Buku PKB IDAI Jaya XII

advertisement
CABANG DKI JAKARTA
PKB I
1-2 Oktober 2004
Hot Topics in Pediatrics
PKB II
12-13 Januari 2005
Pediatrics Update 2005
PKB III
26-27 Juli 2006
Nutrition Growth Development
PKB IV
20-21 Agustus 2007
Menghadapi Kedaruratan Pediatrik di Poliklinik
PKB V
10-11 Agustus 2008
Manajemen Penyakit Pediatri di Poliklinik
PKB VI
4-5 Oktober 2009
Frequently Asked Questions in Pediatrics
PKB VII
23-24 Mei 2010
Common Problems in Daily Pediatric Practice
PKB VIII
8-9 Mei 2011
State of the art: Common Problem in
Hospitalized Children
PKB IX
18-19 Maret 2012
Pediatric Practices
PKB X
17-18 Februari 2013
Best Practice in Pediatrics
PKB XI
13 - 14 April 2014
Practical Management in
Pediatrics
Knowledge and Soft Skill Update to Improve Child Health Care
PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN
IDAI CABANG DKI JAKARTA
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
Knowledge and Soft Skill
Update to Improve Child
Health Care
IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA
CABANG DKI JAKARTA
2015
CABANG DKI JAKARTA
PENDIDIKAN KEDOKTERAN BERKELANJUTAN XII
IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA
CABANG DKI JAKARTA
Knowledge and Soft Skill Update
to Improve Child Health Care
Penyunting:
Mulyadi M. Djer
Rini Sekartini
Rismala Dewi
Harijadi
IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA CABANG DKI JAKARTA
2015
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh buku
dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan penerbit
Diterbitkan oleh:
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
Tahun 2015
ISBN 978-602-70285-2-4
Kata Sambutan
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia
Cabang DKI Jakarta
Bismillahirohmanirohim,
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Dokter anak, sebagai salah satu profesi di bidang kedokteran selain memiliki
tanggung jawab dalam pelayanan kesehatan anak baik yang bersifat promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif, salah satu tugasnya adalah senantiasa
meningkatkan pengetahuan di bidang ilmu kesehatan anak. Hal ini bertujuan
untuk mendapatkan ilmu terkini dan dapat diaplikasikan dalam pelayanan
kesehatan.
Hal ini tercermin dalam salah satu kegiatan pengurus IDAI Jaya dalam
bidang ilmiah yang mencakup kegiatan siang klinik, temu pakar, dan Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan. Salah satu tujuan diadakannya PKB adalah menjaga
kompetensi anggotanya dalam pelayanan kesehatan anak.
Pada PKB kali ini selain materi tentang ilmu kesehatan anak yang kerap
kali ditemukan dalam praktek sehari-hari, kami mengangkat topik khusus yang
melibatkan dua pakar yang membicarakan topik yang bersifat kontroversi. Kali
ini kami melibatkan rekan dari kedokteran rehabilitasi medik dan kedokteran
fisik serta satu topik lain melibatkan dokter spesialis kesehatan kulit dan
kelamin. Sesi workshop mengambil beberapa topik praktis sehari-hari, dan ada
yang berbeda bahwa kali ini kami mengundang pakar komunikasi dari John
Robert Powers yang mengadakan workshop dengan topik transformation and
breakthrough counseling dan interpersonal skills yang diharapkan dapat digunakan
dalam menunjang pelayanan kesehatan anak terutama dalam kaitannya dengan
komunikasi.
Pada kesempatan ini kami menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya
dan ucapan terimakasih kepada seluruh pembicara, moderator, dan fasilitator
yang berperan aktif dalam memberikan ilmu dan pengalamannya selama PKB
berlangsung. Tak lupa ucapan terimakasih kami haturkan kepada seluruh mitra
IDAI DKI Jakarta atas peran serta dan kontribusi dalam acara ini. Kegiatan ini
tidak lepas dari peran serta seluruh panitia PKB XII IDAI cabang DKI Jakarta
yang dipimpin oleh DR. Dr Hanifah Oswari, Sp.A(K) atas kesediaan dan
kerjasamanya hingga kegiatan ini berlangsung dengan baik dan lancar.
Dalam setiap pelaksanaan kegiatan pastinya ada kekurangan baik dalam
persiapan maupun penyelenggaraannya, untuk itu kami mengharapkan kritik
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
iii
dan saran yang bersifat membangun agar kegiatan ini dapat memenuhi harapan
dan keinginan seluruh anggota IDAI khususnya cabang DKI Jakarta dan pihakpihak lain yang terkait.
Selamat mengikuti PKB ini, semoga ilmu yang kita dapat dapat berguna
dalam menunjang kesehatan dan kesejahteraan anak-anak di Indonesia.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Rini Sekartini
iv
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Kata Sambutan
Ketua Panitia PKB XII IDAI Cabang DKI Jakarta
2015
Dokter spesialis anak dituntut untuk selalu meningkatkan profesionalitas dalam
bekerja. IDAI Cabang DKI Jakarta sebagai organisasi profesi berusaha untuk
meningkatkan profesionalitas dokter spesialis anak dengan menyelengarakan
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB ke-XII). Saat ini, PKB ke-XII menitikberatkan pada update masalah praktis yang
dihadapi dokter anak sehari-hari. Masalah praktis yang hampir selalu timbul
di praktek dibicarakan kali ini. Selain dengan cara biasa juga dibicarakan
dengan cara sedikit berbeda, yaitu adanya forum pro-kontra. Forum ini tidak
dimaksudkan untuk mencari perbedaan, tetapi untuk memberi perspektif
berbeda untuk dokter anak dalam menghadapi kasus yang dihadapi. Kasus
tidak hanya dilihat secara hitam putih, tetapi juga melihat masih banyak daerah
abu-abu yang perlu dikenali dan diambil manfaatnya untuk kepentingan pasien. Yang juga berbeda dengan PKB IDAI Cabang DKI Jakarta sebelumnya,
PKB kali ini tidak hanya melakukan pendidikan berkelanjutan mengenai
keilmuan, tetapi juga menyentuh soft skill yang juga berperan penting untuk
dokter anak menghadapi pasien atau orangtuanya. Soft skill ini sering kali
dilupakan, padahal keahlian soft skill mungkin sekali menentukan kesuksesan
seorang dokter. Untuk itulah, dalam PKB ke-XII ini kami hadirkan topik seni
berkomunikasi untuk dokter anak yaitu transformation and breakthrough conselling
dan interpersonal skills. Dua workshop merupakan sebagian dari soft skill yang
dirancang, agar kemampuan soft skill dokter anak dapat ditingkatkan secara
merata.
Harapan kami, baik peningkatan keilmuan maupun soft skill ini akan
memberi efek dalam peningkatan kemampuan dokter anak untuk menangani
pasien sehari-hari sehingga patient satisfaction meningkat. Selamat ber-PKB
DR. Dr. Hanifah Oswari, Sp.A(K)
Ketua Panitia
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
v
vi
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Kata Pengantar Tim Penyunting
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Syukur Alhamdulillah kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan dan waktu kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan penyuntingan buku PKB IDAI Jaya yang ke XII ini. Pada
kesempatan ini kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada IDAI Jaya
yang sudah memberikan amanah kepada kami untuk menyunting buku ini.
PKB IDAI Jaya yang ke XII ini mengangkat topik: Knowledge and Soft Skill
Update to Improve Child Health Care, berisi evidence terkini yang berhubungan
dengan keilmuan di bidang ilmu kesehatan anak yang dapat diaplikasikan teman
sejawat anggota IDAI Jaya ataupun dokter umum dalam tata laksana pasien.
Makalah yang dimuat pada buku ini ditulis oleh para ahli di bidangnya
masing-masing, baik yang berasal dari lingkungan FKUI-RSCM maupun dari
kalangan anggota IDAI Jaya sendiri. Isi dari makalah sama sekali menjadi
tanggung jawab penulis, kami hanya melakukan penyuntingan sesuai dengan
format yang berlaku di kalangan IDAI Jaya. Kepada semua penulis kami
mengucapkan terima kasih dan penghargaan karena telah meluangkan waktunya
untuk menyelesaikan makalahnya tepat waktu.
Kami merasa mungkin masih terdapat kesalahan baik yang kami sengaja
ataupun yang tidak kami sengaja pada buku ini. Untuk itu kami memohon
untuk dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya. Kepada semua pihak yang
terlibat dalam PKB IDAI Jaya yang ke XII ini atas nama tim penyunting kami
ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Tim Penyunting,
Mulyadi M. Djer
Rini Sekartini
RismalaDewi
Harijadi
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
vii
Susunan Panitia
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
IDAI Cabang DKI Jakarta
Penanggung Jawab
DR. Dr. Rini Sekartini, Sp.A(K)
Ketua
DR. Dr. Hanifah Oswari, Sp.A(K)
Wakil Ketua
Dr. Hendratno Halim, Sp.A(K)
Sekretaris
Dr. Reni Wigati, Sp.A
Bendahara
Dr. Retno Widyaningsih, Sp.A(K)
Seksi Ilmiah
DR. Dr. Mulyadi M. Djer, Sp.A(K)
DR. Dr. Rismala Dewi, Sp.A(K)
Dr. Harijadi, Sp.A
Seksi Acara
Dr. Nita Ratna Dewanti, Sp.A
Dr. Triana Darmayanti, Sp.A
Dr. Fatima Safira Alatas, PhD, Sp.A
Seksi Pameran dan Perlengkapan
Dr. Tjatur K. Sagoro, Sp.A
Dr. Firmansyah Chatab, Sp.A
Seksi Konsumsi
Dr. Trully Kusumawardhani, Sp.A
viii
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Daftar Penulis
Prof. DR. Dr. Agus Firmansyah, Sp.A(K)
Unit Kerja Gastrohepatologi
IDAI Cabang DKI Jakarta
DR. Dr. Aryono Hendarto, Sp.A(K)
Unit Kerja Nutrisi dan Penyakit Metabolik
IDAI Cabang DKI Jakarta
DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K)
Unit Kerja Neurologi
IDAI Cabang DKI Jakarta
Dr. Luh K. Wahyuni, Sp.KFR(K)
Departemen Rehabilitasi Medik
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
FKUI-RSCM
Dr. Nafrialdi, PhD, Sp.PD, Sp.FK
Departemen Farmakologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
FKUI-RSCM
DR. Dr. Najib Advani, Sp.A(K), M.Med.Paed
Unit Kerja Kardiologi
IDAI Cabang DKI Jakarta
Dr. Nastiti Kaswandani, Sp.A(K)
Unit Kerja Respirologi
IDAI Cabang DKI Jakarta
DR. Dr. Rismala Dewi, Sp.A(K)
Unit Kerja Pediatri Gawat Darurat
IDAI Cabang DKI Jakarta
ix
DR. Dr. Teny Tjitra Sari, Sp.A(K)
Unit Kerja Hematologi-Onkologi
IDAI Cabang DKI Jakarta
Dr. Triana Agustin, SpKK(K)
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
FKUI-RSCM
DR. Dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K)
Unit Kerja Alergi Imunologi
IDAI Cabang DKI Jakarta
x
Daftar Isi
Kata Sambutan Ketua IDAI Cabang DKI Jakarta.................................... iii
Kata Sambutan Ketua Panitia PKB XII IDAI Cabang DKI Jakarta ......... v
Kata Pengantar Tim Penyunting............................................................. vii
Susunan Panitia.................................................................................... viii
Daftar Penulis......................................................................................... ix
First Unprovoked Seizure Apa yang Harus Dilakukan............................. 1
Hardiono Pusponegoro
Pemeriksaan Penunjang Terkini Kardiologi Anak: Indikasi dan Timing....8
Najib Advani
Tata Laksana Cairan pada Anak Sakit Kritis.......................................... 15
Rismala Dewi
Pitfalls (Kekeliruan) Penggunaan Terapi Inhalasi pada Kasus
Respirologi Anak................................................................................... 21
Nastiti Kaswandani
Pitfalls Penggunaan Terapi Inhalasi........................................................ 32
Luh Karunia Wahyuni
Premedikasi Transfusi Darah: Kapan Diperlukan?................................. 40
Teny Tjitra Sari
Substitusi Nutrien pada Alergi Susu Sapi............................................... 45
Aryono Hendarto
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
xi
Pemilihan Obat Penekan Asam Lambung.............................................. 54
Agus Firmansyah
Alergi Makanan pada Dermatitis Atopik................................................ 63
Zakiudin Munasir
Perawatan Kulit Sebagai Pencegahan Dermatitis Atopik........................ 67
Triana Agustin
Tujuh Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Penulisan Resep untuk
Anak ..................................................................................................... 74
Nafrialdi
xii
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
First Unprovoked Seizure
Apa yang Harus Dilakukan
Hardiono Pusponegoro
Tujuan:
1. Memahami pengertian first unprovoked seizure
2. Memahami apa yang harus dilakukan jika menemukan first
unprovoked seizure
3. Memahami Risiko yang dihadapi pasien dengan first
unprovoked seizure
4. Memahami tata laksana first unprovoked seizure.
Pendahuluan
Suatu klasifikasi baru tentang definisi epilepsi telah disetujui oleh International
League Against Epilepsy (ILAE).1Salah satu bahasan dalam klasifikasi tersebut
adalah first unprovoked seizure (FUS) atau bangkitan kejang spontan pertama
kali. Dahulu, FUS tidak merupakan epilepsi.Dalam klasifikasi baru, FUSdapat
digolongkan dalam epilepsi, bila risiko berulangnya bangkitan kejang melebihi
60%. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai klasifikasi baru mengenai FUS
dan apa yang harus dilakukan bila menemukan kasus FUS.
Definisi
Epilepsi
Epilepsi adalah kejang spontan dua kali atau lebih dengan jarak lebih dari 24
jam.2Pada tahun 2005, ILAE mulai membuat usulan definisi baru,3 dan pada
tahun 2014 definisi baru tersebut telah disetujui yaitu: bahwa epilepsy adalah
penyakit otak yang ditandai oleh (1) Paling tidak dua bangkitan kejang spontan
dengan jarak lebih dari 24 jam, (2) satu bangkitan kejang spontan (FUS) disertai
kemungkinan berulangnya kejang paling sedikit 60% dalam 10 tahun berikutnya,
dan (3) bila bangkitan kejang tersebut merupakan sindrom epilepsi.1
1
Hardiono Pusponegoro
First unprovoked seizure (FUS)
Adalah satu bangkitan kejang atau beberapa bangkitan kejang dalam 24 jam
yang terjadi tanpa adanya faktor pencetus.4 Dalam klasifikasi baru, FUS dapat
dianggap sebagai epilepsi bila risiko berulangnya kejang lebih dari 60%.1 Adanya
klasifikasi baru ini memberi dampak terhadap epidemiologi, diagnosis, dan
penatalaksanaan FUS.
Sindrom epilepsi
Suatu epilepsi disebut sebagai suatu sindrom apabila memenuhi kriteria klinis
dan elektroensefalografi tertentu. Beberapa sindrom epilepsi dapat didiagnosis
pada saat anak baru satu kali mengalami bangkitan kejang, misalnya Benign
Rolandic Epilepsy.1
Resolved, remission, cure
Apakah diagnosis epilepsi melekat selama hidup?Referensi medis sering
menggunakan istilah remission, tetapi istilah ini kurang dimengerti awam,
dan tidak menggambarkan hilangnya penyakit. Istilah cure menggambarkan
bahwa risiko kejang kembali tidak lebih besar dibandingkan populasi yang tidak
mengalami kejang. Risiko yang sangat rendah ini tidak pernah tercapai pada
epilepsi. Istilah yang dianjurkan adalah resolved, yang berarti seseorang tidak
mengidap epilepsi lagi, walaupun tidak ada jaminan bahwa epilepsi akan muncul
kembali.1 Epilepsi dianggap sebagai resolved apabila bebas serangan selama 10
tahun, dengan minimal 5 tahun tanpa obat atau bila seseorang telah melewati
masa sindrom epilepsi yang tergantung umur.1
Apa yang harus dilakukan bila menemui kasus FUS
Tentukan apakah FUS benar merupakan bangkitan kejang
Anamnesis sangat penting dalam menegakkan diagnosis.Anamnesis harus
terfokus pada kejadian yang mendahului kejang, deskripsi kejang termasuk
bentuk kejang, lama kejang, sianosis, penurunan kesadaran, inkontinensia,
lama masa pasca-iktal, kelainan neurologis, dan riwayat kejang dalam keluarga.
Ditanyakan pula riwayat kehamilan, kelahiran, dan perkembangan.Keadaan
seperti tic, bengong, sinkop, distonia, psychogenic non-epileptic seizures dan
berbagai gangguan perilaku sering salah diagnosis sebagai kejang. Lidah tergigit,
inkontinensia urin, dan bingung pasca-iktal dapat juga ditemukan pada serangan
non-epileptik.5Pemeriksaan fisis dan neurologis termasuk pemeriksaan kulit
harus dilakukan dengan teliti.6
2
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
First Unprovoked Seizure Apa yang Harus Dilakukan
Tentukan jenis bangkitan
Menentukan apakah bangkitan kejang merupakan kejang umum tonik
klonik atau kejang parsial sangat penting. Bangkitan kejang parsial sering
mengakibatkan ditemukannya kelainan neurologis, kelainan EEG dan kelainan
pencitraan yang lebih besar, sehingga risiko berulangnya kejang juga lebih besar.
Tentukan apakah termasuk sindrom tertentu
Bangkitan kejang tertentu disertai gambaran EEG yang khas dapat digunakan
untuk menentukan apakah FUS merupakan suatu sindrom epilepsi tertentu.
Contoh paling klasik adalah Benign Rolandic Epilepsy, yang merupakan kejang
parsial atau parsial menjadi umum, biasaya terjadi malam hari saat anak tidur,
disertai gelombang epileptogenik pada daerah Rolandik.
Siapa yang dapat menegakkan diagnosis epilepsi?
Scottish Intercollegiate Guidelines Network menganjurkan agar diagnosis
epilepsi pada anak ditegakkan oleh ahli saraf anak atau dokter anak dengan
pengalaman khusus dalam epilepsi (peringkat bukti ilmiah 2,3; rekomendasi
D).7 Hal yang sama juga dianjurkan dala guideline dari National Institute for
Health and Care Excellence.8Di Indonesia, hal ini tentunya tidak mungkin
dilakukan karena keterbatasan tenaga dan peralatan, sehingga diagnosis dapat
ditegakkan oleh dokter anak atau dokter saraf. Risiko salah diagnosis harus
betul-betul diperhitungkan.
Penatalaksanaan setelah kejang
Apakah perlu EEG
Manfaat pemeriksaan EEG dalam menentukan apakah kejang akan berulang
kembali menjadi perdebatan panjang. Penelitian prospektif selama 2 tahun
dilakukan terhadap 347 anak dengan FUS. Sebanyak 71% anak dengan EEG
epileptik mengalami berulangnya kejang dalam 2 tahun.9 Penelitian lain
menunjukkan bahwa berulangnya kejang pada kasus FUS terjadi pada 16,7%
anak dengan EEG memperlihatkan gelombang paku-ombak umum, dan 61,9%
di antara anak dengan gelombang epileptik fokal (p<0,0001).10
Paradigma tidak diperlukan EEG pada kejang pertama harus diubah.11
EEG dapat membantu menetapkan apakah FUS merupakan sindrom tertentu,
apakah bangkitan kejang merupakan kejang parsial atau umum. EEG abnormal,
terutama adanya gelombang paku-ombak, merupakan prediktor yang konsisten
dalam menentukan kemungkinan kejang kembali.11
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
3
Hardiono Pusponegoro
Apakah perlu pencitraan
Kelainan pada magnetic resonance imaging (MRI) ditemukan pada sekitar 10%
anak yang mengalami FUS.12 Penelitian MRI prospektif terhadap 218 di antara
411 anak dengan FUS menunjukkan bahwa 45 anak (21%) menunjukkan MRI
abnormal berupa ensefalomalasia, disgenesis serebral dan sklerosis temporal
mesial.13 Penelitian pada 150 anak memperlihatkan bahwa kelainan MRI
merupakan faktor prediksi berulangnya kejang.14 MRI umumnya dilakukan bila
terdapat perlambatan pada EEG, fokalisasi pada EEG, atau anak menunjukkan
kelainan neurologis.15
Risiko yang dihadapi pasien dengan FUS
Risiko kejang kembali dan menjadi epilepsi
Secara umum, bila seorang anak mengalami kejang spontan pertama kali, risiko
berulangnya kejang adalah 45% (22% dalam 6 bulan, 29% dalam 12 bulan, 37%
dalam 24 bulan, 43% dalam 60 bulan, dan 46% dalam 120 bulan).16
Penelitian prospektif terhadap 63 anak dengan FUS menunjukkan bahwa
risiko berulangnya kejang adalah 59% (IK 95% 47-71), 76% (IK 95% 65-87),
85% (IK 95% 76-94), dan 87% (IK 95% 78-96) dalam 6, 12, 18, dan 24 bulan.
Bila anak telah mengalami gangguan otak sebelumnya, risiko berulangnya
kejang meningkat, dalam 12 dan 24 bulan adalah 79% (IK 95% 68-90)
dan 89% (IK 95% 80-98). Adanya global developmental delay, disabilitas
intelektual, dan paresis Todd meningkatkan risiko berulangnya kejang secara
bermakna.17Kejang lebih sering berulang pada anak yang mengalami kejang
parsial (69%) dibandingkan kejang umum (31%), p<0,0001.10
Risiko gangguan kognitif
Suatu penelitian kohort selama 15 tahun terhadap 153 anak dengan FUS dan
105 anak dengan epilepsi memperlihatkan bahwa kemampuan kognitif anak
dengan kejang satu kali tidak berbeda bermakna dengan saudara sekandung yang
tidak mengalami kejang.18Anak yang sudah mengalami epilepsi menunjukkan
prestasi akademis yang lebih buruk dibanding anak dengan FUS. Sebanyak 28%
anak yang mengalami satu kali kejang dan 40% anak yang mengalami epilepsi
memerlukan pendidikan khusus (p=0,05). Makin sering bangkitan epilepsi,
makin buruk prestasi akademis.18
Perhatian khusus pada kejang lama
Status epileptikus adalah kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit, atau
kejang yang berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran di antara kejang selama
lebih dari 30 menit.19Suatu penelitian kohort yang melibatkan 188 anak dengan
epilepsi, 39 di antaranya mengalami status epileptikus termasuk 19 merupakan
4
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
First Unprovoked Seizure Apa yang Harus Dilakukan
status epileptikus pada FUS. Lama pemantauan adalah 27 (SB 5) tahun.Tidak
ada perbedaan dalam hal akademis, kesulitan belajar, jumlah obat anti epilepsi
yang digunakan, remission rate, dan kejadian epilepsi intraktabel. Status
epileptikus pada FUS tidak mempengaruhi luaran intelektual dan prognosis
kejang.15,19 Namun, bila seorang anak mengalami FUS sebagai kejang lama atau
status epileptikus, berulangnya kejang juga dapat merupakan kejang lama atau
status epileptikus.15
Apakah diperlukan pengobatan rumat pada anak yang
mengalami FUS
Faktor risiko kejang kembali atau menjadi epilepsi
Pengobatan rumat setelah FUS atau menunggu sampai kejang berulang kembali
merupakan perdebatan yang nyaris tiada henti.Pada orang dewasa, pemberian
obat anti-epilepsi mengurangi risiko berulangnya kejang dalam 2 tahun pertama,
tetapi tidak dalam jangka panjang.Pasien harus diberitahu risiko efek samping
obat sebesar 7-31% yang biasanya ringan dan reversibel. Rekomendasi pemberian
obat harus secara individual.20
Penelitian di Inggris yang meliputi 1443 pasien dari seluruh dunia
melaporkan bahwa tiga faktor risiko epilepsi yang terpenting adalah jumlah
bangkitan kejang saat diagnosis, EEG abnormal, dan pemeriksaan neurologis
abnormal.Satu faktor risiko digolongkan risiko medium, dan 2 faktor risiko atau
lebih digolongkan risiko tinggi. Bila tidak diberi pengobatan, kemungkinan
mengalami epilepsi kronik pada kelompok risiko medium dalam 1,3 dan 5 tahun
adalah 0,35, 0,50, 0,56 sedangkan pada kelompok risiko tinggi angka tersebut
adalah 0,59, 0,67 dan 0,73.21Faktor risiko yang sama juga digunakan oleh peneliti
lain.15,22 Batas risiko berulangnya kejang kembali sebesar 0,60 digunakan sebagai
patokan dalam menentukan apakah pengobatan rumat harus diberikan pada
anak yang mengalami FUS.1
Penelitian di Belanda terhadap 156 anak menunjukkan bahwa rekurensi
kejang pada FUS adalah 54%. Bila ditemukan EEG abnormal, risiko tersebut
meningkat sampai 71%, sedangkan kelainan neurologis atau retardasi mental
meningkatkan risiko menjadi 74%.23
UKK neurologi belum menentukan kasus FUS mana yang memerlukan
pengobatan.Adanya kelainan neurologis atau retardasi mental, adanya
EEG epileptik dan kejang lama atau status epileptikus merupakan hal yang
mendukung pemberian pengobatan pada FUS.
Keberhasilan pengobatan rumat pada FUS
Penelitian acak buta ganda terhadap 1874 pasien dengan FUS yang tidak
mendapat pengobatan atau pengobatan dengan karbamazepin atau valproat
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
5
Hardiono Pusponegoro
menunjukkan bahwa pemberian obat menurunkan risiko berulangnya kejang
tetapi tidak ada efek terhadap remisi jangka panjang.24
Suatu penelitian acak buta ganda dilakukan terhadap 31 anak. Pada grup
yang mendapat karbamazepin ditemukan 2 di antara 14 anak (14%) mengalami
berulangnya kejang dibandingkan dengan 9 di antara 17 anak (53%) yang tidak
mendapat pengobatan.25 Penelitian acak buta ganda lain terhadap 228 orang
termasuk 33 remaja membandingkan pengobatan dengan valproat atau tanpa
pengobatan. Lima (4%) pada kelompok yang mendapat valproat dan 63 (56%)
pada kelompok yang tidak mendapat pengobatan mengalami berulangnya
kejang.26
Kesimpulan
First unprovoked seizure dapat didiagnosis sebagai epilepsi apabila risiko
berulangnya kejang dalam 10 tahun berikutnya lebih dari 60%.Faktor risiko yang
penting adalah kelainan neurologis atau EEG yang menunjukkan gelombang
epileptik. Pengobatan rumat pada FUS harus dinilai secara individual, dapat
dimulai pada kasus FUS disertai kelainan neurologis atau retardasi mental,
adanya EEG epileptik dan kejang lama atau status epileptikus.
Daftar rujukan
1. Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross JH, Elger CE, et al. ILAE
official report: A practical clinical definition of epilepsy. Epilepsia. 2014;55:475-82.
