IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Dasar Hukum

advertisement
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Dasar Hukum Kompetensi Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) dan Pengadilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa
Ekonomi Syariah
1. Dasar Hukum Kompetensi Badan Arbitrase Syariah
(Basyarnas) dalam Menangani Sengketa Ekonomi Syariah
Nasional
Basyarnas merupakan lembaga penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang
bertujuan untuk menyelesaikan berbagai sengketa yang berhubungan dengan
muamalat misalnya hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain
antara lembaga-lembaga keuangan syariah dan masyarakat yang berhubungan
dengan lembaga tersebut. Penyelesaian sengketa ini senantiasa merujuk kepada
aturan syariat Islam. Basyarnas berdiri secara otonom dan independen sebagai
salah satu instrumen hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak, baik
yang datang dari dalam lingkungan bank syariah, asuransi syariah, maupun pihak
lain
yang memerlukannya.
Bahkan
dari
kalangan
non
muslim
dapat
memanfaatkan Basyarnas selama yang bersangkutan mempercayai kredibilitasnya
dalam menyelesaikan sengketa.
Dasar hukum kompetensi Basyarnas dalam menangani sengketa ekonomi syariah
adalah sebagai berikut:
41
a. Undang-Undang No 14 Tahun 1970 Jo Undang-Undang No 35 Tahun
1999 Jo Undang-Undang No 4 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman
UU No 14 Tahun 1970 membuka kesempatan bagi lembaga arbitrase sebagai
lembaga alternatif untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di tengah
masyarakat. Di dalam penjelasan Pasal 3 Ayat (1) UU No 14 Tahun 1970
menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian
atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, tetapi putusan arbitrase hanya
mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk
dieksekusi (executoir) dari pengadilan. Selanjutnya dalam Pasal 58 UU No 48
Tahun 2009 menyatakan bahwa upaya penyelesaian sengketa perdata dapat
dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian
sengketa. Hal ini semakin mempertegas eksistensi lembaga arbitrase dalam
menangani sengketa. Selain itu perangkat hukum yang mendasari lembaga
arbitrase telah secara tegas mengatur bahwa sengketa perdata dapat diselesaikan
diluar pengadilan yaitu melalui arbitrase dengan catatan bahwa masing-masing
pihak sepakat untuk membawa penyelesaian sengketanya melalui lembaga
arbitrase yaitu Basyarnas.
b. Undang-Undang No 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Pembaharuan hukum di bidang arbitrase adalah ketika lahir UU No 30 Tahun
1999. Pasal 3 UU No 30 Tahun 1999 menyatakan Pengadilan Negeri tidak
berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam
perjanjian arbitrase. Hal ini berarti bahwa ketika para pihak yang bersengketa
42
telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dan dituangkan ke
dalam perjanjian yang dibuat sebelum terjadinya sengketa (pactum de
compromitendo) maka pengadilan tidak berwenang menangani sengketa tersebut.
Bahkan menurut Pasal 11 UU No 30 Tahun 1999, adanya suatu perjanjian
arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian
sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di
dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase,
kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam UU No 30 Tahun 1999. UU
No 30 Tahun 1999 tidak menyebutkan syarat tentang kontrak arbitrase yang
berbentuk pactum de compromitendo kecuali yang dinyatakan dalam Pasal 7 UU
No 30 Tahun 1999 yaitu para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi
atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.
Perjanjian arbitrase juga dapat dibuat sesudah terjadinya sengketa (akta
kompromis), dalam hal ini UU No 30 Tahun 1999 memberikan syarat-syarat yang
lebih keras karena jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut
batal. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 9 UU No 30 Tahun 1999 yaitu sebagai
berikut:
(1) Harus dibuat dalam bentuk tertulis;
(2) Perjanjian tertulis tersebut harus ditandatangani oleh para pihak;
(3) Jika para pihak tidak menandatangani, harus dibuat dalam bentuk akta notaris;
(4) Muatan wajib dari akta kompromis tersebut adalah masalah yang
dipersengketakan, nama lengkap dan tempat tinggal pihak yang bersengketa,
nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbiter, tempat arbiter
43
atau majelis arbiter yang akan mengambil putusan, nama lengkap sekretaris,
jangka waktu penyelesaian sengketa, pernyataan kesediaan dari arbiter dan
pernyataan kesediaan para pihak untk menangung biaya arbitrase.
c. Undang-Undang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
Berkembangnya bisnis perbankan syariah membawa impikasi lahirnya UU No 21
Tahun 2008 yang menjadi dasar bagi pelaku bisnis perbankan syariah dalam
melakukan transaksinya. UU No 21 tahun 2008 memberikan kompetensi kepada
Basyarnas dalam menangani sengketa yang timbul. Hal ini dinyatakan dalam
Pasal 55 Ayat (2) UU No 21 tahun 2008 yang menyebutkan bahwa dalam hal para
pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. Dalam
Penjelasan Pasal 55 Ayat (2) UU No 21 Tahun 2008 menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad adalah
upaya sebagai berikut:
(1) Musyawarah;
(2) Mediasi perbankan;
(3) Melalui Basyarnas atau lembaga arbritrase lain;
(4) Melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Ketentuan Pasal 55 Ayat (2) beserta penjelasannya tersebut menunjukkan adanya
kompetensi Basyarnas dalam menangani sengketa jika pihak-pihak sepakat secara
tertulis yang dituangkan dalam akad bahwa sengketa yang timbul diselesaikan
melalui Basyarnas atau lembaga arbitrase. Dan lebih tepat rasanya jika sengketa
bisnis syariah diselesaikan dengan cara yang syariah pula.
