peran pimpinan pusat aisyiyah dalam pemberdayaan politik

advertisement
PERAN PIMPINAN PUSAT AISYIYAH DALAM
PEMBERDAYAAN POLITIK PEREMPUAN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Jajang Kurnia
NIM: 105032201069
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H. /2011 M
PERAN PIMPINAFT PUSAT'AISITTAH DALAM
PEMBERDAYAAhT POLITIK PEREMPUAN
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Iknu Sosial dan Politik
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Jaians Kurnia
10s0322010969
Di Bawah Bimbingan
NlrP. 19621m6 199003 1 002
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAIilLTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLMIK
UFIVERSITAS ISLAM I\TEGERI
SYARIF IIII}AYATTILLAH
JAKARTA
t432 rI/2011 M
,r
I
liillil
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PERAN PIMPINAN PUSAT 'AISYIYAH DALAM
PEMBERDAYAAN POLITIK PEREMPUAN, telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ihnu Politik UIN Syarif Hidayatullah
Jakartapada2l Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana sosial (S.Sos) pada Program Studi Sosiologi.
Jakafta,
2I Jwi201l
Sidang Munaqasyah,
Ketua Merangkap Anggota,
S
ekretaris Merangkap Anggota,
t
Dr. Zulkifly
NIP:
1966081
3
199103
1
161991032002
004
Anggota,
Penguji II
Penguji I
{a^*+
ffi:.fu,
u1"-' t
v
Dzuriyatun Toyibah. S.Ag. M.Si
NIP: 1 97608032003 122003
Iim Halimatusa'diyah. MA
NIP; 1 981 01,122011 012009
Dosen Pembimbing
NrP. 196210061 99003 1 002
LEMBAR PERNYATAAN
B i s mil I ahir r ahm
annirc ahim
Saya yang bertandatangan di bawah
ini:
Nama
Jajang Kumia
NIM
10503201069
Program Studi
Sosiologi
Jurusan
Sosiologi
Fakultas
Ilmu Sosial dan Ihnu Politik
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini
merupakan hasil karya ffiya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu
(Sl) di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber dalam tulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan
jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi berdasmkan ketentuan
yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
(Jajang
Kurda)
ABSTRAK
Jajang Kurnia
Peran Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dalam Pemberdayaan Politik Perempuan
Program pembangunan yang selama ini dijalankan oleh pemerintah belum
secara merata dinikmati oleh masyarakat. Salah satunya adalah kaum perempuan
yang belum sepenuhnya menikmati hasil pembangunan saat ini. Hal ini
dikarenakan partisipasi perempuan dalam pengambilan kebijakan masih cukup
rendah. Maka dari itu peningkatan partisipasi perempuan dalam politik
merupakan salah satu strategi yang cukup strategis agar kaum perempuan dapat
terlibat lebih jauh dalam pengambilan kebijakan agar lahirnya kebijakankebijakan yang memiliki sense of gender.
Peningkatan partisipasi perempuan dalam politik bukan hal yang mudah.
Semenjak pemilu pertama kali diselenggarakan di era reformasi, ternyata
partisipasi perempuan dalam parlemen (baca: DPR RI) masih rendah dari harapan
yakni 30 persen. Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua khusunya
kaum perempuan. Maka dari itu perlunya peran organisasi perempuan sebagai
kekuatan dari kaumnya sendiri untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Salah
satu peranan yang bisa dilakukan oleh organisasi perempuan adalah dengan
melakukan pemberdayaan politik kepada kaum perempuan.
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana pandangan ‘Aisyiyah terhadap
peran politik perempuan dan kegiatan pemberdayaan politik perempuan yang
diselenggarakan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah di era reformasi. Melalui metode
observasi wawancara dan studi dokumentasi terhadap Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah
diketahui bahwa Organisasi ‘Aisyiyah sangat terbuka terhadap peran politik
perempuan. ‘Aisyiyah berpandangan bahwa tidak ada larangan dalam Islam dan
budaya masyarakat Indonesia bagi perempuan untuk berperan di ruang publik,
baik untuk menjadi anggota dewan, kepala negara bahkan kepala negara
sekalipun. Pengertian politik dalam pandangan ‘Aisyiyah memiliki cakupan yang
luas, partisipasi perempuan dalam politik tidak hanya dalam lembaga politik
formal, seperti DPR RI. Partisipasi perempuan dalam kegiatan rapat-rapat di
tingkat desa/kelurahan juga merupakan bagian dari politik, karena kegiatan
tersebut berkaitan dengan pengambilan keputusan untuk masyarakat.
Secara organisasi ‘Aisyiyah tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis,
hal ini untuk menjaga kemurnian gerakan ‘Aisyiyah sebagai organisasi
masyarakat yang mana ‘Aisyiyah merupakan organisasi otonom khusus
Muhammadiyah dengan kegiatannya di bidang sosial, ekonomi, dan pendidikan.
Kegiatan ‘Aisyiyah di bidang politik dalam rangka merespon isu-isu sosial dan
politik saat itu. Misalnya sistem demokrasi langsung dan kuota 30 persen
perempuan dalam parlemen dan partai politik tidak disia-siakan oleh Pimpinan
Pusat ‘Aisyiyah untuk mengeluarkan kebijakan program pemberdayaan politik
perempuan, memberikan pendidikan politik kepada kaum perempuan. Program
tersebut termaktub dalam kegiatan-kegiatan diantaranya melalui seminar,
workshop, pengajian, kajian-kajian, penerbitan buku pendidikan politik, pelatihan
dan sebagainya.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kehadirat illahi rabbi, Allah swt yang
telah memberikan ar-rahman dan ar-rahim kepada hamba-hambaNya.
Teriring shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul Allah
yang telah membawa kita semua dari zaman jahiliyah ke zaman yang terang
benderang saat ini. Akhirnya, telah sampai sudah detik-detik perjuangan ini
untuk menuju ke gerbang ilmu pengetahuan yang selanjutnya.
Dengan
penuh suka cita dan peluh kesah akhirnya penulisan skripsi ini telah
terselesaikan dengan sebaik-sebaiknya dan dengan perjuanga semaksimal
mungkin.
Ini merupakan “kecelakaan” terbesar dalam dunia akademisi
penulis sehingga harus ke luar kota untuk penelitian skripsi.
Enam tahun sudah berjuang di kampus dalam ranah akademisi dan
pergerakan, hingga tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Kini semuanya itu
menjadi bekal pengalaman bagi penulis demi mencapai masa depan untuk
kehidupan yang lebih baik. Terhitung oleh penulis sejak pertama
mengajukan proposal hingga selesai sekarang ini yang sedang pembaca
pegang, sekitar enam bulan karya ilmiah disusun. Penulis menyadari tanpa
ada bantuan moril dan materil serta sumbangsih pemikiran, skripsi ini tidak
akan pernah ada dalam genggaman pembaca sekalian. Melalui kata
pengantar ini penulis sampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada pihak-pihak yang telah memberikan sumbangsih kepada penulis
hingga sampai hingga mengantarkan penulis menjadi seorang sarjana.
ii
Adapun pihak-pihak yang penulis sampaikan rasa syukur dan terima
kasih sedalam-dalamnya diantaranya:
1. Keluargaku tercinta; Mama, Bapak, Kakak dan Adik-adikku tercinta
terima kasih atas do‟a dan pengertian kalian sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi ini. Moril dan materil yang telah kalian berikan
tidak akan pernah penulis lupakan hingga akhir hayat.
2. Segenap seluruh jajaran karyawan dan dosen Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat atas torehan sejarah yang kalian ukir di hati nubari
penulis sewaktu masih menimba ilmu di sana. Tanpa mengurangi
rasa syukur penulis karena tidak menyebut satu persatu nama bapak,
ibu, mas, mba sekalian. Sumbangsih ilmu dan materil yang telah
kalian berikan kepada penulis cukup besar dan tak ternilai.
3. Segenap jajaran karyawan dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik atas torehan sejarah baru dalam keluarga akademis yang
kalian berikan kepada penulis diakhir-akhir perjuangan meraih gelar
akademisnya.
4. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku dosen mata kuliah dan
pembimbing dalam penyusunan skripsi ini. Rasa terimakasih
sedalam-dalamnya saya sampaikan kepada bapak karena telah
bersedia menjadi pembimbing penulis. Semoga Allah SWT
membalas kebaikan bapak dengan cara dan dalam bentuk yang lebih
baik.
5. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendi, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik. Walaupun penulis belum pernah secara langsung
iii
menimba ilmu dari bapak, ucapan terima kasih ini saya sampaikan
sebagai bentuk penghormatan penulis kepada bapak selaku petinggi
di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik serta bagian dari civil society
dalam mengawal bayi demokrasi di Republik ini melalui pemikiranpemikiran bapak.
6. The Second Family of Writer, kawan-kawan Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah Cabang Ciputat. Ayu, Zaki, Ipin, Indra, Hasbi,
Tarsih, Rijal, Kang Cecep, Kanda Fadhly, Kang Edi, Kang Ma‟ruf,
Kang Endi, terima kasih atas kebersamaanya karena kalian telah
menjadi keluarga kedua selama penulis menimba ilmu.
7. Kawan tiga serangkaiku di IMM Cabang Ciputat, kampus, serta
kehidupan luar. Toto, Amir terima kasih kebersamaan dan
pertolongan yang telah kalian berikan selama ini dan akan datang.
Mari kita mengejar mimpi-mimpi indah dan menjadikannya
kenyataan.
8. Adik-adikku tercinta di Ikatan Mahasiswa Cabang Ciputat. Yasin,
Beni, Iqbal, Welly, Fauzi, Fadhly, Beni, Zuhri, Adik, Fuji, Fahmi,
Syifa, Ukhti dll Ucapan terima kasih mendalam penulis sampaikan,
karena telah menemani penulis dalam mengaktualisasikan diri di
bidang politik. Mari kita jemput perubahan Hidup Progressive..!
9. Kawan-kawanku di kelas; Sahroji “Gho-Jiel”, Hasan “Kiv-Lie”,
Ade, Alfan, Syukri “Iwes”, Rosidi ”Erros”, Sri, Ariel, Naldi
“Jambronk”, Ibu Eva, Nenk serta teman lainnya yang tidak bisa
penulis sebut satu persatu namun tidak akan mengurangi rasa syukur
iv
dan terima kasih saat menimba ilmu. Canda dan tawa kalian menjadi
bagian yang tidak pernah terlupakan.
10. Segenap pengurus dan staf kantor Pimpinan Pusat „Aisyiyah, terima
kasih atas kerja sama yang telah terjalin selama penulis melakukan
penelitian untuk skripsi ini. Terima kasih banyak kepada Mba‟ Emy
yang
telah
membuka
jaringan
kepada
penulis
dalam
mempertemukan pihak-pihak yang terkait. Ibu Dra. Hj. Siti
Noordjannah Djohantini, MM, M.Si selaku Ketua Umum Pimpinan
Pusat „Aisyiyah, Ibu Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag dan Dra. Tri Hastuti
Nur Rochima, terima kasih telah besedia diwawancarai. Ucapan
kalian adalah sumber-sumber ilmiah dalam penulisan skripsi ini.
Terima kasih kasih Mba Tami, selaku staff kantor telah menerima
dan melayani penulis dengan baik dalam mencari sumber-sumber
dan informasi penelitian.
11. Segenap pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhamadiyah
(IPM) Yogyakarta. Bantuan kalian sangat fundamental saat penulis
melakukan penelitian skripsi. Terima kasih Mas Juan, Indra, Widia,
Kang Ajron, dan teman-teman IPM lainnya yang tidak bisa penulis
sebut satu persatu namun tidak akan mengurangi rasa syukur dan
terima kasih atas tumpangan gratis, sekaligus fasilitas-fasilitasnya
(kopi, air minum, mandi, listrik dsb) yang telah kalian berikan
selama seminggu lebih berada di Yogyakarta.
12. Kepada kawanku Lia terima kasih telah meminjamkan si Pinky
sehingga membantu mobilitas penulis selama di Yogyakarta. Mas
v
Sobar dan Bang Malik, IMM tercinta telah menyatukan kita dalam
kultur kekeluargaan. Terima kasih telah menjadi bagian perjalanan
penulis selama di Yogyakarta.
13. Terakhir, penulis ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada Laela Fadhilah. Kamu adalah wanita satu-satunya yang
pernah menjadi bagian hidup penulis selama menimba ilmu di
kampus kita tercinta ini, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga
kau hidup bahagia bersama suamimu, karena dia adalah orang
terbaik yang telah dipilih oleh Allah SWT untuk menemanimu
hingga akhir hayat nanti. Amin
Demikian kata pengantar ini sampaikan sebagai bentuk apresiatif
kepada pihak-pihak baik intansi maupun individu-individu yang menjadi
bagian terpenting dan terindah selama menimba ilmu.
Yogyakarta, 07 April 2011
Penulis,
Jajang Kurnia
105032201069
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK
i
KATA PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
BAB I
vii
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
B. Tinjauan Pustaka
5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
7
D. Tujuan Penulisan
8
E. Manfaat Penulisan
8
F. Metode Penelitian
9
1.Waktu dan Tempat
9
2.Tekhnik Pengumpulan Data
9
3.Analisis Data
9
G. Sistematika Penulisan
BAB II
BAB III
10
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Pemberdayaan
12
B. Program dan Strategi Pemberdayaan
13
C. Pengertian Politik
17
D. Politik Perempuan di Indonesia
18
E. Gerakan Gender dan Feminisme di Indonesia
26
‘AISYIYAH DAN PEMBERDAYAAN POLITIK
PEREMPUAN
A. Mengenal Sejarah ‘Aisyiyah dan Perkembangannya
29
1. Kelahiran ‘Aisyiyah
31
2. Perkembangan Struktur Organisasi ‘Aisyiyah
32
3. Kiprah dan Perjuangan ‘Aisyiyah
36
vii
B. Pandangan ‘Aisyiyah Tentang Politik Perempuan
39
C. Strategi dan Kegiatan PP ‘Aisyiyah dalam Pemberdayaan
Politik Perempuan
49
1. Strategi-strategi Pemberdayaan
49
2. Program-program Pemberdayaan
54
D. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Pemberdayaan
Politik Perempuan
66
1. Faktor-faktor Pendukung
66
2. Faktor-faktor Penghambat
67
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
69
B. Rekomendasi
71
DAFTAR PUSTAKA
74
LAMPIRAN-LAMPIRAN
77
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak reformasi bergulir pada tahun 1998, Indonesia telah tiga kali
menyelenggarakan PEMILU (Pemilihan Umum), namun presentase keterwakilan
perempuan di lembaga legislatif (DPR RI) masih berbanding jauh dengan lakilaki. Pada Pemilu 1999 keterwakilan perempuan di parlemen semakin menurun
dibandingkan era orde baru. Padahal Pemilu 1999 merupakan penyelenggaraan
pemilu pertama di iklim yang lebih demokratis. Representasi perempuan di DPR
RI hanya mencapai angka 9% saja.
Efek domino dari fakta-fakta di atas berdampak pada pengabaian
kepentingan perempuan karena kurang diikutsertakannya perempuan dalam
berbagai perumusan legislasi. Hal yang paling nampak dikeluarkannya berbagai
produk hukum yang kurang ramah terhadap kaum perempuan. Saat ini muncul
perda-perda yang sarat bermuatan politik pencitraan dan mengkonstruksikan
seksualitas perempuan. Salah satu bentuk
domestifikasi perempuan adalah
larangan untuk keluar malam karena adanya anggapan bahwa perempuan yang
keluar malam bukan perempuan yang baik-baik dan berpotensi melakukan
perbuatan maksiat. Faktanya belum tentu benar karena di masyarakat Indonesia
perempuan-perempuan dari kalangan keluarga miskin biasanya harus berada di
1
2
jalan dan tempat umum untuk beraktifitas di sektor ekonomi informal di malam
hari.1
Perjuangan di ranah grass root, gerakan sosial kemasyarakatan belum
cukup kuat dalam mendesak pemerintah selaku pihak yang berkuasa. Dalam
memperjuangkan kesetaraan dan melindungi perempuan dari segala bentuk
kekerasaan baik dalam keluarga (domestik) maupun pada saat mereka bekerja
(publik), harus pula dibarengi secara bersama-sama dalam pergerakannya baik
melaui jalur politik maupun gerakan akar rumput.
UU RI No 10 tahun 2008 tentang Partai Politik pasal 2 ayat 5 dan UU RI
No 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPRD-DPD-DPR RI pasal
53 yang memperjuangkan kuota perempuan dalam parlemen belum memperoleh
hasil yang maksimal. Padahal peningkatan partisipasi perempuan dalam parlemen
merupakan salah satu strategi yang strategis bagi perempuan dalam melahirkan
kebijakan atau peraturan-peraturan yang ramah terhadap perempuan.2
Menurut Sucipto (2005) permasalahan mengenai peningkatan partisipasi
perempuan dalam politik bukan pekerjaan rumah partai politik saja tapi
diperlukan pula peran serta civil society, kalangan akademis dan masyarakat
umum. Peranan organisasi perempuan sangat diperlukan dalam memberikan
pendidikan politik kepada pemilih perempuan agar mereka dapat memilih secara
dewasa dan independen. Selain itu, organisasi perempuan sangat diperlukan untuk
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan perempuan dan
politik. Hal itu bertujuan selain memperoleh dukungan juga memberikan
1
Lisa Wulansari, ed, Buku Referensi Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap
Perempuan di Lingkungan Peradilan Umum, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2009), h. 53
2
Ani Widya Sucipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, (Jakarta: Kompas, 2005), h. 59
3
pengetahuan dan wawasan kepada masyarakat agar mereka menjadi lebih cerdas
dalam memilih. Selain itu, hal yang tidak kalah pentingnya peran civil society
turut pula meningkatkan kemampuan mencari dana untuk mendukung kegiatan
kampanye. Kandidat perempuan biasanya tidak memiliki dana yang cukup, dan ia
tidak mungkin mengharapkan kocek suaminya, sedangkan kendaraan politiknya
sendiri enggan mengalokasikan dana untuk kampanye caleg perempuannya.
Perempuan
harus
memiliki
peranan
aktif
menjadi
agen
dalam
pembangunan, mengingat kuantitas perempuan saat ini lebih banyak dari pada
laki-laki. Agar perempuan memiliki peranan penting dalam pembangunan, tentu
saja diperlukan pemberdayaan terhadap perempuan oleh kaum perempuan itu
sendiri. Melalui pemberdayaan perempuan diharapkan dapat memberikan
wawasan dan pengetahuan kepada mereka sehingga tidak lagi terdiskriminasi oleh
pembangunan.
Peranan organisasi perempuan sebagai sebuah kekuatan dari kaumnya
sendiri untuk melakukan gerakan sosial, salah satunya melalui pemberdayaan.
Analisa ini sejalan dengan pendapat Kindervatter, ia memandang bahwa
pemberdayaan merupakan proses pemberian kekuatan atau daya dalam bentuk
pendidikan yang bertujuan bangkitnya kesadaran, pengertian, dan kepekaan warga
belajar terhadap perkembangan sosial, ekonomi, dan politik.3 Salah satu tujuan
pemberdayaaan politik perempuan diharapkan terjadinya peningkatan partisipasi
perempuan dalam politik, sehingga tidak ada lagi kebijakan-kebijakan
pembagunan yang tidak mengindahkan kepentingan perempuan.
3
Anwar, Manajemen Pemberdayaan Perempuan, (Bandung: Alfabeta, 2007), h.77
4
Sebagai sebuah organisasi perempuan yang telah berkiprah cukup lama,
dalam usianya yang berdiri hampir bersamaan dengan organ induknya. „Aisyiyah
memiliki nilai lebih sebagai sebuah organisasi yang lahir sebelum Indonesia
merdeka. „Aisyiyah yang dilahirkan dari rahim Muhammadiyah bertujuan untuk
memajukan kaum perempuan sesuai dengan tuntutan dan ajaran Islam. Sejak
berdirinya Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan membina kaum perempuan
dengan membentuk kelompok pengajian khusus perempuan di bawah bimbingan
beliau dan istrinya Nyai Walidah dengan nama “Sopo Tresno”.4 Selain itu KH.
Ahmad Dahlan menggerakkan dan mengadakan kursus-kursus, pengajian khusus
puteri dan turut membantu mendirikan sekolah puteri.5
Dalam usianya yang menginjak hampir satu abad, „Aisyiyah tentu telah
memiliki peranan yang cukup signifikan dalam memberdayakan perempuan di
tanah air. Organisasi „Aisyiyah telah memiliki 33 Pimpinan Wilayah „Aisyiyah
(setingkat provinsi), 370 Pimpinan Daerah „Aisyiyah (setingkat kabupaten), 2332
Pimpinan Cabang „Aisyiyah (setingkat kecamatan) dan 6924 Pimpinan Ranting
„Aisyiyah (setingkat kelurahan). Muhammadiyah sebagai organisasi induk dari
„Aisyiyah terkenal dengan amal usahanya, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi
Muhammadiyah tersebar hampir di seluruh propinsi di Indonesia. Seperti halnya
Muhammadiyah, tidak sedikit amal usaha yang dimiliki „Aisyiyah. Berdasarkan
data yang dihimpun dari Website Pimpinan Pusat „Aisyiyah, amal usaha
organisasi ini di bidang pendidikan saja telah berjumlah 4560 yang terdiri dari
4
Mahasri Shobahiya dkk, Studi kemuhammadiyahan, 7th ed. (Surakarta: LPID-UMS,
2008), h. 118
5
Sukanti Suryochondro, Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, (Jakarta: CV Rajawali,
1984), h. 78
5
Kelompok Bermain, Pendidikan Anak Usia Dini, Taman Kanak-Kanak, Tempat
Penitipan Anak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan lain-lain.6
Selain di bidang pendidikan, sosial dan ekonomi, lantas bagaimana dengan
gerakan Pimpinan Pusat „Aisyiyah di bidang politik pada era reformasi?
