sistem perlindungan

advertisement
SISTEM PERLINDUNGAN
DAN JAMINAN SOSIAL
(Suatu Kajian Awal)
Disusun oleh:
Yohandarwati
Lenny N. Rosalin
I D G Sugihamretha
Sanjoyo
Utin Kiswanti
Guntur Pawoko
Susiati Puspasari
Fithriyah
Direktorat Kependudukan, Kesejahteraan Sosial, dan
Pemberdayaan Perempuan
BAPPENAS
SAMBUTAN
Perlindungan dan Jaminan Sosial menjadi isu yang perlu dipikirkan
setelah berakhirnya kegiatan Jaring Pengaman Sosial (JPS/Social Safety Net) pada
tahun 2002. JPS dirancang sebagai suatu program penyelematan atau rescue
program untuk mengatasi dampak krisis sosial dan ekonomi yang dialami
Indonesia pada tahun 1997. Target JPS adalah kelompok masyarakat miskin
yang semakin meningkat jumlahnya karena dampak krisis. Paska JPS sampai
sekarang, pemerintah telah mengalihkan beberapa kegiatan yang dibiayai dana
JPS ke kegiatan sektoral yang dibiayai oleh APBN. Hal ini dapat dikenali
terutama dari beberapa kegiatan di sektor kesehatan, pendidikan, keluarga
berencana, dan kesejahteraan sosial.
Sementara itu, kesadaran pemerintah akan perlunya suatu jaminan sosial
terlihat dari pembentukkan suatu Tim Sistem Jaminal Sosial Nasional (Tim
SJSN) melalui Surat Keputusan Presiden RI tahun 2001, yang tujuan utamanya
adalah memfasilitasi terbitnya Undang undang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Adapun kajian awal sistem perlindungan dan jaminan sosial (SPJS)
mengacu kepada amanat UUD 1945 maupun UUD 1945 Amandemen ke IV.
Suatu SPJS juga merupakan bentuk bantuan bagi masyarakat miskin dan rentan
ketika berbagai goncangan terjadi, seperti krisis sosial dan ekonomi tahun 1997
itu. Kerentanan juga dapat ditimbulkan oleh perubahan paradigma internasional
seperti globalisasi yang sangat berkaitan erat dengan daya saing di pasar bebas
internasional. Belum lagi dikaitkan dengan perubahan paradigma di lingkup
dalam negeri, seperti reformasi dan desentralisasi. Semua hal tersebut,
menyebabkan pergeseran tatanan sosial dan lokal. Kerentanan masyarakat, yang
sering berbentuk kemiskinan pada tahap intervensi awal dapat segera diatasi
antara lain dengan akses untuk memperoleh jaminan dan perlindungan sosial.
Dengan demikian hak-hak rakyat untuk memperoleh pelayanan sosial dasar akan
sama dan terjaga di seluruh wilayah NKRI.
Harapan saya, kajian awal yang dilaksanakan oleh Direktorat
Kependudukan, Kesejahteraan Sosial dan Kependudukan secara swakelola ini
dapat menjadi salah satu bahan – di samping hasil studi dan laporan lain yang
dikerjakan berbagai pihak, seperti yang telah diselesaikan oleh Tim SJSN, Depkes
dan Depsos, serta ILO – penyusunan kebijakan pemerintah untuk mewujudkan
suatu Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial Nasional yang mantap dan
berkelanjutan, bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jakarta, April 2003
Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan,
Bappenas
Dra. Leila Retna Komala, MA
i
KATA PENGANTAR
Kajian awal sistem perlindungan dan jaminan sosial (SPJS) dilaksanakan
oleh Direktorat Kependudukan, Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan
Perempuan, sebagai bentuk kegiatan Unit Kerja Eselon II, Bappenas, tahun
anggaran 2002. Semua kegiatan mulai dari persiapan, penyelenggaraanseminar
dan diskusi, interview di pusat dan daerah, sampai dengan penyusunan laporan
dikerjakan dalam tahun anggaran 2002. Penyajian laporan sementara dan
penyempurnaan laporan akhir dikerjakan dalam awal tahun 2003.
Kajian ini dilandasi oleh pentingnya pelayanan dan perlindungan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan UUD 1945 Amandemen II pasal 28
H, ayat 3 menyatakan, bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia bermartabat.
Di samping itu, perubahan keempat UUD 1945, tanggal 10 Agustus 2002, Pasal
34 ayat 2 menyatakan, bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Disadari bahwa kajian SPJS
merupakan langkah awal menuju terwujudnya suatu SPJS nasional yang
terstruktur. Oleh karena itu, kajian ini lebih merupakan suatu pemetaan dari
perlindungan dan jaminan sosial yang ada di Indonesia sampai saat ini, daripada
suatu kajian tentang model SPJS nasional untuk Indonesia. Dengan demikian
hasil kajian awal ini perlu dikembangkan lebih jauh dan diperkaya dengan
berbagai telaah dan studi lain yang berkaitan dengan jaminan dan perlindungan
sosial, untuk sampai kepada suatu bentuk SPJS Nasional yang baik dan tepat
untuk Indonesia.
Pentingnya suatu SPJS nasional sudah mulai disadari banyak kalangan.
Namun, di pihak lain, pertanyaan yang sifatnya meragukan kepentingan SPJS
khususnya di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia juga diutarakan
oleh pihak-pihak yang pesimistik. Beberapa pernyataan mengatakan bahwa SPJS
hanya tepat untuk negara maju yang telah mapan dan mampu membiayai
keperluan masyarakatnya sendiri. Adapula yang menyatakan bahwa kenyataan
yang terjadi di beberapa negara maju justru menyiratkan bahwa suatu SPJS
nasional justru menjadi beban pemerintah. Misalnya, sistem semacam SPJS yang
juga dikenal sebagai social security system dari tahun ketahun memerlukan biaya
yang meningkat karena semakin bertambahnya jumlah penduduk yang perlu
memperoleh perlindungan sosial karena berbagai masalah sosial, seperti
kemiskinan, yang dialami para orang-tua tunggal terutama para wanita kepala
rumah tangga, anak terlantar dan anak jalanan, dan semakin meningkatnya
jumlah penduduk yang menganggur karena semakin sempitnya lapangan kerja
yang ada.
Disadari pula bahwa tersusunnya suatu SPJS nasional memerlukan studi
yang mendalam dan perbaikan sistem yang terus menerus. Oleh karena itu, suatu
SPJS yang diharapkan sangat mungkin baru akan tercapai pada kurun 20-40
tahun kedepan. Negara-negara yang sudah maju, seperti Australia, Jepang, dan
Amerika Serikat dapat mencapai sistem perlindungan dan jaminan sosial bagi
rakyatnya dalam kurun waktu 30 –50 tahun.
ii
Apapun bentuk SPJS Indonesia nantinya, kajian ini diharapkan dapat
menjadi salah satu tonggak awal bagi dasar pijakan pemikiran dan upaya kearah
terwujudnya suatu SPJS yang khusus untuk Indonesia. Dalam jangka pendek,
SPJS dapat dibatasi hanya untuk rakyat miskin saja, namun secara bertahap pada
akhirnya dapat mencakup seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan amant UUD
1945 dan sebagai pemenuhan hak-hak manusia untuk hidup layak. Amin.
Jakarta, April 2003
Direktorat Kependudukan, Kesejahteraan
Sosial dan Pemberdayaan Perempuan,
Bappenas.
iii
ABSTRAKSI
Kajian awal Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial (SPJS) merupakan
kajian baru. Permasalahan yang dihadapi sehingga kajian ini diperlukan adalah:
Berbagai skema perlindungan dan jaminan sosial telah berjalan saat ini namun
penduduk yang dapat menikmati manfaatnya sangat terbatas. Bahkan rakyat
miskin masih belum dapat menikmati jaminan sosial. Sesuai mandat UUD 1945,
pemerintah perlu untuk menata ulang berbagai bentuk perlindungan dan jaminan
sosial yang sudah ada, dan membuatnya menjadi suatu Sistem Perlindungan
Sosial yang lebih utuh dan memberikan efisiensi dan efektivitas yang lebih
optimal. Untuk lebih memahami skema-skema yang ada baik landasan hukum,
cakupan manfaat, penerima manfaat, maupun sistem pendanaannya, perlu
dilakukan pemetaan dan pemotretan sistem perlindungan sosial saat ini.
Temuan dan rekomendasi kajian untuk mengatasi masalah di atas adalah:
(a) bantuan social hanya mencakup sebagian penduduk miskin dan rentan, (b)
asuransi social elum mencakup seluruh penduduk Indonesia (WNI); masih
terbatas bagi pekerja sektor formal (swasta, PNS, dan TNI/Polri), (c) penduduk
miskin yang dicakup adalah around the poverty line atau being transitory poor, (d)
belum ada desain standar minimum untuk berbagai bentuk asuransi dan bantuan
social, (e) pengelolaan SPJS dilakukan oleh banyak lembaga (scattered), dan tidak
integrated, (f) masing-masing lembaga penyelenggara mempunyai landasan
hukum sendiri, dan belum ada suatu undang-undang yang dapat memayungi
secara menyeluruh pada suatu jaminan sosial secara nasional dan terintegrasi (g)
nilai-nilai budaya lokal ada yang telah berfungsi sebagai sistem perlindungan
sosial, dan (f) dari segi cakupan jaminan sosial masih ada beberapa area yang
belum ditanganani oleh skema yang ada.
Rencana pemanfaatan temuan dan rekomendasi dari kajian ini: Hasil dari
kajian ini akan menjadi langkah menuju pengembangan rumusan rekomendasi
bagi kebijakan publik Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial yang lebih utuh,
efisien, dan efektif.
iv
DAFTAR ISI
SAMBUTAN ............................................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................... ii
ABSTRAKSI .............................................................................................................. iv
DAFTAR ISI................................................................................................................v
I. PENDAHULUAN ..............................................................................................1
II. LATAR BELAKANG DAN TUJUAN ...........................................................4
1. Tujuan ...........................................................................................................8
III. METODOLOGI..................................................................................................9
IV. GAMBARAN UMUM SISTEM PERLINDUNGAN DAN
JAMINAN SOSIAL YANG ADA DI INDONESIA ..................................11
1. Pengertian ...................................................................................................11
2. Aspek hukum ..............................................................................................12
3. Target beneficiaries .......................................................................................13
4. Cakupan Manfaat .......................................................................................13
5. Pendanaan (Premi) .....................................................................................13
5.1. Asuransi sosial. .......................................................................................13
5.2 Bantuan sosial. ........................................................................................14
6. Kelembagaan ..............................................................................................14
7. Sistem Jaminan Sosial Nasional ...............................................................14
8. Kaitan SPJS dengan NIK (Nomor Induk Kependudukan) ....................15
V. JAMINAN SOSIAL DI BIDANG KESEHATAN .........................................16
1. Latar belakang ............................................................................................16
2. Landasan hukum ........................................................................................16
3. Konsep dan sistem perlindungan sosial ....................................................17
VI. JAMINAN SOSIAL DI BIDANG KETENAGAKERJAAN......................19
VII. JAMINAN SOSIAL DI BIDANG PENDIDIKAN.....................................23
1. Latar belakang ................................................................................................23
2. Landasan hukum ............................................................................................23
3. Konsep dan sistem perlindungan sosial .......................................................24
4. Identifikasi dan analisis stakeholders ...........................................................25
5. Target beneficiaries .......................................................................................25
VIII. JAMINAN SOSIAL HARI TUA DAN PENSIUN ...................................26
1. Latar belakang ............................................................................................26
2. Landasan hukum ........................................................................................26
3. Konsep dan sistem perlindungan sosial ....................................................27
4. Identifikasi dan analisis stakeholders ........................................................29
5. Target beneficiaries ....................................................................................29
IX. JAMINAN SOSIAL BAGI MASYARAKAT MISKIN DAN
RENTAN ............................................................................................................30
1. Latar belakang ............................................................................................30
2. Landasan hukum ........................................................................................30
3. Konsep dan sistem perlindungan sosial ....................................................31
4. Identifikasi dan analisis stakeholders ........................................................32
v
5. Target beneficiaries ....................................................................................32
X. KAITAN ANTARA SISTEM ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
DAN SPJS NASIONAL ...................................................................................33
1. Pengantar ....................................................................................................33
2. Permasalahan..............................................................................................33
3. Langkah-langkah kebijakan .......................................................................34
4. Konsep nomor induk kependudukan (NIK) ............................................35
5. Hubungan antara konsep NIK dengan SPJS Nasional ...........................36
XI. ANALISA SITUASI DAN SPSJ NASIONAL MASA DEPAN .................38
1. Analisa situasi .............................................................................................38
2. Prinsip kemitraan dan pendanaan berbasis masyarakat .........................38
3. Pemikiran SPJS masa depan .....................................................................39
4. SPJS yang terintegrasi ................................................................................39
5. Peraturan perundangan-undangan............................................................40
XII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .....................................................41
1. Kesimpulan .................................................................................................41
2. Rekomendasi ..............................................................................................42
LAMPIRAN...............................................................................................................44
DAFTAR KEPUSTAKAAN ...................................................................................49
vi
I.
PENDAHULUAN
Pentingnya SPJS dan perubahan pradigma nasional daninternasional
Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar ketiga di dunia setelah
USA dan China. Pada tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia telah mencapai lebih
dari 203 juta orang (BPS, Sensus Penduduk Tahun 2000). Sekitar satu dasa warsa lalu,
jumlah penduduk Indonesia adalah 179,248 juta orang. Dengan demikian laju
pertumbuhan penduduk selama 10 tahun terakhir, 1990-2000 adalah 1,35persen. Laju
pertumbuhan memang semakin menurun mengingat angka pada periode 1980-1990
adalah 1,97 persen, namun secara absolut jumlah penduduk tetap semakin meningkat
dari tahun ketahun.
Kualitas hidup penduduk Indonesia yang saat ini masih tertinggal dibandingkan
kualitas hidup penduduk negara-negara ASEAN. Hal ini antara lain dapat dilihat dari
masih rendahnya nilai Human Development Index (HDI) Indonesia – yang mengukur
tingkat pencapaian keseluruhan kualitas pembangunan manusia yang diukur dari tiga
indikator yaitu umur harapan hidup pada saat lahir, angka melek huruf penduduk
dewasa dan tingkat partisipasi murid sekolah, dan GDP riil per kapita. Berdasarkan
HDR 2002, Indonesia berada pada ranking ke 110 dari 173 negara. Ranking ini jauh
lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN seperti Singapura,
Malaysia, Thailand, Phillipines, dan Vietnam, yang masing-masing berada pada ranking
ke 25, 59, 70, 77, dan 109. Indikator lain yang digunakan untuk menilai pencapaian
kualitas pembangunan manusia adalah Human Poverty Index (HPI) – yang diukur dari
lima indikator yaitu kemungkinan tidak bisa bertahan hidup hingga usia 40 tahun,
angka buta huruf penduduk dewasa, persentase penduduk tanpa akses terhadap air
bersih, persentase penduduk tanpa akses ke fasilitas kesehatan, dan persentase kurang
gizi pada balita. Berdasarkan HDR 2002, peringkat HPI Indonesia berada pada urutan
ke 33 diantara 90 negara berkembang, dan juga masih sangat rendah dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN.
Gambaran kualitas hidup manusia Indonesia di atas, juga tidak lepas dari akibat
krisis multi dimensi yang berkepanjangan yang dialami bangsa ini sejak tahun 1997.
Krisis tersebut menyebabkan munculnya berbagai masalah yang dimensinya meliputi
sosial, ekonomi, fisik, politik, atau bahkan kelembagaan. Akibat krisis, jumlah
penduduk miskin (the poorest dan the poor) terus meningkat, dan pada tahun 2000 jumlah
penduduk miskin mencapai 37,7 juta orang (Sensus Penduduk 2000). Peningkatan
tersebut jika dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1996, adalah sekitar 65,7%.
Peningkatan jumlah kasus secara tajam terutama terjadi di daerah perkotaan.
Hal ini ditunjukkan oleh berbagai masalah seperti meningkatnya jumlah anak jalanan,
meluasnya kawasan kumuh, meningkatnya pertumbuhan sektor informal,
bertambahnya kecenderungan kejahatan kota, kerawanan sosial, dan kriminalitas, serta
berbagai fakta dan fenomena sosial lainnya. Masalah yang juga dikenali meningkat
adalah kerentanan penduduk, terutama penduduk miskin (yang sebelum krisis terjadi
memang sudah miskin), terhadap pemenuhan kebutuhan hidup mereka, yang paling
dasar dan minimal, yaitu terutama pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan.
Krisis juga mengakibatkan sebagian masyarakat: kehilangan pekerjaannya,
menurun daya beli dan pendapatannya, serta menuruna tingkat kesejahteraannya.
Padahal, dengan sebab yang umum, masyarakat dengan sendirinya akan berkurang
pendapatannya karena misalnya, menderita suatu penyakit atau memasuki usia lanjut.
1
Kondisi sulit yang disebabkan oleh penyebab umum seperti itu, semakin menjadi berat
karena adanya dampak dari krisis. Sementara itu, penawar dari keadaan sulit ini hanya
muncul dalam jangka waktu relatif singkat, seperti intervensi masyarakat dalam aksi
sosial untuk berbagai kelompok masyarakat saja, atau intervensi pemerintah dalam
bentuk bantuan beras murah untuk rakyat miskin (raskin), ataupun kegiatan-kegiatan
jaring pengaman sosial dan sejenis. Jalan keluar untuk mengatasi kesulitan hidup
dikalangan masyarakat diatasi dengan program dan proyek yang sifatnya dalam rangka
penyelamatan saja (rescue program) seperti pelaksanaan kegiatan dana bantuan
pendidikan untuk anak sekolah dan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat.
Dampak dari krisis yang menyakitkan dan berkepanjangan tersebut telah membuat
rakyat sengsara tanpa ada suatu sistem yang solid dan berkelanjutan yang dapat
melindungi rakyat dari kesulitan sosial dan ekonomi. Singkatnya, karena tidak adanya
sistem jaminan sosial dan proteksi untuk rakyat, akibat dan dampak dari gejolak
ekonomi dan sosial yang dirasakan rakyat tidak dapat langsung diatasi, dan proses
penyembuhannya memakan waktu lama.
Suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial sungguh perlu dimiliki agar
ketahanan masyarakat dapat terjaga dalam menghadapi shock. Lebih daripada itu,
perlindungan dan jaminan sosial juga diperlukan apabila terjadi hal-hal yang tidak
dikehendaki yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya pendapatan
seseorang, yang disebabkan karena memasuki usia lanjut atau pensiun, sakit, cacat,
kehilangan pekerjaan, terkena bencana alam, dan sebagainya. Jelas bahwa,
perlindungan dan jaminan sosial sangat terkait dengan isu-isu yang kompleks, baik yang
bersifat analitis maupun yang teknis. Untuk itu, untuk membangun suatu ketahanan
masyarakat, diperlukan pertumbuhan yang bersifat terus-menerus (sustainable) dan
pembangunan yang memihak kepada rakyat miskin (pro-poor). Pengalaman banyak
negara
menunjukkan,
bahwa
pertumbuhan
saja
belum
cukup
untuk
mengembangkan/meningkatkan kualias hidup masyarakat.
Pemecahan jangka panjang dari masalah ini sangat tergantung pada keputusankeputusan yang dikaitkan dengan pembangunan nasional secara keseluruhan yaitu,
antara lain, dengan memasukkan penyebab struktural dari kerentanan masyarakat di
atas. Disadari bahwa suatu kebijakan yang lebih diarahkan pada upaya memasukkan
intervensi secara proaktif dalam rangka mengurangi kerentanan tersebut dan
mendorong/mengajak sektor swasta dan masyarakat secara bersama-sama untuk
mengatasi kemiskinan. Dengan demikian, perlindungan dan jaminan sosial seyogyanya
tidak hanya merupakan program pemerintah, tetapi juga merupakan program
masyarakat yang diharapkan mampu memberikan perlindungan dan jaminan sosial
agar setiap warga negara dapat memenuhi kebutuhan dasar minimal hidupnya menuju
terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam
pelaksanaannya, upaya ini tidak akan berhasil jika hanya melibatkan pemerintah saja.
Isu partnership dengan meningkatkan peran kerjasama dengan sektor swasta dan
masyarakat menjadi semakin penting.
Dalam konteks pembangunan suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial
nasional, hal penting yang harus diperhatikan adalah peran dari masing-masing
pemerintah nasional di pusat dan pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten/kota)
dalam perlindungan dan jaminan sosial juga perlu dipertegas. Dengan mengacu kepada
UU No. 22 Tahun 2001, keserasian peran pusat dan daerah menjadi sangat penting,
karena kemampuan dan peran pemerintah daerah dalam sistem ini dapat saja berbeda
satu dan lainnya, tergantung dari arah kebijakan dan terutama kemampuan pembiayaan
masing-masing daerah. Implikasi kebijakan desentralisasi yang telah diberlakukan sejak
2
awal tahun 2001 terhadap pola pengembangan sistem perlindungan dan jaminan sosial
sebenarnya akan menjadi unsur positif bagi daerah, karena kemiskinan di setiap
tingkatan wilayah dapat diatasi secara holistik. Dalam pelaksanaannya, perlindungan
dan jaminan sosial tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan peran pemerintah saja.
Oleh karena itu, isu kerjasama atau partnership melalui peningkatan peran kerjasama
pemerintah dengan sektor swasta dan masyarakat menjadi sangat penting.
3
II.
LATAR BELAKANG DAN TUJUAN
Referensi dasar hukum dan tahap kegiatan dan gambaran SPJS yang diharapkan
1.
Latar belakang
Kesadaran sekaligus pesan bahwa Indonesia memerlukan suatu sistem perlindungan
dan jaminan sosial, telah dinyatakan dalam berbagai dokumen negara. Sebagai
landasan hukum, Undang Undang Dasar 1945, baik pada Pembukaan maupun pada
beberapa Pasalnya, telah memberikan landasan hukum normatif yang kuat,
meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan perlindungan dan jaminan sosial.
Misalnya, dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan, bahwa pembentukan
Pemerintah Negara Indonesia ditujukan:
“... untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”
Selanjutnya, perlindungan dan jaminan sosial yang merupakan hak setiap warga negara
juga diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 27 Ayat 2:
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan”
Diamanatkan kemudian, bahwa diperlukan adanya suatu sistem perlindungan dan
jaminan sosial pada skala nasional sebagaimana diamanatkan pada Pasal 34 Ayat 2
Perubahan UUD 1945 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa,
“Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat ......”
Beberapa pasal di dalam UUD 1945 juga lebih mempertegas pentingnya hidup layak
bagi warganegara, misalnya:
Pasal 27 ayat 2
“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan”
Pasal 31 ayat 1
“Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan”
4
Pasal 34 ayat 1
“Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”.
Selain UUD 1945, dalam Ketetapan MPR RI No. X/MPR/2001 tentang
Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang
Tahunan MPR RI Tahun 2001 yang terkait dengan perlindungan dan jaminan sosial
juga telah menugaskan kepada Presiden RI untuk membentuk suatu sistem jaminan
sosial nasional dalam rangka memberi perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan
terpadu kepada rakyat Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, berbagai kekuatan landasan hukum normatif tersebut
secara tegas telah mengamanatkan upaya perlindungan dan jaminan sosial, terutama
yang dikaitkan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat dan kualitas sumber daya
manusia. Namun demikian, yang menjadi masalah adalah, bahwa hingga saat ini belum
tersedia suatu landasan hukum (misalnya dalam bentuk UU) yang dapat digunakan
sebagai landasan operasional untuk pelaksanaan sistem perlindungan dan jaminan
sosial secara menyeluruh di tingkat nasional.
Beberapa waktu yang lalu, suatu Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim
SJSN) telah dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 20 tahun 2002 tanggal 10
April 2002 tentang Pembentukan Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tim tersebut
saat ini sedang menyusun suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional. Draft Konsep Naskah Akademik tentang SJSN juga sedang
disusun. Kajian yang akan dilakukan Bappenas ini lebih merupakan kajian intern
Bappenas sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan menyusun rekomendasi
kebijakan kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Apa
yang dilakukan oleh Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN) akan merupakan
masukan bagi kajian yang dilakukan oleh Bappenas.
Keputusan Sidang Tahunan MPR RI tahun 2001 menugaskan Presiden untuk
membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan
sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu. Berdasarkan keputusan tersebut, Presiden
mengambil inisiatif menyusun Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional.
Selain itu, melalui Tap. MPR, Pasal 34 (1) tercantum bahwa fakir miskin dan
anak terlantar dipelihara oleh negara, dan melalui perubahan keempat UUD 1945
tanggal 10 Agustus 2002, dengan pengubahan dan/atau penambahan pada Pasal 34 (2),
tercantum bahwa Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat
dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, dalam rangka mempersiapkan konsepsi
dan penyusunan sistem jaminan sosial nasional, dibentuk Tim Sistem Jaminan Sosial
Nasional, melalui Keputusan Presiden RI No. 20 Tahun 2002 Tanggal 10 April 2002
tentang Pembentukan Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional. Keppres ini didahului
dengan Keputusan Sekretaris Wakil Presiden No. 7 Tahun 2001, (pada waktu Ibu
Presiden Megawati Soekarno Putri menjadi Wakil Presiden).
5
Tim SJSN beranggotakan wakil dari berbagai instansi pemerintah, LSM dan
pakar dibidangnya. Dan berdasarkan tugasnya, penanggung jawab Tim SJSN dibagi
dalam 4 kelompok, yaitu: Substansi, Kelembagaan, Mekanisme/Budget, dan
Pembentukan Program Jaminan Sosial. Sistem Jaminan Sosial Nasional yang akan
dibangun bertumpu pada konsep asuransi sosial, dan berdasarkan pada azas gotong
royong melalui pengumpulan iuran dan dikelola melalui mekanisme asuransi sosial.
Pelaksanaannya diatur oleh suatu Undang-Undang dan diterapkan secara bertahap
sesuai dengan perkembangan dan kemampuan ekonomi Nasional serta kemudahan
rekruitmen dan pengumpulan iuran secara rutin. Saat ini, Tim SJSN sedang
memfinalisasi naskah akademis untuk persiapan RUU Sistem Jaminan Sosial. Menurut
rencana naskah akademis diharapkan rampung pada akhir Desember 2002, sedangkan
usulan RUU diperkirakan dapat dimasukkan ke DPR sekitar Juni 2003. Undang
undang Jaminan Sosial nantinya akan menjadi payung bagi suatu Sistem Jaminan
Sosial Nasional (Social Security) yang cocok untuk Indonesia masa datang yang
didalamnya mencakup social insurance dan social assistance.
Disamping dasar berpijak di dalam negeri diatas, di tingkat internasional, secara
universal, perlindungan dan jaminan sosial juga telah dijamin oleh Deklarasi PBB
Tahun 1947 tentang Hak Azasi Manusia. Pemerintah Indonesia seperti banyak negara
lain juga telah ikut menandatangani Deklarasi itu. Secara tegas, Deklarasi itu
menyatakan bahwa;
“... setiap orang, sebagai anggota masyarakat, mempunyai hak atas
jaminan sosial ... dalam hal menganggur, sakit, cacat, tidak mampu
bekerja, menjanda, hari tua ...”
Dasar pertimbangan lain adalah Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952 yang juga
menganjurkan agar semua negara di dunia memberikan perlindungan dasar kepada
setiap warga negaranya dalam rangka memenuhi Deklarasi PBB tentang Hak Jaminan
Sosial.
Pengalaman berbagai negara menunjukkan, bahwa perlindungan dan jaminan
sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah bersama masyarakat di tingkat nasional,
selain dapat memberikan perlindungan dan jaminan sosial bagi seluruh masyarakat,
juga sekaligus membantu untuk menggerakkan roda pembangunan. Berdasarkan
kenyataan yang terjadi beberapa tahun terakhir ini juga membuktikan, bahwa
perlindungan dan jaminan sosial semakin diperlukan jika kondisi perekonomian global
maupun nasional sedang mengalami berbagai krisis (multi dimentional crisis), sehingga
mengancam kesejahteraan rakyat. Untuk itu, salah satu upaya penyelamat dari berbagai
resiko tersebut adalah perlunya dikembangkan suatu sistem perlindungan dan jaminan
sosial yang menyeluruh dan terpadu, sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal
bagi seluruh warga negaranya.
Mengenai pengertian dari perlindungan dan jaminan sosial dapat dijelaskan
melalui beberapa literatur yang ada. Bahkan, dalam rencana pembangunan nasional,
secara tegas menyebutkan bahwa perlindungan dan jaminan sosial merupakan salah
satu langkah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya penanggulangan
6
kemiskinan. Definisi perlindungan dan jaminan sosial yang terdapat pada rencana
pembangunan nasional tersebut diartikan sebagai:
“..suatu langkah kebijakan yang dilakukan untuk memberikan
perlindungan dan rasa aman bagi masyarakat miskin, terutama
kelompok masyarakat yang paling miskin (the poorest) dan
kelompok masyarakat miskin (the poor)”
Menurut ADB, definisi perlindungan dan jaminan sosial adalah sebagai berikut:
“the set of policies and programs designed to promote efficient and effective
labor markets, protect individuals from the risks inherent in earning a living
either from small-scale agriculture or the labor market, and provides a floor
of support to individuals when market-based approaches for supporting
themselves fail”.
Risks yang dimaksudkan di sini adalah yang terutama banyak menimpa/dialami
the poor, dan dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu:
a.
Lifecycle – misalnya cacat, kematian, dan lanjut usia
b.
Economic – misalnya kegagalan panen, penyakit hama, pengangguran,
peningkatan harga kebutuhan dasar, dan krisis ekonomi
c.
Environmental – misalnya kekeringan, banjir, dan gempa bumi
d.
Social/governance – misalnya kriminalitas, kekerasan domestik, dan
ketidakstabilan politik
Selanjutnya, definisi tentang Social Insurance Programs menurut
Folland,
Goodman, dan Stano (1997: Social Insurance Programs) dapat dibedakan ke dalam lima
kategori yaitu:
a.
Poverty – programs that are directed toward persons experiencing poverty involve either the
provision of cash, or more often the subsidized provisions of goods “in kind,” such as rent
vouchers or food stamps.
b.
Old Age - programs that are directed toward the elderly include income maintenance, such
as Social Security, as well as services and considerations (such as old-age housing, Mealson-Wheels) that may address the generally decreased mobility of the elderly.
c.
Disability – programs that generally provide cash benefits.
d.
Health – programs that cover illness or well-care financing and/or provide facilities for
various segments of population. The individual’s health care is financed either entirely or in
part by the government.
e.
Unemployment – programs that generally provide short-term cash benefits.
7
Dari uraian di atas, semakin menegaskan kepada kita bahwa perlindungan dan
jaminan sosial sangat terkait erat dengan masalah kemiskinan, yang selanjutnya
berdampak pula pada penurunan kualitas hidup manusia secara keseluruhan. Untuk itu,
guna mendukung upaya pemerintah dalam memberikan/menciptakan perlindungan
dan jaminan sosial yang lebih utuh kepada setiap warga negaranya, maka pemerintah
perlu menataulang berbagai bentuk perlindungan dan jaminan sosial yang sudah ada,
dan membuatnya menjadi suatu Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial (SPJS) yang
lebih utuh dan memberikan efisiensi dan efektivitas yang lebih optimal.
1.
Tujuan
Guna mendukung upaya pemerintah dalam memberikan/ menciptakan
perlindungan sosial yang lebih utuh kepada setiap warganegaranya, maka pemerintah
perlu menata ulang berbagai bentuk perlindungan sosial yang sudah ada, dan
membuatnya menjadi suatu Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial yang lebih efisien
dan efektif serta yang lebih optimal tanpa mengubah sistem yang sudah ada sekarang
ini.
Sebagaimana tertuang dalam Kerangka Acuan, Bappenas berinisiatif untuk
melakukan kajian awal tentang Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial (SPJS) pada
tahun 2002 dan direncanakan akan dilanjutkan pada tahun anggaran 2003 dan 2004.
Tujuan umum dari kajian awal adalah terwujudnya suatu sistem perlindungan
dan jaminan sosial (SPJS) yang efektif dan efisien bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan
khusus dari kajian ini adalah memetakan dan menyusun bahan-bahan kajian kebijakan
publik dalam upaya mendukung terwujudnya SPJS. Sasaran yang akan dihasilkan
melalui kajian awal adalah terumuskannya bahan rekomendasi kebijakan publik SPJS,
baik ditinjau dari kerangka kebijakan nasional, dan – yang lebih penting lagi sesuai
dengan desentralisasi.
Kajian diawali dengan diskusi antar pihak-pihak terkait dengan isu SPJS. Diskusi
diselegarakan berdasarkan paparan pemikiran para pembicara dari Depkes,
Depnakertrans, Depsos, Depdiknas, dan Depdagri. Hasil sementara dari kajian awal
menunjukkan adanya bentuk-bentuk jaminan dan perlindungan sosial yang bervariasi
dan masing-masing mempunyai landasan hukum sendiri. Jaminan sosial yang ada
adalah Asuransi Kesehatan (Askes), Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
(JPKM), Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), Tabungan Auransi Pegawai Negeri
(Taspen), Asuransi ABRI (Asabri). Namun demikian, terlihat diselenggarakan secara
parsial dari segi perundang-undangan. Belum ada suatu undang-undang yang
memayungi pelaksanaan dan skema jaminan sosial secara menyeluruh dalam suatu
sistem perlindungan dan jaminan sosial nasional.
Adapun bentuk-bentuk jaminan sosial yang ada dikalangan masyarakat dan
merupakan inisiatif mereka antara lain adalah Dana Sehat (micro insurance) yang
diselenggarakan oleh masyarakat dengan koordinasi dokter Puskesmas dan merupakan
kegiatan APBN. Beberapa skema partisipasi masyarakat lain juga dikenali seperti Zakat
(di beberapa daerah) dan sistem pendanaan masyarakat Banjar (di Bali).
Untuk mempertajam kajian ini, beberapa pembicara dari BUMN – PT. TASPEN,
PT. ASKES, dan PT. JAMSOSTEK -- di undang sebagai penyaji paparan dengan
diskusi yang melibatkan pihak pemerintah terkait. Disamping itu, kajian ini juga
mencoba untuk menggali konsep perpajakan yang mungkin dikembangkan guna
mendukung rencana penyusunan dan penataan SPJS melalui interview dengan para
pejabat pemerintah dan pakar terkait.
8
III. METODOLOGI
Cara pengumpulan data dan informasi serta penyusunan laporan
Penyusunan kebijakan SPJS digali berdasarkan bahan-bahan yang telah
dikumpulkan. Setiap kebijakan pada aspek-aspek tersebut yang telah diterbitkan dikaji
pada tataran implementasi serta benefit pada masyarakat tertentu. Pada tataran
kebijakan akan dievaluasi apakah kebijakan tersebut masih relevan pada kerangka
waktu yang sekarang dan yang akan datang. Sehingga diharapkan dapat dirumuskan
suatu rekomendasi kebijakan jaminan sosial untuk menjamin kelangsungan hidup bagi
individu, keluarga dan masyarakat apabila terjadi suatu eksternal shock pada kehidupan
mereka.
Dalam mencapai tujuan dan sasaran penyusunan Sistem Perlindungan dan
Jaminan Sosial sebagaimana diuraikan di atas, maka langkah pertama yang dilakukan
adalah mengumpulkan bahan-bahan kajian kebijakan dan pelaksanaan jaminan sosial di
Indonesia. Ruang lingkup kajian SPJS dan operasional meliputi aspek-aspek life cycle,
economic, environmental, dan social/governance, dan mencakup pula hal-hal yang berkaitan
dengan poverty, old age, disability, health, dan employment. Metoda pengumpulan bahan
dilakukan melalui studi kepustakaan, diskusi, dialog, dan in-depth interview baik dengan
instansi pemerintah di pusat dan daerah, BUMN, pihak swasta dan akademisi.
