Ekstraksi Asam Lemak Omega-3 Dari Minyak Ikan

advertisement
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asam Lemak Omega-3
2.1.1 Pengertian asam lemak omega-3
Asam lemak omega-3 merupakan asam lemak dengan banyak ikatan
rangkap. Ikatan rangkap pertama terletak pada atom karbon ketiga dari gugus
metil omega. Ikatan rangkap berikutnya terletak pada nomor atom karbon ketiga
dari ikatan rangkap sebelumnya. Gugus metil omega-3 adalah gugus terakhir dari
rantai asam. Asam lemak omega-3 merupakan turunan dari prekursor
pendahulunya, yaitu asam lemak esensial linoleat dan linolenat. Asam lemak
esensial tidak bisa dibentuk dalam tubuh dan harus dicukupi langsung dari
makanan (Aidos 2002).
Asam-asam lemak alami yang termasuk kelompok asam lemak omega-3
adalah asam linolenat (C18:3), EPA atau Eicosapentanoic acid (C20:5) dan DHA
atau Docosaheksanoic acid (C22:6), sedangkan yang termasuk kelompok asam
lemak omega-6 adalah asam linoleat (C18:2) dan asam arachidonat (C20:4).
Asam lemak ini dinamakan omega-3 dan biasanya disimbolkan dengan n-3 (Wang
et al. 1990). Struktur dari asam omega-3 dapat dilihat dari Gambar 1.
CH3-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-(CH2)7-COOH
Asam Linolenat (C18:3)
CH3-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH(CH2)3-COOH
Asam Eikosapentanoat (C20:5)
CH3-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2-CH=CH-CH2CH=CH-(CH2)2-COOH
Asam Dokosaheksanoat (C22:6)
Gambar 1 Rumus molekul dari asam lemak omega-3 (Ackman 1982).
Asam lemak omega-3 (asam linolenat) ditemukan di dalam tumbuhan dan
minyak tumbuhan, termasuk sayuran, walnut, minyak biji mustard, minyak
kedelai, minyak jagung dan minyak flaxseed (terdiri atas 50% asam linolenat).
Asam
lemak omega-3,
yaitu asam
4
eikosapentanoat
(EPA) dan asam
5
dokosaheksanoat (DHA) ditemukan di dalam alga yang dimakan oleh ikan dan
ikan paus herbivora. Manusia memperoleh asam lemak ini dari mengkonsumsi
ikan (misalnya ikan salmon) (Addis 2000).
Minyak ikan merupakan fraksi lemak yang diperoleh dari ekstraksi ikan
atau sebagai salah satu hasil samping dari industri pengalengan ikan yang
dihasilkan karena pemanasan dan sterilisasi selama proses, sehingga minyak dari
ikan terekstrak dan terbuang bersamaan dengan panas. Minyak ikan dianjurkan
untuk diet kesehatan karena banyak mengandung asam lemak tidak jenuh dengan
banyak ikatan rangkap (PUFA) omega-3, yaitu asam eikosapentanoat (EPA) dan
dokosaheksanoat (DHA) yang bermanfaat bagi tubuh (Aidos 2002).
Minyak ikan umumnya terdiri dari berbagai jenis triasilgliserol berupa
suatu molekul yang tersusun dari gliserol dan asam lemak. Rantai asam lemak
yang terdapat dalam minyak ikan mempunyai jumlah lebih dari delapan belas
atom karbon dan memiliki lima atau enam ikatan rangkap. Kandungan asam
lemak esensial pada minyak ikan yang tinggi meliputi asam linoleat, linolenat,
dan arakhidonat. Hal ini berarti asam lemak esensial itu disebut asam lemak tidak
jenuh karena banyak mengandung ikatan rangkap (85%), sedangkan sisanya
(15%) terdiri atas asam lemak yang jenuh (Rasyid 2001).
Fitoplankton laut merupakan produsen primer omega-3 dalam rantai
makanan. PUFA yang berasal dari organisme laut biasanya ada dalam bentuk
trigliserida, walaupun bisa dalam bentuk lain seperti ester atau fosfolipid (Berge
dan Barnathan 2005). Minyak ikan dari famili Scombroidae, Clupeidae dan
Salmonidae mengandung EPA dan DHA yang paling tinggi. Minyak ikan
mengandung omega-3 lebih tinggi dibandingkan dengan minyak nabati
(Rodriguez et al. 2010). Beberapa jenis asam lemak omega-3 yang terkandung di
dalam minyak ikan dapat dilihat pada Tabel 1.
