MUHAMMAD AMIN-FSH

advertisement
KECENDERUNGAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH TERHADAP
PERADILAN AGAMA DAN BASYARNAS DALAM MENYELESAIKAN
SENGKETA EKONOMI SYARIAH
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)
Oleh:
Muhammad Amin
105044101376
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AL-AHWALU AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M
KECENDERUNGAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH TERHADAP
PERADILAN AGAMA DAN BASYARNAS DALAM MENYELESAIKAN
SENGKETA EKONOMI SYARIAH
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)
Oleh:
Muhammad Amin
105044101376
Di Bawah Bimbingan
Dr. Hj. Mesraini, M.Ag.
Hotnida
Nasution,
S.Ag.,
MA
1971063019970320
150326895
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AL-AHWALU AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil ‘alamin segala puji serta syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT., yang telah mencurahkan berbagai nikmat karunia-Nya yang
tak terhingga kepada seluruh makhluk-Nya tanpa pilah-pilih kasih sehingga penulis
dapat mengenyam pendidikan tinggi dan dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai
salah satu persyaratan kelulusan. Sholawat teriring salam tak lupa disematkan
keharibaan junjungan kita Nabi Muhammad saw beserta keluarga, sahabatsahabatnya dan orang-orang yang ikut berjasa berjuang demi tegaknya syariat Islam
di dunia.
Ketika skripsi ini terselesaikan ada perasaan lega dan lapang dada yang
hinggap dalam diri penulis, karena sebuah tanggung jawab telah terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini kemampuan dan ilmu yang
penulis miliki sangat terbatas sehingga penulisan skripsi ini sangat jauh dari kata
sempurna. Walaupun demikian, inilah yang dapat penulis persembahkan tentunya
dengan kerja keras dan usaha yang melelahkan.
Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa adanya dukungan,
motivasi dan partisipasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini
perkenankan penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan apresiasi yang setinggitingginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH., MA, MM., Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta serta Pudek I, II dan III yang telah membimbing dan memberikan
berbagai ilmu kepada penulis.
2. Bapak Drs. H. Ahmad Basiq Djalil, SH., MA., dan Bapak Kamarusdiana,
S.Ag., MH., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Al-Ahwalus
Syakhshiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Hj. Mesraini, M.Ag. dan Ibu Hotnida Nasution, S.Ag., MA., selaku
dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dengan penuh perhatian
dan kesabaran serta terus memberikan semangat dan motivasi kepada penulis.
4. Bapak H. JM Muslimin, Ph.D., yang dengan gaya tegasnya telah memotivasi
penulis
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat.
6. Para pimpinan dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu melayani keperluan
penulis.
7. Petugas perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu
menyediakan buku-buku dan referensi lain penunjang skripsi ini.
8. Segenap pihak Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Barat dan Selatan yang telah
menyiapkan data-data baik wawancara maupun dokumentasi yang penulis
perlukan.
9. Segenap jajaran Basyarnas khususnya Ibu Euis Nurhasanah selaku Bendahara
Basyarnas yang telah bersedia meluangkan waktu untuk diwawancarai.
10. Segenap jajaran pimpinan dan staff PT. Pegadaian Syariah yang telah
membantu penulis melengkapi data-data yang diperlukan.
11. Special Thanks’ untuk Ayahanda Muhammad Isa dan Ibunda Suhanah
tercinta yang telah dengan susah payah mendidik dan membesarkan penulis
dengan penuh rasa kasih sayang, sehingga sampai saat ini penulis bisa
menyelesaikan pendidikan tinggi.
12. Kakak-kakak tersayang yang telah banyak memberikan nasihat dan teguran
yang membangkitkan semangat penulis untuk terus berkembang. Keponakankeponakanku yang telah menjadi obat penawar lelah.
13. Guru-guru Majelis Ta’lim Al-Qur’an Ar-Rohimi yang telah menempa penulis
dan mendidik penulis untuk menjadi pribadi yang berilmu dan berwawasan
luas.
14. Guru-guru Yayasan Tarbiyah Islamiyah Al-Falah yang telah banyak
memberikan ilmu-ilmu yang manfaat untuk masa depan penulis. Wabil
khusus KH. Ghozi HK, H. Balya Isa, B.Sc., KH. Jamhuri Muhammad, dan
Dra. Ida Idris yang telah banyak memberikan perhatian lebih kepada penulis
15. Sahabat-sahabatku tercinta wabil khusus julay, yang telah banyak sekali
membantu penulis dalam segala hal, yang dengan tulus dan ikhlas mengiringi
dan menemani setiap aktivitas, memotivasi di saat penulis goyah,
mengingatkan ketika penulis alfa dan memberi masukan-masukan guna
kemajuan penulis.
16. Rekan-rekan Ahwal Syakhshiyyah angkatan 2005, khususnya: Sofyani,
Matot, Azizah, Sugiyanto, Billy, Haris dan Uzy, thanks atas diskusi-diskusi
ilmiahnya.
17. Hikmah, Ela, Hifzi, Baina, Lya, Wati yang telah membantu dan terus
memberikan dorongan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
18. Rekan-rekan Fatihah Community sebagai tempat bertukar pikiran dan curah
gagasan untuk menambah ilmu.
19. Rekan-rekan BEM Jurusan PA, thanks atas ilmu, pengalaman, kesempatan
dan kepercayaannya dalam organisasi
20. Rekan-rekan IPNU, HIQMA, HARISMA dan IKRIMA terima kasih atas ilmu
organisasinya yang sangat berguna bagi penulis di masa yang akan datang.
Penulis hanya dapat mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada
semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan, dukungan dan bimbingannya.
Kepada Allah SWT penulis memohon semoga mereka diberikan pahala yang berlipat
ganda dan dicatat sebagai amal ibadah. Amin ya robbal ‘alamin.
Jakarta, April 2010
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
vi
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
8
D. Tinjauan Pustaka
10
E. Metode Penelitian
13
F. Tehnik Penulisan Laporan
15
G. Sistematika Penulisan
16
KONSEPSI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
A. Pengertian Lembaga Keuangan Syariah
17
1. Sejarah Perkembangan Lembaga Keuangan
Syariah di Indonesia
20
2. Dasar hukum operasional Lembaga Keuangan Syariah di
Indonesia
25
B. Profil Lembaga Keuangan Syariah (Pegadaian Syariah)
BAB III
1. Sejarah Singkat Pegadaian Syariah
27
2. Visi dan Misi
30
3. Struktur Organisasi
30
4. Produk-Produk yang Dihasilkan
32
PERADILAN AGAMA DAN BASYARNAS SEBAGAI
LEMBAGA PENYELESAI SENGKETA EKONOMI SYARIAH
A. Peradilan Agama di Indonesia
1. Pengertian Peradilan Agama
35
2. Sejarah Peradilan Agama di Indonesia
36
3. Dasar Hukum dan Wewenang Peradilan Agama
40
4. Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah di Pengadilan Agama
42
B. Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)
1. Pengertian Basyarnas
51
2. Sejarah Basyarnas
54
3. Dasar Hukum dan Wewenang Basyarnas
56
4. Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah di Basyarnas
60
C. Analisis Dasar Hukum dan Wewenang Basyarnas
dan Peradilan Agama
BAB IV
72
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
A. Kecenderungan Lembaga Keuangan Syariah Terhadap
Basyarnas dan Pengadilan Agama dalam
Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah
78
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan
Lembaga Keuangan Syariah terhadap Basyarnas
dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah
C. Analisis
BAB V
86
92
PENUTUP
A. Kesimpulan
99
B. Saran
100
DAFTAR PUSTAKA
101
BAB I
A. Latar Belakang Masalah
Menurut Aristoteles manusia sebagai zoon politicon ingin selalu hidup
berdampingan dengan sesama bahkan dengan mahluk-mahluk lainnya.
Manusia tidak dapat melepaskan dirinya dari eksistensi lainnya dan akan
selalu bersimbiosis mutualisme satu sama lain 1 .
Pada saat manusia saling berinteraksi baik antar individu, kelompok
ataupun komunitas, ada kemungkinan terjadi ketidaksesuaian, pertentangan
dan wanprestasi. Fenomena semacam inilah yang akan menjadi landasan
pemikiran dibentuknya sebuah aturan yang nantinya akan mengatur pola
interaksi satu sama lain. Karena kalau dalam sebuah komunitas sosial tidak
memiliki sebuah sistem aturan yang akan mengatur segala tindak tanduk
masyarakatnya, maka akan terjadi kekacauan, konflik, sengketa dan sudah
barang tentu akan berlaku hukum rimba di mana yang lebih kuat akan
menindas golongan yang lemah, jangankan pada suatu komunitas yang tidak
memiliki aturan hukum, pada masyarakat yang telah mapanpun yang aturan
hukumnya telah tertata dengan rapi sedemikian rupa, masih saja terjadi aksi
main hakim sendiri. Oleh karena, itu perlu adanya hukum yang kuat yang
akan menegakkan keadilan berdasarkan standar kemanusiaan.
1
Apiez, artikel ini diambil pada tanggal 13 Juni 2010 dari
(http://www.idehist.uu.se/distans/ilmh/Ren/civic-citizen.htm)
Pada satu sisi, hukum adalah ketentuan-ketentuan yang timbul dari
adanya interaksi dalam masyarakat, serta diciptakan berdasarkan rasa
kesadaran manusia itu sendiri tentang tingkah laku manusia lain di dalam
pergaulan hidupnya. 2
Sengketa dan konflik kepentingan di antara para pihak yang
melakukan transaksi khususnya transaksi yang menyangkut perekonomian
sering terjadi dalam masyarakat kita. Hal ini terjadi lantaran masing-masing
pihak yang bertransaksi hanya mengacu pada sudut pandang keuntungan dan
kepentingan pribadi. Kedua belah pihak tidak ingin dirugikan oleh pihak lain
bahkan cenderung meraup keuntungan yang berlimpah dari pihak yang diajak
kerjasama.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sebuah
sengketa atau perselisihan yang terjadi ada tiga, yaitu perdamaian, mediasi
dan lembaga peradilan. 3
Arbitrase dapat difahami sebagai proses penyelesaian sengketa di luar
lembaga pengadilan. Kehadiran arbitrase di Indonesia merupakan suatu
keadaan yang tidak tabu lagi. Seperti kita ketahui bersama di Indonesia telah
berdiri Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) di bawah naungan
koordinasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Eksistensi BAMUI secara yuridis
2 Abdul Jamali, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: PT. Grafindo Persada,
2001), hal. 21
Miftahul Huda, Aspek Ekonomi Dalam Syariat Islam, (Mataram: Lembaga
Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) IAIN Mataram, 2007), hal. 85.
3
formal dilihat dari status hukum yang berlaku di Indonesia memilih landasan
hukum yang kokoh 4 .
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) merupakan cikal
bakal berdirinya Basyarnas (Badan Arbitrase Syariah Nasional). Lembaga ini
didirikan berdasarkan SK No. Kep. 392/MUI/V/1992 tentang Pembentukan
Kelompok Kerja Pembentukan Arbitrase Islam tanggal 4 Mei 1992 bertepatan
dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia. Tujuannya untuk menangani
masalah sengketa antar nasabah dan bank Syariah pertama di Indonesia itu.
Pada tahun 2003 beberapa Unit Usaha Syariah lahir sehingga BAMUI diubah
menjadi Basyarnas berdasarkan SK MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003.
Basyarnas merupakan satu-satunya badan otonom milik MUI. 5 Kehadiran
arbitrase Islam di Indonesia merupakan suatu sarana yang dapat dimanfaatkan
oleh umat Islam di Indonesia yang erat kaitannya dengan kegiatan
perkembangan perekonomian syariah.
Seiring dengan pesatnya perkembangan lembaga-lembaga keuangan
syariah di Indonesia, seperti perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian
syariah, pasar modal dengan instrument obligasi, surat berharga (sukuk) dan
reksadana syariah, serta banyak lagi kegiatan yang berlebel syariah. Dengan
4 PMII KOMFAKSYAHUM, “Mengurai Benang Kusut Badan Arbitrase Syariah
Nasional”, diakses pada September 2009 dari
http://pmiikomfaksyahum.wordpress.com/2007/07/31/mengurai-benang-kusutbadan-arbitrase-syariah-nasional-basyarnas/
5
Ibid.
boomingnya kegiatan ekonomi syariah sudah barang tentu banyak pula
masyarakat Indonesia yang bertransaksi di dalamnya, maka sangat
memungkinkan sengketa hukum di bidang ekonomi syariah terjadi.
Ada berbagai permasalahan yang potensial timbul dalam setiap
praktek kegiatan bisnis syariah. Kemungkinan-kemungkinan sengketa
biasanya berupa pengaduan karena terjadi ketidaksesuaian antara realitas
dengan penawarannya, tidak sesuai dengan spesifikasinya, tidak sesuai
dengan aturan main yang diperjanjikan, layanan dan alur birokrasi yang tidak
masuk dalam draft akad, serta komplain tentang lambatnya proses kerja 6 .
Membaca kondisi yang terjadi tersebut maka pemerintah berinisiatif
mengeluarkan UU No. 3 Tahun 2006 yang merupakan amandemen UU No. 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, khususnya pada pasal 49, yang
menyatakan bahwa Peradilan Agama memiliki kompetensi atau kewenangan
untuk menerima, memeriksa dan memutus sengketa di bidang ekonomi
syariah. Amandemen ini membawa iklim baru dalam ranah hukum di
Indonesia. Selama ini wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa
dalam bidang ekonomi syariah ditangani oleh Pengadilan Negeri yang
notebene dianggap belum faham benar masalah ekonomi syariah. Aneh
rasanya kalau masalah syariah diselesaikan di Pengadilan Umum.
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 2007), hal. 182.
6
Amandemen ini dirasakan begitu penting mengingat pesatnya
perkembangan kegiatan ekonomi syariah di Indonesia. Selama ini banyak
kasus sengketa ekonomi syariah ditangani oleh Badan Arbitrase Syariah
Nasional (Basyarnas), sesuai dengan akad perjanjian di lembaga keuangan
syariah. Nasabah dan lembaga perbankan secara “terpaksa” harus memilih
Basyarnas untuk menyelesaikan persengketaan. Setiap draft kontrak telah
memuat klausul Basyarnas. Keharusan menyelesaikan sengketa ke Basyarnas
karena belum dikeluarkannya UU No. 3 Tahun 2006. Tetapi setelah
dikeluarkan UU No. 3/2006, maka Pengadilan Agama harus diberikan
kesempatan yang seluas-luasnya untuk menanganinya 7 .
Menjadi permasalahan adalah dengan diterbitkannya UU No. 3 Tahun
2006 amandemen UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Antara
Peradilan Agama dan Basyarnas memiliki tugas, fungsi dan mengurusi
persoalan yang sama, yaitu menyelesaikan perkara yang terjadi antar lembaga
keuangan dan bisnis syariah dengan para nasabahnya 8 .
Memperhatikan kewenangan Peradilan Agama yang ada sekarang, jika
dilihat dari aspek filosofis menunjukkan bahwa perkembangan kebutuhan
hukum masyarakat muslim terhadap kesadaran menjalankan syariat Islam
7 Agustiano, “Pengadilan Agama dan Sengketa Ekonomi Syariah”, artikel ini
diakses pada 15 Februari 2009 dari http://www.scrib.com.
PKES, “Basyarnas Tidak Terpengaruh UU No. 3 Tahun 2006”, artikel ini diakses
pada 15 Februari 2009 dari www.hukumonline.com.
8
sebagai konsekuensi dari keyakinan semakin tinggi 9 . Disamping itu hukum
keuangan dan perbankan syariah sarat dengan muatan substantif dan
peristilahan transaksi bisnis dan keuangan syariah. Oleh karenanya sangat
wajar jika penyelesaian sengketa diklakukan oleh Peradilan Agama. Sebab
seandainya sengketa yang muncul dari akad dan transaksi yang menggunakan
prinsip syariah diselesaikan di Peradilan lain, besar kemungkinannya tidak
memenuhi rasa keadilan bagi para pencari keadilan dalam hal ini umat
muslim 10 .
Setelah disahkannya UU No. 3 Tahun 2006, Peradilan Agama secara
otomatis menjadi lembaga yang berwenang menangani sengketa tentang
ekonomi syariah. Memang secara hierarki perundang-undangan Peradilan
Agama lebih memiliki kewenangan lebih dibandingkan Basyarnas. Karena
Peradilan Agama memiliki kekuatan hukum sebagai badan yang dibentuk dan
disahkan oleh pemerintah, sedangkan Basyarnas hanya berpijak pada SK
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun kita jangan melupakan Basyarnas
sebagai lembaga hukum non-litigasi yang dibentuk dengan tujuan sebagai
tempat penyelesaian sengketa perkara ekonomi syariah. Basyarnas juga
9 Nyoman Nurjaya, “Reorientasi Paradigma Pembangunan Hukum Negara
dalam Masyarakat Multi Kultural (Perspektif Hukum Progesif)”, artikel ini diakses pada
tanggal 11 Juni 2010, dari
http://pademak.ptasemarang.net/index.php?option=com_content&task=view&id=1
8&itemid=1
Pernyataan Sikap Himpunan Ilmuan dan Sarjana Syariah Indonesia yang
Disampaikan Pada Sidang RDPU DPR RI dalam Dokumen Sekretariat Komisi XI DPR RI
Periode 2004-2009.S
10
memiliki fungsi yang sama dengan Peradilan Agama soal menangani sengketa
ekonomi syariah. Karena menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
dalam kegiatan kontrak kerja sama atau transaksi ekonomi masalah
penyelesaian sengketa diserahkan kepada masing-masing pihak yang
bersangkutan. 11
Dari penjelasan di atas dapat difahami bahwa dengan disahkannya UU
No.3 Tahun 2006 berarti ada 2 lembaga yang memiliki tugas yang sama yaitu
Pengadilan Agama, yang secara absolut berwenang menyelesaikan sengketa
dalam bidang ekonomi syariah, dan Basyarnas selaku lembaga non-litigasi di
luar lingkungan peradilan.
Karena kedua lembaga ini memiliki kewenangan menyelesaikan
sengketa dalam bidang ekonomi syariah, maka menurut penulis permasalahan
lembaga mana (antara Peradilan Agama atau Basyarnas) yang dipilih oleh
lembaga-lembaga keuangan syariah untuk menyelesaikan sengketa ekonomi
syariah menarik untuk dibahas. Selanjutnya penulis ingin mengungkap faktorfaktor yang mendasari kecenderungan Lembaga Keuangan Syariah untuk
memilih penyelesaian sengketa ekonomi syariah apakah ke Pengadilan
Agama atau Basyarnas.
Dari permasalahan di atas, penulis berkeinginan untuk membahas
masalah ini dalam bentuk skripsi, dengan judul “Kecenderungan Lembaga
11
Ibid.
Keuangan Syariah Terhadap Peradilan Agama dan Basyarnas dalam
Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pada skripsi ini penulis membatasi permasalahan dalam hal:
1. Sengketa ekonomi syariah yang dimaksud di sini adalah dalam pengertian
sengketa dari awal proses persidangan (pengajuan gugatan atau
permohonan) sampai putusan hakim.
2. Data-data yang penulis ambil hanya dari tahun 2006 – 2009 tentang
gugatan sengketa ekonomi syariah, mengingat baru pada tahun 2006
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 baru disahkan oleh DPR.
3. Research data dilakukan pada kedua lembaga penyelesai sengketa
(Pengadilan Agama dan Basyarnas) yang berdomisili di wilayah DKI
Jakarta.