Serangkaian kegiatan diskusi diselenggarakan bersama dengan para pejabat
pemerintah di pusat (Kementerian/Departemen/LPMD) dan BUMN yang selama ini
telah menyelenggarakan perlindungan dan jaminan sosial baik dalam bentuk asuransi
sosial maupun bantuan sosial, yaitu:
1.
Pemerintah – Depsos, Depdiknas, BKKBN, Depnakertrans, Depkes,
Depkeu, BPHN/Depkeham, dan Depdagri. Diskusi khusus juga
dilakukan dengan Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang dibentuk
berdasarkan Keppres No. 20 Tahun 2002, tanggal 10 April 2005 tentang
Pembentukan Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional.
2.
BUMN – PT Taspen, PT Askes, PT Jasa Raharja, PT Asabri, dan PT.
Jamsostek. Di samping itu, dalam diskusi juga melibatkan wakil
akademisi.
Di samping seminar dan diskusi dilakukan pula dialog dengan Pemerintah
Daerah di 3 kabupaten/kota di 3 propinsi yaitu, Kabupaten Banyumas, Jateng; Kota
Makasar, Sulsel; dan Kabupaten Gianyar, Bali. Tujuan dialog adalah untuk menggali
berbagai potensi dan kearifan lokal yang ada di masing-masing daerah. Dialog atau
lebih dikenal dengan istilah Temu Tukar Pendapat (TTP) yang diselenggarakan dengan
partisipasi para wakil pemerintah daerah mulai dari Bupati, Kepala Bappenda dan dinas
terkait, wakil dari DPRD, serta melibatkan para wakil masyarakat dan perguruan tinggi
setempat. Dalam kesempatan itu, selain membicarkan kegiatan yang telah dilakukan
sampai dengan tahun 2002, juga dibahas, pemikiran kedepan termasuk renczana
kegiatan yang menjadi perhatian mereka.
Kegiatan lain yang diselenggarakan adalah in-depth interview untuk menggali
pemikiran dan pandangan pemerintah dan swasta di sektor terkait. Para pejabat
9
Departemen terkait yang di interview adalah dari Depnakertrans, Depdiknas, Depkes,
Depsos, Depdagri, Depkeham, dan Depkeu. In-depth interview juga dilakukan dengan
beberapa BUMN selaku penyelenggara perlindungan dan jaminan sosial, yaitu PT
Taspen, PT Jasa Raharja, PT Askes, dan PT Asabri (Catatan, interview dengan PT
Asabri ditangguhkan karena berbagai kendala). Tujuan in-depth interview adalah untuk
memperoleh penjelasan dan klarifikasi yang lebih rinci tentang perlindungan dan
jaminan sosial yang diselenggarakan. Di samping itu, juga digali pemikiran dan
pandangan mereka akan SPJS nasional untuk Indonesia.
Kegiatan lainnya adalah menyusun kebijakan SPJS, yang digali berdasarkan
bahan-bahan yang telah dikumpulkan. Setiap kebijakan pada aspek-aspek tersebut yang
telah diterbitkan dikaji pada tataran implementasi serta benefit pada masyarakat
tertentu. Pada tataran kebijakan akan dievaluasi apakah kebijakan tersebut
masih/cukup relevan pada kerangka waktu yang sekarang dan yang akan datang. Pada
akhirnya, diharapkan dapat dirumuskan suatu rekomendasi kebijakan perlindungan
dan jaminan sosial yang ditujukan untuk menjamin kelangsungan hidup bagi individu,
keluarga, dan masyarakat apabila terjadi suatu eksternal shock pada kehidupan mereka.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kajian awal ini lebih merupakan suatu
pemetaan dari skema perlindungan dan jaminan sosial yang ada sampai tahun 2002.
Dengan demikian pada tahap selanjutnya, kemungkinan pada tahun anggaran 2003,
akan dirumuskan suatu kerangka SPJS yang mungkin sesuai dengan keperluan
Indonesia. Kebijakan pada salah satu aspek dapat berpengaruh pada aspek lainnya.
Contohnya, instrumen perlindungan dan jaminan sosial berupa pensiun dan labor
market, tidak mempunyai pengaruh yang menguntungkan pada keluarga yang bekerja
pada sektor informal. Untuk itu, keputusan alokasi resources antar aspek mempunyai
konsekuensi yang penting berkaitan dengan keadilan. Dengan adanya kerterbatasan
public resurces yang tersedia, maka pendekatan yang terintegrasi memberikan arah dalam
pengambilan keputusan alokasi sumberdaya pada aspek-aspek tertentu, sehingga akan
terjadi tradeoff yang berkeadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Sebagai kelanjutan kajian awal ini, pada tahun 2003–2004 diharapkan dapat
disusun suatu draft awal policy paper. Sebagaimana diketahui, bahwa social protection
tidak hanya dilaksanakan oleh Pemerintah. Individu dan rumah tangga, market
institution (asuransi) juga mengadopsi social protection. Dengan demikian, jika
dimungkinkan, akan dilakukan diseminasi policy paper tersebut, serta dialog dengan
pemerintah daerah. Hal ini terutama berkaitan kebijakan desentralisasi yang telah
ditetapkan sejak awal tahun 2001. Bila memungkinkan kegiatan pada tahun 2004, lebih
jauh akan difokuskan pada SPJS untuk rakyat miskin.
10
IV. GAMBARAN UMUM SISTEM
PERLINDUNGAN DAN JAMINAN SOSIAL
YANG ADA DI INDONESIA
Skema perlindungan dan jaminan sosial, dasar hukum, cakupan dan kelembagaan serta
kemungkinan untuk dikaitkan dengan NIK
Gambaran umum sistem perlindungan dan jaminan sosial yang ada di Indonesia
diawali oleh adanya beberapa permasalahan pokok, yaitu, pertama, belum adanya
kepastian perlindungan dan jaminan sosial untuk setiap penduduk (WNI) agar dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya sebagaimana yang diamanatkan dalam perubahan
UUD 1945 tahun 2002, Pasal 34 ayat 2, yaitu “Negara mengembangkan Sistem
Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat”. Perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat
ini belum mampu mencakup seluruh warga negara Indonesia. Misalnya, belum adanya
perlindungan dan jaminan sosial bagi pekerja sektor informal. Masalah kedua adalah
belum adanya satu peraturan perundang-undangan yang melandasi pelaksanaan sistem
perlindungan dan jaminan sosial. Masing-masing jenis perlindungan dan jaminan sosial
yang ada saat ini dilandasi oleh UU dan atau PP yang berbeda-beda. Hal ini selanjutnya
akan menyebabkan penanganan skema perlindungan dan jaminan sosial yang ada
masih terpisah-pisah dan bahkan tumpang tindih. Contohnya – asuransi kesehatan - dicover oleh PT. Jamsostek, PT Askes, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
(JPKM). Dan yang terakhir adalah, bahwa skema perlindungan dan jaminan sosial yang
ada masih terbatas, sehingga benefit (kuantitas dan kualitas) yang diperoleh juga masih
terbatas.
Secara garis besar, berikut ini diuraikan gambaran umum tentang perlindungan
dan jaminan sosial yang ada di Indonesia. Hal-hal tersebut adalah mencakup:
1.
Pengertian
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia saat ini
dikenali banyak pengertian/definisi tentang perlindungan dan jaminan sosial. Misalnya
dalam UU No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial,
dinyatakan bahwa;
“Jaminan sosial sebagai perwujudan dari pada sekuritas sosial
adalah seluruh sistem perlindungan dan pemeliharaan
kesejahteraan sosial bagi WN yang diselenggarakan oleh
Pemerintah dan/atau masyarakat guna memelihara taraf
kesejahteraan sosial”
Sementara itu, dalam UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, disebutkan
bahwa;
11
“Program Asuransi Sosial adalah program asuransi yang
diselenggarakan secara wajib berdasarkan suatu UU, dengan tujuan
untuk memberikan perlindungan dasar bagi kesejahteraan
masyarakat”
Berdasarkan diskusi yang berkembang, telaah referensi, dan dengan didukung
oleh konsep yang dikembangkan oleh Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional, ternyata
pengertian jaminan sosial dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu: asuransi
sosial (social insurance) dan bantuan sosial (social assistance).
Dalam asuransi sosial, seperti halnya konsep asuransi pada umumnya, namun
dalam hal ini bersifat “sosial”, maka besarnya premi merupakan sharing antara pemberi
kerja (yaitu pemerintah atau pengusaha) dan pekerja (PNS atau pegawai) – yang
mempunyai hubungan kerja. Sedangkan bantuan sosial, berupa “bantuan” dalam
bentuk, misalnya, block grant atau emergency fund dengan tujuan sosial.
Dengan mengacu pada pengertian tersebut di atas, maka yang dapat digolongkan
sebagai asuransi sosial yang ada di Indonesia adalah: asuransi kesehatan (Askes),
asuransi bagi anggota TNI/Polri – dulu ABRI (Asabri), jaminan sosial tenaga kerja
(Jamsostek), asuransi kecelakaan (Jasa Raharja), asuransi sosial (masih tahap uji coba
oleh Depsos), dan tabungan asuransi pensiun (Taspen). Sementara itu, yang dapat
digolongkan sebagai bantuan sosial adalah: jaminan kesejahteraan sosial, baik yang
bersifat permanen, bagi lanjut usia terlantar dan cacat ganda terlantar (masyarakat
rentan), maupun yang bersifat sementara (emergency) bagi korban bencana alam dan
bencana sosial; bantuan dana pendidikan berupa beasiswa melalui skema Jaring
Pengaman Sosial (JPS) bagi murid dari keluarga miskin; bantuan dana kesehatan
berupa Kartu Sehat bagi penduduk miskin; bantuan modal usaha, misalnya dalam
bentuk tabungan (misalnya Tabungan Keluarga Sejahtera – Takesra), maupun dalam
bentuk kredit mikro (misalnya Kredit Usaha Keluarga Sejahtera – Kukesra) bagi
keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I (pengelompokan keluarga oleh BKKBN).
2.
Aspek hukum
Landasan hukum perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini masih
bersifat parsial dan belum terpadu. Meskipun Pembukaan UUD 1945, dan beberapa
pasal yang terdapat didalamnya, misalnya Pasal 27 (2), Pasal 31 (1), Pasal 34 (1), dan
Pasal 34 (2) hasil amandemen UUD 1945 pada tanggal 10 Agustus 2002 merupakan
landasan hukum bagi pelaksanaan Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial (SPJS),
namun landasan hukum bagi pelaksanaan operasional untuk seluruh skema
perlindungan dan jaminan sosial adalah masih berbeda-beda. Misalnya, jaminan sosial
di bidang tenaga kerja dilandasi dengan UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja yang mencakup Jaminan Hari Tua, Kematian, Kecelakaan Kerja, dan
Pemeliharaan Kesehatan bagi pegawai swasta, melalui PT. Jamsostek. Sementara itu,
jaminan kesehatan bagi PNS melalui PT Askes dilandasi dengan UU No. 2 Tahun 1992
dan PP No. 69 Tahun 1991. Selanjutnya, jaminan hari tua dan pensiun bagi PNS
melalui PT Taspen dilandasi dengan UU No. 43 Tahun 1999; dan bagi TNI/Polri
melalui PT Asabri dilandasi dengan UU No. 6 Tahun 1966.
12
Dengan adanya produk-produk hukum yang bervariasi, mengakibatkan
banyaknya lembaga yang melaksanakan perlindungan dan jaminan sosial. Hal ini
berlawanan dengan hukum bilangan besar (law of the large number), yaitu dengan
cakupan besar (peserta) maka sebaran resiko (risk distribution) akan lebih merata dan
beban yang dipikul masing-masing peserta (premi) makin kecil.
3.
Target beneficiaries
Jaminan sosial hendaknya diperuntukkan bagi seluruh warga negara Indonesia
sesuai dengan hak warga negara dan HAM. Meskipun demikian, terdapat pemikiran
bahwa dengan keterbatasan keuangan negara, maka: (1) asuransi sosial diperuntukkan
bagi seluruh warga negara Indonesia, sedangkan (2) bantuan sosial hanya bagi
kelompok yang membutuhkan (misalnya penduduk miskin, rentan, dan korban
bencana).
4.
Cakupan Manfaat
Cakupan manfaat yang diperoleh melalui asuransi sosial meliputi: jaminan
kesehatan, jaminan hari tua (JHT), pensiun, jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan
pemutusan hubungan kerja (JPHK), dan santunan kematian. Cakupan manfaat ini
hanya diperuntukkan bagi mereka yang bekerja di sektor formal (swasta – yang
memiliki hubungan kerja), PNS, dan TNI serta Polri. Sedangkan, mereka yang bekerja
di sektor informal belum dapat menikmati manfaat asuransi sosial ini. Padahal kita
mengetahui, bahwa masih banyak tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sektor
informal.
Sementara itu, cakupan manfaat yang diperoleh melalui bantuan sosial meliputi:
bantuan biaya kesehatan (misalnya melalui kartu sehat bagi masyarakat miskin),
bantuan biaya pendidikan (misalnya melalui pemberian beasiswa bagi murid dari
keluarga miskin), bantuan modal usaha (misalnya melalui dana bergulir
Takesra/Kukesra bagi peserta KB dari keluarga Pra KS dan KS I), dan bantuan akibat
bencana (misalnya melalui dana sosial bagi korban bencana alam).
5.
Pendanaan (Premi)
5.1.
Asuransi sosial.
Pembiayaan premi dengan prinsip sharing baik oleh pekerja maupun oleh
pemberi kerja (pemerintah atau pengusaha). Beberapa negara (misalnya Thailand) dapat
memanfaatkan resources dari pajak secara langsung. Bagi perusahaan yang ditunjuk
melaksanakan jaminan sosial, deviden perusahaan seyogyanya dikembalikan kepada
para pembayar premi, misalnya melalui peningkatan pelayanan (sosial, peningkatan
kualitas pelayanan, dll). Selama ini, BUMN pengelola asuransi (seperti PT Askes, PT.
Jamsostek, dan PT Jasa Raharja) mengeluhkan adanya keharusan menyerahkan
deviden kepada pemerintah. Khusus untuk PT Taspen, mengeluhkan tidak adanya
sharing dari Pemerintah selaku pemberi kerja (premi hanya dibayar oleh PNS), sehingga
nilai jaminan hari tua dan pensiun yang diperoleh PNS relatif kecil, karena pembayar
premi hanya oleh PNS.
13
Pengumpulan dana dari premi peserta diharapkan akan menjadi salah satu
sumber tabungan nasional (bagian dari APBN) yang dapat dimanfaatkan sebagai dana
pembangunan. Contoh yang terjadi di Malaysia adalah penggunaan dana Tabungan
Nasional Malaysia (yang diperoleh dari dana premi asuransi sosial) sebagai salah satu
alternatif sumber dana pembangunan ketika Malaysia mengalami krisis ekonomi
beberapa waktu lalu.
Khusus untuk pekerja sektor informal, perlu dipikirkan pengembangan skema
perlindungan dan jaminan sosialnya.
5.2
Bantuan sosial.
Bantuan sosial yang diberikan selama ini belum mencakup seluruh penduduk
(miskin; rentan – lansia terlantar, cacat, anak terlantar, anak jalanan, komunitas adat
terpencil; dan korban bencana). Di samping itu, banyak instansi pemerintah yang belum
melaksanakan skema ini, sehingga pemanfaatannya belum optimal. Bantuan sosial yang
bersumber dari dana masyarakat juga belum dikelola secara optimal.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah perlu dilakukan pengembangan
pemberdayaan masyarakat dan pranata-pranata lokal, misalnya melalui insentif pajak.
Contohnya: pemberdayaan zakat, infaq, dan sodaqoh (Islam), perpuluhan (Kristen) dan
dharma (Hindu), sehingga pembayar zakat, perpuluhan, dan dharma tidak perlu
dikenakan pajak penghasilan. Di samping itu, bentuk-bentuk kearifan lokal yang sudah
ada dan berkembang di masyarakat, perlu terus diperkuat. Misalnya: Banjar di
Kabupaten Gianyar, Bali – yang terkait erat dengan desa adat – melalui iuran dana
kesehatan untuk membantu masyarakat desa adat yang sakit; Tabungan Ibu Bersalin
(Tabulin) di Kabupaten Banyumas, Jateng – melalui sistem tabungan untuk dana
kesehatan terutama untuk biaya persalinan pada saat ibu melahirkan; Bapak Angkat di
Kabupaten Gianyar, Bali – dalam bentuk mutual benefit antara pengusaha (dalam bentuk
kemudahan perijinan dan fasilitas internet) dengan murid dari keluarga miskin (dalam
bentuk pelatihan keterampilan/ kerajinan); dokter kontrak di Kabupaten Gianyar, Bali
– dalam bentuk iuran wajib kesehatan yang dibayarkan oleh kelompok masyarakat
muslim kepada dokter swasta dengan menggunakan sistem kontrak.
6.
Kelembagaan
SPJS merupakan suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial nasional yang
terpadu dengan memperhatikan kearifan lokal. Seyogyanya pengelolaan SPJS dilakukan
oleh satu lembaga (centralized) yang independen, yang antara lain mempunyai otoritas
untuk mengkoordinir, memantau pelaksanaan program, mengelola dana dan investasi,
serta melakukan pemasyarakatan program. Prinsip yang digunakan hendaknya adalah
economic scale dan cost-effectivenes. Dengan otonomi daerah, kelembagaan yang
menangani SPJS diharapkan juga akan melibatkan partisipasi Pemda (termasuk
kelembagaan, aspek hukum, dan keuangan). Kelembagaan SPJS, selain independen,
juga harus merupakan lembaga yang non-profit oriented.
7.
Sistem Jaminan Sosial Nasional
Keputusan Sidang Tahunan MPR RI tahun 2001 menugaskan Presiden untuk
membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan
14
sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu. Berdasarkan keputusan tersebut, Presiden
mengambil inisiatif menyusun Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional.
