KECENDERUNGAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH TERHADAP PERADILAN AGAMA DAN BASYARNAS DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.) Oleh: Muhammad Amin 105044101376 KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AL-AHWALU AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M KECENDERUNGAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH TERHADAP PERADILAN AGAMA DAN BASYARNAS DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.) Oleh: Muhammad Amin 105044101376 Di Bawah Bimbingan Dr. Hj. Mesraini, M.Ag. Hotnida Nasution, S.Ag., MA 1971063019970320 150326895 KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AL-AHWALU AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M KATA PENGANTAR Alhamdulillahi robbil ‘alamin segala puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., yang telah mencurahkan berbagai nikmat karunia-Nya yang tak terhingga kepada seluruh makhluk-Nya tanpa pilah-pilih kasih sehingga penulis dapat mengenyam pendidikan tinggi dan dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu persyaratan kelulusan. Sholawat teriring salam tak lupa disematkan keharibaan junjungan kita Nabi Muhammad saw beserta keluarga, sahabatsahabatnya dan orang-orang yang ikut berjasa berjuang demi tegaknya syariat Islam di dunia. Ketika skripsi ini terselesaikan ada perasaan lega dan lapang dada yang hinggap dalam diri penulis, karena sebuah tanggung jawab telah terselesaikan. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini kemampuan dan ilmu yang penulis miliki sangat terbatas sehingga penulisan skripsi ini sangat jauh dari kata sempurna. Walaupun demikian, inilah yang dapat penulis persembahkan tentunya dengan kerja keras dan usaha yang melelahkan. Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa adanya dukungan, motivasi dan partisipasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini perkenankan penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan apresiasi yang setinggitingginya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH., MA, MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta Pudek I, II dan III yang telah membimbing dan memberikan berbagai ilmu kepada penulis. 2. Bapak Drs. H. Ahmad Basiq Djalil, SH., MA., dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag., MH., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Al-Ahwalus Syakhshiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Dr. Hj. Mesraini, M.Ag. dan Ibu Hotnida Nasution, S.Ag., MA., selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dengan penuh perhatian dan kesabaran serta terus memberikan semangat dan motivasi kepada penulis. 4. Bapak H. JM Muslimin, Ph.D., yang dengan gaya tegasnya telah memotivasi penulis 5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat. 6. Para pimpinan dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu melayani keperluan penulis. 7. Petugas perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu menyediakan buku-buku dan referensi lain penunjang skripsi ini. 8. Segenap pihak Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Barat dan Selatan yang telah menyiapkan data-data baik wawancara maupun dokumentasi yang penulis perlukan. 9. Segenap jajaran Basyarnas khususnya Ibu Euis Nurhasanah selaku Bendahara Basyarnas yang telah bersedia meluangkan waktu untuk diwawancarai. 10. Segenap jajaran pimpinan dan staff PT. Pegadaian Syariah yang telah membantu penulis melengkapi data-data yang diperlukan. 11. Special Thanks’ untuk Ayahanda Muhammad Isa dan Ibunda Suhanah tercinta yang telah dengan susah payah mendidik dan membesarkan penulis dengan penuh rasa kasih sayang, sehingga sampai saat ini penulis bisa menyelesaikan pendidikan tinggi. 12. Kakak-kakak tersayang yang telah banyak memberikan nasihat dan teguran yang membangkitkan semangat penulis untuk terus berkembang. Keponakankeponakanku yang telah menjadi obat penawar lelah. 13. Guru-guru Majelis Ta’lim Al-Qur’an Ar-Rohimi yang telah menempa penulis dan mendidik penulis untuk menjadi pribadi yang berilmu dan berwawasan luas. 14. Guru-guru Yayasan Tarbiyah Islamiyah Al-Falah yang telah banyak memberikan ilmu-ilmu yang manfaat untuk masa depan penulis. Wabil khusus KH. Ghozi HK, H. Balya Isa, B.Sc., KH. Jamhuri Muhammad, dan Dra. Ida Idris yang telah banyak memberikan perhatian lebih kepada penulis 15. Sahabat-sahabatku tercinta wabil khusus julay, yang telah banyak sekali membantu penulis dalam segala hal, yang dengan tulus dan ikhlas mengiringi dan menemani setiap aktivitas, memotivasi di saat penulis goyah, mengingatkan ketika penulis alfa dan memberi masukan-masukan guna kemajuan penulis. 16. Rekan-rekan Ahwal Syakhshiyyah angkatan 2005, khususnya: Sofyani, Matot, Azizah, Sugiyanto, Billy, Haris dan Uzy, thanks atas diskusi-diskusi ilmiahnya. 17. Hikmah, Ela, Hifzi, Baina, Lya, Wati yang telah membantu dan terus memberikan dorongan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 18. Rekan-rekan Fatihah Community sebagai tempat bertukar pikiran dan curah gagasan untuk menambah ilmu. 19. Rekan-rekan BEM Jurusan PA, thanks atas ilmu, pengalaman, kesempatan dan kepercayaannya dalam organisasi 20. Rekan-rekan IPNU, HIQMA, HARISMA dan IKRIMA terima kasih atas ilmu organisasinya yang sangat berguna bagi penulis di masa yang akan datang. Penulis hanya dapat mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan, dukungan dan bimbingannya. Kepada Allah SWT penulis memohon semoga mereka diberikan pahala yang berlipat ganda dan dicatat sebagai amal ibadah. Amin ya robbal ‘alamin. Jakarta, April 2010 Penulis DAFTAR ISI KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI vi BAB I BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 8 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 8 D. Tinjauan Pustaka 10 E. Metode Penelitian 13 F. Tehnik Penulisan Laporan 15 G. Sistematika Penulisan 16 KONSEPSI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH A. Pengertian Lembaga Keuangan Syariah 17 1. Sejarah Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia 20 2. Dasar hukum operasional Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia 25 B. Profil Lembaga Keuangan Syariah (Pegadaian Syariah) BAB III 1. Sejarah Singkat Pegadaian Syariah 27 2. Visi dan Misi 30 3. Struktur Organisasi 30 4. Produk-Produk yang Dihasilkan 32 PERADILAN AGAMA DAN BASYARNAS SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAI SENGKETA EKONOMI SYARIAH A. Peradilan Agama di Indonesia 1. Pengertian Peradilan Agama 35 2. Sejarah Peradilan Agama di Indonesia 36 3. Dasar Hukum dan Wewenang Peradilan Agama 40 4. Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama 42 B. Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) 1. Pengertian Basyarnas 51 2. Sejarah Basyarnas 54 3. Dasar Hukum dan Wewenang Basyarnas 56 4. Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Basyarnas 60 C. Analisis Dasar Hukum dan Wewenang Basyarnas dan Peradilan Agama BAB IV 72 PEMBAHASAN DAN ANALISIS A. Kecenderungan Lembaga Keuangan Syariah Terhadap Basyarnas dan Pengadilan Agama dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah 78 B. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan Lembaga Keuangan Syariah terhadap Basyarnas dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah C. Analisis BAB V 86 92 PENUTUP A. Kesimpulan 99 B. Saran 100 DAFTAR PUSTAKA 101 BAB I A. Latar Belakang Masalah Menurut Aristoteles manusia sebagai zoon politicon ingin selalu hidup berdampingan dengan sesama bahkan dengan mahluk-mahluk lainnya. Manusia tidak dapat melepaskan dirinya dari eksistensi lainnya dan akan selalu bersimbiosis mutualisme satu sama lain 1 . Pada saat manusia saling berinteraksi baik antar individu, kelompok ataupun komunitas, ada kemungkinan terjadi ketidaksesuaian, pertentangan dan wanprestasi. Fenomena semacam inilah yang akan menjadi landasan pemikiran dibentuknya sebuah aturan yang nantinya akan mengatur pola interaksi satu sama lain. Karena kalau dalam sebuah komunitas sosial tidak memiliki sebuah sistem aturan yang akan mengatur segala tindak tanduk masyarakatnya, maka akan terjadi kekacauan, konflik, sengketa dan sudah barang tentu akan berlaku hukum rimba di mana yang lebih kuat akan menindas golongan yang lemah, jangankan pada suatu komunitas yang tidak memiliki aturan hukum, pada masyarakat yang telah mapanpun yang aturan hukumnya telah tertata dengan rapi sedemikian rupa, masih saja terjadi aksi main hakim sendiri. Oleh karena, itu perlu adanya hukum yang kuat yang akan menegakkan keadilan berdasarkan standar kemanusiaan. 1 Apiez, artikel ini diambil pada tanggal 13 Juni 2010 dari (http://www.idehist.uu.se/distans/ilmh/Ren/civic-citizen.htm) Pada satu sisi, hukum adalah ketentuan-ketentuan yang timbul dari adanya interaksi dalam masyarakat, serta diciptakan berdasarkan rasa kesadaran manusia itu sendiri tentang tingkah laku manusia lain di dalam pergaulan hidupnya. 2 Sengketa dan konflik kepentingan di antara para pihak yang melakukan transaksi khususnya transaksi yang menyangkut perekonomian sering terjadi dalam masyarakat kita. Hal ini terjadi lantaran masing-masing pihak yang bertransaksi hanya mengacu pada sudut pandang keuntungan dan kepentingan pribadi. Kedua belah pihak tidak ingin dirugikan oleh pihak lain bahkan cenderung meraup keuntungan yang berlimpah dari pihak yang diajak kerjasama. Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sebuah sengketa atau perselisihan yang terjadi ada tiga, yaitu perdamaian, mediasi dan lembaga peradilan. 3 Arbitrase dapat difahami sebagai proses penyelesaian sengketa di luar lembaga pengadilan. Kehadiran arbitrase di Indonesia merupakan suatu keadaan yang tidak tabu lagi. Seperti kita ketahui bersama di Indonesia telah berdiri Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) di bawah naungan koordinasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Eksistensi BAMUI secara yuridis 2 Abdul Jamali, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001), hal. 21 Miftahul Huda, Aspek Ekonomi Dalam Syariat Islam, (Mataram: Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) IAIN Mataram, 2007), hal. 85. 3 formal dilihat dari status hukum yang berlaku di Indonesia memilih landasan hukum yang kokoh 4 . Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) merupakan cikal bakal berdirinya Basyarnas (Badan Arbitrase Syariah Nasional). Lembaga ini didirikan berdasarkan SK No. Kep. 392/MUI/V/1992 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Pembentukan Arbitrase Islam tanggal 4 Mei 1992 bertepatan dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia. Tujuannya untuk menangani masalah sengketa antar nasabah dan bank Syariah pertama di Indonesia itu. Pada tahun 2003 beberapa Unit Usaha Syariah lahir sehingga BAMUI diubah menjadi Basyarnas berdasarkan SK MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003. Basyarnas merupakan satu-satunya badan otonom milik MUI. 5 Kehadiran arbitrase Islam di Indonesia merupakan suatu sarana yang dapat dimanfaatkan oleh umat Islam di Indonesia yang erat kaitannya dengan kegiatan perkembangan perekonomian syariah. Seiring dengan pesatnya perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia, seperti perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, pasar modal dengan instrument obligasi, surat berharga (sukuk) dan reksadana syariah, serta banyak lagi kegiatan yang berlebel syariah. Dengan 4 PMII KOMFAKSYAHUM, “Mengurai Benang Kusut Badan Arbitrase Syariah Nasional”, diakses pada September 2009 dari http://pmiikomfaksyahum.wordpress.com/2007/07/31/mengurai-benang-kusutbadan-arbitrase-syariah-nasional-basyarnas/ 5 Ibid. boomingnya kegiatan ekonomi syariah sudah barang tentu banyak pula masyarakat Indonesia yang bertransaksi di dalamnya, maka sangat memungkinkan sengketa hukum di bidang ekonomi syariah terjadi. Ada berbagai permasalahan yang potensial timbul dalam setiap praktek kegiatan bisnis syariah. Kemungkinan-kemungkinan sengketa biasanya berupa pengaduan karena terjadi ketidaksesuaian antara realitas dengan penawarannya, tidak sesuai dengan spesifikasinya, tidak sesuai dengan aturan main yang diperjanjikan, layanan dan alur birokrasi yang tidak masuk dalam draft akad, serta komplain tentang lambatnya proses kerja 6 . Membaca kondisi yang terjadi tersebut maka pemerintah berinisiatif mengeluarkan UU No. 3 Tahun 2006 yang merupakan amandemen UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, khususnya pada pasal 49, yang menyatakan bahwa Peradilan Agama memiliki kompetensi atau kewenangan untuk menerima, memeriksa dan memutus sengketa di bidang ekonomi syariah. Amandemen ini membawa iklim baru dalam ranah hukum di Indonesia. Selama ini wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah ditangani oleh Pengadilan Negeri yang notebene dianggap belum faham benar masalah ekonomi syariah. Aneh rasanya kalau masalah syariah diselesaikan di Pengadilan Umum. Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2007), hal. 182. 6 Amandemen ini dirasakan begitu penting mengingat pesatnya perkembangan kegiatan ekonomi syariah di Indonesia. Selama ini banyak kasus sengketa ekonomi syariah ditangani oleh Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), sesuai dengan akad perjanjian di lembaga keuangan syariah. Nasabah dan lembaga perbankan secara “terpaksa” harus memilih Basyarnas untuk menyelesaikan persengketaan. Setiap draft kontrak telah memuat klausul Basyarnas. Keharusan menyelesaikan sengketa ke Basyarnas karena belum dikeluarkannya UU No. 3 Tahun 2006. Tetapi setelah dikeluarkan UU No. 3/2006, maka Pengadilan Agama harus diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk menanganinya 7 . Menjadi permasalahan adalah dengan diterbitkannya UU No. 3 Tahun 2006 amandemen UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Antara Peradilan Agama dan Basyarnas memiliki tugas, fungsi dan mengurusi persoalan yang sama, yaitu menyelesaikan perkara yang terjadi antar lembaga keuangan dan bisnis syariah dengan para nasabahnya 8 . Memperhatikan kewenangan Peradilan Agama yang ada sekarang, jika dilihat dari aspek filosofis menunjukkan bahwa perkembangan kebutuhan hukum masyarakat muslim terhadap kesadaran menjalankan syariat Islam 7 Agustiano, “Pengadilan Agama dan Sengketa Ekonomi Syariah”, artikel ini diakses pada 15 Februari 2009 dari http://www.scrib.com. PKES, “Basyarnas Tidak Terpengaruh UU No. 3 Tahun 2006”, artikel ini diakses pada 15 Februari 2009 dari www.hukumonline.com. 8 sebagai konsekuensi dari keyakinan semakin tinggi 9 . Disamping itu hukum keuangan dan perbankan syariah sarat dengan muatan substantif dan peristilahan transaksi bisnis dan keuangan syariah. Oleh karenanya sangat wajar jika penyelesaian sengketa diklakukan oleh Peradilan Agama. Sebab seandainya sengketa yang muncul dari akad dan transaksi yang menggunakan prinsip syariah diselesaikan di Peradilan lain, besar kemungkinannya tidak memenuhi rasa keadilan bagi para pencari keadilan dalam hal ini umat muslim 10 . Setelah disahkannya UU No. 3 Tahun 2006, Peradilan Agama secara otomatis menjadi lembaga yang berwenang menangani sengketa tentang ekonomi syariah. Memang secara hierarki perundang-undangan Peradilan Agama lebih memiliki kewenangan lebih dibandingkan Basyarnas. Karena Peradilan Agama memiliki kekuatan hukum sebagai badan yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah, sedangkan Basyarnas hanya berpijak pada SK Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun kita jangan melupakan Basyarnas sebagai lembaga hukum non-litigasi yang dibentuk dengan tujuan sebagai tempat penyelesaian sengketa perkara ekonomi syariah. Basyarnas juga 9 Nyoman Nurjaya, “Reorientasi Paradigma Pembangunan Hukum Negara dalam Masyarakat Multi Kultural (Perspektif Hukum Progesif)”, artikel ini diakses pada tanggal 11 Juni 2010, dari http://pademak.ptasemarang.net/index.php?option=com_content&task=view&id=1 8&itemid=1 Pernyataan Sikap Himpunan Ilmuan dan Sarjana Syariah Indonesia yang Disampaikan Pada Sidang RDPU DPR RI dalam Dokumen Sekretariat Komisi XI DPR RI Periode 2004-2009.S 10 memiliki fungsi yang sama dengan Peradilan Agama soal menangani sengketa ekonomi syariah. Karena menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dalam kegiatan kontrak kerja sama atau transaksi ekonomi masalah penyelesaian sengketa diserahkan kepada masing-masing pihak yang bersangkutan. 11 Dari penjelasan di atas dapat difahami bahwa dengan disahkannya UU No.3 Tahun 2006 berarti ada 2 lembaga yang memiliki tugas yang sama yaitu Pengadilan Agama, yang secara absolut berwenang menyelesaikan sengketa dalam bidang ekonomi syariah, dan Basyarnas selaku lembaga non-litigasi di luar lingkungan peradilan. Karena kedua lembaga ini memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa dalam bidang ekonomi syariah, maka menurut penulis permasalahan lembaga mana (antara Peradilan Agama atau Basyarnas) yang dipilih oleh lembaga-lembaga keuangan syariah untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah menarik untuk dibahas. Selanjutnya penulis ingin mengungkap faktorfaktor yang mendasari kecenderungan Lembaga Keuangan Syariah untuk memilih penyelesaian sengketa ekonomi syariah apakah ke Pengadilan Agama atau Basyarnas. Dari permasalahan di atas, penulis berkeinginan untuk membahas masalah ini dalam bentuk skripsi, dengan judul “Kecenderungan Lembaga 11 Ibid. Keuangan Syariah Terhadap Peradilan Agama dan Basyarnas dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Pada skripsi ini penulis membatasi permasalahan dalam hal: 1. Sengketa ekonomi syariah yang dimaksud di sini adalah dalam pengertian sengketa dari awal proses persidangan (pengajuan gugatan atau permohonan) sampai putusan hakim. 