BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan bayi di hampir semua negara di dunia, cenderung kurang mendapat perhatian. Data WHO (2003) menunjukkan angka sangat memprihatinkan yang dikenal dengan fenomena 2/3, yaitu 2/3 kematian bayi pada usia 0-1 tahun terjadi pada masa neonatal (bayi berumur 0-28 hari) dan 2/3 kematian bayi pada masa neonatal dan terjadi pada hari pertama kelahirannya (Komalasari, 2003). Menurut The World Health Report (2005), angka kematian bayi baru lahir per 1000 kelahiran hidup di Asia Tenggara yaitu di Singapura 1%, Sri Langka 11%, Filipina 18%, dan Indonesia 20% setiap kelahiran hidup (Roesli, 2008). Berdasarkan data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menyebutkan Angka Kematian Bayi (AKB) masih sangat tinggi yaitu 35 tiap 1.000 kelahiran hidup. Menurut Departemen Kesehatan tahun 2007 beberapa penyebab kematian bayi dikarenakan 29% Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), 27% asfiksia, 10% tetanus, 5% infeksi, 6% masalah hematologi, 10% masalah pemberian minuman, dan lain-lain sebanyak 27%. Dalam Millenium Development Goals (MDGs), Indonesia mentargetkan pada tahun 2015 AKB menurun menjadi 17 bayi per 1.000 kelahiran. Menghadapi tantangan dan target MDGs tersebut maka perlu adanya program kesehatan anak yang mampu menurunkan angka kesakitan dan kematian pada bayi. Beberapa program terkini dalam proses pelaksanaan percepatan penurunan AKB adalah program Inisiasi Menyusu Dini, ASI eksklusif, penyediaan konsultan ASI 1 2 eksklusif di Rumah Sakit/Puskesmas, injeksi vitamin K1 pada bayi baru lahir, imunisasi hepatitis pada bayi kurang dari 7 hari, tatalaksana gizi buruk, dan program lainnya (Niswah, et al., 2012) Inisiasi Menyusu Dini (IMD) merupakan program yang dikeluarkan oleh WHO/UNICEF pada tahun 2007 dimana pada prinsipnya bukan ibu yang menyusui bayi, tetapi bayi yang harus aktif menemukan sendiri puting susu ibu serta melakukan kontak kulit ibu dengan kulit bayi segera setelah lahir selama paling sedikit satu jam (Suryani, et al., 2011). Inisiasi Menyusu Dini mempunyai manfaat antara lain untuk meningkatkan reflek bayi dalam menyusui sehingga bayi bisa menyusu sendiri, menjaga agar bayi tetap hangat, dan membuat bayi tenang dan tidak menangis. Selain itu, manfaat Inisiasi Menyusu Dini yang didapat dari proses menyusui bayi antara lain adalah dapat mencegah kematian yang disebabkan oleh sepsis, diare, dan pneumonia dan dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan bayi (Hidayat, 2012). Melakukan Inisiasi Menyusu Dini dipercaya akan membantu meningkatkan daya tahan tubuh bayi terhadap penyakit-penyakit yang beresiko kematian tinggi. Misalnya kanker syaraf, leukemia, dan beberapa penyakit lainnya. Jika bayi diberi kesempatan menyusu dalam satu jam petama dengan dibiarkan kontak kulit ke kulit ibu maka 22% nyawa bayi di bawah 28 hari dapat diselamatkan (Roesli, 2008). Sehingga dilakukannya Inisiasi Menyusu Dini dapat menurunkan angka kematian bayi. 3 Penelitian yang melibatkan 10.947 bayi yang lahir di Ghana antara Juli 2003 sampai Juni 2004, seorang ibu yang melahirkan anak kembar, merasa tidak sanggup menyusui kedua bayinya, sehingga hanya salah satu bayi yang langsung disusukan ke payudara ibunya. Hasilnya menunjukkan bahwa bayi yang disusui dalam satu jam pertama kehidupannya memiliki kesempatan hidup dan lebih mampu bertahan dibandingkan bayi yang tidak segera disusui. Bayi-bayi yang tidak diberi ASI pada hari pertama kehidupannya berpotensi 2,5 kali lebih tinggi untuk gagal menjalani hidup atau meninggal (Rosita, 2008). Bayi yang tidak melakukan Inisiasi Menyusu Dini 50% tidak bisa menyusu sendiri, sedangkan bayi yang melakukan Inisiasi Menyusu Dini akan berhasil menyusu sendiri, dan bayi yang diberi kesempatan menyusui segera setelah lahir, akan lebih berhasil dalam menjalani ASI eksklusif (Fikawati, et al., 2010). Inisiasi Menyusu Dini sangat bermanfaat bukan hanya bagi bayi, tetapi juga bagi ibu yang melakukan. Jika bayi berada dalam dekapan ibu, maka bayi tersebut dengan sendirinya merangkak ke payudara ibu dan akan mulai menghisap puting susu ibunya. Hal ini akan merangsang pelepasan oksitosin yang akan menyebabkan terjadi kontraksi otot rahim sehingga perdarahan sesudah melahirkan dapat berhenti lebih cepat dan akan lebih cepat mengembalikan ukuran rahim seperti semula (Hidayat, 2012). Beberapa penelitian dan survei menyatakan bahwa manfaat dan keuntungan dari Inisiasi Menyusu Dini baik bagi ibu, bagi bayi, juga bagi keluarga dan masyarakat, namun ironisnya cakupan praktik Inisiasi Menyusu Dini masih sangat rendah. Berdasarkan survei dari World Health Organization (WHO) terhadap 4 lebih dari 3000 ibu pasca persalinan di beberapa negara, menunjukkan bahwa ibu yang melakukan Inisiasi Menyusu Dini atau pemberian ASI minimal satu jam setelah bayi lahir hanya sebesar 38,33% (Depkes RI, 2002). Menyusu bayi di Indonesia sudah menjadi budaya namun praktik pemberian ASI masih jauh dari yang diharapkan. Penelitian menunjukkan 95% anak di bawah umur 5 tahun pernah mendapat ASI. Namun, hanya 44% yang mendapat ASI 1 jam pertama setelah lahir dan hanya 62% yang mendapat ASI dalam hari pertama setelah lahir. Angka itu masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain seperti Oman (85%), Srilangka (75%), Filipina (54%) dan Turki (54%) (Virarisca, et al., 2010). Cakupan Inisiasi Menyusu Dini di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2010 adalah 34%, padahal target Indonesia Sehat 2010 sebesar 80% ibu pasca bersalin normal melakukan Inisiasi Menyusu Dini minimal satu jam setelah bayi lahir (Andika, 2010). Sedangkan di Yogyakarta, menurut data dari Dinkes Kota Yogyakarta, pada tahun 2012 bayi baru lahir yang dilakukan Inisiasi Menyusu Dini sebesar 47,19%. Hal ini juga menunjukkan bahwa Inisiasi Menyusu Dini belum terlaksana dengan baik. Kegagalan Inisiasi Menyusu Dini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kurangnya pengetahuan ibu mengenai pentingnya Inisiasi Menyusu Dini, sikap ibu yang menolak pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini, kurangnya dukungan keluarga dan tenaga kesehatan, kurang tersedianya sarana kesehatan yang memadai, dan kebijakan pemerintah yang kurang mendukung pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (Fikawati, et al., 2010). Hal ini menyebabkan ibu kurang percaya 5 diri untuk melakukan Inisiasi Menyusu Dini dan bayi akan kehilangan sumber makanan yang vital. Selain itu, terdapat beberapa intervensi yang dapat mengganggu pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini seperti penggunaan anestesi umum pada persalinan caesar. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), masih banyak ibu yang belum mengerti bagaimana cara menyusui yang benar. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan ibu dalam hal menyusui bayi masih rendah. Tindakan dan perilaku seseorang yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Semakin baik pengetahuan ibu pasca melahirkan tentang manfaat Inisiasi Menyusu Dini untuk pertumbuhan dan perkembangan anak akan membantu ibu dalam memberikan ASI sedini mungkin (Dianartiana, 2011). Oleh karena itu, pengetahuan ibu mengenai Inisiasi Menyusu Dini adalah salah satu faktor yang penting mempengaruhi keterlibatan ibu untuk meningkatkan kesuksesan dalam pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini. Untuk itu diperlukan paparan informasi yang baik agar pengetahuan ibu mengenai Inisiasi Menyusu Dini agar Inisiasi Menyusu Dini dapat terlaksana dan juga adekuat (Hidayat, 2012). Pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok, atau individu. Dengan adanya pesan tersebut maka diharapkan masyarakat, kelompok, atau individu dapat memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik (Notoatmodjo, 2003). 