4. Data yang diambil dari lembaga keuangan syariah adalah data yang
diwakili oleh Pegadaian Syariah 12 .
Dengan demikian rumusan permasalahannya adalah sebagai berikut:
Penulis hanya mengambil pegadaian syariah sebagai sample penelitian
karena dari beberapa Lembaga Keuangan Syariah yang penulis kunjungi untuk
diambil datanya, hanya lembaga ini yang bersedia, sedangkan yang lainnya
menolak untuk diambil keterangan dengan alasan privasi.
12
1. Bagaimana
kecenderungan
lembaga
keuangan
syariah
dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah terhadap Peradilan Agama dan
Basyarnas?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kepercayaan Lembaga
Keuangan Syariah memilih Peradilan Agama atau Basyarnas dalam
menyelesaikan sengketanya?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui tingkat kecenderungan Lembaga Keuangan Syariah
dalam menyelesaikan perkara mereka di Peradilan Agama atau di
Basyarnas.
b. Untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
tingkat
kecenderungan dan kepercayaan Lembaga Keuangan Syariah terhadap
kedua lembaga tersebut.
2. Kegunaan dari penelitian ini adalah:
a. Bagi penulis adalah untuk menambah khazanah keilmuan tentang
Peradilan Agama dan Basyarnas khusunya prosedur beracara pada
kedua lembaga tersebut serta menambah pengetahuan tentang ekonomi
syariah.
b. Memperkaya khazanah keilmuan khususnya di lingkungan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
c. Dapat memberikan sedikit informasi untuk ditindaklanjuti oleh para
pemangku kepentingan demi perbaikan system birokrasi institusi
keuangan syariah, perkembangan dunia akademis dan profesionalitas
penegakan hukum di Indonesia.
D. Tinjauan Pustaka
Agar penelitian ini tidak mengulang penelitian-penelitian sebelumnya
dan supaya skema penulisan lebih terarah, maka penulis menelusuri
penelitian-penelitian yang telah ada dan memiliki hubungan dengan penelitian
ini.
Tema mengenai pembahasan dan perdebataan tentang sengketa
ekonomi syariah terkait dengan kompetensi absolut Peradilan Agama telah
banyak dikaji dalam bentuk karya-karya ilmiah, diantaranya adalah:
Judul Skripsi
Penulis
Substansi
Persepsi Advokat Budi Susilo – Hanya
dan
Hakim Administrasi
Perbedaan
membahas Dalam skripsi ini
persepsi para advokat dan membahas
Terhadap
Keperdataan
hakim
syariah
Kewenangan
Islam 2007
kewenangan
tentang pendapat
Peradilan hakim
Peradilan
Absolut Peradilan
Agama
Agama di Bidang
sengketa ekonomi syariah dan pelaku bisnis
Ekonomi Syariah
menyelesaikan Agama,
para
syariah.
arbiter
Eksistensi
Fathuddin
Peradilan Agama Perdilan
dalam
Agama 2008
– Skripsi ini menganalisis Tidak membahas
Undang-undang
Nomor tentang UU No.
21 Tahun 2008 Tentang 21 Tahun 2008
Penyelesaian
Perbankan Syariah yang akan
Sengketa
dinilai
Perbankan
permasalahan (pasal 55 3
Syariah
ayat 2) dalam hal hak yang
opsi
tetapi
meninggalkan implikasi UU No.
Tahun
2006
berkaitan
penyelesaian dengan
sikap
perbankan pelaku
bisnis
syariah dan menimbulkan syariah
dalam
sengketa
ketidakpastian hukum
membawa
perkara mereka.
Sengketa
Muhammad
Ekonomi Syariah Isnur
dan Kewenangan Peradilan
Pengadilan
Agama
Agama 2007
Skripsi
– bahasan
ini
memuat Bukan
hanya
hadirnya membahas
sengketa ekonomi syariah tentang
dalam ranah kewenangan kewenangan
Peradilan
Agama Peradilan Agama,
dipandang telah tepat.
tetapi
kewenangan
lembaga
lain
(Basyarnas) juga
dibaghas
dalam
skripsi ini.
Badan Ayatullah
Peran
Arbitrase Syariah Peradilan
Agama 2005
Nasional
– Skripsi ini hanya fokus Selain membahas
membahas
peran tentang Basyarnas
Basyarnas
dalam skripsi ini juga
(Basyarnas)
menyelesaikan sengketa membahas
Dalam Terhadap
niaga.
Peradilan Agama
Penyelesaian
dalam
Sengketa
menyelesaikan
Syariah
Bank
sengketa
bisnis
syariah.
Meskipun ada beberapa penulis yang membahas seputar sengketa
ekonomi syariah, namun menurut tinjauan penulis hingga saat ini belum
ada yang menjadikan judul penelitian seputar Kecenderungan Lembaga
Keuangan Syariah terhadap Pengadilan Agama dan Basyarnas dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah sebagai penelitian. Dari
penelitian ini penulis akan mendapatkan informasi mengenai tingkat
kecenderungan lembaga keuangan syariah terhadap lembaga Peradilan
Agama dan Basyarnas, selain itu penulis juga ingin mengetahui penyebab
kecenderungan tersebut.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan
penelitian survey. yaitu penulis mengumpulkan informasi dan data
sebanyak-banyaknya dari Pengadilan Agama dan Basyarnas untuk melihat
kecenderungan, kemudian menganalisis faktor-faktor penyebabnya dari
data wawancara dan studi pustaka. 13 .
2. Objek Penelitian
Objek penelitian adalah untuk Peradilan Agama adalah Pengadilan
Agama Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur.
Sedangkan untuk Lembaga Keuangan Syariah penulis mendapatkan datadata perusahaan yang diberikan oleh Basyarnas dan Pengadilan Agama
Jakarta Pusat untuk dijadikan objek penelitian, adalah Bank Muamalah
Indonesia, Bank Syariah Mandiri, PT. Asuransi Takaful Indonesia, Bank
DKI Syariah, BPRS As-Salam, dan Pegadaian Syariah. Akan tetapi dalam
proses penelitian penulis mengalami kesulitan mendapatkan data dari
perusahaan-perusahaan tersebut dengan alasan menjaga kerahasiaan
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2006), hal. 108.
13
perusahaan, Hasilnya, hanya Pegadaian Syariah yang merespons
permohonan penulis untuk diambil keterangannya. Oleh karena itulah,
untuk mengetahui faktor penyebab kecenderungan Lembaga Keuangan
Syariah, data yang digunakan hanyalah hasil data yang diperoleh dari
Pegadaian Syariah ditambah dengan bahan-bahan kepustakaan lainnya.
3. Data Penelitian
a. Data Primer. Menurut Soerjono Soekanto data primer adalah data
empiris yang langsung diperoleh dari masyarakat 14 . Dalam skripsi ini
data primer yang digunakan adalah wawancara yang diperoleh dari
Basyarnas, Pengadilan Agama dan Pegadaian Syariah.
b. Data Sekunder. Data sekunder berupa data dokumentasi, referensi dari
buku-buku, artikel-artikel dari koran, majalah, internet dan dari
skripsi-skripsi terdahulu.
4. Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data skripsi ini terdiri dari:
a. Studi dokumentasi, yaitu data-data yang diambil dari pendokumentasian
dan pemberkasan 15 , dalam hal ini berupa eksplorasi data-data
dokumentasi terhadap pihak Basyarnas dan Peradilan Agama.
14
hal. 51.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986),
Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2001), hal. 33.
15
b. Wawancara, yaitu penulis melakukan interview kepada pihak-pihak
terkait dalam hal ini pihak lembaga penyelesaian sengketa dan pihak
Lembaga Keuangan Syariah yang diwakili oleh Pegadaian Syariah.
c. Studi Kepustakaan, yaitu mengeksplorasi referensi buku-buku dan
artikel-artikel dari koran, majalah dan internet yang berhubungan dengan
tema penelitian.
5. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dari PA Jakarta Pusat, Timur, Barat, Selatan, dan
Basyarnas serta hasil wawancara di Pegadaian Syariah akan dianalisis
dan ditinjau lebih jauh dengan didukung oleh referensi lain yang
berhubungan dengan bahasan skripsi ini.
Sedangkan pengolahan data akan menggunakan metode deskriptif
analisis. Metode deskriptif analisis yaitu metode yang menggambarkan
dan memberikan analisa terhadap kenyataan di lapangan yang diperoleh
dari hasil dokumentasi data dan wawancara dari PA, Basyarnas dan
Pegadaian Syariah. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengedit data
yaitu memeriksa data yang terkumpul dan hal yang terkait dengan
pertanggungjawaban
lembaga
menyajikannya secara sistematis.
F. Tehnik Penulisan Laporan
dipaparkan
semua
kemudian
Penulisan skripsi ini berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan
Skripsi Tahun 2007 yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 16
G. Sistematika Penulisan
Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis, penulis membagi skripsi ini
menjadi lima bab, masing-masing bab akan terurai dalam sub-sub bab dengan
perincian sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan, yang akan menjabarkan latar belakang
penelitian ini, pembatasan dan perumusan masalah, maksud dan tujuan
penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode dan tehnik penulisan
serta sistematika penulisan.
Bab II berisi tentang pengertian, perkembangan, landasan operasional
Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia serta profil Pegadaian Syariah.
Bab III menguraikan tentang Peradilan Agama dan Basyarnas sebagai
lembaga penyelesaian sengketa ekonomi syariah, prosedur penyelesaian
sengketa ekonomi syariah pada pengadilan agama dan basyarnas. serta
analisis Peradilan Agama dan Basyarnas yang meliputi dasar hukum dan
kewewenangan absolutnya.
Bab IV memuat analisis kecenderungan Lembaga Keuangan Syariah
terhadap Peradilan Agama dan Basyarnas dalam penyelesaian sengketa
Fakultas Syariah dan Hukum, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Fakultas
Syariah dan Hukum, 2007).
16
ekonomi
syariah,
serta
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
tingkat
kecederungan Lembaga Keuangan Syariah terhadap Peradilan Agama dan
Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
Bab V merupakan penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saransaran.
BAB II
KONSEPSI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
A. Pengertian Lembaga Keuangan Syariah
Lembaga merupakan bentuk organisasi sosial yang mengorganisir
sekelompok orang yang memiliki tujuan, target, sasaran, dan visi yang sama
untuk menganggap sebuah usaha sosial tertentu. 17
Menurut SK menteri keuangan RI No. 792/1990, lembaga keuangan
adalah semua badan yang memiliki kegiatan di bidang keuangan berupa
penghimpunan dana dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama untuk
membiayai investasi perusahaan. 18
Lembaga keuangan diberikan batasan sebagai semua badan yang
kegiatannya di bidang keuangan, menghimpun dan menyalurkan dana bagi
17 Ahmad Jazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat:
Sebuah Pengenalan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 2.
Y. Sri Susilo dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: Salemba
Empat, 2000), hal. 3.
18
masyarakat terutama guna membiayai investasi bagi perusahaan. Meski dalam
peraturan tersebut lembaga keuangan diutamakan untuk membiayai investasi
perusahaan, namun peraturan tersebut tidak berarti membatasi kegiatan
pembiayaan lembaga keuangan hanya untuk investasi perusahaan. Dalam
kenyataannya kegiatan lembaga keuangan bisa diperuntukkan bagi kegiatan
perusahaan, konsumsi, dan kegiatan distribusi barang dan jasa. 19
Dari definisi lembaga keuangan di atas dapatlah disebutkan bahwa
sekurang-kurangnya ada dua unsur utama bagi sebuah lembaga keuangan,
yaitu:
a. Badan usaha yang bergerak dalam bidang keuangan
b. Tugas dan fungsi lembaga keuangan ialah terutama menghimpun
dan menyalurkan uang dari dan kepada masyarakat. 20
Lembaga keuangan yang ada di Indonesia dikelompokkan menjadi dua
macam, yakni lembaga keuangan bank dan bukan/non bank 21 . Lembaga
keuangan bank seperti yang tertera dalam Undang-Undang No. 10 Tahun
1998 Tentang Perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
19
Ibid.
20 Muhammad Amin Suma, Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi Dan
Keuangan Islam, (Banten: Kholam Publishing, 2008), h. 245.
Y. Sri Susilo, Sigit Triandaru dan Totok Budi Santoso, Bank dan Lembaga
Keuangan Lain, hal. 2.
21
dalam bentuk kredit dan atau dalam bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup orang banyak. 22 Sedangkan yang dimaksud dengan
lembaga keuangan non bank adalah semua badan yang melakukan kegiatan di
bidang keuangan baik secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana
dengan cara mengeluarkan kertas berharga dan menyalurkannya kepada
masyarakat untuk membiayai investasi perusahaan. 23
Sementara kata syariah adalah satu derivasi dari kata syara’a yang
berarti al-bayan wal inzar (jelas) sedangkan menurut Manna al-Qattan syaria
adalah jalan atau tempat keluarnya air untuk minum. Kemudian bangsa Arab
mengunakan kata ini untuk konotasi jalan lurus dan padat saat dipakai dalam
pembahasan hukum menjadi bermakna segala sesuatu yang disyariatkan Allah
kepada hamba-Nya sebagai jalan untuk memperoleh kehidupan di dunia dan
akhirat. 24
Jadi Lembaga Keuangan Syariah adalah lembaga yang berfungsi
sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat untuk dapat dimanfaatkan
22
Undang-Undang No. 10 Tahun1998 Tentang Perbankan, pasal 1 ayat 2.
23 Manna Al-Qattan, At-Tasyari’ Wa Al-Fiqhi Al-Islam Tarikhan Wa Manhajan,
dalam Y. Sri Susilo, Sigit Triandaru dan Totok Budi Santoso, Bank dan Lembaga
Keuangan Lain, h. 2-3.
Y. Sri Susilo, Sigit Triandaru dan Totok Budi Santoso, Bank dan Lembaga
Keuangan Lain, h. 2-3.
458
24
secara optimal guna mensejahterakan taraf hidup mereka, dengan mengacu
pada ketentuan syariah.
Menurut
Fathurrahman
Djamil
Lembaga
Keuangan
Syariah
merupakan lembaga atau badan usaha yang mengelola dana dari unit surplus
kepada defisit surplus atau dari pemilik dana/investor kepada pengguna dana
dengan berdasarkan pada nilai-nilai Islam. 25
Menurut Chapra, Lembaga Keuangan Syariah menciptakan sosio
ekonomi Islam yang halal. Dengan target utamanya adalah kesejahteraan
ekonomi, perluasan kesempatan kerja peningkatan pertumbuhan dan keadilan
ekonomi, distribusi pendapatan kekayaan wajar, stabilitas nilai uang, dan
mobilisasi serta investasi tabungan untuk pembangunan ekonomi yang
mampu memberikan jaminan keuntungan bagi semua pihak yang terlibat. 26
1. Sejarah Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia
Kalau kita berbicara tentang sejarah perkembangan Lembaga
keuangan syariah di Indonesia, maka tidak lain dan tidak bukan kita
membahas pergerakan perbankan syariah. Hal ini dikarenakan perbankan
syariahlah yang mendasari sekaligus peletak dasar berdirinya lembaga
keuangan syariah lainnya.
25
Fathurrahman Djamil, Kapita Selekta, hal. 117.
Umer Chapra, System Moneter Islam, dalam: Bank Indonesia Biro
Perbankan Syariah, Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia,
(Jakarta: Bank Indonesia Biro Perbankan Syariah, 2002), hal .4.
26
Diawali dengan trial and error lembaga-lembaga informal seperti
koperasi syariah, baitul mal wattamwil oleh para aktivis dan pemuda Islam,
dan lokakarya Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1990 yang menghasilkan
rekomendasi perlunya didirikan perbankan syariah, maka kemudian secara
yuridis-formil didirikan bank dengan prinsip bagi hasil yaitu Bank Muamalah
Indonesia pada tahun 1992 atas prakarsa berbagai pihak sebagai dasar awal
perkembangan Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia.27
Sejak pendirian Bank Muamalah sebagai pioneer bank dengan system
bagi hasil tersebut, kemudian adanya dukungan legal pada tahun 1998 berupa
diakomodasikannya pelaksanaan bank sesuai dengan syariah sebagaimana
yang termuat dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1998 yang merupakan
perubahan terhadap Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan,
maka lembaga perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang cukup pesat
hingga sekarang. 28
Menurut Muhammad Amin Suma ada beberapa alasan yang mendasari
eksistensi Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia: 29
a. Alasan agama 30
27 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 84-85.
28
Fathurrahman Djamil, kapita selekta, hal. 127.
29
Muhammad Amin Suma, menggali akar, hal. 349.
30
Ibid. hal. 350
Dalam ajaran Islam kita mengenal ada beberapa sendi pokok
kehidupan yang diatur secara apik. Bukan saja segi hubungan kita
kepada sang Kholiq yang termaktub dalam fiqh ibadah, melainkan
sendi-sendi lainnya seperti pola hubungan interaksi kita dalam
berniaga yang diatur dalam fiqih mu’amalah.
Berkaitan dengan bidang ekonomi, Islam sangat menganjurkan
penyelenggaraan ekonomi yang kuat dan tentunya sesuai dengan
syariah. Bukti care-nya Islam pada sektor ekonomi dan keuangan
adalah dengan disyariatkannya zakat, infak, shodaqoh, wakaf,
pegadaian, perniagaan dan lain-lain. Kecamannya terhadap riba,
judi, ghoror, penimbunan barang-barang kebutuhan, merupakan
bukti lain kepedulian Islam terhadap kesejahteraan sosial
masyarakat dengan pijakan dasar asas keadilan dan pemerataan.
b. Alasan sejarah 31
Sejarah telah membuktikan sejak zaman Rosullulloh saw,
sampai dinasti Abbasiyah, Islam telah menguasai sepertiga dunia
dengan sistem ekonomi dan keuangannya yang non-bunga. Islam
tumbuh hidup dan berkembang secara meyakinkan sekaligus
menaklukkan dunia.
System keuangan dan ekonomi Islam di Indonesia sebenarnya
telah tumbuh sejak abad ke-20. System mudhorrobah telah
31
Ibid. hal. 350-352.
dipraktekkan oleh para pedagang dan saudagar nusantara sejak
zaman dulu.
Pada awal dasawarsa 90-an Indonesia berupaya sedikit demi
sedikit melepaskan diri dari system ekonomi konvensional menuju
system ekonomi syariah. Hal ini diawali dengan berdirinya Bank
Muamalat Indonesia pada Desember 1992 yang merupakan bank
dengan prinsip syariah pertama di Indonesia.
c. Alasan penduduk 32
Populasi jumlah penduduk Indonesia sebesar 210 juta orang
dan ± 80%nya adalah muslim. Keadaan ini yang menjadi salah
satu alasan perkembangan ekonomi Islam di Indonesia.
d. Alasan politik 33
Sistem politik yang dianut oleh Negara kita ini adalah sistem
demokrasi
pancasila.
Demokrasi
dalam
lingkup
ekonomi
mengandung pengertian kebebasan menganut sistem ekonomi apa
saja yang ada di dunia ini, seperti sosialis, liberalis atau syariah
(Islam).
e. Alasan yuridis 34
32
Ibid. hal. 352-353.
33
Ibid. hal. 353-356.
34
Ibid. hal. 356-357.
