BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Kebijakan Politik tentang

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Kebijakan Politik tentang Agama Khonghucu
a. Pengertian Kebijakan Politik
Definisi kebijakan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Ketiga (Pusat Bahasa Depdiknas, 2005: 149) adalah 1) kepandaian;
kemahiran; kebijaksanaan; 2) rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis
besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan,
dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dsb); pernyataan citacita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen
dalam usaha mencapai sasaran.
Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk
mengarahkan pengambilan keputusan. Menurut Ealau dan Prewitt, kebijakan
adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang membuatnya maupun yang
mentaatinya (yang terkena kebijakan itu). Titmuss mendefinisian kebijakan
sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada
tujuan-tujuan tertentu (Suharto, 2010: 7). Definisi lain menjelaskan bahwa
kebijakan merupakan keputusan-keputusan publik yang diambil oleh negara
dan dilaksanakan oleh aparat birokrasi. Kebijakan ini tentunya merupakan
sebuah proses politik yang kompleks. Prosesnya meliputi tujuan-tujuan
negara dan cara pengambilan keputusannya, orang-orang atau kelompok-
13
14
kelompok yang dilibatkan, dan bagaimana kebijakan ini dilaksanakan oleh
aparat birokrasi (Budiman, 2002:89). Menurut Miriam Budiardjo (2008: 20),
kebijakan (policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh
seorang pelaku atau kelompok, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk
mencapai tujuan itu.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan
adalah seperangkat tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau
pejabat, tindakan tersebut berkaitan dengan pengambilan keputusan dan
mengandung tujuan politik serta dilaksanakan oleh aparat birokrasi.
Kebijakan yang dimaksud disini disepadankan dengan kata bahasa Inggris
yaitu policy yang berbeda dengan kata kebijaksanaan.
Adapun dalam kajian teori ini megambil pengertian kebijakan politik.
Dalam mengartikan kebijakan politik tidak dapat terlepas dari kebijakan
publik atau public policy. Kebijakan politik yang dimaksud disini adalah
bagian bidang dari kajian kebijakan publik. Menurut Thomas Dye, kebijakan
publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak
melakukan. Sedangkan James E. Anderson mengartikan kebijakan publik
sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah
(Subarsono, 2005: 2). Sependapat dengan dua pendapat tersebut, kebijakan
publik dipahami sebagai pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat atau
badan pemerintahan dalam bidang tertentu. Bidang tertentu yang dimaksud
tersebut adalah bidang politik, sehingga kebijakan politik yang dimaksud
15
disni berupa, keputusan Presiden Intruksi presiden dan berbagai peraturan
pemerintah.
Dalam proses perumusan kebijakan, faktor-fakor yang mempengaruhi
pembuatan kebijakan (Suharno, 2010:52), antara lain:
1) adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar
2) adanya pengaruh kebiasaan lama (konservatifme)
3) adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
4) adanya pengaruh dari kelompok luar
5) adanya pengaruh keadaan masa lalu
David Easton (Suharno, 2010: 69) dalam
Political System
menguraikan model sistem politik dalam perumusan kebijakan. Model ini
didasarkan pada konsep-konsep teori informasi (inputs, withinputs, dan
feedback) dan memandang kebijakan publik sebagai respons suatu sistem
politik terhadap kekuatan-kekuatan lingkungan sosial, politik, ekonomi,
kebudayaan, geografis dan sebagainya, yang ada disekitarnya. Dengan
demikian, dalam model ini kebijakan publik dapat dipandang sebagai hasil
(output) dari sistem politik. Konsep sistem politik mempunyai arti bahwa
sejumlah lembaga-lembaga dan aktivitas politik dalam masyarakat yang
berfungsi mengubah masukan (inputs) yang berupa tuntutan-tuntutan
(demands), dukungan-dukungan (supports) dan sumber-sumber (resources)
menjadi keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan yang otoritatif bagi
seluruh anggota masyarakat (outputs). Secara singkat, sistem politik berfungsi
mengubah inputs menjadi outputs.
16
Gambar 1. Model Sistem Politik menurut David Easton (1957:384)
b. Kebijakan dan Diskriminasi Politik Agama Khonghucu
Awal dari diskriminasi etnis di Indonesia adalah adanya peninggalan
politik hukum kolonial yang memecah belah masyarakat Indonesia (devide et
impera) yang dikenal dengan tiga golongan, yaitu Eropa, Bumiputera, dan
Timur Asing. Diskriminasi politik yang dialami oleh etnis minoritas
kemudian berlanjut ke masa selanjutnya. Selama rezim orde baru (orba)
Soeharto, berbagai kebijakan dan tindakan diberlakukan kepada suatu
kelompok warga Indonesia, yaitu kelompok etnis Tionghoa, yang maksudnya
dan manifestasinya sangat diskriminatif (Tan, 2008:273). Perlakuan
diskriminatif pada masa orba yaitu terbatasnya masyarakat Tionghoa untuk
beribadah maupun mendirikan tempat ibadah.
17
Pada masa pemerintahannya, Soeharto bermaksud melakukan
kebijakan asimilasi. Namun pada kenyataanya tidak berjalan dengan baik.
