BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejalan dengan bertambahnya usia negara ini jika dilihat lebih rinci dengan menengok negara-negara lain, Indonesia terlihat ketertinggalan negara kita dibidang pendidikan. Seperti diketahui kemajuan pendidikan suatu negara tergantung dari kemampuan masyarakat dalam mengembangkan potensi dirinya. Menurut Permendiknas No. 22 tahun 2006, yaitu pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki siswa, sehingga menjadi manusia yang memiliki kemampuan dan kecakapan hidup. Sampai saat ini usaha peningkatan mutu pendidikan di Indonesia yang berkualitas terus diupayakan oleh berbagai pihak. Matematika merupakan salah satu bidang dalam pendidikan yang mempengaruhi kualitas dan potensi diri. Pengaruh matematika disini dapat dijabarkan sebagai mapel yang dapat melatih siswa dalam berpikir kritis, sistematis, dan logis sehingga dapat mengembangkan kualitas dan potensi manusia dalam kehidupan. Menurut Ignacio, et al (2006) “Learning mathematics has become a necessity for an individual's full development in today's complex society”, belajar matematika telah menjadi kebutuhan bagi pengembangan sepenuhnya individu dalam masyarakat yang kompleks saat ini. E.T. Ruseffendi (1980) menyatakan Matematika itu penting baik sebagai alat bantu, sebagai ilmu, sebagai pembimbing pola pikir, maupun sebagai pembentuk sikap. Namun matematika masih dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit. Supartono dalam Zulkardi dan Purwoko (2009: 62) menyatakan bahwa kenyataan masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika. Hal itu dapat dilihat dari rendahnya prestasi belajar siswa. Upaya untuk meningkatkan prestasi belajar matematika antara lain dengan melengkapi sarana dan prasarana pembelajaran di sekolah termasuk di dalamnya alat peraga matematika, mengirim tenaga kependidikan untuk 1 2 mengikuti berbagai kegiatan, seminar, studi lanjutnya, dan sebagainya. Meskipun demikian usaha tersebut belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Hal ini dapat dilihat dari level yang dicapai siswa Indonesia dalam PISA (Programme for International Student Assessment) dan ketercapaian nilai Ujian Nasional tiap tahunnya. PISA merupakan suatu program penilaian sekala internasional yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana siswa berusia 15 tahun bisa menerapkan pengetahuan yang sudah dipelajari di sekolah. Fokus penilaian PISA adalah kemampuan Literasi dan Problem Solving pada Mathematics, Science dan Reading. Dalam (PISA) tahun 2009, dari total 65 negara dan wilayah yang masuk survei PISA dan Indonesia menduduki ranking ke-50 (http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-pisa). Pada literasi PISA tahun 2012, dari total 64 negara dan wilayah, Indonesia menduduki ranking ke-63 atau hanya lebih tinggi satu peringkat dari Peru. Rendahnya hasil belajar juga dapat dilihat berdasarkan klasifikasi nilai matematika siswa hasil ujian nasional tingkat SMP di Kabupaten Nganjuk pada tahun 2013/2014. Dapat diketahui berdasarkan data PAMER UN 2013/2014 bahwa matematika adalah mata pelajaran mendapatkan yang hasil yang kurang baik dengan nilai rata-rata 4,89 dan nilai terendah 1,25. Rendahnya nilai ratarata mata ujian matematika dimungkinkan karena tingkat penguasaan beberapa materi matematika oleh siswa yang masih kurang. Rendahnya tingkat penguasaan materi siswa SMP di Kabupaten Nganjuk pada tahun pelajaran 2013/2014 khususnya pada kemampuan “Memahami operasi bentuk aljabar” terlihat dari daya serap materi tersebut yang hanya mencapai 42,30%, lebih rendah jika dibandingkan dengan daya serap di Provinsi Jawa Timur yaitu 52,36%, dan di tingkat nasional yaitu 61,62%. Dilihat dari level yang dicapai siswa Indonesia dalam PISA secara umum dan ketercapaian nilai dan daya serap Ujian Nasional tahun 2013/2014, menunjukkan bahwa masih banyak siswa SMP khususnya di kota Nganjuk yang mengalami kesulitan dalam mempelajari materi operasi hitung bentuk aljabar. Operasi