IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Dasar Hukum Kompetensi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dan Pengadilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah 1. Dasar Hukum Kompetensi Badan Arbitrase Syariah (Basyarnas) dalam Menangani Sengketa Ekonomi Syariah Nasional Basyarnas merupakan lembaga penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang bertujuan untuk menyelesaikan berbagai sengketa yang berhubungan dengan muamalat misalnya hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain antara lembaga-lembaga keuangan syariah dan masyarakat yang berhubungan dengan lembaga tersebut. Penyelesaian sengketa ini senantiasa merujuk kepada aturan syariat Islam. Basyarnas berdiri secara otonom dan independen sebagai salah satu instrumen hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak, baik yang datang dari dalam lingkungan bank syariah, asuransi syariah, maupun pihak lain yang memerlukannya. Bahkan dari kalangan non muslim dapat memanfaatkan Basyarnas selama yang bersangkutan mempercayai kredibilitasnya dalam menyelesaikan sengketa. Dasar hukum kompetensi Basyarnas dalam menangani sengketa ekonomi syariah adalah sebagai berikut: 41 a. Undang-Undang No 14 Tahun 1970 Jo Undang-Undang No 35 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 4 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman UU No 14 Tahun 1970 membuka kesempatan bagi lembaga arbitrase sebagai lembaga alternatif untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di tengah masyarakat. Di dalam penjelasan Pasal 3 Ayat (1) UU No 14 Tahun 1970 menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, tetapi putusan arbitrase hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi (executoir) dari pengadilan. Selanjutnya dalam Pasal 58 UU No 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Hal ini semakin mempertegas eksistensi lembaga arbitrase dalam menangani sengketa. Selain itu perangkat hukum yang mendasari lembaga arbitrase telah secara tegas mengatur bahwa sengketa perdata dapat diselesaikan diluar pengadilan yaitu melalui arbitrase dengan catatan bahwa masing-masing pihak sepakat untuk membawa penyelesaian sengketanya melalui lembaga arbitrase yaitu Basyarnas. b. Undang-Undang No 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pembaharuan hukum di bidang arbitrase adalah ketika lahir UU No 30 Tahun 1999. Pasal 3 UU No 30 Tahun 1999 menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Hal ini berarti bahwa ketika para pihak yang bersengketa 42 telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dan dituangkan ke dalam perjanjian yang dibuat sebelum terjadinya sengketa (pactum de compromitendo) maka pengadilan tidak berwenang menangani sengketa tersebut. Bahkan menurut Pasal 11 UU No 30 Tahun 1999, adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam UU No 30 Tahun 1999. UU No 30 Tahun 1999 tidak menyebutkan syarat tentang kontrak arbitrase yang berbentuk pactum de compromitendo kecuali yang dinyatakan dalam Pasal 7 UU No 30 Tahun 1999 yaitu para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase. Perjanjian arbitrase juga dapat dibuat sesudah terjadinya sengketa (akta kompromis), dalam hal ini UU No 30 Tahun 1999 memberikan syarat-syarat yang lebih keras karena jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 9 UU No 30 Tahun 1999 yaitu sebagai berikut: (1) Harus dibuat dalam bentuk tertulis; (2) Perjanjian tertulis tersebut harus ditandatangani oleh para pihak; (3) Jika para pihak tidak menandatangani, harus dibuat dalam bentuk akta notaris; (4) Muatan wajib dari akta kompromis tersebut adalah masalah yang dipersengketakan, nama lengkap dan tempat tinggal pihak yang bersengketa, nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbiter, tempat arbiter 43 atau majelis arbiter yang akan mengambil putusan, nama lengkap sekretaris, jangka waktu penyelesaian sengketa, pernyataan kesediaan dari arbiter dan pernyataan kesediaan para pihak untk menangung biaya arbitrase. c. Undang-Undang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Berkembangnya bisnis perbankan syariah membawa impikasi lahirnya UU No 21 Tahun 2008 yang menjadi dasar bagi pelaku bisnis perbankan syariah dalam melakukan transaksinya. UU No 21 tahun 2008 memberikan kompetensi kepada Basyarnas dalam menangani sengketa yang timbul. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 55 Ayat (2) UU No 21 tahun 2008 yang menyebutkan bahwa dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. Dalam Penjelasan Pasal 55 Ayat (2) UU No 21 Tahun 2008 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad adalah upaya sebagai berikut: (1) Musyawarah; (2) Mediasi perbankan; (3) Melalui Basyarnas atau lembaga arbritrase lain; (4) Melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Ketentuan Pasal 55 Ayat (2) beserta penjelasannya tersebut menunjukkan adanya kompetensi Basyarnas dalam menangani sengketa jika pihak-pihak sepakat secara tertulis yang dituangkan dalam akad bahwa sengketa yang timbul diselesaikan melalui Basyarnas atau lembaga arbitrase. Dan lebih tepat rasanya jika sengketa bisnis syariah diselesaikan dengan cara yang syariah pula. 44 d. Peraturan Prosedur