5
6
Tabel 1 Asam lemak omega-3 yang terkandung di dalam minyak ikan
Nama Umum
Rumus
Nama Kimia
n/a
16:3 (n-3) all-cis-7, 10, 13-hexadecatrienoic acid
α-Linoleat acid (ALA)
18:3 (n-3) all-cis-9, 12, 15-octadecatrienoic acid
Stearidonic acid (SDA)
18:4 (n-3) all-cis-6, 9, 12, 15-octadecatrienoic
acid
Eicosatrienoic acid (ETE)
20:3 (n-3) all-cis-11,
14,
17-eicodecatrienoic
acid
Eicosatetraenoic
acid 20:4 (n-3) all-cis-8, 11, 14, 17-eicotrienoic acid
(ETA)
Eicosapentaenoic
acid 20:5 (n-3) all-cis-5,
(EPA)
8,
11,
14,
17-
16,
19-
eicosatetraenoic acid
Decosapentaenoic
acid 22:5 (n-3) all-cis-7,
(DPA), Clupanodonic acid
Decosahexaenoic
10,
13,
eicosapentaenoic acid
acid 22:6 (n-3) all-cis-4,
(DHA)
7,
10,
13,
16,
19-
decosahexaenoic acid
Tetracosapentaenoic acid
24:5 (n-3) all-cis-9,
12,
15,
18,
21-
decosapentaenoic acid
Tetracosahexaenoic
acid 24:6 (n-3) all-cis-6,
(Nisinic acid)
9,
12,
15,
18,
21-
tetracosenoic acid
Sumber : Holman (1998)
Wang et al. (1990) menyatakan bahwa kandungan minyak ikan dengan
omega-3 tinggi terdapat pada ikan yang hidup pada kadar garam tinggi. Dinginnya
suatu lingkungan hidup ikan tidak menjadikan indikasi dalam menentukan
banyaknya kandungan omega-3.
Banyaknya kandungan asam lemak dalam minyak ikan berbeda tergantung
dari jenis ikan, makanan ikan, tempat hidup ikan, dan lain-lain. Jumlah kandungan
omega-3 terbesar terdapat pada ikan. Minyak ikan merupakan sumber terbaik
asam lemak omega-3. Kadar asam lemak omega-3 pada beberapa jenis ikan per
100 gram daging ikan dapat dilihat pada Tabel 2.
6
7
Tabel 2 Kadar EPA dan DHA pada beberapa jenis ikan
Jenis ikan
Nama umum
g/100 g dari bagian bahan makanan
C20:5n-3 (EPA) C22:6n-3 (DHA)
Scomber scombrus
Mackerel
1,10
2,56
Mullus surmulutes
Red mullet
0,91
1,66
Sardine pilchardus
Sardine
0,62
1,12
Salmon salar
Salmon
0,50
1,00
Thunnus thinnus
Ton
0,24
0,98
Engraulis encrasicolus
Fresh anchovy
0,14
0,80
Pagellus bogaraveo
Sea bream
0,12
0,61
Gadus morrhua
Cod
0,23
0,47
Meriuccius meriuccius
Hake
0,10
0,54
Conger conger
Conger eel
0,15
0,43
Luvarus imperialis
Swordfish
0,15
0,30
Galeorhinus geleus
Dogfish
0,04
0,30
Sumber : Mataix et al. (2003)
Menurut Wanasundara dan Shahidi (1998), kandungan asam lemak tidak
jenuh (PUFA) yang tinggi pada minyak ikan menyebabkan mudah mengalami
kerusakan oksidatif dan menghasilkan bau yang tidak sedap.
Beberapa asam lemak tidak jenuh omega-3 dalam minyak ikan adalah
α-linoleat, asam arakhidonat, EPA dan DHA (Pak 2005). Komponen kimia
minyak ikan lemuru (Sardinella sp.) hasil samping pengalengan ditunjukkan pada
Tabel 3.
Rendemen minyak yang diperoleh dari proses pengalengan ikan lemuru
adalah sebesar 5% (b/b), atau dari pengalengan 1 ton ikan lemuru akan diperoleh
kurang lebih 50 kg hasil samping berupa minyak ikan lemuru. Minyak ikan yang
diperoleh dari proses pengalengan pada umumnya berwarna kuning dengan bau
khas minyak ikan dan tidak terlalu tengik (Setiabudi 1992).