Selain itu, melalui Tap MPR, Pasal 34 (1) tercantum bahwa fakir miskin dan
anak terlantar dipelihara oleh negara, dan melalui perubahan keempat UUD 1945
tanggal 10 Agustus 2002, dengan pengubahan dan/atau penambahan pada Pasal 34 (2),
tercantum bahwa Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat
dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam rangka mempersiapkan konsepsi dan
penyusunan sistem jaminan sosial nasional, dibentuk Tim Sistem Jaminan Sosial
Nasional, melalui Keputusan Presiden RI No. 20 Tahun 2002 Tanggal 10 April 2002
tentang Pembentukan Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional. Keppres ini didahului
dengan Keputusan Sekretaris Wakil Presiden No. 7 Tahun 2001, (pada waktu Ibu
Presiden Megawati Soekarno Putri menjadi Wakil Presiden).
Tim SJSN beranggotakan wakil dari berbagai instansi pemerintah, LSM dan
pakar di bidangnya. Dan berdasarkan tugasnya, penanggung jawab Tim SJSN dibagi
dalam 4 kelompok, yaitu: Substansi, Kelembagaan, Mekanisme/budget, dan
Pembentukan Program Jaminan Sosial.
Sistem Jaminan Sosial Nasional yang akan dibangun bertumpu pada konsep
asuransi sosial, dan berdasarkan pada asas gotong royong melalui pengumpulan iuran
dan dikelola melalui mekanisme asuransi sosial. Pelaksanaannya diatur oleh suatu
Undang-Undang dan diterapkan secara bertahap sesuai dengan perkembangan dan
kemampuan ekonomi Nasional serta kemudahan rekruitmen dan pengumpulan iuran
secara rutin.
Diharapkan di masa yang akan datang, Indonesia mempunyai suatu sistem
Jaminan sosial (social security), yang di dalamnya mencakup social insurance dan social
assistance, yang dilindungi Undang-Undang.
Saat ini, Tim SJSN sedang memfinalisasi naskah akademis untuk persiapan
RUU Sistem Jaminan Sosial. Diharapkan RUU SJSN dapat dirampungkan sebelum
bulan Desember 2002.
8.
Kaitan SPJS dengan NIK (Nomor Induk Kependudukan)
Sistem dan software administrasi kependudukan yang saat ini sedang
dikembangkan oleh Ditjen. Administrasi Kependudukan – Depdagri (dengan daerah uji
coba di Kota Menado – Sulut) diharapkan akan menjadi modal utama sistem
komputerisasi SPJS di masa datang. Dalam sistem ini, setiap penduduk yang baru lahir
akan memperoleh satu nomor penduduk yang tunggal atau unique. Dengan demikian,
nomor ini nantinya akan merupakan semacam social security number bagi setiap
penduduk. Dengan memiliki satu nomor penduduk yang tunggal atau unique, maka
akan mempermudah dalam pengelolaan SPJS, khususnya dalam penentuan target
beneficiaries dan perkiraan pendanaan (yang akan dicover oleh pemerintah).
Untuk masing-masing bentuk perlindungan dan jaminan sosial yang ada di
Indonesia akan diuraikan pada masing-masing Bab berikut ini.
15
V. JAMINAN SOSIAL DI BIDANG KESEHATAN
Skema jaminan sosial untuk kesehatan dan macam kegiatan APBN sektor
kesehatan yang berkaitan dengan perlindungan sosial
1.
Latar belakang
Kesehatan yang baik dan prima memungkinkan seseorang hidup lebih produktif
baik secara sosial maupun ekonomi. Oleh karena itu, kesehatan menjadi salah satu hak
dan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, agar setiap individu dapat berkarya dan
menikmati kehidupan yang bermartabat.
Saat ini jasa pelayanan kesehatan makin lama makin mahal. Tingginya biaya
kesehatan yang harus dikeluarkan oleh perseorangan, menyebabkan tidak semua
anggota masyarakat mampu untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Selain
itu, kemampuan pemerintah untuk mensubsidi pelayanan kesehatan sangat rendah.
Tanpa sistem yang menjamin pembiayaan kesehatan, maka akan semakin banyak
masyarakat yang tidak mampu yang tidak memperoleh pelayanan kesehatan
sebagaimana yang mereka butuhkan.
Dengan kecenderungan meningkatnya biaya hidup, termasuk biaya
pemeliharaan kesehatan, diperkirakan beban masyarakat terutama penduduk
berpenghasilan rendah akan bertambah berat. Biaya kesehatan yang meningkat akan
menyulitkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya,
terutama bila pembiayaannya harus ditanggung sendiri (out of pocket) dalam sistem fee for
services.
Sistem fee for service untuk sistem pelayanan kesehatan menyebabkan masyarakat
sulit menjangkau pelayanan kesehatan yang layak. Namun, apabila hendak ikut
asuransi, tidak banyak masyarakat yang mampu membayar biaya premi. Sebagai
contoh, pada tahun 1995, biaya rawat inap pasien di rumah sakit selama lima hari
menghabiskan 1,4 kali rata-rata pendapatan sebulan penduduk DKI Jakarta. Tahun
1998 biaya ini melonjak menjadi 2,7 kali. Apabila biaya tersebut tidak ditanggung oleh
kantor atau asuransi, berarti biaya rumah tangga orang yang bersangkutan akan tersedot
untuk membayar perawatan di rumah sakit. Pertanyaannya adalah bagaimana dan apa
yang terjadi dengan penduduk miskin apabila mereka sakit, sementara biaya kesehatan
makin meningkat dari waktu ke waktu.
Sehubungan dengan penjelasan tersebut di atas, keberadaan sistem asuransi
kesehatan yang mencakup seluruh penduduk mendesak untuk diwujudkan. Jika tidak,
akan banyak penduduk terutama penduduk miskin akan mengalami kesulitan untuk
dapat mengakses pelayanan kesehatan, apalagi pada saat perdagangan bebas di sektor
jasa mulai diberlakukan.
2.
Landasan hukum
Undang Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan konstitusi WHO
menetapkan bahwa kesehatan adalah hak fundamental setiap individu. Oleh karena itu,
negara bertanggungjawab untuk mengatur agar hak hidup sehat bagi penduduknya
16
dapat terpenuhi. MPR RI melalui perubahan keempat UUD 1945, tanggal 10 Agustus
2002, telah melakukan pengubahan dan/atau penambahan pada Pasal 34 ayat 2 yang
menyatakan bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat
dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan”. Keputusan MPR RI tersebut menjadi landasan yang kuat bagi
dikembangkannya suatu sistem jaminan kesehatan bagi keluarga miskin (JPK – Gakin)
yang terkait dengan penyelenggaraan sistem jaminan kesehatan yang selama ini telah
dilaksanakan yaitu Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas), yang menjadi bagian dari
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Selanjutnya, juga terdapat Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
527/Menkes/Per/ VII/1993 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
(JPKM) yang mencantumkan adanya suatu paket pemeliharaan kesehatan yang berisi
kumpulan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh suatu badan penyelenggara
dalam rangka melindungi dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, yang
meliputi rawat jalan, rawat inap, gawat darurat, dan penunjang.
3.
Konsep dan sistem perlindungan sosial
Sejak tahun 1998, pemerintah telah membiayai pemeliharaan kesehatan dengan
memprioritaskan bagi keluarga miskin (Gakin), yaitu melalui program jaminan
pemeliharaan kesehatan keluarga miskin (JPK-Gakin). Cakupan JPK-Gakin meliputi
pelayanan kesehatan dasar, yang kemudian diperluas untuk pelayanan pencegahan dan
pemberantasan penyakit menular (khususnya malaria, diare, dan TB paru). Kemudian,
pada akhir tahun 2001 Pemerintah menyalurkan dana subsidi bahan bakar minyak
untuk pelayanan rumah sakit (RS) bagi keluarga miskin. Program ini diselenggarakan
untuk mengatasi dampak krisis yaitu dengan cara memberikan pelayanan kesehatan
gratis bagi keluarga miskin melalui subsidi biaya operasional puskesmas, bidan di desa
(BDD), gizi, posyandu, pemberantasan penyakit menular (P2M), dan rujukan rumah
sakit.
Dengan perkembangan waktu, dan dalam rangka memelihara derajat kesehatan
masyarakat dalam keterbatasan pembiayaan kesehatan sebagaimana diulas di atas,
maka dirancang beberapa konsep dan sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang
kesehatan (Sumber: Bahan Sidang Kabinet 6 Januari 2003 oleh Menteri Kesehatan),
yaitu :
a.
Pembiayaan berbasis solidaritas sosial, dalam bentuk Jamkesnas. Jamkesnas
adalah bentuk jaminan kesehatan prabayar yang bersifat wajib untuk seluruh
masyarakat guna memenuhi kebutuhan kesehatan utama setiap warga negara.
Pembiayaan Jamkesnas berasal dari iuran yang diperhitungkan sebagai
persentase tertentu dari penghasilan setiap keluarga. Dalam hal ini, pekerja di
sektor formal dan keluarganya akan lebih cepat dicakup karena kemudahan
menghimpun iuran.
b.
Pembiayaan berbasis sukarela, dalam bentuk: asuransi kesehatan (askes)
komersial – berdasarkan UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian;
dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) sukarela –
berdasarkan UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Konstitusi WHO.
Saat ini sedang diproses penerbitan PP untuk JPKM sukarela tersebut.
c.
Pembiayaan kesehatan bagi sektor informal, dalam bentuk: jaminan kesehatan
mikro – dari oleh dan untuk masyarakat, misalnya dalam bentuk Dana Sehat;
dan dana sosial masyarakat yang dihimpun untuk pelayanan sosial dasar,
17
termasuk kesehatan, misalnya dihimpun dari dana sosial keagamaan dari semua
agama (kolekte, dana paramitha, infaq, dll).
d.
Pembiayaan kesehatan bagi keluarga miskin dengan prinsip asuransi, dalam
bentuk pembiayaan premi oleh pemerintah untuk JPK-Gakin. (Misalnya
dengan memadukan dana Jaring Pengaman Sosial- Bidang Kesehatan (JPS-BK)
dengan dana subsidi bahan bakar minyak agar pemanfaatannya maksimal di
berbagai tingkat pelayanan mulai dari pelayanan dasar hingga ke rujukan RS.)
Selain keempat bentuk di atas, terdapat suatu jaminan sosial di bidang kesehatan
yaitu Asuransi Kesehatan yang diselenggarakan oleh PT Askes. Askes memberikan
pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ruang lingkup pelayanan
yang diberikan oleh Askes antara lain: konsultasi medis dan penyuluhan kesehatan,
pemeriksaan dan pengobatan oleh dokter umum dan atau paramedis, serta pemeriksaan
dan pengobatan gigi. Di luar bentuk pelayanan ini, Askes tidak menanggungnya.
4.
Identifikasi dan analisis stakeholders
Peserta asuransi kesehatan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu peserta wajib,
terdiri dari: pegawai negeri sipil (PNS) termasuk calon PNS, pejabat negara, dan
penerima pensiun (PNS, TNI/POLRI, PNS di lingkungan TNI/POLRI, dan pejabat
negara), Veteran dan Perintis Kemerdekaan, beserta keluarganya. Sedangkan jenis
peserta lainnya adalah peserta sukarela, terdiri dari: pegawai swasta, BUMN/BUMD,
perusahaan daerah, badan usaha lainnya, serta Dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT) dan
Bidan Pegawai Tidak Tetap (PTT).
5.
Target beneficiaries
Di satu sisi, masalah kesehatan masyarakat semakin kompleks, di sisi lain, upaya
kesehatan yang diwujudkan pemerintah belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan
masyarakat. Sedangkan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat diperkirakan bisa
mengurangi beban masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu.
Pada kenyataannya belum semua masyarakat memahami keberadaan jaminan
pemeliharaan kesehatan.
Hasil dari Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2002, tentang kesehatan, berbunyi
sebagai berikut:
1)
Mengupayakan peningkatan anggaran kesehatan secara bertahap sampai
mencapai jumlah minimum sebesar 15% sesuai dengan kondisi keuangan negara
dari APBN/APBD, sebagaimana ditetapkan WHO
2)
Melanjutkan program darurat pelayanan kesehatan dasar bagi keluarga miskin,
rawan gizi, khususnya untuk bayi, balita, ibu hamil dan ibu nifas
3)
Mewujudkan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat
4)
Membangun pusat-pusat pemulihan trauma pasca konflik, terutama di daerah
pengungsian.
18
VI. JAMINAN SOSIAL DI BIDANG
KETENAGAKERJAAN
Skema jaminan sosial untuk kesehatan dan macam kegiatan APBN sektor kesehatan
yang berkaitan dengan perlindungan sosial
1.
Latar belakang
Kuatnya semangat reformasi yang terjadi pada saat ini dilandasi terutama oleh
timbulnya kesadaran akan hak-hak asasi manusia, tuntutan akan demokratisasi dan
transparansi. Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Right) Tahun 1948
yang dikeluarkan oleh PBB, dalam salah satu pasalnya menyatakan, bahwa “setiap
warga negara mendapatkan hak atas jaminan sosial, yaitu penganguran, sakit, cacat,
menjanda, maupun usia lanjut”.
Indonesia sebagai salah satu anggota PBB menghormati dasar-dasar hak asasi
manusia. GBHN 1999-2004 mengamanatkan jaminan sosial tenaga kerja antara lain
melalui peningkatan sistem jaminan sosial tenaga kerja dalam menyediakan
perlindungan, keamanan, dan keselamatan kerja, yang pengelolaannya melibatkan tiga
unsur yakni pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Demikian pula dalam UUD 1945
(amandemen kedua Pasal 28H) menyatakan, bahwa;
“Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagaimana manusia yang
bermartabat”
Oleh karena itu, Jaminan Sosial Di Bidang Ketenagakerjaan merupakan penjabaran
dari UUD 1945.
2.
Landasan hukum
Dalam penyelenggaraan perlindungan dan jaminan sosial di bidang
ketenagakerjaan, antara lain dilandasi oleh beberapa peraturan perundang-undangan
baik yang bersifat global, maupun nasional.
Dalam skala global, pada Pasal 25 Deklarasi Hak Asasi Manusia (Declaration of
Human Right) Tahun 1948 yang dikeluarkan oleh PBB, dinyatakan, bahwa “Setiap
warga negara mendapatkan hak atas jaminan sosial, yaitu penganguran, sakit, cacat,
menjanda, maupun usia lanjut”. Di samping itu, Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952,
juga mencantumkan standar minimum jaminan sosial, yang meliputi: tunjangan hari
tua, sakit, cacat, kematian, penganguran, dan pelayanan medis.
Sementara itu, di tingkat nasional, selain dalam UUD 1945 (Amandement ke-4)
Pasal 34 Ayat 2 menyatakan, bahwa “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Selanjutnya, UU No. 14 Tahun 1969 tentang
19
Ketenagakerjaan menyatakan, bahwa setiap tenaga kerja berhak atas ... Sedangkan
dalam UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, disebutkan bahwa
terdapat 4 (empat) program jaminan sosial bagi tenaga kerja, yaitu jaminan kecelakaan
kerja, jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan hari tua, dan jaminan kematian.
Namun UU tersebut belum mencakup jaminan pemutusan hubungan kerja (PHK),
maupun unemploment benefit seperti yang diamanatkan dalam Konvensi ILO No 102
Tahun 1952.
3.
Konsep dan sistem perlindungan sosial
Pelaksanaan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia secara umum
meliputi penyelengaraan program-program Jamsostek, Taspen, Askes, dan Asabri.
Penyelengaraan program Jamsostek didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992, program
Taspen didasarkan pada PP No 25 Tahun 1981, program Askes didasarkan pada PP No
69 Tahun 1991, program Asabri didasarkan pada PP No 67 Tahun 1991, sedangkan
program Pensiun didasarkan pada UU No 6 Tahun 1966. Penyelenggaraan jaminan
sosial di Indonesia berbasis kepesertaan, yang dapat dibedakan atas kepesertaan pekerja
sektor swasta, pegawai negeri sipil (PNS),dan anggota TNI/Polri. Sedangkan
penyelenggaraan jaminan sosial di ASEAN cukup beragam, ada yang berbasis program
(Singapura, Malaisia, Thailand), dan ada pula yang berbasis kepesertaan (Filipina).
Pada bagian ini akan dijabarkan tentang perlindungan dan jaminan sosial pada
sektor swasta. Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) sebagaimana didasarkan pada
UU No 3 Tahun 1992, pada prinsispnya merupakan sistem asuransi sosial bagi pekerja
(yang mempunyai hubungan kerja) beserta keluarganya. Skema Jamsostek meliputi
program-program yang terkait dengan resiko, seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan
kematian, jaminan pemeliharaan kesehatan, dan jaminan hari tua.
Cakupan jaminan kecelakaan kerja (JKK) meliputi: biaya pengangkutan, biaya
pemeriksaan, pengobatan, perawatan, biaya rehabilitasi, serta santunan uang bagi
pekerja yang tidak mampu berkerja, dan cacat. Apabila pekerja meninggal dunia bukan
akibat kecelakaan kerja, mereka atau keluarganya berhak atas jaminan kematian (JK)
berupa biaya pemakaman dan santunan berupa uang. Apabila pekerja telah mencapai
usia 55 tahun atau mengalami cacat total/seumur hidup, mereka berhak untuk
memperolah jaminan hari tua (JHT) yang dibayar sekaligus atau secara berkala.
Sedangkan jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) bagi tenaga kerja termasuk
keluarganya, meliputi: biaya rawat jalan, rawat inap, pemeriksaan kehamilan dan
pertolongan persalinan, diagnostik, serta pelayanan gawat darurat.
Pada dasarnya program Jamsostek merupakan sistem asuransi sosial, karena
penyelenggaraan didasarkan pada sistem pendanaan penuh (fully funded system), yang
dalam hal ini menjadi beban pemberi kerja dan pekerja. Sistem tersebut secara teori
merupakan mekanisme asuransi. Penyelengaraan sistem asuransi sosial biasanya
didasarkan pada fully funded system, tetapi bukan harga mati. Dalam hal ini pemerintah
tetap diwajibkan untuk berkontribusi terhadap penyelengaraan sistem asuransi sosial,
atau paling tidak pemerintah terikat untuk menutup kerugian bagi badan penyelengara
apabila mengalami defisit. Di sisi lain, apabila penyelenggara Jamsostek memperoleh
keuntungan, maka pemerintah akan memperoleh deviden dan pajak badan karena
bentuk badan hukum adalah BUMN Persero.