6 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Citrakesumasari pada tahun 2011 di Rumah Bersalin Ibu dan Anak Siti Fatimah Kota Makassar, ibu yang telah diberikan edukasi tentang praktek Inisiasi Menyusu Dini sebesar 30% melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini dan yang tidak diberikan edukasi hanya 12% yang melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan kesehatan mempengaruhi ibu dalam melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini. Hasil penelitian pada tahun 2013 oleh Nuryanti di RSIA Sitti Khadijah Muhammadiyah Cabang Makassar menyatakan bahwa ibu hamil yang mendapat sumber edukasi tentang Inisiasi Menyusu Dini dari peneliti sebesar 26,3% melakukan Inisiasi Menyusu Dini, dari media cetak dan elektronik 33,3% melakukan Inisiasi Menyusu Dini, dari petugas kesehatan 17,6%, dan dari seminar tidak ada yang melakukan Inisiasi Menyusu Dini. Oleh karena itu, diperlukan media yang tepat dalam penyampaian informasi tentang Inisiasi Menyusu Dini kepada ibu. Media yang dapat digunakan dalam pendidikan kesehatan beraneka ragam. Diantaranya adalah media cetak dan audiovisual. Hasil penelitian Rahmawati, et al (2007) dan Kumboyono (2011) menyimpulkan media audiovisual lebih efektif dalam peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku dibandingkan dengan media cetak berupa leaflet dan modul. Hal tersebut tersebut dikarenakan dalam penggunaan media cetak, responden terlihat pasif karena kurang menarik dan indra yang terlibat dalam pendidikan kesehatan lebih sedikit. Media audiovisual merupakan salah satu media pendidikan kesehatan yang melibatkan indera pendengaran dan penglihatan pada proses penyampaian 7 sehingga mempermudah pemahaman, sehingga informasi yang diperoleh menjadi lebih banyak. Media ini juga lebih menarik perhatian, menghemat waktu, dan dapat diputar berulang-ulang. Alat-alat audiovisual dapat menyampaikan pengertian atau informasi dengan cara yang lebih konkrit atau lebih nyata daripada yang disampaikan oleh kata-kata yang diucapkan, dicetak atau ditulis. Oleh karena itu, alat-alat audiovisual membuat suatu pengertian atau informasi menjadi lebih berarti (Lucie, 2005). Hasil wawancara dengan tiga petugas kesehatan dari salah satu Puskesmas di Yogyakarta pada tanggal 7 Juni 2013 mengatakan bahwa media audiovisual sangat bagus dan penting untuk pendidikan kesehatan. Media audiovisual membuat tenaga kesehatan lebih mudah dalam penyampaian pendidikan, sayangnya media ini masih terbatas. Puskesmas Jetis adalah salah satu puskesmas di Yogyakarta yang telah memiliki rawat inap persalinan dan telah melaksanakan program Inisiasi Menyusu Dini. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 21 Mei 2013 di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta diperoleh data bahwa angka Inisiasi Menyusu Dini di daerah Pukesmas Jetis tahun 2012 sebesar 47,59%, peneliti ingin lebih memaksimalkan angka tersebut. Edukasi yang diterima ibu hamil tentang Inisiasi Menyusu Dini di Puskesmas Jetis dilakukan melalui penyuluhan saat kunjungan ibu hamil seminggu dua kali dan kelas ibu. Penyuluhan saat kunjungan ibu hamil berisi konsultasi antara ibu hamil dan bidan mengenai kehamilan, persalinan, dan menyusui. Pelaksanaan kelas ibu di Puskesmas Jetis tidak rutin, metode yang digunakan adalah ceramah 8 dan juga video tentang persalinan dan menyusui. Oleh karena itu, peneliti ingin memberikan pendidikan kesehatan tentang Inisiasi Menyusu Dini agar ibu hamil mendapatkan pengetahuan tentang Inisiasi Menyusu Dini. Penggunaan media audiovisual dalam pendidikan kesehatan dimaksudkan agar penyampaian informasi menjadi lebih mudah dan bisa terus dilaksanakan, serta sarana di Puskesmas Jetis memadai untuk dilakukannya pemberian pendidikan kesehatan dengan media ini. Bedasarkan uraian diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh pendidikan kesehatan menggunakan media audiovisual terhadap keterlibatan ibu dalam proses Inisiasi Menyusu Dini di Puskesmas Jetis Yogyakarta”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : Adakah pengaruh pendidikan kesehatan dengan media audiovisual terhadap keterlibatan ibu dalam proses Inisiasi Menyusu Dini di Puskesmas Jetis Kota Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian pendidikan kesehatan dengan media audiovisual terhadap keterlibatan ibu dalam proses Inisiasi Menyusu Dini. 9 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui rerata skor keterlibatan ibu pasca melahirkan dalam proses Inisiasi Menyusu Dini jika tanpa diberikan pendidikan kesehatan dengan media audiovisual di Puskesmas Jetis Yogyakarta. b. Mengetahui rerata skor keterlibatan ibu pasca melahirkan dalam proses Inisiasi Menyusu Dini setelah diberikan pendidikan kesehatan dengan media audiovisual di Puskesmas Jetis Yogyakarta. c. Mengetahui perbedaan rerata skor keterlibatan ibu pasca melahirkan dalam proses Inisiasi Menyusu Dini pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. d. Mengetahui perbedaan keberhasilan dalam pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk: 1. Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperluas ilmu pengetahuan tentang pengaruh pendidikan kesehatan dengan media audiovisual terhadap keterlibatan ibu dalam proses Inisiasi Menyusu Dini di Puskesmas Jetis Yogyakarta. 10 2. Praktis a. Bagi peneliti Menambah pengetahuan peneliti mengenai Inisiasi Menyusu Dini serta memperoleh informasi mengenai pengaruh pendidikan kesehatan dengan media audiovisual terhadap keterlibatan ibu dalam proses Inisiasi Menyusu Dini di Puskesmas Jetis Yogyakarta. b. Bagi perawat Memberikan tambahan informasi pada perawat dalam fungsinya sebagai konselor sehingga dapat memberikan pendidikan atau penyuluhan terkait dengan Inisiasi Menyusu Dini dan manfaatnya. c. Bagi ibu hamil Menambah pengetahuan bagi ibu hamil mengenai manfaat dan pentingnya Inisiasi Menyusu Dini dalam upaya meningkatkan angka harapan hidup bayi. Selain itu dapat menjadikan suatu motivasi ibu untuk menerapkan Inisiasi Menyusu Dini. d. Bagi manajerial Puskesmas Memberikan informasi tentang keterlibatan ibu dalam proses Inisiasi Menyusu Dini di Puskesmas tersebut, sehingga dapat memotivasi Puskesmas untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan terutama pada program Inisiasi Menyusu Dini. 11 E. Keaslian Penelitian Sejauh pengamatan dan penelusuran oleh peneliti, penelitian mengenai pengaruh pendidikan kesehatan dengan media audiovisual terhadap keterlibatan ibu dalam proses Inisiasi Menyusu Dini di Puskesmas Jetis Yogyakarta belum pernah dilakukan, tetapi ada penelitian yang hampir sama, diantaranya: 1. Hidayat, K. A (2012) melakukan penelitian yang berjudul “Perbandingan Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini berdasar Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil”. Penelitian Hidayat merupakan penelitian cohort prospectif. Subjek penelitian sebanyak 56 ibu hamil dengan usia kehamilan lebih dari 28 minggu yang memeriksakan kehamilannya di Puskesmas Halmahera dan Puskesmas Ngesrep selama Maret-Juni 2012. Instrumen yang digunakan dalam penelitian Hidayat adalah kuesioner untuk mengukur tingkat pengetahuan dan lembar wawancara yang dirancang sendiri oleh peneliti. Hasil penelitian Hidayat menunjukan bahwa pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini pada ibu dengan tingkat pengetahuan mengenai Inisiasi Menyusu Dini yang tinggi lebih besar dibandingkan ibu dengan tingkat pengetahuan mengenai Inisiasi Menyusu Dini yang rendah. Persamaan penelitian Hidayat dengan penelitian ini terletak pada rancangan penelitiannya yaitu sama-sama meneliti tentang Inisiasi Menyusu Dini. Perbedaannya terletak pada rancangan, variabel, subjek dan tempat penelitian. 