2. Hauser WA, Annegers JF, Kurland LT. Prevalence of epilepsy in rochester,
minnesota: 1940-1980. Epilepsia. 1991;32:429-45.
3. Fisher RS, Boas WVE, Blume W, Elger C, Genton P, Lee P, Engel J. Epileptic seizures
and epilepsy: Definitions proposed by the international league against epilepsy
(ILAE) and the international bureau for epilepsy (IBE). Epilepsia. 2005;46:470-2.
4. Hauser WA, Beghi E. First seizure definitions and worldwide incidence and
mortality. Epilepsia. 2008;49 Suppl 1:8-12.
5. Verrotti A, d’Alonzo R, Laino D. Diagnosis of epilepsy after a first unprovoked
seizure: The different aspects of a single problem. Mol Cell Epilepsy. 2014;e165.
6. Sharieff GQ, Hendry PL. Afebrile pediatric seizures. Emerg Med Clin North Am.
2011;29:95-108.
7. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Diagnosis and management of
epilepsies in children and young adult. In: Quality Improvement Scotland. United
Kingdom: Scottish Intercollegiate Guidelines Network; 2005.
8. National Institute for Health and Care Excellence. The epilepsies. The diagnosis
and management of the epilepsies in adults and children in primary and secondary
care. Clinical guideline 20. London: NICE; 2004.
9. Stroink H, Brouwer OF, Arts WF, Geerts AT, Peters AC, van Donselaar CA.
The first unprovoked, untreated seizure in childhood: A hospital based study of
the accuracy of the diagnosis, rate of recurrence, and long term outcome after
6
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
First Unprovoked Seizure Apa yang Harus Dilakukan
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
recurrence. Dutch study of epilepsy in childhood. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
1998;64:595-600.
Mizorogi S, Kanemura H, Sano F, Sugita K, Aihara M. Risk factors for seizure
recurrence in children after first unprovoked seizure. Pediatr Int. 2015;epub ahead
of print.
Panayiotopoulos CP. Significance of the EEG after the first afebrile seizure. Arch
Dis Child. 1998;78:575-6.
Wiebe S, Téllez-Zenteno JF, Shapiro M. An evidence-based approach to the first
seizure. Epilepsia. 2008;49 Suppl 1:50-7.
Shinnar S, O’Dell C, Mitnick R, Berg AT, Moshe SL. Neuroimaging abnormalities
in children with an apparent first unprovoked seizure. Epilepsy Res. 2001;43:261-9.
Arthur TM, deGrauw TJ, Johnson CS, Perkins SM, Kalnin A, Austin JK, Dunn
DW. Seizure recurrence risk following a first seizure in neurologically normal
children. Epilepsia. 2008;49:1950-4.
Ghofrani M. Approach to the first unprovoked seizure- part ii. Iran J Child Neurol.
2013;7:1-5.
Ghofrani M. Approach to the first unprovoked seizure- part i. Iran J Child Neurol.
2013;7:1-5.
Ramos-Lizana J, Aguirre-Rodríguez J, Aguilera-López P, Cassinello-García E.
Recurrence risk after a first remote symptomatic unprovoked seizure in childhood:
A prospective study. Dev Med Child Neurol. 2009;51:68-73.
Sogawa Y, Masur D, O’Dell C, Moshe SL, Shinnar S. Cognitive outcomes in
children who present with a first unprovoked seizure. Epilepsia. 2010;51:2432-9.
Camfield P, Camfield C. Unprovoked status epilepticus: The prognosis for otherwise
normal children with focal epilepsy. Pediatrics. 2012;130:e501-6.
Krumholz A, Wiebe S, Gronseth GS, Gloss DS, Sanchez AM, Kair AA, Liferidge
AT. Evidence-based guideline: Management of an unprovoked first seizure in
adults. Neurology. 2015;84:1705-13.
Kim LG, Johnson TL, Marson AG, Chadwick DW, MRC MESS Study group.
Prediction of risk of seizure recurrence after a single seizure and early epilepsy:
Further results from the mess trial. Lancet Neurol. 2006;5:317-22.
Marson AG. When to start antiepileptic drug treatment and with what evidence?
Epilepsia. 2008;49 Suppl 9:3-6.
Stroink H, Brouwer OF, Arts WF, Geerts AT, Peters AC, van Donselaar CA.
The first unprovoked, untreated seizure in childhood: A hospital based study of
the accuracy of the diagnosis, rate of recurrence, and long term outcome after
recurrence. Dutch study of epilepsy in childhood. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
1998;64:595-600.
Marson A, Jacoby A, Johnson A, Kim L, Gamble C, Chadwick D, Medical
Research Council MESS Study Group. Immediate versus deferred antiepileptic
drug treatment for early epilepsy and single seizures: A randomised controlled
trial. Lancet. 2005;365:2007-13.
Camfield P, Camfield C, Dooley J, Smith E, Garner B. A randomized study of
carbamazepine versus no medication after a first unprovoked seizure in childhood.
Neurology. 1989;39:851-2.
Chandra B. First seizure in adults: To treat or not to treat. Clin Neurol Neurosurg.
1992;94 Suppl:S61-3.
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
7
Pemeriksaan Penunjang Terkini Kardiologi Anak:
Indikasi dan Timing
Najib Advani
Tujuan
1. Mengetahui berbagai modalitas diagnostik terkini kardiologi
anak
2. Memahami berbagai keterbatasan modalitas diagnostik
kardiologi anak
3. Mengetahui indikasi dan timing pemeriksaan penunjang
kardiologi anak
Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang diperlukan
untuk pasien dengan kelainan jantung. Pemeriksaan penunjang sering berjenjang
dari yang paling mudah dan murah sampai ke pemeriksaan tingkat yang lebih
tinggi. Dengan tersedianya berbagai pemeriksaan penunjang selayaknya tidak
menyingkirkan peran anamnesis dan pemeriksaan fisis karena akan menjadi
dasar awal diagnosis serta pemeriksaan mana yang perlu dilakukan. Seandainya
terjadi kekeliruan pada pemeriksaan penunjang, dengan dasar diagnosis awal
dari anamnesis dan pemeriksaan fisis kita dapat melakukan evaluasi ulang.
Pada umumnya para dokter umum maupun dokter anak, kalau mencurigai
adanya kelainan jantung langsung merujuk ke kardiolog anak dan pemeriksaan
penunjang selanjutnya tergantung pada dokter yang dirujuk. Meskipun
demikian beberapa modalitas diagnostik sederhana sebenarnya dapat dilakukan
oleh dokter misalnya EKG maupun foto Rontgen toraks. Untuk pemeriksaan
tahap selanjutnya mungkin ada baiknya juga diketahui oleh para dokter agar
dapat memahami tujuan pemeriksaan dan apa yang dapat diharapkan dari
pemeriksaan tersebut. Hal ini juga akan memudahkan untuk komunikasi dengan
pasien sekiranya pasien yang dirujuk tersebut dikembalikan ke dokter yang
merujuk untuk pemantauan rutin. Selayaknya juga para dokter anak mengetahui
perkembangan dan kecenderungan terkini pada modalitas diagnostik kardiologi
anak.
Pemeriksaan penunjang kardiologi terus berkembang, dari awalnya
hanyadengan foto Rontgen toraks dan EKG kemudian kateterisasi/angiografi
dan sekarang CT scan (computerized tomograhpy scan), MRI(magnetic resonance
8
Pemeriksaan Penunjang Terkini Kardiologi Anak: Indikasi dan Timing
imaging) bahkan pemeriksaan radionuklir. Sampai sekitar 50 tahun yang lalu,
klinikus hanya dapat membayangkan sajaanatomi dan kerja jantung. Di jaman
itu hanya stetoskop dengan EKG dan foto Rontgen toraks yang menuntun ke
arah diagnosis sehingga ketrampilan klinis merupakan ‘jantung’ dari profesi.
Pemeriksaan penunjang yang ideal untuk mendeteksi kelainan jantung
anak adalah yang dapat menggambarkan seluruh aspek anatomi jantung,
termasuk pembuluh darah ekstrakardiak, dapat mengevaluasi parameter
fisiologik seperti aliran darah, perbedaaan tekanan pada katup jantung dan
pembuluh darah, serta fungsi ventrikel. Selain itu juga harus efisien dari segi
biaya, portabel, non-invasif dengan risiko serta ketidak nyamanan minimal dan
tanpa radiasi ionisasi. Saat ini belum ada modalitas pemeriksaan kardiologi
yang ideal seperti ini. Karena itu kita harus memilih sesuai dengan tujuan dan
indikasi pemeriksaan. Berikut akan dibicarakan berbagai pemeriksaan penunjang
kardiologi anak.
Foto Rontgen toraks
Sebelum ditemukan ekokardiografi dan Doppler, foto Rontgen toraks merupakan
bagian utama dalam evaluasi kardiologi. Pemeriksaan ini juga tetap bermanfaat
terutama jika fasilitas ekokardiografi tidak ada. Foto rontgen toraks juga dapat
memberi informasi tambahan yang tidak dapat dilakukan oleh ekokardiografi
misalnya tentang parenkim paru, saluran napas dan struktur vaskular yang
berhubungan dengan jantung serta tulang tulang rongga dada. Untuk ini
biasanya diperlukan pandangan anteroposterior dan lateral. Meskipun demikian
foto Rontgen toraks mempunyai kelemahan yaitu hanya memberi gambaran
tidak langsung tentang kelainan jantung yang bersifat volume overload misalnya
defek septum atrium, defek septum ventrikel dan duktus arteriosus persisten
yang akan memberikan gambaran kardiomegali. Foto Rontgen toraks kurang
informatif untuk lesi yang pressure overload yang umumnya tidak memberi
gambaran pembesaran ruang jantung misalnya stenosis pulmonal.
Perubahan pada vaskularisasi paru akibat kelainan jantung misalnya
vaskularisasi paru yang meningkat pada pirau kiri ke kanan (defek septum
atrium, defek septum ventrikel, duktus arteriosus persisten) atau berkurang
misalnya pada stenosis pulmonal yang berat. Beberapa siluet pada foto Rontgen
toraksanteroposterior dapat membantu menegakkan diagnosis misalnya jantung
berbentuk sepatu pada tetralogi Fallot atau atresia trikuspid; berbentuk telur
pada transposisi arteri besar; gambaran manusia salju pada total anomalous
pulmonary venous return tipe suprakardiak.
Tepi kanan jantung dibatasi oleh atrium kanan yang jika membesar akan
tampak sebagai pembesaran jantung ke arah kanan. Pembesaran ventrikel kiri
(misalnya pada defek septum ventrikel, duktus arteriosus persisten, koarktasio
aorta) akan tampak sebagai apeks yang landai sedangkan pembesaran ventrikel
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
9
Najib Advani
kanan (misalnya pada defek septum atrium, stenosis pulmonal, tetralogi Fallot)
sebagai apeks yang terangkat.
EKG
Elektrokardiografi merupakan pemeriksaan yang sederhana dan mudah
dikerjakan serta banyak manfaatnya dalam diagnosis dan tata laksana penyakit
jantung pada anak. Kelainan yang tersering dijumpai adalah hipertrofi dan
gangguan konduksi ventrikel. EKG dapat membantu diagnosis klinis dengan
menunjukkan adanya hipertrofi ruang jantung. Pada defek septum ventrikel
misalnya akan tampak hipertrofi ventrikel kiri sedangkan pada defek septum
atrium dapat ditemukan hipertrofi ventrikel kanan. Pada gangguan irama,
peran EKG tidak tertandingi oleh pemeriksaan lain yang non-invasif. EKG
juga bermanfaat untuk melihat gangguan elektrolit misalnya hipokalemia
(depresi segmen ST), hiperkalemia (gelombangTtinggi, blok AV),hipokalsemia
(pemanjangan interval QTc), hiperkalsemia (pemendekan interval QTc)
Ekokardiografi trans-torakal (trans- thoracal
echocardiography, TTE)
TTE yang biasanya disebut sebagai ekokardiografi saja, merupakan pemeriksaan
yang sangat bermanfaat dan penting sebelum diputuskan untuk pemeriksaan
pencitraan lebih lanjut. Umumnya mayoritas diagnosis dapat ditegakkan cukup
dengan TTE. Pemeriksaan ini tidak hanya non-invasif, portabel, tanpa radiasi
dan relatif mudah didapat dan biaya yang relatif tidak terlalu mahal serta juga
dapat memberi informasi yang rinci tentang morfologi dan fungsi jantung.
Berbeda dengan foto Rontgen toraks yang hanya melihat lesise cara tidak
langsung dan gambar yang statis, pemeriksaan ekokardiografi dapat melihat
anatomi dan kelainan jantung secara langsung dan bergerak. Sangat cocok untuk
pemeriksaan struktur intrakardiak yang kecil dan mobile, daun katup, septum,
jet (aliran) dan endokarditis infektif yang mungkin kurang baik terdeteksi oleh
MRI. Pada mayoritas pasien, TTE dapat memberi gambaran evaluasi anatomi
jantung (misalnya orientasi serta koneksi veno-atrial, antrioventrikular dan
ventrikulo arterial), morfologi struktur jantung, fungsi ventrikel dan katup,
adanya pirau dan fungsi hemodinamik (misalnya derajat regurgitasi, evaluasi
pirau dan kecepatan pada lokasi obstruksi).
TTE sangat bermanfaat terutama pada bayi dan anak karena selain noninvasif juga memberikan gambaran yang jelas. Meskipun demikian, pada anak
besar terdapat keterbatasan yaitu jendela akustik yang terbatas yang menghalangi
penetrasi ke jantung, terutama pada mereka yang berbadan besar atau terdapat
kelainan paru. TTE juga tidak memiliki opsi kontras jaringan seperti pada MRI
10
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pemeriksaan Penunjang Terkini Kardiologi Anak: Indikasi dan Timing
dan memiliki keterbatasan wilayah pemeriksaan serta kurangnya resolusi spatial.
Teknik pengukuran Doppler pada TTE mempunyai kelebihan dibanding pada
MRI yaitu dapat mengukur jet regurgitan pada bidang yang sempit misalnya
pada katup trikuspid atau pulmonal sehingga dapat mengukur perbedaan
tekanan antara ventrikel kanan dengan atrium kanan pada fase sistolik dan
antara arteri pulmonalis dan ventrikel kanan pada fase diastolik. Pengukuran
pada bidang yang sempit ini sulit dilakukan dengan MRI. TTE mempunyai
kelemahan dalam mendeteksi arteri pulmonalis dan cabang-cabangnya serta
aorta bagian distal dan arteri koroner distal. Pada kasus penyakit Kawasaki yang
ditangani oleh ekokardiografer yang berpengalaman, TTE dapat memberikan
gambaran aneurisma koroner yang baik, meskipun demikian, arteri koroner
yang distal serta cabang cabangnya kadang sulit tampak sehingga dapat dibantu
dengan kateterisasi jantung (angiografi) atau CT scan dan MRI. Dapat juga
dilakukan ekokardiografi intravaskular yang invasif untuk menilai stenosis dan
aneurisma koroner dengan akurat. Belakangan ini berkembang ekokardiografi
dengan teknik Doppler jaringan (tissue Doppler) yang dikatakan lebih sensitif
dari ekokardiografi biasa dalam mendeteksi fungsi jantung.
Ekokardiografi trans-esofageal (trans-esophageal
echocardiography, TEE)
Kadang pemeriksaan ekokardiografi (TTE) tidak dapat memberi gambaran yang
memuaskan misalnya pada anak yang gemuk serta anatomi yang sulit misalnya
defek septum atrium pada anak besar atau untuk menilai operasi perbaikan
katup jantung. Pada kasus-kasus seperti ini, pemeriksaan ekokardiografi transesofageal sangat bermanfaat.TEE dilakukan dengan memasukkan transduser ke
dalam esofagus sehingga bersifat semi-invasif. TEE juga mengatasi keterbatasan
TTE seperti jendela akustik yang tidak baik, kualitas gambar yang suboptimal,
interferensi paru dan sekaligus dapat memperlihatkan struktur jantung posterior.
Mengingat TEE bersifat semi-invasif, dapat menimbulkan beberapa komplikasi
misalnya trauma saluran napas, orofaring, esofagus, gaster dan aritmia.
Magnetic resonance imaging (MRI)
MRI jantung (cardiac MRI) dapat memberi pencitraan yang diperlukan
untuk evaluasi struktural dan fungsional tanpa mengalami hambatan karena
ukuran tubuh maupun jendela akustik yang buruk. Sayangnya alat ini mahal
sehingga keberadaannya relatif tidak banyak. Dalam beberapa hal juga dapat
menggantikan peran pemeriksaan invasif seperti angiografi.
MRI mempunyai kelebihan seperti dapat memperlihatkan kontras yang
tinggi antara darah dan jaringan sekitarnya serta dapat mengukur fungsi ventrikel
dan katup.MRI dianggap sebagai baku emas untuk pengukuran volume ventrikel
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
11
Najib Advani
kiri dan kanan. Tidak seperti pengukuran Doppler yang hanya dapat mengukur
kecepatan aliran yang dari dan ke transduser saja, MRI dapat juga mengukur
aliran pada berbagai bidang. MRI juga bebas dari radiasi sehingga unggul dari
CT scan sedangkan salah satu kelemahannya adalah tidak dapat digunakan
pada pasien dengan alat pacu jantung dan aritmia yang dapat mengurangi
kualitas gambar MRI. Kelemahan MRI yang lain adalah membutuhkan waktu
paparanyang lama (berkisar 45-60 menit) untuk mengurangi artifak akibat
gerakan sehingga merupakan hambatan pada pasien anak dan perlu sedasi atau
anastesi yang lama juga.
Beberapa kelainan kongenital yang tidak tervisualisasi dengan baik pada
ekokardiografi (TTE) namun tampak jelas pada MRI:
1. Sisi kanan jantung
2. Cabang cabang arteri pulmonalis dan vena pulmonalis
3. Koarktasio aorta
4. Vascular ring dan anomali arteri pulmonal kiri
5. Kelainan kompleks intrakardiak
6. Identifikasi dan kuantifikasi kolateral
Beberapa kelainan kongenital yang tidak tervisualisasi dengan baik pada
angiografi namun dapat diatasi dengan MRI:
1. Struktur yang tumpang tindih
2. Arteri distal dari atresia
3. Kelainan kompleks misalnya anomali arteri pulmonalis kanan
4. Kesulitan akses vaskular
Computerized tomography (CT)
CT memberikan resolusi spatial yang sangat baik serta akses yang tak terbatas
dalam waktu pemeriksaan yang lebih singkat dibanding MRI. CT merupakan
pemeriksaan alternatif terhadap MRI pada pasien dengan pace maker maupun
implantable cardioverter-defibrillator. Kelemahan utama dari CT adalah tingkat
radiasi ionisasi yang dihubungkan dengan risiko terjadinya kanker. Kadar radiasi
CT saat ini dikatakan sedikit kebih tinggi dari kateterisasi jantung. Meskipun
demikian alat CT generasi yang lebih baru mempunyai tingkat radiasi yang
makin rendah. Kelemahan lain CT dibanding MRI adalah kontras jaringan
yang kurang serta kurangnya kemampuan untuk evaluasi fungsi kardiovaskular.
Kateterisasi jantung
Merupakan modalitas pertama yang memungkinkan pencitraan jantung dan
pembuluh darah ekstrakardiak dengan angiografi.Sejak tahun 1950 kateterisasi
12
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pemeriksaan Penunjang Terkini Kardiologi Anak: Indikasi dan Timing
jantung sudah digunakan untuk mengetahui fisiologi penyakit jantung bawaan.
Mulai tahun 1960 hingga 70-an dengan perkembangan bedah jantung
dibutuhkan informasi anatomik yang lebih akurat yang dapat diberikan oleh
kateterisasi (angiografi). Pada tahun 80-an, ekokardiografi mulai dikenal. Pada
tahun 90-an ekokardiografi trans-esofageal, MRI dan selanjutnya CT scan
mulai digunakan. Berbagai pemeriksaan ini telah mengurangi peran kateterisasi
sebagai modalitas diagnostik. Hal ini disebabkan karena kateterisasi jantung
mahal, invasif, tidak portabel dan memiliki efek radiasi yang nyata. Keunggulan
kateterisasi jantung adalah dapat memberikan data yang lengkap tentang
anatomi dan fisiologi jantung. Saat ini penggunaan kateterisasi jantung sudah
bergeser dari diagnostik ke arah terapeutik misalnya penutupan defek dengan
alat pada duktus arteriosus persisten, defek septum atrium, defek septum
ventrikel serta septostomi dan valvuloplasti balon.
Pilihan modalitas pemeriksaan berdasarkan usia
Usia pasien berperan terhadap pilihan pemeriksaan penunjang
1. Untuk bayi dan anak di bawah usia 8 tahun ekokardiografi umumnya dapat
memberi gambaran yang akurat untuk menegakkan diagnosis. Sedasi
mungkin dibutuhkan. Penggunaan MRI atau CT jarang dan selektif.MRI
dapat memberi informasi tentang ukuran ventrikel,fungsi dan vaskular
ekstrakardiak. Jika vaskular ekstra kardiak adalah hal utama yang dicari,
maka CT dapat digunakan dengan mempertimbangkan paparan radiasi
ionisasi
2. Untuk remaja dan dewasa, ekokardiografi tetap merupakan modalitas
primer. MRI berperan pada evaluasi vaskular ekstrakardiak, volume dan
fungsi ventrikel serta aliran darah. MRI lebih disukai dari CT scan atau
kateterisasi jantung. CT scan digunakan pada pasien dengan kontraindikasi
MRI misalnya dengan pacu jantung atau evaluasi arteri koroner.
Simpulan
Setelah melakukan pemeriksaan klinis, EKG dan foto Rontgen toraks,
ekokardiografi trans-torakal merupakan pemeriksaan utama dalam mendeteksi
penyakit jantung pada anak. Pemeriksaan selanjutnya bergantung pada kasus
dan apa yang dicari oleh klinisi. Magnetic resonance imaging (MRI) merupakan
pemeriksaan non-invasif yang penting dan bebas radiasi ionisasi. MRI dapat
memberikan gambaran karakteristik jaringan, mempunyai akses pemeriksaan
yang luas serta relatif akurat untuk fungsi biventrikular serta aliran darah.
Computerized tomography (CT) lebih unggul pada kasus yang membutuhkan
resolusi spatial yang tinggi dan penderita dengan alat pacu jantung meski dengan
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
13
Najib Advani
kekurangan adanya radiasi ionisasi. Ekokardiografi sangat bersifat operator
dependent dan membutuhkan jam terbang yang memadai.Peran kateterisasi
jantung untuk tujuan diagnostik sudah makin berkurang dan makin berkembang
ke arah tindakan terapeutik.
Daftar pustaka
1. Greenberg SB. Magnetic resonance imaging. Dalam: Koenig P, Hijazi ZM,
Zimmerman F, penyunting. Essential pediatric cardiology.Edisi ke-1. New York:
McGraw-Hill; 2004.h.351-7.
2. Cook SC, Raman SV. Adolescents and adults with congenital heart diseases. Dalam:
Allen HD, Driscoll DJ, Shaddy RE, Feltes TF, penyunting.Moss and Adams’ heart
disease in infants, children and adolescents. Edisi ke-7. Philadelphia:Lippincott
Williams & Wilkins;2008.h.1407-26.
3. Koskenvuo JW, Karra H, Lehtinen J, Niemi P, Parkka J, KnuutiJ, et al. Cardiac MRI:
accuracy of simultaneous measurement ofleft and right ventricular parameters using
three differentsequences. Clin Physiol Funct Imaging. 2007;27:385–93.
4. Maceira AM, Prasad SK, Khan M, Pennell DJ. Referenceright ventricular
systolic and diastolic function normalizedto age, gender and body surface area
from steady-state freeprecession cardiovascular magnetic resonance. Eur Heart
J.2006;27:2879–88.
5. Kilner PJ, Gatehouse PD, Firmin DN. Flow measurement by magnetic resonance:
a unique asset worth optimising. J Cardiovasc Magn Reson. 2007;9:723-8.
6. Cook SC, Raman SV. Multidetector computed tomography in the adolescent
and young adult with congenital heart disease. J Cardiovasc Comput Tomogr.
2008;2:36-49.
7. Park, MK. Pediatric cardiology for practitioners.Edisike-6. Philadelphia: Elsevier
Saunders;2014. h.41-116.
8. Prakash A, Powell AJ, Geva T. Multimodality noninvasive imaging for assessment
of congenital heart disease. Circ Cardiovasc Imaging. 2010;3:112-25.
9. Mertens L, Ganame J, Eyskens B. What is new in pediatric cardiac imaging? Eur
J Pediatr. 2008;167:1-8.
14
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Tata Laksana Cairan pada Anak Sakit Kritis
Rismala Dewi
Tujuan:
1. Mengetahui respons fisiologis anak sakit kritis terhadap
keseimbangan cairan
2. Mampu menentukan jumlah dan jenis cairan yang tepat serta
respons terapi cairan pada anak sakit kritis
Latar belakang
Tata laksana cairan mempunyai dampak yang cukup besar terhadap lama, berat,
dan luaran klinis pada anak sakit kritis. Pasien anak dengan sakit kritis seringkali
disertai dengan gangguan keseimbangan cairan dalam bentuk hipovolemia dan/
atau dehidrasi dengan variasi derajat beratnya. Berbagai penelitian mengenai
pemilihan cairan yang tepat dan penatalaksanaannya didasarkan pada penelitian
orang dewasa dan anak sehat, sedangkan cairan dan elektrolit merupakan
kebutuhan yang mendasar pada anak dengan sakit kritis. Memahami fisiologi
dan efek kondisi akut anak sakit kritis sangat penting terhadap pemilihan cairan
dan respons terhadap terapi. Berbagai pedoman untuk cairan resusitasi, cairan
pengganti dan cairan rumatan saat ini cukup banyak tersedia untuk bayi dan
anak, dan beberapa anak mungkin memerlukan tata laksana cairan yang khusus
seperti penyakit jantung, ketoasidosis, luka bakar, sepsis.1,2
Fisiologi
Imaturitas secara fisik dan ukuran yang relatif kecil pada anak dibandingkan
dewasa menyebabkan perbedaan struktural dan fungsional sistim kardiovaskular
dan juga sistim keseimbangan cairan dalam tubuh. Hal ini akan berpengaruh
terhadap respons tubuh anak terhadap hipovolemia dan dehidrasi, penilaian
klinis serta strategi yang akan digunakan untuk mengembalikan sirkulasi dan
keseimbangan cairan. Perfusi organ tergantung pada sejumlah faktor termasuk
curah jantung, yang merupakan fungsi dari denyut jantung dan isi sekuncup.
Denyut jantung dan isi sekuncup pada orang dewasa bervariasi dan dikontrol
ketat untuk memastikan perfusi cukup.