Kontribusi atau premi yang dibayar dalam rangka memperoleh jaminan sosial
tenaga kerja adalah bergantung pada jenis jaminan tersebut. Iuran JKK adalah berkisar
20
antara 0,24% - 1,27% dari upah per bulan, bergantung pada kelompok jenis usaha
(terdapat 4 kelompok usaha), dan dibayar (ditanggung) sepenuhnya oleh pengusaha
(selaku pemberi kerja). Demikian pula dengan JK, iuran sepenuhnya merupakan
tanggungan pengusaha yaitu sebesar 0,30% dari upah per bulan. Sementara itu, iuran
JPK juga merupakan tanggungan pengusaha yaitu sebesar 6% dari upah per bulan bagi
tenaga kerja yang sudah berkeluarga, dan 3% dari upah per bulan bagi tenaga kerja yang
belum berkeluarga, serta mempunyai batasan maksimum premi sebesar satu juta rupiah.
Sedangkan iuran JHT ditanggung secara bersama yaitu sebesar 3,70% dari upah per
bulan ditanggung oleh pengusaha, dan 2% dari upah per bulan ditanggung oleh pekerja.
4.
Identifikasi dan analisis stakeholders
Pelaksanaan jaminan sosial tenaga kerja melibatkan beberapa stakeholders. PT.
Jamsostek bertugas untuk menyelengarakan jaminan sosial tenaga kerja, baik dari segi
pelayanan program maupun administrasinya, menuju cakupan dan kualitas pelayanan
program. Departemen teknis dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja melakukan
pengawasan pelaksanaan program Jamsostek. Demikian pula dengan Departemen
Keuangan dan Kementerian BUMN bertindak sebagai pengawas di bidang keuangan
serta penempatan portfolio keuangan.
Penyelenggaraan program Jamsostek melibatkan tripartit yang anggotanya terdiri
dari unsur Pemerintah, pekerja, dan pengusaha. Fungsi dari tripartit tersebut adalah
sebagai pengawas terhadap pelaksanaan program Jamsostek. Keberhasilan pelaksanaan
program Jamsostek juga bergantung dari partisipasi dan pengawasan tripartit, karena
mereka duduk dalam Dewan Komisaris PT. Jamsostek. Kepedulian pengusaha akan
pentingnya program Jamsostek bagi karyawannya merupakan faktor yang penting
dalam keberhasilan Jamsostek.
Misi PT. Jamsostek adalah memberikan pelayanan dasar bagi pekerja. Sampai
dengan bulan Juni 2002 kepesertaan Jamsostek meliputi 104 ribu perusahaan dengan
jumlah tenaga kerja sebanyak sekitar 22 juta orang. Jumlah tersebut baru mencapai
sekitar 60% dari seluruh tenaga kerja pada sektor formal. Walaupun program Jamsostek
diwajibkan bagi seluruh perusahaan oleh UU, namun masih banyak para pekerja yang
belum diikutsertakan dalam program Jamsostek. Hal ini menandakan bahwa penegakan
hukum dalam program Jamsostek belum berjalan sebagaimana mestinya. Kewenangan
penegakan hukum berada pada Depertemen teknis (Depnaker), sedangkan kewenangan
PT. Jamsostek hanya sebatas pada usulan perbaikan benefit atas dasar perhitungan
aktuaris.
Selain itu, juga masih banyak masalah di luar cakupan program Jamsostek
(seperti pemulangan TKI illegal, dan sektor informal) yang menjadi beban PT.
Jamsostek.
Berkaitan dengan kelembagaan Jamsostek, sebaiknya bahwa badan
penyelenggara Jamsostek berfungsi selaku monopoli. Monopoli di dalam
penyelenggaraan program asuransi sosial dapat dibenarkan dalam UU sepanjang
program yang ditangani masih dalam lingkup standar minimum (Pawoko, 1999).
Pelaku monopolis disini adalah pemerintah, atau serendah-rendahnya BUMN. Namun
demikian, issues yang berkembang di tingkat intenasional mengarah pada de-monopoly
yang mengikuti arus globalisasi competitiveness, sehingga akan dapat memberikan benefit
yang maksimum kepada peserta asuransi.
21
Sehubungan dengan otonomi daerah, pelaksanaan program Jamsostek akan
berpengaruh pada pemberlakuan kewenangan Pusat dan Daerah. Dalam hal ini,
program-program pelayanan yang bersifat lokal juga perlu didesentralisasikan.
5.
Target beneficieries
Dalam UU No. 3 Tahun 1992, dinyatakan bahwa penyelenggara perlindungan
tenaga kerja swasta adalah PT. Jamsostek. Setiap perusahaan swasta dengan tenaga
kerja lebih dari 10 pekerja diwajibkan untuk mengikuti sistem jaminan sosial tenaga
kerja ini. Namun demikian, belum semua perusahaan dan tenaga kerja yang diwajibkan
telah menjadi peserta Jamsostek. Data menunjukan, bahwa sektor informal masih
mendominasi komposisi ketenagakerjaan di Indonesia, mencapai sekitar 70,5 juta, atau
75% dari jumlah pekerja – mereka belum terlindungi dalam Jamsostek.
Sampai dengan tahun 2002, secara akumulasi JKK telah mencapai 1,07 juta
klaim, JHT mencapai 2,85 juta klaim, JK mencapai 140 ribu klaim, dan JPK mencapai
54 ribu klaim. Secara keseluruhan, nilai klaim yang telah diterima oleh peserta
Jamsostek adalah sekitar Rp 6,2 trilyun. Namun demikian, posisi PT. Jamsostek
mengalami surplus sebesar Rp 530 milyar pada Juni 2002.
22
VII. JAMINAN SOSIAL DI BIDANG PENDIDIKAN
1. Latar belakang
Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan
yang lebih menekankan pada aspek fiskal dan pertumbuhan ekonomi ternyata telah
mengalami kegagalan. Oleh karena itu, pembangunan nasional dewasa ini lebih
berorientasi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). SDM adalah
modal utama kesejahteraan suatu bangsa, karena tanpa SDM yang berkualitas maka
pembangunan suatu negara tidak akan mencapai tingkat yang optimal.
Dengan terjadinya krisis multi dimensi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997,
maka terjadi penurunan kesejahteraan hidup masyarakat secara riil, yang ditandai
antara lain dengan semakin melemahnya daya beli masyarakat (purchasing power parity).
Akibat adanya krisis, kebanyakan pendapatan keluarga mengalami penurunan secara
drastis. Hal ini berakibat pula pada menurunnya seluruh komponen pengeluaran
keluarga tersebut. Salah satu komponen pengeluaran keluarga adalah pengeluaran
pendidikan. Jika suatu keluarga sudah miskin sebelum krisis, maka setelah krisis
keluarga tersebut akan jauh lebih miskin lagi. Keadaan ini memaksa keluarga tersebut
mengambil keputusan untuk “mengerahkan” seluruh anggota keluarganya untuk
bekerja/mencari pendapatan tambahan, tanpa terkecuali anak-anak yang masih berada
pada usia sekolah. Jika hal ini terjadi, maka anak-anak yang seharusnya berada di
sekolah, mereka menjadi drop-out, karena alasan ekonomi – membantu menambah
pendapatan keluarga.
Fenomena tersebut di atas menuntut upaya Pemerintah untuk segera
mengatasinya. Kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah melalui JPS, antara lain
dengan memberikan bantuan biaya pendidikan dalam bentuk beasiswa bagi murid dari
keluarga miskin. Karena target Pemerintah adalah menuntaskan wajib belajar 9 tahun
(hingga SLTP), maka pemberian beasiswa tersebut diprioritaskan bagi murid SD dan
SLTP, ditambah dengan murid SLTA dari keluarga miskin saja. Sementara itu,
mahasiswa dari keluarga miskin – apabila keluarganya tidak mampu membiayainya lagi
– maka mereka akan secara “terpaksa” menjadi drop-out.
2. Landasan hukum
Landasan hukum pembangunan sistem perlindungan dan jaminan sosial di
bidang pendidikan adalah UUD 1945 Perubahan IV tanggal 10 Agustus 2002, baik pada
Pembukaan, maupun dalam beberapa pasalnya. Dalam Pembukaan UUD 1945,
dinyatakan bahwa salah satu tujuan nasional adalah memajukan kesejahteraan umum
dan mencerdaskan kehidupan bangsa:;
1. Pasal 31 (1) dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
2. Pasal 31 (2) disebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan, serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dalam undang-undang
23
3. Pasal 31 (3) dinyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara, serta
dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional.
4. Pasal 34 (1) dinyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh
negara
5. Pasal 34 (2) dinyatakan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat, dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Landasan hukum berikutnya adalah:
1. UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2. UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
3. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
4. UU Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 138 mengenai Batas
Usia Minimum Anak Bekerja
5. UU Nomor 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi Konvensi ILO 182 mengenai
Pelanggaran dan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerja Anak.
3. Konsep dan sistem perlindungan sosial
Sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang pendidikan yang ada saat ini
masih merupakan kegiatan Jaring Perlindungan Sosial (JPS) bidang pendidikan.
Kegiatan utama diprioritaskan antara lain pada upaya-upaya mengurangi angka putus
sekolah yang cenderung meningkat khususnya tingkat SD dan SLTP, yang merupakan
paket “wajib belajar sembilan tahun”, dan untuk mencegah menurunnya kualitas
pendidikan dasar. Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui pemberian bantuan beasiswa
untuk murid SD, SLTP, dan SLTA dalam rangka mencegah terjadinya putus sekolah.
Di samping itu, juga diberikan “dana bantuan operasional” (DBO) bagi SD,SLTP dan
SLTA untuk mendukung biaya operasional dan pemeliharaan sekolah agar
penyelenggaraan pendidikan di sekolah dapat terlaksana dengan lancar.
Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan sistem perlindungan dan jaminan
sosial di bidang pendidikan, melalui skema JPS telah ditetapkan beberapa hal yaitu:
1)
sasaran dan sumber dana
2)
persyaratan siswa penerima beasiswa bagi siswa SD dan MI, siswa SLTP/MTs
dan siswa SLTA/MA
3)
persyaratan sekolah penerima dana bantuan operasional (DBO)
Di samping itu, untuk efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan JPS, telah dibentuk:
1)
Tim
Koordinasi,
baik
di
tingkat
Pusat,
Propinsi
Kabupaten/Kotamadya, termasuk Kecamatan dan Desa di dalamnya
maupun
24
2)
mekanisme
penyaluran
dana
dan
pertanggungjawaban penyaluran dana
3)
sistem monitoring dan evaluasi
mekanisme
pelaporan
dan
4. Identifikasi dan analisis stakeholders
Institusi yang terlibat langsung dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan,
dan pengendalian sistem perlindungan dan jaminan sosial di bidang pendidikan (skemaJPS) selama ini adalah Depdiknas, Komite Sekolah, Depag, Bappenas, Depdagri,
Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota, Departemen Keuangan, Bank
Indonesia, dan PT (Persero) Pos Indonesia.
5. Target beneficiaries
Sasaran sistem perlindungan dan jaminan sosial melalui skema JPS adalah
keluarga-keluarga miskin, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Mereka adalah
keluarga-keluarga yang termasuk kategori Keluarga Pra-Sejahtera, Keluarga Sejahtera I
dan keluarga miskin lainnya (karena alasan ekonomi). Di dalamnya antara lain
termasuk siswa SD, SLTP, dan SLTA.
Sedangkan sasaran dari konsep awal SPJS di bidang pendidikan adalah:
1)
anak-anak yang orang tuanya berpenghasilan di bawah UMR per bulan
2)
Anak-anak dan satuan pendidikan daerah terpencil, daerah bencana alam,
daerah kerusuhan
3)
anak-anak yang berasal dari keluarga miskin, anak-anak yatim piatu, anak-anak
terlantar
4)
anak-anak cacat
5)
anak-anak yang berprestasi.
25
VIII. JAMINAN SOSIAL HARI TUA DAN PENSIUN
1.
Latar belakang
Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional yang pada hakekatnya
merupakan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh
masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945, maka
upaya untuk mewujudkan kehidupan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia
merupakan kewajiban konstitusional yang harus dilakukan secara berencana, bertahap,
dan berkesinambungan.
Sejalan dengan itu, upaya memelihara kesinambungan penghasilan pada hari tua
perlu mendapat perhatian dan penanganan agar lebih berdayaguna dan berhasilguna.
Dalam hubungan ini di masyarakat telah berkembang suatu bentuk tabungan
masyarakat yang semakin banyak dikenal oleh para karyawan, yaitu dana pensiun.
Bentuk tabungan ini mempunyai ciri sebagai tabungan jangka panjang, yang dinikmati
hasilnya setelah karyawan yang bersangkutan pensiun. Penyelenggaraannya dilakukan
dalam suatu program, yaitu program pensiun yang mengupayakan manfaat pensiun
bagi pesertanya melalui suatu sistem pemupukan dana yang lazim disebut pendanaan.
Sistem pendanaan suatu program pensiun memungkinkan terbentuknya
akumulasi dana, yang dibutuhkan untuk memelihara kesinambungan penghasilan
peserta program pada hari tua. Keyakinan akan adanya kesinambungan penghasilan
menimbulkan ketenteraman kerja, sehingga akan meningkatkan motivasi kerja
karyawan yang merupakan iklim yang kondusif bagi peningkatan produktivitas. Dalam
dimensi yang lebih luas, akumulasi dana yang terhimpun dari penyelenggaraan program
pensiun merupakan salah satu sumber dana yang diperlukan untuk memelihara dan
meningkatkan pembangunan nasional.
Mengingat manfaatnya yang besar, baik bagi peserta maupun bagi masyarakat
luas dan bagi pembangunan nasional, maka upaya penyelenggaraan program pensiun
selama ini telah didukung oleh Pemerintah.
2.
Landasan hukum
Dewasa ini program pensiun dengan pemupukan dana diselenggarakan oleh
pemberi kerja berdasarkan Staatsblad Tahun 1926 Nomor 377 yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari Pasal 1601 s bagian kedua Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Ketentuan tersebut memungkinkan pembentukan dana bersama antara
pemberi kerja dan karyawan, namun tidak memadai sebagai dasar hukum bagi
penyelenggaraan program pensiun. Hal ini disebabkan tidak adanya ketentuan yang
mengatur hal-hal mendasar dalam rangka pemenuhan hak dan kewajiban para pihak
dalam penyelenggaraan program pensiun, serta dalam pengelolaan, kepengurusan,
pengawasan, dan sebagainya.
Untuk itu, pada tahun 1992 telah ditetapkan Undang-undang Nomor 11 Tahun
1992 tentang Dana Pensiun, sebagai landasan hukum bagi penyelenggaraan program
26
pensiun di Indonesia. Undang-undang ini diharapkan membawa pertumbuhan dana
pensiun di Indonesia secara lebih pesat, tertib dan sehat, sehingga membawa manfaat
nyata bagi peningkatan kesejahteraan seluruh masyarakat. Khusus bagi pegawai negeri
sipil (PNS), penyelenggaraan program jaminan kesejahteraannya diatur dalam Undangundang Nomor 11 Tahun 1956 tentang Pembelanjaan Pensiun; Undang-undang No. 11
Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda; Undang-undang No. 8
Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian; dan Undang-undang No. 43 Tahun
1999 tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian. Dalam penyelenggaraan program asuransi sosial bagi PNS telah diatur
dalam PP Nomor 25 Tahun 1981, diantaranya diatur mengenai besarnya iuran bagi
setiap PNS untuk program Tabungan Hari Tua (THT) dan Pensiun.
Sementara itu, program kesejahteraan bagi anggota TNI/Polri diatur dalam
beberapa Undang-undang, seperti: Undang-undang No. 2 Tahun 1959 tentang
Pemberian Pensiun dan Onderstand Angkatan Perang RI; Undang-undang No. 6
Tahun 1966 tentang Pensiun, Tunjangan bersifat Pensiun dan Tunjangan bagi Mantan
Prajurut TNI dan Anggota Polri; Undang-undang No. 75 tahun 1957 tentang Veteran
Pejuang Kemerdekaan RI; dan Undang-undang No. 15 Tahun 1965 tentang Veteran RI.
Selanjutnya, untuk program kesejahteraan pekerja swasta dan BUMN telah
diatur dalam suatu Undang-undang yaitu UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), yang dibahas secara terpisah pada bagian lain.
3.
Konsep dan sistem perlindungan sosial
Hingga saat ini terdapat 3 (tiga) lembaga penyelenggara jaminan hari tua (JHT)
dan pensiun di Indonesia, yaitu:
a.
PT. TASPEN, yang menyelenggarakan program Asuransi Sosial bagi para PNS
baik untuk pensiun maupun tabungan hari tua;
b.
PT. JAMSOSTEK, yang menyelenggarakan program Jaminan Sosial Tenaga
Kerja di luar pensiun bagi pekerja swasta;
c.
PT. ASABRI, yang menyelenggarakan program Asuransi Sosial bagi para
anggota TNI/POLRI baik untuk pensiun maupun tabungan hari tua;
Di samping ketiga lembaga tersebut di atas, terdapat juga lembaga pensiun yang
didirikan oleh perusahaan baik swasta maupun BUMN.
Berdasarkan PP No. 26 Tahun 1981 (pasal 2), PT. TASPEN ditetapkan sebagai
penyelenggara program asuransi sosial bagi PNS yang terdiri dari Dana Pensiun dan
Tabungan Hari Tua (THT). Di samping itu, pada saat ini PT. TASPEN juga
membayarkan beberapa program lainnya, seperti asuransi kematian, uang duka wafat,
bantuan untuk Veteran, dan uang tabungan perumahan (Taperum) yang diperoleh dari
BAPERTARUM.