Indonesia sebagai Negara hukum menghormati seluruh peraturan
yang berlaku di seluruh wilayah nusantara. Sebagaimana yang
telah diatur dalam landasan konstitusional Negara kita UUD ’45,
yang berisi faham kedaulatan rakyat Indonesia, selain berkenaan
dengan demokrasi politik, juga berkenaan dengan demokrasi
ekonomi.
Statemen
ini
mengisyaratkan
Negara
ini
tidak
membatasi system ekonomi yang diberlakukan selama untuk
kesejahteraan rakyat.
f. Alasan demokrasi 35
Kata demokrasi ekonomi yang tertera pada pasal 33 UUD
1945, seyogyanya diartikan dengan makna yang luwes dan tidak
kaku. Makna demokrasi dan demokratisasi ekonomi termasuk di
dalamnya ekonomi keagamaan di samping kerakyatan, dalam
istilah yang lebih popular di telinga bangsa Indonesia saat ini
adalah ekonomi kesyariahan. Ekonomi dan keuangan syariah
sejalan seirama dengan apa yang diinginkan oleh UUD ’45.
g. Alasan kebutuhan masyarakat 36
Hantaman krisis finansial yang tengah melanda bukan saja di
Indonesia tetapi dunia menyebabkan masyarakat mencari alternatif
35
Ibid. hal. 357-359.
36
Ibid. hal. 359-360.
sistem keuangan yang tahan krisis, stabil dan aplikatif. Kehadiran
system ekonomi syariah dirasakan dapat menjadi solusi cerdas
mengatasai resesi ekonomi yang tengah mewabah.
h. Alasan ekonomi 37
Kehadiran ekonomi syariah dalam Negara ini sama sekali tidak
mengganggu stabilitas perekonomian nasional, malah sebaliknya
kehadiran ekonomi syariah di bumi pertiwi ini ikut serta dalam
rangka pembangunan ekonomi nasional baik secara makro maupun
mikro serta sedikit banyak mengurangi tingkat pengangguran.
i. Alasan akademik 38
Kehadiran ekonomi dan keuangan syariah dewasa ini
merupakan kebutuhan bagi dunia akademisi.
Penyebaran jaringan kantor perbankan syariah misalnya, saat ini
mengalami pertumbuhan pesat. Jika pada 2006 jumlah jaringan kantor hanya
456 kantor, sekarang jumlah tersebut menjadi 1440 kantor (Data BI Oktober
2008). Dengan demikian jaringan kantor tumbuh lebih dari 200%. Jaringan
kantor itu telah menjangkau masyarakat di 33 propinsi dan di banyak
kabupaten/kota.
37
Ibid. hal. 360-361.
38
Ibid. hal. 361-362.
Dengan mengacu pada data-data di atas rasanya tidak terlalu
berlebihan jika kita mengatakan praktek Lembaga Keuangan Syariah di
Indonesia sangat prospektif dan menjanjikan.
2. Dasar Hukum Operasional Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia
Lembaga Keuangan Syariah di tanah air mendapat pijakan yang kokoh
setelah adanya deregulasi sektor perbankan pada tahun 1983. Hal ini
karena sejak saat itu diberikan keluasan penentuan tingkat suku bunga nol
persen (termasuk tanpa bunga). Sungguhpun demikian kesempatan ini
belum bisa dimanfaatkan karena tidak diperkenankannya pembukaan
kantor baru. Hak ini berlangsung sampai tahun 1988 di mana pemerintah
mengeluarkan Pakto 1988 yang memperkenankan berdirinya bank-bank
baru. Kemudian posisi perbankan semakin pasti setelah disahkannya
Undang-Undang perbankan No. 7 Tahun 1992 dimana bank diberikan
kebebasan untuk menentukan jenis imbalan yang akan diambil dari
nasabahnya baik bunga maupun keuntungan bagi hasil. 39
Berbarengan dengan disahkannya Undang-Undang tersebut, berdirilah
BMI sebagai bank murni syariah pertama, berarti menandakan bahwa
Muhammad, Dasar Falsafah dan Hukum Bank Syariah, dalam Muhammad
Syafi’i Antonio dkk, Bank Syariah: Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan
Ancaman, (Yogyakarta: Ekonisa, 2006), h. 58-59.
39
pada tahun itu merupakan awal kebangkitan kemballi ekonomi dan
keuangan Islam. 40
Pada tahun 1998, UU No. 7 tahun 1992 diubah oleh UU No. 10 Tahun
1998. Keluarnya Undang-Undang ini dilatarbelakangi alasan bahwa
mudah-mudahan UU ini dapat memberikan tempat atau setidak-tidaknya
mengakomodir kehadiran bank syariah yang belum sempat disinggung
secara eksplisit dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Sebagai contoh
perubahan yang terjadi pada pasal 1 ayat 3 UU No. 10 Tahun 1998
terhadap UU No. 7 tahun 1992 adalah menetapkan bahwa salah satu
bentuk usaha bank adalah “menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan
kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia”.
B. Profil Lembaga Keuangan Syariah (Pegadaian Syariah)
1. Sejarah Singkat Pegadaian Syariah
Pegadaian merupakan lembaga perkreditan dengan sistem gadai untuk
pertama kalinya. Hadir di Indonesia pada abad ke-17 dibawa dan
dikembangkan oleh maskapai perdagangan Belanda (VOC). Dalam rangka
memperlancar kegiatan perekonomiannya, pada tanggal 20 Agustus 1746
didirikanlah pegadaian yang bernama Bank van Leening. Lembaga kredit
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah; Wacana Ulama dan
Cendikiawan, (Jakarta: Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 1999), hal. 278-279.
40
tersebut merupakan lembaga yang memberikan pinjaman uang kepada
masyarakat dengan jaminan gadai. Sejak saat itu bentuk pegadaian telah
mengalami beberapa kali perubahan sejalan dengan perubahan peraturan
yang mengaturnya 41 .
Pada masa selanjutnya pegadaian mengalami perubahan bentuk badan
hukumnya, yaitu pada 1969 Perusahaan Negara diubah menjadi
Perusahaan Jawatan (Perjan). Pada tahun 1990 Perjan diubah menjadi
Perusahaan Umum (Perum) lewat PP No. 10 Tahun 1990 tanggal 10 April
1990 42 .
Seiring dengan dikeluarkannya fatwa DSN-MUI tentang keharaman
riba, maka Perum Pegadaian merespons dengan mendirikan Unit Layanan
Gadai Syariah (UPGS) sebagai diversifikasi produk gadai. Hal tersebut
bukan semata-mata merespons fatwa DSN-MUI melainkan dalam rangka
membentengi terhadap Pegadaian sendiri terhadap saingan dari Perbankan
Syariah. Perbankan Syariah pun telah meluncurkan produk-produk
pertolongan yang diperkuat dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
41 Pirgon Matua, Sejarah Singkat Perum Pegadaian, (Jakarta: Perum
Pegadaian, 2003), hal 1.
42
Ibid.
1998 yang isinya menyertakan Perbankan Syariah boleh mendirikan usaha
gadai 43 .
Bank Muamalat Indonesia dalam mengembangkan usahanya mencoba
untuk membuat produk gadai syariah, namun karena tidak mempunyai
SDM dan peralatan yang cukup memadai, kemudian Bank Muamalat
Indonesia mengajak Perum Pegadaian untuk join mendirikan Pegadaian
Syariah. Tawaran tersebut mendapatkan respons positif dari Perum
Pegadaian yang juga sedang mempelajari bentuk usaha pegadaian
syariah. 44
Pada tahun 2002 penandatanganan nota kesepakatan kerjasama antara
Bank Muamalat Indonesia dengan Pegadaian dilakukan dengan nomor
446/sp.300.233.2002 dan 015/BMI/PKS/XII/2002. BMI melakukan
kerjasama dengan Pegadaian untuk menambah modal dengan bentuk
pembiayaan musyarokah sebesar Rp. 40.000.000.000,-. Kemudian pada
tanggal 14 Januari 2003 secara resmi dibuka pegadaian syariah dengan
nama Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) dan operasionalnya Dewan
Direksi Perum Pegadaian nomor 06.A/UL.3.00.22.3/2003 tentang
pemberlakuan Manual Operational Unit Layanan Gadai Syariah.45
43 Perum Pegadaian, Manual Operational Gadai Syariah, (Jakarta: Perum
Pegadaian, 2003).
44
Ibid.
45
Ibid.
Pembentukan gadai syariah ini juga berdasarkan fatwa DSN-MUI
No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn dan fatwa DSN No. 26/DSNMUI/III/2002 tentang rahn emas. Konsep rahn syariah mengikuti sistem
administrasi modern yaitu asas rasionalitas, efisiensi, dan efektivitas yang
diselaraskan dengan nilai-nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah
itu
sendiri
dijalankan
oleh
kantor-kantor
Cabang
Pegadaian
Syariah/ULGS sebagai unit organisasi di bawah koordinasi Divisi Usaha
Lain Perum Pegadaian. Namun baru pada awal 2004 Perum Pegadaian
memisahkan Pegadaian Syariah kedalam divisi tersendiri yaitu Divisi
Usaha Syariah, serta menjadikan setiap cabangnya sebagai binaan Kantor
Wilayah (kanwil) Perum Pegadaian. Selain itu Pegadaian Syariah juga
telah memiliki Dewan Pengawas Syariah sendiri yang berfungsi
memberikan pengarahan dan pengawasan menyengkut kehalalan produk
yang dijalankan. 46
2. Visi dan Misi
Visi Pegadaian: “Pegadaian Pada Tahun 2010 menjadi perusahaan yang
inovatif, dinamis, modern dengan usaha utama gadai”.
Misi Pegadaian: “Ikut membantu program pemerintah dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat golongan menengah ke bawah
46
Pegadaian Syariah, Manual Operasional ULGS, Jakarta.
melalui kegiatan utama berupa penyaluran kredit gadai dan melakukan
usaha lain yang menguntungkan” 47 .
3. Struktur Organisasi
Struktur organisasi Pegadaian Syariah adalah sesuai dengan SK
Direksi Perum Pegadaian No. 1095/SDM.200322/2004 tanggal 28 April
2004 48 antara lain:
a. Manager, bertugas mengelola operasional kegiatan sehari-hari
yaitu menyalurkan uang pinjaman (qordh) secara hukum gadai
yang didasarkan pada penerapan prinsip syariat Islam. Selain itu
manager juga malaksanakan usaha-usaha lain yang telah
ditentukan
oleh
menejeman
serta
mewakili
kepentingan
perusahaan dalam dalam hubungannya dengan pihak lain.
b. Penaksir, bertugas menaksir marhun (barang yang digadai) untuk
menentukan nilai dan mutu barang sesuai dengan ketentuan yang
belaku dalam rangka mewujudkan penetapan taksiran dan uang
pinjaman yang wajar serta citra baik perusahaan.
c. Kasir, bertugas melakukan penerimaan, penyimpanan, pembayaran
serta pembukuan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk
kelancaran operasional perusahaan.
47
Perum Pegadaian, Manual Operasional Gadai Syariah, Jakarta.
48
Ibid.
d. Pemegang
Gudang,
bertugas
melakukan
pemeriksaan,
penyimpanan, pemeliharaan dan penyimpanan serta pembukuan
marhun selain barang kantor sesuai dengan peraturan yang berlaku
dalam rangka ketertiban dan keamanan serta keutuhan marhun.
e. Penyimpan Marhun, bertugas mengelola gudang marhun emas
dengan menerima, merawat, menyimpan, mengeluarkan dan
mengadministrasikannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dalam rangka mengamankan searta menjaga keutuhan barang milik
rohin (penggadai).
f. Keamanan, bertugas mengamankan harta perusahaan rohin dalam
lingkungan kantor dan sekitarnya.
g. Staff, bertugas memelihara kebersihan, kenyamanan, keindahan
gedung ruang kerja. Mengirim dan mengambil surat/dokumen
untuk menunjang kelancaran tugas administrasi dan tugas
operasional perusahaan.
4. Produk-Produk yang Dihasilkan
a. Ar-Rahn (Gadai Syariah)
Usaha
pokok
dari
usaha
pegadaian
Syariah
adalah
menyalurkan marhum bih dalam jumlah sekala kecil dengan jaminan
harta bergerak maupun tidak bergerak atas dasar hukum gadai Syariah.
Hal ini sesuai dengan fatwa DSN No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang
rahn tanggal 26 Juni 2002 dan No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang
rahn emas tanggal 28 Maret 2002. 49
Dalam prakteknya rahin menyerahkan harta bergerak atau
tidak bergerak sebagai jaminan sekaligus memberi kuasa kepada
pegadaian syariah untuk menjual/melelang secara syariah jika setelah
jatuh tempo rahin tidak mampu/bersedia melunasinya. Jaminan yang
telah diuangkan digunakan untuk melunasi pinjaman pokok ditambah
biaya jasa simpan dan jasa lelang, kelebihannya deserahkan kepada
rahin, sedangkan kalau kurang, menjadi resiko pegadaian.50
Gadai Syariah merupakan produk dengan menggunakan sistem
penyaluran pinjaman secara gadai yang didasarkan pada sistem
syariah. Nasabah tidak dikenakan bunga pinjaman ataupun sewa
modal atas pinjaman yang diberikan. Nasabah dikenakan biaya
administrasi dan jasa pinjam yang dipungut dengan alasan agunan
yang diserahkan nasabah wajib disimpan, dirawat dan diasuransikan. 51
b. Ar-Rum (Gadai Untuk Usaha Micro Kecil)
Pegadaian merupakan suatu institusi yang mengelola usaha
gadai, tetapi lebih luas dari pada itu menjadi institusi yang mengelola
49 Ahmad Kamil dan Muhammad Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum
Perbankan dan Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2007), hal 545.
50
Ibid.
51
Ibid.
pembiayaan usaha micro kecil berbasis syariah. Sebagai langkah awal
untuk mengimplementasikan gagasan ini, maka sistem pembiayaan
dengan sistem ar-rahn kini dicoba untuk dikembangkan dengan
konsep pelunasan pinjaman secara angsuran baik dengan cara gadai
menahan agunan maupun fidusia (hanya dokumen kepemilikan yang
ditahan). 52
Ar-Rahn untuk usaha kecil selanjutnya disebut skim Ar-Rum
adalah skim pembiayaan berprinsip syariah bagi para pengusaha mikro
kecil untuk usaha yang didasarkan pada kelayakan usaha. Tujuan
diluncurkannya pembiayaan ar-rum selain sebagai sebuah upaya
diversifikasi produk di pegadaian syariah juga dengan maksud
meningkatkan pemberdayaan para pengusaha mikro dan kecil yang
membutuhkan pembiayaan modal kerja atau investasi secara syariah.
Pembiayaan
diberikan
dalam
jangka
waktu
tertentu
dengan
pengembalian pinjaman dilakukan secara angsur dengan menggunakan
konstruksi pembiayaan secara gadai maupun fidusa. Skim ar-rum ini
merupakan pinjaman kepada individual pengusaha mikro kecil.53
52
Ibid.
53
Ibid.
BAB III
PERADILAN AGAMA DAN BASYARNAS SEBAGAI LEMBAGA
PENYELESAI SENGKETA EKONOMI SYARIAH
A. Peradilan Agama di Indonesia
1. Pengertian Peradilan Agama
Peradilan dalam Islam lebih dikenal dengan sebutan qadha’, yang
berarti memutuskan, menyelesaikan dan melaksanakan (mengeksekusi).
Menurut istilah fiqh, qadha berarti lembaga hukum dan perkataan
yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang memiliki wilayah
umum, atau menerangkan hukum agama atas dasar mengharuskan orang
mengikutinya. 54
Peradilan adalah daya upaya untuk mencari keadilan dan penyelesaian
perselisihan hukum yang dilakukan menurut peraturan perundangundangan dan lembaga tertentu dalam pengadilan. 55 Istilah lain yang
sering muncul mengiringi kata peradilan adalah pengadilan. Jika peradilan
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Peradilan dan Hukum Acara
Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), hal. 34.
54
55
Ibid, h.252.
didefinisikan sebagai sebuah proses daya upaya dalam mencari sebuah
keadilan, maka lain halnya dengan kata pengadilan, yang berarti secara
lughowi adalah badan yang melakukan proses peradilan. Menurut
Muhammad Daud Ali, pengadilan adalah sebagai lembaga atau badan
yang bertugas menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan kepadanya atau yang menjadi wewenangnya. 56
2. Sejarah Peradilan Agama di Indonesia
Bicara soal sejarah Indonesia tidak akan terlepas dari corak
pemerintahan
bersistem
kerajaan.
Kerajaan
Islam
pertama
yang
memperkenalkan peradilan Islam adalah kerajaan Mataram di bawah
pimpinan Sultan Agung, yang sebelumnya peradilan dipengaruhi oleh
ajaran Hindu. Dengan peralihan Mataram menjadi kerajaan Islam,
mulailah diadakan pembenahan peradilan dengan memasukkan unsur
ajaran Islam dengan cara memasukkan orang Islam ke dalam badan
pengadilan. 57
Pada masa penjajahan terjadi intervensi penjajah pada setiap sektor
kehidupan bangsa Indonesia. Pada awalnya pemerintah Belanda ingin
menegakkan hukum yang mereka bawa dari negerinya baik perdata
56 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1992), hal. 251.
R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad Ke Abad, (Jakarta: Pradnya
Paramitha, 1978), hal. 14.
57
maupun pidana. Akan tetapi mereka tidak mampu seratus persen
menjalankannya,
sehingga
akhirnya
penduduk
pribumi
dibiarkan
kebiasaan mereka yang beragama Islam. 58
Pada tahun 1882 Van Den Berg berpendapat bahwa hukum mengikuti
agama yang dianut seseorang, oleh karena itu untuk orang Islam hukum
Islamlah yang beralaku baginya. Selaras dengan ucapan Van Den Berg,
Paul Scholten juga memiliki pemikiran serupa dalam menerapkan sebuah
peraturan, ia berpendapat guna meredam amarah uamt Islam orang-orang
pribumi yang beragama Islam tetap dibiarkan dan hidup dalam lingkungan
agama dan adat istiadat mereka. 59
Selanjutnya
Snouck
mengeluarkan
teori
receptive.
Teori
ini
mengungkapkan bahwa hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah
hukum adat mereka sendiri. Hukum Islam dapat berlaku jika telah
direceptie oleh hukum adat. Dengan kata lain hukum adatlah yang
menentukan hukum Islam.
Sejalan perjalanan sejarahnya tercatat jelas bahwa teori receptie
diadopsi menjadi kebijakan politik Belanda yang ternyata secara
sistematis dan konseptual telah mempersempit ruang gerak perkembangan
58
Jaenal Aripin, Peradilan Agama, hal. 262.
Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), hal. 226.
59
hukum Islam. 60 . Keberhasilan pemerintah Belanda menggantikan teori
receptie in complexu dengan mengusung teori receptie mengiyaratkan
bahwa hukum Islam jika ingin berlaku harus mendapat persetujuan
terlebih dahulu dari hukum adat.
Pada masa pendudukan Jepang eksistensi Peradilan Agama terancam.