Berdasarkan analisa dan data-data sederhana yang telah dipaparkan di atas
menjadi sebuah ketertarikan bagi penulis untuk menganalisa lebih lanjut dan
menjadi karya ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul “PERAN PIMPINAN
„AISYIYAH
PUSAT
DALAM
PEMBERDAYAAN
POLITIK
PEREMPUAN”.
B. Tinjauan Pustaka (Literature Review)
Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan, penulis menemukan
beberapa karya ilmiah sebelumnya dalam bentuk tesis dan skripsi dengan tema
yang berkaitan dengan perempuan, pemberdayaan dan politik. Dari beberapa
karya ilmiah tersebut penulis hanya mengambil dua tesis sebagai literature review
dalam penyusunan skripsi ini. Adapun karya ilmiah tersebut, pertama tesis Rita
Pranawati yang berjudul THE IDEA OF FEMALE LEADERSHIP AMONG
MUHAMMADIYAH
ELITE
MEMBERS
AFTER
THE
45TH
NATIONAL
CONFERENCE (2005). Pada tesis ini, Pranawati menjelaskan bahwa Organisasi
Muhammadiyah cukup responsif terhadap kemajuan perempuan dan penerimaan
keberadaan perempuan untuk menjadi pemimpin dalam kultur Muhammadiyah.
Hasil penelitiannya yang memaparkan, tidak sedikit perempuan yang menduduki
posisi penting di Pimpinan Muhammadiyah baik di tingkatan majelis maupun
lembaga.
6
http://www.‟Aisyiyah.or.id/modules/view/11 diakses pada 25 November 2010
6
Kedua, tesis Siti Syamsiyatun dengan judul MUSLIM WOMEN’S
POLITICS IN ADVANCING THEIR GENDER INTERESTS: A Case-Study of
Nasyiatul ‘Aisyiyah in Indonesian New Order Era. Karya Syamsiyatun ini
menjelaskan mengenai strategi perjuangan organisasi Nasiyatul „Aisyiyah bagi
kemajuan perempuan di tanah air agar tidak terdiskriminasi dalam pembangunan
yang dicanangkan oleh pemerintah orde baru. Adapun program-program
pemberdayaan perempuan yang dijalankan oleh Nasiyatul „Aisyiyah antara lain
pelatihan muballighat, kewirausahaan, keluarga sakinah, politik/pendidikan
pemilih.
Selain dua tesis tersebut di atas, dalam penyusunan skripsi ini juga
mengambil dua skripsi sebelumnya sebagai bahan literature review, sebagai
bahan pertimbangan skripsi tersebut mengambil studi kasus yang sama yakni,
Organisasi „Aisyiyah. Skripsi pertama berjudul Peran Organisasi ‘Aisyiyah dalam
Perubahan Sosial (Studi Kasus: „Aisyiyah Kelurahan Petir, Kecamatan Cipondoh,
Tanggerang), karya Kiki Zakiyah (2006) dan skripsi kedua berjudul Manajemen
Pendidikan dan Latihan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dalam Pemberdayaan Kaum
Perempuan di Jakarta, karya Siti Lastariyah (2007).
Pada tesis pertama pembahasan terbatas pada penjelasan kepemimpinan
perempuan dalam kultur Muhammadiyah dan tesis kedua mengenai strategi
Nasiyatul „Aisyiyah dalam pemberdayaan perempuan pada era orde baru dan
belum menyentuh pada pembahasan mengenai pemberdayaan politik perempuan
lebih dalam. Pada pembahasan skripsi pertama terbatas pada aspek-aspek respon
masyarakat dalam mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh
Organisasi „Aisyiyah Kelurahan Petir, Kecamatan Cipondoh, Tanggerang.
7
Sedangkan skripsi kedua terbatas pada metode-metode yang digunakan oleh
Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam kegiatan pemberdayaan kaum perempuan di
Jakarta.
Demikian pembahasan dari keempat karya ilmiah tersebut belum
membahas masalah yang berkaitan dengan pemberdayaan politik perempuan pada
era reformasi. Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk meneliti lebih lanjut
tentang peran Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam pemberdayaan politik perempuan
selama 10 tahun terakhir ini, yang tertuang dalam judul “Peran Pimpinan Pusat
„Aisyiyah dalam Pemberdayaan Politik Perempuan”
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian dan penulisan skripsi terbatas pada
menganalisa kegiatan dan strategi Pimpinan Pusat „Aisyiyah yang berkaitan
dengan pemberdayaan politik perempuan di era reformasi, sepanjang tahun 20002010. Pengurus atau anggota Pimpinan Pusat „Aisyiyah menjadi objek dalam
penelitian ini sebagai narasumber untuk menggali informasi yang diperlukan.
Mengingat luasnya cakupan studi kasus yang digunakan dalam
penyusunan skripsi ini yakni Pimpinan Pusat „Aisyiyah maka perumusan
permasalahan dalam penyusunan skripsi ini terbatas pada pertanyaan berikut ini:
1. Bagaimana
pandangan
Organisasi
„Aisyiyah
terhadap
peran
politik
perempuan?
2. Bagaimana kegiatan
dan strategi Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam
pemberdayaan kaum perempuan di bidang politik pada era reformasi?
3. Faktor-faktor pendukung atau penghambat Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam
pemberdayaan politik perempuan?
8
D. Tujuan Penulisan
Sebagai sebuah karya ilmiah, sudah tentu adanya tujuan yang diharapkan
dari penulisan skripsi ini, adapun tujuan-tujuan tersebut antara lain sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui pandangan Pimpinan Pusat „Aisyiyah terhadap peran
politik perempuan.
2. Untuk mengetahui kegiatan dan strategi Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam
pemberdayaan politik perempuan di era reformasi.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat Pimpinan Pusat
„Aisyiyah dalam pemberdayaan politik perempuan.
E. Manfaat Penulisan
Selain tujuan ada pula manfaat yang diharapkan oleh penulis dalam
penyusunan karya ilmiah. Manfaat penulisan ini selain bersifat akademis, tidak
bisa penulis pungkiri ada pula bersifat praktis. Adapun manfaat penulisan skripsi
ini adalah sebagai berikut:
1.
Karya ilmiah ini penulis harapkan dapat bermanfaat untuk menambah
khasanah ilmu tentang pemberdayaan politik perempuan.
2.
Karya ilmiah ini sekiranya dapat memberikan informasi tentang kegiatan dan
strategi „Aisyiyah dalam pemberdayaan politik perempuan.
3.
Terakhir, manfaat praktis dari penyusunan karya ilmiah ini agar penulis
mendapatkan gelar sarjana Strata Satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dengan gelar S.Sos.
9
F. Metode Penelitian
Penyusunan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif
yakni penelitian yang datanya tidak diperoleh melalui prosedur kuantifikasi,
perhitungan statistik atau bentuk cara-cara lainnya yang mengunakan ukuran
angka-angka.7 Pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis dalam penyusunan
karya ilmiah ini menggunakan metode-metode sebagai berikut:
1. Waktu dan Tempat
Observasi atau penelitian skripsi ini dilakukan dalam kurun waktu sekitar satu
minggu di Kantor Pimpinan Pusat „Aisyiyah yang beralamat di Jl. KH. Ahmad
Dahlan 32, Yogyakarta.
2. Tekhnik Pengumpulan Data
a) Wawancara. Penulis melakukan wawancara terbuka kepada pengurus
Pimpinan Pusat „Aisyiyah dan individu-individu yang terlibat dalam
kegiatan pemberdayaan politik perempuan baik peserta maupun panitia.
b) Studi
Dokumen.
Penulis
juga
melakukan
studi
dokumen
yakni
mengobservasi dokumen-dokumen yang memiliki keterkaitan dengan
sumber data penelitian skripsi ini diantaranya buku, modul, laporan
pertanggungjawaban, dan sebagainya.
3. Analisis Data
Setelah data dan informasi yang dibutuhkan cukup kemudian penulis
menganalisanya melalui analisa kualitatif, dalam bentuk narasi deskriftif
7
Wahyono, “Pengertian Penelitian Kualitatif”, artikel diakses pada 10 Mei 2011 dari
http://penelitianstudikasus.blogspot.com/2009/03/pengertian-penelitian-kualitatif.html
10
tentang pandangan dan peran Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam pemberdayaan
politik perempuan. Laporan kegiatan baik dalam bentuk buku, makalah, draf
dan sebagainya yang telah dikumpulkan kemudian penulis analisa dan
mengkaitkannya dengan teori pemberdayaan. Hasil wawancara kepada
pengurus dan individu-individu yang terlibat dalam kegiatan pemberdayaan
politik perempuan, tidak terkecuali pula untuk dianalisa. Hal ini sangat penting
karena melalui wawancara data yang diperoleh lebih mendalam.
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penyususan bab-bab pada karya
ilmiah ini adalah sebagai berikut:

Bab I: Pada bab ini mengenai pendahuluan seperti latar belakang
permasalahan, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, metode penelitian, analisis data, tinjauan pustaka
dan
sistematika penulisan

Bab II: Pada bagian ini penulis mengkaji teori-teori yang dipakai dalam
penyusunan karya ilmiah ini, yakni pengertian pemberdayaan, program dan
strategi pemberdayaan, pengertian politik, politik perempuan di Indonesia,
gerakan gender dan feminisme di Indonesia.

Bab III: Pada bab ini akan membahas hasil penelitian mengenai „Aisyiyah dan
pemberdayaan politik perempuan yang meliputi: mengenal sejarah „Aisyiyah,
pandangan „Aisyiyah tentang politik perempuan, strategi dan kegiatan
Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam pemberdayaan politik perempuan serta
faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam pemberdayaan politik
perempuan.
11

Bab IV: Pada bab terakhir ini penulis membuat suatu kesimpulan penulisan
ilmiah ini dan rekomendasi-rekomendasi yang ditujukan baik untuk objek
yang diteliti maupun bagi kalangan akademis (mahasiswa dan dosen) apabila
ingin menelaah lebih lanjut terhadap konsen ini.

Lampiran-lampiran

Daftar Pustaka
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Pemberdayaan
Istilah pemberdayaan telah berkembang dan dipopulerkan oleh Engleberg,
Rappaport, dan Hess sekitar tahun 1980an sebagai suatu strategi prevensi dan
intervensi masyarakat. Melalui mereka telah terjadi pergeseran dan perkembangan
mengenai pemberdayaan, yang semula dikenal pada tingkat mikro-individual
kearah pemberdayaan kelompok dan masyarakat1.
Pemberdayaan merupakan
suatu upaya untuk mengenal, memahami kebijakan dan dapat mengatur atau
menguasai kehidupan, keterampilan, dan kedudukannya menjadi partisipan kritis
dan efektif dalam masyarakat, termasuk mengubah kekuatan itu 2.
Dalam kaidah Bahasa Indonesia pemberdayaan berawal dari kata daya,
yang artinya kemampuan melakukan sesuatu; proses, cara, sedangkan pengertian
pemberdayaan adalah perbuatan memberdayakan.3 Menurut Suharto (2005) secara
konseptual, pemberdayaan erat kaitannya dengan pemberkuasaan (empowerment),
berasal dari kata “power” (kekuasaan atau keberdayaan). Pengertian kekuasaan
seringkali dikaitkan dengan kemampuan seseorang untuk membuat orang lain
melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka.
Adapun di bawah ini definisi-definisi pemberdayaan menurut beberapa ahli dilihat
dari tujuan, proses, dan cara-cara pemberdayaan.4
1
Anwar, Manajemen Pemberdayaan Perempuan, (Bandung: Alfabeta, 2007), h. 77
Ibid., h. 79
3
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 3rd. (Jakarta:
Balai Pustaka, 2007), h. 241
4
Edi Suharto, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2005), h. 58-59
2
12
13
1. Pemberdayaan memiliki tujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang
yang lemah atau tidak beruntung (Jim Ife).
2. Pemberdayaan adalah sebuah proses agar orang-orang menjadi kuat untuk
berpartisipasi, mengontrol, dan mempengaruhi segala kejadian dan lembagalembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan memberikan
keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan seseorang sehingga orang tersebut
bisa mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi
perhatiannya (Talcot Parson).
3. Pemberdayaan memiliki keterkaitan pada usaha pengalokasian kembali
kekuasaan melalui perubahan struktur sosial (C. Swif dan G. Levin).
4. Pemberdayaan adalah suatu cara menyatukan dan mengarahkan rakyat,
organisasi dan komunitas agar mampu menguasai atau berkuasa atas
kehidupannya (J. Rappaport).
Berdasarkan
pendapat
beberapa
ahli
di
atas
mengenai
definisi
pemberdayaan, terdapat suatu kesimpulan bahwa pemberdayaan adalah suatu
proses atau cara dalam bentuk serangkaian kegiatan kepada masyarakat atau
kelompok lemah agar mereka mampu berkuasa atas kehidupannya.
B. Program dan Strategi Pemberdayaan
Pelaksanaan
pemberdayaan
masyarakat
diperlukan
program
dan
pengkoordinasian dalam aktivitasnya agar tujuan dari pemberdayaan itu sendiri
tepat sasaran dan sesuai harapan masyarakat atau individu yang diberdayakan
maupun pelaksana kegiatan pemberdayaan tersebut. Pemberdayaan merupakan
bagian suatu kegiatan sosial tidak terkecuali pemberdayaan politik perempuan,
maka penetapan sebuah program sangat diperlukan melalui perencanaan program.
14
Di bawah ini terdapat empat model perencanaan program yang biasa dipakai
dalam pelayanan kesejahteraan sosial5:
1.
Model Rasional Komprehensif
Model perencanaan ini biasa digunakan oleh pemerintah sebagai pembuat
keputusan dalam kebijakan pembangunan. Model perencanaan ini lebih
menekankan pada aspek-aspek metodologis yang berdasarkan fakta-fakta, teoriteori dan nilai-nilai yang dianggap relevan. Pada model ini terlebih dahulu
permasalahan
diagnosis
kemudian
dibuat
perencanaan
program
yang
komprehensif kemudian diuji efektivitasnya agar ditemukan jalan keluar
permasalahan untuk mencapai tujuan yang paling sempurna. Sesuai namanya,
model ini bersifat komprehensif terkadang program yang diusulkan tidak tepat
dan kongkrit pada permasalahan di lapangan.
2.
Model Inkremental
Model inkremental atau penambahan lahir sebagai jawaban atas
kekurangan pada model rasional komprehensif. Pada model ini perubahan tidak
tidak dilakukan secara radikal atau komprehensif, namun melakukan perubahanperubahan kecil saja, sekedar menambahkan pada aspek-aspek program yang
sudah ada. Model ini sejatinya tidak secara langsung membuat program secara
menyeluruh pada masyarakat yang akan diberdayakan dan tidak perlu
menentukan tujuan-tujuan.
3.
Model Pengamatan Terpadu
Model yang dikembangkan oleh Amitai Etzioni ini merupakan perpaduan
dari model pertama dan kedua yakni melakukan penjajakan alternatif-alternatif
5
Ibid., h. 73-74
15
utama pada keputusan fundamental kemudian dihubungkan pada tujuan.
Keputusan-keputusan inkremental atau tambahan dibuat dalam konteks yang
ditentukan oleh keputusan-keputusan fundamental.
4.
Model Transaksi
Model terakhir ini merupakan model yang paling efektif dalam kegiatan
pemberdayaan. Perencanaan program melibatkan proses interaksi antara
stakeholder dengan masyarakat atau individu-individu yang akan diberdayakaan.
Komunikasi yang bersifat pribadi baik lisan maupun tulisan dan terus-menerus
dapat menemukan permasalahan yang kongkrit, sehingga program pemberdayaan
tepat sasaran sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh pihak penerima
pelayanan.
Setelah model perencanan program ditentukan, tahapan selanjutnya adalah
proses perencanaan program. Terdapat lima tahapan yang harus dilakukan dalam
melakukan perencanaan program yakni (1) identifikasi masalah, ini erat kaitannya
dengan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat atau individu yang
akan diberdayakan karena setelah permasalahan teridentifikasi maka akan
direspon pada suatu program, (2) penentuan tujuan, harapan yang akan dicapai
dalam kegiatan pemberdayaan perlu dibuat agar sejalan dengan program-program
yang akan dilaksanakan, (3) penyusunan dan pengembangan program, membuat
rencana program yang sistematis dengan menyertakan tujuan-tujuan yang akan
dicapai baik tujuan khusus maupun umum. Kegiatan ini perlu mempertimbangkan
identifikasi program alternatif dan hasil yang akan dicapainya, penentuan biaya,
dan pemilihan program-program alternatif yang telah dibuat tadi6.
6
Ibid., h. 75-78
16
Pada dasarnya kegiatan pemberdayaan dilakukan secara kolektifitas atau
kelompok dan biasanya dilakukan oleh organisasi dengan serangkaian kegiatan
seperti pelatihan keterampilan tertentu, seminar sehari atau workshop. Proses
pemberdayaan dilakukan secara kelompok kepada sekelompok individu yang
akan diberdayakan, namun tidak menutup kemungkinan strategi pemberdayaan
dilakukan secara individual yakni satu-lawan satu antara pekerja sosial dan klien,
meskipun sebenarnya hal ini tetap berkaitan dengan kolektivitas. Menurut Suharto
terdapat tiga aras strategi yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan pemberdayaan
yakni:
1. Aras Mikro. Pemberdayaan melalui pendekatan secara individu melalui
bimbingan, konseling dan sebagainya.
2. Aras Mezo. Pemberdayaan yang dilakukan terhadap sekelompok klien melalui
pendidikan dan pelatihan.
3. Aras Makro. Pemberdayaan dengan pendekatan pada sasaran perubahan yang
diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas seperti perumusan kebijakan,
lobbying, pengorganisasian masyarakat dan kampanye7.
Masih menurut Suharto, dalam pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan
pemberdayaan diperlukan pendekatan 5P, yaitu: (1) Pemungkinan, menciptakan
kondisi dan suasana sekondusif mungkin agar potensi masyarakat berkembang
secara optimal, (2) Penguatan, memperkuat pengetahuan dan potensi masyarakat
agar mereka mampu memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhannya, (3)
Perlindungan, melindungi masyarakat agar tidak terjadi diskriminasi antara
kelompok kuat terhadap kelompok lemah sehingga terhindar dari persaingan yang
7
Ibid., h. 66-67
17
tidak sehat antara keduanya, (4) Penyokongan, pemberian dukungan serta
bimbingan pada masyarakat yang diberdayakan agar mereka mampu bangkit dari
kelemahannya dan tidak terperosok atau terpinggirkan, (5) Pemeliharaan,
perlunya pemeliharaan kondisi yang kondusif di dalam masyarakat8.
Demikian pemaparan mengenai program dan strategi yang biasa dilakukan
dalam kegiatan pemberdayaan agar proses dan tujuan dari kegiatan ini bisa
berjalan dengan baik dan sukses. Seperti yang dikemukakan kebanyakan para ahli,
kegiatan pemberdayaan merupakan sebuah proses dan tujuan sehingga dibutuhkan
perencanaan yang kuat dan matang di dalam programnya.
C. Pengertian Politik
Pembahasan mengenai pengertian politik selalu disandarkan pada kata
polis yang dikembangkan oleh Filosof Aristoteles di Yunani Kuno yang berarti
kota. Aristoteles memandang politik sebagai penerapan kota terbaik. Berdasarkan
pandangan yang telah dikemukakan oleh Aristoteles mengenai “Negara-Kota”,
beberapa ahli memberikan pandangan yang beragam mengenai pengertian politik,
adapun di bawah ini pendapat beberapa ahli mengenai ilmu politik:9
1. Delia Noer menyatakan ilmu politik memusatkan perhatian pada masalah
kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat.
2. Menurut Fleichteim, ilmu politik adalah ilmu sosial yang khusus mempelajari
sifat dan tujuan dari Negara sebagai organisasi kekuasaan, beserta sifat dan
tujuan dari gejala-gejala kekuasaan lain yang tak resmi, yang dapat
mempengaruhi Negara.
8
Ibid., h. 67
Leo Agrustino, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Mengenai Ilmu Politik,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007) h. 6
9
18
3. David Easton menyatakan ilmu politik adalah studi mengenai terbentuknya
kebijakan publik.
4. Miriam Budiarjo mengatakan definisi-definisi ilmu politik berkaitan dengan
pembahasan mengenai Negara, kekuasaan, pengambil keputusan, kebijakan
publik, distribusi/pembagian atau alokasi nilai-nilai dalam masyarakat.
Berdasarkan pendapat beberapa para ahli di atas mengenai politik, dapat
diambil kesimpulan mengenai pengertian politik yakni aktivitas yang berakaitan
dengan kekuasaan, kebijakan publik, pengambil keputusan. Adapun konsep
kekuasaan yang dimaksud bukan hanya kekuasaan resmi yakni negara, juga
kekuasaan tak resmi yakni gerakan-gerakan sosial di masyarakat karena dapat
mempengaruhi negara.
D. Politik Perempuan di Indonesia
Peran politik perempuan di Indonesia bukan merupakan hal yang baru atau
asing bagi masyarakat Indonesia. Penjelasan mengenai perjalanan cakupan ruang
politik perempuan di Indonesia pastilah berbeda-berbeda disetiap zamannya, hal
ini tidak bisa dilepaskan dengan tantangan dan kebutuhan zamannya waktu itu.
Dalam menjelaskan perihal perjalanan peran politik perempuan, penulis yang
terbagi menjadi tiga zaman. Pertama, peran politik perempuan pada saat
Indonesia masih bernama Nusantara dan masih terdapat kerajaaan-kerajaan.
Kedua, peran politik perempuan pada zaman penjajahan melawan kolonial.
Terakhir, peran politik perempuan pada era kemerdekaan atau saat ini.
