1 Kriminalisasi terhadap Maria (Perempuan Pelaku Aborsi) sebagai Kejahatan Agustin Dea Prameswari dan Mamik Sri Supatmi Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Email: [email protected], [email protected] Abstrak Skripsi ini membahas mengenai pengalaman seorang perempuan bernama Maria, berusia 21 tahun, sebagai perempuan yang mengalami dominasi laki-laki sebagai bentuk empiris struktur patriarki yang kemudian menghasilkan isu moral di dalam masyarakat bahwa aborsi merupakan tindakan pembunuhan anak yang tidak boleh dilakukan oleh perempuan serta mengakibatkan perempuan pelaku aborsi mengalami kriminalisasi. Penelitian ini ditulis dengan menggunakan perspektif feminis kriminologi (feminis radikal, etika feminis, dan hukum feminis), penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus feminis yang memungkinkan peneliti untuk mengetengahkan pengalaman perempuan di dalam isu aborsi. Pada akhirnya, penelitian ini menemukan bahwa kriminalisasi terhadap Maria (perempuan pelaku aborsi) adalah sebuah kejahatan karena telah memberikan penindasan bagi otonomi tubuh perempuan dimana hak kesehatan reproduksi dan seksual perempuan tidak dihormati. Kata kunci:Feminis Kriminologi; Hak Seksual dan Kesehatan Reproduksi Perempuan; Kekerasan terhadap Perempuan; Kriminalisasi; Perempuan Pelaku Aborsi. Criminalization of Maria (Women Abortion) as A Crime Abstract This minithesis discusses the experienced of a woman named Maria, aged 21 years, as a women who experienced male dominance as a form of empirical patriarchal structure which then generates moral issues in society that abortion is an act of child murder that should not be done by women and lead women criminalizing abortion experience. This study was authored by using feminist perspectives in criminology (radical feminist, feminist ethics, and feminist law), this study used a qualitative approach to the type of feminist case study that allows researchers to present the experience of women in the abortion issue. In the end, this study found that the criminalization of Maria (women abortion) is a crime because it has provided for the suppression of women's autonomy body where sexual and reproductive health rights of women are not respected. Keywords: Criminalization;Feminist Criminology; Sexual and Reproductive Health Rights of Women; Violence Against Women; Women Abortion. Kriminalisasi terhada..., Agustin Dea Prameswari, FISIP UI, 2014 2 Pendahuluan Aborsi1 merupakan masalah moral yang dihadapi oleh manusia menyangkut kehidupannya. Kontroversi dari masalah aborsi sudah terjadi sejak lama dan yang menjadi perdebatan adalah perbedaan konsep antara pihak pro-life dan pro-choice, dimana konsep keduanya dikaitkan pada isu moral di dalam aborsi.Moralitas merupakan bagian dari etika, dimana etika selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut cara bertindak yang benar dan salah, hakikat kewajiban moral, dan apa yang disebut sebagai kebaikan hidup. Pertanyaan mendasar dari Aristoteles dalam etika adalah “kehidupan baik yang bagaimanakah yang harus saya jalani?” (Bertens, 2004). Bagi etika feminis2, pertanyaan dasar Aristoteles tersebut hanya dijawab oleh teori-teori etika melalui sudut pandang laki-laki, yaitu kehidupan yang baik menurut sudut pandang lakilaki.Helene Cixous dalam Feminist Thought oleh Rosemarie Tong (2009) menyatakan bahwa yangterjadi selama ini adalah perempuan eksis dalam dunia yang telah didefinisikan oleh lakilaki dan dalam aturan-aturan yang ditetapkan oleh laki-laki. Pertanyaan baru yang kemudian dimunculkan dan berhubungan dengan etika di dalam persoalan aborsi adalah “apakah yang baik untuk perempuan?” Menurut Warren (1973), sepanjang masa akan selalu ada perbedaan pendapat antara mereka yang berpihak pada antilegalisasi aborsi dengan kelompok pro-choice. Kelompok pro-choice menyatakan bahwa perempuan yang melakukan aborsi diluar definisi kapan janin sudah menjadi manusia dan dilakukan berdasarkan pengalaman serta situasi perempuan yang memaksanya untuk melakukan aborsi maka aborsi tetap boleh dilakukan selama aman dan nyaman untuk perempuan. Apa yang dimaksudkan dengan kata aman dan nyaman tersebut adalah aborsi benarbenar berdasarkan keputusan perempuan, aborsi tidak justru memberikan penindasan bagi perempuan, bahkan aborsi tidak mengakibatkan perempuan mengalami kriminalisasi.Warren pun memberikan pertanyaan apakah janin dianggap sebagai manusia dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa janin memiliki moral kemanusiaan? Kemudian apakah moral kemanusiaan dibentuk saat terkonsepsi ataukah saat “manusia” tersebut mempunyai konsep kesadaran diri, 1 Definisi aborsi di dalam penelitian ini adalah tindakan penghentian kehamilan. Menurut peneliti, ada dua macam aborsi, yaitu aborsi spontan atau yang disebut keguguran dan aborsi yang dilakukan oleh perempuan karena kehamilan yang tidak dingiinkan. Aborsi yang dilakukan oleh perempuan karena kehamilan tak diinginkan sebagai akibat dari adanya ketimpangan relasi antara perempuan dengan pasangannyalah (ekonomi, psikologi, sosial, dll) yang dibahas di dalam penelitian ini. 2 Etika feminis adalah sebuah teori etika dengan konsep dasar yang berpihak pada perempuan serta menjamin kebebasan dan hak perempuan. Kriminalisasi terhada..., Agustin Dea Prameswari, FISIP UI, 2014 3 aktivitas, dan komunikasi? (Warren, 1973). Di dalam penelitian ini, peneliti berpihak kepada pandangan Warren bahwa janin tidak dapat dikatakan sebagai manusia sebab janin tidak memiliki konsep kesadaran diri, aktivitas, dan komunikasi. Thomson di dalam tulisannya yang dikutip Christopher Kaczsor (2011) mendefinisikan aborsi sebagai tindakan "mencabut" janin dari diri sendiri dan belum tentu tidak adil bahkan jika janin dalam rahim adalah sepenuhnya seseorang.Tidak diperbolehkannya aborsi disebabkan oleh faktor utama, yaitu mereka yang menolak aborsi berpendapat bahwa diperbolehkannya aborsi sama saja dengan mengesahkan permisifitas seksual di dalam masyarakat, akibatnya dapat mengancam peran keluarga itu sendiri (Brown, 2004). Namun menurut peneliti, permasalahan aborsi adalah permasalahan bagaimana memberikan pilihan bagi perempuan karena aborsi bukan merupakan suatu upaya untuk memaksa perempuan melakukan penghentian kehamilan. Oleh karena itu, bagi perempuan yang tidak percaya bahwa melakukan aborsi adalah tindakan yang benar maka tidak harus melakukannya. Di sisi lain, kontrol eksternal diluar diri perempuan juga tidak memiliki hak untuk