7
8
Tabel 3 Komponen kimia minyak ikan lemuru (Sardinella sp.)
Jenis komponen
Golongan
Jumlah (%)
Pentadecana
Hidrokarbon
2,9
Heptadecana
Hidrokarbon
2,9
2,6,10,14-tetrametil pentadecana
Hidrokarbon
5,39
Tetradecanoic acid
Asam lemak jenuh
4,18
Hexadecanoic acid
Asam lemak tak jenuh
6,8
(Asam Palmitoleat)
tunggal (MUFA)
n-Hexadecanoic acid
Asam lemka jenuh (SFA)
(Asam Miristat)
16,81
(Asama Palmitat)
5,8,11,14,17-Eicosapentaenoic acid
Asam lemak tak jenuh
1,8
ganda (PUFA)
9-Octadecanoic acid
Asam lemak tak jenuh
26,37
(Asam Stearat)
tunggal (MUFA)
Octadecanoic acid
Asam lemak jenuh (SFA)
1,77
Aldehid
0,88
Hidrokarbon
2,25
Hidrokarbon
2,55
Sterol
24,96
(Asam Stearat)
9-Octadecanal
(Oleicaldehyde)
2,6,10,14,18,22-Tetracosahexaene
(Squalene)
Cholesta-3,5-diene
(Squalene)
Lanosterol
Sumber : Oktavia (2010)
Minyak ikan mempunyai beberapa sifat kimia dan sifat fisik. Sifat kimia
minyak ikan tersebut antara lain, mudah beroksidasi dengan udara, mempunyai
sifat aditif karena adanya ikatan-ikatan karbon tidak jenuh dan mempunyai sifat
dapat berpolimerisasi. Sifat fisik minyak ikan adalah mempunyai berat jenis yang
lebih kecil dari berat jenis air, mempunyai derajat kekentalan yang spesifik dan
bersifat tidak larut dalam pelarut kimia seperti eter, benzene dan proteleum eter.
8
9
Selain itu, minyak ikan mempunyai warna kuning muda sampai kuning emas
(Aidos 2002). Sifat fisika kimia minyak ikan komersial disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Sifat fisika dan kimia minyak ikan komersial
Karakteristik
Nilai
Bilangan asam (mg KOH/g)
3,25
Kadar asam lemak bebas (%)
1,49
Bilangan penyabunan (mg KOH/g)
204,81
Sumber : Oktavia (2010)
Oksidasi lemak disebabkan oleh adanya oksigen dan akan menimbulkan
bau yang tidak diinginkan, menyebabkan polimerisasi pada minyak yang
mengandung PUFA dan komponen lainnya. Perubahan ini terjadi dengan atau
tanpa batuan enzim (Gunstone dan Norris 1982).
Oksidasi non-enzimatis terutama disebabkan oleh karena adanya reaksi
radikal bebas yang terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap inisisasi (belum diketahui
secara jelas), propagasi (menghasilkan radikal bebas dari alkena RH dan oksigen)
dan terminasi (terjadi pemecahan hidroperoksida menjadi senyawa sederhana
seperti aldehid dan keton atau asam-asam dengan karakteristik bau dan citarasa
tengik). Tahapan proses oksidasi non-enzimatis adalah sebagai berikut (Nawar
1985) :
Tahapan inisiasi
: produksi radikal bebas (R atat RO2)
Tahapan propagasi : R
+ O2
RO2
RO2 + RH
RO2H + R
Tahapan terminasi : interaksi antara radikal-radikal menghasilkan senyawa noninisiasi dan non propagasi.
Metode untuk pengkayaan omega-3 bermacam-macam, namun hanya
sedikit yang cocok untuk produksi skala besar, diantaranya adalah kromatografi,
destilasi, hidrolisis enzimatis, kristalisasi suhu rendah, ekstraksi fluida superkritik,
dan kompleksasi urea (Shahidi dan Wanasundara 1998).