Hal ini dibuktikan dengan pernyataan Dewan Pertimbangan Agung Jepang
(Sanyo-Aanyo Kaigi Jimushitsu) pada tanggal 14 April 1942 sebagai
berikut:
“Dalam Negara baru yang memisahkan urusan Negara dengan urusan
agama tidak perlu mengadakan pengadilan agama sebagai peradilan
istimewa, untuk mengadili urusan seseorang yang bersangkut dengan
agamanya cukup segala perkara diserahkan kepada pengadilan biasa
yang dapat meminta pertimbangan seorang ahli agama.” 61
Pada pernyataan ini akan ada penyerahan tugas pengadilan agama
kepada pengadilan biasa. Akan tetapi sebelum peraturan itu diberlakukan
terlebih dahulu Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya dan
pengadilan agama tetap eksis dalam ranah peradilan nusantara. 62
Pembaharuan Peradilan Agama terus dilakukan setelah penjajahan
berakhir. Setelah Indonesia merdeka atas usul menteri Agama yang
diamini oleh menteri Kehakiman, pemerintah menetapkan bahwa
Pengadilan Agama diserahkan dari kekuasaan Menteri Kehakiman kepada
60
61
62
Basik Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, hal. 55.
Ibid, hal. 61
Zulfran Sabrie, Peradilan Agama di Indonesia, hal. 19.
Kementerian Agama dengan ketetapan menteri No. 5 tanggal 25 Maret
1946. 63
Pada tahun 1970 pemerintah telah mempertegas keberadaan Peradilan
Agama dengan dikeluarkannya UU No. 14 tahun 1970 tentang ketentuanketentuan pokok kekuasaan kehakiman, dalam pasal 10 disebutkan ada 4
lingkungan peradilan di Indonesia yakni Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Seluruh
peradilan tersebut disejajarkan posisinya secara hukum dan berinduk
kepada Mahkamah Agung. 64
Setelah kurang lebih selama dua puluh empat tahun sejak tahun 1950,
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan akhirnya
disahkan oleh DPR dan pemerintah pada tanggal 2 Januari 1974.
Menyusul pengesahan UU ini, pada tanggal 1 April 1975 pemerintah
mengeluarkan PP No. 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksana UndangUndang perkawinan tersebut. 65
Puncak kemajuan eksistensial bagi hukum Islam dalam lika-liku
perkembangan hukum Indonesia adalah ketika diterapkannya UU No. 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga peradilan yang
63
Jaenal Arifin, Pengadilan Agama Dalam Bingkai Reformasi, hal. 267.
64
Basiq Djalil, Pengadilan Agama di Indonesia, hal. 86.
65
Ibid, hal. 88.
khusus diperuntukkan bagi orang Islam dan No. 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman terutama bagi para hakim
agama dalam memutus perkara dalam lingkungan Peradilan Agama,
meskipun wilayah hukumnya masih sebatas perkawinan, kewarisan,
perwakafan, wasiat, hibah, dan sedekah. 66
Proses metamorphosis Peradilan Agama akhirnya sampai pada tahap
paripurna di era reformasi, lewat Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
sebagai amandemen Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama menandakan dipercayakannya Peradilan Agama oleh pemerintah
untuk menangani perkara ekonomi syariah.
3. Dasar Hukum dan Wewenang Peradilan Agama
Berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama disebutkan bahwa Perngadilan Agama bertugas dan berwewenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang:
1. Perkawinan
2. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam
66
Jaenal Aripin, Peradilan Agama, hal. 280.
3. Waqaf dan shodaqoh 67
Undang-Undang Peradilan Agama tahun 1989 ini telah mengalami
perubahan pada tahun 2006, yakni dengan disahkannya UU No. 3 Tahun
2006. Terkait dengan kompetensi Peradilan Agama yang tertuang dalam
ketentuan pasal 49 huruf i, yaitu kewenangan menyelesaikan sengketa di
bidang ekonomi syariah. Adapun yang dimaksud dengan ekonomi syariah
dalam menurut pasal 49 huruf i Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 adalah
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah,
meliputi; Perbankan Syariah, Asuransi Syariah, Reasuransi Syariah, Reksa
Dana Syariah, Obligasi Syariah dan Surat Berharga Berjangka Menengah,
Sekuritas Syariah, Pembiayaan Syariah, Pegadaian Syariah, Dana Pensiun
Lembaga Keuangan Syariah, Bisnis Syariah, dan Lembaga Keuangan
Mikro Syariah.
Mempertegas eksistensi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, maka
pada tahun 2008 lalu, DPR telah berhasil menyelesaikan RUU Perbankan
Syariah menjadi Undang-Undang Perbankan Syariah. Dalam salah satu
pasalnya yakni pasal 55 ayat 1 dijelaskan bahwa penyelesaian sengketa
Perbankan Syariah dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama.
Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: Citra Media, 2006), hal. 144.
67
Mengacu pada beberapa peraturan perundang-undangan di atas, maka
Peradilan Agama memiliki wewenang untuk menerima, memeriksa, dan
memutus sengketa di bidang ekonomi syariah.
4. Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama 68
Prosedur penyelesaian sengketa ekonomi syariah pada dasarnya sama
dengan prosedur penyelesaian sengketa-sengketa kasus perdata lainnya,
hal ini mengingat Hukum Acara Peradilan Agama sama dengan Hukum
Acara yang dipakai oleh Peradilan Umum. Adapun prosesnya sebagai
berikut:
a. Prosedur. Langkah-langkah yang harus ditempuh oleh penggugat
adalah:
1) Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada
pengadilan (Pasal 118 HIR, 142 Rbg).
2) Gugatan diajukan kepada Pengadilan
a) Di mana daerah hukumnya meliputi kediaman hukum
tergugat.
b) Bila tempat kediaman tergugat tidak diketahui, maka
gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman penggugat.
Fakultas ekonomi UMY, Penyelesaian Ekonomi Syariah II,
www.http//umy.ac.id/index.php?option=page&id=149&item=326 - 104k, artikel ini di
download pada minggu 24 Mei 2009.
68
c) Bila mengenai benda tetap, maka gugatan dapat diajukan
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
letak benda tersebut. Bila benda tetap tersebut terletak
dalam beberapa wilayah pengadilan, maka gugatan dapat
diajukan kepada salah satu pengadilan yang dipilih oleh
penggugat (Pasal 118 HIR, 142 Rbg).
3) Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR). Jika
penggugat tidak memiliki kemampuan secara financial untuk
membayar biaya perkara, maka dapat dilaksanakan secara
prodeo. 69
4) Penggugat dan tergugat atau kuasanya menghadiri sidang
pemeriksaan berdasarkan panggilan pengadilan (Pasal 121,
124, dan 125 HIR, 145 Rbg).
b. Proses Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Agama
1) Calon Penggugat menghadap ke meja I. Meja I yang bertugas
menerima surat gugatan dan salinannya, menaksir panjar biaya
perkara, dan membuat SKUM (Surat Kuasa untuk Membayar).
Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah
mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut 70 . Bagi yang
Ibid.
Pasal 90 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, hal. 74.
69
70
tidak mampu dapat diizinkan berperkara secara prodeo.
Ketidakmampuan tersebut dibuktikan dengan melampirkan
surat keterangan dari lurah/kepala desa setempat yang
dilegalisir oleh camat. 71
2) Calon Penggugat/pemohon kemudian menghadap kepada kasir
dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan tersebut dan
SKUM. Ia membayar panjar biaya perkara sesuai dengan yang
tertera pada SKUM tersebut. Kasir kemudian menerima uang
tersebut
dan
mencatat
dalam
jurnal
biaya
perkara,
menandatangani dan memberi nomor perkara serta tanda lunas
pada SKUM tersebut. Mengembalikan surat gugat/permohonan
dan SKUM kepada calon Penguggat/pemohon, menyerahkan
uang panjar tersebut kepada Bendaharawan perkara. 72
3) Pendaftaran perkara 73
Calon penggugat/pemohon kemudian menghadap pada Meja II
dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan dan SKUM
yang telah dibayar tersebut. Selanjutnya penggugat melakukan:
71 M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama Dan
Mahkamah Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 14.
72
Fakultas Ekonomi UMY, Penyelesaian Ekonomi Syariah II.
73
Ibid.
a) Memberi nomor pada surat gugatan/permohonan sesuai
dengan nomor yang diberikan oleh kasir. Sebagai tanda
telah terdaftar maka petugas Meja Kedua membubuhkan
paraf.
b) Menyerahkan satu lembar surat gugatan/permohonan yang
telah
terdaftar
bersama
satu
helai
SKUM
kepada
penggugat/pemohon
c) Mencatat surat gugatan/permohonan tersebut pada Buku
Register Induk Perkara Permohonan atau Register Induk
Perkara Gugatan sesuai dengan jenis perkaranya.
d) Memasukkan surat gugatan/permohonan tersebut dalam
Map Berkas Perkara dan menyerahkan kepada Wakil
Panitera untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan
melalui Panitera.
4) Penetapan Majelis Hakim 74
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari, Ketua menunjuk
Majelis Hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara dalam
sebuah Penetapan Majelis Hakim (Pasal 121 HIR jo Pasal 93
UU-PA). Ketua membagikan semua berkas perkara dan atau
surat-surat yang berhubungan dengan perkar yang diajukan ke
74
Ibid.
Pengadilan kepada Majelis Hakim untuk diselesaikan. Ketua
menetapkan perkara yang harus diadili berdasarkan nomor
urut,
tetapi
apabila
terdapat
perkara
tertentu
karena
menyangkut kepentingan umum harus segera diadili, maka
perkara itu didahulukan (Pasal 94 UU-PA) yang berwenang
menentukan bahwa suatu perkara menyangkut kepentingan
umum adalah ketua Pengadilan. Penetapan Majelis Hakim
dibuat dalam bentuk penetapan dan ditandatangani oleh Ketua
PA dan dicatat dalam Register Induk Perkara yang
bersangkutan.
5) Penunjukan Panitera Sidang (PPS) 75
Untuk membantu Majelis Hakim dalam menyelesaikan perkara
ditunjuk seorang atau lebih panitera sidang. Penunjukan
panitera sidang dilakukan oleh Panitera (Pasal 96 UU-PA).
Panitera pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi
perkara dan mengatur tugas wakil panitera, panitera muda, dan
panitera pengganti. Panitera, wakil panitera, panitera muda,
panitera
pengganti
bertugas
membantu
hakim
dengan
menghadiri dan mencatat jalannya sidang pengadilan. Apabila
ternyata dikemudian hari, anggota majelis hakim ada
yang berhalangan untuk sementara, maka dapat diganti dengan
75
Ibid.
anggota lain yang ditunjuk oleh Ketua dan dicatat dalam BAP.
Apabila Ketua majelis berhalangan, maka sidang harus ditunda
pada hari lain. Tetapi apabila Ketua Majelis atau anggota
majelis berhalangan tetap (karena pindah tugas atau meninggal
dunia atau alasan lain) maka harus ditunjuk majelis baru
dengan Penetapan Majelis Hakim baru. Apabila panitera
sidang berhalangan, maka ditunjuk panitera lainnya untuk
mengikuti sidang.
6) Penetapan Hari Sidang 76
Ketua Majelis setelah menerima berkas perkara tersebut,
bersama-sama hakim anggotanya mempelajari berkas perkara.
Ketua kemudian menetapkan hari dan tanggal serta jam kapan
perkara itu akan disidangkan serta memerintahkan agar para
pihak dipanggil untuk datang menghadap pada hari, tanggal
dan jam yang telah ditentukan.
7) Tahap Pemeriksaan Perkara 77
Berdasarkan penetapan hari sidang, petugas panggil yang
ditunjuk Ketua Pengadilan Agama memanggil pihak-pihak di
muka sidang menurut hari, tanggal, jam, tempat yang telah
76
Ibid.
Nur Lailatul Musyafa’ah dkk, Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung:
Pustaka Bani Quroisy, 2004), hal 79.
77
ditentukan. Adapun proses pemeriksaan perkara sebagai
berikut:
a) Tahap sidang pertama. Tahap ini terdiri dari: (1) hakim
membuka sidang, (2) hakim menanyakan identitas para
pihak, (3) anjuran untuk berdamai. Jika upaya mediasi
tidak berhasil maka sidang akan dilanjutkan dengan (4)
pembacaan surat gugatan atau permohonan oleh penggugat
atau pemohon. 78
b) Tahap jawab menjawab (replik-duplik). Setelah pembacaan
gugatan/permohonan selesai, kemudian upaya mediasi
tidak berhasil hakim akan bertanya kepada tergugat atau
termohon apakah ia menjawab secara verbal atau tertulis.
Jika menjawab tertulis, maka akan ditanyakan kembali
apakah
sudah
siap.
Jika
belum
siap,
kapan
tergugat/termohon memiliki kesiapan. Sejak saat itu
masuklah pada proses replik-duplik, baik antar pihak
maupun hakim dengan para pihak. 79
c) Tahap pembuktian. Tahap pembuktian dimulai ketika tiada
lagi yang akan dikemukakan oleh para pihak dan tiada lagi
78 R. Soeroso, Praktek Hukum Acara Perdata, Tata Cara dan Proses
Persidangan, (Jakarta:Sinar Grafika 2004), hal. 41-42.
79
Ibid.
yang dipertanyakan oleh hakim. Setelah itu hakim
memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak yang
berperkara. 80
d) Tahap penyusunan konklusi. Setelah hakim memeriksa
bukti-bukti, sebelum majelis hakim bermusyawarah, pihakpihak diperkenankan mengajukan konklusi (kesimpulankesimpulan dari persidangan menurut para pihak). Karena
konklusi ini bersifat hanya untuk membantu majelis, pada
umumnya ini tidak diperlukan pada kasus-kasus ringan
sehingga hakim boleh meniadakannya. 81
e) Musyawarah
Majelis
Hakim.
Musyawarah
majelis
dilakukan secara rahasia, tertutup untuk umum. Semua
pihak maupun hadirin diperintahkan meninggalkan ruang
sidang. Panitera sendiri, kehadirannya dalam sidang
musyawarah atas izin majelis hakim. Hasil musyawarah
ditandatangani oleh semua hakim tanpa panitera sidang. Ini
merupakan lampiran Berita Acara Sidang yang nanti akan
dituangkan dalam diktum keputusan. 82
80
Fakultas Ekonomi UMY, Penyelesaian Ekonomi Syariah II.
81
Nur Lailatul Musyafa’ah dkk, Peradilan Agama di Indonesia, hal. 80
82
Ibid.
f) Pengucapan Keputusan. Pengucapan keputusan selalu
dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum. Selesai
keputusan diucapkan, ketua majelis akan bertanya kepada
penggugat atau tergugat, apakah menerima keputusan
tersebut atau tidak. Bagi pihak yang menyatakan
menerima, maka baginya tertutup kesempatan untuk
melakukan
banding,
sedangkan
bagi
pihak
yang
menyatakan tidak menerima atau pikir-pikir dulu, baginya
masih terbuka melakukan upaya hukum. 83
8) Eksekusi
Dengan dibacakannya putusan, maka selesailah proses
pemeriksaan perkara. Selanjutnya akan dilakukan proses
pelaksanaan keputusan (eksekusi) oleh jurusita yang ditunjuk.
Dalam proses eksekusi harus diperhatikan unsur-unsur
berikut: 84
a) Dictum putusan yang dapat dieksekusi hanyalah yang
bersifat comdemnatoir, artinya berwujud menghukum
pihak untuk membayar sesuatu, menyerahkan sesuatu, atau
melepaskan sesuatu dan sejenisnya.
83
Ibid. hal. 81.
Raihan Abdul Rosyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali
Press, 1991), hal. 223.
84
b) Diktum yang bersifat comdemnatoir tersebut harus jelas
dan rinci, misalnya wujudnya, bentuknya, batas-batasnya
dan sebagainya.
c) Barang atau benda yang akan digunakan untuk dibayarkan
atau diserahkan tersebut harus bebas dari sangkutan
dengan pihak ke tiga.
d) Untuk
terjaminnya
pelaksanaan
putusan
(eksekusi)
penggugat biasanya mengajukan permohonan sita jaminan
(conservatoir
beslag)
bersamaan
dengan
pengajuan
gugatan atau disusulkan.
B. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
1. Pengertian Badan Arbitrase Syariah Nasioal
Arbitrase jika dilihat dari asal kata (bahasa latin adalah arbitrare dan
dalam bahasa Belanda arbitrage) yang berarti suatu kesatuan untuk
menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Artinya penyelesaian
sengketa yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa arbiter atas dasar
kebijaksanaannya dan para
pihak akan tunduk atau menanti pada
keputusan yang yang diberikan oleh arbiter yang mereka pilih 85 .
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan
Cendikiawan, (Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 1999), hlm. 285.
85
Menurut R. Soebekti yang pendapatnya dinukil oleh Zeini Asyhadie
menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa
oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para
pihak akan tunduk dan menaati kepada keputusan yang diberikan oleh
hakim yang mereka pilih. 86
Dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, bahwa yang dimaksud
dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 87
Arbitrase merupakan badan penyelesai sengketa non-litigasi (di luar
pengadilan) yang telah dikenal oleh pihak perusahaan. Arbitrase adalah
peradilan yang dipilih sendiri secara sukarela oleh masing-masing pihak
yang melakukan perjanjian. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
Negara merupakan kehendak bebas pihak-pihak yang berkepentingan.
Kehendak bebas ini dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat
86 Zeini Ayhadie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia,
(Jakarta: Raja Grafindo, 2005), h. 208.
87
Ibid. hal. 208
sebelum dan sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan
berkontrak dalam hukum perdata. 88
Menurut Satria Effendi M. Zen, pengertian arbitrase dalam kajian fiqih
adalah suatu penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh hakam yang
dipilih atau ditunjuk secara sukarela oleh dua orang yang bersengketa
untuk mengakhiri sengketa di antara mereka dan kedua belah pihak akan
menaati penyelesain oleh hakam atau para hakam yang mereka tunjuk
itu. 89
Menurut A. Wasil Auli terdapat nilai-nilai positif dan konstruktif yang
terkandung dalam prinsip perdamaian (arbitrase): 90
a. Kedua belah pihak menyadari sepenuhnya perlunya penyelesaian
sengketa yang terhormat dan bertanggung jawab.
b. Secara sukarela mereka meyerahkan penyelesaian sengketa itu
kepada orang atau lembaga yang disetujui dan dipercayai.
c. Secara sukarela mereka akan melaksanakan putusan dari arbiter
sebagai konsekuensi atas kesepakatan mereka mengangkat arbiter.
Kesepakatan mengandung janji dan janji itu harus ditepati.
88 Abdul Kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia,
(Bandung: PT. Citra Aditya,1992), hal. 276.
89 Satria Effendi M. Zen, “Arbitrase dalam Syariat Islam”, dalam Abdul Rahman
Sholeh, dkk., Arbitrse Syariah Islam di Indonesia, (Jakarta, BAMUI, 1994), hal. 8.
Ahmad Wasit Aula’i, “Arbitrase Dalam Perspektif Islam”, dalam Abdul
Rahman Saleh, Arbitrase Islam di Indonesia, (Jakarta: BAMUI dan BMI, 1994), hal. 41.
90
d. Mereka menghargai hak orang lain sekalipun orang lain itu adalah
lawannya.
e. Sesungguhnya pelaksanaan tahkim atau arbitrase mengandung makna
perdamaian dan musyawarah.
2. Sejarah Basyarnas
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) yang dahulu bernama
Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI), didirikan oleh MUI
tanggal 5 Jumadil Awal 1414 H bertepatan dengan tanggal 21 Oktober
1993, didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan, sabagaimana
dikukuhkan dalam akte notaris Yudo Paripurno, SH. No. 175 tanggal 21
Oktober 1993. 91
HS. Projdokusumo (sekum MUI) menyebutkan bahwa gagasan
pembentukan badan ini tidak terlepas dari konteks perkembangan
kehidupan sosial ekonomi umat Islam. Konteks ini jelas dihubungkan
dengan Bank Muamalat dan Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan prinsip
syariah (BPRS) yang terlebih dahulu lahir, bersesuaian dengan
diberlakukannya perangkat hukum yang mengandung beroperasinya
perbankan dengan prinsip Islam yaitu Undang-Undang No. 7 tahun 1992
dan PP No. 71 dan 72 tahun 1992 92 .