“Sebagai contohnya, toleransi terhadap agama-agama minoritas dan
pembedaan antara pribumi dan non-pribumi cenderung malahan memilah dan
bukan mempersatukan etnis Tionghoa dan orang Indonesia asli. Dengan
perkataan lain, etnik Tionghoa tetap terpisah dari komunitas tuan rumah”
(Suryadinata 2010: 218). Kebijakan dan diskriminasi politik agama
Khonghucu dalam hal ini adalah kebijakan yang telah diterapkan pada masa
demokrasi terpimpin pada (1959-1965) dan pada masa pemerintahan
Soeharto (1996-1998). Bahwa pada masa tersebut terdapat perlakuan yang
diskriminatif terhadap etnis Tionghoa.
Kebijakan asimilasi yang bersifat diskriminatif tersebut didasarkan
pada pembedaan konsep pribumi dan non pribumi. Padahal, konsep penduduk
asli maupun bukan penduduk asli merupakan istilah peninggalan kolonial.
Semua suku di Indonesia adalah penduduk asli karena tanah kelahiran mereka
berada di wilayah Indonesia. Sedangan etnis Tionghoa berasal dari Tiongkok,
oleh karena itu mereka dianggap orang asing sejak zaman dahulu. Jalan satusatunya yang dapat diterima jika ingin dianggap orang Indonesia adalah
dengan berasimilasi ke dalam penduduk asli Indonesia (Suryadinata, 2010:
220).
Leo Suryadinata menyebut istilah “indigenisasi” terhadap kebijakan
asimilasi yang diberlakukan pada masa Soeharto. Hal ini didasarkan pada
pendapat Leo Suryadinata sebagai berikut:
18
Untuk mencapai “indigenisasi orang Tionghoa ini, Rezim Soeharto
menerapkan sejumlah kebijakan, termasuk peraturan mengubah nama
(1966), larangan merayaan hari raya dan melakukan tradisi lainnya
didepan umum (1967), dan memusnahkan tiga pilar kultur Tionghoa,
yaitu media berbahasa Tionghoa (1965), organisasi Tionghoa (politik
maupun sosial), serta sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa (1966).
Tujuan dari kebijakan tersebut adalah, lewat asimilasi, semua
komunitas etnis Tionghoa sebagai komunitas yang terpisah akan
lenyap (Suryadinata, 2010: 77-78).
2. Tinjauan Tentang Agama Khonghucu
Agama Khonghucu adalah agama yang ada dengan mengambil nama
Sang Nabi Khongcu (Kongzi/Kong Fuzi). Kongzi (Hua Yu) atau Khongcu
(dialek Hokian) atau Confucius (Latin) adalah nama nabi terakhir dalam
agama Khonghucu. Ia lahir tanggal 27, bulan 8, tahun 0001 Imlek atau 551
SM. Kongzi adalah nabi terbesar dalam agama Khonghucu dan oleh sebab
itu banyak orang yang kemudian menamai Ru Jiao sebagai Confucianism,
yang
kemudian
di
Indonesia
dikenal
sebagai
Agama
Khonghucu
(matakin.or.id, 2011).
Agama ini sudah dikenal sejak 5.000 tahun lalu, lebih awal 2.500
tahun dibanding usia Kongzi sendiri.Nama yang sebetulnya lebih tepat dan
yang mulai dikenalkan adalah „ajaran Ru‟, yang dalam bahasa Mandarin
disebut Ru-Jiao sedang para pengikutnya disebut Ru-jia (Tjan K. & Hay: 79).
Ru berarti cendekiawan atau pelajar, yang pada masa lampau mempelajari
sastra, sejarah, falsafah dan kitab-kitab kuno lain.
Huruf Ru berasal dari kata „ren‟ (orang) dan „xu‟ (perlu) sehingga
berarti „yang diperlukan orang‟, sedangkan „Ru‟ sendiri bermakna Rou –
19
lembut hati, halus budi-pekerti, penuh susila, Yu – Yang utama, mengutama
perbuatan baik, lebih baik, He – Harmonis, Selaras, Ru – Menyiram dengan
kebajikan, bersuci diri. ‟Jiao berasal dari kata „xiao‟(berbakti) dan „wen‟
(sastra, ajaran). Jadi „jiao‟ berarti ajaran/sastra untuk berbakti; = agama.
Maka Ru jiao adalah ajaran/agama untuk berbakti bagi kaum lembut budi
pekerti yang mengutamakan perbuatan baik, selaras dan berkebajikan. Ru jiao
ada jauh sebelum Sang Nabi Kongzi lahir (matakin.or.id, 2011).
Istilah „Konfusianisme baru dikenal sejak tahun 1583, pada saat
rombongan misionaris Jesuit pimpinan Matto Ricci (1552-1610) datang di
Tiongkok dan untuk beberapa lama tinggal di Beijing. Seorang tokoh Rujia
yang menonjol adalah Kongzi, dan karena mengagumiya, nama sebutan Kong
Fu-Zi (Khonghucu) dilantik menjadi Konfusius, dan ajaran Ru disebut
sebagai Konfusianisme jia (Tjan K. & Hay: 79). Konfusianisme datang di
Indonesia sebagai agama keluarga yang sudah bersifat Tridharma (Sanjiao).
Ia dibawa oleh para pendatang Tionghoa yang umumnya berasal dari provinsi
Fujian dan Guandong. Maka berdirilah kelenteng-kelenteng sebagai tempat
pemujaan untuk memenuhi kebutuhan spiritual dan hubungan sosial diantara
mereka (Tjan K. & Hay: 105).