15
Rismala Dewi
Berbeda pada bayi dan anak, komponen aktomiosin dan mitokondria
lebih sedikit sehingga miokardium tidak dapat meningkatkan isi sekuncup,
tetapi tergantung pada peningkatan denyut jantung untuk meningkatkan curah
jantung.3,4 Distribusi cairan tubuh intraselular dan ekstraselular bervariasi sesuai
usia, walaupun setelah usia 6 bulan mulai menetap dan hampir sama dengan
dewasa. Cairan tubuh total terdiri dari sepertiga cairan ekstraselular (interstisial
dan intravaskular) dan dua pertiga cairan intraselular. Perbedaan distribusi
cairan tubuh dan cairan tubuh total ini menyebabkan bayi lebih rentan terhadap
terjadinya dehidrasi. Selain itu volume darah yang bersirkulasi lebih tinggi
pada bayi (70-80 mL/kgBB dibandingkan dewasa (60-70 mL/kgBB). Imaturitas
ginjal pada bayi dan anak dapat menjadi penyebab terbatasnya kapasitas ginjal
merespons hipovolemia dan dehidrasi.1
Adanya penyakit akut dan kegawatan pada anak dapat meningkatkan curah
jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen, glukosa jaringan, dan membuang
sisa hasil metabolisme tubuh. Pada keadaan renjatan maka pasokannya berkurang
sehingga mekanisme kompensasi anak adalah dengan meningkatkan denyut
jantung, hal ini terjadi bila volume intravaskular berkurang hingga 30% atau
sekitar 20 mL/kgBB. Kegawatan lain seperti syndrome of inappropriate antidiuretic
hormone (SIADH) menyebabkan terjadinya konservasi cairan dan tingginya
ekskresi natrium sehingga terjadi hiponatremi dan kelebihan cairan. Beberapa
keadaan lain seperti infeksi dan diare dapat terlihat adanya peningkatan sekresi
antidiuretic hormone (ADH) sehingga memengaruhi kadar natrium darah. Hal
tersebut di atas harus menjadi pertimbangan dalam pemilihan cairan dan
penatalaksanaannya.3,5
Inflamasi sistemik dan peningkatan permeabilitas
kapiler
Pada anak dengan sakit kritis biasanya disertai dengan systemic inflammatory
response syndrome (SIRS), yang ditandai dengan sindrom klinis demam,
takikardia, takipnea, leukositosis atau leukopenia. SIRS dapat terjadi tanpa
adanya infeksi, terutama setelah operasi besar atau trauma. Konsekuensi penting
dari SIRS adalah perubahan pada permeabilitas endotel, yang memiliki implikasi
penting untuk terapi cairan yang diberikan di ruang rawat intensif anak.4,6
Dampak peningkatan cairan interstisial
Pemberian cairan resusitasi agresif yang bertujuan ekspansi volume intravaskular,
dapat memperbaiki oksigenasi dan memberikan luaran yang baik pada anak
yang mengalami renjatan, tetapi perlu diperhatikan juga dampak negatifnya
terhadap cairan interstisial. Cairan interstitial berlebihan mengurangi efektivitas
pertukaran gas di tingkat alveolar dan jaringan. Efisiensi difusi oksigen berkaitan
16
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Tata Laksana Cairan pada Anak Sakit Kritis
erat dengan ketebalan membran alveolar-arterial. Edema interstisial dapat
mengganggu transpor oksigen ke mitokondria akibat hambatan difusi oksigen
di membran alveolar dan terganggunya ekstraksi oksigen serta karbondioksida
di jaringan.4,7-9
Tata laksana cairan
Tata laksana cairan pada anak dengan sakit kritis kritis dapat dilihat secara
konseptual melalui tiga fase, dibedakan menurut status klinis pasien. Selama
fase “resusitasi”, tujuannya adalah pemulihan volume intravaskular yang efektif,
perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Akumulasi cairan dan keseimbangan
cairan positif menjadi target akhir. Selama fase pemeliharaan, tujuannya adalah
menjaga homeostasis intravaskular sehingga mengurangi akumulasi cairan
yang berlebihan dan mencegah pemberian cairan yang tidak perlu. Selama fase
pemulihan, pengeluaran cairan secara pasif dan/atau aktif akan berjalan sesuai
dengan fase pemulihan organ.2
Gambar 1. Paradigma balans cairan2
Terdapat dua aspek yang penting dalam pemberian cairan pada anak
dengan sakit kritis yaitu target terhadap volume cairan intravaskular atau
volume cairan eksraselular atau keduanya. Sehingga tujuan pemberian cairan
adalah untuk mengatasi keadaan hipovolemia, mengganti kehilangan cairan
pada anak yang dehidrasi dan menyediakan rumatan untuk kebutuhan seharihari. Jenis cairan, volume dan cara pemberian harus dipertimbangkan sesuai
dengan kondisi kegawatan yang terjadi.1,10
Hipovolemia berhubungan dengan tingginya mortalitas pada anak sehingga
pemberian cairan agresif sangat diperlukan untuk mengembalikan volume
sirkulasi kembali normal. Cairan hipotonik tidak dianjurkan untuk resusitasi
cairan karena tidak bertahan lama didalam intravaskular. Data dari Cochrane
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
17
Rismala Dewi
memperlihatkan cairan isotonik kristaloid dan koloid sangat baik sebagai cairan
resusitasi. Rekomendasi volume yang dipakai adalah 20 mL/kgBB selama 6-10
menit (<30 menit) untuk mendapatkan perfusi yang adekuat. Pemberian cairan
dapat diulangi hingga 60-100 mL/kgBB bila perfusi masih kurang terutama pada
pasien dengan sepsis. Akses pemberian cairan dianjurkan melalui jalur intravena,
jalur intraoseous atau bolus dengan mempergunakan spuit 20 atau 50 ml.2,11,12
Pemberian cairan pada keadaan dehidrasi bertujuan untuk mengganti
kehilangan cairan di ekstraselular akibat diare, muntah atau kehilangan cairan
melalui ginjal. Cairan yang diperlukan adalah cairan kristaloid yang bersifat
isoosmotik. Penggantian cairan melalui oral lebih dianjurkan dibandingkan
intravena untuk menghindari terjadinya gangguan keseimbangan cairan,
elektrolit dan asam basa yang biasa terjadi pada pemberian intravena, kecuali
sudah terlihat tanda-tanda hipovolemia.3,13
Setelah hipovolemia dan dehidrasi diatasi maka pemberian cairan rumatan
dengan osmolalitas yang sama dengan cairan ekstraselular sangat penting untuk
menjaga volume intravaskular dan eksraselular, ditandai dengan keluaran urin
1-2 mL/kgBB. Kebutuhan cairan rumatan pada anak dapat mengikuti formula
4-2-1. (tabel 1)3
Tabel 1. Kebutuhan cairan rumatan3
Sehari
Berat badan
< 10 kg
100 mL/kgBB
Setiap jam
4 mL/kgBB
G
1000 mL +
50 mL/kgBB setiap
kg > 10 kg
40 mL/jam +
2 mL/kgBB setiap
kg > 10 kg
> 20 kg
1500 mL +
20 mL/kgBB setiap
kg > 20 kg
60 mLjam + 1mL/kgBB setiap
kg > 20 kg
Perlu diperhatikan bahwa kebutuhan cairan rumatan ini diambil
berdasarkan data pada anak sehat sehingga perlu disesuaikan dengan kondisi
anak sakit gawat dengan mempertimbangkan adanya sekresi ADH dan imbalans
elektrolit. Kelebihan cairan dapat membahayakan terutama pada pasien dengan
cedera kepala, edema otak atau distres respirasi. Cairan hipotonik tidak lagi
dianjurkan dan volume rumatan harus dikurangi sepertiganya. Terapi yang
dianut saat ini adalah cairan yang bersifat isotonik seperti normal salin yang
lebih tepat untuk terapi cairan rumatan.12,14
Pemilihan cairan
Sampai saat ini pemilihan cairan untuk resusitasi masih banyak diperdebatkan
mengenai cairan mana yang lebih baik. Masing-masing cairan mempunyai
keuntungan dan kerugian yang perlu diperhatikan seperti lama bertahan di
18
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Tata Laksana Cairan pada Anak Sakit Kritis
intravaskular, sealing effect, efek terhadap faktor koagulasi, gangguan metabolik
dan inflamasi. Komponen cairan kristaloid termasuk ion anorganik seperti
natrium, klorida, kalium, magnesium, dan kalsium, serta zat-zat organik
kecil seperti glukosa atau laktat. Cairan kristaloid seperti Ringer laktat dan
normal salin dapat dipakai sebagai cairan resusitasi untuk mengisi volume
intravaskular hanya saja cairan ini cepat terdistribusi ke ruang ekstraselular
sehingga memerlukan jumlah yang besar. Berbeda pada keadaan dehidrasi
hal ini sangat menguntungkan untuk mengisi kehilangan cairan ekstraselular.
Yang perlu diperhatikan saat memberikan cairan Ringer laktat adalah pada
pasien yang mengalami asidosis laktat karena akan menambah keadaan asidosis
pada pasien ini akibat asidosis dilusional serta dapat ditemukan peningkatan
konsumsi oksigen. Salah satu efek pemberian dengan normal salin adalah
asidosis hiperkloremik.8,15
Cairan koloid terdiri dari larutan homogen, molekul nonkristalin besar atau
partikel ultramikroskopis yang tersebar di seluruh zat lain (medium dispersi).
Cairan koloid di antaranya, albumin, fraksi protein plasma, plasma beku segar,
atau semi sintetis (dekstran kanji hidroksi etil, gelatin dan albumin). Pemberian
koloid dekstran akan menambah cairan intravaskular melebihi jumlah yang
diberikan karena cairan intraselular akan ikut masuk kedalam intravaskular.
Dekstran mempunyai efek samping diuresis osmotik, gagal ginjal, dan gangguan
sistem retikuloendotelial. Kanji hidroksi etil merupakan amilopektin dari
biji jagung yang menyerupai glikogen dapat berupa hetastarch, hexastarch,
pentastarch atau tetrastarch. Kanji hidroksi etil ini mempunyai efek dilusi
seperti koloid pada umumnya sehingga dapat mengganggu sistem koagulasi serta
dapat menimbulkan reaksi anafilaksis dan meningkatkan kadar serum amilase.
Pemberian gelatin dapat menimbulkan bekuan apabila diberikan bersama-sama
transfusi karena mengandung kalsium sehingga pemberiannya harus dipisahkan.
Efek samping yang kurang disukai adalah reaksi alergi meskipun efek terhadap
koagulasi lebih ringan dibandingkan koloid lain.15,16
Saat ini berkembang cairan kristaloid dan koloid “balans” yaitu cairan yang
mempunyai komposisi elektrolit, osmolalitas yang hampir sama dengan plasma,
dan dapat mencapai keseimbangan asam basa fisiologis dengan bikarbonat dan
metabolit anion serta risiko kelebihan cairan yang minimal.6
Simpulan
Tata laksana cairan intravena bervariasi sesuai penyakitnya pada anak yang sakit
kritis. Status cairan (hipovolemia, dehidrasi), kadar glukosa, dan kadar elektrolit
harus rutin dipantau secara berkala pada anak-anak yang sakit kritis selama terapi
cairan intravena untuk mencapai efek optimal tanpa membahayakan. Penilaian,
tata laksana dan pemilihan cairan yang cepat dan tepat merupakan tantangan
bagi klinisi untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan menurunkan mortalitas.
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
19
Rismala Dewi
Daftar pustaka
1. Sainath Raman S, Peters MJ. Fluid management in the critically ill child. Pediatr
Nephrol. 2014;29:23–34.
2. Ashraf M, Farooq A, Malik R, Ahmad T, Bashir S, Shah S. Fluid therapy in
children: a review. WebmedCentral Paediatrics. 2010;1(10):WMC00868.
3. Crellin D. Fluid management for children presenting to the emergency department:
Guidelines for clinical practice. AENJ. 2008;11:5-12.
4. Bontant T, Matrot B, Abdoul H, Aizenfisz S, Naudin J, Jones P, dkk. Assessing fluid
balance in critically ill pediatric patients. Eur J Pediatr. 2015;174:133–7.
5. Lynch RE, Wood EG. Fluid and electrolyte issues in pediatric critical care illness.
Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman J, penyunting. Pediatric Critical Care. Edisi ke-4.
Philadelphia: Mosby Elsevier, 2011. h. 944-62.
6. Kiguli S, Akech SO, George M, Opoka RO, Engoru C, Olupot-Olupot P, dkk.
Concerns about intravenous fluids given to critically ill children. BMJ. 2014;348:15.
7. Arikan AA, Zappitelli M, Goldstein SL, Naipaul A, Jefferson LS, Lftis LL. Fluid
overload is associated with impaired oxygenation and morbidity in critically ill
children. Pediatr Crit Care Med. 2012;13:253-8.
8. Bartels K, Thiele RH, Gan TJ. Rational fluid management in today’s ICU practice.
Crit Care. 2013;17:S1-6.
9. Maitland K, Kiguli S, Opoka RO, Engoru C, Olupot-Olupot P, Akech SO. Mortality
after fluid bolus in african children with severe infection. NEJM. 2011;364:2483-95.
10. Schneider AG, Baldwin I, Freitag E, Glassford N, Bellomo R. Estimation of fluid
status changes in critically ill patients: fluid balance chart or electronic bed weight?.
J Crit Care. 2012;27:745.e7–12.
11. Perel P, Roberts I, Pearson M. Colloids versus crystalloids for fluid resuscitation in
critically ill patients. Cochrane database of systematic reviews 2007, Issue 4. Art.
No.: CD000567. DOI: 10.1002/14651858.CD
12. Saba TG, Fairbairn J, Houghton F, Laforte F, Foster BJ. A randomized controlled
trial of isotonic versus hypotonic maintenance intravenous fluids in hospitalized
children. BMC Pediatr. 2011;11:82-91.
13. Reinhart K, Perner A, Sprung CL, Jaeschke R, Schortgen F, Groeneveld J.
Consensus statement of the ESICM task force on colloid volume therapy in
critically ill patients. Intensive Care Med. 2012;38:368-83.
14. Annane D, Siami S, Jaber S, Martin C, Elatrous S, Declère AD. Effects of fluid
resuscitation with colloids vs crystalloids on mortality in critically ill patients
presenting with hypovolemic shock; The CRISTAL randomized trial. JAMA.
2013;310:1809-17.
15. McDermid RC, Raghunathan K, Romanovsky A, Shaw AD, Bagshaw AM.
Controversies in fluid therapy: type, dose and toxicity. World J Crit Care Med.
2014;3:24-33.
16. Carcillo JA. Intravenous fluid choices in critically ill children. Curr Opin Crit
Care. 2014;20:396–401.
20
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pitfalls (Kekeliruan) Penggunaan Terapi Inhalasi
pada Kasus Respirologi Anak
Nastiti Kaswandani
Tujuan:
1. Memahami prinsip dasar dan jenis terapi inhalasi
2. Memahami indikasi, pemilihan alat, jenis obat dan dosis obat
terapi terapi inhalasi
3. Memahami kekeliruan yang sering terjadi pada penggunaan
terapi inhalasi
Kasus respirologi anak merupakan salah satu kasus tersering yang dijumpai
pada praktik klinis. Kemajuan pengobatan menghadirkan modalitas terapi
yang mempunyai efikasi tinggi dan efek samping yang minimal. Terapi inhalasi
merupakan cara pemberian obat secara topikal yang memiliki keunggulan
dibandingkan dengan pemberian obat secara oral atau sistemik. Terapi inhalasi
memiliki beberapa keunggulan di antaranya efek pada target organ mencapai
maksimal, efek samping sistemik minimal, awitan kerja obat lebih cepat,
efektivitas pengobatan lebih baik, kenyamanan dalam pemberian, serta tidak
menimbulkan rasa sakit. Namun demikian, implementasi dari pemilihan terapi
inhalasi juga memerlukan pengetahuan karena alat terapi inhalasi mempunyai
prinsip dasar dan cara kerja yang berbeda-beda, obat yang berbeda-beda serta
perhatian khusus pada pasien anak yang juga berbeda di tiap kelompok usianya.1
Prinsip dasar terapi inhalasi adalah pemberian obat dalam bentuk aerosol
(partikel inhalan) melalui hirupan langsung ke saluran napas. Terapi inhalasi
secara garis-besar terdiri dari 3 jenis pemberian yaitu nebulizer, alat hirupan dosis
terukur (metered dose inhaler=MDI) dan alat hirupan bubuk kering (dry powder
inhaler=DPI).2 Beragamnya alat inhalasi yang beredar dipasaran menuntut
peningkatan pengetahuan baik untuk dokter dan tenaga medis lainnya, oleh
karena banyak tenaga medis belum memahami teknik dan manfaat terapi
inhalasi pada anak. Beberapa permasalahan yang sering ditemukan antara
lain teknik pengunaan yang salah, pemilihan alat yang tidak tepat, kurang
atau tidak adanya pengertian mengenai bagaimana dan kapan harus alat
digunakan dan sebagainya.3 Keberhasilan penggunaan pada anak memerlukan
pengetahuan mengenai perbedaan anak dan dewasa dalam hal anatomi sistem
21
Nastiti Kaswandani
respiratori, fisiologi, sistem koordinasi dan teknik inhalasi yang optimal sehingga
penggunaan terapi inhalasi dapat mencapai hasil yang optimal.
Di Indonesia, dari ketiga jenis terapi inhalasi, nebulizer masih merupakan
jenis terapi inhalasi yang paling sering digunakan. Meskipun saat ini banyak
bukti yang menunjukkan kelebihan pemberian MDI dengan spacer pada anak,
namun keterbatasan akses terhadap penyediaan spacer menjadi kendala.
Makalah ini akan membahas prinsip dasar terapi inhalasi dan kekeliruan yang
sering terjadi dalam praktek sehari-hari dengan batasan terutama pada alat
terapi jenis nebulizer.
Prinsip dasar terapi inhalasi
Prinsip dasar terapi inhalasi adalah pemberian obat dalam bentuk aerosol
(partikel inhalan) melalui hirupan langsung ke saluran napas. Obat yang
digunakan adalah dalam bentuk aerosol yaitu suspensi partikel zat padat atau
cair dalam gas. Ketepatan pemberian secara aerosol tergantung pada beberapa
variabel diantaranya karakteristik fisik, ukuran dan jumlah aerosol serta anatomi,
geometri saluran respiratori dan pola respiratori. Karakteristik fisik aerosol
yang terpenting adalah mass median aerodynamic diameter (MMAD). Aerosol
terapeutik mempunyai MMAD berkisar antara 0,5-5 µ dan tergantung tempat
deposisi yang dituju (Tabel 1).4
Faktor yang mempengaruhi deposisi obat mencapai berbagai tempat di
saluran respiratori bergantung pada sedimentasi, inertial impaction, difusi (gerak
Brown) inertial.
Tabel 1. Tempat Deposisi Aerosol Sesuai dengan Ukuran Aerosol4
Ukuran (MMAD u)
Tempat Deposisi
< 0,5
0,5 – 2
2–5
5 – 100
> 100
Stabil (tidak ada deposisi)
Alveoli
Bronki dan bronkioli
Mulut, hidung dan saluran respiratori atas
Disaring oleh saluran respiratori atas
Alat inhalasi yang digunakan akan mempengaruhi jumlah aerosol yang
dihasilkan, ukuran partikel tertentu dan distribusi partikel. Deposisi aerosol juga
dipengaruhi oleh interface yang digunakan seperti masker wajah, mouthpiece atau
endotracheal tube. Alat inhalasi tertentu juga memerlukan prosedur manuver
tertentu agar dapat bekerja optimal, jika prosedur ini tidak dilakukan dengan
benar akan mempengaruhi partikel yang terdeposisi. Karakteristik partikel
aerosol yang dihasilkan oleh berbagai alat terapi inhalasi disajikan dalam tabel 2.
22
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pitfalls (Kekeliruan) Penggunaan Terapi Inhalasi pada Kasus Respirologi Anak
Tabel 2. Karakteristik sistem aerosol5
Tehnik pembentukan
aerosol
Ukuran partikel
Deposisi obat
Deposisi orofaring
Dosis obat
Kontaminasi
MDI
Propelan
1-10u
5-10%
bermakna
Kecil
Tidak
DPI
Aliran udara ekspirasi
pasien
1-10u
9-30%
bervariasi
kecil
Tidak
Nebuliser
Prinsip bernoulli/kristal
piezoelektrik
Bervariasi
2-10%
tidak bermakna
Dosis besar dapat diberikan
Mungkin
Jenis terapi inhalasi
1.Nebuliser
Nebuliser merupakan alat inhalasi yang berfungsi mengubah cairan
(solution) menjadi aerosol. Alat yang dipakai dapat berupa aliran
udara bertekanan tinggi yang dihasilkan oleh kompresor (jet nebulizer)
atau getaran (vibrasi) dari kristal piezoelektrik (ultrasonic nebulizer).
Saat ini ada beberapa jenis nebulizer baru seperti Mesh nebulizer,
dosimetric nebulizer, breath-actuated nebulizer namun penggunaannya
di Indonesia masih belum banyak. Cara kerja nebuliser terskema
pada gambar.
Pada alat ini obat dalam bentuk cairan akan dimasukkan ke dalam
labu nebulisasi. Jumlah cairan yang harus diisikan ke dalam labu
tersebut disebut fill volume. Tiap alat mempunyai fill volume yang
bervariasi tergantung kecepatan alat tersebut menghasilkan aeorosol,
namun umumnya jet nebulizer mempunyai fill volume antara 4-6 ml.
Fill volume ini berkorelasi dengan waktu nebulisasi, dimana waktu
optimal nebulisasi umumnya dicapai antara 6-10 menit. Dikenal juga
istilah dead volume yaitu volume yang tersisa dalam labu nebulisasi
dan sudah tidak dapat diubah lagi menjadi aerosol, pada jet nebulizer
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
23
Nastiti Kaswandani
umumnya dead volume adalah 1 ml. Pengisian cairan obat yang kurang
dari fill volume ataupun mendekati dead volume akan membuat respon
klinis terhadap terapi inhalasi tidak optimal.8
2. Metered dose inhaler (MDI)
MDI merupakan alat yang mengubah obat dalam bentuk suspensi
menjadi aerosol. Penggunaan alat ini memiliki keterbatasan jika
digunakan pada bayi dan anak, karena anak dan bayi umumnya
belum mampu melakukan koordinasi dengan baik saat menggunakan
alat ini. Selain itu semprotan obat dengan alat ini memiliki kecepatan
tinggi karena adanya propelan, sehingga obat akan banyak mengalami
impaksi di orofaring. Skema cara kerja MDI disajikan pada gambar 2.
Oleh karena itu penggunaan MDI pada anak seharusnya dilengkapi
dengan spacer. Berbagai penelitian mendapatkan efektifitas yang
sama antara penggunaan nebuliser dan MDI dengan spacer. Hal ini
menyebabkan penggunaan nebuliser di negara maju sudah banyak
ditinggalkan dan digantikan perannya oleh MDI dengan spacer.9
3. Dry Powder Inhaler (DPI)
DPI adalah alat terapi inhalasi yang mengubah bentuk obat bubuk kering
menjadi aerosol. Terdapat berbagai bentuk DPI yang tersedia, namun
secara prinsip dibagi menjadi DPI yang antara alat dan obat menjadi satu
dan DPI yang antara alat dan obatnya terpisah. Sediaan DPI untuk anak
umumnya adalah yang alat dan obatnya menjadi satu, bentuk sediaan yang
banyak tersedia adalah turbuhaler dan diskhaler.
24
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pitfalls (Kekeliruan) Penggunaan Terapi Inhalasi pada Kasus Respirologi Anak
Penggunaan DPI mensyaratkan pasien yang sudah mampu menggunakan
mouthpiece dan dapat melakukan inspirasi yang kuat dan dalam (>30 L/mnt).
Hal ini umumnya dapat dilakukan oleh anak yang sudah cukup besar yaitu >
8 tahun.
Indikasi dan pemilihan terapi inhalasi
Beberapa indikasi terapi inhalasi yang sering digunakan yaitu:
1. Penyakit inflamasi saluran napas
Asma merupakan indikasi utama terapi inhalasi. Pada asma terapi inhalasi
dapat diberikan sebagai salah satu cara pemberian obat baik untuk
mengatasi serangan maupun untuk penanganan jangka panjang. Beberapa
indikasi lainnya adalah obstruksi akut akibat inflamasi di saluran napas
seperti bronkiolitis dan sindrom croup.
2. Penyakit infeksi pernapasan
Beberapa sediaan obat antibiotik dan antiviral tersedia untuk diberikan
secara inhalasi. Pemberian antibiotik dalam bentuk aerosol terutama
terindikasi untuk infeksi pada penyakit kronik paru seperti cystic fibrosis
atau bronkiektasis yaitu suatu kondisi yang memudahkan terjadinya
kolonisasi bakteri persisten. Terdapat inhalasi gentamicin dan tobramicin
untuk kuman Pseudomonas aeruginosa dan pentamidin untuk kuman
Pneumocystis carinii. Antiviral yang tersedia dalam bentuk aerosol adalah
ribavirin untuk Respiratory syncytial virus dan zanamivir untuk virus
influenzae. Amphotericin B tersedia untuk infeksi Candida albicans.
3. Membantu bersihan saluran napas (airway clearance)13-15
Bersihan saluran napas merupakan mekanisme penting dalam pertahanan
sistem pernapasan. Bersihan saluran napas diperlukan untuk menjaga agar
saluran napas tetap terhindar dari benda asing atau mikroorganisme yang
dapat menyebabkan penyakit pada sistem pernapasan. Terdapat 2 hal yang
berperan penting dalam bersihan saluran napas yaitu bersihan mukosiliar
dan refleks batuk. Bersihan mukosiliar terutama berperan pada saluran
napas kecil/perifer untuk membawa kuman, benda asing atau debrisdebris yang terhirup selama proses bernapas ke arah proksimal saluran
napas untuk dikeluarkan. Apabila jumlah kuman, benda asing atau debris
tersebut cukup banyak maka diperlukan refleks batuk untuk membantu
mengeluarkannya. Pada keadaan tertentu terdapat gangguan pada sistem
bersihan saluran napas misalnya pada cystic fibrosis, bronkiektasis, penyakit
neuromuskular ataupun kondisi hiperreaktivitas bronkus. Pada kondisi
tersebut terapi inhalasi dapat membantu bersihan saluran napas.