44
d. Peraturan Prosedur Basyarnas
Peraturan Prosedur Basyarnas merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur
tentang cara penyelesaian sengketa bisnis melalui Basyarnas (Amnawaty, 2009:
17). Peraturan Prosedur Basyarnas Bab 1 Pasal 1 menyatakan bahwa yurisdiksi
(kewenangan) Basyarnas meliputi:
(1) Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah (perdata) yang
timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh
pihak yang bersengketa, dan para pihak sepakat secara tertulis untuk
menyerahkan penyelesaiannya kepada Basyarnas sesuai dengan prosedur
Basyarnas;
(2) Memberikan pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai
persoalan berkenaan dengan perjanjian atas permintaan para pihak.
Pemberian pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase juga diatur dalam Pasal
52 UU No 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa para pihak dalam suatu
perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase
atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Jadi tanpa adanya suatu
sengketa pun lembaga arbitrase dapat menerima permintaan yang diajukan oleh
para pihak dalam suatu perjanjian, untuk memberikan suatu pendapat yang
mengikat (binding opinion) mengenai suatu persoalan berkenaan dengan
perjanjian tersebut. Misalnya mengenai penafsiran ketentuan yang kurang jelas
dalam suatu perjanjian, penambahan atau perubahan pada ketentuan yang
berhubungan dengan timbulnya keadaan baru dan lain-lain. Dengan diberikannya
45
pendapat oleh lembaga arbitrase tersebut para pihak terikat padanya dan salah satu
pihak yang bertindak bertentangan dengan pendapat itu akan dianggap melanggar
perjanjian (Munir Fuady, 2003: 97).
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa Basyarnas berkompetensi
menangani sengketa ekonomi syariah berdasarkan UU No 14 Tahun 1970 Jo UU
No 35 Tahun 1999 Jo UU No 4 Tahun 2004 Jo UU No 48 Tahun 2009, UU No 30
Tahun 1999, UU No 21 Tahun 2008 dan Peraturan Prosedur Basyarnas sebagai
aturan tekhnis dalam menangani sengketa. Peraturan perundang-undangan
tersebut semakin mempertegas kompetensi lembaga arbitrase dalam tatanan
hukum Indonesia. Dan hal ini memperlihatkan perkembangan kegiatan ekonomi
syariah sinergis dengan perkembangan hukum di Indonesia. Dan Basyarnas
sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengket menjadi pilihan hukum bagi para
pihak yang bersengketa selain penyelesaian sengketa melalui pengadilan.
Tentunya pilihan yang diambil mempunyai konsekuensi yang berbeda dalam
proses penyeesaiannya.
Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan
lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain (Penjelasan umum alinia ke-4
UU No 30 Tahun 1999 :
a.
Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak ;
b.
Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan
administratif ;
46
c.
Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah
yang disengketakan, jujur dan adil;
d.
Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya
serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase;
e.
Putusan arbiter merupakan putusan yang final dan mengikat para pihak dan
dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat
dilaksanakan.
Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab di
sengketa-sengketa atau negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat
dari pada proses arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan
adalah sifat kerahasiannya karena keputusannya tidak dipublikasikan.
2. Dasar Hukum Kompetensi Pengadilan Agama dalam Menangani
Sengketa Ekonomi Syariah
Peradilan Agama adalah peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis perkara
yang menjadi kewenangannya, seluruhnya adalah jenis perkara yang didasarkan
kepada agama Islam. Selain itu Peradilan Agama juga dikhususkan bagi mereka
yang beragama Islam dan atau mereka yang menyatakan diri tunduk kepada
hukum Islam. Sebagai salah satu pranata dalam memenuhi hajat hidup anggota
masyarakat untuk menegakkan hukum dan keadilan, Pengadilan Agama
mengemban tugas khusus pada bidang-bidang keperdataan Islam. Dimana ia
berfungsi untuk menerima, memeriksa dan memutus ketetapan hukum antara
pihak-pihak yang bersengketa dengan putusan yang dapat menghilangkan
47
permusuhan berdasarkan bukti dan keterangan, dengan tetap mempertimbangkan
dasar-dasar hukum yang ada (Yusna Zaida, 2007: 9).
Pengadilan Agama sebagai salah satu dari empat lembaga peradilan yang ada di
Indonesia. Semenjak diundangkannya UU No 3 Tahun 2006, mempunyai
wewenang baru sebagai bagian dari yurisdiksi absolutnya, yaitu kewenangan
untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan sengketa
dibidang ekonomi syariah.
Dasar hukum kompetensi Pengadilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi
syariah adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang No 14 Tahun 1970 Jo Undang-Undang No 35 Tahun
1999 Jo Undang-Undang No 4 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 25 Ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa Badan peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan
tata usaha negara. Pasal 25 Ayat (3) UU No 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa
Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang
beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini
semakin mempertegas kompetensi Pengadilan Agama dalam menangani sengketa
ekonomi syariah. Selain itu hal ini juga mensejajarkan Pengadilan Agama dengan
lingkup pengadilan lain sehingga sudah sepatutnya Pengadilan Agama diberikan
48
kepercayaan untuk menangani suatu sengketa yang timbul dari berbagai bisnis
syariah.
b. Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Jo Undang-Undang No 3 Tahun 2006
Jo Undang-Undang No 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama
Lahirnya UU No 3 Tahun 2006 membawa perubahan yang fundamental dalam
tugas dan kewenangan Pengadilan Agama yaitu terkait ekonomi syariah. Pasal 49
UU No 3 Tahun 2006 menyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah.
Kompetensi absolut peradilan agama mengenai sengketa ekonomi syariah
sebagaimana tercantum dalam UU No 3 Tahun 2006 menunjukkan bahwa jika
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah
terdapat sengketa, maka penyelesaian sengketa secara litigasi adalah menjadi
kompetensi peradilan agama. Dengan demikian, Peradilan Agama diberi
wewenang penuh untuk menyelesaikan sengketa-sengketa ekonomi syariah.