menegakkan moralitas mereka pada orang lain dengan mencoba untuk mencegah aborsi berlangsung atau pun memaksa perempuan untuk melakukan aborsi, termasuk di dalamnya adalah keluarga, laki-laki sebagai pasangan perempuan, dan negara. Di Indonesia, aborsi sudah diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa aborsi merupakan tindakan yang dilarang oleh UU, kecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Itupun hanya dapat dilakukan setelah persyaratan yang ditentukan UU dipenuhi. Aborsi yang tidak sesuai dengan ketentuan UU pun merupakan tindak pidana. Namun sayangnya, apabila dilihat lebih lanjut sebenarnya UU ini tidak melihat alasan mengapa terjadi penghentian kehamilan yang dilakukan perempuan. Dengan kata lain, perempuan sebagai pemilik tubuh tidak pernah ditanya mengapa dirinya melakukan aborsi. Penelitian ini ingin memperlihatkan bahwa aborsi bukanlah kejahatan karena merupakan hak perempuan untuk mengontrol otonomi tubuh mereka sendiri. Begitu pula dengan perempuan yang mengalami pemaksaan aborsi, hak mereka untuk memilih dan mengontrol tubuh mereka telah dibatasi. Oleh karena itu, kriminalisasi terhadap perempuan yang melakukan aborsi melalui kebijakan yang dibuat oleh negara merupakan bentuk kejahatan. Hal tersebut dikarenakan bukan Kriminalisasi terhada..., Agustin Dea Prameswari, FISIP UI, 2014 4 pekerjaan pemerintah untuk memberikan keputusan bagi perempuan agar melakukan atau tidak melakukan aborsi melalui hukum legal (Ferguson, 2009). Namun sayangnya, negara memiliki kecenderungan untuk menyebut kesalahan pribadi sebagai kesalahan yang merugikan masyarakat luas. Padahal disebut sebagai kesalahan pribadi karena dampak dari kesalahan yang dilakukan hanya terbatas pada kepentingan dari seseorang saja (Doig, 2011). Hal ini berpengaruh pada anggapan bahwa perempuan yang melakukan aborsi telah meresahkan masyarakat luas dan tindakannya perlu mendapatkan kutukan berupa sanksi pidana yang seberat-beratnya. Tinjauan Teoritis Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah aborsi, hak seksual dan kesehatan reproduksi perempuan, kejahatan, kriminalisasi, dan perempuan pelaku kejahatan. Sedangkan kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah feminis radikal, etika feminis (ethic of care), dan hukum feminis (feminist legal theory & feminist jurisprudence). Wendy Lanier (2009) di dalam buku Abortion menyatakan bahwa isu moral di dalam aborsi menyebabkan perempuan mengahadapi situasi yang sangat sulit untuk memberikan keputusan ketika dirinya harus berhadapan dengan kehamilan tak diinginkan. Di dalam buku tersebut dinyatakan bahwa (Lanier, 2009): The true morality of abortion lies in the informed consent of the pregnant woman. . . . It is immoral to force a woman to carry to term or have an abortion regardless of the circumstances surrounding her pregnancy. (Moralitas sejati aborsi terletak pada persetujuan dari perempuan hamil itu sendiri. . . . Tidak bermoral untuk memaksa seorang perempuan untuk melanjutkan kehamilannya atau melakukan aborsi terlepas dari keadaan sekitar kehamilannya.) Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa moralitas aborsi sebenarnya terletak pada persetujuan perempuan yang mengalami kehamilan itu sendiri. Hunter & Cowan (2007) menyatakan bahwa perempuan sebagai individu memiliki kapasitas penuh untuk membuat suatu persetujuan, bukan persetujuan yang diklasifikasikan atau bahkan dipaksakan oleh pihak diluar perempuan sebagai individu. Perempuan yang mengalami pemaksaan kehamilan dan pembatasan akses aborsi oleh pihak lain selain dirinya, dapat Kriminalisasi terhada..., Agustin Dea Prameswari, FISIP UI, 2014 5 dikatakan sebagai tindakan kekerasan terhadap perempuan karena telah memberikan ketidakberdayaan perempuan untuk menentukan nasibnya sendiri. Lanier (2009) menyatakan bahwa pilihan melakukan aborsi bukanlah pilihan yang mudah bagi perempuan. Kehamilan tak diinginkan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan hal tersebut akan membawa perempuan berada pada situasi stres yang luar biasa. Di dalam situasi tersebut perempuan harus memilih pilihan yang akan sangat berpengaruh bagi kehidupan selanjutnya. Pilihannya pun terbatas, yaitu melanjutkan kehamilan dan membesarkan anaknya, melanjutkan kehamilan dan membiarkan orang lain mengadopsi anaknya atau melakukan aborsi. Ketika perempuan memilih maka dia selamanya harus hidup dengan pilihan tersebut dan tidak ada kata kembali. Kristi Purwandari Adrina, NKE Triwijati, & Sjarifah Sabaroedin (1998), mengutip Catherine A. McKinnon (1989), memaparkan bahwa: …kebijakan mengenai aborsi tidak pernah secara eksplisit didekati secara kontekstual yaitu dengan memperhitungkan situasi dan kondisi waktu seorang perempuan dihamilkan, yaitu dalam situasi dan kondisi yang ditentukan oleh ketidaksetaraan gender; maksudnya sebagai akibat perempuan dipaksa untuk melakukan hubungan seksual. Pernyataan McKinnon tersebut sama seperti yang dipaparkan oleh Hunter & Cowan (2007) bahwa tidak semua perempuan merasa nyaman dengan hubungan seksual yang mereka lakukan, terutama jika hubungan seksual tersebut dilakukan diluar nikah. Di dalam melakukan pilihannya untuk melakukan hubungan seksual tersebut, perempuan tidak secara benar sadar memilih untuk melakukan hubungan seksual diluar nikah namun pilihannya berdasarkan dengan kesadaran semu mereka. Hal tersebut dikarenakan ketakutan di dalam dirinya jika tidak melakukan hubungan seksual sesuai keinginan pasangan mereka. Laki-laki cenderung akan menggunakan paksaan baik fisik maupun verbal, ancaman, bahkan janji-janji manis. Syarifah (2006) di dalam buku Kebertubuhan Perempuan dalam Pornografi menyatakan bahwa seksualitas mempunyai arti yang luas, meliputi hasrat birahi, praktek dan identitas erotis. Syarifah (2006), terkadang term seksualitas juga digunakan untuk mencakup pengetahuan tentang diri kita sendiri sebagai perempuan atau laki-laki (identitas gender atau subjektivitas yang digenderkan). Seksualitas juga diperuntukkan bagi aspek-aspek personal dan kehidupan sosial yang memiliki signifikansi erotis. Pengertian ini menggambarkan bahwa seksualitas adalah Kriminalisasi terhada..., Agustin Dea Prameswari, FISIP UI, 2014 6 konsep yang cair, dapat berubah-rubah dan diubah-ubah karena apa yang dianggap erotis (dan karena itu seksual) tidaklah berlaku umum dan tetap (Syarifah, 2006). Seksualitas tidak hanya terbatas pada “tindakan-tindakan seks” saja, namun term ini juga merujuk pada perasaan-perasaan