2.1.2 Peranan asam lemak omega-3
Asam lemak n-3 DHA dan EPA yang merupakan kelompok long chain
polyunsaturated fatty acid (LCPUFA) yang mempunyai peran penting dalam
9
10
perkembangan otak dan fungsi penglihatan. Selain itu, EPA dan DHA juga
berfungsi sebagai pembangun sebagian besar korteks cerebral otak dan untuk
pertumbuhan normal organ lainnya (Felix dan Velazquez 2002).
Asam lemak omega-3 memiliki peranan yang sangat penting dalam
membantu meningkatkan daya ingat bagi para penderita Alzheimer (Cole 2005).
Asam lemak omega-3 dapat berperan dalam pengembangan psikologi klinis dan
penyembuhan berbagai penyakit mental, seperti depresi, deficit hyperactivity
disorder, dan demensia (Freeman et al. 2006; Amminger et al. 2010). Dilaporkan
juga oleh Schuchardt (2010) bahwa asam lemak omega-3 dapat membantu dalam
pengembangan bidang psikologi, yaitu untuk mengetahui tingkat pertumbuhan,
perkembangan dan perilaku serta pertumbuhan anak-anak usia dini, terutama bagi
anak-anak penderita autism spectrum disorders.
Efek kesehatan yang menguntungkan dari asam lemak tidak jenuh dengan
banyak ikatan rangkap (PUFA) n-3 dan berantai panjang khususnya asam
eikosapentanoat pada cis 5,8,11,14,17 dan asam dokosaheksanoat pada cis
4,7,10,13,16,19 adalah kemampuannya untuk menurunkan kadar lanol dalam
darah serta untuk mencegah dan mengatasi beberapa jenis penyakit diantaranya
penyakit jantung koroner, hipertensi, kanker, inflamasi, efek hypotrigliceridemic
dan diabetes (Carvalho et al. 2009).
Asam lemak tidak jenuh dengan banyak ikatan rangkap omega-3
merupakan asam lemak yang esensial untuk manusia karena asam lemak ini tidak
bisa diproduksi oleh tubuh manusia itu sendiri. Oleh karena itu, asam lemak
omega-3 hanya bisa diperoleh melalui makanan yang dikonsumsi langsung oleh
manusia. Asam lemak omega-3 sangat penting untuk membantu fungsi kerja otak,
terutama untuk proses pertumbuhan dan perkembangan otak. Kekurangan asam
lemak omega-3 dalam tubuh manusia dapat menyebabkan kelelahan, daya ingat
lemah, kulit kering, gangguan hati, depresi dan sirkulasi yang tidak teratur
(DeBusk 2007).
Jumlah PUFA yang optimum untuk konsumsi adalah 6-10% dari total
energi yang dibutuhkan setiap hari. Kekurangan PUFA dapat menyebabkan risiko
kanker, menurunkan kekebalan tubuh, meingkatkan risiko trombosisi dan
aterosklerosis,
menurunkan
HDL,
oksidasi
10
dinding
pembuluh
darah,
11
meningkatkan jumlah peroksida, sehingga mempercepat proses penuaan dan
meningkatkan risiko terkena batu empedu (Duthie dan Barlow 1992).
2.2 Deskripsi Ikan Lemuru (Sardinella lemuru)
Ikan lemuru banyak terdapat di perairan Selat Bali dan sekitarnya serta
perairan Indo Pasifik pada umumnya. Bentuk umum ikan lemuru Selat Bali dapat
dilihat pada Gambar 2. Ikan ini termasuk dalam genus Sardinella. Klasifikasi ikan
lemuru Selat Bali adalah sebagai berikut (Dwiponggo 1982) :
Filum
: Chordata
Sub filum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub kelas
: Malacopterygii
Family
: Clupeidae
Genus
: Sardinella
Spesies
: Sardinella lemuru
Gambar 2 Ikan lemuru (Sardinella lemuru).
Ikan lemuru dari perairan Selat Bali dan sekitarnya mempunyai bentuk
badan bulat memanjang, perut agak tipis dan terdapat sisik-sisik duri yang
menonjol tajam. Sirip punggung berjari-jari 16-18, sirip anal 15-16, sirip dada
15-16, sirip perut 9, sirip garis rusuk 44-47 dan sirip ekor bercabang. Panjang
kepala 25-29% daripada panjang baku, tinggi badan 27-31%. Warna bagian atas
biru kehijauan sedangkan bagian bawah putih keperakan dan bagian moncong
agak kehitam-hitaman, serta pada pangkal sirip punggung bagian depan terdapat
noda samar-samar.