Untuk itu dituntut kesiapan lembaga tersebut dalam banyak hal, termasuk di
dalamnya kesiapan hukum substantif yang tidak terlepas dari hukum Islam
sebagai pijakan. Di samping menyiapkan sumber daya manusia dalam hal ini para
hakim dan aparatur lainnya (Yusna Zaida, 2007:4).
Meskipun UU No 3 Tahun 2006 telah diubah dengan UU No 50 Tahun 2009,
namun pada Pasal 49 huruf i terkait kewenangan mengadili sengketa ekonomi
syariah tidak berubah.
49
c. Undang-Undang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
Diterbitkannya UU No 21 Tahun 2008, memberi kewenangan absolut peradilan
agama dalam memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang
berkaitan dengan ekonomi syariah, khususnya sengketa Perbankan Syariah makin
kuat, karena dalam Pasal 55 Ayat (1) UU No 21 Tahun 2008 dinyatakan bahwa
penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkup Pengadilan Agama. Sehingga apabila terjadi sengketa dalam Perbankan
Syariah, maka yang berwenang mengadili adalah pengadilan dalam lingkup
Peradilan Agama.
Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No 21 tahun 2008 menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad adalah
upaya sebagai berikut:
(1) Musyawarah;
(2) Mediasi perbankan;
(3) Melalui Basyarnas atau lembaga arbritase lain;
(4) Melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Hal ini berarti UU No 21 Tahun 2008 juga memberikan kompetensi kepada
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum untuk menyelesaikan sengketa
Perbankan Syariah. Sehingga menunjukkan adanya reduksi kompetensi absolut
Peradilan Agama di bidang Perbankan Syariah. Adanya kompetensi peradilan
dalam lingkungan Peradilan Agama dan Peradilan Umum dalam sengketa
Perbankan Syariah selain menunjukkan adanya reduksi juga mengarah pada
dualisme kompetensi mengadili oleh dua lembaga litigasi, sekalipun kompetensi
50
yang diberikan kepada peradilan umum adalah terkait isi suatu akad, khususnya
mengenai choice of forum atau choice of yurisdiction. Untuk itu Dadan Muttaqien,
dosen Universitas Islam Indonesia meminta Mahkamah Konstitusi agar
menyelesaikan persoalan yang membingungkan para praktisi Perbankan Syariah
itu. Dadan mengajukan permohonan judicial review UU No 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah. Ketentuan yang diuji adalah penjelasan Pasal 55 Ayat
(2) huruf d UU No 21 Tahun 2008 (Achmad Cholil, Penyelesaian Sengketa
Perbankan Syariah, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21872/ dualisme
-penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah diakses tanggal 25 Maret 2010 Pukul
19:00 WIB)
Dua bulan setelah pengajuan judicial review oleh Dadan Muttaqien terkait
penjelasan Pasal 55 Ayat (2) huruf d UU No 21 Tahun 2008. Ia mengajukan
penarikan kembali permohonan judicial review, dan Mahkamah Konstitusi
mengabulkan permohonan tersebut dengan Surat Ketetapan Nomor 9/PUUVIII/2010 yang isinya adalah mengabulkan penarikan kembali permohonan
pemohon, menyatakan bahwa perkara pengajuan judicial review terhadap UU No
21 Tahun 2008 ditarik kembali dan tidak dapat diajukan kembali.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukan bahwa Pengadilan Agama
berwenang menangani sengketa ekonomi syariah berdasarkan UU No 14 Tahun
1970 Jo UU No 35 Tahun 1999 Jo UU No 4 Tahun 2004 Jo UU No 48 Tahun
2009, UU No 7 Tahun 1989 Jo UU No 3 Tahun 2006 Jo UU No 50 Tahun 2009
dan UU No 21 Tahun 2008 hal ini menjadi wacana baru di Pengadilan Agama
karena sebelumnya hanya menangani sengketa terkait perkawinan, waris dan
51
shadaqoh. Sehingga perangkat hukum di Pengadilan Agama perlu belajar lagi
mengenai hukum ekonomi syariah sehingga masyarakat tidak perlu khawatir akan
eksistensinya menangani sengketa tesebut.
B. Syarat dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah pada
Basyarnas dan Pengadilan Agama
1. Syarat dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah pada
Basyarnas
Syarat dan prosedur berperkara di Basyarnas telah diatur dengan sistematis sejak
masih didirikan BAMUI. Secara garis besar aturan tersebut dituangkan dalam
peraturan prosedur Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang
diberlakukan sejak 21 Oktober 1993. Beberapa tambahan yang terjadi setelah itu
yaitu melalui peraturan prosedur Basyarnas hanya bersifat tekhnis untuk
menyempurnakan aturan yang telah ditetapkan sebelumnya, sepanjang aturan
tersebut tidak bertentangan dengan UU No 30 tahun 1999. Setiap lembaga apa
pun dalam menjalankan operasionalnya selalu disertai dengan kewenangan dan
peraturan prosedur demikian juga Basyarnas sebagai lembaga arbitrase
mempunyai kewenangan dan peraturan prosedur yang telah ditetapkan oleh
lembaga itu sendiri sebagai hukum acaranya (Munir Fuady, 2003: 62).