Basyarnas Peraturan Prosedur Basyarnas merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang cara penyelesaian sengketa bisnis melalui Basyarnas (Amnawaty, 2009: 17). Peraturan Prosedur Basyarnas Bab 1 Pasal 1 menyatakan bahwa yurisdiksi (kewenangan) Basyarnas meliputi: (1) Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah (perdata) yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa, dan para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada Basyarnas sesuai dengan prosedur Basyarnas; (2) Memberikan pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai persoalan berkenaan dengan perjanjian atas permintaan para pihak. Pemberian pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase juga diatur dalam Pasal 52 UU No 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Jadi tanpa adanya suatu sengketa pun lembaga arbitrase dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat (binding opinion) mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut. Misalnya mengenai penafsiran ketentuan yang kurang jelas dalam suatu perjanjian, penambahan atau perubahan pada ketentuan yang berhubungan dengan timbulnya keadaan baru dan lain-lain. Dengan diberikannya 45 pendapat oleh lembaga arbitrase tersebut para pihak terikat padanya dan salah satu pihak yang bertindak bertentangan dengan pendapat itu akan dianggap melanggar perjanjian (Munir Fuady, 2003: 97). Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa Basyarnas berkompetensi menangani sengketa ekonomi syariah berdasarkan UU No 14 Tahun 1970 Jo UU No 35 Tahun 1999 Jo UU No 4 Tahun 2004 Jo UU No 48 Tahun 2009, UU No 30 Tahun 1999, UU No 21 Tahun 2008 dan Peraturan Prosedur Basyarnas sebagai aturan tekhnis dalam menangani sengketa. Peraturan perundang-undangan tersebut semakin mempertegas kompetensi lembaga arbitrase dalam tatanan hukum Indonesia. Dan hal ini memperlihatkan perkembangan kegiatan ekonomi syariah sinergis dengan perkembangan hukum di Indonesia. Dan Basyarnas sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengket menjadi pilihan hukum bagi para pihak yang bersengketa selain penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Tentunya pilihan yang diambil mempunyai konsekuensi yang berbeda dalam proses penyeesaiannya. Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain (Penjelasan umum alinia ke-4 UU No 30 Tahun 1999 : a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak ; b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif ; 46 c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil; d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; e. Putusan arbiter merupakan putusan yang final dan mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab di sengketa-sengketa atau negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat dari pada proses arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiannya karena keputusannya tidak dipublikasikan. 2. Dasar Hukum Kompetensi Pengadilan Agama dalam Menangani Sengketa Ekonomi Syariah Peradilan Agama adalah peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis perkara yang menjadi kewenangannya, seluruhnya adalah jenis perkara yang didasarkan kepada agama Islam. Selain itu Peradilan Agama juga dikhususkan bagi mereka yang beragama Islam dan atau mereka yang menyatakan diri tunduk kepada hukum Islam. Sebagai salah satu pranata dalam memenuhi hajat hidup anggota masyarakat untuk menegakkan hukum dan keadilan, Pengadilan Agama mengemban tugas khusus pada bidang-bidang keperdataan Islam. Dimana ia berfungsi untuk menerima, memeriksa dan memutus ketetapan hukum antara pihak-pihak yang bersengketa dengan putusan yang dapat menghilangkan 47 permusuhan berdasarkan bukti dan keterangan, dengan tetap mempertimbangkan dasar-dasar hukum yang ada (Yusna Zaida, 2007: 9). Pengadilan Agama sebagai salah satu dari empat lembaga peradilan yang ada di Indonesia. Semenjak diundangkannya UU No 3 Tahun 2006, mempunyai wewenang baru sebagai bagian dari yurisdiksi absolutnya, yaitu kewenangan untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan sengketa dibidang ekonomi syariah. Dasar hukum kompetensi Pengadilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang No 14 Tahun 1970 Jo Undang-Undang No 35 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 4 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 25 Ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Pasal 25 Ayat (3) UU No 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini semakin mempertegas kompetensi Pengadilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah. Selain itu hal ini juga mensejajarkan Pengadilan Agama dengan lingkup pengadilan lain sehingga sudah sepatutnya Pengadilan Agama diberikan 48 kepercayaan untuk menangani suatu sengketa yang timbul dari berbagai bisnis syariah. b. Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Jo Undang-Undang No 3 Tahun 2006 Jo Undang-Undang No 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama Lahirnya UU No 3 Tahun 2006 membawa perubahan yang fundamental dalam tugas dan kewenangan Pengadilan Agama yaitu terkait ekonomi syariah. Pasal 49 UU No 3 Tahun 2006 menyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah. Kompetensi absolut peradilan agama mengenai sengketa ekonomi syariah sebagaimana tercantum dalam UU No 3 Tahun 2006 menunjukkan bahwa jika perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah terdapat sengketa, maka penyelesaian sengketa secara litigasi adalah menjadi kompetensi peradilan agama. Dengan demikian, Peradilan Agama diberi wewenang penuh untuk menyelesaikan sengketa-sengketa ekonomi syariah. Untuk itu dituntut kesiapan lembaga tersebut dalam banyak hal, termasuk di dalamnya kesiapan hukum substantif yang tidak terlepas dari hukum Islam sebagai pijakan. Di samping menyiapkan sumber daya manusia dalam hal ini para hakim dan aparatur lainnya (Yusna Zaida, 2007:4). Meskipun UU No 3 Tahun 2006 telah diubah dengan UU No 50 Tahun 2009, namun pada Pasal 49 huruf i terkait kewenangan mengadili sengketa ekonomi syariah tidak berubah. 49 c. Undang-Undang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Diterbitkannya UU No 21 Tahun 2008, memberi kewenangan absolut peradilan agama dalam memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah, khususnya sengketa Perbankan Syariah makin kuat, karena dalam Pasal 55 Ayat (1) UU No 21 Tahun 2008 dinyatakan bahwa penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkup Pengadilan Agama. Sehingga apabila terjadi sengketa dalam Perbankan Syariah, maka yang berwenang mengadili adalah pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No 21 tahun 2008 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad adalah upaya sebagai berikut: (1) Musyawarah; (2) Mediasi perbankan; (3) Melalui Basyarnas atau lembaga arbritase lain; (4) Melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Hal ini berarti UU No 21 Tahun 2008 juga memberikan kompetensi kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum untuk menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah. Sehingga menunjukkan adanya reduksi kompetensi absolut Peradilan Agama di bidang Perbankan Syariah. Adanya kompetensi peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan Peradilan Umum dalam sengketa Perbankan Syariah selain menunjukkan adanya reduksi juga mengarah pada dualisme kompetensi mengadili oleh dua lembaga litigasi, sekalipun kompetensi 50 yang diberikan kepada peradilan umum adalah terkait isi suatu akad, khususnya mengenai choice of forum atau choice of yurisdiction. Untuk itu Dadan Muttaqien, dosen Universitas Islam Indonesia meminta Mahkamah Konstitusi agar menyelesaikan persoalan yang membingungkan para praktisi Perbankan Syariah itu. Dadan mengajukan permohonan judicial review UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Ketentuan yang diuji adalah penjelasan Pasal 55 Ayat (2) huruf d UU No 21 Tahun 2008 (Achmad Cholil, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21872/ dualisme -penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah diakses tanggal 25 Maret 2010 Pukul 19:00 WIB) Dua bulan setelah pengajuan judicial review oleh Dadan Muttaqien terkait penjelasan Pasal 55 Ayat (2) huruf d UU No 21 Tahun 2008. Ia mengajukan penarikan kembali permohonan judicial review, dan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan tersebut dengan Surat Ketetapan Nomor 9/PUUVIII/2010 yang isinya adalah mengabulkan penarikan kembali permohonan pemohon, menyatakan bahwa perkara pengajuan judicial review terhadap UU No 21 Tahun 2008 ditarik kembali dan tidak dapat diajukan kembali. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukan bahwa Pengadilan Agama berwenang menangani sengketa ekonomi syariah berdasarkan UU No 14 Tahun 1970 Jo UU No 35 Tahun 1999 Jo UU No 4 Tahun 2004 Jo UU No 48 Tahun 2009, UU No 7 Tahun 1989 Jo UU No 3 Tahun 2006 Jo UU No 50 Tahun 2009 dan UU No 21 Tahun 2008 hal ini menjadi wacana baru di Pengadilan Agama karena sebelumnya hanya menangani sengketa terkait perkawinan, waris dan 51 shadaqoh. Sehingga perangkat hukum di Pengadilan Agama perlu belajar lagi mengenai hukum ekonomi syariah sehingga masyarakat tidak perlu khawatir akan eksistensinya menangani sengketa tesebut. B. Syarat dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah pada Basyarnas dan Pengadilan Agama 1. Syarat dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah pada Basyarnas Syarat dan prosedur berperkara di Basyarnas telah diatur dengan sistematis sejak masih didirikan BAMUI. Secara garis besar aturan tersebut dituangkan dalam peraturan prosedur Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang diberlakukan sejak 21 Oktober 1993. Beberapa tambahan yang terjadi setelah itu yaitu melalui peraturan prosedur Basyarnas hanya bersifat tekhnis untuk menyempurnakan aturan yang telah ditetapkan sebelumnya, sepanjang aturan tersebut tidak bertentangan dengan UU No 30 tahun 1999. Setiap lembaga apa pun dalam menjalankan operasionalnya selalu disertai dengan kewenangan dan peraturan prosedur demikian juga Basyarnas sebagai lembaga arbitrase mempunyai kewenangan dan peraturan prosedur yang telah ditetapkan oleh lembaga itu sendiri sebagai hukum acaranya (Munir Fuady, 2003: 62). Syarat penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui Basyarnas adalah sebagai berikut: a. Perjanjian arbitrase secara tertulis Pasal 1 Ayat (3) UU No 