2. Kulkarni, A.L (2010) melakukan penelitian yang berjudul “A Randomized Controlled Trial to Know The Acceptability and Feasibility of Early Skin to Skin Contact Between The Baby and The Mother on Promotion of Early 12 Initiation of Breast Feeding”. Penelitian Kulkarni menggunakan desain randomised controlled trial dengan kelompok kontrol dan kelompok intervensi yang bertujuan untuk mengetahui penerimaan dan kelayakan kontak dini kulit ke kulit dari bayi dan ibu untuk meningkatkan Inisiasi Menyusu Dini dan ASI ekslusif. Subjek dalam penelitian Kulkarni adalah 250 bayi sehat yang lahir normal dengan berat badan lebih dari 2,5kg. Instrumen yang digunakan dalam penelitian Kulkarni adalah stopwatch untuk mengukur waktu pertama kali bayi menyusu setelah lahir, timbangan berat badan, infantometer, pengukur lingkar kepala, termometer, dan kuesioner untuk ikatan dan keyakinan ibu yang dikembangkan oleh peneliti. Hasil penelitian Kulkarni menunjukan bahwa kontak dini kulit ke kulit antara bayi dan ibu meningkatkan pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini dan ASI eksklusif. Persamaan penelitian Kulkarni dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang Inisiasi Menyusu Dini, serta menggunakan kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Perbedaannya terletak pada desain, subjek dan tempat penelitian. 3. Indramukti, F (2013) melakukan penelitian yang berjudul “Faktor yang Berhubungan dengan Praktik Inisiasi Menyusu Dini pada Ibu Pasca Bersalin Normal”. Penelitian Indramukti merupakan penelitian dengan rancangan crosssectional. Populasi dalam penelitian adalah ibu pasca bersalin normal di wilayah kerja Puskesmas Blado I Kabupaten Batang, berjumlah 96 dan sampel berjumlah 48 ibu pasca bersalin. Instrumen yang digunakan dalam penelitian Indramukti adalah kuesioner. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor yang berhubungan dengan praktik Inisiasi Menyusu Dini pada ibu pasca bersalin 13 normal di wilayah kerja Puskesmas Blado I yaitu sikap, peran petugas kesehatan dan dukungan orang terdekat. Sedangkan yang tidak berhubungan adalah tingkat pendidikan dan pengetahuan. Persamaan penelitian Indramukti dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang Inisiasi Menyusu Dini. Perbedaannya terletak pada variabel, subjek dan tempat, serta rancangan penelitian yang digunakan. 4. Hartatik (2012) melakukan penelitian yang berjudul “Tingkat Pengetahuan Ibu Hamil tentang Inisiasi Menyusu Dini di BPS Dyah Sumarmo Desa Tanjungsari Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali Tahun 2012”. Penelitian Hartatik menggunakan jenis penelitian deskriptif kuantitaif yang bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu hamil tentang Inisiasi Menyusu Dini. Populasi yang digunakan dalam penelitian Hartatik adalah seluruh ibu hamil yaitu sebanyak 35 responden di BPS Dyah Sumarmo Boyolali Desa Tanjungsari Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali dan pengambilan sampel ditentukan dengan teknik sampling jenuh. Instrumen yang digunakan dalam penelitian Hartatik adalah kuesioner untuk mengukur pengetahuan yang disusun sendiri oleh peneliti. Hasil penelitian Hartatik menunjukan bahwa tingkat pengetahuan ibu hamil tentang Inisiasi Menyusu Dini terbanyak pada kategori cukup yaitu sebanyak 20 responden (57,1%) dan hal ini dipengaruhi oleh umur, lingkungan, pendidikan dan pengalaman. Persamaan penelitian Hartatik dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang Inisiasi Menyusu Dini. Perbedaannya terletak pada variabel, subjek dan tempat, serta rancangan penelitian yang digunakan. 14 5. Anggraini, V (2010) melakukan penelitian yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Ibu Hamil tentang Inisiasi Menyusu Dini di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta”. Penelitian Anggraini merupakan jenis penelitian non eksperimental yaitu penelitian deskriptif kuantitatif dengan menggunakan rancangan cross-sectional. Subyek penelitian sebanyak 72 ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Instrumen yang digunakan pada penelitian Anggraini adalah kuesioner untuk mengukur pengetahuan dan sikap ibu hamil terhadap Inisiasi Menyusu Dini yang disusun oleh peneliti. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor yang paling dominan mempengaruhi sikap ibu hamil tentang Inisiasi Menyusu Dini di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta adalah pengetahuan. Persamaan penelitian Anggraini dengan penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang Inisiasi Menyusu Dini. Perbedaannya terletak pada variabel, subjek dan tempat, serta rancangan penelitian yang digunakan. 6. Mirhead, P.E., et al. (2006) melakukan penelitian yang berjudul “The Effect of a Programme of Organised and Supervised Peer Support on The Initiation and Duration of Breastfeeding: A Randomised Trial”. Penelitian Mirhead menggunakan desain two-group randomised controlled trial untuk membandingkan kelompok dengan peer support dan kelompok kontrol. Subyek penelitian sebanyak 225 ibu hamil dengan usia kehamilan 28 minggu di praktek umum di Ayrshire, Scotland. Instrumen yang digunakan pada penelitian Mirhead, et al. adalah kuesioner. Kuesiner tersebut digunakan untuk mengetahui kapan ibu berhenti menyusui, memulai susu formula dan makanan 15 padat serta masalah yang dialami, dan jenis dukungan yang diterima pada hari ke 10, minggu ke 8 dan minggu ke 16 yang disusun oleh peneliti. Hasil penelitian menunjukan tidak ada kenaikan yang spesifik terhadap inisiasi dan durasi menyusui pada kelompok peer support di populasi ini. Persamaan penelitian Mirhead., et al. dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Perbedaannya terletak pada variabel, subjek dan tempat, serta rancangan penelitian yang digunakan. 