Perjalanan kepemimpinan perempuan banyak terukir dalam sejarah
kerajaan dan kesultanan di Nusantara. Menurut Firdaus, kepemimpinan
perempuan tertua dimulai di Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1328, setelah Raja
19
Jayanegara meninggal tanpa keturunan dan anak perempuannya, Rajapatni
diangkat sebagai Ratu. Pada tahun 1350 Rajapatni mengundurkan diri dan
digantikan oleh anaknya, Hayam Wuruk. Kerajaan Majapahit kembali dipimpin
oleh Ratu Suhita, namun sayang kerajaan ini menjelang runtuh sekitar tahun
1400an.10 Setelah Islam masuk dan menyebar ke Nusantara mempengaruhi
munculnya kepemimpinan perempuan di Nusantara, maka pemimpin-pemimpin
perempuan pun bermunculan. Adapun tahun periode kepemimpinan perempuan
tersebut antara lain11:
1.
Ratu Jepara, janda Sultan Prawata yang mati dibunuh oleh Adipati Jipang.
Memerintah pada tahun 1546-1568.
2.
Dewi Peracu atau Kuning memerintah negeri Patani Melayu pada tahun
1602.
3.
Ratu Sinuhun pemegang kekuasaan Raja Palembang, hal ini dikarenakan
pemerintahan suaminya, Pangeran Sindang Kayang sangat lemah.
4.
Setelah suaminya meninggal, Sultan „Ala al- Din. Sultanah Taj al-Alam
Safiyah al-Din, putri Iskandar Muda ini memerintah Aceh selama 34 tahun
(1641-1675).
5.
Ratu Nur al-„Alam Safiyah al-Din memerintah Aceh selama dua tahun (16751677).
6.
Kemudian dilanjutkan oleh Ratu Inayah Syah, memerintah Aceh (16771688).
10
Endis Firdaus, Imam Perempuan Dekonstruktif Perspektif Gender: Keniscayaan
Kontektualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia, (Jakarta:Pustaka Ceria, 2008), h 158
11
Ibid., h. 159
20
7.
Kamalat Syah, memerintah Aceh selama sebelas tahun (1688-1699), atas
perintah kaum ulama berdasarkan surat fatwa Makkah, kemudian digantikan
oleh Sultan Badr al- „Alam Syarif Hasyim Jamal al-Din.
8.
Dayang Lela, menjadi Ratu Mempawa di Pantai Barat Kalimantan pada tahun
1790. Beliau adalah janda dari Panembahan Adi Jaya Kusuma.
9.
Dayang Bomi, Raja Perempuan Negeri Gandis di tepi pantai Sungai Melawi,
Kalimantan Barat, memerintah pada tahun 1824.
10.
Aji Siti, memerintah Negeri Kota Bangun-Bangun Kutei pada tahun 1847.
Beliau merupakan janda Sultan Kutei Muhammed Motslihu‟uddin.
11.
Pada tahun 1870, tidak sedikit kaum perempuan memegang tampuk
pemerintahan di Kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi Selatan. Ratu Daeng
Pasuli memegang pemerintahan Perserikatan Aja Tamparang daerah Sawito
dan daerah Alita oleh Ratu Pada. Raja Perempuan Adi Matanang memegang
pemerintahan di daerah Rapang Raja dan daerah Barru dipegang oleh Raja
Perempuan Siti Aisya dan kemudian diberi nama Basse Barru. I Madina
Daeng Bau, Raja Perempuan di daerah Tanah Turatea dan tanah perdikan
Ternate pernah pula diperintah oleh seorang perempuan bernama We Tanri
Ole.
Pada masa perang melawan kolonial, perempuan-perempuan tanah air
memiliki peranan yang cukup signifikan demi tercapainya kemerdekaan
Indonesia. Kesadaran kaum perempuan dalam politik terbangun partisipasinya
dalam
berbagai
bentuk
diantaranya
bermunculan
perempuan, baik yang kooperatif maupun non kooperatif.
organisasi-organisasi
Melalui organisasi-
21
organisasi, kaum perempuan memiliki peranan penting dalam memperjuangkan
kemerdekaan bangsa secara langsung maupun tidak langsung.
Putri Mardika muncul sebagai organisasi perempuan pertama pada tahun
1912 di Jakarta, lantas disusul Kautmaan Istri di Tasikmalaya pada tahun 1913,
Wanita Susilo pada tahun 1918 di Palembang.12 Selain daripada itu organisasiorganisasi yang telah ada pun mempunyai bagian perempuan tersendiri,
Muhammadiyah memiliki „Aisyiyah, Nahdatul Ulama memiliki Muslimat atau
Fatayat, Persis didampingi Persistri-nya. Organisasi-organisasi pemuda seperti
Jong Java, Jong Islamitten Bond, Jong Ambon juga mendirikan seksi
perempuan.13
Semangat Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 telah menginspirasikan
organisasi-organisasi
perempuan
untuk
menyelenggarkan
kongres
yang
diselenggarakan pertama kalinya pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Hampir
tiga puluh perkumpulan perempuan mengikuti kongres ini, mengangkat isu
pendidikan dan perkawinan. Sebagai gerakannya, Kongres mengajukan tiga
permintaan kepada pemerintah kolonial sebagai berikut: (1) bahwa sejumlah
sekolah untuk anak perempuan harus ditingkatkan, (2) penjelasan resmi arti taklik
diberikan kepada calon mempelai perempuan pada saat akad nikah, (3) peraturan
yang menolong para janda dan anak yatim piatu dari pegawai sipil harus
diangkat.14
Pada Kongres kedua, Nyonya Emma Puradireja dari Bandung dan Nona
Sri Umiati dari Cirebon dan beberapa perempuan lainnya memperjuangkan hak
12
Ibid., h. 234
Cora Vreede-De Stures, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian.
Penerjemah Elvira Rosa dkk, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), h. 134
14
Cora Vreede-De Stures, Sejarah Perempuan Indonesia, h. 134
13
22
perempuan dalam politik dan menghasilkan “passiefkiesrecht”. Walhasil terjadi
perubahan paradigma perempuan tidak pantas berpolitik, komisi Visman dibuat
oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1941 untuk menyelidiki keinginan
bangsa Indonesia merubah ketatanegaraan, dan masih dalam kesempatan tersebut,
Nyonya
Sunaryo
menuntut
Indonesia
berparlemen
dan
Nyonya
Sri
Mangunsarkoro menuntut Indonesia Merdeka.15 Ibu Soewarni Djojosepoetra
pimpinan asosiasi perempuan, Istri Sedar (1930) dalam pertemuannya di Bandung
(1932) menegaskan bahwa setiap perempuan perlu aktif dalam kegiatan politik
dengan salah satu kegiatannya meningkatkan perempuan, terutama untuk rakyat.16
Setelah Belanda menyerah kepada Jepang tanpa syarat pada tahun 1942,
tongkat kolonialisasi diserahkan kepada Jepang. Walaupun menjajah dalam waktu
singkat sekitar tiga tahun, namun waktu itu dirasakan cukup lama oleh masyarakat
Indonesia, tidak terkecuali pergerakan perempuan di tanah air. Semua organisasi
pergerakan Indonesia dibubarkan, kemudian Jepang membentuk organisasi baru
yang dapat membantu tercapainya kemenangan Jepang melawan sekutu.17
Organisasi-organisasi wanita melebur menjadi satu ke dalam organisasi wanita
yang dibuat oleh Jepang yakni Gerakan Istri Tiga A, Barisan Pekerja Perempuan
Putera, Jawa Hokokai Fujinkai. Organisasi-organisasi wanita pada masa
pendudukan Jepang tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian-bagian dari
organisasi umum tadi.18 Selain berdampak negatif karena ruang gerak organisasi
perempuan dibatasi misalnya tidak mendapat kedudukan wanita dalam hukum
15
Endis Firdaus, Imam Perempuan, h. 235
Saparinah Sadli, Berbeda Tetapi Setara: Pemikiran Tentang Kajian Perempuan,
(Jakarta: Kompas, 2010), h. 106
17
A. Adaby Darban (ed), ‘Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia:
Sebuah Tinjauan Awal, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, 2010), h. 95
18
Ibid., h. 96
16
23
perkawinan dan hak untuk memilih tidak lagi terdengar.19 Adapula dampak positif
diantaranya para perempuan dilatih militer dan Palang Merah. Harapan Jepang
mengambil kekuatan para pimpinan nasional Indonesia untuk kepentingan
kekuasaannya, sebaliknya pimpinan nasional memanfaatkan sarana Jepang untuk
menyambut kemerdekaan Indonesia. seperti yang dilakukan oleh Ny. Sunaryo
Mangunpuspito yang pada waktu itu dipercayai Jepang untuk memimpin
organisasi Fujinkai. Membuat maklumat
pembubaran dan diganti dengan
Persatuan Wanita Indonesia dan bergerak ke kabupaten-kabupaten dan kotakota.20
Lantas bagaimana perjalanan peran politik perempuan di Indonesia pada
masa kemerdekaan? 17 Agustus 1945 merupakan tonggak awal perjuangan
bangsa Indonesia. Pada fase awal kemerdekaan ini perjuangan melawan penjajah
masih bergejolak karena mereka belum menerima kemerdekaan Indonesia. lagilagi kaum perempuan tidak berpangku tangan, mereka juga terlibat dalam
mempertahankan kemerdekaan Indonesia, tidak terkecuali „Aisyiyah .
"Seperti „Aisyiyah misalnya, secara formal tidak melakukan
kegiatan organisasi namun kegiatan dakwah, sosial, dan pendidikan tetap
dilakukan sesuai perkembangan situasi. Kegaiatan „Aisyiyah di daerahdaerah tidak dikoordinasi dari pusat, tetapi tiap-tiap daerah dianjurkan agar
menyelenggarakan
kegiatan
untuk
kepentingan
perjuangan
21
kemerdekaan.‟‟
Kutipan di atas menggambarkan betapa gentingnya situasi saat itu sehingga
gerakan Aisyiyah terfokus pada usaha mempertahankan kemerdekaan Republik
Indonesia. „Aisyiyah Pusat bergerak dalam memperjuangkan kemerdekaan
dengan mengadakan latihan-latihan kemiliteran.
19
Ibid., h. 97
Ibid., h 101
21
Ibid., h 106
20
24
Setelah perang kemerdekaan usai dan terbentuklah Republik Indonesia
Serikat. Tak ada lagi Belanda, tak ada lagi Jepang, tak ada lagi musuh bersama.
Laki-laki menguasai panggung politik sedangkan perempuan di posisikan pada
tugas-tugas sosial.22 Pada masa ini bermunculan organisasi-organisasi perempuan
yang di bidang politik diantaranya Gerakan Wanita Indonesia Sedar (1950)23 yang
berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, Wanita Demokrat Indonesia (1951)
berafiliasi dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), dan Wanita Nasional (1953)
merupakan afliasi dari Partai Indonesia Raya (PIR).24 Pengaruh Gerwani dalam
Kowani terasa begitu kuat, sehingga hal ini memiliki pengaruh terhadap „Aisyiyah
yang juga menghimpun di dalamnya. „Aisyiyah yang merupakan organisasi
keagamaan dan non politis, akhirnya menjaga jarak dengan Kowani berbeda
dengan Gerwani yang tujuan utama pergerakannya adalah politik.25
Pada masa kemerdekaan perkembangan peran politik perempuan di
Indonesia dapat pula ditinjau berdasarkan presentase kaum perempuan dalam
menduduki lembaga-lembaga politik misalnya DPR RI.
Walaupun jumlah
perempuan Indonesia lebih banyak yakni 101.628.816 jiwa atau 51% dari
penduduk Indonesia,26 namun kesempatan perempuan untuk terpilih menjadi
anggota parlemen masih berbanding jauh dengan laki-laki. Jumlah perempuan
22
Olvi Pristiana, Zulminarti, dan Chamsiah Djamal “Wanita dan Organisasi”, Toeti
Herati dan Aida Vitalaya S. Hubeis (ed), Dinamika Wanita Indonesia Seri 01:Multidimensional,
dalam A. Adaby Darban (ed), ‘Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia: Sebuah
Tinjaun Awal, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, 2010), h. 112
23
Dalam perjalanan selanjutnya Gerwis menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)
24
Olvi Pristiana, Zulminarti, dan Chamsiah Djamal “Wanita dan Organisasi”, Toeti
Herati dan Aida Vitalaya S. Hubeis (ed), Dinamika Wanita Indonesia Seri 01:Multidimensional,
dalam A. Adaby Darban (ed), ‘Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia: Sebuah
Tinjaun Awal, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, 2010), h. 112
25
A. Adaby Darban (ed), ‘Aisyiyah dan Sejarah, h. 114
26
Badan Pusat Statistik 2001 dalam Endis Firdaus, Imam Perempuan, Dekonstruksi
Perspektif Gender Menuju Kontekstualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia, Jakarta-Bandung,
Pustaka Ceria, 2008), h. 236
25
yang terpilih dalam parlemen selalu berkisar antara 8% sampai 10% saja. Di
bawah ini jumlah anggota DPR RI berdasarkan jenis kelamin sejak era orde lama
sampai reformasi.27
Presentase Anggota DPR-RI Berdasarkan Jenis Kelamin
Periode
Perempuan
Laki-laki
1955-1960 (konstituante)
17 (63%)
272 (93,7%)
1956-1959
25 (5,1%)
488 (94,9%)
1971-1977
36 (7,8%)
460 (92,2%)
1977-1982
29 (6,3%)
460 (93,7%)
1982-1987
39 (8,5%)
460 (91,5%)
1987-1992
65 (13%)
500 (87%)
1992-1997
62 (12,5%)
500 (87, 5%)
1997-1999
54 (10,8%)
500 (89,2%)
1999-2004
40 (9%)
500 (91%)
2004-2009
61 (11,09%)
489 (88,9%)
2009-2014
101 (82,32%)
459 (17,68%)
Menjadi suatu keniscayaan bagi kaum perempuan agar dapat terlibat lebih
jauh dan aktif dalam mengisi kemerdekaan dan memperoleh hasil maksimal dari
pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah apabila kaum perempuan tidak
dapat berpartisipasi lebih banyak dalam menentukan kebijakan. Walaupun UU
Affirmative Action yang memperjuangkan kuota perempuan sebesar 30 % dalam
parlemen belum juga memperoleh hasil yang maksimal, namun sejarah mencatat
Megawati Soekarno Putri merupakan presiden perempuan pertama dalam sejarah
perpolitikan di Indonesia dan dalam iklim politik yang lebih demokratis.
27
Ani Widya Sucipto, Politik Perempuan, h. 239
26
E. Gerakan Gender dan Feminisme di Indonesia
Kata gender (jender) diambil dari Bahasa Inggris karena Bahasa Indonesia
belum memiliki konsep gender. Sehingga menurut Mansoer Fakih akan sulit
mengarahkan wacana gender atau perbedaan laki-laki dan perempuan selain jenis
kelamin di Indonesia.28 Gender berbeda dengan jenis kelamin, gender merupakan
konsep laki-laki dan perempuan yang terbentuk secara sosial sedangkan jenis
kelamin merupakan konsep laki-laki dan perempuan yang terbentuk secara
lahiriyah atau kodrati.
Saparinah Sadli mencontohkan sifat lembut, sabar,
berpenampilan rapi, dan senang melayani kebutuhan orang lain di lingkungan
budaya kita merupakan karakteristik dari feminis atau sifat perempuan. Sejak
masih kanak-kanak, seorang perempuan sudah ditanamkan sifat-sifat tersebut
melalui cara berpakaian dan mainan yang dibelikan, namun si anak akan diberi
peringatan apabila oleh lingkungannya tidak berperilaku feminis.29
Pengertian jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin
manusia yang sudah ditentukan secara biologis yakni laki-laki dan perempuan.
Pembagian jenis kelamin laki-laki memiliki ciri-ciri: memiliki penis, memiliki
jakala (kala menjing), dan memproduksi sperma. Sedang perempuan memiliki
ciri-ciri: memiliki rahim, memproduksi sel telur (ovum), memiliki vagina, dan
memiliki alat menyusui30.
Ciri-ciri tersebut akan selamanya melekat pada
perbedaan laki-laki dan perempuan.
Singkatnya perbedaan gender dan jenis
kelamin yakni, gender terbentuk secara nurture sedangkan jenis kelamin terbentuk
secara nature.
28
Mansoer Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), h. 6
29
Saparinah Sadli, Berbeda Tetapi Setara, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 23
30
Endis Firdaus, Imam Perempuan, h.163
27
Mencermati gerakan gender dan feminisme di Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari perkembangan studi wanita di Negara-negara Barat, khususnya
Amerika. Hal ini senada dengan Saparinah Sadli bahwa ada tiga faktor yang
saling berkaitan mengenai gerakan gender atau studi wanita di Indonesia.
Pertama, perkembangan studi wanita di Barat yang berkembang dengan cepat
pada tahun 1960an.
Kedua, gerakan feminis dari Barat direspon dengan
munculnya organisasi-organisasi yang dipelopori dan dibentuk oleh kaum
perempuan di Indonesia (adapun organisasi-organisasi yang dimaksud seperti
yang sudah dibahas sebelumnya di sub D). Terakhir, terdapat fakta bahwa pada
tahun 1980an, beberapa perempuan muda dan mereka adalah dosen-dosen di
universitas menyelenggarakan Kongres Nasional dengan pembahasan mengenai
status wanita. Selain itu, mereka juga menghadiri Kongres Perempuan di Meksiko
pada tahun 1975, dimana para Feminis Barat menilai perlu menata kembali
gerakan mereka karena perempuan dari Negara berkembang memiliki kebutuhan
dan konsen yang berbeda dengan perempuan di Barat31.
Sosok Kartini tidak dapat dilepaskan dari sebuah keterkaitan lahirnya
semangat kemajuan bagi perempuan di Indonesia. Kartini merupakan seorang
perempuan Jawa dari kalangan feodal yang terpaksa harus keluar sekolah pada
usia 12 tahun dan terkurung di rumahnya. Pada usia tersebut, seorang perempuan
yang keluar setiap hari untuk belajar ke sekolah merupakan pelanggaran besar
terhadap adat. Perempuan-perempuan ketika itu “disangkar” dan menunggu
seseorang laki-laki yang akan dijodohkan kepadanya setelah itu mereka bisa
31
Saparinah Sadli, Berbeda Tetapi Setara, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 363-364
28
kembali ke dunia luar.32 Pemikiran-pemikiran Kartini mengenai pendidikan dan
isu-isu lainnya mengenai perempuan tertuang dalam surat menyuratnya kepada
sahabat dekatnya di Belanda yang kemudian hari dipublikasikan sehingga menjadi
inspirasi bagi perempuan di Indonesia untuk mengikuti jejaknya. Semangat
Kartini untuk memajukan kaum perempuan di tanah kelahirannya terinspirasi dari
tulisan-tulisan seorang Feminis India, Pandita Rambai.33
Selain Kartini sebagai pelopor gerakan feminis, Dewi Sartika memiliki
peranan yang tidak kalah pentingnya dalam membangkitkan kemajuan perempuan
di tanah air. Sebelum gerakan feminis mengemuka dan terorganisir, Dewi Sartika
telah menyuarakan diskriminasi dalam pembagian upah buruh perempuan yang
lebih rendah dari laki-laki dalam pekerjaan yang sama dan pada tahun 1904 Dewi
Sartika mendirikan sekolah khusus perempuan, yang kemudian hari dikenal
dengan nama Kautamaan Istri34.
Kartini dan Dewi Sartika hanya sebagian kecil yang tercatat dalam sejarah
sebagai sosok perempuan yang turut menginspirasi bagi gerakan feminisme di
Indonesia. Ide-ide dan gerakan mereka dalam mempelopori kemajuan perempuan
di tanah air memiliki peranan yang signifikan bagi generasi selanjutnya untuk
membentuk organisasi agar gerakan mereka bergerak secara terorganisir dan
berkelompok.
32
lihat surat Kartini yang pertama kepada Stella Zeehandelaar dalam Cora Vreede-De
Stures, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian. Penerjemah Elvira Rosa dkk,
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2008) h 67.
33
Saparinah Sadli, Berbeda Tetapi Setara, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 364
34
Cora Vreede-De Stures, Sejarah Perempuan Indonesia, h. 74-73
BAB III
‘AISYIYAH DAN PEMBERDAYAAN
POLITIK PEREMPUAN
“Urusan dapur janganlah dijadikan halangan untuk menjalankan
tugas dalam menghadapi masyarakat” (KH. Ahmad Dahlan)
A. Mengenal Sejarah ‘Aisyiyah dan Perkembangannya
Kelahiran organisasi „Aisyiyah tidak bisa dilepaskan dari peran KH
Ahmad Dahlan yang juga pendiri Muhammadiyah. Berkat keberanian dan
wawasan yang dimilikinya, Kyai Dahlan mempelopori gerakan perempuan ke
ruang publik dengan mendirikan „Aisyiyah, suatu hal yang dianggap tabu pada
masa itu. Suatu hal yang tidak berlebihan bila beliau dijuluki Sang Pencerah dan
salah satu alasan pula pemerintah Republik Indonesia mengangkat KH Ahmad
Dahlan
sebagai
Pahlawan
Nasional
karena
kepeloporannya
mendirikan
„Aisyiyah.1 Organisasi „Aisyiyah telah memperlopori kebangkitan kaum
perempuan Indonesia untuk mengecap pendidikan dan memiliki peran sosial.
Perkembangan „Aisyiyah yang semakin pesat hingga saat ini merupakan buah
perjuangan yang tak ternilai harganya dalam memajukan masyarakat dan
berdakwah amal ma‟ruf nahi munkar. Hal ini sebagaimana termaktub dalam
identitasnya
yakni
“'Aisyiyah,
organisasi
perempuan
persyarikatan
Muhammadiyah, merupakan gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi
1
lihat surat keputusan pemerintah mengenai ini dalam Haedar Nashir, Muhammadiyah
Gerakan Pembaruan, (Jakarta: Suara Muhammadiyah, 2010), h. 353
29
30
mungkar, yang berazaskan Islam serta bersumber pada Al Quran dan Assunnah”.2
Perjalanan dan tegaknya tujuan organisasi tidak bisa dilepaskan dari visi
dan misi organisasi tersebut. Berdirinya „Aisyiyah dan perkembangannya hingga
saat ini, tidak dilepaskan dari visi dan misi organisasi tersebut sehingga mampu
melewati perkembangan sosial dan politik di Indonesia. Berikut di bawah ini visi
dan misi „Aisyiyah:3
Visi Ideal
Tegaknya agama Islam dan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenarbenarnya.