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu 52 perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Hal ini juga ada dalam Pasal 1 Peraturan Prosedur Basyarnas yang menyatakan bahwa para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaian sengketa kepada Basyarnas sesuai dengan peraturan prosedur. Dan Pasal 2 Peraturan Prosedur Basyarnas yang menyatakan kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa kepada Basyarnas dengan mencantumkan klausula arbitrase dalam perjanjian para pihak atau dalam perjanjian tersendiri yang dibuat dan disetujui oleh para pihak setelah sengketa timbul. Dengan demikian pihak yang bersengketa sepakat akan menyelesaikan persengketaan mereka dengan islah (perdamaian) tanpa ada suatu persengketaan berkenaan dengan perjanjian atas pemintaan para pihak tersebut, dan harus dibuat secara tertulis. b. Sengketa Bidang Perdagangan dan Hak yang Dikuasai Sepenuhnya oleh Pihak yang Bersengketa Pasal 5 Ayat (1) UU No 30 Tahun 1999 menerangkan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan (dalam penjelasan Pasal 66 huruf b UU No 30 Tahun 1999 yang dimaksud dalam ruang lingkup perdagangan antara lain meliputi perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, hak kekayaan intelektual) dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Pasal 1 huruf a Peraturan prosedur Basyarnas juga menyatakan bahwa yurisdiksi Basyarnas meliputi penyelesaian sengketa dibidang perdagangan, keuangan, jasa dan lain-lain yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai 53 sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Basyarnas tidak menerima sengketa mengenai hibah, wasiat, nafkah, perkawinan, status seseorang. Jenis-jenis sengketa tersebut dilarang karena menyangkut kepentingan umum dan bersifat privat. Badan peradilan yang menyelesaikanya pun sudah khusus yaitu yang beragama Islam diselesaiakan pada Peradilan Agama (Amnawaty, 2009: 17). Prosedur administratif penyelesaian sengketa pada Basyarnas tercantum dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 26 Peraturan Prosedur Basyarnas, yaitu sebagai berikut: a. Pengajuan Permohonan Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Prosedur Basyarnas, Proses arbitrase dimulai dengan didaftarkannya surat permohonan untuk mengadakan arbitrase di Sekretariat Basyarnas. Dalam Pasal 4 Peraturan Prosedur Basyarnas, surat permohonannya tersebut harus memuat sekurang-kurangnya nama lengkap, pekerjaan dan tempat tinggal atau tempat kedudukan kedua belah pihak, penunjukan klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku, perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa, tuntutan dan dasar tuntutan, uraian singkat tentang salinan naskah perjanjian yang memuat klausula arbitrasenya dan suatu surat kuasa khusus jika diajukan oleh kuasa hukum hal ini tercantum; b. Pemeriksaan Berkas oleh Basyarnas Pasal 5 Peraturan Prosedur Basyarnas, surat permohonan itu akan diperiksa oleh Basyarnas, untuk menentukan apakah Basyarnas berwenang memeriksa dan memutuskan sengketa arbitrase yang dimohonkan tadi. Dalam hal perjanjian atau klausula arbitrase dianggap tidak cukup kuat dijadikan dasar kewenangan 54 Basyarnas untuk memeriksa sengketa yang diajukan, maka Basyarnas akan menyatakan permohonan itu tidak dapat diterima yang dituangkan dalam sebuah penetapan yang dikeluarkan oleh Basyarnas sebelum pemeriksaan dimulai atau dapat pula dilakukan oleh arbiter tunggal atau arbiter majelis yang ditunjuk dalam hal pemeriksaan telah dimulai dan disampaikan kepada para pihak selambatlambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal pendaftaran permohonan. Dalam Pasal 6 Peraturan Prosedur Basyarnas, segala pemberitahuan dianggap telah diterima apabila telah disampaikan ke alamat tempat tinggal atau tempat kedudukan; c. Penetapan Arbiter Tunggal atau Arbiter Majelis Pasal 8 Peraturan Prosedur Basyarnas, jika perjanjian atau klausula arbitrase dianggap telah mencukupi, maka Ketua Basyarnas segera menetapkan dan menunjuk arbiter tunggal atau majelis yang akan memeriksa dan memutus sengketa. Arbiter yang ditunjuk tersebut dapat dipilih dari arbiter atau menunjuk seorang ahli dalam bidang khusus yang diperlukan untuk menjadi arbiter, karena pemeriksaanya memerlukan suatu keahlian khusus. Dengan demikian susunan arbiter dapat pula dalam bentuk tunggal atau majelis. Arbiter yang ditunjuk memerintahkan untuk menyampaikan salinan surat permohonan kepada termohon disertai perintah untuk menanggapi permohonan tersebut dan memberikan jawabannya secara tertulis selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari terhitung sejak diterimanya salinan surat permohonan dan surat panggilan. Segera setelah diterimanya jawaban dari termohon, atas perintah arbiter tunggal atau ketua arbiter majelis, salinan dari jawaban tersebut diserahkan kepada pemohon dan bersamaan dengan itu memerintahkan kepada para pihak untuk 55 menghadap di muka sidang arbitrase pada tanggal yang ditetapkan, selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya perintah itu, dengan pemberitahuan bahwa mereka boleh mewakilkan kepada kuasa hukumnya masing-masing dengan surat kuasa khusus; d. Pemeriksaan dalam Persidangan Arbitrase Pasal 12 Peraturan