serta hubungan-hubungan seksual kita, cara-cara kita didefinisikan sebagai mahluk yang „seksual‟-„tidak seksual‟ oleh pihak lain. Begitu pula juga cara-cara kita merumuskan diri kita sendiri dalam pemahaman „seksual‟-„tidak seksual‟. Singkatnya, seksualitas adalah proses sosial yang menciptakan, mengorganisasikan, mengeskpresikan dan mengarahkan hasrat-hasrat seksual kita (Syarifah, 2006).The Beijing Platform for Action 1995, menetapkan bahwa hak asasi manusia termasuk di dalamnya adalah hak perempuan secara bebas dan tanpa paksaan, kekerasan, atau pun diskriminasi untuk memiliki kontrol atas seksualitas mereka sendiri dan keputusan tentang seksualitas mereka, termasuk di dalamnya adalah kesehatan seksual dan reproduksi mereka sendiri. Lanier & Henry (2004) di dalam buku Essential Criminology 2nd Ed, mengutip Barry (1979), bagi feminis radikal, kejahatan merupakan tingkah laku laki-laki, bukan tingkah laku perempuan. Laki-laki memiliki kondisi biologis untuk menjadi pihak yang agresif dan mendominasi. Kejahatan secara sederhana merupakan ekspresi laki-laki untuk mengontrol dan mendominasi yang lainnya (perempuan).Simpson (1989), dikutip oleh Moyer (2001) di dalam buku Criminology Theories: Traditional and Nontraditional Voices and Themes, menyatakan bahwa penting untuk memperhatikan keterkaitan yang kompleks dari gender, kelas, dan opresi ras terhadap kejahatan yang dilakukan oleh perempuan. Singkatnya, sebagian besar teori yang menjelaskan kejahatan memiliki sensitifitas kelas namun tidak memiliki sensifitas terhadap ras dan gender. Box (2003) di dalam buku Power, Crime, and Mystification, mengutip Schur (1989), menyatakan bahwa pendefinisian perilaku kriminal merupakan sesuatu yang dihasilkan melalui proses sosial. Konsekuensinya, perbedaan gender kemudian dapat mengakibatkan perilaku seseorang didefinisikan sebagai kejahatan dengan alasan bahwa tindakan mereka tidak sesuai dengan konsensus atau pun nilai dan norma yang terdapat di dalam masyarakat. Perbedaan seksual di dalam tindakan kriminal kemudian lebih menjadi konstruksi sosial dibandingkan refleksi kenyataan yang berbeda di dalam tindakan kejahatan. Dapat dikatakan bahwa siapakah Anda (who you are) dibandingkan apa yang sebenarnya Anda lakukan (what you actually did) lebih menjadi dasar perilaku seseorang didefinisikan sebagai kejahatan. Melalui pernyataan Kriminalisasi terhada..., Agustin Dea Prameswari, FISIP UI, 2014 7 tersebut, Box (2003) kemudian memaparkan bahwa hal tersebut telah menyebabkan perempuan lebih sulit untuk menolak kriminalisasi, dibandingkan laki-laki. Julia dan Herman Schwendinger (1975) yang dikutip oleh Penny Green & Tony Ward (2004) di dalam buku State Crime: Governments, Violence and Corruption, menyatakan bahwa definisi kejahatan tidak harus bergantung pada argumen hukum legal sebab hukum legal sangat ambigu dan tidak memuaskan di dalam mendefinisikan kejahatan namun lebih baik bergantung pada apa yang kita ambil untuk menjadi tempat fundamental yang mendasari hukum hak asasi manusia. Carol Smart (1995), di dalam bukunya yang berjudul Law, Crime and Sexuality: Essays in Feminism, Chapter 18, menyatakan bahwa: The law is like this room full of men. When it notices women, it inevitably and embodies them. (Hukum adalah seperti ruangan yang penuh dengan laki-laki. Ketika hukum memberikan pemberitahuan tentang perempuan, itu pasti dan dibentuk oleh mereka) Melalui pernyataan Smart tersebut dapat dilihat bahwa perempuan bukan merupakan bagian dari hukum, sebab hukum merupakan bagian dari laki-laki. Perempuan akan hanya menjadi objek hukum dan kemudian akan mendapatkan sanksi hukum yang sangat memberatkan karena dirinya tidak pernah dilibatkan di dalam pembuatan hukum. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Worral, kriminalitas masih dianggap atribut maskulin dan oleh karena itu perempuan pelaku kejahatan akan dianggap sebagai baik 'bukan perempuan' atau 'bukan pelanggar hukum' (Worral, 1990). Feminis radikal lebih memberikan perhatian pada bagaimana tubuh dan seksualitas merupakan konstruksi budaya yang kemudian mengakibatkan tubuh dan seksualitas sebagai objek politik dan sosial (Syarifah, 2006). Syarifah (2006) lebih jauh menjelaskan pandangan feminis radikal dimana bagi perempuan semua pengalaman serta proses-proses kebertubuhannya dilebur ke dalam bingkai perspektif maskulin. Peleburan ini mengabsahkan keberadaan dari persamaan seksual yang didasarkan pada ketidaksetaraan yang mendalam antar jenis kelamin. Peleburan ini kemudian mengakibatkan perempuan sekaligus kehilangan identitas dirinya, otonomi atas tubuhnya sendiri, subjektivitasnya (Syarifah, 2006). Feminis radikal melihat perbedaan jenis kelamin sebagai sesuatu yang mendasar (Lacey, 2004). MacKinnon memaparkan bahwa sex/gender ada bukan karena perbedaan saja tapi juga Kriminalisasi terhada..., Agustin Dea Prameswari, FISIP UI, 2014 8 dominasi, penindasan, dan diskriminasi karena asal-usul dan pemeliharaan perbedaan jenis kelamin terletak pada dominasi didasarkan pada penyalahgunaan kekuasaan seksual dan praktik kekerasan seksual.Rosemarie Tong (2009) memaparkan bahwa para feminis radikal diberdayakan oleh kesadaran akan nasib perempuan yang mendalam, dimana para feminis radikal menyatakan bahwa the personal is political (pribadi adalah politik) dan bahwa semua perempuan adalah saudara. Mereka bersikeras bahwa kontrol laki-laki akan kehidupan seksual dan reproduksi perempuan, identitas diri perempuan, penghormatan diri perempuan, dan harga diri perempuan adalah hal yang paling mendasar dari segala macam penindasan manusia akan satu sama lain.Klaim bahwa penindasan perempuan sebagai perempuan merupakan hal yang sangat mendasar daripada bentuk-bentuk lain dari penindasan manusia sulit untuk dibongkar. ` Para feminis menekankan bahwa sangat penting bagi etika, sebagaimana bidang lainnya, untuk mempertimbangkan pengalaman dan pemikiran moral perempuan. Menurut Carol Gilligan di dalam buku In A Different Voice (1982), dikutip oleh Rosemarie Tong (2009), perempuan lebih menitikberatkan perhatiannnya pada hubungan (connections) dan hubungan antar manusia (relationship) untuk membangun pemikiran moralnya dengan penekanan pada keinginan (wants), kebutuhan (needs), dan kepentingan (interests) orang per orang serta memberikan pilihan pada perempuan atas tubuhnya. Gilligan menyebutnya sebagai ethic of care. Tong (2009) mengutip Gilligan (1982) pun menambahkan bahwa terdapat tiga tingkat pemikiran moral yang