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
25
Nastiti Kaswandani
Pemilihan jenis dan dosis obat terapi inhalasi
Pemilihan alat terapi inhalasi yang tepat sangat menentukan efektifas pemberian
obat. Seringkali terapi inhalasi telah diberikan sesuai indikasi namun karena
pemilihan alat dan cara penggunaan alat kurang tepat membuat efektifitas
klinisnya tidak optimal.10 Terdapat beberapa jenis alat terapi inhalasi yang
pemilihannya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
1. Kompetensi dan keterampilan penggunaan alat : setiap alat inhalasi
mempunyai cara penggunaan yang spesifik sehingga untuk penggunaannya
diperlukan keterampilan tertentu. Hal ini umumnya dipengaruhi oleh
faktor usia, intelegensi dan kondisi saluran napas. Misalnya pada anak
usia dibawah 8 tahun alat inhalasi yang dapat dipakai adalah nebuliser
ataupun MDI dengan spacer, sedangkan DPI tidak dapat dipakai. Pada
asma serangan sedang berat sebaiknya alat inhalasi yang dipakai adalah
MDI dengan spacer atau nebuliser.
2. Jenis obat yang digunakan : bila kita ingin mencampur beberapa jenis
obat atau memberikan obat dengan dosis besar sebaiknya menggunakan
nebuliser. Namun ada beberapa jenis obat yang tidak dapat diberikan
dengan nebuliser ultrasonik seperti steroid ataupun obat yang berbahan
protein.
Terapi inhalasi merupakan cara pemberian obat yang langsung menuju
target organ, sehingga dapat dikategorikan sebagai pemberian obat secara
topikal. Berbeda dengan pemberian obat secara sistemik dimana obat yang
diberikan akan melalui berbagai proses sebelum mencapai target organ
diantaranya proses absorpsi, metabolisme lintas pertama dan hemodilusi, hal
ini tidak dialami oleh obat topikal. Sehingga jika dibandingkan pemberian
obat secara sistemik yang perlu mempertimbangkan penghitungan dosis sesuai
berat badan agar obat dalam indeks terapeutik dapat mencapai target organ,
pemberian obat secara topikal tidak perlu demikian.
Dosis obat topikal termasuk obat inhalasi telah dirancang berada dalam
kisaran dosis terapeutik yang tidak perlu disesuaikan dengan perhitungan
per kilogram berat badan. Hal yang perlu diperhatikan pada terapi inhalasi
bukan pada perbedaan dosis yang diberikan berdasar berat badan (dosis yang
diberikan sama) namun pada efektifitas terapi inhalasi yang diberikan yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang telah dijelaskan sebelumnya.1 Oleh
karena itu terapi inhalasi seringkali disebut sebagai terapi yang tidak bersifat
dose dependent namun response dependent. Pada pemberian terapi inhalasi yang
perlu diperhatikan adalah respon klinisnya, yaitu jika respon klinis belum
optimal maka pemberiannya dapat di ulang dan jika sudah tidak ada keluhan
dapat dihentikan.11
Jenis obat yang dapat diberikan dalam bentuk inhalasi lebih terbatas
dibandingkan dengan obat yang diberikan secara sistemik. Jenis obat yang
26
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pitfalls (Kekeliruan) Penggunaan Terapi Inhalasi pada Kasus Respirologi Anak
diberikan secara inhalasi harus disesuaikan dengan indikasinya agar respon
klinis yang diharapkan akan optimal. Beberapa jenis obat yang sering diberikan
secara inhalasi adalah sebagai berikut:
1.Bronkodilator12
Obat inhalasi yang memiliki efek bronkodilator adalah golongan beta 2
agonis dan golongan antikolinergik, obat ini umumnya diberikan sebagai
tata laksana utama asma sebagai obat pereda (reliever) gejala atau pereda
serangan. Namun beberapa penelitian in vitro mendapatkan efek lain untuk
beta 2 agonis yaitu perannya untuk meningkatkan gerakan cilia sehingga
dapat membantu bersihan saluran napas. Selain itu efek bronkodilatasinya
akan meningkatkan aliran udara ekspirasi (expiratory flow) yang diperlukan
untuk refleks batuk yang optimal.
2.Antiinflamasi
Steroid hirupan sudah lama dikenal sebagai terapi utama sebagai tata
laksana jangka panjang asma. Obat ini diberikan sebagai obat pengendali
(controller) pada asma.
3.Vasokonstriktor13
Pada kondisi edema berat laring seperti pada laringitis atau sindrom croup.
Inhalasi epinefrin atau adrenalin dapat diberikan untuk menurunkan
permeabilitas vaskular sehingga akan mengurangi edema. Epinefrin yang
dapat digunakan antara lain adalah:
1. Racemic epinefrin 2,25% (campuran 1:1 isomer d dan l epinefrin)
diberikan sebanyak 0,5 ml dan dilarutkan dalam 3 ml larutan normal
salin.
2. L-epinefrin 1:1000 dengan dosis 0,5 ml/kg dengan dosis maksimal
sebanyak 5 ml.
4. Zat Mukoaktif (mucoactive agent)14
Tujuan utama pemberian zat mukoaktif adalah untuk mempermudah
pengeluaran mukus dan mengurangi sekresi mukus yang berlebihan
sehingga akan memperbaiki bersihan saluran napas. Beberapa obat jenis
ini tersedia dalam bentuk inhalasi, yang paling sederhana adalah normal
salin (isotonic saline). Inhalasi dengan normal salin akan melembabkan
jalan napas dan mengencerkan mukus karena meningkatkan konsentrasi
air pada lapisan sol mukus. Kombinasi normal salin dan beta 2 agonis dapat
meningkatkan bersihan jalan napas.
Salin hipertonik terbukti dapat membantu merangsang pengeluaran
sputum sehingga selain digunakan untuk mendapatkan spesimen
diagnostik, inhalasi dengan salin hipertonik pada kasus bronkiolitis dapat
memperpendek masa rawat di RS.
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
27
Nastiti Kaswandani
5.Antimikroorganisme
Beberapa jenis antimikroorganisme (antibakteri, antivirus dan antijamur)
tersedia dalam bentuk inhalasi. Namun penggunaannya masih terbatas dan
harganya cukup mahal, sehingga terutama hanya diberikan pada kondisi
khusus.
Kekeliruan pada terapi inhalasi
Kekeliruan indikasi
Indikasi terapi inhalasi (nebuliser) utamanya adalah pada serangan asma, namun
beberapa kondisi di atas seperti pada laryngitis akut, kondisi hiperreaktivitas
bronkus atau gangguan klirens mukosilier nebulisasi juga merupakan modalitas
terapi yang cukup penting. Pada praktik klinis sehari-hari, indikasi nebulisasi
sangat longgar, bahkan cenderung over-use. Kasus yang sering menjadi sumber
nebulizer-abused adalah kasus infeksi respiratorik akut bagian atas seperti selesma,
rhinitis, faringitis, atau IRA atas lainnya yang menunjukkan gejala batuk/pilek.
Selain indikasi yang kurang tepat, pemberian terapi inhalasi dengan
nebulizer tidak perlu dilakukan dalam paket-paket terapi inhalasi, misalnya
pasien diharuskan menjalani nebulisasi selama 5 hari berturut-turut. Pemberian
obat inhalasi melalui nebulizer harus disesuaikan dengan alur tata laksana
penyakitnya, misalnya untuk mengatasi serangan akut asma, maka jumlah
pemberian nebulisasi tidak direncanakan dalam bentuk paket selama 5 hari
tetapi seharusnya ditetapkan berdasarkan respons yang diberikan. Jika pemberian
satu kali saja sudah memberikan respons yang baik maka tak perlu ada lanjutan
nebulisasi dalam bentuk paket.
Kekeliruan memilih alat inhalasi dan interface
Sebagai langkah awal penting menentukan alat terapi inhalasi yang mana yang
dipilih antara nebuliser, MDI dengan spacer atau DPI. Untuk anak besar di atas
usia 8 tahun DPI bisa merupakan pilihan, sedangkan di bawah usia tersebut
pilihannya adalah nebulizer atau MDI dengan spacer. Seringkali pasien mendapat
resep MDI tanpa spacer atau DPI padahal pasien belum baik koordinasinya
sehingga terapi inhalasi menjadi kurang efektif. Alamoudi dkk mendapatkan
kekeliruan saat menggunakan MDI yaitu tidak melakukan inspirasi perlahan
dan dalam sebanyak 46,4%, sedangkan kekeliruan tidak menahan napas selama
10 detik sebanyak 52,2%. Kekeliruan yang sering terjadi adalah memberikan
DPI untuk anak yang kurang dari 8 tahun. Kekeliruan yang sering terjadi pada
penggunaan DPI turbuhaler adalah tidak mempersiapkan dosis dengan cara
memutar bagian bawah obat sebanyak 23,1% dan tidak menahan napas 10
hitungan sebanyak 21,1%.15
28
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pitfalls (Kekeliruan) Penggunaan Terapi Inhalasi pada Kasus Respirologi Anak
Pemilihan interface (bagian alat inhalasi yang langsung berhubungan
ke pasien) pada nebuliser atau spacer juga memegang peranan penting. Pada
anak usia > 5 tahun atau anak yang kooperatif penggunaan mouthpiece lebih
diutamakan untuk mengurangi proses impaksi di hidung. Jika menggunakan
masker wajah harus diupayakan masker wajah cukup ketat dan tidak kebesaran
agar tidak banyak obat yang terbuang. Upayakan juga anak dalam kondisi
nyaman dan jika memungkinkan tidak menangis. Anggapan bahwa nebulisasi
sebaiknya dilakukan pada saat anak menangis adalah keliru. Pada masker wajah
yang kebesaran deposisi di saluran napas hanya 0,1% sedangkan pada anak
yang menangis deposisi di saluran napas hanya kurang lebih 1%.16
Kekeliruan dalam pemberian obat
Pemilihan jenis obat yang diberikan untuk nebulisasi harus berpedoman pada
panduan berdasarkan penyakit yang dihadapi. Dari observasi didapatkan bahwa
dalam praktik klinis di Indonesia, praktik pemberian obat inhalasi yang tersering
adalah berupa campuran obat inhalasi aktif dari 3 golongan yaitu golongan
bronkodilator (b2 agonis kerja cepat), gologan steroid dan golongan mukolitik.
Bronkodilator dapat diberikan pada serangan asma atau untuk memperbaiki
mukosilier, namun peran mukolitik tidak memiliki bukti efikasi yang cukup.
Steroid inhalasi untuk mengatasi serangan akut juga tidak direkomendasikan
oleh banyak pedoman tata laksana asma. Untuk memiliki efek anti-inflamasi
pada serangan akut, steroid inhalasi yang diberikan harus dosis tinggi. dosis
yang tinggi yaitu 800-2000 mikrogram budesonide (setara dengan 2-4 ampul).17
Selain itu, masih sering didapatkan pemberian nebulizer hanya dengan
larutan garam normal dengan tujuan untuk memberikan pengenceran terhadap
mucus yang kental. Pengenceran mucus sebaiknya juga disertai upaya membantu
evakuasi mucus dengan memberikan golongan b2-agonis. Pemberian zat
mukoaktif ini juga perlu berhati-hati jika diberikan pada pasien dengan refleks
batuk yang kurang/tidak optimal seperti pada anak usia < 6 bulan ataupun
pada anak dengan kelainan neuromuskular. Umumnya pada kondisi demikian
pemberian terapi inhalasi dapat dilakukan bersamaan dengan fisioterapi dada.
Seperti telah diterangkan sebelumnya, setiap alat nebulizer mempunyai fillvolume yang menjamin nebulizer akan bekerja secara efektif. Tujuan penambahan
salin normal bukan bertujuan mengencerkan tetapi mencukupkan fill-volume
yang disyaratkan. Jika campuran zat aktif misalnya b2 agonis dan antikolinergik
sudah mencukupi fill-volume maka tidak lagi diperlukan penambahan salin
normal.
Kekeliruan dalam menambahkan modalitas terapi lain. Selain mendapat
nebulisasi, pasien sering menerima tindakan lain seperti suction, chest physical
therapy, diatermi dan terapi fisik lain yang dilakukan dokter rehabilitasi medis.
Secara umum, otomatisasi menyertakan tindakan-tindakan tersebut di setiap
pasien yang memerlukan nebulisasi adalah tidak pada tempatnya. Sebagai
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
29
Nastiti Kaswandani
contoh tindakan fisioterapi dada diindikasikan pada kondisi atelectasis paru,
namun tidak perlu dilakukan pada setiap kasus serangan asma akut atau
pneumonia. Pembahasan tentang modalitas terapi dari URM akan dibahas lebih
menyeluruh di makalah selanjutnya.
Kesimpulan
Pemilihan alat terapi inhalasi harus memperhatikan diagnosis penyakit, usia
pasien dan factor yang mempengaruhi. Banyak kekeliruan yang terjadi pada
praktik pemberian terapi inhalasi, terdiri dari indikasi, pemilihan jenis terapi
inhalasi, obat, dan penambahan modalitas lain seperti fisioterapi dada.
Daftar pustaka
1. Amirav I, Newhouse MT. Aerosol therapy in infants and toddlers: past, present
and future. Expert Rev Resp Med. 2008;2:597-605.
2. Devadason SG, Everard ML, Le Souef PN. Aerosol therapy and delivery system.
Dalam: Taussig LM, Landau LI, penyunting. Pediatric respiratory medicine. St
Louis: Mosby; 2008:235-40.
3. Pedersen S, Dubusb JC, Cromptonc G. The ADMIT series – Issues in Inhalation
Therapy. Inhaler selection in children with asthma. Prim Care Respi J. 2010;19:20916.
4. Maheswari U. Aerosol therapy. Pulm Crit Care Bull. 2001;7:3.
5. Khilnani GC, Banga A. Aerosol therapy. Indian J Chest Dis Allied Sci. 2008;50:20919.
6. Laube BL, Janssens HM, de Jongh FHC, Devadason SG, Dhand R, Diot P, dkk.
What the pulmonary specialist should know about the new inhalation therapies.
Eur Respir J. 2011;37:1308-31.
7. Lavorini F. The challenge of delivering therapeutic aerosols to asthma patients.
ISRN Allergy. 2013;2013:1-17.
8. Hess DR. Nebulizers: principles and performance. Respir care. 2000;45:609-22.
9. Smith C, Goldman RD. Nebulizers versus pressurized metered-dose inhalers in
preschool children with wheezing. Canadian Fam Phys. 2012;58:528-30.
10. Lannefors L. Inhalation therapy: practical considerations for nebulization therapy.
Physical Therapy Reviews. 2006;11:21–7.
11. Hess DR, Myers TR, Rau JL. A guide to aerosol delivery devices. New York:
American Association Respiratory Care. 2007. H.1-38.
12. Muchão FP, Filho LVRFdS. Advanced in inhalation therapy in pediatric. Jornal
de Pediatria. 2010;86(5):367-76.
13. Johnson D. Croup. Clinical evidence. 2009;3:321.
14. Balsamo R, Lanata L, Egan CG. Mucoactive drugs. Eur Respir Rev. 2010;19:127-33.
15. Alamoudi OS. Pitfalls of inhalation technique in chronic asthmatic. Effect of
education program and correlation with peak expiratory flow. Saudi Med J.
2003;24:1205-9.
30
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pitfalls (Kekeliruan) Penggunaan Terapi Inhalasi pada Kasus Respirologi Anak
16. Dhuper S, Chandra A, Ahmed A, Bista S, Moghekar A, Verma R, dkk. Efficacy
and cost comparisons of bronchodilator administration between metered dose
inhaler with disposable spacers and nebulizers for acute asthma treatment. J Emerg
Med. 2011;40:247-55.
17. Nuhoglu Y, Bahceciler NN, Barlan IB, Basaran MM. The effectiveness of high
dose inhaled budesonode therapy in the treatment, of acute asthma exacerbation
in children. Ann Allergy Asthma Immunol. 2001;86:318-22.
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
31
Pitfalls Penggunaan Terapi Inhalasi
Luh Karunia Wahyuni
Tujuan:
1. Memahami tujuan terapi inhalasi dengan nebulizer
2. Memahami jenis, prinsip kerja, kelebihan dan kekurangan
masing-masing alat nebulizer
3. Memahami perlunya tindakan lain pasca-nebulisasi pada kasuskasus yang memerlukan pembersihan jalan napas, perbaikan
biomekanik pernapasan, peningkatan kapasitas fungsional
respirasi
Pendahuluan
Aplikasi pemberian obat melalui inhalasi pada prinsipnya adalah pemberian obat
dalam bentuk aerosol ke dalam saluran pernapasan dalam jangka waktu 5-15
menit. Secara umum, ada 3 jenis alat yang digunakan yakni metered dose inhalers
(MDIs), dry powder inhaler (DPIs) dan nebulizer. Pada makalah ini pembahasan
akan difokuskan pada aplikasi pemberian obat dengan nebulizer. Kata nebulizer
berasal dari bahasa latin nebula, pertama kali digunakan pada tahun 1872 dan
didefinisikan pada tahun 1874 sebagai an instrument for corverting liquid drug
into a wet mist.
Aplikasi secara langsung pada sistem respirasi cukup efektif pada tata
laksana berbagai penyakit yang melibatkan fungsi respirasi, memungkinkan
tingginya konsentrasi obat yang dapat diarbsorpsi dengan onset kerja yang lebih
cepat dan efek samping yang minimal dibandingkan dengan penggunaan obat
tersebut secara sistemik. Di samping itu, efektifitas deposit obat intra- bronkhial
lebih terjamin, dapat digunakan pada kasus eksaserbasi akut serta dapat
dilakukan dengan cara yang sederhana sehingga memudahkan penggunaannya
oleh pasien atau pelaku rawat atau orangtua.
Seperti diketahui, paparan udara yang dingin dan kering terhadap jalan
napas dapat mengganggu keseimbangan lapisan cairan dan merusak struktural
jalan napas yang bersifat jangka pendek atau menetap. Pada tahap selanjutnya
akan meningkatkan produksi dan mengentalkan mukus, mengurangi motilitas
silia, dan meningkatkan iritabililitas jalan napas. Oleh karena itulah, untuk
tujuan humidifikasi dilakukan penambahan air pada pemberian terapi inhalasi
32
Pitfalls Penggunaan Terapi Inhalasi
yang tujuannya mempertahankan suhu dan kelembaban fisiologis menyerupai
udara normal yang biasa kita hirup. Pada proses pemberian terapi inhalasi
dengan nebulizer, obat akan diuapkan dan suhu akan disamakan dengan suhu
ruangan (22OC) dengan 50% relative humidity (RH) atau kelembaban absolut
10 mg/L (Gambar 1).
Gambar 1. Suhu dan humidifikasi yang normal pada jalan napas
Efektivitas terapi inhalasi dengan nebulizer
Penggunaan dan efektivitas terapi inhalasi dengan nebulizer bergantung pada
beberapa faktor di antaranya karakteristik obat inhalasi (ukuran, bentuk,
densitas, tahanan permukaan partikel obat), anatomi saluran respirasi, teknik
inhalasi pasien serta alat nebulizer. Ukuran partikel yang dihasilkan oleh alat
nebulizer tergantung pada kandungan obat dan kecepatan aliran. Makin
meningkat kecepatan aliran, makin kecil ukuran partikel. Partikel berukuran
>10 µm dan >15 µm akan terdeposisi di hidung dan orofaring. Partikel
berukuran 5-10 µm akan terdeposisi di jalan napas antara mulut dan saluran
napas bawah. Sedangkan partikel berukuran 1-5 µm akan terdeposisi di saluran
napas bawah. Ukuran partikel ini adalah yang paling cocok untuk obat-obatan
aerosol.
Alat nebulizer
Alat nebulizer merupakan alat untuk merubah cairan obat menjadi bentuk kabut
uap (aerosol) sehingga dapat diinhalasi ke dalam saluran napas dan paru-paru.
Secara umum terdapat tiga jenis nebulizer yaitu jet nebulizer, ultrasonic nebulizer,
vibrating mesh technology (VMT)
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
33
Luh Karunia Wahyuni
Jet nebulizer
Menggunakan kompressor untuk memompa udara dengan tekanan yang tinggi,
sebagian besar obat akan diubah menjadi partikel berukuran 1-5 µm. Nebulizer
jenis ini merupakan jenis nebulizer yang paling banyak digunakan di rumah
sakit, terutama untuk pasien yang tidak dapat menggunakan inhaler. Nebulizer
jenis ini memiliki operational cost yang paling rendah, namun menghasilkan
suara yang berisik saat digunakan.Cara kerja alat ini adalah mengalirkan udara
bertekanan tinggi melalui lubang kecilum7 j. Udara akan dipompa melalui
lubang yang sempit. Setelah keluar dari lubang, tekanan menjadi rendah dan
kecepatan menjadi tinggi. Proses ini menyebabkan terbentuknya aerosol. Aerosol
akan menabrak baffle. Partikel besar akan tertahan dan kembali ke reservoir
sementara partikel kecil akan tetap berada dalam udara dan mengalir keluar
dari nebulizer (Gambar 2).
Gambar 2. Jet nebulizer dan bagian-bagiannya
Keterangan Gambar Jet nebulizer
1. Mouthpiece
2. Power switch (on/off)
3. Air tubing connector
4. Pump filter (filter and filter cover)
5. Jet air nebulizer (nebulizer medication cup)
6. Air tubing
7. AC power cord
8. Nebulizer clip
9. Compressor
Ultrasonic nebulizer
Cara kerja nebulizer ini adalah vibrasi kristal piezoelektrik pada frekuensi tinggi,
yang akan mengubah energi listrik menjadi gelombang suara. Gelombang suara
akan menciptakan gelombang pada cairan obat yang berkontak langsung dengan
transduser sehingga cairan obat akan membentuk droplet. Frekuensi vibrasi
34
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pitfalls Penggunaan Terapi Inhalasi
akan mempengaruhi besar partikel yang terbentuk. Semakin tinggi frekuensi,
semakin kecil partikel yg terbentuk. Frekuensi 1,35-1,5 MHz menghasilkan
ukuran partikel 1-10 μm (rerata 3 μm). Ultrasonic nebulizer menghasilkan output
(0,5–7 ml/mnt) dan densitas aerosol yg lebih besar dari jet nebuliser. Ultrasonic
nebulizer akan meningkatkan suhu 15 oC dalam 15 menit, yang selanjutnya akan
meningkatkan konsentrasi obat dan denaturasi protein (Gambar 3).
Gambar 3. Ultrasonic nebulizer dan bagian-bagiannya
Vibrating mesh technology (VMT)
Pada tahun 2005 diciptakan ultrasonic vibrating mesh technology nebulizer.
Nebulizer jenis ini menggunakan mesh atau plate yang memiliki lubang-lubang
kecil (sekitar 4000 lubang). Kristal pizoelektrik bergetar pada frekuensi tinggi
ketika terdapat aliran listrik. Vibrasi diteruskan ke vibrating horn yang berkontak
dengan cairan obat. Vibrasi memaksa cairan melewati lubang di plate sehingga
terbentuk aerosol. Penggunaan nebulizer jenis ini lebih efisien karena waktu
terapi yang lebih pendek (Gambar 4).
Gambar 4. Mesh nebulizer dan bagian-bagiannya
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
35
Luh Karunia Wahyuni
Tabel 1.Tipe alat nebulizer, keuntungan dan kerugiannya
Jenis nebulizer
Jet Nebulizer
Keuntungan
• Tidak membutuhkan kerjasama
dengan pasien
• Efektif digunakan saat tidal
breathing
• Dapat diberikan dosis obat besar
• Memungkinkan pemberian
beberapa obat secara bersamaan
• Dapat digunakan bersamaan
dengan pemberian oksigen
Ultrasonic Nebulizer • Tidak membutuhkan koordinasi
dengan pasien
• Memungkinkan pemberian obat
dalam dosis besar
• Dead volume pada nebulizer lebih
sedikit
• Tidak berisik
• Waktu penggunaan lebih
singkat dibandingkna dengan jet
nebulizer
• Jumlah obat yang hilang saat
ekshalasi lebih sedikit
Mesh Nebulizer
• Tidak membutuhkan koordinasi
pasien
• Efektif digunakan saat tidal
breathing
• Dapat diberikan dosis obat besar
• Dead volume pada nebulizer lebih
sedikit
• Tidak berisik
• Waktu penggunaan lebih
singkat dibandingkna dengan jet
nebulizer
• Jumlah obat yang hilang saat
ekshalasi lebih sedikit
• Tidak membutuhkan sumber
listrik (menggunakan baterai)
• Portable
• Dose reproducibility lebih besar
Kerugian
• Mahal
• Alat tidak portable
• Membutuhkan sumber gas
bertekanan
• Waktu penggunaan lama
• Memungkinkan adanya
kontaminasi
• Membutuhkan persiapan alat
sebelum pemakaian
• Tidak semua obat tersedia dalam
bentuk solution‘
• Mahal
• Memungkinkan adanya
kontaminasi
• Dapat terjadi degradasi obat
• Tidak dapat mengubah obat dalam
bentuk suspensi dengan baik
• Membutuhkan persiapan alat yang
lebih banyak sebelum pemakaian
• Dapat menyebabkan iritasi jalan
napas
• Mahal
• Memungkinkan adanya
kontaminasi
• Membutuhkan persiapan alat
sebelum pemakaian
• Tidak semua obat tersedia dalam
bentuk solution
Pada saat nebulisasi perlu dilakukan pemantauan terhadap tanda vital,
saturasi oksigen dan auskultasi suara paru. Pengukuran saturasi oksigen
menggunakan pulse oxymeter diperlukan untuk melihat efektivitas terapi inhalasi.
Tabel 1 mencantumkan kelebihan dan kekurangan tiap-tiap jenis alat nebulizer.
Tata laksana rehabilitasi medik paru pada anak
Terapi nebulisasi tidak selalu merupakan terapi yang berdiri sendiri. Terapi ini
perlu dikombinasi dengan terapi lainnya bila tujuannya untuk meningkatkan
36
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pitfalls Penggunaan Terapi Inhalasi
proses pembersihan jalan napas, memperbaiki biomekanik pernapasan,
mempertahankan atau meningkatkan kapasitas fungsional respirasi. Misalnya
pada pemberian nebulisasi obat mukolitik yang berdampak meningkatkan
sekresi mukosa saluran pernapasan, mendegradasi mukoprotein sehingga mukus
menjadi lebih encer, serta gerak mukosiliari dan mobilisasi sekret lebih mudah
maka tindakan nebulisasi harus dilanjutkan dengan tindakan lain agar proses
pembersihan jalan napas menjadi optimal.