Prosedur Basyarnas menyatakan bahwa seluruh pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup. Selama proses dan pada setiap tahap pemeriksaan berlangsung arbiter tunggal atau majelis harus memberi perlakuan dan kesempatan yang sama sepenuhnya terhadap para pihak (equality before the law) untuk membela dan mempertahankan kepentingan yang disengketakannya. Arbiter tunggal atau majelis, baik atas pendapat sendiri atau para pihak dapat melakukan pemeriksaan dengan mendengar keterangan saksi, termasuk saksi ahli dan pemeriksaan secara lisan di antara para pihak, setiap bukti atau dokumen yang disampaikan salah satu pihak kepada arbiter tunggal atau majelis salinannya harus disampaikan kepada pihak lawan. Namun, pemeriksaan dibolehkan secara lisan (oral hearing). Tahap pemeriksaan dimulai dari jawab, menjawab (replik-duplik), pembuktian dan putusan dilakukan berdasarkan kebijakan arbiter tunggal atau majelis (Rahmat Rosyadi dan Ngatino, 2002: 64). Dan Pasal 13 Peraturan Prosedur Basyarnas menyatakan pemeriksaan persidangan arbitrase dilakukan di tempat kedudukan Basyarnas, kecuali ada persetujuan dari kedua belah pihak, pemeriksaan dapat dilakukan di tempat lain. Arbiter tunggal atau majelis dapat melakukan sidang ditempat untuk memeriksa saksi, barang, atau benda dokumen yang mempunyai hubungan dengan para pihak yang bersengketa. Putusan harus diambil dan dijatuhkan di tempat kedudukan Basyarnas; 56 e. Perdamaian dan Pembuktian Pasal 14 sampai dengan Pasal 22 Peraturan Prosedur Basyarnas, dalam jawabannya, atau paling lambat pada sidang pertama pemeriksaan, termohon dapat mengajukan suatu tuntutan balasan (reconventie). Terhadap bantahan yang diajukan termohon, pemohon dapat mengajukan jawaban (replik) yang dibarengi dengan tambahan tuntutan dan hal itu mempunyai hubungan yang sangat erat langsung dengan pokok yang disengketakan serta termasuk dalam yurisdiksi Basyarnas, baik tuntutan konvensi, rekonvensi maupun addional claim akan diperiksa dan diputus oleh arbiter atau majelis terlebih dulu akan mengusahakan tercapainya perdamaian. Apabila usaha tersebut berhasil, maka Arbiter Tunggal akan membuat akta perdamaian dan mewajibkan kedua belah pihak untuk memenuhi dan mentaati perdamaian tersebut masing-masing. Sebaliknya, apabila perdamaian tidak berhasil, maka arbiter tunggal atau majelis akan meneruskan pemeriksaan sengketa yang dimohon. Dalam hal yang diteruskan para pihak dipersilakan untuk memberikan argumentasi dan pendirian masing-masing serta mengajukan bukti-bukti yang dianggap perlu untuk mengatakannya. Seluruh pemeriksaan dilakukan secara tertutup sesuai dengan saran arbitrase yang tertutup (Rahmat Rosyadi dan Ngatino, 2002: 64); f. Penutupan Pemeriksaan Pasal 23 Peraturan Prosedur Basyarnas, Arbiter tunggal atau majelis akan menutup pemeriksaan sengketa arbitrase dan menetapkan suatu hari sidang untuk mengucapkan putusan yang diambil, bila menganggap pemeriksaan telah cukup, dengan tidak menutup kemungkinan dapat membuka sekali lagi pemeriksaan (to 57 open) sebelum putusan dijatuhkan bila dianggap perlu (Rahmat Rosyadi dan Ngatino, 2002: 64-65); g. Pengambilan Keputusan Pasal 24 Peraturan Prosedur Basyarnas, Putusan diambil dan diputuskan dalam suatu sidang yang dihadiri kedua belah pihak dan dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat. Bila para pihak telah dipanggil secara patut, tetapi jika tidak ada yang hadir, maka putusan tetap diucapkan. Seluruh proses pemeriksaan sampai diucapkannya putusan oleh arbiter tunggal atau majelis akan diselesaikan selambat-lambatnya sebelum jangka waktu 6 (enam) bulan, terhitung sejak dipanggilnya pertama kali para pihak untuk menghadiri sidang pertama pemeriksaan. Pasal 25 Peraturan Prosedur Basyarnas, Arbiter tunggal atau majelis harus memutus berdasar kepatutan dan keahlian sesuai dengan ketentuaan hukum yang berlaku bagi perjanjiaan yang menimbulkan sengketa dan disepakati para pihak. Tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat Bismillaahirrahmaanirrahiim diikuti dengan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa; h. Pendaftaran Putusan Arbitrase ke Pengadilan Agama Pasal 26 Peraturan Prosedur Basyarnas, putusan arbitrase tersebut bersifat final dan mengikat bagi para pihak yang bersengketa, dan para pihak wajib menaati serta memenuhi secara suka rela seperti yang disebut di atas. Apabila putusan tidak dipenuhi secara suka rela, maka putusan, dijalankan menurut perintah ketua Pengadilan Agama, hal ini disesuaikan dengan SEMA No 8 Tahun 2008 tentang eksekusi putusan Basyarnas. 