mendasari setiap perempuan dalam membuat keputusan untuk melakukan aborsi. Tingkat pertama, perempuan hanya berorientasi pada kepentingannya sendiri; tingkat kedua, perempuan lebih mengutamakan kepentingan orang lain; tingkat ketiga, perempuan telah mengutamakan keseimbangan antara kepentingannya sendiri dan kepentingan orang lain yang sekiranya dapat memberikan kesejahteraan semua pihak pada suatu masalah aborsi (Tong, 2009). Masalah aborsi di dalam ethic of care itu sendiri sebenarnya tidak mencari benar atau pun salah, melainkan menyelidiki masalah yang terjadi kasus per kasus (Tong, 2009). Noddings memberikan pengertian sebagai berikut, bahwa pada awalnya janin adalah sebuah bintik informasi (information speck) yang nantinya akan tumbuh menjadi manusia. Banyak dari bintik tersebut tercipta dan ada tanpa disadari, sehingga janin hanya sekedar menjadi bintik informasi, tidak lebih. Tidak perlu dihargai sebagai individu karena proses terjadinya secara tidak sengaja dan tidak disadari, bahkan merupakan hasil dari hubungan seksual yang tidak bertanggungjawab. Bintik informasi tersebut hanyalah sebuah bintik informasi saja, tidak ada hubungan formal Kriminalisasi terhada..., Agustin Dea Prameswari, FISIP UI, 2014 9 antara perempuan dengan janinnya, tidak juga ada kepastian atas kemungkinan untuk membentuk sebuah hubungan masa depan (Tong, 2009). Keadaan menjadi berbeda ketika bintik informasi tersebut ada dan tercipta dengan kesadaran perempuan dan kasih sayang, maka ia tidak akan hanya menjadi sekedar bintik informasi yang tidak berarti (Tong, 2009). Feminist legal theory menyatakan bahwa jenis kelamin dan karakteristik gender telah menjadi bagian penting di dalam pembentukan hukum yang dibuat oleh institusi formal (Lacey, 1998). Sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Catharina McKinnon, dikutip Nicola Lacey (1998), bahwa pengetahuan mengklaim objektivitas namun sayangnya objektivitas tersebut adalah objektivitas menurut sudut pandang laki-laki.Feminist legal theory saat ini dilakukan dengan cara menganalisis klaim bahwa sex/gender merupakan salah satu hal yang penting di dalam struktur sosial atau poros perbedaan sosial dan hal ini dapat disebut sebagai karakteristik yang mempengaruhi bentuk hukum. Drucilla Cornell dan MacKinnon menyatakan bahwa secara struktural gender memiliki konsekuensi bagi kekuatan perempuan di dalam hukum dan status perempuan sebagai subyek hukum (Lacey, 2004).Apa yang dicari oleh feminist jurisprudence adalah kebenaran dibalik kekuatan hukum yang selama ini dibentuk secara positivistik (Smart, 1989). Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif terhadap perempuan yang mengalami kriminalisasi karena tindakan aborsi yang dilakukannya sebagai akibat dari kehamilan tak diinginkan dan adanya pemaksaan aborsi dari pihak di luar diri perempuan itu sendiri (pasangan). Pendekatan kualitatif3 dipakai untuk mendapatkan informasi mendalam terhadap suatu fenomena. Fenomena yang diangkat adalah fenomena kriminalisasi yang dialami oleh perempuan yang terpaksa melakukan aborsi. Pendekatan kritis pun juga digunakan peneliti di dalam penelitian ini. Pendekatan kritis memberikan garis bawah pada sifat yang berlapis-lapis di dalam realita sosial dimana pada tingkat permukaan yang akan dilihat terkadang hanyalah sebuah ilusi, mitos, dan pemikiran menyimpang. Pendekatan kritis mencatat bahwa masyarakat sering disesatkan, dibuat tunduk 3 Penelitian kualitatif memiliki kelebihan yaitu memiliki fokus yang lebih besar terhadap konstruksi realitas (konstruksi itu sendiri) dan secara khusus konstruksi tersebut hanya akan ditemui melalui turun langsung ke lapangan dan bertemu langsung dengan orang-orang yang mengalaminya (Noaks & Wincup, 2004). Kriminalisasi terhada..., Agustin Dea Prameswari, FISIP UI, 2014 10 pada pesan yang dimanipulasi atau hanya memegang ide-ide palsu. Namun, di bawah tingkat permukaan, pada tingkat yang lebih dalam, sering tersembunyisesuatu yang "nyata" dari realitas objektif (Neuman, 2007). Bagian dari tugas penelitian sosial adalah untuk menanggalkan lapisan permukaan yang hanyalah ilusi atau kebohongan tersebut. Penelitian terhadap perempuan pelaku aborsi ini tergolong ke dalam tipe penelitian studi kasus yang dimana penelitian dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian pada suatu kasus.Menurut Kristi Poerwandari (Poerwandari, 2007), dalam pendekatan/tipe penelitian studi kasus, metode pengumpulan data dapat dilakukan dari berbagai sumber dengan beragam cara, bisa berupa observasi, wawancara, maupun studi dokumen/karya/produk tertentu yang terkait dengan kasus. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa metode untuk mengumpulkan data-data agar dapat dianalisa dengan baik. Metode tersebut diantaranya dengan melakukan wawancara mendalam tidak terstruktur, observasi, dan studi kepustakaan. Peneliti akan mewawancarai subyek yang pernah terpaksa melakukan aborsi dan kemudian berhadapan dengan hukum dengan menggunakan perspektif feminis4. Perbedaan studi kasus metodologi feminis dengan studi kasus yang tidak feminis adalah pendekatan empati, participatory dan wawancara mendalam yang sangat diperlukan dan sangat memperhatikan derai air mata serta isak tangis subyek penelitian yang biasanya dianggap minor namun akan menjadi fokus peneliti karena penindasan memiliki aspek lintas gender dan hanya yang pernah mengalaminya sajalah yang dapat mengkomunikasikannya. Selain itu, yang membedakan juga adalah perempuan sebagai subyek penelitian harus dibuat menjadi merasa nyaman dan percaya bahwa mereka adalah individu yang sangat relevan di dalam penelitian ini. Dengan demikian, peneliti dituntut untuk menjadi sahabat subyek penelitian dan bukan menjadi orang asing bagi mereka (Venny, 2006). Peneliti melakukan pencarian subyek penelitian sejak Oktober 2013 hingga Februari 2014. Sudah terdapat beberapa perempuan pelaku aborsi yang sesuai dengan penelitian ini dan peneliti temukan melalui putusan Mahkamah Agung serta media, namun tidak semua perempuan tersebut berhasil peneliti temui karena hambatan-hambatan yang terjadi. Hambatan tersebut diantaranya adalah birokrasi kepolisian yang sengaja menutup-nutupi kasus dan mempersulit 4 Mengutip Patricia Maguire dari bukunya yang berjudul Doing Participatory Research: A Feminist Approach,feminisme adalah terminologi yang mencakup tiga komponen, yaitu a) keyakinan bahwa secara universal perempuan ditindas, b) komitmen untuk memahami dan mencari akar