2. Data-data yang penulis ambil hanya dari tahun 2006 – 2009 tentang gugatan sengketa ekonomi syariah, mengingat baru pada tahun 2006 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 baru disahkan oleh DPR. 3. Research data dilakukan pada kedua lembaga penyelesai sengketa (Pengadilan Agama dan Basyarnas) yang berdomisili di wilayah DKI Jakarta. 4. Data yang diambil dari lembaga keuangan syariah adalah data yang diwakili oleh Pegadaian Syariah 12 . Dengan demikian rumusan permasalahannya adalah sebagai berikut: Penulis hanya mengambil pegadaian syariah sebagai sample penelitian karena dari beberapa Lembaga Keuangan Syariah yang penulis kunjungi untuk diambil datanya, hanya lembaga ini yang bersedia, sedangkan yang lainnya menolak untuk diambil keterangan dengan alasan privasi. 12 1. Bagaimana kecenderungan lembaga keuangan syariah dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah terhadap Peradilan Agama dan Basyarnas? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kepercayaan Lembaga Keuangan Syariah memilih Peradilan Agama atau Basyarnas dalam menyelesaikan sengketanya? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui tingkat kecenderungan Lembaga Keuangan Syariah dalam menyelesaikan perkara mereka di Peradilan Agama atau di Basyarnas. b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecenderungan dan kepercayaan Lembaga Keuangan Syariah terhadap kedua lembaga tersebut. 2. Kegunaan dari penelitian ini adalah: a. Bagi penulis adalah untuk menambah khazanah keilmuan tentang Peradilan Agama dan Basyarnas khusunya prosedur beracara pada kedua lembaga tersebut serta menambah pengetahuan tentang ekonomi syariah. b. Memperkaya khazanah keilmuan khususnya di lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. c. Dapat memberikan sedikit informasi untuk ditindaklanjuti oleh para pemangku kepentingan demi perbaikan system birokrasi institusi keuangan syariah, perkembangan dunia akademis dan profesionalitas penegakan hukum di Indonesia. D. Tinjauan Pustaka Agar penelitian ini tidak mengulang penelitian-penelitian sebelumnya dan supaya skema penulisan lebih terarah, maka penulis menelusuri penelitian-penelitian yang telah ada dan memiliki hubungan dengan penelitian ini. Tema mengenai pembahasan dan perdebataan tentang sengketa ekonomi syariah terkait dengan kompetensi absolut Peradilan Agama telah banyak dikaji dalam bentuk karya-karya ilmiah, diantaranya adalah: Judul Skripsi Penulis Substansi Persepsi Advokat Budi Susilo – Hanya dan Hakim Administrasi Perbedaan membahas Dalam skripsi ini persepsi para advokat dan membahas Terhadap Keperdataan hakim syariah Kewenangan Islam 2007 kewenangan tentang pendapat Peradilan hakim Peradilan Absolut Peradilan Agama Agama di Bidang sengketa ekonomi syariah dan pelaku bisnis Ekonomi Syariah menyelesaikan Agama, para syariah. arbiter Eksistensi Fathuddin Peradilan Agama Perdilan dalam Agama 2008 – Skripsi ini menganalisis Tidak membahas Undang-undang Nomor tentang UU No. 21 Tahun 2008 Tentang 21 Tahun 2008 Penyelesaian Perbankan Syariah yang akan Sengketa dinilai Perbankan permasalahan (pasal 55 3 Syariah ayat 2) dalam hal hak yang opsi tetapi meninggalkan implikasi UU No. Tahun 2006 berkaitan penyelesaian dengan sikap perbankan pelaku bisnis syariah dan menimbulkan syariah dalam sengketa ketidakpastian hukum membawa perkara mereka. Sengketa Muhammad Ekonomi Syariah Isnur dan Kewenangan Peradilan Pengadilan Agama Agama 2007 Skripsi – bahasan ini memuat Bukan hanya hadirnya membahas sengketa ekonomi syariah tentang dalam ranah kewenangan kewenangan Peradilan Agama Peradilan Agama, dipandang telah tepat. tetapi kewenangan lembaga lain (Basyarnas) juga dibaghas dalam skripsi ini. Badan Ayatullah Peran Arbitrase Syariah Peradilan Agama 2005 Nasional – Skripsi ini hanya fokus Selain membahas membahas peran tentang Basyarnas Basyarnas dalam skripsi ini juga (Basyarnas) menyelesaikan sengketa membahas Dalam Terhadap niaga. Peradilan Agama Penyelesaian dalam Sengketa menyelesaikan Syariah Bank sengketa bisnis syariah. Meskipun ada beberapa penulis yang membahas seputar sengketa ekonomi syariah, namun menurut tinjauan penulis hingga saat ini belum ada yang menjadikan judul penelitian seputar Kecenderungan Lembaga Keuangan Syariah terhadap Pengadilan Agama dan Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah sebagai penelitian. Dari penelitian ini penulis akan mendapatkan informasi mengenai tingkat kecenderungan lembaga keuangan syariah terhadap lembaga Peradilan Agama dan Basyarnas, selain itu penulis juga ingin mengetahui penyebab kecenderungan tersebut. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan penelitian survey. yaitu penulis mengumpulkan informasi dan data sebanyak-banyaknya dari Pengadilan Agama dan Basyarnas untuk melihat kecenderungan, kemudian menganalisis faktor-faktor penyebabnya dari data wawancara dan studi pustaka. 13 . 2. Objek Penelitian Objek penelitian adalah untuk Peradilan Agama adalah Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur. Sedangkan untuk Lembaga Keuangan Syariah penulis mendapatkan datadata perusahaan yang diberikan oleh Basyarnas dan Pengadilan Agama Jakarta Pusat untuk dijadikan objek penelitian, adalah Bank Muamalah Indonesia, Bank Syariah Mandiri, PT. Asuransi Takaful Indonesia, Bank DKI Syariah, BPRS As-Salam, dan Pegadaian Syariah. Akan tetapi dalam proses penelitian penulis mengalami kesulitan mendapatkan data dari perusahaan-perusahaan tersebut dengan alasan menjaga kerahasiaan Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hal. 108. 13 perusahaan, Hasilnya, hanya Pegadaian Syariah yang merespons permohonan penulis untuk diambil keterangannya. Oleh karena itulah, untuk mengetahui faktor penyebab kecenderungan Lembaga Keuangan Syariah, data yang digunakan hanyalah hasil data yang diperoleh dari Pegadaian Syariah ditambah dengan bahan-bahan kepustakaan lainnya. 3. Data Penelitian a. Data Primer. Menurut Soerjono Soekanto data primer adalah data empiris yang langsung diperoleh dari masyarakat 14 . Dalam skripsi ini data primer yang digunakan adalah wawancara yang diperoleh dari Basyarnas, Pengadilan Agama dan Pegadaian Syariah. b. Data Sekunder. Data sekunder berupa data dokumentasi, referensi dari buku-buku, artikel-artikel dari koran, majalah, internet dan dari skripsi-skripsi terdahulu. 4. Tehnik Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data skripsi ini terdiri dari: a. Studi dokumentasi, yaitu data-data yang diambil dari pendokumentasian dan pemberkasan 15 , dalam hal ini berupa eksplorasi data-data dokumentasi terhadap pihak Basyarnas dan Peradilan Agama. 14 hal. 51. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 33. 15 b. Wawancara, yaitu penulis melakukan interview kepada pihak-pihak terkait dalam hal ini pihak lembaga penyelesaian sengketa dan pihak Lembaga Keuangan Syariah yang diwakili oleh Pegadaian Syariah. c. Studi Kepustakaan, yaitu mengeksplorasi referensi buku-buku dan artikel-artikel dari koran, majalah dan internet yang berhubungan dengan tema penelitian. 5. Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dari PA Jakarta Pusat, Timur, Barat, Selatan, dan Basyarnas serta hasil wawancara di Pegadaian Syariah akan dianalisis dan ditinjau lebih jauh dengan didukung oleh referensi lain yang berhubungan dengan bahasan skripsi ini. Sedangkan pengolahan data akan menggunakan metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis yaitu metode yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan di lapangan yang diperoleh dari hasil dokumentasi data dan wawancara dari PA, Basyarnas dan Pegadaian Syariah. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengedit data yaitu memeriksa data yang terkumpul dan hal yang terkait dengan pertanggungjawaban lembaga menyajikannya secara sistematis. F. Tehnik Penulisan Laporan dipaparkan semua kemudian Penulisan skripsi ini berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi Tahun 2007 yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 16 G. Sistematika Penulisan Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis, penulis membagi skripsi ini menjadi lima bab, masing-masing bab akan terurai dalam sub-sub bab dengan perincian sebagai berikut: Bab I merupakan pendahuluan, yang akan menjabarkan latar belakang penelitian ini, pembatasan dan perumusan masalah, maksud dan tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode dan tehnik penulisan serta sistematika penulisan. Bab II berisi tentang pengertian, perkembangan, landasan operasional Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia serta profil Pegadaian Syariah. Bab III menguraikan tentang Peradilan Agama dan Basyarnas sebagai lembaga penyelesaian sengketa ekonomi syariah, prosedur penyelesaian sengketa ekonomi syariah pada pengadilan agama dan basyarnas. serta analisis Peradilan Agama dan Basyarnas yang meliputi dasar hukum dan kewewenangan absolutnya. Bab IV memuat analisis kecenderungan Lembaga Keuangan Syariah terhadap Peradilan Agama dan Basyarnas dalam penyelesaian sengketa Fakultas Syariah dan Hukum, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2007). 16 ekonomi syariah, serta faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecederungan Lembaga Keuangan Syariah terhadap Peradilan Agama dan Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Bab V merupakan penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saransaran. BAB II KONSEPSI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH A. Pengertian Lembaga Keuangan Syariah Lembaga merupakan bentuk organisasi sosial yang mengorganisir sekelompok orang yang memiliki tujuan, target, sasaran, dan visi yang sama untuk menganggap sebuah usaha sosial tertentu. 17 Menurut SK menteri keuangan RI No. 792/1990, lembaga keuangan adalah semua badan yang memiliki kegiatan di bidang keuangan berupa penghimpunan dana dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama untuk membiayai investasi perusahaan. 18 Lembaga keuangan diberikan batasan sebagai semua badan yang kegiatannya di bidang keuangan, menghimpun dan menyalurkan dana bagi 17 Ahmad Jazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat: Sebuah Pengenalan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 2. Y. Sri Susilo dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: Salemba Empat, 2000), hal. 3. 18 masyarakat terutama guna membiayai investasi bagi perusahaan. Meski dalam peraturan tersebut lembaga keuangan diutamakan untuk membiayai investasi perusahaan, namun peraturan tersebut tidak berarti membatasi kegiatan pembiayaan lembaga keuangan hanya untuk investasi perusahaan. Dalam kenyataannya kegiatan lembaga keuangan bisa diperuntukkan bagi kegiatan perusahaan, konsumsi, dan kegiatan distribusi barang dan jasa. 19 Dari definisi lembaga keuangan di atas dapatlah disebutkan bahwa sekurang-kurangnya ada dua unsur utama bagi sebuah lembaga keuangan, yaitu: a. Badan usaha yang bergerak dalam bidang keuangan b. Tugas dan fungsi lembaga keuangan ialah terutama menghimpun dan menyalurkan uang dari dan kepada masyarakat. 20 Lembaga keuangan yang ada di Indonesia dikelompokkan menjadi dua macam, yakni lembaga keuangan bank dan bukan/non bank 21 . Lembaga keuangan bank seperti yang tertera dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat 19 Ibid. 20 Muhammad Amin Suma, Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi Dan Keuangan Islam, (Banten: Kholam Publishing, 2008), h. 245. Y. Sri Susilo, Sigit Triandaru dan Totok Budi Santoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, hal. 2. 21 dalam bentuk kredit dan atau dalam bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak. 22 Sedangkan yang dimaksud dengan lembaga keuangan non bank adalah semua badan yang melakukan kegiatan di bidang keuangan baik secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana dengan cara mengeluarkan kertas berharga dan menyalurkannya kepada masyarakat untuk membiayai investasi perusahaan. 23 Sementara kata syariah adalah satu derivasi dari kata syara’a yang berarti al-bayan wal inzar (jelas) sedangkan menurut Manna al-Qattan syaria adalah jalan atau tempat keluarnya air untuk minum. Kemudian bangsa Arab mengunakan kata ini untuk konotasi jalan lurus dan padat saat dipakai dalam pembahasan hukum menjadi bermakna segala sesuatu yang disyariatkan Allah kepada hamba-Nya sebagai jalan untuk memperoleh kehidupan di dunia dan akhirat. 24 Jadi Lembaga Keuangan Syariah adalah lembaga yang berfungsi sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat untuk dapat dimanfaatkan 22 Undang-Undang No. 10 Tahun1998 Tentang Perbankan, pasal 1 ayat 2. 23 Manna Al-Qattan, At-Tasyari’ Wa Al-Fiqhi Al-Islam Tarikhan Wa Manhajan, dalam Y. Sri Susilo, Sigit Triandaru dan Totok Budi Santoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, h. 2-3. Y. Sri Susilo, Sigit Triandaru dan Totok Budi Santoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, h. 2-3. 458 24 secara optimal guna mensejahterakan taraf hidup mereka, dengan mengacu pada ketentuan syariah. Menurut Fathurrahman Djamil Lembaga Keuangan Syariah merupakan lembaga atau badan usaha yang mengelola dana dari unit surplus kepada defisit surplus atau dari pemilik dana/investor kepada pengguna dana dengan berdasarkan pada nilai-nilai Islam. 25 Menurut Chapra, Lembaga Keuangan Syariah menciptakan sosio ekonomi Islam yang halal. Dengan target utamanya adalah kesejahteraan ekonomi, perluasan kesempatan kerja peningkatan pertumbuhan dan keadilan ekonomi, distribusi pendapatan kekayaan wajar, stabilitas nilai uang, dan mobilisasi serta investasi tabungan untuk pembangunan ekonomi yang mampu memberikan jaminan keuntungan bagi semua pihak yang terlibat. 26 1. Sejarah Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia Kalau kita berbicara tentang sejarah perkembangan Lembaga keuangan syariah di Indonesia, maka tidak lain dan tidak bukan kita membahas pergerakan perbankan syariah. Hal ini dikarenakan perbankan syariahlah yang mendasari sekaligus peletak dasar berdirinya lembaga keuangan syariah lainnya. 25 Fathurrahman Djamil, Kapita Selekta, hal. 117. Umer Chapra, System Moneter Islam, dalam: Bank Indonesia Biro Perbankan Syariah, Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia, (Jakarta: Bank Indonesia Biro Perbankan Syariah, 2002), hal .4. 26 Diawali dengan trial and error lembaga-lembaga informal seperti koperasi syariah, baitul mal wattamwil oleh para aktivis dan pemuda Islam, dan lokakarya Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1990 yang menghasilkan rekomendasi perlunya didirikan perbankan syariah, maka kemudian secara yuridis-formil didirikan bank dengan prinsip bagi hasil yaitu Bank Muamalah Indonesia pada tahun 1992 atas prakarsa berbagai pihak sebagai dasar awal perkembangan Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia.27 Sejak pendirian Bank Muamalah sebagai pioneer bank dengan system bagi hasil tersebut, kemudian adanya dukungan legal pada tahun 1998 berupa diakomodasikannya pelaksanaan bank sesuai dengan syariah sebagaimana yang termuat dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1998 yang merupakan perubahan terhadap Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, maka lembaga perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang cukup pesat hingga sekarang. 28 Menurut Muhammad Amin Suma ada beberapa alasan yang mendasari eksistensi Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia: 29 a. Alasan agama 30 27 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 84-85. 28 Fathurrahman Djamil, kapita selekta, hal. 127. 29 Muhammad Amin Suma, menggali akar, hal. 349. 30 Ibid. hal. 350 Dalam ajaran Islam kita mengenal ada beberapa sendi pokok kehidupan yang diatur secara apik. Bukan saja segi hubungan kita kepada sang Kholiq yang termaktub dalam fiqh ibadah, melainkan sendi-sendi lainnya seperti pola hubungan interaksi kita dalam berniaga yang diatur dalam fiqih mu’amalah. Berkaitan dengan bidang ekonomi, Islam sangat menganjurkan penyelenggaraan ekonomi yang kuat dan tentunya sesuai dengan syariah. Bukti care-nya Islam pada sektor ekonomi dan keuangan adalah dengan disyariatkannya zakat, infak, shodaqoh, wakaf, pegadaian, perniagaan dan lain-lain. Kecamannya terhadap riba, judi, ghoror, penimbunan barang-barang kebutuhan, merupakan bukti lain kepedulian Islam terhadap kesejahteraan sosial masyarakat dengan pijakan dasar asas keadilan dan pemerataan. b. Alasan sejarah 31 Sejarah telah membuktikan sejak zaman Rosullulloh saw, sampai dinasti Abbasiyah, Islam telah menguasai sepertiga dunia dengan sistem ekonomi dan keuangannya yang non-bunga. Islam tumbuh hidup dan berkembang secara meyakinkan sekaligus menaklukkan dunia. System keuangan dan ekonomi Islam di Indonesia sebenarnya telah tumbuh sejak abad ke-20. System mudhorrobah telah 31 Ibid. hal. 350-352. dipraktekkan oleh para pedagang dan saudagar nusantara sejak zaman dulu. Pada awal dasawarsa 90-an Indonesia berupaya sedikit demi sedikit melepaskan diri dari system ekonomi konvensional menuju system ekonomi syariah. Hal ini diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada Desember 1992 yang merupakan bank dengan prinsip syariah pertama di Indonesia. c. Alasan penduduk 32 Populasi jumlah penduduk Indonesia sebesar 210 juta orang dan ± 80%nya adalah muslim. Keadaan ini yang menjadi salah satu alasan perkembangan ekonomi Islam di Indonesia. d. Alasan politik 33 Sistem politik yang dianut oleh Negara kita ini adalah sistem demokrasi pancasila. Demokrasi dalam lingkup ekonomi mengandung pengertian kebebasan menganut sistem ekonomi apa saja yang ada di dunia ini, seperti sosialis, liberalis atau syariah (Islam). e. Alasan yuridis 34 32 Ibid. hal. 352-353. 