Agama Khonghucu memiliki 2 kitab utama yaitu Kitab Si Shu dan
Kitab Wu Jing. Wu Jing terdiri atas : a) Shijing (Kitab Sanjak), yang berisi
nyanyian religi, puji-pujian akan keagungan Tian dan nyanyian untuk upacara
di istana, b) Shujing (Kitab Dokumentasi Sejarah Suci), yang berisi sejarah
suci Agama Khonghucu, c) Yijing, berisi tentang penjadian alam semesta,
20
sehingga mereka yang menghayati Kitab ini akan mampu menyibak takbir
kuasa Tian dengan segala aspeknya, d) Lijing (Kitab Kesusilaan), yang berisi
aturan dan pokok-pokok kesusilaan dan peribadahan, serta e) Chunqiujing.
Sedangkan kitab Shi shu (Kitab Suci Yang Empat), yang terdiri atas: a)
Daxue (Ajaran Agung/Besar) yang berisi bimbingan dan ajaran pembinaan
diri, keluarga, masyarakat, negara dan dunia. Daxue ditulis oleh Zengzi atau
Zengshen, murid Kongzi dari angkatan muda, b) Zhongyong (Tengah
Sempurna) yang berisi ajaran keimanan Agama Khonghucu. Zhongyong
ditulis oleh Zisi atau Kongji, cucu Kongzi, c) Lunyu (Sabda Suci) yang berisi
percakapan Kongzi dengan murid-muridnya. Kitab ini dibukukan oleh
beberapa murid utama Kongzi, yang waktu itu berjumlah 3.000 murid,
dimana 72 orang diantaranya tergolong murid utama, dan d) Kitab Mengzi
yang ditulis Mengzi.
Mengenai konsep ketuhanan dalam Khonghucu, agama Khonghucu
percaya hanya pada satu Tuhan, yang biasa disebut sebagai Tian, Tuhan Yang
Maha Esa atau Shangdi (Tuhan Yang Maha Kuasa). Tuhan dalam konsep
Khonghucu tidak dapat diperkirakan dan ditetapkan, namun tiada satu wujud
pun yang tanpa Dia. Dilihat tiada nampak, didengar tidak terdengar, namun
dapat dirasakan oleh orang beriman(matakin.or.id). Dalam ajaran Khonghucu
tidak membicarakan surga, tetapi bukan berarti Khonghucu tidak meyakini
adanya surga. Ajaran Khonghucu lebih menekankan pada penataan hidup
manusia di dunia dengan benar (Kuncoro, 2013: 56).
21
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/ 1965 jo. UndangUndang Nomor 5/1969, dijelaskan bahwa “agama-agama yang banyak dianut
penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan
Khonghucu (Confusius)…………”. Walaupun tidak ada catatan kapan agama
Khonghucu masuk di Indonesia, tetapi dapat diperkirakan orang Tionghoa
yang datang ke Indonesia setelah abad ke-15. Orang Tionghoa masuk ke
Indonesia membawa adat, kebiasaan dan agama mereka, Khonghucu adalah
salah satu agama yang dibawa oleh orang Tionghoa (Suryadinata, 2010: 75).
Sedangkan Pramoedya Ananta Toer (1998: 212) mengatakan “kependudukan
Hoakiau (etnis Tionghoa) yang pertama-tama di Indonesia sebenarnya tidak
jelas”, tetapi bukti peninggalan sejarah yang bersifat tertulis ditemukan
setelah tarikh Masehi.
Agama Khonghucu mempunyai tempat ibadah yang bernama Litang,
Miao (Bio), Kongzi Miao, Khongcu Bio dan Kelenteng. Tempat ibadah
tersebut selain digunakan untuk bersembahyang juga digunakan untuk
kebaktian. Pada perkembangannya, kelenteng di Indonesia juga digunakan
sebagai tempat ibadah agama Buddha dan agama Tao. Setiap agama
mempunyai hari besar atau hari raya keagamaan, tidak terkecuali agama
Khonghucu. Agama Khonghucu mempunyai banyak hari besar kegamaan
antara lain Zheng Yue (Tahun Baru Kongzili/Yinli/Xin Zheng), Chao Chun
(Menyambut turunya malaikat dapur), Jing Tian Gong (Sembahyang Besar
kepada Tuhan YME), Shang Yuan/Yuan Xiao atau Cap Go Meh, Zhi Sheng
Ji Zhen (Hari Wafat Nabi Kongzi), Qing Ming (Hari Sadranan), Duan
22
Yang/Duan Wu/Bai Chun, Sembahyang Arwah Umum, Jing He Ping/Jing
Hao Peng, Zhong Qiu (Sembahyang Purnama Raya), Zhi Sheng Dan (Hari
Lahir Nabi Kongzi), Xia Yuan, Dong Zhi (Hari Genta Rohani), Hari
Persaudaraan dan Naiknya malaikat dapur (Chao Chun).
3. Tinjauan Umum tentang Hak Asasi Manusia
a. Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)
Isu HAM masih hangat dibicarakan, apalagi perbincangan HAM
dalam menjamin hak-hak warga negara. Negara mengedepankan terjaminnya
keberlangsungan hidup rakyat dengan baik. Pada hakekatnya menurut Majda
El Muhtaj (2009: 6) HAM merupakan hak yang melekat dengan kuat di
dalam diri manusia. Keberadaannya diyakini sebagi bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan manusia.
Istilah Hak Asasi Manusia (HAM) adalah: droit de’home (bahasa
Perancis), human rights (bahasa Inggris), memenrechten (bahasa belanda).