11
12
Ikan lemuru termasuk ikan berlemak tinggi dengan kandungan lemak yang
bervariasi. Kandungan lemak yang berbeda ini tergantung pada ukuran ikan,
kedewasaan, musim, makanan dan sebagainya (Moeljanto 1982).
Ikan lemuru (Sardinella sp.) merupakan jenis ikan yang banyak ditemukan
di perairan Indonesia. Ada dua jenis ikan lemuru yang secara ekonomis penting,
yaitu Sardinella sirm dan Sardinella longiceps. Daerah penyebaran Sardinella
sirm terutama di laut Jawa, Tegal dan Pekalongan. Tempat penyebaran ikan
lemuru yang besar di Jawa adalah di daerah Muncar. Muncar merupakan daerah
yang mempunyai produksi perikanan terbesar di daerah Bayuwangi dimana 80%
hasil tangkapannya adalah ikan lemuru (Sardinella longiceps) (Rasyid 2001).
Ikan lemuru termasuk ikan berkualitas rendah dan kurang mendapat
perhatian di Indonesia, harganya relatif rendah dan cepat mengalami penurunan
mutu. Hasil tangkapan ikan lemuru biasanya diolah menjadi ikan kaleng, pindang,
ikan asin dan tepung. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk meningkatkan
nilai tambah ikan lemuru, yaitu dengan pemanfaatan minyak ikan sebagai sumber
yang kaya akan asam lemak tak jenuh majemuk omega-3, dengan isolasi asam
lemak tak jenuh majemuk dari ikan lemuru (Sardinella sp.) melalui dua tahapan
saponifikasi dan fraksinasi dengan urea (Rasyid 2001).
2.3 Ekstraksi Fluida Superkritik
Ekstraksi fluida superkritik (SFE) merupakan teknologi pemisahan
(separasi) yang menggunakan fluida superkritik sebagai pelarut. Setiap fluida
memiliki karakteristik tertentu berdasarkan definisi titik superkritik, yaitu kondisi
ketika terjadinya suhu kritis dan tekanan kritis. Fluida tidak dapat berada dalam
bentuk cair di atas titik kritis walaupun diberikan tekanan, tetapi dapat terjadi
peningkatan densitas mendekati titik cairnya (Sahena et al. 2009a).
Teknik ekstraksi dengan fluida superkritik adalah teknik pemisahan yang
memanfaatkan daya larut dari fluida superkritik pada suhu dan tekanan di sekitar
titik kritis. Tekanan dan suhu yang digunakan dalam ekstraksi merupakan
parameter utama dalam menentukan besarnya daya larut (McHugh dan Krukonis
1986). Suhu kritis adalah suhu maksimum yang dapat mencairkan gas. Tekanan
12
13
kritis adalah tekanan yang diperlukan untuk menyebabkan pencairan pada suhu
kritis (Wankat 2000).
Ekstraksi dengan fluida superkritik merupakan suatu metode operasi yang
memanfaatkan sifat-sifat unik dari pelarut yang berada di atas titik kritiknya untuk
mengekstrak komponen-komponen dari suatu campuran, sebab kondisi tersebut
mempunyai daya melarutkan yang lebih tinggi dan lebih selektif daripada bentuk
cair atau bentuk gas (Rizvi 1999).
Metode ini merupakan perpaduan proses ekstraksi, deodorasi dan
fraksinasi yang menggunakan karbondioksida sebagai pelarut yang ramah
terhadap lingkungan, tidak berbahaya, tidak mudah terbakar, relatif murah dan
memiliki daya larut yang lebih baik dibandingkan dengan pelarut organik
konvensional lainnya (Ya Ping Sun 2002).
Fluida superkritik menunjukkan karakteristik fisika kimia antara sifat
cairan dan gas yang meningkatkan perannya sebagai pelarut. Relatif tingginya
densitas fluida superkritik memberikan kekuatan melarutkan yang baik,
rendahnya nilai viskositas dan difusivisitas menyebabkan kekuatan penetrasi ke
dalam matriks solute dapat diandalkan (Mukhopadhyay 2000).