masalah yang menyebabkan hal itu, dan c) komitmen untuk bekerja secara individual maupun kelompok untuk memperbaiki situasi (Hayati, 2006). Kriminalisasi terhada..., Agustin Dea Prameswari, FISIP UI, 2014 11 birokrasi, perempuan pelaku aborsi yang trauma bertemu dengan orang asing, keluarga dari perempuan aborsi yang takut jika peneliti akan menyebarluaskan kasus tersebut, dan semacamnya. Hingga akhirnya pada tanggal 16 Februari 2014, peneliti datang ke Kupang dan menemui seorang perempuan pelaku aborsi yang ketika itu masih menjalani proses penyidikan di Polres Kupang Kota (Polresta Kupang). Ketika ditemui oleh peneliti, status subyek saat itu masih menjadi tahanan Polresta Kupang dan belum menjalani persidangan apapun. Perempuan sebagai subyek penelitian ini pun menolak untuk diketahui identitas nama sehingga peneliti menggunakan nama Maria sebagai nama samaran atau alias subyek di dalam penelitian ini. Pemilihan Maria sebagai subyek penelitian ini pun berdasarkan pengalaman yang dialami olehnya terkait dengan tindakan pengguguran kandungan yang terpaksa dilakukannya dan kemudian memaksanya untuk berhadapan dengan hukum. Terdapat dua orang narasumber di dalam penelitian ini, yaitu Aipda Nuriyani sebagai Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Kupang dan salah satu penyidik kasus Maria serta Dr. Gadis Arivia Effendi, S.S sebagai seorang feminis radikal yang memahami etika moral seorang perempuan termasuk di dalamnya perempuan yang melakukan aborsi. Pentingnya Aipda Nuriyani sebagai narasumber di dalam penelitian ini adalah untuk memberikan informasi yang semakin lengkap tentang proses kriminalisasi yang dialami oleh Maria sebagai subyek penelitian serta kondisi ekonomi dan kondisi sosial perempuan di Kupang.Alasan peneliti memilih Gadis Arivia adalah peneliti sangat terkesan dengan disertasi yang ditulis olehnya, berjudul “Pembongkaran Wacana Seksis Filsafat Menuju Filsafat Berperspektif Feminis”. Melalui pandangan filsafat feminisnyalah serta karya-karya tulisannya yang memihak kepentingan perempuan akhirnya membuat peneliti memilih Gadis Arivia sebagai narasumber di dalam penelitian ini. Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana sistem patriarki telah membuat Maria mengalami kriminalisasi sebagai perempuan pelaku aborsi dan kriminalisasi tersebut merupakan tindakan kejahatan. Kriminalisasi terhada..., Agustin Dea Prameswari, FISIP UI, 2014 12 Maria adalah seorang perempuan berusia 21 tahun, lahir di Sumba pada tanggal 27 September 1992. Sebagai perempuan, Maria yang hidup di negara yang bersistemkan patriarki telah mengalami relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan yang berdampak pada ketertindasan. Seperti yang dinyatakan oleh Kathleen Daly (2012), mengutip Miller (2002), bahwagender yang diproduksi melalui kekuasaan laki-laki telah mengakibatkan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. MacKinnon di dalam Smart (1989) menyatakan bahwa perempuan tidak dapat menghindari kuasa patriarki yang ada dalam hati, tubuh, dan pikiran kita karena perempuan muncul sebagai sesuatu yang dibangun oleh laki-laki.Patriarki merupakan suatu sistem bertingkat yang telah dibentuk oleh suatu kekuasaan yang mengontrol dan mendominasi pihak lain. Pihak lain tersebut adalah kelompok miskin, lemah, rendah, tidak berdaya, juga lingkungan hidup, dan terutama perempuan (Murniati, 2004). Kenyataannya, dominasi laki-laki terhadap perempuan sebagai bentuk empiris dari struktur patriarki ini dialami oleh Maria di dalam lingkup keluarga, berpacaran, hingga negara melalui hukum legal. Maria bercerita bahwa dia memang tidak diperbolehkan berpacaran oleh bapak dan kedua kakak laki-lakinya tanpa adanya alasan yang jelas, mereka hanya memberikan nasehat untuk Maria berhati-hati jika punya pacar namun bagaimana akan berpacaran jika punya teman laki-laki saja tidak diperbolehkan. “Tentang pacar, Bapak cuma nasehat kalo pacaran boleh tapi jaga diri.. Itu Bapak selalu bahas itu.. tapi saya tetap tidak dibolehkan pacaran. Tidak tahu, pasti selalu bentak.” (wawancara kepada Maria, 17 Februari 2014) “Hehehe saya itu tidak boleh main dengan laki-laki. Setiap mau pergi dengan laki-laki selalu tolak. Iya kak benar…” (wawancara kepada Maria 18 Februari 2014) “Marah-marahlah itu mereka..” (wawancara kepada Maria 18 Februari 2014) Tidak memberikan alasan yang jelas kepada perempuan untuk tidak boleh melakukan sesuatu merupakan bagian dari tindakan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan dianggap tidak mampu berpikir rasional namun emosional sehingga diposisikan sebagai objek. Tidak mampunya perempuan untuk berpikir rasional inilah yang membuat perempuan selalu didefinisikan secara moral, dimana selalu dikaitkan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan tanpa adanya alasan yang jelas namun memaksa perempuan untuk menerimanya sebagai takdir alam. Kriminalisasi terhada..., Agustin Dea Prameswari, FISIP UI, 2014 13 Dominasi berbasis gender pun juga dialami Maria ketika berpacaran dengan pacarnya yang terakhir. Pacar Maria yang terakhir bernama Ardi dan berusia lebih muda satu tahun dari Maria, yaitu 20 tahun. Perkenalan Maria dengan Ardi dimulai pada Desember 2012, ketika Maria sedang berkunjung ke kos temannya dan tiba-tiba dirinya dihampiri oleh Ardi.Sejak perkenalan dengan Ardi tersebut, Maria bercerita bahwa kemudian mereka sering bersama dan setiap hari semakin dekat. Hingga kemudian Ardi yang awalnya berbeda kos dengan Maria pun pindah ke kosan Maria namun berbeda kamar kos. “Dari situ awal perkenalan.. Setiap hari itu selalu bersama..” (wawancara kepada Maria, 17 Februari 2014) Maria bercerita bahwa ketika bersekolah dulu, pacaran hanya sekedar cium atau pegang tangan saja. Tidak seperti dengan Ardi, dimana Maria sudah melakukan hubungan seksual dengannya.Hubungan seksual yang dilakukan oleh Maria bersama Ardi dimulai pada 14 Februari 2013. Berawal dari kemauan Ardi untuk menemani Maria yang saat itu sedang sakit di kosan dan Maria pun mengiyakan. Ketika itu, Maria mengakui bahwa Ardi baik sekali dengannya. Melihat tubuh Maria yang sakit demam, Ardi pun kemudian secara perlahan mengompres kepala Maria agar panas di tubuh Maria cepat turun. Ketika itu, Ardi merayu Maria untuk melakukan hubungan seksual diluar nikah bersamanya. Menurut Maria, hubungan seksual diluar nikah bersama Ardi yang dilakukannya sudah tidak terhitung lagi karena sudah terlalu sering mereka lakukan. Selama melakukan hubungan seksual itu, Maria