Sering juga diistilahkan sebagai natural rights (hak-hak alam/kodrat),
fundamental rights (hak-hak dasar). Istilah tersebut, membawa makna
perbedaan konsep dan titik berat pengakuan adanya HAM (Cholisin, 2009:
50).
Secara definitif “ hak” merupakan unsur normatif dan yang berfungsi
sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta
menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan
matabatnya. Hak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: a) pemilik hak b)
23
ruang lingkup penerapan hak & c) pihak yang bersedia dalam penerapan hak
(Rosyada dkk, 2005: 199). Adapun beberapa istilah yang digunakan untuk
menyebut hak asasi manusia. Menurut Mansyur Effendi (1994:15) Hak asasi
manusia sering disebut hak kodrat, hak mutlak atau dalam bahasa inggris
disebut natural rights, human rights, dan fundamental rights, sedangkan
dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah grond rechten, mensen rechten,
rechten van den mens. Berikut ini disebutkan ciri pokok hakikat HAM
(Rosyada dkk, 2005: 201) :
1) HAM tidak perlu diberikan atau diberi/ diwarisi. HAM adalah
bagian dari manusia secara otomatis.
2) HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin,
ras, agama, etnis, pandangan poliik/ asal-usul sosial dan bangsa
3) HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak
untuk membatasi atau melanggar hak orang lan. Orang tetap
mempunyai HAM walaupun sebuah negara membuat Hukum yang
tidak melindungi atau melanggar HAM.
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang melekat pada
seorang manusia karena kodratnya sebagai manusia. HAM berkenaan dengan
martabat kemanusiaann yaitu (human dignity). “…the inherent dignity
and…the equal and inalienable rights of all members of the human family…”
(konsiderans paragraf pertama Universal Declaration of Human Rights).
HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia,
bersifat universal dan langgeng. Oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh
siapapun (UU No. 39 Tahun 1999, konsiderans huruf b). Dalam UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 menyebutkan bahwa:
24
hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tugas Yang Maha Esa dan
merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara hukun, Pemerintahan, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia
Dari uraian di atas terdapat kesamaan pengertian, bahwa HAM
merupakan hak yang bersifat mendasar dan kodrati. Oleh karena itu, dapat
ditarik kesimulan bahwa HAM adalah hak dasar yang melekat dalam diri
manusia sebagai anugrah dari Tuhan yang wajib dihormati, dijunjung dan
dilindungi oleh setiap individu, masyarakat dan negara.9
b. Hak Kebebasan Beragama
Konsep HAM sesungguhnya bersifat universal, karena bertitik tolak
dari manusia, bukan dari Barat atau Timur. Pandangan ini sering dikenal
sebagai pandangan absolut. Namun dalam kenyataan empirik HAM ternyata
selalu dalam konteks sosial. Ini terbukti dengan lahirnya piagam regional
seperti HAM untuk Asia Tenggara, Amerika Latin dan Afrika dan di negaranegara Islam (Cholisin, 2009: 54).
Secara universal di abad modern ini, jaminan dan perlindungan HAM
sudah menjadi kebutuhan setiap negara di dunia. Majelis Umum Persatuan
Bangsa-bangsa memberikan pandangannya mengenai Pernyataan untuk
menghormati Hak Asasi Manusia di dunia yang dinyatakan dalam Universal
Declaration of Human Rights (UDHR) atau Pernyataan Umum tentang Hakhak Asasi Manusia. Dalam UDHR salah satu jenis hak asasi manusia
25
mencantumkan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk bebas memeluk
agama.
Kebebasan untuk memeluk agama ini sejalan dengan konstitusi di
Indonesia yaitu dalam UUD 1945 Pasal 29 Ayat (2) yang berbunyi, “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya
itu”. Selain itu keyakinan terhadap suatu agama dan perintah agama harus
dilaksanakan, dalam pasal 28 E ayat (1) menyebutkan “Setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”, ayat (2) menyatakan
bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.
Hak beragama juga diakui sebagai hak yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun sesuai dengan pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Konsekuensi dari adanya jaminan tersebut, setiap orang wajib menghormati
kebebasan beragama orang lain (Pasal 28J Ayat (1) UUD 1945). Di sisi lain,
negara bertanggung jawab untuk melindungi, memajukan, dan memenuhi
kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia (Pasal 28I Ayat (4) UUD
1945). Negara juga harus menjamin bahwa seseorang tidak diperlakukan
secara diskriminatif atas dasar agama yang diyakini dan ibadat yang
dijalankannya (Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945).
26
Menurut Jimly Asshiddiqie (2011:354) rumusan dalam pasal 29 ayat
(2) itu sebenarnya tidak mengacu kepada pengertian-pengertian hak asasi
manusia (human rights) yang lazim diperbincangkan. Hal ini berkaitan
dengan kenyataan bahwa diantara para founding leaders yang membahas
rancangan undang-undang dasar dalam sidang-sidang BPUPKI pada tahun
1945, ide-ide hak asasi manusia (human rights) belum diterima secara luas.
Para penyusun rancangan undang-undang dasar sependapat bahwa hukum
dasar yang hendak disusun haruslah berdasakan atas asas kekeluargaan, yaitu
suatu
asas
yang
sama
sekali
menentang
paham
liberalisme
dan
individualisme.
Dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indoneia (BPUPKI) perbincangan mengenai hak asasi manusia sudah
dibicarakan oleh founding father’s. Ir. Soekarno adalah salah satu anggota
sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 yang menyampaikan gagasan atau
usulan tentang dasar negara. Beliau mengusulkan perumusan dasar negara
dalam usaha merumuskan Philosofische grondslag , ia mengatakan:
...Bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham”:
kita bersama-sama mencari persatuan philosofische grondslag,
mencari satu ‘weltanshauung’ yang kita semua setuju. Saya katakan
lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang saudara Ki bagoes
setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang saudara Sanoesi setujui, yang
saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui,
pendeknya kita semua mencari satu modus... (Bahar, 1995. Risalah
Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei 1945-22 Agustus 1945 hal. 71)
Dalam Sidang BPUPKI yang menjadi ketua adalah Dr. K. R. T.
Radjiman Wedyodiningrat dengan wakil ketua Itibangase Yosio dan R. P.
Soeroso, dan ada 60 anggota sidang, serta 6 anggota sidang tambahan yang
27
hadir. Menurut Yudi Latif ( 2012: 3) Apa yang mereka idealisasikan sebagai
dasar kehidupan bersama itu disarikan oleh Bung Karno pada pidato 1 Juni
1945 ke dalam lima sila, yang disebutnya sebagai “dasar falsafah”
(philosofische
grondslag)
atau
“pandangan
dunia”
(weltanschauung)
negara/bangsa Indonesia.
Kelima sila yang disampaikan Ir. Soekarno antara lain: pertama,
Kebangsaan Indonesia; kedua, Internasionalisme, atau perikemanusiaan;
ketiga: Mufakat atau demokrasi; keempat: Kesejahteraan sosial; kelima,
Ketuhanan. Kelima sila tersebutlah yang kemudian dinamakan Pancasila.
Soekarno mengatakan, “Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan
ini dengan petunjuk seorang ahli bahasa-namanya ialah Panca Sila. Sila
artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara
Indonesia, kekal dan abadi” (Bahar, 1995. Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI
28 Mei 1945-22 Agustus 1945 hal. 81).
Menurut Ir. Soekarno Prinsip Indonesia merdeka adalah dengan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana yang beliau sampaikan
dalam pidatonya,
Prinsip Ketuhanan ! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya
sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al
Masih, yang belum ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad
saw, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang
ada padanya. Tetapi Marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya
Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat
menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat
hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada
“egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang
28
ber-Tuhan. (Bahar, 1995. Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei
1945-22 Agustus 1945 hal. 80)
Soekarno menginginkan negara Indonesia menjadi negara yang setiap
warga negaranya mempunyai keyakinan untuk beriman kepada Tuhan. Tiaptiap orang diberikan kebebasan beragama yaitu dengan melaksanakan ibadah
secara leluasa sesuai keyakinan masing-masing dan saling menghormati antar
satu sama lain (toleransi). Selain itu Pancasila berbeda dengan ideologi
komunisme, liberalisme ataupun sosialisme. Namun Pancasila berusaha
menyaring sisi positif
sosialisme, liberalisme, dan individualisme.
Sebagaimana tercantum dalam sila-sila dalam Pancasila.
4. Tinjauan Umum Tentang Pluralisme dan Multikulturalisme
a. Pengertian Pluralisme
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga
(2005: 883), Plural artinya jamak; lebih dari satu. Pluralis: kategori jumlah
yang menunjukkan lebih dari satu atau lebih dari dua dalam bahan yang
mempunyai dualis. Pluralisme: keadaan masyarakat
yang majemuk
(bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya). Istilah pluralisme berasal
dari akar kata latin, plus, pluris, yang secara harfiah berarti: lebih dari satu.
Dalam pengertian filosofisnya, pluralisme adalah paham atau ajaran yang
mengacu kepada adanya kenyataan yang lebih dari satu (individu)
(Yewangoe, 2009: 76).
Di Indonesia kata pluralisme sering diartikan berbeda dengan plural.
Terkadang masyarakat alergi dengan kata pluralisme. Hal itu disebabkan
29
berkembangnya istilah pluralisme yang bergeser dari istilah awalnya. Hamid
Fahmy Zarkasyi menjelaskan terdapat dua makna pengertian pluralisme.
Pengertian yang pertama adalah toleransi dimana masing-masing agama, ras,
suku, dan kepercayaan berpegang pada prinsip masing-masing dan
menghormati prinsip dan kepercayaan orang lain. Sedangkan pluralisme
dalam arti kedua sudah tidak berpegang pada suatu dasar apapun (Republika,
14 Mei 2009).
Di dalam sejarah perjalanan Nabi Muhammad SAW., pluralisme telah
menjadi contoh nyata yang di dalam konsepsi Islam disebut Piagam Madinah
(Syam, 2009: 60). Di dalam Piagam Madinah terdapat 47 pasal yang
mencakup
hak-hak
asasi
manusia,
hak
dan
kewajiban
bernegara,
perlindungan hukum, hingga toleransi beragama. Konsep tentang mengakui
dan melindungi pemeluk agama lain tertuang dalam piagam madinah. Di
masa Nabi Muhammad SAW, hubungan antarsesama warga negara yang
berbeda agama, suku, dan etnis telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad
SAW. Hal ini menandakan bahwa pluralisme merupakan konsep toleransi
yang telah ada sejak berabad-abad yang lampau.