33 Ibid. hal. 353-356. 34 Ibid. hal. 356-357. Indonesia sebagai Negara hukum menghormati seluruh peraturan yang berlaku di seluruh wilayah nusantara. Sebagaimana yang telah diatur dalam landasan konstitusional Negara kita UUD ’45, yang berisi faham kedaulatan rakyat Indonesia, selain berkenaan dengan demokrasi politik, juga berkenaan dengan demokrasi ekonomi. Statemen ini mengisyaratkan Negara ini tidak membatasi system ekonomi yang diberlakukan selama untuk kesejahteraan rakyat. f. Alasan demokrasi 35 Kata demokrasi ekonomi yang tertera pada pasal 33 UUD 1945, seyogyanya diartikan dengan makna yang luwes dan tidak kaku. Makna demokrasi dan demokratisasi ekonomi termasuk di dalamnya ekonomi keagamaan di samping kerakyatan, dalam istilah yang lebih popular di telinga bangsa Indonesia saat ini adalah ekonomi kesyariahan. Ekonomi dan keuangan syariah sejalan seirama dengan apa yang diinginkan oleh UUD ’45. g. Alasan kebutuhan masyarakat 36 Hantaman krisis finansial yang tengah melanda bukan saja di Indonesia tetapi dunia menyebabkan masyarakat mencari alternatif 35 Ibid. hal. 357-359. 36 Ibid. hal. 359-360. sistem keuangan yang tahan krisis, stabil dan aplikatif. Kehadiran system ekonomi syariah dirasakan dapat menjadi solusi cerdas mengatasai resesi ekonomi yang tengah mewabah. h. Alasan ekonomi 37 Kehadiran ekonomi syariah dalam Negara ini sama sekali tidak mengganggu stabilitas perekonomian nasional, malah sebaliknya kehadiran ekonomi syariah di bumi pertiwi ini ikut serta dalam rangka pembangunan ekonomi nasional baik secara makro maupun mikro serta sedikit banyak mengurangi tingkat pengangguran. i. Alasan akademik 38 Kehadiran ekonomi dan keuangan syariah dewasa ini merupakan kebutuhan bagi dunia akademisi. Penyebaran jaringan kantor perbankan syariah misalnya, saat ini mengalami pertumbuhan pesat. Jika pada 2006 jumlah jaringan kantor hanya 456 kantor, sekarang jumlah tersebut menjadi 1440 kantor (Data BI Oktober 2008). Dengan demikian jaringan kantor tumbuh lebih dari 200%. Jaringan kantor itu telah menjangkau masyarakat di 33 propinsi dan di banyak kabupaten/kota. 37 Ibid. hal. 360-361. 38 Ibid. hal. 361-362. Dengan mengacu pada data-data di atas rasanya tidak terlalu berlebihan jika kita mengatakan praktek Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia sangat prospektif dan menjanjikan. 2. Dasar Hukum Operasional Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia Lembaga Keuangan Syariah di tanah air mendapat pijakan yang kokoh setelah adanya deregulasi sektor perbankan pada tahun 1983. Hal ini karena sejak saat itu diberikan keluasan penentuan tingkat suku bunga nol persen (termasuk tanpa bunga). Sungguhpun demikian kesempatan ini belum bisa dimanfaatkan karena tidak diperkenankannya pembukaan kantor baru. Hak ini berlangsung sampai tahun 1988 di mana pemerintah mengeluarkan Pakto 1988 yang memperkenankan berdirinya bank-bank baru. Kemudian posisi perbankan semakin pasti setelah disahkannya Undang-Undang perbankan No. 7 Tahun 1992 dimana bank diberikan kebebasan untuk menentukan jenis imbalan yang akan diambil dari nasabahnya baik bunga maupun keuntungan bagi hasil. 39 Berbarengan dengan disahkannya Undang-Undang tersebut, berdirilah BMI sebagai bank murni syariah pertama, berarti menandakan bahwa Muhammad, Dasar Falsafah dan Hukum Bank Syariah, dalam Muhammad Syafi’i Antonio dkk, Bank Syariah: Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman, (Yogyakarta: Ekonisa, 2006), h. 58-59. 39 pada tahun itu merupakan awal kebangkitan kemballi ekonomi dan keuangan Islam. 40 Pada tahun 1998, UU No. 7 tahun 1992 diubah oleh UU No. 10 Tahun 1998. Keluarnya Undang-Undang ini dilatarbelakangi alasan bahwa mudah-mudahan UU ini dapat memberikan tempat atau setidak-tidaknya mengakomodir kehadiran bank syariah yang belum sempat disinggung secara eksplisit dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Sebagai contoh perubahan yang terjadi pada pasal 1 ayat 3 UU No. 10 Tahun 1998 terhadap UU No. 7 tahun 1992 adalah menetapkan bahwa salah satu bentuk usaha bank adalah “menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”. B. Profil Lembaga Keuangan Syariah (Pegadaian Syariah) 1. Sejarah Singkat Pegadaian Syariah Pegadaian merupakan lembaga perkreditan dengan sistem gadai untuk pertama kalinya. Hadir di Indonesia pada abad ke-17 dibawa dan dikembangkan oleh maskapai perdagangan Belanda (VOC). Dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomiannya, pada tanggal 20 Agustus 1746 didirikanlah pegadaian yang bernama Bank van Leening. Lembaga kredit Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan, (Jakarta: Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 1999), hal. 278-279. 40 tersebut merupakan lembaga yang memberikan pinjaman uang kepada masyarakat dengan jaminan gadai. Sejak saat itu bentuk pegadaian telah mengalami beberapa kali perubahan sejalan dengan perubahan peraturan yang mengaturnya 41 . Pada masa selanjutnya pegadaian mengalami perubahan bentuk badan hukumnya, yaitu pada 1969 Perusahaan Negara diubah menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan). Pada tahun 1990 Perjan diubah menjadi Perusahaan Umum (Perum) lewat PP No. 10 Tahun 1990 tanggal 10 April 1990 42 . Seiring dengan dikeluarkannya fatwa DSN-MUI tentang keharaman riba, maka Perum Pegadaian merespons dengan mendirikan Unit Layanan Gadai Syariah (UPGS) sebagai diversifikasi produk gadai. Hal tersebut bukan semata-mata merespons fatwa DSN-MUI melainkan dalam rangka membentengi terhadap Pegadaian sendiri terhadap saingan dari Perbankan Syariah. Perbankan Syariah pun telah meluncurkan produk-produk pertolongan yang diperkuat dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 41 Pirgon Matua, Sejarah Singkat Perum Pegadaian, (Jakarta: Perum Pegadaian, 2003), hal 1. 42 Ibid. 1998 yang isinya menyertakan Perbankan Syariah boleh mendirikan usaha gadai 43 . Bank Muamalat Indonesia dalam mengembangkan usahanya mencoba untuk membuat produk gadai syariah, namun karena tidak mempunyai SDM dan peralatan yang cukup memadai, kemudian Bank Muamalat Indonesia mengajak Perum Pegadaian untuk join mendirikan Pegadaian Syariah. Tawaran tersebut mendapatkan respons positif dari Perum Pegadaian yang juga sedang mempelajari bentuk usaha pegadaian syariah. 44 Pada tahun 2002 penandatanganan nota kesepakatan kerjasama antara Bank Muamalat Indonesia dengan Pegadaian dilakukan dengan nomor 446/sp.300.233.2002 dan 015/BMI/PKS/XII/2002. BMI melakukan kerjasama dengan Pegadaian untuk menambah modal dengan bentuk pembiayaan musyarokah sebesar Rp. 40.000.000.000,-. Kemudian pada tanggal 14 Januari 2003 secara resmi dibuka pegadaian syariah dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) dan operasionalnya Dewan Direksi Perum Pegadaian nomor 06.A/UL.3.00.22.3/2003 tentang pemberlakuan Manual Operational Unit Layanan Gadai Syariah.45 43 Perum Pegadaian, Manual Operational Gadai Syariah, (Jakarta: Perum Pegadaian, 2003). 44 Ibid. 45 Ibid. Pembentukan gadai syariah ini juga berdasarkan fatwa DSN-MUI No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn dan fatwa DSN No. 26/DSNMUI/III/2002 tentang rahn emas. Konsep rahn syariah mengikuti sistem administrasi modern yaitu asas rasionalitas, efisiensi, dan efektivitas yang diselaraskan dengan nilai-nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/ULGS sebagai unit organisasi di bawah koordinasi Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. Namun baru pada awal 2004 Perum Pegadaian memisahkan Pegadaian Syariah kedalam divisi tersendiri yaitu Divisi Usaha Syariah, serta menjadikan setiap cabangnya sebagai binaan Kantor Wilayah (kanwil) Perum Pegadaian. Selain itu Pegadaian Syariah juga telah memiliki Dewan Pengawas Syariah sendiri yang berfungsi memberikan pengarahan dan pengawasan menyengkut kehalalan produk yang dijalankan. 46 2. Visi dan Misi Visi Pegadaian: “Pegadaian Pada Tahun 2010 menjadi perusahaan yang inovatif, dinamis, modern dengan usaha utama gadai”. Misi Pegadaian: “Ikut membantu program pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat golongan menengah ke bawah 46 Pegadaian Syariah, Manual Operasional ULGS, Jakarta. melalui kegiatan utama berupa penyaluran kredit gadai dan melakukan usaha lain yang menguntungkan” 47 . 3. Struktur Organisasi Struktur organisasi Pegadaian Syariah adalah sesuai dengan SK Direksi Perum Pegadaian No. 1095/SDM.200322/2004 tanggal 28 April 2004 48 antara lain: a. Manager, bertugas mengelola operasional kegiatan sehari-hari yaitu menyalurkan uang pinjaman (qordh) secara hukum gadai yang didasarkan pada penerapan prinsip syariat Islam. Selain itu manager juga malaksanakan usaha-usaha lain yang telah ditentukan oleh menejeman serta mewakili kepentingan perusahaan dalam dalam hubungannya dengan pihak lain. b. Penaksir, bertugas menaksir marhun (barang yang digadai) untuk menentukan nilai dan mutu barang sesuai dengan ketentuan yang belaku dalam rangka mewujudkan penetapan taksiran dan uang pinjaman yang wajar serta citra baik perusahaan. c. Kasir, bertugas melakukan penerimaan, penyimpanan, pembayaran serta pembukuan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk kelancaran operasional perusahaan. 47 Perum Pegadaian, Manual Operasional Gadai Syariah, Jakarta. 48 Ibid. d. Pemegang Gudang, bertugas melakukan pemeriksaan, penyimpanan, pemeliharaan dan penyimpanan serta pembukuan marhun selain barang kantor sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam rangka ketertiban dan keamanan serta keutuhan marhun. e. Penyimpan Marhun, bertugas mengelola gudang marhun emas dengan menerima, merawat, menyimpan, mengeluarkan dan mengadministrasikannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam rangka mengamankan searta menjaga keutuhan barang milik rohin (penggadai). f. Keamanan, bertugas mengamankan harta perusahaan rohin dalam lingkungan kantor dan sekitarnya. g. Staff, bertugas memelihara kebersihan, kenyamanan, keindahan gedung ruang kerja. Mengirim dan mengambil surat/dokumen untuk menunjang kelancaran tugas administrasi dan tugas operasional perusahaan. 4. Produk-Produk yang Dihasilkan a. Ar-Rahn (Gadai Syariah) Usaha pokok dari usaha pegadaian Syariah adalah menyalurkan marhum bih dalam jumlah sekala kecil dengan jaminan harta bergerak maupun tidak bergerak atas dasar hukum gadai Syariah. Hal ini sesuai dengan fatwa DSN No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn tanggal 26 Juni 2002 dan No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn emas tanggal 28 Maret 2002. 49 Dalam prakteknya rahin menyerahkan harta bergerak atau tidak bergerak sebagai jaminan sekaligus memberi kuasa kepada pegadaian syariah untuk menjual/melelang secara syariah jika setelah jatuh tempo rahin tidak mampu/bersedia melunasinya. Jaminan yang telah diuangkan digunakan untuk melunasi pinjaman pokok ditambah biaya jasa simpan dan jasa lelang, kelebihannya deserahkan kepada rahin, sedangkan kalau kurang, menjadi resiko pegadaian.50 Gadai Syariah merupakan produk dengan menggunakan sistem penyaluran pinjaman secara gadai yang didasarkan pada sistem syariah. Nasabah tidak dikenakan bunga pinjaman ataupun sewa modal atas pinjaman yang diberikan. Nasabah dikenakan biaya administrasi dan jasa pinjam yang dipungut dengan alasan agunan yang diserahkan nasabah wajib disimpan, dirawat dan diasuransikan. 51 b. Ar-Rum (Gadai Untuk Usaha Micro Kecil) Pegadaian merupakan suatu institusi yang mengelola usaha gadai, tetapi lebih luas dari pada itu menjadi institusi yang mengelola 49 Ahmad Kamil dan Muhammad Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2007), hal 545. 50 Ibid. 51 Ibid. pembiayaan usaha micro kecil berbasis syariah. Sebagai langkah awal untuk mengimplementasikan gagasan ini, maka sistem pembiayaan dengan sistem ar-rahn kini dicoba untuk dikembangkan dengan konsep pelunasan pinjaman secara angsuran baik dengan cara gadai menahan agunan maupun fidusia (hanya dokumen kepemilikan yang ditahan). 52 Ar-Rahn untuk usaha kecil selanjutnya disebut skim Ar-Rum adalah skim pembiayaan berprinsip syariah bagi para pengusaha mikro kecil untuk usaha yang didasarkan pada kelayakan usaha. Tujuan diluncurkannya pembiayaan ar-rum selain sebagai sebuah upaya diversifikasi produk di pegadaian syariah juga dengan maksud meningkatkan pemberdayaan para pengusaha mikro dan kecil yang membutuhkan pembiayaan modal kerja atau investasi secara syariah. Pembiayaan diberikan dalam jangka waktu tertentu dengan pengembalian pinjaman dilakukan secara angsur dengan menggunakan konstruksi pembiayaan secara gadai maupun fidusa. Skim ar-rum ini merupakan pinjaman kepada individual pengusaha mikro kecil.53 52 Ibid. 53 Ibid. BAB III PERADILAN AGAMA DAN BASYARNAS SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAI SENGKETA EKONOMI SYARIAH A. Peradilan Agama di Indonesia 1. Pengertian Peradilan Agama Peradilan dalam Islam lebih dikenal dengan sebutan qadha’, yang berarti memutuskan, menyelesaikan dan melaksanakan (mengeksekusi). Menurut istilah fiqh, qadha berarti lembaga hukum dan perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang memiliki wilayah umum, atau menerangkan hukum agama atas dasar mengharuskan orang mengikutinya. 54 Peradilan adalah daya upaya untuk mencari keadilan dan penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurut peraturan perundangundangan dan lembaga tertentu dalam pengadilan. 55 Istilah lain yang sering muncul mengiringi kata peradilan adalah pengadilan. Jika peradilan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), hal. 34. 54 55 Ibid, h.252. didefinisikan sebagai sebuah proses daya upaya dalam mencari sebuah keadilan, maka lain halnya dengan kata pengadilan, yang berarti secara lughowi adalah badan yang melakukan proses peradilan. Menurut Muhammad Daud Ali, pengadilan adalah sebagai lembaga atau badan yang bertugas menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya atau yang menjadi wewenangnya. 56 2. Sejarah Peradilan Agama di Indonesia Bicara soal sejarah Indonesia tidak akan terlepas dari corak pemerintahan bersistem kerajaan. Kerajaan Islam pertama yang memperkenalkan peradilan Islam adalah kerajaan Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung, yang sebelumnya peradilan dipengaruhi oleh ajaran Hindu. Dengan peralihan Mataram menjadi kerajaan Islam, mulailah diadakan pembenahan peradilan dengan memasukkan unsur ajaran Islam dengan cara memasukkan orang Islam ke dalam badan pengadilan. 57 Pada masa penjajahan terjadi intervensi penjajah pada setiap sektor kehidupan bangsa Indonesia. Pada awalnya pemerintah Belanda ingin menegakkan hukum yang mereka bawa dari negerinya baik perdata 56 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1992), hal. 251. R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad Ke Abad, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1978), hal. 14. 57 maupun pidana. Akan tetapi mereka tidak mampu seratus persen menjalankannya, sehingga akhirnya penduduk pribumi dibiarkan kebiasaan mereka yang beragama Islam. 58 Pada tahun 1882 Van Den Berg berpendapat bahwa hukum mengikuti agama yang dianut seseorang, oleh karena itu untuk orang Islam hukum Islamlah yang beralaku baginya. Selaras dengan ucapan Van Den Berg, Paul Scholten juga memiliki pemikiran serupa dalam menerapkan sebuah peraturan, ia berpendapat guna meredam amarah uamt Islam orang-orang pribumi yang beragama Islam tetap dibiarkan dan hidup dalam lingkungan agama dan adat istiadat mereka. 59 Selanjutnya Snouck mengeluarkan teori receptive. Teori ini mengungkapkan bahwa hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum adat mereka sendiri. Hukum Islam dapat berlaku jika telah direceptie oleh hukum adat. Dengan kata lain hukum adatlah yang menentukan hukum Islam. Sejalan perjalanan sejarahnya tercatat jelas bahwa teori receptie diadopsi menjadi kebijakan politik Belanda yang ternyata secara sistematis dan konseptual telah mempersempit ruang gerak perkembangan 58 Jaenal Aripin, Peradilan Agama, hal. 262. Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 226. 59 hukum Islam. 60 . Keberhasilan pemerintah Belanda menggantikan teori receptie in complexu dengan mengusung teori receptie mengiyaratkan bahwa hukum Islam jika ingin berlaku harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari hukum adat. Pada masa pendudukan Jepang eksistensi Peradilan Agama terancam. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan Dewan Pertimbangan Agung Jepang (Sanyo-Aanyo Kaigi Jimushitsu) pada tanggal 14 April 1942 sebagai berikut: “Dalam Negara baru yang memisahkan urusan Negara dengan urusan agama tidak perlu mengadakan pengadilan agama sebagai peradilan istimewa, untuk mengadili urusan seseorang yang bersangkut dengan agamanya cukup segala perkara diserahkan kepada pengadilan biasa yang dapat meminta pertimbangan seorang ahli agama.” 61 Pada pernyataan ini akan ada penyerahan tugas pengadilan agama kepada pengadilan biasa. Akan tetapi sebelum peraturan itu diberlakukan terlebih dahulu Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya dan pengadilan agama tetap eksis dalam ranah peradilan nusantara. 62 Pembaharuan Peradilan Agama terus dilakukan setelah penjajahan berakhir. Setelah Indonesia merdeka atas usul menteri Agama yang diamini oleh menteri Kehakiman, pemerintah menetapkan bahwa Pengadilan Agama diserahkan dari kekuasaan Menteri Kehakiman kepada 60 61 62 Basik Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, hal. 55. Ibid, hal. 61 Zulfran Sabrie, Peradilan Agama di Indonesia, hal. 19. Kementerian Agama dengan ketetapan menteri No. 5 tanggal 25 Maret 1946. 63 Pada tahun 1970 pemerintah telah mempertegas keberadaan Peradilan Agama dengan dikeluarkannya UU No. 14 tahun 1970 tentang ketentuanketentuan pokok kekuasaan kehakiman, dalam pasal 10 disebutkan ada 4 lingkungan peradilan di Indonesia yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Seluruh peradilan tersebut disejajarkan posisinya secara hukum dan berinduk kepada Mahkamah Agung. 64 Setelah kurang lebih selama dua puluh empat tahun sejak tahun 1950, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan akhirnya disahkan oleh DPR dan pemerintah pada tanggal 2 Januari 1974. Menyusul pengesahan UU ini, pada tanggal 1 April 1975 pemerintah mengeluarkan PP No. 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksana UndangUndang perkawinan tersebut. 65 Puncak kemajuan eksistensial bagi hukum Islam dalam lika-liku perkembangan hukum Indonesia adalah ketika diterapkannya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga peradilan yang 63 Jaenal Arifin, Pengadilan Agama Dalam Bingkai Reformasi, hal. 267. 64 Basiq Djalil, Pengadilan Agama di Indonesia, hal. 86. 65 Ibid, hal. 88. khusus diperuntukkan bagi orang Islam dan No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman terutama bagi para hakim agama dalam memutus perkara dalam lingkungan Peradilan Agama, meskipun wilayah hukumnya masih sebatas perkawinan, kewarisan, perwakafan, wasiat, hibah, dan sedekah. 66 Proses metamorphosis Peradilan Agama akhirnya sampai pada tahap paripurna di era reformasi, lewat Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 sebagai amandemen Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menandakan dipercayakannya Peradilan Agama oleh pemerintah untuk menangani perkara ekonomi syariah. 3. Dasar Hukum dan Wewenang Peradilan Agama Berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa Perngadilan Agama bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang: 1. Perkawinan 2. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam 66 Jaenal Aripin, Peradilan Agama, hal. 280. 3. Waqaf dan shodaqoh 67 Undang-Undang Peradilan Agama tahun 1989 ini telah mengalami perubahan pada tahun 2006, yakni dengan disahkannya UU No. 3 Tahun 2006. Terkait dengan kompetensi Peradilan Agama yang tertuang dalam ketentuan pasal 49 huruf i, yaitu kewenangan menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah. Adapun yang dimaksud dengan ekonomi syariah dalam menurut pasal 49 huruf i Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, meliputi; Perbankan Syariah, Asuransi Syariah, Reasuransi Syariah, Reksa Dana Syariah, Obligasi Syariah dan Surat Berharga Berjangka Menengah, Sekuritas Syariah, Pembiayaan Syariah, Pegadaian Syariah, Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syariah, Bisnis Syariah, dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Mempertegas eksistensi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, maka pada tahun 2008 lalu, DPR telah berhasil menyelesaikan RUU Perbankan Syariah menjadi Undang-Undang Perbankan Syariah. Dalam salah satu pasalnya yakni pasal 55 ayat 1 dijelaskan bahwa penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Citra Media, 2006), hal. 144. 67 Mengacu pada beberapa peraturan perundang-undangan di atas, maka Peradilan Agama memiliki wewenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus sengketa di bidang ekonomi syariah. 4. Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama 68 Prosedur penyelesaian sengketa ekonomi syariah pada dasarnya sama dengan prosedur penyelesaian sengketa-sengketa kasus perdata lainnya, hal ini mengingat Hukum Acara Peradilan Agama sama dengan Hukum Acara yang dipakai oleh Peradilan Umum. Adapun prosesnya sebagai berikut: a. Prosedur. Langkah-langkah yang harus ditempuh oleh penggugat adalah: 1) Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan (Pasal 118 HIR, 142 Rbg). 2) Gugatan diajukan kepada Pengadilan a) Di mana daerah hukumnya meliputi kediaman hukum tergugat. b) Bila tempat kediaman tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat. Fakultas ekonomi UMY, Penyelesaian Ekonomi Syariah II, www.http//umy.ac.id/index.php?option=page&id=149&item=326 - 104k, artikel ini di download pada minggu 24 Mei 2009. 68 c) Bila mengenai benda tetap, maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat letak benda tersebut. Bila benda tetap tersebut terletak dalam beberapa wilayah pengadilan, maka gugatan dapat diajukan kepada salah satu pengadilan yang dipilih oleh penggugat (Pasal 118 HIR, 142 Rbg). 3) Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR). Jika penggugat tidak memiliki kemampuan secara financial untuk membayar biaya perkara, maka dapat dilaksanakan secara prodeo. 69 4) Penggugat dan tergugat atau kuasanya menghadiri sidang pemeriksaan berdasarkan panggilan pengadilan (Pasal 121, 124, dan 125 HIR, 145 Rbg). b. Proses Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Agama 1) Calon Penggugat menghadap ke meja I. Meja I yang bertugas menerima surat gugatan dan salinannya, menaksir panjar biaya perkara, dan membuat SKUM (Surat Kuasa untuk Membayar). Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut 70 . Bagi yang Ibid. Pasal 90 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, hal. 74. 69 70 tidak mampu dapat diizinkan berperkara secara prodeo. Ketidakmampuan tersebut dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari lurah/kepala desa setempat yang dilegalisir oleh camat. 71 2) Calon Penggugat/pemohon kemudian menghadap kepada kasir dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan tersebut dan SKUM. Ia membayar panjar biaya perkara sesuai dengan yang tertera pada SKUM tersebut. Kasir kemudian menerima uang tersebut dan mencatat dalam jurnal biaya perkara, menandatangani dan memberi nomor perkara serta tanda lunas pada SKUM tersebut. Mengembalikan surat gugat/permohonan dan SKUM kepada calon Penguggat/pemohon, menyerahkan uang panjar tersebut kepada Bendaharawan perkara. 72 3) Pendaftaran perkara 73 Calon penggugat/pemohon kemudian menghadap pada Meja II dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan dan SKUM yang telah dibayar tersebut. Selanjutnya penggugat melakukan: 71 M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama Dan Mahkamah Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 14. 72 Fakultas Ekonomi UMY, Penyelesaian Ekonomi Syariah II. 73 Ibid. a) Memberi nomor pada surat gugatan/permohonan sesuai dengan nomor yang diberikan oleh kasir. Sebagai tanda telah terdaftar maka petugas Meja Kedua membubuhkan paraf. b) Menyerahkan satu lembar surat gugatan/permohonan yang telah terdaftar bersama satu helai SKUM kepada penggugat/pemohon c) Mencatat surat gugatan/permohonan tersebut pada Buku Register Induk Perkara Permohonan atau Register Induk Perkara Gugatan sesuai dengan jenis perkaranya. d) Memasukkan surat gugatan/permohonan tersebut dalam Map Berkas Perkara dan menyerahkan kepada Wakil Panitera untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan melalui Panitera. 4) Penetapan Majelis Hakim 74 Dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari, Ketua menunjuk Majelis Hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara dalam sebuah Penetapan Majelis Hakim (Pasal 121 HIR jo Pasal 93 UU-PA). Ketua membagikan semua berkas perkara dan atau surat-surat yang berhubungan dengan perkar yang diajukan ke 74 Ibid. Pengadilan kepada Majelis Hakim untuk diselesaikan. Ketua menetapkan perkara yang harus diadili berdasarkan nomor urut, tetapi apabila terdapat perkara tertentu karena menyangkut kepentingan umum harus segera diadili, maka perkara itu didahulukan (Pasal 94 UU-PA) yang berwenang menentukan bahwa suatu perkara menyangkut kepentingan umum adalah ketua Pengadilan. Penetapan Majelis Hakim dibuat dalam bentuk penetapan dan ditandatangani oleh Ketua PA dan dicatat dalam Register Induk Perkara yang bersangkutan. 5) Penunjukan Panitera Sidang (PPS) 75 Untuk membantu Majelis Hakim dalam menyelesaikan perkara ditunjuk seorang atau lebih panitera sidang. Penunjukan panitera sidang dilakukan oleh Panitera (Pasal 96 UU-PA). Panitera pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi perkara dan mengatur tugas wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti. Panitera, wakil panitera, panitera muda, panitera pengganti bertugas membantu hakim dengan menghadiri dan mencatat jalannya sidang pengadilan. Apabila ternyata dikemudian hari, anggota majelis hakim ada yang berhalangan untuk sementara, maka dapat diganti dengan 75 Ibid. anggota lain yang ditunjuk oleh Ketua dan dicatat dalam BAP. Apabila Ketua majelis berhalangan, maka sidang harus ditunda pada hari lain. Tetapi apabila Ketua Majelis atau anggota majelis berhalangan tetap (karena pindah tugas atau meninggal dunia atau alasan lain) maka harus ditunjuk majelis baru dengan Penetapan Majelis Hakim baru. Apabila panitera sidang berhalangan, maka ditunjuk panitera lainnya untuk mengikuti sidang. 6) Penetapan Hari Sidang 76 Ketua Majelis setelah menerima berkas perkara tersebut, bersama-sama hakim anggotanya mempelajari berkas perkara. Ketua kemudian menetapkan hari dan tanggal serta jam kapan perkara itu akan disidangkan serta memerintahkan agar para pihak dipanggil untuk datang menghadap pada hari, tanggal dan jam yang telah ditentukan. 7) Tahap Pemeriksaan Perkara 77 Berdasarkan penetapan hari sidang, petugas panggil yang ditunjuk Ketua Pengadilan Agama memanggil pihak-pihak di muka sidang menurut hari, tanggal, jam, tempat yang telah 76 Ibid. Nur Lailatul Musyafa’ah dkk, Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quroisy, 2004), hal 79. 77 ditentukan. Adapun proses pemeriksaan perkara sebagai berikut: a) Tahap sidang pertama. Tahap ini terdiri dari: (1) hakim membuka sidang, (2) hakim menanyakan identitas para pihak, (3) anjuran untuk berdamai. Jika upaya mediasi tidak berhasil maka sidang akan dilanjutkan dengan (4) pembacaan surat gugatan atau permohonan oleh penggugat atau pemohon. 78 b) Tahap jawab menjawab (replik-duplik). Setelah pembacaan gugatan/permohonan selesai, kemudian upaya mediasi tidak berhasil hakim akan bertanya kepada tergugat atau termohon apakah ia menjawab secara verbal atau tertulis. Jika menjawab tertulis, maka akan ditanyakan kembali apakah sudah siap. Jika belum siap, kapan tergugat/termohon memiliki kesiapan. Sejak saat itu masuklah pada proses replik-duplik, baik antar pihak maupun hakim dengan para pihak. 79 c) Tahap pembuktian. Tahap pembuktian dimulai ketika tiada lagi yang akan dikemukakan oleh para pihak dan tiada lagi 78 R. Soeroso, Praktek Hukum Acara Perdata, Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta:Sinar Grafika 2004), hal. 41-42. 79 Ibid. yang dipertanyakan oleh hakim. Setelah itu hakim memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. 80 d) Tahap penyusunan konklusi. Setelah hakim memeriksa bukti-bukti, sebelum majelis hakim bermusyawarah, pihakpihak diperkenankan mengajukan konklusi (kesimpulankesimpulan dari persidangan menurut para pihak). Karena konklusi ini bersifat hanya untuk membantu majelis, pada umumnya ini tidak diperlukan pada kasus-kasus ringan sehingga hakim boleh meniadakannya. 81 e) Musyawarah Majelis Hakim. Musyawarah majelis dilakukan secara rahasia, tertutup untuk umum. Semua pihak maupun hadirin diperintahkan meninggalkan ruang sidang. Panitera sendiri, kehadirannya dalam sidang musyawarah atas izin majelis hakim. Hasil musyawarah ditandatangani oleh semua hakim tanpa panitera sidang. Ini merupakan lampiran Berita Acara Sidang yang nanti akan dituangkan dalam diktum keputusan. 82 80 Fakultas Ekonomi UMY, Penyelesaian Ekonomi Syariah II. 81 Nur Lailatul Musyafa’ah dkk, Peradilan Agama di Indonesia, hal. 80 82 Ibid. f) Pengucapan Keputusan. Pengucapan keputusan selalu dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum. Selesai keputusan diucapkan, ketua majelis akan bertanya kepada penggugat atau tergugat, apakah menerima keputusan tersebut atau tidak. Bagi pihak yang menyatakan menerima, maka baginya tertutup kesempatan untuk melakukan banding, sedangkan bagi pihak yang menyatakan tidak menerima atau pikir-pikir dulu, baginya masih terbuka melakukan upaya hukum. 83 8) Eksekusi Dengan dibacakannya putusan, maka selesailah proses pemeriksaan perkara. Selanjutnya akan dilakukan proses pelaksanaan keputusan (eksekusi) oleh jurusita yang ditunjuk. Dalam proses eksekusi harus diperhatikan unsur-unsur berikut: 84 a) Dictum putusan yang dapat dieksekusi hanyalah yang bersifat comdemnatoir, artinya berwujud menghukum pihak untuk membayar sesuatu, menyerahkan sesuatu, atau melepaskan sesuatu dan sejenisnya. 83 Ibid. hal. 81. Raihan Abdul Rosyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hal. 223. 84 b) Diktum yang bersifat comdemnatoir tersebut harus jelas dan rinci, misalnya wujudnya, bentuknya, batas-batasnya dan sebagainya. c) Barang atau benda yang akan digunakan untuk dibayarkan atau diserahkan tersebut harus bebas dari sangkutan dengan pihak ke tiga. d) Untuk terjaminnya pelaksanaan putusan (eksekusi) penggugat biasanya mengajukan permohonan sita jaminan (conservatoir beslag) bersamaan dengan pengajuan gugatan atau disusulkan. B. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) 1. Pengertian Badan Arbitrase Syariah Nasioal Arbitrase jika dilihat dari asal kata (bahasa latin adalah arbitrare dan dalam bahasa Belanda arbitrage) yang berarti suatu kesatuan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Artinya penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa arbiter atas dasar kebijaksanaannya dan para pihak akan tunduk atau menanti pada keputusan yang yang diberikan oleh arbiter yang mereka pilih 85 . Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan, (Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 1999), hlm. 285. 85 Menurut R. Soebekti yang pendapatnya dinukil oleh Zeini Asyhadie menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk dan menaati kepada keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih. 86 Dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, bahwa yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 87 Arbitrase merupakan badan penyelesai sengketa non-litigasi (di luar pengadilan) yang telah dikenal oleh pihak perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih sendiri secara sukarela oleh masing-masing pihak yang melakukan perjanjian. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan Negara merupakan kehendak bebas pihak-pihak yang berkepentingan. Kehendak bebas ini dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat 86 Zeini Ayhadie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2005), h. 208. 87 Ibid. hal. 208 sebelum dan sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata. 88 Menurut Satria Effendi M. Zen, pengertian arbitrase dalam kajian fiqih adalah suatu penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh hakam yang dipilih atau ditunjuk secara sukarela oleh dua orang yang bersengketa untuk mengakhiri sengketa di antara mereka dan kedua belah pihak akan menaati penyelesain oleh hakam atau para hakam yang mereka tunjuk itu. 89 Menurut A. Wasil Auli terdapat nilai-nilai positif dan konstruktif yang terkandung dalam prinsip perdamaian (arbitrase): 90 a. Kedua belah pihak menyadari sepenuhnya perlunya penyelesaian sengketa yang terhormat dan bertanggung jawab. b. Secara sukarela mereka meyerahkan penyelesaian sengketa itu kepada orang atau lembaga yang disetujui dan dipercayai. c. Secara sukarela mereka akan melaksanakan putusan dari arbiter sebagai konsekuensi atas kesepakatan mereka mengangkat arbiter. Kesepakatan mengandung janji dan janji itu harus ditepati. 88 Abdul Kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya,1992), hal. 276. 89 Satria Effendi M. Zen, “Arbitrase dalam Syariat Islam”, dalam Abdul Rahman Sholeh, dkk., Arbitrse Syariah Islam di Indonesia, (Jakarta, BAMUI, 1994), hal. 8. Ahmad Wasit Aula’i, “Arbitrase Dalam Perspektif Islam”, dalam Abdul Rahman Saleh, Arbitrase Islam di Indonesia, (Jakarta: BAMUI dan BMI, 1994), hal. 41. 90 d. Mereka menghargai hak orang lain sekalipun orang lain itu adalah lawannya. e. Sesungguhnya pelaksanaan tahkim atau arbitrase mengandung makna perdamaian dan musyawarah. 