WTO: Efektivitas Pengaturan Perdagangan Terhadap Environmental dan Sustainability Concerns. Ade Yuliariza S. / 115120401111017 / OAI kelas A World Trade Organization merupakan organisasi perdagangan Internasional yang mulai berdiri sejak tahun 1994 setelah diadakannya konferensi Uruguay Round1 untuk menggantikan General Agreements on Tariffs and Trade dalam mengatur sistem perdagangan dunia. Latar belakang terbentuknya GATT adalah2: pertama asumsi bahwa liberalisasi mencegah gejala proteksionisme sehingga diharapkan mempermudah proses perdagangan sebagai faktor pertimbangan ekonomi, yang kedua mengenai kesadaran dampak strategis dari proteksionisme yang berpengaruh untuk terjaganya perdamaian dunia sebagai pertimbangan faktor politik. Sedangkan, dalam rezim organisasi perdagangan internasional tersebut terdapat dua pengaturan dasar, yaitu:3 1. Membuat ketentuan-ketentuan untuk merendahkan dan menghapuskan tarif, dan 2. Membuat kewajiban untuk mencegah atau menghapuskan jenis-jenis hambatan dan rintangan terhadap perdangangan (non-tariff barriers). Tetapi pada kenyataannya, banyak negara yang berusaha secara ‘halus’ melakukan berbagai macam perlakuan yang berbeda atas barang yang diperdagangkan oleh negara lain dalam zona pengaturan perdagangan yang poin ke dua. Semisal negara A mengekspor komoditi kertas yang juga dapat diproduksi dalam negara B, kemudian dengan mencari alasan-alasan tertentu, negara B tersebut memberi perlakuan berbeda atas barang yang masuk seperti kertas negara B tersebut mengakibatkan kerusakan linngkungan dalam proses pengambilan bahan bakunya, sehingga mengindikasikan juga bahwa negara tersebut sedang melakukan proteksi atas komoditi dalam negerinya, menghambat ekspor komoditi dan merugikan negara lain sehingga dalam WTO sendiri juga dibentuk Badan penyelesaian sengketa (Dispute Settlement Body). Studi Kasus Pembatasan ekspor mineral langka oleh China yang dianggap sebagai halangan (barriers) atas akses bahan baku oleh Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang. 1 John H. Jackson. The World Trading System: Law and Policy of International Economic Relations.Cambridge, Mass.: The MIT Press. 1997. Hal. 44 2 HS Kartadjoemena. GATT dan WTO sistem, forum dan lembaga internasional di bidang perdagangan. 1996. Jakarta: UI Press 3 The United Nations Environment Programme, Division of Technology, Industry and Economics, Economics and Trade Unit and The International Institute for Sustainable Development. Environment and Trade – A Handbook, (Canada: UNEP and IISD, 2000), pg. 21. 1 Dalam kasus tersebut, latar belakang mengapa China sampai dilaporkan oleh beberapa negara tersebut adalah bahwa China telah setuju untuk tidak melakukan pembatasan ekspor atas mineral langka yang dibutuhkan oleh Amerika Serikat, Uni Eropa bersama Jepang (pada kasus yang sama sebelumnya bersama meksiko) sejak masuk dalam WTO. Sedangkan dalam pengimplementasiannya yang terjadi adalah sebaliknya. China melakukan pembatasan ekspor (kuota) tersebut dikarenakan permasalahan/ dampak yang diakibatkan proses penambangan. Yaitu dalam proses penambangan tersebut, China memasok 86 persen4 produk material langka ke pasar dunia, tetapi dikarenakan manajemen penambangan yang kurang berkelanjutan (berorientasi lingkungan) dan kacau, menyebabkan kerusakan lingkungan di area pertambangannya. Sedangkan dengan pasokan pasar dunia material langka tersebut berasal dari China mencapai 86%, maka Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya akan mengalami gangguan atas akses bahan baku material langka yang sangat dibutuhkan dalam industri karena juga tidak dimungkinkan oleh dengan adanya substitusi material langka dari negara lainnya. Hal ini dikarenakan material tersebut merupakan elemen yang penting