BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Kebijakan Politik tentang Agama Khonghucu a. Pengertian Kebijakan Politik Definisi kebijakan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Pusat Bahasa Depdiknas, 2005: 149) adalah 1) kepandaian; kemahiran; kebijaksanaan; 2) rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dsb); pernyataan citacita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran. Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Menurut Ealau dan Prewitt, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu). Titmuss mendefinisian kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu (Suharto, 2010: 7). Definisi lain menjelaskan bahwa kebijakan merupakan keputusan-keputusan publik yang diambil oleh negara dan dilaksanakan oleh aparat birokrasi. Kebijakan ini tentunya merupakan sebuah proses politik yang kompleks. Prosesnya meliputi tujuan-tujuan negara dan cara pengambilan keputusannya, orang-orang atau kelompok- 13 14 kelompok yang dilibatkan, dan bagaimana kebijakan ini dilaksanakan oleh aparat birokrasi (Budiman, 2002:89). Menurut Miriam Budiardjo (2008: 20), kebijakan (policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu. Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah seperangkat tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pejabat, tindakan tersebut berkaitan dengan pengambilan keputusan dan mengandung tujuan politik serta dilaksanakan oleh aparat birokrasi. Kebijakan yang dimaksud disini disepadankan dengan kata bahasa Inggris yaitu policy yang berbeda dengan kata kebijaksanaan. Adapun dalam kajian teori ini megambil pengertian kebijakan politik. Dalam mengartikan kebijakan politik tidak dapat terlepas dari kebijakan publik atau public policy. Kebijakan politik yang dimaksud disini adalah bagian bidang dari kajian kebijakan publik. Menurut Thomas Dye, kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan. Sedangkan James E. Anderson mengartikan kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah (Subarsono, 2005: 2). Sependapat dengan dua pendapat tersebut, kebijakan publik dipahami sebagai pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat atau badan pemerintahan dalam bidang tertentu. Bidang tertentu yang dimaksud tersebut adalah bidang politik, sehingga kebijakan politik yang dimaksud 15 disni berupa, keputusan Presiden Intruksi presiden dan berbagai peraturan pemerintah. Dalam proses perumusan kebijakan, faktor-fakor yang mempengaruhi pembuatan kebijakan (Suharno, 2010:52), antara lain: 1) adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar 2) adanya pengaruh kebiasaan lama (konservatifme) 3) adanya pengaruh sifat-sifat pribadi 4) adanya pengaruh dari kelompok luar 5) adanya pengaruh keadaan masa lalu David Easton (Suharno, 2010: 69) dalam Political System menguraikan model sistem politik dalam perumusan kebijakan. Model ini didasarkan pada konsep-konsep teori informasi (inputs, withinputs, dan feedback) dan memandang kebijakan publik sebagai respons suatu sistem politik terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, geografis dan sebagainya, yang ada disekitarnya. Dengan demikian, dalam model ini kebijakan publik dapat dipandang sebagai hasil (output) dari sistem politik. Konsep sistem politik mempunyai arti bahwa sejumlah lembaga-lembaga dan aktivitas politik dalam masyarakat yang berfungsi mengubah masukan (inputs) yang berupa tuntutan-tuntutan (demands), dukungan-dukungan (supports) dan sumber-sumber (resources) menjadi keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan yang otoritatif bagi seluruh anggota masyarakat (outputs). Secara singkat, sistem politik berfungsi mengubah inputs menjadi outputs. 16 Gambar 1. Model Sistem Politik menurut David Easton (1957:384) b. Kebijakan dan Diskriminasi Politik Agama Khonghucu Awal dari diskriminasi etnis di Indonesia adalah adanya peninggalan politik hukum kolonial yang memecah belah masyarakat Indonesia (devide et impera) yang dikenal dengan tiga golongan, yaitu Eropa, Bumiputera, dan Timur Asing. Diskriminasi politik yang dialami oleh etnis minoritas kemudian berlanjut ke masa selanjutnya. Selama rezim orde baru (orba) Soeharto, berbagai kebijakan dan tindakan diberlakukan kepada suatu kelompok warga Indonesia, yaitu kelompok etnis Tionghoa, yang maksudnya dan manifestasinya sangat diskriminatif (Tan, 2008:273). Perlakuan diskriminatif pada masa orba yaitu terbatasnya masyarakat Tionghoa untuk beribadah maupun mendirikan tempat ibadah. 