Visi Pengembangan
Tercapainya usaha-usaha 'Aisyiyah yang mengarah pada penguatan dan
pengembangan dakwah amar makruf nahi mungkar secara lebih berkualitas
menuju masyarakat madani, yakni masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Misi
Misi 'Aisyiyah diwujudkan dalam bentuk amal usaha, program dan kegiatan
meliputi:
1) Menanamkan keyakinan, memperdalam dan memperluas pemahaman,
meningkatkan pengamalan serta menyebarluaskan ajaran Islam dalam
segala aspek kehidupan
2) Meningkatkan harkat dan martabat kaum wanita sesuai dengan ajaran
Islam
2
Website Pimpinan Pusat „Aisyiyah, visi misi „Aisyiyah, diakses pada 21 April 2011
dalam http://www.aisyiyah.or.id/modules/view/31
3
Ibid
31
3) Meningkatkan kualitas dan kuantitas pengkajian terhadap ajaran Islam
4) Memperteguh iman, memperkuat dan menggembirakan ibadah, serta
mempertinggi akhlak
5) Meningkatkan semangat ibadah, jihad, zakat, infaq, shodaqoh, wakaf,
hibah, serta membangun dan memelihara tempat ibadah, dan amal usaha
yang lain
6) Membina AMM Puteri untuk menjadi pelopor, pelangsung, dan
penyempurna gerakan 'Aisyiyah
7) Meningkatkan pendidikan, mengembangkan kebudayaan, memperluas
ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta menggairahkan penelitian
8) Memajukan perekonomian dan kewirausahaan ke arah perbaikan hidup
yang berkualitas
9) Meningkatkan dan mengembangkan kegiatan dalam bidang-bidang sosial,
kesejahteraan masyarakat, kesehatan, dan lingkungan hidup
10) Meningkatkan dan mengupayakan penegakan hukum, keadilan, dan
kebenaran
serta memupuk semangat kesatuan dan persatuan bangsa
11) Meningkatkan komunikasi, ukhuwah, kerjasama di berbagai bidang dan
kalangan masyarakat dalam dan luar negeri
12) Usaha-usaha lain yang sesuai dengan maksud dan tujuan organisasi.
1. Kelahiran ‘Aisyiyah
Awalnya „Aisyiyah merupakan perkumpulan pengajian yang dibidani
langsung oleh KH Ahmad Dahlan yang diberi nama Sopo Tresno (siapa suka,
siapa cinta). Adapun keanggotaan Sopo Tresno merupakan perempuan-perempuan
32
muda dengan usia sekitar lima belas tahunan yakni Aisyah (Hilal), Busyro Isom,
Zahro Muchzin, Wadi‟ah Nuh, Dalalah Hisjam, dan Badilah Zuber.4
Meminjam istilah yang dikemukakan oleh Haedar Nashir, Sopo Tresno
merupakan embrio dari „Aisyiyah, didirikan pada tahun 1914 M. Dalam
perkembangan selanjutnya perkumpulan yang gerakannya terbatas pada kegiatan
pengajian semata ini berganti nama menjadi „Aisyiyah. Pemberian nama
„Aisyiyah sendiri berdasarkan hasil pertemuan antara KH. Mochtar, KH. Ahmad
Dahlan, Ki Bagus Hadikusuma, KH Fachrudin dan pengurus Muhammadiyah
yang lain di rumah Nyai Ahmad Dahlan. Awalnya muncul nama FATIMAH
untuk perkumpulan ini namun usulan tersebut tidak diterima oleh para hadirin
dalam rapat tersebut. Kemudian KH Fachrudin mengusulkan nama „Aisyiyah,
sesuai namanya dengan harapan agar perjuangan perkumpulan ini seperti
perjuangan istri Rasulullah, Siti Aisyah yang selalu membantu berdakwah rasul.5
Secara aklamasi forum menyetujui pemberian nama „Aisyiyah untuk perkumpulan
ini yang sebelumnya bernama Sopo Tresno, kemudian bersamaan dengan
perayaan Isra‟ Mi‟raj Nabi Muhammad Saw nama „Aisyiyah diresmikan pada
tanggal 27 Rajab 1335 H atau bertepatan dengan 19 Mei 1917 M.6
2. Perkembangan Struktur Organisasi ‘Aisyiyah
Setelah
nama
„Aisyiyah
diresmikan
sebagai
wadah
perjuangan
perempuan-perempuan Muhammadiyah dalam berbakti kepada masyarakat
sehingga terlaksananya Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya seperti yang
4
Junus Salam, KH Ahmad Dahlan, Amal dan Perjuangannya, (Jakarta: Al-Wasrat
Publishing House, 2009), h 73
5
M. Yunan Yusuf dkk, ed, Ensiklopedia Muhammadiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo,
2005), h 13
6
Mahasri Shobahiya dkk, Studi Kemuhammadiyahan, 7th ed, (Surakarta: LPIDUMS, 2008), h. 118
33
tertuang dalam AD/ART „Aisyiyah. Saat itu pula disusun kepengurusan „Aisyiyah
sebagai berikut: Siti Bariyah (Ketua), Siti Badilah (Penulis), Siti Aminah Harowi
(Bendahara), Ny. H. Abdullah, Ny. Fatimah Wasol, Siti Wadingah, Siti Dalalah,
Siti Dawimah, Siti Busyro (Pembantu-pembantu).
Seperti yang dikutip oleh
Haedar Nashir, menurut Junus Anis peran Nyai Ahmad Dahlan sejak berdirinya
„Aisyiyah sebagai pemuka sekaligus mubhaligat „Aisyiyah7. Istri KH Ahmad
Dahlan ini juga selalu menjadi pemegang palu persidangan dalam setiap
penyelenggaraan Kongres „Aisyiyah dan terakhir pada Kongres/Muktamar
Muhammadiyah ke-23 tahun 1934 di Yogyakarta.8
Kalangan feminisme kontemporer menganggap kelahiran „Aisyiyah dari
rahim
Muhammadiyah
tidak
progresif
karena
masih
menjadi
bagian
Muhammadiyah.9 Namun bila dikaitkan dengan kondisi sosial pada waktu itu
yang masih menganggap perempuan tidak pantas untuk keluar rumah, walaupun
untuk sekedar menimba ilmu. Hal ini kiranya merupakan suatu gerakan yang
progresif, gerakan pembaharuan perempuan muslim di tanah air dalam berkiprah
di ruang publik, menggerakkan masyarakat dan dirinya. Sejalan dengan pesatnya
perkembangan „Aisyiyah, maka status „Aisyiyah dalam tubuh organisasi
Muhammadiyah sebagai organisasi induknya turut pula berubah mengikuti
perkembangan dan tuntutan zaman. Berikut di bawah ini perjalanan posisi dan
struktur organisasi „Aisyiyah:
7
Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, (Jakarta: Suara Muhammadiyah,
2010), h. 354
8
Ibid. , h. 355
9
Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, h. 375
34

„Aisyiyah dikembangkan statusnya menjadi bagian Muhammadiyah pada
tahun 1923.10

Pada tahun 1927 „Aisyiyah berubah menjadi Majelis „Aisyiyah, hal ini
dikarenakan semakin meluas urusan-urusan pimpinan cabang-cabang serta
ranting-rantingnya di seluruh Indonesia. Sejak ini pula „Aisyiyah telah bisa
menjalankan Kongres sendiri walaupun penyelenggaraannya masih
mengikuti Kongres/Muktamar Muhammadiyah.11

Sesuai dengan amanat Muktamar Muhammadiyah ke-32 tahun 1953 di
Purwokerto,
„Aisyiyah
menjadi
bagian
Muhammadiyah
yang
berkedudukan otonom. Seperti yang tercantum dalam Anggaran Pokok
„Aisyiyah tahun 1956 pasal 1 bahwa “„Aisyiyah adalah bahagian istimewa
Muhammadiyah yang berkedudukan otonom. „Aisyiyah dibentuk oleh
Muhammadiyah”. Bila dicermati betapa penting posisi dan peran
„Aisyiyah, walaupun masih menjadi bagian Muhammadiyah.12

Pada tahun 1961 sesuai dengan Kongres ke-24 di Banjarmasin
memantapkan istilah Majelis dalam struktur organisasi „Aisyiyah. Pada
tingkatan Pimpinan Pusat disebut Pimpinan Pusat Majelis „Aisyiyah.13

Posisi organisasi „Aisyiyah yang sebelumnya menjadi organisasi bagian
istimewa Muhammadiyah yang berkedudukan otonom, hal ini sesuai
dengan keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-32 tahun 1953. Pada
tahun 1966 status organisasi „Aisyiyah ditingkatan lagi menjadi Organisasi
Otonom yang struktur organisasinya berjenjang dari Pusat (setingkat
10
Ibid., h. 354
Ibid., h. 354
12
Ibid., h. 355
13
Ibid., h. 356
11
35
nasional),
Wilayah
(setingkat
propinsi),
Daerah
(setingkat
kabupaten/kota), Cabang (setingkat kecamatan), dan Ranting (setingkat
desa/kelurahan).14

Pada tahun 1968 dalam Muktamar Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta
status „Aisyiyah didewasakan menjadi Pimpinan Pusat „Aisyiyah dan
sampai saat ini. Sejak berstatus PIMPINAN PUSAT „Aisyiyah berkantor
di Yogyakarta dan diketuai oleh Prof. Dra. Hj.Baroroh Baried.15

Pada Muktamar Muhammadiyah tahun 2000 di Jakarta, kemudian
dimantapkan lagi pada Muktamar Muhammadiyah ke-45 tahun 2005 di
Malang. Posisi „Aisyiyah ditingkatkan lagi menjadi Organisasi Otonom
Khusus yang berarti organisasi ini diberikan keluesan dalam mengelola
amal
usaha
tertentu
seperti
yang
telah
dikembangkan
oleh
Muhammadiyah.16
Demikian dinamika perjalanan perkembangan posisi dan struktur
„Aisyiyah yang awal mulanya hanya sekedar bagian dari Muhammadiyah namun
dalam perkembangan selanjutnya organisasi ini merupakan organisasi otonom dan
setelah itu menjadi organisasi otonom khusus Muhammadiyah. Sebagai organisasi
yang memiliki posisi berbeda dengan organisasi otonom Muhammadiyah lainnnya
seperti Nasiyatul Muhammadiyah (NA), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM), Ikatan Pelajar Muhammdiyah (IPM), Pemuda Muhammadiyah, dsb.
Haedar Nashir mengungkapkan bahwa keotonoman tidak lantas
menghilangkan relasi-relasi struktural yang fungsional yakni saling terkait dalam
14
Ibid., h. 357
Mahasri Shobahiya dkk, Studi Kemuhammadiyahan, h. 119
16
Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, h. 357
15
36
menjalankan fungsinya masing-masing. Walaupun „Aisyiyah sebagai organisai
otonom
khusus,
berbeda
dengan
organisasi
otonom
lainnya
dalam
Muhammadiyah namun harus tetap berada dalam koridor sistem Persyarikatan
Muhammadiyah sebagai organisasi induknya17.
3. Kiprah dan Perjuangan ‘Aisyiyah
Pemerintah Republik Indonesia mengangkat KH Ahmad Dahlan menjadi
Pahlawan Nasional merupakan hal yang tidak berlebihan. Kyai Dahlan mampu
menjawab tantangan zaman dan pembaharu bagi pergerakan Islam di tanah air. Di
saat masyarakat kita masih menganggap perempuan tempatnya di dapur dan
bukan di luar (baca: masyarakat), dengan keberanian dan wawasan luas yang
dimilikinya, Kyai Dahlan mendirikan „Aisyiyah yang semula merupakan
kelompok pengajian putri. Kyai Dahlan mengajarkan mereka ilmu agama dan
umum. Selain itu, disaat perempuan-perempuan tidak bisa keluar untuk
bersekolah seperti yang dialami oleh Kartini namun Kyai Dahlan mendirikan
sekolah dan asrama putri, hal ini tentu merupakan hal yang sangat langka dan
nyeleneh pada zamannya namun sangat progresif. Kartini berontak karena tidak
bisa melanjutkan sekolahnya karena tidak diijinkan untuk keluar rumah, namun
Kyai Dahlan mendirikan asrama putri, jadi perempuan-perempuan tidak hanya
keluar dari rumahnya namun sudah hidup di luar rumah untuk menimba ilmu.
Sejak „Aisyiyah didirikan oleh Kyai Dahlan sebagai pembaharuan gerakan
perempuan di ruang publik, telah terbukti banyak mengukir prestasi dan
keberhasilan dalam meningkatkan peran perempuan di ruang publik. Dalam kurun
waktu dua tahun saja (1917) „Aisyiyah telah mampu mendirikan Taman Kanak-
17
Ibid., h. 357
37
Kanak pertama di Indonesia bernama Frobel dan sekarang menjadi Taman KanakKanak „Aisyiyah Busthanul Atfhal. Tahun 1923 organisasi ini melakukan gerakan
pemberantasan buta huruf Arab dan Latin, yang kemudian dikembangkan menjadi
Sekolah Maghribi atau Maghribis Scholl (AMS).18
Gerakan „Aisyiyah tidak hanya di bidang pendidikan saja namun juga
mencakup bidang-bidang yang lain. Organisasi „Aisyiyah berkonsentrasi pada
kegiatan-kegiatan di bidang kesehatan, sosial dan ekonomi. Namun agar tidak
kehilangan informasi dalam isu-isu nasional dan strategis. sebagai bentuk
responsivitas, salah satunya isu politik perempuan, seperti yang dibahas dalam
tulisan ini. Hal ini dikarenakan „Aisyiyah adalah organisasi masyarakat yang tidak
berkonsentrasi dalam kegiatan politik, sama seperti induknya, Muhammadiyah.
Maka tujuan „Aisyiyah sama dengan tujuan Muhammadiyah, yaitu ”Tegaknya
agama Islam dan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”19
Adapun dalam mencapai tujuannya tersebut, „Aisyiyah menyusun
beberapa program antara lain: (1) Pembinaan Keluarga Sakinah, menyampaikan
dakwah yang ditekankan pada konsep keluarga sejahtera berdasarkan Islam (2)
Qoryah Thoyyibah, yakni suatu model pengembangan masyarakat dengan
pendekatan mengerahkan seluruh sumber daya fisik dan insani dari desa yang
diberdayakan, (3) Pembinaan Muallaf dan Dhuafa, yakni pembinaan pada orangorang atau masyarakat yang lemah iman dan lemah ekonomi, (4) Kesejahteraan
Sosial, pembinaan dengan cara memberikan santunan kepada anak-anak yatim,
pembinaan anak asuh, pemberian bantuan pendidikan dsb, (5) Bimbingan Calon
Haji, yakni memberikan bimbingan pada umat Islam yang akan menunaikan
18
Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, h. 357
Pimpinan Pusat „Aisyiyah, Anggaran
Dasar dan Rumah Tangga „Aisyiyah
,(Yogyakarta: PP „Aisyiyah, 2002) h 9
19
38
ibadah haji, (6) Mendirikan Taman Kanak-Kanak „Aisyiyah Busthanul Atfhal, saat
ini „Aisyiyah telah memiliki 3350 sekolah yang tersebar di seluruh pelosok tanah
air, (7) Mendirikan Badan Kesehatan, seperti mendirikan Balai Kesehatan Ibu dan
Anak (BKIA) dan Sekolah Bidan atau Akademi Keperawatan untuk mencukupi
tenaga kesehatannya, (8) Peningkatan taraf hidup dan pendapatan keluarga,
dalam kegiatan ini „Aisyiyah mendirikan Badan Usaha Ekonomi Keluarga atau
biasa disebut BUEKA, (9) Pengkaderan¸ seperti umumnya setiap organisasi
diperlukan generasi penerus dalam melanjutkan perjuangannya. „Aisyiyah
menggantung kaderisasi organisasinya dengan munculnya kader dari Nasyi‟atul
„Aisyiyah dan Mu‟allimat Muhammadiyah. 20
Demikian beberapa tujuan „Aisyiyah yang teraplikasikan dalam beberapa
kegiatannya. Selain itu, „Aisyiyah juga memiliki tugas dan peran sebagai
berikut:21
1. Membimbing dan menyadarkan perempuan dalam beragama dan
berorganisasi.
2. Menghimpun perempuan-perempuan Muhammadiyah untuk turut serta
menyalurkan dan menggembirakan amalan-amalannya.
Eksistensi „Aisyiyah yang terus melaju dan berkembang hingga saat ini,
merupakan buah prestasi yang perlu mendapatkan acungan jempol. Sejak pertama
didirikan, pada masa penjajahan dan masih tetap eksis pada masa kemerdekaan
saat ini. „Aisyiyah pun telah memiliki modal besar dalam mengantisipasi
perubahan sosial, ekonomi dan politik di era globalisasi saat ini antara lain: (1)
Usia „Aisyiyah yang telah menjelang satu abad, mampu melewati fase penjajahan,
20
21
M. Yunan Yusuf dkk, ed, Ensiklopedia Muhammadiyah, h. 15
Mahasri Shobahiya dkk, Studi Kemuhammadiyahan, 7th ed, h. 120
39
kemerdekaan, pembangunan dan reformasi, (2) Gerakan „Aisyiyah yang telah
menjangkau ke pelosok tanah air, (3) Amal usaha „Aisyiyah yang hampir meliputi
segala bidang kehidupan (pendidikan, ekonomi, kesehatan), (4) „Aisyiyah
memiliki sumber daya manusia yang banyak dan berkualitas. 22
Kelahiran „Aisyiyah dalam mengangkat kehidupan perempuan agar keluar
dari domestifikasi yang telah dibuat oleh budaya dan lingkungan masyarakat telah
berhasil. Amal usaha dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya menjadi salah satu
ukuran dari keberhasilan tersebut. Perkataan KH Ahmad Dahlan kepada muridmuridnya bahwa urusan dapur bukan faktor penghambat bagi perempuan dalam
menghadapi masyarakat telah terbukti, bahwa perempuan juga bisa berbakti
kepada masyarakat, bahwa perempuan juga memiliki peranan sosial.
B. Pandangan ‘Aisyiyah Tentang Politik Perempuan
Usia „Aisyiyah yang saat ini sudah menjelang satu abad yang lahir
sebelum republik ini berdiri telah memiliki banyak pengalaman dalam mengabdi
kepada masyarakat. Organisasi „Aisyiyah telah berhasil melewati fase-fase
perkembangan dan sejarah Indonesia, sejak masa penjajahan oleh Belanda,
Jepang, kemudian era orde baru dan reformasi saat ini. Kelahiran „Aisyiyah tidak
bisa dilepaskan dari harapan dan tujuan agar kaum perempuan dapat berkiprah di
ruang publik, namun bukan berarti harus mengabaikan wilayah domestik
(kerumahtanggaan).
„Aisyiyah sebagai organisasi kemasyarakatan yang bernaung dengan
organisasi induknya Muhammadiyah tentu tidak terlibat lebih jauh dalam
22
M. Yunan Yusuf dkk, ed, Ensiklopedia Muhammadiyah, h. 16
40
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan politik praktis.23 Program-program yang
nyata di masyarakat mengenai peran „Aisyiyah sejak berdirinya hingga saat ini
diantaranya di bidang keagamaan, sosial, pendidikan, ekonomi dan kesehatan.
„Aisyiyah juga turut serta mengajarkan kesadaran perempuan dalam politik
sebagai responsivitas perubahan dan isu zaman.
Sejak pemilu umum pertama kali diselenggarakan pada tahun 1955,
„Aisyiyah telah terlibat aktif dalam kegiatan pemberdayaan politik perempuan.
Kegiatan „Aisyiyah memberikan penerangan tentang pemilihan umum kepada
masyarakat baik secara lisan lewat pengajian-pengajian, rapat-rapat yang
diselenggarakan oleh „Aisyiyah, atau secara personal.24 Majalah Suara „Aisyiyah
April 1954 memuat artikel pemilihan umum dan pelaksanaannya. Majalah
tersebut memuat artikel tentang pemilihan umum dan pelaksanaanya, pengertian
Konstituante, dan Dewan Perwakilan Rakyat menjelaskan bahwa keduanya masih
sementara, selain daripada itu dijelaskan pula tujuan dilaksanakannya pemilihan
umum yaitu membentuk Badan Konstituante untuk membuat UUD dan DPR
pusat untuk menggantikan parlemen sementara. Tahapan-tahapan dan jadwal
pelaksanaan pemilihan umum diuraikan pula dalam majalah tersebut.25
Mencermati kegiatan „Aisyiyah dalam politik adalah dalam rangka
memberikan pendidikan politik kepada masyarakat luas yakni agar masyarakat,
khususnya kaum perempuan agar lebih berpikir kritis dan terbuka terhadap
23
Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag, Yogyakarta, 07 April 2010
Kegiatan pemberdayaan politik perempuan yang dilakukan oleh „Aisyiyah pada era
orde hanya dilakukan melalui pengajian-pengajian di tingkat grass root, sedangkan di era
reformasi lebih terbuka melalui seminar-seminar, workshop dan sebagainya. Wawancara Pribadi
dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si, 07 April 2010
25
Suara „Aisyiyah, No 4, Th XIX, April 1954, h. 77-82 dalam A. Adaby Darban (ed),
„Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia: Sebuah Tinjaun Awal, (Yogyakarta:
Jurusan Sejarah UGM, 2010), h. 119-120
24
41
politik. Jadi tidak bertujuan politik praktis dikarenakan „Aisyiyah didirikan
sebagai
organisasi
perempuan
non-politik
sama
seperti
induknya,
Muhammadiyah.
Fenomena kehadiran perempuan di ruang publik masih menjadi kritikan
oleh sebagian kalangan masyarakat. Wilayah perempuan yang hanya boleh di
dapur (baca: domestik) masih menghantui pola pikir sebagian masyarakat kita
yang masih patriarkal. Padahal mencermati lebih jauh sejauhmana hasil
pembangunan saat ini yang masih kurang berpihak pada kaum perempuan yang
justru membutuhkan suara perempuan itu sendiri dalam proses pengambil
kebijakan dalam struktur kekuasaan baik di level mikro maupun makro.