mengaku di dasar hatinya sebenarnya dia tidak mau melakukan dan selalu menolak namun Ardi selalu memaksa dengan cara merayu sehingga Maria pun mau melakukan sebagai tanda cinta. Penolakan yang dilakukan Maria tersebut karena ketakutannya akan kehamilan tak diinginkan sebagai akibat dari hubungan seksual yang dilakukannya bersama Ardi. Maria takut hamil karena dia merasa belum siap untuk melanjutkan kehamilan tak diinginkannya tersebut. “Kalo hubungan intim itu beta pernah tolak. Maksudya kalo mau berhubungan itu beta tolak. Saya tolak.” (wawancara kepada Maria, 17 Februari 2014) “Tapi saya dipaksa.. Tidak pake kekerasan.. Hanya omongan.. Nggak mengancam.. Dia sangat halus.. Merayu..” (wawancara kepada Maria, 17 Februari 2014) “Iya tolak karena takut hamil..” (wawancara kepada Maria, 17 Februari 2014) Kriminalisasi terhada..., Agustin Dea Prameswari, FISIP UI, 2014 14 “Keganggu..” “Keganggu ya? Tapi karena ada rasa sayang sama Ardi itu, jadi kamu mau?” “Iya..” (wawancara kepada Maria, 17 Februari 2014) Maria mengaku, ketika melakukan hubungan seksual tersebut dirinya selalu dihantui rasa bersalah. Rasa bersalahnya pun semakin membesar setiap teringat dengan salah satu ayat yang terdapat di alkitab, dimana di ayat tersebut disebutkan bahwa perempuan yang melakukan hubungan diluar nikah adalah perempuan pezinah atau perempuan sundal. Apa yang dialami oleh Maria tersebut menunjukkan bahwa Maria sebagai perempuan telah mengalami perampasan kehidupan pribadi dan kebebasan dirinya sebagai individu melalui ketidaksetaraan seksual yang dimilikinya bersama pacarnya, dengan kata lain Maria telah mengalami objektifikasi seksual. Perempuan disini tidak memiliki hak untuk menikmati serta melakukan kegiatan seks yang aman. Hunter & Cowan (2007) menyatakan bahwa tidak semua perempuan merasa nyaman dengan hubungan seksual yang mereka lakukan, terutama jika hubungan seksual tersebut dilakukan diluar nikah. Di dalam melakukan pilihannya untuk melakukan hubungan seksual tersebut, Maria sebagai perempuan tidak secara benar sadar memilih untuk melakukan hubungan seksual di luar nikah namun pilihannya berdasarkan dengan kesadaran semunya. Hal tersebut dikarenakan ketakutan di dalam dirinya jika tidak melakukan hubungan seksual sesuai keinginan pasangan mereka, seperti dipukul, dicampakkan, dimaki, dan semacamnya. Laki-laki cenderung akan menggunakan paksaan baik fisik maupun verbal, ancaman, bahkan janji-janji manis terhadap perempuan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan (Hunter & Cowan, 2007). Pacar Maria memang tidak memberikan ancaman atau pun kekerasan fisik, namun Ardi sebagai laki-laki telah merayu Maria dan mengatasnamakan cinta agar Maria mau melakukan hubungan seksual diluar nikah bersamanya. Ketika Maria memiliki keyakinan untuk melanjutkan kehamilan tak diinginkannya sebagai bentuk tanggung jawabnya, pacarnya justru menolak keinginan Maria untuk melanjutkan kehamilan tak diinginkan tersebut. Maria pun kemudian pada akhir November 2013 mengatakan kepada Ardi untuk memberitahukan kehamilan tak diinginkannya kepada keluarga dan saudara yang berada di Kupang. Ardi sempat berjanji kepada Maria untuk datang ke rumah saudaranya dan bertanggung jawab, namun berhari-hari ditunggu ternyata Ardi tidak juga datang. “Saya stress.. Itu sudah.. Akhirnya yang sorenya itu beta telpon, saya sms dia bilang gini kalau memang sudah seperti ini biar saja beta harus beritahu keluarga, atau kasih tahu Kriminalisasi terhada..., Agustin Dea Prameswari, FISIP UI, 2014 15 di saudara-saudara. Beta sudah bilang begitu, dia bilang ini jangan dulu, nanti besok saya ke rumah..” (wawancara kepada Maria, 17 Februari 2014) Setelah tiga hari menunggu, akhirnya Ardi pun menelepon Maria. Maria pun kemudian merasa tidak mendapat dukungan dari Ardi dan merasa sendirian sehingga selalu dibawa stres dan bingung. Di satu sisi Maria masih membutuhkan Ardi, namun di lain sisi Maria juga ingin melanjutkan kehamilan tak diinginkannya. Maria pun hanya bisa menangis. Sampai akhirnya Ardi menyuruh Maria untuk menghentikan kehamilannya saja. Melalui short messages service (sms) Ardi juga mengatakan bahwa hari-hari kemarin sudah mencari informasi tentang dukun aborsi yang bisa dijangkau biayanya. Tindakan Ardi yang mencari informasi dukun aborsi tersebut menggambarkan bahwa Maria sebagai perempuan tidak dilibatkan ke dalam pengambilan keputusan. Meskipun Maria tahu bahwa aborsi dapat mengakibatkan perempuan meninggal dan merasa takut akan hal tersebut, ketika dalam perjalanan menuju tempat dukun tersebut, Maria sama sekali tidak merasa takut. Maria tidak tahu alasan pastinya, namun dia mengatakan kalau ketika itu pikiran dia sangat kosong dan tidak tahu harus berbuat apa sehingga menurut saja dengan Ardi.Tidak ada rasa takut Maria akan aborsi yang akan dilakukannya bukan karena Maria siap dengan aborsi tersebut, melainkan karena Maria sudah tidak tahu harus berbuat apa lagi dan mempasrahkan seluruh tubuhnya kepada Ardi karena begitu sulitnya Maria sebagai perempuan untuk menentukan sendiri pilihan yang terbaik bagi kesehatannya. Maria tidak hanya dipaksa Ardi untuk mematikan handphone miliknya agar tidak ada keluarga yang menghubunginya, Maria juga disuruh Ardi untuk bermalam di tempat dukun tersebut dan Ardi tidak memberikan kepastian kepada Maria berapa lama Maria harus berada disana. Malam itu juga, perut Maria langsung diurut oleh dukun tersebut. Tidak hanya diurut saja, ternyata Maria juga dimasukkan akar kayu damar ke dalam vaginanya. Namun Maria baru menceritakan hal tersebut di hari terakhir Maria bertemu dengan peneliti. Hal tersebut dikarenakan Maria malu dan setiap mengingat hal tersebut selalu menangis sebab baginya sakit sekali ketika akar kayu damar itu dimasukkan ke dalam vaginanya. Maria yang seolah menutupi pengalamannya yang dimasukkan akar damar ke dalam vaginanya selama berada di tempat dukun, menggambarkan bahwa Maria sebagai perempuan yang sedang melakukan aborsi juga mengalami kesakitan secara fisik hingga tidak mampu untuk mengingatnya lagi bahkan menceritakan kepada orang lain. Kriminalisasi terhada..., Agustin Dea Prameswari, FISIP UI, 2014 16 Di hari ke-4, akhirnya janin Maria pun keluar. Kejadiannya tersebut terjadi pukul 17.00 WITA. Ketika proses keluar janinnya tersebut, Maria bercerita bahwa rasanya sangat sakit sekali dan perih, namun tidak ada ketakutan di dalam diri Maria jika dirinya meninggal. Maria hanya menangis dan pasrah karena pikirannya sudah