17 Pada masa pemerintahannya, Soeharto bermaksud melakukan kebijakan asimilasi. Namun pada kenyataanya tidak berjalan dengan baik. “Sebagai contohnya, toleransi terhadap agama-agama minoritas dan pembedaan antara pribumi dan non-pribumi cenderung malahan memilah dan bukan mempersatukan etnis Tionghoa dan orang Indonesia asli. Dengan perkataan lain, etnik Tionghoa tetap terpisah dari komunitas tuan rumah” (Suryadinata 2010: 218). Kebijakan dan diskriminasi politik agama Khonghucu dalam hal ini adalah kebijakan yang telah diterapkan pada masa demokrasi terpimpin pada (1959-1965) dan pada masa pemerintahan Soeharto (1996-1998). Bahwa pada masa tersebut terdapat perlakuan yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Kebijakan asimilasi yang bersifat diskriminatif tersebut didasarkan pada pembedaan konsep pribumi dan non pribumi. Padahal, konsep penduduk asli maupun bukan penduduk asli merupakan istilah peninggalan kolonial. Semua suku di Indonesia adalah penduduk asli karena tanah kelahiran mereka berada di wilayah Indonesia. Sedangan etnis Tionghoa berasal dari Tiongkok, oleh karena itu mereka dianggap orang asing sejak zaman dahulu. Jalan satusatunya yang dapat diterima jika ingin dianggap orang Indonesia adalah dengan berasimilasi ke dalam penduduk asli Indonesia (Suryadinata, 2010: 220). Leo Suryadinata menyebut istilah “indigenisasi” terhadap kebijakan asimilasi yang diberlakukan pada masa Soeharto. Hal ini didasarkan pada pendapat Leo Suryadinata sebagai berikut: 18 Untuk mencapai “indigenisasi orang Tionghoa ini, Rezim Soeharto menerapkan sejumlah kebijakan, termasuk peraturan mengubah nama (1966), larangan merayaan hari raya dan melakukan tradisi lainnya didepan umum (1967), dan memusnahkan tiga pilar kultur Tionghoa, yaitu media berbahasa Tionghoa (1965), organisasi Tionghoa (politik maupun sosial), serta sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa (1966). Tujuan dari kebijakan tersebut adalah, lewat asimilasi, semua komunitas etnis Tionghoa sebagai komunitas yang terpisah akan lenyap (Suryadinata, 2010: 77-78). 2. Tinjauan Tentang Agama Khonghucu Agama Khonghucu adalah agama yang ada dengan mengambil nama Sang Nabi Khongcu (Kongzi/Kong Fuzi). Kongzi (Hua Yu) atau Khongcu (dialek Hokian) atau Confucius (Latin) adalah nama nabi terakhir dalam agama Khonghucu. Ia lahir tanggal 27, bulan 8, tahun 0001 Imlek atau 551 SM. Kongzi adalah nabi terbesar dalam agama Khonghucu dan oleh sebab itu banyak orang yang kemudian menamai Ru Jiao sebagai Confucianism, yang kemudian di Indonesia dikenal sebagai Agama Khonghucu (matakin.or.id, 2011). Agama ini sudah dikenal sejak 5.000 tahun lalu, lebih awal 2.500 tahun dibanding usia Kongzi sendiri.Nama yang sebetulnya lebih tepat dan yang mulai dikenalkan adalah „ajaran Ru‟, yang dalam bahasa Mandarin disebut Ru-Jiao sedang para pengikutnya disebut Ru-jia (Tjan K. & Hay: 79). Ru berarti cendekiawan atau pelajar, yang pada masa lampau mempelajari sastra, sejarah, falsafah dan kitab-kitab kuno lain. Huruf Ru berasal dari kata „ren‟ (orang) dan „xu‟ (perlu) sehingga berarti „yang diperlukan orang‟, sedangkan „Ru‟ sendiri bermakna Rou – 19 lembut hati, halus budi-pekerti, penuh susila, Yu – Yang utama, mengutama perbuatan baik, lebih baik, He – Harmonis, Selaras, Ru – Menyiram dengan kebajikan, bersuci diri. ‟Jiao berasal dari kata „xiao‟(berbakti) dan „wen‟ (sastra, ajaran). Jadi „jiao‟ berarti ajaran/sastra untuk berbakti; = agama. Maka Ru jiao adalah ajaran/agama untuk berbakti bagi kaum lembut budi pekerti yang mengutamakan perbuatan baik, selaras dan berkebajikan. Ru jiao ada jauh sebelum Sang Nabi Kongzi lahir (matakin.or.id, 2011). Istilah „Konfusianisme baru dikenal sejak tahun 1583, pada saat rombongan misionaris Jesuit pimpinan Matto Ricci (1552-1610) datang di Tiongkok dan untuk beberapa lama tinggal di Beijing. Seorang tokoh Rujia yang menonjol adalah Kongzi, dan karena mengagumiya, nama sebutan Kong Fu-Zi (Khonghucu) dilantik menjadi Konfusius, dan ajaran Ru disebut sebagai Konfusianisme jia (Tjan K. & Hay: 79). Konfusianisme datang di Indonesia sebagai agama keluarga yang sudah bersifat Tridharma (Sanjiao). Ia dibawa oleh para pendatang Tionghoa yang umumnya berasal dari provinsi Fujian dan Guandong. Maka berdirilah kelenteng-kelenteng sebagai tempat pemujaan untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan hubungan sosial diantara mereka (Tjan K. & Hay: 105). Agama Khonghucu memiliki 2 kitab utama yaitu Kitab Si Shu dan Kitab Wu Jing. Wu Jing terdiri atas : a) Shijing (Kitab Sanjak), yang berisi nyanyian religi, puji-pujian akan keagungan Tian dan nyanyian untuk upacara di istana, b) Shujing (Kitab Dokumentasi Sejarah Suci), yang berisi sejarah suci Agama Khonghucu, c) Yijing, berisi tentang penjadian alam semesta, 20 sehingga mereka yang menghayati Kitab ini akan mampu menyibak takbir