Abdul Rahman Saleh, Arbitrase Islam di Indonesia, (Jakarta: BAMUI dan BMI,
1994), hal. 191.
92 Ibid,
91
Kemudian berdasarkan hasil pertemuan antara Dewan Pimpinan
Majelis Ulama Indonesia dan Pengurus BAMUI tanggal 26 Agustus 2003,
serta memperhatikan surat Pengurus Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
No. 82/BAMUI/07/X/2003, tanggal 07 Oktober 2003, maka MUI dengan
SK-nya No. Kep-09/MUI/XII/2003, tanggal 30 Syawwal 1424/24
Desember 2003, menetapkan bahwa: 93
a. Mengubah nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
b. Mengubah bentuk badan hukum BAMUI dari Yayasan menjadi badan
yang berada di bawah MUI, dan merupakan perangkat organisasi
MUI.
c. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai lembaga hakam,
BASYARNAS bersifat otonom dan independen.
Bergantinya nama BAMUI menjadi Basyarnas didasari dengan alasan:
a. Kedudukan BAMUI sebagai bentuk badan hukum yayasan tidak
sesuai lagi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 16 tahun
2001 tentang yayasan.
Ahmad Djauhari, Arbitrase Syariah Indonesia, (Jakarta: Badan Arbitrase
Syariah Nasional, 2006), hal. 42-43.
93
b. Bahwa anggota Pembina dan pengurus BAMUI sudah banyak yang
meninggal dunia oleh karena itu perlu ditetapkan susunan dan
personalia baru.
c. Bahwa Rapat Kerja Nasional MUI pada tanggal 23-26 Desember 2002
merekomendasikan perubahan nama BAMUI menjadi Badan
Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).
d. Adanya keinginan untuk menghilangkan asumsi masyarakat bahwa
BAMUI ada hubungan dengan Bank Muamalah Indonesia (BMI)
dalam arti kata hanya diperuntukkan bagi BMI saja ataupun bagian
dari manajemen BMI.
3. Dasar Hukum dan Wewenang Basyarnas
Eksistensi Basyarnas sebagai salah satu lembaga penyelesai sengketa
dalam bidang perdata khususnya ekonomi Islam tidak terlepas dari
keberadaan Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia khususnya BMI
yang pada saat itu merupakan satu-satunya bank dengan prinsip syariah.
Kemudian disusul dengan pendirian asuransi takaful dan Badan
Perkreditan Rakyat Syariah.
Adanya
lembaga
keuangan
syariah
merupakan
indikator
perkembangan hukum perdata Islam yang terdiri dari masalah perkawinan,
kewarisan, hibah, wasiat, perceraian dan sekarang bertambah hukum
bisnis. Jika kemudian hari timbul sengketa antar pihak yang bermuamalah,
maka proses penyelesaiannya diserahkan kepada pihak yang bertransaksi,
apakah lewat Basyarnas atau Peradilan Agama sesuai dengan klausula
yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Basyarnas mempunyai landasan yuridis formal yang kuat di Indonesia.
Ada dasar hukum Negara sebagai hukum positif yang berlaku saat ini
memungkinkan penyelesaian sengketa yang menyangkut kegiatan
transaksi bisnis dilakukan tidak melalui jalur peradilan. Walaupun
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan sepenuhnya kepada
peradilan dengan berpedoman kepada Undang-Undang No. 14 tahun 1970
tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kehakiman.
Basyarnas merupakan badan arbitrase (hakam), maka landasan
hukumnya pun tidak lepas dari pedoman konstitusi Islam yakni Al-Quran
dan Hadits. Karena penyelesaian sengketa melalui arbitrer merupakan
kebiasaan masyarakat Arab sejak pra Islam. Nabi Muhammad sering
ditunjuk sebagai juru damai oleh masyarakat Arab pada saat itu, saat
beliau belum menjadi Rosulullah. Peristiwa peletakkan hajarul aswad
merupakan salah satu bukti bahwa Rosulullah telah dianggap sabagai figur
yang mampu mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa.
Dalam QS. An-Nisa ayat 35 dijelaskan:
‫ﺣ َﻜﻤَﺎ ِﻣﻦْ َأهِْﻠﻬَﺎ‬
َ ‫ﺣ َﻜﻤًﺎ ِﻣﻦْ َأهِْﻠ ِﻪ َو‬
َ ‫ق َﺑﻴْﻨﻬﻤﺎ ﻓَﺎﺑْ َﻌ ُﺜﻮا‬
ُ ‫ﺷﻘَﺎ‬
ِ ْ‫ﺧﻔْ ُﺘﻢ‬
ِ ْ‫َوِإن‬
﴾٣٥﴿ ‫ﺧ ِﺒﻴْﺮًا‬
َ ‫ﻋِﻠﻴْﻤًﺎ‬
َ ‫ن‬
َ ‫ن اﻟّﻠ َﻪ آَﺎ‬
‫ﻖ اﻟّﻠ ُﻪ ﺑِﻴْﻨَ ُﻬﻤَﺎ ِا ﱠ‬
ِ ‫ِانْ ُﻳ ِﺮﻳْﺪَا اِﺻْﻼَﺣًﺎ ُﻳ َﻮ ﱢﻓ‬
“Dan jika kaum khawatir ada persengketaan antara keduanya maka
kirimilah seorang hakam dari keluarga keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah akan memberikan taufik kepada
istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Mengenal.”
Jika dilihat secara tekstual ayat ini mengandung pengertian hakam
dalam masalah keluarga dalam menyelesaikan masalah antara suami istri.
Namun kalau kita perhatikan ada semangat yang terkandung di dalamnya
yang berkaitan dengan penyelesaian sebuah masalah melalui islah.
Dasar hukum arbitrase selanjutnya adalah hadits yang diriwayatkan
oleh An-Nasa’i yang menceritakan dialog nabi dengan Abi Sureikh di
kalangan rakyat jika terjadi perselisihan dalam berbagai hal Abu Sureikh
sering kali diangkat menjadi wasit untuk menyelesaikan masalah di antara
mereka.
‫ إن اﷲ‬:‫ ﻓﻘﺎل ﻟﻪ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬، ‫ أﻧﻪ آﺎن ﻳﻜﻨﻰ أﺑﺎ اﻟﺤﻜﻢ‬: ‫ﻋﻦ أﺑﻲ ﺷﺮﻳﺢ‬
،‫ إن ﻗﻮﻣﻲ إذا اﺧﺘﻠﻔﻮا ﻓﻲ ﺷﻲء أﺗﻮﻧﻲ ﻓﺤﻜﻤﺖ ﺑﻴﻨﻬﻢ‬: ‫ ﻓﻘﺎل‬،‫ وإﻟﻴﻪ اﻟﺤﻜﻢ‬،‫هﻮ اﻟﺤﻜﻢ‬
، ‫ وﻣﺴﻠﻢ‬، ‫ ﺷﺮﻳﺢ‬:‫ ﻓﻤﺎ ﻟﻚ ﻣﻦ اﻟﻮﻟﺪ ؟ ﻗﺎل‬،‫ ﻣﺎ أﺣﺴﻦ هﺬا‬: ‫ ﻓﻘﺎل‬،‫ﻓﺮﺿﻲ آﻼ اﻟﻔﺮﻳﻘﻴﻦ‬
‫ ﻓﺄﻧﺖ أﺑﻮ ﺷﺮﻳﺢ ﴿رواﻩ اﻟﻨّﺴﺎئ‬:‫ ﻗﺎل‬، ‫ ﺷﺮﻳﺢ‬:‫ ﻓﻤﻦ أآﺒﺮهﻢ ؟ ﻗﻠﺖ‬:‫ ﻗﺎل‬. ‫وﻋﺒﺪ اﷲ‬
﴾‫و أﺑﻮ داود‬
“Qutaibah telah menceritakan kepada kami, dia berkata: telah menceritakan kepada
kami Yazid, dia adalah putera Miqdam bin Syureikh dari Syreikh Ibnu Hani, dari
bapaknya yaitu Hani, bahwa dia (Hani) tatkala datang kepada Rosulullah, maka
Rosulullah berkata kepadanya: “Sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Hakim dan hanya
kepada-Nya lah dikembalikan segala permasalahan hukum namun mengapa engkau
digelari “Abu al-Hakim? Maka Hani berkata: sesungguhnya kaumku manakala terjadi
permasalahan di antara mereka tentang sesuatu, maka mereka mendatangiku dan aku
memberikan putusan hukum bagi mereka dan masing-masing pihak yang berselisish
itu menerima keputusan dengan rela hati”. Rasulullah berkata: “alangkah baiknya hal
demikian”… 94
Di samping dalam kedua sumber pokok hukum Islam tersebut,
arbitrase atau tahkim juga telah diakui oleh mayoritas sahabat Rosulullah.
Persengketaan pernah terjadi yang diputuskan melalui arbitrase di
kalangan sahabat. Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya arbitrase telah
menjadi keharusan bagi para pihak yang berkonflik untuk mengedepankan
rasa perdamaian dan persaudaraan di antara mereka.
Selain Al-Quran, Hadits dan konsensus ulama yang menjadi landasan
hukum bagi Basyarnas, dalam hukum positif juga dapat menjadi payung
hukum bagi Basyarnas, yakni pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 30 tahun
1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, dalam UU
tersebut disebutkan bahwa arbitrase adalah penyelesaian sengketa perdata
di luar pengadilan yang didasarkan atas perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersegketa. 95
4. Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Basyarnas
a. Pengajuan Permohonan
94
Sunan An-Nasa’i jilid VII hal. 199.
Abdul Ghofur Anshori, Perjanjian Islam, (Yogyakarta: Citra Media Hukum,
2006), hal. 148.
95
Prosedur arbitrase dimulai dengan didaftarkannya surat permohonan
untuk mengadakan arbitrase oleh sekretaris dalam register Basyarnas.
Surat permohonan harus memuat sekurang-kurangnya:
1) Nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan
2) Suatu uraian singkat tentang duduknya sengketa
3) Apa yang dituntut 96
Pada surat permohonan harus dilampirkan: 97
a) Salinan dari naskah kesepakatan yang secara khusus
menyerahkan pemutusan sengketa kepada Basyarnas
b) Surat perjanjian yang memuat klausul arbitrase yaitu ketentuan
yang menetapkan bahwa sengketa-sengketa yang timbul dari
perjanjian
tersebut
akan
diputus
Basyarnas.
Apabila surat permohonan diajukan oleh juru kuasa, maka
surat kuasa khusus untuk mengajukan permohonan tersebut
harus dilampirkan
Apabila para pihak tidak mampu membayar biayabiaya pendaftaran, administrasi atau pemeriksaan yang dapat
dibuktikan dengan surat keterangan resmi sekurang-kurangnya
96
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis, hal. 216-217.
Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003), hal. 105-106.
97
dari Kepala Desa atau Lurah setempat, maka Ketua Bamui
dapat menetapkan kebijaksanaannya.98
b. Sikap Basyarnas terhadap permohonan 99
Basyarnas akan menyatakan permohonan tidak dapat diterima, apabila
perjanjian yang menyerahkan pemutusan sengketa kepada Basyarnas
atau klausul arbitrase dianggap tidak cukup untuk dijadikan dasar
kewenangan Basyarnas untuk memeriksa sengketa yang diajukan.
Pernyataan tentang tidak dapat diterimanya permohonan tersebut
dilakukan dengan sebuah penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua
Basyarnas selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari terhitung
sejak tanggal pendaftaran permohonan. Pernyataan tentang tidak dapat
diterimanya permohonan juga dapat dilakukan oleh arbiter tunggal
atau arbiter majelis yang telah ditunjuk dalam hal pemeriksaan telah
mulai. Penetapan tentang tidak dapat diterimanya permohonan yang
dikeluarkan oleh ketua Basyarnas disampaikan kepada pihak yang
bersangkutan selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari
terhitung sejak tanggal penetapan.
c. Penetapan Arbiter Tunggal atau Arbiter Majelis 100
98
Ensiklopedia Ekonomi Islam, Penyelesaian Melalui Basyarnas, diakses pada 5 Maret 2010
dari http://fe.umy.ac.id/eei/index.php?option=page&id=149&item=32
99
Ensiklopedi Ekonomi Islam, Penyelesaian Melalui Basyarnas.
Ibid.
100
Apabila perjanjian yang menyerahkan pemutusan sengketa
kepada Basyarnas atau klausul arbitrase dianggap sudah mencukupi
maka Ketua Basyarnas segera menetapkan dan menunjuk arbiter
tunggal atau arbiter majelis yang akan memeriksa dan memutus
sengketa dan sekaligus memerintahkan untuk menyampaikan salinan
surat
permohonan
kepada
termohon
disertai
perintah
untuk
menanggapi permohonan tersebut dan memberikan jawabannya
selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari terhitung sejak
tanggal diterimanya salinan surat permohonan dan surat panggilan.
Penetapan arbiter tunggal atau arbiter majelis dilakukan oleh
ketua Basyarnas berdasarkan klausul arbitrase atau apabila tidak
disebutkan yang demikian, ditetapkan berdasarkan berat ringannya
sengketa. Arbiter yang telah ditunjuk oleh Ketua Basyarnas dipilih
dari para anggota dewan arbiter yang telah terdaftar pada Basyarnas.
Namun demikian, dalam hal yang sangat diperlukan karena
pemeriksaan memerlukan suatu keahlian yang khusus, maka ketua
Basyarnas berhak menunjuk seorang ahli dalam bidang khusus yang
diperlukan untuk menjadi arbiter. Apabila salah satu atau kedua belah
pihak yang bersengketa mempunyai keberatan terhadap arbiter yang
telah ditunjuk oleh Ketua Basyarnas, maka selambat-lambatnya dalam
sidang pemeriksaan pertama, hal keberatan tersebut telah diajukan
oleh pihak yang bersangkutan disertai alasan-alasannya berdasar
hukum. Segera setelah selesainya sidang pertama pemeriksaan atau
selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari arbiter tunggal atau arbiter
majelis meneruskan keberatan itu kepada ketua Basyarnas dan
selambat-lambatnya dalam waktu tiga hari ketua Basyarnas harus
sudah memberikan penetapan apakah keberatan itu diterima atau
ditolak berikut alasan-alasannya. Bila keberatan diterima, maka ketua
Basyarnas dalam penetapan yang sama menunjuk arbiter lain. Adanya
keberatan terhadap arbiter yang telah ditunjuk oleh Ketua Basyarnas
yang diajukan oleh satu atau kedua belah pihak, tidak mengurangi
kewajiban termohon untuk memberikan jawabannya secara tertulis
sebagaimana yang telah ditentukan.
d. Acara Pemeriksaan 101
Pemeriksaan persidangan dilakukan di tempat kedudukan
Basyarnas kecuali ada persetujuan dari kedua belah pihak pemeriksaan
dapat dilakukan di tempat lain. Putusan harus diambil dan dijatuhkan
di tempat kedudukan Basyarnas. Selama proses dan pada setiap tahap
pemeriksaan berlangsung arbiter tunggal atau arbiter majelis harus
memberi perlakuan dan kesempatan yang sama sepenuhnya kepada
masing-masing
pihak
untuk
membela
dan
mempertahankan
kepentingannya. Baik atas pendapat sendiri maupun atas permintaan
salah satu pihak arbiter tunggal atau arbiter majelis dapat melakukan
101
Ibid.
pemeriksaan dengan mendengar keterangan saksi, termasuk saksi ahli
dan pemeriksaan secara lisan di antara para pihak. Setiap bukti atas
dokumen yang disampaikan salah satu pihak kepada arbiter tunggal
atau arbiter majelis, salinannya harus diberikan kepada pihak lawan.
Tata cara pemeriksaan dilakukan secara langsung dan tertulis di depan
persidangan yang ditetapkan untuk itu tanpa mengurangi kebolehan
pemeriksaan secara lisan. Pemeriksaan terdiri atas tahap jawab
menjawab
(replik
duplik),
pembuktian
dan
putusan,
yang
pentahapannya ditentukan berdasarkan kebijaksanaan arbiter tunggal
atau arbiter majelis.
e. Jawaban Termohon dan Tenggang Waktu 102
Segera setelah diterimanya jawaban dari termohon, atas
perintah arbiter tunggal atau arbiter majelis, salinan dari jawaban
tersebut diserahkan kepada pemohon. Bersamaan dengan itu arbiter
tunggal atau ketua arbiter majelis memerintahkan kepada para pihak
untuk menghadap di muka sidang arbitrase pada tanggal yang
ditetapkan, selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari,
terhitung
sejak
tanggal
dikeluarkannya
perintah
itu,
dengan
pemberitahuan bahwa mereka boleh mewakilkan kepada kuasa dengan
surat kuasa khusus. Apabila termohon, setelah lewatnya waktu tiga
puluh hari tidak menyampaikan jawabannya, maka arbiter tunggal atau
102
Ibid.
ketua arbiter majelis akan memerintahkan pemanggilan para pihak
sebagaimana ketentuan yang berlaku.
f. Tuntutan Balasan 103
Dalam jawabannya, atau paling lambat pada hari sidang
pertama pemeriksaan, termohon dapat mengajukan suatu tuntutan
balasan (reconventie). Terhadap bantahan yang diajukan termohon,
pemohon dapat mengajukan jawaban yang dibarengi dengan tambahan
tuntutan (additional claim) asal hal itu mempunyai hubungan erat dan
langsung dengan pokok yang disengketakan serta termasuk menjadi
yurisdiksi Basyarnas. Tuntutan-tuntutan dari masing-masing pihak
terhadap pihak lainnya, akan diperiksa dan diputus oleh arbiter tunggal
atau arbiter majelis bersama-sama dan sekaligus dalam suatu putusan.
Apabila pada hari yang telah ditetapkan, pemohon tanpa suatu alasan
yang sah tidak datang menghadap, sedangkan ia telah dipanggil secara
patut, maka arbiter tunggal atau arbiter majelis akan menggugurkan
permohonan pemohon. Apabila pada hari yang telah ditetapkan itu,
termohon tanpa suatu alasan yang sah, sedangkan ia telah dipanggil
secara patut tidak datang menghadap, maka arbiter tunggal atau ketua
arbiter majelis memerintahkan supaya dipanggil lagi untuk terakhir
kali, guna menghadap di muka sidang pada waktu kemudian, yang
ditetapkan selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari sejak
103
Ibid.
dikeluarkannya perintah itu. Apabila pada hari yang telah ditetapkan
lagi itu termohon tanpa suatu alasan yang sah tidak juga datang
menghadap, maka pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya
termohon dan tuntutan pemohon akan dikabulkan, kecuali tuntutan itu
oleh arbiter tunggal atau arbiter majelis dianggap tidak berdasarkan
hukum atau keadilan. Terhadap putusan arbiter tunggal atau arbiter
majelis dalam waktu empat belas hari setelah isi putusan diberitahukan
secara resmi kepadanya, termohon berhak mengajukan perlawanan
(verstek). Perlawanan diajukan dengan cara yang sama seperti yang
berlaku untuk mengajukan permohonan tanpa perlu membayar biayabiaya pendaftaran, administrasi dan pemeriksaan. Apabila pada hari
sidang pemeriksaan perlawanan yang telah ditetapkan oleh Basyarnas
pelawan meskipun telah dipanggil secara sah tidak datang hadir, maka
arbiter tunggal atau arbiter majelis akan menguatkan putusan. Apabila
kedua belah pihak datang menghadap, maka pemeriksaan dilakukan
dari permulaan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
g. Perdamaian 104
Terlebih dahulu arbiter tunggal atau arbiter majelis akan
mengusahakan
tercapainya
perdamaian.