2. Sejarah Basyarnas Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang dahulu bernama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI), didirikan oleh MUI tanggal 5 Jumadil Awal 1414 H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober 1993, didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan, sabagaimana dikukuhkan dalam akte notaris Yudo Paripurno, SH. No. 175 tanggal 21 Oktober 1993. 91 HS. Projdokusumo (sekum MUI) menyebutkan bahwa gagasan pembentukan badan ini tidak terlepas dari konteks perkembangan kehidupan sosial ekonomi umat Islam. Konteks ini jelas dihubungkan dengan Bank Muamalat dan Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah (BPRS) yang terlebih dahulu lahir, bersesuaian dengan diberlakukannya perangkat hukum yang mengandung beroperasinya perbankan dengan prinsip Islam yaitu Undang-Undang No. 7 tahun 1992 dan PP No. 71 dan 72 tahun 1992 92 . Abdul Rahman Saleh, Arbitrase Islam di Indonesia, (Jakarta: BAMUI dan BMI, 1994), hal. 191. 92 Ibid, 91 Kemudian berdasarkan hasil pertemuan antara Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia dan Pengurus BAMUI tanggal 26 Agustus 2003, serta memperhatikan surat Pengurus Badan Arbitrase Muamalat Indonesia No. 82/BAMUI/07/X/2003, tanggal 07 Oktober 2003, maka MUI dengan SK-nya No. Kep-09/MUI/XII/2003, tanggal 30 Syawwal 1424/24 Desember 2003, menetapkan bahwa: 93 a. Mengubah nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS). b. Mengubah bentuk badan hukum BAMUI dari Yayasan menjadi badan yang berada di bawah MUI, dan merupakan perangkat organisasi MUI. c. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai lembaga hakam, BASYARNAS bersifat otonom dan independen. Bergantinya nama BAMUI menjadi Basyarnas didasari dengan alasan: a. Kedudukan BAMUI sebagai bentuk badan hukum yayasan tidak sesuai lagi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 16 tahun 2001 tentang yayasan. Ahmad Djauhari, Arbitrase Syariah Indonesia, (Jakarta: Badan Arbitrase Syariah Nasional, 2006), hal. 42-43. 93 b. Bahwa anggota Pembina dan pengurus BAMUI sudah banyak yang meninggal dunia oleh karena itu perlu ditetapkan susunan dan personalia baru. c. Bahwa Rapat Kerja Nasional MUI pada tanggal 23-26 Desember 2002 merekomendasikan perubahan nama BAMUI menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). d. Adanya keinginan untuk menghilangkan asumsi masyarakat bahwa BAMUI ada hubungan dengan Bank Muamalah Indonesia (BMI) dalam arti kata hanya diperuntukkan bagi BMI saja ataupun bagian dari manajemen BMI. 3. Dasar Hukum dan Wewenang Basyarnas Eksistensi Basyarnas sebagai salah satu lembaga penyelesai sengketa dalam bidang perdata khususnya ekonomi Islam tidak terlepas dari keberadaan Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia khususnya BMI yang pada saat itu merupakan satu-satunya bank dengan prinsip syariah. Kemudian disusul dengan pendirian asuransi takaful dan Badan Perkreditan Rakyat Syariah. Adanya lembaga keuangan syariah merupakan indikator perkembangan hukum perdata Islam yang terdiri dari masalah perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, perceraian dan sekarang bertambah hukum bisnis. Jika kemudian hari timbul sengketa antar pihak yang bermuamalah, maka proses penyelesaiannya diserahkan kepada pihak yang bertransaksi, apakah lewat Basyarnas atau Peradilan Agama sesuai dengan klausula yang disepakati oleh kedua belah pihak. Basyarnas mempunyai landasan yuridis formal yang kuat di Indonesia. Ada dasar hukum Negara sebagai hukum positif yang berlaku saat ini memungkinkan penyelesaian sengketa yang menyangkut kegiatan transaksi bisnis dilakukan tidak melalui jalur peradilan. Walaupun penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan sepenuhnya kepada peradilan dengan berpedoman kepada Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kehakiman. Basyarnas merupakan badan arbitrase (hakam), maka landasan hukumnya pun tidak lepas dari pedoman konstitusi Islam yakni Al-Quran dan Hadits. Karena penyelesaian sengketa melalui arbitrer merupakan kebiasaan masyarakat Arab sejak pra Islam. Nabi Muhammad sering ditunjuk sebagai juru damai oleh masyarakat Arab pada saat itu, saat beliau belum menjadi Rosulullah. Peristiwa peletakkan hajarul aswad merupakan salah satu bukti bahwa Rosulullah telah dianggap sabagai figur yang mampu mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa. Dalam QS. An-Nisa ayat 35 dijelaskan: ﺣ َﻜﻤَﺎ ِﻣﻦْ َأهِْﻠﻬَﺎ َ ﺣ َﻜﻤًﺎ ِﻣﻦْ َأهِْﻠ ِﻪ َو َ ق َﺑﻴْﻨﻬﻤﺎ ﻓَﺎﺑْ َﻌ ُﺜﻮا ُ ﺷﻘَﺎ ِ ْﺧﻔْ ُﺘﻢ ِ َْوِإن ﴾٣٥﴿ ﺧ ِﺒﻴْﺮًا َ ﻋِﻠﻴْﻤًﺎ َ ن َ ن اﻟّﻠ َﻪ آَﺎ ﻖ اﻟّﻠ ُﻪ ﺑِﻴْﻨَ ُﻬﻤَﺎ ِا ﱠ ِ ِانْ ُﻳ ِﺮﻳْﺪَا اِﺻْﻼَﺣًﺎ ُﻳ َﻮ ﱢﻓ “Dan jika kaum khawatir ada persengketaan antara keduanya maka kirimilah seorang hakam dari keluarga keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah akan memberikan taufik kepada istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Mengenal.” Jika dilihat secara tekstual ayat ini mengandung pengertian hakam dalam masalah keluarga dalam menyelesaikan masalah antara suami istri. Namun kalau kita perhatikan ada semangat yang terkandung di dalamnya yang berkaitan dengan penyelesaian sebuah masalah melalui islah. Dasar hukum arbitrase selanjutnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i yang menceritakan dialog nabi dengan Abi Sureikh di kalangan rakyat jika terjadi perselisihan dalam berbagai hal Abu Sureikh sering kali diangkat menjadi wasit untuk menyelesaikan masalah di antara mereka. إن اﷲ: ﻓﻘﺎل ﻟﻪ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ، أﻧﻪ آﺎن ﻳﻜﻨﻰ أﺑﺎ اﻟﺤﻜﻢ: ﻋﻦ أﺑﻲ ﺷﺮﻳﺢ ، إن ﻗﻮﻣﻲ إذا اﺧﺘﻠﻔﻮا ﻓﻲ ﺷﻲء أﺗﻮﻧﻲ ﻓﺤﻜﻤﺖ ﺑﻴﻨﻬﻢ: ﻓﻘﺎل، وإﻟﻴﻪ اﻟﺤﻜﻢ،هﻮ اﻟﺤﻜﻢ ، وﻣﺴﻠﻢ، ﺷﺮﻳﺢ: ﻓﻤﺎ ﻟﻚ ﻣﻦ اﻟﻮﻟﺪ ؟ ﻗﺎل، ﻣﺎ أﺣﺴﻦ هﺬا: ﻓﻘﺎل،ﻓﺮﺿﻲ آﻼ اﻟﻔﺮﻳﻘﻴﻦ ﻓﺄﻧﺖ أﺑﻮ ﺷﺮﻳﺢ ﴿رواﻩ اﻟﻨّﺴﺎئ: ﻗﺎل، ﺷﺮﻳﺢ: ﻓﻤﻦ أآﺒﺮهﻢ ؟ ﻗﻠﺖ: ﻗﺎل. وﻋﺒﺪ اﷲ ﴾و أﺑﻮ داود “Qutaibah telah menceritakan kepada kami, dia berkata: telah menceritakan kepada kami Yazid, dia adalah putera Miqdam bin Syureikh dari Syreikh Ibnu Hani, dari bapaknya yaitu Hani, bahwa dia (Hani) tatkala datang kepada Rosulullah, maka Rosulullah berkata kepadanya: “Sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Hakim dan hanya kepada-Nya lah dikembalikan segala permasalahan hukum namun mengapa engkau digelari “Abu al-Hakim? Maka Hani berkata: sesungguhnya kaumku manakala terjadi permasalahan di antara mereka tentang sesuatu, maka mereka mendatangiku dan aku memberikan putusan hukum bagi mereka dan masing-masing pihak yang berselisish itu menerima keputusan dengan rela hati”. Rasulullah berkata: “alangkah baiknya hal demikian”… 94 Di samping dalam kedua sumber pokok hukum Islam tersebut, arbitrase atau tahkim juga telah diakui oleh mayoritas sahabat Rosulullah. Persengketaan pernah terjadi yang diputuskan melalui arbitrase di kalangan sahabat. Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya arbitrase telah menjadi keharusan bagi para pihak yang berkonflik untuk mengedepankan rasa perdamaian dan persaudaraan di antara mereka. Selain Al-Quran, Hadits dan konsensus ulama yang menjadi landasan hukum bagi Basyarnas, dalam hukum positif juga dapat menjadi payung hukum bagi Basyarnas, yakni pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, dalam UU tersebut disebutkan bahwa arbitrase adalah penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan atas perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersegketa. 95 4. Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Basyarnas a. Pengajuan Permohonan 94 Sunan An-Nasa’i jilid VII hal. 199. Abdul Ghofur Anshori, Perjanjian Islam, (Yogyakarta: Citra Media Hukum, 2006), hal. 148. 95 Prosedur arbitrase dimulai dengan didaftarkannya surat permohonan untuk mengadakan arbitrase oleh sekretaris dalam register Basyarnas. Surat permohonan harus memuat sekurang-kurangnya: 1) Nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan 2) Suatu uraian singkat tentang duduknya sengketa 3) Apa yang dituntut 96 Pada surat permohonan harus dilampirkan: 97 a) Salinan dari naskah kesepakatan yang secara khusus menyerahkan pemutusan sengketa kepada Basyarnas b) Surat perjanjian yang memuat klausul arbitrase yaitu ketentuan yang menetapkan bahwa sengketa-sengketa yang timbul dari perjanjian tersebut akan diputus Basyarnas. Apabila surat permohonan diajukan oleh juru kuasa, maka surat kuasa khusus untuk mengajukan permohonan tersebut harus dilampirkan Apabila para pihak tidak mampu membayar biayabiaya pendaftaran, administrasi atau pemeriksaan yang dapat dibuktikan dengan surat keterangan resmi sekurang-kurangnya 96 Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis, hal. 216-217. Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 105-106. 97 dari Kepala Desa atau Lurah setempat, maka Ketua Bamui dapat menetapkan kebijaksanaannya.98 b. Sikap Basyarnas terhadap permohonan 99 Basyarnas akan menyatakan permohonan tidak dapat diterima, apabila perjanjian yang menyerahkan pemutusan sengketa kepada Basyarnas atau klausul arbitrase dianggap tidak cukup untuk dijadikan dasar kewenangan Basyarnas untuk memeriksa sengketa yang diajukan. Pernyataan tentang tidak dapat diterimanya permohonan tersebut dilakukan dengan sebuah penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Basyarnas selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari terhitung sejak tanggal pendaftaran permohonan. Pernyataan tentang tidak dapat diterimanya permohonan juga dapat dilakukan oleh arbiter tunggal atau arbiter majelis yang telah ditunjuk dalam hal pemeriksaan telah mulai. Penetapan tentang tidak dapat diterimanya permohonan yang dikeluarkan oleh ketua Basyarnas disampaikan kepada pihak yang bersangkutan selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari terhitung sejak tanggal penetapan. c. Penetapan Arbiter Tunggal atau Arbiter Majelis 100 98 Ensiklopedia Ekonomi Islam, Penyelesaian Melalui Basyarnas, diakses pada 5 Maret 2010 dari http://fe.umy.ac.id/eei/index.php?option=page&id=149&item=32 99 Ensiklopedi Ekonomi Islam, Penyelesaian Melalui Basyarnas. Ibid. 100 Apabila perjanjian yang menyerahkan pemutusan sengketa kepada Basyarnas atau klausul arbitrase dianggap sudah mencukupi maka Ketua Basyarnas segera menetapkan dan menunjuk arbiter tunggal atau arbiter majelis yang akan memeriksa dan memutus sengketa dan sekaligus memerintahkan untuk menyampaikan salinan surat permohonan kepada termohon disertai perintah untuk menanggapi permohonan tersebut dan memberikan jawabannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari terhitung sejak tanggal diterimanya salinan surat permohonan dan surat panggilan. Penetapan arbiter tunggal atau arbiter majelis dilakukan oleh ketua Basyarnas berdasarkan klausul arbitrase atau apabila tidak disebutkan yang demikian, ditetapkan berdasarkan berat ringannya sengketa. Arbiter yang telah ditunjuk oleh Ketua Basyarnas dipilih dari para anggota dewan arbiter yang telah terdaftar pada Basyarnas. Namun demikian, dalam hal yang sangat diperlukan karena pemeriksaan memerlukan suatu keahlian yang khusus, maka ketua Basyarnas berhak menunjuk seorang ahli dalam bidang khusus yang diperlukan untuk menjadi arbiter. Apabila salah satu atau kedua belah pihak yang bersengketa mempunyai keberatan terhadap arbiter yang telah ditunjuk oleh Ketua Basyarnas, maka selambat-lambatnya dalam sidang pemeriksaan pertama, hal keberatan tersebut telah diajukan oleh pihak yang bersangkutan disertai alasan-alasannya berdasar hukum. Segera setelah selesainya sidang pertama pemeriksaan atau selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari arbiter tunggal atau arbiter majelis meneruskan keberatan itu kepada ketua Basyarnas dan selambat-lambatnya dalam waktu tiga hari ketua Basyarnas harus sudah memberikan penetapan apakah keberatan itu diterima atau ditolak berikut alasan-alasannya. Bila keberatan diterima, maka ketua Basyarnas dalam penetapan yang sama menunjuk arbiter lain. Adanya keberatan terhadap arbiter yang telah ditunjuk oleh Ketua Basyarnas yang diajukan oleh satu atau kedua belah pihak, tidak mengurangi kewajiban termohon untuk memberikan jawabannya secara tertulis sebagaimana yang telah ditentukan. d. Acara Pemeriksaan 101 Pemeriksaan persidangan dilakukan di tempat kedudukan Basyarnas kecuali ada persetujuan dari kedua belah pihak pemeriksaan dapat dilakukan di tempat lain. Putusan harus diambil dan dijatuhkan di tempat kedudukan Basyarnas. Selama proses dan pada setiap tahap pemeriksaan berlangsung arbiter tunggal atau arbiter majelis harus memberi perlakuan dan kesempatan yang sama sepenuhnya kepada masing-masing pihak untuk membela dan mempertahankan kepentingannya. Baik atas pendapat sendiri maupun atas permintaan salah satu pihak arbiter tunggal atau arbiter majelis dapat melakukan 101 Ibid. pemeriksaan dengan mendengar keterangan saksi, termasuk saksi ahli dan pemeriksaan secara lisan di antara para pihak. Setiap bukti atas dokumen yang disampaikan salah satu pihak kepada arbiter tunggal atau arbiter majelis, salinannya harus diberikan kepada pihak lawan. Tata cara pemeriksaan dilakukan secara langsung dan tertulis di depan persidangan yang ditetapkan untuk itu tanpa mengurangi kebolehan pemeriksaan secara lisan. Pemeriksaan terdiri atas tahap jawab menjawab (replik duplik), pembuktian dan putusan, yang pentahapannya ditentukan berdasarkan kebijaksanaan arbiter tunggal atau arbiter majelis. e. Jawaban Termohon dan Tenggang Waktu 102 Segera setelah diterimanya jawaban dari termohon, atas perintah arbiter tunggal atau arbiter majelis, salinan dari jawaban tersebut diserahkan kepada pemohon. Bersamaan dengan itu arbiter tunggal atau ketua arbiter majelis memerintahkan kepada para pihak untuk menghadap di muka sidang arbitrase pada tanggal yang ditetapkan, selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari, terhitung sejak tanggal dikeluarkannya perintah itu, dengan pemberitahuan bahwa mereka boleh mewakilkan kepada kuasa dengan surat kuasa khusus. Apabila termohon, setelah lewatnya waktu tiga puluh hari tidak menyampaikan jawabannya, maka arbiter tunggal atau 102 Ibid. ketua arbiter majelis akan memerintahkan pemanggilan para pihak sebagaimana ketentuan yang berlaku. f. Tuntutan Balasan 103 Dalam jawabannya, atau paling lambat pada hari sidang pertama pemeriksaan, termohon dapat mengajukan suatu tuntutan balasan (reconventie). Terhadap bantahan yang diajukan termohon, pemohon dapat mengajukan jawaban yang dibarengi dengan tambahan tuntutan (additional claim) asal hal itu mempunyai hubungan erat dan langsung dengan pokok yang disengketakan serta termasuk menjadi yurisdiksi Basyarnas. Tuntutan-tuntutan dari masing-masing pihak terhadap pihak lainnya, akan diperiksa dan diputus oleh arbiter tunggal atau arbiter majelis bersama-sama dan sekaligus dalam suatu putusan. Apabila pada hari yang telah ditetapkan, pemohon tanpa suatu alasan yang sah tidak datang menghadap, sedangkan ia telah dipanggil secara patut, maka arbiter tunggal atau arbiter majelis akan menggugurkan permohonan pemohon. Apabila pada hari yang telah ditetapkan itu, termohon tanpa suatu alasan yang sah, sedangkan ia telah dipanggil secara patut tidak datang menghadap, maka arbiter tunggal atau ketua arbiter majelis memerintahkan supaya dipanggil lagi untuk terakhir kali, guna menghadap di muka sidang pada waktu kemudian, yang ditetapkan selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari sejak 103 Ibid. dikeluarkannya perintah itu. Apabila pada hari yang telah ditetapkan lagi itu termohon tanpa suatu alasan yang sah tidak juga datang menghadap, maka pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon akan dikabulkan, kecuali tuntutan itu oleh arbiter tunggal atau arbiter majelis dianggap tidak berdasarkan hukum atau keadilan. Terhadap putusan arbiter tunggal atau arbiter majelis dalam waktu empat belas hari setelah isi putusan diberitahukan secara resmi kepadanya, termohon berhak mengajukan perlawanan (verstek). Perlawanan diajukan dengan cara yang sama seperti yang berlaku untuk mengajukan permohonan tanpa perlu membayar biayabiaya pendaftaran, administrasi dan pemeriksaan. Apabila pada hari sidang pemeriksaan perlawanan yang telah ditetapkan oleh Basyarnas pelawan meskipun telah dipanggil secara sah tidak datang hadir, maka arbiter tunggal atau arbiter majelis akan menguatkan putusan. Apabila kedua belah pihak datang menghadap, maka pemeriksaan dilakukan dari permulaan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. g. Perdamaian 104 Terlebih dahulu arbiter tunggal atau arbiter majelis akan mengusahakan tercapainya perdamaian. Apabila usaha tersebut berhasil, maka arbiter tunggal atau arbiter majelis akan membuatkan 104 Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, hal. 109. akte perdamaian dan menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi dan menaati perdamaian tersebut. Apabila perdamaian tidak berhasil, maka arbiter tunggal atau arbiter majelis akan meneruskan pemeriksaan terhadap sengketa yang dimohon. h. Pembuktian dan saksi/ahli 105 Para pihak dipersilahkan untuk menjelaskan dalil-dalil pendirian masing-masing serta mengajukan bukti-bukti yang dianggap perlu untuk menguatkannya. Apabila dianggap perlu, arbiter tunggal atau arbiter majelis, dapat memanggil saksi-saksi atau ahli-ahli untuk didengar keterangannya. Pihak yang meminta dipanggilnya saksi atau ahli, harus membayar lebih dahulu kepada sekretaris Basyarnas, segala biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau ahli yang bersangkutan. Dalam hal pemanggilan saksi atau ahli dilakukan atas prakarsa arbiter tunggal atau arbiter majelis, maka biaya untuk itu akan dibebankan kepada para pihak secara adil, namun terlebih dahulu dibayar oleh pemohon kepada sekretaris Basyarnas. Sebelum memberikan keterangan di muka sidang, para saksi atau ahli dapat diminta oleh arbiter tunggal atau arbiter majelis untuk mengucapkan sumpah terlebih dahulu, bahwa saksi atau ahli itu hanya menerangkan apa yang mereka ketahui dengan sungguh-sungguh. Seluruh pemeriksaan dilakukan secara tertutup. 