kuasa Tian dengan segala aspeknya, d) Lijing (Kitab Kesusilaan), yang berisi aturan dan pokok-pokok kesusilaan dan peribadahan, serta e) Chunqiujing. Sedangkan kitab Shi shu (Kitab Suci Yang Empat), yang terdiri atas: a) Daxue (Ajaran Agung/Besar) yang berisi bimbingan dan ajaran pembinaan diri, keluarga, masyarakat, negara dan dunia. Daxue ditulis oleh Zengzi atau Zengshen, murid Kongzi dari angkatan muda, b) Zhongyong (Tengah Sempurna) yang berisi ajaran keimanan Agama Khonghucu. Zhongyong ditulis oleh Zisi atau Kongji, cucu Kongzi, c) Lunyu (Sabda Suci) yang berisi percakapan Kongzi dengan murid-muridnya. Kitab ini dibukukan oleh beberapa murid utama Kongzi, yang waktu itu berjumlah 3.000 murid, dimana 72 orang diantaranya tergolong murid utama, dan d) Kitab Mengzi yang ditulis Mengzi. Mengenai konsep ketuhanan dalam Khonghucu, agama Khonghucu percaya hanya pada satu Tuhan, yang biasa disebut sebagai Tian, Tuhan Yang Maha Esa atau Shangdi (Tuhan Yang Maha Kuasa). Tuhan dalam konsep Khonghucu tidak dapat diperkirakan dan ditetapkan, namun tiada satu wujud pun yang tanpa Dia. Dilihat tiada nampak, didengar tidak terdengar, namun dapat dirasakan oleh orang beriman(matakin.or.id). Dalam ajaran Khonghucu tidak membicarakan surga, tetapi bukan berarti Khonghucu tidak meyakini adanya surga. Ajaran Khonghucu lebih menekankan pada penataan hidup manusia di dunia dengan benar (Kuncoro, 2013: 56). 21 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/ 1965 jo. UndangUndang Nomor 5/1969, dijelaskan bahwa “agama-agama yang banyak dianut penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu (Confusius)…………”. Walaupun tidak ada catatan kapan agama Khonghucu masuk di Indonesia, tetapi dapat diperkirakan orang Tionghoa yang datang ke Indonesia setelah abad ke-15. Orang Tionghoa masuk ke Indonesia membawa adat, kebiasaan dan agama mereka, Khonghucu adalah salah satu agama yang dibawa oleh orang Tionghoa (Suryadinata, 2010: 75). Sedangkan Pramoedya Ananta Toer (1998: 212) mengatakan “kependudukan Hoakiau (etnis Tionghoa) yang pertama-tama di Indonesia sebenarnya tidak jelas”, tetapi bukti peninggalan sejarah yang bersifat tertulis ditemukan setelah tarikh Masehi. Agama Khonghucu mempunyai tempat ibadah yang bernama Litang, Miao (Bio), Kongzi Miao, Khongcu Bio dan Kelenteng. Tempat ibadah tersebut selain digunakan untuk bersembahyang juga digunakan untuk kebaktian. Pada perkembangannya, kelenteng di Indonesia juga digunakan sebagai tempat ibadah agama Buddha dan agama Tao. Setiap agama mempunyai hari besar atau hari raya keagamaan, tidak terkecuali agama Khonghucu. Agama Khonghucu mempunyai banyak hari besar kegamaan antara lain Zheng Yue (Tahun Baru Kongzili/Yinli/Xin Zheng), Chao Chun (Menyambut turunya malaikat dapur), Jing Tian Gong (Sembahyang Besar kepada Tuhan YME), Shang Yuan/Yuan Xiao atau Cap Go Meh, Zhi Sheng Ji Zhen (Hari Wafat Nabi Kongzi), Qing Ming (Hari Sadranan), Duan 22 Yang/Duan Wu/Bai Chun, Sembahyang Arwah Umum, Jing He Ping/Jing Hao Peng, Zhong Qiu (Sembahyang Purnama Raya), Zhi Sheng Dan (Hari Lahir Nabi Kongzi), Xia Yuan, Dong Zhi (Hari Genta Rohani), Hari Persaudaraan dan Naiknya malaikat dapur (Chao Chun). 3. Tinjauan Umum tentang Hak Asasi Manusia a. Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) Isu HAM masih hangat dibicarakan, apalagi perbincangan HAM dalam menjamin hak-hak warga negara. Negara mengedepankan terjaminnya keberlangsungan hidup rakyat dengan baik. Pada hakekatnya menurut Majda El Muhtaj (2009: 6) HAM merupakan hak yang melekat dengan kuat di dalam diri manusia. Keberadaannya diyakini sebagi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Istilah Hak Asasi Manusia (HAM) adalah: droit de’home (bahasa Perancis), human rights (bahasa Inggris), memenrechten (bahasa belanda). Sering juga diistilahkan sebagai natural rights (hak-hak alam/kodrat), fundamental rights (hak-hak dasar). Istilah tersebut, membawa makna perbedaan konsep dan titik berat pengakuan adanya HAM (Cholisin, 2009: 50). Secara definitif “ hak” merupakan unsur normatif dan yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan matabatnya. Hak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: a) pemilik hak b) 23 ruang lingkup penerapan hak & c) pihak yang bersedia dalam penerapan hak (Rosyada dkk, 2005: 199). Adapun beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut hak asasi manusia. Menurut Mansyur Effendi (1994:15) Hak asasi manusia sering disebut hak kodrat, hak mutlak atau dalam bahasa inggris disebut natural rights, human rights, dan fundamental rights, sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah grond rechten, mensen rechten, rechten van den mens. Berikut ini disebutkan ciri pokok hakikat HAM (Rosyada dkk, 2005: 201) : 1) HAM tidak perlu diberikan atau diberi/ diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara otomatis. 2) HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan poliik/ asal-usul sosial dan bangsa 3) HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lan. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat Hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang melekat pada seorang manusia karena kodratnya sebagai manusia. HAM berkenaan dengan martabat kemanusiaann yaitu (human dignity). “…the inherent dignity and…the equal and inalienable rights of all members of the human family…” (konsiderans paragraf pertama Universal Declaration of Human Rights). HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng. Oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun (UU No. 39 Tahun 1999, konsiderans huruf b). Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 menyebutkan bahwa: 24 hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tugas Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukun, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia Dari uraian di atas terdapat kesamaan pengertian, bahwa HAM merupakan hak yang bersifat mendasar dan kodrati. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimulan bahwa HAM adalah hak dasar yang melekat dalam diri manusia sebagai anugrah dari Tuhan yang wajib dihormati, dijunjung dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat dan negara.9 b. Hak Kebebasan Beragama Konsep HAM sesungguhnya bersifat universal, karena bertitik tolak dari manusia, bukan dari Barat atau Timur. Pandangan ini sering dikenal sebagai pandangan absolut. Namun dalam kenyataan empirik HAM ternyata selalu dalam konteks sosial. Ini terbukti dengan lahirnya piagam regional seperti HAM untuk Asia Tenggara, Amerika Latin dan Afrika dan di negaranegara Islam (Cholisin, 2009: 54). Secara universal di abad modern ini, jaminan dan perlindungan HAM sudah menjadi kebutuhan setiap negara di dunia. Majelis Umum Persatuan Bangsa-bangsa memberikan pandangannya mengenai Pernyataan untuk menghormati Hak Asasi Manusia di dunia yang dinyatakan dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Pernyataan Umum tentang Hakhak Asasi Manusia. Dalam UDHR salah satu jenis hak asasi manusia 25 mencantumkan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk bebas memeluk agama. Kebebasan untuk memeluk agama ini sejalan dengan konstitusi di Indonesia yaitu dalam UUD 1945 Pasal 29 Ayat (2) yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Selain itu keyakinan terhadap suatu agama dan perintah agama harus dilaksanakan, dalam pasal 28 E ayat (1) menyebutkan “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”, ayat (2) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Hak beragama juga diakui sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun sesuai dengan pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Konsekuensi dari adanya jaminan tersebut, setiap orang wajib menghormati kebebasan beragama orang lain (Pasal 28J Ayat (1) UUD 1945). Di sisi lain, negara bertanggung jawab untuk melindungi, memajukan, dan memenuhi kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia (Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945). Negara juga harus menjamin bahwa seseorang tidak diperlakukan secara diskriminatif atas dasar agama yang diyakini dan ibadat yang dijalankannya (Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945). 26 Menurut Jimly Asshiddiqie (2011:354) rumusan dalam pasal 29 ayat (2) itu sebenarnya tidak mengacu kepada pengertian-pengertian hak asasi manusia (human rights) yang lazim diperbincangkan. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa diantara para founding leaders yang membahas rancangan undang-undang dasar dalam sidang-sidang BPUPKI pada tahun 1945, ide-ide hak asasi manusia (human rights) belum diterima secara luas. Para penyusun rancangan undang-undang dasar sependapat bahwa hukum dasar yang hendak disusun haruslah berdasakan atas asas kekeluargaan, yaitu suatu asas yang sama sekali menentang paham liberalisme dan individualisme. Dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indoneia (BPUPKI) perbincangan mengenai hak asasi manusia sudah dibicarakan oleh founding father’s. Ir. Soekarno adalah salah satu anggota sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 yang menyampaikan gagasan atau usulan tentang dasar negara. Beliau mengusulkan perumusan dasar negara dalam usaha merumuskan Philosofische grondslag , ia mengatakan: ...Bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham”: kita bersama-sama mencari persatuan philosofische grondslag, mencari satu ‘weltanshauung’ yang kita semua setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang saudara Ki bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus... (Bahar, 1995. Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei 1945-22 Agustus 1945 hal. 71) Dalam Sidang BPUPKI yang menjadi ketua adalah Dr. K. R. T. Radjiman Wedyodiningrat dengan wakil ketua Itibangase Yosio dan R. P. Soeroso, dan ada 60 anggota sidang, serta 6 anggota sidang tambahan yang 27 hadir. Menurut Yudi Latif ( 2012: 3) Apa yang mereka idealisasikan sebagai dasar kehidupan bersama itu disarikan oleh Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945 ke dalam lima sila, yang disebutnya sebagai “dasar falsafah” (philosofische grondslag) atau “pandangan dunia” (weltanschauung) negara/bangsa Indonesia. Kelima sila yang disampaikan Ir. Soekarno antara lain: pertama, Kebangsaan Indonesia; kedua, Internasionalisme, atau perikemanusiaan; ketiga: Mufakat atau demokrasi; keempat: Kesejahteraan sosial; kelima, Ketuhanan. Kelima sila tersebutlah yang kemudian dinamakan Pancasila. Soekarno mengatakan, “Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang ahli bahasa-namanya ialah Panca Sila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi” (Bahar, 1995. Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei 1945-22 Agustus 1945 hal. 81). Menurut Ir. Soekarno Prinsip Indonesia merdeka adalah dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana yang beliau sampaikan dalam pidatonya, Prinsip Ketuhanan ! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang belum ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad saw, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi Marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang 28 ber-Tuhan. (Bahar, 1995. Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei 1945-22 Agustus 1945 hal. 80) Soekarno menginginkan negara Indonesia menjadi negara yang setiap warga negaranya mempunyai keyakinan untuk beriman kepada Tuhan. Tiaptiap orang diberikan kebebasan beragama yaitu dengan melaksanakan ibadah secara leluasa sesuai keyakinan masing-masing dan saling menghormati antar satu sama lain (toleransi). Selain itu Pancasila berbeda dengan ideologi komunisme, liberalisme ataupun sosialisme. Namun Pancasila berusaha menyaring sisi positif sosialisme, liberalisme, dan individualisme. Sebagaimana tercantum dalam sila-sila dalam Pancasila. 4. Tinjauan Umum Tentang Pluralisme dan Multikulturalisme a. Pengertian Pluralisme Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga (2005: 883), Plural artinya jamak; lebih dari satu. Pluralis: kategori jumlah yang menunjukkan lebih dari satu atau lebih dari dua dalam bahan yang mempunyai dualis. Pluralisme: keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya). Istilah pluralisme berasal dari akar kata latin, plus, pluris, yang secara harfiah berarti: lebih dari satu. Dalam pengertian filosofisnya, pluralisme adalah paham atau ajaran yang mengacu kepada adanya kenyataan yang lebih dari satu (individu) (Yewangoe, 2009: 76). Di Indonesia kata pluralisme sering diartikan berbeda dengan plural. Terkadang masyarakat alergi dengan kata pluralisme. Hal itu disebabkan 29 berkembangnya istilah pluralisme yang bergeser dari istilah awalnya. Hamid Fahmy Zarkasyi menjelaskan terdapat dua makna pengertian pluralisme. Pengertian yang pertama adalah toleransi dimana masing-masing agama, ras, suku, dan kepercayaan berpegang pada prinsip masing-masing dan menghormati prinsip dan kepercayaan orang lain. Sedangkan pluralisme dalam arti kedua sudah tidak berpegang pada suatu dasar apapun (Republika, 14 Mei 2009). Di dalam sejarah perjalanan Nabi Muhammad SAW., pluralisme telah menjadi contoh nyata yang di dalam konsepsi Islam disebut Piagam Madinah (Syam, 2009: 60). Di dalam Piagam Madinah terdapat 47 pasal yang mencakup hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban bernegara, perlindungan hukum, hingga toleransi beragama. Konsep tentang mengakui dan melindungi pemeluk agama lain tertuang dalam piagam madinah. Di masa Nabi Muhammad SAW, hubungan antarsesama warga negara yang berbeda agama, suku, dan etnis telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini menandakan bahwa pluralisme merupakan konsep toleransi yang telah ada sejak berabad-abad yang lampau. Pluralisme bukan pula sekedar pengakuan bahwa keadaan atau fakta seperti itu memang ada dalam kenyataan. Pluralisme adalah suatu sikap yang mengakui dan sekaligus menghargai, menghormati, memelihara dan bukan mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak itu. Pluralisme dapat pula berarti