Pendanaan program pensiun, berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun
1969 adalah dibebankan kepada APBN. Sistem ini disebut sebagai pendanaan “pay as
you go” (seorang PNS begitu pensiun langsung dibayar). Sistem ini telah dilakukan
27
sampai dengan akhir tahun 1993. Sejak tahun 1994 pemerintah melalui Menteri
Keuangan telah menetapkan sistem pendanaan pensiun dengan pola “current cost
financing” yaitu suatu metode gabungan pay as you go dengan funded system dalam rangka
pemberdayaan akumulasi iuran peserta program pensiun PNS. Dalam sistem
pendanaan ini, beban pembayaran pensiun yang dialokasikan dari APBN adalah
sebesar 75% dan dari akumulasi iuran peserta sebesar 25% dari seluruh beban
pembayaran pensiun PNS.
Sementara itu, sumber dana program tabungan hari tua (THT) PNS diperoleh
dari iuran peserta sebesar 3,25% dari penghasilan peserta setiap bulan. Sedangkan
sumber dana untuk program dana pensiun PNS diperoleh dari iuran peserta sebesar
4,75% dari penghasilan peserta setiap bulan. Penghasilan yang dimaksud disini adalah
gaji pokok ditambah tunjangan istri ditambah tunjangan anak. Di samping itu, PNS
juga dikenakan iuran sebesar 2,00% dari penghasilan peserta setiap bulan untuk
membayar iuran program kesehatan.
Formula manfaat program tabungan hari tua sejak Januari 2001 sampai dengan
sekarang didasarkan pada Keputusan Direksi PT Taspen dengan menggunakan
formula:
(0,55 x MI 1 x P2000) + (0,55 x MI 2 x (P2001 – P2000))
MI 1: Masa iuran sejak menjadi peserta sampai dengan berhenti.
MI 2: Masa Iuran sejak 2001 sampai dengan berhenti.
Sedangkan formula manfaat program pensiun adalah:
2,5% x masa kerja x penghasilan dasar pensiun
Pelaksanaan pembayaran program tabungan hari tua dan pensiun dilakukan
melalui 4000 titik kantor bayar melalui PT. Taspen, bank, dan kantor pos.
Selanjutnya, berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1992, dalam program
jamsostek untuk jangka panjang, terdapat jenis perlindungan tenaga kerja dalam bentuk
jaminan hari tua (JHT). Besarnya iuran jaminan hari tua adalah sebesar 5,7% dari upah
sebulan – sebesar 3,7% ditanggung oleh pengusaha (selaku pemberi kerja) dan sebesar
2% ditanggung oleh pekerja.
Jaminan hari tua dibayarkan secara sekaligus atau berkala kepada tenaga kerja,
karena telah mencapai usia 55 tahun, atau mengalami cacat total tetap setelah
ditetapkan oleh dokter. Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia, jaminan hari tua
dibayarkan kepada janda atau duda atau anak yatim piatu.
28
4.
Identifikasi dan analisis stakeholders
Berbagai institusi terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
pengendalian program jaminan sosial hari tua dan pensiun yang berkaitan dengan PT.
(Persero) Taspen, adalah: Departemen Keuangan, Kementerian BUMN selaku
pemegang saham, Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen, baik di pusat
maupun di daerah, BKN, Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota, BPK, dan
BPKP. Sementara itu, institusi yang terlibat berkaitan dengan PT. Jamsostek adalah:
Departemen Keuangan, dan Kementerian BUMN selaku pemegang saham.
5.
Target beneficiaries
Sasaran program jaminan sosial hari tua dan pensiun yang dilaksanakan oleh
PT. Taspen adalah semua Pegawai Negeri Sipil (PNS), kecuali PNS di lingkungan
Departemen Pertahanan. Pada tahun 2001 jumlah PNS adalah sebanyak 3.932.766
orang, dengan rincian sebanyak 3.002.164 PNS daerah, dan sebanyak 930.602 orang
PNS pusat. Yang berhak mendapat pensiun sesuai dengan peraturan perundanga yang
berlaku adalah peserta, atau janda/duda dari peserta, atau janda/duda dari penerima
pensiun, atau yatim piatu dari peserta, atau yatim piatu dari penerima pensiun, atau
orang tua dari peserta yang tewas yang tidak meninggalkan janda/duda/anak yatim
piatu yang berhak menerima pensiun. Sedangkan yang berhak mendapat tabungan hari
tua adalah peserta, atau istri/suami, anak, atau ahli waris peserta yang sah dalam hal
peserta meninggal dunia.
Sasaran program jaminan sosial hari tua dan pensiun yang dilaksanakan oleh
PT. Jamsostek adalah seluruh karyawan yang mempunyai hubungan kerja, atau
keluarganya, atau ahli warisnya.
29
IX. JAMINAN SOSIAL BAGI MASYARAKAT
MISKIN DAN RENTAN
1.
Latar belakang
Dalam kurun waktu 57 tahun sejak Indonesia merdeka telah banyak upaya yang
dilakukan Pemerintah untuk mengangkat kesejahteraan rakyat Indonesia. Namun,
hingga saat ini kemiskinan masih menjadi masalah utama yang harus ditangani
bersama. Sampai dengan tahun 2000, jumlah penduduk Indonesia yang tergolong
miskin telah mencapai sekitar 37,5 juta jiwa (Susenas 2000), dan sekitar 13,4 juta di
antaranya tergolong penduduk yang sangat miskin (crust of the poor).
Untuk menjamin kesejahteraan rakyat, Pemerintah telah menyelenggarakan
beberapa skema bentuk-bentuk perlindungan dan jaminan sosial seperti asuransi
kesehatan, asuransi ABRI, pensiun, jaminan sosial tenaga kerja, dan lain-lain. Namun,
penduduk miskin dan terutama yang bekerja di sektor informal pada umumnya belum
tersentuh oleh skema-skema tersebut, sehingga mereka berada dalam posisi yang sangat
rentan terhadap ketidakstabilan perekonomian yang terjadi baik di lingkungannya
maupun di Indonesia secara umum. Oleh sebab itu, Pemerintah memandang perlu
untuk menyelenggarakan suatu bentuk perlindungan sosial yang dapat memberikan
perlindungan dan jaminan sosial bagi penduduk miskin tersebut.
2.
Landasan hukum
Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang melandasi
penyelenggaraan perlindungan dan jaminan sosial bagi masyarakat rentan, yaitu:
1.
Undang-undang Dasar 1945
2.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial (Lembar Negara Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3039). Khususnya: (1) Pasal 1: Setiap warga negara
berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan berkewajiban
untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial; (2)
Pasal 2 ayat (4): Jaminan Sosial sebagai perwujudan daripada sekuritas sosial
adalah seluruh sistem perlindungan dan pemeliharaan kesejahteraan sosial warga
negara yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat guna
memelihara taraf kesejahteraan sosial; (3) Pasal 4 ayat (1): Usaha-usaha
pemerintah di bidang kesejahteraan sosial meliputi: (a) bantuan Sosial kepada
warga negara baik secara perseorangan maupun dalam kelompok yang
mengalami kehilangan peranan sosial atau menjadi korban akibat terjadinya
bencana-bencana, baik sosial maupun alamiah atau peristiwa-peristiwa lain; (b)
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial melalui penyelenggaraan suatu sistem
jaminan sosial; (c) bimbingan, pembinaan dan rehabilitasi sosial, termasuk di
dalamnya penyaluran ke dalam masyarakat kepada warga negara, baik
perorangan maupun dalam kelompok, yang terganggu kemampuannya untuk
mempertahankan hidup, yang terlantar, atau yang tersesat; dan (d)
pengembangan dan penyuluhan sosial untuk meningkatkan peradaban,
30
perikemanusiaan, dan kegotong royongan; (4) Pasal 5 ayat (1): Pemerintah
mengadakan usaha-usaha ke arah terwujudnya dan terbinanya suatu jaminan
sosial yang menyeluruh. (Penjelasan: Ayat ini membebankan kewajiban kepada
Pemerintah untuk melaksanakan dan membina suatu sistem jaminan sosial
sebagai perwujudan dari pada sekuritas sosial dan sebagai wahana utama
pemeliharaan kesejahteraan sosial termaksud, pelaksanaannya mengutamakan
penggunaan asuransi sosial dan/atau bantuan sosial.)
3.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.
Pasal 5 ayat (2) huruf g: Bagi Lanjut Usia yang tidak potensial agar dapat
mewujudkan taraf hidup yang wajar diberikan perlindungan sosial berupa
pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
4.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
5.
Undang-undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
6.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Kesejahteraan Penyandang Cacat
7.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
8.
Undang-undang nomor 22 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
3.
Konsep dan sistem perlindungan sosial
Melihat keadaan masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih belum dapat
menikmati kesejahteraan sosial yang memadai, dan berdasarkan peraturan perundangundangan yang tersebut di atas, Pemerintah perlu menyelenggarakan jaminan
kesejahteraan sosial (Jamkesos) bagi masyarakat yang masih tergolong rentan.
Jamkesos pada dasarnya merupakan suatu bentuk jaminan sosial yang
diselenggarakan oleh Pemerintah guna memastikan bahwa rakyat miskin dan tidak
mampu dapat mempertahankan taraf kesejahteraan sosialnya dan masih dapat
terpenuhi kebutuhan dasar minimal hidupnya. Bentuk dari Jamkesos terbagi dua, yaitu:
(1) Bantuan Kesejahteraan Sosial (BKS) yang bisa bersifat permanen dan yang bersifat
sementara (emergency); dan (2) Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos).
Bantuan Kesejahteraan Sosial (BKS) diberikan kepada individu, keluarga,
kelompok, atau komunitas yang tidak mampu. BKS permanen diberikan secara terus
menerus pada penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang permanen,
seperti lanjut usia terlantar, dan penyandang cacat ganda. Adapun BKS sementara
(emergency) diberikan dalam kurun waktu tertentu kepada PMKS non permanen, seperti
korban bencana alam dan sosial.
Sementara itu, Askesos yang merupakan sistem asuransi sosial, ditujukan untuk
melindungi penduduk miskin dari resiko (risk) yang mengakibatkan menurunnya
tingkat kesejahteraan sosialnya, sebagai akibat dari pencari nafkah menderita sakit,
mengalami kecelakaan, atau meninggal dunia. Askesos saat ini masih dalam tahap uji
coba dengan keanggotaan bersifat sukarela dan terbatas untuk kelompok tertentu.
Rencana ke depan, Askesos akan diterapkan secara nasional, dan dalam bentuk asuransi
wajib, berlaku bagi semua orang, dan semua kepala keluarga.
31
4.
Identifikasi dan analisis stakeholders
Departemen Sosial (Depsos) yang diberikan mandat untuk membantu Presiden
dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintahan di bidang sosial telah berinisiatif
untuk menyelenggarakan jaminan kesejahteraan sosial dengan target beneficiary
masyarakat rentan. Dalam pelaksanaan Jamkesos, Depsos bekerjasama dengan Dinas
Sosial Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Namun dengan
dilaksanakannya desentralisasi, pelaksanaan kegiatan dan monitoring Jamkesos serta
Askesos menjadi lebih sulit dilaksanakan, sebab tidak adanya hubungan struktural
antara pusat dan daerah.
5.
Target beneficiaries
Saat ini BKS permanen yang dilaksanakan adalah Jaminan Kesejahteraan Sosial
Gotong Royong (JKS-GR) yang diberikan dalam bentuk uang melalui kelompokkelompok sosial dan ekonomi di dalam masyarakat. Kelompok-kelompok ini masih
difokuskan pada kelompok penduduk miskin yang tergabung dalam koperasi-koperasi,
kelompok usaha bersama (KUBE), dan lain-lain. Hasil usaha dari kelompok-kelompok
tersebut sebagian disisihkan untuk membantu kesejahteraan PMKS permanen tadi.
Dalam BKS permanen, kelompok penduduk yang menjadi sasaran utama dari kegiatan
JKS Gotong Royong (JKS-GR) adalah lansia terlantar, anak terlantar, anak yatim piatu
miskin, dan penyandang cacat fisik dan mental (cacat ganda).
Sementara itu, untuk BKS sementara, sasaran utamanya adalah korban bencana
alam dan bencana sosial untuk menstimulasi keberdayaan mereka menuju kemandirian.
Sedangkan sasaran utama Askesos adalah pencari nafkah utama dalam keluarga miskin
dan bekerja di sektor informal seperti pedagang kaki lima, tukang becak, pedagang
sayur, dan lain-lain.
32
X. KAITAN ANTARA SISTEM ADMINISTRASI
KEPENDUDUKAN DAN SPJS NASIONAL
1.
Pengantar
Sesuai dengan rekomendasi MPR RI melalui Ketetapan MPR Nomor
VI/MPR/2002, pemerintah berkewajiban menciptakan suatu sistim pengenal tunggal
dan terpadu (Kartu Tanda Penduduk), atau nomor induk tunggal dan terpadu bagi
seluruh penduduk Indonesia dari lahir hingga meninggal dunia. Dengan nomor yang
sama dapat juga digunakan untuk pasport, surat izin mengemudi, nomor pokok wajib
pajak, dan kartu pengenal lainnya. Untuk kepentingan yang dimaksud, Pemerintah
berkewajiban untuk mendata setiap penduduk berdasarkan ciri, status kependudukan,
serta mencatat dan merekam setiap peristiwa vital yang terjadi pada setiap individu
penduduk, yang kemudian disimpan dalam suatu sistem database kependudukan secara
nasional. Database kependudukan yang dibangun secara nasional dikembangkan dengan
konsep sentralisasi untuk menjaga agar tidak terjadi pendataan berulangkali atas
identitas seseorang penduduk.
Dengan demikian, identitas penduduk tersebut harus tunggal dan diwujudkan
dalam bentuk Nomor Identitas Tunggal atau disebut Nomor Induk Kependudukan
(NIK). Nomor induk tunggal tersebut merupakan kode akses bagi masyarakat untuk
mendapatkan berbagai layanan publik, seperti: perpajakan, kepemilikan tanah
(sertifikat), keimigrasian (pasport), kepolisian (SIM, STNK, BPKP), dan layananlayanan publik lainnya, termasuk pelayanan perlindungan dan jaminan sosial (asuransi
sosial dan bantuan sosial).
Keterkaitan antara nomor identitas tunggal, yang termasuk biodata penduduk,
terhadap suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial akan cukup bermanfaat
diantaranya: (1) elemen-elemen data pada biodata dapat secara langsung mendeteksi jati
diri seseorang berkaitan dengan potensi untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan
sosial, (2) dokumen pelayanan kependudukan, seperti KTP dapat dikaitkan langsung
untuk disertakan dalam program perlindungan dan jaminan sosial, seperti penerbitan
dokumen polis asuransi, (3) tersedianya informasi struktur penduduk (Contoh: Angka
Harapan Hidup) yang dapat digunakan untuk membantu menetapkan suatu premi dari
program perlindungan dan jaminan sosial tertentu (kesehatan, kematian, kecelakaan
kerja, dan pensiun).
2.
Permasalahan
Berkenaan dengan upaya pemberian atau penerapan nomor identitas tunggal
oleh Pemerintah terdapat beberapa permasalahan yang perlu untuk ditindaklanjuti
pemecahannya secara terpadu antar instansi, baik di tingkat pusat maupun daerah, yaitu
:
1.
Perundang-undangan: Belum adanya landasan hukum yang memadai untuk
mendukung sistem informasi kependudukan terpadu secara nasional. Untuk itu,
perlu dibuat suatu peraturan perundang-undangan tentang administrasi
kependudukan dan tentang perlindungan data pribadi penduduk.
33
2.
Kelembagaan: Belum tersedianya kelembagaan di tingkat pusat yang berwenang
menetapkan kebijakan, pedoman, standarisasi pengelolaan database
kependudukan nasional serta dokumen kependudukan yang bernilai hukum.
Akibatnya, banyak instansi-instansi secara terpisah mengelola data informasi
kependudukan yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing,
sehingga mengakibatkan beragamnya data yang tersedia.
3.
Sistem informasi pengelolaan data: Dengan belum tersedianya landasan hukum
yang memadai untuk mendukung sistem informasi kependudukan secara
nasional tersebut, mengakibatkan belum seragamnya elemen biodata dokumen
kependudukan (formulir) secara nasional, sehingga pada akhirnya menyulitkan
dalam pembangunan aplikasi pelayanan dokumen secara elektronik (application
software). Di samping itu, dengan belum seragamnya sistem perangkat lunak dan
keras yang dikembangkan di masing-masing daerah mengakibatkan sulitnya
mewujudkan suatu bank data kependudukan nasional yang terintegrasi.
4.
Kesadaran masyarakat tentang nomor induk kependudukan (NIK) masih
kurang, terutama berkaitan dengan proses pendaftaran atau pencatatan kejadian
vital yang merupakan elemen utama pengisian biodata NIK.
Sehubungan dengan Ketetapan MPR No.VI/MPR/2002 untuk menciptakan
suatu sistem pengenal tunggal (NIK) untuk seluruh penduduk Indonesia dan setelah
mengetahui berbagai permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, maka diperlukan
langkah-langkah strategis untuk mengantisipasinya agar amanat konstitusi bahwa setiap
penduduk berhak mendapatkan pengakuan dan jaminan perlindungan yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum dapat diwujudkan.
3.
Langkah-langkah kebijakan
Beberapa langkah kebijakan dapat dilakukan untuk menciptakan suatu sistem
pengenal tunggal (NIK), antara lain melalui:
1.
Mempersiapkan langkah-langkah penyusunan peraturan perundang-undangan di
bidang informasi kependudukan. Pada tanggal 2 Oktober 2002 telah dikeluarkan
Nota Kesepahaman antara Menteri Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum,
dan Badan Pusat Statistik tentang pendaftaran pemilih dan pendataan penduduk
berkelanjutan. Langkah ini merupakan momentum awal yang penting dalam
mempercepat pembentukan database kependudukan nasional, yang pada
akhirnya dapat memberikan nomor identitas tunggal bagi setiap penduduk
Indonesia.
2.
Membangun jejaring kelembagaan antar instansi terkait (Depdagri, Depkeham,
Depag, dan Polri) untuk koneksitas antar sistem informasi, sehingga berlangsung
pertukaran data dan informasi dalam rangka peningkatan kinerja pelayanan
publik.
3.
Mengelompokkan daerah ke dalam tipologi untuk menata kelembagaan dan
sumber daya informatikanya.