105 Ensiklopedi Ekonomi Islam, Penyelesaian Melalui Basyarnas. i. Pencabutan permohonan 106 Selama belum dijatuhkan putusan, pemohon dapat mencabut permohonannya, apabila sudah ada jawaban dari termohon, maka pencabutan tersebut hanya diperbolehkan dengan persetujuan termohon. Apabila permohonan pencabutan itu dilakukan oleh pemohon sebelum ketua Basyarnas menunjuk arbiter tunggal atau arbiter majelis dan panggilan untuk menghadap sidang belum dikeluarkan, maka seluruh biaya pemeriksaan dikembalikan kepada pemohon. Apabila pemeriksaan oleh arbiter tunggal atau arbiter majelis sudah dimulai, maka dari biaya-biaya yang telah dibayar oleh pemohon akan dikembalikan sebagian menurut ketetapan Ketua Basyarnas sebagaimana yang dianggap pantas. j. Berakhirnya pemeriksaan 107 Apabila arbiter tunggal atau arbiter majelis menganggap pemeriksaan telah cukup, maka arbiter atau ketua arbiter majelis akan menutup pemeriksaan itu dan menetapkan suatu hari sidang guna mengucapkan putusan yang diambil. Apabila dianggap perlu arbiter tunggal atau arbiter majelis baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan salah satu pihak, dapat membuka sekali lagi pemeriksaan sebelum putusan dijatuhkan. Arbiter tunggal atau arbiter majelis akan 106 Ibid. 107 Ibid. mengambil dan mengucapkan putusan dalam suatu sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak, dan apabila salah satu atau para pihak tidak hadir, maka putusan akan diucapkan, sepanjang kepada para pihak telah disampaikan secara patut. Persidangan Arbiter tunggal atau arbiter majelis dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat Bismillahirrahmanirrahim, diikuti dengan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Seluruh proses pemeriksaaan sampai dengan diucapkannya putusan oleh Arbiter tunggal atau arbiter majelis akan diselesaikan selambat-lambatnya sebelum jangka waktu enam bulan habis, terhitung sejak tanggal dipanggilnya untuk pertama kali para pihak untuk menghadiri sidang pertama pemeriksaan. k. Gugurnya Hak Membantah 108 Salah satu pihak yang mengetahui adanya bagian atau ketentuan peraturan prosedur yang tidak diterapkan sebagaimana mestinya, tetapi tidak langsung mengajukan bantahan atau keberatan terhadap hal itu, dianggap menggugurkan haknya sendiri untuk mengajukan bantahan. l. Pengambilan Putusan 109 108 Ibid. 109 Ibid. Apabila arbiter terdiri atas tiga orang, setiap putusan atau ketetapan lain dari arbiter harus diambil berdasarkan suara terbanyak (suara mayoritas) akan tetapi apabila suara terbanyak tidak tercapai, ketua arbiter majelis dapat mengambil dan menjatuhkan putusan oleh dia sendiri dan putusan dianggap dibuat oleh semua anggota arbiter. Putusan harus memuat alasan-alasan kecuali para pihak menyetujui putusan tidak perlu memuat alasan. Putusan Basyarnas yang sudah ditandatangani oleh arbiter tunggal atau arbiter majelis langsung final dan mengikat (final and binding) kepada para pihak yang bersengketa, dan wajib menaati serta segera memenuhi pelaksanaannya. Putusan tidak boleh diumumkan, kecuali disepakati oleh kedua belah pihak. m. Perbaikan putusan 110 Dalam tempo dua puluh hari sejak disampaikan, salah satu pihak dapat mengajukan secara tertulis permintaan perbaikan putusan tentang kesalahan yang berkenaan dengan jumlah perhitungan, salah ketik atau salah cetak. Perbaikan putusan harus dibuat tertulis dan ditandatangani paling lambat dalam waktu 20 hari sejak permintaan disampaikan sekretaris kepada arbiter tunggal atau arbiter majelis, sudah memberikan perbaikan yang diminta dan perbaikan tersebut langsung menjadi bagian yang tidak terpisah dengan putusan. 110 Ibid. n. Pembatalan Putusan 111 Salah satu pihak dapat mengajukan secara tertulis permintaan pembatalan putusan yang disampaikan kepada sekretaris dan tembusan kepada pihak lawan sebagai pemberitahuan, namun hal ini tidak mengurangi kewajiban sekretaris untuk menyampaikan pemberitahuan resmi kepada pihak lawan. Permintaan pembatalan hanya dapat dilakukan berdasarkan salah satu alasan berikut: 1) Penunjukan arbiter tunggal atau arbiter majelis tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan Prosedur Basyarnas 2) Putusan melampaui batas kewenangan Basyarnas 3) Putusan melebihi dari yang diminta oleh para pihak 4) Terdapat penyelewengan di antara salah seorang anggota arbiter 5) Putusan jauh menyimpang dari ketentuan pokok peraturan prosedur Basyarnas 6) Putusan tidak memuat dasar-dasar alasan yang menjadi landasan pengambilan putusan tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan yang berlaku o. Biaya administrasi dan honorarium 112 111 Ibid. 112 Ibid. Apabila tuntutan sepenuhnya dikabulkan atau pendirian si pemohon seluruhnya dibenarkan, atau ditolak biaya administrasi dan pemeriksaan dibebankan kepada si pemohon. Apabila tuntutan sebagian dikabulkan, biaya administrasi dan pemeriksaan dibagi antara kedua belah pihak menurut ketetapan yang dianggap adil oleh arbiter. Honorarium bagi para arbiter selamanya dibebankan kepada kedua belah pihak, masing-masing separuh. C. Analisis Dasar Hukum dan Wewenang Basyarnas dan Peradilan Agama Kompetensi peradilan agama dapat kita lihat dalam undang-undang No. 3 Tahun 2003 tentang amandemen peradilan agama tepatnya pada pasal 49 yang menyebutkan bahwa: 113 “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan b. Waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq c. Shodaqoh, dan d. Ekonomi Syariah” Undang-undang peradilan agama tahun 1989 telah mengalami amandemen pada tahun 2006 yaitu dengan lahirnya Undang-undang No.3 113 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tahun 2006. Berhubungan dengan kompetensi absolut Peradilan Agama yang tertuang dalam ketentuan pasal 49 mengalami perluasan. Perluasan tersebut berupa kewenangan menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah. Menurut penjelasan pasal 49 huruf i, pengertian ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah, meliputi: perbankan syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, bisnis syariah dan lembaga keuangan mikro syariah. Sebelum diamandemenkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1989, ada lembaga non litigasi yang menangani sengketa, yakni Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Pemilihan penyelesaian kasus sengketa yang ditangani oleh basyarnas disepakati dalam akad perjanjian antara pihak yang bermuamalah. Nasabah dan pihak lembaga keuangan syariah pada saat disahkannya Undang-undang No. 3 Tahun 2006 harus memilih Basyarnas untuk menyelesaikan sengketa mereka. Akan tetapi, setelah Pemerintah melalui DPR mengetuk palu tanda disahkannya Undang-undang No. 3 Tahun 2006 kewenangan menyelesaikan ekonomi syariah diberikan kepada peradilan agama, sehingga tidak menjadi monopoli basyarnas 114 . Dalam klausul perjajian antara nasabah dengan lembaga keuangan syariah ditemukan redaksi yang mengindikasikan dualisme hukum yang cukup mengherankan. Dalam klausul tersebut disebutkan bahwa “apabila dikemudian hari terjadi perselisihan akan diselesaikan melalui basyarnas atau pengadilan negeri”. Hal ini disebut mengherankan karena pelaksanaan sengketa ekonomi syariah pada pengadilan negeri tidak tepat selain itu dalam klausul perjanjian terkesan Peradilan Agama tidak diberikan kesempatan dalam menangani sengketa ekonomi syariah padahal Peradilan Agama memiliki wewenang dalam menanganinya. Dengan lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 2006, kasus sengketa ekonomi syariah harus diselesaikan di Peradilan Agama, kecuali para pihak sepakat menyelesaikan perkara mereka melalui badan arbitrase. Satu hal lagi selama ini (sebelum diundangkannya UU No. 3 Tahun 2006) eksekusi keputusan badan arbitrase dilakukan oleh Pengadilan Negeri bukan Peradilan Agama. Ketentuan ini merupakan amanat yang tertuang dalam undangundang arbitrase No. 30 Tahun 1999. Pasca lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 2006 seharusnya realita ini diubah. Dengan pengertian, UndangPengadilan agama Bukit Tinggi, Peradilan Agama dan Sengketa Ekonomi Syariah, artikel ini diakses pada 11 Oktober 2009 dari http://pabukittinggi.blogspot.com/2009/02/pa-sengketa-ekonomi-syariah.html. 114 undang arbitrase harus direvisi karena merupakan upaya sinkronisasi terhadap Undang-undang No. 3 Tahun 2006. Lahirnya Undang-undang ini juga berimplikasi terhadap redaksi klausul perjanjian di lembaga keuangan syariah. Bunyi klausul perjanjian akad di Lembaga Keuangan Syariah saat ini adalah jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Basyarnas setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Dengan amandemen ini seharusnya isi klausul perjanjian tersebut seharusnya dirubah yang semula hanya mencantumkan basyarnas dalam penyelesaian sengketa ditambah dengan Pengadilan Agama. Selain Undang-undang No.30 Tahun 1999 tentang arbitrase, klausul perjanjian, Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan fatwa DSN MUI juga harus direvisi. Namun demikian Basyarnas tidak kehilangan peranannya dengan keluarnya Undang-undang No. 3 Tahun 2006, sebab para pihak yang bersengketa dapat memilih Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa mereka. Setelah Undang-undang No. 3 Tahun 2006 disahkan, maka ada dua lembaga yang akan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah yakni Peradilan Agama atau Basyarnas. Amandemen ini dirasakan penting, mengingat perkembangan lembaga syariah begitu cepat, seperti perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah dan lembaga keuangan syariah yang disebutkan dalam Undang-undang. Sejak Undang-undang No. 3 Tahun 2006 disahkan, seharusnya masalah sengketa keuangan syariah akan menemui titik terang. Undangundang itu menegaskan bahwa semua sengketa ekonomi syariah diselesaikan di Peradilan Agama. Secara yuridis Peradilan Agama telah mempunyai kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa ekonomi syariah. Demikian juga upaya-upaya alternatif yang ditempuh sebelum penyelesaian sengketa diserahkan ke pengadilan, terakhir melalui mekanisme arbitrase syariah, maka pengadilan yang menyelesaikan sengketa tersebut tentunya pengadilan yang aparatur penegak hukumnya memiliki kompetensi basis keilmuan maupun spesifikasi kesyariahan. Sebab apabila suatu pekerjaan jika diserahkan pada orang yang tidak kompeten dalam bidangnya akan mengalami kehancuran. Oleh karena sengketa ekonomi syariah yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana ketentuan Undangundang No. 3 Tahun 2006, maka segala bentuk perundangan yang mengatur hal-hal yang berdasarkan prinsip syariah dilakukan Peradilan Agama. Ditilik dari segi syariah maqaoshid syariah melindungi atau (menolak) dari bahaya dan mewujudkan kesejahteraan umat yang dikemas dalam konsep Rohmatan Lil ‘Alamin oleh karena itu dalam subjek hukum Islam khusunya bagi peradilan agama yang menyebutkan bagi orang-orang yang beragama Islam adalah mencakup orang atau badan hukum yang secara suka rela tunduk pada hukum Islam. Sehingga dalam hal sengketa ekonomi syariah bagi para nasabah yang non muslim yang beraktifitas menggunakan prinsip syariah, jika terjadi kasus persengketaan, maka diselesaikan di Pengadilan Agama. BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS A. Kecenderungan Lembaga Keuangan Syariah Terhadap Basyarnas dan Peradilan Agama dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah Kecenderungan berarti memilih, dalam bahasa inggris preferensi yang artinya pilihan. Preferensi adalah sebuah konsep yang digunakan pada ilmu sosial khususnya ekonomi. Ini mengasumsikan pilihan realitas atau imajiner antara alternative-alternativ dan kemungkinan dari pemeringkatan alternative tersebut berdasarkan kesenangan, kepuasan, pemenuhan, kegunaan yang ada, lebih luas lagi dapat dilihat sebagai sumber motivasi 115 . Preferensi digambarkan sebagai sikap konsumen terhadap produk dan jasa sebagai evaluasi terhadap kognitif seseorang. Perasaan emosional dan kecenderungan bertindak melalui objek atau ide. Dalam konsep prilaku konsumen, persepsi dari suatu objek yang sama dapat diartikan berbeda-beda karena pada dasarnya manusia memahami objek tersebut melalui perasaan dari penglihatan, pendengaran, penciuman, sentuhan dan rasa, akhirnya persepsi yang sudah mengendap dan melekat akan menjadi sebuah preferensi 116 . 115 http://id-wikipedia.org 116 Philip kotler, manager pemasaran, (Jakarta, Prehalindo, 2000). Ed.10 h. 154 Menurut kamus bahasa Indonesia kata kecenderungan berarti keinginan akan, menaruh minat kepada, dan condong 117 . Dalam hal ini jika kita condong kepada sesuatu dari beberapa pilihan yang ada berarti kita merasa tertarik dan memilih kepada sesuatu yang kita condongi tersebut, tentunya kecondongan tersebut tidak serta merta ada begitu saja akan tetapi memiliki alasan dan sebab-sebab yang melandasinya dan juga bukan berarti pilihan yang tidak kita condongi itu lebih buruk dari yang kita pilih. Lembaga Keuangan Syariah seperti yang dikatakan oleh Fathurrahman Djamil tertera dalam pembahasan bab II adalah lembaga atau badan usaha yang mengelola dana dari unit surplus kepada defisit surplus atau dari pemilik dana/investor kepada pengguna dana dengan berdasarkan pada nilai-nilai Islam. Berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 pasal 2 dijelaskan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini 118 . Sedangkan makna pengadilan menurut Muhammad Daud Ali adalah lembaga atau badan yang bertugas menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya atau yang menjadi wewenangnya. Jadi pengadilan agama adalah intitusi keadilan yang berada di bawah 117 JS Badudu dan Sultan Muhammad Zein, Kamus Umum Bahasa Indonesa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), hal 276. Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama (Undang-Undang RI No. 3 Tahun 2006) 118 naungan Mahkamah Agung yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang terjadi di kalangan umat muslim. Dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, bahwa yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Geliatnya sektor keuangan syariah di negeri ini ikut juga memaksa sektor penegakan hukum Indonesia untuk berbenah diri dan berinovasi dalam melahirkan produk-produk hukum agar up to date dengan perkembangan zaman. Kita sama-sama mafhum bahwa dalam setiap transaksi bisnis ada kemungkinan terjadinya konflik baik kecil yang cukup diselesaikan dengan jalan musyawarah ataupun besar yang melibatkan pihak eksternal perusahaan dalam menyelesaikan konflik tersebut. Terdapat beberapa alternatif dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Indonesia: 1. Sulhu/perdamaian/musyawarah Konsep sulhu (perdamaian) sebagaimana yang tersebut dalam berbagai kitab fiqih merupakan satu dokrin utama hukum Islam dalam bidang muamalah untuk menyelesaikan suatu sengketa, dan ini sudah merupakan hal yang lumrah dalam kehidupan masyarakat manapun, karena pada hakekatnya perdamaian bukalah suatu pranata positif belaka, melainkan lebih berupa fitrah dari manusia. Jika suatu permasalahan tidak dapat terselesaikan dengan jalan musyawarah atau perdamaian, maka akan ditempuh alternatif penyelesaian lainnya yang diakui oleh Undang-undang. Cara ini bisa lewat proses litigasi maupun non litigasi. 2. Arbitrase (tahkim) Arbitrase merupakan suatu bentuk lain dari ajudikasi privat, namun mirip dengan ajudikasi public dan sama-sama memiliki beberapa keuntungan dan kelemahan 119 . Usaha penyelesaian sengketa dapat diserahkan kepada forumforum tertentu sesuai dengan kesepakatan. Dasar hukum pemberlakuan arbitrase dalam penyelesaian sengketa dalam bidang bisnis adalah UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam kaitannya dengan sengketa ekonomi syariah, badan arbitrase yang berwewenang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah adalah Basyarnas, karena merupakan badan arbitrase yang dikhususkan menangani masalah ekonomi dengan system syariah. 3. Peradilan agama Dalam kontek ekonomi Syariah, Lembaga Peradilan Agama melalui pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diamandemen dengan Sudiarto dan Zaenal Asyhadie, Mengenal Arbitrase: Salah Satu Alternative Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal 20. 