hitung bentuk aljabar adalah salah satu materi dalam pelajaran 3 matematika yang harus diajarkan kepada siswa pada satuan pendidikan SMP/MTs, dimana penguasaan materi operasi hitung aljabat juga berpengaruh terhadap materi selanjutnya karena merupakan pengenalan awal konsep maupun operasi hitung aljabar itu sendiri. Kurang pahamnya materi aljabar bisa berpengaruh terhadap materi yang lain, seperti yang dinyatakan Panasuk dan Beyranevand (2011) bahwa kemampuan untuk memecahkan persamaan linier adalah dasar untuk mempelajari banyak konsep dalam aljabar. Tentunya seperti kita ketahui operasi hitung bentuk aljabar adalah materi yang menjadi dasar dari persamaan linier itu sendiri. Namun masih ditemui berbagai masalah yang mengakibatkan siswa kurang menguasai dalam materi operasi hitung bentuk aljabar. Adapun hasil penelitian yang ditunjukkan Patton (2012) menyatakan kadang siswa melakukan dengan baik dalam aritmatika, tetapi mengalami kesulitan dengan konsep aljabar. Begitu juga Seng (2010) menunjukkan bahwa, “many students still lack a good conceptual understanding of algebraic expressions”. Egodawatte (2011) menjelaskan adanya kesalahan terkait penyelesaian permasalahan aljabar yang dinyatakan dengan soal cerita (word problem) dan ungkapan aljabar (expressions) memiliki presentasi yang paling tinggi dibandingkan kesalahan terkait persamaan (equation) dan variabel (variables). Selain itu Dede dan Soybas (2011) bahwa, beberapa siswa pada setiap tingkat memiliki beberapa kesulitan dalam persamaan-persamaan aljabar seperti dalam memahami operasi hitung bentuk aljabar. Dari beberapa pendapat dapat disimpulkan masalah yang sering dialami siswa pada materi aljabar banyak dikarenakan kurangnya pemahamnya siswa tentang pola pikir abstrak yang baru dikenalnya antara lain adanya variabel pada konsep aljabar. Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi rendahnya prestasi belajar matematika siswa. Menurut Herman Hudojo (2005:10) keberhasilan belajar matematika bergantung kepada proses belajarnya. Maka dari itu perlu diciptakan suasana belajar yang menyenangkan, dapat merangsang kreativitas siswa dalam belajar, dan siswa dapat semakin berkembang. Salah satunya adalah model pembelajaran yang diterapkan oleh guru. Meskipun pemerintah 4 telah memunculkan beberapa kurikulum dan model pembelajaran yang diarahkan supaya proses belajar menjadi lebih baik dan bermakna. Dalam kenyataannya model pembelajaran yang dipakai oleh guru masih banyak didominasi oleh model pembelajaran langsung. Guru merupakan pusat pembelajaran dan kurang melibatkan siswa dalam proses pembelajaran, sehingga siswa kurang aktif dalam bereksplorasi dan mengembangkan diri. Kurangnya keikutsertaan siswa dan dominannya guru dalam pembelajaran mengakibatkan ilmu atau materi yang didapat siswa kurang bermakna serta siswa mudah bosan karena langsung menerima konsep dari tanpa melalui proses mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Diperlukan perbaikan-perbaikan dalam proses pembelajaran untuk dapat mengoptimalkan penguasaan materi siswa pada materi operasi hitung bentuk ajabar. Operasi hitung bentuk ajabar adalah materi yang memerlukan pemahaman konsep secara bermakna agar dapat dikuasai sepenuhnya oleh siswa. Kenyataanya, guru kurang memperhatikan dan menyesuaikan pembelajaran sesuai kemampuan dan kecerdasan siswa, karena keberhasilan belajar siswa bisa dipengaruhi oleh berbagai macam kecerdasan antara lain kecerdasan intelektual atau kecerdasan emosional. Oleh karena itu, banyak siswa yang tidak dapat belajar secara maksimal materi yang diajarkan oleh guru, sehingga menjadikan kurang bermaknanya materi dan konsep yang diajarkan. Dengan diterapkannya model pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran, diharapkan materi pelajaran yang disampaikan akan lebih diterima oleh siswa tentunya dengan mempertimbangkan kemampuan dan kecerdasan siswa. Masalah lain yang menyebabkan kurang bermaknanya konsep aljabar siswa adalah adanya siswa yang