Sedangkan tanpa kita sadari perempuan telah berkontribusi besar pada anggaran
pemerintahan seperti retribusi pasar, puskesmas, dsb yang kebanyakan pelaku
dalam sektor tersebut adalah perempuan. seperti yang diungkapkan oleh Bu Tri
“lihat saja di pasar-pasar, puskesmas, kebanyakan kan perempuan yang
berada di sana, Jadi perempuan telah berkontribusi besar bagi pemasukan
anggaran pemerintah.” 26
Pandangan „Aisyiyah tentang peran politik perempuan dapat dicermarti
berdasarkan keputusan yang telah dibuat oleh Muhammadiyah melalui lembaga
yang berkenaan dengan itu dalam hal ini Majlis Tarjih dan Tajdid. Ketika
pandangan patriarki masih sangat kental dalam kultur masyarakat Indonesia dan
diskursus-diskursus jender belum mengemuka saat ini. Pada tahun 1976
Muhammadiyah melalui lembaga Majlis Tarjih dan Tajdid mengeluarkan
keputusan tentang kedudukan perempuan dalam politik atau lebih tepatnya
kedudukan perempuan Muslim dalam politik yang terhimpun dalam Adabul
26
Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si, 07 April 2010
42
Mar‟ah fil Islam. Berlandaskan firman Allah dalam Surat At-Taubah ayat 71
yang berbunyi:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian
mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh akan
kebajikan dan melarang dari kejahatan; mereka mendirikan shalat, mereka
mengeluarkan zakat. Dan mereka taat/patuh kepada Al-quran dan Rasulnya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, karena sesungguhnya Allah itu Maha
Kuasa lagi Maha Bijaksana.”
Pengertian mengajarkan amar ma‟ruf nahi munkar, memerintahkan
kebajikan dan mencegah kejahatan yang dimaksud dalam ayat di atas mencakup
dalam segala hal termasuk soal politik dan ketatanegaraan, karena bisa saja suatu
waktu kaum perempuan diperlukan untuk turut serta memecahkan persoalanpersoalan bangsa dalam ketatanegaraan.27 Sedangkan kata “ba‟dhuhum auliyaa
uba‟din” menjelaskan bahwa bukan saja laki-laki yang memimpin perempuan,
namun perempuan juga memimpin laki-laki.28 Baik perempuan maupun laki-laki
memiliki tugas dan kewajibannya yang sama sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan
sebagai warga negara memiliki kewajiban untuk turut serta membantu
mensejahteraan masyarakat, baik jalur lembaga politik formal atau konsep Qoryah
Thoyyibah seperti yang telah dilakukan oleh „Aisyiyah selama ini.
27
Majlis Tarjih dan Tajdid, Adabul Mar‟ah
fil Islam, (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, 2010), h.71
28
Dalam wawancara dengan Ibu Aisyah, kata “penolong” diartikan “pemimpin” oleh
„Aisyiyah. Lihat pula Maftuchah Yusuf, Perempuan Agama dan Pembangunan, Wacana Kritik
atas Peran dan Kepemimpinan Wanita, (Yogyakarta: Lembaga Studi dan Inovasi, 2000), h. 21
43
Adapun hadits diriwayatkan oleh Al-Bukhari yang menyatakan bahwa
perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, Tidak akan menang kaum perempuan
yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan. Menurut Din Syamsudin
pandangan ini karena dipengaruhi budaya arab yang didominasi laki-laki,
sehingga mempengaruhi negara-negara muslim untuk menolak kehadiran atau
tampilnya perempuan dalam wilayah kehidupan politik.29 Hadits di atas yang
terkesan menyudutkan kaum perempuan untuk menjadi pemimpin menurutnya
haruslah dipahami secara jernih dan lebih mendalam dengan melihat latar
belakang (Asbabul Wurud) dari hadits tersebut. Dikeluarkannya hadits tersebut
merupakan repon nabi Muhammad terhadap Raja Persia yang akan mengangkat
puterinya sebagai pengganti atau penerus kepemimpinan ayahnya (Raja Persia)
tersebut.30 Pernyataan Nabi tersebut karena berdasarkan pengetahuan beliau
tentang ketidakmampuan Sang Puteri dalam mengurusi urusan kenegaraan yang
kompleks dan berat.
Keputusan Majelis Tarjih yang terhimpun dalam Adabul Mar‟ah fil Islam
tersebut memberikan apresiasi dan afirmasi bahwasannya perempuan boleh
menjadi pemimpin. Perempuan boleh menjadi hakim, direktur sekolah, direktur
perusahaan, camat lurah, menteri, walikota dan sebagainya.31 Lantas bolehkan
perempuan menjadi kepala negara? Menurut Syamsul Anwar walaupun dalam
keputusan tersebut tidak secara jelas tegas menyebutkan kebolehan perempuan
menjadi kepala negara semangat dari seluruh keputusan tersebut tidak melarang
perempuan menjadi kepala negara.
29
Din Syamsudin dalam Wawan Gunawan dan Evie Shofia Inayati (ed), Wacana Fiqh
Perempuan dalam Persfektif Muhammadiyah, (Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 2005), h. 44
30
Wawan Gunawan dan Evie Shofia Inayati (ed), h. 44
31
Ibid., h. 50
44
Menurut Syamsul Anwar peran politik perempuan yang dirumuskan dalam
Adabul Mar‟ah fil Islam, dalam menilai peranan wanita dalam politik dapat dibagi
menjadi dua bagian yakni:
1. Peranan yang langsung terjun dalam politik praktis dalam lembaga-lembaga
politik formal, mulai dari tingkatan legislatif yakni DPR dari pusat sampai
daerah.
2. Peranan tidak langsung, yaitu kegiatan yang disalurkan dari rumah tangga
dengan turut berperan aktif dalam mengisi kesempatan-kesempatan bermanfaat
di dalam masyarakat. 32
Seperti yang dituturkan oleh Bu Aisyah, selaku Ketua Bidang
Pengkaderan Pimpinan Pusat „Aisyiyah, bahwa definisi politik dalam pandangan
„Aisyiyah tidak diartikan secara sempit yakni kekuasaan semata dalam struktur
pemerintahan atau lembaga politik.33 Pendapat senada pun diungkapkan oleh Ibu
Hastuti Nur Rochima, selaku Ketua Lembaga Pengembangan dan Penelitian,
bahwa „Aisyiyah membolehkan peran perempuan dalam bidang politik. Namun
tidak harus dalam lembaga politik formal (baca: DPR) dalam cakupan yang lebih
luasnya kaum perempuan dapat berperan aktif di masyarakat, misal tampil dalam
rapat-rapat yang berkaitan dengan pengambilan keputusan demi keberlangsungan
kehidupan masyarakat. Seperti Ibu Uji (panggilan akrabnya) yang juga Pimpinan
„Aisyiyah
Daerah
Kendal
terlibat
dalam
Musrenbangdes
(musyawarah
perencanaan pembangunan desa).34
“Kondisi wanita di Indonesia sebagian besar belum mendukung
peran sertanya dalam pembangunan. Masih jutaan yang buta atau setengah
32
Syamsul Anwar dalam Wawan Gunawan dan Evie Shofia Inayati (ed), Wacana Fiqh
Perempuan dalam Persfektif Muhammadiyah, (Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 2005),, h. 49
33
Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag
34
Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si
45
buta huruf, sebagian dari tenaga kerja wanita adalah buruh rendah.
Kesiapan fisik, mental, perlengkapan keterampilannya masih jauh dari
standar yang diminta. Kelompok wanita yang duduk sebagai penentu
kebijaksanaan masih sangat kecil‟‟.35
Kutipan di atas merupakan salah satu gambaran kondisi perempuan saat
ini. Berangkat dari kondisi ketimpangan-ketimpangan dalam pembangunan saat
ini, maka wacana dan gerakan untuk meningkatkan partisipasi perempuan di
bidang politik banyak bermunculan. Dalam menyikapi perkembangan ini,
„Aisyiyah pun sejalan bahwa peranan perempuan dalam politik sangat diperlukan
agar perempuan dapat terlibat lebih jauh dalam pengambilan kebijakan.
Perempuan yang menjadi kepala daerah (baca: walikota, bupati, gubernur) tidak
menjadi suatu hal yang harus dipersoalkan terlebih-lebih dilarang, namun bukan
berarti asal perempuan artinya dilihat dari jenis kelaminnya saja. Perempuan yang
duduk dalam lembaga politik, baik sebagai kepala daerah atau anggota dewan
adalah mereka yang benar-benar memiliki kompetensi dan sense of gender akan
kebutuhan masyarakat serta bukan karena suaminya.36
Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan di atas pandangan
„Aisyiyah tentang politik perempuan terdapat beberapa kesimpulan diantaranya
bahwasannya tidak ada larangan perempuan untuk berperan di ruang publik,
termasuk dalam bidang politik. Pandangan ini berdasarkan keputusan Majlis
Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah karena „Aisyiyah memiliki keterkaitan dengan
Muhammadiyah, merupakan organisasi otonom khusus Muhammadiyah serta
35
Maftuchah Yusuf, Perempuan Agama dan Pembangunan, Wacana Kritik atas Peran
dan Kepemimpinan Wanita, (Yogyakarta: Lembaga Studi dan Inovasi, 2000), h. 21
36
-Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag.
-Di iklim demokrasi saat ini tidak sedikit para istri mantan kepala daerah turut
mencalonkan diri sebagai bupati, walikota atau gubernur mengikuti jejak suaminya, bahkan
diantaranya berhasil memenangkan pilkada contohnya, Anna Sopana sebagai Bupati Indramayu
dan Haryanti Sutrisno sebagai Bupati Kediri.
46
memiliki cita-cita dan tujuan yang sama demi menegakkan ajaran Islam yang
sebenar-benarnya. Ibu Aisyah juga menuturkan bahwa “…secara budaya pun
tidak ada larangan perempuan untuk menjadi pemimpin, sejak dahulu sudah
banyak perempuan-perempuan yang menjadi pemimpin di dalam kerajaan, namun
faktor agama sehingga mereka tidak bisa lagi menjadi pemimpin…”37
Pandangan peran politik perempuan yang dimaksud oleh „Aisyiyah bukan
sekedar kekuasaan semata, dalam cakupan yang lebih luas yakni perempuanperempuan menjadi local leader sehingga dapat tampil di daerahnya dalam
kesempatan
rapat-rapat
yang
berkaitan
dengan
pengambilan
keputusan
masyarakat. Pendapat ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Prof. Miriam
Budiarjo bahwasannya politik merupakan kegiatan yang berkaitan dengan negara,
kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan, pembagian atau alokasi nilai-nilai
dalam masyarakat.38
Seperti yang telah ditegaskan oleh KH Ahmad Dahlan bahwasannya
urusan dapur jangan dijadikan penghalang untuk berkiprah di ruang publik bagi
perempuan. „Aisyiyah berpandangan bahwa ajaran Islam tidak melarang bagi
perempuan untuk menjadi pemimpin dan mengenai urusan rumahtangga bukan
tanggungjawab seorang istri saja namun tanggungjawab bersama (suami dan istri).
Kiprah perempuan di ruang publik bukan berarti akan mengurangi kasih sayang
seorang ibu kepada anaknya, seorang istri kepada suaminya.39 Menurut Ibu Ais
(sapaan akrabnya) menyatakan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya atau
37
Terdapat surat fatwa dari ulama Mekkah yang melarang perempuan menjadi pemimpin
(ratu dalam kerajaan), lihat Endis Firdaus, Imam Perempuan, h. 159
38
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2008), h 17 dan lihat pula Leo Agrustino, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Mengenai Ilmu
Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 6
39
Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag.
47
kasih sayang seorang istri kepada suaminya jangan diartikan kehadiran kasih
sayang tersebut secara fisik. Perempuan yang berkiprah di ruang publik, misal
menjadi kepala daerah, anggota dewan secara tidak langsung perempuan tersebut
memberikan tauladan yang baik di dalam keluarga sehingga menjadi contoh bagi
anak-anaknya.40 Maftuchah Yusuf juga menegaskan bahwa peran perempuan di
ruang publik haruslah bertujuan untuk mengangkat derajat dan martabat
keluarga.41
Pengurus „Aisyiyah yang berpartisipasi dalam lembaga politik tidaklah
sedikit, mereka tersebar menjadi anggota dewan di berbagai daerah dan tersebar
pula dalam berbagai partai politik.42 Keberadaan mereka diantaranya menjadi
anggota legislatif, mulai dari DPR di tingkat daerah sampai pusat. Adapun saat ini
pengurus Pimpinan Pusat „Aisyiyah yang terlibat di politik sekitar 5-10%43.
Sesuai dengan instruksi Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 03/INS/I.0/A/2008
bahwasanya:
“Kepada Pimpinan Persyarikatan, Majelis, Lembaga, Ortom, Amal
Usaha, dan institusi-institusi lainnya yang berada dalam lingkungan
Persyarikatan jika ada anggota pimpinan/fungsionaris yang menjadi
anggota Tim Sukses partai politik dan/atau calon-calon anggota legislatif
dari partai politik tertentu maka yang bersangkutan harus dinonaktifkan
dari jabatannya sampai selesainya kegiatan Pemilu”.44
„Aisyiyah yang merupakan organisasi otonom Muhammadiyah sudah jelas harus
mematuhi instruksi tersebut. Pengurus „Aisyiyah yang telah menjadi bagian dalam
lembaga politik mulai dari tingkatan legislatif, eksekutif dan partai politik. mereka
40
ibid
Maftuchah Yusuf, Perempuan Agama dan Pembangunan, Wacana Kritik atas Peran
dan Kepemimpinan Wanita,h 183
42
Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si.
43
Wawancara Pribadi dengan Dra Latifah Iskandar, Yogyakarta, 14 April 2011
44
Instruksi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, lihat lampiran
41
48
di non-aktifkan dalam kepengurusan „Aisyiyah.45 Seperti yang dituturkan oleh Bu
Latifah Iskandar:
“Pada waktu pemilu 2004 yang lalu saya di dorong oleh teman-teman
untuk mencalonkan diri jadi anggota legislatif, dan hal ini wajar-wajar saja toh.
masa kita melakukan gerakan affirmative action tapi tidak melaksanakannya
(mencalonkan diri jadi menjadi calon legislatif, pen, dan Alhamdulillah saya
terpilih setelah itu saya tidak aktif lagi di „Aisyiyah dan hanya menjadi anggota
biasa.”46
Mengkaji peran politik perempuan saat ini, menurut Ibu Latifah Iskandar
selaku pengurus Pimpinan Pusat „Aisyiyah yang juga mantan anggota DPR-RI
periode 2004-2009 lalu. Salah satu keberhasilan perempuan di bidang politik saat
ini yakni terbentuknya undang-undang partai politik dan pemilihan anggota
DPRD I, DPRD II, dan DPR RI sebagai bentuk aplikatif mengakomodir gerakan
affirmative action; kuota 30 persen perempuan di parlemen. Selain itu, melalui
peran politik perempuan pula secara tidak langsung peran perempuan di bidang
sosial cukup besar dalam berkontribusi memecahkan permasalahan di masyarakat.
lahirnya UU Traffiking, KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) merupakan
indikator-indikator bahwa peran sosial perempuan saat ini cukup besar, belum
termasuk kegiatan posyandu yang memang merupakan pekerjaan sosial
perempuan.47 Peranan perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan di
ruang publik adalah sebuah harapan agar lahir kebijakan yang sensitif gender
sehingga nantinya hasil dari pada kebijakan tersebut benar-benar dapat dirasakan
secara adil kepada masyarakat. Laki-laki dan perempuan bukan lawan namun
adalah patner dalam mengatur kehidupan. Layaknya suami dan istri dalam rumah
tangga.
45
Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si.
Wawancara Pribadi dengan Dra Latifah Iskandar
47
Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag.
46
49
C. Strategi dan Kegiatan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dalam Pemberdayaan
Politik Perempuan
1. Strategi –strategi pemberdayaan
Semenjak reformasi bergulir pada tahun 1998, membawa angin segar pada
perubahan sosial dan politik di Indonesia. Keran kebebasan masyarakat di ruang
publik dibuka selebar-lebarnya oleh pemerintah, hal ini tentu sangat kontradikitif
dengan era orde baru. Seluruh elemen masyarakat merasakan demokrasi yang
sesungguhnya; mahasiswa, buruh, agamawan, tidak terkecuali organisasi
perempuan, kebebasan mereka untuk menyuarakan isu-isu gender dalam
pembangunan pada era orde baru merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan
secara bebas. Organisasi PKK dan Dharma Wanita dibentuk oleh pemerintah
sebagai ruang aktualisasi perempuan-perempuan tanah air, sehingga ruang gerak
dan ide-ide gerakannya secara mudah dikontrol.
Kini, keran berdemokrasi telah dibuka oleh pemerintah yang salah satunya
melalui undang-undang. Meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik
secara struktural sudah tidak ada batu sandungan lagi.
Undang-undang
Affirmative Action merupakan salah satu jalur kekuatan bagi perempuan agar
mereka dapat berperan lebih untuk masuk dan terlibat dalam pengambilan
keputusan dan kebijakan dalam pembangunan. Sistem demokrasi langsung saat
ini, tidak disia-siakan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah untuk meningkatkan
kesadaran dan kemampuan perempuan di bidang politik. Sejumlah kebijakan pun
dikeluarkan dalam rangka pemberdayaan politik perempuan yang kemudian
tertuang di dalam program-programnya. Misalnya pemilu legislatif lalu Pimpinan
Pusat „Aisyiyah mendorong kader-kadernya yang berbakat dan berminat di politik
50
untuk berkiprah di lembaga legislatif, melakukan program pendidikan calon
pemilih perempuan dan pemilih pemula, menyelenggarakan seminar-seminar dan
diskusi politik, bekerjasama dengan berbagai pihak dalam rangka menyukseskan
pemilu legislatif.
Berdasarkan hasil analisa data yang diperoleh dari berbagai bentuk
kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Strategi-strategi yang digunakan oleh
Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam pemberdayaan perempuan agar mereka memiliki
kesadaran kritis akan perannya di ruang publik, sepenuhnya mengunakan tiga aras
strategi dalam pemberdayaan yang dikemukakan oleh Soeharto yakni aras mikro,
aras mezzo dan aras makro.
1)
Aras Mikro
Merupakan strategi pemberdayaam dengan pendekatan secara individu
melalui konsultasi dan bimbingan konseling48. Strategi ini sudah sejak lama telah
digunakan oleh „Aisyiyah. Sejak „Aisyiyah didirikan justru pendekatan secara
individual ini telah berhasil menyadarkan kaum perempuan akan fungsi dan
perannya baik sebagai istri bagi suami dan ibu bagi anak-anaknya serta individu
sebagai warga negara. Kepengurusan „Aisyiyah yang telah tersebar kepelosok
tanah air melalui kegiatan pengajian memberikan pendidikan agama yang seluasluasnya kepada kaum perempuan. Metode pengajian seperti ini telah berhasil dan
tidak tergerus oleh perkembangan sosial, selama masa penjajahan kegiatankegiatan dakwah tetap berlangsung.49 Pendekatan-pendekatan individual
berlangsung pada momentum tanya jawab antara guru dan murid. Pimpinan
Pusat „Aisyiyah turut pula „…mendirikan dan mengaktifkan kembali Biro
48
Edi Suharto, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2005), h. 66
49
Maftuchah Yusuf, Perempuan Agama dan Pembangunan, h. 127
51
Konsultasi Keluarga Sakinah disemua jenjang dengan cara pelayanan langsung
ke kantor maupun melalui telepon…”50
2)
Aras Mezo
Merupakan strategi pemberdayaan melalui melalui metode pelatihan,
pendidikan51. Strategi ini turut pula digunakan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah
dan stategi ini sering dilakukan dalam rangka memberikan pendidikan politik
perempuan. Seperti menyelenggarakan pelatihan Manajemen Ruhaniyah bagi
mahasiswa yang tinggal di asrama STIKES „Aisyiyah Yogyakarta,52 pelatihan
pemantau pemilu 2009.53
3)
Aras Makro
Pemberdayaan politik perempuan melalui strategi ini juga dilakukan oleh
Pimpinan
Pusat
„Aisyiyah.
Misalnya
Pimpinan
Pusat
„Aisyiyah
menyelenggarakan program pendidikan pemilih di Yogyakarta dengan cara
penyusunan dan pengisian daftar pertanyaaan untuk calon kandidat (calon kepala
daerah, pen), pembuatan dan penyebarluasan poster pendidikan pemilih, debat
calon, kampanye untuk meningkatkan pengetahuan publik tentang pilkada yang
berkualitas.54 Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Suharto bahwa aras
mikro merupakan strategi pemberdayaan dengan pendekatan yang dilakukan
50
Laporan Kegiatan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Divisi Pembinaan Keluarga dan
Masyarakat Periode 2005-2010, disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke 46. Yogyakarta, 3-8
Juli 2010
51
Edi Suharto, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat, h. 67
52
Laporan Kegiatan Majelis Pembinaan Kader Pimpinan Pusat „Aisyiyah periode 20052010, disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke 46. Yogyakarta, 3-8 Juli 2010
53
Laporan Kegiatan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Bidang Pendidikan Politik dan
Pengembangan Masyarakat periode 2005-2010, disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke 46.