119 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama telah menetapkan hal-hal yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama. Adapun tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu bagi yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah. Dengan disahkannya UU No. 3 Tahun 2006 sebagai reaksi pemerintah dalam memproteksi para pelaku bisnis syariah yang tengah menggeliat akhir-akhir ini berarti ada 2 lembaga yang memiliki kewenangan yang sama dalam hal menangani sengketa ekonomi syariah yakni Peradilan Agama dan arbitrase syariah atau Basyarnas. Jika dipandang dari sisi keabsahannya keduanya menurut penulis memiliki landasan yuridis yang kuat. Pengadilan Agama memiliki landasan UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama serta Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbakan Syariah, Basyarnas juga memiliki landasan yuridis berupa Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jadi menurut penulis baik Pengadilan Agama maupun Basyarnas sama-sama berwewenang dalam menangani sengketa di bidang ekonomi syariah. Sekarang yang menjadi titik perhatian penulis bukan persoalan tarik menarik diantara kedua lembaga ini siapa yang lebih berhak menangani sengketa ekonomi syariah sebagaimana yang terus dikritisi oleh para praktisi dan pemerhati, akan tetapi sampai saat ini diantara kedua lembaga ini mana yang dipilih oleh pihak pelaku bisnis syariah atau Lembaga Keuangan Syariah jika mereka tersangkut masalah hukum dalam bisnis mereka. Berdasarkan research yang penulis lakukan, didapatkan data-data yang akan menjawab permasalahan yang diangkat sebagai berikut: 1. Pengadilan Agama. Ekonomi syariah boleh dibilang merupakan sesuatu yang baru dalam lingkup Peradilan Agama dalam tugasnya menyelesaikan perkara keperdataan Islam, sebelumnya Peradilan Agama hanya menangani sengketa nikah, cerai, talak, ruju, waris dan wakaf. Penugasan ini sempat menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat. Ada beberapa pihak yang menyanksikan kemampuan Peradilan Agama menerima limpahan kompetensi dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah baik dari sisi pengalaman dan kualitas hakim dalam menangani kasus ini maupun dari sisi kesiapan kelembagaannya. Lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang memberikan wewenang absolut kepada Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa muamalah atau ekonomi syariah ternyata belum mendapatkan renspons positif dari para pelaku bisnis/keuangan syariah. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelusuran penulis pada dokumentasi lembaga Pengadilan Agama yang berada di wilayah DKI Jakarta khususnya Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat dan Jakarta Timur. Ternyata dalam kurun waktu 2006 sampai Juli 2009, pihak lembaga keuangan syariah belum ada satu pun yang membawa perkara atau sengketa bisnis mereka kepada Pengadilan Agama 120 . Realita ini disebabkan oleh beberapa faktor yang salah satunya adalah dibandingkan Basyarnas yang telah cukup lama menangani sengketa ekonomi syariah, Peradilan Agama baru beberapa tahun mengemban tugas ini, sehingga terkesan Basyarnas lebih popular dari Peradilan Agama. Masyarakat atau pelaku bisnis syariah masih menunggu pembuktian Peradilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah sembari Peradilan Agama melakukan pembenahan intern dalam menyiapkan hakim dan aparat-aparatnya. Kita berharap ke depannya Peradilan Agama dapat menjawab keraguan masyarakat dengan prestasi yang membanggakan, sehingga masyarakat atau pelaku ekonomi dan bisnis syariah dapat mempercayaakan sengketa mereka kepada Peradilan Agama. 2. Basyarnas Sebagai partner Peradilan Agama dalam menyelesaikan perkaraperkara di bidang bisnis atau ekonomi syariah, Basyarnas memiliki kontribusi dalam upaya membantu menyelesaikan sengketa para pihak yang enggan untuk membawa sengketa mereka ke lembaga Peradilan Agama. Selama ini masyarakat telah mengakui kapasitas dan kapabilitas serta keunggulan- Data dokumentasi tahun 2006 – 2009 dari Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Barat, Timur dan Selatan 120 keunggulan yang dimiliki Basyarnas dibandingkan Peradilan Agama. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya informasi jumlah Lembaga Keuangan Syariah yang telah membawa perkara mereka ke Basyarnas. Dari data yang penulis peroleh bahwa dalam kurun waktu (2006-2009) pihak Basyarnas telah menyelesaikan sebanyak 4 kasus dari total 17 kasus semenjak tahun 1993 121 . Walaupun perkara yang diselesaikan oleh Basyarnas masih minim, mungkin banyak kasus yang ada telah diselesaikan lewat jalan musyawarah internal perusahaan sehingga tidak sampai kepada proses hukum selanjutnya yang melibatkan pihak ketiga, namun kondisi ini telah memberikan informasi kepada kita bahwa pada realitanya para pelaku bisnis dan ekonomi syariah masih cenderung memilih Basyarnas dari pada Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa mereka. Kita berharap Peradilan Agama dan Basyarnas dapat bekerjasama dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas penegakkan hukum di Indonesia. Tidak ada lagi perdebatan masalah siapa yang lebih berhak dalam menangani sengketa ekonomi syariah, karena sebagaimana diketahui keduanya memiliki landasan hukum, yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kualitas kedua lembaga tersebut dalam rangka penegakkan hukum yang menjunjung tinggi keadilan. Data ini diambil pada tanggal 2 Oktober 2009 di kantor Basyarnas (gedung MUI Pusat) 121 B. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan Lembaga Keuangan Syariah terhadap Basyarnas dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah Dari data-data yang telah penulis paparkan 122 dapat diketahui bahwa sampai saat ini para pelaku bisnis/lembaga keuangan syariah masih lebih memilih Basyarnas sebagai pihak yang menyelesaikan perkara mereka jika terjadi sengketa bisnis baik dengan kolega maupun klien mereka yang tak dapat terselesaikan dengan cara musyawarah kekeluargaan. Memang dalam dunia bisnis banyak pertimbangan yang harus dilakukan termasuk dalam memilih pihak yang akan menyelesaikan sengketa bisnis mereka. Hal ini dilakukan guna menjaga kredibilitas mereka di mata masyarakat. Ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan mereka mengapa masih memilih Basyarnas ketimbang Pengadilan Agama padahal dengan keluarnya UU No. 3 Tahun 2006 pasal 49 (i) Pengadilan Agama memiliki hak yang sama dengan Basyarnas yakni menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi/bisnis syariah, bahkan dalam Undangundang perbankan syariah Pengadilan Agama lebih diprioritaskan. Alasan-alasan yang mendasari pelaku bisnis syariah/lembaga keuangan syariah memilih Basyarnas adalah sebagai berikut: Data dari Basyanas menunjukan selama kurun waktu 2006-2009 ada 4 kasus yang ditangani. Berbeda dengan Pengadilan Agaman yang belum pernah menangani sengketa ekonomi syariah dalam kurun waktu tersebut. 122 1. Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin 123 Suatu keuntungan bagi para pelaku bisnis jika terdapat persengketaan dalam bisnis, mereka menyerahkannya kepada Basyarnas karena pemeriksaan atau pemutusan perkara oleh majelis arbitrase dilakukan secara tertutup tidak ada publikasi sehingga rahasia perusahaan tetap terjamin. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan di lembaga Basyarnas, ketika itu sedang digelar sidang perkara di sana dan penulis ingin menyaksikan secara langsung jalannya sidang, akan tetapi keinginan penulis tak tercapai karena pihak Basyarnas tidak mengizinkan penulis untuk mengikutinya, dengan alasan ini telah menjadi ketentuan lembaga arbitrase untuk menjaga kerahasiaan pihak yang bersengketa, menurut mereka kalau penulis ingin mengikuti sidang perkara harus mendapat izin dari kedua belah pihak (pihak yang bersengketa), ini pun sulit setelah penulis meminta izin kepada mereka (pihak yang bersengketa), mereka tidak mengizinkan penulis untuk mengikuti jalannya sidang walaupun dengan alasan akademis. Bukan hanya itu, penulis juga meminta identitas Lembaga Keuangan Syariah/bisnis syariah yang pernah menggelar sidang perkara di Basyarnas, tetapi pihak Basyarnas tetap tidak memberikan datadata yang penulis butuhkan. Sudiarto dan Zaenal Asyhadie, Mengenal Arbitrase:Salah Satu Alternative Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal 33 123 Berbeda dengan kondisi di Basyarnas yang sangat tertutup, di Pengadilan Agama menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, jalannya sidang dilakukan dengan terbuka untuk umum. Bukan cuma persidangan yang terbuka umum, data-data perusahaan pun dengan mudah penulis dapatkan ketika penulis meminta keterangan tentang annmanning atas eksekusi Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam sengketa yang terjadi antara Bank Mandiri Syariah dengan PT. Angkasa Pura yang sebelumnya telah dilakukan sidang perkara oleh Basyarnas. Dalam kasus ini pihak Bank Mandiri Syariah (pihak yang kalah dalam sidang arbitrase) tidak mau melaksanakan putusan arbitrase 124 secara sukarela. Berdasarkan pasal 61 UU No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan apabila para pihak tidak mau melaksanakan putusan secara sekarela, maka putusan dilaksanakan atas perintah Ketua Pengadilan Agama dengan permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Sebagai tahap awal atas permohonan eksekusi Peradilan Dalam kasus ini jalannya persidangan dilakukan sampai tuntas semua acara persidangan. Oleh karena itu produk yang dilahirkan berupa putusan akhir,berbeda apabila para pihak bersedia untuk berdamai pada tahapan sidang perdamaian, maka produk yang dihasilkan berupa akta perdamaian. Prosedur beracara pada Basyarnas sama dengan yang dilaksanakan di Pengadilan Agama, begitu juga dengan putusan. Basyarnas juga memiliki produk putusan sama seperti Peradilan Agama yang membedakan hanyalah ketika majelis arbiter memberikan putusan, maka putusan itu bersifat final and banding artinya sudah tetap tidak ada upaya hukum lainnya. Berbeda dengan Peradilan Agama yang memperbolehkan para pihak melakukan upaya hukum. 124 Agama melakukan annmaning terhadap pihak yang bersengketa Hal ini mengindikasikan keterbukaan lembaga pengadilan. 2. Terhindar dari kelambatan proses yang diakibatkan oleh administrasi dan prosedur 125 Hal ini atas pertimbangan bahwa untuk menyelesaikan sengketa di Pengadilan Agama diperlukan berbagai tahapan yang memerlukan waktu tidak sedikit dari mulai menyiapkan gugatan sampai putusan hakim. Belum lagi kalau ada pihak yang tidak puas dengan tingkat pertama, para pihak dapat mengajukan banding ke PTA atau bahkan kasasi ke MA. Tentu memakan waktu panjang untuk mendapatkan putusan yang pasti. Kondisi ini tidak bersahabat dengan para pelaku bisnis yang notabene sangat mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi waktu dan memegang prinsip time is money. Jadi tidak heran kalau mereka memilih lembaga penyelesaian sengketa yang cepat. 3. Para pihak memiliki kebebasan dalam memilih arbiter, hukum yang dipakai dan tempat penyelenggaraan arbitrase 126 Jika di Pengadilan Agama para pelaku tidak bisa bebas memilih hakim, dalam arbitrase para pihak dapat memilih arbiter yang akan menangani kasus mereka. Begitu juga hukum dan lokasi penyelenggaraan Sudiarto dan Zaenal Asyhadie, Mengenal Arbitrase: Salah Satu Alternative Penyelesaian Sengketa Bisni, hal. 34 125 126 Ibid. hal. 35 perkara, di Pengadilan Agama para pihak dibatasi oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku termasuk lokasi penyelenggaraan sidang yang kita kenal dengan istilah kompetensi relative Pengadilan Agama. Sedangkan di Basyarnas para pihak dapat memilih hukum mana yang dipakai dan di mana tempat pelaksanaan sidang. 4. Putusan bersifat final and binding dengan prosedur yang sederhana atau dapat langsung dilaksanakan 127 Maksudnya putusan yang dihasilkan oleh Basyarnas tidak dapat digugat, diajukan banding, serta dapat langsung dilaksanakan putusan tersebut. Berbeda dengan di Pengadilan Agama, pihak yang tidak puas dapat mengajukan banding sampai kasasi. Kalaupun ada hukum yang berlaku dalam yuridiksi yang bersangkutan menetapkan pelaksanaan putusan (eksekusi) melalui Pengadilan Agama, Pengadilan Agama harus mengesahkan dan tidak berhak meninjau kembali putusan tesebut. 5. Dalam klausula perjanjian antara pihak Lembaga Keuangan Syariah dengan nasabahnya hanya mencantumkan kalimat “apabila terjadi sengketa yang tak dapat terselesaikan melalui jalan musyawarah, maka masalah tersebut harus diserahkan ke Basyarnas” Dalam transaksi bisnis antara nasabah dengan pihak Lembaga Keuangan Syariah/bisnis syariah ada perjanjian sebelum mereka melanjutkan kerjasama mereka. Dalam perjanjian tersebut ada poin yang 127 Ibid. mengatur masalah persengketaan yang (jika) terjadi antara kedua belah pihak. Dalam beberapa artikel yang ditulis oleh pengamat syariah (khusunya bisnis syariah) disebutkan bahwa selama ini meskipun telah dikeluarkanya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang memberikan kewenangan absolut kepada Pengadilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah, Lembaga Keuangan Syariah/bisnis syariah belum mencantukan Pengadilan Agama sebagai pihak penyelesai perkara, dan hanya Basyarnas yang dicantumkan dalam klausula perjanjian. Setelah penulis telusuri pada Pegadaian Syariah ternyata benar, dalam klausula perjanjian mereka hanya mencantumkan Basyarnas sebagai pihak yang akan menangani persengketaan mereka. Dengan alasan kalau ingin mengubah klausula, berarti harus mengubah Manual Operational perusahaan dan kalau ingin merubah Manual Operational perusahaan memerlukan waktu serta pertemuan-pertemuan dengan berbagai kalangan termasuk direksi dan DSN-MUI 128 . Sedangkan penulis beranggapan belum ada i’tikad untuk mengubah Manual Operational mereka. 6. Fatwa DSN MUI dan Peraturan Bank Indonesia (PBI) 129 yang selama ini menjadi pedoman operasional lembaga keuangan syariah masih hanya 128 Wawancara dengan Rudy Kurniawan Manager Pegadaian Syariah, Jakarta 15 Oktober 2009. Bank Indonesia, Informasi Mengenai Peraturan Bank Indonesia Bagi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, (Jakarta: Bank Indonesia, 2008), lampiran hal. 9. 129 menyebutkan Basyarnas sebagai pihak yang menangani jika terjadi sengketa yang tak dapat diselesaikan dengan jalan mediasi 130 Setiap Lembaga Keuangan Syariah harus memiliki DSN-MUI 131 sebagai pedoman operational Lembaga Keuangan Syariah sekaligus pengawas atas jalannya usaha dan otoritas pemberi fatwa yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi syariah di Indonesia. Fatwa MUI yang menyangkut ekonomi syariah pada poin penyelesaian sengketa belum mencantumkan Pengadilan Agama, meskipun UU No. 3 Tahun 2006 telah mengaturnya. C. Analisis Pada dasarnya kewenangan penegakan hukum di Indonesia dipegang penuh oleh kekuasaan kehakiman (judicial power), dengan demikian lembaga peradilan sebagai lembaga yang bernaung di bawah kekuasaan kehakiman dalam hal ini Mahkamah Agung yang berwewenang menangani sengketa. Dalam Undangundang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa 130 Wawancara dengan Rudy Kurniawan Manager Pegadaian Syariah, Jakarta 15 Oktober 2009. Setiap bank dengan prinsip bagi hasil harus memiliki sebuah badan pengawas syariah yang dipercaya dapat melakukanfungsi pengawasan produkproduk syariah. Lihat: Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang dan Tantangan, (Jakarta: Alvabet, 1999), hal. 171. 131 yang berwewenang dan berfungsi melaksanakan peradilan adalah lembaga peradilan yang dibentuk berdasarkan Undang-undang 132 . Pada amandemen ketiga UUD 1945 pasal 24 ayat (2) jo. pasal 10 Undangundang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa ada 4 peradilan dalam lingkup Mahkamah Agung, yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Walaupun dalam Undang-undang ini telah ditegaskan peradilan-peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa, akan tetapi tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara dilaksanakan oleh lembaga non-litigasi yakni arbitrase atau perdamaian sebgaimana yang tertera dalam penjelasan pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal senada juga dapat kita peroleh dari keterangan pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa suatu sengketa perdata selain diselesaikan melalui lembaga peradilan (litigasi) dapat juga diselesaikan melalui lembaga non-litigasi seperti arbitrase. Setelah disahkanya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 amandemen Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama tepatnya pasal 49 (i) dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasal 55 telah memberikan kewenanangan yang sebesar-besarnya pada Pengadilan Agama Soehartono, Paradigma Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Indonesia, artikel ini diambil pada tanggal 17 Juni 2010 dari http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/EKONOMI%20SYARIAH/PARADIGMA%20PENYE LESAIAN%20SENGKETA%20PERBANKAN%20SYARI.pdf. 132 dalam menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah. Kendati kemunculan kedua Undang-undang tersebut telah menimbulkan multi intepretasi dan multi persepsi dalam masyarakat menyangkut ambiguitas maknanya dalam hal siapa yang lebih berwewenang menangani sengketa ekonomi syariah apakah Peradilan Agama atau lembaga-lembaga lain baik dalam lingkungan lembaga litigasi maupun non-litigasi, namun penulis beranggapan bahwa pendapat-pendapat tersebut tidak perlu terlalu dipermasalahkan, karena dalam masalah perdata ada kebebasan berkontrak dalam memilih lembaga mana yang akan para pelaku bisnis tunjuk sebagai pihak yang menangani persengketaan bisnis mereka. Terlebih dalam pasal 55 ayat (2) Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mengisyaratkan ada hak opsi terkait dengan penyelesaian sengketa perbankan syariah dalam menentukan lembaga mana yang akan menyelesaikannya. Pasal tersebut memberikan beberapa pilihan lembaga penyelesaian yang dapat dipakai oleh para pihak yakni lembaga litigasi dalam hal ini Pengadilan Agama dan lembaga non-litigasi seperti Basyarnas (jika jalan musyawarah tak sampai kata sepakat). Pengadilan sebagai the first and last resort dalam penyelesaian sengketa ternyata masih dipandang oleh sebagian kalangan hanya menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial, belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsive, menimbulkan antagonisme di antara pihak yang bersengketa, serta banyak terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya. Hal ini dipandang kurang menguntungkan dalam dunia bisnis sehingga dibutuhkan institusi alternatif yang dipandang lebih efisien dan efektif 133 . Sebagai solusinya, kemudian berkembanglah model penyelesaian sengketa non litigasi, yang dianggap lebih dapat mengakomodir kelemahan-kelemahan model litigasi dan memberikan jalan keluar yang lebih baik. Proses di luar litigasi dipandang lebih menghasilkan kesepakatan yang win-win solution, menjamin kerahasiaan sengketa para pihak, menghindari keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan, dan tetap menjaga hubungan baik 134 . Pengadilan Agama sebagai pihak yang diamanatkan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah oleh Undang-undang ternyata masih memiliki berbagai kelemahan yang berimplikasi pada sikap masyarakat dan para pelaku bisnis syariah dalam hal penunjukan lembaga yang akan menyelesaikan sengketa mereka. Sebagaimana hasil penelitian penulis bahwa sampai saat ini para pelalu bisnis/Lembaga Keuangan Syariah masih condong kepada Basyarnas dibandingkan Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa bisnis mereka. 