Apabila usaha
tersebut
berhasil, maka arbiter tunggal atau arbiter majelis akan membuatkan
104
Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, hal. 109.
akte perdamaian dan menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi
dan menaati perdamaian tersebut. Apabila perdamaian tidak berhasil,
maka arbiter tunggal atau arbiter majelis akan meneruskan
pemeriksaan terhadap sengketa yang dimohon.
h. Pembuktian dan saksi/ahli 105
Para pihak dipersilahkan untuk menjelaskan dalil-dalil
pendirian masing-masing serta mengajukan bukti-bukti yang dianggap
perlu untuk menguatkannya. Apabila dianggap perlu, arbiter tunggal
atau arbiter majelis, dapat memanggil saksi-saksi atau ahli-ahli
untuk didengar keterangannya. Pihak yang meminta dipanggilnya
saksi atau ahli, harus membayar lebih dahulu kepada sekretaris
Basyarnas, segala biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau ahli
yang bersangkutan. Dalam hal pemanggilan saksi atau ahli dilakukan
atas prakarsa arbiter tunggal atau arbiter majelis, maka biaya untuk itu
akan dibebankan kepada para pihak secara adil, namun terlebih dahulu
dibayar
oleh
pemohon
kepada
sekretaris
Basyarnas.
Sebelum memberikan keterangan di muka sidang, para saksi atau ahli
dapat diminta oleh arbiter tunggal atau arbiter majelis untuk
mengucapkan sumpah terlebih dahulu, bahwa saksi atau ahli itu hanya
menerangkan apa yang mereka ketahui dengan sungguh-sungguh.
Seluruh pemeriksaan dilakukan secara tertutup.
105
Ensiklopedi Ekonomi Islam, Penyelesaian Melalui Basyarnas.
i. Pencabutan permohonan 106
Selama belum dijatuhkan putusan, pemohon dapat mencabut
permohonannya, apabila sudah ada jawaban dari termohon, maka
pencabutan
tersebut
hanya
diperbolehkan
dengan
persetujuan
termohon. Apabila permohonan pencabutan itu dilakukan oleh
pemohon sebelum ketua Basyarnas menunjuk arbiter tunggal atau
arbiter majelis dan panggilan untuk menghadap sidang belum
dikeluarkan, maka seluruh biaya pemeriksaan dikembalikan kepada
pemohon. Apabila pemeriksaan oleh arbiter tunggal atau arbiter
majelis sudah dimulai, maka dari biaya-biaya yang telah dibayar oleh
pemohon akan dikembalikan sebagian menurut ketetapan Ketua
Basyarnas sebagaimana yang dianggap pantas.
j. Berakhirnya pemeriksaan 107
Apabila arbiter tunggal atau arbiter majelis menganggap
pemeriksaan telah cukup, maka arbiter atau ketua arbiter majelis akan
menutup pemeriksaan itu dan menetapkan suatu hari sidang guna
mengucapkan putusan yang diambil. Apabila dianggap perlu arbiter
tunggal atau arbiter majelis baik atas inisiatif sendiri maupun atas
permintaan salah satu pihak, dapat membuka sekali lagi pemeriksaan
sebelum putusan dijatuhkan. Arbiter tunggal atau arbiter majelis akan
106
Ibid.
107
Ibid.
mengambil dan mengucapkan putusan dalam suatu sidang yang
dihadiri oleh kedua belah pihak, dan apabila salah satu atau para pihak
tidak hadir, maka putusan akan diucapkan, sepanjang kepada para
pihak telah disampaikan secara patut. Persidangan Arbiter tunggal
atau arbiter majelis dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat
Bismillahirrahmanirrahim, diikuti dengan Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Seluruh proses pemeriksaaan sampai
dengan diucapkannya putusan oleh Arbiter tunggal atau arbiter majelis
akan diselesaikan selambat-lambatnya sebelum jangka waktu enam
bulan habis, terhitung sejak tanggal dipanggilnya untuk pertama kali
para pihak untuk menghadiri sidang pertama pemeriksaan.
k. Gugurnya Hak Membantah 108
Salah satu pihak yang mengetahui adanya bagian atau
ketentuan peraturan prosedur yang tidak diterapkan sebagaimana
mestinya,
tetapi
tidak
langsung
mengajukan
bantahan
atau
keberatan terhadap hal itu, dianggap menggugurkan haknya sendiri
untuk mengajukan bantahan.
l. Pengambilan Putusan 109
108
Ibid.
109
Ibid.
Apabila arbiter terdiri atas tiga orang, setiap putusan atau ketetapan
lain dari arbiter harus diambil berdasarkan suara terbanyak (suara
mayoritas) akan tetapi apabila suara terbanyak tidak tercapai, ketua
arbiter majelis dapat mengambil dan menjatuhkan putusan oleh dia
sendiri dan putusan dianggap dibuat oleh semua anggota arbiter.
Putusan harus memuat alasan-alasan kecuali para pihak menyetujui
putusan tidak perlu memuat alasan. Putusan Basyarnas yang sudah
ditandatangani oleh arbiter tunggal atau arbiter majelis langsung final
dan mengikat (final and binding) kepada para pihak yang bersengketa,
dan wajib menaati serta segera memenuhi pelaksanaannya. Putusan
tidak boleh diumumkan, kecuali disepakati oleh kedua belah pihak.
m. Perbaikan putusan 110
Dalam tempo dua puluh hari sejak disampaikan, salah satu
pihak dapat mengajukan secara tertulis permintaan perbaikan putusan
tentang kesalahan yang berkenaan dengan jumlah perhitungan, salah
ketik atau salah cetak. Perbaikan putusan harus dibuat tertulis dan
ditandatangani paling lambat dalam waktu 20 hari sejak permintaan
disampaikan sekretaris kepada arbiter tunggal atau arbiter majelis,
sudah
memberikan
perbaikan
yang
diminta
dan
perbaikan
tersebut langsung menjadi bagian yang tidak terpisah dengan putusan.
110
Ibid.
n. Pembatalan Putusan 111
Salah satu pihak dapat mengajukan secara tertulis permintaan
pembatalan putusan yang disampaikan kepada sekretaris dan tembusan
kepada pihak lawan sebagai pemberitahuan, namun hal ini tidak
mengurangi
kewajiban
sekretaris
untuk
menyampaikan
pemberitahuan resmi kepada pihak lawan. Permintaan pembatalan
hanya dapat dilakukan berdasarkan salah satu alasan berikut:
1) Penunjukan arbiter tunggal atau arbiter majelis tidak sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam peraturan Prosedur Basyarnas
2) Putusan melampaui batas kewenangan Basyarnas
3) Putusan melebihi dari yang diminta oleh para pihak
4) Terdapat penyelewengan di antara salah seorang anggota arbiter
5) Putusan jauh menyimpang dari ketentuan pokok peraturan
prosedur Basyarnas
6) Putusan tidak memuat dasar-dasar alasan yang menjadi landasan
pengambilan putusan tanpa mengurangi ketentuan-ketentuan yang
berlaku
o. Biaya administrasi dan honorarium 112
111
Ibid.
112
Ibid.
Apabila tuntutan sepenuhnya dikabulkan atau pendirian si
pemohon seluruhnya dibenarkan, atau ditolak biaya administrasi dan
pemeriksaan dibebankan kepada si pemohon. Apabila tuntutan
sebagian dikabulkan, biaya administrasi dan pemeriksaan dibagi antara
kedua belah pihak menurut ketetapan yang dianggap adil oleh arbiter.
Honorarium bagi para arbiter selamanya dibebankan kepada kedua
belah pihak, masing-masing separuh.
C. Analisis Dasar Hukum dan Wewenang Basyarnas dan Peradilan Agama
Kompetensi peradilan agama dapat kita lihat dalam undang-undang
No. 3 Tahun 2003 tentang amandemen peradilan agama tepatnya pada pasal
49 yang menyebutkan bahwa: 113
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang:
a. Perkawinan
b. Waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq
c. Shodaqoh, dan
d. Ekonomi Syariah”
Undang-undang peradilan agama tahun 1989 telah mengalami
amandemen pada tahun 2006 yaitu dengan lahirnya Undang-undang No.3
113
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
Tahun 2006. Berhubungan dengan kompetensi absolut Peradilan Agama yang
tertuang dalam ketentuan pasal 49 mengalami perluasan. Perluasan tersebut
berupa kewenangan menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah.
Menurut penjelasan pasal 49 huruf i, pengertian ekonomi syariah adalah
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah,
meliputi: perbankan syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana
syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah,
sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun
lembaga keuangan syariah, bisnis syariah dan lembaga keuangan mikro
syariah.
Sebelum diamandemenkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1989, ada
lembaga non litigasi yang menangani sengketa, yakni Badan Arbitrase
Syariah Nasional (Basyarnas). Pemilihan penyelesaian kasus sengketa yang
ditangani oleh basyarnas disepakati dalam akad perjanjian antara pihak yang
bermuamalah. Nasabah dan pihak lembaga keuangan syariah pada saat
disahkannya Undang-undang No. 3 Tahun 2006 harus memilih Basyarnas
untuk menyelesaikan sengketa mereka. Akan tetapi, setelah Pemerintah
melalui DPR mengetuk palu tanda disahkannya Undang-undang No. 3 Tahun
2006 kewenangan menyelesaikan ekonomi syariah diberikan kepada peradilan
agama, sehingga tidak menjadi monopoli basyarnas 114 .
Dalam klausul perjajian antara nasabah dengan lembaga keuangan
syariah ditemukan redaksi yang mengindikasikan dualisme hukum yang
cukup mengherankan. Dalam klausul tersebut disebutkan bahwa “apabila
dikemudian hari terjadi perselisihan akan diselesaikan melalui basyarnas atau
pengadilan negeri”. Hal ini disebut mengherankan karena pelaksanaan
sengketa ekonomi syariah pada pengadilan negeri tidak tepat selain itu dalam
klausul perjanjian terkesan Peradilan Agama tidak diberikan kesempatan
dalam menangani sengketa ekonomi syariah padahal Peradilan Agama
memiliki wewenang dalam menanganinya.
Dengan lahirnya Undang-undang No. 3 Tahun 2006, kasus sengketa
ekonomi syariah harus diselesaikan di Peradilan Agama, kecuali para pihak
sepakat menyelesaikan perkara mereka melalui badan arbitrase. Satu hal lagi
selama ini (sebelum diundangkannya UU No. 3 Tahun 2006) eksekusi
keputusan badan arbitrase dilakukan oleh Pengadilan Negeri bukan Peradilan
Agama. Ketentuan ini merupakan amanat yang tertuang dalam undangundang arbitrase No. 30 Tahun 1999. Pasca lahirnya Undang-undang No. 3
Tahun 2006 seharusnya realita ini diubah. Dengan pengertian, UndangPengadilan agama Bukit Tinggi, Peradilan Agama dan Sengketa Ekonomi
Syariah, artikel ini diakses pada 11 Oktober 2009 dari http://pabukittinggi.blogspot.com/2009/02/pa-sengketa-ekonomi-syariah.html.
114
undang arbitrase harus direvisi karena merupakan upaya sinkronisasi terhadap
Undang-undang No. 3 Tahun 2006. Lahirnya Undang-undang ini juga
berimplikasi terhadap redaksi klausul perjanjian di lembaga keuangan syariah.
Bunyi klausul perjanjian akad di Lembaga Keuangan Syariah saat ini
adalah jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Basyarnas setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Dengan amandemen ini seharusnya isi klausul perjanjian tersebut seharusnya
dirubah yang semula hanya mencantumkan basyarnas dalam penyelesaian
sengketa ditambah dengan Pengadilan Agama. Selain Undang-undang No.30
Tahun 1999 tentang arbitrase, klausul perjanjian, Peraturan Bank Indonesia
(PBI) dan fatwa DSN MUI juga harus direvisi.
Namun demikian Basyarnas tidak kehilangan peranannya dengan
keluarnya Undang-undang No. 3 Tahun 2006, sebab para pihak yang
bersengketa dapat memilih Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa mereka.
Setelah Undang-undang No. 3 Tahun 2006 disahkan, maka ada dua lembaga
yang akan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah yakni Peradilan Agama
atau Basyarnas. Amandemen ini dirasakan penting, mengingat perkembangan
lembaga syariah begitu cepat, seperti perbankan syariah, asuransi syariah,
pasar modal syariah dan lembaga keuangan syariah yang disebutkan dalam
Undang-undang.
Sejak Undang-undang No. 3 Tahun 2006 disahkan, seharusnya
masalah sengketa keuangan syariah akan menemui titik terang. Undangundang itu menegaskan bahwa semua sengketa ekonomi syariah diselesaikan
di Peradilan Agama. Secara yuridis Peradilan Agama telah mempunyai
kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa ekonomi syariah.
Demikian juga upaya-upaya alternatif yang ditempuh sebelum
penyelesaian sengketa diserahkan ke pengadilan, terakhir melalui mekanisme
arbitrase syariah, maka pengadilan yang menyelesaikan sengketa tersebut
tentunya pengadilan yang aparatur penegak hukumnya memiliki kompetensi
basis keilmuan maupun spesifikasi kesyariahan. Sebab apabila suatu
pekerjaan jika diserahkan pada orang yang tidak kompeten dalam bidangnya
akan mengalami kehancuran. Oleh karena sengketa ekonomi syariah yang
menjadi kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana ketentuan Undangundang No. 3 Tahun 2006, maka segala bentuk perundangan yang mengatur
hal-hal yang berdasarkan prinsip syariah dilakukan Peradilan Agama. Ditilik
dari segi syariah maqaoshid syariah melindungi atau (menolak) dari bahaya
dan mewujudkan kesejahteraan umat yang dikemas dalam konsep Rohmatan
Lil ‘Alamin oleh karena itu dalam subjek hukum Islam khusunya bagi
peradilan agama yang menyebutkan bagi orang-orang yang beragama Islam
adalah mencakup orang atau badan hukum yang secara suka rela tunduk pada
hukum Islam. Sehingga dalam hal sengketa ekonomi syariah bagi para
nasabah yang non muslim yang beraktifitas menggunakan prinsip syariah, jika
terjadi kasus persengketaan, maka diselesaikan di Pengadilan Agama.
BAB IV
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
A. Kecenderungan Lembaga Keuangan Syariah Terhadap Basyarnas dan
Peradilan Agama dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah
Kecenderungan berarti memilih, dalam bahasa inggris preferensi yang artinya
pilihan. Preferensi adalah sebuah konsep yang digunakan pada ilmu sosial khususnya
ekonomi. Ini mengasumsikan pilihan realitas atau imajiner antara alternative-alternativ
dan kemungkinan dari pemeringkatan alternative tersebut berdasarkan kesenangan,
kepuasan, pemenuhan, kegunaan yang ada, lebih luas lagi dapat dilihat sebagai sumber
motivasi 115 .
Preferensi digambarkan sebagai sikap konsumen terhadap produk dan jasa
sebagai evaluasi terhadap kognitif seseorang. Perasaan emosional dan kecenderungan
bertindak melalui objek atau ide. Dalam konsep prilaku konsumen, persepsi dari suatu
objek yang sama dapat diartikan berbeda-beda karena pada dasarnya manusia
memahami objek tersebut melalui perasaan dari penglihatan, pendengaran, penciuman,
sentuhan dan rasa, akhirnya persepsi yang sudah mengendap dan melekat akan
menjadi sebuah preferensi 116 .
115
http://id-wikipedia.org
116
Philip kotler, manager pemasaran, (Jakarta, Prehalindo, 2000). Ed.10 h. 154
Menurut kamus bahasa Indonesia kata kecenderungan berarti keinginan akan,
menaruh minat kepada, dan condong 117 . Dalam hal ini jika kita condong kepada
sesuatu dari beberapa pilihan yang ada berarti kita merasa tertarik dan memilih
kepada sesuatu yang kita condongi tersebut, tentunya kecondongan tersebut tidak
serta merta ada begitu saja akan tetapi memiliki alasan dan sebab-sebab yang
melandasinya dan juga bukan berarti pilihan yang tidak kita condongi itu lebih buruk
dari yang kita pilih.
Lembaga Keuangan Syariah seperti yang dikatakan oleh Fathurrahman Djamil
tertera dalam pembahasan bab II adalah lembaga atau badan usaha yang mengelola
dana dari unit surplus kepada defisit surplus atau dari pemilik dana/investor kepada
pengguna dana dengan berdasarkan pada nilai-nilai Islam.
Berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 pasal 2 dijelaskan bahwa
Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang ini 118 . Sedangkan makna pengadilan menurut Muhammad
Daud Ali adalah lembaga atau badan yang bertugas menerima, memeriksa, mengadili,
dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya atau yang menjadi
wewenangnya. Jadi pengadilan agama adalah intitusi keadilan yang berada di bawah
117 JS Badudu dan Sultan Muhammad Zein, Kamus Umum Bahasa Indonesa,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), hal 276.
Amandemen Undang-Undang Peradilan Agama (Undang-Undang RI No.
3 Tahun 2006)
118
naungan Mahkamah Agung yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara tertentu
yang terjadi di kalangan umat muslim.
Dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, bahwa yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Geliatnya sektor keuangan syariah di negeri ini ikut juga memaksa sektor
penegakan hukum Indonesia untuk berbenah diri dan berinovasi dalam melahirkan
produk-produk hukum agar up to date dengan perkembangan zaman.
Kita sama-sama mafhum bahwa dalam setiap transaksi bisnis ada kemungkinan
terjadinya konflik baik kecil yang cukup diselesaikan dengan jalan musyawarah
ataupun besar yang melibatkan pihak eksternal perusahaan dalam menyelesaikan
konflik tersebut.
Terdapat beberapa alternatif dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah di
Indonesia:
1. Sulhu/perdamaian/musyawarah
Konsep sulhu (perdamaian) sebagaimana yang tersebut dalam berbagai kitab
fiqih merupakan satu dokrin utama hukum Islam dalam bidang muamalah
untuk menyelesaikan suatu sengketa, dan ini sudah merupakan hal yang
lumrah dalam kehidupan masyarakat manapun, karena pada hakekatnya
perdamaian bukalah suatu pranata positif belaka, melainkan lebih berupa
fitrah dari manusia. Jika suatu permasalahan tidak dapat terselesaikan dengan
jalan musyawarah atau perdamaian, maka akan ditempuh alternatif
penyelesaian lainnya yang diakui oleh Undang-undang. Cara ini bisa lewat
proses litigasi maupun non litigasi.
2. Arbitrase (tahkim)
Arbitrase merupakan suatu bentuk lain dari ajudikasi privat, namun mirip
dengan ajudikasi public dan sama-sama memiliki beberapa keuntungan dan
kelemahan 119 . Usaha penyelesaian sengketa dapat diserahkan kepada forumforum tertentu sesuai dengan kesepakatan. Dasar hukum pemberlakuan
arbitrase dalam penyelesaian sengketa dalam bidang bisnis adalah UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Dalam kaitannya dengan sengketa ekonomi syariah, badan arbitrase
yang berwewenang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah adalah
Basyarnas, karena merupakan badan arbitrase yang dikhususkan menangani
masalah ekonomi dengan system syariah.