4.
Membangun sistem informasi kependudukan dengan metode paralel, yaitu
mempertimbangkan sistem yang sudah terbangun di daerah, secara bertahap dan
34
berkesinambungan untuk mengurangi resistensi sistem yang ada serta menekan
biaya (Catatan: Saat ini sedang diujicobakan di Kota Manado).
5.
Melakukan standarisasi format input (elemen biodata) dan output (KTP, KK,
akta) secara nasional yang sederhana,,namun memenuhi aspek hukum dan
kependudukan (statistik vital).
6.
Mengembangkan kerjasama dengan pusat-pusat penyiaran, penerbitan, dan
pelayanan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat untuk
berpartisipasi mewujudkan tertib administrasi kependudukan.
4.
Konsep nomor induk kependudukan (NIK)
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 2A Tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dalam kerangka Sistem Informasi
Kependudukan (SIMDUK) adalah dengan komposisi: 6 (enam) digit pertama
merupakan kode wilayah – yang terbagi menjadi 2 (dua) digit propinsi, 2 (dua) digit
kabupaten, dan 2 (dua) digit kecamatan; 6 (enam) digit kedua merupakan tanggal lahir
pemegang NIK – yang terbagi 2 (dua) digit tanggal kelahiran-khusus perempuan tanggal
kelahiran ditambah 40, 2 (dua) digit bulan kelahiran, dan 2 (dua) digit tahun kelahiran;
serta 4 (empat) digit terakhir merupakan nomor urut pengeluaran NIK yang diterbitkan
oleh sistem komputer. NIK tersebut diberikan pada saat penduduk mengajukan
permohonan atau pelaporan biodata.
Proses tahapan penomoran NIK dapat diuraikan sebagai berikut:
7.
Tingkat kelurahan, terdiri dari: permohonan/pelaporan oleh penduduk,
pengisian elemen biodata, verifikasi formulir dan syarat-syarat, penerbitan surat
keterangan, dan penyerahan dokumen kepada penduduk.
8.
Tingkat Kecamatan, terdiri dari: verifikasi berka s dan syarat-syarat pendaftaran
penduduk, perekaman elemen biodata, pencetakan dokumen dan pengesahan
(KK, KTP), dan pencetakan laporan/statistik (bahan analisis).
9.
Tingkat Kabupaten/Kota, terdiri dari: verifikasi berkas dan syarat-syarat,
perekaman data, pencetakan dokumen dan pengesahan, dan pencetakan
laporan/statistik (bahan analisis).
10.
Tingkat Propinsi, terdiri dari: koordinasi dan penyerasian, dan pencetakan
laporan/statistik (bahan analisis).
11.
Tingkat Pusat, terdiri dari pembuatan kebijakan, pedoman, dan standar-standar;
koordinasi dan penyerasian; penomoran NIK dan KK; dan pencetakan
laporan/statistik (bahan analisis).
35
SISTEM NIK DAN PELAYANAN PUBLIK
Pelayanan sosial:
kesehatan,
pendidikan,
Pelayanan Jaminan
Sosial
Jasa Layanan:
Telp, Air,
Listrik
Perijinan:
Usaha,
Perdagangan
Pelayanan
Perbankan
Database
(N I K)
Keimigrasian:
Passport, KITAS
Pelayanan
Kepemilikan:
Sertifikat tanah, IMB
Pajak: PBB, SPT
Kepolisian: SIM,
STNK, BPKP
Sumber: Ditjen Adminduk, Depdagdri
Semua tahapan wilayah mempergunakan jasa ekstranet (internet-komunikasimodem). Konsep pengembangan sistem informasi kependudukan tersebut
mempergunakan sistim 3-tier technology. Sistem ini mempergunakan 3 (tiga) layer, yang
terdiri dari: layer 1 adalah client (tempat pengisian data penduduk); layer 2 adalah
middleware (proses identifikasi aparat/pengguna yang mempunyai akses); dan layer 3
merupakan database server (pencatatan data).
Dengan terselenggaranya pendataan penduduk secara nasional dengan
menggunakan jasa ekstranet, maka relasional penggunaan data kependudukan dengan
pelayanan publik lainnya akan dapat terlaksana.
5.
Hubungan antara konsep NIK dengan SPJS Nasional
Sistem Penomoran Penduduk Tunggal atau Nomor Induk/identifikasi Kependudukan
(NIK) terletak pada konsep identifikasi.
Sistem Nomor Penduduk Tunggal
Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002, pemerintah berkewajiban menciptakan
suatu sistim pengenal tunggal dan terpadu (Kartu Tanda Penduduk), atau nomor induk
tunggal dan terpadu bagi seluruh penduduk Indonesia dari lahir hingga meninggal
dunia.
Formulasi SPJS nantinya tidak hanya dalam bentuk pelayanan dan benefit saja,
tetapi cara identifikasi penduduk yang berhak menerima pelayanan SPJS. Untuk itu,
diperlukan suatu mekanisme pengenalan sasaran penduduk melalui suatu sistem
administrasi penduduk, yaitu Sistem Nomor Penduduk Tunggal. Dengan demikian,
identitas penduduk tersebut harus tunggal dan diwujudkan dalam bentuk Nomor
36
Identitas Tunggal atau disebut Nomor Induk Kependudukan (NIK/Population Unique
Number). Nomor induk tunggal tersebut merupakan kode akses bagi masyarakat untuk
mendapatkan berbagai layanan publik, seperti: perpajakan, kepemilikan tanah
(sertifikat), keimigrasian (pasport), kepolisian (SIM, STNK, BPKP), dan layananlayanan publik lainnya, termasuk pelayanan perlindungan dan jaminan sosial (asuransi
sosial dan bantuan sosial). Di negara maju sistem penomeran ini lebih dikenal sebagai
Social Security Number.
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 2A Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan
Pendaftaran Penduduk dalam kerangka Sistem Informasi Kependudukan (SIMDUK)
dinyatakan dengan komposisi: 6 (enam) digit pertama merupakan kode wilayah – yang
terbagi menjadi 2 (dua) digit propinsi, 2 (dua) digit kabupaten, dan 2 (dua) digit
kecamatan; 6 (enam) digit kedua merupakan tanggal lahir pemegang NIK – yang terbagi
2 (dua) digit tanggal kelahiran-khusus perempuan tanggal kelahiran ditambah 40, 2
(dua) digit bulan kelahiran, dan 2 (dua) digit tahun kelahiran; serta 4 (empat) digit
terakhir merupakan nomor urut pengeluaran NIK yang diterbitkan oleh sistem
komputer. NIK tersebut diberikan pada saat penduduk mengajukan permohonan atau
pelaporan biodata. Proses tahapan penomoran NIK berjenjang dimulai dari tingkat
kelurahan, kecamatan, Kabupaten/kota dan propinsi.
Dengan terselenggaranya pendataan penduduk secara nasional --yang data
dasarnya diawali oleh kegiatan P4B pada bulan April 2003— pada tahapan berikutnya
dengan menggunakan jasa ekstranet (internet-komunikasi-modem), maka relasional
penggunaan data kependudukan dengan pelayanan publik lainnya, seperti SPJS di masa
yang akan datang, akan dapat terlaksana secara terstruktur dan terkoordinasi
Pada tahap selanjutnya, permasalahan penting yang dihadapi dalam upaya
pelaksanaan NIK dan khususnya ketika dikaitkan dengan SPJS, adalah belum adanya
landasan hukum yang memadai untuk mendukung sistem informasi kependudukan
terpadu secara nasional. Untuk itu, perlu dibuat suatu peraturan perundang-undangan
tentang administrasi kependudukan dan tentang perlindungan data pribadi penduduk
yang tercakup dalam database NIK.
37
XI. ANALISA SITUASI DAN SPSJ NASIONAL
MASA DEPAN
1.
Analisa situasi
Landasan hukum perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini masih
bersifat parsial dan belum terpadu. Sebagai contoh, jaminan sosial di bidang tenaga
kerja dilandasi dengan UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Jamsostek) yang mencakup Jaminan Hari Tua, Kematian, Kecelakaan Kerja, dan
Pemeliharaan Kesehatan bagi pegawai swasta; sedangkan penyelenggaraannya
dilaksankan oleh PT. Jamsostek. Jaminan kesehatan bagi PNS dilandasi oleh UU No. 2
Tahun 1992 dan PP 69 Tahun 1991 sedangkan pengelolaannya diselenggarakan oleh
PT Askes; Jaminan Hari Tua dan Pensiun bagi PNS diselenggarakn dengan landasan
UU No. 43 Tahun 1999 dan dikelola oleh PT Taspen. Contoh terakhir adalah Jaminan
TNI/Polri yang diselenggarakan berdasarkan UU No. 6 Tahun 1966 dan
pengelolaannya oleh PT Asabri.
Produk hukum yang bervariasi mengakibatkan banyaknya institusi/lembaga
yang melaksanakan perlindungan dan jaminan sosial. Menurut Tim SJSN dan beberapa
pemerhati asuransi sosial, hal ini berlawanan dengan hukum bilangan besar (law of the
large number), yaitu dengan cakupan besar (peserta) maka sebaran resiko (risk distribution)
akan lebih merata dan beban yang dipikul masing-masing peserta (premi) akan semakin
kecil.
Kelembagaan pengelolaan SPJS yang ada saat ini dilakukan oleh banyak
instansi. Misalnya, untuk asuransi sosial dikelola oleh BUMN, dibawah Departemen
Keuangan – tidak independent, yang juga bertujuan profit-oriented. Sementara itu, bantuan
sosial dikelola oleh banyak Departemen/LPMD, yang tidak jarang menimbulkan
tumpang tindih, karena lemahnya koordinasi.
Pengalaman beberapa negara yang cukup berhasil dalam pengelolaan
perlindungan dan jaminan sosial bagi masyarakatnya, menunjukkan bahwa
pengelolaan SPJS dilakukan oleh satu lembaga (centralized) yang independent. Lembaga
tersebut antara lain mempunyai otoritas untuk mengkoordinir, memantau pelaksanaan
program, mengelola dana dan investasi, serta melakukan pemasyarakatan program.
Prinsip yang digunakan adalah economic scale dan cost-effectivenes.
2.
Prinsip kemitraan dan pendanaan berbasis masyarakat
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah perlu dilakukan pengembangan
pemberdayaan masyarakat dan pranata-pranata lokal. Contohnya: pemberdayaan zakat,
infaq, dan sodaqoh (Islam), perpuluhan (Kristen) dan dharma (Hindu). Di samping itu,
bentuk-bentuk kearifan lokal yang sudah ada dan berkembang di masyarakat, perlu
terus diperkuat. Misalnya: Banjar di Kabupaten Gianyar, Bali – yang terkait erat
dengan desa adat – melalui iuran dana kesehatan untuk membantu pemangku adat yang
kehidupannya masih sulit; tabungan ibu bersalin (Tabulin) di Kabupaten Banyumas,
Jateng – melalui sistem tabungan untuk dana kesehatan terutama untuk biaya
38
persalinan pada saat ibu melahirkan; bapak angkat di Kabupaten Gianyar, Bali – dalam
bentuk “mutual benefit” antara pengusaha (dalam bentuk kemudahan perijinan dan
fasilitas internet) dengan murid dari keluarga miskin (dalam bentuk pelatihan
keterampilan/ kerajinan); dokter kontrak di Kabupaten Gianyar, Bali – dalam bentuk
iuran wajib kesehatan yang dibayarkan oleh kelompok masyarakat muslim kepada
dokter swasta dengan menggunakan sistem kontrak.
Bantuan sosial yang diberikan selama ini belum mencakup seluruh penduduk
(miskin, dan atau rentan – lansia terlantar, cacat, anak terlantar, anak jalanan,
komunitas adat terpencil). Di samping itu, banyak instansi pemerintah yang
melaksanakan skema ini, sehingga pemanfaatannya belum optimal. Bantuan sosial yang
bersumber dari dana masyarakat juga belum dikelola secara optimal.
3.
Pemikiran SPJS masa depan
SPJS merupakan suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial nasional yang
terpadu dengan memperhatikan kearifan lokal. Dengan otonomi daerah yang telah
dimulai sejak awal tahun 2001, kelembagaan yang menangani SPJS diharapkan juga
akan melibatkan partisipasi Pemda (termasuk kelembagaan, aspek hukum, dan
keuangan). Kelembagaan SPJS, selain independent, juga harus merupakan lembaga yang
non-profit oriented.
Berdasarkan diskusi lintas sektor dan para pakar terkait, baik di pusat dan
daerah, serta memperhatikan referensi hasil penelitian dan laporan yang telah
dikerjakan pihak-pihak lain, serta didukung oleh konsep yang dikembangkan oleh Tim
SJSN maka rekomendasi untuk SPJS Indonesia di masa depan dapat dikelompokkan
menjadi dua, SPJS yang terintegrasi dan yang tidak terintegrasi. SPJS terintegrasi akan
memadukan semua sistem asuransi sosial yang sudah ada ke dalam bentuk sistem
jaminan sosial nasional yang terpadu atau terintegrasi. Sedangkan SPJS yang tidak
terintegrasi diwujudkan dalam bentuk perlindungan sosial bagi seluruh masyarakat
Indonesia melalui pemberian atau akses untuk memperoleh pelayanan sosial dasar
seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan; dan pemberian jaminan sosial atau lebih
dikenal dengan istilah Social Security System bagi kelompok masyarakat yang memenuhi
syarat tertentu, misalnya para penyandang cacat yang tidak dapat bekerja dan penduduk
lanjut usia.
4.
SPJS yang terintegrasi
Pengertian jaminan sosial berdasarkan cakupan manfaat, pada dasarnya dapat
dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu: asuransi sosial (social insurance) dan
bantuan sosial (social assistance).
Pengertian asuransi sosial, persis seperti konsep asuransi pada umumnya.
Dengan demikian, besarnya premi merupakan sharing antara pemberi kerja (yaitu
pemerintah untuk PNS dan pengusaha untuk pegawai non-PNS/swasta) dan pekerja
(PNS atau pegawai non-PNS/swasta), yang mempunyai hubungan kerja. Perlu dicatat
bahwa asuransi sosial ini bersifat sosial, karena ditujukan untuk seluruh rakyat
Indonesia. Asuransi sosial dapat mencakup tunjangan kesehatan, kecelakaan kerja,
pemutusan hubungan kerja, tunjangan hari tua, pensiun, dan tunjangan kematian.
39
Sedangkan bantuan sosial, berupa bantuan dalam bentuk, misalnya, block grant
atau emergency fund dengan tujuan sosial. Bantuan Sosial ditujukan untuk masyarakat
umum,
seluruh penduduk Indonesia seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945.
Bantuan sosial ditujukan untuk mereka yang memerlukannya, dalam berbagai bentuk
seperti bantuan bencana alam untuk masyarakat yang terkena bencana banjir dan angin
topan di pesisir pantai.
Asuransi sosial mencakup tunjangan kesehatan, kecelakaan kerja, pemutusan
hubungan kerja, tunjangan hari tua, pensiun, dan tunjangan kematian. Sedangkan
bantuan sosial adalah jaminan bagi masyarakat miskin untuk memperoleh kebutuhan
hidup minimum.
Secara kelembagaan, penyelenggaraan Sistim Perlindungan dan Jaminan Sosial
diilaksankan oleh suatu lembaga yang bersifat nasional agar dapat memenuhi prinsip the
law of large number. Namun secara operasional dilaksanakan oleh kantor perwakilan di
daerah-daerah sesuai dengan kesiapan daerah.
5.
Peraturan perundangan-undangan
Perlu disusun suatu undang-undang Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial
yang mengatur seluruh penyelenggaraan perlindungan dan jaminan sosial yang akan
memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu kepada rakyat
Indonesia baik melalui pendekatan asuransi sosial maupun bantuan sosial.
40
XII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1.
Kesimpulan
1.
UUD 1945 merupakan landasan hukum yang kuat bagi terbentuknya
Perlindungan dan Jaminan Sosial. Beberapa pasal dalam UUD 1945 lebih
mempertegas hal tersebut, misalnya Pasal 27 – “Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”;
Pasal 31 – “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”; dan
Pasal 34 – “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh
negara”. Di samping itu, Pasal 34 Ayat 2 Perubahan UUD 1945 Tahun
2002 secara eksplisit menyatakan bahwa “Negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat”.
2.
Dasar penting lain selain UUD 1945 adalah Ketetapan MPR RI No.
X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh
Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001.
Dalam dokumen itu, Presiden RI ditugaskan secara tegas untuk
membentuk suatu sistem jaminan sosial nasional dalam rangka memberi
perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu kepada rakyat
Indonesia.
3.
Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang telah mulai bekerja
sejak tahun lalu, telah merampungkan Naskah Akademik tentang SJSN
yang akan menjadi acuan pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU)
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Bappenas, telah melakukan dua kajian secara intern:
Review sistem asuransi sosial di Indonesia yang dilaksanakan di
lingkungan Deputi Ekonomi.
4.
Kajian awal SPJS dilingkungan Deputi SDM dan Kebudayaan dengan
melibatkan departemen dan BUMN pengelola asuransi terkait.
5.
Dalam tahun 2003 kegiatan kajian awal di atas akan dilanjutkan dengan
penyusunan formulasi dasar kebijakan upaya pembentukkan SPJS.
Diharapkan tiga kajian di atas dapat menjadi landasan bagi Bappenas
untuk menyusun rekomendasi kebijakan kepada Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas.
6.
Bappenas telah memperoleh Technical Asistance (TA) dari ADB untuk
Sustainable Social Protection yang akan mulai dilaksanakan mulai
September 2003 sampai dengan Juni 2004, TA ini berupa pemberian
bantuan berbagai tenaga ahli yang meliputi social protection policy
specialist, social assistance/social insurance specialist, institutional
development specialist, legal specialist, financial analyst, labor specialist,
community development specialist, poverty specialist, dan gender
specialist. Diharapkan dengan bantuan ini, akan terbentuk suatu kerangka
kebijakan sustainable social protection khusus untuk Indonesia (bukan
mengadopsi sistem negara lain yang belum tentu sesuai dengan
Indonesia).
41
2.
7.