kosong. Hanya saja, Maria tidak mau melihat janinnya karena kasihan. Dapat dilihat bahwa Maria sebagai perempuan yang mengalami pemaksaan aborsi dari pasangannya kemudian tidak sanggup untuk melihat janin yang telah dihentikan kehidupannya tersebut sebagai rasa bersalah Maria sebagai perempuan. Maria bercerita bahwa tertangkapnya Maria oleh pihak Polresta Kupang karena pelaporan yang dilakukan oleh sepupu kandung Maria. Oleh sepupu laki-lakinya tersebut, Maria dibentak, dimarahi, bahkan hampir dipukul. Sepupu kandung Maria tersebut memaki Maria dan mengatakan bahwa perbuatan yang sudah Maria lakukan sangat keji, tidak pantas, kurang ajar, dan pantas untuk dimasukkan ke dalam penjara. “Di jalan saya hampir di hantam sama dia. Hampir dipukulin di jalan..” (wawancara kepada Maria, 17 Februari 2014) “Maki, maki, maki, dia bilang perbuatanmu terlalu keterlaluan. Keji, tidak berkenan.” (wawancara kepada Maria, 17 Februari 2014) “Biar sudah masuk penjara sudah. Karena saking stresnya dia tuh, dia bawa saya sambil lapor kesini.” (wawancara kepada Maria, 17 Februari 2014) Tindakan yang dilakukan oleh sepupu kandung Maria yang mengatakan bahwa Maria pantas untuk dilaporkan kepada pihak kepolisian atas tindakan aborsi yang dilakukannya serta menghujat dan melakukan kekerasan fisik terhadapnya merupakan gambaran reaksi sosial sebagian besar masyarakat yang hidup di dalam struktur patriarki yang masih menggunakan perspektif laki-laki sehingga tidak melihat pengalaman sulit perempuan dibaliknya dan kemudian menyatakan bahwa perempuan berhak untuk mendapatkan kutukan berupa sanksi pidana atas tindakan aborsi yang dilakukannya karena tindakan tersebut merupaka tindakan yang tidak bermoral. Hal tersebut dikarenakan adanya pemahaman masyarakat di dalam struktur patriarki yang menganggap persoalan aborsi adalah persoalan moral semata dan tidak melihat persoalan sosial, ekonomi, dan kesehatan dibaliknya yang lebih penting. Di Polresta Kupang, Maria dimintai keterangan oleh polisi yang berjaga dan karena sudah malam maka harus menunggu penyidik datang untuk kemudian bersama-sama ke rumah dukun sebagai tempat kejadian perkara (TKP) dan setelah dari sana mereka kembali ke Polresta Kupang Kriminalisasi terhada..., Agustin Dea Prameswari, FISIP UI, 2014 17 sambil membawa dukun. Setelah dari TKP, Maria kemudian dibawa kembali ke Polresta Kupang untuk dimintai keterangan terkait dengan proses penyidikan. Penyidik yang melakukan penyidikan kasus aborsi yang dilakukan Maria adalah tim penyidik dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Polresta Kupang. Tim penyidik yang menangani kasus Maria terdiri dari 4 penyidik, yaitu Aipda Nuriyani, Brigpol Lady Koda, Brigpol Liana Siagian, dan Bripka Ernalia Manhutu. Dimana Aipda Nuriyani sendiri merupakan Kanit PPA Polresta Kupang. Maria mengatakan bahwa keterangan untuk penyidikan hanya dilakukan oleh penyidik satu kali selama sehari penuh. Untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka dibutuhkan barang bukti dan saksi. Peneliti pun menanyakan barang bukti terkait dengan status Maria sebagai tersangka. Selama peneliti berada di Kupang, penyidik serta polisi lain seperti selalu menghindar jika peneliti tanyakan terkait dengan barang bukti yang mereka peroleh di TKP dan akhirnya menjadikan Maria sebagai tersangka. Hingga peneliti kembali pulang ke Jakarta, peneliti terus menghubungi penyidik (Ibu Nuri), namun Ibu Nuri juga selalu menghindar dengan tidak membalas sms serta tidak menerima telpon dari peneliti. Usaha peneliti untuk mendapatkan informasi barang bukti peneliti lakukan sejak 21 Februari 2014, hingga akhirnya 5 Maret 2014, melalui sms Ibu Nuri memberitahukan barang bukti yang mereka dapatkan, yaitu janin yang di aborsi, akar kayu damar sebagai alat untuk melakukan aborsi, dan pakaian yang digunakan Maria. Pihak Polresta Kupang yang menetapkan Maria sebagai tersangka tanpa memahami pengalaman sulit yang dialami oleh Maria serta menceritakan kepada peneliti kronologis tertangkapnya Maria yang berbeda dengan apa yang diceritakan oleh Maria bahkan bukti yang tidak jelas menunjukkan bahwa Maria telah mengalami kriminalisasi akan tindakan aborsi yang dilakukannya. Kisah kronologis yang sengaja dibuat oleh penyidik agar terlihat memang benar Maria tertangkap basah telah melakukan aborsi serta bukti yang sengaja dibuat-buat oleh pihak penyidik pun menunjukkan bahwa aparat hukum secara sengaja memang menginginkan Maria untuk menerima sanksi pidana karena tindakan aborsi yang dilakukannya. Hal tersebut dikarenakan tubuh perempuan lebih digambarkan sebagai penyimpangan yang kemudian hal tersebut mempengaruhi bagaimana hukum memandang perempuan (Richardson & Sandland, 2000). Tim penyidik mensangkakan pasal berlapis terhadap kasus Maria, dengan alasan tindakan pidana yang dilakukan Maria telah menyinggung beberapa ketentuan pasal. Dakwaan pertama Kriminalisasi terhada..., Agustin Dea Prameswari, FISIP UI, 2014 18 yaitu Pasal 80 ayat 3 UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 juncto Pasal 348 ayat 1 KUHP. Pasal 80 ayat 3 UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 itu sendiri secara singkat berbunyi bahwa setiap orang yang melakukan kekerasan dan penganiayaan terhadap anak hingga meninggal akan dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pidana akan ditambah sepertiga jika yang melakukan kekerasan dan penganiayaan adalah orang tuanya (UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak). Pasal tersebut berhubungan dengan Pasal 348 ayat 1 KUHP yang secara singkat berbunyi barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuandengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Sangkaan tersebut diletakkan oleh penyidik di awal karena ancaman pidana pokok yang terberat, yaitu ancaman hukuman 15 tahun penjara. Penyidik pun bersyukur karena Maria serta perempuan pelaku aborsi yang lain di Kupang terjerat UU Perlindungan Anak sebab dengan menggunakan UU tersebut, Maria sebagai perempuan pelaku aborsi dapat ditahan dan mendapatkan sanksi pidana yang sangat berat. Hal itu dikarenakan aborsi sama dengan tindakan penganiayaan terhadap anak hingga meninggal. Ibu Nuri mengatakan dengan semakin lamanya Maria dipenjara akan memberikan efek jera.Maria sendiri tidak pernah diberitahu oleh penyidik seberapa berat ancaman hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya, Maria hanya diberitahu bahwa dirinya terjerat UU Perlindungan Anak dan KUHP. Maria pun memiliki bayangan bahwa