kebijakan atau politik yang mendukung pemeliharaan kelompok-kelompok berbeda-beda asal etnik, pola 30 budaya, agama dan seterusnya (Kautsar Azhari Noer, 2005: 82). Sedangkan menurut Ramlan Surbakti (2007:102), Pluralisme adalah suatu sistem yang memungkinkan semua keputusan dalam masyarakat bersaing secara bebas untuk mempengaruhi proses politik sehingga tercegah terjadinya suatu kelompok mendominasi kelompok lain. Dari beberapa pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa pluralisme merupakan suatu keadaan masyarakat yang majemuk, dimana dalam suatu sistem masyarakat tersebut dibutuhkan sikap mengargai dan toleransi. Pluralisme yang dimaksud disini adalah pluralisme yang diartikan sebagai toleransi dimana masing-masing agama, ras, suku, dan kepercayaan berpegang pada prinsip masing-masing dan menghormati prinsip dan kepercayaan orang lain. b. Posisi Minoritas dalam Pluralitas Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga (Pusat Bahasa Depdiknas, 2005: 745) yang dimaksud minoritas adalah golongan sosial yang jumlahnya lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan lain dalam suatu masyarakat dan karena itu didiskriminasi oleh golongan lain itu. Minoritas adalah kelompok-kelompok yang paling tidak memenuhi tiga gambaran berikut: (1) anggotanya sangat tidak diuntungkan, sebagai akibat dari tindakan diskriminasi orang lain terhadap mereka; (2) anggotanya memiliki solidaritas kelompok dengan “rasa kepemilikan bersama”, dan mereka memandang dirinya sebagai “yang lain” sama sekali dari kelompok 31 mayoritas; (3) biasanya secara fisik dan sosial terisolasi dari komunitas yang lebih besar (Terre, 2010). Oleh karena itu, minoritas sering dikaitkan dengan diskriminasi yang mereka alami dalam masyarakat majemuk. Minoritas dalam posisi pluralitas sering dihadapkan pada pengakuan atas identitas, hal ini berdasarkan pendapat Will Kymlicka (2011: 13) sebagai berikut: Masyarakat modern semakin sering dihadapkan pada kelompok minoritas yang menuntut pengakuan atas identitas mereka dan diterimanya perbedaan budaya mereka. Hal ini disebut sebagai tantangan dari „multikulturalisme‟. Namun istilah „multikultural‟ mencakup berbagai bentuk pluralisme budaya yang berbagai cara di mana minoritas menyatu dengan komunitas politik, mulai dari penaklukan dan penjajahan masyarakat yang sebelumnya memerintah sendiri sampai pada imigrasi sukarela perorangan dan keluarga. Perbedaan dalam cara penggabungan itu mempengaruhi sifat dari kelompok minoritas dan bentuk hubungan yang mereka kehendaki dengan masyarakat yang lebih luas. Pada dasarnya setiap manusia mempunyai hak yang sama dengan tidak membedakan ia etnis minoritas ataupun mayoritas, tetapi pada kenyataanya etnis minortias sering mengalami perlakuan yang berbeda dalam masyarakat majemuk. Kelompok mayoritas sering didahulukan dalam masyarakat dalam berbagai bidang. Bagi kelompok etnis minoritas perlakuan dan pemenuhan hak dari pemerintah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara tanpa memandang suku ataupun etnis. Selama menjadi warga negara Indonesia maka pemenuhan kaum minoritas dalam pluralitas dijamin oleh sistem hukum dan politik yang toleran. Tidak berbeda dengan kaum minoritas, kelompok minoritas berhak untuk menikmati hak-hak 32 mereka sebagai manusia (HAM) dan hak sebagai warga negara (dalam konteks politik). c. Multikulturalisme Definisi multikulturalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga (Pusat Bahasa Depdiknas, 2005: 762), adalah gejala pada seseorang atau suatu masyarakat yang ditandai oleh kebiasaan menggunakan lebih dari satu kebudayaan. Menurut Suharno (2011:14), multikulturalisme merupakan konsep pengelolaan masyarakat yang secara cultural majemuk, sekecil apapun tingkat dan lingkup kemajemukan budaya tersebut, dengan memberikan pengakuan (rekognisi) atas eksistensi komponen kemajemukan tersebut. Istilah multikulturalisme digunakan pemerintah Kanada untuk kebijakan pasca tahun 1970-an yang mempromosikan polietnisitas dan bukan asimilasi bagi para imigran. Will Kymlicka (2011: 13-14) tidak menyebutkan secara definitif apa yang dimaksud dari istilah multikulturalisme. Ia menjelaskan dalam keanekaragaman kebudayaan dibedakan negara multibangsa dan kelompok etnis. Negara yang penduduknya lebih dari satu bangsa adalah negara multibangsa. Negara multibangsa adalah keanekaragaman kebudayaan timbul dengan masuknya ke dalam negara yang lebih besar. Sedangkan negara polietnis adalah dimana keanekaragaman budaya timbul dari imigrasi perorangan dan keluarga. 