Syarat penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui Basyarnas adalah sebagai
berikut:
a. Perjanjian arbitrase secara tertulis
Pasal 1 Ayat (3) UU No 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa perjanjian arbitrase
adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu
52
perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu
perjanjian tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Hal ini juga
ada dalam Pasal 1 Peraturan Prosedur Basyarnas yang menyatakan bahwa para
pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaian sengketa kepada
Basyarnas sesuai dengan peraturan prosedur. Dan Pasal 2 Peraturan Prosedur
Basyarnas yang menyatakan kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian
sengketa kepada Basyarnas dengan mencantumkan klausula arbitrase dalam
perjanjian para pihak atau dalam perjanjian tersendiri yang dibuat dan disetujui
oleh para pihak setelah sengketa timbul. Dengan demikian pihak yang bersengketa
sepakat akan menyelesaikan persengketaan mereka dengan islah (perdamaian)
tanpa ada suatu persengketaan berkenaan dengan perjanjian atas pemintaan para
pihak tersebut, dan harus dibuat secara tertulis.
b. Sengketa Bidang Perdagangan dan Hak yang Dikuasai Sepenuhnya oleh Pihak
yang Bersengketa
Pasal 5 Ayat (1) UU No 30 Tahun 1999 menerangkan bahwa sengketa yang dapat
diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan (dalam
penjelasan Pasal 66 huruf b UU No 30 Tahun 1999 yang dimaksud dalam ruang
lingkup perdagangan antara lain meliputi perniagaan, perbankan, keuangan,
penanaman modal, industri, hak kekayaan intelektual) dan mengenai hak yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh
pihak yang bersengketa.
Pasal 1 huruf a Peraturan prosedur Basyarnas juga menyatakan bahwa yurisdiksi
Basyarnas meliputi penyelesaian sengketa dibidang perdagangan, keuangan, jasa
dan lain-lain yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
53
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Basyarnas tidak menerima sengketa
mengenai hibah, wasiat, nafkah, perkawinan, status seseorang. Jenis-jenis
sengketa tersebut dilarang karena menyangkut kepentingan umum dan bersifat
privat. Badan peradilan yang menyelesaikanya pun sudah khusus yaitu yang
beragama Islam diselesaiakan pada Peradilan Agama (Amnawaty, 2009: 17).
Prosedur administratif penyelesaian sengketa pada Basyarnas tercantum dalam
Pasal 3 sampai dengan Pasal 26 Peraturan Prosedur Basyarnas, yaitu sebagai
berikut:
a. Pengajuan Permohonan
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Prosedur Basyarnas, Proses arbitrase dimulai
dengan didaftarkannya surat permohonan untuk mengadakan arbitrase di
Sekretariat Basyarnas. Dalam Pasal 4 Peraturan Prosedur Basyarnas, surat
permohonannya tersebut harus memuat sekurang-kurangnya nama lengkap,
pekerjaan dan tempat tinggal atau tempat kedudukan kedua belah pihak,
penunjukan klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku, perjanjian atau
masalah yang menjadi sengketa, tuntutan dan dasar tuntutan, uraian singkat
tentang salinan naskah perjanjian yang memuat klausula arbitrasenya dan suatu
surat kuasa khusus jika diajukan oleh kuasa hukum hal ini tercantum;
b. Pemeriksaan Berkas oleh Basyarnas
Pasal 5 Peraturan Prosedur Basyarnas, surat permohonan itu akan diperiksa oleh
Basyarnas, untuk menentukan apakah Basyarnas berwenang memeriksa dan
memutuskan sengketa arbitrase yang dimohonkan tadi. Dalam hal perjanjian atau
klausula arbitrase dianggap tidak cukup kuat dijadikan dasar kewenangan
54
Basyarnas untuk memeriksa sengketa yang diajukan, maka Basyarnas akan
menyatakan permohonan itu tidak dapat diterima yang dituangkan dalam sebuah
penetapan yang dikeluarkan oleh Basyarnas sebelum pemeriksaan dimulai atau
dapat pula dilakukan oleh arbiter tunggal atau arbiter majelis yang ditunjuk dalam
hal pemeriksaan telah dimulai dan disampaikan kepada para pihak selambatlambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal pendaftaran permohonan.
Dalam Pasal 6 Peraturan Prosedur Basyarnas, segala pemberitahuan dianggap
telah diterima apabila telah disampaikan ke alamat tempat tinggal atau tempat
kedudukan;
c. Penetapan Arbiter Tunggal atau Arbiter Majelis
Pasal 8 Peraturan Prosedur Basyarnas, jika perjanjian atau klausula arbitrase
dianggap telah mencukupi, maka Ketua Basyarnas segera menetapkan dan
menunjuk arbiter tunggal atau majelis yang akan memeriksa dan memutus
sengketa. Arbiter yang ditunjuk tersebut dapat dipilih dari arbiter atau menunjuk
seorang ahli dalam bidang khusus yang diperlukan untuk menjadi arbiter, karena
pemeriksaanya memerlukan suatu keahlian khusus. Dengan demikian susunan
arbiter dapat pula dalam bentuk tunggal atau majelis. Arbiter yang ditunjuk
memerintahkan untuk menyampaikan salinan surat permohonan kepada termohon
disertai perintah untuk menanggapi permohonan tersebut dan memberikan
jawabannya secara tertulis selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu)
hari terhitung sejak diterimanya salinan surat permohonan dan surat panggilan.
Segera setelah diterimanya jawaban dari termohon, atas perintah arbiter tunggal
atau ketua arbiter majelis, salinan dari jawaban tersebut diserahkan kepada
pemohon dan bersamaan dengan itu memerintahkan kepada para pihak untuk
55
menghadap di muka sidang arbitrase pada tanggal yang ditetapkan, selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal
dikeluarkannya perintah itu, dengan pemberitahuan bahwa mereka boleh
mewakilkan kepada kuasa hukumnya masing-masing dengan surat kuasa khusus;
d. Pemeriksaan dalam Persidangan Arbitrase
Pasal 12 Peraturan Prosedur Basyarnas menyatakan bahwa seluruh pemeriksaan
dilakukan dalam sidang tertutup. Selama proses dan pada setiap tahap
pemeriksaan berlangsung arbiter tunggal atau majelis harus memberi perlakuan
dan kesempatan yang sama sepenuhnya terhadap para pihak (equality before the
law) untuk membela dan mempertahankan kepentingan yang disengketakannya.