133 Suhartono, “Paradigma Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah”, diakses pada 6 Desember 2009 melalui www.badilag.net 134 Ibid. Ada beberapa alasan kurang tepat yang diungkapkan oleh pelaku bisnis/lembaga keuangan syariah memilih Basyarnas dalam menyelesaiakan perkara mereka. Diantaranya adalah faktor kepercayaan masyarakat pada lembaga Peradilan Agama 135 yang berkaitan dengan faktor belum begitu fahamnya para hakim dalam hal dunia bisnis. Menurut mereka Peradilan Agama sebagai lembaga yang baru menangani sengketa ekonomi syaiah masih dikhawatirkan belum memahami secara komprehensif seluk-beluk tentang kegiatan ekonomi syariah, sehingga mempengaruhi kepercayaan kepada lembaga tersebut 136 . Hal ini disanggah oleh Nuheri, SH (Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat), ia menyatakan bahwa setelah keluarnya UU No. 3 Tahun 2006 yang menandakan kewenangan Peradilan Agama ditambah dengan bidang ekonomi syariah, pihak peradilan agama terus meningkatkan keilmuan para hakimnya dengan diberikan pembekalan materi-materi ilmu ekonomi syariah.137 . Senada dengan Nuheri, Manager Pegadaian Syariah juga mengeluarkan pendapat yang menampik anggapan bahwa yang menyebabkan Lembaga Keuangan Syariah/bisnis syariah belum menyerahkan sengketa mereka ke Pengadilan Agama karena faktor kepercayaan. Menurutnya bukan karena alasan 135 Ibid. 136 Hasil wawancara dengan Euis Nurhasanah, bendahara Basyarnas Wawancara pribadi dengan Nuheri (Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat). Jakarta, 13 Juli 2009. 137 integritas hakim-hakim Pengadilan Agama akan tetapi lebih disebabkan faktor perjanjian yang disepakati antara perusahaan dengan kliennya, sedangkan perjanjian tersebut terangkum dalam draft klausula perjanjian, dan draft kalusula perjanjian tersebut harus mengacu pada peraturan PBI dan fatwa MUI yang dalam hal ini DSN 138 . Dalam PBI dan fatwa MUI ada peraturan yang menyebutkan bahwa jika dikemudian hari terdapat sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah, maka perkara akan diserahkan kepada Basyarnas139 . Dalam hal ini Pengadilan Agama belum dicantumkan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang. Kalaupun para hakim Pengadilan Agama belum menguasai bidang keuangan dan bisnis, mereka bisa memanggil saksi ahli yang mengerti dan faham bidang ini. Jadi menurut penulis alasan kekurangpercayaan akan kemampuan hakim di bidang bisnis tidak tepat dan dapat dicarikan solusinya. Selain faktor di atas, para pelaku bisnis juga berasumsi bahwa kalau mengajukan perkara ke Pengadilan Agama itu memerlukan biaya yang mahal 140 . Anggapan ini menurut penulis tidak sepenuhnya benar, karena menurut Dra. Euis Nurhasanah biaya perkara pada Basyarnas bisa lebih mahal dibandingkan dengan 138 Hasil wawancara dengan Rudy Kurniawan (DIvisi Manager Pegadaian Syariah), Jakarta, 15 Ottober 2009. 139 Ibid. Suhartono, Paradigma Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Indonesia. 140 Pengadilan Agama. Hal ini mengingat biaya perkara didasarkan persentase, artinya semakin besar nilai harta yang disengketakan semakin besar biaya perkara yang harus dibayarkan 141 . Senada dengan pendapat di atas Mr. PA Stein menyatakan bahwa arbitrase tidak selalu lebih murah karena pihak-pihak yang ikut menyelesaikan sengketa tersebut harus diberi honor 142 yang didasarkan pada komplekstisitas perkara, sedangkan di Pengadilan Agama para pihak yang berperkara hanya membayar biaya administrasi perkara, hakim, panitera dan yang lainnya tidak perlu diberi honor karena telah dibiayai oleh Negara. Kecenderungan yang dilatarbelakangi oleh beberapa faktor ini bukan berarti Basyarnas dipandang lebih baik dan mampu dibandingkan Pengadilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah, akan tetapi sebagai ilustrasi atas realita yang terjadi di dunia penegakan hukum khususnya Pengadilan Agama di Indonesia yaitu belum optimalnya Peradilan Agama dalam menjawab tantangan yang ada dan melayani kebutuhan masyarakat. Mudah-mudahan realita ini dapat mengingatkan berbagai pihak baik institusi pengadilan sebagai institusi penegak keadilan maupun institusi pendidikan hukum yang mencetak generasi penerus penegak supremasi kedaulatan hukum di Indonesia untuk selanjutnya diadakan pembenahan-pembenahan, agar kedepannya lembaga litigasi dapat benar-benar menjadi lembaga hukum yang sesuai dengan harapan masyarakat. 141 Wawancara Pribadi dengan Euis Nurhasanah (wakil bendahara Basyarnas), Jakarta, 2 Oktober 2009. Mr. P.A Stein, dipetik dari Ahmad Ikhsan, Compendium Tentang Arbitrase Perdagangan Internasional, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), hal. 78-79. 142 BAB V A. Kesimpulan 1. Sampai saat ini lembaga keuangan syariah masih cenderung kepada Basyarnas sebagai lembaga yang menangani sengketa ekonomi syariah mereka dibandingkan dengan peradilan agama. Walaupun demikian, hal ini bukan berarti bahwa kemampuan Basyarnas lebih baik dari pada Peradilan Agama.. Karena keberadaan Basyarnas dalam ranah hukum di Indonesia sangat membantu sebagai partner lembaga litigasi dalam menjalankan tugasnya. 2. Kecenderungan ini didasarkan pada alasan: a. Kerahasiaan pihak yang bersengketa lebih terjamin pada Basyarnas dibandingkan Pengadilan Agama. b. Para pelaku bisnis menginginkan proses yang cepat dalam segala hal termasuk proses penyelenggaraan sengketa, oleh karena itu mereka memilih Basyarnas yang akan menghindarkan mereka dari kelambatan proses persidangan. c. Mereka memiliki kebebasan dalam memilih arbiter, hukum yang dipakai dan tempat penyelenggaraan arbitrase. d. Putusan yang diberikan di Basyarnas bersifat final and bunding, langsung dapat dieksekusi atau dilaksanakan karena tidak mengenal banding dan kasasi yang akan memakan waktu lama. e. Klausula perjanjian yang “memaksa” nasabah dan perusahaan memilih Basyarnas. f. Eksistensi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama belum diikuti oleh amandemen peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan pasal tersebut. Sebagai contoh PBI dan fatwa DSNMUI belum mencantumkan Pengadilan Agama sebagai pihak yang akan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. B. Saran Dari hasil penelitian yang penulis sajikan dalam skripsi ini ada beberapa hal yang ingin penulis sampaikan untuk kemajuan sistem penegakkan hukum di Indonesia. 1. Peradilan Agama harus mempersiapkan diri dalam menyambut tugas dan wewenang barunya ini. Perlu diadakan peningkatan kualitas SDM dalam bentuk pembekalan pendidikan, pelatihan-pelatihan dan sebagainya, serta perbaikan sistem penyelenggaraan proses peradilan seperti menyederhanakan proses administrasi dan prosedural, Undang-undang yang pasti dalam artian tidak menimbulkan ambiguitas dan multi intrepretasi. Dari faktor-faktor di atas, mengindikasikan bahwa lembagalembaga penegak hukum khususnya Peradilan Agama harus membenahi diri sehingga tercipta penyelenggaraan peradilan yang professional serta sesuai dengan harapan masyarakat dan tuntutan zaman. 2. Universitas lewat fakultas hukumnya dan lembaga-lembaga pendidikan hukum sebagai pihak penyuplai yang mempersiapkan kader-kader legislatif dan yudikatif agar membentuk kualitas anak didiknya sehingga dapat mengaplikasikan ilmunya dalam rangka perbaikan kualitas system penyelenggaraan peradilan di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Ali, Mahmud Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Amin, Ma’ruf. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: elSAS, 2008. Anshori, Abdul Ghofur. Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press, 2007. Anshori, Abdul Ghofur. Perjanjian Islam. Yogyakarta: Citra Media Hukum, 2006. Anshori, Abdul Ghofur. Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia. Yogyakarta: Citra Media, 2006. Antonio, Muhammad syafi’i. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan. Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 1999. -------. Bank Syariah Bagi Bankir dan Praktisi Keuangan. Jakarta: Bank Indonesia dan Tazkia Institute. 1999. -------. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press. 2001. Arifin, Zainul. Memahami Bank Syariah; Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek. Jakarta: Alvabet. 1999. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. 2006. Aripin, Jaenal. Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2008. Aula’i, Ahmad Wasit, “Arbitrase Dalam Perspektif Islam”. Dalam Satria Effendi dkk. Arbitrase Islam di Indonesia. Jakarta: Badan Arbitrase Islam Indonesia, 1994. Ayhadie, Zeini. Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo, 2005 Azra, Azyumardi. Perspektif Islam Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989. Badudu, JS dan Muhammad, Sultan Zein. Kamus Umum Bahasa Indonesa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003. Bank Indonesia Biro Perbankan Syaria. Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia Biro Perbankan Syariah, 2002 Bank Indonesia. Informasi Mengenai Peraturan Bank Indonesia Bagi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Jakarta: Bank Indonesia. 2008. Bisri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003 Departemen Agama, Sketsa Peradilan Agama. Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2000. Direktori Syariah 2008. ”Dari Afrika Untuk Dunia, Replublika.” (16 February 2008): hal. 3. Djalil, Basiq. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006. -------. Pengadilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum. Jakarta: Pranada, 2006 Djauhari, Ahmad. Arbitrase Syariah di Indonesia. Jakarta: BASYARNAS. 2006. Efendi, Satria. Arbirase Islam di Indonesia. Jakarta: Badan Arbitrase Islam Indonesia, 1994. Effendi, Satria M. Zen, Arbitrase dalam Syariat Islam, dalam Arbitrse Syariah Islam di Indonesia. Jakarta: BAMUI, 1994. Faisal, Sanapiah. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001. Fauzan, Muhammad. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama dan Mahkamah Syariah di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005 Gautama, Sidarta. Pengantar Hukum Perdata Internasional. Bandung: Bina Citra, 1987. Hadi, Soetrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi. 2004. Harahap, Muhammad Yahya. Arbitrase. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Hasbi Ash-Shidieqy, Teungku Muhammad. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001. Huda, Miftahul. Aspek Ekonomi Dalam Syariat Islam. Mataram: Lembaga Konsultasi dan Batuan Hukum (LKBH) IAIN Mataram, 2007. Jamail, Abdul. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Grafindo Persada, 2001. Jamil, Fathurrahman. Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, dalam Mahkamah Agung Kapita Selekta Perbankan Syariah: Menoingsong Berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 (Perluasan Wewenang Peradilan Agama). Jakarta: Mahkamah Agung, 2007. Jazuli, Ahmad dan Janwari, Yadi. Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat: Sebuah Pengenalan. Jakarta: Raja Grafindo Persasda, 2002 Kamarusdiana, Diktat Mata Kuliah Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003-2004. Kamil, Ahmad dan Fauzan, Muhammad. Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana, 2007. Martono. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Yogyakarta: Ekonisia. 2002. Matua, Pirgon. Sejarah Singkat Perum Pegadaian. .Jakarta: Perum Pegadaian, 2003. Muhammad, “Dasar Falsafah dan Hukum Bank Syariah”, dalam Muhammad Syafi’i Antonio dkk, Bank Syariah: Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman. Yogyakarta: Ekonisa, 2006. Muhammad, Abdul Kadir. Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya, 1992 Musyafa’ah, Nur Lailatul dkk, Peradilan Agama di Indonesia. Bandung: Pustaka Bani Quroisy, 2004. Pegadaian Syariah. Manual Operasional ULGS, Jakarta. 2006 Perum Pegadaian. Manual Operasional Gadai Syariah, Jakarta 2008 Rosyadi, Ahmad Rahmat. Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002. Rosyid, Raihan Abdul. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: Rajawali Press, 1991. Sabrie, Zufran. Peradilan Agama di Indonesia: Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya. Jakarta: Departemen Agama Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1999. Saleh, Abdul Rahman. Arbitrase Islam di Indonesia. Jakarta: BAMUI dan BMI, 1994. Siamat, Dahlan. Manajemen Lembaga Keuangan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Indonesia, 1999. Soebekti, Raden dan Tjitrosoesibyo, Raden. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita, 1992. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 2007. Soemitro, Markum. Perkembangan Hukum Islam di Tengah Dinamika Sosial Politik Indonesia. Malang: Bayumedia, 2004. Soenggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998. Stein, P.A dipetik dari Ahmad Ikhsan. Compendium Tentang Arbitrase Perdagangan Internasional. Jakarta: Pradnya Paramita, 1993. Sudiarto dan Asyhadie, Zaenal. Alternative Penyelesaian Mengenal Arbitrase: Salah Satu Sengketa Bisnis. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Sukandarumidji. Metodologi Penelitian (Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula). Yogyakarta: gajah mada university. 2004. Suma, Muhammad Amin. Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam. Banten: Kholam Publishing, 2008. Soeroso, R. Praktek Hukum Acara Perdata, Tata Cara dan Proses Persidangan. Jakarta:Sinar Grafika 2004 Susilo, Sri dkk. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Salemba Empat, 2000. S. Lev, Daniel. Hukum dan Politikdi Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan. Alih Bahasa Nirwoo dan AF Priyono. Jakarta: LP3ES. 1990. -------. Islamic Court in Indonesia: A Study Political Basis of Legal Institutional . Alih bahasa Zaenal Ahmad Noeh, Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Intermasa. 1999. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Umum Bahasa Indosesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005. Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2007. Tresna, Raden. Peradilan di Indonesia Dari Abad Ke Abad. Jakarta: Pradnya Paramitha, 1978. Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2002. Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syariah di Indonesia). Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Wawancara dengan Rudy Kurniawan. Jakarta 15 Oktober 2009. Wawancara Pribadi dengan Euis Nurhasanah. Jakarta. 2 Oktober 2009. Wawancara pribadi dengan Nuheri. Jakarta. 13 Juli 2009. Wijaya, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. UNDANG-UNDANG Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Amandemen Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. REFERENSI DARI WEBSITE Anonim, Ada Apa Dengan Badan Arbitrase Syariah Nasional, diakses pada 21 November 2009. Dari www.hukumonline.com, Anonim, Mengurai Benang Kusut Badan Arbitrase Syariah Nasional. www.hukumonline.com. diakses pada September 2009. Agustiano. Pengadilan Agama dan Sengketa Ekonomi Syariah, diakses pada 15 Februari 2009. Dari www.scrib.com, Defry Yenni, “2009 Lembaga Keuangan Syariah Diprediksi Menjamur”, artikel ini diakses pada 3 Mei 2009 dari http://www. MediaBisnis.com. Fakultas ekonomi UMY, Penyelesaian Ekonomi Syariah II. diakses pada minggu 24 Mei 2009. www.http//umy.ac.id/index.php?option=page&id=149&item=326 - 104k. PKES, Basyarnas Tidak Terpengaruh UU No. 3 Tahun 2006. diakses pada 15 Februari 2009. Dari www.hukumonline.com