Pluralisme bukan pula sekedar pengakuan bahwa keadaan atau fakta
seperti itu memang ada dalam kenyataan. Pluralisme adalah suatu sikap yang
mengakui dan sekaligus menghargai, menghormati, memelihara dan bukan
mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak atau
banyak itu. Pluralisme dapat pula berarti kebijakan atau politik yang
mendukung pemeliharaan kelompok-kelompok berbeda-beda asal etnik, pola
30
budaya, agama dan seterusnya (Kautsar Azhari Noer, 2005: 82). Sedangkan
menurut Ramlan Surbakti (2007:102), Pluralisme adalah suatu sistem yang
memungkinkan semua keputusan dalam masyarakat bersaing secara bebas
untuk mempengaruhi proses politik sehingga tercegah terjadinya suatu
kelompok mendominasi kelompok lain.
Dari beberapa pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
pluralisme merupakan suatu keadaan masyarakat yang majemuk, dimana
dalam suatu sistem masyarakat tersebut dibutuhkan sikap mengargai dan
toleransi. Pluralisme yang dimaksud disini adalah pluralisme yang diartikan
sebagai toleransi dimana masing-masing agama, ras, suku, dan kepercayaan
berpegang pada prinsip masing-masing dan menghormati prinsip dan
kepercayaan orang lain.
b. Posisi Minoritas dalam Pluralitas
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga (Pusat
Bahasa Depdiknas, 2005: 745) yang dimaksud minoritas adalah golongan
sosial yang jumlahnya lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan lain
dalam suatu masyarakat dan karena itu didiskriminasi oleh golongan lain itu.
Minoritas adalah kelompok-kelompok yang paling tidak memenuhi tiga
gambaran berikut: (1) anggotanya sangat tidak diuntungkan, sebagai akibat
dari tindakan diskriminasi orang lain terhadap mereka; (2) anggotanya
memiliki solidaritas kelompok dengan “rasa kepemilikan bersama”, dan
mereka memandang dirinya sebagai “yang lain” sama sekali dari kelompok
31
mayoritas; (3) biasanya secara fisik dan sosial terisolasi dari komunitas yang
lebih besar (Terre, 2010).
Oleh karena itu, minoritas sering dikaitkan dengan diskriminasi yang
mereka alami dalam masyarakat majemuk. Minoritas dalam posisi pluralitas
sering dihadapkan pada pengakuan atas identitas, hal ini berdasarkan
pendapat Will Kymlicka (2011: 13) sebagai berikut:
Masyarakat modern semakin sering dihadapkan pada kelompok
minoritas yang menuntut pengakuan atas identitas mereka dan
diterimanya perbedaan budaya mereka. Hal ini disebut sebagai
tantangan dari „multikulturalisme‟. Namun istilah „multikultural‟
mencakup berbagai bentuk pluralisme budaya yang berbagai cara di
mana minoritas menyatu dengan komunitas politik, mulai dari
penaklukan dan penjajahan masyarakat yang sebelumnya memerintah
sendiri sampai pada imigrasi sukarela perorangan dan keluarga.
Perbedaan dalam cara penggabungan itu mempengaruhi sifat dari
kelompok minoritas dan bentuk hubungan yang mereka kehendaki
dengan masyarakat yang lebih luas.
Pada dasarnya setiap manusia mempunyai hak yang sama dengan
tidak membedakan ia etnis minoritas ataupun mayoritas, tetapi pada
kenyataanya etnis minortias sering mengalami perlakuan yang berbeda dalam
masyarakat majemuk. Kelompok mayoritas sering didahulukan dalam
masyarakat dalam berbagai bidang. Bagi kelompok etnis minoritas perlakuan
dan pemenuhan hak dari pemerintah merupakan kewajiban yang harus
dipenuhi oleh negara tanpa memandang suku ataupun etnis. Selama menjadi
warga negara Indonesia maka pemenuhan kaum minoritas dalam pluralitas
dijamin oleh sistem hukum dan politik yang toleran. Tidak berbeda dengan
kaum minoritas, kelompok minoritas berhak untuk menikmati hak-hak
32
mereka sebagai manusia (HAM) dan hak sebagai warga negara (dalam
konteks politik).
c. Multikulturalisme
Definisi multikulturalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) edisi ketiga (Pusat Bahasa Depdiknas, 2005: 762), adalah gejala pada
seseorang atau suatu masyarakat yang ditandai oleh kebiasaan menggunakan
lebih dari satu kebudayaan. Menurut Suharno (2011:14), multikulturalisme
merupakan konsep pengelolaan masyarakat yang secara cultural majemuk,
sekecil apapun tingkat dan lingkup kemajemukan budaya tersebut, dengan
memberikan pengakuan (rekognisi) atas eksistensi komponen kemajemukan
tersebut. Istilah multikulturalisme digunakan pemerintah Kanada untuk
kebijakan pasca tahun 1970-an yang mempromosikan polietnisitas dan bukan
asimilasi bagi para imigran.
Will Kymlicka (2011: 13-14) tidak menyebutkan secara definitif apa
yang dimaksud dari istilah multikulturalisme. Ia menjelaskan dalam
keanekaragaman kebudayaan dibedakan negara multibangsa dan kelompok
etnis. Negara yang penduduknya lebih dari satu bangsa adalah negara
multibangsa. Negara multibangsa adalah keanekaragaman kebudayaan timbul
dengan masuknya ke dalam negara yang lebih besar. Sedangkan negara
polietnis adalah dimana keanekaragaman budaya timbul dari imigrasi
perorangan dan keluarga.