Arbiter tunggal atau majelis, baik atas pendapat sendiri atau para pihak dapat
melakukan pemeriksaan dengan mendengar keterangan saksi, termasuk saksi ahli
dan pemeriksaan secara lisan di antara para pihak, setiap bukti atau dokumen yang
disampaikan salah satu pihak kepada arbiter tunggal atau majelis salinannya harus
disampaikan kepada pihak lawan. Namun, pemeriksaan dibolehkan secara lisan
(oral hearing). Tahap pemeriksaan dimulai dari jawab, menjawab (replik-duplik),
pembuktian dan putusan dilakukan berdasarkan kebijakan arbiter tunggal atau
majelis (Rahmat Rosyadi dan Ngatino, 2002: 64). Dan Pasal 13 Peraturan
Prosedur Basyarnas menyatakan pemeriksaan persidangan arbitrase dilakukan di
tempat kedudukan Basyarnas, kecuali ada persetujuan dari kedua belah pihak,
pemeriksaan dapat dilakukan di tempat lain. Arbiter tunggal atau majelis dapat
melakukan sidang ditempat untuk memeriksa saksi, barang, atau benda dokumen
yang mempunyai hubungan dengan para pihak yang bersengketa. Putusan harus
diambil dan dijatuhkan di tempat kedudukan Basyarnas;
56
e. Perdamaian dan Pembuktian
Pasal 14 sampai dengan Pasal 22 Peraturan Prosedur Basyarnas, dalam
jawabannya, atau paling lambat pada sidang pertama pemeriksaan, termohon
dapat mengajukan suatu tuntutan balasan (reconventie). Terhadap bantahan yang
diajukan termohon, pemohon dapat mengajukan jawaban (replik) yang dibarengi
dengan tambahan tuntutan dan hal itu mempunyai hubungan yang sangat erat
langsung dengan pokok yang disengketakan serta termasuk dalam yurisdiksi
Basyarnas, baik tuntutan konvensi, rekonvensi maupun addional claim akan
diperiksa dan diputus oleh arbiter atau majelis terlebih dulu akan mengusahakan
tercapainya perdamaian. Apabila usaha tersebut berhasil, maka Arbiter Tunggal
akan membuat akta perdamaian dan mewajibkan kedua belah pihak untuk
memenuhi dan mentaati perdamaian tersebut masing-masing. Sebaliknya, apabila
perdamaian tidak berhasil, maka arbiter tunggal atau majelis akan meneruskan
pemeriksaan sengketa yang dimohon. Dalam hal yang diteruskan para pihak
dipersilakan untuk memberikan argumentasi dan pendirian masing-masing serta
mengajukan bukti-bukti yang dianggap perlu untuk mengatakannya. Seluruh
pemeriksaan dilakukan secara tertutup sesuai dengan saran arbitrase yang tertutup
(Rahmat Rosyadi dan Ngatino, 2002: 64);
f. Penutupan Pemeriksaan
Pasal 23 Peraturan Prosedur Basyarnas, Arbiter tunggal atau majelis akan
menutup pemeriksaan sengketa arbitrase dan menetapkan suatu hari sidang untuk
mengucapkan putusan yang diambil, bila menganggap pemeriksaan telah cukup,
dengan tidak menutup kemungkinan dapat membuka sekali lagi pemeriksaan (to
57
open) sebelum putusan dijatuhkan bila dianggap perlu (Rahmat Rosyadi dan
Ngatino, 2002: 64-65);
g. Pengambilan Keputusan
Pasal 24 Peraturan Prosedur Basyarnas, Putusan diambil dan diputuskan dalam
suatu sidang yang dihadiri kedua belah pihak dan dilakukan berdasarkan
musyawarah mufakat. Bila para pihak telah dipanggil secara patut, tetapi jika
tidak ada yang hadir, maka putusan tetap diucapkan. Seluruh proses pemeriksaan
sampai diucapkannya putusan oleh arbiter tunggal atau majelis akan diselesaikan
selambat-lambatnya sebelum jangka waktu 6 (enam) bulan, terhitung sejak
dipanggilnya pertama kali para pihak untuk menghadiri sidang pertama
pemeriksaan. Pasal 25 Peraturan Prosedur Basyarnas, Arbiter tunggal atau majelis
harus memutus berdasar kepatutan dan keahlian sesuai dengan ketentuaan hukum
yang berlaku bagi perjanjiaan yang menimbulkan sengketa dan disepakati para
pihak.
Tiap
penetapan
dan
putusan
dimulai
dengan
kalimat
Bismillaahirrahmaanirrahiim diikuti dengan Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa;
h. Pendaftaran Putusan Arbitrase ke Pengadilan Agama
Pasal 26 Peraturan Prosedur Basyarnas, putusan arbitrase tersebut bersifat final
dan mengikat bagi para pihak yang bersengketa, dan para pihak wajib menaati
serta memenuhi secara suka rela seperti yang disebut di atas. Apabila putusan
tidak dipenuhi secara suka rela, maka putusan, dijalankan menurut perintah ketua
Pengadilan Agama, hal ini disesuaikan dengan SEMA No 8 Tahun 2008 tentang
eksekusi putusan Basyarnas.
58
Menurut Rahmat Rosyadi dan Ngatino (2002: 65-66), walaupun putusan arbiter
itu bersifat final, namun Peraturan Prosedur Basyarnas memberikan kemungkinan
kepada salah satu pihak untuk mengajukan secara tertulis permintaan pembatalan
putusan arbitrase (Pasal 28 Peraturan Prosedur Basyarnas) tersebut yang
disampaikan kepada sekretaris Basyarnas dan tembusan kepada pihak lawan
sebagai pemberitahuan. Pengajuan pembatalan putusan paling lambat dalam
waktu 60 (enam puluh) hari dari tanggal putusan diterima, kecuali mengenai
alasan penyelewengan dan hal itu berlaku paling lama dalam waktu 3 (tiga) tahun
sejak putusan dijatuhkan. Permintaan pembatalan putusan hanya dapat dilakukan
berdasarkan salah satu alasan sesuai dengan Pasal 70 UU No 30 Tahun 1999,
yaitu sebagai berikut:
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan;
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa.