untuk pembuatan berbagai produk teknologi tinggi seperti telepon seluler, turbin angin, baterai mobil listrik, dan rudal5. Oleh karena hal itu Amerika Serikat berani mengambil kebijakan untuk membawa kasus tersebut ke badan penyelesaian sengketa WTO dengan beranggapan bahwa China telah melanggar persetujuan awal pada saat bergabung dengan WTO. Berikut adalah Pasal XX dalam artikel XX GATT 1947 yang berisikan Pengecualian Umum (General Exception), di mana bahwa suatu negara yang termasuk ke dalam salah satu poin di dalamnya, bukan merupakan subjek yang mana dalam tindakannya dinilai dalam peradilan WTO bukan merupakan sebagai langkah sewenang-wenang ataupun diskriminasi (arbitrary or unjustifiable discrimination) antar negara berdasarkan kondisi yang dialami, maupun sebagai halangan perdagangan yang tersembunyi/ terselubung (disguised restriction) terhadap perdagangan internasional. Pasal tersebut berisikan beberapa kondisi lingkungan (environment) suatu negara yang tidak dapat dianggap sebagai subjek yang dilaporkan 4 “Tungsten, when I first looked at it, read like a rare earth elements (REEs) story in that 86% of global supply came from China. In REEs, it's around 95%.” Sally Lowder. Ken Chernin Prefers Stories of a Former War Metal. Resource Investor. October 12, 2012. http://www.resourceinvestor.com/2012/10/12/ken-chernin-prefers-stories-of-a-former-war-metal diakses tanggal 30 desember 2012 07:33 5 Eka Utami Aprilia-ChinaDaily. Amerika Bawa Cina ke Badan Sengketa WTO. Tempo Bisnis. Kamis 28 Juni 2012. http://www.tempo.co/read/news/2012/06/28/090413563/Amerika-Bawa-Cina-ke-Badan-Sengketa-WTO tanggal 30 desember 2012 07:13 2 melanggar persetujuan dalam sengketa perdagangan internasional6. Dalam kasus diatas, pasal di bawah ini yang paling sesuai dengan latar belakang kelestarian lingkungan adalah poin/ ayat b dan g sebagaimana tertulis di bawah ini: “ (b) necessary to protect human, animal or plant life or health;” “ (g) relating to the conservation of exhaustible natural resources if such measures are made effective in conjunction with restrictions on domestic production or consumption;” Kasus tersebut, dalam pandangan China dapat dipahami bahwa kebijakannya membatasi jumlah perdagangan ekspor material langka adalah dengan asumsi bahwa pertambangan yang dilakukan demi memenuhi kepentingan pasar global tidak sesuai dengan prinsip keberlangsungan ekologi, di mana eksploitasi tersebut mengakibatkan kerusakan lingkungan di daerah pertambangan. Selain itu, China sendiri yang juga merupakan salah satu negara industri juga pastinya sangat membutuhkan material tersebut, terlebih dengan taksiran bahwa cadangandari material tersebut di seluruh daratan China berkisar sepertiga 7 saja dari total cadangan dunia. Maka akan sangat dikhawatirkan apabila tambang-tambang tersebut “exhausted” yang akan mengancam perindustrian China di masa mendatang sehingga bergantung pada pasokan dari negara lain. Misalnya adalah Kanada8. Sedangkan pihak Amerika Serikat kemungkinan mengangkat kasus tersebut karena dengan kebijakan China yang membatasi Kuota tersebut akan mengganggu suplai material langka dunia, kemudian akan meningkatkan harga material tersebut dengan supliainya yang rendah. Hal ini dianggap sebagai tindakan yang melanggar kesepakatan dalam WTO dengan tujuan menaikkan harga material langka di pasaran dunia dan mengancam kebutuhan industri Amerika Serikat dan kawan-kawan. Dalam 2 kali kasus tersebut, pada kasus pertama WTO tidak setuju dengan kebijakan China melakukan pembatasan/ kuota dengan alasan perlindungan lingkungan dan konservasi, tetapi China tetap melanjutkan kebijakan kuotanya sehingga dibawa kembali dalam kasus kedua di mana sampai pada tahap ‘panel’ seddangkan China tetap memakai alasan-alasan environmental and sustainability concerns. 