33
Jika merujuk pendapat Bhikku Parekh tentang keragaman, ia
menyebutkan bahwa ada lima macam multikulturalisme (Suharno, 2011:1213), secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, isolasionis,
yang mengacu kepada masyarakat yang memiliki berbagai kelompok cultural
yang ada didalamnya menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam
interaksi yang hanya miniml antara yang satu dengan yang lainnya. Kedua,
akomodatif, yakni masyarakat plural yang memiliki kultur dominan, yang
membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan
kultutal kaum minoritas. Ketiga, ekonomis, yaitu masyarakat plural dimana
kelompok-kelompok kulturl utama berusaha mewujudkan kesetaraan
(equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan ekonomi
dalam kerangka politik yang secara kolektif dapat diterima.
Keempat, kritikal atau interaktif yakni masyarakat plural dimana
kelompok-kelompok cultural tidak terlalu concern dengan kehidupan cultural
otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan
dan
menegaskan
perspektif-perspektif
distingtif
mereka.
Kelima,
cosmopolitan, masyarakat ini berusaha menghapuskan batas-batas cultural
sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat dimana setiap individu
tidak lagi terikat dan committed kepada budaya tertentu, sebaliknya secara
bebas terlibat dalam eksperimeen interkulturl dan sekaligus mengembangkan
kehidupan cultural masing-masing.
Lebih lanjut, Parekh mengemukakan ada tiga macam diversitas
kebudayaan dalam dunia modern (Shahab, 2006: 210-211). Pertama,,
34
subcultural diversity yang merujuk pada kelompok orang walaupun anggotaanggotanya secara bersama menyandang kebudayaan yang sama, sebagian
dari mereka memiliki dan menjalankan kepercayaan yang berbeda dalam
beberapa aspek kehidupan atau mengembangkan cara hidup yang berbeda
untuk kelompok mereka. Kedua, perspectival diversity, yaitu beberapa
anggota sangat kritis terhadap prinsip atau nilai-nilai yang ada dalam
kebudayaan mereka dan mencari untuk membentuk kembali dalam jalur yang
benar. Misalnya gerakan feminis yang menyerang bias patriarkat. Ketiga,
communal diversity yaitu masyarakat moderen juga melingkupi beberapa selfconsciousness dan komunitas yang terorganisir dengan baik yang hidup
dengan sistem kepercayaan dan praktik yang berbeda. Mereka terdiri dari
imigran yang baru datang atau yang telah mapan atau komunitas agama dan
kelompok kebudayaan yang terkonsentrasi di satu wilayah misalnya
penduduk asli.
Multikulturalisme yang dimaksud dalam hal ini adalah konsep
kemajemukan atau keberagaman dari suatu kebudayaan. Jika merujuk pada
macam-macam multikulturalisme yang disebutkan Parekh tersebut, Indonesia
termasuk kategori kedua yaitu akomodatif. Dapat dicontohkan dalam
masyarakat
mayoritas
yang beragama
Islam
di
Indoesia berusaha
menyesuaikan dan bertoleransi dengan masyarakat yang bergama lain, begitu
pula sebaliknya. Negara tetap mengakomodasi kebutuhan kaum minoritas.
Walaupun pada praktiknya masih belum sepenuhnya terpenuhi hak-hak kaum
minoritas, tetapi sudah ada upaya untuk mengakomodasi masyarakat plural.
35
Pada kenyataannya di negara Indonesia tidak dapat dikelompokkan
kedalam salah satu bentuk-bentuk diversitas kebudayaan tersebut diatas.
Indonesia mengandung ketiga bentuk diversitas yang disebutkan oleh Parekh,
sehingga masalah multikulturalisme di negara ini sangat kompleks. Atas
dasar keanekaragaman yang komplek tersebut, keanekaragaman dalam
masyarakat Indonesia lebih dikenal dengan istilah masyarakat multikultural.
Oleh karena itu, terdapat semboyan yang dimiliki Indonesia yakni Bhinneka
Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Perbedaan atas
kebudayaan tersebutlah digunakan untuk memaknai istilah Multikulturalisme
di Indonesia.
5. Tinjauan tentang Hubungan Agama dan Negara
Pada umumnya negara dipandang mempunyai kewenangan yang sah
untuk mengatur dan memaksa. Lebih lanjut, Ramlan Surbakti (2007: 49)
menjelaskan bahwa dalam realitas analitis, negara merupakan aspek politik
hubungan sosial yang bersifat dominatif; dan dalam wujud yang konkret,
negara merupakan seperangkat institusi dan norma-norma hukum yang
menjalankan dan menegakkan dominasi tersebut.
Tujuan negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan Undang-undang
dasar 1945 alinea keempat yaitu:
a. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
b. Memajukan kesejahteraan umum
c. Mencerdaskan kehidupan bangsa
36
d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
keadilan sosial
Dengan demikian negara dalam hal ini ikut melaksanakan terciptanya
kemakmuran dan kesejahteraan bagi warga negaranya. Oleh karena itu, untuk
mencapai tujuan negara tersebut harus direalisasikan dalam kehidupan
bernegara. Bahwa dalam menjamin hak-hak warga negaranya, negara
mempunyai kewajiban dan memberikan pemenuhan hak bagi warga
negaranya.