Penting diketahui bahwa tindakan rehabilitasi medik paru pada anak
merupakan suatu rangkaian proses tindakan yang meliputi airway clearence
technique (yakni drainase postural, perkusi, vibrasi, huffing dan latihan batuk
efektif atau suction); latihan perbaikan biomekanik pernapasan (yakni perbaikan
kontrol postur, latihan pernapasan, relaksasi otot pernapasan dengan modalitas
fisik terapi panas atau tehnik manipulasi tertentu, latihan batuk efektif) serta
tehnik perbaikan kapasitas fungsional paru melalui terapi latihan yang pada
prinsipnya bertujuan mengembalikan kapasitas fungsionsl fisik agar mampu
melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari dan bermain secara optimal. Seperti
pada contoh kasus berikut ini, pada anak dengan refleks batuk yang tidak adekuat
atau pada pasien yang tidak dapat batuk dengan baik maka pengeluaran sekret
akan sulit sehingga penumpukan sekret pada jalan napas justru akan berbahaya
karena dapat mengobstruksi jalan napas. Pada kondisi ini anak memerlukan
bantuan drainase postural untuk mempermudah pengeluaran sekret tersebut.
Drainage postural bertujuan membantu mengeluarkan sputum dengan
memanfaatkan gaya gravitasi dengan cara memposisikan tubuh pada posisi
tertentu. Masing-masing posisi akan mengalirkan dahak dari lobus paru yang
berbeda. Sputum akan dapat lebih mudah dibatukkan atau dikeluarkan lewat
mulut.
yy
Lobus paru bawah (Gambar 5).
Gambar 5. Teknik drainase postural pada lobus paru bawah
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
37
Luh Karunia Wahyuni
yy
Lobus paru atas (Gambar 6).
Gambar 6. Teknik drainase postural pada lobus paru atas
Di bidang layanan rehabilitasi medik, terapi nebulisasi juga diberikan pada
pasien dengan disabilitas, karena penggunaan nebulizer dapat menghantarkan
obat secara pasif pada saat pasien bernapas. Namun, yang perlu diperhatikan
pada pemberian terapi inhalasi pada pasien dengan disabilitas adalah pada
proses persiapan, dan pemantauan keadaan umum sebelum dilakukan terapi,
saat dilakukan terapi dan setelah terapi, serta perlu dipertimbangkan tindakan
sesudahnya.
Simpulan
Terapi inhalasi dengan nebulizer merupakan aplikasi secara langsung pemberian
obat dalam bentuk aerosol kedalam saluran pernapasan. Perlu dipahami dengan
baik jenis, cara kerja, kelebihan dan kekurangan masing-masing alat nebulizer
sehingga pengobatan dengan cara ini dapat berhasil optimal. Pada kondisi
tertentu terapi ini harus dibarengi dengan terapi fisik lain agar tercapainya tujuan
pembersihan jalan napas, perbaikan biomekanik pernapasan serta peningkatan
kapasitas fungsional respirasi.
Daftar pustaka
1. Hess DR. Humidity and aerosol therapy. Dalam: Hess DR, Mac Intyre NR, Mishoe
SC, penyunting. Respiratory care principles and practice. Edisi ke-2. Jones and
Bartlett Learning; 2012. h. 303-36.
2. Ritter et.al. Textbook of clinical pharmacology and therapeutics.Edisi ke-5. 2008.
h. 223
3. Wahyuni L dkk. Terapi inhalasi. Layanan Kedokteran Fisik Dan Rehabilitasi. PB
PERDOSRI; 2013. h. 262-3.
4. Wahyuni L. Dkk. Layanan Kedokteran Fisik Dan Rehabilitasi, Airway Clearence
Technique. PB PERDOSRI; 2013. h. 254-61.
38
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pitfalls Penggunaan Terapi Inhalasi
5. Pahwa Rakesh, et al. Nebulizer therapy: A platform for pulmonary drug delivery.
Pelagia research library; 2012.
6. Boe, et al. European Respiratory Society Guidelines on the use of nebulizers
Guidelines prepared by a European Respiratory Society Task Force on the use of
nebulizers. European Respiratory Journal. 2001;18: 228–42.
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
39
Premedikasi Transfusi Darah:
Kapan Diperlukan?
Teny Tjitra Sari
Tujuan:
1. Mengetahui indikasi pemberian premedikasi transfusi darah
2. Mengetahui obat yang digunakan untuk premedikasi transfusi
darah
Pada beberapa keadaan, pemberian transfusi darah sering diperlukan dalam
perawatan pasien kita sehari-hari. Salah satu hal yang mengganggu pemberian
transfusi darah adalah reaksi transfusi. Reaksi transfusi yang paling sering
ditemukan adalah febrile non-hemolytic transfusion reaction (FNHTR) dan reaksi
alergi. Insidens FNTHR akibat transfusi sel darah merah mencapai 0.1 – 7
% dan akibat transfusi trombosit mencapai 0,2%.1 Reaksi alergi terjadi pada
0.03 – 0.61% transfusi sel darah merah, 0,3 – 6% transfusi trombosit dan 1-3%
transfusi plasma.2Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM tahun 2012
didapatkan angka kejadian urtikaria (14/23) dan FNTHR (6/23).Reaksi alergi
akibat transfusi lebih sering ditemukan pada transfusi trombosit dibanding sel
darah merah.3
Febrile non-hemolytic transfusion reaction (FNTHR)
Febrile non-hemolytic transfusion reaction (FNTHR) didefinisikans sebagai (1)
suhu meningkat > 1 0C yang berhubungan dengan transfusi, (2) tidak dapat
dihubungkan dengan etiologi lain dan (2) dapat berupa gejala menggigil,
rigor, merasa dingin atau tidak nyaman.1Terdapat 2 mekanisme terjadinya
FNTHR yang dihubungkan dengan leukosit. Mekanisme pertama adalah
adanya akumulasi leukocyte-derived cytokines (interleukin IL-1β, IL-6, IL-8)
dan tumor necrosis factor-α (TNF-α) di supernatan yang lebih sering terjadi
pada penyimpanan suhu ruangan. Hal ini lebih sering terjadi pada transfusi
trombosit. Oleh karena itu, mekanisme pertama tidak dapat diatasi dengan
pemberian produk leukoreduksi.1,4Mekanisme kedua melibatkan antibodi
leukosit dan sering berhubungan dengan transfusi sel darah merah. Terjadi
40
Premedikasi Transfusi Darah: Kapan Diperlukan?
kompleks antigen-antibodi leukosit resipien dan donor yang berakibat pelepasan
endotoksin sehingga terjadi demam. Pemberian produk darah leukoreduksi tidak
menghilangkan kejadianFNTHR pada pemberian transfusi sel darah merah
(kurang lebih 0,2%) dan transfusi trombosit (1%), sehingga dipikirkan adanya
mekanisme lain yang berperan.1
Reaksi alergi akibat transfusi
Reaksi alergi akibat transfusi ditegakkan bila timbul urtikaria, pruritus, mengi
atau angioedem saat pemberian hingga 3 jam pasca transfusi.5 Mekanisme
terjadinya reaksi alergi akibat transfusi masih sedikit diketahui. Reaksi alergi
biasanya berupa reaksi hipersensitifitas tipe I yang dimediasi IgE. Sel TH2
mensekresi IL-4 dan IL-13, yang mestimulasi sel B untuk mengubah produksi
IgM menjadi IgE. IgE akan berikatan dengan sel mast dan basofil melalui reseptor
Fc IgE. Bila ada alergen berikatan dengan sel yang terikat IgE, sel mast akan
teraktivasi dan melepaskan anafilaktosin berupa mediator seperti histamin,
heparin, leukotrien, platelet-activating factor, sitokin dan kemokin. Mediator akan
mengakibatkan masuknya sel dan cairan ke jaringan sehingga terjadi reaksi alergi
di kulit, traktus respiratorius, kardiovaskular dan gastrointestinal.2,6 Mekanisme
lainnya adalah transfer pasif antibodi IgE, aktivasi sel mast oleh anafilatoksin
komplemen dan adanya transfusi produk darah yang tinggi kadar histamin.6
Premedikasi
Tindakan untuk mencegah timbulnya reaksi transfusi disebut premedikasi.
Di Amerika Serikat, tindakan premedikasi berkisar 50-80%.6 Hingga saat ini,
tindakan premedikasi masih sering terjadi kontroversi.
Wang dkk (2002) meneliti pemberian asetaminofen 650 mg ditambah
difenhidramin 25 mg pada pasien onkologi dewasa dan memperlihatkan
tidak ada perbedaan jumlah FNTHR pada pasien yang diberikan premedikasi
(15,2%) dibanding plasebo (15,4%).7 Sanders dkk (2005) juga menunjukkan
tidak ada perbedaan kejadian reaksi transfusi setelah pemberian premedikasi.
Kejadian FNTHR tidak berbeda pada kelompok yang diberikan premedikasi
asetaminofen (0,95%) dibanding plasebo (0,53%). Reaksi alergi akibat transfusi
juga tidak berbeda pada kelompok premedikasi difenhidramin (0,9%) dibanding
plasebo (0,56%).8 Review oleh Geiger dkk (2007) dan Tobian dkk (2007)
memperlihatkan premedikasi rutin tidaklah efektif.4,6Walau demikian, pemberian
premedikasi untuk populasi tertentu masih memerlukan penelitian lebih
lanjut.4Hanya penelitian Ezidegwu dkk (2004) yang memperlihatkan adanya
pengaruh besar pemberian asetaminofen sebagai premedikasi. Angka kejadian
FNTHR hanya sebesar 0,09%.9 Walau banyak penelitian yang memperlihatkan
premedikasi tidak efektif mencegah reaksi transfusi, namun hal ini harus hatiIkatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
41
Teny Tjitra Sari
hati dicermati karena adanya bias yang besar pada penelitian-penelitian tersebut.
Pada daerah yang sulit mendapatkan produk darah leukoreduksi, premedikasi
tetap dapat memberikan manfaat mencegah reaksi transfusi.10
Pencegahan FNTHR
Secara umum, pencegahan FNTHR hanya diperlukan bila pasien telah
mengalami 2 atau lebih episode reaksi febris akibat transfusi. Kejadian FNTHR
dapat dicegah dengan memberikan komponen darah rendah leukosit. Filter
leukoreduksi saat pemrosesan di Bank Darah dapat mengurangi leukosit hingga
mencapai kurang dari 106 /uL. Alternatif lain, komponen darah dipersiapkan
dengan cara metode aferesis. Tindakan reduksi leukosit menggunakan filter
bedside dapat efektif mengurangi kejadian FNTHR akibat aloimunisasi
leukosit, tetapi tidak dapat mencegah FNTHR akibat akumulasi sitokin saat
penyimpanan.5
Paglino dkk memperlihatkan pengaruh penggunaan produk darah
leukoreduksi terhadap timbulnya reaksi transfusi. Kejadian FNTHR akibat
transfusi sel darah merah menurun dari 0,34% menjadi 0,18%. Sedangkan
kejadian FNTHR akibat transfusi trombosit menurun dari 2,18% menjadi
0,15%.11
Bila tindakan leukoreduksi tidak dapat dilakukan, maka dapat diberikan
premedikasi untuk mencegah FNTHR. 10 Premedikasi untuk mencegah
FNTHR adalah asetaminofen dengan dosis 10-15 mg/kg, oral.6 Bila pasien
tetap mengalami FNHTR walaupun sudah menggunakan premedikasi dan
komponen darah leukoreduksi, dapat dicoba pemberian komponen darah cuci.
Tindakan pencucian untuk menghilangkan sisa plasma dan leukosit dilakukan
menggunakan 1 unit darah merah dengan 1-2 liter salin normal.5
Pencegahan reaksi alergi akibat transfusi
Pagliano dkk memperlihatkan tidak ada peran produk darah leukoreduksi
terhadap kejadian reaksi alergi akibat transfusi pada pemberian transfusi
sel darah merah dan trombosit (p>0,05).11Pada umunya, pasien yang tidak
mempunyai riwayat alergi, tidak dianjurkan memberikan premedikasi.
Sebaliknya, premedikasi pada pasien yang mempunyai riwayat alergi masih
terus diperdebatkan. Sebagian besar ahli tetap tidak menganjurkan premedikasi
disebabkan lebih banyak kerugian dibanding keuntungannya. Obat yang
diberikan untuk premedikasi reaksi alergi akibat transfusi adalah antihistamin
H1 reseptor yaitu difenhidramin. Salah satu kerugiannya adalah kemampuan
difenhidramin menembus sawar darah-otak sehingga menimbulkan sedasi,
mengantuk, mulut kering, dan retensi urin.6
42
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Premedikasi Transfusi Darah: Kapan Diperlukan?
Wong-Sefidan dkk. merekomendasikan pemberian premedikasi pada pasien
dengan riwayat alergi berdasarkan risiko. Risiko rendah bila didapatkan kurang
dari 1 reaksi alergi ringan (tanda dan gejala mukokutan yang hilang dengan
terapi). Risiko tinggi bila pernah terjadi reaksi alergi ringan multipel, atau reaksi
alergi sedang – berat. Untuk risiko rendah, pasien diberikan antihistamin setirizin
oral 30 menit sebelumnya. Pasien risiko tinggi diberikan antihistamin oral yang
dapat disertai ranitidin dan bila perlu disertai dengan kortikosteroid.12Eder
merekomendasikan jenis premedikasi diberikan berdasarkan riwayat reaksi
alergi sebelumnya (Tabel 1.)
Tabel 1. Premedikasi yang diberikan berdasarkan riwayat reaksi alergi5
Riwayat reaksi alergi
Ringan
(gatal, urtika)
Sedang hingga berat
(urtika, hipotensi, rash dan edem
generalisata, gangguan respirasi atau
gastrointestinal)
Berat*
(syok anafilaksis)
Premedikasi
Difenhidramin, oral atau IV dosis 1 – 1,5 mg/kg (maksimal
50 mg) minimal 30 menit sebelum transfusi.
Difenhidramin
Dapat ditambah kortikosteroid pada 6-12 jam sebelum
transfusi, dapat berupa :
- Metilprednison 1 mg/kg IV
- Hidrokortision 1 mg/kg IV
- Prednison 1 mg/kg oral
Regimen agresif dengan antihistamin dan kortikosteroid
sejak 12 jam sebelum transfusi dan dilanjutkan setelah
transfusi
* bila perlu, transfusi darah dihindari
Tindakan untuk mengurangi sisa plasma tetap dilakukan untuk mencegah
reaksi alergi akibat transfusi seperti pencucian dengan salin normal. Bila pasien
mempunyai riwayat syok anafilaksis, transfusi darah dihindari sedapat mungkin,
Bila memungkinkan, dapat diberikan transfusi darah autologus, komponen
darah cuci atau jenis IgA-deficient donors.5
Kesimpulan
Premedikasi terhadap FNTHR hanya diberikan bila pasien telah mengalami 2
atau lebih episode FNTHR. Premedikasi terhadap reaksi alergi hanya diberikan
bila pasien mempunyai riwayat reaksi alergi. Premedikasi hanya diberikan bila
produk darah leukoreduksi tidak dapat diperoleh. Obat yang digunakan untuk
premedikasi mencegah FNTHR adalah asetaminofen. Obat yang digunakan
untuk premedikasi mencegah reaksi alergi akibat transfusi adalah difenhidramin
dan kortikosteroid
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
43
Teny Tjitra Sari
Daftar pustaka
1. Josephson CD. Febrile non-hemolytic transfusion reactions. Dalam: Hillyer CD,
Shaz BH, Zimring JC, Abshire TC. Transfusion medicine and hemostasis: clinical
and laboratory aspects. Edisi ke-1. London: Elsevier Inc; 2009. h. 309-10.
2. Shaz BH. Allergic, anaphylactoid and anaphylactic reactions. Dalam: Hillyer CD,
Shaz BH, Zimring JC, Abshire TC. Transfusion medicine and hemostasis: clinical
and laboratory aspects. Edisi ke-1. London: Elsevier Inc; 2009. h. 311-5.
3. Fairuza F, Sjakti HA. Characteristic of transfusion reaction in children receiving
blood transfusion in Cipto Mangunkusumo Hospital. Paediatr Indones.
2012;52:108.
4. Geiger TL, Howard SC. Acetaminophen and diphenhydramine premedication for
allergic and febrile non-hemolytic transfusion reaction: good prophylaxis or bad
practice?. Transfus Med Rev. 2007;21:1-12.
5. Eder AF. Transfusion reactions. Dalam: Hillyer CD, Strauss RG, Luban NLC,
penyunting. Handbook of pediatric transfusion medicine. San Diego: Elsevier
Academic Press; 2004. h. 301-15.
6. Tobian AAR, Kings KE, Ness PM. Transfusion premedications: a growing practice
not based on evidence. Transfusion. 2007;47:1089-96.
7. Wang SE, Lara PN Jr, Lee-Ow A, Acetaminophen and diphenhydramine as
premedication for platelet transfusion: A prospective randomized double-blind
placebo-controlled trial. Am J Hematol. 2002;70:191-4.
8. Sanders RP, Maddirala SD, Geiger TL, Pounds S, Sandlund JT, Ribeiro RC, dkk.
Premedication with acetaminophen or diphenhydramine for transfusion with
leucoreduced blood products in children. British J Hematol. 2005;130:781-7.
9. Ezidiegwu CN, Lauenstein KJ, Rosales LG. Febrile nonhemolytic transfusion
reaction: Management by premedication and cost implicating in adult patients.
Arch Patol Lab Med. 2004:128:991-5.
10. Duran J, Siddique S, Cleary M. Effects of leukoreduction and premedication
with acetaminophen and diphenhydramine in minimizing febrile nonhemolytic
transfusion reaction and allergic transfusion reactions during and after blood
product administration: a literature review with recommendation. J Pediatr Oncol
Nurs. 2014 May 2;31:223-9.
11. Paglino JC, Pomper G, Fisch GS, Champion MH, Snyder EL. Reduction of febrile
but not allergic reactions to RBCs and platelets after conversion to universal
prestorage leukoreduction. Transfusion. 2004;44:16-24.
12. Wong-Sefidan I, Ale-Ali A, De-Moor P, Martinez S, Currin P, Lane T, Roeland E.
Implementing inpatient, evidence-based, antihistamin-transfusion premedication
guidelines at a single academic US hospital. J. Community Support Oncol.
2014:12:56-64.
44
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Substitusi Nutrien pada Alergi Susu Sapi
Aryono Hendarto
Tujuan:
1.
2.
3.
4.
Memahami pengertian alergi susu sapi
Memahami patofisiologi alergi susu sapi
Memahami tanda atau gejala alergi susu sapi
Memahami tata laksana alergi susu sapi
Definisi
Alergi susu sapi merupakan suatu reaksi tubuh yang diperantarai oleh sistem
imunologis terhadap satu atau lebih protein susu sapi. Protein susu yang paling
sering memicu reaksi alergi adalah b-laktoglobulin kesein atau whey dengan
berat molekul 18.600 dalton. Alergi susu sapi merupakan jenis alergi makanan
yang paling sering terjadi pada anak usia 1-3 tahun.1-3
Patofisiologi
Alergi susu sapi terjadi karena adanya respon imunologis terhadap protein susu
sapi yang dikenali sebagai antigen oleh sel imun tubuh. Biasanya, alergi susu
sapi berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang diperantarai oleh
imonoglobulen E (IgE). Namun demikian, alergi susu sapi juga dapat diakibatkan
oleh reaksi imunologis yang tidakdiperantarai oleh IgE ataupun proses gabungan
antara keduanya.1,2Sebesar 54% alergi susu sapi di mediasi oleh IgE, dan 46%
tidak dimediasi oleh IgE.3
Reaksi yang diperantarai oleh IgE terjadi dalam beberapa menit atau dalam
satu jam setelah konsumsi susu sapi (reaksi cepat). Gejala alergi yang terkait
dengan reaksi IgE termasuk urtikaria, diare, ekzema, rinitis, dan anafilaksis.
Sementara itu, gejala terkait dengan dengan non-reaksi IgE (reaksi lambat)
seperti muntah, konstipasi, hemosiderosis, malabsorbsi, atrofi vilus, proktokolitis
eosinofilik, enterokolitis, dan eosinofilik esofagitis dapat terjadi setelah satu jam
konsumsi susu sapi.2,3
Penting untuk membedakan alergi susu sapi dengan intoleransi laktosa.
Berbeda dengan alergi susu sapi yang disebabkan oleh respon imunologis,
intoleransi lakotosa sebabkan oleh reaksi non-alergi karena kekurangan enzim
45
Aryono Hendarto
laktase. Enzim ini dibutuhkan untuk mencerna laktosa yang merupakan gugus
gula utama pada susu.2,3
Epidemiologi
Insiden alergi protein susu sapi pada bayi berkisar antara 2 sampai 3 persen pada
negara berkembang. Gejala sugestif alergi protein susu sapi ditemukan pada
sekitar 5 sampai 15 persen bayi. Reaksi alergi terhadap susu sapi dilaporkan
terjadi pada sekitar 0.5% bayi yang diberikan air susu ibu (ASI). Sebagian besar
bayi dengan alergi protein susu sapi mengalami gejala sebelum usia 1 bulan,
bahkan sering terjadi dalam 1 minggu setelah pemberian formula protein susu
sapi.4,5
Gejala dan Tanda
Mayoritas bayi memiliki dua atau lebih gejala dari dua atau lebih sistem organ.
Sekitar 50- 60 % mengalami gejala pada kulit, 50- 60 % mengalami gejala
gastrointestinal, dan sekitar 20-30 % mengalami gejala respirasi. Gejala dapat
muncul dalam 1 jam setelah pemberian susu (reaksi cepat) atau setelah 1 jam
pemberian susu (reaksi lambat).4,5
Tabel 1. Gejala dan tanda terkait alergi susu sapi3
Gejala dan Tanda Terkait Alergi Susu Sapi
Gejala saluran cerna
Disfagia, dispepsia
Kolik, nyeri abdomen
Muntah, regurgitasi, mual
Anoreksia, menolak makan, cepat kenyang
Diare
Konstipasi
Gagal tumbuh
Kehilangan darah samar, anemia defisiensi besi
Impaksi makanan
Gejala saluran napas
Hidung berair
Batuk Kronik
Mengi atau stridor
Kesulitan bernapas
Gejala kulit
Urtikaria
Ekzema atopi
Angioderma
Gejala Umum
Anafilaksis
Gejala seperti syock dengan asidosis metabolik berat, diare, dan muntah
46
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Subtitusi Nutrien pada Alergi Susu Sapi
Diagnosis
Manifestasi klinis alergi susu sapi sangat bervariasi jenis dan derajat keparahannya
sehingga membuat diagnosis alergi susu sapi sulit dilakukan. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik sangat penting untuk mendapatkan informasi detail mengenai
usia, onset, gejala, dan riwayat penyakit. Pemeriksaan lainnya yang relevan untuk
mendiagnosis alergi susu sapi antara lain deteksi IgE spesifik susu (melalui uji
cukit kulit/skin prick test atau pemeriksaan serum), uji eliminasi diet, dan uji
provokasi. Pemeriksaan tersebut akan membantu dalam mendiagnosis alergi
susu sapi pada sebagian besar kasus.2
Secara umum uji cukit kulit dan serum IgE bersifat sensitif namun tidak
spesifik dalam mendiagnosis alergi makanan yang dimediasi oleh IgE.6 Kedua
uji ini hanya bersifat indikatif untuk alergi protein susu sapi. Uji eliminasi diet
dengan metode buta ganda/double blindkontrol dan uji provokasi merupakan
standar baku emas dalam mendiagnosis alergi susu sapi.5,7Perkembangan uji
diagnostik menggunakan teknologi epitop dan gelombang mikro berpotensi
untuk meningkatkan akurasi diagnostik alergi susu sapi di kemudian hari
dengan determinasi IgE spesifik yang melawan komponen alergen sepesifik
protein susu sapi.5
Prognosis
Alergi susu sapi memiliki prognosis yang baik dengan angka remisi berkisar
45- 50% dalam 1 tahun, 60-75% dalam 2 tahun, dan 85- 90% dalam 3 tahun.
Reaksi alergi terhadap makanan lain dapat berkembang pada 50% pasien dan
alergi terhadap zat inhalan dapat terjadi pada 50- 80% pasien sebelum pubertas.4,5
Tata laksana
Alergi protein susu sapi membutuhkan tata laksana yang tepat dan komperhensif.
Penanganan harus dilakukan segera setelah diagnosis ditegakkan untuk
menghindarai potensi gagal tumbuh yang dapat terjadi akibat asupan nutrisi
yang tidak memadai pada bayi. Imunoterapi dan subtitusi nutrisi merupakan
dua pilar penting dalam penanganan alergi protein susu sapi.
Imunoterapi
Modalitas penanganan terkini pada alergi susu sapi adalah imunoterapi oral
termasuk pemberian alergen susu sapi secara oral dengan tujuan desensitasi
dan berpotensi merangsang toleransi permanen protein susu sapi pada pasien.
Kombinasi imunoterapi oral dan eliminasi diet dapat meningkatkan angka
toleransi penuh terhadap susu sapi dibandingkan terapi eliminasi diet saja.
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
47
Aryono Hendarto
Imunoterapi oral dapat meningkatkan ambang batas reaksi terhadap protein
susu sapi, namun keamanan dan efikasi jangka panjangnya masih dipertanyakan.
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh imunoterapi termasuk gejala lokal,
spasme laring ringan, asma ringan, dan reaksi alergi lainnya. Terapi anti IgE
dengan omalizumab dapat meningkatkan keamanan dan efikasi imunoterapi
oral dan dan memberikan manfaat dalam monoterapi.5,8
Nutrisi
yy
Pada Bayi dengan ASI eksklusif
Pada bayi yang mendapat ASI eksklusif yang terdiagnosis mengalami alergi
susu sapi, ASI dapat tetap dilanjukan dengan eliminasi susu sapi dan produk
susu sapi lainnya dalam menu diet ibu hingga bayi berusia 9-12 bulan atau
setidaknya 6 bulan.1,7Setelah kurun waktu tersebut, uji provokasi dapat
diulang kembali.Apabila gejala tidak timbul kembali setelah uji provokasi,
berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat dicoba diberikan kembali.
Bila gejala timbul kembali setelah uji provokasi, maka eliminasi dilanjutkan
kembali selama 6 bulan dan uji provokasi dilakukan kembali setelah 6
bulan.1
yy
Pada Bayi dengan susu formula standar
Terapi dasar pada alergi susu sapi adalah menghindari pemberian susu sapi.
Pada bayi dengan alergi susu sapi yang mendapatkan susu formula standar,
baik secara ekslusif maupun sebagai tambahan ASI, ada beberapa alternatif
pilihan subtitusi nutrien yang dapat diberikan, antara lain:
–– Formula asam amino (AAF)9
–– Formula terhidolisis parsial (pHF)10
–– Formula terhidrolisis ekstensif (eHF), baik kasein ataupun whey11
–– Formula hidrolisis protein beras12
–– Fomula berbasis protein ayam13
–– Formula kedelai14
–– Susu mammalia lainnya15
Formula terhidrolisat
Formula terhidrolisat merupakan salah satu pilihan subtitusi nutrien pada bayi
dengan alergi susu sapi. Formula terhidrolisat dapat dibagi menjadi formula
terhidrolisat parsial dan formula terhidrolisat ekstensif. Selain itu, beberapa jenis
formula hidrolisat lainnya seperti formula hidrolisat dengan dasar protein beras
dan ayam telah ditelitisebagai subtitusi nutrien pada alergi susu sapi.