Bantuan dari ILO kepada Pemerintah Indonesia dengan sumber dana
yang berasal dari pemerintah Belanda. Kegiatan ini didasarkan pada
beberapa studi ILO tentang restrukturisasi social security system di
Indonesia. Aspek yang direview berkaitan dengan Jamsostek antara lain
pada aspek reform of pension, improvement benefit for work injuries, dan
provision unemployment benefit. Kegiatan ini juga mengkaji
kemungkinan pengembangan cakupan Jamsostek pada pekerja sektor
informal, misalnya para TKI (di Luar Negeri)
8.
Sejak beberapa tahun terakhir, Departemen Kesehatan telah
menyelenggarakan kegiatan Jaminan Pelayanan Kesehatan Mandiri
(JPKM) bagi para pekerja di sektor informal. Pengelolaannya
diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara JPKM di daerah yang
dibentuk oleh masyarakat bersama dengan dinas kesehatan setempat.
Dana yang terkumpul bersumber dari masyarakat sendiri, dan digunakan
untuk membiayai pelayanan kesehatan masing-masing peserta/keluarga
JPKM. Namun kegiatan ini kurang berkembang karena rendahnya minat
masyarakat. Saat ini penyelenggaraan di sebagian besar daerah masih
dalam tahap sosialisasi.
9.
Sejak beberapa waktu yang lalu, Departemen Sosial telah
menyelenggarakan uji coba Asuransi Kesejahteraan Sosial (Askesos) bagi
penduduk miskin yang bekerja di sektor informal terutama para pedagang
kaki lima, pedagang sayur, dan tukang becak di beberapa daerah.
Cakupan asuransi adalah perawatan kesakitan, kecelakaan, atau
meninggal dunia. Pendanaan kegiatan diselenggarakan melalui kegiatan
dan dana APBN.
Rekomendasi
1.
Berdasarkan kajian dalam Bab terdahulu, dapat disimpulkan bahwa
Indonesia perlu segera memformulasikan suatu Sistem Perlindungan dan
Jaminan Sosial Nasional. Paling tidak untuk tahap sekarang ini, sistem
yang mungkin dipikirkan dapat diramu dalam dua pilihan.

Pertama, suatu Sistem Jaminan Sosial Nasional yang terpadu,
seperti yang dibayangkan dalam tujuan Tim SJSN, guna melindungi
seluruh penduduk Indonesia yang bekerja dan meliputi aspek
hukum, kelembagaan, manfaat, kepersertaan, dan disain klasifikasi
sasaran. Pilihan ini memerlukan perombakan UU termasuk
sistemnya.

Kedua, suatu Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial Nasional
(SPJSN) yang terintegrasi dengan memperhatikan asuransi (yang
dibiayai oleh pemerintah dan peserta asuransi/orang yang punya
mata pencarian/bekerja) dan
bantuan
sosial. Asuransi
diselenggarakan dengan pendekatan klasifikasi kepesertaan (PNS,
ABRI, dan Swasta) asuransi sistem yang sudah ada hanya perlu
ditataulang dengan mereview UU yang sudah ada. Di samping itu,
diformulasikan UU yang berkaitan dengan bantuan sosial yang
pendanaannya berasal dari pemerintah (fully funded). Dengan
demikian suatu sistem SPJSN yang terintegrasi memadukan dan
42
menata asuransi dan bantuan sosial tanpa perlu merubah sistem
yang sudah ada secara total. Konsekuensi dari pilihan ini adalah
penataan sistem sebagai berikut:
o
Sebagian dari kegiatan APBN yang sudah berjalan sekarang
ini, terutama yang ditujukan untuk masyarakat miskin akan
menjadi
suatu
sistem
yang
berkelanjutan
yang
penyelenggaraan dan pembiayaannya tidak lagi sektoral
melainkan secara terpadu oleh suatu Badan tertentu.
2.
Dalam kaitan dengan pilihan manapun yang nantinya akan dilakukan
pemerintah, Sistem Nomor Penduduk Tunggal perlu digabungkan dengan
Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial Nasional. Identitas nomor
penduduk tunggal tersebut diharapkan akan menjadi semacam social
security number. Dengan demikian SPJSN akan mampu menentukan
target beneficiary secara tepat sasaran. Konsekuensi usaha mewujudkan
dan merancang sistem SPJS dan NIK adalah biaya yang besar dan waktu
yang cukup panjang.
3.
Dalam kaitan itu, catatan penting yang perlu menjadi perhatian semua
pihak terkait – baik instansi pemerintah maupun swasta serta lembagalembaga sosial dan masyarakat, adalah:
4.

Sistem asuransi sosial yang sudah ada dan berjalan baik dan sehat
tidak dihapuskan untuk memberi pilihan (option) bagi para pekerja
untuk memilih asuransi sosial yang sesuai dengan pilihannya

Pemberian kebebasan untuk ikut jaminan sosial tertentu yang
disukai masing-masing individu akan mememenuhi hak manusia
(human rights)

Sistem kearifan lokal yang sudah ada dan berjalan dengan baik
dikalangan masyarakat tetap dikembangkan karena merupakan
kekayaan budaya Indonesia dan merupakan bentuk ketahanan
masyarakat (community resilience)
Memperhatikan butir-butir di atas, dalam waktu beberapa tahun yang
akan datang diperlukan suatu desain Sistem Perlindungan dan Jaminan
Sosial yang terpadu untuk harmonisasi seluruh penyelenggaraan sistem
perlindungan dan jaminan sosial meliputi aspek perundangan-undangan,
cakupan manfaat, kelembagaan, serta target beneficiary/ kepersertaan,
termasuk disain klasifikasi penentuan sasaran.
43
LAMPIRAN
44
JADUAL KEGIATAN DAN NARA SUMBER
1.
RAPAT PENDAHULUAN
Rapat pendahuluan diselenggarakan di Bappenas.
1) 13 September 2002
Internal Bappenas (RR Dir. KKSPP, Bappenas).
Dihadiri oleh wakil-wakil Direktorat KKSPP, KGM,
AP, Ketenagakerjaan dan Analisis Ekonomi,
Pengembangan Otonomi Daerah, dan Direktur
Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah dan
staf
2) 19 September 2002
Internal, dengan direktorat terkait di Bappenas
(RR Dir. KKSPP)
yaitu KKSPP, KGM, AP,
Ketenagakerjaan
dan
Analisis
Ekonomi,
Pengembangan Otonomi Daerah, dan Kerjasama
Pembangunan Sektoral dan Daerah
3) 25 September 2002
Rapat ini diselenggarakan oleh Deputi SDM dan
Kebudayaan, Bappenas (RR Deputi SDM & K), dan
dihadiri oleh para Direktur Utama BUMN
penyelenggara jaminan sosial; Direktur Utama
Askes, Asabri, Jasa Raharja, Jamsostek, Taspen, dan
staf; serta Direktur dan staf Dit. KKSPP, Bappenas.
2.
Seminar dan Diskusi
Kegiatan ini diselenggarakan dengan dihadiri oleh undangan para pejabat
departemen terkait , BUMN, dan Universitas
1) 30 September 2002
Pembicara dari Departemen/LPND terkait
Tempat : RR SS 1-2 Bappenas
2)
7 November 2002
Pembicara dari BUMN penyelenggara jaminan sosial
Tempat: RR SS 1-2 Bappenas
NARA SUMBER:
1) Direktur Peraturan Perpajakan - Ditjen Pajak, DEPKEU
2) Direktur Asuransi - Ditjen Lembaga Keuangan, DEPKEU
3) Direktur Dana Pensiun - Ditjen Lembaga Keuangan, DEPKEU
4) Direktur Perundang-undangan - Ditjen Peraturan Perundang-undangan,
DEPKEHAM
5) Direktur JPKM - Ditjen Binkesmas, DEPKES
6) Direktur Jaminan Sosial - Ditjen Hubungan Industrial, DEPNAKERTRANS
7) Direktur Jaminan Sosial - Ditjen Banjamsos, DEPSOS
8) Sesditjen Dikdasmen, DEPDIKNAS
9) Direktur Informasi Kependudukan - Ditjen Administrasi Kependudukan,
DEPDAGRI
10) Direktur Utama PT Taspen
45
11) Direktur Utama PT Askes
12) Direktur Utama PT Jamsostek
13) Drs. Ari Hindrayono Mahar, MA - LPEM UI
3.
WAWANCARA
Kegiatan ini diselenggarakan di kantor/ruangan di instansi/lembaga/perusahaan
terkait:
1) Akhir September 2002 Deputi Seswapres Bidang Kesra/Kepala BKKBN
2) 19 November 2002
Tim SJSN
3) 14 Januari 2003
Depdagri
4) 15 Januari 2003
BPHN
5) 16 Januari 2003
Taspen dan Depkeh & HAM
6) 17 Januari 2003
Depsos
7) 20 Januari 2003
Depkeu (Asuransi)
8) 21 Januari 2003
Depnakertrans dan Jamsostek
9) 22 Januari 2003
Depkes
10) 24 Januari 2003
Depkeu (Pajak)
11) 27 Januari 2003
Depdiknas
12) 18 Februari 2003
Jasa Raharja
DAFTAR NAMA RESPONDEN/PEJABAT YANG DIINTERVIEW:
NO.
NAMA
JABATAN
INSTANSI
1.
Drs. Salusra Satria, MAF
Kasubdit Kelembagaan Asuransi-Dit.
Asuransi
Depkeu
2.
drs. Darmanto
Kasubdit Jaminan Sosial Dalam
Hubungan Kerja, Dit. Jamsos,
Pengupahan, & Kesejahteraan
Depnakertrans
3.
Parulian Lumban Toruan,
SH
Kasubdit Jaminan Sosial Luar
Hubungan Kerja, Dit. Jamsos,
Pengupahan, & Kesejahteraan
Depnakertrans
4.
Moh. Faisal Siddiq, MBA
Humas-Sekretariat PJPS Bidang
Pendidikan
Depdiknas
5.
Bambang Purwanto, Ph.D,
CPPA
Direktur Umum & Personalia
PT Jamsostek
6.
Bayu Kanishka, Ak., MPA
Kasi Pemotongan dan Pemungutan
PPH, Dit. PPh
Depkeu
7.
Drs. H. Mujito, Ak.
Kabagren, Sesditjen Dikdasmen
Depdiknas
8.
H. Supriyo Joko N., SSos.
Kepala Divisi Pelayanan
PT Jasa Raharja
9.
Ir. M. Wahyu Hidayat,
MP
Kasi Pengembangan Perangkat Lunak,
Dirjen Minduk
Depdagri
46
10.
Asnawi, SE
Kasubdit Identifikasi & Analisis Jamsos
Depsos
11.
drg. Usman Sumantri,
MSc.
Kasubdit Penyelenggaraan JPKM
Depkes
12.
Tim SJSN
Ketua dan Anggota Tim SJSN
Tim SJSN
13.
Ahmad Ubbe, SH, MH
Kapus Perencanaan Hukum
BPHN
14.
drs. Djoko Daljono
Direktur SDM
PT Taspen
15.
Drs. Isa
Kasubdit Pengembangan dan Pelayanan
Informasi
Depkeu-Dana
Pensiun
Ketua Tim SJSN
Deputi
Seswapres
Bidang
Kesra/Kepala
BKKBN
16.
Prof. DR. Yaumil Agoes
Achir
4.
TEMU TUKAR PENDAPAT (TTP)
Temu Tukar Pendapat (TTP) diselenggarakan dalam bentuk presentasi dan
diskusi dengan Bupati, Bappeda Kabupaten/kota, Kanwil, Dinas, Perguruan Tinggi,
LSM, anggota DPRD Kabupaten/Kota. TTP diselenggarakan di lima kabupaten/kota.
JADUAL
1) 11 Februari 2003 Kabupaten Gianyar
2) 20 Februari 2003 Kabupaten Banyumas
3) 28 Februari 2003 Kota Makassar
4) 14 Maret 2003 Kabupaten Asahan
5) 28 Maret 2003 Kota Manado
PESERTA
1) Bupati
2) Kepala Bappeda
3) Kepala Dinas terkait
4) DPRD kabupaten/kota
5) Ormas: Bazis, ISKPI, KOSGORO, KORPRI, Muhammadiyah, dll.
6) Akademisi: Univ.Hasanuddin (Unhas), Univ. Jendral Soedirman
(Unsoed), Univ. Wijaya Kusuma (Unwiku), Univ. Udayana (Unud),
STM Doi Roha
7) Penyelenggara jamsos: PT Jamsostek, PT Askes, PT Jiwasraya
8) LSM: Yayasan Biyung Emban, LP2M, Forum Perlindungan Anak, dll.
PEMBICARA/PENYAJI:
47
1. Kabupaten Gianyar
1) Kasubdin Binkesmas, Dinas Kesehatan
2) Kasubdin SLTA, Dinas Pendidikan
3) Kasi Badan Kesejahteraan Sosial, Dinas Kesos
4) Kapuslit PPLH Universitas Udayana
5) Kabid Sosbud, Bappeda
2. Kabupaten Banyumas
1) Kepala Bappeda
2) Kepala Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial
3) Kepala Dinas Pendidikan
4) Drs. Bambang Kuncoro, MSi., Dosen Fisip-Universitas Jendral Soedirman
5) Ketua KOSGORO
6) Kepala Cabang Jamsostek
3. Kota Makassar
1) Kepala Bappeda
2) Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
3) Kepala Dinas Tenaga Kerja
4) Kepala Dinas Sosial
5) Kasubid Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Bappeda
4. Kabupaten Asahan
1) Kepala Bappeda
2) Kepala Dinas Kesehatan
3) Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
4) Kepala Bidang Sosial
5) Dasril, SKM, Dinas Kesehatan
6) Rachmad Njt., Ikatan Sosial Kemalangan Pajak Ikan (ISKPI)
5. Kota Manado
1) J. Meruntu, Bappeko
2) J. Suwu, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
3) Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Kota
4) Dinas Pendidikan Nasional Kota
5) M. Tangel K., Dinas Kesehatan
6) Royke Elias, LSM
48
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Achmad Subianto (Dirut PT Taspen), Jaminan Sosial Pegawai Negeri Sipil, Makalah
disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas,
30 September 2002.
2. Ahmad Ubbe, SH, MH, Aspek Hukum Perlindungan dan Jaminan Sosial dalam
Pembangunan Hukum untuk Kesejahteraan Rakyat, Makalah disajikan dalam
Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 7 November
2002.
3. Ari Hindrayono Mahar, Sistem Perlindungan Sosial di Indonesia dan Permasalahannya,
Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di
Bappenas, 7 November 2002.
4. Baedhowi, Drs., MSi., Konsep Perlindungan dan Jaminan Sosial Bidang Pendidikan,
Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di
Bappenas, 30 September 2002.
5. BPS, Sensus Penduduk 2000, 2001.
6. BPS, BAPPENAS and UNDP, Indonesia Human Development Report 2001:
Towards a New Consensus, 2002.
7. Depkes dan Kesos-Ford Foundation, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat (JPKM) Pengertian dan Pelaksanaannya, Jakarta 2000.
8. Depsos, Jaminan Sosial bagi Kelompok Khusus/Sektor Informal, Pekerja Mandiri, dan
PMKS, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan
Sosial di Bappenas, 30 September 2002.
9. Direktorat Asuransi, Ditjen Lembaga Keuangan-Depkeu, Kebijakan Asuransi dalam
Rangka Mendukung Pengembangan Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial, Makalah
disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 7
November 2002.
10. Direksi PT Taspen (Persero), Materi Presentasi Direksi PT Taspen (Persero),
Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di
Bappenas, 30 September 2002.
11. Direktorat Informasi Kependudukan, Ditjen Adminduk-Depdagri, Keterkaitan
antara Jaminan Sosial dan Sistem Administrasi Kependudukan, Makalah disajikan
dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 30
September 2002.
12. Direktorat Jamsos, Pengupahan dan Kesejahteraan, Ditjen BinawasDepnakertrans, Jamsostek, Konsep dan Evaluasi Pelaksanaannya, Makalah disajikan
dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 30
September 2002.
13. Direktorat JPKM-Depkes, Kebijaksanaan Depkes dalam Pelayanan Kesehatan dengan
JPK Gakin, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan
Sosial di Bappenas, 30 September 2002.
14. Direktorat JPKM-Depkes, Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat, Draft September 2000.
15. Direktur Dana Pensiun, Depkeu, Kebijakan Dana Pensiun dalam Rangka
Mendukung Pengembangan Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial, Makalah
49
disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 7
November 2002.
16. Direktur PT Jamsostek, Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial bagi Tenaga Kerja
dan Evaluasi Pelaksanaannya, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem
Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 7 November 2002.
17. Direktur PT (Persero) Askes, Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial Bidang
Kesehatan PT (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia, Makalah disajikan dalam
Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 7 November
2002.
18. Direktur PT Taspen (Persero), Sistem Jaminan Sosial PNS dalam Era Korpri
Paradigma Baru, Makalah disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan
Jaminan Sosial di Bappenas, 7 November 2002.
19. Folland, Goodman, Stano, Social Insurance Programs, 1997.
20. Ign Mayun Winangun, Implementasi Kebijakan Perpajakan dalam Rangka
Mendukung Pengembangan Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial, Makalah
disajikan dalam Seminar Sistem Perlindungan dan Jaminan Sosial di Bappenas, 7
November 2002.
21. Sherman, Folland, Allen C. Goodman, dan Miron Stano, The Economics of
Health and Health Care (Second edition, Prentice Hall, Upper Saddle River,
New Jersey, 1993, pp. 495-496
22. Sulastomo, Dr., MPH, AAK, Asuransi Kesehatan Sosial Sebuah Pilihan, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
23. _____________ , Asuransi Kesehatan Diperlukan, Kompas, Rabu, 15 Mei 2002.
24. Tim SJSN, Konsep Naskah Akademik Sistem Jaminan Sosial Nasional (KNA-SJSN),
Jakarta, Februari 2003.
25. UNDP, Human Development Report 2002, 2003.
26. Yaumil Ch. Agoes Achir, Jaminan Sosial Nasional Indonesia,
Internet....Wbsite apa,
Agustus 2002.
50
Download