Proses ekstraksi fluida superkritik dapat bekerja untuk berbagai operasi,
yang tergantung pada sifat alami bahan alam, kondisi operasi dan pelarut yang
digunakan. Prinsip ekstraksi superkritik ini adalah sama dengan proses ekstraksi
biasa, tahap-tahapnya meliputi ekstraksi dengan pelarut, pemisahan pelarut dan
recovery dari pelarut itu sendiri. Pengaturan kembali tekanan dan suhu operasi
maksimum yang disesuaikan dengan kelarutan komponen dalam pelarut
mempengaruhi kesempurnaan suatu proses ekstraksi (Rizvi 1999).
Komponen terpenting dalam fluida superkritik adalah densitas, viskositas,
daya difusi, kapasitas kalor dan konduktivitas panas. Densitas yang tinggi pada
fluida superkritik berkontribusi pada peningkatan kelarutan komponen, walaupun
viskositas
yang rendah menyebabkan penetrasi
ke bentuk
padat
dan
memungkinkan terjadinya aliran dengan fraksi yang rendah. Manipulasi suhu dan
tekanan di atas titik kritis mempengaruhi komponen fluida superkritik dan
meningkatkan kemampuan fluida superkritik berpenetrasi dan mengekstraksi
13
14
molekul target yang berasal dari material yang diinginkan (Sahena et al. 2009a).
Proses ekstraksi dengan fluida superkritik dapat dilihat pada Gambar 3.
Cosolvent
Pemompa
pump
larutan
Pre-heating
coil
Pengukur suhu
Cosolvent
Larutan
Mixer
Pencampur
CO2
CO2Pemompa
pump with
denganjacket
pendingin
cooling
Extraction
Bejana
vessel
ekstraksi
Pemanas
Oven
Perangkap
Cooling
dingin
circulator
Back pressure
Pengatur
tekanan
regulator
balik
Liquidgas
COCO
2 2
Tabung
cylinder
Separator
Separator
CO2 outCO2
Keluaran
Gambar 3 Skema ekstraksi dengan fluida superkritik (Sahena et al. 2010).
Menurut Rizvi (1999), empat komponen utama yang terdapat pada unit
peralatan ekstraksi fluida superkritik (SFE) adalah :
1. Kompresor (pompa) untuk membawa pelarut sampai mencapai tekanan
yang diperlukan.
2. Ekstraktor yang dilengkapi dengan sistem pemanas, misalnya selubung
pemanas (heat mantle).
3. Separator atau absorben yang juga dilengkapi dengan selubung pengatur
suhu.
4. Peralatan pengatur tekanan, pengatur suhu, termocopel serta peralatan
kontrol lain seperti flowmeter, heat exchanger.
Suhu dan tekanan sangat mempengaruhi karakteristik fluida superkritik.
Pemilihan parameter-parameter ini berperan pada perubahan densitas, disfusivitas
dan viskositas. Kelarutan zat bervariasi dengan molekul zat yang dilarutkan dan
struktur zat yang berlainan (Mukhopadhyay 2000).
Proses ekstraksi dengan fluida karbondioksida superkritik biasanya
menggunakan suhu di atas 31 oC dan umumnya tidak kurang dari 40 oC. Suhu
14
15
normal yang digunakan untuk proses ekstraksi adalah 50 oC sampai 60 oC dan
tidak menutup kemungkinan pada suhu 80 oC (King dan Bott, 1993). Tekanan
ekstraktor untuk proses ekstraksi fluida karbondioksida superkritik adalah
1100 sampai 5000 psi. Kondisi proses yang konstan selain laju alir adalah tekanan
dan suhu pada bejana separator yaitu 500 psi dan 25 oC. Tekanan minimal pada
kondisi separasi adalah 500 psi (Rizvi 1999).
Keunikan fluida superkritik untuk proses ekstraksi didukung dengan
tingginya densitas yang menyerupai zat cair, viskositasnya seperti gas.
Perbandingan beberapa sifat fisik cairan, gas dan fluida superkritik dapat dilihat
pada Tabel 5.