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Inisiasi Menyusu Dini Inisiasi Menyusu Dini adalah menyusui bayi sesaat setelah ibu melahirkan maka biasanya bayi akan dibiarkan atau diletakkan di atas dada ibu agar sang anak dapat mencari puting ibunya sendiri (Kodrat, 2010). Inisiasi Menyusu Dini (early initiation) atau permulaan menyusu dini adalah bayi mulai menyusu segera setelah lahir, sebenarnya bayi manusia seperti juga bayi mamalia lain mempunyai kemampuan untuk menyusu sendiri. Cara bayi melakukan Inisiasi Menyusu Dini ini dinamakan the breast crawl atau merangkak mencari payudara (Roesli, 2008). Metode Inisiasi Menyusu Dini diperkenalkan oleh Karen pada Maret 2006. Metode ini dilandaskan pada refleks atau kemampuan bayi dalam mempertahankan diri, Karen menjelaskan bahwa bayi yang baru berusia 20 menit dengan sendirinya dapat langsung mencari puting susu ibunya (Karen, 2006). Inisiasi Menyusu Dini adalah bayi diberi kesempatan memulai/inisiasi menyusu sendiri segera setelah lahir/ dini, dengan membiarkan kontak kulit bayi dengan kulit ibu setidaknya satu jam atau lebih, sampai menyusu pertama selesai. Apabila dalam satu jam tidak ada reaksi menyusu, maka boleh mendekatkan puting susu tetapi beri kesempatan bayi untuk inisiasi. Dalam prosedur ini kontak kulit bayi dengan kulit ibu (skin to skin) lebih bermakna 17 dibandingkan dengan proses inisiasi itu sendiri. Ada beberapa intervensi yang dapat mengganggu kemampuan alami bayi untuk mencari dan menemukan sendiri payudara ibunya. Diantaranya, obat kimiawi yang diberikan saat ibu bersalin, kelahiran melalui obat-obatan atau tindakan seperti caesar, vacum, forsep, episiotomi. Dalam istilah yang lain, Inisiasi Menyusui Dini disebut juga sebagai proses Breast Crawl. Dalam sebuah publikasi oleh breastcrawl.org, yang berjudul Breast Crawl: A Scientific Overview, ada beberapa hal yang menyebabkan bayi mampu menemukan sendiri puting ibunya, dan mulai menyusui, yaitu: 1) Sensory Inputs atau indera yang terdiri dari penciuman terhadap bau khas ibunya setelah melahirkan, penglihatan karena bayi baru dapat mengenal pola hitam putih, bayi akan mengenali puting dan wilayah areola ibunya karena warna gelapnya. Berikutnya adalah indera pengecap, bayi mampu merasakan cairan amniotic yang melekat pada jari-jari tangannya, sehingga bayi pada saat baru lahir suka menjilati jarinya sendiri. Kemudian, dari indera pendengaran, sejak dari dalam kandungan suara ibu adalah suara yang paling dikenalnya. Dan yang terakhir dari indera perasa dengan sentuhan, sentuhan kulit-ke-kulit antara bayi dengan ibu adalah sensasi pertama yang memberi kehangatan, dan rangsangan lainnya. 2) Central Component. Otak bayi yang baru lahir sudah siap untuk segera mengeksplorasi lingkungannya, dan lingkungan yang paling dikenalnya adalah tubuh ibunya. Rangsangan ini harus segera dilakukan, karena jika terlalu lama dibiarkan, bayi akan kehilangan kemampuan ini. Inilah yang 18 menyebabkan bayi yang langsung dipisah dari ibunya, akan lebih sering menangis daripada bayi yang langsung ditempelkan ke tubuh ibunya. 3) Motor Outputs. Bayi yang merangkak di atas tubuh ibunya, merupakan gerak yang paling alamiah yang dapat dilakukan bayi setelah lahir. Selain berusaha mencapai puting ibunya, gerakan ini juga memberi banyak manfaat untuk sang ibu, misalnya mendorong pelepasan plasenta dan mengurangi pendarahan pada rahim ibu. a. Alasan dan Manfaat Inisiasi Menyusu Dini Menurut Aprillia (2009), berbagai penelitian mengemukakan alasan Inisiasi Menyusu Dini antara lain: 1) Inisiasi Menyusu Dini dapat mencegah 22% kematian bayi di negara berkembang pada usia dibawah 28 bulan, namun jika menyusu pertama, saat bayi berusia diatas dua jam dan dibawah 24 jam pertama, maka dapat mencegah 16% kematian bayi di bawah 28 hari. 2) Bayi yang diberi kesempatan menyusu dini dengan meletakkan bayi dengan kontak kulit ke kulit setidaknya selama satu jam, mempunyai hasil dua kali lebih lama disusui. 3) Menunda Inisiasi Menyusu Dini akan meningkatkan resiko kematian pada neonatus. 4) Pemberian ASI secara dini mempunyai 8 kali lebih besar kemungkinan dalam memberikan ASI Eksklusif. 19 5) Inisiasi Menyusu Dini akan meningkatkan keberhasilan pemberian ASI eksklusif 6 bulan karena kontak dini ibu dan bayi akan meningkatkan lama menyusui dua kali dibandingkan dengan kontak yang lambat. 6) Ibu dan bayi berinteraksi pada menit-menit pertama setelah lahir. 7) Kemampuan ibu untuk menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu yang dibutuhkan bayi meningkat meningkat (thermoregulation thermal syncron). Sedangkan manfaat dari Inisiasi Menyusu Dini menurut Aprillia (2009), antara lain: 1) Manfaat Inisiasi Menyusu Dini untuk bayi a) Menurunkan angka kematian bayi karena hypothermia. b) Dada ibu menghangat bayi dengan suhu yang tepat, sehingga bayi tidak kedinginan. c) Bayi mendapatkan kolustrum yang kaya akan anti bodi, penting untuk pertumbuhan usus dan ketahanan bayi terhadap infeksi. d) Bayi dapat menjilat kulit ibu dan menelan bakteri yang aman, berkoloni di usus bayi dan menyaingi bakteri pathogen. e) Menyebabkan kadar glukosa darah bayi yang lebih baik pada beberapa jam setelah persalinan. f) Pengeluaran mekonium lebih dini, sehingga menurunkan intensitas ikterus normal pada bayi baru lahir. 2) Manfaat Inisiasi Menyusu Dini untuk ibu a) Ibu dan bayi menjadi lebih tenang. 20 b) Jalinan kasih sayang ibu dan bayi lebih baik sebab bayi siaga dalam 12 jam pertama. c) Sentuhan, jilatan, usapan pada puting susu ibu akan merangsang pengeluaran hormon oxytosin. d) Membantu kontraksi uterus, mengurangi resiko perdarahan, dan mempercepat pelepasan plasenta. b. Manfaat Kontak Kulit Ibu dan Bayi Menurut Roesli (2008), manfaat kontak kulit ibu dan bayi antara lain: 1) Dada ibu menghangatkan bayi dengan tepat selama bayi merangkak mencari payudara. Ini akan menurunkan kematian karena kedinginan (hypothermia). 2) Ibu dan bayi merasa lebih tenang. Pernapasan dan detak jantung bayi lebih stabil. Bayi akan lebih jarang menangis sehingga mengurangi pemakaian energi. 3) Saat merangkak mencari payudara, bayi memindahkan bakteri dari kulit ibunya dan ia akan menjilat-jilat kulit ibu, menelan bakteri „baik‟ di kulit ibu. Bakteri „baik‟ ini akan berkembang biak membentuk koloni di kulit dan usus bayi, menyaingi bakteri „jahat‟ dari lingkungan. 4) „Bonding’ (ikatan kasih sayang) antara ibu bayi akan lebih baik karena pada 1-2 jam pertama, bayi dalam keadaan siaga. Setelah itu, biasanya bayi tidur dalam waktu yang lama. 21 5) Makanan awal non-ASI mengandung zat putih telur yang bukan berasal dari susu manusia, misalnya dari susu hewan. Hal ini dapat mengganggu pertumbuhan fungsi usus dan mencetuskan alergi lebih awal. 6) Bayi yang diberi kesempatan menyusu dini lebih berhasil menyusu eksklusif dan akan lebih lama disusui. 7) Hentakan kepala bayi ke dada ibu, sentuhan tangan bayi di puting susu dan sekitarnya, emutan, dan jilatan bayi pada puting ibu merangsang pengeluaran hormon oksitosin. 8) Bayi mendapat ASI kolostrum, ASI yang pertama kali keluar. Cairan emas ini kadang juga dinamakan the gift of life. Bayi yang diberi kesempatan Inisiasi Menyusu Dini lebih dahulu mendapat kolostrum daripada yang tidak diberi kesempatan. Kolostrum merupakan ASI istimewa yang kaya akan daya tahan tubuh, penting untuk ketahanan terhadap infeksi, penting untuk pertumbuhan usus, bahkan kelangsungan hidup bayi. Kolostrum akan membuat lapisan yang melindungi dinding usus bayi yang masih belum matang sekaligus mematangkan dinding usus ini. 9) Ibu dan ayah akan merasa sangat bahagia bertemu dengan bayinya untuk pertama kali dalam kondisi seperti ini. Bahkan, ayah mendapat kesempatan mengadzankan anaknya di dada ibunya. Suatu pengalaman batin bagi ketiganya yang amat indah. 22 c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini Dalam pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini, terdapat faktor-faktor yang mendukung maupun menghambat terlaksananya Inisiasi Menyusu Dini. Faktor-faktor ini dapat berupa faktor internal dari ibu sendiri yaitu faktor predisposisi, maupun faktor eksternal yaitu faktor pendukung dan pendorong. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini menurut Hidayat ( 2012), antara lain: 1) Pengetahuan ibu hamil mengenai Inisiasi Menyusu Dini Pengetahuan merupakan faktor utama terlaksananya Inisiasi Menyusu Dini dengan benar. Dengan memiliki pengetahuan yang adekuat tentang Inisiasi Menyusu Dini maka ibu akan memiliki tambahan kepercayaan diri dalam menyusui bayinya sehingga bayi akan mendapatkan perawatan yang optimal. Sedangkan bila pengetahuan yang dimiliki ibu tidak adekuat maka ibu akan menjadi kurang percaya diri dalam menyusui bayinya sehingga bayi tersebut kehilangan sumber makanan yang vital bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Adekuat tidaknya pengetahuan ibu dapat dilihat dengan penggunaan susu formula dan makanan tambahan secara dini pada bayi. 2) Sikap ibu hamil terhadap Inisiasi Menyusu Dini Pengetahuan dan sikap ibu hamil terhadap Inisiasi Menyusu Dini akan membentuk tindakan yang akan dilakukan ibu tersebut. Jika pengetahuan dan sikap ibu hamil terhadap Inisiasi Menyusu Dini baik maka kemungkinan ibu tersebut akan melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini 23 akan meningkat, namun sebaliknya jika pengetahuan dan sikap ibu hamil buruk, maka kemungkinan ibu tersebut akan menolak untuk melakukan Inisiasi Menyusu Dini akan meningkat. 3) Dukungan petugas kesehatan Peran petugas kesehatan dalam Inisiasi Menyusu Dini sangat penting karena ibu membutuhkan bantuan dan fasilitasi dari petugas kesehatan untuk dapat melakukan Inisiasi Menyusu Dini. Petugas kesehatan yang memiliki sifat positif terhadap pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini seperti memberikan informasi tentang pentingnya Inisiasi Menyusu Dini, senang bila ibu mengerti akan pentingnya Inisiasi Menyusu Dini, dan membantu pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk menyukseskan pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini. Dukungan ini sebaiknya dilakukan baik pada saat prenatal ataupun post natal karena hal ini diyakini secara efektif dapat mendorong ibu untuk melakukan Inisiasi Menyusu Dini dan meningkatkan kemungkinan pemberian ASI eksklusif. Namun sering petugas kesehatan tidak memfasilitasi ibu untuk melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini, hal ini karena kurangnya informasi pada petugas kesehatan. Untuk itu penyuluhan terhadap petugas kesehatan harus dilakukan. 4) Dukungan anggota keluarga Dukungan anggota keluarga, terutama dukungan suami akan menciptakan lingkungan yang kondusif yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan ibu dalam melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini. 24 5) Sarana kesehatan Dalam pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini, jika sarana kesehatan mendukung terlaksananya Inisiasi Menyusu Dini maka program Inisiasi Menyusu Dini akan berjalan dengan baik. Namun jika sarana kesehatan tersebut tidak mendukung program Inisiasi Menyusu Dini maka program tersebut tidak akan berjalan dengan baik. 6) Kebijakan pemerintah Pemerintah yang tidak memasukkan program pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini secara eksplisit dalam kebijakannya akan menyebabkan tidak berjalannya program Inisiasi Menyusu Dini di fasilitas-fasilitas kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, perlu dimasukkan program Inisiasi Menyusu Dini didalam kebijakan agar program tersebut dapat diimplementasikan secara efektif. 7) Masa kehamilan Pada bayi yang kelahirannya sesuai masa kehamilan normal (aterm), tingkat pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang masa kelahirannya kurang dari normal (preterm). Hal ini karena kemampuan bayi tersebut untuk melakukan koordinasi yang dibutuhkan saat melakukan Inisiasi Menyusu Dini seperti penghisapan air susu, penelanan air susu, dan koordinasi saat bernafas berkurang. 8) Metode persalinan Pada ibu yang menggunakan metode persalinan normal, tingkat pelaksanaannya lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang 25 menggunakan metode persalinan caesar. Hal ini karena pada persalinan caesar ibu mungkin diberi anestesi umum sehingga tidak bisa melakukan Inisiasi Menyusu Dini. Hal ini sebenarnya dapat diatasi dengan penggunaan anestesi regional, spinal dan epidural. Namun, penggunaan analgesi pada operasi caesar juga dapat menurunkan kemungkinan bayi melakukan Inisiasi Menyusu Dini karena bayi tersebut mengalami gangguan perilaku dalam mencari puting susu ibu. 9) Kondisi yang tidak memungkinkan ibu untuk melakukan Inisiasi Menyusu Dini Terdapat beberapa kondisi yang tidak memungkinkan ibu untuk melakukan Inisiasi Menyusu Dini. Kondisi ini antara lain adalah ibu menderita penyakit yang dapat ditularkan kepada bayi melalui air susu. Penyakit ini contohnya adalah HIV, sifilis, dan HTLV-I/II. Kondisi lainnya adalah ibu mengalami gangguan hemodinamik seperti preeklampsia dan eklampsia. 10) Riwayat partus Penelitian yang dilakukan oleh Vieira, et al menunjukkan bahwa pada ibu yang belum pernah melahirkan, tingkat pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini lebih tinggi dibanding ibu yang pernah melahirkan. Selain itu, ibu yang memiliki anak sedikit mempunyai kemungkinan menyusui ASI eksklusif lebih besar dibanding ibu yang memiliki anak banyak. 26 d. Tatalaksana Inisiasi Menyusu Dini Pencapaian keberhasilan tindakan Inisiasi Menyusu Dini akan tercapai apabila dilakukan secara benar oleh tenaga kesehatan yang menolong Inisiasi Menyusu Dini. Ada hal-hal yang harus dilakukan agar Inisiasi Menyusu Dini mencapai keberhasilan, tindakan yang paling menentukan keberhasilan Inisiasi Menyusu Dini salah satunya adalah membiarkan bayi mencari puting ibunya sendiri. Menurut Roesli (2008), berikut ini 5 tahapan dalam proses Inisiasi Menyusu Dini: 1) Dalam 30 menit pertama, stadium istirahat atau diam dalam keadaan siaga. Bayi diam tidak bergerak, sesekali matanya terbuka lebar melihat ibunya. Masa tenang yang istimewa ini merupakan penyesuaian peralihan dari keadaan dalam kandungan ke luar kandungan. 2) Antara 30-40 menit, mengeluarkan suara, gerakan mulut seperti mau minum, mencium, menjilat tangan. Bayi mencium dan merasakan air ketuban yang ada ditangannya. Bau dan rasa ini akan membimbing bayi untuk menemukan payudara dan puting susu ibu. 3) Mengeluarkan air liur, saat menyadari ada makanan disekitarnya bayi mulai mengeluarkan air liurnya. 4) Bayi mulai bergerak kearah payudara. Areola (kalang payudara) sebagai sasaran, dengan kaki menekan perut ibu. Ia menjilat-jilat kulit ibu, menoleh ke kanan dan ke kiri, serta menyentuh dan meremas daerah puting susu dan sekitarnya dengan tangan yang mungil. 27 5) Menemukan, menjilat, mengulum puting, membuka mulut lebar, dan melekat dengan baik. Secara garis besar tata laksana Inisiasi Menyusu Dini dilaksanakan dalam tahapan sebagai berikut (Depkes RI, 2008): 1) Dalam proses melahirkan, ibu disarankan untuk mengurangi atau tidak menggunakan obat kimiawi. Jika ibu menggunakan obat kimiawi terlalu banyak, dikhawatirkan akan terbawa ASI ke bayi yang nantinya akan menyusu dalam proses Inisiasi Menyusu Dini. 2) Para petugas kesehatan yang membantu ibu menjalani proses melahirkan, akan melakukan kegiatan penanganan kelahiran seperti biasanya. Begitu pula jika ibu harus menjalani operasi caesar. 3) Setelah lahir, bayi secepatnya dikeringkan seperlunya tanpa menghilangkan vernix (kulit putih). Vernix (kulit putih) menyamankan kulit bayi. 4) Bayi kemudian ditengkurapkan di dada atau perut ibu, dengan kulit bayi melekat pada kulit ibu. Untuk mencegah bayi kedinginan, kepala bayi dapat dipakaikan topi. Kemudian, jika perlu, bayi dan ibu diselimuti. 5) Bayi yang ditengkurapkan di dada atau perut ibu, dibiarkan untuk mencari sendiri puting susu ibunya (bayi tidak dipaksakan ke puting susu). Pada dasarnya, bayi memiliki naluri yang kuat untuk mencari puting susu ibunya. 