33 Jika merujuk pendapat Bhikku Parekh tentang keragaman, ia menyebutkan bahwa ada lima macam multikulturalisme (Suharno, 2011:1213), secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, isolasionis, yang mengacu kepada masyarakat yang memiliki berbagai kelompok cultural yang ada didalamnya menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya miniml antara yang satu dengan yang lainnya. Kedua, akomodatif, yakni masyarakat plural yang memiliki kultur dominan, yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultutal kaum minoritas. Ketiga, ekonomis, yaitu masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kulturl utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan ekonomi dalam kerangka politik yang secara kolektif dapat diterima. Keempat, kritikal atau interaktif yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok cultural tidak terlalu concern dengan kehidupan cultural otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka. Kelima, cosmopolitan, masyarakat ini berusaha menghapuskan batas-batas cultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat dimana setiap individu tidak lagi terikat dan committed kepada budaya tertentu, sebaliknya secara bebas terlibat dalam eksperimeen interkulturl dan sekaligus mengembangkan kehidupan cultural masing-masing. Lebih lanjut, Parekh mengemukakan ada tiga macam diversitas kebudayaan dalam dunia modern (Shahab, 2006: 210-211). Pertama,, 34 subcultural diversity yang merujuk pada kelompok orang walaupun anggotaanggotanya secara bersama menyandang kebudayaan yang sama, sebagian dari mereka memiliki dan menjalankan kepercayaan yang berbeda dalam beberapa aspek kehidupan atau mengembangkan cara hidup yang berbeda untuk kelompok mereka. Kedua, perspectival diversity, yaitu beberapa anggota sangat kritis terhadap prinsip atau nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan mereka dan mencari untuk membentuk kembali dalam jalur yang benar. Misalnya gerakan feminis yang menyerang bias patriarkat. Ketiga, communal diversity yaitu masyarakat moderen juga melingkupi beberapa selfconsciousness dan komunitas yang terorganisir dengan baik yang hidup dengan sistem kepercayaan dan praktik yang berbeda. Mereka terdiri dari imigran yang baru datang atau yang telah mapan atau komunitas agama dan kelompok kebudayaan yang terkonsentrasi di satu wilayah misalnya penduduk asli. Multikulturalisme yang dimaksud dalam hal ini adalah konsep kemajemukan atau keberagaman dari suatu kebudayaan. Jika merujuk pada macam-macam multikulturalisme yang disebutkan Parekh tersebut, Indonesia termasuk kategori kedua yaitu akomodatif. Dapat dicontohkan dalam masyarakat mayoritas yang beragama Islam di Indoesia berusaha menyesuaikan dan bertoleransi dengan masyarakat yang bergama lain, begitu pula sebaliknya. Negara tetap mengakomodasi kebutuhan kaum minoritas. Walaupun pada praktiknya masih belum sepenuhnya terpenuhi hak-hak kaum minoritas, tetapi sudah ada upaya untuk mengakomodasi masyarakat plural. 35 Pada kenyataannya di negara Indonesia tidak dapat dikelompokkan kedalam salah satu bentuk-bentuk diversitas kebudayaan tersebut diatas. Indonesia mengandung ketiga bentuk diversitas yang disebutkan oleh Parekh, sehingga masalah multikulturalisme di negara ini sangat kompleks. Atas dasar keanekaragaman yang komplek tersebut, keanekaragaman dalam masyarakat Indonesia lebih dikenal dengan istilah masyarakat multikultural. Oleh karena itu, terdapat semboyan yang dimiliki Indonesia yakni Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Perbedaan atas kebudayaan tersebutlah digunakan untuk memaknai istilah Multikulturalisme di Indonesia. 5. Tinjauan tentang Hubungan Agama dan Negara Pada umumnya negara dipandang mempunyai kewenangan yang sah untuk mengatur dan memaksa. Lebih lanjut, Ramlan Surbakti (2007: 49) menjelaskan bahwa dalam realitas analitis, negara merupakan aspek politik hubungan sosial yang bersifat dominatif; dan dalam wujud yang konkret, negara merupakan seperangkat institusi dan norma-norma hukum yang menjalankan dan menegakkan dominasi tersebut. Tujuan negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan Undang-undang dasar 1945 alinea keempat yaitu: a. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia b. Memajukan kesejahteraan umum c. Mencerdaskan kehidupan bangsa 36 d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, keadilan sosial Dengan demikian negara dalam hal ini ikut melaksanakan terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan bagi warga negaranya. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan negara tersebut harus direalisasikan dalam kehidupan bernegara. Bahwa dalam menjamin hak-hak warga negaranya, negara mempunyai kewajiban dan memberikan pemenuhan hak bagi warga negaranya. Indonesia memberikan kedudukan yang fundamental dan tertuang dalam dasar negara Indonesia yaitu Pancasila. Dalam sila pertama dalam Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, membuktikan bahwa Indonesia memberikan kedudukan yang tinggi dalam suatu dasar negara untuk mempunyai agama dan mengakui kepercayaannya. Selain itu juga sila pertama tersebut menandakan bahwa negara mempunyai hubungan dengan agama, atau sebaliknya bahwa agama yang menjadi hal fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembahasan hubungan agama dan negara tidak dapat dipisahkan dari dasar filosofis bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Pada sila yang pertama yaitu Ketuhanan Yang maha Esa, menunjukan bahwa negara mengakui adanya Tuhan atau dapat diartikan Indonesia bukan negara sekuler. Armaidy Armawi (2009: 12) menjelaskan, dengan adanya jaminan kemerdekaan agama dari negara menunjukan bahwa negara Indonesia sangat menghargai dan menghormati agama tanpa mengadakan diskriminasi atau pembedaan 37 antara agama yang satu dengan agama yang lain. Setiap agama menerima hak, fasilitas, perlindungan serta kesempatan yang sama. Negara Indonesia juga tidak menghalang-halangi hubungan keagamaan antara warganegaranya dengan bangsa-bangsa lain atau pusat-pusat keagamaan demi kemajuan agama yang bersangkutan. B. Penelitian yang Relevan 1. Penelitian Isniwati (2011) tentang “Pemikiran Abdurahman Wahid tentang Hak Asasi Manusia di Indonesia” menjelaskan perjuangan dan keseriusan Abdurahman Wahid dalam bidang Hak Asasi Manusia patut menjadi teladan bagi anak bangsa di negeri ini. Pandangan Abdurahman Wahid sebagai tokoh Islam mempunyai paradigma sendiri dalam memahami dan mengaktualisasikan nilai-nilai HAM. Menurut Abdurahman Wahid di Indonesia banyak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dan upaya untuk menegakkan HAM hanya dapat dilakukan melalui reformasi struktural. Apresiasi Abdurahman Wahid terhadap Hak asasi manusia bukan dalam konsep saja, tetapi juga implementasinya dalam praktek, termasuk di Indonesia Abdurahman Wahid menyuaraan pelanggaran HAM seperti pembelaan terhadap hak-hak kaum minoritas (etnis Tionghoa), korban G 30 S/PKI, dan pembelaan Abdurahman Wahid terhadap Ulil Abshor Abdalla atas pemikiran liberalismenya. 2. Penelitian oleh Riana Imandasari (2010) tentang Perubahan Aliran Khonghucu menjadi Agama Khonghucu pada Masa Pemerintahan Gus 38 Dur menjelaskan bahwa: (1) Agama Khonghucu dapat masuk dan berkembang di Indonesia dikarenakan dibawa oleh orang-orang Tionghoa yang datang di Indonesia. Kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia dipengaruhi oleh adanya hubungan baik antara Tiongkok dan Indonesia. Pada abad ke-17 sebenarnya sudah ada bangunan tua yang bernama “klenteng” sebagai tempat pemujaan agama Khonghucu di Pontianak. (2) Selama Orde Baru berjaya melampaui lebih dari 30 tahun lamanya, selama itu kalangan Tionghoa mendapatkan diskriminasi sistematik dari segi hukum dan pelayanan publik yang dilakukan penguasa dan lambat laun kemudian mejadi prasangka budaya kalangan masyarakat lainnya. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur kalangan Tionghoa di Indonesia. (3) Gus Dur sangat berperan dalam eksistensi Agama Khonghucu di Indonesia. Suatu langkah besar untuk merehabilitasi etnis Tionghoa adalah keputusan Presiden Abdurahman Wahid untuk mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 yang dikeluarkan Presiden Soeharto. Peraturan penggantinya adalah Keppres No. 6 Tahun 2000. Keppres ini mengatur antara lain penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa Dikeluarkannya Keppres No. 6 Tahun 2000, hal ini juga berarti terjadinya perubahan dalam agama Khonghucu. Status agama Khonghucu sudah diakui negara. 39 Dalam penelitian yang pertama terdapat kesamaan yang akan peneliti kaji yaitu ingin menunjukkan pemikiran Gus Dur dan perannya sebagai Presiden yang mengeluarkan kebijakan politik. Sedangkan penelitian yang ke dua persamaannya terletak pada kajian penelitian yang sama yaitu perubahan aliran Khonghucu yang kemudian diakui sebagai agama Khonghucu. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan kedua penelitian di atas adalah terletak pada metode penelitiannya. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha mengembangkan penelitian lebih lanjut dari penelitian kedua. Peneliti berusaha meneliti perubahan Khonghucu yang semula tidak diakui sebagai agama namun pada masa pemerintahan Gus Dur dikembalikan posisinya sebagai salah satu agama di Indonesia. Selanjutnya peneliti berusaha membahas implikasi pemberlakuan Keppres RI No. 6 Tahun 2000 pasca reformasi dan peran pemerintah Indonesia terhadap etnis Tionghoa yang menganut agama Khonghucu.