6 Artikel XX GATT “Subject to the requirement that such measures are not applied in a manner which would constitute a means of arbitrary or unjustifiable discrimination between countries where the same conditions prevail, or a disguised restriction on international trade, nothing in this Agreement shall be construed to prevent the adoption or enforcement by any contracting party of measures” 7 Amerika Bawa Cina ke Badan Sengketa WTO. Tempo Bisnis. Ibid. 8 “We published a research report on Sept. 26 on three publicly traded producers. They're all listed in Canada. They're all in production” 3 Sehingga sebaiknya dalam kasus tersebut, sebagai WTO yang telah mengalami berbagai pembaruan sejak masih dalam bentuk GATT, selayaknya perlu adanya beberapa penyesuaian di bidang “environmental”nya untuk menunjukkan adanya ‘concern’ di bidang pelestarian/ lingkungan. Karena dalam pasal tersebut, aspek lingkungan baru terdapat 2 ayat/ poin dan itupun masuk sebagai pengecualian umum, jadi perlu adanya pasal yang lebih khusus. Tentunya hal tersebut tidak mudah, karena WTO adalah organisasi perdagangan dan badan penyelesaian sengketa belum terlalu memperhatikan masalah lingkungan dan dapat disimpulkan bahwa WTO belum dapat mengatur perdagangan dengan prinsip pro terhadap pelestarian lingkungan. Dan di sisi lain tindakan tersebut adalah implementasi sikap WTO yang sangat memegang prinsip dasarnya yaitu dengan langkah menghindari alasan yang tidak termasuk kedua prinsip pengaturan dasar perdagangan internasional. Jadi ketentuan-ketentuan WTO tidak ada yang bertentangan dengan penerapan prinsip hukum lingkungan dan setiap negara bebas untuk menerapkan standar bagi komoditikomoditinya dalam perdagangan internasional, sehingga seharusnya tidak ada permasalahan dalampenerapan standar komoditi tersebut selama arah perdagangan komoditi tersebut adalah tidak diskriminatif dan menciptakan ”barriers”9. Sedangkan bagi China, pemerintah yang telah mengambil langkah dengan tetap memasok kebutuhan material langka ke pasar global atau berusaha memenuhi aturan WTO sebatas kemampuannya merupakan opsi yang paling aman untuk menghindari sanksi dan “balasan” dari anggota WTO lainnya sambil mengintensifkan kebijakan peraturan tentang environmental and sustainability-nya dalam eksplorasi. 9 Samsul Maarif, WTO sebagai Organisasi perdagangan Plus Lingkungan Hidup dalam buku: Nommy Horas Thombang Siahaan. Hukum Lingkungan & Ekologi Pembangunan. Jakarta: Erlangga. Hlm. 151 4 Lampiran Berita Kamis, 28 Juni 2012 | 17:06 WIB ChinaDaily | Eka Utami Aprilia “ TEMPO.CO, Jenewa - Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang resmi mengajukan pembentukan panel pada badan sengketa di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) atas dugaan pembatasan ekspor mineral langka: tungsten dan molibdenum oleh Cina.” “Cina mengalami kekalahan pada proses banding di WTO pada Januari lalu. Kasus tersebut tentang pembatasan ekspor sembilan bahan baku termasuk seng, kokas dan magnesium yang diajukan oleh Amerika, Uni Eropa dan Meksiko.” "Hal yang vital bagi pekerja dan produsen Amerika Serikat untuk mendapatkan akses yang adil dan sama atas bahan baku seperti mineral langka," kata perwakilan dagang Amerika Serikat, Ron Kirk. Pemerintah Cina sendiri sebelumnya telah setuju untuk tidak melakukan pembatasan saat bergabung dengan WTO.” "Meskipun sikap WTO sudah sangat jelas terkait kasus bahan baku ini, Beijing belum mengambil langkah untuk menghapus pembatasan ekspor. Kami menyesal karena tidakpunya pilihan lain untuk menyelesaikan masalah ini selain lewat proses pengadilan," kata Komisioner Perdagangan Uni Eropa Karel de Gucht pada sebuah pernyataan seperti dikutip Chinadaily, Kamis, 28 Juni 2012. 5