Sejauh ini, formula terhidrolisat ekstensif (eHF) merupakan subtitusi
nutrien yang paling direkomendasikan pada bayi dengan alergi susu sapi derajat
ringan dan sedang dibawah usia 6 bulan.5,7,16 Fomula terhidrolisat sempurna
48
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Subtitusi Nutrien pada Alergi Susu Sapi
dapat ditoleransi dengan baik pada bayi dengan alergi susu sapi karena
berat molekulnya yang rendah (< 3000 dalton).17Namun demikian, formula
terhidrolisat sempurna tidak terbukti mencegah alergi dibandingkan pemberian
ASI eksklusif.18Walaupun sebagian besar bayi akan mentoleransi semua protein
hidrolisat, hal-hal berikut harus dipertimbangkan ketika memilih eHF untuk
pasien:
yy Sumber protein. Formula hidrolisat dapat berdasar protein whey atau kasein
dari susu sapi atau dapat berasal dari soya. Formula terhidrolisat ekstensif
baik yang berasal dari whey maupun kasein memiliki efektivitas yang sama
sebagai subtitusi nutrien pada bayi dengan alergi susu sapi.2,11
yy Ukuran peptida. Ukuran peptida yang lebih besar dikaitkan dengan
alergenisitas yang lebih besar. Oleh karena itu, hidrolisat dengan ukuran
peptida di bawah 1000 dalton lebih dipilih untuk mengurangi kemungkinan
alergi.
yy Rasa. Protein hidrolisat memiliki rasa yang pahit. Perbedaan rasa terkait
dengan sumber protein dasar, derajat hidrolisasi, dan ada-tidaknya
kandungan laktosa. Rasa dapat mempengaruhi pemilihan formula terutama
pada bayi yang lebih besar.2
Formula terhidrolisat parsial tidak direkomendasikan pada kasus alergi
susu sapi karena memiliki sifat alergenik dan antigenik derajat tinggi karena
berat molekulnya yang lebih besar (3000-10.000 dalton).5 Namun demikian,
formula terhidrolisat sebagian dapat digunakan sebagai alternatif tata laksana
diet pada gejala fungsional saluran cerna biasa.10 Selain pada kasus alergi susu
sapi, pada bayi berisiko tinggi, ketika ASI tidak memungkinkan untuk diberikan,
formula terhidrolisat terbukti aman dan bermanfaat diberikan pada bayi usia
4 hingga 6 bulan.19
Jenis formula hidrolisat lainnya seperti formula hidrolisat protein beras
(HRPF) dan protein ayam belum terlalu popular dan masih sedikit penelitian
yang dilakukan dengan menggunakan formula ini. Sebuah penelitian di Spanyol
menunjukkan bahwa pada bayi dengan alergi susu sapi yang dimediasi oleh IgE,
pemberian formula HRPF ditoleransi dengan baik oleh lebih dari 90% bayi
dengan alergi susu sapi sehingga dapat dijadikan formula alternatif.12 Sementara
itu, formula bebasis protein ayam dalam sebuh penelitian di Thailand terbukti
memiliki toleransi yang lebih baik dibandingkan formula terhidrolisis ekstensif
dalam manajemen alergi susu sapi pada bayi.13
Formula asam amino
Formula asam amino (AAF) merupakan salah satu alternatif subtitusi nutrien
pada bayi dengan alergi susu sapi. Asam amino pada AAF tersedia untuk anak di
atas 1 tahun dan bermanfaat ketika bayi dengan alergi susu sapi yang memenuhi
kriteria untuk diberikan AAF membutuhkan tambahan energi, kalsium, dan
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
49
Aryono Hendarto
besi.2 Formula asam amino cocok sebagai terapi lini pertama pada alergi susu
sapi, namun karena harganya yang mahal formula ini lebih diutamakan pada
kasus-kasus berikut:
yy Alergi makanan multipel
yy Alergi susu sapi berat
yy Gejala alergi atau ekzema atopi berat ketika diberikan ASI eksklusif
yy Onset berat dari alergi susu sapi yang tidak dimediasi IgE seperti esinofilik
esofagitis
yy Alergi susu sapi dengan gagal tumbuh2,5,7,16
yy Reaksi intoleransi atau penolakan terhadap eHF atau tidak memperlihatkan
perbaikan gejala setelah pemberian eHF.5,7
Sebuahreview sistematik menyimpulkan bahwa bayi dengan alergi susu sapi
pada kelompok khusus (seperti sindrom gastroenterokolitis-proktitis yang
disebabkan oleh makanan dengan gejala gagal tumbuh, ekzema atopi, atau
gejala lain selama pemberian ASI ekslusif) secara umum lebih baik diberikan
formula asam amino dibandingkan dengan formula terhidrolisat ekstensif yang
berpotensi menimbulkan intoleransi. Pada keadaan tersebut, gejala yang tetap
terjadi dengan pemberian formula terhidrolisat ekstensif berkurang dengan
pemberian formula asam amino dan kejar tumbuh dapat terlihat.9
Formula protein kedelai
Formula protein kedelai secara nutrisi adekuat sebagai subtitusi walaupun tidak
memberikan manfaat nutrisi yang lebih tinggi dibandingkan formula susu sapi.
Protein kedelai memiliki bioavailabilitas yang lebih rendah dibandingkan protein
susu sapi dan memilki jumlah asam amino esensial metionin dan karnitin yang
lebih rendah. Oleh karena itu, formula protein kedelai harus ditambahkan
beberapa komposisi lain untuk memastikan jumlah kandungan protein pada
formula kedelai lebih besar dari formula susu sapi (2.25 g/ 100 kkal dibanding
1.8 g/100 kkal). Suplementasi metionin dan karnitin juga direkomendasikan.2,14
Fitoestrogen secara natural terdapat pada pada bahan yang berasal dari
tumbuhan yang memiliki aktivitas estrogenik lemah. Fitoestrogen utama
pada kedelai adalah isoflavon yang terdapat pada protein kedelai dengan
komposisi yang jauh lebih tinggi dibandingkan ASI. Dosis tinggi fitoestrogen
pada penelitian hewanmenujukkan efek samping pada perkembangan organ
reproduksi dan fertilitas. Tidak ada bukti yang jelas efek serupa terjadi pada
manusia karena data yang terbatas, namun demikian sebagai pencegahan,
formula kedelai tidak direkomendasikan sebagai subtitusi nutrien pada bayi
dibawah 6 bulan.2,14
Protein kedelai juga berpotensi alergenik seperti protein susu sapidan tidak
direkomendasikan pada anak dengan usia kurang dari 6 bulan karena memiliki
risiko terjadinya alergi terhadap protein kedelai.5Beberapa protein kedelai dapat
50
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Subtitusi Nutrien pada Alergi Susu Sapi
berikatan dengan antibodi, terutama IgE. Kompleks protein utama yang dapat
berikatan dengan antibodi adalah kompleks 7S dengan berat molekul 150-200
ribu dalton dan kompleks 11S dengan berat molekul 300-400 ribu Dalton.20
Formula kedelai dapat dipertimbangkan sebagai subtitusi nutrien pada
alergi susu sapi pada bayi usia lebih dari 6 bulan dengan alasan ekonomi karena
harganya yang lebih murah. Namun demikian, uji toleransi terhadap protein
kedelai harus dilakukan terlebih dahulu dengan uji provokasi.14Formula kedelai
dapat diberikan pada bayi yang berusia lebih dari 6 bulan dengan reaksi alergi
makanan tipe cepat dan pada bayi yang mengalami gejala saluran cerna atau
dermatitis atopi yang tidak mengalami gagal tumbuh.16
Susu Mamalia Lainnya
Susu alternatif sebagai subtitusi susu sapi seperti susu kambing dan domba tidak
dapat diberikan pada bayi dengan alergi susu sapi karena bersifat alergenik dan
memiliki reaktivitas silang derajat tinggi dengan protein susu sapi. Susu kuda
dan keledai dapat digunakan pada kasus tertentu setelah modifikasi dengan
tepat sehingga cocok untuk bayi manusia.5,15 Namun demikian, jenis susu ini
belum tersedia di Indonesia.1
Kesimpulan
Manajemen nutrisi sangat penting dalam tatalaksana bayi dengan alergi susu
sapi. Berikut adalah ringkasan tatalaksana alergi susu sapi pada bayi.
yy Untuk bayi dengan ASI ekslusif
Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah meneruskan
pemberian ASI dan eliminasi susu sapidan produk turunannya pada
makanan ibu sampai usia bayi 9-12 bulan atau minimal 6 bulan.
yy
Untuk bayi yang mengonsumsi susu formula standar
Tata laksana alergi susu sapi pada kelompok ini adalah subtitusi susu formula
berbahan dasar susu sapi dengan susu formula terhidrosilat ekstensif
(untuk kelompok dengan gejala klinis ringan atau sedang) atau formula
asam amino (untuk kelompok dengan gejala klinis berat). Penggunaan
formula khusus ini dilakukan sampai usia bayi 9-12 bulan atau minimal
6 bulan. Pada bayi yang sudah mendapatkan makanan padat, maka perlu
dilakukan penghindaran protein susu sapi dalam makanan pendamping
ASI (MP-ASI).
Apabila susu formula terhidrosilat ekstensif tidak tersedia atau terdapat
kendala biaya, maka formula kedelai dapat diberikan pada bayi berusia di
atas 6 bulan dengan penjelasan kepada orangtua mengenai kemungkinan
reaksi alergi terhadap kedelai. Pemberian susu mamalia selain susu sapi
tidak direkomendasikan karena dapat menimbulkan reaksi silang.
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
51
Aryono Hendarto
Daftar pustaka
1. Indonesia IDA. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia: Diagnosis dan
Tatalaksana Alergi Susu Sapi. Edisi Pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2010. h.1-10
2. Luyt D, Ball H, Makwana N, et al. BSACI guideline for the diagnosis and
management of cow’s milk allergy. Clin Exp Allergy. 2014;44:642-72.
3. Vandenplas Y, De Greef E, Devreker T. Treatment of Cow’s Milk Protein Allergy.
Pediatr Gastroenterol Hepatol Nutr. 2014;17:1-5.
4. Host A. Frequency of cow’s milk allergy in childhood. Ann Allergy Asthma
Immunol. 2002;89:33-7.
5. Host A, Halken S. Cow’s milk allergy: where have we come from and where are
we going? Endocr Metab Immune Disord Drug Targets. 2014;14:2-8.
6. Soares-Weiser K, Takwoingi Y, Panesar SS, et al. The diagnosis of food allergy: a
systematic review and meta-analysis. Allergy. 2014;69:76-86.
7. De Greef E, Hauser B, Devreker T, Veereman-Wauters G, Vandenplas Y. Diagnosis
and management of cow’s milk protein allergy in infants. World J Pediatr. 2012;8:1924.
8. Brozek JL, Terracciano L, Hsu J, et al. Oral immunotherapy for IgE-mediated
cow’s milk allergy: a systematic review and meta-analysis. Clin Exp Allergy.
2012;42:363-74.
9. Hill DJ, Murch SH, Rafferty K, Wallis P, Green CJ. The efficacy of amino acid-based
formulas in relieving the symptoms of cow’s milk allergy: a systematic review. Clin
Exp Allergy. 2007;37:808-22.
10. Vandenplas Y, Cruchet S, Faure C, et al. When should we use partially hydrolysed
formulae for frequent gastrointestinal symptoms and allergy prevention? Acta
Paediatr. 2014;103:689-95.
11. Vandenplas Y, Steenhout P, Planoudis Y, Grathwohl D, Althera Study G. Treating
cow’s milk protein allergy: a double-blind randomized trial comparing two
extensively hydrolysed formulas with probiotics. Acta Paediatr. 2013;102:990-8.
12. Reche M, Pascual C, Fiandor A, et al. The effect of a partially hydrolysed formula
based on rice protein in the treatment of infants with cow’s milk protein allergy.
Pediatr Allergy Immunol. 2010;21:577-85.
13. Jirapinyo P, Densupsoontorn N, Kangwanpornsiri C, Wongarn R. Chickenbased formula is better tolerated than extensively hydrolyzed casein formula for
the management of cow milk protein allergy in infants. Asia Pac J Clin Nutr.
2012;21:209-14.
14. Nutrition ECo, Agostoni C, Axelsson I, et al. Soy protein infant formulae and
follow-on formulae: a commentary by the ESPGHAN Committee on Nutrition.
J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2006;42:352-61.
15. Muraro MA, Giampietro PG, Galli E. Soy formulas and nonbovine milk. Ann
Allergy Asthma Immunol. 2002;89:97-101.
16. Kemp AS, Hill DJ, Allen KJ, et al. Guidelines for the use of infant formulas to
treat cows milk protein allergy: an Australian consensus panel opinion. Med J
Aust. 2008;188:109-12.
17. Niggemann B, von Berg A, Bollrath C, et al. Safety and efficacy of a new extensively
hydrolyzed formula for infants with cow’s milk protein allergy. Pediatr Allergy
Immunol. 2008;19:348-54.
52
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Subtitusi Nutrien pada Alergi Susu Sapi
18. Osborn DA, Sinn J. Formulas containing hydrolysed protein for prevention of allergy
and food intolerance in infants. Cochrane Database Syst Rev. 2006:CD003664.
19. Vandenplas Y, Bhatia J, Shamir R, et al. Hydrolyzed formulas for allergy prevention.
J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2014;58:549-52.
20. Rozenfeld P, Docena GH, Anon MC, Fossati CA. Detection and identification of
a soy protein component that cross-reacts with caseins from cow’s milk. Clinical
and experimental immunology. 2002;130:49-58.
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
53
Pemilihan Obat Penekan Asam Lambung
Agus Firmansyah
Tujuan
1. Mampu memahami mekanisme kerja obat penekan asam
lambung.
2. Mampu memahami penyakit saluran cerna atas yang
memerlukan terapi obat penekan asam lambung.
3. Mampu memilih obat yang tepat dalam menatalaksana
penyakit acid related disease pada anak.
4. Mengenal efek samping obat penekan asam lambung.
Patogenesis beberapa penyakit saluran cerna pada anakberkaitan dengan
asam lambung (acid-related disorders = ARD) dan memerlukan terapi obat
penekan asam lambung (OPAL), antara lain dispepsia fungsional, gastritis,
ulkus peptikum, dan penyakit refluks gastroesofagus (PRGE).1,2 Dulu hanya
dikenal antasida untuk menetralkan asam lambung, tetapi kemudian ditemukan
OPAL, yaitu golongan H2RA (histamin2 receptor antagonist) dan PPI (proton
pump inhibitor).2
PPI merupakan terapi pilihan ARDpada pasien dewasa sejak diperkenalkan
pada tahun 1988.3 Memang terdapat beberapa keunggulan PPI dibanding
obat lama seperti antasida dan H2RA.Makalah ini akan menjelaskan strategi
pemilihan OPAL untuk penyakit saluran cerna bagian atas pada anak.
Sebelumnya akan dibahas secara ringkas mengenai patomekanisme terjadinya
penyakit dan mekanisme kerja OPAL.
Penyakitacid-related disorders(ARD)
Gastritis atau ulkus peptikum terjadi akibat ketidakseimbangan antara faktor
sitoprotektif dan faktor sitotoksik dalam saluran cerna bagian atas. Faktor
sitoprotektif antara lain lapisan mukus, sekresi bikarbonat lokal dan aliran darah
mukosa. Sedangkan faktor sitotoksik adalah asam lambung, pepsin, empedu,
obat (kortikosteroid dan non-steroid anti inflammatory drugs = NSAID) dan
infeksi Helicobacter pylori.1,4
Secara skematisketidakseimbangan tersebut terlihat pada Gambar 1. Pada
PRGE terjadi esofagitis karena mukosa esofagus, yang secara histologis tidak
tahan asam/pepsin), terpapar oleh isi lambung karena refluks.3,5
54
Pemilihan Obat Penekan Asam Lambung
Gambar 1. Ketidakseimbangan antara faktor sitoprotektif dan
sitotoksik pada saluran cerna bagian atas
Diagnosis klinis
Sekumpulan gejala klinis saluran cerna bagian atas dikenal sebagai dispepsia,
yang dapat disebabkan oleh kelainan organik dan fungsional.Dispepsia adalah
sindrom non-spesifik terkait saluran cerna bagian atas, yang berlangsung
intermiten atau kontinyu.Pada Tabel 1 tertera gejala klinis dispepsia. Bila
ditemukan 2 gejala mayor, atau 1 gejala mayor plus2 gejala minor atau 4 gejala
minor diperlukan evaluasi lebih lanjut untuk mencari penyebabnya.1Bila anak
mengeluh gejala dispepsia tetapi pada pemeriksaan klinis tidak ditemukan
kelainan, anak tersebut dapat didiagnosis sebagai dispepsia fungsional, yang
merupakan salah satu sub-kelompok yang tergolong dalam recurrent abdominal
pain (RAP).6Kelainan fungsional sakit perut berulang menurut kriteria Roma III
tertera pada Tabel 2.Kelainan ini perlu dipikirkan karena sakit perut berulang
pada anak sebagian besar (90%) penyebabnya fungsional.
Tabel 1. Gejala dispepsia pada kelainan saluran cerna atas1
Kriteria mayor
• Nyeri epigastrium
• Muntah berulang
Kriteria minor
• Gejala yang berkaitan dengan makan (anoreksia/penurunan berat badan)
• Nyeri yang membangunkan anak di waktu malam
• Rasa panas di lambung (heartburn)
• Regurgitasi
• Mual kronik
• Kembung/begah/sendawa berlebihan
• Mudah kenyang
• Nyeri perut di pusat (umbilicus)
• Riwayat keluarga ulkus peptikum/dispepsia/IBS (irritable bowel syndrome)
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
55
Agus Firmansyah
Tabel 2. Sakit perut fungsional pada anak menurut kriteria Roma III6
Kelainan fungsional
Dispepsia fungsional
Irritabel bowel
syndrome
Migren perut
Functional abdominal pain
Manifestasi klinik
Gejala sakit perut terasa pada daerah perut bagian atas (di atas
umbilikus)
Sakit perut berkaitan dengan pola defekasi (diare atau konstipasi)
Sakit perut hebat sampai beberapa jam, terdapat interval bebas
serangan, riwayat migren pada keluarga
Bila tidak dapat digolongkan pada salah satu diagnosis di atas
Bila ditemukan seorang anak dengan keluhan dispepsia dan pada
pemeriksaan fisis ditemukan nyeri tekan epigastrium, secara klinis dapat
ditegakkan diagnosis kerja gastritis dan dapat diberikan OPAL. Diagnosis PRGE
dapat dibuat secara klinis dengan menggunakan sistem skoring,7,8dan dapat
diberi terapi awal dengan OPAL.9-12Terapi awal diberikan selama 2 minggu,
bila merespons dilanjutkan selama 8-12 minggu.
Skoring untuk mendeteksi PRGE berisi kuesioner yang menanyakan
gejala yang biasa terjadi pada PRGE (Tabel 3).Infeksi Helicobacter pyloriperlu
dipertimbangkan bila terapi OPAL pada anak dengan dispepsia fungsional
dan gastritis tidak memberikan respons pengobatan yang baik. Pada infeksi
Helicobacter pylori diberikan triple therapy (amoksilin, klaritromisin dan
omeprazol).13,14
Tabel 3. Gejala klinis pada PRGE7
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Rasa panas/terbakar di ulu hati atau sekitar dada
Perut merasa kembung atau begah
Perut terasa penuh setelah makan
Rasa tidak enak setelah makan
Nyeri di ulu hati dan dada setelah makan
Rasa tidak enak di tenggorokan
Merasa kekenyangan atau begah saat sedang makan
Terasa ada yang mengganjal saat menelan
Merasa ada cairan rasa pahit atau asam naik ke tenggorokan
Sering bersendawa
Merasa nyeri di ulu hati atau sekitar dada saat membungkukkan badan
Mekanisme kerja obat penekan asam lambung (OPAL)
Sekresi asam lambung oleh sel parietal distimulasi oleh 3 secretagogues, yaitu
histamin melalui jaras paraendokrin, asetilkolin melalui jaras neuroendokrin
dan gastrin melalui jaras endokrin, Masing-masing mempunyai cara penglepasan
tersendiri untuk mencapai organ targetnya.Asetilkolin dilepaskan pada ujung
nervus vagus dekat sel perietal.Gastrin disekresi oleh sel G yang berada di
mukosa antrum dan duodenum selanjutnya dibawa sirkulasi darah ke sel parietal.
Histamin dilepaskan oleh sel mast yang berada di lamina propria ke dalam cairan
ekstraselular dan kemudian berdifusi ke sel parietal.Jaras terakhir sekresi asam
56
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pemilihan Obat Penekan Asam Lambung
dalam sel parietal adalah pompa proton (H+/K+ATPase).1,13,14
H2RA menekan sekresi asam lambung hanya dengan berkompetisi
menduduki reseptor histamin; tidak mempengaruhi jaras endokrin (gastrin)
dan jaras neuroendokrin (stimulasi vagus).Karena itu H2RA tidak menekan
produksi asam lambung secara lengkap. Sedangkan PPI menghambat rangkaian
akhir sekresi asam lambung dengan menghambat produksi proton sehingga lebih
konsisten mengontrol pH lambung.1,13,14
Skema mekanisme kerja H2RA dan PPI dalam mengontrol asam lambung
terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Mekanisme kerja H2RA dan PPI dalam mengontrol produksi asam lambung
Sediaan, dosis dan cara pemakaian
Obat dan dosis H2RA dan PPI terlihat pada Tabel 4.15,16Ranitidin merupakan
obat golongan H2RA yang paling sering digunakan, tersedia dalam bentuk
tablet (150 mg) dan sirup (75 mg/5 ml). Dokter anak sering pula menggunakan
ranitidin dalam bentuk puyer,sehingga pemberian pada anak mudah dilakukan.
Sedangkan omeprazol tersedia dalam bentuk kapsul yang mengandung
sekitar 170 granul enteric-coated berdiameter 1-2 mm (acid protected), Karena
tidak boleh dibuat puyer dan dikunyah, sehingga pemberian pada anak tidak
mudah. Kapsul gelatin tetap utuh selama melewati esofagus dan larut dalam
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
57
Agus Firmansyah
suasana asam lambung untuk melepaskan granul yang mengandung prodrug
omeprazol.Lapisan polimer granul larut hanya pada pH > 6, sehingga granul
larut dalam suasana alkali di duodenum.Prodrug omeprazol dengan cepat dan
hampir lengkap diserap dengan kadar puncak plasma terjadi 1-3 jam setelah
ditelan. Sebanyak 85 persen akan berikatan dengan protein dan dengan cepat
terdistribusi dalam plasma.17
Kapsul berisi omeprazol tidak boleh digigit dan dikunyah karena tidak tahan
asam.Bila dikunyah terasa pahit dan anak menolak minum obat berikutnya.
Sedangkan anak berusia < 8 tahun kadang tidak dapat menelan kapsul. Oleh
karena itu, beberapa ahli memberikan terapi omeprazol dengan berbagai cara
(Tabel 5).18-20PPI tidak dianjurkan pada bayi; pada anak > 1 tahun hanya
omeprazol dan lansoprazol yang dianjurkan karena keamanan jangka panjang
rabeprazol, pantoprazol dan esomeprazol belum banyak dibuktikan.15,16,21Farma
kokinetik dan efek terapi kelima PPI sebenarnya hampir sama.22Pada beberapa
tahun terakhir ini terjadi abuse dalam penggunaan PPI terutama pada bayi.23,24
Tabel 4. Obat golongan H2RA dan PPI15,16
Golongan
H2RA
Simetidin
Famotidin
Ranitidin
PPI
Omeprazol
Lansoprazol
Dosis
20-40 mg/kg/hari sampai maksimum 400 mg diberikan 2 kali sehari
1,0-1,2 mg/kg/hari sampai maksimum 20 mg diberikan 2 kali sehari
2-4 mg/kg/hari sampai maksimum 150 mg diberikan 2 kali sehari
1 mg/kg/hari dosis tunggal atau dibagi 2 dosis
1,5 mg/kg/hari dosis tunggal atau dibagi 2 dosis
Tabel 5. Metoda pemberian omeprazol pada anak
Metode
Larutan bikarbonat18
Yogurt19
Jus buah20
Cara pemberian
Larutan bikarbonat dibuat dengan melarutkan ½ sendok teh soda kue ke
dalam 240 ml air hangat. Masukkan granul dan aduk sampai larut
Campurkan granul dengan 1 sendok teh yogurt
Campurkan granul ke dalam jus apel, anggur, jeruk atau tomat dan berikan
per oral. Granul tidak boleh dikunyah.
H2RA versus PPI
Karjoo dan Kane22membandingkan terapi omeprazol dan ranitidin pada 32
anak dengan PRGE usia 6-36 bulan selama 8 minggu; pasien yang diberi
omeprazol memperlihatkan kesembuhan yang lebih baik secara endoskopi dan
gejala klinis. Gunasekaran dan Hassal23 dan Strauss dkk24 memberikan terapi
omeprazole pada anak dengan PRGE yang tidak sembuh dengan terapi ranitidin
dan prokinetik; hasil terapi menunjukkan kesembuhan.
58
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pemilihan Obat Penekan Asam Lambung
Penelitian di atas menunjukan bahwa PPI hanya dipakai bila H2RA tidak
berhasil.Ranitidin memang dapat menyembuhkan ARD ringan-sedang.1,2529
Tidak ada perbedaan penyembuhan antara terapi ranitidin dan omeprazol
pada ARD sedang.29
Step up versus step down
Pada tatalaksana ARD dikenal istilah step up dan step down. Pada carastep up,
terapi awal menggunakan H2RA; bila tidak merespons baik digunakan PPI. Pada
carastep down, terapi awal menggunakan PPI; pada rumatan digunakan H2RA.