ancaman hukuman yang akan diterimanya hanya 5 tahun penjara. Ancaman hukuman yang didapatkan Maria merupakan suatu bentuk dari tindakan aparat hukum yang tidak menghargai suara perempuan melalui perspektif gender. Dimana Maria sebagai perempuan yang melakukan aborsi tidak dikenakan sanksi pidana UU Kesehatan yang di dalamnya sudah mengatur perihal aborsi meskipun kenyataannya UU Kesehatan masih mendiskriminasi, tapi Maria justru dikenakan sanksi dari UU Perlindungan Anak dengan menyatakan bahwa Maria telah secara sengaja membunuh anak. Hal tersebut karena perempuan dianggap sebagai manusia yang seharusnya menjadi ibu dan istri. Aborsi yang dilakukan perempuan kemudian akan dianggap sebagai tindakan yang menghancurkan cinta dan tempat tinggal yang membahagiakan. Maria bercerita bahwa dirinya menyesal dengan aborsi yang sudah dilakukannya. Penyesalan Maria tersebut bukan karena akhirnya dia harus menghadapi proses hukum pidana Kriminalisasi terhada..., Agustin Dea Prameswari, FISIP UI, 2014 19 dan dipenjara, namun karena telah mengecewakan orang tuanya dan keluarga. Maria pun selalu merasa bersalah dan menyalahkan dirinya sendiri. Maria menyesal karena telah menghentikan kehidupan janin yang berada di rahimnya dan merasa bahwa aborsi ternyata bukanlah penyelesaian dari kehamilan tak diinginkan yang tidak dingiinkannya tersebut. Setelah melakukan aborsi pun Maria masih dihantui rasa bersalah dan selalu berlarut dalam kesedihan. Selain itu, trauma juga dirasakan Maria karena Maria tidak berani menceritakan kisahnya kepada laki-laki. Bahkan Maria merasa Tuhan pun membencinya. Kesimpulan Aborsi bukanlah kejahatan melainkan kriminalisasi terhadap perempuan pelaku aborsilah yang merupakan kejahatan sebab perempuan sudah mengalami dominasi laki-laki dalam bentuk subordinasi, objektifikasi, opresi, dan diskriminasi baik oleh masyarakat maupun negara kemudian diberikan pula sanksi pidana yang semakin merusak integritas hidup perempuan secara keseluruhan. Maria telah mengalami kekerasan sebagai akibat dari dominasi laki-laki, perihal moral yang dikonstruksikan oleh pemikiran laki-laki di dalam aborsi, hingga kriminalisasi yang dialami oleh perempuan pelaku aborsi yang telah membuat kehidupan Maria sebagai perempuan hancur. Maria sudah kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan keluarganya, melanjutkan pendidikannya, mengembangkan dirinya, mengalami kesakitan fisik dan terlebih psikis, serta kekerasan lain selama Maria di dalam penjara bahkan kekerasan lainnya ketika dia keluar dari penjara nanti. Hal-hal itulah yang tidak pernah dipikirkan dan sangat merugikan integritas kehidupan perempuan secara keseluruhan. Perempuan yang mengalami kekerasan adalah korban kejahatan, bukan pelaku kejahatan. Saran Hukum yang mengatur aborsi di Indonesia masih merupakan hukum yang diskriminatif terhadap perempuan karena sikap hukum yang masih positivistik sehingga masih sangat bias gender. Dengan demikian, reformasi hukum harus tepat diarahkan untuk memaksimalkan Kriminalisasi terhada..., Agustin Dea Prameswari, FISIP UI, 2014 20 kesempatan penghormatan terhadap perempuan sebagai individu yang sepenuhnya dan meminimalkan kesempatan penindasan terhadap perempuan, terlebih bagi perempuan yang terpaksa melakukan aborsi karena adanya pemaksaan aborsi kepada dirinya dari pihak diluar dirinya (keluarga, pasangan, lingkungan). Selain itu, perlu dilihat juga bagaimana hubungan seksual yang dilakukan oleh perempuan yang melakukan aborsi, apakah hubungan seksual tersebut adalah hubungan seksual yang menindas perempuan atau tidak. Kekerasan terhadap perempuan yang menghancurkan integritas kehidupan perempuan secara meluas dan menyeluruh dapat dicegah apabila masyarakat mau melihat pengalaman perempuan. Daftar Referensi Adrina, Kristi Purwandari; NKE Triwijati; & Sjarifah Sabaroedin. (1998). Hak-hak Reproduksi Perempuan yang Terpasung. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Bertens. (2004). Etika (Ethics). Jakarta: Gramedia. Box, Steven. (2003). Power, Crime, and Mystification. New York: Routledge. Brown, Hayley Marina. (2004). Tesis. ‘A Woman’s Right to Choose’: Second Wave Feminist Advocacy of Abortion Law Reform in New Zealand and New South Wales from the 1970s.University of Canterbury. Daly, Kathleen. (2012). The SAGE Handbook of Criminological Theory Feminist Perspectives in Criminology: A Review with Gen Y in Mind. Sage Knowledge. Doig, Alan. (2011). State Crime. New York: Taylor & Francis e-Library. Ferguson, John. E. (2009). Reproductive Rights. New York: Infobase Publishing. Green, Penny & Tony Ward. (2004). State Crime: Governments, Violence and Corruption. London: Pluto Press. Hunter, Rosemary & Sharon Cowan.(2007).Choice and Consent: Feminist Engagements with Law and Subjectivity. New York: Taylor & Francis e-Library. Kaczor, C. (2011). The Ethics of Abortion: Women’s Rights, Human Life, and the Question of Justice. New York: Routledge. Lacey, Nicola.(2004). Feminist Legal Theory and the Rights of Women. Gender and Human Rights, XII/2, 13-55, Collected Courses of the Academy of European Law. Lanier, Mark M. & Henry Stuart. (2004). Essential Criminology. USA: Westview Press. Lanier, Wendy. (2009). Abortion. London: Gale, Cengage Learning. Murniati, A. Nunuk P. (2004). Getar Gender; Buku Kedua: Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga. Magelang: IndonesiaTera. Neuman, W. Lawrence. (2007). Basics of Social Research: Qualitative and Quantitative Approaches (Second Edition). Pearson Education Inc. Kriminalisasi terhada..., Agustin Dea Prameswari, FISIP UI, 2014 21 Poerwandari, Kristy. E. (2007). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia.Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi UI. Smart, Carol. (1989). Feminism and The Power of Law. London & New York: Routledge. Smart, Carol. (1995). Law, Crime and Sexuality: Essays in Feminism. Sage Publications. Syarifah. (2006). Kebertubuhan Perempuan dalam Pornografi. Jakarta: Yayasan Kota Kita. Tong, Rosemarie. (2009). Feminist Thought: A Comprehensive Introduction (3rd Ed). United States of America: Westview Press. Venny, Adriana. (2006). Pengetahuan Perempuan.Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Warren, M. A. (1973). On the Moral and Legal Status of Abortion. The Monist, Vol. 57, No. 4, 4-6. Worral, Anne. (1990). Offending Women Female Lawbreakers and The Criminal Justice System. London: Routledge. Kriminalisasi terhada..., Agustin Dea Prameswari, FISIP UI, 2014