terlalu pasif dan jenuh di kelas dalam proses pembelajaran ada pula yang malu bertanya baik kepada guru dan lebih nyaman bertanya kepada teman ketika mengalami masalah dalam pembelajaran. Nyman (2015) menyatakan proses pemahaman aljabar “sometimes they first need to get over a barrier of hard work and understand the basics before they feel self”. Dapat diartikan terkadang mereka harus terlebih dahulu mendapatkan masalah dalam usaha dan memahami dasar-dasar sebelum 5 mereka memahaminya sendiri. Dengan kata lain diperlukanya usaha diri siswa dalam memahami konsep dasar aljabar sebelum mendapatkan keberhasilan. Pembelajaran kooperatif adalah suatu model yang dikembangkan untuk membentuk suatu pembelajaran yang berpusat pada siswa. Pembelajaran ini menuntut siswa untuk ikut aktif didalam proses pembelajaran. Menurut Artzt dan Newman dalam Park dan Nuntrakune (2013: 249) “Cooperative learning involves small groups of student who work in collaboration to encourage one another and share creative solutions to their problems”. bahwa pembelajaran kooperatif melibatkan grup kecil pada siswa yag bekerja sama untuk saling mendukung satu sama lain dan berbagi solusi kreatif dari permasalahannya. Proses pembelajaran didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan siswasiswa untuk saling bertukar informasi dengan yang lainnya dan saling belajar mengajar sesama mereka. Menurut Tran dan Lewis (2012)“The frequent reciprocal interaction among participants in the treatment group stimulated cognitive activities, promoted higher levels of achievement and retention, and enhanced positive attitudes toward learning”, menyatakan adanya interaksi timbal balik di antara siswa dalam kelompok mendorong kegiatan belajar, meningkatkan prestasi, daya ingat, dan meningkatkan sikap positif terhadap pembelajaran. Menonjolkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran, model pembelajaran kooperatif dinilai bagus dan layak digunakan guna meminimalisasi pasifnya siswa dalam pembelajaran. Johnson and Johnson dalam Kupczynski, et al. (2012) menyatakan “In fact, cooperative learning has been found to result in higher achievement among students when compared to individualistic and competitive learning, even when different methods are applied in diverse settings”, yang dapat diterjemahkan, pembelajaran kooperatif telah ditemukan untuk menghasilkan prestasi yang lebih tinggi di kalangan siswa ketika dibandingkan dengan pembelajaran individualistis dan kompetitif, bahkan ketika model yang berbeda diterapkan pada kondisi yang berbeda. Intelligence dan Ajaja dan Eravwoke (2010) menyatakan bahwa pembelajaran 6 kooperatif adalah pilihan yang layak diantara model pembelajaran yang lain untuk mengajar ilmu di sekolah menengah. Beberapa model pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam mengatasi masalah siwa dalam pembelajaran khususnya pada materi operasi hitung bentuk aljabar antara lain model pembelajaran kooperatif tipe TAI (Team Accelerated Instruction) dan TSTS (Two Stay Two Stray). Dimana kedua model pembelajaran dinilai dapat mengatasi masalah kurangnya pemahaman konsep siswa. Model pembelajaran kooperatif tipe TAI (Teams Assisted Individualization) merupakan model pengajaran yang menggabungkan pembelajaran kooperatif dengan instruksi individu. Ciri khas dalam model pembelajaran kooperatif tipe TAI adanya tes formatif. Dalam TAI siswa meskipun dalam kelompok diharuskan menyelesaikan tes formatif secara individu kemudian akan dikoreksi dan di analisis oleh teman yang lain, sehingga dapat meminimalisir siswa yang pasif dan acuh terhadap pembelajaran karena tugas yang dikerjakan harus dikerjakan secara individu. Model pembelajaran kooperatif tipe TAI dapat membantu siswa dalam memahami materi matematika dan materi aljabar khususnya. Model pembelajaran kooperatif tipe TAI adanya sintak dimana pengerjakan test formatif dilakukan lebih dari sekali dan secara individu, hal itu memungkinkan siswa memahami konsep yang sedang dipelajari dan mengetahui dimana kesalahan konsepnya secara mandiri dan bermakna. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Awofala, et al (2013) mengindikasikan secara signifikan efek utama dari penerapan model kooperatif tipe TAI mempunyai hasil yang lebih tinggi dari pada model pembelajaran langsung. Model yang kedua yaitu Model pembelajaran kooperatif tipe TSTS (Two Stay Two Stray) atau dikenal juga dengan “Dua Tamu Dua Tinggal”, maksudnya adalah dua orang pada masing-masing kelompok bertugas sebagai tuan rumah yang akan melayani tamu dari kelompok lain, dan dua yang lain bertugas sebagai tamu untuk mencari analisa dari kelompok lain sesuai dengan permasalahan yang sedang dibahas. Disini siswa diberi tempat untuk berinteraksi dan berdiskusi dengan teman dalam pembelajaran sehingga siswa yang memiliki masalah dalam bertanya kepada guru dapat berkembang. Pada 7 TSTS proses diskusi yang berulang memungkinkan siswa mengkonstruksi konsep yang dipelajari dengan membandingkan dengan teman ataupun kelompok lain. TSTS merupakan sistem pembelajaran kelompok dengan tujuan agar siswa dapat saling bekerja sama, bertanggung jawab, saling membantu memecahkan masalah, dan saling mendorong satu sama lain untuk berprestasi. Keberhasilan siswa dalam pembelajaran juga dipengaruhi oleh kecerdasan masing masing siswa. Dewasa ini kecerdasan yang sering dikatakan mempengaruhi hasil belajar selain IQ (Kecerdasan Intelektual) adalah EQ (Kecerdasaan Emosional). Abdullah, et al (2004) menyatakan bahwa dengan kecerdasan emosional yang tinggi, murid tidak hanya akan sukses di sekolah tetapi juga akan berkembang menjadi individu yang mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat. Berdasarkan Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah 2006, kecerdasan emosional juga merupakan salah satu aspek yang diperhatian dalam acuan operasional penyusunan KTSP. Harus diakui bahwa mereka yang memiliki kemampuan intelektual rendah dan mengalami keterbelakangan mental akan mengalami kesulitan, bahkan mungkin tidak mampu mengikuti pendidikan formal yang seharusnya sesuai dengan usia mereka. Namun bila seseorang memiliki kemampuan intelektual tinggi tetapi taraf kecerdasan emosionalnya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan, dan cenderung putus asa bila mengalami stress. Kecerdasan emosional sangat berhubungan dengan keberhasilan anak termasuk prestasi di sekolah. Setiap siswa memiliki tingkat kecerdasan emosional yang berbeda-beda sehingga akan mempengaruhi dalam hasil dan proses pembelajaran. Nwadinigwe and Obieke (2012: 395-401) menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara kecerdasan emosional dan prestasi akademik sehingga perkembangan kecerdasan emosional siswa akan mengarah pada peningkatan prestasi akademiknya. Beberapa hasil penelitian mengenai model pembelajaran kooperatif tipe TAI, dan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS adalah hasil penelitian dari 8 Fitriana Anggar Kusuma (2014) menyebutkan bahwa prestasi belajar siswa dengan model pembelajaran TAI lebih baik dari pada model pembelajaran NHT dan model pembelajaran langsung. Idris, dkk (2013) menyebutkan bahwa prestasi belajar siswa model pembelajaran kooperatif tipe TSTS lebih baik dari pada model pembelajaran NHT dan model pembelajran langsung. Berdasarkan uraian model pembelajaran TAI, TSTS dan kecerdasan emosional, peneliti tertarik menerapkan model pembelajaran TAI dan TSTS dengan memperhatikan kecerdasan emosional siswa sehingga diharapkan setiap siswa dapat memperoleh prestasi belajar yang lebih baik. Adapun hubungan kedua model pembelajaran dengan kecerdasan emosional adalah, Kecerdasan emosional juga merupakan salah satu aspek yang diperhatikan dalam acuan operasional penyusunan KTSP 2006, yang mana kecerdasan emosional secara umum mempengaruhi kemampuan siswa dalam model pembelajaran kooperatif. Miftahul Huda (2014) mengadopsi enam pendekatan yang telah ditetapkan dalam International Baccalaurate, TAI dan