3. Peradilan agama
Dalam kontek ekonomi Syariah, Lembaga Peradilan Agama melalui pasal 49
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diamandemen dengan
Sudiarto dan Zaenal Asyhadie, Mengenal Arbitrase: Salah Satu Alternative
Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal 20.
119
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama telah
menetapkan hal-hal yang menjadi kewenangan lembaga Peradilan Agama.
Adapun tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara tertentu bagi yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah.
Dengan disahkannya UU No. 3 Tahun 2006 sebagai reaksi pemerintah dalam
memproteksi para pelaku bisnis syariah yang tengah menggeliat akhir-akhir ini
berarti ada 2 lembaga yang memiliki kewenangan yang sama dalam hal menangani
sengketa ekonomi syariah yakni Peradilan Agama dan arbitrase syariah atau
Basyarnas. Jika dipandang dari sisi keabsahannya keduanya menurut penulis
memiliki landasan yuridis yang kuat. Pengadilan Agama memiliki landasan UU No. 3
Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
serta Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbakan Syariah, Basyarnas juga
memiliki landasan yuridis berupa Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jadi menurut penulis baik Pengadilan
Agama maupun Basyarnas sama-sama berwewenang dalam menangani sengketa di
bidang ekonomi syariah.
Sekarang yang menjadi titik perhatian penulis bukan persoalan tarik menarik
diantara kedua lembaga ini siapa yang lebih berhak menangani sengketa ekonomi
syariah sebagaimana yang terus dikritisi oleh para praktisi dan pemerhati, akan tetapi
sampai saat ini diantara kedua lembaga ini mana yang dipilih oleh pihak pelaku bisnis
syariah atau Lembaga Keuangan Syariah jika mereka tersangkut masalah hukum
dalam bisnis mereka.
Berdasarkan research yang penulis lakukan, didapatkan data-data yang akan
menjawab permasalahan yang diangkat sebagai berikut:
1. Pengadilan Agama.
Ekonomi syariah boleh dibilang merupakan sesuatu yang baru dalam
lingkup
Peradilan
Agama
dalam
tugasnya
menyelesaikan
perkara
keperdataan Islam, sebelumnya Peradilan Agama hanya menangani sengketa
nikah, cerai, talak, ruju, waris dan wakaf. Penugasan ini sempat menjadi
pembicaraan hangat di kalangan masyarakat. Ada beberapa pihak yang
menyanksikan kemampuan Peradilan Agama menerima limpahan kompetensi
dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah baik dari sisi pengalaman dan
kualitas hakim dalam menangani kasus ini maupun dari sisi kesiapan
kelembagaannya.
Lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang memberikan
wewenang absolut kepada Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa
muamalah atau ekonomi syariah ternyata belum mendapatkan renspons positif
dari para pelaku bisnis/keuangan syariah. Hal ini dibuktikan dengan hasil
penelusuran penulis pada dokumentasi lembaga Pengadilan Agama yang
berada di wilayah DKI Jakarta khususnya Jakarta Barat, Jakarta Selatan,
Jakarta Pusat dan Jakarta Timur. Ternyata dalam kurun waktu 2006 sampai
Juli 2009, pihak lembaga keuangan syariah belum ada satu pun yang
membawa perkara atau sengketa bisnis mereka kepada Pengadilan Agama 120 .
Realita ini disebabkan oleh beberapa faktor yang salah satunya adalah
dibandingkan Basyarnas yang telah cukup lama menangani sengketa ekonomi
syariah, Peradilan Agama baru beberapa tahun mengemban tugas ini,
sehingga terkesan Basyarnas lebih popular dari Peradilan Agama.
Masyarakat atau pelaku bisnis syariah masih menunggu pembuktian
Peradilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah sembari
Peradilan Agama melakukan pembenahan intern dalam menyiapkan hakim
dan aparat-aparatnya.
Kita berharap ke depannya Peradilan Agama dapat menjawab
keraguan masyarakat dengan prestasi yang membanggakan, sehingga
masyarakat atau pelaku ekonomi dan bisnis syariah dapat mempercayaakan
sengketa mereka kepada Peradilan Agama.
2. Basyarnas
Sebagai partner Peradilan Agama dalam menyelesaikan perkaraperkara di bidang bisnis atau ekonomi syariah, Basyarnas memiliki kontribusi
dalam upaya membantu menyelesaikan sengketa para pihak yang enggan
untuk membawa sengketa mereka ke lembaga Peradilan Agama. Selama ini
masyarakat telah mengakui kapasitas dan kapabilitas serta keunggulan-
Data dokumentasi tahun 2006 – 2009 dari Pengadilan Agama Jakarta Pusat,
Barat, Timur dan Selatan
120
keunggulan yang dimiliki Basyarnas dibandingkan Peradilan Agama. Hal ini
dibuktikan dengan ditemukannya informasi jumlah Lembaga Keuangan
Syariah yang telah membawa perkara mereka ke Basyarnas. Dari data yang
penulis peroleh bahwa dalam kurun waktu (2006-2009) pihak Basyarnas telah
menyelesaikan sebanyak 4 kasus dari total 17 kasus semenjak tahun 1993 121 .
Walaupun perkara yang diselesaikan oleh Basyarnas masih minim,
mungkin banyak kasus yang ada telah diselesaikan lewat jalan musyawarah
internal perusahaan sehingga tidak sampai kepada proses hukum selanjutnya
yang melibatkan pihak ketiga, namun kondisi ini telah memberikan informasi
kepada kita bahwa pada realitanya para pelaku bisnis dan ekonomi syariah
masih cenderung memilih Basyarnas dari pada Peradilan Agama dalam
menyelesaikan sengketa mereka.
Kita berharap Peradilan Agama dan Basyarnas dapat bekerjasama
dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas penegakkan hukum di
Indonesia. Tidak ada lagi perdebatan masalah siapa yang lebih berhak dalam
menangani sengketa ekonomi syariah, karena sebagaimana diketahui
keduanya memiliki landasan hukum, yang perlu dilakukan adalah
meningkatkan kualitas kedua lembaga tersebut dalam rangka penegakkan
hukum yang menjunjung tinggi keadilan.
Data ini diambil pada tanggal 2 Oktober 2009 di kantor Basyarnas
(gedung MUI Pusat)
121
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan Lembaga Keuangan
Syariah terhadap Basyarnas dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah
Dari data-data yang telah penulis paparkan 122 dapat diketahui bahwa sampai
saat ini para pelaku bisnis/lembaga keuangan syariah masih lebih memilih Basyarnas
sebagai pihak yang menyelesaikan perkara mereka jika terjadi sengketa bisnis baik
dengan kolega maupun klien mereka yang tak dapat terselesaikan dengan cara
musyawarah kekeluargaan.
Memang dalam dunia bisnis banyak pertimbangan yang harus dilakukan
termasuk dalam memilih pihak yang akan menyelesaikan sengketa bisnis mereka. Hal
ini dilakukan guna menjaga kredibilitas mereka di mata masyarakat. Ada beberapa
faktor yang menjadi pertimbangan mereka mengapa masih memilih Basyarnas
ketimbang Pengadilan Agama padahal dengan keluarnya UU No. 3 Tahun 2006 pasal
49 (i) Pengadilan Agama memiliki hak yang sama dengan Basyarnas yakni
menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi/bisnis syariah, bahkan dalam Undangundang perbankan syariah Pengadilan Agama lebih diprioritaskan.
Alasan-alasan yang mendasari pelaku bisnis syariah/lembaga keuangan
syariah memilih Basyarnas adalah sebagai berikut:
Data dari Basyanas menunjukan selama kurun waktu 2006-2009 ada 4
kasus yang ditangani. Berbeda dengan Pengadilan Agaman yang belum pernah
menangani sengketa ekonomi syariah dalam kurun waktu tersebut.
122
1. Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin 123
Suatu keuntungan bagi para pelaku bisnis jika terdapat persengketaan
dalam bisnis, mereka menyerahkannya kepada Basyarnas karena
pemeriksaan atau pemutusan perkara oleh majelis arbitrase dilakukan
secara tertutup tidak ada publikasi sehingga rahasia perusahaan tetap
terjamin.
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan di lembaga Basyarnas,
ketika itu sedang digelar sidang perkara di sana dan penulis ingin
menyaksikan secara langsung jalannya sidang, akan tetapi keinginan
penulis tak tercapai karena pihak Basyarnas tidak mengizinkan penulis
untuk mengikutinya, dengan alasan ini telah menjadi ketentuan lembaga
arbitrase untuk menjaga kerahasiaan pihak yang bersengketa, menurut
mereka kalau penulis ingin mengikuti sidang perkara harus mendapat izin
dari kedua belah pihak (pihak yang bersengketa), ini pun sulit setelah
penulis meminta izin kepada mereka (pihak yang bersengketa), mereka
tidak mengizinkan penulis untuk mengikuti jalannya sidang walaupun
dengan alasan akademis. Bukan hanya itu, penulis juga meminta identitas
Lembaga Keuangan Syariah/bisnis syariah yang pernah menggelar sidang
perkara di Basyarnas, tetapi pihak Basyarnas tetap tidak memberikan datadata yang penulis butuhkan.
Sudiarto dan Zaenal Asyhadie, Mengenal Arbitrase:Salah Satu Alternative
Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal 33
123
Berbeda dengan kondisi di Basyarnas yang sangat tertutup, di
Pengadilan Agama menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
jalannya sidang dilakukan dengan terbuka untuk umum. Bukan cuma
persidangan yang terbuka umum, data-data perusahaan pun dengan mudah
penulis dapatkan ketika penulis meminta keterangan tentang annmanning
atas eksekusi Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam sengketa yang
terjadi antara Bank Mandiri Syariah dengan PT. Angkasa Pura yang
sebelumnya telah dilakukan sidang perkara oleh Basyarnas. Dalam
kasus ini pihak Bank Mandiri Syariah (pihak yang kalah dalam
sidang
arbitrase)
tidak
mau
melaksanakan
putusan
arbitrase 124 secara sukarela. Berdasarkan pasal 61 UU No. 30
Tahun 1999 yang menyatakan apabila para pihak tidak mau
melaksanakan putusan secara sekarela, maka putusan
dilaksanakan
atas
perintah
Ketua
Pengadilan
Agama
dengan permohonan salah satu pihak yang bersengketa.
Sebagai tahap awal atas permohonan eksekusi Peradilan
Dalam kasus ini jalannya persidangan dilakukan sampai tuntas semua
acara persidangan. Oleh karena itu produk yang dilahirkan berupa putusan
akhir,berbeda apabila para pihak bersedia untuk berdamai pada tahapan sidang
perdamaian, maka produk yang dihasilkan berupa akta perdamaian. Prosedur
beracara pada Basyarnas sama dengan yang dilaksanakan di Pengadilan Agama,
begitu juga dengan putusan. Basyarnas juga memiliki produk putusan sama seperti
Peradilan Agama yang membedakan hanyalah ketika majelis arbiter memberikan
putusan, maka putusan itu bersifat final and banding artinya sudah tetap tidak ada
upaya hukum lainnya. Berbeda dengan Peradilan Agama yang memperbolehkan
para pihak melakukan upaya hukum.
124
Agama
melakukan
annmaning
terhadap
pihak
yang
bersengketa Hal ini mengindikasikan keterbukaan lembaga pengadilan.
2. Terhindar dari kelambatan proses yang diakibatkan oleh administrasi dan
prosedur 125
Hal ini atas pertimbangan bahwa untuk menyelesaikan sengketa di
Pengadilan Agama diperlukan berbagai tahapan yang memerlukan waktu
tidak sedikit dari mulai menyiapkan gugatan sampai putusan hakim.
Belum lagi kalau ada pihak yang tidak puas dengan tingkat pertama, para
pihak dapat mengajukan banding ke PTA atau bahkan kasasi ke MA.
Tentu memakan waktu panjang untuk mendapatkan putusan yang pasti.
Kondisi ini tidak bersahabat dengan para pelaku bisnis yang notabene
sangat mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi waktu dan memegang
prinsip time is money. Jadi tidak heran kalau mereka memilih lembaga
penyelesaian sengketa yang cepat.
3. Para pihak memiliki kebebasan dalam memilih arbiter, hukum yang
dipakai dan tempat penyelenggaraan arbitrase 126
Jika di Pengadilan Agama para pelaku tidak bisa bebas memilih
hakim, dalam arbitrase para pihak dapat memilih arbiter yang akan
menangani kasus mereka. Begitu juga hukum dan lokasi penyelenggaraan
Sudiarto dan Zaenal Asyhadie, Mengenal Arbitrase: Salah Satu Alternative
Penyelesaian Sengketa Bisni, hal. 34
125
126
Ibid. hal. 35
perkara, di Pengadilan Agama para pihak dibatasi oleh ketentuan
perundang-undangan yang berlaku termasuk lokasi penyelenggaraan
sidang yang kita kenal dengan istilah kompetensi relative Pengadilan
Agama. Sedangkan di Basyarnas para pihak dapat memilih hukum mana
yang dipakai dan di mana tempat pelaksanaan sidang.
4. Putusan bersifat final and binding dengan prosedur yang sederhana atau
dapat langsung dilaksanakan 127
Maksudnya putusan yang dihasilkan oleh Basyarnas tidak dapat
digugat, diajukan banding, serta dapat langsung dilaksanakan putusan
tersebut. Berbeda dengan di Pengadilan Agama, pihak yang tidak puas
dapat mengajukan banding sampai kasasi. Kalaupun ada hukum yang
berlaku dalam yuridiksi yang bersangkutan menetapkan pelaksanaan
putusan (eksekusi) melalui Pengadilan Agama, Pengadilan Agama harus
mengesahkan dan tidak berhak meninjau kembali putusan tesebut.
5. Dalam klausula perjanjian antara pihak Lembaga Keuangan Syariah
dengan nasabahnya hanya mencantumkan kalimat “apabila terjadi
sengketa yang tak dapat terselesaikan melalui jalan musyawarah, maka
masalah tersebut harus diserahkan ke Basyarnas”
Dalam transaksi bisnis antara nasabah dengan pihak Lembaga
Keuangan Syariah/bisnis syariah ada perjanjian sebelum mereka
melanjutkan kerjasama mereka. Dalam perjanjian tersebut ada poin yang
127
Ibid.
mengatur masalah persengketaan yang (jika) terjadi antara kedua belah
pihak. Dalam beberapa artikel yang ditulis oleh pengamat syariah
(khusunya bisnis syariah) disebutkan bahwa selama ini meskipun telah
dikeluarkanya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang memberikan
kewenangan absolut kepada Pengadilan Agama dalam menangani
sengketa ekonomi syariah, Lembaga Keuangan Syariah/bisnis syariah
belum mencantukan Pengadilan Agama sebagai pihak penyelesai perkara,
dan hanya Basyarnas yang dicantumkan dalam klausula perjanjian.
Setelah penulis telusuri pada Pegadaian Syariah ternyata benar, dalam
klausula perjanjian mereka hanya mencantumkan Basyarnas sebagai
pihak yang akan menangani persengketaan mereka. Dengan alasan kalau
ingin mengubah klausula, berarti harus mengubah Manual Operational
perusahaan dan kalau ingin merubah Manual Operational perusahaan
memerlukan waktu serta pertemuan-pertemuan dengan berbagai kalangan
termasuk direksi dan DSN-MUI 128 . Sedangkan penulis beranggapan
belum ada i’tikad untuk mengubah Manual Operational mereka.
6. Fatwa DSN MUI dan Peraturan Bank Indonesia (PBI) 129 yang selama ini
menjadi pedoman operasional lembaga keuangan syariah masih hanya
128 Wawancara dengan Rudy Kurniawan Manager Pegadaian Syariah,
Jakarta 15 Oktober 2009.
Bank Indonesia, Informasi Mengenai Peraturan Bank Indonesia Bagi Bank
Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, (Jakarta: Bank Indonesia, 2008), lampiran hal. 9.
129
menyebutkan Basyarnas sebagai pihak yang menangani jika terjadi
sengketa yang tak dapat diselesaikan dengan jalan mediasi 130
Setiap Lembaga Keuangan Syariah harus memiliki DSN-MUI 131
sebagai pedoman operational Lembaga Keuangan Syariah sekaligus
pengawas atas jalannya usaha dan otoritas pemberi fatwa yang
berhubungan dengan kegiatan ekonomi syariah di Indonesia. Fatwa MUI
yang menyangkut ekonomi syariah pada poin penyelesaian sengketa
belum mencantumkan Pengadilan Agama, meskipun UU No. 3 Tahun
2006 telah mengaturnya.
C. Analisis
Pada dasarnya kewenangan penegakan hukum di Indonesia dipegang penuh
oleh kekuasaan kehakiman (judicial power), dengan demikian lembaga peradilan
sebagai lembaga yang bernaung di bawah kekuasaan kehakiman dalam hal ini
Mahkamah Agung yang berwewenang menangani sengketa. Dalam Undangundang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa
130 Wawancara dengan Rudy Kurniawan Manager Pegadaian Syariah,
Jakarta 15 Oktober 2009.
Setiap bank dengan prinsip bagi hasil harus memiliki sebuah badan
pengawas syariah yang dipercaya dapat melakukanfungsi pengawasan produkproduk syariah. Lihat: Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang dan
Tantangan, (Jakarta: Alvabet, 1999), hal. 171.
131
yang berwewenang dan berfungsi melaksanakan peradilan adalah lembaga
peradilan yang dibentuk berdasarkan Undang-undang 132 .
Pada amandemen ketiga UUD 1945 pasal 24 ayat (2) jo. pasal 10 Undangundang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa
ada 4 peradilan dalam lingkup Mahkamah Agung, yakni Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Walaupun
dalam Undang-undang ini telah ditegaskan peradilan-peradilan yang berwenang
menyelesaikan sengketa, akan tetapi tidak menutup kemungkinan penyelesaian
perkara dilaksanakan oleh lembaga non-litigasi yakni arbitrase atau perdamaian
sebgaimana yang tertera dalam penjelasan pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor
10 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Hal senada juga dapat kita peroleh dari keterangan pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa
suatu sengketa perdata selain diselesaikan melalui lembaga peradilan (litigasi)
dapat juga diselesaikan melalui lembaga non-litigasi seperti arbitrase.
Setelah disahkanya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 amandemen
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama tepatnya pasal 49
(i) dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasal 55
telah memberikan kewenanangan yang sebesar-besarnya pada Pengadilan Agama
Soehartono, Paradigma Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di
Indonesia, artikel ini diambil pada tanggal 17 Juni 2010 dari
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/EKONOMI%20SYARIAH/PARADIGMA%20PENYE
LESAIAN%20SENGKETA%20PERBANKAN%20SYARI.pdf.
132
dalam menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah. Kendati kemunculan
kedua Undang-undang tersebut telah menimbulkan multi intepretasi dan multi
persepsi dalam masyarakat menyangkut ambiguitas maknanya dalam hal siapa
yang lebih berwewenang menangani sengketa ekonomi syariah apakah Peradilan
Agama atau lembaga-lembaga lain baik dalam lingkungan lembaga litigasi
maupun non-litigasi, namun penulis beranggapan bahwa pendapat-pendapat
tersebut tidak perlu terlalu dipermasalahkan, karena dalam masalah perdata ada
kebebasan berkontrak dalam memilih lembaga mana yang akan para pelaku bisnis
tunjuk sebagai pihak yang menangani persengketaan bisnis mereka. Terlebih
dalam pasal 55 ayat (2) Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah mengisyaratkan ada hak opsi terkait dengan penyelesaian sengketa
perbankan
syariah
dalam
menentukan
lembaga
mana
yang
akan
menyelesaikannya. Pasal tersebut memberikan beberapa pilihan lembaga
penyelesaian yang dapat dipakai oleh para pihak yakni lembaga litigasi dalam hal
ini Pengadilan Agama dan lembaga non-litigasi seperti Basyarnas (jika jalan
musyawarah tak sampai kata sepakat).