Penjelasan Pasal 70 UU No 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa permohonan
pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah
didaftarkan di Pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut
dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan
menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka
59
putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim
untuk mengabulkan atau menolak permohonan.
Berdasarkan uraian di atas bahwa Peraturan Prosedur Basyarnas merupakan
aturan secara sistematis dalam berperkara di Basyarnas sepanjang aturan tersebut
tidak bertentangan dengan UU No 30 tahun 1999. Setiap lembaga apa pun dalam
menjalankan operasionalnya selalu disertai dengan kewenangan dan peraturan
prosedur demikian juga Basyarnas sebagai lembaga arbitrase mempunyai
kewenangan dan peraturan prosedur yang telah ditetapkan oleh lembaga itu
sendiri sebagai hukum acaranya.
2. Syarat dan Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah pada
Pengadilan Agama
Apabila perkara ekonomi syariah diajukan ke Pengadilan Agama, maka
Pengadilan Agama wajib memeriksa, memutus dan menyelesaikannya secara
profesional, yakni dengan proses yang sederhana, cepat, dan biaya ringan hal ini
sesuai dengan Pasal 57 Ayat 3 UU No 7 Tahun 1989 Jo UU No 3 Tahun 2006 Jo
UU No 50 Tahun 2009 dan juga merujuk pada Pasal 4 UU No 48 Tahun 2009,
untuk itu Pengadilan Agama wajib membantu kedua pihak yang bersengketa dan
berusaha menjelaskan serta mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak
tersebut. Dalam Penjelasan Pasal 4 UU No 48 Tahun 2009 diterangkan bahwa
yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara
dilakukan dengan cara efesien dan efektif. Yang dimaksud dengan biaya ringan
adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Namun demikian,
asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian
60
perkara di pengadilan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam
mencari kebenaran dan keadilan.
Syarat penyelesaian sengketa ekonomi syariah pada pengadilan agama adalah
sebagaiberikut:
a. Beragama Islam atau Tunduk Terhadap Hukum Islam
Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 UU No 3 Tahun 2006. Dalam hal ini terkait dengan asas
personalitas ke Islaman, yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada
kekuasaan peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya beragama Islam
atau secara suka rela tunduk terhadap hukum Islam hal ini tertera dalam
penjelasan umum angka 2 alinia ketiga dan Pasal 49 Ayat (1) UU No 7 Tahun
1989 Jo UU No 3 Tahun 2006 Jo UU No 50 Tahun 2009 (Amnawaty, 2009: 51).
Tidak hanya saja penyelesain sengketa melalui basyarnas ini dinikmati oleh orang
yang beragama Islam, non muslim pun bisa dengan prisnsip asas kebebasan
berkontrak, artinya orang non muslim tadi dengan sukarela menundukan dirinya
kepada hukum atau syariat islam, jadi disini berlaku teori penundukan diri
terhadap hukum.
b. Perkara Perdata
Pasal 49 UU No 3 Tahun 2006 membatasi pada perkara-perkara yang menjadi
kewenangan peradilan agama. Perkara perdata yang disengketakan mengenai
61
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi
syariah.
Hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama untuk mengadili sengketa
ekonomi syariah adalah hukum acara yang berlaku dan dipergunakan pada
lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 54 UU
No 7 Tahun 1989 Jo UU No 3 Tahun 2006 Jo UU No 50 Tahun 2009. Sementara
ini Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum adalah Herziene
Inlandsch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura, Rechtreglement Voor De
Buittengewesten (RBg) untuk luar Jawa Madura. Kedua aturan Hukum Acara ini
diberlakukan di lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah diatur
secara khusus dalam UU No 7 Tahun 1989 Jo UU No 3 Tahun 2006 Jo UU No
50 Tahun 2009. Di samping HIR dan RBG diberlakukan juga Bugerlijke Wetbook
Voor Indonesia (BW) atau yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHpdt), khususnya buku ke IV tentang Pembuktian yang termuat
dalam Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993.
Prosedur penyelesaian perkara sengketa ekonomi syariah yang ada pada
pengadilan dengan tata urutan sebagai berikut:
a. Mengajukan Gugatan
Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama sesuai
Pasal 118 HIR dan Pasal 142 RBg;
62
b. Membayar biaya perkara
Membayar biaya perkara sesuai Pasal 121 Ayat (4) HIR, Pasal 145 Ayat (4) RBg.
Bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) Pasal 237
HIR dan Pasal 273 RBg;
c. Sidang Pemeriksaan
Hakim memeriksa apakah syarat administrasi telah tercukupi atau belum.
Administrasi perkara ini meliputi berkas perkara yang didalamnya telah
dilengkapi dengan kuitansi panjar biaya perkara, nomor perkara, penetapan
majelis hakim, dan penunjukan panitera sidang. Apabila syarat tersebut belum
lengkap maka berkas dikembalikan ke paniteraan untuk dilengkapi, apabila sudah
lengkap maka hakim menetapkan hari sidang dan memerintahkan kepada juru sita
agar para pihak dipanggil untuk hadir dalam sidang yang waktunya telah
ditetapkan oleh hakim dalam surat Penetapan Hari Sidang (PHS). Penggugat dan
Tergugat atau kuasanya menghadiri sidang pemeriksaan berdasarkan panggilan
Pengadilan Agama sesuai Pasal 121, Pasal 124, Pasal 125 HIR dan Pasal 145
RBg;
d. Perdamaian
Apabila syarat formil telah terpenuhi berarti hakim dapat melanjutkan untuk
memeriksaa pokok perkara. Dalam persidangan ini, tugas pertama dan utama
hakim adalah berusaha mendamaikan kedua belaah pihak sesuai dengan Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 dan PERMA Nomor 1 Tahun
2002. Apabila tercapai perdamaian, maka hakim membuat akta perdamaian.
63
Apabila tidak dapat dicapai perdamaian maka pemeriksaan dilanjutkan ke tahap
berikutnya;
e. Pembuktian
Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara di lanjutkan dengan
membacakan surat gugatan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan
kesimpulan dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian). Tergugat dapat
mengajukan rekonpensi atau gugat balik (Pasal 132 HIR dan Pasal 158 RBg).
Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Tergugat dapat mengajukan
gugatan rekonvensi atau gugatan balik (Pasal 132a HIR dan Pasal 158 RBg);
f. Putusan Pengadilan
Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, kedua belah pihak dapat
meminta salinan putusan (Pasal 185 HIR dan Pasal 196 RBg).
Dengan demikian pada dasarnya dalam menangani sengketa ekonomi syariah
hukum acara dalam lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan hukum
acara dalam perkara perdata di Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Hal ini berdasarkan Pasal 54 UU No 7 Tahun 1989 Jo UU No 3 Tahun 2006 Jo
UU No 50 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa hukum acara yang berlaku pada
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata
yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang
telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.
64
C. Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dan
Pengadilan Agama
1. Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)
Pengadilan yang berwenang melaksanakan eksekusi putusan arbitrase syariah
adalah Pengadilan Agama. Mahkamah Agung memberi kewenangan tersebut
kepada Pengadilan Agama. Penunjukan Pengadilan Agama ini berdasarkan UU
No 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah. Penunjukan
Pengadilan Agama tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 8
Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. Selain
memastikan wewenang eksekusi putusan Basyarnas di tangan Pengadilan Agama,
SEMA No 8 Tahun 2008 ini juga menegaskan bahwa putusan Badan Arbitrase
Syariah bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para
pihak. Karena itu, para pihak harus melaksanakan putusan Basyarnas secara
sukarela. Dalam hal putusan tidak dilaksanakan secara sukarela, Ketua Pengadilan
Agama mengeluarkan perintah eksekusi atas permohonan salah satu pihak yang
bersengketa. Hal ini sesuai dengan Pasal 60 UU No 30 Tahun 1999 yang
menyatakan bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan
hukum tetap dan mengikat para pihak
Putusan Basyarnas tidak bisa dilaksanakan begitu saja. SEMA No 8 Tahun 2008
mengajukan beberapa syarat yaitu dalam waktu paling lama 30 hari terhitung
sejak tanggal putusan Basyarnas diucapkan, lembar asli atau salinan otentik
putusan diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya ke panitera
65
Pengadilan Agama. Kedua, penyerahan dan pendaftaran dilakukan dengan
mencatat dan menandatangani pada bagian pinggir atau akhir putusan. Ketiga,
arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan
sebagai arbiter kepada Panitera Pengadilan Agama. Prosedur tersebut harus
dilaksanakan. Jika tidak, bisa berakibat putusan arbitrase tidak dapat
dilaksanakan. Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta
pendaftaran dibebankan kepada para pihak.
SEMA No 8 Tahun 2008 juga menyatakan bahwa setelah menerima permohonan
eksekusi dari salah satu pihak, Ketua Pengadilan Agama wajib memeriksa terlebih
dahulu tiga hal. Setelah memeriksa ketiga hal inilah baru Ketua Pengadilan
Agama menerbitkan perintah pelaksanaan eksekusi putusan, ketiga hal tersebut
adalah:
a. Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui Basyarnas dimuat dalam
suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak;
b.
Memastikan apakah sengketa tersebut adalah sengketa di bidang ekonomi
syariah dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundangundangan dikuasai sepenuhnya pihak yang bersengketa;
c. Memeriksa apakah putusan Basyarnas tidak bertentangan dengan prinsipprinsip syariah. Dengan demikian, Ketua Pengadilan Agama tidak memeriksa
alasan atau pertimbangan dari putusan Basyarnas.
Pada tahun 2008 Mahkamah Agung menjawab keresahan masyarakat terkait
masalah eksekusi putusan Basyarnas dengan SEMA Nomor 8 Tahun 2008, yang
isinya terkait dengan kewenangan eksekutorial putusan Basyarnas ada pada
66
Pengadilan Agama. Namun pada tahun 2009, pembuat konstitusi membuat UU
No 48 Tahun 2009. Dalam Pasal 59 Ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 menyatakan
bahwa arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
pengadilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis
oleh paran pihak yang bersengketa. Dalam Ayat (3) menyatakan dalam hal para
pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan
berdasarkan perintah ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak
yang bersengketa. Penjelasan Pasal 59 Ayat (1) menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan arbitrase dalam ketentuan ini termasuk juga arbitrase syariah.
Hal ini menegaskan bahwa eksekusi putusan arbitrase syariah berdasarkan
perintah ketua Pengadilan Negeri. Hal ini kembali memberi pelajaran hukum bagi
kita untuk tidak menerima secara mentah produk hukum, namun perlu koreksinya
kembali.
Dadan Muttaqien, dalam hal ini juga mengajukan permohonan judicial review
Penjelasan Pasal 59 Ayat (1) dan Pasal 59 Ayat (3) UU No 48 Tahun 2009 kepada
Mahkamah Konstitusi agar masyarakat tidak dibuat kebingungan dengan produk
hukum negara kita (Achmad Cholil, Dualisme Penyelesaian Sengketa Perbankan
Syariah, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol1872/dualismepenyelesaian
-sengketa-perbankan-syariah diakses tanggal 25 Maret 2010 pukul 19:00 wib).
Dua bulan setelah pengajuan judicial review oleh Dadan Muttaqien terkait
penjelasan Pasal 59 Ayat (3) UU No 48 Tahun 2009. Ia mengajukan penarikan
kembali permohonan judicial review, dan Mahkamah Konstitusi mengabulkan
permohonan tersebut dengan Surat Ketetapan Nomor 9/PUU-VIII/2010 yang
67
isinya
adalah
mengabulkan
penarikan
kembali
permohonan
pemohon,
menyatakan bahwa perkara pengajuan judicial review terhadap UU No 48 Tahun
2009 ditarik kembali dan tidak dapat diajukan kembali.