TSTS termasuk dalam pendekatan pendekatan kolaboratif. Pendekatan kolaboratif mendorong siswa untuk mampu menerima dan membantu orang lain, menghadapi tantangan dan bekerja dalam tim. Tinggi rendahnya kecerdasan emosional siswa pasti berpengaruh pada pendekatan kolaboratif tersebut baik untuk menghadapi tantangan individu maupun kemampuan sosial yang dituntut mampu bekerjasama dan membantu teman. Berdasarkan beberapa hal tersebut, peneliti ingin melaksanakan eksperimentasi model pembelajaran tipe TAI, TSTS dan langsung pada materi operasi hitung bentuk aljabar ditinjau dari kecerdasan ditinjau dari kecerdasan emosional di kelas VII SMP se-kabupaten Nganjuk Tahun Ajaran 2015/2016. B. Rumusan Masalah Untuk memperjelas mengenai apa yang akan diteliti dan berdasarkan latar belakang masalah yang ada, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 9 1. Manakah yang memberikan prestasi belajar matematika lebih baik, siswa yang dikenai model pembelajaran TAI, TSTS atau model pembelajaran langsung? 2. Manakah yang mempunyai prestasi belajar yang lebih baik, siswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, sedang atau rendah? 3. Pada siswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, sedang, dan rendah, manakah yang mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik, siswa yang dikenai model pembelajaran TAI, TSTS atau model pembelajaran langsung ? 4. Pada siswa yang dikenai model pembelajaran TAI, TSTS atau model pembelajaran langsung, manakah yang memberikan prestasi belajar matematika yang lebih baik, siswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, sedang atau rendah? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui manakah yang memberikan prestasi belajar yang lebih baik, siswa yang dikenai model pembelajaran TAI, TSTS atau model pembelajaran langsung. 2. Untuk mengetahui manakah yang memberikan prestasi belajar yang lebih baik, siswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, sedang atau rendah. 3. Untuk mengetahui siswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, sedang, dan rendah, manakah yang mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik, siswa yang dikenai model pembelajaran TAI, TSTS atau model pembelajaran langsung. 4. Untuk mengetahui siswa yang dikenai model pembelajaran TAI, TSTS atau model pembelajaran langsung, manakah yang mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik, siswa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, sedang atau rendah. 10 D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain : 1. Manfaat teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan sebagai bahan rujukan dalam proses pembelajaran yang berkaitan dengan model pembelajaran TAI, TSTS dan kecerdasan emosional. 2. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang besar baik bagi guru, siswa, dan sekolah sebagai berikut: a. Bagi Guru 1) Sebagai masukan bagi guru atau calon guru matematika dalam menentukan model pembelajaran yang dapat menjadi alternatif lain. Selain model pembelajaran yang biasa digunakan oleh guru matematika dalam pengajarannya. 2) Memberi informasi lebih dalam kepada guru atau calon guru matematika tentang model pembelajaran kooperatif tipe TAI dan TSTS ditinjau dari kemampuan kecerdasan emosional siswa. b. Bagi siswa Diharapkan dapat meningkatkan cara-cara belajar matematika, bekerja bersama secara berkelompok, dan cara berkomunikasi dalam kelompok. c. Bagi Peneliti 1) Dapat memperoleh pengalaman langsung dalam menerapkan model-model pembelajaran yang tepat sesuai dengan materi yang diajarkan. 2) Sebagai referensi bagi peneliti untuk mengadakan penelitian selanjutnya. 11 3) Dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sebagai calon guru untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan dalam upaya mengembangkan potensi diri lebih lanjut. d. Bagi Peneliti lain Penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk melakukan penelitian sejenisnya dengan materi dan variabel yang lain.