Pada pasien dewasa cara step up lebih sering digunakan karena menguntungkan
dari segi ekonomi,3tetapi pada anak hal tersebut tidak terbukti.5
Banyak ahli lebih menyukai cara step up,24-28 karena gastritis dan PRGE
yang ringan-sedang dapat disembuhkan dengan ranitidin tanpa menggunakan
omeprazol.1,29-31Dalam mengontrol keasaman lambung pada malam hari
ranitidin lebih baik dibandingkan omeprazol.32Pengalaman penulis selama 3
bulan terakhir (Januari-Maret 2015) menggunakan cara step up, dari 348 anak
diagnosis klinis gastritis atau PRGE, sebanyak 309 kasus (89 %) cukup diobati
dengan ranitidin; sisanya yang tidak sembuh dengan ranitidin disembuhkan
dengan omerazol. Penggunaan omeprazol sebaiknya digunakan pada PRGE berat
saja, seperti untuk kasus esofagitis erosif, striktur peptik, Barrett’s esophagus,
PRGE dengan komplikasi pada saluran napas, dan kasus dengan masalah
neurologis.28,33-36
Efek samping
Efek sanping simetidin adalah diare, ruam kulit, mialgia, gangguan kesadaran,
neutropenia, ginekomasti, dan gangguan fungsi hati. Sedangkan efeksamping
ranitidin adalah sakit kepala, diare, malaise, insomnia, sedasi, atralgia dan
gangguan fungsi hati. Efek samping famotidin meliputi sakit kepala, konstipasi,
diare dan lemas.15,16
Efek samping omeprazol adalah sakit kepala, diare, mual, ruam, defisiensi
vitamin B12dan konstipasi. Sedangkan efek samping lansoprazol adalah sakit
kepala, mual, konstipasi, diare, proteinuria, hipotensi, dan peningkatan
transaminase.15,16
Karena OPAL menekan produksi asam lambung, yang merupakan salah
satu mekanisme pertahanan tubuh non-imunologis, maka mudah terjadi infeksi
dalam penggunaan jangka panjang.26
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
59
Agus Firmansyah
Strategi pemilihan obat penekan asam lambung (OPAL)
Setelah mengkaji beberapa aspek tentang H2RA dan PPI maka strategi pemilihan
opal untuk penyakit ARD pada anak tertera pada Gambar 3. Strategi tersebut
dibuat berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:
1. Lebih mudah menggunakan ranitidin dari pada omeprazol pada anak yang
tidak bisa menelan kapsul.
2. Banyak ahli yang memilih cara awal pengobatan dengan cara step up
(ranitidin → omeprazole) dari pada step down, karena gastritis dan GERD
ringan-sedang masih dapat diobati dengan ranitidin.
3. Dalam mengontrol keasaman lambung pada malam hari ternyata ranitidin
lebih baik dibanding omeprazol.
4. Ranitidin lebih murah dibanding omeprazol.
Tersangka
Gastritis/PRGE
Berat
Ringan-Sedang
H2RA
Sembuh
PPI
Tidak
sembuh
Sembuh
Rujuk
Tidak
sembuh
Gambar 3. Algoritma tata laksana ARD pada anak
Simpulan
OPAL diperlukan untuk mengobati gastritis, ulkus peptikum, dan PRGE pada
anak.Diantara H2RA yang sering digunakan adalah ranitidin, sedangkan
PPI adalah omeprazol dan lanzoprazol.PPI lain (rabeprazol, pantoprazol dan
esomeprazol) tidak dianjurkan penggunaannya pada anak karena faktor safety
belum banyak diuji.Tidak direkomendasi pemakaian PPI pada bayi.Pada
tatalaksana gastritis dan PRGE pada anak dipilih carastep up, sebagai terapi awal
diberikan ranitidin, bila tidak merespons baru diberikan omeprazol/lansoprazol.
60
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Pemilihan Obat Penekan Asam Lambung
Daftar pustaka
1. Chelimsky G, Czinn S. Peptic ulcers disease in children. Ped Rev. 2001;22:349-55.
2. Cezard JP. Managing gastro-esophageal reflux disease in children. Digestion.
2004;69:3-8.
3. Tytgat GNJ. Review article: treatment of mild and severe cases of GERD. Aliment
Pharmacol Ther. 2002;16:71-8.
4. Mezoff AG, Balisteri WF. Peptic ulcer disease in children. Pediatr Rev. 1995;16:25765.
5. Suwandhi E, Ton MN, Schwarz SM. Gastroesophageal reflux in infancy and
childhood. Pediatr Annals. 2006;35:259-66.
6. Rasquin A, Lorenzo CD, Forbes D, Guirales E, Hyams JS, Staiano A, et al. Childhood
functional gastrointestinal disorders: Child/adolescent. Gastroenterology.
2006;130:1527-37.
7. Kusano M, Shimoyama Y, Sugimoto S. Development and evaluation of FSSG:
frequency scale for the symptoms of GERD. J Gastroenterol. 2004:39:888-91.
8. Vakil N. The initial diagnosis of GERD. Best Pract Res Clin Gastroenterol.
2013;27:365-71.
9. Capell MS. Clinical presentation, diagnosis and management of gastroesophageal
reflux disease. Med Clin North Am. 2005;89:243-91.
10. Gold BD, Freston JW. Gastroesophageal reflux in children. Pathogenesis,
prevalence, diagnosis and role of proton pump inhibitors in treatment. Pediatr
Drugs. 2002;4:673-5.
11. Boyle JT. Gastroesophageal reflux disease in 2006. The imperfect diagnosis. Pediatr
Radiol. 2006:36:192-5.
12. Braganza SF. Gastroesophageal reflux. Pediatr Rev. 2006;26:304-5.
13. Rajindrajith S, Devanarayana NM, De Silva HJ. Helicobacter pylori infection in
children. Saudi J Gastroenterol. 2009;15:86-94.
14. Gold BD, Coletti RB, Abbott M. Helicobacter pylori infection in children:
Recommendation for diagnosis and treatment. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2000;31:490-7.
15. Barocelli E, Ballabeni V. Histamine in the control of gastric acid secretion: a topic
review. Pharmacol Res. 2003;47:299-304.
16. Schubert ML, Peura DA. Control of gastric acid secretion in health and disease.
Gastroenterology.2008;134:1842-60.
17. Patel AS, Pohl JF, Easley DJ. Proton pump inhibitor and pediatricsa. Pediatr Rev.
2003;24:12-5.
18. Zimmerman A, Walters JK, Katona B. Alternative methods of proton pump
inhibitor administration. Consult Pharm. 1977;9:990-5.
19. Hassal E, Israel : D, Sheperd R. Omeprazol for treatment of chronic erosive
esophagitis in children: a multicenter study of efficacy, safety, tolerability, and dose
requirements. J Pediatr. 2000;137:800-7.
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
61
Agus Firmansyah
20. Woods DJ, McClintock AD. Omeprazole administration (letter). Ann
Pharmacother. 1993;27:651.
21. Indrio F, Riezzo G, Raimondi F. Regurgitation in healthy and non-healthy infants.
Italian J Pediatr. 2009;35:9.
22. Karjoo M, Kane R. Omeprazol treatment of children with peptic esophagitis
refractory to ranitidine therapy. Arch Pediatr Adolesc Med. 1995;149:267
23. Gunasekaran TS, Hassall EG. Efficacy and safety of omeprazole for severe
gastroesophageal reflux in children. J Pediatr. 1993;123:148-54.
24. Strauss RS, Calenda KA, Dayal Y. Histological esophagitis: clinical and histological
response to omeprazole in children. Dig Dis Sci. 1999;44:134-9.
25. Michael S. Gastroesophageal reflux. Pediatr Rev 2007;28:101
26. Varannes SB, Coron E, Galmiche JP. Short and long term PPI treatment for GERD,
do we need more potent anti-secretory drugs? Best Pract Res Clin Gastroenterol.
2010;24:905-21.
27. Diaz DM, Win ter HS, Colletti RB. Knowledge, attitudes and practice styles of
North American pediatricians regarding gastroesophageal mreflux disease. JPediatr
Gastroenterol Nutr. 2007;45:56-64.
28. Ferreira CT, Carvalho ED, Sdepanian VL. J Pediatr. 2014;90:105-18.
29. Blumer JL, Rothstein FC, Kaplan BS. Pharmacokinetic determination of ranitidine
pharmacodynamics in pediatric uklcer disease., J Pediatr. 1985:107:301-6.
30. Mallet E, Mourterde O, Dubois F. Use of ranitidine in young infants with
gastroesophageal reflux. Eur J Clin Pharmacol. 1989;36:541-2.
31. Socha J, Rondio H, Chaba-Chelinska D. Ranitidine treatment of peptic and related
diseases in children. Dalam: Misiewicz JJ. Wormsley KG, penyunting. The clinical
use of ranitidine. London: Medicine Publications Fondation; 1982. h.305-9.
32. Levy J. Gastroesophageal reflux and other causes of abdominal pain. Pediatr
Annals. 2001;30:42-7.
33. Wilmont A, Murphy MS. Gastroesophageal reflux. Curr Pediatr. 2004:14:586-92.
34. Tighe MP, Afzal NA, Bevan A. Current pharmacological management of
gastroesophageal reflux in children. An evidence-based systematic review. Pediatr
Drugs. 2009;11:185-202.
35. Tytgat GNJ. Review article: treatment of mild and severe cases of GERD. Aliment
Pharmacol Ther. 2002;16:73-8.
36. Gunasekaran TS, Hassall EG. Efficacy and safety of omeprazole for severe
gastroesophageal reflux in children. J Pediatr. 1993;123:148-54.
62
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Alergi Makanan pada Dermatitis Atopik
Zakiudin Munasir
Tujuan:
1. Memahami prevalens alergi makanan
2. Memahami prevalens dermatitis atopik
3. Memahami hubungan alergi makanan sebagai pencetus
dermatitis atopik
Abstrak
Alergi makanan adalah reaksi imunologis yang merugikan terhadap makanan.
Makanan dapat menyebabkan manifestasi klinis yang berbeda dari tipe I reaksi
hipersensitivitas menurut Gell dan Coomb. Alergi makanan merupakan salah
satu isu penting pada anak karena makanandibutuhkan untuk pertumbuhan
dan perkembangan anak.
Prevalensi alergi makanan dalam dekade terakhir tampaknya meningkat. Ada
heterogenitas ditandai prevalens alergi makanan karena perbedaan desain
penelitian atau perbedaan antara populasi. Spektrum alergi makanan dalam
dekade terakhir relatif tidak berubah, meskipun alergi makanan individu dapat
bervariasi oleh budaya dan populasi. Susu sapi, telur, kedelai, gandum, kacang
pohon, kacang, ikan dan kerang adalah alergen utama dalam masa anak .
Yang paling sering merupakan manifestasi alergi makanan pada anak adalah
dermatitis atopik. Deteksi dini alergi makanan sangat penting untuk mencegah
diet yang tidak perlu dan mencegah manifestasi klinis alergi makanan.
Alergi makanan adalah reaksi klinis yang merugikan imunologis terhadap
makanan. Makanan dapat menyebabkan manifestasi klinis yang berbeda dari tipe
I reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coomb.1 Alergi makanan merupakan
salah satu isu penting pada anak-anak karena makanan yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Ketika anak-anak memiliki
alergi makanan, penyakit itu sendiri dan tidak perlu menghindari diet dapat
mempengaruhi proses pertumbuhan mereka, dan hal itu dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan mereka di masa depan.
Prevalens alergi makanan dalam dekade terakhir tampaknya meningkat.
Ada heterogenitas ditandai prevalens alergi makanan karena perbedaan desain
penelitian atau perbedaan antara populasi. Spektrum alergi makanan dalam
dekade terakhir relatif tidak berubah, meskipun alergi makanan individu dapat
bervariasi sesuai budaya dan populasi. Susu sapi, telur, kedelai, gandum, kacang
pohon, kacang, ikan dan kerang adalah alergen utama pada masa anak.2-4
63
Zakiudin Munasir
Prevalens alergi makanan
Prevalensi alergi makanan bervariasi antar studi, terutama karena metodologi
tentang bagaimana cara mendiagnosis alergi makanan. Studi yang menggunakan
kuosioner memiliki prevalens lebih tinggi dbandingkan dengan penelitian alergi
makanan yang menggunakan uji tusuk kulit (SPT) terhadap makanan tertentu,
atau pemeriksaan kadar imunoglobulin E spesifik dan pemeriksaan eliminasi
dan provokasi.2-4
Hasil meta-analisis terhadap prevalensi alergi makanan menunjukkan
bahwa prevalensi alergi makanan yang dilaporkan sangat tinggi dibandingkan
dengan secara objektif. Prevalens yang dilaporkan, alergi makanan secara
kuosioner bervariasi dari 1,2% sampai 17%, untuk susu sapi, 0,2% sampai 7%
untuk telur, 0% sampai 2% untuk kacang dan ikan, 0% sampai 10% untuk
kerang, v dan 3% sampai 35% untuk makanan lain. Namun, prevalens yang
dikonfirmasi, alergi makanan bervariasi hanya dari hampir 0% untuk ikan
dan kerang, 0% sampai 3% untuk susu, 0% sampai 1,7% untuk telur, dan 1%
menjadi 10,8% untuk makanan.2
Alergi makanan dapat mempengaruhi kulit (urtikaria, angioedema,
dermatitis atopik), saluran pencernaan (mulut sindrom alergi, muntah, alergi
eosinophilic esophagitis, diare, proctocolitis), dan saluran pernapasan (hidung
tersumbat, rhinorrhea, bersin, gatal pada hidung dan tenggorokan, mengi).
Anafilaksis adalah manifestasi parah alergi makanan dan itu semakin lazim,
terutama untuk kacang alergi.1,4
Prevalens alergi makanan pada individu dengan dermatitis atopik moderat
dan parah dilaporkan sekitar 30% sampai 40%, dan pasien ini memiliki alergi
makanan yang diperani oleh IgE yang signifikan5 atau riwayat yang pasti dari
reaksi langsung terhadap makanan.6
Indonesia tidak memiliki data tentang prevalensi nasional alergi
makanan. Namun, dalam poliklinik Alergi-Imunologi Rumah sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo, kami menemukan bahwa dari 42 pasien dermatitis atopik pada
tahun 2012, sebagian besar dari mereka sensitif terhadap putih telur (31%), susu
sapi (23,8%), ayam (23,8%), kuning telur (21,4%), kacang-kacangan (21,4%),
dan gandum (21,4%).7 Berbeda dengan yang ditemukan pada klinik kami pada
tahun 2011, sebagian besar pasien dermatitis atopik sensitif terhadap jagung,
diikuti oleh putih telur, tuna, ayam, susu sapi, dan kacang tanah.8 Sementara
itu, kami juga menemukan 3% dari pasien diare kami adalah alergi susu sapi.9
Dermatitis atopik
Dermatitis atopik (DA) merupakan peradangan kronik kulit yang sering muncul
pada masa awal anak.10 Penyakit ini sering dihubungkan dengan adanya riwayat
penyakit alergi pernapasan pada keluarga maupun penderita DA itu sendiri, dan
64
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Alergi Makanan pada Dermatitis Atopik
mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan, karir serta interaksi sosial
penderita.11 Hal yang menarik, penyakit DA dilaporkan mengalami peningkatan
prevalensi akhir-akhir ini.12 Tata laksana DA berdasarkan mekanisme yang
mendasari penyakit kulit itu sendiri.10
Alergen makanan sebagai pencetus dermatitis atopik
Suatu penelitian kontrol menunjukkan bahwa alergen makanan dapat
menginduksi ruam kulit pada anak yang menderita DA.13 Berdasarkan uji
buta ganda (doubleblind), uji food challenge dengan plasebo, sekitar 40% bayi
dan anak usia muda dengan DA ringan-berat memiliki alergi makanan. Alergi
makanan pada pasien DA menginduksi dermatitis eksematosa dan berperan
memperparah penyakit kulit pada beberapa pasien,14 sedangkan pada pasien
yang lain menimbulkan reaksi urtikaria, urtikaria kontak, ataupun gejala
kompleks kutaneus lainnya. Menghilangkan alergen makanan dari diet pasien
dapat memperbaiki gejala secara klinis, tetapi dibutuhkan pemahaman yang
benar karena sebagian besar alergen (telur, susu, gandum, kedelai dan kacang)
terdapat pada banyak makanan dan hal ini sulit dihindari.15
Bayi dan anak usia muda yang menderita alergi makanan umumnya
memiliki hasil tes kulit dan serum IgE-nya positif terhadap beberapa makanan.
Uji food challenge yang hasilnya positif disertai dengan peningkatan kadar
histamin plasma dan aktivasi eosinofil. Yang paling penting adalah sel T spesifik
alergen makanan telah diklon dari lesi kulit pasien DA dan menunjukkan bahwa
makanan dapat menyebabkan inflamasi pada kulit.16
Pada tikus percobaan yang menderita DA, sensitisasi makanan melalui
mulut menyebabkan terjadinya lesi kulit ekszematosa saat dilakukan ulangan
food challenge.17 Pada pasien yang hasil tes kulitnya positif terhadap alergen
spesifik tidak selalu mengindikasikan adanya sensitivitas secara klinis. Oleh
karena itu, klinis pada alergi makanan harus dibuktikan melalui food challenge
atau melakukan eliminasi makanan secara hati-hati.10
Simpulan
Dermatitis atopik merupakan salah satu manifestasi penyakit alergi yang sangat
mempengaruhi tumbuh kembang anak. Patogenesis penting adalah gangguan
barier kulit. Alergen makanan dapat merupakan pencetus terjadinya atau
kekambuhan dermatitis. Banyak penelitian membuktikan bahwa sensitisasi
alergen makanan dapat terjadi melalui kulit yang mengalami gangguan barier.
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
65
Zakiudin Munasir
Daftar pustaka
1. Nowak-Wegrzyn A, Sampson HA. Adverse reactions to foods. Med Clin North
Am. 2006;90:97–127.
2. Rona RJ, Keil T, Summers C, Gislason D, Zuidmeer L, Sodergren E, Sigurdardottir
ST, Lindner T, Goldhahn K, Dahlstrom J, McBride D, Madsen C. The prevalence
of food allergy: a meta-analysis. J Allergy Clin Immunol. 2007;120:638–46.
3. Chafen JJ, Newberry SJ, Riedl MA, Bravata DM, Maglione M, Suttorp MJ,
Sundaram V, Paige NM, Towfigh A, Hulley BJ, Shekelle PG. Diagnosing and
managing common food allergies: a systematic review. JAMA. 2010;303:1848–56.
4. Cianferoni A, Spergel JM. Food allergy: review, classification and diagnosis. Allergol
Int. 2009;58:457–66.
5. Eigenmann PA, Sicherer SH, Borkowski TA, Cohen BA, Sampson HA. Prevalence
of IgE-mediated food allergy among children with atopic dermatitis. Pediatrics.
1998;101:E8.
6. Thompson MM, Tofte SJ, Simpson EL, Hanifin JM. Patterns of care and referral
in children with atopic dermatitis and concern for food allergy. Dermatol Ther.
2006;19:91–6.
7. Munasir Z, Muktiarti D, Kurniati N. The skin prick test and specific IgE examination
in patients with food allergy symptoms in Pediatric Allergy Immunology Clinic.
Jakarta: Cipto Mangunkusumo Hospital; 2012. Unpublished.
8. Sidabutar S, Munasir Z, Pulungan AB, Hendarto A, Tumbelaka AR, Firman K.
Sensitisasi alergen makanan dan hirupan pada anak dermatitis atopik setelah
mencapai usia 2 tahun. Sari Pediatri. 2011;13:147–51.
9. Marzuki NS, Akib AA, Boediman I. Cow’s milk allergy in patients with diarrhea.
Paediatr Indones. 2004;44:239–42.
10. Leung DYM. Atopic dermatitis. Dalam Pediatric allergy principles and practice
2003. h 561-73.
11. Finlay AY. Quality of life in atopic dermatitis. J Am Acad Dermatol. 2001; 45:S64-6.
12. Schultz-Larsen F, Hanifin JM. Epidemiology of atopic dermatitis. Immunol Allergy
Clin North Am. 2002; 22:1-24.
13. Sampson HA. Food allergy part I. Immunopathogenesis and clinical disorders. J
Allergy Clin Immunol. 1999;103: 717-28.
14. Guillet G, Guillet MH. Natural history of sensitizations in atopic dermatitis. A 3
years follow up in 250 children: food allergy and high risk of respiratory symptoms.
Arch Dermatol. 1992; 128: 187-92.
15. Lever R, MacDonald C, Waugh P. Randomised controlled trial of advice on an
egg exclusion diet in young children with atopic eczema and sensitivity to eggs.
Pediatr Allergy Immunol. 1998;9: 13-9.
16. Van Reijsen FC, Felius A, Wauters EA. T cell reactivity for peanut-derived epitop
in the skin of a young infant with atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol.
1998;101:207-9.
17. Li XM, Kleiner G, Huang CK. Murine model of atopic dermatitis associated with
food hypersensitivity. J Allergy Clin Immunol. 2001; 107: 693-702.
66
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Perawatan Kulit Sebagai Pencegahan
Dermatitis Atopik
Triana Agustin
Tujuan:
1. Memahami faktor risiko dermatitis atopik
2. Memahami anatomi dan fisiologi epidermis
3. Memahami tata laksana dan pencegahan dermatitis atopik
Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit inflamasi pada kulit, kronik residif,
yang sering mengenai 10-12% anak-anak.1 Patogenesis DA merupakan interaksi
antara faktor genetik, yaitu gen yang terlibat pada fungsi sawar kulit dan respons
imunologis dengan lingkungan.1-4 Disfungsi sawar kulit merupakan faktor utama
pada DA. Kerusakan sawar kulit secara klinis memberikan gambaran berupa
kulit kering baik pada lesi maupun non-lesi DA dan terdapat peningkatan trans
epidermal water loss (TEWL).5,6 Kerusakan sawar kulit mempermudah penetrasi
alergen, antigen, bahan kimia dan mikroba ke kulit yang mengakibatkan respons
inflamasi.2-7
Bias dan Taieb, pada tahun 1990 pertama kali menduga kerusakan sawar
kulit merupakan kondisi awal terjadinya DA. Terdapat dua kategori DA, yaitu
non-atopic dermatitis dan true atopic dermatitis yang disertai dengan peningkatan
IgE, berhubungan dengan terjadinya alergi makanan, asma dan rhinitis
alergi. Pada 80% pasien dengan kategori non-atopik dapat terjadi sensitisasi
terhadap alergen makanan, lingkungan maupun garukan yang menghasilkan
autoantigen menginduksi menjadi true atopic dermatitis.1,7,8 Sisanya sebesar 20%
akan menetap sebagai non-atopik tanpa terjadi peningkatan Ig E. Hal ini yang
mendukung bukan mekanisme imunologis pada awal terjadinya DA tetapi
disebabkan oleh kerusakan sawar kulit. Berdasarkan kerusakan sawar kulit
pada DA terdapat 2 hipotesis. Hipotesis pertama defek primer yang terjadi
merupakan defek imunologis dan kerusakan sawar kulit terjadi sekunder akibat
respons inflamasi terhadap iritan dan alergen (inside-outside). Hipotesis kedua
(outside-inside) defek primer adalah defek sawar kulit dan aspek imunologis
merupakan epifenomena.1,7 Penelitian yang menginduksi terjadinya kerusakan
sawar dengan pemberian surfaktan (sodium lauryl sulphate) menyebabkan
penglepasan dan produksi sitokin proinflamasi. Hal ini menandakan adanya
67
Triana Agustin
kerusakan barier menyebabkan inflamasi dan kekambuhan dermatitis yang
mendukung hipotesis bahwa kerusakan sawar kulit merupakan faktor penting
pada perkembangan DA.1
Penurunan fungsi sawar kulit dapat menyebabkan terjadinya sensitisasi
terhadap alergen dan dapat menyebabkan perkembangan terjadinya alergi
makanan dan pernapasan. Sensitisasi epikutan lebih tinggi dibandingkan dengan
sensitisasi sistemik dan saluran pernapasan.4,8
Sawar epidermis
Sawar epidermis terletak pada lapisan terdalam SK. Struktur integritas SK
dipertahankan oleh desmosom yang dikenal sebagai korneodesmosom. 9,10
Terdapat Keseimbangan enzim protease dan inhibitor protease yang dapat
merusak korneodesmosom yang mengikat korneosit, sehingga korneosit
dapat berpindah ke permukaan kulit pada proses diferensiasi epidermis untuk
mempertahankan ketebalan kulit secara konstan. Perubahan protease dan
protease inhibitor gene dapat ditemukan pada pasien DA, yang turut berperan
pada kerusakan sawar kulit.3,10
Lipid permukaan kulit merupakan gabungan dari lipid kelenjar sebasea dan
lipid epidermis. Komponen utama lipid dari kelenjar sebasea adalah asam lemak
bebas, trigliserida, skualen, wax ester dan kolesterol. Lipid epidermis terbentuk
pada proses kornifikasi. Lipid pada stratum korneum terdiri atas kolesterol, asam
lemak bebas dan seramid, berasal dari badan lamelar yang akan mengekskresikan
lipid ke dalam stratum korneum.6,10 Seramid terdiri atas 12 subkelas. Sintesis
lipid dan diferensiasi epidermis bergantung pada enzim, pH dan kalsium gradien.2
Badan lamelar banyak mengandung phospholipid, sphingolipid, sterol, asam lemak
dan beberapa enzim termasuk enzim hydrolase, misalnya b-glucocerebrosidase,
acidic sphyngomyelinase, secretory phospholipase A2 dan neutral lipase.10
Sekresi lipid tersebut tersimpan dalam anyaman ruang interselular di
stratum korneum. Susunan ini menyerupai batu bata dan semen (bricks and
mortar), dengan korneosit sebagai batu bata (bricks) dan lipid interselular
sebagai semen (mortar).7,10 Meskipun lipid ini hanya mewakili sekitar 10% dari
berat kering stratum korneum, lokasi dan komposisinya sangat penting sebagai
fungsi sawar kulit.11
Sawar kulit pada DA
DA berhubungan dengan penurunan fungsi sawar kulit yang disebabkan karena
defek gen fillagrin, penurunan kadar seramid, peningkatan enzim proteolitik
endogen dan terdapat peningkatan TEWL.4
68
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Perawatan Kulit sebagai Pencegahan Dermatitis Atopik
Mutasi gen yang mengkode protein struktural stratum korneum filagrin
merupakan faktor utama pada DA. Pasien dengan mutasi gen filaggrin sering
mengalami DA onset dini, derajat berat, tingkat sensitisasi yang tinggi terhadap
alergen dan terjadinya asma bronkiale.4,12 Filaggrin berperan pada integritas kulit,
menjaga hidrasi dan retensi air stratum korneum.2,7,12 Penurunan kadar filaggrin
dapat mengakibatkan hidrasi kulit memburuk dan kenaikan pH SK. Perubahan
pH tersebut juga dapat mempengaruhi aktivitas berbagai enzim yang berperan
pada sintesis seramid.2 Filaggrin berasal dari prekursor profilaggrin yang kaya
akan histidine dan membentuk sampul keratin. Di dalam SK, filaggrin diubah
menjadi asam amino bebas yang kemudian dikatabolisme menjadi sejumlah
molekul higroskopik, yaitu urea, pyrrolidone carboxylic acid (PCA), urolaic acid,
glutamic acid, alanine, asam laktat dan asam amino lain yang dikenal sebagai
natural moisturizing factor (NMF).2,6,9,12
Natural moisturizing factor (NMF) merupakan komponen penting untuk
mempertahankan air dalam korneosit, mempertahankan hidrasi, barrier
homeostasis, deskuamasi dan meningkatkan integritas, plastisitas SK serta
mencegah terjadinya celah antar sel korneosit.6,10.