Pengadilan sebagai the first and last resort dalam penyelesaian sengketa
ternyata masih dipandang oleh sebagian kalangan hanya menghasilkan
kesepakatan yang bersifat adversarial, belum mampu merangkul kepentingan
bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya,
membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsive, menimbulkan antagonisme di
antara pihak yang bersengketa, serta banyak terjadi pelanggaran dalam
pelaksanaannya. Hal ini dipandang kurang menguntungkan dalam dunia bisnis
sehingga dibutuhkan institusi alternatif yang dipandang lebih efisien dan efektif 133 .
Sebagai solusinya, kemudian berkembanglah model penyelesaian sengketa
non litigasi, yang dianggap lebih dapat mengakomodir kelemahan-kelemahan
model litigasi dan memberikan jalan keluar yang lebih baik. Proses di luar litigasi
dipandang lebih menghasilkan kesepakatan yang win-win solution, menjamin
kerahasiaan sengketa para pihak, menghindari keterlambatan yang diakibatkan
karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan masalah secara
komprehensif dalam kebersamaan, dan tetap menjaga hubungan baik 134 .
Pengadilan Agama sebagai pihak yang diamanatkan untuk menyelesaikan
sengketa ekonomi syariah oleh Undang-undang ternyata masih memiliki berbagai
kelemahan yang berimplikasi pada sikap masyarakat dan para pelaku bisnis
syariah dalam hal penunjukan lembaga yang akan menyelesaikan sengketa
mereka. Sebagaimana hasil penelitian penulis bahwa sampai saat ini para pelalu
bisnis/Lembaga
Keuangan
Syariah
masih
condong
kepada
Basyarnas
dibandingkan Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa bisnis mereka.
133 Suhartono, “Paradigma Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah”, diakses
pada 6 Desember 2009 melalui www.badilag.net
134
Ibid.
Ada beberapa alasan kurang tepat yang diungkapkan oleh pelaku
bisnis/lembaga keuangan syariah memilih Basyarnas dalam menyelesaiakan
perkara mereka. Diantaranya adalah faktor kepercayaan masyarakat pada lembaga
Peradilan Agama 135 yang berkaitan dengan faktor belum begitu fahamnya para
hakim dalam hal dunia bisnis.
Menurut mereka Peradilan Agama sebagai lembaga yang baru menangani
sengketa ekonomi syaiah masih dikhawatirkan belum memahami secara
komprehensif
seluk-beluk
tentang
kegiatan
ekonomi
syariah,
sehingga
mempengaruhi kepercayaan kepada lembaga tersebut 136 .
Hal ini disanggah oleh Nuheri, SH (Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat),
ia menyatakan bahwa setelah keluarnya UU No. 3 Tahun 2006 yang menandakan
kewenangan Peradilan Agama ditambah dengan bidang ekonomi syariah, pihak
peradilan agama terus meningkatkan keilmuan para hakimnya dengan diberikan
pembekalan materi-materi ilmu ekonomi syariah.137 .
Senada dengan Nuheri, Manager Pegadaian Syariah juga mengeluarkan
pendapat yang menampik anggapan bahwa yang menyebabkan Lembaga
Keuangan Syariah/bisnis syariah belum menyerahkan sengketa mereka ke
Pengadilan Agama karena faktor kepercayaan. Menurutnya bukan karena alasan
135
Ibid.
136
Hasil wawancara dengan Euis Nurhasanah, bendahara Basyarnas
Wawancara pribadi dengan Nuheri (Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Pusat). Jakarta, 13 Juli 2009.
137
integritas hakim-hakim Pengadilan Agama akan tetapi lebih disebabkan faktor
perjanjian yang disepakati antara perusahaan dengan kliennya, sedangkan
perjanjian tersebut terangkum dalam draft klausula perjanjian, dan draft kalusula
perjanjian tersebut harus mengacu pada peraturan PBI dan fatwa MUI yang dalam
hal ini DSN 138 . Dalam PBI dan fatwa MUI ada peraturan yang menyebutkan
bahwa
jika dikemudian hari terdapat sengketa yang tidak dapat diselesaikan
melalui musyawarah, maka perkara akan diserahkan kepada Basyarnas139 . Dalam
hal ini Pengadilan Agama belum dicantumkan sebagaimana yang diamanatkan
oleh Undang-undang.
Kalaupun para hakim Pengadilan Agama belum menguasai bidang keuangan
dan bisnis, mereka bisa memanggil saksi ahli yang mengerti dan faham bidang ini.
Jadi menurut penulis alasan kekurangpercayaan akan kemampuan hakim di bidang
bisnis tidak tepat dan dapat dicarikan solusinya.
Selain faktor di atas, para pelaku bisnis juga berasumsi bahwa kalau
mengajukan perkara ke Pengadilan Agama itu memerlukan biaya yang mahal 140 .
Anggapan ini menurut penulis tidak sepenuhnya benar, karena menurut Dra. Euis
Nurhasanah biaya perkara pada Basyarnas bisa lebih mahal dibandingkan dengan
138 Hasil wawancara dengan Rudy Kurniawan (DIvisi Manager Pegadaian
Syariah), Jakarta, 15 Ottober 2009.
139
Ibid.
Suhartono, Paradigma Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di
Indonesia.
140
Pengadilan Agama. Hal ini mengingat biaya perkara didasarkan persentase, artinya
semakin besar nilai harta yang disengketakan semakin besar biaya perkara yang
harus dibayarkan 141 . Senada dengan pendapat di atas Mr. PA Stein menyatakan
bahwa arbitrase tidak selalu lebih murah karena pihak-pihak yang ikut
menyelesaikan sengketa tersebut harus diberi honor 142 yang didasarkan pada
komplekstisitas perkara, sedangkan di Pengadilan Agama
para pihak yang
berperkara hanya membayar biaya administrasi perkara, hakim, panitera dan yang
lainnya tidak perlu diberi honor karena telah dibiayai oleh Negara.
Kecenderungan yang dilatarbelakangi oleh beberapa faktor ini bukan berarti
Basyarnas dipandang lebih baik dan mampu dibandingkan Pengadilan Agama
dalam menangani sengketa ekonomi syariah, akan tetapi sebagai ilustrasi atas
realita yang terjadi di dunia penegakan hukum khususnya Pengadilan Agama di
Indonesia yaitu belum optimalnya Peradilan Agama dalam menjawab tantangan
yang ada dan melayani kebutuhan masyarakat. Mudah-mudahan realita ini dapat
mengingatkan berbagai pihak baik institusi pengadilan sebagai institusi penegak
keadilan maupun institusi pendidikan hukum yang mencetak generasi penerus
penegak supremasi kedaulatan hukum di Indonesia untuk selanjutnya diadakan
pembenahan-pembenahan, agar kedepannya lembaga litigasi dapat benar-benar
menjadi lembaga hukum yang sesuai dengan harapan masyarakat.
141 Wawancara Pribadi dengan Euis Nurhasanah (wakil bendahara
Basyarnas), Jakarta, 2 Oktober 2009.
Mr. P.A Stein, dipetik dari Ahmad Ikhsan, Compendium Tentang Arbitrase
Perdagangan Internasional, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), hal. 78-79.
142
BAB V
A. Kesimpulan
1. Sampai saat ini lembaga keuangan syariah masih cenderung kepada Basyarnas
sebagai lembaga yang menangani sengketa ekonomi syariah mereka
dibandingkan dengan peradilan agama. Walaupun demikian, hal ini bukan
berarti bahwa kemampuan Basyarnas lebih baik dari pada Peradilan Agama..
Karena keberadaan Basyarnas dalam ranah hukum di Indonesia sangat
membantu sebagai partner lembaga litigasi dalam menjalankan tugasnya.
2. Kecenderungan ini didasarkan pada alasan:
a. Kerahasiaan pihak yang bersengketa lebih terjamin pada Basyarnas
dibandingkan Pengadilan Agama.
b. Para pelaku bisnis menginginkan proses yang cepat dalam segala hal
termasuk proses penyelenggaraan sengketa, oleh karena itu mereka
memilih Basyarnas yang akan menghindarkan mereka dari kelambatan
proses persidangan.
c. Mereka memiliki kebebasan dalam memilih arbiter, hukum yang dipakai
dan tempat penyelenggaraan arbitrase.
d. Putusan yang diberikan di Basyarnas bersifat final and bunding, langsung
dapat dieksekusi atau dilaksanakan karena tidak mengenal banding dan
kasasi yang akan memakan waktu lama.
e. Klausula perjanjian yang “memaksa” nasabah dan perusahaan memilih
Basyarnas.
f. Eksistensi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama belum diikuti oleh amandemen peraturan-peraturan lain yang
berhubungan dengan pasal tersebut. Sebagai contoh PBI dan fatwa DSNMUI belum mencantumkan Pengadilan Agama sebagai pihak yang akan
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah.
B. Saran
Dari hasil penelitian yang penulis sajikan dalam skripsi ini ada beberapa hal
yang ingin penulis sampaikan untuk kemajuan sistem penegakkan hukum di
Indonesia.
1. Peradilan Agama harus mempersiapkan diri dalam menyambut tugas dan
wewenang barunya ini. Perlu diadakan peningkatan kualitas SDM dalam
bentuk pembekalan pendidikan, pelatihan-pelatihan dan sebagainya, serta
perbaikan
sistem
penyelenggaraan
proses
peradilan
seperti
menyederhanakan proses administrasi dan prosedural, Undang-undang
yang pasti dalam artian tidak menimbulkan ambiguitas dan multi
intrepretasi. Dari faktor-faktor di atas, mengindikasikan bahwa lembagalembaga penegak hukum khususnya Peradilan Agama harus membenahi
diri sehingga tercipta penyelenggaraan peradilan yang professional serta
sesuai dengan harapan masyarakat dan tuntutan zaman.
2. Universitas lewat fakultas hukumnya dan lembaga-lembaga pendidikan
hukum sebagai pihak penyuplai yang mempersiapkan kader-kader
legislatif dan yudikatif agar membentuk kualitas anak didiknya sehingga
dapat mengaplikasikan ilmunya dalam rangka perbaikan kualitas system
penyelenggaraan peradilan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mahmud Daud. Hukum Islam dan Peradilan Agama. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002.
Amin, Ma’ruf. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: elSAS, 2008.
Anshori, Abdul Ghofur. Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada Press, 2007.
Anshori, Abdul Ghofur. Perjanjian Islam. Yogyakarta: Citra Media
Hukum, 2006.
Anshori, Abdul Ghofur. Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di
Indonesia. Yogyakarta: Citra Media, 2006.
Antonio, Muhammad syafi’i. Bank Syariah Wacana Ulama dan
Cendikiawan. Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 1999.
-------. Bank Syariah Bagi Bankir dan Praktisi Keuangan. Jakarta: Bank Indonesia
dan Tazkia Institute. 1999.
-------. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press. 2001.
Arifin, Zainul. Memahami Bank Syariah; Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek.
Jakarta: Alvabet. 1999.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta. 2006.
Aripin, Jaenal. Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di
Indonesia. Jakarta: Kencana, 2008.
Aula’i, Ahmad Wasit, “Arbitrase Dalam Perspektif Islam”. Dalam Satria
Effendi dkk. Arbitrase Islam di Indonesia. Jakarta: Badan
Arbitrase Islam Indonesia, 1994.
Ayhadie, Zeini. Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia.
Jakarta: Raja Grafindo, 2005
Azra, Azyumardi. Perspektif Islam Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1989.
Badudu, JS dan Muhammad, Sultan Zein. Kamus Umum Bahasa
Indonesa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.
Bank Indonesia Biro Perbankan Syaria. Cetak Biru Pengembangan
Perbankan Syariah Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia Biro
Perbankan Syariah, 2002
Bank Indonesia. Informasi Mengenai Peraturan Bank Indonesia Bagi Bank Umum
Berdasarkan Prinsip Syariah. Jakarta: Bank Indonesia. 2008.
Bisri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003
Departemen Agama, Sketsa Peradilan Agama. Jakarta: Dirjen
Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam, 2000.
Direktori Syariah 2008. ”Dari Afrika Untuk Dunia, Replublika.” (16
February 2008): hal. 3.
Djalil, Basiq. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.
-------. Pengadilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum.
Jakarta: Pranada, 2006
Djauhari, Ahmad. Arbitrase Syariah di Indonesia. Jakarta: BASYARNAS.
2006.
Efendi, Satria. Arbirase Islam di Indonesia. Jakarta: Badan Arbitrase
Islam Indonesia, 1994.
Effendi, Satria M. Zen, Arbitrase dalam Syariat Islam, dalam Arbitrse
Syariah Islam di Indonesia. Jakarta: BAMUI, 1994.
Faisal, Sanapiah. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2001.
Fauzan, Muhammad. Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Pengadilan
Agama
dan
Mahkamah
Syariah
di
Indonesia.
Jakarta:
Kencana, 2005
Gautama, Sidarta. Pengantar Hukum Perdata Internasional. Bandung:
Bina Citra, 1987.
Hadi, Soetrisno. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi. 2004.
Harahap, Muhammad Yahya. Arbitrase. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Hasbi Ash-Shidieqy, Teungku Muhammad. Peradilan dan Hukum Acara
Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001.
Huda, Miftahul. Aspek Ekonomi Dalam Syariat Islam. Mataram:
Lembaga Konsultasi dan Batuan Hukum (LKBH) IAIN Mataram,
2007.
Jamail,
Abdul.
Pengantar
Hukum
Indonesia.
Jakarta:
Grafindo
Persada, 2001.
Jamil, Fathurrahman. Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, dalam
Mahkamah
Agung
Kapita
Selekta
Perbankan
Syariah:
Menoingsong Berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
Tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
(Perluasan Wewenang Peradilan Agama). Jakarta: Mahkamah
Agung, 2007.
Jazuli, Ahmad dan Janwari, Yadi. Lembaga-Lembaga Perekonomian
Umat: Sebuah Pengenalan. Jakarta: Raja Grafindo Persasda,
2002
Kamarusdiana, Diktat Mata Kuliah Peradilan Agama
di Indonesia.
Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2003-2004.
Kamil, Ahmad dan Fauzan, Muhammad. Kitab Undang-Undang
Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana,
2007.
Martono. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Yogyakarta: Ekonisia. 2002.
Matua, Pirgon. Sejarah Singkat Perum Pegadaian. .Jakarta: Perum
Pegadaian, 2003.
Muhammad, “Dasar Falsafah dan Hukum Bank Syariah”, dalam
Muhammad
Syafi’i
Antonio
dkk,
Bank
Syariah:
Analisis
Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman. Yogyakarta:
Ekonisa, 2006.
Muhammad, Abdul Kadir. Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia.
Bandung: PT. Citra Aditya, 1992
Musyafa’ah, Nur Lailatul dkk, Peradilan Agama di Indonesia. Bandung:
Pustaka Bani Quroisy, 2004.
Pegadaian Syariah. Manual Operasional ULGS, Jakarta. 2006
Perum Pegadaian. Manual Operasional Gadai Syariah, Jakarta 2008
Rosyadi, Ahmad Rahmat. Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
Rosyid, Raihan Abdul. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta:
Rajawali Press, 1991.
Sabrie, Zufran. Peradilan Agama di Indonesia: Sejarah Perkembangan
Lembaga
dan
Proses
Pembentukan
Undang-Undangnya.
Jakarta: Departemen Agama Direktorat Jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama, 1999.
Saleh, Abdul Rahman. Arbitrase Islam di Indonesia. Jakarta: BAMUI dan
BMI, 1994.
Siamat, Dahlan. Manajemen Lembaga Keuangan. Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Indonesia, 1999.
Soebekti, Raden dan Tjitrosoesibyo, Raden. Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita, 1992.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press,
2007.
Soemitro, Markum. Perkembangan Hukum Islam di Tengah Dinamika
Sosial Politik Indonesia. Malang: Bayumedia, 2004.
Soenggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1998.
Stein, P.A dipetik dari Ahmad Ikhsan. Compendium Tentang Arbitrase
Perdagangan Internasional. Jakarta: Pradnya Paramita, 1993.
Sudiarto dan Asyhadie, Zaenal.
Alternative
Penyelesaian
Mengenal Arbitrase: Salah Satu
Sengketa
Bisnis.
Jakarta:
Raja
Grafindo Persada, 2004.
Sukandarumidji. Metodologi Penelitian (Petunjuk Praktis Untuk Peneliti
Pemula). Yogyakarta: gajah mada university. 2004.
Suma, Muhammad Amin. Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan
Keuangan Islam. Banten: Kholam Publishing, 2008.
Soeroso, R. Praktek Hukum Acara Perdata, Tata Cara dan Proses
Persidangan. Jakarta:Sinar Grafika 2004
Susilo, Sri dkk. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Salemba
Empat, 2000.
S. Lev, Daniel. Hukum dan Politikdi Indonesia: Kesinambungan dan
Perubahan. Alih Bahasa Nirwoo dan AF Priyono. Jakarta: LP3ES.
1990.
-------. Islamic Court in Indonesia: A Study Political Basis of
Legal
Institutional . Alih bahasa Zaenal Ahmad Noeh, Peradilan
Agama di Indonesia. Jakarta: Intermasa. 1999.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Umum Bahasa Indosesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2007.
Tresna, Raden. Peradilan di Indonesia Dari Abad Ke Abad. Jakarta:
Pradnya Paramitha, 1978.
Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia. Bandung:
Citra Aditya Bakti. 2002.
Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait
(BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syariah di Indonesia). Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004.
Wawancara dengan Rudy Kurniawan. Jakarta 15 Oktober 2009.
Wawancara Pribadi dengan Euis Nurhasanah. Jakarta. 2 Oktober
2009.
Wawancara pribadi dengan Nuheri. Jakarta. 13 Juli 2009.
Wijaya, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003.
UNDANG-UNDANG
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Amandemen Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
Tentang Pengadilan Agama.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian
Sengketa.
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
REFERENSI DARI WEBSITE
Anonim, Ada Apa Dengan Badan Arbitrase Syariah Nasional, diakses pada 21
November 2009. Dari www.hukumonline.com,
Anonim,
Mengurai
Benang
Kusut
Badan
Arbitrase
Syariah
Nasional.
www.hukumonline.com. diakses pada September 2009.
Agustiano. Pengadilan Agama dan Sengketa Ekonomi Syariah, diakses pada 15
Februari 2009. Dari www.scrib.com,
Defry Yenni, “2009 Lembaga Keuangan Syariah Diprediksi Menjamur”, artikel ini
diakses pada 3 Mei 2009 dari http://www. MediaBisnis.com.
Fakultas ekonomi UMY, Penyelesaian Ekonomi Syariah II. diakses pada minggu 24
Mei
2009.
www.http//umy.ac.id/index.php?option=page&id=149&item=326 - 104k.
PKES, Basyarnas Tidak Terpengaruh UU No. 3 Tahun 2006. diakses pada 15
Februari 2009. Dari www.hukumonline.com
Download