Yogyakarta, 3-8 Juli 2010
54
ibid.,
52
kepada sistem yang lebih luas seperti perumusan kebijakan, lobbying,
pengorganisasian masyarakat dan kampanye.55
Kiprah „Aisyiyah yang telah menjelang satu abad telah mampu bertahan
dalam memberdayakan perempuan di tanah air agar mereka sadar akan perannya
di ruang publik. Ketiga strategi pemberdayaan yang digunakan oleh „Aisyiyah
tersebut
menjadi
salah satu
faktor keberhasilan organisasi
peempuan
Muhammadiyah ini hingga bisa diterima dalam masyarakat dan terus
bereksistensi hingga saat ini. „Aisyiyah telah mengambil peran dalam
pemberdayaan politik perempuan baik secara struktural maupun kultural.56
Organisasi „Aisyiyah bukan organisasi politik sehingga kegiatan pemberdayaan
yang selama ini dilakukan oleh „Aisyiyah.
semenjak orde baru sampai era
reformasi tidak secara langsung bertujuan ke arah itu misalnya pengurus,
anggota, dan masyarakat diberikan pelatihan secara khusus agar menjadi anggota
dewan atau kepala negara, namun dalam rangka memberikan pendidikan politik
kepada masyarakat. Sebagaimana yang termaktub dalam keputusan Muktamar
„Aisyiyah ke 45 bahwa:
“„Aisyiyah bukan organisasi partai politik ataupun organisasi sosial
politik, namun tanggap terhadap perkembangan politik dengan berperan
aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.”57
berlandaskan keputusan tersebut Pimpinan Pusat „Aisyiyah mengeluarkan SK no
144/SK-PPA/VI/2008 tentang sikap „Aisyiyah dalam berpolitik. Adapun maksud
55
Edi Suharto, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat, h. 67
Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si.
57
Kebijaksanaan Pimpinan dalam Laporan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Periode 2005-2010,
disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke 46. Yogyakarta, 3-8 Juli 2010
56
53
dan tujuan dari kebijakan tersebut yakni agar menjaga komitmen dan kemurnian
organisasi „Aisyiyah dari kepentingan politik praktis.58
Tampilnya
pengurus
„Aisyiyah
yang
menjadi
anggota
legislatif
dikarenakan pengalaman mereka selama menjadi anggota „Aisyiyah. Organisasi
„Aisyiyah
yang
mengurusi
seluruh
aspek
masyarakat,
menggerakkan
(memberdayakan, pen) masyarakat telah memberikan pengalaman kepada
pengurus „Aisyiyah terbiasa tampil di ruang publik, berpikir sistematis dan
strategis. Hal tersebut sebagaimana yang telah dituturkan oleh Ibu Latifah
Iskandar mantan anggota DPR RI periode 2004-2009 ini sejak berusia 14 tahun
telah aktif dalam Organisasi Nasiyatul „Aisyiyah kemudian terus berlanjut hingga
pada tahun 1990 diberi amanah menjadi pengurus Pimpinan Pusat „Aisyiyah.59
Bila disandarkan pada tujuan dari peran perempuan dalam politik yakni
agar perempuan dapar berperan aktif dalam proses pengambilan kebijakan.
Sehingga hasil yang diharapkan adalah tidak terdiskriminasinya perempuan dalam
pembangunan. Adapun pengertian peran aktif yang dimaksud salah satunya
dengan partisipasi perempuan menjadi anggota legisaltif. Kegiatan atau program
yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah tidak serta bertujuan dengan
yang telah dijelaskan di atas yakni agar masyarakat bahkan anggota dan pengurus
„Aisyiyah diberikan pendidikan dan pelatihan agar mereka menjadi anggota
dewan. Namun program pemberdayaan politik yang diselenggarakan oleh
58
59
Ibid.,
Wawancara Pribadi dengan Dra Latifah Iskandar
54
„Aisyiyah adalah agar perempuan mampu berpikir kritis dan berdaya terhadap
politik.60
Lantas apa model perencanaan program yang digunakan oleh Pimpinan
Pusat „Aisyiyah dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat
khususnya kaum perempuan? berdasarkan analisa terhadap laporan-laporan
kegiatan dan wawancara yang telah dilakukan. Program pemberdayaan politik
perempuan yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah jelas
menggunakan model perencanaan inkremental yakni model perencanaan
tambahan. Pelatihan kepemimpinan dan pendidikan keluarga sakinah, serta
pengajian-pengajian merupakan program atau kegiatan organisasi „Aisyiyah yang
semenjak era baru dan sampai saat ini telah berlangsung. Setelah reformasi
program atau kegiatan tersebut di format dengan menambahkan dan menekankan
pada aspek pendidikan politik. Misalnya pada kegiatan pengajian, Pimpinan Pusat
„Aisyiyah menerbitkan buku “Panduan Pemilu 2004 untuk Mubalighat „Aisyiyah
(2004).”61
2. Program-program Pemberdayaan
Menurut Talcot Parson pemberdayaan adalah sebuah proses agar orangorang menjadi kuat untuk berpartisipasi, mengontrol, dan mempengaruhi segala
kejadian
dan
lembaga-lembaga
yang
mempengaruhi
kehidupannya.
Pemberdayaan memberikan keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan seseorang
sehingga orang tersebut bisa mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang
60
Laporan Kegiatan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Bidang Bidang Pendidikan Politik dan
Pengembangan Masyarakat periode 2005-2010, disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke 46.
Yogyakarta, 3-8 Juli 2010
61
http://www.aisyiyah.or.id/modules/view/11 di akses pada 25 November 2010
55
lain yang menjadi perhatiannya.62 Sebagaimana yang telah dilakukan oleh
Pimpinan Pusat „Aisyiyah pada 2009 lalu menyelenggarakan kegiatan pelatihan
pemilu dan melakukan forum dan membentuk posko untuk pemilu 2009. Kegiatan
ini bertujuan peningkatan partisipasi aktif dalam upaya penguatan masyarakat
sipil dan meningkatkan peran kontrol sosial.63
Kegiatan-kegiatan Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam hal pemberian
keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan kepada perempuan agar mereka
mampu mengontrol, dan mempengaruhi segala kejadian dan lembaga-lembaga
yang mempengaruhinya secara garis besar terbagi menjadi ke dalam beberapa
bentuk yakni, pembinaan, pelatihan, kajian-kajian, workshop, seminar, penerbitan
buku, pendidikan dan kampanye. Berikut di bawah ini rincian-rincian kegiatan
yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah selama kurun waktu sepuluh
tahun terakhir:
a) Pelatihan Kepemimpinan
Kegiatan pelatihan kepemimpinan diselengggarakan oleh Pimpinan Pusat
„Aisyiyah yang termaktub dalam program kerja Majelis Perkaderan
„Aisyiyah. Perkaderan „Aisyiyah dilaksanakan melalui beberapa jalur
yakni perkaderan informal, perkaderan formal, perkaderan non formal, dan
perkaderan khusus. Adapun perkaderan „Aisyiyah mencakup bidang
kepemimpinan, ideologis, tabligh, kesehatan, sosial, pendidikan, ekonomi
62
Edi Suharto, Membangun Masyarakat, , Memberdayakan Rakyat (Bandung: PT
Refika Aditama, 2005), h. 58-59
63
Laporan Kegiatan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Bidang Pendidikan Politik dan
Pengembangan Masyarakat
2005-2010, disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke 46.
Yogyakarta, 3-8 Juli 2010
56
dan politik.64 Materi pelatihan kepemimpinan ini terformat di dalam
kegiatan perkaderan „Aisyiyah yakni Baitul Arqam dan biasanya
diselenggarakan selama 1-3 hari.
Kompetensi kepemimpinan yang dicapai dalam kegiatan perkaderan
„Aisyiyah meliputi:
1) Keikhlasan (motif berjuang di ‟Aisyiyah hanya karena Allah semata).
2) Berjihad (memiliki semangat juang berdakwah menegakkan Islam
melalui ‟Aisyiyah).
3) Syaja‟ah (sikap konsisten, berani menegakkan kebenaran, meskipun
harus menanggung resiko perjuangan).
4) Rahmatan lil ‟alamin (kepemimpinannya berorientasi pada keramahan
dan kesejahteraan).
5) Harakah (selalu siap berperan sebagai pelaku gerakan dan motor
penggerak organisasi).
6) Muballighah (berkemampuan sebagai subyek dakwah, yang memiliki
wawasan luas, menguasai teknologi, media dan informasi sebagai
bagian dari strategi dakwah).
7) Musawa dan ‟adalah (memperhatikan semangat kesetaraan dan keadilan
dalam pembinaan dan pemberdayaan perempuan).
8) Salih (mewujudkan kebaikan dalam seluruh kegiatan, program dan
amal usaha ‟Aisyiyah)
64
Lihat Sistem Perkaderan „Aisyiyah
57
b) Pelatihan Manajemen Ruhaniyah „Aisyiyah (MRA)65
Kegiatan ini masih terbilang baru dalam rangka merespon berkembangnya
kegiatan manajemen kalbu yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Misalnya dengan menampilkan proses kematian yang
kemudian
dikemas sedemikian rupa sehingga para peserta menangis histeris.
Pandangan Muhammadiyah hal ini bertentangan dengan ajaran Islam.66
Maka atas dasar inisiatif para pengurus „Aisyiyah dalam melihat fenomena
ini tergerak untuk membuat kegiatan manajemen rohani.67
”Kegiatan Manajemen Ruhani ‟Aisyiyah merupakan pelatihan
khusus dan fungsional yang dimaksudkan agar peserta memiliki
kemampuan mengelola potensi-potensi ruhaniyah manusia, agar dapat
berkembang secara optimal dan seimbang, sebagai pendukung dalam
menunaikan tugas kepemimpinan.”68
c) Pelatihan dan Pembinaan Keluarga Sakinah
Peran perempuan di ruang publik, tidak terkecuali menjadi politisi tidak
akan
berjalan
dengan
baik
tanpa
adanya
dukungan
keluarga.
Bagaimanapun juga peran perempuan sebagai istri dan ibu harus dapat
pula dijalankan sebaik-baiknya di dalam kehidupan berumahtangga.
„Aisyiyah telah memahami akan persoalan tersebut, peran perempuan
dalam politik secara hukum (baca: UU) sudah tidak ada lagi, namun
terkadang hambatan tersebut datang dalam ranah domestik (baca:
rumahtangga).69 Maka dalam menjawab dan menyelesaikan persoalan
tersebut Pimpinan Pusat „Aisyiyah terus menggalakkan pelatihan dan
65
Untuk masyarakat umum kegiatan ini dinamakan Manajemen Ruhaniyah Islam
Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag.
67
Ibid
68
Laporan Kegiatan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Majelis Pembinaan Kader Periode 20052010, disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke 46. Yogyakarta, 3-8 Juli 2010
69
Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si.
66
58
pembinaan keluarga sakinah bagi perempuan agar mereka tidak
kebablasan dalam berkarier sehingga melupakan perannya di dalam
keluarga serta terbangun kepercayaan dari suami. Kegiatan ini terformat
dalam bentuk kegiatan pengajian-pengajian dan khalaqoh dan masih
bagian dari sistem perkaderan khusus. Perlu diketahui saat jumlah
kelompok pengajian‟Aisyiyah sebanyak 12.149 tersebar di seluruh
Indonesia.70
Tri Widia Astuti, salah satu mahasiswi Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta pernah mengikuti pelatihan keluarga sakinah. Perempuan yang
akrab disapa Widia ini menuturkan pengalamannya selama mengikuti
pelatihan keluarga sakinah yang diselenggarakan di kampusnya. Materi
yang disampaikan seputar akhlak dalam bergaul, berpakaian, serta
diberikan pemahan keagamaan yang rutin kita jalani sehari-hari, seperti
cara berwudhu dan shalat yang langsung dipraktekkan pada saat acara.
Widia juga merasa selama ini cara dia berpakaian dan bergaul tidak sesuai
dengan tuntunan ajaran Islam. Selain itu, melalui pelatihan keluarga
sakinah, mengetahui hak dan kewajiban seorang istri dan suami sejak dini.
Pada tanggal 20 s/d 21 Desember 2008, Pimpinan Pusat ‟Aisyiyah yang
terangkum dalam Divisi Pengembangan Keluarga dan Masyarakat bekerja
sama dengan Departemen Agama mengadakan pelatihan kesetaraan
gender secara berjenjang (pra nikah dan pasca nikah). Kegiatan ini terus
dipantau selama tiga bulan untuk melihat perkembangan dan aplikasinya
di masyarakat.
70
http://aisyiyah.or.id/departemens/view/18 diakses pada tanggal 12 April 2011
59
d) Kajian-kajian
„Aisyiyah bersama Muhammadiyah tergerak untuk melakukan kajiankajian tafsir ayat-ayat al-qur‟an dan hadits yang terkait dengan peran
perempuan di ruang publik. Kegiatan ini mengkaji ayat-ayat al-Quran dan
Hadis yang berkaitan dengan perempuan di ruang publik, termasuk hukum
perempuan menjadi kepala negara dalam ajaran Islam.
Seperti yang ditulis oleh Yunahar Ilyas dalam Jurnal Tarjih dan Pemikiran
Islam mengkaji tentang ayat-ayat yang biasa dipakai untuk melegitimasi
peran perempuan di ruang publik.71 Surat An-Naml ayat 20-24
menceritakan tentang Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis, seorang perempuan
yang memimpin Kerajaan Saba‟. Surat Al-Qashas ayat 23 mengkisahkan
Nabi Musa dengan dua putri Nabi Syu‟aib di Madyan yang sedang
menunggu giliran menimba air untuk minum hewan ternak mereka.
Memelihara dan memberi minum ternak termasuk pekerjaan perempuan di
ruang publik. Serta Surat An-Nahl ayat 97 lebih memperjelas lagi
memberi kesempatan dan menghargai laki-laki dan perempuan untuk
melakukan amal saleh.
Selain mengkaji ayat-ayat yang membolehkan peran perempuan di ruang
publik, jurnal tersebut juga mengkaji ulang ayat yang biasa dipakai oleh
golongan yang berpendapat perempuan tidak boleh menjadi kepala negara.
Surat An-Nisa ayat 34 yang artinya:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena
itu Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
71
Yunahar Ilyas, “Problematika Kepemimpinan Perempuan dalam Islam, “ Jurnal Tarjih
dan Pengembangan Pemikiran Islam, Edisi ke-3 (Januari 2002): h. 64
60
sebagian harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang
taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh
karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang
kamu khawatirkan nusyuznya,72maka
nasehatilah
mereka
dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar”.
Ayat di atas dijadikan keabsahan untuk menolak perempuan sebagai
kepala negara karena laki-lakilah yang menjadi pemimpin perempuan.
Argumen ini dalam pandangan Yunahar Ilyas tidak bisa diterima karena
secara keseluruhan ayat ini berbicara dalam konteks kerumahtanggaan.
Ayat tersebut mengajarkan bagaimana menghadapai istri yang nusyuz
yang tidak mungkin berlaku untuk konteks yang lain selain rumah
tangga.73
Reinterprestasi
terbangunnya
ayat-ayat
Al-Qur‟an
dan
Hadits
kesadaran
perempuan
dari
kesadaran
bertujuan
magis,
agar
naif
menjadi kesadaran kritis.74 Paradigma perempuan yang tidak boleh
berperan di ruang publik terlebih politik yang tertuang dalam wahyuwahyu Tuhan menjadi terbantahkan setelah dilakukan kajian ulang
terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan itu. Proses penyadaran ini
merupakan salah satu komponen dari manajemen pemberdayaan.75
Selain mengkaji ayat-ayat al-quran dan hadis terdapat pula kajian-kajian
umum lainnya yang pernah dilakukan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah
72
Nusyuz berarti pembangkangan atau ketidaktundukan, lihat Musdah Mulia, Nusyuz
Pembangkangan Terhadap Perintah Tuhan, Bukan terhadap Perintah Suami diakses pada 13
April
2011
dari
http://majalahtantri.wordpress.com/2009/01/21/nusyuz-pembangkanganterhadap-perintah-tuhan-bukan-terhadap-perintah-suami/,
73
Yunahar Ilyas, “Problematika Kepemimpinan Perempuan dalam Islam”, h. 70
74
Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si
75
lihat Anwar, Manajemen Pemberdayaan Perempuan, (Bandung: Alfabeta: 2007), h 37
61
salah satunya “Menyoal Keberpihakan Sistem Pemilu 2009 dalam
Meningkatkan Kualitas Demokrasi dan Memperjuangkan Aspirasi
Masyarakat”. Kegiatan tersebut bertujuan meningkatkan kesadaran,
wawasan, dan partisipasi warga „Aisyiyah khususnya, umat dan
masyarakat dalam dinamika kehidupan bermasyarakat berbangsa dan
bernegara
menuju
kehidupan
yang
demokratik.76
Seperti
yang
diungkapkan oleh Kindervarter bahwa pemberdayaan merupakan proses
pemberian kekuatan atau daya dalam bentuk pendidikan yang bertujuan
bangkitnya kesadaran, pengertian, dan kepekaan warga belajar terhadap
perkembangan sosial, ekonomi, dan politik.77
e) Workshop dan Seminar
Sistem pilkada secara langsung memberikan kekuasaan yang lebih besar
kepada masyarakat untuk memilih calon pemimpin yang mempunyai
komitmen terhadap masyarakat dan perempuan. Berangkat dari persoalan
tersebut Pimpinan Pusat „Aisyiyah merasa perlu adanya pengawalan dalam
proses demokrasi langsung tersebut. Maka LPPA (Lembaga Pengkajian
dan Pengembangan „Aisyiyah) turut serta mengambil peran dalam proses
pilkada dengan memberdayakan pemilih agar menjadi pemilih cerdas pada
saat pilkada serta terus mampu mengawalnya hingga pasca pilkada.
Berikut beberapa kegiatan workshop yang diselenggarakan oleh Pimpinan
Pusat „Aisyiyah dalam merespon sistem pemilihan secara langsung:
76
Laporan Kegiatan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Bidang Pendidikan Politik dan
Pengembangan Masyarakat
2005-2010, disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke 46.
Yogyakarta, 3-8 Juli 2010
77
Anwar, Manajemen Pemberdayaan Perempuan, (Bandung: Alfabeta, 2007), h.77
62
1)
Bekerjasama dengan beberapa pihak (UNDP, TAF, USAID) untuk
pendidikan politik dan diskusi politik bagi calon anggota legislatif
perempuan.78
2)
Bekerjasama dengan Pusat Studi Wanita Universitas Muhammadiyah
Malang mengadakan Seminar Pendidikan Politik Perempuan.79
3)
Workshop
Pendidikan
Politik
Pemilih
Kritis
PWA
Jabar.
Narasumber: Dra. Siti Noordjannah Djohantini, MM, M.Si,
Chamamah, Mahsunah, Hadiroh, Khusnul, dan Tri. Pada 19-21 Maret
2008 di Akper-Akbid „Aisyiyah Bandung-Jawa Barat.80
4)
Workshop isu-isu lokal pilkada Kota Yogyakarta dan Strategi
Sosialisasi menjadi Pemilih Cerdas. Narasumber: Drs. Bambang
Purwoko, MA.81
f) Penerbitan Buku
Gerakan „Aisyiyah dalam pemberdayaan politik perempuan tidak hanya
meluas dalam segala bentuk program dan kegiatan melalui pelatihanpelatihan,
workshop,
seminar
sebagai
bentuk
pendidikan
politik
perempuan baik sebagai pemilih dan dipilih dalam penyelenggaraan pesta
demokrasi di Indonesia. Penerbitan buku-buku juga menjadi bagian
penting dalam memberikan wawasan kepada masyarakat khususnya kaum
perempuan, karena tidak semua dapat berpartisipasi dalam kegiatan
workshop dan seminar yang diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat
78
Laporan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Periode 2000-2005, disampaikan pada Muktamar
„Aisyiyah ke-45 di Malang
79
Ibid
80
Laporan Pelaksanaan Program Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat
„Aisyiyah Tahun 2005 - 2008
81
Ibid
63
„Aisyiyah. Berdasarkan data yang dihimpun dari website Pimpinan Pusat
„Aisyiyah, berikut beberapa buku yang telah diterbitkan oleh Pimpinan
Pusat „Aisyiyah yang berkaitan dengan pemberdayaan politik perempuan:
Apresiasi Politik Pemilih Perempuan Pemula (2004), Modul Peningkatan
Kemampuan Pengelola Pengajian/Majelis Taklim Perempuan Berbasis
Kerukunan, Ekonomi dan Lingkungan Hidup Berperspektif Gender
(2009), Panduan Menjadi Pemilih Kritis Pilkada Kota Yogyakarta 2006
(2006), Tanya-Jawab Pemilu 2004 dan Visi Pendidikan Pemilih 'Aisyiyah
(2004), Panduan Pemilu 2004 untuk Muballighat 'Aisyiyah (2004)
g) Pendidikan
Gerakan „Aisyiyah di bidang pendidikan telah menghasilkan tidak sedikit
sekolah, perguruan/sekolah tinggi dan pesantren dan sebagainya yang
didirikannya. Amal usaha „Aisyiyah saat ini yang bergerak di pendidikan
berjumlah 4.560 yang terdiri dari Kelompok Bermain, Pendidikan Anak
Usia Dini, Taman Kanak-Kanak, Tempat Penitipan Anak, Sekolah Dasar,
Sekolah Menengah Pertama, dan lain-lain.82 Potensi tersebut tidak siasiakan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah untuk memberdayakan kaum
perempuan. Majelis Pembinaan Kader Pimpinan Pusat „Aisyiyah
mengambil peranan ini untuk mendidik siswa maupun mahasiswi yang
menimba ilmu di amal usaha „Aisyiyah.
Kaderisasi salah satu faktor utama dalam menunjang keberlanjutan
organisasi agar tetap eksis dan bertahan. Kaderisasi tidak sekedar mencari
orang-orang atau individu semata namun penanaman keterampilan
82
http://www.aisyiyah.or.id/modules/view/11 di akses pada 25 November 2010
64
kepemimpinan dan ideologi juga menjadi faktor penting agar tujuan
organisasi tidak berpindah haluan dari yang dicita-citakan oleh pendirinya
dan harapan masyarakat. Menyoal permasalahan tersebut, maka Pimpinan
Pusat „Aisyiyah perlu mengadakan perkaderan khusus melalui pondok
pesantren dan sekolah kader. Program ini secara umum bertujuan agar
perempuan memiliki kemampuan kepemimpinan sehingga dapat berperan
di ruang publik, namun tidak bisa dipungkiri pula tujuan internalnya
adalah lahirnya calon generasi pimpinan „Aisyiyah.