Berdasarkan uraian di atas maka eksekusi putusan Basyarnas dilakukan
berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Agama berdasarkan SEMA No 8 Tahun
2008 tentang Eksekusi Putusan Basyarnas. Sehingga undang-undang yang dibuat
setelah SEMA No 8 Tahun 2008 harus menyesuaikan dan tidak bertentangan.
Prinsip arbitrase yang sekaligus merupakan kelebihan arbitrase antara lain lebih
efisien dibandingkan badan-badan peradilan umum, efisien dalam hubungannya
dengan waktu dan biaya murah, final and binding, lebih privat, terjaga rahasianya,
sehingga kredibilitas masyarakat tetap terjaga, dalam dunia bisnis kepercayaan ini
merupakan salah satu aset yang cukup diperhitungkan. Hal ini tentunya juga perlu
adanya konsistensi dalam pelaksanaan dan dukungan dari berbagai pihak;
termasuk pemerintah. Siapapun harus menghormati dan mau melaksanakan
dengan sukarela apa yang telah diputuskan oleh lembaga arbitrase yang ditunjuk
oleh para pihak itu sendiri, karena adanya kesepakatan atau perjanjian. Dalam
agama apapun janji adalah utang yang harus dibayar atau harus ditepati. Ini juga
merupakan suatu prinsip hukum yang bersifat universal (pacta sunt servanda).
2. Eksekusi Putusan Pengadilan Agama
Pelaksanaan putusan pengadilan yang memerlukan pelaksanaan adalah putusan
yang bersifat menghukum (condemnatoir). Pelaksanaan tersebut memerlukan
bantuan dari pihak yang bersengketa, artinya pihak yang bersangkutan harus
68
dengan suka rela melaksanakan putusan pengadilan. Jadi bersedia memenuhi
kewajiban untuk berprestasi yang dibebankan oleh pengadilan melalui
putusannya. Eksekusi dilaksanakan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua
Pengadilan yang dilaksanakan oleh panitera dan jurusita Pengadilan yang
bersangkutan (Amnawaty, 2009: 92).
Apabila pihak yang kalah tidak mau atau lalai melaksanakan putusan pengadilan.
Pihak yang menang dapat mengajukan permohonan kepada ketua Pengadilan
Agama yang memutus perkara, baik secara lisan maupu secara tertulis agar
putusan pengadilan dilaksanakan. Untuk itu ketua pengadilan memanggil pihak
yang kalah serta mengingatkan agar melaksanakan putusan pengadilan selambatlambatnya dalam tenggang waktu 8 (delapan) hari (Pasal 196 HIR dan Pasal 207
RBg). Apabila dalam tenggang waktu 8 hari pihak yang kalah tidak melaksanakan
putusan, maka Ketua Pengadilan Agama membuat suatu penetapan mengabulkan
permohonan eksekusi.
Setelah adanya penetapan eksekusi selanjutnya panitera akan menentukan kapan
eksekusi dilksanakan. Panitera akan membuat surat pemberitahuan tentang
kepastian dari diadakanya eksekusi dan ditujukan kepada pemohon eksekusi,
termohon eksekusi, kepala desa, kecamatan dan kepolisian. Dan setiap perintah
yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Agama dan atau panitera harus dalam
bentuk tertulis dan memperhatikan tenggang waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga)
hari sebelum dijalankan suatu tindakan eksekusi harus disampaikan dan diketahui
pihak tereksekusi (Amnawaty, 2009: 93).
69
Pasal 54 Ayat (2) UU No 48 Tahun 2009, pelaksanaan putusan pengadilan dalam
perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh Ketua
Pengadilan. Dalam Pasal 54 Ayat (3) UU No 48 Tahun 2009 disebutkan Putusan
pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan.
Dan dalam Pasal 55 Ayat (1) UU No 48 Tahun 2009, Ketua pengadilan wajib
mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Dalam Pasal 55 Ayat (2) UU No 48 Tahun 2009, Pengawasan
pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa eksekusi putusan Pengadilan Agama
dilakukan oleh panitera dan jurusita atas perintah Ketua Pengadilan Agama. Hal
ini sejalan dengan eksekusi putusan dalam lingkugan Peradilan Umum. Seperti
yang halnya dalam Pasal 54 UU No 48 Tahun 2009 yang menyatakan pelaksanaan
putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita
dipimpin oleh ketua pengadilan.
Mengenai putusan Basyarnas bersifat final dan mengikat, sementara putusan
Pengadilan Agama tidak, karena masih ada upaya hukum seperti Banding, Kasasi
dan Peninjauan Kembali, dari segi efesiensi penyelesaian sengketa melalui
arbitrase paling lama 180 hari sudah harus putus. Untuk hal apabila pihak yang
kalah tidak melaksanakan dengan sukarela, putusan Basyarnas dapat dimohonkan
ke Pengadilan sesuai dengan SEMA Nomor 8 tahun 2008 menetapkan putusan
Arbitrase Syariah pelaksanaan eksekusinya melalui Peradilan Agama.
70
Penyelesaian sengketa di Basyarnas adalah merupakan penyelesaian sengketa
secara non litigasi. Sementara penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama adalah
secara litigasi. Keduanya sebenarnya tidak jauh berbeda dalam proses beracaranya
maupun putusannya sebab keduanyapun menggunakan irah-irah putusan
”Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. Dan dalam pelaksanaan eksekusi
Pengadilan Agama tidak memerlukan lembaga lain untuk melakukan eksekusi
sedangkan pada Basyarnas eksekusinya harus dimohonkan pada lembaga lain
yaitu Pengadilan Agama.
Download