Indonesia memberikan kedudukan yang fundamental dan tertuang
dalam dasar negara Indonesia yaitu Pancasila. Dalam sila pertama dalam
Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, membuktikan bahwa
Indonesia memberikan kedudukan yang tinggi dalam suatu dasar negara
untuk mempunyai agama dan mengakui kepercayaannya. Selain itu juga sila
pertama tersebut menandakan bahwa negara mempunyai hubungan dengan
agama, atau sebaliknya bahwa agama yang menjadi hal fundamental dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pembahasan hubungan agama dan negara tidak dapat dipisahkan dari
dasar filosofis bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Pada sila yang pertama
yaitu Ketuhanan Yang maha Esa, menunjukan bahwa negara mengakui
adanya Tuhan atau dapat diartikan Indonesia bukan negara sekuler. Armaidy
Armawi (2009: 12) menjelaskan, dengan adanya jaminan kemerdekaan
agama dari negara menunjukan bahwa negara Indonesia sangat menghargai
dan menghormati agama tanpa mengadakan diskriminasi atau pembedaan
37
antara agama yang satu dengan agama yang lain. Setiap agama menerima
hak, fasilitas, perlindungan serta kesempatan yang sama. Negara Indonesia
juga tidak menghalang-halangi hubungan keagamaan antara warganegaranya
dengan bangsa-bangsa lain atau pusat-pusat keagamaan demi kemajuan
agama yang bersangkutan.
B. Penelitian yang Relevan
1. Penelitian Isniwati (2011) tentang “Pemikiran Abdurahman Wahid
tentang Hak Asasi Manusia di Indonesia” menjelaskan perjuangan dan
keseriusan Abdurahman Wahid dalam bidang Hak Asasi Manusia
patut menjadi teladan bagi anak bangsa di negeri ini. Pandangan
Abdurahman Wahid sebagai tokoh Islam mempunyai paradigma
sendiri dalam memahami dan mengaktualisasikan nilai-nilai HAM.
Menurut Abdurahman Wahid di Indonesia banyak terjadi pelanggaran
terhadap Hak Asasi Manusia dan upaya untuk menegakkan HAM
hanya dapat dilakukan melalui reformasi struktural. Apresiasi
Abdurahman Wahid terhadap Hak asasi manusia bukan dalam konsep
saja, tetapi juga implementasinya dalam praktek, termasuk di
Indonesia Abdurahman Wahid menyuaraan pelanggaran HAM seperti
pembelaan terhadap hak-hak kaum minoritas (etnis Tionghoa), korban
G 30 S/PKI, dan pembelaan Abdurahman Wahid terhadap Ulil Abshor
Abdalla atas pemikiran liberalismenya.
2. Penelitian oleh Riana Imandasari (2010) tentang Perubahan Aliran
Khonghucu menjadi Agama Khonghucu pada Masa Pemerintahan Gus
38
Dur menjelaskan bahwa: (1) Agama Khonghucu dapat masuk dan
berkembang di Indonesia dikarenakan dibawa oleh orang-orang
Tionghoa yang datang di Indonesia. Kedatangan etnis Tionghoa ke
Indonesia dipengaruhi oleh adanya hubungan baik antara Tiongkok
dan Indonesia. Pada abad ke-17 sebenarnya sudah ada bangunan tua
yang bernama “klenteng” sebagai tempat pemujaan agama Khonghucu
di Pontianak. (2) Selama Orde Baru berjaya melampaui lebih dari 30
tahun
lamanya,
selama
itu
kalangan
Tionghoa
mendapatkan
diskriminasi sistematik dari segi hukum dan pelayanan publik yang
dilakukan penguasa dan lambat laun kemudian mejadi prasangka
budaya kalangan masyarakat lainnya. Hal itu bisa dibuktikan dengan
adanya sejumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur
kalangan Tionghoa di Indonesia. (3) Gus Dur sangat berperan dalam
eksistensi Agama Khonghucu di Indonesia. Suatu langkah besar untuk
merehabilitasi etnis Tionghoa adalah keputusan Presiden Abdurahman
Wahid untuk mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 yang dikeluarkan
Presiden Soeharto. Peraturan penggantinya adalah Keppres No. 6
Tahun 2000. Keppres ini mengatur antara lain penyelenggaraan
kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa
Dikeluarkannya Keppres No. 6 Tahun 2000, hal ini juga berarti
terjadinya perubahan dalam agama Khonghucu. Status agama
Khonghucu sudah diakui negara.
39
Dalam penelitian yang pertama terdapat kesamaan yang akan
peneliti kaji yaitu ingin menunjukkan pemikiran Gus Dur dan
perannya sebagai Presiden yang mengeluarkan kebijakan politik.
Sedangkan penelitian yang ke dua persamaannya terletak pada kajian
penelitian yang sama yaitu perubahan aliran Khonghucu yang
kemudian diakui sebagai agama Khonghucu. Sedangkan perbedaan
penelitian ini dengan kedua penelitian di atas adalah terletak pada
metode penelitiannya.
Dalam penelitian ini, peneliti berusaha mengembangkan penelitian
lebih lanjut dari penelitian kedua. Peneliti berusaha meneliti
perubahan Khonghucu yang semula tidak diakui sebagai agama namun
pada masa pemerintahan Gus Dur dikembalikan posisinya sebagai
salah satu agama di Indonesia. Selanjutnya peneliti berusaha
membahas implikasi pemberlakuan Keppres RI No. 6 Tahun 2000
pasca reformasi dan peran pemerintah Indonesia terhadap etnis
Tionghoa yang menganut agama Khonghucu.
Download