Penurunan jumlah seramid juga didapatkan pada pasien DA. Didapatkan
penurunan kadar seramid subkelas 1-3.2 Hal ini disebabkan karena terdapat
peningkatan aktivitas sphingomyelin deacylase dan penurunan produksi seramid
di keratinosit karena terdapat gangguan maturasi dan sekresi granul lamelar.1,12
Beberapa faktor lingkungan berhubungan dengan DA termasuk sabun,
detergen, mandi air panas, pajanan tungau debu rumah dan alergen makanan.
Detergen digunakan secara luas sebagai pembersih dapat melarutkan lapisan lemak
permukaan kulit yang dapat pula merusak lipid natural kulit.1,6 Penggunaan
sabun dan detergen merupakan penyebab tersering dermatitis kontak iritan yang
dapat memicu kekambuhan DA.1 Pemakaian sabun dan detergen menyebabkan
peningkatan pH kulit yang dapat meningkatkan aktivitas enzim proteolitik
endogen yang dapat memperburuk kerusakan sawar kulit. Kerusakan sawar
epidermis juga dapat disebabkan oleh enzim protesae eksogen dari tungau
debu rumah dan Staphylococcus aureus. Hal tersebut diperburuk lagi karena
pada pasien DA terdapat kekurangan enzim protease inhibitor endogen.4,8,9
Perubahan sawar kulit tersebut meningkatkan masuknya alergen ke kulit dan
kolonisasi mikroba.4,8
Tata laksana dan pencegahan
Penghindaran faktor pencetus, memperbaiki sawar kulit, perawatan kulit
optimal, mengatasi inflamasi dan edukasi merupakan manajemen utama
DA.12 Terdapat beberapa panduan tata laksana DA. Panduan tata laksana
DA menurut konsensus Asia Pasifik meliputi 5 pilar, yaitu edukasi pasien dan
orang yang merawat pasien DA, pencegahan dan modifikasi faktor pencetus
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
69
Triana Agustin
yang berasal dari lingkungan/modifikasi gaya hidup, menghindari trauma pada
kulit, meningkatkan dan menstabilkan fungsi sawar yang optimal, mengobati
peradangan kulit, kontrol dan eliminasi siklus gatal-garuk.5
Pelembab merupakan bagian tata laksana penting pada DA. Penggunaan
pelembab memperlihatkan perbaikan fungsi sawar kulit dengan terdapatnya
penurunan TEWL dan peningkatan skin capacitance. Pada suatu penelitian pada
neonatus yang mempunyai risiko tinggi terhadap DA pemberian pelembab yang
dimulai minggu pertama setelah kelahiran mempunyai kemampuan mencegah
terjadinya DA.2 Pemakaian pelembab yang terbaik segera setelah mandi karena
setelah mandi kulit dalam keadaan bersih dan terhidrasi. Pelembab yang
diberikan dapat menahan evaporasi kandungan air dalam kulit.2,8,13
Pelembab berdasarkan cara kerjanya dibagi menjadi oklusif, humektan,
emolien dan terapeutik.14 Oklusif mempunyai kemampuan menurunkan TEWL
dengan cara membentuk lapisan sawar hidrofobik pada permukaan kulit. Beberapa
pelembab yang bersifat oklusif antara lain: petrolatum, minyak mineral, lanolin,
derivat silikon (dimetikon, siklometikon). Petrolatum dapat masuk ke dalam lipid
interselular stratum korneum sehingga membantu perbaikan sawar kulit.9
Humektan terdiri atas beberapa golongan senyawa hidroksi hidrofilik.
Humektan mampu menyerap air dari dermis ke epidermis dan menarik air
dari lingkungan bila kelembaban lebih dari 70% serta mempertahankan kadar
air. Pada lingkungan dengan kelembaban rendah pemakaian humektan dapat
meningkatkan TEWL karena terjadi absorbsi dan evaporasi air dari dermis ke
lingkungan, karena hal tersebut humektan biasanya dikombinasi dengan oklusif.
Beberapa kandungan pelembab yang bersifat humektan adalah gliserin, asam
laktat, propilen glikol, butilen glikol, pantenol, PCA dan urea.9 Pemakaian
pelembab yang mengandung urea, asam alfa hidroksi, asam hyaluronat atau
seramid memperlihatkan perbaikan integritas stratum korneum.12 Krim urea
dan asam laktat efektif untuk mengatasi xerosis cutis pada DA tetapi dapat
menimbulkan rasa tersengat pada area inflamasi terutama pada pasien anak.
Pada kondisi ini petrolatum lebih disenangi.5
Emolien mengisi celah di antara korneosit dan dapat memperbaiki tampilan
kulit, menghaluskan, melembutkan, dan meningkatkan kekenyalan kulit.
Kandungan pelembab yang bersifat sebagai emolien kolesterol, minyak mineral,
lanolin, petrolatum, skualen, asam lemak dan minyak biji bunga matahari.9,14,15
Emolien juga dapat berupa emolien alkohol dan ester. Beberapa emolien
alkohol adalah cetyl, stearyl, octyl, hexyl dodecanol dan oleyl alcohol. Emolien ester
antara lanoleyl oleat, isopropyl myristate. Emolien tidak mempunyai kemampuan
menurunkan TEWL, beberapa emolien dapat bersifat oklusif dan humektan.9
Pelembab terapeutik merupakan kombinasi berbagai pelembab baik oklusif
untuk perbaikan sawar kulit, emolien untuk menghaluskan dan melembutkan
kulit dan humektan yang mempertahankan kadar air stratum korneum.14
70
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Perawatan Kulit sebagai Pencegahan Dermatitis Atopik
Krim yang mengandung seramid dominan dapat digunakan.4 Pelembab lain
adalah pelembab yang mengandung lipid fisiologis epidermis, yaitu pelembab
yang mengandung seramid, kolesterol dan asam lemak bebas.Terdapat pula
pelembab yang ditambahkan bahan aktif yang bersifat antiinflamasi yaitu
bisabolol, shea butter, glycyrrhetinic acid, niasinamida, palmitoylethanolamide
(PEA), vitis vinivera dan zinc gluconate. Penambahan antiinflamasi dalam
pelembab dapat memperbaiki lesi DA dan mengurangi atau menggantikan
penggunaan kortikosteroid topikal, sehingga akan menurunkan terjadinya efek
samping akibat terapi kortikosteroid.4,9 Pemahaman patofisiologi DA termasuk
defek filagrin dan seramid timbul konsep terapi barier dan diproduksinya
pelembab baru yang target terapi memperbaiki kadar seramid dan NMF.12
Salah satu efek penting pemakaian pelembab dalam memperbaiki sawar kulit
dengan menurunkan rasa gatal dan garukan, karena garukan dapat melepaskan
sitokin proinflamasi yang menginduksi gatal, sehingga dapat memutuskan
siklus gatal-garuk. Pelembab juga meningkatkan hidrasi dan elastisitas stratum
korneum yang mencegah suseptibilitas kulit terhadap kerusakan sawar. Hindari
pelembab yang mengandung pewangi dan pengawet karena bersifat iritatif
yang akan memperburuk DA.2 Beberapa studi memperlihatkan bahwa terapi
pelembab dapat menurunkan derajat keparahan dan kekambuhan DA, serta
menurunkan pemakaian topikal kortikosteroid dan penghambat kalsineurin.
Hidrasi kulit juga dapat meningkatkan penetrasi obat topikal yang digunakan
saat fase akut.12
Mandi 1-2 kali sehari dapat memberikan efek mendinginkan saat fase
akut, mengurangi kolonisasi bakteri, meningkatkan absorbsi obat topikal yang
diaplikasikan setelah mandi.5,8,13 Mandi air hangat paling lama 5-10 menit
dapat merehidrasi stratum korneum. Mandi terlalu lama dapat menyebabkan
hilangnya lipid endogen kulit.5,8
Sabun dan produk pembersih sebaiknya diganti dengan produk pembersih
yang bersifat non-iritan atau sabun dengan pelembab.1,5,6 Saat ini banyak produk
pembersih yg mengandung emolien dan penggunaan produk ini diikuti dengan
penggunaan pelembab untuk memperbaiki sawar kulit.1 Penggunaan bubble bath
sebaiknya dihindari dan merupakan kontraindikasi pada DA berat.8
Pasien sering kali tidak dianjurkan untuk memakai pelembab dengan
jumlah, frekuensi dan cara aplikasi yang tidak tepat. Pemakaian pelembab
sebaiknya dalam waktu 2-3 menit setelah mandi sebelum terjadi evaporasi.5,8,13
Jumlah pemakaian pelembab yang adekuat 100-200 gram/minggu pada anak
dan 200-300 gram/minggu pada dewasa.5,8 Pelembab digunakan 2 kali atau lebih
sehari setelah mandi. Hindari pemakaian pelembab setelah pemakaian terapi
topikal karena menyebabkan dilusi obat topikal.5
Tersedia beberapa bentuk sediaan pelembab yang dapat digunakan
untuk DA. Pelembab tersedia dalam bentuk lotion, krim atau salap.4 Biasanya
penggunaan pelembab dalam bentuk salap yang cukup tebal dan lengket
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
71
Triana Agustin
lebih efektif. Lotion banyak mengandung air dapat meningkatkan evaporasi
sehingga apabila dibandingkan dengan krim dan salap kurang efektif dalam
mengatasi xerosis cutis.8 Pemakaian pelembab dapat mengurangi gejala penyakit,
memperbaiki sawar kulit dan mengurangi penggunaan kortikosteroid. Beberapa
pelembab dapat menyebabkan iritasi karena mengandung pengawet, pewangi
dan pelarut. Pelembab yang bersifat oklusif biasanya tidak nyaman, dapat
menyebabkan miliaria dan folikulitis. Pada kondisi demikian perlu dipikirkan
penggunaan pelembab yang kurang bersifat oklusif. 4 Pemakaian pelembab yang
tidak nyaman dapat mengurangi kepatuhan pasien.8
Penghindaran faktor pencetus
Sebagian besar pasien mengeluh gatal saat udara panas dan berkeringat karena
terjadi vasodilatasi yang meningkat terutama pada lesi kulit inflamasi. Anak
dengan DA biasanya aktif dalam olahraga misalnya renang. Air kolam renang
mengandung klorin, maka sebaiknya kulit dilindungi dengan penggunaan
emolien dengan jumlah tebal setelah tabir surya yang dapat melindungi kulit
berkontak dengan klorin, sehingga mengurangi risiko iritasi. Segera mandi
setelahnya dan menggunakan pelembab setelah mandi. Pendingin udara saat
udara panas dapat mengurangi pruritus. Anak sebaiknya berdiam terlebih
dahulu di ruangan dengan pendingin udara setelah aplikasi tebal emolien.
Apabila berkeringat tidak dapat dihindari gunakan pelembab yang kurang
oklusif. Pruritus dan miliaria dapat timbul setelah pemakaian emolien tebal
pada kondisi udara panas. Kelembaban rendah juga meningkatkan terjadinya
xerosis cutis dan menginduksi DA.4,8
Saliva merupakan iritan menyebabkan lesi dermatitis atopik pada wajah.
Melindungi area wajah sebelum makan dapat mencegah terjadinya dermatitis.
Pada anak yang lebih besar sering terjadi lip-licker dermatitis karena saliva.8
Perhatian terhadap bahan pakaian juga penting, hindari penggunaan
pakaian berbahan kasar dan wool. Saat ini didisain bahan pakaian yang dapat
menurunkan kolonisasi bakteri dan mencegah sensitisasi tungau debu rumah.
Anak dengan DA harus menghindari penggunaan sabun, detergen, pelembut
bahan, pewangi, pengawet dan bubble baths. Asap rokok harus dihindari karena
dapat meningkatkan pruritus dan iritasi, serta meningkatkan terjadinya asma.8
Penutup
Salah satu dasar patogenesis DA berhubungan dengan penurunan fungsi sawar
kulit yang disebabkan karena defek gen fillagrin, penurunan kadar seramid,
peningkatan enzim proteolitik endogen dan terdapat peningkatan TEWL.
Sehingga perbaikan sawar kulit, perawatan kulit optimal dan penghindaran
faktor pencetus berperan penting dalam tata laksana DA.
72
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Perawatan Kulit sebagai Pencegahan Dermatitis Atopik
Daftar pustaka
1. Cork MJ, Danby SG, Vasilopoulos Y, Hadgraft J, Lane ME, Moustafa M, dkk.
Epidermal barrier disfunction in atopic dermatitis. J Invest Derm. 2009;129:1892908.
2. Kezic S, Novak N, Jakasa I, Jungersted JM, Simon M, Brandner JM, MiddelkampHup MA, dkk. Skin barrier in atopic dermatitis. Frontiers in Bioscience
2014;19:542-56.
3. Cork MJ, Danby S, Vasilopoulos Y. Epidermal barrier dysfunction in atopic
dermatitis. Dalam: Reitamo S Luger TA and Steinhoff MS, penyunting. Textbook
of atopic dermatitis. Kota: Penerbit; 2008. h. 35-57
4. Leung DYM, Eichenfield LF. Boguniewicz atopic dermatitis. Dalam: Goldsmith
LA, Katz SJ, Paller AS, Leffell DJ, Wolf FF, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology
in general medicine. Edisi ke-8. New York: The McGraw-Hill Company.inc; 2012.
h. 165-82
5. Rubel D, Thirumoorthy T, Soebaryo RW, Weng SCK, Gabriel TM, Villafuerte LL,
dkk. Consensus guidelines for management of atopic dermatitis: An Asia-Pacific
perspective. Journal of Dermatology. 2013;40:160-71.
6. Moncrief G, Cork M, Lawton S, Kokiet S, Daly C, Clark C. Use of emolient in
dry-skin conditions: Consesus statement.Clin Exp. 2013;38:231-8.
7. Bieber T. Atopic dermatitis. N Engl J Med. 2008;358:1483-94.
8. Paller AS, Mancini AJ. Eczematous eruptions in childhood. Hurwitz clinical
pediatric dermatology. Edisi ke-4. Edinburg: Elsevier Saunders; 2011. h.37-70.
9. Sirikudta W, Kulthanan K, Varothai S, Nuchkull P. Moisturizer for patients with
atopic dermatitis. An overview. J Allergy Ther. 2013;4:1-6.
10. Darlenski R, Kazandjieva J, Tsankov N. Skin barrier function: Morphological basis
and regulatory mechanisms. J Clin Med. 2011;4:36-45.
11. Chang MW, Orlow SJ. Neonatal, pediatric, and adolescent dermatology. Dalam:
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolf K, penyunting.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw
Hill; 2012. h.935-54.
12. Hon KL, Leung AKC, Baeankin B. Barrier repair therapy in atopic dermatitis: An
over view. Am J Clin Dermatol. 2013;14;389-99.
13. Krafchik BR, Jacob S, Bieber T, Dinoulos JGH, Simpson E. Eczematous dermatitis.
Dalam: Schachner LA, Hansen RC, penyunting. Pediatric Dermatology. Edisi ke-4.
China: Mosby Elsevier; 2003. h. 851-5.
14. Draelos ZD. Modern moisturizer myths, misconceptions, and truth. Cutis.
2013;91:308-14.
15. Kraft JN, Lynde CW. Moisturizer: What they are and a practical approach to
product selection. Skin Therapy Lett. 2005;10;1-8.
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
73
Tujuh Hal yang Perlu Diperhatikan dalam
Penulisan Resep untuk Anak
Nafrialdi
Tujuan:
1. Memahami tujuan pembuatan puyer
2. Memahami hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan
puyer
Pasien anak merupakan kelompok yang unik karena mencakup individu mulai
dari neonates sampai usia menjelang dewasa. Oleh karena itu dosis pada pasien
anak sangat bervariasi tergantung dari usia atau berat badan. Sebagaimana
diketahui, obat yang lazim tersedia untuk anak berbentuk sirop dengan takaran
sendok. Sebagian anak membutuhkan dosis yang sulit disesuaikan dengan
takaran tersebut. Adakalanya pasien anak membutuhkan obt yang hanya
tersedia dalam bentuk tablet. Dalam keadaan ini, obat puyer merupakan jalan
keluar yang praktis.
Di sisi lain, arus globalisasi yang semakin deras beberapa tahun
belakangan ini menuntut adanya standardisasi internasional dalam berbagai
bidang, termasuk dalam penyediaan obat. Tuntutan ini diperkuat lagi dengan
mengemukanya issue patient safety. Berbagai hal yang tidak sesuai dengan standar
internasional dituntut agar ditinggalkan. Pembuatan obat puyer adalah salah satu
contoh praktek medik yang tidak sesuai dengan standar good manufacturing
practice (GMP). Namun, seperti yang disebutkan di atas, variasi dosis pada anak
menyebabkan puyer masih merupakan cara yang tidak mungkin ditinggalkan
secara total.
Kebutuhan akan obat puyer
Penggunaan obat puyer sudah memiliki sejarah yang panjang. Sejak lama
berbagai negara di seluruh dunia menggunakan obat puyer. Bahkan pengetahuan
dan keterampilan pembuatan obat pyer diajarkan di fakultas kedokteran,
fakultas farmasi, dan sekolah asisten apoteker. Oleh karenanya, apoteker, asisten
apoteker, dan dokter merupakan orang yang secara resmi diberi wewenang
74
Tujuh Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Penulisan Resep untuk Anak
membuat obat puyer.Namun dengan perkembangan zaman, pemakaian obat
puyer semakin berkurang, dan bahkan di negara-negara maju sudah ditinggalkan
sama sekali.1,2Di negara kitapun para pakar farmasi, farmakologi dan banyak
dokter menganjurkan agar pemakaian obat puyer ditinggalkan.
Pada tahun 2008, Yayasan Orang Tua Peduli (YOP) bekerja sama dengan
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Jakarta dan Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia menyelenggarakan suatu symposium dengan tema: Quo
Vadis obat puyer. Pertemuan ilmiah ini diharapkan menandai berakhirnya
kontroversi obat puyer. Para pakar dari berbagai disiplin ilmu ikut menyumbang
pendapat dalam acara tersebut yang pada intisarinya menyimpulkan bahwa
praktek penggunaan obat puyer sudah saatnya diakhiri. Salah satu alasan
yang paling mengemuka adalah bahwa kontrol kualitas obat puyer sangat
sulit dilakukan karena tingginya kemungkinan kesalahan manusia. Selain itu,
penggunaan obat puyer dianggap memberi andil besar bagi praktek polifarmasi
dan pemakaian obat yang tidak rasional.1-3
Tidak dapat dipungkiri bahwa sampai sekarang pemakaian obat puyer di
negara berkembang masih cukup luas. Bahkan banyak dokter (terutama dokter
anak) masih sulit melepaskan diri dari pemakaian obat puyer. Berbagai obat
kardiovaskuler seperti kaptopril, furosemid, digoksin, dan berbagai obat lainnya
umumnya tersedia dalam bentuk tablet. Untuk pasien anak dengan kelainan
kardiovaskuler, puyer merupakan jalan keluar yang fleksibel dan dapat dipercaya
akan memberi dosis yang lebih tepat bila dibandingkan dengan pemberian dalam
bentuk pecahan seperti 1/3 tablet, 2/3 tablet, 3/5 tablet, dan lain-lain.
Walaupun banyak kontroversi, sebenarnya belumada larangan resmi
penggunaan obat puyer oleh pemerintah atau kementrian kesehatan. Bahkan
di hampir semua fakultas kedokteran di Indonesia, keterampilan meresepkan
dan membuat puyer masih tetap diajarkan pada mahasiswa.
Dengan beberapa alasan diatas dapat dipahami, bahwa obat puyer masih
harus diberi tempat dalam pelayanan kesehatan, terutama untuk pasien anak.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan
Menghadapi dua kontroversi ini, di satu sisi adanya tuntutan standar GMP
yang tinggi dalam penyediaan obat, dan di sisi lain adanya kebutuhan akan
obat puyer yang jauh dari standar GMP tersebut, maka yang harus dilakukan
adalah mengupayakan agar puyer memiliki kualitas yang baik dan aman untuk
digunakan. Dalam kesempatan ini akan disampaikan bebarapa hal yang perlu
diperhatikan dalam peresepan obat, terutama puyer.
1. Pada prinsipnya, pemakaian obat puyer perludiminimalkan. Puyer hanya
digunakan bila tidak ada sediaan obat jadi yang bisa mengakomodasi
kebutuhan dosis yang unik untuk anak. Contohnya adalah seperti contoh
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
75
Nafrialdi
furosemide, kaptopril, amlodipine, dan lain-lain yang hanya tersedia dalam
bentuk tablet. Sedangkan untuk obat yang tersedia dalam bentuk sirop
ketepatan dosis dapat diperoleh dengan menggunakan pipet takar.
2. Gunakan jumlah bahan aktif sesedikit mungkin.
Kemudahan pencampuran beberapa obat dalam puyer sangat memfasilitasi
tindakan polifarmasi. Tidak jarang ditemukan puyer yang terdiri dari lebih
dari lima, bahkan ada yang lebih dari sepuluh bahan aktif sekaligus, suatu
hal yang sulit terrealisasi bila menggunakan obat jadi karena akan sulit
membrikan pada anak. Dalam hal ini, perlu dihimbau agar para dokter
memperhatikan sisi rasionalitas pemberian obat. Hanya obat dengan
indikasi yang kuat saja yang boleh dimasukkan dalam puyer.
3. Jangan menyimpan sisa puyer.
Puyer bersifat tidak stabil dan tidak terlindungi dari kelembaban udara.
Oleh karena itu tidak ditujukan untuk pemakaian jangka panjang. Bila
sakit sudah sebuh, maka sisa puyer harus dibuang.
4. Perhatikan potensi interaksi masing-masing komponen.
Beberapa obat yang dicampur berpotensi menimbulkan interaksi
sebelum masuk ke dalam tubuh, yang dikenal sebagai interaksi
farmaseutikal.4,5Semakin banyak obat yang digabungkan, maka semakin
sulit meramalkan interaksi yang akan terjadi. Obat-obat yang bersifat
higroskopis atau berbentuk protein seperti enzim umumnya mudah
bereaksi, sehingga tidak boleh digunakan dalam puyer. Demikian juga
obat bersifat ion seperti antasida, mudah berikatan dengan obat lain dan
menghambat kerja obat. Selain itu, bahan yang dikenal mudah bereaksi
seperti antasida dengan kuinolon, tetrasiklindengan zat besi, dll, juga
seharusnya tidak diberikan dalam bentuk puyer.Penambahan obat lain
dalam sediaan obat cair merupakan tindakan berrisiko untuk terjadinya
reaksi inkompatibiltas antar bahan. Oleh karena itu seyogyanya harus
dihindari.4
Pihak yang setuju dengan pemakaian puyer sering mengemukakan dalih
bahwa reaksi kimia biasanya terjadi dalam larutan, sedangkan dalam
bentuk kering reaksi kimia umumnya tidak terjadi atau terjadi secara sangat
terbatas.
5. Obat formulasi khusus.
Sebagian obat dibuat dalam formulasi khusus seperti sediaan lepas lambat,
salut selaput atau enteric coated, dan lain-lain. Sediaan lepas lambat bila
76
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Tujuh Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Penulisan Resep untuk Anak
digerus akan kehilangan sifat lepas lambatnya dan akan diabsorpsi dengan
cepat. Hal ini dapat meningkatkan risiko toksisitas. Sediaan enteric coated
digunakan untuk obat yang mudah dirusak oleh asam lambung. Bila digerus,
maka obat ini akan langsung berhadapan dengan asam lambung dan akan
mengalami pengrusakan. Asam klavulanat merupakan obat yang sangat
tidak stabil, dan akan kehilangan aktivitasnya bila terpajan pada udara
luar. Oleh karena itu tidak boleh dimasukkan dalam puyer.
6. Jangan mencampur antibiotik dangan obat simtomatik. Antibiotik
umumnya diperlukan untuk pemakaian samapai beberapa hari tertentu,
sedangkan obat simtomatik hanya digunakan untuk memgurangi gejala
dan boleh dihentikan bila gejala penyakit sudah reda. Perbedaan interval
pemberian juga merupakan alasan agar tidak menggabungkannya.
7. Masalah higienisitas / sterilitas.
Pembuatan obat yang menjamin sterilitas mutlak diperlukan untuk obat
injeksi, sedangkan untuk obat oral, syarat sterilitas tidak mutlak. Namun
perlu diupayakan agar pembuatan puyer dilakukan dengan cara yang
higienis agar kontaminasi kuman dapat diminimalisir. Dalam kaitannya
dengan pembuatan puyer, alat-alatnya harus dibersihkan secara saksama,
sebaiknya dilanjutkan dengan pembersihan menggunakan alkohol sebelum
proses peracikan dilakukan.Untuk mengatasi masalah ini, pembuatan puyer
dengan mesin akan lebih aman dan lebih higienis. Atau setidaknya, segala
cara untuk meningkatkan higienisitas perlu diupayakan.
Kesimpulan
yy
yy
yy
yy
Puyer merupakan bentuk obat yang penggunaannya sebaiknya dikurangi
atau dihindarkan karena jauh dari standar cara pembuatan obat yang baik.
Namun dari sisi lain, puyer memberi solusi praktis dalam pengaturan dosis
untuk anak.
Usahakan penggunaan jumlah obat sesedikit mungkin.
Prinsip penggunaan obat yang rasional dengan memperhatikan indikasi,
kontraindikasi, potensi interaksi perlu diterapkan.
Pihak penyedia obat (apotek) perlu memperhatikan aspek kebersihan/
sterilitas alat, kecermatan prosedur, dan ketelitian.
Daftar pustaka
1. https://keperawatankita.wordpress.com/2009/05/06/puyer-bermampaatkah-andabisa-menentukan/(diunduh 16 April 2015)
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta
77
Nafrialdi
2. Rianto Setiabudy. Obat racikan puyer dan permasalahannya. https://groups.yahoo.
com/neo/groups/Bayi-Kita/conversations/topics/25840 (diunduh 16 April 2015)
3. Pemberian Resep Puyer Adalah Bentuk Pengobatan Tak Rasional.
HealthnewsWed, 14 May 2008. http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.
aspx?x=healthnews&y=cybermed|0|0|5|4503(diunduh 18 April 2015)
4. Arini Setyawati. Interaksi obat. Dalam. Gan S, Setiabudy R, Nafrialdi, penyunting.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta:Balai Penerbit FKUI;2013. h. 862-75
5. BuxtonIain L. O. Pharmacokinetics and pharmacodynamics: the dynamics of drug
absorption, distribution, action, and elimination. Dalam: Goodman and Gilman’s.
Pharmacological basis of therapeutics. Edisi ke-11. New York: McGraw-Hill; 2011.
78
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XII
Download