”Pondok pesantren dimaksudkan untuk membina dan
mengembangkan kualitas keislaman dan kepemimpinan siswi dan
mahasiswi dari sekolah menengah dan PT Muhammadiyah/‟Aisyiyah
maupun siswi dan mahasiswi keluarga Muhammadiyah/‟Aisyiyah atau
masyarakat pada umumnya.”83
”Sekolah kader yang dikembangkan adalah Sekolah Kader tingkat
Pendidikan Menengah dan Tingkat Pendidikan Tinggi. Dalam sekolah
kader dilaksanakan kegiatan pembinaan maupun pelatihan kepemimpinan.
Yang termasuk dalam kategori Sekolah Kader, misalnya Madrasah
Mu‟allimat untuk tingkat menengah dan STIKES „Aisyiyah Yogyakarta
untuk tingkat Pendidikan Tinggi.”84
Berdasarkan kutipan di atas menggambarkan kepedulian Pimpinan Pusat
„Aisyiyah terhadap perempuan. Sejak dini siswi-siswi diajarkan dan dilatih
kepemimpinan, telah dilatih untuk tampil di ruang publik. Mereka
mendapatkan pembinaan kepemimpinan melalui 1) Latihan Khitobah,
yaitu latihan berbicara di depan umum, baik sebagai pembawa acara,
pemberi sambutan, maupun penceramah85 2) Latihan muhadarah (diskusi)
yaitu
latihan
melaksanakan
diskusi
baik
sebagai
penyelenggara,
moderator, peserta aktif maupun presentator 3) Kajian Bulanan dengan
83
Lihat Sistem Perkaderan „Aisyiyah, PP „Aisyiyah
Ibid
85
Kegiatan ini diperuntukkan bagi siswa kelas dua.
84
65
tema
kepemimpinan
muslimah
dan
masalah-masalah
aktual
kepemimpinan.86
h) Kampanye
Pimpinan Pusat „Aisyiyah juga melakukan kampanye sebagai bentuk
pendidikan politik perempuan. Aksi turun ke jalan, penyebaran posterposter, stiker tidak luput digunakan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam
meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik.87
Kegiatan „Aisyiyah dalam pemberdayaan politik perempuan sebelum
reformasi tidak secara langsung mengarah ke pemberdayaan perempuan di
bidang politik. Melalui pengajian-pengajian „Aisyiyah para perempuan
diajarkan untuk menjadi individu yang kritis.
Ibu Latifah Iskandar
menuturkan pengalamannya selama menjadi anggota dan pengurus
„Aisyiyah bahwa selama di „Aisyiyah sudah terbiasa berpikir secara
nasional dan kemudian mengambil kebijakan, kemampuan kepemimpinan,
menganalisa sosial, penggerak di masyarakat, berpikir strategis dan
tekhnis, kesemuanya didapatkan selama menjadi pengurus „Aisyiyah sejak
tahun 1990. Kemampuan dan pengalaman di atas menurutnya belum tentu
didapatkan di organisasi lainnya, karena jaringan „Aisyiyah yang sudah
menyebar ke pelosok tanah air. Kemampuan dan pengalamannya tersebut
telah mengantarkannya menjadi anggota DPR RI periode 2004-2009.
Demikian pemaparan di atas mengenai strategi dan kegiatan Pimpinan
„Aisyiyah dalam pemberdayaan perempuan yang terformat dalam beberapa
program dan terhimpun dalam program kerja masing-masing lembaga yang
86
Kajian bulanan dirancang selama 10 kali tatap muka dan diperuntukkan bagi siswa
kelas dua.
87
Wawancara Pribadi dengan Dra Latifah Iskandar, Yogyakarta , 14 April 2011.
66
terdapat dalam struktur kepengurusan Pimpinan Pusat „Aisyiyah. Kegiatan
Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam meningkatkan kesadaran perempuan akan
perannya di ruang publik mencakup segala aspek pembahasan. Mulai dari
memberikan pemahaman agama tentang peran perempuan di ruang publik,
membina keluarga sakinah agar tidak terjadi konflik peran perempuan sebagai
ibu/istri, pendidikan politik bagi perempuan, pelatihan kepemimpinan bagi
perempuan sebagai aspek utama dalam politik yakni kepemimpinan, menerbitkan
buku-buku yang terkait dengan perempuan dan politik dan sebagainya.
D. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Pemberdayaan Politik
Perempuan
1. Faktor-faktor Pendukung
Selain faktor-faktor penghambat seperti yang telah dijelaskan di atas tadi
tentu ada pula faktor-faktor pendukung dalam kegiatan yang selama ini dijalankan
oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah. Berikut di bawah ini faktor-faktor pendudukung
tersebut:
a) Struktural, yang dimaksud struktural ini adalah undang-undang. Tanpa
disertai dukungan dari pemerintah yakni peraturan tentang kuota
perempuan yang tertuang dalam UU Pemilu dan Partai Politik
tentu
kegiatan yang selama ini telah dijalankan akan menjadi sia-sia karena
tidak dapat diaplikatifkan sehingga animo perempuan untuk menjadi
peserta dalam kegiatan ini juga rendah.88
b) Kepercayaan, tanpa adanya kepercayaan tidak akan ada pemberian
bantuan finansial dari pihak pendonor kepada Pimpinan Pusat „Aisyiyah
88
Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si.
67
dalam
bekerjasama
menyelenggarakan
serangkaian
kegiatan
pemberdayaan politik perempuan.89
c) Jaringan, organisasi Aisyiyah yang telah tersebar kepelosok tanah air
menjadi bagian yang mendukung Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam
menyelenggarakan serangkaian program. Kepengurusan „Aisyiyah mulai
dari tingkatan provinsi (Pimpinan Wilayah), kabupaten atau kota
(Pimpinan
Daerah),
Desa/Kelurahan
(Pimpinan
Ranting)
menjadi
kekuatan basis pergerakkan dalam menyukseskan program.90
d) Sumber Daya Manusia, ketersediaan para tokoh di internal („Aisyiyah dan
Muhammadiyah) sebagai pembicara untuk mengisi kegiatan-kegiatan.
Menghadirkan tokoh „Asiyiyah dan Muhammadiyah merupakan strategi
yang cerdas untuk memberikan motivasi kepada peserta pelatihan.91
2. Faktor-faktor Penghambat
Perjalanan Pimpinan Pusat „Aisyiyah dalam memberdayakan kaum
perempuan untuk berkiprah di ruang publik bukan berarti tanpa hambatanhambatan. Peran sosial perempuan dalam ruang publik dan politik adalah salah
satu diantaranya bukan persoalan yang mudah untuk dijalankan. Berikut faktorfaktor penghambat dalam pemberdayaan politik perempuan yang ditemukan
dalam pelaksanaannya oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah:
1) Domestik (rumahtangga), menjadi faktor pertama yang masih dialami
perempuan. Mendapatkan izin suami, mengasuh anak, menjadi persoalan
utama yang terlebih dahulu diselesaikan dalam menjalankan perannya sebagai
89
Laporan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Periode 2000-2005, disampaikan pada Muktamar
„Aisyiyah ke-45 di Malang dan Laporan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Periode 2005-2010,
disampaikan pada Muktamar „Aisyiyah ke-46 di Yogyakarta
90
Wawancara Pribadi dengan Dra Latifah Iskandar.
91
Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag.
68
ibu.
Sehingga
tidak
bisa
hadir
dalam
kegiatan-kegiatan
yang
diselenggarakan.92
2) Waktu, ketersediaan waktu yang dimiliki panitia dan pengurus sangat sedikit
sehingga berimbas pada jadwal kegiatan. Salah satunya, Program Baitul
Arqam yang berlangsung sekitar 1-3 hari. Menurut Ibu Aisyah dan Widia,
waktu ini dirasa kurang intensif agar materi yang disampaikan dapat lebih
mendalam agar lebih dipahami oleh peserta.93
3) Rangkap jabatan, Pengurus Pimpinan Pusat „Aisyiyah banyak yang
beraktivitas sebagai dosen, guru, anggota dewan dan sebagainya. Tidak sedikit
pengurus Pimpinan Pusat „Aisyiyah yang rangkap jabatan dan beraktivitas di
organisasi luar. Hal ini menjadi persoalan yang klasik dan serius untuk dicari
jalan keluarnya mengenai pengurus yang rangkap jabatan. Sehingga tidak
berlebihan bila ini pernah dibahas dalam Muktamar „Aisyiyah ke-44 tahun
2005 yang lalu di Jakarta.94
4) Minat perempuan, karakter dunia politik yang selama ini identik dengan
dengan maskulinitas. Maka hal ini menjadikan kurangnya minat perempuan
terhadap politik.95
92
Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si.
Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag.
94
Laporan Pimpinan Pusat „Aisyiyah Periode 2000-2005, disampaikan pada Muktamar
„Aisyiyah ke-45 di Malang
95
Wawancara Pribadi dengan Dra Latifah Iskandar.
93
BAB IV
PENUTUP
“Aisyiyah seperti negara di atas negara karena mengurusi
semua kehidupan masyarakat (Latifah Iskandar)”
A. Kesimpulan
Kelahiran
‘Aisyiyah
sebagai
organisasi
perempuan
muslim
merupakan suatu bentuk pembaharuan Islam dalam merubah paradigma
perempuan yang harus di dapur saja.
KH Ahmad Dahlan mendirikan
‘Aisyiyah menilai bahwa perempuan juga mempunyai kesempatan yang
sama dengan laki-laki untuk menegakkan amal ma‟ruf nahi munkar. Dalam
tesis Rita Pranawati yang berjudul The Idea of Female Leadership Among
Muhammadiyah Elite Members After The 45th National Conference (2005),
Muhammadiyah cukup responsif terhadap kemajuan perempuan dan
penerimaan keberadaan perempuan untuk menjadi pemimpin dalam kultur
Muhammadiyah. Hasil temuan dalam skripsi menambahkan pula bahwa
keberadaan pemimpin perempuan tidak hanya dalam tubuh organisasi
Muhammadiyah, namun di luar itu Muhammadiyah dan juga ‘Aisyiyah
berpandangan bahwa tidak ada larangan dalam ajaran Islam bagi perempuan
untuk menjadi anggota dewan, kepala daerah bahkan kepala negara
sekalipun.
Kiprah perempuan yang berperan di ruang publik bagi ‘Aisyiyah
perempuan tersebut harus tetap dapat membagi perannya di ruang domestik.
Peran perempuan sebagai ibu dan istri yang baik haruslah dijaga agar tidak
69
70
terjadi konflik peran diantara keduanya (publik dan domestik). Maka dari itu
‘Aisyiyah membuat program pendidikan keluarga sakinah salah satunya
sebagai bentuk tindakan preventif dalam menjaga keutuhan rumah tangga.
Dalam tesis Siti Syamsiyatun, Muslim Women‟s Politics in
Advancing Their Gender Interests: A Case-Study of Nasyiatul „Aisyiyah in
Indonesian New Order Era dimana pada masa orde baru, pergerakan
organisasi perempuan selalu dibayang-bayangi oleh pemerintahan yang
militeristik. Maka pemerintah membentuk Dharma Wanita dan PKK
sehingga mudah dikontrol. Begitu juga ‘Aisyiyah kegiatan pemberdayaan
politik perempuan hanya bisa dilakukan di dalam kegiatan pengajianpengajian di pelosok sebagai sebuah startegi pergerakan di masa itu. Pada
era reformasi serangkaian program dan kegiatan diselenggarakan oleh
‘Aisyiyah bisa lebih terbuka dan leluasa karena tidak ada lagi hambatan,
baik secara struktural (UU) dan kultural (kebebasan berpendapat). Adapun
kegiatan pemberdayaan politik perempuan yang diselenggarakan oleh
Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah yang terbaru di era reformasi saat ini seminar,
workshop, kajian-kajian, penerbitan buku, kampanye, terangkum dalam
bentuk pendidikan politik perempuan. Tidak hanya itu pelatihan
kepemimpinan dan pendidikan kelurga sakinah yang sudah ada sejah dahulu
masih tetap berlangsung
bertujuan memberikan keterampilan dan
pengetahuan kepada perempuan akan perlunya peran perempuan di
masyarakat.
Besarnya amal usaha yang dikelola oleh organisasi ‘Aisyiyah secara
keseluruhan mulai dari rumah sakit, sekolah, sekolah tinggi, universitas
71
terkadang menjadi bumerang karena tidak sedikit pengurus ‘Aisyiyah yang
merangkap jabatan. Sebagian pengurus Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah ada pula
yang rangkap jabatan di amal usaha, sebagai dosen, pengajar dan
sebagainya. Intensifitas pembagian waktu menjadi persoalan yang dilematis
karena dapat menghambat kinerja roda organisasi.
Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah telah memiliki amal usaha sendiri,
walaupun begitu belum dirasa cukup dalam membiayai roda organisasi. Hal
ini masih terus menjadi permasalahan klasik, selalu masuk dalam
pembahasan muktamar. Hambatan-hamabatan pasti selalu ada sebagai
bentuk ujian agar tetap istiqomah dalam berdakwah amal ma‟ruf nahi
munkar. Eksistensi ‘Aisyiyah yang menjelang satu abad telah menjadi bukti
bahwa hambatan-hambatan tersebut bukan menjadi batu sandungan yang
berarti.
B. Rekomendasi
Dengan tidak mengurangi rasa hormat penulis kepada pengurus
Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah yang bila dianalogikan seperti seorang anak
kepada ibunya. Rekomendasi yang penulis sampaikan tidak sekedar yang
berkaitan dengan pembahasan skripsi
ini, namun
tidak menutup
kemungkinan hal-hal lain yang terkait selama penelitian berlangsung.
Berikut beberapa hal yang penulis rekomendasikan kepada Pimpinan Pusat
‘Aisyiyah:
1. Kaderisasi.
Permasalahan kaderisasi dalam suatu organisasi merupakan persoalan
yang klasik, tidak sedikit organisasi-organisasi yang lambat laun
72
menghilang karena tidak adanya regenerasi kepemimpinan, tidak
terkecuali ‘Aisyiyah. Kelunakan ‘Aisyiyah kepada para pengurus yang
telah menjadi duduk di lembaga politik (parpol dan anggota dewan) tetap
menjadi dibolehkan menjadi pengurus persyarikatan. Walaupun dengan
catatan yang sebelumnya menjadi ketua harus turun menjadi ketua.
Kebijakan ini muncul karena sulitnya mencari kader atau orang-orang
yang berkomitmen kepada persyarikatan. Penulis merasa perlu menjadi
suatu kehati-hatian bagi Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah agar jangan sampai
kehilangan kepercayaan di mata masyarakat atas dedikasi yang sudah
dibangun saat ini. Benturan konflik kepentingan bersama (baca:
masyarakat) dengan kepentingan pribadi perlu diwaspasdai untuk
menghindari individu-individu yang akan bersosialisasi atau kampanye di
dalam program dan kegiatan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah sehingga
kemurnian ikhlas dalam berdakwah amal ma‟ruf nahi munkar tidak lagi
terjaga.
2. Kegiatan dan Program.
Sebelum reformasi bergulir pergerakan ‘Aisyiyah dalam pemberdayaan
masyarakat, khususnya kaum perempuan telah berhasil melahirkan local
leader dengan pendekatan pendidikan kultural, yakni pengajianpengajian kepada kaum perempuan. Kegiatan Seminar, workshop, dan
event-event sesaat tersebut lebih dikurangi selain untuk menghemat
biaya, melalui pengajian tingkatan grass root masyarakat awam lebih
memahami dan intensitas waktunya lebih efektif dan atraktif melalui
tatap muka.
73
3. Penyediaan Sumber Informasi.
Berdasarkan pengalaman pribadi penulis pada penulisan skripsi ini dari
sejak awal sampai akhir. Animo kalangan akademisi untuk meneliti
organisasi ‘Aisyiyah dalam karya ilmiah cukup besar, maka penyediaan
sumber informasi tentang Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dan keseluruhan
tingkatan se-nasional lebih ditingkatkan. Karya ilmiah yang dibuat oleh
akademisi dapat menjadi masukan bagi peran dan perkembangan
‘Asiyiyah di tanah air.
Demikian beberapa rekomendasi yang penulis sampaikan yang
bertujuan peran ‘Aisyiyah kepada masyarakat terutama kaum perempuan di
Indonesia lebih konstruktif dalam rangka menyambut satu abad ‘Aisyiyah.
Selain kepada Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah penulis juga ingin menyampaikan
rekomendasi kepada kalangan akademis baik mahasiswa dan dosen tentang
penelitian politik perempuan ini. Penulis sadari masih banyak terdapat
kekurangan dalam penelitian ilmiah ini, jadi penulis harapkan agar ada
penelitian lanjutan di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Asvi Warman. Membongkar Manipulasi Sejarah, Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2009.
Agrustino, Leo, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Mengenai Ilmu
Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007.
Alfian, Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan, Jakarta: UIPress, 1986.
Anwar, Manajemen Pemberdayaan Perempuan, Bandung: Alfabeta: 2007.
Bashin, Kamila. Memahami Gender, Jakarta: Teplok Press, 2003.
Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2008.
Cora Vreede-De Stures, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan
Pencapaian. Penerjemah Elvira Rosa dkk, Jakarta: Komunitas
Bambu, 2008.
Darban, A. Adaby (ed), ‘Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan
Indonesia: Sebuah Tinjaun Awal, Yogyakarta: Jurusan Sejarah
UGM, 2010.
Fakih, Mansoer, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
Firdaus, Endis, Imam Perempuan Dekonstruktif Perspektif Gender:
Keniscayaan Kontektualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia,
Jakarta: Pustaka Ceria, 2008
Gunawan, Wawan dan Evie Shofia Inayati (ed), Wacana Fiqh Perempuan
dalam Persfektif Muhammadiyah, Yogyakarta: PP Muhammadiyah,
2005
Hidayat, Muhammad Rahz, ed., Perempuan Yang Menuntun: Sebuah
Perjalanan Ispirasi dan Kreasi, Bandung: Ashoka Indonesia, 2000
Lastariyah, Siti. “Manajemen Pendidikan dan Latihan Pimpinan Pusat
„Aisyiyah dalam Pemberdayaan Kaum Perempuan di Jakarta”
Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi, 2007.
Majlis Tarjih, Adabul Mar’ah fil Islam, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,
2010
Mudzhar, H.M. Atho dkk, ed. Wanita Dalam Masyarakat Indonesia, Akses
Pemberdayaan dan Kesempatan, 1st ed. Yogyakarta: Sunan Kalijaga
Press, 2001.
Mulia, Siti Musdah dan Anik Farida. Perempuan dan Politik, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Nashir, Haedar, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, Jakarta: Suara
Muhammadiyah, 2010
74
Pambayun, Ellys Lestari. Perempuan vs Perempuan: Realitas Gender,
Tayangan Gosip dan Dunia Maya, 1st ed. Bandung: Penerbit
Nuansa, 2009.
Pimpinan Pusat „Aisyiyah, Anggaran Dasar dan Rumah Tangga ‘Aisyiyah,
Yogyakarta: PP „Aisyiyah, 2002
Rosa, Elvira dkk, penj. Sejarah Perempuan Indonesia, Gerakan dan
Pencapaian, 1st ed. Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.
Sadli, Saparinah, Berbeda Tetapi Setara: Pemikiran Tentang Kajian
Perempuan, Jakarta: Kompas, 2010
Salam, Junus, KH Ahmad Dahlan, Amal dan Perjuangannya, Jakarta: AlWasrat Publishing House, 2009
Shobahiya, Mahasri dkk, Studi Kemuhammadiyahan, 7th ed. Surakarta:
LPID-UMS, 2008
Suharto, Edi, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat, Bandung:
PT Refika Aditama, 2005
Suryochondro, Sukanti. Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, Jakarta:
CV Rajawali, 1984
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 3rd.
Jakarta: Balai Pustaka, 2007
Yusuf, Maftuchah, Perempuan Agama dan Pembangunan, Wacana Kritik
atas Peran
dan Kepemimpinan Wanita, Yogyakarta: Lembaga
Studi dan Inovasi, 2000
Yusuf, Muhammad Yunan dkk, ed, Ensiklopedia Muhammadiyah, Jakarta:
PT Raja Grafindo, 2005
Widya Sucipto, Ani. Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jakarta: Kompas,
2005
Wulansari, Lisa, ed, Buku Referensi Penanganan Kasus Kekerasan
Terhadap Perempuan di Lingkungan Peradilan Umum, Komnas
Perempuan, 2009
Zakiyah, Kiki. “Peran Organisasi „Aisyiyah dalam Perubahan Sosial (Studi
Kasus: „Aisyiyah Kelurahan Petir, Kecamatan Cipondoh,
Tanggerang).” Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006
Ilyas, Yunahar “Problematika Kepemimpinan Perempuan dalam Islam”,
Jurnal Tarjih Edisi ke-3 Januari 2002
Musdah Mulia, ”Nusyuz Pembangkangan Terhadap Perintah Tuhan, Bukan
terhadap Perintah Suami.” Artikel ini diakses pada 13 April 2011
dari
http://majalahtantri.wordpress.com/2009/01/21/nusyuz
pembangkangan-terhadap-perintah-tuhan-bukan-terhadap-perinta
suami/
75
Wahyono, “Pengertian Penelitian Kualitatif”. Artikel diakses pada 10 Mei
2011
dari
http://penelitianstudikasus.blogspot.com/2009/03/pengertianpenelitian-kualitatif.html
Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag. Yogyakarta, 07
April 2010
Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si.
Yogyakarta, 07 April 2010
Wawancara Pribadi dengan Dra Latifah Iskandar. Yogyakarta, 14 April
2011
76
PERTANYAAN WAWANCARA
Nama
: Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si
Jabatan
: Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Periode 2010-2015
1. Apa pandangan Aisyiyah mengenai peran sosial perempuan di ruang publik saat
ini?
Jawaban: Setiap individu wajib berbakti kepada masyarakat untuk memecahkan
persoalan yang ada di masyarakat. Maka perlunya organisisi agar lebih tercapai.