6) Saat bayi dibiarkan untuk mencari puting susu ibunya, Ibu perlu didukung dan dibantu untuk mengenali perilaku bayi sebelum menyusu. 28 Posisi ibu yang berbaring mungkin tidak dapat mengamati dengan jelas apa yang dilakukan oleh bayi. 7) Bayi tetap dibiarkan dalam posisi kulitnya bersentuhan dengan kulit ibu sampai proses menyusu pertama selesai. 8) Setelah selesai menyusu awal, bayi baru dipisahkan untuk ditimbang, diukur, dicap, diberi vitamin K dan tetes mata. 9) Ibu dan bayi tetap bersama dan dirawat-gabung. Rawat-gabung memungkinkan ibu menyusui bayinya kapan saja si bayi menginginkannya, karena kegiatan menyusui tidak boleh dijadwal. Rawat-gabung juga akan meningkatkan ikatan batin antara ibu dengan bayinya, bayi jadi jarang menangis karena selalu merasa dekat dengan ibu, dan selain itu dapat memudahkan ibu untuk beristirahat dan menyusui. Sedangkan berikut ini adalah 11 tatalaksana Inisiasi Menyusu Dini menurut Roesli (2008): 1) Dianjurkan suami atau keluarga mendampingi ibu saat persalinan. 2) Dalam menolong ibu saat melahirkan, disarankan untuk tidak atau mengurangi penggunaan obat kimiawi. 3) Dibersihkan dan dikeringkan, kecuali tangannya, tanpa menghilangkan vernik caseosanya. 4) Bayi ditengkurapkan di perut ibu dengan kulit bayi melekat pada kulit ibu. Keduanya diselimuti, bayi dapat diberi topi. 29 5) Anjurkan ibu menyentuh bayi untuk merangsang bayi mendekati puting susu. 6) Bayi dibiarkan mencari puting susu ibu sendiri. 7) Biarkan kulit bayi bersentuhan dengan kulit ibu selama paling tidak satu jam walaupun proses menyusu awal sudah terjadi atau sampai selesai menyusu awal. 8) Tunda menimbang, mengukur, suntikan vitamin K, dan memberikan tetes mata bayi sampai proses menyusu awal selesai. 9) Ibu bersalin dengan tindakan operasi , tetap berikan kesempatan kontak kulit. 10) Berikan ASI saja tanpa minuman atau makanan lain kecuali atas indikasi medis. 11) Rawat Gabung; ibu dan bayi dirawat dalam satu kamar, dalam jangkauan ibu selama 24 jam. Bila inisiasi dini belum terjadi di kamar bersalin; bayi tetap diletakkan didada ibu waktu dipindahkan ke kamar perawatan dan usaha menyusu dini dilanjutkan didalam kamar perawatan. Tahapan tatalaksana Inisiasi Menyusu Dini dari Roesli tersebut sebenarnya hampir sama dengan tahapan yang dikemukakan oleh Dinkes, hanya saja Roesli menambahkan untuk suami dan keluarga dianjurkan untuk mendampingi ibu. Inisiasi dini yang kurang tepat adalah menyorongkan mulut bayi ke puting ibunya untuk disusui segera setelah lahir saat bayi belum siap 30 minum. Ini bisa mengurangi tingkat keberhasilan inisiasi awal menyusu. Bayi baru menunjukkan kesiapan untuk minum 30-40 menit setelah dilahirkan. Pada persalinan dengan operasi, inisiasi dini butuh waktu hingga lebih dari satu jam dengan tingkat keberhasilan 50%. e. Tatalaksana Inisiasi Menyusu Dini pada Operasi Caesar Ibu yang melahirkan dengan tindakan seperti operasi caesar perlu diberikan kesempatan kontak kulit bayi ke kulit ibu. Jika ibu belum pulih karena pembiusan, ayah dapat melakukan kontak kulit bayi ke kulit ayah, menunggu sampai ibu pulih (Depkes RI, 2008). Namun, jika diberikan anestesi spinal atau epidural, ibu dalam keadaan sadar sehingga dapat segera memberi respon pada bayi. Bayi dapat segera diposisikan sehingga kotak kulit ibu dan bayi dapat terjadi. Usahakan menyusu pertama dilakukan di kamar operasi. Jika keadaan ibu atau bayi belum memungkinkan, bayi diberikan pada ibu pada kesempatan yang tercepat (Roesli, 2008). Untuk mendukung terjadinya inisiasi menyusu dini pada persalinan caesar, berikut ini tatalaksananya: 1) Tenaga dan pelayanan kesehatan yang suportif. 2) Jika mungkin, diusahakan suhu ruangan 200-250C. Disediakan selimut untuk menutupi punggung bayi dan badan ibu. Disiapkan juga topi bayi untuk mengurangi hilangnya panas dari kepala bayi. 3) Tatalaksana selanjutnya sama dengan tatalaksana umum. 4) Jika inisiasi dini belum terjadi di kamar bersalin, kamar operasi, atau bayi harus dipindah sebelum satu jam maka bayi tetap diletakkan di dada ibu 31 ketika dipindahkan ke kamar perawatan atau pemulihan. Menyusu dini dilanjutkan di kamar perawatan ibu atau kamar pulih (Roesli, 2008). f. Inisiasi Menyusu Dini yang Kurang Tepat Saat ini, umunya praktek Inisiasi Menyusu Dini yang dilaksanakan sebagai berikut: 1) Begitu lahir, bayi diletakkan di perut ibu yang sudah dialasi kain kering, yang tidak memungkinkan terjadinya kontak kulit antara bayi ke ibu. 2) Bayi segera dikeringkan dengan kain kering, tali pusat dipotong lalu diikat. 3) Karena takut kedinginan, bayi dibungkus (dibedong) dengan selimut bayi. 4) Dalam keadaan dibedong, bayi diletakkan di dada ibu (tidak terjadi kontak kulit dengan kulit ibu). Bayi dibiarkan di dada ibu (bonding) untuk beberapa lama (10-15 menit) atau sampai tenaga kesehatan selesai menjahit perineum. 5) Selanjutnya, diangkat dan disusukan pada ibu dengan cara memasukkan puting susu ibu ke mulut bayi. 6) Setelah itu, bayi di bawa ke kamar transisi atau kamar pemulihan (recovery room) untuk di timbang, diukur, dicap, diazankan oleh ayah, diberi suntikan vitamin K dan kadang di beri tetes mata (Roesli, 2008). g. Penghambat Inisiasi Menyusu Dini Menurut UNICEF (2006), banyak sekali masalah menghambat pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini antara lain: yang dapat 32 1) Kurangnya kepedulian terhadap pentingnya Inisiasi Menyusu Dini. 2) Kurangnya konseling oleh tenaga kesehatan dan kurangnya praktek Inisiasi Menyusu Dini. 3) Adanya pendapat bahwa suntikan vitamin K dan tetes mata untuk mencegah penyakit gonorrhea harus segera diberikan setelah lahir, padahal sebenarnya tindakan ini dapat ditunda setidaknya selama satu jam sampai bayi menyusu sendiri. 4) Masih kuatnya kepercayaan keluarga bahwa ibu memerlukan istirahat yang cukup setelah melahirkan dan menyusui sulit dilakukan. 5) Kepercayaan masyarakat yang menyatakan bahwa kolostrum yang keluar pada hari pertama tidak baik untuk bayi. 6) Kepercayaan masyarakat yang tidak mengijinkan ibu untuk menyusui dini sebelum payudaranya di bersihkan. Sedangkan beberapa pendapat yang menghambat terjadinya kontak dini kulit ibu dengan kulit bayi menurut Roesli (2008) yaitu : 1) Bayi kedinginan Berdasarkan Penelitian dr Niels Bergman (2005) ditemukan bahwa suhu dada ibu yang melahirkan menjadi 1°C lebih panas daripada suhu dada ibu yang tidak melahirkan. Jika bayi yang diletakkan di dada ibu ini kepanasan, suhu dada ibu akan turun 1°C. Jika bayi kedinginan suhu dada ibu akan meningkat 2°C untuk menghangatkan bayi. 33 2) Setelah melahirkan, ibu terlalu lelah untuk segera menyusui bayinya Seorang ibu jarang terlalu lelah untuk memeluk bayinya segera setelah lahir. Keluarnya oksitosin saat kontak kulit ke kulit serta saat bayi menyusu dini membantu menenangkan ibu. 3) Tenaga Kesehatan kurang tersedia Saat bayi di dada ibu, bayi dapat menemukan sendiri payudara ibu. Penolong persalinan dapat tetap menjalankan tugas. Ayah atau keluarga terdekat dapat mebantu untuk menjaga bayi sambil memberikan dukungan pada ibu. 4) Kamar bersalin atau kamar operasi sibuk Dengan bayi diatas ibu, ibu dapat dipindahkan keruang pulih atau kamar perawatan. Beri kesempatan pada bayi untuk meneruskan usahanya mencapai payudara dan menyusu dini. 5) Ibu harus dijahit Kegiatan merangkak mencari payudara terjadi diarea payudara.yang dijahit adalah bagian bawah tubuh ibu. 6) Suntikan vitamin K dan tetes mata untuk mencegah penyakit gonorrhea harus segera diberikan setelah lahir 7) Bayi harus segera dibersihkan, dimandikan, ditimbang, dan diukur Menunda memandikan bayi berarti menghindarkan hilangnya panas badan bayi. Selain itu, kesempatan vernix (zat lemak putih yang melekat pada bayi) meresap,melunakkan dan melindungi kulit bayi lebih besar. 