Tabel 5 Karakteristik suatu fluida pada berbagai fasa
Fasa Fluida
Densitas (g/cm3)
Difusivitas
Viskositas
(cm2/sec)
(g/cm.sec)
(0,6 - 2) x 10 -3
0,1 - 0,4
(1 - 3) x 10 -4
0,6 - 1,6
(0,2 - 2) x 10 -5
(1 - 3) x 10 -4
Superkritik
0,2 - 0,5
0,7 x 10 -3
(1 - 3) x 10 -4
P = Pc, T = Tc
0,4 - 0,9
0,2 x 10 -3
(3 - 9) x 10 -4
Gas
P = 1 atm
T = 15-30 oC
Cair
P = 1 atm
T = 15-30 oC
P = 4 Pc, T = Tc
Sumber : Rizvi (1999)
Suhu kritis dan tekanan kritis karbondioksida adalah 304 K (31 oC) dan
7,38 MPa (1070,4 psi) (Seader dan Henley 2000). Suhu dan tekanan kritis CO2
berada di atas suhu 31 °C dan 7,38 MPa yang menjadikannya sebagai pelarut
yang ideal untuk proses ekstraksi pada bahan yang bersifat sensitif terhadap
panas. Fluida superkritik merupakan teknik yang menguntungkan dan
memungkinkan untuk digunakan dalam proses ekstraksi (Sahena et al 2009 a).
Pelarut yang digunakan dalam metode superkritik adalah pelarut yang
inert baik terhadap bahan mentah, tubuh manusia maupun terhadap pelarut itu
sendiri pada kondisi ekstraksi. Berbagai studi yang telah dilakukan mengenai
15
16
ekstraksi dengan pelarut superkritik, hanya karbondioksida, etana, etilena, dan
beberapa senyawa dengan fluor, layak digunakan untuk industri (Rizvi 1999).
Faktor pertimbangan lain dalam menentukan pelarut adalah tekanan kritis
yang moderat, densitas yang relatif tinggi, rendahnya suhu kritis, tidak mudah
terbakar, tidak korosif, tidak toksik, mudah didapatkan, murah, aman, viskositas
yang rendah dan difusivitas yang tinggi (Seader dan Henley 2000). Beberapa
pelarut yang umum digunakan sebagai fluida superkritik beserta suhu, tekanan
dan densitas kritisnya disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Kondisi kritis pelarut superkritik
Pelarut
Suhu kritis (K)
Tekanan kritis (Mpa) Densitas kritis (kg/m3)
Metana
192
4,60
162
Etilena
283
5,03
218
Karbondioksida
304
7,38
468
Etana
305
4,88
203
Propilen
365
4,62
233
Propana
370
4,24
217
Ammonia
406
11,3
235
Air
647
22,0
322
Sumber : Seader dan Henley (2000)
Salah satu pelarut superkritik yang sesuai dengan pertimbangan di atas
adalah karbondioksida. Karbondioksida superkritik sangat potensial untuk
memisahkan komponen tertentu yang tidak dapat dilakukan dengan cara lain.
Karbondioksida merupakan pelarut yang tidak menimbulkan pencemaran
(cleaning fluid), tepat diaplikasikan sebagai substitusi pelarut organik yang
seringkali merusak lingkungan sehingga terwujud teknologi yang bersih
(Humphrey dan Keller 2000).
Karbondioksida dapat berada dalam tiga fasa, yaitu gas, cair dan padat.
Karbondioksida dalam keadaan suhu normal berupa gas yang tidak berwarna.
Karbondioksida superkritik berada dalam keadaan di atas suhu dan tekanan
kritisnya seperti yang terlihat pada Gambar 4.
16
17
PADAT
Tekanan
CAIR
FLUIDA
KRITIK
1070 psi
Titik kritik
GAS
31 oC
Temperatur
Gambar 4 Diagram tekanan dan suhu kritis CO2 (Shahidi dan Wanasundara 1998).
Kabondioksida sangat cocok untuk digunakan sebagai pengekstrak dalam
proses ekstraksi superkritik. Keuntungan dari pelarut karbondioksida adalah
sebagai berikut (Mukhopadhyay 2000) :
1. Tidak meninggalkan residu pelarut yang berbahaya
2. Tidak menghilangkan komponen utama dalam bahan
3. Tidak menyebabkan komponen terdegradasi akibat panas
4. Ideal untuk mengekstrak komponen yang labil terhadap panas
5. Energi yang digunakan relatif efisien
6. Lebih mudah untuk memanipulasi selektifitas atau pemisahan dengan
kemurnian tinggi dari suatu produk
7. Tidak mudah terbakar sehingga tidak merusak lingkungan
8. Ekstraksi dilakukan lebih cepat
9. Karakter hasil ekstraksi lebih unggul dibandingkan dengan bahan baku
17
Download