58 Menurut Rahmat Rosyadi dan Ngatino (2002: 65-66), walaupun putusan arbiter itu bersifat final, namun Peraturan Prosedur Basyarnas memberikan kemungkinan kepada salah satu pihak untuk mengajukan secara tertulis permintaan pembatalan putusan arbitrase (Pasal 28 Peraturan Prosedur Basyarnas) tersebut yang disampaikan kepada sekretaris Basyarnas dan tembusan kepada pihak lawan sebagai pemberitahuan. Pengajuan pembatalan putusan paling lambat dalam waktu 60 (enam puluh) hari dari tanggal putusan diterima, kecuali mengenai alasan penyelewengan dan hal itu berlaku paling lama dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak putusan dijatuhkan. Permintaan pembatalan putusan hanya dapat dilakukan berdasarkan salah satu alasan sesuai dengan Pasal 70 UU No 30 Tahun 1999, yaitu sebagai berikut: a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Penjelasan Pasal 70 UU No 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di Pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka 59 putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan. Berdasarkan uraian di atas bahwa Peraturan Prosedur Basyarnas merupakan aturan secara sistematis dalam berperkara di Basyarnas sepanjang aturan tersebut tidak bertentangan dengan UU No 30 tahun 1999. Setiap lembaga apa pun dalam menjalankan operasionalnya selalu disertai dengan kewenangan dan peraturan prosedur demikian juga Basyarnas sebagai lembaga arbitrase mempunyai kewenangan dan peraturan prosedur yang telah ditetapkan oleh lembaga itu sendiri sebagai hukum acaranya. 2. Syarat dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah pada Pengadilan Agama Apabila perkara ekonomi syariah diajukan ke Pengadilan Agama, maka Pengadilan Agama wajib memeriksa, memutus dan menyelesaikannya secara profesional, yakni dengan proses yang sederhana, cepat, dan biaya ringan hal ini sesuai dengan Pasal 57 Ayat 3 UU No 7 Tahun 1989 Jo UU No 3 Tahun 2006 Jo UU No 50 Tahun 2009 dan juga merujuk pada Pasal 4 UU No 48 Tahun 2009, untuk itu Pengadilan Agama wajib membantu kedua pihak yang bersengketa dan berusaha menjelaskan serta mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut. Dalam Penjelasan Pasal 4 UU No 48 Tahun 2009 diterangkan bahwa yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efesien dan efektif. Yang dimaksud dengan biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Namun demikian, asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian 60 perkara di pengadilan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan. Syarat penyelesaian sengketa ekonomi syariah pada pengadilan agama adalah sebagaiberikut: a. Beragama Islam atau Tunduk Terhadap Hukum Islam Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU No 3 Tahun 2006. Dalam hal ini terkait dengan asas personalitas ke Islaman, yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam atau secara suka rela tunduk terhadap hukum Islam hal ini tertera dalam penjelasan umum angka 2 alinia ketiga dan Pasal 49 Ayat (1) UU No 7 Tahun 1989 Jo UU No 3 Tahun 2006 Jo UU No 50 Tahun 2009 (Amnawaty, 2009: 51). Tidak hanya saja penyelesain sengketa melalui basyarnas ini dinikmati oleh orang yang beragama Islam, non muslim pun bisa dengan prisnsip asas kebebasan berkontrak, artinya orang non muslim tadi dengan sukarela menundukan dirinya kepada hukum atau syariat islam, jadi disini berlaku teori penundukan diri terhadap hukum. b. Perkara Perdata Pasal 49 UU No 3 Tahun 2006 membatasi pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama. Perkara perdata yang disengketakan mengenai 61 perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syariah. Hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama untuk mengadili sengketa ekonomi syariah adalah hukum acara yang berlaku dan dipergunakan pada lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 54 UU No 7 Tahun 1989 Jo UU No 3 Tahun 2006 Jo UU No 50 Tahun 2009. Sementara ini Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura, Rechtreglement Voor De Buittengewesten (RBg) untuk luar Jawa Madura. Kedua aturan Hukum Acara ini diberlakukan di lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam UU No 7 Tahun 1989 Jo UU No 3 Tahun 2006 Jo UU No 50 Tahun 2009. Di samping HIR dan RBG diberlakukan juga Bugerlijke Wetbook Voor Indonesia (BW) atau yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHpdt), khususnya buku ke IV tentang Pembuktian yang termuat dalam Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993. Prosedur penyelesaian perkara sengketa ekonomi syariah yang ada pada pengadilan dengan tata urutan sebagai berikut: a. Mengajukan Gugatan Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama sesuai Pasal 118 HIR dan Pasal 142 RBg; 62 b. Membayar biaya perkara Membayar biaya perkara sesuai Pasal 121 Ayat (4) HIR, Pasal 145 Ayat (4) RBg. Bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) Pasal 237 HIR dan Pasal 273 RBg; c. Sidang Pemeriksaan Hakim memeriksa apakah syarat administrasi telah tercukupi atau belum. Administrasi perkara ini meliputi berkas perkara yang didalamnya telah dilengkapi dengan kuitansi panjar biaya perkara, nomor perkara, penetapan majelis hakim, dan penunjukan panitera sidang. Apabila syarat tersebut belum lengkap maka berkas dikembalikan ke paniteraan untuk dilengkapi, apabila sudah lengkap maka hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan kepada juru sita agar para pihak dipanggil untuk hadir dalam sidang yang waktunya telah ditetapkan oleh hakim dalam surat Penetapan Hari Sidang (PHS). Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri sidang pemeriksaan berdasarkan panggilan Pengadilan Agama sesuai Pasal 121, Pasal 124, Pasal 125 HIR dan Pasal 145 RBg; d. Perdamaian Apabila syarat formil telah terpenuhi berarti hakim dapat melanjutkan untuk memeriksaa pokok perkara. Dalam persidangan ini, tugas pertama dan utama hakim adalah berusaha mendamaikan kedua belaah pihak sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 dan PERMA Nomor 1 Tahun 2002. Apabila tercapai perdamaian, maka hakim membuat akta perdamaian. 