34 Bayi dapat dikeringkan segera setelah lahir. Penimbangan dan pengukuran dapat ditunda sampai menyusu dini selesai. 8) Bayi kurang siaga Pada 1 -2 jam pertama kelahirannya, bayi sangat siaga (alert). Setelah itu, bayi tidur dalam waktu yang lama. Jika bayi mengantuk akibat obat yang diasup ibu, kontak kulit akan lebih penting lagi karena bayi memerlukan bantuan lebih untuk bonding (ikatan kasih sayang). 9) Kolostrum tidak keluar atau jumlah kolostrum tidak memadai sehingga diperlukan cairan lain (cairan prelaktal) Kolostrum cukup dijadikan makanan pertama bayi baru lahir. Bayi dilahirkan dengan membawa bekal air dan gula yang dapat dipakai pada saat itu. 10) Kolostrum tidak baik, bahkan berbahaya bagi bayi Kolostrum sangat diperlukan untuk tumbuh kembang bayi. Selain sebagai imunisasi pertama dan mengurangi kuning pada bayi baru lahir, kolostrum melindungi dan mematangkan dinding usus yang masih muda. 2. Pendidikan Kesehatan Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Dari batasan ini tersirat unsur- unsur pendidikan, yakni: input adalah sasaran pendidikan (individu, kelompok, masyarakat) dan pendidik (pelaku pendidikan), proses 35 (upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain), output (melakukan apa yang diharapkan atau perilaku) (Notoatmodjo, 2005). Kesehatan merupakan hasil interaksi berbagai faktor, baik faktor internal (dari dalam diri manusia) maupun faktor eksternal (di luar diri manusia). Faktor internal ini terdiri dari faktor fisik dan psikis. Faktor eksternal terdiri dari berbagai faktor, antara lain: sosial, budaya masyarakat, lingkungan fisik, politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005). Sedangkan pendidikan kesehatan adalah aplikasi atau penerapan pendidikan di dalam bidang kesehatan. Secara operasional pendidikan kesehatan adalah semua kegiatan untuk memberikan dan atau meningkatkan pengetahuan, sikap, dan praktek baik individu, kelompok atau masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2005). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan kesehatan adalah kegiatan di bidang penyuluhan kesehatan umum dengan tujuan menyadarkan dan mengubah sikap serta perilaku masyarakat agar tercapai tingkat kesehatan yang diinginkan. a. Tujuan dan Sasaran Pendidikan Kesehatan Tujuan pendidikan kesehatan menyangkut tiga hal, yaitu peningkatan pengetahuan (knowledge), perubahan sikap (attitude), dan ketrampilan atau tingkah laku (practice), yang berhubungan dengan masalah kesehatan masyarakat (Depkes RI, 1997). Sasaran pendidikan kesehatan disetiap tingkatan masyarakat berbeda antara satu dengan lainnya. Menurut Simons-Morton, et al., (1995), ada 36 empat tingkatan yang dapat dijadikan sasaran pendidikan kesehatan. Keempat tingkatan tersebut adalah : 1) Tingkatan individu. Sasarannya yaitu pengetahuan, sikap, perilaku dan filosofi dari individu yang menjadi target sasaran. 2) Tingkatan organisasi. Sasarannya yaitu kebijakan, praktek atau pelaksanaan dalam proses, fasilitas yang tersedia dan sumber daya pendukung. 3) Tingkatan kelompok masyarakat. Sasarannya yaitu kebijakan, praktek atau pelaksanaan dalam proses, fasilitas yang tersedia dan sumber daya yang tersedia. 4) Tingkatan pemerintahan. Sasarannya yaitu kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dibidang kesehatan, program kesehatan, fasilitas sebagai sarana pendidikan kesehatan, sumber daya, peraturan-peraturan yang dibuat di bidang kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. b. Komponen Pendidikan Kesehatan Pendidikan kesehatan adalah mendidik masyarakat dengan cara berkomunikasi (Azrul, 1983). Hal ini pada proses perencanaan informasi yang akan dilakukan dalam rangka berkomunkasi dan mendidik masyarakat adalah menentukan jenis media termasuk kombinasi media yang akan digunakan dan dapat mencapai sasaran. Menurut Azrul (1983) hal ini didasarkan pada prinsip komunikasi yang baik yang sangat ditentukan oleh empat komponennya, yaitu : 37 1) Komunikan / sasaran (Receiver) Penetuan kelompok sasaran sangat penting karena sasaran yang satu akan berbeda dengan sasaran lainnya, sehingga isi pesan yang sama mungkin akan diinterpretasikan berbeda oleh masing-masing kelompok sasaran yang berbeda. 2) Komunikator / Sumber Informasi (Source) Umumnya masyarakat cenderung percaya terhadap informasi yang diterima dari orang yang mereka percaya. Dalam KRR sumber informasi terpercaya ini perlu dipelajari, apakah institusi pemerintah, tokoh masyarakat, teman sebaya, orang tua atau para tenaga medis. Menyarankan setidaknya empat faktor yang harus diperhitungkan dalam memilih sumber informasi/komunikator, yaitu : kredibilitas komunikator, terus menerus melakukan perubahan perilaku, jarak kelas sosial antara komunikator dan sasaran, dan jenis sumber informasi. 3) Isi Pesan (Message) Isi pesan mempunyai dua tujuan, yaitu untuk memberikan informasi kepada sasaran dan meyakinkan sasaran terhadap nilai suatu informasi tersebut. Sedangkan mencatat berbagai karakteristik isi pesan yang mempengaruhi proses komunikasi, yaitu : a) Jumlah komunikasi, termasuk volume dan isi pesan yang disampaikan kepada sasaran. b) Frekuensi komunikasi yang membahas topik yang spesifik. 38 4) Saluran atau media (Channel or Media) Mengacu kepada definisi komunikasi massa yaitu sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen dan anonim, melalui media cetak dan elektronis sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat maka media massa berfungsi untuk membuat orang tertarik, sebagai sumber informasi, merubah sikap dan menstimulasi perubahan perilaku. c. Metode Pendidikan Kesehatan Pendidikan kesehatan mempunyai beberapa unsur, yaitu: input adalah sasaran pendidikan (individu, kelompok, masyarakat), pendidik (pelaku pendidikan), proses (upaya yang dilakukan) dan output. Metode pendidikan merupakan salah satu unsur input yang berpengaruh pada pelaksanaan pendidikan kesehatan ( Notoatmodjo, 2003). Secara garis besar, metode dibagi menjadi dua, yaitu : 1) Metode didaktif Metode ini didasarkan atau dilakukan secara satu arah atau one way method. Peserta didik bersifat pasif dan hanya pendidik yang aktif. Misalnya ceramah, film, leaflet, buklet, poster, dan siaran radio. 2) Metode sokratik Metode ini dilakukan secara dua arah atau two ways method. Dengan metode ini, kemungkinan antara pendidik dan peserta didik bersikap aktif dan kreatif (misalnya, diskusi kelompok, debat, panel, forum, Buzzgroup, seminar, bermain peran, sosiodrama, curah pendapat (brain storming). 39 d. Media Pendidikan Kesehatan Kata media berasal dari bahasa Latin Medius, yang secara harfiah berarti ”tengah”, ”perantara atau pengatur”. Dalam bahasa arab, media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan (Arsyad, 2006). Sedangkan menurut Mardikanto (1993), media adalah alat bantu atau benda yang dapat diamati, didengar, diraba atau dirasakan oleh indera manusia yang berfungsi untuk memperagakan atau menjelaskan uraian yang disampaikan penyuluh agar materi penyuluhan mudah diterima dan dipahami. Menurut bentuk informasi yang digunakan, media penyaji dapat dipisahkan dan diklasifikasi dalam lima kelompok besar, yaitu media visual diam, media visual gerak, media audio, media audiovisual diam, dan media audiovisual gerak. Klasifikasi media ini dapat menjadi landasan untuk membedakan proses yang dipakai untuk menyajikan pesan, bagaimana suara dan atau gambar itu diterima, apakah melalui penglihatan langsung, proyeksi optik, proyeksi elektronik atau telekomunikasi. Sementara Edgar Dale mengadakan klasifikasi menurut tingkat dari yang paling konkrit sampai yang paling abstrak. 