Kontribusi perempuan membantu memecahkan problem masyarakat cukup besar.
Indikatornya lahirnya Undang-undang Traffiking dan KDRT.
2. Apa pendapat Aisyiyah mengenai peran perempuan dalam politik ditinjau dari
ajaran Islam dan budaya masyarakat Indonesia? misal perempuan menjadi kepala
daerah dan anggota parlemen?
Jawaban: ‘Aisyiyah menilai boleh perempuan ke politik tapi tidak harus di
lembaga politik praktis. Kegiatan rapat Musrenbangdes juga merupakan kegiatan
politik.
3. Menurut Aisyiyah, perlukah peranan perempuan dalam politik?
Jawaban: Perlu, untuk menghilangkan ketertindasan secara struktural dan
kultural.
4. Bagaimana pandangan Aisyiyah dalam menilai peran politik perempuan di era
reformasi saat ini?
Jawaban: Ada progress, perempuan dilibatkan dalam pengawasan pemilu.
lahirnya undang-undang sensitif gender.
5. Apa saja kegiatan atau program PP Aisyiyah dalam meningkatkan kesadaran dan
kemampuan politik kaum perempuan? sebutkan
Jawaban: Pengajian-pengajian, seminar, workshop, reinterprestasi ayat-ayat alqur’an dan hadits, kajian-kajian dsb.
6. Dan bagaimana hasilnya dari kegiatan tersebut?
Jawaban: Terjadi perubahan pola pikir kaum perempuan dari kesadaran magis
menjadi kesadaran naïf dan kritis
7. Apa saja faktor-faktor pendukung dalam kegiatan tersebut sehingga dapat
terlaksana dengan baik?
Jawaban:
Faktor
pendukung
terselenggaranya
kegiatan
kami
dalam
pemberdayaan perempuan salah satunya ya UU mengenai kuota 30 % perempuan
dalam parlemen.
8. Selain itu, apa saja faktor-faktor yang menghambat dalam kegiatan tersebut?
sebutkan
Jawaban: Secara struktural sudah tidak ada hambatan tapi dalam wilayah
domestik masih ada, sehingga partisipasi perempuan dalam kegiatan masih
rendah.
9. Bagaimana partisipasi pengurus Aisyiyah dalam lembaga politik? misal anggota
legislatif, eksekutif dan partai politik
Jawaban: Pengurus ‘Aisyiyah yang masuk ke dalam partai politik dan terpilih
sebagai anggota dewan juga ada tapi mengenai inventarisir jumlahnya kami tidak
ada datanya.
10. Bagaimana peran Organisasi Aisyiyah dengan keberadaan mereka di sana dan
peran selanjutnya setelah terpilih menjadi anggota legislatif atau lembaga politik
lainnya?
Jawaban: Kami menyelenggarakan training untuk para kader yang mencalonkan
diri sebagai calon anggota legislatif dan setelah mereka terpilih tidak boleh
menjadi pengurus
PERTANYAAN WAWANCARA
Nama
: Dra Latifah Iskandar
Jabatan
: Mantan Anggota DPR RI 2004-2009 dan Ketua Majelis Ekonomi dan
Ketenagakerjaan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Periode 2010-2015
1. Apa pandangan Aisyiyah mengenai peran sosial perempuan di ruang publik saat
ini?
Jawaban: 2. Apa pendapat Aisyiyah mengenai peran perempuan dalam politik ditinjau dari
ajaran Islam dan budaya masyarakat Indonesia? misal perempuan menjadi kepala
daerah dan anggota parlemen?
Jawaban: 3. Menurut Aisyiyah, perlukah peranan perempuan dalam politik?
Jawaban: 4. Bagaimana pandangan Aisyiyah dalam menilai peran politik perempuan di era
reformasi saat ini?
Jawaban: Sekarang gerakan Affirmative action telah teraplikasi dalam undangundang pemilu dan daftar caleg, yang bunyinya seperti ini diantara tiga nama
caleg satu perempuan.
5. Apa saja kegiatan atau program PP Aisyiyah dalam meningkatkan kesadaran dan
kemampuan politik kaum perempuan? sebutkan
Jawaban: Melakukan pendidikan politik sampai ke daerah-daerah. workhsop,
seminar, kampanye ada poster, spanduk-spanduk. pilih yang bersih, jangan pilih
yang korupsi, pilih perempuan misalnya.
6. Dan bagaimana hasilnya dari kegiatan tersebut?
Jawaban:
Meningkatnya
wawasan
politik
masyarakat
khususnya
kaum
perempuan.
7. Apa saja faktor-faktor pendukung dalam kegiatan tersebut sehingga dapat
terlaksana dengan baik?
Jawaban: Suasana politik di tingkat nasional cukup mudah dipahami oleh
pimpinan di ‘Aisyiyah untuk memperjuangkan partisipasi politik perempuan.
8. Selain itu, apa saja faktor-faktor yang menghambat dalam kegiatan tersebut?
sebutkan
Jawaban: Rendahnya minat perempuan terhadap politik, terus waktu juga
9. Bagaimana partisipasi pengurus Aisyiyah dalam lembaga politik? misal anggota
legislatif, eksekutif dan partai politik
Jawaban: Mengenai datanya, berapa jumlahnya saya tidak tahu. yah sekitar 5-10
persen kira-kira.
10. Bagaimana peran Organisasi Aisyiyah dengan keberadaan mereka di sana dan
peran selanjutnya setelah terpilih menjadi anggota legislatif atau lembaga politik
lainnya?
Jawaban: Waktu saya masih di DPR, kita saling bekerja sama. Misalnya dalam
membuat undang-undang, ‘Aisyiyah ingin memberikan masukan apa? karena
‘Aisyiyah kan stake holder
PERTANYAAN WAWANCARA
Nama
: Dr. Hj. Siti Aisyah, M.Ag
Jabatan
: Ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah
1. Apa pandangan Aisyiyah mengenai peran sosial perempuan di ruang publik saat
ini?
Jawaban: Dalam memecahkan persoalan di masyarakat, memerlukan penguatan
peran perempuan di ruang publik. Landasannya adalah Surat At-Taubah Ayat 71,
ayat norma tentag perempuan dalam ruang publik.
2. Apa pendapat Aisyiyah mengenai peran perempuan dalam politik ditinjau dari
ajaran Islam dan budaya masyarakat Indonesia? misal perempuan menjadi kepala
daerah dan anggota parlemen?
Jawaban: Tidak ada masalah perempuan menjadi kepala daerah tapi yang
benar-benar berkompetensi bukan karena suaminya, bukan vote geter. Tidak ada
larangan pula dalam budaya Indonesia mengenai kepemimpinan perempuan.
Sejak dulu memang sudah ada perempuan memimpian kerajaan-kerajaan di
Indonesia, namun setelah datang ajaran Islam baru dari Arab Saudi , terdapat
larangan mengenai itu.
3. Menurut Aisyiyah, perlukah peranan perempuan dalam politik?
Jawaban: Sangat perlu, untuk mengambil kebijakan yang sadar gender akan
kebutuhan masyarakat.Berdasarkan kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Bilqis,
kepemimpinan perempuan adalah untuk kesejahteraan masyarakat.
4. Bagaimana pandangan Aisyiyah dalam menilai peran politik perempuan di era
reformasi saat ini?
Jawaban: Memang harus ada affirmative action, untuk menegakkan keadilan
5. Apa saja kegiatan atau program PP Aisyiyah dalam meningkatkan kesadaran dan
kemampuan politik kaum perempuan? sebutkan
Jawaban: Pelatihan kepemimpinan pada masyarakat luas, Manajemen Ruhani
‘Aisyiyah (kalau untuk masyarakat umum dinamakan Manajemen Ruhani Islam)
6. Dan bagaimana hasilnya dari kegiatan tersebut?
Jawaban: Para peserta menjadi sadar kemampuan dirinya
7. Apa saja faktor-faktor pendukung dalam kegiatan tersebut sehingga dapat
terlaksana dengan baik?
Jawaban: Banyaknya tokoh-tokoh ‘Aisyiyah, Muhammadiyah dan Amal Usaha
menjadi salah satu faktor pendukung. Mereka dilibatkan sebagai pembicara untuk
mengisi kegiatan-kegiatan seperti talkshow dsb
8. Selain itu, apa saja faktor-faktor yang menghambat dalam kegiatan tersebut?
sebutkan
Jawaban: Waktu yang kurang. Seperti kegiatan Baitul Arqam, yang hanya
diselenggarakan 1-3 hari, biasanya mulai hari jum’at sampai mingu. Waktu tiga
hari ini masih kurang.
9. Bagaimana partisipasi pengurus Aisyiyah dalam lembaga politik? misal anggota
legislatif, eksekutif dan partai politik
Jawaban: Cukup banyak. mengenai jumlahnya nanti silahkan tanya ke LPPA
10. Bagaimana peran Organisasi Aisyiyah dengan keberadaan mereka di sana dan
peran selanjutnya setelah terpilih menjadi anggota legislatif atau lembaga politik
lainnya?
Jawaban: Sempat dari Dewan Faqarah untuk membentuk lembaga yang
mewadahi anggota ‘Aisyiyah yang berperan di lembaga luar namun belum juga
terbentuk.
PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH
INSTRUKSI
No. 03/INS/I.0/A/2008
Tentang:
MENJAGA KEMURNIAN DAN KEUTUHAN MUHAMMADIYAH
MENGHADAPI PEMILIHAN UMUM TAHUN 2009
Bismillahirrahmanirrahim
Pimpinan Pusat Muhammadiyah sesuai dengan prinsip-prinsip khittah dan kebijakan-kebijakan
yang selama ini berlaku tentang politik menyampaikan Instruksi dalam menghadapi Pemilihan
Umum tahun 2009 sebagai berikut:
1. Menegaskan bahwa sebagai organisasi/gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar
yang bergerak dalam lapangan keagamaan dan kemasyarakatan maka sesuai dengan khittah,
Muhammadiyah tidak bergerak dalam lapangan dan kegiatan politik, tetapi tetap berada dalam
posisi independen, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan
afiliasi dari suatu organisasi politik apapun.
2. Melarang Pimpinan Persyarikatan beserta Majelis, Lembaga, Ortom, Amal Usaha, dan
institusi-institusi lainnya yang berada dalam lingkungan Persyarikatan melibatkan
organisasi/Persyarikatan untuk kepentingan mendukung atau menolak partai politik dan/atau
calon-calon anggota legislatif dari partai politik tertentu baik secara langsung maupun melalui
kerjasama dengan partai politik dan/atau tim sukses partai politik/calon anggota legislatif dari
partai politik tertentu.
3. Kepada Pimpinan Persyarikatan, Majelis, Lembaga, Ortom, Amal Usaha, dan institusi-institusi
lainnya yang berada dalam lingkungan Persyarikatan jika ada anggota pimpinan/fungsionaris
yang menjadi anggota Tim Sukses partai politik dan/atau calon-calon anggota legislatif dari
partai politik tertentu maka yang bersangkutan harus dinonaktifkan dari jabatannya sampai
selesainya kegiatan Pemilu.
4. Melarang penyelenggaraan kegiatan-kegiatan Persyarikatan termasuk di lingkungan Majelis,
Lembaga, Ortom, Amal Usaha, dan institusi-institusi lainnya yang dimanfaatkan untuk
kampanye partai politik dan/atau calon-calon anggota legislatif dalam bentuk apapun.
5. Melarang penggunaan lambang/simbol, dana, sarana, prasarana, dan fasilitas milik
Persyarikatan seperti gedung sekolah/kampus, rumah sakit/poliklinik/balai pengobatan,
masjid/mushalla, panti asuhan, kantor Persyarikatan, dan lain-lain dengan perlengkapannya
untuk kegiatan apapun yang diselenggarakan oleh partai politik.
6. Menganjurkan kepada seluruh jajaran Pimpinan Persyarikatan maupun warga Muhammadiyah
untuk ikut mendorong dan mensukseskan penyelenggaraan Pemilu yang jujur, bersih, damai, dan
memihak kepada kepentingan rakyat, serta dapat mencegah dan menjauhkan diri dari praktekpraktek kekerasan/anarkhis, praktek politik uang dan hal-hal yang melanggar norma-norma
agama dalam Pemilu tersebut. Pimpinan Pusat Muhammadiyah meminta semua pihak untuk
tidak menjadikan kampanye sebagai ajang konflik, kekerasan, dan hal-hal lain yang merugikan
manusia dan hajat hidup publik, termasuk dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa.
7. Memberikan kebebasan kepada anggota/warga Muhammadiyah untuk menggunakan hak
politik/hak pilih/hak asasi sesuai hati nuraninya, dengan sebaik-baiknya secara cerdas, kritis,
disertai istikharah, dan mempertimbangkan kemaslahatan/kepentingan Persyarikatan, umat, dan
masyarakat baik secara nasional, maupun di wilayah/daerah yang bersangkutan. Kebebasan
menggunakan hak tersebut dimaknai sebagai wujud pertanggungjawaban amanah kepada Allah
SWT dalam menentukan arah masa depan bangsa dan negara Indonesia.
8. Menghimbau warga Muhammadiyah yang memasuki dan apalagi menjadi pimpinan partai
politik/tim sukses, selain dapat membawa missi Muhammadiyah juga tetap beraqidah dan
berakhlaq Islam, serta memperjuangkan kepentingan rakyat dengan sebaik-baiknya.
9. Menyerukan kepada segenap warga dan Pimpinan Muhammadiyah untuk tetap menjaga
keutuhan, meningkatkan kebersamaan dan lebih mempererat ukhuwah/persaudaraan antara
anggota pimpinan khususnya serta antara anggota Muhammadiyah umumnya, sehingga
Muhammadiyah tetap dapat melaksanakan perannya dalam rangka dakwah Islam amar ma`ruf
nahi munkar.
Garis kebijakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut dimaksudkan agar supaya pimpinan
Persyarikatan tetap dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan lancar di samping dapat
berfungsi sebagai pengayom bagi warga Muhammadiyah secara keseluruhan yang berbeda dan
beragam wadah dan saluran politiknya. Sedangkan bagi warga Muhammadiyah yang duduk di
pimpinan partai, dengan adanya pengaturan dan pembagian tugas tersebut, tidak merasa
terganggu bahkan dapat berperan maksimal dalam partai serta bisa memberikan keteladanan
yang baik.
Demikianlah instruksi ini kami sampaikan agar dapat disosialisasikan kepada segenap Pimpinan
Persyarikatan beserta Unsur Pembantu Pimpinannya, Amal Usaha, Ortom, dan warga
Persyarikatan di tingkatan masing-masing untuk mendapat perhatian sepenuhnya dan dapat
dilaksanakan dengan penuh kebijakan, kesadaran dan ketulusan. Semoga Allah SWT senantiasa
melimpahkan pertolongan dan perlindungan kepada kita.
Nasrun min Allah wa fathun qarib.
Yogyakarta, 16 Rajab 1429 H/ 19 Juli 2008 M
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Prof. Dr. H.M. Din Syamsudin, M.A.
Ketua Umum
Drs. H. A. Rosyad Sholeh
Sekretaris Umum
KHITTAH PERJUANGAN MUHAMMADIYAH
HAKIKAT MUHAMMADIYAH
Perkembangan masyarakat Indonesia, baik yang disebabkan oleh daya
dinamik dari dalam ataupun karena persentuhan dengan kebudayaan dari luar, telah
menyebabkan
perubahan
tertentu.
Perubahan
itu
menyangkut
seluruh
segi
kehidupan masyarakat, diantaranya bidang sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan,
yang menyangkut perubahan strukturil dan perubahan pada sikap serta tingkah laku
dalam hubungan antar manusia.
Muhammadiyah
sebagai
gerakan,
dalam
mengikuti
perkembangan
dan
perubahan itu, senantiasa mempunyai kepentingan untuk melaksanakan amar ma'ruf
nahi-mungkar, serta menyelenggarakan gerakan dan amal usaha yang sesuai dengan
lapangan yang dipilihnya ialah masyarakat, sebagai usaha Muhammadiyah untuk
mencapai tujuannya: "menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga
terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.
Dalam melaksanakan usaha tersebut, Muhammadiyah berjalan diatas prinsip
gerakannya, seperti yang dimaksud di dalam Matan Keyakinan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah.
Keyakinan
landasan
dan
gerakan
Cita-Cita
Hidup
Muhammadiyah,
Muhammadiyah
juga
bagi
itu
gerakan
senantiasa
dan
amal
menjadi
usaha
dan
hubungannya dengan kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan, serta dalam
bekerjasama dengan golongan Islam lainnya.
MUHAMMADIYAH DAN MASYARAKAT
Sesuai dengan khittahnya, Muhammadiyah sebagai Persyarikatan memilih dan
menempatkan
masyarakat,
diri
sebagai
dengan
Gerakan
maksud
yang
Islam
amar-ma'ruf
terutama
ialah
masyarakat sejahtera sesuai dengan Dakwah Jamaah.
nahi
mungkar
membentuk
dalam
keluarga
dan
Di samping itu Muhammadiyah menyelenggarakan amal-usaha seperti tersebut
pada Anggaran Dasar Pasal 4, dan senantiasa berikhtiar untuk meningkatkan
mutunya
Penyelenggaraan amal-usaha, tersebut merupakan sebagian ikhtiar Muhammadiyah
untuk mencapai Keyakinan dan Cita-Cita Hidup yang bersumberkan ajaran Islam dan
bagi usaha untuk terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai
Allah SWT.
MUHAMMADIYAH DAN POLITIK
Dalam bidang politik Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittahnya:
dengan dakwah amar ma ma'ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenarbenarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsionil,
secara operasionil dan secara kongkrit riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur
masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang
Undang Dasar 1945 menjadi masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera,
bahagia, materiil dan spirituil yang diridlai Allah SWT. Dalam melaksanakan usaha
itu, Muhammadiyah tetap berpegang teguh pada kepribadiannya
Usaha Muhammadiyah dalam bidang politik tersebut merupakan bagian
gerakannya
dalam
masyarakat,
dan
dilaksanakan
berdasarkan
landasan
dan
peraturan yang berlaku dalam Muhammadiyah.
Dalam hubungan ini Muktamar Muhammadiyah ke-38 telah menegaskan
bahwa:
Muhammadiyah adalah Gerakan Dakwah Islam yang beramal dalam segala
bidang
kehidupan
manusia
dan
masyarakat,
tidak
mempunyai
hubungan
organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu Partai Politik atau
Organisasi apapun
Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak
memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari
Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan ketentuan-ketentuan yang berlaku
dalam Persyarikatan Muhammadiyah.
MUHAMMADIYAH DAN UKHUWAH ISLAMIYAH
Sesuai dengan kepribadiannya, Muhammadiyah akan bekerjasama dengan
golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan Agama
Islam serta membela kepentingannya.
Dalam melakukan kerjasama tersebut, Muhammadiyah tidak bermaksud
menggabungkan dan mensubordinasikan organisasinya dengan organisasi atau
institusi lainnya.
DASAR PROGRAM MUHAMMADIYAH
Berdasarkan
landasan
serta
pendirian
tersebut
di
atas
dan
dengan
memperhatikan kemampuan dan potensi Muhammadiyah dan bagiannya, perlu
ditetapkan langkah kebijaksanaan sebagai berikut:
Memulihkan kembali Muhammadiyah sebagai Persyarikatan yang menghimpun
sebagian anggota masyarakat, terdiri dari muslimin dan muslimat yang beriman
teguh, ta'at beribaclah, berakhlaq mulia, dan menjadi teladan yang baik di tengahtengah masyarakat.
Meningkatkan pengertian dan kematangan anggota Muhammadiyah tentang
hak dan kewajibannya sebagai warga negara, dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan meningkatkan kepekaan sosialnya terhadap persoalan-persoalan dan
kesulitan hidup masyarakat
Menepatkan kedudukan Persyarikatan Muhammadiyah sebagai gerakan untuk
melaksanakan dakwah amar-ma'ruf nahi-mungkar ke segenap penjuru dan lapisan
masyarakat serta di segala bidang kehidupan di Negara Republik Indonesia yang
berdasar Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945.
SUSUNAN PENGURUS
PIMPINAN PUSAT ‘AISYIYAH PERIODE 2010 – 2015
Ketua Umum
: Dra. Hj. Siti Noordjannah Djohantini, MM, M.Si
Ketua
: Prof. Dr. Hj.Siti Chamamah Soeratno
Ketua
: Prof. Dr. Hj. Masyitoh Chusnan, M.Ag.
Ketua
: Dra. Hj. Shoimah Kastolani
Ketua
: Hj. Siti Hadiroh Ahmad, S.Pd
Ketua
: Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag.
Ketua
: dr, Hj. Atikah M. Zakki, MARS.
Sekretaris Umum
: Dra. Dyah Siti Nuraini
Sekretaris
: Dra. Trias Setiawati, M.Si.
Sekretaris
: Rohimi Zamzam, Psi., S.H
Bendahara Umum
: Hj. Mahsunah Syakir
Bendahara
: Dra. Hj. Noor Rochmah
Ketua Majelis dan Lembaga :
Ketua Majelis Tabligh
: Dra. Hj. Susilaningsih K. M.A.
Ketua Majelis Ekonomi dan Ketenagakerjaan
: Dra. Hj. Latifah Iskandar
Ketua Majelis Pembinaan Kader
: Evi Shofia Inayati
Ketua Mejelis Pendidikan Tinggi dan
Kajian Lingkungan Hidup
: Prof. Dr. Ir. Hj.Muslimah Widyastuti, M.Sc
Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah : Dra. Rifqiyati, M.Ag
Ketua Majelis Kesehatan
: Dra. Hafni Rochmah, MPH
Ketua Majelis Kesejahteraan Sosial
: Dra. Susilahati, M.Si
Ketua Majelis Hukum dan HAM
: Dra. Hj. Nurni Akma
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan : Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si
Ketua Lembaga Kebudayaan
: Dra. Hj. Cholifah Sukri
FOTO-FOTO KEGIATAN
Download