63 Apabila tidak dapat dicapai perdamaian maka pemeriksaan dilanjutkan ke tahap berikutnya; e. Pembuktian Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara di lanjutkan dengan membacakan surat gugatan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian). Tergugat dapat mengajukan rekonpensi atau gugat balik (Pasal 132 HIR dan Pasal 158 RBg). Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Tergugat dapat mengajukan gugatan rekonvensi atau gugatan balik (Pasal 132a HIR dan Pasal 158 RBg); f. Putusan Pengadilan Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, kedua belah pihak dapat meminta salinan putusan (Pasal 185 HIR dan Pasal 196 RBg). Dengan demikian pada dasarnya dalam menangani sengketa ekonomi syariah hukum acara dalam lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan hukum acara dalam perkara perdata di Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Hal ini berdasarkan Pasal 54 UU No 7 Tahun 1989 Jo UU No 3 Tahun 2006 Jo UU No 50 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. 64 C. Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dan Pengadilan Agama 1. Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) Pengadilan yang berwenang melaksanakan eksekusi putusan arbitrase syariah adalah Pengadilan Agama. Mahkamah Agung memberi kewenangan tersebut kepada Pengadilan Agama. Penunjukan Pengadilan Agama ini berdasarkan UU No 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah. Penunjukan Pengadilan Agama tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. Selain memastikan wewenang eksekusi putusan Basyarnas di tangan Pengadilan Agama, SEMA No 8 Tahun 2008 ini juga menegaskan bahwa putusan Badan Arbitrase Syariah bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Karena itu, para pihak harus melaksanakan putusan Basyarnas secara sukarela. Dalam hal putusan tidak dilaksanakan secara sukarela, Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan perintah eksekusi atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Hal ini sesuai dengan Pasal 60 UU No 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak Putusan Basyarnas tidak bisa dilaksanakan begitu saja. SEMA No 8 Tahun 2008 mengajukan beberapa syarat yaitu dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan Basyarnas diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya ke panitera 65 Pengadilan Agama. Kedua, penyerahan dan pendaftaran dilakukan dengan mencatat dan menandatangani pada bagian pinggir atau akhir putusan. Ketiga, arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter kepada Panitera Pengadilan Agama. Prosedur tersebut harus dilaksanakan. Jika tidak, bisa berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada para pihak. SEMA No 8 Tahun 2008 juga menyatakan bahwa setelah menerima permohonan eksekusi dari salah satu pihak, Ketua Pengadilan Agama wajib memeriksa terlebih dahulu tiga hal. Setelah memeriksa ketiga hal inilah baru Ketua Pengadilan Agama menerbitkan perintah pelaksanaan eksekusi putusan, ketiga hal tersebut adalah: a. Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui Basyarnas dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak; b. Memastikan apakah sengketa tersebut adalah sengketa di bidang ekonomi syariah dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundangundangan dikuasai sepenuhnya pihak yang bersengketa; c. Memeriksa apakah putusan Basyarnas tidak bertentangan dengan prinsipprinsip syariah. Dengan demikian, Ketua Pengadilan Agama tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan Basyarnas. Pada tahun 2008 Mahkamah Agung menjawab keresahan masyarakat terkait masalah eksekusi putusan Basyarnas dengan SEMA Nomor 8 Tahun 2008, yang isinya terkait dengan kewenangan eksekutorial putusan Basyarnas ada pada 66 Pengadilan Agama. Namun pada tahun 2009, pembuat konstitusi membuat UU No 48 Tahun 2009. Dalam Pasal 59 Ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh paran pihak yang bersengketa. Dalam Ayat (3) menyatakan dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Penjelasan Pasal 59 Ayat (1) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan arbitrase dalam ketentuan ini termasuk juga arbitrase syariah. Hal ini menegaskan bahwa eksekusi putusan arbitrase syariah berdasarkan perintah ketua Pengadilan Negeri. Hal ini kembali memberi pelajaran hukum bagi kita untuk tidak menerima secara mentah produk hukum, namun perlu koreksinya kembali. Dadan Muttaqien, dalam hal ini juga mengajukan permohonan judicial review Penjelasan Pasal 59 Ayat (1) dan Pasal 59 Ayat (3) UU No 48 Tahun 2009 kepada Mahkamah Konstitusi agar masyarakat tidak dibuat kebingungan dengan produk hukum negara kita (Achmad Cholil, Dualisme Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol1872/dualismepenyelesaian -sengketa-perbankan-syariah diakses tanggal 25 Maret 2010 pukul 19:00 wib). Dua bulan setelah pengajuan judicial review oleh Dadan Muttaqien terkait penjelasan Pasal 59 Ayat (3) UU No 48 Tahun 2009. Ia mengajukan penarikan