40 Gambar 1. Kerucut pengalaman Edgar Gale Klasifikasi tersebut kemudian dikenal dengan nama “kerucut pengalaman” dari Edgar Dale dan dianut secara luas dalam menentukan media, alat bantu serta alat peraga yang paling sesuai untuk pengalaman belajar. Media selain sebagai alat memperjelas, juga dapat berfungsi sebagai berikut yaitu 1) Menarik perhatian atau memusatkan perhatian, sehingga konsentrasi sasaran terhadap materi tidak terpecah; 2) Menimbulkan kesan mendalam, artinya apa yang disuluhkan tidak mudah untuk dilupakan; serta 3) Alat untuk menghemat waktu yang terbatas, terutama jika penyuluh harus menjelaskan materi yang cukup banyak. Menurut Maulana ( 2009 ) media atau alat peraga secara umum dibagi menjadi beberapa macam yaitu : 1) Alat bantu lihat (visual aids) Alat bantu ini digunakan untuk membantu menstimulasi indra penglihatan pada saat proses pendidikan. Terdapat dua bentuk alat bantu lihat: 41 a) Alat yang diproyeksikan, misalnya : slide overhead projector/ OHP dan film strip. b) Alat yang tidak diproyeksikan misalnya : dua dimensi seperti gambar peta dan bagan. Termasuk alat bantu cetak atau tulis missal: leaflet, poster, lembar balik, dan buklet. Termasuk tiga dimensi seperti bola dunia dan boneka. 2) Alat bantu dengar (audio aids) Alat ini digunakan untuk menstimulasi indera pendengaran ( misalnya piringan hitam, radio, tape, CD) . 3) Alat bantu dengar dan lihat (audiovisual aids) Alat visual untuk mengkonkritkan suatu ajaran dilengkapi dengan digunakannya alat audio sehingga dikenal adanya alat audio visual atau Audio Visual Aids (AVA). Alat-alat audiovisual adalah alat-alat yang “audible” artinya dapat didengar dan alat-alat yang “visible” artinya dapat dilihat. Alat-alat audiovisual gunanya untuk membuat cara berkomunikasi menjadi efektif. Sasaran komunikasinya yaitu berupa pengajaran, penerangan dan penyuluhan. Alat-alat audiovisual antara lain termasuk gambar, foto, slide, model, pita kaset tape recorder, film bersuara dan televisi. Menurut Arsyad (2006), media audio dan audiovisual merupakan bentuk media pembelajaran yang murah dan terjangkau. Disamping itu menarik dan memotivasi untuk mempelajari materi lebih banyak. 42 Menurut beberapa faktor dalam filsafat dan sejarah pendidikan, pengetahuan disalurkan ke otak melalui satu indera atau lebih. Para ahli indera berpendapat, bahwa 75% dari pengetahuan manusia sampai ke otaknya melalui mata dan yang selebihnya melalui pendengaran dan inderaindera yang lain. Alat-alat audiovisual dapat menyampaikan pengertian atau informasi dengan cara yang lebih konkrit atau lebih nyata daripada yang disampaikan oleh kata-kata yang diucapkan, dicetak atau ditulis. Oleh karena itu alat-alat audiovisual membuat suatu pengertian atau informasi menjadi lebih berarti (Lucie, 2005). Media audiovisual mempunyai karakteristik yang melekat padanya, meliputi sifat positif dan negatif; disebut positif karena dapat memperoleh manfaat yang lebih maksimal, jangkauan luas, seketika (serentak), menarik, kontak relatif mudah, efek dramatisasi, penentuan waktu penayangan mudah, gabungan (gambar, suara, gerak,warna, juga tulisan). Sedangkan sifat negatif, sekilas pandang dan dengar, frekuensi harus tinggi, mahal, tidak ada segmentasi, terbatas (harus pendek), membutuhkan waktu produksi yang rumit dan lama (Phyllis, 1989). Penelitian Sovocom Company dari Amerika menemukan adanya hubungan antara jenis media dengan daya ingat manusia untuk menyerap dan menyimpan pesan, serta jenis media dengan kemampuan otak dalam mengingat pesan. Kemampuan otak untuk mengingat pesan dengan media audio 10%, visual (teks visual) 40%, dan audiovisual 50%. Sedangkan tingkat kemampuan menyimpan pesan berdasarkan media 43 audio <3 hari 70%, >3 hari menjadi 10%, media visual (teks visual) <3 hari 72%, >3 hari menjadi 20%, sedangkan media audiovisual <3 hari 85%, >3 hari 65% (Warsita, 2008) Dari sini dapat disimpulkan bahwa alat-alat visual lebih mempermudah cara penyampaian dan penerimaan informasi atau bahan pendidikan. B. Landasan Teori Inisiasi Menyusu Dini (early initiation) atau permulaan menyusu dini adalah bayi mulai menyusu segera setelah lahir, sebenarnya bayi manusia seperti juga bayi mamalia lain mempunyai kemampuan untuk menyusu sendiri. Cara bayi melakukan Inisiasi Menyusu Dini ini dinamakan the breast crawl atau merangkak mencari payudara (Roesli, 2008). Pendidikan kesehatan adalah semua kegiatan untuk memberikan dan atau meningkatkan pengetahuan, sikap, dan praktek baik individu, kelompok atau masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2005). Pendidikan kesehatan dapat dilakukan dengan berbagai media. Media adalah alat bantu atau benda yang dapat diamati, didengar, diraba atau dirasakan oleh indera manusia yang berfungsi untuk memperagakan atau menjelaskan uraian yang disampaikan penyuluh agar materi penyuluhan mudah diterima dan dipahami. Media merupakan salah satu komponen penting dalam pendidikan 44 kesehatan, maka pemilihan media yang digunakan dalam memberikan pendidikan sangatlah penting. Alat-alat audiovisual adalah alat-alat yang “audible” artinya dapat didengar dan alat-alat yang “visible” artinya dapat dilihat. Alat-alat audiovisual gunanya untuk membuat cara berkomunikasi menjadi efektif. Alat-alat audiovisual dapat menyampaikan pengertian atau informasi dengan cara yang lebih konkrit atau lebih nyata daripada yang disampaikan oleh kata-kata yang diucapkan, dicetak atau ditulis. Oleh karena itu alat-alat audiovisual membuat suatu pengertian atau informasi menjadi lebih berarti (Lucie, 2005). Hal ini yang mendasari diperlukannya pendidikan kesehatan dengan media yang efektif dan efisien tentang program Inisiasi Menyusu Dini untuk meningkatkan pemberian program tersebut dengan baik dan benar. 45 C. Kerangka Teori Ibu post partum dan bayi baru lahir Kebutuhan ibu: - Mendekatkan bonding - Pengeluaran hormon oksitosin - Mengurangi pendarahan dan pelepasan plasenta IM D - Media pendidikan: - Visual - Audio - Audiovisual Kebutuhan bayi: Mencegah hipotermi Mendapatkan kolostrum Menelan bakteri yang aman Pengeluaran mekonium dini Pendidi kan kesehatan Faktor-faktor yang mempengaruhi: - Pengetahuan ibu hamil - Sikap ibu hamil - Dukungan anggota keluarga - Persalinan - Kondisi ibu dan bayi Keterlibatan ibu dalam proses IMD Keberhasil an IMD Gambar 2. Kerangka Teori Sumber: Aprilia, Y (2009); Hidayat, K.A (2012) dan Maulana, H (2009). 46 D. Kerangka Penelitian Variabel yang diteliti Keterlibatan ibu dalam proses Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Intervensi yang diberikan Pendidikan kesehatan menggunakan media audiovisual Variabel yang diteliti Keberhasilan proses Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Faktor yang mempengaruhi Dukungan suami dalam proses Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Gambar 3. Kerangka Penelitian E. Hipotesis Ada pengaruh pemberian pendidikan kesehatan dengan media audiovisual terhadap keterlibatan ibu dalam proses Inisiasi Menyusu Dini di Puskesmas Jetis Yogyakarta.