian yang tepat dan luas dalam mencapai tujuan yang sama (Sarwono, 2004). 18 Input Program “Rembug Sahabat” menggunakan metode diskusi kelompok. Trainer memberikan pengetahuan tentang bullying dan ketrampilan menjadi fasilitator diskusi kelompok. Attention Peserta diskusi kelompok mendapatkan pengetahuan mengenai bullying, ketrampilan menjadi fasilitator diskusi kelompok, dan mengamati perilaku trainer dalam menjadi fasilitator diskusi kelompok. Retention Peserta diskusi kelompok mengingat apa yang diperoleh dari proses diskusi kelompok. Peserta mengingat perilaku trainer dalam menjadi fasilitator diskusi kelompok, kemudian melakukan simbolisasi dalam bentuk verbal. Production Peserta diskusi kelompok mempraktikkan apa yang dipelajari dari proses diskusi kelompok, kemudian diberikan feedback. Motivational Peserta mendapatkan manfaat internal maupun eksternal sebagai penguatan dari perilaku peserta dalam menerapkan hasil modeling. Output Peserta memiliki pengetahuan mengenai bullying, ketrampilan menjadi fasilitator diskusi kelompok, dan mampu menampilkan pola perilaku seperti model (trainer) sebagai fasilitator diskusi kelompok untuk teman sebaya. Bagan 1. Observational learning pada Program “Rembug Sahabat” O’Donnell menyatakan bahwa secara kognitif, pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok membuat individu memproses informasi secara lebih mendalam (Van Blankenstein, Dolmans, Van der Vleuten & Schmidt, 2009). Laursen (2005) menyatakan bahwa kelompok teman sebaya yang positif 19 memungkinkan remaja merasa diterima, memungkinkan remaja melakukan katarsis, serta memungkinkan remaja menguji nilai-nilai baru dan pandanganpandangan baru. Budaya teman sebaya yang positif dapat digunakan untuk membantu mengubah tingkah laku dan nilai-nilai remaja. Program “Rembug Sahabat” dapat meningkatkan ketrampilan menjadi fasilitator diskusi kelompok dan meningkatkan pengetahuan bullying. Modal tersebut yang akan digunakan oleh fasilitator untuk menyampaikan materi mengenai bullying kepada teman sebaya, yang diharapkan dapat menurunkan intensi perilaku bullying. Dinamika penelitian dapat dilihat pada bagan 2. Attitude Toward Pengetahuan tentang bullying dapat digunakan oleh siswa untuk mengevaluasi baik-buruknya perilaku bullying, menentukan sikap setuju atau tidak terhadap bullying. Pengetahuan tentang bullying dapat mempengaruhi intensi perilaku bullying. Subjective Norm Subjective norm dipengaruhi oleh penilaian individu terhadap bullying dan bagaimana norma sosial yang berlaku. Penilaian teman sebaya terhadap bullying akan membentuk norma sosial, yang dapat mempengaruhi sikap siswa terhadap bullying. Penilaian teman sebaya dan norma subjektif terhadap bullying dapat mempengaruhi intensi perilaku bullying. Perceived Behavioral Control Keyakinan siswa untuk mampu melakukan tindakan anti-bullying mempengaruhi intensi perilaku bullying. Siswa memiliki kontrol untuk melakukan sesuatu atau tidak. Intensi Perilaku Bullying Bagan 2. Dinamika Penelitian 20 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh fasilitator teman sebaya yang dilatih menggunakan modul “Rembug Sahabat” guna menurunkan intensi perilaku bullying pada siswa SMA. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menerapkan teori Planned Behavior khususnya terkait dengan intensi perilaku bullying pada siswa SMA. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai usaha preventif dalam penanganan perilaku bullying. Hipotesis pada penelitian ini adalah fasilitator teman sebaya yang dilatih menggunakan modul “Rembug Sahabat” dapat menurunkan intensi perilaku bullying pada siswa SMA. METODE PENELITIAN Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel Penelitian Variabel tergantung pada penelitian ini adalah intensi perilaku bullying. Intensi perilaku bullying adalah seberapa kuat keinginan individu untuk mencoba dan seberapa besar usaha yang dikeluarkan untuk melakukan bullying. Menurut Ajzen (1991; 2006) intensi perilaku bullying secara spesifik memiliki empat elemen, yaitu : 1. Target Target adalah sasaran yang ingin dicapai dari perilaku yang akan dilakukan. Pada penelitian ini target yang dimaksud adalah sasaran dari perilaku bullying.