kembali permohonan judicial review, dan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan tersebut dengan Surat Ketetapan Nomor 9/PUU-VIII/2010 yang 67 isinya adalah mengabulkan penarikan kembali permohonan pemohon, menyatakan bahwa perkara pengajuan judicial review terhadap UU No 48 Tahun 2009 ditarik kembali dan tidak dapat diajukan kembali. Berdasarkan uraian di atas maka eksekusi putusan Basyarnas dilakukan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Agama berdasarkan SEMA No 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Basyarnas. Sehingga undang-undang yang dibuat setelah SEMA No 8 Tahun 2008 harus menyesuaikan dan tidak bertentangan. Prinsip arbitrase yang sekaligus merupakan kelebihan arbitrase antara lain lebih efisien dibandingkan badan-badan peradilan umum, efisien dalam hubungannya dengan waktu dan biaya murah, final and binding, lebih privat, terjaga rahasianya, sehingga kredibilitas masyarakat tetap terjaga, dalam dunia bisnis kepercayaan ini merupakan salah satu aset yang cukup diperhitungkan. Hal ini tentunya juga perlu adanya konsistensi dalam pelaksanaan dan dukungan dari berbagai pihak; termasuk pemerintah. Siapapun harus menghormati dan mau melaksanakan dengan sukarela apa yang telah diputuskan oleh lembaga arbitrase yang ditunjuk oleh para pihak itu sendiri, karena adanya kesepakatan atau perjanjian. Dalam agama apapun janji adalah utang yang harus dibayar atau harus ditepati. Ini juga merupakan suatu prinsip hukum yang bersifat universal (pacta sunt servanda). 2. Eksekusi Putusan Pengadilan Agama Pelaksanaan putusan pengadilan yang memerlukan pelaksanaan adalah putusan yang bersifat menghukum (condemnatoir). Pelaksanaan tersebut memerlukan bantuan dari pihak yang bersengketa, artinya pihak yang bersangkutan harus 68 dengan suka rela melaksanakan putusan pengadilan. Jadi bersedia memenuhi kewajiban untuk berprestasi yang dibebankan oleh pengadilan melalui putusannya. Eksekusi dilaksanakan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan yang dilaksanakan oleh panitera dan jurusita Pengadilan yang bersangkutan (Amnawaty, 2009: 92). Apabila pihak yang kalah tidak mau atau lalai melaksanakan putusan pengadilan. Pihak yang menang dapat mengajukan permohonan kepada ketua Pengadilan Agama yang memutus perkara, baik secara lisan maupu secara tertulis agar putusan pengadilan dilaksanakan. Untuk itu ketua pengadilan memanggil pihak yang kalah serta mengingatkan agar melaksanakan putusan pengadilan selambatlambatnya dalam tenggang waktu 8 (delapan) hari (Pasal 196 HIR dan Pasal 207 RBg). Apabila dalam tenggang waktu 8 hari pihak yang kalah tidak melaksanakan putusan, maka Ketua Pengadilan Agama membuat suatu penetapan mengabulkan permohonan eksekusi. Setelah adanya penetapan eksekusi selanjutnya panitera akan menentukan kapan eksekusi dilksanakan. Panitera akan membuat surat pemberitahuan tentang kepastian dari diadakanya eksekusi dan ditujukan kepada pemohon eksekusi, termohon eksekusi, kepala desa, kecamatan dan kepolisian. Dan setiap perintah yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Agama dan atau panitera harus dalam bentuk tertulis dan memperhatikan tenggang waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari sebelum dijalankan suatu tindakan eksekusi harus disampaikan dan diketahui pihak tereksekusi (Amnawaty, 2009: 93). 69 Pasal 54 Ayat (2) UU No 48 Tahun 2009, pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh Ketua Pengadilan. Dalam Pasal 54 Ayat (3) UU No 48 Tahun 2009 disebutkan Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan. Dan dalam Pasal 55 Ayat (1) UU No 48 Tahun 2009, Ketua pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam Pasal 55 Ayat (2) UU No 48 Tahun 2009, Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa eksekusi putusan Pengadilan Agama dilakukan oleh panitera dan jurusita atas perintah Ketua Pengadilan Agama. Hal ini sejalan dengan eksekusi putusan dalam lingkugan Peradilan Umum. Seperti yang halnya dalam Pasal 54 UU No 48 Tahun 2009 yang menyatakan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan. Mengenai putusan Basyarnas bersifat final dan mengikat, sementara putusan Pengadilan Agama tidak, karena masih ada upaya hukum seperti Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, dari segi efesiensi penyelesaian sengketa melalui arbitrase paling lama 180 hari sudah harus putus. Untuk hal apabila pihak yang kalah tidak melaksanakan dengan sukarela, putusan Basyarnas dapat dimohonkan ke Pengadilan sesuai dengan SEMA Nomor 8 tahun 2008 menetapkan putusan Arbitrase Syariah pelaksanaan eksekusinya melalui Peradilan Agama. 70 Penyelesaian sengketa di Basyarnas adalah merupakan penyelesaian sengketa secara non litigasi. Sementara penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama adalah secara litigasi. Keduanya sebenarnya tidak jauh berbeda dalam proses beracaranya maupun putusannya sebab keduanyapun menggunakan irah-irah putusan ”Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. Dan dalam pelaksanaan eksekusi Pengadilan Agama tidak memerlukan lembaga lain untuk melakukan eksekusi sedangkan pada Basyarnas eksekusinya harus dimohonkan pada lembaga lain yaitu Pengadilan Agama.